37
Review Artikel Difficult Airway di Bidang Obstetri Oleh Anas Nasyitul Himam,dr Pembimbing Edward Kusuma,dr., MKes.,SpAn.,KIC PPDS I ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI DEPARTEMENT ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 1

Difficult Airway Dibidang Obstetri

Embed Size (px)

DESCRIPTION

diff airway

Citation preview

Page 1: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Review Artikel

Difficult Airway di Bidang Obstetri

Oleh

Anas Nasyitul Himam,dr

Pembimbing

Edward Kusuma,dr., MKes.,SpAn.,KIC

PPDS I ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

DEPARTEMENT ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA

2013

1

Page 2: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Pendahuluan

Ada sekitar 1 dari 300 pasien obstetri yang dilakukan induksi general anestesi, dengan

menggunakan laringoskop standar,mengalami kegagalan dalam intubasi. Tindakan

pencegahan merupakan strategi yang paling efektif dalam mengelola difficult airway.

Pada saat induksi dilakukan dengan RSI,maka ahli anestesi harus sudah memiliki

strategi untuk pengelolaan kesulitan intubasi yang tidak diperkirakan sebelumnya.

Meskipun algoritma difficult airway telah tersedia, akan tetapi diperlukan algoritma

yang cukup teruji pada setting obstetri (Jill M. Mhyre March 2011)

Ketidakmampuan untuk memelihara patensi jalan nafas setelah kegagalan atau

kesulitan intubasi menjadi perhatian utama dalam kaitannya dengan mortalitas dan

morbiditas maternal dan menjadi sebab tuntutan malpraktik yang cukup bermakna

dibidang obstetri.

Tujuan dari review ini adalah untuk memberi gambaran apa itu difficult airway, sekilas

tentang sebab utama kegagalan intubasi, dan pendekatan yang bisa digunakan dalam

pengelolaannya. (Tiberiu Ezri 2001)

Beberapa faktor dapat menyebabkan kekhawatiran ketika berhadapan dengan ibu hamil,

kaitannya dengan tindakan anestesi.

Faktor –faktor yang paling penting diantaranya adalah perubahan anatomi dan fisiologi

terkait dengan kehamilan yang berdampak pada pengelolaan dibidang anestesi, yang

dalam praktiknya,kondisi urgen membatasi kita untuk melakukan persiapan yang

cukup, dan memberikan resiko terhadap ibu dan janin. (Uma Munnur, Ben de Boisblanc

and Maya S. Suresh 2005)

Definisi

Difficult airway didefinisikan sebagai situasi klinis dimana ahli anestesi yang terlatih

secara konvensional mengalami masalah dengan ventilasi, intubasi trakea atau

keduanya. Difficult airway menggambarkan masalah pada tiap tahapan pengelolaan

jalan nafas, yakni : laringoskopi, intubasi, atau ventilasi. Difficult laryngoscopy

2

Page 3: Difficult Airway Dibidang Obstetri

menggambarkan ketidakmampuan untuk melihat bagian – bagian dari pita suara.

Intubasi endotrakeal dianggap sulit bila mencoba lebih dari 3 kali atau butuh waktu

lebih dari 10 menit. Definisi ini ditentang oleh Benumof, dengan mempertmbangkan

bahwa ahli anestesi yang berpengalaman harus dapat mengenali ada kesulitan dalam

intubasi pada upaya pertama intubasi. Yang dimaksud dengan kesulitan ventilasi

dengan masker (Difficult mask ventilation) adalah ketidakmampuan untuk menjaga

saturasi O2 (SaO2) lebih dari 90% dengan konsentrasi oksigen inspirasi 100% dan

ventilasi tekanan positif.. Definisi ini dimaksudkan untuk menetapkan kriteria yang

jelas dan perhitungan waktu yang pasti dan jumlah upaya intubasi serta mebantu ahli

anestesi untuk memutuskan kapan saatnya untuk meminta bantuan atau memilih

pendekatan lain dalam mengamankan jalan nafas.

Meski demikian,harus dipahami bahwa kegagalan dalam oksigenasi dan ventilasi lah

yang menyebabkan outcome yang fatal, bukan ketidakmampuan untuk mengintubasi.

Dengan demikian, kemampuan untuk memberi ventilasi secara efektif menjadi hal yang

sangat penting (Tiberiu Ezri 2001)

Menurut Mills, tidak ada definisi tunggal untuk kegagalan intubasi trakeal. Tetapi

ketidakmampuan untuk intubasi setelah pemberian dosis tunggal succinylcholine

menjadi definisi yang cukup pragmatis dalam setting obstetri. (Mills Volume 25

Number 2 December 2009)

Insiden

Kejadian difficult airway pada populasi hamil 6 kali lebih tinggi dibanding populasi

non-hamil atau sekitar 1 dari 250-300 pasien (Vaida 2006)

Kejadian gagal intubasi trakeal pada populasi pasien bedah kira–kira 1:2200, tetapi

pada populasi obstetri sekitar 1:250. Adanya edema laring mungkin menjelaskan

perbedaan angka kejadian ini dan ini menunjukkan bahwa pada populasi

hamil ,Mallampati score menjadi lebih jelek (Mills Volume 25 Number 2 December

2009)

3

Page 4: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Studi yang lain juga memberikan angka kejadian yang sama yaitu kira – kira 1 : 300

pasien (Jill M. Mhyre March 2011)

Kejadian fatal pada gagal intubasi 13 kali lebih tinggi pada populasi obstetri. (Uma

Munnur, Ben de Boisblanc and Maya S. Suresh 2005)

Kegagalan intubasi seringkali tidak diperkirakan sebelumnya. Meskipun angkanya

kecil tetapi masih lebih tinggi dibanding dengan populasi non obstetri. Menariknya ,

kejadian intubasi sangat sulit tidak ada beda antara populasi obstetri (2%) dan non

obstetri (1.8%). Dalam 10 tahun terakhir, angka kejadian gagal intubasi tidak

mengalami penurunan.

Kesulitan ventilasi masker ditemukan kira – kira 0.02 % pasien, angka ini lumrah baik

pada populasi obstetri maupun non obstetri. (Tiberiu Ezri 2001)

Perubahan selama kehamilan

Terdapat beberapa perubahan anatomis dan fisiologis selama kehamilan yang bisa

menyebabkan difficult airway dan menempatkan pasien pada ancaman kesulitan atau

gagal intubasi. (Uma Munnur, Ben de Boisblanc and Maya S. Suresh 2005)

(Uma Munnur, Ben de Boisblanc and Maya S. Suresh 2005)

Anatomi

Edema jalan nafas

4

Page 5: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Edema jalan nafas merupakan konsekuensi dari retensi cairan akibat hormonal selama

kehamilan, dan kondisi ini akan menjadi lebih berat apabila ada preeklamsia, overload

cairan, posisi head down, infus oksitosin (retensi akibat efek antidiuretik), Valsava

effort yang memanjang selama persalinan, beta-adrenergic tocolytic therapy, dan

infeksi saluran nafas bagian atas. Pasien dengan preeklamsia memiliki jalan nafas yang

lebih sempit dibanding pasien hamil normal. Koagulopati pada pasien preeklamsia akan

memperumit upaya laringoskop yang berulang, menyebabkan laserasi dan perdarahan

jalan nafas bagian atas.

Klasifikasi Mallampati dari jalan nafas, berubah dari trimester pertama dibanding

trimester ketiga. Pembengkakan vaskuler pada saluran nafas dan mukosa orofaring

selama kehamilan berperan dalam pengurangan diameter internal dari trakea dan

meningkatkan resiko perdarahan selama manipulasi pada jalan nafas.pada pasien hamil,

sebaiknya digunakan ETT yang lebih kecil, karena pembengkakan mukosa dan

penurunan area pembukaan glottis. (Uma Munnur, Ben de Boisblanc and Maya S.

Suresh 2005), (Sng BL 2011)

Kenaikan Berat Badan

Obesitas seringkali ditemukan selama kehamilan; perbedaan berat badan bisa mencapai

20kg. pada populasi ini, persalinan dengan SC mencapai 50%. Kejadian obesitas

meningkat bila dikaitkan dengan penyulit yang lain misalnya DM, hipertensi, dll.

Demikian juga dengan angka kegagalan regional anestesi. Difficult intubation pada

pasien obesitas mungkin akibat dari leher yang pendek atau lidah atau payudara yang

besar, dimana laringoskop dan intubasi menjadi lebih sulit. (Sng BL 2011) (Tiberiu Ezri

2001)

Abnormalitas anatomis yang telah ada sebelumnya

5

Page 6: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Beberapa keadaan yang bisa digunakan dalam memperkirakan difficult airway dan

difficult intubation antara lain : mandibular pendek, micrognathia, protrusi gigi depan,

gigi besar, high arched palate, berkurangnya mobilitas TMJ, leher pendek, menurunnya

mobilitas leher, terbatasnya gerakan leher, tumor dijalan nafas, deformitas akibat

operasi sebelumnya, dan beberapa penyakit sistemik (Vaida 2006).

Edema pada kapiler mukosa saluran nafas menyebabkan pembengkakan pada

nasal,laring,dan trakea, mengakibatkan kesulitan dalam nafas melalui hidung,

epistaksis, dan perubahan suara. Selain itu, peningkatan kadar estrogen dan volume

darah juga menyebabkan edema mukosa.Keadaan ini akan diperberat oleh adanya

ISPA, overload cairan, preeklamsia. (Tiberiu Ezri 2001) (Uma Munnur, Ben de

Boisblanc and Maya S. Suresh 2005)

Anatomi jalan nafas merupakan kesatuan dari empat mekanisme berikut : adanya

deformitas anatomis, edema jalan nafas, adanya penyakit dijalan nafas, dan obesitas.

(Tiberiu Ezri 2001)

.

(Tiberiu Ezri 2001)

6

Page 7: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Fisiologi

Selisih berat badan dan pembesaran uterus menyebabkan menurunnya Functional

Residual Capasity, sehingga mempercepat onset hipoksemia selama periode apneu (Sng

BL 2011) (Tiberiu Ezri 2001)

Lambung akan bergeser akibat pembesaran uterus, hal ini akan merubah sudut

gastroesophageal junction, akan menimbulkan inkompetensi gastroesophageal

pnchcock mechanism.

Efek relaksan pada otot polos yang diperantarai progesterone, bersama dengan akibat

uterus pada kehamilan, menempatkan parturient pada resiko regurgitasi dan aspirasi

pneumonia. Tonus spinkter esophagus bagian bawah menurun, jumlah asam lambung

meningkat, pH asam lambung manurun, mempermudah refluks gaster dan heartburn

selama hamil. Pengosongan lambung akan melambat, sehingga meningkatkan resiko

silent regurgitation, muntah, dan aspirasi selama GA atau keadaan penurunan

kesadaran.

Semua ibu hamil yang akan dilakukan tindakan anestesi untuk SC harus

dipertimbangkan adanya resiko terhadap aspirasi pneumonia dan harus mendapat

profilaksis saat preoperatif. Farmakoprofilaksis bisa diberikan antasida nonpartikulat

seperti sodium sitrat 30 cc, berefek selama 40-60 menit. Anti Histamin 2 (AH2) yang

7

Page 8: Difficult Airway Dibidang Obstetri

diberikan 40 menit sebelumnya juga bisa bermanfaat sbagai obat tambahan. Ranitidin

menjadi pilihan dari golongan ini.

Omeprazol butuh waktu 40 menit untuk menurunkan asiditas asam lambung (A. 2005)

Ibu mau melahirkan memiliki selisih berat badan selama kehamilan. Hal ini akibat dari

pembesaran uterus, janin, peningkatan volume darah dan cairan intertisial, dan deposisi

lemak.

Ada peningkatan ukuran payudara selama kehamilan, Penambahan berat badan dan

peningakatan ukuran payudara akan menyulitkan saat intubasi. (Uma Munnur, Ben de

Boisblanc and Maya S. Suresh 2005) (A. 2005)

Resiko hipoksia

Wanita hamil lebih cepat mengalami hipoksemia pada periode apneu, karena

menurunnya residual capacity, O2 consumption yang lebih tinggi, penurunan cardiac

output pada posisi supine (aorto-caval compression). Sehingga memerlukan

preoksigenasi dan denitrogenasi yang efisien saat induksi general anestesi.

Induksi pada posisi kepala head up akan lebih menguntungkan, karena akan

meningkatkan FRC (A. 2005)

Resiko aspirasi

Sistem Gastrointestinal juga mengalami perubahan yang bermakna selama kehamilan

dan setiap ibu yang melahirkan harus dipertimbangkan mengenai resiko aspirasi selama

induksi. Tekanan akibat dari pembesaran rahim akan meningkatkan tekanan dalam

lambung. Sebagai konsekuensinya adalah barrier tekanan akan menurun dan bisa

terjadi reflux.

Perlambatan pengosongan lambung merupakan akibat dari faktor hormonal,

meningkatnya gastrin, sekretin dan progesterone dan menurunnya sekresi motilin.

RSI harus selalu diterapkan pada persalinan dengan GA.

8

Page 9: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Penekanan Krikoid

Adanya perubahan pada GIT,menekankan perlunya penekanan pada krikoid sebelum

pasien mulai kehiangan kesadaran daam rangka mencegah aspirasi atau regurgitasi

selama induksi. Penekanan krikoid dilakukan secara langsung pada tulang rawan

krikoid. (Vaida 2006)

Oxigen delivery dan arterial oxygenation akan menurun akibat dari kenaikan

diagfragma, obesitas, dan penurunan FRC (Tiberiu Ezri 2001)

Penilaian jalan nafas

Sebagian besar masalah jalan nafas terjadi pada saat difficult airway tidak diketahui

sebelum dilakukan induksi.

Penilaian berkali-kali terhadap jalan nafas dan persiapan yang cukup untuk pengelolaan

jalan nafas pada setting elektif sangat membantu dalam mengurangi masalah jalan

nafas.

Ada beberapa pemeriksaan preoperatif sederhana yang dapat kita lakukan secara cepat

untuk mengevaluasi jalan nafas. Antara lain pembukaan mulut, Mallampati, jarak

tiromental, ekstensi atlantooksipital, dan protrusi mandibula

Kelas Mallampati

Klasifikasi mallampati didasarkan atas keterkaitan antara dasar lidah dan struktur

orofaring ( uvula, tonsilar pillar dan faucial pillar)

Mallampati menghipotesakan bahwa ketika terdapat disproporsi antara ukuran dasar

lidah dengan rongga orofaring, besarnya ukuran dasar lidah dapat mengurangi

visibilitas dari tonsillar pillar dan uvula, dan pada akhirnya akan menyulitkan pada saat

laringoskop dan intubasi.

Didasarkan pada klasifikasi mallampati dan dimodifikasi oleh Samsoon dan Young,

dibagi menjadi 4 kelas,yakni :

1. Kelas I : tampak soft palate, uvula, dan tonsillar pillar

9

Page 10: Difficult Airway Dibidang Obstetri

2. Kelas II : tampak soft palat dan dasar uvula

3. Kelas III : hanya tampak soft palate sja

4. Kelas IV : tampak Hard palate

(Uma Munnur, Ben de Boisblanc and Maya S. Suresh 2005)

Samsoon dan Young menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara

kemampuan melihat struktur faring dan kemudahan dalam laringoskop.

M.Boutonnet dkk membuktikan bahwa seringkali terjadi peningkatan kelas Mallampati

selama kehamilan dan persalinan. Perubahan ini potensial terjadi pada setiap wanita

hamil, dan tidak ada faktor yang bisa dijadikan prediksi pda perubahan ini. Perubahan

paling sering ditemukan pada minggu akhir kehamilan dan tidak berubah sampai 48 jam

pasca persalinan. Temuan ini mendorong dilakukannya re-evaluasi terhadap jalan nafas

pada pasien hamil sampai 48jam pasca persalinan apabila akan dilakukan tindakan

anestesi. (M. Boutonnet 2010)

Terjadi peningkatan Mallampati sampai kelas 4 pada usia kehamilan 12 sampai 38

minggu. (Uma Munnur, Ben de Boisblanc and Maya S. Suresh 2005)

Selain itu, Kelas Mallampati bertambah, merupakan akibat dari : edema faring, infiltrasi

jaringan lemak pada faring, pemberian cairan yang berlebihan selama persalinan dll.

10

Page 11: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Cormack dan Lehane, mengevaluasi penampakan dari glottis dan membagi menjadi 4

derajat :

1. Derajat 1 : sebagian besar glottis tampak

2. Derajat 2 : hanya bagian posterior dari glottis yang tampak

3. Derajat 3 : hanya tampak epiglottis

4. Derajat 4 : tak tampak epiglottis

Ada korelasi yang bermakna antara kelas Mallampati dengan derajat penampakan pada

laringoskop.

Rocke dkk menemukan korelasi yang kuat antara peningkatan kelas Mallampati dengan

kesulitan intubasi. Selain itu pada evaluasi terhadap pemeriksaan jalan nafas juga

menemukan faktor-faktor yang potensial dalam intubasi sulit

Faktor-faktor tersebut antara lain leher pendek, protrusi gigi seri atas, dagu pendek,

mallampati 3 dan 4. (Uma Munnur, Ben de Boisblanc and Maya S. Suresh 2005)

11

Page 12: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Ekstensi sendi Atlanto-Occipital

Ekstensi sendi atlanto-aksipital sangat penting kaitannya dalam menyejajarkan sumbu

oral-faring dan laring selama laringoskop. Nilai normalnya 35˚. Pengurangan sudut

ekstensi sendi ini akan mningkatkan tingkat kesulitan dari intubasi

.

Jarak Thyromental

Didefinisikan sebagai jarak antara dagu dengan tulang rawan thyroid. Jarak ini

memberikan perkiraan mandibular space dan mudah dilakukan, baik dengan penggaris

maupun dengan jari. Jarak >6.5 cm dengan tanpa kelainan anatomis menandakan

intubasi mungkin akan mudah. Hasil pengukuran 6-6.5 cm menandakan kemungkinan

laringoskop dan intubasi akan sulit.. Bila jarak < 6 cm, kemungkinan laringoskopi

maupun intubasi akan sulit. Mandibular space merupakan prediktor yang penting dalam

memperkirakan kesulitan intubasi, karena pada saat laringoskopi, lidah akan bergeser

ke ruang ini.

Tidak ada pemeriksaan tunggal dalam menilai jalan nafas yang dapat dipercaya

memprdiksi difficult airway. Meski demikian, prediktor difficult airway saat preoperatif

merupakan hal yang penting dalam memudahkan pengelolaan jalan nafas. Memprediksi

difficult airway dapat membantu ahli anestesi untuk memberikan perawatan sebaik-

baiknya.

12

Page 13: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Penyakit Oksipito-aksial berkaitan dengan buruknya protrusi mandibular.

Derajat protrusi dibagi menjadi :

1. Kelas A : gigi seri bawah protrusi anterior terhadap gigi seri atas

2. Kelas B : gigi seri bawah dan atas berimpitan pada masing-masing sisi bawah

dan atas.

3. Kelas C : gigi seri bawah

.

(Uma Munnur, Ben de Boisblanc and Maya S. Suresh 2005) (Vaida 2006)

(Tiberiu Ezri 2001)

Pengelolaan jalan nafas untuk Sectio Caesaria

Pengelolaan yang diberikan tergantung dari apakah elektif atau urgen dan apakah

difficult airway sudah diperkirakan sebelumnya. Dan kondisi janin (distress atau tidak)

dapat mempengaruhi pendekatan anestesi yang diberikan

13

Page 14: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Secara umum sudah menjadi kesepakatan bersama apabila pada keadaan yang sangat

mendesak, maka pilihan harus dibuat apakah memilih ibu atau janin yang akan

diselamatkan, ibu harus terlebih dahulu di selamatkan dibandingkan dengan janin,

meski kejadian seperti ini mungkn jarang terjadi.

Induksi anestesi untuk persalinan Sectio Caesaria pasien dengan jalan nafas yang normal

Bila terjadi intubasi sulit yang tidak diperkirakan sebelumnya, maka pasien harus

dibangunkan ( bila tidak ada indikasi operasi emergency) dan pembedahan dilakukan

dengan anestesi regional. Anstesi spinal lebih dipilih dibandingkan dengan anestesi

epidural, karena onset nya lebih cepat, angka keberhasilannya tinggi. Meskipun

penerapan anestesi spinal untuk SC emergency masih kontroversial, mengingat durasi

kerjanya, resiko hipotensi, tetapi banyak memiliki keuntungan sehingga lebih banyak

dipilih.

Anestesi kombinasi spinal-epidural(CSEA), memiliki keuntungan onset nya yang cepat

dan fleksibilitas dalam lama blok yang diinginkan. Pada kondisi distress janin, maka

pembedahan harus dilakukan meskipun terjadi kegagalan intubasi. Bila jalan nafas tidak

dapat dijaga (sehingga mempengaruhi oksigenasi dan ventilasi) dengan masker atau alat

bantu jalan nafas lain ( LMA, Combitube) maka harus dibuat jalan nafas buatan ( mis.

Trakeostomi, krikotiroidotomi, atau transtracheal jet ventilation) sebelum dilakukan

operasi. (Tiberiu Ezri 2001) (Uma Munnur, Ben de Boisblanc and Maya S. Suresh

2005)

Pasien dengan kecurigaan masalah jalan nafas pada saat sebelum Sectio Caesaria

Pada kasus yang tidak mendesak ( misalnya: fetal distress, tanda perdarahan maternal,

dll) dan tes koagulasi tidak ada masalah,maka anestesi regional menjadi pilihan. Bila

pasien menolak atau ada kontra indikasi anestesi regional, maka pilihannya intubasi

awake dengan fiber optik. Apabila terjadi kegegalan dalam anestesi regional, maka

maka ahli anestesi yang lebih berpengalaman bisa mencoba untuk melakukan anestesi

regional. Peralatan untuk pengelolaan anestesi regional harus sudah siap untuk

14

Page 15: Difficult Airway Dibidang Obstetri

digunakan di kamar operasi dan kemungkinan-kemungkinan penatalaksanaan

didiskusikan kembali dengan dokter kandungan. Pasien harus dijelaskan resiko dan

keuntungan yang dapat diperoleh, pasien harus didorong untuk berani menjalani

prosedur anestesi regional. Pada kaeadaan gagal anestesi regional dan dipilih dengan

GA, maka perencanaan aksi yang lebih komprehensif harus disiapkan.

Persalinan dengan SC Emergency : Persalinan Urgent vs.Pengelolaan Jalan Nafas

Persalinan dengan SC emergency dilakukan atas indikasi ibu atau janin. Perdarahan

maternal yang berat dan atau distress janin merupakan indikasi yang paling sering untuk

SC cito. Bahkan, meskipun permasalahan telah diketahui saat preoperatif, terkadang

operasi tidak dapat ditunda dengan tindakan anestesi regional, atau intubasi fiber optik.

Harmey, Latto,dan Vaughan mengajukan usulan urgency delivery scoring system untuk

membantu dalam menghadapi dilemma apakah menunda operasi jika diperkirakan

intubasi akan sulit atau telah telah terjadi dengan GA.

Group 1 : Pembedahan harus dimulai bahkan saat intubasi diperkirakan sulit. Dalam

kelompok ini termasuk didalamnya : perdarahan maternal yang berat dan distress janin.

Operasi harus dilakukan meskpun intubasi tidak berhasil tetapi masih dimungkinkan

oksigenasi dan ventilasi pada ibu. Operasi tidak boleh dimulai bila oksigenasi dan

ventilasi tidak memuaskan.

• Group 2: Tidak ada urgensi dilakukannya operasi. Diperbolehkan dan diindikasikan

anestesi regional.

• Group 3: Yang termasuk dalam kelompok intermediet ini adalah pasien dengan

kontra indikasi yang relative terhadap anestesi regional, misalnya : penyakit jantung,

perdarahan dengan hemodinamik stabil; dimana didapatkan indikasi yang kuat untuk

dilakukan anestesi regional kaitannya dengan masalah airway. Pada kasus ini, praktis

klinis, pengalaman, dan tim konsultasi anestesi-obstetri harus memutuskan pendekatan

mana yang paling aman dilakukan.

15

Page 16: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Pemiilihan Supraglottic Airway Devices untuk pengelolaan Difficult Airway

Tersedia beragam alat yang bisa digunakan pada jalan nafas untuk mempermudah

oksigenasi dan ventilasi dalam situasi intubasi sulit yang tidak dikenali sebelumnya.

The American of Anesthesiologist’s Task Force on Management of the Difficult

Airway memberi saran untuk mempertimbangkan penggunaan LMA dan Combitube

ketika terjadi masalah saat intubasi pada pasien dengan difficult airway yang tidak

dikenali sebelumnya, khususnya :”cannot ventilate, cannot intubate”. LMA klasik dan

Combitube digunakan dalam anestesi obstetri sebagai life-saving emergency ventilatory

device ketika waktunya krusial dan terjadi hipoksemia yang mengancam jiwa pasien.

Alat ini harus menjadi bagian dari armamentarium setiap setting anestesi obstetri untuk

pengelolaan difficult airway.

Sejumlah alternatif alat untuk jalan nafas tersedia dan semua ahli anestesi harus

berkompeten dalam penggunaan paling tidak salah satu alternatif metode pengelolaan

difficult airway.

Laryngeal Mask Airway

Sejak diperkenalkan dalam praktik klinis tahun 1988, LMA menjadi popular diseluruh

dunia, dan merubah cara pandang terhadap pengelolaan difficult airway. LMA

sebenarnya dikembangkan untuk kasus dengan ventilasi spontan dan perannya dalam

pengelolaan jalan nafas menjadi lebih luas.

Lebih dari 80% ahli anestesi di AS lebih memilih LMA sebagai pilihan pertama dalam

scenario “cannot ventilate, cannot intubate”. Di UK, 72% ahli anestesi obstetri

mendukung penggunaan LMA sebagai pilihan pertama untuk situasi “cannot ventilate,

cannot intubate”.

Keterbatasan yang paling bermakna dari LMA adalah kurang efektifnya sekat terhadap

pneumoni aspirasi isi lambung.

Keterbatasan lain dari LMA adalah kurang optimal bila dilakukan kontrol ventilasi.

Beberapa ahli anestesi ragu-ragu memilih LMA ketika dibutuhkan ventilasi tekanan

positif. Saat tekanan inspirasi melebihi 20 cmH2O, udara cenderung untuk bocor

melewati cuff yang dikembangkan, memicu terjadinya distensi lambung dan atau

mengurangi efikasi ventilasi tekanan positif.

16

Page 17: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Sekarang sudah tersedia beberapa varian dari LMA klasik, termasuk LMA flexible,

LMA Unique (disposable LMA), LMA Fastrach (intubating LMA), dan yang paling

baru, LMA Proseal. Walaupun beberapa jenis LMA dapat digunakan pada kasus

difficult airway dalam anestesi obstetri, Proseal LMA menawarkan perlindungan yang

lebih,dibanding yang lain, terhadap aspirasi.

17

Page 18: Difficult Airway Dibidang Obstetri

ProSeal Laryngeal Mask Airway

ProSeal LMA diperkenalkan dalam praktik klinis tahun 2000. Ini merupakan LMA baru

dengan cuff yang telah dimodifikasi untuk meningkatkan sekat disekitar glottis dan

dengan penambahan drain tube untuk tujuan bypass channel untuk cairan regurgitasi,

mencegah insuflasi lambung, dan memudahkan penempatan pipa lambung. Fitur ini

dirancang untuk peningkatan tingkat keamanan LMA dan lebih baik dalam kaitannya

dengan ventilasi tekanan positif.

18

Page 19: Difficult Airway Dibidang Obstetri

ProSeal LMA

Intubating Laryngeal Mask Airway – Fastrach

19

Page 20: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Fastrach merupakan modifikasi dari LMA yang dirancang khususnya sebagai saluran

untuk intubasi endotrakeal. Bentuknya pendek, melengkung secara anatomis, lubang

nya besar, tube baja dengan guide handle.

Combitube

Esophageal-tracheal Combitube merupakan double lumen, double cuff tube dimana

kita bisa melakukan ventilasi dengan salah satu, intubasi trakeal atau esophageal., tatapi

pada 95% kasus,intubasi masuk lambung. Dua lumen tersebut dipisahkan oleh sebuah

partisi. Alat ini bisa dipasang secara blind maupun dengan laringoskop. Alat ini juga

bisa dipasang oleh ahli anestesi yang kurang terlatih secara formal, dan bisa juga oleh

orang yang tidak berpengalaman.

20

Page 21: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Laryngeal Tube

Laryngeal Tube (LT) merupakan alat yang lebih baru, multiuse, bebas latex, tube

silikon lumen tunggal yang tertutup pada ujung distal, dengan cuff oro-pharyngeal dan

esophageal yang bertekanan rendah, dan terdapat outlet ventilasi yang terletak diantara

kedua cuff tersebut.

21

Page 22: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Laryngeal Tube Suction

merupakan pengembangan lebih lanjut dari Laryngeal Tube, dimana memudahkan

pemisahan yang lebih baik antara saluran nafas dan pencernaan.

LTS terdiri dari tube silikon double lumen dimana satu lumen untuk ventilasi dan lumen

yang lain untuk suctioning dan penempatan pipa lambung. Alat baru ini,, seperti halnya

LT, diinsersikan secara blind dengan ujung distal diposisikan di hipofaring atau

esophagus bagian atas (Vaida 2006) (Jill M. Mhyre March 2011) (Uma Munnur, Ben de

Boisblanc and Maya S. Suresh 2005) (A. 2005)

22

Page 23: Difficult Airway Dibidang Obstetri

23

Page 24: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Algoritma pengelolaan difficult Airway

Algorithma umum untuk gagal intubasi/ventilasi diajukan oleh Benumof dan sampai

saat ini direkomendasikan oleh American Society of Anesthesiologists. Prinsip utama

pengelolaan pada algoritma ini secara keseluruhan adalah kecenderungan pemilihan

anestesi regional disbanding dengan anestesi general. (Tiberiu Ezri 2001)

Algoritma merupakan panduan untuk memudahkan dalam pengambilan keputusan dan

pertimbangan klinis. Harus kembali diingat bahwa pasien tidak mati akibat gagal

intubasi, tetapi akibat dari gagal oksigenasi. Memastikan pre-oksigenasi yang adekuat

dapat memberikan waktu kepada kita, apabila menemukan masalah dalam induksi.

(Mills Volume 25 Number 2 December 2009)

Algoritma lain diajukan oleh Alex Mills dan diaplikasikan di Royal Devon and Exeter,

NHS Foundation trust, Devon.

24

Page 25: Difficult Airway Dibidang Obstetri

25

Page 26: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Kesimpulan

Tantangan dalam tindakan anestesi pada pasien hamil adalah komplikasi lebih lanjut

dengan penyulit dalam pengelolaan jalan nafas.

Konsultasi antara ahli anestesi dan obstetri secara dini adalah satu prinsip dalam

pengelolaan difficult airway. Kerja tim merupakan hal yang penting untuk keselamatan

ibu dan janin. Elemen lainnya adalah penggunaan anestesi regional dibandingkan

anestesi general.

Pemahaman yang baik terhadap perubahan fisiologis dan anatomis saat hamiladalah hal

yang penting dalam pengelolaan tdak hanya ibu yang sehat tetapi juga pada ibu dengan

kondisi medis yang telah ada sebelumnya.

Akibat dari perubahan anatomi dan fisiologi kaitannya dengan kehamilan, maka

difficult airway harus diantisipasi sebelumnya. Kejadian yang sebenarnya dari intubasi

dan ventilasi sulit sebenarnya tidaklah mudah untuk diperkirakan. Masalah berkaitan

dengan jalan nafas mejadi factor yang punya kontribusi dalam morbiditas dan

mortalitas ibu.

Pemahaman ahli anestesi tehadap algoritma dan penguasaan terhadap alat-alat yang

tersedia menjadi faktor yang penting dalam pengelolaan difficult airway maupun

kegagalan intubasi

Algoritma merupakan suatu panduan untuk memudahkan pembuatan keputusan klinis.

Harus diingat bahwa pasien tidak mati akibat gagal intubasi tetapi akibat dari gagal

ventilasi

26

Page 27: Difficult Airway Dibidang Obstetri

Daftar Pustaka

A., Dr. Rudra. "AIRWAY MANAGEMENT IN OBSTETRICS." INDIAN JOURNAL OF ANAESTHESIA, 2005: M32A8N -A 3G35.

Christopher F Ciliberto, Gertie F Marx, Darryl Johnston. "Physiological Changes Associated with Pregnancy." Update in Anaesthesia | www.anaesthesiologists.org. World Federation of Societies of Anaesthesiologists, 1998.

Durga Prasada Rao, Venkateswara A Rao. "Morbidly obese parturient : Chalenge for the Anaethesiologists, including managing the difficult airway in obsterics. What is new?" Indian Journal of Anaesthesia , 2010: 508-521.

Jill M. Mhyre, MD, and David Healy, MD. "The Unanticipated Difficult Intubation in Obstetrics." Society for Obstetric Anesthesia and Perinatology, March 2011: 648-652.

M. Boutonnet, V. Faitot, A. Katz, L. Salomon and H. Keita. "Mallampati class changes during pregnancy, labour, and after delivery." British Journal of Anaesthesia, 2010: 67–70.

Mills, Alex. "Management of obstetric failed intubation." Update in Anaesthesia | www.anaesthesiologists.org, Volume 25 Number 2 December 2009: 37-40.

Sng BL. Proseal laryngeal mask airway as a rescue airway during emergency. 2011. http://www.AJA-Online.com.

Tiberiu Ezri, MD, Peter Szmuk, MD, Shmuel Evron, MD,. "Difficult Airway in Obstetric Anesthesia:." OBSTETRICAL AND GYNECOLOGICAL SURVEY, 2001: 631-641.

Uma Munnur, MD, MD Ben de Boisblanc, and MD Maya S. Suresh. "Airway problems in pregnancy." Crit Care Med, 2005: 268-259.

Vaida, Sonia J. "Difficult Ai Ai rway in in Obstetric Ane Ane Ane sthesia." TMJ, 2006: 116-123.

27