45
Tinjauan Kasus Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Diabetik I Gst Ag Ngurah Ag Sentosa, Made Agus Maharjana, dr. Jodi S Loekman, SpPD-KGH Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar Januari 2009 I. Pendahuluan Diabetes melitus (DM) sebagai salah satu penyakit degeneratif, yang dulu dianggap tidak berbahaya, kini justru merupakan salah satu penyakit yang menyita banyak perhatian karena peningkatan jumlah penderita dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Diabetes melitus ini sesungguhnya merupakan penyakit yang menyangkut berbagai gangguan heterogen dengan penyebab yang kompleks, serta perkembangannya tidak lepas dari pengaruh genetik dan lingkungan. Pada diabetes melitus terjadi kondisi hiperglikemi yang merupakan konsekuensi relatif ataupun absolut terhadap defisiensi insulin dan relatif maupun absolut terhadap kelebihan glukagon. Menurut laporan terakhir dari International Diabetes Federation, WHO, jumlah pasien DM di dunia meningkat secara alamiah yang akan diikuti peningkatan biaya pengelolaanya menjadi tiga kali lipat. 1-3 Penyakit DM merupakan penyakit kronik yang rumit dan banyak komplikasinya sehingga harus benar-benar diperhatikan. Oleh karena itu, pola penyakit DM harus ditelusuri supaya setiap komplikasi dan kelainan yang mungkin timbul dapat diatasi lebih dini. Dalam perjalanan penyakit DM, dapat

DKD TERPADU

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DKD TERPADU

Tinjauan Kasus

Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Diabetik

I Gst Ag Ngurah Ag Sentosa, Made Agus Maharjana, dr. Jodi S Loekman, SpPD-KGH

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar

Januari 2009

I. Pendahuluan

Diabetes melitus (DM) sebagai salah satu penyakit degeneratif, yang dulu dianggap tidak

berbahaya, kini justru merupakan salah satu penyakit yang menyita banyak perhatian karena

peningkatan jumlah penderita dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Diabetes melitus

ini sesungguhnya merupakan penyakit yang menyangkut berbagai gangguan heterogen

dengan penyebab yang kompleks, serta perkembangannya tidak lepas dari pengaruh genetik

dan lingkungan. Pada diabetes melitus terjadi kondisi hiperglikemi yang merupakan

konsekuensi relatif ataupun absolut terhadap defisiensi insulin dan relatif maupun absolut

terhadap kelebihan glukagon. Menurut laporan terakhir dari International

Diabetes Federation, WHO, jumlah pasien DM di dunia meningkat secara

alamiah yang akan diikuti peningkatan biaya pengelolaanya menjadi tiga

kali lipat.1-3

Penyakit DM merupakan penyakit kronik yang rumit dan banyak komplikasinya

sehingga harus benar-benar diperhatikan. Oleh karena itu, pola penyakit DM harus ditelusuri

supaya setiap komplikasi dan kelainan yang mungkin timbul dapat diatasi lebih dini. Dalam

perjalanan penyakit DM, dapat terjadi komplikasi akut dan kronis. Komplikasi kronik

merupakan komplikasi yang sukar ditangani karena berjalan pelan tetapi pasti dan karenanya

akan memakan biaya yang sangat tinggi, yaitu makroangiopati (pembuluh darah jantung,

pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak), mikroangiopati (pembuluh darah kapiler

retina mata dan pembuluh darah kapiler ginjal), dan neuropati.4-6

Diabetes melitus telah menjadi salah satu penyakit yang paling banyak menyebabkan

penyakit ginjal kronik. Kelainan ginjal akibat dari penyakit diabetes melitus ini kemudian

lebih dikenal dengan nama Diabetic Kidney Disease (DKD) yang sesungguhnya merupakan

komplikasi mikrovaskular kronis pembuluh darah kapiler ginjal pada penderita diabetes

mellitus. Komplikasi ini dikaitkan dengan adanya proteinuria, hipertensi dan gangguan fungsi

ginjal yang progresif dengan ekskresi protein pada urin yang berlanjut dengan penurunan

Page 2: DKD TERPADU

fungsi ginjal. Proteinuria pada umumnya ditemukan dalam perjalanan penyakit ginjal

progresif, peran proteinuria khususnya mikroalbuminuria sebagai petanda awal nefropati

diabetik. disebut sebagai faktor kunci awal yang meramalkan progresivitas dari glomerulopati

diabetik dan dipandang sebagai ukuran keparahan dan pemicu terjadinya nefropati yang

progresif. Pada sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal

yang memerlukan pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal. DKD menduduki urutan ketiga

(16,1%) setelah glomerulonefritis kronik (30,1%) dan pielonefritis kronik (18,51%), sebagai

penyebab paling sering gagal ginjal terminal yang memerlukan cuci darah. Perkembangan

penyakit DM menjadi penyakit ginjal stadium akhir diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor

yang terlibat, antara lain : faktor genetik, diet, dan kondisi medis yang lain seperti hipertensi

serta kadar gula darah yang tinggi dan tidak terkontrol.7,8,9

Manajemen nefropati diabetik sangat tergantung pada presentasi klinik yang ada,

yaitu stadium insipien, overt, atau stadium terminal. Semakin berat presentasi klinik yang ada

maka penatalaksanaannya pun lebih melibatkan banyak hal dan tenaga ahli.9-11

II. Tinjauan Pustaka

II.1 Definisi1,3,8,9,10,11,13

Penyakit ginjal diabetik (PGD) atau nefropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi

yang sering terjadi pada penderita diabetes. Pada penyakit ini terjadi kerusakan pada filter

ginjal atau yang dikenal dengan glomerulus. Oleh karena terjadi kerusakan glomerulus maka

sejumlah protein darah diekskresikan ke dalam urin secara abnormal. Protein utama yang

diekskresikan adalah albumin. Pada keadaan normal albumin juga diekskresikan dalam

jumlah sedikit dalam urine. Peningkatan kadar albumin dalam urine merupakan tanda awal

adanya kerusakan ginjal oleh karena diabetes. PGD dapat dibedakan menjadi dua kategori

utama berdasarkan jumlah albumin yang hilang pada ginjal, yaitu:

1. Mikroalbuminuria

Terjadi kehilangan albumin dalam urine sebesar 30-300 mg/hari. Mikroalbuminuria juga

dikenal sebagai tahapan nefropati insipien.

2. Proteinuri

Terjadi bila terjadi kehilangan albumin dalam urine lebih dari 300mg/hari. Keadaan ini

dikenal sebagai makroalbuminuria atau nefropati overt.

Progresi umum dari mikroalbuminuria menjadi nefropati overt menyebabkan banyak yang

menganggap mikroalbuminuria sebagai tanda nefropati tahap awal. Kelainan ginjal sering

terjadi sekunder pada pasien diabetes yang lama terutama pasien diabetes tipe I. Secara klinis

Page 3: DKD TERPADU

nefropati diabetik ditandai dengan adanya peningkatan proteinuria yang progresif, penurunan

GFR, hipertensi, dan risiko tinggi untuk menderita penyakit kardiovaskular. Perjalanan

alamiah nefropati diabetik merupakan sebuah proses dengan progresivitas bertahap setiap

tahun. Diabetes fase awal ditandai dengan hiperfiltrasi glomerulus dan peningkatan GFR. Hal

ini berhubungan dengan peningkatan perkembangan sel dan ekspansi ginjal, yang mungkin

dimediasi oleh hiperglikemia. Mikroalbuminuria biasanya terjadi setelah 5 tahun menderita

penyakit Diabetes tipe 1 sedangkan nefropati yang ditandai dengan ekskresi protein urin lebih

dari 300 mg/hari, biasanya terjadi dalam waktu 10-15 tahun. Penyakit ginjal stadium terminal

terjadi pada sekitar 50% penderita DM tipe I, yang akan mengalami nefropati dalam 10

tahun.

DM tipe II memiliki patogenesis yang lebih bervariasi. Pasien sering didiagnosis

sudah dengan mikroalbuminuria yang disebabkan karena keterlambatan diagnosis dan faktor

lain yang mempengaruhi ekskresi protein. Sebagian kecil pasien dengan mikroalbuminuria

akan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap lanjut. Tanpa intervensi, sebanyak 30%

pasien akan berkembang menjadi nefropati dengan proteinuria yang nyata, dan setelah 20

tahun mengalami nefropati, sekitar 20% akan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap

akhir. Diabetes yang lama menyebabkan perubahan pada pembuluh darah kecil yang dapat

menyebabkan kerusakan ginjal dimana kerusakan ginjal tersebut dapat menyebabkan

kegagalan ginjal yang berat. Kerusakan ginjal dapat dimulai sejak tahun pertama setelah

terdiagnosis menderita DM tipe I dan dapat ditemukan pada saat terdiagnosis DM tipe II.

Namun diperlukan waktu sekitar 5-10 tahun untuk menjadi masalah kerusakan ginjal yang

bermakna.

II.2 Epidemiologi

Berdasarkan data yang diperoleh dari UK Renal Registry pada tahun 1998, penyakit ginjal

diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal di antara pasien yang menjalani

terapi pengganti ginjal (16%). Dari angka tersebut sebanyak 9,5% disebabkan oleh penyakit

ginjal diabetik (6,8%) dilaporkan disebabkan oleh DM tipe I dan 2,7% disebabkan oleh DM

tipe II. Prevalensi mikroalbuminuria pada pasien yang menderita DM tipe I selama 30 tahun

adalah sekitar 30 %. Sedangkan prevalensi mikroalbuminuria pada pasien yang menderita

DM tipe II selama 10 tahun adalah sekitar 20-25%.1,2,7,8,9,11,13

Diagram 2.1. Penyebab Gagal Ginjal8

Page 4: DKD TERPADU

Sumber lain menyebutkan dari hasil estimasi 12 sampai 14 juta pasien DM di USA

diperoleh bahwa 30% sampai 40% pasien DM tipe I akan mengalami komplikasi menjadi

gagal ginjal terminal sedangkan pada pasien DM tipe II hanya sekitar 5-10% yang

berkembang menjadi gagal ginjal terminal.8,12

Walaupun banyak sumber yang menyebutkan bahwa pasien DM tipe II lebih jarang

yang menjadi gagal ginjal terminal dibandingkan DM tipe I, pada kenyataannya pada suatu

studi Cohort pasien DM tipe I dan DM tipe II yang diikuti dalam suatu periode panjang,

insiden penyakit ginjal pada dua kelompok tersebut adalah sama. Dari data demografi pada

penduduk USA yang menderita DM tipe II, ditemukan insiden gagal ginjal terminal lebih

tinggi pada wanita teutama pada kelompok umur 50 sampai 70 tahun.8,11,12

Nefropati Diabetik atau penyakit ginjal diabetik mengenai sekitar 20-30 % pasien

diabetes. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab umum gagal ginjal terminal yang pada

stadium awal ditandai dengan adanya albumin dalam urin dalam jumlah kecil

(mikroalbuminuria).3,5

II.3 Patofisiologi3,5,7,8,9,10,12

Tidak semua penderita DM akan mengalami ND. Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada

diabetes tidak dapat diterangkan dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor

metabolik dan hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria.

Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah

terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Gambaran histologi

Page 5: DKD TERPADU

jaringan pada ND memperlihatkan adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi

mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri

eferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial. Tampaknya berbagai faktor berperan dalam

terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada

penderita yang mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama ditambah

faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat

melalui 2 jalur

a. Alur metabolik (metabolic pathway): Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia,

glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan asam amino bebas

menghasilkan AGE’s (advance glycosilation end-products). Peningkatan AGE’s akan

menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol,

dan aktivasi protein kinase C. Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan

sorbitol dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim

aldose reduktase. Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar

inositol yang menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal.

Gambar 2.1 Mekanisme polyol pathway5

Penjelasan: Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang merupakan

sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-dependent reduction

dari senyawa karbon, termasuk glukosa. Aldose reduktase mereduksi aldehid yang

dihasilkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species) menjadi inaktif alkohol serta mengubah

glukosa menjadi sorbitol dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel,

Page 6: DKD TERPADU

aktivitas aldose reduktase cukup untuk mengurangi glutathione (GSH) yang merupakan

tambahan stres oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol

menjadi fruktosa menggunakan NAD – sebagai kofaktor.

Gambar 2.2 Mekanisme AGE-pathway5

Penjelasan: mekanisme melalui produksi intracelular prekursor AGE (Advanced

Glycation End-Product) menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Perubahan ikatan

kovalen protein intraseluler oleh prekursor dicarbonyl AGE akan menyebabkan

perubahan pada fungsi selular. Sedangkan adanya perubahan pada matriks protein

ekstraseluler mengakibatkan interaksi abnormal dengan matriks protein yang lain dan

dengan integrin. Perubahan plasma protein oleh prekursor AGE membentuk rantai yang

akan berikatan dengan reseptor AGE, kemudian menginduksi perubahan pada ekspresi

gen pada sel endotel, sel mesangial, dan makrofag.

Gambar 2.3 Mekanisme protein kinase-C5

Page 7: DKD TERPADU

Penjelasan: keadaan hiperglikemia menyebabkan peningkatan DAG (Diacylglycerol),

yang selanjutnya mengaktivasi protein kinase-C, utamanya pada isoform β dan δ.

Aktivasi PKC menyebabkan beberapa akibat pathogenik melalui pengaruhnya terhadap

endothelial nitric oxide synthetase (eNOS), endotelin-1 (ET-1), vascular endothelial

growth factor (VEGF), transforming growth factor-β (TGF- β) dan plasminogen activator

inhibitor-1 (PAI-1), dan aktivasi NF-kB dan NAD(P)H oxidase.

Gambar 2.4 Mekanisme hexosamine pathway5

Penjelasan: glycolytic intermediate fructose-6-phosphate (Fruc-6-P) dirubah menjadi

glucosamine-6-phosphate oleh enzim glutamin: fructose-6-phosphate amidotransferase

(GFAT). Glikosilasi intraseluler oleh N-acethylglucosamine (GIcNAC) menjadi serin dan

theorenin yang dikalisasi oleh enzim O-GicNAc transferase (OGT). Peningkatan donasi

GicNAC pada residu serin dan threonine dari faktor transkripsi seperti Sp1, yang

biasanya terjadi pada tempat fosforilasi akan menyebabkan peningkatan produksi fakor

seperti PAI-1 dan TGF-β1, AZA,azaserine; AS-GFAT, antisense GFAT.

Page 8: DKD TERPADU

b. Alur Hemodinamik : Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM

terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh

darah. Faktor hemodinamik diawali degan peningkatan hormon vasoaktif seperti

angiotensin II. angiotensin II juga berperan dalam perjalanan ND. Angiotensin II

berperan baik secara hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut

antara lain merangsang vasokontriksi sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol

glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra

selular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik. Hipotesis ini didukung

dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor von Willebrand dan

trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan endotel kapiler. Hal ini juga

yang dapat menjelaskan mengapa pada penderita dengan mikroalbuminuria persisten,

terutama pada DM tipe 2, lebih banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari

pada akibat GGT. Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney disease masih

kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana pada penderita ini hipertensi

dapat dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis

mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya

nefropati tetapi mempercepat progesivitas ke arah GGT pada penderita yang sudah

mengalami diabetik kidney disease.

Tabel 2.5. Peranan Angiotensin II dalam Nefropati Diabetik.10

Peran Angiotensin II dalam Nefropati Diabetik

1. Vasokonstriksi sistemik

2. Peningkatan tahanan arteriol glomerulus

3. Peningkatan tekanan kapiler glomerulus

4. Peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus

5. Penurunan luas permukaan filtrasi

6. Stimulasi protein matriks ekstraseluler

7. Stimulasi faktor fibrogenik

Bagan 2.4. Patofisiologi Nefropati Diabetika

Page 9: DKD TERPADU

Dari kedua faktor diatas maka akan terjadi peningkatan TGF beta yang akan menyebabkan

proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF beta juga akan meningkatkan

akumulasi ektraceluler matrik yang berperan dalam terjadinya ND.

II.4 Diagnosis dan Perjalanan Klinis3,5,9,10,14-17

Diagnosis PGD dimulai dari dikenalinya albuminuria pada pasien DM baik tipe I maupun

tipe II. Bila jumlah protein atau albumin di dalam urin masih sangat rendah, sehingga sulit

untuk dideteksi dengan metode pemeriksaan urin yang biasa, akan tetapi sudah >30 mg/24

jam ataupun >20g/menit disebut juga sebagai mikroalbuminuria. Hal ini sudah dianggap

sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria atau proteinuria ini dapat juga ditentukan

dengan rationya terhadap kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai

albumin atau kreatinin ratio (ACR). Tingginya ekskresi albumin atau protein dalam urine

aelanjutnya akan menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam tabel di

bawah ini:

Kategori Kumpulan Urin 24 Kumpulan Urin Urin Sewaktu

Metabolik

Glukosa

Advanced glycation

Protein Kinase C

Penimbunan ECM

ECM↑ECM cross linking

Proteinuria

Hormon-hormon vasoaktif (misal angiotensin II, Endotelin)

Sitokin (TGF VEGF)

Permeabilitas pembuluh darah

Aliran / tekanan

Genetik hemodinamik

Page 10: DKD TERPADU

jam(mg/24 jam) sewaktu (g/menit) (g/mg creatinin)Normal

Mikroalbuminuria

Albuminuria Klinis

< 30

30 – 299

≥ 300

< 20

20 – 199

≥ 200

< 30

30 – 299

≥ 300

1. Tahap I.

Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang disertai

pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya

normal. Tahap ini masih reversible dan berlangsung 0 – 5 tahun sejak awal diagnosis

DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya

kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali.

2. Tahap II

Terjadi setelah 5 -10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubaan struktur ginjal

berlanjut, dan LFG masih tetap meningkat. Albuminuria hanya akan meningkat

setelah latihan jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk.

Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap

berikutnya. Progresivitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik.

Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi (silent stage).

3. Tahap III

Ini adalah tahap awal nefropati (insipient diabetic nephropathy), saat

mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun diagnosis DM

tegak. Secara histopatologis, juga telah jelas penebalan membran basalis glomerulus.

LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah masih tetap ada dan mulai meningkat.

Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dicegah

dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang kuat.

4. Tahap IV

Ini merupakan tahapan saat dimana nefropati diabetik bermanifestasi secara klinis

dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering

meningkat secara LFG yang sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15 –

20 tahun DM tegak. Penyulit diabetes lainnya sudah pula dapat dijumpai seperti

retinopati, neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular umum.

Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian

glukosa darah, lemak darah dan tekanan darah.

Page 11: DKD TERPADU

5. Tahap V

Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah sehingga pasien

menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan memerlukan tindakan khusus yaitu

terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal.

Pada DM tipe II, pada saat diagnosis ditegakkan, sudah banyak pasien yang mengalami

mikro dan makroalbuminuria, karena sebenarnya DM telah berlangsung bertahun-tahun

sebelumnya. Lagipula keberadaan albuminuria kurang spesifik untuk adanya nefropati

diabetik. Tanpa penanganan khusus 20-40 % dari tahap ini akan berlanjut kepada nefropati

nyata. Setelah terjadinya penurunan LFG maka laju penurunan akan bervariasi secara

individual, akan tetapi 20 tahun setelah keadaan ini, hanya sekitar 20 % pada mereka yang

berlanjut menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada tahap ini tidak ada lagi

perbedaan antara DM tipe I dan tipe II. Begitupun karena usia pasien dengan DM tipe II lebih

tua, maka banyak pula pasien yang diiringi penyakit jantung koroner, yang sering membuat

pasien tak sampai mencapai PGTA. Akan tetapi karena penanggulangan PJK dewasa ini telah

lebih baik, maka banyak pula pasien DM yang hidupnya cukup lama yaitu sampai mengalami

gagal ginjal.

II.5 Terapi dan Pencegahan

Tanda-tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi, dan selalu

pula dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus juga merupakan faktor

resiko untuk progresivitas kepada tahap berikutnya sampai ke tahap akhir. Faktor resiko

lainnya adalah konsumsi rokok. Dengan demikian, maka terapi di tiap-tiap tahapan pada

umumnya sama dan adalah juga merupakan tindakan pencegahan untuk memperlambat

progresivitas dimaksud. Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah,

dan kendali lemak darah. Disamping itu, perlu pula dilakukan mengubah gaya hidup seperti

pengaturan diet, penurunan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan

merokok dll. Semua tindakan ini adalah juga tindakan preventif terhadap penyakit

kardiovaskuler. Di dalam pengelolaan penyakit ginjal diabetik, yang dilaporkan memberikan

hasil positif adalah dengan:

Pengendalian kadar glukosa darah secara intensif. Non farmakologis terdiri dari 3

pengelolaan penyakit ginjal diabetik yaitu:

1. Edukasi.

Page 12: DKD TERPADU

Hal ini dilakukan untuk mencapai perubahan prilaku, melalui pemahaman tentang

penyakit DM, makna dan perlunya pemantauan dari pengendalian DM, penyulit

DM, intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus

yang dihadapi, dll.11,18,19,20,22

2. Perencanaan makan.

Perencanaan makan pada pasien DM dengan komplikasi penyakit ginjal diabetik

disesuaikan dengan penatalaksanaan diet pada penderita gagal ginjal kronis.

Perencanaan diet yang diberikan adalah diet tinggi kalori, rendah protein dan rendah

garam. Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet

rendah protein sangat penting. Dalam suatu penelitian klinik selama 4 tahun pada

pasien DM Tipe I diberi diet mengandung protein 0,9 gr/kgBB/hari selama 4 tahun

menurunkan resiko terjadinya penyakit gagal ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD)

sebanyak 76 %. Pada umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung

protein sebanyak 0,8 gr/kgBB/hari yaitu sekitar 10 % dari kebutuhan kalori pada

pasien dengan nefropati overt, akan tetapi bila LFG telah mulai menurun, maka

pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gr/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk

memperlambat penurunan LFG selanjutnya. Jenis protein sendiri juga berperan

dalam terjadinya dislipidemia. Mengganti daging merah dengan daging ayam pada

pasien DM tipe II telah pula ditunjukkan menurunkan eksresi albumin dalam urin

sebanyak 46 % dengan juga disertai penurunan total kolesterol, LDL kolesterol dan

apo-lipoprotein B. Ini mungkin karena komposisi lemak jenus (tak jenuh) pada

kedua jenis bahan makanan yang berbeda. Pemberian diet rendah protein ini harus

diseimbangkan dengan pemberian diet tinggi kalori, yaitu rata-rata 40-50 Kal/24

jam. Pasien DM sendiri cenderung mengalami keadaan dislipidemia. Keadaan ini

perlu diatasi dengan diet dan obat bila diperlukan. Dislipidemia diatasi dengan statin

dengan target LDL kolesterol < 100mg/dl pada pasien DM dan < 70 mg/dl bila

sudah ada kelainan kardiovaskuler.17,19,22,26-28

3. Latihan Jasmani.

Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani

dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, tapi

tetap harus disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani pasien. Contoh

latihan jasmani yang dimaksud adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang.

Prinsipnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance).15,17

Intervensi Farmakologis yang perlu dilakukan adalah :

Page 13: DKD TERPADU

1. Pengendalian DM

Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun) dengan melibatkan ribuan

pasien telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif akan

mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskuler, baik pada

DM tipe I maupun tipe II. Oleh karena itu, perlu sekali diupayakan agar terapi ini

dilaksanakan sesegera mungkin. Diabetes terkendali yang dimaksud adalah

pengendalian secara intensif kadar gula darah, lipid dan kadar HbAlc sehingga

mencapai kadar yang diharapkan. Selain itu pengendalian status gizi dan tekanan

darah juga perlu diperhatikan.9,10,13,15,17,26-28

Indikator keberhasilan Target

Glukosa darah puasa 80-100 mg/dl

Glukosa darah 2 jam pp 80-144 mg/dl

A1C <6,5%

Kolesterol total <200

Kolesterol LDL <100

Kolesterol HDL >45

Trigliserida <150

2. Pengendalian Tekanan Darah17,19,21,23-26

Pengendalian tekanan darah merupakan hal yang penting dalam pencegahan dan

terapi nefropati diabetik. Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi

efek perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi maupun terhadap

organ kardiovaskuler. Makin rendah tekanan darah yang dicapai, makin baik pula

renoproteksi. Banyak panduan yang menetapkan target yang seharusnya dicapai

dalam pengendalian tekanan darah pada pasien diabetes.

Pada pasien diabetes dan kelainan ginjal, target tekanan darah yang dianjurkan oleh

American Diabetes Association dan National Heart, Lung, and Blood Institute adalah

< 130/80 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih berat ≥ 1 gr/24 jam, maka target

lebih rendah yaitu < 125/75 mmHg.

Pengelolaan tekanan darah dilakukan dengan dua cara, yaitu non-farmakologis dan

famakologis. Terapi non-farmakologis adalah melalui modifikasi gaya hidup antara

lain menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok,

serta mengurangi konsumsi garam. Harus diingat bahwa untuk mencapai target ini

Page 14: DKD TERPADU

tidak mudah. Sering harus memakai kombinasi berbagai jenis obat dengan berbagai

efek samping dan harga obat yang kadang sulit dijangkau pasien. Hal terpenting yang

perlu diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan apapun jenis

obat yag dicapai. Akan tetapi karena Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor

(ACE-I) dan Angiotensin Reseptor blocker (ARB), dikenal mempunyai efek

antiprotein uric maupun renoproteksi yang baik, maka selalu disukai pemakaian obat-

obatan ini sebagai awal pengobatan hipertensi pada pasien DM. Pada pasien hipertensi

dengan mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, ACE inhibitor dan ARB

merupakan terapi utama yang paling dianjurkan. Jika salah satu tidak dapat diterima

atau memberikan hasil yang kurang maksimal maka dapat dianjurkan penggunaan

Non Dihydropyridine Calcium–Channel Blockers (NDCCBs).

3. Penanganan Gagal Ginjal9,10,15,17,18,24,26

Dasar penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

Terapi konservatif dan terapi pengganti.

a. Terapi Konservatif

1. Memperkecil beban ginjal atau mengurangi kadar toksin uremik:

- keseimbangan cairan

- diet tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam bila ditemukan adanya

oedema atau hipertensi

- menghindarkan obat-obat nefrotoksik (NSAID, aminoglikosida, tetrasiklin,

dll)

2. Memperbaiki faktor-faktor yang reversible

- mengatasi anemia

- menurunkan tekanan darah

- mengatasi infeksi

3. Mengatasi hiperfosfatemia dengan memberikan Ca(CO)3 dan diet rendah

fosfat

4. Terapi penyakit dasar seperti DM

5. Terapi keluhan:

- untuk mual/muntah diberikan Metoklopramid

- untuk gatal-gatal diberikan Dipenhydramin

6. Terapi komplikasi

- payah jantung dengan Diuretik, vasodilator, dan hati-hati terhadap

pemberian digitalis

Page 15: DKD TERPADU

b. Terapi pengganti

1. Dialisis

- hemodialisis

- dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan

- indikasi : bila Klirens Kreatinin kurang dari 5 cc/menit.

2. Cangkok ginjal

4. Penanganan Multifaktorial5,11,13,15,17,20,21,26

Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Center di Copenhagen mendapatkan

bahwa penanganan intensif secara multifaktorial pada pasien DM tipe II dengan

mikroalbuminuria menunjukkan pengurangan faktor resiko yang jauh melebihi

penanganan sesuai panduan umum penanggulangan diabets nasional mereka. Juga

ditunjukkan bahwa penurunan yang sangat bermakna pada kejadian kardiovaskuler,

termasuk stroke yang fatal dan nonfatal. Demikian pula kejadian yang spesifik seperti

nefropati, retinopati, dan neuropati autonomik lebih rendah. Yang dimaksud dengan

intensif adalah energi yang dititrasi sampai mencapai target, baik tekanan arah, kadar

gula darah, lemak darah dan mikroalbuminuria juga disertai pencegahan penyakit

kardiovaskuler dengan pemberian aspirin. dalam kenyataanya pasien dengan terapi

intensif lebih banyak mendapat obat golongan ACE-I dan ARB. Demikian juga

dengan obat hipoglikemik ora

l atau insulin. Untuk pengendalian lemak darah lebih banyak mendapat statin. Bagi

pasien yang sudah berada dalam tahap V gagal ginjal maka terapi yang khusus untuk

gagal ginjal perlu dijalankan, sepeti pemberian diet rendah protein, pemberian obat

pengikat fosfat dalam makanan, pencegahan dan pengobatan anemia dengan

pemberian eritropoietin dan lain-lain. Pada tinjauan kasus ini, akan difokuskan pada

pembahasan tentang diagnosis dan penatalaksanaan diabetik kidney disease pada

penderita DM.

III. Kasus

Seorang laki-laki, 58 tahun, Hindu, Bali datang ke rumah sakit dikeluhkan tidak sadar sejak

30 menit sebelumnya. Saat diwawancara, pasien mengatakan tidak ingat mengapa dia dibawa

ke rumah sakit tetapi hanya mengingat sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit tubuhnya

gemetar, keluar keringat dingin dan jantung berdebar kemudian merasa pusing dan gelisah.

Pasien sempat mengatakan minum obat diabetes yang didapat dari dokter umum pagi dan

sore. Sesak napas yang dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, seperti sulit

Page 16: DKD TERPADU

mengeluarkan napas. Dirasakan makin lama makin memberat, namun masih mampu

beraktivitas. Memberat mendadak saat di UGD setelah sadar dari pingsannya. Penglihatan

kabur yang dirasakan sejak 10 tahun yang lalu, pasien tidak mampu melihat jelas wajah orang

di sekitarnya. Hal ini dirasakan semakin memberat sejak keluhan ini pertama dirasakan. Berat

badan dikatakan menurun. Sekitar 15 tahun yang lalu pasien pernah memiliki berat badan 80

kg, namun kini berat badan hanya 58 kg walaupun makan dan minumnya biasa saja. Makan

3x sehari, satu piring tiap kali makan. Frekuensi berkemihnya agak menurun, dulu dikatakan

5-6 kali sehari, dengan volume berkemih 1-2 gelas per kali. Sejak sebulan yang lalu

berkurang menjadi 2-3 x/hari, dengan volume 1/2 gelas kali. Urine berwarna agak keruh,

berbuih, tidak berbau. Badan lemas dikatakan dirasakan sejak setahun yang lalu, memberat

sejak sebulan. Lemas di seluruh badan, hampir sepanjang hari, bertambah berat bila

digunakan beraktivitas dan sedikit membaik jika beristirahat.

Saat ini pasien sedang menjalani pengobatan DM, rutin berobat ke dokter umum dan

diberikan obat Glibenklamid. Pasien menderita DM sejak tahun 1987, kontrol ke dokter

hanya bila muncul keluhan. Sejak Mei 2008 mulai mengkonsumsi obat diabetes. Saat itu

datang ke dokter karena merasa kedua tangannya kesemutan. Hipertensi diketahui sejak saat

itu, namun tidak rutin berobat. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal, batu.

Adik laki-laki menderita DM, diketahui di dokter setelah melakukan pemeriksaan gula darah.

Penderita dahulu seorang perokok namun sudah berhenti sejak sakit DM. Kebiasaan minum

alkohol maupun mengkonsumsi jamu-jamuan tidak ada.

Pada hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 18 Desember 2009

didapatkan penderita dengan kesadaran compos mentis (E4V5M6) dengan tekanan darah

170/90 mmHg. Nadi 84 kali per menit, reguler, isi cukup. Respirasi 24 kali per menit (teratur,

tipe thorakal). Temperatur aksila 36,70 C. Tinggi badan 165 cm, berat badan 58 kilogram,

IMT 21,3 kg/m2.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada kedua mata tampak anemia ringan. Tidak

tampak ikterus, refleks pupil positif pada kedua mata. Telinga Hidung Tenggorokan dalam

batas normal. Pada leher tidak didapatkan peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP).

Pemeriksaan thorak didapatkan dada simetris kanan dan kiri saat statis dan dinamis,

namun ekspansi dada menurun. Pada palpasi didapatkan fremitus vokal menurun pada kedua

sisi basal, perkusi redup pada kedua sisi paru dari ICS V, auskultasi didapatkan suara nafas

vesikuler menurun dari ICS V, tanpa ronkhi maupun wheezing pada kedua sisi paru.

Pemeriksaan fisik jantung, inspeksi iktus cordis tidak tampak, palpasi iktus kordis teraba pada

MCL kiri ICS V, tidak kuat angkat, pada perkusi didapatkan batas atas pada ICS II, batas

Page 17: DKD TERPADU

kanan PSL kanan ICS IV, batas kiri pada MCL kiri ICS V, auskultasi didapatkan S1S2

tunggal reguler, tidak ada murmur.

Pemeriksaan abdomen, inspeksi tidak tampak ada distensi, auskultasi bising usus

normal, palpasi hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan tidak ada, ballotement negatif, perkusi

perut didapatkan suara timpani. Hangat pada keempat ektremitas dan tidak ditemukan adanya

edema pada kedua kaki penderita.

Hasil gula darah saat MRS 29 mg/dl. Pemeriksaan laboratorium tanggal 16 Desember

2008 didapatkan WBC 15,5 K/uL, RBC 3,34 106/mm3, HgB 9,5 gr/dL, HCT 28,7 %, PLT

271 K/uL, MCV 86,1 fl, MCH 28,3 pg, MCHC 32,9 gr/dl, albumin 2,2 g/dl, AST 45 IU/L,

ALT 41 IU/L, BUN 64,1 mg/dL, SC 9,92 mg/dL, Glukosa sewaktu 97 mg/dL, Na 137,1

mmol/L, K 6,79 mmol/L. Pemeriksaan analisa gas darah didapatkan pH 7,32, pCO2 39

mmHg, pO2 126 mmHg, Na+ 135 mmol/L, K+ 7,1 mmol/L, HCO3- 20,1 mmol/L, BE (B) -5,5,

SO2 99 %. Pemeriksaan cairan pleura didapatkan Cell 2/mm3, mono 100%, Rivalta test

negatif, makroskopis tampak warna kuning pucat, tidak ada darah, tidak ada bekuan,

mikroskopis ada eritrosit 2-3, bentuk utuh bikonkaf.

Pemeriksaan tanggal 17/12/08 didapatkan HbA1c 6,0%. Tanggal 22/12/08 didapatkan

glukosa darah sewaktu 208, puasa 141, glukosa darah 2 jam post prandial 160. Pemeriksaan

urine lengkap didapatkan PH 8, leukosit 25, nitrit +, protein 150, eritrosit 25, warna kuning,

sedimen leukosit 4-5, eritrosit 1-2 (dismorfik).

Pemeriksaan EKG tanggal 16 Desember 2008 didapatkan irama sinus, 100 kali per

menit, axis normal. Perubahan segmen ST-T tidak ada.

Pemeriksaan rontgen thorax AP tanggal 16-12-2008 didapatkan CTR 54%, tampak

pinggang jantung, tidak tampak infiltrat, corakan bronkovaskular normal, tampak

perselubungan homogen di kedua lapangan paru setinggi ICS V di hemithoraks kiri dan

setinggi ICS V di hemithoraks kanan. Pada pemeriksaan BOF tanggal 16-12-2008 tidak

didapatkan gambaran batu radioopaque.

Pasien ini didiagnosa dengan koma hipoglikemia ec obat (Glibenkelamide), diabetes

mellitus, efusi pleura bilateral ec hipoalbumin, CKD stg V ec susp DKD dd PNC, anemia

ringan N-N on CKD, Hipertensi stadium II. Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan D40

% 2 fl, D10 % 20 tts/menit, IVFD NS 8 tts/mnt, D50% + 20 unit insulin, diet 35 kkal+0,8 gr

protein/kgBB/hr, asam folat 2x4 mg, CaCO3 3x500 mg, captopril 2x25 mg tab, nifedipine

GITS 1x30 mg, ca glukonas 100 mg IV, kalitake 3x5 g, punksi efusi dan HD cito.

Page 18: DKD TERPADU

Untuk perencanaan mendiagnosis pasien ini direncanakan dilakukan USG Abdomen,

lipid profile, A1C. Konsul mata, neuro dan gizi, SI, TIBC dengan pemantauan vital sign dan

keluhan pasien. Prognosis pada pasien ini dubius ad malam.

IV. Pembahasan

Hipoglikemia pada pasien diabetes ditegakkan bila kadar glukosa plasma ≤ 63% (3,5

mmol/L). Hal ini disebabkan karena respon regulasi non pankreas dimulai pada kadar

glukosa darah 63-65%(3,5-3,6 mmol/L). Pada diabetes, hipoglikemia sering didefinisikan

sesuai gambaran klinisnya. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala triad Whipple yang

meliputi : 1. Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah, 2.

Kadar glukosa rendah (≤3 mmol/L) dan hilangnya keluhan tersebut secara cepat dengan

koreksi.

Tabel 1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia AkutRingan Simptomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan

aktivitas sehari-hari yang nyataSedang Simptomatik, dapat diatasi dengan nyata, menimbulkan

aktivitas sehari-hari yang nyataBerat Sering tidak simptomatik, terdapat gangguan kognitif

sehingga tidak dapat diatasi sendiri.1. Membutuhkan pihak ketiga, tetapi belum

memerlukan terapi parenteral2. Terapi parenteral (glukagon IM atau glukosa IV)3. Disertai koma atau kejang

Keluhan dan gejala hipoglikemia akut yang sering dijumpai pada pasien diabetes adalah

Otonomik Neuroglikopenik MalaiseBerkeringatJantung berdebarTremorLapar

Bingung, mengantukSulit berbicaraInkoordinasiPerubahan perilakuGangguan visualParestesi

MualSakit kepala

Penyebab dari hipoglikemia pada pasien diabetes timbul akibat peningkatan kadar

insulin yang kurang tepat, baik sesudah penyuntikan insulin subkutan ataupun obat yang

meningkatkan sekresi insulin seperti sulfonilurea.

Pada pasien ditemukan gejala hipoglikemia seperti berkeringat, bingung, jantung

berdebar dan penurunan kesadaran, ditemukan kadar glukosa plasma rendah 29 mg/dl, dan

segera merespon dengan pemberian glukosa intravena, sehingga dapat digolongkan menjadi

Page 19: DKD TERPADU

hipoglikemia berat atau koma hipoglikemia. Hipoglikemia yang terjadi pada pasien ini

akibat glibenklamide, suatu kelompok obat hipoglikemik oral yang bekerja meningkatkan

sekresi insulin yang dikonsumsi dua kali pagi dan sore oleh pasien.

Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi DM terus-menerus dibuat baik oleh WHO,

American Diabetes Association (ADA), maupun PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia). Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak

dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Tabel 2.1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dL)

Bukan DM Belum pasti DM DM

Kadar glukosa

darah sewaktu

(mg/dL)

Plasma vena <100 100-199 ≥200

Darah kapiler <90 90-199 ≥200

Kadar glukosa

darah puasa

(mg/dL)

Plasma vena <100 100-125 ≥126

Darah kapiler <90 90-99 ≥100

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa

poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal,

mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita.

Tabel 2. 2. Kriteria diagnosis diabetes melitus

1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)

Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa

memperhatikan waktu makan terakhir

Atau

2. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)

Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

Atau

3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)

TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang

setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

Page 20: DKD TERPADU

Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru

satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan

pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal.

Pada pasien diagnosis ditegakkan dari anamnesis, didapatkan bahwa pasien telah

dikatakan menderita DM sejak tahun 1987, didapatkan penurunan berat badan serta dari

pemeriksaan gula darah sewaktu 208 mg/dl serta gula darah puasa 141 mg/dl (22/12/09). Dari

hasil pemeriksaan HbA1C ditemukan hasil 6,0 mg/dl. Dari kriteria pengendalian DM, hal ini

masuk ke dalam pengendalian baik. Namun hal ini bukanlah satu-satunya kriteria yang

digunakan karena HbA1C hanya menggambarkan pengendalian dalam waktu 3 bulan

terakhir. Pemeriksaan lipid profile diperlukan untuk mengetahui indikator lain dari

keberhasilan terapi.

Diagnosis PGK mengacu pada kriteria K/DOQI didasarkan atas 2 kriteria, yaitu :

1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau

tanpa penurunan penurunan laju filtrasi glomerolus berdasarkan kelainan patologik

atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada komposisi darah atau urin atau

kelainan pada pemeriksaan pencitraan.

2. Laju filtrasi glomerolus < 60 ml/min/1,73 m3 selama ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa

kerusakan ginjal.

PGK diklasifikasikan berdasarkan oleh laju filtrasi glomerolus, yaitu stadium yang

lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerolus yang lebih rendah, berdasarkan ada

atau tidaknya penyakit ginjal.

Tabel 1. Stadium Penyakit Ginjal Kronik

Stadium Deskripsi LFG (ml.min/1,73 m3)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau > 90

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60-89

3 Penurunan LFG sedang 30-59

4 Penurunan LFG berat 15-29

5 Gagal Ginjal < 15 atau dialisis

LFG dihitung menggunakan rumus Cockroft Gault yaitu :

LFG (ml/menit/1,73 m3) = ( 140 – umur ) x BB x 0,85 (jika wanita)

72 x kreatinin plasma

Page 21: DKD TERPADU

Pasien ini didiagnosis dengan PGK stadium V ec. susp. DKD dd PNC. Berdasarkan

rumus Cockroft Gault, LFG pasien saat ini adalah 6,65. Hal ini berarti sesuai dengan kriteria

dan klasifikasi yaitu PGK stadium V atau gagal ginjal.

Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus

yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/ 24 jam atau >200µg/menit) pada

minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. Dasar dari diagnosis penyakit

ginjal diabetik adalah adanya riwayat diabetes mellitus yang lama disertai dengan

ditemukannya protein atau albumin dalam urin. Tahapan nefropati diabetik oleh Mogensen

dibagi menjadi 5 tahap yaitu :

Tahapan nefropati diabetik oleh Mogensen

Tahap Kondisi AER LFG TD Prognosis1 Hipertropi

hiperfungsiN ↑ N Reversibel

2 Kelainan struktur N ↑/N ↑/N Mungkin reversibel

3 Mikroalbuminuria persisten

20-200 mg/menit

↑ ↑ Mungkin reversibel

4 MakroalbuniuriaProteinuria

>200 mg/menit

Rendah Hipertensi Mungkin bisa stabilisasi

5 Uremia Tinggi/rendah <10 ml/menit

Hipertensi Kesintasan 2 tahun + 50%

Penyebab dari gagal ginjal pada pasien ini adalah suatu penyakit ginjal diabetik. Hal ini

didukung dari anamnesis bahwa pasien telah mengidap diabetes lama sejak 22 tahun (1987)

dengan kontrol yang tidak teratur. Menurut tahapan Mogensen, pasien ini dapat digolongkan

nefropati diabetik tahap 5, karena ditemukan ekskresi albumin tinggi yang ditandai dengan

menurunnya kadar albumin darah(Alb : 2,2), LFG yang rendah < 10 ml/menit (6,65), serta

hipertensi.

Hiperglikemia pada tahap awal dapat menyebabkan peningkatan LFG (hiperfiltrasi),

hal ini diikuti dengan kompensasi berupa peningkatan ukuran ginjal yang terjadi baik karena

hipertropi ginjal maupun peningkatan proliferasi tubulointerstisial. Perubahan yang terlihat

setelahnya adalah mikroalbuminuria persisten (ekskresi albumin 30-300 mg/hari), yang jika

tidak tertangani dapat berkembang menjadi proteinuria (ekskresi albumin >300 mg/hari.

Proteinuria ini menandakan kerusakan glomerulus yang parah, sampai akhirnya ginjal tidak

mampu menjalankan fungsi ekskresi, yang ditandai dengan LFG yang rendah (<10 ml/menit)

Page 22: DKD TERPADU

dan menumpuknya bahan uremik. Mekanisme hiperglikemia menyebabkan nefropati diabetik

adalah melalui beberapa hal : efek langsung glukosa melalui protein kinase C, efek produk

akhir glikasi (AGE) dan efek dari sorbitol (poliol pathway)

Pasien ini juga didiagnosa anemia ringan normokromik normositer ec. PGK. Secara

laboratorik anemia dijabarkan sebagai penurunan kadar hemoglobin, eritrosit dan hematokrit

di bawah normal. Sesuai dengan umur pasien maka kadar RBC 3,34 juta/mm3, HgB 9,5

gr/dL, HCT 28,7 % berada dibawah normal. Derajat anemia pada pasien ini adalah anemia

ringan, sesuai dengan klasifikasi derajat anemia ringan yaitu HgB 8-9,9 g/dl. Klasifikasi

anemia pada pasien ini didasarkan atas morfologik dan etiopatogenesis yaitu anemia

normokromik normositer ec. PGK karena nilai MCV 86,1 fl (80-94), MCH 28,3 pg (27-32)

masih dalam batas normal serta penyebab anemia pada pasien ini oleh karena PGK. Penyebab

utama terjadinya anemia pada PGK adalah penurunan produksi eritropoietin oleh ginjal.

Akan tetapi banyak faktor non renal yang ikut berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi,

masa hidup eritrosit yang memendek, dan faktor-faktor yang berpotensi menurunkan fungsi

sumsum tulang seperti defesiensi besi, asam folat, toksisitas aluminium dan

hiperparatiroidism.

Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah pasien 170/90 mmHg. Sesuai dengan

klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 maka pasien ini diklasifikasi dalam hipertensi stadium

II.

Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII

Klasifikasi Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)NormalPrehipertensiHipertensi stadium IHipertensi stadium II

< 120 dan < 80120-139 atau 80-89140-159 atau 90-99> 160 atau > 100

Seperti diketahui bahwa hipertensi dan diabetik nefropati merupakan dua hal yang

memiliki hubungan timbal balik, di mana hipertensi dapat menyebabkan nefropati diabetik

dan nefropati diabetik juga dapat menyebabkan hipertensi sekunder. Hipertensi pada

nefropati diabetik disebabkan karena keterlibatan sistem renin angiotensin. Mekanisme

patologi yang menyebabkan angiotensin II menyebabkan nefropati diabetik tidak terlalu jelas.

Sebagai tambahan efek hemodinamik yaitu dengan meningkatkan tekanan darah sistemik dan

glomerulus, menyebabkan proteinuria, dan vasokonstriksi ginjal, angiotensin II juga

merangsang proliferasi sel, hipertropi, ekspansi matriks dan sintesis sitokin terutama TGFß.

Pada pasien ini hipertensi diketahui baru sejak Mei 2008, setelah pasien menderita

Page 23: DKD TERPADU

DM hampir selama 20 tahun. Jadi kemungkinan hipertensi terjadi setelah terjadinya nefropati

diabetik atau kerusakan ginjal. Hipertensi memiliki berbagai macam komplikasi berupa

kerusakan target organ seperti jantung (hipertrofi ventrikel kiri, angina atau infark myokard,

gagal jantung), otak (stroke dan Transient Ischemic Attack), penyakit ginjal kronis, penyakit

arteri perifer, dan retinopati. Pada pasien ini pada pemeriksaan toraks, tidak ditemukan tanda

hipertensi yang lama seperti pembesaran jantung (CTR 54%).

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui mikroangiopati

adalah pemeriksaan optalmologi dengan funduskopi. Pada pemeriksaan dapat dicari suatu

retinopati diabetik atau retinopati hipertensif. Namun hal ini sulit dicari pada pasien karena

dari konsul mata yang dilakukan didapatkan katarak di kedua mata.

Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan resistensi pembuluh darah perifer,

di mana jika salah satu atau keduanya meningkat maka akan menyebabkan peningkatan

tekanan darah. Pada PGK kedua faktor tersebut mengalami peningkatan yang disebabkan

karena penurunan fungsi ginjal. Penyebab utama hipertensi pada PGK adalah

ketidakmampuan ginjal mengekskresikan natrium dan air. Hal ini akan menyebabkan air

yang berada di ekstraseluler akan berpindah ke pembuluh darah untuk menyesuaikan

osmolaritas darah, sehingga volume darah akan bertambah dan menyebabkan peningkatan

curah jantung.

Peningkatan resistensi vaskular pada PGK dipengaruhi oleh beberapa hal. Pada PGK

terjadi disregulasi sistem renin angiotensin yang disebabkan oleh iskemia pada aparatus

jukstaglomerolus. Iskemia tersebut mengakibatkan ketidakadekuatan pengaktifan renin

terhadap rangsangan natrium. Pada PGK juga terjadi aktivitas berlebihan dari sistem saraf

simpatis yang terjadi akibat peningkatan sensitifitas kemoreseptor ginjal terhadap toksin

uremic dan afferent limb yang akan mengaktifkan sistem saraf simpatik sentral. Pada PGK

juga terjadi peningkatan vasopresor (Endothelin I dan Thromboxane) dan penurunan

vasodilator (Nitric Oxide). Hiperparatiod sekunder yang diakibatkan oleh hiperfosfatemia

juga mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular melalui peningkatan kalsium

intraseluler, efek langsung terhadap sekresi renin, dan sensitisasi otot polos pembuluh darah

terhadap vasopresor.

Pada pemeriksaan klinis di UGD ditemukan pasien tampak sesak. Pemeriksaan toraks

didapatkan dada simetris kanan dan kiri saat statis dan dinamis, namun ekspansi dada

menurun. Pada palpasi didapatkan fremitus vokal menurun pada kedua sisi basal, perkusi

redup pada kedua sisi paru dari ICS V. Hal ini ditunjang dengan hasil foto toraks tampak

perselubungan homogen di kedua lapangan paru setinggi ICS V di hemithoraks kiri dan

Page 24: DKD TERPADU

setinggi ICS V di hemithoraks kanan. Hal ini mendukung adanya suatu efusi pleura bilateral.

Penatalaksanaan untuk memastikan pasien dengan efusi pleura adalah dengan dilakukan

punksi pleura. Pada pasien ini punksi dilakukan untuk kepentingan diagnostik dan terapi.

Dari pemeriksaan cairan pleura ditemukan bahwa cairan efusi merupakan cairan eksudat dan

bilateral, hal ini mendukung efusi yang disebabkan karena kelainan sistemik dalam kasus ini

adalah hipoalbuminemia (2,2). Hipoalbuminemia yang terjadi diakibatkan karena

peningkatan ekskresi albumin melalui ginjal.

Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan D40 % 2 fl, D10 % 20 tts/menit, IVFD NS

8 tts/mnt, diet 35 kkal+0,8 gr protein/kgBB/hr, asam folat 2xII tab, CaCO3 3x1 tab, captopril

2x25 mg tab, nifedipine GITS 1x30 mg, ca glukonas 1 amp IV, D50% + 20 unit insulin,

kalitake 3x1 sachet, Natrium bikarbonat 50 meq bolus dilanjutkan 50 meq/jam drip, punksi

efusi dan HD cito.

Pemberian glukosa intravena sesuai dengan penatalaksanaan hipoglikemia akut berat.

Penatalaksanaan lainnya yang dapat dilakukan adalah pemberian glukagon intramuskular.

Untuk cairan pada pasien ini diberikan IVFD NaCl 0,9 % 8 tetes/menit. Jumlah cairan yang

masuk dan keluar harus dimonitoring karena adanya fungsi ginjal yang menurun serta untuk

mencegah terjadinya kelebihan cairan yang masuk. Pasien tidak disarankan untuk minum

banyak karena dapat menyebabkan kelebihan cairan dalam tubuh sehingga dapat

memperberat beban ginjal, memperparah terjadinya peningkatan tekanan darah, ascites, dan

edema ekstrimitas.

Rekomendasi dari K-DOQI untuk mempertahankan keadaan klinik stabil pada pasien

gagal ginjal sebelum dilakukan HD reguler adalah 0,8 gram protein/kgBB/hr, di mana 50 %

protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi. Energi yang dibutuhkan adalah 35

Kkal/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menurunkan hasil katabolisme protein dan asam

amino berupa ureum, fosfat dan toksin uremik lainnya yang tidak dapat diekskresikan oleh

ginjal. Kebutuhan kalori harus dipenuhi guna mencegah terjadinya pembakaran protein tubuh

dan merangsang pengeluaran insulin. Selain itu pada pasien ini juga dilakukan diet rendah

garam karena adanya hipertensi dan edema.

Untuk mencegah osteodistrofi tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder, kadar

fosfat serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfat (terutama daging dan susu).

Apabila LFG < 30 ml/menit, diperlukan pemberian pengikat fosfor seperti kalsium karbonat

atau kalsium asetat yang diberikan pada saat makan. Pada penderita ini juga diberikan CaCO3

3x500 mg untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia, sehingga hipokalsemia dan

hiperparatiroidisme dapat dicegah.

Page 25: DKD TERPADU

Pada penatalaksanaan pasien ini diberikan asam folat 3 x I. Pemberian asam folat

dimaksudkan untuk mengatasi keadaan hiperhomositein pada PGK. Peningkatan kadar

homosistein dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Selain itu asam

folat juga dimaksudkan untuk mengatasi anemia pada pasien PGK yang disebabkan oleh

defisiensi asam folat.

Pasien ini didiagnosa dengan hipertensi derajat II, sehingga modalitas terapi yang

digunakan adalah kombinasi dua atau lebih macam obat antihipertensi. Pada pasien ini

diberikan captopril 2 x 25 mg Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu mekanisme

terjadinya hipertensi pada pasien PGK adalah melalui aktivasi sistem renin angiotensin. Oleh

sebabkan itu terapi lini pertama adalah anti hipertensi golongan ACE Inhibitor. Suatu

penelitian membuktikan bahwa pemberian ACE inhibitor dapat menurunkan proteinuria dan

memperbaiki perubahan glomerulus berkaitan dengan penurunan tekanan hidrostatik

glomerulus. Penelitian juga menunjukkan bahwa ACE inhibitor juga menurunkan cedera

tubulointerstitial pada percobaan Diabetes. Suatu penelitian pada manusia juga menunjukkan

ACE inhibitor menghambat progresi mikroalbuminuria pada diabetes tipe 1 dan 2. Kombinasi

yang disukai untuk hipertensi pada DM adalah ACE inhibitor dan Angiotensin Reseptor

Blocker (ARB) karena efek antiprotein uric maupun renoproteksi yang baik. Penggunaan

Dihydropiridine Calsium Channel Blocker pada hipertensi dengan DM dan PGD masih

merupakan kontroversi, karena penggunaan tunggal dapat meningkatkan proteinuria dan

angka kejadian kardiovaskuler. Namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan

DCCB apabila dikombinasikan dengan ACE inhibitor tidak terbukti meningkatkan risiko

kardiovaskuler. Target terapi pada pasien hipertensi dengan PGK adalah < 130/80.

Terapi untuk hiperkalemia pada pasien ini adalah hemodialisis cito. Indikasi

hemodialisis adalah:

1. Indikasi cito

Pericarditis/efusi perikardium

Ensefalopati/neuropati azotemik

Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan

diuretik.

Hiperkalemia (> 6,5)

2. Indikasi elektif

Sindrom uremia

Hipertensi sulit terkontrol

Overload cairan

Page 26: DKD TERPADU

Persiapan preoperasi

Oliguria-anuria (3-5 hari)

BUN > 120 mg% dan kreatinin > 10mg% atau CCT < 5 ml/menit.

Namun karena pasien menolak dilakukan hemodialisis cito, maka yang dapat

dilakukan adalah dengan pemberian ca glukonas 1 amp IV yang berperan untuk mencegah

efek kalium pada otot jantung yaitu terjadinya aritmia, D50% + 20 unit insulin yang

berfungsi untuk memasukkan kalium ke intrasel, kalitake 3x5 g untuk meningkatkan

penyerapan kalium di usus, Natrium bikarbonat 50 meq bolus dilanjutkan 50 meq/jam drip

yang berfungsi untuk mengatasi asidosis metabolik. Kemudian dilakukan pemantauan Na-K

setiap hari dan direncanakan dilakukan konsultasi gizi, mata dan neuro yang dilakukan

sebagai penalaksanaan diabetes terpadu.

Prognosis pasien ini dubius ad malam baik tanda-tanda vital maupun fungsi tubuh

secara keseluruhan. Pasien sudah masuk dalam tahap gagal ginjal kronik dan sampai saat ini

terapi definitif untuk gagal ginjal kronik adalah terapi pengganti baik itu transplantasi,

hemodialisis, maupun peritonial dialisis. Pasien dengan gagal ginjal kronik juga memiliki

berbagai macam komplikasi oleh karena hipertensi, anemia, hiperfosfatemia, maupun uremic

toksin yang juga bisa memperburuk prognosis pada pasien ini.

V. Ringkasan

Penyakit ginjal diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik dari penyakit DM.

Patogenesis yang menyebabkan keadaan hiperglikemi menyebabkan penyakit ginjal diabetik

melalui alur metabolik yang melibatkan produk akhir glikasi (AGE), protein kinase C dan

polyol, serta alur hemodinamik yang terutama melibatkan sistem angiotensin II.

Pada pasien ini penyakit ginjal kronik yang terjadi diakibatkan karena penyakit

diabetes yang diderita pasien selama > 20 tahun. Pasien ini dapat digolongkan nefropati

diabetik tahap 5, karena ditemukan ekskresi albumin tinggi yang ditandai dengan

menurunnya kadar albumin darah (Alb : 2,2), LFG yang rendah < 10 ml/menit (6,65), serta

hipertensi.

Pasien ini didiagnosa dengan koma hipoglikemia ec obat (Glibenkelamide), diabetes

mellitus, efusi pleura bilateral ec hipoalbumin, CKD stg V ec susp DKD dd PNC, anemia

ringan N-N on CKD, Hipertensi stadium II. Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan D40

% 2 fl, D10 % 20 tts/menit, IVFD NS 8 tts/mnt, D50% + 20 unit insulin, diet 35 kkal+0,8 gr

protein/kgBB/hr, asam folat 2x4 mg, CaCO3 3x500 mg, captopril 2x25 mg tab, nifedipine

GITS 1x30 mg, ca glukonas 100 mg, kalitake 3x5 g, punksi efusi dan HD cito.

Page 27: DKD TERPADU

DAFTAR PUSTAKA

1. Foster, D.W., Unger, R.H., (1998), DM, in: Williams Textbook of Endocrinology, 9th

ed, WB Saunders, Philadelphia, Pg 973-1039.

2. Waspadji, S., (1996), Komplikasi Kronik DM: Pengenalan dan Penanganannya.

dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ketiga, Gaya Baru, Jakarta, hal. 597-

614.

3. Sundoyo, Ari W, dkk. (Juni 2006), Penyakit Ginjal Diabetik, dalam: Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

FKUI, Jakarta, Hal. 545-547.

4. Perkeni. Konsensus Pengelolaan DM Tipe 2 Di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni; 2006.

5. Bethesda.”Kidney Disease of Diabetes” Available at: http: // www. kidney. niddk.

nih. gov / kudiseases / pubs / kdd / index.htm. Accessed December l8, 2006.

6. Sukandar, E., (2006). Nefropati Diabetik Pada DM Tidak Tergantung Insulin

(DMTTI), dalam: Nefrologi Klinik Edisi III. FK UNPAD/RS Hasan Sadikin,

Bandung.

7. Bieke F. Schrijvers, An S. De Vriese, Allan Flyvbjerg. From Hyperglicemia to

Diabetic Kidney Disease: The Role of Metabolic, Hemodynamic, Intracellular Factor

and Growth Factor/Cytokines. The Endocrine Society. Endocrine reviews 25: 971-

1010, 2004.

8. “Diabetic Nephropathy”, (2006, August 30-last update), Available at:

http://www.diabetes.org.uk/ (Accessed: 2008 December 17).

9. Joshua, A.,”Diabetic Nephropathy”, Available at: http: // www. Cleveland

clinicmeded. com / disease management/ nephrology.htm. (Accessed: at December l8,

2008) .

10. DeFronzo RA, (1996), Diabetic Nephropathy. In: Ellendberg & Rifkin’s DM, 5th ed.

Connecticut: Appleton Lange. pp: 971-1008.

11. Goldman Ausiello. Cecil Essential of Medicine. “Diabetes and The Kidney”. WB

Saunders Company, USA, l997.

12. Micahl, T. “Diabetic Nephropathy: Common Questions”, Available at:

http://www.aafp.org/afp/20050701/96.html. (Accessed 2008, December l8).

13. “Diabetic Nephropathy”. Available at:http://en.wikipedia.org/wiki/

Diabeticnephropathy . (Accessed 2006, December l8).

Page 28: DKD TERPADU

14. Michael, S., “Diabetic Nephropathy: Clinical Evidence Concise”, Available at:

http://www.aafp.org/afp/20051201/bmj.html, (Accessed 2008, December l8).

15. Rudd and Osterberg. (2002), Hypertension: context, patophysiologi and management.

In: Text of cardiovascular medicine. 2nded. Philadelphia: Lippincott Williams and

Wilkins.

16. Feldman EL, et all. Diabetic neuropathy. In: Principles and practice of endocrinology

and metabolism. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2001: 1391-

1402.

17. Roesli R, Endang S,Djaafar J. Nefropati Diabetik. In: Buku ajar ilmu penyakit dalam .

3rd ed. Jakarta: Gaya Baru; 1996; II: 356-365

18. Sutjahjo A. Neuropati diabetik: “Dasar-dasar Diagnosis, Patogenesis, dan

Penatalaksanaan Ditinjau Dari Sudut Pandang Diabetelogis. In: Naskah lengkap

simposium pengelolaan dan penanganan penyakit endokrin dan metabolik. Medan:

Perkumpulan Endokrinologi Cabang medan. 1995: 95-110.

19. “Diabetic Nephropathy” (2006, July 25 – last update). Available at:

http://renux.dmed.ed.ac.uk/edren/EdRenINFObits/Diabetic_nephLong.html

(Accessed 2008, December 18).

20. Nicholas Robertloon, MB, BCh, BAO. Diabetic Kidney Disease: Preventing Dialysis

and Transplantation. Clinical Diabetes. Vol. 21:2. 2003

21. Steigerwalt S, MD, FACP. Management hypertension in Diabetic Patient With

Chronic Kidney Disease. Diabetes Spectrum. Vol.21: 1. 2008

22. “Diabetes and Cardiovascular Disease Review”, Available at: http: // www. diabetes.

org / uedocuments / ADA cardioreview_2pdf. (Accessed 2008, December l8)

23. Perkeni. (2002), Petunjuk Praktis Pengelolaan DM Tipe 2. Jakarta: PB Perkeni.

24. Gale EAM & Anderson JV., (2002), DM And Other Dissorder Of Metabolism. In:

Kumar & Clark clinical medicine. London: WB Saunders.

25. Loekman JS. (2003), Beberapa Hal Baru Dalam Penatalaksanaan Hipertensi, dalam:

Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. 11th ed. Denpasar: Bagian

Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/ RS Sanglah.pp. 1-7.

26. Kevin J. Hardy, Niall J. Furlong, Shirley A Hulme. Delivering Improved Management

and Outcomes in Diabetic Kidney Disease in Routine Clinical Care. The British

Journal Diabetes and Vascular Disease.

27. Williams G H. Hipertensive vascular disease. In: Harrison’s of internal medicine. 15 th

ed. India: Mc Graw-Hill. 2003; 1: 1414-1377.

Page 29: DKD TERPADU

28. Powers AC. DM. In: Harrison’s of internal medicine. 15th ed. India: Mc Graw-Hill.

2003; 2: 2109-2137