Upload
phamhanh
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
“DIALOGIC SUFISM” DAN “PIETISTIC ACTIVISM” ; TAWARAN M. F. GÜLEN BAGI DIALOG INTERFAITH
Oleh : Mutamakkin Billa
Abstrak
Tahun 2007 merupakan tahun bersejarah bagi hubungan Islam-Kristen. Satu dokumen kesepahaman internasional lain
dihasilkan, yaitu yang bertajuk A Common Word Between Us and You. 138 cendekiawan Muslim dan representasi
keagamaan dunia menandatangani dokumen tersebut. Bersama Nostra Aetate tahun 1965, dokumen ini diyakini akan
merubah sejarah kemanusiaan, terutama sejarah agama-agama dunia, dan setidaknya sejarah hubungan Islam-Kristen.
Nostra Aetate lebih tepat disebut upaya “terus menerus” dilakukan dalam rangka menemukan Common Word/Common Ground/Kalimah Sawa‟ bagi harmonisasi hubungan Islam-Kristen. Mencari Common Word pada teks-teks keagamaan
sebenarnya mudah dilakukan masing-masing pihak; Islam-Kristen, terutama bagi mereka yang telah terbiasa dengan
model pembacaan inklusif, pembacaan yang tidak semena-mena mengunci makna teks pada kepentingan tertentu. Tapi
persoalannya, Nostra Aetate harus menghadapi tantangan dominasi model-model pembacaan eksklusif. Fenomena
global salafism yang berujung pada sikap sekeptis dan kritik terhadap upaya dialog interfaith, bahkan konflik antar
agama yang marak terjadi, terutama bersumber dari model pembacaan ini. Masalah ini cukup serius, dan jika tak
terselesaikan, upaya dialog interfaith akan sampai pada titik deadlock dan Nostra Aetate kembali menjadi upaya yang
tak bisa diharapkan hasilnya.
Disinilah letak urgensi konseptualisasi Gülen. Gülen mengajukan “sufisme dialogis” dan “institutionalisasi dialog”
sebagai tawaran solusi bagi segudang persoalan hubungan antar agama, antar budaya dan antar peradaban. Upaya
dialog –bagi Gülen– harus dilakukan melalui institusionalisasi, yang dalam konteks ini Gülen arahkan pada gerakan
pendidikan berpendekatan interrelated–interconnected; agama (spiritualitas/sufism), science dan dialog, dengan
peserta didik yang juga intercultural–interfaith. Ratusan lembaga pendidikan, seperti sekolah K-12, universitas, dan
sekolah bahasa telah beroperasi di seluruh dunia, diilhami gerakan Gülen, seperti sekolah-sekolah di tenggara Turki,
Asia Tengah, beberapa negara Afrika, Timur Jauh dan Eropa Timur. Sekolah-sekolah ini menjadi simbol hubungan
harmonis interfaith dan intercultural. Di daerah-daerah sarat konflik, seperti Filipina, tenggara Turki dan Afghanistan,
lembaga-lembaga ini telah membantu kurangi kemiskinan dan meningkatkan akses pendidikan bagi mereka yang
berkekurangan, yang pada gilirannya menurunkan daya tarik terorisme global.
Kata kunci : dialogic sufism, pietistic activism, institusionalisasi
1. Pendahuluan
Seruan dialog interfaith dan kerjasama muslim-kristen sebenarnya telah dimulai 54 tahun sebelum Nostra Aetate tahun
1965 dideklarasikan, tepatnya oleh Said Nursi, tokoh pemikir muslim berpengaruh di abad 20. Nostra Aetate –menurut
Salih Yücel– merupakan langkah pertama dalam mempromosikan dialog interfaith, yang diharapkan mampu
menghadirkan wajah baru hubungan Islam-Kristen. Meski dokumen yang dihasilkan menyebut nilai-nilai bersama antar
kedua agama, sebagai dasar mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan, namun tidak ditindaklanjuti dengan
kesepakatan-kesepakatan kerjasama praktis-mutual antar pihak. Sebagian besar tokoh yang hadir tidak bisa membawa
hasil kolaborasi interfaith tersebut ke dalam dialog yang dilembagakan, terkecuali M. Fethullah Gülen. Namun
bagaimanapun, Nostara Aetate harus diakui merupakan derap pertama upaya dialog interfaith yang telah berhasil
mengantarkan Islam-Kristan pada pengakuan akan akar Ibrahimi bagi keimanan masing-masing komunitas.[1]
Tidak semua muslim atau umat kristiani mengamini deklarasi tersebut. Pada tahun 1970, pertemuan evangelis
diselenggarakan di Frankfurt, Jerman, dan menandatangani deklarasi yang disebut Deklarasi Frankfurt. Pertemuan ini
berusaha menegaskan kembali misi Kristus, dan dengan keras mengkritik dialog yang diselenggarakan sebagai
“pengkhianatan terhadap universalitas misi Kristus.[2] Penegasan ini tentu saja membangkitkan rasa khawatir pihak
muslim. Para pemikir Muslim lantas meminta pihak Vatikan segera menyelesaikan segala persoalan internal-eksternal
sebelum dialog lebih lanjut dilakukan. Dalam tanggapan atas surat ucapan selamat dari Paus Paulus VI pada Hari
kemerdekaan, Abu „Ala Maududi (1903-1979), pendiri partai revivalis Islam di Pakistan, meminta Paus menggunakan
otoritasnya untuk menghapus segala yang meracuni hubungan antara kedua kelompok beriman, seperti serangan
terhadap Nabi Muhammad dan Al Qur‟an yang dilakukan para sarjana Kristen. Pada saat Konsili Vatikan II membahas
gagasan untuk melupakan beban sejarah hubungan Islam-Kristen, pimpinan kelompok French-Indian Muslim, Profesor
Muhammad Hamidullah dari Perancis, merespon melalui surat kepada Paus dan meminta agar Vatikan secara resmi
mengingkari resolusi-resolusi Gereja terdahulu yang anti-Islam.[3]
Pemikir muslim lainnya, seperti Ismail Raji Al-Faruqi (1921-1986), Mahmoud Ayoub, Hasan Askari, Khurshid Ahmad,
Mohammed Talbi, dan Sayyed Hossein Nasr, menampakkan sikap skeptis mereka terhadap dialog. Mereka kha watir
bahwa dialog hanya akan digunakan sebagai alat misionari dan bahkan menyembunyikan agenda politik. Khurshid Ahmad
misalnya, menegaskan bahwa Barat memandang Islam bukan sebagai agama atau peradaban, tetapi sebagai kekuatan
politik tandingan,[4] yang tentu membuat dialog tak akan pernah berjalan berimbang. Selain itu, reputasi negatif
gerakan misionaris di negara-negara Islam dan politik double standard Barat –bagi Ahmad– perlu juga
dipertimbangkan. Ahmad lebih jauh mencontohkan bagaimana sikap Barat terhadap Islam, bahwa Barat menerima
segala model pakaian dari “bikini sampai ke gaun malam” sebagai sesuatu yang lumrah-layak dipakai, sementara
mereka menganggap jilbab sebagai budaya lokal yang tak wajar dan mengancam.[5]
Berbeda dari sikap para pemikir di atas, Gülen melihat positif Nostra Aetate sebagai pintu pertama yang menjamin
harmonisasi hubungan Islam-Kristen. Dialog bagi sebagian pemikir Islam –untuk sementara– tampak dipahami semata
pertemuan dengan komunitas berkeyakinan lain, saling berbagi pemikiran, tukar-menukar pandangan, dan berusaha
mencapai pemahaman mutal melalui nilai-nilai kesepahaman yang diakui bersama (common ground). Gülen malah jauh
melampaui pemahaman ini. Bagi Gülen, dialog interfaith membutuhkan institusionalisasi, bahwa kolaborasi apapun
harus dilakukan melalui proyek bersama yang bisa mengefektifkan dialog, dalam atmosfir skeptisisme sekalipun.
Program dialog harus dimulai dan berhasil di tingkat lokal, dengan proyek-proyek sederhana melalui organisasi-
organisasi massa, untuk kemudian memperluas radius jangkauannya hingga mampu menarik perhatian publik dunia. [6]
Gagasan Gülen ini menuai kritik keras dari berbagai kalangan. Beberapa diantaranya menuduh Gerakan Gülen
menyembunyikan agenda politik untuk mengubah Turki menjadi republik sekuler, sementara yang lain mengidentifikasi
gerakannya sebagai proyek Amerika memperalat orang-orang Islam moderat untuk mengontrol dunia Muslim. Mereka
berasal dari kelompok ultra-nasionalis Turki, kelompok Islam radikal, kaum kiri di Turki dan beberapa neo-
konservativisme di AS. Sementara dilain pihak, Vatikan malah menerima kritik dari kelompok-kelompok evangelis.[7]
Gülen dan para pendukungnya juga dituduh sebagai “representasi buruk” Islam, yang mengabdi pada kepentingan
Yahudi dan Kristen.[8] Mehmet Sevket Eygi, kolumnis Milli Gazete pada pemerintahan Perdana Menteri Necmettin
Erbakan, meragukan pendukung Gülen dan kegiatan dialog mereka sebagai representasi umat Islam. Ia tidak setuju
dengan kegiatan seperti membuka pintu untuk misionaris, bahkan menyerukan bahwa kegiatan dialog antaragama
merupakan penyimpangan teks-teks agama.
Bagaimanapun kerasnya kritikan diterima Gülen, namun satu hal luput dari perhatian mereka, bahwa tak satupun
lembaga atau institusi yang dapat mewakili umat Islam di seluruh dunia, juga tidak ada kesepakatan tentang siapa yang
harus mewakili. Dialog Antar Agama dari pihak Islam selama ini dilakukan para ahli utusan pemerintah yang terbatas
baik pengalaman maupun pendekatan mereka, pemimpin kelompok spiritual, atau komunitas-komunitas tertentu dan
individu. Hal ini membuat sulit pihak Kristen, bahwa mereka harus berdialog, sementara yang hadir adalah perwakilan-
perwakilan negara, lembaga, komunitas, atau pemimpin spiritual, dan bukan perwakilan Islam. Untuk mengatasi problem
representasi ini, Muslim dan Kristen perlu membentuk lembaga bersama sebagaimana saat ini sukses diperjuangkan
Gülen dan para pendukungnya.[9] Dan makalah ini selanjutnya berusaha melihat lebih dalam bagaimana konseptualisasi
dan gagasan-gagasan Gülen di balik kesuksesannya membangun dialog antar agama.
2. Sekilas M. Fethullah Gülen
Gülen lahir pada tahun 1941 di distrik Pasinler di Erzurum. Ia dibesarkan dalam keluarga konservatif bersama lima anak
laki-laki dan dua perempuan. Ayahnya, Ramiz Efendi, adalah seorang Imam yang dipekerjakan pemerintah. Erzurum
terletak di utara-timur Turki, dengan penduduk yang secara sosial sangat konservatif. Kota ini selama berabad-abad
lamanya telah merefleksikan nilai-nilai agama dan nilai-nilai nasionalisme sebagai dasar pembangunan masyarkat.[10]
Masa kecilnya, Gülen habiskan di wilayah ini bersama nilai-nilai konservatif yang terus didistribusikan dan direproduksi
melalui madrasah-madrasah (sekolah agama). Tapi rasa keingintahuannya tak pernah terpuaskan dan ia cinta
pengetahuan. Lingkungan tersebut baginya tidak bisa memenuhi semua keinginan dan kepentingannya . Di usia muda, ia
lebih tertarik pada persoalan-persoalan budaya, politik dan sosial. Menurutnya, Ia mulai tertarik pada masalah-masalah
itu sejak tahun-tahun pertamanya di madrasah. Saat itu, ia menyukai seni, sastra, film, drama, dan kegiatan intelektua l
di sekitar nya. Ia selesaikan pendidikan madrasah dalam waktu yang singkat, tetapi ia tak pernah berkesempatan
melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri.[11]
Tahun-tahun itu adalah tahun dimana Republik Turki baru saja kehilangan tokoh pendirinya (Mustafa Kemal Atatürk),
bahkan pemerintahan baru pun belum sepenuhnya berfungsi dengan baik. Sejak periode Reformasi Ottoman
(Tanzhimat), Turki dilanda masalah politik, ekonomi dan sosial-budaya. Kaum intelektual negara merasa trauma dengan
jatuhnya peradaban Islam. Puluhan problematika intelektual dan kenegaraan dibahas berulang-ulang tanpa solusi yang
jelas. Selain persoalan kenegaraan, masalah-masalah keagamaan juga menjadi beban, kehidupan sosial-keagamaan
sepertinya sudah mati dan terkubur bersama jatuhnya peradaban Islam. Demokrasi Turki dibangun diatas dasar-dasar
yang masih rapuh, bimbang dengan pilihan sistem partai tunggal atau sistem multi-partai. Konflik sektarian, konflik
keagamaan, krisis ekonomi, kemiskinan, dan segudang masalah lainnya semakin memperburuk kondisi negara. [12]
Kondisi ini membawa Gülen berpikir seputar “kematian muslim” di dua abad terakhir dan berupaya menghadirkan
alternatif solusi untuk membalikkan keadaan. Gülen mengembalikan seluruh persoalan ini pada nilai-nilai budaya
kontemporer. Dia berusaha hidupkan kembali sebuah gerakan intelektual yang tidur selama hampir 200 tahun, ia
letakkan kembali di daftar nomor wahid agenda Muslim. Baginya, adalah penting untuk menyaring unsur-unsur tradisi
(turats) Turki, menghidupkannya dan menjadikannya sebagai pijakan membangun kesadaran dan antusiasme baru
masyarkat. Tetapi disinilah persoalannya; mencari dasar argumentasi pada ranah intelektual maupun agama, dan
mencari bentuk upaya, baik intelektual maupun politik, dalam memecahkan segala persoalan, untuk selanjutnya turut
berpartisipasi dalam peradaban global, meski dengan beban berat dua kutub pemikiran; konservatif ekstrim dan
moderat.[13]
Gülen muncul dari komunitas konservatif. Awalnya, upaya reformasi ia lakukan melalui model siap pakai (ready-made model) tradisional. Baginya, interpretasi baru hanya akan direspon berlebihan oleh kelompok-kelompok konservatif.
Tentu saja, Gülen adalah orang yang mengabdikan diri pada nilai-nilai tradisional,[14] dan Ia tidak menghindar untuk
membawa nilai-nilai tersebut berhadapan dengan peradaban Barat. Tradisionalitas dan modernitas –baginya– bukanlah
hal yang berjauhan hingga tak bisa disatukan. Pada ranah inilah konsentrasi Gülen, yaitu mengawinkan tradisionalitas
dan modernitas, secara teoritis maupun praktis. Fokus ini ia tunjukkan secara jelas-praktis melalui gerakan religius-
sosial (periode pertama) dan gerakan pendidikan (peride kedua), bahwa agama, nilai-nilai tradisional, dan modernitas
tidak bertentangan satu sama lain, tetapi saling mendukung. Perkawinan nilai ini diperjuangkan Gülen untuk
menghadirkan layanan kemanusiaan dan harmonisasi bagi interdependensi peradaban global.
Gülen tidak pernah menyembunyikan identitas keagamaannya. Kesadaran akan tujuan eksistensinya ia temukan pada
pengalaman spiritual yang mendalam. Dia tidak setuju pemilahan identitas keagamaan –dalam agama terdapat
pengalaman spiritual dan penegasan eksistensi- atau memisahkan manusia jauh dari dimensi sosialnya. Dalam hal ini, ia
memiliki pandangan dunia yang menyeluruh (holistic world view). Dia menekankan gagasan bahwa karakter manusia
yang benar-benar tulus dan religius, akan sangat menguntungkan bagi negara dan masyarakat. Pemikir kontemporer,
umumnya terkonsentrasi pada persoalan negara, politik, budaya dan ekonomi. Gülen, justru memusatkan perhatiannya
pada unsur “manusia” yang merupakan inti dari semua pemikiran mereka. Menurutnya, persoalan utama peradaban
kontemporer adalah bagaimana “mendidik” manusia. Jika individu berbudi luhur, ia akan berbudi luhur dalam segala
tindakannya; negara, politik, budaya dan ekonomi. Selain itu, Gülen menilai bahwa masalah kemanusiaan se lama ini
belum mendapat perhatian yang layak di kalangan muslim, atau menjadi objek diskusi yang murni intelektual.
Karenanya, ia lantas memformulasi pemikiran kemanusiaan ini ke dalam proyek serius, “proyek peradaban”.[15]
3. Urgensi Konseptualisai Gülen
Tahun 2007 merupakan tahun bersejarah bagi hubungan Islam-Kristen. Satu dokumen kesepahaman internasional lain
dihasilkan, yaitu yang bertajuk A Common Word Between Us and You. 138 cendekiawan Muslim dan representasi
keagamaan dunia menandatangani dokumen tersebut. Bersama Nostra Aetate tahun 1965, dokumen ini diyakini akan
merubah sejarah kemanusiaan, terutama sejarah agama-agama dunia, dan setidaknya sejarah hubungan Islam-
Kristen.[16] Dokumen tersebut dipersembahkan untuk Paus Benediktus XVI sebagai respon atas pernyataannya di
Universitas Regensburg. Kelanjutannya, pada tahun 2008, Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID/Pusat
Dialog Antar-Agama) mengadakan seminar internasional bersama Muslim World League, Organisation of the Islamic
Conference, dan Muslim World Congress di Cairo. Pada tahun 1995, Muslim-Christian Liasion Committee dibentuk
bersama 4 organisasi Islam internasional. Permanent Committee for Dialogue juga dibentuk bersama Al-Azhar
University‟s Monotheist Religions Committee pada tahun 1998.[17] Ini semua adalah buah dari deklarasi Nostra Aetate.
Nostra Aetate lebih tepat disebut upaya yang “terus menerus” dilakukan dalam rangka menemukan dan menerapkan
Common Word/Common Ground/Kalimah Sawa‟ bagi harmonisasi hubungan Islam dan Kristen. Menurut sebagian
pemikir Islam, upaya ini tidak mudah dilakukan meski dasar-dasarnya telah dideklarasikan sejak tahun 1965. Semua
pihak Islam-Kristen harus berhati-hati dan serius mengupayakannya, terutama mereka para ustadz, kyai, mudin dan
pimpinan keagamaan di level grass root,[18] terkait bagaimana cara menjelaskan dan memformulasikan dalam bentuk
gerakan, tentu akan menjadi masalah tersendiri.
Mencari Common Word pada teks-teks keagamaan sebenarnya mudah dilakukan masing-masing pihak, Islam-Kristen,
terutama bagi mereka yang telah terbiasa dengan model pembacaan inklusif, pembacaan yang tidak semena-mena
mengunci makna teks pada kepentingan tertentu. Tapi persoalannya, Nostra Aetate harus menghadapi tantangan
dominasi model-model pembacaan eksklusif. Sikap sekeptis dan kritikan-kritikan terhadap dialong interfaith, dan
bahkan konflik antar agama yang marak terjadi, terutama bersumber dan model pembacaan ini. Masalah ini cukup
serius, dan jika tidak bisa terselesaikan akan berakibat upaya dialog interfaith sampai pada titik deadlock dan Nostra Aetate akan sia-sia belaka.[19]
Disinilah letak urgensi konseptualisasi Gülen bagi dialog interfaith. Sebagaimana diungkap Heon Choul Kim, bahwa
jantung konseptualisasi Gülen tentang dialog terletak pada keyakinannya akan sufisme sebagai faktor konstruktif. [20]
Kombinasi dialog dan sufisme –oleh Kim– kemudian disebut „Sufisme dialogis‟, dengan premis-premis sebagai berikut :
1. Bahwa kata kunci sufisme Gülen adalah „Sufisme dialogis‟, yaitu pengaktifan kembali warisan tradisi sufisme
humanis Turki melalui konsep shakhsi menavi (kesadaran kolektif).
2. Bahwa shakhsi menavi bukanlah konsep sufisme sederhana yang berhenti pada kesadaran normatif, tapi lebih
dalam Gülen melengkapinya dengan konsep hizmet (khidmah) untuk kemanusiaan, sebagai solusi alternatif
bagi masalah-masalah individual dan kolektif manusia kontemporer.
3. Melampaui persoalan teologis dan teoritis, sufisme dialogis muncul sebagai „pietistic activism‟ atau „organized sufisme„ dalam gerakan Gülen.[21] Secara lebih terperinci, dapat dilihat pada pembahasan berikut.
4. “Dialogic Sufism” dan “Pietistic Activism”
Analisis tekstual atas artikel-artikel yang Gülen tulis, para pembaca perlu menggunakan Sufisme sebagai lensa
metodologis –bukan semata objek studi, sebagai alat analisis yang memungkinkan seseorang melihat fenomena sufisme
seperti adanya, tanpa reduksi dan pembatasan pada kerangka atau kepentingan tertentu. [22] Sikap ini penting untuk
menempatkan pemikiran Gülen pada konteksnya, tidak dalam konteks ideologis atau politik sempit tertentu seperti
secara serampangan dipahami dari gerakannya. Sikap ini akan memberikan pemahaman lebih baik ide Gülen tentang
dialog, sebab sufism olehnya diperlakukan sebagai kekuatan “motivasional intrinsik”. Lebih jauh, sikap ini dapat
mengungkap dinamika internal-personal Gülen yang mendukung capaian-capaian gerakannya.
Dalam konsepsi Gülen, dialog lebih merupakan suatu kegiatan yang bertujuan membentuk ikatan kuat antara dua pihak
atau lebih. Dalam arti, bahwa berdialog lebih merupakan kerja kemanusiaan, yang dilakukan dengan cara menghargai-
menghormati subjek dialog pada posisinya masing-masing. Dalam hal ini, dialog dimaknai lebih dari sekedar dialog pada
umumnya, yaitu menekankan pendekatan humanis yang melibatkan toleransi, cinta, pengampunan, kasih sayang, dan
kerendahan hati. Toleransi dan dialog adalah pasangan konsep kemanusiaan yang tak bisa dipisahkan, bahkan Gülen
sebut sebagai the two roses of the emerald hills of humanity (dua mawar bukit zamrud kemanusiaan). Artikel Gülen
“The Two Roses of the Emerald Hills: Tolerance and Dialogue,”[23] menggambarkan paparan ini, dan lebih lanjut
menunjukkan pendekatan kemanusiaannya bagi dialog yang dibangun dengan kerangka sufism.
Pada pendahuluan “The Emerald Hills”, Gülen mengurai sebelas prinsip sufisme, dan menyarikan tiga prinsip bagi
toleransi ; [1] Hiasi diri dengan cinta ilahi dan bersama sadari –melalui cinta ilahi– bahwa alam semesta adalah
wahana persaudaraan, [2] mengutamakan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain, dan [3] membuka diri untuk
cinta, kerinduan rohani, kesenangan, dan ekstasi”.[24] Dengan prinsip-prinsip ini, Gülen menegaskan bahwa toleransi
yang dibalut dengan cinta merupakan tahap kualifikasi bagi siapapun untuk mengikuti jalan sufi. Hal ini ia pertegas
dalam penjelasannya tentang pengetahuan Sufi (ma‟rifah):
“Pengetahuan tentang A llah (ma‟rifah) bukanlah pengetahuan yang abstrak. Dalam bentuk sebenarnya, pengetahuan
tersebut pada akhirnya berubah menjadi cinta. Kita tidak bisa cukupkan–batasi kepercayaan akan Dzat yang kita imani
hanya pada “keimanan” semata atau pengetahuan luas tentang-Nya. Pastikan bahwa setelah keimanan dan
pengetahuan, datanglah cinta. Cinta adalah mahkota keimanan dan pengetahuan tantang-Nya. Cinta terbuka untuk
semua orang sesuai tingkatan masing–masing. Cinta, yang semakin dalam dengan sendirinya, selalu berjalan pada
horizon yang terus meningkat, bertanya “Tidak adakah lagi?” Terkadang, peningkatan pengetahuan suci, juga
menyebabkan peningkatan cinta, dan menyebabkan pengetahuan itu meningkat lebih jauh lagi.”[25]
Selain toleransi, cinta –menurut Gülen– merupakan metode para nabi yang mengikat mereka erat dan langsung dengan
hati umatnya. Cinta adalah cara mencapai tujuan akhir, keridhaan Tuhan.[26] Gülen mengidentifikasi sufi adalah mereka
yang memperoleh pengetahuan spiritual (spiritual knowledge) dari Tuhan melalui inspirasi mistik dan intuisinya (irfan),
adalah orang yang selalu merasa damai dan berbicara perdamaian dibawah pekat cahaya Tuhan. [27] Menurut Gülen,
hanya melalui cinta –selain toleransi– kemanusiaan bisa direalisasikan, sebab manusia dari sononya, diberkahi potensi
menjadi “cermin” eksistensi Ilahi (yang dimanifestasi al-asma‟-Nya) dan senantiasa berusaha mencapai kesempurnaan
di hadapan Allah dalam segala bidang. Kemanusian –jika demikian– lebih agung dari alam semesta”.[28] Selanjutnya,
transformasi sejati seorang sufi atas potensi tersebut pada tataran realitas, bergantung pada cinta kepada -Nya, dan
cintanya untuk umat manusia, sebagai cermin-Nya yang paling jernih sekaligus objek cinta-Nya.[29] Atas dasar inilah,
Gülen mendefinisikan humanisme sebagai doktrin cinta dan toleransi.
Mengikuti para sufi dalam mewujudkan cinta, Gülen lebih lanjut menawarkan “kefakiran” sebagai sebuah metode. Dalam
arti, bahwa dengan kesadaran akan kefakiran dan kehampaan diri di hadapan Allah, seseorang bisa menjadi rendah hati
bersama sesama. Secara bertahap, para sufi mempelajari Al Qur‟an, kemudian dilanjutkan dengan membangun
hubungan antar sesama makhluk. Dalam hubungan ini, mereka adalah pecinta yang toleran, yang menyadari bahwa
alam semesta pada dasarnya adalah wahana persaudaraan.”[30] Para sufi pada tahap ini merangkul sesama dengan
cinta, menepis permusuhan dengan cinta, dan menghadapi kejahatan juga dengan cinta. Mereka sadar bahwa jalan yang
harus mereka ikuti bukan jalan menuju kebencian, melainkan jalan cinta dan toleransi. [31] Pada akhirnya, para sufi
menjadi sekelompok yang damai dengan visi spiritualnya, siapapun –bagi mereka– tidak ada bedanya, teman ataupun
musuh”.[32] Proses ini meyakinkan Gülen bahwa cinta dan toleransi adalah kualifikasi terpenting untuk menjadi sufi
sejati. Melalui proses ini, seorang sufi dapat mencapai martabat manusia kosmik (al-insan al-kamil), yang memiliki
kasih sayang sempurna, merangkul setiap mereka yang membutuhkan perhatian, dan meleburkan dirinya dalam
masyarakat.[33]
Tolerance-lovebased humanitarian (humanisme berbasis toleransi dan cinta) menjadi pandangan dunia (world view)
Gülen sebagai konsekuensi konseptualisasi sufismenya. Pada konteks ini, dialog diidentifikasi Gülen lebih merupakan
sublimasi dan transformasi dari humanisme. Artinya, dialog hanya dapat dicapai bila terjadi saling menghargai atas
dasar cinta dan toleransi. Inilah yang dimaksud dialogic sufism (sufisme dialogis), atau dalam istilah lain humanitarian dialogue, yang berbeda dari dialog dengan pendekatan divisional memposisikan pihak-pihak berlawanan (terinspirasi
dealektika Hegelian). Lebih khusus, sufisme dialogis Gülen juga mengecualikan metode tariqat yang secara historis
terbukti telah memunculkan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Sufisme dialogis juga bukan gerakan politik. Ia bukan
metode bagaimana berreaksi-merespon suatu persoalan, tetapi lebih merupakan metode bertindak secara harmonis
dalam konteks apapun. Dengan demikian, sufisme dialogis adalah jembatan humanis menguhubungkan “masa lalu” dan
“masa kini”, Timur dan Barat, rasionalisme/materialisme dan spiritualisme, dan antara yang berbeda, baik agama,
peradaban dan budaya, serta meleburkan perbedaan antara “us” dan “others”.[34]
Sufisme dialogis secara intrinsik terkait erat dengan konsep Gülen tentang shakhsi menavi (kepribadian kolektif) dan
hizmet menavi (layanan kemanusiaan), sebagai dua konsep menyeluruh dalam pemikiran Gülen. Keduanya merupakan
dua pilar utama sufisme dialogis, yang digagas sebagai alternatif metode bagi dialog interfaith dan dialog peradaban.
4.1. Shakhsi menavi (Collective Personality)
Inklusivisme merupakan karakteristik sufisme direpresentasikan Jalal al-Din Rumi (w.1273) dan Ibn Arabi (w.1240),
terutama dibandingkan dengan kecenderungan legalistik dan fundamentalistik Islam dominan. Ide Gülen tentang
toleransi juga mencerminkan sufisme inklusif, yang ia akui sebagai warisan tradisi sufisme Turki. Penghargaan Gülen
terhadap warisan tradisi dibuktikan dengan mempersembahkan pemikiran tentang shakhsi menavi dalam rangka
memperkaya khazanah tradisi sufisme Turki.[35]
Sebagai satu istilah paling khas dari pemikiran Gülen, „shakhsi menavi„ menjelaskan bagaimana spiritualitas personal
(personal spirituality) berkembang dan berubah menjadi kepribadian kolektif (collective personality). Gülen
memaparkan :
Dalam agama kita, penting bagi seseorang untuk menyatu dengan komunitas dan hidup secara komunal. Di sini, harus
saya jelaskan bahwa penggunaan kata komunitas, bukan sebagai organisasi dalam arti sosiologis, tetapi dalam terma
shakhsi menavi sebagai terma yang murni agama, yaitu mereka yang menjadi satu atau bersama berbagi perasaan,
pikiran, kesenangan dan kesedihan sebagaimana dinyatakan dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadits dan sangat dianjurkan
dalam agama kita.[36]
Gülen mencirikan, bahwa orang-orang ini bersatu sebagai komunitas yang dituntun spiritualitas Islam untuk mencapai
kebahagiaan sejati melalui kebahagiaan orang lain. Lebih lanjut ia menjelaskan:
Menjadi shakhsi menavi berarti menyatu dengan masyarakat dan melebur didalamnya … Adapun yang dimaksud
masyarakat, adalah kumpulan yang terjadi dan terdiri dari individu-individu yang memiliki kesamaan pikiran dan cita-
cita. Untuk menjadi masyarakat –dalam hal ini– mengharuskan terwujudnya “kesadaran kolektif.” Selanjutnya,
kesadaran kolektif tersebut meleburkan setiap individu ke dalam masyarakat dan menempatkan masing–masing pada
dimensi-dimensinya, sehingga tidak ada lagi yang disebut individu mutlak, tetapi yang tersisa adalah masyarakat.
Individu menjadi bagian dari masyarakat dan masyarakat menjadi individu yang satu/manunggal (collective personality).[37]
Paparan tersebut merupakan penegasan lebih lanjut Gülen bahwa shakhsi menavi hanya dapat dicapai melalui
“kesadaran kolektif”, jembatan bagi spiritualitas personal dan kepribadian kolektif‟. Kesadaran kolektif sebenarnya
telah ada sebagai warisan budaya, ideologi, tradisi dan senantiasa mengarahkan individu untuk tetap bersama dan
berbagi satu sama lain. Suatu komunitas muncul sebagai kelanjutan kesadaran ini. Menurut Gülen, masing-masing
individu membawa spiritualitas personal yang berbeda-beda, mereka lalu bersama dalam satu wadah yang disebut
“komunitas,” saling berbagi, hingga pada akhirnya terwujud shakhsi menavi yang kuat.
Gülen cenderung memaknai komunitas sebagai kumpulan pribadi (collective person), hingga tampak seakan
menghindari individualitas. Kecenderungan ini sekilas mengisyaratkan adanya anti-individualisme yang kuat dalam
pemikiran Gülen. Namun, Gülen mengecualikan comunity dari pemaknaan anti-individualisme tersebut. Ia menegaskan
bahwa –senada Said Nursi, gurunya– pada pembicaraan mengenai kenikmatan Ilahi (Devine pleasure), tidak ada lagi
bahasa yang bernada egois atau bahkan kepentingan personal, sebab semua itu hanya akan mengaburkan
kebenaran.[38] “Kumpulan pribadi” –dengan demikian– digunakan Gülen bertujuan menghindari egoisme yang
terkandung kata “kumpulan individu”. Bagi Gülen, egoisme akan menumpulkan kesadaran kolektif dan menjadi kendala
terbesar bagi solidaritas suatu masyarakat, masyarakat harus dilatih untuk melunakkan egoismenya. Untuk tujuan
inilah Gülen menulis “The Emerald Hills of Heart”; yaitu untuk menyajikan tasawuf sebagai disiplin Islam yang berpusat
pada pelatihan spiritual. Dalam konsep sufismenya, Zuhd (asceticism), muraqaba (self-reflection) dan muhasaba (self-evaluation) merupakan bentuk-bentuk praktis latihan tersebut, yang bisa mengantarkan seseorang pada kesadaran
kolektif.
Ketiadaan egoisme (Non-selfishness) –namun bukan berarti anti-individualisme– selanjutnya menjadi pijakan
harmonisasi interdependensi spiritualitas individual untuk menuju kesadaran kolektif dan kemudian mewujudkan
shakhsi menavi (kepribadian kolektif). Kesadaran kolektif –menurut Gülen– menjamin kehidupan terbaik bagi suatu
komunitas, yaitu setelah masing-masing berhasil menginternalisasi praktek-praktek seperti zuhd, muraqaba dan
muhasaba, demi melunakkan egoismenya. Lebih lanjut, sebuah komunitas yang telah berhasil mewujudkan shakhsi menavi, merupakan wahana penting bagi perbaikan dan pengayaan pengalaman spiritual. Ia membentuk dan
memperdalam spiritualitas warganya, melindungi mereka dari kesalahan personal dalam hubungannya dengan dunia
luar-sekular, dan memberi mereka produktivitas religius melalui kerja kolektif dan berbagi lebih dalam lagi untuk
memperluas-memperkuat shakhsi menavi.
Penjelasan Gülen tentang shakhsi menavi ini, menyiratkan maksudnya bahwa sufisme humanis sebenarnya merupakan
tradisi sufi Turki yang diwariskan oleh kerja kolektif para wali (saints) pendahulu, yang –sebagai realitas budaya, telah
lama terakumulasi dan tertanam melalui proses internalisasi dan vitalisasi semangat cinta dan toleransi masyarakat
Turki. Gülen menegaskan bahwa sufisme telah menjadi budaya orang Turki, baik di Asia Tengah maupun di Turki sendiri.
Inilah sebabnya mengapa –menurutnya– religiusitas Islam Turki tampak lebih luas, lebih dalam, lebih toleran dan lebih
inklusif.[39]
Pada tingkat tertentu, shakhsi menavi merefleksikan konsep Durkheimian tentang “kesadaran kolektif”, yaitu ruang
supra-individual bagi nilai-nilai transenden yang berakar pada masyarakat dan memberi makna kepada para warganya
untuk merujuk dan mengikatkan diri mereka.[40] Berbeda dari konsep ini, Shakhsi menavi memiliki makna yang murni
agama, yang muncul dari semangat nasionalisme religius masyarakat muslim Turki. Lebih jauh, penggunaan shakhsi manevi menunjukkan perhatian Gülen terhadap interkoneksi spiritualitas personal dan pesonalitas kolektif yang terjalin
interdependen. Bagi Gülen, konsepsi ini merupakan sufisme humanis yang terus ditularkan para sufi Turki, terutama
mereka yang telah lama membentuk komunitas shakhsi menavi, dan menjadi rujukan bagi masyarakat untuk mengaitkan
kesadaran dan budaya mereka, serta menjadi nilai-nilai religiusitas mereka.[41]
Gülen berupaya membangkitkan kembali shakhsi manevi dalam budaya masyarakat Turki, terutama dalam rangka
menyebar-luaskannya ke seluruh dunia sebagai tawaran metodik-solutif menyikapi problematika kontemporer. Dengan
kata lain, ia mencoba membangun jembatan penghubung antar perbedaan agama, budaya dan peradaban melalui
Sufisme humanis, atau sufisme dialogis berdasarkan kategorisasi Heon Choul Kim. Namun demikian, Gülen melihat
shakhshi menafi tidak cukup memadai untuk menggerakkan dialog tersebut, terkait layanan bagi kemanusiaan. Gülen
lantas menambahkan satu konsep lain melengkapi sufisme dialogis, yaitu yang ia sebut hizmet menavi (layanan
kemanusiaan). Sakhshi menavi menjadi aktivitas internal-spiritual, sedang hizmet menavi diperuntukkan aktivitas
eksternal-sosial.
4.2. Hizmet (Layanan Kemanusiaan)
Sufi humanis sebagaimana terrefleksi dari shakhsi menavi, telah membentuk kesadaran spiritualitas Gülen dan
menentukan ide-idenya seputar sufisme. Gülen tidak saja mengadopsi dan mengulang-ulang (rethoric)
konseptualisasinya. Lebih jauh, ia coba bangkit dengan menjadi sosok shakhsi menavi kontemporer. Melalui dasar-dasar
yang telah diletakkan para Sufi Turki, Gülen mentransformasikannya bagi kepentingan layanan kemanusiaan
kontemporer.[42] Di sinilah letak kekhasan sufisme humanis Gülen, mengarahkan-mengartikulasikan shakhsi menavi ke
dalam hizmet sebagai tujuan akhirnya.
Dalam skema Gülen, hizmet menunjuk pada layanan kemanusiaan yang harus diperjuangkan dan dicapai, baik individu
maupun komunal. Dalam hal ini, Gülen menjadikan hizmet sebagai ideologi gerakannya. Sebagaimana pernyataannya,
“Untuk gerakan ini, dimensi religius adalah hal penting. Religiusitas tidak hanya membersihkan-membasahi hati, tetapi
lebih dari itu, harus menggerakkan aktivitas. Konsep hizmet adalah sangat signifikan”. [43] Hizmet bagi Gülen berarti
refleksi lahiriah dari spiritualitas batin (sakhshi menavi), maka konsep ini menjadi salah satu inti sufisme yang
diusungnya. Sebagai satu contoh, Gülen memaparkan tentang penderitaan (Chila) sufi:
“Penderitaan dalam dalam kerangka sufisme adalah dedikasi kehidupan mereka bagi kebahagiaan orang lain dan hidup
untuk orang lain. Dengan kata lain, kita harus mencari peningkatan spiritualitas kita dalam kebahagiaan orang lain.
Penderitaan ini adalah yang paling dianjurkan, bahwa kita mati dan dihidupkan kembali beberapa kali sehari demi
mebimbing dan menghadirkan kebahagiaan bagi orang lain, kita merasakan api berkobar dalam hati orang lain juga
dalam hati kita sendiri, dan kita rasakan penderitaan semua orang dalam jiwa kita.”[44]
Dengan penjelasan ini, Gülen tampak ingin menegaskan jalan sufi sebenarnya –selain sakhshi menavi, yaitu peningkatan
spiritualitas melalui kebahagiaan orang lain. Lebih lanjut, penjelasan ini mencirikan sufisme dialogis Gülen sebagai
sufisme sosial atau sufisme aktivis (activist sufism) yang menyatukan dimensi spiritual dan dimensi sosial. Sufisme
lantas tidak berarti harus dibatasi pada bentuk-bentuk praktek tariqat, yang dalam beberapa hal berfokus pada
hubungan guru-murid, mabuk (sakr), theophathic (shathiyyat), dan yang telah menyebabkan banyak sufi menyimpang
dari jalan kebenaran, atau terdampar dalam kesesatan.
Bagi Gülen, tasawuf tidak harus selalu menjadi cara pemurnian batin, tetapi harus terrefleksi dalam hidup
bermasyarakat. Seseorang yang telah merasakan kenikmatan spiritual dalam perjalanannya menuju, sampai dan
bersama Allah, ia kembali untuk mengevaluasi dan mengabadikan pengalaman atau spiritualitas yang dicapai –melalui
kesadaran ilahi– dalam masyarakat.[45] Menurut Gülen, hanya lingkungan sosial yang bisa membuat proses-proses itu
terjadi, dalam arti, bahwa setiap individu bisa memperdalam, memperkaya kesadaran ilahi, dan merefleksikan
pengalaman spiritul yang baru mereka peroleh, hanya dengan cara melayani orang lain. Sejauh proses ini, pengalaman
personal dan emosional sufi direkonstruksi menjadi penghargaan, kepedulian dan kedisiplinan dalam keseharian dan
kerja, yang selanjutnya diorientasikan untuk kebaikan bersama.
Seorang sufi “organik” –menurut Gülen– bukanlah mereka yang memisahkan diri dari masyarakat atau bersikap pasif-
statis dalam masyarakat, tetapi mereka yang secara sukarela, aktif-pertisipatif dalam menyelesaikan persoalan-
persoalan keduniawian, dengan self-supervision (muraqaba) dan self-evaluation (muhasaba) sebagai kontrol.
Karenanya, sufisme Gülen lebih merupakan “sufisme aktivis”, atau disebut E. Özdalga –meminjam istilah Weberian,
merupakan pietistic activism (kesalehan sosial), yang mendorong seseorang berprilaku–bertindak terbaik hingga dunia
berubah menjadi surga”[46] Bagi Gülen, pengalaman spiritual apapun di jalan sufi, harus dikuatkan dengan tindakan,
dan tindakan pada gilirannya akan menguatkan “kesadaran ilahi.”
Sufisme dialogis-humanis-aktivis Gülen menjadi kerangka umum konseptualisasinya tentang tasawuf. Dengan
konseptualisasi ini Gülen menyajikan sufisme dialogis sebagai solusi bagi masalah-masalah individual dan kolektif
manusia kontemporer. Ia menegaskan:
“Jika kita dapat sebar–luaskan secara global pemahaman Islam; cinta-toleransi, sebagaimana Niyazi Misri, Yunus Emre,
dan Maulana Rumi, dan jika kita dapat memperluas pesan mereka tentang cinta, dialog, dan toleransi kepada orang-
orang yang haus, semua orang akan berlari menuju pelukan cinta, perdamaian, dan toleransi yang kita wakili.”[47]
Bagi Gülen, permasalahan kontemporer yang tengah dihadapi masyarakat adalah hilangnya humanisme sejati ( the true humanism), yang menyebabkan muncul-meluasnya kebencian dan permusuhan. Kebencian dan permusuhan ini telah
banyak melahirkan “binatang-binatang yang kehilangan kemanusiaan mereka” dan menutup pintu bagi toleransi.
Binatang-binatang ini pada gilirannya semakin mempercepat hilangnya humanisme.[48] Hilangnya humanisme –
menurut Gülen– ditandai dengan munculnya materialisme yang berlebihan. Gülen yakin bahwa satu-satunya cara untuk
melepaskan diri dari bahaya ini adalah dengan merevitalisasi humanisme (cinta dan toleransi). Ia temukan tradisi sufi
sebagai satu contoh terbaik dan penting untuk diperjuangkan.
Pada pengertian ini, terdapat signifikansi sufisme dialogis sebagai metode untuk memulihkan humanisme, dalam
konteks material-sentris sekalipun, tepatnya melalui peningkatan spiritualitas. Sufisme dialogis bukanlah cara menolak
dunia, tetapi cara melatih kesadaran sosial (hizmet), melindungi dan memberdayakan spiritualitas seseorang (sakhshi) melawan egoisme duniawi yang telah menyebabkan konflik berkepanjangan. Metode ini dapat melatih setiap individu
mengenali individu lain sebagai makhluk yang sama, mengakui eksistensinya, dan mengakui perlunya dialog untuk
kembali menemukan identitas sejatinya.[49]
5. “Dershanes” sebagai kerangka operasional Sufisme Dialogis bagi Dialog Interfaith
Dalam bahasa Turki, Dershanes berarti tempat belajar, atau –berdasarkan skema gerakan Gülen– merupakan pusat
aktivitas pendidikan yang menggabungkan ragam pendekatan; agama (spiritualitas/sufisme), science, dan dialog.
Skema ini ia pilih terutama untuk memediasi keragaman latar belakang kultural dan agama peserta didik. Lebih lanjut,
sekema ini merupakan kepanjangan dari konseptualisasi sufisme Gülen, bahwa “hanya melalui harmonisasi daya
intelektualitas, spiritualitas dan dialog, seseorang dapat termotivasi melakukan aktivitas di jalan suci dalam bimbingan
kesadaran ilahi, dan pada gilirannya menjadi manusia sempurna yang mampu mewujudkan humanisme sejati.”[50]
Dengan demikian, Dershanes berfungsi sebagai persiapan dan wahana utama bagi warganya untuk mencapai
kedalaman spiritual, keluasan pengetahuan dan harmoni hubungan sosial, intercultural maupun interfaith.
Keseharian Dershanes –sebagaimana diungkap Özdalga– terdiri dari tiga aktivitas utama. Pertama, pelatihan rohani
peserta didik melalui internalisasi konsep sufisme Gülen, terutama saat mereka hidup/tinggal bersama dalam satu
asrama. Melalui pembelajaran karya-karya Gülen ini, juga karya-karya lain, seperti karya Said Nursi “Risalei Nur”, baik
secara individual maupun kelompok, masing-masing peserta didik tidak hanya mendapatkan pengetahuan agama, tetapi
juga pengetahuan yang diperlukan untuk pengembangan spiritualitas. Di samping itu, bacaan Jawshan dan Tashbihat juga berperan penting bagi pengalaman spiritual mereka. Keduanya dibaca dengan suara keras setelah doa bersama.
Tak jarang bacaan ini merangsang beberapa peserta mengalami perubahan pada kesadaran spiritualnya. Mungkin,
sebagaimana Gülen jelaskan, “mereka memasuki tangga misterius, naik ke alam di mana ruh kemudian terbang,” atau
yang sufi sebut „kedamaian hati‟ atau ma‟rifah“.[51]
Kedua, seiring pelatihan spiritualitas dan studi teks-teks keagamaan, Dershanes juga mendorong peserta didik
memperluas dan memperdalam pengetahuan sekuler (science) yang mengacu terutama pada orientasi perguruan
tinggi saat ini, dan informasi yang diperlukan untuk kepentingan hubungan sosial mereka. Bahkan, Gülen menekankan
integrasi pengetahuan ilmiah dan nilai-nilai spiritual tanpa menomorduakan satu atau lainnya. Ia tegaskan, bahwa
“untuk tujuan memahami eksistensi manusia secara utuh-menyeluruh, kita harus menerima-menggunakan metode
ganda (dual method); pemikiran sufi dan penelitian ilmiah”.[52] Ungkapan ini ia munculkan, demi memotivasi peserta
didik mengejar pengetahuan ilmiah sedemikian rupa, sehingga pelatihan spiritual dalam studi teks-teks keagamaan,
memotivasi mereka bekerja keras untuk memperoleh pengetahuan sekuler. Tak mengherankan –menurut Özdalga– jika
kemudian banyak peserta didik memandang, bahwa aktivitas mencari pengetahuan ilmiah adalah setara aktivitas
ibadah.[53]
Ketiga, bagi Gülen, Dershanes harus menjadi komunitas (tempat komunal) harmonis yang warganya bergaul satu sama
lain dan melatih diri melalui internalisasi dan penerapan nilai–nilai toleransi, cinta, pengorbanan dan altruism. Dalam
hal ini, Dershanes memberlakukan beragam aktivitas komunal, yaitu –selain kegiatan terstruktur bersama, seperti
lingkaran studi (halaqah) dan olahraga– para peserta didik juga terlibat dalam berbagai kegiatan hizmet tingkat lokal.
Mereka –dalam pandangan Gülen– pada dasarnya adalah sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan dihampir setiap
aktivitas sosial-keagamaan yang memang memerlukan waktu, tenaga dan pikiran. Selain disebutkan, termasuk aktivitas
tipikal warga Dershane ini, adalah persiapan bagi pertemuan komunal sohbet dan himmet (penggalangan dana),
bermacam konferensi dan dialog, aktivitas pengajaran bagi masyarakat Turki di pusat-pusat kebudayaan lokal, serta
layanan bagi para pengunjung dengan tujuan comparative study bersama komunitas mereka. Dalam melaksanakan
kegiatan sosial ini, warga Dershanes tidak dibayar materi, tetapi dikompensasi melalui konsekuensi pertumbuhan
spiritualitas dan harmoni relasi sosial yang mereka capai, sebagaimana hal ini merupakan orientasi umum Dershanes.
Dengan kata lain, kegiatan sosial ini dimaksudkan menjadi proyeksi eksternal kesalehan peserta didik, yang pada
gilirannya memperkuat spiritualitas dan keimanan mereka. Maka, selain manfaat personal dan spiritual tersebut,
masing-masing peserta dapat merasa puas dengan aktivitas yang dilakukan dan dengan rasa saling memil iki yang
ditimbulkannya, sehingga mendorong tumbuhnya kepribadian–prilaku altruistic dan self-sacrificial.[54]
Sederhananya, Dershanes adalah ruang untuk memperkaya pengetahuan-kecakapan dan pelatihan spiritualitas. Melalui
penggabungan keduanya, Dershanes mengorientasikan –meminjam istilah Yavuz‟s– sosialisasi keberagamaan (religious socialization) atau bagi penyusun lebih tepat disebut “pembumian normativitas agama.[55] Maka, agar pembumian
tersebut dapat terlaksana, model self-training sufi melalui ascetism, pietism dan self-criticism menjadi prasyarat
untuk dimaksimalkan. Melalui model ini pula, ajaran Gülen tentang toleransi, kesabaran, martabat (dignity), harga diri
(self-esteem) dan pengorbanan (self-sacrifice) lantas diinternalisasi para peserta didik –meski ragam latar cultural
dan agama berbeda– yang selanjutnya mengantarkan mereka menjadi peserta aktif bagi tujuan ideal hizmet secara
umum. Sebab peran sentral inilah, Dershanes tak ayal disebut sebagai “jaringan yang dilembagakan” (embodied networks); agama (spiritualitas/sufisme)–science–dialog, atau lebih lanjut penyusun sebut “institusionalisasi dialog
intercultural–interfaith”. Hermansen –dalam konteks– ini juga mencatat, bahwa fakta Dershanes secara fungsional
dihubungkan oleh gerakan Gülen dengan pendekatan agama, science dan dialog, menunjukkan bagaimana mereka
secara simbolis menjembatani pendidikan modern dan tradisional, Islam dan sekuler, “us” dan “other”.[56]
Paparan ini menunjukkan bagaimana sufisme dialogis dipraktekkan dan dilatih dalam kehidupan personal–sosial
Dershanes, sebagaimana juga telah memungkinkan dan mengamankan keterkaitan dinamis antara peserta didik dengan
gerakan Gülen, antara mereka dengan masyarakat luas, dan antara spiritualitas batin (shakhsi menavi) dengan
aktivitas sosial–eksternal (hizmet menavi) mereka. Sufisme dialogis yang terlembaga ini, tidak bisa dibatasi hanya pada
keseharian Dershanes, melainkan menjadi contoh dan merepresentasi aktivitas umum peserta didik nantinya dalam
gerakan; seperti membaca teks-teks keagamaan, membaca jawshan/tasbihat, mendalami sicence dan berpartisipasi
dalam kegiatan sosial, telah menjadi kebiasaan mereka. Bahkan, Penyusun dapat simpulkan, bahwa dalam hitungan
tahun, pusat-pusat pendidikan ini akan meluluskan profil-profil agamawan yang toleran, yang cinta kemanusiaan, sosok-
sosok sakhsi menavi yang berdedikasi tinggi untuk hizmet bagi kemaslahatan masyarkat dunia (world citizen).
6. Kontribusi Gülen Secara Umum
Saat ini Gülen dikenal dan dihormati kalangan umat Islam, baik Turki maupun muslim dari seluruh dunia, sebagai
sarjana muslim otoritatif dari tradisi Sunni. Ia juga dikenal sebagai pemikir, penyair, penulis produktif, dan aktivis
pendidikan. Pengaruhnya diluar Turki tumbuh bersama karya-karyanya yang diterjemahkan ke berbagai bahasa,
termasuk Inggris, Arab, Rusia, Jerman, Spanyol, Urdu, Bosnia, Albania, Melayu dan Indonesia. Gülen juga diakui dunia
oleh sikapnya yang konsisten melawan segala bentuk kekerasan, baik atas nama agama maupun lainnya. Ia adalah
sarjana muslim pertama yang secara terbuka mengutuk serangan 9/11 (iklan di Washington Post). Ia membantu
penerbitan buku ilmiah tentang perspektif Islam terhadap terorisme dan serangan bom bunuh diri, mengutuk tindakan
tersebut atas dasar kemanusiaan dan agama. Pandangan ini tidak hanya ia ungkapkan pada para pembaca Barat, tetapi
lantang ia suarakan melalui khotbah-khotbah masjid di depan ribuan umat Islam.[57]
Fethullah Gülen aktif mempromosikan dialog antar agama dan antarbudaya selama lebih dari satu dekade, dimulai jauh
sebelum tragedi 9/11. Di Turki, ia disebut-sebut telah membawa suasana positif bagi hubungan antar mayoritas Muslim
dan pemeluk agama-agama minoritas, seperti Yunani Ortodoks, Armenia Ortodoks, Katolik, dan komunitas Yahudi. Di
luar Turki, ide-ide dialog antar agama telah mengilhami banyak pihak mendirikan organisasi-organisasi memediasi
kesaling-pahaman, penerimaan, empati, hidup berdampingan secara damai, dan kerjasama antar pemeluk agama.
Usahanya dalam dialog dan toleransi agama diakui dengan audiensi pribadinya bersama mendiang Paus Yohanes Paulus
II dan undangan dari kepala Rabbi Sephardic Israel, serta pertemuannya dengan para pemimpin dari berbagai pihak
Kristen.[58] Gülen dalam banyak kesempatan mempromosikan kerjasama peradaban sebagai antitesa benturan
peradaban, yaitu melalui dialog, saling pengertian dan penghargaan terhadap nilai-nilai bersama. Sebagai aktivis sosial
keagamaan, ia pun mendukung upaya Turki bergabung ke Uni Eropa dan menilai upaya ini akan menguntungkan kedua
belah pihak.[59]
Gülen juga dikenal akan fokusnya pada spiritualitas Islam (sufism), yang terrefleksikan dari sikapnya “merangkul”
sesama manusia. Pemikirannya tentang cinta, kasih sayang, dan pendekatan open-heart untuk semua masalah
kemanusiaan, membuatnya dikenal sebagai “Rumi modern.” Ia bahkan diminta Şefik Can, mursyid sufi terakhir
keturunan Rumi, untuk menulis kata pengantar pada buku tentang kehidupan Rumi dan ajarannya. Gülen pun menulis
dua volume tentang sufisme sebagai buku pelajaran tradisi rohani dunia bagi pembelajaran di perguruan tinggi.
Gülen memandang ilmu pengetahuan dan iman tidak hanya bersesuaian (compatible) tetapi saling melengkapi.
Karenanya, ia mendorong penelitian ilmiah dan pengembangan teknologi demi kebaikan umat manusia. Selain itu, Gülen
juga mengakui demokrasi sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang layak. Ia bahkan mencela agama diusung
menjadi ideologi politik, sementara kelompok-kelompok warganya bertikai menentukan paham agama mana yang tepat
menjadi ideologi resmi negara.
Secara umum, visi dan ide-ide Gülen tidak semata bersifat retorik, tetapi telah terorganisasi secara global sebagai
proyek sipil. Ratusan lembaga pendidikan, seperti sekolah K-12, universitas, dan sekolah bahasa telah beroperasi di
seluruh dunia, diilhami Fethullah Gülen dan didirikan dengan sponsor pengusaha lokal, para pendidik dan para orang tua
yang berdedikasi, seperti sekolah-sekolah di tenggara Turki, Asia Tengah, beberapa negara Afrika, Timur Jauh dan
Eropa Timur. Sekolah-sekolah ini menjadi simbol hubungan harmonis interfaith dan intercultural, menjadi simbol bagi
keberhasilan penyatuan iman-akal dan dedikasi tinggi layanan kemanusiaan. Di daerah-daerah yang sarat konflik,
seperti Filipina, tenggara Turki dan Afghanistan, lembaga-lembaga ini membantu mengurangi kemiskinan dan
meningkatkan akses pendidikan bagi mereka yang berkekurangan, yang pada gilirannya menurunkan daya tarik
terorisme global.
Keberhasilan-keberhasilan ini tentu kembali pada gerakan Gülen yang tak pernah lelah menerapkan sufisme
dialogisnya, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial-global. Sufisme dialogis dengan sakhshi menavi sebagai aktivitas internal dan hizmet sebagai aktivitas eksternal, serta dershanes sebagai kerangka operasional, telah
melapangkan jalan sekaligus mengamankan hubungan dinamis (dinamic interconnectedness) antara gerakan Gülen
dengan masyarakat dunia, dengan agama-agama, dengan beragam budaya, dan dengan peradaban yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
“Introducing Fethullah Gülen”, http://www.fethullahGülen.org/about-fethullah-Gülen/introducing-fethullah-Gülen.html,
tanggal 21 Januari 2011.
Abdullah, M. Amin, “Muslim-Cristian Relation; Reinventing The Common Ground To Sustain A Peaceful Coexistence In The
Global Era.” Draft makalah dipresentasikan pada Seminar Internasional, “The Vision of Fethullah Gülen and Muslim -
Cristian Relation”, St. Patrick‟s Campus, Australian University, Melbourne, Australia, 15-16 July 2009.
Choul Kim, Heon, Gülen‟s Dialogic Sufism: A Constructional and Constructive Factor of Dialogue
http://en.fGülen.com/conference-papers/Gülen-conference-in-washington-dc/3116-Gülens-dialogic-sufism-a-
constructional-and-constructive-factor-of-dialogue.html, tanggal 21 Januari 2011.
Enes Ergene, M. Fethullah Gülen and His Movement: A Common-Sense Approach to Religion and Modernity, http://www.fethullahGülen.org/press-room/columns/2278-m-fethullah-Gülen-and-his-movement-a-common-sense-
approach-to-religion-and-modernity.html, tanggal 21 Januari 2011.
Gülen, M. Fethullah, Toward a Global Civization of Love and Tolerance, (New Jersey: Tughrabooks, 2009).
________, “Respect for Humankind”, http://en.mfethullahGülen.com/recent-articles/2124-respect-for-humankind.html
________, The Culture of the Heart , http://www.fethullahGülen.org/about-fethullah-Gülen/as-a-teacher/806-the-
culture-of-the-heart.html, tanggal 21 Januari 2011.
________, “The Two Roses of the Emerald Hills: Tolerance and Dialogue,”
http://www.fethullahGülen.org/Gülens-works/sufism-1.html, tanggal 21 Januari 2011.
________, Key Concepts in the Practice of Sufism : Emerald Hills of the Heart, Volume 1, New Jersey : The
Fountain, 2004.
Haddad, Yvonne & Wadi Haddad, Christian-Muslim Encounters, University Press of Florida, 1995.
Hermansen, M., “Understandings of „Community‟ within the Gülen Movement.” Makalah dipresentasikan pada konfrensi,
Islam in the Contemporary World: The Fethullah Gülen Movement in Thought and Practice, Rice University. Lih.
http://fethullahGülenconference.org/houston/index.php. tanggal 21 Januari 2011.
Özdalga, E., “Following in the Footsteps of Fethullah Gülen,” http://www.Güleninstitute.org/ index.php/Articles/, 21
Januari 2011.
Saritoprak, Dr. & Dr. Griffith, Fethullah Gülen and the „People of the Book‟; A Voice from Turkey for Interfaith Dialogue,
http://www.fethullahGülen.org/press-room/islam-in-contemporary-turkey/2012-fethullah-Gülen-and-the-people-of-
the-book-a-voice-from-turkey-for-interfaith-dialogue.html, tanggal 21 Januari 2011.
Siddiqui, Ataullah, Christian-Muslim Dialogue in the Twentieth Century, Macmillan Press, London, 1997.
Thomas Michel, S.J., “Sufism and Modernity in the Thought of Fethullah Gülen,” http://en.fGülen.com/press-
room/islam-in-contemporary-turkey/2127-sufism-and-modernity-in-the-thought-of-fethullah-Gülen, tanggal 21
Januari 2011.
Yücel, Salih, “Institutionalizing of Muslim-Christian Dialogue: Nostra Aetate and Fethullah Gülen‟s Vision,”
http://www.fethullahGülen.org/conference-papers/Gülen-conference-in-melbourne/3553-institutionalizing-of-
muslim-christian-dialogue-nostra-aetate-and-fethullah-Gülens-vision.html, tanggal 21 Januari 2011.
[1] Salih Yücel, “Institutionalizing of Muslim-Christian Dialogue: Nostra Aetate and Fethullah Gülen‟s Vision,”
http://www.fethullahGülen.org/ conference-papers/Gülen-conference-in-melbourne/3553-institutionalizing-of-
muslim-christian-dialogue-nostra-aetate-and-fethullah-Gülens-vision.html, tanggal 21 Januari 2011.
[2] Dikutip Salih Yücel dari, Yvonne Haddad & Wadi Haddad, Christian-Muslim Encounters, University Press of Florida,
1995, p.xiii.
[3] Ibid.,
[4] Ataullah Siddiqui, Christian-Muslim Dialogue in the Twentieth Century, (Macmillan Press, London, 1997), hlm.130
[5] Salih Yücel, “Institutionalizing of Muslim-Christian Dialogue…
[6] Ibid.,
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Ataullah Siddiqui, Christian-Muslim Dialogue…, hlm. 52.
[10] Enes Ergene, M. Fethullah Gülen and His Movement: A Common-Sense Approach to Religion and Modernity, http://www.fethullahGülen.org/press-room/columns/2278-m-fethullah-Gülen-and-his-movement-a-common-sense-
approach-to-religion-and-modernity.html, tanggal 21 Januari 2011.
[11] Ibid.,
[12] Ibid., Lih. Dr. Saritoprak & Dr. Griffith, Fethullah Gülen and the „People of the Book‟; A Voice from Turkey for
Interfaith Dialogue, http://www.fethullahGülen.org/press-room/islam-in-contemporary-turkey/2012-fethullah-Gülen-
and-the-people-of-the-book-a-voice-from-turkey-for-interfaith-dialogue.html, tanggal 21 Januari 2011.
[13] Ibid.,
[14] Perhatiannya pada nilai-nilai tradisional ini disebabkan terutama oleh pengaruh ayahnya yang banyak terlibat
dalam lingkaran Sufi Erzurum, juga kesalehan dan praktek spiritualits pengikut Said Nursi (1876-1960) yang saat itu
tengah mencapai puncak popularitas luas di Turki, tepatnya pada pertengahan abad kedua puluh. Bahkan, di awal abad
dua puluhan, Gülen secara sistematis telah mulai membaca karya-karya Nursi, suatu pengalaman yang selanjutnya
terbukti berpengaruh pada perkembangan pemikirannya. Ayahnya, Ramiz Efendi, selain menjadi pengikut Said Nursi,
juga memiliki hubungan baik dengan para aktivis Sufi Naqsybandi. Ayahnyalah yang mengajarkan bahasa Arab dan
membekalinya dengan hidangan luas pemikiran Islam klasik, seperti karya-karya al-Hasan al-Basri (d. 728), Harith al-
Muhasibi (d. 857), al-Ghazzali (d. 1111), Jalal ad-Din ar-Rumi (d. 1276), Ahmad Faruqi Sirhindi (1564-1624), dan karya-
karya Shah Wali Allah al-Dihlawi (1703-1762). Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] M. Amin Abdullah, “Muslim-Cristian Relation; Reinventing The Common Ground To Sustain A Peaceful Coexistence In
The Global Era.” Draft makalah dipresentasikan pada Seminar Internasional, “The Vision of Fethullah Gülen and Muslim -
Cristian Relation”, St. Patrick‟s Campus, Australian University, Melbourne, Australia, 15-16 July 2009.
[17] Salih Yücel, “Institutionalizing of Muslim-Christian Dialogue…
[18] M. Amin Abdullah, “Muslim-Cristian Relation…
[19] Ibid.,
[20] Heon Choul Kim, Gülen‟s Dialogic Sufism: A Constructional and Constructive Factor of Dialogue
http://en.fGülen.com/conference-papers/Gülen-conference-in-washington-dc/3116-Gülens-dialogic-sufism-a-
constructional-and-constructive-factor-of-dialogue.html, tanggal 21 Januari 2011. Lih. M. Fethullah Gülen, Toward a Global Civization of Love and Tolerance, (New Jersey: Tughrabooks, 2009), hlm. 164-166.
[21] Ibid.,
[22] „Sufisme‟ dimaksud adalah sufisme dalam arti yang deskriptif, yang lebih menunjuk pada ragam dan
perkembangannya daripada semata doktrin kaku atau gerakan tertentu. Pertimbangan ini dapat menghindarkan para
pembaca sufisme Gülen dari kemungkinan sewenang-wenang mengunci maknanya dalam definisi yang sempit.
Sebaliknya, pemaknaan ini memungkinkan para pembaca untuk meliput beragam manifestasi dan pendekatan yang
berbeda terhadap sufisme. Heon Choul Kim, Gülen‟s Dialogic Sufism: …
[23] Fethullah Gülen, “The Two Roses of the Emerald Hills: Tolerance and Dialogue,”
http://www.fethullahGülen.org/Gülens-works/sufism-1.html, tanggal 21 Januari 2011. Atau M. Fethullah Gülen,
Key Concepts in the Practice of Sufism : Emerald Hills of the Heart, Volume 1 (New Jersey : The Fountain,
2004), Revised Edition, hlm. 1-23.
[24] [1] “overflowing with Divine Love and getting along with all other beings in the realization (originating from Divine
Love) that the universe is a cradle of brotherhood,” [2] “giving preference or precedence to the well-being and
happiness of others,” and [3] “being open to love, spiritual yearning, delight, and ecstasy”, Ibid.,
[25] Fethullah Gülen, The Culture of the Heart , http://www.fethullahGülen.org/about-fethullah-Gülen/as-a-
teacher/806-the-culture-of-the-heart.html, tanggal 21 Januari 2011.
[26] M. Fethullah Gülen, Key Concepts in….
[27] Ibid., hlm. 148.
[28] Ibid., hlm. 292.
[29] Fethullah Gülen, “Respect for Humankind”, http://en.mfethullahGülen.com/recent-articles/2124-respect-for-
humankind.html
[30] M. Fethullah Gülen, Key Concepts in…., hlm. 264.
[31] Ibid.,
[32] Ibid.,
[33] Ibid., hlm. 292.
[34] Heon Choul Kim, Gülen‟s Dialogic Sufism….
[35] Ibid.,
[36] M. Fethullah Gülen, Toward a Global Civization of Love and Tolerance (New Jersey: Tughrabooks, 2009), hlm. 244-
262.
[37] Heon Choul Kim, Gülen‟s Dialogic Sufism….
[38] Ibid.,
[39] Heon Choul Kim, Gülen‟s Dialogic Sufism….
[40] Dikutip Heon Choul Kim dari Durkheim, E. “Individualism and the intellectuals,” in Robert Bellah (ed.) Emile Durkheim on Morality and Society (Chicago: University of Chicago Press, 1973).
[41] Heon Choul Kim, Gülen‟s Dialogic Sufism….
[42] Enes Ergene, M. Fethullah Gülen and His Movement: A Common-Sense Approach to Religion and Modernity, http://www.fethullahGülen.org/press-room/columns/2278-m-fethullah-Gülen-and-his-movement-a-common-sense-
approach-to-religion-and-modernity.html, tanggal 21 Januari 2011.
[43] Dikutip Heon Choul Kim dari, Gülen, F. Kırık Testi [Broken Jug] (Istanbul: Kaynak, 2003).
[44] Fethullah Gülen, “Respect for Humankind”…
[45] M. Fethullah Gülen, Toward a Global Civization of Love and Tolerance (New Jersey: Tughrabooks, 2009), hlm. 244-
262.
[46] E. Özdalga, “Following in the Footsteps of Fethullah Gülen,” http://www.Güleninstitute.org/ index.php/Articles/, 21
Januari 2011.
[47] M. Fethullah Gülen, Key Concepts in….
[48] Thomas Michel, S.J., “Sufism and Modernity in the Thought of Fethullah Gülen,” http://en.fGülen.com/press-
room/islam-in-contemporary-turkey/2127-sufism-and-modernity-in-the-thought-of-fethullah-Gülen, tanggal 21
Januari 2011.
[49] Ibid.,
[50] Gülen, Essentials of the Islamic Faith (Trans. Ali Unal, Fairfax, VA: The Fountain, 2000b), hlm. 106.
[51] E. Özdalga, “Following in the Footsteps of Fethullah Gülen…
[52] Dikutip Özdalga dari F. Gülen, Pearls of Wisdom (New Jersey: Light, 2005). Dalam E. Özdalga, “Following in the
Footsteps of Fethullah Gülen…”
[53] Ibid.,
[54] Ibid.,
[55] H. Yavuz, “Islam in the Public Sphere: The Case of the Nur Movement,” dalam, H. Yavuz, and J. Esposito (eds.)
Turkish Islam and the Secular State: The Gülen Movement (Syracuse, N.Y.: Syracuse University Press, 2003), hlm. 1-18.
[56] M. Hermansen, “Understandings of „Community‟ within the Gülen Movement.” Makalah dipresentasikan pada
konfrensi, Islam in the Contemporary World: The Fethullah Gülen Movement in Thought and Practice, Rice University.
Lih. http://fethullahGülenconference.org/houston/index.php. tanggal 21 Januari 2011.
[57] “Introducing Fethullah Gülen”, http://www.fethullahGülen.org/about-fethullah-Gülen/introducing-fethullah-
Gülen.html, tanggal 21 Januari 2011.
[58] Gülen dengan Rabi Armenia Patriark Mesrob Mutafyan, Sephardic Chief Rabbi dari Yerusalem, Eliyahu Bakshi-
Doron, Kristen Ortodoks Patriark Bartholomeos di Istanbul pada tahun 1996, dan Perwakilan Vatikan Monsignor George
Marowich, yang kemudian mengatur pertemuan Gülen dengan Paus Yohanes Paulus II di Vatikan pada tahun 1998.
Selama pertemuan dengan Paus, Gülen mengusulkan bahwa sebuah sekolah bersama School of Divinity akan didirikan di
Urfa, Turki, tempat kelahiran Abraham untuk menolak gagasan “benturan peradaban”. Salih Yücel, “Institutionalizing of
Muslim-Christian Dialogue…