30
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Di dalam bab II ini penulis akan menjelaskan konsep-konsep yang relevan dengan masalah yang diteliti. Konsep-konsep tersebut digunakan agar pembahasan masalah dalam skripsi ini dapat dilakukan dengan sistematis. Konsep-Konsep yang relevan yang berkaitan dengan konsep-konsep atau teori-teori hukum yang berkaitan dengan kedudukan dan fungsi peradilan adat didalam sistem hukum di Indoensia A. Fungsi dan Kedudukan Peradilan Dalam Sistem Hukum Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pengadilan itu menunjuk kepada pengertian organnya, sedangkan peradilan merupakan fungsinya. Namun, menurut Soedikno Mertokusumo, pada dasarnya, peradilan itu selalu berkaitan dengan pengadilan, dan pengadilan itu sendiri bukanlah semata-mata badan, tetapi juga terkait dengan pengertian yang abstrak, yaitu memberikan keadilan. 1 Lain lagi Rochmat Soemitro yang berpendapat bahwa pengadilan dan peradilan, juga berbeda dari badan pengadilan. Titik berat kata peradilan tertuju kepada prosesnya, pengadilan menitikberatkan caranya, sedangkan badan pengadilan tertuju kepada badan, wan, hakim, atau instansi pemerintah. 2 Namun, menurut hasil penelitian mengenai 1 SudiknoMertokosumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatan Bagi Kita Bangsa Indonesia, (disertai), Kilat Maju Bandung, 1971 hlm.2 2 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, cetakan ketiga, 1997, hlm.23

Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Di dalam bab II ini penulis akan menjelaskan konsep-konsep yang relevan dengan

masalah yang diteliti. Konsep-konsep tersebut digunakan agar pembahasan masalah

dalam skripsi ini dapat dilakukan dengan sistematis. Konsep-Konsep yang relevan yang

berkaitan dengan konsep-konsep atau teori-teori hukum yang berkaitan dengan

kedudukan dan fungsi peradilan adat didalam sistem hukum di Indoensia

A. Fungsi dan Kedudukan Peradilan Dalam Sistem Hukum

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pengadilan itu

menunjuk kepada pengertian organnya, sedangkan peradilan merupakan fungsinya.

Namun, menurut Soedikno Mertokusumo, pada dasarnya, peradilan itu selalu berkaitan

dengan pengadilan, dan pengadilan itu sendiri bukanlah semata-mata badan, tetapi juga

terkait dengan pengertian yang abstrak, yaitu memberikan keadilan.1

Lain lagi Rochmat Soemitro yang berpendapat bahwa pengadilan dan peradilan,

juga berbeda dari badan pengadilan. Titik berat kata peradilan tertuju kepada prosesnya,

pengadilan menitikberatkan caranya, sedangkan badan pengadilan tertuju kepada badan,

wan, hakim, atau instansi pemerintah.2 Namun, menurut hasil penelitian mengenai

1 SudiknoMertokosumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah

Kemanfaatan Bagi Kita Bangsa Indonesia, (disertai), Kilat Maju Bandung, 1971 hlm.2

2 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung,

cetakan ketiga, 1997, hlm.23

Page 2: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

pemakaian kata-kata pengadilan dan peradilan itu dalam praktik, ternyata kata pengadilan

itu memang tertuju kepada badannya, sedangkan peradilan adalah prosesnya. Atas dasar

itu, maka Sjachran Basan berpendapat bahwa penggunaan istilah pengadilan itu ditujukan

kepada badan atau wadah yang memberikan peradilan, sedangkan peradilan menunjuk

kepada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum atau het

rechtspreken. Pengadilan selalu bertalian dengan peradilan, meskipun pengadilan

bukanlah satu-satunya badan yang menyelenggarakan peradilan.3

Peradilan itu sendiri sebagai suatu proses harus terdiri atas unsur-unsur tertentu.

Menurut pendapat Rochmat Soemitro, setelah menelaah berbagai pendapat dari Paul

Scholten, Bellefroid, George Jellineck, dan Kranenburg, unsur-unsur peradilan itu terdiri

atas empat anasir, yaitu : 4

1. Adanya aturar hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat

diterapkan pada suatu persoalan.

2. Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit

3. Ada sekurang-kurangnya dua pihak

4. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.

Namun, menurut Sjachran Basan, unsur-unsur peradilan itu yang lebih lengkap

mencakup pula adanya hukum formal dalam rangka penerapan hukum (rechtstoepassing)

dan menemukan hukum (rechtsvinding) “in conreto” untuk menjamin ditaatinya hukum

3 Ibid., hlm. 24

4 Rochmat Soemitro, Masalah Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia, (disertasi), Eresco,

Bandung, 1976, hlm. 7-8.

Page 3: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

materiil yang disebut sebagai unsur (a) tersebut di atas. Atas dasar itu, maka oleh

Sjachran Basan dikatakan bahwa,5 “Peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian

dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum, menemukan hukum in

concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil dengan

menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.”

Proses peradilan tanpa hukum materiil akan lumpuh, tetapi sebaliknya tanpa

hukum formal akan liar dan bertindak semaunya, dan dapat mengarah kepada apa yang

biasa ditakutkan orang sebagai “judicial tyrany”.

Kekuasaan kehakiman adalah ciri pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) dan prinsip

the rule of law. Demokrasi mengutamakan the will of the people, Negara Hukum

mengutamakan the rule of law. Banyak sarjana yang membahas kedua konsep itu, yakni

demokrasi dan negara hukum dalam satu kontinum yang tak terpisahkan satu sama lain.6

Namun keduanya perlu dibedakan dan dicerminkan dalam institusi yang terpisah satu

sama lain.

Di lingkungan para pembelajar perumusan kebijakan publik terdapat sejumlah

model.Thomas R. Dye merumuskan model-model secara lengkap dalam Sembilan model

formulasi kebijakan, yaitu :7

1. Model Kelembagaan(Institutional)

5 Sjachran Basah, Op.Cit hlm. 29.

6 Lihat Jose Maria Maravall and Adam Przeworski (eds.), Democracy and the Rule of Law, Cambridge University

Press, 2003; baca misalnya tulisan John Ferejohn and Pasquale Pasquino, Rule of Democracy and Rule of Law

dalam Ibid. hlm. 242-260

7 http://www.scribd.com/doc/85362787/FORMULASI-KEBIJAKAN-roby/download : Minggu 15 Maret 2014/

7:21 PM

Page 4: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

2. Model Proses(Process)

3. Model Kelompok (Grub)

4. Model Elit(Elite)

5. Model Rasional(Rational)

6. Model Incremental(Incremental)

7. Model Teori Permainan(Game theory)

8. Model Pilihan Publik (Public choice)

9. Model Sistem (System)

Model Kelembagaan (Institutional) adalah Formulasi kebijakan model

kelembagaan secara sederhana bermakna bahwaTugas membuat kebijakan publik adalah tugas

pemerintah. Jadi apapun yang dibuat pemerintahdengan cara apa pun adalah kebijakan publik.

Ini adalah model yang paling sempit dansederhana di dalam formulasi kebijakan publik.

Model ini mendasarkan kepada fungsi-fungsi kelembagaan dari pemerintah, di setiap

sektor dan tingkat, di dalam formulasi kebijakan.8

Thomas. R. Dye menyebutkan ada tiga hal yang membenarkan pendekatan ini,

yaitu pemerintah membuat kebijakan publik, bersifat universal, dan memonopoli fungsi

pemaksaan (koersi) dalam kehidupan implementasinya didalam kehidupan

bermasyarakat.

Pendekatan kelembagaan (institutionalism) merupakan salah satu ilmu politik yang

tertua. Kehidupan politik umumnya berkisar pada lembaga pemerintah seperti: legislatif,

eksekutif, pengadilan dan partai politik, lebih jauh lagi kebijakan publik awalnya

8 lib.ui.ac.id/file?file=digital/124874-T%20304...

Page 5: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

berdasarkan kewenangannya ditentukan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah.

Secara tradisional pendekatan kelembagaan menitikberatkan pada penjelasan lembaga

pemerintah dengan aspek yang lebih formal dan legal yang meliputi organisasi formal,

kekuasaan legal, aturan prosedural, dan fungsi atau aktivitasnya. Hubungan formal

dengan lembaga lainnya juga menjadi titik berat dari pendekatan kelembagaan. Salah satu

kelemahan dari pendekatan ini adalah terabaikannya masalah-masalah lingkungan

dimana kebijakan itu diterapkan.9

B. Pengaturan Otonomi Khusus Bagi Papua.

Adapun pengaturan otonomi khusus bagi Papua didalam Undang-Undang adalah

hasil rekomendasi Majelis Pemusyawaratan Rakyat didalam Ketetapan MPR Nomor

IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah

dengan mengapresiasikan apa yang menjadi suara rakyat dari tanah Papua. Dalam rangka

menampung aspirasi masyarakat tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat berpendapat

bahwa penyelenggaraan otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis yang

memerlukan pemikiran yang matang, mendasar, dan berdimensi jauh ke depan.

Pemikiran mengenai otonomi bagi Papua tersebut kemudian dirumuskan dalam

romawi II Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 yang berkaitan dengan kebijaksanaan

otonomi daerah yang sifatnya menyeluruh dan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar

demokrasi, kesetaraan, dan keadilan disertai oleh kesadaran akan keanekaragaman

kehidupan kita bersama sebagai bangsa dalam semangat Bhineka Tunggal Ika.

Kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut:

9 Wibawa,1994,6

Page 6: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

1. Peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas masyarakat serta

aparatur pemerintahan di daerah.

2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan

antar -pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan.

3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan

masyarakat di daerah.

4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah

Adapun rekomendasi dari Majelis Permusyaratan Rakyat didalam Romawi III Ketetapan

MPR Nomor IV/MPR/2000 yakni berkaitan dengan rekomendasi ini ditujukan kepada

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar ditindaklanjuti sesuai dengan butir- butir

rekomendasi di bawah ini :

1. Undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian

Jaya, sesuai amanat Ketetapan Majeli Permusyawaratan Rakyat Nomor

IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar

dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi

masyarakat daerah yang bersangkutan.

2. Pelaksanaan otonomi daerah bagi daerah-daerah lain sesuai dengan Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Peribangan Keuangan antar Pemerintah

Pusat dan Daerah dilakukan sesuai jadwal yang telahditetapkan dengan

memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Keseluruhan peraturan pemeritah sebagai pelaksanaan dari kedua

undang-undang tersebut agar diterbitkan selambat-lambatnya akhir

Desember tahun 2000.

b. Daerah yang sanggup melaksanakan otonomi secara penuh dapat

segera memulai pelaksanaannya terhitung 1 Januari 2001 yang

tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan

anggaran pendapatan dan belanja daerah.

c. Daerah yang belum mempunyai kesanggupan melaksanakan

otonomi secara penuh dapat memulai pelaksanaannya secara

bertahap sesuai kemampuan yang dimilikinya.

Page 7: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

d. Apabila keseluruhan peraturan pemerintah belum diterbitkan

sampai dengan akhir Desember 2000, daerah yang mempunyai

kesanggupan penuh untuk menyelenggarakan otonomi diberikan

kesempatan untuk menerbitkan, peraturan daerah yang mengatur

pelaksanaanya. Jika peratura pemerintah telah diterbitkan

peraturan daerah yang terkait harus disesuaikan dengan peraturan

pemerintah dimaksud.

3. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, masing-masing daerah

menyusun rencana induk pelaksanaan otonomi daerahnya, dengan

mempertimbangkan antara lain tahap- tahap pelaksanaan, keterbatasan

kelembagaan, kapasitas dan prasarana, serta sistem manajemen anggaran dan

manajemen publik.

4. Bagi daerah yang terbatas sumber daya alamnya, perimbangan keuangan

dilakukan dengan memperhatikan kemungkinan untuk mendapatkan bagian dari

keuntungan badan usaha milik negara yang ada di daerah bersangkutan dan

bagian dari pajak penghasilan perusahaan yang beroperasi.

5. Bagi daerah yang kaya sumber daya alamnya, perimbangan keuangan pusat dan

daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kewajaran. Terhadap daerah-

daerah yang ketersediaan sumber daya manusia terdidiknya terbatas perlu

mendapatkan perhatian khusus.

6. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah agar dibetuk tim koordinasi

antar-instansi pada masing-masing daerah untuk menyelesaikan permasalahan

yang ada, memfungsikan lembaga pemerintah maupun non-pemerintah guna

memperlancar penyelenggaraan otonomi dengan program yang jelas.

7. Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan

pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang

bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

Perimbagan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud

dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar

1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap propinsi, kabupaten/kota,

desa/nagari/marga, dan sebagainya

Adapun istilah otonomi dalam tinjau etimologis dari bahasa latin “auotos” yang

berarti sendiri dan nomos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti aturan. Pengertian

“otonom”secara bahasa adalah berdiri sendiri atau dengan Pemerinahan sendiri,

sedangkan daerah adalah suatu wilayah atau lingkungan pemerintah. Dengan demikian

pengertian secara istilah otonomi daerah adalah wewenang kekuasaan pada suatu wilayah

mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah daerah masyarakat itu sendiri, dam

Page 8: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

pengertian lebih luas lagi adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah daerah

yang menagatur dan mengelolah untuk kepentingan wilayah daerah masyarakat itu

sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan pertimbangan keuangan termasuk

pengaturan sosial, budaya dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah

lingkungannya.10

Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004, Otonomi daerah adalah hak,

wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus endiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-

udangan. Pada hakekatnya, otonomi ini memberikan ruang gerak bagi Pemerintah

didaerah untuk mengelolah daerahnya, agar lebih mampu bersaing dan profesional dalam

menjalankan roda Pemerintahan dan mengelolah sumber daya dan potensi.

Pelaksananaan kewenangan otonomi diperngaruhi oleh faktor-faktor yang

meliputi kemampuan pelaksanaan pemerintahan, kemampuan dalam keuangan,

ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah itu

tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan,

peradilam, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan

Pemerintah Pusat, Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan pada prinsip demokrasi,

keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.

Otonomi khusus bagi Papua harus diartikan secara jelas dan tegas sejak awal,

karena telah terbentuk berbagai pemahaman yang negatif mengenai otonomi dikalangan

masayrakat papua. Istilah Otonomi dalam Otonomi khusus haruslah diartikan sebagai

10

http://e-journal.uajy.ac.id/4505/3/2MIH01164.pdf download : selasa, 16 Juli 2014:3:44AM

Page 9: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

kebebasan bagi masyarakat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus

pula berarti kebebasan untuk mengatur pemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan

kekayaaan alam Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat Papua

dengan tidak meninggalkan tanggug jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan

Pemerintahan Pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang kekurangan.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi

pembangunan sosial, budaya, ekonomi dan politk yang sesuai dengan karaktersitk dan

kekhasan sumber daya manusia serta kondisi alam dan kebudayaaan orang papua. Hal ini

penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya yang

diajukan dengan penegasan identitas dan harga dirinya termasuk dengan dimikinya

simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera dan lambang.

Istilah khusus hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan

kepada Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan ini dapat ditnjau dari

berbagi aspek , yaitu 11

:

1. Aspek Geografis

Yaitu bahwa Papua meliki daerah yang seluas tiga setengah pulau Jawa, dengan

topografi yang bervariasi dimana adawilayah dibawah permukaan air laut ,

beberapa tempat diatas permukaaan air laut , dan bahkan pegunugan yang

senantiasa ditutupi salju.

11

Bonai Sandhi, Makna pengibaran Bendera Bintang Kejora bagiPemerintah dan Masyarakat Papua, FH.

UKSW, 2010.

Page 10: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

2. Aspek Fisiologis

Yaitu orang Papua berasal dari ras Negroid rumpun Melanesian

3. Aspek Politik

Yaitu orang Papua adah bagian dari NKRI melalui proses politk tersendiri yang

dilegitimasi melalui kesepakatan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) dan New

York

4. Aspek Sosial dan Budaya

Yaitu kondisi penduduk papua masih terbatas, sekitar 75 persen penduduk tidak

memiliki pendidikan yang layak , gizi rendah, serta pelayanan lesehatan yang

terbatas, dan memiliki ragam budaya yang unik (kurang lebih 254 suku dan

bahasa

Istilah “otonomi” dalam Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan

bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti

kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam

Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan

tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan

daerah-daerah lain di Indonesia yang memang kekurangan. Hal lain yang tidak kalah

penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan sosial, budaya,

Page 11: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

ekonomi dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumberdaya manusia

serta kondisi alam dan kebudayaan orang Papua.12

Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang

seutuhnya yang ditunjukan dengan penegasan identitas dan harga dirinya termasuk

dengan dimilikinya simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera dan lambang. Istilah

“khusus” hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua

karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti

tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian

praktisnya, kekhususnya otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal berdasar yang hanya

berlaku di Papua dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal

yang berlaku di daerah lain yang tidak diterapkan di Papua.13

Dalam rangka mewujudkan terpenuhi hak dan kewajiban dasar rakyat Papua,

Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dikembangkan dan dilaksanakan

dengan berpedoman pada sejumlah nilai-nilai dasar. Nilai-nilai dasar ini bersumber dari

adat istiadat rakyat Papua, nasionalisme yang bertumpu pada prinsip-prinsip manusia

universal, dan penghormatan akan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Karena itulah,

nilai-nilai dasar yang dimaksudkan merupakan prinsip-prinsip pokok dan suasana

kebatinan yang melatarbelakangkangi penyusunan kerangka dasar Rancangan Undang-

12

http://pahalajunedipandapotanhutauruk.blogspot.com/2012/06/otonomi-daerah.html di download pada Kamis, 8

Agustus 2014, Jam 8:29

13 http://pahalajunedipandapotanhutauruk.blogspot.com/2012/06/otonomi-daerah.html di download pada Kamis, 8

Agustus 2014, Jam 8:29

Page 12: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua yang selanjutnya diharapkan akan berfungsi

sebagai pedoman dasar bagi pelaksanaan berbagai aspek Otonomi Khusus Papua di masa

mendatang. Ada tujuh butir Nilai-nilai Otonomi Khusus Papua. Nilai-nilai dasar yang

dimaksud adalah 14

:

1. Perlindungan terhadap Hak-hak Dasar Penduduk Asli Papua

2. Demokrasi dan Kedewasaan Berdemokrasi

3. Penghargaan tehadap Etika dan Moral

4. Penghargaan terhadap Hak-hak Asasi Manusia

5. Penegakan Supremasi Hukum

6. Penghargaan terhadap Pluralisme

7. Persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara

1. Peraturan Daerah Khusus

Pemberian Otonmi Khusus bagi Propinsi Papua diatur dalam UU Otsus.

Selanjutnya, Papua diberi kewenangan untuk mempunyai Perdasus, yaitu

Peraturan Daerah Khusus yang mengatur kondisi khusus atau hal-hal yang tidak

diatur dalam UU Otsus serta Perdasi yaitu Peraturan Daerah Propinsi yaitu

peraturan yang menjalankan aturan-aturan dalam undang-undang ini. Hal ini

berbeda dengan undang-undang pada umumnya, sebab jika pengaturan lebih

14

http://www.academia.edu/1596060/esai_otsus_papua didownload pada jumat, 8 Agustus 2014, Jam 8:33

Page 13: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

lanjut dari suatu undang-undang adalah Peraturan Pemerintah, maka kelanjutan

dari UU ini adalah Perdasi dan Perdasus15

.

Bertolak dari pengertian tentang otonomi, maka isi dari otonomi itu

sendiri adalah pemberian kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

Daerah dimana pemberian kewenangan tersebut haruslah dijalankan sesuai

dengan UU.

Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi

dilakukan dengan menggunakan pendekatan “Residu”, yakni menentukan terlebih

dahulu kewenangan Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya menjadi kewenangan

Pemerintah Propinsi. Kewenangan Pemerintah Propinsi sebagian diserahkan

kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dengan menggunakan pendekatan formal,

yakni adanya kebebasan mengurus dan mengatur segala sesuatu yang dianggap

penting bagi ekssistensi daerahnya, asalkan tidak mencakup urusan yang talah

menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi yang telah diatur

dalam suatu produk hukum tertentu.

2. Pembagian Wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Papua

Dalam Undang-Undang ini, ditetapkan kewenangan Pemerintah Pusat

mencakup urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan monoter dan fiskal,

peradilan, agama serta kewenangan tertentu dibidang lain (kebijakan tentang

15

Bonai Sandhi, Makna pengibaran Bendera Bintang Kejora bagiPemerintah dan Masyarakat Papua, FH.

UKSW, 2010.

Page 14: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dan

perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian

negara, pembinaan dan pemberdayaan Sumber Daya Manusia, pendayagunaan

Sumbar Daya Alam serta teknilogi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi

nasional). Mengingat Undang-Undang ini bersifat khusus, maka semua kewenangan

Pemerintah Pusat tersebut dilaksanakan dengan kekhususan dengan kekhususan di

Propinsi Papua. Beberapa kekhususan dalam pelaksanaan kewenangan Pemerintah

Pusat yang dimaksud antara lain :

a. Bidang Politik Luar Negeri

Perjanjian Internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan

kepentingan Propinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan

Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Propinsi Papua dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan

lembaga atau badan diluar negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

b. Bidang Pertahanan dan Keamanan

Gubernur berhak berkoordinasi dengan Pemerintah dalam hal kebijakan tata

ruang pertanahan di Propinsi Papua.

Kebijakan mengenai keamanan di Propinsi Papua dikoordinasikan oleh Kepala

Kepolisisan Daerah Propinsi Papua kepada Gubernur.

Hal-hal mengenai tugas kepolisian dibidanbg ketertiban dan ketentraman

masyarakat di Propinsi Papua, termasuk pembiayaannya, diatur dengan Perdasi

Page 15: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

dan dipertanggungjawabkan Kepala Kepolisian Daerah Propinsi Papua kepada

Gubernur.

Pengankatan Kepala Kepolisian Daerah Propinsi Papua dilakukan oleh Kepala

Kepolisian Republik Indonesian atas persetujuan Gubernur Propinsi Papua

c. Bidang Moneter dan Fiskal

Propinsi Papua dapat menerima bantuan Negari setelah memberitahukan kepada

Pemerintah.

Data dan informasi mengenai penerimaan pajak dan penerimaan Negara bukan

pajak yang berasal dari Propinsi Papua disampaikan kepada Pemerintah Propinsi

dan DPRD setiap tahun anggaran.

d. Bidang Peradilan

Pengakuan adanya peradilan adat dalam masyarakat hukum adat tertentu.

Pengankatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Propinsi Papua dilakukan oleh Jaksa

Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.

e. Bidang Agama

Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga

kerja asing bidang keagamaan di Propinsi Papua kepada Gubernur Propinsi

Papua.

C. Hukum Adat, Masyarakat Adat dan Peradilan Adat

1. Hukum Adat

Page 16: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

Hukum adat yang merupakan hukum kebiasaan harus dibedakan dari

hukum agama, namun mengandung unsur regionalitas. Van Vollen Hoven

menyatakan bahwa salah satu cirri hukum adat adalah ciri hukum adat adalah

sifat regionalitasnya. Van Vollenhoven berpendapat bahwa hukum adat adalah

adat yang mempunyai sanksi. Pengertian istilah adat pelaksanaa putusan peradilan

adat ditetapkan dalam sidang adat dengan persetujuan para pihak. Menurut Van

Vollenhoven adalah kebiasaan yang sangat religious dan yang bersifat komunal.

Kebiasaan tersebut terdiri dari tingkah laku-tingkah laku dan perbuatan-perbuatan

yang sudah sepatutnya untuk dilakukan oleh masyarakat.16

Dengan demikian

Hukum adat adalah aturan atau norma tidak tertulis dan hidup didalam

masyarakat adat, mengatur, mengikat, dan dipertahankan serta memiliki sanksi.

Perkembangan hukum adat tidak tergantung pada Pemerintah. Hukum adat

dibangun dengan tujuan mempertahankan nilai, prinsip norma tertentu yang

dianggap masih patut dipertahankan oleh Masyarakat adat.

Dalam hukum adat Prof. Ter Haar mengemukakan teori keseimbangan,

dan teori yang dimaksudkan adalah hubungan yang harmonis antara manusia

dengan tenaga-tenaga gaib, tanah, dan harta benda agar hidup menjadi makmur

dan harmonis. Manusia dan masyarakat merupakan titik-titik pusat dari suatu

kompleks perhubungan-perhubungan dari semua elemen kehidupan. Dititik pusat

itulah terjilah proses kearah kepribadian (individualiseringprocess). Kepribadian

16

Artikel Peradilan Adat :Membangun Asas Peradilan Adat 09/09/2014 ; 9:29PM

Page 17: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

ini mencakup kepribadian masyarakat maupun individu dalam lingkaran-

lingkaran manusia tanah-harta (MTH)17

.

Kesadaran bahwa masyarakat dan individu beserta segala sesuatu

disekelilingnya merupakan satu kesatuan yang berproses atau berkembang

bersama-sama menghasilkan cara berpikir sebagai berikut:

Setiap subyek (MTH) di dalam persekutuan diberi nilai dan penghargaan yang

sama, kekayaan kebendaan dan kekayaan batin dapat dipertukarkan untuk

memperbaiki keseimbangan yang sudah terganggu.

Setiap sebyek yang berpikir, maka ia berpikir dalam masyarakat. Pemikiran

dan pendapat seorang bernama Bambang dalam masyarakat Selopamioro

misalnya, maka pemikirannya itu merupakan resultante daripada cara berpikir

sebagai bagian atau anggota dari masyarakat itu dan sekaligus mewakili

pandangan masyarakat (representations collectives).

Representasi pemikiran kolektif yang disebutkan di nomor terdahulu (ii)

diterapkan pula ke dalam setiap peristiwa kehidupan, misalnya pelanggaran

atau delik. Anggota masyarakat sadar bahwa ia / mereka wajib mengganti

nilai yang terganggu itu untuk mempertahankan diri, jika lingkungan /

persekutuan hidupnya terganggu. Pemikiran yang demikian oleh Prof. Terr

Haar disebut reciprociteitsidee (van Dijk / Soehardi, 1964 : 116 )

17

http://www.academia.edu/7003414/Natal_Kristiono_S.Pd._M.H._Materi_Hukum_Adat_dari_berbagai_sumber

download : selasa, 16 juni 2014: 8:10

Page 18: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

Berdasarkan ketiga pemikiran diatas, yang dapat disebutkan sebagai dalil

logika Prof. Ter Har, maka Ter Har menyampaikan pokok pikirannya tentang

delik adat sebagai berikut :

Penuntutan pembayaran (ganjaran) delik dimaksudkan untuk

mengembalikan keseimbangan kosmis (MTH).

Berdasarkan jalan pikiran itu (i) Ter Har mengartikan delik (adat) sebagai

perbuatan merusak keseimbangan yang dilakukan oleh satu pihak dan

yang sebelumnya itu tidak disetujui secara tegas atau secara diam-diam

oleh pihak lain.

Dalam delik dan pembalasan atau pembayaran terjalin unsur yang bersifat

sangat pribadi dari masyarakat yakni rasa malu, tak senang hati, marah,

dendam, benci-membenci, dan sebagainya.

2. Masyarakat Adat

Masyarakat tradisional atau masyarakat adat adalah komunitas-komunitas

yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun disuatu wilayah

adat, yang memilikikedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial

yang diatur oleh hukum adat atau lembaga adat yang mengelola keberlangsungan

hidup masyarakat. Hak-hak masyarkat adat yakni18

:

a. Menjalankan sistem pemerintahan sendiri

18

Artikel Peradilan Adat : Pengelolaan Hutan Mukim dan Persiapan Masyarakat Adat 10/09/2014; 20:44

Page 19: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

b. Menguasai dan mengelola sumber daya alam dalam wilayahnya terutama

memberi manfaat bagi warganya

c. Bertindak kedalam mengurus dan mengatur warga dan lingkunganya

d. Hak ikut serta dalam transaksi yang menyangkut dengan lingkungannya

e. Hak membentuk adat

f. Hak membentuk dan menyelenggrakan peradilan adat

Masyarakat tradisonal atau masyarakt adat didaerah biasanya memiliki

tradisi hukum yang kuat berdasarkan hukum adatnya dalam memecahkan masalah

yang terjadi dalam lingkungannya. Hal ini merupakan realitas dimana tradisi atau

custom masih berlaku dibanyak tempat. Ini juga merupakan relaitas dimana

perubahan masyarakat kadang kala terbentur dengan batas wilayah, dan hal ini

juga merupakan kenyataan dimana terdapat daerah-daearah yang masih steril dari

keberlakuan hukum formal.

Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan menjelasakan

secara rinci berkatain dengan masyarakat adat yakni :keberadaan masyarakat adat

diakui dengan memenuhi unsur antara lain19

:

a. Masyarakat Adat masih dalam bentuk paguyuban

b. Ada lembaga dalam bentuk perangkat penguasa adat

c. Ada wilayah hukum adat yang jelas

19

Artikel Peradilan Adat : Posisi Peradilan Adat Dalam RUU KUHAP : 9/10/2014: 21:20

Page 20: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih

ditaati

e. Masih mengadakan pungutan hasil hutan diwilayah hutan sekitarnya, untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hedar Laudjeng mengatakan : dimana ada masyarakat adat disitu ada

peradilan adat, ungkapan tersebut mengikuti ungkapan yang sangat terkenal

dalam kajian hukum yang diperkenalkan oleh Tullius Cicero(106-43 SM) Ubi

Societas Ibi ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Ungkapan itu

kemudian dikembangkan dan berlaku juga kepada masyarkat adat “Dimana ada

masyarakat adat disitu ada peradilan adat”, karena setiap hukum membutuhkan

peradilan, bagaimanapun sederhana bentuknya, termasuk pada masyarakat adat.20

Adanya masyarakat adat maka ada aturan-aturan adat dan juga sanksi adat yang

demikian juga membentuk peradilan adat yang dipimpin oleh para pemangku adat

atau dewan adat.

3. Peradilan Adat

Pada masa penjajahan Belanda (tak semua dijajah), pengakuan atas peradilan

adat di sejumlah tempat di Kepulauan Melayu atau Kepulauan Indian atau India

Belakang atau India Timur atau India (Hindia) Belanda ini diberikan melalui

20

Artikel Peradilan Adat : Kedudukan Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Nasional 09/09/2014 ;20:20

Page 21: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

berbagai Statblad (Stb). Dalam buku Sejarah Peradilan dan Perundang-

Undangannya di Indonesia Sejak 1942: Dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita

Bangsa Indonesia (1983), Sudikno Mertokusumo memaparkan secara gamblang hal

ini.21

Sudikno menyebutkan beberapa pengakuan tersebut, seperti Stb. 1881 Nomor

83 untuk Aceh Besar, Stb. 1886 Nomor 220 untuk Pinuh (Kalimantan Barat), Stb.

1889 Nomor 90 untuk daerah Gorontalo, Stb. 1906 Nomor 402 untuk Kepulauan

Mentawai, Stb. 1908 Nomor 231 untuk Hulu Mahakam, Stb. 1908 Nomor 234

untuk daerah Irian Barat, dan Stb. 1908 Nomor 269 untuk daerah Pasir.

Pada 1932, tepatnya tanggal 18 Februari, pemerintah Belanda mengeluarkan

Stb. 1932 Nomor 80 yang mencabut dan menggantikan berbagai ketentuan atau Stb.

yang memberikan pengakuannya terhadap peradilan adat pada daerah-daerah di atas

dan memberikan pengakuan untuk daerah-daerah baru. Pasal 1 Stb. 1932 Nomor 80

menyatakan pengakuannya terhadap peradilan adat pada daerah-daerah yang

disebutkan, dengan pelaksana peradilannya adalah hakim dari masyarakat pribumi.

Pemberlakuan peraturan baru ini dilakukan secara bertahap. Untuk daerah

Kalimantan Selatan dan Timur dimulai pada 1 April 1934 dengan Stb. 1934 Nomor

116 dan Stb. Nomor 340, untuk Aceh pada 1 Oktober 1934 dengan Stb. 1935

Nomor 465, untuk Kalimantan Barat dan Maluku pada 1 Januari 1936 melalui Stb.

1936 Nomor 490 dan pada 1 Januari 1937 untuk Bali dan Lombok. Sedangkan

peradilan adat di Irian Barat (Papua) dimuat dalam Ordonantie op de Inheemse

21

http://lenteratimur.com/memartabatkan-kembali-hukum-adat/download : Selasa, 16 Juni 2014: 3:52

Page 22: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

Rechtspraak in Rechtstreek Bestuurd Gebeid S. 1932 Nomor 80 dan Inheemse

Rechstpraak Verordening Molukken Jav. Crt. 24 September 1935 Nomor 77, Extra

Bijvoegsel Nomor 57.22

Pada 1935, melalui Stb. 1935 Nomor 102, disisipkan pasal 3a ke dalam

Rechterlijke Organisatie (RO). Dengan disisipkannya pasal ini, muncullah peradilan

desa yang merupakan bagian dari peradilan adat. Karena itu, hadirlah dua bentuk

peradilan untuk pribumi, yaitu “peradilan adat” dan “peradilan desa”. Antara

keduanya sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil. Peradilan desa umumnya

terdapat di hampir di seluruh masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial.

Namun peradilan adat ditemukan pada masyarakat yang bersifat teritorial maupun

genealogis.

Pada zaman penjajahan Jepang (tak semua negara dijajah), keberadaan

peradilan swapraja dan peradilan adat tidak disebutkan dalam Undang-Undang

Nomor 34 Tahun 1942. Akan tetapi, untuk Sumatera, kedua-duanya dengan tegas

dinyatakan tetap berlaku dan dipertahankan oleh pasal 1 Sjihososjiki-rei (Undang-

Undang Tentang Peraturan Hakim dan Mahkamah) yang dimuat dalam Tomi-seirei-

otsu Nomor 40 tanggal 1 Desember 1943. Undang-undang ini mulai berlaku pada

tanggal 1 Januari 1944.

Pengadilan-pengadilan adat, yang berdasar staatsblad 1932 No 80 setelah

diubah oleh Stbl 1938 No. 264 dan 370, dan atas pasal-pasal 1 dan 12 Reglemen

Kalimantan Timur Besar, 1 Reglemen Pengadilan Indonesia Timur, 2 Voorlopig

22

http://lenteratimur.com/memartabatkan-kembali-hukum-adat/ Selasa, 16 Juni 2014: 3:52

Page 23: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

Rechtreglement, 2 Voorlopige Regeling Rechtswezen, 1 dan 2 Peraturan

pemerintah Pengganti Undang-Undang no. 1 tahun 1950 Juncto Undang-Undang

No. 8 tahun 1950 dan pasal 101, 102 dan 142 Undang-Undang Dasar Sementara,

selain dari tidak mencukupi syarat-syarat yang Undang-undang Dasar Sementara

menuntut dari suatu alat perlengkapan pengadilan, juga tidak diingini lagi oleh

seluruh rakyat yang bersangkutan yang berulang-ulang telah mohon

penghapusannya.23

a. Alat-alat Pelengkapan dan Tugasnya dalam Persekutuan Hukum

Dalam setiap persekutuan hukum terdapat banyak hal yang perlu diurus.

Untuk keperluan itu, dibutuhkan alat perlengkapan. Tidak cukup bahwa itu semua

diatur apalagi dilengkapi oleh Negara. Sering tidak disadari bahwa bahwa banyak

urusan dapat selesai dan itu adalah berkat adat yang hidup dalam masyarakat.

Tetapi kiranya apa yang diistilahkan oleh Eugen Ehrlich sebagai das lebende

Recht atau the living law itu. Dalam uraian ini akan disampaikan sampel dari

beberapa lingkaran hukum adat berkenaan dengan alat perlengkapan itu.

Ada 4 sifat umum alat perlengkapan persekutuan hukum di Indonesia :

Pemerintah dalam persekutuan hukum Indonesia di pelbagai tempat

terletak di tangan beberapa pembesar, kepala desa, kepala nagari,

kepala urung, kepala negorai, kepala suku dan seterusnya. Di antara

kepala-kepala itu, biasanya ada seseorang atau lebih yang terhitung

paling tinggi.

23

http://lenteratimur.com/memartabatkan-kembali-hukum-adat/ Selasa, 16 Juni 2014: 3:52

Page 24: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

Putusan penting dalam perkara-perkara umum diambil dalam satu

rapat oleh semua warga persekutuan, ada kalanya dibatasi pada orang-

orang baku, dan laki-laki yang sudah kawin. Seperti biasa, dalam

rapat-rapat seperti itu, warga persekutuan yang terkemuka lebih

banyak bersuara dan berpengaruh.

Dalam hal-hal umum yang penting, para kepala pengambil keputusan

akhir melakukan pembicaraan pendahuluan dan lobi-lobi dengan para

pemimpin tingkat bawah. Karena itu, pendapat umum benar-benar

terakomodasi

Pengangkatan kepala (adat) dan pembantunya didasarkan pada syarat-

syarat yang ketat. Para ahli waris mendapatkan priorita. Apabila ahli

waris pertama tak memenuhi syarat, ia diganti atau dilompati oleh

adiknya dan seterusnya.

b. Delik Adat

Menurut pemahaman masyarakat dalam persekutuan-persekutuan atau

tertib adat, delik adalah setiap gangguan keseimbangan dari satu pihak, setiap

pelanggran dari satu pihak terhadap kekayaan-hidup materiil ataupun bukan

materiil(kekayaan batin) dari seseorang ataupun sejumlah manusia yang

Page 25: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

merupakan suatu kesatuan (suatu golongan); perbuatan demikian

menghendaki suatu reaksi dan sifat-sifat besarnya reaksi itu diterapkan oleh

hukum ada, suatu reaksi adat dan reaksi itu(biasanya suatu penebusan delik

dengan barang ataupun uang) dapat dan harus memperbaiki keseimbangan itu

kembali.24

Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam definisi itu adalah sebagai

berikut :

Terjadinya gangguan terhadap keseimbangan atau pelanggaran terhadap :

Kekayaan-hidup materiil atau nonmateriil dari:

Seseorang atau kelompok yang bergabung dalam suatu kesatuan;

Perbuatan itu menghendaki reaksi yang sifat dan besarnya berlaku dalam

hukum adat

Perbuatan itu menghendaki penebusan dalam bentuk barang atau uang,

dengan tujuan :

Memperbaiki keseimbangan yang sudah terganggu.

D. Peradilan Adat Papua

Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan

Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan

kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum

24

http://www.academia.edu/7003414/Natal_Kristiono_S.Pd._M.H._Materi_Hukum_Adat_dari_berbagai_sumber

download : selasa, 16 juni 2014: 8:10

Page 26: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan

masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili

sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum

adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat

masyarakat hukum adat yang bersangkutan.25

Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan

perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang

bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili

sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau

pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.

Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam

masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai

sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak

kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum

adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara

atau kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya

tidak dimintakan pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi

putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.

25

http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_khusus_Papua download: selasa, 16 juni 2014:4:16AM

Page 27: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan

Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan

kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum

adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan

masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili

sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum

adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat

masyarakat hukum adat yang bersangkutan.26

Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan

perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang

bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili

sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau

pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.

Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam

masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai

sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak

kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum

adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

26

http://books.google.co.id/books?id=lq8xNB9Fro8C&pg=PA165&lpg=PA165&dq=Kekuasaan+keh:

kehakiman+di+Provinsi+Papua+dilaksanakan+oleh+Badan+Peradilan+sesuai+dengan+peraturan+perundang-

undangan. Download : Selasa, 16 Juni 2014: 4:25

Page 28: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara

atau kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya

tidak dimintakan pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi

putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.

Kekuasaan Peradilan berdasarkan Pasal 50 dan 51 Undang- Undang No 21

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua menjelaskan kekuasaan

peradilan mengakui fungsi dan kedudukan peradilan adat diluar Badan Peradilan

lain yang diakui dalam peraturan perundang-undangan.

Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan

Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan

kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum

adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan

masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili

sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum

adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat

masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan

perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang

bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili

sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau

pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.

Page 29: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam

masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai

sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak

kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum

adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara

atau kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya

tidak dimintakan pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi

putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.

Kekuasaan Peradilan berdasarkan Pasal 50 dan 51 Undang- Undang No 21

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua menjelaskan kekuasaan

peradilan mengakui fungsi dan kedudukan peradilan adat diluar Badan Peradilan

lain yang diakui dalam peraturan perundang-undangan.

Peradilan adat di Papua diatur berdasarkan Peraturan Khusus Propinsi

Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat Papua Perdasus ini adalah

pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberian

Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua

Pengakuan dan Penghormatan tersebut tidak hanya terhadap identitas

sosial budaya, tetapi juga terhadap eksistensinya sebagaisubjek hukum. Hal ini

ditegaskan dalam pasal 18B Ayat (2) UUD1945 yang menyatakan bahwa negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta

Page 30: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam

hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai denganperkembangan

masyarakat danprinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

undangundang27

. Jaminan konstitusional merupakan dasar hukum yang sangat

kuat bagi kesatuan masyarakat hukum adat. Namun, untuk dapat tetap bertahan

dan eksis tentu diperlukan upaya revitalisasi, baik oleh negara melalui instrumen

hukum, upaya secara akademis, maupun upaya nyata terhadap kesatuan

masyarakat hukum adat itu sendiri.

Salah satu kekhususan otonomi bagi Provinsi Papua adalah adanya

penyelenggaraan pengadilan adat sebagaimana tercantum dalam Pasal 50 ayat (2)

dan Pasal 51 ayat (1) sampai dengan ayat (8) UU Otsus. Pada kenyataannya

kehidupan masyarakat adat di Papua masih terus memberlakukan,

mempertahankan dan tunduk pada pengadilan adatnya masing-masing terutama

dalam penyelesaian perkara adat yang terjadi diantara sesama warga masyarakat

hukum adat. Kenyataan ini makin diperkuat dengan pengaturannya dalam

Perdasus Peradilan Adat. Berangkat dari uraianuraian latar belakang diatas,

bahwa sudah saatnya dilakukan penelitian yang mendalam untuk mengkaji secara

kritis mengenai pelaksanaan fungsi lembaga peradilan adat.

27 Moh. Mahfud. MD, 2010, Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat Dalam Kerangka UUD 1945

Menyongsong Globalisasi, Seminar Awig-Awig II, Bali, 30 September 2010, hlm. 4