Dinamika Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat

Embed Size (px)

Citation preview

Dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat. (Dra. Hadiani Fitri, Msi)

DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT

Oleh :Dra. Hadiani Fitri, MsiDosen Universitas Islam Sumatera Utara, Medan

Abstrak Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dimanika kehidupan sosial budaya masyarkat. Metode penulisan menggunakan metode library research. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa secara operasional peluang keberhasilan upaya sosialisasi nilai-nilai budaya itu cukup besar, karena nilai-nilai budaya masyarakat pada umumnya selalu teraktualisasi dalam sikap perilaku pergaulan sehari-hari. Pada dasarnya nilai-nilai budaya itu selalu berada dalam situasi sosial. Kehidupan masyarakat pada hakekatnya mempunyai sifat yang dinamis dan kekuatan budaya dalam memilih cara kerja dan membangun kesejahteraan hidupnya.

Kata kunci :kehidupan sosial,budayadanmasyarkat

1. Pendahuluan1.1. Latar Belakang Secara umum strategi dapat diartikan sebagai siasat, manajerialism atau cara yang dipakai sehubungan dengan upaya pencapaian suatu tujuan dengan konsekuensi tertentu. Siasat-siasat yang berhubungan dengan upaya pengelolaan aspek sosial untuk meningkatkan kerukunan masyarakat dapat disebut sebagai strategi sosial. Cara-cara yang dipakai militer untuk memenangkan suatu peperangan dapat disebut strategi militer atau strategi perang. Jika cara-cara itu berhubungan dengan upaya memberdayakan potensi nilai-nilai budaya dalam rangka meningkatkan kesadaran atas manfaat nilai-nilai budaya bagi kehidupan masyarakat, maka dapat disebut strategi kebudayaan.

Menurut Ali Moertopo (1978), strategi pada hakekatnya berarti: hal-hal yang berkenaan dengan cara dan usaha menguasai dan mendayagunakan segala sumber daya suatu masyarakat, suatu bangsa, untuk mencapai tujuannya. Lebih lanjut Moertopo memperinci pendekatan strategis ke dalam lima ciri, yaitu:

1.Memusatkan perhatian kepada kekuatan, kepada power. Kekuatan adalah bagaikan fokus pokok di dalam pendekatan strategis.2. Memusatkan perhatian kepada analisa (baca:analisis) dinamik, analisa gerak, analisa aksi.3. Strategi memusatkan perhatian kepada tujuan yang ingin dicapai serta gerak untuk mencapai tujuan tersebut.4. Strategi memperhitungkan faktor-faktor waktu (sejarah: masa lampau, masa kini dan terutama masa depan) dan faktor lingkungan.5. Strategi berusaha menemukan masalah-masalah yang terjadi dari peristiwaperistiwa yang ditafsirkan berdasarkan konteks kekuatan, kemudian mengadakan analisa mengenai kemungkinan-kemungkinan serta memperhitungkan pilihan-pilihan dan langkah-langkah yang dapat diambil, dalam rangka bergerak menuju kepada tujuan itu.

Sementara itu kebudayaan secara umum dapat diartikan sebagai ways of life, cara hidup atau pandangan hidup yang meliputi cara berpikir, berencana dan cara bertindak, serta segala hasil karya manusia yang dianggap berguna (Abdul Syani, 1994). Menurut konsep Bhinneka Tunggal Ika, kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang merupakan kristalisasi dari budaya-budaya daerah yang ada di Indonesia. Jika berpegang pada UUD'45, maka kebudayaan nasional merupakan penjelmaan puncak-puncak kebudayaan daerah. Dalam hal ini Harsya W. Bachtiar (Nurdin HK Editor, 1983) berpendapat bahwa kebudayaan nasional di dalam masyarakat Indonesia yang merdeka, haruslah suatu kebudayaan "yang baru sama sekali", bersih dari kebudayaan feodalis dan/atau sisa-sisanya, maupun dari ciri-ciri archais-sukuisme atau macam-macam ethnocentrisme lainnya. Kebudayaan Nasional diartikan sebagai kebudayaan yang mencerminkan identitas kepribadian bangsa dengan satu pandangan dan cara hidup dalam segala bidang pembangunan. Dengan demikian fokus strategi kebudayaan adalah kekuatan budaya, yaitu kedekatan manusia dengan pandangan hidupnya sehubungan dengan kompleksitas kebudayaan yang dianut. Menurut Moertopo, bahwa strategi kebudayaan dengan sendirinya memandang kebudayaan sebagai kekuatan, yaituhuman resources potentials(sumber daya manusia) dannatural resources potentials(sumber daya alam).

1.2. Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dimanika kehidupan sosial budaya masyarkat.

2. Uraian Teoritis2.1. Pendekatan Nilai-nilai Budaya Untuk mengambil langkah kebijakan untuk menciptakan kekuatan dalam upaya mensukseskan pembangunan, perlu adanya pendekatan secara mendalam terhadap nilai-nilai budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Berbagai keputusan diambil dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan harus benar-benar dapat memenuhi aspirasi masyarakat. Bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar tersebar di berbagai daerah dengan beragam sifat, sikap, etnis dan kebudayaan, maka perhatian utama dalam merancang suatu kebijakan adalah dengan melakukan pendekatan sosial budaya. Untuk itu diharapkan pihak-pihak yang berwenang dan agen pembangunan dapat memahami dan menemukan strategi yang efektif berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang sesuai dengan kepribadian dan pandangan hidup masyarakat pada umumnya. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, perlu diciptakan program-program yang sesuai dengan potensi nilai-nilai sosial budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dalam upaya menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas pelaksanaan pembangunan itu, perlu adanya pemberdayaan potensi nilai-nilai budaya masyarakat setempat.

Dari segi historis-sosiologis, Slamet Rahardjo (1983), menyatakan bahwa manusia-manusia Indonesia berasal dari daerah Mekhong Vietnam yang karena sesuatu hal menyebar ke pulau-pulau nusantara kita. Maka tidak bisa lain yang tumbuh dan berkembang adalah kebudayaan ethnic yang terpencar-pencar. Seperti diketahui bahwa sebagian besar dari sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan masyarakat sedang berkembang pada umumnya adalah ketergantungan terhadap nilai-nilai dan kepercayaan tradisional. Clifford Geertz memandang bahwa masyarakat Indonesia terbagi-bagi berdasarkan orientasi nilai-nilai kebudayaan dan agamanya. Dengan latar belakang sejarah masyarakat Indonesia yang pluralistis (majemuk), terdiri dari berbagai latar belakang budaya, suku bangsa, adat, kepercayaan, bahasa, lingkungan alam, bentuk tubuh, warna kulit dan agama yang berbeda, maka timbul kesulitan dalam menciptakan dan mempertahankan rasa persatuan dalam wadah integritas nasional yang lebih besar. Ternyata masih banyak nilai, perilaku dan sentimen yang masih dipertentangkan, sehingga masih banyak terjadi konflik akibat kontraversi nilai-nilai budaya diperbagai daerah. Hal ini mencerminkan solidaritas dan toleransi, serta internalisasi nilai-nilai budaya masyarakat masih lemah.

Secara geografis masyarakat Indonesia terhimpun atas berbagai daerah yang secara etnis satu sama lainnya cenderung menganggap eksistensi nilai-nilai budayanya sendirilah yang terbaik (etnosentrisme). Jika dalam kualifikasi ini tokoh budaya daerah tertentu mempunyai kesempatan atau berkewenangan membuat keputusan, maka cenderung budaya daerahnyalah yang utama akan dipopularisasikan sebagai pedoman golongan masyarakat daerah-darah lainnya. Keputusan mengenai dirinya sendiri itulah yang akan menjadi benih konflik sentimen dan ketidakadilan, lantaran masih ada pihak-pihak lain yang tidak merasa terwakili. Menurut teori Marxist (Arif Budiman, 1983), bahwa konflik sosial yang terjadi bukanlah konflik sosial-budaya saja, tapi konflik yang berdasarkan perbedaan kepentingan ekonomi. Jika pendapat ini disepakati, maka tak mustahil suatu bangsa akan terjebak dan kehilangan nilai-nilai kekeluargaan. Bagaimana anggota masyarakat bisa saling bicara, memahami, dan saling mendukung?, jika kehidupan mereka masih terbungkus masing-masing didalam ego yang tajam. Yang tua bersikeras mengaku lebih berpengalaman dalam pahit getirnya perjuangan; sementara generasi muda tak dipercaya, dianggap tak berkualitas, dan bahkan ada yang menghawatirkan sepak terjang mereka akan merongrong kekuasaan, sehingga perlu ditangkal dengan segala cara. Sebaliknya kadang-kadang pihak generasi muda tidak tau diri, tidak berkualitas tetapi tekadnya membaja untuk merebut tongkat pemimpin, entah apa yang dicari?, padahal tugas dan tanggungjawab pemimpin itu sungguh amat berat.

Dengan pendekatan nilai-nilai budaya, diharapkan kebijakan yang akan diambil dapat melahirkan suatu keputusan yang benar-benar memperoleh dukungan masyarakat. Berbagai perbedaan diharapkan dapat disadari sebagai kekurangan, dan di sisi lain kebersamaan serta persamaan persepsi dipelihara agar stabilitas proses pelaksanaan pembangunan dapat dipertahankan. Sebagai konsekuensi dari pengakuan masyarakat terhadap langkah-langkah pembangunan yang telah direncanakan dan diputuskan itu adalah kerja keras untuk mewujudkan segala kebutuhan hidup masyarakat, yaitu perubahan dan perbaikan tingkat kualitas kesejahteraan umum secara realistik. Langkah-langkah ini perlu dibudayakan sebagai sikap dan perilaku dalam kehidupan masyarakat, agar dapat melahirkan budaya perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi jika aktivitas-aktivitas budaya itu tidak menyentuh kepentingan masyaraka, maka berarti kebudayaan itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Jadi suatu aktivitas manusia yang mempunyai nilai budaya dapat dilihat dari sifat kekuatannya dalam mengangkat derajad dan harkat kemanusiaan. Menurut Soerjono Soekanto (1984), kebudayaan tidak hanya menerima pengaruh dari perubahan teknologi; akan tetapi kebudayaan dapat pula mempengaruhi arah dan sifatnya. Peralatan dari peradaban manusia mempunyai kegunaan-kegunaan tertentu, walaupun kadang-kadang tidak diperdulikan apa yang akan diperbuat dengannya atau untuk kepentingan apa hal itu dipergunakan. Manusia mempunyai kekuatan-kekuatan tertentu untuk memproduksikan benda dan jasa yang dikehendakinya. Ketidakperdulian terhadap kualitas produksi tersebut dapat mengakibatkan jatuhnya derajad nilai kebudayaan sebagai pandangan hidup masyarakat.

Kebudayaan merupakan faktor dinamis dalam perubahan sosial, karena perubahan-perubahan sosial berkaitan dengan perubahan-perubahan kebudayaan. Ada hubungan erat antara kepercayaan, nilai-nilai dengan lembaga-lembaga dan hubungan-hubungan sosial. oleh karena itu berarti faktor sosial berkaitan erat dengan faktor budaya. Gejala sosial tidak akan ada, jika tidak didukung oleh sikap perilaku manusia sebagai suatu ekspresi kehidupan yang harus berubah, bersamaan dengan tumbuhnya kepentingan-kepentingan masa depannya. Terjadinya hubungan-hubungan sosial karena adanya dorongan sosial dan tuntutan kepentingan hidup yang harus melibatkan orang lain dalam kehidupan bersama. Kompleksitas hubungan antar kepentingan dan sikap-sikap sosial dalam proses pertumbuhan masyarakat, mungkin dapat mendorong alternatif lahirnya konformitas dan persesuaian dalam bentuk struktur sosial baru. Oleh karena itu jika ekspresi sikap dan perilaku anggota kelompok itu dapat diterapkan secara konsisten, maka hubungan sosial di antara mereka dapat membentuk kerjasama yang efektif. Sebaliknya, jika konformitas dan persesuaian kepentingan tidak dapar diwujudkan, maka justeru akan mengakibatkan terjadinya pertentangan dan permusuhan.

2.2. Strategi Kebudayaan Suatu realitas perkembangan kehidupan masyarakat yang tidak dapat dipungkiri adalah gejala tantangan pluralistik etnis dan tekanan ekonomi kian mengedepan. Hal ini akhirnya berpengaruh pada terciptanya stratifikasi dan kesenjangan sosial ekonomi masyarakat. Masalah budaya seharusnya dipandang sebagai bagian penting dalam proses pembangunan, karena dalam pembangunan mencakup nilai dan karakter masyarakat sebagai subyek pembangunan.

Pembangunan harus dapat menempatkan peran individu kedalam pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Dengan kemandirian berdasarkan pengalaman sendiri dapat mendorong kearah terciptanya hasil kerja dan hasil guna yang tinggi bagi kehidupan masyarakat di masa sekarang dan masa depan. Masyarakat diarahkan pada kehidupan empiris dengan perjuangan dan kerja keras sesuai dengan tuntunan nilai-nilai luhur budaya daerah. Mengajak masyarakat menyaksikan dan menikmati hasil-hasil pembangunan, agar mereka dapat memacu diri untuk lebih giat bekerja dan mendukung berbagai kebijaksanaan Pemerintah sebagaimana yang telah digariskan dalam program pembangunan.

Pelaksanaan pembangunan harus dilaksanakan pada setiap lapisan masyarakat secara interaktif dengan pola penyederhanaan kondisional pada setiap daerah. Spesifikasi budaya daerah merupakan acuan pendekatan strategis dalam menentukan prioritas pengembangan potensi masyarakat. Sasaran yang utamanya adalah melakukan persiapan mengembalikan kekuatan masyarakat melalui partisipasinya dalam pembangunan. Langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh adalah:(1) melibatkan masyarakat dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan program pembangunan sebagai wujud demokrasi sosial;(2) program pembangunan yang dilegitimasi dapat memberikan jaminan terhadap prioritas hak-hak masyarakat, dan pemerataan kesempatan usaha; (3) memberdayakan independensi peranserta masyarakat;(4) membangun kemitraan dengan pemerintah, kaum intelektual, dan lembagalembaga terkait.

Dengan demikian diharapkan program pembangunan akan terlaksana secara efektif. Kekuatan nilai-nilai gotong royong dan musyawarah yang sebelumnya mengakar pada kepribadian masyarakat mesti diberdayakan. Dengan demikian pembangunan akan lebih relevan dengan kepentingan masyarakat, minimal dapat mencerminkan cara hidup yang terarah dengan contoh-contoh perilaku dan perlakuan yang nyata. Ibarat minuman keras yang diketahui haram, maka bukan botol minuman yang harus dimusnahkan, melainkan membunuh sikap ketergantungan masyarakat terhadap minuman tersebut, dan bukan justeru membangun pabrik minuman yang lebih besar.

Supaya kebijaksanaan itu dapat tumbuh menjadi suatu kekuatan dalam proses pembangunan nasional, maka dalam menyusun program-program pembangunan itu pertama kali harus memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat. Sesuai dengan harapan pembangunan yang ditujukan pada kemajuan keadaan hidup anggota masyarakat, yaitu kemajuan kesejahteraan masyarakat. Dalam perspektif sosiologis diharapkan hasil kemajuan itu, dapat menumbuhkan sikap perilaku individu yang tidak hanya memikirkan perbaikan nasib diri sendiri, melainkan nasib sesama anggota masyarakat. Titik tolak dari tujuan pembangunan adalah manusia dengan tujuan akhir pada manusia juga. Perbaikan kondisi kehidupan secara material adalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembangunan. Untuk mendukung upaya pencapaian tujuan ini perlu pertajaman peranan sosial anggota masyarakat dengan beberapa upaya, yaitu:

a. pematangan pemahaman masyarakat terhadap sarana material baru yang berhubungan langsung dengan teknologi baru pembangunan;b. membentuk kebiasaan kehidupan baru yang berhubungan produk-produk baru;c. membentuk kelompok kerja baru secara rasional ekonomis;d. membentuk kesadaran baru yang mendukung perubahan dan modernisasi;e. mengupayakan kenaikan imbalan sosial ekonomis untuk menuju perbaikan kesejahteraan.

Untuk mewujudkan tujuan pembangunan itu perlu mengadakan perbandingan, inventarisasi dan evaluasi secara terus menerus terhadap keberadaan aneka ragam dan perkembangan kebudayaan masyarakat. Beban pembangunan nasional merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, agen pembangunan dan masyarakat dengan meletakkan pembangunan ke dalam skala prioritas utama secara nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Skala prioritas utama nasional meliputi pemikiran, pemetaan dan penataan yang selaras antara perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi, Ekonomi, sistem kemasyarakatan, dan termasuk didalamnya adalah penataan kehidupan politik yang sehat.

Untuk mengemban tugas itu perlu pengembangan semangat kerja keras agar masyarakat dapat memperkokoh jati dirinya sebagai bangsa yang terbuka, kreatif, inovatif dan reformatif. Hal ini perlu dibuktikan dengan prestasi-prestasi gemilang, baik perorangan maupun kelompok diberbagai bidang pembangunan. Prestasi-prestasi ini dapat diperoleh melalui keberanian membela kebenaran, kesanggupan merevisi kesalahan, alih teknologi dan kerja keras sesuai dengan profesi dan keahliannya. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitasnya, perlu diadakan usaha penggalian dan pemanfatan sumber daya manusia, yaitu dengan mengikutsertakan masyarakat, mengadakan kaderisasi dan perluasan lapangan kerja. Agar tidak terjadi erosi nilai budaya dan rendahnya relevansi hasil-hasil pembangunan, maka perlu memperkuat etos kerja yang berakar dari nilai-nilai budaya. Hal ini dimaksudkan agar strategi budaya dalam pengembangan selektivitas masyarakat terhadap nilai-nilai budaya asing. Dengan demikian diharapkan memiliki kemampuan dalam menempatkan dan mempertimbangkan nilai-nilai budaya yang dapat bermanfaat bagi perkembangan dan pertumbuhan kesejahteraan hidupnya.

3. Pembahasan Dalam konteks pembangunan, nilai-nilai budaya yang bersemayam dalam keyakinan hidup manusia merupakan potensi dan kekuatan utama dalam merencanakan kebijaksanaan pembangunan, khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pemberdayaan nilai-nilai budaya sangat erat kaitannya dengan implikasi dorongan sumber daya manusia yang meliputi sikap, konsekuensi nilai, cara berpikir dan etos kerja. Suatu kebijaksanaan yang ideal harus memuat berbagai strategi yang dapat membantu masyarakat keluar dari kesulitan, baik kesulitan waktu kini maupun kesulitan penataan masa depannya. Khususnya penataan kehidupan masa depan masyarakat, terutama dalam menggali dan memberdayakan potensi sikap mental masyarakat. Sikap mental sebagian masyarakat yang masih relatif tergantung dengan nilai-nilai budaya tradisional dan tidak relevan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat masa kini, segera dievaluasi secara selektif. Tentu tidak merombak total atau membuangnya secara tiba-tiba dari kehidupan masyarakat, akan tetapi secara bertahap memberdayakannya kearah sikap perilaku yang positif. Dengan kesadaran ilmiah dan bertahap upaya ini diharapkan dapat membuka tabir misteri budaya, sehingga makna dan manfaatnya dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat. Kesadaran ilmiah merupakan faktor pendorong bagi tumbuhnya semangat dan kreativitas masyarakat untuk bersedia melakukan perubahan-perubahan terhadap tradisi-tradisi yang menghambat proses pembangunan kearah perbaikan kehidupan masyarakat. Perubahanperubahan sikap mental juga diperluas mencakup sebagian besar golongan masyarakat dengan penekanan terhadap prinsip kebersamaan dan perjuangan atas hak-hak bersama yang berkesinambungan. Strategi ini dimaksudkan untuk memperkecil skala prioritas etos kerja yang bersifat mendahulukan hak-hakindividu.

Dalam kenyataan lain diketahui banyak terjadi erosi nilai-nilai budaya, ketimpangan sosial sosial dan pelanggaran norma sosial dan hukum. Hal ini dapat dilihat dari gelaja kemiskinan, prustasi, apatisme, kenakalan remaja, pelacuran, pengangguran dan kejahatan. Penyebab utamanya adalah justeru karena ketidakmampuan menyerap dan menguasai kemajuan teknologi, di samping karena rendahnya kemampuan masyarakat untuk menciptakan teknologi yang berakar dari budaya sendiri. Akibatnya tujuan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat menjadi keliru arah. Pun upaya alih teknologi banyak mengakibatkan teknisi dan operatornya bingung sendiri.

Kondisi ini membuat masyarakat menjadi bimbang, gelisah, yang menurut Emile Durkheim disebut sebagai keadaan Anomie, yaitu suatu keadaan dimana nilai lama sudah ditinggalkan tapi nilai-nilai baru belum tumbuh secara kuat. Oleh karena itu perlu adanya kehati-hatian dalam mengadakan pendekatan pada sektor budaya masyarakat supaya tidak timbul prasangka buruk terhadap kebijaksanaan yang telah dan akan diambil. Dan jika kebijaksanaan yang didasarkan atas nilai-nilai budaya itu tepat, artinya mendapat pengakuan positif dari sebagian besar masyarakat, maka pengakuan ini dapat dijadikan suatu kekuatan pemacu dalam memperlancar proses pembangunan secara nasional.

Selo Sumardjan (dalam (Soleman B. Taneko, l984) mengatakan bahwa, Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia pembangunan merupakan proses penyesuaian secara bertahap beberapa faktor sosial budaya yang disusul dengan usaha-usaha pelik dalam menyesuaikan diri trhadap situasisituasi baru, teknologi-teknologi baru, dan cara-cara organisasi dan cara kerja yang baru.

Untuk menghidar dari ketergantungan terhadap budaya-budaya asing, maka perlu upaya penilaian terhadap sumber daya kebudayaan sendiri, yaitu dengan merasionalisasikan nilai-nilai kekerabatan, kekeluargaan dan nilai kegotongroyongan masyarakat. Dalam merasionalisasikan budaya gotong-royong, hendaknya tidak terpaku dengan konsep cara kerja, kuantitas produk pembangunan fisik, dan kuantitas ekonomis, melainkan harus diimbangi dengan kualitas sikap mental dan tanggung jawab bersama dalam gotongroyong tersebut. Kecuali itu perlu juga pemeliharaan pola kehidupan kekeluargaan agar tidak berkembang berlebihan memihak pada kepentingan individu dan kelompok. Penanaman kesadaran terhadap nilai-nilai keleluargaan ini dimaksudkan sebagai wadah pelestarian asas musyawarah yang lebih terbuka, persuasive, tenggang rasa dan hubungan aspiratif antar golongan masyarakat. Kesadaran nilai kekeluargaan ini merupakan sumber kekuatan dalam rangka mengantisipasi timbulnya kerawanan-kerawanan sosial, memperkecil hambatan-hambatan pembangunan dan menjamin stabilitas kehidupan masyarakat.

4. Penutup Secara operasional peluang keberhasilan upaya sosialisasi nilai-nilai budaya itu cukup besar, karena nilai-nilai budaya masyarakat pada umumnya selalu teraktualisasi dalam sikap perilaku pergaulan sehari-hari. Pada dasarnya nilai-nilai budaya itu selalu berada dalam situasi sosial. Kehidupan masyarakat pada hakekatnya mempunyai sifat yang dinamis dan kekuatan budaya dalam memilih cara kerja dan membangun kesejahteraan hidupnya. Oleh sebab itu dalam analisis strategi budaya harus didukung kemampuan mencermati dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat.

Daftar Pustaka

Abdulsyani, 1987. Manajemen Organisasi. Penerbit: PT. Bina Aksara, Jakarta.

__________, 1994. Sosiologi Skematika, Teori dan terapan. Penerbit: PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Ahmadi, Abu, 1985. Sosiologi. Penerbit: PT. Bina Ilmu, Surabaya.

Berry, David, 1982, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, disunting dan dihantar oleh: Paulus Wirutomo, CV. Rajawali, Jakarta.

Bertrand, Alvin L., 1980, SOSIOLOGI, Alih bahasa: Sanapiah Faisal, PT. Bina Ilmu, Surabaya.

Bouman, P.J., 1982, Sosiologi Fundamental, Terjemahan: Ratmoko, Jambatan, Jakarta.

Dirdjosisworo, Soedjono, 1985. Asas-asas Sosiologi.Penerbit: Armico, Bandung.

Johnson, H.M., 1960. Sociology: A Systematic Introduction. New York: Harcourt, Brace and Company.Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Mentalitas dan Pem-bangunan, PT. Gramedia, Jakarta.

Lubis, Mochtar, 1985, Manusia Indonesia Sebuah Pertanggung jawaban, Inti Idayu Press, Jakarta.

Mangunsarkoro, S., 1950. Sosiologi dan Kebudayaan untuk Pendidikan Indonesia Merdeka. Badan Penerbit Keluarga, Yogyakarta.

Mayor Polak, Y.B.A.F., 1979, Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas, PT. Ichtiar Baru, Jakarta.

Mitchell, Duncan, 1984. Sosiologi Suatu Analisa Sistem Sosial.Penerbit: PT. Bina Aksara, Jakarta.

Murtopo, Ali, 1978. Strategi Kebudayaan. Penerbit: Yayas-an Proklamasi Centre for Strategic and International Studies, Jakarta.

Mustafa, Hasanudin, 1961. Rangka Dasar Penghidupan Masyarakat (Jilid 2).Penerbit: PT. Pembangunan, Jakarta.

Nasikun, 1984.Sistem Sosial Indonesia. Penerbit: CV.Rajawali, Jakarta.

Nasution, Adham, 1983. Sosiologi.Penerbit: Alumni, Bandung.

Ngadiyono, 1984, Kelembangaan dan Masyarakat, PT.Bina Aksara, Jakarta.

Ritzer, George, 1980. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Brparadigma Ganda.Penerbit: CV.Rajawali, Jakarta.