105
Pengaruh Etika Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan Usaha dan Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis Tionghoa di Surabaya Category: DISERTASI Published on SUNDAY, 23 DECEMBER 2012 17:24 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBA Hits: 876 Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA Ringkasan Disertasi Sumber daya manusia (intangible capital) perlu dikelola dengan sebaik- baiknya agar sumber daya tersebut dapat digunakan membangun dan meningkatkan pembangunan ekonomi. Sumber daya manusia yang diperlukan untuk mendobrak perekonomian adalah mereka yang memiliki jiwa luhur, memiliki etika moral, profesional, berkemampuan untuk berwirausaha sesuai dengan etika kewirausahaan. Indonesia adalah negara yang memiliki populasi terbanyak di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat (World Bank, 2011), maka sumber daya manusia yang dimiliki apabila dimanfaatkan dengan baik untuk mengelola sumber daya

Disertasi Confusius

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hasil penelitian tentang kewirausahaan etnis China di Surabaya

Citation preview

Page 1: Disertasi Confusius

Pengaruh Etika Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan Usaha dan Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis Tionghoa di Surabaya

 

Category: DISERTASIPublished on SUNDAY, 23 DECEMBER 2012 17:24 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 876

Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA

Ringkasan Disertasi

Sumber daya manusia (intangible capital) perlu

dikelola dengan sebaik- baiknya agar sumber daya tersebut dapat digunakan membangun dan

meningkatkan pembangunan ekonomi. Sumber daya manusia yang diperlukan untuk mendobrak

perekonomian adalah mereka yang memiliki jiwa luhur, memiliki etika moral, profesional, berkemampuan

untuk berwirausaha sesuai dengan etika kewirausahaan. 

Indonesia adalah negara yang memiliki populasi terbanyak di dunia setelah Cina, India, dan Amerika

Serikat (World Bank, 2011), maka sumber daya manusia yang dimiliki apabila dimanfaatkan dengan baik

untuk mengelola sumber daya alam melalui nilai-nilai luhur etika moral akan terbentuklah manusia

Indonesia yang sukses sesuai dengan kebenaran (Yi) dalam mencapai keuntungan (Li’). 

Menurut Munarwan (2011:10) hasil kajian Fujitsu Research di Tokyo bahwa 73% perusahaan-

perusahaan di Indonesia dikuasai oleh etnis Tionghoa. Mereka sukses dalam berbisnis disebabkan oleh

beberapa faktor dimana salah satunya adalah pengaruh dari Etika Confucius.   

Penelitian ini adalah suatu studi untuk melihat faktor etika yang mempengaruhi kewirausahaan,

kemampuan usaha dan kinerja usaha pedagang eceran etnis Tionghoa di Surabaya. Obyek penelitian

Page 2: Disertasi Confusius

adalah pedagang eceran etnis Tionghoa yang termasuk UKM (usaha kecil menengah) dimana UKM telah

terbukti tangguh dari kolapsnya ekonomi ketika krisis ekonomi 1998. 

Penelitian ini dilakukan di kota Surabaya karena Surabaya merupakan kota terbesar kedua setelah

Jakarta. Surabaya memiliki tempat ibadah Boen Bio di jalan Kapasan yang merupakan satu-satunya

tempat ibadah Confucius terbesar di Asia Tenggara dan dampak dari ajaran Confucius ini masih melekat

di kalangan etnis Tionghoa di Surabaya.  Surabaya juga merupakan kota yang jumlah penduduk  Etnis

Tionghoa sekitar 200 ribu jiwa atau 7,25% dari jumlah penduduk Surabaya yang berjumlah 2.765.908

jiwa (Wikipedia & sensus 2010). Ada pun pedagang etnis Tionghoa sebanyak 19.258 yang menyebar di

31 kecamatan Surabaya.

Teknik pengambilan sampel dengan metode area  sampling dengan jumlah responden sebanyak 240

pedagang eceran etnis Tionghoa yang tersebar di 31 kecamatan di seluruh pelosok kota Surabaya.  Cara

pengumpulan data melalui observasi dan kuisioner dengan pengukuran menggunakan skala Likert.

Pengolahan data digunakan teknik analisis Structural Equation Modeling (SEM) dengan  program AMOS

(Analysis of Moment Structure) versi 20.

Penelitian ini membuktikan bahwa Etika Confucius (Ren, Yi, Zhi, Yong, Xin, YinYang dan Guanxi) secara

signifikan berpengaruh terhadap kewirausahaan (P Value=0.000< 0.05) dan juga Etika Confucius

berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Usaha (P Value=0.042 < 0.05). Hal ini bisa dilihat juga dari 88%

pedagang eceran etnis Tionghoa di Surabaya yang menjadikan Etika Confucius sebagai way of life dalam

berbisnis terbukti berhasil.

Hasil penelitian ini mendukung kajian Ongkowijoto (1995) dimana ada benang merah di balik sikap dan

pandangan hidup etnis Tionghoa yakni dipengaruhi oleh ajaran Confucius.  Penelitian ini menolak thesis

Max Weber yang mengatakan Confucianisme tidak kondusif bagi pencapaian individu yang diperlukan

untuk bahan bakar sistem kapitalistik. Kenyataannya justeru etika Confucius mendorong kinerja usaha.

Penelitian ini juga menolak penelitian Tan dan King (2004) dalam penelitiannya tentang pedagang

kontemporer di Cina  dimana praktek yang mengikuti etika Confucius justru akan merugikan. 

Penelitian ini dapat digunakan dalam pengembangan teori kewirausahaan, khususnya teori tentang

berani mengambil resiko, mudah beradaptasi, memiliki motivasi yang kuat, memiliki kemampuan untuk

berinovasi dan berkreatifitas (new thingking and new doing), dapat membaca peluang, memiliki visi

dimana semua itu juga dimiliki oleh pedagang eceran etnis Tionghoa dengan etika Confucius (Ren, Yi, Ti,

Xin, Zhi, Guanzi dan Yin Yang. 

Adanya penelitian ini diharapkan Etika Confucius yang merupakan etika universal bisa dipraktekkan

bukan hanya di kalangan etnis Tionghoa saja tetapi juga oleh seluruh masyarakat Indonesia. Etika

Confucius dapat berperan sebagai whistle blowing, yakni keberanian untuk mencegah dan menghalangi

penipuan, pemborosan dan penyalahgunaan. Etika Confucius akan memberi spirit atau motivasi guna

meningkatkan etos kerja dalam mencapai keberhasilan, juga sebagai kontrol sosial dalam dunia bisnis.

ABSTRACT

Page 3: Disertasi Confusius

Indonesia is a country with rich human and natural resources. According to the statistic data of the World

Bank about world population, with the population of 230 million people in 2009, Indonesia was the fourth

most populated country after the People’s Republic of China, India, and the United States of America

(World Bank, 2011). Natural resources and human resources play an important role for a country’s

wealth. Therefore, it is important that they are managed properly. With the right management, those

resources then can be used to develop and improve the economy so that it would benefit the people of

the country in terms of improvement in the standard of living.

To achieve such goal, this research is attempting to prove that businesses based on benevolence values

would allow a business venture to grow and develop so that in the end it would reach the success through

significant volume increase of sales and profit. Confucius ethics (Ren, Yi, Zhi, Yong, Xin, Guanxi and Yin

Yang) has been significantly influencing the entrepreneurship, and this is evident from the 88% of the

Chinese retail merchants which put Confucius ethics as their way of life in doing business.

This research titled The Influence of Confucius Ethics on Entrepreneurship, Business Ability, and The

Performace of Chinese Retail Merchants in Surabaya aims to analyze and explain the influence of

Confucius ethics on the performance of Chinese retail merchants in Surabaya through entrepreneurship

and business ability.

The sampling technique is using the sample area method with total respondents of 240 Chinese retail

merchants which are spread in 31 different district all over Surabaya. The data collecting is done through

a questionnaire and is measured using the Likert scale, while the observation is done using Amos 20

analysis.

This research concludes that Confucius Ethics has  a significant relationship with the Business Ability,

Confucius Ethics has a significant relationship with the Entrepreneurship, Confucius Ethics has a

significant relationship with Business Performance, while Business Ability does not indicate a significant

relationship with Business Performance.

Keywords: Confucius Ethics, Entrepreneurship, Business Ability, Business Performace.

Page 4: Disertasi Confusius

BAB I Pendahuluan : Pengaruh Etika Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan Usaha dan Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis Tionghoa di Surabaya

 

Category: DISERTASIPublished on SUNDAY, 06 JANUARY 2013 16:51 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 1151

Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA

1.1 Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi amat penting bagi

pembangunan suatu negara. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi memungkinkan suatu negara

memiliki anggaran yang cukup untuk melakukan pembangunan. Dalam mencapai pertumbuhan ekonomi,

suatu negara perlu memberdayagunakan modal dasar yang dimilikinya. Modal  dasar tersebut dapat

berupa sumber daya alam (tangible capital) maupun sumber daya manusia (intangible capital).Sumber

daya alam dan sumber daya manusia amat berperan bagi kemakmuran suatu negara. Oleh sebab itu,

sumber daya alam dan sumber daya manusia perlu dikelola dengan sebaik-baiknya.  Dengan

Page 5: Disertasi Confusius

pengelolaan yang tepat, sumber daya tersebut dapat digunakan membangun dan meningkatkan

perekonomian sehingga bermanfaat bagi peningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Menurut

Bank Dunia (2011), Indonesia memiliki penduduk sekitar 230 juta jiwa pada 2009. Dengan jumlah

populasi tersebut Indonesia menempati urutan terbanyak keempat di dunia setelah Cina, India, dan

Amerika Serikat. Populasi yang besar tersebut merupakan potensi yang perlu diberdayagunakan untuk

kemakmuran Indonesia. Beberapa studi empiris tentang keterkaitan sumber daya manusia terhadap

kemakmuran suatu negara membuktikan bahwa level sumber daya manusia suatu negara secara

signifikan berpengaruh positif terhadap tingkat pertumbuhan produktivitas total dari faktor produksi dan

peningkatan produk domestik bruto (Benhabib dan Spiegel, 1994; Barro, 1991). Level sumber daya

manusia yang semakin tinggi berpengaruh pada efisiensi dan efektivitas produksi yang akhirnya

meningkatkan produktivitas total faktor produksi (total factor productivity, TPF). Di sisi lain, level sumber

daya manusia yang tercermin pada tingkat pendidikan yang diterima juga berpengaruh positif terhadap

level pendapatan domestik bruto (Gross Domestic Bruto, GDP). 

Kekayaan sumber daya manusia Indonesia yang ditambah dengan keanekaragaman budaya merupakan

aset berharga yang berpotensi meningkatkan  kemakmuran suatu negara. Sumber daya manusia

Indonesia dan kebudayaan yang beranekaragam ini apabila dikelola dengan benar dan sungguh-

sungguh, maka akan menjadikan manusia Indonesia yang handal dan profesional dalam mengelola alam

untuk kemajuan ekonomi. Mengingat kebudayaan suatu bangsa secara tidak langsung  memberi corak

terhadap sumber daya manusia atau budaya  itu mempengaruhi sumber daya manusia, maka

menumbuh-kembangkan budaya yang positif akan membawa dampak positif terhadap sumber daya

manusia yang pada akhirnya akan menumbuhkan etos kerja yang positif.

Karakteristik pembangunan ekonomi suatu negara juga amat dipengaruhi oleh karakter budaya yang

berkembang. Awal mula pembangunan ekonomi yang berlandaskan kapitalisme terjadi di negara-negara

Barat yang lebih menggunakan praktek-praktek bisnis yang lebih mengarah kepada kepentingan indidual

untuk memperoleh kekayaan (Brook dan Luong, 1999).  Sebaliknya, ideologi kapitalisme tidak serta-

merta mempengaruhi pokok-pokok pembangunan ekonomi di negara-negara Timur. Weber (1958)

berpendapat bahwa budaya Konfusianisme yang menekankan prinsip-prinsip hubungan kekeluargaan

antar sesama manusia telah menghambat perkembangan kapitalisme di negara-negara  Timur yang

kental dengan budaya Confucius. Namun banyak penelitian yang menunjukkan sebaliknya dimana

budaya Confucius secara positif mendukung bisnis kontemporer (Chan, 2008:347).

Dalam tatanan budaya, terdapat banyak komponen pembentuk sebuah budaya. Dalam sebuah budaya,

terkandung unsur nilai-nilai informal, dan norma-norma yang membentuk karakter dan pola perilaku

ekonomi manusia. Pengaruh budaya dalam perilaku ekonomi terlihat pada pengaruh budaya terhadap

aktivitas produksi, pola konsumsi dan produktivitas, melalui kemampuan individu untuk menciptakan dan

mengendalikan sebuah institusi, dan melalui kemampuan individu menciptakan jaringan sosial

(Fukuyama, 2001). 

Seymour (1992) menjelaskan bahwa etos kerja sangat berpengaruh besar pada kesuksesan Jepang dan

negara-negara industri baru terutama kesuksesan dalam bidang ekonomi. 

Page 6: Disertasi Confusius

Penelitian oleh Tu (1989) menemukan keseragaman konsep etika dasar dan sistem nilai pada negara-

negara Cina, Jepang, Korea, dan negara industri baru lainnya. Masyarakat etnis Tionghoa terutama di

negara Cina dan Empat Macan Asia (Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura), termasuk

Indonesia, memiliki kesamaan karakteristik dalam berbisnis. Dalam menjalankan bisnis, masyarakat etnis

Tionghoa selalu berpegang pada etos kerja, disiplin, pekerja keras, hemat, jujur dan konsisten dalam

pelaksanaan bisnis. Apabila dikaji, etos-etos kerja ini berakar dari ajaran Confucius yang telah menjadi

budaya etnis Tionghoa. Tipikal budaya Tionghoa tercermin dalam etos kerja para pekerja di negara-

negara industri baru. 

Menurut penelitian Jaw et.al. (2007) terhadap para pekerja Tionghoa, terdapat pengaruh antara nilai-nilai

budaya Tionghoa dengan nilai-nilai yang dianut pada saat melakukan bisnis.  Pada umumnya, etnis

Tionghoa memiliki etos kerja yang sangat tinggi, mau bekerja keras dalam situasi yang berat, disiplin,

hemat, jujur, dan konsisten dalam berbisnis. Tipikal kerja yang demikian tidak terlepas dari nilai-nilai

Confucius yang ditanamkan dalam keluarga sejak kecil.  

Po Keung Ip (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa budaya Confucius, khususnya kolektivisme

keluarga (guanxi 关系 ) dipraktekkan dalam dunia bisnis di berbagai negara seperti Taiwan, Hongkong

dan Singapura. Penelitian ini dianggap sangat relevan dalam konteks keunggulan perusahan-perusahaan

Cina yang semakin banyak menyusul kebangkitan Cina sebagai kekuatan global. Selain itu temuan yang

didapat implikasi organisasi dari kolektivisme keluarga Confucius dalam masyarakat Cina lainnya di

berbagai negara dimana tradisi Confucius didukung dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari

maupun melekat pada dunia manajemen dan bisnis. 

Sistem manajemen perusahaan etnis Tionghoa juga tidak terlepas dari nilai-nilai budaya Tionghoa. Nilai-

nilai budaya Tionghoa dipandang memiliki peranan penting dalam menentukan jalannya sebuah

organisasi bisnis dan praktek manajerial perusahaan-perusahaan Tionghoa (Sheh, 2001). Bagi etnis

Tionghoa, perusahaan bisnis merupakan sebuah entitas ekonomi dimana cara-cara menjalankan

perusahaan amat dipengaruhi oleh nilai-nilai Confucius. Nilai-nilai Confucius telah berkembang menjadi

bagian yang tidak dapat terpisahkan dari budaya Tionghoa (Mely G.Tan,1996:52).

Yin Fan (2000:5) mengatakan The traditional Chinese culture encompasses diverse and

sometime competing schools of thought, including Confucianism, Taoism, Buddhism,etc.,and a host of

regional culture.Nevertheless, Confucianism is undisputedly the most influential thought, which forms the

foundation of the Chinese cultural tradition and still provides the basis for the norms of Chinese

interpersonal behavior. (Budaya Cina tradisional mencakup mahzab pemikiran yang beragam dan

kadang berkompetisi, termasuk Confusianisme, Taoisme, Budhisme, dan sebagainya serta kebudayaan

lokal. Meskipun Confucianisme, dengan tidak terbantahkan, merupakan pemikiran yang paling

berpengaruh, yang membentuk pondasi dari tradisi kebudayaan Cina dan masih memberikan dasar untuk

norma-norma perilaku interpersonal Cina). Selanjutnya dalam penelitian Yin Fan didapatkan 31 karakter

budaya Tionghoa yang hampir keseluruhan karakter tersebut merupakan inti dari ajaran Confucius. 

Handoco (2011:13) mengatakan ajaran Confucius sudah melekat pada masyarakat Tionghoa sejak

ribuan tahun lalu, dimana kehidupan sehari-hari orang Tionghoa dipengaruhi oleh nilai-nilai filosofis ini.

Confucius adalah guru dan agamawan  paling terkenal dalam sejarah kebudayaan  Cina. Confucius

Page 7: Disertasi Confusius

menguasai enam jenis kesenian Cina, yaitu panah, kaligrafi, ritual, musik, aritmatika, dan mengendarai

kereta perang. 

Konfusianisme merupakan sistem etika dan filosofi yang diajarkan oleh Confucius, seorang filsuf

sekaligus agamawan dari Cina. Pada hakekatnya, ajaran Confucius merupakan sebuah sistem yang

mengajarkan tentang moral, sosial kemasyarakatan, aspek politis, dan filosofis yang menitikberatkan

pada kepentingan komunitas dibandingkan kepentingan individu (Tu, 1989). Konfusianisme berkaitan

dengan moral dan aturan yang mencakup bagaimana seharusnya seorang individu berinteraksi terhadap

Tuhan dan sesamanya, baik dalam lingkungan kecil yakni tingkat keluarga, berinteraksi pada

masyarakat  (pada tatanan organisasi), dan meluas ke interaksi dalam bernegara (tatanan pemerintahan)

bahkan interaksi dalam kerjasama internasional (dalam hubungan dengan antar negara). 

Budaya Confucius juga menanamkan sikap dan perilaku  bekerja keras, hemat, suka menabung, tidak

putus asa dan menjaga nama baik melalui kepercayaan yang telah mengakar pada tradisi Tionghoa. 

Mengakarnya ajaran Confucius dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Tionghoa, telah menjadikan

ajaran Confucius sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Tionghoa. Hal inilah yang

menyebabkan setiap membicarakan budayaTionghoa tidak bisa lepas dengan Confucius. Sebaliknya

setiap berbicara Confucius selalu berkaitan dengan budaya Tionghoa. Budaya Tionghoa yang diwakili 

Confucius bukan saja membudaya, melainkan telah menjadikan perilaku nyata dalam kehidupan sehari-

hari. Bahkan telah berpengaruh positif terhadap tingkah laku bisnis orang-orang Tionghoa, seperti

dikatakan Tan bahwa  nilai-nilai loyalitas terhadap keluarga  yang diajarkan Confucius diyakini menjadi

latar belakang kesuksesan pembangunan ekonomi Singapura (Tan, 1989).  

Atmowardono (1995:68) mengatakan bahwa sebagai filsafat sosial Confucius mempengaruhi perilaku

hidup yang juga perilaku ekonomi. Bangsa Jepang dan bangsa Asia lainnya yang mengikuti Jepang

secara ekonomi seperti Korea, Taiwan, Vietnam, Singapura, Hongkong dan sebagian besar dari

golongan etnis Cina di Malaysia, Indonesia, India dan di lain negara, terpengaruh oleh filsafat sosial

Confucius.

Ongkowijaya (1995:103) melalui kajiannya menunjukkan ada benang merah dibalik sikap dan pandangan

hidup etnis Tionghoa yakni dipengaruhi oleh ajaran moral Confucius. Khonghucu (Confucius) telah

mempengaruhi mereka secara turun-temurun sepanjang kehidupannya. Fakta demikian tentu mempunyai

kadar pengaruh tidak kecil terhadap tingkah laku kehidupan, yang pada gilirannya akan terbawa pada

pola bisnis di kalangan mereka.

Kalau melihat beberapa kenyataan, baik data statistik maupun pengamatan pada berbagai kota besar di

tepian Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, pada umumnya di sepanjang jalan raya dipenuhi dengan

pertokoan, perkantoran, restoran, dan sebagian besar dimiliki atau setidaknya dikuasai masyarakat etnis

Tionghoa. Menurut Wastu Pragantha Chong (1996:5) salah satu indikator bahwa dewasa ini mereka telah

berhasil menjalankan bisnis. 

Page 8: Disertasi Confusius

Kenyataan tersebut diperjelas oleh  Zhihong Gao dan Joe H. Kim (2009:77) yang menyatakan bahwa

masyarakat Confucius telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat pada dekade terakhir, pertama

dipimpin oleh Jepang, kemudian diikuti oleh Four Mini-Dragons, seperti Korea Selatan, Taiwan,

Hongkong dan Singapura dan yang terbaru daratan Cina.

Perkembangan dan kemajuan masyarakat Confucius di beberapa negara tentu saja juga akan

berdampak pada perkembangan dan kemajuan di negara Indonesia mengingat masih banyak

masyarakat Indonesia yang dalam praktek bisnisnya dipengaruhi oleh nilai-nilai Confucius.  Apalagi

dengan dibebaskan kembali ajaran keagamaan Khonghucu (Confucius) di Indonesia sejak pemerintahan

Gus Dur, banyak pengusaha Indonesia yang biasanya bungkam  diri, akhirnya mulai berbicara tentang

manajemen dan bisnis seperti Confucius. Hal ini mengingatkan kembali nilai-nilai lama yang telah hilang

dibicarakan dalam satu generasi sejak pemerintahan Orde Baru.  

Kemajuan Cina juga diikuti oleh kemajuan Empat Macan Asia (Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan

Hongkong) antara tahun 1975 dan 1988 menaikkan bagian mereka dari total ekspor barang manufaktur

dunia dari 4% menjadi 11%. Antara tahun 1985 dan 1987, mereka meningkatkan bagian mereka dari

ekspor dunia berupa barang-barang elektronik konsumen dari 15% menjadi 30%. Delapan dari sepuluh

pekerjaan di Taiwan bergantung pada ekspor. Dua pertiga dari keluaran total barang dan jasa Singapura

diekspor. Cadangan devisa dari Empat Macan Asia kini berjumlah $100 miliar dan diperkirakan

bertambah terus (Naisbitt and Aburdene, 1990:166).

Angka angka tersebut diatas menunjukan kepada kita betapa pesatnya kemajuan di negara negara yang

memiliki tradisi Confucius. Nilai nilai Confucius telah mengakar dan dipraktekan oleh wirausaha etnis

Tionghoa dimana mereka berada. 

Di Indonesia banyak pengusaha Etnis Tionghoa yang  sukses dalam berbisnis. Hasil kajian Fujitsu

Research di Tokyo (Munarwan, 2011:10) menunjukkan bahwa 73% dari perusahaan-perusahaan di

Indonesia dikuasai oleh etnis Cina. Hal ini sangat didukung oleh sikap kewirausahaan dan sikap tanggap

etnis Cina terhadap peluang bisnis. Sikap kewirausahaan orang Cina disemangati oleh ajaran

Konfusionisme dan nilai hopeng (haopeng 好 朋 kekeluargaan, haoping 好 评 /sambutan

baik/keakraban), guanxi (guanxi 关系 hubungan), Hee (hexie 和谐 harmoni) dan hokie (fuqi 福气 nasib

baik, mujur).  Sikap kewirausahaan yang ditampilkan membuat orang Cina mampu membangun jaringan

yang luas dan potensial dalam berbisnis. 

Keberhasilan orang Cina atau etnis Tionghoa di Surabaya apabila dikaji memiliki kesamaan karakter

dengan etnis Tionghoa di beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Taiwan dan Hongkong.

Kesamaan karakteristiknya adalah Etnis Tionghoa dalam berbisnis secara

kekeluargaan, guanxi (guanxi 关系), dan  prinsip-prinsip kepercayaan atau dapat dipercaya Xin (xinshi 信实 bonafide, dapat diandalkan), He  (hexie 和谐 harmoni).  Kesamaan tersebut kalau ditarik ternyata ada

benang merah khususnya berkaitan dengan ajaran Confucius Ren (ren仁), Yi (yi义), Li (li 礼), Zhi (zhi智)

dan Xin(xin信). 

Begitu pula dengan etnis Tionghoa di Surabaya yang menyebar   hampir di seluruh pelosok wilayah

Surabaya dan mereka memiliki usaha yang menyebar di hampir 31 kecamatan di kota Surabaya. Bahkan

Page 9: Disertasi Confusius

di kecamatan terpencil pun ditemukan pedagang etnis Tionghoa. Bukan pada saat sekarang, melainkan

telah ada jauh sebelum Peraturan Pemerintah 10 (Orde lama) diberlakukan. 

Di pusat-pusat perdagangan atau kantong pengusaha etnis Tionghoa berada  seperti Kembang Jepun,

Kapasan, Jagalan, Bubutan, Baliwerti, Penghela, Gembong, Bunguran itulah awal mereka berbisnis

sebagai kawasan pencinan, namun belakangan mereka memasuki wilayah-wilayah baru hampir di semua

ruko, pusat-pusat pergudangan, perumahan dan plaza-plaza  yang ada  di Surabaya, seperti Tunjungan

Plaza, Atom Mall, Surabaya Town Square, Grand City Mall, Mal Galaxy, Surabaya Plaza (Delta Plaza),

Pakuwon Trade Center, Supermal Pakuwon Indah, Royal Plaza, Golden City Mall, Plaza Marina,

Jembatan Merah Plaza, City of Tomorrow, Empire Palace, WTC, Darmo Trade Center, Pusat Grosir

Surabaya, Lemarc Mall, Central Point, East Coast Center, Kapas Krampung Plaza, JS Plaza, BG

Junction, Hi-Tech Mall, Tunjungan Electronic Center, Maspion Square, ITC Surabaya, Dupak Grosir,

Mangga Dua Center, Ciputra World, Modern Sinar Super Market, Sinar Jemur Sari, Carrefour, Makro,

Giant, Tunjungan Elektronik Center, World Trade Center (pusat ponsel). Bahkan di sepanjang jalan raya

di setiap kecamatan, kelurahan dan desa terpencil pun pedagang etnis Tionghoa bisa didapatkan.  

Kantong-kantong perdagangan tersebut memiliki kesamaan dengan kota- kota besar lainnya di Indonesia

dimana sistem kekeluargaan, jaringan (Guanxi 关 系),  kepercayaan (Xin 信)  masih diterapkan. 

Pada dasarnya Confucius dan segala yang mewakilinya seperti Confucius (Kongzi 孔子 ) dan Mencius

(Mengzi 孟子 ) merujuk kepada nilai kebudayaan tradisional tentang merekatkan kepentingan terhadap

modal manusia, hubungan interpersonal dan perkembangan yang  harmonis (He 和). Namun dilihat dari

perspektif manajemen korporasi, semua pemikiran inti yang diajukan oleh budaya Confucius seperti Ren

仁 (Kemanusiaan), Yong勇(Keberanian), He和 (harmoni), Zhong 忠 (Kesetiaan), Li礼 (Kesusilaan), Xin

信 (Kejujuran) dan Qin 清 (Kebersihan)  sangat berhubungan dengan filsafat manajemen modern dan

perilaku operasional, dan bisa menyediakan sumber-sumber budaya dan praktek manajemen bisnis

kontemporer (Wenzhong Zhu, 2008:58).

Sebagai contoh konsep Ren ( 仁 ) adalah “cinta kasih” yang bila dihubungkan dengan manajemen

modern, ia menunjukkan para pemimpin bisnis, manajer, seorang  wirausaha seharusnya memiliki hati

yang baik untuk mengasihi para bawahannya dan bertanggungjawab terhadap masyarakat dengan

membantu orang lain untuk bisa memiliki kehidupan yang lebih layak. Seorang wirausaha yang

menerapkan konsep Ren (仁 ) akan disukai oleh anak buah, pelanggan dan rekan bisnisnya sehingga

mereka lebih memiliki peluang untuk berhasil.   

Sikap kewirausahaan ditandai dengan adanya semangat inovatif, kreatif, dan selalu mencari peluang

untuk mengembangkan usaha, serta mengatasi segala kesulitan yang dihadapi (Kao,1989:91). Selain itu,

untuk mengembangkan kewirausahaan dibutuhkan gabungan antara kemampuan pribadi dan sistem

penunjang. Hal-hal yang bersifat kemampuan pribadi, antara lain berupa berbagai keahlian, kepribadian

dan karakter, semangat inovatif, keseimbangan antara intuisi dan rasionalitas, visioner, pemimpi, inovator

dan kreator serta kepemimpinan karismatik dan sifat pantang menyerah (Winarno, 2011:2).

Page 10: Disertasi Confusius

 Sikap wirausaha sangat diperlukan untuk menangkal masalah-masalah yang dihadapi perusahaan, baik

dalam hal pengembangan kreatifitas ke dalam, misalnya dalam hal perbaikan cara kerja dan peningkatan

produktifitas, maupun dalam menangkap peluang-peluang usaha baru. 

Ciri kewirausahaan seperti visi, berani mengambil resiko, adaptasi, perencanaan, motivasi, peluang,

percaya diri merupakan ciri yang juga  dimiliki oleh etnis Tionghoa dalam berbisnis. Ciri-ciri tersebut kalau

dikaji tidak jauh dari ajaran Confucius. 

Etnis Tionghoa ada di Indonesia sudah berabad-abad lamanya dan jumlahnya cukup besar, berdasar

sensus tahun 1930, jumlah etnis Tionghoa 1,2 juta, kira-kira 2,03% dari jumlah penduduk Indonesia.

Berdasarkan sensus tahun 2000, jumlah penduduk Tionghoa (WNI dan WNA sekitar 3-4 juta orang atau

sekitar 1,5-2,0 % dari jumlah penduduk Indonesia (Suryadinata, 2010:210).

Etnis Tionghoa di Surabaya sekitar 200 ribu jiwa atau sebesar 7,25% dari jumlah penduduk Surabaya

sebesar 2.765.908 (Wikipedia & Sensus 2010). Mereka  mudah beradaptasi dengan lingkungannya

melalui berbagai cara. Kecenderungan ini juga terdapat dalam masyarakat Tionghoa di Surabaya dalam

melakukan pemilihan identitas dan adaptasi dengan lingkungan dalam berbagai bidang, seperti

kebudayaan, ekonomi, politik, agama maupun kepercayaan.

Orang-orang Tionghoa  sering dikelompokkan menjadi “peranakan” dan “totok”. Peranakan adalah

mereka yang telah memiliki sejarah yang cukup panjang dan telah mampu mengadakan adaptasi dengan

kebudayaan Indonesia atau kebudayaan setempat. Mereka lahir di Indonesia yang pada umumnya sudah

tidak fasih lagi berbahasa Cina, baik tulis maupun lisan, kecuali mengucapkan beberapa kata tertentu.

Hal ini disebabkan terbatasnya sarana belajar maupun media massa yang berbahasa Tionghoa yang ada

di Indonesia. Namun dewasa ini ada berbagai lembaga swasta atau kelompok-kelompok kecil yang

memberikan kursus-kursus bahasa Tionghoa, namun sebagian besar mereka bukanlah dalam rangka

mempelajari kehidupan sosial secara menyeluruh, tetapi untuk memperlancar komunikasi dan

kesuksesan dalam bidang perdagangan.

Sebaliknya “Totok” adalah mereka yang masih kuat ikatannya dengan kebudayaan, adat istiadat, dan

tanah leluhur mereka. Mereka masih fasih berbahasa Cina, memakai pakaian Cina, atau berpakaian adat

Barat sebagai pengaruh dari warisan jaman kolonial, mereka juga masih makan makanan Cina. Mereka

juga memiliki sistem kekeluargaan yang amat erat, sehingga mereka sulit untuk mengadakan pembauran

dengan masyarakat setempat. Mereka masih memegang teguh tradisi nenek moyang, terutama yang

didasarkan pada ajaran Budhisme, Taoisme, maupun Konfusianisme (Lasiyo, 1992:27).

Permasalahannya berapa besar peran Etika Confucius terhadap kehidupan bisnis etnis Tionghoa di

Surabaya? Mengingat budaya Tionghoa yang didominasi oleh Confucius telah mengakar di kalangan

pedagang etnis Tionghoa dan mempengaruhi tingkah laku mereka dalam berbisnis. Oleh karena itu

peneliti mencoba mengangkat permasalahan tersebut dalam sebuah penelitian tentang: “Pengaruh Etika

Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan Usaha dan Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis

Tionghoa di Surabaya”. 

Penelitian ini dilakukan mengingat sepanjang pengetahuan peneliti belum ada penelitian yang lengkap

menggunakan indikator-indikator Ren(仁), Yi (义), Li (礼), Zhi(智), Xin(信), Yong (勇), Yin Yang (阴 阳)

danGuanxi(Guanxi 关 系 ) sebagai variabel etika Confucius untuk dihubungkan dengan kewirausahaan

dan kinerja usaha. Penelitian terdahulu  ada yang membahas pengaruh etika Confucius terhadap wistle

Page 11: Disertasi Confusius

blower tetapi belum mengkaji hubungan etika Confucius dengan Kewirausahan, Kemampuan Usaha dan

Kinerja Usaha. 

Tesis Weber pun mengelak ada hubungan etika Confucius dengan kinerja. Menurut

Weber, Confucianism did not encourage capitalistic innovations amongst businessmen in China due, in

part at least, to the practice of magic rituals of the Emperor, the emphasis on traditions, the reliance on

the moral cultivation of the scholar-bureaucrat (as opposed to the profit-making activities of the

merchants) and the maintenance of hierarchical relationships. (Confucianisme tidak menganjurkan

inovasi kapitalistik di antara pembisnis Cina, sebagian dikarenakan praktek ritual-ritual oleh Kaisar,

penekanan pada tradisi, kepercayaan atau ketergantungan pada penanaman modal para birokrat

terpelajar (bertentangan dengan aktifitas mencari keuntungan yang dilakukan pedagang) serta

pemeliharaan hubungan-hubungan tradisional)  (Tamney & Chiang, 2002:63-64 dalam Gary Kon Yew

Chan,2007: 348).  Begitu pula penelitian di Hongkong yang menyimpulkan menggunakan etika Confucius

dalam bisnis akan membawa kerugian bagi pedagang eceran di Hongkong (Tan dan King, 2004 dalam

Chan,2007:349).  Oleh karena itu peneliti akan mengisi gap tersebut sebagai rekomendasi dalam

penelitian ini.

Penelitian ini memilih etika Confucius mengingat Confucius merupakan kepercayaan sekaligus budaya

yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan etnis Tionghoa. Kebudayaan dan kehidupan etnis

Tionghoa masih banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaan, yakni selain Confucius adalah Budha dan

Taoisme. Namun dari tiga kepercayaan itu ajaran Confucius (Khonghucu) lebih berpengaruh dan

mendarah daging dalam kehidupan orang Tionghoa sehari-hari (Hariyono, 1993:19). Hal ini dapat

dipahami di negeri asalnya (Tiongkok) ajaran ini telah dianut selama lebih dari 2.500 tahun, dan telah

menjadi tradisi secara turun menurun. Selama dinasti Han (205 SM-220 SM),  ajaran Confucius praktis

menjadi ajaran negara. Tahun 130 SM ajaran itu dinyatakan sebagai ilmu dasar dalam pendidikan

pejabat pemerintah dan pada dasarnya masih berlanjut sampai berdirinya Republik Rakyat Cina tahun

1912.    

Ajaran Confucius lebih realistis diterapkan oleh etnis Tionghoa dari pada ajaran Budha dan Taois. Budha

dan Taois cenderung meninggalkan masyarakat dalam mencapai pencerahannya. Sedangkan ajaran

Confucius lebih mengenai kemasyarakatan dan kehidupan kelompok termasuk dalam hubungan bisnis.

Atas dasar pemikiran itu, peneliti mengambil Etika Confucius sebagai wakil dari budaya etnis Tionghoa.

Penelitian ini memfokuskan pada pedagang eceran etnis Tionghoa mengingat pedagang eceran

termasuk pedagang UKM (Usaha Kecil Menengah) yang terbukti tangguh ketika terjadi krisis Ekonomi

tahun 1998. Sektor UKM bisa bertahan dari kolapsnya ekonomi, sementara sektor yang lebih besar

tumbang oleh krisis. Di sisi lain pedagang UKM memiliki andil dalam menyerap tenaga kerja serta

memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan daerah.   

Penelitian ini dilakukan di kota Surabaya, mengingat Surabaya adalah kota terbesar kedua setelah

Jakarta dalam transaksi bisnis. Surabaya memiliki pedagang etnis Tionghoa yang jumlahnya tidak sedikit.

Surabaya juga tempat strategis dalam perniagaan etnis Tionghoa sejak abad ke-16 dengan adanya

pecinan di wilayah Kapasan, Kembang Jepun, Jagalan dan sekitarnya yang merupakan basis etnis

Tionghoa dalam berbisnis.  Surabaya  salah satu kota yang terdapat tempat ibadah sekaligus pusat

penyebaran Confucius terbesar di Asia Tenggara sejak abad ke-19 yang terletak di jalan

Page 12: Disertasi Confusius

Kapasan. Boen Bio (Wenmiao 文庙 ) salah satu tempat ibadah Confucius sekaligus pusat penyebaran

agama Khonghucu sejak tahun 1900-an. 

Selain itu, kota Surabaya yang terdiri dari lima wilayah dimana perdagangan tidak hanya di wilayah

Surabaya Pusat (seperti Kecamatan Tegalsari, Simokerto, Genteng dan Bubutan), melainkan terus

menyebar dengan pesat di wilayah Surabaya Selatan dan Surabaya Timur. Sementara di Surabaya Utara

(Bulak, Kenjeran, Semampir, Pabean Cantikan , Krembangan) dan Surabaya Barat (Benowo, Pakal,

Asemrowo, Sukomanunggal, Tandes, Sambikerep, Lakarsantri) sedang bergeliat secara perlahan

menjadi kantong-kantong perdagangan. 

Oleh sebab itu sangat tepat jika Surabaya dipilih sebagai lokasi penelitian  ini karena hal itu dapat

digunakan sumber informasi, di mana kantong-kantong bisnis etnis Tionghoa yang tersebar di berbagai

wilayah Surabaya bila diperhatikan pemerintah daerah  akan mempercepat proses pembangunan

sekaligus  pemerataan pembangunan. Hal tersebut juga sangat menguntungkan bagi pemerintah

daerah,  khususnya sebagai pendapatan anggaran daerah (PAD), terutama pajak.   

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang terkait dengan pengaruh etika Confucius

terhadap kewirausahaan, kemampuan usaha, dan kinerja usaha etnis Tionghoa di Surabaya, maka dapat

dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut :

1. Apakah ada pengaruh signifikan Etika Confucius terhadap Kewirausahaan Pedagang Eceran Etnis

Tionghoa di Surabaya?

2. Apakah ada pengaruh signifikan Etika Confucius terhadap Kemampuan Usaha Pedagang Eceran

Etnis Tionghoa di Surabaya?

3. Apakah ada pengaruh signifikan Etika Confucius terhadap Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis

Tionghoa di Surabaya?

4. Apakah ada pengaruh signifikan Kemampuan Usaha terhadap Kinerja Usaha Pedagang Eceran

Etnis Tionghoa di Surabaya?

5. Apakah ada pengaruh signifikan Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis

Tionghoa di Surabaya?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis dan menjelaskan pengaruh etika Confucius terhadap kewirausahaan pedagang

eceran etnis Tionghoa di Surabaya.

Page 13: Disertasi Confusius

2. Menganalisis dan menjelaskan pengaruh etika Confucius terhadap kemampuan usaha pedagang

eceran etnis Tionghoa di Surabaya.

3. Menganalisis dan menjelaskan pengaruh etika Confucius terhadap kinerja usaha pedagang eceran

etnis Tionghoa di Surabaya.

4. Menganalisis dan menjelaskan  pengaruh kemampuan usaha terhadap kinerja usaha pedagang

eceran etnis Tionghoa di Surabaya.

5. Menganalisis dan menjelaskan pengaruh kewirausahaan terhadap kinerja usaha pedagang eceran

etnis Tionghoa di Surabaya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Manfaat secara Teoritis

1. Sebagai sumbangan penting dan memperluas wawasan bagi kajian ilmu manajemen dalam

mengembangkan bisnis, sehingga dapat dijadikan rujukan untuk pengembangan penelitian sumber

daya manusia di masa yang akan datang.

2. Memberikan sumbangan penting dan memperluas kajian ilmu manajemen yang menyangkut

peningkatan bisnis.

3. Menambah konsep baru yang dapat dijadikan rujukan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat secara Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pikiran bagi masyarakat etnis Tionghoa untuk

meningkatkan kualitas dalam menjalankan bisnis. 

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk  meningkatkan pemahaman tentang penerapan etika

Confucius dalam kewirausahaan, sehingga dapat berguna bagi masyarakat setempat.

c. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan kinerja usaha etnis Tionghoa dalam menjalankan bisnis,

sehingga dapat mendapatkan hasil yang optimal.

d. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja pengusaha etnis Tionghoa di

Surabaya dalam menjalankan bisnis.

Page 14: Disertasi Confusius

BAB II Tinjauan Pustaka : Kewirausahaan

 

Category: DISERTASIPublished on TUESDAY, 26 FEBRUARY 2013 10:40 Written by DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 3263

Oleh : Drs. Ongky Setio Kuncono, MM, MBA

Pengertian Kewirausahaan

Istilah kewirausahaan banyak dijumpai dalam uraian

yang merupakan kata dasar wirausaha yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan kata

wirausaha. Kata wirausaha atau “pengusaha” berasal dari bahasa Perancis “entrepreneur” yang artinya

pemimpin musik atau pertunjukan (Jhingan, 1999:425).

Dalam bahasa Belanda dikenal sebagai ondernemer dan di Jerman dikenal sebagai unternehmer. Di

beberapa negara, kewirausahaan memiliki banyak tanggung jawab, antara lain tanggung jawab dalam

mengambil keputusan yang menyangkut kepemimpinan teknis, kepemimpinan organisasi dan komersial,

pembelian, penjualan, pemasangan iklan dan sebagainya.  

Djatmiko (2011:7) mengatakan wirausaha atau wiraswasta atau saudagar merupakan istilah yang

melekat pada diri seseorang yang mampu berdiri sendiri karena keunggulan yang dimiliki dalam bidang

usaha. Hal itu sesuai dengan arti kata wiraswasta itu, yaitu: Wira: manusia unggul, teladan, berbudi luhur,

berjiwa besar, berani, pahlawan dan pendekar kemajuan dan mempunyai keagungan watak, Swa:

sendiri, dan Sta: berdiri.  

Meredith,et.al. (1996) mengatakan wirausaha adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan, melihat

dan menilai kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil

keuntungan daripadanya serta mengambil tindakan yang tepat, guna memastikan kesuksesan.

Page 15: Disertasi Confusius

Thomas W.Zimmerer (1996) dalam Suryana dkk. (2011:1) mengatakan kewirausahaan adalah hasil dari

suatu disiplin serta proses sistematis penerapan kreativitas dan inovasi dalam memenuhi kebutuhan dan

peluang di pasar. 

Suryana lebih lanjut mengatakan inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu

yang baru dan berbeda (created new and different). Melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk

menciptakan peluang. Kewirausahaan pada dasarnya adalah semangat, sikap, perilaku dan kemampuan

seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari,

menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam

rangka memberikan pelayanan yang lebih baik atau memperoleh keuntungan yang besar.

Komaruddin (2006) mengatakan Entrepreneur disebut sebagai pengusaha, usahawan, wirausaha.

Menurut Kamus Besar Indonesia, kewirausahaan berasal dari kata entrepreneur (bahasa Inggris) adalah

orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun

operasi untuk mengadakan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya. Jadi

seorang entrepreneurtidak bisa melakukan produksi dan memasarkan tanpa ada suatu pengalaman atau

setidaknya seorangentrepreneur harus punya jiwa rasa ingin tahu tentang produksi dan barang. Hanya

dengan memahami barang yang akan dijual dan memahami pasar serta berkemampuan untuk

melakukan kalkulasi  maka seorangentrepreneur bisa dengan tepat mencapai tujuannya yakni

keuntungan.

Menurut Sudjana (2004:131), kewirausahaan atau entrepreneurship  adalah sikap dan perilaku wirausaha

yang inovatif, antisipatif, inisiatif, pengambil resiko, dan berorientasi laba. Sedangkan dalam Instruksi

Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 1995 tanggal 30 Juni 1995 tentang Gerakan Nasional

Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan, dikemukakan bahwa kewirausahaan adalah

semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang

mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produksi baru

dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau

memperoleh keuntungan yang lebih besar. 

Sanusi (1998:291) mengemukakan bahwa kewirausahaan dapat dipandang sebagai institusi

kemasyarakatan yang mengandung nilai-nilai dan dinyatakan dalam perilaku. Nilai dan perilaku itu

merupakan dasar sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses, dan hasil bisnis.

Menurut Suherman  (2008:11) kewirausahaan merupakan sikap dan perilaku seseorang dalam

melakukan suatu kegiatan. Sehingga dapat diketahui bahwa kewirausahaan merupakan sikap dan

perilaku seseorang dalam melakukan suatu kegiatan.

Winarto (2004) dalam Suherman (2008:11) mengemukakan enterpreneurship adalah proses melakukan

sesuatu yang baru dan berbeda dengan tujuan menciptakan kemakmuran bagi individu dan memberi nilai

tambah pada masyarakat. Sejalan dengan hal itu Hisrick - Peters (1995) dalam Alma (2007:33)

memaparkan bahwaenterpreneurship is the process of creating something with value by devoting the

necessary time and effort, assuming the accompany financial, psychic, and social risk, and  receiving the

resulting rewards of monetary and personal satisfaction and independence (Kewirausahaan adalah

proses menciptakan sesuatu yang lain dengan menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal dan

resiko serta menerima balas jasa dan kepuasan serta kebebasan pribadi).

Page 16: Disertasi Confusius

Secara etimologi, kewirausahaan merupakan nilai yang diperlukan untuk memulai sesuatu usaha (start

up phase) atau suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru (creative) atau sesuatu yang

berbeda (innovative). Menurut Zimmerer (1996:51), kewirausahaan adalah applying creatibity and

innovation to solve the problem and to exploit opportunities that people face everyday. (Kewirausahaan

adalah perencanaan kreatifitas dan inovasi atau memecahkan masalah dan upaya untuk memanfaatkan

peluang yang dihadapi setiap hari). Kewirausahaan adalah gabungan dari kreatifitas, inovasi, dan

keberanian menghadapi resiko yang dilakukan dengan cara bekerja keras untuk membentuk dan

memelihara usaha baru. Menurut Zimmer (1991:51) kreativitas diartikan sebagai kemampuan untuk

mengembangkan ide-ide dan untuk menemukan cara-cara baru dalam memecahkan persoalan dan

menghadapi peluang (creativity is the ability to develop new ideas and to discover new ways of looking at 

problem and opportunities).

Zimmerer dan Scarborough (2003:3) mengatakan An entrepreneur  is one who creates a new business in

the face of risk and uncertainty  for the purpose of achieving profit and growth by identifying opportunities

and assembling the necessary resources to capitalize on those opportunities. (Seorang pengusaha

adalah seorang yang menciptakan suatu usaha baru, berhadapan dengan resiko dan ketidakpastian,

untuk tujuan mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan mengindentifikasi kesempatan dan

mengumpulkan sumber daya yang diperlukan untuk dimanfaatkan dalam kesempatan-kesempatan tadi).

Selanjutnya dikatakan seorang wirausaha adalah “someone who takes nothing for granted, assumes

change is possible, and follows through, someone incapable of confronting reality without thinking about

ways to improve it; and for whom action in a natural consequence of thought” (seseorang yang tidak

menyia-nyiakan apapun, beramsumsi bahwa perubahan itu mungkin, dan mengikutinya, seseorang yang

tidak mampu menghadapi kenyataan tanpa memikirkan cara-cara untuk membuatnya menjadi lebih baik;

dan baginya tindakan yang merupakan sebuah konsekuensi alami dari pemikiran).

Apabila dikaji lebih dalam, semua definisi kewirausahaan yang dikemukakan para pakar tersebut selalu

mengandung unsur kreatifitas, inovasi dan resiko, antisipatif. Dengan demikian, setiap pelaku

kewirausahaan atau wirausaha memiliki nilai lebih dibanding dengan pelaku usaha atau pengusaha

biasa. Sri Edi Swasono (1978:38) dalam Suryana (2003:11) menegaskan bahwa dalam konteks  bisnis,

wirausaha adalah pengusaha, tetapi tidak semua pengusaha adalah wirausaha. Wirausaha adalah

pelopor dalam bisnis, inovator, penanggung resiko, yang mempunyai visi ke depan, dan memiliki

keunggulan dalam berprestasi di bidang usaha.

Lebih lanjut Suryana (2003:1) mengemukakan bahwa kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan

inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Sedangkan

Frederick (2006) dalam Wijatno (2009:22) mengatakan ada 17 karakteristik yang melekat pada

diri enterpreneur yaitu: (1) komitmen, (2) dorongan kuat untuk berprestasi, (3) berorientasi pada

kesempatan dan tujuan, (4) inisiatif dan tanggung jawab, (5) pengambilan keputusan, (6) mencari umpan

balik, (7) internal focus control, (8) toleransi terhadap ambiguitas, (9) pengambilan resiko yang

terkalkulasi, (10) integritas dan reliabilitas, (11) toleransi terhadap kegagalan, (12) energi tingkat tinggi,

(13) kreatif dan inovatif, (14) visi, (15) independen, (16) percaya diri dan optimis, (17) membangun tim.

Sementara Prawirokusumo (2010:12) menulis lima belas faktor adalah: (1) creative, (2) open

mind (terbuka), (3)patience (sabar), (4) corage (keberanian), (5) coopetate, (6) understand

Page 17: Disertasi Confusius

of leverage (menghargai bantuan), (7)honesty & integrity (jujur, integritas tinggi),

(8) personal vision (mempunyai visi), (9) ability to organize resources(dapat mengelola sumberdaya),

(10) intuition (intuisi), (11) believe in idieas-motivation (mempunyai ide dan motivasi), (12) action

orientation (orientasi kerja), (13) risk taking (berani mengambil resiko), (14) independence(mandiri),

(15) individualism (percaya diri).

Kewirausahaan sangat dipengaruhi oleh bakat seseorang yang diperolehnya sejak lahir, bakat tersebut

dapat dikembangkan melalui berbagai macam pengalaman dalam bidang kegiatan individu. Tetapi

metode penerapannya dapat dipelajari dan ditiru setiap orang walaupun hasilnya sulit dapat diramalkan.

Kelompok Kewirausahawan

Seorang pengusaha berarti orang yang memiliki kemampuan mendapatkan peluang secara berhasil.

Pengusaha bisa jadi seorang yang berpendidikan tinggi, terlatih dan terampil atau mungkin seorang buta

huruf yang memiliki keahlian yang tinggi. Menurut Jhingan (1999:426) pengusaha mempunyai kriteria

sebagai berikut: (1) energik, banyak akal, siap siaga terhadap peluang baru, mampu menyesuaikan diri

terhadap kondisi yang berubah dan mau menanggung resiko dalam perubahan dan perkembangan; (2)

memperkenalkan perubahan teknologi dan memperbaiki kualitas produknya; (3) mengembangkan skala

operasi dan melakukan persekutuan, mengejar dan menginvestasikan kembali labanya. 

Terdapat beberapa macam wirausaha. Winarto (2003), menggolongan dua kategori aktivitas

kewirausahaan. Pertama, berwirausaha karena melihat adanya peluang usaha (entrepreneur activity by

opportunity). Kedua, kewirausahaan karena terpaksa tidak ada alternatif lain untuk ke masa depan

kecuali dengan melakukan kegiatan usaha tertentu, sehingga wirausaha dapat dipandang dari (1) tujuan

wirausaha, dan (2) proses berusaha. Dalam proses berusaha apakah keputusan untuk berusaha berjalan

lambat atau cepat, dan pada waktu masuk dalam bisnis apakah ia sebagai pendiri, atau mendapat usaha

dari proses membeli atau melalui franchising atau, (3) konteks industri dan teknologi, (4) struktur

kepemilikan, yaitu pemilik tunggal, kongsi, kelompok. Namun kewirausahaan bukan untuk sekedar

menghasilkan uang, tetapi menghasilkan sesuatu yang diperlukan masyarakat yaitu gagasan inovatif dan

semangat untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. 

Seorang wirausaha adalah seseorang yang memiliki visi bisnis atau harapan dan mengubahnya menjadi

realita bisnis. Wirausaha adalah seorang pembuat keputusan yang membantu terbentuknya sistem

ekonomi perusahaan yang bebas. Sebagian besar pendorong perubahan inovasi, dan kemajuan di

perekonomian, sehingga wirausaha adalah orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mengambil

resiko dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Wirausaha bukan karena memahami yang ada dalam

semua kompleksitasnya, tetapi dengan menciptakan situasi baru yang harus dicoba untuk dipahami oleh

orang lain. Para wirausahwan berada di dunia yang terakhir menjadi yang pertama, tempat penawaran

menciptakan permintaan, tempat keyakinan mendahului pengetahuan. Kets De Vries (1997:268)

menggolongkan wirausaha berdasarkan dari lingkungan mereka berasal, yaitu :

1. Wirausaha craftsmans, berasal dari pekerja kasar dengan pengalaman dalam tehnologi rendah,

mekanik yang genius dan mempunyai reputasi dalam industri.

2. Wirausaha opportunistic, berasal dari golongan kelas menengah sampai Chief Excecutives.

Page 18: Disertasi Confusius

3. Wirausaha dengan bekal pengalaman tehnologi, ia memiliki pendidikan formal.

4. Kewirausahaan ditandai dengan keanekaragaman, yaitu adanya pergantian besar pada masyarakat

dan perusahaan yang berterminologi wirausaha.

Dengan demikian, karakteristik wirausaha dapat dikelompokkan menjadi :

1. Berorientasi pada tindakan, “Mereka melakukan, membetulkannya, mencoba”.

2. Memiliki kemampuan untuk menvisualisasikan langkah-langkah dari gagasan sampai aktualisasi.

3. Menjadi pemikir dan pelaku, perencana dan pekerja.

4. Terlibat, menerapkan langsung

5. Dapat mentolerir ambiguitas

6. Menerima resiko tetapi memahami dan mengelolahnya

7. Mengatasi, bukan menghindari, kekeliruan, mereka tidak mengakui mereka dikalahkan.

8. Memandang diri sendiri sebagai seorang yang bertanggung jawab atas nasib mereka sendiri.

9. Percaya pada penciptaan pasar untuk gagasan mereka, bukan sekedar menanggapi permintaan

pasar yang ada.

Keberhasilan seorang wirausaha mengembangkan bisnisnya tergantung pada kecerdasan, imajinasi, dan

kekuatan keinginan individu yang bersangkutan. Sedikit keberuntungan diperlukan, tetapi dapat

diargumentasikan bahwa tidak ada keberuntungan mengubah visi menjadi realita lebih berupa kerja

keras, di samping imajinasi dan kemampuan yang mampu merubah karir individu menjadi sukses

(Rachbini, 2001:100). Para entrepereneur (wirausaha) sangat besar artinya bagi kemajuan

perekonomian. Para wirausaha mempunyai katalisator dan menunjang perkembangan arus investasi

sehingga ikut memperkuat pembangunan ekonomi yang tengah berlangsung.

Dari definisi di atas maka dalam menjalankan usahanya, wirausaha harus memiliki langkah langkah yang

harus dilakukan sebagai berikut:

1. Berani memulai, artinya seseorang tidak perlu menunggu nanti atau esok untuk memulai

berwirausaha.

2. Berani menanggung resiko, artinya seseorang tidak perlu takut apabila dalam berwirausaha nanti

mengalami kerugian.

3. Penuh perhitungan, maksudnya setiap tindakan yang dilakukan harus diperhitungkan dan

dipertimbangkan secara matang. Jangan bertindak gegabah dalam melangkah atau mengambil

keputusan.

4. Memiliki misi dan visi yang jelas, agar memiliki pandangan kedepan bisnis yang hendak

dilaksanakan.

5. Memiliki rencana yang jelas, artinya pengusaha harus mampu menyusun suatu rencana untuk

sekarang dan masa depan sebagai pedoman dan alat kontrol baginya.

6. Melihat peluang, artinya peka terhadap peluang yang ada.

Page 19: Disertasi Confusius

7. Memiliki motivasi, artinya memiliki dorongan dan keyakinan sehungga tindakkannya selalu diiringi

sikap optimis dan keyakinan karena itulah yang menjadi motivasi untuk melangkah maju.

8. Memiliki adaptasi, artinya bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan serta perubahannya.

9. Memiliki tanggungjawab, artinya pengusaha harus selalu bertanggungjawab terhadap aktivitas yang

dilakukan terhadap semua pihak.

10. Memiliki etika dan moral sebagai benteng dalam berwirausaha agar dapat sukses.

Zimmerer dan Scarborough (2003:4) memberikan ringkasan tentang profil wirausaha sebagai berikut :

1. Desire for responsibility (keinginan akan tanggungjawab)

Wirausaha merasakan tanggungjawab pribadi untuk hasil dari usaha yang mereka mulai. Mereka lebih

suka untuk berada dalam posisi mengontrol sumber daya mereka dan menggunakannya untuk mencapai

tujuan-tujuan yang mereka tentukan sendiri.

2 Preference for moderate risk (preferensi untuk resiko moderat)

Wirausaha bukanlah pengambil resiko yang membabibuta, melainkan mereka adalah pengambil resiko

yang penuh kalkulasi (seperti juga konsep Confucius Yong yang diimbangi dengan Yi dan Zhi).Tidak

seperti “penjudi kapal sungai kelas tinggi (high-rolling riverboat gamblers), mereka jarang berjudi.

Wirausaha seringnya memiliki persepsi berbeda soal resiko yang terlibat dalam sebuah situasi bisnis.

Wirausaha telah memikirkan situasinya lebih mendalam dan meyakini bahwa tujuan tujuan mereka

adalah masuk akal dan bisa dicapai.

3. Confidence in their ability to succeed (kepercayaan diri terhadap kemampuan mereka untuk

sukses).

Wirausaha pada umumnya memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap kemampuan mereka untuk

mencapai kesuksesan. Mereka cenderung optimis tentang kesempatan sukses mereka, dan biasanya

keoptimisan tersebut didasarkan pada kenyataan.

4. Desire for immediate feedback (keinginan untuk umpan-balik langsung)

Wirausaha ingin mengetahui bagaimana kinerja mereka dan selalu secara konstan mencari peneguhan.

Tricia Fox, pendiri Fox Day Schools,Inc., mengatakan, “I like being independent and successful” (saya

suka menjadi mandiri dan sukses). Tidak ada yang lain yang memberikan umpan-balik seperti usaha

anda sendiri.

5. High level of energy (energi level tinggi)

Wirausaha lebih enerjik dari pada orang orang pada umumnya. Energi merupakan faktor penting

mengingat perlunya usaha yang besar untuk memulai usaha awal. Jam panjang untuk bekerja dll.

6. Future orientation (orientasi ke masa depan)

Page 20: Disertasi Confusius

Wirausaha cenderung mempunyai mimpi yang besar dan kemudian memformulasikan rencana-rencana

untuk mentransformasikan mimpi-mimpi tersebut menjadi kenyataan. Mereka memandang kedepan dan

kurang mengkhawatirkan apa yang mereka capai kemarin dibandingkan dengan apa yang mereka

lakukan besok. Selalu mewaspadai munculnya kesempatan-kesempatan bisnis baru, pengusaha

mengawasi kejadian-kejadian yang sama dengan orang lain, tetapi mereka melihat sesuatu yang

berbeda.

7. Skill at organizing (kemampuan dalam berorganisasi)

Membangun sebuah perusahaan dari nol (from scratch) sangat mirip dengan menyatukan

satu puzzle raksasa. Wirausaha mengetahui bagaimana menempatkan orang-orang dan sumber daya

yang tepat menjadi satu untuk menyelesaikan satu tugas. Mengkombinasikan orang-orang dan pekerjaan

pekerjaan secara efektif memampukan pengusaha untuk membawa visi mereka pada kenyataan.

8. Value of achievement over money (nilai prestasi dibandingkan uang)

Wirausaha sepenuhnya didorong oleh keinginan untuk mendapatkan uang. Sebaliknya, prestasi

tampaknya merupakan kekuatan motivasi utama dibalik pengusaha; uang hanyalah sekedar sebuah jalan

untuk mencatat skor (keeping score) dari pencapaiannya-sebuah simbul dari prestasi, uang bukanlah

motif pendorong bagi kebanyakan pengusaha. 

Karakter lain yang ditunjukkan oleh wirausaha adalah: (1) komitmen tinggi (high degree of commitment),

(2) toleransi terhadap ambiguitas (tolerance for ambiguity), (3) fleksibilitas (flexibility) dan (4) keuletan

(tenacity).

Seorang wirausahawan yang sukses juga harus mempertimbangkan etika bisnis sebagai landasan dalam

melakukan aktifitasnya. Tanpa adanya etika bisnis wirausaha tidak akan mendapatkan kepercayaan

masyarakat dan pada akhirnya akan mengalami kegagalan dalam jangka panjang. Seorang pengusaha

tidak boleh menghalalkan berbagai cara untuk mengembangkan dan memajukan usahanya dan

seharusnya mematuhi norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, dikenal adanya

etika dalam berwirausaha seperti pendapat Djatmiko (2011:103) sebagai berikut :

1. Kejujuran. Seorang pengusaha harus selalu bersikap jujur, baik dalam ucapan maupun tindakannya

sehingga konsumen dan mitra kerja dapat mempercayainya.

2. Bertanggungjawab. Seorang pengusaha harus bertanggungjawab terhadap segala kewajibannya.

Tanggungjawab seorang pengusaha tidak hanya terbatas pada usahanya, tetapi juga kepada para

pendukungnya yaitu karyawan, masyarakat, dan pemerintah.

3. Menempati janji. Seorang pengusaha dituntut untuk mampu memenuhi segala yang dijanjikannya

kepada pihak lain karena hal inilah yang menjadi dasar kepercayaan orang lain kepadanya.

4. Disiplin. Seorang pengusaha diharuskan untuk selalu berdisiplin dalam berbagai kegiatan yang

berkaitan dengan bidang usahanya karena hal ini akan memberi suatu nilai lebih di mata konsumen

dan mitra kerjanya.

5. Taat hukum. Pengusaha harus selalu patuh terhadap peraturan yang berlaku, baik yang berkenaan

dengan masyarakat maupun dengan pemerintah. Karena jika melanggar hukum akibatnya adalah

berkurangnya rasa hormat dan kepercayaan konsumen dan mitra kerja terhadapnya.

Page 21: Disertasi Confusius

6. Suka membantu. Secara moral pengusaha harus sanggup membantu pihak yang memerlukan

bantuan. Hal ini akan menimbulkan suatu rasa simpatik atau segan di lingkungan masyarakat

sekitar.

7. Berkomitmen dan menghormati pihak lain. Pengusaha harus berkomitmen atau berpegang teguh

pada segala yang dijalankan serta menghargai komitmen pihak lain. Hal ini akan membuat pihak

lain menghargainya juga.

8. Mengejar prestasi. Pengusaha yang sukses harus selalu berusaha mengejar prestasi setinggi

mungkin. Dengan demikian, akan terus lahir inovasi-inovasi dan ide-ide kreatif yang dapat

digunakan dalam mengembangkan dan memajukan bidang usahanya.

Menurut Prawirokusumo (2010:10) ada gejala dalam masyarakat yang menghambat timbulnya kreatifitas

dan kewirausahaan yaitu:

1. Bonek, adalah kelompok orang-orang yang tidak bertanggungjawab, nekat, tanpa peduli dan tidak

berpikir panjang.

2. Budaya menerabas, yaitu orang-orang yang senang jalan kompas tidak sabar.

3. Budaya menghalalkan segala cara, mereka menempuh cara apapun untuk mencapai tujuannya.

4. Budaya spekulatif, tidak berdasarkan perhitungan yang matang, tidak ada perencanaan.

5. Budaya tidak malu, keadaan di mana sifat malu melakukan hal-hal yang terlarang sudah menipis.

Supriyono (1998) dalam Iskandar (2005:30) mengatakan bahwa berbisnis harus memperhatikan perilaku

etis, yaitu: (1) Kejujuran,  (2) Integritas, (3) Tepat janji, (4) Kesetiaan, (5) Keadilan, (6) Memperhatikan

pihak lain, (7) Menghormati pihak lain, (8) Tanggungjawab sebagai warga negara, (9) Memburu

keunggulan, (10) Akuntabilitas. 

Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa etika sangat penting bagi kewirausahaan sebagai

meningkatkan keakraban dengan karyawan, konsumen, dan mitra kerja yang berkepentingan. Suasana

penuh keakraban diharapkan dapat memperlancar segala urusan yang berkaitan dengan kegiatan usaha.

Apabila konsumen dan mitra kerja diperlakukan secara etis, maka akan menjadi mitra kerja yang setia

dan pada akhirnya akan menguntungkan perusahaan. Etika juga berfungsi mempertahankan pelanggan.

Dalam hal ini, pengusaha atau karyawan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan lama

agar mereka selalu merasa senang bila bertransaksi dengan perusahaan (Djatmiko, 2011:104).

BAB II Tinjauan Pustaka : Variabel Etika Confucius

 

Page 22: Disertasi Confusius

Category: DISERTASIPublished on THURSDAY, 21 FEBRUARY 2013 23:25 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 849

Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA

Dari uraian sebelumnya  akhirnya peneliti mengambil Indikator Etika Confucius (1) Cinta Kasih (Ren仁),

(2) Kebenaran (Yi 义 ), (3) Kesusilaan (Li 礼 ), (4) Kebajikan (Zhi 智 ), (5) Kepercayaan (Xin 信 ), (6)

Kebenaran (Yong勇), (7) Perubahan (Yin Yang阴阳), dan (8) Hubungan (Guanxi关系).

1. Cinta Kasih (Ren仁)

Ren (cinta kasih) sebagai kebaikan / kebajikan bersifat timbal balik.

Menurut Kosasih (1995:58) seorang penguasa atau majikan harus bertindak sopan santun, sebelum ia

berhak memeriksa kesetiaan menterinya dan karyawannya. Sama halnya dengan seorang ayah harus

ramah dan sayang sebelum ia mengharapkan perbuatan bakti anak-anaknya. Etos Ren 仁 di atas

mengandung arti bahwa pengusaha harus memberikan hal terbaik kepada pelanggan atau kolega

bisnisnya agar pelanggan dan kolega memberikan hal terbaik juga kepada pengusaha tersebut. 

Cinta kasih sangat penting karena tanpa adanya cinta kasih, maka orang tidak akan mungkin berlaku

hormat, lapang hati, dan sebagainya. Cinta kasih adalah hati manusia. Perasaan belas kasihan itulah

benih cinta kasih, maka orang yang tidak mempunyai perasaan berbelas kasihan itu bukan manusia.

Ada lima  pedoman cinta kasih yang terdapat pada Sabda Suci XVII:6:2 halaman 301 yang berbunyi :

“Kalau orang dapat berlaku: hormat, lapang hati, dapat dipercaya, cekatan, dan bermurah hati. Orang

yang berlaku hormat, niscaya tidak terhina, yang lapang hati, niscaya mendapat simpati umum, yang

dapat dipercaya, niscaya mendapat kepercayaan orang, yang cekatan, niscaya berhasil pekerjaannya,

dan yang bermurah hati niscaya diturut perintahnya.“ Contoh antara atasan dan bawahan harus bisa

menjaga sikap atau tingkah laku yang benar, sehingga membawa keharmonisan dalam lingkungan kerja.

Sikap di sini termasuk dapat mengontrol hati.

Page 23: Disertasi Confusius

Dalam Kitab Lun Yu terdapat 100 huruf Ren 仁 dan menurut Confucius bahwa “yang dikatakan

Ren 仁  bila diri sendiri ingin tegak, maka berusaha agar orang lain tegak. Bila diri sendiri ingin berhasil,

maka berusaha agar orang lain pun berhasil“ (Indarto, 2010:1). Confucius bersabda : “Ren 仁 (Cinta

Kasih) ialah mencintai manusia” (Lun Yu / Lun Gie XII:22.1). Selanjutnya dikatakan “Kalau Aku

(Confucius) inginkan cinta kasih itu sudah besertaku.” “Apa yang diri sendiri tiada inginkan, jangan

diberikan pada orang lain (Lun Yu / Lun Gie XV : 24). 

Pengertian di atas apabila dihubungkan dengan bisnis maka seorang wirausaha apabila ingin bisnisnya

maju dan sukses, maka berusaha agar kolega bisnis, supplier (pemasok), bahkan pelanggan diusahakan

agar ikut maju dan berkembang juga. Sebaliknya tindakan atau kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh

pengusaha harus diukur dulu terhadap perusahaan sendiri dan apabila kebijaksanaan yang tidak baik

dan tidak bermanfaat bagi perusahaannya, jangan sampai kebijaksanan itu diberikan kepada perusahaan

lain, baik itu kolega bisnis maupun supplier.

Etos Ren merupakan The Golden Rule (Kaidah Emas). Setiap orang adalah manusia yang sama harkat

dan martabatnya. Apa yang Anda inginkan dari orang lain, itulah yang juga Anda lakukan pada orang

lain. Sebagai orang bisnis, karena Anda sendiri ingin agar hak dan kepentingan Anda diperhatikan, maka

hargai dan perhatikan juga hak dan kepentingan orang lain dalam kegiatan bisnis apa pun yang Anda

lakukan. Jika Anda sendiri tidak ingin hak dan kepentingan Anda dirugikan, maka jangan merugikan hak

dan kepentingan bisnis orang lain. Prinsip-prinsip tersebut menurut Keraf (1998), adalah dasar dari setiap

relasi sosial mana pun, termasuk bisnis. Bisnis tidak bisa bertahan dan berhasil kalau prinsip ini dilanggar

(Keraf, 1998:81). Seseorang yang memiliki Cinta Kasih akan banyak sahabat, banyak pelanggan dan ini

merupakan modal dasar untuk suksesnya bisnis yang dijalankan.

2. Kebenaran (Yi 义)

Kebenaran berbeda dengan cinta kasih, meliputi pemikiran yang memerlukan logika dan tindakan dari

sudut pandang seseorang. Perasaan malu dan tidak suka adalah benih kebenaran, yang tidak

mempunyai perasaan malu itu bukan orang lagi. Contoh: sebagai seorang karyawan baru di sebuah

perusahaan, perlu belajar tata cara atau prosedur kerja yang benar sehingga bisa beradaptasi dengan

lingkungan kerja yang baru. Bingcu berkata, “... Hidup, aku menyukai. Kebenaran, aku menyukai juga.

Tetapi kalau tidak dapat kuperoleh kedua-duanya, akan kulepas hidup dan kupegang teguh Kebenaran.”

(Kutipan salah satu ayat dalam Bingcu VIA: 10 halaman 698).

Confucius berkata : “Seorang Junzi terhadap persoalan di dunia tidak mengiyakan atau menolak mentah-

mentah, hanya kebenaranlah yang dijadikan ukuran“ (Lun Gie Jilid IV:10). Confucius mengatakan :

“Luaskan pengetahuanmu dengan membaca kitab-kitab, dan batasi dirimu dengan Kesusilaan. Dengan

demikian kamu tidak melanggar (Yi义) Kebenaran“ (Lun Gie Jilid XII:16).

Confucius berkata “Seorang Junzi memegang Kebenaran sebagai pokok pendiriannya. Kesusilaan

sebagai pedoman perbuatannya, mengalah dalam pergaulan dan menyempurnakan diri dengan laku

dapat dipercaya“ (Lun Gie Jilid XV:18). Ayat-ayat di atas apabila diterapkan dalam dunia bisnis bahwa

dalam menjalankan perusahaan harus berdasarkan pada kebenaran.

Page 24: Disertasi Confusius

Di Cina etos Yi 义(kebenaran) menjadikan dasar atau pondasi dalam segala aktifitas bisnis. Menurut Lu

Xiaohe, etos Yi 义  yang bersumber pada ajaran Confucius dijadikan landasan moral untuk mencapai

keuntungan bisnis. Bisnis harus diraih berdasarkan moral Yi  义  menuju tercapainya keuntungan (Li’利 )

atau cara Yi 义 menuju Li’ 利 . (Journal of Business Ethics, 16 :1509-1518,1997). 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

Perusahaan yang memiliki pimpinan yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih

sukses dalam jangka panjang.

Kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan

kepercayaan pihak lain.

Kepercayaan akan mempercepat transaksi dan praktis.

Dengan kepercayaan akan mempercepat pengiriman barang.

Kepercayaan akan membuat rendahnya biaya transaksai.

Kepercayaan akan memperpendek jalur birokrasi.

Kepercayaan memudahkan mendapatkan kredit dan bantuan keuangan.

Kepercayaan setara dengan modal kerja.

Kepercayaan akan menarik pelanggan pelanggan loyal.

Kepercayaan akan memperbanyak jaringan dan memperkuat bisnis. (Li礼)

3. Kesusilaan

Li 礼 adalah semacam aturan atau tatakrama bisa juga disebut prosedur yang tepat dalam menjalankan

sesuatu. Orang Tionghoa sejak kecil sudah dididik untuk memiliki kepatuhan moral ini untuk mencari

konsesus, pengendalian diri, memiliki tanggungjawab, berterimakasih kepada orang tua serta

menghormati yang lebih senior. Penghormatan kepada senior, orang lain bahkan para pelanggan bisnis 

dengan sopan santun dan cara-cara yang benar itu merupakan praktek dari Li礼.

Menurut Thomas Liem Tjoe  (2008:51) bahwa Li 礼 sebagai pengetahuan tentang bentuk-bentuk tingkah

laku yang mulia telah menjadi kebiasaan orang Tionghoa dan menjadi tingkahlaku para pelaku bisnis

yang telah terpola dan mendasar dalam prinsip bisnis walau hal itu tidak dipamerkan dalam tulisan dan

dibaca pelanggan tetapi mereka menghayatinya apa yang termasuk perilaku Li dan apa yang

menyimpang dari Li dalam menjalankan bisnis. 

Orang awam pun yang berbisnis dengan orang Tionghoa lama kelamaan akan memahami apa yang

disebut dengan Li. Hal ini bisa dilihat dari ungkapan orang Tionghoa yang mengatakan sesuatu itu tidak

pantas dalam perilakunya dengan kata tidak “Cengli“正理 . Ungkapan tidak cengli umumnya diberikan

kepada pelanggan bisnis yang tidak memiliki aturan dalam bertransaksi bisnis maupun kepada sahabat

yang berbuat menyimpang dari kebiasaan yang benar. 

Kesusilaan terdiri dari kesetiaan, sikap baik, tanggungjawab, kesederhanaan, penghormatan, dan

sebagainya. Perasaan rendah hati dan mau mengalah itulah benih kesusilaan. Bagi yang tidak

mempunyai perasaan rendah hati dan mau mengalah itu bukan orang lagi. Contoh: dalam bekerja,

bertingkah laku sesuai dengan kesusilaan agar  sesama rekan kerja saling menghormati. Seperti yang

terdapat dalam Bingcu VII B:33:2 halaman 806, yaitu: “Bila segenap gerak, wajah dan tingkah laku dapat

tepat dengan kesusilaan, itu tentu karena sudah mencapai puncak kebajikan sempurna.”

Page 25: Disertasi Confusius

4. Kebijaksanaan (Zhi智)

Kebijaksanaan adalah pengetahuan tentang benar dan salah, baik dan buruk. Penting dalam penerapan

norma-norma moral, tanpa itu seseorang tidak bisa menjadi bijaksana. Tanpa kebijaksanaan, seseorang

tidak akan mempunyai etika atau kemampuan sosial, atau dalam bahasa yang sederhana perlu adanya

bimbingan untuk menuju kebajikan yang lain. Contoh: menjadi seorang manager adalah impian semua

orang, namun perlu diingat tugas dan tanggung jawabnya juga besar. Dalam keadaan yang mendesak,

harus bisa bersikap bijaksana dalam memutuskan sesuatu, sehingga keputusannya tidak akan berat

sebelah. Perasaan membenarkan dan menyalahkan itulah benih kebijaksanaan, yang tidak mempunyai

perasaan membenarkan dan menyalahkan itu bukan orang lagi.  (Penggalan ayat suci dari Bingcu

IIA:6:4,5 halaman 439). 

Cu-he bertanya tentang kebijaksanaan, Confucius menjawab “Angkatlah orang-orang yang lurus di atas

orang-orang yang bengkok, dengan demikian dapat mengubah yang bengkok menjadi lurus” (Lun Gie

Jilid XII 22:4). Confucius berkata  “Bila diri telah lurus, dengan tanpa memerintah semuanya akan

berjalan beres. Bila diri tidak lurus, sekalipun memerintah tidak akan diturut” (Lun Gie Jilid XIII:6).

Ayat-ayat di atas apabila dihubungkan dengan bisnis, maka kebijaksanan yang diterapkan oleh seorang

manajer atau wirausahawan haruslah bertumpu pada nilai-nilai bijak yang berlandaskan pada kebenaran.

Seorang wirausahawan harus bisa memberikan teladan yang baik bagi anak buahnya agar anak buahnya

juga bisa menerapkan kebaikan dalam menjalankan tugas pekerjaan dalam perusahaan.

5. Dapat Dipercaya (Xin信)

Pengusaha Cina di Hongkong dan komunitas etnis Tionghoa di luar Cina daratan termasuk Malaysia,

Singapura dan Indonesia, etika kepercayaan merupakan unsur utama untuk sukses dalam menjalankan

bisnis. Banyak studi empiris menekankan pentingnya nilai kepercayaan ini. Dalam penelitiannya tentang

sebuah pasar grosir sayuran di Hongkong, Robert H.Sillin (1972:337) dalam (Wong Siu-Lun, 1988:169)

menemukan bahwa “xinyongatau kepercayaan merupakan faktor vital dalam mempertahankan jaringan

kompleks hubungan-hubungan dagang”. Tanpa kepercayaan tidak mungkin bisnis bisa berjalan dengan

cepat dan praktis. Misalnya, kepercayaan akan mempercepat proses pengiriman barang dan

memperpendek jalur birokrat. Orang Tionghoa menganggap bahwa bisnis harus cepat dan mencapai

target. Bila seorang Cina perantauan gagal membuktikan bahwa ia layak dipercaya oleh anggota

masyarakat bisnis, maka kecil kemungkinan ia akan mendapatkan kredit dan bantuan keuangan.

Anggota yang didiskreditkan ini kemungkinan akan diasingkan dari jaringan Cina perantauan, baik dalam

lingkup lokal maupun internasional (David, 1995:56). 

Suatu bisnis yang tidak dilandasi sistem kepercayaan akan putuslah hubungan dengan para pelanggan

maupun pemasok. Sementara bisnis yang dilandasi kepercayaan akan melanggengkan hubungan

dengan pemasok maupun pelanggan dalam jangka waktu yang relatif panjang. Doug Lennick dan Fred

Kied (2005) dalam (It Pin, 2006) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pimpinan

yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Hal

sama juga dikemukakan miliuner Jon M.Huntsman (2005) dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan,

kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan

Page 26: Disertasi Confusius

kepercayaan pihak lain.  

Kepercayaan adalah landasan pokok dalam berhubungan bisnis, tanpa kepercayaan sulit rasanya proses

bisnis dapat berjalan dengan baik, misalnya kecepatan transaksi, pengiriman barang maupun ketepatan

target. Untuk itu berbisnis harus menggunakan etika bisnis yang jujur dan dapat dipercaya.

Ada beberapa keuntungan bagi pengusaha yang menjaga etika, antara lain:

1. Jika jujur dalam berbisnis maka bisnisnya akan maju.

2. Timbulnya kepercayaan.

3. Kemajuan terjaga jika perilaku etos kerja.

4. Perlahan laba akan meningkat.

5. Bisnis akan terjaga eksistensinya.

Dalam masyarakat yang saling percaya, kebutuhan untuk mendokumentasikan perjanjian sangatlah kecil,

tetapi sebaliknya, jika mitranya saling khawatir satu sama lain, mereka perlu sangat jelas tentang batasan

perjanjian mereka, sehingga semua harus didokumentasikan. Kepercayaan mula-mula memungkinkan

perusahaan-perusahaan yang tidak saling kenal merasa cukup nyaman untuk memenuhi interaksi lebih

lanjut, dan mengembangkan hubungan mereka hingga ke tahap kepercayaan yang lebih tinggi (John

Kidd dan Xue Li, 2007).

Wong (1988) mengatakan : “Dalam sebuah studi tentang penduduk etnis Cina di kota dagang kecil di

Jawa menekankan bahwa kepercayaan mempunyai kedudukan sentral dalam masyarakat. Memiliki

kepercayaan oleh orang Cina dianggap penting dalam usaha mengumpulkan kekayaan. Ryan melihat

bahwa pemilikan modal dipandang kurang penting dibanding dengan pemilikan kepercayaan (169).

Menurut Hitt (1997:69) perusahaan yang memajukan dan memelihara praktek etis lebih memungkinkan

mencapai daya saing strategis dan memperoleh keuntungan di atas rata rata. Alasan kunci ialah bahwa

reputasi mereka dalam praktek etis akan menarik pelanggan-pelanggan loyal. Bertindak dengan penuh

kejujuran dan menghindari perilaku perilaku yang tidak baik mutlak diperlukan bagi seseorang wirausaha

bila ingin usahanya maju. Kejujuran adalah harga diri, kehormatan, dan kemuliaan bagi siapa pun.

Sebaliknya tipu daya, licik, dan bohong justru akan menghancurkan kredibilitas perusahaan (Gymnastiar,

2004:8).

Etos kepercayaan di atas tidak terlepas dari ajaran Confucius yang sudah membudaya pada etnis

Tionghoa seperti apa yang dikatakan oleh Confucius “ ……. di dalam pergaulan dengan rakyat

(masyarakat) harus berdasarkan pada sikap dapat dipercaya“ (Tai Hak III:3). Bagi Confucius orang yang

tidak dapat dipercaya itu tidak berguna seumpama kereta besar yang tidak mempunyai sepasang

gandaran atau kereta kecil yang tidak mempunyai sebuah gandaran, entah bagaimana

menjalankannya?” (Lun Gi II:22). Kepercayaan yang dilandasi kebenaran, maka kata-katanya dapat

ditepati (Lun Gi I:13).

Etos kepercayaan dalam pengertian ini adalah mengandung arti kejujuran. Dalam hal ini seperti yang

dikatakan oleh Confucius ketika pangeran Ai bertanya bagaimanakah caranya supaya rakyat mau

menurut? Confucius menjawab; “Angkatan orang-orang yang jujur (dapat dipercaya) dan singkirkanlah

Page 27: Disertasi Confusius

orang-orang yang curang; dengan demikian niscaya rakyat akan menurut. Kalau diangkat orang-orang

yang curang dan disingkirkan orang-orang yang jujur, niscaya rakyat tidak mau menurut“ (Lun Gie 2:19).

Bagi Confucius, kepercayan perlu ditumbuhkan sejak dini mulai dari ruang lingkup keluarga, sehingga

akan membentuk seorang Junzi (manusia unggul) yang penuh kebajikan. Dalam konteks bisnis, seorang

Junzi akan menerapkan kebajikannya dalam mengelola bisnis dengan benar.

Suherman (2008:228) mengatakan “Etika bisnis antara lain meliputi: kejujuran, kepercayaan (harus dapat

dipercaya), ketepatan dalam memenuhi janji, kehandalan dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan,

serta keterbukaan“.

Linda Kleebe Trevino (1995:290) dalam Alma (2003:52) menyatakan “Business Ethics is about building of

trust between people and organizations, an absolutely essential ingredient to conducting business

successfully in long term“ (Etika bisnis merupakan usaha membangun kepercayaan antara masyarakat

dengan organisasi organisasi bisnis, dan ini merupakan elemen yang sangat penting untuk suksesnya

bisnis dalam jangka panjang).

Bisnis yang dilandasi dengan kepercayaan, maka akan mempererat hubungan dan dengan sendirinya

akan memperbanyak jaringan, sehingga ini akan memperkuat posisi bisnisnya. Keyakinan di atas diyakini

oleh Etnis Tionghoa dan digunakan dalam setiap langkah dalam dunia bisnis.

Bila setiap orang Cina perantauan gagal membuktikan bahwa ia layak dipercaya oleh anggota-anggota

yang didiskreditkan ini kemungkinan akan diasingkan dari jaringan Cina perantauan, baik dalam lingkup

lokal maupun internasional (David, 1995:56). Oleh karena itu keluarga bisnis Tionghoa pada umumnya

menjaga nama keluarga dengan baik. Kegagalan melakukan hal tersebut berarti melanggar asas bakti

pada keluarga karena usaha penanganan bisnis secara tidak etis akan membawa malu dan aib bagi

leluhur seseorang, yang biasanya diungkapkan dalam marga seseorang. Menurut Hedding (1990) yang

dikutip oleh David (1995) “Menyelamatkan muka“ adalah dorongan motivasi yang kuat dibalik usaha

nama keluarga di antara para wiraswasta Cina”.

Oleh karena itu, tidak salah apa yang dikatakan ketiga bisnismen sukses: “Orang bisa berkali-kali memilki

uang, tetapi memiliki kehormatan hanya sekali saja“. Fung King - hey, pendiri perusahaan pialang saham

terbesar Hong Kong (Kraar, 1985:92). “Komoditas dalam perbankan bukanlah uang, melainkan

kepercayaan “Mochtar Riady, Ketua Lippo Group Indonesia (Shirdas, 1992:11). “Faktor utama dibalik

hubungan yang lancar adalah kredibilitas“ Li Ka shing, pengusaha properti terkemuka Hong Kong

(Kraar,1992:67).

Begitulah pentingya kepercayaan, sehingga nyawapun bila perlu dikorbankan demi kepercayaan dan

nama baik. Hal ini sangat mendarah daging di sebagian besar etnis Tionghoa. Keyakinan ini bersumber

pada ajaran Confucius sebagai berikut: Tatkala salah satu murid Confucius yang bernama Cu - Khong /

Zhi Gong bertanya tentang pemerintahan yang kuat. Confucius menjawab harus cukup sandang, pangan,

papan, persenjataan (tentara yang kuat) dan kepercayaan. Cu Khong bertanya lagi, kalau ketiganya

terpaksa ada yang tidak dipenuhi, manakah yang dapat ditinggalkan. Lalu Confucius berkata tinggalkan

Page 28: Disertasi Confusius

persenjataan (tentara). Tanpa adanya tentara pemerintahan akan berjalan dengan baik. Cu Khong

bertanya lagi, kalau terpaksa tidak dapat dipenuhi dari dua yang masih itu, manakah yang dapat

ditinggalkan. Lalu Confucius menjawab tinggalkanlah sandang dan pangan, yang penting adalah

kepercayaan, yakni kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan.

Kepercayaan (trust) merupakan salah satu faktor penting bagi suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan

apabila perusahaan melakukan pengkianatan terhadap suatu apabila kepercayaan tersebut terus

dipelihara dengan baik, maka dapat menjadi suatu investasi dalam membina hubungan yang saling

menguntungkan dalam jangka waktu yang panjang.

Menurut  Moorman et.al. (2002) mendefinisikan kepercayaan sebagai : “A willingness to rely on an

exchange parner  in whom one hasconfidence.“  Schurr dan Ozanne (1985) dalam Ndubisi (2009a)

menjelaskan kepercayaan sebagai “The belief that are parner’s word promise is reliable and a party will

fulfill  his/her obligations relationship.“

Menurut Reichheld dan Sasser (1990) bahwa “Fulfilling promises that have been given is equally

important as a means of achieving customer satisfaction, retaining the customer base, and  securing

long-term profitability.“Sirdeshmukh, Singh and Sabol (2002) menyatakan bahwa ”There is a relationship

between consumer trust and loyalty, when providers act in a way that builds consumer to make confident

predictions about  the provider’s future behaviors.“

Menurut Morgan dan Bruhn (2003:65) kepercayaan sebagai “The customer’s willingness to forgot any

additional and just rely on the corporation’s behavior in the future.“

            Menurut Doney dan Canon dalam Morgan dan Bruhn (2003:65) terdapat berbagai proses dalam

pembangunan kepercayaan yaitu : 

1. Calculated prosess, salah satu kelompok hubungan mengasumsikan perilaku dapat dipercaya dari

yang lain jika keuntungan dari mengasumsikan perilaku dapat dipercaya dari perilaku tidak

terpercaya lebih rendah dari biaya yang dikenakan ketika tertangkap.

2. Predictive process, kepercayaan tergantung pada kapabilitas seorang dalam mengantisipasi

perilaku dari orang lain.

3. Capability process, berhubungan pada perhitungan kemampuan dari kelompok hubungan untuk

menyelesaikan pekerjaannya.

4. Intent process, kepercayaan didasarkan pada tujuan dan maksud dari kelompok yang lain.

5. Transferring process, pembangunan kepercayaan merupakan subyek untuk sebuah perhitungan

kelompok hubungan oleh pihak luar.

Dari definisi tersebut maka kepercayaan pelanggan terhadap suatu perusahaan dianggap sebagai

kepercayaan dalam  hal kualitas dan rasa dengan mengandalkan pada jasa yang ditawarkan. Oleh

karena itu kepercayaan dianggap sebagai komponen yang paling penting dalam menjalin hubungan antar

perusahaan (organisasi) dengan pelanggan secara kooperatif.

Kepercayaan pelanggan terhadap suatu produk atau jasa dapat timbul karena pelanggan menilai mutu

produk dengan apa yang terlihat atau pahami. Para peneliti sebelumnya yang dilakukan oleh Ndubisi

Page 29: Disertasi Confusius

(2007a), Reichheld dan Sasser (1990), dan Ribbink, Riel, Liljander dan Streukens (2004). Sirdeshmukh,

Singh dan Sabol (2002) disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif kepercayaan terhadap loyalitas

pelanggan. Adapun beberapa indikator kepercayaan yang digunakan  sesuai dengan penelitian Ndubisi

(2007b) dimana merupakan pengujianfirst order yaitu janji-janji yang diberikan oleh penyedia layanan

dapat diandalkan, penyedia layanan konsisten dalam menyediakan layanan yang berkualitas, dan

penyedia layanan memenuhi kewajiban terhadap pelanggan.    

Kepercayaan atau saling percaya adalah perekat bagi suatu institusi. Ketika respek sudah tidak ada lagi

dan orang-orang saling mengedepankan kepentingan pribadinya, yang ada adalah rasa saling tidak

percaya. Tanpa kepercayaan, otoritas tidak lagi memberikan makna. Transaksi antar kelompok menjadi

sangat mahal, lambat, dan tidak dapat dipegang kesempatannya (Kasali,2007:277). 

Budaya tidak percaya erat hubungannya dengan situasi / ikatan kepercayaan yang berlaku di suatu

negara. Ketika masyarakat suatu bangsa tidak mempercayai pemimpin-pemimpinnya maka biaya

transaksi menjadi sangat mahal. Mereka tidak lagi dipercayai rekan-rekan bisnis dari negara lain, dunia

perbankan, perdagangan, bahkan mereka juga tidak bisa mempercayai sistem peradilan dan mata

uangnya sendiri. Untuk mengatasi semua itu para pelaku usaha cenderung memilih lokasi lubuk di

negara lain, mencatat semua perjanjian secara detail, membayar pengacara, dan membebankan semua

biaya itu pada pelanggan atau mitra bisnisnya. Sebuah institusi yang diwarnai dengan budaya saling

tidak percaya sudah pasti tidak punya masa depan.

Untuk memperjelas hal-hal tersebut di atas, dapat dilihat di gambar berikut

Page 30: Disertasi Confusius

Hubungan Kepercayaan dengan Jaringan, Pelanggan, Pemasok, dsb.

6. Keberanian (Yong 勇 ) 

Keberanian adalah berani dalam membela kebenaran. Seseorang diharapkan tidak takut menghadapi

setiap permasalahan yang ada, dan seseorang juga diharapkan dapat bertanggung jawab dengan

perbuatan yang telah dilakukan. Jadi berani dapat diartikan pula sebagai bersikap kesatria. Seseorang

dituntut untuk berani dalam menghadapi segala hal, karena dengan keberanian itu akan membuatnya

menjadi seorang yang bijak. 

Dalam hal ini Confucius memberikan ilustrasi sebagai berikut: “Kepada orang yang dengan tangan

kosong berani melawan harimau, dengan tanpa alat berani menyeberangi bengawan, sekalipun binasa

tidak merasa menyesal. Aku tidak memakainya. Orang yang kupilih ialah yang di dalam menghadapi

perkara mempunyai rasa khawatir dan suka memusyawarahkan rencana, sehingga dapat berhasil di

dalam tugasnya” (Lun Gi Jilid VII : 11 ayat 3). 

Page 31: Disertasi Confusius

Implementasinya dalam dunia bisnis bahwa seorang manajer harus berani mengambil resiko dan berani

melakukan perubahan-perubahan manajemen, berani mencoba peluang bisnis baru. Berani yang

demikian sering disebut dengan “Blue Ocean“

7. Perubahan (Yin Yang阴阳)

Kehidupan orang Tionghoa termasuk dalam bisnis tidak lepas dari konsep Yin Yang yakni konsep bahwa

alam semesta terdiri dari dan ditunjang oleh dua kekuatan, Yin dan Yang, atau positif dan negatif atau

disebut prinsip kegandaan. Konsep Yin Yang 阴阳  merupakan faktor yang dianut orang Tionghoa yang

mempengaruhi banyak keputusan sehari-hari yang dibuat oleh orang Tionghoa dalam bisnis/usahanya.

Menurut Boye De Mente (1994:23) bahwa “Prinsip Yin dan Yang memberikan pada orang Tionghoa

pandangan jauh ke muka dan memungkinkan mereka untuk menerima hal yang tidak diinginkan dengan

wajar “.

Etos Yin Yang juga merupakan konsep orang Tionghoa bahwa hidup harus berubah terus menerus

kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam dunia bisnis, orang Tionghoa harus terus merubah

bisnisnya kearah yang lebih maju, baik itu modal, pelayanan, jaringan maupun manajemen. Konsep ini

didasarkan pada Kitab Yak King(Kitab Iching 易 经 ) salah satu ajaran Confucius (Konghucu) yang

menjelaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang statis melainkan berubah (Babaran Agung

A:23).

Dalam Kitab Iching / Yi  Jing 易经  (Babaran Agung B:32) tertulis “Matahari pergi datanglah bulan, bulan

pergi datanglah matahari, matahari dan bulan saling dorong timbullah terang; dingin pergi datanglah

panas, panas pergi datanglah dingin. Musim panas dan musim dingin silih berganti, datanglah pergantian

tahun“ (Tang Duan Zheng:15) (Yak King:154).

Ayat di atas menjelaskan tentang perubahan, manusia hidup di dunia harus berubah kearah yang lebih

baik. Bila dikaitkan dengan dunia bisnis, maka bisnis harus berubah menuju kearah yang lebih baik dari

sebelumnya. Dari konsep ini menjadikan orang-orang Tionghoa tidak mau duduk diam dalam

berwirausaha, melainkan berusaha agar selalu mengembangkan bisnisnya atau mencari peluang bisnis

secara terus menerus sesuai dengan perubahan lingkungan. Etos Ying Yang ini yang bisa mendorong

seseorang untuk berwirausaha tanpa ada keraguan.   

Etos Yin Yang seperti dicontohkan oleh raja Shang Thang yang hidup kira-kira lebih dari 3000 tahun yang

lalu dengan ditulis dalam bak mandinya dari perunggu dengan kata-kata sederhana “Bila suatu hari dapat

memperbaharui diri, perbaharuilah terus setiap hari dan jagalah agar baharu selama-lamanya“ (Thai Hak

BAB II:1).

Etos Yin Yang menjadikan keyakinan etnis Tionghoa bahwa hidup ini harus berubah kearah yang lebih

baik atau selalu melakukan pembaharuan dan perubahan (transformasi). Melalui etos Yin Yang akan

memacu seseorang dapat merubah nasibnya menjadi lebih baik, sementara bagi wirausahawan akan

menjadikan wirausaha yang selalu melakukan perubahan bisnisnya kearah yang positif bahkan mampu

mengantisipasi bisnisnya ke depan, sebab bisnis tidak akan pernah stagnan (berhenti) melainkan akan

berkembang dan berubah sesuai dengan kebutuhan pasar.

Sutanto (2006:18) mengatakan bahwa “Dunia usaha sangat concern terhadap perubahan dan perbaikan

terus menerus karena kalau lengah, perubahan bisa punah.“  Ilmu manajemen Jepang pengendalian

mutu terpadu (Total Quality Control dan Kaisen) memahami benar hal ini sehingga menjadikan perbaikan

terus menerus sebagai kegiatan sehari-hari dan tidak pernah berhenti. Melalui memutar Roda PDCA

Page 32: Disertasi Confusius

atau Plan-Do Check-Action, diupayakan standar yang telah dicapai terus diperbaiki, bukan hanya oleh

pemimpin saja (seperti dalam manajemen Barat), tetapi oleh semua karyawan. Bahkan pemasok dan

pelanggannya diajak ikut secara proaktif.

Cina sudah mempunyai tradisi agraris berumur ribuan tahun lamanya dan mempunyai kitab Iching

mengenai Hukum Perubahan Abadi, dan ditulis sejak 3000 tahun SM, tidak hanya sebagai petunjuk

dalam bertani, tetapi mempunyai kearifan hidup sebagai jalan alam (Tao/Dao道). Juga digunakan oleh

etnis Tionghoa sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan dalam pedoman berbisnis. 

Perubahan dahsyat yang sedang terjadi akan terus berlangsung dan tidak bisa dicegah lagi. Manusia

tidak bisa lagi mengembalikan masa lalu atau  seperti Dinosaurus yang punah ketika Zaman es mencair

yang bisa manusia kerjakan adalah mempelajari hukum-hukum perubahan itu, lalu menyesuaikan diri

untuk bisa Survive dalam perubahan (Sutanto, 2006:17).

Menurut Winardi (2005:3) perubahan dapat dibedakan menjadi dua yakni perubahan yang direncanakan

(planned change) dan perubahan yang tidak direncanakan (unplanned change). Perubahan yang tidak

direncanakan terjadi secara spontan atau secara acak, dan hal itu terjadi tanpa perhatian agen

perubahan. Perubahan demikian dapat bersifat merusak (destruktif). Hal yang mungkin lebih penting bagi

suatu organisasi yaitu perubahan yang direncanakan. Perubahan yang direncanakan merupakan sebuah

reaksi langsung terhadap persepsi seseorang tentang adanya suatu celah kinerja (a performance gap)

yakni suatu diskrepansi antara keadaan yang diinginkan dan keadaan nyata.

Levin (1951) berpendapat bahwa setiap upaya perubahan dapat dipandang sebagai sebuah proses yang

terdiri dari tiga macam fase, yaitu: Pertama, fase “pencarian“ (unfreezing). Kedua, fase “perubahan”

(changing) dan Ketiga, fase “pembekuan kembali“ (refreezing). Fase pertama “pencarian“ merupakan

tahapan dimana orang mempersiapkan sebuah situasi untuk perubahan. Tahapan “perubahan”

mencakup tindakan modifikasi aktual dalam diri manusia, tugas-tugas, struktur dan atau teknologi. Fase

“pembekuan kembali“ merupakan tahapan final dari proses perubahan. Ia didesain untuk memelihara

momentum suatu perubahan, di mana secara positif “dibekukan” hasil-hasil yang diinginkan.

Robbins (1995) menyatakan bahwa makin banyak organisasi dewasa ini menghadapi lingkungan

dinamik, dan yang mengalami perubahan serta menyebabkan timbulnya keharusan untuk berubah. Ada

enam macam kekuatan yang bekerja sebagai stimulan (pendorong) bagi perubahan yakni : (1) Sifat

angkatan kerja yang berubah, (2) Teknologi, (3) Kejutan-kejutan ekonomi, (4) Tren sosial yang berubah,

(5) Politik dunia baru, dan (6) Sifat persaingan yang berubah. 

Dalam menghadapi perubahan-perubahan orang Tionghoa umumnya memiliki semangat hidup yang

tinggi. Kemauan kerja kerasnya dan kebiasaan hidupnya yang hemat menyebabkan orang Tionghoa

mampu bekerja dalam waktu yang panjang dan jarang beristirahat. Bagi orang Tionghoa untuk sukses

manusia harus berubah, untuk bisa berubah tentu menghindari kemalasan, sebab malas bagi orang

Tionghoa dianggap levelnya dibawah kebodohan di mana kebodohan merupakan identik dengan

kemiskinan. Bagi ajaran Confucius pemalasan dianggap keadaannya jauh lebih buruk daripada orang

bodoh (Thomas, 2008: 48).

8. Jaringan/Hubungan (Guanxi关系)

Page 33: Disertasi Confusius

Dalam bahasa Cina, guanxi adalah istilah untuk sebuah hubungan personal. Ia mengacu kepada jaringan

hubungan informal dan pertukaran bantuan yang mendominasi segala aktifitas bisnis dan sosial yang

terjadi di seluruh Cina dan negara-negara lain dan area-area yang dipengaruhi kuat oleh budaya Cina

(Kao, 1993; Hwang dan Staley, 2005; Lovett et al., 1999). Menurut Hwang dan Staley

(2005), guanxi telah menjadi sangat penting bagi kebudayaan Cina selama lebih dari 2.500 tahun – sejak

jaman Confucius. Confucius menyebarluaskan lima set hubungan yang sehat di dalam suatu masyarakat:

peraturan/subyek, orang tua/anak, kakak/adik, suami/istri, dan teman-teman. Dari sejarahnya,

masyarakat Cina dibangun mengelilingi klan-klan keluarga. Guanxi dibangun dari konsep klan dengan

memperluas lingkaran pengaruh untuk mencakup saudara-saudara jauh, teman-teman, dan pada

akhirnya individu-individu yang tidak berhubungan dengan keluarga (Hwang dan Baker, 2000; Hwang

dan Stanley, 2005).

Guanxi bekerja menurut satu prinsip dasar: Orang-orang yang berbagi suatu hubungan guanxi saling

terikat pada satu sama lain oleh kode pertukaran timbal balik dan kewajaran yang tidak terucap

(Luo,1997). Penting bagi para individu untuk memenuhi tanggung jawab mereka dalam lingkaran guanxi.

Kegagalan seseorang dalam melakukannya hampir slalu menghasilkan kerusakan serius bagi

reputasinya yang mencakup kehilangan gengsi dalam lingkaran guanxi, kehilangan muka dan kehilangan

kepercayaan dari sesama anggota lingkaran guanxi(Hwang dan Staley, 2005). Sehingga, pengolahan,

pembangunan, dan pengembangan guanxi telah menjadi prioritas bagi banyak masyarakat Cina (Hwang

dan Staley, 2005; Luo, 1995). Di Taiwan dan Cina, para pelaku bisnis pertama-tama berjuang untuk

membangun personal dengan calon pelanggan, setelah diterima dalam klan/keluarga guanxi, bisnis pun

mengikuti. Yang menarik, ketika guanxi telah direalisasi, biaya marketing dan pengeluaran untuk hutang

buruk menjadi lebih rendah, dan bisnis pun dijalankan dengan cara yang lebih efisien

karena guanxi menciptakan satu kewajiban untuk menjalankan bisnis di dalam klan dan untuk membayar

hutang (Hwang dan Baker, 2000; Hwang dan Staley, 2005). Di sisi lain guanxi membantu perusahaan

untuk mengamankan transaksi komersial, memenangkan tawaran untuk proyek-proyek umum, untuk

memeroleh pinjaman dari bank negara. Menurut  Po Keung Ip (2009), perusahaan yang

memiliki guanxi yang kuat sangat penting untuk keberhasilan perusahaan. 

Yeung dan Tung (1996) menemukan bahwa guanxi merupakan satu-satunya yang secara konsisten

dipilih sebagai faktor kunci kesuksesan dalam berbisnis di Cina oleh sekelompok perusahaan

internasional yang beragam. Luo (1997a,b) menemukan bahwa sebuah korelasi langsung antara

level guanxi suatu perusahaan dan pertumbuhan penjualan domestiknya di Cina. 

Hubungan adalah pelicin usaha dan dasar bagi sebagian besar hubungan profesional dan sosial (Boye,

1994:35). Hubungan bisa juga berarti hubungan kekeluargaan. Dalam ajaran Confucius ada lima

hubungan yang wajib dilaksanakan untuk mencapai masyarakat yang harmonis. Hubungan antara atasan

dan bawahan, hubungan antara sahabat dan kawan, hubungan anak dengan orang tua, hubungan kakak

dengan adik, hubungan antara suami dan istri (David, 1995:50).

Dari kelima hubungan tersebut berkembang menjadi enam hubungan yaitu hubungan antara murid

dengan guru. Orang-orang Cina di Asia Tenggara memelihara struktur sosial yang terjalin erat yang

memungkinkan hubungan ekstensif dan informal di antara anggota-anggotanya. Hubungan-hubungan

sosial dimulai pada tingkat keluarga dan meluas pada hubungan kekerabatan non keluarga yang terkait

Page 34: Disertasi Confusius

oleh nama keluarga yang sama, daerah asal yang sama, atau kelompok dialek yang sama (David,

1995:45).

Praktek bisnis orang-orang Cina perantauan muncul terutama sekali dari pengaruh Confucius ini menjadi

alasan untuk bekerja dan raison d’etre (alasan keberadaan) dari kecakapan berwiraswasta orang-orang

Cina (David, 1995:51). 

Kotkin (2005) menggambarkan jalinan unsur keuangan dan guanxi ini sebagai berikut: Seperti hanya

orang Yahudi di Polandia dan di negara-negara Eropa lainnya, masyarakat Cina di Asia Tenggara

mendominasi setiap celah komersial yang penting melalui pekerjaannya sebagai pedagang, perajin kayu

dan pekerja-pekerja terampil, dan seringkali mengisi peran “menengah“ antara golongan elit yang terdiri

dari para pedagang Eropa, pemilik perkebunan, dan pejabat-pejabat kolonia dan para petani pribumi.

Terbuang dari tanah airnya sendiri, seperti halya bangsa Yahudi, mereka tidak memiliki banyak pilihan

selain melibatkan diri dalam kegiatan perdagangan dan peminjaman uang. Sani (2006) seorang

cendekiawan senior di Malaysian Institute for Strategis andinternasional Studies, menjelaskan, “Mereka

tak memiliki pilihan selain menerjunkan diri dalam bidang bisnis, dalam kegiatan perdagangan. Orang-

orang Melayu dapat menarik diri dari tanah ini karena merekalah yang memiliki wilayah ini. Mereka dapat

pulang ke kampungnya. Namun orang-orang Cina tak memiliki pilihan selain melanjutkan bisnisnya,

mereka menjadi kuat karenanya.“ Jadi timbulnya kewirausahaan Etnis Tionghoa disamping karena etos

yang melandasi juga  didorong oleh  suatu tuntutan kehidupan yang tidak ada pilihan lain. 

Ikatan guanxi masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara menurut N.Mark Lam (2007:360) dikelompokkan

menjadi lima macam yakni :

1. Marga yang didasarkan pada nama keluarga.

2. Kedaerahan yang didasarkan pada tempat asal di Cina.

3. Dialek yang didasarkan pada bahasa.

4. Keahlian yang didasarkan pada bidang pekerjaan.

5. Kepercayaan yang didasarkan pada pengalaman atau rekomendasi.

Ran Charam (2007) melaporkan sebuah cara di mana guanxi dapat meningkatkan daya saing: ”Jaringan

dirancang untuk memperdayakan para manajer agar mau berbicara secara terbuka, diam-diam, dan

emosional tanpa rasa takut, memperkaya kualitas keputusan mereka, menguji niat orang lain dan

membangun kepercayaan, dan menyemangati mereka untuk menelaah masalah dari sudut pandang apa

yang terbaik bagi konsumen dan perusahaan ketimbang dari kepentingan fungsional atau kelompok yang

lebih sempit.“ Guanximembawa keuntungan semakin berkurangnya biaya transaksi antar anggotanya

dimana dengan guanxi tak perlu berkeliling dari satu penjual ke penjual lainnya untuk mendapatkan harga

terbaik. 

Guanxi juga dapat menjadi sumber pengaruh yang penting selama berlangsungnya negosiasi. Kebuntuan

pembicaraan dapat dipecahkan melalui konsultasi dengan anggota jaringan yang berpengaruh. Bahkan,

referensi dari seorang anggota guanxi yang berpengaruh dapat memperkuat posisi dalam negosiasi

ketimbang segudang informasi teknis yang akurat. Dengan pentingnya peran guanxi dalam budaya bisnis

Cina telah dapat menebak bahwa mitra bisnis Cina akan memperlihatkan jaringan hubungannya. Bila

Amerika menghargai keahlian, orang-orang Cina menghargai guanxi.

Orang Tionghoa mengganggap penting jaringan hubungan bisnis yang bersifat lintas negara melalui jalur

Page 35: Disertasi Confusius

kesamaan etnis dan subetnis dengan semangat kekeluargaan itu. Sesama migran etnis Tionghoa di

mana pun berada harus saling menjaga dan membantu. Manfaat jaringan itu sangat terasa terutama bagi

pendatang baru di bumi mana pun yang mereka tempati sebagai tanah harapan. 

Menurut Thomas (2008:45) ada tiga keuntungan dari adanya jaringan antar etnis yaitu :

Memaksimalkan “contact points” untuk informasi bisnis atau pekerjaan.

Tukar-menukar berita atau komoditi dagangan.

Memberi atau mendapatkan dukungan psikologis maupun dukungan modal.

BAB II Tinjauan Pustaka : Hubungan Etika dengan Perilaku Ekonomi

 

Category: DISERTASIPublished on TUESDAY, 19 FEBRUARY 2013 10:57 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 1181

Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA

Page 36: Disertasi Confusius

Yang mula-mula membahas hubungan antara nila-nilai agama 

dengan  perilaku  ekonomi adalah Max Weber (Abdullah, 1978:4). Max Weber dalam karyanya yang

terkenal “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalisme”, Weber (1958:79-92) dalam (Gorde, 1995:4)

berusaha menjelaskan mengapa kapitalisme modern berkembang di Eropa Barat dan Amerika, tetapi

tidak di wilayah lain. Untuk menjelaskan teorinya, Weber mengemukakan fakta dan pertimbangan bahwa

di Eropa Barat telah terjadi suatu peristiwa religius dan idiologis yang unik, yaitu Reformasi Protestan.

Peristiwa tersebut telah menjadi tanah subur yang menumbuhkan kesadaran baru masyarakat Barat

akan nilai universalitas dan keharusan berprestasi. Kesadaran baru ini bisa diterangkan dalam

hubungannya dengan Kalvinisme. Kalvinisme adalah suatu sekte dalam gerakan Protestantisme, yang

memandang kerja sebagai panggilan (Beruf, calling), suatu tugas suci yang bukan bertujuan sekedar

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari melainkan sebagai panggilan Tuhan. 

Semangat kerja keras dan hidup sederhana di kalangan penganut Kalvinisme dalam perjalanan sejarah

kemudian menjadi tulang punggung sistem ekonomi kapitalis di bagian bumi yang telah disebutkan.Di

pihak lain, Weber mengemukakan bahwa nilai-nilai agama Timur, berbeda dengan nilai-nilai

Protestanisme, karena yang disebut terdahulu menghambat tumbuhnya kapitalisme. 

Dari paparan di atas, tampak alur tesis Weber tentang agama Protestan. Weber berkeinginan keras untuk

mempertanyakan atau mungkin lebih daripada itu, mencari hubungan antara penghayatan agama

dengan pola-pola perilaku. Weber setidak-tidaknya telah mengarahkan pada suatu model pemikiran atau

pendekatan, yakni faktor struktural dan pola-pola pemikiran (ide dan nilai) harus dianalisis secara

bersamaan dengan cermat. Antara perilaku agamis dan perilaku ekonomi harus dipahami dengan sebaik-

baiknya.

Confucius sebagai agama dan filsafat memang mendorong pada umatnya khususnya Etnis Tionghoa

untuk bekerja keras, hemat, dan tekun disamping menjalankan ibadah kepada Thian (Sang Penciptanya).

Tentu saja ajaran Confucius mendorong bisnis yang mengutamakan Kebajikan  terlebih dahulu baru

Page 37: Disertasi Confusius

kekayaan atau keuntungan (Thai Hak Bab X:7). Pengertian tersebut bukan berarti kekayaan itu

diabaikan, melainkan kekayaan boleh dikejar berdasarkan pada prinsip-prinsip kebenaran (Yi).  

Confucius mengajarkan manusia untuk sukses dalam kehidupan termasuk keberhasilan kerja.

Keberhasilan kerja seseorang antara lain ditemukan oleh adanya etos kerja yang tinggi dan berakar

dalam dirinya. Dengan cara memahami dan meyakini ajaran-ajaran agama yang berhubungan dengan

penilaian ajaran agama tersebut terhadap kerja akan menumbuhkan etos kerja pada diri seseorang.

Pada perkembangan selanjutnya etos kerja ini akan menjadi pendorong keberhasilan kerjanya. 

Atmowardoyo (1995:68) berpendapat ada semacam prinsip paduan yang tidak terlihat atau “Hidden

Principles”. Selanjutnya dikatakan apabila hendak mencari misteri atau mencari “Hidden Principles“ dari

perilaku orang-orang Tionghoa, maka harus melihat tradisi dan kebudayaannya. Prinsip  paduan yang

diterapkan dalam perilaku ekonomi mungkin tidak terlihat oleh orang-orang yang berada di luar

lingkungan bangsa atau kelompok kebudayaan tersebut. Walaupun prinsip itu nyata bagi orang yang

berada  dalam kebudayaan itu sendiri, tetapi tidak ada orang yang membicarakannya. Kecenderungan

untuk menjauhkan ”prinsip-prinsip yang tidak terlihat” ini tidak hanya terbatas pada diskusi formal bidang

ekonomi saja tetapi telah menyusup ke seluruh tubuh masyarakat. Dalam hal ini Widyahartono (1996)

membenarkan bahwa “Banyak orang-orang Tionghoa tingkahlakunya sesuai dengan Confucius, walau ia

sendiri tidak mau mengakui sebagai pengikut Confucius“. Banyak orang Tionghoa yang dulunya

beragama Khonghucu (Confucius) lalu pindah agama lain, baik Kristen, Katholik maupun Islam, tetapi

tingkah lakunya tetap beretika Confucius. Kenyataan ini semakin memperjelas bahwa nilai-nilai Confucius

telah begitu melekat pada orang-orang Tionghoa berabad-abad lamanya  sehingga tidak salah bahwa

beberapa pakar sejarah, seperti Hegel, Mely G.Tan dengan tegas mengatakan kalau seseorang ingin

memperdalam tingkah laku orang-orang Tionghoa, maka seseorang harus belajar Confucius. Orang-

orang Tionghoa umumnya sudah karakteristiknya identik dengan Confucius. 

Indarto (2010) mengatakan budaya Tionghoa tidak lain indentik dengan budaya Confucius. Budaya

Confucius telah melekat pada Etnis Tionghoa dan mempengaruhi bisnis. Banyak penelitian dari beberapa

perusahaan sebagai contoh pemilik Hyundai di Korea, Chung Ju Yung sebagai seorang yang sukses

karena menempatkan nilai-nilai Confucius dalam pengembangan bisnis otomotifnya (Kristan, Gemaku),

dan sekarang menjadi pabrik mobil terkenal di Korea, bahkan telah melakukan ekspor di beberapa

negara Eropa termasuk Amerika dan negara Asia, salah satunya Indonesia. Contoh tersebut

menjelaskan bukan lagi menjadi rahasia umum terutama kaum intelektual, bahwa nilai-nilai Confucius

adalah nilai yang melekat secara turun temurun melalui petuah-petuah tauladan orang tua seperti nilai-

nilai kejujuran, kekeluargaan, tahan banting, mau bekerja keras serta hidup sederhana.

Yang menjadi salah satu kunci mengapa orang-orang keturunan Cina (Tionghoa) meraih kesuksesannya,

terutama dalam bidang ekonomi dan bisnis. Mereka adalah pribadi yang mempunyai talenta. Talenta itu

lalu dikembangkan dalam pola asuh keluarga secara turun temurun untuk mencapai kesuksesan dalam

hidupnya. Dalam hal ini filosofi Confucius adalah dasar kehidupan yang secara umum dipakai oleh

keluarga Cina untuk membangun keluarganya (Sugiarto, 2009:13). 

Page 38: Disertasi Confusius

Confucius selain mengajarkan pendidikan dan kebijaksanaan, ia juga telah meletakkan dasar-dasar

tradisi berupa sikap mental yang kuat, yang mendasari orang-orang Cina dalam berdagang, sampai

sekarang melegenda dalam ajaran Cina. Berkaitan dengan bisnis, orang Cina terkenal erat dalam hal

bisnis “berbisnis sama artinya dengan membangun persahabatan”. Begitulah filsafat bisnis yang terilhami

dari ajaran Confucianisme. Kekerabatan yang kental ini telah lahir dari ajaran Confucius yang

menganggap penting persaudaraan, kekeluargaan, dan cinta kasih kepada sesama (Sugiarto, 2009:19). 

Dalam hal ini ajaran Confucius mengatakan : (1) Penghasilan harus lebih besar daripada pemasukan, (2)

Bekerja setangkas mungkin, (3) Berhemat (tidak boros) (Thai Hak Bab X :19). Seorang Junzi itu

sederhana dan tangkas bekerja (Lun Gi Jilid I:14). Seorang Junzi lambat bicara tetapi tangkas bekerja

(Lun Gi Jilid IV:24). Kerja keras seorang yang berwatak Junzi mempengaruhi sikap kerja orang Tionghoa

yang banyak dihubungkan dengan bakti keluarga, penerimaan akan disiplin, rasa takut, ketidakamanan,

toleransi besar terhadap rutinitas, dan prakmatisme yang ditanamkan dengan kuat (David, 1995:52). 

Harrell (1985) dikutip oleh David, menyajikan tiga penjelasan yang saling berhubungan tentang etos kerja

orang Cina. Pertama, ia mengusulkan dimana orang Cina dibesarkan dengan nilai-nilai yang berbeda.

Nilai positif tentang “kerja keras” secara kuat ditanamkan dalam diri anak-anak Cina pada usia dini. Bagi

komunitas Cina perantauan, kerja dihubungkan dengan kumpulan nilai yang kompleks yang mencakup

pengorbanan diri, saling ketergantungan, rasa percaya, dan hemat yang dipandang sebagai dasar bagi

terkumpulnya kekayaan. 

Kedua, orang Cina bekerja keras untuk mendapatkan ganjaran materi. Dalam komunitas Cina

perantauan, kemakmuran, perasaan nyaman dan aman dalam usia lanjut menduduki posisi sentral dalam

persepsi bersama tentang kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain, insentif untuk bekerja keras

secara langsung berhubungan dengan martabat sosial dan jaminan masa depan. 

Ketiga, etos kerja orang Cina mempunyai orientasi kelompok individu tidak bekerja semata-mata untuk

keuntungan pribadi, melainkan pertama-tama untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan kemudian

untuk kebaikan bersama masyarakat. Membangun hubungan dan kepercayaan adalah dua hal yang tidak

dapat dipisahkan. Kredibitas dan posisi seseorang di kalangan komunitas Cina perantauan biasanya

merupakan hasil dari kepercayaan yang telah dibina seseorang selama bertahun-tahun dalam menjalin

hubungan. 

Ongky (2000:22) dalam The Key of Harmonious Life mengatakan beberapa pokok penting hubungan

ajaran Confucius berkaitan dengan bisnis diantaranya : 

1. Konsep Yin Yang 阴 阳 (Perubahan)

Konsep Yin Yang adalah konsep dimana ada Langit ada Bumi, ada pria pasti ada wanita, ada siang pasti

ada malam. “Bila matahari telah mencapai rembang turunlah ia, dan bila bulan menjadi purnama,

susutlah ia, bila dingin pergi, panas datang dan bila panas datang, dingin pergi. 

Konsep di atas menjadikan prinsip orang-orang Tionghoa selalu optimis dalam menghadapi kehidupan di

masa mendatang. Apabila saat sekarang masih belum sukses, ia akan berusaha dengan sekuat tenaga

Page 39: Disertasi Confusius

tanpa putus asa dengan harapan suatu saat mereka akan berhasil. Sebaliknya ketika orang Tionghoa

telah mencapai kesuksesan hidup, mereka selalu berhati-hati jangan sampai salah langkah sehingga

jauh dari kejayaannya. 

2. Konsep Zhong = Chung = Tiong 忠 (Tengah Sempurna)  

Konsep Tengah Sempurna adalah konsep yang tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Seorang yang

berbisnis jangan terlalu takut dan juga jangan terlalu “gambling“. Mereka yang terlalu “gambling” akan

membahayakan bisnis walaupun kadangkala dengan “gambling” justru bisa meraih keuntungan yang

besar. Selanjutnya mereka yang terlalu takut tidak akan menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Zhong 忠

juga berarti elastis (tidak ekstrim), bisa mengikuti situasi dan kondisi yang ada.

3. Konsep Keseimbangan 

Keseimbangan dan keserasian sangat penting dalam setiap aktifitas bisnis, bahkan dalam mengatur

organisasi perusahaan. Keseimbangan pemasukan dan pengeluaran, keseimbangan modal kerja dengan

hutang harus dijaga, keseimbangan biaya operasi dan volume pejualan. Konsep tersebut seperti yang

dikatakan oleh Confucius :  “Mengurus harta pun ada jalannya yang besar, bila penghasilan lebih besar

dari pada pemakaian dan bekerja setangkas mungkin sambil berhemat, niscaya harta benda itu akan

terpelihara“ (Da Xue X:19).

4. Semangat Maju dan Sukses

Orang Tionghoa tidak pernah diam, melainkan selalu berusaha untuk mengubah hidupnya dengan

bekerja keras, semangat maju untuk mencapai cita-citanya. “Bila orang lain dapat melakukan hal itu

dalam satu kali, diri sendiri harus berani melakukan seratus kali, bila orang lain dapat melakukan dalam

sepuluh kali, diri sendiri harus berani melakukan seribu kali“ (Zhong Yong XIX:20).

Konsep tersebut mencerminkan ketekunan dan pantang menyerah seperti yang diungkapkan Zhong

Yong 中庸 bahwa : “Memang ada hal yang tidak dipelajari, tetapi hal yang dipelajari bila belum dapat

janganlah dilepaskan, ada hal yang tidak ditanyakan, tetapi hal yang  ditanyakan bila belum sampai

benar-benar mengerti janganlah dilepaskan, ada hal yang tidak dipikirkan, tetapi hal yang dipikirkan bila

belum dapat dicapai janganlah dilepaskan, ada hal yang tidak diuraikan, tetapi hal yang diuraikan bila

belum tercapai jelas janganlah dilepaskan  dan ada hal yang tidak dilakukan, tetapi hal yang dilakukan

bila belum dapat dilaksanakan sepenuhnya jangan dilepaskan.“ 

Etika tersebut sebagai pendorong agar manusia dalam mengerjakan sesuatu dengan tekun, teliti,

sungguh-sungguh dan tidak kenal menyerah. Apabila etika tersebut diterapkan dalam dunia bisnis, maka

akan menjadikan seseorang bekerja secara sempurna.

5. Membuat baru dan modern 

Dalam Ajaran Confucius dikatakan: “Bila suatu hari dapat memperbaharui diri, perbaharuilah dan jagalah

agar baharu selama lamanya“ (Da Xue 大学 II:1). Hal tersebut mengajarkan perlunya perubahan

(change) dalam kehidupan manusia termasuk dalam urusan bisnis. Perlunya adanya perubahan dalam

inovasi baru, pengembangan produk, mutu, penataan ruang etalase, pembaharuan manajemen, sistem,

organisasi selalu diadakan pembaharuan kearah yang lebih baik. 

Page 40: Disertasi Confusius

Masih banyak nilai-nilai Confucius yang mendorong kearah sukses dalam berbisnis, misalnya bisnis

harus dilandasi kepercayaan, kebenaran, keadilan, dan kebijaksanaan. Nilai-nilai ini ada pada manusia

sejak lahir. Manusia wajib menggali nilai-nilai pemberian Tuhan itu untuk digunakan sebaik mungkin

dalam kehidupan, pergaulan maupun dalam hubungannya dengan bisnis. Mengingat kesuksesan adalah

hasil upaya yang terus-menerus belajar dan memperbaharui diri agar sikapnya berubah menjadi baru.

Sedangkan menjadi insan yang berbudi mulia adalah cita-cita tertinggi yang menganut ajaran Confucius.

Sebelum  mengatur keluar, tugas utama manusia adalah mampu mengatur dirinya sendiri. Seseorang

harus mampu meluruskan hati, menegakkan tekat, melengkapi dirinya dengan pengetahuan membina

orang lain. Confucius percaya bahwa masyarakat yang makmur dapat dibentuk oleh mereka yang

memiliki tekad, berpengetahuan luas, dan memiliki budi pekerti baik. Nilai-nilai agama inilah yang selalu

ditransfer oleh orang tua kepada anak cucunya sampai saat ini. 

Confucius selalu menggaris-bawahi hubungan saling tergantung antara pemerintah dan keluarga. Hal itu

disebabkan dalam masyarakat tradisional Cina, keluarga dianggap sangat berperan mengurangi

kekacauan dalam institusi–institusi publik. Maka kewajiban bagi orang tua untuk selalu menekankan

ketentuan sosial dan kesejahteraan setiap anggota keluarga. Ikatan persaudaraan merupakan motor

penggerak dalam politik idiologi kekeluargaan Cina. Implikasi politik dari sistem ini adalah membangun

ekonomi Cina yang ditekankan adalah jaringan (guanxi), yaitu sebuah relasi untuk saling tolong

menolong. Prinsip Jaringan kekeluargaan ini menjadi pilar cara pandang dalam kerangka kerja ekonomi

Cina. Selain itu, yang menyebabkan Cina mampu menguasai perekonomian secara global adalah etos

kerja yang menekankan keuletan dan kerajinan.

Menurut Ying Fan (2000:7) ada beberapa nilai budaya Cina khususnya yang didominasi Confucius

sebagai berikut (1) bearing hardship (menanggung penderitaan); (2) governing by leaders instead of by

law (mengatur dengan pemimpin bukan hukum); (3) equality/egalitarianism (kesetaraan);

(4) Li /propriety; (5) people being primarily good (orang-orang pada intinya baik);

(6) kinship (kekerabatan); (7) veneration for the old (hormat yang mendalam terhadap senior);

(8) deference to authority (segan terhadap otoritas); (9) conformity/group orientation(kepatuhan/orintasi

kelompok); (10) a sense of belonging (rasa menjadi bagian); (11) reaching consensus or

compromise (mencapai konsensus atau kompromi); (12) avoiding confrontation (menghindari

konfrontasi); (13)collectivism (kolektifisme); (14) not guided by profit (tidak dibimbing oleh keuntungan);

(15) guanxi (jaringan atau hubungan personal); (16) attaching importance to long-lasting relationship not

gains (melekatkan kepentingan kepada hubungan yang bertahan lama bukan pada orentasi keuntungan);

(17) morality (moralitas); (18) Te (virtue, moral standard) (kebajikan, standar moral);

(19) wisdom/resourcefulness (kebijaksanaan/banyak akal); (20) being gentleman anytime (menjadi

susilawan kapan saja); (21) obligation for one’s family, and nation (kewajiban bagi keluarga dan negara

seseorang); (22) pracmatic/to suit a situation (pragmatis/menyesuaikan situasi); (23)contented with one’s

position in life (merasa cukup puas dengan posisi diri dalam kehidupan); (24) orientation to the

past (orientasi pada masa lalu); (25) continuity/being part of the history (kesinambungan/menjadi bagian

dari sejarah); (26) taking a long range view (mengambil pandangan rentang panjang); (27) the

way (dao/tao) (cara/jalan besar); (28) fatalism/karma (believing in one’s fate) (percaya pada nasib); (29)

Page 41: Disertasi Confusius

Yuarn; (30) harmony between man and nature (harmony antara manusia dan alam); (31) unity of Yin and

Yang (kesatuan Yin danYang).

BAB II Tinjauan Pustaka : Pendekatan Kepribadian dan Etika Confucius Yi, Ren, Li, dan Zhi

 

Category: DISERTASIPublished on MONDAY, 11 FEBRUARY 2013 11:00 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 936

Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA

Yi 义 (righteousness) atau peri keadilan merupakan

sebuah kewajiban moral. Kewajiban moral ini bersifat mutlak atau bersyarat (unconditional obligation)

(Fung Yu-Lan,1947 dalam Riana 2008:33). Perikeadilan ini merupakan hakekat formal kewajiban

manusia dalam masyarakat, yaitu perbuatan yang seharusnya dilakukan. Setiap manusia memiliki hal-hal

tertentu yang harus dikerjakan dalam masyarakat. Hal-hal tersebut ditinjau dari segi moral merupakan

hal-hal yang harus dikerjakan karena benar. Oleh karena itu, hal-hal tersebut akan dikerjakan dengan

sebaik-baiknya. Namun jika seseorang mengerjakan hal-hal tersebut dikarenakan pertimbangan-

pertimbangan lain di luar segi moral, maka perbuatannya itu bukan merupakan perbuatan yang adil.

Manusia yang mengerjakan hal-hal hanya demi tujuan mendapatkan keuntungan, bukan karena

pertimbangan moral maka hal ini dalam Confucianisme dipahami sebagai pemisahan

antara Yi 义  (perikeadilan / kebenaran) dan Li’ 利  (Keuntungan).  Confucius sangat menekankan

pemisahan ini. Pemisahan Yi dan Li’ ini dicatat di dalam Lunyu yakni “The superior man understands

righteousness; the inferior man understands profit” (Lunyu IV:16). Fung Yu-Lan menyatakan pemisahan

ini sebagai pemisahan antara kehidupan moral (moral life) dan kehidupan utilitarian (utilitarian life). Jika

Page 42: Disertasi Confusius

seseorang melakukan tindakan dengan tidak terlepas dari tujuan akhir yang utilitarian, maka kehidupan

yang dijalani adalah kehidupan utilitarian bukan kehidupan moral (Riana,2008:34). 

Banyak kritik yang menyatakan Confucius tidak konsisten dalam hal pemisahan antara Yi dan Li’ ini.

Mereka menyatakan ketidak-konsistenan Confucius ini terlihat dari ucapan Confucius, misalnya yang

tercatat di dalam Lunyu yakni: “When the Master went to Wei, Zan Yu acted as driver of his carriage. The

Master observed, ’How numerous are the people!’ Yu said,’Since they are thus numerous, what more

shall be done for them?’ ‘Enriched them,’was the reply,’And when they have been enriched, what more

shall be done? ‘The Master said,’Teach them” (Lunyu XIII: 9).

Berdasarkan uraian tersebut, Confucius sangat menekankan pada kekayaan dan jumlah penduduk. Para

pengeritik menganggap hal tersebut merupakan penekanan pentingnya “keuntungan” bagi masyarakat.

Alasan dari timbulnya pertanyaan dan kritik terhadap Confucius menurut Fung Yu-Lan adalah

ketidakpahaman para pengeritik terhadap makna hakiki dari pemisahan antara Yi 义  (perikeadilan)

dan Li’ 利  (keuntungan) dalam Confucianisme. Mereka tidak memahami bahwa yang dimaksud dengan

keuntungan dalam pemisahan antara Yidan Li’ adalah keuntungan pribadi (private profit). Tindakan yang

dilakukan seseorang dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi disebut sebagai  tindakan mencari

keuntungan (profit seeking actions). Tetapi jika keuntungan yang diperoleh dari suatu tindakan bukanlah

keuntungan pribadi bagi individu melainkan keuntungan umum (public profit) bagi orang lain atau

masyarakat, maka tindakan tersebut merupakan tindakan peri keadilan bukan tindakan mencari

keuntungan.

Setiap tindakan yang memiliki nilai moral merupakan tindakan-tindakan moral. Tindakan moral ini adalah

tindakan-tindakan keadilan (righteous actions). Tindakan-tindakan tersebut menunjukkan peri keadilan

karena sasaran dari semua tindakan yang dilakukan secara tak bersyarat dan mengandung nilai moral di

dalamnya adalah untuk mencari keuntungan bagi orang lain. Contoh: seorang anak yang melakukan

tindakan tertentu secara tak bersyarat untuk mendapatkan keuntungan bagi orang tuanya, dan orang tua

yang penuh kasih melakukan tindakan tertentu secara tak bersyarat untuk memperoleh keuntungan bagi

anaknya. Tindakan tertentu yang dilakukan secara tak bersyarat untuk mendapatkan keuntungan bagi

orang tua ataupun anak merupakan sasaran dan tindakan-tindakan orang tua dan anak. Bakti anak (filial

duty) atau kasih sayang orang tua (parental kindness) adalah nilai-nilai moral dalam tindakan-tindakan

mereka (Riana, 2008:36). 

Jika hal yang disebut sebagai “keuntungan” itu merupakan keuntungan bagi pribadi individu maka

keuntungan tersebut bertentangan dengan peri keadilan (Yi). Namun, jika hal yang disebut sebagai

“keuntungan” itu merupakan keuntungan umum bagi orang lain atau masyarakat luas maka keuntungan

tersebut tidak bertentangan dengan peri keadilan tetapi keuntungan tersebut merupakan isi yang

terkandung dalam peri keadilan.  Keuntungan umum bagi orang lain atau masyarakat ini lalu menjadi

kewajiban mutlak/tak bersyarat bagi setiap individu dalam masyarakat.

 Dalam Confusianisme, mencari keuntungan bagi orang lain atau masyarakat merupakan tujuan dari

tindakan keadilan (righteous action). Dengan kata lain, mencari keuntungan umum adalah upaya untuk

bertindak secara adil atau melakukan Yi义.

Pendekatan  Etika Confucius terhadap perilaku individu juga perilaku bisnis melalui pendekatan

kepribadian (personality) yang  menyatakan  tingkat religiusitas akan menjadi bagian identitas diri

seseorang. Personalitiy itu sendiri pada gilirannya akan menjadi faktor penting menentukan perilaku

Page 43: Disertasi Confusius

dalam organisasi maupun sikap kerja karyawan (Januarti dkk, 2006:15). Confucius beranggapan

kepribadian (personality) harus dilandasi oleh kebajikan, khususnya Ren 仁  (Cinta Kasih) agar dapat

membentuk kelompok masyarakat yang bajik pula. Suatu kepribadian yang berkebajikan akan

mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Confucius mengatakan: “Maka

pemerintahan itu tergantung pada orangnya, orang itu tergantung pada diri pribadinya; untuk membina

diri itu harus hidup dalam Tao/Dao 道  (Jalan Kebenaran) dan membina Tao/Dao 道 itu harus hidup

dalam Ren 仁 (Cinta Kasih)” (Tiong Yong BAB XIX : 4, halaman 60).  

Kepribadian juga mempengaruhi sikap kepemimpinan. Pemimpin yang bijak tentu menerapkan tiga

konsep Confucius (Tripusaka)  yaitu  Ren 仁(Cinta Kasih), Yong  勇(berani) dan  Zhi 智(bijaksana)  (Tiong

Yong Bab XIX, 8 hal. 61).               

Etika Confucius sebagai etika moral merupakan nilai-nilai kinerja yang dijadikan sebagai landasan bisnis

pada akhirnya akan  mempengaruhi kinerja. Nilai-nilai itu disebut sebagai Kinerja Confucius yang

bersumber pada ajaran agama Khonghucu.  Kinerja Confucius tidak bedanya dengan Kinerja Islam

dimana seseorang bekerja memiliki tujuan ibadah.  Namun  kinerja Confucius memiliki perbedaan yang

sangat prinsipil dengan Kinerja Islam. Kalau Kinerja Islam tujuan bekerja untuk ibadah dan tujuan

akherat, bagi Confucius motif bekerja adalah untuk menyempurnakan kehidupan di dunia (sebagai

sarana pembelajaran manusia dalam kehidupan di dunia).  Perbedaan ini terletak pada konsep Confucius

yang memandang orang bekerja di dunia sebagai pelaksanaan  bakti (Hau 孝 ) kepada orang tua dan

keluarga. Bekerja memiliki tujuan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan keluarga pada saat kita

hidup di dunia. Bagi Confucius manusia harus mengisi kehidupan di dunia ini secara benar, hal akherat

tidak usah dibicarakan karena itu merupakan hukum Tuhan (Thian Li 天理 ). Apabila manusia bisa

menciptakan keharmonisan di dunia dengan benar, maka hal kematian (akherat) sudah tidak ada lagi

yang perlu dikawatirkan. Dalam hal ini Confucius mengatakan sebelum mengenal hidup untuk apa

mengenal mati, artinya menyempurnakan kehidupan di dunia wajib dijalankan untuk mencapai

kesempurnaan di luar dunia.  Konsep tersebut yang mendasari orang-orang Tionghoa bekerja untuk

tujuan kemakmuran keluarga. Mereka merasa malu dan takut apabila tidak bisa memberi kehidupan dan

kemakmuran kepada keluarganya. Mereka yang gagal dalam memenuhi kewajiban kemakmuran kepada

keluarga merasakan sebagai rasa malu yang sungguh mengusik harga dirinya. Untuk itulah orang

Tionghoa selalu bekerja keras membanting tulang agar rasa malu ini terhindar. Bagi orang Tionghoa

kemakmuran dan kesejahteraan harus dikejar sebagai sarana belajar membangun kehidupan yang akan

datang untuk nama besar keluarganya apabila telah meninggal dunia. Hanya menjaga nama baik

keluarga merupakan bagian dari bakti sebagai kewajiban dari Agama. 

Etika Confucius menjadikan kepribadian yang memahami Li‘ 利  (beda dengan Li 礼 ) yang

mempertimbangkan Yi 义  yakni hubungan antara Yi 义 (Kebenaran) dan  Li’ 利  (bisnis/keuntungan) atau

antara bisnis dan etika.  Hubungan tersebut ditegaskan oleh  Lu Xiaohe (1997:1511) sebagai berikut: “A

person of noble character can understand Yi, but a low person only knows Li”(Seorang dengan

karakteristik mulia (Junzi 君子)  dapat memahami Yi 义, tapi seorang yang dangkal pemikirannya hanya

mengenal Li 利). Although Confucians are not completely against “Li” and want to put “Yi” into “Li” or to

achieve “Li” in a moral way (that is “Yi”), they pay more attention to “Yi” than  to “Li”. (Meskipun penganut

pandangan Confucius tidak sepenuhnya menentang Li’ 利  dan bermaksud

menempatkan Yi 义 kedalam Li’ 利 atau untuk mencapai Li’ 利 dengan cara  yang bermoral, mereka lebih

Page 44: Disertasi Confusius

memperhatikan Yi 义  ketimbang Li’ 利 ).

 Dimensi Etika sangat penting dalam penerapan bisnis. Bisnis bukanlah suatu aktivitas yang netral secara

moral. W.Michael Hoffman dan Robert E. Frenderick (Hoffman et.al.,1995) dalam (Lu

Xuiaohe,1997:1517) menuliskan: “Memang benar bahwa tujuan dari bisnis adalah laba, tetapi proses

mendapatkan laba bukanlah satu aktivitas yang netral secara moral. Menurut tradisi, kita telah

mendorong bisnis untuk mengejar laba karena kita yakin bahwa pencarian laba tidak melanggar hak apa

pun dan merupakan hal yang terbaik bagi masyarakat secara keseluruhan. Namun dalam dua dekade

terakhir, muncul keberatan terhadap kepercayaan bahwa bisnis secara keseluruhan memberikan

kontribusi positif terhadap kesejahteraan umum”. Masyarakat Cina seharusnya tidak hanya

mempertimbangkan dampak ekonomi pasar terhadap moralitas dan hubungan timbal balik keduanya.

Melainkan juga mengkaji bisnis itu sendiri dari perspektif etis. Misalnya dimensi etika dan bisnis yang

tidak datang dari luar, melainkan suatu yang bersifat internal, komponen yang berkaitan dengan bisnis itu

sendiri. Kita mestinya peduli dengan cara etis untuk mendapatkan keuntungan, atau

cara Yi 义  menjadi Li’ 利  (Kebenaran dalam menuju Keuntungan) (Lu Xiaohe,1997).              

Bisnis secara Confucius dari Yi 义  menuju Li’ 利  dapat dilihat dari proses yang dilandasi etika Confucius

seperti Gambar berikut

Gagasan Ren 仁 (perikemanusiaan atau humanis) lebih konkrit ketimbang gagasan Yi 义 yang bersifat

agak formal. Hakekat formal kewajiban manusia dalam masyarakat adalah “perbuatan yang seharusnya

dilakukan”, karena segala kewajibannya adalah apa yang seharusnya dilakukan. Sedangkan, hakekat

material kewajiban-kewajiban ini adalah mengasihi manusia-manusia lainnya (Riana, 2008:37). Tindakan

apa pun yang dilakukan secara tak bersyarat sebagai keuntungan bagi masyarakat atau orang lain

merupakan sebuah tindakan perikeadilan (Yi 义 ). Namun, jika seseorang melakukan tindakan tertentu

tidak hanya dikarenakan kewajiban tak bersyaratnya tetapi dikarenakan rasa cinta kasih yang tulus dan

Page 45: Disertasi Confusius

rasa persaudaraan (fellow-feeling) dengan orang lain atau masyarakat maka tindakan itu disebut sebagai

tindakan Ren 仁(perikemanusiaan).

Ini berarti tindakan Ren terwujud dalam bentuk mengasihi manusia lainnya. Hal ini seperti diungkapkan

Confucius di dalam Lunyu:…..”Fan Ch’ih asked about humanity. The Master said,” it is to love all men”…

(Lunyu XII:22). Manusia yang benar-benar mengasihi manusia lainnya adalah manusia yang mampu

melaksanakan kewajibannya dalam masyarakat. Dengan kata lain, sebuah tindakan perikemanusiaan

(Ren 仁) sudah pasti merupakan sebuah tindakan perikeadilan (Yi义). Karena seseorang yang mampu

melakukan kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh orang tersebut merupakan tindakan perikeadilan. 

Para pemikir Confucius mengganggap sikap saling mengasihi (feeling of fellowship) sebagai prinsip dasar

utama dalam “struktur bangunan” kemasyarakatan (Riana,2008:38). Sikap saling mengasihi mendasari

munculnya sikap timbal balik dan saling menguntungkan karena dalam Confucianisme hubungan

interaksi dalam masyarakat tidak hanya didasarkan pada satu kekuatan saja terhadap yang lain, tetapi

terletak pada konsep yang saling menguntungkan dan timbal balik. Ini berarti pengamalan Ren terjadi

pada bentuk memperhatikan orang lain.

Seorang manusia Ren 仁 pastilah mempunyai kemampuan yang baik dalam memikirkan keadaan orang

lain. Ia dapat memperhitungkan keadaan orang lain dan mengetahui keinginan mereka karena, terlebih

dahulu ia mengetahui apa yang diinginkan bagi dirinya. Hal ini seperti yang dikatakan Confucius dalam

Lunyu : 

“The Master said …… A man of humanity, wishing to establish him self, seeks also to establish

others;and wishing to be enlarged himself, he seeks also to enlarge others. To be able to judge of others

by what is nigh in ourselves;this may be called the method of realizing humanity (Lunyu VI:28). Dengan

kata lain, lakukanlah perbuatan terhadap orang lain yang engkau sendiri ingin hal tersebut terjadi pada

dirimu. Inilah yang dalam Confucianisme disebut sebagai zhong (ketulusan: tenggang rasa atau tepo

salira atau conscientiousness). 

Seorang manusia Ren 仁 juga mampu mengetahui hal apa yang tidak diinginkan oleh orang lain karena

ia terlebih dahulu mengetahui hal apa yang tidak diinginkan terjadi pada dirinya. Hal ini seperti dikatakan

Confucius dalam Lunyu, yaitu tidak melakukan perbuatan terhadap orang lain yang engkau sendiri tidak

ingin hal itu terjadi pada dirimu. “Chung-kung asked about humanity. The Master said,…not to do to

others as you would not wish done to your self…(Lunyu XII:2). Inilah yang dinamakan shu 恕 (kesabaran:

tahan diri atau altruism) dalam Confusianisme. Kombinasi antara Zhong 忠  dan Shu 恕  dalam

Confusianisme ini dikenal sebagai jalan agungZhong 忠 dan Shu 恕 (the great way of zhong and shu).

Zhong sama seperti Shu menyangkut hal pengembangan diri seseorang yang mengikut-sertakan

pengembangan diri orang lain. Zhong merupakan pengungkapan segi positif dari pengembangan diri

seseorang yang mengikut-sertakan pengembangan diri orang lain. Sedangkan Shu merupakan

pengungkapan segi negatif dari pengembangan diri seseorang yang sekaligus juga pengembangan diri

orang lain. Prinsip Zhong Shu 忠恕 masing-masing menegaskan bahwa “tolok ukur” untuk menentukan

perilaku seseorang terletak pada diri sendiri bukan pada hal-hal lain (Riana,2008:40). 

 

Prinsip Zhong Shu 忠 恕  sekaligus merupakan prinsip Ren 仁 , sehingga

pengamalan Zhong dan Shu berarti mengamalan Ren.  Jadi pengamalan Zhong dan Shu merupakan

jalan untuk mengamalkan Ren. Pengamalan ini mengakibatkan pelaksanaan tanggung jawab serta

Page 46: Disertasi Confusius

kewajiban seseorang dalam masyarakat yang di dalamnya terkandung prinsip Yi 义 (perikeadilan). Oleh

karena itu, prinsip Zhong dan Shu menjadi awal dan akhir moral seseorang .Hal ini seperti yang

dikatakan Confucius dalam Lunyu: “The Master said,’Shan, there is one thread that runs through my

doctrines.’Tsang Tzu said,’Yes.’After the Master had left,the disciples asked him,’what did he

mean?’Tsang Tzu replied,’The doctrine of ouw master is none other than conscientiousness (zhong) and

altruism(shu).’(Lunyu论语 IV:15).

Dengan demikian, prinsip Ren 仁  adalah inti dari filsafat Confucius, serta zhong dan shu merupakan

langkah awal dari pengamalan Ren. Sedangkan Li 礼  (ritual atau ceremonies atau tatakrama/aturan

perilaku atau rule of propriety). Menurut Confucius bahwa hanya dengan Li 礼, maka barulah seseorang

bisa mencapai Ren 仁 atau perikemanusiaan (Thompson, 1999:137). Ada dua penjelasan mengenai hal

ini. Pertama, seperti yang dikatakan oleh Confucius dalam Lunyu: “The Master said,….’Without an

acquaintance with the rules of propriety, it is imposible for the character to be established.’(Tanpa

mengenal Li, maka tidaklah mungkin karakter seseorang dapat dibentuk) (Lunyu XX:3). “Memiliki karakter

yang terbentuk” (establishment of character) berarti telah mampu mengikuti dan mematuhi Li 礼 . Jika

seseorang bisa melakukan hal tersebut, maka hal yang mungkin untuk “menahan keinginan dan

menemukan kembali penempatan Li 礼 ”  dalam diri seseorang. 

Penemuan kembali atas penempatan Li 礼  ini berarti sama seperti yang dikatakan Confucius berikut :

“The Master said Do not look at what is contrary to propriety, do not listen to what is contrary to

propriety,do not speak to contrary to propriety, and do not make any movement which is contrary to

propriety.’ (Lunyu XII:1). Menahan keinginan diri berarti sama dengan menahan keegoisan dalam diri

seseorang. Bagi seorang yang hidup dalam lingkungan yang utilitarian, maka semua tindakan yang

dilakukan adalah untuk mencapai keuntungan pribadi bagi dirinya sendiri. Manusia seperti inilah yang

disebut sebagai manusia egois. Untuk bisa bertindak dengan moral maka seseorang harus terlebih

dahulu mengatasi keegoisannya.Oleh karena itu, ketika Yan Yuan (salah satu murid Confucius) bertanya

kepada Confucius mengenai Ren仁, Confucius menjawab dengan kata-kata: “To subdue one’s self and

recover the propriety disposition; this is human-heartedness.”….(Lunyu XII:1).  Penjelasan yang lainnya

adalah seperti ini. Pada masa hidup Confucius, tatakrama istana dianggap sebagai suatu kumpulan

ketentuan-ketentuan yang bersifat tetap. Kita bisa mendapatkan petunjuk-petunjuk yang sangat terinci

mengenai tingkah laku dalam suatu upacara atau ritual. Misalnya, petunjuk yang sangat cermat

mengenai dimanakah harus meletakan masing-masing jari tangan ketika mengambil suatu benda

upacara. Tetapi, Confucius sendiri berbeda sekali dalam memahami tatakrama atau Li 礼  ini. Hal ini

seperti yang tercatat di dalam Lunyu : “Lin Fang asked what was the first thing to be attended to in

ceremonies. The Master said,’ A great question indeed! ’In festive ceremonies, it is better to be sparing

than extravagant. In the ceremonies of mourning,it is better that there be deep sorrow than a minute

attention to observances’(Lunyu III:4). 

Mengetahui hal yang tepat yang harus dilakukan dalam situasi apapun (sebagai contoh dalam

menghadapi suasana berkabung) membantu membentuk kepekaan seseorang, walaupun hal tersebut

terlihat formal dan karenanya tidak memiliki spontanitas. Tetapi rasa kepekaan tersebut justru

meningkatkan Ren(perikemanusiaan) seseorang.

Confucius benar-benar meegaskan pentingnya tatakrama atau Li. Karena menurut Confucius tatakrama

(Li 礼) dapat menyeimbangkan kehidupan. Penjelasan Confucius mengenai hal ini tercatat dalam Lunyu:

Page 47: Disertasi Confusius

“The Master said, ’Respectfulness, without the rules of propriety, becomes laborious bustle; carefulness,

without the rules of propriety, becomes timidity; boldness, without the rules of propriety, becomes

rudeness’ (Lunyu VIII:2). (Penggormatan tanpa Li, maka akan menguras banyak tenaga; kehati hatian–

hatian, tanpa adanya Li, maka akan menjadi sifat takut; keberanian, tanpa adanya Li 礼 , maka akan

menjadi kedurhakaan (pembangkangan); keterus-terangan / kejujuran, tanpa Li 礼 , maka akan menjadi

bersifat kasar). 

Namun Confucius sendiri mengatakan ia tidak akan ragu menyimpang dari tatakrama yang sudah

diterima oleh kebiasaan. Ia melakukan hal itu manakala ia merasa bahwa penyimpangan dari kebiasaan

tersebut dapat dibenarkan karena alasan yang masuk akal dan sopan santun. Hal ini seperti yang

tercatat dalam Lunyu: “The Master said,’The linen cap is that prescribed by the rules of ceremony, but

now a silk one is worn. It is economical, and I follow the common practice. The rule of ceremony prescribe

the bowing below the hall, but now the practice is to bow only after ascending it. That is arrogant. I

continue to bow below the hall, though I oppose the common practice’ (Lunyu IX:3).

Seorang bisa mengikuti dan menjalankan Li 礼  hanya jika orang tersebut mengetahui kedudukan dan

bagaimana di dalam skema universal dari semua hal (universal scheme of thing). Dalam Confucianisme,

hal tersebut menyangkut apa yang disebut sebagai zhengming 正 名 (pelurusan nama-nama

atau rectification of names). Confucius berpendapat bahwa agar tercipta masyarakat yang teratur, maka

hal yang terpenting ialah terlebih dahulu melakukan zhengming正名(pelurusan nama-nama). Penjelasan

Confucius mengenai pentingnyazhengming 正名 untuk menciptakan masyarakat yang teratur tercatat

dalam Lunyu: “……. If names are not rectified, language is not in accordance with the truth of things. If

language be not in accordance with the truth of things, affairs cannot be carried on to success. When

affairs cannot be carried on to success, rule of propriety and music will not flourish. When rule of propriety

and music do not flourish, punishment will not be properly awarded. When punishments are not properly

awarded, the people do not know how to move hand or foot. Therefore a superior man considers it

necessary that the names he uses may be spoken appropriately, and also that what he speaks may be

carried out appropriately. What the superior man requires is just that in his words there may be nothing

incorrect’ (Lunyu XIII:3). 

Jadi setiap orang sudah seharusnya berbicara, berpikir, dan bertindak secara tepat sesuai dengan pesan

dan peranannya di dalam masyarakat, maka akan tercipta masyarakat yang teratur. 

Berdasarkan penjelasan Confucius mengenai pentingnya zhengming正名 dapat terlihat bahwa Li礼 juga

memperhitungkan sebuah hirarki sosial (tingkatan hubungan sosial kemasyarakatan). Setiap ming 名

(nama; sebutan; panggilan; gelar) dalam hubungan sosial bermasyarakat menyandang tanggungjawab

dan kewajiban tertentu. Jika setiap orang tahu tanggungjawab dan kewajibannya, serta bertindak sesuai

dengan tanggungjawab dan kewajibannya, maka ketertiban sosial akan terjaga. Hal tersebut seperti

dikatakan Confucius: “Confucius replied, ’Let the prince be a prince, the minister be a minister, the father

be a father , and the son be a son.’ (Lunyu XII:11). Dengan kata lain, biarkanlah setiap individu memenuhi

tanggungjawab dan kewajibannya sesuai dengan kedudukan sosialnya. Misalnya, seorang ayah harus

membimbing anaknya dengan penuh kasih sayang, dan sebaliknya sang anak harus berbakti pada

ayahnya. Hal ini dalam Confucius dikenal dengan istilah wulun 五伦 (lima hubungan). Dengan demikian,

fungsi Li dirumuskan dalam konsep zhengming正名 dan wulun/ngolun五伦.

Page 48: Disertasi Confusius

Sementara Zhi 智 (kebijaksanaan atau wisdom) dapat dijelaskan sebagai berikut: dimana seorang

manusia harus terlebih dulu memiliki pemahaman terhadap Ren 仁 sebelum ia bisa melakukan

tindakan Ren 仁 , hal yang sama berlaku pada Yi 义 dan Li 礼 . Tindakan-tindakan yang dilakukan

seseorang mungkin saja sesuai dengan Ren 仁 , Yi 义 , dan Li 礼 . Tetapi tindakan tersebut bukanlah

tindakan Ren,Yi, dan Li jika orang tersebut tidak memiliki pemahaman terhadap Ren, Yi, dan Li. Ini berarti

walaupun tindakan yang dilakukan seseorang sesuai dengan moralitas, tetapi tindakan tersebut bukanlah

tindakan moral. Oleh karena itu hidup yang dijalankan orang tersebut bukanlah kehidupan moral

melainkan sekedar kehidupan yang tidak mementingkan diri sendiri (unselfconsciously natural life)

(Riana, 2008: 47).  

Oleh karena itu, dibutuhkan tahap lebih lanjut sebelum seseorang memiliki pemahaman yang sempurna

akanRen,Yi, dan Li. Tahap lebih lanjut disebut dengan Zhi 智 (kebijaksanaan). Dengan kata lain,

seseorang harus terlebih dulu memiliki kebijaksanaan barulah ia bisa memiliki pemahaman

terhadap Ren, Yi, dan Li. Hal ini seperti dikatakan oleh Confucius dalam Lunyu:   “The Master said,”The

man of wisdom are free from perplexities…..” (Lunyu IX:28). 

Confucius ingin mengatakan manusia yang memiliki kebijaksanaan (memiliki pemahaman dan

pengetahuan) maka hasilnya ia tidak memiliki lagi keragu-raguan dalam hidupnya. Hanya setelah

seseorang memiliki pemahaman dan pengetahuan yang sempurna atau Zhi 智 barulah ia bisa mulai

melakukan tindakan-tindakan Ren 仁 , Yi 义 , dan Li 礼 . Jadi kehidupan yang ia jalankan pun adalah

kehidupan moral. Berarti dalam kebijaksanaan (Zhi智) terkandung pengertian perikemanusiaan (Ren仁),

perikeadilan (Yi义) serta tatakrama (Li礼). 

Wenzhong Zhu & Yucheng Yao (2008:58-59) mengatakan Confucianisme dan segala yang mewakilinya 

seperti Confucius dan Mencius pada dasarnya merujuk pada nilai budaya tradisional tentang merekatkan

kepentingan terhadap moral manusia, hubungan interpersonal dan perkembangan yang harmonis.

Namun, dilihat dari perspektif manajemen korporasi, semua pemikiran inti yang diajukan oleh

kebudayaan Confucius seperti “Ren 仁 (kemanusiaan), Yi 义  (kebenaran), He 和  (harmoni), Zhong

忠  (kesetiaan), Xin 信 (Dapat dipercaya) dan kebersihan”, bisa jadi berhubungan dekat dengan filsafat

budaya dan praktek manajemen bisnis kontemporer. 

Selanjutnya Wenzhong Zhu menjelaskan nilai-nilai Confucius sebagai berikut :

a. “Ren = Humanity”, namely the ”love” and kindheartedness mentioned by Confucius in the article

called Yanyuan (“kemanusiaan” ialah “kasih” dan kebaikan hati yang disebutkan oleh Confucius

dalam aertikel yang disebut Yanyuan).

Sehubungan dengan praktek manajemen modern, ia menunjukkan  para pemimpin bisnis dan

manajer seharusnya memiliki hati yang baik untuk mengasihi para bawahannya dan untuk

bertanggungjawab terhadap masyarakat dengan membantu orang-orang untuk bisa memiliki

kehidupan yang lebih “kaya”.

b. “Yi = Richteousness”, namely the personal character and moral value of”righteousness is essential

for a man with honor” mentioned by Confucius in the article called Yanhuo. (“kebenaran” ialah

Page 49: Disertasi Confusius

karakter pribadi dan nilai moral “kebenaran itu penting bagi seseorang yang terhormat” yang

disebutkan oleh Confucius dalam artikel yang disebut Yanhuo). 

c.  “He = Harmoni” , namely the philosophy of “syncretism for sky and human” and “harmonius

coexistence” contained in the Book of Changes as well as the development law of interactive

influences and restrictions between individuals, nation, society and nature. (“Harmoni” yaitu filsafat

tentang “penyatuan aliran untuk langit dan manusia” serta ”koeksistensi yang harmonis” termasuk di

dalam buku Perubahan (易经 I Ching/Yaking) sebagaimana perkembangan hukum pengaruh dan

pembatasan interaktif antara para individu, negara, masyarakat dan alam.

Sehubungan dengan praktek manajemen modern, ia mungkin menunjukkan organisasi sebagai bagian

dari masyarakat haruslah mencari derajat keseimbangan dan harmoni antara kepentingan-kepentingan

diri dengan kepentingan-kepentingan masyarakat. Untuk mengejar kepentingan seseorang sementara

menelantarkan kepentingan yang lain pastilah tidak akan lama karena ini merupakan pelanggaran hukum

yang harmonis. Oleh karena itu, para manajer modern penting memahami bagaimana mencapai sebuah

hasil pengembangan yang harmonis bagi semua pemegang kepentingan seperti organisasi-organisasi,

karyawan, pelanggan, investor, dan masyarakat, serta untuk menekankan solusi damai dalam persaingan

dan sebuah situasi ”menang-menang”, bukan mencoba “membunuh” para pesaingnya supaya

organisasinya bisa mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan.

d. Zhong’ = ”Loyalty”, namely the ethical value of “loyalty and allegiance” advocated by Confucius and

Mencius. (“Kesetiaan”, ialah nilai etika”kesetiaan dan kepatuhan” yang dianjurkan oleh Confucius

dan Mencius).

Sehubungan dengan praktek manajemen modern, ia menunjukkan kesetiaan yang setara diantara orang-

orang, kesetiaan dan kepatuhan para bawahan kepada atasannya, semangat berkomitmen dan setia

para pekerja terhadap pekerjaan mereka, dan kejujuran para manajer serta kepercayaan mereka

terhadap koordinator mereka. Kualitas dari ”menjalankan tugas dan menjaga iman” dianggap sebagai

jaminan fundamental untuk perkembangan para individu serta organisasi. 

BAB II Tinjauan Pustaka : Lima Hubungan Confucius, Lima Nilai Confucius, Lima Etika Kerja Confucius

 

Category: DISERTASIPublished on SATURDAY, 02 FEBRUARY 2013 22:42 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBA

Page 50: Disertasi Confusius

Hits: 1564

Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA

Lima Hubungan Confucius, Lima Nilai Confucius,

Lima Etika Kerja Confucius

Menurut Rarick (2007:23) ada karakteristik yang dipraktekkan oleh orang-orang Cina yang berkaitan

dengan Lima hubungan Konfusianisme, Lima Kebajikan dan Etika kerja Confucius yang mementingkan

kerja keras, loyalitas dan dedikasi kerja, berhemat serta cinta belajar. 

These practices are influenced by the Five Relationships of Confucianism, the Five virtues, and the

Confucian Work Ethic. The Five Relationship dictate appropriate behavior and roles organizational

members; the Five Virtues provide a moral framework for society and stress the importance of harmony;

and the Confucian Work Ethic stresses the important of hard work, loyalty and dedication, frugality, and a

love of learning (Rarick 2007:23).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan lima hubungan Confucius  sebagai landasan manajerial yang

ditunjang nilai-nilai Ren 仁 , Yi 义 , Yong 勇 , Zhi 智 dan Xin 信  untuk menghasilkan etos kerja yang loyal,

dedikasi yang tinggi, pekerja keras, berhemat, cinta belajar yang juga tercapainya keberhasilan (kinerja).

A. Lima Hubungan Confucius

Pendekatan manajerial Confucius yang berkarakteristik umum kolektivitas, harmoni, kekeluargaan,

kontrol terpusat, kepemimpinan otoriter dan panternalistik, bisnis keluarga, harapan karyawan dan

jaringan organisasi yang kuat dan koneksi bisnis. Karakteristik ini dipraktekkan baik di Cina dan di luar

negeri. Nilai-nilai ini dapat ditelusuri dari praktek yang dipengaruhi oleh hubungan lima

Confucius(Ngo Lun), lima kebajikan (Ren 仁 ,Yi 义 , Li 礼 , Zhi 智  dan Xin 信 ) dan Etika Kerja Confucius

(kerja keras, loyalitas, dedikasi, berhemat, cinta belajar) (Rarick, 2007:23). 

Aspek penting dari lima hubungan Confucius  yakni hubungan seseorang dengan atasan, orang tua,

suami istri, orang tua dan teman-teman. Kelima hubungan ini merupakan praktek manajerial Cina.

1. Loyalitas bawahan kepada pimpinan (atasan)

Page 51: Disertasi Confusius

Confucius mengusulkan hirarki sosial yang kuat berdasarkan posisi, di mana hirarki akan dipertahankan

melalui pemimpin yang baik dan bertindak untuk kepentingan terbaiknya. Dalam organisasi khas Cina,

keputusan dibuat oleh para pemimpin di bagian atas organisasi dan setiap orang diharapkan untuk

melaksanakan arahan tanpa adanya pembantahan. Karyawan diharapkan setia dan loyal sementara

organisasi wajib memberi imbalan dan kesejahteraan kepada karyawan. 

  Menurut Tanggok (2005:63) untuk melihat bagaimana pandangan Confucius tentang hubungan atasan

dengan bawahan, dapat dilihat ungkapan Confucius  sebagai berikut “Seorang raja memperlakukan

menterinya dengan Li 礼 (kesopanan atau penuh dengan budi pekerti yang baik). Seorang menteri

mengabdi kepada raja dengan Zhong 忠 (kesetiaan)” (Lun Gie 论 语   III: 19).

Perkataan Confucius tersebut menggambarkan seseorang pemimpin haruslah bersifat arif dan bijaksana

terhadap orang yang dipimpinnya. Begitu juga seorang bawahan haruslah dapat menghormati atasannya

sebagaimana layaknya seorang atasan. Seorang atasan tidak semestinya bersifat otoriter terhadap

bawahannya, dan bawahan harus dapat memberikan masukan-masukan kepada atasannya demi

kebaikan bersama.

2. Hubungan antara Ayah dengan Anak

Confucius merasa ada hubungan khusus antara ayah dengan anak. Ayah harus membimbing anak, dan

anak harus menunjukkan cara hormat dan hasil sarannya ayahnya. Sama seperti seorang ayah ingin

menasehati, mengajar, dan memberikan arahan seorang putra, manajer Cina diharapkan melakukan hal

yang sama dengan karyawan. Dalam masyarakat Konfucian, manajer Cina berinteraksi dengan karyawan

banyak yang sama seperti seorang ayah dalam mencari keluar untuk kepentingan terbaik dari anak

anaknya. Dalam organisasi Cina modern hubungan diperpanjang sekarang untuk sebagian besar

mencakup kedua jenis kelamin. Confucius merasa sebuah organisasi yang peduli dan memelihara

dipromosikan kepercayaan dan keharmonisan diantara para anggota.

3. Tugas antara suami dan istri

Perempuan harus dibimbing oleh suami mereka dan memberi mereka kesetiaan dan pengabdian.

Perempuan tidak diizinkan untuk mengambil posisi penting dalam birokrasi Cina, peran perempuan

dalam dalam Tiongkok kuno adalah satu domestik dan tunduk, dan bahkan saat ini ada kesenjangan

antara kedua jenis kelamin. Pada sisi yang positif, prinsip Confucius dapat diambil untuk menjelaskan

peran sebagai tokoh dalam organisasi. Ketika organisasi dipandang sebagai perpanjangan keluarga,

maka peran utama dari pemimpin adalah bertindak sebagai tokoh orang tua dalam menjaga harmoni

dalam organisasi. Semua anggota organisasi memiliki tugas sebagai peran khusus untuk bermain di

organisasi tersebut. Kontrol sosial dipertahankan melalui orientasi klan yang kuat dan hubungan yang

dibentuk berdasarkan peran yang telah ditentukan dan perilaku yang sesuai dan mengalir dari peran itu.

4. Ketaatan kepada Sesepuh (orang yang lebih tua)

Page 52: Disertasi Confusius

Confucius mengatakan kaum muda harus menghormati senior mereka. Hormat usia masih merupakan

aspek penting dari budaya Cina, dan usia juga penting dalam menentukan mobilitas ke atas dalam

organisasi. Hal ini biasa bagi manajer muda untuk memajukan lebih dari manajer  yang lebih senior,

bahkan jika manajer muda yang lebih berkualitas dan dengan standar Barat, lebih tepat untuk promosi.

Manajer muda diharapkan mendengarkan, taat, dan menghormati senior mereka, dan menunggu giliran

untuk kemajuan. Manajer senior dipandang sebagai boneka penting, mewakili usia, kebijaksanaan, dan

kepedulian untuk semua anggota organisasi. Organisasi menangani anggota muda yang diharapkan

untuk menunjukkan rasa hormat kepada senior mereka.

5. Saling percaya antara teman

Confucius menekankan pentingnya kerjasama antara orang-orang, dimana anggota organisasi harus

bekerjasama untuk menjaga keharmonisan kelompok. Dalam budaya Barat adalah tepat untuk

memusatkan perhatian pada individu, memberikan tanggungjawab individu dan memberi pujian pada

individu yang luar biasa. Praktek semacam itu tidak dapat diterima dalam budaya Cina. Ini akan terlihat

sebagai tidak patut untuk keluar tunggal salah satu anggota kelompok untuk memuji atas orang lain.

Perilaku seperti itu mengganggu keharmonisan kelompok. Tanggungjawab kolektif juga disukai oleh

tanggungjawab individu. Fokus pada individualisme merusak kepercayaan bahwa anggota kelompok

dapat mengembangkan satu sama lain. Confucius merasa ketika individu diperlakukan sebagai

kelompok, dan didorong untuk mempertahankan keharmonisan dalam kelompok, maka hasil yang lebih

besar dapat dicapai.

Page 53: Disertasi Confusius

Lima Kebajikan

Selain menjaga keharmonisan melalui hubungan, Konfusianisme mempromosikan lima kebajikan,

yaitu: Ren 仁 (Cinta Kasih), Yi 义 (kebenaran), Li 礼 (kepatutan), Zhi 智  (kebijaksanaan), dan Xin 信 (dapat

dipercaya).  Manajer Konfusianisme diharapkan peduli, bermoral, menjaga martabat mereka, memiliki

kearifan, dan benar untuk kata-kata mereka  The “gentleman”. Confusius diharapkan hidup sampai

dengan standar yang lebih tinggi. 

Dalam budaya Conficius, manajer diharapkan menampilkan “Ren” yang berarti kebajikan atau

humanisme, Ren 仁  kadang diterjemahkan sebagai ”good will” atau kebaikan terhadap orang lain.

Manajer Konfusianisme diharapkan menjadi manajer yang baik hati dan mengelola dengan kebaikan.

Manajer diharapkan fokus pada membangun hubungan dan menjadi lebih ramah. Manajer Cina secara

tradisional dihargai dedikasi, kepercayaan, dan kesetiaan lebih dari kinerja. Setiap karyawan melakukan

yang terbaiknya / kemampuan dan bekerja untuk kebaikan kelompok. Perbedaan dalam kinerja individu

tidak dianggap penting asalkan fungsi kelompok secara efektif. Peran manajer adalah menjaga

keharmonisan dan good will dalam seluruh organisasi.

Aspek penting pemikiran Confusius adalah  Yi 义  (kebenaran). Berarti manajer diharapkan menegakkan

standar tertinggi perilaku moral. Kepentingan individu harus dikorbankan demi kebaikan organisasi.

Dalam banyak kasus manajer Cina menjunjung tinggi Yi 义 , tetapi dalam beberapa kasus standar

terganggu lebih berarti menyelamatkan muka pelaku. 

Orientasi etika Confucius telah diadopsi lebih erat oleh manajer Barat. Misalnya, Romar (2002)

menyarankan etika Confusius yang konsisten dengan  membentuk dasar dari banyak ide-ide manajerial

seperti dikembangkan oleh pemikir Barat yakni Peter Drucker. 

Perilaku yang sesuai atau Li 礼 , didedikasikan melalui pemikiran  Confucius dalam kerangka hubungan.

Seorang dengan atasan, orang tua, suami/istri, orang tua dan teman-teman (Lima hubungan). Confucius

sangat prihatin dengan hubungan dan kepatutan social. Istilah Konfusianisme “Li” sebenarnya mengacu

pada Ritual. Ritual diwujudkan tidak hanya dalam hal perilaku yang sesuai dan peran, tetapi juga upacara

dan proses sosial lainnya. Budaya Cina dan praktek bisnis yang kadang-kadang dianggap sebagai

panjang pada formalitas, dan perencanaan yang berlebihan  dan dikelola oleh standar Barat. Seorang

Cina mengatakan ”air menetes dan waktu tertentu. Akan mengebor sebuah lubang di granit” (Chien,

2006) mengungkapkan pentingnya kesabaran dan orientasi jangka panjang. Peran yang tepat dan ritual

di Cina bisa tampak tidak fleksibel dan memakan waktu untuk pengamat Barat.

Untuk Cina, perolehan kebijaksanaan selalu dijunjung tinggi. Kebijaksanaan dan usia yang terkait erat

dalam budaya Cina, dan tidak mengherankan menemukan penghormatan besar yang dibayarkan kepada

anggota yang lebih tua dari masyarakat. Hal ini tercermin dalam pilihan personil, dan kemungkinan

bahwa karyawan yang lebih tua akan orang-orang yang posisinya lebih senior di organisasi, terlepas dari

kemampuan seperti Cina yang terus berbaris kearah kapitalisme pasar. Tampaknya menjadi

kesenjangan generasi berkembang antara tingkat manajer junior dan senior di Cina (Tang & Ward, 2003)

dan perusahaan kewirausahaan di Cina tidak mempertahankan sepenuhnya derajat penghormatan untuk

usia lebih dari kemampuan. Namun kebijaksanaan, baik melalui usia atau pendidikan masih dihormati di

organisasi Tionghoa. 

Page 54: Disertasi Confusius

Manajer Khonghucu diharapkan bisa memiliki Xin 信(dapat dipercaya), selain menjadi orang yang dapat

dipercaya. Manajer akan setia pada misi organisasi. Para manajer Cina bertanggung jawab untuk

menjaga kontrol dan menjamin semua bawahan mengikuti kebijakan yang konsisten dengan misi

organisasi. Di Cina ditemukan orientasi yang kuat untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan.

Kepercayaan dimulai dengan pemimpin dengan mempertahankan organisasi yang harmonis. Bahkan

karyawan diindroktinasi di “garis perusahaan”. Jadi sifat-sifat pribadi seperti kepercayaan dapat dilihat

sebagai lebih penting dari pada kemampuan kinerja.

Etika Kerja Confucius

Max Weber (1905) dalam Rarick (2007:26) menyatakan Konfusianisme  yang akan menjadi kekuatan

dianggap menghambat pembangunan ekonomi Asia. Weber beralasan ikatan kuat yang diciptakan oleh

ajaran Konfusianisme tidak kondusif bagi pencapaian individu yang diperlukan untuk bahan bakar sistem

kapitalistik. Weber berpendapat orientasi rohani Protestantisme yang paling kondusif  bagi

perkembangan kapitalisme. Ia merasa Protestantisme mendorong individu untuk mencari keuntungan

material dalam kehidupan itu karena kerja keras dan prestasi dianggap sebagai bagian dari rencana

Tuhan bagi umat manusia. Sedangkan Katolik terlalu banyak penekanan pada memiliki masalah

perhatian terlalu banyak untuk kesejahteraan kelompok untuk menghasilkan keuntungan ekonomi.

Orientasi yang kuat terhadap pencapaian individu dan duniawi diperlukan untuk masyarakat dalam

mencapai kemakmuran.

Menurut Rarick (2007:26) Weber mungkin belum benar dalam asumsinya. Dasar-dasar filosofi

Konfusianisme telah menciptakan etos kerja tertentu di Cina dan Asia Timur yang tidak terlalu jauh dari

Protestan yang diusulkan oleh Weber. Etika Kerja Confucius terdiri dari keyakinan nilai-nilai kerja keras,

kesetiaan kepada organisasi, hemat, dedikasi, harmoni sosial, cinta pendidikan dan kebijaksanaan, dan

keperdulian untuk kesopanan sosial. Unsur-unsur etika kerja Confucius semua memiliki aspek positif bagi

pembangunan ekonomi. Unsur-unsur itu juga memiliki nilai positif bagi perkembangan sosial. Confucius

mengakui bahwa untuk membangun sebuah bangsa, pengorbanan tertentu harus dibuat oleh individu,

pengorbanan pribadi dalam rangka memajukan kepentingan bangsa ditemukan dalam semua

masyarakat Confucius.

Etika Kerja Confucius mempertahankan interkoreksi sosial yang tidak umum ditemukan dalam

kebudayaan Barat. Jaringan informal di seluruh dunia antara Tionghoa perantauan telah membantu

bahan bakar dan ledakan kapitalisme Cina. Jaringan (Guanxi 关系 ) sekarang dapat dilihat di Cina telah

mengadopsi ekonomi pasar lebih didorong. Sukses untuk Cina difasilitasi melalui guanxi atau koneksi

(Chtterjiee, Pearson dan Nie 2006 dalam Rarick, 2007:27).

Pendekatan Etika Confucius terhadap Bisnis dan Kapitalisme

Argumentasi Confucius terletak pada pemeliharaan moral oleh diri sendiri dan pengembangan nilai

kebajikan manusia, yang terintisarikan dalam diri gentleman Confucius (Junzi 君 子 , manusia ideal

Confucius), dari pada mefokuskan pada keuntungan. Pendekatan Confucius menganjurkan seseorang

Page 55: Disertasi Confusius

fokus kepada perjuangan untuk nilai kebajikan manusia (dalam hal ini  Yi 义 ) dan Li 利  (keuntungan)

secara berimbang. 

Untuk meneguhkan poin ini, dapat disampaikan argumen bahwa dunia ekonomi atau kegiatan bisnis

hanyalah satu aspek dari kehidupan manusia. Manusia dianggap sebagai makhluk ekonomi atau memiliki

nilai ekonomi dalam kerangka kapitalis, dan manusia tidak hanya terbentuk dari nilai ekonomi semata.

Dunia atau kegiatan bisnis hanyalah satu tempat cadangan dari keseluruhan perjuangan manusia (yang

terdiri dari keseluruhan aktivitas hidup dan kepercayaan manusia). Perjuangan manusia ini mungkin

mencakup satu keyakinan pada Tuhan (supernatural), juga pencarian intelektual atau pengetahuan

sebagai kesenangan dalam hidup serta kebahagiaan. 

Tidak adanya  kecocokan antara Etika Confucius dan Kapitalisme, Nuyen (1999) dalam (Chan,

2008:351)  berpendapat filsafat Cina, termasuk Confucianisme, cocok dengan persaingan sempurna dan

kapitalisme klasik. Nuyen mengacu pada Francois Quesnay, sang pemikir klasik mengatakan ekonomi

adalah satu mekanisme yang mengatur dirinya sendiri sesuai dengan hukum alam, dan karenanya

kebijaksanaan  laissez-fairesemestinya diambil. Sebagaimana dijelaskan oleh Nuyen, hal ini diadopsi

dengan pandangan untuk mencapai “tujuan harmoni sosial dan pada puncaknya harmoni seluruh alam

semesta” (Nuyen, 1999:351) adalah konsisten dengan konsep chung yung 中庸 (Tiong Yong) menurut

Confucius dan dengan Jalan Tao道.

Untuk mengintegrasikan etika dan bisnis secara holistik, fakta yang tertinggal adalah tidak bisa

sepenuhnya mengelak dari kenyataan bahwa tujuan bisnis dan tujuan hidup mungkin bertentangan,

setidaknya dalam beberapa keadaan. Konflik yang berpotensi muncul antara moralitas pribadi dari

seorang pegawai perusahaan atau agen dengan perusahaan. Ini tidak berarti bisnis dan segala aspek

lainnya dalam hidup manusia adalah seharusnya secara kategori diperlakukan sebagai komponen

terpisah. Seperti dikemukakan Solomon (2004), bahwa dia berusaha mengintegrasikan etika dengan

bisnis dengan cara yang lebih holistik. Tetapi kenyataannya terdapat konflik antara pencapaian

keuntungan bisnis dan tujuan fundamental dari keseluruhan kehidupan. Sangatlah logis bahwa yang

belakangan (tujuan fundamental kehidupan) sangat diharuskan. Tujuan memajukan nilai kebajikan

manusia seharusnya memang dari kepentingan ekonomi yang lebih sempit.

Chan (2008:351) mengatakan “Business is not  necessarily an activity or practice which seeks material

wealth at the expence of human virtues. Further, as business activities (based on profits) are only a part

of the whole life (based on human virtues), one ought not to seek material wealth at the expense

of human virtues”. (Bisnis tidak selalu merupakan kegiatan atau praktek mencari kekayaan materi dengan

mengorbankan nilai-nilai kebajikan manusia. Sebagai kegiatan bisnis (berdasarkan pada keuntungan)

hanya  merupakan sebagian dari keseluruhan hidup (berdasarkan pada nilai kebajikan manusia), seorang

tidak semestinya mencari kekayaan materi dengan mengorbankan kebajikan manusia. 

Mencari pendekatan dari ajaran Confucius, maka bisa diambil hikmah bahwa tidak ada larangan dari

Confucius untuk mengejar Li’利  (keuntungan) melainkan Confucius menganjurkan agar Li’利  dikejar

dengan jalan Yi 义 (kebenaran).   

Sepaham dengan pendapat Setiawan (2000:18) bahwa “Ajaran Confucius (Khonghucu) tidak berpikir

Page 56: Disertasi Confusius

bahwa kebenaran berlawanan dengan keuntungan pribadi, apa yang beliau tidak setuju ialah bila

kekayaan dan kemuliaan diperoleh secara tidak layak dan tidak benar atau dapat dikatakan hanya untuk

kepentingan diri sendiri (selfishness) atau mental mencari untung melulu.”   

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan ajaran Confucius tidak bertentangan dengan upaya manusia

menuju pada kapitalisme yang dilandasi dengan nilai-nilai moral. Kapitalisme yang menumbuhkan

keseimbangan dan keharmonisan kehidupan manusia secara adil. Confucius mengajarkan pemerataan

kemakmuran dengan melarang adanya penimbunan kekayaan yang bisa mencerai-beraikan masyarakat.

BAB II Tinjauan Pustaka : Hubungan Etika Confucius dengan Etika Bisnis

 

Category: DISERTASIPublished on SUNDAY, 27 JANUARY 2013 14:35 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 1972

Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA

Hubungan Etika Confucius dengan Etika Bisnis

Confucius muncul pada abad ke 4-5 SM sebelum jaman industri

dan pengetahuan ekonomi modern ada. Etika bisnis yang ada hari ini sebagian besar berorentasi ke

Barat dengan kerangka kapitalis. Etika bisnis melalui teori etis yang umumnya diajarkan dan diteliti di

bidang etika bisnis kontemporer seperti etika Aristoteles berasal dari jaman Aksial (begitu pula

Confucius), mayoritas dari filsuf-filsuf moral besar yang ditampilkan dalam tulisan tulisan yang datang dari

Barat.

Page 57: Disertasi Confusius

Etika bisnis khususnya di Cina didorong oleh beberapa faktor yakni warisan Etika Tradisional Cina

(termasuk Etika Confucius), Filosofi Markisme, cerminan reformasi ekonomi dan pada  dekade terakhir ini

saling dipengaruhi dan mempengaruhi etika bisnis dari luar negeri (Barat).

Menurut Lu Xiaohe (1997:1509) “The emergence of business ethics in China is something like the

emergence of Chinese culture. That means that at beginning it was not influenced by the studies  of

business ethics abroad”. (Kemunculan etika bisnis di Cina adalah sesuatu yang mirip dengan munculnya

budaya Cina. Artinya pada awalnya hal tersebut tidak dipengaruhi oleh studi atas etika bisnis diluar

negeri).

Menurut Lu Xiaohe Etika Bisnis China yang didalamnya dipengaruhi Etika Confucius telah muncul dan

berkembang sebagai respon terhadap reformasi ekonomi yang terjadi dalam tiga tahap (1) 1979-1984;

(2) 1984-1994; (3) 1994. Pada tahap terakhir itulah terjadi perpaduan Etika Bisnis China dengan Etika

Bisnis Kontemporer Barat. Maka dapat disimpulkan berdirinya Etika Bisnis China  dan berkembang

sendiri tanpa pengaruh dari lingkungan ekternal (Barat), tetapi belakangan ada semacam perkawinan

anatara Etika Bisnis China dengan Etika Bisnis kontemporer.

Sementara Etika Confucius yang dianggap Etika Lokal Cina telah menyatu membaur dan berkembang

bersama-sama dengan Etika Bisnis kontemporer Barat. Hal ini bisa terjadi karena status ekonomi Cina

dalam transaksi bisnis internasional tumbuh sangat cepat dan saling mempengaruhi etika bisnis

kontemporer. 

Chan (2007:349) menekankan kegunaan dari Etika Confucius dalam mencapai pemahaman dan analisis 

yang lebih kaya di bidang Etika Bisnis kontemporer. Etika Confucius menawarkan perspektif filosofis dan

intelektual kedalam studi Etika Bisnis kontemporer.

Oesman Arif (dalam dialog dengan penulis) mengatakan: ”Etika Confucius berdiri sendiri sebagai bagian

dari filsafat nilai yang dibagi menjadi tiga, Logika, Etika dan Estetika. Sejak abad 16 oleh Wang Yang

Ming,  Etika Confucius itu disamakan menjadi Etika Bisnis Confucius Kontemporer. Dia mengatakan

negara akan kuat kalau memiliki banyak pengusaha, sebaliknya negara yang punya tentara banyak akan

lemah karena rakyatnya miskin”.     

Dari uraian di atas dapat disimpulkan Etika Confucius bukan bagian dari etika bisnis secara umum

melainkan belakangan ini Etika Confucius memberikan corak kepada Etika bisnis kontemporer.

Sebaliknya Etika Bisis Konteporer memperkaya Etika Bisnis Confucius. Sebagai contoh

tentang Guanxi (Guanxi 关系 ), dorongan kapitalisme, prinsip prinsip timbal balik dan makna Kebajikan

(Ren仁, Yi 义, Li 礼, Zhi 智 dan Xin 信). Wilayah-wilayah tersebut jauh dan lengkap. Sumber utama dari

Confucius dalam Empat Buku Klasik (The Analects, TheGreat Learning dan The Doctrine of the Mean).

Kontribusi Etika Bisnis Dalam Berbisnis

Terdapat beberapa argumen yang menyatakan bahwa pada dasarnya di dalam menjalankan kegiatan

bisnis diperlukan etika. Menurut Permadi dan Kuswahyono(2007:43) argumen tersebut sebagai berikut :

Page 58: Disertasi Confusius

1. Bisnis tidak hanya bertujuan untuk profit melainkan perlu mempertimbangkan nilai-nilai manusiawi,

kalau tidak akan mengorbankan hidup banyak orang, sehingga masyarakat pun berkepentingan

agar bisnis dilaksanakan secara etis.

2. Bisnis dilakukan di antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, sehingga

membutuhkan etika sebagai pedoman dan orientasi bagi keputusan, kegiatan dan tindak tanduk

manusia dalam berhubungan (bisnis) satu dengan yang lainnya.

3. Bisnis sekarang ini dilakukan dalam persaingan yang sangat ketat sehingga orang bisnis yang

bersaing tetap memperhatikan norma-norma etis pada iklim bisnis yang semakin profesional justeru

akan menang.

4. Legalitas dan moralitas berkaitan, tetapi berbeda satu sama lain, karena suatu kegiatan yang

diterima secara legal belum tentu dapat diterima secara etis.

5. Etika harus dibedakan dari ilmu empiris yang mendasarkan pada suatu gejala atau fakta yang

berulang terus menerus dan terjadi dimana-mana akan melahirkan suatu hukum ilmiah yang berlaku

universal.

6. Situasi khusus yang menyebabkan pengecualian terhadap etika tidak dapat dijadikan alasan untuk

menilai bisnis tidak mengenal etika.

7. Aksi protes yang terjadi dimana-mana menunjukkan bahwa masih banyak orang atau kelompok

masyarakat yang menghendaki agar bisnis dijalankan secara baik dan mengindahkan norma etika

Hubungan Nilai-nilai, Budaya dan Kinerja

Nilai-nilai sangatlah penting dalam pengambilan keputusan dan membawa implikasi terhadap perilaku

manajer-pemilik serta pendekatan dalam mengatur organisasi. Nilai-nilai pribadi para manajer-pemilik

mempengaruhi manajemen dan praktek bisnis yang mereka gunakan dalam mengoperasikan usaha-

usaha mereka dan pada akhirnya mempengaruhi juga kinerja mereka (Thompson dan Strickland (1996)

dalam Pushpakumari, 2009:2).

Menurut Hofstede et.al. (1990) dalam Rawwas (2000:192) Values are a major dimension of culture.

Values are ”basic convictions that people have regarding what is right and what is wrong. These values

are learned from the culture in which the individual is reared, and they help direct the person’s  behavior.

Cultural values influence how people think and behave. (Nilai-nilai merupakan sebuah dimensi utama dari

kebudayaan. Nilai-nilai adalah tuduhan dasar bahwa orang-orang telah menentukan apa yang benar dan

salah. Nilai-nilai ini dipelajari dari budaya yang dihadapi individu, dan nilai-nilai ini membantu

mengarahkan perilaku orang yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya mempengaruhi bagaimana seseorang

berpikir dan bersikap).

Kilby (1993) mencatat bahwa nilai sangatlah penting dalam memajukan pemahaman yang konstruktif

akan perilaku manusia serta perubahaan yang pasti ada. Karenanya, akan terlihat sepertinya nilai-nilai

pribadi memiliki maksud tertentu, tidak hanya terhadap keputusan untuk mengejar kewirausahaan, tetapi

juga cara yang digunakan para manajer-pemilik untuk menjalankan usahanya (Gasse, 1977; Bird, 1989;

Bryan, 1999). Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa nilai yang merupakan standar yang menuntun

Page 59: Disertasi Confusius

dan menentukan tindakaan seseorang akan mempengaruhi orang lain dalam bertindak. Apabila nilai-nilai

itu dianut seseorang manajer maka akan mempengaruhi kebijaksanan dalam mengatur perusahaan yang

tentunya akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Hal ini disebabkan pimpinan yang membawa nilai-nilai

maupun budaya sangat berpengaruh dan berperan dalam menerapkan nilai-nilai untuk diterapkan dalam

usahanya. Mengingat manajer memiliki peran (role), kegiatan dan skill. Pimpinan memiliki

peran interpersonal roles, informational roles, decisional roles. Kegiatan mereka adalah Routine

Communication, Traditional Management, Networking, dan Human Resource Management. Skill bagi

pemimpin adalah : (1) komunikasi verbal, (2) mengelola waktu dan stress, (3) mengelola pengambilan

keputusan, (4) mengakui, menjelaskan, dan memecahkan permasalahan, (5) memotivasi dan

mempengaruhi orang lain, (6) mendelegasikan wewenang, (7) menetapkan tujuan dan menjelaskan visi,

(8) memiliki kesadaran diri, (9) membangun kerja tim, dan (10) mengelola konflik (Luthan, 2002 dalam

Thoyib, 2005:65). 

Hasil penelitian Pushpakumari di Jepang menyimpulkan nilai-nilai seperti kepercayaan, ambisi,

tanggungjawab, kreatifitas, kesetiaan, energi kerja, tugas, kerja keras yang merupakan nilai pribadi-

manejer pemilik perusahaan berpengaruh pada kinerja usaha dalam UKM manufaktur. Menurut Schein

(1991) dalam Thoyib  (2005:66) budaya diciptakan oleh pemimpin-pemimpin, sementara pemimpin-

pemimpin diciptakan oleh budaya. Berdasarkan pada perspektif teori, budaya itu muncul melalui tiga

proses, yaitu (1) Socio Dynamic Theory, (2) Leadership theory; dan (3) Organizational Learning.

Sejalan dengan pemikiran John W.Amstrong dan Keith Davis dalam Prawirosentono (1999:123)

dikatakan budaya mempengaruhi tingkah laku seseorang yakni lingkungan yang menciptakan suasana

kepercayaan iman, kebiasaan, pengetahuan dan prakek-prakteknya. Budaya yang mempengaruhi

seseorang tercermin dari cara dia mengambil keputusan, rasa hormat kepada atasan, perlakuan

terhadap wanita, tipe kepemimpinan yang diterima, dan lain-lain.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan budaya mempengaruhi nilai-nilai pribadi manajer atau pengusaha,

sedangkan nilai-nilai pribadi pengusaha akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Atau nilai-nilai pribadi

manajer perusahaan akan mempengaruhi budaya, dan budaya akan mempengaruhi kinerja perusahaan.

Bucar and Hisrich (1999:3) dalam makalah yang berjudul “Ethics and Entrepreneurs: An

InternasionalComparative Study“ mengatakan di negara-negara yang memiliki standar etika rendah,

biaya untuk menjalankan usaha lebih tinggi. Begitu pula di negara-negara yang standar etika tinggi, biaya

untuk menjalankan usaha lebih rendah.

Doug Lennick dan Fred Kiel (2005) dalam It Pin (2006) menulis buku Moral Intelligence, beragumen

bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang

tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Hal yang sama juga dikemukakan milliuner Jon M

Hunstman (2005) dalam It Pin (2006) dikatakan kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai

pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Jadi ada hubungan yang jelas

antara etika dengan kinerja perusahaan, artinya tindakan-tindakan etika lebih membawa keuntungan

perusahaan dalam jangka panjang terutama mencapai kinerja perusahaan. Adanya hubungan sinergis

antara etika dan laba dapat dilihat dari kondisi saat sekarang dengan kompetisi yang ketat. Reputasi

yang baik merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Mereka yang menerapkan etika

dalam bisnis akan menaikkan laba perusahaan. Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah

Page 60: Disertasi Confusius

bagaimana Johnson & Johnson (J & J) menangani kasus Tylenol tahun 1982. Pada kasus itu, tujuh orang

dinyatakan meninggal secara misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago, karena Tylenol

mengandung racun sianida. Meskipun penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui pihak yang

bertanggungjawab. J & J bertindak secara etika dengan menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan

mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga pengumuman lebih lanjut.  J &

J bekerjasama dengan polisi, FBI, dan FDA. Hasilnya membuktikan, keracunan itu disebabkan pihak lain

yang sengaja memasukkan sianida ke dalam botol-botol Tylenol. Biaya yang dikeluarkan J & J dalam

kasus itu lebih 100 juta dollar AS. Namun, kesigapan dan tanggung jawab  yang mereka tunjukkan,

perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu

diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan produk itu segera

kembali memimpin pasar (market leader) di Amerika Serikat.

Etika Confucius

Di Indonesia, Konfusius atau Confucius dikenal dengan istilah Khonghucu (Kong Fuzi 孔夫子). Sebagian

orang menyebut Confusianisme (Confucianisme) adalah penerus Ji Kau/ Ru Jiao 儒教 (agama kaum

lemah lembut) yakni Agama Khonghucu sebagai tokoh sentralnya adalah Confucius (Khonghucu) itu

sendiri. Confucius merupakan orang pertama dalam sejarah Cina yang mengabdikan seluruh hidupnya

bagi pendidikan. Confucius merupakan pemrakarsa dari berdirinya sekolah perorangan di Cina

(Riana,2008:30). Anak-anak para penguasa serta kaum bangsawan Cina pada jaman dahulu telah lama

memiliki guru-guru pribadi. Mereka memang direncanakan untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu di

dalam istana. Jenis pengajaran yang diberikan kepada mereka adalah semacam pelatihan dalam teknik-

teknik tertentu yang memungkinkan mereka menduduki jabatan-jabatan tertentu di istana. Tetapi bentuk

pengajaran Confucius berbeda. Confucius tidak hanya memberikan pelatihan, melainkan hendak

mendidik mereka dalam arti mengembangkan serta meningkatkan taraf pemikiran dan moralitas mereka.

Confucius menawarkan pendidikan bagi pembentukan karakter manusia sebagai pengganti pendidikan

untuk jabatan tertentu.

 Secara berangsur-angsur sejumlah orang tertarik kepadanya, dan kemudian menjadi muridnya, atau

yang biasa disebut cantrik yang terkenal sejumlah 72 dan hampir 3.000 murid yang tercatat waktu itu. 

Confucius telah membuka pintu pendidikan bagi semua orang. Di antara murid-muridnya  terdapat kaum

bangsawan dan juga rakyat jelata yang sangat miskin. Semakin lama jumlah cantrik Confucius semakin

banyak, sehingga membentuk sebuah kelompok cendekiawan (gentleman-scholars). Kelompok ini

merupakan cikal bakal institusi kaum terpelajar Cina yang kelak memberikan pengaruh besar bagi

sejarah dan masyarakat Cina. Sejumlah pendiri sekolah perorangan di masa-masa awal, skala pendirian

sekolah Confucius adalah yang terbesar.  Kelompok cendekiawan inilah yang dinamakan dengan Ru

Chia. Ru Jia儒家 adalah nama yang diberikan kepada para pemikir Confucius yang berarti cendekiawan

atau orang terpelajar (scholar). 

Menurut Lasiyo (1992), Khonghucu (Confucius) mengarah pada dua istilah Ju Chiao 儒教 yaitu mengarah

pada keagamaan, sedangkan yang lainnya disebut Ju Chia 儒家  (tanpa o) yang mengarah pada suatu

aliran filsafat. Baik filsafat maupun keagamaan telah menjadi satu yang disebut Confucius. 

Page 61: Disertasi Confusius

Gagasan dan pemikiran Confucius serta interprestasi cantrik–cantrik Confucius terhadap ajarannya yang

terpadu menjadi satu pemikiran utuh inilah disebut sebagai Confucianisme (Thomson, 1999:148).

Gagasan dan pemikiran Confucius dapat diketahui dengan secara paling baik dalam Lunyu 论语  (Lun

Gie). Lunyu merupakan kumpulan ajaran-ajaran atau percakapan Confucius dengan cantrik-cantriknya

yang terpisah pisah yang dihimpun oleh sejumlah cantriknya (Fung Yu-Lan,1990:49).

Para pemikir utama Confucius yang mengembangkan Confucianisme setelah Confucius adalah Meng

Zi 孟子 atau Mensius atau Bingcu (371-289 SM) dan Xun Zi 荀子 (298-238 SM). Confucius adalah tokoh

yang menyempurnakan kepercayaan dan tradisi yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya. Dari Raja

Fuxi 伏羲 sampai sekarang hampir 5000 tahun yang lalu, sedangkan Confucius sekitar 2.563 tahun yang

lalu. Sejarah yang panjang itu menjadikan budaya dan etika Ji-kau 儒教 (Confucius) melekat pada orang-

orang Tionghoa sepanjang sejarah. Ajaran Confucius juga meringkas dari beberapa tokoh terdahulu

hampir 2.500 tahun sebelum Confucius sehingga berkembang hingga kini hampir 5.000 tahun.  Dalam

hal ini Confucius berkata  “Aku bukanlah pencipta melainkan aku menyukai ajaran-ajaran kuno tersebut“

(Kitab Lun Gi / Lunyu 论 语  VII:1). Artinya Confucius adalah penegak dan pelengkap sekaligus

menggenapi ajaran kuno itu sebagai etika moral dan agama yang melekat pada etnis Tionghoa yang

masih menerapkan ajarannya. 

Selain itu Confucius adalah suatu ajaran filsafat dan etika moral, juga suatu agama yang didalamnya

terdapat ritual yang harus dilakukan oleh pengikutnya (Nugroho, 2008:13). Secara agama atau

kepercayaan dan etika moral,  ajaran Confucius mendorong pengikutnya  untuk mencapai kesejahteraan,

kemakmuran, dan kebahagiaan hidup secara harmonis melalui persembahan kepada Tian 天  (Tuhan

YME). Sebagai agama, Confucius mengajarkan suatu kepercayaan dan keyakinan pada pengikutnya

bahwa seorang yang bijak itu pasti mendapat berkah: rejeki dan kesuksesan seperti yang dikatakan

Confucius “Maka seorang yang berkebajikan besar niscaya mendapat berkah, kedudukan, nama dan

panjang umur“ (Kitab Zhong Yong 中庸  XVI:2).  Kepada yang berbuat baik akan diturunkan beratus

berkah, kepada yang berbuat tidak baik akan diturunkan beratus kesengsaraan (Kitab Shu Jing 书经  IV.IV.8). Keyakinan akan perbuatan kebajikan tersebut yang pada akhirnya membawa berkat, rejeki,

kesuksesan dan panjang umur yang menyebabkan orang Tionghoa bekerja keras berdasarkan pada

nilai-nilai kebajikan. Bagi orang Tionghoa hanya berbisnis berdasarkan kebajikan, maka Tuhan akan

meridhoinya. Hal ini sesuai dengan ajaran Confucius yang mengatakan “Wi Tik Thong Thian / Wei De

Dong Tian“惟 德 动 天(Hanya dengan Kebajikan saja Tuhan akan berkenan).

Ajaran Confucius dalam konteks rasional tersebut sebenarnya menjelaskan tentang hubungan antara

etika dengan kesuksesan (kebajikan dan berkah) seperti tesis Max Weber yang sebenarnya membahas

antara hubungan  motif dengan tindakan (Abdullah, 1988:17). Ajaran tersebut menjadikan orang

Tionghoa tidak berani tidak berbuat Kebajikan karena diyakini akan menjadikan kemakmuran dan

kesuksesan dalam hidupnya. Sebaliknya mereka akan takut berbuat yang menentang etika moral (tidak

bajik) dikarenakan takut akan kesengsaraan. Untuk itulah orang-orang Tionghoa berusaha bekerja keras

sesuai dengan jalan Tuhan (kebajikan) untuk mencapai kesuksesan yang benar. Dalam hal ini mereka

menerapkan konsep Yi 义 menuju Li’ 利 (konsep kebenaran dalam mencapai keuntungan).

Dari ajaran Confucius itu kemudian berkembang dan  istilah-istilah seperti rejeki, keberuntungan

(hokkie 福  气 ), dan kemakmuran menjadi tujuan hidup utama orang-orang Tionghoa. Semua praktek

tradisi ditujukan untuk mengejar hokkie. Dalam hal ini terletak pentingnya ciamsi (konsultasi

Page 62: Disertasi Confusius

nasif), gwamia (ramalan), shio (horoskop), dan hongsui/ fengsui 风 水  (tata letak bangunan) yang

berhubungan dengan hawa (chi 气 ).  Banyak pula istilah-istilah seperti cengli 正 理  (masuk

akal), Cinjay (tidak terlalu hitungan) dan Cuan (keuntungan). Istilah tersebut menjadi umum dan selalu

dibicarakan ketika berhubungan bisnis dengan orang  Tionghoa. Secara umum pergaulan  orang

Tionghoa dalam bisnis selalu harus Cingcay dan Cengli 正理  dan jangan sampai Ciak (tidak membayar

hutang) akhirnya Cao (berlari). Istilah-istilah tersebut kalau dikaji  tidak jauh dari ajaran Confucius. 

Pokok ajaran Confucius adalah manusia dilahirkan didunia ini memiliki kebajikan-kebajikan yang

diberikan Tuhan berupa Ren 仁 (Cinta Kasih), Zhi 智  (Keijaksanaan)  dan Yong 勇  (Keberanian) yang

disebut dengan Tri Pusaka. (Kitab Tiong Yong 中 庸 BAB XIX:8).  

Menurut Xs.Tjhie Tjay Ing (2006:4) Ren 仁 (cinta kasih) sebagai landasan dan sandaran bagi motif

perbuatan dalam segala aspek kehidupan yang wajib dilakukan semua umat manusia. Apabila hal

tersebut diterapkan dalam dunia bisnis harus dilandasi nilai-nilai cinta kasih. Apabila bisnis yang tidak

dilandasi nilai Ren akan mengalami suatu kemunduran.

Dengan Zhi (arti: pengetahuan; Mandarin: 智 ) manusia mampu menangani dan memecahkan segala

persoalan secara tepat dan harmonis. Bila dikaitkan dengan dunia bisnis, maka akan menjadikan

seorang wirausaha bijak dan tepat sasaran dalam mengambil segala keputusan manajemen.

Dengan Yong (arti: keberanian; Mandarin: 勇 ), manusia mendapat semangat dan ketahanan dalam

menghadapi tantangan atau meraih cita-cita. Semangat tanpa putus asa dengan keberaniannya akan

mendorong jiwa-jiwa berwirausaha. Selanjutnya oleh Meng-zi (Bingcu), pengikut Confucius, Kebajikan itu

dikembangkan dan bertambah satu kebajikan Li (arti: aturan-aturan kesusilaan dan tata krama; Mandarin:

禮,礼 )  (Kitab Bingcu VIIA,22:4). Dengan Li (aturan-aturan susila dan tata krama), akan menjadikan

seorang Wirausahawan bersopan santun, bertata krama dalam menerapkan bisnisnya. 

Selanjutnya dikembangkan oleh Tung Zhong Shu (179-104) dengan menambahkan Xin (arti:

kepercayaan; Mandarin: 信 ). Dengan Xin (Kepercayaan) akan mempercepat proses transaksi dan

pengiriman barang dan sekaligus menghemat biaya dan pada akhirnya berpengaruh pada kelangsungan

hidup perusahaan dalam jangka panjang. 

Pada prakteknya, nilai-nilai Confucius ini berkembang dari waktu ke waktu. Abad XXI kebajikan

jumlahnya menjadi enam yakni Ren (cinta kasih, 仁 ), Yi (nilai-nilai kebenaran, 義 /义 ), Li (aturan-aturan

susila dan tata krama, 禮 /礼 ), Zhi (pengetahuan, 智 ), Xin (kepercayaan, 信 ). Bahkan di Jepang ajaran

Confucius berkembang menjadi etika kerja Bushido sebagai kunci sukses bangsa Jepang, terdiri dari

tujuh prinsip, yaitu: Yi ( 義 / 义 , nilai-nilai kebenaran), Li (aturan-aturan susila dan tata krama,

禮 / 礼 ),Yong (keberanian, 勇 ), Ren (cinta kasih, 仁 ), Xin(kepercayaan, 信 ), Yu (reputasi, 誉 ),

dan Zhong (kesetiaan, 忠) (Maria, 2010:16).

Page 63: Disertasi Confusius

 

                         

Kebajikan-kebajikan tersebut merupakan inti ajaran Confucius yang dibahas secara filosofi dan

dibicarakan dengan murid-muridnya.  Dengan Kebajikan-kebajikan tersebut manusia wajib

mengembangkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bahkan dalam dunia bisnis. Kebajikan

itu bisa dilakukan manusia karena memang manusiawi melalui belajar dan dilatih. Hanya dengan

belajarlah manusia bisa menjadi Junzi 君 子  (manusia ideal pandangan Confucius) yang tentu saja

memiliki kemampuan manajerial dan sikap moral yang memadai.

Chun Tzu (Mandarin: 君子 ; pinyin: Junzi 君子 ) adalah orang yang agung dan dalam bahasa Inggris

disebut (gentlemen), seorang dapat menjadi pimpinan bukan karena keturunan tetapi karena keagungan

watak dan tingkah laku yang baik. Menurut Confucius, setiap manusia berpotensi menjadi Junzi (Chun

Tzu). Beberapa pengertian Junzi (Mandarin: 君子) menurut Confucius : Chun Tzu (Junzi) adalah seorang

pemberani yang dapat menyelaraskan berbagai macam hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan

senantiasa berusaha meningkatkan kualitas moral kepribadiannya (Dawson, 1981:54).  

Adapun sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang Junzi adalah : (1) setia dan selalu berbuat baik serta

Page 64: Disertasi Confusius

berusaha untuk mawas diri, (2) mencintai sesuatu yang benar dan tidak mementingkan dirinya sendiri,

(3). mengutamakan masalah moral (Dawson, 1981:55). 

Seorang Junzi selalu berusaha hidup dan bekerjasama dengan masyarakat di mana pun ia berada, agar

ia mempunyai jiwa sosial yang tinggi mau beramal apa saja demi kepentingan masyarakat bangsa dan

negaranya. Confucius dalam membahas masalah Junzi lebih banyak bicara tentang masalah moral,

karena moral merupakan dasar dari keberhasilan pembangunan suatu bangsa, tanpa landasan pada

moral suatu bangsa akan segera mengalami keruntuhan. 

Etika Confucius adalah nilai-nilai, aturan, moral  yang bersumber pada ajaran Confucius sendiri yang

mempengaruhi tingkah laku dan kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat khususnya masyarakat

Tionghoa.  Umumnya Etika  Confucius diajarkan secara lisan secara  turun temurun dari orang tuanya

dan ini berjalan berabad-abad lamanya sehingga terbentuk masyarakat Confucius tradisional.

Karakteristik masyarakat Confucius tradisional biasanya menjalankan tradisi tanpa adanya tata laksana

agama yang benar. Namun ada kalanya Etika Confucius didapat dari kitab-kitab Confucius yang dibawa

oleh para pendatang  (saudagar) ke Indonesia dan sebagian kaum cendekia dan mengembangkan di

Indonesia. Mereka akhirnya membentuk wadah Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) 

dan mengangkat  penebar, guru dan pendeta (Js=Jiaosheng 教 生  sebagai  penyebar

agama, Ws=Wenshi 文  师  sebagai guru agama dan Xs=Xueshi 学 师 sebagai pendeta) dan

mengajarkannya lewat upacara-upacara  maupun kebaktian di Li Thang (Litang 礼堂 Tempat Ibadah

umat Confucius). 

Sementara  Etos Confucius bersumber pada Kitab Suci Agama Konghucu (Confucius) yang terdiri dari

dua kelompok, yaitu: Wu Jing 五  经(Kitab Suci Yang Lima) dan Si Shu四书  (Kitab Suci Yang Keempat)

serta Xiao Jing 孝经 (Kitab Bakti). Kitab Wu Jing terdiri dari :

1. Shi Jing (诗经 Kitab Sanjak)

2. Shu Jing (书经 Kitab Dokumen Sejarah Suci)

3. Yi Jing (易经 Kitab Kejadian dengan Segala Perubahan dan Peristiwa)

4. Chun qiu Jing (春秋经 Kitab Sejarah Jaman Chun Qiu)

5. Yue Jing (乐经 Kitab Musik)

Kitab Si Shu 四书 terdiri dari :

1. Da Xue (大学 Kitab Ajaran Besar)

2. Zhong Yong (中庸 Kitab Tengah Sempurna)

3. Lun Yu/ Lun Gie (论语 Kitab Sabda Suci)

4. Meng Zi (孟子 Mencius) (Lin Khung Sen,2010:31)

Kitab-kitab tersebut sebagai sumber ajaran Confucius dan digunakan sebagai dasar dalam bertingkah

laku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi yang dimaksud dengan Etika Confucius itu

menyangkut keseluruhan  ajaran Confucius  yang dihimpun  dari Nabi Fuxi 伏羲 dan Hok Hi (2.953-2.838

SM), lalu Yu Agung 大  禹  atau I Agung (2.205 – 1.766 SM),  Wenwang (文  王) dan akhirnya Confucius

(Khonghucu)  sampai dengan Rosul Bingcu (Meng Zi). 

Chong (1996:9) mengatakan etika Confucius yang dikenal sekarang tidak hanya ditemukan oleh satu

orang saja tetapi merupakan hasil perkembangan lebih 2.500 tahun yang lalu sampai sekarang.

Page 65: Disertasi Confusius

Etos Confucius atau etika Confucius (Confucian Ethic) menurut Lin Yu Tang (1936) dalam Chong (1996:

9) dalam bukunya “My Country and My People“  adalah upaya manusia memperoleh kebajikan di dalam

(inner Sageliness) dan berpenampilan sebagai Raja (outer kingliness). Artinya nilai-nilai Confucius

dipelajari ke dalam (Inner Sageliness) sebagai moral kebajikan sedangkan keluar merupakan wujud

perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan tersebut dipertegas oleh  Indarto bahwa  Etika 

Confucius disebut juga dengan “Nei-sheng Wai-wang“ 内圣 外王 yang mencakup pendidikan moral atau

budi pekerti untuk membina diri ke dalam seperti Nabi dan keluar memimpin dunia menjadi manajer yang

tangguh (Indarto, 2010:32).

Etika Confucius mengandung nilai-nilai seperti toleransi pada sesama manusia, baik antar kawan, atasan

bawahan, antar sesama saudara; berlaku bakti kepada orang tua serta saudara yang lebih tua; kesetiaan

dan dapat dipercaya kepada negara bangsa, hormat kepada lebih tua dan kasih sayang kepada anak

dan saudara yang lebih muda.

Pada prinsipnya etika Confucius mengajarkan akan pentingnya pembinaan diri (self cultivation) serta

nilai-nilai moral, baik kepada diri pribadi, keluarga, masyarakat dan negara bahkan dunia. Menurut Po

(2009:464) Etika Confucius terdiri dari Ren 仁 , Yi义 , Li礼  disamping Zhi 智 dan Xin 信  yang merupakan

komponen penting dalam sistem moral yang membentuk  manusia Junzi.  Junzi melambangkan berbudi

luhur, siap dan mampu melakukan tindakan bajik tanpa henti secara konsisten selama hidupnya,

terutama kaum intelektual dan elit penguasa. Bahkan semua orang didesak untuk menjadi Junzi dalam

pikiran dan perbuatan dan terus mengejar kehidupan yang dicontohkan Junzi. Ciri khas Junzi 君子  dalam analects Confucius (Lun Gi 论语 ) adalah bertindak benar, tekun dalam tindakan, bertindak

sebelum bicara, kehati-hatian dalam ucapan, tindakan menyelaraskan kata-kata, menunjukkan bakti

kepada orang tua, menampilkan menghormati untuk saudara-saudara, bergaul dengan orang yang

memegang prinsip moral, suka belajar, mencintai orang lain, bersopan santun dan tahu aturan, berbuat

baik kepada orang lain, akomodatif, berwibawa tapi tidak sombong, berani, tabah, memiliki motivasi,

berpikiran adil dan ZhongShu 忠 恕  (Tiong Si). Zhong Shu ini disebut Golden Rule dimana “Jangan

lakukan pada orang lain apa yang Anda tidak ingin orang lain lakukan untuk Anda.“    

Lee T.Oei dalam Ongky (1996) memberikan ciri-ciri seorang Junzi diantaranya orang yang bertujuan,

berusaha sungguh-sungguh, menyeluruh, tulus hati, jujur, murni dalam pikiran dan tindakan, cinta akan

kebenaran, adil dan tidak miskin, berkebajikan, bijaksana, longgar hati, tabah hati, berwibawa, teguh,

rukun, tidak menjilat, berkembang keatas, berkemampuan, bersifat terbuka, baik hati, berpandangan

luas, bercinta kasih, tenggang diri, tepo saliro, dan bertenaga dalam.

BAB II Tinjauan Pustaka : Pengertian Etika Bisnis

 

Category: DISERTASIPublished on SUNDAY, 20 JANUARY 2013 21:47 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 4374

Page 66: Disertasi Confusius

Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA

Pengertian Etika (Ethos)

Ethos adalah salah satu kata Yunani kuno yang masuk dalam

banyak bahasa modern persis dalam bentuk seperti yang dipakai oleh bahasa aslinya dulu. Sepintas lalu,

kata ethos merupakan asal usul dari kata etika dan etis. Dalam bahasa modern, ethos menunjukkan ciri-

ciri, pandangan, nilai yang menandai suatu kelompok. Dalam Concise Oxford Dictionary (1974) ethos

disifatkan sebagai characteristic spirit of community, people or system, suasana khas yang menandai

suatu kelompok, bangsa atau sistem.

Menurut Bertens (2007:224) etika berasal dari bahasa Yunani kuno mempunyai banyak arti yakni tempat

tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara

berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. 

Secara etimologis, istilah ethos berarti “tempat hidup“ yang dimaknai sebagai adat istiadat atau

kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks.

Dari kata yang sama muncul istilah Ethikos yang berarti “teori kehidupan”, yang kemudian menjadi “etika”

(Noviliadi, 2009:4).

Secara terminologis, ethos digunakan dalam tiga pengertian, yaitu (1) suatu aturan umum atau cara

hidup, (2) suatu tatanan dari perilaku, (3) penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan

tingkah laku. Dari kata ethos, terbentuklah kata ethic yaitu pedoman, moral dan perilaku, atau etiket yaitu

cara bersopan santun. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang

asas-asas akhlak (moral). Jadi etika sama dengan ethos yang secara etimologis memiliki arti adat

kebiasaan yang oleh filsuf Yunani Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat

moral. Sedangkan menurut Webster’s New Word Dictionary 3rd College Edition, etos didefinisikan

sebagai kecenderungan atau karakter, sikap, kebiasaan, keyakinan yang berbeda dari individu atau

kelompok.

Dalam bahasa Inggris ethos diartikan sebagai watak atau semangat fundamental suatu budaya, berbagai

ungkapan yang menunjukkan kepercayaan, kebiasaan, atau perilaku suatu kelompok masyarakat. 

Page 67: Disertasi Confusius

Menurut Poespoprodjo (1999:18) dalam bahasa Latin, kata untuk kebiasaan adalah mos, dan dari sinilah

asal kata moral, moralitas, dan mores. Etika mempelajari kebiasaan manusia yang sebagian terdiri dari

konvensi-konvensi, seperti cara berpakaian, tata cara, tata krama, etiquette, dan semacam itu.

Dalam bahasa Inggris, Ethos diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara lain ‘starting point’, ’to

appear’, dan ‘disposition’ hingga disimpulkan sebagai ‘character’. Dalam bahasa Indonesia kata etos

diterjemahkan sebagai ‘sifat dasar’, ’pemunculan’ atau ‘disposisi/watak’. Aristoteles menggambarkan etos

sebagai salah satu dari tiga mode persuasi selain logos dan pathos dan mengartikannya sebagai

‘kompetensi moral’. Tetapi Aristoteles berusaha memperluas makna istilah ini hingga ‘keahlian’ dan

‘pengetahuan’ tercakup didalamnya. Aristoteles menyatakan bahwa etos hanya dapat dicapai dengan

apa yang dikatakan seorang pembicara, tidak dengan apa yang dipikirkan orang tentang sifatnya

sebelum ia mulai berbicara.

Di sini etos dikenali berdasarkan sifat-sifat yang dapat terdeteksi oleh indera. Webster Dictionary

mendefinisikan etos sebagai; guiding beliefs of a person, group or institution; ethos adalah keyakinan

yang menuntun seseorang, kelompok atau suatu institusi. 

Koentjaraningrat (1980) dalam Asifudin (2004) mengemukakan pandangannya bahwa etos merupakan

watak khas tampak dari luar dan terlihat oleh orang lain. Etos artinya ciri, sifat, atau kebiasaan, adat

istiadat atau kecenderungan moral, pandangan hidup yang dililiki seseorang, suatu kelompok orang atau

bangsa. 

Hornby (1995) dalam The New Oxford Advances Learner’s Dictionary mendefinisikan etos sebagai the

characteristic spirit, moral values, ideas or beliefs of a group, community or culture (karakteristik rohani,

nilai-nilai moral, idea atau keyakinan suatu kelompok, komunitas, atau budaya). Madjid (1995)

mengatakan etos adalah karakter dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat

khusus tentang seorang individu atau kelompok manusia. Dari kata etos terambil pula perkataan “etika”

yang menunjuk pada makna akhlak atau bersifat akhlaqi yaitu kualitas esensial seseorang atau

sekelompok manusia termasuk suatu bangsa. Etos juga berarti jiwa khas suatu kelompok manusia yang

dari padanya berkembang pandangan bangsa sehubungan dengan baik dan buruk yakni etika.

The American Heritage Dictionary of English Language, menyebutkan etos diartikan dalam dua

pemaknaan; the disposition, character, or attitude peculiar to a specific people, culture or a group that

distinguishesit from other people’s or group ; fundamental values or spirit; mores (disposisi, karakter, atau

sikap khusus orang, budaya atau kelompok yang membedakannya dari orang atau kelompok lain, nilai

atau jiwa yang mendasari; adat istiadat).

Sinarno (2005) mengatakan lebih memilih menggunakan istilah etos karena menemukan bahwa kata etos

mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari sebuah organisasi atau komunitas tetapi

mencakup motivasi yang menggerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode

etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip dan

standar-standar. 

Menurut Syukur (2004) istilah etika sering digunakan dalam tiga perbedaan yang saling terkait, yaitu: (1)

merupakan pola umum atau jalan ”hidup” (2) seperangkat aturan “kode moral” dan (3) penyelidikan jalan

Page 68: Disertasi Confusius

hidup dan aturan-aturan perilaku, atau merupakan penyelidikan filosofis tentang hakekat dan dasar-dasar

moral. Etika merupakan salah satu cabang filsafat, maka pengertian etika menurut filsafat ilmu yang

menyelidiki mana yang baik dan buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang

dapat diketahui oleh pikiran. 

Dengan demikian etika dapat berarti: Pertama, Etika atau Ethos dapat dipakai sebagai nilai-nilai dan

norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur

tingkah lakunya. Misalnya etika protestan (The protestant Ethik and the Spirit of Capitalism karya Max

Weber), Etika Confucius, Etika Islam, dan sebagainya. Kedua, etika atau ethos adalah The governing or

central principles in a movement, work of art, mode of expression, or the like, yaitu prinsip utama atau

pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi atau sejenisnya. Jadi etos

merupakan seperangkat pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar

mempengruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan dan cara berekspresi yang khas pada

sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang sama. 

Dari uraian di atas, etika atau ethos apabila dikaitkan dengan Etika Confucius akan menjadi etika yang

berpengaruh terhadap tingkah laku manusia, khususnya orang Tionghoa dan penganut Confucius dalam

mendorong tingkah laku nyata yang berkaitan dengan kinerja. Hal ini diperkuat pendapat Elashmawi dan

Haris (dalam Prawirosentono, 1999:113) bahwa segala perilaku manusia dalam menjalankan bisnis atau

kehidupan sosial lainnya dipengaruhi oleh sistem kepercayaan mengenai kehidupan, kematian, agama

dan nilai-nilai lainnya. Kepercayan-kepercayaan tersebut diambil oleh manusia sebagai norma

yang diterima, dan hal ini berkaitan dengan kinerja seseorang maupun kelompok (organisasi). 

Etika Bisnis 

1. Pengertian Etika Bisnis

Bertens (2000:36) mengatakan bahwa etika bisnis dalam bahasa Inggris disebut business ethics. Dalam

bahasa Belanda dipakai nama bedrijfsethick (etika perusahaan) dan dalam bahasa Jerman

Unternehmensethik (etika usaha). Cukup dekat dengan itu dalam bahasa Inggris kadang-kadang dipakai

corporate ethics (etika korporasi). Narasi lain adalah “etika ekonomis” atau”etika ekonomi” (jarang dalam

bahasa Inggris economic ethics; lebih banyak dalam bahasa Jerman Wirtschaftsethik). Ditemukan juga

nama management ethics atau managerial ethics (etika manajemen) atau organization ethics (etika

organisasi). 

Yosephus (2010:79) mengatakan bahwa Etika Bisnis secara hakiki merupakan Applied Ethics (etika

terapan). Di sini, etika bisnis merupakan wilayah penerapan prinsip-prinsip moral umum pada wilayah

tindak manusia di bidang ekonomi, khususnya bisnis. Jadi, secara hakiki sasaran etika bisnis adalah

perilaku moral pebisnis yang berkegiatan ekonomi.

Pengertian tersebut menjelaskan bagaimana para pelaku bisnis bertindak secara moral dalam melakukan

bisnisnya. Atau etika bisnis mengacu pada tindakan bisnis yang benar sesuai dengan norma-norma yang

Page 69: Disertasi Confusius

ada. Prinsip moral tersebut pada dasarnya saling bertautan dalam kesatuan kerangka yang utuh dan

sistematis yang disebut teori. Etika bisnis sangat penting bukan saja bagi pengusaha, melainkan juga

bagi masyarakat / konsumen. 

Suatu tatanan sosial yang memiliki nilai, norma, peran, status, pranata, dan struktur yang terlembaga

akan hancur jika salah satu etika (yaitu etika berkompetisi dalam meraih kekayaan) terabaikan atau tidak

dilandasi etika dalam perilaku bisnis / ekonomi. Dengan prinsip saling menguntungkan, maka itulah

sesungguhnya yang diharapkan masyarakat. Bila bisnis dijalankan tanpa dilandasi etika moral, maka

bukan hanya masyarakat / konsumen yang akan mengalami kerugian, tapi sesungguhnya pelaku bisnis

itu sendiri akan mengalami kerugian. 

2. Teori Etika Bisnis 

Ada beberapa teori tentang etika bisnis seperti yang diungkapkan oleh Yosephus (2010) sebagai

berikut : 

a. Teori Kebahagiaan 

Teori kebahagiaan mencakup hedonisme dan utilitarisme. Baik hedonisme maupun utilitarisme sama-

sama merupakan teori etika normatif yang mempersoalkan tujuan hidup manusia. Secara umum, baik

penganut hedonisme maupun utilitarisme sependapat bahwa kebahagiaan merupakan satu-satunya

tujuan hidup semua manusia, maka prinsip pokok yang mendasari setiap perilaku manusia adalah

bagaimana mencapai kebahagiaan sebagai satu-satunya tujuan hidup. 

b. Utilitarisme

Utilitarisme berasal dari kata utilis dalam bahasa Latin yang berarti berguna atau berfaedah. Menurut

utilitarisme, suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika tindakan tersebut bermanfaat atau berguna.

Persoalnnya berguna atau bermanfaat untuk siapa dan dalam kondisi seperti apa? Pada pertannyaan

seperti itu, kaum utilitarisme menjawab bahwa suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika berguna

atau bermanfaat bagi si pelaku maupun bagi semua orang yang terkena dampak dari perbuatan atau

tindakan itu. 

Sebagai teori etika, utilitarisme sering disebut the greatest happiness theory atau teori kebahagian

terbesar. Dibedakan antara utilitarisme tindakan dan utilitarisme peraturan, tergantung apakah kriteria

utilitaristik itu ditetapkan pada tindakan atau pada peraturan.

Prinsip yang dipegang teguh oleh utilitarisme tindakan adalah: “bertindaklah sedemikian rupa, sehingga

tindakanmu itu menghasilkan kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang”. “Bertindaklah menurut

peraturan yang pelaksanaannya akan menghasilkan kebaikan atau kebahagiaan terbesar bagi sebanyak

mungkin orang”. Maksudnya suatu tindakan adalah baik secara moral jika menghasilkan kebaikan atau

kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang yang terkena dampak dari tindakan tersebut. Secara

psikologis, kedua penguasa tersebut memberikan perasaan-perasaan tertentu, maka yang terjadi bagi

manusia dalam kehidupan nyata adalah menghindari pahit, atau rasa sakit atau mendekatkan diri kepada

Page 70: Disertasi Confusius

pleasure (rasa nikmat). Kebahagiaan akan tercipta jika manusia mendekatkan dirinya pada rasa nikmat

atau menjauhkan diri dari rasa sakit. 

Ada sejumlah art mill ini. Pertama-tama, John Stuart Mill (1806-1873) dalam (Yosephus,2010:93)

mengkritik gagasan Jeremy Bentham. Menurut Stuart Mill, karena ada tingkatan dalam kesenangan atau

kebahagiaan, maka aspek kualitas dari kesenangan atau mutlak perlu diperhatikan. Apalagi kualitas

kesenangan manusia pasti menegaskan “it is better to be a human being dissatisfied than a pig satisfied,

better to be socrate than a fool satisfied.” Menurut Stuart Mill, lebih baik menjadi seorang manusia yang

tidak puas dari pada menjadi seekor babi yang puas, lebih baik menjadi Socrates yang tidak puas dari

pada seorang tolol yang puas dan kita harus bertindak demikian rupa agar tindakan kita menghasilkan

akibat baik sebesar mungkin bagi jumlah orang sebanyak mungkin. 

Dengan penegasan itu, Stuart Mill menggaris-bawahi kebahagiaan masing-masing atau kebahagiaan

semua orang yang terlibat dalam satu orang. Maksudnya suatu tutur kata atau tindakan adalah baik

secara moral, jika menghasilkan lebih besar kebahagiaan dari pada penderitaan. Hal itu harus diukur dari

pengalaman semua orang yang melakukan tindakan tersebut, bukan satu orang yang terlibat dalam

tindakan itu. Dengan gagasan itu, Stuart Mill tidak hanya memperbaiki gagasan utilitarisme Jeremy

Bentham, melainkan juga memperkokohnya. Itulah alasannya mengapa utilitarisme Stuart Mill sebagai

“utilitarianisme”, bukan utilitarisme Jeremy Bentham (1748-1832). Secara kodrati, manusia telah

ditempatkan di bawah dua penguasa yang berdaulat, yakni : rasa sakit dan rasa nikmat. Dengan kata

lain, Bentham menegaskan bahwa dalam keseharian hidup manusia selalu berada di antara kedua

penguasa tersebut. 

c. Hedonisme

Hedonism berasal dari kata hedone dalam bahasa Yunani yang berarti ”nikmat atau kegembiraan”.

Sebagai paham teori moral, hedonisme bertolak dari asumsi dasar bahwa manusia hendaknya

berperilaku sedemikian rupa agar hidupnya bahagia. Dengan singkat namun tegas, kaum hedonisme

merumuskan : “carilah nikmat dan hindarilah rasa sakit!”. Berdasarkan rumusan ini, bagaimana hedonism

(terutama Aristippos dan Epikuros) memaknai hidup. Bagi mereka hidup adalah upaya menjauhi rasa

sakit dan mendekatkan diri pada rasa nikmat. 

Motivasi yang paling kuat di balik tujuan-tujuan yang luhur, seperti: penegakan kebenaran dan keadilan

serta tujuan-tujuan suci, misalnya penyebaran iman, bahwa dalam melakukan kegiatan apapun juga

secara kodrati manusia selalu tergerak mencari dan mendapatkan kenikmatan hidup. Sebuah penipuan

diri dan kemunafikan jika ada orang yang mengatakan segala kegiatannya ditunjukkan demi cita-cita

luhur atau demi membantu atau menolong orang-orang lain. Jadi, menurut paham hedonism psikologis,

manusia itu pada dasarnya sangat egois karena segala tindakannya hanya ditunjukkan untuk

mendapatkan kenikmatan dirinya sendiri. 

Epikus (341-270 SM) memandang kenikmatan sebagai tujuan hidup manusia dan secara kodrati manusia

selalu tergerak untuk mencari kenikmatan bagi dirinya sendiri. Hal itu disebabkan secara fisik, tubuh

manusia merupakan dasar sekaligus akar dari segala kenikmatan manusiawi. Menurut Epikus, ada tiga

Page 71: Disertasi Confusius

jenis keinginan dalam diri manusia yang dapat memotivasi seseorang mengupayakan kenikmatan, yaitu :

(1) Keinginan alamiah yang mutlak perlu, seperti keinginan untuk makan dan minum. Keinginan alamiah

seperti ini selalu berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan yang paling primer dari manusia, (2)

Keinginan alamiah yang dapat ditunda, misalnya keinginan untuk makan enak atau keinginan untuk

mendapatkan televisi baru yang lebih besar padahal sudah memiliki televisi kecil, (3) Keinginan yang sia-

sia atau keinginan yang belum pasti realisasinya, seperti ingin menjadi kepala negara atau ingin memiliki

lukisan karya Leonardo da Vinci. 

Epikos menganjurkan agar manusia selalu memandang kehidupan sebagai sesuatu keseluruhan yang

terdiri dari masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Epikos telah menyatu dalam satu

keinginan saja yang sekaligus mencirikan derap jelajah bisnis kontemporer, yaitu meraup keuntungan

sebesar-besarnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Upaya meraup keuntungan kini telah bergeser dari

upaya-upaya yang bersifat co-speed menjadi co-present. Semua strategi bisnis kontemporer

sebagaimana dapat ditelusuri melalui analisis jitu terhadap akurasi penetapan SWOT dan SWAN

menunjukkan bahwa maximizing profit telah menjadi tujuan, sekaligus mengilhami dan memotivasi para

pebisnis kontemporer untuk memenuhi keinginan para pembisnis kontemporer ”to have more”. Pada

tatanan ini, menjadi orang bijak yang menurut sang hedonis, Epikos lalu menjadi sesuatu yang hampir

tidak mungkin dicapai oleh para pebisnis kontemporer. 

d.Teori Kewajiban (deontologisme)

Teori deontology justru mengukur baik atau buruknya suatu tindakan dari segi wajib dan tidaknya

perbuatan tersebut dilakukan. Kata “deon” (Yunani) dari istilah deontology berarti kewajiban atau apa

yang wajib dilakukan. Sistem atau teori moral ini pertama kali diajukan oleh filsuf-etikawan Jerman,

Immanuel Kant (1724-1904). 

Menurut Immanuel Kant inti ajaran deontology yang disebut baik dalam arti yang sesungguhnya,

hanyalah “good will” atau kehendak baik. Jadi, good will, hanya bisa dikatakan baik jika memenuhi

persyaratan tertentu. Pada tataran ini, politik, bisnis, kepandaian, atau kekuasaan adalah good will atau

kehendak baik. 

Menurut Kant, kehendak itu menjadi baik, kalau yang menjadi dasar dari suatu tindakan adalah

kewajiban. Dengan demikian Kant menggaris-bawahi, bahwa suatu perbuatan secara moral adalah baik

jika orang yang melakukannya menghormati atau menghargai hukum moral. Hukum moral yang

dimaksudkan Kant adalah kewajiban seorang berkehendak baik jika ia hanya menghendaki untuk

melakukan yang wajib baginya. Apa yang wajib baginya, yaitu: Pertama, ia dapat memenuhi

kewajibannya karena hal itu menguntungkan dirinya, misalnya mendapatkan nama baik atau

penghargaan dari orang lain. Kedua, ia melaksanakan kewajibannya karena merasa adanya dorongan

langsung dalam hatinya untuk melakukan hal itu, misalnya membantu orang yang mengalami musibah

karena terdorong oleh rasa belas kasihan atau rasa iba yang merupakan dorongan langsung dari dalam

hatinya. Ketiga, ia melakukan kewajibannya karena ia mau memenuhi apa yang menjadi kewajibannya. 

Bagi Immanuel Kant, satu-satunya kriteria untuk kewajiban moral adalah imperative kategoris yang

berbunyi: ”bertindaklah secara moral!” imperative disini berarti perintah yang bernada wajib (das sollen)

bukan permintaan, pertama imperative hipotesis, yakni perintah atau keharusan bersyarat, misalnya

Page 72: Disertasi Confusius

kalau ingin mempunyai uang, bekerjalah. Kedua imperative tanpa syarat.

e. Teori Keutamaan (virtue ethics)

Apapun pekerjaan dan profesinya selalu ingin menjadi orang menjadi kuat secara moral yang berarti

memiliki kepribadian yang mantap sehingga selalu sanggup bertindak sesuai dengan apa yang diyakini

sebagai baik dan benar. Kepribadian yang kuat dan mantap secara moral disebut “keutamaan moral”. 

Ada beberapa keutamaan moral diantaranya sebagai berikut :

1. Kejujuran

Secara umum kejujuran diakui sebagai keutamaan atau sikap moral pertama sekaligus terpenting yang

harus dimiliki oleh setiap orang, khususnya para pebisnis sebagai makhluk beretika, sampai saat ini

diakui bahwa kejujuran identik dengan kesesuaian antara kata-kata atau ucapan dengan fakta atau

perbuatan. Dalam praksis hidup, orang lebih cenderung memaknai kejujuran dalam format negatif seperti

tidak berbohong atau tidak menipu. Seorang pebisnis kontemporer disebut “orang jujur” jika segala

perkataan yang diucapkan, termsuk janji-janjinya sesuai dengan fakta atau tindakannya, yakni menepati

janji-janjinya. Apa yang dijanjikan dalam kontrak atau kesepakatan (transaksi) entah dengan pihak luar

(mitra bisnis dan pelanggan konsumen) atau dengan pihak dalam perusahaan (KKB) selalu ditepati. 

Pebisnis yang jujur tentu akan menganggap kebohongan sebagai sesuatu yang tabu untuk dilakukan,

sebab kejujuran kerap dirasakan sebagai sesuatu yang sangat mahal. 

2. Kepercayaan 

Sebagai keutamaan yang wajib dimiliki oleh para pebisnis kontemporer, kepercayaan selalu bersifat

timbal balik. Maksudnya, pembisnis yang selalu percaya kepada pihak lain mengandaikan bahwa pihak-

pihak lain, apakah karyawan atau mitra bisnis dan pelanggan akan mempercayainya juga. Ciri timbal

balik dalam hal kepercayaan juga menuntut sikap kritis dari seorang pebisnis. Implikasinya, seorang

pembisnis memang harus bersikap selektif dalam memilih mitra bisnis, termasuk menyeleksi dan memilih

karyawan atau stafnya. 

Tujuan mengendalikan strategi dan taktik merupakan hal-hal yang sangat menentukan bagi keberhasilan

sebuah bisnis untuk mencapai tujuan tersebut. Pada tatanan strategi dan taktik inilah sikap-sikap moral

yang kuat, khususnya kepercayaan selalu mendapatkan tanggapan berat. Kesamaan tujuan

mengindikasikan bahwa sikap yang bertentangan dengan kepercayaan bukan tabu untuk dilakukan oleh

pebisnis kontemporer. Pada tatanan ini, ”selektivitas” dalam memilih mitra bisnis atau dalam menerima

karyawan merupakan kata kunci yang tidak bisa ditawar-tawar. 

3. Tanggung Jawab

Sebagai keutamaan moral, tanggungjawab pertama-tama merupakan sikap terhadap tugas yang

membebani seorang pebisnis dan karyawan atau stafnya. Baik pengusaha maupun karyawan merasa

terikat untuk melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang dipercayakan atau yang diemban. Dalam

implikasinya, tanggung jawab tidak pernah memberi ruang untuk sikap-sikap, seperti malas, acuh tak

acuh, dan ragu-ragu. Sikap tanggungjawab menuntut bahwa sesuatu itu dilakukan dan diselesaikan

dengan sebaik-baiknya. 

Page 73: Disertasi Confusius

Dalam bahasa moral, tugas yang dilakukan secara bertanggungjawab disebut sebagai tugas mulia

karena harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, termasuk jika tidak ada yang melihat atau mengawasi

pelaksanaannya. Di sini, kesediaan untuk bertanggung jawab merupakan entry-point yang dapat

mengantarkan seseorang ke singgasana moralitas sebagai good risk-taker. 

Tugas yang dilakukan secara bertanggung jawab merupakan tugas mulia karena harus dilakukan dengan

sebaik-baiknya, meskipun tidak ada pimpinan yang melihat atau supervisor yang mengawasi

pelaksanaannya adalah sama dengan mengatakan bahwa secara hakiki tanggungjawab mengatasi etika

peraturan yang pada dirinya sendiri tak terpisahkan dari pengawasan atau pengontrolan. Pada tatanan

ini, wawasan orang, apakah manajer atau karyawan yang selalu bersedia untuk bertanggungjawab atas

tugas yang dipercayakan kepadanya bersifat tak terbatas. Mereka merasa bertanggung jawab kapan dan

di mana pun berada. Pebisnis, manajer, dan karyawan yang memiliki sikap seperti ini merupakan pribadi-

pribadi yang selalu bersikap positif, kreatif, kritis, dan objektif terhadap kondisi riil perusahaan. 

Selanjutnya pribadi-pribadi yang bertanggungjawab pastilah orang-orang yang selalu bersedia dimintai

dan memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas dan kewajiban, termasuk jika mereka lalai

dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawab. Orang-orang yang bertanggung-jawab selalu siap menjadi

good risk-taker. Mereka tidak pernah melemparkan tanggungjawab. 

4. Keberanian Moral

Keberanian moral selalu berkaitan dengan kemampuan intelektual untuk menentukan penilaian sendiri

terhadap sesuatu. Keberanian moral terlihat dengan sangat jelas ketika mereka menolak tegas untuk

melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma moral dan hukum yang ditawarkan kepada

mereka, meskipun mereka sebenarnya membutuhkan atau ada kesempatan yang memadai untuk

melakukan hal itu, misalnya kesempatan untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme atau mengambil

keuntungan pribadi walaupun untuk penolakan dalam hal-hal seperti itu mereka akan dikucilkan atau

dicela oleh yang lain. 

Orang yang memiliki keberanian moral selalu menjadikan dirinya sendiri pijakan bagi kaum yang lemah,

atau yang mederita karena tingkah serta tindakan kelompok kuat atau pihak yang berkuasa.

5. Fairness

Sering orang mengidentikkan dengan “rasa adil”, namun ketika diterapkan ternyata tidak sama dengan

keadilan. Terkadang juga diidentikkan dengan sikap sportif, ketika diterapkan dalam kondisi konkret

ternyata tidak juga persis sama dengan sportifitas. Sesuatu kondisi yang persis mewakili pengertian

istilah fairness adalah “kesediaan memberikan apa yang patut diberikan kepada semua orang”. Pada

tatanan bisnis, kata “patut” di sini menunjuk kepada apa yang dapat diterima atau disetujui oleh semua

pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis.

Seorang pebisnis dapat dikategorikan sebagai seorang yang memiliki keutamaan ini jika pebisnis

tersebut selalu bersedia memberikan apa yang patut diberikan kepada pihak lain, apakah karyawan,

pemasok, dan pelanggan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban. Sebaliknya, pebisnis yang

berkeutamaan moral seperti ini selalu bersedia menerima apa yang patut diterima dari pihak lain,

misalnya menerima hasil pekerjaan yang telah dipercayakan kepada karyawannya. Itulah indikasi

Page 74: Disertasi Confusius

keutamaan fairness yang patut dimiliki oleh seorang pebisnis kontemporer yang berkepribadian moral

yang kuat. Pebisnis seperti itu tidak hanya bersikap selalu realistik memainkan tetapi juga kritis dalam

melaksanakan bisnisnya.

6. Realistik-kritis

Keutamaan sikap moral ”realistik” dan “kritis” lebih berkaitan dengan wilayah kognitif atau wilayah

intelektual manusia, termasuk para pebisnis kontemporer. Dalam proses bisnis, setiap pengusaha akan

menghadapi berbagai macam orang dengan berbagai latar belakang, seperti sosial, budaya, ekonomi,

pendidikan, agama dan sebagainya. Dalam keberagaman itu para manajer dan karyawan memiliki

harapan, komitmen dan tingkat loyalitas yang berbeda. 

Dalam menghadapi keberagaman latar seperti itu, seorang pembisnis terpanggil untuk bertanggungjawab

terhadap hidup mereka. Para manajer dan karyawan yang berasal dari latar belakang berbeda adalah

identik dengan menegaskan orang-orang seperti itu (manajer dan karyawan) adalah orang-orang riil.

Konsekuensinya, seorang pebisnis kontemporer harus berlaku riil dalam tanggungjawabnya terhadap

mereka. Pembisnis wajib membuka mata fisik dan mata pikiran terhadap realita yang ada, baik yang

menyangkut perusahaan atau usahanya maupun menyangkut kondisi riil manajer dan karyawannya.

Dengan cara seperti itu seorang pebisnis kontemporer yang baik secara moral akan melaksanakan

tanggung-jawabnya dengan baik. Seorang pebisnis kontemporer harus bersikap realitis dalam tutur kata

dan tindakannya, bukan bersembunyi dibalik ungkapan-ungkapan yang kabur maknanya.

7. Rendah Hati

Pertama-tama harus digaris bawahi bahwa sikap moral dan rendah hati tidak ada sangkut pautnya

dengan “rasa sungkan” kepada atasan atau rekan kerja yang lebih tua usianya, enggan untuk membela

suatu pendirian atau merendahkan diri ke kuasa pimpinan. Seseorang melihat dirinya sendiri apa adanya,

apakah sebagai karyawan, manajer atau sebagai pimpinan puncak sebuah bisnis. Dalam konteks bisnis

kontemporer, sikap rendah hati merupakan kekuatan batin yang membuat semua pihak yang terlibat

untuk melihat diri dan menampilkan dirinya apa adanya.

8. Hormat kepada Diri Sendiri dan Diri-diri lain

Sebagai keutamaan moral, hormat terhadap diri sendiri atau orang lain merujuk kepada suatu kewajiban

yang sebenarnya ditujukan kepada diri sendiri dan terhadap orang lain. Hormat terhadap diri sendiri dan

orang lain atau sesama berarti bahwa manusia wajib memperlakukan dirinya sendiri dan orang lain

sebagai bernilai. Hal ini didasarkan pada prinsip umum bahwa manusia merupakan pusat dari segala

pengertian, kehendak, memiliki kebebasan, dan suara hati serta merupakan insan yang berakal budi.

Model Etika Dalam Bisnis

Carroll dan Buchollz (2005) dalam Rudito (2007:49) membagi tiga tingkatan manajemen dilihat dari cara

para pelaku bisnis dalam menerapkan etika dalam bisnisnya. 

1. Immoral Manajemen

Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-

Page 75: Disertasi Confusius

prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak

mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun

bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya

memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan

dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu

menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam

menjalankan bisnisnya. 

2. Amoral Manajemen 

Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen.

Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan

tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral ini, yaitu Pertama,

manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para manajer

yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung

atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan

bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer

tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas

bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih

berorientasi hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam

beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya

memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja melanggar

etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka, misalnya ingin melakukan

efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi

kehidupan pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari

pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.

Widyahartono (1996:74) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis dan etika

adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar pemikirannya sebagai berikut :

Bisnis adalah suatu bentuk persaingan yang mengutamakan dan mendahulukan kepentingan ego-

pribadi. Bisnis diperlakukan seperti permainan (game) yang aturannya sangat berbeda dari aturan yang

ada dalam kehidupan sosial pada umumnya.

Orang yang mematuhi aturan moral dan ketanggapan sosial (sosial responsiveness) akan berada dalam

posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang tak mengenal “values” yang

menghasilkan segala cara.

Kalau suatu praktek bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum yang berlaku

dan karena law enforcement-nya lemah), maka para penganut bisnis amoral itu justru menyatakan bahwa

praktek bisnis itu secara “moral mereka” (kriteria atau ukuran mereka) dapat dibenarkan. Pembenaran diri

itu merupakan sesuatu yang ”wajar’ menurut mereka. Bisnis amoral dalam dirinya meskipun ditutup-tutupi

tidak mau menjadi “agen moral” karena mereka menganggap hal ini membuang-buang waktu, dan

Page 76: Disertasi Confusius

mematikan usaha mencapai laba. 

3. Moral Manajemen

Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen.

Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala

bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan

mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam

kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam

bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada

dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku.

Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga aktifitas dan

tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer

yang bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan

aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya.

BAB II Tinjauan Pustaka : Pengaruh Etika Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan Usaha dan Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis Tionghoa di Surabaya

 

Category: DISERTASIPublished on SUNDAY, 13 JANUARY 2013 22:26 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 1073

Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA

Page 77: Disertasi Confusius

Manajemen Strategis

Strategi sebagai sebuah kosa kata pada mulanya berasal dari bahasa Yunani, yaitu ’strategos’.  Kata

’strategos’ berasal dari kata stratus yang berarti militer dan ‘ag’ yang artinya pemimpin (Purnomo dan

Zulkieflimansyah, 2005:8 dalam Triton, 2011:13). 

Oxford English Dictionary memperkuat pernyataan bahwa strategi dalam konteks bahasa lebih dekat

dengan bidang kemiliteran. Strategi menurut Oxford English Dictionary mengandung arti sebagai ‘the art

of commander-in-chief: the art of projecting and directing the larger military movements and operationsof

a campaign” (seni seorang panglima tertinggi: seni memproyeksikan dan mengarahkan gerakan-gerakan

yang lebih besar dari militer dan pengoperasian suatu kampanye). Arti kata disini menunjukkan relasional

yang lemah dengan penggunaannya dalam bisnis dan manajemen. 

Amstrong (2003:39-42) dalam Triton (2011:16) menambahkan setidaknya terdapat tiga pengertian

strategi, yaitu: Pertama, strategi merupakan deklarasi maksud yang mendefinisikan cara untuk mencapai

tujuan, dan memperhatikan dengan sungguh sungguh alokasi sumber daya perusahaan yang penting

untuk jangka panjang dan mencocokkan sumberdaya dan kapabilitas dengan lingkungan ekternal.

Kedua, strategi merupakan perspektif dimana isu krisis atau faktor keberhasilan dapat dibicarakan, serta

keputusan strategis bertujuan untuk membuat dampak yang besar serta jangka panjang kepada perilaku

dan keberhasilan organisasi. Ketiga, strategi pada dasarnya adalah mengenai penetapan tujuan (tujuan

strategis) dan mengalokasikan atau menyesuaikan sumber daya dengan peluang (strategi berbasis

sumber daya) sehingga dapat mencapai kesesuaian strategis antara tujuan strategis dan basis sumber

dayanya. 

Strategi merupakan pilihan kritis untuk perencanaan dan penerapan serangkaian rencana tindakan dan

alokasi sumber daya yang penting dalam mencapai tujuan dasar dan sasaran, dengan memperhatikan

keunggulan kompetitif, komparatif, dan sinergis yang ideal berkelanjutan, sebagai arah, cakupan, dan

perspektif jangka panjang keseluruhan yang ideal dari individu atau organisasi.

Page 78: Disertasi Confusius

Strategi memperhatikan dengan sungguh-sungguh arah jangka panjang dan cakupan organisasi. Strategi

juga secara kritis memperhatikan dengan sungguh-sungguh posisi organisasi itu sendiri dengan

memperhatikan lingkungan dan secara khusus memperhatikan pesaingnya. Strategi memperhatikan

secara sungguh-sungguh tentang keunggulan kompetitif, yang secara ideal berkelanjutan sepanjang

waktu, tidak dengan manufer teknis, tetapi dengan menggunakan perspektif jangka panjang secara

keseluruhan. 

Adapun manajemen strategis menurut David (2009:5) dapat didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan

dalam merumuskan, mengimplementasikan, serta mengevaluasi keputusan-keputusan lintas-fungsional

yang memampukan sebuah organisasi mencapai tujuannya. Sebagaimana disiratkan oleh definisi ini,

manajemen strategis berfokus pada usaha untuk mengintegrasikan manajemen, pemasaran,

keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan, serta sistem informasi komputer

untuk mencapai keberhasilan organisasi.

Robinson (2009:5) mendefinisikan manajemen strategis (strategic management)  sebagai satu set

keputusan dan tindakan yang menghasilkan formulasi dan implementasi rencana yang dirancang untuk

meraih tujuan suatu perusahaan. Selanjutnya Robinson mengelompokkan manajemen strategis menjadi

sembilan tugas penting, yakni : 

1. Merumuskan misi perusahaan, termasuk pertanyaan yang luas mengenai maksud, filosofi, dan

sasaran perusahaan.

2. Melakukan suatu analisis yang mencerminkan kondisi dan kapabilitas internal perusahaan.

3. Menilai lingkungan eksternal perusahaan, termasuk faktor persaingan dan faktor kontekstual umum

lainnya.

4. Menganalisis pilihan-pilihan yang dimiliki oleh perusahaan dengan cara menyesuaikan sumber

dayanya dengan lingkungan eksternal.

5. Mengindentifikasikan pilihan paling menguntungkan dengan cara mengevaluasi setiap pilihan

berdasarkan misi perusahaan.

6. Memilih satu set tujuan jangka panjang dan strategi utama yang akan menghasilkan pilihan paling

menguntungkan tersebut.

7. Mengembangkan tujuan tahunan dan strategi jangka pendek yang sesuai dengan tujuan jangka

panjang dan strategi utama yang telah ditentukan.

8. Mengimplementasikan strategi yang telah dipilih melalui alokasi sumberdaya yang dianggarkan,

dimana penyesuaian antara tugas kerja, manusia, struktur, teknologi, dan sistem penghargaan

ditekankan.

9. Mengevaluasi keberhasilan proses strategis sebagai masukan pengambilan keputusan di masa

mendatang.

Sebagaimana diindikasikan oleh sembilan tugas tersebut, manajemen strategis mencakup perencanaan,

pengarahan, pengorganisasian dan pengendalian atas keputusan dan tindakan terkait strategi

perusahaan. Strategi diartikan bagi manajer adalah rencana yang memiliki skala besar, dengan orientasi

Page 79: Disertasi Confusius

masa depan, guna berinteraksi dengan kondisi persaingan untuk pencapaian tujuan perusahaan, baik

tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang. Strategi merupakan rencana permainan

perusahaan (taktik perusahaan). Meskipun tidak merinci seluruh pemanfaatan SDM, keuangan, dan

material di masa depan. Rencana tersebut menjadi kerangka bagi keputusan manajerial. Strategi

mencerminkan pengetahuan perusahaan mengenai bagaimana, kapan, dan dimana perusahaan akan

bersaing dengan siapa perusahaan sebaliknya bersaing dan tujuan apa perusahaan harus bersaing. 

Jauch dan Glueck (1999) mengatakan manajemen strategik (strategic management) merupakan arus

keputusan dan tindakan yang mengarah pada perkembangan suatu strategi, atau strategi-strategi yang

efektif untuk membantu mencapai sasaran perusahaan. Proses manajemen strategis ialah cara dengan

jalan mana para perencana strategi menemukan sasaran dan membuat kesimpulan strategis. Keputusan

strategis (strategic decision) merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir. Keputusan ini mencakup

definisi tentang bisnis, produk dan pasar yang harus dilayani, fungsi yang harus dilaksanakan dan

kebijaksanaan utama yang diperlukan untuk mengatur dalam melaksanakan keputusan ini demi

mencapai sasaran. 

Gunigle dan Moore (1994) mengatakan manajemen strategis berkaitan dengan keputusan kebijakan

yang akan mempengaruhi seluruh organisasi, mempengaruhi seluruh sasaran sehingga menempatkan

organisasi untuk mengatasi lingkungan secara efektif.  

Manajemen strategik diartikan sebagai usaha manajerial menumbuh-kembangkan kekuatan perusahaan

untuk mengeksploitasi peluang bisnis yang muncul guna mencapai tujuan perusahaan yang telah

ditetapkan sesuai dengan misi yang telah ditentukan. Pengertian ini membawa implikasi bahwa

perusahaan berusaha mengurangi kelemahannya, dan berusaha melakukan adaptasi dengan lingkungan

bisnisnya serta berusaha mengurangi efek negatif yang ditimbulkan oleh ancaman bisnis. 

Strategi sebagai suatu rencana dasar yang luas dari suatu tindakan organisasi untuk mencapai suatu

tujuan, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang. Dengan demikian, dapat disimpulkan

strategi adalah suatu kesatuan rencana perusahaan yang menyeluruh, lengkap (komprehensif), dan

terpadu yang digunakan untuk mencapai tujuan perusahaan. Sedangkan manajemen strategik adalah

suatu tindakan manajerial yang mencoba untuk mengembangkan potensi perusahaan di dalam

mengeksploitasi peluang bisnis yang muncul guna mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan

berdasarkan misi yang telah ditetapkan. Implikasi dari pengertian tersebut adalah perusahaan berusaha

meminimalkan kekurangan (kelemahan), dan berusaha melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitar,

baik mikro maupun makro. Definisi tersebut juga menunjuk bahwa perusahaan berusaha untuk

mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh ancaman-ancaman bisnis sehingga perusahaan akan

bisa berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.

1. Manajemen Strategik Sebagai Proses

Proses manajemen strategi terdiri atas tiga tahap, yaitu: perumusan strategi, penerapan strategi, dan

penilaian strategi. Perumusan strategi mencakup pengembangan visi dan misi, identifikasi peluang dan

ancaman eksternal suatu organisasi, kesadaran akan kekuatan dan kelemahan internal, penetapan

tujuan jangka panjang, pencarian strategi-strategi alternatif, dan pemilihan strategi tertentu untuk

mencapai tujuan. Isu-isu perumusan strategi mencakup penentuan bisnis apa yang akan dimasuki. 

Page 80: Disertasi Confusius

Keputusan perumusan strategi mendorong suatu organisasi untuk komit pada produk , pasar,

sumberdaya, dan teknologi spesifik selama kurun waktu yang lama. Strategi menentukan keunggulan

kompetitif jangka panjang. 

Manajemen strategik sebagai suatu proses mengandung beberapa implikasi penting. Pertama, suatu

perubahan pada sembarang komponen akan mempengaruhi beberapa atau semua komponen yang lain.

Kebanyakan tanda panah dalam model ini menunjuk ke dua arah, mengisyaratkan bahwa arus informasi

biasanya ulang-alik. Sebagai contoh, kekuatan-kekuatan dalam lingkungan ekstern dapat mempengaruhi

sifat misi perusahaan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi lingkungan ekstern dan mempertajam

persaingan di medan operasinya (Robinson 2009:20).  

Lingkungan ekstern telah mempengaruhi misi perusahaan, dan misi ini mengisyaratkan adanya kondisi

persaingan tertentu dalam lingkungan. Kedua, dari memandang manajemen strategik sebagai suatu

proses bahwa penurunan dan implementasi strategi terjadi secara berurutan. Proses dimulai dengan

pengembangan atau re-evaluasi misi perubahan. Langkah ini berkaitan dengan pembuatan profil

perusahaan dan penilaian terhadap lingkungan eksternal. Kemudian mengikuti secara berurutan: pilihan

strategik, penetapan sasaran jangka panjang, rancangan strategi umum, penetapan sasaran jangka

pendek, rancangan strategi operasional, pelembagaan strategi, serta tinjauan dan evaluasi. 

Proses yang tampaknya kaku ini perlu dijelaskan. Pertama, sosok strategik suatu perusahaan mungkin

perlu di re-evaluasi sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan pada faktor-faktor penting yang

menentukan atau mempengaruhi kinerjanya. 

Kedua, tidak setiap komponen proses manajemen strategik menerima perhatian yang sama pada setiap

kali kegiatan perencanaan dilakukan. Perusahaan yang berada dalam lingkungan yang sangat stabil

mungkin tidak perlu melakukan penilaian situasi secara mendalam setiap lima tahun. Perusahaan

seringkali sudah puas dengan rumusan misi semula meskipun usianya sudah berpuluh-puluh tahun dan

hanya menggunakan sedikit waktu untuk membahas soal ini. Selain itu, meskipun perencanaan strategik

formal mungkin hanya dilakukan lima tahun sekali, tetapi sasaran dan strategi mungkin diperbaharui

setiap tahun, dan penilaian kembali yang diteliti pada tahap-tahap awal perencanaan strategik jarang

sekali dilakukan pada kesempatan itu. 

Ketiga, akibat memandang manajemen strategik sebagai suatu proses adalah perlunya umpan balik dari

pelembagaan, tinjauan ulang (review), dan evaluasi terhadap tahap-tahap awal proses. Umpan balik

(feedback) didefinisikan sebagai kumpulan hasil pasca-implementasi untuk memperkokoh pengambilan

keputusan di masa yang akan datang. Karenanya, seperti ditunjukkan pada gambar, manajer strategik

harus menilai dampak strategi yang diimplementasikan terhadap lingkungan ekstern. Jadi perencanaan

yang akan datang dapat mencerminkan setiap perubahan yang disebabkan oleh tindakan tindakan

strategik. Manajemen strategik menganalisa dampak strategi terhadap kemungkinan perlunya modifikasi

perusahaan.

Keempat, bagaimana memandang manajemen strategis sebagai proses adalah kebutuhan untuk

menanggapi manajemen strategis sebagai sistem yang dinamis. Istilah dinamis (dynamic)

menggambarkan kondisi perusahaan  secara terus menerus yang mempengaruhi aktivitas strategis yang

saling bergantung dan berkaitan.

Page 81: Disertasi Confusius

2. Komponen Manajemen Strategik

Suwarsono (1996) dalam Welsa (2009:24) mengatakan bahwa komponen Manajemen Strategik adalah :

1. Analisis lingkungan bisnis yang diperlukan untuk mendeteksi peluang dan ancaman bisnis.

2. Analisis profil perusahaan untuk mengindentifikasi kekuatan dan kelemahan perusahaan.

3. Strategi bisnis yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan memperhatikan misi

perusahaan.

Hubungan lingkungan bisnis dan profil perusahaan memberikan indikasi pada apa yang mungkin dapat

dikerjakan (what in possible). Dari sini posisi perusahaan di pasar dapat diketahui. Sedangkan

keterkaitan antara analisis lingkungan bisnis, profil perusahaan, dan misi perusahaan menunjukkan pada

apa yang diinginkan (what is desired) oleh pemilik dan manajemen perusahaan. 

3. Tahap Penyusun Strategi Manajemen 

Penyusunan strategi adalah individu-individu yang paling bertanggungjawab bagi keberhasilan atau

kegagalan sebuah organisasi. Penyusunan strategi membantu sebuah organisasi mengumpulkan,

menganalisis, serta mengorganisasi informasi. Mereka melacak kecenderungan-kecenderungan industri

dan kompetitor, mengembangkan model peramalan dan analisis skenario, mengevaluasi kinerja korporat

dan individual, mencari peluang-peluang pasar, mengidentifikasi ancaman terhadap bisnis, dan

mengembangkan rancangan aksi yang kreatif. Para perencana strategis umumnya berperan sebagai

pendukung atau staf. Para penyusun strategi berbeda-beda dalam hal sikap, nilai-nilai, etika, kesediaan

untuk mengambil resiko, memperhatikan tanggungjawab sosial, keuntungan, tujuan jangka pendek

versus tujuan jangka panjang, dan gaya manajemen.

a. Visi Perusahaan

Banyak organisasi dewasa ini mengembangkan suatu pertanyaan visi untuk menjawab pertanyaan, ”Kita

ingin menjadi seperti apa?“ Mengembangkan visi sering dipandang sebagai langkah pertama dalam

perencanaan strategis, bahkan mendahului pembuatan pernyataan misi (David, 2009:16). 

Visi manajemen merupakan suatu perspektif gambaran besar yang diinginkan tentang : siapa kita ini

sebenarnya (who we are), apa yang kita kerjakan (what we do) dan kemana kita akan pergi (where we

are headed) (Hariadi, 2003 dalam Welsa 2009:30).

Visi merupakan gambaran perubahan pada masa datang yang ingin kita ciptakan. Sedangkan, misi

adalah jalan yang perlu ditempuh (the chosen track) agar visi dapat tercapai. Misi berfungsi sebagai peta

dalam perjalanan organisasi untuk mencapai cita-cita yang diharapkan tercapai pada masa akan datang.

Setiap organisasi harus berusaha merumuskan misi dan visi dalam hidupnya agar mampu menciptakan

keyakinan (core beliefs) pada setiap anggota organisasi akan kebenaran cita-citanya serta nilai-nilai

mulia (core values) yang terkandung didalamnya.

Suatu visi strategi yang baik dalam pikiran merupakan syarat untuk menjalankan kepemimpinan strategis

yang efektif (efective, strategic, leadership). Seorang pemimpin harus punya konsep mengenai apa yang

harus dilakukan organisasi dan yang tidak perlu dilakukan untuk mencapai perubahan yang diinginkan.

Page 82: Disertasi Confusius

Seorang pemimpin yang baik mampu mengungkapkan realita sebenarnya yang dihadapi organisasi

berupa kekuatan yang dimiliki, kelemahan yang diatasi, peluang terbuka yang harus diraih, dan ancaman

yang dapat menggagalkan rencana organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

b. Misi Perusahaan

Misi perusahaan (company mission) adalah peryataan luas mengenai niat suatu perusahaan. Misi ini

mencakup filosofi dari para pengambil keputusan strategis perusahaan, menyatakan citra yang ingin

diproyeksikan oleh perusahaan, mencerminkan konsep diri perusahaan, dan mengindikasikan bidang

produk atau jasa utama perusahaan, serta kebutuhan utama konsumen yang berusaha untuk dipenuhi

oleh perusahaan.

Menurut Robinson (2009:32) misi umumnya menggambarkan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Mengapa perusahaan berada dalam bisnis ini?

2. Apa saja yang menjadi sasaran ekonomis perusahaan?

3. Apakah filosofi operasi perusahaan dalam hal kualitas, citra, serta konsep diri perusahaan?

4. Apakah kopetensi inti dan keunggulan kompetitif perusahaan?

5. Apakah yang dilakukan oleh pelanggan perusahaan dan apakah perusahaan dapat melayani

mereka?

6. Bagaimana perusahaan memandang tanggungjawabnya  terhadap pemegang saham, karyawan,

masyarakat, lingkungan, masalah sosial, dan pesaing?

Bisnis pada umumnya dimulai dengan keyakinan, keinginan, dan aspirasi seorang pengusaha. Misi

seseorang pemilik sekaligus manajer tersebut biasanya didasarkan pada keyakinan dasar sebagai

berikut :

1. Produk atau jasa perusahaan yang memberikan manfaat paling tidak sesuai dengan harganya.

2. Produk atau jasa perusahaan dapat memuaskan kebutuhan konsumen dari segmen pasar tertentu

yang saat ini belum terpuaskan secara memadai

3. Teknologi yang digunakan dalam produksi atau menghasilkan produk atau jasa yang kompetitif dari

segi biaya maupun kualitas.

4. Dengan kerja keras dan dukungan pihak lain, perusahaan tersebut tidak hanya dapat bertahan

melainkan juga akan tumbuh dan menghasilkan laba

5. Filosofi manajemen perusahaan akan menghasilkan citra publik yang menguntungkan serta

menyediakan manfaat keuangan dan psikologi bagi mereka yang bersedia menginvestasikan

tenaga dan uangnya untuk membantu perusahaan meraih keberhasilan.

6. Konsep diri pengusaha mengenai bisnis tersebut dapat dikomunikasikan kepada dan diadopsi oleh

para karyawan dan pemegang saham.

Pernyataan misi ini akan menyatakan jenis produk atau jasa dasar yang akan ditawarkan, pasar atau

kelompok pelanggan utama yang akan dilayani: teknologi yang digunakan dalam produksi atau distribusi,

pandangan utama perusahaan mengenai kelangsungan hidupnya melalui pertumbuhan dan profitabilitas;

Page 83: Disertasi Confusius

filosofi manajerial perusahaan; citra publik yang diinginkan oleh perusahaan; serta konsep diri yang harus

dimiliki oleh para pihak yang terkait denggan perusahaan.

c. Sasaran Jangka Panjang

Tujuan dapat didefinisikan sebagai hasil-hasil spesifik yang ingin diraih oleh suatu organisasi terkait

dengan misi dasarnya. Jangka panjang berarti lebih dari satu tahun. Tujuan sangat penting bagi

keberhasilan oeganisasional sebab menyatakan arah; membantu dalam evaluasi; menciptakan sinergi;

menjelaskan prioritas; memfokuskan koordinasi; dan menyediakan landasan bagi aktivitas

perencanaaan, pengorganisasian, pemotivasiaan, serta pengontrolan.  

Para manajer strategik menyadari bahwa maksimasi laba jangka pendek jarang sekali merupakan cara

terbaik untuk melestarikan pertumbuhan dan kemampulabaan perusahaan. Tujuan perusahaan yang

pokok adalah kelangsungan hidup melalui pertumbuhan dan profitabilitas yang harus menjadi kriteria

utama dalam pengambilan keputusan strategis.  Pertumbuhan suatu perusahaan sangat terikat dengan

kelangsungan bisnis serta profitabilitasnya. Para manajer strategis mengakui bahwa memaksimalkan

laba jangka pendek jarang menjadi pendekatan terbaik untuk mencapai pertumbuhan dan frofitabilitas

berkelanjutan perusahaan. 

Robinson (2009:250) memberikan ilustrasi bahwa lebih baik memberi pancing dari pada ikan. Jika orang

miskin diberi makanan, mereka akan memakan makanan itu dan tetap miskin. Jika diberi pancing serta

umpan dan diajari cara memancing, mereka dapat memperbaiki kondisi mereka secara permanen.

Pilihan serupa yang dihadapi oleh para pembuat keputusan strategis adalah :

1. Apakah mereka sebaiknya menjual pancing dan umpan yang diberikan guna memperbaiki

gambaran laba jangka pendek serta membayar deviden dalam jumlah besar yang diperoleh dari

tindakan tindakan penghematan biaya seperti menghentikan pekerja selama periode permintaan

yang rendah, menjual habis persediaan,atau mengurangi anggaran pengembangan dan penelitian?

2. Apakah mereka sebaiknya mulai melemparkan tali pancing yang sudah diberi umpan ke sungai

untuk memperoleh imbalan jangka panjang dengan cara menginvestasikan kembali laba pada

peluang pertumbuhan, membuat komitmen atas sumberdaya untuk pelatihan karyawan, atau

menambah pengeluaran iklan?

Bagi kebanyakan manajer strategis, solusinya adalah mendistribusikan sejumlah kecil laba saat ini tetapi

menanamkan kembali sebagian besar dari laba tersebut untuk meningkatkan kemungkinan perolehan

laba dalam jangka panjang. Inilah alasan yang paling sering digunakan dalam memilih tujuan. 

Robinson (2009:251) mengatakan untuk mencapai kemakmuran jangka panjang, para perencana

strategis umumnya menetapkan tujuan jangka panjang dalam tujuh bidang yaitu :

1. Profitabilitas 

Page 84: Disertasi Confusius

Kemampuan dari perusahaan untuk beroperasi dalam jangka panjang bergantung pada tingkat perolehan

laba yang memadai. Perusahaan yang dikelola secara strategis pada umumnya memiliki tujuan laba,

yang biasanya dinyatakan dalam laba per saham atau tingkat pertumbuhan atau ekuitas.

2. Produktivitas

Para manajer strategis secara terus menerus mencoba meningkatkan produktivitas sistem mereka.

Perusahaan yang dapat memperbaiki hubungan input-output pada umumnya dapat meningkatkan

profitabilitas. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan hampir selalu menyatakan suatu tujuan

produktivitas. Tujuan produktivitas yang umum digunakan adalah jumlah barang yang diproduksi atau

jumlah jasa yang diberikan per unit imput. Namun tujuan produktivitas kadangkala dinyatakan dalam

bentuk penurunan yang diinginkan. Misalnya, tujuan dapat diterapkan untuk mengurangi produk cacat,

keluhan pelanggan yang mengarah pada litigasi, atau lembur. Pencapaian atas tujuan semacam ini

meningkatkan profitabilitas jika jumlah unit output yang dihasilkan tetap.

3. Posisi Kompetitif

Salah satu ukuran keberhasilan adalah dominasi relatifnya di pasar. Perusahan-perusahaan yang lebih

besar pada umumnya menetapkan tujuan dalam hal posisi kompetitif, seringkali menggunakan penjualan

total atau pangsa pasar sebagai ukuran posisi kompetitifnya. Tujuan yang berkaitan dengan posisi

kompetitif dapat mengindikasikan prioritas jangka panjang perusahaan.

4. Pengembangan karyawan   

Karyawan menghargai pendidikan dan pelatihan, sebagian karena hal tersebut mengarah pada

kopensasi dan jaminan kerja yang lebih tinggi. Menyajikan peluang semacam itu seringkali meningkatkan

produktivitas dan mengurangi perputaran karyawan. Oleh karena itu, para pembuat keputusan strategis

seringkali memasukan tujuan pengembangan karyawan dalam rencana jangka panjangnya.

5. Hubungan dengan karyawan

Apakah terikat dengan kontrak serikat pekerja atau tidak, perusahaan-perusahaan secara aktif mencoba

mengembangkan hubungan baik dengan karyawannya. Bahkan, langkah langkah proaktif dalam

mengantisipasi kebutuhan dan harapan karyawan merupakan karakteristik dari manajer strategis.  Para

manajer strategis yakin bahwa produktivitas berhubungan dengan loyalitas karyawan dan apresiasi atas

perhatian manajer terhadap kesejahteraan karyawan. Oleh karena itu mereka menetapkan tujuan untuk

memperbaiki hubungan dengan karyawan. Beberapa tujuan itu mencakup program keselamatan kerja,

perwakilan pekerja dalam komite manajemen, dan rencana kompensasi berbasis saham.

6. Kepemimpinan Teknologi

Perusahaan harus memutuskan apakah akan menjadi pemimpin atau hanya menjadi pengikut di pasar.

Setiap pendekatan dapat berhasil, tetapi masing-masing membutuhkan postur strategi yang berbeda.

Page 85: Disertasi Confusius

Oleh karena itu, banyak perusahaan menyatakan suatu tujuan berkaitan dengan kepemimpinan

teknologi.

7. Tanggungjawab kepada masyarakat

Para manajer memahami tanggung jawab mereka terhadap pelanggan dan masyarakat secara umum.

Bahkan, banyak perusahaan mencoba memenuhi tanggung jawab sosialnya terlampaui persyaratan

pemerintah. Perusahan-perusahan tersebut bukan hanya untuk mengembangkan reputasi sebagai

produsen dari produk dan jasa dengan harga yang layak, melainkan juga menjadi warga negara yang

bertanggungjawab.

d. Filosofi Perusahaan

Pernyataan mengenai filosofi suatu perusahaan, seringkali disebut kredo perusahaan (company creed),

biasanya menyertai atau muncul dalam pernyataan misi. Kredo perusahaan mencerminkan atau

menspesifikasikan keyakinan, nilai, aspirasi, dan prioritas filosofi dasar yang menjadi komitmen para

pengambil keputusan strategis dalam mengelola perusahaan. Untungnya, filosofi ini hanya sedikit

bervariasi dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Pemilik dan manajer secara implisit menerima suatu

etika perilaku umum, yang tidak tertulis namun mengikat, yang mengatur tindakan bisnis serta

memungkinkan tindakan bisnis tersebut untuk mengatur diri sendiri. Namun, pernyataan filosofi

perusahaan seringkali sederhana dan terlalu umum sehingga lebih mirip publikasi humas, bukan

komitmen terhadap nilai yang merupakan tujuan awalnya.

e. Jati Diri Perusahaan

Penentu utama keberhasilan suatu perusahaan adalah sejauh mana perusahaan tersebut dapat berelasi

secara fungsional dengan lingkungan eksternalnya. Untuk memperoleh posisi yang layak dalam situasi

yang kompetitif, perusahaan harus secara realitis mengevaluasi kekuatan dan kelemahan kompetitifnya.

Gagasan ini bahwa perusahaan harus mengenal dirinya sendiri merupakan inti dari konsep diri

perusahaan.  Pemikiran ini tidak terlalu terintegrasi dengan teori manajemen strategis, meskipun arti

pentingnya bagi individu telah diakui sejak lama (Robinson, 2009:39).  Akibatnya, beberapa kasus,

perusahaan memiliki kepribadiannya sendiri. Sebagian besar perilaku di perusahaan berbasis organisasi.

Hal ini berarti suatu perusahaan bertindak atas nama anggotanya dengan cara yang berbeda dari

interaksi individual. Dengan demikian, perusahaan merupakan entitas yang kepribadiannya lebih penting

dibandingkan kepribadian anggotanya. 

Secara sederhana, jati diri merupakan refleksi inti strategi. Ada perusahaan yang menyatakan diri

sebagai perusahaan terdiversifikasi, berkemampuan kewirausahaan yang unggul, dan memiliki banyak

unit usaha yang otonom. Dengan bekal tersebut perusahaan bersaing dengan perusahaan lain. Ada juga

perusahaan yang menyatakan diri sebagai perusahaan yang selalu siap bersaing dengan cara

memberikan keleluasaan penuh pada manajemen dan karyawan untuk mengembangkan energi kreatif

yang dimiliki. Ada juga perusahaan yang bersaing dengan cara unggul dalam teknologi. Oleh karena itu

perusahaan memberikan tekanan pada strategi diferensiasi. Harga bukan merupakan faktor yang amat

diperhatikan. Ada pula perusahaan yang mengandalkan mutu pelayanan yang diberikan dengan

memberikan jaminan kepuasan kepada konsumen. 

Page 86: Disertasi Confusius

f. Analisis dan Pilihan Strategis

Welsa (2009:39) mengatakan bahwa analisis dan pilihan strategis merupakan langkah dalam proses

manajemen strategik yang dilakukan manajer untuk mempertimbangkan alternatif-alternatif strategi dan

pemilihan mana yang akan digunakan perusahaan. Langkah-langkah ini biasanya berupa pemilihan

bidang usaha (bisnis) yang akan diterjuni perusahaan dan kemudian pemilihan strategi bersaing yang

akan digunakan oleh masing-masing kegiatan bisnis. Analisis dan pemilihan strategik setiap korporasi

berbeda-beda menurut kompleksitas ketertiban bisnis dari keseluruhan perusahaan. Bagi perusahaan

yang berada dalam satu lini bisnis, strateginya berkaitan dengan keputusan apakah akan berkonsentrasi

hanya pada lini bisnis tersebut atau melibatkan diri dalam lini bisnis yang lain, baik yang terkait ataupun

yang tidak terkait. Bagi perusahaan yang sudah terlibat dalam beberapa lini bisnis, strateginya berkaitan

dengan keputusan apakah akan menambah atau mengurangi keterlibatan dalam suatu lini bisnis dan

apakah akan melibatkan diri dalam lini bisnis lain baik yang terkait ataupun tidak. Salah satu cara untuk

menentukan analisis dan pemilihan strategi adalah melihat pada evolusi strategi dimana yang lazim

perusahaan perusahaan kebanyakan mulai dari satu lini bisnis. Strategi ini menawarkan keuntungan

yang menarik, memperkuat kesatuan tujuan di seluruh perusahaan. Strategi ini biasanya dipimpin oleh

manajer puncak yang telah merangkak dari bawah dan sangat mengetahui apa yang membuat

perusahaan berhasil. Strategi ini membuat perusahaan-perusahaan peka terhadap perubahan-perubahan

kebutuhan pelanggan dan kondisi industri lain. Oleh karenanya perusahaan berpeluang membangun

keunggulan bersaing yang tangguh. 

g. Sumber Daya Perusahaan

Amirullah dan Cantika (2002) dalam Welsa (2009: 41) mendefinisikan sumber daya perusahaan adalah

merupakan input proses produksi perusahaan seperti halya barang modal, kemampuan pekerja, paten,

keuangan, pemasaran, produksi, serta manajer yang berbakat. Sumber daya dapat dikelompokkan

menjadi dua macam. Pertama, sumberdaya yang berwujud (tangible) yang merupakan aktiva perusahaan

yang dapat dilihat, disentuh dan dihitung. Kedua, sumber daya yang tidak berwujud (intangible) yang

meliputi hak properti intelektual seperti paten, merk dagang, hak cipta hingga sumberdaya manusia

dalam kaitannya sebagai bagian dari masyarakat dan subyektif seperti jaringan kerja, budaya organisasi,

dan reputasi perusahaan. 

Dalam kerangka kajian manajemen sumber daya manusia (SDM) disamping kualitas inti, fleksibilitas dan

integritas strategis perlu dikaji secara seksama tentang komitmen yang tinggi dalam rangka sukses

organisasi. Sejalan dengan itu beberapa organisasi yang sukses secara menakjubkan di dunia modern

telah mengakui bahwa motivasi dan komitmen pekerja merupakan senjata yang paling kompetitif dan

ampuh.

h. Kemampuan Perusahaan

Amirullah dan Cantika (2002) dalam Welsa (2009:42) mengatakan bahwa kemampuan perusahaan

adalah kapasitas perusahaan dalam menggunakan sumber daya yang terintegrasi untuk mencapai apa

yang diharapkan. Sejumlah pengetahuan manusia dan modal merupakan salah satu kemampuan

perusahaan yang paling signifikan dan merupakan akar dari segala keunggulan bersaing. Pengetahuan

Page 87: Disertasi Confusius

manusia dipandang sebagai penjumlahan segala sesuatu yang diketahui setiap orang dalam perusahaan

yang memberikan perusahaan tersebut memiliki kemampuan bersaing dalam pasar.