Upload
lythuy
View
231
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
HIDAYATULLOH
NIM. 107044102355
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
ii
EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Hidayatulloh
NIM. 107044102355
Di Bawah Bimbingan:
Dr. H. Yayan Sofyan, S.H., M.Ag.
NIP: 196810141996031002
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Depok” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1)
pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah.
Jakarta, 21 Juni 2011
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M.
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A.
NIP. 195003061976031001
Sekretaris : Hj. Rosdiana, M.A.
NIP. 196906102003122001
Pembimbing : Dr. H. Yayan Sofyan, S.H., M.Ag.
NIP. 196810141996031002
Penguji I : Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, M.A.
NIP. 150050917
Penguji II : Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A.
NIP. 195811101988031001
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 29 Mei 2011
Hidayatulloh
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah subhana wa ta’ala atas segala taufiq dan inayah-Nya
yang telah dilimpahkan kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang setia hingga akhir
zaman.
Skripsi ini kami persembahkan kepada Ayahanda Asmawih dan Ibunda
Rohimah yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa
kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih
sayang-Nya kepada mereka.
Kami sadar tidak akan dapat menyelesaikan skrispi ini tanpa adanya bantuan
orang-orang yang ada di sekitar kami. Dengan segala kerendahan hati, kami
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. dan Hj. Rosdiana, M.A. selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah.
3. Dr. H. Yayan Sopyan, S.H., M.Ag. selaku pembimbing skripsi yang tak pernah
lelah membimbing, mengarahkan, dan mengkritik kami dalam penyelesaian
skripsi ini.
vi
4. Dr. Phil. JM. Muslimin, M.A. selaku pembimbing selama menjalani segala
aktifitas di kampus yang selalu memberikan dorongan dan motivasi agar selalu
bekerja dan berusaha maksimal demi menggapai mimpi kami.
5. Seluruh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing dan
mendidik kami selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yakub, M.A. selaku orang tua kami selama belajar di
Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah, yang telah memberikan teladan,
mendidik, mengajarkan disiplin, dan memberikan ilmu yang sangat berharga bagi
kehidupan kami, serta asatidz dan musyrif.
7. Ketua Pengadilan Agama Depok beserta pihak-pihak yang terkait, khususnya
Drs. Sarnoto, M.H. dan Endang Ridwan, S.Ag. yang telah meluangkan waktunya
sehingga memudahkan kami menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas beserta para staf yang
telah memberikan fasilitas kepada kami dalam menelusuri literatur yang
berkaitan dengan skripsi ini.
9. Keluarga besar Peradilan Agama Angkatan 2007 kelas A yang menjadi teman
seperjuangan kami. Seluruh pengurus BEMJ Peradilan Agama periode 2009-
2010 dan 2010-2011 yang telah menemani kami belajar dan berorganisasi,
terutama untuk Ridho Akmal Nasution dan Arifin Bahtiar. Serta kawan-kawan di
HMI Komfaksy, LKBHMI, MCC, KMA-PBS, dan KKN Cikembulan terutama
Arif Soleh, Asep Solahuddin, Riduan Dalimunthe, Subly, Naila, Andy, Dwima,
Hafiz, Daus, Mala, Ima, Yai dan seterusnya yang tidak kami sebutkan satu
persatu. Selanjutnya kawan-kawan kelompok studi TOEFL Bang Indra, Ulul
vii
Azmi, Alvin, Anya dan kelompok studi Bahasa Arab Pita, Arif, Yeti, Fida, dan
Siti. Kawan-kawan di Darus-Sunnah terutama angkatan Ta’aruf 2007 serta teman
satu kamar Imam, Ali, Hayat, Munthe, Gus Nabil, Ipul, Faris, Bagus, Munawar,
Farhan, dan Riski.
Akhirnya, tidak ada yang dapat penulis berikan sebagai balas jasa kecuali
hanya doa semoga semua pihak yang telah membantu penulis, mendapatkan ganjaran
yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Ciputat, 29 Mei 2011
Hidayatulloh
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 7
D. Review Studi Terdahulu .......................................................... 9
E. Metode Penelitian.................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 16
BAB II MEDIASI: KONSEP DAN PENERAPANNYA ......................... 18
A. Pengertian Mediasi .................................................................. 18
B. Asas-asas Umum Dalam Proses Mediasi ................................ 23
C. Keuntungan Menggunakan Mediasi ....................................... 26
D. Peran dan Fungsi Mediator ..................................................... 30
E. Proses Mediasi ........................................................................ 34
F. Mediasi Dalam Islam .............................................................. 39
ix
BAB III TEORI EFEKTIVITAS ................................................................ 47
A. Pengertian Efektivitas ............................................................. 47
B. Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat .................................. 48
C. Teori Efektivitas Hukum ......................................................... 52
BAB IV ANALISA EFEKTIVITAS MEDIASI......................................... 59
A. Profil Pengadilan Agama Depok ............................................. 59
B. Analisa Efektivitas Mediasi .................................................... 63
1. Tinjauan Yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ............. 63
2. Kualifikasi Mediator ......................................................... 69
3. Fasilitas dan Sarana ........................................................... 78
4. Kepatuhan Masyarakat ...................................................... 82
5. Kebudayaan ....................................................................... 86
C. Tingkat Keberhasilan Mediasi ................................................ 94
D. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Mediasi .... 98
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 102
A. Kesimpulan ............................................................................. 102
B. Saran-saran ............................................................................. 103
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 105
LAMPIRAN ......................................................................................................... 112
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam negara hukum yang tunduk kepada the rule of law, kedudukan
peradilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berperan
sebagai katup penekan atas segala pelanggaran hukum dan ketertiban
masyarakat. Peradilan dapat dimaknai juga sebagai tempat terakhir mencari
kebenaran dan keadilan, sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan
yang berfungsi dan berperan menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the
truth and justice).1
Meskipun demikian, kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat
ini adalah ketidakefektifan dan ketidakefisienan sistem peradilan. Penyelesaian
perkara membutuhkan waktu yang lama. Mulai dari tingkat pertama, banding,
kasasi, dan peninjauan kembali. Di sisi lain, para masyarakat pencari keadilan
membutuhkan penyelesaian perkara yang cepat yang tidak hanya bersifat
formalistis belaka.2
1 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cet.VII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 229.
2 Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan
salah satu asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 2 ayat (4) yaitu asas sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Makna dan tujuan asas ini bukan sekadar menitikberatkan unsur kecepatan
dan biaya ringan. Bukan pula menyuruh hakim memeriksa dan memutus perkara dalam waktu satu
atau dua jam. Yang dicita-citakan adalah suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu
yang lama sampai bertahun-tahun, sesuai dengan kesederhanaan hukum itu sendiri. Apabila hakim
2
Untuk mengatasi problematika sistem peradilan yang tidak efektif dan
efisien, maka muncul alternatif penyelesaian sengketa dengan perdamaian.
Dalam hukum acara di Indonesia didapati dalam Pasal 130 Herziene Inlandsch
Reglement (selanjutnya disebut HIR) maupun Pasal 154 Rechtsreglement Voor
De Buitengewesten (selanjutnya disebut R.Bg). Kedua pasal dimaksud mengenal
dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1)
HIR berbunyi:3
Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka
pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya akan
menperdamaikan mereka itu.
Selanjutnya ayat (2) mengatakan:
Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu pada
waktu bersidang, diperbuat sebuah akte, dengan nama kedua belah pihak
diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang diperbuat itu; maka surat
(akte) itu akan berkekuatan dan akan dilakukan sebagai putusan hakim
yang biasa.
Upaya perdamaian yang dimaksud oleh Pasal 130 ayat (1) HIR bersifat
imperatif.4 Artinya hakim berkewajiban mendamaikan pihak-pihak yang
bersengketa sebelum dimulainya proses persidangan. Sang hakim berusaha
mendamaikan dengan cara-cara yang baik agar ada titik temu sehingga tidak
perlu ada proses persidangan yang lama dan melelahkan. Walaupun demikian,
atau pengadilan sengaja mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak rasional, maka hakim tersebut
tidak bermoral dan tidak professional, serta telah melanggar asas pengadilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan. Lihat Gemala Dewi, ed., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet.III,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 71-72.
3 R. Tresna, Komentar HIR, cet.XVIII, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), h. 110.
4 M. Yahya Harahap, … h. 231.
3
upaya damai yang dilakukan tetap mengedepankan kepentingan semua pihak
yang bersengketa sehingga semua merasa puas dan tidak ada yang merasa
dirugikan.
Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman tertinggi di Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945
melihat pentingnya integrasi mediasi dalam sistem peradilan. Bertolak dari
ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 145 R.Bg, MA memodifikasikannya ke arah yang
lebih bersifat memaksa. Berangkat dari pemahaman demikian, maka
diterbitkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung (selanjutnya disebut SEMA)
Nomor 01 Tahun 2002 pada tanggal 30 Januari 2002 Tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (eks Pasal 130 HIR).
Tujuan penerbitan SEMA adalah membatasi perkara secara substansif dan
prosedural. Sebab apabila peradilan tingkat pertama mampu menyelesaikan
perkara melalui perdamaian, akan berakibat turunnya jumlah perkara pada
tingkat kasasi.
Belum genap 2 (dua) tahun usia SEMA Nomor 01 Tahun 2002 pada
tanggal 11 September 2003, MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
(selanjutnya disebut PERMA) Nomor 02 Tahun 2003 yang berjudul Prosedur
Mediasi di Pengadilan. Dalam konsiderans huruf e dikatakan salah satu alasan
mengapa PERMA diterbitkan karena SEMA Nomor 01 Tahun 2002 belum
lengkap atas alasan SEMA belum sepenuhnya mengintegrasikan mediasi ke
dalam sistem peradilan secara memaksa tetapi masih bersifat sukarela dan
4
akibatnya SEMA itu tidak mampu mendorong para pihak secara intensif
memaksakan penyelesaian perkara lebih dahulu melalui perdamaian.
Setelah dilakukan evaluasi terhadap prosedur pelaksanaan mediasi di
pengadilan sesuai PERMA Nomor 02 Tahun 2003 ternyata ditemukan
permasalahan yang bersumber dari PERMA tersebut. Kemudian untuk
mendayagunakan mediasi yang dilakukan di Pengadilan, MA merevisi PERMA
Nomor 02 Tahun 2003 menjadi Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
Dalam konsideran huruf a PERMA Nomor 01 Tahun 2008 disebutkan
bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih
cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para
pihak untuk menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa
keadilan. Selanjutnya dalam huruf b disebutkan pengintegrasian mediasi ke
dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif
mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di
samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).5
5 Konsiderans butir b Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
5
Dalam ajaran Islam, dikenal adanya proses penyelesaian sengketa melalui
perdamaian yang disebut dengan al-sulh.6 Islam menganjurkan pihak yang
bersengketa menempuh jalur damai, baik di depan pengadilan maupun di luar
pengadilan. Sulh memberikan kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan
terbaik dalam penyelesaian sengketa, dan mereka tidak lagi terpaku secara ketat
pada pengajuan alat bukti. Para pihak memperoleh kebebasan mencari jalan
keluar agar sengketa dapat diakhiri. Anjuran al-Quran dan Nabi Muhammad
dalam ajaran Islam memilih sulh sebagai sarana penyelesaikan sengketa yang
didasarkan pada pertimbangan bahwa sulh dapat memuaskan para pihak dan
tidak ada pihak yang merasa menang dan kalah dalam penyelesaian sengketa.7
Peradilan Agama sebagai wujud peradilan Islam di Indonesia tentunya
mengamalkan konsep sulh yang merupakan ajaran Islam.8 Para hakim di
Pengadilan Agama harus selalu mengupayakan dua pihak yang bersengketa
6 Secara bahasa, al-sulh berarti menyelesaikan perkara atau pertengkaran. Sayyid Sabiq
memberikan pengertian sulh dengan akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak. Lihat
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 (Kairo: Dar al-Fath, 1990), h. 201. Muhammad Khatib al-Syarbini
menyebutkan sulh sebagai suatu akad di mana para pihak bersepakat mengakhiri persengketaan
mereka. Lihat Muhammad Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h.
177.
7 Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, cet.I, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 159-160.
8 Peradilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang termasuk
peradilan khusus bagi umat Islam. Eksistensinya tercantum dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi:
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
6
untuk menempuh jalur damai, karena jalur damai akan mempercepat
penyelesaian perkara dan mengakhirinya atas kehendak kedua belah pihak.
Berangkat dari tujuan awal adanya mediasi yang diantara tujuannya
adalah untuk mengurangi jumlah perkara, maka penulis beranggapan perlu untuk
dijadikan objek penelitian dalam sebuah skripsi. Tulisan ini ingin menganalisa
efektifitas mediasi di Pengadilan Agama dalam sebuah skripsi dengan judul
“Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
Depok”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembahasan pada penelitian ini dibatasi hanya pada tingkat keberhasilan
mediasi, faktor-faktor pendukung dan penghambat, efektivitasnya di lingkungan
Pengadilan Agama Depok.
2. Rumusan Masalah
Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih
cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para
pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan bertujuan
menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di
pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan
7
dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat
memutus (ajudikatif).
Namun pada kenyataannya selama 2 (dua) tahun pengintegrasian mediasi
ke dalam proses beracara di pengadilan sesuai Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 01 Tahun 2008 belum mampu mengurangi perkara yang masuk ke
persidangan. Belum terjadi perubahan signifikan terhadap jumlah perkara yang
masuk ke dalam proses persidangan, sehingga pencapaian belum sesuai dengan
harapan.
Berdasarkan hal tersebut, penulis merumuskan masalah pokok yang
menjadi objek kajian dalam skripsi ini:
1. Bagaimana efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama
Depok?
2. Bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok?
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat keberhasilan
mediasi di Pengadilan Agama Depok?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Menguji efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama
Depok.
8
b. Mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama sesuai
dengan PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan yang dilaksanakan di Pengadilan Agama Depok.
c. Mencari faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat
keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok serta mencari solusinya.
2. Manfaat Penelitian
Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapkan
mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi
pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya
bermanfaat diantaranya:
1. Bagi ilmu pengetahuan
Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan
perkembangan ilmu hukum yang menyangkut proses mediasi dalam
penerapannya pada sistem peradilan perdata.
2. Bagi masyarakat
Untuk memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat luas
mengenai pengintegrasian proses mediasi didalam penyelesaian perkara di
pengadilan agama.
3. Bagi penulis
Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berpikir
kritis serta pemenuhan prasyarat dalam menyelesaikan studi di Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9
D. Review Studi Terdahulu
Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis telah menemukan
beberapa skripsi yang membahas tentang mediasi. Berikut skripsi yang penulis
temukan:
Tabel 1
NO IDENTITAS SUBSTANSI PEMBEDA
1. M. Ali Suproni,
Konsentrasi
Peradilan Agama.
Judul skripsi:
“Pelaksanaan
Mediasi Dalam
Perkara Perceraian
di Pengadilan
Agama Jakarta
Selatan”.
Meneliti kesesuaian
antara pelaksanaan
mediasi di Pengadilan
Agama Jakarta
Selatan dengan aturan
dalam PERMA
Nomor 01 Tahun
2008, keberhasilan
peran mediasi dalam
menekan angka
perceraian, dan
faktor-faktor yang
mendukung dan
menghambat
pelaksanaan mediasi.
Proses integrasi
proses mediasi dalam
peradilan sesuai
PERMA Nomor 01
Tahun 2008 di
Pengadilan Agama
Jakarta Selatan
memerlukan
persiapan yang baik,
mulai dari kesiapan
sarana prasarana,
hingga ketersediaan
mediator yang
profesional.
Penelitian hanya
dilakukan dalam
bentuk analisa
kesesuaian antara
aturan dalam PERMA
Nomor 01 Tahun 2008
Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan
dengan penerapannya
di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
Berbeda dengan yang
penulis lakukan, yaitu
menganalisa
efektivitas mediasi
berdasarkan teori
sebagai alat ukur.
Sehingga dapat
didapatkan
kesimpulan apakah
mediasi efektif atau
tidak.
10
2. Syahdan,
Konsentrasi
Peradilan Agama.
Judul skripsi:
“Pengaruh Mediasi
Terhadap Angka
Perceraian (Studi
Analisa Pasca
Peraturan
Mahkamah Agung
Nomor 01 Tahun
2008 Tentang
Prosedur Mediasi Di
Pengadilan Agama
Jakarta Selatan)”.
Menyajikan analisa
pengaruh mediasi
terhadap angka
perceraian, penerapan
mediasi di Pengadilan
Agama Jakarta
Selatan sejak
keluarnya PERMA
Nomor 1 Tahun 2008
serta kesesuaiannya,
dan faktor-faktor yang
menyebabkan
pelaksanaan mediasi
tidak berjalan efektif.
Dalam skripsi ini
menggunakan data-
data statistik dan hasil
wawancara dengan
para hakim yang
menjadi mediator.
Dalam analisa,
diberikan kesimpulan
bahwa mediasi tidak
berpengaruh
signifikan terhadap
angka perceraian.
Wawancara yang
dilakukan terhadap
para hakim sebagai
pelaksana mediasi
serta pengumpulan
data statistik dijadikan
kesimpulan terhadap
efektif atau tidaknya
mediasi terhadap
angka perceraian.
Hal tersebut juga
dilakukan oleh
penulis, namun tidak
hanya itu, faktor-
faktor lain yang
mempengaruhi efektif
atau tidaknya mediasi
penulis gunakan yang
diambil dari teori
efektivitas Soerjono
Soekanto.
3. Siti Umu Kulsum
NIM.
106044101441
Konsentrasi
Peradilan Agama,
2006. Judul skripsi:
“Efektivitas Mediasi
Dalam Perceraian
Perspektif PERMA
No. 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur
Mediasi”.
Membahas sejarah
lahirnya PERMA
Nomor 01 Tahun 2008
Tentang Prosedur
Mediasi di
Pengadilan, dan
mediasi; pengertian,
dasar hukum, prinsip-
prinsip, dan
prosedurnya mulai
tahap pramediasi,
proses, hingga
putusannya.
Skripsi ini menyajikan
data perkara tahun
2008-2009 di
Skripsi ini hanya
fokus pada data
perkara yang ada lalu
menganalisa
efektivitas mediasi
tanpa menguji faktor-
faktor penunjang
keberhasilan mediasi.
Sedangkan penulis
menguji 5 (lima)
faktor yang
mempengaruhi
keberhasilan mediasi
berdasarkan teori
efektivitas yang
penulis gunakan.
11
Pengadilan Agama
Jakarta Timur yang
kemudian dianalisa
keefektivan mediasi
sekaligus menjelaskan
hambatan dan
tantangan
pelaksanannya.
4. Widya Alia
NIM.
106043201357
Konsentrasi
Perbandingan
Hukum, 2006. Judul
skripsi:
“Efektivitas Mediasi
di Pengadilan
Agama Jakarta
Selatan Setelah
Dikeluarkannya
PERMA Nomor 1
Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di
Pengadilan”.
Menerangakan
pengertian, sejarah,
dasar hukum, ruang
lingkup, prinsip-
prinsip mediasi dalam
PERMA Nomor 01
Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
Skripsi ini
menggunakan teori
efektivitas Ilham
Idrus sebagai alat
ukur atau indikator
efektivitas mediasi di
Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
Teori efektivitas yang
digunakan sebagai alat
ukur lebih kepada
aspek mediasi dalam
pola kerjanya,
sehingga tidak
menjangkau indikator-
indikator lain yang
lebih luas.
Lain hal dengan
penulis lakukan,
yakni menggunakan
teori efektivitas
Soerjono Soekanto
yang lebih luas. Teori
ini tidak hanya
melihat keefektifan
dari pola kerja, tetapi
juga melihat faktor
pendukung yang
bersifat internal
maupun eksternal.
12
E. Metode Penelitian
Dalam pengumpulan bahan/data penyusunan skripsi ini agar mengandung
suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan metode penelitian ilmiah
sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Tipe kajian dalam penelitian ini secara spesifik lebih bersifat
deskriptif. Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
yang baik, jelas, dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek
yang diteliti, dalam hal ini untuk menggambarkan pengaturan mediasi
berdasarkan PERMA Nomor 01 Tahun 2008.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan
dengan memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuridis sosiologis
adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan
fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan.9 Dalam penelitian ini yang
akan dicari perihal pelaksanaan mediasi di pengadilan agama dengan
berpedoman pada aturan hukum yang berlaku, serta terkait pada pola-pola
perilaku sosial dan masyarakat (pelaku sosial), sehingga dapat diperoleh
kejelasannya di persidangan pengadilan.
9 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta:
RajaGrafindo, 2001), h. 26.
13
3. Data Penelitian
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan merupakan metode penelitian yang dimaksudkan
untuk mendapatkan dasar teori dalam memecahkan suatu masalah yang
timbul dengan menggunakan bahan-bahan:
a) Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan utama yang dijadikan pedoman dalam penelitian,
terdiri dari:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
- Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg)
- PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan yang memberikan penjelasan megenai bahan hukum
primer, yang terdiri dari:
- Buku-buku
- Majalah Hukum
- Artikel Ilmiah
- Arsip-arsip yang mendukung
- Publikasi dari Lembaga terkait
14
c) Bahan Hukum Tersier
Bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum
primer dan sekunder, meliputi:
- Bibliografi
- Ensiklopedia
- Kamus Hukum
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Dilakukan dengan cara melakukan proses terjun langsung secara aktif ke
lapangan untuk meneliti obyek penelitian tersebut.
1) Lokasi Penelitian
Mengenai lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama
Depok, disebabkan perihal yang berkaitan dengan permasalahan yang
diangkat menjadi skripsi ini terdapat di tempat tersebut. Dalam hal
ini mengenai pelaksanaan mediasi di lokasi tersebut.
2) Subyek Penelitian
Untuk mencari kebenaran data dan penjelasan yang mampu
dipertanggungjawabkan secara prosesil, maka yang tepat untuk
dijadikan rujukan adalah Hakim yang ditunjuk sebagai Mediator itu
sendiri dari para pihak yang pernah menjalani proses mediasi dan
Hakim Pengadilan Agama Depok yang mampu mengkaji,
mengetahui, serta memeriksa sekaligus memutus jalannya proses
mediasi.
15
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan:
a. Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan mencari
konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat, atau penemuan yang
berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaaan berupa
peraturan perundangan, karya ilmiah para sarjana, laporan lembaga, dan
lain-lain sumber.10
b. Wawancara (Interview)
Wawancara atau interview merupakan tanya jawab secara lisan
dimana dua orang atau lebih berhadapan secara langsung. Dalam proses
interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu
pihak berfungsi sebagai pencari informasi atau interviewer sedangkan
pihak lain berfungsi sebagai pemberi informasi atau informan
(responden).11
Wawancara dilakukan penulis dengan Hakim yang ditunjuk
sebagai Mediator di Pengadilan Agama Depok yang mampu mengkaji,
10
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum (Surakarta: UMS
Press, 2004), h. 47.
11
Soemitro Romy H, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1990), h. 71.
16
mengetahui, serta memeriksa sekaligus memutus jalannya proses
mediasi.
5. Metode Analisis
Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan
menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang
dinyatakan oleh responden secara tertulis serta lisan dan juga perilaku yang
nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.12
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan terdiri dari 5 (lima) bab yang terdiri dari
sub-sub yang dirinci sebagai berikut:
Bab Pertama, merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, membahas tentang mediasi dalam konsep dan penerapannya
yang meliputi pengertian mediasi, asas-asas umum dalam proses mediasi,
keuntungan menggunakan mediasi, peran dan fungsi mediator, proses mediasi,
dan mediasi dalam Islam.
Bab Ketiga, memaparkan teori efektivitas hukum sebagai alat uji proses
mediasi di pengadilan agama. Penulis menjelaskan pengertian efektivitas dan
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1984), h. 13.
17
selanjutnya dilakukan pembahasan bekerjanya hukum di masyarakat.
Selanjutnya, disajikan Teori Efektivitas Hukum Soerjono Soekanto yang
dijadikan dasar pengujian penelitian ini.
Bab Keempat, berisi analisa efektivitas mediasi yang berisikan tentang
profil Pengadilan Agama Depok, laporan pemberdayaan lembaga perdamaian,
faktor-faktor pendukung dan penghambat keberhasilan mediasi, dan di akhir
penulis sajikan analisa efektivitas mediasi di Pengadilan Agama Depok
berdasarkan landasan teori efektivitas, yakni tinjauan yuridis PERMA Nomor 1
Tahun 2008, kualifikasi mediator, fasilitas dan sarana, kepatuhan masyarakat,
kebudayaan.
Bab Kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
18
BAB II
MEDIASI: KONSEP DAN PENERAPANNYA
A. Pengertian Mediasi
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang
berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak
ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan
menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” juga bermakna
mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam
menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang
bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust)
dari para pihak yang bersengketa.13
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai
proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan
sebagai penasihat.14
Dalam Black‟s Law Dictionary, pengertian mediasi adalah:15
“A method of nonbinding dispute resolution involving a neutral third party who
tries to help the disputing parties reach a mutually agreeable solution.”
13
Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, cet.I, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 1-2.
14
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, cet.II,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 726.
15
Bryan A. Garner. Ed, Black‟s Law Dictionary, 8th
ed, (USA: West, 2004), h. 1003.
19
Pengertian mediasi dalam Kamus Hukum Indonesia adalah berasal dari
bahasa Inggris mediation yang berarti proses penyelesaian sengketa secara damai
yang melibatkan bantuan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat
diterima pihak-pihak yang bersengketa.16
Kamus Hukum Ekonomi ELIPS sebagaimana dikutip oleh Runtung,
memberikan batasan bahwa mediation, mediasi: salah satu alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, dengan menggunakan jasa seorang mediator atau
penengah.17
Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan
dimana seseorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk berkomunikasi antarpara
pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat
dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya
suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.18
16
B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, cet.I, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), h .168.
17
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia:
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat FH-Universitas
Sumatera Utara. Medan: USU, 2006. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2006/ppgb_2006_runtung.pdf, h. 8.
18
John W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi (Jakarta: Proyek ELIPS, 1997), h. 42.
20
Pengertian mediasi yang lain menurut Cristopher W. Moore sebagaimana
dikutip oleh Gatot Soemartono adalah: 19
The intervention in a negotiation or a conflict of an acceptable third
party who has limited or no authoritative decision-making power but who assists
the involved parties in voluntarily reaching a mutually acceptable settlement of
issues in dispute.
Definisi tersebut menegaskan hubungan antara mediasi dan negosiasi,
yaitu mediasi adalah sebuah intervensi terhadap proses negosiasi yang dilakukan
oleh pihak ketiga. Pihak ketiga memiliki kewenangan terbatas (limited) atau
sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, yang
membantu para pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian sengketa yang
diterima kedua belah pihak.
Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan pengertian mediasi
adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.20
19
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, cet.I, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h. 121.
20
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
21
Untuk mengerti secara komprehensif mengenai mediasi, menurut Siddiki
perlu dipahami tentang 3 (tiga) aspek dari mediasi sebagai berikut:21
1. Aspek Urgensi/Motivasi
Urgensi dan motivasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang
berperkara menjadi damai dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses
pengadilan. Apabila ada hal-hal yang mengganjal yang selama ini menjadi
masalah, maka harus diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah
mufakat. Tujuan utama mediasi adalah untuk mencapai perdamaian antara pihak-
pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bertikai atau berperkara biasanya sangat
sulit untuk mencapai kata sepakat apabila bertemu dengan sendirinya. Titik temu
yang selama ini beku mengenai hal-hal yang dipertikaikan itu biasanya bisa
menjadi cair apabila ada yang mempertemukan. Maka mediasi merupakan sarana
untuk mempertemukan pihak-pihak yang berperkara dengan difasilitasi oleh
seorang atau lebih mediator untuk menfilter persoalan-persoalan agar menjadi
jernih dan pihak-pihak yang bertikai mendapatkan kesadaran akan pentingnya
perdamaian antara mereka.
2. Aspek Prinsip
Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor
01 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk
mengikuti prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Apabila tidak
21
Siddiki, Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan.
Artikel di akses pada tanggal 06 November 2010 dari http://www.badilag.net/artikel/mediasi.pdf
22
menempuh prosedur mediasi menurut PERMA ini merupakan pelanggaran
terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg. yang mengakibatkan putusan
batal demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk ke pengadilan tingkat
pertama tidak mungkin melewatkan acara mediasi. Karena apabila hal ini terjadi
resikonya akan fatal.
3. Aspek Substansi
Yaitu bahwa mediasi merupakan suatu rangkaian proses yang harus
dilalui untuk setiap perkara perdata yang masuk ke Pengadilan. Substansi
mediasi adalah proses yang harus dijalani secara sunggguh-sungguh untuk
mencapai perdamaian. Karena itu diberikan waktu tersendiri untuk melaksanakan
mediasi sebelum perkaranya diperiksa. Mediasi bukan hanya sekadar untuk
memenuhi syarat legalitas formal, tetapi merupakan upaya yang sungguh-
sungguh yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mencapai
perdamaian. Mediasi adalah merupakan upaya pihak-pihak yang perperkara
untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri. Bukan kepentingan
Pengadilan atau hakim, juga bukan kepentingan mediator. Sehingga dengan
demikiaan segala biaya yang timbul karena proses mediasi ini ditanggung oleh
pihak-pihak yang berperkara.
Dalam kamus istilah hukum terdapat pengertian mediasi yang berbeda,
begitu pula para ahli hukum memberikan pengertian yang berbeda-beda. Untuk
memudahkan dalam memahami pengertian mediasi, penulis berpendapat bahwa
23
untuk kemudahan dalam memahami mediasi dapat dilakukan dengan mengetahui
unsur-unsur yang terdapat dalam mediasi sebagai berikut:
1. Metode alternatif penyelesaian sengketa;
2. Bersifat non litigasi;
3. Menggunakan jasa mediator; dan
4. Kesepakatan sesuai keinginan para pihak.
B. Asas-asas Umum Dalam Proses Mediasi
Mediasi merupakan proses penyelesaian non ligitasi atau setidak-tidaknya
proses yang terpisah dari proses litigasi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19
Ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, bahwa pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi
tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan jika
mediasinya gagal, kemudian dalam Pasal 19 Ayat (2) disebutkan bahwa semua
catatan mediator wajib dimusnahkan.
Bila kita telaah lebih lanjut kalimat “keterpisahan mediasi dari litigasi”
akan terlihat agak ganjil, karena sejatinya ketika gugatan didaftarkan dan dicatat
dalam register pengadilan, berarti sejak saat itu para pihak sudah mulai tunduk
dengan aturan dalam proses hukum acara perdata. PERMA Nomor 1 Tahun 2008
mengatur mediasi dalam proses perkara, walaupun belum masuk substansi
persidangan yang sebenarnya karena gugatan belum dibacakan. Namun
sesungguhnya perkara tersebut sudah ada dalam kewenangan pengadilan. Maka
24
menurut D.Y. Witanto22
, bahwasanya PERMA hendak memberikan pengertian
bahwa meskipun mediasi dilaksanakan dalam proses berperkara, namun sifat dan
substansi penyelesainnya berada di luar kewenangan Majelis Hakim yang
menyidangkan perkaranya.
Oleh karena PERMA menyebutkan bahwa mediasi merupakan proses
yang berada di luar litigasi, maka menurut D.Y. Witanto, proses mediasi
memiliki ciri dan prinsip yang berbeda dengan prinsip persidangan pada
umumnya yang mana perbedaan tersebut antara lain:
1. Proses mediasi bersifat informal. Mediator sebagai fasilitator akan
menggunakan pendekatan non legal dalam menyelesaikan perkara, sehingga
tidak kaku dan rigid. Bagi mediator non hakim, pertemuan dapat dilakukan di
luar pengadilan seperti hotel, restoran, dan sebagainya, sehingga suasana
yang nyaman relatif lebih baik agar tercipta perdamaian bagi kedua belah
pihak. Dalam mediasi di pengadilan tetap mengikuti aturan hukum acara
sebagai panduan proses, namun tingkat formalitasnya tidak seformal
persidangan di pengadilan. Maka proses mediasi di pengadilan bersifat semi
informal.
2. Waktu yang dibutuhkan relatif singkat. Dalam Pasal 13 Ayat (3) PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa proses mediasi berlangsung paling
22
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi: Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, cet.I, ( Bandung: Alfabeta, 2010), h. 31.
25
lama 40 (empat puluh) hari dan dalam Pasal 13 Ayat (4) dapat diperpanjang
paling lama 14 (empat belas) hari. Waktu tersebut tidaklah mutlak, bila
kesepakatan tercapai kurang dari 40 (empat puluh) hari, mediator dapat
langsung mengajukan kesepakatan damai kehadapan hakim yang memeriksa
perkara untuk dibuat akta perdamaian. Akan tetapi bila mediasi di pengadilan
tingkat pertama gagal, dapat dilakukan kembali pada tingkat banding, kasasi,
dan peninjauan kembali.
3. Penyelesaian didasarkan atas kesepakatan para pihak. Mediator hanya
sebagai fasilitator agar tercapai sebuah kesepakatan yang dapat
menguntungkan kedua belah pihak.
4. Biaya ringan dan murah. Bila para pihak menggunakan jasa mediator non
hakim, biaya mediasi tergantung kebutuhan selama berlangsungnya proses
mediasi. Namun bila menggunakan jasa mediator hakim, biaya akan jauh
lebih murah, yakni hanya dikenakan biaya pemanggilan bila ada pihak yang
tidak hadir sesuai perjanjian. Sedangkan untuk jasa mediator dari kalangan
hakim dan penggunaan ruang mediasi di pengadilan tidak dipungut biaya
apapun.
5. Prosesnya tertutup dan bersifat rahasia. Dalam Pasal 6 PERMA Nomor 1
Tahun 2008 disebutkan bahwa proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali
para pihak menghendaki lain.
26
6. Kesepakatan damai bersifat mengakhiri perkara. Artinya bila para pihak
menghendaki kesepakatan damai, gugatan perkara harus dicabut, sehingga
perkara dinyatakan selesai.
7. Proses mediasi dapat mengesampingkan pembuktian. Para pihak tidak perlu
saling berdebat dengan alasan bukti-bukti, namun yang diupayakan adalah
mempertemukan titik temu dari permasalahan.
8. Proses mediasi menggunakan pendekatan komunikasi. Dilakukan pendekatan
dialog dengan pola komunikasi interaktif saling menghormati dan
menghargai.
9. Hasil mediasi bersifat win-win solution. Tidak ada istilah menang kalah.
Semua pihak harus menerima kesepakatan yang mereka buat bersama-sama.
10. Akta perdamaian bersifat final dan binding. Berkekuatan hukum tetap (BHT)
dan dapat dieksekusi.
C. Keuntungan Memilih Proses Mediasi
Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa pastinya memberikan
keuntungan bagi para pihak yang ingin menyelesaikan perkaranya. Sehingga
sangat tepat bila dijadikan pilihan dibandingkan dengan mengikuti persidangan
di pengadilan. Menurut Achmad Ali, keuntungan menggunakan mediasi
adalah:23
23
Achmad Ali, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, cet.I, (Jakarta:
Badan Penerbit IBLAM, 2004), h. 24-25.
27
1. Proses yang cepat: persengketaan yang paling banyak ditangani oleh pusat-
pusat mediasi publik dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya
berlangsung dua hingga tiga minggu. Rata-rata waktu yang digunakan untuk
setiap pemeriksaan adalah satu hingga satu setengah jam.
2. Bersifat rahasia: segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi
bersifat rahasia di mana tidak dihadiri oleh publik dan juga tidak ada pers
yang meliput.
3. Tidak mahal: sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan
kualitas pelayanan secara gratis atau paling tidak dengan biaya yang sangat
murah: para pengacara tidak dibutuhkan dalam suatu proses mediasi.
4. Adil: solusi bagi suatu persengketaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan-
kebutuhan masing-masing pihak: preseden-preseden hukum tidak akan
diterapkan dalam kasus-kasus yang diperiksa oleh mediasi.
5. Berhasil baik: pada empat dari lima kasus yang telah mencapai tahap
mediasi, kedua pihak yang bersengketa mencapai suatu hasil yang
diinginkan.
Mediasi memberikan banyak keuntungan karena memiliki metode yang
berbeda dari litigasi di pengadilan. Menurut Gatot Soemartono, mediasi dapat
memberikan beberapa keuntungan penyelesaian sebagai berikut:24
24
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia …, h. 139-140.
28
a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif
murah dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau
arbitrase.
b. Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara
nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan hanya
pada hak-hak hukumnya.
c. Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara
langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
d. Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap
proses dan hasilnya.
e. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit
diprediksi, dengan suatu kepastian melalui konsensus.
f. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan
saling pengertian yang lebih di antara para pihak yang bersengketa karena
mereka sendiri yang memutuskannya.
g. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu
mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim
di pengadilan atau arbitrer pada arbitrase.
29
Pendapat lain yang dikemukakan Christopher W. Moore (1995) tentang
beberapa keuntungan yang seringkali didapatkan dari hasil mediasi sebagaimana
dikutip oleh Runtung, yaitu:25
1. Keputusan yang hemat, mediasi biasanya memakan biaya yang lebih murah
dibandingkan dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan
litigasi;
2. Penyelesaian secara cepat;
3. Hasil yang memuaskan bagi semua pihak;
4. Kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan “customized”;
5. Praktik dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif;
6. Tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga;
7. Pemberdayaan individu;
8. Melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan
dengan cara yang lebih ramah;
9. Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan;
10. Kesepakatan yang lebih baik dari pada hanya menerima hasil kompromi atau
prosedur menang-kalah;
11. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.
25
Runtung. Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia
…, h. 9-10.
30
D. Peran dan Fungsi Mediator
Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008, mediator adalah pihak netral
yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian.
Pengertian mediator dalam Black‟s Law Dictionary adalah:26
A neutral person who tries to help disputing parties reach an agreement.
Mediator artinya perantara (penghubung, penengah).27
Dalam Kamus
Hukum Indonesia, kata mediator berasal dari bahasa latin mediator yang berarti
penengah; pihak ketiga sebagai pemisah atau juru damai antara pihak-pihak yang
bersengketa.28
Mediator dalam Kamus Ekonomi ELIPS artinya penengah, yakni
seseorang yang menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap pihak-pihak yang
bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya.29
Mediator harus memenuhi persyaratan-persyaratan agar proses mediasi
yang dilakukan dapat berhasil. Persyaratan bagi seorang mediator dapat dilihat
dari dua sisi, yaitu sisi internal dan sisi eksternal. Sisi internal berupa
26
Bryan A. Garner. Ed, Black‟s Law Dictionary …, h. 1003.
27
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia …, h. 726.
28
B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia…, h. 168.
29
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia
…,h. 8.
31
kemampuan personal dalam menjalankan tugasnya antara lain: kemampuan
membangun kepercayaan para pihak, kemampuan menunjukkan sikap empati,
tidak menghakimi dan memberikan reaksi positif terhadap sejumlah pernyataan
yang disampaikan para pihak dalam proses mediasi, walaupun ia sendiri tidak
setuju dengan pernyataan tersebut.
Sisi eksternal berupa persyaratan lain yang berkaitan dengan para pihak
dan permasalahan yang dipersengketakan oleh mereka. Persyaratan tersebut
adalah sebagai berikut: 30
30
Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional …, h. 60-65.
32
1. Keberadaan mediator disetujui oleh kedua belah pihak;
2. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;
3. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa;
4. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap
kesepakatan para pihak; dan
5. Tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.
Mediator memiliki peran yang sangat penting agar tercapai kesepakatan
damai diantara pihak-pihak yang bersengketa. Gery Goodpaster sebagaimana
dikutip oleh D.Y. Witanto, menyebutkan bahwa mediator memiliki beberapa
peran penting antara lain:31
1. Melakukan diagnosa konflik;
2. Mengidentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis;
3. Menyusun agenda;
4. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi;
5. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar menawar;
6. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting;
7. Penyelesaian masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan; dan
8. Diagnosis sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem.
31
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi …, h.102.
33
Dapat kita pahami bahwa seorang mediator memiliki peran yang sangat
penting bagi tercapainya kesepakatan damai diantara para pihak. Selain peran
tersebut diatas, menurut Fuller, mediator juga memiliki beberapa fungsi antara
lain:32
1. Sebagai katalisator, yakni menciptakan keadaan dan suasana baru dari sebuah
pertentangan ke arah kondisi kooperatif dalam forum kebersamaan.
2. Sebagai pendidik, yakni mampu memberikan arahan dan nasihat untuk
menemukan solusi terbaik bagi semua pihak.
3. Sebagai penerjemah, yakni menerjemahkan konsep masing-masing pihak dan
hal-hal yang ingin dilakukan dan ditawarkan satu sama lain.
4. Sebagai narasumber, yakni mampu mendayagunakan atau melipatgandakan
kemanfaatan sumber-sumber informasi yang tersedia.
5. Sebagai penyandang berita jelek, yakni menetralisir konflik dari berbagai
informasi yang bersifat negatif, memancing emosi, dan memperkeruh
suasana.
6. Sebagai agen realitas, yakni menampung segala informasi baik berupa
keluhan, tuduhan maupun pengakuan dan menyalurkan informasi tersebut
kepada pihak lawan dengan bahasa yang tidak provokatif.
7. Sebagai kambing hitam, yakni siap menerima penolakan dan ketidakpuasan
para pihak terhadap solusi yang ditawarkan kepada para pihak.
32
Buku Tanya dan Jawab Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan (Mahkamah Agung RI, Japan International Cooperation Agency
(JICA), dan Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), 2008), h. 16.
34
E. Proses Mediasi
Berhasil atau tidaknya mediasi tergantung dari proses yang dijalankan.
Bila proses baik, tercapailah kesepakatan damai antara kedua belah pihak.
Namun sebaliknya, proses yang tidak baik akan menjadikan mediasi gagal.
Berikut tahapan-tahapan dalam proses mediasi yang diatur oleh PERMA Nomor
1 Tahun 2008:
1. Tahapan Pra Mediasi.
Penggugat mendaftarkan gugatannya di Kepaniteraan Pengadilan.
Kemudian ketua pengadilan akan menunjuk majelis hakim yang akan
memeriksa perkaranya. Kewajiban melakukan mediasi timbul jika pada hari
persidangan pertama para pihak hadir. Majelis Hakim menyampaikan kepada
penggugat dan tergugat prosedur mediasi yang wajib mereka jalankan.
Setelah menjelaskan prosedur mediasi, Majelis Hakim memberikan
kesempatan kepada para pihak untuk memilih mediator dalam daftar
mediator yang terpampang di ruang tunggu kantor pengadilan. Para pihak
boleh memilih mediator sendiri dengan syarat mediator tersebut telah
memiliki sertifikat mediator.
Bila dalam waktu 2 (dua) hari para pihak tidak dapat menentukan
mediator, Majelis Hakim akan menunjuk hakim pengadilan di luar Hakim
Pemeriksa Perkara yang bersertifikat. Namun jika tidak ada hakim yang
bersertifikat, salah satu anggota Hakim Pemeriksa Perkara yang ditunjuk oleh
Ketua Majelis wajib menjalankan fungsi mediator.
35
Hakim Pemeriksa Perkara memberikan waktu selama 40 (empat
puluh) hari kerja kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi. Jika
diperlukan waktu mediasi dapat diperpanjang untuk waktu 14 (empat belas)
hari kerja (Pasal 13 Ayat [3] dan [4]).
2. Pembentukan Forum.
Dalam waktu 5 (lima) hari setelah para pihak menunjuk mediator
yang disepakati atau setelah para pihak gagal memilih mediator, para pihak
dapat menyerahkan resume perkara33
kepada mediator yang ditunjuk oleh
Majelis Hakim.
Dalam forum dilakukan pertemuan bersama untuk berdialog.
Mediator dapat meminta agar pertemuan dihadiri langsung oleh pihak yang
bersengketa dan tidak diwakili oleh kuasa hukum. Di forum tersebut,
mediator menampung aspirasi, membimbing serta menciptakan hubungan
dan kepercayaan para pihak.
3. Pendalaman Masalah.
Cara mediator mendalami permasalahan adalah dengan cara kaukus34
,
mengolah data dan mengembangkan informasi, melakukan eksplorasi
kepentingan para pihak, memberikan penilaian terhadap kepentingan-
33
Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap pihak yang memuat duduk perkara
dan atau usulan penyelesaian sengketa. Lihat pasal 1 angka 10 PERMA Nomor 1 Tahun 2008.
34
Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh
pihak lainnya. Lihat Pasal 1 angka 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Kaukus dilakukan agar para pihak
dapat memberikan informasi kepada mediator lebih luas dan rinci yang mungkin tidak disampaikan
disaat bertemu dengan pihak lawan.
36
kepentingan yang telah diinventarisir, dan akhirnya menggiring para pihak
pada proses tawar menawar penyelesaian masalah.
4. Penyelesaian Akhir dan Penentuan Hasil Kesepakatan.
Pada tahap penyelesaian akhir, para pihak akan menyampaikan
kehendaknya berdasarkan kepentingan mereka dalam bentuk butir-butir
kesepakatan. Mediator akan menampung kehendak para pihak dalam catatan
dan menuangkannya ke dalam dokumen kesepakatan. Dalam Pasal 23 Ayat
(3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam kesepakatan perdamaian adalah sebagai berikut:
a. sesuai kehendak para pihak;
b. tidak bertentangan dengan hukum;
c. tidak merugikan pihak ketiga;
d. dapat dieksekusi; dan
e. dengan iktikad baik.
Bila terdapat kesepakatan yang melanggar syarat-syarat tersebut
diatas, mediator wajib mengingatkan para pihak. Namun bila mereka
bersikeras, mediator berwenang untuk menyatakan bahwa proses mediasinya
gagal dan melaporkan kepada Hakim Pemeriksa Perkara.
Jika tercapai kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan
mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan
ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Dokumen kesepakatan damai
37
akan dibawa kehadapan Hakim Pemeriksa Perkara untuk dapat dikukuhkan
menjadi akta perdamaian.
5. Kesepakatan di Luar Pengadilan.
Dalam Pasal 23 Ayat (1) PERMA disebutkan bahwa para pihak
dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa
di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan
kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk
memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.
Maksud dari pengajuan gugatan ini adalah agar sengketa para pihak
masuk dalam kewenangan pengadilan melalui pendaftaran pada register
perkara di Kepaniteraan Perdata. Ketua Pengadilan selanjutnya dapat
menunjuk Majelis Hakim yang akan mengukuhkan perdamaian tersebut
dalam persidangan yang terbuka untuk umum (kecuali perkara yang bersifat
tertutup untuk umum seperti perceraian).
6. Keterlibatan Ahli dalam Proses Mediasi.
Pasal 16 Ayat (1) PERMA Nomor 1 tahun 2008 menyebutkan bahwa
atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang
seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan
atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat
di antara para pihak.
Biaya untuk mendatangkan seorang ahli ditanggung oleh para pihak
berdasarkan kesepakatan. Namun PERMA tidak menjelaskan siapa yang
38
dapat dikategorikan sebagai ahli, sehingga penentuan siapa yang akan
dijadikan ahli dalam proses mediasi sesuai dengan rekomendasi mediator dan
kesepakatan para pihak.
7. Berakhirnya Mediasi.
Proses mediasi dinyatakan berakhir dengan 2 (dua) bentuk. Pertama,
mediasi berhasil dengan menghasilkan butir-butir kesepakatan di antara para
pihak, proses perdamaian tersebut akan ditindaklanjuti dengan pengukuhan
kesepakatan damai menjadi akta perdamaian yang mengandung kekuatan
seperti layaknya Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua,
proses mediasi menemukan jalan buntu dan berakhir dengan kegagalan.
Proses mediasi di pengadilan yang gagal akan dilanjutkan di sidang
pengadilan.
8. Mediasi Pada Tahap Upaya Hukum.
Para pihak atas dasar kesepakatan bersama, dapat menempuh upaya
perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau
peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat
banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum
diputus.
Demikian tahapan-tahapan mediasi yang telah diatur dalam PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Secara singkat
tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat secara sistematis dalam tabel sebagai
berikut:
39
Tabel 2
URUTAN PROSES MEDIASI
- Pendaftaran Gugatan di Kepaniteraan Perdata
Negeri/Agama
- Pembayaran Panjar Biaya Perkara dan
Penandatanganan Surat Kuasa untuk Membayar
(SKUM)
- Penunjukan Majelis Hakim Pemeriksa Perkara
oleh Ketua Pengadilan Negeri/Agama
- Majelis Hakim Pemeriksa Perkara menentukan
hari sidang dengan penetapan
- Juru Sita Pengadilan melakukan pemanggilan
kepada para pihak (Penggugat, Tergugat, dan
Turut Tergugat)
- Para Pihak hadir
- Penyampaian proses mediasi
oleh Ketua majelis Hakim
- Para Pihak tidak hadir
- Dilakukan pemanggilan ulang
- Pemilihan Mediator
- Penundaan sidang
- Putusan Verstek/
- Putusan Gugur
- Mediator mengadakan pertemuan awal
- Perkenalan dan penyampaian
informasi tentang prosedur mediasi
- Menyusun jadwal pertemuan
40
- Penyampaian dan pertukaran resume
- Melakukan dialog tentang
kemungkinan beberapa penawaran
- Negoisasi
- Meminta keterangan ahli
- Kaukus
- Penyampaian
usulan/penawaran lain
- Perumusan butir-butir kesepakatan
- Penjelasan-penjelasan
- Analisis dan koreksi
- Penandatanganan dokumen
kesepakatan damai
Proses mediasi gagal
Proses persidangan
dilanjutkan
- Penyampaian Dokumen Kesepakatan
Damai kehadapan Majelis hakim
Pemeriksa Perkara
- Pengukuhan menjadi Akta Perdamaian
Eksekusi
- Kesepakatan perdamaian tidak
dikukuhkan menjadi akta perdamaian
- Perkara dicabut
41
F. Mediasi Dalam Islam
Istilah mediasi dalam Islam dikenal dengan al-Sulh. Secara bahasa artinya
qath al-niza‟ yakni menyelesaikan pertengkaran. Pengertian dari al-Sulh sendiri
adalah:35
ازعح نرفع وضع عمذ ان
Akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak.
Sedangkan Hanabilah memberikan definisi al-Sulh sebagai berikut:36
انإصالح إنى تها رىصم يعالذج ت خرهف ان
Kesepakatan yang dilakukan untuk perdamaian antara dua pihak yang
bersengketa.
Praktik al-Sulh sudah dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW.
dengan berbagai bentuk. Untuk mendamaikan suami istri yang sedang
bertengkar, antara kaum muslim dengan kaum kafir, dan antara satu pihak
dengan pihak lain yang sedang berselisih. Al-Sulh menjadi metode untuk
mendamaikan dengan kerelaan masing-masing pihak yang berselisih tanpa
dilakukan proses peradilan ke hadapan hakim. Tujuan utamanya adalah agar
pihak-pihak yang berselisih dapat menemukan kepuasan atas jalan keluar akan
konflik yang terjadi. Karena asasnya adalah kerelaan semua pihak.
35
Muhammad Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 177.
Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 (Kairo: Dar al-Fath, 1990), h. 201 dan Wahbah Zuhaili,
al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Juz 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 168.
36
Ibnu Qudamah, al-Mughni Juz 5, cet.I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), h. 3.
42
Dalam perkara perceraian, al-Quran menjelaskan tentang al-Sulh dalam
surat al-Nisa ayat 128 sebagai berikut:
خافد ايرأج وإ اح فها إعراضا أو شىزا تعهها ي ا ج ه عه صهحا أ
ا ه ر وانصهح صهحا ت فس وأحضرخ خ انشح انأ وذرمىا ذحسىا وإ فإ
انهه ا كا ت هى .خثرا ذعDan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya mengusahakan perdamaian yang sebenar-
benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu
menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik
dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini diturunkan berkaitan dengan kisah Saudah binti Zam‟ah, isteri
Rasulullah SAW disaat ia mencapai usia lanjut, Rasulullah SAW hendak
menceraikannya. Lalu Saudah memberikan jatah harinya kepada Aisyah sebagai
tawaran asalkan ia tidak diceraikan. Rasulullah SAW menerima hal tersebut dan
mengurungkan niatnya untuk menceraikannya.37
Tafsir ayat ini juga ada dalam kitab Shahih al-Bukhari. Dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan wanita yang takut akan nusyuz atau sikap acuh tak acuh
dari suaminya adalah wanita yang suaminya tidak lagi ada keinginan
terhadapnya, yaitu hendak menceraikannya dan ingin menikah dengan wanita
lain. Lalu si wanita (isterinya) berkata kepada suaminya: “Pertahankanlah diriku
dan jangan engkau ceraikan. Silakan engkau menikah lagi dengan wanita lain,
37
Abu al-Fida Isma‟il bin „Umar bin Katsir al-Qurasy al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-
„Azhim, Juz 2, cet.II, (Riyad: Dar Thayibah, 1999), h. 426.
43
engkau terbebas dari nafkah dan kebutuhan untukku.” Maka firman Allah dalam
ayat tersebut: Maka tidak mengapa bagi keduanya mengusahakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).38
Dari sebab turunnya ayat ini, penulis berpendapat bahwa Saudah saat itu
melakukan upaya perdamaian ketika akan terjadi perceraian. Ia berupaya
mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan merelakan jatah harinya
diberikan kepada Aisyah, isteri Rasulullah SAW yang paling muda. Dalam hal
ini, memang tidak ada pihak ketiga sebagai mediator. Namun apa yang
dilakukan Saudah adalah bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang kemudian
ditegaskan dalam syari‟at Islam dengan turunnya surat al-Nisa ayat 128 tersebut.
Demikian cara Saudah mempertahankan keutuhan rumah tangganya
dengan cara memberikan jatah harinya untuk Aisyah. Pemberian jatah tersebut
disebutkan pula dalam hadis riwayat Abu Dawud sebagai berikut:39
ا ذ حذث أح رو ت ع ا انسرح ت أخثر وهة ات ىس ع ع شهاب ات
عروج أ ر ت حذثه انست ثى زوج عائشح أ ه اهلل صهى ان :وسهى لاند عه
ه اهلل صهى انهه رسىل كا ألرع سفرا أراد إرا وسهى عه سائه ت ره فأ
ها خرج يعه تها خرج سه ايرأج نكم مسى وكا ه هرها ىيها ي ر ون غ أ
د سىدج .نعائشح ىيها وهثد زيعح تBerkata Ahmad bin „Amr bin al-Sarh, berkata Ibnu Wahb dari Yunus dari Ibnu
Syihab: Bahwasanya „Urwah bin Zubeir berkata kepadanya bahwa Aisyah
berkata: Rasulullah SAW bila hendak melakukan perjalanan melakukan undian
38
Muhammad bin „Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari. Juz 3, cet.I, (Kairo: Dar al-Hadis,
2000), h. 647. Hadis No. 5206.
39
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Sijistani, Sunan Abu Dawud. Juz 2, (Beirut: Dar al-
Kutub al-„Arabi, t.t.), h. 209. Hadis No. 2140.
44
diantara isteri-isterinya. Siapa yang namanya keluar dalam undian akan ikut
bersamanya. Dan Rasulullah SAW membagi hari bagi tiap-tiap isterinya kecuali
Saudah bin Zam‟ah memberikan jatah harinya untuk Aisyah.
Bentuk perdamaian antara suami isteri yang sedang berselisih terdapat
dalam al-Quran surat al-Nisa ayat 35. Ayat ini lebih dekat dengan pengertian dan
konsep mediasi yang ada dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
ا شماق خفرى وإ ه ا فاتعثىا ت حك ا أههه ي وحك أههها ي رذا إ
ا انهه ىفك إصهاحا ه ت انهه إ ا كا .خثرا عهDan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini menjelaskan bahwa jika ada syiqaq/persengketaan antara suami
isteri, maka Hakim mengutus 2 (dua) orang hakam/juru damai. Kedua hakam
tersebut bertugas untuk mempelajari sebab-sebab persengketaan dan mencari
jalan keluar terbaik bagi mereka, apakah baik bagi mereka perdamaian atau pun
mengakhiri perkawinan mereka. Syarat-syarat hakam adalah:
1. Berakal.
2. Baligh.
3. Adil.
4. Muslim.
45
Tidak disyaratkan hakam berasal dari pihak keluarga suami maupun
isteri. Perintah dalam ayat 35 diatas bersifat anjuran.40
Bisa jadi hakam diluar
pihak keluarga lebih mampu memahami persoalan dan mencari jalan keluar
terbaik bagi persengketaan yang terjadi diantara suami isteri tersebut.
Penulis berpendapat bahwa perintah mendamaikan dalam ayat ini tidak
jauh berbeda dengan konsep dan praktik mediasi. Dimana hakim mengutus
hakam yang memenuhi syarat-syarat seperti layaknya seorang mediator
profesional. Seorang hakam juga berhak memberikan kesimpulan apakah
perkawinan antara suami isteri layak dipertahankan atau bahkan lebih baik
bubar. Tidak berbeda dengan tugas mediator yang melaporkan hasil mediasi
dengan dua pilihan, berhasil atau gagal.
Konsep Islam dalam menghadapi persengketaan antara suami isteri
adalah menjaga keutuhan rumah tangga. Dalam menjalani kehidupan rumah
tangga, tidak mungkin dilewati tanpa adanya perbedaan sikap dan pendapat yang
berakumulasi pada sebuah konflik. Oleh karena itu, Islam selalu memerintahkan
kepada pemeluknya agar selalu berusaha menghindari konflik. Namun bila
terjadi, perdamaian adalah jalan utama yang harus diambil selama tidak
melanggar syariat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadis
riwayat Ibnu Hibban sebagai berikut:41
40
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 …, h. 185. 41
Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Busti, Shahih Ibnu Hibban bi
Tartibi Ibnu Bilban. Juz 11, cet.II, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), h. 488. Hadis No. 5091.
46
ا ذ أخثر يح سار انفرح ت ذ انس رل ا: لال تس اهلل عثذ حذث عثذ ت انرح
ا: لال انذاري حذث يروا ذ ت ا: لال انطاطري يح حذث ا سه تهال ت
ر حذث كث ذ ت ز ذ ع انىن رتاح ت رج أت ع اهلل رسىل لال: لال هر
ه اهلل صهى جائس انصهح: سهى و عه ت سه أو حرايا أحم صهحا إنا ان
.حهانا حروBerkata Muhammad bin al-Fath al-Samsar di Samarkand berkata
Abdullah bin Abd al-Rahman al-Darimi berkata Marwan bin Muhammad al-
Thathari berkata Sulaiman bin Bilal berkata Katsir bin Zaid dari al-Walid bin
Rabah dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Perdamaian itu
baik antara kaum muslimin, kecuali perdamaian untuk menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal.
Penulis berkesimpulan bahwa perdamaian dalam sengketa yang berkaitan
dengan hubungan keperdataan dalam Islam termasuk perkara perceraian adalah
boleh, bahkan dianjurkan. Maka mediasi dalam perkara perceraian tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan keutuhan rumah
tangga. Bahkan menjadikan upaya perdamaian sebagai alternatif penyelesaian
sengketa suami isteri agar terhindar dari perceraian dengan tetap mengutamakan
kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangga.
BAB III
TEORI EFEKTIVITAS
A. Pengertian Efektivitas
47
Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa
Inggris effective, dalam Kamus John M. Echols dan Hassan Shadily artinya
adalah berhasil dan ditaati.42
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif
artinya “dapat membawa hasil, berhasil guna” tentang usaha atau tindakan. Dapat
berarti “sudah berlaku” tentang undang-undang atau peraturan.43
Sedangkan dalam Black‟s Law Dictionary, effective adalah bentuk
adjective yang bila disandingkan dengan kata statue, order, contract, dst berarti
in operation at given time. Bisa juga berarti performing within the range of
normal and expected standards atau juga productive; achieving a result.44
Adapun secara terminologi para pakar hukum dan sosiologi hukum
memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam,
bergantung pada sudut pandang yang diambil. Soerjono Soekanto sebagaimana
dikutip oleh Nurul Hakim berbicara mengenai derajat efektivitas suatu hukum
ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum,
termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa:
“Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator
berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda
42
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet.XXIII, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996), h.207.
43
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 284.
44
Bryan A. Garner. Ed, Black‟s Law Dictionary …, h. 554.
48
bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk
mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”.45
B. Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat
Dalam kehidupan masyarakat akan selalu terdapat hubungan atau
interaksi sosial. Dalam hubungan tersebut, ada suatu aturan yang ditaati oleh
masyarakat agar tercapai ketertiban, keserasian, dan ketentraman hidup. Aturan-
aturan yang berlaku bertugas mengatur hubungan dalam struktur masyarakat
yang kompleks.
Di dalam berbagai hal, hukum memiliki pengaruh yang langsung maupun
tidak langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan. Artinya hukum
memiliki peran dalam perubahan sosial dalam masyarakat. Cara-cara untuk
mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih
dahulu, menurut Soerjono Soekanto dinamakan social engineering atau social
planning.46
Dalam teori-teori hukum tentang berlakunya hukum sebagai kaidah
biasanya dibedakan menjadi tiga macam hal. Hal berlakunya kaidah hukum
biasanya disebut “gelding” (bahasa Belanda) “geltung” (bahasa Jerman). Tentang
45
Nurul Hakim, Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Dalam Hubungannya Dengan Lembaga Peradilan. Artikel diakses pada tanggal 10 Mei 2011
dari http://badilag.net/data/ARTIKEL/efektifitas.pdf
46
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, cet.V, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2006), h.122.
49
hal berlakunya kaidah hukum Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa agar
kaidah hukum atau sebuah peraturan berfungsi bahkan hidup dalam tatanan
kehidupan masyarakat, maka kaidah hukum/peraturan tersebut harus memenuhi
tiga unsur sebagai berikut: 47
1. Hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada
kaidah yang lebih tinggi tingkatannya, atau bila terbentuk menurut cara
yang telah ditentukan/ditetapkan, atau apabila menunjukan hubungan
keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.
2. Hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya
kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa (teori
kekuasaan), atau diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).
3. Hukum tersebut berlaku secara filosofis; artinya sesuai dengan cita-cita
hukum sebagai nilai positif tertinggi.
Kalau ditelaah secara lebih mendalam, maka agar supaya berfungsi, maka
suatu kaidah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut di atas.
Mengapa demikian? Adapun sebabnya adalah antara lain:
1. Bila hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah
tersebut merupakan kaidah mati (dode regel).
2. Kalau hanya berlaku secara sosiologis (dalam arti teori kekuasaan), maka
kaidah tersebut menjadi aturan pemaksa (dwangmaatregel).
47
Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, cet.V, (Bandung,
Citra Aditya Bakti, 1989), h.56-57.
50
3. Apabila hanya berlaku secara filosofis, maka mungkin hukum tersebut hanya
merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).
Dari penjelasan di atas, kelihatan sedikit betapa rumitnya masalah, oleh
karena biasanya seseorang hanya melihatnya dari satu sudut saja. Sebab, agar
hukum atau peraturan (tertulis) benar-benar berfungsi, senantiasa dapat
dikembalikan pada paling sedikit 4 (empat) faktor:
1. Hukum atau peraturan itu sendiri;
2. Petugas yang menegakkannya;
3. Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan hukum; dan
4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
Satjipto Rahardjo menyatakan dengan tegas bahwa bekerjanya hukum
dalam masyarakat tidak serta merta dan terjadi begitu saja. Hukum bukanlah
hasil karya pabrik, yang begitu keluar langsung dapat bekerja, melainkan
memerlukan beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan (hukum) tersebut
dijalankan atau bekerja. Sekurang-kurangnya langkah yang harus dipenuhi untuk
mengupayakan hukum atau aturan/ketentuan dapat bekerja dan berfungsi (secara
efektif) adalah:48
1. Adanya pejabat/aparat penegak hukum sebagaimana ditentukan dalam
peraturan hukum tersebut;
48
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2000), h.70.
51
2. Adanya orang (individu/masyarakat) yang melakukan perbuatan hukum, baik
yang mematuhi atau melanggar hukum;
3. Orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan;
4. Orang-orang tersebut sebagai subjek maupun objek hukum bersedia untuk
berbuat sesuai hukum.
Dalam hal ini, Satjipto Rahardjo melihat bahwa dalam penegakan hukum
dilihat sebagai proses yang melibatkan manusia di dalamnya. Maka dalam
pengamatan terhadap kenyataan penegakan hukum, faktor manusia sangat
terlibat dalam usaha menegakkan hukum tersebut. Penegakan hukum dilakukan
oleh institusi yang berwenang untuk itu, seperti jaksa, polisi, dan pejabat
pemerintahan. Sejak hukum itu mengandung perintah dan pemaksaan, maka
sejak semula hukum membutuhkan bantuan untuk mewujudkan perintah
tersebut.49
49
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, cet.II,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), h.192.
52
C. Teori Efektivitas Hukum
Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum adalah bagaimana
terjadinya sebuah keselarasan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam
kaidah-kaidah hukum dapat mengejawantah dalam jiwa masyarakat sehingga
tercipta kedamaian, ketentraman, dan ketertiban.
Wayne La Favre sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto menilai
bahwa penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan
diskresi50
yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur
oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.51
Gangguan terhadap penegakan hukum dapat saja terjadi. Hal ini terjadi
apabila terjadi ketidakserasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku dalam
masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah
semata-mata pelaksanaan undang-undang, walaupun dalam kenyataan di
Indonesia cenderung demikian. Maka dapat terjadi gangguan kedamaian dalam
pergaulan hidup bila pelaksanaan aturan dalam undang-undang ternyata malah
menyulitkan masyarakat.
Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono
Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor.
50
Diskresi berasal dari bahasa Inggris discreation yang berarti kewenangan berupa kebebasan
bertindak pejabat negara, atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri, demi pelayanan publik
yang bertanggung jawab. Lihat B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia …, h.56.
51
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007), h.7.
53
Faktor-faktor ini mempunyai arti netral, sehingga dampak positif atau negatifnya
terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:52
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
Maksud faktor hukumnya dalam poin pertama ini menurut Soerjono
Soekanto dengan undang-undang dalam arti materil adalah peraturan tertulis
yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang
sah. Masalah-masalah umumnya disini adalah, antara lain:
1. Apakah peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu
cukup sistematis?
2. Apakah peraturan-peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan
tertentu cukup sinkron; artinya:
a. apakah secara hierarkis tidak ada pertentangan-pertentangan?
b. apakah secara horizontal tidak ada pertentangan?
3. Apakah secara kuantitatif atau kualitatif peraturan bidang kehidupan
tertentu sudah cukup atau belum?
4. Apakah penerbitan peraturan tersebut adalah sesuai dengan persyaratan
yuridis?
Hal tersebut di atas merupakan matra-matra untuk mengetahui apakah
sebuah peraturan efektif atau tidak.
52
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum …, h.8.
54
2. Faktor penegak hukum.
Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh
karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung
berkecimpung di bidang penegakan hukum.
Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan penegak hukum
penulis batasi pada kalangan yang secara langsung dalam bidang penegakan
hukum yang tidak hanya mencakup law inforcement, akan tetapi juga peace
maintenance. Maka mereka ini adalah para pegawai hukum pengadilan di
lingkungan Pengadilan Agama Depok, baik pada strata atas, menengah, dan
bawah diantaranya para hakim, panitera, jurusita, dan pegawai non-justisial
lainnya. Adapun standarisasi efektivitas sebuah penegak hukum adalah:
1. Sampai seberapa jauh petugas terikat oleh peraturan yang ada?
2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan “kebijaksanaan”?
3. Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat umum?
4. Sampai seberapa jauh derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang
diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang
tegas pada wewenangnya?
Hal tersebut di atas merupakan matra-matra untuk mengetahui apakah
penegak hukum yang ada efektif atau tidak.
55
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas
tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil
penegakan hukum akan tercapai tujuannya. Adapun standarisasi efektivitas
fasilitas penegakan hukum adalah:
1. Apakah sarana prasarana yang ada layak pakai?
2. Apakah yang ada dipelihara terus agar setiap saat berfungsi?
3. Apakah yang kurang perlu dilengkapi?
4. Apakah yang rusak perlu diperbaiki?
5. Apakah yang telah mundur ditingkatkan?
Hal tersebut di atas merupakan matra-matra untuk mengetahui apakah
fasilitas yang ada efektif atau tidak.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
Kepatuhan hukum masyarakat sangat dipengaruhi oleh ketiga faktor
sebelumnya, yaitu hukum, penegak hukum, dan sarana atau fasilitas.
Masyarakat kebanyakan biasanya tidak peduli dengan aturan hukum yang
diberlakukan, namun mereka hanya ingin mendapatkan keadilan dan
kepastian hukum terhadap perkara yang sedang mereka hadapi.
56
Begitu pula dalam hal proses mediasi, kedua belah pihak yang
bersengketa akan memiliki harapan kepada penegak hukum yakni mediator
agar sengketa di antara mereka dapat selesai dengan baik. Sehingga peran
mediator sangat penting dalam perjalanan proses mediasi di antara kedua
belah pihak.
Kemampuan mediator tentang nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang
berlaku di suatu masyarakat sangat penting untuk diketahui, agar mediator
dapat mencari solusi atas sengketa dan bukan malah menambah keruh
suasana akibat ketidaktahuannya akan nilai dan kaidah yang hidup di
masyarakat.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor
masyarakat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan
spiritual atau material. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem
kemasyarakatan), maka hukum mencakup struktur, substansi, dan
kebudayaan. Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut
yang umpamanya mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal,
hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajibannya, dan
seterusnya. Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta
perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi
pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum
57
pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,
nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang
dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga
dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang
mencerminkan dua keadaaan ekstrim yang harus diserasikan. Hal itulah yang
akan menjadi pokok pembicaraan di dalam bagian mengenai faktor
kebudayaan ini.
Dalam hal mediasi di pengadilan agama yang kita ketahui para
pencari keadilan disana adalah umat Islam, nilai-nilai Islam menjadi sarat
akan pedoman karena telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat
muslim.
Demikianlah 5 (lima) faktor keberhasilan mediasi yang dijadikan
penulis sebagai alat ukur penelitian ini. Adapun teori efektifitas ini bersifat
netral. Ia akan dikatakan efektif bila berhasil dijalankan dan dikatakan tidak
efektif bila tidak dijalankan. Oleh karena itu, digunakan istilah positif bagi
keefektifan dan negatif bagi ketidakefektifan.
Demikian teori efektivitas hukum hasil pemikiran Soerjono Soekanto.
Demi kemudahan pembaca, penulis menyajikan teori tersebut dalam sebuah
tabel sebagai berikut:
58
Tabel 3
Teori Efektivitas Hukum
Penegakan Hukum
Hukum
(U
ndan
g-U
nd
ang)
Pen
egak
Hukum
Sar
ana
atau
Fas
ilit
as
Mas
yar
akat
Keb
uday
aan
Positif Negatif
Efektif Tidak Efektif
59
BAB IV
ANALISA EFEKTIVITAS MEDIASI
A. Profil Pengadilan Agama Depok
Pengadilan Agama Depok Kelas I B beralamat di Jalan Boulevard Sektor
Anggrek Komplek Perkantoran Kota Kembang Grand Depok City Depok dan
beroperasi pada alamat tersebut setelah diresmikannya gedung Pengadilan
Agama Depok bersamaan dengan diresmikannya gedung Pengadilan Tinggi
Agama Bandung pada tanggal 20 Februari tahun 2007 oleh Prof. Dr. H. Bagir
Manan, SH, M.CL., di Jalan Soekarno Hatta 714 Bandung.
Pengadilan Agama Depok dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002 yang
peresmian operasionalnya dilakukan oleh Wali Kota Depok di Gedung Balai
Kota Depok pada tanggal 25 Juni 2003 dan mulai menjalankan fungsi peradilan
sejak tanggal 01 Juli 2003 di Jalan Bahagia Raya No. 11 Depok dengan
menyewa rumah penduduk sebagai gedung operasionalnya.
Daerah hukum Pengadilan Agama Depok adalah meliputi Pemerintahan
Kota Depok sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang dalam
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 Pasal 2 ayat (5)
disebutkan bahwa “Daerah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi wilayah
Pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat”.
60
Pengadilan Agama Depok yang daerah hukumnya meliputi Wilayah
Pemerintahan Kota Depok yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 64 Kelurahan
dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dengan beban kerja rata-rata tiap
bulan 162 perkara. Dalam melaksanakan tugasnya Pengadilan Agama Depok
didukung dengan kekuatan pegawai sebanyak 38 orang dan secara formal
pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Depok harus dipertanggung jawabkan
dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung selaku atasan.
Pengadilan Agama Depok sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan,
warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari‟ah
dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undang-
Undang.
Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam
melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi
harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang
sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana Pengadilan Agama Depok
sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang dijabarkan oleh
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu: Visi “Terwujudnya putusan
yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib
dan damai di bawah lindungan Allah SWT” dan Misi : “Menerima, memeriksa,
61
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam
Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah,
shodaqoh dan ekonomi syari‟ah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan”.
Wilayah Hukum Pengadilan Agama Depok meliputi Wilayah Kota
Depok. Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6o 19‟ 00” – 6o 28‟
00” Lintang Selatan dan 106o 43‟ 00” – 106o 55‟ 30” Bujur Timur. Kota Depok
berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan wilayah
Jabodetabek.
Bentang alam Kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah
dataran rendah perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50 – 140
meter diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Kota
Depok sebagai wilayah termuda di Jawa Barat, mempunyai luas wilayah sekitar
200,29 km2.
Kondisi geografisnya dialiri oleh sungai-sungai besar yaitu Sungai
Ciliwung dan Cisadane serta 13 sub Satuan Wilayah Aliran Sungai. Disamping
itu terdapat pula 25 situ. Data luas situ pada tahun 2005 sebesar 169,68 Ha,
dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar.
Kondisi topografi berupa dataran rendah bergelombang dengan
kemiringan lereng yang landai menyebabkan masalah banjir di beberapa wilayah,
terutama kawasan cekungan antara beberapa sungai yang mengalir dari selatan
menuju utara: Kali Angke, Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan dan Kali
Cikeas.
62
Adapun struktur organisasi Pengadilan Agama Depok dalam tabel adalah
sebagai berikut:*
Tabel 4
*Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
WAKIL KETUA
Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H.
HAKIM
Drs. Agus Abdullah, M.H.
Dra. Hj. Siti Nadirah
Drs. H. A. Baidhowi, M.H.
Dra. Nurmiwati
Dra. Hj. Fauziah, M.H.
Asep Nursobah, S.Ag.
Drs. Bambang Hermanto, M.H.
Dra. Suifita Netty, S.H.
KETUA
Drs. Nia Nurhamidah R., M.H.
HAKIM
Drs. Azid Izuddin, M.H.
Dra. Taslimah, M.H.
Drs. Sarnoto, M.H.
Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H.
Drs. Andi Akram, S.H., M.H.
Hj. Suciati, S.H.
Dra. Rogayah
Umar Faruq, S.Ag., M.HI.
E. Kurniawati Imron, S.Ag.
PANITERA SEKRETARIS
Drs. H. Asop Ridwan, M.H.
WAKIL PANITERA
Endang Ridwan, S.Ag.
WAKIL SEKRETARIS
Ita Sasmita, S.H.
PANITERA MUDA
PERMOHONAN
Mumu, SH., M.H.
PANITERA MUDA
GUGATAN
M. Ali Afriddy, S.H.
PANITERA MUDA
HUKUM
Drs. E. Arifuddin
KAUR
KEUANGAN
Siti Aisah, S.H.
KAUR
KEPEGAWAIAN
Indra Ari Setiawan, S.H.
KAUR
UMUM
Mataris, S.H.
PANITERA PENGGANTI
Hj. Inti Khobijati
Defrialdi, S.H.
M. Thamrin, S.Ag.
Totih R. Amanah, S.H.
Arifin, S.Ag., M.Ag.
JURUSITA
Pepen, S.Ag.
Samsudin, S.Ag.
JURUSITA PENGGANTI
Bahrun Kustiawan
Wiji Piningit
Novia Husein
Hj. Siti Nurhayati, S.H.
Yulianti Widyaningsih, S.H.
63
B. Analisa Efektivitas Mediasi
1. Tinjauan Yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008
Salah satu kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung yang
berkaitan dengan pengawasan tidak langsung ialah membuat peraturan.
Kekuasaan dan kewenangan itu ditegaskan pada angka 2 huruf c Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yang
berbunyi:53
Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan
atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya
peradilan.
Mengenai kategori PERMA ditinjau dari segi ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 7 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, termasuk salah satu jenis ketentuan peraturan
perundang-undangan. Tentang hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:54
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi sebagai berikut:
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai
berikut:
53
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
54
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, cet.II. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.165-167.
64
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Demikian hierarki peraturan perundang-undangan an sich
berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akan tetapi, apa yang
ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut tidak bersifat final dan limitatif
karena terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui
keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 7 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut.
Selanjutnya Pasal 7 ayat (4), berbunyi sebagai berikut:55
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diakui keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, berbunyi sebagai
berikut:
55
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
65
Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini,
antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK,
Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang
setingkat yang dibentuk oleh Undang-undang atau Pemerintah atas
perintah undang-undang.
Bertitik tolak dari Pasal 7 ayat (4) dan penjelasan Pasal 7 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut, dengan tegas dinyatakan
bahwa PERMA termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan.
Bila dilihat konsideran PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, dapat diketahui bahwa salah satu dasar
diaturnya mediasi dalam PERMA adalah Reglemen Indonesia yang
diperbaharui (HIR) Staatsblad 1941 Nomor 44 dan Reglemen Hukum Acara
untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg) Staatsblad 1927 Nomor 227.
Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:56
Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka
pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya akan
menperdamaikan mereka itu.
Selanjutnya ayat (2) mengatakan:
Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu
pada waktu bersidang, diperbuat sebuah akte, dengan nama kedua
belah pihak diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang diperbuat
itu; maka surat (akte) itu akan berkekuatan dan akan dilakukan
sebagai putusan hakim yang biasa.
56
R. Tresna, Komentar HIR …, h. 110.
66
Yahya Harahap menjelaskan bahwa ketentuan peraturan perundang-
undangan tidak selamanya mampu memberi penyelesaian hukum yang
timbul sebagai akibat perubahan sosial yang cepat (rapidly social change).
Berikut penjelasannya:57
Pertama, peraturan perundang-undangan langsung konservatif.
Sesaat setelah peraturan perundang-undangan diundangkan maka: ketentuan
peraturan perundang-undangan itu langsung menjadi huruf atau kalimat
mati, sedang pada sisi lain kebutuhan permasalahan sosial ekonomi
kehidupan masyarakat berkembang terus tanpa henti, sehingga peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan tidak sesuai lagi sebagai hukum
yang hidup (living law) yang mampu menjembatani antara rumusan
peraturan perundang-undangan dengan perubahan sosial ekonomi yang
terjadi;
Oleh karena itu, dalam menghadapi persoalan demikian, apabila
kekuasaan penafsiran dianggap kurang efektif membina keseragaman opini
hukum (unified legal opinion) dan keseragaman kerangka hukum (unified
legal frame work) di antara putusan pengadilan, lebih tepat MA
mengeluarkan peraturan.
57
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, …, h.167-169.
67
Kedua, tidak ada undang-undang yang sempurna. Kapan pun dan
dimanapun tidak pernah manusia mampu membuat dan mencipta peraturan
perundang-undangan yang sempurna.
Ketiga, yang berwenang menentukan kebenaran dan keadilan adalah
kekuasaan kehakiman melalui peradilan. Sesuai dengan kedudukan yang
diberikan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kepada
kekuasaan kehakiman untuk menyenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan (to enforce the law and justice), maka berdasarkan
konstitusi yang berwenang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to
enforce truth and justice) yang terkandung dalam suatu peraturan
perundang-undangan adalah pengadilan melalui hakim. Oleh karena itu,
sejak peraturan perundang-undangan diundangkan dan dinyatakan berlaku,
yang berwenang menentukan benar tidaknya dan adil tidaknya peraturan
perundang-undangan dalam penerapan, langsung berpindah ke pundak
kekuasaan kehakiman/badan peradilan. Sedang pembuat peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan berada di belakang sebagai
penonton. Sehubungan dengan itu, apabila ternyata peraturan perundang-
undangan itu mengandung berbagai kekosongan maupun telah tertinggal
dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, dianggap tepat apabila MA
mengeluarkan peraturan yang bersifat komplementer (complementary).
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi para pihak
68
yang berperkara di pengadilan, karena bila tidak melaksanakan mediasi,
maka putusan pengadilan menjadi batal demi hukum.58
Setiap pemeriksaan perkara perdata di pengadilan harus diupayakan
perdamaian dan mediasi sendiri merupakan kepanjangan upaya
perdamaian.59
Mediasi akan menjembatani para pihak dalam menyelesaikan
masalah yang buntu agar mencapai/memperoleh solusi terbaik bagi
mereka.60
Berdasarkan teori efektivitas hukum yang penulis gunakan sebagai
alat ukur penelitian ini, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan ada
daya paksa bagi masyarakat. Oleh karenanya, penulis memberikan
kesimpulan sebagai berikut:
a. PERMA tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
b. Jenis peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang tersebut tidaklah bersifat final dan limitatif,
58
Wawancara dengan Sarnoto dan Fauziah, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa
Barat pada tanggal 10 Mei 2011 dan Sulfita Netti, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa
Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
59
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa
Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
60
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama
Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
69
karena terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui
keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 7 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut.
c. Landasan yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008 adalah peraturan
perundang-undangan, sehingga diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat. PERMA merupakan pelengkap peraturan
perundang-undangan yang telah ada. Sehingga bertujuan mengisi
kekosongan hukum.
d. Mahkamah Agung memiliki kewenangan membuat peraturan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung. Oleh karena itu, penerbitan PERMA tidak
bertenangan dengan hukum dan aturan perundang-undangan.
2. Kualifikasi Mediator
Mediator memiliki peran yang sangat penting akan keberhasilan
mediasi. Oleh karena itu, mereka harus memiliki kemampuan yang baik agar
proses mediasi dapat berjalan lancar dan sesuai dengan prosedur yang telah
diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
70
Pasal 9 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mengatur tentang daftar
mediator sebagai berikut:
(1) Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua
Pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat
sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator dan disertai
dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman para
mediator.
Ketua Pengadilan yang menentukan daftar mediator. Dalam daftar
tersebut tertulis latar belakang pendidikan masing-masing mediator, namun
penulis mendapatkan daftar mediator di Pengadilan Agama Depok tidak
tercantum pengalaman yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) PERMA
Nomor 1 Tahun 2008.
(2) Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah
memiliki sertifikat dalam daftar mediator.
(3) Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada
mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang
bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator.
Hakim di Pengadilan Agama Depok yang telah memiliki sertifikat
mediator hanya ada 2 (dua) orang, sehingga semua hakim disana
ditempatkan dalam daftar mediator.
(4) Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya
ditempatkan dalam daftar ,mediator pada pengadilan yang
bersangkutan.
(5) Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua
Pengadilan menempatkan nama pemohon dalam daftar
mediator.
71
Jumlah hakim yang telah memiliki sertifikat mediator sangat sedikit
namun kebutuhan akan mediator sangat mendesak, maka semua hakim
ditetapkan menjadi mediator. Ketua Pengadilan yang menempatkan nama-
nama hakim dalam daftar mediator.
(6) Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui
daftar mediator.
Daftar mediator setiap tahun dievaluasi dan diperbaharui oleh Ketua
Pengadilan. Dalam buku laporan pemberdayaan lembaga perdamaian dapat
diketahui jumlah mediasi yang berhasil dan gagal. Begitu pula, daftar
mediator dapat berubah tiap tahun akibat mutasi hakim. Berikut daftar
mediator di Pengadilan Agama Depok:
72
Tabel 5 DAFTAR MEDIATOR PADA PENGADILAN AGAMA DEPOK
NO NAMA/NIP
PENDIDIKAN TEMPAT TANGGAL LAHIR
1
Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. S 1 IAIN Bandung
19630623.198903.1.004 S 2 UNTAG Jakarta
Kadipaten, 23 Juni 1963
2
Dra. Hj. Fauziah, M.H. S 1 IAIN Sunan Ampel Surabaya
19671108.199303.2.001 S 2 UNTAG Jakarta
Surabaya, 8 November 1967
3
Drs. Azid Izuddin, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19620713.1993.1.003 S 2 UNTAG Jakarta
Bogor, 13 Juli 1962
4
Dra. Taslimah, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19680314.199303.2.005 S 2 UNTAG Jakarta
Jakarta, 14 Maret 1968
5
Drs. Sarnoto, M.H. S 1 Univ Muhammadiyah Surakarta
19671225.199403.1.005 S 2 UMI Makassar
Kulon Progo, 25 Desember 1967
6
Dra. Sulfita Netty, S.H. S 1 IAIN Imam Bonjol Padang
19580803.199403.2.001 S 2 UNIHAZ
Simabur Tanah Datar, 3 Agustus 1958
7
Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. S 1 IAIN Jakarta
19680915.199403.2.004 S 1 Univ Muhammadiyah Sumatera
Jakarta, 15 September 1968
8
Drs. Agus Abdullah, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19690803.199403.1.003 S 2 UNTAG Jakarta
Sukapura, 3 Agustus 1969
9
Dra. Hj. Siti Nadirah S 1 IAIN Makassar
19661119.199303.2.002
Ujung Pandang, 19 November 1966
10
Drs. H. A. Baidhowi, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19560912.198511.1.001 S 2 UNTAG Jakarta
Jakarta, 12 September 1956
11
Dra. Nurmiwati S 1 IAIN Yogyakarta
19671225.199303.2.002
Bone, 25 Desember 1967
12 Hj. Suciati, S.H. S 1 Universitas Jakarta
19570714.198003.2.005
13 Dra. Rogayah S 1 IAIN Bandung
19600924.199103.2.001
14 Drs. Bambang Hermanto, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19590919.198903.1.001 S 2 Universitas Islam Jakarta
15 Umar Faruq, S.Ag., M.HI. S 1 IAIN Yogyakarta
19700101.199703.1.007 S 2 UII Yogyakarta
16 E. Kurniawati Imron, S.Ag. S 1 STAI Cirebon
19560726.198003.2.001
*Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
73
Dari 16 (enam belas) hakim yang ditetapkan sebagai mediator, hanya
ada 2 (dua) orang yang telah memiliki sertifikat mediator, yakni Drs. H. Uu
Abdul Haris, M.H.dan Drs. Sarnoto, M.H.
Para hakim mediator yang tidak memiliki sertifikat mediator
dikarenakan belum mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh
Mahkamah Agung RI pada tahun 2009 yang lalu. Pelatihan mediator sangat
terbatas jumlahnya, karena diselengarakan Mahkamah Agung RI secara
nasional, sehingga pesertanya sangat terbatas.61
Idealnya Mahkamah Agung RI perlu memberikan pelatihan mediator
kepada seluruh hakim di pengadilan agama, agar:
a) Para hakim mediator bisa bekerja maksimal sewaktu melakukan
mediasi.62
Bila telah mendapatkan pelatihan, mereka telah memiliki
kemampuan sesuai dengan fungsi dan peran mediator.
b) Mediasi berjalan efektif.63
Mediator yang terlatih akan mampu
mengorganisir proses mediasi dengan baik.
c) Menambah keterampilan hakim dalam melakukan mediasi.64
Mereka
akan memiliki teknik-teknik yang terprogram.65
Tugas mediator berbeda
61
Wawancara dengan Fauziah, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada
tanggal 10 Mei 2011 dan dengan E. Kurniati, Sulkha Herawati, Bambang Hermanto, dan Sulfita Netti,
kesemuanya Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
62
Wawancara dengan Sulfita Netti, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada
tanggal 11 Mei 2011.
63
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat
pada tanggal 11 Mei 2011.
74
dengan hakim saat di persidangan. Bila di persidangan hakim sangat
menjaga wibawa pengadilan, sedangkan saat menjadi mediator ia harus
lebih luwes dan komunikatif, karena berfungsi sebagai penengah konflik
antara para pihak.
d) Lebih siap saat ditunjuk menjadi mediator.66
Kenyataannya seluruh
hakim ditetapkan oleh Ketua Pengadilan menjadi mediator, dikarenakan
jumlah hakim yang bersertifikat masih sangat sedikit.
Dalam skripsi ini, penulis meneliti perolehan mediator selama
bertugas menangani perkara dalam lembaga perdamaian tahun 2009 dan
2010 sebagai berikut:
64
Wawancara dengan Sarnoto dan Fauziah, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat
pada tanggal 10 Mei 2011.
65
Wawancara dengan E. Kurniati, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal
11 Mei 2011.
66
Wawancara dengan Sulkha Herawati, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada
tanggal 11 Mei 2011.
75
Tabel 6
NO NAMA MEDIATOR
MEDIASI YANG DITANGANI
TAHUN 2009 PORSENTASE TAHUN 2010 PORSENTASE
BERHASIL GAGAL BERHASIL BERHASIL GAGAL BERHASIL
1 Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. 0 0 0% 0 0 0%
2 Dra. Hj. Fauziah, M.H. 0 0 0% 0 10 0%
3 Drs. Azid Izuddin, M.H. 0 2 0% 0 3 0%
4 Dra. Taslimah, M.H. 2 5 28,5% 0 3 0%
5 Drs. Sarnoto, M.H. 8 49 14% 9 39 18,7%
6 Dra. Sulfita Netty, S.H. 0 0 0% 0 3 0%
7 Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. 3 18 14,2% 0 16 0%
8 Drs. Agus Abdullah, M.H. 4 31 11,4% 1 28 3,4%
9 Dra. Hj. Siti Nadirah 3 43 6,5% 1 20 4,7%
10 Drs. H. A. Baidhowi, M.H. 10 35 22,2% 1 9 10%
11 Dra. Nurmiwati 1 15 6,2% 1 6 14,2%
12 Hj. Suciati, S.H. 0 0 0% 0 8 0%
13 Dra. Rogayah 0 0 0% 0 0 0%
14 Drs. Bambang Hermanto, M.H. 0 0 0% 0 2 0%
15 Umar Faruq, S.Ag., M.HI. 0 0 0% 0 9 0%
16 E. Kurniawati Imron, S.Ag. 0 0 0% 0 17 0%
Dari tabel 6 diatas, ada hal-hal yang perlu dikaji. Pertama, diketahui
bahwa hakim yang memiliki sertifikat mediator hanya ada 2 (dua) orang
yakni Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. dan Drs. Sarnoto, M.H., namun yang
melaksankan fungsi mediator hanya Drs. Sarnoto, M.H. Sangat disayangkan
hakim yang telah bersertifikat tidak melaksanakan fungsi mediator padahal
telah ditetapkan oleh ketua pengadilan. Ini bertolak belakang dengan tujuan
MA yang menyelenggarakan pelatihan mediator agar para hakim yang
melaksanakan fungsi mediator memiliki SDM yang berkualitas.
76
Kedua, tidak ada pemerataan tugas sebagai mediator. Ada hakim
yang telah ditetapkan sebagai mediator, namun tidak pernah melaksanakan
fungsi tersebut. Ada pula hakim mediator yang menangani mediasi lebih
banyak dari yang lainnya. Padahal selain yan telah bersertifikat, kemampuan
mereka adalah sama.
Ketiga, tahun 2009 diketahui angka porsentase keberhasilan mediator
sangat kecil. Tidak ada yang mencapai 50%, bahkan 30% pun tidak. Begitu
pula tahun 2010, angkanya menurun. Tidak ada yang mencapai 25%.
Bahkan banyak yang tidak berhasil sama sekali selama menjalankan fungsi
mediator.
Keempat, ada angka kenaikan porsentase keberhasilan pada Drs.
Sarnoto, M.H., sebagai satu-satunya hakim bersertifikat yang menjalankan
fungsi mediator. Pada tahun 2009, porsentase mencapai 14% kemudian
meningkat di tahun 2010 sebesar 18,7%. Kenaikan tersebut dapat
dipengaruhi oleh kemampuannya setelah mengikuti pelatihan mediator di
tahun 2009. Dalam tabel pula dapat diketahui bahwa angka mediasi yang
dilakukan terbanyak diantara hakim lainnya. Namun angka keberhasilannya
masih sangat kecil, belum mencapai 50%. Sehingga bila dibandingkan
dengan mediator lain perbedaan tidak terlalu jauh.
Penulis memberikan kesimpulan bahwasanya ada beberapa hal yang
harus diperbaiki dalam hal kualifikasi mediator sebagai berikut:
77
a. Sumber Daya mediator harus diperbaiki dengan cara memberikan
pelatihan kepada mereka. Mediasi adalah salah satu bentuk dari
Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) yang berbeda dengan litigasi,
sehingga para hakim yang ditetapkan menjadi mediator wajib
mendapatkan pelatihan yang baik. Dalam hal ini Mahkamah Agung RI
yang harus mengambil inisiatif agar pelatihan mediator dapat segera
diberikan lebih banyak lagi.
b. Pengadilan Agama Depok harus menyediakan mediator bersertifikat dari
luar pengadilan. Hal ini karena jumlah hakim yang ditetapkan menjadi
mediator yang bersertifikat hanya ada 2 (dua) orang.
c. Pemberian insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi
mediator. Sampai saat ini Mahkamah Agung RI belum menerbitkan
PERMA tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim
yang menjalankan fungsi mediator, padahal sudah diamanatkan dalam
Pasal 25 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2008.67
d. Hakim yang melaksanakan fungsi mediator dan telah bersertifikat
cenderung memiliki tingkat keberhasilan yang lebih bila dibandingkan
dengan hakim yang melaksanakan fungsi mediator tidak memiliki
sertifikat. Namun, angka keberhasilan tersebut tidak terlalu jauh. Hakim
67
Pasal tersebut berbunyi: (2) Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung
tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang.berhasil menjalankan fungsi
mediator.
78
yang telah bersertifikat pun angka keberhasilannya sangat kecil, tidak
mencapai 50%.
e. Pelatihan mediator bagi para hakim yang menjalankan fungsi mediator
bukan satu-satunya jalan keberhasilan mediasi di pengadilan. Hakim
yang telah bersertifikat pun belum mampu menggapai angka
keberhasilan mediasi yang cukup tinggi. Namun bukan berarti MA tidak
perlu memberikan pelatihan, tetapi pelatihan harus tetap diberikan
kepada semua hakim yang menjalankan fungsi mediator dan
memberikan pengawasan dan evaluasi secara teratur akan kinerja
mereka.
3. Fasilitas dan Sarana
Ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok hanya ada 1 (satu) ruang
yang didalamnya dibagi menjadi 3 (tiga) bagian tanpa diberi sekat atau
pembatas. Tiap bagian disediakan 1 (buah) meja dan 3 (tiga) buah kursi.
Dalam ruang tersebut dapat dilakukan 3 (tiga) proses mediasi sekaligus.
Fasilitas ruang mediasi masih kurang ideal bagi proses mediasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan tidak idealnya ruang mediasi adalah:
a. Ruangan yang sempit sehingga membuat tidak nyaman para pihak dan
mediator sendiri.
79
b. Tidak adanya sekat pembatas di antara 3 (tiga) meja sehingga bila
dilangsungkan proses mediasi secara bersamaan membuat para pihak
tidak nyaman karena proses tidak lagi tertutup.68
c. Ruang yang tersedia hanya 1 (satu), tidak sebanding dengan jumlah
orang yang akan melakukan mediasi. Para pihak seringkali terlihat
mengantri.69
d. Tidak tersedianya ruang untuk kaukus.70
Padahal proses kaukus adalah
sebagai alternatif yang dapat diupayakan oleh mediator untuk proses
perdamaian para pihak.
e. Fasilitas pendukung yang kurang seperti proyektor dan ketersediaan air
minum.71
Namun walaupun demikian, ruang mediasi di Pengadilan Agama
Depok menggunakan Air Conditioner (AC) yang menjadikan ruangan
tersebut terasa sejuk.
Pengadilan Agama Depok terus berbenah diri untuk memperbaiki
dan menambah fasilitas dan sarana ruang mediasi. Selain itu, perawatan
68
Wawancara dengan Fauziah pada tanggal 10 Mei 2011, Sulfita Netti pada tanggal 11 Mei
2011, Umar Faruq dan Nurmiwati pada tanggal 13 Mei 2011. Semuanya adalah Hakim Mediator
Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
69
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama
Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
70
Wawancara dengan Sarnoto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada
tanggal 10 Mei 2011.
71
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa
Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
80
terhadap fasilitas dan sarana tetap dilakukan dengan baik dengan melakukan
evaluasi setiap bulannya.
Demi kemudahan para pihak yang akan mengikuti proses mediasi, di
pintu ruang mediasi terpampang jadual mediator. Dalam jadual tercantum
nama-nama mediator disertai latar belakang pendidikan dan hari para
mediator bertugas. Setiap hari ada 3 (tiga) orang mediator yang bertugas.
Semuanya berasal dari hakim. Pengadilan Agama Depok belum
menyediakan mediator dari luar pengadilan, karena masih dianggap belum
dibutuhkan. Berikut jadual mediator yang ada di Pengadilan Agama Depok:
Tabel 7
JADUAL MEDIATOR PADA PENGADILAN AGAMA DEPOK
NO HARI NAMA/NIP
PENDIDIKAN TEMPAT TANGGAL LAHIR
1
SENIN
Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. S 1 IAIN Bandung
19630623.198903.1.004 S 2 UNTAG Jakarta
Kadipaten, 23 Juni 1963
2
Dra. Hj. Fauziah, M.H. S 1 IAIN Sunan Ampel
Surabaya
19671108.199303.2.001 S 2 UNTAG Jakarta
Surabaya, 8 November 1967
3
Drs. Azid Izuddin, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19620713.1993.1.003 S 2 UNTAG Jakarta
Bogor, 13 Juli 1962
4 SELASA
Dra. Taslimah, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19680314.199303.2.005 S 2 UNTAG Jakarta
Jakarta, 14 Maret 1968
81
5
Drs. Sarnoto, M.H. S 1 UM Surakarta
19671225.199403.1.005 S 2 UMI Makassar
Kulon Progo, 25 Desember 1967
6
Dra. Suifita Netty, S.H. S 1 IAIN Imam Bonjol
19580803.199403.2.001 S 2 UNIHAZ
Simabur Tanah Datar, 3 Agustus 1958
7
RABU
Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. S 1 IAIN Jakarta
19680915.199403.2.004 S 1 UM Sumatera
Jakarta, 15 September 1968
8
Drs. Agus Abdullah, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19690803.199403.1.003 S 2 UNTAG Jakarta
Sukapura, 3 Agustus 1969
9
Dra. Hj. Siti Nadirah S 1 IAIN Makassar
19661119.199303.2.002
Ujung Pandang, 19 November 1966
10
Drs. H. A. Baidhowi, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19560912.198511.1.001 S 2 UNTAG Jakarta
Jakarta, 12 September 1956
11
KAMIS
Dra. Nurmiwati S 1 IAIN Yogyakarta
19671225.199303.2.002
Bone, 25 Desember 1967
12 Hj. Suciati, S.H. S 1 Universitas Jakarta
19570714.198003.2.005
13 Dra. Rogayah S 1 IAIN Bandung
19600924.199103.2.001
14
JUM'AT
Drs. Bambang Hermanto, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19590919.198903.1.001 S 2 UIJ
15 Umar Faruq, S.Ag., M.HI. S 1 IAIN Yogyakarta
19700101.199703.1.007 S 2 UII Yogyakarta
16 E. Kurniawati Imron, S.Ag. S 1 STAI Cirebon
19560726.198003.2.001 *Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
82
4. Kepatuhan Masyarakat
Bila kita lihat laporan pemberdayaan lembaga perdamaian di tahun
2009, dapat diketahui bahwa tingkat keberhasilan mediasi adalah 14,1 %.
Kemudian pada tahun 2010 tingkat keberhasilannya adalah 6,9 %.
Porsentase keberhasilannya tahun 2010 menurun 7,2 %. (Lihat Bab Tingkat
Keberhasilan Mediasi)
Penulis melakukan klasifikasi lebih mendetail, dari sejumlah angka
mediasi yang akan dapat diketahui angka cerai talak dan cerai gugat. Berikut
data yang penulis sajikan.
Tabel 8 LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN
PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2009
NO BULAN
JENIS PERKARA KETERANGAN
JUMLAH BERHASIL GAGAL
CERAI CERAI CERAI CERAI CERAI CERAI PERKARA
TALAK GUGAT TALAK GUGAT TALAK GUGAT
1 Januari 22 18 5 10 17 8 40
2 Februari 8 9 1 3 7 6 17
3 Maret 12 18 0 0 12 18 30
4 April 7 10 2 1 5 9 17
5 Mei 10 16 1 3 9 13 26
6 Juni 16 24 0 4 16 20 40
7 Juli 4 6 0 1 4 5 10
8 Agustus 11 9 1 0 10 9 20
9 September 4 3 0 0 4 3 7
10 Oktober 8 9 0 2 8 7 17
11 November 11 13 1 1 10 12 24
12 Desember 13 8 1 1 12 7 21
TOTAL 126 143 12 26 114 117 269
83
Dalam tabel 10 diketahui perkara cerai gugat (53,1%) lebih banyak
daripada perkara cerai talak (46,8%). Bahkan rata-rata tiap bulan angka cerai
gugat lebih tinggi dibandingkan dengan cerai talak sepanjang tahun 2009.
Angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai talak di tahun 2009
adalah 9,5%. Sedangkan angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai
gugat adalah 18,1%. Kemudian angka kegagalan mediasi pada perkara cerai
talak adalah 90,4%. Lalu angka kegagalan mediasi pada perkara cerai gugat
adalah 81,8%.
Berdasarkan angka-angka tersebut, penulis berkesimpulan bahwa
angka cerai gugat lebih tinggi daripada cerai talak. Bila dibandingkan
dengan angka perceraian secara nasional pun demikian. Namun yang
menarik adalah keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok lebih
banyak terjadi pada perkara cerai gugat. Perbandingan porsentasenya pun
cukup jauh.
Selanjutnya, mari kita bandingkan dengan data di tahun 2010 sebagai
berikut:
84
Tabel 9 LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN
PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2010
NO BULAN
JENIS PERKARA KETERANGAN
JUMLAH BERHASIL GAGAL
CERAI CERAI CERAI CERAI CERAI CERAI PERKARA
TALAK GUGAT TALAK GUGAT TALAK GUGAT
1 Januari 8 9 1 0 7 9 17
2 Februari 8 14 2 2 6 12 22
3 Maret 8 8 0 0 8 8 16
4 April 1 6 0 0 1 6 7
5 Mei 2 2 0 1 2 1 4
6 Juni 6 6 0 1 6 5 12
7 Juli 3 9 1 0 2 9 12
8 Agustus 5 7 0 1 5 6 12
9 September 10 9 2 1 8 8 19
10 Oktober* 0 0 0 0 0 0 0
11 November 16 10 0 1 16 9 26
12 Desember 14 26 0 0 14 26 40
TOTAL 81 106 6 7 75 99 187
*Data hilang, tidak tercantum dalam laporan tahunan.
Dalam tabel 11 diketahui perkara cerai gugat (56,6%) lebih banyak
daripada perkara cerai gugat (43,3%). Bahkan rata-rata tiap bulan angka
cerai gugat lebih tinggi dibandingkan dengan cerai talak sepanjang tahun
2010.
Angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai talak di tahun 2010
adalah 7,4%. Sedangkan angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai
gugat adalah 6,6%%. Kemudian angka kegagalan mediasi pada perkara cerai
talak adalah 92,5%. Lalu angka kegagalan mediasi pada perkara cerai gugat
adalah 93,3%.
85
Dibandingkan dengan data tahun 2009 pada tabel 8, diketahui bahwa
angka cerai gugat masih lebih banyak daripada cerai talak. Namun angka
keberhasilan menunjukkan perbedaan. Porsentase keberhasilan mediasi
dalam perkara cerai talak lebih tinggi sedikit daripada angka keberhasilan
perkara cerai gugat. Ini berbeda dengan tahun 2009. Sehingga penulis
berkesimpula bahwa di tahun 2010 angka keberhasilan mediasi perkara cerai
talak lebih tinggi. Oleh karena itu, angka keberhasilan sifatnya fluktuatif.
Dapat berubah setiap tahunnya.
Setelah mengetahui angka-angka keberhasilan mediasi, penulis
memberikan catatan mengenai perilaku dan sikap para pihak selama
menjalani proses mediasi yang mempengaruhi kepatuhan mereka dalam
menjalani proses mediasi sebagai berikut:
a. Seringkali salah satu pihak atau keduanya merasa paling benar.72
Mediator kesulitan mendalami masalah karena sikap mereka yang tidak
kooperatif selama proses mediasi. Sikap egois sering muncul pada diri
para pihak.
b. Sebelum para pihak memasuki pemeriksaan perkara di persidangan,
sering kali mereka sudah bersepakat untuk memutuskan ikatan
72
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama
Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
86
perkawinan.73
Sehingga saat dilakukan mediasi, sangat sulit bahkan
gagal untuk didamaikan.
c. Komunikasi para pihak sudah lama terputus.74
Konflik yang telah
berlarut-larut menyebabkan kedua belah pihak sudah tidak ada iktikad
untuk damai.
d. Para pihak ada juga yang kooperatif, namun sikap tersebut mereka
lakukan agar proses mediasi cepat selesai hingga dapat dilanjutkan ke
proses persidangan selanjutnya. Mereka mengikuti mediasi hanya
sebagai formalitas semata.
5. Kebudayaan
Berkaitan dengan kebudayaan masyarakat dalam skripsi ini yang
dimaksud adalah budaya masyarakat muslim yang berperkara di pengadilan
agama. Alasan ini sangat tepat karena disebutkan dalam Pasal 1 butir (1)
Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 03 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 sebagai berikut:
1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam.
73
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama
Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
74
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa
Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
87
Dalam pasal di atas, dapat diketahui bahwa hanya orang-orang yang
beragama Islam yang dapat menyelesaikan perkaranya di pengadilan agama.
Sehingga perkara perceraian yang masuk dipastikan para pihaknya adalah
muslim.
Penulis melihat kecenderungan angka perceraian di Pengadilan
Agama semakin meningkat tiap tahunnya. Berikut perbandingan angka
perceraian, baik cerai talak maupun cerai gugat dalam kurun waktu 4
(empat) tahun terakhir:
Diagram 1
ANGKA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
4 (EMPAT) TAHUN TERAKHIR75
75
Sumber: E-book Profil Peradilan Agama Tahun 2007 diakses dari
http://www.badilag.net/data/PROFIL/ebook-profil-PA07en.pdf, Tahun 2008 diakses dari
http://badilag.mahkamahagung.go.id/data/ditbinadpa/TABEL%20DATA%20PERSENTASE%20PER
KARA%20CT%20CG%20PERK%20LAIN%20YG%20DIPUTUS%20TAHUN%202008.pdf
, Tahun 2009 diakses dari
http://www.badilag.net/data/ditbinadpa/peradilan%20agama%20V%20indonesia%202009.pdf, dan
Tahun 2010 diakses dari
http://www.badilag.net/data/PROFIL/peradilan%20agama%20V%20indonesia%202010.pdf.
54.64563.943 67.124
74.131
94.245
111.145
126.065
149.24
0
20
40
60
80
100
120
140
160
2006 2007 2008 2009
Cerai Talak
Cerai Gugat
88
Bila kita perhatikan diagram di atas, maka kita dapat mengetahui
bahwa angka perceraian mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan
yang terjadi pun cukup tinggi per tahunnya. Pada tahun 2006 terjadi 54.645
(32,50%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 94.245 (56,20%)
perkawinan yang putus akibat cerai gugat. Untuk tahun 2007 terjadi 63.943
(31,845%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 111.145 (55,352%)
perkawinan yang putus akibat cerai gugat . Pada tahun 2008 terjadi 67.124
(28,31%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 126.065 (53,16%)
perkawinan yang putus akibat cerai gugat. Selanjutnya pada tahun 2009
terjadi 74.131 (28,76%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan
149.240 (57,89%) perkawinan yang putus akibat cerai gugat.
Melalui diagram diatas, penulis melihat bahwa angka perceraian
yang terjadi tiap tahunnya selalu meningkat. Banyak hal yang menyebabkan
terjadinya perceraian pada Peradilan Agama di tingkat pertama. Pertama,
moral. Persoalan moral pun memberikan andil untuk memantik krisis
keharmonisan rumah tangga. Modusnya mengambil tiga bentuk, suami
melakukan poligami tidak sesuai aturan (poligami tidak sehat), krisis akhlak
(perilaku salah satu pihak yang rusak/amoral) dan cemburu yang berlebihan.
Kedua, meninggalkan kewajiban. Ini disebabkan salah satu pihak tidak
bertanggungjawab akan kewajibannya selama menjalani ikatan perkawinan,
seperti nafkah baik lahir maupun batin. Ketiga, kawin dibawah umur.
Biasanya terjadi pada pihak istri yang sejarah perkawinannya dipaksa oleh
89
kedua orang tuanya yang kemudian hari banyak menimbulkan
ketidakharmonisan diantara pasangan suami istri. Keempat, dihukum. Salah
satu pihak dijatuhi hukum pidana oleh pengadilan. Kelima, cacat biologis.
Salah satu pihak memiliki cacat fisik yang tidak dapat disembuhkan,
sehingga menyebabkan tidak dapat melaksanakan kewajiban. Keenam, terus
menerus berselisih. Perselisihan dalam perkawinan yang berujung pada
peristiswa perceraian ini dapat disebabkan oleh ketidak harmonisan pribadi,
gangguan pihak ketiga, dan faktor politis. Ketujuh, dan lain-lain.
Berikut faktor-faktor penyebab perceraian perbandingan tahun 2006,
2007, 2008, dan 2009.
Diagram 2
90
Tabel 10
NO PENYEBAB CERAI JUMLAH % DARI JUMLAH TOTAL
1. Moral 9.457 6,35%
2. Meninggalkan Kewajiban 74.042 49,72%
3. Kawin dibawah Umur 387 0,25%
4. Menyakiti Jasmani dan Rohani 1.110 0,74%
5. Dihukum 213 0,14%
6. Cacat Biologis 609 0,41%
7. Terus Menerus Berselisih 63.068 42,41%
8. Lain-lain 4 0,02%
JUMLAH 148.890 100%
Diagram 3
Tabel 11
NO PENYEBAB CERAI JUMLAH % DARI JUMLAH TOTAL
1. Moral 10.090 6,39%
2. Meninggalkan Kewajiban 77.528 49,13%
3. Kawin dibawah Umur 513 0,32%
4. Menyakiti Jasmani dan Rohani 1.845 1,16%
5. Dihukum 356 0,22%
6. Cacat Biologis 1.621 1,02%
7. Terus Menerus Berselisih 65.818 41,71%
8. Lain-lain 0 0%
JUMLAH 157.771 100%
6.39%
49.13%
0.32%1.16%
0.22%
1.02%
41.71%
0%
Faktor-faktor Penyebab Perceraian Tahun 2007
Moral
Meninggalkan Kewajiban
Kawin dibawah Umur
Menyakiti Jasmani dan Rohani
Dihukum
Cacat Biologis
Terus Menerus Berselisih
Lain-lain
91
Diagram 4
Tabel 12
NO PENYEBAB CERAI JUMLAH % DARI JUMLAH TOTAL
1. Moral 12.469 6,63%
2. Meninggalkan Kewajiban 95.296 50,68%
3. Kawin dibawah Umur 408 0,22%
4. Menyakiti Jasmani dan Rohani 1.942 1,03%
5. Dihukum 300 0,16%
6. Cacat Biologis 1.080 0,57%
7. Terus Menerus Berselisih 76.482 40,67%
8. Lain-lain 60 0,03%
JUMLAH 188.037 100%
92
Tabel 13
NO PENYEBAB CERAI JUMLAH % DARI JUMLAH TOTAL
1. Moral 15.966 7,38%
2. Meninggalkan Kewajiban 106.501 49,24%
3. Kawin dibawah Umur 384 0,18%
4. Menyakiti Jasmani dan Rohani 2.552 1,18%
5. Dihukum 459 0,21%
6. Cacat Biologis 865 0,40%
7. Terus Menerus Berselisih 88.753 41,04%
8. Lain-lain 806 0,37%
JUMLAH 216.286 100%
Kenaikan angka putusnya perkawinan tiap tahunnya dapat terjadi
akibat perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat. Menurut William J.
Goode,76
perubahan ini merupakan interaksi dari beberapa faktor. Mungkin
yang terpenting adalah berkurangnya ketidaksetujuan akan perceraian itu
76
William J. Goode, Sosiologi Keluarga, cet.VII. Penerjemah Lailahanoum Hasyim. (Jakarta:
Bumi Aksara, 2007), h. 190.
93
sendiri. Boleh dikatakan bahwa setengah abad yang lalu, hampir setiap yang
bercerai kehilangan kehormatannya dalam lingkungan sosialnya, itu pun
kalau tidak dikucilkan sama sekali. Kedua, penggantian yang tersedia bagi
mereka yang bercerai juga telah berubah. Karena banyak orang bercerai,
banyak kemungkinan untuk memperoleh pasangan yang baru. Antara 85-90
persen dari mereka yang bercerai antara umur 20-40 banyak kemungkinan
kawin lagi. Lagi pula karena sekarang orang jarang tinggal di tanah
pertanian, tenaga yang waktu itu ada dalam diri suami atau istri dapat dibeli
dari tenaga ahli. Hal ini merupakan keuntungan bagi seorang wanita yang
diceraikan untuk dapat menunjang diri sendiri, meskipun penghasilannya itu
tidak akan sama besarnya denganm seorang laki-laki. Dengan demikian,
tekanan sosial dari teman-teman dan sanak agar tetap dalam pernikahan
mulai melemah, lain daripada waktu setengah abad yang lalu.
Gejala meningkatnya angka perceraian pada Peradilan Agama dari
tahun ke tahun, menurut penulis dapat dipengaruhi oleh hal-hal berikut:
a. Tingginya angka kelahiran di Indonesia secara tidak langsung
meningkatkan angka perkawinan laki-laki dan perempuan. Semakin
banyak penduduk, berarti semakin banyak orang yang butuh untuk
memenuhi kebutuhannya seperti kebutuhan biologis yakni dengan
perkawinan selain memiliki tujuan yang lain seperti ketenangan batin
dan sebagainya.
94
b. Persepsi masyarakat muslim tentang perceraian. Islam mengajarkan
bahwa talak adalah perbuatan halal walaupun dibenci. Namun tidak ada
ulama yang mengharamkan perceraian. Apalagi bila perceraian adalah
sebagai jalan keluar dari konflik rumah tangga yang akan
membahayakan salah satu pihak atau keduanya.
c. Tekanan sosial bagi pelaku perceraian yang semakin mengendur. Pada
masa lalu ada kesan stereotip bagi laki-laki dan/atau wanita yang
memutuskan ikatan perkawinan dengan pasangannya. Namun saat ini
kesan itu sudah berkurang, bahkan cenderung hilang di lingkungan
masyarakat perkotaan.
d. Semakin meningkatnya kualitas pendidikan masyarakat terutama
perempuan. Maka istri yang berpendidikan tinggi jika diceraikan oleh
suaminya tidak lagi khawatir akan nafkah dirinya dan anak-anaknya.
Dengan bekal pendidikan yang dimiliknya, seorang wanita dapat mencari
pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhannya. Maka dapat kita lihat pada
tahun 2006-2009, angka cerai gugat lebih tinggi dari pada angka cerai
talak.
C. Tingkat Keberhasilan Mediasi
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama
Depok, penulis menggunakan Laporan Pemberdayaan Lembaga Perdamaian
Pengadilan Agama Depok Tahun 2009 dan 2010. Data laporan tersebut
95
merupakan laporan bulanan yang kemudian dirangkum dalam laporan tahunan di
Pengadilan Agama. Didalamnya dapat diketahui perkara yang masuk ke lembaga
perdamaian setiap bulan dan dilaporkan hasil mediasi yang berhasil maupun
yang tidak berhasil. Sehingga dengan laporan ini, dapat diketahui dengan mudah
jumlah perkara yang dimediasi dan hasilnya.
Laporan pemberdayaan lembaga perdamaian di Pengadilan Agama
Depok mulai dibukukan mulai tahun 2009, walaupun PERMA lahir tahun 2008.
Hal tersebut dikarenakan prosedur mediasi yang baru membutuhkan waktu dalam
hal implementasi di lapangan. Dan sesuatu yang wajar, bahwasanya aturan yang
baru disahkan tidak dapat langsung dilaksanakan dalam waktu singkat, karena
membutuhkan proses yang cukup lama.
Berikut penulis rangkum laporan pemberdayaan lembaga perdamaian,
kemudian dihitung prosentase keberhasilan mediasi tiap tahunnya.
96
Tabel 14
LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN
PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2009*
NO BULAN JUMLAH PERKARA
KETERANGAN
BERHASIL TIDAK
BERHASIL
1 Januari 40 15 25
2 Februari 17 4 13
3 Maret 30 0 30
4 April 17 3 14
5 Mei 26 4 22
6 Juni 40 4 36
7 Juli 10 1 9
8 Agustus 20 1 19
9 September 7 0 7
10 Oktober 17 2 15
11 November 24 2 22
12 Desember 21 2 19
TOTAL 269 38 231 *Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
Untuk mengetahui prosentase perkara perceraian yang berhasil di mediasi
dalam 1 (satu) tahun dapat menggunakan rumusan sebagai berikut:77
Berdasarkan rumusan diatas dapat diketahui prosentase perkara perceraian
yang berhasil di mediasi pada tahun 2009 sebagai berikut:
77
Ali Muhtarom, Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian. Artikel
diakses pada tanggal 10 April 2011 di
http://badilag.net/data/ARTIKEL/tolakukur/efektifitas/mediasi.pdf
Jumlah perkara yang dicabut X 100 %
Jumlah perkara yang diputus
38 X 100 % = 14,1 %
269
97
Maka dapat diketahui bahwa perkara perceraian yang berhasil dimediasi pada
Pengadilan Agama Depok selama tahun 2009 adalah sebesar 14,1 % dari semua
perkara perceraian yang diputus.
Tabel 15
LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN
PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2010
NO BULAN JUMLAH PERKARA
KETERANGAN
BERHASIL TIDAK
BERHASIL
1 Januari 17 1 16
2 Februari 22 4 18
3 Maret 16 0 16
4 April 7 0 7
5 Mei 4 1 3
6 Juni 12 1 11
7 Juli 12 1 11
8 Agustus 12 1 11
9 September 19 3 16
10 Oktober* 0 0 0
11 November 26 1 25
12 Desember 40 0 40
TOTAL 187 13 174
*Data hilang, tidak tercantum dalam laporan tahunan. *Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
Prosentase perkara perceraian yang berhasil di mediasi pada tahun 2009
sebagai berikut:
13 X 100 % = 6,9 %
187
98
Maka dapat diketahui bahwa perkara perceraian yang berhasil dimediasi pada
Pengadilan Agama Depok selama tahun 2010 adalah sebesar 6,9 % dari semua
perkara perceraian yang diputus.
D. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Mediasi
Keberhasilan atau kegagalan mediasi sangat dipengaruhi faktor-faktor
pendukung dan penghambat selama proses mediasi. Berikut faktor-faktor
pendukung keberhasilan mediasi:
a. Kemampuan Mediator.
Mediator yang pandai mengelola konflik dan berkomunikasi sehingga
dapat mengupayakan adanya titik temu antara para pihak akan mudah
mendorong terjadinya perdamaian. Oleh karena itu, kemampuan seorang
mediator berpengaruh akan keberhasilan mediasi.
Dibutuhkan pula kejelian mediator untuk mengungkap apakah
permasalahan diantara para pihak dan kebijaksanaan mediator dalam
memberikan solusi, sehingga para pihak berhasil menyelesaikan masalahnya
dengan damai dan baik.78
b. Faktor Sosiologis dan Psikologis.
Kondisi sosial para pihak menentukan akan keberhasilan mediasi.
Misalnya, seorang wanita yang menggugat cerai suaminya akan berfikir akan
78
Wawancara dengan Sufita Netti, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat
pada tanggal 11 Mei 2011.
99
nafkah dirinya dan anak-anaknya. Bagi wanita yang tidak memiliki pekerjaan
atau memiliki penghasilan namun khawatir kekurangan akan berfikir ulang
untuk menggugat cerai suaminya. Namun, wanita yang sudah memiliki
pekerjaan tetap dan bahkan penghasilan yang cukup, kecenderungan untuk
berpisah dengan suaminya lebih kuat.
Kondisi psikologis para pihak dapat mempengaruhi keberhasilan
mediasi. Seseorang yang ingin berpisah dengan pasangannya pasti telah
merasa ketidaknyaman bahkan penderitaan fisik maupun psikis yang
berlangsung lama. Semakin besar tekanan yang ada pada diri seseorang,
berarti semakin besar pula keinginannya untuk berpisah dengan pasangannya.
Faktor intern dari para pihak terutama faktor kejiwaan dapat
mendukung keberhasilan mediasi.79
c. Moral dan Kerohanian.
Prilaku para pihak yang baik dapat memudahkan mediator untuk
mengupayakan perdamaian. Namun, prilaku yang buruk dapat menjadikan
salah satu pihak tidak mau kembali rukun karena bila kembali dalam ikatan
perkawinan akan memperburuk kehidupannya. Begitu pula tingkat
kerohanian seseorang berpengaruh pada keberhasilan mediasi. 80
79
Disampaikan oleh Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa
Barat saat wawancara pada tanggal 11 Mei 2011.
80
Ketiga faktor tersebut disampaikan saat wawancara dengan E. Kurniawati dan Sulkha
Herwiyanti, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
100
d. Iktikad Baik Para Pihak.
Saat proses mediasi berlangsung, mediator berperan sebagai penengah
yang berusaha mendamaikan para pihak. Namun sebaik apapun usaha yang
dilakukan mediator dalam mendamaikan tidak akan berhasil bila tidak
didukung oleh iktikad baik para pihak untuk dirukunkan serta kesadaran
masing-masing pihak akan kekurangannya sehingga dapat saling memaafkan
dan memulai hidup rukun kembali. Terutama iktikad baik pihak
Pemohon/Penggugat untuk berdamai dan menerima Termohon/Tergugat
untuk hidup bersama.81
Sedangkan faktor-faktor penghambat keberhasilan mediasi adalah sebagai
berikut:
a. Keinginan Kuat Para Pihak Untuk Bercerai.
Seringkali terjadi saat mediasi salah satu pihak bahkan keduanya
sudah sangat kuat keinginannya untuk bercerai. Kedatangan mereka ke
Pengadilan Agama biasanya terjadi akibat tidak berhasilnya upaya
perdamaian yang dilakukan oleh pihak keluarga. Sehingga hal ini yang sering
menyulitkan mediator untuk mengupayakan perdamaian.82
81
Wawancara dengan Fauziah dan Sarnoto, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Depok,
Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011.
82
Wawancara dengan Fauziah dan Sarnoto, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Depok,
Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011.
101
b. Sudah Terjadi Konflik yang Berkepanjangan.
Konflik yang terjadi diantara para pihak sudah terjadi berlarut-larut,
saat mediasi para pihak tidak dapat diredam emosinya, sehingga para pihak
tidak dapat menerima lagi masukan-masukan dari mediator dan merasa benar
sendiri.
Bahkan, sering terjadi pihak Pemohon/Penggugat sudah tidak bisa
memaafkan pihak Termohon/Tergugat sehingga sulit untuk rukun lagi.83
c. Faktor Psikologi atau Kejiwaan.
Kekecewaan yang sangat dalam terhadap pasangan hidupnya
seringkali memunculkan rasa putus harapan seseorang akan ikatan
perkawinannya. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mengakhiri
perkawinannya.84
83
Wawancara dengan E. Kurniawati dan Sulkha Herwiyanti, Hakim Mediator di Pengadilan
Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
84
Disampaikan oleh Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa
Barat saat wawancara pada tanggal 11 Mei 2011.
102
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama Depok, penulis menyimpulkan bahwa mediasi belum efektif.
Adapun faktor-faktor penyebabnya adalah sebagai berikut:
1. Tingkat kepatuhan masyarakat yang menjalani proses mediasi sangat rendah.
Faktor ini yang menjadi penyebab utama belum efektifnya mediasi di
Pengadilan Agama Depok.
2. Budaya masyarakat yang beranggapan bahwa perceraian bukanlah sebuah aib
bagi pribadi maupun keluarga. Begitu pula kemajuan tingkat pendidikan dan
ekonomi masyarakat turut mempengaruhi persepsi bahwa perceraian
bukanlah masalah dalam menjalani kehidupan.
3. Fasilitas dan sarana mediasi di Pengadilan Agama Depok masih kurang
memadai baik dari segi ruang mediasi maupun fasilitas penunjang
didalamnya.
4. Kualitas hakim yang ditunjuk sebagai mediator belum merata. Hanya ada 2
(orang) yang telah mengikuti pelatihan mediasi yang diselenggarakan oleh
Mahkamah Agung RI.
103
B. Saran
Di bagian akhir ini, penulis memberikan saran-saran yang ditujukan
kepada pihak-pihak yang terkai sebagai berikut:
1. Kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama yang membawahi
Kantor Urusan Agama (selanjutnya disebut KUA) dan Badan Penasihatan,
Pembinaan dan Pelestarian Pernikahan (selanjutnya disebut BP4), agar
memberikan pelatihan dan pembinaan kepada calon pasangan yang ingin
kawin. Hal ini dilakukan agar mereka memiliki pengetahuan yang cukup
serta kesiapan mental baik, sehingga terhindar dari perceraian yang
disebabkan ketidaksiapan mereka menjalani kehidupan rumah tangga. Hal ini
sebagai tindakan preventif terhadap perceraian.
2. Kepada Mahkamah Agung, agar segera mengeluarkan PERMA tentang
kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang menjalankan fungsi
mediator yang telah diamanatkan dalam Pasal 25 ayat (2) PERMA Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan; menyelenggarakan
pelatihan mediasi kepada hakim yang ditetapkan sebagai mediator yang
belum mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh MA pada tahun 2009;
dan membangun ruang mediasi dan fasilitas lainnya yang baik demi
menunjang pelaksanaan mediasi di pengadilan agama.
3. Kepada Pengadilan Agama, agar menjalankan proses mediasi dengan sebaik-
baiknya sesuai dengan aturan yang ada serta mengoptimalkan kinerja
mediator dari hakim yang telah ditetapkan; hendaknya disiapkan mediator
104
bersertifkat dari luar pengadilan untuk memenuhi kebutuhan mediator terlatih
yang jumlahnya masih sangat sedikit di pengadilan agama; dan melakukan
evaluasi kinerja mediator secara rutinn.
4. Kepada para hakim yang ditetapkan menjadi mediator, agar melaksanakan
tugas dengan baik sesuai dengan pelatihan mediasi yang telah diberikan MA
dan bagi yang belum mendapatkan pelatihan supaya belajar secara mandiri
sehingga mampu bersaing secara kualitas dengan yang telah mendapatkan
pelatihan.
5. Kepada para akademisi hukum, agar memberikan pembelajaran tentang
mediasi secara komprehensif disertai dengan praktikum teknis bermediasi.
Hal demikian sangat membantu para mahasiswa yang akan terjun di dunia
hukum dan peradilan.
105
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal. Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009.
Ali, Achmad. Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan. Jakarta:
Badan Penerbit IBLAM, 2004, Cet. Ke-1.
Al-Bukhari, Muhammad bin „Ismail. Shahih al-Bukhari. Juz 3. Kairo: Dar al-Hadis,
2000, Cet. Ke-1.
Al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats. Sunan Abu Dawud. Juz 2. Beirut:
Dar al-Kutub al-„Arabi, t.t.
Al-Syarbini, Muhammad Khatib. Mughni al-Muhtaj Juz 2. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Budiardjo, Ali. dkk. Law Reform in Indonesia: Diagnostic Assessment of Legal
Development in Indonesia: Result of a Research Study Undertaken for The
World Bank, vol. I. Jakarta: Cyber Consult.
Dewi, Gemala (ed.). Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006, Cet. Ke-2.
Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiono. Metode Penelitian Hukum. Surakarta:
UMS Press, 2004.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996, Cet. Ke-23.
Fauzan, M. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syari‟ah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, Cet. Ke-1.
106
Garner, Bryan A. (ed.). Black‟s Law Dictionary, 8th
ed. USA: West, 2004.
Goode, William J. Sosiologi Keluarga. Penerjemah Lailahanoum Hasyim. Jakarta:
Bumi Aksara, 2007, Cet. Ke-7.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika,
2008, Cet. Ke-7.
----------------------------. Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan
Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet. Ke-
2.
Head, John W. Pengantar Umum Hukum Ekonomi. Jakarta: Proyek ELIPS, 1997.
Hejazziey, Djawahir (ed.). Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum, 2007, Cet. Ke-1.
Ibnu Hibban, Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Busti.
Shahih Ibnu Hibban bi Tartibi Ibnu Bilban. Juz 11. Beirut: Muassasah al-
Risalah, 1993, Cet. Ke-2.
Ibnu Katsir, Abu al-Fida Isma‟il bin „Umar bin Katsir al-Qurasy al-Dimasyqi. Tafsir
al-Quran al-„Azhim, Juz 2. Riyad: Dar Thayibah, 1999, Cet. Ke-2.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing, 2007, Cet. Ke-3.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Buku Tanya dan Jawab Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di
107
Pengadilan. Mahkamah Agung RI, Japan International Cooperation Agency
(JICA), dan Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), 2008.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008.
Marbun, B.N. Kamus Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 2006, Cet. Ke-1.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Musthofa Sy. Kepaniteraan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media,
2005, Cet. Ke-1.
Nasution, Bahder Johan. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju,
2008, Cet. Ke-1.
Pengadilan Agama Depok. Laporan Pemberdayaan Lembaga Perdamaian Tahun
2009 dan 2010.
Qudamah, Ibnu. al-Mughni Juz 5. Beirut: Dar al-Fikr, 1984, Cet. Ke-1.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Adytia Bakti, 2000.
-----------------------. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah.
Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, Cet. Ke-2.
Romy H, Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah Juz 3. Kairo: Dar al-Fath, 1990.
Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007.
108
--------------------------. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1989, Cet. Ke-5.
--------------------------. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta:
RajaGrafindo, 2001.
-------------------------. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1984.
--------------------------. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2006, Cet. Ke-5.
Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006, Cet. Ke-1.
Sutiyoso, Bambang. Aktualita Hukum dalam Era Reformasi: Paparan Aktual
Berbagai Permasalahan Hukum dan Solusinya Selama Proses Reformasi di
Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet. Ke-2.
Tresna, R. Komentar HIR. Jakarta: Pradnya Paramita, 2005, Cet. Ke-18.
Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung: PT.
Citra Adytia Bakti, 2003.
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi: Dalam Perkara Perdata di Lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Bandung: Alfabeta, 2010, Cet. Ke-
1.
Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Juz 6. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
109
Peraturan Perundang-undangan:
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
-------------------------. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Situs Internet:
Fajar, Asep Rahmat. Potret Dunia Peradilan Indonesia: Refleksi dan Proyeksi.
Jakarta: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH-UI, t.t. Di akses pada
tanggal 06 November 2010 dari http://www.pemantauperadilan.com/opini/57-
POTRET%20DUNIA%20PERADILAN%20INDONESIA.pdf
----------------------- . Wajah Lembaga Peradilan Indonesia: Kenyataan dan Harapan.
Jakarta: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH-UI, t.t. Di akses pada
tanggal 06 November 2010 dari
http://www.pemantauperadilan.com/opini/29.WAJAH%20LEMBAGA%20P
ERADILAN%20INDONESIA.pdf
Hakim, Nurul. Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Dalam Hubungannya Dengan Lembaga Peradilan. Artikel diakses
pada tanggal 10 Mei 2011 dari
http://badilag.net/data/ARTIKEL/efektifitas.pdf
110
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Profil Peradilan Agama Tahun 2007, 2008,
2009, dan 2010. Data diakses dari
http://www.badilag.net/data/PROFIL/ebook-profil-PA07en.pdf,
http://badilag.mahkamahagung.go.id/data/ditbinadpa/TABEL%20DATA%20
PERSENTASE%20PERKARA%20CT%20CG%20PERK%20LAIN%20YG
%20DIPUTUS%20TAHUN%202008.pdf,
http://www.badilag.net/data/ditbinadpa/peradilan%20agama%20V%20indone
sia%202009.pdf, dan
http://www.badilag.net/data/PROFIL/peradilan%20agama%20V%20indonesi
a%202010.pdf pada tanggal 05 Mei 2011.
Muhtarom, Ali. Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian.
Artikel diakses pada tanggal 10 April 2011 di
http://badilag.net/data/ARTIKEL/tolakukur/efektifitas/mediasi.pdf
Runtung. Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Indonesia: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu
Hukum Adat FH-Universitas Sumatera Utara. Medan: USU, 2006. Di akses
pada tanggal 06 November 2010 dari
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2006/ppgb_2006_runtung.pdf
Siddiki. Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya
Ringan. Artikel. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari
http://www.badilag.net/artikel/mediasi.pdf
111
Sunarmi. Membangun Sistem Peradilan di Indonesia. Artikel. Medan: e-USU
Repository, 2004. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1576/1/perdata-sunarmi3.pdf
Tampubolon, Muhammad Buchary Kurniata. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Kinerja Pengadilan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata di
Pengadilan Negeri: Tesis Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro. Semarang: UNDIP, 2008. Di akses pada tanggal 06 November
2010 dari
http://eprints.undip.ac.id/18261/1/Muhammad_Buchary_Kurniata_Tampubol
on.pdf
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : E. Kurniati S.Ag.
NIP : 19560726.198003.2.001
Jabatan : Hakim
Usia : 55 tahun
Hari/Tanggal : Rabu, 11 Mei 2011
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok?
Sejak kapan?
Ya, sejak November 2010.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama Depok.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu?
Pada tahun berapa?
Tidak/belum.
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
Tidak, karena serifikasi mediator diberikan hanya kepada yang mengikuti
pelatihan bertaraf nasional yang pesertanya sangat terbatas.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
Perlu, karena lebih baik apabila mediator mempunyai teknik-teknik yang
terprogram.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat
yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, sebab ada dampak yang disampaikan kepada para pihak sebelum
berperkara bahwa mediasi akan menjembatani para pihak dalam menyelesaikan
masalah yang buntu.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
-
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
Tidak, karena dalam beberapa hal akan memperpanjang rantai penyelesaian
perkara dan menjadi sangat mengikat.
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator
di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana
bentuk sosialisasinya?
Sudah dilakukan sosialisai baik secara khusus dalam bentuk pelatihan,maupun
dalam setiap pertemuan di setiap tingkat. (MA, PTA, dan PA).
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena masing masing pihak mempunyai kepentingan yang sama yaitu
sama-sama merasa lebih memperlancar proses ber”acara”di persidangan.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator?
Mediasi berarti mempertemukan kedua pihak yang bermasalah melalui juru bicara
agar tercapai perdamaian atau minimal ada titik temu dalam tujuan yang akan
dicapai atau meminimalisis perbedaan-perbedaan antar dua pihak yang
bermasalah.
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
Sangat diperlukan, sebab mendamaikan para pihak di persidangan waktunya sangat
terbatas, tetapi dengan mediasi bisa lebih leluasa dan bisa dilakukan secara
parsial.
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Ya, maksimal 40 hari.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
Melanjutkan persidangan.
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan
kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
Ya ada, masing-masing pribadi lebih terbuka menyampaikan permasalahannya.
b. Bila tidak, kenapa?
-
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
-Faktor teknik mediator.
-Faktor sosiologis dan psikologis.
-Faktor moral dan kerohanian.
Kesemua hal tersebut sangat berpengaruh kepada para pihak.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
-Para pihak tidak bisa diredam emosinya, sehingga para pihak tidak dapat
menerima lagi masukan-masukan dari mediator dan merasa benar sendiri.
-Pihak penggugat/pemohon sudah tidak bisa memaafkan pihak tergugat/ sehingga
sulit untuk rukun lagi.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi
cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena mempertemukan perbedaan-perbedaan pendapat dalam perkara
perceraian juga memang digunakan dan cocok dengan melalui mediasi .
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang
dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan
fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Belum.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Tidak.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu
lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Tidak disediakan anggaran untuk itu.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik
dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan
Agama Depok?
Cukup baik, tapi tidak ideal.
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
Ruang yang tersedia hanya satu, tidak sebanding dengan jumlah orang yang
akan melakukan mediasi.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
-Tidak, karena diperlukan biaya untuk membayarnya.
D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi?
Sebagian besar merasa puas.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam
proses mediasi?
-Masing masing pihak merasa di posisi yang benar.
-Merasa telah tercapai kata sepakat untuk mengakhiri perkawinan dengan
perceraian.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli
dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu
pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara
perceraian?
Belum pernah.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Sepanjang tidak ada relevansinya maka belum diperlukan.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah
siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena saling membutuhkan pencerahan dan kemudahan dalam berproses
perkara.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(E. Kurniati S.Ag.) (Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Dra. Hj. Fauziah, M.H.
NIP : 19671108.199303.2.001
Jabatan : Hakim
Usia : 44 tahun
Hari/Tanggal : Selasa, 10 Mei 2011
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok?
Sejak kapan?
Sejak bertugas di Pengadilan Agama Depok tahun 2010.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu?
Pada tahun berapa?
-
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
Karena belum mendapat pelatihan mediator.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
Perlu, karena akan menambah keterampilan Hakim dalam melakukan mediasi.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi
masyarakat yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena bila tidak dilaksanakan dapat menjadikan Putusan Pengadilan Batal
Demi Hukum.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
-
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
Tidak, karena perkembangan hukum itu sangat cepat.
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator
di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana
bentuk sosialisasinya?
Sudah, dengan mengikutsertakan salah satu/beberapa hakim dalam pelatihan
mediator dan menerbitkan PERMA untuk dibagikan kepada Para Hakim.
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, setiap perkara yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara harus
diperintahkan untuk dilakukan mediasi terlebih dahulu sebelum pemeriksaan
pokok perkara.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator?
-Mediasi adalah satu upaya perdamaian di luar pengadilan guna mencari titik temu
dalam masalah yang disengketakan.
-Fungsi mediator sebagai jembatan atau penengah dalam mencari solusi.
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
-Sangat diperlukan.
-Ya.
-Karena ketika mediasi, kita bisa berbicara lebih rileks dan terbuka, sehingga
perdamaian itu lebih mudah diwujudkan.
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Pada umumnya dalam ruangan tertutup tersendiri dan hanya 1 (satu) hari, bila
keadaan tertentu bisa lebih.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
Dalam PERMA ada tahapan Kaukus (pertemuan sepihak), dimana mediator dalam
menggali keinginan/hal-hal yang mendalam mendengar secara terpisah dan
masing-masing pihak diberi kesempatan yang sama.
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan
kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
Ya ada pengaruhnya, setidak-tidaknya dapat meredakan emosi para pihak.
b. Bila tidak, kenapa?
-
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
-Faktor utama adalah iktikad baik dari para pihak sendiri untuk dapat dirukunkan.
-Kesadaran akan masing-masing kekurangannya sehingga dapat saling memaafkan
dan memulai hidup rukun kembali.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
-Karena keadaan rumah tangga sudah sangat komplek dan kedua belah pihak
sudah ingin mengakhiri pernikahannya.
-Salah satu pihak sangat kuat keinginannya untuk bercerai.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi
cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Cocok, karena mediasi merupakan bagian dari upaya perdamaian.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang
dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan
fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Belum.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Tidak ada insentif bagi hakim.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu
lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Sudah menjadi tugas dan kewajiban sebagai hakim mediator.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik
dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan
Agama Depok?
-
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
Karena ruang mediasi baru ada satu dan didalamnya difungsikan 2 (dua) meja
sebagai tempat pelayanan mediasi, sehingga kurang eksklusif.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak ada, karena mediator dari hakim yang ada sudah dianggap cukup.
D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses
mediasi?
Ada yang menerima dengan senang hati dan ada pula yang menganggap tidak
perlu karena sudah sangat keras untuk bercerai.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam
proses mediasi?
Salah satu pihak atau keduanya sudah sama-sama kuat kehendaknya untuk
bercerai.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli
dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah
Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan
dalam perkara perceraian?
Tidak pernah.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Karena masih belum diperlukan untuk mengundang ahli.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama
sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
-
b. Bila tidak, apa alasannya?
Karena tidak semua pihak siap untuk dilakukan mediasi, mereka menginginkan
perkara cepat selesai dan sangat kuat keinginan untuk bercerai.
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(Dra. Hj. Fauziah, M.H.) (Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Dra. Nurmiwati
NIP : 19671225.199303.2.002
Jabatan : Hakim
Usia : 44 tahun
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama
Depok? Sejak kapan?
April 2009.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada
Bapak/Ibu? Pada tahun berapa?
-
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
Belum mengikuti pelatihan mediator.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
Perlu untuk meningkatkan SDM Peradilan.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi
masyarakat yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
-
b. Bila tidak, apa alasannya?
Tidak, karena upaya mediasi hak bagi para pihak pengadilan tidak dapat
memaksa.
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
-
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
Sudah ada UU tentang ADR dan UU No 30 Tahun 1999.
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim
mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan?
Bagaimana bentuk sosialisasinya?
Sudah dengan pelatihan.
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
Efektif, namun masih perlu ditingkatkan SDM mediator.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi
mediator?
Mediasi adalah mencari titik temu yang diinginkan oleh kedua pihak dengan
difasilitasi oleh mediator.
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
-Perlu mediasi,
-Untuk efektivitas dan efisiensi persidangan.
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Prinsipnya tertutup, namun para pihak dapat meminta yang lain sesuai
kesepakatan.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
-
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator
dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
-
b. Bila tidak, kenapa?
Belum perlu.
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
-Iktikad baik dari kedua pihak.
-Persoalan yang tidak terlalu ruwet.
-Persuasif yang baik.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
-Persoalan terlalu rumit.
-Persuasif kurang.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah
mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Perlu, karena boleh jadi gugatan yang diajukan oleh pihak hanya karena
emosi atau soek terapi, dengan mediasi pihak dapat diingatkan/tersadar
kembali.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan
sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang
berhasil menjalankan fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Belum.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Belum.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang
Bapak/Ibu lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Sudah menjadi tugas hakim yang diamanatkan oleh PERMA No 1 Tahun
2008.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap
baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di
pengadilan Agama Depok?
-
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
Belum, satu ruang dipakai oleh 2 (dua) mediator.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak, karena itu bukan tugas PA,
D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses
mediasi?
Untuk perkara perceraian lebih banyak yang ingin tidak perlu mediasi.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan
dalam proses mediasi?
-Persoalan yang sudah ruwet
-Tersinggung harga dirinya.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih
ahli dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah
Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan
dalam perkara perceraian?
Tidak.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Belum diperlukan.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama
sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena proses mediasi sifatnya wajib, bila tidak dilalui dapat
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
Depok, 13 Mei 2011
Yang Diwawancarai Yang Mewawancarai
(Dra. Nurmiwati) (Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Drs. Sarnoto, M.H.
NIP : 19671225.199403.1.005
Jabatan : Hakim
Usia : 44 tahun
Hari/Tanggal : Selasa, 10 Mei 2011
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok?
Sejak kapan?
Sejak tahun 2006.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu?
Pada tahun berapa?
Ya punya, dari MA RI tahun 2009.
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
-
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
Perlu, karena dengan pelatihan mediasi akan menambah keterampilan hakim
dalam melaksanakan mediasi.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi
masyarakat yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena bila pihak pencari keadilan tidak mau melaksanakan mediasi, maka
putusan pengadilan menjadi batal demi hukum.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
-
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
Tidak perlu, karena perkembangan hukum itu sangat cepat dan problem hukum
selalu datang duluan baru itu solusi hukumnya.
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator
di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana
bentuk sosialisasinya?
Sudah, dengan memanggil/mengikutsertakan salah satu/beberapa hakim secara
bertahap untuk mengikuti pelatihan dan dengan menerbitkan PERMA tersebut
untuk dibagikan kepada para hakim.
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, setiap perkara yang pada awal prinsipnya dua-duanya (kedua belah pihak)
hadir; Majelis Hakim selalu mewajibkan dilakukan mediasi terlebih dahulu
sebelum pemeriksaan pokok perkara dilanjutan.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator?
Mediasi adalah upaya untuk mencari titik temu atau kesamaan pandangan antara
pihak yang berperkara dalam menyelesaikan perkaranya.
Mediator hanya berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan penengah (wasit).
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
Mediator diberi kebebasan oleh Majelis Hakim untuk menentukan proses mediasi
sesuai PERMA.
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Mediasi selalu harus tertutup; pada umumnya pihak berperkara hanya 1 (satu) kali
melaksanakan mediasi.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
Dalam PERMA ada tahap KAUKUS (pertemuan sepihak), mediator mencoba
menggali keinginan pihak secara tertulis dan masing-masing pihak diberi
kesempatan yang sama.
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan
kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
Ya, ada pengaruhnya yaitu setidak-tidaknya dapat mengendalikan emosi para
pihak.
b. Bila tidak, kenapa?
-
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
Faktor utama adalah tekad/iktikad para pihak sendiri untuk kembali rukun,
terutama pihak Pemohon/Penggugat yang masih bisa menerima
Termohon/Tergugat untuk kembali bersama.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
-Kedua belah pihak sudah sama-sama menghendaki perceraian.
-Salah satu pihak sangat kuat keinginannya untuk bercerai.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi
cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Cocok, karena mediasi adalah salah satu dari upaya perdamaian yang
kemudian diformulasikan sebagai bagian hukum acara perdata.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang
dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan
fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Belum.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Tidak ada insentif bagi hakim yang berhasil dalam mediasi.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu
lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Dalam PERMA telah ditegaskan bahwa mediasi yang dilakukan di pengadilan
dan oleh mediator hakim tidak dipungut biaya.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik
dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan
Agama Depok?
-
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
Ruang mediasi baru 1 (satu) dan didalamnya ada 3 (tiga) meja yang berfungsi
semua sebagai pelayanan mediasi dan tidak tersedia ruang kaukus.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak ada, karena mediator dari hakim masih dianggap cukup dan sanggup
untuk melayani pihak-pihak.
D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses
mediasi?
Ada yang dengan kooperatif dan senang sekali untuk melakukan mediasi dan ada
pula yang menolak untuk mediasi.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam
proses mediasi?
Salah satu pihak atau kedua-duanya sudah sama-sama menghendaki perceraian.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli
dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah
Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan
dalam perkara perceraian?
Tidak pernah.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Sampai saat ini belum atau tidak perlu untuk mengundang ahli.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama
sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
-
b. Bila tidak, apa alasannya?
Tidak semua pihak siap untuk melakukan mediasi, karena tidak semua pihak
memahami tentang maksud dan tujuan mediasi.
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(Drs. Sarnoto, M.H.) (Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H.
NIP : 19680915.199403.2.004
Jabatan : Hakim
Usia : 43 tahun
Hari/Tanggal : Rabu, 11 Mei 2011
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok?
Sejak kapan?
Ya.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama Depok.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu?
Pada tahun berapa?
-
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
Tidak, karena belum mengikuti pelatihan mediator.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
Perlu, karena hakim sering diminta para pihak untuk menjadi mediator dalam
perkaranya.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi
masyarakat yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena mediasi akan menjembatani para pihak dalam meyelesaikan
masalahnya sehingga mencapai/memperoleh solusi terbaik bagi mereka.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
-
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
Tidak perlu, karena dalam bentuk PERMA saja saat ini sudah cukup/memadai
dan mengikat.
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim
mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan?
Bagaimana bentuk sosialisasinya?
Sudah dengan menjadi salah seorang hakim Pengadilan Agama Depok untuk
mengikuti pelatihan mediator.
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
-
b. Bila tidak, apa alasannya?
Ya, karena dengan mediasi terhadap para pihak membuat proses beracara di
lingkungan kerja dan mudah (memperlancar proses beracara).
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi
mediator?
Mediasi adalah mempertemukan dua pihak yang bermasalah melalui juru
bicara/juru runding agar tercapai perdamaian atau minimal ada titik temu dalam
tujuan yang akan dicapai atau meminimalisir perbedaan-perbedaan antara dua
pihak yang bermasalah.
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
Sangat diperlukan, sebab mendamaikan para pihak di persidangan sangat terbatas
waktunya. Dengan mediasi bisa lebih leluasa dan bisa dilakukan secara parsial
(kaukus).
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Ya, maksimal 40 (empat puluh) hari.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
Melanjutkan persidangan untuk menyelesaikan perkara lagi.
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan
kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
Ya, dapat karena masing-masing pribadi lebih leluasa dan terbuka
menyampaikan keluhannya.
b. Bila tidak, kenapa?
-
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
-Teknis menyampaikan mediator.
-Faktor sosiologi dan psikologis.
-Faktor rohani.
-Faktor moral.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
-Bila para pihak tidak dapat diredam emosinya.
-Sebagian para pihak tidak dapat menerima lagi masukan-masukan dari mediator
dan merasa benar sendiri.
-Bila pihak Penggugat/Pemohon sudah tidak bisa memaafkan pihak
Tergugat/Termohon.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi
cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena mempertemukan perbedaan-perbedaan terdapat dalam perkara
perceraian juga diperlukan dan cocok dengan melalui mediasi.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang
dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan
fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Belum.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Tidak.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu
lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Tidak disediakan anggaran untuk itu.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik
dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan
Agama Depok?
Cukup baik tapi tidak ideal.
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
Ruang yang tersedia hanya satu tidak sesuai dengan jumlah orang yang akan
melakukan mediasi.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak, karena diperlukan biaya untuk membayarnya.
D. Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses
mediasi?
Sebagian besar merasa puas.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam
proses mediasi?
-Masing-masing pihak merasa di posisi yang benar.
-Merasa telah tercapai kata sepakat untuk mengakhiri perkawinan dengan
perceraian.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli
dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah
Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan
dalam perkara perceraian?
Belum pernah.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Sepanjang tidak ada relevansinya maka belum diperlukan.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama
sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena saling membutuhkan, diantaranya untuk pemecahan dan
kemudahan dalam berproses perkara.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H.) (Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Umar Faruq, S.Ag., M.H.I.
NIP : 19700101.199703.1.007
Jabatan : Hakim
Usia : 41 tahun
Hari/Tanggal : Jum’at, 13 Mei 2011
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama
Depok? Sejak kapan?
Ya, sejak Januari 2011.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada
Bapak/Ibu? Pada tahun berapa?
-
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
Belum mengikuti pelatihan mediator.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
-Perlu untuk peningkatan SDM Peradilan.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi
masyarakat yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
-
b. Bila tidak, apa alasannya?
Tidak, karena upaya mediasi hak bagi para pihak, Pengadilan tidak dapat
memaksa.
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
-
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
Sudah ada UU tentang ADR dan UU No 30 Tahun 1999.
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim
mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan?
Bagaimana bentuk sosialisasinya?
Sudah dengan pelatihan-pelatihan.
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
Efektif, namun masih perlu ditingkatkan SDM mediator.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi
mediator?
Mediasi berarti mencari titik temu yang diinginkan oleh kedua pihak dengan
difasilitasi oleh mediator.
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
-Perlu mediasi.
-Untuk efektivitas dan efisiensi persidangan.
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Prinsipnya tertutup, namun para pihak dapat meminta yang lain sesuai
kesepakatan.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
-
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator
dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
-
b. Bila tidak, kenapa?
Belum perlu.
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
-Iktikad baik dari kedua pihak.
-Persoalan yang tidak terlalu ruwet
-Persuasif yang baik.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
-Persoalan sudah rumit
-Persuasif sudah kurang.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah
mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Perlu, karena boleh jadi gugatan yang diajukan oleh pihak hanya karena
emosi atau shock terapy, dengan mediasi pihak dapat diingatkan/tersadar.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan
sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang
berhasil menjalankan fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Belum.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Belum.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang
Bapak/Ibu lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Sudah menjadi tugas hakim yang diamanatkan oleh PERMA No 1 Tahun
2008.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap
baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di
pengadilan Agama Depok?
-
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
-Belum.
-Satu ruang dipakai oleh 2(dua) orang mediator.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak, karena itu bukan tugas Pengadilan Agama.
D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses
mediasi?
Untuk perkara perceraian lebih banyak yang ingin tidak perlu mediasi.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan
dalam proses mediasi?
-Persoalan yang sudah ruwet.
-Tersinggung harga dirinya.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih
ahli dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah
Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan
dalam perkara perceraian?
Tidak.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Belum diperlukan.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama
sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena proses mediasi sifatnya wajib, bila tidak dapat mengakibatkan
putusan batal demi hukum.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(Umar Faruq, S.Ag., M.H.I.) (Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Drs. H. Bambang Hermanto, M.H.
NIP : 19590919.198903.1.001
Jabatan : Hakim
Usia : 50 tahun
Hari/Tanggal : Rabu, 11 Mei 2011
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama
Depok? Sejak kapan?
Ya, sejak tahun 2010.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada
Bapak/Ibu? Pada tahun berapa?
Belum bersertifikat.
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
Belum ikut pelatihan sertifikat mediator.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
Ya, sangat perlu. Supaya lebih efektif.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi
masyarakat yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena setiap pemeriksaan harus diupayakan perdamaia dan mediasi
sendiri merupakan kepanjangan upaya perdamaian.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
Ya perlu supaya ada keseragaman beracara.
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
-
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim
mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan?
Bagaimana bentuk sosialisasinya?
Sudah melalui pembinaan rutin oleh Ketua Pengadilan Agama.
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
-
b. Bila tidak, apa alasannya?
Belum efektif, alasannya sebagian besar mediator belum bersertifikat.
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi
mediator?
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dibantu oleh mediator. Mediator berfungsi
sebagai penengah bagi pihak pihak berperkara.
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
Ya proses mediasi diperlukan, ya memang majelis hakim berkewajiban
mendamaikan dalam persidangan, sedangkan mediator di luar persidangan dan
dari integrasi ada kesan untuk ada alternatif penyelesaian di luar sidang dan
menghindari penumpukan.
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Ya proses mediasi dilakukan secara tertutup dan biasanya berlangsung 1-2
minggu.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
Jika sudah diupayakan tetapi menemui jalan buntu, ya sudah tinggal dibuatkan
laporan gagal memperoleh kesepakatan.
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat
melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
Sebetulnya perlu dilakukan kaukus. Dan saya yakin ada pengaruhnya.
b. Bila tidak, kenapa?
-
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
Faktor intern dari para pihak terutama faktor kejiwaan.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
Faktor psikologi kejiwaan yang terlalu kecewa, sehingga sering berputus
harapan.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah
mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, alasannya merukunkan kembali rumah tangga yang sudah pecah,
sungguh sulit tetapi mulia.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana
yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil
menjalankan fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Masih kurang memadai dan dibutuhkan sarana penunjang seperti proyektor.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Mediator hakim yang berhasil disediakan insentif sesuai dengan pasal 25
PERMA Tahun 2008.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang
Bapak/Ibu lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Pasal 10 ayat (1) PERMA No 1 Tahun 2008 disebutkan penggunaan jasa
mediator tidak dipungut biaya.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap
baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan
Agama Depok?
Ya cukup memadai, yaitu ada ruang tersendiri dan ber-AC.
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
Satu ruang 3 mediator, sarana air minum, dan proyektor.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak, sebab belum ada mediator diluar hakim yang bersertifikat
mendaftarkan diri.
D. Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses
mediasi?
70-80% memberikan respon positif.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan
dalam proses mediasi?
-Komunikasi yang sudah terputus.
-Ada pihak ke tiga.
-Pendidikan.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli
dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah
Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan
dalam perkara perceraian?
Belum pernah, namun para pihak sendiri yang menyatakan sudah pernah
menghadap seorang ahli.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Para pihak sendiri merasa tidak perlu.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama
sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, hampir semua siap mengikuti mediasi setelah upaya perdamaian.
b. Bila tidak, apa alasannya?
Sudah terlalu parah keadaan rumah tangganya.
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(Drs. H. Bambang Heryanto, S.H.) (Hidayatulloh)
EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
HIDAYATULLOH
NIM. 107044102355
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
ii
EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Hidayatulloh
NIM. 107044102355
Di Bawah Bimbingan:
Dr. H. Yayan Sofyan, S.H., M.Ag.
NIP: 196810141996031002
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Depok” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1)
pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah.
Jakarta, 21 Juni 2011
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M.
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A.
NIP. 195003061976031001
Sekretaris : Hj. Rosdiana, M.A.
NIP. 196906102003122001
Pembimbing : Dr. H. Yayan Sofyan, S.H., M.Ag.
NIP. 196810141996031002
Penguji I : Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, M.A.
NIP. 150050917
Penguji II : Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A.
NIP. 195811101988031001
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 29 Mei 2011
Hidayatulloh
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah subhana wa ta’ala atas segala taufiq dan inayah-Nya
yang telah dilimpahkan kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang setia hingga akhir
zaman.
Skripsi ini kami persembahkan kepada Ayahanda Asmawih dan Ibunda
Rohimah yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa
kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih
sayang-Nya kepada mereka.
Kami sadar tidak akan dapat menyelesaikan skrispi ini tanpa adanya bantuan
orang-orang yang ada di sekitar kami. Dengan segala kerendahan hati, kami
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. dan Hj. Rosdiana, M.A. selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah.
3. Dr. H. Yayan Sopyan, S.H., M.Ag. selaku pembimbing skripsi yang tak pernah
lelah membimbing, mengarahkan, dan mengkritik kami dalam penyelesaian
skripsi ini.
vi
4. Dr. Phil. JM. Muslimin, M.A. selaku pembimbing selama menjalani segala
aktifitas di kampus yang selalu memberikan dorongan dan motivasi agar selalu
bekerja dan berusaha maksimal demi menggapai mimpi kami.
5. Seluruh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing dan
mendidik kami selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yakub, M.A. selaku orang tua kami selama belajar di
Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah, yang telah memberikan teladan,
mendidik, mengajarkan disiplin, dan memberikan ilmu yang sangat berharga bagi
kehidupan kami, serta asatidz dan musyrif.
7. Ketua Pengadilan Agama Depok beserta pihak-pihak yang terkait, khususnya
Drs. Sarnoto, M.H. dan Endang Ridwan, S.Ag. yang telah meluangkan waktunya
sehingga memudahkan kami menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas beserta para staf yang
telah memberikan fasilitas kepada kami dalam menelusuri literatur yang
berkaitan dengan skripsi ini.
9. Keluarga besar Peradilan Agama Angkatan 2007 kelas A yang menjadi teman
seperjuangan kami. Seluruh pengurus BEMJ Peradilan Agama periode 2009-
2010 dan 2010-2011 yang telah menemani kami belajar dan berorganisasi,
terutama untuk Ridho Akmal Nasution dan Arifin Bahtiar. Serta kawan-kawan di
HMI Komfaksy, LKBHMI, MCC, KMA-PBS, dan KKN Cikembulan terutama
Arif Soleh, Asep Solahuddin, Riduan Dalimunthe, Subly, Naila, Andy, Dwima,
Hafiz, Daus, Mala, Ima, Yai dan seterusnya yang tidak kami sebutkan satu
persatu. Selanjutnya kawan-kawan kelompok studi TOEFL Bang Indra, Ulul
vii
Azmi, Alvin, Anya dan kelompok studi Bahasa Arab Pita, Arif, Yeti, Fida, dan
Siti. Kawan-kawan di Darus-Sunnah terutama angkatan Ta’aruf 2007 serta teman
satu kamar Imam, Ali, Hayat, Munthe, Gus Nabil, Ipul, Faris, Bagus, Munawar,
Farhan, dan Riski.
Akhirnya, tidak ada yang dapat penulis berikan sebagai balas jasa kecuali
hanya doa semoga semua pihak yang telah membantu penulis, mendapatkan ganjaran
yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Ciputat, 29 Mei 2011
Hidayatulloh
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 7
D. Review Studi Terdahulu .......................................................... 9
E. Metode Penelitian.................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 16
BAB II MEDIASI: KONSEP DAN PENERAPANNYA ......................... 18
A. Pengertian Mediasi .................................................................. 18
B. Asas-asas Umum Dalam Proses Mediasi ................................ 23
C. Keuntungan Menggunakan Mediasi ....................................... 26
D. Peran dan Fungsi Mediator ..................................................... 30
E. Proses Mediasi ........................................................................ 34
F. Mediasi Dalam Islam .............................................................. 39
ix
BAB III TEORI EFEKTIVITAS ................................................................ 47
A. Pengertian Efektivitas ............................................................. 47
B. Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat .................................. 48
C. Teori Efektivitas Hukum ......................................................... 52
BAB IV ANALISA EFEKTIVITAS MEDIASI......................................... 59
A. Profil Pengadilan Agama Depok ............................................. 59
B. Analisa Efektivitas Mediasi .................................................... 63
1. Tinjauan Yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ............. 63
2. Kualifikasi Mediator ......................................................... 69
3. Fasilitas dan Sarana ........................................................... 78
4. Kepatuhan Masyarakat ...................................................... 82
5. Kebudayaan ....................................................................... 86
C. Tingkat Keberhasilan Mediasi ................................................ 94
D. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Mediasi .... 98
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 102
A. Kesimpulan ............................................................................. 102
B. Saran-saran ............................................................................. 103
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 105
LAMPIRAN ......................................................................................................... 112
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam negara hukum yang tunduk kepada the rule of law, kedudukan
peradilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berperan
sebagai katup penekan atas segala pelanggaran hukum dan ketertiban
masyarakat. Peradilan dapat dimaknai juga sebagai tempat terakhir mencari
kebenaran dan keadilan, sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan
yang berfungsi dan berperan menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the
truth and justice).1
Meskipun demikian, kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat
ini adalah ketidakefektifan dan ketidakefisienan sistem peradilan. Penyelesaian
perkara membutuhkan waktu yang lama. Mulai dari tingkat pertama, banding,
kasasi, dan peninjauan kembali. Di sisi lain, para masyarakat pencari keadilan
membutuhkan penyelesaian perkara yang cepat yang tidak hanya bersifat
formalistis belaka.2
1 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cet.VII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 229.
2 Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan
salah satu asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 2 ayat (4) yaitu asas sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Makna dan tujuan asas ini bukan sekadar menitikberatkan unsur kecepatan
dan biaya ringan. Bukan pula menyuruh hakim memeriksa dan memutus perkara dalam waktu satu
atau dua jam. Yang dicita-citakan adalah suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu
yang lama sampai bertahun-tahun, sesuai dengan kesederhanaan hukum itu sendiri. Apabila hakim
2
Untuk mengatasi problematika sistem peradilan yang tidak efektif dan
efisien, maka muncul alternatif penyelesaian sengketa dengan perdamaian.
Dalam hukum acara di Indonesia didapati dalam Pasal 130 Herziene Inlandsch
Reglement (selanjutnya disebut HIR) maupun Pasal 154 Rechtsreglement Voor
De Buitengewesten (selanjutnya disebut R.Bg). Kedua pasal dimaksud mengenal
dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1)
HIR berbunyi:3
Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka
pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya akan
menperdamaikan mereka itu.
Selanjutnya ayat (2) mengatakan:
Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu pada
waktu bersidang, diperbuat sebuah akte, dengan nama kedua belah pihak
diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang diperbuat itu; maka surat
(akte) itu akan berkekuatan dan akan dilakukan sebagai putusan hakim
yang biasa.
Upaya perdamaian yang dimaksud oleh Pasal 130 ayat (1) HIR bersifat
imperatif.4 Artinya hakim berkewajiban mendamaikan pihak-pihak yang
bersengketa sebelum dimulainya proses persidangan. Sang hakim berusaha
mendamaikan dengan cara-cara yang baik agar ada titik temu sehingga tidak
perlu ada proses persidangan yang lama dan melelahkan. Walaupun demikian,
atau pengadilan sengaja mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak rasional, maka hakim tersebut
tidak bermoral dan tidak professional, serta telah melanggar asas pengadilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan. Lihat Gemala Dewi, ed., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet.III,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 71-72.
3 R. Tresna, Komentar HIR, cet.XVIII, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), h. 110.
4 M. Yahya Harahap, … h. 231.
3
upaya damai yang dilakukan tetap mengedepankan kepentingan semua pihak
yang bersengketa sehingga semua merasa puas dan tidak ada yang merasa
dirugikan.
Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman tertinggi di Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945
melihat pentingnya integrasi mediasi dalam sistem peradilan. Bertolak dari
ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 145 R.Bg, MA memodifikasikannya ke arah yang
lebih bersifat memaksa. Berangkat dari pemahaman demikian, maka
diterbitkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung (selanjutnya disebut SEMA)
Nomor 01 Tahun 2002 pada tanggal 30 Januari 2002 Tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (eks Pasal 130 HIR).
Tujuan penerbitan SEMA adalah membatasi perkara secara substansif dan
prosedural. Sebab apabila peradilan tingkat pertama mampu menyelesaikan
perkara melalui perdamaian, akan berakibat turunnya jumlah perkara pada
tingkat kasasi.
Belum genap 2 (dua) tahun usia SEMA Nomor 01 Tahun 2002 pada
tanggal 11 September 2003, MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
(selanjutnya disebut PERMA) Nomor 02 Tahun 2003 yang berjudul Prosedur
Mediasi di Pengadilan. Dalam konsiderans huruf e dikatakan salah satu alasan
mengapa PERMA diterbitkan karena SEMA Nomor 01 Tahun 2002 belum
lengkap atas alasan SEMA belum sepenuhnya mengintegrasikan mediasi ke
dalam sistem peradilan secara memaksa tetapi masih bersifat sukarela dan
4
akibatnya SEMA itu tidak mampu mendorong para pihak secara intensif
memaksakan penyelesaian perkara lebih dahulu melalui perdamaian.
Setelah dilakukan evaluasi terhadap prosedur pelaksanaan mediasi di
pengadilan sesuai PERMA Nomor 02 Tahun 2003 ternyata ditemukan
permasalahan yang bersumber dari PERMA tersebut. Kemudian untuk
mendayagunakan mediasi yang dilakukan di Pengadilan, MA merevisi PERMA
Nomor 02 Tahun 2003 menjadi Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
Dalam konsideran huruf a PERMA Nomor 01 Tahun 2008 disebutkan
bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih
cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para
pihak untuk menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa
keadilan. Selanjutnya dalam huruf b disebutkan pengintegrasian mediasi ke
dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif
mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di
samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).5
5 Konsiderans butir b Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
5
Dalam ajaran Islam, dikenal adanya proses penyelesaian sengketa melalui
perdamaian yang disebut dengan al-sulh.6 Islam menganjurkan pihak yang
bersengketa menempuh jalur damai, baik di depan pengadilan maupun di luar
pengadilan. Sulh memberikan kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan
terbaik dalam penyelesaian sengketa, dan mereka tidak lagi terpaku secara ketat
pada pengajuan alat bukti. Para pihak memperoleh kebebasan mencari jalan
keluar agar sengketa dapat diakhiri. Anjuran al-Quran dan Nabi Muhammad
dalam ajaran Islam memilih sulh sebagai sarana penyelesaikan sengketa yang
didasarkan pada pertimbangan bahwa sulh dapat memuaskan para pihak dan
tidak ada pihak yang merasa menang dan kalah dalam penyelesaian sengketa.7
Peradilan Agama sebagai wujud peradilan Islam di Indonesia tentunya
mengamalkan konsep sulh yang merupakan ajaran Islam.8 Para hakim di
Pengadilan Agama harus selalu mengupayakan dua pihak yang bersengketa
6 Secara bahasa, al-sulh berarti menyelesaikan perkara atau pertengkaran. Sayyid Sabiq
memberikan pengertian sulh dengan akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak. Lihat
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 (Kairo: Dar al-Fath, 1990), h. 201. Muhammad Khatib al-Syarbini
menyebutkan sulh sebagai suatu akad di mana para pihak bersepakat mengakhiri persengketaan
mereka. Lihat Muhammad Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h.
177.
7 Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, cet.I, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 159-160.
8 Peradilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang termasuk
peradilan khusus bagi umat Islam. Eksistensinya tercantum dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi:
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
6
untuk menempuh jalur damai, karena jalur damai akan mempercepat
penyelesaian perkara dan mengakhirinya atas kehendak kedua belah pihak.
Berangkat dari tujuan awal adanya mediasi yang diantara tujuannya
adalah untuk mengurangi jumlah perkara, maka penulis beranggapan perlu untuk
dijadikan objek penelitian dalam sebuah skripsi. Tulisan ini ingin menganalisa
efektifitas mediasi di Pengadilan Agama dalam sebuah skripsi dengan judul
“Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
Depok”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembahasan pada penelitian ini dibatasi hanya pada tingkat keberhasilan
mediasi, faktor-faktor pendukung dan penghambat, efektivitasnya di lingkungan
Pengadilan Agama Depok.
2. Rumusan Masalah
Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih
cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para
pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan bertujuan
menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di
pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan
7
dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat
memutus (ajudikatif).
Namun pada kenyataannya selama 2 (dua) tahun pengintegrasian mediasi
ke dalam proses beracara di pengadilan sesuai Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 01 Tahun 2008 belum mampu mengurangi perkara yang masuk ke
persidangan. Belum terjadi perubahan signifikan terhadap jumlah perkara yang
masuk ke dalam proses persidangan, sehingga pencapaian belum sesuai dengan
harapan.
Berdasarkan hal tersebut, penulis merumuskan masalah pokok yang
menjadi objek kajian dalam skripsi ini:
1. Bagaimana efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama
Depok?
2. Bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok?
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat keberhasilan
mediasi di Pengadilan Agama Depok?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Menguji efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama
Depok.
8
b. Mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama sesuai
dengan PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan yang dilaksanakan di Pengadilan Agama Depok.
c. Mencari faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat
keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok serta mencari solusinya.
2. Manfaat Penelitian
Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapkan
mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi
pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya
bermanfaat diantaranya:
1. Bagi ilmu pengetahuan
Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan
perkembangan ilmu hukum yang menyangkut proses mediasi dalam
penerapannya pada sistem peradilan perdata.
2. Bagi masyarakat
Untuk memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat luas
mengenai pengintegrasian proses mediasi didalam penyelesaian perkara di
pengadilan agama.
3. Bagi penulis
Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berpikir
kritis serta pemenuhan prasyarat dalam menyelesaikan studi di Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9
D. Review Studi Terdahulu
Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis telah menemukan
beberapa skripsi yang membahas tentang mediasi. Berikut skripsi yang penulis
temukan:
Tabel 1
NO IDENTITAS SUBSTANSI PEMBEDA
1. M. Ali Suproni,
Konsentrasi
Peradilan Agama.
Judul skripsi:
“Pelaksanaan
Mediasi Dalam
Perkara Perceraian
di Pengadilan
Agama Jakarta
Selatan”.
Meneliti kesesuaian
antara pelaksanaan
mediasi di Pengadilan
Agama Jakarta
Selatan dengan aturan
dalam PERMA
Nomor 01 Tahun
2008, keberhasilan
peran mediasi dalam
menekan angka
perceraian, dan
faktor-faktor yang
mendukung dan
menghambat
pelaksanaan mediasi.
Proses integrasi
proses mediasi dalam
peradilan sesuai
PERMA Nomor 01
Tahun 2008 di
Pengadilan Agama
Jakarta Selatan
memerlukan
persiapan yang baik,
mulai dari kesiapan
sarana prasarana,
hingga ketersediaan
mediator yang
profesional.
Penelitian hanya
dilakukan dalam
bentuk analisa
kesesuaian antara
aturan dalam PERMA
Nomor 01 Tahun 2008
Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan
dengan penerapannya
di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
Berbeda dengan yang
penulis lakukan, yaitu
menganalisa
efektivitas mediasi
berdasarkan teori
sebagai alat ukur.
Sehingga dapat
didapatkan
kesimpulan apakah
mediasi efektif atau
tidak.
10
2. Syahdan,
Konsentrasi
Peradilan Agama.
Judul skripsi:
“Pengaruh Mediasi
Terhadap Angka
Perceraian (Studi
Analisa Pasca
Peraturan
Mahkamah Agung
Nomor 01 Tahun
2008 Tentang
Prosedur Mediasi Di
Pengadilan Agama
Jakarta Selatan)”.
Menyajikan analisa
pengaruh mediasi
terhadap angka
perceraian, penerapan
mediasi di Pengadilan
Agama Jakarta
Selatan sejak
keluarnya PERMA
Nomor 1 Tahun 2008
serta kesesuaiannya,
dan faktor-faktor yang
menyebabkan
pelaksanaan mediasi
tidak berjalan efektif.
Dalam skripsi ini
menggunakan data-
data statistik dan hasil
wawancara dengan
para hakim yang
menjadi mediator.
Dalam analisa,
diberikan kesimpulan
bahwa mediasi tidak
berpengaruh
signifikan terhadap
angka perceraian.
Wawancara yang
dilakukan terhadap
para hakim sebagai
pelaksana mediasi
serta pengumpulan
data statistik dijadikan
kesimpulan terhadap
efektif atau tidaknya
mediasi terhadap
angka perceraian.
Hal tersebut juga
dilakukan oleh
penulis, namun tidak
hanya itu, faktor-
faktor lain yang
mempengaruhi efektif
atau tidaknya mediasi
penulis gunakan yang
diambil dari teori
efektivitas Soerjono
Soekanto.
3. Siti Umu Kulsum
NIM.
106044101441
Konsentrasi
Peradilan Agama,
2006. Judul skripsi:
“Efektivitas Mediasi
Dalam Perceraian
Perspektif PERMA
No. 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur
Mediasi”.
Membahas sejarah
lahirnya PERMA
Nomor 01 Tahun 2008
Tentang Prosedur
Mediasi di
Pengadilan, dan
mediasi; pengertian,
dasar hukum, prinsip-
prinsip, dan
prosedurnya mulai
tahap pramediasi,
proses, hingga
putusannya.
Skripsi ini menyajikan
data perkara tahun
2008-2009 di
Skripsi ini hanya
fokus pada data
perkara yang ada lalu
menganalisa
efektivitas mediasi
tanpa menguji faktor-
faktor penunjang
keberhasilan mediasi.
Sedangkan penulis
menguji 5 (lima)
faktor yang
mempengaruhi
keberhasilan mediasi
berdasarkan teori
efektivitas yang
penulis gunakan.
11
Pengadilan Agama
Jakarta Timur yang
kemudian dianalisa
keefektivan mediasi
sekaligus menjelaskan
hambatan dan
tantangan
pelaksanannya.
4. Widya Alia
NIM.
106043201357
Konsentrasi
Perbandingan
Hukum, 2006. Judul
skripsi:
“Efektivitas Mediasi
di Pengadilan
Agama Jakarta
Selatan Setelah
Dikeluarkannya
PERMA Nomor 1
Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di
Pengadilan”.
Menerangakan
pengertian, sejarah,
dasar hukum, ruang
lingkup, prinsip-
prinsip mediasi dalam
PERMA Nomor 01
Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
Skripsi ini
menggunakan teori
efektivitas Ilham
Idrus sebagai alat
ukur atau indikator
efektivitas mediasi di
Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
Teori efektivitas yang
digunakan sebagai alat
ukur lebih kepada
aspek mediasi dalam
pola kerjanya,
sehingga tidak
menjangkau indikator-
indikator lain yang
lebih luas.
Lain hal dengan
penulis lakukan,
yakni menggunakan
teori efektivitas
Soerjono Soekanto
yang lebih luas. Teori
ini tidak hanya
melihat keefektifan
dari pola kerja, tetapi
juga melihat faktor
pendukung yang
bersifat internal
maupun eksternal.
12
E. Metode Penelitian
Dalam pengumpulan bahan/data penyusunan skripsi ini agar mengandung
suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan metode penelitian ilmiah
sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Tipe kajian dalam penelitian ini secara spesifik lebih bersifat
deskriptif. Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
yang baik, jelas, dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek
yang diteliti, dalam hal ini untuk menggambarkan pengaturan mediasi
berdasarkan PERMA Nomor 01 Tahun 2008.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan
dengan memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuridis sosiologis
adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan
fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan.9 Dalam penelitian ini yang
akan dicari perihal pelaksanaan mediasi di pengadilan agama dengan
berpedoman pada aturan hukum yang berlaku, serta terkait pada pola-pola
perilaku sosial dan masyarakat (pelaku sosial), sehingga dapat diperoleh
kejelasannya di persidangan pengadilan.
9 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta:
RajaGrafindo, 2001), h. 26.
13
3. Data Penelitian
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan merupakan metode penelitian yang dimaksudkan
untuk mendapatkan dasar teori dalam memecahkan suatu masalah yang
timbul dengan menggunakan bahan-bahan:
a) Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan utama yang dijadikan pedoman dalam penelitian,
terdiri dari:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
- Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg)
- PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan yang memberikan penjelasan megenai bahan hukum
primer, yang terdiri dari:
- Buku-buku
- Majalah Hukum
- Artikel Ilmiah
- Arsip-arsip yang mendukung
- Publikasi dari Lembaga terkait
14
c) Bahan Hukum Tersier
Bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum
primer dan sekunder, meliputi:
- Bibliografi
- Ensiklopedia
- Kamus Hukum
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Dilakukan dengan cara melakukan proses terjun langsung secara aktif ke
lapangan untuk meneliti obyek penelitian tersebut.
1) Lokasi Penelitian
Mengenai lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama
Depok, disebabkan perihal yang berkaitan dengan permasalahan yang
diangkat menjadi skripsi ini terdapat di tempat tersebut. Dalam hal
ini mengenai pelaksanaan mediasi di lokasi tersebut.
2) Subyek Penelitian
Untuk mencari kebenaran data dan penjelasan yang mampu
dipertanggungjawabkan secara prosesil, maka yang tepat untuk
dijadikan rujukan adalah Hakim yang ditunjuk sebagai Mediator itu
sendiri dari para pihak yang pernah menjalani proses mediasi dan
Hakim Pengadilan Agama Depok yang mampu mengkaji,
mengetahui, serta memeriksa sekaligus memutus jalannya proses
mediasi.
15
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan:
a. Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan mencari
konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat, atau penemuan yang
berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaaan berupa
peraturan perundangan, karya ilmiah para sarjana, laporan lembaga, dan
lain-lain sumber.10
b. Wawancara (Interview)
Wawancara atau interview merupakan tanya jawab secara lisan
dimana dua orang atau lebih berhadapan secara langsung. Dalam proses
interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu
pihak berfungsi sebagai pencari informasi atau interviewer sedangkan
pihak lain berfungsi sebagai pemberi informasi atau informan
(responden).11
Wawancara dilakukan penulis dengan Hakim yang ditunjuk
sebagai Mediator di Pengadilan Agama Depok yang mampu mengkaji,
10
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum (Surakarta: UMS
Press, 2004), h. 47.
11
Soemitro Romy H, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1990), h. 71.
16
mengetahui, serta memeriksa sekaligus memutus jalannya proses
mediasi.
5. Metode Analisis
Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan
menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang
dinyatakan oleh responden secara tertulis serta lisan dan juga perilaku yang
nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.12
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan terdiri dari 5 (lima) bab yang terdiri dari
sub-sub yang dirinci sebagai berikut:
Bab Pertama, merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, membahas tentang mediasi dalam konsep dan penerapannya
yang meliputi pengertian mediasi, asas-asas umum dalam proses mediasi,
keuntungan menggunakan mediasi, peran dan fungsi mediator, proses mediasi,
dan mediasi dalam Islam.
Bab Ketiga, memaparkan teori efektivitas hukum sebagai alat uji proses
mediasi di pengadilan agama. Penulis menjelaskan pengertian efektivitas dan
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1984), h. 13.
17
selanjutnya dilakukan pembahasan bekerjanya hukum di masyarakat.
Selanjutnya, disajikan Teori Efektivitas Hukum Soerjono Soekanto yang
dijadikan dasar pengujian penelitian ini.
Bab Keempat, berisi analisa efektivitas mediasi yang berisikan tentang
profil Pengadilan Agama Depok, laporan pemberdayaan lembaga perdamaian,
faktor-faktor pendukung dan penghambat keberhasilan mediasi, dan di akhir
penulis sajikan analisa efektivitas mediasi di Pengadilan Agama Depok
berdasarkan landasan teori efektivitas, yakni tinjauan yuridis PERMA Nomor 1
Tahun 2008, kualifikasi mediator, fasilitas dan sarana, kepatuhan masyarakat,
kebudayaan.
Bab Kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
18
BAB II
MEDIASI: KONSEP DAN PENERAPANNYA
A. Pengertian Mediasi
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang
berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak
ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan
menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” juga bermakna
mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam
menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang
bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust)
dari para pihak yang bersengketa.13
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai
proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan
sebagai penasihat.14
Dalam Black‟s Law Dictionary, pengertian mediasi adalah:15
“A method of nonbinding dispute resolution involving a neutral third party who
tries to help the disputing parties reach a mutually agreeable solution.”
13
Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, cet.I, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 1-2.
14
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, cet.II,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 726.
15
Bryan A. Garner. Ed, Black‟s Law Dictionary, 8th
ed, (USA: West, 2004), h. 1003.
19
Pengertian mediasi dalam Kamus Hukum Indonesia adalah berasal dari
bahasa Inggris mediation yang berarti proses penyelesaian sengketa secara damai
yang melibatkan bantuan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat
diterima pihak-pihak yang bersengketa.16
Kamus Hukum Ekonomi ELIPS sebagaimana dikutip oleh Runtung,
memberikan batasan bahwa mediation, mediasi: salah satu alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, dengan menggunakan jasa seorang mediator atau
penengah.17
Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan
dimana seseorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk berkomunikasi antarpara
pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat
dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya
suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.18
16
B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, cet.I, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), h .168.
17
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia:
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat FH-Universitas
Sumatera Utara. Medan: USU, 2006. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2006/ppgb_2006_runtung.pdf, h. 8.
18
John W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi (Jakarta: Proyek ELIPS, 1997), h. 42.
20
Pengertian mediasi yang lain menurut Cristopher W. Moore sebagaimana
dikutip oleh Gatot Soemartono adalah: 19
The intervention in a negotiation or a conflict of an acceptable third
party who has limited or no authoritative decision-making power but who assists
the involved parties in voluntarily reaching a mutually acceptable settlement of
issues in dispute.
Definisi tersebut menegaskan hubungan antara mediasi dan negosiasi,
yaitu mediasi adalah sebuah intervensi terhadap proses negosiasi yang dilakukan
oleh pihak ketiga. Pihak ketiga memiliki kewenangan terbatas (limited) atau
sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, yang
membantu para pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian sengketa yang
diterima kedua belah pihak.
Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan pengertian mediasi
adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.20
19
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, cet.I, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h. 121.
20
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
21
Untuk mengerti secara komprehensif mengenai mediasi, menurut Siddiki
perlu dipahami tentang 3 (tiga) aspek dari mediasi sebagai berikut:21
1. Aspek Urgensi/Motivasi
Urgensi dan motivasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang
berperkara menjadi damai dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses
pengadilan. Apabila ada hal-hal yang mengganjal yang selama ini menjadi
masalah, maka harus diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah
mufakat. Tujuan utama mediasi adalah untuk mencapai perdamaian antara pihak-
pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bertikai atau berperkara biasanya sangat
sulit untuk mencapai kata sepakat apabila bertemu dengan sendirinya. Titik temu
yang selama ini beku mengenai hal-hal yang dipertikaikan itu biasanya bisa
menjadi cair apabila ada yang mempertemukan. Maka mediasi merupakan sarana
untuk mempertemukan pihak-pihak yang berperkara dengan difasilitasi oleh
seorang atau lebih mediator untuk menfilter persoalan-persoalan agar menjadi
jernih dan pihak-pihak yang bertikai mendapatkan kesadaran akan pentingnya
perdamaian antara mereka.
2. Aspek Prinsip
Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor
01 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk
mengikuti prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Apabila tidak
21
Siddiki, Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan.
Artikel di akses pada tanggal 06 November 2010 dari http://www.badilag.net/artikel/mediasi.pdf
22
menempuh prosedur mediasi menurut PERMA ini merupakan pelanggaran
terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg. yang mengakibatkan putusan
batal demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk ke pengadilan tingkat
pertama tidak mungkin melewatkan acara mediasi. Karena apabila hal ini terjadi
resikonya akan fatal.
3. Aspek Substansi
Yaitu bahwa mediasi merupakan suatu rangkaian proses yang harus
dilalui untuk setiap perkara perdata yang masuk ke Pengadilan. Substansi
mediasi adalah proses yang harus dijalani secara sunggguh-sungguh untuk
mencapai perdamaian. Karena itu diberikan waktu tersendiri untuk melaksanakan
mediasi sebelum perkaranya diperiksa. Mediasi bukan hanya sekadar untuk
memenuhi syarat legalitas formal, tetapi merupakan upaya yang sungguh-
sungguh yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mencapai
perdamaian. Mediasi adalah merupakan upaya pihak-pihak yang perperkara
untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri. Bukan kepentingan
Pengadilan atau hakim, juga bukan kepentingan mediator. Sehingga dengan
demikiaan segala biaya yang timbul karena proses mediasi ini ditanggung oleh
pihak-pihak yang berperkara.
Dalam kamus istilah hukum terdapat pengertian mediasi yang berbeda,
begitu pula para ahli hukum memberikan pengertian yang berbeda-beda. Untuk
memudahkan dalam memahami pengertian mediasi, penulis berpendapat bahwa
23
untuk kemudahan dalam memahami mediasi dapat dilakukan dengan mengetahui
unsur-unsur yang terdapat dalam mediasi sebagai berikut:
1. Metode alternatif penyelesaian sengketa;
2. Bersifat non litigasi;
3. Menggunakan jasa mediator; dan
4. Kesepakatan sesuai keinginan para pihak.
B. Asas-asas Umum Dalam Proses Mediasi
Mediasi merupakan proses penyelesaian non ligitasi atau setidak-tidaknya
proses yang terpisah dari proses litigasi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19
Ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, bahwa pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi
tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan jika
mediasinya gagal, kemudian dalam Pasal 19 Ayat (2) disebutkan bahwa semua
catatan mediator wajib dimusnahkan.
Bila kita telaah lebih lanjut kalimat “keterpisahan mediasi dari litigasi”
akan terlihat agak ganjil, karena sejatinya ketika gugatan didaftarkan dan dicatat
dalam register pengadilan, berarti sejak saat itu para pihak sudah mulai tunduk
dengan aturan dalam proses hukum acara perdata. PERMA Nomor 1 Tahun 2008
mengatur mediasi dalam proses perkara, walaupun belum masuk substansi
persidangan yang sebenarnya karena gugatan belum dibacakan. Namun
sesungguhnya perkara tersebut sudah ada dalam kewenangan pengadilan. Maka
24
menurut D.Y. Witanto22
, bahwasanya PERMA hendak memberikan pengertian
bahwa meskipun mediasi dilaksanakan dalam proses berperkara, namun sifat dan
substansi penyelesainnya berada di luar kewenangan Majelis Hakim yang
menyidangkan perkaranya.
Oleh karena PERMA menyebutkan bahwa mediasi merupakan proses
yang berada di luar litigasi, maka menurut D.Y. Witanto, proses mediasi
memiliki ciri dan prinsip yang berbeda dengan prinsip persidangan pada
umumnya yang mana perbedaan tersebut antara lain:
1. Proses mediasi bersifat informal. Mediator sebagai fasilitator akan
menggunakan pendekatan non legal dalam menyelesaikan perkara, sehingga
tidak kaku dan rigid. Bagi mediator non hakim, pertemuan dapat dilakukan di
luar pengadilan seperti hotel, restoran, dan sebagainya, sehingga suasana
yang nyaman relatif lebih baik agar tercipta perdamaian bagi kedua belah
pihak. Dalam mediasi di pengadilan tetap mengikuti aturan hukum acara
sebagai panduan proses, namun tingkat formalitasnya tidak seformal
persidangan di pengadilan. Maka proses mediasi di pengadilan bersifat semi
informal.
2. Waktu yang dibutuhkan relatif singkat. Dalam Pasal 13 Ayat (3) PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa proses mediasi berlangsung paling
22
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi: Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, cet.I, ( Bandung: Alfabeta, 2010), h. 31.
25
lama 40 (empat puluh) hari dan dalam Pasal 13 Ayat (4) dapat diperpanjang
paling lama 14 (empat belas) hari. Waktu tersebut tidaklah mutlak, bila
kesepakatan tercapai kurang dari 40 (empat puluh) hari, mediator dapat
langsung mengajukan kesepakatan damai kehadapan hakim yang memeriksa
perkara untuk dibuat akta perdamaian. Akan tetapi bila mediasi di pengadilan
tingkat pertama gagal, dapat dilakukan kembali pada tingkat banding, kasasi,
dan peninjauan kembali.
3. Penyelesaian didasarkan atas kesepakatan para pihak. Mediator hanya
sebagai fasilitator agar tercapai sebuah kesepakatan yang dapat
menguntungkan kedua belah pihak.
4. Biaya ringan dan murah. Bila para pihak menggunakan jasa mediator non
hakim, biaya mediasi tergantung kebutuhan selama berlangsungnya proses
mediasi. Namun bila menggunakan jasa mediator hakim, biaya akan jauh
lebih murah, yakni hanya dikenakan biaya pemanggilan bila ada pihak yang
tidak hadir sesuai perjanjian. Sedangkan untuk jasa mediator dari kalangan
hakim dan penggunaan ruang mediasi di pengadilan tidak dipungut biaya
apapun.
5. Prosesnya tertutup dan bersifat rahasia. Dalam Pasal 6 PERMA Nomor 1
Tahun 2008 disebutkan bahwa proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali
para pihak menghendaki lain.
26
6. Kesepakatan damai bersifat mengakhiri perkara. Artinya bila para pihak
menghendaki kesepakatan damai, gugatan perkara harus dicabut, sehingga
perkara dinyatakan selesai.
7. Proses mediasi dapat mengesampingkan pembuktian. Para pihak tidak perlu
saling berdebat dengan alasan bukti-bukti, namun yang diupayakan adalah
mempertemukan titik temu dari permasalahan.
8. Proses mediasi menggunakan pendekatan komunikasi. Dilakukan pendekatan
dialog dengan pola komunikasi interaktif saling menghormati dan
menghargai.
9. Hasil mediasi bersifat win-win solution. Tidak ada istilah menang kalah.
Semua pihak harus menerima kesepakatan yang mereka buat bersama-sama.
10. Akta perdamaian bersifat final dan binding. Berkekuatan hukum tetap (BHT)
dan dapat dieksekusi.
C. Keuntungan Memilih Proses Mediasi
Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa pastinya memberikan
keuntungan bagi para pihak yang ingin menyelesaikan perkaranya. Sehingga
sangat tepat bila dijadikan pilihan dibandingkan dengan mengikuti persidangan
di pengadilan. Menurut Achmad Ali, keuntungan menggunakan mediasi
adalah:23
23
Achmad Ali, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, cet.I, (Jakarta:
Badan Penerbit IBLAM, 2004), h. 24-25.
27
1. Proses yang cepat: persengketaan yang paling banyak ditangani oleh pusat-
pusat mediasi publik dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya
berlangsung dua hingga tiga minggu. Rata-rata waktu yang digunakan untuk
setiap pemeriksaan adalah satu hingga satu setengah jam.
2. Bersifat rahasia: segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi
bersifat rahasia di mana tidak dihadiri oleh publik dan juga tidak ada pers
yang meliput.
3. Tidak mahal: sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan
kualitas pelayanan secara gratis atau paling tidak dengan biaya yang sangat
murah: para pengacara tidak dibutuhkan dalam suatu proses mediasi.
4. Adil: solusi bagi suatu persengketaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan-
kebutuhan masing-masing pihak: preseden-preseden hukum tidak akan
diterapkan dalam kasus-kasus yang diperiksa oleh mediasi.
5. Berhasil baik: pada empat dari lima kasus yang telah mencapai tahap
mediasi, kedua pihak yang bersengketa mencapai suatu hasil yang
diinginkan.
Mediasi memberikan banyak keuntungan karena memiliki metode yang
berbeda dari litigasi di pengadilan. Menurut Gatot Soemartono, mediasi dapat
memberikan beberapa keuntungan penyelesaian sebagai berikut:24
24
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia …, h. 139-140.
28
a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif
murah dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau
arbitrase.
b. Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara
nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan hanya
pada hak-hak hukumnya.
c. Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara
langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
d. Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap
proses dan hasilnya.
e. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit
diprediksi, dengan suatu kepastian melalui konsensus.
f. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan
saling pengertian yang lebih di antara para pihak yang bersengketa karena
mereka sendiri yang memutuskannya.
g. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu
mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim
di pengadilan atau arbitrer pada arbitrase.
29
Pendapat lain yang dikemukakan Christopher W. Moore (1995) tentang
beberapa keuntungan yang seringkali didapatkan dari hasil mediasi sebagaimana
dikutip oleh Runtung, yaitu:25
1. Keputusan yang hemat, mediasi biasanya memakan biaya yang lebih murah
dibandingkan dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan
litigasi;
2. Penyelesaian secara cepat;
3. Hasil yang memuaskan bagi semua pihak;
4. Kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan “customized”;
5. Praktik dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif;
6. Tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga;
7. Pemberdayaan individu;
8. Melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan
dengan cara yang lebih ramah;
9. Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan;
10. Kesepakatan yang lebih baik dari pada hanya menerima hasil kompromi atau
prosedur menang-kalah;
11. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.
25
Runtung. Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia
…, h. 9-10.
30
D. Peran dan Fungsi Mediator
Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008, mediator adalah pihak netral
yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian.
Pengertian mediator dalam Black‟s Law Dictionary adalah:26
A neutral person who tries to help disputing parties reach an agreement.
Mediator artinya perantara (penghubung, penengah).27
Dalam Kamus
Hukum Indonesia, kata mediator berasal dari bahasa latin mediator yang berarti
penengah; pihak ketiga sebagai pemisah atau juru damai antara pihak-pihak yang
bersengketa.28
Mediator dalam Kamus Ekonomi ELIPS artinya penengah, yakni
seseorang yang menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap pihak-pihak yang
bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya.29
Mediator harus memenuhi persyaratan-persyaratan agar proses mediasi
yang dilakukan dapat berhasil. Persyaratan bagi seorang mediator dapat dilihat
dari dua sisi, yaitu sisi internal dan sisi eksternal. Sisi internal berupa
26
Bryan A. Garner. Ed, Black‟s Law Dictionary …, h. 1003.
27
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia …, h. 726.
28
B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia…, h. 168.
29
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia
…,h. 8.
31
kemampuan personal dalam menjalankan tugasnya antara lain: kemampuan
membangun kepercayaan para pihak, kemampuan menunjukkan sikap empati,
tidak menghakimi dan memberikan reaksi positif terhadap sejumlah pernyataan
yang disampaikan para pihak dalam proses mediasi, walaupun ia sendiri tidak
setuju dengan pernyataan tersebut.
Sisi eksternal berupa persyaratan lain yang berkaitan dengan para pihak
dan permasalahan yang dipersengketakan oleh mereka. Persyaratan tersebut
adalah sebagai berikut: 30
30
Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional …, h. 60-65.
32
1. Keberadaan mediator disetujui oleh kedua belah pihak;
2. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;
3. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa;
4. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap
kesepakatan para pihak; dan
5. Tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.
Mediator memiliki peran yang sangat penting agar tercapai kesepakatan
damai diantara pihak-pihak yang bersengketa. Gery Goodpaster sebagaimana
dikutip oleh D.Y. Witanto, menyebutkan bahwa mediator memiliki beberapa
peran penting antara lain:31
1. Melakukan diagnosa konflik;
2. Mengidentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis;
3. Menyusun agenda;
4. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi;
5. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar menawar;
6. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting;
7. Penyelesaian masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan; dan
8. Diagnosis sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem.
31
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi …, h.102.
33
Dapat kita pahami bahwa seorang mediator memiliki peran yang sangat
penting bagi tercapainya kesepakatan damai diantara para pihak. Selain peran
tersebut diatas, menurut Fuller, mediator juga memiliki beberapa fungsi antara
lain:32
1. Sebagai katalisator, yakni menciptakan keadaan dan suasana baru dari sebuah
pertentangan ke arah kondisi kooperatif dalam forum kebersamaan.
2. Sebagai pendidik, yakni mampu memberikan arahan dan nasihat untuk
menemukan solusi terbaik bagi semua pihak.
3. Sebagai penerjemah, yakni menerjemahkan konsep masing-masing pihak dan
hal-hal yang ingin dilakukan dan ditawarkan satu sama lain.
4. Sebagai narasumber, yakni mampu mendayagunakan atau melipatgandakan
kemanfaatan sumber-sumber informasi yang tersedia.
5. Sebagai penyandang berita jelek, yakni menetralisir konflik dari berbagai
informasi yang bersifat negatif, memancing emosi, dan memperkeruh
suasana.
6. Sebagai agen realitas, yakni menampung segala informasi baik berupa
keluhan, tuduhan maupun pengakuan dan menyalurkan informasi tersebut
kepada pihak lawan dengan bahasa yang tidak provokatif.
7. Sebagai kambing hitam, yakni siap menerima penolakan dan ketidakpuasan
para pihak terhadap solusi yang ditawarkan kepada para pihak.
32
Buku Tanya dan Jawab Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan (Mahkamah Agung RI, Japan International Cooperation Agency
(JICA), dan Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), 2008), h. 16.
34
E. Proses Mediasi
Berhasil atau tidaknya mediasi tergantung dari proses yang dijalankan.
Bila proses baik, tercapailah kesepakatan damai antara kedua belah pihak.
Namun sebaliknya, proses yang tidak baik akan menjadikan mediasi gagal.
Berikut tahapan-tahapan dalam proses mediasi yang diatur oleh PERMA Nomor
1 Tahun 2008:
1. Tahapan Pra Mediasi.
Penggugat mendaftarkan gugatannya di Kepaniteraan Pengadilan.
Kemudian ketua pengadilan akan menunjuk majelis hakim yang akan
memeriksa perkaranya. Kewajiban melakukan mediasi timbul jika pada hari
persidangan pertama para pihak hadir. Majelis Hakim menyampaikan kepada
penggugat dan tergugat prosedur mediasi yang wajib mereka jalankan.
Setelah menjelaskan prosedur mediasi, Majelis Hakim memberikan
kesempatan kepada para pihak untuk memilih mediator dalam daftar
mediator yang terpampang di ruang tunggu kantor pengadilan. Para pihak
boleh memilih mediator sendiri dengan syarat mediator tersebut telah
memiliki sertifikat mediator.
Bila dalam waktu 2 (dua) hari para pihak tidak dapat menentukan
mediator, Majelis Hakim akan menunjuk hakim pengadilan di luar Hakim
Pemeriksa Perkara yang bersertifikat. Namun jika tidak ada hakim yang
bersertifikat, salah satu anggota Hakim Pemeriksa Perkara yang ditunjuk oleh
Ketua Majelis wajib menjalankan fungsi mediator.
35
Hakim Pemeriksa Perkara memberikan waktu selama 40 (empat
puluh) hari kerja kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi. Jika
diperlukan waktu mediasi dapat diperpanjang untuk waktu 14 (empat belas)
hari kerja (Pasal 13 Ayat [3] dan [4]).
2. Pembentukan Forum.
Dalam waktu 5 (lima) hari setelah para pihak menunjuk mediator
yang disepakati atau setelah para pihak gagal memilih mediator, para pihak
dapat menyerahkan resume perkara33
kepada mediator yang ditunjuk oleh
Majelis Hakim.
Dalam forum dilakukan pertemuan bersama untuk berdialog.
Mediator dapat meminta agar pertemuan dihadiri langsung oleh pihak yang
bersengketa dan tidak diwakili oleh kuasa hukum. Di forum tersebut,
mediator menampung aspirasi, membimbing serta menciptakan hubungan
dan kepercayaan para pihak.
3. Pendalaman Masalah.
Cara mediator mendalami permasalahan adalah dengan cara kaukus34
,
mengolah data dan mengembangkan informasi, melakukan eksplorasi
kepentingan para pihak, memberikan penilaian terhadap kepentingan-
33
Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap pihak yang memuat duduk perkara
dan atau usulan penyelesaian sengketa. Lihat pasal 1 angka 10 PERMA Nomor 1 Tahun 2008.
34
Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh
pihak lainnya. Lihat Pasal 1 angka 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Kaukus dilakukan agar para pihak
dapat memberikan informasi kepada mediator lebih luas dan rinci yang mungkin tidak disampaikan
disaat bertemu dengan pihak lawan.
36
kepentingan yang telah diinventarisir, dan akhirnya menggiring para pihak
pada proses tawar menawar penyelesaian masalah.
4. Penyelesaian Akhir dan Penentuan Hasil Kesepakatan.
Pada tahap penyelesaian akhir, para pihak akan menyampaikan
kehendaknya berdasarkan kepentingan mereka dalam bentuk butir-butir
kesepakatan. Mediator akan menampung kehendak para pihak dalam catatan
dan menuangkannya ke dalam dokumen kesepakatan. Dalam Pasal 23 Ayat
(3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam kesepakatan perdamaian adalah sebagai berikut:
a. sesuai kehendak para pihak;
b. tidak bertentangan dengan hukum;
c. tidak merugikan pihak ketiga;
d. dapat dieksekusi; dan
e. dengan iktikad baik.
Bila terdapat kesepakatan yang melanggar syarat-syarat tersebut
diatas, mediator wajib mengingatkan para pihak. Namun bila mereka
bersikeras, mediator berwenang untuk menyatakan bahwa proses mediasinya
gagal dan melaporkan kepada Hakim Pemeriksa Perkara.
Jika tercapai kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan
mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan
ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Dokumen kesepakatan damai
37
akan dibawa kehadapan Hakim Pemeriksa Perkara untuk dapat dikukuhkan
menjadi akta perdamaian.
5. Kesepakatan di Luar Pengadilan.
Dalam Pasal 23 Ayat (1) PERMA disebutkan bahwa para pihak
dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa
di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan
kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk
memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.
Maksud dari pengajuan gugatan ini adalah agar sengketa para pihak
masuk dalam kewenangan pengadilan melalui pendaftaran pada register
perkara di Kepaniteraan Perdata. Ketua Pengadilan selanjutnya dapat
menunjuk Majelis Hakim yang akan mengukuhkan perdamaian tersebut
dalam persidangan yang terbuka untuk umum (kecuali perkara yang bersifat
tertutup untuk umum seperti perceraian).
6. Keterlibatan Ahli dalam Proses Mediasi.
Pasal 16 Ayat (1) PERMA Nomor 1 tahun 2008 menyebutkan bahwa
atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang
seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan
atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat
di antara para pihak.
Biaya untuk mendatangkan seorang ahli ditanggung oleh para pihak
berdasarkan kesepakatan. Namun PERMA tidak menjelaskan siapa yang
38
dapat dikategorikan sebagai ahli, sehingga penentuan siapa yang akan
dijadikan ahli dalam proses mediasi sesuai dengan rekomendasi mediator dan
kesepakatan para pihak.
7. Berakhirnya Mediasi.
Proses mediasi dinyatakan berakhir dengan 2 (dua) bentuk. Pertama,
mediasi berhasil dengan menghasilkan butir-butir kesepakatan di antara para
pihak, proses perdamaian tersebut akan ditindaklanjuti dengan pengukuhan
kesepakatan damai menjadi akta perdamaian yang mengandung kekuatan
seperti layaknya Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua,
proses mediasi menemukan jalan buntu dan berakhir dengan kegagalan.
Proses mediasi di pengadilan yang gagal akan dilanjutkan di sidang
pengadilan.
8. Mediasi Pada Tahap Upaya Hukum.
Para pihak atas dasar kesepakatan bersama, dapat menempuh upaya
perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau
peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat
banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum
diputus.
Demikian tahapan-tahapan mediasi yang telah diatur dalam PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Secara singkat
tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat secara sistematis dalam tabel sebagai
berikut:
39
Tabel 2
URUTAN PROSES MEDIASI
- Pendaftaran Gugatan di Kepaniteraan Perdata
Negeri/Agama
- Pembayaran Panjar Biaya Perkara dan
Penandatanganan Surat Kuasa untuk Membayar
(SKUM)
- Penunjukan Majelis Hakim Pemeriksa Perkara
oleh Ketua Pengadilan Negeri/Agama
- Majelis Hakim Pemeriksa Perkara menentukan
hari sidang dengan penetapan
- Juru Sita Pengadilan melakukan pemanggilan
kepada para pihak (Penggugat, Tergugat, dan
Turut Tergugat)
- Para Pihak hadir
- Penyampaian proses mediasi
oleh Ketua majelis Hakim
- Para Pihak tidak hadir
- Dilakukan pemanggilan ulang
- Pemilihan Mediator
- Penundaan sidang
- Putusan Verstek/
- Putusan Gugur
- Mediator mengadakan pertemuan awal
- Perkenalan dan penyampaian
informasi tentang prosedur mediasi
- Menyusun jadwal pertemuan
40
- Penyampaian dan pertukaran resume
- Melakukan dialog tentang
kemungkinan beberapa penawaran
- Negoisasi
- Meminta keterangan ahli
- Kaukus
- Penyampaian
usulan/penawaran lain
- Perumusan butir-butir kesepakatan
- Penjelasan-penjelasan
- Analisis dan koreksi
- Penandatanganan dokumen
kesepakatan damai
Proses mediasi gagal
Proses persidangan
dilanjutkan
- Penyampaian Dokumen Kesepakatan
Damai kehadapan Majelis hakim
Pemeriksa Perkara
- Pengukuhan menjadi Akta Perdamaian
Eksekusi
- Kesepakatan perdamaian tidak
dikukuhkan menjadi akta perdamaian
- Perkara dicabut
41
F. Mediasi Dalam Islam
Istilah mediasi dalam Islam dikenal dengan al-Sulh. Secara bahasa artinya
qath al-niza‟ yakni menyelesaikan pertengkaran. Pengertian dari al-Sulh sendiri
adalah:35
ازعح نرفع وضع عمذ ان
Akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak.
Sedangkan Hanabilah memberikan definisi al-Sulh sebagai berikut:36
انإصالح إنى تها رىصم يعالذج ت خرهف ان
Kesepakatan yang dilakukan untuk perdamaian antara dua pihak yang
bersengketa.
Praktik al-Sulh sudah dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW.
dengan berbagai bentuk. Untuk mendamaikan suami istri yang sedang
bertengkar, antara kaum muslim dengan kaum kafir, dan antara satu pihak
dengan pihak lain yang sedang berselisih. Al-Sulh menjadi metode untuk
mendamaikan dengan kerelaan masing-masing pihak yang berselisih tanpa
dilakukan proses peradilan ke hadapan hakim. Tujuan utamanya adalah agar
pihak-pihak yang berselisih dapat menemukan kepuasan atas jalan keluar akan
konflik yang terjadi. Karena asasnya adalah kerelaan semua pihak.
35
Muhammad Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 177.
Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 (Kairo: Dar al-Fath, 1990), h. 201 dan Wahbah Zuhaili,
al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Juz 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 168.
36
Ibnu Qudamah, al-Mughni Juz 5, cet.I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), h. 3.
42
Dalam perkara perceraian, al-Quran menjelaskan tentang al-Sulh dalam
surat al-Nisa ayat 128 sebagai berikut:
خافد ايرأج وإ اح فها إعراضا أو شىزا تعهها ي ا ج ه عه صهحا أ
ا ه ر وانصهح صهحا ت فس وأحضرخ خ انشح انأ وذرمىا ذحسىا وإ فإ
انهه ا كا ت هى .خثرا ذعDan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya mengusahakan perdamaian yang sebenar-
benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu
menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik
dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini diturunkan berkaitan dengan kisah Saudah binti Zam‟ah, isteri
Rasulullah SAW disaat ia mencapai usia lanjut, Rasulullah SAW hendak
menceraikannya. Lalu Saudah memberikan jatah harinya kepada Aisyah sebagai
tawaran asalkan ia tidak diceraikan. Rasulullah SAW menerima hal tersebut dan
mengurungkan niatnya untuk menceraikannya.37
Tafsir ayat ini juga ada dalam kitab Shahih al-Bukhari. Dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan wanita yang takut akan nusyuz atau sikap acuh tak acuh
dari suaminya adalah wanita yang suaminya tidak lagi ada keinginan
terhadapnya, yaitu hendak menceraikannya dan ingin menikah dengan wanita
lain. Lalu si wanita (isterinya) berkata kepada suaminya: “Pertahankanlah diriku
dan jangan engkau ceraikan. Silakan engkau menikah lagi dengan wanita lain,
37
Abu al-Fida Isma‟il bin „Umar bin Katsir al-Qurasy al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-
„Azhim, Juz 2, cet.II, (Riyad: Dar Thayibah, 1999), h. 426.
43
engkau terbebas dari nafkah dan kebutuhan untukku.” Maka firman Allah dalam
ayat tersebut: Maka tidak mengapa bagi keduanya mengusahakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).38
Dari sebab turunnya ayat ini, penulis berpendapat bahwa Saudah saat itu
melakukan upaya perdamaian ketika akan terjadi perceraian. Ia berupaya
mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan merelakan jatah harinya
diberikan kepada Aisyah, isteri Rasulullah SAW yang paling muda. Dalam hal
ini, memang tidak ada pihak ketiga sebagai mediator. Namun apa yang
dilakukan Saudah adalah bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang kemudian
ditegaskan dalam syari‟at Islam dengan turunnya surat al-Nisa ayat 128 tersebut.
Demikian cara Saudah mempertahankan keutuhan rumah tangganya
dengan cara memberikan jatah harinya untuk Aisyah. Pemberian jatah tersebut
disebutkan pula dalam hadis riwayat Abu Dawud sebagai berikut:39
ا ذ حذث أح رو ت ع ا انسرح ت أخثر وهة ات ىس ع ع شهاب ات
عروج أ ر ت حذثه انست ثى زوج عائشح أ ه اهلل صهى ان :وسهى لاند عه
ه اهلل صهى انهه رسىل كا ألرع سفرا أراد إرا وسهى عه سائه ت ره فأ
ها خرج يعه تها خرج سه ايرأج نكم مسى وكا ه هرها ىيها ي ر ون غ أ
د سىدج .نعائشح ىيها وهثد زيعح تBerkata Ahmad bin „Amr bin al-Sarh, berkata Ibnu Wahb dari Yunus dari Ibnu
Syihab: Bahwasanya „Urwah bin Zubeir berkata kepadanya bahwa Aisyah
berkata: Rasulullah SAW bila hendak melakukan perjalanan melakukan undian
38
Muhammad bin „Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari. Juz 3, cet.I, (Kairo: Dar al-Hadis,
2000), h. 647. Hadis No. 5206.
39
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Sijistani, Sunan Abu Dawud. Juz 2, (Beirut: Dar al-
Kutub al-„Arabi, t.t.), h. 209. Hadis No. 2140.
44
diantara isteri-isterinya. Siapa yang namanya keluar dalam undian akan ikut
bersamanya. Dan Rasulullah SAW membagi hari bagi tiap-tiap isterinya kecuali
Saudah bin Zam‟ah memberikan jatah harinya untuk Aisyah.
Bentuk perdamaian antara suami isteri yang sedang berselisih terdapat
dalam al-Quran surat al-Nisa ayat 35. Ayat ini lebih dekat dengan pengertian dan
konsep mediasi yang ada dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
ا شماق خفرى وإ ه ا فاتعثىا ت حك ا أههه ي وحك أههها ي رذا إ
ا انهه ىفك إصهاحا ه ت انهه إ ا كا .خثرا عهDan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini menjelaskan bahwa jika ada syiqaq/persengketaan antara suami
isteri, maka Hakim mengutus 2 (dua) orang hakam/juru damai. Kedua hakam
tersebut bertugas untuk mempelajari sebab-sebab persengketaan dan mencari
jalan keluar terbaik bagi mereka, apakah baik bagi mereka perdamaian atau pun
mengakhiri perkawinan mereka. Syarat-syarat hakam adalah:
1. Berakal.
2. Baligh.
3. Adil.
4. Muslim.
45
Tidak disyaratkan hakam berasal dari pihak keluarga suami maupun
isteri. Perintah dalam ayat 35 diatas bersifat anjuran.40
Bisa jadi hakam diluar
pihak keluarga lebih mampu memahami persoalan dan mencari jalan keluar
terbaik bagi persengketaan yang terjadi diantara suami isteri tersebut.
Penulis berpendapat bahwa perintah mendamaikan dalam ayat ini tidak
jauh berbeda dengan konsep dan praktik mediasi. Dimana hakim mengutus
hakam yang memenuhi syarat-syarat seperti layaknya seorang mediator
profesional. Seorang hakam juga berhak memberikan kesimpulan apakah
perkawinan antara suami isteri layak dipertahankan atau bahkan lebih baik
bubar. Tidak berbeda dengan tugas mediator yang melaporkan hasil mediasi
dengan dua pilihan, berhasil atau gagal.
Konsep Islam dalam menghadapi persengketaan antara suami isteri
adalah menjaga keutuhan rumah tangga. Dalam menjalani kehidupan rumah
tangga, tidak mungkin dilewati tanpa adanya perbedaan sikap dan pendapat yang
berakumulasi pada sebuah konflik. Oleh karena itu, Islam selalu memerintahkan
kepada pemeluknya agar selalu berusaha menghindari konflik. Namun bila
terjadi, perdamaian adalah jalan utama yang harus diambil selama tidak
melanggar syariat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadis
riwayat Ibnu Hibban sebagai berikut:41
40
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 …, h. 185. 41
Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Busti, Shahih Ibnu Hibban bi
Tartibi Ibnu Bilban. Juz 11, cet.II, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), h. 488. Hadis No. 5091.
46
ا ذ أخثر يح سار انفرح ت ذ انس رل ا: لال تس اهلل عثذ حذث عثذ ت انرح
ا: لال انذاري حذث يروا ذ ت ا: لال انطاطري يح حذث ا سه تهال ت
ر حذث كث ذ ت ز ذ ع انىن رتاح ت رج أت ع اهلل رسىل لال: لال هر
ه اهلل صهى جائس انصهح: سهى و عه ت سه أو حرايا أحم صهحا إنا ان
.حهانا حروBerkata Muhammad bin al-Fath al-Samsar di Samarkand berkata
Abdullah bin Abd al-Rahman al-Darimi berkata Marwan bin Muhammad al-
Thathari berkata Sulaiman bin Bilal berkata Katsir bin Zaid dari al-Walid bin
Rabah dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Perdamaian itu
baik antara kaum muslimin, kecuali perdamaian untuk menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal.
Penulis berkesimpulan bahwa perdamaian dalam sengketa yang berkaitan
dengan hubungan keperdataan dalam Islam termasuk perkara perceraian adalah
boleh, bahkan dianjurkan. Maka mediasi dalam perkara perceraian tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan keutuhan rumah
tangga. Bahkan menjadikan upaya perdamaian sebagai alternatif penyelesaian
sengketa suami isteri agar terhindar dari perceraian dengan tetap mengutamakan
kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangga.
BAB III
TEORI EFEKTIVITAS
A. Pengertian Efektivitas
47
Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa
Inggris effective, dalam Kamus John M. Echols dan Hassan Shadily artinya
adalah berhasil dan ditaati.42
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif
artinya “dapat membawa hasil, berhasil guna” tentang usaha atau tindakan. Dapat
berarti “sudah berlaku” tentang undang-undang atau peraturan.43
Sedangkan dalam Black‟s Law Dictionary, effective adalah bentuk
adjective yang bila disandingkan dengan kata statue, order, contract, dst berarti
in operation at given time. Bisa juga berarti performing within the range of
normal and expected standards atau juga productive; achieving a result.44
Adapun secara terminologi para pakar hukum dan sosiologi hukum
memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam,
bergantung pada sudut pandang yang diambil. Soerjono Soekanto sebagaimana
dikutip oleh Nurul Hakim berbicara mengenai derajat efektivitas suatu hukum
ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum,
termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa:
“Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator
berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda
42
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet.XXIII, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996), h.207.
43
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 284.
44
Bryan A. Garner. Ed, Black‟s Law Dictionary …, h. 554.
48
bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk
mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”.45
B. Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat
Dalam kehidupan masyarakat akan selalu terdapat hubungan atau
interaksi sosial. Dalam hubungan tersebut, ada suatu aturan yang ditaati oleh
masyarakat agar tercapai ketertiban, keserasian, dan ketentraman hidup. Aturan-
aturan yang berlaku bertugas mengatur hubungan dalam struktur masyarakat
yang kompleks.
Di dalam berbagai hal, hukum memiliki pengaruh yang langsung maupun
tidak langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan. Artinya hukum
memiliki peran dalam perubahan sosial dalam masyarakat. Cara-cara untuk
mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih
dahulu, menurut Soerjono Soekanto dinamakan social engineering atau social
planning.46
Dalam teori-teori hukum tentang berlakunya hukum sebagai kaidah
biasanya dibedakan menjadi tiga macam hal. Hal berlakunya kaidah hukum
biasanya disebut “gelding” (bahasa Belanda) “geltung” (bahasa Jerman). Tentang
45
Nurul Hakim, Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Dalam Hubungannya Dengan Lembaga Peradilan. Artikel diakses pada tanggal 10 Mei 2011
dari http://badilag.net/data/ARTIKEL/efektifitas.pdf
46
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, cet.V, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2006), h.122.
49
hal berlakunya kaidah hukum Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa agar
kaidah hukum atau sebuah peraturan berfungsi bahkan hidup dalam tatanan
kehidupan masyarakat, maka kaidah hukum/peraturan tersebut harus memenuhi
tiga unsur sebagai berikut: 47
1. Hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada
kaidah yang lebih tinggi tingkatannya, atau bila terbentuk menurut cara
yang telah ditentukan/ditetapkan, atau apabila menunjukan hubungan
keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.
2. Hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya
kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa (teori
kekuasaan), atau diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).
3. Hukum tersebut berlaku secara filosofis; artinya sesuai dengan cita-cita
hukum sebagai nilai positif tertinggi.
Kalau ditelaah secara lebih mendalam, maka agar supaya berfungsi, maka
suatu kaidah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut di atas.
Mengapa demikian? Adapun sebabnya adalah antara lain:
1. Bila hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah
tersebut merupakan kaidah mati (dode regel).
2. Kalau hanya berlaku secara sosiologis (dalam arti teori kekuasaan), maka
kaidah tersebut menjadi aturan pemaksa (dwangmaatregel).
47
Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, cet.V, (Bandung,
Citra Aditya Bakti, 1989), h.56-57.
50
3. Apabila hanya berlaku secara filosofis, maka mungkin hukum tersebut hanya
merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).
Dari penjelasan di atas, kelihatan sedikit betapa rumitnya masalah, oleh
karena biasanya seseorang hanya melihatnya dari satu sudut saja. Sebab, agar
hukum atau peraturan (tertulis) benar-benar berfungsi, senantiasa dapat
dikembalikan pada paling sedikit 4 (empat) faktor:
1. Hukum atau peraturan itu sendiri;
2. Petugas yang menegakkannya;
3. Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan hukum; dan
4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
Satjipto Rahardjo menyatakan dengan tegas bahwa bekerjanya hukum
dalam masyarakat tidak serta merta dan terjadi begitu saja. Hukum bukanlah
hasil karya pabrik, yang begitu keluar langsung dapat bekerja, melainkan
memerlukan beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan (hukum) tersebut
dijalankan atau bekerja. Sekurang-kurangnya langkah yang harus dipenuhi untuk
mengupayakan hukum atau aturan/ketentuan dapat bekerja dan berfungsi (secara
efektif) adalah:48
1. Adanya pejabat/aparat penegak hukum sebagaimana ditentukan dalam
peraturan hukum tersebut;
48
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2000), h.70.
51
2. Adanya orang (individu/masyarakat) yang melakukan perbuatan hukum, baik
yang mematuhi atau melanggar hukum;
3. Orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan;
4. Orang-orang tersebut sebagai subjek maupun objek hukum bersedia untuk
berbuat sesuai hukum.
Dalam hal ini, Satjipto Rahardjo melihat bahwa dalam penegakan hukum
dilihat sebagai proses yang melibatkan manusia di dalamnya. Maka dalam
pengamatan terhadap kenyataan penegakan hukum, faktor manusia sangat
terlibat dalam usaha menegakkan hukum tersebut. Penegakan hukum dilakukan
oleh institusi yang berwenang untuk itu, seperti jaksa, polisi, dan pejabat
pemerintahan. Sejak hukum itu mengandung perintah dan pemaksaan, maka
sejak semula hukum membutuhkan bantuan untuk mewujudkan perintah
tersebut.49
49
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, cet.II,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), h.192.
52
C. Teori Efektivitas Hukum
Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum adalah bagaimana
terjadinya sebuah keselarasan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam
kaidah-kaidah hukum dapat mengejawantah dalam jiwa masyarakat sehingga
tercipta kedamaian, ketentraman, dan ketertiban.
Wayne La Favre sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto menilai
bahwa penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan
diskresi50
yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur
oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.51
Gangguan terhadap penegakan hukum dapat saja terjadi. Hal ini terjadi
apabila terjadi ketidakserasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku dalam
masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah
semata-mata pelaksanaan undang-undang, walaupun dalam kenyataan di
Indonesia cenderung demikian. Maka dapat terjadi gangguan kedamaian dalam
pergaulan hidup bila pelaksanaan aturan dalam undang-undang ternyata malah
menyulitkan masyarakat.
Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono
Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor.
50
Diskresi berasal dari bahasa Inggris discreation yang berarti kewenangan berupa kebebasan
bertindak pejabat negara, atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri, demi pelayanan publik
yang bertanggung jawab. Lihat B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia …, h.56.
51
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007), h.7.
53
Faktor-faktor ini mempunyai arti netral, sehingga dampak positif atau negatifnya
terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:52
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
Maksud faktor hukumnya dalam poin pertama ini menurut Soerjono
Soekanto dengan undang-undang dalam arti materil adalah peraturan tertulis
yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang
sah. Masalah-masalah umumnya disini adalah, antara lain:
1. Apakah peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu
cukup sistematis?
2. Apakah peraturan-peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan
tertentu cukup sinkron; artinya:
a. apakah secara hierarkis tidak ada pertentangan-pertentangan?
b. apakah secara horizontal tidak ada pertentangan?
3. Apakah secara kuantitatif atau kualitatif peraturan bidang kehidupan
tertentu sudah cukup atau belum?
4. Apakah penerbitan peraturan tersebut adalah sesuai dengan persyaratan
yuridis?
Hal tersebut di atas merupakan matra-matra untuk mengetahui apakah
sebuah peraturan efektif atau tidak.
52
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum …, h.8.
54
2. Faktor penegak hukum.
Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh
karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung
berkecimpung di bidang penegakan hukum.
Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan penegak hukum
penulis batasi pada kalangan yang secara langsung dalam bidang penegakan
hukum yang tidak hanya mencakup law inforcement, akan tetapi juga peace
maintenance. Maka mereka ini adalah para pegawai hukum pengadilan di
lingkungan Pengadilan Agama Depok, baik pada strata atas, menengah, dan
bawah diantaranya para hakim, panitera, jurusita, dan pegawai non-justisial
lainnya. Adapun standarisasi efektivitas sebuah penegak hukum adalah:
1. Sampai seberapa jauh petugas terikat oleh peraturan yang ada?
2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan “kebijaksanaan”?
3. Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat umum?
4. Sampai seberapa jauh derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang
diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang
tegas pada wewenangnya?
Hal tersebut di atas merupakan matra-matra untuk mengetahui apakah
penegak hukum yang ada efektif atau tidak.
55
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas
tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil
penegakan hukum akan tercapai tujuannya. Adapun standarisasi efektivitas
fasilitas penegakan hukum adalah:
1. Apakah sarana prasarana yang ada layak pakai?
2. Apakah yang ada dipelihara terus agar setiap saat berfungsi?
3. Apakah yang kurang perlu dilengkapi?
4. Apakah yang rusak perlu diperbaiki?
5. Apakah yang telah mundur ditingkatkan?
Hal tersebut di atas merupakan matra-matra untuk mengetahui apakah
fasilitas yang ada efektif atau tidak.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
Kepatuhan hukum masyarakat sangat dipengaruhi oleh ketiga faktor
sebelumnya, yaitu hukum, penegak hukum, dan sarana atau fasilitas.
Masyarakat kebanyakan biasanya tidak peduli dengan aturan hukum yang
diberlakukan, namun mereka hanya ingin mendapatkan keadilan dan
kepastian hukum terhadap perkara yang sedang mereka hadapi.
56
Begitu pula dalam hal proses mediasi, kedua belah pihak yang
bersengketa akan memiliki harapan kepada penegak hukum yakni mediator
agar sengketa di antara mereka dapat selesai dengan baik. Sehingga peran
mediator sangat penting dalam perjalanan proses mediasi di antara kedua
belah pihak.
Kemampuan mediator tentang nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang
berlaku di suatu masyarakat sangat penting untuk diketahui, agar mediator
dapat mencari solusi atas sengketa dan bukan malah menambah keruh
suasana akibat ketidaktahuannya akan nilai dan kaidah yang hidup di
masyarakat.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor
masyarakat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan
spiritual atau material. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem
kemasyarakatan), maka hukum mencakup struktur, substansi, dan
kebudayaan. Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut
yang umpamanya mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal,
hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajibannya, dan
seterusnya. Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta
perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi
pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum
57
pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,
nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang
dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga
dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang
mencerminkan dua keadaaan ekstrim yang harus diserasikan. Hal itulah yang
akan menjadi pokok pembicaraan di dalam bagian mengenai faktor
kebudayaan ini.
Dalam hal mediasi di pengadilan agama yang kita ketahui para
pencari keadilan disana adalah umat Islam, nilai-nilai Islam menjadi sarat
akan pedoman karena telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat
muslim.
Demikianlah 5 (lima) faktor keberhasilan mediasi yang dijadikan
penulis sebagai alat ukur penelitian ini. Adapun teori efektifitas ini bersifat
netral. Ia akan dikatakan efektif bila berhasil dijalankan dan dikatakan tidak
efektif bila tidak dijalankan. Oleh karena itu, digunakan istilah positif bagi
keefektifan dan negatif bagi ketidakefektifan.
Demikian teori efektivitas hukum hasil pemikiran Soerjono Soekanto.
Demi kemudahan pembaca, penulis menyajikan teori tersebut dalam sebuah
tabel sebagai berikut:
58
Tabel 3
Teori Efektivitas Hukum
Penegakan Hukum
Hukum
(U
ndan
g-U
nd
ang)
Pen
egak
Hukum
Sar
ana
atau
Fas
ilit
as
Mas
yar
akat
Keb
uday
aan
Positif Negatif
Efektif Tidak Efektif
59
BAB IV
ANALISA EFEKTIVITAS MEDIASI
A. Profil Pengadilan Agama Depok
Pengadilan Agama Depok Kelas I B beralamat di Jalan Boulevard Sektor
Anggrek Komplek Perkantoran Kota Kembang Grand Depok City Depok dan
beroperasi pada alamat tersebut setelah diresmikannya gedung Pengadilan
Agama Depok bersamaan dengan diresmikannya gedung Pengadilan Tinggi
Agama Bandung pada tanggal 20 Februari tahun 2007 oleh Prof. Dr. H. Bagir
Manan, SH, M.CL., di Jalan Soekarno Hatta 714 Bandung.
Pengadilan Agama Depok dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002 yang
peresmian operasionalnya dilakukan oleh Wali Kota Depok di Gedung Balai
Kota Depok pada tanggal 25 Juni 2003 dan mulai menjalankan fungsi peradilan
sejak tanggal 01 Juli 2003 di Jalan Bahagia Raya No. 11 Depok dengan
menyewa rumah penduduk sebagai gedung operasionalnya.
Daerah hukum Pengadilan Agama Depok adalah meliputi Pemerintahan
Kota Depok sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang dalam
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 Pasal 2 ayat (5)
disebutkan bahwa “Daerah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi wilayah
Pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat”.
60
Pengadilan Agama Depok yang daerah hukumnya meliputi Wilayah
Pemerintahan Kota Depok yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 64 Kelurahan
dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dengan beban kerja rata-rata tiap
bulan 162 perkara. Dalam melaksanakan tugasnya Pengadilan Agama Depok
didukung dengan kekuatan pegawai sebanyak 38 orang dan secara formal
pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Depok harus dipertanggung jawabkan
dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung selaku atasan.
Pengadilan Agama Depok sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan,
warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari‟ah
dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undang-
Undang.
Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam
melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi
harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang
sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana Pengadilan Agama Depok
sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang dijabarkan oleh
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu: Visi “Terwujudnya putusan
yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib
dan damai di bawah lindungan Allah SWT” dan Misi : “Menerima, memeriksa,
61
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam
Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah,
shodaqoh dan ekonomi syari‟ah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan”.
Wilayah Hukum Pengadilan Agama Depok meliputi Wilayah Kota
Depok. Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6o 19‟ 00” – 6o 28‟
00” Lintang Selatan dan 106o 43‟ 00” – 106o 55‟ 30” Bujur Timur. Kota Depok
berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan wilayah
Jabodetabek.
Bentang alam Kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah
dataran rendah perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50 – 140
meter diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Kota
Depok sebagai wilayah termuda di Jawa Barat, mempunyai luas wilayah sekitar
200,29 km2.
Kondisi geografisnya dialiri oleh sungai-sungai besar yaitu Sungai
Ciliwung dan Cisadane serta 13 sub Satuan Wilayah Aliran Sungai. Disamping
itu terdapat pula 25 situ. Data luas situ pada tahun 2005 sebesar 169,68 Ha,
dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar.
Kondisi topografi berupa dataran rendah bergelombang dengan
kemiringan lereng yang landai menyebabkan masalah banjir di beberapa wilayah,
terutama kawasan cekungan antara beberapa sungai yang mengalir dari selatan
menuju utara: Kali Angke, Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan dan Kali
Cikeas.
62
Adapun struktur organisasi Pengadilan Agama Depok dalam tabel adalah
sebagai berikut:*
Tabel 4
*Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
WAKIL KETUA
Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H.
HAKIM
Drs. Agus Abdullah, M.H.
Dra. Hj. Siti Nadirah
Drs. H. A. Baidhowi, M.H.
Dra. Nurmiwati
Dra. Hj. Fauziah, M.H.
Asep Nursobah, S.Ag.
Drs. Bambang Hermanto, M.H.
Dra. Suifita Netty, S.H.
KETUA
Drs. Nia Nurhamidah R., M.H.
HAKIM
Drs. Azid Izuddin, M.H.
Dra. Taslimah, M.H.
Drs. Sarnoto, M.H.
Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H.
Drs. Andi Akram, S.H., M.H.
Hj. Suciati, S.H.
Dra. Rogayah
Umar Faruq, S.Ag., M.HI.
E. Kurniawati Imron, S.Ag.
PANITERA SEKRETARIS
Drs. H. Asop Ridwan, M.H.
WAKIL PANITERA
Endang Ridwan, S.Ag.
WAKIL SEKRETARIS
Ita Sasmita, S.H.
PANITERA MUDA
PERMOHONAN
Mumu, SH., M.H.
PANITERA MUDA
GUGATAN
M. Ali Afriddy, S.H.
PANITERA MUDA
HUKUM
Drs. E. Arifuddin
KAUR
KEUANGAN
Siti Aisah, S.H.
KAUR
KEPEGAWAIAN
Indra Ari Setiawan, S.H.
KAUR
UMUM
Mataris, S.H.
PANITERA PENGGANTI
Hj. Inti Khobijati
Defrialdi, S.H.
M. Thamrin, S.Ag.
Totih R. Amanah, S.H.
Arifin, S.Ag., M.Ag.
JURUSITA
Pepen, S.Ag.
Samsudin, S.Ag.
JURUSITA PENGGANTI
Bahrun Kustiawan
Wiji Piningit
Novia Husein
Hj. Siti Nurhayati, S.H.
Yulianti Widyaningsih, S.H.
63
B. Analisa Efektivitas Mediasi
1. Tinjauan Yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008
Salah satu kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung yang
berkaitan dengan pengawasan tidak langsung ialah membuat peraturan.
Kekuasaan dan kewenangan itu ditegaskan pada angka 2 huruf c Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yang
berbunyi:53
Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan
atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya
peradilan.
Mengenai kategori PERMA ditinjau dari segi ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 7 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, termasuk salah satu jenis ketentuan peraturan
perundang-undangan. Tentang hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:54
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi sebagai berikut:
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai
berikut:
53
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
54
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, cet.II. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.165-167.
64
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Demikian hierarki peraturan perundang-undangan an sich
berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akan tetapi, apa yang
ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut tidak bersifat final dan limitatif
karena terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui
keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 7 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut.
Selanjutnya Pasal 7 ayat (4), berbunyi sebagai berikut:55
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diakui keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, berbunyi sebagai
berikut:
55
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
65
Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini,
antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK,
Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang
setingkat yang dibentuk oleh Undang-undang atau Pemerintah atas
perintah undang-undang.
Bertitik tolak dari Pasal 7 ayat (4) dan penjelasan Pasal 7 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut, dengan tegas dinyatakan
bahwa PERMA termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan.
Bila dilihat konsideran PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, dapat diketahui bahwa salah satu dasar
diaturnya mediasi dalam PERMA adalah Reglemen Indonesia yang
diperbaharui (HIR) Staatsblad 1941 Nomor 44 dan Reglemen Hukum Acara
untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg) Staatsblad 1927 Nomor 227.
Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:56
Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka
pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya akan
menperdamaikan mereka itu.
Selanjutnya ayat (2) mengatakan:
Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu
pada waktu bersidang, diperbuat sebuah akte, dengan nama kedua
belah pihak diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang diperbuat
itu; maka surat (akte) itu akan berkekuatan dan akan dilakukan
sebagai putusan hakim yang biasa.
56
R. Tresna, Komentar HIR …, h. 110.
66
Yahya Harahap menjelaskan bahwa ketentuan peraturan perundang-
undangan tidak selamanya mampu memberi penyelesaian hukum yang
timbul sebagai akibat perubahan sosial yang cepat (rapidly social change).
Berikut penjelasannya:57
Pertama, peraturan perundang-undangan langsung konservatif.
Sesaat setelah peraturan perundang-undangan diundangkan maka: ketentuan
peraturan perundang-undangan itu langsung menjadi huruf atau kalimat
mati, sedang pada sisi lain kebutuhan permasalahan sosial ekonomi
kehidupan masyarakat berkembang terus tanpa henti, sehingga peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan tidak sesuai lagi sebagai hukum
yang hidup (living law) yang mampu menjembatani antara rumusan
peraturan perundang-undangan dengan perubahan sosial ekonomi yang
terjadi;
Oleh karena itu, dalam menghadapi persoalan demikian, apabila
kekuasaan penafsiran dianggap kurang efektif membina keseragaman opini
hukum (unified legal opinion) dan keseragaman kerangka hukum (unified
legal frame work) di antara putusan pengadilan, lebih tepat MA
mengeluarkan peraturan.
57
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, …, h.167-169.
67
Kedua, tidak ada undang-undang yang sempurna. Kapan pun dan
dimanapun tidak pernah manusia mampu membuat dan mencipta peraturan
perundang-undangan yang sempurna.
Ketiga, yang berwenang menentukan kebenaran dan keadilan adalah
kekuasaan kehakiman melalui peradilan. Sesuai dengan kedudukan yang
diberikan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kepada
kekuasaan kehakiman untuk menyenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan (to enforce the law and justice), maka berdasarkan
konstitusi yang berwenang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to
enforce truth and justice) yang terkandung dalam suatu peraturan
perundang-undangan adalah pengadilan melalui hakim. Oleh karena itu,
sejak peraturan perundang-undangan diundangkan dan dinyatakan berlaku,
yang berwenang menentukan benar tidaknya dan adil tidaknya peraturan
perundang-undangan dalam penerapan, langsung berpindah ke pundak
kekuasaan kehakiman/badan peradilan. Sedang pembuat peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan berada di belakang sebagai
penonton. Sehubungan dengan itu, apabila ternyata peraturan perundang-
undangan itu mengandung berbagai kekosongan maupun telah tertinggal
dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, dianggap tepat apabila MA
mengeluarkan peraturan yang bersifat komplementer (complementary).
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi para pihak
68
yang berperkara di pengadilan, karena bila tidak melaksanakan mediasi,
maka putusan pengadilan menjadi batal demi hukum.58
Setiap pemeriksaan perkara perdata di pengadilan harus diupayakan
perdamaian dan mediasi sendiri merupakan kepanjangan upaya
perdamaian.59
Mediasi akan menjembatani para pihak dalam menyelesaikan
masalah yang buntu agar mencapai/memperoleh solusi terbaik bagi
mereka.60
Berdasarkan teori efektivitas hukum yang penulis gunakan sebagai
alat ukur penelitian ini, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan ada
daya paksa bagi masyarakat. Oleh karenanya, penulis memberikan
kesimpulan sebagai berikut:
a. PERMA tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
b. Jenis peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang tersebut tidaklah bersifat final dan limitatif,
58
Wawancara dengan Sarnoto dan Fauziah, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa
Barat pada tanggal 10 Mei 2011 dan Sulfita Netti, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa
Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
59
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa
Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
60
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama
Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
69
karena terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui
keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 7 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut.
c. Landasan yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008 adalah peraturan
perundang-undangan, sehingga diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat. PERMA merupakan pelengkap peraturan
perundang-undangan yang telah ada. Sehingga bertujuan mengisi
kekosongan hukum.
d. Mahkamah Agung memiliki kewenangan membuat peraturan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung. Oleh karena itu, penerbitan PERMA tidak
bertenangan dengan hukum dan aturan perundang-undangan.
2. Kualifikasi Mediator
Mediator memiliki peran yang sangat penting akan keberhasilan
mediasi. Oleh karena itu, mereka harus memiliki kemampuan yang baik agar
proses mediasi dapat berjalan lancar dan sesuai dengan prosedur yang telah
diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
70
Pasal 9 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mengatur tentang daftar
mediator sebagai berikut:
(1) Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua
Pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat
sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator dan disertai
dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman para
mediator.
Ketua Pengadilan yang menentukan daftar mediator. Dalam daftar
tersebut tertulis latar belakang pendidikan masing-masing mediator, namun
penulis mendapatkan daftar mediator di Pengadilan Agama Depok tidak
tercantum pengalaman yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) PERMA
Nomor 1 Tahun 2008.
(2) Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah
memiliki sertifikat dalam daftar mediator.
(3) Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada
mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang
bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator.
Hakim di Pengadilan Agama Depok yang telah memiliki sertifikat
mediator hanya ada 2 (dua) orang, sehingga semua hakim disana
ditempatkan dalam daftar mediator.
(4) Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya
ditempatkan dalam daftar ,mediator pada pengadilan yang
bersangkutan.
(5) Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua
Pengadilan menempatkan nama pemohon dalam daftar
mediator.
71
Jumlah hakim yang telah memiliki sertifikat mediator sangat sedikit
namun kebutuhan akan mediator sangat mendesak, maka semua hakim
ditetapkan menjadi mediator. Ketua Pengadilan yang menempatkan nama-
nama hakim dalam daftar mediator.
(6) Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui
daftar mediator.
Daftar mediator setiap tahun dievaluasi dan diperbaharui oleh Ketua
Pengadilan. Dalam buku laporan pemberdayaan lembaga perdamaian dapat
diketahui jumlah mediasi yang berhasil dan gagal. Begitu pula, daftar
mediator dapat berubah tiap tahun akibat mutasi hakim. Berikut daftar
mediator di Pengadilan Agama Depok:
72
Tabel 5 DAFTAR MEDIATOR PADA PENGADILAN AGAMA DEPOK
NO NAMA/NIP
PENDIDIKAN TEMPAT TANGGAL LAHIR
1
Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. S 1 IAIN Bandung
19630623.198903.1.004 S 2 UNTAG Jakarta
Kadipaten, 23 Juni 1963
2
Dra. Hj. Fauziah, M.H. S 1 IAIN Sunan Ampel Surabaya
19671108.199303.2.001 S 2 UNTAG Jakarta
Surabaya, 8 November 1967
3
Drs. Azid Izuddin, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19620713.1993.1.003 S 2 UNTAG Jakarta
Bogor, 13 Juli 1962
4
Dra. Taslimah, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19680314.199303.2.005 S 2 UNTAG Jakarta
Jakarta, 14 Maret 1968
5
Drs. Sarnoto, M.H. S 1 Univ Muhammadiyah Surakarta
19671225.199403.1.005 S 2 UMI Makassar
Kulon Progo, 25 Desember 1967
6
Dra. Sulfita Netty, S.H. S 1 IAIN Imam Bonjol Padang
19580803.199403.2.001 S 2 UNIHAZ
Simabur Tanah Datar, 3 Agustus 1958
7
Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. S 1 IAIN Jakarta
19680915.199403.2.004 S 1 Univ Muhammadiyah Sumatera
Jakarta, 15 September 1968
8
Drs. Agus Abdullah, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19690803.199403.1.003 S 2 UNTAG Jakarta
Sukapura, 3 Agustus 1969
9
Dra. Hj. Siti Nadirah S 1 IAIN Makassar
19661119.199303.2.002
Ujung Pandang, 19 November 1966
10
Drs. H. A. Baidhowi, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19560912.198511.1.001 S 2 UNTAG Jakarta
Jakarta, 12 September 1956
11
Dra. Nurmiwati S 1 IAIN Yogyakarta
19671225.199303.2.002
Bone, 25 Desember 1967
12 Hj. Suciati, S.H. S 1 Universitas Jakarta
19570714.198003.2.005
13 Dra. Rogayah S 1 IAIN Bandung
19600924.199103.2.001
14 Drs. Bambang Hermanto, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19590919.198903.1.001 S 2 Universitas Islam Jakarta
15 Umar Faruq, S.Ag., M.HI. S 1 IAIN Yogyakarta
19700101.199703.1.007 S 2 UII Yogyakarta
16 E. Kurniawati Imron, S.Ag. S 1 STAI Cirebon
19560726.198003.2.001
*Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
73
Dari 16 (enam belas) hakim yang ditetapkan sebagai mediator, hanya
ada 2 (dua) orang yang telah memiliki sertifikat mediator, yakni Drs. H. Uu
Abdul Haris, M.H.dan Drs. Sarnoto, M.H.
Para hakim mediator yang tidak memiliki sertifikat mediator
dikarenakan belum mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh
Mahkamah Agung RI pada tahun 2009 yang lalu. Pelatihan mediator sangat
terbatas jumlahnya, karena diselengarakan Mahkamah Agung RI secara
nasional, sehingga pesertanya sangat terbatas.61
Idealnya Mahkamah Agung RI perlu memberikan pelatihan mediator
kepada seluruh hakim di pengadilan agama, agar:
a) Para hakim mediator bisa bekerja maksimal sewaktu melakukan
mediasi.62
Bila telah mendapatkan pelatihan, mereka telah memiliki
kemampuan sesuai dengan fungsi dan peran mediator.
b) Mediasi berjalan efektif.63
Mediator yang terlatih akan mampu
mengorganisir proses mediasi dengan baik.
c) Menambah keterampilan hakim dalam melakukan mediasi.64
Mereka
akan memiliki teknik-teknik yang terprogram.65
Tugas mediator berbeda
61
Wawancara dengan Fauziah, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada
tanggal 10 Mei 2011 dan dengan E. Kurniati, Sulkha Herawati, Bambang Hermanto, dan Sulfita Netti,
kesemuanya Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
62
Wawancara dengan Sulfita Netti, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada
tanggal 11 Mei 2011.
63
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat
pada tanggal 11 Mei 2011.
74
dengan hakim saat di persidangan. Bila di persidangan hakim sangat
menjaga wibawa pengadilan, sedangkan saat menjadi mediator ia harus
lebih luwes dan komunikatif, karena berfungsi sebagai penengah konflik
antara para pihak.
d) Lebih siap saat ditunjuk menjadi mediator.66
Kenyataannya seluruh
hakim ditetapkan oleh Ketua Pengadilan menjadi mediator, dikarenakan
jumlah hakim yang bersertifikat masih sangat sedikit.
Dalam skripsi ini, penulis meneliti perolehan mediator selama
bertugas menangani perkara dalam lembaga perdamaian tahun 2009 dan
2010 sebagai berikut:
64
Wawancara dengan Sarnoto dan Fauziah, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat
pada tanggal 10 Mei 2011.
65
Wawancara dengan E. Kurniati, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal
11 Mei 2011.
66
Wawancara dengan Sulkha Herawati, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada
tanggal 11 Mei 2011.
75
Tabel 6
NO NAMA MEDIATOR
MEDIASI YANG DITANGANI
TAHUN 2009 PORSENTASE TAHUN 2010 PORSENTASE
BERHASIL GAGAL BERHASIL BERHASIL GAGAL BERHASIL
1 Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. 0 0 0% 0 0 0%
2 Dra. Hj. Fauziah, M.H. 0 0 0% 0 10 0%
3 Drs. Azid Izuddin, M.H. 0 2 0% 0 3 0%
4 Dra. Taslimah, M.H. 2 5 28,5% 0 3 0%
5 Drs. Sarnoto, M.H. 8 49 14% 9 39 18,7%
6 Dra. Sulfita Netty, S.H. 0 0 0% 0 3 0%
7 Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. 3 18 14,2% 0 16 0%
8 Drs. Agus Abdullah, M.H. 4 31 11,4% 1 28 3,4%
9 Dra. Hj. Siti Nadirah 3 43 6,5% 1 20 4,7%
10 Drs. H. A. Baidhowi, M.H. 10 35 22,2% 1 9 10%
11 Dra. Nurmiwati 1 15 6,2% 1 6 14,2%
12 Hj. Suciati, S.H. 0 0 0% 0 8 0%
13 Dra. Rogayah 0 0 0% 0 0 0%
14 Drs. Bambang Hermanto, M.H. 0 0 0% 0 2 0%
15 Umar Faruq, S.Ag., M.HI. 0 0 0% 0 9 0%
16 E. Kurniawati Imron, S.Ag. 0 0 0% 0 17 0%
Dari tabel 6 diatas, ada hal-hal yang perlu dikaji. Pertama, diketahui
bahwa hakim yang memiliki sertifikat mediator hanya ada 2 (dua) orang
yakni Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. dan Drs. Sarnoto, M.H., namun yang
melaksankan fungsi mediator hanya Drs. Sarnoto, M.H. Sangat disayangkan
hakim yang telah bersertifikat tidak melaksanakan fungsi mediator padahal
telah ditetapkan oleh ketua pengadilan. Ini bertolak belakang dengan tujuan
MA yang menyelenggarakan pelatihan mediator agar para hakim yang
melaksanakan fungsi mediator memiliki SDM yang berkualitas.
76
Kedua, tidak ada pemerataan tugas sebagai mediator. Ada hakim
yang telah ditetapkan sebagai mediator, namun tidak pernah melaksanakan
fungsi tersebut. Ada pula hakim mediator yang menangani mediasi lebih
banyak dari yang lainnya. Padahal selain yan telah bersertifikat, kemampuan
mereka adalah sama.
Ketiga, tahun 2009 diketahui angka porsentase keberhasilan mediator
sangat kecil. Tidak ada yang mencapai 50%, bahkan 30% pun tidak. Begitu
pula tahun 2010, angkanya menurun. Tidak ada yang mencapai 25%.
Bahkan banyak yang tidak berhasil sama sekali selama menjalankan fungsi
mediator.
Keempat, ada angka kenaikan porsentase keberhasilan pada Drs.
Sarnoto, M.H., sebagai satu-satunya hakim bersertifikat yang menjalankan
fungsi mediator. Pada tahun 2009, porsentase mencapai 14% kemudian
meningkat di tahun 2010 sebesar 18,7%. Kenaikan tersebut dapat
dipengaruhi oleh kemampuannya setelah mengikuti pelatihan mediator di
tahun 2009. Dalam tabel pula dapat diketahui bahwa angka mediasi yang
dilakukan terbanyak diantara hakim lainnya. Namun angka keberhasilannya
masih sangat kecil, belum mencapai 50%. Sehingga bila dibandingkan
dengan mediator lain perbedaan tidak terlalu jauh.
Penulis memberikan kesimpulan bahwasanya ada beberapa hal yang
harus diperbaiki dalam hal kualifikasi mediator sebagai berikut:
77
a. Sumber Daya mediator harus diperbaiki dengan cara memberikan
pelatihan kepada mereka. Mediasi adalah salah satu bentuk dari
Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) yang berbeda dengan litigasi,
sehingga para hakim yang ditetapkan menjadi mediator wajib
mendapatkan pelatihan yang baik. Dalam hal ini Mahkamah Agung RI
yang harus mengambil inisiatif agar pelatihan mediator dapat segera
diberikan lebih banyak lagi.
b. Pengadilan Agama Depok harus menyediakan mediator bersertifikat dari
luar pengadilan. Hal ini karena jumlah hakim yang ditetapkan menjadi
mediator yang bersertifikat hanya ada 2 (dua) orang.
c. Pemberian insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi
mediator. Sampai saat ini Mahkamah Agung RI belum menerbitkan
PERMA tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim
yang menjalankan fungsi mediator, padahal sudah diamanatkan dalam
Pasal 25 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2008.67
d. Hakim yang melaksanakan fungsi mediator dan telah bersertifikat
cenderung memiliki tingkat keberhasilan yang lebih bila dibandingkan
dengan hakim yang melaksanakan fungsi mediator tidak memiliki
sertifikat. Namun, angka keberhasilan tersebut tidak terlalu jauh. Hakim
67
Pasal tersebut berbunyi: (2) Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung
tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang.berhasil menjalankan fungsi
mediator.
78
yang telah bersertifikat pun angka keberhasilannya sangat kecil, tidak
mencapai 50%.
e. Pelatihan mediator bagi para hakim yang menjalankan fungsi mediator
bukan satu-satunya jalan keberhasilan mediasi di pengadilan. Hakim
yang telah bersertifikat pun belum mampu menggapai angka
keberhasilan mediasi yang cukup tinggi. Namun bukan berarti MA tidak
perlu memberikan pelatihan, tetapi pelatihan harus tetap diberikan
kepada semua hakim yang menjalankan fungsi mediator dan
memberikan pengawasan dan evaluasi secara teratur akan kinerja
mereka.
3. Fasilitas dan Sarana
Ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok hanya ada 1 (satu) ruang
yang didalamnya dibagi menjadi 3 (tiga) bagian tanpa diberi sekat atau
pembatas. Tiap bagian disediakan 1 (buah) meja dan 3 (tiga) buah kursi.
Dalam ruang tersebut dapat dilakukan 3 (tiga) proses mediasi sekaligus.
Fasilitas ruang mediasi masih kurang ideal bagi proses mediasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan tidak idealnya ruang mediasi adalah:
a. Ruangan yang sempit sehingga membuat tidak nyaman para pihak dan
mediator sendiri.
79
b. Tidak adanya sekat pembatas di antara 3 (tiga) meja sehingga bila
dilangsungkan proses mediasi secara bersamaan membuat para pihak
tidak nyaman karena proses tidak lagi tertutup.68
c. Ruang yang tersedia hanya 1 (satu), tidak sebanding dengan jumlah
orang yang akan melakukan mediasi. Para pihak seringkali terlihat
mengantri.69
d. Tidak tersedianya ruang untuk kaukus.70
Padahal proses kaukus adalah
sebagai alternatif yang dapat diupayakan oleh mediator untuk proses
perdamaian para pihak.
e. Fasilitas pendukung yang kurang seperti proyektor dan ketersediaan air
minum.71
Namun walaupun demikian, ruang mediasi di Pengadilan Agama
Depok menggunakan Air Conditioner (AC) yang menjadikan ruangan
tersebut terasa sejuk.
Pengadilan Agama Depok terus berbenah diri untuk memperbaiki
dan menambah fasilitas dan sarana ruang mediasi. Selain itu, perawatan
68
Wawancara dengan Fauziah pada tanggal 10 Mei 2011, Sulfita Netti pada tanggal 11 Mei
2011, Umar Faruq dan Nurmiwati pada tanggal 13 Mei 2011. Semuanya adalah Hakim Mediator
Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
69
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama
Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
70
Wawancara dengan Sarnoto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada
tanggal 10 Mei 2011.
71
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa
Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
80
terhadap fasilitas dan sarana tetap dilakukan dengan baik dengan melakukan
evaluasi setiap bulannya.
Demi kemudahan para pihak yang akan mengikuti proses mediasi, di
pintu ruang mediasi terpampang jadual mediator. Dalam jadual tercantum
nama-nama mediator disertai latar belakang pendidikan dan hari para
mediator bertugas. Setiap hari ada 3 (tiga) orang mediator yang bertugas.
Semuanya berasal dari hakim. Pengadilan Agama Depok belum
menyediakan mediator dari luar pengadilan, karena masih dianggap belum
dibutuhkan. Berikut jadual mediator yang ada di Pengadilan Agama Depok:
Tabel 7
JADUAL MEDIATOR PADA PENGADILAN AGAMA DEPOK
NO HARI NAMA/NIP
PENDIDIKAN TEMPAT TANGGAL LAHIR
1
SENIN
Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. S 1 IAIN Bandung
19630623.198903.1.004 S 2 UNTAG Jakarta
Kadipaten, 23 Juni 1963
2
Dra. Hj. Fauziah, M.H. S 1 IAIN Sunan Ampel
Surabaya
19671108.199303.2.001 S 2 UNTAG Jakarta
Surabaya, 8 November 1967
3
Drs. Azid Izuddin, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19620713.1993.1.003 S 2 UNTAG Jakarta
Bogor, 13 Juli 1962
4 SELASA
Dra. Taslimah, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19680314.199303.2.005 S 2 UNTAG Jakarta
Jakarta, 14 Maret 1968
81
5
Drs. Sarnoto, M.H. S 1 UM Surakarta
19671225.199403.1.005 S 2 UMI Makassar
Kulon Progo, 25 Desember 1967
6
Dra. Suifita Netty, S.H. S 1 IAIN Imam Bonjol
19580803.199403.2.001 S 2 UNIHAZ
Simabur Tanah Datar, 3 Agustus 1958
7
RABU
Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. S 1 IAIN Jakarta
19680915.199403.2.004 S 1 UM Sumatera
Jakarta, 15 September 1968
8
Drs. Agus Abdullah, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19690803.199403.1.003 S 2 UNTAG Jakarta
Sukapura, 3 Agustus 1969
9
Dra. Hj. Siti Nadirah S 1 IAIN Makassar
19661119.199303.2.002
Ujung Pandang, 19 November 1966
10
Drs. H. A. Baidhowi, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19560912.198511.1.001 S 2 UNTAG Jakarta
Jakarta, 12 September 1956
11
KAMIS
Dra. Nurmiwati S 1 IAIN Yogyakarta
19671225.199303.2.002
Bone, 25 Desember 1967
12 Hj. Suciati, S.H. S 1 Universitas Jakarta
19570714.198003.2.005
13 Dra. Rogayah S 1 IAIN Bandung
19600924.199103.2.001
14
JUM'AT
Drs. Bambang Hermanto, M.H. S 1 IAIN Jakarta
19590919.198903.1.001 S 2 UIJ
15 Umar Faruq, S.Ag., M.HI. S 1 IAIN Yogyakarta
19700101.199703.1.007 S 2 UII Yogyakarta
16 E. Kurniawati Imron, S.Ag. S 1 STAI Cirebon
19560726.198003.2.001 *Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
82
4. Kepatuhan Masyarakat
Bila kita lihat laporan pemberdayaan lembaga perdamaian di tahun
2009, dapat diketahui bahwa tingkat keberhasilan mediasi adalah 14,1 %.
Kemudian pada tahun 2010 tingkat keberhasilannya adalah 6,9 %.
Porsentase keberhasilannya tahun 2010 menurun 7,2 %. (Lihat Bab Tingkat
Keberhasilan Mediasi)
Penulis melakukan klasifikasi lebih mendetail, dari sejumlah angka
mediasi yang akan dapat diketahui angka cerai talak dan cerai gugat. Berikut
data yang penulis sajikan.
Tabel 8 LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN
PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2009
NO BULAN
JENIS PERKARA KETERANGAN
JUMLAH BERHASIL GAGAL
CERAI CERAI CERAI CERAI CERAI CERAI PERKARA
TALAK GUGAT TALAK GUGAT TALAK GUGAT
1 Januari 22 18 5 10 17 8 40
2 Februari 8 9 1 3 7 6 17
3 Maret 12 18 0 0 12 18 30
4 April 7 10 2 1 5 9 17
5 Mei 10 16 1 3 9 13 26
6 Juni 16 24 0 4 16 20 40
7 Juli 4 6 0 1 4 5 10
8 Agustus 11 9 1 0 10 9 20
9 September 4 3 0 0 4 3 7
10 Oktober 8 9 0 2 8 7 17
11 November 11 13 1 1 10 12 24
12 Desember 13 8 1 1 12 7 21
TOTAL 126 143 12 26 114 117 269
83
Dalam tabel 10 diketahui perkara cerai gugat (53,1%) lebih banyak
daripada perkara cerai talak (46,8%). Bahkan rata-rata tiap bulan angka cerai
gugat lebih tinggi dibandingkan dengan cerai talak sepanjang tahun 2009.
Angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai talak di tahun 2009
adalah 9,5%. Sedangkan angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai
gugat adalah 18,1%. Kemudian angka kegagalan mediasi pada perkara cerai
talak adalah 90,4%. Lalu angka kegagalan mediasi pada perkara cerai gugat
adalah 81,8%.
Berdasarkan angka-angka tersebut, penulis berkesimpulan bahwa
angka cerai gugat lebih tinggi daripada cerai talak. Bila dibandingkan
dengan angka perceraian secara nasional pun demikian. Namun yang
menarik adalah keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok lebih
banyak terjadi pada perkara cerai gugat. Perbandingan porsentasenya pun
cukup jauh.
Selanjutnya, mari kita bandingkan dengan data di tahun 2010 sebagai
berikut:
84
Tabel 9 LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN
PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2010
NO BULAN
JENIS PERKARA KETERANGAN
JUMLAH BERHASIL GAGAL
CERAI CERAI CERAI CERAI CERAI CERAI PERKARA
TALAK GUGAT TALAK GUGAT TALAK GUGAT
1 Januari 8 9 1 0 7 9 17
2 Februari 8 14 2 2 6 12 22
3 Maret 8 8 0 0 8 8 16
4 April 1 6 0 0 1 6 7
5 Mei 2 2 0 1 2 1 4
6 Juni 6 6 0 1 6 5 12
7 Juli 3 9 1 0 2 9 12
8 Agustus 5 7 0 1 5 6 12
9 September 10 9 2 1 8 8 19
10 Oktober* 0 0 0 0 0 0 0
11 November 16 10 0 1 16 9 26
12 Desember 14 26 0 0 14 26 40
TOTAL 81 106 6 7 75 99 187
*Data hilang, tidak tercantum dalam laporan tahunan.
Dalam tabel 11 diketahui perkara cerai gugat (56,6%) lebih banyak
daripada perkara cerai gugat (43,3%). Bahkan rata-rata tiap bulan angka
cerai gugat lebih tinggi dibandingkan dengan cerai talak sepanjang tahun
2010.
Angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai talak di tahun 2010
adalah 7,4%. Sedangkan angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai
gugat adalah 6,6%%. Kemudian angka kegagalan mediasi pada perkara cerai
talak adalah 92,5%. Lalu angka kegagalan mediasi pada perkara cerai gugat
adalah 93,3%.
85
Dibandingkan dengan data tahun 2009 pada tabel 8, diketahui bahwa
angka cerai gugat masih lebih banyak daripada cerai talak. Namun angka
keberhasilan menunjukkan perbedaan. Porsentase keberhasilan mediasi
dalam perkara cerai talak lebih tinggi sedikit daripada angka keberhasilan
perkara cerai gugat. Ini berbeda dengan tahun 2009. Sehingga penulis
berkesimpula bahwa di tahun 2010 angka keberhasilan mediasi perkara cerai
talak lebih tinggi. Oleh karena itu, angka keberhasilan sifatnya fluktuatif.
Dapat berubah setiap tahunnya.
Setelah mengetahui angka-angka keberhasilan mediasi, penulis
memberikan catatan mengenai perilaku dan sikap para pihak selama
menjalani proses mediasi yang mempengaruhi kepatuhan mereka dalam
menjalani proses mediasi sebagai berikut:
a. Seringkali salah satu pihak atau keduanya merasa paling benar.72
Mediator kesulitan mendalami masalah karena sikap mereka yang tidak
kooperatif selama proses mediasi. Sikap egois sering muncul pada diri
para pihak.
b. Sebelum para pihak memasuki pemeriksaan perkara di persidangan,
sering kali mereka sudah bersepakat untuk memutuskan ikatan
72
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama
Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
86
perkawinan.73
Sehingga saat dilakukan mediasi, sangat sulit bahkan
gagal untuk didamaikan.
c. Komunikasi para pihak sudah lama terputus.74
Konflik yang telah
berlarut-larut menyebabkan kedua belah pihak sudah tidak ada iktikad
untuk damai.
d. Para pihak ada juga yang kooperatif, namun sikap tersebut mereka
lakukan agar proses mediasi cepat selesai hingga dapat dilanjutkan ke
proses persidangan selanjutnya. Mereka mengikuti mediasi hanya
sebagai formalitas semata.
5. Kebudayaan
Berkaitan dengan kebudayaan masyarakat dalam skripsi ini yang
dimaksud adalah budaya masyarakat muslim yang berperkara di pengadilan
agama. Alasan ini sangat tepat karena disebutkan dalam Pasal 1 butir (1)
Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 03 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 sebagai berikut:
1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam.
73
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama
Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
74
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa
Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
87
Dalam pasal di atas, dapat diketahui bahwa hanya orang-orang yang
beragama Islam yang dapat menyelesaikan perkaranya di pengadilan agama.
Sehingga perkara perceraian yang masuk dipastikan para pihaknya adalah
muslim.
Penulis melihat kecenderungan angka perceraian di Pengadilan
Agama semakin meningkat tiap tahunnya. Berikut perbandingan angka
perceraian, baik cerai talak maupun cerai gugat dalam kurun waktu 4
(empat) tahun terakhir:
Diagram 1
ANGKA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
4 (EMPAT) TAHUN TERAKHIR75
75
Sumber: E-book Profil Peradilan Agama Tahun 2007 diakses dari
http://www.badilag.net/data/PROFIL/ebook-profil-PA07en.pdf, Tahun 2008 diakses dari
http://badilag.mahkamahagung.go.id/data/ditbinadpa/TABEL%20DATA%20PERSENTASE%20PER
KARA%20CT%20CG%20PERK%20LAIN%20YG%20DIPUTUS%20TAHUN%202008.pdf
, Tahun 2009 diakses dari
http://www.badilag.net/data/ditbinadpa/peradilan%20agama%20V%20indonesia%202009.pdf, dan
Tahun 2010 diakses dari
http://www.badilag.net/data/PROFIL/peradilan%20agama%20V%20indonesia%202010.pdf.
54.64563.943 67.124
74.131
94.245
111.145
126.065
149.24
0
20
40
60
80
100
120
140
160
2006 2007 2008 2009
Cerai Talak
Cerai Gugat
88
Bila kita perhatikan diagram di atas, maka kita dapat mengetahui
bahwa angka perceraian mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan
yang terjadi pun cukup tinggi per tahunnya. Pada tahun 2006 terjadi 54.645
(32,50%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 94.245 (56,20%)
perkawinan yang putus akibat cerai gugat. Untuk tahun 2007 terjadi 63.943
(31,845%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 111.145 (55,352%)
perkawinan yang putus akibat cerai gugat . Pada tahun 2008 terjadi 67.124
(28,31%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 126.065 (53,16%)
perkawinan yang putus akibat cerai gugat. Selanjutnya pada tahun 2009
terjadi 74.131 (28,76%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan
149.240 (57,89%) perkawinan yang putus akibat cerai gugat.
Melalui diagram diatas, penulis melihat bahwa angka perceraian
yang terjadi tiap tahunnya selalu meningkat. Banyak hal yang menyebabkan
terjadinya perceraian pada Peradilan Agama di tingkat pertama. Pertama,
moral. Persoalan moral pun memberikan andil untuk memantik krisis
keharmonisan rumah tangga. Modusnya mengambil tiga bentuk, suami
melakukan poligami tidak sesuai aturan (poligami tidak sehat), krisis akhlak
(perilaku salah satu pihak yang rusak/amoral) dan cemburu yang berlebihan.
Kedua, meninggalkan kewajiban. Ini disebabkan salah satu pihak tidak
bertanggungjawab akan kewajibannya selama menjalani ikatan perkawinan,
seperti nafkah baik lahir maupun batin. Ketiga, kawin dibawah umur.
Biasanya terjadi pada pihak istri yang sejarah perkawinannya dipaksa oleh
89
kedua orang tuanya yang kemudian hari banyak menimbulkan
ketidakharmonisan diantara pasangan suami istri. Keempat, dihukum. Salah
satu pihak dijatuhi hukum pidana oleh pengadilan. Kelima, cacat biologis.
Salah satu pihak memiliki cacat fisik yang tidak dapat disembuhkan,
sehingga menyebabkan tidak dapat melaksanakan kewajiban. Keenam, terus
menerus berselisih. Perselisihan dalam perkawinan yang berujung pada
peristiswa perceraian ini dapat disebabkan oleh ketidak harmonisan pribadi,
gangguan pihak ketiga, dan faktor politis. Ketujuh, dan lain-lain.
Berikut faktor-faktor penyebab perceraian perbandingan tahun 2006,
2007, 2008, dan 2009.
Diagram 2
90
Tabel 10
NO PENYEBAB CERAI JUMLAH % DARI JUMLAH TOTAL
1. Moral 9.457 6,35%
2. Meninggalkan Kewajiban 74.042 49,72%
3. Kawin dibawah Umur 387 0,25%
4. Menyakiti Jasmani dan Rohani 1.110 0,74%
5. Dihukum 213 0,14%
6. Cacat Biologis 609 0,41%
7. Terus Menerus Berselisih 63.068 42,41%
8. Lain-lain 4 0,02%
JUMLAH 148.890 100%
Diagram 3
Tabel 11
NO PENYEBAB CERAI JUMLAH % DARI JUMLAH TOTAL
1. Moral 10.090 6,39%
2. Meninggalkan Kewajiban 77.528 49,13%
3. Kawin dibawah Umur 513 0,32%
4. Menyakiti Jasmani dan Rohani 1.845 1,16%
5. Dihukum 356 0,22%
6. Cacat Biologis 1.621 1,02%
7. Terus Menerus Berselisih 65.818 41,71%
8. Lain-lain 0 0%
JUMLAH 157.771 100%
6.39%
49.13%
0.32%1.16%
0.22%
1.02%
41.71%
0%
Faktor-faktor Penyebab Perceraian Tahun 2007
Moral
Meninggalkan Kewajiban
Kawin dibawah Umur
Menyakiti Jasmani dan Rohani
Dihukum
Cacat Biologis
Terus Menerus Berselisih
Lain-lain
91
Diagram 4
Tabel 12
NO PENYEBAB CERAI JUMLAH % DARI JUMLAH TOTAL
1. Moral 12.469 6,63%
2. Meninggalkan Kewajiban 95.296 50,68%
3. Kawin dibawah Umur 408 0,22%
4. Menyakiti Jasmani dan Rohani 1.942 1,03%
5. Dihukum 300 0,16%
6. Cacat Biologis 1.080 0,57%
7. Terus Menerus Berselisih 76.482 40,67%
8. Lain-lain 60 0,03%
JUMLAH 188.037 100%
92
Tabel 13
NO PENYEBAB CERAI JUMLAH % DARI JUMLAH TOTAL
1. Moral 15.966 7,38%
2. Meninggalkan Kewajiban 106.501 49,24%
3. Kawin dibawah Umur 384 0,18%
4. Menyakiti Jasmani dan Rohani 2.552 1,18%
5. Dihukum 459 0,21%
6. Cacat Biologis 865 0,40%
7. Terus Menerus Berselisih 88.753 41,04%
8. Lain-lain 806 0,37%
JUMLAH 216.286 100%
Kenaikan angka putusnya perkawinan tiap tahunnya dapat terjadi
akibat perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat. Menurut William J.
Goode,76
perubahan ini merupakan interaksi dari beberapa faktor. Mungkin
yang terpenting adalah berkurangnya ketidaksetujuan akan perceraian itu
76
William J. Goode, Sosiologi Keluarga, cet.VII. Penerjemah Lailahanoum Hasyim. (Jakarta:
Bumi Aksara, 2007), h. 190.
93
sendiri. Boleh dikatakan bahwa setengah abad yang lalu, hampir setiap yang
bercerai kehilangan kehormatannya dalam lingkungan sosialnya, itu pun
kalau tidak dikucilkan sama sekali. Kedua, penggantian yang tersedia bagi
mereka yang bercerai juga telah berubah. Karena banyak orang bercerai,
banyak kemungkinan untuk memperoleh pasangan yang baru. Antara 85-90
persen dari mereka yang bercerai antara umur 20-40 banyak kemungkinan
kawin lagi. Lagi pula karena sekarang orang jarang tinggal di tanah
pertanian, tenaga yang waktu itu ada dalam diri suami atau istri dapat dibeli
dari tenaga ahli. Hal ini merupakan keuntungan bagi seorang wanita yang
diceraikan untuk dapat menunjang diri sendiri, meskipun penghasilannya itu
tidak akan sama besarnya denganm seorang laki-laki. Dengan demikian,
tekanan sosial dari teman-teman dan sanak agar tetap dalam pernikahan
mulai melemah, lain daripada waktu setengah abad yang lalu.
Gejala meningkatnya angka perceraian pada Peradilan Agama dari
tahun ke tahun, menurut penulis dapat dipengaruhi oleh hal-hal berikut:
a. Tingginya angka kelahiran di Indonesia secara tidak langsung
meningkatkan angka perkawinan laki-laki dan perempuan. Semakin
banyak penduduk, berarti semakin banyak orang yang butuh untuk
memenuhi kebutuhannya seperti kebutuhan biologis yakni dengan
perkawinan selain memiliki tujuan yang lain seperti ketenangan batin
dan sebagainya.
94
b. Persepsi masyarakat muslim tentang perceraian. Islam mengajarkan
bahwa talak adalah perbuatan halal walaupun dibenci. Namun tidak ada
ulama yang mengharamkan perceraian. Apalagi bila perceraian adalah
sebagai jalan keluar dari konflik rumah tangga yang akan
membahayakan salah satu pihak atau keduanya.
c. Tekanan sosial bagi pelaku perceraian yang semakin mengendur. Pada
masa lalu ada kesan stereotip bagi laki-laki dan/atau wanita yang
memutuskan ikatan perkawinan dengan pasangannya. Namun saat ini
kesan itu sudah berkurang, bahkan cenderung hilang di lingkungan
masyarakat perkotaan.
d. Semakin meningkatnya kualitas pendidikan masyarakat terutama
perempuan. Maka istri yang berpendidikan tinggi jika diceraikan oleh
suaminya tidak lagi khawatir akan nafkah dirinya dan anak-anaknya.
Dengan bekal pendidikan yang dimiliknya, seorang wanita dapat mencari
pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhannya. Maka dapat kita lihat pada
tahun 2006-2009, angka cerai gugat lebih tinggi dari pada angka cerai
talak.
C. Tingkat Keberhasilan Mediasi
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama
Depok, penulis menggunakan Laporan Pemberdayaan Lembaga Perdamaian
Pengadilan Agama Depok Tahun 2009 dan 2010. Data laporan tersebut
95
merupakan laporan bulanan yang kemudian dirangkum dalam laporan tahunan di
Pengadilan Agama. Didalamnya dapat diketahui perkara yang masuk ke lembaga
perdamaian setiap bulan dan dilaporkan hasil mediasi yang berhasil maupun
yang tidak berhasil. Sehingga dengan laporan ini, dapat diketahui dengan mudah
jumlah perkara yang dimediasi dan hasilnya.
Laporan pemberdayaan lembaga perdamaian di Pengadilan Agama
Depok mulai dibukukan mulai tahun 2009, walaupun PERMA lahir tahun 2008.
Hal tersebut dikarenakan prosedur mediasi yang baru membutuhkan waktu dalam
hal implementasi di lapangan. Dan sesuatu yang wajar, bahwasanya aturan yang
baru disahkan tidak dapat langsung dilaksanakan dalam waktu singkat, karena
membutuhkan proses yang cukup lama.
Berikut penulis rangkum laporan pemberdayaan lembaga perdamaian,
kemudian dihitung prosentase keberhasilan mediasi tiap tahunnya.
96
Tabel 14
LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN
PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2009*
NO BULAN JUMLAH PERKARA
KETERANGAN
BERHASIL TIDAK
BERHASIL
1 Januari 40 15 25
2 Februari 17 4 13
3 Maret 30 0 30
4 April 17 3 14
5 Mei 26 4 22
6 Juni 40 4 36
7 Juli 10 1 9
8 Agustus 20 1 19
9 September 7 0 7
10 Oktober 17 2 15
11 November 24 2 22
12 Desember 21 2 19
TOTAL 269 38 231 *Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
Untuk mengetahui prosentase perkara perceraian yang berhasil di mediasi
dalam 1 (satu) tahun dapat menggunakan rumusan sebagai berikut:77
Berdasarkan rumusan diatas dapat diketahui prosentase perkara perceraian
yang berhasil di mediasi pada tahun 2009 sebagai berikut:
77
Ali Muhtarom, Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian. Artikel
diakses pada tanggal 10 April 2011 di
http://badilag.net/data/ARTIKEL/tolakukur/efektifitas/mediasi.pdf
Jumlah perkara yang dicabut X 100 %
Jumlah perkara yang diputus
38 X 100 % = 14,1 %
269
97
Maka dapat diketahui bahwa perkara perceraian yang berhasil dimediasi pada
Pengadilan Agama Depok selama tahun 2009 adalah sebesar 14,1 % dari semua
perkara perceraian yang diputus.
Tabel 15
LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN
PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2010
NO BULAN JUMLAH PERKARA
KETERANGAN
BERHASIL TIDAK
BERHASIL
1 Januari 17 1 16
2 Februari 22 4 18
3 Maret 16 0 16
4 April 7 0 7
5 Mei 4 1 3
6 Juni 12 1 11
7 Juli 12 1 11
8 Agustus 12 1 11
9 September 19 3 16
10 Oktober* 0 0 0
11 November 26 1 25
12 Desember 40 0 40
TOTAL 187 13 174
*Data hilang, tidak tercantum dalam laporan tahunan. *Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
Prosentase perkara perceraian yang berhasil di mediasi pada tahun 2009
sebagai berikut:
13 X 100 % = 6,9 %
187
98
Maka dapat diketahui bahwa perkara perceraian yang berhasil dimediasi pada
Pengadilan Agama Depok selama tahun 2010 adalah sebesar 6,9 % dari semua
perkara perceraian yang diputus.
D. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Mediasi
Keberhasilan atau kegagalan mediasi sangat dipengaruhi faktor-faktor
pendukung dan penghambat selama proses mediasi. Berikut faktor-faktor
pendukung keberhasilan mediasi:
a. Kemampuan Mediator.
Mediator yang pandai mengelola konflik dan berkomunikasi sehingga
dapat mengupayakan adanya titik temu antara para pihak akan mudah
mendorong terjadinya perdamaian. Oleh karena itu, kemampuan seorang
mediator berpengaruh akan keberhasilan mediasi.
Dibutuhkan pula kejelian mediator untuk mengungkap apakah
permasalahan diantara para pihak dan kebijaksanaan mediator dalam
memberikan solusi, sehingga para pihak berhasil menyelesaikan masalahnya
dengan damai dan baik.78
b. Faktor Sosiologis dan Psikologis.
Kondisi sosial para pihak menentukan akan keberhasilan mediasi.
Misalnya, seorang wanita yang menggugat cerai suaminya akan berfikir akan
78
Wawancara dengan Sufita Netti, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat
pada tanggal 11 Mei 2011.
99
nafkah dirinya dan anak-anaknya. Bagi wanita yang tidak memiliki pekerjaan
atau memiliki penghasilan namun khawatir kekurangan akan berfikir ulang
untuk menggugat cerai suaminya. Namun, wanita yang sudah memiliki
pekerjaan tetap dan bahkan penghasilan yang cukup, kecenderungan untuk
berpisah dengan suaminya lebih kuat.
Kondisi psikologis para pihak dapat mempengaruhi keberhasilan
mediasi. Seseorang yang ingin berpisah dengan pasangannya pasti telah
merasa ketidaknyaman bahkan penderitaan fisik maupun psikis yang
berlangsung lama. Semakin besar tekanan yang ada pada diri seseorang,
berarti semakin besar pula keinginannya untuk berpisah dengan pasangannya.
Faktor intern dari para pihak terutama faktor kejiwaan dapat
mendukung keberhasilan mediasi.79
c. Moral dan Kerohanian.
Prilaku para pihak yang baik dapat memudahkan mediator untuk
mengupayakan perdamaian. Namun, prilaku yang buruk dapat menjadikan
salah satu pihak tidak mau kembali rukun karena bila kembali dalam ikatan
perkawinan akan memperburuk kehidupannya. Begitu pula tingkat
kerohanian seseorang berpengaruh pada keberhasilan mediasi. 80
79
Disampaikan oleh Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa
Barat saat wawancara pada tanggal 11 Mei 2011.
80
Ketiga faktor tersebut disampaikan saat wawancara dengan E. Kurniawati dan Sulkha
Herwiyanti, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
100
d. Iktikad Baik Para Pihak.
Saat proses mediasi berlangsung, mediator berperan sebagai penengah
yang berusaha mendamaikan para pihak. Namun sebaik apapun usaha yang
dilakukan mediator dalam mendamaikan tidak akan berhasil bila tidak
didukung oleh iktikad baik para pihak untuk dirukunkan serta kesadaran
masing-masing pihak akan kekurangannya sehingga dapat saling memaafkan
dan memulai hidup rukun kembali. Terutama iktikad baik pihak
Pemohon/Penggugat untuk berdamai dan menerima Termohon/Tergugat
untuk hidup bersama.81
Sedangkan faktor-faktor penghambat keberhasilan mediasi adalah sebagai
berikut:
a. Keinginan Kuat Para Pihak Untuk Bercerai.
Seringkali terjadi saat mediasi salah satu pihak bahkan keduanya
sudah sangat kuat keinginannya untuk bercerai. Kedatangan mereka ke
Pengadilan Agama biasanya terjadi akibat tidak berhasilnya upaya
perdamaian yang dilakukan oleh pihak keluarga. Sehingga hal ini yang sering
menyulitkan mediator untuk mengupayakan perdamaian.82
81
Wawancara dengan Fauziah dan Sarnoto, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Depok,
Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011.
82
Wawancara dengan Fauziah dan Sarnoto, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Depok,
Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011.
101
b. Sudah Terjadi Konflik yang Berkepanjangan.
Konflik yang terjadi diantara para pihak sudah terjadi berlarut-larut,
saat mediasi para pihak tidak dapat diredam emosinya, sehingga para pihak
tidak dapat menerima lagi masukan-masukan dari mediator dan merasa benar
sendiri.
Bahkan, sering terjadi pihak Pemohon/Penggugat sudah tidak bisa
memaafkan pihak Termohon/Tergugat sehingga sulit untuk rukun lagi.83
c. Faktor Psikologi atau Kejiwaan.
Kekecewaan yang sangat dalam terhadap pasangan hidupnya
seringkali memunculkan rasa putus harapan seseorang akan ikatan
perkawinannya. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mengakhiri
perkawinannya.84
83
Wawancara dengan E. Kurniawati dan Sulkha Herwiyanti, Hakim Mediator di Pengadilan
Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
84
Disampaikan oleh Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa
Barat saat wawancara pada tanggal 11 Mei 2011.
102
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama Depok, penulis menyimpulkan bahwa mediasi belum efektif.
Adapun faktor-faktor penyebabnya adalah sebagai berikut:
1. Tingkat kepatuhan masyarakat yang menjalani proses mediasi sangat rendah.
Faktor ini yang menjadi penyebab utama belum efektifnya mediasi di
Pengadilan Agama Depok.
2. Budaya masyarakat yang beranggapan bahwa perceraian bukanlah sebuah aib
bagi pribadi maupun keluarga. Begitu pula kemajuan tingkat pendidikan dan
ekonomi masyarakat turut mempengaruhi persepsi bahwa perceraian
bukanlah masalah dalam menjalani kehidupan.
3. Fasilitas dan sarana mediasi di Pengadilan Agama Depok masih kurang
memadai baik dari segi ruang mediasi maupun fasilitas penunjang
didalamnya.
4. Kualitas hakim yang ditunjuk sebagai mediator belum merata. Hanya ada 2
(orang) yang telah mengikuti pelatihan mediasi yang diselenggarakan oleh
Mahkamah Agung RI.
103
B. Saran
Di bagian akhir ini, penulis memberikan saran-saran yang ditujukan
kepada pihak-pihak yang terkai sebagai berikut:
1. Kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama yang membawahi
Kantor Urusan Agama (selanjutnya disebut KUA) dan Badan Penasihatan,
Pembinaan dan Pelestarian Pernikahan (selanjutnya disebut BP4), agar
memberikan pelatihan dan pembinaan kepada calon pasangan yang ingin
kawin. Hal ini dilakukan agar mereka memiliki pengetahuan yang cukup
serta kesiapan mental baik, sehingga terhindar dari perceraian yang
disebabkan ketidaksiapan mereka menjalani kehidupan rumah tangga. Hal ini
sebagai tindakan preventif terhadap perceraian.
2. Kepada Mahkamah Agung, agar segera mengeluarkan PERMA tentang
kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang menjalankan fungsi
mediator yang telah diamanatkan dalam Pasal 25 ayat (2) PERMA Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan; menyelenggarakan
pelatihan mediasi kepada hakim yang ditetapkan sebagai mediator yang
belum mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh MA pada tahun 2009;
dan membangun ruang mediasi dan fasilitas lainnya yang baik demi
menunjang pelaksanaan mediasi di pengadilan agama.
3. Kepada Pengadilan Agama, agar menjalankan proses mediasi dengan sebaik-
baiknya sesuai dengan aturan yang ada serta mengoptimalkan kinerja
mediator dari hakim yang telah ditetapkan; hendaknya disiapkan mediator
104
bersertifkat dari luar pengadilan untuk memenuhi kebutuhan mediator terlatih
yang jumlahnya masih sangat sedikit di pengadilan agama; dan melakukan
evaluasi kinerja mediator secara rutinn.
4. Kepada para hakim yang ditetapkan menjadi mediator, agar melaksanakan
tugas dengan baik sesuai dengan pelatihan mediasi yang telah diberikan MA
dan bagi yang belum mendapatkan pelatihan supaya belajar secara mandiri
sehingga mampu bersaing secara kualitas dengan yang telah mendapatkan
pelatihan.
5. Kepada para akademisi hukum, agar memberikan pembelajaran tentang
mediasi secara komprehensif disertai dengan praktikum teknis bermediasi.
Hal demikian sangat membantu para mahasiswa yang akan terjun di dunia
hukum dan peradilan.
105
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal. Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009.
Ali, Achmad. Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan. Jakarta:
Badan Penerbit IBLAM, 2004, Cet. Ke-1.
Al-Bukhari, Muhammad bin „Ismail. Shahih al-Bukhari. Juz 3. Kairo: Dar al-Hadis,
2000, Cet. Ke-1.
Al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats. Sunan Abu Dawud. Juz 2. Beirut:
Dar al-Kutub al-„Arabi, t.t.
Al-Syarbini, Muhammad Khatib. Mughni al-Muhtaj Juz 2. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Budiardjo, Ali. dkk. Law Reform in Indonesia: Diagnostic Assessment of Legal
Development in Indonesia: Result of a Research Study Undertaken for The
World Bank, vol. I. Jakarta: Cyber Consult.
Dewi, Gemala (ed.). Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006, Cet. Ke-2.
Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiono. Metode Penelitian Hukum. Surakarta:
UMS Press, 2004.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996, Cet. Ke-23.
Fauzan, M. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syari‟ah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, Cet. Ke-1.
106
Garner, Bryan A. (ed.). Black‟s Law Dictionary, 8th
ed. USA: West, 2004.
Goode, William J. Sosiologi Keluarga. Penerjemah Lailahanoum Hasyim. Jakarta:
Bumi Aksara, 2007, Cet. Ke-7.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika,
2008, Cet. Ke-7.
----------------------------. Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan
Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet. Ke-
2.
Head, John W. Pengantar Umum Hukum Ekonomi. Jakarta: Proyek ELIPS, 1997.
Hejazziey, Djawahir (ed.). Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum, 2007, Cet. Ke-1.
Ibnu Hibban, Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Busti.
Shahih Ibnu Hibban bi Tartibi Ibnu Bilban. Juz 11. Beirut: Muassasah al-
Risalah, 1993, Cet. Ke-2.
Ibnu Katsir, Abu al-Fida Isma‟il bin „Umar bin Katsir al-Qurasy al-Dimasyqi. Tafsir
al-Quran al-„Azhim, Juz 2. Riyad: Dar Thayibah, 1999, Cet. Ke-2.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing, 2007, Cet. Ke-3.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Buku Tanya dan Jawab Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di
107
Pengadilan. Mahkamah Agung RI, Japan International Cooperation Agency
(JICA), dan Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), 2008.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008.
Marbun, B.N. Kamus Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 2006, Cet. Ke-1.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Musthofa Sy. Kepaniteraan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media,
2005, Cet. Ke-1.
Nasution, Bahder Johan. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju,
2008, Cet. Ke-1.
Pengadilan Agama Depok. Laporan Pemberdayaan Lembaga Perdamaian Tahun
2009 dan 2010.
Qudamah, Ibnu. al-Mughni Juz 5. Beirut: Dar al-Fikr, 1984, Cet. Ke-1.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Adytia Bakti, 2000.
-----------------------. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah.
Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, Cet. Ke-2.
Romy H, Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah Juz 3. Kairo: Dar al-Fath, 1990.
Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007.
108
--------------------------. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1989, Cet. Ke-5.
--------------------------. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta:
RajaGrafindo, 2001.
-------------------------. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1984.
--------------------------. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2006, Cet. Ke-5.
Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006, Cet. Ke-1.
Sutiyoso, Bambang. Aktualita Hukum dalam Era Reformasi: Paparan Aktual
Berbagai Permasalahan Hukum dan Solusinya Selama Proses Reformasi di
Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet. Ke-2.
Tresna, R. Komentar HIR. Jakarta: Pradnya Paramita, 2005, Cet. Ke-18.
Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung: PT.
Citra Adytia Bakti, 2003.
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi: Dalam Perkara Perdata di Lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Bandung: Alfabeta, 2010, Cet. Ke-
1.
Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Juz 6. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
109
Peraturan Perundang-undangan:
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
-------------------------. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Situs Internet:
Fajar, Asep Rahmat. Potret Dunia Peradilan Indonesia: Refleksi dan Proyeksi.
Jakarta: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH-UI, t.t. Di akses pada
tanggal 06 November 2010 dari http://www.pemantauperadilan.com/opini/57-
POTRET%20DUNIA%20PERADILAN%20INDONESIA.pdf
----------------------- . Wajah Lembaga Peradilan Indonesia: Kenyataan dan Harapan.
Jakarta: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH-UI, t.t. Di akses pada
tanggal 06 November 2010 dari
http://www.pemantauperadilan.com/opini/29.WAJAH%20LEMBAGA%20P
ERADILAN%20INDONESIA.pdf
Hakim, Nurul. Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Dalam Hubungannya Dengan Lembaga Peradilan. Artikel diakses
pada tanggal 10 Mei 2011 dari
http://badilag.net/data/ARTIKEL/efektifitas.pdf
110
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Profil Peradilan Agama Tahun 2007, 2008,
2009, dan 2010. Data diakses dari
http://www.badilag.net/data/PROFIL/ebook-profil-PA07en.pdf,
http://badilag.mahkamahagung.go.id/data/ditbinadpa/TABEL%20DATA%20
PERSENTASE%20PERKARA%20CT%20CG%20PERK%20LAIN%20YG
%20DIPUTUS%20TAHUN%202008.pdf,
http://www.badilag.net/data/ditbinadpa/peradilan%20agama%20V%20indone
sia%202009.pdf, dan
http://www.badilag.net/data/PROFIL/peradilan%20agama%20V%20indonesi
a%202010.pdf pada tanggal 05 Mei 2011.
Muhtarom, Ali. Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian.
Artikel diakses pada tanggal 10 April 2011 di
http://badilag.net/data/ARTIKEL/tolakukur/efektifitas/mediasi.pdf
Runtung. Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Indonesia: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu
Hukum Adat FH-Universitas Sumatera Utara. Medan: USU, 2006. Di akses
pada tanggal 06 November 2010 dari
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2006/ppgb_2006_runtung.pdf
Siddiki. Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya
Ringan. Artikel. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari
http://www.badilag.net/artikel/mediasi.pdf
111
Sunarmi. Membangun Sistem Peradilan di Indonesia. Artikel. Medan: e-USU
Repository, 2004. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1576/1/perdata-sunarmi3.pdf
Tampubolon, Muhammad Buchary Kurniata. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Kinerja Pengadilan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata di
Pengadilan Negeri: Tesis Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro. Semarang: UNDIP, 2008. Di akses pada tanggal 06 November
2010 dari
http://eprints.undip.ac.id/18261/1/Muhammad_Buchary_Kurniata_Tampubol
on.pdf
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : E. Kurniati S.Ag.
NIP : 19560726.198003.2.001
Jabatan : Hakim
Usia : 55 tahun
Hari/Tanggal : Rabu, 11 Mei 2011
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok?
Sejak kapan?
Ya, sejak November 2010.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama Depok.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu?
Pada tahun berapa?
Tidak/belum.
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
Tidak, karena serifikasi mediator diberikan hanya kepada yang mengikuti
pelatihan bertaraf nasional yang pesertanya sangat terbatas.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
Perlu, karena lebih baik apabila mediator mempunyai teknik-teknik yang
terprogram.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat
yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, sebab ada dampak yang disampaikan kepada para pihak sebelum
berperkara bahwa mediasi akan menjembatani para pihak dalam menyelesaikan
masalah yang buntu.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
-
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
Tidak, karena dalam beberapa hal akan memperpanjang rantai penyelesaian
perkara dan menjadi sangat mengikat.
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator
di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana
bentuk sosialisasinya?
Sudah dilakukan sosialisai baik secara khusus dalam bentuk pelatihan,maupun
dalam setiap pertemuan di setiap tingkat. (MA, PTA, dan PA).
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena masing masing pihak mempunyai kepentingan yang sama yaitu
sama-sama merasa lebih memperlancar proses ber”acara”di persidangan.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator?
Mediasi berarti mempertemukan kedua pihak yang bermasalah melalui juru bicara
agar tercapai perdamaian atau minimal ada titik temu dalam tujuan yang akan
dicapai atau meminimalisis perbedaan-perbedaan antar dua pihak yang
bermasalah.
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
Sangat diperlukan, sebab mendamaikan para pihak di persidangan waktunya sangat
terbatas, tetapi dengan mediasi bisa lebih leluasa dan bisa dilakukan secara
parsial.
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Ya, maksimal 40 hari.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
Melanjutkan persidangan.
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan
kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
Ya ada, masing-masing pribadi lebih terbuka menyampaikan permasalahannya.
b. Bila tidak, kenapa?
-
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
-Faktor teknik mediator.
-Faktor sosiologis dan psikologis.
-Faktor moral dan kerohanian.
Kesemua hal tersebut sangat berpengaruh kepada para pihak.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
-Para pihak tidak bisa diredam emosinya, sehingga para pihak tidak dapat
menerima lagi masukan-masukan dari mediator dan merasa benar sendiri.
-Pihak penggugat/pemohon sudah tidak bisa memaafkan pihak tergugat/ sehingga
sulit untuk rukun lagi.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi
cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena mempertemukan perbedaan-perbedaan pendapat dalam perkara
perceraian juga memang digunakan dan cocok dengan melalui mediasi .
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang
dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan
fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Belum.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Tidak.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu
lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Tidak disediakan anggaran untuk itu.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik
dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan
Agama Depok?
Cukup baik, tapi tidak ideal.
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
Ruang yang tersedia hanya satu, tidak sebanding dengan jumlah orang yang
akan melakukan mediasi.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
-Tidak, karena diperlukan biaya untuk membayarnya.
D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi?
Sebagian besar merasa puas.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam
proses mediasi?
-Masing masing pihak merasa di posisi yang benar.
-Merasa telah tercapai kata sepakat untuk mengakhiri perkawinan dengan
perceraian.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli
dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu
pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara
perceraian?
Belum pernah.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Sepanjang tidak ada relevansinya maka belum diperlukan.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah
siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena saling membutuhkan pencerahan dan kemudahan dalam berproses
perkara.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(E. Kurniati S.Ag.) (Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Dra. Hj. Fauziah, M.H.
NIP : 19671108.199303.2.001
Jabatan : Hakim
Usia : 44 tahun
Hari/Tanggal : Selasa, 10 Mei 2011
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok?
Sejak kapan?
Sejak bertugas di Pengadilan Agama Depok tahun 2010.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu?
Pada tahun berapa?
-
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
Karena belum mendapat pelatihan mediator.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
Perlu, karena akan menambah keterampilan Hakim dalam melakukan mediasi.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi
masyarakat yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena bila tidak dilaksanakan dapat menjadikan Putusan Pengadilan Batal
Demi Hukum.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
-
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
Tidak, karena perkembangan hukum itu sangat cepat.
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator
di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana
bentuk sosialisasinya?
Sudah, dengan mengikutsertakan salah satu/beberapa hakim dalam pelatihan
mediator dan menerbitkan PERMA untuk dibagikan kepada Para Hakim.
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, setiap perkara yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara harus
diperintahkan untuk dilakukan mediasi terlebih dahulu sebelum pemeriksaan
pokok perkara.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator?
-Mediasi adalah satu upaya perdamaian di luar pengadilan guna mencari titik temu
dalam masalah yang disengketakan.
-Fungsi mediator sebagai jembatan atau penengah dalam mencari solusi.
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
-Sangat diperlukan.
-Ya.
-Karena ketika mediasi, kita bisa berbicara lebih rileks dan terbuka, sehingga
perdamaian itu lebih mudah diwujudkan.
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Pada umumnya dalam ruangan tertutup tersendiri dan hanya 1 (satu) hari, bila
keadaan tertentu bisa lebih.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
Dalam PERMA ada tahapan Kaukus (pertemuan sepihak), dimana mediator dalam
menggali keinginan/hal-hal yang mendalam mendengar secara terpisah dan
masing-masing pihak diberi kesempatan yang sama.
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan
kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
Ya ada pengaruhnya, setidak-tidaknya dapat meredakan emosi para pihak.
b. Bila tidak, kenapa?
-
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
-Faktor utama adalah iktikad baik dari para pihak sendiri untuk dapat dirukunkan.
-Kesadaran akan masing-masing kekurangannya sehingga dapat saling memaafkan
dan memulai hidup rukun kembali.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
-Karena keadaan rumah tangga sudah sangat komplek dan kedua belah pihak
sudah ingin mengakhiri pernikahannya.
-Salah satu pihak sangat kuat keinginannya untuk bercerai.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi
cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Cocok, karena mediasi merupakan bagian dari upaya perdamaian.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang
dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan
fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Belum.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Tidak ada insentif bagi hakim.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu
lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Sudah menjadi tugas dan kewajiban sebagai hakim mediator.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik
dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan
Agama Depok?
-
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
Karena ruang mediasi baru ada satu dan didalamnya difungsikan 2 (dua) meja
sebagai tempat pelayanan mediasi, sehingga kurang eksklusif.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak ada, karena mediator dari hakim yang ada sudah dianggap cukup.
D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses
mediasi?
Ada yang menerima dengan senang hati dan ada pula yang menganggap tidak
perlu karena sudah sangat keras untuk bercerai.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam
proses mediasi?
Salah satu pihak atau keduanya sudah sama-sama kuat kehendaknya untuk
bercerai.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli
dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah
Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan
dalam perkara perceraian?
Tidak pernah.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Karena masih belum diperlukan untuk mengundang ahli.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama
sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
-
b. Bila tidak, apa alasannya?
Karena tidak semua pihak siap untuk dilakukan mediasi, mereka menginginkan
perkara cepat selesai dan sangat kuat keinginan untuk bercerai.
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(Dra. Hj. Fauziah, M.H.) (Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Dra. Nurmiwati
NIP : 19671225.199303.2.002
Jabatan : Hakim
Usia : 44 tahun
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama
Depok? Sejak kapan?
April 2009.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada
Bapak/Ibu? Pada tahun berapa?
-
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
Belum mengikuti pelatihan mediator.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
Perlu untuk meningkatkan SDM Peradilan.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi
masyarakat yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
-
b. Bila tidak, apa alasannya?
Tidak, karena upaya mediasi hak bagi para pihak pengadilan tidak dapat
memaksa.
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
-
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
Sudah ada UU tentang ADR dan UU No 30 Tahun 1999.
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim
mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan?
Bagaimana bentuk sosialisasinya?
Sudah dengan pelatihan.
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
Efektif, namun masih perlu ditingkatkan SDM mediator.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi
mediator?
Mediasi adalah mencari titik temu yang diinginkan oleh kedua pihak dengan
difasilitasi oleh mediator.
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
-Perlu mediasi,
-Untuk efektivitas dan efisiensi persidangan.
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Prinsipnya tertutup, namun para pihak dapat meminta yang lain sesuai
kesepakatan.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
-
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator
dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
-
b. Bila tidak, kenapa?
Belum perlu.
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
-Iktikad baik dari kedua pihak.
-Persoalan yang tidak terlalu ruwet.
-Persuasif yang baik.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
-Persoalan terlalu rumit.
-Persuasif kurang.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah
mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Perlu, karena boleh jadi gugatan yang diajukan oleh pihak hanya karena
emosi atau soek terapi, dengan mediasi pihak dapat diingatkan/tersadar
kembali.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan
sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang
berhasil menjalankan fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Belum.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Belum.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang
Bapak/Ibu lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Sudah menjadi tugas hakim yang diamanatkan oleh PERMA No 1 Tahun
2008.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap
baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di
pengadilan Agama Depok?
-
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
Belum, satu ruang dipakai oleh 2 (dua) mediator.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak, karena itu bukan tugas PA,
D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses
mediasi?
Untuk perkara perceraian lebih banyak yang ingin tidak perlu mediasi.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan
dalam proses mediasi?
-Persoalan yang sudah ruwet
-Tersinggung harga dirinya.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih
ahli dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah
Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan
dalam perkara perceraian?
Tidak.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Belum diperlukan.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama
sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena proses mediasi sifatnya wajib, bila tidak dilalui dapat
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
Depok, 13 Mei 2011
Yang Diwawancarai Yang Mewawancarai
(Dra. Nurmiwati) (Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Drs. Sarnoto, M.H.
NIP : 19671225.199403.1.005
Jabatan : Hakim
Usia : 44 tahun
Hari/Tanggal : Selasa, 10 Mei 2011
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok?
Sejak kapan?
Sejak tahun 2006.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu?
Pada tahun berapa?
Ya punya, dari MA RI tahun 2009.
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
-
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
Perlu, karena dengan pelatihan mediasi akan menambah keterampilan hakim
dalam melaksanakan mediasi.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi
masyarakat yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena bila pihak pencari keadilan tidak mau melaksanakan mediasi, maka
putusan pengadilan menjadi batal demi hukum.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
-
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
Tidak perlu, karena perkembangan hukum itu sangat cepat dan problem hukum
selalu datang duluan baru itu solusi hukumnya.
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator
di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana
bentuk sosialisasinya?
Sudah, dengan memanggil/mengikutsertakan salah satu/beberapa hakim secara
bertahap untuk mengikuti pelatihan dan dengan menerbitkan PERMA tersebut
untuk dibagikan kepada para hakim.
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, setiap perkara yang pada awal prinsipnya dua-duanya (kedua belah pihak)
hadir; Majelis Hakim selalu mewajibkan dilakukan mediasi terlebih dahulu
sebelum pemeriksaan pokok perkara dilanjutan.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator?
Mediasi adalah upaya untuk mencari titik temu atau kesamaan pandangan antara
pihak yang berperkara dalam menyelesaikan perkaranya.
Mediator hanya berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan penengah (wasit).
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
Mediator diberi kebebasan oleh Majelis Hakim untuk menentukan proses mediasi
sesuai PERMA.
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Mediasi selalu harus tertutup; pada umumnya pihak berperkara hanya 1 (satu) kali
melaksanakan mediasi.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
Dalam PERMA ada tahap KAUKUS (pertemuan sepihak), mediator mencoba
menggali keinginan pihak secara tertulis dan masing-masing pihak diberi
kesempatan yang sama.
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan
kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
Ya, ada pengaruhnya yaitu setidak-tidaknya dapat mengendalikan emosi para
pihak.
b. Bila tidak, kenapa?
-
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
Faktor utama adalah tekad/iktikad para pihak sendiri untuk kembali rukun,
terutama pihak Pemohon/Penggugat yang masih bisa menerima
Termohon/Tergugat untuk kembali bersama.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
-Kedua belah pihak sudah sama-sama menghendaki perceraian.
-Salah satu pihak sangat kuat keinginannya untuk bercerai.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi
cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Cocok, karena mediasi adalah salah satu dari upaya perdamaian yang
kemudian diformulasikan sebagai bagian hukum acara perdata.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang
dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan
fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Belum.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Tidak ada insentif bagi hakim yang berhasil dalam mediasi.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu
lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Dalam PERMA telah ditegaskan bahwa mediasi yang dilakukan di pengadilan
dan oleh mediator hakim tidak dipungut biaya.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik
dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan
Agama Depok?
-
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
Ruang mediasi baru 1 (satu) dan didalamnya ada 3 (tiga) meja yang berfungsi
semua sebagai pelayanan mediasi dan tidak tersedia ruang kaukus.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak ada, karena mediator dari hakim masih dianggap cukup dan sanggup
untuk melayani pihak-pihak.
D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses
mediasi?
Ada yang dengan kooperatif dan senang sekali untuk melakukan mediasi dan ada
pula yang menolak untuk mediasi.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam
proses mediasi?
Salah satu pihak atau kedua-duanya sudah sama-sama menghendaki perceraian.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli
dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah
Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan
dalam perkara perceraian?
Tidak pernah.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Sampai saat ini belum atau tidak perlu untuk mengundang ahli.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama
sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
-
b. Bila tidak, apa alasannya?
Tidak semua pihak siap untuk melakukan mediasi, karena tidak semua pihak
memahami tentang maksud dan tujuan mediasi.
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(Drs. Sarnoto, M.H.) (Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H.
NIP : 19680915.199403.2.004
Jabatan : Hakim
Usia : 43 tahun
Hari/Tanggal : Rabu, 11 Mei 2011
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok?
Sejak kapan?
Ya.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama Depok.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu?
Pada tahun berapa?
-
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
Tidak, karena belum mengikuti pelatihan mediator.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
Perlu, karena hakim sering diminta para pihak untuk menjadi mediator dalam
perkaranya.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi
masyarakat yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena mediasi akan menjembatani para pihak dalam meyelesaikan
masalahnya sehingga mencapai/memperoleh solusi terbaik bagi mereka.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
-
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
Tidak perlu, karena dalam bentuk PERMA saja saat ini sudah cukup/memadai
dan mengikat.
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim
mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan?
Bagaimana bentuk sosialisasinya?
Sudah dengan menjadi salah seorang hakim Pengadilan Agama Depok untuk
mengikuti pelatihan mediator.
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
-
b. Bila tidak, apa alasannya?
Ya, karena dengan mediasi terhadap para pihak membuat proses beracara di
lingkungan kerja dan mudah (memperlancar proses beracara).
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi
mediator?
Mediasi adalah mempertemukan dua pihak yang bermasalah melalui juru
bicara/juru runding agar tercapai perdamaian atau minimal ada titik temu dalam
tujuan yang akan dicapai atau meminimalisir perbedaan-perbedaan antara dua
pihak yang bermasalah.
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
Sangat diperlukan, sebab mendamaikan para pihak di persidangan sangat terbatas
waktunya. Dengan mediasi bisa lebih leluasa dan bisa dilakukan secara parsial
(kaukus).
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Ya, maksimal 40 (empat puluh) hari.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
Melanjutkan persidangan untuk menyelesaikan perkara lagi.
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan
kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
Ya, dapat karena masing-masing pribadi lebih leluasa dan terbuka
menyampaikan keluhannya.
b. Bila tidak, kenapa?
-
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
-Teknis menyampaikan mediator.
-Faktor sosiologi dan psikologis.
-Faktor rohani.
-Faktor moral.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
-Bila para pihak tidak dapat diredam emosinya.
-Sebagian para pihak tidak dapat menerima lagi masukan-masukan dari mediator
dan merasa benar sendiri.
-Bila pihak Penggugat/Pemohon sudah tidak bisa memaafkan pihak
Tergugat/Termohon.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi
cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena mempertemukan perbedaan-perbedaan terdapat dalam perkara
perceraian juga diperlukan dan cocok dengan melalui mediasi.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang
dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan
fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Belum.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Tidak.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu
lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Tidak disediakan anggaran untuk itu.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik
dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan
Agama Depok?
Cukup baik tapi tidak ideal.
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
Ruang yang tersedia hanya satu tidak sesuai dengan jumlah orang yang akan
melakukan mediasi.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak, karena diperlukan biaya untuk membayarnya.
D. Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses
mediasi?
Sebagian besar merasa puas.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam
proses mediasi?
-Masing-masing pihak merasa di posisi yang benar.
-Merasa telah tercapai kata sepakat untuk mengakhiri perkawinan dengan
perceraian.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli
dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah
Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan
dalam perkara perceraian?
Belum pernah.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Sepanjang tidak ada relevansinya maka belum diperlukan.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama
sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena saling membutuhkan, diantaranya untuk pemecahan dan
kemudahan dalam berproses perkara.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H.) (Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Umar Faruq, S.Ag., M.H.I.
NIP : 19700101.199703.1.007
Jabatan : Hakim
Usia : 41 tahun
Hari/Tanggal : Jum’at, 13 Mei 2011
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama
Depok? Sejak kapan?
Ya, sejak Januari 2011.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada
Bapak/Ibu? Pada tahun berapa?
-
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
Belum mengikuti pelatihan mediator.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
-Perlu untuk peningkatan SDM Peradilan.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi
masyarakat yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
-
b. Bila tidak, apa alasannya?
Tidak, karena upaya mediasi hak bagi para pihak, Pengadilan tidak dapat
memaksa.
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
-
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
Sudah ada UU tentang ADR dan UU No 30 Tahun 1999.
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim
mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan?
Bagaimana bentuk sosialisasinya?
Sudah dengan pelatihan-pelatihan.
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
Efektif, namun masih perlu ditingkatkan SDM mediator.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi
mediator?
Mediasi berarti mencari titik temu yang diinginkan oleh kedua pihak dengan
difasilitasi oleh mediator.
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
-Perlu mediasi.
-Untuk efektivitas dan efisiensi persidangan.
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Prinsipnya tertutup, namun para pihak dapat meminta yang lain sesuai
kesepakatan.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
-
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator
dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
-
b. Bila tidak, kenapa?
Belum perlu.
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
-Iktikad baik dari kedua pihak.
-Persoalan yang tidak terlalu ruwet
-Persuasif yang baik.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
-Persoalan sudah rumit
-Persuasif sudah kurang.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah
mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Perlu, karena boleh jadi gugatan yang diajukan oleh pihak hanya karena
emosi atau shock terapy, dengan mediasi pihak dapat diingatkan/tersadar.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan
sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang
berhasil menjalankan fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Belum.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Belum.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang
Bapak/Ibu lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Sudah menjadi tugas hakim yang diamanatkan oleh PERMA No 1 Tahun
2008.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap
baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di
pengadilan Agama Depok?
-
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
-Belum.
-Satu ruang dipakai oleh 2(dua) orang mediator.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak, karena itu bukan tugas Pengadilan Agama.
D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses
mediasi?
Untuk perkara perceraian lebih banyak yang ingin tidak perlu mediasi.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan
dalam proses mediasi?
-Persoalan yang sudah ruwet.
-Tersinggung harga dirinya.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih
ahli dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah
Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan
dalam perkara perceraian?
Tidak.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Belum diperlukan.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama
sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena proses mediasi sifatnya wajib, bila tidak dapat mengakibatkan
putusan batal demi hukum.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(Umar Faruq, S.Ag., M.H.I.) (Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Drs. H. Bambang Hermanto, M.H.
NIP : 19590919.198903.1.001
Jabatan : Hakim
Usia : 50 tahun
Hari/Tanggal : Rabu, 11 Mei 2011
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama
Depok? Sejak kapan?
Ya, sejak tahun 2010.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada
Bapak/Ibu? Pada tahun berapa?
Belum bersertifikat.
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
Belum ikut pelatihan sertifikat mediator.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
Ya, sangat perlu. Supaya lebih efektif.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi
masyarakat yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena setiap pemeriksaan harus diupayakan perdamaia dan mediasi
sendiri merupakan kepanjangan upaya perdamaian.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
Ya perlu supaya ada keseragaman beracara.
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
-
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim
mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan?
Bagaimana bentuk sosialisasinya?
Sudah melalui pembinaan rutin oleh Ketua Pengadilan Agama.
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
-
b. Bila tidak, apa alasannya?
Belum efektif, alasannya sebagian besar mediator belum bersertifikat.
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi
mediator?
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dibantu oleh mediator. Mediator berfungsi
sebagai penengah bagi pihak pihak berperkara.
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
Ya proses mediasi diperlukan, ya memang majelis hakim berkewajiban
mendamaikan dalam persidangan, sedangkan mediator di luar persidangan dan
dari integrasi ada kesan untuk ada alternatif penyelesaian di luar sidang dan
menghindari penumpukan.
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Ya proses mediasi dilakukan secara tertutup dan biasanya berlangsung 1-2
minggu.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
Jika sudah diupayakan tetapi menemui jalan buntu, ya sudah tinggal dibuatkan
laporan gagal memperoleh kesepakatan.
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat
melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
Sebetulnya perlu dilakukan kaukus. Dan saya yakin ada pengaruhnya.
b. Bila tidak, kenapa?
-
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
Faktor intern dari para pihak terutama faktor kejiwaan.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
Faktor psikologi kejiwaan yang terlalu kecewa, sehingga sering berputus
harapan.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah
mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, alasannya merukunkan kembali rumah tangga yang sudah pecah,
sungguh sulit tetapi mulia.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana
yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil
menjalankan fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Masih kurang memadai dan dibutuhkan sarana penunjang seperti proyektor.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Mediator hakim yang berhasil disediakan insentif sesuai dengan pasal 25
PERMA Tahun 2008.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang
Bapak/Ibu lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Pasal 10 ayat (1) PERMA No 1 Tahun 2008 disebutkan penggunaan jasa
mediator tidak dipungut biaya.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap
baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan
Agama Depok?
Ya cukup memadai, yaitu ada ruang tersendiri dan ber-AC.
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
Satu ruang 3 mediator, sarana air minum, dan proyektor.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak, sebab belum ada mediator diluar hakim yang bersertifikat
mendaftarkan diri.
D. Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses
mediasi?
70-80% memberikan respon positif.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan
dalam proses mediasi?
-Komunikasi yang sudah terputus.
-Ada pihak ke tiga.
-Pendidikan.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli
dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah
Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan
dalam perkara perceraian?
Belum pernah, namun para pihak sendiri yang menyatakan sudah pernah
menghadap seorang ahli.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Para pihak sendiri merasa tidak perlu.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama
sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, hampir semua siap mengikuti mediasi setelah upaya perdamaian.
b. Bila tidak, apa alasannya?
Sudah terlalu parah keadaan rumah tangganya.
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(Drs. H. Bambang Heryanto, S.H.) (Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Dra. Sulfita Nefti, S.H.
NIP : 19580803.199403.2.001
Jabatan : Hakim
Usia : 53 tahun
Hari/Tanggal : Rabu, 11 Mei 2011
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok?
Sejak kapan?
Ya, sejak bulan Januari 2011.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator?
Ketua Pengadilan Agama Depok.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?
a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu?
Pada tahun berapa?
Tidak belum.
b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator?
Karena belum mengikuti pelatihan atau sertifikasi mediator.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?
a. Bila ya, apa alasannnya?
Ya, agar hakim pengadilan agama bisa maksimal sewaktu melakukan mediasi.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi
masyarakat yang berperkara di pengadilan?
a. Bila ya, apa alasannya?
-
b. Bila tidak, apa alasannya?
Tidak, karena mediasi hanyalah salah satu cara dalam upaya mendamaikan
pihak yang berperkara, hasilnya terserah kepada mereka.
6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang?
a. Bila perlu, apa alasannya?
-
b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
Tidak perlu, karena PERMA saja sudah memiliki kekuatan mengikat bagi para
hakim, karena bila tidak dilaksanakan, putusan menjadi batal karena hukum.
7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim
mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan?
Bagaimana bentuk sosialisasinya?
Sepengetahuan saya belum, karena saya belum lama bertugas di Pengadilan
Agama Depok.
8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya, karena sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya
9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi
mediator?
Mediasi adalah upaya damai yang dilakukan diluar persidangan, dimana
mediator berfungsi sebagai penengah dan juru bicara atau juru runding dianatara
pihak yang bersengketa.
10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya
mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?
Proses mediasi diperlukan untuk mengoptimalkan upaya damai sesuai tuntutan
PERMA Nomor 1 Tahun 2008.
11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses
mediasi berlangsung?
Tidak, semuanya tergantung kesepakatan antara para pihak dengan mediator.
12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua
belah pihak menemui jalan buntu?
Bila usaha mendamaikan oleh mediator menemui jalan buntu, tindakan yang
harus dilakukan oleh mediator adalah menyerahkan kembali penyelesaian kepada
majelis hakim dengan laporan “mediasi gagal”.
13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat
melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?
a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?
Pernah, dan dapat berpengaruh terhadap para pihak sekurang kurangnya
meredakan emosi mereka, sehingga masalah mereka dapat diselesaikan
dengan baik.
b. Bila tidak, kenapa?
-
14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
Kejelian mediator untuk menguruskan pokok permasalahan dianatara para pihak
dan kebijaksanaan mediator dalam memberikan solusi, sehingga para pihak
berhasil menyelesaikan masalahnya dengan damai dan baik.
15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
Emosi dan ego para pihak demi gengsi dan harga diri, tidak ada yang mau
mengalah. Yang ada hanya saling menyalahkan.
16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim
digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi
cocok digunakan dalam perkara perceraian?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya cocok, karena perkara perceraian adalah sengketa antara suami istri
terhadap rumah tangga mereka.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator
17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana
yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil
menjalankan fungsi mediator.
a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama
Depok sudah baik dan memadai?
Lumayan baik dan memadai.
b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan
insentif?
Tidak, karena mediasinya gratis.
c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu
lakukan?
-
d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?
Mediasinya gratis, tentu mediatornya tidak diberi insentif.
18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik
dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?
a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan
Agama Depok?
Bisa dianggap baik dan cukup karena sudah ada 3 (tiga) meja dengan kursi-
kursinya.
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
Belum cukup baik sebagai tempat mediasi yang ideal karena ruangan yang
sempit dan tidak ada sekat pembatas antara meja yang ada sehingga tidak
nyaman bagi para pihak dan juga mediator.
19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya?
-
b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak, karena hakim banyak dan juga untuk membantu dan meringankan
beban para pihak dengan memberikan pelayanan yang prima.
D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara
20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses
mediasi?
Cukup baik.
21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan
dalam proses mediasi?
Jawaban yang sama atas pertanyaan nomor 15.
22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli
dengan persetujuan para pihak.
a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah
Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan
dalam perkara perceraian?
Belum pernah.
b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi?
-
c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa?
Dirasa tidak perlu.
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama
sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?
a. Bila ya, apa alasannya?
Ya dianggap sudah siap, karena PERMA mewajibkan majelis hakim dalam
persidangan memerintahkan para pihak untuk menempuh proses mediasi,
tidak terkecuali sekalipun para pihak tidak siap atau keberatan.
b. Bila tidak, apa alasannya?
-
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(Dra. Sulfita Nefti, S.H.) (Hidayatulloh)