22
101 DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN BERBEDA AGAMA (THE DYNAMICS OF MARITAL ADJUSTMENT IN THE INTERFAITH MARRIAGE) Bonar Hutapea * ) ABSTRACT Many people fall in love with someone of a different religion and enter into an interfaith marriage. It is considered increasing in Indonesia, particularly in the urban life. Religion has been shown to play a significant role in marital stability. However, the differences in religious customs and beliefs may cause misunderstandings or strain in the marital relationship. Utilizing the qualitative approach and case study method, through in-depth exploratory interviews and observations, this research documents the marital adjustment of interfaith couple who have been marrying for twenty years. Result of pattern-matching analysis of data revealed that each participant has similar expectation that none of their children will enter into a marriage as they did, based on its harmful impacts for them, not only as a person or a couple but also as parents. The influence of one’s relatives and big families have been regarded as social negative influence, but at the same time also served as supporting factor for the dynamics of dyadic adjustment between husband and wife, relations between parents and children, and among children. The key factor for their long term marriage is individuals’ commitment based on sociological motives to preserve it despite they are not happily ever after. Keywords: marital adjustment; interfaith marriage; dynamics ABSTRAK Banyak orang yang jatuh cinta dengan orang yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan mereka dan kemudian melakukan pernikahan antar agama. Fenomena ini semakin banyak terjadi di Indonesia, terutama pada masyarakat perkotaan. Agama sering dianggap memiliki peran yang penting dalam stabilitas rumah tangga. Akan tetapi, perbedaan dalam kebiasaan dan kepercayaan dalam beragama dapat menyebabkan kesalahpahaman atau perselisihan dalam hubungan pernikahan. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus, dan dengan melakukan wawancara eksplanatori menyeluruh dan pengamatan, penelitian ini mencoba mencaritahu penyesuaian yang dilakukan pasangan berbeda agama yang telah menikah selama duapuluh tahun dalam pernikahan mereka. Hasil yang didapatkan dari analisis data penyesuaian pola mengungkapkan bahwa setiap partisipan * Dosen Tetap Bidang Psikologi Industri dan Sosial pada Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI, Jakarta; Mahasiswa Magister Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

101

DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRIDALAM PERKAWINAN BERBEDA AGAMA

(THE DYNAMICS OF MARITAL ADJUSTMENT INTHE INTERFAITH MARRIAGE)

Bonar Hutapea*)

ABSTRACT

Many people fall in love with someone of a different religion and enter into an interfaithmarriage. It is considered increasing in Indonesia, particularly in the urban life. Religion hasbeen shown to play a significant role in marital stability. However, the differences in religiouscustoms and beliefs may cause misunderstandings or strain in the marital relationship. Utilizingthe qualitative approach and case study method, through in-depth exploratory interviews andobservations, this research documents the marital adjustment of interfaith couple who havebeen marrying for twenty years. Result of pattern-matching analysis of data revealed that eachparticipant has similar expectation that none of their children will enter into a marriage as theydid, based on its harmful impacts for them, not only as a person or a couple but also asparents. The influence of one’s relatives and big families have been regarded as social negativeinfluence, but at the same time also served as supporting factor for the dynamics of dyadicadjustment between husband and wife, relations between parents and children, and amongchildren. The key factor for their long term marriage is individuals’ commitment based onsociological motives to preserve it despite they are not happily ever after.

Keywords: marital adjustment; interfaith marriage; dynamics

ABSTRAK

Banyak orang yang jatuh cinta dengan orang yang memiliki keyakinan yang berbedadengan mereka dan kemudian melakukan pernikahan antar agama. Fenomena ini semakinbanyak terjadi di Indonesia, terutama pada masyarakat perkotaan. Agama sering dianggapmemiliki peran yang penting dalam stabilitas rumah tangga. Akan tetapi, perbedaan dalamkebiasaan dan kepercayaan dalam beragama dapat menyebabkan kesalahpahaman atauperselisihan dalam hubungan pernikahan. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif danmetode studi kasus, dan dengan melakukan wawancara eksplanatori menyeluruh danpengamatan, penelitian ini mencoba mencaritahu penyesuaian yang dilakukan pasanganberbeda agama yang telah menikah selama duapuluh tahun dalam pernikahan mereka. Hasilyang didapatkan dari analisis data penyesuaian pola mengungkapkan bahwa setiap partisipan

* Dosen Tetap Bidang Psikologi Industri dan Sosial pada Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI, Jakarta;Mahasiswa Magister Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Page 2: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

102

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 16 No. 01, Tahun 2011

I. PENDAHULUANFilm “3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta”

mendapatkan 7 Piala Citra sekaligus ditetapkansebagai film terbaik pada Festival FilmIndonesia tahun 2010. Film ini menceritakankisah cinta pemuda Muslim dengan seorangpemudi Katolik dengan segala dinamikapsikologis sosialnya. Terpilihnya film ini, di luaraspek filmis dan seni, seperti mau menunjukkanbahwa secara sosiologis perkawinan berbedaagama memang merupakan persoalan seriusdi negeri ini dengan permasalahan yang tidaksedikit yang sudah dimulai bahkan sejakberpacaran. Di akhir film ini digambarkan keduamuda mudi sepakat mengakhiri relasi berpacaranmereka setelah mempertimbangkan berbagaikemungkinan konsekuensi negatif yang timbuljika mereka tetap melangkah ke jenjangperkawinan dengan perbedaan keyakinan(different religious belief).

Dalam masyarakat majemuk sepertiIndonesia ini, dalam kondisi pergaulan yangheterogen dan interaksi yang semakin eratantar individu, sulit untuk menghindariperkawinan campur atau perkawinan berbedaagama, di mana dua individu yang terlibatdalam perkawinan tersebut menganut agamayang berbeda satu sama lain. Perkawinanberbeda agama menjadi kasus tersendiri, yangdinilai cukup pelik karena masih mengandungpro dan kontra dari berbagai pihak, terutamadari pihak-pihak yang menilai bahwa

perkawinan ini tidak sesuai dengan ajaranagama. Bahkan prosedur pelaksanaannyapunmasih belum jelas karena tidak ada lembagayang menanganinya secara khusus.

Perkawinan berbeda agama semakinsering dibahas dan semakin mendapatkanmomentum dan relevansinya disebabkan olehmaraknya perkawinan berbeda agama dandiskusi publik tentang masalah tersebut(Ikhwan, 2006) ditambah lagi dengan adanyapelarangan oleh otoritas tertentu misalnyaMajelis Ulama Indonesia beberapa waktulalu. Perdebatan semakin hangat sebabbeberapa tahun belakangan ter jadikebangkitan agama-agama di Indonesia yangtak jarang mengarahkan pemeluknya menjadisemakin konservatif dan t idak toleranterhadap agama lain.

Pengukuhan lembaga perkawinan secarasosial di Indonesia diwujudkan dengan adanyaUndang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974.Pasal 1 Undang-Undang (UU) tersebutmemang menyatakan perkawinan berdasarkanKetuhanan Yang Maha Esa yang dapatditafsirkan bahwa sejauh berdasarkanketuhanan maka perkawinan mana saja danagama saja diakui. Namun, bila kita membacaisi dari pasal 2 ayat 1, kita dapat mengetahuibahwa di Indonesia berlaku hukum perkawinanyang berdasarkan hukum agama, yaitu bahwa

memiliki harapan yang sama agar anak mereka tidak melakukan pernikahan beda agamaseperti yang mereka lakukan, karena melihat dampak yang ditimbulkan kepada mereka sendiri,bukan hanya sebagai individu atau pasangan namun juga sebagai orangtua. Pengaruhkeluarga besar dan saudara mereka dianggap sebagai pengaruh sosial yang negative, namunpada saat yang bersamaan juga berfungsi sebagai faktor pendukung dalam dinamikapenyesuaian yang dilakukan oleh suami istri, hubungan antara anak-anak dan orangtuamereka, serta antara anak-anak sendiri. Faktor kunci dalam pernikahan langgeng merekaadalah komitmen individual yang didasari oleh manifesto sosiologi untuk mempertahankanpernikahan mereka meskipun sebenarnya mereka tidak bahagia.Kata-kata kunci: penyesuaian dalam pernikahan; pernikahan beda agama; dinamika

Page 3: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

103

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukanmenurut hukum masing-masing agamanya dankepercayaannya itu.”

Agama dalam UU ini memegang perananpenting dalam kesahan atau resminya suatuperkawinan. Dalam penjelasan pasal 2 ayat 1tersebut disebutkan tidak ada perkawinan di luarhukum masing-masing agama dankepercayaannya, jadi bagi seorang Islam tidakada kemungkinan untuk kawin denganmelanggar hukum agama Islam, demikian jugabagi mereka yang beragama Kristen, Hindu danBuddha tidak ada kemungkinan kawin denganmelanggar hukum masing-masing agamanya.

Disyaratkannya agama sebagai penenturesminya suatu perkawinan sudah tentumenimbulkan masalah dalam pelaksanaannya,yaitu apabila pasangan mempelai ini terdiri daripasangan yang berbeda agama, karena Undang-Undang nasional tidak mengatur tentangkemungkinan ini. Ketiadaan pengaturan hukumantar agama ini masih menjadi pertanyaansampai sekarang, apakah memang maksud UUini tidak menghendaki tentang terjadinyaperkawinan antar agama, antara pasangan suamiisteri itu. Dengan kata lain, UU ini menghendakiterjadinya kesatuan hukum dalam keluarga.

Disebabkan ketidakjelasan prosedurpenanganan, ketiadaan lembaga yangmenangani, serta kekosongan aturan hukum,permasalahan menjadi semakin pelik sekaligussemakin terabaikan. Apabila diserahkan kepadapasangan ini untuk menyelesaikan sendirimasalah perbedaan agama ini, satu hal yangdikhawatirkan terjadi adalah adanya suatuekses, yaitu salah satu pihak akan pura-purameleburkan diri kepada agama pihak lainnya,hanya untuk dapat melangsungkan perkawinansaja, dan ini akan lebih rawan dibandingkandengan kawin antar agama sendiri.

Beberapa pasangan yang saling mencintainamun dengan agama berbeda memilih danmemutuskan menikah di luar negeri, sepertidilansir majalah Gatra edisi Oktober 2005.

sementara banyak pasangan berbeda agamalainnya yang harus melakukan perjuanganpanjang untuk dapat menikah di Indonesia,sebagaimana pernah diulas dalam sebuah artikeldi harian Kompas, Senin 27 September 2004tentang kisah percintaan Taty Apriliyana danBimo Nugroho yang terbilang unik. Merekabertemu di Yogyakarta, waktu keduanya masihkuliah di kota itu. Sejak pertemuan pertama,Bimo yang lahir dari keluarga Katolik itu sudahjatuh hati kepada Taty yang bersuara emas danberjilbab. Keduanya akhirnya menikah di Gerejadan di depan seorang kiai, tanpa harus pindahagama. Orangtua Taty baru tahu perkawinananaknya setelah anak pertama pasangan itu,lahir. Rasa cinta yang mendalam yang adadalam diri seseorang berada di luar jangkauannilai-nilai budaya, juga logika sehingga dapatmembuat seseorang berani melakukan sesuatuatau menanggung resiko sebesar apapun demiuntuk dapat bersama orang yang dicintainya.Dalam kondisi seperti inilah penyesuaianperkawinan menjadi pertaruhan.

Penyesuaian perkawinan sangat pentingdilakukan dan diupayakan demi mencapaikebahagiaan, sebagaimana maksuddijalankannya suatu perkawinan. Penyesuaianperkawinan juga dimaksudkan untukmendapatkan kedamaian. Sebab tanpapenyesuaian terhadap perubahan-perubahandan perbedaan-perbedaan yang ada akansangat sulit dicapai kebahagiaan dan sulit pulamempertahankan kelangsungan lembagaperkawinan dalam jangka waktu panjang. Selainitu, penyesuaian perkawinan merupakanfondasi dimungkinkannya menjalankan fungsi-fungsi sosial perkawinan, terutama fungsipengasuhan anak dan mendidik generasi.Kegagalan penyesuaian perkawinan dapatberujung pada perceraian. Perceraian, padagilirannya, cenderung menyebabkanpenderitaan bagi anak-anak yang menjadikorbannya. Dengan demikian, perkawinangagal memenuhi tujuannya.

Dinamika Penyesuaian Suami-istri Dalam Perkawinan Berbeda Agama (Bonar Hutapea)

Page 4: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

104

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 16 No. 01, Tahun 2011

Terlepas dari kontroversi dan beratnyatantangan yang dihadapi pasangan yangberbeda agama dalam suatu perkawinan, satuhal yang pasti dan tak dapat dipungkiri adalahbahwa pasangan yang menikah dengan kondisiberbeda agama tetap saja marak. Makamenjadi menarik untuk mengetahui bagaimanapenyesuaian perkawinan terjadi dan merekaupayakan dalam upaya menjaga kelanggenganperkawinan di saat pasangan yang serupalainnya justru mengakhiri perkawinan mereka.Pada perkawinan berbeda agama yang telahberlangsung lebih dari 20 tahun merupakansesuatu yang menarik untuk diungkap sehinggamemberikan gambaran yang sedapat mungkinterperinci, utuh, mendalam, dan komprehensiftentang dinamika yang ada.

Dalam penelitian ini, permasalahan yangdikaji dirumuskan sebagai berikut: Apakah motifpasangan menikah dengan perbedaan agamayang dianut? Bagaimana gambaran dinamikapenyesuaian dari perkawinan berbeda agamaini?, dan bagaimana upaya pasangan berbedaagama tersebut dalam melakukan penyesuaiansehingga mampu bertahan selama lebih dari 20tahun?

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaatsebagai referensi bagi penelitian lebih lanjut danpenelitian yang relevan, mengingat kajiantentang perkawinan berbeda agama masihmerupakan sesuatu yang urgen dan aktual saatini, khususnya di Indonesia. Selain itu,diharapkan sebagai bahan masukan bagi calonpasangan yang berbeda agama dalammengatasi masalah penyesuaian perkawinan,sebagai bahan refleksi dan perbandinganpengalaman sendiri bagi suami-isteri dalamperkawinan berbeda agama sehinggadiharapkan dapat diupayakan penyesuaian yangjauh lebih baik. Selain itu, penelitian ini jugadiharapkan berguna sebagai bahan masukanbagi konselor perkawinan dalam memberikanbantuan konseling khususnya pada parapasangan atau calon pasangan suami isteri yangberbeda agama.

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian PerkawinanPerkawinan merupakan salah satu

kejadian paling penting yang akan dihadapi olehmanusia dalam perjalanan kehidupannya yangsifatnya paling intim dan cenderungdipertahankan, sebagaimana yang diungkapkanoleh Hirning dan Hirning (dalam Yustina, 2000)bahwa perkawinan adalah penggabunganantara seorang laki-laki dengan seorang wanitauntuk tujuan mencapai kebahagiaan bersama-sama.

Perkawinan memiliki makna yang tinggibaik secara agama maupun kultural, terutamapada masyarakat Indonesia yang sampai saatini masih menjujung tinggi nilai-nilai luhurkebudayaan dan adat istiadat ketimuran, yangberkaitan erat dengan sistem nilai-nilai budayadan sistem nilai-nilai agama, dimanaperkawinan bukanlah semata-mata legitimasidari kehidupan bersama antara pria dan wanitasaja, tetapi perkawinan merupakan ikatan lahirdan bathin dalam membina kehidupan keluargayang bahagia berlandaskan iman dan agama.

Menurut Undang-Undang (UU)Perkawinan No.01 tahun 1974, perkawinanialah ikatan lahir batin antara seorang priadengan seorang wanita sebagai suami isteridengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia yang kekal berdasarkanKetuhanan Yang Maha Esa. Dari UU ini dapatdilihat bahwa selain merupakan ikatan antarasuami dan isteri, yang bertujuan membentukkeluarga yang kekal dan bahagia, perkawinanakan membentuk masyarakat dengan unitkeluarga yang stabil, yang dapat mengabadikannorma-norma sosial karena melalui keluargakepada anak-anak akan diwariskan aturan-aturan dan harapan-harapan orangtua sertamasyarakat.

Sangat tepat yang dikatakan olehBrowning (2003) bahwa perkwinan merupakanrealitas multidimensi yang terdiri dari elemen

Page 5: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

105

alamiah, kontraktual, sosial, relijius, dankomunikatif. Meskipun, terdapat perbedaam danperubahan seiring dengan perubahan zaman,pandangan yang menyeluruh tentang perkawinanpada masa kini pastilah mencakup semua dimensitersebut. Dalam perkawinan terdapat segiafeksional, legal, finansial, prokreasi, kultural, danreligious. Perkawinan mengandung segi-segipsikologis berupa ikatan perasaan yang kuatsedemikian rupa antara suami dan isteri. Namunjuga kontraktual sebab merupakan kesepakatanuntuk hidup bersama berisikan peran, hak dankewajiban suami terhadap isteri dan juga isteriterhadap suami. Tak lupa masalah keturunansebagai buah kasih keduanya yang mewarnaikebahagian perkawinan juga penerus keturunanselain masalah keuangan yang sangat dibutuhkandemi kelangsungan lembaga tersebut. Secarakhusus elemen religius menjadi segi yangseringkali amat rumit bagi pasangan yangberbeda agama. Karenanya, tak berlebihan jikadikatakan bahwa sebagai realitas berdimensiganda juga kompeks atau rumit sehinggamembutuhkan upaya tersendiri agar terjagakelangsungannya.

2. Pengertian Penyesuaian PerkawinanPara ahli psikologi telah merumuskan

definisi mengenai penyesuaian diri walaupunterdapat perbedaan-perbedaan itu hanya dalamformulasinya. Sebagian menganggap bahwapenyesuaian diri sebagai suatu hasil dan seakan-akan telah selesai, walaupun penyesuain diritidak pernah selesai. Setelah menyelesaikansuatu hal, akan timbul persoalan baru yangmemerlukan penyesuaian diri lagi.

Penyesuaian diri sebagai suatu prosesmaksudnya adalah penyesuaian diri selalu dalamsuatu proses, yang tidak pernah selesai danberhenti. Andaikata untuk suatu peristiwa padasaat itu seseorang telah dapat menyesuaikandiri, mungkin dalam hal lain orang tersebut belumdapat menyesuaikan diri secara baik. Jadipenyesuaian diri merupakan kegiatan yang tidakpernah berhenti.

Namun demikian para ahli sepakatmengartikan penyesuaian diri sebagai suatuproses untuk menyelaraskan antara individudengan lingkungan sehingga mencapai suatukebahagiaan hidup. Sejalan dengan pendapattersebut, Newton dan Jhonson (dalam Finanto,2002) menyatakan bahwa penyesuaian dirimencakup dua aspek yaitu aspek pribadi danaspek sosial. Aspek pribadi berarti kepuasanindividu terhadap fungsinya sendiri sertaterhindar dari tekanan-tekanan yang tidaksemestinya, sedangkan aspek sosial menunjukpada sejauh mana orang lain puas denganprilaku individu dalam berbagai hal. Selanjutnyadikatakan bahwa penyesuaian diri adalahkeselarasan antara dua hal, yaitu tuntutan diriyang mencakup kebutuhan-kebutuhan,ketegangan-ketegangan, frustasi dan konflik-konflik dengan lingkungan hidupnya”.

Perkawinan merupakan suatu hubunganpria dan wanita yang berbeda dengan hubunganlainnya, seperti pacaran atau hidup bersama.Perkawinan menyatukan dua individu untukmenjalani hidup bersama, membangun keluargaserta menjadi anggota masyarakat sebagaipasangan suami isteri. Pasangan pengantin baruadalah dua orang individu yang tumbuh dandibesarkan dalam pola-pola keluarga yangberbeda. Penyatuan dua individu yang berbedatentunya mengharapkan adanya penyesuaiandan toleransi yang besar terhadap perbedaantersebut. Gambaran kesatuan antara keduaorangtua akan memberikan perasaan aman danterlindung pada anak. Anak dalamperkembangan menuju kemanusia dewasayang harmonis, memerlukan suasana aman.Perasaan aman dan perasaan bahwa dirinyatertampung merupakan suatu kebutuhan dasarbagi setiap individu. Kebutuhan dasar harus puladipenuhi supaya orang dapat hidup dengantenang. Kebutuhan dasar hanya dipenuhi danperasaan aman diperoleh dalam suasanakeluarga sejahtera. Sedangkan keluargasejahtera dan serasi itu hanya mungkin tercapaibila ayah dan ibu merupakan suatu kesatuan

Dinamika Penyesuaian Suami-istri Dalam Perkawinan Berbeda Agama (Bonar Hutapea)

Page 6: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

106

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 16 No. 01, Tahun 2011

yang serasi, (Gunarsa, 1982:23) di manakesatuan ayah-ibu demikian pentingnya sebagaialas yang kuat dalam keluarga, sehinggabilamana kesatuan ini kurang kuat, dapatmenyebabkan kegoncangan dalam keluargadengan segala akibatnya, baik secara khususdalam keluarga itu sendiri maupun dalammasyarakat.

Penyesuaian dengan teman hidup mungkinlebih mudah seiring dengan waktu, tetapipenyesuaian perkawinan melibatkan lebih darihanya sekedar teman hidup. Penyesuaianperkawinan mengacu pada bagaimanamengatasi konflik dan bertahan hidup lebihlama dengan pasangannya. Kemauan baik dantoleransi dapat menjamin tercapainya cita-citasetiap pasangan suami isteri. Akan tetapi dalamhal ini perlu diingat bahwa perbedaan-perbedaan yang lebih banyak antar suami isteriharus disertai dengan toleransi yang lebih besarpula. Makin besar perbedaan latar belakangdan azas-azas hidup, makin besar pula “porsi”toleransi diperlukan unutuk mengatasi jurangperbedaan antara kedua pribadi ini.

Sepasang suami isteri harusmemperhatikan kesatuan yang harmonis.Artinya kesatuan bersikap terhadap anak.Kesatuan dalam hal sikap dan pandangan sangatpenting bagi perkembangan anak. Perbedaanpandangan dan sikap, khususnya pada saatpermulaan perkembangan anak akan kurangmenguntungkan bagi perkembangankarakterologis anak. Perbedaan pandangan danpendapat menyebabkan anak terombang-ambing dan kehilangan arah. Kesatuan dalamhal pandangan dan pendapat dapat tercapaimelalui kesatuan dan keserasian dalam pikiran,(Gunarsa 1982:28).

3. Perkawinan Berbeda AgamaSebelum membahas mengenai perkawinan

berbeda agama, sekilas perlu disinggungtentang konsep agama, yang merupakanpermasalahan sentral dalam perkawinan yangmenjadi fokus penelitian ini.

Menurut Kirkland (2010), agama bukanlahsekedar kesepakatan intelektual bagi proposisitertentu tentang hakikat kehidupan, melainkanmenyangkut apa yang dilakukan seseorangdalam hidupnya. Agama dianggap sebagaikeyakinan yang mengejawantah (embodiedbelief) yang bermula dari kecenderunganmanusia untuk mengupayakan maksimalisasimakna dan nilai pengalaman hidup danmenghubungkan pengalaman hidup tersebutdengan realitas yang lebih tinggi atau lebih dalamdengan “suatu tatanan yang tak tampak” yangmelampaui eksistensi manusia biasa.Kebersekutuan (alignment) tersebutmembantu mengintegrasikan beragam aspekhidup manusia (baik individual maupun kolektif),dan memberi suatu makna (sense of purpose)juga arah kepada hidup. Agama jugamembangun dan memelihara suatu hubunganyang harmonis dengan realitas yang lebih tinggi/lebih dalam sembari menjalani hidup sehari-hari.Agama yang berisikan mitos-mitos, simbol-simbol, dan perenungan intelektual ituberkembang dari pengalaman akan realitas tadiyang berbasiskan tradisi-tradisi keagamaan.

Dari penjelasan Kirkland ini dapat dipahamibahwa agama menjadi bagian yang amatpenting dalam kehidupan seseorang yang secaramendasar memberinya makna dan arah hidupserta memungkinkannya mengintegrasikansegala aspek hidupnya. Peran sentral agamainilah yang menyebabkan beragama perbedaanpada orang-orang yang menghayatikeberagamaan tersebut, tidak terkecualipasangan suami-isteri yang berbeda agama.Perbedaan agama akan berakibat padaperbedaan sejumlah hal sesuai dengan derajatpenghayatan terhadap agama tersebut.Perbedaan dalam tujuan, arah dan makna hidup,perbedaan dalam tradisi keagamaan, afilisasireligius, dan aktivitas keagamaan adalahbeberapa di antaranya.

Menurut Marks dan Dollahite (dalamMarks, 2005) bahwa agama terdiri dari palingtidak tiga dimensi: komunitas iman (partisipasi

Page 7: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

107

aktif dan keterlibatan dalam rumah ibadah),praktek-praktek (berdoa, ritual, memperdalamkitab suci dll.), dan keyakinan spiritual.Ketiganya amat penting diperhatikan jika inginmendapatkan gambaran yang kaya danbermakna tentang bagaimana keluarga-keluarga (dalam hal ini perkawinan) dipengaruhioleh agama dan menghayati makna dari agama.

Beberapa temuan terkait dengan maknaagama dalam perkawinan relevan dalammemahami perbedaan agama dalamperkawinan dan dampaknya. Di antaranyaketerkaitan religiusitas, khususnya afiliasi danaktivitas keagamaan, dengan kepuasan,kehadiran pada agama yang sama (padapasangan) merupakan korelat dari kualitas danstabilitas perkawinan, korelasi perkawinandengan agama yang sama dengan kepuasanperkawinan, tiga kajian kualitatif tentangperkawinan yang bertahan lama (long-termmarriages) menunjukkan bahwa kesamaandalam orientasi religius, keimanan, dankeyakinan religius merupakan faktor kuncidalam perkawinan yang bertahan antara 25-50 tahun. (Marks, 2005)

Perkawinan antar agama sering disebutsebagai perkawinan campur yang terdiri daripasangan suami isteri yang berbeda agama(Duvall dan Miller, dalam Widjanarko, 2000)bahwa menurunnya prinsip seagama (dalamsatu keluarga) disebabkan oleh semakinbesarnya rasa toleransi dan tenggang rasa diantara para pemeluk agama yang berbeda-beda. Unsur lainnya mungkin meningkat, sepertipergeseran dan penyebaran penduduk secarageografis, yang menyebabkan merekabergabung dengan pemeluk agama minoritas,sehingga tercipta kelompok-kelompokmasyarakat yang lebih beragam.

Namun, di sisi lain terdapat pulakecenderungan untuk melarang pernikahanberbeda agama dan mendorong perkawinandengan agama yang sama. Salah satunya dapatdilihat dari aspek yuridis yang berlaku.

Mengenai perkawinan antar agama,Mahkamah Agung mengakui bahwa adanyaperkawinan antar agama ini tidak dapatdihindari (Hasan, 1988) maka MahkamahAgung memberi dua kemungkinan sebagaiberikut :

a. Sesuai dengan jiwa dari Undang-UndangNo.1 1974 (Undang-Undang Perkawinanyang baru menganut prinsip keseimbanganantara suami isteri maka seharusnya keduapihak bermusyawarah untuk menentukanhukum agama mana yang akan dipakai).Jadi menurut Mahkamah Agung para pihakharus berunding terlebih dahulu hendakmemilih hukum yang mana, dan jika merekatidak mau mengalah maka hal ini akanberarti kedua-duanya tidak akan bisamelangsungkan perkawinan.

b. Apabila tidak tercapai musyawarah dapatdipergunakan ketentuan dalam PeraturanPerkawinan Campuran (berdasarkan pasal6 GHR) dipergunakan hukum pihak suami.

Agama merupakan salah satu unsur aspekpsikososial yang sangat penting dalam suatuperkawinan, dimana faktor persamaan agamasangat berpengaruh pada stabilitas rumahtangga. Perbedaan agama dalam suatukeluarga dapat menimbulkan dampak yangmerugikan yang pada gilirannya dapatmengakibatkan disfungsi perkawinan.Perbedaan agama antara ayah dan ibu akanmembingungkan anak dalam hal memilihagamanya kelak, bahkan bisa terjadi anak tidakmengikuti agama dari salah satu orangtuanya.Hal tersebut belum lagi ditambah penerimaanmasyarakat atau pengakuan lingkungan tentangperkawinan beda agama yang masih sangat prodan kontra yang tentunya akan menimbulkandampak psikologis tersendiri bagiperkembangan jiwa anak.

Adapun hal-hal yang harus di atasi olehpasangan suami isteri yang berbeda agama,dengan kata lain, hal-hal yang menuntutpenyesuaian dalam perkawinan sehingga dapat

Dinamika Penyesuaian Suami-istri Dalam Perkawinan Berbeda Agama (Bonar Hutapea)

Page 8: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

108

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 16 No. 01, Tahun 2011

bertahan menjalankan kehidupan perkawinanyang bertahan lama hingga lebih dari 20 tahunantara lain menurut Hurlock (2000), Landis danLandis serta Bosar t dan Boll (dalamWidjanarko, 2000) sebagai berikut:1)penyesuaian dengan pasangan; 2)penyesuaianseksual; 3)penyesuaian keuangan; 4)pengasuhananak; 5)penyesuaian dengan keluarga pasangan;6)kehidupan beragama (pelaksanaan ibadah)

Beberapa penjelasan di atas menjadialasan yang mendorong perlunya pemahamanyang lebih mendalam tentang perkawinanberbeda agama. Terutama menghindarikemungkinan salah satu pihak akan pura-purameleburkan diri ke pihak lainnya hanya untukdapat melangsungkan perkawinan saja, dan iniakan lebih rawan dibandingkan dengan kawinantar agama sendiri, walaupun padakenyataannya ada pula pasangan suami isteriyang berbeda agama yang telah dapat melewatimasa penyesuaian perkawinan mereka lebihdari 20 tahun. Menarik untuk mengetahuibagaimana penyesuaian itu berlangsung dengansegala dinamikanya.

III. METODESeperti telah diuraikan sebelumnya bahwa

penelitian ini bertujuan untuk menguraikandinamika penyesuaian perkawinan yangmenyeluruh dan mendalam pada pasangansuami isteri yang menikah berbeda agama.Dalam upaya untuk mendekati dan mencarijawaban dari masalah tersebut maka digunakanpendekatan kualitatif sebab penelitian kualitatifberusaha memahami gejala tingkah-lakumanusia menurut penghayatan individu,sebagaimana individu tersebut mengalaminyamelalui panca inderanya (Patton, 1990, dalamPoerwandari, 2008). Pendekatan kualitatifdinilai lebih tepat untuk digunakan dalampenelitian ini mengingat bahwa penyesuaianperkawinan merupakan suatu proses yangberlangsung terus-menerus dan bukanmerupakan suatu keadaan yang statis. Selainitu setiap individu memiliki penghayatan sendiri

tentang penyesuaian perkawinannya.

Untuk mendapatkan gambaran yangmenyeluruh dan mendalam tentang penyesuaianperkawinan pasangan suami isteri yangberbeda agama maka akan digunakan studikasus. Dipilihnya studi kasus sebagai tipepenelitian kualitatif dalam penelitian ini adalahkarena studi kasus berupaya untuk mengetahuibeberapa masalah khusus atau situasi secaramendalam dan menjelaskan masalah denganpengayaan informasi (Alsa, 2003). Pengayaantersebut dapat dipelajari dari beberapa contohdalam kejadian sehari-hari. Denganpenggunaan studi kasus maka dapat diperolehgambaran yang mendalam, mendetail,menyeluruh dan dalam konteksnya dan dapatmelihat keunikan pengalaman individu (Yin,2005).

Pemilihan responden penelitian initergolong purposif dengan kriteria tertentusebagai berikut: 1).Pasangan suami isteri yangberbeda agama dengan usia perkawinan lebihdari 20 tahun; 2).Telah memiliki anak, denganmaksud agar dapat dilihat dinamikapenyesuaian yang berkaitan denganpengasuhan anak, di mana ayah, ibu dan anakmerupakan bagian inti dalam keluarga;3).Pasangan suami istri berada dalam naunganperkawinan pertama untuk dapat mengetahuikeseluruhan perjalanan perkawinan pasangansuami isteri dan dinamika penyesuaiannyasecara menyeluruh hingga mampu bertahanselama 20 tahun.

Pengumpulan data dalam studi kasus inidiperoleh melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dan observasi. Dalamwawancara mendalam pertanyaan yangdiajukan adalah pertanyaan yang dapatmemberikan alternatif jawaban (open-endedquestion) dan dilanjutkan dengan pertanyaantambahan yang relevan (inquiry), sehinggadapat diperoleh pengertian yang holistik danmendalam terhadap masalah, ditinjau dari sudutpandang responden yang diwawancarai. Pada

Page 9: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

109

penelitian ini wawancara dilakukan denganmenggunakan pedoman wawancara, jadipewawancara tetap memiliki kebebasan untukmelakukan probing dan dapat menyesuaikanpertanyaan dengan menggunakan kata-katanyasendiri. Pedoman wawancara bertujuan untukmenjaga arah wawancara agar tetap sesuaidengan tujuan penelitian.

Observasi yang dilakukan oleh penelitimeliputi observasi partisipatif dan yang takpartisipatif (non-partisipan) yakni penelitisecara berkala (sabtu dan minggu) bersama-sama dengan responden dalam situasi alamiahtinggal bersama pasangan suami-isteri dananak-anaknya sehingga peneliti berkesempatanmengembangkan kepekaan (sensitivitas)terhadap permasalahan dan empati terhadapresponden. Namun, ada kalanya peneliti tetapberdiri sebagai orang luar, yang tidak aktifdalam kegiatan yang diobservasikan melainkanhanya mengamati, mencatat danmenyimpulkannya. Hal ini ditetapkan untukmenghindari terjadinya perubahan kondisi daninteraksi dalam keluarga disebabkan kehadiranpeneliti secara partisipatif. Dengan demikian,peneliti sedapat mungkin memenuhikarakteristik penelitian kualitatif berupanetralitas empatik. Dalam observasi ini penelitimembuat panduan observasi untukmempermudah dalam melakukan observasi.Selain itu observasi bertujuan untukmemperkaya data-data yang di dapat dari hasilwawancara, di mana observasi adalahpengamatan dan pencatatan secara sistematikterhadap gejala yang tampak dalam penelitian.Selain itu, peneliti juga mengikutkan datasekunder lainnya (Moleong, 2004) berupa fotopasangan suami isteri, surat nikah ketigapasangan serta kartu keluarga masing-masingpasangan

Data yang diperoleh dari penelitian denganmengikuti tahapan analisis data berupaperjodohan pola (pattern-matching) menurutYin (2005). Untuk menjaga kredibilitaspenelitian, peneliti memilih konsep validasi

komunikatif yakni dikonfirmasikannya kembalidata dan hasil analisis kepada responden danjuga konsep validasi ekologis yang menunjukpada sejauh mana studi dilakukan pada kondisialamiah dari partisipasi yang diteliti, sehinggajustru kondisi “apa adanya” dalam kehidupansehari-hari menjadi konteks penting penelitian.

IV. HASIL DAN PEMBAHASANPenelitian tahap awal dilakukan pada bulan

Maret-Agustus 2010, kemudian dilanjutkanpada bulan September-Nopember 2010.Penelitian dilakukan melalui kunjungan kerumah subyek penelitian secaraberkesinambungan dan menginap di rumahsubyek penelitian pada akhir pekan (Sabtu danMinggu). Dalam kurun waktu inilah,dilaksanakan wawancara dan observasi secaraintensif, termasuk pendalaman (inquiry) dankonfirmasi sebagai bagian dari penegakankredibilitas penelitian.

1. Gambaran umum subyekpenelitian

Subyek penelitian terdiri dari 3 pasangsuami-isteri. Mereka tinggal pada lokasi yangberbeda, meskipun masih berada di daerah yangsama yakni Bekasi Timur. Dua pasang subyekpenelitian berada di Kelurahan Setiamekar dansatu pasang berada di Kelurahan Aren Jaya.Agar mendapatkan gambaran umum yangcukup jelas mengenai pasangan yang menjadisubyek penelitian, dapat dilihat pada tabel 1 diberikut ini.

Dinamika Penyesuaian Suami-istri Dalam Perkawinan Berbeda Agama (Bonar Hutapea)

Page 10: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

110

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 16 No. 01, Tahun 2011

Dari tabel 1 tersebut terlihat bahwa umursubyek di atas 45 tahun, dan menikah pada saatberumur 20 tahun-an. Usia dapat menunjukkankematangan dalam menjalani perbedaan-perbedaan yang timbul dalam perkawinan,khususnya agama.

Mayoritas subyek adalah karyawanswasta, sisanya adalah wiraswasta dan iburumah tangga. Dilihat dari segi sosial ekonomi,keluarga subyek tergolong sederhana, tidaktergolong miskin namun juga tidak tergolongkaya. Hal ini juga ditunjukkan oleh tingkatpendidikan yang cenderung rendah, sehinggasebagai karyawan swasta hampir tidak mungkinmenempati posisi dan jabatan tinggi yangberpotensi memberikan penghasilan lebihbanyak, kecuali bagi yang memiliki wiraswastayang memungkinkannya memperolehpenghasilan lebih besar.

Mayoritas subyek merupakan suku bangsaJawa dan berasal dari Jawa. Namun memiliki

pasangan yang berbeda, kecuali pasangan kedua.Artinya, terdapat kemungkinan pengaruhakulturasi dalam perkawinan sehinggaberdampak langsung ataupun tidak langsungdengan dinamika penyesuaian karena perbedaanagama. Sedangkan dalam kemampuanberbahasa, mayoritas subyek mampuberkomunikasi melalui medium bahasa yangsama meski berasal dari latar belakang etnis yangberbeda, artinya untuk penyesuaian perkawinandari segi kemampuan bahasa pengantar hampirtidak ada masalah yang berarti.

2. Faktor yang mendorongkesediaan (motivasi) menikah berbedaagama

Semua subyek dari 3 pasangan mengakumencintai pacarnya sehingga membuat merekaberupaya mengurangi perbedaan yang ada,khususnya agama. Alasan sangat mencintaipasangan mendominasi alasan kesediaanmenikah beda agama. Diawali dengan rasa

Tabel 1. Gambaran Umum Subyek Penelitian

No Identitas Pasangan 1 Pasangan 2 Pasangan 3

Suami Isteri Suami Isteri Suami Isteri 1 Inisial nama LH NT S BS AEH EB 2 Umur 57 56 49 48 52 55 3 Agama Buddha Islam Islam Katolik Katolik Islam

4 Pekerjaan Wiraswasta

Karyawan swasta

Karyawan swasta

Karyawan swasta

Karyawan swasta

Ibu rumah tangga

5 Pendidikan terakhir SMP SD SLTP SMP SMP SMP 6 Etnis Tionghoa Jawa Jawa Jawa Jawa Sunda 7 Asal daerah Pontianak Purbalingga Kutoarjo Yogyakarta Semarang Jakarta

8 Bahasa yang dikuasai

Indonesia; Jawa

Indonesia; Jawa

Indonesia; Jawa

Indonesia; Jawa

Indonesia; Jawa; sunda

Indonesia; Jawa; sunda

9 Menikah secara Agama Islam & Buddha Islam & Katolik Islam

10 Anak 3 orang: 25 tahun, 21 tahun, 14 tahun

2 orang: 23 tahun; 18 tahun

4 orang: 30 tahun; 29 tahun; 28 tahun; 27 tahun; 24 tahun

11 Agama Anak Islam Katolik 3 Katolik; 2 Islam

Page 11: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

111

cinta yang mendalam yang ada dalam danketulusan dan pengorbanan pasangan(khususnya calon suami) melakukan sesuatudan berani menanggung resiko sebesar apapundemi keinginan untuk hidup bersama orang yangdicintainya membuat para calon istrimenyatakan kesediaannya dinikahi pria yangamat mencintainya. Hal ini ditunjang olehkomitmen dari awal (masa pacaran) bahwasetelah menikah masing-masing akan menjalaniagamanya sehingga demi mewujudkanperkawinan seorang dari pasangan mengalahatau tidak keberatan dengan menikah menurutagama pacar.

“hal itu karena komitmen kami yang akantetap menjalankan agama kami masing-masing dan masalah anak-anak itu terserahmereka” (AEH)

Faktor lain yang juga cukup kuatmempengaruhi keputusan untuk menikah iniadalah komitmen bahwa anak-anak dibebaskanuntuk memilih agama masing-masingberdasarkan keputusan masing-masing meskidalam kenyataan mereka selaku orang tuamenganggap berkewajiban mengajarkan agamayang dianutnya kepada anak-anaknya ataubahkan sejak awal telah berjanji akan‘membagi anak’ sesuai urutan untuk diajariagama masing-masing. Misalnya anak denganurutan ganjil akan diarahkan mengikut agamasuami sedangkan anak dengan urutan genapakan diarahkan mengikuti agama ibu, atausebaliknya. Selain itu, pada beberapa subyekditemukan pula faktor pendorong berupa sikappositif (atau sekurang-kurangnya tidak bersikapnegatif) terhadap perkawinan berbeda agama,baik karena pengaruh pola asuh orang tua yangcenderung inklusif dan demokratis, karenapengalaman diasuh oleh orang tua denganperkawinan berbeda agama, ataupun pengaruhbuku dan bacaan lain yang berisikan nilai-nilaipluralism dan demokrasi. Misalnya, subyekmengatakan:

“saya tuh nggak pernah beda-bedain orangdari agamanya. Yang penting jangan saling

mengganggu saja. Semua agama baiktergantung yang ngejalaninnya” (S)

Salah satu faktor penting yang sebenarnyasangat kuat mempengaruhi keputusan dantindakan seseorang sejauh berdampak nyataterhadap kehidupan sosial adalah dukunganorang-orang terdekat atau dukungan sosial.Dalam kasus ini, hanya salah satu pasanganyang mendapatkannya sehingga merekamemutuskan dengan mantap menikah bedaagama. Meskipun dukungan tersebut bukanberasal dari orang tua kedua belah pihakmelainkan dari teman-teman dan saudara-saudara jauh.

“Saat itu pernikahan dilakukan di KUAsecara Islam dan setelah menikah secara Islamkami juga melangsungkan pernikahan diWihara dengan dihadiri oleh seluruh keluargasaya dan keluarga isteri saya kecuali ayahnyayang tidak menyukai saya karena saya etnisCina keturunan, tapi ayah angkat isteri saya,maksud saya pak’denya, di mana dulu iatinggal dan dibesarkan tidak berkeberatansama sekali” (LH)

3. Dinamika penyesuaian perkawinanberbeda agama

a. Penyesuaian secara umum ketigapasangan

Hasil penelitian menunjukkan bahwaproses penyesuaian antar pasangan padapasangan kedua dan ketiga banyak memilikipersamaan di mana dari komponen teoritikstudi kasus yang disajikan banyak yang sesuaidengan temuan studi kasus sekalipun pasangankedua dan ketiga berasal dari latar belakangkeluarga yang berbeda, namun dapat tetapmenjalani komunikasi yang baik antar pasangan,adanya ungkapan afeksi/kemesraan dan dapatsaling memberi dan menerima cinta antarpasanganpun menumbuhkan konsep peranpositif dan keteguhan dalam memegangkomitmen. Berbeda dengan pasangan pertamayang memiliki cukup banyak ketidaksesuaian

Dinamika Penyesuaian Suami-istri Dalam Perkawinan Berbeda Agama (Bonar Hutapea)

Page 12: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

112

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 16 No. 01, Tahun 2011

Keterangan:V: Terdapat kesesuaian antara komponen teoritik dengan temuan dari studi kasusX: Tidak ditemukan dalam studi kasus (tidak terdapat pada responden penelitian)

Tabel 2. Faktor yang mendorong kesediaan menikah berbeda agama

No Komponen Teoritik Studi Kasus Temuan Studi Kasus

Hal-hal Yang Mempengaruhi Penyesuaian Dengan Pasangan

Pasangan I Pasangan II Pasangan III Suami Isteri Suami Isteri Suami Isteri

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Terjalinnya komunikasi yang baik. Ungkapan Afeksi/kemesraan Saling memberi dan menerima cinta Kesamaan latar belakang keluarga Keserupaan nilai Konsep peran Memegang teguh komitmen

X X X X X V V

X X X X X X X

V V V X V V V

V V V X V V V

V V V X V V V

V V V X V V V

antara komponen teoritik studi kasus yangdisajikan dengan temuan studi kasus

Dari segi penyesuaian seksual ketigapasangan memiliki kesesuaian antara komponenteoritik dengan temuan studi kasus yaknimemiliki pola perilaku terhadap seks yang sama,pengalaman seks masa lalu yang juga tidak jauhberbeda, kecenderungan memiliki doronganseksual yang sama dan dapat menyepakatisikap terhadap penggunaan alat kontrasepsi/KBbersama. Hal ini menunjukkan bahwaperbedaan agama tampaknya tidak berdampakpada kesulitan terkait seksual.

Demikian pula dengan penyesuaiankeuangan. Pengaturan keuangan, keinginanuntuk memiliki harta benda dan bantuankeuangan pada keluarga pasangan masing-masing dilakukan bersama-sama dan atas dasarkesepakatan bersama sekalipun pada pasanganketiga sumber penghasilan yang ada hanyadidapat dari suami. Demikian pasanganpertama dan kedua, terlihat tidak adanyaperbedaan pemikiran tentang konsep keuangandalam keluarga antar pasangan sekalipun adapenggabungan dari dua pendapatan.

Dalam hal penyesuaian dengan keluargapasangan, ditemukan sedikit saja kesesuaian

antara komponen teoritik dengan temuan studikasus di mana pada semua pasangan. Hal inidapat dipahami bahwa sejak awal berkenalandan berpacaran masing-masing cukup mandiri,dan memutuskan menikah lebih kuat atas dasarpertimbangan pribadi meski mendapatkantantangan besar sebelumnya. Ditambah lagitidak ada anggota dari masing-masing pihakyang menjadi beban tanggungan para pasangan.Dengan demikian perbedaan agama memilikihubungan saling pengaruh secara langsungdengan keluarga pasangan.

Dalam hal pengasuhan anak khususnyaberkaitan dengan pendidikan agama anak, padadua pasangan cenderung menerapkan polademokratis sedangkan pasangan ketiga terlihatmemiliki sisi otoriter dengan telah menetapkanagama yang harus dianut oleh anak-anakmereka. Hal ini dapat dipahami berdasarkanpengalaman dan sikap tentang perkawinan bedaagama memang lebih positif pada dua pasangantersebut, dan pada gilirannya berdampak padapengasuhan anak yang diterapkan.

Secara khusus dalam pelaksanaan ibadahberkaitan dengan penyesuaian terhadappasangannya yang berbeda agama, sikapfanatik dan kurangnya menghormati hari raya

Page 13: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

113

Tabel 3. Temuan studi kasus tentang dinamika penyesuaian pasangan berbeda agama

Keterangan:V: Terdapat kesesuaian antara komponen teoritik dengan temuan dari studi kasusX: Tidak ditemukan dalam studi kasus (tidak terdapat pada responden penelitian)

Komponen Teoritik StudiKasus Temuan Studi Kasus

Pasangan I Pasangan II Pasangan III Suami Isteri Suami Isteri Suami Isteri

1. Penyesuaian dengan pasangan a. Terjalinnya komunikasi yang baik b. Ungkapan afeksi dan kemesraan c. Saling memberi dan menerima cinta d. Kesamaan latar belakang keluarga e. Keserupaan nilai f. Konsep peran g. Memegang teguh komitmen

X X X X X V V

X X X X X X X

V V V X V V V

V V V X V V V

V V V X V V V

V V V X V V V

2. Penyesuaian seksual a. Perilaku terhadap seks b. Pengalaman seks masa lalu c. Dorongan seksual d. Sikap terhadap penggunaan KB

V V V V

V V V V

V V V V

V V V V

V V V V

V V V V

3. Penyesuaian keuangan a. Sumber penghasilan b. Pengaturan keuangan c. Keinginan untuk memiliki harta benda d. Bantuan keuangan pada keluarga pasangan

V V V V

V V V

V

V V V V

V V V V

V V V V

X V V V

4. Penyesuaian dengan keluarga pasangan a. Streotip tradisional b. Keinginan untuk mandiri c. Keluargaisme d. Merawat anggota keluarga yang berusia

lanjut.

X V X X

X V V X

X V X X

X V X X

X V X X

X V X X

5. Pengasuhan anak (pendidikan agama anak) a. Otoriter b. Demokratis c. Cenderung tidak diperhatikan

X X V

X V V

X V X

X V X

V X X

V X X

6. Kehidupan beragama (pelaksanaan ibadah) a. Fanatik terhadap agamanya b. Mengerti beribadah c. Rajin beribadah d. Sering pergi ketempat beribadah e.Menghormati hari raya keagamaan

pasangan

X V X X V

V V V V X

X V V X V

X V V V V

X V X V V

X V V V V

Dinamika Penyesuaian Suami-istri Dalam Perkawinan Berbeda Agama (Bonar Hutapea)

Page 14: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

114

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 16 No. 01, Tahun 2011

keagamaan terlihat pada isteri dari pasanganpertama sementara pada para suami baikpasangan pertama, kedua maupun ketigamemiliki kesamaan yakni jarang pergi ke tempatberibadah. Pasangan pertama mengalamipenyesuaian yang jauh lebih sulit karenaperilaku istri disebabkan pengaruh keluargabesarnya yang mengintervensi masalah agamadengan keras. Pada pasangan kedua dan ketigajustru mengeluhkan fanatisme anaknya yangmenganut agama garis keras yang berdampakkurangnya harmoni dalam relasi antar saudarasekandung dan relasi antar anak dan mantu.

b. Penyesuaian masing-masingpasangan

Penyesuaian perkawinan yang dijalankan,dialami, dan dihayati masing-masing pasanganmengalami pasang surut atau ‘jatuh-bangun’selama 20 tahun atau lebih usia perkawinannya.Ada kalanya sangat menyenangkan sehinggaproses penyesuaian itu menjadi lebih mudah danmulus, namun ada kalanya pula sangat sulithingga “jatuh” bahkan nyaris bercerai. Berbagaifaktor turut berperan dalam dinamikapenyesuaian tersebut yakni aspek personal,sosial, finansial, dan ritual (agama), seringkalisaling terkait satu sama lain atau beberapa diantaranya.

1). Pasangan Pertama (LH dan NT)LH (suami) keturunan Tionghoa yang

merupakan karyawan bagian produksi suatuperusahaan di daerah Bekasi jatuh cinta untukpertama kalinya kepada gadis keturunan Jawaberagama Islam yang bekerja pada sebuahperusahaan garmen dan tinggal tak jauh darikontrakannya. Perbedaan agama tak menjadisoal baginya asalkan mendapatkan gadis yangdicintainya tersebut, selain karena memangmemiliki prinsip tak membeda-bedakan agama.Awalnya NT (isteri) kurang suka sebab diamenyukai laki-laki lain yang telah beristri, namunkarena kesabaran dan kebaikan LH diabersedia dinikahi.

“…jujur saja sebenarnya saat itu ibu sudahmenyukai seseorang. Dia orang Jawa tapisayang dia sudah punya isteri tetapi isterinyatidak memberi keturunan bahkanmenginginkan dan menyetujui saya menikahdengan suaminya, namun hal tersebut tidakmungkin saya lakukan” (NT)

Perkawinan berlangsung pertama menuruttata cara Islam kemudian dengan tata caraBuddha (di Kantor Urusan Agama barukemudian ke Wihara). Tentang pengalamannyamenikah di Wihara, NT mengatakan…

“pokoknya ibu didandanin pake baju Cinaterus disuruh hormatin apaan gitu sampe tigakali, ya udah aja ibu ikutin tapi mah nggakngerti lah, bingung”

Dari mulai berpacaran hingga tujuh tahunusia perkawinan belum ada masalah berartidalam penyesuaian. Apalagi komitmen untukmenjalankan keberagamaan masing-masingdipegang teguh. Artinya, dari segi ritual agamabelum ada masalah. Permasalahan baru munculsaat pasangan ini memiliki dua anak dan LHterkena pemutusan hubungan kerja. LHmembawa keluarganya ke Pontianak tinggalberdekatan dengan kerabat dan keluargabesarnya di sana, NT sangat berkeberatan danbersikeras ingin kembali ke Jakarta, dankemudian memilih tinggal di Bekasi berdekatansaudara-saudara NT yang sangatmempengaruhi NT dan anak-anaknya dalamhal agama, hingga mendatangkan secarakhusus ahli agama. LH tak pernah memprotes.Anak-anak juga tak pernah diajari agama olehLH sesuai kesepakatan bahwa anak-anakdibebaskan memilih agamanya. Sesekalianaknya yang bungsu mau menemani LH keWihara meski tak pernah diminta oleh LH. LHmengaku sangat kecewa terhadap pasangankarena dianggap melanggar komitmen awalyakni menghormati agama masing-masingkarena NT mendatangkan ahli agama (sendiri)untuk menasehati LH agar berpindah agamamengikuti isteri.

Page 15: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

115

“Padahal masalah agama anak saya saja,saya tidak pernah ikut campur ataumelarang-larang semuanya terserah anaksaja. Jadi masalah agama harusnya masing-masing, itu kan urusan ‘yang di atas’ yangpenting jangan saling mengganggu, anak-anak nanti juga besar nanti juga bisa tahudengan sendirinya” (LH)

Perihal tak adanya anak-anak yangmengikuti LH beragama Buddha, NTmenyatakan itu bukan salahnya melainkankesalahan LH sendiri dengan tidak adanyaketeladan dalam beragama khususnya ritualkeagamaan…

“lah bagaimana mau ikut agama bapaknya,orang dia nya aja nggak pernah ngajarin,berdo’a jarang” (NT)

Menurut NT, dia juga tak pernahmengarahkan anak-anaknya untuk menganutagamanya (Islam), melainkan karena pengaruhteman-teman anak-anaknya dan juga saudara-saudara dari pihaknya.

“Sementara anak-anak mah ibu biarin ajanyari agama atau belajar agamasendiri…nggak pernah saya mah ngajarinapa ngaruh-ngaruhin paling mereka padaikut-ikutan temannya” (NT)

Namun, untuk mengurangi berbagaimasalah tentang perbedaan agama NT selalumeminta anak-anak untuk menyatakan diribahwa anggota keluarganya semua beragamaIslam, sehingga mereka tidak harus menghadapiomongan miring orang lain tentang perbedaanagama dalam keluarganya.

LH mengaku tidak pernah mengundangkerabat dan saudara dari pihaknya untuk sekali-sekali berkunjung ke rumahnya karena tahubahwa lingkungan keluarga isteri takbersahabat terkait dengan perbedaan agamaitu. Meskipun LH mengalah sesekali mengikutiritual keagamaan isteri, namun isteri tetap tidakbersedia mengunjungi kerabat LH saat hari rayakeagamaannya. Tentang hal ini, NT jugamemiliki pendapatnya sendiri…

“…dia semakin hari semakin menyebalkandan membuat malu dengan sikapnya yangkaku. Sama orang terlalu cuek, kalau ditanyajawabnya pasti nggak enak dan pokoknyaya ampun deh, saya nggak sanggupsebenarnya hidup sama dia lagi… sayanyesel bangat…”

LH mengakui bahwa anak-anaknya tidakpernah mengeluh terhadap masalah perbedaanagama,. Hanya saja subyek tahu bahwa anak-anaknya tidak mau mendapatkan pasanganyang tidak seiman. Katanya…

“khususnya putri sulung saya yang juga tidakmau sampai menyukai etnis Cina keturunan”

Sudah sepuluh tahun sejak putribungsunya lahir, pasangan ini pisah ranjang. NTmengakui bahwa beberapa kali ia berdoa agarsuaminya segera meninggal karena diamengaku tidak tahan dengan perilaku suaminyayang diam, kaku, dan tidak bersahabat.Seringkali dia meminta LH agar mengubahperilaku, bahkan dengan mendatangkan ahliagama sekalian agar mau berpindah agama.Namun, dengan tindakan NT ini, LH semakintak senang dan diam saja. Menurut NT, suasanadi rumahnya menjadi tak menyenangkan. Takada komunikasi yang baik sebab selalu berujungkepada pertengkaran. Meski hidup dalamsuasana keluarga yang sering bertengkar,namun hingga saat ini tidak pernah terjadikekerasan fisik baik pada pasangan maupunpada anak-anak mereka. Mereka memilihdiam, masuk kamar, atau rumah sementarawaktu untuk menghindari pertengkaran yangsemakin hebat yang mungkin mengarah kepadakekerasan jika sangat emosional.

“Saya hanya mengusahakan jangan sampaianak-anak saya ada yang nikah beda agama.Pokoknya agama itu penting karena kalauada masalah dalam keluarga, untuk mencarinasehat akan lebih mudah kalau seagama”(LH)

Baik LH maupun NT masing-masingmenganggap bahwa pasangannya berubah

Dinamika Penyesuaian Suami-istri Dalam Perkawinan Berbeda Agama (Bonar Hutapea)

Page 16: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

116

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 16 No. 01, Tahun 2011

signifikan dibandingkan dengan pertama kalisaling mengenal hingga 7 tahun usiaperkawinan. Di mata LH isterinya sama sekalitak toleran dan tak menghargai keyakinanagama dan saudara-saudara dari pihaknya.Sedangkan di mata NT, LH tak lagi sabar danbaik hati seperti dulu. Meski demikian, takselamanya relasi suami isteri LH dan NT penuhdengan ketegangan. Atas inisiatif anak-anaknya,kadangkala terdapat suasana yang lebih rileksdan menyenangkan dalam bentuk guyonan danmakan-makan bersama, namun dengan mudahpula ketegangan terjadi jika suami isteriberinteraksi sedikit lebih banyak dan lebih lama.Pada akhirnya keduanya ‘memahami, satudengan yang lain dengan cara lebih banyakmenghindari percakapan yang berujung padapertengkaran, atau untuk sementara waktumeninggalkan rumah jika suasanamenegangkan diakibatkan pertengkaran.

2). Pasangan Kedua (S & BS)S (suami) kelahiran Surabaya dan

dibesarkan dengan suasana keagamaan yangketat oleh kakeknya karena kedua orangtuanyapindah dan menetap Kutoarjo. S merantau keJakarta atas ajakan salah seorang temannya.Selama beberapa tahun berpindah-pindahtempat bekerja sampai menjadi karyawan tetappada salah satu perusahaan di daerah Cakungsebagai operator mesin yang hingga kini telahdijalani selama 17 tahun. S mengenal BS (isteri)dari pacar teman kost-nya. Masa berpacarandijalani dengan baik namun mengalamihambatan saat akan melangkah ke perkawinanterkait perbedaan agama di antara keduanyakarena ditentang ibu dan adik-adiknya, meskiayahnya tidak menganggap itu masalah. Meskidibesarkan dalam tradisi keagamaan yang ketat,S tidak menganggap hal itu sebagai hambatanuntuk menikahi gadis BS yang amat dicintainya.S mengatakan…

“…ibu saya sudah menyiapkan calonpendamping lain bagi saya, tapi….bagi sayasudah jadi prinsip kalau masalah agama itu

urusan Yang Maha Kuasa…karena orangsetelah meninggal dunia maka segalaya akandipertanggungjawabkan masing-masingkan?” (S, 01)

Ibu S akhirnya merestui pernikahan merekakarena keteguhan hati S, sedangkan adik-adiknya menerima karena tidak enak hati sebabsekolah mereka dibiaya S. Ditambah lagikarena BS bersedia menikah dengan tata caraagama Islam dengan mengucapkan kalimatsyahadat sekalipun itu hanya ‘sekedar syarat’agar dapat menikah di KUA, sebab ritusperkawinan mereka kembali kepada agamamasing-masing.

Dalam penyesuaian perkawinan dalamkondisi berbeda agama ini, tampaknya lebihmudah bagi BS dibandingkan suami karenamemiliki pengalaman dibesarkan dalamkeluarga yang berbeda agama, khususnyasaudara kandung namun tetap hidup rukun.Terlebih lagi, orang tua tak melarangnya saatberniat menjalani perkawinan dengan calonsuami berbeda agama. Meski demikian, tetapsaja mengalami kesulitan terutama penyesuaiandengan keluarga dan kerabat dari pihak suami,selain harus ‘masuk’ dulu agama Islam agardapat dinikahkan di KUA dan berakibat padatimbulnya rasa ‘berdosa’ karena tidak mungkinmenerima Sakramen Perjamuan Kudus digereja Katolik sehubungan dengan ‘pindahagama’ itu meski hanya ‘sekedar’ syarat sahperkawinan. Untungnya, menurut BS, 15 tahunkemudian gereja Katolik memberikan solusisemacam pernikahan kompensasi sehinggamereka yang menikah secara agama lain tidakdianggap berzinah dan tak perlu dianggappindah agama. Dengan begitu, beban psikologiskarena merasa berdosa menjadi berkurang.

“…namun ternyata segala sesuatunya tidaksemudah yang saya bayangkan, saya pikirsetelah kesulitan masalah proses pernikahanitu lantas segalanya bakalan selesai, tetapiternyata tidak” (BS)

Menurut pengakuan S, sekalipun ayahnyamenerima perkawinan berbeda agama yang

Page 17: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

117

dijalankannya, namun sungguh berat ditanggungatas pilihan dan keputusan tersebut, terutamakarena ibu dan adik-adiknya tidak bisamenerima sama sekali meski tak dapatmelarang. Belum lagi olok-olok yang diterimaanak-anaknya dari kerabat dan orang-orang disekitar. Hal sepela saja bisa membuat situasimemanas dengan pihak keluarga yang selalumenyinggung masalah perbedaan agama dalamperkawinannya dan menganggapnya sebagaifaktor yang penyebab meski menurut penilaiandan pertimbangannya sama sekali tak adakaitannya dengan persoalan dimaksud. Menurutpengakuan BS…

“..pernah suatu hari suami ibu pulang darirumah adek-adeknya dan cerita ke ibudiumpat sama adek-adeknya bahwa orangKristen gini-gini, pokoknya nggak suka amaagama ibu. Ibu cuma diem aja, cuma berdo’abiar sekali waktu pada baik sama ibu, ehkenyataan…tapi dua puluh tahun lamanyaibu mengalami begini….”

Diakui oleh S bahwa isterinya yang lebihberperan dalam upaya penyesuaian yang jauhlebih cepat dan lebih baik sejak awalperkawinan.

“…syukurlah kami tetap bisa rukun, bahkanisteri saya dengan ikhlas turut membiayaisekolah adik-adik saya, hingga yang bungsululus SMEA”

Hampir senada, BS juga sangatberterimakasih kepada suami karena sangatpengertian terhadap isteri yang menganutagama berbeda. BS tak pernah bisa melupakansituasi sulit dalam keluarga mereka bukankarena pasangan suami isteri tapi justru karenatidak tolerannya masyarakat sekitar terhadappenganut agama lain terutama pasanganberbeda agama

“…suami ibu dikatain banci oleh orang sinikarena memberi makan anggota keluargayang najis seperti anjing katanya. Rumah inimau dibakar. Katanya mau dibikin kayakAmbon begitu. Mereka teriak-teriak suruhsuami ibu keluar rumah. Hati ibu sedih.

Tetapi puji Tuhan, justru sejak kejadian pahititu keluarga kami semakin dekat, terbuka dansaling menguatkan, dan lebih taatmenjalankan atau beribadah menurut agamamasing-masing” (BS)

Dalam pengasuhan anak terkait agama, Sdan BS sudah bersepakat sejak masih berpacaranbahwa anak mereka akan dibebaskan dalammemilih agamanya masing-masing namun sebagaiorang tua mereka berkewajiban mengenalkan danmengajarkannya. Maka anak-anaknya, sejak usia4 tahun sudah ajari puasa Ramadhan dan SholatLima Waktu setiap hari, sementara BSmembawa anak-anak ke gereja pada hariMinggu. Selepas Magrib anak-anak diajari Stentang kisah nabi-nabi dan selepas sholat isyapasangannya mengajari mereka tentang Yesusdan ajaran agama Khatolik, begitu seterusnyahingga menginjak kelas tiga sekolah dasar, dansesudahnya anak-anak dilepas sendiri

“sebagai orangtua kami tetap harusmenjalankan kewajiban untuk mengajarianak-anak tentang agama, karena bagi sayaitu wajib supaya anak-anak punya pedomanhidup, tahu yang benar dan salah tahu dosadan ke-Tuhanan” (S)

S mengakui bahwa betapapun‘demokratis’ mereka sebagai orang tua terkaitdengan perbedaan agama, keduanya tetapmerasakan penderitaan batin yang dialamianak-anaknya seperti halnya mereka sendirisebagai pelaku.

“Kerinduan saat hari-hari raya sepertikeluarga lain yang seiman, nggak pernahkami rasakan. Belum lagi perasaan ditolakoleh keluarga yang membuat kami serasajauh dari keluarga sendiri, bahkan anak sayayang sulung saat remaja sempat berontak danbilang kalau kami sebagai bapak dan ibunyasangat egois, gara-gara kepentingan sendirimembuat mereka menderita. Hati saya sakitmendengar itu” (S)

Berdasarkan pengalamannya menikahberbeda agama terutama dengan tekanan yangbegitu berat dari pihak keluarga dan kerabat, S

Dinamika Penyesuaian Suami-istri Dalam Perkawinan Berbeda Agama (Bonar Hutapea)

Page 18: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

118

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 16 No. 01, Tahun 2011

meminta maaf kepada anak-anaknya ataspenderitaan batin yang mereka alami, jugaberpesan agar menjalankan agama yangmereka anut dengan sebaik-baiknya danmemaafkan semua paklik (paman) sertamasyarakat yang kurang menerimakeberadaan mereka disebabkan perbedaanagama orang tua. S juga berpesan agar anak-anaknya mencari pasangan yang seiman untukmengurangi berat beban mental menyesuaikandiri dengan pasangan dalam situasi perkawinanyang berbeda agama.

“…kalau merasa sanggup silakan dijalankantetapi jika tidak sanggup sebaiknya jangan,karena sungguh hal tersebut akan sangat beratuntuk dilalui” (S)

“…kalau bisa anak-anak saya jangan sepertiibunya, kalau bisa seiman. Memang beratsekali hidup nikah beda agama itu, kalau kegereja sendiri, tapi saya pasrahin semuanya”(BS)

3). Pasangan ketiga (AEH & EB)Meski terlahir dari keluarga Katolik,

AEH (suami) mengaku beberapa dari saudarasekandungnya berpindah-pindah agama karenasejak kecil tidak diarahkan untuk menjadi anakyang relijius. Karena usaha keluarga bangkrut,AEH memutuskan untuk bekerja meninggalkanbangku sekolah. Saat bekerja sebagai teknisikapal laut, AEH bertemu dengan EB (istri) gadisberjilbab dalam perjalanan dari Kalimantan keJakarta. Keduanya saling mencintai namunmengalami hambatan sangat serius saat hendakmemutuskan menikah karena perbedaanagama, apalagi sang gadis adalah putri seoranghaji. Sebagaimana juga diakui oleh EB bahwakeluarganya tergolong fanatik dalam beragama.Syarat yang diajukan pihak perempuan sangatberat bagi AEH yakni menikah secara Islamdan tentu harus masuk Islam dulu sebelumpernikahan dilaksanakan. Meski AEH mengakutidak sangat taat beragama, dia tak pernahmembayangkan sebelumnya harus berpindahagama, apalagi pihak keluarganya tak setuju.

Setelah 2 tahun berpacaran, AEH bersediamemenuhi syarat itu. Dan keluarga, terutamaorang tuanya, merestui meski tetap tak setuju.

“ya sebenarnya dalam hati keluarga nggakrela tapi karena nggak ada yang beraningomong, soalnya papi itu kan dari kecilisik-isik (usaha, pen) sendiri, saya itu darikecil susah sendiri jadi kalau ada yang maumacem-macem atau mentang-mentang amasaya, saya awas aja, karena dari kecil sayasusah sendiri” (AEH)

Subyek menerima untuk menikah secaraIslam karena komitmen bersama bahwa setelahmenikah mereka tetap pada agama merekamasing-masing, dan masalah membesarkananak atau agama anak disepakati bahwa anakpertama ikut agama AEH, anak kedua ikutagama pasangannya demikian seterusnyaberselang-seling. Dan karena anak mereka 5,maka 3 orang anak subyek (anak pertama,ketiga dan yang bungsu) ikut agamanya.Sementara anak kedua dan keempat ikutagama pasangannya. Semula AEH mengirasemuanya akan lebih mudah sesudahnya.Ternyata yang terjadi jauh dari harapannyatersebut. Perbedaan yang ada terutama karenapengaruh dari masing-masing keluarga besar,membuat anak-anak mereka menjadi sangatfanatik terhadap agama yang dianutnya.Putr inya yang muslim memakai cadarsedangkan anak-anaknya yang Katolikmemiliki keinginan kuat untuk menjadi seorangpastur dan biarawati, dan sampai dengan saatini subyek merasakan adanya keterasingan diantara anak-anak mereka satu sama lainterhadap saudara kadungnya sendiri. AEHmengungkapnya dengan kalimat seperti ini:

“..walaupun akur, dekat, namun seperti adajarak, ada batas yang tipis yang menimbulkanluka dalam kalau tersentuh”

Sekalipun dirasakan berat, prosespenyesuaian yang dialami dan dijalankan AEHdalam perkawinanya yang berbeda agama inidiakuinya menjadi lebih ringan karena upayaistrinya (EB) yang tetap menjaga kesepakatan

Page 19: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

119

dan menghargai suami. Karenanya, AEHsangat kagum dan bangga terhadap istrinya.Misalnya, meski ia harus jauh terpisah darikeluarga karena bekerja berlayar tetapi istrinyasangat teguh menjaga komitmen bahkandengan setia dan sabar mengantar anak-anakyang beragama Katholik ke gereja pada hariminggu dan mengajarkan anak-anak untukmembaca kitab suci setiap harinya sehinggaperkembangan iman anak-anak yang Katoliktetap terjaga dengan ketidakhadiran dia sebagaiayah. EB juga merasa bangga dengan suamiatas perlakuannya yang adil terhadap semuaanak-anak meski ada yang berbeda agamadengan suaminya, terutama kasih sayangnyaterhadap isteri selain kesediannya menikahsecara Islam.

Meski dibesarkan dalam tradisikeagamaan yang sangat ketat, EB tumbuhmenjadi pribadi yang toleran terhadap agamalain dari kegemarannya membaca buku.Semangat egalitarian, inklusif, dan demokratissangat dalam pola asuh EB terhadap anak-anak dan responnya terhadap suami. Hanyasaja diakuinya sulit menularkan semangatnyatersebut kepada anak-anaknya setalah dewasakarena kuatnya pengaruh teman-teman dankeluarga besar terhadap beberapa anaknya.Misalnya, dia sangat menyesalkan bahwaputrinya yang kedua seorang muslimah yangamat keras membuat hati saudara kandungnayang lain tersinggung jika setiap kali berkumpultak pernah mau mencicipi makanan di rumahsaudaranya yang non muslim. EB merasabersalah meski dia tak menyesaliperkawinannya.

“Saya sedih sekali dan merasa bersalah akankeadaan ini, akan penderitaan batin yangmereka alami, yang mungkin tak pernah akanbisa saya maafkan diri saya sendiri”

AEH dan EB kini hanya berharap agaranak-anaknya tetap rukun dan mendapatkanpasangan yang seiman dan membina imankeluarga mereka masing-masing dengan

sungguh-sungguh agar dapat menjalani hiduplebih ringan dan bahagia. Adapun gejolakkeluarga karena pengaruh keluarga danteman-teman anaknya dirasakan sudahsemakin berkurang. Persoalan yang masihmenghantui hanyalah hubungan yang kurangakrab antara anaknya yang fanatik berlebihandalam beragama dengan saudara kandungnyayang lain.

c. PembahasanSecara umum penyesuaian perkawinan

yang dialami dan yang dijalankan parapasangan yang menikah berbeda agama inidapat bertahan hingga lebih dari 20 tahun usiaperkawinan karena memegang komitmen untuktetap mempertahakan perkawinan denganbeberaa alasan yang hampir sama sebagaimanadikatakan Hurlock (2000), Landis dan Landisserta Bosart dan Boll (dalam Widjanarko, 2000)yakni demi anak-anak (tanggung jawab sebagaiorang tua) dan alasan sosiologis (relasi dengankeluarga dan masyarakat). Secara khusus padapasangan ketiga, alasan sangat mencintai danmengagumi pasangan menjadi faktor yangmemudahkan penyesuaian sekaligusmelanggengkan perkawinan di luar dari duafaktor di atas. Pendapat Duvall dan Miller(dalam Widjanarko, 2000) bahwa menurunprinsip menikah harus dengan agama yangsama sehingga toleransi dan respek terhadapperbedaan ditemukan sangat kuat padapasangan ini.

Sedangkan faktor yang melemahkan danmenghambat proses penyesuaian perkawinanumumnya adalah pengaruh keluarga pihakpasangan, masyarakat sekitar, dan teman-teman dari anak-anak yang seringkaliberdampak sangat serius. Adapun faktor-faktor finansial dan seksual tidak menjadipersoalan yang signifikan pada ketigapasangan. Khusus pada pasangan pertama,faktor personal dan ritual keagamaan menjadipenghambat penyesuaian perkawinan. Hal ini

Dinamika Penyesuaian Suami-istri Dalam Perkawinan Berbeda Agama (Bonar Hutapea)

Page 20: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

120

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 16 No. 01, Tahun 2011

sesuai dengan penelitian Marks (2005) bahwaagama, secara khusus penghayatan danpemaknaan seseorang atas agama tertentuberdampak kepada perkawinan yang dijalani.Fanatisme salah satu pasangan yangberlebihan atas agama yang dianut sangatmempengaruhi penyesuaian itu. Hanya sajadukungan dari anak-anak menjadi modal bagibertahannya perkawinan pasangan ini.

V. SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULANSecara umum, penyesuaian dalam

perkawinan berbeda agama ini termasuk cukupbaik meski dalam beberapa hal terdapatkesulitan namun dalam beberapa segi lainnyacukup mudah membuat penyesuaian menjadidinamis dan berdampak pada langgengnyaperkawinan hingga lebih dari 20 tahun. Namundari segi psikososial masing-masing pihak(suami atau isteri) tetap menganggap cukupberat menjalani perkawinan dengan perbedaanagama ini. Terutama karena terdapatperbedaan perilaku dan sikap sebelum dansetelah menikah. Beberapa dari komitmen awalsaat berpacaran dan awal menikah yangmendorong dan menentukan keputusanmenikah meski berbeda agama sepertidilanggar seiring dengan berjalannya waktu danpengaruh sosial yang begitu kuat. Terutamapada relasi antar anak dalam keluarga.

SARANBerdasarkan dari hasil penelitian dan

pembahasan hasil penelitian maka dapatdiajukan saran sebagai berikut:

1) Mengingat penelitian ini masih pada tarafeksplorasi dengan sampel minimum, makadiharapkan dilakukan penelitian lanjutandengan sampel, pendekatan, desain, danmetode yang berbeda dalam upayamendapatkan pemahaman, penjelasan, danperamalan yang lebih tepat dankomprehensif tentang perkawinan beda

agama sebagai salah satu gejala sosial yangsangat pelik;

2) Bagi para pasangan suami isteri yangmenjalani kehidupan perkawinan berbedaagama agar teguh dalam memegangkomitmen yang telah disepakati bersamasebelum menikah dan senantiasamempertahankan sikap toleransi, jiwa besar,kesabaran, dan mengembangkanketerbukaan dalam komunikasi antarpasangan ber landaskan cinta danpengorbanan demi keutuhan dankeharmonisan perkawinan, terutama demikebaikan bagi anak-anak dalam keluarga;

3) Dalam penelitian ini terlihat, bahwa masing-masing pasangan secara sendiri-sendirimengakui sangat berat menjalani kehidupanberumah tangga mereka dan berharap agaranak-anaknya dapat menikah denganpasangan yang seiman, namun jika memangperkawinan beda agama tersebut sudahmenjadi keputusan yang akan dijalani,hendaknya setiap pasangan sudahmempersiapkan diri baik mental maupunspiritual terhadap hal-hal yang akan merekahadapi nantinya dengan menanamkan sikaptoleransi dan tenggang rasa, keterbukaan,kebersamaan dan komunikasi yang baiksejak awal (masa berpacaran) danmemikirkan tentang pendisiplinan anak sejakdini, dan 4) Bagi lembaga pemerintahan daninstansi yang terkait agar dapat memberikanperhatian yang lebih akan perkawinan bedaagama yang cenderung terjadi dan tidakdapat dihindari ini dan tidak membiarkanpasangan ini untuk menyelesaikan sendirimasalah perbedaan agama. Diperlukanbantuan konselor yang handal dan kompetendalam membantu pasangan dalam menjalanipenyesuaian perkawinan.

***

Page 21: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

121

BIBLIOGRAFI

Alsa, Asmadi (2003) Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalamPenelitian Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

Arjoso, Sumarjati & Dadang Hawari (1996) Persiapan Menuju Perkawinan Yang Lestari.Jakarta: PT. Pustaka Antara.

Atwater, Eastwood (1990) Psychology of Adjusment. New Jersey: Prentise Hall.

Browning, Don (2003) Can Marriage Be Defined? “Dalam Word & World Volume 23, Number1 Winter 2003

Departemen Agama RI Proyek Bimbingan dan Da’wah Agama Buddha (1997) Petunjuk TeknisTata Cara Perkawinan Menurut Agama Buddha. Jakarta.

Finanto, Mic (2002) Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Penyesuaian Diri PadaMahasiswa Semester Pertama Fakultas Psikologi Universitas Persada IndonesiaYAI. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi UPI YAI.

Gunarsa, Yulia Singgih D (1996) Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Hasan, Djuhaedah (1990) Hukum Keluarga. Bandung: Armico.

Hurlock, Elizabeth B (2000) Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang RentangKehidupan. Jakarta: Erlangga.

Ikhwan (2006) Perspektif baru Nikah Beda Agama. Innovatio, Vol.5, No.10, Edisi Juli-Desember

Irwanto (2002) Psikologi Umum. Jakarta: Prenhallindo.

Kirkland, Russel (2010) A Definition of Religion. Diakses dari http://kirkland.myweb.uga.edu/rk/pdf/guides/RELDEF.pdf

Marks, Loren (2005) How Does Religion Influence Marriage? Christian, Jewish, Mormon,and Muslim Perspectives. Marriage & Family Review, Vol. 38 (1) 2005

Moleong, Lexy J (2004) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja RosdakaryaOffset.

Patricia, Rina (1992) Studi Kasus Tentang Tingkah Laku Coping Pasangan Pernikahan AntarAgama. Laporan Akhir Tugas Kepaniteraan Psikologi Sosial, Fakultas PsikologiUniversitas Indonesia.

Poerwandari, E. Kristi (2008) Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Perilaku Jakarta: LembagaSarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi UI

Sears, David O; Jonathan L Freedman & L Anne Peplau (2002) Psikologi Sosial. Jakarta:Erlangga.

Sitanggang, AR. Henry (1999) Kamus Psikologi. Bandung : Armico

Soerjono Soekanto (2002) Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sudarsono (2005) Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Aneka Cipta.

Dinamika Penyesuaian Suami-istri Dalam Perkawinan Berbeda Agama (Bonar Hutapea)

Page 22: DINAMIKA PENYESUAIAN SUAMI -ISTRI DALAM PERKAWINAN …

122

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 16 No. 01, Tahun 2011

Supartono Widyosiswoyo (1999) Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Widjanarko (2000) Hubungan Antara Persepsi dan Sikap Terhadap Pasangan Suami IsteriYang Berbeda Agama Pada Mahasiswa Semester Delapan Kuliah Pada Pagi HariFakultas Psikologi UPI YAI. Skripsi (tidak diterbitkan) Fakultas Psikologi UPI YAI.

Yin, Robert K. (2005) Studi Kasus: Desain dan Metode (terjemahan). Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada.

Yustina, Erwina (2000) Penyesuaian Pasangan Suami Isteri Yang Berbeda Suku di PerumDuren Jaya Bekasi Timur. Skripsi (tidak diterbitkan) Fakultas Psikologi UPI YAI.

Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia No.1 tahun 1974, Semarang: CV. Aneka.