21
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH Tahun Sidang Masa Persidangan Jenis Rapat RapatKe Sifat Rapat Dengan Hari I Tanggal Pukul T em pat Rapat Ketua Rapat Sekretaris Rapat Acara Anggota yang hadir Nama Anggota Pimpinan Pansus Pemilu: 2007-2008 I RDPU Terbuka Lembaga Survey Indonesia (LSI), Lingkaran Survey Indonesia dan Indo Barometer Kamis, 6 September 2007 14.00 WIB- selesai Ruang Rapat Komisi II DPR-RI (KK.III/Gd Nusantara) DR. IR. HJ. ANDI YULIANI PARIS/Wakil Ketua Pansus Pemilu Suroso, SH/Kabagset Pansus Pemilu Masukan tentang Pengaturan Pemilihan Umum 13 dari 50 orang anggota Pansus Pemilu 37 orang ljin 1. Drs. Ferry Mursyidan Baldan/F-PG/Ketua 2. DR. IR. HJ. Andi Yuliani Paris, M.Sc/F-PAN/Waket Fraksi Partai Golkar : 3. H. Hardisoesilo 4. Rambe Kamarul Zaman, M.Sc. Fraksi PDI Perjuangan : Fraksi Partai Persatuan Pembangunan : 13. Drs. H. Hasrul Azwar, MM 14. Ora. Hj. Lena Maryana Mukti Fraksi Partai Demokrat : 15. DR. Benny Kabur Harman, SH Fraksi Partai Amanat Nasional : 16. lr. Tjatur Sapto Edy, MT 17. Abdillah Toha, SE Fraksi Kebangkitan Bangsa : 10. Drs. H. Saifullah Ma'Shum, M.Si. 11. Hj. Badriyah Fayumi, Lc Fraksi Partai Keadilan Sejahtera : 12. Drs. Almuzzammil Yusuf Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi : Fraksi Partai Bintang Reformasi : 13. H. Bachrum R. Siregar, SE Fraksi Partai Damai Sejahtera : 14. Pastor Saut M. Hasibuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS

RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Tahun Sidang Masa Persidangan Jenis Rapat RapatKe Sifat Rapat Dengan

Hari I Tanggal Pukul T em pat Rapat Ketua Rapat Sekretaris Rapat Acara Anggota yang hadir

Nama Anggota

Pimpinan Pansus Pemilu:

2007-2008 I RDPU

Terbuka Lembaga Survey Indonesia (LSI), Lingkaran Survey Indonesia dan Indo Barometer Kamis, 6 September 2007 14.00 WIB- selesai Ruang Rapat Komisi II DPR-RI (KK.III/Gd Nusantara) DR. IR. HJ. ANDI YULIANI PARIS/Wakil Ketua Pansus Pemilu Suroso, SH/Kabagset Pansus Pemilu Masukan tentang Pengaturan Pemilihan Umum 13 dari 50 orang anggota Pansus Pemilu 37 orang ljin

1. Drs. Ferry Mursyidan Baldan/F-PG/Ketua 2. DR. IR. HJ. Andi Yuliani Paris, M.Sc/F-PAN/Waket

Fraksi Partai Golkar : 3. H. Hardisoesilo 4. Rambe Kamarul Zaman, M.Sc.

Fraksi PDI Perjuangan :

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan : 13. Drs. H. Hasrul Azwar, MM 14. Ora. Hj. Lena Maryana Mukti

Fraksi Partai Demokrat : 15. DR. Benny Kabur Harman, SH

Fraksi Partai Amanat Nasional : 16. lr. Tjatur Sapto Edy, MT 17. Abdillah Toha, SE

Fraksi Kebangkitan Bangsa : 10. Drs. H. Saifullah Ma'Shum, M.Si. 11. Hj. Badriyah Fayumi, Lc

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera : 12. Drs. Almuzzammil Yusuf

Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi :

Fraksi Partai Bintang Reformasi : 13. H. Bachrum R. Siregar, SE

Fraksi Partai Damai Sejahtera : 14. Pastor Saut M. Hasibuan

Page 2: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

Anggota yang berhalangan hadir (ljin) : 1. DR. Yasona H. Laoly, SH, MS 22. Drs. H. Akhmad Muqowam 2. DR. H.B. Tamam Achda, M,Si. 23. Drh. Jhonny Allen 3. Ignatius Mulyono 24. DR. Syarief Hasan, SE, ME, MBA 4. Drs. Agun Gunandjar Sudarsa 25. lr. Agus Hermanto, MM 5. Drs. H.A. Mudjib Rochmat 26. H. Patrialis Akbar, SH 6. Mustokoweni Murdi, SH 27. H. Totok Daryanto, SE 7. Dr. Mariani Akib Baramuli, MM 28. Drs. H. Ali Masykur Musa, M.Si 8. Ora. Chairun Nisa, MA 29. H.A. Effendy Choirie, M.Ag. MH 9. Drs. Simon Patrice Morin 30. Prof. DR. Moh. Mahfud MD 10. H. Muhammad Sofhian Mile, SH, MH 31. Agus Purnomo, S.IP 11. H. Asep Ruchimat Sudjana 32. Mustafa Kamal, SS 12. Tjahjo Kumolo, SH 33. H. Jazuli Juwaini, MA 13. DR. Sutradara Gintings 34. Prof. DR. M. Ryaas Rasyid, MA 14. Alexander Litaay 35. Drs. Ali Mochtar Ngabalin, M.Si 15. Pataniari Siahaan 16. Jacobus Mayong Padang 17. Nursuhud 18. lrmadi Lubis 19. Drs. Eka Santosa 20. Hj. Tumbu Saraswati, SH 21. Lukman Hakim Saifuddin

KETUA RAPAT (DR.IR. HJ. ANDI YULIANI PARIS): Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh. Salam sejahtera bagi kita semua.

Yang kini sudah hadir Bapak Qodari dari lndobarometer. Tadi seperti yang dikatakan, dari LSI. 2 LSI ini belum hadir dan mudah-mudahan dalam perjalanan, tidak tahu perjalanan dari mana. Rapat hari ini, kita akan mendengar masukan dari 3 lembaga survei, tetapi baru 1 yang hadir dan tidak perlu membutuh kuorum, tetapi sudah cukup banyak mewakili fraksi-fraksi sudah lengkap. Golkar hadir, PPP, PKS, PKB, PAN ya sudah lebih dari 5. Yang memimpin PAN. Jadi, sudah kuorum. Ya, kita setuju sampai jam berapa? Jam 4 ya? Setuju ya jam 4.

(RAPAT: SETUJU)

Jadi, yang kita ingin dengar disini adalah tekait dengan perhitungan suara. Kita tahu ada perhitungan suara manual, ada quick count, kemudian secara etika kapan quick count itu harus dikeluarkan sehingga tidak mempengaruhi pemilih, yaitu bagaimana bisa diatur dalam Rancangan Undang-undang ini. Silahkan Pak Qodari.

INDOBAROMETER (M. QODARI): Assalamu'a/aikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh. Bapakllbu sekalian, terima kasih atas undangannya. Saya sangat senang sekali bisa hadir

disini, karena sebagian dari Bapak-bapak/lbu-ibu disini sudah saya kenai secara personal sejak lama mulai dari Mas Ferry, lbu Yuliani, Pak Saifullah, Pak Hardi, Pak Muzamil dan seterusnya. Jadi, ini semacam silaturahmi juga. Yang kedua, kami sebagai unsur dari masyarakat ingin menyampaikan beberapa gagasan dimana sebagian gagasan-gagasan itu sudah pernah disampaikan melalui jalur-jalur pribadi maupun lewat jalur media, karena kebetulan kita sering berinteraksi dengan teman-teman wartawan.

Dari undangan yang diperoleh, mohon maaf Bu Yuliani, kami tidak mendapatkan atau tidak menerima adanya permintaan khusus tentang topik yang akan dibahas, karena itu saya agak melakukan tafsir bebas. Jadi, menjadi tafsir bebas dan karena saya pribadi ini selain kegiatan di lndobarometer, kegiatan melaksanakan survei, quick count dan lain-lain, juga memintai ilmu politik. Jadi, mohon maaf kalau ini misalnya yang disampaikan ini agak lebih panjang dari yang lbu mintakan tadi. Boleh Bu?

Page 3: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

KETUA RAPAT: Kalau bisa, dibalik yaitu yang lebih panjang yang diminta. Soal perhitungan quick count.

i

INDOBAROMETER (M. QODARI): i

Baik, boleh Bu. Nanti saya akan sarhpaikan juga walaupun sebetulnya itu nanti tidak akan terlalu banyak. Jadi, bagaimana? Apa say~ mulai dari quick count dulu? Atau mulai dari bahan yang saya bawa ini?

Baik, saya mulai dari bahan yang saya bawa. Jadi, nanti mungkin bisa dilihat juga di layar selain sudah dibagi oleh panitia. Saya berangkat masukan terhadap Pansus Rancangan Undang­undang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden berangkat dari pemahaman saya tentang problem sistem politik di Indonesia. Jadi, ada 3 problem yang saya kira bisa dihigh light dan tentu saja problemnya banyak, tetapi disini diangkat 3 saja.

Yang pertama, adanya mutli partai yang ekstrim. Saya kira memang istilah multi partai ekstrim cukup bisa diterima, karena saya hitung-hitung ada correct me event wrong ya, sebanyak 17 partai yang punya kursi di DPR. Dari 7 partai yang punya suara signifikan, 2 menguasai hanya rentannya 19 sampai dengan 23% dan 5 menguasai rentan antara 8 sampai dengan 11 kursi. 3 partai menguasai 2% dan sisaya kecil sekali, di bawah 1%. Jadi, menurut Mas Ferry dan kawan­kawan dari PDIP terutama ini menyulitkan pengambilan keputusan.

Yang kedua, adanya pemerintahan yang kurang kokoh, karena presiden minoritas. Yang menarik, di Indonesia ternyata ada fenonema split ticket voting dimana masyarakat Presiden dengan partai itu berbeda Pak. Memang belum ada studi yang kokoh. lnsya Allah kalau saya jadi studi S3 nanti mudah-mudahan mau angkat tema ini, karena tema ini relatif baru di kita sehingga Presiden terpilih mungkin berasal dari partai minoritas.

Yang ketiga, adanya semacam sinyalemen bahwa kualitas Anggota DPR dan DPRD belum optimal.

Soal problem multi partai, sebelum kita masuk ke solusinya memang harus dikatakan bahwa dalam sistem demokrasi manapun selalu ada 2 kutub yaitu kutub keterwakilan dan kutub efektivitas. Kutub keterwakilan itu meniscayakan banyaknya partai politik dan kutub efektivitas meniscayakan penyederhanaan partai politik. Jadi, susah atau hampir mustahil mendapatkan dua­duanya sekaligus. Jadi, kalau menekankan kepada keterwakilan, efektifnya turun. Kalau menekankan kepada efektivitas, maka dia aspek keterwakilannya juga akan turun. ltu tidak bisa dapat dua-duanya dimana pun di dunia ini. Jadi, harus menekankan salah satu. Nah sebetulnya dua-duanya menu rut saya dan literatur juga, itu sama-sama demokratis. Tinggal dipilih mana yang sesuai dengan situasi dan kondisi dan negara yang bersangkutan. Nah kita Indonesia dari Tahun 1999 sampai dengan sekarang 2007, Tahun depan sudah mulai formasi proses transisi demokrasi selain pengalaman kita pribadi, kita juga bisa belajar dari pengalaman dan pilihan di negara-negara lain. Ada yang menarik, saya menbaca studi dari Bin Railly. Ternyata di Asia Pasifik itu ada kecenderungan berbagai negara kepada sistem multi partai sederhana dengan asumsi bahwa sistem yang demikian lebih kondusif bagi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Kalau misalnya ada tren atau ada kemauan dari partai-partai termasuk dari pemerintah untuk membuat sistem kepartaian sederhana, maka ini mirip dengan kecenderungan di negara-negara lain di Asia Pasifik.

Mengenai cara menyederhanakan mekanisme kepartaian, sebetulnya tidak hanya satu. Mohon maaf kalau saya mendapat kesan salah, tetapi kadang-kadang kesannya mekanisme penyerdahaan partai itu cuman 1, yaitu dengan electoral threshold. Padahal sebetulnya ada banyak, paling tidak, ada 3. Yang pertama, dengan pemilihan sistem pemilu. Apakah sistem majoritarian (sistem district) atau sistem campuran atau sistem proporsional. Nah itu yang pertama. Yang kedua, dengan menerapkan electoral threshold yang dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Ala Indonesia. Jadi, Tahun 1999 ke 2004 ada 3%. Terus 2004 ke 2009, katanya mau dibuat 5%.

2. Ala beberapa negara, yang lebih lazim sebetulnya. Jadi, yang dipakai di Indonesia kurang lazim. Yang lebih lazim di negara-negara demokrasi lain seperti yang berlaku di Jerman atau di Turki, itu elctro result-nya kalau partai tidak medapatkan atau memperoleh suara seperti yang ditargetkan maka dia tidak mendapatkan kursi. Yang saya sebut ala Indonesia itu adalah di Indonesia, kalau tidak mencapai 3% maka tetap mendapatkan kursi. Tetapi kalau di Jerman misalnya, elctro result 5%. Kalau ada partai di bawah 5%, maka partai itu tidak mendapatkan kursi. Kursi yang ada, dibagi kepada mereka yang di atas 5%. Jadi, kalau diterapkan di Indonesia Tahun 2004,

Page 4: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

maka 550 kursi DPR hanya dibagi kepada 7 besar dimana pelopor tidak kebagian, PBS tidak kebagian, PDS tidak kebagian dan seterusnya.

Yang ketiga, dengan mengatur besaran daerah pemilihan dimana semakin kecil jumlah daerah pemilihan maka ada kecenderungan bahwa suara-suara partai-partai yang kecil itu nanti tidak kebagian kursi. Kita coba lihat satu-satu. Kita di Indonesia sejak Orede Baru, telah memilih sistem proporsional. Nah pilihan sistem proporsional itu sebenarnya secara hakikat tidak sesuai dengan keinginan untuk menyederhanakan partai. lni contradictio interminis. Jadi, ini sebuah pilihan logika yang sebetulnya tidak sinkron. Jadi, menginginkan penyederhanaan partai, tetapi sistem pemilihan yang dipakai adalah proporsional. Jadi, sistem proporsional itu dimana-mana melahirkan multi partai yang ekstrim. Jadi, sebetulnya kalau mau melahirkan sistem partai yang lebih sederhana, Pemilu 2009, Undang-undang Legislatif yang baru harus memilih sistem yang lain di luar sistem proporsional. Misalnya, sistem campuran. Ya mau idealnya sistem district paling cepat menyerderhanakan partai tetapi mung kin untuk konteks Indonesia sistem district tidak sesuai karena begitu banyak kelompok di masyarakat. Jadi, dianggap tidak sesuai dan nanti dianggap merefresi secara demokratis kekuatan poltik yang ada di masyarakat. ltu yang pertama. Yang kedua, soal sistem pemilu. Kalau memang ternyata diterapkan sistem proporsional, mungkin perlu diperbaiki adanya gap antara perolehan suara dengan perolehan kursi. Dulu kan ada kursi mahal, kursi murah karena mempertimbangkan faktor wilayah. Sebetulnya dengan adanya DPD terlepas dari DPD itu adalah sekarang fungsinya agak tebatas ya yang namanya Pemilu DPR itu harus dimurnikan betul antara persentase suara dengan perolehan kursi harus betul-betul identik. Kalau draft versi pemerintah, saya melihat sudah mengarah ke hal itu. Kalau lihat, pasti Pak Syaifullah Ma'sum sadar betul soal ini. Tahun 2004, Beliau partainya paling dirugikan karena defisit sekitar 3% dab saya kira signifikan ya dan PAN paling diuntungkan.

Yang kedua, tentang penerapan electoral threshold. Jadi, Pemilu Orde Baru tidak ada electoral threshold. Partai dibatasi 3. Jadi, berapa pun perolehan suara tetap ada di Pemilu. Tahun 1999, ada electoral threshold dengan maksud agar seleksi alam, tetapi tidak terjadi karena partai­partai berganti baju. Berganti baju, ada yang ganti baju dengan susah payah. Misalnya, PKP menjadi PKPI. Yang lain-lain ganti namanya panjang, tetapi ada juga yang ganti bajunya mudah, misalny PBS menjadi Bintang Bulan. Lambangnya bintang dengan bulan, yang baru bintang diperbesar dan bulan dikecilkan. Jadi, mudah. Kalau misalnya electoral threshold seperti yang sudah-sudah masih tetap diberlakukan maka tidak akan ada akhirnya. Saya kemarin bertemu dengan ternan-ternan dari Jerman dan bercerita "electoral threshold ala Indonesia pernah diterapkan dan diujicobakan di Jerman selama 100 tahun dan selama 100 tahun gaga! menyederhanakan sistem kepartaian". Jadi, sistem kepartaian di Jerman baru sederhana ketika diberlakukan seperti sekarang ini. Kalau tidak mencapai 5%, tidak kebagian kursi. Bahkan yang lebih ekstrim di Turki, itu 10%. Jadi kalau tidak mencapai suara di atas 10%, tidak kebagian kursi. Menurut saya, ini lebih sesuai dengan maksud dan tujuan dari Bapak-bapak/lbu-ibu sekalian untuk mendapatkan sistem yang lebih stabil karena nanti di gedung ini katakan diberlakukan sekitar 5% dan perolehan 2009 itu mirip denagn 2004, itu hanya ada 7 partai dan proporsi Anggota Dewan dari masing-masing partai itu menjadi lebih banyak. Kalau sekarang realitanya PKS, 45. Kalau sistem ini diberlakukan, mungkin jadi 50. Golkar, 127/128 bisa sampai 150. Jadi, akan lebih banyak. Cuman paket Jerman ini juga harus diambil sebagai satu kesatuan. Yang penting adalah seperti di Jerman maupun di Turki, kalau partai itu tidak mencapai itu maka dia tidak harus membubarkan diri, dia tidak harus ganti baju. Nah sekaranng ini, kejam yang partai besar. Karena apa> partai-partai yang kecil itu yang tidak lolos electoral threshold setiap tahun harus bunuh diri, gantung diri dan harus lahir kembali menjadi partai baru (reinkarnasi), tetapi kalau mereka tidak punya, mereka habis. Jadi, salah satu sebab kenapa Partai Pelopor walaupun Ketuanya sama­sama Anak Bung Karno, itu suaranya lebih kecil daripada PDIP karena pada waktu kita survei di Tahun 2003, tingkat pengenalan masyarakat terhadap Partai Pelopor jauh di bawah PDIP. Karena ini pemilihan langsung, maka tingkat pengenalan itu menjadi sembako (kebutuhan pokok). Kalau tidak dikenal, tidak mungkin dipilih, tidak disukai dan tidak mungkin dipilih. Bayangkan seperti katakan PDS, PDS dari 0 terus kemudian dia tidak lolos electoral threshold, dia terus berkiprah dan karena komunikasinya cukup baik, PDS itu terakhir saya survei beberapa waktu yang lalu, angkanya, pengenalnya sudah sampai 50%. Tetapi kalau dia harus ganti rupa dan ganti baju menjadi PDSI atau seterusnya, maka dia harus mulai dari 0 lagi. Yang terakhir saya dengar memang perubahan cerdik, Partai Damai dan Sejahtera (PODS). Jadi, ini lebih fair bagi Partai

Page 5: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

Politik. Jadi, kalau misalnya Pemilu 2009 dia tidak mencapai electoral threshold maka dia tidak dapat kursi. Tingga nanti dia seberapa kuat dia bertahan. Kalau dia kuat bertahan (terus berkomunikasi), mungkin suatu saat akan mendapatkan kepercayaan publik sehingga akhirnya dia bisa tembus electoral threshold dan akan mempunyai kursi yang signifikan di Dewan. Menu rut saya, ini lebih fair ketimbang apa yang sudah diterapkan di Indonesia. Sekali lagi Bu, ini sudah dicoba di Jerman 100 tahun dan tidak berhasil dan mereka buang. Jadi, dia bilang "Mas Qudori tidak usah dipakai lagi, Jerman sudah pakai 100 tahun".

Lanjut, soal pengaturan Dapil. Pemilu 2004, Dapil tidak selalu identik dengan daerah administrasi. Untuk DPR, Dapil adalah provinsi atau bagianm provinsi. Dalam Pemilu 2004, 1 Dapil terdiri dari 3 sampai dengan 12 kursi. Pada prakteknya sekitar 6 sampai 12. Partai berhak mengusulkan nama caleg sampai dengan 120% dari jumlah kursi. Nah draft pemerintah, 2009 sama 3 sampai 12 kursi dan bisa mengajukan calon sampai 150. Saya kurang setuju, karena nanti banyak sekali calon yang harus dipertimbangkan oleh pemilih dan apalagi di draft itu pakai foto, saya tidak kebayang berapa besar. ltu bisa jadi karpet di rumah untuk gelar, bisa untuk tahlilan saking lebarnya. Usulan pemerintah tetap 3 sampai 12. Partai-partai besar meminta antara 3 sampai dengan 8 kursi dengan asumsi akuntabilitas akan lebih baik, karena daerah pemilihannya menjadi lebih kecil dan orang yang harus dicermati oleh masyarakat juga sedikit, maka akuntabilitas lebih baik. Persoalannya adalah kalau ini diberlakukan, mungkin nanti harus menggambar daerah pemilihan ulang, tetapi kalau tujuannya adalah untuk menyederhanakan sistem kepartaian, ini salah satu instrumen. Jadi, daerah pemilihan di satu daerah, jumlah kursi di dapil jangan sebesar Tahun 2004.

Yang saya kira penting dan kalau bisa, ini bisa diakomodasi, draft pemerintah kan mengatur bahwa yang menggambar dan menetapkan daerah pemilihan adalah KPU. Menurut saya, jangan dan sebaiknya ini dibuat oleh Pansus berupa lampiran. Jadi, harus berupa lampiran. Karena apa? Nanti kalau dikerjakan oleh KPU, nanti tidak semua aturan Undang-undang akan koheren di lapangan. Nanti kejadiannya akan seperti Tahun 2004, apa yang dialami oleh Hanas Urbaningrum. Hanas itu sudah pendiam, tambah pendiam lagi gara-gara ini. Karena apa? Ayat (1) bertentangan dengan ayat (2), ayat (3) bertentangan dengan ayat (1 ). Jadi, pada prakteknya di lapangan ayat-ayat itu tidak saling koheren. Mungkin ini terjadi karena dibahas di belakang meja dan tidak diimplementasikan, tidak disimulasikan.

DRS. H. SAIFULLAH MA'SHUM/F·KB: Maaf Pimpinan. Bisa diperjelas Dapil di Undang-undang itu untuk DPR Pusat saja atau, bagaimana

dengan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota? Juga di Undang-undang ini, legmentasi anda atau bagaimana?

INDOBAROMETER (M. QODARI): Ya, saya kembalikan kepada Bapak/lbu sekalian. Sebisa mungkin intinya (message)

adalah jangan sampai pembuatan daerah pemilihan itu akan menjadi beban bagi KPU dan KPU akan dipersalahkan. Karena apa? Pilihan manapun yang diambil KPU pasti menguntungkan dan pada saat bersamaan merugikan salah satu partai politik. Dengan kata lain, tidak ada pilihan dan memang sampai ke DPRD Kabupaten/Kota, karena pengaturan-pengaturan yang dibuat dalam Undang-undang berisi ayat-ayat dan seterusnya dan pada level implementasi harus dibuat secara detail. Nah ketika mendetail, itu akan terasa bahwa memang ada persoalan. Saya tidak tahu bagaimana ini akan mempengaruhi berat lama dari kinerja Pansus, tetapi alangkah baiknya apabila ini diselesaikan dalam Pansus. Biarlah dalam tanda kutip buat saya partai politik yang berantem habis-habisan, kalau partai politik berantem ya nanti bisa senyum-senyuman karena tidak ada partai politik yang berantem selamanya. Tetapi kalau misalnya KPU, KPU bisa disalahkan, bisa runyam dan bisa menimbulkan gejolak politik di lapangan. Kalau partai-partai yang sudah memutuskan, kalau ada apa-apa di lapangan, bisa itu ada proses komando dan segala macam atau instruksi, oh sudahlah itu sudah diputuskan di DPR, partai sudah menyetujui, jadi anda diam saja kepada konstituen di bawah. Kalau bisa daerah pemilihan itu tidak dibuat oleh KPU, tetapi dibuat oleh Pansus. ltu problem multi partai.

Yang kedua, soal problem pemerintahan kurang kokoh. Solusinya ada 2, yaitu ada koalisi partai politik dan pilpres lebih dulu daripada . pemilu legislatif. Jadi, solusi selama ini yang

Page 6: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

ditawarkan untuk membangun pemerintahan yang kokoh. Saya kira saya setuju sekali dengan Pak Mardianto bahwa kita buat Undang-undang Politik itu jangan tiap 5 tahun berganti dan kalau bisa, dia awet sampai dengan beberapa pemilu. Selama ini, solusi yang diambil untuk bisa menciptakan pemerintahan yang kokoh adalah dengan membangun koalisi seperti yang terjadi pada pemerintahan SBY-JK. Problemnya adalah kalau koalisi ini melihat hasil pemilu 2004, tidak akan kokoh karena tidak ada senior partner. Tidak ada partai yang sangat dominan, semua kekuatannya lebih kurang sama. ltu satu. Yang kedua, misalnya Malaysia. Malaysia itu ada barisan nasional, kokoh sekali. Konsep barisan tidak diakomodasi di kita, tetapi seandainya ada sebuah partai yang dominan, maka mungkin koalisi politik ini akan awet, tetapi kalau 2 partai terbesar rentannya sekitar 20%, di bawah itu 10%-10%, tidak akan pernah awet. Disisi lain, partai politik yang ada, di pemerintahan banyak bermain 2 kaki ya selamanya tidak akan pernah mantap, pada isu tertentu mengatakan mendukung, pada isu yang lain mengatakan menolak ya dengan alasan tidak sesuai dengan aspirasi dan seterusnya, tetapi intinya adalah dengan koalisi, masalah stabilitas politik tidak akan selesai. Apalagi di kita dan ini juga pelajaran dari ternan-ternan di Jerman, koalisi di Indonesia selalu informal (tidak pernah tertulis). Kalau mau koalisi, semestinya tertulis. Jadi, cakupannya apa. Konsekuensinya apa, masa berlakunya sampai kapan. Jadi, ketawan apakah kita, ini misalnya Golkar dengan PDIP runtang runtung. Orang koalisi, bukan koalisi, tidak jelas. lni cakupannya untuk kepentingan penyusunan paket Undang-undang Politik, apakah juga untuk pilkada apa saja sampai pemilu legislatif, a[ a sampai pilpres. Tidak jelas sampai mana cakupannya sampai dimana. Kalau mau koalisi, harus tertulis, publik harus tahu, ada konsekuensinya, cakupannya sampai dimana. Terakhir, kelihatannya Sumatera Selatan, ini pemilihan gubernur, PDIP mau jalan sendiri, Golkar mau jalan sendiri, padahal pertemuan reuni disana. Jadi, koalisi kita sudah lemah karena tidak menyelesaikan persoalan. Nah sebetulnya ada suatu hal dan ini barangkali belum terlalu terpikirkan, tetapi ini sesuatu yang mungkin akan sulit diterima. Solusi atau salah satu cara untuk mencapai stabilitas adalah dengan menjadikan partai yang berkuasa dengan Presiden yang menang itu adalah 1 paket dan ada caranya. lni memang belum pernah diuji coba, tetapi saya berangkat dari temuan-temuan survei bahwa partai pemenang pilpres, itu kemungkinan besar akan menjadi partai yang terbesar karena adanya cattail effect, nanti akan saya lihatkan gambarnya. Keuntungannya, selain nanti akan memastikan bahwa presiden datang dari partai besar, ada 1 akuntabilitas partai pemenang pilpres dan pemilu legislatif akan diperkuat. Jadi, partai itu harus back presidennya habis-habisan. Kalau presidennya gaga!, partai itu habis. Yang kedua, dukungan pengurus pada capres masing-masing akan a// out. Terakhir kemarin ternan-ternan PDIP ajak diskusi, Bu Mega ini belum kasih jawaban juga. Kenapa belum kasih jawaban? Karena lbu Mega bilang "bukan, tunggu pemilu Bu? Kalian majukan saya, nanti jangan-jangan seperti Tahun 2004. Saya disuruh maju, kalian diam, tidak mau saya. Nah di DKI kemarin, Bu Mega itu sampai turun telepon orang di bawah dan ada 11 pengurus pusat yang dikirim masing-masing ke kotamadya jakarta selatan, jakarta barat, jakarta utara dan seterusnya untuk mengawal, karen a Bu Mega bilang "kalau Fauzi Bowo kalah, jangan minta saya jadi Presiden". Ya, kalau pemilu legislatif dulu baru pemilu presiden, ya semua sudah jadi. Yang jadi anggota dewan jadi anggota dewan, yang tidak, sudah kehabisan dana. Jadi, sudah tidak bekerja lagi untuk Pilpres. Kalau Pilpres duluan, pasti nanti akan a// out calon-calon dari pengurus partai untuk memperjuangkan presidennya. Yang penting, secara legal formal saya menafsirkan Undang-undang Dasar tidak mengatur bahwa Pemilu Legislatif itu harus lebih dahulu dari Pilpres, tidak ada Pak. ltu hanya kebiasa kita selama ini dan ada semacam keinginan dari partai politik bahwa presiden harus dicalonkan dengan perolehan minimal tertentu yang dalam draft itu minimal 15% kursi atau 20% suara sah. Jadi, sebetulnya secara teknis ini tidak melanggar Undang-undang Dasar. Kalau Pilpres duluan, baru kemudian Pemilu Legislatif dan baiknya memang tidak perlu syarat minimal untuk mencalonkan presiden. Alasannya adalah masyarakat akan banyak pilihan. Jadi, kalau tidak ada syarat pilihan partai, calonnya banyak. Sekarang inikan semua mengeluh. Calon Presiden, elu lagi­elu lagi, itu lagi-itu lagi. Kalau di Amerika, tidak ada cerita Presiden sebelumnya maju lagi. Kalau kita, kembali ke selera asal seperti iklan ABC dan kalau dibuka, ini akan ramai. Wah mas nanti bingung, ya bingung saja pada putaran pertama. Kan Undang-undang Dasar jelas mengatakan pemenang harus 50%, ada putaran kedua. Putaran kedua nanti juga hanya 2 pasang dan lagipula kalau dilihat Undang-undang Dasar Pasal 6A hanya dikatakan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Saya khawatir kalau dibuat Undang-undang mengatur minimal 15% kursi atau 20% suara sah akan ada rangga lawae Jilid II ke MK "Pak, ini bertentangan atau paling tidak membatasi hal yang tidak dibatasi oleh Undang-

Page 7: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

undang Dasar". Undang-undang Dasar tidak ada kok mengatakan bahwa harus dengan syarat perolehan suara tertentu, pokoknya dia sejauh dia partai politik sudah dinyatakan KPU berhak menjadi peserta pemilu, maka berhak mengajukan calon. Jangan sampai Undang-undang ini sudah diketok, waktu kita mepet, dilaporkan ke MK, MK proses sidang, dibatalkan. Kita tidak punya waktu lagi untuk bisa merevisi. Kalaupun ada waktu, waktunya nanti mepet sekali untuk melaksanakan pemilu. Jadi, mahan hati-hati kalau menetapkan batasan jumlah minimun perolehan partai untuk mengajukan calon presiden.

Bapakllbu sekalian, lni gambar, ini perolehan suara, ini hasil survei 3 tahun terakhir perolehan suara partai­

partai politik. lni informasi membuat saya mengasumsi ada bandwagen effect. Ketika SBY-JK belum lama terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden, kami mengadakan survei ternyata Partai Demokrat nomor 1 80%. Jadi, siapa pun nanti entah Golkar, PDIP, PKB atau PKS, kalau capresnya menang maka partainya nomor 1 dan akan terjadi bandwagen effect walaupun kemudian seiring dengan bulan madu, ya namanya bulan madu terus turun kan begitu. Kita lihat Pak, kan Demokrat pernah nomor 1 turun terus kemudian disalib oleh Golkar menjadi nomor 2, turun menjadi nomor 3, Golkar pernah nomor 2, naik jadi nomor 1, ya PDIP nomor 2, Demokrat nomor 3 kemudian disalib lagi.

Bapakllbu sekalian, Terakhir, saya survei Bulan Mei Nasional. PDIP Nomor 1, Golkar Nomor 2, Demokrat

Nomor 3. PKS ini partai zig zag, naik turun dan saya tidak mengerti. Pernah tinggi sekali, tetapi turun

pernah ke bawah betul dan rata-rata sekitar 6% dan masih jauh dari target dari 20% Tahun 2009. Tidak ada naga-naganya dapat 20%, jauh. lni PPP, memang seperti berita di koran yang lalu dan ditulis di Kompas. Partai PPP sedang pasang surut. Jadi, memang susah untuk lebih tinggi lagi. Memang bahaya. lni PPP terancam menjadi partai Non ET. Ya, syukur-syukur sudah ada rejuveniasi. Banyak anak muda masuk kesana, tetapi kalau kemarin orang tua tetap semua begini Pak, PPP terancam menjadi partai Non ET. PAN juga belum terlalu jauh dan kelihatannya sulit untuk PAN mencapai 100 kursi. Ya, sampai Agustus. Agustus, jangan-jangan lebih rendah. Oh lebih tinggi? 5, 1. Ya, boleh bag us 5,1 tetapi sepertinya 5,1 bel urn mendapatkan 100 kursi. Yang paling stabil, PKB. PKB memang menunjukkan dia punya konstituen yang kuat, tetapi ini muncul sebelum PKNU. PKNU di Jawa Timur kan basisnya Jawa Timur, di Jawa Timur kan banyak Kyai­kyai yang, ya memang Gus Our tidak mau lagi dengan Kyai Khos karena high cost.

Bapakllbu sekalian, Untuk sementara, saya tidak tahu ini relevan atau tidak? Peta politik dengan nanti upaya­

upaya untuk membangun stabilitas politik. lni kelihatannya Tahun 2009 untuk sementara masih dari 7 besar ini, bel urn kemana-mana, mungkin ada tukar-tukar tern pat tetapi masih 7 besar. Kalau misalnya ingin membuat electoral threshold 5%, kemungkinan yang 7 ini akan setuju karena mereka masih bisa mencapai itu. Tetapi kalau misalnya sampai ke 10%, mungkin akan banyak prates.

Terakhir, soal kinerja Anggota DPR yang dianggap kurang memuaskan. Sebenarnya variabelnya banyak, mulai dari proses pendidikan dan seleksi di internal partai, aturan dalam pilleg, aturan main DPR di Susduk, aturan main di dalam partai, pengawasan oleh publik dan seterusnya. Nah kita disini bicara khusus aturan main di dalam pemilihan legislatif. Perlu disusun aturan main yang mampu memfasilitasi terpilihnya caleg yang berkualitas dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Pak Ferry, saya tidak setuju dengan ternan-ternan yang suka membagi atau mendekotomikan antara popularitas dengan kompetensi. Jadi, akan ada penolakan terhadap proporsional terbuka murni karena dengan anggapan nanti calon berkompeten kalah dengan calon yang populer. Jadi, tidak bisa ada dekatomi Pak. Calon itu, Anggota DPR itu harus kompeten dan populer pada saat bersamaan. Jadi, yang paling ideal adalah pemilihan proporsional terbuka murni. Kalau dia berkualitas dan berkualitas termasuk kemampuan artikulasinya bagus, dekat dengan rakyat, turun ke masyarakat seperti lbu kita, itu pasti mendapatkan suara terbanyak. Nah partai-partai sendiri sebetulnya kalau melihat hasil 2004, itu tetap punya ruang untuk memajukan jago-jagonya karena dari analisis sekitar 72% Anggota DPR walaupun tidak dapat BPP adalah

Page 8: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

orang-orang yang mendapatkan suara tertinggi dan dapat suara tertinggi karena posisinya di nomor 1, nomor 2 dan nomor 3. Jadi, dibuka saja calon proporsional terbuka murni. Tetapi yang dianggap potensial, berbakat dan seterusnya, itu taruh di nomor 1, 2 dan 3. Oleh karena itu, saya juga tidak setuju dengan abjad. Bahaya ini kalau abjad. Kalau lbu Yuli, sudah senang karena depannya hurut A (Andi) walaupun selama ini depannya lbu Yuli saja, tetapi nanti hurut A dipakai, tetapi Beliau kan namanya Ferry Mursyidan Baldan, nanti minta a juga. Pak Abdillah, senang karena sudah Abdillah. Pak Muzamil, ini repot dan jauh di bawah. Apalagi Pak Rambe, itu paling bawah. Kalau ini diterapkan Bapak/lbu sekalian, sebentar kemudian semua pada bubur merah bubur hitam, ganti nama semua. Jadi, akal-akalan nanti dan tidak perlu pakai toto karena nanti akan banyak sekali. Apalagi kalau 150 itu diakomodasi, daerah pemilihan 10, dicalonkan 150% dari 10, terus pakai toto. Segede apa?

Problem-problem lain-lain, ini saya ingin tanya. Sebetulnya apa dasar penetapan jumlah Anggota DPR itu 550 seperti sekarang atau 560 seperti usulan pemerintah. lni menjadi menarik kalau kita banding dengan usulan mengenai jumlah Anggota DPR untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota. Di Draft itu jumlah Anggota DPR Provinsi antara 30 sampai 90 orang, tergantung penduduk. Kalau di bawah 1 juta, 30 orang. Kalau di atas 11 Juta, 90 orang. Kabupaten/kota, kalau di bawah 100 ribu penduduknya, 20 kursi. Kalau lebih dari 500 ribu, 45 orang. Nah apakah diasumsikan proporsi 1 orang Anggota DPR memang pas untuk mewakili 400 ribu? lni asumsi penduduk 220 juta dibagi 550 Anggota DPR sehingga dapat 400 ribu atau plus/minus 285 ribu pemilih, 160. Saya tidak tahu 2009 berapa jumlah pemilihnya. 2004 itu 150 katakan tambah 10 juta, 160 juta pemilih dibagi 560 kursi DPR kalau ini diketok. Apakah memang ini angka yang pas? Jadi, Pak Rambe memang pas betul kalau dia mewakili 400 ribu orang. Apakah tidak misalnya Beliau mampu sebetulnya untuk 1 juta atau misalnya Beliau 400 pun terlalu berat. Yang realistis buat Beliau adalah 100 ribu orang. Dari mana angka 400 ribu itu, apa teorinya, apa pembuktiannya, apa hitung-hitungannya. Saya ingin agak dalam ya. Apakah memang kesanggupan Anggota DPR itu ada angka psikologis dan angka politis atau angka secara finansial. Gaji DPR dihitung, itu cukup untuk mengurus konstituen 400 ribu orang. Apakah begitu? Kan dalam dunia pekerjaan, pekerjaan itu dikasih gaji sesuai dengan beratnya pekerjaan itu. Semakin berat pekerjaan, gaji semakin besar. Jadi, kenapa gaji DPR selama ini dipertanyakan? Karena tidak bisa dibuktikan bahwa angka itu pantas untuk mewakili atau untuk menyalurkan sekian ratus ribu orang. Kalau ada angkanya, mau dinaikan berapa pun bisa ada justitikasinya dan ini menjadi in consisten luar biasa di tataran DPRD. Kalau kita lihat variasi daerah-daerah yang ada di Indonesia, Pasal 28 Draft Pemerintah ayat (A) Provinsi dengan penduduk sampai dengan 1 juta, mendapatkan 30 kursi DPRD. Kalau ini diberlakukan, berarti 1 kursi Anggota DPR mewakili 33 ribu orang. Ya 1 juta dibagi 30 kursi. Ayat (n Provinsi dengan penduduk 9 sampai 11 juta, mendapat 80 kursi. Kita ambil1 wilayah dengan penduduknya 10 juta. 10 juta dibagi 80 kursi, 125 ribu orang. 33 loncat ke 125 ribu orang. Ayat (g) Provinsi dengan penduduk di atas 11 juta, mendapat 90 kursi. Saya ambil ilustrasi Jawa Timur, 36 juta. 36 juta dibagi 90 kursi, 1 orang DPRD mewakili 400 ribu orang. Bayangkan Pak 33 ribu apa sebanding dengan 400 ribu. Maksud saya, ini menetapkan angka 30,80, 90 naik dari 30 tambah sekian juta jadi sekian, itu alasannya? Karena kalau ini kita berlakukan, alangkah beratnya Anggota DPR di Jawa Timur, dia mewakili 400 ribu orang dibandingkan dengan yang lain 33 ribu orang. Ya salahnya anda maju di Jawa Timur, tetapi kan kita bicara keadilan, ingin memperbaiki sistem. Jadi, ini suatu soal yang harus dipikirkan. Tidak bisa taker for bited, ya anggotanya sekian deh, tetapi apa sih maknanya, reasoning-nya, apa sih implikasinya. ltu yang saya kira perlu dipikirkan.

Terakhir, materi yang disiapkan. lni soal pendaftaran pemilu. lntinya adalah proses pendaftaran nanti sitatnya pemutakhiran walaupun pemutakhiran itu dikerjakan sampai level petugas PPS dan segala macam. Saya khawatir dengan kemungkinan munculnya daftar pemilih yang banyak bolongnya, belajar kejadian di Jakarta. Kalau 2004 itukan sensus. Jangan-jangan memang kita harus sensus supaya kita bisa memenuhi hak asasi masyarakat, karena kalau tidak sensus pemutakhiran-pemutakhiran ditanya dengan RURw, RURw jarang mencatat, masyarakat juga jarang mencatat, masyarakat yang lapor juga jarang, maka akan banyak yang bolong. Kalau itu yang terjadi, maka kita melanggar hak asasi dan bisa menimbulkan sengketa pemilu.

Yang terakhir, soal quick count. Quick count sebetulnya berangkat dari tradisi yang berlaku di negara Eropa Timur ketika proses transisi demokrasi sedang terjadi. Jadi, ada asumsi waktu itu partai yang berkuasa selama masa rezim otoriter walaupun dia sudah kalah di masyarakat sudah tidak mendapatkan simpati, dia masih ingin berkuasa dan cara cia berkuasa adalah dengan

Page 9: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

memanipulasi hasil pemilu. Ya, dengan menekan lembaga penyelenggara pemilu. Karena itulah kemudian penghitungan dari penyelenggara pemilu itu harus dikontrol oleh lembaga-lembaga independen, bisa masyarakat setempat, masyarakat internasional. Nah metodenya dinamakan quick couont, penghitungan cepat. Quick count itu pada dasarnya penghitungan dengan menggunakan sample seperti Tahun 2004 di Indonesia ini ada 500 ribu sekian TPS, diambil TPS hanya 5.000. Kalau misalnya pemilihannya tepat, metodeloginya pas maka yang 5.000 itu bisa menggambarkan yang 500 ribu. Kalau mengacu kepada pengalaman di Indonesia Tahun 2004, memang penyelenggaraan atau penghitungan suara oleh KPU itu sudah cukup. Artinya, tidak ada manipulasi karena penghitungan KPU mirip penghitungan quick count. Jadi, bukan seperti yang dibilang oleh yang lain-lain bahwa KPU menyesuaikan dengan quick count. Bukan, tetapi KPU melakukan penghitungan sendiri dan kemudian masyarakat melakukan quick count lalu kemudian dilihat hasilnya sama. Nah kenapa KPU tidak bisa mengambil langkah yang cepat? Ya, karena prosesnya bertahap. Yang elektronik pun, eletronik bisa cepat tetapi dianggap tidak sah karena menjadi pegangan adalah penghitungan secara langsung. Jadi, sebetulnya qucik count itu adalah metode untuk melakukan kontrol terhadap penyelenggara pemilu apakah mereka adil atau tidak. Nah memang kemudian ditambahkan lagi, ada manfaat lain bahwa ini bisa mengurangi ketegangan politik masyarakat dan bukan ketegangan eilte politik, tetapi ketegangan politik masyarakat. Masyarat ingin tahu segera siapa yang sudah terpilih dan seterusnya, karena saya sudah coblos dan penasaran. Kalau menunggu penghitungan dari KPU masih lama, ada metode yang cepat yaitu quick count. Jadi, fungsinya untuk mengontrol penghitungan suara oleh penyelenggara pemilu dan untuk bisa cepat meredakan ketegangan politik di masyarakat. Jadi, itu sebetulnya yang namanya quick count. Saya kira itu lbu Yuliani secara keseluruhan.

Terima kasih. Wabil/ahi T aufiq Waf Hidayah Wassalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh.

KETUA RAPAT: Terima kasih Pak Qodari. Mungkin ada tanggapan dari Bapak-bapak Anggota. Pertama, Pak Abdillah Toha. Silahkan

Pak Abdillah.

ABDILLAH TOHA, SE/F-PAN: Terima kasih Pimpinan. Saya kira apa yang disampaikan oleh Saudara Qodari, kami sangat apresiatif dan menarik

sekali disampaikan dengan sistematis walaupun awal-awalnya suaranya seperti suara Golkar yang tentang proporsional tadi. Saya ingin menyampaikan beberapa pandangan, tetapi saya ingin nanti mohon tolong dikomentari oleh Saudara Qodari.

Saudara Qodari itu selalu mengambil contoh Jerman. lni Republik Indonesia Pak, bukan Jerman. Jadi, tidak sama dengan Jerman. Dalam soal proporsional itu, ini bukan masalah ikhlas dan tidak ikhlas, tetapi kalau kita masuk terlalu cepat ke dalam sistem district maka mungkin nanti 70% Anggota DPR adalah Orang Jawa Pak. Sedangkan negeri kita ini tidak sehomo jenis Jerman. Memang kalau andaikata DPD kita yang sekarang fungsinya masih terbatas, kalau DPD itu sudah mempunyai wewenang yang cukup dan umpamnya menjadi senat, betul-betul senator dengan wewenangnya sebagai apple house dan barangkali sistem district itu mungkin lebih tepat, karena dia akan mewakili daerah-daerah yang penduduknya sedikit karena dia mewakili wilayah. Saya pikir untuk tahap demokrasi pada saat ini, yaitu sistem proorsional terbuka sekarang ini masih diperlukan, masih cukup adil bagi daerah-daerah di luar jawa. Menurut saya, yang paling penting adalah justru kalau kita mau efektifkan DPR dan itu justru penyederhanaan fraksi, terlalu banyak fraksi. 10 fraksi, tiap kali ada Undang-undang, ada ini, itu setiap fraksi mung kin kita memerlukan 5 atau 7 fraksi. Saya tidak tahu bagaimana keputusannya bagaimana menjadi 10 fraksi. Jadi, Indonesia lain dengan Jerman.

Yang kedua, ada semacam paradoks kalau tidak salah dengar. Di satu sisi, anda menginginkan pemerintahan yang kokoh. Di sisi lain, anda juga menginginkan tidak usah 15% mencalonkan presiden dan saya setuju itu. Saya kira itu suatu usulan yang baik. Artinya, kenapa harus dibatasi presidennya cuman dicalonkan oleh partai yang punya 15% ke atas. Saya sependapat sekali bahwa andaikata di tahap pertama ada 20 calon, akhirnya di tahap kedua betul anda. Hasilnya akan dua juga, tetapi kan kalau ini paradoks. Kalau kita menginginkan

Page 10: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

pemerintahan yang kokoh, mestinya juga calonnya jangan banyak-banyak karena calonnya kalau dicalonkan oleh partai-partai kecil dan diantara 20 itu ada yang menjadi 2 pemenang, itukan dia juga nanti dalam pandangan pengamat dan peneliti disini menjadi presidennya tidak kuat. Kira-kira begitu, tetapi saya tidak sepakat dengan pandangan banyak pihak yang mengatakan bahwa sistem kita akan menciptakan pemerintahan yang tidak kokoh (tidak kuat). Saya tidak sependapat dengan itu. Sebetulnya Pemerintah yang sekarang ini dikatakan tidak kokoh atau tidak kuat, itu juga tidak benar dan bukan karena dia tidak mendapatkan dukungan luas dari DPR, tetapi memang pemerintahnya memang lemah dan tidak berani mengambil keputusan, karena dia dukung oleh 60% suara dan saya kira juga di dalam sistem demokrasi, itu akan lebih baik kalau Presiden yang menang itu partainya tidak menang di DPR dan itu justru yang bagus. Kalau Presiden itu menang dan partainya juga menang di DPR, itu menjadi otoriter nanti. Jadi, apa yang terjadi, contohnya adalah Bush pada term pertama dimana dia menang, Partai Republik menang, itu otoriter sekali sehingga menyerbu lrak dan segala macam. Sekarang keadaannya lebih baik dimana Bush dari Partai Republik, Demokrat yang menguasai kongres. ltu justru lebih sehat dari sistem demokrasi dan pembagian tugas dan fungsi sudah ada. Jadi, kita tidak usah terlalu khawatir dengan sistem sistem presidensial ini, itu selalu mengharapkan supaya presidennya ini didukung oleh partai yang kuat, tidak perlu dan sudah diberikan suatu fungsi-fungsi dan tugas-tugas. Artinya, wewenangnya sudah dibagi-bagi dan jangan salah sangka bahwa walaupun tidak tertulis dalam Undang-undang Dasar, Presiden itu punya hak veto. Artinya, kalau Undang-undang kita tidak disetujui maka Presiden juga tidak jalan. Dari luar, sebenarnya fungsi pengawasan DPR ini tidak efektif sama sekali. Jadi, kalau presidennya orangnya tegas maka DPR-nya tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi, ada 3 fungsi DPR sebetulnya dan yang kuat hanya 2 yaitu fungsi anggaran dan fungsi legislasi. ltupun dua-dua fungsi tersebut tidak akan jalan kalau tidak disetujui oleh Presiden. Fungsi pengawasan kita itu lemah dan paling dalam Raker-raker dengan Presiden itu hanya bisa ngomong, buat kesimpulan dan difi/e. Jadi, kita kritik sana sini tetapi. Jadi, saya terus terang tidak sependapat dengan banyak pengamat atau peneliti yang mengatakan bahwa kita membutuhkan Presiden yang kuat. ltu tergantung Presidennya Pak dan tidak harus didukung oleh mayoritas partai di DPR.

Saya kira itu yang ingin saya sampaikan. Mengenai quick count, memang ini ada semacam skeptitisme di masyarakat. Apakah quick count yang katanya dilakukan dengan metodologi ilmiah ini betul-betul ilimiah? ltu ada keragu-raguan, ada kekhawatiran bahwa kalau disitu ada unsur-unsur subyektifitas itu quick count ini bisa mempengaruhi, mendorong orang­orang untuk berbuat curang di TPS di tempat-tempat perhitungan suara dan sebagainya sehingga bisa dicocok-cocokan dengan quick count. Apakah obyektifitas ini dan metodologi ilmiah ini sudah betul-betul dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, tidak, tadi dikatakan bahwa quick count itu akan mengontrol KPU? ltu mengontrol sih boleh, tetapi jangan sampai mengarahkan, mempengaruhi dan sebagainya. lni ada semacam kekhawatiran disitu.

Terima kasih.

KETUA RAPAT: Terima kasih Pak Abdillah Toha. Pak Hardi silahkan.

HARDISOESILO/F-PG: Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh.

lbu Pimpinan dan Bapak-bapak dari Pans us; Mas Qodari yang saya hormati.

Kalau saya memperhatikan Pak Abdillah Toha menyampaikan, sering saya memperhatikan memang pendapatnya selalu original cuman kali ini saya agak kaget juga Pak Qodari tidak boleh ngomongi Jerman, dia ngomongi Amerika. Saya ingin menyampaikan 3 hal, pendek-pendek.

Pertama, ingin pendalaman. Masalah Dapil, dari fraksi kami memang mengusulkan 312 dan pemikirannya adalah soal akuntabilitas. Artinya, pemilih diharapkan agar lebih fokus di dalam suatu Dapil tidak terlalu banyak. Tetapi itu tidak sekedar berhenti disitu, ada rangkaiannya. Yang

Page 11: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

pertama, kita sepakat bahwa partai politik peserta pemilu itu kita lebih sedikitkan dengan cara memberikan persyaratan yang lebih besar. Jadi, 24 itu terlalu banyak, tetapi mungkin juga 20 masih terlalu banyak. Kalau 10, mungkin terlalu sedikit. Ya kira-kira 12, bagaimana caranya itu. Antara lain kita berpikir untuk memberikan persyaratan peserta pemilu dari partai politik yang sudah terdaftar itu lebih berat lagi. Yang kedua, kita juga berpikir bahwa di dalam pemilihan umum itu ingin menjadikan sebuah Dewan Perwakilan Rakyat yang efektif.

INDOBAROMETER (M. QODARI): Sebelum dilanjutkan, usulan Golkar berapa kursi 1 Daerah Pemilihan?

HARDISOESILO/F-PG: 3 sampai dengan 6. Pura-pura tidak tahu Pak Qodari, padahal dia yang kasih saran. 3

sampai dengan 6 kursi di dalam 1 Daerah Pemilihan. Dampaknya mungkin bahwa Daerah Pemilihan menjadi lebih banyak jumlahnya. Mungkin hitungan-hitungan perkiraan kita kalau 3 sampai dengan 6, nanti kita ada kesepakatan dengan Pak Abdillah Toha sehingga jadi 3 sampai 8 kursi, karena katanya Pak Tjatur itu Anggota PAN kebanyakan di nomor 7 sebetulnya. Jadi, kita ingin, pertama kali pemikirannya adalah memberikan kepada pemilih. Jadi, Pemilu ini bukan pemain utamanya bukan calon, tetapi adalah pemilih. Pemilihlah yang diberikan kesempatan untuk lebih fokus dalam memilih calon. Nah itulah menurut Pak Qodari ini, apakah kalau kita menambah jumlah pemilih itu menimbulkan kesulitan bagi KPU? Tadi kan salah satu syaratnya bahwa kita mengubah sesuatu itu jangan sampai memberikan kesulitan bagi KPU. Maksud kami, kita memberikan kesempatan kepada pemilih dibandingkan kita memberikan perhatian kepada atau kemudahan bagi calon. Caranya adalah lebih fokus dengan mengubah lebih sedikit dalam suatu Dapil, kursinya lebih kecil. Apalagi kaitannya dengan jumlah peserta, partainya juga kecil. Jadi, kalau nanti pakai potret atau tidak pakai potret tidak bisa dipakai untuk alas shalat karen a dia lebih kecil daripada yang diperlukan untuk alas shalat. Jadi, rangkaiannya itu panjang dan tidak sekedar hanya. Pertanyaannya adalah dari pertemuan Pak Chaidar dengan KPU kemarin, ada kekhawatiran kalau itu menimbulkan kesulitan KPU. Sampai saya iseng-iseng bilang "Toh KPU­nya belum ada. Kalau nanti kita tetapkan Undang-undang, cari KPU yang bisa melaksanakan itu". Saya tadi sependapat bahwa ada pendapat ketetapan ini jangan di KPU. Jadi, di Undang-undang mungkin Panja kita simulasi dan sebagainya sehingga KPU atau siapapun yang bekerja di KPU bisa menyelenggarakan. Kedua, electoral threshold. Memang kita diberitahu oleh Bisfitri bahwa ada pengertian yang tadi Pak Qodari sampaikan tentang electoral threshold, tetapi Golkar berpikir begini Pak, dua-duanya. Yang pertama, electoral threshold untuk peserta pemilu. Nanti seperti PK, kita harapkan nanti dia bergabung dengan PPP atau dengan menjadi pengurus Partai itu lagi, salah satu pemikiran, tetapi didalam efektivitas parlemen kita membuat pengertian yang namanya parlementary treasury, jadi kita ingin membatasi Fraksi, dia boleh ikut menjadi Anggota tetapi dia bergabung kepada Fraksi yang memiliki parlementary treasury yang kita tetapkan. Soal berapanya nanti bisa kita rundingkan, ini pemikirannya, pikiran ini saya ingin mendapat tanggapan dari Bapak Chudori ini.

Ketiga, tadi ada sistem yang paling sepakat, terutama Bapak Sutrisno Bachir, ini berpendapat bahwa yang paling baik banyak adalah seperti ini, terbuka murni, ingin besar­besaran. Kalau kekhawatiran bahwa kompeten, mereka yang kompeten itu sebenarnya sama dengan mereka yang, seperti Adji Massaid begitu, beliau ini sudah terkenal di Papua dan berkompetensi di BKSAP, sama dengan Adji Massaid yang popular karena sering cerai. Menurut kita bukan itu, karena peserta Pemilu bukannya perorangan, peserta Pemilu itu adalah peserta politik, yang diberi kesempatan untuk punya peluang lebih dibandingkan yang bukan Pimpinan/Pimpinan Partai. Oleh karena itu kita berpendapat sudahlah, kalau bilangan pembagi pemilihnya tidak 100%, tidak main besar-besaran, kita beri bilangan pembagi pemilihnya itu untuk menjadi calon jadi, dia hanya diberikan cukup 25% dari bilangan pembagi pemilih, jadi ala Indonesia seperti ini, kalau tidak ada persamaannya diluar.

Pengertian dasar pemikirannya adalah Pemilu, peserta Pemilu adalah Partai bukan seperti saya ini, calon Bapak Ferry dsb. Kemudian untuk bisa memberikan kesempatan, kita 50% juga tidak masalah, karena memang tuntutan Partai ini, partai ini masih sulit, duitnya Pemerintah juga tidak mau memberikan, memberikannya hanya Rp. 21 juta per orang, jadi si Pengurus Partai ini memang betul-betul memberikan dedikasi yang memungkinkan partai itu menjadi peserta Pemilu. kalau nanti ada tawaran Bapak Azwar ini 50%, F-PPP setuju, apalagi kalau 50%, 25% saja kita

Page 12: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

setuju, itu pemikiran kita tahapan, untuk nantinya pada saat tertentu ada kita mendapatkan kondisi yang betul-betul presidensil, yaitu kebutuhan distrik itu, tetapi itu nanti, entah kapan Pemilunya, pokoknya kalau saya sudah tidak boleh dicalonkan baru boleh itu. lni kita harapkan, saya ingin mendapat tanggapan dari pemikir ini , bagaimana mengenai pandangan semacam ini.

Saya kira yang terakhir adalah bagaimana kita membedakan antara pemilihan Peserta Pemilu sama Pemilihan Perseorangan, di Pasal berapa itu, Bab itu judulnya adalah Pemilihan Partai, Pemilihan perseorangan, kalau DPD Perseorangan. Pikiran kita dengan sekarang ada perseorangan, bagaimana merubah semangat bahwa pemilihan DPD itu bukan pemiliha perseorangan, tadi saya sependapat bahwa dia mewakili Daerah bukan mewakili penduduk, dia mewakili gunung, dia cerita jaman dulu, bagaimana menu rut pakar ini terhadap hal ini.

Terima kasih Pimpinan, Mohon maaf Bapak Fery, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

ABDILLAH TOHA, SE/F·PAN: Pimpinan boleh saya interupsi sedikit saja, kenapa saya ambil contoh Amerika, karena

memang sistem kita ini, modelnya adalah model Amerika, jadi bukan sistem Parlementer, kalau dalam sistem Parlementer itu memang Perdana Menteri harus didukung mayoritas oleh Partai, karena disitu ada mosi tidak percaya, setiap saat bisa dijatuhkan, tetapi kalau sistem Presidensial tidak bisa Presiden dijatuhkan oleh DPR.

ltu saja.

DRS. FERRY MURSYIDAN BALDAN/F·PG: Tiga hal yang saya ingin tanyakan, Pertama, soal Daerah Pemilihan, ketika diusulkan supaya Daerah Pemilihan ini ditetapkan

oleh Pansus saja, saya tidak bisa membayangkan bagaimana Pansus ini bekerja untuk mengurus Daerah Pemilihan, bahkan sampai Daerah Pemilihan DPRD, Kabupaten/Kota, itu yang saya kira menjadi sesuatu yang merumitkan, lebih baik menurut saya diperjelas koridornya, jadi batasan­batasannya, katakanlah sampai akhirnya mungkin kita bisa mengusulkan untuk Daerah Pemilihan sebuah Provinsi sebagai Daerah Pemilihan DPR itu berapa, Daerah mana yang digabung, itu saya kira suatu hal, KPU juga punya perangkat seperti tadi KPUD, seperti kita ke Daerah itu juga penting bagi mereka, bagaimana mengabungnya yaitu jangan diilhat administrative Pemerintah saja, karena misalnya Kota Ambon itu ada dua kecamatan, ternyata bagian dari Maluku Tengah, ini terpisah letaknya, yang dua kecamatan ada di Pulau Ambon, itu saya kira aspek-aspek itu.

ltu yang kita harapkan, kita mendorong peletakan ini bukan pada posisi melihat bahwa ini bukanlah pada siapa, justru KPU-Iah, karena dia penyelenggara KPU, jadi tahapan ini saya kira muncul, karena sejak awal seluruh perangkat untuk Pemilu adalah mereka yang memiliki kewenangannya. Pertanyaannya ada juga kekhawatiran di kami bahwa bagaimana kita bisa meyakini bahwa ketika KPU itu melakukan suatu pemetaan Daerah Pemilihan, dan tidak bisa di intervensi atau dipengaruhi oleh siapapun, itu saya kira pertanyaan kita juga, tetapi kita tidak perlu memunculkan, tetap kita menyerahkan kepada KPU sebenarnya.

Kalau melihat kasus yang kemarin saya kira KPU dengan sengaja menurut saya pada periode lalu, yang mengakibatkan Provinsi Maluku, Sulawesi Utara dan Irian Jaya pada waktu itu dan Papua berkurang kursinya, itu dengan sengaja, karena sudah ada ketentuan Ayat berikutnya pada waktu itu, bahwa jumlah Anggota DPR untuk Daerah induknya dimekarkan di Provinsi itu tidak kurang dari jumlah kursi pada Pemilu sebelumnya. ltu yang saya kira yang dengan sengaja dilangkahi, itu yang saya kira menimbulkan masalah.

Mungkin batasannya sampai dengan di Undang-undang ini bisa membuat ketentuan batasan kira-kira berapa Daerah Pemilihan itu, bahwa nanti bagian mana yang di setting itu biarkan itu menjadi kewenangan KPU, karena nanti juga ada distribusinya dan segala macam.

Kedua, adalah soal jumlah kursi yang perlu kita perhatikan adalah bahwa ini adalah Indonesia yang sejak awal kita melakukan sebuah pengalokasian kursi dengan tidak semata-mata mempertimbangkan jumlah kursi berapa atas penduduk dasar murni, kalau itu terjadi saya kira Bapak Abdillah Toha sudah sampaikan, bahwa hampir 70% Anggota DPR adalah berasal dari yang mewakili Daerah Pulau Jawa.

Menurut saya angka Rp. 400 rb itu adalah sebuah perangkah awal yang muncul ketika kita membagi jumlah penduduk dengan jumlah kursi DPR, dan ini kemudian kita gunakan, kita bagi

Page 13: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

apakah kemudian dengan melakukan itu apakah akan mendapatkan berapa timbangan jumlah kursi di Jawa dan diluar Pulau Jawa, baru kita lanjutkan, kemudian kita. Jadi sebenarnya itu angka awl saja, tidak berkaitan soallegitimasi dsb.

Yang paling prinsip saya kira adalah bahwa kita harus tidak boleh mengurangi jumlah kursi di DPR atau DPRD yang ada. Catatan dengan Rancangan Undang-undang Pemilu kali ini itu adalah dimunculkan keberatan ternan-ternan di Maluku. Hari ini DPRD Provinsi adalah 45, dengan rumusan di Rancangan Undang-undang itu mereka menjadi 40, jadi mereka menolak keras. Dengan situasi kehidupan kebangsaan kita yang memang ada ketegangan antara Pusat dan Daerah, kita akan memperunyam kondisi kehidupan. Bagaimana Pemilu kok memperunyam hubungan, ini kearifan kita, jadi tidak bisa melakukan sepenuhnya, jadi pada prinsipnya seperti itu, tetapi tidak bisa semata-mata kita melakukan hal yang seperti tadi. Barangkali kalau dengan gambaran seperti tadi saya kira itu bagian yang mengingatkan kita bahwa rentang dari 3.000 sampai 400.000. itu perlu kita pertimbangkan mungkin rentangnya tapi batas minimal kursinya tidak kita kurangi. Mungkin bisa kita tambah nanti bagian atasnya kursi maksimalnya. Jadi mungkin rentangnya saja, apakah pada tiga, ini panjang A sampai G, itu bisa tiga kelompok, supaya jaraknya tidak terlalu, tetapi harus kita ricek supaya tidak menimbulkan masalah bagi ternan-ternan di Oaerah, ini yang saya rasa mengingatkan soal bagaimana kita sebetulnya memposisikan soal jumlah kursi untuk DPR, DPRD dsb.

Pada periode yang lalu, ketika kita ada usulan dari Pemerintah untuk menaikkan jumlah kursi DPRD minimal 25 sampai 50 waktu itu, ini kita batalkan, karena apa, karena ketika itu terjadi protes, dengan demikian maka bagaimana posisi Sabang, jumlahnya pada waktu itu belum 20.000 penduduknya, tetapi dengan adanya penurunan saya rasa ini mengalami proses ini, padahal pada waktu itu syarat untuk pemekaran setidak-tidaknya jumlah penduduk hampir 50.000 lebih dengan berpatokan pada Oaerah-Daerah baru, padahal ada Daerah yang sudah eksis yang jumlah penduduknya dibawah itu. mempertimbangkan factor itu.

Ketiga, saya kira adalah soal Quick Count, jadi Bapak Chudori kalau di MPR saja itu sudah voting kita sebetulnya, tetapi setiap voting kita tidak pernah menggunakan alat itu karena tidak percaya, takut masuk A, keluar B, ini soal trans building, ini soal ini saja, bagaimana kita melihat bahwa ini Quick Count ini berkesan sebagai sebuah quidens untuk saya kira ketika dia digunakan sebagai alat kontrol saya kira baik, tetapi ketika dia kemudian menjadi alternatif cara perhitungan, apakah kemudian ternan-ternan KPU di desak baik oleh Peserta Pemilu dsb, kemudian dia mengarahkan kesana, ini pertanyaannya apakah berapa lama kita membangun culture ini untuk proses Quick Count ini kita jadikan metode, hari ini kita masih menggunakan tahapan, walaupun tidak cepat dengan memotong perhitungan atau rekap suara di Desa atau Kelurahan dan TPS langsung ke BPK, BPK baru ke Kabupaten/Kota, ini juga supaya kita ada ini. Saya kira biar bagaimanapun Quick Count ini yang tampil ini sebetulnya karena kita lihat ada lembaga yang juga katanya menjadi konsultan politik, seharusnya dibedakan, ini betul-betul lembaga survey, tetapi ketika ada lembaga survey yang tidak memainkan peran sebagai konsultan politik, artinya konsultan politik jelas tujuannya memenangkan proses kompetisi, ini menjadi rancu, saya kira mengatur disini, karena ini muncul pada awal-awal kita evaluasi Pemilu dengan KPU kemarin, itu adalah soal Quick Qount ini dengan KPU, kalau perlu sampai dilarang dsb, tetapi kita juga perlihatkan bahwa itu itu adalah suatu kemajuan teknologi yang harus kita gunakan untuk justru mendorong akuntabelnya penghitungan.

ltu saja, Terima kasih.

KETUA RAPAT: Memang dari kunjungan ke Daerah pada waktu Pansus ke Daerah ada masukan-masukan

untuk menyederhanakan range itu, disini A sampai G, memang jumlah kursi mungkin hanya tiga atau em pat ini bagaimana pandangannya tentang ini.

HARDISOESILO/F-PG: lnterupsi sedikit lbu boleh lbu, mau bertanya kepada Pimpinan, tadi Bapak Ferry

mengatakan kunjungan ke Daerah, padahal saya dan Bapak Abdillah Toha mengatakan Jerman dan Amerika, apa kita tidak perlu melihat kesana, saya hanya mau Tanya saja.

Page 14: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

ABDILLAH TOHA, SE/F-PAN: Boleh tnya sedikit, Quick Count itu saya dengan di beberapa Negara dilarang, apakah

betul itu.

INDOBAROMETER (M. QODARI}: Pertama kepada Bapak Abdillah, saya kira soal Jerman tadi, karena enak saja

menyebutnya Jerman, tetapi sebetulnya banyak yang Jerman, Turki, terus kemudian !tali, dan ketika saya menyebut Jerman tadi sebetulnya referensinya lebih kepada soal Electronal Test Food, bukan kepada sistem Distrik.

Saya juga terus terang tidak setuju dengan pemberlakuan sistem distrik di Indonesia, minimal pad a saat ini karena memang masyarakat Indonesia ini sangat majemuk, berbeda dengan dimana sistem distrik ini berlaku di Negara lain yang memang masyarakat itu relatif homogen, jadi betul Bapak. Jadi, Jerman saya klarifikasi, saya tadi rever dalam konteks electronal trace hold bukan untuk pemberlakuan sistem distrik.

Mengenai harapan Bapak untuk adanya penyederhanaan fraksi sebetulnya kalau electronal trace hold, ala Jerman itu diberlakukan Bapak otomatis memperoleh apa yang Bapak inginkan, karena apa, seperti yang saya katakan, katakanlah diberlakukan di Indonesia ini, minimal electronal trace hold 5% ala Jerman, maka yang mendapatkan kursi di Senayan ini hanya 7 Partai yang besar itu, yang dibawah 5% itu tidak akan dapat, jadi dengan sendirinya jumlah Fraksi itu akan menjadi lebih sederhana dan kenapa 10 per orang, itu karen a perhitungannya jumlah Komisi dan alat kelengkapan lainnya, supaya minimal di setiap Komisi dan di Alat kelengkapan itu ada perwakilan dari masing-masing Fraksi.

ABDILLAH TOHA, SE/F-PAN: Kita sebenarnya bisa membatasi jumlah Fraksi tanpa harus membatasi jumlah Anggota

DPR. Tidak harus melalui pembatasan Anggota DPR.

INDOBAROMETER (M. QODARI): Tetapi begini Bapak, akan lebih mudah kalau satu Fraksi itu berasal dari satu Fraksi yang

sama, jadinya tidak campur aduk. Kalau sekarang ada Fraksi-fraksi yang isinya ada dari berbagai macam latar belakang ideology yang berbeda. Saya kira nanti akan menyulitkan dilapangan mengambil keputusan. Jadi saya ingin aspirasi itu bersifat koheren. Jadi, Fraksi itu merupakan satu kesatuan dari sebuah dasar pemikiran yang koheren, kalau didalamnya banyak menjadi terlalu berwarna-warni.

Ketiga, soal paradoks, paradoks yang Bapak katakan tadi akan tercipta kalau memang Pemilu yang kita jalankan itu seperti sekarang, dimana Pemilu Legislatif dulu baru Pemilu Presiden. Oleh karena itu sekarang kita agak radikal, jadi membalik Pilpres dulu baru nanti Pemilihan Legislatif. Kalau ini yang dilakukan, kalau melihat hasil survey tadi maka otomatis atau kemungkinan besar bahwa Presiden itu akan didukung oleh Partai yang nomor satu terbesar, karena partainya itu adalah partai yang mendapatkan efek tadi. ini persis persoalan yang kita hadapi, kalau bicara koalisi, sebenarnya Pemerintah ini sekarang sudah koalisi, tetapi tetap agak sulit juga, dan yang dicari itu sebetulnya kalau kita pilah-pilah menurut saya bukan Presidennya yang kuat, tetapi Pemerintahan yang mantap. Sulit menjadi mantap karena apa Presiden, Wakil Presiden suaranya partainya lebih besar, duitnya lebih banyak, orangnya lebih pro aktif dst.

Jadi, kalau misalnya nanti Presidennya datang dari Partai yang lebih besar, saya kira ini nanti akan lebih percaya diri, jadi kalau dianya sudah percaya diri, tegas, kemudian partainya juga paling besar, menjadi enak sekali, dengan partai yang besar, dengan kepribadian yang percaya diri juga sudah mantap apalagi kalau memang nanti nomor satu.

Jadi, yang ingin dibangun itu Pemerintahan yang mantap, Pemerintahan yang mantap itu apabila Presidennya berasal dari Partai yang paling besar, kedua kalaupun dia belum mendapatkan 50% maka dia akan melakuka koalisi, jadi tidak ada paradoks, jadi kita bayangkan misalnya nanti kata Bapak Hardi ada 15 partai peserta Pemilu. 15 Partai tersebut mencalonkan Presiden, kemudian akan terpilih calon presiden, katakanlah dari Partai X, maka Partai X ini ketika Pemilu Legislatif ini dilaksanakan katakanlah tiga bulan kemudian itu akan menjadi nomor satu, dst-dst. Jadi, tidak akan tercipta paradoks disini.

Keempat, soal Quick Count sekaligus menjawab.

Page 15: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

ABDILLAH TOHA, SElF-PAN: Saya lnterupsi sedikit Pimpinan, Saya ambil contoh begini, beberapa Kepala Daerah itu yang justru tidak punya partai, di

Padang, di Sumatera Barat itu Gubernurnya yang menang itu didukung oleh F-PDIP dan F-PDIP kecil-kecil di Sumatera Barat, tetapi efektif, jadi ini memang tergantung orangnya, kita ambil contoh Sutiyoso, saya tidak mengatakan saya mendukung Sutiyoso, Partainya mana dia, dia tidak punya Partai, walaupun dia dicalonkan oleh Partai besar, tetapi Pemerintah yang mantap dan kuat itu, tidak selalu harus didukung oleh Partai yang kuat, kecuali didalam sistem parlementer saya setuju.

INDOBAROMETER (M. QODARI): Saya setuju itu jadi tergantung orangnya juga, kita bicara ini selalu sistem dengan person,

ketegangan dalam ilmu sosial juga begitu, antara struktur dengan aktor itu selalu, kita ingin dua­duanya, jadi individunya juga kita harapkan yang tegas, yang bisa berkomunikasi dengan baik tetapi sistemnya juga kita siapkan yang lebih kondusif untuk itu.

Jadi mau situasinya bagaimanapun, apapun jenis orangnya, karen a Pemilihan langsung ini kita tidak sulit mengetahui, memastikan siapa yang terpilih, yang penting sistemnya kita sediakan, orangnya yang sangat tegas, sampai ke gradasi yang agak tegas itu tetap aman, mau Bapak Abdillah mau menjadi Presidennya atau Bapak Hardi, Bapak Rambe atau lbu Yuli, nanti semuanya tetap tenang. Jadi yang saya soroti disini adalah soal sistem.

Soal Quick Count, mung kin saya bandingkan dengan survey, karena survey ini juga sering disorot karena survey di publikasikan, terus muncul siapa yang kuat, kemudian yang tidak kuat menjadi tidak senang dst. Jadi Quick Count dengan survey itu sederhananya dibuat perbedaan. Pertama, kalau survey itu unit analisisnya individu, jadi orang ditanya kalau Pemilu hari ini anda pilih siapa, kalau Pilkada hari ini anda pilih siapa, kalau Quick Count itu TPS, hasil perhitungan suara di TPS. Kedua, survey itu obyeknya adalah pendapat, kalau Quick Count itu suara, kalau dia opini, dia dinamis, dia masih bisa berubah, suara saya sekarang dengan enam bulan yang akan datang itu bisa bergeser, tetapi kalau Quick Count karen a dia suara dan sudah dicoblos, tidak bisa berubah dia, tidak bisa misalnya saya coblos, kemudian lima menit saya berubah lagi ke TPS. Karena itulah kemudian ketiga, yang namanya survey itu dia ada kemungkinan berubah-ubah naik turun, kalau yang namanya Quick Count itu tidak berubah-ubah natik turun. Keempat, yang namanya survey itu dia hasilnya pada saat ini bisa berubah dengan hasil final, misalnya survey sekarang, terus dibandingkan dengan hasil Pemilu tahun 2009, jaraknya satu setengah tahun itu bisa berubah, misalnya sekarang F-PDIP nomor satu, bisa jadi nanti nomor dua, F-PAN di bulan Agustus nomor lima, bisa jadi tahun berikutnya naik nomor empat, nomor satu misalnya. Jadi ini bisa berubah, kalau Quick Count itu tidak akan berubah, karen a itu tadi dia sudah final. Exit pol itu lebih mirip survey tetapi responden yang diwawancarai itu orang yang baru keluar dari nyoblos, kalau yang survey sebelum Pemilu itu dia Populasi, jadi semua orang yang punya potensi untuk memilih itu punya peluang yang sama untuk memilih, ada mekanisme untuk memilih siapa sebagai calon responden. Exit pol itu lebih mirip survey, jadi biasanya untuk mengetahui orang-orang tadi itu alasannya apa, bisa juga untuk memproyeksikan suara, tetapi biasanya lex akurat, karena pernyataan orang bukan perhitungan suara oleh TPS.

Kalau di Negara-negara lain yang saya tau ada pelarangan itu survey, terutama publikasi survey pada masa minggu tenang, dengan asumsi itu akan mempengaruhi pilihan, tetapi sebetulnya sangat tergantung kita menyikapi hasil survey itu seperti apa. Kalau kita menyikapi hasil survey itu dengan kepala dingin dan saya yakin itu survey adalah kredibel yang melakukan juga orang yang juga kredibel, orang yang bisa dipercaya, itu akan sangat membantu strategi partai yang bersangkutan, apalagi bila dilakukan jauh-jauh hari.

Jadi, kalau misalnya ada temuan survey tahun 2003 begitu, Bapak Amien Rais masih kalah, kalau beliau mengatakan kok masih kalah, berarti masih banyak yang harus dikerjakan dan dari survey itu kemudian dipanggil, kenapa saya masih kecil dicari tau sebab-sebabnya, mungkin dia masih punya waktu untuk memperbaiki. T eta pi sayangnya tahun 2003 itu kami datang ke Amien Rais tetapi Bapak Amiennya tidak datang. Bapak SBY pada waktu survey pertama itu belum nomor satu terus problem Bapak adalah di tingkat pengenalan, kalau misalnya tingkat pengenalan Bapak masih sama dengan calon Presiden yang lain, kemungkinan Bapak nomor satu, maka dia nomor satu. Lembaga Survey bisa saja memainkan peran sebagai lembaga politik, tergantung data itu mau digunakan untuk apa.

Page 16: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

Saya mau tambahkan satu Bapak, Bulan Mei tahun 2004 Bapak Wiranto meminta kita untuk survey terus kita lihat hasilnya, SBY sudah jauh didepan, lalu Megawati lalu Wiranto, beda Megawati dengan Wiranto itu tipis, karena yang meminta Bapak Wiranto, kita laporan dengan timnya Wiranto, Bapak temuan survey kami sementara seperti ini. Pilkada, Pemilu Presiden bulan Juli, kalau mau mengejar menjadi nomor satu tidak bisa Bapak karena terlalu jauh, kira-kira berdasarkan hitungan waktu, selisih, jarak dll, tetapi SBY belum 50%, tetapi masih ada kemungkinan putaran kedua. Yang penting sekarang ini, kalau Bapak mau masuk ke putaran kedua itu melewati Megawati, dan itu tipis selisihnya, saya tidak tau bagaimana dinamikanya. Tetapi kalau dilihat pada tahun 2004 itu Megawati dan Wiranto itu tidak jauh hasilnya 24 dan 22, jadi antara Bulan Mei sampai ke Bulan Juli, Bapak Wiranto gagal mengkapitalisasi informasi yang dia cari, dia mintakan kepada kami.

Jadi, sebetulnya sangat tergantung bagaimana kita menyikapi data itu, jadi kalau misalnya menyikapi dengan Kepala dingin oh ya ini informasi memang saya masih kalah, dicari tau informasi kenapa, itu justru informasi yang masih sangat berharga.

Jadi kalau Quick Count belum pernah dilarang, yang pernah dilarang itu yang sudah ada setau saya survey, tetapi itu pada masa minggu tenang, kalau bisa jangan dilarang, karena survey itu maksud dan tujuannya untuk menangkap aspirasi masyarakat, bahkan di Negara-negara Demokrasi yang sudah mapan, survey itu disebut sebagai pilar kelima demokrasi, karena dia menangkap, ikut membantu elit politik menangkap apa maunya masyarakat kita. bisa saja dengan cara-cara yang lain, tetapi salah satu caranya dengan survey ke masyarakat apakah puas atau tidak puas dengan Pemerintahan sekarang ini. kalau tidak puas maka Pemerintah harus berbenah. Kalau ditanya mau pilih partai apa, ternyata partai saya masih belum mencapai target, berarti harus berbenah, itu soal Quick Count.

HARDISOESILO/F·PG: Kalau begini bagaimana Bapak Qodari, ini saya ingin tanya secara sederhana saja, saya

rasa tidak benar kalau kita melarang survey, kalau bermanfaat saya setuju dengan Saudara Qodari, tetapi survey itu kalau diumumkan itu yang kadang-kadang merepotkan, tetapi kalau survey itu atas dasar pesanan dari Partai tertentu, atau calon tertentu, saya rasa tidak ada hak sama sekali untuk melarang, tetapi ketika dia diumumkan itu memang seakan punya pengaruh. Contoh DKI ini bukan survey tetapi hampir sama seperti survey, tiba-tiba di koran besar-besaran intel China, intel ini mengatakan Bapak Adang Menang, itu saya menjadi tidak pergi ke Luar Negeri, jadi saya mati-matian disini. Apakah kalau survey diumumkan, lalu akan terjadi semacam itu bagaimana itu.

INDOBAROMETER (M. QODARI): Tergantung teori yang di pakai jadi dalam ilmu komunikasi itu ada dua teori yang agak

berseberangan. Pertama, teori jarum epidermis, dia mengatakan informasi yang disampaikan kepada orang, kepada individu, kepada organisasi, itu diterima, akan ditelan dan akan dijadikan apa adanya, jadi kalau diberitahu survey si itu nomor satu. Jadi apa yang dimasukkan, disuntikan, itu yang terjadi, tetapi ada juga yang mengatakan mahzab yusus and creatification, jadi orang menggunakan data, informasi, sesuai dengan kebutuhannya. Kalau orang sudah ngefans dengan Bapak Amien Rais menurut hasil survey Bapak Amien Rais itu kalah dia justru akan mengatakan itu survey-nya tidak benar, saya tetap yakin Bapak Amien Rais akan menang. Sekedar ilustrasi kalau yang namanya survey itu mempengaruhi hasil Pemilu dan Pemilihan Presiden mustinya maaf yang nomor satu di saya ini adalah PKS, karen a apa salah satu survey yang intens waktu itu publikasinya di media massa, di televisi-televisi itu adalah survey poling di televisi, di SCTV setiap habis Liputan 6 Petang, Rosiana Silalahi akan mengatakan berikut ini akan ada poling, silahkan kirim pilihan anda. Rekaman di SCTV Bapak bisa lihat, setelah tahun 2004 itu perolehannya 40% nomor satu, nyatanya nomor berapa, nomor enam, dapat berapa 7,3%. Sementara F-KB suaranya buntu sekali, karena apa, pertama F-PKS itu mobilisasi yang kedua dia sudah punya handphone. Orang NU boro-boro punya, lihat handphone saja belum pernah.

Jadi Bapak kalau menurut saya pengalaman saya, itu orang NU yang pertama dikampungnya punya handphone. Jadi kalau berdasarkan pengalaman itu, hemat saya tidak terjadi ... untuk survey. Kalau untuk Pemilu kenapa itu ada efek, sekian kali Pemilu kita pada era demokratis ini sudah dilakukan penelitisan pelaku Pemilih, apa alasannya, kalau pakai teori -teori jaman dulu waktu belum ada pemilihan langsung orang mengatakan bahwa teori yang paling

Page 17: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

beken adalah teori Cliportgen, orang memilih berdasarkan aviliasi agama, kalau di santri, dia NU, dia kira-kira pilih F-KB atau milih partai NU, kalau di santri, dia modern is dia akan pilih Masyumi atau F-PAN, kalau dia abang dia akan pilih PKI, kalau dia PKI akan pilih PNI. Berbagai macam variable, itu ternan-ternan saya sendiri juga sudah pernah, beberapa kali survey, beberapa kali Pemilu, kita melakukan penelitian, ternyata variable yang paling kuat dalam menentukan dukungan masyarakat, itu di Indonesia adalah factor Pemimpin, kesukaan, aviliasi kepada Pemimpin.

Kalau partai mau cepat besar, paling tidak dia mempunyai tokoh kaliber nasional, tidak jauh-jauh Bapak, kemarin saya mengisi seminar Anggota DPRD, dari Jakarta ini di Daerah, sering saya isi seminar seperti itu, saya tanya waktu membahas partai-partai, PDIP apa kepanjangannya, padahal Anggota DPRD anggota partai tidak tau PDIP, tetapi waktu saya sebut Hanura pada semua tau, karena Hanura punya Wiranto yang tokoh tingkat Nasional, tetapi kalau PDIP agak terbatas, laksamana untuk kita sangat terkenal, tetapi masyarakat di Daerah kita tidak tau, tidak kenai. ltu yang menjelaskan kenapa tahun 1999 PDIP tiba-tiba besar karena Megawati, PKB partai baru besar karena Gusdur, tahun 2004 Partai Demokrat bukan apa-apa tiba-tiba menjadi nomor lima karena ada faktor SBY.

Jadi agak beda ininya, prinsip atau mekanismenya, pengalaman saya mudah-mudahan kalau survey itu itu agak terbatas. Tambahan lagi begini orang milih partai, itu pertama-tama bukan karena saya dengar dari ternan-ternan saya atau saya baca koran bahwa yang bakal menang adalah partai ini atau Presiden ini, calon Presiden paling enak, dalam teori pemilih ada tiga alasan besar orang memilih Presiden itu. pertama, karena alasan sosiologis, kedua, alasan kepribadian, ketiga, alasan rasional, alasan kompetensi.

Pertama, ada orang mengatakan kenapa milih Bapak Yusuf Kalla karena saya orang Sulawesi, jadi saya Bapak Yusuf Kalla, kenapa memilih Bapak Hamzah Haz, karena dia tokoh Islam darimana tandanya, karena Pecinya miring. Ada juga saya bukan milih Bapak Yusuf Kalla karena dia orang Sulawesi, karena menurut saya orangnya jujur, kepribadian, dia orangnya terbuka misalnya, kenapa memilih Bapak Wiranto karena tegas, kenapa pilih Bapak Amien Rais, karen a jujur. Ada juga orang milih Yusuf Kalla bukan karena dia orang Sulawesi, bukan karena dia ngomongnya terbuka, menurut saya persoalan Indonesia ini adalah Ekonomi dan yang bisa menyelesaikan adalah orang ekonomi dan Yusuf Kalla mengerti masalah ekonomi. Pengalaman saya alasan .... lni makin kecil-makin kecil, karen a masyarakat kita cukup pintar, cukup pandai.

Kalau dikembalikan ini, oh saya pilih PAN, bukan karena Amien Rais itu di poling itu nomor satu, jadi di poling SCTV, putaran pertama itu Amien Rais nomor satu karena dibelakangnya ada PKS, saya pilih Amien Rais bukan karena di polling dia nomor satu atau di SCTV, tetapi menurut saya di Indonesia ini masalahnya adalah kejujuran dan tokoh yang paling jujur diantara semua calon Presiden itu adalah Bapak Amien Rais, bahwasannya proporsi orang yang mementingkan kejujuran itu lebih kecil dari yang mementingkan dari yang lain, itu hal yang lain lagi. Ada banyak alasan orang memilih calon Presiden atau milih Partai diluar melihat hasil survey.

Soal dari Bapak Hardi mengenai Daerah Pemilihan, jadi dari Golkar mengusulkan tiga sampai enam. Menurut saya kalau dilihat dari hasil survey tadi, sebenarnya tiga, sampai tujuh, delapan itu memang masih mengakomodasi yang tujuh besar ini. Tetapi ada dua Partai yang perolehannya di Indonesia ini merata, Golkar dan PDIP, boleh dikatakan dimana-mana dua partai itu dapat dua suara. Terlebih lagi Golkar, itu dapat dilihat kemampuannya untuk mengajukan calon Pilkada. Yang rata betul adalah Golkar terus yang agak loncat itu adalah F-PDIP terus kemudian yang loncat betul adalah yang lain-lainnya. Kalau dia enam sampai tujuh kita melihat hasil survey tadi, itu kelihatannya yang tujuh ini masih cukup kebagian porsi Golkar dan PDIP, kalau Golkar dan PDIP kebagian satu sampai dua itu, kalau hanya tiga, itu sulit yang lain-lainnya itu. Jadi dua dari tiga itu pasti pernah keambil Golkar dan PDIP, tetapi kalau misalnya enam, tujuh sampai delapan itu mungkin masih bisa kebagian semua.

Syarat Peserta Pemilu masih berat lagi, jadi mau dipasang semacam barrier to entry, tergantung lagi kedepan tujuannya apa, kita akan membangun sistem yang penuh keterwakilan atau lebih berat kepada efektivitas. Kalau memang lebih berat kepada efektivitas maka sistem memang harus sederhana. Supaya sistem sederhana, sebelum bertarung sudah dibuat aturannya, ini berkaitan dengan Pansus yang satunya, pansus Undang-undang Partai Politik. Menurut saya orang di Indonesia ini jangan terlalu berat membuat Partai Politik karena kita terus membutuhkan informasi, pergolakan pemikiran, usulan-usulan, ide-ide dst. Jadi membuat partai itu sebisa mungkin diperingan saja, jadi kalau dia mau masuk Pemilu itu baru bisa diperberat. Hak berserikat dan berkumpul, jadi hak berserikat dan berkumpul itu salah satu hak azasi man usia dan itu disebut

Page 18: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

dalam Undang-undang kita, termasuk berserikat dan berkumpul itu adalah membuat partai. Jadi membuat partai itu seharusnya dibuat syarat yang sederhana tetapi untuk Pemilu karena membangun sistem yang lebih efektif dst itu bisa diperberat, mudah-mudahan bisa masuk ke ternan yang ada disana.

Electronal trace hold, ini karen a Golkar yang menyatakan jadi memang ada over confiden, jadi dia ingin mengabungkan an tara praktek di Indonesia dengan di Jerman, sekarang .... Dua­duanya, jadi sudah Partai itu kalau tidak sampai 5% tidak mendapat kursi, dia juga harus dibunuh, ini kejam sekali, oh jadi tidak harus bubar Partainya, tetapi bergabung di DPR. Boleh saja itu kembali ke diskusi Bapak Abdillah tadi yang ingin jumlah yang lebi sederhana. Kalau Bapak ingin mengatakan tadi PAN harus gabung ini. Jadi Partai itu tidak harus membubarkan diri, dia kalau gagal electronal trace hold cukup itu saja sudah. Kalau sudah tidak kebagian kursi tergantung seberapa panjang nafas dia, kalau dia memang serius maka dia kejar terus sampai kemudian pelan-pelan dia bisa naik .

. .... Saya kira Rancangan Undang-undang ini tidak membatas jumlah Partai, tetapi membatasi

peserta Pemilu, jumlah Partai sampai 2.000 juga boleh.

INDOBAROMETER (M. QODARI): Tetapi begini Bapak draft Pemerintah, draft yang sekarang lebih berat, harus punya

perwakilan di 50 Partai, itu lebih berat daripada Undang-undang sebelumnya. Jadi di Pansus yang satunya perlu disampaikan hal ini.

Soal BPP, Pemilu itu milik Partai, saya lihat redaksi persisnya di Undang-undang Dasar, tetapi kalau saya pribadi Pemilu itu bukan memilih Partai, Pemilu itu memilih wakil Rakyat, bahwa Wakil Rakyat itu melalui Partai Politik, itu satu hal, ini sudah jelas, yang ikut itu partai, juga ada calonnya, jadi ada syarat-syarat calon, calon harus memperoleh suara tertentu, berarti kita dua­duanya harus seimbang ini, bukan hanya partai saja, tentu masyarakat maunya calon yang berkualitas, dia bukan tidak mau, justru ini sebenarnya hal yang kita coba perbaiki, kalau dulu hanya mengandalkan partai saja, dia bagus atau tidak bagus urusan belakangan, saya kira sekarang ini partainya bag us, calegnya juga bag us, jadi calegnya juga harus diperkuat.

Dari Bapak Ferry soal Daerah Pemilihan, Dapil ditetapkan oleh KPUD, menurut saya sulit, kalau dibahas di ruangan ini, dengan sekian banyak Daerah Pemilihan, total Dapil di Indonesia tahun 2004 sekitar 2040, tidak mungkin 2040 itu bisa terbayang dibelakang meja. Sekarang ini didalam draft itu ada aturan untuk pemilihan Anggota DPRD Provinsi, bahwa harus dialokasikan minimal setiap Kabupaten itu satu kursi, selanjutnya DPRD Kabupaten/Kota minimal satu Kecamatan dialokasikan satu kursi didalam draft Pemerintah itu. saya tidak tau jangan-jangan dilapangan ada yang tidak sesuai itu. Jadi nanti ada Kabupaten yang dapat 20 kursi terus kemudian Kecamatannya lebih dari 20 atau kebagian 30 kursi, kecamatannya lebih dari tiga puluh, mau dikemanakan itu. karena itu menurut saya Daerah Pemilihan itu harus ditetapkan oleh Pansus, harus diselesaikan oleh Pansus, untuk hal apakah itu berat atau tidak berat, stu hal berat memang harus diselesaikan daripada membuat persoalan ditempat yang lain.

Kedua, ini soal strategi, mungkin pembahasan tentang Daerah Pemilihan ini dikedepankan ketimbang Daerah yang lain, dari sekian DIM nanti itu ditetapkan dan kalau sudah ditetapkan mulai disuruh bekerja Depdagri, untuk apa ada Pemerintah Depdagri, Pegawai Seabreg-abreg itu, disuruh bantuan ngitungin, jadi mereka sudah bisa mulai menyiapkan simulasi itu.

DRS. FERRY MURSYIDAN BALDAN/F·PG: Saya kira hal yang penting adalah karena Daerah Pemilihan menjadi bagian dari

perangkat penyelenggaraan Pemilu, tidak bisa kita mengeluarkan tahapan, jadi nanti kita ini menempatkan posisi KPU ini sebagai penyelenggara dari mulai dia menetapkan tahapan awal sampai akhir, kewenangan dia penuh, kita bangun kontruksi seperti itu, jadi kalau itu dikeluarkan, saya khawatir jangan-jangan ini menjadi tidak konsisten. Kita mau rentang, bagaimana dia menetapkan TPS, segala macam, disana kita kumpulkan semua perangkat, menurut saya, saya bisa mengerti apa yang disampaikan Bapak Qudori itu adalah suatu batasan berapa kira-kira Rancangan di Daerah Pemilihan Provinsi untuk DPR-RI, untuk Pemilu DPRD Provinsi itu bisa, tetapi Kabupaten mana nanti yang digabung itu biar menjadi kewenangan KPU, itu ada aspek- ·

Page 19: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

aspek teknis, karena kalau dilemparkan lagi ke Depdagri ini yang kita tidak mau sebetulnya, bukan lagi kewenangan Pemerintah.

KETUA RAPAT: Ada yang sudah maju barangkali dari Bapak Fery, mungkin kita akan sebutkan

Kabupatennya, tetapi sudah ada Rancangan misalnya untuk Provinsi ini kira-kira Daerah Pemilihannya, kira-kira setahap itu Bapak Ferry.

DRS. FERRY MURSYIDAN BALDAN/F-PG: Kalau sudah sepakat dengan jumlah kursi 36 oke kita.

INDOBAROMETER (M. QODARI): Bapak dan lbu sekalian, Saya kira itu karena waktunya, saya kira sudah sampai disini. Terima kasih.

TJATUR SAPTO EDY, MT/F·PAN: Terima kasih Pimpinan, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Ada sedikit Bapak Qudori, saya dari PAN baru sembilan tahun belum empat puluh tahun.

Ada beberapa hal yang akan saya mintakan pendapat. Selama dua setengah tahun saya di DPR ini menu rut saya antara Pemerintah dan DPR ini jomplang menu rut saya, tidak seimbang kualitas antara Pemerintah dan DPR, jadi didalam Rapat-rapat Komisi di Panitia Anggaran. Anggota DPR itu rata-rata tidak bisa mengimbangi dalam diskusi pembahasan dengan Pemerintah. lni pikiran pribadi ini, wartawan ini Sarjana semua, Pegawai Negeri juga Sarjana. Misalnya kalau kualitas Anggota DPR itu ditingkatkan dari segi pendidikan, jadi persyaratan untuk calon, misalnya SMU menjadi Sarjana atau kalau mau di perkecil lagi Sarjana Universitas Negeri. ltu bagaimana pendapat Bapak Qudori.

Kedua, ini kita juga super sibuk di DPR ini dari 550 itu tugasnya setelah dibagi macam­macam itu satu Anggota Dewan dibagi berbagai Pansus itu yang bisa ini Bapak lnya ini juga di Panitia Anggaran ini, di Komisi juga ada kerjaan, ini 550 tadi tidak ada dasarnya. Bagaimana kalau ada usulan-usulan membuat formula, selain kerjaan di DPR kemudian dipetakan, sebetulnya berapa yang ideal Anggota DPR kita itu. kalau yang bisa mengerjakan ini ditambah-tambah kerjaan ini.

Ketiga, saya setuju dengan apa yang disampaikan Bapak Qudori yang urusan terbuka itu, saya punya beberapa data bahwa orang yang popular seperti Adji Massaid, Dede Yusuf itu suaranya tidak terlalu tinggi, di PAN itu suaranya tidak terlalu tinggi Dede Yusuf, sama saya kalah suaranya. Jadi ini memang tidak berbanding lurus antara kepopuleran di masyarakat dengan political choice .

. ....... Tidak usah jauh-jauh di Jakarta Zainuddin MZ, kurang berapa terkenalnya tetapi tidak

terpilih.

TJATUR SAPTO EDY, MT/F·PAN: Terus yang terakhir, soal Quick Count ini masing-masing data, ini data-data yang

dikumpulkan memang dimasukkan sebetulnya bisa juga kalau kita mau mengiring opini bisa juga, kata-kata yang sesuai dengan selera kita disitu, yang tidak maka tidak, makanya yang dikhawatirkan Bapak Abdillah itu seperti itu. Makanya begitu lbu Megawati datang ke KPU maka naik itu suaranya.

KETUA RAPAT: Kalau tadi Bapak Qudori mengatakan Pemilu Legislatif dulu, artinya eksekutif dulu baru

legislative, sehingga bisa ada Partai Politik yang menang, sekarang kita tarik ke eksekutif yang pusat Presiden, ternyata tidak terbukti dengan eksekutif Pilkada, semua banyak Parpol pemenang di Daerah tersebut, Bupatinya atau Gubernurnya juga terpilih.

Page 20: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

INDOBAROMETER (M. QODARI): Karena memang mekanisme di Indonesia ini berbeda dengan, mohon ijin Bapak mengutip

Amerika Serikat. Kalau di Amerika Serikat pemilihnya sudah sangat terkonsolidasi, jadi ada yang namanya konsep party idea. Jadi salah satu cara untuk memenangkan Pemilu itu adalah selain dengan membuat program yang kreatif adalah memaintaince yang sudah dimiliki. Party idea di Indonesia itu sangat lemah dan itu sangat dipahami, karena apa, karena kita baru memasuki sistem yang sekarang, tadi kurang 10 tahun, baru 9 tahun. Jadi party idea di kita itu sangat kurang sekali . itu juga yang menjelaskan kenapa saya milih Golkar misalnya, tetapi waktu Pemilu Presiden saya memilih PAN atau misalnya waktu Pemilu Daerah waktu Legislatif saya memilih PAN tetapi waktu Pemilihan Kepala Daerah saya memilih PDIP, karena party idea saya lemah. Kalau di Amerika siapapun yang dimajukan Presiden dari Demokrat, si Tuyul walaupun itu, akan terpilih Tuyul itu, sistem ke-Partaian disitu lebih berakar dibandingkan kita, bahkan sampai ke sifat, disini belum tercipta bahwa saya adalah seorang PAN, itu belum menjadi kata sifat. ltu yang ditunjukkan pada Pemilu 1999-2004, pada tahun 1999 ada 5 Partai besar, teorinya tahun 2004 justru menjadi empat tetapi justru menjadi tujuh, karena masyaraat sangat politial dan ada kesukaan pada Pemimpin. Jadi begitu muncul tokoh baru, yang tidak mempunyai party idea pindah begitu cepat. Jadi tidak terjadi di Indonesia, salah satu syarat disukai itu adalah ganteng. Kenapa di Indonesia tidak terjadi, karena yang terjadi Pemilu legislative dulu baru,mirip lbu kalau Pilkada itu seperti Pemilihan Presiden, Legislatif baru Pilkada, jadi Legislatif dulu baru kemudian eksekutif. Jadi tidak terbangun mekanisme seperti itu.

Mekanisme yang terbangun di Indonesia terbalik, orang suka dengan tokoh milih Partai, kalau di Amerika suka Partai baru milih tokoh, jadi itu konselarasinya.

Soal kualitas Pemerintah dan DPR yang njomplang, mungkin pendidikan bisa menjadi salah satu variabelnya, tetapi bisa juga variable berikutnya yang anda sebut dan daritadi saya tanyakan dari mana angka 560 itu, kalau 550 ke 560 ini akibat hitung-hitungan supaya jangan mengurangi kursi di Irian Jaya dan Irian Jaya Barat dan Aceh, yang politically in correct . tetapi kalau memang dirasakan dengan 550 itu dengan beban begitu besar, kemudian seseorang harus menjadi katakanlah split personality seperti sampean, dari sana ke sini bahkan kesana lagi dan terasa begitu berat bebannya. Mungkin bukan 550 tetapi barangkali 1.000, barangkali 1.500. sama juga dengan DPR, dari mana angka 30, dari mana angka 90. ltu alasan kedua.

Alasan ketiga yang saya kira lebih realis adalah memang back-up sistem terhadap Anggota Dewan masih jauh. Anggota DPR itu Staffnya berapa, Pemerintah itu berapa pasukannya, sangat njomplang karena lebih pada variable yang ketiga ini. Menurut saya ketika saya baca Anggota Dewan, itu sebetulnya generalis, jadi yang penting bagi seorang itu adalah dia memang memiliki kemampuan untuk mewakili masyarakat dan dipercayai oleh masyarakat. jadi jangan sampai pendidikan itu menghambat orang yang punya kemampuan untuk mengartikulasikan aspirasi masyarakat untuk bisa terpilih. Kalau kita melihat Piramida orang Indonesia yang pernah kuliah itu hanya 4% sampai 5% dari Penduduk Indonesia. Mayoritas terbesar itu adalah begini SO, SMA itu kalau tidak sa!ah sekitar 10%. Saya kira di Indonesia kalau dikaitkan dengan macam­macam alasan, tetapi kalau dikaitkan dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia, pemberlakuan syarat Sarjana untuk menjadi Anggota Dewan itu masih rasanya belum terlalu fair. Kemudian njompang itu bukan alasannya personal! tetapi juga ada alasan lain-lainnya.

Saya kira itu pandangan saya, 550 kenapa menjadi 560. dibanyak Negara pilihan sistem Pemilu Anggota Dewan itu adalah warisan sejarah, jadi kenapa seperti ini, karena dulu seperti itu, dan ini yang terjadi di Negara kita, kenapa proporsional karen a dari jaman orde baru kita memakai sistem proporsional. Dulu waktu tahun 1999 sempat ada pemikiran untuk menggunakan alternatif yang lain. Seingat saya tim tujuh, kalau tidak salah sempat mengarah pada sistem campuran, tetapi kemudian di tolak oleh DPR pada waktu itu. saya pikir kalau kita berpikir jangka panjang, kita ingin setiap tahun merubah Paket Undang-undang Politik, sementara tidak pernah tiap tahun Program Legislasi Nasional tercapai, bagaimana mau tercapai, mengulang lagi yang itu, Undang­undang yang lain tidak ke pegang, jadi kalau mau jangka panjang memang, makanya saya berangkat dari apa masalah-masalah sikap politik kita. kalau masalahnya A, B, C, D dst berangkat dari situ, kita membuat usulan-usulan solusi.

Saya kira itu. Terima kasih.

Page 21: DEWAN PERWAKILAN RAKYATberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180420-084101-5560.pdf · REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN

KETUA RAPAT: Saya rasa cukup ya, karena yang hadir hanya dua Fraksi, empat F-PG, dan tiga F-PAN

diskusinya. Mungkin kita ucapkan terima kasih kepada Mas Qudari dari lndobarometer atas masukan­

masukannya yang cukup menarik dan menambah wawasan kita, dan mungkin Fraksi-fraksi ini sedang sibuk membuat DIM, yang sudah DIM-nya selesai ini hadir disini, yang DIM-nya belum selesai mungkin sudah pulang menyelesaikan DIM-nya.

Saya mengucapkan terima kasih, atau kita sudah jadi DIM-nya baru kita rubah. Saya ucapkan alhamdullilahirobilalamin, kita tutup.

(RAPAT DITUTUP)

Jakarta, 06 September 2007 a.n. Ketua Rapat

Sekretaris,

SU ROSO, SH NIP.210000661