17
NO. 03 - DESEMBER 2013 www.dlajah.com

DLAJAH PINTUTEATER #03

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: DLAJAH PINTUTEATER #03

NO. 03 - DESEMBER 2013

www.dlajah.com

Page 2: DLAJAH PINTUTEATER #03
Page 3: DLAJAH PINTUTEATER #03

CONTENTCHIEF EDITOR

HIM

DEWAN PENASEHAT

AKHMAD HADIAN LUKITA DION LUTVAN PRAMUDYO

PENGEMBANGAN BISNIS

anggun nugrahaSUNARYO KUSUMO

KEMITRAAN

MIKHAEL SEBAYANGTATA LETAK & DESIGN

abdul aris mustaqinWINDYASARI

SOCIAL MEDIAEKO JUSMAR

WEBSITE MASTERRIZKI RUSDIWIJAYANUR KHAFIDL

ADMINISTRASI DAN KEUANGAN

ida siti nuraida

REDAKSI DAN KEMITRAAN

JL. KYAI GEDE UTAMA NO. 12 BANDUNG 40132PHONE. +62.22.2501925 - FAX. +62.22.2516752

FOTOGRAFER

MOwELBLACKPACKER

Dlajah @dlajahmagz @Dlajah

www.dlajah.com

04

ANTONIOBLANCO

03

NO. 03 - DESEMBER 2013

Komunitas Pensil Kertas,Pesan Sosial dan Lingkungan Hidup lewat Karya Seni 08Geliat Seni Graffiti di Bandung 12

PENULISROSALINA WATI

Page 4: DLAJAH PINTUTEATER #03

04

PINTUTEATER+

dan The Blanco Renaissance MuseumTeks: Anggun Nugraha Photo: MowelBlacpacker

Page 5: DLAJAH PINTUTEATER #03

05

D ahulu ketika Bali masih masih tertutup menjadi panggung pariwisata mancanegara, wanitanya berseliweran tanpa penutup dada. Bahkan di sebuah desa bernama Ubud, pemandangan itu adalah sebuah hal yang lumrah dan menjadi kewajaran. Saat itu tahun 1930-an hingga 1970-an wisatawan sudah ada yang berkunjung ke Ubud bahkan termasuk seniman lukis termahal di Asia Tenggara, yaitu Antonio Blanco (1911-1999) yang berpetualang ke Ubud pada 1952. Ubud pun melekat erat dengan namanya terlebih dengan pertemuannya dengan seorang gadis dari desa Campuan, Ubud yang kemudian menjadi pasangan hidupnya hingga akhir hayat.

Rupanya Antonio Blanco jatuh hati bukan hanya pada gadis cantik bernama Ni Rondji yang memberinya 4 orang buah hati tapi juga pada budaya dan alam Ubud yang murni tak berbalut modernisasi. Ia pun akhirnya mengukuhkan niat mendirikan sebuah museum untuk mengabadikan Ubud dan Bali melalui lukisannya yang beraliran romantis ekspresionisme. Sekira 150 lukisan dipajang di The Blanco Renaissance Museum yang selesai dibina tahun 2000 oleh putranya yang juga seorang maestro seni lukis, yaitu Mario Blanco.

Page 6: DLAJAH PINTUTEATER #03

06

Ciri khas lukisan Blanco memang tidak lepas dari wanita Ubud yang polos, eksotis, dan indah dari matanya. Di banyak lukisannya yang memunculkan figur seorang wanita, selalu ada benda yang menggambarkan bagian budaya Bali. Sebut saja itu berupa kelapa, gendang, monyet, kipas, dan gong adalah beberapa contoh dari 300 lukisan yang ia miliki mengiringkan peralat budaya bali.

Mario Blanco, anak kedua Antonio Blanco dan Ni Rondji, adalah pria bersahaja. Ia adalah pelukis yang juga fotografer budaya. Ia dedikasikan hidupnya untuk meneruskan cita-cita Ayahnya yang ingin membiaskan sinar inspirasi seni lukis bagi masyarakat Ubud yang kreatif. Walau tak langsung belajar teknik melukis pada Ayahnya, Mario menyerap gaya melukis dari ayahnya yang sedari kecil selalu memperlihatkan karya dan mahakaryanya pada Mario.

Page 7: DLAJAH PINTUTEATER #03

07

Mario Blanco terus membangun nama besar ayahnya tapi ia tak ingin disamakan dengan sang ayah, terutama dalam hal objek lukisan. Mario lebih tertarik pada benda yang digunakan dalam peribadatan, seperti kelapa, poci, bunga, dan bahkan keunikan di Ubud seperti wenara wana, atau hutan monyet. Keahlian fotografinya muncul setelah ia membeli kamera untuk membuat repro lukisannya. Karena kawan-kawan fotografernya mengajak Mario untuk lebih jauh memanfaatkan kamera maka Mario terjun bebas di dunia fotografi dan memilih ceruk fotografi budaya yang memikat hatinya.

Mario saat ini tengah membantu lingkungannya membiakkan jalak Bali dan mensosialisasikan fotografi bagi pelajar yang kurang beruntung secara akademis. Ia pun memiliki andil dalam upaya promosi Ubud di panggung internasional agar lebih banyak lagi dikunjungi wisatawan mancanegara.

Page 8: DLAJAH PINTUTEATER #03

Komunitas Pensil KertasPesan Sosial dan Lingkungan Hidup lewat Karya Seni

PINTUTEATER+

Teks: Rosalina Wati Photo: Pensil Kertas

epatah mengatakan, “Banyak jalan menuju Roma”, begitu juga halnya dalam berkarya dan kepedulian kepada lingkungan. Banyak cara dan kreativitas bisa dilakukan untuk menghasilkan karya yang sekaligus juga menunjukkan kepedulian kepada lingkungan sekitar, contohnya seperti yang dilakukan oleh Komunitas Pensil dan Kertas.

Kehadiran Komunitas Pensil dan Kertas berawal dari hobi menggambar sekumpulan siswa jurusan seni rupa SMK 14 Bandung. Berangkat dari kesamaan hobi, mereka kemudian memutuskan membuat sebuah komunitas yang menunjukkan diri melalui karya seni rupa atau gambar. Saat didirikan pada 13 Februari 2009, komunitas ini bernama Komunitas Pensil Terbang namun kemudian berganti menjadi Komunitas Pensil dan Kertas.

08

P

Page 9: DLAJAH PINTUTEATER #03

Nama Pensil dan Kertas sendiri didasarkan dari hobi anggotanya dalam menggambar menggunakan pensil dan kertas sebagai media dasar yang dibutuhkan. Selain itu, komunitas ini juga menggunakan tinta sebagai media pewarnaannya dengan kombinasi aplikasi olah digital.

Kehadiran Komunitas Pensil dan Kertas menjadi wadah yang menampung insan kreatif berserta hasil karya. Meski awalnya komunitas ini sengaja dibuat untuk memperkenalkan hasil karya kreatif penghobi menggambar dari Bandung namun berikutnya melalui website, mereka juga menerima karya dari berbagai kota di Tanah Air

Komunitas yang didominasi anak muda Bandung ini tidak mengeksklusifkan diri, mereka terbuka untuk umum. Selain bisa menggambar, setiap anggota komunitas juga dibekali ilmu seni rupa lainnya sehingga dapat memahami karya seni rupa. Setiap Sabtu mereka melakukan gathering di basecamp mereka di Kiaracondong untuk berdiskusi dan mendapatkan berbagai teori ilmu seni rupa.

09

Page 10: DLAJAH PINTUTEATER #03

Kehadiran Komunitas Pensil dan Kertas lebih dari sekedar wadah bagi orang-orang yang memiliki hobi yang sama. Komunitas ini juga merupakan kumpulan orang-orang yang peduli terhadap isu sosial dan lingkungan hidup di Kota Bandung. Mereka menjadikan berbagai permasalahan sosial dan lingkungan hidup menjadi ide dasar, gerakan, karya, serta karya kreatifnya.

Oleh karena itu, setiap bentuk karya seni komuitas ini selalu bertemakan isu sosial dan lingkungan hidup. Melalui karya seni yang tertoreh dalam bentuk gambar dan desain, Komunitas Pensil dan Kertas ingin mengajak warga Bandung untuk ikut merancang masa depan kotanya agar menjadi lebih baik dan bermartabat.

10

Page 11: DLAJAH PINTUTEATER #03

11

Page 12: DLAJAH PINTUTEATER #03

12

PINTUTEATER+

~Geliat Seni Graffiti di Bandung~Teks: Angie Renata Photo: Addy Debil | Gorivano Agasta

Page 13: DLAJAH PINTUTEATER #03

S aya bukan seniman graffiti, bahkan sama sekali tidak bisa menggambar. Akan tetapi saya sering terkagum-kagum melihat gambar-gambar nan artistik yang banyak bertebaran di Kota Bandung. Saya juga bukan kurator atau jurnalis yang berhak punya segudang “kenapa” tapi saya sering penasaran kenapa seniman graffiti memilih jalanan sebagai media berkreasi? Sudah begitu sempitkah kota kita ini sehingga tidak lagi menyisakan ruang untuk sedikit saja nafas kehidupan insan kreatif anak bangsa?

Tunggu dulu, ternyata saya salah. Sebaliknya, seni graffiti meraja karena banyaknya apresiasi bernada positif di kota ini. Bandung yang dari dulu terkenal dengan tempat geliat kreatifnya ternyata menyimpan ruang bagi hasrat seni masyarakat urban. Di luar itu semua, graffiti sebagai salah satu alat eksistensi anak muda Bandung pastinya juga menyimpan ambisi, idealisme dan pesannya sendiri yang hanya bisa dimaknai oleh masyarakat penikmatnya.

13

Page 14: DLAJAH PINTUTEATER #03

Sejauh yang saya ketahui, kebanyakan seniman masih mengutamakan tersedianya sarana hiburan di jalan. Suasana jalan yang hiruk-pikuk, panas dan penuh berbagai tekanan menjadikan seni graffiti sedikit banyak menyegarkan mata. Syukur-syukur apabila bisa bikin tersenyum.

Kebanyakan graffiti yang ada di Bandung bisa dibilang termasuk graffiti artistik. Scene graffiti di Bandung tidak dibuat dengan nafas vandal yang membabi buta tapi lebih pada eksistensi dan apresiasi sebuah karya. Bahwa antara oldschool dan newschool di kota ini tidak saling tiban tetapi maju bersama.

Persis seperti karya-karya visual graffiti itu sendiri menyimpan berbagai warna dengan tingkat gradasi berbeda. Terkadang rumit namun indah, simple tapi keras. Mungkin tidak jauh berbeda dengan subkultur-subkultur lain yang berkembang di ranah perkotaan, scene graffiti yang didominasi anak muda juga bernafaskan rasa ketidakadilan atas kondisi sosial yang ada, terkadang berbaur dengan pencarian jati diri pengusungnya.

Kota Bandung yang sempit ini menyimpan nafas yang sedikit berbeda. Sudah sejak lama keberadaan anak-anak muda sebagai tombak industri kreatif diakui oleh lembaga-lembaga formal dalam kota. Berkumpulnya anak-anak muda Bandung dalam berbagai wadah berjudul “komunitas” pun seolah difasilitasi dengan banyaknya wahana dan organisasi kreatif.

14

Page 15: DLAJAH PINTUTEATER #03

Meski juga bukan berarti graffiti hadir tanpa perjuangan disini namun keberadaan komunitas-komunitas yang dapat saling berinteraksi membuat perkembangannya menjadi mudah dan lebih terarah. Mengapa terarah? Karena graffiti di Indonesia, terutama kota Bandung tidak perlu kejar-kejaran dengan polisi atau vandal-vandalan. Cukup minta izin (tentunya dengan sopan) untuk membuat graffiti. Imbalannya, banyak diantara pemilik tembok yang bersikap baik dan supportive pada seniman. Hal ini pasti tidak bakalan kita dapat diluar. Dimana graffiti yang berakar dari budaya hip-hop cenderung menjadi momok geliat perkotaan. Lain dengan di Indonesia dimana graffiti masuk dengan cara berbeda.

Pun begitu, graffiti tetaplah lebih dari sekedar corat-coret pada tembok semata. Dalam idealismenya yang paling sederhana sekalipun, sesimpel keinginan untuk membuat orang tersenyum sekalipun, mengandung kritik terhadap kondisi sosial yang melingkungnya.

15

Page 16: DLAJAH PINTUTEATER #03

Mengapa karya artistik semacam graffiti harus dibredel oleh berbagai peraturan yang menjerat sedangkan para pengiklan dengan bebas menempelkan pamflet dan berbagai atribut lainnya di ruang publik seolah peruntukannya? Oleh karena itu, hadirnya graffiti sebagai alternatif di tengah riuhnya rupa jalanan setidaknya memberi sedikit ruang untuk bernafas dan menikmati kembali rona wajah kota yang gemerlap.

Di Bandung ada beberapa nama yang gaungnya cukup membahana bahkan sampai ke ranah internasional. Beberapa adalah pionir-pionir graffiti di Bandung.

Sebagian lagi menggapai eksistensinya lewat skill dan konsistensi dalam karya. Mereka di antaranya adalah: The Yellow Dino, Mondayz, Tell Them, Vano Vanz, M.U.T.E., FAB, Family, WHO, CikCuk, dan Demn.

Diantara mereka ada anak-anak baru yang entah mencoba peruntungannya dalam dunia seni jalanan ini atau bahkan dengan semangat urbannya sungguh-sungguh ingin menancapkan kuku di scene graffiti. Mereka adalah calon-calon regenerasi budaya urban yang memegang peranan penting dalam perkembangan graffiti ke depannya.

16

Page 17: DLAJAH PINTUTEATER #03