37
i DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN TERHADAP HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN LEGAL CERTAINTY OF COMPENSATION THE RIGHTS OF INDIGENOUS PEOPLE ON THE LAND ACQUISITION FOR DEVELOPMENT Oleh: YULIANUS PABASSING P0400311420 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

  • Upload
    others

  • View
    54

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

i

DISERTASI

KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN TERHADAP HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH

DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN

LEGAL CERTAINTY OF COMPENSATION THE RIGHTS OF INDIGENOUS PEOPLE ON THE LAND ACQUISITION FOR

DEVELOPMENT

Oleh:

YULIANUS PABASSING P0400311420

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

Page 2: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

ii

KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN TERHADAP HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH

DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN

LEGAL CERTAINTY OF COMPENSATION THE RIGHTS OF INDIGENOUS PEOPLE ON THE LAND ACQUISITION FOR

DEVELOPMENT

DISERTASI

Sebagai salah satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Doktor Pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum

Disusun dan diajukan oleh

YULIANUS PABASSING P.0400311420

Kepada

PROGRAM DOKTOR PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

Page 3: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

iii

Page 4: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

iv

Abstrak

Yulianus Pabassing (P0400311420), Kepastian Hukum Ganti Kerugian Terhadap Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, dibawah bimbingan, Abrar Saleng, Aminuddin Salle, A. Suriyaman Mustari Pide.

Penelitian ini bertujuan memahami: (1) kedudukan tanah adat dalam hukum Nasional terhadap pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum; (2) kepastian hukum ganti kerugian terhadap tanah masyarakat hukum adat dalam pengadaan tanah untuk pembangunan; (3) mendorong terwujudnya kepastian hukum yang berkeadilan melalui ekonomi,sosial politik,dan budaya hukum.

Metode penelitian bertipe normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, sosiologi hukum dan filsafat hukum. Sumber Bahan Hukum menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Hasil penelitian menunjukan, pertama, kedudukan tanah adat dalam hukum Nasional adalah dihormati sebagai hak milik oleh karena itu tanah adat tidak dapat diambil begitu saja oleh pemerintah dengan alasan demi kepentingan umum namun hak mereka perlu dihargai dan dihormati sebagai pemilik tanah adat tersebut. Kedua, kepastian hukum terhadap proses ganti kerugian belum tercapai,karena proses ganti kerugian mengabaikan prinsip penghormatan dan eksistensi masyarakat hukum adat sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Pemerintah tidak melibatkan secara penuh masyarakat hukum adat dalam proses musyawarah ganti kerugian. Ketiga, mendorong tertib administrasi pertanahan tanah melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 2016 bisa dipakai sebagai instrumen untuk menciptakan tertib administrasi pertanahan di Papua. Gagasan ekonomi berkelanjutan dilakukan melalui pembentukan lembaga ekonomi produktif milik masyarakat hukum adat berbasis kampung.; gagasan sosial politik melalui pembentukan suatu badan kerjasama pemerintah dan masyarakat hukum adat); dan gagasan budaya hukum, edukasi kesadaran hukum mengenai fungsi sosial tanah dalam rangka kepentingan publik. Kata Kunci: Pengadaan Tanah, Tanah Adat, Masyarakat Hukum Adat.

Page 5: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

v

Page 6: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

vi

KATA PENGANTAR

Pertama-tama Peneliti mengucapkan Puji Syukur kepada Tuhan

Yang Maha Esa telah memberikan kesempatan dan kesehatan kepada

peneliti untuk dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai syarat mutlak

dalam meraih gelar Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Unhas

Makassar.

Hasil penelitian ini tidaklah dapat disajikan dalam rangkaian ujian

akhir pada program Doktor ilmu Hukum Pakultas Hukum Unhas tanpa

partisipasi atau bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu melalui

kesempatan ini peneliti penyampaikan terima kasih yang sebesar

besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Hasanuddin Makassar, Prof. Dr. Dwia Aries Tina

Pulubuhu, MA, Dekan Fakultas Hukum Unhas Prof. Dr. Farida

Pattitingi, S.H, M.Hum, Ketua Program Pascasarjana (S3) ilmu

Hukum, Prof. Dr. Abdul Rasak, S.H, M.H. Serta Dekan Sekolah

Pascasarjana Unhas Prof. Dr. Muhammad Ali, penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas

kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk menimba

ilmu Sekolah Pascasarjana Unhas serta kepada bapak ibu Dosen

Fakultas Hukum Unhas yang tiada bosan bosannya memberi

motivasi dan arahan kepada penulis sejak awal kuliah hingga

penulisan Disertasi ini.

Page 7: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

vii

2. Prof. Dr. Ir.Abrar Saleng, S.H, M.H selaku Promor telah banyak

memberikan bimbingan dan arahan mulai dari pengembangan

minat, pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan Disertasi

ini dengan penuh ketulusan dan kesabaran yang luar biasa

sehingga dapat menyelesaikan Pada Promosi ini.

3. Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H, M.H Selaku Ko Promotor telah

banyak memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga

Disertasi Saya bisa pada tahap Promosi.

4. Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H, M.H Selaku Ko Promotor

telah banyak memberikan membimbingan dan arahan dengan

penuh kesabaran sehingga Disertasi Saya selesai pada tahap

Promosi

5. Para penguji yaitu Prof. Dr. Farida Pattitingi, S.H, M.Hum, Prof.Dr.

Aminuddin Ilmar,S.H, M.H, Prof. Dr. Anwar Borahima, S.H, M.H,

Dr. Sri Susyanti Nur, S.H, M.H yang banyak memberikan masukan

sejak saat kuliah sampai pada saat ujian Promosi.

6. Terima kasih pula Saya sampaikan kepada Ketua Yayasan Umel

Manadiri Jayapura dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Umel

Mandiri Jayapura serta teman teman seangkatan tahun 2011

mahasiswa S3 dari Umel Mandiri.

7. Terima kasih juga Saya sampaikan kepada pihak Kantor

Perhubungan Provinsi Papua dan pihak Kantor Badan Pertanahan

Page 8: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

viii

Nasional Kabupaten Jayapura dan Badan Pertanahan Nasional

Kota Jayapura serta Kepala Kepala suku.

8. Terima kasih juga kepada keluarga besar saya Ibunda dan Ayanda

serta Istri Saya dan Anak-anak yang telah dapat memberikan

dorongan selama saya kuliah dari awal sampai selesai.

Akhir kata semoga amal baik yang telah dicurahkan para pemberi

bantuan, penulis mendoakan mendapat berkat dari Tuhan Yang Maha

Kuasa.

Makassar, April 2017

Page 9: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

ix

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Saya yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : Yulianus Pabassing

NIM : P0400311420

Pekerjaan : Mahasiwa Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana

Universitas Hasanuddin

Menyatakan dengan benar dan jujur bahwa karya tulis dengan judul

“Kepastian Hukum Ganti Kerugian Terhadap Hak Masyarakat Hukum Adat

Atas Tanah dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan”, adalah murni

hasil penelitian saya sebagai prasyarat dalam Ujian Doktor Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan penuh kesadaran

tanggungjawab. Terimakasih.

Peneliti

Ttd

Yulianus Pabassing

Page 10: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... ii ABSTRAK ............................................................................................. iii ABSTRACT ........................................................................................... iv PRAKATA ............................................................................................. v LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ................................................. viii DAFTAR ISI .......................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1 B. Rumusan Masalah .......................................................... 20 C. Tujuan Penelitian ............................................................ 21 D. Kegunaan Penelitian .................................................... 21 E. Orisinalitas Penelitian .................................................... 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 25 A. Konsep Hukum Nasional Tentang Tanah

dan Tanah Masyarakat Hukum Adat ............................. . 25 1. Hukum Pertanahan dalam Sistem Hukum .................. 25 2. Fungsi Tanah dalam Pembangunan .......................... 32 3. Tanah Adat dalam Konsepsi Hukum Adat .................. 44 4. Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah

Dalam Konsep Hak Asasi Manusia ............................ 48 5. Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Nasional ...... 54

B. Pengertian Masyarakat Hukum, Masyarakat Adat, dan Masyarakat Hukum Adat ......................................... 63 1. Masyarakat Hukum ..................................................... 64 2. Masyarakat Adat ........................................................ 66 3. Masyarakat Hukum Adat ............................................ 71

C. Konsepsi Hak Masyarakat Adat Menurut Hukum Adat .. 76 D. Konsepsi Hak Masyarakat Adat Menurut UUPA ............. 85 E. Eksistensi Tanah Ulayat Sebagai Tanah Adat ................ ..89 F. Dilema Mengembang-Mengempisnya Hak Kolektif

(Hak Masyarakat Adat) atas Tanah dalam Eksistensi Hukum Adat Kini, dan Masa Mendatang ....100

G. Konsep Ganti Kerugian .................................................. 105 1. Aspek Ganti Kerugian .............................................. 107 2. Asas-Asas Ganti Rugi ............................................. 108 3. Musyawarah dalam Penentuan Ganti Kerugian ....... 111

H. Konsep Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum .. 116 1. Konsep Pengadaan Tanah ....................................... 116 2. Konsep Kepentingan Umum .................................... 122

I. Keadilan dalam Ganti Kerugian ...................................... 128 1. Teori Keadilan .......................................................... 128

Page 11: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

xi

a) Keadilan Restitutif (Restituve Justice) ................ 133 b) Keadilan Restoratif (Restorative Justice) ........... 135 c) Keadilan Distributif (Distributive Justice) ............. 136 d) Teori Keadilan Sebagai Kejujuran

Menurut John Rawls (Justice as Fairness) ........ 140 J. Teori Sistem Hukum ...................................................... 142 K. Teori Kepastian Hukum .................................................. 152 L. Teori Kontrak Sosial ....................................................... 158 M. Kerangka Pikir ................................................................ 168 N. Definisi Operasional ....................................................... 169

BAB III METODE PENELITIAN ....................................................... 171 A. Tipe Penelitian ................................................................ 171 B. Lokasi Penelitian .............................................................. 172 C. Populasi dan Sampel ....................................................... 172 D. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ................................... 173 E. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ………………………174 F. Analisis Bahan Hukum .................................................. 176

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 177 A. Kedudukan Tanah Adat dalam Hukum Nasional dalam

Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan di Papua ........ 177 1. Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Nasional. ........ 177 2. Masalah Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan di Papua . .................................................................... 182

a. Substansi Hukum Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua ....................................... 185

b. Kewenangan Pengadaan Tanah Adat untuk Pembangunan di Papua ............................ 199

c. Penegakan Hukum Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Hukum Adat dalam Pengadaan Tanah Adat untuk Pembangunan di Papua ...................................... 205

B. Kepastian Hukum Ganti Kerugian Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua .................................................. 215 1. Penegakan Hukum dan Kepastian Hukum Ganti

Kerugian Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua ....... 215 a. PendaftaranTanah Adat Melalui Permen Agraria

dan Tata Ruang No 10 Tahun 2016 ....................... 224 b. Akta Tanah Adat Melalui Dewan Adat .................... 230

2. Korelasi Budaya Hukum Masyarakat Hukum Adat Papua dan Kepastian Hukum Ganti Kerugian Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua ...... 232

C. Gagasan Kepastian Hukum yang Berkeadilan

Page 12: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

xii

dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua ........................................................................... 240 1. Gagasan Ekonomi untuk Menciptakan Kepastian

Hukum yang Berkeadilan dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua ..................................... 240 a) Menciptakan Kepastian Hukum yang

Berkeadilan dalam Pengadaan Tanah dengan Paradigma Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan ............................................ 240

b) Pemanfaatan Ganti Kerugian Tanah Adat Melalui Usaha Ekonomi Komunal Produktif Berkelanjutan .......................................................... 245

2. Gagasan Sosial-Politik Kepastian Hukum yang Berkeadilan dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua ..................................... 258

3. Gagasan Budaya Kepastian Hukum yang Berkeadilan dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua ..................................... 265

BAB V PENUTUP .............................................................................. 274 A. Kesimpulan ..................................................................... 274 B. Saran .............................................................................. 275

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 277

Page 13: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan hal yang sentral dalam kehidupan manusia.

Eksistensi tanah terlihat dalam fungsinya baik secara ekonomi, sosial,

budaya, politik, hukum, dan pembangunan. Dalam berbagai bidang

tersebut, tanah berperan sentral dan memiliki nilai guna yang mampu

mengembangkan kehidupan manusia. Bahkan tanpa tanah, eksistensi

dan jatidiri manusia dapat tercabut.

Peran sentral tanah dalam hidup manusia, menyebabkan Jean

Jacques Rousseau menempatkan aspek pemilikan tanah rakyat

sebagai bagian dari teori kontrak sosial (social contract)1. Sebagai

bagian dari kontrak sosial, tanah menyimpan dalam dirinya fungsi

sosial, yaitu digunakan dengan tetap memperhatikan kepentingan

orang lain dan sekaligus dapat digunakan untuk kepentingan umum.

Dalam kerangka kepentingan umum tersebut, kepemilikan tanah

dihormati dan dilindungi secara yuridis, agar tidak dilanggar secara

semena-mena.

1 Bernhard Limbong, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Regulasi, Kompensasi, Penegakan Hukum, Jakarta: Margaretha Pustaka, 2011, hlm. 1. Dalam menentukan hak atas sebidang tanah, siapa penghuni pertama menjadi faktor yang menentukan. Secara hukum, kedudukan penghuni pertama diakui sebagai pemilik jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) tidak ada seorang pun yang menempati tanah tersebut, (2) tanah tersebut dikuasai hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan bukan untuk komoditas, (3) proses pemilikan tidak ditentukan oleh sekadar upacara ritual, melainkan terdapat bukti atas pemilikan yang wajib dihormati oleh orang lain.

Page 14: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

2

Perlindungan hukum atas kepemilikan tanah diatur secara tegas

dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (4), yaitu dalam kategori

perlindungan berdasarkan hak milik, dan UU Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 6

UUPA ditegaskan bahwa walaupun terdapat kepemilikan pribadi atas

tanah, namun kepemilikan pribadi tersebut memiliki makna sosial yaitu

memperhatikan kepentingan orang lain dan sekaligus dapat digunakan

untuk kepentingan umum. Oleh karena itu, hak milik pribadi atas tanah

dapat dicabut jika tanah diperuntukkan secara sosial, dalam hal ini

berkaitan dengan pembangunan untuk kepentingan umum.

Meskipun negara memiliki kuasa untuk mencabut hak milik

pribadi atas tanah dengan alasan pembangunan, namun negara tidak

dapat menutup mata bahwa sebagian besar tanah di Indonesia

dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat hukum adat yang terdiri dari

berbagai suku dan atau kelompok-kelompok etnis. Kepemilikan dan

penguasaan tanah-tanah adat ini bahkan ditopang oleh hukum adat

yang beraneka ragam. Eksistensi hukum adat yang menopang hak

masyarakat adat atas tanah atau hak ulayat2 ini ditengarai seringkali

menimbulkan hambatan dalam usaha pemerintah untuk membebaskan

tanah-tanah tersebut guna pembangunan demi kepentingan umum.

2 Istilah “hak ulayat” menurut pandangan A. Suriyaman Mustari Pide, dapat diganti dengan istilah “hak masyarakat adat”. Menurut Beliau, berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukannya, konsep hak ulayat dalam era modern ini memiliki kecenderungan untuk “mengempis” atau sulit untuk ditemukan lagi. Apabila dalam penelitian ini masih ditemukan eksistensi hak ulayat, maka penelitian ini diharapkan menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya. Dalam kaitan dengan itu, dalam penelitian ini akan digunakan konsepsi “hak masyarakat adat” sebagaimana diungkapkan oleh A. Suriyaman Mustari Pide, sebagai sebuah konsep yang sangat orisinal.

Page 15: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

3

Dalam kaitan dengan hal di atas, Pasal 3 UUPA menegaskan

bahwa pelaksanaan hak masyarakat adat dan hak-hak yang serupa itu

dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih

ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan

nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta

tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan-peraturan lain

yang lebih tinggi. Pemikiran ini ditegaskan kembali dalam Pasal 5

UUPA yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas

bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang

berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia

dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum

agama. Dengan demikian, dalam pencabutan hak milik masyarakat

adat atas tanah (hak masyarakat adat) demi kepentingan umum,

negara harus memperhatikan hukum adat sebagai pijakan, selain UU

yang berlaku secara nasional, sekaligus menjaga eksistensi

masyarakat hukum adat agar “campur tangan” negara dalam

kepemilikan hak masyarakat adat tersebut tidak mencederai integritas

masyarakat hukum adat.

Sehubungan dengan itu, pencabutan hak milik masyarakat adat

atas tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum, harus

memperhatikan aspek ganti kerugian yang seimbang. UUPA Pasal 18

telah menetapkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk

Page 16: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

4

kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari

rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti

kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan UU. Definisi

ganti kerugian ini kemudian dijabarkan dalam berbagai peraturan

perundang-undangan lainnya yaitu UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang

Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Di

Atasnya dan kemudian dilengkapi dengan PP Nomor 39 Tahun 1973

tentang Acara Penetapaan Ganti Rugi oleh Pengadilan Tinggi

sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-

Benda yang Ada Di Atasnya. Di tahun yang sama terbit Instruksi

Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-

Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Di Atasnya.

Selanjutnya pada tahun 1993 dikeluarkan Keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang

kemudian diganti lagi dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Setahun kemudian

diterbitkan lagi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65

Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36

Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pada tahun 2012

diundangkan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah

Page 17: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

5

Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang

diikuti dengan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum, sebagaimana diubah dengan Perpres

Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 71

Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum3.

UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menegaskan

bahwa yang dimaksud dengan ganti kerugian ialah penggantian yang

layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan

tanah. Konsep “layak dan adil” menurut pemerintah ini secara tersirat

ditemukan dalam penilaian ganti kerugian oleh penilai dari pihak

3 Sebagai catatan, perubahan terhadap Perpres Nomor 71 Tahun 2012 hanya mengenai ketentuan Pasal 120 dan Pasal 121 sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 120 ditambah 2 (dua) ayat, yakni ayat (3) dan ayat (4) sehingga Pasal 120 berbunyi sebagai berikut: Pasal 120 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya operasional dan biaya pendukung yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya operasional dan biaya pendukung yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. (3) Biaya operasional dan biaya pendukung pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan penugasan khusus, mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Biaya operasional dan biaya pendukung pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dalam rangka pembangunan infrastruktur hulu minyak dan gas bumi, mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

2. Ketentuan Pasal 121 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 121 Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar, dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.

Peneliti berpandangan bahwa oleh karena perubahan ini tidak berkaitan dengan hal fundamental yang dipersoalkan dalam penelitian ini, maka Perpres 712012 tetap digunakan sebagai dasar hukum.

Page 18: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

6

pemerintah (Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 UU Nomor 2 Tahun 2012),

yang kemudian dijadikan sebagai dasar musyawarah penetapan ganti

kerugian. Adapun nilai yang dijadikan dasar musyawarah penetapan

ganti kerugian ini seolah-oleh diniscayakan dalam Perpres Nomor 71

Tahun 2012. Dalam Pasal 74 Perpres Nomor 71 Tahun 2012

disebutkan bahwa bentuk ganti kerugian diberikan sesuai nilai ganti

kerugian yang nominalnya sama dengan nilai yang ditetapkan oleh

penilai. Dalam pemikiran semacam ini, kehadiran musyawarah

hanyalah suatu formalitas belaka. Persis pada poin ini, konflik tanah

yang melibatkan masyarakat adat yang memiliki hak masyarakat adat

dan pemerintah yang mencabut hak masyarakat adat dapat terjadi.

Masalah pembebasan tanah sangat rawan dalam

penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang

banyak, apabila dilihat dari kebutuhan pemerintah akan tanah untuk

keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara

yang tersedia sangatlah terbatas, oleh karena itu satu-satunya cara

yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik

masyarakat, baik yang telah dikuasai dengan hak berdasarkan Hukum

Adat maupun hak-hak lainnya menurut UUPA4.

Memang diketahui bahwa bentuk-bentuk ganti kerugian dalam

Perpres Nomor 71 Tahun 2012 yang merupakan peraturan pelaksana

dari UU Nomor 2 Tahun 2012 tersebut lebih akomodatif, yaitu dalam

4 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 45.

Page 19: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

7

bentuk uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan

saham, dan bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak (Pasal 74

Perpres Nomor 71 Tahun 2012). Namun demikian, dalam

musyawarah, yang diutamakan ialah pemberian ganti kerugian dalam

bentuk uang (Pasal 75 Perpres Nomor 71 Tahun 2012). Penekanan

ganti kerugian dalam bentuk uang sebagai yang utama seringkali

menyebabkan konflik dua arah yang berkepanjangan karena pada

umumnya sulit dicapai kata sepakat mengenai nominal uang ganti

kerugian.

Stimulus konflik dua arah antara pemerintah dan masyarakat

hukum adat juga disebabkan oleh diabaikannya kerugian non fisik. UU

Nomor 2 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tidak

memperhitungkan kerugian non fisik ini, yang menurut hemat Peneliti,

memiliki nilai yang jauh lebih besar. Sebagaimana dalam paragraf

awal, Peneliti menjelaskan bahwa tanah pada hakekatnya berkorelasi

langsung dengan eksistensi manusia. Hilangnya kepemilikan atas

tanah sama dengan tercabutnya manusia dari eksistensi hidupnya.

Dalam kategori non fisik, tanah, terutama tanah ulayat, memiliki nilai

esoteris yang tinggi karena di dalamnya terkandung nilai sejarahnya,

kenyamanan, ketenangan, kesenangan, pergaulan sosial,

perkumpulan/solidaritas, memori/kenangan bersama (seperti memoria

collectiva menurut Maurice Halbwachs5). Konflik tanah pun dimulai

5 Mudji Sutrisno, Ide Ide Pencerahan, Jakarta: Obor, 2004, hlm. 241.

Page 20: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

8

ketika uang yang disediakan pemerintah tidak mampu membeli atau

menggantikan nilai sejarah tanah ulayat, kenyamanan, ketenangan,

kesenangan, pergaulan sosial, kedekatan, perkumpulan/solidaritas,

memori/kenangan bersama pada tanah yang didiami bersama

tersebut.

Harus diakui bahwa kehadiran UU Nomor 2 Tahun 2012 dan

Perpres Nomor 71 Tahun 2012 rupanya belum mampu menjawab

persoalan ganti kerugian ini. Bahkan terhadap UU ini telah dilakukan

judicial review di MK. Andrinof A. Chaniago, Dosen FISIP UI selaku

Saksi Ahli dalam Sidang pengujian UU Nomor 2 Tahun 2012 di

Mahkamah Konstitusi mengungkapkan bahwa ketentuan dalam pasal-

pasal mengenai definisi kepentingan umum, telah menghilangkan hak

warga negara untuk menentukan jenis-jenis pembangunan untuk

kepentingan umum dan mana yang bukan. Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012 ini telah mendefinisikan sendiri dan menentukan jenis-

jenis pembangunan yang dikategorikan untuk kepentingan umum6.

6 Dalam Pasal 10 UU Nomor 2 Tahun 2012 ditentukan bahwa tanah untuk kepentingan umum digunakan untuk pembangunan:

a. pertahanan dan keamanan nasional; b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas

operasi kereta api; c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan

sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah; i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; j. fasilitas keselamatan umum; k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;

Page 21: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

9

UU Nomor 2 Tahun 2012 ini pun dipandang sangat represif

terutama dalam kaitan dengan ganti kerugian. Dalam Pasal 39, Pasal

42 ayat (1) dan Pasal 43 diatur bahwa dalam hal pihak yang berhak

menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak

mengajukan keberatan dalam waktu 14 hari kerja setelah musyawarah

penetapan ganti kerugian, karena hukum, pihak yang berhak dianggap

menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian. Ganti kerugian

tersebut kemudian dititipkan di pengadilan negeri setempat. Pada saat

pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak telah

dilaksanakan atau pemberian ganti kerugian sudah dititipkan di

pengadilan negeri, kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang

berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku

dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Hapusnya kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang

berhak yang menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan

keberatan sebagaimana diatur Pasal 39, 42 ayat (1) dan 43 tersebut,

jelas tidak sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum

Menimbang, Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta

Pasal 2 UU ini sendiri yaitu pengadaan tanah untuk kepentingan umum

l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; m. cagar alam dan cagar budaya; n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan

untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan r. pasar umum dan lapangan parkir umum.

Page 22: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

10

harus memperhatikan asas kemanusiaan, keadilan, kesepakatan, dan

asas-asas lain.

Kemudian dalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 33 poin b UU

Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan bahwa obyek pengadaan tanah dan

penilaian besarnya nilai ganti kerugian oleh penilai antara lain meliputi

ruang atas tanah dan bawah tanah. Definisi mengenai apa yang

dimaksud ‘ruang atas tanah dan bawah tanah’ pada pasal tersebut

tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UU ini maupun peraturan

pelaksananya (Perpres Nomor 71 Tahun 2012). Hal ini menjadi kabur

apabila dihubungkan dengan bunyi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang

Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, perlu

kejelasan yang dimaksud serta batasan ruang atas tanah dan bawah

tanah7. Hal ini juga dimaksudkan untuk memberikan penjelasan atas

ketentuan Pasal 4 UUPA yang menyebutkan bahwa hak atas tanah

meliputi permukaan bumi, ruang atasnya dan bawahnya sekedar

diperlukan yang berkaitan dengan permukaan tanahnya. Namun,

dalam UUPA tersebut belum menjelaskan mengenai definisi dan

batasan ruang atas tanah dan bawah tanah.

7 Bdk. gengan Hak Guna Ruang Atas Tanah meliputi hak atas permukaan bumi tempat pondasi bangunan dan hak untuk menguasai ruang udara seluas bangunan tersebut serta hak kepemilikan bangunan, dan Hak Guna Ruang Bawah Tanah meliputi hak atas permukaan bumi yang merupakan pintu masuk/keluar tubuh bumi dan hak membangun dan memakai ruang dalam tubuh bumi, serta hak milik atas bangunan yang berbentuk ruang dalam tubuh bumi.

Page 23: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

11

Dalam kaitan dengan itu, sejatinya tanah ulayat tidak hanya

berwujud tanah yang dijadikan perkampungan, sawah, ladang, kebun

saja tetapi meliputi pula hutan-belukar, padang-ilalang, rawa-rawa,

sungai-sungai, bahkan laut di sekitarnya8. Anggota persekutuan yang

ingin membuka tanah untuk dijadikan persawahan atau ladangnya

harus meminta izin dahulu kepada kepala persekutuan. Bilamana

tanah yang akan dibuka itu belum pernah dibuka oleh orang lain dan

kepala persekutuan tidak berkeberatan, pemohon setelah membayar

sejumlah uang untuk kas persekutuan, ia diizinkan membuka tanah

yang dimaksud. Bilamana tanah dikerjakan terus-menerus dan diolah

sedemikian rupa, dengan mempergunakan tenaga dan modal

sehingga nilai tanah meningkat, maka hubungan penggarap dengan

tanah berupa menjadi hubungan pemilikan. Terciptalah hak milik atas

tanah menurut hukum adat.

Menurut Bernhard Limbong, konflik pertanahan (terutama

mengenai pemberian ganti kerugian yang tidak sepadan atau

seimbang—pen.) menjadi isu nasional karena jumlahnya yang tinggi

dan banyaknya kendala dalam penyelesaiannya, yang secara umum

disebabkan oleh kelemahan regulasi dan kesalahan penerapan hukum

pertanahan, sehingga dalam pelaksanaannya, kepentingan pemegang

hak atas tanah (dalam hal ini masyarakat hukum adat) tidak terlindungi

8 Erman Rajagukguk, “Pemahaman Rakyat tentang Hak atas Tanah”, PRISMA, 9 September 1979.

Page 24: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

12

dengan pasti9. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

menyatakan bahwa ada beberapa kondisi yang menggambarkan

konflik agraria yaitu (a) semakin maraknya sengketa tanah, (b)

semakin terkoordinasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada

sekelompok kecil masyarakat, dan (c) lemahnya jaminan kepastian

hukum atas pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah10.

Pada masa Orde Baru hingga tahun 2001, tercatat sebanyak

1.497 kasus sengketa, dengan luas lahan yang menjadi obyek

sengketa mencapai 1.052.514,37 hektar, dan jumlah anggota

masyarakat yang menjadi korban sebanyak 232.177 Kepala Keluarga

(KK)11. Data lainnya menyebutkan banwa pada akhir 2001 tercatat

sebanyak 1.753 kasus sengketa12. Kemudian pada 2007 meningkat

menjadi sebanyak 2.810 kasus13.

Hal yang patut dicatat berkaitan dengan konflik tanah ialah

bahwa masalah pencabutan hak milik atas tanah bagi pembangunan

demi kepentingan umum sangat sering terjadi di daerah-daerah rawan

konflik semisal Papua. Di Papua, meskipun terdapat UU Nomor 21

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, yang dalam Pasal 43

menyatakan bahwa pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui,

9 Bernhard Limbong, op.cit., hlm. 6. 10 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Tim Koordinasi Kebijakan dan Manajemen Pertanahan, Jakarta: Bappenas, 2003, hlm. 4. 11 Jayadi Damanik, Pembaruan Agraria dan Hak Asasi Petani, Yogyakarta: Lapera Pustaka, 2002, hlm. 22-23. 12 Maria S.W Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009, hlm. 111. 13 Badan Pertanahan Nasional RI, REFORMA AGRARIA Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, 2007, hlm. 1.

Page 25: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

13

menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-

hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan

peraturan hukum yang berlaku, namun dalam kenyataannya konflik

mengenai ganti kerugian atas hak masyarakat adat oleh karena

pencabutan hak milik masyarakat adat atas tanah demi pembangunan

untuk kepentingan umum masih sering terjadi.

Di Merauke misalnya, ketika diadakan transmigrasi oleh

pemerintah pusat, masyarakat hukum adat di sana banyak yang

kehilangan hak masyarakat adatnya karena pemerintah melalui polisi

dan TNI melakukan represi agresif yang memaksa masyarakat hukum

adat untuk melepaskan hak masyarakat adatnya14. Di Sentani, pernah

terjadi beberapa kali pemalangan Bandara Sentani karena masyarakat

hukum adat di tempat itu masih menuntut ganti kerugian yang layak

atas hak masyarakat adat yang digunakan untuk membangun Bandara

Sentani15. Tuntutan pertama datang dari 4 (empat) suku yang

mengakui sebagai pemilik hak masyarakat adat tanah Bandara

Sentani yaitu suku Taime, Yoku, Palo, dan Kopeo16. Tuntutan lainnya

datang dari suku yang lain yang mengaku juga sebagai pemilik tanah

14 Theodorus Erro Yapo, “Ganti Kerugian Atas Tanah Adat Untuk Kepentingan Transmigrasi Di Kabupaten Merauke”, Tesis, Makasar: Universitas Hasanuddin, 2012, hlm. 15. 15 Para Ondoafi dan Ondofolo di Sentani menuntut ganti kerugian dari pemerintah berkaitan dengan pembangunan Bandara Sentani. Di Papua, dikenal Ondoafi atau Ondofolo atau kepala suku atau kepala adat adalah pimpinan masyarakat hukum adat yang bertanggungjawab ke dalam maupun ke luar masyarakat hukum adat. Tanggungjawab Ondoafi/Kepala Suku tesebut termasuk di dalamnya adalah penguasaan, pengelolaan, dan pelepasan tanah adat. 16 http://thevoiceofwestpapua.wordpress.com/2013/10/22/bandara-sentani-akan-ditutup/, 25 April 2013.

Page 26: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

14

adat di areal sekitar bandara, yaitu suku Fele dan suku Mehue17.

Terkait berbagai tuntutan tersebut, pada bulan Desember 2010,

Pemerintah melakukan pembayaran ganti rugi tanah adat yang

digunakan untuk membangun Bandara Sentani, kepada Franzalbert

Joku, Ondofolo (Kepala Suku) Kampung Ifar Besar, sebesar Rp

3.400.000.000; Kepala Suku Koselo Suku Pallo Dominikus R. Pallo,

sebesar Rp 5.500.000.000; Kepala Suku Keret Hendrik Pallo, sebesar

Rp 3.500. 000.000; Kepala Suku Koselo, Bhulende Imea Uriel O. Pallo,

sebesar Rp 1.000.000.000, Anggota Keluarga Demetreus Yoku

sebesar Rp 2.000.000.000, Kepala Keret Suku Kopeuw, Mapjail G.

Kopeuw, sebesar Rp 500.000.000, Anggota Keluarga Demas Taime,

sebesar Rp 360.000.000, Kepala Suku/Konselo Suku Taime,

Melkianus Taime, sebesar Rp 240.000.000, serta Akhona Mesakh

Pallo Rp 1.000.000.00018.

Kemudian, pada April 2014, terjadi lagi pemalangan dari

masyarakat adat di Bandara Sentani yang menuntut ganti rugi lagi

sebesar Rp 400 milyar, dengan ancaman akan dialihkan ke pihak

asing untuk dikelola jika tidak ada pembayaran ganti kerugian

tersebut19. Berikutnya terjadi di daerah Sentani Timur dan Kota

Jayapura, yakni tanah adat yang sudah dilepaskan kepada pemerintah

Belanda dan kemudian kembali dikuasai oleh para pihak masyarakat

17 http://news.detik.com/read/2010/12/17/110045/1527083/10/bandara-sentani-jayapura-dipa gar-betis-penumpang-terlantar, 25 April 2013. 18 http://komisikepolisianindonesia.com/umum/read/3152/17-5-miliar-ganti-rugi-tanah-bandara-sentani-dibayar.html, 25 April 2013. 19 Berita Sore, Papua TV, 18 April 2014.

Page 27: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

15

adat di daerah tersebut (Suku Yoku), oleh pemimpin suku dinyatakan

secara tegas bahwa kehadiran pemerintah penjajahan Belanda dahulu

di Irian hanya bersifat menduduki atau menempati tanah saja,

sehingga hanya menguasai tanah dengan hak pakai. Masyarakat

hukum adat Irian Jaya (waktu itu) belum pernah menyerahkan tanah

dalam bentuk apapun kepada pemerintah penjajahan Belanda baik

secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, maka

pemerintah jajahan Belanda dahulu bukan sebagai pemilik tanah. Jika

bukan sebagai pemilik tanah, maka bagaimana mungkin Belanda

menyerahkan tanah itu kepada pihak lain dalam hal ini pemerintah

Indonesia untuk dibangun jalan umum? Pendapat masyarakat adat di

atas hendaknya dipahami sebagai berlakunya hukum adat tentang

tanah yang sampai sekarang masih kuat, sehingga dalam

pengambilan tanah masyarakat hukum adat oleh pemerintah untuk

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, kiranya hak

mereka perlu dihargai dan dihormati. Hal ini tentunya sesuai pula

dengan prinsip pengakuan atas lembaga hak atas tanah adat yakni

hak masyarakat adat sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3 UUPA.

Adapun persoalan pemalangan tanah adat yang digunakan oleh

Pemerintah untuk kepentingan umum di Papua, diduga memiliki

banyak motif. Motif pertama berkaitan dengan kepemilikan tanah adat

itu sendiri, sebagaimana dalam beberapa contoh yang disebutkan di

atas. Motif lainnya ialah motif politis, misalnya terkait pemekaran

Page 28: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

16

wilayah20, juga motif ekonomi21, dan motif ketidakpuasan dalam

perekrutan CPNS22. Adapun di Papua, tindakan pemalangan dapat

dilakukan berkali-kali dengan berbagai alasan yang berbeda, terutama

alasan terkait kepemilikan tanah adat. Setiap pemalangan yang

dilakukan pada umumnya diselesaikan melalui pemberian uang.

Konflik lainnya ialah terjadinya tuntutan ganti kerugian yang

dilakukan oleh Kampung Doyo Lama, Kampung Yahim, dan Kampung

Ifale, terhadap tanah yang menjadi maskas TNI-AU yang berlokasi di

Distrik Sentani kelurahan Hinekombe. TNI AU mengklaim bahwa tanah

tersebut telah bertahun-tahun dijadikan markas TNI. Pernyataan ini

sangat lemah karena sejatinya tanah tersebut merupakan milik

masyarakat adat Papua.

Masyarakat adat Papua juga menuntut ganti kerugian terhadap

tanah yang dijadikan pusat pendidikan militer TNI di Rindam. Kampung

Nendali, Netar, Ifar Besar, Sereh, dan Ormu mengklaim bahwa tanah

tersebut merupakan milik masyarakat adat. Masalahnya di antara

suku-suku tersebut belum terdapat kesepahaman dalam hal

kepemilikan tertua terhadap tanah adat tersebut sehingga sampai kini

belum ada kepastian pembayaran ganti kerugian dari TNI terhadap

tanah adat tersebut.

20 http://daerah.sindonews.com/read/2013/04/29/26/742965/akhirnya-blokade-jalan-trans-papua-barat-dibuka , 25 April 2013. 21 http://www.papua.us/2013/07/keluarga-besar-lagowan-larang-pihak.html, 26 April 2013. 22 http://news.detik.com/read/2010/12/17/110045/1527083/10/bandara-sentani-jayapura-dipagar-betis-penumpang-terlantar, 25 April 2013.

Page 29: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

17

Hal yang sama juga terjadi terhadap tanah bandara udara

Advend di Kampung Doyo Baru. Tanah ini diklaim oleh beberapa suku

dari Kampung Doyo Lama dan Kampung Doyo Baru serta Kampung

Bambar. Hingga kini belum ada pembicaraan mengenai ganti kerugian

terhadap tanah adat tersebut.

Contoh terbaru yang terjadi ialah pemalangan jalan alternatif

dari Entrop menuju Perumnas III di Waena. Masyarakat pemilik tanah

adat marga Ohee melakukan pemalangan tersebut dengan alasan

belum diselesaikannya pembayaran ganti rugi tanah adat. Alasan

lainnya ialah tidak lolosnya salah satu anak adat yang telah

dipercayakan menduduki kursi DPRD Kota Jayapura23.

Tindakan pemalangan yang dilakukan berkali-kali oleh

sekelompok masyarakat Papua, menunjukkan adanya kesenjangan

yang sangat besar antara peraturan perundang-undangan mengenai

ganti kerugian di satu sisi, dan penerapannya di sisi lain. Kesenjangan

tersebut terutama berkaitan dengan24:

1. Hak masyarakat adat untuk didengarkan melalui konsultasi:

hal ini sangat penting mengingat masyarakat adat harus

didengarkan secara lebih dekat mengenai kepeduliannya

dalam hal menyampaikan alasan mengapa daerah-daerah

tertentu sebaiknya dikecualikan karena masalah lingkungan,

23 Harian Cendrawasih Pos, Kamis, 1 Mei 2014, hlm. 9. 24 UNDP, Hak-Hak Masyarakat Adat yang Berlaku-Pedoman untuk Konvensi ILO No. 169, Jakarta: UNDP, 2010, hlm. 124.

Page 30: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

18

dampak yang ditimbulkan terhadap tempat-tempat keramat,

polusi, masalah kesehatan, hilangnya dasar subsistensi

ekonomi, dan lain sebagainya. Dalam kenyataannya, ruang

diseminasi informasi dan penjaringan aspirasi masyarakat

“hanya” dimaknai setara dengan uang ganti kerugian. Inilah

yang menimbulkan resistensi masyarakat adat. Dicatat oleh

Aminuddin Salle25, bahwasanya musyawarah untuk

menentukan besaran ganti kerugian, lebih sering terwujud

dalam bentuk pengumpulan para pemilik tanah di kantor

kelurahan atau kecamatan untuk mendengarkan besarnya

ganti kerugian yang sudah disediakan pemerintah; di sini,

apa yang disebut mufakat sebenarnya memuat paksaan dan

tekanan yang dikondisikan bagi masyarakat untuk

melepaskan hak masyarakat adat tanah tersebut.

2. Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan

mengembangkan prioritas dan strategi pembangunan yang

menggunakan tanah-tanah atau wilayah mereka dan sumber

daya lainnya. Dalam kenyataannya, ruang untuk “memilih

dan menentukan sendiri” eksistensi tanah adat seolah-olah

ditutup dengan alasan “kepentingan umum”. Menurut

Aminuddin Salle26, hal ini terjadi karena rencana peruntukan

25 Aminuddin Salle, Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007, hlm. 9-10, 156-157. 26 Ibid., hlm. 161.

Page 31: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

19

dan alasan-alasan untuk dilakukannya pencabutan hak atas

tanah, keterangan tentang nama yang berhak serta luas dan

macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta

benda-benda yang bersangkutan, dan rencana

penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut,

semuanya telah dilakukan oleh “yang berkepentingan” untuk

pencabutan hak atas tanah tersebut.

3. Negara akan berunding dan bekerja sama secara tulus

dengan masyarakat adat melalui institusi-institusi perwakilan

mereka sendiri supaya dapat mencapai persetujuan yang

bebas tanpa paksaan sebelum menyetujui proyek apa pun

yang berpengaruh atas tanah-tanah atau wilayah mereka

dan sumber daya yang lainnya—terutama yang

berhubungan dengan pembangunan untuk kepentingan

umum. Ketulusan negara dalam hal ini seringkali

dipertanyakan karena atas nama modernisasi, negara

seringkali mengabaikan eksistensi hak masyarakat adat

masyarakat hukum adat. Apalagi dalam hal ganti kerugian,

terkesan ada paksaan negara untuk menggantikan tanah

adat dalam bentuk uang yang mau tidak mau harus diambil

oleh masyarakat hukum adat.

Berdasarkan kesenjangan-kesenjangan di atas, dapat dikatakan

bahwa yang dipersoalkan di Papua ialah (1) penentuan besarnya nilai

Page 32: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

20

ganti kerugian atas tanah adat yang dijadikan lahan bagi

pembangunan untuk kepentingan umum, (2) pemberian ganti kerugian

yang berulang-ulang kepada setiap kelompok masyarakat adat yang

melakukan pemalangan, sehingga menunjukkan adanya

ketidakpastian hukum. Dari antara kedua poin tersebut, poin ke-2

memiliki dampak yang sangat luas secara yuridis.

Berkaitan dengan hal di atas, dapat diasumsikan bahwa melalui

pemberian ganti kerugian yang berulang-ulang terhadap kelompok-

kelompok masyarakat di Papua yang melakukan tindakan pemalangan

terhadap tanah yang dianggap sebagai tanah adat, dipertanyakan sisi

kepastian hukum dalam hal pemberian ganti kerugian tersebut. Oleh

karena itu, Peneliti memilih judul disertasi “KEPASTIAN HUKUM

GANTI KERUGIAN TERHADAP HAK MASYARAKAT

HUKUM ADAT ATAS TANAH DALAM PENGADAAN

TANAH UNTUK PEMBANGUNAN”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:

1. Bagaimana supremasi hukum hak masyarakat adat dalam

pengadaan tanah untuk pembangunan di Papua?

Page 33: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

21

2. Bagaimana konsistensi kepastian hukum ganti kerugian hak

masyarakat adat dalam pengadaan tanah untuk

pembangunan di Papua?

3. Bagaimana konsep ideal kepastian hukum yang berkeadilan

dalam pengadaan tanah untuk pembangunan di Papua?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari

penelitian ini ialah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan supremasi hukum hak

masyarakat adat dalam pengadaan tanah untuk

pembangunan di Papua.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan konsistensi kepastian

hukum ganti kerugian hak masyarakat adat dalam

pengadaan tanah untuk pembangunan di Papua.

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan konsep ideal kepastian

hukum yang berkeadilan dalam pengadaan tanah untuk

pembangunan di Papua

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran atau masukan baik secara teoritis

maupun secara praktis yaitu:

Page 34: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

22

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran dan bahan masukan

bagi pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Provinsi

Papua agar dalam pelaksanaan pembangunan

memperhatikan eksistensi hak masyarakat adat atas tanah

dan memberikan pengakuan dalam bentuk ganti kerugian

dan perlu dibentuk peraturan hukum (Perdasi/Perdasus)

dalam upaya menyelesaikan permasalahan tanah yang ada.

2. Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi

bahan masukan dan pertimbangan bagi pihak yang

berwenang dan para pengambil keputusan/kebijakan di

berbagai instansi terkait, terutama bagi pemerintah tentang

pentingnya aspek hukum ganti kerugian dalam pengadaan

tanah hak masyarakat adat demi kepentingan umum.

E. Orisinalitas Penelitian

1. Disertasi Jarot Edy Sulistyono (2006) Universitas Brawijaya,

dengan judul “Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Di Daerah

Perkotaan (Analisis Model Interaktif Implementasi Kebijakan

Pengadaan Tanah Untuk Infrastruktur, Permukiman, Dan Pusat

Perdagangan Di Kota Malang)”. Dalam Disertasinya, Jarot

menganalisis mekanisme ganti kerugian terhadap pembebasan

tanah, baik tanah milik pribadi maupun tanah adat, yang ditujukan

Page 35: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

23

untuk kepentingan umum maupun kepentingan komersil-bisnis.

Disertasi Jarot berbeda dengan disertasi Peneliti karena selain

tempat penelitiannya yang berbeda, obyek kajian Peneliti adalah

aspek kepastian hukum dari pemberian ganti kerugian bagi

pemegang hak atas tanah adat yang digunakan untuk kepentingan

umum di Papua.

2. Tesis Dikko Ammar (2011) Universitas Sumatera Utara, dengan

judul “Analisis Hukum Ganti Rugi Pada Pengadaan Tanah Untuk

Kepentingan Umum Yang Dilakukan Pemerintah Kota Binjai Untuk

Pembangunan Kantor Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) Balai

Benih Ikan Dinas Peternakan Dan Perikanan Kota Binjai Pada

Tahun 2005”. Inti Penelitian tentang pelaksanaan dan pemberian

ganti kerugian yang dilakukan pemerintah kota Binjai terhadap

tanah adat masyarakat Binjai untuk pembangunan kantor UPTD

dari Dina Peternakan dan Perikanan. Perbedaan objek kajian

disertasi ini dengan obyek kajian Peneliti ada pada aspek ganti

kerugian dan locus penelitiannya, di mana Dikko Ammar

menganalisis implementasi ganti kerugian dengan tempat

penelitian di Binjai, sedangkan obyek kajian Peneliti adalah aspek

kepastian hukum dari pemberian ganti kerugian bagi pemegang

hak atas tanah adat yang digunakan untuk kepentingan umum di

Papua.

Page 36: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

24

3. Tesis Sonny Djoko Marlijanto (2010), Universitas Diponegoro-

Semarang, dengan judul “Konsinyasi Ganti Rugi Dalam Pengadaan

Tanah Untuk Kepentingan Umum (Studi Pengadaan Tanah Untuk

Pembangunan Proyek Jalan Tol Semarang-Solo Di Kabupaten

Semarang)”. Penelitian Sonny berbeda dengan penelitian Peneliti

karena Sonny lebih menekankan aspek konsinyasi, sedangkan

Peneliti mempersoalkan aspek kepastian hukum dari pemberian

ganti kerugian bagi pemegang hak atas tanah adat yang digunakan

untuk kepentingan umum di Papua.

4. Tesis I Dewa Gede Putra Joni Dharmawan (2007), Universitas

Diponegoro-Semarang, dengan judul “Pelaksanaan Pengadaan

Tanah Asal Hak Milik Adat untuk Kepentingan Umum di Kecamatan

Dawan Kabupaten Klungkung Provinsi Bali”. Fokus dari

penelitiannya terletak pada pelaksanaan pengadaan tanah hak

milik adat untuk kepentingan umum dan nilai ganti kerugian

terhadap tanah adat tersebut. Penelitian ini berbeda dengan

penelitian Peneliti karena Peneliti lebih berfokus pada aspek

kepastian hukum dari pemberian ganti kerugian bagi pemegang

hak atas tanah adat yang digunakan untuk kepentingan umum di

Papua.

5. Tesis Rahma Yanti (2012), Universitas Sumatera Utara, dengan

judul “Aspek Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Studi

Page 37: DISERTASI KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN …

25

Pelebaran Jalan Di Kabupaten Padang Lawas)”. Penelitian Rahma

Yanti lebih difokuskan pada konsepsi kepentingan umum dalam

pengadaan tanah, dan karena itu penelitiannya berbeda dengan

penelitian Peneliti karena penelitian Peneliti difokuskan pada aspek

kepastian hukum dari pemberian ganti kerugian bagi pemegang

hak atas tanah adat yang digunakan untuk kepentingan umum di

Papua.