12
NO. 02 - NOVEMBER 2013 www.dlajah.com

DLAJAH TRAVELLUR #02

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

NO. 02 - NOVEMBER 2013

www.dlajah.com

CONTENTCHIEF EDITOR

HIM

DEWAN PENASEHAT

AKHMAD HADIAN LUKITA DION LUTVAN PRAMUDYO

PENGEMBANGAN BISNIS

anggun nugrahaSUNARYO KUSUMO

KEMITRAAN

MIKHAEL SEBAYANG

PENULISROSALINA WATINENI IRYANI

andi abdul muhaimin

TATA LETAK & DESIGN

abdul aris mustaqinWINDYASARI

SOCIAL MEDIAEKO JUSMAR

WEBSITE MASTERRIZKI RUSDIWIJAYANUR KHAFIDL

ADMINISTRASI DAN KEUANGAN

ida siti nuraida

REDAKSI DAN KEMITRAAN

JL. KYAI GEDE UTAMA NO. 12 BANDUNG 40132PHONE. +62.22.2501925 - FAX. +62.22.2516752

FOTOGRAfeR

MOwELBLACKPACKER

Dlajah @dlajahmagz @Dlajah

www.dlajah.com03

04

NO. 02 - NOVEMBER 2013

Situ Cisanti, Mastaka Citarum 07Jelajahi Alam Sukawanauntuk tiba di Tangkuban Perahu 09

Menilik Warisan Kontruksi Perkeretaapian di Jawa Barat

Teks: Neni Iryani & Him Foto: MowelBlackpacker

R04 RMenyambangi Konstruksi Perkeretaapian Bersejarah di Jawa Barat

ereta api adalah salah satu moda transportasi publik andalan negeri ini yang sudah dibina sejak masa kolonial. Keberadaan kereta api dan konstruksinya telah pula turut menjadi saksi sejarah anak negeri pada masa Hindia Belanda dan Jepang.

Kali ini Travellur tidak hendak membicarakan sejarah bermula dibangunnya kereta api tetapi kita telisik bersama tentang konstruksi pendukung kereta api yang ada di Jawa Barat terutama jalur Bandung-Jakarta atau dahulu disebut jalur Batavia-Parahyangan. Tempat-tempat tersebut sebenarnya layak dijadikan tujuan penjelajahan dan tujuan wisata karena memang beberapa diantaranya elok dipandang atau diabadikan kamera.

Konstruksi perkerataapian di jalur bersejarah Bandung-Jakarta merupakan hal menarik untuk disambangi baik dengan mendatanginya melalui jalan darat ataupun Anda mencobanya langsung dengan menaiki kereta api Bandung-Jakarta. Jalur wisata Batavia-Parahyangan sendiri dibangun pada 10 April 1869 dan masih beroperasi hingga sekarang dengan masa tempuh sekira tiga jam.

Perlu diketahui bahwa jalur rel ini nerupakan salah satu jalur kereta dengan panorama terindah di Indonesia dan menyimpan segudang cerita dan sejarah. Pada awalnya, dahulu jalur ini digunakan oleh kereta lokomotif uap C28 dengan kecepatan maksimal 90 kilometer per jam untuk mengangkut penumpang yang ingin berwisata ke Parahyangan serta untuk mengangkut hasil bumi seperti kina dan teh dari sana ke Batavia.

Bicara lingkup konstruksi perkeretaapian maka keberadaan infrastuktur yang dibuat untuk mendukung rel kereta api itu adalah selayaknya kita ketahui. Sejumlah konstruksi tersebut merupakan peninggalan masa Hindia Belanda dimana sebagian masih kokoh dengan perawatan berkala sehingga masih berfungsi dengan baik hingga kini. Beberapa konstruksi perkeretaapian yang akan kita bahas kali ini adalah jembatan, viaduct, dan terowongan.

KTeks: Neni Iryani & Him

Foto: MowelBlackpacker

R 05

RRJembatan kereta api merupakan konstruksi jalan rel sekaligus penghubung jalur kereta api yang dipisahkan oleh sungai, lembah, jurang, atau hutan. Jembatan disokong oleh rangka beton dan besi dimana ada yang berukuran kecil dan pendek atau pun yang panjang dan tinggi.

Jembatan Cikubang yang menghubungkan Bandung dan Jakarta disebut-sebut sebagai jembatan kereta api terpanjang di Indonesia. Lokasinya di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat, jembatan ini digunakan sejak 1906 dengan panjang 300 meter. Lokasinya sendiri dikelilingi pemandangan hijau dan udara sejuk sehingga menjadi favorit pelancong kereta sejak era pemerintah Hindia Belanda.

Sebenarnya, ada jembatan yang lebih panjang, yaitu Jembatan Cikacepit. Berada di jalur Banjar-Pangandaran-Cijulang. Jembatan Cikacepit memiliki panjang ±1,250 m dengan lebar 1,70 m. Sayangnya mahakarya warisan sejarah kolonial yang satu ini kini sudah ditutup seiring penutupan jalur kereta Banjar-Cijulang.

Jembatan Cisomang yang meliuk di atas Sungai Cisomang dinobatkan menjadi jembatan tertinggi di Indonesia. Ketinggiannya hampir mencapai 100 meter dari dasar Sungai Cisomang.

Jika jembatan membentang di atas sungai, jurang atau sawah maka viaduct adalah konstruksi rel yang membentang di atas jalan raya. Viaduct dibangun untuk menghindari perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan jalan raya.

Apalagi jika viaduct tersebut bernilai sejarah sebab dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Salah satu contoh viaduct dapat ditemukan di Jalan Viaduct Bandung yang melintas di atas jembatan dan dua ruas ruas jalan. Lokasinya persi di depan Kantor Pusat PT Kereta Api Indonesia.

Keberadaan viaduct telah memberikan sentuhan estetik tersendiri pada sebuah tata kota. Sebagian besar viaduct memang merupakan warisan peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda. Selain membentang di Bandung, viaduct dapat juga ditemukan di Jatinegara, Yogyakarta, dan Surabaya.

Jembatan

R06

Terowongan adalah adalah konstruksi untuk jalur kereta api yang dibangun di bawah permukaan tanah atau gunung. Untuk membangun terowongan, metode konstruksi disesuaikan dengan jenis, lapisan tanah dan bebatuan. Bersiaplah mengalami momen kehilangan cahaya (gelap) saat melintasi sebuah terowongan.

Terowongan Wilhelmina atau dikenal juga dengan Terowongan Sumber memiliki panjang 1.208 m. Tidak heran, terowongan yang diresmikan Belanda pada 1 Juni 1921 ini disebut sebagai terowongan terpanjang di Indonesia. Lagi-lagi sungguh disayangkan, dikarenakan matinya jalur kereta api Banjar-Cijulang (82 km), terowongan ini pun ditutup pada 3 Pebruari 1981. Alasannya adalah mahalnya biaya operasional sementara pemasukan dari penumpang kereta api tidak bisa menutupi. Terowongan ini berada di Kecamatan Kalipucang, 5 km sebelum Pangandaran dengan kondisi yang tidak terawat. Relnya sudah habis dan jalurnya digenangi air dengan semak menghiasi pintu terowongan.

Selain Wilhelmina, terdapat 2 terowongan lainnya yang lebih pendek dan merupakan tripariat dengan panjang masing-masing 105 dan 147 meter. Terowongan terpanjang ini juga terhubung dengan rangkaian rel jembatan terpanjang (±1,250 m), yaitu Jembatan Cikacepit.

Nah, itu dia beberapa konstruksi perkeretaapian yang bisa disambangi sebagai alternatif penjelajahan selain panorama alam. Mengunjungi tempat-tempat tersebut selain menguak kembali sejarah transportasi masa kolonial, kita juga bisa belajar betapa sebuah kaya yang diperhitungkan dengan seksama bisa bertahan dalam waktu yang lama.

Terowongan

07

ada 26 September 2013 Aleut! berangkat menuju kawasan Baleendah, Ciparay, lalu menuju Pacet. Menyusuri jalanan Pacet menuju Cibeureum kami disuguhi pemandangan indah yang memanjakan mata. Di jalanan yang merupakan lembah pegunungan ini terhampar indah sawah-sawah dengan pola berundak-undak di bawah kaki Gunung Rakutak atau Si Rawing,menurut sebutan orang sekitar.

Perjalanan kami berlanjut menuju Situ Cisanti, suatu kawasan danau yang merupakan hulu sungai Citarum. Di danau inilah sungai Citarum berasal sebelum bermuara di daerah Karawang. Berjalan memasuki kawasan Situ Cisanti kami disambut pepohonan Eukaliptus yang menjulang tinggi dengan kulitnya yang mengelupas.

Turun mengikuti tangga akhirnya kami sampai di sebuah situ atau danau seluas kurang lebih 8 hektar dengan air yang tenang. Di sini terdapat juga sebuah dermaga kecil dan perahu. Sekeliling danau terlihat ada satu dua pemancing ikan yang sedang termangu menatap jorannya. Situ Cisanti ini memang banyak ikannya, karena selain ikan asli endemik seperti mujaer, paray, dan bogo, juga banyak ditabur benih-benih ikan baru seperti ikan mas, nila, dan nilemoleh instansi dan pemerhati lingkungan.

p

Kawasan Situ Cisanti ini awalnya hanya danau dan rawa tapi pada 2001 pemerintah mulai membenahi dan membangun parit selebar 1,5m di pinggiran seputaran kaki gunung sebagai usaha menahan longsoran tanah yang mungkin terbawa dan akan mengakibatkan sedimentasi danau. Selain itu, dibangun juga 2 buah pintu air di kiri dan kanan yang merupakan awal aliran sungai Citarum menuju perkampungan Tarumajaya tempat masyarakat sekitar menggunakannya untuk keperluan rumah tangga, pertanian, dan peternakan mereka

Situ Cisanti berada di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasarie, Kabupaten Bandung, dan lokasinya tepat berada di kaki Gunung Wayang. Danau ini terbentuk dari beberapa mata air yang mengalir dari seputaran gunung. Ada tujuh mata air besar yang mengalir menuju danau, yaitu Mata air Cikahuripan (Pangsiraman), Mata air Mastaka Citarum, Mata air Cihaniwung, Mata air Cisadane, Mata air Cikawedukan, Mata air Cikoleberes dan Mata air Cisanti.

Di mata air Cikahuripan dan Mastaka Citarum ini kita bisa melihat langsung bagaimana mata air meluap keluar dari dalam tanah, sela-sela pohon besar, dan dari sela-sela bebatuan. Di kawasan Situ Cisanti ini juga kita bisa mendapati situs petilasan Dipati Ukur, seorang Wedana Bupati Priangan, berbentuk serupa makam sepanjang kurang lebih 5m.

Situ Cisanti Mastaka Citarum

Teks & Foto: Indra Rha

08

Setelah puas menikmati keindahan kawasan Situ Cisanti, kami ditemani Pak Atep sebagai kuncen Situ Cisanti mendatangi sumber-sumber mata air di kaki Gunung Wayang. Sesudahnya, kami melintasi perkebunan kopi yang sedang berbuah dan beristirahat di bawah rimbunan pohon Eukaliptus sambil menyantap batagor dari seorang penjual pikulan. Saat itu rasa lelah terlupakan sejenak dengan kesejukan dan keindahan Situ Cisanti.

Sambil menikmati kopi dan susu segar dari peternakan sapi di daerah Kertasarie, saya semakin menyadari pentingnya kawasan Gunung Wayang, mata air, dan Situ Cisanti ini agar terjaga kelestariannya. Itu karena kawasan ini merupakan hulu sungai Citarum yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di sepanjang alirannya.

Aliran Sungai Citarum ini juga merupakan sumber dari tiga PLTA besar di kawasan Jawa Barat, yaitu Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Hasil olahannya berupa aliran listrik yang menerangi kehidupan dan aktivitas masyarakat di Pulau Jawa dan Bali. Hal yang tak kalah pentingnya, Citarum juga merupakan sumber air minum bagi masyarakat DKI Jakarta.

Saat ini aliran air dari Citarum ini sudah semakin rusak karena dijadikan pembuangan sampah, limbah rumah tangga, limbah peternakan, dan limbahindustri. Sampah dan limbah rumah tangga menyumbang sekitar 70% dari keseluruhan limbah. Diperlukan kesadaran sejak dini untuk menanggulanginya agar sungai Citarum yang indah di hulu ini tidak semakin rusak di hilir dan malah menjadi bencana bagi masyarakat dengan banjir, sampah, dan limbah yang mengakibatkan kerugian lahir dan batin.

Meskipun berbagai cara sudah dicoba oleh pemerintah untuk menghindari agar tidak terjadi bencana namun akhirnya kitalah sebagai manusia yang harus mengerti dan beradaptasi dengan alam. Jangan paksakan alam untuk beradaptasi dengan kita!

09

Jelajahi Alam Sukawana untuk Tiba di Tangkuban Parahu

Teks & Foto: Yanstri M

ni adalah kali kedua saya ke Tangkuban Parahu tetapi dengan jalur berbeda. Bersama teman-teman Aleut saya menuju Tangkuban Parahu melalui Villa Istana Bunga (VIB), Ciwangun Indah Camp (CIC), Sukawana, Pasir Ipis. Sebelumnya, sejak pukul 8:15 saya menggunakan angkot ke Terminal Parongpong tempat saya berjanji untuk bertemu dengan teman-teman Aleut. Setelah lama menunggu, angkot yang saya naiki mulai berjalan dan 25 menit kemudian sudah sampai di Terminal Parongpong.

Karena belum ada yang datang, akhirnya saya putuskan untuk menikmati semangkuk mie untuk mengisi bahan bakar dan mengusir rasa dingin yang cukup menggigit. Tepat pada suapan terakhir di kejauhan saya lihat angkot disesaki wajah-wajah yang tampak familiar. Yup, akhirnya datang juga teman-teman Aleut yang lain. Mereka bersesakan di dalam angkot yangbiasanya hanya diisi oleh maksimal 16 orang tetapi kali ini diisi oleh 22 orang. Sungguh perjuangan yang tidak mudah untuk bertahan di dalam angkot yang penuh sesak dan harus melalui jalanan menanjak dan terkadang tidak rata. Akan tetapi, itulah hebatnya anak-anak Aleut. Mampu bertahan di segala situasi.

ITepat pukul 8:30 setelah briefing dan melayakan doa bersama maka kami mulai berjalan melalui Villa Istana Bunga. Rencana awal kami akan menuju Ciwangun Indah Camp melalui pintu belakang VIB tetapi baru setengah perjalanan ada yang mengusulkan jalur lain melalui jalan setapak di pinggiran kebun penduduk.

Karena bukan Aleut namanya kalau tidak melalui jalan yang aneh bin ajaib. Kami melalui ladang penduduk. Jalan yang kami lalui cukup sempit dan licin di beberapa bagian. Terkadang di sebelahnya terdapat jurang. Kami pun harus terus berkonsentrasi agar tidak tergelincir.

Setelah sempat salah jalan beberapa kali, sampailah kami di jalanan beraspal sekitar 25 meter dari pintu belakang Villa Istana Bunga. Kami terus menyusuri jalanan beraspal yang menanjak melalui samping Ciwangun Indah Camp kemudian berbelok ke jalanan dari tanah melalui rumah penduduk dan keluar di daerah Sukawana.

Mulai tercium bau yang familiar dan menenangkan yang ternyata berasal dari daun teh yang sedang diolah. Kami berkesempatan berkunjung ke pabrik pengolahan teh milik PTPN VIII. Di sana kami melihat proses pembuatan teh. Sebenarnya ada 6 tahap proses pembuatan teh mulai dari proses pelayuan sampai yang terakhir proses pengepakan. Sayangnya, karena keterbatasan waktu kami hanya bisa melihat 2 dari 6 proses tersebut, yaitu proses pelayuan dan proses penggilingan.

Puas berkunjung ke pabrik teh, kami melanjutkan perjalanan menyusuri perkebunan teh dan menikmati pemandangan daerah Batu Jajar. Di sana juga terdapat Bukit Lagadar yang menyimpan keunikan tersendiri. Bukit tersebut menghasilkan bebatuan yang apabila kita pecahkan akan berbentuk seperti kristal bersegi delapan.

Perjalanan dilanjutkan menyusuri lahan milik Perhutani melewati jalan dari tanah dan berbatu yang rusak di beberapa bagian. Kondisi tersebut membuat kami harus ekstra hati-hati melangkah agar tidak terperosok. Di kanan kiri jalan kita bisa melihat deretan pohon pinus yang tumbuh menjulang. Menciptakan sedikit kesejukan. Sepanjang perjalanan kami juga bertemu beberapa pengendara sepeda gunung dan motor trail serta penduduk setempat yang sedang mengumpulkan semak-semak untuk pakan ternak.

Untuk mencapai benteng yang ada di Pasir Ipis kami mulai menyusuri hutan, terkadang harus menerobos semak. Setelah sempat berputar-putar akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Sayangnya sebagian besar benteng tersebut tertutup semak-semak. Hanya sebagian kecil bagian benteng yang terlihat. Tuntutan perut yang sudah tidak bisa diajak kompromi membuat kami memutuskan beristirahat tidak jauh dari benteng sambil menyantap makan siang yang kami bawa. Sayangnya kenyamanan bersantap sempat terganggu oleh tawon yang berputar-putar tanpa henti di sekeliling kami.

10

11

Puas bersantap, kami kembali berjuang untuk mencapai Tangkuban Parahu. Jalanan yang tadinya datar mulai menanjak. Membuat kami harus mulai mengatur napas. Rasanya kaki sudah siap-siap lepas dari engselnya. Andai saja ada Mbah Surip, alangkah enaknya. Saya bisa minta gendong.

Ajaib! Di jalanan sempit, menanjak dan terkadang terhalang pohon tumbang kami bertemu kembali dengan pengendara motor trail. Tidak terbayang sulitnya mengendarai motor di jalanan seperti itu. Saya saja yang berjalan kaki terkadang kewalahan mengatur langkah agar tidak tergelincir.

Kami sempat melemaskan kaki sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak bukit di mana bisa memandang Kawah Ratu dan Kawah Upas di kejauhan. Keindahan pemandangan dari puncak bukit tersebut menghapus rasa lelah yang mendera akibat tanjakan yang tidak berkesudahan.

Satu Jam menikmati keindahan kawah, perjalanan dilanjutkan menuju pelataran parkir Tangkuban Parahu. Ternyata perjuangan belum berakhir! Untuk menuju ke sana, kami harus menuruni jalan menggunakan bantuan tali dan melewati bebatuan besar yang bisa membuat terluka apabila tidak hati-hati melangkah. Pemandangan yang tersaji di kejauhan sungguh mengagumkan.

Selepas menikmati keindahan Tangkuban Parahu kami pulang menggunakan mobil elf sewaan dengan tarif Rp15.000,- per orang. Perjalanan pulang mengarah ke Sersan Bajuri menuntaskan perjalanan kami.

Sampai jumpa di acara Aleut berikutnya!