Click here to load reader
Upload
edy-santoso
View
269
Download
53
Embed Size (px)
DESCRIPTION
diktat kuliah batubara
Citation preview
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 1
BAB I PROSES PEMBENTUKAN BATUBARA
1.1. PEMBENTUKAN BATUBARA
Batubara adalah batuan sedimen organoklastik yang berasal dari tumbuhan
yang pada kondisi tertentu tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran
sempurna. Pada umumnya proses pembentukan batubara terjadi pada jaman karbon
yaitu sekitar 270-350 juta tahun yang lalu. Pada jaman tersebut terbentuk batubara
dibelahan bumi utara seperti Eropa, Asia dan Amerika. Di Indonesia batubara yang
ditemukan dan ditambang umumnya berumur jauh lebih muda, yaitu terbentuk pada
jaman Tersier. Batubara tertua yang ditambang di Indonesia berumur Eosen (40-60
juta tahun yang lalu) namun sumber daya batubara di Indonesia umumnya berumur
antara Miosen dan Pliosen (2 - 15 juta tahun yang lalu).
Proses pembentukan batubara dari tumbuhan melalui dua tahap, yaitu:
a. Tahap pembentukan gambut (peat) dari tumbuhan, sering disebut proses
peatification
b. Tahap pembentukan batubara dari gambut, sering disebut proses coalification
1.1.1. Pembentukan Gambut
Tumbuhan yang tumbuh atau mati pada umumnya akan mengalami proses
pembusukan dan pengahancuran yang sempurna sehingga setelah beberapa
waktu kemudian tidak terlihat lagi bentuk asalnya. Pembusukan dan penghancuran
tersebut pada dasarnya merupakan proses oksidasi yang disebabkan oleh
pertumbuhan dan aktifitas bakteri dan jasad renik lainnya. Untuk penyederhanaan
tentang proses tersebut, proses oksidasi material penyusun utama cellulose
(C6H10O5) dapat digambarkan sebagai berikut:
C6H10O5 + 6 O2 → 6 CO2 + 5 H2O
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 2
Gambar 1.1. Rekonstruksi Suatu Hutan Calamite . Contoh Vegetasi
Carboniferous “Basah” sebagai Tumbuhan Pembentuk Ba tubara
Jika tumbuhan tumbang disuatu rawa, yang dicirikan dengan kandungan
oksigen air rawa yang sangat rendah sehingga tidak memungkinkan bakteri-bakteri
aerob (yang memerlukan oksigen) hidup, maka sisa tumbuhan tersebut tidak
mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna atau dengan
kata lain tidak akan terjadi proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut
hanya bakteri-bakteri anaerob saja yang berfungsi melakukan proses dekomposisi
yang kemudian membentuk gambut (peat). Dengan tidak tersedianya oksigen maka
hidrogen dan karbon akan menjadi H2O, CH4, CO dan CO2. Tahap pembentukan
gambut ini sering disebut juga sebagai proses biokimia.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 3
Gambut yang umumnya berwarna kecoklatan sampai hitam merupakan
padatan yang bersifat sarang (porous) dan masih memperlihatkan struktur tumbuhan
asalnya. Gambut masih mengandung kandungan air yang tinggi, bisa lebih dari 50%.
1.1.2. Pembentukan Batubara
Proses pembentukan gambut akan berhenti dengan tidak adanya regenerasi
tumbuhan. Hal ini terjadi karena kondisi yang tidak memungkinkan tumbuhnnya
vegetasi, misalnya penurunan dasar cekungan yang terlalu cepat. Jika lapisan
gambut yang terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, maka lapisan
gambut tersebut mengalami tekanan dari lapisan sedimen tersebut dimana tekanan
akan meningkat dengan bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang
bertambah besar akan mengakibatkan peningkatan temperatur. Disamping itu
temperatur juga akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman disebut gradient
geotermik. Kenaikan temperatur dan tekanan dapat juga disebabakan oleh aktivitas
magma, proses pembentukan gunung serta aktivitas-aktivitas tektonik lainnya.
Peningkatan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut akan mengkonversi
gambut menjadi batubara dimana terjadi proses pengurangan kandungan air,
pelepasan gas-gas (CO2, H2O, CO, CH4), peningkatan kepadatan dan kekerasan
serta peningkatan nilai kalor. Faktor tekanan dan temperatur serta faktor waktu
merupkan faktor-faktor yang menentukan kualitas batubara. Tahap pembentukan
batubara ini sering disebut juga sebagai proses termodinamika atau dinamokimia.
1.1.3. Tempat Terbentuknya Batubara
Batubara terbentuk dengan cara yang sangat komplek dan memerlukan waktu
yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) di bawah pengaruh fisika, kimia
ataupun keadaan geologi. Untuk memahami bagaimana batubara terbentuk dari
tumbuh-tumbuhan perlu diketahui dimana batubara terbentuk dan faktor-faktor yang
akan mempengaruhinya, serta bentuk lapisan batubara.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 4
Gambar 1.2. Rekonstruksi tumbuhan Lepidodendron dan Sigillaria . Contoh Vegetasi
Carboniferous “kering” sebagai Tumbuhan Pembentuk B atubara.
Untuk menjelaskan tempat terbentuknya batubara dikenal 2 macam teori:
a. Teori Insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara,
terbentuknya ditempat di mana tumbuh-tumbuhan asal itu berada, batubara yang
terbentuk disebut batubara autochtone. Dengan demikian maka setelah tumbuhan
tersebut mati, belum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan
sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan
cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 5
kadar abunya relatif kecil. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia
didapatkan di lapangan batubara Muara Enim (Sumatera Selatan).
b. Teori Drift
Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara
terjadinya ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan
berkembang, batubara yang terbentuk disebut batubara allochtone. Dengan
demikian tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi
disuatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses coalification.
Jenis batubara yang terbentuknya dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak
luas, tetapi dijumpai dibeberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak
mengandung material pengotor yang terangkut ke tempat sedimentasi. Batubara
yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan dilapangan batubara delta
Mahakam purba, Kalimantan Timur.
Agak sulit untuk melakukan kuantifikasi akumulasi gambut karena banyak
faktor yang mempengaruhinya serta agak sulit untuk membuktikannya. Namun hasil
penyelidikan yang dilakukan di Amerika Serikat, diperkirakan gambut lepas setebal
10 – 12 ft untuk menghasilkan 1 ft gambut padat dan untuk itu diperlukan waktu
kurang lebih 100 tahun.
Dalam proses konversi dari gambut menjadi batubara terjadi lagi pemampatan
dan laju pemampatan ini tergantung pada rank batubara. Menurut hasil penelitian,
jika diambil kayu sebagai basis (100%) pembentukan gambut dan batubara, maka
perbandingan volume dalam % adalah sebagai berikut:
- gambut = 28 – 45 %
- lignite = 17 – 28 %
- bitumineous coal = 10 – 17 %
- anthracite = 5 – 10 %
Jika diasumsikan bahwa waktu yang diperlukan untuk menghasilkan 1 ft gambut
termampatkan adalah 100 tahun seperti yang disebutkan diatas maka dengan
menggunakan persentasi di atas dapat diasumsikan waktu yang dibutuhkan untuk
akumulasi gambut sehingga diperoleh ketebalan lapisan batubara 1 ft sebagai
berikut:
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 6
- lignite = 160 tahun
- bitumineous = 260 tahun
- anthracite = 490 tahun
Patut diingat bahwa angka-angka diatas hanya untuk menggambarkan bahwa
laju akumulasi gambut dan selanjutnya lapisan batubara sedemikian lambatnya.
1.1.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Batubara
Cara terbentuknya batubara merupakan proses yang kompleks, dalam arti
harus dipelajari dari berbagai sudut yang berbeda. Ada beberapa faktor yang
diperlukan dalam pembentukan batubara yaitu:
a. posisi geotektonik
b. topografi (morfologi)
c. iklim
d. penurunan
e. umur geologi
f. tumbuh-tumbuhan
g. dekomposisi
h. sejarah sesudah pengendapan
i. struktur cekungan batubara
j. metamorfosis organik
a. Posisi geotektonik
Posisi geotektonik adalah suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh
gaya-gaya tektonik lempeng. Dalam pembentukan cekungan batubara, posisi
geotektonik merupakan faktor yang dominan. Posisi ini akan mempengaruhi iklim
lokal dan morfologi cekungan pengendapan batubara maupun kecepatan
penurunannya. Pada fase terakhir, posisi geotektonik mempengaruhi proses
metamorfosa organik dan struktur dari lapangan batubara melalui masa sejarah
setelah pengendapan akhir.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 7
b. Topografi (Morfologi)
Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting karena
menentukan penyebaran rawa-rawa di mana batubara tersebut terbentuk. Topografi
mungkin mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim dan keadaannya pada posisi
geotektonik.
c. Iklim
Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan
merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisi yang sesuai. Iklim
tergantung pada posisi geografi dan lebih luas lagi dipengaruhi oleh posisi
geotektonik. Temperatur yang lembab pada iklim tropis dan sub tropis pada
umumnya sesuai untuk pertumbuhan flora dibandingkan wilayah yang lebih dingin.
Hasil pengkajian menyatakan bahwa rawa tropis mempunyai siklus pertumbuhan
setiap 7-9 tahun dengan ketinggian pohon sekitar 30 m. Sedangkan pada iklim yang
lebih dingin ketinggian pohon hanya mencapai 5-6 m dalam selang waktu yang
sama.
d. Penurunan
Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik. Jika
penurunan dan pengendapan gambut seimbang akan dihasilkan endapan batubara
tebal. Pergantian dan regresi mempengaruhi pertumbuhan flora dan
pengendapannya. Hal tersebut menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral
yang mempengaruhi mutu dari batubara yang terbentuk.
e. Umur geologi
Proses geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan berbagai
macam tumbuhan. Dalam masa perkembangan geologi secara tidak langsung
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 8
membahas sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organik. Makin tua
umur batuan makin dalam penimbunan yang terjadi, sehingga terbentuk batubara
yang bermutu tinggi. Tetapi pada batubara yang mempunyai umur geologi lebih tua
selalu ada resiko mengalami deformasi tektonik yang membentuk struktur perlipatan
atau patahan pada lapisan batubara. Disamping itu faktor erosi akan merusak semua
bagian dari endapan batubara.
f. Tumbuhan
Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara. Pertumbuhan dari flora
terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan topografi
tertentu. Flora merupakan faktor penentu terbentuknya berbgai tipe batubara. Evolusi
dari kehidupan menciptakan kondisi yang berbeda selama masa sejarah geologi.
Mulai dari Paleozoic hingga Devon, flora belum tumbuh dengan baik. Setelah Devon
pertama kali terbentuk titik awal dari pertumbuhan flora secara besar-besaran dalam
waktu singkat pada setiap kontinen. Hutan tumbuh dengan subur selama masa
karbon. Pada masa Tersier merupakan perkembangan yang sangat luas dari
berbagai jenis tanaman.
g. Dekomposisi
Dekomposisi flora yang merupakan bagian dari transformasi biokimia dari
organik merupakan titik awal untuk seluruh alterasi. Dalam pertumbuhan gambut,
sisa tumbuhan akan mengalami perubahan, baik secara fisik maupun kimiawi.
Setelah tumbuhan mati proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses
pembusukan (decay) akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri anaerob). Bakteri
ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen menghancurkan bagian yang lunak dari
tumbuhan seperti celulosa, protoplasma dan pati. Dari proses di atas terjadi
perubahan dari kayu menjadi peringkat batubara. Dalam suasana kekurangan
oksigen terjadi proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian
unsur karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 9
(CO) dan methan (CH4). Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut jumlah relatif
unsur karbon akan bertambah. Kecepatan pembentukan gambut bergantung pada
kecepatan perkembangan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan
tertutup oleh air dengan cepat, maka akan terhindar dari proses pembusukan, tetapi
terjadi proses disintegrasi atau penguraian oleh mikrobiologi. Bila tumbuhan yang
mati terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut
akan berkurang, sehingga hanya bagian keras saja tertinggal yang menyulitkan
penguraian oleh mikrobiologi.
h. Sejarah Sesudah Pengendapan
Sejarah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik
yang mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara. Secara
singkat terjadi proses geokimia dan metamorfosa organik setelah pengendapan
gambut. Disamping itu sejarah geologi endapan batubara, berupa perlipatan,
persesaran, intrusi magmatik dan sebagainya.
i. Struktur Cekungan Batubara
Terbentuknya batubara pada cekungan batubara pada umumnya mengalami
deformasi oleh gaya tektonik, yang akan menghasilkan lapisan batubara bentuk-
bentuk tertentu. Disamping itu adanya erosi yang intensif menyebabkan bentuk
lapisan batubara tidak menerus.
j. Metamorfosa Organik
Tingkat kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan atau
penguburan oleh sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokimia tidak
berperan lagi tetapi lebih didominasi oleh proses dinamokimia. Proses ini
menyebabkan terjadinya perubahan gambut menjadi batubara dalam berbagai mutu.
Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab, oksigen dan zat terbang (seperti
CO2, CO, CH4 dan gas lainnya) serta bertambahnya prosentase karbon padat,
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 10
belerang dan kandungan abu. Perubahan mutu batubara diakibatkan oleh faktor
tekanan dan waktu. Tekanan dapat disebabkan oleh lapisan sedimen penutup yang
sangat tebal atau karena tektonik. Hal ini menyebabkan bertambahnya tekanan dan
percepatan proses metamorfosa organik. Proses metamorfosa organik akan dapat
mengubah gambut menjadi batubara sesuai dengan perubahan sifat kimia, fisik dan
optiknya.
1.1.5. Terbentuknya Lapisan Batubara Tebal
Lapisan batubara tebal merupakan deposit batubara yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi. Salah satu syarat yang dapat membentuk lapisan batubara tebal
adalah apabila terdapat suatu cekungan yang oleh karena adanya beban
pengendapan bahan-bahan pembentuk batubara di atasnya mengakibatkan dasar
cekungan tersebut turun secara perlahan-lahan.
Cekungan ini umumnya terdapat di daerah rawa-rawa (hutan bakau) di tepi
pantai. Dasar cekungan yang turun secara perlahan-lahan dengan pembentukan
batubara memungkinkan permukaan air laut akan tetap dan kondisi rawa stabil.
Apabila akibat proses geologi dasar cekungan turun secara cepat, maka air laut akan
masuk ke dalam cekungan sehingga mengubah kondisi rawa menjadi kondisi laut.
Akibatnya di atas lapisan pembentuk batubara akan terendapkan lapisan sedimen
laut antara lain batugamping. Pada tahap selanjutnya akan terjadi kembali
pengendapan batulempung yang memungkinkan untuk kembali terbentuk kondisi
rawa. Proses selanjutnya akan terkumpul dan terendapkan bahan-bahan pembentuk
batubara (sisa tumbuhan) di atas lapisan batulempung (claystone). Demikian
seterusnya sehingga terbentuk lapisan batubara dengan diselingi oleh lapisan antara
yang berupa batulempung yang disebut sebagai clay band atau clay parting.
Gambar 1.3. memperlihatkan kronologis pembentukan batubara, batugamping
dan batulempung. Gambar 1.4 mengilustrasikan kedudukan clay band terhadap
lapisan batubara.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 11
Gambar 1.3. Kronologis Pembentukan Batubara, Batugamping dan Ba tulempung a. Dasar rawa turun perlahan-lahan b. Rawa beru bah menjadi laut
Gambar 1.4. Kedudukan Clay band terhadap Lapisan Batubara
1.1.6. Reaksi Pembentukan Batubara
Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan mati dengan komposisi utama dari
cellulose. Proses pembentukan batubara atau coalification yang dibantu oleh faktor
fisika, kimia alam akan mengubah cellulose menjadi lignit, subbituminus, bituminus,
dan antrasit. Reaksi pembentukan batubara dapat digambarkan sebagai berikut:
5 (C6H10O5) C20H22O4 + 3 CH4 + 8 H2O + 6 CO2 + CO
Cellulose Lignit
5 (C6H10O5) C22H20O3 + 5 CH4 + 10 H2O + 8 CO2 + CO
Cellulose Bitumineous
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 12
Keterangan:
Cellulose (zat organik) yang merupakan zat pembentuk batubara. Unsur C dalam
lignit lebih sedikit dibandingkan bitumine. Semakin banyak unsur C lignit semakin
baik mutunya. Unsur H dalam lignit lebih banyak dibandingkan pada bitumineous.
Semakin banyak unsur H dalam lignit makin kurang baik mutunya. Senyawa CH4
(gas methan) dalam lignit lebih sedikit dibandingkan dalam bitumineous. Semakin
banyak CH4 dalam lignit semakin baik kualitasnya.
Gas-gas yang terbentuk selama proses coalification akan masuk kedalam
celah-celah vein batulempung dan ini sangat berbahaya. Gas metan yang sudah
terakumulasi di dalam celah vein, terlebih-lebih apabila terjadi kenaikan temperature,
karena tidak dapat keluar, sewaktu-waktu dapat meledak dan terjadi kebakaran.
Oleh sebab itu mengetahui bentuk deposit batubara dapat menentukan cara
penambangan yang akan dipilih dan juga meningkatkan keselamatan kerja.
1.1.7. Komponen Pembentuk Batubara
Pengetahuan tentang petrologi batubara dirintis oleh William Hutton, (1883).
Analisis petrologi yang dilakukan dengan menggunakan sayatan tipis pada awalnya
untuk mengidentifikasikan jenis tumbuhan pembentuk batubara.
Studi tentang petrologi batubara diperkaya dengan penemuan Stopes (1919)
dan Thiessen (1920). Stopes mempergunakan mikroskop untuk mendukung hasil
pemerian. Stopes dan Thiessen sama-sama menggunakan teknik sayatan tipis,
tetapi Stopes pada akhirnya menggunakan sinar pantul.
Pada tahun 1930-an diperkenalkan suatu teknik baru yang menjadi bagian dari
petrologi batubara, yaitu pengukuran refleksi maceral dan kegunaannya adalah
sebagai parameter derajat batubara. Pada tahun 1935, Stopes memperkenalkan
konsep maceral yang dapat diartikan sebagai komponen terkecil dari batubara
(=mineral pada batuan). Konsep maceral ini yang tetap dipakai sampai saat ini. Pada
waktu itu para ahli mencoba mencari hubungan antara komposisi petrologi dengan
sifat-sifat keteknikan dari batubara. Seperti diketahui bahwa batubara yang kaya
akan kelompok maceral vitrinit dan eksinit mempunyai perbedaan nyata di dalam
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 13
sifat pencairan, penggasan dan pembakaran, jika dibandingkan dengan batubara
yang kaya akan inertinit.
Studi tentang batubara mengalami pengembangan pesat sejak tahun 1960-an
antara lain diteliti lebih lanjut tentang:
1. Petrologi gambut, untuk mengetahui jenis tumbuhan pembentuk.
2. Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi proses pembatubaraan
3. Hubungan antara petrologi batubara dengan sedimentasi
4. Tingkat oksidasi
5. Teknologi batubara seperti pengkokasan, pencairan penggasan dan
pembakaran.
Dengan berkembangnya petrologi batubara, suatu teknik baru diperkenalkan
yaitu penggunaan sinar ultraviolet dan mikroskop automatic. Sinar ultraviolet
umumnya dipergunakan pada kelompok liptinit yang kaya hidrogen.
A. Komposisi Petrologi Batubara
Petrologi batubara adalah ilmu yang mempelajari komponen organik dan
anorganik pembentuk batubara. Untuk mempelajari petrologi batubara umumnya
ditinjau dalam dua aspek yaitu jenis dan derajat batubara. Jenis batubara
berhubungan dengan jenis tumbuhan pembentuk batubara, dan perkembangannya
dipengaruhi oleh proses kimia dan biokimia selama proses penggambutan,
sedangkan derajat batubara menunjukkan posisi pada seri klasifikasi batubara mulai
dari gambut sampai antrasit. Dengan demikian jelas bahwa batubara itu bukan suatu
benda homogen, melainkan terdiri dari bermacam-macam komponen dasar. Didalam
batubara komponen ini dinamakan maceral, sedang maceral dibagi 3 kelompok
utama yaitu vitrinit, eksinit, dan inertinit. Maceral pembentuk batubara umumnya
berasosiasi satu sama lain dengan perbandingan berbeda-beda. Asosiasi ini dikenal
sebagai litotipe dan mikrolitotipe. Litotipe merupakan pita-pita tipis pada batubara
yang terlihat secara megaskopis.
Ketiga kelompok maceral ini dapat dibedakan dari morfologi (kenampakan di
bawah mikroskop), asal kejadian, sifat-sifat fisik dan kimia yang dipunyai seperti
yang terlihat pada Tabel 1.1. Stopes (1919) memperkenalkan 4 macam litotipe
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 14
seperti yang terlihat pada Tabel 1.2, di mana klasifikasi ini umumnya dipergunakan
untuk batubara jenis bituminous.
Tabel 1.1.
Ringkasan Maceral batubara (Modifikasi dari Smith,1 981)
Kelompok Maceral Maceral Asal Kejadian Keterangan
Vitrinit
Telovitrinit Kayu dan serat Kayu Kaya Oksigen, umum pada batubara, VM = 35%. Lingkungan reduksi penurunan cepat, permukaan air dalam, reaktif. SG = 1,3 – 1,8.
Eksinit Sporinit Spora, sarang spora butiran-butiran serbuk sari.
Kaya oksigen VM = 67%, umum pada oil shale dan batuan pembawa minyak.
Kuitinit Kulit ari, daun, tungkai, akar.
S.G = 1.0 – 1.3
Liptodertrinit Resinit
Pecahan-pecahan eksinit. Resin, lemak, parifin.
Suberinit Cork, kulit kayu Alganit Sisa-sisa ganggang Eksudatinit Minyak, bitumen
yang keluar selama proses pembatubaraan.
Fluorinit Lipids, minyak Inertinit Semifusinit
Fusinit Sklerotinit Inertodetrinit Mikrinit Makronit
Hasil ubahan (biokimia) dari kayu dan serat-serat kayu selama penggambutan
Kaya karbon VM = 23% Penurunan lambat, permukaan air rendah atau bergelombang, tidak reaktif. S. G = 1,5 – 2,0
Untuk batubara Indonesia yang umumnya berderajat subbituminous masih
dapat menggunakan klasifikasi ini. Klarain dan Vitrain adalah litotipe yang umum
pada batubara Indonesia (Daulay, 1985).
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 15
Tabel 1.2. Ringkasan Litotipe Batubara (Modifikasi Stopes 1919 )
Litotipe Keterangan Kenampakan pada
Mikroskop
Vitrain Berbentuk lapisan atau
lensa, ketebalan ber-
kisar 3-5 mm, pecah
dengan sistim kubik.
Vitrit dan sedikit klarit
(kaya akan vitrinit)
Klarain Lapisan-lapisan tipis
yang cemerlang dan
buram (<3 mm).
Klarit dan sedikit vitrit
(kaya akan vitrinit dan
eksinit). Batuan pem-
bawa minyak
Fusain Hitam atau abu-abu
hitam, kilap sutera,
berserabut, gampang
diremas.
Fusit (kaya akan
fusinit).
Durain Abu-abu hitam kecoklat-
an permukaan kasar,
kilap berminyak
(greasy).
Durit (kaya akan
eksinit dan interknit).
Secara megaskopis dapat memberi gambaran komposisi maceral batubara
tersebut. Mikrolitotipe (menurut the International Comitte for Coal Petrology, 1963)
adalah suatu asosiasi maceral (terlihat di bawah mikroskop) dengan ketebalan
minimum 50 mm. Ketiga kelompok utama mikrolitotipe ditandai sebagai 1-maceral,
2-maceral, 3-maceral tergantung apakah asosiasi maceral itu terdiri dari 1,2, atau 3
kelompok maceral (Tabel 1.3).
Analisa mikrolitotipe dapat memberikan gambaran mengenai tekstur batubara.
Jika ada dua batubara yang mempunyai kandungan vitrinit hampir sama, tetapi yang
satu (I) kandungan vitrinitnya lebih tinggi dari yang lain (II), maka dapat disimpulkan
bahwa vitrinit yang terbentuk pada batubara I merupakan pita-pita tebal. Data ini
sangat diperlukan dalam perencanaan preparasi batubara tersebut. Ukuran intertinit
yang diperoleh sangat bermanfaat di dalam proses pengkokasan. Selain ketiga
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 16
kelompok maceral tersebut di atas, batubara juga mengandung zat anorganik yang
disebut mineral matter.
Tabel 1.3. Ringkasan Mikrolitotipe Batubara (ICCP, 1963)
Mikrolitotipe Komposisi Kelompok Maceral 1-Maceral Vitrit
Liptit Inertit
Vitrinit > 95 % Liptinit >95 % Inertinit > 95 %
2-Maceral Klarit Vitrinertit Durit
Vitrinit + liptinit > 95 % Vitrinit + Inertinit > 95 % Liptinit + Inertinit > 95 %
3-Maceral Duroklarit Klarodurit Vitrinertoliptinit Hitam, kilap sutra, berserabut, mudah diremas
Vitrinit > liptinit dan inertinit Inertinit > Vitrinit dan liptinit Liptinit > vitrinit dan inertinit (kaya akan fusinit)
Mineral Matter (berhubungan langsung dengan abu batubara) umumnya
terbentuk sebagai material-material halus menyebar pada batubara atau terkumpul
membentuk lapisan-lapisan tipis (clay band).
B. Derajat Batubara
Derajat batubara adalah posisi pada seri klasifikasi mulai dari gambut sampai
antrasit. Perkembangan sangat dipengaruhi oleh temperatur, tekanan dan waktu
(Lopatin, 1971; Bostick, 1973). Banyak parameter yang telah dipergunakan untuk
penentuan derajat batubara (Crok,1983), salah satu di antaranya adalah refleksi
vitrinit. Cara ini belum begitu dikenal di Indonesia, dan telah berkembang pesat di
amerika, Jerman, Australia terutama pada perusahaan-perusahaan yang bergerak
dalam eksplorasi minyak dan gas. Semua jenis maceral dapat diukur refleksinya,
tetapi kelompok vitrinit adalah yang umum dipilih. Kelompok ini cenderung terbentuk
sebagai pecahan-pecahan kasar dan homogen, merupakan maceral utama pada
kebanyakan batubara dan menunjukan korelasi yang bagus dengan parameter lain
yang dipakai sebagai indikasi derajat batubara. Dengan cara refleksi vitrinit ini,
pengukuran dapat dilakukan dengan singkat dan pasti.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 17
Gambar 1.5 Eksinit (e) Berasosiasi dengan Vitrinit (v) dan Mineral Matter (m). Batubara
Bayah, Rv = 0,64 %, Luas Pengamatan = 0,44 mm, Sina r Pantul (Daulay, 1967)
Gambar 1.6. Sama Dengan Gambar 1.5, Tetapi Pada Sinar Flouresen (Daulay, 1967)
Gambar 1.7. Eksinit (E) Mengisi Sel-Sel Vitrinit (V) Dan Membentuk Lapisan-Lapisan.
Batubara Neogene, Samarinda, Kalimantan Timur, Rv M ax = 0, 46 %, Luas Pengamatan = 0, 28 Mm, Sinar Pantul (Daulay, 1 967).
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 18
Gambar 1.8. Sama Dengan Gambar 1.7, Tetapi Pada Sinar Flouresen (Daulay, 1967)
Gambar 1.9. Sel-Sel Inertinit (I) Diisi Oleh Eksinit (E) Dalam Masa Dasar Vitrinit (V), Dari Batubara Bukit Asam, Rv Max = 0,38%, Luasnya Pangam atan = 0, 28 Mm,
Sinar Pantul (Daulay, 1967).
Gambar 1.10. Sama Dengan Gambaar 1.9, Tetapi Pada Sinar Floerese n (Daulay, 1967).
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 19
1.2. STRUKTUR LAPISAN BATUBARA
1.2.1. Associated Strata
Mengacu pada proses terbentuknya batubara lapisan batuan yang sering
berasosiasi dengan lapisan batubara adalah lempung, lanau dan pasir yang masih
bersifat lepas (unconsolidated) serta serpih. Kadang-kadang juga ditemukan
konglomerat atau batugamping. Lapisan batuan yang bersifat lepas umumnya
berasosiasi dengan lignite dan kadang-kadang sub-bituminous karena dengan rank
yang lebih tinggi dimana sedimen bersifat batuan.
Batupasir dapat terbentuk dari material hasil pelapukan yang terbawa angin
yang selanjutnya tertutup oleh endapan lainnya dan mengalami kompaksi atau dari
pengendapan pasir terbawa oleh aliran air dangkal dari daerah yang tidak terlalu
jauh. Lempung merupakan hasil pengendapan material halus pada aliran air dangkal
yang umumnya berasal dari daerah dataran rendah dengan aliran air alamiah yang
pelan. Sedangkan lapisan batu gamping menunjukan pengendapan air dalam atau
kondisi laut (marine) yang memungkinkan terbentuknya batu gamping tersebut.
1.2.2. Variasi Ketebalan dan Penyebaran
Lapisan batubara disuatu tempat selalu bervariasi ketebalannya yang kadang-
kadang hanya pada jarak yang dekat / pendek. Faktor utama yang menyebabkan
variasi tersebut adalah kondisi cekungan tempat terbentuknya batubara tersebut.
Pada cekungan yang luas variasi ketebalan lebih sedikit bila dibandingkan dengan
cekungan yang lebih kecil, misalnya di daerah delta sungai. Demikian pula bentuk
dasar awal sebelum lapisan batubara terbentuk.
Faktor lain adalah faktor kerapatan tumpukan tumbuhan yang akan membentuk
gambut dan perbedaan tekanan dari lapisan sedimen diatas lapisan batubara atau
akibat aktivitas tektonik.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 20
1.2.3. Variasi Kualitas
Sering terjadi kulitas secara vertikal pada suatu lapisan batubara. Bisa saja
pada bagian bawah lapisan batubara kandungan abu semakin tinggi dan pada
bagian atas banyak mengandung material lain yang terjadi bersamaan dengan
proses akumulasi gambut.
Variasi secara horizontal pada suatu lapisan batubara bahkan pada suatu
tambang yang sama lebih sering ditemukan dan hal ini umumnya disebabakan oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembatubaraan (coalification) seperti
tekanan lapisan sediment dan pengaruh aktivitas magma.
1.2.4. Bentuk Lapisan Batubara
a. Bentuk Horse Back
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan batubara dan batuan yang menutupinya
melengkung ke arah atas akibat gaya kompresi. Ketebalan ke arah lateral batubara
kemungkinan sama ataupun menjadi lebih kecil atau menipis. Gambar 1.11
memperlihatkan deposit batubara bentuk Horse Back.
Gambar 1.11 Deposit Batubara Bentuk Horse Back
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 21
b. Bentuk Pinch
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada
umumnya dasar dari lapisan batubara merupakan batuan yang plestis misalnya
batulempung sedang di atas lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh
batupasir yang secara lateral merupakan pengisian suatu alur. Gambar 1.12
memperlihatkan deposit batubara berbentuk Pinch.
Gambar 1.12. Deposit Batubara Bentuk Pich
c. Bentuk Clay Vein
Bentuk ini terjadi apabila di antara 2 bagian deposit batubara terdapat urat
lempung. Bentukan ini terjadi apabila pada satu seri deposit batubara mengalami
patahan, kemudian pada bidang patahan yang merupakan rekahan terbuka terisi
oleh material lempung ataupun pasir. Gambar 1.13. memperlihatkan deposit
batubara bentuk Clay Vein.
Gambar 1.13. Deposit Batubara Bentuk Clay Vein
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 22
d. Bentuk Burried Hill
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana batubara semula terbentuk terdapat
suatu kulminasi sehingga batubara seperti “terintrusi”. Gambar 1.14 memperlihatkan
deposit batubara bentuk Burried Hill.
Gambar 1.14. Deposit Batubara Bentuk Burried Hill
e. Bentuk Sesar ( Fault )
Suatu sesar adalah patahan sehingga lapisan pada satu sisi bergerak relatif
terhadap lapisan disisi yang lain. Gerakan tersebut menyebabkan satu sisi bergerak
keatas atau kebawah sementara sisi yang lain tetap atau satu sisi bergerak keatas
sementara sisi yang lain bergerak ke bawah atau kedua sisi bergerak kearah yang
sama tetap dengan jarak perpindahan yang berbeda.
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana deposit batubara mengalami
beberapa seri patahan. Keadaan ini akan mengacaukan di dalam perhitungan
cadangan, akibat adanya perpindahan perlapisan akibat pergeseran kearah vertikal.
Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah yang banyak gejala patahan
harus dilakukan dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Untuk daerah seperti ini
disamping kegiatan pemboran maka penyelidikan geofisika sangat membantu di
dalam melakukan interpresi dan korelasi antar lubang pemboran. Gambar 1.15,
memperlihatkan deposit batubara bentuk Fault.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 23
Gambar 1.15. Deposit Batubara Bentuk Fault
f. Bentuk Perlipatan ( Fold )
Gerakan kerak bumi antara lain menyebabakan terjainya perlipatan (folding).
Proses ini menyebabkan lapisan batubara yang pada awalnya terbentuknya secara
horizontal mengalami perlipatan sehingga lapisan batubara tersebut menjadi miring,
bahkan kadang-kadang hampir tegak lurus, Hal ini dapat terjadi jika proses
perlipatan terjadi pada tahap awal pembentukan batubara dimana lapisan batubara
masih bersifat plastis sehingga dapat mengikuti perlipatan yang terjadi.
Daerah punggungan disebut antiklin sedangkan daerah lembah disebut sinklin
untuk menggambarkan kemiringan lapisan batubara yang terlipat tersebut dikenal
istilah strike atau jurus dan kemiringan atu dip. Jurus adalah garis dimana lapisan
batubara memotong bidang horizontal dan kemiringan diukur tegak lurus.
Bentuk ini terjadi apabila di daerah dimana deposit batubara mengalami
perlipatan. Makin intensif gaya yang bekerja pembentuk perlipatan akan makin
komplek perlipatan tersebut terjadi. Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah
yang banyak gejala perlipatan, apalagi bila di daerah tersebut juga terjadi patahan
harus dilakukan dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Untuk daerah seperti ini di
samping kegiatan pemboran maka penyelidikan geofisika sangat membantu di dalam
melakukan interpretasi dan korelasi antar lubang pemboran. Gambar 1.16,
memperlihatkan deposit batubara bentuk fold.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 24
Gambar 1.16. Deposit Batubara Bentuk Fold
g. Sisipan ( Partings )
Lapisan batubara kadang-kadang disisipi oleh lapisan-lapisan batuan
anorganik, umunya serpih, lempung, batupasir. Secara umum sisipan lapisan
tersebut disebut parting, namun jika lapisan tersebut cukup tebal lapisan batubara
tersebut disebut mengalami splitting. Parting yang tipis tersebut misalnya clayband
atau tonstein.
Pada umumnya parting terbentuk bersama-sama dengan pembentukan lapisan
gambut misalnya jika pada suatu saat terjadi banjir sehingga terjadi sedimentasi
material anorganik secara merata diseluruh cekungan sehingga ada bagian dimana
proses regenerasi tumbuhan terhenti sementara di tempat lain masih berlangsung
secara kontinyu.
h. Rekahan ( Joint )
Rekahan atau joints sering dijumpai pada lapisan batubara. Rekahan tersebut
berasosiasi dengan perubahan volume dari lapisan batubara, baik melalui kontraksi
pada saat pengeringan. Kompaksi akibat lapisan sedimen di atasnya maupun
ekspansi akibat hilangnya lapisan penutup. Rekahan dapat juga terjadi pada lapisan
batubara di dekat punggungan perlipatan (sumbu antiklin) atau karena regangan
lokal.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 25
Umumnya terdapat dua set rekahan pada lapisan batubara yang saling tegak
lurus satu dengan lainnya, yaitu face cleats dan bult cleats. Face cleats lebih panjang
dan teratur dibandingkan dengan bult cleats.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui jumlah
cadangan deposit batubara di suatu daerah, penyelidikan geologi detail perlu
dilakukan.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 26
BAB II KLASIFIKASI BATUBARA
Beragamnya kualitas batubara diseluruh dunia menyebabkan diperlukannya
pengklasifikasian batubara menurut sistem atau rank (peringkat) nya. Meskipun ada
banyak kasus dimana batas klasifikasi sangat sulit, batubara umumnya dapat
diidentifikasi dengan menggunakan beberapa skala yang sistematik. Bagaimanapun
dalam melakukan analisa batubara suatu upaya harus dilakukan agar dapat
menempatkan batubara dalam suatu kelas tertentu sehingga dapat dijadikan sebagai
dasar untuk pembandingan mutu batubara dibeberapa negara atau internasional.
Meskipun banyak negara penghasil batubara utama telah memiliki klasifikasi
sendiri, namun umumnya ahli tambang ataupun ahli geologi lebih terfokus kepada
dua klasifikasi internasional yang paling sering digunakan. Klasifikasi yang pertama
adalah sistem Amerika (ASTM, American Society for Testing and Materials) dan
yang kedua adalah sistem klasifikasi internasional yang dibuat oleh organisasi
standarisasi internasional, (ISO, International Standardization Organization), sebuah
agensi dari United Nations Economics Commission for Europe. Karena sangat
pentingnya kedua klasifikasi diatas, maka bahasan tentang pengklasifikasian
batubara dalam buku ini mengacu kepada kedua sistem diatas. Standar lain yang
juga umum digunakan diantaranya adalah British Standard yang dapat dilihat pada
tabel 2.8. Sistem Australia sama dengan ISO hanya saja dilengkapi dengan
menyertakan level abu batubara (ash levels). Sistem Jepang secara umum merujuk
pada ASTM, tetapi mereka juga memiliki Japanese Industrial Standard (JIS).
2.1. KLASIFIKASI BATUBARA BERDASARKAN RANK
MENURUT ASTM
Klasifikasi batubara ini mengacu kepada ASTM D-388-66, yang telah diadopsi
oleh American Standards Association (ASA) No. M 20. 1-1973 (Tabel 2.1
menunjukan klasifikasi batubara menurut ASTM). Sistem klasifikasi ini
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 27
mempergunakan volatile matter (dmmf), fixed carbon (dmmf) dan calorific value
(mmmf) sebagai patokan. Untuk anthrasit, fixed carbon (dmmf) merupakan patokan
utama, sedangkan volatile matter (dmmf) sebagai patokan ke dua. Bituminous
mempergunakan volatile matter (dmmf) sebagai patokan utama dan calorific value
(mmmf) sebagai patokan kedua. Lignit mempergunakan calorific value (mmmf)
sebagai patokan seperti yang terlihat pada Tabel 2.1. Sifat-sifat Aglomerasi dan
pelapukan digunakan untuk membedakan antar kelompok yang bersebelahan.
Klasifikasi ini tidak meliputi beberapa batubara tertentu yang memiliki variasi
tidak beraturan yaitu batubara yang mempunyai sifat fisik dan kimia tidak biasa, nilai
zat terbang dan nilai kalori berada diantara batas rank batubara High volatile
bituminous dan subbituminous. Semua batubara yang termasuk dalam kelompok ini
memiliki nilai karbon (dry basis) kurang dari 48 %, atau mempunyai nilai moisture
(mineral-matter-free basis) lebih dari 15,500 British thermal units per pound (Btu/Lb).
Basis pelaporan kandungan air lembab (moisture) berdasar pada nilai air
bawaan (inherent moisture) yang terkandung secara alamiah, dan tidak termasuk air
permukaan (surface moisture). Kadang-kadang basis pelaporan moisture sudah
mengandung arti dinyatakan dalam air dry basis (adb), bagian yang sering
digunakan dalam pelaporan standar hasil uji laboratorium.
Untuk menghitung nilai karbon padat (fixed carbon (%), dmmf), zat terbang
(volatile matter (%), dmmf), dan kandungan air (moisture (Btu/lb), dmmf) yang
digunakan untuk mengetahui posisi peringkat (rank) batubara dalam standar ASTM
mengikuti persamaan-persamaan dibawah ini:
100 x S) 0.55 A (1.08 - 100
S 50 -Btu mmf) (Btu,Moist
(dmmf) FC - 100 (dmmf) VMm
100x S) 0.55 A 1.08 (M - 100
S 0.15 - FC (dmmf) FC
+=
=++
=
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 28
Dimana:
Dmmf : Dry, Mineral Matter Free
Btu : British thermal units (specific energy)
FC : % Fixed Carbon
VM : % Volatile Matter
M : % Moisture
A : % Ash
S : % Sulfur
Catatan:
Moist “Btu” merujuk pada nilai kandungan batubara dalam kondisi alamiahnya, atau
kandungan bawaan, dengan kata lain disebut moisture tetapi bukan surface
moisture.
Simbol-simbol yang sering digunakan dalam menentukan rank batubara dalam
klasifikasi ASTM adalah:
Lvb = Low-volatile bituminous
Mvb = Medium-volatile bituminous
Hvab = High-volatile A bituminous
Hvbb = High-volatile B bituminous
Hvbc = High-volatile C bituminous
Sub a = Subbituminous A
Sub b = Subbituminous B
Sub c = Subbituminous C
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 29
Tabel 2.1. Klasifikasi Batubara Menurut ASTM Berdasarkan Rank
Class Group Analytical Limits (Mineral-Matter-Free Basis)
Requisite Physical Properties
I. Anthracite 1. Meta-Anthracite 2. Anthracite 3. Semianthracite
Dry FC 98% or more ; Dry VM 2% or less; Dry FC 92% or more
And less than 98% Dry VM 8% or less And more than 2%
Dry FC 86% or more And less than 92% Dry VM 14% or less And more than 8%
Non-agglomerating
II. Bituminous 1. Low-Volatile 2. Medium-Volatile 3. High-Volatile A 4. High-Volatile B 5. High-Volatile C
Dry FC 78% or more And less than 86%; Dry VM 22% or less And more than 14% Dry FC 69% or more And less than 78%; Dry VM 31% or less And more than 22% Dry FC Less than 69% Dry VM more than 31% And moist Btu 14,000 Or more Moist Btu 13,000 or more And less than 14,000 Moist Btu 10,500 or more And less than 13,000
Agglomerating Commeonly Either agglomerating Or non-agglomerating
III. Subbituminous 1. Subbituminous A 2. Subbituminous B 3. Subbituminous C
Moist Btu 10,500 or more And less than 11,500 Moist Btu 9,500 or more And less than 10,500 Moist Btu 8,300 or more And less than 9,500
Non-agglomerating
IV. Lignitic 1. Lignite A 2. Lignite B
Moist Btu less than 8,300 Moist Btu less than 6,300
Non-agglomerating
Sumber : ASTM D-388-66 (reprinted by permission). Legend : FC = Fixed Carbon
Vm = Volatile Matter Btu = British Termal Units
Catatan: 429.923 Btu = 1 MI/kg (megajoules), specific energy,SI.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 30
GROUPS (determineted by caking properties) CODE NUMBER SUBGROUP
(determinated by coking properties)
ALTERNATIVE GROUP PARAMETERS
ALTERNATIVE SUBGROUP
PARAMETERS GROUP NUMBER Free-swelling
index (crucible- sweeling number)
Roga Index
The firs figure of the code number indicates the class of the coal, determinated by volatile matter content up to 33% V.M. and by calorific parameter above 33% V.M. The second figure indicates the group of coal, determineted by caking properties.
The third figure indicates the subgroup, determined by caking properties.
SUBGROUP NUMBER
Dilatometer Gray-King
435 535 635 5 >140
334 434 534 634 4 >50-140
333 433 533 633 733 3 >0-50
3 >4 >45
332 a
332 b
432 532 632 732 832 2 <0
323 423 523 623 723 823 3 >050
322 422 522 622 722 822 2 <0 2 2 1/2 - 4 >20 - 45
321 421 521 621 721 821 1 Contaction
Only
212 312 412 512 612 712 812 2 <0
1 1 - 2. >5-20
211 311 411 511 611 711 811 1 Contaction Only
100 0 0-1/2 0-5
A B 200 300 400 500 600 700 800 900 0 Nonsoftening
CLASS NUMBER 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
>310 CLASS PARAMETERS
Volatile matter (dry, ash-free) 0-3
>3-6.5 >6.5-10 >1014 >14-20 >20-28 >28-33 >33 >33 >33 >33
As indication the following classes have and approximate volatile-matter content of: Class 6 33-41% volatile matter
7 33-44% volatile matter 8 35-50% volatile matter 9 42-50% volatile matter
Calorific parameter a]
-
- - - - - >12.960-13.950
>12.960-13.950 >980-12.960 >10.260-
10.980
CLASSES
(Determinated by volatile matter up to 33% V.M. and by calorific parameter above 33% V.M).
Note : (i) Where the ash content of coal is too high to allow classification according to the precent system, it must be reduced by laboratory float-and-sink menthod (or any order appropriate means). The specific gravity selected for flotation should allow a maximum yield of coal with 5 to 10 percent ash)
(ii) 332a > 14-16% V.M 322b > 16-20% V.M
Gambar 2.1. Klasifikasi ISO Untuk Batubara Tipe Hard Coal
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 31
2.2. KLASIFIKASI BATUBARA BERDASARKAN STANDAR
INTERNASIONAL ISO
Pada tahun 1949 telah didirikan sebuah komisi dengan nama Comittee of
United Nations Economic Comission for Europe untuk mengembangkan suatu
sistem klasifikasi batubara secara internasional dan setelah mempertimbangkan
beberapa studi yang pernah dikembangkan maka standar tersebut disetujui oleh
badan standarisasi internasional, ISO (International Organization for
Standardization). Untuk mengetahui detail dari klasifikasi internsional ini terlalu luas
untuk dimasukan dalam diktat ini, tetapi perhatian kita akan difokuskan kepada
intisarinya saja. Gambar 2.1 mengilustrasikan bagan klasifikasi untuk batubara jenis
hard coal.
Klasifikasi internasional ISO membagi batubara dalam dua kategori utama.
Kategori pertama disebut batubara “hard” yang didefinisikan sebagai batubara yang
memiliki gross calorific value lebih dari 10.260 Btu (moist, ash-free basis). Semua
batubara diatas Subbituminous B dalam klasifikasi ASTM Yang termasuk dalam
kelompok ini. Kategori kedua dalam standar ISO adalah semua batubara yang
termasuk dalam group Subbituminous B dan C, dan Lignite A dan B. Pembagian
tipe dalam klasifikasi internasional ISO sama dengan rank dalam sistem klasifikasi
Amerika ASTM. Pembagian ini berdasarkan pada derajat metamorfisme, atau laju
alterasi dari lignite ke anthracite. Class dalam klasifikasi ISO mendekati group dalam
klasifikasi ASTM.
Pengelompokan batubara dalam klasifikasi pertama berdasarkan kandungan
volatile matter-nya (dry, ash-free basis), dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut:
Tabel 2.2. Pengelompokkan Batubara Berdasarkan
Kandungan Volatile Matter Class No. Percent Volatile Matter
(Dry, ash-free basis)
1 A 1 B 2 3 4 5
6-9
3 – 6.5 6.5 -10 10 -14 14 – 20 20 – 28 28 – 33
>33
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 32
Untuk batubara yang mengandung volatile matter lebih dari 33 persen , dapat dilihat
pada tabel 2.3 sebagai berikut:
Tabel 2.3
Batubara yang Mengandung Volatile Matter Lebih dari 33%
Class No. Gross Btu Vlue (Moist, Ash-Free
Basis)
Approximate Volatile Matter Limits
(Dry, Ash-Free Basis) 6 7 8 9
> 13.950
12.960 – 13.950 10.980 – 12.960 10.260 – 10.980
33 – 41 33 – 44 35 – 50 42 – 50
Untuk batubara lignite dan brown coal, atau batubara yang memiliki gross heating
value kurang dari 10.260 Btu, batubara diklasifikasikan berdasarkan pada
kandungan total moisture-nya (ash-free basis), seperti terlihat pada tabel 2.4
sebagai berikut:
Tabel 2.4 Klasifikasi Berdasarkan Pada Kandungan Total Moistu re-Nya
Class No. Percent Total Moisture
(Ash-Free Basis) 10 11 12 13 14 15
<20 20 – 30 30 – 40 40 – 50 50 – 60 60 - 70
Class kemudian dibagi lagi ke dalam group yang mendasarkan pada hasil uji
standar batubara. Sembilan Class dari hard coal dibagi kedalam group-group
berdasarkan pada sifat “caking” dari batubara seperti terlihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Group Batubara Berdasarkan Pada Sifat “Caking”
Group No. Free-Swelling Index Roga Index 0 1 2 3
0 – ½ 1 – 2
2 ½ - 4 > 4
0 – 5 5 – 20 20 – 45
> 45
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 33
Group dari batubara selanjutnya dibagi lagi kedalam sub-sub berdasarkan
pada sifat-sifat “coking” nya, seperti diukur menggunakan dilatasi (menggunakan
Metode Audibert-Arnu ), atau dengan menggunakan tipe kokas Gray-King , lihat
tabel 2.6.
Tabel 2.6 Group Batubara Berdasarkan Pada Tipe Kokas Gray-Kin g
Subgroup
No. Maximum Dilatation
Gray-King Coke Type
0 1 2 3 4 5
Non-softening Contaction only
0 and less 0 – 30
50 – 140 > 140
A A – B E – G
G1 – G4 G5 – G8
Above G8
Tiga digit kode nomor digunakan untuk menyatakan klasifikasi dari batubara.
Digit pertama menunjukkan “Class” , yang kedua menunjukkan “group”, dan digit
yang ketiga menunjukkan “subgroup”. Sebagai contoh, Code No. 634 menunjukan
bahwa batubara tersebut masuk dalam Class 6, Group 3, dan Subgroup 4.
Class untuk batubara subbituminous dan lignite memiliki gross heating value –
kurang lebih 10.260 Btu (atau Class 10 sampai 15) yang dibagi kedalam group
berdasarkan tar yield seperti terlihat pada Tabel 2.7.
Batubara Class 10 sampai 15 menggunakan empat digit kode nomor, dua digit
pertama menunjukkan Class dan dua digit terakhir menunjukkan group. Sebagai
contoh, Code No. 1210 berarti batubara tersebut adalah Class 12 dan dimasukkan
dalam Group 10.
2.3. PERBANDINGAN KLASIFIKASI ASTM DAN ISO
Perbandingan antara klasifikasi menurut ASTM dan ISO dapat dilihat pada
Gambar 3. Sisem internasional sama dengan sistem ASTM yang menyatakan
bahwa batubara dipisahkan kedalam Class berdasarkan nilai volatile matter dan
kalori.ASTM menggunakan nama untuk menggantikan nomor pada ISO, kemudian
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 34
sistem ASTM menggunakan basis pelaporan mineral-matter-free-basis (dmmf)
sedangkan ISO menggunakan basis pelaporan ash-free basis (daf).
Dalam hal batubara Subbitumionous C dan lignite, sistem internasional ISO
menggunakan parameter total moisture, sedangkan pada sistem ASTM
menggunakan nilai kalori (Calorific Value). Korelasi yang baik antara total moisture
dan calorific value adalah pada batubara peringkat rendah.
Ada korelasi tertutup antara dua sistem, kecuali dimana sistem internasional
membagi kedalam kategori yang lebih dangkal daripada ASTM. Pengelompokkan ini
benar untuk batubara peringkat rendah, dimana sistem ISO membagi lignite dalam
enam Class.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 35
BAB III KARAKTERISTIK DAN PARAMETER KUALITAS
BATUBARA
3.1. KARAKTERISTIK BATUBARA
Sifat-sifat fisik ataupun komposisi kimia batubara sangat berbeda-beda, apakah
masih berbentuk endapan ataupun telah menjadi bahan perdagangan. Perbedaan
ini disebabkan oleh kondisi pembentukan gambut, perubahan-perubahan yang
terjadi selama masa waktu geologi, cara-cara penambangan dan pengolahan yang
telah di alaminya. Karakteristik batubara ini menentukan bagaimana batubara
tersebut dapat dimanfaatkan. Dalam beberapa hal, pencucian dan pengolahan
dapat memperbaiki karakteristik ini, sehingga batubara tersebut menjadi dapat
dimanfaatkan. Beberapa karakteristik batubara yang diperbaiki dengan melakukan
pencucian ialah:
a. Menghasilkan produk yang lebih uniform
b. Distribusi ukuran yang optimum
c. Kandungan moisture optimum
d. Mengurangi kandungan material
Adapun karakteristik dari batubara tersebut secara umum dapat dikelompokan
menjadi dua bagian yaitu yang termasuk dalam sifat fisik dan kimia batubara.
Adapun yang termasuk dalam kelompok sifat fisik diantaranya: Moisture, Volatile
matter, Porositas, Berat jenis, Grindability dan Friability, Pelapukan, Komposisi
ukuran, Kekuatan, Abrasiveness, Swabakar, Warna dan kilap, Rekahan, Cleat dan
Belahan. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok sifat kimia adalah: karbon,
hidrogen, sulfur, oksigen, nitrogen, dan impurities batubara.
Sifat fisik batubara dikhususkan pada karakteristik batubara dalam kondisi
aslinya, atau diutamakan pada hasil akhir penggunaan batubara sebagai bahan
bakar. Sebagai contoh, kekerasan batubara dihitung untuk mengetahui biaya
perawatan dari peralatan penanganan batubara ( coal handling equipment), bobot isi
(SG) batubara dihitung untuk mengetahui teknik preparasi yang digunakan
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kapasitas tug boat dan ukuran tongkang,
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 36
dan fasilitas penyimpanan batubara lainnya. Sifat fisik batubara sudah tentu
tergantung pada unsur-unsur kimia yang membentuk batubara tersebut serta semua
sifat fisik dan kimia saling berhubungan.
Sifat kimia lebih ditujukan kepada karakteristik batubara yang didasarkan pada
unsur-unsur kimianya. Karakteristik-karakteristik ini dihitung untuk kondisi yang
sangat luas dengan mempertimbangkan faktor-faktor : jenis tumbuhan yang
pembentuk batubara; tingkat perlakuan ketika tumbuh-tumbuhan tersebut
mengalami pembusukan, besarnya tekanan (pressure) pada saat pembusukan
tumbuh-tumbuhan berlangsung; pengotor dari luar, baik dibawa oleh air maupun
angin, yang dapat ikut terendapkan dan menyatu dalam deposit batubara dan
menjadi pengotor bawaan setelah terbentuk batubara; dan panas yang diperlukan
selama proses pembusukan tumbuhan menjadi batubara.
Unsur-unsur dasar dari batubara adalah karbon, hidrogen, sulfur, oksigen, dan
nitrogen yang tergabung menjadi satu kesatuan yang komplek sehingga membentuk
batubara saat ini. Tidak semua unsur-unsur tersebut ada dalam semua batubara,
porsi dari masing-masing unsur juga tidak selalu konstant pada lapisan batubara
yang sama. Jika saja batubara merupakan produk yang seragam (uniform), maka
dipastikan tidak akan ada masalah dalam penggunaannya. Kerangka dari
karakteristik unsur-unsur kimia adalah suatu struktur polynuclear rantai karbon.
Batubara bukan merupakan hydrokarbon karena adanya kandungan bahan-bahan
organik yaitu oksigen, sulfur dan nitrogen. Secara keseluruhan, karakteristik dari
batubara dijabarkan sebagai berikut :
3.1.1. Moisture
Moisture yang ada pada atau di dalam batubara akan ikut terangkut atau
tersimpan bersama batubara. Bila banyaknya ada dalam jumlah besar, ia akan
meningkatkan ongkos atau mendatangkan kesulitan pada penanganannya.
Misalnya adanya air permukaan akan menyebabkan batubara lengket dan akan
menyulitkan hopper atau chute atau pada waktu menggerusnya. Adanya moisture
akan menurunkan nilai panas dan juga hilang pada penguapan air.
Moisture yang ada pada batubara terdapat pada:
- permukaan dan didalam rekahan-rekahan, disebut air bebas (free moisture)
atau air permukaan (surface moisture).
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 37
- Rongga-rongga kapiler, disebut inherent moisture.
- Pada kristal-kristal partikel-partikel mineral yang ada pada batubara disebut air
hidrasi.
- Bagian organik dari batubara, disebut air dekomposisi
Air permukaan mempunyai tekanan uap normal, sama seperti air biasa,
sedangkan inherent moisture yang berada di dalam pori-pori, tekanan uapnya lebih
rendah dari normal. Air hidrasi umumnya terdapat pada material lempung dan
merupakan bagian dari lattice (kisi-kisi) kristalnya. Air ini baru terbebaskan pada
temperatur 5000C. Air dekomposisi terbebaskan pada temperatur 200o- 250o C. Air
hidrasi dan air dekomposisi terbebaskan menggunakan temperatur jauh dibawah
200oC.
Air total (total moisture) adalah jumlah air permukaan (surface moisture) dan air
bawaan (inherent moisture) dari batubara pada waktu analisis. Nama lain dari air
total ialah as-received moisture. Air dried adalah air yang ada setelah pengeringan
dengan udara terbuka. Ada beberapa perbedaan pendapat tentang pengertian air di
dalam batubara, memberikan gambaran umum tentang jumlah air relatif pada
batubara.
3.1.2. Zat Terbang (Volatile Matter)
Apabila batubara dipanaskan didalam atmosfir yang insert sampai temperatur
950oC. Akan menghasilkan material yang disebut zat terbang. Zat terbang tersebut
terdiri dari campuran gas senyawa organik bertitik didih rendah yang akan mencair
menghasilkan material berbentuk dan tar. Proses menghasilkan zat terbang ini
disebut pirolisis yang berarti memisahkan dengan menggunakan panas.
Kebanyakan material yang ada di dalam zat terbang adalah hasil pelepasan ikatan
kimia di dalam batubara selam proses pemanasan, terdiri dari gas-gas mudah
terbakar seperti hydrogen, karbon monoksida, metan, uap tar dan gas yang tidak
terbakar seperti karbon dioksida dan uap air. Uap air disini adalah uap air yang tidak
termasuk air total tetapi termasuk air hidrasi dan air dekomposisi.
Komposisi dari zat terbang berbeda-beda menurut rank dari batubara dengan
bagian zat terbang yang tidak terbakar membesar dengan menurunnya rank (Tabel
3.1). Zat terbang ini sangat penting karena ia dipakai sebagai parameter dalam
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 38
klasifikasi dan evaluasi batubara untuk pembakaran, karbonisasi (pembuatan
kokas), gasifikasi dan liquefaksi.
Dalam pemanfaatan batubara sebagai sumber panas (combustion), zat terbang
ini penting untuk mengendalikan asap dan pembakaran. Batubara dengan zat
terbang rendah, terbakar secara perlahan dengan flame (nyala) yang pendek dan
digunakan untuk pemanasan. Untuk itu batubara harus dari batubara yang
mengandung zat terbang medium sampai tinggi. Akan tetapi batubara ini juga
mengandung asap yang berlebihan yang perlu diatasi dengan pembakaran yang
baik (perlu jumlah udara yang tepat untuk pembakaran).
3.1.3. Porositas
Batubara mengandung dua sistem pori, yaitu pori dengan ukuran rata-rata 500
Å dan yang lain dengan pori berukuran 5 - 15 Å (1 Å = 10-10m). Pori yang kecil lebih
sedikit dibandingkan dengan yang besar, tetapi luas permukaannya besar (kira-kira
200 m2/gr). Pori-pori yang lebih besar mempunyai total luas permukaan pori 1m2/gr.
Pori-pori ini dapat menyerap methan (CH4) yang terbentuk pada tahap akhir dari
pembentukan batubara. Low volatile bituminous coal mempunyai kemampuan
menyerap methan lebih besar dari laju difusi rendah, pada batubara yang tidak
rusak. Hal ini berkaitan dengan sering terjadinya ledakan dan kebakaran pada
tambang - tambang low volatile bituminous coal, bila terbentuknya rekahan-rekahan
yang memungkinkan keluarnya gas methan.
Permukaan dalam dari pori ini merupakan akses terhadap reaktan yang akan
memberikan laju reaksi yang seperti pada proses gasifikasi, pembakaran dan lain-
lain.
3.1.4. Berat Jenis (Density)
Berat jenis material adalah perbandingan antara berat material di udara dengan
berat mineral tersebut yang setara dengan volume air yang dipindahkan akibat
material tersebut. Berat jenis batubara murni berkisar antara 1,25 sampai 1,70,
umumnya semakin bertambah nilainya seiring dengan naiknya peringkat (rank)
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 39
batubara itu sendiri. Kegunaan terpenting dari berat jenis ini adalah dimana
pemisahannya didasarkan pada perbedaan berat jenis. Prinsif dasar dari operasi ini
adalah bahwa berat jenis batubara berbeda-beada dipengaruhi oleh adanya
asosiasi dengan pengotor (impuirities) dan adanya hubungan batubara kecepatan
jatuh batubara di air dengan density-nya.
Ada beberapa macam pengukuran berat jenis, tergantung pada tujuan
penggunaannya diantaranya adalah:
- Bulk density adalah berat persatuan volume batubara lepas. Pengetahuan bulk
density ini diperlukan misalnya untuk menghitung besarnya stockpile, bin dan
lain-lain untuk menyimpan batubara dengan berat tertentu
- Apparent density adalah berat jenis bongkah batubara termasuk inherent
moisture, mineral matter dan udara di dalam pori.
- True density adalah berat jenis batubara yang bebas dari udara dan air yang
tidak terikat , tetapi termasuk mineral matter.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya berat jenis adalah:
- Rank. Umumnya batubara dengan rank yang tinggi cenderung mempunyai
berat jenis yang tinggi pula. Meningkatnya berat jenis ini mungkin disebabkan
oleh perubahan-perubahan yang terjadi selama proses pembentukan batubara
yaitu terbentuknya group-group hidrokarbon yang lebih berat.
- Komposisi petrografik, exinit adalah group maceral paling ringan, sedangkan
fusinit yang paling padat (berat jenis lebih besar). Berat jenis exinit dan vitrinit
dari batubara sub bituminous dan bituminous masing-masing berkisar antara
1-1,28 dan 1,35 - 1,45 sedangkan fusinit lebih dari 1,5.
- Impurities. Air lembab dan mineral adalah dua group impurities yang ada di
dalam batubara, dan sangat menentukan berat jenis batubara. Batubara yang
masuk segar dan baru datang dari tambang, masih jenuh dengan air. Berat
jenis batubara berkurang dengan mengeringnya batubara. Batubara yang
mengandung abu lebih besar juga mempunyai berat jenis lebih besar.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 40
3.1.5. Grindability dan Friability
A. Grindability
Grindability adalah ukuran mudah sukarnya batubara digerus menjadi berbutir
halus untuk penggunaan bahan bakar bubuk (pulverized coal) dibandingkan dengan
betubara standar yang dipilih sebagai grindability 100. Dengan demikian batubara
akan lebih sukar digerus bila index grindability lebih kecil dari 100, Hardgrove
Grindability index, nama yang berasal dari nama penemu cara uji grindability
tersebut yaitu Ralp Hardgrove. Batubara yang mudah digerus adalah batubara dari
high volatile bituminous, sub bituminous dan antrasit lebih sukar, yaitu grindability
membesar dengan meningkatnya kandungan karbon sampai 90% dan kemudian
mengecil, lihat Gambar 3.2
Gambar 3.1 Hubungan antara Hardgrove Index dan Volatile Matter
Untuk Batubara berkadar abu rendah
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 41
Gambar 3.2 Hubungan antara Hardgrove Index Batubara dan Kandungan Karbon
Grindability merupakan parameter terpenting untuk pembakaran batubara
dengan tungku pembakaran lebih banyak dipengaruhi oleh nilai ketergerusan
dibandingkan oleh hal lainnya. Kapasitas masukkan tenaga untuk pembakaran dan
biaya perbaikan pada tungku pembakaran, besarnya akan berbeda-beda jika nilai
HGI-nya berbeda-beda. Semakin tinggi nilai HGI maka akan semakin mudah
batubara tersebut untuk digerus. Fasilitas umum pembangkit tenaga listrik umumnya
menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya, bekerja secara periodik dihitung
dengan menggunakan metode hardgrove.
2) Friability
Friability adalah ukuran kemampuan untuk menahan remuknya material
selama penanganannya (handling). Baik grindability maupun friability tergantung
karakteristik toughnes, elastisitas dan fracture.
Aspek penting dari friability ialah meningkatnya luas permukaan yang baru
selama handling batubara yang friable. Hal ini memungkinkan mempercepat reksi
oksidasi dan karenanya kondisi ini memungkinkan terjadinya ignition secara
spontan, hilangnya kualitas coking pada coking coal, serta perubahan-perubahan
lain yang mengikuti oksidasi. Friability membesar menurut rank hingga kandungan
fixed carbon 75% dan setelah itu menurun (antrasit). Tabel 3.1 menggambarkan
harga friability rata-rata pada rank yang berbeda.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 42
Ada dua tes yang umum digunakan untuk mengukur kerapuhan batubara.
Yang pertama adalah tumbler test dimana 1000 gr batubara berukuran -1,5 +1,05
inchi2 diaduk dalam mesin giling jar mill berbahan porselen berbentuk silinder
berdiameter dan tinggi silinder 11/4 inchi dengan tiga mengangkut yang membantu
dalam pengangkutan batubara. Mesin giling (jar mill) diputar selama 1 jam pada
kecepatan putar 40 rpm (rotary per minutes). Setelah itu, batubara diayak dengan
menggunakan ayakan dengan ukuran 1,05 sampai 0.0117 in. Nilai friability adalah
persen pengurangan dengan volume aslinya. Itu berarti, jika rata-rata ukuran
batubara hasil pengadukan sebanyak 75% dari sampel awal, nilai kerapuhan
(friabilty) nya adalah 25%.
Metode yang kedua adalah drop shatter test. Pada uji ini, sampel batubara
ukuran 3 x 2 inchi seberat 50 lb dijatuhkan keatas plat baja setinggi 6 ft. Jumlah
hancuran yang berada dalam ayakan berukuran bukaan -3 inchi +1/2 inchi. Hasilnya
dinyatakan sebagai ukuran kestabilan dari batubara, yaitu ukuran rata-rata dari
material yang dinyatakan sebagai persentase dari ukuran awal sampel. Nilai
kerapuhan adalah 100% - nilai kestabilan batubara.
Shatter test lebih cocok untuk mengukur kerusakan dalam penanganan
batubara dalam jumlah yang lebih besar tanpa tanpa pengulangan pergerakan
transportasi sebelum digunakan. Tumbler Test mengukur kedua-duanya, baik
menghancurkan (shatter) maupun abrasi, namun metode ini lebih cocok digunakan
untuk mengukur batubara dibawah kondisi - kondisi yang memiliki ruang yang cukup
dalam penanganannya seperti dalam feeder.
Tabel 3.1 Harga Friability Rata-rata dari Peringkat Batubara yang Berbeda-beda
Rank of coal No.of tests Friability ( %)
Anthracite 36 33
Low and medium volatile 27 70
Bituminous 87 43
Subbituminous A 40 30
Subbituminous B 29 20
Lignite 16 12
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 43
3.1.6. Pelapukan ( Weathering )
Pelapukan (weathering) adalah kecenderungan batubara untuk pecah bila ia
mengering. Umumnya hampir semua batubara bila kontak dengan atmosfir, cepat
atau lambat akan menunjukan gejala weathering. Kenyataan lain banyak batubara
yang tersimpan mampu terbakar secara spontan. Bahaya ini akan timbul bila jumlah
panas yang terbebaskan oleh proses oksidasi lebih besar dari jumlah panas yang
tersedia secara konveksi atau konduksi.
Untuk berat tertentu batubara, makin besar permukaan terbuka (terekspose)
akan makin besar laju poksidasi. Oleh karena dengan makin kecilnya ukuran
batubara, makin besar luas permukaan persatuan berat, maka pada stockpile
batubara yang mengandung material halus tinggi akan mudah terbakar secara
spontan. Batubara peringkat rendah menunjukan kecenderungan berarti untuk
remuk (weathering / slacking) bila kontak dengan atmosfer, terutama bila batubara
tersebut secara bergantian terkena basah dan kering atau terkena sinar panas
matahari.
Lignit sangat cepat remuk / slacking, batubara sub bituminous juga slacking
tetapi tidak sesegera lignit sedangkan batubara bituminous hanya sedikit
dipengaruhi oleh slacking atau weathering.
Batubara yang segera remuk bila terekspose, mengandung moisture yang
tinggi. Bila batubara tersebut terekspose ia akan kehilangan moisture tersebut pada
bagian permukaan lebih dulu dan diikuti keluarnya moisture dari bagian dalam.
Apabila kehilangan moisture dari permukaan berlangsung cepat dan tidak segera
diikuti oleh moisture dari bagian dalam maka laju pengkerutan di bagian luar lebih
cepat dari bagian dalam. Akibatnya timbul stress di bagian permukaan. Stress ini
menyebabkan batubara rekah-rekah (crack) dan remuk berkeping-keping. Sama
halnya batubara kering dibasahi hujan, bagian permukaan batubara mendapat air
lebih cepat daripada batubara bagian dalam, menyebabkan pemuaian di permukaan
lebih besar dan batubara akan remuk.
Weathering, seperti halnya handling batubara rapuh (friable) menyebabkan
terbentuknya batubara material halus yang banyak, akan dapat berakibat turunnya
nilai batubara. Demikian juga menyimpan batubara yang mudah weathering tidak
menyenangkan karena tidak saja menurunkan ukuran batubara besar, slacking juga
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 44
dapat berakibat batubara terbakar dengan sendirinya karena meningkatnya
permukaan yang terekspose pada saat oksidasi.
3.1.7. Komposisi Ukuran
Ukuran batubara menjadi hasil pemisahan dari butiran yang berbeda-beda
menjadi kelompok butiran dengan ukuran yang mendekati sama atau ke dalam
kelompok di mana cakupan dari butiran adalah antara ukuran minimum dan
maksimum tertentu. Test ayak standar dijadikan acuan ukuran batubara yang
sebenarnya. Spesifikasi ukuran standar didasarkan pada test ayak dengan ayakan
lubang bulat dengan diameter dan ketinggian jatuh 3/8 inchi.
Hal ini penting dalam menentukan harga batubara tertentu di pasar adalah
kualitasnya yang diukur dengan karakteristik penggunaannya seperti kandungan
abu, sulfur, dan nilai panas. Kualitas ini sungguhpun sangat penting, umumnya
dikaitkan dengan size consist. Size consist, dimasukan di dalam banyak kontrak,
yang sering dinyatakan dengan % maksimum undersize yang diizinkan dan kadang-
kadang juga dalam % oversize yang diizinkan.
Sejumlah faktor menentukan komposisi ukuran dari run of mine coal. Dari segi
batubaranya: yaitu kekuatan dan sifat remuknya, dan dari segi lainnya cara
penambangan serta usaha yang dilakukan untuk mencegah pengecilan batubara.
Semua ini sangat bervariasi.
Brysch dan Ball membuktikan bahwa komposisi ukuran mengendalikan bulk
density dan batubara kering. Dengan penyebaran yang luas dari ukuran
memberikan bulk density tertinggi. Makin halus partikel, density mengecil (masih
ditentukan ukuran terbesar). Untuk batubara basah maka kecil ukuran partikel,
makin rendah minimum bulk density.
3.1.8. Kekuatan
Kekutan batubara berkepentingan langsung dengan penambangan dan
peremukan. Kekutan dan mode of failure tergantung pada rank dan kondisi batubara
dan cara-cara menerapkan stress. Kekuatan batubara banyak dipelajari dengan
cara uji kompresi, sebab hasilnya dapat diterapkan dalam memperkirakan kapasitas
beban pilar didalam tambang.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 45
3.1.9. Abrasiveness
Abrasiveness dari batubara penting dalam pengertian ekonomi pada
pertambangan, peparasi dan penggunaan. Batubara merupakan material abrasive.
Oleh karena itu keausan pada pemboran, cutting dan alat angkut sangat tinggi dan
sering diganti. Demikian juga pada waktu crushing dan grinding untuk menghasilkan
pulverized coal, keausan alat tinggi yang berakibat mahalnya ongkos operasi.
Penelitian menunjukan, abrasiveness batubara tidak sama. Batubara ada yang
memiliki keausan tinggi, yang lain lebih rendah. Hal ini disebabkan karena batubara
merupakan material heterogen yang mempunyai komponen berbeda-beda sifatnya.
Suatu cara menentukan abrasiveness dari batubara dikembangkan oleh
Seattle Coal Research Laboratory of USBM. Secara garis besar caranya sebagi
berikut: Alat terdiri dari 4 blade besi yang berputar di dalam tempat berisi batubara,
diputar dalam jumlah putar yang tetap dan tentukan kehilangan berat dari blade
selama tes.
Penelitian menunjukan beban abrasiveness lebih ditentuakan oleh macam dan
banyaknya mengurangi impunrities juga akan mengurangi abrasiveness.
3.1.10. Warna dan Kilap
Batubara memiliki warna yang berbeda-beda mulai dari warna coklat, hingga
hitam keabu-abuan, pada batubara peringkat lignit sampai warna hitam mengkilat.
Kilap adalah bawaan di dalam batubara itu sendiri yang memancarkan cahaya pada
permukaannya. Batubara memiliki warna yang bebeda-beda dari warna coklat pada
batubara peringkat lignite, dengan bertambahnya peringkat batubara maka
warnanya akan bertambah hitam mulai dari hitam keabu-abuan sampai hitam pekat.
Kilap (luster) menjadi cara dimana suatu benda mencerminkan cahaya dari
permukaan nya.
Batubara memiliki warna yang bebeda-beda dari warna coklat pada batubara
peringkat lignit, dengan bertambahnya peringkat batubara maka warnanya akan
bertambah hitam mulai dari hitam keabu-abuan sampai hitam pekat. Kilap (luster)
menjadi cara di mana suatu benda mencerminkan cahaya dari permukaan nya.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 46
Batubara memiliki warna yang bebeda-beda dari warna coklat pada batubara
peringkat lignit, dengan bertambahnya peringkat batubara maka warnanya akan
bertambah hitam mulai dari hitam keabu-abuan sampai hitam pekat. Kilap (luster)
menjadi cara di mana suatu benda mencerminkan cahaya dari permukaan nya.
3.1.11. Pecahan ( Fracture ), Retakan ( Cleat) and Belahan
(Cleavage )
Pecahan (fracture) mengacu pada penambahan bentuk batubara sama seperti
halnya cara dimana batubara pecah. Sampai taraf tertentu, retak adalah suatu
indikasi peringkat batubara. Antrasit dan channel batubara cenderung pecah
membentuk permukaan yang membengkok tidak beraturan; retakan ini dikenal
sebagai choncoidal fracture. Batubara Low Volatile cenderung pecah membentuk
kolom vertikal, retakan seperti ini disebut sebagai columnar fracture. Batubara
mengkilap High Volatile cenderung pecah membentuk kubus. Beberapa batubara
low volatile juga mempunyai bentuk retakan seperti kubus. High Volatile Splint Coal
cenderung pecah membentuk potongan datar segi-empat, dikenal sebagai slabby
fracture. Subbituminous pecah dengan retak tidak beraturan, sedang lignit
membelah menjadi fragmen tidak beraturan.
Dalam kebanyakan lapisan batubara ada perpecahan vertikal yang disebut
sebagai cleat, yang memotong lapisan batubara (seam) dalam dua arah membentuk
sudut 90 derajat satu sama lainnya. Permukaan cleat lebih panjang, dimana pada
bagian ujung atau pada penumpu cleat lebih pendek dan lebih tidak beraturan.
Dalam hal menambang lapisan batubara (seam), cleat digunakan untuk
memudahkan peledakan untuk menghasilkan batubara blok.
3.1.12. Swabakar ( Spontaneous Combustion )
Karakteristik fisik ini, seperti juga pada pelapukan, mempengaruhi kualitas
penyimpanan batubara. Penyebab terjadinya swabakar adalah akibat proses
oksidasi batubara yang lambat tanpa adanya kesempatan batubara tersebut
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 47
melepaskan panas yang dialaminya. Karena berat batubara tertentu, semakin luas
permukaan batubara kontak dengan udara bebas semakin besar pula peluang
terjadinya oksidasi. Oleh karena itu, swabakar cenderung terjadi pada stockpile
batubara yang besar dengan bidang kontak permukaan batubara yang luas.
Pemadatan tumpukan batubara dapat mengurangi luas bidang kontak batubara
dengan udara bebas sehingga mengurangi kecenderungan untuk pembakaran
secara spontan.
3.1.13. Karbon
Kandungan karbon dalam batubara semakin besar seiring naiknya rank
batubara. Persentase dari total karbon yang ada dalam struktur yang kompleks,
padat dan berbentuk rantai, juga bertambah seiring dengan naiknya rank batubara.
Sekitar 80 % karbon dalam batubara bituminus high volatile A mungkin dalam
bentuk ini. Beberapa batubara mengandung karbonat anorganik yang cukup
berpengaruh yang merupakan hasil dari pengendapan sekunder dari mineral-
mineral yang ikut terendapkan bersama-sama dengan tumbuhan pada saat
pembentukan batubara. Kandungan karbon merupakan sumber penyedia nilai kalor
terbesar dalam batubara.
3.1.14. Hidrogen
Kandungan hidrogen dalam batubara umumnya berada dalam rentang 4,5
sampai 5,5 % yang juga merupakan salah penyedia nilai kalor selain karbon.
hidrogen dalam batubara kering terjadi sebagian besar dalam struktur rantai dengan
karbon baik jenuh maupun setengah jenuh
3.1.15. Sulfur
Sulfur dalam batubara terjadi dalam dua bentuk, organik dan anorganik. Sulfur
organik terdistribusi secara merata bersama-sama dengan unsur-unsur pembentuk
batubara lainnya, dan secara alami berkaitan dengan fakta bahwa tumbuh-
tumbuhan mengandung sulfur yang apabila tumbuhan tersebut membusuk atau
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 48
hancur maka sulfur tersebut bereaksi membentuk senyawa Hidrogen Sulfida (H2S).
Batubara yang memiliki nilai total sulfur kurang dari 1%, biasanya pada umumnya
merupakan sulfur organik, sedangkan batubara dengan nilai total sulfur yang lebih
tinggi maka sulfur organik cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya total
total sulfur dalam batubara tersebut. Namun hal tersebut tidak menjadi patokan
karena tidak ada dasar yang definitif yang menyatakan hubungan antara jumlah
(porsi) antara sulfur organik dan anorganik dalam batubara. Sulfur organik
cenderung berkisar antara 0,3 sampai 3%, meskipun ada juga yang kandungannya
lebih besar dari 5 % pada beberapa batubara yang pernah dipublikasikan.
Sulfur anorganik biasanya berada dalam senyawa pyritr (FeS2) dan sebagian
kecil (biasanya kurang dari 0,1 %) dalam bentuk sulfat. Pyrite memiliki variasi
keragaman yang luas baik bentuk maupun ukurannya.
Sulfur umumnya terdapat dalam kebanyakan batubara, jumlahnya dapat
bervariasi mulai jumlah yang sangat kecil (traces) sampai 4%, kadang lebih tinggi.
Sulfur terdapat dalam tiga bentuk utama yaitu:
• Sulfur Pritik (FeS2), jumlahnya sekitar 20-30 % dari sulfur total dan terasosiasi
dalam abu, terjadi baik sebagai makrodeposit (lensa,veins,joints,balls, dsb) dan
mikrodeposit (partikel-partikel halus yang terdisseminasi).
• Sulfur Organik, jumlah sekitar 20-80% dari sulfur total dan secara kimia terikat
dalam substansi batubara, biasanya berasosiasi dengan konsentrasi sulfut
(dan sulfida) selama proses pembatubaraan.
• Sulfur Sulfat, kebanyakan sebagai kalsium sulfat dan besi sulfat, jumlahnya
sangat kecil kecuali pada batubara yang terekspos dan teroksidasi.
Makro deposit dari sulfur piritik dapat dihilangkan dengan proses pencucian,
sementara itu mikrodeposit dari sulfur piritik serta organik dan sulfat sulit
dihilangkan.
3.1.16. Oksigen
Oksigen dalam batubara berada dalam beberapa bentuk. Hydroxyl, Carbonyl,
atau dapat juga hadir dalam kelompok carboxyl. Pada batubara peringkat rendah
kandungan air dalam batubara memberikan kontribusi dalam pelaporan persentasi
kandungan oksigen dan hidrogen.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 49
3.1.17. Nitrogen
Nitrogen dalam batubara dalam jumlah yang bervariasi mulai dari jumlah yang
sangat sedikit sampai 3%, tetapi yang umum berada dalam rentang 1 dan 2% pada
basis pelaporan dry ash free (daf). Bituminous umumnya mengandung nitrogen
lebih banyak daripada lignit dan antrasit.
3.1.18. Impurities Batubara
Impurities yang berbentuk di dalam batubara dapat diklasifikasikan sebagai
impurities yang akan membentuk abu dan impurities yang akan mengandung sulfur.
Impurities lain seperti fosfor dan garam tertentu sering juga ada.
Dari segi pencucian batubara, impurities dapat diklasifikasikan lagi sebagai
inherent impurities dan extraneous imputrities. Inherent impurities menyatu dengan
batubara dan tidak dapat dipisahkan. Sedangkan extraneous impurities tersegregasi
dan dipisahkan dengan cara-cara pencucian yang ada.
a. Mineral matter
Semua batubara mengandung mineral matter yang tidak terbakar. Mineral
matter merupakan masalah yang sering dihadapi dalam hal penanganan batubara.
Ada kemungkinan beberapa unsur anorganik dari mineral matter bereaksi dengan
senyawa organik pembentuk batubara dan terikat bersama-sama pada saat proses
pembentukan batubara. Sisa dari mineral matter setelah batubara tesebut dibakar
disebut abu (ash). Rata-rata kandungan abu sekitar 2 atau 3 % untuk pure coal, dan
10% atau lebih untuk kebanyakan tambang batubara komersial. Material yang
sering digunakan untuk keperluan sehari-hari dengan kandungan abu yang sangat
tinggi disebut bone coal, bituminous shale, atau black slate.
Abu batubara memiliki komposisi kimia yang beragam. Umumnya merupakan
gabungan antara Silika (SiO2) dan Alumina (Al2O3) yang berasal dari pasir, lempung,
sabak, dan serpih; besi oksida (Fre2O3) dari pyrite dan marcasite; Magnesia (MgO)
dan Lime (CaO) dari batugamping dan gypsum; alkalis, sodium oksida dan
potasium oksida (Na2O).
Mineral yang terkandung di dalam batubara sangat bervariasi baik jumlah
maupun distribusinya. Keberadaannya sangat menentukan dalam segala segi mulai
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 50
dari penambangan sampai penggunaannya. Material pembentuk abu yang menyatu
dengan batubara disebut inherent mineral matter. Bagian ini berasal dari unsur-
unsur kimia yang telah ada pada tumbuh-tumbuhan asal batubara. Umumnya
inherent mineral matter kira-kira 2% dari total abu. Extraneous mineral matter adalah
material pembentuk abu yang berasal di luar dari tumbuh-tumbuhan asal batubara.
Bagian terbesar dari abu ini berasal dari detrital matter yang mengendap ke dalam
endapan betubara. Endapan berkristal yang masuk bersama air ke dalam rekahan-
rekahan dan cleavage, pada masa selama atau sesudah pembentukan batubara,
Umumnya ia terdiri dari slate, shale, sandstone atau lime stone yang berukuran
mulai dari ukuran mikroskopik sampai membentuk lapisan yang agak tebal.
Batubara yang ditambang juga membentuk unsur mineral matter ini dengan shale,
sandstone, clay dan material lain berasal dari atap atau lantai endapan yang ikut
tergali. Kandungan inherent mineral matter merupakan batas terkecil dari abu yang
ada pada batubara dengan asumsi semua extraneousn impurities dapat dipisahkan
selama pencucian.
Ada beberapa rumus empiris yang dapat digunakan untuk menentukan mineral
matter dari data-data analisis abu dan unsur-unsur lain.
• Formula Parr Asli (North America):
MM = 1.08 A + 0.55 Stot
• Formula Parr Modifikasi (North America):
MM = 1.13 A + 0.47 Spyr + CI
• Formula King-Maris-Crossley (KMC) yang direvisi oleh National Coal Board
(Britain):
MM = 1.13 A + 0.5 Spyr + 0.8 CO2 - 2.8 Sabu + 2.8 Ssul + 0.31 CI
• Formula British Coal Utilization Research Association (BCURA) :
MM = 1.10 A + 0.53 Stot + 0.74 CO2 - 0,36
• Formula Standard Association of Australia (Australia):
MM = 1.1 A
• Formula National Insititute for Coal Research ( South Africa):
MM = 1.1 A + 0.55 CO2
Formula-formula di atas didasarkan pada basis air dried, dengan :
MM = mineral matter
A = abu
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 51
Stot = sulfur total Spyr = sulfur pirit Sabu = sulfur yang tertinggal di abu Ssul = sulfur sulfat CO2 = karbon dioksida CI = klor
Mineral matter yang ada pada batubara dapat dilihat pada tabel 3.2 umumnya
95% dari mineral matter yang ada pada batubara shale, kaolin, sulfide dan group
klorida.
Tabel 3.2
Principal Minerals In Coal Seams
Mineral occurring In mudstone, ‘shale’, siltstone and sandstone
Quartz, SiO2
Minerals of the clay group, principally: Kaolinite, Al2Si2O3(OH)2 Montmorillonite, Al2Si4O10(OH)2. n H2O with some Mg and Na
Minerals of the mica group, principally: Muscovite, Kal2(Si3Al) O10(OH)2 Illite,K6Al4(Si2 Al) O10(OH)2
Minerals of the chlorite group, general formula (MgFe)3(OH)6.(Fe.Mg.Al)3(Si3Al)O10(OH)2
Sulphide minerals Pyrite (iron pyrites) FeS2 Marcasite FeS2 Arsenopyrite (mispickel), FeAsS.
Carbonate minerals
Siderite (chalybite) FeCO3
Anterite (Ca, Mg, Fe) CO3, with some Mn Calcite CaCO3
Dolomite, CaMg (CO3)2
Chloride minerals Halite, NaCl Sylite, KCl
Other minerals Flourapatite, Ca10 F2 (PO4)2 Minerals of the Feldspar group, including :
Orthoclase, KalSi3O2 Albite, NaAlSi3O2
Titanium minerals, including : Sphene, CaTiSO2 Rutile TiO2
Lemite, FeTiO3 Tourmaline, (H, Na, K, Fe, Mg)4Al3(B.OH)2SiO4O12 Barytes BaSO4 Minerals formed though weatering, including:
Lamonite 2Fe2O33H2O Gypsum CaSO4. 2H2O Meianterite FeSO4. 2H2O
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 52
b. Abu
Seperti telah dinyatakan sebelumnya, abu adalah residu yang berasal dari
mineral matter hasil dari perubahan batubara. Komposisi kimianya berbeda dan
beratnya lebih kecil dari mineral matter yang ada di dalam batubara asalnya.
Selama perubahan, terjadi perubahan berat karena kehilangan air dari silikat asal,
kehilangan CO2 dari karbonat, oksidasi pirit menjadi besi oksida.
Komponen unsur-unsur abu yang utama :
- Natrium
- Kalsium
- Magnesium
- Kalium
- Alumunium
- Silikon
- Besi
- Sulfur
Kedelapan unsur ini dan juga Titan dan Fosfor (umumnya terdapat dengan
jumlah sangat kecil), dilaporkan ketika abu dianalisis di laboratorium. Hasil analisis
ini dilaporkan sebagai oksida. Misalnya Natrium dilaporkan sebagai persen Natrium
Oksida dan besi sebagai ferrioksida. Perjanjian ini selalu diikuti walaupun misalnya
tidak ada satupun unsur-unsur tersebut yang terdapat dalam bentuk oksida dalam
abu.
Disamping itu pula diteliti beberapa unsur-unsur minor atau trace yang ada
dalam batubara mengingat faktor-faktor berikut ini:
a. Adanya beberapa unsur-unsur minor dapat menjadi kunci yang membantu ahli
geokimia mempelajari lebih lanjut tentang pengendapan batubara dengan diikuti
sejarah geologi dari batubara. Misalnya Boron telah digunakan sebagai indikator
tingkat salinitas dari lingkungan selama proses pembentukan batubara.
b. Arsenic, selenium dan mercury, sering ada dalam jumlah trace di batubara dan
dapat berbahaya pada lingkungan jika ia dibebaskan pada waktu pembakaran
batubara
c. Batubara mungkin dapat digunakan sebagai sumber logam jarang (rare
element). Misalnya sekarang ini abu dianggap sebagai sumber potensial dari
gallium dan germanium, dua unsur yang merupakan bahan semikonduktor.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 53
3.2. SIFAT-SIFAT DARI ABU BATUBARA
3.2.1. Sifat Lebur Abu
Pemahaman tingkah laku batubara pada temperatur tinggi sangat penting
dalam penentuan kecocokan batubara pada penggunaannya diberbagai tungku.
Prosedur standar untuk menentukan tingkah laku abu pada temperatur tinggi ialah
ash fusion test. Pada uji ini contoh berupa abu batubara dibuat berbentuk piramid
sisi tiga dan memanaskannya dari 900oC sampai 1600oC didalam atmosfer reduksi.
Ada 4 temperatur yang dicatat pada saat terjadi perubahan bentuk piramid asal yaitu
perobahan bentuk asal, spherical, hemisphere dan cair (gambar 3.3)
Gambar 3.3 Alat Uji Ash Fushibility
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 54
Temperatur perubahan batubara ini merupakan pegangan terbaik untuk
mengetahui unjuk kerja abu di dalam lingkungan tungku dimana ia dibakar. Ada 3
titik penting yang semuanya ditentukan didalam atmosfer reducing:
a. Temperatur deformasi awal, yaitu temperature dimana contoh terlihat mulai
membundar atau menekuk pada apex pyramid.
b. Temperatur pelunakan yaitu temperatur dimana contoh telah melebur
membentuk tumpukan bulat
c. Temperatur lebur, temperature dimana leburan contoh mulai menyebar
membentuk lapis tipis.
Ash Fusion Temperature (AFT) diukur dalam dua kondisi yaitu kondisi oksidasi
dan kondisi reduksi. Pengukuran di bawah kondisi oksidasi biasanya menunjukan
harga yang lebih besar, tergantung pada keberadaan beberapa komponen abu
seperti besi oksida. Besi oksida ini mempunyai efek fluxing (sifat sebagai flux atau
bahan imbuh) yang berbeda bilamana dalam bentuk teroksida dan tereduksi.
Sebagai contoh, Gambar 3.4 mengilustrasikan pengaruh kadar besi terhadap
initial deformation temperature (ISO-A) abu di bawah yang berbeda.
Gambar 3.4 Pengaruh Kadar Besi pada Initial Deformation Temperatur
Ash Fusion Temperature, apakah dalam kondisi exldising atau reducing
tergantung pada jenis operasi pemanfaatan batubaranya. Sebagai contoh pada
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 55
pabrik untuk memproduksi gas, kondisi reducing terjadi pada fuel bed sehingga AFT
diukur pada kondisi reducing. Di lain pihak, kondisi pada dasar fixed bed furnace
adalah oxidising sehingga AFT diukur pada kondisi exidising. Pada kasus
pembakaran pulverized fuel, kondisinya tidak selalu pasti. Dalam nyala api,
kondisinya reducing sementara di luar nyala pai kondisinya oxidizing tergantung
pada jumlah udara yang diberikan.
Ash Fusion Temperature dipengaruhi oleh komposisi abu sebagai berikut:
a) AI2 O3 2SiO3 (misalnya perbandingan Al2O3 / SiO3 adalah 1 : 1.18) mempunyai
flow temperature yang tinggi dan rentang temperatur leleh (fusion temperature)
yang sempit (kecil).
b) CaO, MgO, dan Fe2O3 bertindak sebagai flux dan akan menurunkan AFT,
khususnya bilamana terdapat SiO2 yang berlebih.
c) FeO, Na2O dan K2O mempunyai kapasitas yang tinggi untuk menurunkan AFT.
d) Kadar sulfur yang tinggi menurunkan initial deformation temperature dan
melebarkan rentang temperatur leleh.
Salah satu penggunaan dari data ash fusion temperature ini ialah untuk
membedakan antara slagging dan non slagging coal. Jika temperatur pelunakan
dibawah 1250oC batubara disebut slagging coal, ia akan baik digunakan didalam
tungku yang dapat mengeluarkan abu sebagai slag. Batubara yang temperatur
pelunakan abunya di atas 1450oC disebut non-slagging. Abu pada batubara ini
umumnya tidak akan lebur pada kebanyakan tungku industri batubara yang
temperatur pelunakannya terletak antara 1250oC-1450oC, mungkin dapat atau
mungkin tidak dapat membentuk slag. Untuk batubara tipe ini tungku harus
dirancang agar tercegah pembentukan leburan abu atau dirancang agar abu lebur
dan tetap lebur sampai dikeluarkan.
Penggunaan slagging coal, memerlukan pengetahuan tentang sifat-sifat dari
slag. Harus ada kepastian bahwa slag tetap cair dan mengalir sampai dikeluarkan
dari tungku tanpa masalah. Sifat yang perlu dikenal sekali yang berkaitan dengan
slag cair ialah viskositas-nya. Viskositas menentukan mudah sukarnya slag cair
bergerak.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 56
3.2.2. Viskositas Slag
Sungguhpun temperatur lebur abu digunakan untuk memperkirakan
karakteristik aliran (fluiditas) abu, ia tidak dapat memperkirakan seberapa cair abu
itu ketika menjadi slag. Dua abu batubara yang mempunyai temperatur lebur abu
sama dapat mempunyai karakteristik aliran abu yang sangat berbeda. Fluiditas dari
slag dapat dinyatakan dengan viskositasnya dengan poise pada temperature
tertentu. Viskositas akan mengecil (mudah mengalir) dengan naiknya temperatur.
Pada temperatur tungku yang tetap, viskositas slag berbeda-beda menurut
komposisi kimia dari abu. Viskositas abu yang membentuk terak pada berbagai
temperatur merupakan parameter penting dalam mengevaluasi system pembersih
abu yang cocok. Terak biasanya mempunyai viskositas 250 poise atau lebih rendah
sehingga mempunyai karakteristik aliran yang baik. Temperatur terak pada
viskositas 250 poise disingkat sebagai T250. T250 ini merupakan parameter desain
yang sangat penting.
Hubungan viskositas, temperatur slag, dan harga T250 ditentukan oleh
komposisi abu dan kondisi sekelilingnya apakah oxidizing atau reducing. Gambar
3.5 memberikan gambaran hubungan ini, baik pada kondisi oxidizing maupun
kondisi reducing.
Pengukuran viskositas terak secara praktis sulit dilakukan dan umumnya harga
T250 diperkirakan dari hubungan-hubungan parameter yang dihitung dari hasil
analisis abu, yaitu:
a) Silica Ratio = MgOCaOOFeSiO
SiO
+++ 322
2
Harga silica ratio umumnya berkisar antara 0,4 sampai 0,8. Harga yang lebih
rendah memberikan harga T250 yang lebih rendah.
b) Base-to-Acid Ratio = 2322
2232
TiO OAl SiO
OK ONa MgO CaO OFe
++++++
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 57
Gambar 3.5 Hubungan Viskositas – Temperatur Slag
Harga base-to-acid-ratio umumnya sekitar 0,1 sampai 1.0, harga base-to-acid
ratio yang lebih tinggi memberikan harga T250 yang lebih rendah. Hubungan ini
biasanya digunakan untuk abu yang bersifat asam dimana harga base-to-acid ratio
lebih rendah dari 0.6.
c) Dolomite Ratio = OK NaO MgOCaOOFe
MgO CaO
232 +++++
Harga dolomite ratio berkisar antara 0.5 sampai0.9. Harga dolomite ratio yang
lebih rendah memberikan harga T250 yang lebih rendah. Hubungan ini biasanya
sering digunakan untuk batubara lignit yang bersifat basa dimana harga base-to-
acid ratio lebih basa dari 0.6.
d) Ferritic Ratio = Fe 1,43 FeC 1,11 OFe
OFe
32
32
++
Harga ferritic ratio berkisar antara 0.1 sampai 0.8. Harga ferritic ratio yang
semakin rendah memberikan harga T250 yang semakin rendah pula.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 58
3.2.3. Deposisi Abu dalam Tanur dan Boiler
A. Pembentukan Klinker
Dalam suatu tanur pembakaran (fuel bed furnace), dapat terbentuk klinker
massif (campuran partikel-partikel abu dan batubara yang lebih halus) pada kisi-kisi
sehingga dapat menyebabkan terhalanginya aliran udara. Dalam kasus-kasus
tertentu, pabrik harus dihentikan dank linker harus dikeluarkan secara manual. Abu
dengan harga ash fusion temperature rendah (harga ISO-A lebih rendah dari
1100oC) cenderung membentuk klinker massif, sementara itu abu dengan harga ash
fusion temperature tinggi (harga ISO-A lebih tinggi dari 1300oC) dianggap aman
pada kondisi operasi normal.
B. Fused Slag Deposits (Slagging)
Slagging berkaitan dengan masalah transportasi patikel abu yang meleleh atau
lengket oleg gas pembakaran dan masalah benturan partikel abu tersebut pada
permukaan tanur dan permukaan-permukaan lain. Deposit abu yang berbentuk
terak ini bisa terus bertambah dan untuk mengendalikannya biasanya secara
berkala digunakan sootblowers yaitu suatu alat untuk menghilangkan terak yang
menempel pada permukaan dengan menggunakan uap atau udara sebagai media
penghempus (blowing medium).
Kecenderungan abu untuk membentuk terak diperkirakan dari harga slagging
index dengan persamaan berikut:
Slagging index = Base-to-Acid Ratio x Kadar Sulfu r Batubara
Jika kadar sulfur di atas 2% harga slagging index bervariasi antara 0,1 sampai
2.0. Harga slagging index yang semakin besar menunjukan kecenderungan abu
untuk membentuk deposit terak (fused slag deposits). Pada kondisi operasi normal
abu dengan harga slagging index di bawah 0,5 tidak akan menimbulkan masalah
dengan pembentukan terak, tetapi bilamana harga slagging index lebih besar dari
1,5 fasilitas soot-blowing yang memadai harus tersedia untuk mengatasii
pembentukan deposit terak.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 59
C. Deposit yang Terikat pada Temperatur Tinggi (High Temperature Bonded
Deposits/Fouling)
Umumnya bonded deposits terbentuk akibat kadar alkali yang tinggi. Garam-
garam sodium dan potassium, akan terbang (tervolatilisasi) selama pembakaran,
kemudian terkondensasi pada partikel-partikel abu terbang dan boiler membentuk
lapisan yang lengket (sticky layer). Benturan partikel-partikel tersebut dapat
membentuk deposit teraglomerasi pada dinding dan selanjutnya membentuk sinter.
Akhirnya menjadi keras dan menempel dengan sangat kuat. Oksidasi sulfur
terabsorpsi oleh lapisan yang kaya dengan kandungan alkali sehinggga
menyebabkan korosi pada dinding boiler.
Pada dasarnya, semakin rendah kadar alkali dari batubara, semakin rendah
pula kecenderungan untuk membentuk foul. Kandungan alkali batubara biasanya
dinyatakan sebagai Na2O ekivalen. Batubara dengan kandungan alkali lebih rendah
dari 0,1% dianggap sebagai non fouling; batubara dengan kandungan alkali antara
0,1%-0,4% biasanya menimbulkan tumbuhnya deposit (fouling tetapi masih bisa
dikendalikan dengan soot-blowing secara berkala, batubara dengan kandungan
alkali diatas 0,5% cenderung membentuk deposit (fouling) dan menghasilkan sinter
sehingga sulit di hilangkan. Harga fouling index dapat dihitung dari rumus berikut:
Fouling Index = base-to-acid ratio x kadar alkali total (Na 2O) batubara
Harga fouling index ini memberikan gambaran kecenderungan batubara untuk
membentuk deposit yang lengket (foul). Harga fouling index sampai 0,5 masih
dalam toleransi yang dibolehkan.
D. Deposit Yang Terbentuk Pada Temperatur Rendah (L ow Temperature
Deposits)
Serangan asam pada temperature sub-dewpoint dalam economizer dan
pemanas udara dapat membentuk deposit basah dan lengket sehingga partikel-
partikel abu terbang yang terbentur pada deposit ini bisa tertarik. Keadaan asam
deposit tersebut dapat menyebabkan reaksi dengan beberapa komponen abu
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 60
seperti besi, sodium, dan kalsium sehingga menambah ikatan deposit dan
meningkatkan jumlah ruahnya. Deposit ini sebagai larut dalam air sehingga dapat
dikendalikan dengan penyemprotan air secara periodic, walaupun sebagian lagi
larut seperti ikatan kalsium sulfat.
3.3. SIFAT-SIFAT SULFUR DALAM BATUBARA
3.3.1. Pengaruh dalam Pembakaran
Jika batubara dibakar, semua sulfur organic dan sebagian sulfur piritik akan
teroksidasi menjadi SO3 karena adanya beberapa komponen abu yang bertindak
sebagai katalis. Sulfur piritik dan sulfur sulfat yang tertinggal berubah menjadi sulfide
inorganic yang lebih stabil dan tertinggal dalam batubara. Sebagai tambahan, abu
terbang yang dihasilkan dari pembakaran batubara pulverized mempunyai
kemampuan untuk mengedsorpsi SO3 dari aliran gas pembakaran.
Kecenderungan sulfur tertinggal dalam abu juga tergantung pada metoda
pembakaran. Untuk tanur pulverized fuel, 10-15% sulfur tertinggal dalamabu, untuk
tanur siklon hanya 5% (kemungkinan disebabkan oleh karena temperature yang
lebih tinggi). Dan stroke bisa sampai 30%-sulfur yang tertinggal dalam batubara.
Pengaruh adanya senyawa sulfur dalam abu dan gas-gas pembakaran
terahadap operasi tanur dan boiler adalah sebagai berikut:
• Sulfur sebagai besi sulfide, dalam abu dapat memperbesar perbedaan antara
ash fusion temperature yang diukur pada kondisi mengoksidasi dan mereduksi
dan menurunkan initial deformation temperature (ISO-A). Pengaruh ini
disebabkan aksi fluxing (bertindak sebagai flux) dari besi.
• Absorpsi sulfur oksida, dalam bentuk SO3, oleh lapisan deposit abu (fouling)
yang bersifat basa dan kaya alkali akan memberikan kontribusi semakin kuatnya
lapisan fouling serta terus tumbuh. Selanjutnya bisa menimbulkan korosi
setempat pada dinding boiler.
• SO3 bersama uap air dalam gas-gas pembakaran dapat membentuk asam sulfat
(H2SO4). Uap asam sulfat ini dapat terkondensasi pada temperatur rendah
sehingga bersifat korosif.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 61
• Efisiensi penangkapan abu terbang oleh electrostatic precipitators sebagian
tergantung pada konduktivitas listrik aliran gas dan partikel-partikel abu dimana
konduktivitas listrik tersebut dapat lebih tinggi dengan adanya senyawa ionic
seperti SO3. Dalam kasus konduktivitas gas dan partikel rendah, kadang-kadang
diijeksikan senyawa ionic termasuk SO2 atau SO3 ke dalam gas buang untuk
menjaga menjadi efisiensi penangkapan partikulat oleh electrostatic precipitator.
3.3.2. Pengendalian Emisi Sulfur
Pengendalian emisi sulfur dapat dilakukan dengan system-sistem berikut ini :
• Penambahan limestone (kapur)
Limestone (dolomite), diinjeksikan kedalam tanur selanjutnya terkalsinasi oleh
gas-gas pembakaran yang panas untuk membentuk kalsium sulfat yang
selanjutnya dikeluarkan dari aliran gas dengan system penangkap partikulat
konvensional. Efisiensi penghilangan SO2 ini umumnya rendah, berkisar 25-
45%.
• Wet Scrubbing
Slurry dari limestone atau larutan magnesium oksida digunakan sebagai sistem
penangkap gas untuk menghilangkan SO2 sebesar 80-95%, bisa sampai 99%.
• Dry Sorbent Systems
Material-material pengabsorp seperti karbon aktif, char atau alumina yang di
campur dengan tembaga, mengabsorpsi SO2 dengan efisiensi sebesar 90%
atau lebih.
3.3.3. Pengaruh dalam Pabrik Semen
Kadar sulfur dalam batubara sebagai bahan bakar bukan merupakan masalah
kritis dalam pabrik semen. Sulfur memasuki kiln semen melalui material umpan dan
bahan bakar serta keluar sebagai kalsium sulfat dalam produk klinker dan sebagian
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 62
dalam jumlah lebih kecil keluar melalui gas buang. Standar industri membatasi
jumlah kalsium sulfat dalam klinker tetap secara normal kandungan kalsium sulfat
tersebut memang cukup tinggi. Batubara dengan kadar sulfat sampai 3% atau 4%
masih bisa digunakan tanpa menimbulkan masalah yang berarti.
3.4. SIFAT-SIFAT PLASTIS DAN SIFAT MUAI BATUBARA
Apabila batubara bituminous dipanaskan ia akan mengalami suatu seri
perubahan fasa:
a. Partikel batubara melunak (pada temperature + 400oC) dan mencair.
b. Akan terjadi pemuaian segera setelah partikel menyatu dan melebur.
c. Pemuaian berhenti pada temperature disekitar 500oC ketika batubara kehilangan
plastisitasnya dan mulai membeku membentuk stuktur porous yang disebut
kokas.
Tingkah laku batubara antara lain temperatur pelunakan dan temperatur
pembekuan kembali (resolidification) umumnya disebut sifat plastis dari batubara.
Plastisitas akan teramati ketika telah terjadi proses dekomposisi, mula-mula terjadi
proses depolimerisasi batubara, diikuti dengan munculnya produk cair yang akan
merubah komponen lain menjadi plastis dan gas yang membentuk gelembung-
gelembung ketika gelembung-gelembung lewat melalui pori-pori besar dan rekahan
dari partikel batubara, ia melawan tahanan dari batubara plastis tersebut. Hasilnya
seluruh batubara memuai (swell). Pemuaian berhenti ketika batubara kembali
membeku ketika produk cair selanjutnya terdekomposisi membentuk zat terbang,
membeku ketika produk cair selanjutnya terdekomposisi membentuk zat terbang.
Data-data dari plastisitas batubara digunakan untuk mengetahui coking
properties batubara, demikian juga swelling properties. Swelling properties di ukur
dengan free swelling index (FSI) yaitu ukuran pembesar volume batubara apabila ia
dipanaskan dibawah kondisi pemanasan tertentu. Pembesaran volume ini ada
kaitannya dengan sifat plastis batubara. Batubara yang tidak menunjukan sifat
pemuai. Sungguhpun hubungan antara pemuaian dan plastisitas sangat komplek
dan sulit dipelajari, diyakini bahwa gas yang terbentuk selama batubara berada
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 63
dalam bentuk plastis atau semi plastis, bertanggung jawab akan terjadinya
pemuaian.
Free swelling index digunakan untuk meramalkan kecenderungan batubara
membentuk kokas bila dipanaskan pada alt tertentu. Batubara yang FSI nya 2 atau
kurang, bukan merupakan coking coal yang baik, sedangkan yang menunjukan
index antara 4 sampai 8 akan menunjukan sifat coking yang baik (FSI dapat mulai
dari 0-9).
3.5. PARAMETER KUALITAS / ANALISA BATUBARA
3.5.1. Parameter Kualitas Batubara
Analisa batubara dapat dikelompokan menjadi 3 kategori, yaitu analisis
proksimat, analisis ultimat, dan analisis lainnya.
Termasuk dalam analisis proksimat ialah analisis: moisture, zat terbang, abu
dan fixed carbon (dihitung). Analisis ultimat meliputi analisis penentuan kandungan
karbon, hydrogen, oksigen, nitrogen, total sulfur dan klor. Analisis lainnya berkaitan
dengan nilai kalori, temperature pelunakan abu, bentuk sulfur, mineral karbon
dioksida, dan uji khusus seperti free swelling index, plastic properties, grindability
dan analisis ukuran.
Hasil analisis batubara yang mencerminkan parameter kualitas batubara akan
sangat menentukan pemanfaatan dari batubara tersebut. Seperi telah disinggung
sebelumnya, ada sekitar 16 atau lebih parameter penentu kualitas batubara yang
secara umum disajikan pada Tabel 3.3. Walaupun ada sekitar 16 atau lebih
parameter penentu kualitas batubara namun dalam pemanfaatannya, tidak semua
parameter dijadikan patokan tetapi hanya sebagai parameter yang persyaratannya
harus dipenuhi sesui kebutuhan pemanfaatannya.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 64
Tabel 3.3 Daftar Parameter-Parameter Kualitas Batubara yang U mum
No Parameter Unit Basis Pelaporan Keterangan
1. Total Moisture % As received (ar)
Penting dalam hal pengangkutan dan perhitungan parameter-parameter dengan basis as received (ar)
2. Analisis Proksimat
Inherent Moisture
Abu
Volatile Matter
Fixed carbon
%
%
%
%
Air dried (ad) Data dasar dalam
mendeskripsikan jenis
batubara. Jumlahnya sama
dengan 100%
3. Nilai Kalor MJ/kg Gross, air dried Menyatakan nilai batubara
sebagai bahan bakar. Juga
dinyatakan sebagai Btu/lb
dan kcals/kg. 1 MJ/kg = 430
Btu/lb = 239 kcals/kg.
4. Total Sulfur % Air dried Penting dalam kaitannya
dengan masalah lingkungan.
5. Analisis Ultimat
Carbon
Hydrogen
Nitrogen
Sulfur
Oksigen
CO2
%
%
%
%
%
%
Dmmf Biasanya ditentukan dengan
analisis contoh air dried dan
hasilnya dihitung menjadi
basis dmmf dengan koreksi
kadar air dan mineral matter
dari contoh tersebut.
Jumlahnya sama dengan
100%. Kadar hydrogen dan
oksigen penting dalam
memperkirakan net calonfic
value dari gross calorific
value.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 65
6. Analisis Abu
SiO2
Al2O3
Fe 2O3
TiO2
Mn3O2
CaO
MgO
Na2O
K2O
P 2O5
SO3
%
%
%
%
%
%
%
%
%
%
%
Total abu
Ignited at
8150C
Penting dalam memperkirakan
sifat-sifat dari abu, khususnya
dalam mengidentifikasi kadar
komponen-komponen tertentu
yang tinggi yang dapat
memberikan masalah dalam
pemakaiannya.
7. Ash Fusion Temperature
Deformation
Spherical
Hemispere
Flow
oC oC oC oC
Penting dalam memperkirakan
sifat-sifat abu. Umumnya diukur
dibawah kondisi oxidizing dan
reducing.
8. Bentuk-bentuk Sulfur
Sulfur Piritik
Sulfur Organik
Sulfur Sulfat
%
%
%
Air dried Memberikan informasi tentang
disposisi sulfur selama
berefisian dan produkta sulfur
selama pembakaran
(combustion) dan karbonisasi.
Jumlahnya sama dengan sulfur
total.
9. Trace Elements
Arsen %
Boron %
Klon %
Fluor %
Fosfor %
Air dried Untuk mengindentifikasi
substansi yang mengganggu
dan berkadar tinggi. Elemen-
elemen lain dapat dimasukan
bilamana dianggap perlu.
10. Hardgrove Grindability
index (HGI)
- Air dried Penting dalam memperkirakan
sulit atau mudahnya batubara
untuk digerus.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 66
11. Abrasive Index (Yancey,
Geer and Price)
Penting dalam memperkirakan
keausan mesin penggerus
12. Wash Ability Test
(Float and Sink Test)
Untuk memprediksi seberapa
jauh suatu batubara dapat
dicuci
13. Free Swelling Index
(Crucible swelling number)
14. Roga Index
15. Gray-king Coke Type
16. Dilatometry
Softening Temp
Resolidifying Temp Max.
Contraction
Max. Dilation
oC oC
%
%
17. Plastometry
Max. dial division/min
Temp. initial fluidity
Temp. max. fluidity
Temp. final fluidity
Fluidity temp. range
oC oC oC oC
Pada dasarnya penting dalam
mengevaluasi secara rinci sifat-
sifat coking dan caking
batubara dan potensi batubara
tersebut untuk dibuat kokas.
Kebanyakan dari uji ini sifatnya empiris. Sifat yang diuji pada uji empiris tidak
mempunyai harga absolute dan hasilnya sangat bergantung pada kondisi-kondisi
melakukan uji. Diperlukan suatu kondisi arbitrary sebagai standar untuk meyakinkan
data yang diperoleh akan sama bila ujinya diulang. Kondisi ini antara lain ukuran
partikel, temperature, waktu dan laju pemanasan, kondisi atmosfer, ukuran dan
bentuk tempat sample. Adanya prosedur standar yang diakui oleh organisasi yang
berkaitan sangat penting.
Kebanyakan negara penghasil dan memperdagangkan batubara menerima dan
menerapkan + 50 standar (International Organization of Standardization). Tetapi
beberapa negara / importir masih memakai ASTM (American Society for Testing
material), JIS (Japanese Industrial Standard). British Standard, dll.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 67
3.5.2. Dasar Melaporkan Hasil Analisis
Untuk tujuan tertentu, hasil analisis dilaporkan atas dasar yang berbeda
sebagai berikut:
a. Air dried basis (adb) atau as analysed basis
Hasil ini diperoleh dari analisis batubara setelah pengeringan. Kebanyakan
analisis mula-mula dilaporkan atas dasar ini, dan dapat diubah dengan
perhitungan pada dasar lain.
b. As sampled basis (asb) atau As Received (ar), dihitung atas dasar lokasi
dimana sample diambil
c. Dry basis (db)
Analisis didasarkan atas dasar persen bebas air untuk menghindari variasi
pada analisis proksimat yang disebabkan oleh perbedaan kandungan air dry.
d. Dry. Ash free basis (daf)
Dasar yang dipakai untuk menunjukan kondisi hipotesis dimana batubara
tersebut bebas dari air dan abu. Biasanya digunakan untuk zat terbang, nilai
kalor, carbon dan hydrogen.
e. Dry. Mineral matter free basis (dmmf)
Dasar ini juga untuk menunjukan kondisi hipotesis dimana batubara bebas dari
semua air dan mineral matter. Dasar ini biasa dipakai pada analisis ultimat, zat
terbang dan nilai kalori.
Pada Tabel 3.4 berikut, disajikan faktor-faktor pengali yang dibutuhkan untuk
mengkonversi hasil anlisis pada suatu basis (dasar pelaporan) tertentu ke basis
yang lain. Biasanya, rumusan tersebut tidak berlaku untuk parameter kualitas seperti
sifat-sifat abu, sifat-sifat fisik, seperti gridability index, abrasion index, dan sifat-sifat
coking dan caking batubara.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 68
Tabel 3.4
Rumusan Untuk Perhitungan Hasil-Hasil Analisis
Dengan Basis Yang Berbeda
Required Given
As received (ar)
Air dried (ad)
Dry (dry) Dry, ash free (daf) Dry, mineral matter
free (dmmf)
Ash received
(ar)
- M - 100M1 - 100
M - 100 100
A)-M1-M)(100-(100 M1)-100(100
B)-M1-M)(100-(100
M1)-100(100
Air dried (ad) M1-100
M - 100 -
M1-100100
A-M1-100
100
B-M1-100100
Dry (dry) 100
M - 100
100
M1 - 100 -
A- M1 - 100
M1 - 100
B - M1 - 100
M1 - 100
Dry, ash Free (daf) M1) - (100 100
A)- M1 - M)(100 - (100
100
A- M - 100
M1 - 100
A- M1 - 100 -
B - M1 - 100
A- M1 - 100
Dry, mineral matter free
(dmmf) M1) - (100 100
B) - M1 - M)(100 - (100
100
B - M - 100
M1 - 100
B - M1 - 100
A- M1 - 100
B - M1 - 100
-
Keterangan : M = Kandungan total moisture (as received)
M1 = kandungan inherent moisture (air dried)
A = kandungan abu (air dried)
B = kandungan mineral matter (air dried)
Untuk lebih memahami dasar pelaporan yang berbeda pada suatu hasil
analisis batubara pada Tabel 3.5 diberikan komponen-komponen batubara yang ada
pada suatu dasar pelaporan yang berbeda.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 69
Tabel 3.5 Komponen-Komponen Batubara Yang Ada Dalam Suatu Has il
Analisis Dengan Dasar Pelaporan Yang Berbeda
Surface moisture (free moisture)
Total
Moisture
Inherent moisture
Ash
Mineral
Matter
Volatile mineral
Matter
Volatile
Organic
Matter
Volatile
matter
Pure
Coal
Fixed carbon
Dry
, min
eral
mat
ter
free
Dry
ash
free
Dry
Air
drie
d
As
rece
ived
3.5.3. Analisa Batubara
A. Analisis Proksimat
Analisis Proksimat adalah analisis kimia yang paling sering dilakukan pada
batubara dan caranyapun sederhana. Pada analisis ini diperlukan contoh berukuran
minus 0,250 mm.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 70
1. Moisture
Kandungan air ditentukan dengan menetapkan kehilangan berat air dari contoh
bila dipanaskan di bawah kondisi terkendali dari temperature, waktu dan atmosfir,
berat contoh dan peralatan.
Contoh dengan berat kira-kira 5 gram dibiarkan mongering didalam atmosfer
oven yang dipanaskan pada 105-110 oC didalam atmosfer yang inert sampai
beratnya constant. Berat yang hilang dihitung sebagai kandungan air. (Gambar 3.6)
Gambar 3.6
Tungku Moisture dan Kapsul Untuk Menentukan Moisture
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 71
2. Abu (ash)
Abu ditentukan dengan menimbang sisa pembakaran contoh batubara di
bawah kondisi terkendali dari berat contoh, temperature, waktu dan atmosfer.
Temperatur pembakaran agak berbeda-beda menurut standar seperti 700-750 oC
dari ASTM, B.S. 815oC, dll.
3. Zat Terbang ( Volatile Matter )
Zat terbang ditentukan dengan cara kehilangan berat hasil dari pemanasan
batubara, dibawah kondisi terkendali. Kehilangan berat dikoreksi terhadap air. Ada
dua faktor yang mempengaruhi hasil yaitu temperature akhir dan laju pemanasan.
Contoh dengan berat 1 gram yang ditempatkan dalam crucible platinum
dimasukan ke dalam furnace yang dapat dipanaskan sampai 950oC + 20oC. Nyala
api yang terlihat menunjukan terjadinya pembakaran zat terbang. Nyala api akan
menghilang pada waktu kira-kira 7 menit, saat analisis dianggap selesai. Contoh
dikeluarkan, dibiarkan dingin dan ditimbang. (Gambar 3.7).
Gambar 3.7 Tungku Listrik Untuk Menentukan Volatile Matter
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 72
4. Fixed Carbon
Fixed Carbon adalah sisa karbon yang ada setelah analisis zat terbang. Dia
tidak terbentuk seperti itu di dalam batubara, tetapi berupa hasil dekomposisi panas.
FC = 100- (% Air + % Abu + % Zat terbang)
Data-data fixed carbon dimanfaatkan pada klasifikasi, combustion dan
karbonisasi batubara. Mungkin saja pada fixed carbon masih ada sedikit N, S, H dan
oksigen sebagai material yang masih terikat secara kimia dengan karbon. Data fixed
carbon merupakan ukuran dari material padat yang tersisa di dalam alat
pembakaran setelah zat terbangnya keluar.
B. Analisis Ultimat
Analisis ultimat ialah penentuan karbon dan hidrogen yang ada di dalam
material yang diperoleh dari produk gas dari hasil combustion yang sempurna, dan
penentuan sulfur, nitrogen dan abu yang ada didalam material, serta perhitungan
kandungan oksigen.
1. Karbon dan Hidrogen
Karbon dan hidrogen ada di dalam batubara dalam bentuk senyawa organic
kompleks pada batubara. Dengan cara combustion, karbon diubah menjadi carbon
dioksida dan hidrogen menjadi air dibawah kondisi terkendali. Kedua produk ini
diserap oleh reagent tertentu. Karbon dan hidrogen dihitung dari tambahan berat
reagent tersebut.
Beberapa kesulitan akan timbul selama analisis ini :
(1) Combustion yang tidak sempurna akan menyebabkan tidak sempurnanya
pengubahan karbon menjadi karbon monoksida dan hidrogen menjadi air, akan
menghasilkan perhitungan yang tidak betul.
(2) Selama combustion, sulfur berubah menjadi oksida dan harus diambil lebih
dahulu sebelum karbon dioksida diserap.
Kandungan karbon dan hidrogen dimanfaatkan sebagai parameter pada
beberapa klasifikasi.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 73
2. Nitrogen
Nitrogen ada di dalam batubara dalam bentuk senyawa organik batubara.
Senyawa organik nitrogen ini stabil, mungkin berasal dari protein tumbuh-tumbuhan
asal batubara.
Penentuan nitrogen pada batubara didasarkan pada reaksi kimia kuantitatif.
Pertama-tama nitrogen dibebaskan dari material organik dimana ia berada, dengan
cara mengubahnya menjadi ammonia atau unsur nitrogen (N2). Tetapi yang umum
dipakai ialah metoda Kjeldahi dimana nitrogen diubah menjadi ammonium sulphate
dengan H2SO4 panas. Kemudian ammonia dibebaskan dengan menambahkan
natrium hidroksida berlebihan.
3. Total Sulphur
Sulfur ada di dalam batubara sebagai bagian dari bahan organic dan sebagai
bahan anorganik, sulfur terbentuk sebagai bahan yang stabil. Sulfur ini sering
disebut sulfur organic dan tersebar secara merata ke seluruh batubara. Sulfur yang
terikat secara anorganik di dalam pirit dan markasit yang secara umum disebut
pyntic sulphur, tidak terdisbusi secara merata didalam batubara, tetapi terdesiminasi
sebagai kristal sangat halus di dalam material organic. Dalam jumlah sangat kecil
sulfur dapat terbentuk sebagai sulfat seperti kalsium sulfat atau besi sulafat.
Penentuan total sulfat melibatkan beberapa kondisi kimia yang diakhiri
mengubahnya menjadi sulfat dan hal ini dapat dilakukan dengan beberapa metoda.
a. Metode Eschka
Contoh dengan berat tertentu bersama campuran Eschka (campuran antara 2
bagian MgO dan 1 bagian Na2CO3) dibakar bersama-sama dan sulfur
diendapkan dari larutan sebagai Barium Sulfat (BaSO4). Filtrat disaring,bakar
dan timbang.
b. Cara Bomb Washing
Disini sulfur diendapkan sebagai BaSO4 dari oxygen-bomb calorimeter washing
Filtrat disaring, bakar dan timbang.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 74
c. Metoda High-Temperatur Combustion
Contoh dengan berat tertentu dibakar dalam tube furnace pada temperature
1350oC didalam aliran oksigen. Sulfur oksida dan klor yang terbentuk diserap
dengan larutan hydrogen peroksida (H2O2), menghasilkan asam sulfat (H2SO4)
dan asam klorida (HCI). Jumlah kandungan asam total ditentukan oleh titrasi
dengan natrium hidroksida (NaOH). (Gambar 3.10)
4. Oksigen
Oksigen pada batubara diperkirakan dari 100% dikurangi jumlah persen
karbon, hydrogen, nitrogen, total sulfur dan abu.
C. Analisis Lainnya
1. Nilai kalori
Nilai kalori atau panas atau kadang-kadang disebut energi spesifik, ditentukan
dengan membakar contoh dengan berat tertentu di dalam bomb calorimeter dengan
cara adiabatic. Nilai kalori dihitung dari pengamatan temperature yang dilakukan
sebelum dan sesudah dan sesudah combustion. Gross calorific value adalah panas
yang dihasilkan oleh pembakaran satu satuan bahan bakar padat. Pada volume
konstan, sedangkan net calorific value adalah panas yang dihasilkan oleh
pembakaran bahan bakar padat pada tekanan konstan.
Untuk penentuan nilai kalor diperlukan alat (Gambar 3.9)
a. oxigen bomb, yang dirancang dari material yang tidak akan dipengaruhi oleh
proses pembakaran, tahan tekanan hidrostatik sampai 3000 psig.
b. Kalorimeter
c. Adiabatic calorimeter jacket
d. Termometer
e. Sistem otomatis untuk mengendalikan temperature jacket
f. Sample holder
g. Kawat penyala
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 75
Gambar 3.8 High - Temperature Combutions Furnace and Adsorptio n Train For
Total Sulfur in Coal Determination
Contoh yang beratnya kira-kira 1 gram ditempatkan di crucible platinum di
dalam bomb. Kawat penyala dihubungkan dan harus kontak dengan contoh. Bomb
ditutup dan diisi dengan oksigen. Contoh dibakar di dalam bomb dengan
menggunakan oksigen bertekanan sampai 40 atmosfer. Bomb dirangkai dengan
calorimeter bucket yang didalanya ada 2 liter air. Pengadukan dilakukan dengan
pengaduk yang diturunkan kedalam bucket setelah calorimeter ditutup.
Pengendalian temperatur dari jacket dilakukan secara otomatik.
Nilai kalori atau energi spesifik penting untuk ditentukan dan digunakan untuk
kepentingan pemanasan, untuk menentukan besarnya suberdaya dan cadangan
energi. Nilai kalori juga digunakan sebagai parameter untuk klasifikasi batubara.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 76
Gambar 3.9 Adiabatic Bomb Calorimeter
Nilai kalor batubara dianggap sebagai jumlah panas pembakaran dari material
yang dapat dibakar karbon, hydrogen dan sulfur (dikurangi panas dekomposisi dari
carbonaceous material dan ditambah reaksi eksotermis atau dikurangi reaksi
endotermis yang terjadi dalam pengotor). Pada dasar (basis) dmmf, nilai kalor
berhubungan langsung dengan komposisi substansi batubnara dan peringkat
batubara serta dapat diperkirakan dari analisis ultimat dengan keakuratan yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Mineral matter dan air dianggap sebagai material pengganggu dan
keberadaannya dalam batubara dapat menurunkan nilai kalor secara proporsional.
Oleh karenanya, sangat penting mendefinisikan dasar perhitungan apakah dmmf,
dry, air dried atau as received.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 77
Tabel 3.6 Harga Nilai Kalor Berbagai Batubara
Lignit batubara Bituminus Antrasit
Total moisture (as received) %
Inherent Moisture (air dried) %
Mineral Matter (air dried) %
Volatile Matter (air dried) %
Hidrogen (dmmf) %
Oksigen (dmmf) %
30.0
20.0
8.0
50.0
5.5
23.0
12.0
8.0
8.0
35.0
5.0
12.0
8.0
3.0
8.0
25.0
4.5
5.0
4.0
1.0
8.0
5.0
3.0
1.5
Gross Calorific Value pada volume
Konstan
MJ/kg (dmmf)
(dry)
(air dried)
(as received)
27.0
24.84
19.44
17.01
31.0
28.52
26.04
24.91
35.0
32.20
31.33
29.27
36.0
33.12
32.76
31.77
Net Calorific Value pada tekanan
konstan
MJ/kg (air dried) 18.10 24.95 30.40 32.16
Reduksi GVC ke NCV (air dried)
Sebagai % dari GVC
6.89
4.19
2.97
1.83
2. Gross dan Net Calorific value
Gross Calorific Value menyatakan panas total yang diperolah dari suatu
batubara melalui pengukuran standard semua produk pembakaran dikembalikan
pada temperatur rungan (ambient temperatures). Net calorific value menyatakan
panas yang diperoleh dari suatu batubara dan yang dapat digunakan (useful heat)
dan NCV ini dihitung dari GCV dikurangi panas yang hilang seperti panas sensible
dan panas laten produk pembakaran.
Secara praktis, perhitungan NCV biasanya hanya didasarkan pada panas yang
hilang dikarenakan kadar air produk pembakaran yang tinggal sebagian uap dan
panas laten dari air. Beberapa persamaan standar yang direkomendasikan untuk
menghitung NCV ini diberikan sebagai beriikut:
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 78
- ISO Recommendations R 1928
Qnp = Qgv – 0.212 ( H ) – 0.0008 ( 0 ) – 0.0245 M (MJ/kg)
- BSI Recommendations 526
Qnp = Qgv – 91.2 (H ) – 0.3 [ 0] – 10.5 M (Btu/lb)
= Qgv – 0.212 [ H ] – 0.0007 [ 0 ] – 0.0244 (MJ/kg)
- ASTM Recommendations D-407
Qnp = Qgv – 1030 W (Btu/lb)
= Qgv – 0.024 ( 9 [ H ] + M ) (MJ/kg)
dengan
Qgv = gross calorific value pada volume konstan yang diukur dari sample
Qnp = net calorific value pada tekanan konstan
[ H ] = prosentasi berat hydrogen dalam sample, diluar air
[ O ] = prosentasi berat oksigen dalam sample, diluar air
M = prosentasi berat air dalam sample
W = kadar air total prodak pembakaran dinyatakan sebagai lb air / lb bahan
bakar
Perhitungan NCV dengan tiga persamaan standar di atas memberikan hasil
yang kurang lebih sama.
3. Grindability Batubara
Ketergerusan adalah sifat fisik batubara yang dihitung untuk mengetahui
mudah tidaknya batubara untuk digerus. Index yang paling umum digunakan adalah
yang dihitung dengan menggunakan metode mesin hardgrove. Metode ini
didasarkan pada hukum fisika dari Rittinger yang menyatakan: “Selesainya
pekerjaan penghancuran sebanding dengan produksi baru dipermukaan”. Prosedur
dari metode ini adalah mula-mula disiapkan sampel batubara seberat 45 kg yang
telah dipraparasi seberat 50 gr berukuran 16 x 30 mesh, kemudian digerus dalam
mesin penggerus sebanyak 60 kali putaran. Setelah digerus, batubara tersebut di
ayak dengan menggunakan ayakan berukuran 200 mesh. Nilai hardgrove
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 79
grindability index sama dengan 13 + 6,3 W, dimana W adalah berat material yang
lolos ayakan 200 mesh.
Gambar 3.10 Hardgrove Grindability Testing Machine
4. Metode penentuan ash fusibility
Penentuan ash fusibility meliputi memanaskan dengan mengamati temperatur
dimana pyramid segitiga (cone) yang disiapkan dari abu mendapatkan dan melewati
tingkatan tertentu dari peleburan dan mengalir di dalam udara reducing atau udara
oxidizing bila dikehendaki.
Dari pengamatan tentukan temperatur deformasi awal yaitu temperatur saat
apex dari cone mulai membulat atau melengkung. Softening temperature yaitu
temperatur dimana cone telah membentuk tumpukan spherical Fluid temperatur
(temperatur cair) dimana cone mulai melebar membentuk lapis tipis.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 80
5. Free Swelling Index
Uji ini dilakukan dengan memanaskan pada temperatur + 850oC contoh
batubara (+ 20 gram) dengan cara pemanasan dengan gas atau pemanasan
dengan listrik. Contoh ditempatkan didaam crucible tertutup dan dipanaskan
dibawah kondisi terkendali hingga membentuk coke button. Alat uji Free Swelling
Index dapat dilihat pada Gambar 3.11. Ukuran coke button merupakan indikasi dari
karakteristik pemuaian dari batubara. Buat 5 button dan bandingkan dengan nomor
profil standard rata-rata dari kelima nomor propel yang peling mendekati standar,
diambil sebagai free swelling index (Gambar 3.12). Ada 17 profil standar yang
ditandai dengan nomor dari 1 hingga 9.
Gambar 3.11 Alat Uji Free Sweeling Index (FSI)
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 81
Gambar 3.12 Profil Free Sweeling Index (FSI)
6. Sifat Plastis ( Plastic properties )
Apabila coking coal dipanaskan, bagian yang reaktif dari batubara menjai cair
dan pada kebanyakan batubara, ini dimulai pada temperature 300oC dan pada
temperatur 500oC, ia akan mulai membeku kembali. Masa yang emmbeku kembali
disebut semi coke. Tingkatan fluiditas diukur dengan plastometer. Plastometer juga
mengukur selang temperatur selama batubara mencair. Satuan fluiditas ialah dial
division per minute (ddpm). Batubara dengan 60 - 1000 ddpm dipandang cocok
untuk coking.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 82
Gambar 3.13 Gieseler Piastometer
Uji dengan Gieseler plastometer sebagai berikut (Gambar 3.13): Tempatkan
pengaduk dan crucible ke dalam loading divice. Masukkan contoh batubara
sebanyak 4.5 gram, padatkan. Hubungan crucible pada alat pengukur plastometer.
Sealanjutnya turunkan crucible ke dalam molten metal bath dari furnace. Atur
temperature furnace mencapai 300oC dalam waktu 10 + 2 menit, selanjutnya laju
pemanasan diatur 3oC/min. Ketika batubara menjadi plastis, pengaduk mulai
berputar. Laju gerakan pengaduk diukur dengan ddpm. Besaran-besaran yang
biasanya ditentukan oleh Gieseler plastometer:
a. Temperatur pelunakan awal-yaitu temperature ketika putaran stirrer (pengaduk)
sama dengan 1 ddpm.
b. Temperatur fluiditas maksimum – yaitu temperatur dimana gerakan pengaduk
mencapai maksimum dalam ddpm.
c. Temperatur pembeku – yaitu temperature pada saat pengaduk berhenti
bergerak.
d. Fluiditas maksimum – yaitu laju gerakan pengaduk maksimum dalam ddpm.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 83
7. Dilatation Test
Perubahan volume selama masa mencair diukur dengan menggunakan alat
dilatometer. Dengan uji ini tingkah laku pengerutan/pemuaian daru batubara akan
diketahui. Hasil dari uji dapat digunakan untuk menghitung apa yang disebut faktor
G. Setiap faktor G menunjukan harga tertentu dari zat terbang yang digunakan
menentukan index dari coking powe dari batubara yang diuji.
Dilatometer test dilakukan untuk menentukan variasi dari panjang contoh
batubara ketika dipanaskan menurut laju yang telah ditentukan. Dalam hal ini 2
gram contoh bubuk batubara dicetak membentuk pensil dengan panjang 60 mm dan
diameter 6.5 mm, diletakkan di dalam tabung sempit dan diberi piston yang
berdiameter 7.5 mm dan berat 150 gram di atasnya. Suatuu pointer yang dipasang
pada piston dapat mengamati gerakan vertical. Tabung sempit bersama contoh
dalamya dimasukan ke dalam tungku listrik dan dipanaskan mulai dari 300oC
dengan laju 3oC per menit. Pengamatan/pembacaan dilakukan secara teratur
terhadap perpindahan piston sebagai fungsi temperature dan panjang pensil
semula. (Gambar 3.14).
Data yang penting adalah:
a. Ts, temperatur pelunakan
b. Tc, temperatur penyusutan (contraction temperatur)
c. Tm, temperature pemuaian (dilatation temperatur)
d. C, penyusunan maksimum %
e. E, pemuaian maksimum %
8. Drop-shatter test
Uji ini untuk menentukan stabilitas ukuran relative atau friability dari batubara.
Data hasil uji ini dianggap sebagai menyatakan kemampuan batubara menahan
benturan (remuk) selama handling dan pencucian. Pengujiannya meliputi
menjatuhkan batubara dari beberapa selang ukuran pada ketinggian tetap 6 ft ke
atas plat metal. Produk hasil jatuhan dianalisis ayak dan hitung friability atau size
stability-nya.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 84
Gambar 3.14 Audibert-Amu Dilatometer
9. Tumbler test
Ini adalah cara lain untuk menentukan friability atau size stability dari batubara
berukuran tertentu. Pengujian dilakukan di dalam jar porselen berukuran diameter 7
1/4. Bagian dalam ada rangka besi lifting selve 3 buah berukuran 6 ½ lebar dan ¾
tinggi. Contoh sebanyak 1 kg dimasukan ke dalam jar dan diputar selama 1 jam
dengan kecepatan 40 + 1 rpm (total 2.400 putaran). Hasil uji dianalisis ayak dan
tentukan friability atau size stability.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 85
Gambar 3.15 Kurva Dilatometer dan Perhitungan Harga – G
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 86
BAB IV KEGIATAN PENAMBANGAN BATUBARA
4.1. TEKNIK EKSPLORASI BATUBARA
Batubara terdapat dalam satuan sediment klastik, penyebarannya tidak merata.
Penyebaran dan pengendapan batubara yang mempunyai nilai ekonomi sangat
dipengaruhi oleh keadaan geologi daerah yang bersangkutan.
Besarnya cadangan dan keadaan geologi dari endapan batu-bara tersebut
akan sangat mempengaruhi besaran produksi yang akan dicapai serta berapa besar
investasi yang diperlukan.
Suatu usaha pertambangan dikatakan berhasil apabila dapat dilakukan
konservasi dari suatu keadaan yang bersifat alamiah menjadi keadaan dan situasi
yang dapat dikendalikan dan terencana serta dapat diperkirakan sebelumnya.
Keberhasilan eksplorasi sangat menentukan dalam perencanaan eksploitasi.
Pengambilan endapan batubara yang dilakukan secara ekonomis menuntut
digunakannya secara intensif beberapa disiplin ilmu sejak mulai dari tahap
penyelidikan umum sampai pada saat dilakukan pengambilannya.
4.1.1. TAHAPAN PENYELIDIKAN
a. Penyelidikan Umum
Penyelidikan umum diawali dengan studi pustaka atau disebut pula sebagai
desk study. Studi ini menyangkut mengenai keadaan geologi regional, tektonik dan
yang berkaitan dengan paleogeographic setting suatu daerah penyelidikan.
Maksud penyelidikan umum adalah untuk memperoleh informasi dan
menentukan batasan luas daerah. Setelah itu selesai, dilakukan penelitian lapangan
dengan tujuan pengecekan lapangan hasil studi pustaka. Dalam penelitian lapangan
diusahakan pula mencari kemungkinan adanya singkapan batubara, mengambil
contoh batuan dan contoh batubaranya.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 87
b. Penyelidikan Pendahuluan
Pelaksanaan eksplorasi pendahuluan dilakukan dengan memetakan daerah
penyelidikan, baik dengan pemetaan topografi maupun dengan foto udara dengan
tujuan mendapatlkan peta yang benar dan baik sebagai dasar penyelidikan
selanjutnya.
Tahap berikutnya melakukan pemetaan geologi dengan menggunakan peta
permukaan dan foto udara dimaksudkan untuk melakukan interpresi keadaan
singkapan, struktur, dan kedudukan stratigrafi dari batubara. Untuk mengetahui
kedudukan stratigrafi lapisan-lapisan batubara dilakukan pemboran dangkala
ataupun pemboran dalam di beberapa tempat. Tujuan untuk mendapatkan data
tentang ketebalan dan kedududkan formasi batubara. Dengan melakukan korelasi
terlebih dahulu dari titik-titik pemboran dapat diketahui arah dan bentuk penyebaran
lapisan batubara. Disamping itu diperoleh pula data pendahuluan tentang kualitas
batubara
Pada akhir program ini, apbila sekiranya daerah tersebut mempunyai nilai
ekonomi yang potensial, maka akan diperoleh data sebagai berikut:
- Hasil perhitungan cadangan sampai tingkat indikatif.
- Perkiraan tentang kualitas
- Interpretasi tentang geometrid an struktur endapan
- Laporan tentang sumber cadangan secara lengkap untuk studi pemasaran dan
financial.
Di samping itu sudah dapat ditentukan pula:
- keadaan geologi endapan batubara dan perkiraan stuktur bawah permukaan
- Alternatif cara penambangan baik secara tambang terbuka atau tambang dalam.
c. Penyelidikan Detail
Pada tingkat ini kegiatan eksplorasi lebih terpusat pada kegiatan pemboran
yang bertujuan untuk lebih mengetahui bentuk geometri endapan batubara, kualitas
dari lapisan batubara dan kemungkinan adanya anomaly geologi yang mungkin
akan menimbulkan kesulitan dalam proses penambangan yang akan dilaksanakan.
Apabila diperlukan dapat pula dilakukan penyelidikan geofisika dengan tujuan untuk
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 88
mengetahui secara rinci keadaan geologi bawah permukaan yang meliputi keadaan
sratigrafi dan struktur geologi yang tidak terekam dari kegiatan pemboran.
Pengumpulan dan pendokumentasian semua data yang diperoleh berikut peta-peta
yang telah dibuat serta rencana penambangan akan dipergunakan sebagai dasar
dan rencana kerja aktifitas penambangan yang akan datang. Pada akhir kegiatan
program ini akan dihasilkan hal-hal sebagai berikut:
- Perhitungan cadangan sampai tingkat yang dapat diambil recoverable reserve,
sedang ketepatan perkiraan perhitungan batubara yang dapat dijual sudah
mendekati 20 %.
- Data lengkap mengenai kualitas, baik secara statistic dan variasi yang terdapat
secara regional, data yang menyangkut batuan ikutan.
- Data tentang penggunaan batubara dan laporan tentang hasil test pembakaran
baik dalam laboratorium maupun dalam skala komersial di sector industri.
- Data yang menyangkut tentang pencucian batubara (washability test).
Bilamana data yang telah dikumpulkan tersebut dan pada kenyataannya sudah
konprehensif maka berarti pengembangan sumber cadangan batubara tersebut
telah memperoleh prioritas yang tinggi untuk diajukan ketingkat yang lebih lanjut.
Tingkat selanjutnya akan dilakukan pengumpulan data mengenai penambangan dan
masalah yang menyangkut bidang-bidang yang bersifat engineering seperti masalah
geoteknik, hidrologi dan perencanaan proses pencucian, hal yang menyangkut
pengangkutan dan penimbunan batubara.
Semua data tersebut dikompilasi dan dijadikan bahan untuk membuat studi
kelayakan pengembangan endapan batubara tersebut kearah pembukaan tambang.
Pekerjaan eksplorasi akan tetap dilakukan terus selama masa umur tambang
tersebut berjala. Pekerjaan eksplorasi ini dikenal sebagai commercial exploration
programme, menyangkut pula pekerjaan pemboran produksi (production drilling)
yang bertujuan untuk lebih meningkatkan ketelitian yang dapat diambil (recoverable
reerve) sampai pada tingkat 5 %. Apabila uraian tersebut di atas dibuat dalam
bentuk diagram kerja seperti terlihat pada Gambar 4.1.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 89
Penyelidikan Umum
Penyelidikan Pendahuluan
Penyelidikan Detail
Commercial Exploration Programme
- studi pustaka
- pengecekan dilapangan
- keadaan geologi regional- keadaan tektonik- keadaan "paleography setting"- batasan luas daerah kerja
- mencari singkapan batuan dan batubara- mengambil contoh batuan- mengambil contoh batubara
- memetakan daerah kegiatan
- interpretasi keadaan geologi
- pemetaan topografi- pemetaan foto udara
- stratigrafi kedudukan batubara- struktur geologi
- pemboran
- korelasi- hasil perhitungan cadangan- bentuk geometri cadangan- perkiraan kualitas
- pemboran
- geofisika
- bentuk geometri endapan batubara lebih teliti dan perhitungan cadangan- anomali geologi - sesar- kualitas batubara - analisa laboratorium - sifat batubara
- stratigrafi kedudukan batubara- struktur geologi- bentuk endapan batubara
- pemboran lanjutan
Gambar 4.1.
Diagram Kerja Tahapan Penyelidikan
4.1.2. POTENSI CADANGAN BATUBARA
Salah satu hal yang mentukan dalam pengusahaan batubara adalah besaran
potensi cadangan (reserves) batubara di daerah yang bersangkut. Beberapa
terminologi cadangan (reserve) adalah sebagai berikut:
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 90
a. Potensi cadangan Tereka (Inferred reserves)
Potensi cadangan tereka dari suatu lapangan prospek batubara adalah jumlah
batubara dalam ton yang perhitungannya mendasarkan pada data geologi hasil
penelitian lapangan dalam bentuk peta geologi, geofisika dan kualitas batubara
tyang telah dapat memberikan model tentative dari pola sedimentasi lapisan
batubara.
b. Potensi cadangan Terkira (Indicated Reserves)
Potensi cadangan terkira dari satu lapangan prospek batubara adalah jumlah
batubara dalam ton yang perhitungannya mendasarkan atas model tentative
batubara dari keterpaduan penelitian lapangan dan penelitian laboratorium serta
telah dibuktikan dengan beberapa pemboran eksplorasi. Indicated reserves perlu
diketahui untuk perencanaan tambang.
c. Mineable In-situ Reserves
Jumlah ton batubara in-situ dari penampang lapisan batubara yang
direncanakan dapat ditambang. Dari padanya diperoleh cukup informasi yang
berguna dalam perencanaan. Mineable in-situ reserves dapat diperhitungkan dari
indicated reserves.
d. Potensi Cadangan Terambil (Recoverable Reserves)
Potensi cadangan terambil dari satu lapangan prospek batubara adalah jumlah
batubara dalam ton yang perhitungan potensi diperoleh secara rinci dari beberapa
pemboran eksplorasi teknis maupun pertimbangan keekonomiannya. Besaran
cadangan batubara merupakan hasil perkalian luas pelamparan, ketebalan dan
berat jenis batubara dari suatu daerah prospek batubara. Recoverable Reserves
ditambah dengan Dilution sama dengan Run of Mine Tonage. Termasuk dilution
adalah batubara yang hilang sewaktu proses penambangan.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 91
Dengan mengetahui berbagai potensi cadangan batubara di suatu daerah
maka program pengembangan dalam rangka pengusahaan batubara akan lebih
terarah.
e. Marketable Reserves
Jumlah ton batubara yang akan dapat dipasarkan atau dijual, dapat berupa run
of mine tonnage (kalau tidak dilakukan pengolahan) maupun setelah dilakukan
pengolahan.
4.2. TEKNIK EKSPLOITASI BATUBARA
Metode penambangan batubara sangat tergantung pada :
- Keadaan geologi daerah antara lain sifat lapisan batuan penutup, batuan lantai
batubara, struktur geologi.
- Keadaan lapisan batubara dan bentuk deposit.
Pada dasarnya dikenal dua cara penambangan batubara yaitu cara tambang
dalam dan tambang terbuka.
Cara tambang dalam, dilakukan pertama-tama dengan jalan membuat lubang
persiapan baik berupa lubang sumuran ataupun berupa lubang mendatar atau
menurun menuju ke lapisan batubara yang akan ditambang. Selanjutnya dibuat
lubang bukaan pada lapisan batubaranya sendiri. Cara penambangannya sendiri
dapat dilakukan:
a. Secara manual, yaitu menggunakan banyak alat yang memakai kekuatan
tenaga manusia.
b. Secara mekanis, yaitu mempergunakan alat sederhana sampai menggunakan
system elektronos dengan pengendalian jarak jauh.
Cara tambang terbuka, dilakukan pertama-tama dengan mengupas tanah
penutup. Pada saat ini metode penambangan mana yang akan dipilih dan
kemungkinaan mendapatkan peralatan tidak mengalami masalah. Peralatan yang
ada sekarang dapat dimodifikasi sehinggga berfungsi ganda. Perlu diketahui pula
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 92
bahwa berbagai jenis batubara memerlukan jenis dan peralatan yang berbeda pula.
Mesin-mesin tambang modern sudah dapat digunakan untuk pekerjaan kegiatan
penambangan dengan jangkauan kerja yang lebih luas dan mampu melaksanakan
berbagai macam pekerjaan tanpa perlu dilakukan perubahan dan modifikasi yang
besar. Pemilihan metode penambangan batubara baik yang akan ditambang secara
tambang dalam ataupun tambang terbuka ditentukan oleh faktor:
- Biaya penambangan
- Batubara yang dapat diambil (coal recovery)
- Pengotoran hasil produksi oleh batuan ikutan.
Dalam memperhitungkan biaya penambangan dengan metode tambang
terbuka harus termasuk juga biaya pembuangan tanah penutup batubara sampai
pada kemiringan lereng yang seaman mungkin (slope angle).
Perbandingan antara lapisan batuan tanah penutup dengan batubara
merupakan faktor penentu dalam memilih metode penambangan. Untuk itu perlu
dihitung terlebih dahulu break even stripping ratio, yaitu perbandingan antara selisih
biaya untuk penambangan satu ton batubara secara tambang dalam dan tambang
terbuka dibagi dengan biaya pembuangan setiap ton tanah penutup lapisan
batubara.
Contoh:
Suatu rencana penambangan batubara diperhitungkan apabila dilaksanakan
secara tambang dalam memerlukan biaya Rp 20.000 setiap ton. Apabila dilakukan
secara tambang terbuka Rp 8.000, sedang biaya pengupasan tanah pada tambang
terbuka adalah Rp 2.000 pertonnya.
Stripping ratio antara tambang terbuka yang menghasilkan perbedaan biaya
impas (brek even cost) dengan penambangan secara tambang dalam adalah:
Break even stripping ratio 6 2.000
8.000 - 20.000 ==
Dengan demikian break even stripping ratio adalah 6 : 1, yang berarti bahwa
untuk mengambil 1 ton batubara maksimum jumlah tanah penutup harus dibuang
adalah 6 ton.
Dengan demikian maka cara penambangannya sudah harus di tinjau kembali
karena secara ekonomis sudah tidak menguntungkan lagi.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 93
4.2.1. METODE PENAMBANGAN SECARA TAMBANG DALAM
Pada penambangan batubara dengan metoda tambang dalam yang terpenting
adalah bagaimana mempertahankan lubang buka seaman mungkin agar terhindar
dari kemungkinan :
- Keruntuhan atap batuan
- Ambruknya dinding lubang (rib spalling)
- Penggelembungan lantai lapisan batubara (floor heave)
Kejadian tersebut di atas disebabkan oleh terlepasnya energi yang tersimpan
secara alamiah dalam endapan batubara. Energi yang terpendam tersebut
merupakan akibat terjadinya perubahan atau deformasi bentuk endapan batubara
selama berlangsunganya pembentukan deposit tersebut. Pelepasan energi tersebut
disebabkan oleh adanya perubahan keseimbangan tegangan yang terdapat pada
massa batuan akibat dilakukannya kegiatan pembuatan lubang-lubang bukaan
tambang. Disamping itu kegagalan dapat disebabkan batuan dan batubara itu tidak
mempunyai daya penyangga di samping faktor-faktor alami dari keadaan geologi
endapan batubara tersebut.
Penambangan batubara secara tambang dalama kenyataannya sangat
ditentukan oleh cara mengusahakan agar lubang bukaan dapat dipertahankan
selama mungkin pada saat berlangsungnya penambangan batubara dengan biaya
rendah atau seekonomis mungkin.
Untuk mencapai keinginan tersebut maka pada setiap pembuatan lubang
bukaan selalu diusahan agar:
- Kemampuan penyangga dari atap lapisan
- Kekuatan lantai lapisan batubara
- Kemampuan daya dukung pilar penyangga.
Dimanfaatkan semaksimal mungkn. Namun apabila cara manfaat sifat alamiah
tersebut sulit untuk dicapai, maka beberapa cara penyanggaan buatan telah
diciptakan oleh ahli tambang.
Metode penambangan secara tambang dalam pada garis besarnya dapat
dibedakan yaitu:
a. Room and Pillar atau disebut pula Bord and Pillar
b. Longwall.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 94
Kedua metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri
terutama pada keadaan endapan batubara yang dihadapi di samping faktor lainnya
yang perlu diperhatikan dalam pemilihan metode penambangan tersebut.
A. Metode Room and Pillar
Cara penambangan ini mengandalkana endapan batubara yang tidak diambil
sebagai penyangga dan endapan batubara yang diambil sebagai room. Pada
metode ini penambangan batubara sudah dilakukan sejak pada saat pembuatan
lubang maju. Selanjutnya lubang maju tersebut dibesarkan menjadi ruangan-
ruangan dengan meninggalkan batubara sebagai tiang penyangga. Besar dan
bentuk ruangan sebagai akibat pengambilan batubaranya harus diusahakan agar
penyangga yang dipakai cukup memadai kuat mempertahankan ruangan tersebut
tetap aman sampai saatnya dilakukan pengambilan penyangga yang sebenarnya
yaitu tiang penyangga batubara (coal pillars). Metoda ini mempunyai keterbatasan-
keterbatasan dalam besaran jumlah batubara yang dapat diambil dari suatu
cadangan batubara karena tidak semua tiang penyangga batubara dapat diambil
secara ekonomis maupun secara teknik.
Dari seluruh total cadangan terukur batubara yang dapat diambil dengan cara
penambangan metode Room and Pillar ini paling besar lebih kurang 30 – 40 % saja.
Hal ini disebabkan banyak batubara tertinggal sebagai tiang-tiang pengaman yang
tidak dapat diambil. Gambar 4.2 memperlihatkan Sketsa Sistem Penambangan
dengan cara Room and Pillar.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 95
Gambar 4.2 Skema Sistem Penambangan Room And Pillar
B. Metode Longwall
Ada dua cara penambangan dengan menggunakan metoda Longwall yaitu :
- Cara maju (advancing)
- Cara mundur (retreating)
Pada penambangan dengan metoda advancing Longwall terlebih dahulu dibuat
lubang maju yang nantinya akan berfungsi sebagai lubang utama (main gate) dan
lubang pengiring (tail gate), dibuat bersamaan pada pengambilan batubara dari
lubang buka tersebut.
Kedua lubang tersebut digunakan sebagai saluran udara yang diperlukan untuk
menyediakan udara bersih pada lubang bukanya di samping untuk keperluan
transportasi batubaranya dan keperluan penyediaan material untuk lubang bukanya.
Metoda ini akan memberikan hasil lebih cepat karena tidak memerlukan waktu
menunggu lubang yang diperlukan yaitu lubang utama (main gate) dan lubang
pengiring (tail gate).
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 96
Pada metode retreating longwall merupakan kebalikan dari metode advancing
longwall, karena pengambilan batubara belum dapat dilakukan sebelum selesai
dibuat suatu panel yang akan memberikan batasan lapisan batubara yang akan
diesktraksi (diambil).
Pemilihan salah satu dari 2 metode tersebut harus memperhatikan keadaan
dan kondisi alami yang ditemukan pada endapan batubara itu sendiri agar nantinya
tidak akan menghadapi kesulitan-kesulitan selama dilakukan ekstraksi yang pada
akhirnya tentu bertujuan mencari biaya serendah mungkin. Gambar 4.2 adalah
Skema Sistim Penambangan Longwall.
Gambar 4.3. Skema Sistem Penambangan Loongwall .
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 97
Selain kedua metode tersebut terdapat pula beberapa variasi metode
penambangan yang dapat diterapkan. Hal ini tergantung pada macam dan jenis
serta ketebalan lapisan di samping kemiringan lapisan batubara yang perlu juga
diperhatikan. Gambar 4.3 adalah Kegiatan pada Sistim Penambangan Longwall.
Gambar 4.4 Kegiatan Pada Penambangan Loongwall.
Tampak Pekerja Sedang Mengoperasikan Shearing Machine.
Peralatan yang digunakan pada penambangan tambang dalam dapat dibagi
dalam dua kategori yaitu:
- Peralatan untuk pekerjaan persiapan
- Peralatan untuk ekstraksi batubara
Pada saat ini kemampuan peralatan tambang dalam sudah demikian maju
sehingga seluruh kegiatan pekerjaan fisik yang dilakukan oleh manusia, praktis
sudah digantikan oleh mesin atau alat bantu mekanis.
1. Peralatan Untuk Pekerjaan Persiapan
Kegunaan utama alat ini untuk membuat lubang buka, kemudian lubang maju
baik dilapisan batuan yang menuju ke lapisan batubara maupun dalam batubaranya
sendiri.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 98
Alat atau mesin yang dipakai untuk pembuatan lubang ini dapat dibedakan dari
sifat pekerjaan, apakah mesin tersebut dapat langsung menggali dan membuang
pecahan batuan hasil galian atau hanya memecah saja sedang pembuangan dan
pengambilan pecahan batuan dilakukan mesin lain.
Pada tipe yang pertama mesin ini disebut road heading machine, yang dapat
memotong dan mengerat batuan atau batubara yang pecahnya dapat dikorek dan
diangkut untuk selanjutnya dibuang dan ini dilakukan oleh satu unit mesin.
Pada tipe yang kedua pekerjaan pemecahan dan pelepasan batuan dari
formasi lapisan dilakukan oleh mesin lain yang pada umumnya berupa peralatan
bor. Alat tersebut merupakan 1 unit maupun dapat terdiri beberapa unit mesin bor
atau apa yang dikenal sebagai jumbo drill pekerjaannya hanya membuat lubang bor
dan nanti diisi dengan bahan peledak dan selanjutnya diledakkan. Pecahan batuan
akibat peledakan tersebut diangkut dan dibuang dengan mesin lain, yaitu alat muat
dan angkut load hail dump loader atau gathering arm loader yang langsung
membuang ke ban berjalan yang dipasang dibelakangnya dan selanjutnya dibawa
ke luar tambang.
Gambar 4.5 Kenampakkan Tambang Bawah Tanah Di Ombilin, Sumatra Barat.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 99
2. Peralatan Untuk Ekstraksi Batubara
Pada lubang-lubang transport dan lubang atau lubang lainnya ada bermacam-
macam penyanggaan yang dipakai tergantung kesediaannya ditempat. Di samping
itu faktor ekonomi juga merupakan pertimbangan.
Penyangga lubang dapat dari kayu maupun besi baja kontruksi dan bentuknya
ada yang persegi ataupun berbentuk arch. Selain cara-cara konvensional yang
digunakan dalam penyanggaan, pada tambang batubara telah juga dipakai cara
penyanggaan yang dinamakan roof bolting (Gambar 4.5). Cara ini digunakan untuk
mengikat batubara yang lemah (immediate roof) dengan lapisan yang kuat di
atasnya dan juga mengikat lapisan-lapisan batuan yang lemah menjadi beratnya
sendiri sepanjang lebar bukaan lubang yang dibuat.
Jenis dan tipe penyanggaan dengan memakai roof bolt ada dua macam yaitu:
1. Mechanical roof bolt-wedge type atau expandable shell
2. Chemical roof bolt- memakai resin.
Penyanggaan yang digunakan pada daerah penggalian batubara dapat terdiri
dari balok-balok kayu maupun dari batang besi baja. Penyangga pemakaiannya
hanya bersifat sementara karena nantinya penyangga tersebut akan tergeser atau
dibiarkan tertinggal sehingga atap lapisan batubara dibiarkan runtuh.
Pada metode Longwall penyangga lapisan atap batubara digunakan
penyangga mekanis dengan memakai tenaga hidrolis untuk menahan tekanan
lapisan atap batubara yang dikenal sebagai Power roof support (PSR). Penyangga
mekanis ini menggantikan penyangga konvensional yang memakai seperti ini dapat
dipergunakan berulang-ulang.
Penyangga mekanis ini dapat dibuat menurut kebutuhan tergantung kekuatan
yang diinginkan. Power Roof Support yang dipakai di unit produksi Ombilin
mempunyai kekuatan daya dukung setiap unitnya sebesar 325 ton, dan pada saat
ini telah dibuat PRS yang berkekuatan sampai 900 ton. Gambar 4.6 adalah
Penyangga dengan Sistim Hidrolik.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 100
Gambar 4.6 Skema Sistem Penyanggaan Dengan Roof Bolt .
Gambar 4.7 Penyanggaan Dengan Sistem Hidrolik Pada Penambangan Loongwall.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 101
4.2.2. METODE PENAMBANGAN SECARA TAMBANG TERBUKA
Kelebihan tambang terbuka dibandingkan dengan tambang dalam adalah relatif
lebih aman, relatif lebih sederhana, dan mudah pengawasannya. Pada saat ini
sebagain besar penambangan batubara dilakukan dengan metode tambang
terbuka, lebih-lebih setelah digunakannya alat-alat besar yang mempunyai kapasitas
muat dan angkut yang besar untuk membuang lapisan tanah penutup batubara.
Dengan demikian pekerjaan pembuangan lapisan penutup batubara menjadi lebih
murah dan menekan biaya ekstraksi batubara.
Selain itu prosentasi batubara yang diambil jauh lebih besar dibandingkan
dengan batubara yang dapt diekstraksi dengan cara tambang dalam. Penambangan
batubara dengan metode tambang terbuka saat ini diperoleh 85% dari total
mineable reserve, sedang dengan metode tambang dalam paling besar hanya 15%
saja.
Walaupun demikian penambangan secara tambang terbuka mempunyai
keterbatasan yaitu:
- Dengan peralatan yang ada pada saat sekarang ini keterbatasan kedalaman
lapisan batubara yang dapat ditambang.
- Pertimbangan ekonomi antar biaya pembuangan batuan penutup dengan biaya
pengambilan batubara.
Tipe penambangan batubara dengan metode tambang terbuka tergantung
pada letak dan kemiringan serta banyaknya lapisan batubara dalam satu cadangan.
Disamping itu metode tambang terbuka dapat dibedakan juga dari cara pemakaian
alat mesin yang digunakan dalam penambangan.
Beberapa tipe penambangan batubara dengan metode tambang terbuka
adalah:
a. Contour Mining
Tipe penambangan ini pada umumnya dilakukan pada endapan batubara yang
terdapat di pegunungan atau perbukitan. Penambangan batubara dimulai pada
suatu singkapan lapisan batubara dipermukaan atau crop line dan selanjutnya
mengikuti garis kontur sekeliling bukit atau pegunungan tersebut.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 102
Lapisan batuan penutup batubara dibuang kearah lereng bukit dan selanjutnya
batuan yang telah tersingkap diambil dan diangkut. Kegiatan penambangan
berikutnya dimulai lagi seperti tersebut di atas pada lapisan batubara yang lain
sampai pada suatu ketebalan lapisan penutup batubara yang menetukan batas
maksimum ke dalaman di mana peralatan tambang tersebut dapat bekerja. Batas
ekonomis ini ditentukan oleh beberapa variabel antara lain :
- Ketebalan lapisan batubara
- Kualitas
- Pemasaran
- Sifat dan keadaan lapisan batuan penutup
- Kemampuan peralatan yang digunakan
- Persyaratan reklamasi
Gambar 4.8 a. Tipe Mountaintop Mining b. Tipe Countour Mining
Peralatan yang digunakan untuk cara penambangan ini pada umumnya
memakai peralatan yang mempunyai mobilitas tinggi atau dikenal sebagai mobil
equipment.
Peralatan mekanis yang digunakan seperti alat muat (Wheel Loader, Track
Loader, Front Shovel, dan Backhoe), alat angkut jarak jauh (Off Highway Dump
Truck), alat angkut jarak dekat (Power Scraper), dan peralatan lainnya.
Alat-alat tersebut dipergunakan untuk pekerjaan pembuang lapisan penutup
batubara sedang untuk pengambilan batubaranya dapat digunakan dengan alat
yang sama atau yang lebih kecil tergantung tingkat produksinya. Kapasitas alat
angkut berupa Off Highway Dump Truck antara 18 ton sampai 170 ton. Di
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 103
Indonesia, tipe contour mining diterapkan antara lain di Tambang Batubara Ombilin
Sawahlunto, Sumatera Barat. Ditempat ini penambangan secara besar-besaran
telah dimulai sejak tahun 1977 dengan menggunakan mobile equipment berupa alat
muat yang terdiri front end loader berkapasitas 5-6 m3 dan front shovel 7 m3, sedang
untuk alat angkut diguanakan Off High Dump truck berkapasitas 35 ton dan 50 ton.
Selain itu dipergunakan Power Scraper kapasitas 15 m3.
Mengingat batuan penutupnya sangat keras maka digunakan peledakan,
dengan menggunakan beberapa unit alat bor drill blasthole machine yang
mempunyai kemampuan bor berdiameter sampai 6 inches, sedang bahan
peledaknya dipergunakan Ammonium Nitrate dan Solar (ANFO). Pengekstrasian
batubara digunakan excavator berukuran 4 m3 dengan alat angkut berupa Coal
Hauler kapasitas 18 ton. Gambar 4.9 adalah Wheel Loader sebagai alat pengupas.
Gambar 4.9 Wheel Loader Sebagai Alat Muat.
b. Open Pit Mining
Open pit mining adalah penambangan secara terbuka dalam pengertian umum.
Apabila hal ini diterapkan pada endapan batubara dilakukan dengan jalan
membuang lapisan batuan penutup sehingga lapisan batubaranya tersingkap dan
selanjutnya siap untuk diekstraksi. Peralatan yang dipakai pada penambangan
secara open pit dapat bermacam-macam tergantung pada jenis dan keadaan
batuan penutup yang akan dibuang. Dalam memilih peralatan perlu
dipertimbangkan:
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 104
• Kemiringan Lapisan batuan
Pada lapisan dengan kemiringan cukup tajam, pembuangan lapisan penutup
dapat menggunakan alat muat baik berupa face shovel, front end loader atau
alat muat lainnya.
• Masa operasi tambang.
Penambangan tipe open pit biasanya dilakukan pada endapan batubara yang
mempunyai lapisan tebal / dalam dan dilakukan dengan menggunakan beberapa
bench.
Peralatan yang digunakan untuk pembuangan lapisan penutup batubara
dibedakan sebagai berikut:
1. Peralatan yang bersifat mobil antara lain Track Shovel, loader, bulldozer,
scraper.
Gambar 4.10.
Wheel Dozer sebagai Alat Pengupas.
2. Peralatan yang bersifat bekerja secara kontinu membuang lapisan penutup
tanpa dibantu alat angkut antara lain :
a. Dragline baik yang dengan crawler maupun walking dragline. Alat ini
mengeruk dan langsung membuang sendiri. Kapasitasnya bervariasi mulai
dari yang kecil kurang darii 5 m3 sampai dengan yang kapasitas mangkok di
atas 40 m3 dan jarak buang lebih dari 75 m.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 105
b. Front Shovel ada dua tipe:
1. Stripping shovel: mempunyai kapasitas mangkok (bucket) yang besar dan
jangkauan yang panjang digunakan sebagai alat pembuang lapisan
penutup batubara tanpa perlu bantuan alat angkut yang lain. Pada
umunya kapasitas mangkok berukuran lebih besar dari 20 m3, dengan
jangkauan buang lebih dari 25 m.
2. Loading shovel: yang dipergunakan sebagai alat muat pada umumnya
kapasitas isi mangkok dan panjang jangkauan lebih pendek.
c. Bucket Wheel Excavator: adalah alat penggali dan pengangkut sekaligus.
Alat ini dapat bekerja sendiri atau dibantu alat lain berupa belt conveyor dan
dapat dibantu dengan alat yang dinamakan belt transfer, dan selanjutnya
pada ujung belt conveyor dipasang alat yang dinamakan belt spreader yang
berguna untuk menyebarkan hasil galian batuan penutup ketempat
pembuangan dumping disposal area. Di Indonesia cara penambangan Open
pit dengan memakai Bucket Wheel Excanator ini dilaksanakan antara lain di
Tambang Batubara Bukit Asam di Sumatera Selatan yang terdapat 5 unit
Bucket Wheel Excavator, 5 unit Belt Transfer (Belt Wagon), 2 unit Speader
dan Belt Conveyor dengan panjang lebih kurang 3 km. Gambar 4.13 adalah
Sketsa Penambangan Open Pit.
Gambar 4.11
Track Loader sebagai Alat Muat.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 106
Gambar 4.12
Backhoe Lengan Panjang Sedang Memuatkan Ke Dump Truck
Gambar 4.13.
Penambangan Open Pit.
d. Striping Mining
Tipe penambangan terbuka yang diterapkan pada endapan batubara yang
lapisannya datar dekat permukaan tanah. Alat yang digunakan dapat berupa alat
yang sifatnya mobil atau alat penggalian yang dapat membuang sendiri.
Penambangan batubara khususnya di Kalimantan akan dimulai dengan cara
Tambang Terbuka yang memakai alat kerja bersifat mobil.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 107
4.2.3 TEKNIK PENAMBANGAN LAPISAN BATUBARA TIPIS
Penyebaran batubara tidak selalu seiring oleh kualitas dan ketebalan yang
menggembirakan, karena sering dijumpai kualitas batubara di suatu daerah cukup
tinggi sementara ketebalannya kurang dari 1 m, atau sebaliknya.
Ketebaan lapisan batubara berhubungan erat dengan teknik penggaliannya
yang sudah barang tentu diarahkan pada efisiensi sistem penambangan yang
secara ekonomi layak diterapkan. Sampai saat ini untuk menggali lapisan batubara
dengan ketebalan kurang dari 1 m, baik pada tambang bawah tanah maupun
terbuka, terbentur pada masalah pemilihan sistem penambangan yang ekonomis.
Misalnya pada sistem longwall, alat pemotong batubara (shearer) paling kecil yang
diproduksi mempunyai ketinggian 0.81 m, tentu alat ini tidak dapat digunakan pada
lapisan batubara yang lebih tipis dari 0.81m. Pada tambang terbuka, lapisan
penutup yang tebal umumnya menjadi kendala untuk menambang lapisan batubara
yang tipis, bila ditinjau dari aspek ekonomi. Tetapi kendala pemilihan alat penggali
lapisan batubara tipis telah dapat diatasi berkat kemajuan teknologi untuk
merancang suatu alat pembajak batubara (flow) yang dapat digunakan untuk
mengekstrak lapisan batubara dengan ketebalan 0.46m. Masalah yang timbul
kemudian adalah bagaimana memanfaatkan alat bajak ini pada suatu sistem
penambangan lapisan batubara yang tipis.
Diperkenalkan sistem penambangan Titik, yaitu suatu sistem yang
dioperasikan secara jarak jauh (remote operations) dari suatu jenjang tempat
meletakkan peralatan penambangan sehingga tidak ada personel dan penyangga
yang diperlukan di dalam tambang. Sistem tersebut sampai sekarang masih dikaji
dan terus dikembangkan dari segala aspek di beberapa Negara maju. Ada beberapa
Negara yang telah mengoperasikan beberapa sistem penambangan lapisan
batubara tipis, tetapi tidak menggunakan sistem penambangan yang sedang
beroperasi tersebut merupakan bagian atau ide dari sistem penambangan Titik yang
sedang dikaji. Cara penambangan lapisan batubara yang sedang beroperasi saat ini
secara ekonomi sulit dapat diterima, tetapi cara tersebut terus dilakukan karena
setiap pemerintah mempunyai kebijaksanaan berbeda dalam mengelola
sumberdaya alam yang strategis yang dimilikinya. Beberapa system penambangan
lapisan batubara tipis yang akan diperkenalkan pada tulisan ini adalah:
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 108
a. Sistem Tarik Kabel-Rantai
b. Sistem Backfilling
c. Sistem Roof-fall Tolerant
Sistem pertama dari 3 sistem tersebut diatas telah diterapkan di Korea dan di
bekas Negara Uni Soviet. Sedangkan dua sistem yang disebut kemudian masih
merupakan konsep yang sedang dipelajari dan dikaji di Amerika Serikat.
a. Sistem Penambangan Tarik Kabel-Rantai
Sistem penambangan ini telah diterapkan di Korea untuk mengekstrak lapisan
batubara dengan ketebalan antara 0.3 – 0.5 m dengan kemiringan 45o. Pada tahap
persiapan penambangannya, bagian penting yang harus dibuat di samping
komponen lain adalah pilar-pilar berdimensi 15,2 x 30,5 m diantara dua raise, yaitu
pilar-pilar batubara yang kan dipotong menggunakan gesekan rantai penggali.
Gambar 4.14. mengilustrasikan sistem penambangan tarik kabel-rantai di Korea.
Gambar 4.14.
Skema sistem Penambangan Tarik Kabel Rantai di Kore a.
Pilar-pilar ini juga berfungsi sebagai penyangga sementara pada saat salah
satu pilar sedang dipotong. Disamping itu harus dirancang pula dua corongan
dibagian bawah pilar untuk menampung serpihan batubara.
Rantai pemotong batubara disambung dengan kabel yang dihubungkan ke
mesin penggerak yang dapat menjalankan rantai pemotong tersebut maju mundur.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 109
Mesin penggerak diletakkan pada level atas, sedangkan pada level bawah tersedia
kendaraan penampung serpihan batubara hasil pemotongan. Penggalian dimulai
dari bagian bawah pilar bergerak ke atas sehingga serpihan batubara mengalir
karena gravitasi menuju dua buah corongan yang dapat menampung serpihan
batubara tersebut dan siap dimuatkan secara periodic ke dalam kendaraan
penampung. Diameter nominal rantai pemotong berkisar antara 100 sampai 200 mm
yang sangat efektif digunakan untuk menggali lapisan batubara dengan ketebalan
0,5 m.
Sistem Tarik-Kabel Rantai yang diterapkan di bekas Negara Uni Soviet
berbeda dalam hal cara penyanggaan dan arah penambangannya. Arah penggalian
lapisan batubara dimulai dari level atas bergerak ke level bawah, sehingga serpihan
batubara menumpuk pada level bawah dan siap diangkut ke permukaan.
Pengontrolan lapisan atap menggunakan penyangga bertekanan udara (pneumatic
support) yang dapat mengembang sampai ketinggian antara 0,2 – 0,4 m. Gambar
4.15 mengilustrasikan penerapan sistem penyangga bertekanan udara (pneumatic
support) di bekas Uni Soviet.
Gambar 4.15 Skema Penerapan Sistem Penyangga Bertekanan Udara
(Pneumatic Support)
Sistem penyanggaan ini terdiri dari satu set berisi empat kantong udara bagian
dalam, satu set berisi empat kantong udara bagian luar dan sebuah kantong udara
lebar pembatas. Penyangga dapat bergerak maju dengan cara sebagai berikut:
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 110
1. Pada posisi awal kantong udara bagian dalam dan luar mengembang dan
menyangga atap, sedangkan kantong pembatas kosong (tidak diisi uadara).
2. Kantong udara bagian dalam dikosongkan dan batuan atap kemungkinan akan
runtuh. Setelah kantong tersebut benar-benar kosong, maka kantong udara
bagian luar sedikit dikurangi volumenya, bersamaan dengan itu kantong
pembatas diisi udara bagian luar bergerak maju.
3. Pada posisi akhir, kantong udara bagian luar dikembangkan lagi sampai
maksimum. Kantong pembatas dikosongkan dan pada saat yang bersamaan
kantong udara bagian dalam dikembangkan. Gambar 4.15 adalah Sketsa
Penyangga Bertekanan Udara.
b. Sistem Penambangan Backfilling
Dua sistem yang disebutkan terdahulu hanya dapat diterapkan secara efektif
pada lapisan batubara yang mempunyai kemiringan cukup tajam, sehingga serpihan
batubara dapat mengalir hanya karena gaya gravitasi. Konsep system backfilling
dipersiapkan untuk lapisan batubara tipis yang relatif datar, untuk itu harus
dipersiapkan suatu sistem pengangkutan yang sesuai dengan ketebalan lapsan
batubaranya. Gambar 4.16 merupakan sketsa sistem penambangan backfilling.
Teknik penggalian dan penyanggaan yang akan diterapkan mengacu pada
sistem longwall, yaitu suatu sistem dengan proses penambangan dan pengangkutan
bergerak maju dan meninggalkan runtuhan lapisan atap di belakang penyangga.
Dengan pertimbangan tipisnya lapisan batubara dan penyangga yang harus dapat
bergerak maju, maka sistem penyangga bertekanan udara diharapkan sebagai
jawaban yang tepat. Dasar konsep ini menggunakan seoptimal mungkin teknik
pengontrolan jarak jauh, baik terhadap mobilitas penyangga maupun penggalian,
sehingga tidak diperlukan personil yang bekerja di dalam tambang.
Sebagai alat angkut serpihan batubara ke luar tambang akan digunakan
Armoured Face Conveyor (AFC) yang lazim digunakan pada sistem longwall.
Sedangkan alat galiannya adalah pembajak (plow) dipilih karena kemampuannya
menggali batubara yang mempunyai ketebalan 0,46 m.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 111
Gambar 4.16 Sketsa Sistem Penambangan Backfilling
c. Sistem Roof-fall Tolerant
Seperti halnya sistem backfilling, sistem Roof-fall Tolerant juga merupakan
konsep yang sasaran utamanya tidak memerlukan adanya karyawan yang bekerja
didalam tambang. Bahkan sistem ini dirancang tidak memerlukan penyangga sama
sekali. Konsep sistem Rooffall Tolerant dibuat atas dasar hipotesis sisipan tipis,
yaitu akan terbentuknya rongga dibelakang alat pemotong secara bertahap dan
runtuhan atap terjadi pada toleransi jarak yang cukup aman.
Adanya toleransi jarak runtuhan tersebut merupakan keuntungan karena alat
potong dan alat angkut tidak akan terjepit oleh runtuhan atap. Konsep sisipan tipis
ini meliputi seluruh perangkat penambangan yang diperlukan antara lain rantai
pemotong yang panjang dan bergerak memutar (looping) serta sistem
pengangkutannya. Penggalian batubara bergerak darii satu arah sampai jarak
tertentu, kemudian berbaliknya kearah yang berlawanan, begitu seterusnya sampai
lapisan batubaranya habis.
Seluruh perangkat penambangan batubara digerakkan oleh mesin-mesin yang
terletak di atas jenjang. Mesin penggerak rantai pemotong dan alat angkut terletak
pada satu jenjang, sedangkan pada jenjang yang berseberangan terdapat mesin
pembalik perangkat penambangan tersebut, pada saat yang sama juga terus
bergerak maju untuk memberikan gaya dorong terhadap rantai pemotong yang
berdiameter antara 100 – 150 mm. Gambar 4.17 adalah Sistem Penambangan
Roof-Fall Tolerant.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 112
Gambar 4.17 Sketsa Sistem Penambangan Roof-fall Tolerant
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 113
BAB V PENGOLAHAN BATUBARA
5.1. METODE PENCUCIAN BATUBARA
Pencucian batubara ialah usaha yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas
batubara, agar ia memenuhi syarat penggunaan tertentu. Termasuk di dalamnya (1)
pembersihan untuk mengurangi impurities anorganic (2) peremukan-pengayakan
atau kedua-duanya atau (3) pengolahan khusus seperti dedusting.
Karakteristik batubara dan impurities yang utama ditinjau dari segi pencucian
mechanis ialah komposisi ukuran partikel yang umum disebut Size Consisti,
perbedaan berat jenis dari material yang akan dipisahkan, kimia permukaan friability
relatif dari batubara dan impuritiesnya, serta kekuatan dan kekerasan. Faktor lain
yang juga berpengaruh pada pencucian ialah komposisi petrografik dan rank.
Parameter umum untuk kualitas batubara adalah kandungan abunya. Batubara
yang datang dari tambang mengandung fragmen material dengan berat jenis sangat
bervariasi, mulai dari terendah (antara 1,25 – 1,35 dengan kandungan abu antara
1% - 5%) hingga tertinggi 2,5 untuk material shale murni. Umumnya berat jenis akan
membesar dengan meningkatnya kandungan impurities didalam batubara. Gambar
5.1 menunjukan satu contoh hubungan impurities dengan jenis pada selang ukuran
yang sama dari batubara (ROM).
Adalah umum mendefinisikan material buangan sebagai material yang akan
tenggelam pada media denagn berat jenis 1.6 dan batubara bersih sebagai material
yang mengandung pada media yang sama.
Untuk menentukan metode dan alat yang akan digunakan untuk mencuci
batubara perlu dilakukan pemeriksaan uji yang lengkap terhadap batubara mentah
untuk memperoleh data ukuran distribusi berat jenis, deskripsi petrografi batubara
kandungan air, abu dan sulfur serta ash-fusibility characteristic.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 114
Gambar 5.I Hubungan Antara Berat Jenis Partikel Batubara dan Kandungan Abunya
Pengkajian ketercucian dilakukan terutama untuk menentukan berapa banyak
batubara dapat dihasilkan pada berat jenis pemisahan tertentu, serta bagaimana
dan tingkat kesulitan pemisahannya.
Data-data ketercucian didapat dari hasil uji enadap apung yang dilakukan pada
contoh batubara yang telah terseleksi (sized) pada selang ukuran kecil. Umumnya
rata-rata ukuran pada setiap fraksi berbanding 2:1. Berikut ini selang ukuran yang
umum dan memenuhi persyaratan 6”-4”: 4”-2”: 2”-1”:……1/16 – 0,5 mm. Fraksi-
fraksi berat jenis yang diperoleh dikeringkan, timbang dan analisis kanungan
abunya. Analisis lainnya seperti kandungan sulfur perlu juga dilakukan, apabila
pemnafaatan batubara tercuci yang akan dihasilkan mempersyaratkan demikian.
Dalam pencucian batubara, yang pertama harus dipertimbangkan ialah metode
pencucian mana yang akan diterapkan untuk mempersiapkan batubara untuk
keperluan pasar, dan apakah pencucian masih diperlukan, karena pada prinsifnya
batubara dapat dijual langsung setelah ditimbang. Kenyataannya penjualan
langsung setelah ditimbang tidak berarti prosedur memperoleh keuntungan
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 115
maksimum. Oleh karena itu dalam memutuskan ini perlu dimasukan juga
pertimbangan komersial.
Atas asumsi bahwa batubara itu perlu diolah dengan keuntungan maksimum
dan memenuhi kriteria kualitas yang dikehendaki pasar seperti kandungan abu, air
dan sulfur, material yang lebih kasar dari 0,5 mm diolah dengan cara konsentrasi
gravitasi. Untuk batubara yang lebih kecil dari 0,5 mm, apakah perlu diolah atau
tidak, perlu dipertimbangkan dengan teliti karena modal dan ongkos operasi
pengolahan sangat besar, 4 sampai 5 kali besar dari mengelola batubara kasar. Jika
berdasarkan pertimbangan memang diperlukan pengolahan maka metode yang
tersedia ialah flotasi buih.
Pencucian batubara menghendaki juga suatu operasi tambahan seperti
peremukan dengan menggunakan rotary breaker, roll crusher, pengayakan dan lain-
lain.
5.2. KONSENTRASI GRAVITASI
Umumnya dari seluruh batubara yang dicuci 90% dilakukan dengan cara
konsentrasi gravitasi dan kira-kira 10% dengan cara floats buih. Nisbah konsentrasi
umumnya kecil, artinya pada pencucian batubara produk batubara bersih jauh lebih
besar jumlahnya dibandingkan dengan material buangan.
Dari data ketercucian kita dapat membaca nilai perolehan yang didasarkan
pada pemisahan yang sempurna, oleh karena itu disebut perolehan teoritis.
Perolehan sesungguhnya dari hasil pencucian selalu kurang baik tergantung pada
tingkat efisiensi dari keseluruhan operasi. Hal ini disebabkan karena:
1. Operasi pencucian dilakukan secara kontinu, bukan batch seperti uji endap
apung, dan tidak dapat beroperasi secara se,purna. Dalam praktek ini berarti
unjuk kerja alat dipengaruhi oleh material near-gravity yang dapat masuk kesalah
satu jalur. Oleh karena itu misplacement selalu terjadi.
2. Operasi pencucian makin sulit dengan makin kecilnya ukuran butir-umpan
pengolahan, dan setiap alat mempunyai selang ukuran tertentu dimana ia dapat
beroperasi secara efisien. (Gambar 5.2).
3. Partikel sangat halus bila diolah, masih akan hilang pada operasi terakhir yaitu
dewatering. Gambar 5.3 dan 5.4 menunjukan hubungan antara efisiensi
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 116
pengolahan dengan ukuran partikel dan hubungan antara efisiensi berbagai alat
pemisah pada pengolahan batubara berukuran relatif sama.
Gambar 5.2 Selang Ukuran Operasi Unit Proses Pencucian Batubar a
Gambar 5.2 menunjukan metoda pencucian yang umum dikaitkan dengan
ukuran partikel. Untuk batubara besar Baum jig dan dense medium bath yang lebih
efisien, dan banyak dipakai. Dense medium cyclone, cyclone hanya dengan air,
meja goyang banyak dipakai untuk partikel berukuran sedang. Sedangkan
berukuran halus flotasi buih.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 117
Gambar 5.3 Pengaruh Komposisi Ukuran Pada Efisiensi Pencucian Batubara
Gambar 5.4 Kurva Unjuk Kerja Tromp Berbagai Alat Pencucian Bat ubara
Pada Ukuran Batubara yang Sama (6 x 0.5 mm)
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 118
Gambar 5.5 Pengaruh Ukuran Partikel Batubara
Pada Efisiensi Dense Medium Separation
Macam-macam gravitasi konsentrasi adalah:
5.2.1. Dense Medium Separation
Operasi pencucian batubara dengan dense medium dilakukan dengan
mencelupkan batubara mentah ke dalam media yang berat jenisnya terletak
diantara berat jenis batubara bersih dan berat jenis impurities yang lebih berat
Dense medium separation yang beroperasi secara komersial menggunakan
suspensi padatan di dalam air untuk mengolah batubara mulai dari ukuran 0.5 mm
sampai berukuran 150 mm. Partikel berukuran lebih besar dari 6 mm biasanya
diolah dengan static dense medium separator (dense medium vessels atau dense
medium baths), sedangkan yang berukuran mulai 0,5 mm sampai 40 mm diolah
dalam separator yang menerapkan gaya centrifugal ( dense medium cyclone).
Contoh dense medium bath seperti terlihat pada Gambar 5.6 – 5.10 adalah Chance
Cone separator, Barvoys Separator Bath, Tromp Static Bath, Wemco Separating
Bath dan Drewboy Separating Bath. Sementara itu contoh dense medium cyclone
seperti terlihat pada Gambar 5.11 – 5.15 adalah DSM Cyclone Separator, Bretby
Vorsyl Separator, Dynawhirfpool Separator, Larcodems dan Triflo Separator.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 119
Karakteristik yang diinginkan dari media pemisah adalah
(1) Murah
(2) Stabil selama operasi pencucian
(3) Inert
(4) Viskositas rendah pada kondisi operasi dan
(5) Mudah di recover kembali setelah dipakai.
Padatan dengan berat jenis tinggi seperti magnetit (b.j. 5) dan barit (b. j. 4.4)
banyak dipakai sebagai media walaupun menghasilkan suspensi yang kurang stabil
tetapi sangat bermanfaat untuk menghasilkan suspensi dengan berat jenis sampai
2.0. Kestabialan dari suspensi sebagian dapat diperbaiki denngan menambahkan
lempung sampai 10%, yang dapat mengecilkan kecepatan pengendapan suspensi
sampai 50%.
Efisiensi operasi static dense medium separation Ep = 0.025 dan untuk dense
medium cyclone 0.035.
Gambar 5.6 Change Cone Separator
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 120
Gambar 5.7 Barvoys Separating Bath
Gambar 5.8
Tromp Static Bath
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 121
Gambar 5.9
Wemco Separating Baths (a) Wemco Separator Types (b) Wemco Drum Separ ator Types
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 122
Gambar 5.10
Drewboy Separating Bath
Gambar 5.11
DSM Cyclone Separator
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 123
Gambar 5.12
Bretby Vorsyl Separator
Gambar 5.13
Dynawhirlpool Separator
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 124
Gambar 5.14 Larcodems
Gambar 5.15
Tri – Flo Separator
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 125
5.2.2. Jigging
Jigging adalah proses stratifikasi partikel yang menghasilkan lapisa-lapisan
dngan berat jenis partikel makin membesar dari atas kebawah oleh suatu gerakan
bolak-balik fluida, ia dapat mengolah batubara kelemahan dari jigging.
1. Efisiensi pemisahan tidak sebaik dense medium separation.
2. Berat jenis pemisahan (cut point) tidak terkendali sampai ke batas yang kecil,
misalnya jigging dengan umpan 15 cm-0, akan dipisahkan menurut berat jenis
pemisah.
Ukuran Cut point Selang C p Ep
15 cm – 5 cm
5 cm – 2.5 cm
2.5 cm – 12.5
mm
12 mm – 1 mm
1 mm – 0.25 mm
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
1.45 – 1.55
1.55 – 1.65
1.65 – 1.75
1.75 – 1.85
1.85 – 1.95
0.09
0.12
0.14
0.18
0.25
Jig yang umumnya dipakai ialah Baum jig dengan berbagai variasinya. Batas
jig juga banyak dipakai. Jig bekerja dengan dasar sederhana dengan 3 mekanisme
pemisahan yaitu percepatan awal yang hanya tergantung pada berat jenis partikel,
hindered settling classification dan consolidation trickling tergantung pada ukuran
berat jenis dan bentuk partikel. Gerakan yang besar, mula-mula dipengaruhi oleh
percepatan awal, diikuti hindered settling sedangkan partikel halus disamping
dipengaruhi oleh percepatan awal dan hindered settling gerakannya berlanjut
dengan consolidation trickling, sehingga akhirnya partikel halus berat berada di
lapisan paling bawah. Mekansme ini muncul karena adanya gerakan bolak-balik
vertikel dari air. Hasil akhir dipengaruhi oleh faktor alat (panjang pukulan jig,
frequency, cara mengeluarkan buangan, pengendalian air) dan karakteristik
batubara (washability, distribusi ukuran, jumlah buangan)
Tidak ada pemisahan sempurna yangn terjadi pada jigging, karena sifat
gerakan acak dari partikel ketika membentuk lapisan, dan terganggunya lapisan
yang terbentuk sebagai akibat pengeluaran produk.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 126
Ada 4 unsur pada siklus udara yang akan menimbulkan gerakan bolak-balik
vertikal (lihat Gambar 5.16)
Gambar 5.16 Elemen-elemen Siklus Baum Jig
(1) Katup udara terbuka, udara tekan masuk dan segera menciptakan aliran
vertikal kearah atas.
(2) Pemuaian ; ini adalah waktu antara berhentinya supply udara hingga ia keluar
dari ruang udara masuk ke atmosfer. Selama masa ini tinggi air pada
komportemen pencucian lebih tinggi dari yang ada diruang udara, dan dilasi
terhenti sementara.
(3) Pengeluaran, ini adalah masa pengeluran udara dari ruang udara yang terjadi
setelah katup dibuka, diikuti turunnya tekanan di dalam ruang. Tinggi air pada
komponen pencucian turun karena air kembali masuk ruang udara,
menghasilkan gerakan hisap (suction). Selama masa ini terjadi stratifikasi dari
partikel-partikel yang ada di dalam kompartemen pencucian.
(4) Lap atau compression, waktu ketika katup dibuka dan tekanan udara di dalam
ruang berubah dari 1 atmosfer menjadi sama dengan tekanan udara tekan
yang masuk. Ini adalah saat akan memulai siklus baru dan bed yang terbentuk
masih kompak.
Box pencucian berupa saluran berisi air yang penampangnya berbentuk U
(Gambar 5.17). Saluran ini terbagi dua bagian, satu bagian tertutup tempat
terpasangnya katup udara dan pada bagian lain ditutup dengan plat saringan. Pada
daerah inilah terjadi proses pencucian batubara. Material buangan dikeluarkan dari
dasar lapisan bed dengan bucket elevator. Laju pengeluaran material buangan
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 127
harus dikendalikan dengan teliti untuk memelihara ketebalan yang konstan dan ini
dilakukan secara otomatic oleh system.
Gambar 5.17 Original Baum Jig
Ada beberapa tipe Baum jig misalnya yang dirancang untuk mengolah partikel
kecil, misalnya ½ - 0. Rancangan umumnya sama seperti di atas, tetapi
meggunakan alas jig (ragging) dari feldspar.
Box pencuci dapat berukuran sampai 30 ft x 10 ft (daerah pencucian) dan
kapasitas dapat sampai 500 t/jam pada ukuran ini.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 128
Gambar 5.18 Faktor-faktor yang Berpengaruh Pada Jigging yang Ideal
Gambar 5.19 Grafik Pengaruh Udara dan Aliran Pada Pulsion dan Suction dari Baum Jig
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 129
Gambar 5.20
Gambar Irisan Baum Washbox
Gambar 5.21 The British Coal – Preferred Baum Jig
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 130
Gambar 5. 22
Longitudinal Section of Acco Baum Jig
Gambar 5.23
Lateral Section of ACCO Baum Jig
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 131
Gambar 5.24 ACCO ataumatic shal-discharg system
(a) operating with thin shale bed; (b) operating with thick shale bed (courtesy simona cco)
Gambar 5.25
Modern Version Of The ACCO System Of Shale Discharg e (Courtesy Simonacco)
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 132
Gambar 5.26
Gate and Dam Discharge (Hand Operated)
Gambar 5.27 Principle of Balanced Density Discard Control
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 133
Gambar 5.28 ACCO Automatic Control Gear for Discard Extraction
Gambar 5.29 Mc Nally Shale – Discharge System (Courtesy Mc Nall y, Pittsburgh)
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 134
Gambar 5.30
Unjuk Kerja Baum Jig
Gambar 5.31 BATAC Coarse – Size Jig
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 135
Gambar 5.32
BATAC Fine – Size Jig
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 136
Gambar 5.33 Perbedaan antara Baum Jig (Kiri) dan Batac Jig (Kanan)
Gambar 5.34 ROM JIG – Movable Screen Jig
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 137
Gambar 5.35 Unjuk Kerja Spiral
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 138
Gambar 5.36
A Modern Twin – start Coal Spiral
Gambar 5.37
300 t/h Spirals Plant at German Creek Coal Preparat ion Plant
5.2.3. Konsentrasi Pada Aliran Tipis
Konsentrasi batubara pada aliran tipis (flowing- film) hanya diterapkan pada
batubara berukuran kecil yaitu minus 2 mm dan dengan laju yang rendah pula
(kapasitas alat kecil). Oleh karena itu tidak semua alat konsentrasi flowing-film
digunakan pada pencucian batubara. Di bidang yang pemakaiannya semakin
banyak ialah spiral. Dibidang pencucian batubara alat ini baru dipakai sejak 1950
dan dapat melakukan fungsinya dengan baik apabila:
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 139
- ukuran partikel yang diolah antara -2.0-0.15
- perbedaan berat jenis sedikitnya 1
Mekanisme pemisahan pada spiral yaitu effek sluicing dikombinasikan dengan
gaya centrifugal yang timbul karena gerakan slurry mengitari spiral helix. Unjuk kerja
spiral yang dilakukan pada selang ukuran kecil dapat dilihat pada Gambar 5.36.
Gambar tersebut menunjukan bahwa pemisahan menjadi kurang efisisen dengan
makin mengecilnya ukuran.
Kerugian utama dari spiral ialah:
- partikel yang kecil dari 0,1 mm menghasilkan yang kurang baik.
- Cut point umumnya terbatas pada selang 1.6 – 1.8 kapasitas alat kecil.
5.2.4. Flotasi
Flotasi diterapkan pada batubara halus yang berukuran di bawah 0,5 mm dan
hanya sebagai pelengkap saja dari alat lain seperti Baum jig.
Batubara seperti beberapa mineral lain seperti sulfur, talc adalah mineral
hydrophobic yaitu bila dicelupkan kedalam air ia tidak basah. Partikel yang tidak
dibasahi ini (hydrophobic) bila berbenturan dengan gelembung udara akan langsung
menempel. Prinsip ini yang dipakai pada flotasi. Pada kenyataannya permukaan
partikel batubara tidak betul-betul hydrophobic. Oleh karena itu ia perlu diolah lebih
dahulu untuk mengubah permukaannya menjadi betul-betul hydrophonic.
Pengolahan seperti ini disebut conditioning yaitu partikel padatan diolah dengan
reagent kimia untuk permukaannya menjadi hydrophonic.
Proses flotasi terjadi di dalam alat yang disebut sel flotasi. Umpan yang telah
dicondition lebih dahulu untuk memastikan permukaan batubara telah hydrophobic
masuk ke sel flotasi melalui jalur pemasukan umpan. Udara masuk ke dalam sel
melalui impeller, dan terbentuk gelembung-gelembung udara berukuran halus.
Gelembung udara berbenturan dengan partikel batubara, menemapel dan naik ke
permukaan. Gelembung yang naik berkumpul di atas pulp dan dikeluarkan dengan
batuan scraper.
Unjuk kerja flotasi batubara, bila beroperasi dengan baik akan memberikan
perolehan batubara bersih yang tinggi, tetapi kandungan abu yang relative tinggi
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 140
pila. Dibandingkan dengan spiral, perolehan dengan cara flotasi akan memberikan
angka 1-5% lebih tinggi pada kandungan abu 11 – 12.5%.
Gambar 5.38 Sketsa Sel Flotasi Mekanical (Denver)
Gambar 5.39
Sketsa Sel Flotasi Kolom
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 141
Gambar 5.40
The Packed Column Cell
Gambar 5.41
Instalasi Flotasi Batubara, Laju Umpan 130 ton/jam
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 142
Gambar 5.42 Pneumatic Flotation EKOPLOT
Gambar 5.43 The Hydrochem Agitated Column
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 143
Gambar 5.44
The Air Sparged Hydrocyclone
Gambar 5.45 The Jameson Cell
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 144
Gambar 5.46 The MAN Gutehoffnungshuette Cell
Gambar 5.47 The Outokumpu HG Cell
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 145
5.3. UJI KETERCUCIAN BATUBARA
Didalam pekerjaan pencucian batubara terdapat dua kegiatan analisis yang
penting untuk dilakukan yaitu:
a. Analisis distribusi ukuran (size distribution analysis)
b. Analisis endap apung (sink-float analysis)
Analisis distribusi ukuran pada umumnya dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh informasi:
a. Jumlah batubara halus
b. Komposisi berat pada berbagai ukuran
c. Neraca material bagi setiap alat yang terdapat di dalam pabrik instalasi
pencucian.
Analisis kualitas (analisis proksimat dan ultimat) dapat saja dilakukan terhadap
setiap fraksi ukuran, tetapi pada umumnya yang terpenting untuk dianalisis adalah
kadar setiap fraksi ukuran.
Analisis endap-apung dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh:
a. Perolehan teoritis fraksi terendapkan maupun terapung.
b. Indikasi derajat kesukaran yang mungkin timbul pada saat dilakukan pencucian,
misalnya adanya sejumlah material yang densitas relatifnya mendekati densitas
relative media pencuci (disebut near density material).
c. Indikasi efektivitas pada suatu tahap proses pencucian ataupun efektivitas
keseluruhan pabrik (misal adanya pengotor di dalam batubara bersih).
d. Indikasi karakteristik distribusi kualitas batubara dikaitkan dengan berbagai fraksi
densitas, misalnya kadar abu, belerang, nilai bahang (kalor).
Kedua kegiatan ini selain sangat berguna bagi perencanaan pendirian suatu
pabrik pencucian batubara juga sangat diperlukan dalam mengevaluasi unjuk kerja
(performance) suatu pabrik yang telah bekerja, selain itu kedua analisis di atas juga
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh:
a. Evaluasi rinci untuk membuka tambang baru ataupun untuk rencana
pengembangan (ekspansi). Analisis dilakukan terhadap percontohan inti bor
(drillcore sample), percontoh bulk.
b. Data kualitas batubara harian, dari berbagai seam, berbagai titik di pabrik.
c. Data bagi perencanaan pabrik misalnya pengembangan peta air.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 146
5.3.1. Pemercontohan
Data yang diperoleh dari suatu analisis sangat tergantung pada mewakili
(representatif) atau tidaknya percontoh (sample) yang dianalisis. Terdapat berbagai
standar pemercontohan agar dapat diperoleh percontoh yang mewakili
(pembahasan secara rinci terdapat pada bab-bab sebelumnya). Beberapa faktor
penting yang patut diperhatikan pada saat melakukan pemercontohan batubara
adalah:
a. Pemilihan metode pemercontohan.
b. Pemilihan lokasi pemercontohan.
c. Pemercontohan dilakukan pada kondisi yang steady-state.
d. Jumlah percontoh harus cukup semua kebutuhan analisis.
e. Pemilihan metode mereduksi jumlah/berat percontoh.
f. Penomoran.
Berbagai pemercontohan standar telah diterbitkan oleh Negara-negara
pengekspor batubara, yang pada umumnya mementingkan agar jumlah (berat)
percontoh selalu cukup untuk dipakai pada analisis endap-apung maupun distribusi
ukuran (lebih baik berlebih daripada kekurangan).
Sampai saat ini belum ada kepastian berat percontoh maupun jumlah
increment yang diperlukan untuk analisis endap-apung. Rekomendasi dari ISO
(International Standard Organaization) adalah minimum 40 increment dari setiap
percontoh, meskipun nilai sangat tergantung pada kondisi percontoh, yang akhirnya
rekomendasi ini betul-betul hanya dipakai sebagai petunjuk (quideline) saja.
Dengan asumsi bahwa bentuk butiran-butiran batubara mendekati bola dan
keseluruhannya hamper sama besar densitas relatifnya 1,5 maka persamaan dapat
dipakai untuk menentukan berat percontoh:
P = 5,24 D
Dimana: P = berat percontoh dalam kg
D = diameter rataan dalam mm
Berat percontoh yang diberikan di atas adalah berat minimum dan harus
diperbesar apabila ternyata di dalam batubara terdapat material asing (pengotor)
seperti batu, shale. Pemercontohan terhadap recect harus dengan
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 147
memperhitungkan jumlah yang 50% lebih banyak. Menurut AS1661 (Australian
Standard) berat percontoh batubara yang disesuaikan dengan ukurannya dan tujuan
pemercontohan adalah seperti diberikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Berat Percontoh (Kg) Menurut AS 1661
5.3.2. Analisis Ukuran
Pengertian sieve umumnya dibedakan dengan pengertian screen. Yang
dimaksud dengan sieve adalah pengayak berukuran kecil yang umumnya dipakai di
laboratorium (skala laboratorium), sedang yang dimaksud dengan screen adalah
pengayak berukuran besar (skala insustri). Terdapat berbagai macam standar sieve
yang dikeluarkan oleh Canada, Inggeris, Perancis ataupun Jerman. Standar yang
banyak dipakai di Indonesia adalah standar Tyler dan ASTM.
Berbagai macam standar untuk melakukan (metode) dan cara pelaporan hasil
analisis ukuran (sieve analysis) telah diterbitkan, diantaranya ISO 2591, British
Standard Specification (BSS) 1796. American Society for Testing and Materials
(ASTM) E-11-70. Pada Tabel IV.2 diberikan pengayak yang umumnya dipakai.
Didalam tabel tersebut yang dimaksud dengan mesh adalah jumlah lubang
sepanjang 1 inch linier.
Hasil pengayakan dapat dilaporkan dengan cara membuat tabel maupun
dengan cara mengeluarkan pada kertas grafik. Pada dasarnya pelaporan
Fraksi ukuran (mm)
Uji komprehensif Kontrol
Raw coal Clean coal
Reject Clean coal
Reject
- 125 + 63 400 600 1200 200 400 - 63 + 31,5 100 150 300 50 100 - 31,5 + 16.0
25 35 70 15 35
-16.0+8.0 7 10 20 4 10 -8.0+4.0 3 4.5 9 2 5 -4.0+2.0 1.5 2.5 5 15 2.5 -2.0+0.5 1.0 1.5 3 1 1 -0.5 0.5 0.5 1 0.5 0.5
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 148
memberikan data hubungan antara ukuran partikel (sumbu horizontal) dengan
persen material tertampung di atas pengayak, atau persen material lolos suatu
ukuran (sumbu vertical). Selain itu pada sumbu vertical dapat juga dialurkan
kumulatifnya.
Apabila pelaporan dengan mengalurkan frekuensi kumulatif, maka kurva
frekuensinya (= f(x) ) dapat diperoleh dengan melakukan diferensial dari kurva
kumulatif (= F(x) ) atau sebaliknya kurva kumulatif diperoleh dengan melakukan
integral kurva frekuensi.
f (x) = dx
xdF )( atau F (x) oversize = 1 – F(x) undersize
Metode yang paling umum dipakai adalah mengalurkan kurva kumulatif, F(x),
sebagai sumbu tegak terhadap in x sebagai sumbu mendatar. Dengan cara ini
apabila distribusi partikel bersifata normal maka akan diperoleh garis lurus atau
garis yang hampir lurus. Percontohan batubara pada umumnya memberikan selang
ukuran yang lebar. Karakteristik ini bersama-sama dengan adanya pemecahan
alamiah.
Kominusi mekanikal dan heterogenitas batuan pembentuk mineral-mineral lain,
mengakibatkan distribusi ukuran menjadi tidak normal.
Fungsi distribusi Rosin-Rammler dinyatakan sebagai yang paling mendekati
untuk menyatakan distribusi, ukuran batubara sampai pada ukuran 50 mm.
Kumulatif persen oversize dinyatakan dengan persamaan:
F(x) = exp
n
x
x
−
1
Dimana:
F(x) = residue atau persen oversize pada ukuran minimum x, yaitu persen berat
tertampung pada ukuran x
x = ukuran lubang sieve, atau diameter partikel
x1 = konstanta selang ukura
n = konstanta distribusi ukuran (tanpa dimensi), menyatakan derajat dispersi
ukuran butir.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 149
Persamaan diatas dapat diubah menjadi persamaan garis lurus yaitu apabila
log [In 1/F(x)] dialurkan terhadap log x:
Log [In 1/F(x) ] = n log x – n log x 1
Pada kenyataannya persamaan Rosin-Rammler hanya berlaku untuk partikel
batubara yang berukuran kecil. Untuk partikel batubara yang berukuran lebih besar
maka sebaliknya dipakai persamaan Bennet yang merupakan modifikasi persamaan
Rosin-Rammler, yaitu:
R = 100 exp –
n
x
x
1
Disini R adalah persen oversize pada ukuran yang terkecil atau secara umum
adalah persen berat tertampung pada suatu sieve yang berukuran x. Selanjutnya x
disebut konstanta ukuran absolute dan n disebut konstanta distribusi ukuran.
Dengan mengambil nilai logaritma sebanyak dua kali maka persamaan Bennet akan
menjadi.
Log log R = n log x + c
Tabel 5.2
Standard Sieve Series
U.S.A.(1) TYLER (2) CANADIAN (3) BRITISH (4) FRENCH (6) GERMAN (7)
Standart Alternate Mesh Designation Standart Alternate Nominal
Aparture Nominal
One M.M No
125 mm106 mm100 mm 90 mm75 mm
5 4.24 4 3 1/2 3
125 mm 106 mm 100 mm 90 mm 75 mm
5 4.24 4 31/2 3
63 mm53 mm50 mm45 mm
37.5 mm
2 1/2 2.12 2 1 ¾ 1 1/2
63 mm 53 mm 50 mm 45 mm
37.5 mm
2 1/2 2.12 2 1 ¾ 1 ½
31.5 mm26.5 mm25.0 mm22.4 mm19.0 mm
1.05 .883 .742
31.5 mm 26.5 mm 25.0 mm 22.4 mm 19.0 mm
1 ¼ 1.06 1 1/8 ¼
25.0 mm
20.0 mm
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 150
16.0 mm13.2 mm12.5 mm11.2 mm
3/2 .530 ½ 1/16
.624 .525 .441
16.0 mm 13.2 mm 12.5 mm 11.2 mm
3/2 .530 ½ 1/16
18.0 mm 16.0 mm
12.5 mm
9.5 mm8.0 mm6.7 mm6.3 mm
3/8 5/16 .265 2/4
.371 2 ½ 3
9.5 mm 8.0 mm 6.7 mm 6.3 mm
3/8 5/16 .265 2/4
10.0 mm 8.0 mm 6.3 mm
5.6 mm
4.75 mm4.00 mm3.35 mm
No.3 ½ 4 5 6
3 ½ 4 5 6
5.6 mm
4.75 mm 4.00 mm 3.35 mm
No.3 ½ 4 5 6
3.35 mm
5
5.000
4.000
38 37
5.0 mm
4.0 mm
2.80 mm2.36 mm2.00 mm1.70 mm
7 8 10 12
7 8 10 12
2.80 mm 2.36 mm 2.00 mm 1.70mm
7 8 10 12
2.80 mm 2.40 mm 2.00 mm 1.68 mm
6 7 8 10
3.150
2.500 2.000 1.600
36 35 34 33
3.15 mm
2.5 mm 2.0 mm 1.6 mm
1.40 mm
1.18 mm1.00 mm
850 ρm
14 16 18 20
12 14 16 20
1.40 mm
1.18 mm 1.00 mm
850 ρm
14 16 18 20
1.40 mm
1.18 mm 1.00 mm
850 ρm
12 14 16 18
1.250
1.000
32 31
1.25 mm
1.0 mm
710 ρm
600 ρm500 ρm
25 30 35
24 28 32
710 ρm
600 ρm 500 ρm
25 30 35
710 ρm
600 ρm 500 ρm
22 25 30
.800
.630
.500
30 29 28
800 ρm
650 ρm
500 ρm 425 ρm
355 ρm
300 ρm
40 45 50
35 42 48
425 ρm
355 ρm
300 ρm
40 45 50
420 ρm
355 ρm
300 ρm
36 44 52
.400
.315
27 26
400 ρm
315 ρm
250 ρm212 ρm
180 ρm
60 70 80
60 65 80
250 ρm 212 ρm
180 ρm
60 70 80
250 ρm 212 ρm
180 ρm
60 72 85
.250
.200
.160
25 24 23
250 ρm
200 ρm
160 ρm 150 ρm 125 ρm 105 ρm
90ρm
100 120 140 170
100 120 140 170
150 ρm 125 ρm 105 ρm
90ρm
100 120 140 170
150 ρm 125 ρm 105 ρm
90ρm
100 120 140 170
.120
.100
22 21
125 ρm 105 ρm
90ρm
75 ρm
63 ρm
200 230
200 250
75 ρm
63 ρm
200 230
75 ρm
63 ρm
200 240
.080
.063
20 19
80 ρm
71 ρm 63 ρm 63 ρm
53 ρm
45 ρm
38 ρm
270 325 400
270 325 400
53 ρm
45 ρm
38 ρm
270 325 400
53 ρm
45 ρm
300 350
.050
.040
15 17
50 ρm 45 ρm 40 ρm
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 151
Persamaan terakhir yang linear ini, yaitu antara log R dengan log x
menghasilkan kemiringan sebesar n. Nilai limit untuk n adalah nol dan tak
berhingga. Nilai n yang mendekati satu menunjukan bahwa seluruh butiran hamper
seragam ukurannya. Sebaliknya bila n mendekati nol maka distribusi ukuran akan
lebar.
Pada gambar 5.48 dilukiskan kurva berbagai distribusi ukuran dari berbagai
percontoh batubara. Kurva ini sangat penting dalam mendisain suatu pabrik
pencucian batubara. MIsalnya, dengan menetukan bahwa batas ukuran (cut size)
adalah 5 mm yaitu ukuran di atas mana batubara harus dicuci dengan cara
konsentrat gravitasi partikel kasar, maka hamper 60% dari batubara yang
digambarkan pada kurva C harus dicuci dengan menggunakan jig, sedang sisanya
sebesar 40% harus dicuci dengan peralatan yang mampu menangani partikel haluis
yaitu meja goyang (shaking table) ataupun sel-sel flotasi. Apabila terhadap batubara
ini dilakukan pengecilan ukuran maka perbandingan di atas juga akan berubah.
Gambar 5.48 Kurva Distribusi Ukuran
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 152
Gambar 5.49 Sieve Series
5.3.3. Analisis Endap-Apung (Sink-Float Analysis)
Didalam uji ini batubara pada fraksi ukuran tertentu dipisah-pisahkan
berdasarkan densitasnya. Prinsip pemisahannya adalah batubara berukuran + 0,5
mm (28 mesh) dicelupkan kedalam larutan organik berat dengan densitas tertentu.
Fraksi yang terapung kemudian dipisahkan untuk selanjutnya dicelupkan kembali
kedalam larutan berat yang densitasnya lebih besar (+0,05) daripada yang pertama.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 153
Demikian seterusnya dimulai dari densitas yang paling rendah (biasanya 1,2)
sampai yang terbesar (biasanya 2,0).
Densitas medium pemisah ditentukan dengan hydrometer. Pada umumnya
medium larutan organik yang sering dipakai pada uji endap-apung adalah
perchloroethylene, densitas relatif 1,60 yang dapat diencerkan oleh petroleum spirit
(densitas relatif 0,7), white spirit (densitas relatif 0.77), naphta (densitas relatif 0,7).
Ataupun toluene (densitas relatif 0,86) dan untuk membuatnya lebih berat dapat
ditambahkan bromoform (densitas relatif 2,9). Tetrabromoethane (densitas relatif
2,96).
Selain liquid di atas, likuid lain yang juga sering dipakai adalah carbon
tetrachloride, acetylene tetrabromide, pentachloroetnane. Pemakaian likuid ini cukup
berbahaya, sering diperlukan ventilasi ruangan yang sangat baik. Untuk keperluan
pekerjaan skala besar larutan organik zinc chloride dapat dipakai pada densitas
relatif 1,3 sampai 1,75 karena di atas nilai ini viskositasnya menimbulkan masalah.
Untuk pengujian ketercucian (washbility), interval densitas relatif (untuk
selanjutnya dr = densitas relatif) yang umum dipakai adalah 0,05 untuk selang dari
1,25 sampai 1,7 atau 0,1 untuk dr yang lebih besar. Hasil pengujian yang diperoleh
kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan pengujian. PAda umumnya dibuat suatu
tabel fraksi individu (dalam persen berat), kemudian dari setiap fraksi ini dilakukan
analisis kadar abu agar kemudian dapat ditentukan kadar abu total.
5.3.4. Perlengkapan Dan Prosedur Uji Endap-Apung
Kriteria utama yang dipakai untuk pemilihan alat agar dicapai hasil yang
memuaskan adalah:
a. Pengujian tidak dipengaruhi oleh media pemisah
b. Convenient dan aman untuk dipakai
c. Mudah pengiprasiannya
Untuk material berukuran + 0,5 mm, alat yang dipakai uji endap-apung terdiri
dari suatu keranjang (disebut keranjang percontoh) berbentuk segiempat yang
terbuat dari kain dan sebuah tangki (disebut tangki larutan) terbuat dari baja tahan
karat berbentuk empat persegi panjang yang dibagi atas beberapa segmen
(Gambar 5.50). Di bagian bawah tangki ini dibuat saluran sedemikian rupa untuk
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 154
mengalirkan gas/uap larutan pemisah, yang dihisap untuk kemudian dialirkan keluar
ruangan kedalam segmen-segmen ini dimasukan larutan pemisah yang dr-nya
berbeda-beda,naik secara teratur.
Gambar 5.50 Tangki Kelarutan dan Keranjang Contoh
Percontohan batubara dimasukan ke dalam keranjang percontohan kemudian
dicelupkan kedalam satu segmen (densitas larutan pemisah terkecil) ditangki
larutan. Fraksi yang terapung dikeluarkan sedikit demi sedikit sampai tidak ada lagi
yang terapung. Bagian yang terendam diangkat bersama-sama dengan tangki
percontoh, dicuci dengan pelarut khusus, lalu ditiriskan (diteteskan), agar menjadi
kering. Setelah itu dicelupkan ke segmen lain dengan densitas yang lebih besar.
Untuk fraksi material yang lebih kecil dari 0,5 mm, percobaan dilakukan dengan
memakai gelas beaker (Gambar 5.52). Perbedaannya adalah bahwa di sini fraksi
yang dikeluarkan adalah yang tenggelam. Pada umumnya berat percontoh untuk
percobaan pada fraksi ukuran halus berkisar 100 sampai 200 gram. Percobaan
disini lebih sulit dilakukan karena diperlukan waktu yang lebih lama untuk
mengendapkan batubara berukuran -0,5 mm.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 155
Gambar 5.51 Pengujian Endap-Apung untuk Fraksi – 0,5 mm
5.3.5. Pembuatan Dan Kegunaan Kurva Washability
Batubara ROM (run of mine) terdiri dari barbagai macam material yang
densitasnya juga bervariasi dari yang terkecil sampai terbesar, dengan komposisi
berbeda-beda.
Kurva ketercucian menunjukan hubungan antara abu dalam suatu fraksi ukuran
dengan jumlah material yang dapat terapungkan atau terendapkan pada suatu
densitas relatif tertentu. Untuk membuat kurva-kurva ketercucian diperlukan suatu
tabel yang menunjukan hubungan antara persen berat terapungkan dengan kadar
abunya. Pada Tabel 5.3 dicontohkan data perhitungan uji endap-apung. Didalam
Tabel 5.3 tersebut terdapat 12 kolom.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 156
Kolom 1 :
Kolom ini memberikan fraksi densitas relatif. Nilai-nilai limit maupun selangnya
ditentukan dari percobaan.
Kolom 2 :
Persen berat setiap fraksi densitas relatif. Kolom ini diperoleh dengan cara
membagi berat setiap fraksi densitas dengan jumlah berat seluruh fraksi densitas
(bukan berat percontoh). Perbedaan berat percontoh dengan jumlah berat seluruh
fraksi densitas dapat dipakai untuk memeriksa ketelitian uji ini.
Kolom 3 :
Kadar abu pada setiap fraksi densitas relatif. Kadar abu dianalisis
dilaboratorium dengan metode standar tertentu.
Kolom 4:
Kadar abu pada (dalam persen) di fraksi terapung pada densitas pemisahan
tertentu terhadap berat percontoh total. Kadar di kolom ini diperoleh dengan cara,
misal untuk fraksi densitas relative 1,30 – 1,40 :
(kolom 2 x Kolom 3) / 100 = 20,5 x 5,1 / 100 = 1,05 %
Penjumlahan nilai-nilai yang terdapat di kolom 4 ini akan menghasilkan kadar
abu percontoh (27,62 %). Nilai ini dapat dicek kembali dengan kadar abu yang
diperoleh dengan cara menganalisis langsung percontoh. Apabila perbedaannya
terlalu besar berarti ada kesalahan dalam menghitungnya.
Kolom 5 :
Kumulatif berat abu (dalam persen). Kolom ini diperoleh dengan cara
menjumlahkan nilai pada kolom 4 secara kumulatif. Nilai pada kolom ini menunjukan
berat abu, sebagai bagian dari total percontoh, yang akan diperoleh pada densitas
pemisahan tertentu, sebagai contoh berat abu (dinyatakan dalam persen) yang akan
diperoleh pada fraksi terapung dr 1,40 adalah 1,60%.
Kolom 6 :
Kumulatif persen berat terapung. Kolom ini diperoleh dengan menjumlahkan
angka-angka pada kolom 2. Nilai pada kolom ini menunjukan persen berat yang
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 157
akan diperoleh pada densitas pemisahan tertentu, sebagai contoh apabila
pemisahan dilakukan pada dr 1,4 akan diperoleh fraksi terapung sebanyak 59,61 %.
Kolom 7 :
Persen kadar abu dari kumulatif fraksi yang terapung, yaitu persen kadar abu
yang akan diperoleh pada fraksi terapunglan pada densitas pemisahan
tertentu.Misal pada dr 1,40 :
(Kolom 5 / kolom 6) x 100 = (1,60 / 59,61) x 100 = 2,7 %
Kolom 8 :
Berat abu (dalam persen berat) didalam fraksi terendapkan pada densitas
pemisahan tertentu. Nilai di kolom ini diperoleh dengan cara, misal pada dr 1,4 :
(Jumlah Kolom 4) – Kolom 5 = 27,62 – 1,60 = 26,02 %
Kolom 9 :
Kumulatif persen berat terendapkan, yaitu nilai kumulatif persen berat dari
fraksi-fraksi yang terendapkan pada setiap densitas pemisahan. Pada densitas
pemisahan 1,40 akan diperoleh 59,61% terapung (Kolom 6) maka kumulatif yang
terendapkan :
100 – Kolom 6 = 100 – 59,61% = 40,39 %
Kolom 10 :
Persen kadar abu dari kumulatif fraksi yang terendapkan, yaitu persen kadar
abu yang akan diperoleh pada fraksi tenggelam pada densitas pemisahan tertentu.
Misal pada dr 1,40 :
(Kolom 8 / Kolom 9) x 100 = (62,02/40,39) x 100 = 6 4,4 %
Kolom 11:
Densitas relatif
Kolom 12 :
Persen berat percontoh yang densitas relatifnya terletak antara +0,10 dan -0,10
dari densitas pemisahan. Pada densitas pemisahan 1,40, maka:
Kolom 6 (dr = 1,50) – Kolom 6 (dr = 1,30) = 64,27 – 39,11 = 25,16 %
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 158
Tabel 5.3 Contoh Data Ketercucian
Direct
Cumulative Floats
Cumulative sinks
±0.1 r.d distribution
Relative density
(r.d)
fraction
Wt %
Ash %
% Wt
Of ash Of total
Cum
Wt. of Ash %
Wt %
Ash %
Sink
Wt. of Ash %
Wt %
Ash %
r.d
Wt %
Z = x + y/2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 100 27.62
1.30 39.11 1.4 0.55 0.55 39.11 1.41 27.07 60.89 44.5 1.30 59.61 19.55 1.30 – 1.40 20.50 5.1 1.05 1.60 59.61 2.68 26.02 40.39 64.4 1.40 25.16 49.36 1.50 – 1.60 4.66 13.8 0.64 2.24 64.27 3.48 25.38 35.73 71.0 1.50 7.05 61.94 1.50 – 1.60 2.39 23.1 0.55 2.79 66.66 4.19 24.83 33.34 74.5 1.60 3.76 65.47 1.60 – 1.80 2.73 37.5 1.02 3.81 69.39 5.49 23.81 30.61 77.8 1.70 2.73 68.03 1.80 – 2.00 1.82 50.7 0.92 4.73 71.21 6.64 22.89 28.79 79.5 1.80 2.27 70.30
- 2.00 28.79 79.5 22.89 27.62 100.00 27.62 - - - 1.90 1.82 85.61
Total I00.00 27.62
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 159
Secara umum, untuk dapat menggambarkan karakteristik suatu batubara yang
dikaitkan dengan sifat-sifat ketercuciannya maka dapat dialurkan lima jenis kurva,
yaitu:
(1). Kurva primer (primary curve) atau kurva elementary (elementary curve) atau
kurva abu instantaneous (instantaneous ash curve). Kurva ini diperoleh dengan
cara mengalurkan. Kolom 6 (kumulatif terapung) yang ditambahkan dengan
setengah persen berat fraksi densitas di atasnya pada sumbu tegak di sebelah
kiri dan kolom 3 (kadar abu ) sebagai sumbu mendatar. Sumbu Z = X + Y/2 di
sini ; X adalah kumulatf persen terapung dan Y adalah persen berat fraksi
diatas X.
Kurva abu instantaneous ini bertujuan untuk menggambarkan kecepatan
perubahan kadar abu pada berbagai densitas relatif. Tujuan adalah untuk
mengetahui kadar abu terbesar di dalam partikel batubara (dirtiest particle).
(2). Kurva kumulatif terapung (cumulative floats curve), mengalurkan kolom 6
(kumulatif terapung) pada sumbu tegak di sebelah kiri dan kolom 7 (kadar abu)
pada sumbu mendatar (kurva B).
(3). Kurva kumulatif tenggelam (cumulative sinks curve), mengalurkan kolom 9
(kumulatif tenggelam) pada sumbu tegak di sebelah kanan dan kolom 10
(kadar abu) pada sumbu mendatar (kurva C).
(4). Kurva densitas relatif – yield, mengalurkan kolom 6 pada sumbu tegak sebelah
kiri dan densitas relative (kolom 1) pada sumbu mendatar (batas atas dari
selang dr). Perhatikan kurva D.
(5). Kurva distribusi plus atau minus 0,1 densitas relatif, mengalurkan kolom 12 pada
sumbu tegak sebelah kiri dan kolom 11 (densitas relatif) di sumbu mendatar.
Perhatikan kurva E.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 160
Gambar 5.52 Kurva Ketercucian (Washability Curves)
5.3.6. Interpretasi dan Pemakaian Kurva-kurva Keter cucian
Dengan mengasumsikan bahwa pemisahan dapat berlangsung dengan
sempurna, artinya semua material berdensitas lebih besar dari densitas pemisahan
akan terendapkan dan material yang lebih kecil dari densitas pemisahan akan
terapung, kurva kumulatif terapung (kurva b) akan menunjukan persentasi teoritis
batubara bersih yang akan diperoleh (perolehan = yield) pada berbagai kadar abu,
sedang kurva kumulatif tenggelam (kurva c) akan menunjukan kadar abu di dalam
fraksi reject (terendapkan) berikut dengan fraksi baratnya. Sebagai contoh (Gambar
5.52).
Diinginkan kadar abu di dalam batubara bersih = 6%; berdasarkan kurva b
maka perolehan teoritis batubara bersih adalah 70% yang berarti 30% akan menjadi
reject dengan kadar abu 80%. Berdasarkan kurva d (kurva densitas relatif – yield)
maka pemisahan akan sangat baik bila dilakukan pada densitas 1,88.
Kurva elementary (kurva primer, kurva abu instantaneous) selain
menggambarkan kondisi batubara awala pada berbagai limit kadar abu juga
menggambarkan perbandingan dari impurities bebas dengan middling. Mudah
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 161
tidaknya pencucian batubara awal untuk mendapatkan perolehan teoritis dan kadar
abunya sangat tergantung pada jumlah middling yang ada, yang akhirnya
menentukan bentuk karakteristik kurva. Pada kurva elementary ini dapat ditunjukan
kadar abu yang terbesar untuk batubara bersih (dirtiest clean-coal particle) yang
saling berhimpit dengan kadar abu terkecil untuk reject (cleanest reject particle).
Sebagai contoh pada gambar 5.53 kadar abu terbesar di dalam batubara bersih
adalah 50 %.
Metode untuk mengalurkan kurva elementary sering dirasakan tidak tepat
terutama di daerah di mana arah kurvanya berubah dengan cepat. Di daerah ini
diperlukan beberapa titik ekstra yang dapat diperoleh dari perhitungan kurva
kumulatif terapung yang digambarkan pada skala yang lebih besar agar mudah
membacanaya.
Kurva distribusi densitas relatif plus atau minus 0,1 menunjukan secara
langsung berat material yang densitasnya terletak di anatara plus/minus 0,1
densitas pemisahan. Besar kecilnya material ini (disebut near density material)
menggambarkan sulit tidaknya pemisahan dilakukan. Makin kecil near density
material berarti pencucian dapat dilakukan dengan mudah.
Pada Tabel 5.53, ditunjukan skala yang menunjukan tingkat kesulitan relative
pada pencucian batubara dengan jig pada berbagai banyaknya near gravity
material.
Tabel 5.4 Skala Tingkatan Kesulitan
Berat yang berada diantara dr +
0,1
Masalah
Pemisahan
0 – 7
7 – 10
10 – 15
15 – 20
20 – 25
di atas 25
Mudah
Agak sulit
Sulit
Sangat sulit
Luar biasa sulit
?
Apabila digunakan jig sebagai alat pencuci maka near density material harus
serendah mungkin. Andaikan untuk suatu batubara bersih telah ditentukan kadar
abunya dan dipilih jig sebagai alat pencuci. Agar diperoleh near density material
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 162
serendah mungkin maka pencucian yang efisien harus dilakukan pada densitas
yang agak tinggi (biasanya near density material akan rendah pada densitas yang
relative tinggi), akibatnya kadar abu pada batubara bersih akan menjadi tinggi juga.
Lain halnya apabila dipilih pencucian dengan dense-medium, pemisahan ideal
umumnya dapat dicapai dan near density material yang diperoleh juga cukup
rendah. Pada kondisi ini, kurva distribusi densitas relatif plus atau minus 0.02 dapat
dipakai sebagai pembanding kesulitan pencucian yang dihadapi.
Pada Gambar 5.53 apabila densitas pemisahan dipilih pada S = 1,88 maka
persentasi batubara yang densitasnya terletak di antara 1,98 (S+0,1) dan 1,78 (S-
0,1) dapat dibaca secara langsung pada absis yaitu 1,8%. Nilai ini cukup rendah
sehingga pencuciannya dapat memakai JIG (baum feldspar jig).
Kurva-kurva pada Gambar 5.54 menggambarkan jumlah middling yang tidak
terlalu banyak (moderate). Kadar abu pada fraksi yang lebih ringan, ternyata lebih
rendah dari pada ratanya, sehingga dua produk pemisahan dapat diperoleh secara
langsung untuk memperoleh batubara bersih dengan kadar abu 6-7%.
Kurva ketercucian yang menggambarkan bahwa pencucian mudah dilakukan
dilkuskan pada Gambar 5.53. Kurva elementary di sini dengan mengecilnya
densitas relative (sumbu x) berubah dengan lebih tajam (hamper tegak lurus) dan
daerah mendatarnya cukup panjang, selain itu kurva distribusi dr + 0, 1 menunjukan
bahwa pemisahan yang sangat efisien dapat dilakukan pada densitas berapa saja di
atas 1,5.
Pada Gambar 5.54 dilukiskan kurva-kurva ketercucian batubara yang
pencuciannya sulit dilakukan. Kurva-kurva disini sangat berbeda dengan yang
dilukiskan pada Gambar 5.53 Kemiringan berubah secara teratur dengan
berubahnya densitas relatif, yang menggambarkan adanya jumlah middling yang
cukup besar. Kenyataan ini makin jelas pada kurva distribusi dr + 0,1 di mana angka
yang ditunjukan cukup tinggi. Sebagai gambaran apabila diinginkan kadar abu di
dalam batubara bersih adalah 8% maka:
Yieid teoritisnya adalah 60% (Reject 40%). Kadar abu partikel terkotor di
batubara bersih dan partikel terbersih di reject adalah 16,8%. Kadar abu di dalam
reject adalah 50%. Densitas relative pemisahan 1,41 dengan near density material
51%.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 163
Rendahnya kadar abu di dalam reject menunjukan kehilangan batubara
sehingga usaha untuk mengambil kembali fraksi middling (yang terbawa bersama-
sama reject) perlu dilakuakan.
Kadar abu minimum di dalam reject yang diizinkan adalah 65%. Dari kurva
kumulatif tenggelam (kurva c), berat reject teoritis adalah 22%. Yield dari produk
middling intermediate adalah 18% (40-22); densitas relatif pemisahan yang kedua
adalah 1,79 dan jumlah material near density adalah 6,8%.
Kadar abu didalam partikel middling akan berkisar antara 16,8% sampai 49%,
tetapi kandungan abu di dalam produk ini tidak dapat diperoleh dari kurva secara
langsung melainkan harus dihitung dengan berdasarkan neraca (keseimbangan)
abu.
Andaikan kadar abu didalam middling adalah A%, maka berat abu (yang
dinyatakan dalam persentasi terhadap batubara koror total) di dalam batubara
bersih adalah (60 x 8/100)% = 48%, di dalam middling adalah (18 x A/100)% =
0,18A % dan didalam reject adalah (22 x 65/100)% = 14,30%.
Kandungan abu di dalam batubara kotor yang diperoleh dari kurva kumulatif
terapung (pada 100% terapung) adalah 25% sehingga dengan memperhatikan berat
abu yang konstan yaitu berat abu di dalam batubara kotor harus sama besar dengan
berat abu di alam produk-produk pencucian, maka:
4,80 + 0,18A + 14,30 = 25,0 sehingga A = 32,8
Dengan demikian kadar abu di dalam middling adalah 32,8% yang artinya
middling ini perlu diolah kembali, baik dengan cara diperkecil ukurannya ataupun
dipakai untuk keperluan lain yang masih dapat menerima kadar abu yang tinggi.
Adanya sejumlah besar material near density mengakibatkan pemakaian Baum
jig menjadi tidak mungkin demikian juga halnya dengan dense-medium process.
Pada kemungkinan yang kedua, dimana jumlah material near densitynya cukup
rendah. Baum jig dapat dipakai, tetapi hasil pencuciannya akan cukup berbeda
dengan yang dihitung secara teoritis. Dengan demikian terhadap batubara ini akan
lebih sesuai bila dipakai pemisahan dense-medium yang akan menghasikan tiga
produk yaitu batubara bersih, middling, dan reject. Terhadap middling dapat
dilakukan crushing untuk kemudian diproses kembali atau dipakai apa adanya
(batubara dengan kadar abu tinggi).
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 164
Gambar 5.53 Kurva Ketercucian Batubara yang Pencuciannya Mudah Dilakukan
Gambar 5.54 Kurva Ketercucian Batubara yang Pencuciannya Sulit Dilakukan
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 165
5.3.7. Kurva Partisi (Partition Curves)
Didalam pencucian batubara, kurva partisi adalah suatu metoda untuk
menganalisis efesiansi pemisahan suatu alat yang tidak berhubungan dengan data
ketercuciannya. Tetapi metode dengan kurva partisi ini hanya berlaku untuk
pencucian yang menggunakan metoda perbedaan densitas relatif, sehingga
pencucian yang memakai proses flotasi tidak dianalisis dengan cara ini. (Dengan
cara yang sama, cara ini dapat pula dipakai pada classifier tetapi tidak dibahas pada
kursus ini).
Didalam materi ini akan dibahas penggunaan dan pembuatan kurva partisi.
Metode ini pertama kali diusulkan oleh TROMP yang kemudian disebut kurva
Tromp, nama lain yang sering dipakai adalah kurva distribusi (Distribution Curve),
kurva kesalahan (error curve), kurva perolehan kadar (grade recovery curve).
Di dalam setiap proses pencucian akan selalu terjadi salah penempatan
(misplacement), yang terutama disebabkan oleh adanya material near density.
Dengan demikian kesalahan pencucian akan makin besar dengan makin besarnya
jumlah material near density.
Untuk membuat kurva Tromp diperlukan perhitungan koefisien partisi (atau
faktor distribusi). Untuk memudahkan pembuatan kurva ini, pada Tabel 5.5,
dicantumkan data ketercucian dua produk pencucian, yaitu batubara bersih dan
reject.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 166
Tabel 5.5
Data Ketercucian Dua Produk Pencucian
Relative
Density
% Weight % of feed Calculated
feed
Mean
r.d.
Partition
coefficient
Clean
coal
reject Clean
coal
Reject
1 2 3 4 5 6 7
-1,30 55.52 0.27 39.03 0.08 39.11 - 0.2
1.30-1.40 28.99 0.40 20.38 0.12 20.50 1.35 0.6
1.40-1.50 6.34 0.67 4.46 0.20 4.66 1.45 4.3
1.50-1.60 2.99 0.98 2.10 0.29 2.39 1.55 12.1
1.60-1.70 1.34 155 0.94 0.46 1.40 1.65 32.9
1.70-1.80 0.67 2.89 0.47 0.86 1.33 1.75 64.7
1.80-1.90 0.20 2.56 0.14 0.76 0.90 1.85 84.4
1.90-2.00 0.15 2.73 0.11 0.81 0.92 1.95 88.0
2.00- 3.80 87.95 2.67 26.12 28.79 - 90.7
100.00 10000 70.30 29.70 100.00
Kolom 1 : Fraksi densitas relative. Angka-angka di sini diperoleh dari uji
enadap- apung.
Kolom 2 : Persen berat fraksi batubara bersih.
Kolom 3 : Persen berat fraksi reject.
Kolom 4 : Persentasi dari umpan terhadap batubara bersih (kolom 2 x %
perolehan batubara bersih)/ 100
Kolom 5 : Persentasi dari umpan terhadap reject (kolom 3 x % perolehan
reject)/100
Pada fraksi dr 1,60-1,70 : (1,55 x 29,70)/100 = 0,46%
Kolom 6 : Hitungan (calculated) persen berat dari fraksi densitas relative di
dalam umpan awal.
Persen berat pada fraksi densitas 1,60-1,/0 didalam umpan awal
adalah : kolom 4 + kolom 5 = 0,94 + 0,46 = 1,40%
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 167
Kolom 7 : Densitas relative rataan untuk setiap fraksi densitas.
Untuk fraksi densitas 1,60-1,70 nilai rataanya adalah 1,65
Kolom 8 : Koefisien partisi (=faktor partisi atau faktor distribusi)
Nilai disini adalah persen dari setiap fraksi densitas yang dilaporkan
terhadap reject.
Koefisien partisi untuk densitas rataan 1,65 adalah:
(kolom 5 / kolom 6) x 100 = (0,46 / 1,40 x 100 = 32,9%
Perhatikan kurva partisi pada Gambar 5.55 Didalam gambar ini kurva partisi
dibuat dengan cara mengalurkan nilai densitas rataan (kolom 7) pada sumbu absis
(sumbu x) terhadap koefisien partisi (kolom 8) pada sumbu ordinat (sumbu y), Kurva
partisi dapat pula dibuat dengan cara dibalik yaitu memutar pada angka 50%
sehingga nilai yang terkecil akan terletak di bawah. Apabila kurva partisi dibuat
dengan mengatur agar jarak (skala) pada sumbu x sedemikian sehingga 1 cm
adalah sama dengan 0.1 densitas relatif dan pada sumbu y sedemikian rupa
sehingga jarak 1 cm adalah sama dengan nilai 2% maka luas daerah di bawah
kurva dalam satuan cm2 dikenal dengan nama daerah kesalahan (=error area).
Densitas partisi, dp, adalah densitas relatif pada mana koefisien partisinya
50%. Pada densitasnya relative ini pemisahan terjadi dengan baik yaitu 50% akan
tertangkap sebagai batubara bersih dan 50% sisanya sebagai reject.
Nilai probable erroe, epm, ditentukan dari :
E p m = (d75 – d25) / 2
Dan pada Gambar 5.54 nilainya adalah o.105. nilai ini dikenal dengan sebutan
ecart probable moyen (epm), dan nilainya memberikan indikasi kuantitas kesalahan
yang terjadi pada densitas pemisahan tertentu.
Nilai imperfeksi (= imperfection), 1, untuk proses basah ditentukan dari :
)1.( −
=pd
epmI
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 168
Pada Gambar 5.54 nilainya adalah 0,105/(1,7-1) = 0.150. Nilai imperfeksi untuk
proses kering tidak didefinisikan oleh ISO tetapi logika nilainya haruslah epm/(dp).
Gambar 5.55
Kurva Partisi Ideal dan Tak Ideal
Kurva partisi tidak bebas dari karakteristik batubara kotor. (Ekor) kurva baik
yang terletak di atas maupun yang terletak di bawah berubah (bervariasi) tidak
hanya dengan macam/jenis separator yang dipakai, tetapi juga dengan jenis
batubaranya. Jelas sekali bahwa friability batubara sangat mempengaruhi bentuk
ekor.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 169
Gambar 5.56
Kurva Partisi
Pada umumnya bagian tengah kurva hampir mendekati garis lurus karena
berkaitan dengan zona frekuensi tinggi untuk kurva Gaussian normal. Pada
umumnya kurva tengah terletak di antara nilai d25 dan d75, konsekuensinya nilai epm
untuk kurva kumulatif yang mengikuti distribusi normal, akan tidak tergantung
(independent) pada karakteristik batubara kotor, sedangkan daerah kesalahan yang
berhubungan dengan bentuk ekor kurva akan dipengaruhi oleh keadaan alamiah
batubara kotor. Daerah kesalahan bebas dari kerugian bahwa pemisahan pada
densitas yang tinggi akan menghasilkan koefisien partisi yang rendah sehingga
diperlukan selang densitas yang cukup lebar. Untuk suatu ukuran tertentu, nilai
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 170
probable error. Akan naik dengan naiknya nilai densitas partisi (dp) dan akan juga
naik dengan berkurangnya ukuran batubara kotor. Untuk proses basah kenaikan ini
sebanding dengan (dp – 1), akibatnya istilah imperfeksi (imperfection) merupakan
suatu ukuran efisiensi pemisahan dan nilainya tidak tergantung pada densitas
partisi.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 171
BAB VI PEMANFAATAN BATUBARA
6.1. PEMANFAATAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR
Batubara dapat dibakar dengan tiga cara: di unggun tetap (fixed bed), di
unggun terfluidakan (fluidized bed) dan pulverized atau di entrained bed. Ketiga
sistem pembakaran batubara tersebut dibedakan atas dasar kinematika partikel.
Dalam fixed bed, partikel dan gas bergerak secara counter flow. Keadaan
partikel bisa diperkirakan dengan baik sehingga memudahkan dalam pemodelan.
Dalam fluidized bed, partikel teraduk dengan baik dan kelakuan partikel lebih sulit
ditentukan/diperkirakan. Dalam entrained bed, partikel bergerak dengan cepat
bersama-sama dengan gas, partikel-partikel dan gas yang mengelilinginya
cenderung bergerak bersama-sama.
6.1.1. Pembakaran Dalam Unggun Tetap (Fixed Bed Com bustion)
Dalam semua stokers, bilamana batubara dipanaskan, akan mengeluarkan air
dan volatile matter-nya. Residu padat, air dan volatile matter yang lepas, dan udara
pembakaran bereaksi dengan cara-cara yang berbeda. Tergantung pada konfigurasi
aliran. Ada tiga pola dasar cara pengumpanan batubara dan udara yang telah
dikembangkan. Tiga pola tersebut adalah Overfeed (Spreader), Underfeed,
Crossfeed (Vibrating).
6.1.2. Pulverized Coal Combustion
Pada pembakaran pulverized coal partikel-partikel batubara harus cukup halus
agar bisa dimasukan oleh udara pembakaran. Ukuran batubara untuk pembakaran
bahan bakar pulverized adalah -200 mesh (-74 um) dengan jumlah partikel batubara
berukuran -200 mesh semakin banyak dari 65-70% untuk lignit dan sub-bituminous
yang mudah terbakar sampai 80-85% untuk batubara bituminous. Untuk menjaga
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 172
nyala api yang stabil dan mencegah berbaliknya ke bitner. Batubara harus diinjeksi
kedalam tanah pada kecepatan yang paling tinggi sekitar 15 m/detik.
6.1.3. Slurry Firing
Pembakaran dalam bentuk slurry bertujuan agar bahan bakar lebih mudah
ditransportasikan, disimpan an digunakan dibandingkan dalam bentuk padat. Bahan
bakar dalam bentuk slurry ini diantaranya coal-water mixtures (CWM), Coal Water
Fuel (CWF) dan coal-oil mixtures (COM).
A. Coal-Water Mixtures (CWM)
CWM merupakan campuran antara batubara berukuran halus dan air dengan
perbandingan tertentu, serta dengan penambahan aditif tertentu untuk menjaga
kestabilan fluida agar batubara tidak cepat mengenadap. Tujuan utama CWM
adalah agar dapat ditransportasikan biaya transportasi batubara dalam keadaan
padat. Yang perlu diperhatikan dalam CWM ini adalah dalam masalah penyimpanan
yang membutuhkan tempat khusus, kestabilan fluida dalam waktu tertentu, masalah
dewatering baik secara termal maupun mekanik dan masalah kebersihan dalam
pembakaran.
B. Coal-Oil Mixtures (COM)
Pada saat krisis minyak terjadi, para ahli berusaha menemukan bahan bakar
yang dapat menggantikan Bunker C. Oil atau Fuel No.6. Penemuan tidak hanya
didasarkan pada kemampuan teknologi saja namun harus dibuktikan secara
ekonomis bahwa bahan bakar pengganti ini memang ekonomis lebih murah dari
Bunker C. Oil. Salah satu penemuan ini adalah Coal Oil Mixture (COM). Beberapa
proses dilakukan sebagai berikut:
1. Proses Ultrasonic
Proses ini dikembangkan oleh Coal Liquid International of USA dengan prinsip
dasar sebagai berikut: Batubara digerus dalam pulverizer sampai ukuran 2000
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 173
mesh. Dengan komposisi batubara gerus 50 %, Bunker C Oil 40 % dan air tawar 10
%, dimasukan dalam mixing tank dan diaduk. Dipergunakan air karena air
mempunyai kemampuan pembakaran (combustion capability). Adukan COM ini
belum stabil, oleh sebab itu dialirkan melalui ultrasonic device yang dikembangkan.
Ultrasonic berfungsi untuk melepas molekul air dari batubara kemudian diselimuti
oleh Bunker C. Oil. Di alam alat ultrasonic, butiran-butiran sangat kecil, sehingga
tidak terjadi agresi pada butiran-butiran itu. Setelah melalui proses ultrasonic, COM
yang dihasilkan menjadi stabil dan dapat disimpan dalam tangki penyimpanan yang
dilengkapi dengan pemanas stabilisasi yang dilakukan oleh alat ultrasonic ini
biayanya sangat minimum, kurang dari satu sen dollar per million Btu.
Ini dapat memecahkan masalah bahan bakar yang menunjukan stabilitas statis
dan stabilitas dinamis. Stabilitas statis adalah kemampuan campuran itu (COM)
untuk tetap homogen, baik ketika ditrabport ataupun ketika dalam penyimpanan
sampai diperlukan. Stabilitas dinamis adalah ketentian retensi bahan bakar (COM)
ketika mengalir melalui pipa pembakaran.
2. Proses Umum
Pada proses ini batubara yang sudah digerus, Bunker C. Oil. Air dan additive
(zat penambah) diaduk secara mekanis di dalam tangki campur (mixing tank)
dengan cara agitasi. Adukan yang selesai dan sudah stabil dialirkan ke tanki
penyimpan.
Aditif ini berupa cairan (surface active agent = SAA). Molekul surface active
agent ini pada satu sisi bersifat hydrophilic, affinitas terhadap air, baik, sedangkan
sisi satunya bersifat hydrophotic. Sifat SAA ini seperti sabun, disatu pihak molekul
sabun dapat membersihkan minyak dari permukaan, tetapi juga dapat berbusa
dengan air, kedua sifat ini bekerja bersamaan. Sabun memang mempunyai sifat
hydrophilic dan hydrophotic. Molekul SAA beroperasi pada interface antara molekul
minyak dan air, antara minyak dan batubara. Tanpa SAA interfacenya tidak akan
stabil, setelah dengan SAA interfacenya menjadi stabil.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 174
3. Proses Penggilingan Basah
Dalam proses ini batubara tidak perlu digerus, melainkan raw coal, bersama-
sama Bunker C oil, air dan ditambah additive active agent (SAA) digiling dalam
ballmill. COM yang sudah stabil dialirkan ke tanki penyimpan.
Perbedaan pokok antara COM boiler dan B/C oil boiler adalah :
- Fuel feeding equipmentnya berbeda
- Struktur pembakaran (burner) juga berbeda
Boiler harus ditambah peralatan kantong filter untuk menampung abu yang
harus dihasilkan oleh batubara di dalam COM. Pada percobaan dengan COM ini
masuh didapatkan masalah-masalah antara lain:
- Abu yang terbentuk hasil pembakaran COM
- Nozzle burnernya cepat aus, lubangnya cepat besar.
Di ujung-ujung lubang selalu terdapat kerak yang berwarna hitam. Juga di
dalam pipa burner selalu mengendap zat yang berwarna putih, diduga SiO2, Nozzle
burner ini ada tujuh dan harus dibersihkan setiap hari sekali.
COM tidak menyebabkan polusi, abu hasil pembakaran di boiler ditampung di
bawah boiler, sedangkan fly ashnya ditutup dengan flute gas ke kantong filter. COM
Demonstration Plant yang Incon Korea lebih menyukai bituminous coal yang tinggi
nilai kalornya, rendah kadar abunya < 4 % dan volatile matter (VM) masih dapat
ditolerir sampai 45 %. Bila VM nya tinggi, maka ketika terjadi penggerusan batubara,
dialirkan udara yang bebas O2 dalam air heater.
Nilai ekonomis penggunaan COM tergantung pada harga minyak. Katika harga
minyak US $ 25 / barel harga COM ini 15 % di bawah harga bunker C oil. Saat
harga minyak antara US $ 10-US $ 15 barrel program pengembangan COM agak
terganggu, namun berjalan terus.
C. Coal Water Fuel (CWF)
Seperti diketahui minyak tanah, solar dan bensin dapat diperoleh dengan
proses konversi pencairan batubara. Bahan bakar gas dapat diperoleh dengan
proses gasifikasi batubara. Salah satu proses yang sederhana adalah modifikasi
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 175
batubara menjadi suatu campuran batubara yang bersifat cair yaitu Coal Water Fuel
dapat menggantikan minyak bakar yang merupakan salah satu produk minyak bumi.
1. Bahan baku CWF
Sebagai bahan baku dipergunakan batubara yang mempunyai nilai kalor tinggi
(kurang lebih 7.000 kcal/kg) sebagai kompensasi pemakaian air sehingga nilai kalor
CWF yang diperoleh cukup tinggi pula. Bahan baku batubara jenis bitumen dengan
nilai kalor tinggi dan kandungan air bawaan (inherent moisture) yang rendah
disarankan sehingga kendala rendahnya nilai kalor CWF yang diperoleh dapat
diatasi. Sebetulnya dapat pula dipergunakan subbitumen ataupun lignit, tetapi kedua
jenis tersebut mempunyai kandungan air bawaan yang tinggi sehingga CWF yang
dihasilkan akan mempunyai nilai kalor yang rendah. Untuk mengatasi hal tersebut
harus dilakukan pengeringan pada suhu dan tekanan tinggi.
Persyaratan bahan baku CWF adalah:
- Kadar abu yang rendah
- Kandungan zat terbang lebih besar dari 20 %
- Angka HGI harus tinggi
- Titik leleh abu harus tinggi
- Fouling dan slagging indeks yang rendah
- Kandungan belerang kurang dari 1 %.
Di samping tidak mencemari udara, kadar abu harus rendah untuk mengurangi
ongkos modifikasi tungku pada pembuangan abu dasar (bottom ash). Kandungan
zat terbang > 20 % untuk mempermudah penyalaan. Di dalam pembuatan CWF
mempergunakan batubara halus (-75 mikron) maka diperlukan penggilingan. Oleh
sebab itu angka HGI harus tinggi untuk mengurangi ongkos giling. Titik leleh abu
harus tinggi untuk menghindari pengendapan abu yang mudah meleleh pada bagian
dalam tungku (boiler). Terjadinya fouling dan slagging dapat menghentikan operasi,
oleh sebab itu fouling dan slagging perlu dibersihkan untuk mengembalikan alih
panas yang tinggi. Indeks fouling dan slagging dipenngaruhi oleh kandungan alkali
dan belerang dalam abu. Disamping itu kandungan belerang harus rendah untuk
mencegah pencemaran lingkungan dan korosi bagian dalam boiler.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 176
2. Aditif
Aditif adalah bahan yang ditambahkan ke dalam campuran CWF dan berfungsi
untuk menambah kestabilannya, artinya butiran batubaranya tidak mengendap
dalam waktu yang lama (2 bulan atau lebih). Adapun aditif yang berfungsi untuk
mendispersikan butiran batubara tersebut. Penambahan aditif berkisar antara 0,1
sampai 1,5 % tergantung macam aditifnya. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa
aditif yang baik berupa surfactant ionic (anionic atau kationik) dan surfactant non-
ionik. Adapun adiktif lain yang fungsinya untuk membuat campuran yang bersifat
emusi dan stabil. Karena jenis surfactant ini banyak variasinya, maka diperlukan
penelitian khusus yang cocok untuk batubara yang sedang dipakai untuk bahan
baku CWF. Persyaratan aditif yang baik ialah harus efektif, ikut terbakar dalam
proses pembakaran yang murah.
3. Pembuatan CWF
Teknologi pembuatan CWF termasuk sederhana terutama apabila memakai
bahan baku batubara yang mempunyai nilai kalor tinggi (kurang lebih 7.000 kcal/kg).
Batubara yang mempunyai kadar abu rendah (< 10 %) digerus menjadi – 10 mm,
dan kemudian digiling dengan ball mill. Penggilingan dilakukan dalam konsentrat
padatan tinggi (kurang lebih 70 % batubara). Hasil gilingan dilakukan pada suatu
pemisah ukuran (size classifier) pada ukuran pemisah 75 mikron. Ukuran lebih
besar 75 mikron diteruskan kealat pengurangan air (dewatering) apabila diperlukan.
Ukuran partikel terbesar batubara tidak terpaku pada 75 mikron saja, dapat juga
lebih besar atau halus tergantung dari jenis batubaranya. Besarnya konsentrasi
campuran pada pengadukan (mixing) ditentukan pada waktu optimasi skala
laboratorium sebelumnya. Untuk batubara dengan mutu tinggi, proses pembutan
CWF dapat lebih sederhana. Setelah penggilingan dapat langsung dilakukan
pengadukan di mana pada tahap ini adiktif ditambahkan. Pada batubara tingkatan
rendah dengan kandungan air bawaan tinggi perlu dilakukan pengeringan lebih
dahulu pada suhu tinggi. Pengadukan berlangsung hanya dalam waktu beberapa
menit dengan putaran tinggi (> 6000) dan menghasilkan kestabilan yang tinggi (> 2
bulan).
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 177
6.2. PEMANFAATAN BATUBARA DALAM INDUSTRI SEMEN
Energi merupakan kebutuhan utama dalam industri. Dalam industri semen,
energi panas merupakan kebutuhan yang paling utama, yaitu untuk operasi
pembakaran dalam tanur putar.
6.2.1. Uraian Teknis Tentang Jenis Bahan Bakar
Operasi pembakaran pada tanur putar merupakan langkah yang paling kritis
dalam setiap industri semen, baik ditinjau secara teknis maupun secara ekonomis.
Operasi pembakaran di tanur putar menentukan operasi pada unit-unit yang lain,
serta memerlukan pemakaian energi panas yang nilainya dapat mencapai 30 % dari
biaya operasi keseluruhan. Produktifitas dari industri semen umumnya ditentukan
oleh produktifitas unit tanur putarnya. Sedangkan produktifitas tanur putar umumnya
ditentukan pada run factornya, yang umumnya ditentukan oleh ketahanan lapisan
batu tahan apinya.
Aspek utama, yang paling berpengaruh terhadap ketahanan lapisan batu tahan
api dan efisiensi operasi pembakaran dalam tanur putar, adalah dalam jenis bahan
bakar yang dipakai. Untuk kedua tujuan tersebut diperlukan operasi pembakaran
yang dapat menghasilkan nyala yang stabil dan suhu yang setinggi mungkin.
Pemakaian bahan bakar dengan jenis batubara tertentu dalam operasi
pembakaran dalam tanur putar dapat menghasilkan produktivitas yang berbeda
apabila dibandingkan dengan pemakaian bahan bakar jenis lain. Misalnya operasi
pembakaran dengan bahan bakar batubara akan memerlukan konsumsi panas
persatuan produk yang lebih besar, dibandingkan pemakaian bahan bakar minyak
atau bahan bakar gas. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pola operasi
pembakaran dari ketiga jenis bahan bakar tersebut yaitu bahan bakar gas, cair dan
padat. Operasi pembakaran batubara akan memerlukan pemakaian udara dingin
yang jauh lebih besar, sedangkan sebaliknya operasi pembakaran memakai bahan
bakar minyak (BBM) atau gas alam, akan memakai udara pada suhu tinggi yang
lebih besar.
Di samping itu, operasi pembakaran batubara juga akan menghasilkan suhu
nyala yang lebih rendah serta stabilitas yang kurang baik dibandingkan BBM atau
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 178
gas alam, kedua hal ini akan memperpendek unsure dari lapisan bata tahan api.
Keadaan inilah yang menyebabkan operasi pembakaran dengan memakai batubara
akan kurang produktif dibandingkan dengan operasi pembakaran dengan Bahan
Bakar Minyak atau gas alam, ketidak produktifan dari segi teknis antara lain karena:
- Konsumsi panas per satuan produk.
- Umur lapisan batu tahan api, atau dengan kata lain produktifitas tanur putar
yang berarti produktifitas pabrik semen keseluruhan.
Secara ekonomis dapat dinyatakan bahwa operasi dengan memakai batubara
akan kurang ekonomis dibandingkan dengan memakai BBM atau gas alam, antara
lain:
- Naiknya biaya operasi pembakaran
- Naiknya biaya operasi batu tahan api
- Naiknya biaya produksi semen akibat penurunan produksi semen.
Mengingat jenis dan kualitas batubara di Indonesia sangat beragam, maka
secara umum dapat dikatakan bahwa produktivitas pemakaian batubara dalam
operasi pembakaran pada tanur putar akan menurun sebanyak 10-20 %
dibandingkan dengan pemakaian BBM atau gas alam.
6.2.2. Batubara Sebagai Bahan Bakar Dalam Industri Semen
Seperti diketahui bahwa batubara merupakan suatu campuran padatan yang
sangat heterogen dan terdapat di alam dengan tingkat/grade yang berbeda, mulai
dari lignit, subbitumine, bitumine sampai anrasit. Sebagai padatan, batu-batu terdiri
atas kumpulan material (vitrinite, eksinite dan enertinite) dan mineral (clay, kalsit dan
lain-lain).
Dilihat dari unsur-unsur pembentukan batubara terdiri atas carbon, oksigen,
nitrogen, sedikit sulfat, phosphor dan lain-lain, sedangkan dari segi struktur molekul,
dapat dibedakan atas aromatic dan aliphatic. Oleh karena itu dalam industri semen,
batubara digunakan sebagai bahan bakar, maka panas pembakaran, hasil-hasil
pembakaran, dan sisa-sisa pembakaran perlu diketahui, terutama apabila hal-hal
tersebut dapat mengganggu kualitas semen yang dihasilkan.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 179
Sifat-sifat batubara dapat dilihat dengan analisis sebagai berikut:
1. Analisis Prosikmat
Terdiri dari Analisis Lengas (moisture) yang berupa lengas bebas (free
moisture), lengas bawaan (inherent moisture) dan lengas total (total moisture);
Kadar abu (ash); Carbon tertambat (fixed carbon); dan Zat terbang (volatile matter).
2. Analisis Ultimat
Terdiri atas analisis untuk unsure-unsur : C, H, O, N juga S dan Phospor serta
CI.
3. Nilai Kalor
Terdapat dua macam nilai kalor, yaitu: nilai kalor net, yaitu kalor pembakaran
dihitung dalam keadaan semua air (H2O) berujud gas. Nilai kalor gross, yaitu nilai
kalor pembakaran diukur dalam keadaan semua air (H2O) berwujud cair.
4. Total Sulphur
Sulpur atau belerang dapat berbeda dalam batubara sebagai mineral pirit,
markasitt, Ca sulphat, atau belerang organik, yang pada pembakarannya akan
berubah menjadi SO2.
5. Analisis Abu
Abu yang terjadi dalam pembakaran batubara akan membentuk oksida-oksida
sebagai berikut SiO2, Al2O3, TiO2, Mn3O4, CaO, MgO, Na2O, K2O. Abu inilah yang
terutama akan secara padatan bercampur dengan klinker dan mempengaruhi
kualitas semen. Namun demikian kadar abu batubara di Indonesia biasanya hanya
berkisar antara 5 % sampai 20 % saja.
6. Hardgrove Grindability Index
Merupakan suatu bilangan yang dapat menunjukan mudah sukarnya batubara
digerus menjadi bahan bakar serbuk. Makin kecil bilangnnya, maka keras keadaan
batubaranya.
Sesuai dengan sifatnya, batubara umumnya dibagi atas empat macam, yaitu:
- Antrasit, mengandung sedikit volatile matter
- Bitumine, mengandung medium volatile matter
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 180
- Lignit, mengandung banyak volatile matter
- Peat
Apabila kita membakar batubara dengan fire grate, maka panjang nyala yang
dihasilkan, tergantung besarnya kandungan volatile matternya, batubara dengan
kadar volatile matter yang tinggi, akan menghasilkan nyala yang panjang di atas
grate fire dan batubara dengan kadar volatile matter yang rendah, akan
menghasilkan nyala yang pendek. Oleh karenanya antrasit biasa disebut dengan
short flaming coal, dan bitumine sebagai long flaming coal.
Akan tetapi batubara akan menghasilkan hasil yang berbeda bila dibakar dalam
bentuk batubara dalam tanur putar sebagai batubara halus akan terurai dengan
segera dan volatile matter yang menguap akan terbakar dengan cepat. Sedangkan
partikel coke yang sudah tersegresikan akan mempunyai luas permukaan yang
sangat besar sehingga serbuk batubaranya dapat terbakar secara cepat. Hal ini
menyebabkan long flaming coal di dalam tanur putar akan terbakar hanya dalam
daerah yang pendek dari tanur atau dengan kata lain akan menghasilkan nyala
pendek. Short flaming coal mengandung sedikit volatile matter, bila dibakar di dalam
tanur putar, sebagai batubara halus akan terurai secara lambat, sehingga akan
terbakar dalam jarak yang lebih panjang.
Dengan demikian, batubara yang disebut Short Flaming Coal bila dibakar
sebagai batubara halus di dalam tanur putar, akan menghasilkan nyala yang
panjang. Operasi pembakaran dalam tanur putar membutuhkan pembakaran
dengan suhu nyala yang sangat tinggi, karena proses klinkerisasi memerlukan suhu
material sekitar 1450oC. Disamping itu suhu nyala yang tinggi akan menghasilkan
heat transfer yang lebih besar. Kedua hal ini sangat berpengaruh dalam hal
efektifitas dan efisiensi operasi pembakaran dalam tanur putar. Walaupun antrasit
memiliki nilai kalor yang tinggi, penggunaannya sebagai bahan bakar dalam tanur
putar kurang disukai, karena antrasit menghasilkan nyala yang lebih panjang
dengan suhu yang relatif lebih rendah.
Demikian juga lignit, yang disamping mempunyai kandungan volatile matter
yang tinggi dan berheating value rendah, tidak disuakai, karena akan menghasilkan
suhu nyala yang lebih rendah. Bitumine adalah jenis batubara yang disukai
pemakainya sebagai bahan bakar dalam tanur putar, karena mempunyai kandungan
volatile matter yang cukup, tetapi nilai kalorinya pun relatif tinggi.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 181
Oleh karena itu bitumine dapat menghasilkan suhu nyala yang lebih tinggi.
Akan tetapi bitumine yang berkandungan abu yang lebih besar (akibat adanya
impurities yang biasanya dari clay dan sebagainya), atau berkandungan air yang
tinggi juga tidak disukai, karena hal-hal tersebut akan menurunkan suhu nyala di
samping membutuhkan juga excess air yang akan lebih besar. Hal ini akan
mengakibatkan rendahnya efektifitas dan efisiensi operasi pembakaran dalam tanur
putar.
Sebenarnya secara teoritis diharapkan bituminous coal yang bersih dari non
combustible material akan menghasilkan suhu nyala yang pendek dan lebih tinggi
dibandingkan dengan non combustible material baik berupa ash atau moisture tidak
dapat dihindari, sehingga membutuhkan operasi dengan excess air yang lebih tinggi
dan membutuhkan primary air (yang suhunya rendah) yang lebih besar.
Hal ini akan menurunkan suhu nyala di samping memperbesar flow rate gas
bakar yang mengakibatkan lebih pendeknya retention time gas dalam tanur putar
dari preheater sistem dan akan menurunkan heat transfer rate, yang berarti akan
memperbesar terbuangnya panas melalui preheater gas.
6.2.3. Penyiapan Batubara Dan Sistem Pengumpan Ke D alam Kiln
Diantara semua bahan bakar yang umumnya dipakai, batubara merupakan
bahan bakar yang memerlukan investasi awal yang sangat tinggi baik untuk grinding
maupun pengumpan. Flow Sheet dasar dari instalasi batubara hampir sama
disemua tingkat.
a. Penyimpanan (Stock Pilling)
Sesudah dibongkar di suatu pabrik, batubara disimpan di suatu gudang
penyimpanan. Perhatian utama yang harus diberikan pada tahap ini adalah
mengurangi resiko self ignition dan kehilangan (losses) material selama
penyimpanan. Karena salah satu karakter bahan bakar padat adalah tidak
homogen, maka sebelum digiling perlu dilakukan pre-homogenization, yang antara
lain dengan cara pengaturan tumpukan dan penampilan dari gudang penyimpanan.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 182
Aturan FIFO (First In First Out) perlu dilaksanakan di sini untukk mencegah oksidasi
batubara yang berlebihan.
b. Primary Crushing
Primary Crushing dapat dilakukan secara Open Circuit atau Close Circuit.
Kehalusan produk dari primary crushing ini tergantung kepada macam grinding mil
yang dipakai.
c. Grinding & Drying (Penggilingan dan Pengeringan)
Untuk batubara yang mempunyai kadar air di bawah 20 %, pengeringannya
dilakukan pada coal mill. Untuk batubara yang kadar airnya lebih dari 20%, biasanya
ada alat pengering tambahan ebelum coal mill. Coal mill dibedakan dalam dua tipe,
yaitu:
- Ball Mill/Tube Mill
- Vertical Mill
Proses pengeringan di sini adalah mengeringkan raw coal maksimal sampai
pada inherent moisturenya. Di dalam pengoprasian system coal mill ini yang harus
menjadi perhatian utama adalah mengurangi risiko peledakan, yang disebabkan :
- Umpan batubara yang tidak lancar
- Ketidak lancaran pengumpanan menyebabkan material kasar (kering) yang
kembali dari separator, akan langsung kontak dengan udara panas.
- Perubahan kadar air batubara yang terlalu besar
- Kadar air produk terlalu rendah, jauh di bawah inherent moisturenya.
Resiko-resiko peledakan tersebut diperbesar oleh kandungan volatile matter
yang tinggi dari batubara. Pengendalian operasi coal mill didasarkan pada desain
kehalusan batubara yang telah diperhitungkan sesuai kebutuhan pembakaran dalam
tenur putar.
d. Penangkapan Debu
Penangkapan debu batubara umumnya dilakukan dengan filter atau
electrostatic presipitator. Untuk mengurangi kehilangan material, alat penangkap
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 183
debu ini harus dijaga agar beroperasi secara optimal. Yang harus diperhatikan di
sini ialah debu yang halus cenderung menyebabkan reaksi peledakan. Campuran
batubara/udara akan explosive dalam daerah konsentrasi tertentu. Beberapa ahli
menyebutkan bahwa interval 40-150 g/Nml sebagai daerah kritis untuk terjadinya
peledakan tersebut, yang biasanya terjadi di saat start up atau stop peralatan.
e. Sistem Pengumpanan Batubara Halus ke Dalam Tanur Putar
Sistem pengumpanan batubara halus ke dalam tanur putar dapat dibedakan
sebagai berikut:
- Direct System
- Semi indirect system
- Indirect system
Pada Direct System, semua batubara yang dihasilkan digrinding mill langsung
diumpankan ke dalam tanur putar bersama udara pengeringnya. Pada semi indirect
sistem, batubara dari mill untuk sementara disimpan dalam intermediate silo
sebelum diumpankan ke dalam tanur putar. Untuk sistem ini ada dua macam versi
yang tergantung pada kadar air batubara. Yang mempunyai kadar air rendah, udara
pengering dari mill sebagian diinjeksikan ke tanur putar sebagai udara primer, dan
sebagian disirkulasikan ke mill. Bila kadar air tinggi, sebagian gas dari mill
dikeluarkan melalui alat penangkap debu.
Pada indirect sistem, semua batubara dari mill disimpan di intermediate silo
sebelum diumpankan, dan gas dari mill tidak diumpankan ke tanur putar sebagai
udara primer, kecuali bila diinginkan.
6.2.4. Operasi Pemakaian Batubara Pada Tanur Putar
Dalam pemakaian batubara sebagai bahan bakar dalam operasi tanur putar,
terdapat beberapa hal yang spesifik perlu diperhatikan.
a. Pemakaian Udara Primer
Udara primer berperan antara lain sebagai sarana transportasi untuk injeksi
batubara ke dalam tanur putar dan suatu alat pengendali nyala.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 184
Dengan pemakaian udara primer yang temperaturnya rendah ini, maka udara
pembakaran yang terdiri dari primary air dan secondary air, akan mempunyai
temperatur campuran relatif rendah. Oleh karena itu sebenarnya secara ekonomis
pemakaian udara primer ini kurang menguntungkan. Di dalam operasi pemakaian
batubara, pemakaian udara primer ini dapat berkisar antara 15-20 % dari kebutuhan
udara pembakaran.
b. Pemakaian Excess Air yang besar
Berdasarkan teori kinetika reaksi, bahan bakar gas dan cair lebih reaktif
dengan oksigen, dibandingkan oksigen dengan batubara.
Hal ini mudah dimengerti karena pembakaran batubara akan melalui tahapan-
tahapan sebagai berikut:
- Perpindahan panas dari burning zone ke partikel batubara secara konveksi dan
radiasi.
- Perpindahan panas melalui lapisan abu yang bersifat isolator menuju front
oksidasi secara konduksi.
- Reaksi kimia antara C, S, H2, dengan H2, CO, H2O, dan SO2.
- CO2, SO2, CO dan H2 berdifusi dari front oksidasi ke bagian luar partikel
batubara.
- Abu pembungkus sekeliling partikel batubara terdekomposisi secara termis dan
mekanis.
Oleh karena itu untuk mencapai kesempurnaan pembakaran yang
menggunakan batubara sebagai bahan bakar diperlukan excess air yang relatif
besar. Dengan pemakaian udara yang lebih besar ini, maka akan dihadapkan pada
permasalahan:
- Kerugian panas karena terserap oleh kelebihan udara tersebut.
- Transfer panas antar udara dan material di dalam kiln kurang sempurna,
karena waktu tinggal udara panas yang relatif rendah.
c. Kandungan Air Dalam Batubara
Air yang terdapat dalam batubara, baik sebagai inherent moisture maupun
sebagaian kecil moisture yang lain, tentunya akan merugikan karena mengurangi
panas yang dihasilkan.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 185
d. Stabilitas Umpan
Karena batubara merupakan bahan bakar dalam bentuk powder (bubukan)
maka sangat sulit diperoleh kondisi pengumpanan yang benar-benar stabil ke dalam
kiln. Ketidakstabilan umpan ini berarti, ketidakstabilan panas di dalam kiln, akan
mengakibatkan ketidakstabilan coating sebagai pelindung batu tahan api. Dengan
demikian akan mengakibatkan umur batu yang relatif pendek.
e. Impurities Dalam Batubara
Bila proses pencucian batubara tidak baik, maka akan ditemui impurities (misal
clay). Dengan adanya impurities ini, tentunya akan mengacaukan jumlah umpan
panas ke dalam tanur putar, yang akan memberi akibat-akibat seperti yang telah
dibahas.
6.2.5. Persyaratan Mutu Batubara Dalam Industri Sem en
Pada dasarnya semua jenis batubara dapat dipakai sebagai bahan bakar tanur
putar. Seperti telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan
persyaratan-persyaratan mutu batubara yang dibutuhkan oleh industri semen unit
operasi dengan efektifitas yang cukup tinggi, yaitu:
1. Nilai bakar net cukup tinggi, yaitu > 6.000 cal/gr
2. Voalitile matter medium, maksimum 36-42 %
3. Total moisture, maksimum 12 %
4. Kadar abu maksimum 6 %
5. Kadar sulpur, maksimum 0,8 %
6. Kadar alkali dalam abu, maksimum 2 %
7. Ukuran batubara (raw coal)
- Diatas saringan 100 mm = 0 %
- 100 mm – 50 mm = 70 %
- 50 mm – 25 mm = 25 %
- 25 mm – 15 mm = 15 %
- lolos 15 mm = 0 %
8. Variasi kualitas di atas tidak lebih dari 10 %
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 186
Batubara dengan kualitas, yang tidak memenuhi persyaratan di atas akan
menghasilkan produktifitas yang lebih rendah. Persyaratan-persyaratan di atas
dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Nilai kalor net minimum 6.000 cal/gr, dan volatile matter antara 36-42 % serta
kadar abu maksimum 8 %, dimaksudkan agar pemakian batubara tersebut
dalam tanur putar, dapat menghasilkan target-target yang diharapkan pada
operasi pembakaran.
- Total sulphur maksimal 12 % dan kadar abu maksimal 6 % serta ukuran
batubara seperti dicantumkan di atas, dimaksudkan agar tidak menyulitkan
pada operasi handling.
- Kadar sulphur maksimal 0,8 % dan kadar alkali pada abu maksimal 2 %,
dimaksudkan agar tidak terjadi gangguan pada operasi tanur putar dan tidak
terjadi penurunan kualitas semen.
- Ukuran batubara dan volatile matter seperti dicantumkan di atas, juga
dimaksudkan agar tidak terjadi kebakaran selama pengumpanan, makin
banyak mengandung butiran-butiran halus, maka tumpukan batubara akan
mudah terbakara.
- Variasi kualitas 10 % dari nilai-nilai yang dicantumkan di atas, dimaksudkan
agar persyaratan untuk mencapai operasi pembakaran yang stabil dapat
terpenuhi.
6.2.6. Pencemaran Lingkungan
Pada bab-bab terdahulu telah disinggung bahwa untuk mencapaii
kesempurnaan pembakaran batubara, diperlukan excess air yang relatif banyak.
Dan sayangnya bahwa dengan excess air yang lebih tinggi mengakibatkan
temperatur di dalam kiln akan lebih rendah. Oleh karena itu dalam kenyataan praktik
sering ditemukan bahwa proses reaksi pembakaran belum berlangsung sempurna,
meskipun gas telah keluar dari Suspension Preheater. Hal ini ditunjukan dengan
adanya kandungan CO dari gas tersebut. Bahkan tidak jarang terjadi, terutama pada
saat heating up, atau adanya fluktuasi umpan batubara yang cukup besar, gas
keluar cerobong pun masih berwarna hitam. Hal ini menunjukan bukan hanya CO
saja yang terkandung dalam gas tersebut, melainkan batubara yang belum terbakar.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 187
Apabila kandungan gas CO dari gas menuju electro presipitator sebagai alat
penangkap debu lebih besar dari 0,6 %, maka untuk menghindari peledakan, alat
penangkap debu, yang berarti sekitar 7 % dari umpan raw meal akan terbang
bersama-sama gas yang keluar cerobong, yang tentunya menimbulkan masalah-
masalah antara lain:
- Pencemaran udara, baik debu maupun gas CO
- Kerugian karena hilangnya material
Seperti yang disinggung di atas bahwa proses reaksi pembakaran batubara ini
dapat berkelanjutan hingga di seluruh saluran gas panas, mengakibatkan
temperatur gas tersebut bisa sangat tinggi. Dalam kondisi seperti ini tidak jarang
mengakibatkan kerusakan impeller dari fan-fan yang dilalui atau kerusakan
expansion joint dari ducting atau terhadap ducting itu sendiri.
Resiko-resiko pencemaran lingkungan, kehilangan material dan kerusakan
peralatan ini dapat dikurangi, atau dihindari antara lain dengan cara:
- Mengusahakan kesempurnaan pembakaran di burning zone dalam kiln dengan
memahami kinetika proses pembakaran.
- Perencanaan sistem kiln dan injeksi batubara yang baik.
Hal tersebut di atas merupakan sumber pencemaran lingkungan melalui gas
buang. Di samping itu sumber pencemaran lain terjadi selama penyimpanan dan
selama operasi eksplotasi lain terjadi selama penyimpanan dan selama operasi
eksploitasi dan preparasi batubara, juga kebocoran-kebocoran yang menimbulkan
pencemaran lingkungan.
6.3. PEMANFAATAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP
Mengangkat PLTU Suralaya yang beroperasi semenjak tahun 1984 sebagai
contoh studi kasus. PLTU Suralaya ini dirancang bangun dengan menggunakan
bahan bakar batubara Bukit asam pada tingkat kualitas average dan worst.
Sampai tahun 1988 batubara Bukit Asam masih belum dapat memenuhi
kebutuhan yang terus meningkat dari 156.000 ton pada tahun 1985, 936.000 ton,
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 188
1.500.000 ton pada tahun-tahun berikutnya dan pada tahun 1987 kebutuhan
tersebut telah mencapai 2,055 juta ton mestinya akan meningkat lagi.
Kualitas batubara pengganti tersebut telah diusahakan sedapat mungkin
memenuhi kualitas batubara Bukit Asam tersebut. Hal-hal yang diperhitungkan di
dalam pemakaian batubara pada PLTU adalah :
- Perfomance (unjuk kerja)
- Availability, reliability
- Dampak lingkungan
- Kendala dan karakteristik operasi, serta dampaknya terhadap tingkat
pemeliharaan
Tinjauan terhadap aspek tersebut di atas semata-mata mempertimbangkan
peralatan terpasang sesuai dengan rancang bangunnya dan selanjutnya
pengalaman tersebut dasar dalam penyempurnaan masa mendatang.
6.3.1. Pengenalan Umum Kualitas Batubara
Batubara yang ada dipasaran unsur kualitasnya sekurang-kurangnya terdiri
dari :
a. High heating value (kgcal/ka)
b. Total moisture (%)
c. Inherent moisture (%)
d. Volatile matter (%)
e. Ash content (%)
f. Sulphur content (%)
g. Coal Size < 3 mm, 40 mm, 50 mm
h. Hardgrove grindability index
Unsur lainnya diperlukan sesuai kebutuhan yang bersifat umum maupun
khusus. Untuk melengkapi data di atas biasanya diperlukan unsur kualitas seperti :
- Fixed carbon (%)
- Phosphorous/Chlorine (%)
- Ultimate analiysis : Carbon, Hydrogen, Oxigen, Nitrogen, Sulphur dan Ash
kadang-kadang diperlakukan Ash Fushing Temperatur
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 189
6.3.2. Pengaruh Kualitas Batubara
a. High Heating Value (HHV)
High heating value (HHV) sangat berpengaruh terhadap pengoprasian aspek
Pulverizer, Pipa batubara, wind box, dan Burner
Semakin tinggi HHV maka aliran batubara setiap jam-nya semakin rendah,
sehingga kecepatan coal feeder harus disesuaikan, untuk batubara dengan moisture
content dan HGI yang sama, dengan HHV tinggi maka mill akan beroperasi di
bawah kapasitas nominalnya (menurut desain) atau dengan kata lain operating
rationya menjadi lebih rendah.
b. Moisture Content
Kandungan moisture mempengaruhi jumlah pemakaian udara primernya. Pada
batubara dengan kandungan moisture tinggi akan membutuhkan udara lebih banyak
guna mengeringkan batubara tersebut pada suhu ke luar mill tetap.
c. Volatile Matter
Kandungan volatile matter mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan
intensitas api.
Fuel ratio = Fixed carbon / Volatile matter
Semakin tinggi fuel ratio maka carbon yang tidak terbakar semakin banyak.
d. Ash Content
Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar
dan daerah konversi dalam bentuk abu terbang dan abu dasar. Sekitar 20 % dalam
bentuk abu dasar dan 80 % dalam bentuk abu terbang. Semakin tinggi kandungan
abu dan tergantung komposisinya mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling),
keausan dan korosi peralatan yang dilalui.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 190
e. Sulphur Content
Kandungan sulphur berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin yang terjadi
pada elemen pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih rendah dari titik
embun sulphur, disamping berpengaruh terhadap efektifitas penangkapan abu pada
peralatan electrostatic precipator.
f. Coal Size
Ukuran butir batubara dibatasi pada rentang butir halus dan butir kasar. Butir
paling halus untuk ukuran < 3 mm, sedangkan ukuran butir paling kasar sampai
dengan 50 mm. Butir paling halus dibatasi oleh tingkat dustness dan tingkat
kemudahan diterbangkan angina sehingga mengotori lingkungan. Tingkat dustness
dan kemudahan berterbangan masih ditentukan pula oleh kandungan moisture
batubara.
g. Hardgrove Grindability Index (HGI)
Kapasitas mill (pulverizer) dirancang pada HGI tertentu. Untuk HGI lebih
rendah kapasitasnya lebih rendah dari nilai patoknya agar menghasilkan fineness
yang sama.
h. Ash Fushion Temperatur
Ash fushion temperature akan mempengaruhi tingkat fouling, slagging dan
operasi soot blower.
6.3.3. Pemanfaatan Batubara Sebagai Briket Batubara
Teknologi pembuatan briket batubara dari batubara bubuk yang dapat
menimbulkan kesulitan pada waktu pengangkutan ternyata sudah banyak dilakukan
di beberapa negara. Hal yang mendorong pemanfaatan briket untuk masalah dan
industri kecil di Indonesia antara lain :
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 191
- Potensi batubara Indonesia yang sangat besar.
- Penduduk Indonesia sebagian besar tinggal di pedesaan.
- Dapat dilaksanakan dengan teknologi sederhana, dengan investasi sedikit.
- Batubara Indonesia mudah pecah dan bernilai kalori tinggi.
- Memanfaatkan batubara bubuk yang tidak dipakai sukar ditransport, menjadi
lebih bermanfaat.
- Adanya endapan batubara dengan cadangan terbatas (10 juta ton) yang dapat
dimanfaatkan secara skala kecil untukk daerah sekitarnya.
- Kebijakan pemerintah untuk mengurangi pemakian minyak dan kayu bakar.
a. Teknik Pembriketan Batubara
1. Sifat briket yang baik :
- Tidak berasap dan tidak berbau pada saat pembakaran.
- Mempunyai kekuatan tertentu sehingga tidak mudah pecah waktu diangkat dan
dipindah-pindah.
- Mempunyai suhu pembakaran yang tetap (± 350oC) dalam jangka waktu yang
cukup panjang (8-10 jam).
- Setelah pembakaran masih mempunyai kekuatan tertentu sehingga mudah
untuk dikeluarkan dari dalam tungku masak.
- Gas hasil pembakaran tidak mengandung gas karbon monoksida yang tinggi.
2. Jenis briket
Dikenal 2 jenis briket yaitu :
- Tipe Yontan (silinder) untuk keperluan rumah tangga.
Tipe ini lebih dikenal dan popular, disebut dengan Yontan, suatu nama lokal,
terbentuk silinder dengan garis tengah 150 mm, tinggi 142 mm, berat 3,5 kg
dan mempunyai lubang-lubang sebanyak 22 lubang.
- Tipe Egg (telor) untuk keperluan industri dan rumah tangga. Tipe ini juga
dipergunakan untuk bahan bakar industri kecil seperti untuk pembakaran
kapur, bata, genteng, gerabah, pandai besi dan sebagainya, tetapi juga untuk
keperluan rumah tangga. Jenis ini mempunyai lebar 32-39 mm, panjang 46-58
mm, dan tebal 20-24 mm.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 192
3. Teknik pembuatan
Proses pembuatan briket Yontan cukup sederhana. Batubara bubuk (5 mm)
diberi (10 %) ditekan dengan mesin tekan pembriketan pada tekanan 120 Kg/cm2
sehingga diperoleh briket. Untuk tipe telor perlu ditambah molasses (7%) dan diroll
pada mesin briket tipe roll.
4. Parameter dalam pembuatan briket
Beberapa parameter dalam pembuatan briket antara lain sebagai berikut :
- Ukuran butiran batubara.
- Tekanan mesin pada waktu pembuatan briket.
- Kadar air yang terkandung dalam batubara.
Beberapa pengalaman, briket dengan kuat tekan > 6 kg/cm2 cukup kuat dan
tidak mudah pecah pada saat dibawa, diangkut dan diangkat.
5. Karakteristik pembakaran
Sifat pembakaran adalah sangat penting disamping tergantung dari sifat
batubaranya. Karakteristik pembakaran briket ini (lama dan suhu sifat batubaranya.
Karakteristik pembakaran briket ini (lama dan suhu pembakaran) tergantung pula
dari besarnya udara yang terbakar (air supply) dan nilai kalori batubaranya. Makin
besar udara yang ikut terbakar makin pendek lama pembakarannya briket dan
makin tinggi nilai kalori batubara yang dibuat briket makin lama waktu pembakaran.
Makin besar udara yang diberikan (dengan membuka udara kompor masak) makin
pendek waktu pembakaran briket walaupun diperoleh suhu maksimum yang tinggi.
b. Pembuatan Briket Dari Batubara
Contoh batubara digerus sampai ukuran 5 mm, selanjutnya ditambah lempung
(20 %) sebagai bahan pengikat dan air 10 %. Analisis batubara contoh dapat dilihat
pada Tabel 6.5.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 193
Tabel 6.5
Analisis kimia batubara contoh Korea
Sifat Contoh Korea
Atom
Fixed Carbon
Nilai Kalori
S (Belerang)
Moisture
Volatile matter
Kelas
8,19
50,24
7160
0,47
1,91
39,66
Subbitumine
39,50
53,70
4570
0,29
3,70
3,20
Antrasit
Penambahan lempung dimaksudkan untuk memperoleh kukuatan dan
besarnya relatif didekatkan dengan kadar ash dan briket Yontan Korea.
c. Kuat Tekan
Dari hasil penekanan dengan pembriketan yang sama diperoleh data sebagai
berikut :
Bahan pengikat lempung Kuat Tekan (kg/cm 2) 20 % 30 %
7,5 10,2
Hasil yang diperoleh memberikan data bahwa kuat tekan berikut adalah cukup
baik (> 6 kg/cm2).
d. Karakteristik Pembakaran
Dari hasil pembakaran diperoleh data sebagai berikut :
- Berasap cukup banyak dan berbau tajam.
- Suhu pembakaran tertinggi sedikit lebih tinggi daripada briket korea yaitu 650o
C – 700o C (briket Korea 600o C).
- Lama waktu pembakaran pada suhu 350o C ternyata jauh lebih pendek + 2,5
jam, sedang briket Korea 8 jam.
Dengan mengatur pipa bukaan udara lebih kecil diharapkan waktu pembakaran
dapat lebih panjang.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 194
Catatan : Penambahan lempung dapat menyerap bau dan mempertinggi kualitas
briket walaupun dapat mengurangi nilai kalorinya. Sebaiknya dipergunakan batubara
yang mengandung ash tinggi.
e. Meniadakan Asap dan Abu
Percobaan untuk mengurangi/ meniadakan asap dan bau dari briket batubara
telah dilakukan dengan mengurangi volatile matter. Hal ini dapat ditempuh dengan
melakukan karbonisasi terhadap batubara pada suhu rendah, dan ternyata berhasil
baik. Hanya masalah lama waktu pembakaran dari briket batubara ini masih relatif
lebih pendek yaitu ± 4 jam.
Mengangkat PLTU Suralaya yang beroperasi semenjak tahun 1984 sebagai
contoh studi kasus. PLTU Suralaya ini dirancang bangun dengan menggunakan
bahan bakar batubara Bukit asam pada tingkat kualitas average dan worst.
6.3.4. Gasifikasi Batubara
Proses gasifikasi mengubah semua material organik batubara menjadi bentuk
gas, peringkat batubara dan temperatur hanya mempengaruhi laju gasifikasi dan jika
diinginkan bisa diperoleh gas yang kesemuanya mengandung CO, CO2 dan H2
disamping pengotor hidrogen sulfida. Perbedaan yang mencolok ini disebutkan pada
proses gasifikasi terjadi rainan yang jauh dan interaksi lebih lanjut yang dapat
dikendalikan antara volatile matter dan char (atau kokas) dengan oksigen.
Gas yang dibuat diklasifikasikan atas nilai kalornya. Gas High Btu merupak
sinonim dari subituminus natural gas (SGN) dan mempunyai nilai kalor antara 970
sampai 1000 Btu per standars cubic foot (Scf). Komposisi gas sebagian besar terdiri
dari CH4 (lebih dari 90%) dan sebagian kecil terdiri dari CO, CO2 dan N2. Gas high
Btu pada umumnya dapat dipertukarkan dengan gas alam dan dapat dibuat dari
batubara pada skala yang besar.
Gas medium Btu mempunyai nilai kalor 270 hingga 600 Btu/Scf. Pada nilai
kalor yang lebih rendah dari rentang ini gas umumnya terdiri dari CO dan H2 serta
sejumlah kecil CO2. Pada nilai kalor yang lebih tinggi dari rentang diatas, nilai kalor
meningkat seiring dengan masuknya CH4 atau hidrokarbon yang lain. Gas medium
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 195
Btu banyak digunakan dalam industri manufaktur karena dapat terbakar dengan
cepat dan menghasilkan temperatur nyala yang sama atau lebih tinggi dari gas
alam. Akan tetapi gas medium Btu ini tidak dapat dimasukkan ke dalam jaringan
distribusi gas alam karena tidak dapat dipertukarkan dengan gas alam dan karena
distribusi karbon monoksidanya. Gas medium Btu dapat digunakan sebagai sumber
hidrogen untuk liquefaksi batubara secara langsung menjadi bahan bakar cair atau
untuk sintesa metanol dan bahan bakar cair lainya. Gas medium Btu juga dapat
digunakan untuk produksi gas high Btu.
Gas low Btu normalnya mempunyai nilai kalor sekitar 90 sampai 150 Btu/Scf.
Komponen-komponen yang dapat dibakar terdiri dari CO dan H2 yang dilarutkan
oleh CO2 dan N2. Gas ini mempunyai temperatur nyala yang rendah, kecuali jika
udara pembakaran dilakukan pra-pemanasan dengan kuat. Gas ini bisa menjadi
bahan bakar turbin yang ideal yang kemungkinannya dimanfaatkan secara besar-
besaran dalam gas stream combined power cycle untuk pembangkitan listrik di
lokasi dimana gas tersebut dihasilkan.
Ada dua prinsip rute konversi batubara menjadi gas. Perbedaannya terletak
pada panas yang dipasok dari pembakaran dengan udara secara langsung dalam
proses, sehingga nitrogen dalam udara tercampur kedalam gas yang dihasilkan.
Produk gas ini merupakan gas low-Btu. Alternatif lain, panas dapat dipasok dengan
cara dimana nitrogen tidak diintroduksikan kedalam gas produk. Oksigen digunakan
dan panas dipasok melalui perpindahan panas tak langsung dari gas-gas panas
atau padatan yang dihasilkan reaksi gasifikasi, atau rute hidrogasifikasi diikuti
dimana panas gasifikasi dipasok oleh reaksi eksotermis hidrogen dengan karbon
dan karbon monoksida membentuk metan. Rute-rute ini untuk menghasilkan gas
medium-Btu, gas high-Btu (SNG), hidrogen dan gas sintesis.
Satu lagi teknologi gasifikasi adalah gasifikasi bawah tanah (underground
gasification) atau gasifikasi setempat (in-situ gasification). Dalam metode ini
gasifikasi terjadi secara langsung pada endapan batubara yang belum ditambang.
Reaktan-reaktan dimasukkan ke dalam lapisan batubara dan gas-gas yang
terbentuk dikeluarkan ke permukaan melalui lubang-lubang bor pada endapan
batubara.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 196
BAB VII PENGAMANAN DALAM PENANGANAN BATUBARA
Batubara adalah bahan bakar padat yang mengandung abu. Oleh sebab itu
pemanfaatan batubara akan melibatkan biaya yang tinggi untuk alat yang diperlukan
bagi penanganan (coal handling) dan pembakaran batubara. Kesemuanya tersebut
bertujuan untuk mengeliminir abu dan debu. Penanganan batubara memerlukan
pengamanan, karena ada beberapa masalah dalam penanganan batubara antara
lain:
• batubara dapat terbakar sendiri
• batubara dapat menimbulkan ledakan
• batubara menyebabkan pencemaran, kalau ada angina kencang debunya
beterbangan kemana-mana.
7.1. TERBAKAR SENDIRI
Batubara dapat terbakar sendiri setelah mengalami proses bertahap. Tahap
pertama: mula-mula batubara akan menyerap oksigen dari udara secara perlahan-
lahan dan kemudian temperatur batubara akan naik. Tahap kedua: sebagai akibat
temperatur naik kecepatan batubara menyerap oksigen dari udara bertambah dan
temperatur kemudian akan mencapai 100-140oC. Tahap ketiga: setelah mencapai
temperatur 140oC, uap dan CO2 akan terbentuk. Tahap keempat: sampai temperatur
230o C isolasi CO2 akan berlanjut. Tahap kelima: bila temperatur telah berada di
atas 350oC, ini berarti batubara telah mencapai titik sulutnya dan akan cepat
terbakar.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 197
7.2. SEBAB-SEBAB TERBAKAR SENDIRI
Batubara merupakan bahan bakar organik, dan apabila bersinggungan
langsung dengan udara dalam keadaan temperatur tinggi (misalnya musim kemarau
yang berkepanjangan) akan terbakar sendiri.
Keadaan ini akan dipercepat oleh:
• reaksi eksothermal (uap dan oksigen di udara). Hal ini yang paling sering
terjadi.
• Bacteria
• Aksi katalitis dari benda-benda anorganik.
Sedangkan kemungkinan terjadinya terbakar sendiri terutama antara lain:
• karbonisasi yang rendah (low carbonization)
• kadar belerangnya tinggi (> 2%). Ambang batas kadar belerang sebaiknya 1,2
% saja.
7.3. PENANGGULANGAN BATUBARA YANG TERBAKAR
SENDIRI
Bilamana batubara ditimbun di tempat penimbunan yang tertutup (indoor
strorage) maka harus dibuat peraturan agar gudang penimbunan tersebut bersih
dari endapan-endapan debu batubara, terutama yang ditemukan di permukaan alat-
alat. Dengan demikian maka perlu ada perawatan yang terus menerus dan konstan.
Apabila tempat penimbunan ini terbuka (outdoor stroge) maka sebaiknya dipilihkan
tempat yang rata dan tidak lembab. Hal ini untuk menghindari penyusupan kotoran-
kotoran (impurities).
Untuk batubara yang berzat terbang tinggi, perlu dipergunakan siraman air
(sprinkler). Penyimpanan batubara yang terlalu lama juga membahayakan. Paling
lama sebaiknya I bulan.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 198
7.4. TINGGI ONGGOKAN
Tingginya onggokan tumpukan batubara memang sulit untuk ditentukan, sebab
masing-masing tempat penimbunan memiliki kondisi sendiri-sendiri antara lain iklim,
kelembaban, penyinaran.
7.5. PENGECEKAN DINI TERHADAP GEJALA TERBAKAR
7.5.1. Pengecekan Temperatur
Untuk mengetahui temperatur maksimum dari onggokan batubara dapat
ditentukan 1-2 m di bawah permukaan dari tumpukan. Caranya buat lubang vertikal
dibantu dengan pipa yang berperforasi. Kegunaan pipa agar lubang tidak tertimbun
batubara lagi sedang kegunaan perforasi agar temperatur di dalam lubang sama
dengan temperatur dalam onggokan.
Lubang pengecekan temperatur (dibantu dengan berpofarasi)
Onggokan batubara
Benang penggantung termometer
0 Termometer alkohol
0
7.5.2. Batubara Dapat Menimbulkan Ledakan
Ledakan debu batubara disebabkan oleh:
• ukuran partikel debu : < 20 mesh (=0,833 mm)
• terdapat hubungan antara zat terbang dan derajat peledakan.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 199
)(%)(.(%)
(%).
FCcarbonfixedVolatile
VolatileratioVolatile
+=
Apabila volatile ratio > 0,12 maka kemungkinan terjadinya ledakan debu
batubara selalu ada. Bila komponen abu dalam debu batubara > 70 – 80 % maka
tidak perlu takut bahaya ledakan. Kondisi untuk meledak akan terjai bila partikel-
partikel halus cukup waktu mengembangnya (floating time). Juga adanya gas
pembakaran dalam udara dapat membantu terjadinya peledakan.
7.5.3. Cara Penanggulangan Ledakan
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mnanggulangi
ledakan adalah sebagai berikut:
• Gunakan gas inert (gas N2). Gas ini cukup mahal harganya, selain itu juga
cepat menguap, sehingga selalu harus diperiksa valvepressurenya. Tempatkan
tabung gas N2 ini di dalam tempat penyimpanan batubara gerus (pulverized
coal bin). Juga dibagikan filter (B/F).
• Dilakukan pembersihan secara periodik untuk menghindari pembentukan
endapan batubara.
• Menghilangkan kemungkinan sumber tercapainya titik sulut batubara (ignition
point) di dalam instalasi.
• Perhatikan, dicari dan temukan sumber kebakaran sedini mungkin.
• Dalam hal timbunan batubara ditutupi dengan plastik usahakan agar konstrasi
O2 kurang dari 12 %. Pada timbunan terbuka, penggunaan siraman air dengan
menggunakan sprinkler sistem yang otomatis akan sangat membantu dalam
usaha mencegah kebakaran batubara.
Caranya : Control Operator Panel (COP) di pipa ditaruh di dalam timbunan
batubara, kemudian distel pada temperatur tertentu. Apabila temperatur
timbunan batubara meningkat dan melebihi temperatur yang distel di COP,
maka sprinkler automatis akan bekerja sendiri, menyirami timbunan batubara
tersebut.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 200
7.5.4. Perawatan debu batubara
Lembaran plastik penutup timbunan batubara adalah yang terbaik, diusahakan
tidak menggunakan plastik berwarna gelap. Timbunan dipadatkan dengan bulldozer
untuk mengurangi hadirnya Oksigen di dalam sela-sela batubara. Pada timbunan
batubara terbuka permukaan timbunan sebaiknya disemprot dengan cairan yang
mengeraskan permukaan. Cairan ini adalah produk tambahan dari pengilangan
minyak.
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 201
DAFTAR PUSTAKA
1. Zimmerman, Raymond E, “ Evaluating and Testing The Coking Properties Of
Coal”, Copyright, USA, 1979.
2. Cassidy, Samuel M, “ Elements Of Practical Coal Mining”, Society of Mining
Enginees of The American Institute Of Mining, Metallurgical, And Petroleum
Engineers, Inc, New York, 1973.
3. Yakub, Arbie, “Bahan Kursus Tentang Mutu Batubara”, Bandung, 2000
4. Sanwani, Edy Ir., Ibrahim, Alwi Ir., Sudarsono, Arief Dr. Ir, “Pencucian Batubara”,
Ciloto, 1998.
5. Sukandarumidi, “Batubara dan Gambut”, Gajahmada University Press,
Yogyakarta, 1995.
6. PT. Sucofindo, “ Kursus Batubara Untuk PT. Adaro Dan Kontraktor Di Training
Room PAMA Km 64”, 2001.