40
1 VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017 DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA Dja’far Siddik UIN Sumatera Utara, Indonesia Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan, Sumatera Utara, 20371 e-mail: [email protected] Abstract: The Dynamics of Muhammadiyah Organization in North Sumatera. From various Islamic organizations which growing and developing in Indonesia archipelago, it can be said that NU and Muhammadiyah become the two largest Islamic organizations. As an Islamic organization, Muhammadiyah has a huge business charity spread throughout the territory of Indonesia. Unfortunately studies on Muhammadiyah have so far scrutinized this organization at national level, tending to overlook some of its interesting and sometimes peculiar local developments. This article will examine the dynamics of the Muhammadiyah in North Sumatra. The data of this study is obtained from official documents of the organization plus primary works of experts about the movement of this organization nationally and locally. This study proposes that Muhammadiyah has established itself in North Sumatra (then, East Sumatra) since the colonial era, where this organization has received much opposition from the colonists and the existing sultanates. The independence changes the socio-political conditions of North Sumatra, providing Muhammadiyah more freedom to develop its religious understanding and movement, until it became a large organization in the North Sumatra opposing Al Washliyah and Al Ittihadiyah. This study is expected to contribute to the study of Islam in the Indonesia archipelago, and strengthen the reference of Islam and Muhammadiyah outside of Java. Keywords: Islamic organization, Muhammadiyah, Tapanuli, East Sumatera JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

1

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAHDI SUMATERA UTARA

Dja’far Siddik

UIN Sumatera Utara, IndonesiaJl. Willem Iskandar Pasar V Medan, Sumatera Utara, 20371

e-mail: [email protected]

Abstract: The Dynamics of Muhammadiyah Organization inNorth Sumatera. From various Islamic organizations which growingand developing in Indonesia archipelago, it can be said that NUand Muhammadiyah become the two largest Islamic organizations.As an Islamic organization, Muhammadiyah has a huge businesscharity spread throughout the territory of Indonesia. Unfortunatelystudies on Muhammadiyah have so far scrutinized this organizationat national level, tending to overlook some of its interesting andsometimes peculiar local developments. This article will examinethe dynamics of the Muhammadiyah in North Sumatra. The dataof this study is obtained from official documents of the organizationplus primary works of experts about the movement of this organizationnationally and locally. This study proposes that Muhammadiyah hasestablished itself in North Sumatra (then, East Sumatra) since thecolonial era, where this organization has received much oppositionfrom the colonists and the existing sultanates. The independence changesthe socio-political conditions of North Sumatra, providing Muhammadiyahmore freedom to develop its religious understanding and movement,until it became a large organization in the North Sumatra opposingAl Washliyah and Al Ittihadiyah. This study is expected to contributeto the study of Islam in the Indonesia archipelago, and strengthenthe reference of Islam and Muhammadiyah outside of Java.

Keywords: Islamic organization, Muhammadiyah, Tapanuli, EastSumatera

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAMAND MUSLIM SOCIETIES

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

Page 2: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

2

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

PendahuluanTidak bisa dimungkiri bahwa kajian-kajian terkemuka tentang

organisasi-organisasi Islam yang ada di Indonesia lebih diarahkankepada organisasi-organisasi yang lahir di Jawa, khususnya NU1

dan Muhammadiyah. Kajian-kajian organisasi Islam di luarJawa masih terbengkalai meskipun sudah ada ke arah itu, misalnyapenelitian terhadap perkembangan terkini organisasi Al Washliyahdan Al Ittihadiyah yang lahir di Sumatera Utara. Kajian-kajiantentang Muhammadiyah sebagai organisasi yang lahir di pulauJawa pun lebih banyak dititikberatkan pada gerak juang pimpinanpusat organisasi ini, sehingga peran dan gerakan organisasi inidi luar Jawa tidak banyak diteliti.2

Di luar pulau Jawa, beberapa organisasi Islam telah tumbuhdan berkembang selama masa kolonial Belanda. Sebut saja diSumatera Utara, muncul organisasi Al Jam’iyatul Washliyahdan al-Ittihadiyah.3 Dua organisasi ini di era 1930-an munculsebagai organisasi Islam yang banyak memberikan kontribusibagi kemajuan umat Islam di Sumatera Utara. Akan tetapi, duaorganisasi Islam asal pulau Jawa seperti NU dan Muhammadiyahjuga telah hadir sebelum dua organisasi tadi. Organisasi Islamyang juga banyak mendapatkan tantangan dari masyarakat Muslimterutama pihak kerajaan di Sumatera Timur adalah Muhammadiyah.Organisasi Muhammadiyah berjuang keras dalam mempertahankaneksistensinya, hingga sampai era terkini organisasi ini telah menjadisalah satu organisasi Islam terbesar di Sumatera Utara mengingatamal usahanya hampir meliputi kawasan ini.

Metode PenelitianArtikel ini akan mengkaji dinamika organisasi Muhammadiyah

di Sumatera Utara. Paparan artikel ini merupakan rangkumandari hasil penelitian kepustakaan yang dilakukan terhadap organisasi

Page 3: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

3

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

Muhammadiyah di luar Jawa4 dengan wilayah yang dipilih adalahSumatera Utara, sebuah provinsi yang cukup plural dari aspekagama dan suku bangsa. Data penelitian ini berasal dari berbagaidokumen organisasi Muhammadiyah, dan buku-buku hasil penelitiantentang organisasi ini. Pengkajian terhadap dinamika Muhammadiyahdi Sumatera Utara memang tidak bisa dilepaskan dari masukdan berkembangnya Muhammadiyah di Sumatera Timur danTapanuli, sebagai dua daerah Keresidenan pada masa kolonialyang kemudian pada masa kemerdekaan (1953) digabung menjadisatu daerah provinsi yang bernama Sumatera Utara. Karena itu,pembahasan berikut akan memperbincangkan Muhammadiyahdi Sumatera Timur dan Tapanuli, yang disusul dengan pembahasanMuhammadiyah di Sumatera Utara. Tentu saja pembahasannyadiawali dengan kajian tentang sejarah pendirian organisasi ini.

Hasil dan PembahasanPendirian Muhammadiyah

Salah satu organisasi IsIam terpenting di Indonesia adalahMuhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan padatanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Dahlan yang semasakecilnya bernama Muhammad Darwis dilahirkan pada tahun1869 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Ayahnya adalah K.H.Abubakar bin Haji Sulaiman, seorang khatib pada masjid SultanYogyakarta.5 Sebagai seorang anak dari keluarga yang taat beragama,tentu saja Dahlan sejak kanak-kanak telah menggeluti pendidikanagama seperti Alquran, hadis, fikih, tafsir, nahu, saraf di berbagailembaga pendidikan agama di sekitar Yogyakarta. Pendidikanyang demikian menghantarkannya menjadi seorang yang memilikipengetahuan agama yang kuat. Sementara ilmu pengetahuanlainnya, kecuali ilmu falak, kelihatannya memang tidak digelutinya.Pengetahuan dan pemahamannya dalam bidang agama semakin

Page 4: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

4

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

dalam ketika Dahlan berkesempatan belajar ke Tanah Suci Makkahselama tiga tahun dalam dua kali kunjungan.6

Kunjungan pertama ketika Dahlan menunaikan ibadahhaji pada tahun 1890 dan kemudian menetap dan belajar dikota suci ini selama satu tahun. Pada tahun 1903 ia berangkatlagi ke Makkah untuk yang kedua kalinya dan menetap di sanaselama dua tahun. Salah seorang gurunya ketika belajar di Makkahialah Syekh Ahmad Khatib, seorang ulama besar yang berasaldari Minangkabau yang sudah terkenal sebagai seorang yangcukup lantang menentang tarekat Naqsyabandiyah7 dan masalahpembagian harta warisan yang berlaku di daerah tanah kelahirannyadi Minangkabau. Sebagai seorang murid Ahmad Khatib tentusaja Dahlan pada saat itu telah berkenalan dengan pemikiranpembaharuan yang berkembang di Timur Tengah. Apalagi padamasa itu gagasan pembaharuan Timur Tengah terutama yangdipelopori gerakan Wahabiyah dengan segera menyebar ke berbagaipenjuru dunia Islam, tidak terkecuali Indonesia yang dibawaoleh jamaah haji Indonesia yang kembali dari Hijaz maupunmelalui penyebaran jurnal-jurnal pembaharuan semacam al- ‘UrwatulWutsqâ ataual-Manâr.8 Pergumulan Dahlan dengan ide-ide pembaharuanbaik yang diterimanya langsung dari guru-gurunya maupunmelalui bacaannya terhadap berbagai buku menyebabkan Dahlanmemiliki keinginan yang kuat untuk menerapkan ide-ide pembaharuanitu di tanah kelahirannya di Yogyakarta.

Hal ini jelas terlihat dari kegelisahan Dahlan menyaksikankeadaan bangsa Indonesia khususnya umat Islam yang terbelenggudalam berbagai keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinanyang sistematis sebagai dampak dari perlakuan penjajahan Belanda;dan didorong pula oleh pengalamannya dalam menyaksikangelombang pembaharuan yang sedang berlangsung di TimurTengah. Hal itulah yang kemudian membuahkan tekad bagiDahlan untuk berkontribusi melakukan perubahan ke arah

Page 5: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

5

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

yang diinginkan, sebagai muara dari keprihatinannya menyaksikansituasi dan kondisi bangsa Indonesia pada umumnya dan umatIslam khususnya.

Jika diperinci, paling tidak keprihatian Dahlan tersebutterfokus pada tiga hal. Pertama, keprihatianannya terhadap bentukkepercayaan dan pengamalan agama masyarakat Jawa yang cenderungsinkretis. Hal ini sebagai muara dari praktik keagamaan yangberlangsung di kalangan masyarakat Jawa khususnya di daerah-daerah bekas kerajaan besar Mataram Jawa, Yogyakarta, tempatkelahiran Dahlan, sebagai salah satu daerah yang sangat kuatdalam tradisi Hindu-Jawa.9 Hal inilah yang menjadi salah satufaktor yang membangkitkan semangat keagamaan Dahlan untukmengadakan pemurnian ajaran dan amalan Islam dari unsur-unsur takhayul, bidah, dan khurafat.

Kedua, keprihatinannya terhadap kondisi dan penyelenggaraanpendidikan agama yang secara metodologik jauh tertinggal dibandingkandengan kemajuan sekolah-sekolah gubernemen. Dalam pengamatanDahlan bahwa pendidikan umat Islam yang terpusat di pondok-pondok pesantren tidak efisien; selain disebabkan metodologipengajarannya yang kurang efektif, juga kurang membekali santrinyadalam bidang ilmu pengetahuan umum yang dapat digunakanuntuk memecahkan persoalan-persoalan duniawi. Sedangkandi sekolah-sekolah gubernemen yang secara metodik dan teknikpenyelenggaraannya lebih modern, tetapi karena isi bidang studinyatidak bersentuhan dengan iman dan kesalehan sebagai tujuanfundamental pendidikan Islam, menyebabkan sekolah ini puntidak dapat diharapkan menjadi alternatif bagi pendidikan umatIslam.10 Dampak yang ditumbuhkannya tidak saja sekadar terjadinyajurang pemisah antara golongan intelegensia yang berlatar belakangpendidikan umum dengan ulama yang berlatar belakang pendidikanpesantren, tetapi lebih dari itu menimbulkan kekurang-pedulian

Page 6: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

6

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

kalangan intelegensia terhadap persoalan agama, bahkan sebagiannyacenderung memusuhi agama.

Ketiga, keprihatinannya menyaksikan kegiatan para misionarisKristen yang sudah sangat intens di Jawa Tengah sejak penghujungabad ke-19. Misi:-misi tersebut berpengaruh besar dalam program-program pendidikan pemerintah kolonial. Bagi Dahlan, sekalipuntidak disuarakannya secara lantang, tetapi hal ini diterjemahkannyasebagai keinginan pemerintah kolonial untuk mengkristenkanJawa, dan karena itu dia ingin meningkatkan kualitas beragamamasyarakat guna membatasi pengaruh missionaris tersebut.11

Para penulis tentang Muhammadiyah hampir tidak pernahmengabaikan sebuah fakta sejarah bahwa gerakan pembaharuanyang awal sekali dilakukan Dahlan sebelum mendirikan Muhammadiyahadalah ketika dia, pada tahun 1898, berusaha mengubah arahkiblat di masjid Kesultanan Yogyakarta yang dinilainya tidakmengarah ke Kakbah. Tindakan Dahlan yang dipandang olehbanyak kalangan bertentangan dengan tradisi agama yang berlangsungsecara turun-temurun itu segera mendapat tantangan bukanhanya dari kiai-kiai tua yang konservatif, tetapi juga dari penguasa,meskipun pada lahirnya sultan bersikap netral dalam peristiwatersebut. Tantangan ini dapat dipandang sebagai salah satu kegagalanDahlan dalam merealisir cita-citanya khususnya di lingkunganistana. Boleh jadi itulah sebabnya mangapa ia lebih banyakmelakukan kegiatannya di dalam masyarakat dan di dalam duniapendidikan daripada di dalam keraton yang kaya dengan tradisidan berbagai kepercayaan yang sinkretis. Walaupun Dahlan merupakansalah seorang khatib pada masjid di Kesultanan Yogyakartayang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah berpulangke rahmatullah (1896), akan tetapi kehidupan sebagai pedagangbatik yang telah digelutinya sejak berusia muda, menyebabkanDahlan menjadi lebih banyak berada di tengah-tengah masyarakatdi luar keraton.

Page 7: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

7

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

Di luar keratonlah Dahlan berusaha memperbaiki sikaphidup masyarakat dengan mengajarkan kepada mereka ajaran-ajaran sosial dalam agama, seperti gotong royong, menyantunifakir miskin, anak yatim, dan tolong menolong. Kepada murid-muridnya ia menanamkan sifat tersebut dengan mempraktikkannyasecara langsung, sehingga murid-murid dapat melihat dan menghayatinilai-nilai positif yang terkandung dalam agama.

Sebelum mendirikan Muhammadiyah, Dahlan telah bergabungdengan organisasi Budi Utomo (1909), dengan maksud untukmemperoleh peluang guna menginternalisasikan nilai-nilai agamake dalam kelompok kebudayaan ini. Karena Dahlan memangmemiliki sikap rasional dan dapat menerima pemikiran modernmenyebabkan kehadirannya dalam organisasi ini disambut denganhangat bahkan cukup berpengaruh, yang menyebabkannya memperolehposisi sebagai salah seorang komisaris pada cabang Budi UtomoYogyakarta. Pada tahun 1910 Dahlan bergabung pula ke dalamorganisasi Jami’at Khair sebuah organisasi Islam yang didirikandi Jakarta tahun 1905 sebagai tempat berhimpun umat Islam tanpadiskriminasi, sekalipun mayoritas anggotanya adalah orang Arab.12

Semangat pembaharuan dan atmosfer intelektual yang dikembangkanorganisasi ini, menjadi daya pikat bagi Dahlan untuk bergabungdi dalamnya. Melalui Jami’at Khair inilah Dahlan semakinmengenal berbagai jurnal modernis dari Timur Tengah, sepertial-Manâr, al-‘Urwah al-Wutsqâ dan karya-karya modernis lainyang dibawa oleh para guru Arab yang datang mengajar disekolah-sekolah organisasi tersebut. Bahkan setelah mendirikanMuhammadiyah pun pada tahun 1912, Dahlan masih bergabungdalam organisasi politik, Sarekat Islam, yang diberi kedudukansebagai penasihat. Dalam berbagai kegiatan inilah, menurutbeberapa penulis Dahlan memperoleh pengalaman berharga dalammenata Muhammadiyah menjadi oganisasi yang bertalenta modern.Dari Jami’at Khair ditimbanya semangat intelektualisme keagamaan,

Page 8: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

8

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

dari Sarekat Islam dia berkenalan antusiasisme politik dan dalamBudi Utomo dapat dirasakannya sentuhan revivalisme kebudayaan.13

Di tengah kosmopolitalisme pergaulannya sebagai pedagangbatik, perjalanannya melaksanakan ibadah haji, belajar kepadaberbagai guru di Makkah, pergumulannya dalam berbagai organisasidan bacaan-bacaannya, menjadikan Dahlan berpikir keras untukmelakukan perubahan demi kemajuan umat Islam yang sedangmengalami keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Pergumulanpemikiran itulah yang kemudian mendorongnya “untuk mendirikanMuhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 yang berusahamelakukan pencerahan di tengah kemurahan nasib bangsanya.Melalui organisasi yang teraturlah, menurut pendapatnya, sebuahkekuatan baru dapat diorganisir, apalagi situasi pada masa ituberbagai organisasi yang bersifat keagamaan dan politik mulaibermunculan. Usaha Dahlan yang demikian mendapat sokongandari bekas murid-muridnya dan dari merekalah ia mendapatdukungan bagi organisasinya yang baru itu. Tercatat sembilanorang pimpinan Muhammadiyah pada masa awal itu, yaituKiai Haji Ahmad Dahlan (Ketua), Abdullah Siradj (Sekretaris),Haji Achmad, Haji Abdurrahman, Haji Sarkawi, Haji Muhammad,Raden Haji Djaelani, Aji Anies, dan Haji Muhammad Pakih.14

Dipilihnya nama “Muhammadiyah” sebagai nama organisasiyang didirikannya itu, selain secara harfiah mengandung arti“pengikut Muhammad” juga berkaitan erat sikap keagamaanyang diintrodusir Dahlan yang tidak terikat pada mazhab tertentuatau sebagai pengikut ulama tertentu, melainkan semata-mataittiba’ kepada Nabi Muhammad saw.15 Kecuali itu nama Muhammadiyahtersebut terkait pula dengan tujuan Muhammadiyah pertamasekali didirikan yaitu “menyebarkan pengajaran Kanjeng NabiMuhammad SAW. kepada penduduk bumi putra di dalam residensiYogyakarta, dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.”16

Page 9: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

9

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

Terlihat jelas bahwa sebagai sebuah organisasi yang berasaskanIslam, esensi tujuan Muhammadiyah adalah untuk menyebarkanagama Islam sebagaimana diwariskan oleh Nabi MuhammadSAW, baik melalui pendidikan maupun kegiatan sosial lainnya.Selain itu meluruskan kayakinan yang menyimpang serta menghapuskanperbuatan yang dianggap oleh Muhammadiyah sebagai takhayul,bid’ah dan khurafat. Di samping itu organisasi ini memunculkanpraktik-praktik ibadah yang hampir-hampir belum pernah dikenalsebelumnya oleh masyarakat, seperti salat Hari Raya di tanahlapang, Salat tarawih 11 rakaat, mengkoordinir pembagian zakatdan sebagainya. Kegiatan sosial lainnya, sedikit-banyak telahmengadopsi kegiatan zending Kristen, dan berhasil menghambatlaju perkembangan zending tersebut pada daerah-daerah tertentu.

Secara agak terperinci kegiatan-kegiatan Muhammadiyah,yang terasa berbeda pada masa itu dengan praktik-praktik keagamaanyang dilakukan umat Islam pada umumnya, antara lain adalah17

penentuan arah kiblat yang tepat dalam salat sebagai koreksidari kebiasaan sebelumnya yang menghadap tepat ke arah barat,penggunaan perhitungan astronomi dalam menentukan permulaandan akhir bulan puasa (hisâb), yang nyata-nyata berbeda denganmelakukan ru’yah atau pengamatan perjalanan bulan oleh petugasagama, dan menyelenggarakan salat bersama di lapangan terbukapada hari raya Islam, ‘Idul Fitri, dan ‘Idul Adha, sebagai gantidalam salat serupa dalam jumlah jamaah yang lebih kecil yangdiselenggarakan di masjid.

Melalui kegiatan-kegiatan di atas, Muhammadiyah dikenalsebagai sebuah organisasi sosial keagamaan yang modern yangtampil di tengah-tengah masyarakat Islam yang sedang menghadapikrisis. Dengan gaya dan metodenya yang khas, tanpa menimbulkankecurigaan pemerintah kolonial atau kegoncangan sosial, Muhammadiyahtelah mengukuhkan dirinya sebagai organisasi pembaharu. KedudukanMuhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan sebagaimana

Page 10: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

10

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

banyak dikemukakan oleh para peneliti dan penulis tentangMuhammadiyah terletak pada upaya-upaya kreatifnya dalammengubah, memperbaharui dan meluruskan kembali pemikiran,persepsi, kebiasaan-kebiasan dan praktik keberagamaan (Islam)yang telah mapan kepada pemahaman dan pengamalan baru.18

Perkembangan MuhammadiyahBerkenaan dengan perkembangannya dapat dicatat bahwa

dalam masa empat tahun sejak berdirinya Muhammadiyah secaraorganisatoris hanya berkegiatan di Yogyakarta sekalipun secaraindividual Dahlan dan pengurus lainnya tetap mengkampanyekanMuhammadiyah ke berbagai daerah. Barulah pada tahun 1917daerah, operasi Muhammadiyah mulai diperluas. Permintaanuntuk mendirikan Muhammadiyah dari berbagai daerah diJawa semakin banyak ketika Dahlan pada tahun yang samadalam tablighnya pada Kongres Budi Utomo berhasil mempesonapara pendengarnya dengan uraian-uraian yang sistematis tentangagama dan kehidupan sosial. Karena itulah Anggaran Dasarorganisasi Muhammadiyah yang pada mulanya membatasi diridi daerah residensi Yogyakarta saja, haruslah terlebih dahuludiubah. Perubahan tersebut pertama sekali dilakukan pada tahun1920 yang menyebutkan kegiatan Muhammadiyah meliputiseluruh pulau Jawa. Bersamaan dengan itu permintaan untukmendirikan cabang ternyata tidak saja dari pulau Jawa, melainkanjuga datang dari luar Jawa. Karena itu pula tahun 1921, AnggaranDasar Muhammadiyah kembali diubah yang menyebutkan daerahoperasinya di seluruh Indonesia, yang selengkapnya berbunyisebagai berikut “memajukan dan menggembirakan pengajarandan pelajaran agama Islam di Hindia Nederland; dan memajukancara kehidupan sepanjang kemauan Agama Islam kepada lid-lidnya (segala sekutunya).”19

Page 11: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

11

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

Perluasan organisasi ini ke seluruh Indonesia, selain didukungoleh kepribadian Dahlan dan cara-caranya berpropaganda yangsantun, toleran dan komunikatif menjadi daya tarik bagi parapendengarnya untuk segera masuk dalam rangkulan kharismatikaDahlan. Selain itu orang-orang yang telah mengenal pembaharuanIslam di Timur Tengah melihat pula pembaharuan yang agakserupa terdapat dalam Muhammadiyah. Hal ini menjadi salahsatu faktor pendukung bagi penyebaran pengaruh organisasiini apalagi ide-ide tentang pembaharuan, sekalipun belum tentuutuh, memang sudah dikenal di sebagian besar wilayah Indonesia,terutama perkotaan.20

Perluasan cabang-cabang Muhammadiyah juga diuntungkanoleh keberadaan pedagang-pedagang dari Minangkabau di berbagaikota lainnya. Sebagian para pedagang itu, sedikit-banyak, telahberkenalan dengan pemikiran pembaharuan Islam yang masukke Minangkabau. Tidak mengherankan jika Haji Rasul (HajiAbdul Karim Amrullah, ayahanda HAMKA), seorang ulamaterkemuka dari Minangkabau dalam perjumpaannya yang hanyasekejap dengan Dahlan di Pekalongan pada tahun 1925 segerabersimpati, dan berjanji akan mengembangkan Muhammadiyahdi Minangkabau. Karena itu bukan hal yang luar biasa jikacabang Muhammadiyah yang pertama di luar Jawa adalah diMinangkabau yang berdiri tahun 1925.

Pada tahun 1927 berdiri pula cabang Muhammadiyah diMedan sebagai cabang pertama di Sumatera Utara. Pada tahunitu juga berdiri cabang-cabang Muhammadiyah di Bengkulu,Banjarmasin dan Amuntai. Tahun 1929 cabang Muhammadiyahsecara resmi berdiri di Aceh dan Makassar. Tahun 1930 didirikanpula cabang Muhammadiyah Merauke. Sejak tahun 90-an danseterusnya organisasi mengalami perkembangan yang cukuppesat dan mencapai hampir semua daerah Indonesia.21

Page 12: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

12

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

Mudah dimengerti jika penyebaran Muhammadiyah diIndonesia sedikit banyak melalui interaksi kaum pedagang.Artinya, Muhammadiyah terbina antara tradisi Kauman Yogyakarta,tempat Muhammadiyah bermarkas, dan tradisi perantau yangmenampakkan asal-usul dari enklave (kantong) enterpreneur.Berkembangnya Muhammadiyah di daerah lain juga berkembangdi enklave enterpreneur, seperti Pekajangan di Pekalongan, Laweandi Solo, Surabaya, Kotagede di Yogyakarta, dan sebagainya. Sepertimasuknya Muhammadiyah ke Minangkabau yang terjadi lewatperkenalan para pedagang Minangkabau yang berada di Pekalongandengan Dahlan yang kerap melakukan tabligh di daerah itu.Interaksi tersebut sangat berpengaruh di kalangan pedagang,dan akhirnya dibawa sampai ke ranah Minang.

Telah disebutkan di depan bahwa Haji Rasul yang tengahmenjenguk keluarganya, A.R. Sutan Mansur, begitu tertarik denganperbincangan yang disampaikan Kiai Dahlan, tentang “manusiamandiri”. Menurut Dahlan, manusia sebagai makhluk Allahyang mempunyai tanggung jawab langsung kepada Sang MahaPencipta, namun memerlukan manusia lain untuk lebih memungkinkandirinya menjadi manusia yang takwa. Tema itu selalu didengungkanantara lain oleh H.A. Karim Amrullah dalam usahanya menyebarkanMuhammadiyah di Sumatera Barat.22 Sejak itu pula para pedagangbatik Sumatera yang bermukim di Pekalongan mendirikan cabangMuhammadiyah dan kemudian berhasil memengaruhi orangsedaerah mereka nun jauh di pulau Sumatera. Secara ekstrembisa digambarkan bahwa jika Kauman-Yogyakarta adalah faktorutama dari kemantapan organisasi, maka tradisi perantau adalahkultur yang selalu menggugah kemantapan dan yang selalu inginmelebarkan sayap.

Bersama dengan perluasan organisasi ke berbagai daerahdi Indonesia, Muhammadiyah juga melakukan perluasan dandiversifikasi kegiatan yang dilaksanakannya. Organisasi PKU

Page 13: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

13

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

(Penolong Kesengsaraan Umum), misalnya, pada mulanya merupakanorganisasi yang berdiri sendiri, dan didirikan oleh tokoh-tokohMuhammadiyah pada tahun 1918 guna memberikan bantuanbagi korban meletusnya gunung Kelud, pada tahun 1921 bergabungdengan Muhammadiyah dan menjadi bagian yang menanganikegiatan seperti pendirian rumah sakit, klinik, maupun penyalurandana-dana untuk bencana alam.23

Organisasi wanita dalam Muhammadiyah yang bernamaAisyiah didirikan pada tahun 1922. Organisasi ini memberikanperhatian yang serius terhadap peran ibu dalam pendidikan,terutama karena seorang anak pertama sekali memperoleh pendidikantentulah dari ibunya sendiri. Hal tersebut bermakna bahwakaum ibu memiliki kewajiban dan tangung jawab yang sangatbesar terhadap perkembangan masyarakat melalui asuhan danpendidikan yang diberikan kepada putera puteri yang dilahirkannya.Dalam perkembangan selanjutnya, sektor kewanitaan Muhammadiyahini berkembang dengan dibentuknya organisasi bagi remajawanita, bernama Nasyiatul Aisyiyah.24

Satu bagian yang penting dari Muhammadiyah adalah MajlisTarjih yang didirikan pada tahun 1927. Majelis ini berfungsisebagai lembaga pemberi fatwa atau kepastian hukum tentangmasalah-masalah yang diperdebatkan umat Islam, baik yangmenyangkut agama dalam arti sempit maupun persoalan-persoalanlainnya. Alasan lain bagi pembentukan majelis ini adalah kekhawatiranbahwa pertikaian yang dijumpai dalam masyarakat umumnyamungkin sekali masuk ke dalam organisasi Muhammadiyahsendiri dengan kemungkinan menghambat kemajuan organisasiitu. Dengan demikian, kalau pada masa-masa sebelumnya anggotaMuhammadiyah memperoleh ketetapan hukum dari para ulamanyasecara perorangan, maka diharapkan melalui Majelis Tarjih ini,akan ada pendapat yang mewakili organisasi dan dipedomanipara pemimpin dan anggotanya.25

Page 14: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

14

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

Penyebaran dan perkembangan Muhammadiyah di Indonesiamemang cukup pesat. Dalam tahun 1925 organisasi ini telahmemiliki 29 cabang dengan 4.000 anggota. Dalam waktu 13tahun kemudian yaitu tahun 1938 telah memiliki 852 cabangdengan 250.000. Pada saat itu Muhammadiyah mengelola 1.774sekolah, 834 masjid, 31 perpustakaan umum dan mempunyailebih 7.000 dai. Muhammadiyah terus berkembang dan berkiprahhingga saat ini. Ini dibuktikan dengan meluasnya sayap organisasitersebut ke hampir setiap pelosok tanah air, dengan berbagaikegiatan.26

Perlu dijelaskan bahwa jaringan struktural Muhammadiyahdi Indonesia terdiri atas: (1) Pimpinan Pusat Muhammadiyahyang merupakan jaringan struktural tertinggi dari seluruh levelPimpinan Muhammadiyah. (2) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah(PWM) setingkat propinsi. (3) Pimpinan Daerah Muhammadiyah(PDM) untuk tingkat kabupaten/kota. (4) Pimpinan CabangMuhammadiyah pada tingkat kecamatan (sub-district). (5) PimpinanRanting Muhammadiyah untuk tingkat pemerintahan desa.27

Muhammadiyah juga memiliki sejumlah majelis/badan/lembaga,yang secara fungsional menangani program-program tertentudi lingkungan Muhammadiyah. Setiap level pimpinan Muhammadiyah(baik Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerahmaupun Pimpinan Cabang) memiliki majelis/badan/lembagaini. Khusus pada tingkat Pimpinan Cabang, majelis/badan/lembaga ini disebut ‘Bagian’.

Adapun majelis/badan/lembaga yang ada di lingkunganMuhammadiyah adalah Majelis Pembina Kesehatan, MajelisPendidikan Tinggi, Majelis Pustaka dan Dokumentasi, MajelisPembina Kesejahteraan Sosial dan Pengembangan Masyarakat,Majelis Tabligh, Majelis Tarjih dan Pengembangan PemikiranIslam, Majelis Wakaf dan Kehartabendaan, Majelis PendidikanDasar dan Menengah, Majelis Pembina Ekonomi, Badan Pembinaan

Page 15: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

15

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

Kader dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah, BadanKerjasama dan Hubungan Luar Negeri, Badan Pengkajian danPengembangan, Lembaga Dakwah Khusus, Lembaga Kebudayaan,Lembaga Pengembangan Sumberdaya Manusia dan PendidikanKhusus, Lembaga Pengembangan Organisasi, Lembaga Pembinaandan Pengawasan Keuangan, dan Lembaga Hikmah.28

Selain yang disebutkan di atas, Muhammadiyah juga memilikiorganisasi-organisai otonom yang secara khusus dibentuk dalambidang-bidang tertentu sebagai upaya untuk mempercepat pencapaianmaksud dan tujuan Muhammadiyah. Jaringan struktrural organisasiotonom ini sama dengan struktur pimpinan Muhammadiyah,mulai tingkat pimpinan pusat sampai pimpinan ranting. Organisasiotonom ini terdiri atas Aisyiyah, yang bergerak di kalanganwanita dan ibu-ibu; Pemuda Muhammadiyah, yang bergerak dikalangan pemuda; Nasyi’atul Aisyiyah, yang bergerak di kalanganperempuan-perempuan muda; Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah,yang bergerak di kalangan mahasiswa; Tapak Suci Putera Muhammadiyah,yang bergerak dalam aktivitas bela diri; dan Hizbul Wathan,yang bergerak dalam aktivitas kepanduan.29

Muhammadiyah dari masa ke masa terus tumbuh danberkembang dengan pesatnya. Sampai tahun 2005, tercatat bahwaMuhammadiyah memiliki 2.461 cabang dengan 6.098 rantingyang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Khusus dalam bidangpendidikan Muhammadiyah mengelola 1.128 Sekolah Dasar(SD), 1.179 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP/SMP), 509Sekolah Menengah Umum (SMU), 209 Sekolah Menengah Kejuruan(SMK), 1.768 Madarasah Ibtidaiyah/Diniyah (MI/MD), 534Madrasah Tsanawiyah (MTs), 171 Madrasah Aliyah (MA), 55Pondok Pesantren, 32 Universitas, 52 Sekolah Tinggi, 45 Akademi,dan3 Politeknik. Sedangkan bidang amal usaha lainnya, Muhammadiyahmengelola 312 buah rumah sakit dan poliklinik, 240 Panti Asuhan,

Page 16: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

16

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

19 Bank Perkreditan Rakyat (BPR), 190 Baitul Tamwil dan 88Koperasi.30

Semua kegiatan tersebut, besar atau kecil, pada hakikatnyamerupakan upaya Muhammadiyah untuk “menegakkan danmenjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakatutama, adil dan makmur yang diridhai Allah Subhanahu wata‘ala,” sebagaimana dinyatakan dalam tujuan organisasi Muhammadiyah.

Perkembangan Muhammadiyah di Sumatera TimurSumatera Utara sekarang ini merupakan gabungan Keresidenan

Sumatera Timur dan Keresidenan Tapanuli, Keresidenan SumateraTimur terdiri atas beberapa daerah yang meliputi: Langkat, Binjai,Medan, Deli Serdang, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Simalungun,Asahan, Tanjung Balai, Karo, dan Labuhan Batu sampai keBagan Siapi-api. Daerah tersebut merupakan dataran rendahyang subur dan dihuni oleh mayoritas penduduk beragama Islamsecara turun temurun sejak masuknya Islam sekitar abad ke-7 diPantai Barat Sumatera.31 Daerah subur itu dipimpin oleh tuan-tuan tanah perkebunan dan raja-raja Melayu yang disebut denganSultan. Kekuasaan agama diamanahkan kepada ulama atau guruagama, dan kehidupan beragama diatur dalam satu mazhabtertentu, mazhab Syâfi‘i. Bagi orang-orang yang tidak menganutsesuatu mazhab pastilah dianggap sebagai pembawa paham agamabaru yang sering dijuluki sebagai “kaum muda”.32

Raja-raja di Kesultanan Melayu semuanya beragama Islam;bahkan upacara-upacara keagamaan telah ikut serta dalam melegimitasikekuasaan dan kewibawaan mereka. Masjid-masjid yang padaumumnya didirikan oleh para Sultan telah ikut berperan dalammengukuhkan tingkat penghormatan rakyat kepada mereka.Tak heran jika pengagungan dan kultusisme terhadap raja-rajaterasa kental dan tak terelakkan, sebagaimana doa-doa khusus

Page 17: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

17

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

yang dimohonkan para khatib ketika berkhutbah untuk kebahagiandan kesentosaan para raja dan keturunannya. Keadaan ini berlangsungdalam waktu yang cukup lama, bahkan sampai pada masa kemerdekaanRepublik Indonesia gambaran keadaan seperti di atas masihsaja ditemukan. Kenyataan ini tidak kondusif bagi masuk danberkembangnya Muhammadiyah ke daerah ini.

Jika kemudian Muhammadiyah masuk dan berkembangke daerah ini seperti yang dapat disaksikan sekarang ini tentulahbukan berasal dari masyarakat dan orang-orang “pribumi” asliSumatera Timur, melainkan dibawa oleh para perantau yangtelah mengenal Muhammadiyah di kampung asalnya, terutamaperantau Minangkabau, Jawa dan Mandailing. Adanya keinginanuntuk mendirikan Muhammadiyah di daerah ini sudah dimulaisekitar tahun 1925, ketika Mas Pono yang datang dari Yogyakartabertemu dengan Djuin St. Penghulu, St. Saidi Djamaris, Dt.Bungsu dan kawan-kawan yang merupakan perantau-perantaudari Minangkabau, yang di kampung halamannya masing-masingtelah mengenal dan menerima paham agama yang dikembangkanoleh Muhammadiyah. Entah siapa yang memulai, akan tetapidi sela-sela perbincangan mereka sesama pedagang kecil itu, adakeinginan yang sama untuk mendirikan Muhammadiyah. Akantetapi keinginan untuk mendirikan organisasi setingkat rantingpun masih sulit dilakukan, apalagi paham agama yang diperkenalkanMuhammadiyah banyak berbeda dengan praktik keagamaandi tengah-tengah masyarakat, yang sudah tentu akan banyakmendapat tantangan. Selain itu mereka benar-benar menyadari,bahwa mereka bukanlah ulama, dan tidak pula memahami selukbeluk berorganisasi. Mereka tetaplah sebagai pedagang kecilyang membawa dagangannya berupa barang-barang keperluansehari-hari ke daerah-daerah perkebunan di sekitar Medan.33

Sekalipun begitu, kesepakatan lain bisa dicapai yaitu mencariorang-orang yang sepaham. Karena itulah mereka mulai menghimpun

Page 18: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

18

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

kawan-kawan yang sepaham dengan cara mengenali mereka ketikamelaksanakan salat di dekat pajak bundar Medan. Di sinilahawal pertemuan Djuin St Penghulu, Mas Pono, St Maradjo,Kari Suib dan sejumlah kawan-kawannya yang lain dari Tapanuliyang kemudian sepakat untuk mendirikan Muhammadiyah.Selain itu mereka juga melakukan pendekatan terhadap HR.Muhammad Said yang pernah menjadi Ketua atau Vice PresidentSerikat Islam Pematang Siantar dan wartawan Pewarta Deli sebagaitenaga baru yang diharapkan dapat memimpin Muhammadiyahjika kelak telah berdiri.34

Keinginan yang telah ada itu semakin kuat ketika ARSutan Mansur bersama M. Fakhruddin sebagai utusan HoofdbestuurMuhammadiyah berkunjung ke Medan dan Aceh pada bulanMei 1927 untuk mempropagandakan Muhammadiyah kepadapara sismpatisannya. Hal ini tentu saja mempertebal semangatdan hasrat untuk mendirikan Muhammadiyah.35

Bermodalkan keinginan yang kuat untuk berhimpun itulahsebuah pertemuan di Jalan Nagapatan 44 (sekarang Jalan Kediri)Kampung Keling Medan pada tanggal 25 Nopember 1927 dapatdilangsungkan dengan khidmat. Pertemuan itu memang berlangsungalot karena setiap peserta diberikan kebebasan untuk mengemukakanpendapat tentang bentuk dan corak organisasi yang akan didirikanitu. Sekalipun begitu, pada akhirnya pertemuan itu berhasiljuga membuahkan kata sepakat untuk mendirikan organisasiMuhammadiyah di Kota Medan sebagai cabang Muhammadiyahyang didirikan K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Selain iturapat juga menyepakati Hr. Muhammad Said sebagai ketuanya.

Sekalipun tahun 1927 organisasi Muhammadiyah di Medantelah didirikan, akan tetapi Surat Ketetapan Hoofdbestuur (PengurusBesar) Muhammadiyah baru dikeluarkan pada tanggal 1 Juli1928.36 Tahun ini dinilai sebagai tahun resmi berdirinya Muhammadiyah.Para pengurus Muhammadiyah pada periode awal itu adalah37

Page 19: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

19

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

HR. Muhammad Said (Ketua), Djuin Sutan Penghulu (WakilKetua), Mas Pono (Sekretaris), Penghulu Manan (Wakil Sekretaris),Sutan Saidi (Bendahara), Tujung Muhd Arif (Advisur), dan parakomisaris antara lain Kongo St. Maradjo, Hasan St. Batuah,Awan St. Saripado, Hadji Kari Sju’ib, dan St. Ibrahim.

Setelah cabang Medan resmi berdiri di bawah kepemimpinanHR. Muhammad Said, aktivitas dan frekuensi dakwah semakinmeningkat. Ceramah-ceramah agama semakin sering dilakukandalam berbagai pertemuan. Tema-tema pembahasan, sekalipundalam beberapa aspek memang dikaitkan dengan masalah-masalahkehidupan sosial dan akhlak, akan tetapi fokus perbincanganmasih terkonsentrasi pada persoalan fiqhiyah sebagai pembicaraanyang sedang menghangat pada masa itu, seperti usolli, meluruskanarah kiblat, salat memakai dasi, kenduri kematian, ziarah kekuburan keramat, salat Hari Raya di lapangan terbuka, dansalat sunat 11 rakaat dalam bulan Ramadhan.

Kehadiran Muhammadiyah dengan “paham agama baru”itu, tentu saja menjadi buah bibir masyarakat Medan, baikyang pro maupun yang kontra dalam berbagai diskusi dan perbincangan,baik formal maupun yang bukan. Hal ini pula yang menjadisalah satu faktor yang segera menggelitik perhatian murid-muridsenior Madrasah Islamiyah Tapanuli (MIT)38 sehingga merekamembentuk kelompok diskusi (1928) yang bernama DebatingClub. Di dalam kelompok inilah berbagai hal tentang persoalan-persoalan agama didiskusikan termasuk paham agama yangdikembangkan Muhammadiyah. Bukan berlebihan kalau kemudianHasan Asari mengurai analisisnya bahwa “Pendirian DebatingClub ini berkaitan dengan meluasnya diskusi-diskusi mengenainasionalisme dan berbagai paham keagamaan yang terutamadidorong oleh kaum pembaharu.”39 Terlepas dari materi yangdiperdebatkan, akan tetapi pertemuan-pertemuan dalam diskusi

Page 20: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

20

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

itu dipandang bermanfaat yang kemudian menjadi momentumberdirinya organisasi Al Washliyah pada 30 Nopember 1930.40

Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah bukanlah datangdari Al Washliyah sebagai organisasi yang baru saja berdiri diMedan Sumatera Timur, sekalipun paham keagamaan organisasisecara nyata berbeda dengan Muhammadiyah. Memang benarbahwa Al Washliyah secara formal adalah pengikut mazhabSyâfi‘i, akan tetapi keterbukaannya menerima perbedaan sepertiterlihat nanti pada tahun-tahun berikutnya memungkinkan kerjasamayang sangat akrab antara Al Washliyah dan Muhammadiyah.41

Tantangan ini juga tidak datang dari organisasi Al-Ittihadiyahyang berdiri di Medan pada tahun 1935, karena dalam berbagaibukti nyata dapat terlihat bahwa sejumlah tokoh Al-Ittihadiyahseperti Zainal Arifin Abbas dan Salim Fachri sekaligus jugasimpatisan dan pengasuh madrasah Muallimin Muhammadiyahdi Binjai.42 Bagi Muhammadiyah sebagaimana dikemukakanAbdul Mu’thi:

Bagi Muhammadijah adanja Partai dan Organisasi itu dirasakansebagai teman untuk menambah ketjerdasan bangsa dan kemadjuannjajang pula mendjadi tudjuan Muhammadijah. Mereka tidaklahdianggap sebagai saingan yang perlu dikalahkan supaja dapatmenang sendiri.43

Tantangan yang dirasakan Muhammadiyah pada awal-awalberdirinya terutama datang dari pihak penjajah, sultan danraja-raja. Dengan politik adu domba pihak kolonial menggunakanpara sultan sebagai kekuatan untuk menumpas Muhammadiyah.Tidak mengherankan jika para sultan juga memanfaatkan sebagianulama untuk menantang Muhammadiyah, sebagaimana dituturkanAbdul Mu’thi sebagai berikut:

Resep devide et impera ’ pun dikeluarkanlah dari simpanan,maka diadulah para Sulthan, Zelfbestuur dengan Muhammadijah.Hampir sekalian Sulthan2 menolak dan membentji Muhammadijah

Page 21: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

21

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

dan hampir seluruh para ulamanja dikerahkan untuk menentangMuhammadijah. Diantara ulama itu ada jang memberikanfatwa: ‘Barangsiapa jang memasuki Muhammadijah, makakafirlah dia’. Fatwa jang tadjam ini, sangat dalam menikamdada Muhammadijah, karena dengan fatwa jang demikian,rakjatdapat pegangan untuk berdjihad menentang Muhammadijahdan anggota2nja.44

Banyak peristiwa tragis yang dilalui Muhammadiyah ketikamelaksanakan kegiatannya di Sumatera Timur, mulai dari upayamenghalang-halangi anggota masyarakat yang akan menghadirirapat-rapat umum Muhammadiyah sampai kepada penganiayaanterhadap pimpinan dan anggota Muhammadiyah.45

Halang rintang yang dialami Muhammadiyah itu tidakmengurangi aktivitas para pemimpin Muhammadiyah untukmeluaskan sayapnya ke berbagai daerah di Sumatera Timur,yang ditandai dengan berdirinya grup-grup Muhammadiyah(pada masa itu disebut gerombolan), baik yang setingkat cabangataupun ranting di berbagai daerah. Hanya dalam masa tigatahun saja setelah Cabang Muhammadiyah Medan berdiri (1927-1930) telah tumbuh 10 cabang Muhammadiyah lainnya (1)Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pancurbatu, 18 Januari 1928;(2) Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pematang Tanah Jawa,27 April 1929; (3) Pimpinan Cabang Muhammadiyah TebingTinggi, 1 Mei 1929; (4) Pimpinan Cabang MuhammadiyahKisaran, 23 Desember 1929; (5) Pimpinan Cabang MuhammadiyahPematang Siantar,27 Januari1930; (6) Pimpinan Cabang MuhammadiyahKerasaan, 5 Maret 1930; (7) Pimpinan Cabang MuhammadiyahGlugur, 1 Juli 1930; (8) Pimpinan Cabang Muhammadiyah TanjungBalai, 12 Oktober 1930; (9) Pimpinan Cabang MuhammadiyahBinjai, 20 November 1930; (10) Pimpinan Cabang MuhammadiyahPerdagangan, 7 Desember 1930.

Page 22: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

22

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

Pertumbuhan Cabang Muhammadiyah semakin meningkat,apalagi setelah berlangsungnya Kongres Muhammadiyah ke-30di Bukittinggi tanggal 14-26 Maret 1930 sebagai kongres pertamayang dilaksanakan di luar Jawa. Salah satu keputusan pentingdalam Kongres tersebut adalah bahwa pada setiap keresidenanharus ada wakil HB Muhammadiyah yang dinamakan KonsulMuhammadiyah. Karena itu Hr. Muhammad Said yang sebelumnyamerupakan Ketua Cabang Muhammadiyah Medan ditetapkanmenjadi Konsul Muhammadiyah Daerah Pesisir Timur. Jabatanini diemban sampai akhir hayatnya (wafat 22 Desember 1939).Setelah HR. Muhammad Said wafat, Konsul MuhammadiyahSumatera Timur dijabat oleh Buya Hamka, dibantu Tami MarihatUsnian, HM Bustami Ibrahim, dan Agus sebagai sekretaris.

Dengan berdirinya Konsul Muhammadiyah, gerakan memperluassayap semakin gencar dilaksanakan, sementara cabang dan rantingMuhammadiyah aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan sepertimendirikan sekolah, melaksanakan pengajian agama, penyantunanfakir miskin dan yatim piatu serta berbagai kegiatan sosialkeagamaan lainnya. Jika pada tahun1930 jumlah Ranting Muhammadiyahbaru sekitar 19 ranting yang bernaung pada 10 cabang, makapada tahun 1940 ranting Muhammadiyah di seluruh SumateraTimur berkembang menjadi 72 ranting. Perkembangan danpertumbuhan yang demikian pesat selain karena gencarnya propagandayang dilakukan oleh Muhammadiyah juga disebabkan semakindikenalnya Muhammadiyah di kalangan masyarakat luas. Jikapada masa-masa sebelumnya anggota-anggota Muhammadiyahdidominasi oleh para perantau Minang ditambah dengan orang-orang Mandailing dan Jawa, maka pada masa ini kalangan turunanbangsawan dan putera-puteri asli Sumatera Timur pun telah adayang ikut bergabung di dalamnya, seperti Tengku Katan, TengkuYahya, Tengku Johani dan lain-lain.46 Bahkan beberapa di antaranya

Page 23: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

23

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

kemudian menjadi tokoh- tokoh yang berpengaruh di kalanganMuhammadiyah.

Pada bulan Juli1941 ketika berlangsung Konperensi Muhammadiyahdi Binjai, H. M. Saleh dari Pematang Siantar berhasil memperolehdukungan suara terbanyak dan berpeluang menjadi KonsulMuhammadiyah. Akan tetapi karena beliau mengundurkan dirimaka Buya Hamka jugalah yang ditetapkan kembali sebagaiKetua Konsul Muhammadiyah Daerah Sumatera Timur. Jabatanini dipegangnya sampai masa Jepang menyerah kalah pada tentarasekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, karena pada masa ituHamka meninggalkan Medan, dan baru kembali ke Medansetelah Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.

Menjelang kedatangan Jepang ke Indonesia, situasi memangserba tidak menentu apalagi jika dikaitkan dengan persoalanmengenai akan pecahnya perang Pasifik, yang semuanya menyitapikiran para tokoh Muhammadiyah di Indonesia. Apa yangterjadi jika peperangan itu terjadi? Bagaimana kalau hubunganJawa, Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur terputus? Siapayang akan mengambil keputusan tentang Muhammadiyah dananggota-anggotanya jika hubungan antara Jawa dan daerah-daerahlainnya terganggu? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang bergelindingpada forum Sidang Tanwir Muhammadiyah yan dilaksanakanpada tanggal22-24 Mei1941 di Surabaya, dengan mempertimbangkanberbagai hal. Akhirnya, sidang Tanwir tersebut membuat ketetapansebagai berikut:

Andaikata pecah peperangan sehingga hubungan antara pusatdan Pimpinan di daerah-daerah terputus, maka Pusat Pimpinanmencerahkan dan mengamanatkan Muhammadiyah kepadapara Consul-consul yang bertindak sebagai Hoofdbestuur,yaitu A.R. Sutan Mansur untuk Sumatera, GM. Hasan Tjoronguntuk Bomeo, dan H.S. Daeng Muntu untuk Celebes (Sulawesi).47

Page 24: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

24

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

Dengan keluarnya keputusan ini, Muhammadiyah SumateraTimur banyak melakukan konsultasi dengan AR Sutan Mansur,yang dalam bahasa sehari-hari disebut-sebut sebagai “Imam MuhammadiyahSumatera”. Tatkala akhirnya Perang Pasifik pecah juga, dan tenteraJepang ke Kota Medan tanggal 12 Maret 1942, peran AR SutanMansur sebagai Imam Muhammadiyah di Sumatera menjadicukup sentral, termasuk di daerah Sumatera Timur.

Tidak seperti yang dikhawatirkan, kedatangan Jepang keIndonesia menggantikan kolonial Belanda dalam beberapa halmembawa perubahan yang cukup berarti bagi organisasi Muhammadiyahdi Sumatera Timur. Pertama, hengkangnya kolonial Belanda,yang berarti lenyapnya kekuasaan Zelfbestuur sebagai badanyang mengawasi berbagai kegiatan agama dan upacara-upacaraagama yang berdampak kepada adanya sedikit kebebasan dalammenjalankan kegiatan agama. Kedua, semakin terciptanya hubunganakrab di kalangan para ulama. Jika pada masa-masa sebelumnyaterdapat semacam jurang pemisah antara ulama dari kalangan“kaum tua” dengan ulama “kaum muda”, maka pada masa Jepang,kedua golongan ini saling merapat karena anjuran Jepang bagisemua penduduk Indonesia untuk melakukan “sembahyang”menghadap matahari, merupakan ancaman terhadap akidahyang harus dihadapi secara bersama-sama. Ketiga, lumpuhnyakekuasaan para Sultan dan raja-raja yang selama ini selalu digunakankolonial Belanda untuk memberangus Muhammadiyah. Halitu berarti bahwa salah satu batu penarung yang selalu menghambatperjalanan Muhammadiyah sudah tidak berperan lagi.

Ketiga hal di atas segera direspons Muhammadiyah untuksegera melaksanakan kegiatan-kegiatan yang selama ini dirasakansering terhambat, yang salah satu di antaranya adalah hambatanuntuk melaksanakan salat Jumat sebagaimana yang dipahamiMuhammadiyah. Keinginan seperti itu telah lama ada sejakpada masa permulaan Muhammadiyah berdiri di Medan. Akan

Page 25: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

25

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

tetapi hambatan selalu datang terutama dari Zelfbestuur yangtidak pernah mengizinkan pelaksanaan salat Jumat selain padamasjid-masjid yang telah ditentukan. Pada umumnya masjid-masjid yang melaksanakan salat Jumat adalah masjid-masjidSultan atau masjid-masjid yang memiliki hubungan kekarabatandengan kerajaan, yang dalam beberapa bentuk dan praktikpenyelenggaraannya jelas berbeda dengan yang dipahami Muhammadiyah.Jadi, masuknya Jepang telah memberi peluang bagi Muhammadiyahdi Medan untuk melaksanakan salat Jumat. Hanya sebulan setelahJepang menginjakkan kakinya di Medan berlangsunglah salatJumat bagi jamaah Muhammadiyah yang dilaksanakan di gedungSekolah Muhammadiyah Jalan Kamboja Medan. Bersamaandengan selesainya masjid Taqwa di Jalan Kamboja dibangunpada awal tahun 1945 sebagai masjid pertama yang dimilikiMuhammadiyah di Kota ini, maka pelaksanaan salat Jumatsegera dipindahkan ke masjid tersebut.48

Hambatan serupa tidak saja terjadi di Medan, melainkanjuga di berbagai daerah di pesisir Sumatera Timur lainnya. DiSei Rampah, misalnya, sempat terjadi ketegangan antara kerajaandengan Jahja Pintor, Ketua Cabang Muhammadiyah Rampah,yang sama sekali tidak mengindahkan adanya larangan bagiMuhammadiyah untuk melaksanakan salat dimaksud. Karenalarangan itu tidak pernah diindahkan, Jahja Pintor harus meringkukdalam penjara. Baru menjelang masuknya Jepang, kegiatan tersebutbisa dilaksanakan kembali bersamaan dengan dibebaskannyaJahja Pintor dari penjara.49 Dalam masa ini setidaknya ada enamcabang Muhammadiyah yang dipandang sebagai perintis pelaksanaansalat Jumat di lingkungan jamaah Muhammadiyah SumateraTimur, yaitu Medan, Sei Rampah, Tebing Tinggi, Indrapuradan Negeri Lama.50 Pada tahun-tahun berikutnya setiap cabangseakan berlomba untuk melaksanakan salat Jumat di kalanganpara jamaahnya, yang kemudian diikuti dengan berdirinya masjid-

Page 26: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

26

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

masjid Muhammadiyah yang seluruhnya diberi nama MasjidTaqwa.

Memang apabila dilihat segi perkembangan organisasi,tampak jelas bahwa pertumbuhan cabang atau ranting Muhammadiyahtidak lagi sepesat masa-masa sebelumnya. Bahkan sampai dengankemerdekaan Republik Indonesia hanya ada9 ranting Muhammadiyahyang bertambah sehingga jumlah keseluruhannya mencapai 87ranting. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, selaindisebabkan situasi politik pada zaman penjajahan Jepang yanglabil dan tidak mudah ditebak sehingga diperlukan kehati-hatianyang tinggi, juga sebagian besar pengurus dan tokoh-tokoh Muhammadiyahpada masa itu lebih terkonsenterasi melakukan konsolidasi organisasi,seperti meningkatkan status ranting menjadi cabang, di sampinggiat melakukan pembinaan terhadap bagian-bagian organisasiMuhammadiyah seperti Hizbul Wathan, ‘Aisyiyah, dan PemudaMuhammadiyah.

Pada tahun1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannyadan memasuki suatu babakan baru yang disebut sebagai zamanRevolusi Nasional. Terlihat jelas bahwa Muhammadiyah membulatkantekadnya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.Semangat tersebut semakin mengental ketika AR. Sutan Mansur,sang “Imam Muhammadiyah Sumatera” dengan lantang menyuarakan:“Hidup dan mati bersama Republik Indonesia”, langsung menyulutpatriotisme kalangan angkatan muda Muhammadiyah SumateraTimur untuk terjun langsung membela kemerdekaan. Sejumlahpemuda Muhammadiyah Sumatera Timur, antara lain BachtiarJunus, Mawardi Noor dan kawan-kawan segera menyusun LasykarRakyat yang kemudian berkembang menjadi Hizbullah. Pemuda-pemuda yang tadinya merupakan anggota Pemuda Muhammadiyahdan Hizbul Wathan bersama-sama dengan pemuda Islam lainnyaditempa sebagai lasykar yang siap membela kemerdekaan. Penempaankader-kader pertama dilakukan di gedung Muhammadiyah Jalan

Page 27: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

27

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

Kamboja Medan. Peranan pemuda-pemuda Muhammadiyah dalamlasykar tersebut, kelihatannya menempati posisi strategis. Halini ditandai dengan ditunjuknya Bachtiar Junus dan MawardiNoor sebagai panglima Hizbullah di daerah Tanjung Morawadan sekitarnya.51

Selain berjuang dalam lasykar Hizbullah, sebagian dariPemuda Muhammadiyah dan Hizbul Wathan ada pula yangbergabung dalam kesatuan perjuangan Pesindo.52 Tercatatlahnama Abdul Malik Munir dari Hizbul Wathan sebagai salahseorang pimpinannya. Di Langkat dan Asahan, para pemudadan Hizbul Wathan Muhammadiyah banyak pula yang bergabungke dalam Napindo.53

Pada sisi lain, terutama pada permulaan revolusi, pemerintahmemang merencanakan hanya ada satu partai politik di Indonesiayaitu PNI. Dalam hal ini M. Yunan Nasution bersama-samadengan M. Saleh Umar segera mendirikan PNI di SumateraTimur. Banyak anggota Muhammadiyah yang bertalenta politiksegera bergabung ke dalam organisasi ini. Tetapi seiring denganperubahan situasi, partai politik yang lain pun boleh juga berdiri,menyebabkan banyak warga Muhammadiyah meninggalkan PNI,dan masuk ke dalam organisasi politik lainnya terutama Masyumi.Apalagi seorang tokoh Muhammadiyah, K.H. Faqih Usmanmemiliki andil dalam pendirian Masyumi pada tanggal 7 Nopember1945 dalam Muktamar Umat Islam di Yogyakarta. Hal ini jugamenjadi daya pikat tersendiri yang menyebabkan banyak tokohMuhammadiyah di Sumatera Timur menjadi warga Masyumi.Keterlibatan Muhammadiyah dalam Masyumi semakin menguatketika Muhammadiyah bersama dengan beberapa organisasilainnya ditetapkan menjadi salah satu anggota istimewa Masyumi(1945-1959).

Tercurahnya perhatian warga Muhammadiyah dalam upayauntuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia menyebabkan

Page 28: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

28

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

kegiatan oraganisasi banyak yang terabaikan. Sekalipun begituantara tahun 1945-1950 ada 5 buah ranting yang bertambah didaerah Sumatera Timur. Sampai dengan tahun1955 Muhammadiyahtelah memiliki 112 Ranting, yang mengasuh 3 Taman Kanak-kanak/Bustanul Atfal, 28 Diniyah-Ibtidaiyah,1 Madrasah Tsanawiyah,24 Sekolah Dasar, 8 SMP, serta sejumlah Panti Asuhan yangmenampung anak miskin dan yatim piatu.

Perkembangan Muhammadiyah di TapanuliTelah dikatakan di depan bahwa Tapanuli dan Sumatera

Timur merupakan dua daerah administrasi pemerintahan zamanBelanda sampai masa kemerdekaan. Daerah ini berbatasan langsungdengan Sumatera Barat, tempat tumbuh dan berkembangnyaMuhammadiyah pertama kali di wilayah Sumatera. Karena itulahberbagai perkembangan yang teijadi di Sumatera Barat, termasukperkembangan organisasi Muhammadiyah dalam waktu yang tidakterlalu lama, berita mengenai hal itu akan segera sampai ke KeresidenanTapanuli dengan ibukotanya Sibolga.

Berita tentang suksesnya Kongres Muhammadiyah ke-30di Bukit Tinggi tanggal 14-26 Maret 1930 sebagai kongres pertamayang dilaksanakan di luar Jawa segera berhembus ke Tapanuli.Hal itu segera menarik perhatian sejumlah tokoh masyarakatdi Keresidenan Tapanuli, seperti H.A. Mun’im, Marah Kamin,Gudang Situmpol dan kawan-kawan, yang pada akhirnya bersepakatuntuk mendirikan Muhammadiyah pada tanggal 20 Agustus1930 di Sibolga.54 Pada saat itu juga Muhammad Sultoni menyerahkansebidang tanahnya di depan Sekolah Gubernemen Sibolga untukdijadikan sebagai lahan pertapakan sekolah Muhammadiyah.55

Sebagaimana pada umumnya di daerah lain, para peloporMuhammadiyah di daerah ini pun kelihatannya digerakkanoleh para perantau Minangkabau dan orang-orang putera daerah

Page 29: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

29

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

setempat yang sebagiannya pemah mengecam pendidikan diSumatera Barat, antara lain Amir Husin Abdul Mun’im, MarahKamin, Gudang Situmpol, M. Shaleh Thaib, Marahmad Panggabean,M. Thaher Rimin, Adam Sihombing, M. Jamir Panggabean,dan M. Thaib Simamora. Segera setelah Muhammadiyah Sibolgadinyatakan berdiri, maka pada bulan Oktober 1930 dilaksanakansebuah rapat umum untuk mempropagandakan Muhammadiyahdi Padangsidimpuan dengan mendatangkan Abdul Malik Siddikdari Bukit Tinggi. Bersamaan dengan itu mulailah dirintis berdirinyaMuhammadiyah di Padangsidimpuan yang diketuai oleh KariJasman Siregar. Pada tahun yang sama juga sebuah MadrasahDiniyah-Ibtidaiah Muhammadiyah di Padangsisimpuan berhasildidirikan, yang pada masa sekarang bernama SD MuhammadiyahI Padangsidimpuan. Sejak saat itu Muhammadiyah semakinmelebarkan sayapnya ke berbagai daerah yang ditandai denganberdirinya Muhammadiyah di Sipirok tahun 1931, di Tamiang(Mandailing Julu) tahun 1933 dan daerah-daerah lainnya.56

Sesuai dengan keputusan Kongres Muhammadiyah ke 30tahun 1930 bahwa pada setiap Keresidenan harus ada KonsulMuhammadiyah, keberadaan Muhammadiyah di Sibolga,Padangsidimpuan, Sipirok dan Tamiang sampai menjelang akhirtahun1934 masih bernaung pada Konsul Muhammadiyah SumateraBarat di Bukit Tinggi. Baru, setelah dilaksanakannya MusyawarahMuhammadiyah Keresidenan Tapanuli bulan Desember 1930di Sibolga yang membuahkan ketetapan bahwa di KeresidenanTapanuli harus ada Konsul yang berdiri sendiri, terpisah dariSumatera Barat. Sebagai Konsul pertama ditetapkan MuhammadKarim yang menduduki jabatan itu sampai dengan terpilihnyaAmir Husin Abdul Mun’in pada Konperensi Daerah tahun1935.

Musyawarah yang berlangsung pada bulan Desember ituberlangsung meriah yang dihadiri oleh tokoh dan para simpatisan

Page 30: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

30

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

Muhammadiyah di Tapanuli. Apalagi pertemuan tersebut sekaligusmerupakan rapat umum yang mendatangkan tokoh-tokoh pentingMuhammadiyah dari Sumatera Barat seperti AR Sutan Mansyur,Hamka dan Dr. H. Abdul Karim Amrullah. Hal inilah yangmenyebabkan Muhammadiyah semakin dikenal oleh masyarakatluas. Untuk selanjutnya Muhammadiyah pun berkembang keBarus, Sibabangun, Sorkam, Aek Botik dan Sibulan-bulan. Demikianjuga ke daearah Sigalangan, Sibuhuan, Sayur Matinggi, Siroatorkis,Hutatonga, bahkan juga ke daerah pesisir barat Tapanuli sepertiBatahan dan Natal.

Pada tahun1947, Pimpinan Daerah Muhammadiyah dipindahkandari Silbolga ke Padangsidimpuan, karena perkembangan Muhammadiyahdi Padangsidimpuan jauh lebih pesat dibandingkan dengan diSibolga. Pada saat itu jumlah cabang Muhammadiyah di TapanuliSelatan sudah berdiri 12 cabang.

Demikianlah dari tahun ke tahun gerakan Muhammadiyahsemakin dirasakan oleh masyarakat, apalagi pada beberapa daerahsekolah-sekolah Muhammadiyah telah memberikan sumbanganberarti bagi perjuangan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,seperti misalnya Pesantren K.H. Ahmad Dahlan Sipirok (1962),Kulliyatul Muballighin di Ladang Tengah (1963), dan RumahAnak Yatim di Barus (1963).

Pada tahun 1966, sesuai dengan hasil instruksi PimpinanPusat Muhammadiyah No. 5 tahun 1966 bahwa pada setiapdaerah tingkat II yang memiliki sedikitnya 5 cabang dapatmendirikan Pimpinan Daerah Muhammadiyah. Sejak saat ituMuhammadiyah di daerah ini menjadi tiga daerah, yaitu PimpinanMuhammadiyah Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah berkedudukandi Sibolga; Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kabupaten TapanuliSelatan berkedudukan di Padangsidimpuan; dan PimpinanMuhammadiyah Daerah Kabupaten Nias berkedudukan di GunungSitoli.

Page 31: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

31

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

Perkembangan Muhammadiyah di Sumatera UtaraPada tahun 1953, struktur pemerintahan Republik Indonesia

membentuk Propinsi Sumatera Utara, yang terdiri atas daerahTapanuli, Sumatera Timur dan Aceh. Muhammadiyah dalamhal ini berusaha untuk menyesuaikan diri dengan struktur pemerintahanyang baru itu, dengan menetapkan H. Bustami Ibrahim sebagaiKoordinator Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Sumatera Utara.Sedangkan Ketua Muhammadiyah Sumatera Timur diamanahkankepada Bachtiar Junus yang dijabatnya sampai tahun 1955.

Perubahan dan penataan organisasi terus berlangsung sampaitahun 959, akan tetapi berbagai kegiatan memang tidak dapatberjalan lancar terutama karena adanya pergolakan politik yangdikenal dengan peristiwa Nainggolan. Sekalipun begitu, amalusaha Muhammadiyah secara perlahan tetap menunjukkan grafikyang naik. Dapat dicatat bahwa pada tahun 1957, Muhammadiyahmelalui inisiatif beberapa orang pemuda mendirikan sebuahAkademi Falsafah dan Hukum Islam. Pendirian ini dipimpinlansung oleh antara lain H.M. Bustami Ibrahim, D. Dyar Karim,dan Abdul Mu’thi. Akademi inilah yang menjadi cikal bakalberdirinya Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Dalambidang pelayanan kesehatan sebagai salah satu program daribagian PKU (Penolong Kesengsaraan Umum), didirikan pulaBalai Pengobatan Umum yang terletak di Jalan Tamrin Medandi bawah pengawasan Dr. H. Mohammad Darwis. Kecuali itu,Aisyiyah sebagai organisasi otonom Muhammadiyah mendirikanpula PGAP dan PGAA serta beberapa taman Kanak-kanak BustanulAtfal.57

Sampai akhir tahun 1959 Muhammadiyah Sumatera Utaratelah memiliki 48 Sekolah Dasar, 42 Diniyah/Ibtidaiyah, 3 MadrasahTsanawiyah, 14 SMP, 3 SMEP, 1 Sekolah Teknik Pertama. Selainitu Aisyiyah juga mengash 11 TK-Bustanul Atfal, dan 2 PGAPutri untuk tingkat PGAP dan PGAA.

Page 32: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

32

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

Seiring dengan situasi yang terus berubah, MuktamarMuhammadiyah ke-36 tahun 1965 di Bandung kembali mengubahstruktur organisasi Muhammadiyah dengan memedomani strukturdaerah administrasi pemerintah Republik Indonesia. Sususannyaadalah sebagai berikut. Cabang merupakan satuan anggota yangterbagi atas ranting-ranting. Daerah ialah satuan cabang dalamdaerah tingkat II (Kabupaten/Kodya). Sedangkan Wilayah yaitusatuan daerah dalam pemerintah daerah tingkat I.

Berdasarkan ketetapan ini Muhammadiyah terpaksa melikuidasiistilah konsul Muhammadiyah Wilayah (PWM) untuk daerahtingkat I dan Pimpinan Muhammadiyah Daerah (PMD) untuktingkat II. Sekalipun begitu untuk masa cukup lama, Muhammadiyahdi Sumatera Utara belum melakukan penyesuaian secara utuh.Barulah melalui Musyawarah Wilayah I yang berlangsung padatanggal 21-23 April 1967 disepakati struktur organisasi tingkatpropinsi atau wilayah dengan sebutan Pimpinan MuhammadiyahWilayah (PMW) Sumatera Utara. Terpilih sebagai ketua PMWuntuk pertama kali adalah Nasyiruddin Daud Pane yang akrabdengan panggilan N.D Pane.

Dengan kewibawaan yang tidak dibuat-buat, N.D Pane memangmerupakan figur pimpinan yang disegani dan dihormati. Tidakheran jika enam kali Musyawarah Wilayah dalam rangka 30tahun 1960-1990), N.D. Pane alumni Mustafawiyah yang kemudianintens berkenalan dengan Muhammadiyah ketika belajar diSumatera Barat ini tetap terpilih menjadi ketua PMW SumateraUtara.

Dalam masa-masa awal kepemimpinannya, MuhammadiyahSumatera Utara telah melakukan berbagai upaya dengan memberikanstimuli dan motivasi guna meningkatkan aktivitas amal usahaMuhammadiyah pada 90 cabang yang tersebar pada 12 Daerahyang berada dalam naungannya, yaitu Medan, Langkat, DeliSerdang, Karo, Dairi, Tebing Tinggi, Asahan-Tanjung Balai, Simalungun-

Page 33: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

33

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

Pematang Siantar, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Labuhanbatu,dan Nias.

Banyak kemajuan yang dicapai oleh Muhammadiyah masakepemimpinan N.D. Pane. Pada masa kepemimpinannnya lahUniversitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan didirikan (1987).Demikian juga Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan SekolahTinggi Ilmu Hukum di Kisaran-Asahan, serta Sekolah TinggiIslam Tapanuli Tengah. Pada masa ini juga dijumpai perkembanganPondok Pesantren seperti pondok pesantren K.H. Ahmad DahlanSipirok yang berdiri tahun 1962, bagaikan disulam menjadipondok pesantrean modern yang cukup diperhitungkan di SumateraUtara, begitu juga Pesantren Kuala Madu Binjai dan PesantrenDarul Arqam di Kerasan-Simalungun. Secara agak terperincikeadaan amal usaha Muhammadiyah pada akhir tahun 1990adalah 63 unit TK-Bustanul Atfal, 109 unit Sekolah Dasar (SD,MI/MD), 64 unit SLTP (SMP, MTs), 36 unit SLTA (SMU, SMK,MA), 3 unit Pondok Pesantren, 12 unit Pelayanan Kesehatan,dan 5 unit Panti Asuhan.

Jumlah di atas pada masa selanjutnya terus bertambah danberdasarkan laporan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah SumateraUtara untuk tahun 2005 bahwa jumlah amal usaha dan RumahIbadah Muhammadiyah ditemukan data bahwa Muhammadiyahmemiliki 81 unit TK-Bustanul Atfal, 220 unit Sekolah Dasar(SD, MI/MD), 75 unit SLTP (SMP, MTs), 41 unit SLTA (SMU,SMK, MA), 3 unit Pondok Pesantren, 1unit Sekolah Luar Biasa,5 unit Perguruan Tinggi (Univ/ST), 18 unit Amal Usaha BidangKesehatan, 7 unit Amal Usaha Bidang Sosial, 1 unit AmalUsaha Bidang Ekonomi, 257 masjid, dan 137 musala.

Amal Usha yang dikemukakan di atas tersebar di seluruhwilayah Sumatera Utara, yang terdiri atas 19 daerah Kabupaten/Kota, sebagaimana terjadinya persebaran lembaga-lembaga pendidikanMuhammadiyah seperti di Langkat, Medan, Binjai, Deli Serdang,

Page 34: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

34

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

Tebing Tinggi, Karo, Dairi, Pematang Siantar, Labuhanbatu,Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Asahan, Sibolga, Tapanuli Tengah,Nias, Simalungun, Tanjung Balai, Madina, dan Serdang Bedagai.

PenutupBerdasarkan kajian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama, Muhammadiyah telah bertapak di Sumatera Utarasejak tahun 1927 di Medan, dan kian gemilang dalam mendirikancabang-cabang di luar Medan. Para perintis Muhammadiyah dikawasan ini adalah para perantau yang telah mengenal Muhammadiyahdi kampung asalnya, terutama perantau Minangkabau, Jawadan Mandailing.

Kedua, dalam usaha mengembangkan pengaruh organisasi,Muhammadiyah mendapatkan tantangan malah bukan dari AlWashliyah maupun Al Ittihadiyah yang merupakan organisasiasal Sumatera Timur, melainkan dari pihak-pihak penjajah, sultan,dan raja-raja. Para sultan dan raja setempat dijadikan pihakkolonial sebagai kekuatan untuk menumpas paham dan gerakanMuhammadiyah. Mereka bahkan memanfaatkan sebagian ulamadari kaum tua untuk menantang paham dan gerakan Muhammadiyah.

Ketiga, kendati mendapatkan tantangan dari banyak pihak,Muhammadiyah dari awal sampai saat ini berhasil relatif menancapkanpengaruh organisasi di Sumatera Utara yang diperkuat olehmuncul dan berkembangnya sejumlah amal usahanya terutamadalam bidang pendidikan, sehingga organisasi ini relatif berhasilmenyaingi Al Washliyah dan Al Ittihadiyah sebagai organisasiyang didirikan oleh orang-orang yang berasal dari SumateraUtara. Lembaga pendidikan milik Muhammadiyah lebih banyakdari milik Al Washliyah ataupun Al Ittihadiyah.

Page 35: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

35

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

Pustaka AcuanAbdullah, Taufik. School and Politics: the Kaum Muda Movement

in West Sumatera 1927-1933. New York: Cornel University,1967.

Alfian. Muhammadiyah: the Political Behavior of Muslim aModernist Organization under Dutch Colonialism.Yogyakarta:Gajah Mada University Press, 1989.

Al-Merbawi, Abdul Manam Bin Mohamad,et al. “Tarekat NaqshabandiyyahKhalidiyyah in Malaysia: A Study on the Leadership ofHaji Ishaq bin Muhammad Arif,” dalam MIQOT: JurnalIlmu-ilmu Keislaman, Vol. 36, No. 2, 2012.

Asari, Hasan. Modernisme Islam: Tokoh, Gagasan dan Gerakan.Bandung: Citapustaka Media, 2002.

Azhari, Susiknan. “Karakteristik Hubungan Muhammadiyahdan NU dalam Menggunakan Hisab dan Rukyat,” dalamal-Jami’ah Journal of Islamic Studies, Vol. 44, No. 2, 2006.

Azra, Azyumardi. “Mengkaji Ulang Modernisme Muhammadiyah”dalam Kompas, Jumat, 9 Nopember 1990.

Baidhawy, Zakiyuddin. “Lazismu and Remaking the Muhammadiyah’sNew Way of Philanthropy,” dalam Al-Jami’ah: Journal ofIslamic Studies, Vol 53, No 2 (2015).

Biyanto. “Muhammadiyah dan Problema Hubungan Agama-Budaya,” dalam Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Vol 5No 1 (2010).

Darmadi, Dadi. “Tears and Cheers in Jombang: Some Notes onthe 33rd Nahdlatul Ulama Congress,” dalam Studia Islamika,Vol. 24, No. 1, 2017.

Erawadi. “Pusat-Pusat Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyahdi Tapanuli Bagian Selatan,” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 38, No. 1, 2014.

Hasanuddin, Chalidjah. Al Jam’iyatul Washliyah: Api dalamSekam. Bandung: Pustaka, 1988.

Page 36: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

36

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

Hilmy, Masdar. “Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia? MenimbangKembali Modernisme Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah,”dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 36, No.2, 2012.

Ja’far, dan Ahmad Mushlih (ed.). Potret HIMMAH: MenyibakSejarah, Gerakan, dan Identitas. Banda Aceh: PeNA, 2007.

Ja’far. “Peran Al Jam‘iyatul Washliyah dalam Merevitalisasi MadhhabShafi’i di Era Kontemporer,” dalam Justicia Islamica: JurnalKajian Hukum dan Sosial, Vol. 13, No. 1, 2016, h. 1-29.

Ja’far. “Respons Dewan Fatwa Al Jam’iyatul Washliyah terhadapIsu Akidah dan Syariah di Era Global,” dalam al-Manahij:Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 10, No. 1, 2016.

Jamhari. “Muhammadiyah’s 2000 Congress: Preparing for theNew Millenium,” dalam Studia Islamika, Vol 7, No 3 (2000).

Moehammadijah, HB. Moehammadijah Hindia Timur 1927-1932. Jogjakarta: HB Moehammadijah, 1933.

Mu’thi, Abdul. “30 Tahun Muhammadijah di Daerah SumateraTimur” dalam 30 Tahun Muhammadijah di daerah SumateraTimur. Medan: Panitia Besar Perihgatan, Pusat Pasar 1984.

Nasution, Tanwir Ahmad. “Sejarah Berdirinya Daerah MuhammadiyahKabupaten Tapanuli Selatan.” Makalah tidak dipublikasikan,2005.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam 1900-1942. Jakarta LP3ES,1980.

Remantan, M. Daud. “Gerakan Pembaruan Islam di Aceh (1914-1953).” Disertasi: IAIN Syarif Hidayatullah, 1986.

Saragih, Aliman. “Kontribusi Al Jam’iyatul Washliyah terhadapKemerdekaan Indonesia (1930-1950),” dalam MIQOT: JurnalIlmu-ilmu Keislaman, Vol. 40, No. 1, 2016.

Shihab, Alwi.Membendung Arus: Respon Muhammadiyah TerhadapPenetrasi Misi Kristen di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.

Page 37: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

37

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

Siddik, Dja’far, dan Ja’far, Al-Ittihadiyah: Delapan DasawarsaMenerangi Nusantara. Medan: Perdana Publishing, 2017.

Siddik, Dja’far. “Konsep Pendidikan Islam Muhammadiyah:Sistematisasi dan Interpretasi Berdasarkan Perspektif IlmuPendidikan.” Disertasi: Program Pascasarjana IAIN Sunankalijaga Yogyakarta, 1997.

Siregar, L. Hidayat. “Sejarah Tarekat dan Dinamika Sosial,” dalamMIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 33, No. 2, 2019.

Siregar, L. Hidayat. “Tarekat Naqsyabandiyah Syaikh Abdul WahabRokan: Sejarah, Ajaran, Amalan, dan Dinamika Perubahan,”dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 35, No.1, 2011.

Suharto, Toto. “Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NUsebagai Potret Pendidikan Islam Moderat di Indonesia,”dalam Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Vol 9 No 1 (2014).

Suprayitno. “Islamisasi di Sumatera Utara: Studi tentang BatuNisan di Kota Rantang dan Barus,” dalam MIQOT: JurnalIlmu-ilmu Keislaman, Vol. 36, No. 1, 2012.

Witjosukarto, Amir Hamzah.Pembaharuan Pendidikan & PengajaranIslam oleh Pergerakan Muhammadiyah. Malang: Ken Mutia,1966.

Yusuf, Maulana, et al., “Islamic Ethics in The Field of Politics:Response and Critical Review of Nahdlatul Ulama andMuhammadiyah of Jambi Province Against the Implementationof Direct Elections (2005-2015),” dalam MIQOT: JurnalIlmu-ilmu Keislaman, Vol. 41, No. 1, 2017.

Page 38: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

38

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

Catatan Akhir:1Lihat kajian tentang NU dalam Dadi Darmadi, “Tears and Cheers in Jombang:

Some Notes on the 33rd Nahdlatul Ulama Congress,” dalam Studia Islamika, Vol.24, No. 1, 2017; Susiknan Azhari, “Karakteristik Hubungan Muhammadiyah danNU dalam Menggunakan Hisab dan Rukyat,” dalam Al-Jami’ah Journal of IslamicStudies, Vol. 44, No. 2, 2006; Toto Suharto, “Gagasan Pendidikan Muhammadiyahdan NU sebagai Potret Pendidikan Islam Moderat di Indonesia,” dalam Islamica:Jurnal Studi Keislaman, Vol 9 No 1 (2014).

2Lihat kajian tentang Muhammadiyah dalam Jamhari, “Muhammadiyah’s 2000Congress: Preparing for the New Millenium,” dalam Studia Islamika, Vol 7, No 3(2000); Zakiyuddin Baidhawy, “Lazismu and Remaking the Muhammadiyah’s NewWay of Philanthropy,” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, Vol 53, No 2(2015); Biyanto, “Muhammadiyah dan Problema Hubungan Agama-Budaya,” dalamIslamica: Jurnal Studi Keislaman, Vol 5 No 1 (2010); Masdar Hilmy, “Quo-VadisIslam Moderat Indonesia? Menimbang Kembali Modernisme Nahdlatul Ulama danMuhammadiyah,” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 36, No. 2, 2012.

3Aliman Saragih, “Kontribusi Al Jam’iyatul Washliyah terhadap KemerdekaanIndonesia (1930-1950),” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman,Vol. 40, No. 1,2016; Ja’far, “Respons Dewan Fatwa Al Jam’iyatul Washliyah terhadap Isu Akidahdan Syariah di Era Global,” dalam al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 10,No. 1, 2016; Ja’far, “Peran Al Jam‘iyatul Washliyah dalam Merevitalisasi MadhhabShafi’i di Era Kontemporer,” dalam Justicia Islamica: Jurnal Kajian Hukum danSosial, Vol. 13, No. 1, 2016, h. 1-29; Dja’far Siddik dan Ja’far, Al-Ittihadiyah: DelapanDasawarsa Menerangi Nusantara (Medan: Perdana Publishing, 2017).

4Kajian yang pernah dilakukan misalnya karya Maulana Yusuf, et al., “IslamicEthics in The Field of Politics: Response and Critical Review of Nahdlatul Ulamaand Muhammadiyah of Jambi Province Against the Implementation of Direct Elections(2005-2015),” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 41, No. 1, 2017.

5Amir Hamzah Witjosukarto, Pembaharuan Pendidikan & Pengajaran Islamoleh Pergerakan Muhammadiyah (Malang: Ken Mutia, 1966), h. 8.

6Deliar Noer, Gerakan Modern Islam 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 85.7Tentang tarekat ini di Indonesia, lihat karya L. Hidayat Siregar, “Sejarah Tarekat

dan Dinamika Sosial,” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 33, No. 2,2019; L. Hidayat Siregar, “Tarekat Naqsyabandiyah Syaikh Abdul Wahab Rokan:Sejarah, Ajaran, Amalan, dan Dinamika Perubahan,” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 35, No. 1, 2011; Erawadi, “Pusat-Pusat Perkembangan TarekatNaqsyabandiyah di Tapanuli Bagian Selatan,” dalamMIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman,Vol. 38, No.1, 2014; Abdul Manam Bin Mohamad al-Merbawi,et al., “Tarekat NaqshabandiyyahKhalidiyyah in Malaysia: A Study on the Leadership of Haji Ishaq bin MuhammadArif,” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 36, No. 2, 2012.

8Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Muhammadiyah Terhadap PenetrasiMisi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 112.

Page 39: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

39

VOL. 1 NO. 1 JANUARI-JUNI 2017

9Ibid.10Dja’far Siddik, “Konsep Pedidikan Islam Muhammadiyah: Sistematisasi dan

Interpretasi Berdasarkan Perspektif Ilmu Pendidikan” (Disertasi: Pascasarjana IAINSunan kalijaga Yogyakarta, 1997, h. 139.

11Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of Muslim a Modernist Organizationunder Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1989), h. 161.

12Noer, Gerakan, h. 86.13Shihab, Mcmbendung, h. 113.14Alfian, Muhammadiyah, h. 161.15M. Margono Puspo Suwamo, Gerakan Islam Muhammadiyah (Yogyakarta:

Persatuan, 1986), h. 27.15lbid.16Profil Muhammadiyah, h. 4-5.17Azyumardi Azra, “Mengkaji Ulang Modernisme Muhammadiyah,” dalam

Kompas, Jum’at, 9 Nopember 1990.18Suwamo, Gerakan, h. 27. Dalam perkembangan selanjutnya, tujuan organisasi

Muhammadiyah memang mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan tersebutlebih bersifat redaksional sesuai dengan perkembangan organisasi dan perkembangannegara Republik Indonesia.

19Lihat Noer, Gerakan, h. 88-90.20Profil Muhammadiyah, h. 721Profil Muhammadiyah, h. 8; Noer, Gerakan, h. 88.22Noer, Gerakan, h. 89.21Ibid.23Ibid., h. 93.24Ibid., h. 94-95.25Profil Muhammadiyah, h. 104.26Ibid., h. 107.27Ibid., h.108.28Ibid., h. 424.29Lihat kajian mengenai masalah ini dalam Suprayitno, “Islamisasi di Sumatera

Utara: Studi tentang Batu Nisan di Kota Rantang dan Barus,” dalam MIQOT: JurnalIlmu-ilmu Keislaman, Vol. 36, No. 1, 2012.

30Julukan kaum muda (kaum mudo) merupakan istilah yang populer di Minangkabaupada awal abad ke-20 sebagai julukan yang ditujukan kepada pembaharu sepertiAhmad Khotib dan pengikut-pengikutnya. Termasuk dalam kelompok ini adalahorang-orang yang tidak terikat mazhab tertentu. Sebaliknya orang-orang yang bermazhabdisebut kaum tua (kaum tuo). Lihat Taufik Abdullah, School and Politics, the KaumMuda Movement in West Sumatera 1927-1933 (New York: Cornel University, 1967),h. 45.

Page 40: DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI SUMATERA UTARA

40

JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES

31Abdul Mu’thi, “30 Tahun Muhammadijah di Daerah Sumatera Timur,” dalam30 Tahun Muhammadijah di daerah Sumatera Timur (Medan: Panitia Besar Peringatan,Pusat Pasar 184, 1957), h. 99.

32Lihat M. Nur Haitamy, “Muhammadiyah Daerah Sumatera Timur,” dalam30 tahun Muhammadijah, h. 177.

33HB Moehammadijah, Moehammadijah Hindia Timur 1927-1932 (Jogjakarta:HB Moehammadijah, 1933), h. 4.

34Pada tanggal yang sama Cabang Banda Aceh juga didirikan. Lihat M. DaudRemantan, “Gerakan Pembaruan Islam di Aceh (1914-1953)” (Disertasi pada IAINSyarif Hidayatullah Jakarta, 1986), h. 98.

35Mu’thi, “30 Tahun”, h. 10036Lihat ulasan MIT sebagai lembaga pendidikan dalam artikel karya Ja’far dalam

Ja’far dan Ahmad Mushlih (ed.), Potret HIMMAH: Menyibak Sejarah, Gerakan, danIdentitas (Banda Aceh: PeNA, 2007).

37Hasan Asari, Modernisme Islam: Tokoh, Gagasan dan Gerakan (Bandung:Citapustaka Media, 2002), h. 235.

38Chalidjah Hasanuddin, Al Jam’iyatul Washliyah: Api dalam Sekam (Bandung:Pustaka, 1988), h. 11.

39Asari, Modernisme, h. 24840Haitamy, “Muhammadiyah”, h. 182.41Ibid., h. 121.42Mu’thi, “30 tahun”, h. 105.43Ibid., h. 105-106.44Ibid., h. 119.45Ibid., h. 133.46Ibid., h. 135.47Ibid.48Ibid.49Ibid., h. 141.50Ibid., h. 14151Ibid.52Tanwir Ahmad Nasution, “Sejarah Berdirinya Daerah Muhammadiyah Kabupaten

Tapanuli Selatan” (Makalah, tidak dipublikasikan, 2005), h. 1.53Ibid., h. 2.54Ibid., h. 3-4.55Data diolah dari berbagai sumber dan lihat juga Haitamy, “Muhammadijah

Daerah Sumatera Timur,” h. 171-218.