Upload
others
View
54
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
DISERTASI
KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN TERHADAP HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH
DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN
LEGAL CERTAINTY OF COMPENSATION THE RIGHTS OF INDIGENOUS PEOPLE ON THE LAND ACQUISITION FOR
DEVELOPMENT
Oleh:
YULIANUS PABASSING P0400311420
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
ii
KEPASTIAN HUKUM GANTI KERUGIAN TERHADAP HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH
DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN
LEGAL CERTAINTY OF COMPENSATION THE RIGHTS OF INDIGENOUS PEOPLE ON THE LAND ACQUISITION FOR
DEVELOPMENT
DISERTASI
Sebagai salah satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Doktor Pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum
Disusun dan diajukan oleh
YULIANUS PABASSING P.0400311420
Kepada
PROGRAM DOKTOR PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
iii
iv
Abstrak
Yulianus Pabassing (P0400311420), Kepastian Hukum Ganti Kerugian Terhadap Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, dibawah bimbingan, Abrar Saleng, Aminuddin Salle, A. Suriyaman Mustari Pide.
Penelitian ini bertujuan memahami: (1) kedudukan tanah adat dalam hukum Nasional terhadap pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum; (2) kepastian hukum ganti kerugian terhadap tanah masyarakat hukum adat dalam pengadaan tanah untuk pembangunan; (3) mendorong terwujudnya kepastian hukum yang berkeadilan melalui ekonomi,sosial politik,dan budaya hukum.
Metode penelitian bertipe normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, sosiologi hukum dan filsafat hukum. Sumber Bahan Hukum menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Hasil penelitian menunjukan, pertama, kedudukan tanah adat dalam hukum Nasional adalah dihormati sebagai hak milik oleh karena itu tanah adat tidak dapat diambil begitu saja oleh pemerintah dengan alasan demi kepentingan umum namun hak mereka perlu dihargai dan dihormati sebagai pemilik tanah adat tersebut. Kedua, kepastian hukum terhadap proses ganti kerugian belum tercapai,karena proses ganti kerugian mengabaikan prinsip penghormatan dan eksistensi masyarakat hukum adat sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Pemerintah tidak melibatkan secara penuh masyarakat hukum adat dalam proses musyawarah ganti kerugian. Ketiga, mendorong tertib administrasi pertanahan tanah melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 2016 bisa dipakai sebagai instrumen untuk menciptakan tertib administrasi pertanahan di Papua. Gagasan ekonomi berkelanjutan dilakukan melalui pembentukan lembaga ekonomi produktif milik masyarakat hukum adat berbasis kampung.; gagasan sosial politik melalui pembentukan suatu badan kerjasama pemerintah dan masyarakat hukum adat); dan gagasan budaya hukum, edukasi kesadaran hukum mengenai fungsi sosial tanah dalam rangka kepentingan publik. Kata Kunci: Pengadaan Tanah, Tanah Adat, Masyarakat Hukum Adat.
v
vi
KATA PENGANTAR
Pertama-tama Peneliti mengucapkan Puji Syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa telah memberikan kesempatan dan kesehatan kepada
peneliti untuk dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai syarat mutlak
dalam meraih gelar Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Unhas
Makassar.
Hasil penelitian ini tidaklah dapat disajikan dalam rangkaian ujian
akhir pada program Doktor ilmu Hukum Pakultas Hukum Unhas tanpa
partisipasi atau bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu melalui
kesempatan ini peneliti penyampaikan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Hasanuddin Makassar, Prof. Dr. Dwia Aries Tina
Pulubuhu, MA, Dekan Fakultas Hukum Unhas Prof. Dr. Farida
Pattitingi, S.H, M.Hum, Ketua Program Pascasarjana (S3) ilmu
Hukum, Prof. Dr. Abdul Rasak, S.H, M.H. Serta Dekan Sekolah
Pascasarjana Unhas Prof. Dr. Muhammad Ali, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk menimba
ilmu Sekolah Pascasarjana Unhas serta kepada bapak ibu Dosen
Fakultas Hukum Unhas yang tiada bosan bosannya memberi
motivasi dan arahan kepada penulis sejak awal kuliah hingga
penulisan Disertasi ini.
vii
2. Prof. Dr. Ir.Abrar Saleng, S.H, M.H selaku Promor telah banyak
memberikan bimbingan dan arahan mulai dari pengembangan
minat, pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan Disertasi
ini dengan penuh ketulusan dan kesabaran yang luar biasa
sehingga dapat menyelesaikan Pada Promosi ini.
3. Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H, M.H Selaku Ko Promotor telah
banyak memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga
Disertasi Saya bisa pada tahap Promosi.
4. Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H, M.H Selaku Ko Promotor
telah banyak memberikan membimbingan dan arahan dengan
penuh kesabaran sehingga Disertasi Saya selesai pada tahap
Promosi
5. Para penguji yaitu Prof. Dr. Farida Pattitingi, S.H, M.Hum, Prof.Dr.
Aminuddin Ilmar,S.H, M.H, Prof. Dr. Anwar Borahima, S.H, M.H,
Dr. Sri Susyanti Nur, S.H, M.H yang banyak memberikan masukan
sejak saat kuliah sampai pada saat ujian Promosi.
6. Terima kasih pula Saya sampaikan kepada Ketua Yayasan Umel
Manadiri Jayapura dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Umel
Mandiri Jayapura serta teman teman seangkatan tahun 2011
mahasiswa S3 dari Umel Mandiri.
7. Terima kasih juga Saya sampaikan kepada pihak Kantor
Perhubungan Provinsi Papua dan pihak Kantor Badan Pertanahan
viii
Nasional Kabupaten Jayapura dan Badan Pertanahan Nasional
Kota Jayapura serta Kepala Kepala suku.
8. Terima kasih juga kepada keluarga besar saya Ibunda dan Ayanda
serta Istri Saya dan Anak-anak yang telah dapat memberikan
dorongan selama saya kuliah dari awal sampai selesai.
Akhir kata semoga amal baik yang telah dicurahkan para pemberi
bantuan, penulis mendoakan mendapat berkat dari Tuhan Yang Maha
Kuasa.
Makassar, April 2017
ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya yang bertandatangan dibawah ini:
Nama : Yulianus Pabassing
NIM : P0400311420
Pekerjaan : Mahasiwa Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Hasanuddin
Menyatakan dengan benar dan jujur bahwa karya tulis dengan judul
“Kepastian Hukum Ganti Kerugian Terhadap Hak Masyarakat Hukum Adat
Atas Tanah dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan”, adalah murni
hasil penelitian saya sebagai prasyarat dalam Ujian Doktor Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan penuh kesadaran
tanggungjawab. Terimakasih.
Peneliti
Ttd
Yulianus Pabassing
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... ii ABSTRAK ............................................................................................. iii ABSTRACT ........................................................................................... iv PRAKATA ............................................................................................. v LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ................................................. viii DAFTAR ISI .......................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1 B. Rumusan Masalah .......................................................... 20 C. Tujuan Penelitian ............................................................ 21 D. Kegunaan Penelitian .................................................... 21 E. Orisinalitas Penelitian .................................................... 22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 25 A. Konsep Hukum Nasional Tentang Tanah
dan Tanah Masyarakat Hukum Adat ............................. . 25 1. Hukum Pertanahan dalam Sistem Hukum .................. 25 2. Fungsi Tanah dalam Pembangunan .......................... 32 3. Tanah Adat dalam Konsepsi Hukum Adat .................. 44 4. Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah
Dalam Konsep Hak Asasi Manusia ............................ 48 5. Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Nasional ...... 54
B. Pengertian Masyarakat Hukum, Masyarakat Adat, dan Masyarakat Hukum Adat ......................................... 63 1. Masyarakat Hukum ..................................................... 64 2. Masyarakat Adat ........................................................ 66 3. Masyarakat Hukum Adat ............................................ 71
C. Konsepsi Hak Masyarakat Adat Menurut Hukum Adat .. 76 D. Konsepsi Hak Masyarakat Adat Menurut UUPA ............. 85 E. Eksistensi Tanah Ulayat Sebagai Tanah Adat ................ ..89 F. Dilema Mengembang-Mengempisnya Hak Kolektif
(Hak Masyarakat Adat) atas Tanah dalam Eksistensi Hukum Adat Kini, dan Masa Mendatang ....100
G. Konsep Ganti Kerugian .................................................. 105 1. Aspek Ganti Kerugian .............................................. 107 2. Asas-Asas Ganti Rugi ............................................. 108 3. Musyawarah dalam Penentuan Ganti Kerugian ....... 111
H. Konsep Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum .. 116 1. Konsep Pengadaan Tanah ....................................... 116 2. Konsep Kepentingan Umum .................................... 122
I. Keadilan dalam Ganti Kerugian ...................................... 128 1. Teori Keadilan .......................................................... 128
xi
a) Keadilan Restitutif (Restituve Justice) ................ 133 b) Keadilan Restoratif (Restorative Justice) ........... 135 c) Keadilan Distributif (Distributive Justice) ............. 136 d) Teori Keadilan Sebagai Kejujuran
Menurut John Rawls (Justice as Fairness) ........ 140 J. Teori Sistem Hukum ...................................................... 142 K. Teori Kepastian Hukum .................................................. 152 L. Teori Kontrak Sosial ....................................................... 158 M. Kerangka Pikir ................................................................ 168 N. Definisi Operasional ....................................................... 169
BAB III METODE PENELITIAN ....................................................... 171 A. Tipe Penelitian ................................................................ 171 B. Lokasi Penelitian .............................................................. 172 C. Populasi dan Sampel ....................................................... 172 D. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ................................... 173 E. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ………………………174 F. Analisis Bahan Hukum .................................................. 176
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 177 A. Kedudukan Tanah Adat dalam Hukum Nasional dalam
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan di Papua ........ 177 1. Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Nasional. ........ 177 2. Masalah Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan di Papua . .................................................................... 182
a. Substansi Hukum Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua ....................................... 185
b. Kewenangan Pengadaan Tanah Adat untuk Pembangunan di Papua ............................ 199
c. Penegakan Hukum Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Hukum Adat dalam Pengadaan Tanah Adat untuk Pembangunan di Papua ...................................... 205
B. Kepastian Hukum Ganti Kerugian Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua .................................................. 215 1. Penegakan Hukum dan Kepastian Hukum Ganti
Kerugian Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua ....... 215 a. PendaftaranTanah Adat Melalui Permen Agraria
dan Tata Ruang No 10 Tahun 2016 ....................... 224 b. Akta Tanah Adat Melalui Dewan Adat .................... 230
2. Korelasi Budaya Hukum Masyarakat Hukum Adat Papua dan Kepastian Hukum Ganti Kerugian Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua ...... 232
C. Gagasan Kepastian Hukum yang Berkeadilan
xii
dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua ........................................................................... 240 1. Gagasan Ekonomi untuk Menciptakan Kepastian
Hukum yang Berkeadilan dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua ..................................... 240 a) Menciptakan Kepastian Hukum yang
Berkeadilan dalam Pengadaan Tanah dengan Paradigma Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan ............................................ 240
b) Pemanfaatan Ganti Kerugian Tanah Adat Melalui Usaha Ekonomi Komunal Produktif Berkelanjutan .......................................................... 245
2. Gagasan Sosial-Politik Kepastian Hukum yang Berkeadilan dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua ..................................... 258
3. Gagasan Budaya Kepastian Hukum yang Berkeadilan dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di Papua ..................................... 265
BAB V PENUTUP .............................................................................. 274 A. Kesimpulan ..................................................................... 274 B. Saran .............................................................................. 275
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 277
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan hal yang sentral dalam kehidupan manusia.
Eksistensi tanah terlihat dalam fungsinya baik secara ekonomi, sosial,
budaya, politik, hukum, dan pembangunan. Dalam berbagai bidang
tersebut, tanah berperan sentral dan memiliki nilai guna yang mampu
mengembangkan kehidupan manusia. Bahkan tanpa tanah, eksistensi
dan jatidiri manusia dapat tercabut.
Peran sentral tanah dalam hidup manusia, menyebabkan Jean
Jacques Rousseau menempatkan aspek pemilikan tanah rakyat
sebagai bagian dari teori kontrak sosial (social contract)1. Sebagai
bagian dari kontrak sosial, tanah menyimpan dalam dirinya fungsi
sosial, yaitu digunakan dengan tetap memperhatikan kepentingan
orang lain dan sekaligus dapat digunakan untuk kepentingan umum.
Dalam kerangka kepentingan umum tersebut, kepemilikan tanah
dihormati dan dilindungi secara yuridis, agar tidak dilanggar secara
semena-mena.
1 Bernhard Limbong, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Regulasi, Kompensasi, Penegakan Hukum, Jakarta: Margaretha Pustaka, 2011, hlm. 1. Dalam menentukan hak atas sebidang tanah, siapa penghuni pertama menjadi faktor yang menentukan. Secara hukum, kedudukan penghuni pertama diakui sebagai pemilik jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) tidak ada seorang pun yang menempati tanah tersebut, (2) tanah tersebut dikuasai hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan bukan untuk komoditas, (3) proses pemilikan tidak ditentukan oleh sekadar upacara ritual, melainkan terdapat bukti atas pemilikan yang wajib dihormati oleh orang lain.
2
Perlindungan hukum atas kepemilikan tanah diatur secara tegas
dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (4), yaitu dalam kategori
perlindungan berdasarkan hak milik, dan UU Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 6
UUPA ditegaskan bahwa walaupun terdapat kepemilikan pribadi atas
tanah, namun kepemilikan pribadi tersebut memiliki makna sosial yaitu
memperhatikan kepentingan orang lain dan sekaligus dapat digunakan
untuk kepentingan umum. Oleh karena itu, hak milik pribadi atas tanah
dapat dicabut jika tanah diperuntukkan secara sosial, dalam hal ini
berkaitan dengan pembangunan untuk kepentingan umum.
Meskipun negara memiliki kuasa untuk mencabut hak milik
pribadi atas tanah dengan alasan pembangunan, namun negara tidak
dapat menutup mata bahwa sebagian besar tanah di Indonesia
dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat hukum adat yang terdiri dari
berbagai suku dan atau kelompok-kelompok etnis. Kepemilikan dan
penguasaan tanah-tanah adat ini bahkan ditopang oleh hukum adat
yang beraneka ragam. Eksistensi hukum adat yang menopang hak
masyarakat adat atas tanah atau hak ulayat2 ini ditengarai seringkali
menimbulkan hambatan dalam usaha pemerintah untuk membebaskan
tanah-tanah tersebut guna pembangunan demi kepentingan umum.
2 Istilah “hak ulayat” menurut pandangan A. Suriyaman Mustari Pide, dapat diganti dengan istilah “hak masyarakat adat”. Menurut Beliau, berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukannya, konsep hak ulayat dalam era modern ini memiliki kecenderungan untuk “mengempis” atau sulit untuk ditemukan lagi. Apabila dalam penelitian ini masih ditemukan eksistensi hak ulayat, maka penelitian ini diharapkan menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya. Dalam kaitan dengan itu, dalam penelitian ini akan digunakan konsepsi “hak masyarakat adat” sebagaimana diungkapkan oleh A. Suriyaman Mustari Pide, sebagai sebuah konsep yang sangat orisinal.
3
Dalam kaitan dengan hal di atas, Pasal 3 UUPA menegaskan
bahwa pelaksanaan hak masyarakat adat dan hak-hak yang serupa itu
dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi. Pemikiran ini ditegaskan kembali dalam Pasal 5
UUPA yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama. Dengan demikian, dalam pencabutan hak milik masyarakat
adat atas tanah (hak masyarakat adat) demi kepentingan umum,
negara harus memperhatikan hukum adat sebagai pijakan, selain UU
yang berlaku secara nasional, sekaligus menjaga eksistensi
masyarakat hukum adat agar “campur tangan” negara dalam
kepemilikan hak masyarakat adat tersebut tidak mencederai integritas
masyarakat hukum adat.
Sehubungan dengan itu, pencabutan hak milik masyarakat adat
atas tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum, harus
memperhatikan aspek ganti kerugian yang seimbang. UUPA Pasal 18
telah menetapkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk
4
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan UU. Definisi
ganti kerugian ini kemudian dijabarkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan lainnya yaitu UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Di
Atasnya dan kemudian dilengkapi dengan PP Nomor 39 Tahun 1973
tentang Acara Penetapaan Ganti Rugi oleh Pengadilan Tinggi
sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-
Benda yang Ada Di Atasnya. Di tahun yang sama terbit Instruksi
Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-
Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Di Atasnya.
Selanjutnya pada tahun 1993 dikeluarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang
kemudian diganti lagi dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Setahun kemudian
diterbitkan lagi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65
Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pada tahun 2012
diundangkan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
5
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang
diikuti dengan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, sebagaimana diubah dengan Perpres
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 71
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum3.
UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menegaskan
bahwa yang dimaksud dengan ganti kerugian ialah penggantian yang
layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan
tanah. Konsep “layak dan adil” menurut pemerintah ini secara tersirat
ditemukan dalam penilaian ganti kerugian oleh penilai dari pihak
3 Sebagai catatan, perubahan terhadap Perpres Nomor 71 Tahun 2012 hanya mengenai ketentuan Pasal 120 dan Pasal 121 sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 120 ditambah 2 (dua) ayat, yakni ayat (3) dan ayat (4) sehingga Pasal 120 berbunyi sebagai berikut: Pasal 120 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya operasional dan biaya pendukung yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya operasional dan biaya pendukung yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. (3) Biaya operasional dan biaya pendukung pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan penugasan khusus, mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Biaya operasional dan biaya pendukung pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dalam rangka pembangunan infrastruktur hulu minyak dan gas bumi, mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
2. Ketentuan Pasal 121 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 121 Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar, dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
Peneliti berpandangan bahwa oleh karena perubahan ini tidak berkaitan dengan hal fundamental yang dipersoalkan dalam penelitian ini, maka Perpres 712012 tetap digunakan sebagai dasar hukum.
6
pemerintah (Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 UU Nomor 2 Tahun 2012),
yang kemudian dijadikan sebagai dasar musyawarah penetapan ganti
kerugian. Adapun nilai yang dijadikan dasar musyawarah penetapan
ganti kerugian ini seolah-oleh diniscayakan dalam Perpres Nomor 71
Tahun 2012. Dalam Pasal 74 Perpres Nomor 71 Tahun 2012
disebutkan bahwa bentuk ganti kerugian diberikan sesuai nilai ganti
kerugian yang nominalnya sama dengan nilai yang ditetapkan oleh
penilai. Dalam pemikiran semacam ini, kehadiran musyawarah
hanyalah suatu formalitas belaka. Persis pada poin ini, konflik tanah
yang melibatkan masyarakat adat yang memiliki hak masyarakat adat
dan pemerintah yang mencabut hak masyarakat adat dapat terjadi.
Masalah pembebasan tanah sangat rawan dalam
penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang
banyak, apabila dilihat dari kebutuhan pemerintah akan tanah untuk
keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara
yang tersedia sangatlah terbatas, oleh karena itu satu-satunya cara
yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik
masyarakat, baik yang telah dikuasai dengan hak berdasarkan Hukum
Adat maupun hak-hak lainnya menurut UUPA4.
Memang diketahui bahwa bentuk-bentuk ganti kerugian dalam
Perpres Nomor 71 Tahun 2012 yang merupakan peraturan pelaksana
dari UU Nomor 2 Tahun 2012 tersebut lebih akomodatif, yaitu dalam
4 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 45.
7
bentuk uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan
saham, dan bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak (Pasal 74
Perpres Nomor 71 Tahun 2012). Namun demikian, dalam
musyawarah, yang diutamakan ialah pemberian ganti kerugian dalam
bentuk uang (Pasal 75 Perpres Nomor 71 Tahun 2012). Penekanan
ganti kerugian dalam bentuk uang sebagai yang utama seringkali
menyebabkan konflik dua arah yang berkepanjangan karena pada
umumnya sulit dicapai kata sepakat mengenai nominal uang ganti
kerugian.
Stimulus konflik dua arah antara pemerintah dan masyarakat
hukum adat juga disebabkan oleh diabaikannya kerugian non fisik. UU
Nomor 2 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tidak
memperhitungkan kerugian non fisik ini, yang menurut hemat Peneliti,
memiliki nilai yang jauh lebih besar. Sebagaimana dalam paragraf
awal, Peneliti menjelaskan bahwa tanah pada hakekatnya berkorelasi
langsung dengan eksistensi manusia. Hilangnya kepemilikan atas
tanah sama dengan tercabutnya manusia dari eksistensi hidupnya.
Dalam kategori non fisik, tanah, terutama tanah ulayat, memiliki nilai
esoteris yang tinggi karena di dalamnya terkandung nilai sejarahnya,
kenyamanan, ketenangan, kesenangan, pergaulan sosial,
perkumpulan/solidaritas, memori/kenangan bersama (seperti memoria
collectiva menurut Maurice Halbwachs5). Konflik tanah pun dimulai
5 Mudji Sutrisno, Ide Ide Pencerahan, Jakarta: Obor, 2004, hlm. 241.
8
ketika uang yang disediakan pemerintah tidak mampu membeli atau
menggantikan nilai sejarah tanah ulayat, kenyamanan, ketenangan,
kesenangan, pergaulan sosial, kedekatan, perkumpulan/solidaritas,
memori/kenangan bersama pada tanah yang didiami bersama
tersebut.
Harus diakui bahwa kehadiran UU Nomor 2 Tahun 2012 dan
Perpres Nomor 71 Tahun 2012 rupanya belum mampu menjawab
persoalan ganti kerugian ini. Bahkan terhadap UU ini telah dilakukan
judicial review di MK. Andrinof A. Chaniago, Dosen FISIP UI selaku
Saksi Ahli dalam Sidang pengujian UU Nomor 2 Tahun 2012 di
Mahkamah Konstitusi mengungkapkan bahwa ketentuan dalam pasal-
pasal mengenai definisi kepentingan umum, telah menghilangkan hak
warga negara untuk menentukan jenis-jenis pembangunan untuk
kepentingan umum dan mana yang bukan. Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 ini telah mendefinisikan sendiri dan menentukan jenis-
jenis pembangunan yang dikategorikan untuk kepentingan umum6.
6 Dalam Pasal 10 UU Nomor 2 Tahun 2012 ditentukan bahwa tanah untuk kepentingan umum digunakan untuk pembangunan:
a. pertahanan dan keamanan nasional; b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas
operasi kereta api; c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan
sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah; i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; j. fasilitas keselamatan umum; k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
9
UU Nomor 2 Tahun 2012 ini pun dipandang sangat represif
terutama dalam kaitan dengan ganti kerugian. Dalam Pasal 39, Pasal
42 ayat (1) dan Pasal 43 diatur bahwa dalam hal pihak yang berhak
menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak
mengajukan keberatan dalam waktu 14 hari kerja setelah musyawarah
penetapan ganti kerugian, karena hukum, pihak yang berhak dianggap
menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian. Ganti kerugian
tersebut kemudian dititipkan di pengadilan negeri setempat. Pada saat
pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak telah
dilaksanakan atau pemberian ganti kerugian sudah dititipkan di
pengadilan negeri, kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang
berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku
dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Hapusnya kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang
berhak yang menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan
keberatan sebagaimana diatur Pasal 39, 42 ayat (1) dan 43 tersebut,
jelas tidak sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum
Menimbang, Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta
Pasal 2 UU ini sendiri yaitu pengadaan tanah untuk kepentingan umum
l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; m. cagar alam dan cagar budaya; n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan
untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan r. pasar umum dan lapangan parkir umum.
10
harus memperhatikan asas kemanusiaan, keadilan, kesepakatan, dan
asas-asas lain.
Kemudian dalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 33 poin b UU
Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan bahwa obyek pengadaan tanah dan
penilaian besarnya nilai ganti kerugian oleh penilai antara lain meliputi
ruang atas tanah dan bawah tanah. Definisi mengenai apa yang
dimaksud ‘ruang atas tanah dan bawah tanah’ pada pasal tersebut
tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UU ini maupun peraturan
pelaksananya (Perpres Nomor 71 Tahun 2012). Hal ini menjadi kabur
apabila dihubungkan dengan bunyi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, perlu
kejelasan yang dimaksud serta batasan ruang atas tanah dan bawah
tanah7. Hal ini juga dimaksudkan untuk memberikan penjelasan atas
ketentuan Pasal 4 UUPA yang menyebutkan bahwa hak atas tanah
meliputi permukaan bumi, ruang atasnya dan bawahnya sekedar
diperlukan yang berkaitan dengan permukaan tanahnya. Namun,
dalam UUPA tersebut belum menjelaskan mengenai definisi dan
batasan ruang atas tanah dan bawah tanah.
7 Bdk. gengan Hak Guna Ruang Atas Tanah meliputi hak atas permukaan bumi tempat pondasi bangunan dan hak untuk menguasai ruang udara seluas bangunan tersebut serta hak kepemilikan bangunan, dan Hak Guna Ruang Bawah Tanah meliputi hak atas permukaan bumi yang merupakan pintu masuk/keluar tubuh bumi dan hak membangun dan memakai ruang dalam tubuh bumi, serta hak milik atas bangunan yang berbentuk ruang dalam tubuh bumi.
11
Dalam kaitan dengan itu, sejatinya tanah ulayat tidak hanya
berwujud tanah yang dijadikan perkampungan, sawah, ladang, kebun
saja tetapi meliputi pula hutan-belukar, padang-ilalang, rawa-rawa,
sungai-sungai, bahkan laut di sekitarnya8. Anggota persekutuan yang
ingin membuka tanah untuk dijadikan persawahan atau ladangnya
harus meminta izin dahulu kepada kepala persekutuan. Bilamana
tanah yang akan dibuka itu belum pernah dibuka oleh orang lain dan
kepala persekutuan tidak berkeberatan, pemohon setelah membayar
sejumlah uang untuk kas persekutuan, ia diizinkan membuka tanah
yang dimaksud. Bilamana tanah dikerjakan terus-menerus dan diolah
sedemikian rupa, dengan mempergunakan tenaga dan modal
sehingga nilai tanah meningkat, maka hubungan penggarap dengan
tanah berupa menjadi hubungan pemilikan. Terciptalah hak milik atas
tanah menurut hukum adat.
Menurut Bernhard Limbong, konflik pertanahan (terutama
mengenai pemberian ganti kerugian yang tidak sepadan atau
seimbang—pen.) menjadi isu nasional karena jumlahnya yang tinggi
dan banyaknya kendala dalam penyelesaiannya, yang secara umum
disebabkan oleh kelemahan regulasi dan kesalahan penerapan hukum
pertanahan, sehingga dalam pelaksanaannya, kepentingan pemegang
hak atas tanah (dalam hal ini masyarakat hukum adat) tidak terlindungi
8 Erman Rajagukguk, “Pemahaman Rakyat tentang Hak atas Tanah”, PRISMA, 9 September 1979.
12
dengan pasti9. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
menyatakan bahwa ada beberapa kondisi yang menggambarkan
konflik agraria yaitu (a) semakin maraknya sengketa tanah, (b)
semakin terkoordinasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada
sekelompok kecil masyarakat, dan (c) lemahnya jaminan kepastian
hukum atas pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah10.
Pada masa Orde Baru hingga tahun 2001, tercatat sebanyak
1.497 kasus sengketa, dengan luas lahan yang menjadi obyek
sengketa mencapai 1.052.514,37 hektar, dan jumlah anggota
masyarakat yang menjadi korban sebanyak 232.177 Kepala Keluarga
(KK)11. Data lainnya menyebutkan banwa pada akhir 2001 tercatat
sebanyak 1.753 kasus sengketa12. Kemudian pada 2007 meningkat
menjadi sebanyak 2.810 kasus13.
Hal yang patut dicatat berkaitan dengan konflik tanah ialah
bahwa masalah pencabutan hak milik atas tanah bagi pembangunan
demi kepentingan umum sangat sering terjadi di daerah-daerah rawan
konflik semisal Papua. Di Papua, meskipun terdapat UU Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, yang dalam Pasal 43
menyatakan bahwa pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui,
9 Bernhard Limbong, op.cit., hlm. 6. 10 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Tim Koordinasi Kebijakan dan Manajemen Pertanahan, Jakarta: Bappenas, 2003, hlm. 4. 11 Jayadi Damanik, Pembaruan Agraria dan Hak Asasi Petani, Yogyakarta: Lapera Pustaka, 2002, hlm. 22-23. 12 Maria S.W Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009, hlm. 111. 13 Badan Pertanahan Nasional RI, REFORMA AGRARIA Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, 2007, hlm. 1.
13
menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-
hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan
peraturan hukum yang berlaku, namun dalam kenyataannya konflik
mengenai ganti kerugian atas hak masyarakat adat oleh karena
pencabutan hak milik masyarakat adat atas tanah demi pembangunan
untuk kepentingan umum masih sering terjadi.
Di Merauke misalnya, ketika diadakan transmigrasi oleh
pemerintah pusat, masyarakat hukum adat di sana banyak yang
kehilangan hak masyarakat adatnya karena pemerintah melalui polisi
dan TNI melakukan represi agresif yang memaksa masyarakat hukum
adat untuk melepaskan hak masyarakat adatnya14. Di Sentani, pernah
terjadi beberapa kali pemalangan Bandara Sentani karena masyarakat
hukum adat di tempat itu masih menuntut ganti kerugian yang layak
atas hak masyarakat adat yang digunakan untuk membangun Bandara
Sentani15. Tuntutan pertama datang dari 4 (empat) suku yang
mengakui sebagai pemilik hak masyarakat adat tanah Bandara
Sentani yaitu suku Taime, Yoku, Palo, dan Kopeo16. Tuntutan lainnya
datang dari suku yang lain yang mengaku juga sebagai pemilik tanah
14 Theodorus Erro Yapo, “Ganti Kerugian Atas Tanah Adat Untuk Kepentingan Transmigrasi Di Kabupaten Merauke”, Tesis, Makasar: Universitas Hasanuddin, 2012, hlm. 15. 15 Para Ondoafi dan Ondofolo di Sentani menuntut ganti kerugian dari pemerintah berkaitan dengan pembangunan Bandara Sentani. Di Papua, dikenal Ondoafi atau Ondofolo atau kepala suku atau kepala adat adalah pimpinan masyarakat hukum adat yang bertanggungjawab ke dalam maupun ke luar masyarakat hukum adat. Tanggungjawab Ondoafi/Kepala Suku tesebut termasuk di dalamnya adalah penguasaan, pengelolaan, dan pelepasan tanah adat. 16 http://thevoiceofwestpapua.wordpress.com/2013/10/22/bandara-sentani-akan-ditutup/, 25 April 2013.
14
adat di areal sekitar bandara, yaitu suku Fele dan suku Mehue17.
Terkait berbagai tuntutan tersebut, pada bulan Desember 2010,
Pemerintah melakukan pembayaran ganti rugi tanah adat yang
digunakan untuk membangun Bandara Sentani, kepada Franzalbert
Joku, Ondofolo (Kepala Suku) Kampung Ifar Besar, sebesar Rp
3.400.000.000; Kepala Suku Koselo Suku Pallo Dominikus R. Pallo,
sebesar Rp 5.500.000.000; Kepala Suku Keret Hendrik Pallo, sebesar
Rp 3.500. 000.000; Kepala Suku Koselo, Bhulende Imea Uriel O. Pallo,
sebesar Rp 1.000.000.000, Anggota Keluarga Demetreus Yoku
sebesar Rp 2.000.000.000, Kepala Keret Suku Kopeuw, Mapjail G.
Kopeuw, sebesar Rp 500.000.000, Anggota Keluarga Demas Taime,
sebesar Rp 360.000.000, Kepala Suku/Konselo Suku Taime,
Melkianus Taime, sebesar Rp 240.000.000, serta Akhona Mesakh
Pallo Rp 1.000.000.00018.
Kemudian, pada April 2014, terjadi lagi pemalangan dari
masyarakat adat di Bandara Sentani yang menuntut ganti rugi lagi
sebesar Rp 400 milyar, dengan ancaman akan dialihkan ke pihak
asing untuk dikelola jika tidak ada pembayaran ganti kerugian
tersebut19. Berikutnya terjadi di daerah Sentani Timur dan Kota
Jayapura, yakni tanah adat yang sudah dilepaskan kepada pemerintah
Belanda dan kemudian kembali dikuasai oleh para pihak masyarakat
17 http://news.detik.com/read/2010/12/17/110045/1527083/10/bandara-sentani-jayapura-dipa gar-betis-penumpang-terlantar, 25 April 2013. 18 http://komisikepolisianindonesia.com/umum/read/3152/17-5-miliar-ganti-rugi-tanah-bandara-sentani-dibayar.html, 25 April 2013. 19 Berita Sore, Papua TV, 18 April 2014.
15
adat di daerah tersebut (Suku Yoku), oleh pemimpin suku dinyatakan
secara tegas bahwa kehadiran pemerintah penjajahan Belanda dahulu
di Irian hanya bersifat menduduki atau menempati tanah saja,
sehingga hanya menguasai tanah dengan hak pakai. Masyarakat
hukum adat Irian Jaya (waktu itu) belum pernah menyerahkan tanah
dalam bentuk apapun kepada pemerintah penjajahan Belanda baik
secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, maka
pemerintah jajahan Belanda dahulu bukan sebagai pemilik tanah. Jika
bukan sebagai pemilik tanah, maka bagaimana mungkin Belanda
menyerahkan tanah itu kepada pihak lain dalam hal ini pemerintah
Indonesia untuk dibangun jalan umum? Pendapat masyarakat adat di
atas hendaknya dipahami sebagai berlakunya hukum adat tentang
tanah yang sampai sekarang masih kuat, sehingga dalam
pengambilan tanah masyarakat hukum adat oleh pemerintah untuk
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, kiranya hak
mereka perlu dihargai dan dihormati. Hal ini tentunya sesuai pula
dengan prinsip pengakuan atas lembaga hak atas tanah adat yakni
hak masyarakat adat sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3 UUPA.
Adapun persoalan pemalangan tanah adat yang digunakan oleh
Pemerintah untuk kepentingan umum di Papua, diduga memiliki
banyak motif. Motif pertama berkaitan dengan kepemilikan tanah adat
itu sendiri, sebagaimana dalam beberapa contoh yang disebutkan di
atas. Motif lainnya ialah motif politis, misalnya terkait pemekaran
16
wilayah20, juga motif ekonomi21, dan motif ketidakpuasan dalam
perekrutan CPNS22. Adapun di Papua, tindakan pemalangan dapat
dilakukan berkali-kali dengan berbagai alasan yang berbeda, terutama
alasan terkait kepemilikan tanah adat. Setiap pemalangan yang
dilakukan pada umumnya diselesaikan melalui pemberian uang.
Konflik lainnya ialah terjadinya tuntutan ganti kerugian yang
dilakukan oleh Kampung Doyo Lama, Kampung Yahim, dan Kampung
Ifale, terhadap tanah yang menjadi maskas TNI-AU yang berlokasi di
Distrik Sentani kelurahan Hinekombe. TNI AU mengklaim bahwa tanah
tersebut telah bertahun-tahun dijadikan markas TNI. Pernyataan ini
sangat lemah karena sejatinya tanah tersebut merupakan milik
masyarakat adat Papua.
Masyarakat adat Papua juga menuntut ganti kerugian terhadap
tanah yang dijadikan pusat pendidikan militer TNI di Rindam. Kampung
Nendali, Netar, Ifar Besar, Sereh, dan Ormu mengklaim bahwa tanah
tersebut merupakan milik masyarakat adat. Masalahnya di antara
suku-suku tersebut belum terdapat kesepahaman dalam hal
kepemilikan tertua terhadap tanah adat tersebut sehingga sampai kini
belum ada kepastian pembayaran ganti kerugian dari TNI terhadap
tanah adat tersebut.
20 http://daerah.sindonews.com/read/2013/04/29/26/742965/akhirnya-blokade-jalan-trans-papua-barat-dibuka , 25 April 2013. 21 http://www.papua.us/2013/07/keluarga-besar-lagowan-larang-pihak.html, 26 April 2013. 22 http://news.detik.com/read/2010/12/17/110045/1527083/10/bandara-sentani-jayapura-dipagar-betis-penumpang-terlantar, 25 April 2013.
17
Hal yang sama juga terjadi terhadap tanah bandara udara
Advend di Kampung Doyo Baru. Tanah ini diklaim oleh beberapa suku
dari Kampung Doyo Lama dan Kampung Doyo Baru serta Kampung
Bambar. Hingga kini belum ada pembicaraan mengenai ganti kerugian
terhadap tanah adat tersebut.
Contoh terbaru yang terjadi ialah pemalangan jalan alternatif
dari Entrop menuju Perumnas III di Waena. Masyarakat pemilik tanah
adat marga Ohee melakukan pemalangan tersebut dengan alasan
belum diselesaikannya pembayaran ganti rugi tanah adat. Alasan
lainnya ialah tidak lolosnya salah satu anak adat yang telah
dipercayakan menduduki kursi DPRD Kota Jayapura23.
Tindakan pemalangan yang dilakukan berkali-kali oleh
sekelompok masyarakat Papua, menunjukkan adanya kesenjangan
yang sangat besar antara peraturan perundang-undangan mengenai
ganti kerugian di satu sisi, dan penerapannya di sisi lain. Kesenjangan
tersebut terutama berkaitan dengan24:
1. Hak masyarakat adat untuk didengarkan melalui konsultasi:
hal ini sangat penting mengingat masyarakat adat harus
didengarkan secara lebih dekat mengenai kepeduliannya
dalam hal menyampaikan alasan mengapa daerah-daerah
tertentu sebaiknya dikecualikan karena masalah lingkungan,
23 Harian Cendrawasih Pos, Kamis, 1 Mei 2014, hlm. 9. 24 UNDP, Hak-Hak Masyarakat Adat yang Berlaku-Pedoman untuk Konvensi ILO No. 169, Jakarta: UNDP, 2010, hlm. 124.
18
dampak yang ditimbulkan terhadap tempat-tempat keramat,
polusi, masalah kesehatan, hilangnya dasar subsistensi
ekonomi, dan lain sebagainya. Dalam kenyataannya, ruang
diseminasi informasi dan penjaringan aspirasi masyarakat
“hanya” dimaknai setara dengan uang ganti kerugian. Inilah
yang menimbulkan resistensi masyarakat adat. Dicatat oleh
Aminuddin Salle25, bahwasanya musyawarah untuk
menentukan besaran ganti kerugian, lebih sering terwujud
dalam bentuk pengumpulan para pemilik tanah di kantor
kelurahan atau kecamatan untuk mendengarkan besarnya
ganti kerugian yang sudah disediakan pemerintah; di sini,
apa yang disebut mufakat sebenarnya memuat paksaan dan
tekanan yang dikondisikan bagi masyarakat untuk
melepaskan hak masyarakat adat tanah tersebut.
2. Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan
mengembangkan prioritas dan strategi pembangunan yang
menggunakan tanah-tanah atau wilayah mereka dan sumber
daya lainnya. Dalam kenyataannya, ruang untuk “memilih
dan menentukan sendiri” eksistensi tanah adat seolah-olah
ditutup dengan alasan “kepentingan umum”. Menurut
Aminuddin Salle26, hal ini terjadi karena rencana peruntukan
25 Aminuddin Salle, Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007, hlm. 9-10, 156-157. 26 Ibid., hlm. 161.
19
dan alasan-alasan untuk dilakukannya pencabutan hak atas
tanah, keterangan tentang nama yang berhak serta luas dan
macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta
benda-benda yang bersangkutan, dan rencana
penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut,
semuanya telah dilakukan oleh “yang berkepentingan” untuk
pencabutan hak atas tanah tersebut.
3. Negara akan berunding dan bekerja sama secara tulus
dengan masyarakat adat melalui institusi-institusi perwakilan
mereka sendiri supaya dapat mencapai persetujuan yang
bebas tanpa paksaan sebelum menyetujui proyek apa pun
yang berpengaruh atas tanah-tanah atau wilayah mereka
dan sumber daya yang lainnya—terutama yang
berhubungan dengan pembangunan untuk kepentingan
umum. Ketulusan negara dalam hal ini seringkali
dipertanyakan karena atas nama modernisasi, negara
seringkali mengabaikan eksistensi hak masyarakat adat
masyarakat hukum adat. Apalagi dalam hal ganti kerugian,
terkesan ada paksaan negara untuk menggantikan tanah
adat dalam bentuk uang yang mau tidak mau harus diambil
oleh masyarakat hukum adat.
Berdasarkan kesenjangan-kesenjangan di atas, dapat dikatakan
bahwa yang dipersoalkan di Papua ialah (1) penentuan besarnya nilai
20
ganti kerugian atas tanah adat yang dijadikan lahan bagi
pembangunan untuk kepentingan umum, (2) pemberian ganti kerugian
yang berulang-ulang kepada setiap kelompok masyarakat adat yang
melakukan pemalangan, sehingga menunjukkan adanya
ketidakpastian hukum. Dari antara kedua poin tersebut, poin ke-2
memiliki dampak yang sangat luas secara yuridis.
Berkaitan dengan hal di atas, dapat diasumsikan bahwa melalui
pemberian ganti kerugian yang berulang-ulang terhadap kelompok-
kelompok masyarakat di Papua yang melakukan tindakan pemalangan
terhadap tanah yang dianggap sebagai tanah adat, dipertanyakan sisi
kepastian hukum dalam hal pemberian ganti kerugian tersebut. Oleh
karena itu, Peneliti memilih judul disertasi “KEPASTIAN HUKUM
GANTI KERUGIAN TERHADAP HAK MASYARAKAT
HUKUM ADAT ATAS TANAH DALAM PENGADAAN
TANAH UNTUK PEMBANGUNAN”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana supremasi hukum hak masyarakat adat dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan di Papua?
21
2. Bagaimana konsistensi kepastian hukum ganti kerugian hak
masyarakat adat dalam pengadaan tanah untuk
pembangunan di Papua?
3. Bagaimana konsep ideal kepastian hukum yang berkeadilan
dalam pengadaan tanah untuk pembangunan di Papua?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penelitian ini ialah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan supremasi hukum hak
masyarakat adat dalam pengadaan tanah untuk
pembangunan di Papua.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan konsistensi kepastian
hukum ganti kerugian hak masyarakat adat dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan di Papua.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan konsep ideal kepastian
hukum yang berkeadilan dalam pengadaan tanah untuk
pembangunan di Papua
D. Manfaat Penelitian
Kegunaan atau manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran atau masukan baik secara teoritis
maupun secara praktis yaitu:
22
1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran dan bahan masukan
bagi pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Provinsi
Papua agar dalam pelaksanaan pembangunan
memperhatikan eksistensi hak masyarakat adat atas tanah
dan memberikan pengakuan dalam bentuk ganti kerugian
dan perlu dibentuk peraturan hukum (Perdasi/Perdasus)
dalam upaya menyelesaikan permasalahan tanah yang ada.
2. Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi
bahan masukan dan pertimbangan bagi pihak yang
berwenang dan para pengambil keputusan/kebijakan di
berbagai instansi terkait, terutama bagi pemerintah tentang
pentingnya aspek hukum ganti kerugian dalam pengadaan
tanah hak masyarakat adat demi kepentingan umum.
E. Orisinalitas Penelitian
1. Disertasi Jarot Edy Sulistyono (2006) Universitas Brawijaya,
dengan judul “Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Di Daerah
Perkotaan (Analisis Model Interaktif Implementasi Kebijakan
Pengadaan Tanah Untuk Infrastruktur, Permukiman, Dan Pusat
Perdagangan Di Kota Malang)”. Dalam Disertasinya, Jarot
menganalisis mekanisme ganti kerugian terhadap pembebasan
tanah, baik tanah milik pribadi maupun tanah adat, yang ditujukan
23
untuk kepentingan umum maupun kepentingan komersil-bisnis.
Disertasi Jarot berbeda dengan disertasi Peneliti karena selain
tempat penelitiannya yang berbeda, obyek kajian Peneliti adalah
aspek kepastian hukum dari pemberian ganti kerugian bagi
pemegang hak atas tanah adat yang digunakan untuk kepentingan
umum di Papua.
2. Tesis Dikko Ammar (2011) Universitas Sumatera Utara, dengan
judul “Analisis Hukum Ganti Rugi Pada Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum Yang Dilakukan Pemerintah Kota Binjai Untuk
Pembangunan Kantor Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) Balai
Benih Ikan Dinas Peternakan Dan Perikanan Kota Binjai Pada
Tahun 2005”. Inti Penelitian tentang pelaksanaan dan pemberian
ganti kerugian yang dilakukan pemerintah kota Binjai terhadap
tanah adat masyarakat Binjai untuk pembangunan kantor UPTD
dari Dina Peternakan dan Perikanan. Perbedaan objek kajian
disertasi ini dengan obyek kajian Peneliti ada pada aspek ganti
kerugian dan locus penelitiannya, di mana Dikko Ammar
menganalisis implementasi ganti kerugian dengan tempat
penelitian di Binjai, sedangkan obyek kajian Peneliti adalah aspek
kepastian hukum dari pemberian ganti kerugian bagi pemegang
hak atas tanah adat yang digunakan untuk kepentingan umum di
Papua.
24
3. Tesis Sonny Djoko Marlijanto (2010), Universitas Diponegoro-
Semarang, dengan judul “Konsinyasi Ganti Rugi Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Umum (Studi Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan Proyek Jalan Tol Semarang-Solo Di Kabupaten
Semarang)”. Penelitian Sonny berbeda dengan penelitian Peneliti
karena Sonny lebih menekankan aspek konsinyasi, sedangkan
Peneliti mempersoalkan aspek kepastian hukum dari pemberian
ganti kerugian bagi pemegang hak atas tanah adat yang digunakan
untuk kepentingan umum di Papua.
4. Tesis I Dewa Gede Putra Joni Dharmawan (2007), Universitas
Diponegoro-Semarang, dengan judul “Pelaksanaan Pengadaan
Tanah Asal Hak Milik Adat untuk Kepentingan Umum di Kecamatan
Dawan Kabupaten Klungkung Provinsi Bali”. Fokus dari
penelitiannya terletak pada pelaksanaan pengadaan tanah hak
milik adat untuk kepentingan umum dan nilai ganti kerugian
terhadap tanah adat tersebut. Penelitian ini berbeda dengan
penelitian Peneliti karena Peneliti lebih berfokus pada aspek
kepastian hukum dari pemberian ganti kerugian bagi pemegang
hak atas tanah adat yang digunakan untuk kepentingan umum di
Papua.
5. Tesis Rahma Yanti (2012), Universitas Sumatera Utara, dengan
judul “Aspek Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Studi
25
Pelebaran Jalan Di Kabupaten Padang Lawas)”. Penelitian Rahma
Yanti lebih difokuskan pada konsepsi kepentingan umum dalam
pengadaan tanah, dan karena itu penelitiannya berbeda dengan
penelitian Peneliti karena penelitian Peneliti difokuskan pada aspek
kepastian hukum dari pemberian ganti kerugian bagi pemegang
hak atas tanah adat yang digunakan untuk kepentingan umum di
Papua.