Develop SERI1

Embed Size (px)

Citation preview

DAFTAR ISI Pengantar David Simon Adebayo Adedeji Reginald Cline-Cole Anil Agarwal Tim Forsyth Elmar Altvater Henning Melber Samir Amin M.A. Mohamed Salih A.T. Ariyaratne Lakshman Yapa Jagdish Bhagwati V.N. Balasubramanyam Piers Blaikie Jonathan Rigg James M. Jim Blaut Ben Wisner Norman Borlaug Katie Willis Ester Boserup Vandana Desai Harold Brookfield John Connell dan Barbara Rugendyke Fernando Henrique Cardoso Roberto Snchez-Rodrguez Michael Cernea Anthony Bebbington Robert Chambers Michael Parnwell Hollis B. Chenery Juha I. Uitto Diane Elson Sylvia Chant Andre Gunder Frank Michael Watts Paolo Freire Anders Nrman John Friedmann Gary Gaile Mohandas (Mahatma) Gandhi Rana P.B. Singh Susan George Cathy McIlwaine

Alexander Gerschenkron Robert Gwynne Gerald K. Helleiner Christopher Cramer Albert O. Hirschman John Brohman Richard Jolly Jo Beall Charles Poor Kindleberger Jan Toporowski Sir William Arthur Lewis Morris Szeftel Michael Lipton John Harriss Reverend Thomas Robert Malthus W.T.S. (Bill) Gould Mao Zedong Ton van Naerssen Karl Marx Richard Peet Manfred Max-Neef Rita Abrahamsen Terence Gary McGee John P. Lea Gunnar Myrdal Sarah Radcliffe Kwame Francis Nkrumah Alfred Babatunde Zack-Williams Julius Kambaragwe Nyerere Dani W. Nabudere Ral Prebisch Cristbal Kay Walter Rodney James Sidaway Walt Whitman Rostow Ulrich Menzel E.F. (Fritz) Schumacher Tony Binns Dudley Seers Arturo Escobar Amartya Kumar Sen Stuart Corbridge Vandana Shiva Brenda S.A. Yeoh Hans Wolfgang Singer John Shaw

Joseph Stiglitz Ben Fine Paul Patrick Streeten Francis Wilson James Tobin David Simon Mahbub Ul Haq Marcus Power Eric R. Wolf Reinhart Kler dan Tilman Schiel Peter Worsley Ronaldo Munck Tentang kontributor 281 Indeks 291 PENGANTAR Ajakan untuk menyunting buku ini terbukti sangat menarik, meskipun terdapat beberapa komitmen editorial lain yang bersamaan. Yang pertama, keyakinan Routledge pada pasar dengan titel studi pembangunan dalam seri yang mantap dan sukses, yang menjangkau banyak bidang studi dan riset adalah membahagiakan. Lebih terutama lagi, saya merasakan kesempatan untuk menangani kesenjangan yang sudah lama dirasakan dalam literatur studi pembangunan, yakni referensi karya biografi dengan kualitas baik yang membawa bersama-sama tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai bagian disiplin. Justru karena sifat inter-(dan untuk tingkatan tertentu tetapi masih belum memadai multi-) disiplin, sebagaimana juga teori maupun kebijakan yang sangat diuji, yang keduanya telah berevolusi dengan cepat dalam bidang yang masih muda ini. Studi pembangunan dengan mengherankan masih memiliki pusat atau inti yang belum berkembang. Dengan konsekuen, terdapat pemahaman yang kurang mengenai peninggalan bersama atau kelompok yang disepakati luas tentang tokoh dan personalitas terkemuka daripada, misalnya, pada bidang yang sudah lama berdiri.

Lagipula, mayoritas riset akademik dan pengajaran masih berlangsung di dalam disiplin tradisional, fitur yang baru-baru ini diperkokoh di Inggris dan beberapa negara Eropa lain sebagai hasil penilaian riset terhadap disiplin yang ada saat ini dan audit budaya pada tahun-tahun perampingan dan rasionalisasi dalam pendidikan yang lebih tinggi secara keseluruhan. Lembaga-lembaga multidisiplin atau pusat-pusat studi pembangunan dibentuk di berbagai negara di tengah optimisme dari tahun 1960-an dan awal 1970-an, tetapi keberuntungan mereka yang berikutnya menjadi bercampuraduk. Di Amerika Serikat, keutamaan disiplin akademik konvensional tidak pernah diuji dengan serius. Pada tingkatan yang lain, bidang pembangunan sudah lama dirundung oleh perpecahan nyata kota versus gaun di antara para akademisi dan praktisi. Polemik Michael Edwards (1989) mencerminkan dan memperburuk perasaan perpecahan itu, tetapi mengerjakan fokus perhatian pada problem. Walaupun dia memperlunak pandangannya hanya dalam beberapa tahun (Edwards 1993, 1994), menunjukkan kemajuan pesat menuju perbaikan relasi yang telah dibuat, pada sekitar dekade terakhir dengan meyakinkan terlihat lebih tersebar interaksi dan kolaborasi, menghasilkan penyempitan signifikan atas perpecahan. Membuktikan vitalnya bidang ini, banyak buku-buku teks dan ikhtisar karangan ilmiah ringkas baru-baru ini telah berusaha mengejar pesatnya perubahan dunia pasca-Perang Dingin dan perdebatan sengit mengenai makna dan masa depan pembangunan. Namun, meskipun pertanda nasib buruk pada akhirnya, dan apakah kita lebih menyukai untuk mengindikasikan perspektif kontemporer dengan makna prefiks seperti anti- atau pasca-, atau untuk membentuk kembali dan meremajakan istilah pembangunan itu sendiri, tentu saja banyak berlangsung perdebatan teoritis, riset yang secara konsep sulit dan dinamisme dalam praktik yang digerakkan kebijakan.

Dengan demikian, seri ini bertujuan membuat kontribusi substansial melalui pencerminan berpengetahuan mengenai kehidupan dan karya pemikir serta pelaku yang kemungkinan berkembang di masa depan dalam bidang studi pembangunan yang didefinisikan secara luas. Peringatan ke-50 pidato Empat Poin Presiden Truman di tahun 1999 ditandai oleh beberapa karya yang berhubungan dengan masa lampau sekaligus prospektif. Buku ini akan melanjutkan tren tersebut, memeroleh dorongan oleh beberapa kematian tokoh terkemuka baru-baru ini, dalam sebagian kasus merupakan sosok yang sangat kontroversial, seperti Walt Rostow, Charles Kindleberger dan James Tobin. Sebagaimana sebagian dari mereka yang terakhir bertahan pasca-Perang Dunia II mendorong pembangunan negara-negara baru yang independen, berlalunya mereka juga menyimbolkan perubahan generasi yang telah berlangsung dalam studi pembangunan. Tantangan tersulit dalam memproduksi buku ini datang dari permulaan: bagaimana untuk menyempitkan daftar panjang hampir 200 nama yang saya catat dalam waktu sangat singkat menjadi hanya tersisa 50? Dengan cepat menjadi jelas bahwa tidak ada konsensus universal akan dicapai, tanpa memandang pilihan akhirnya. Bahkan, ini dikonfirmasikan melalui proses konsultasi dengan para sahabat, kolega, penerbit dan usulan-usulan selanjutnya dari para penengah proposal untuk judul ini. Dalam mencapai daftar final, saya tidak meragukan telah menghasilkan beberapa keputusan yang membuat sebagian orang terkejut. Beberapa kontributor bahkan mengakui tidak mengenal sendiri seluruh 50 sosok ini, bisa jadi ini menggambarkan bias regional dan disiplin individu kita. Sedikit kontroversi dalam bidang yang beragam dan menantang ini karenanya adalah baik dan diperlukan.

Biarkan saya menjelaskan proses seleksi. Satu faktor yang membantu adalah sejumlah cahaya terkemuka yang kontribusinya terhadap pembangunan lebih sebagai praktisi atau aktivis daripada sebagai pemikir yang dapat dikecualikan. Ini diterapkan misalnya terhadap Chico Mendes, pahlawan para penyadap karet asli Amazon Brasil, yang dengan brutal dibunuh pada tahun 1988 oleh agen-agen peternak dan perusahaan kayu berpengaruh yang tindak perusakan mereka ditantang olehnya. Seiring ini terjadi, ia masuk ke dalam Fifty Key Thinkers on the Environment (Palmer 2001). Yang menarik, lima pemikir muncul baik pada titel di atas maupun pada volume ini (Thomas Malthus, Karl Marx, Mohandas Gandhi, E.F. Schumacher dan Vandana Shiva), sementara Marx dan Gandhi juga muncul dalam Fifty Major Political Thinkers (Adams dan Dyson 2003). Pada kasus-kasus sedemikian, masing-masing masukan ditulis oleh para pengarang yang berbeda dan membawa aspek atau interpretasi berbeda pula atas kontribusi mereka, sehingga bagi pembaca dapat bermanfaat untuk merujuk pada lebih dari satu interpretasi. Secara keseluruhan, pilihan Pemikir dimaksudkan untuk meningkatkan relevansi dan sumbangsih buku ini dengan memiliki satu kelompok yang secara luas mewakili arus dan gerakan berbeda di dunia pembangunan. Ini berarti untuk memastikan bahwa seluruh dominasi Anglo-Amerika atas teori dan diskursus pembangunan (tidak hanya oleh ekonom) ditantang melalui keterlibatan mereka yang bekerja dalam disiplin berbeda, melalui periode waktu berbeda dansecara krusialbersentuhan dengan jalan hidup serta kawasan geografi berbeda. Seri ini karenanya secara definisi merupakan suatu yang berlangsung dengan sangat berbeda dari studi refleksi sendiri oleh 15 ekonom pembangunan Utara yang terkemuka (dengan komentar dari para ekonom yang lebih muda) dan dipesan Bank Dunia sekitar 20 tahun silam, ketika pembangunan ekonomi dan

pembangunan umumnya masih tergabung menjadi satu (Meier dan Seers 1987), meskipun beberapa dari ekonom tersebut juga ditonjolkan di sini. Para pembaca juga akan memerhatikan ketidakseimbangan gender yang tajam di antara Para Pemikir yang dikemukakan di sini; ini mencerminkan dominasi kuat pria pada sebagian besar area pemikiran pembangunan. Ilmu ekonomi merupakan pengecualian sebagian, tetapi upaya-upaya untuk menyeimbangkan berbagai disiplin dan representasi Utara versus Selatan dibuat untuk beberapa pilihan sulit. Satu kemungkinan penantang wanita lain, Gro Harlem Brundtland, kepala Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan PBB, ditonjolkan dalam titel Lingkungan pada seri ini (Palmer 2001). Sedikit dari suara-suara (baik dari Selatan maupun Utara) yang dimasukkan ke dalam buku ini adalah jauh kurang terkenal secara internasional daripada mereka seharusnya, justru karena keterbatasan bahasa, budaya, disiplin dan geografi di mana yang di bawahnya banyak dari kita bekerja dan yangbetapapun tidak dengan sengajaterkadang melestarikan penyederhanaan dan pemisahan yang kita klaim hendak menantangnya. Karena itu, pencantuman mereka dengan sengaja, merupakan kontribusi kecil untuk mengatasi keterisolasian dan mempromosikan poli-vokalitas dalam pembangunan, sebagaimana sesuai dengan pendekatan pasca-kolonial. Dengan serupa, satu atau dua orang seperti Norman Borlaug, leluhur Revolusi Hijau, diikutkan karena visi mereka dan dampak mendalam dari hasil kerjanya, walaupun ini bisa jadi dengan dapat diperdebatkan agak bersifat lebih teknis daripada konseptual. Namun, yang tidak terhindarkan, sebagian pilihan sulit harus dilakukan dalam memandang batasan artifisial dari ke-50 pemikir. Misalnya, walaupun teori sistem dunia-nya tidak diragukan lagi pengaruhnya, Immanuel Wallerstein telah ditinggalkan,

sebagian karena gagasannya terintegrasi langsung dengan lebih sedikit atas isu-isu pembangunan daripada karya Jim Blaut yang berhubungan erat. Kriteria penting lain untuk pencantuman, guna memungkinkan pencerminan matang signifikansi atas kehidupan dan kontribusi dari Para Pemikir, mereka seharusnya sudah dekat pada akhir dari karir aktifnya, jika belum pensiun atau meninggal. Karena usia Studi Pembangunan masih relatif mudasebagaimana ditunjukkan oleh hanya Malthus dan Marx sebagai Pemikir yang masuk daftar yang berasal dari abad ke-20ini masih meninggalkan banyak lingkup untuk kepentingan kekinian, sementara menghindari godaan bagi pengarang untuk membuat penilaian prematur atau risiko kerikuhan personal. Secara pribadi, proses editorial esai dan menyatukan mereka ke dalam buku yang diharapkan kompak sangat menarik hati melampaui ekspektasi saya yang paling optimistis. Bahkan, bukanlah merupakan tindakan membesar-besarkan untuk mengatakan ia adalah tantangan yang paling mengganjar di mana saya pernah melakukannya hingga saat ini. Pertama dan terutama, ia membawa saya ke dalam kontak langsung dengan dua kelompok orang yang berbeda, para pengarang dan Pemikir, sebagian di antaranya saya belum pernah bertemu sebelumnya atau mempunyai kontak dengan mereka. Sebagian dari relasi baru ini tidak diragukan akan terus berlanjut. Menemukan kontributor yang bersedia menulis mengenai Pemikir yang sudah diidentifikasi dan ditetapkan itu sendiri merupakan suatu tantangan, terutama seiring saya meminta hanya satu masukan per pengarang. Pada sebagian besar kasus, tugas ini terbukti secara mengherankan mudah, bisa jadi karena gagasan mengenai buku ini juga tertangkap dalam imajinasi mereka. Dalam beberapa contoh, adalah sulit untuk merekrut seorang penulis untuk Pemikir tertentu atau untuk menyesuaikan kontributor yang bersedia menuliskan mengenai

Pemikir yang cocok tetapi belum diambil. Walaupun demikian, saya harus mengakui efisiensi yang dengannya komitmen diubah menjadi esai-esai yang ditata dengan baik, dan mayoritas dengan tenggat waktu yang disetujui, sebagai hasilnya terbukti dimungkinkan untuk menghasilkan buku ini sesuai jadwal. Banyak penulis juga menemukan riset dan penulisan mereka paling mencerahkan. Sebagian sebenarnya mampu berkomunikasi, dan terkadang bahkan melakukan wawancara, kepada tokoh yang sedang mereka kerjakan. Hasilnya, naskah tulisan ini sangat diuntungkan olehnya. Dengan tidak terhindarkan, mencoba menangkap esensi kehidupan secara penuh dan memesona, sebagaimana juga menilai kontribusi-kontribusi terakhir mereka, dalam panjang tulisan sekitar 2.000 kata merupakan tantangan yang cukup signifikan. Sumber inspirasi kedua saya sebagai editor adalah seberapa banyak saya telah memelajari mengenai Para Pemikir dan kehidupan serta waktu mereka, tanpa memandang seberapa banyak saya mengetahui mereka dan karyanya yang terdahulu. Ini mencerminkan formula yang diadopsi oleh buku ini, yakni untuk menjalin kisah-kisah biografi mereka dan apresiasi atas karya serta peninggalan mereka. Namun, yang ketiga, sekelompok kedalaman yang mengagumkan muncul seiring karangan disunting dan diintegrasikan ke dalam buku naskah tulisan. Terutama ada dua yang menjulang dan menjadi contoh nilai tambah karangan ilmiah nan padat ini. Yang pertama adalah dampak luar biasa rezim Nazi terhadap evolusi yang berikutnya dari Studi Pembangunan melalui emigrasi atau pelarian banyak pengungsi pemuda Yahudi Eropa (dan sebagian non-Yahudi) ke Inggris dan Amerika Serikat, di mana mereka kemudian bangkit melalui universitas-universitas dan kantor politik sebagai kontributor berpengaruh terhadap gagasan dan pendekatan yang muncul. Mereka yang selamat dari

genosida holocaust dan para pelariannya dengan mengejutkan banyak di antara Para Pemikir yang terwakili di sini. Sementara banyak implikasi lain dari Perang Dunia II yang kemudian berbuah menjadi Studi Pembangunan, seperti stimulus bagi perjuangan pembebasan kolonial dan formulasi Marshall Plan, misalnya, adalah cukup dikenal, ini tampaknya yang sebelumnya belum terdokumentasikan. Kedua, dan agaknya lebih luas, pergeseran geopolitik serta perpecahan pada akhir kekaisaran yang diwakili oleh dekolonisasi membuka kemungkinan koneksi antarregional dan eksperimental yang baru, secara menarik bahkan penting. Ini mempunyai pengaruh penting terhadap pemikiran yang selanjutnya dan karya Para Pemikir yang terlibat. Ia dijadikan teladan oleh Arthur Lewis dan Walter Rodney, dua warga asli Karibia yang belajar di Universitas London (nama yang pertama di tahun 1930-an dan yang terakhir pada 1960-an) serta masing-masing kemudian sempat bekerja di Ghana dan Tanzania. Juga ada contoh-contoh lain yang lebih dikenal. Berdekade-dekade sebelumnya, pengalaman Gandhi memerangi rasisme di Afrika Selatan telah terbukti memiliki kemungkinan berkembang di masa depan atas strategi berikutnya untuk melakukan aksi langsung dan perlawanan tanpa kekerasan (Satyagraha) di India. Dengan serupa, mayoritas suara-suara Utara dalam koleksi ini dengan mendalam dipengaruhi ketika dibesarkan, berpergian dan/atau bekerja di bagian Selatan pada masa mudanya. Kedalaman ketiga yang juga penting adalah interkoneksi yang kerapkali erat dan berpengaruh di antara sebagian Pemikir di mana mayoritas orang saat ini terutama justru tidak menghubungkannya dengan satu sama lain (misalnya Boserup, Lipton, Myrdal dan Streeten dengan penghormatan pada studi Drama Asia pada 1960-an) sesuatu yang mungkin membantu menjelaskan proses interaksi yang menelurkan dan mempopulerkan

gagasan-gagasan kunci serta teori pada momen-momen penting sejarah pemikiran pembangunan. Kami berharap para pembaca akan mendapati buku ini mampu menstimulasi sebagai bacaan yang baik sekaligus berguna untuk tujuan referensi. Bahkan, bisa jadi sebagian akan berusaha mengeksplorasi kehidupan dan kontribusi dari tokoh-tokoh kunci lain di bidang ini. Referensi Adams, I. dan Dyson, R.W. (eds) (2003) Fifty Major Political Thinkers, London dan New York: Routledge. Edwards, M. (1989) Ketidakterkaitan Teori Pembangunan, Third World Quarterly 11(1): 116-36. (1993) Seberapa Relevan Studi Pembangunan?, dalam F. Schuurman (ed.), Beyond the Impasse; New Directions in Development Theory, London: Zed. (1994) Memikirkan Kembali Pembangunan Sosial: Pencarian Relevansi, dalam D. Booth (ed.), Rethinking Social Development, Harlow: Longman. Meier, G.M. dan Seers, D. (eds) (1984) Pioneers in Development, Oxford: Oxford University Press. Palmer, J.A. (2001) Chico Mendes 1944-88, dalam Palmer, J.A. (ed.), Fifty Key Thinkers on the Environment, London dan New York: Routledge, halaman 302-7. David Simon Egham, Surrey Maret 2005 Catatan mengenai referensi silang

Semua referensi silang di antara esai ditandai dalam teks dengan nama Pemikir yang relevan dikutip dalam cetak tebal. ADEBAYO ADEDEJI (1930) Dilahirkan pada tahun 1930 di Ijebu-Ode sebelah barat daya Nigeria, Adebayo Adedeji menerima gelar doktor Ilmu Ekonomi dari University of London pada 1967, setelah mengecap pendidikan Ilmu Ekonomi di level yang lebih rendah (BSc Hons, London, 1958) dan Administrasi Publik (Diploma, University College, Ibadan, 1954 dan MPA, Harvard, 1961). Setelah semula bekerja sebagai pegawai negeri, dia bergabung ke Universitas Ife (sekarang Universitas Obafemi Awolowo University, Ile Ife) di tahun 1963, menjadi Profesor Administrasi Publik pertama di Nigeria pada 1967 dan, sekaligus, sebagai Direktur Institut Administrasi. Antara tahun 1971 dan 1975 dia menjabat Menteri Ekonomi Perencanaan dan Rekonstruksi (pasca-perang sipil) Nigeria, sebelum bergabung dengan PBB sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi untuk Afrika (UNECA) dengan pangkat Asisten Sekretaris Jenderal di tahun 1975. Dia dipromosikan menjadi Under-Secretary-General pada 1978. Dia mundur dari UNECA di tahun 1991 dan kembali ke Ijebu-Ode di Nigeria, di mana Adebayo Adedeji membentuk sebuah lembaga pemikir independen, Pusat Afrika untuk Pembangunan dan Studi Strategis (ACDESS), di mana dia terus mengepalai sebagai Direktur Eksekutif. Adedeji dengan jelas dipengaruhi oleh studinya dalam ilmu ekonomi pada waktu ketika pemikiran pembangunan didominasi oleh gagasan teleologi (teori bahwa peristiwa dan perkembangan dimaksudkan untuk memenuhi suatu tujuan dan terjadi karena itu) serta pertumbuhan. Namun, pengaruh ini terlihat berjalan dalam suatu cara yang menghina, dalam pengertian, pertama, mengajarkan berulang-ulang dan, berikutnya, memperkuat

apa

yang

terlihat

sebagai

keyakinan

yang

tidak dan

terguncangkan

mengenai praktik

ketidakmampuan

warisan kebijakan

pembangunan

ketidakcocokan

pembangunan konvensional untuk memberi respons memadai terhadap kompleksitas dinamis kondisi dan realitas Afrika pasca-kemerdekaan. Ia karenanya bisa jadi dalam artikulasi visi nasionalis yang progresif tetapi dengan kawasan benua yang makin (dan dengan keanekaragaman) terintegrasi, Afrika mengamankan dirinya sendiri dan dinilai sebagai anggota integral komunitas global, di mana terletak kontribusi Adedeji yang paling signifikan terhadap pemikiran pembangunan. Namun, secara luas dipandang lebih pada kontribusinya, untuk mempromosikan penggarapan cermat strategi pembangunan asli Afrika, Adedeji juga menggambarkan demonstrasi vital dampak di mana penempatan yang terampil atas pengelolaan pembangunan dapat berkontribusi terhadap kebijakan dan perencanaan, guna memikirkan ulang praktik serta untuk memperluas strategi. Karena itu, dalam analisis komprehensif dan bertalian logis terhadap kontribusi Adedeji bagi pemikiran dan praktik pembangunan hingga saat itu, Asante (1991) mengakui sumbangsih dari para kolega yang sepaham di UNECA bagi formulasi gagasan-gagasan mengenai pembangunan Afrika yang dengan erat dikaitkan dengan sosok Adedeji. Asante juga memerhatikan bagaimana masa jabatan Adedeji selaku Sekretaris Eksekutif UNECA menyediakan platform yang tidak tergantikan bagi penyebaran ide-ide ini, menegaskan bahwa dimulainya tantangan Adedeji yang berkelanjutan terhadap pemikiran pembangunan ortodoks dari perspektif Afrika adalah berbarengan dengan kebangkitan kritik-kritik radikal berbasis di Amerika Latin oleh Andre Gunder Frank dan Michael Todaro, sementara peran Adedeji di UNECA berdiri sejajar dengan yang diperankan Ral Prebisch di ECLAC/CEPAL (Komisi Ekonomi untuk Amerika Latin dan Karibia).

Pemikiran Adedeji tentang pembangunan Afrika mempunyai asal-mulanya dalam peragian dekolonisasi (proses mengakhiri penjajahan suatu daerah), kemunculan pembangunan pasca-perang sebagai perubahan sosial ekonomi yang telah direncanakan dan bertumbuhnya kekurangan bukti untuk benefit signifikan yang terjadi pada masa awal pasca-kemerdekaan (Adedeji 1977, 1981). Ia juga tidak diragukan lagi dipengaruhi oleh perdebatan yang berlangsung di dalam dan di sekitar ECLAC, dan menarik inspirasi dari karya Ral Prebisch serta, pada derajat yang lebih sedikit, Arthur Lewis, walaupun dia berbeda dalam penghargaan-perhargaan penting dan hampir pasti tidak pernah mempertimbangkan dirinya sendiri sebagai seorang yang memiliki ketergantungan (Asante 1991). Maka tidak mengejutkan, kalau dia segera mempertanyakan mengenai kebijaksanaan mengombinasikan pertumbuhan ekonomi dan perubahan material (indikator yang sudah dikuantifikasiatau saranapembangunan) dengan proses yang kurang mudah diukur (karena sebagian besar adalah kualitatif dan terus-menerus berkembang)atau tujuan akhirpembangunan di mana, bagi dia, adalah selalu kompleks, holistik dan berpusatkan pada manusia, selain itu untuk mencakup ekonomi sebagaimana juga sosial, budaya, lingkungan, politik serta bentuk-bentuk lain dari perubahan dan transformasi non-ekonomi. Pembangunan, sebagaimana dia dikutip, merupakan tanggungjawab kolektif di mana semua harus berbagi dalam tenaga kerja sebagaimana juga hasil, ketika masyarakat menjadi tujuan akhir dan sarana pembangunan, maka kepentingan, nilai-nilai dan aspirasi mereka semestinya menentukan isi, strategi dan modalitas dari pembangunan [seperti itu] dan, dalam prosesnya, bertindak memastikan bahwa pembangunan tetap berlabuh pada kaitan sosial budaya, politik dan sejarah (Asante 1991: 6). Bagi dia juga, pengalaman aktual Afrika pasca-perang atas

pembangunan beragam secara signifikan dari cita-cita ini, sebagian karena, berbagai label-label deskriptif, sekalipun kebijakan dan taktik yang diadopsi diwariskan daripada ditumbuhkan sendiri, dan karenanya sangat bernuansa peniruan dan bukannya kreatif atau secara lokal responsif dan bersifat alami. Kedua, usaha-usaha pembangunan gagal untuk mengubah status ketergantungan, atau bahkan menstimulasi distribusi ulang kekayaan atau kesempatan, perekonomian Afrika dengan signifikan--walaupun bervariasi--selalu memiliki ketergantungan tinggi atas strategi-strategi menguntungkan pada sumber daya eksternal untuk input (masukan) dari segala hal serta seiring pasar benua ini adalah terutama pada komoditas-komoditas primer (Adedeji 1981). Dia mengemukakan, pembangunan juga dengan rutin gagal mempertimbangkan masyarakat sebagai subjek daripada objek, dan, dengan demikian, mengabaikan penyebab rasa kepemilikan di antara sebagian besar rakyat Afrika yang disangka merupakan target dan penerima manfaat dari intervensi pembangunan (Adedeji 1977). Oleh karena itu, pada pertengahan 1970-an, dan dalam pandangan Adedeji, apa yang begitu diperlukan adalah rute menuju dekolonisasi ekonomi, melibatkan, di antaranya, pem-pribumi-an pembangunan nasional dan ekonomi benua, serta menggembleng Afrika yang, Telah mewarisi atau meminjam kebijakan pembangunan sebagaimana juga teori politik, [akan selanjutnya mampu] membangkitkan asumsi-asumsi ekonominya sendiri dan mendesain orientasinya, sebagaimana ia datang untuk menolak banyak dari hukum neokolonial beserta peninggalan organisasionalnya. (Adedeji dan Shaw 1985: 3)

Adalah visi ini, didorong sebagian oleh keyakinan kokoh bahwa pertumbuhan ekonomi semata-mata sebuah sarana pada akhir restrukturisasi ekonomi yang lebih diinginkan, juga reformasi kemasyarakatan dan transformasi nasional/benua guna meningkatkan kebergantungan pada diri sendiri (Adedeji 1977), yang memberi informasi untuk sikap tegasnya atas kebutuhan strategi alternatif hasil formulasi Afrika bagi pembangunan benuanya sendiri. Yang patut diperhatikan di antara elemen-elemen strategi seperti ini, sebagaimana didetailkan dalam Rencana Aksi Lagos (LPA) tahun 1981, adalah hak istimewanya untuk meningkatkan kebergantungan atas diri sendiri (mensyaratkan penguatan kapasitas dan pembangunan kompetensi) serta kesinambungan oleh diri sendiri (melibatkan baik pedesaanperkotaan, integrasi pasar sektoral maupun nasional); kekritisannya atas peran perdagangan luar negeri sebagai mesin pertumbuhan (sebagai pendahuluan bagi promosi stimulus permintaan internal dengan membebani permintaan pasar eksternal); usahanya untuk memisahkan, paling tidak secara konseptual, perubahan internal sosial-ekonomi dari kinerja pasar ekspor; dan penolakannya terhadap asumsi korelasi positif daripada negatifantara ekspansi perekonomian negara maju dan negara berkembang (Adedeji 1985; OAU 1980). Walaupun ia tidak menganjurkan autarki, LPA masih setara dengan bidah pembangunan dalam penentangan terdepannya terhadap tujuan politik-ekonominya. Tidak hanya ia mewakili deklarasi politik, strategi pembangunan, sekelompok prioritas, tindakan program-program sektoral, serta suatu cetak biru bagi integrasi regional dan subregional, tetapi ia juga mengargumentasikan kepergian lengkap dari masa lalu penggantiansuatu strategi pembangunan yang memandang ke dalam bagi peninggalan

yang berorientasi eksternal [dan] meletakkan pembangunan pasar domestik daripada ketergantungan pada pasar luar negeri di jantung pembangunan (Adedeji 1985: 15). Penentangan seperti ini bermakna sedikit; sebuah tujuan kunci LPA adalah, pada akhirnya, bagi Afrika dan rakyatnya untuk pulih, melalui kekuatan transformatif pembangunan yang demokratis/populer, perasaan keyakinan diri yang sudah lama dikerdilkan oleh perbudakan, kolonialisme dan neo-kolonialisme (Adedeji 1977). Lebih jauh lagi, dengan menonjolkan keseimbangan dinamis antara autarki dan kerentanan, LPA dipandang memiliki fleksibilitas yang cukup dan potensi untuk mengindikasikan jalan keluar dari krisis ekonomi (Adedeji dan Shaw 1985). LPA menstimulasi perdebatan yang meluas, menghasilkan kritik-kritik, serta bahkan menyediakan kerangka kerja bagi pembentukan kebijakan dan implementasi strategi-strategi; ia perlu dipahami sebagai bagian proses yang lebih besar guna mengkonstruksi filosofi pembangunan Afrika, satu yang juga menyoroti peran UNECA dalam pasar internasional ide-ide terutama mengenai Afrika dan secara umum tentang pembangunan (Asante 1991: 46). Walaupun kapasitasnya untuk menghadapi keterbatasan-keterbatasan yang ada dan potensi untuk berkontribusi terhadap keberlanjutan jangka panjang (Adedeji dan Shaw 1985), penerapan LPA lambat, terhambat sebagian oleh krisis ekonomi di tahun 1980-an tetapi sebagian juga oleh sifat alami berangsur-angsur atas perubahan kebijakan/proses reformasi yang diangan-angankan (Adedeji 1985). Dikonfrontasi oleh krisis pada tahun 1980-an dan 1990-an, para pembuat kebijakan, perekonomian dan masyarakat Afrika berkonsentrasi pada keberlangsungan sesaat daripada transformasi jangka panjang, dengan kebijakan kunci ekonomi makro didikte oleh interpretasi dan rekomendasi yang terdapat dalam Laporan Berg (Bank Dunia 1981), sangat antitesis dari LPA, di mana ia

berdiri dalam kontradiksi fundamental, tidak hanya pada penentangannya atas kemandirian dan keberlanjutan pembangunan serta preferensinya bagi orientasi ekspor, prinsip pasar dan negara minimal (Adedeji 1985). Sebagai respons, Adedeji dan para koleganya di UNECA menghasilkan Kerangka Kerja Alternatif Afrika bagi Program Penyesuaian Struktural untuk Pemulihan Sosial-Ekonomi dan Transformasi (AAF-SAP), mencakup sejumlah diagnosa mengenai akar penyebab keterbelakangan ekonomi Afrika serta kombinasi krisis politik dan sosial ekonomi yang mendera Benua Hitam itu, yang semula dibahas di LPA (UNECA 1989). Seperti LPA, AAF-SAP dipandang penting bagi masa depan pembangunan di Afrika; ia merupakan landasan peluncuran ke dalam dekade baru dan sesudahnya (Adedeji 1990: 112). Adedeji menggunakan AAF-SAP sebagai basis untuk menantang ortodoks, logika, kebijaksanaan bahwa dan etika Is dari No

penyesuaian/reformasi

terutama

mantranya

There

Alternative/Tidak Ada Alternatif (TINA), dengan mengatakan lagi bahwa AAF-SAP mewakili sebuah alternatif yang berpusatkan pada manusia, konsisten dengan tujuantujuan pembangunan yang diidentifikasi dalam LPA, dan menganjurkan kombinasi tujuan jangka pendek stabilisasi dan pengaturan struktural [dengan] persyaratanpersyaratan restrukturisasi jangka panjang (Adedeji 1990: 71). Dia berpegang teguh pada prinsip bahwa akan tidak bijaksana bagi tindakan-tindakan penyesuaian struktural ortodoks pada tahun 1980-an untuk dilanjutkan ke era 1990-an, dan memperingatkan kalau ini akan menjerumuskan benua itu ke dalam spiral yang mengarah ke bawah dan akan sangat sulit untuk dipulihkan. Bersama-sama, LPA dan AAF-SAP dapat--dengan perluasan--dipandang di antara kontribusi Adedeji yang paling mungkin berkembang di masa depan bagi pemikiran pembangunan; bahkan, dia akan (dan bisa jadi) menyetujui

pesan bersama mereka: tidak ada program pengelolaan atau pembangunan yang masuk akal jika ia membuat masyarakat dengan tidak menentu menjadi lebih sengsara. Adalah tidak mengejutkan, kemudian, bahwa Adedeji (2002: 4) kurang optimistis bahwa baik LPA maupun AAF-SAP ditentang, dirongrong dan dibuang muatannya oleh lembagalembaga Bretton Woods yang dengan cara ini menghalangi rakyat Afrika untuk menggunakan hak dasar dan fundamentalnya guna memutuskan masa depan mereka. Kepergian Adedeji dari UNECA pada tahun 1991 tidak menandai akhir sumbangsih dia terhadap pemikiran dan pengelolaan pembangunan di Afrika. Tentu saja, di ACDESS, yang menurut Julius Nyerere, sang presiden pendiri Dewan Penyantunnya, dibentuk sebagai respons terhadap persepsi kurangnya peluang untuk berekspresi, berdebat dan mengujigagasan-gagasan dalam suatu lingkungan terbuka, dalam konteks Afrika, dan menurut kepemimpinan Afrikadidedikasikan untuk memikirkan masa depan Afrika, Adedeji telah menciptakan wahana demi keberlanjutan upaya mengejar ketertarikannya mengenai pemikiran strategis dan prospektik tentang Afrika (Adedeji 1993). Bisa jadi, dengan sama pentingnya, ia merupakan wahana di mana seperti UNECA, dan melalui program riset/pelatihan, konsultasi/kepenasihatan operasi dan layanan, serta konferensi nasional dan internasionalnya yang periodik, memfasilitasi keberlanjutan interaksi dengan (dan di antara) para politisi, pembuat kebijakan, birokrat, perencana, teknokrat, LSM, organisasi-organisasi (sub-)regional dan lembaga internasional, universitas serta institusi riset akademik, dengan demikian memungkinkan Adedeji untuk terus mengombinasikan teori dengan pengalaman praktis (Asante 1991), dan riset mengenai aplikasi kebijakan (Adedeji 1999).

Refleksinya baru-baru ini dengan berpergian di lapangan Afrika, dari LPA ke NEPAD (Kemitraan Baru Ekonomi untuk Pembangunan Afrika) adalah bersifat instruksi terkait pandangan ini (Adedeji 2002). Menyusul representasi menguntungkan dari NEPAD sebagai usaha pembaruan pan-Afrika guna mengaktifkan kembali integrasi intra- dan antar-Afrika sebagaimana juga menghidupkan lagi kemitraan Afrika dengan masyarakat internasional, dan kehati-hatian dia terhadap pengejaran tujuan-tujuan NEPAD dengan merugikan prinsip transformasi struktural dan diversifikasi sosial ekonomi LPA. Menurut dia, NEPAD seharusnya mengenai sumber daya dan kebijakanpara kolega internasional diabdikan guna mencapai tujuan pembangunan Afrika dengan memiliki determinasi (Adedeji 2002: 17). Pada bagian ini sebagaimana dalam banyak dari intervensinya yang terdahulu, dia memfokuskan ulang perhatian pada pelestarian mandiri dan kehendak politik (kolektif). Tetapi dia juga menegaskan kembali bagian lain dari pesannya yang sejak lama: bahwa pengejaran Afrika terhadap pembangunan yang berkelanjutan perlu dimulai dengan keberhasilan dalam perjuangan jangka panjang untuk mem-pribumi-kan paradigma, strategi dan agenda yang harus menuntun sifat, langkah, arah dan dinamika dari segala macam pembangunan tersebut. Ia merupakan perjuangan dan dia berharap hal itu akan terus berlangsung. Karya-karya utama Adedeji A. (1977) Africa: The Crisis of Development and the Challenge of a New International Economic Order, Addis Ababa: Komisi Ekonomi untuk Afrika. (1989) Towards a Dynamic African Economy: Selected Speeches and Lectures 19751986, London: Frank Cass.

(1990) Structural Adjustment for Socio-Economic Recovery and Transformation: The African Alternative; Selected Statements, Addis Ababa: Komisi Ekonomi PBB untuk Afrika. Komisi Ekonomi untuk Afrika (ECA) (1989) The African Alternative Framework to Structural Adjustment Programs for Socio-Economic Recovery and Transformation (AAF-SAP), Addis Ababa: ECA. Organisasi Persatuan Afrika (OAU) (1980) Lagos Plan of Action for the Economic Development of Africa, 19802000, Addis Ababa: OAU. Bacaan lanjutan Adedeji A. (1981) Latar belakang umum pem-Pribumi-an: Ketergantungan Ekonomi Afrika, dalam Adedeji A. (ed.), Indigenisation of African Economies, Hutchinson. (1985) Strategi Monrovia dan Rencana Aksi Lagos: Lima Tahun Sesudahnya, dalam Adedeji A. dan Shaw, T.M. (eds), Economic Crisis in Africa: African Perspectives on Development Problems and Potentials, Boulder, CO: Lynne Rienner. (1993) Marjinalisasi dan Marjinalitas: Konteks, Isu dan Sudut Pandang, dalam Adedeji A. (ed.), Africa within the World: Beyond Dispossession and Dependence, London: Zed Books. (1999) Memahami Konflik-konflik Afrika, dalam Adedeji A. (ed.), London:

Comprehending and Mastering African Conflicts: The Search for Sustainable Peace and Good Governance, London: Zed Books.

(2002) Dari Rencana Aksi Lagos hingga NEPAD dan dari Penetapan Final Lagos sampai pada Hukum Konstitutif: Ke mana Afrika?, pidato utama kepada Forum Afrika bagi Visi Afrika, Nairobi, 26-29 April. Adedeji A. dan Shaw, T. (1985) Pengantar: Kondisi dan Proyeksi Afrika bagi Masa Depan, dalam Adedeji A. dan Shaw, T.M. (eds), Economic Crisis in Africa: African Perspectives on Development Problems and Potentials, Boulder, CO: Lynne Rienner. Asante, S.K.B. (1991) African Development: Adebayo Adedejis Alternative Strategies, Borough Green, Sevenoaks, Kent: Hans Zell. Onimode, B. (ed.) (2004) African Development and Governance Strategies into the 21st Century: Looking Back to Move Forward. Essays in Honour of Adebayo Adedeji at 70, London: Zed Books. Onimode, B. dan Synge, R. (eds) (1995) Issues in African Development: Essays in Honour of Adebayo Adedeji at 65, Ibadan: Heinemann. Sanmi-Ajiki, T. (2000) Adebayo Adedeji: A Rainbow in the Sky of his Time. A Biography, Lagos: Newswatch Books. Bank Dunia (1981) Accelerated Development in Sub-Saharan Africa: An Agenda for Action, Washington, DC: Bank Dunia. Reginald Cline-Cole ANIL AGARWAL (19472002) Seorang aktivis, jurnalis dan terdidik, Anil Agarwal merupakan pencinta lingkungan terkenal di India yang mendefinisikan kembali masalah-masalah lingkungan melalui mata rakyat miskin, dan yang tidak takut menentang organisasi-organisasi dan pemerintahan yang berkuasa demi melaksanakan misinya tersebut. Semasa bangkitnya

environmentalisme (-isme lingkungan) pada tahun 1960-an dan 1970-an, menjadi lazim untuk menyalahkan rakyat miskin atas masalah lingkungan melalui tindakan-tindakan seperti pertumbuhan populasi dan penggundulan hutan. Agarwal adalah salah satu pengkritik pertama yang menentang generalisasi ini, dan sebagai gantinya berfokus pada pertanyaan-pertanyaan seputar keadilan internasional dalam politik lingkungan dan pilihan serta risiko yang dihadapi oleh rakyat miskin. Agarwal mewariskan berbagai peninggalan. Dia mendirikan lembaga pemikir India, Pusat Sains dan Lingkungan, yang saat ini tetap menjadi salah satu sentral terkemuka dari pemikiran kritis mengenai lingkungan dan pembangunan. Namun, secara lebih konseptual, Agarwal merupakan pelopor dalam perdebatan-perdebatan yang saat ini disebut sebagai studi ekologi politik dan sains-teknologi. Daripada sekadar menerima penjelasan mengenai lingkungan dari organisasi-organisasi besar yang secara sains dan politik netral, Agarwal berusaha mengekspos dasar politik dari tiap pernyataan kausalitas, dan menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan seperti itu melegitimasi atau mendelegitimasi kebijakan-kebijakan yang berbeda. Dia mendemonstrasikan bagaimana keadilan, sebagai sebuah konsep, dapat diintegrasikan ke dalam kebijakan lingkungan di antara Utara dan Selatan. Agarwal juga membawa gayanya sendiri dalam memengaruhi dunia politik, melalui kombinasi karya ilmiah, jurnalisme yang tajam dan kampanye politik nan hati-hati. Agarwal dilahirkan di Kanpur di Uttar Pradesh pada tahun 1947, putera dari seorang tuan tanah lokal. Dia mengeyam pendidikan di Institut Teknologi India di Kanpur, di sana dia belajar di jurusan teknik mesin, dan memeroleh informasi mengenai teknologi yang pada kemudian hari mencirikan tulisan-tulisannya. Dalam suatu perubahan arah karir, di tahun 1973, Agarwal menjadi koresponden sains di Hindustan Times. Pada 1974, dia menulis

tentang pergerakan Chipko di Himalaya India, di mana para warga desa lokal menentang kegiatan penebangan pohon, dan yang baru-baru ini menjadi ikon perjuangan lingkungan lokal di Selatan. Tulisannya menarik perhatian internasional, dan di tahun 1979 dia memenangkan A.H. Boerma Award pertama yang diberikan oleh badan PBB, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di Roma. Pada 1980, Agarwal mendirikan Pusat Sains dan Lingkungan (CSE) di Kota New Delhi. CSE adalah baru karena ia merupakan organisasi non-pemerintah yang berfokus pada persoalan-persoalan lingkungan, dan yang berusaha memengaruhi pemerintah India serta perusahaan-perusahaan trans-nasional, peran yang terus dimainkannya sekarang ini. Pada waktu itu, kelompok-kelompok lingkungan arus utama di India cenderung berfokus pada konservasi, terutama konservasi hutan belukar dan kehidupan satwa liar, sebagai perhatian utama mereka. Namun, CSE, justru menyoroti risiko lingkungan yang dihadapi warga miskin di India pada ketika mata pencarian mereka dihadapkan pada kemerosotan perekonomian tradisional di wilayah pinggiran yang berbasiskan biomassa (jumlah keseluruhan benda hidup di suatu daerah) dan ketika industrialisasi bertumbuh. Agarwal mengomunikasikan pandangan-pandangan ini secara luas melalui editorial jurnal CSE, Down to Earth, yang meliputi suplemen untuk anak-anak, yakni Gobar Times. Banyak dari tulisannya diterjemahkan ke dalam bahasa Hindi, Kannada dan bahasa-bahasa India lainnya. Pendekatan yang diadopsi oleh Agarwal dan CSE mulai memengaruhi perdebatan lebih luas mengenai makna pembangunan berkelanjutan. Laporannya mengenai The State of Indias Environment, ditulis dengan para kolega di CSE sejak 1982, menentang basis paling elite dari lingkungan hidup, dan berusaha menggambarkan lingkungan sebagai

problem politik yang sebagian mencerminkan perpecahan berbasis kelas dan menginternasional atas kekuasaan dan kekayaan. Para analis melukiskan pendekatan ini sebagai environmentalisme merahhijauyang mengakui sumber daya maupun mata pencariandaripada sekadar pendekatan hijau, yang menekankan pada konservasi saja. Agarwal juga meyakini bahwa pemikiran pembangunan ortodoks adalah keliru untuk menempatkan keyakinan pada kecepatan pertumbuhan ekonomi sebagai sarana utama guna mencapai pembangunan sosial. Dia mengusulkan bahwa suatu konsep baru produk alami bruto seharusnya menggantikan produk nasional bruto guna mengekspresikan dampak pertumbuhan terhadap lingkungan dan mata pencarian. Agarwal juga sensitif terhadap peran wanita dalam perlindungan sumber daya, dan menjadi rentan atas risiko lingkungan hidup. Dia berpendapat kalau kemiskinan dan lingkungan adalah saling berhubungan, tetapi masyarakat miskin biasanya lebih protektif terhadap sumber daya daripada pandangan umum selama ini, dan bahwa kebijakan ekonomi seharusnya didesain lebih erat untuk mengatasi kemiskinan. Karena tulisan-tulisannya yang seperti itu, baik Agarwal maupun CSE dengan cepat mengembangkan reputasi internasionalnya. Sejak tahun 1983 hingga 1987, Agarwal mengepalai Pusat Penghubung Lingkungan Internasional (ELCI), suatu jaringan pencinta lingkungan berbasis di Nairobi. Karyanya dilaporkan dalam majalah New Scientist dan Economist yang berbasis di Inggris, sebagaimana juga koran, Le Monde (Prancis) dan Asahi Shimbun (Jepang). Pada tahun 1986, Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi, mengundang dia untuk berpidato di hadapan Dewan Uni Menteri, dan menganugerahkan dia Padma Shri Award. Agarwal kemudian diminta berpidato di hadapan seluruh 27 anggota Komite Konsultatif Parlemen di India guna mengedukasi anggota parlemen

mengenai kekhawatiran dan kepedulian dia, serta memulai diskusi-diskusi untuk mengidentifikasi solusi. Di tahun 1987, dia terpilih ke dalam Global 500 Honor Roll dari Program Lingkungan PBB. Banyak dari tulisan Agarwal mencakup sikap kritis terhadap sains lingkungan, terutama pernyataan yang menyalahkan warga miskin sebagai penyebab kemerosotan lingkungan. Sebagai gantinya, dia mendesak apresiasi yang lebih holistik terhadap kondisi sosial dan politik yang membuat perubahan lingkungan menjadi problematik, dan bagaimana solusi yang diajukan dapat memperburuk ketidakadilan sosial. Melukiskan keyakinan yang kerapkali dikutip bahwa penebangan hutan di dataran tinggi menyebabkan banjir di dataran rendah Himalaya, misalnya. Agarwal berpendapat fenomena banjir disebabkan oleh berbagai faktor termasuk desakan air di dataran rendah, daripada sekadar penggundulan hutan di dataran tinggi. Oleh sebab itu, kebijakan-kebijakan perlu mempertimbangkan bagaimana sumber daya (dan akses terhadap sumber daya) telah berubah, dan bagi siapa, bukannya sekadar mekanisme pengendalian sederhana terhadap aliran air atau pemanfaatan hutan. Dia menulis dalam Down to Earth pada 1987, Banjir dan pergeseran alur sungaitidak terhindarkan. Penggundulan hutan dapat mempertajam masalah tetapi penghijauan tidak dapat menghilangkan ini. Tanggultanggul dan bendungan menjadi penyebab penting terjadinya banjir. Kita memerlukan manajemen banjir yang lugas, bukan sekadar pengendalian banjir. Kritik pernyataan sains populer dan kekhawatiran mengenai keadilan sosial ini juga memengaruhi karya Agarwal dalam politik lingkungan internasional. Dalam salah satu karyanya yang paling termasyhur, Global Warming in an Unequal World (dikarang bersama dengan Sunita Narain di tahun 1991), Agarwal mengkritik kecenderungan bagi

sebagian analis untuk berasumsi bahwa perubahan iklim seharusnya dihadapi dengan mengendalikan penggundulan hutan di negara-negara berkembang. Terutama, Agarwal dan Narain mengecam laporan yang dirilis lembaga pemikir berbasis di Washington DC, World Resources Institute, yang menempatkan tanggungjawab nasional untuk emisi gas rumah kaca berdasarkan pada indeks yang sebagian besar bergantung pada tingkat perusakan hutan serta emisi metana dari ternak dan padi basah yang terjadi sekarang ini. Laporan itu menempatkan tiga negara berkembang Brasil, India dan China di antara enam negara pengemisi terbesar. Agarwal dan Narain menyanggah laporan tersebut dengan berbagai landasan. Yang pertama, laporan didasarkan pada emisi total nasional, dan bukannya emisi per kapita, yang, tentu saja, lebih kecil di negara-negara berkembang dibandingkan di negara maju. Kedua, indeks menggunakan perkiraan yang sangat disederhanakan baik untuk penggundulan hutan maupun emisi metana. Misalnya, perkiraan emisi metana padi basah diekstrapolasi secara global dari data Italia; penggundulan hutan diperlakukan secara seragam, tanpa pembedaan antara penebangan pohon untuk diekspor kembali dengan produksi makanan rumah tangga kecil; serta tidak ada catatan mengenai dampak vegetasi yang mungkin menggusur hutan. Ketiga, indeks berfokus terutama pada penggundulan hutan tropis yang terjadi sekarang ini, dan tidak mempertimbangkan penggundulan hutan di masa lampau yang terjadi pada negara maju (yang penting sebagaimana gas-gas rumah kaca dapat bertahan hingga bertahun-tahun). Keempat, dan bisa jadi yang paling penting, indeks tidak merujuk pada pertanyaan-pertanyaan mengenai keadilan sosial dalam emisi gas rumah kaca, seperti mengakui bahwa banyak penebangan liar di negara berkembang mungkin saja terjadi akibat himpitan kemiskinan dan demi menghasilkan makanan,

sementara di negara maju mengonsumsi bahan bakar fosil dapat dihubungkan dengan kemakmuran penduduknya. Kritik Agarwal dan Narain terhadap indeks ini merupakan batas air dalam politik lingkungan hidup internasional, dan mendemonstrasikan bahwa laporan ilmiah mengenai problem lingkungan seharusnya tidak dipertimbangkan netral secara politis, tetapi berisikan implikasi politik yang mendalam mengenai aktivitas mana yang dipandang merusak atau tidak, dan negara atau masyarakat mana yang dinilai bertanggungjawab. Agarwal bekerja dengan tema ini semasa mendekati KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi Rio 1992 (Konferensi PBB tentang Lingkungan dan

Pembangunan), dengan menjadi penasihat untuk Perdana Menteri India, P.V. Narasimha Rao, dan mantan Presiden Tanzania, Julius Nyerere, di South Centre di Jenewa, dan bergabung dengan delegasi resmi India dalam konferensi Rio. KTT Rio berisikan banyak diskusi mengenai keberlanjutan pembangunan, dan memfasilitasi penandatanganan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, dan Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati. Karya Agarwal setelah KTT Rio meliputi perhatian baru terhadap masalah lingkungan perkotaan, dan terhadap keadilan globalisasi ekonomi. Terutama, dia memelajari bagaimana perdagangan dan kebijakan pemerintah dapat mendorong ketersediaan teknologi bersih bagi warga miskin di perkotaan. Di tahun 1996, CSE menerbitkan laporan tentang polusi kendaraan di kota-kota di India, yang menyalahkan perusahaanperusahaan minyak, pabrikan mobil, dan regulator serta perencana. Laporan disusul oleh kampanye media, dan pada akhirnya tindakan pemerintah untuk menggusur mobil-mobil pemicu polusi. Di sebuah editorial yang tajam dalam Down to Earth, Agarwal menulis (1996):

Mimpi ekonomi Barat adalah mimpi beracun. Dan tidak mendengarkan omong kosong dari para pejabat dan ilmuwan India bahwa konsumsi serta produksi substansi racun per kapita di India adalah tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan negara-negara Barat. Ilmu pengetahuan yang bualan semata ini berderap membuat Anda apatis. Adalah tingkat eksposur yang menentukan, yang bisa sangat tinggi di India, di antaranya karena tingginya residu pestisida dalam makanan kita dan air minum berkualitas rendah. Agarwal menulis serangkaian editorial dan tulisan yang mendesak demokrasi global yang lebih besar mengenai bagaimana masalah-masalah lingkungan hidup dipecahkan, dan dalam proses globalisasi. Bagi Agarwal, adalah tidak dapat diterima bahwa perdagangan seharusnya digunakan sebagai sarana mengendalikan perilaku keliru lingkungan hidup oleh negara-negara yang lebih kaya sementara negara yang lebih miskin menderita polusi atau kenaikan tinggi permukaan air laut karena negara yang lebih kaya ini tidak dapat memberlakukan sanksi perdagangan. Tetapi, globalisasi jika dilaksanakan dengan memerhatikan konflik politik dan aliansi di antara para pengampanye di belahan Utara dan Selatanjuga dapat membawa peluang untuk memperkuat peran politik negara berkembang dalam kancah internasional. Menyusul beberapa tulisannya yang lebih awal, Agarwal dan CSE juga terus mencari cara untuk mendemonstrasikan pengelolaan desentralisasi kawasan pinggiran melalui komunitas-komunitas desa. Di bawah kampanye bertitel Membuat Air Menjadi Urusan Tiap Orang, CSE mendukung eksperimen-eksperimen dalam usaha memeroleh air dan manajemen pertanahan di Sukhomajri di Haryana, Ralegan Siddhi di Maharashtra dan Tarun Bharat Sangh di Rajasthan. Walaupun tindakan-tindakan ini, Agarwal dikritik oleh sebagian pihak karena hanya menawarkan dukungan tersamar untuk gerakan anti-

bendungan Narmada di sebelah barat India, dan dituduh kehilangan sebagian sikap radikal awalnya setelah menjadi penasihat negara, karena itu memunculkan pertanyaan apakah memungkinkan bagi seorang pencinta lingkungan hidup yang diakui itu untuk tetap radikal. Banyak yang tidak sependapat dengan kritik ini. Di tahun 2000, dia dianugerahi Environment Leadership Award oleh Global Environment Facility badan pendanaan multilateral untuk masalah-masalah lingkungan hidup global. Pada 2001, Pemerintah India menganugerahkan kepadanya Padma Bhushan Award, sebuah status yang diberikan kepada mereka yang menunjukkan darma bakti berbeda bagi tatanan tinggi kenegaraan. Anil Agarwal meninggal pada tahun 2002 di usia yang baru menginjak 54 tahun. Dia mengalami perjuangan panjang melawan kanker, dan telah menulis mengenai perawatan kanker di India sebagai contoh lain perhatian terhadap kesejahteraan sosial yang belum memadai. Dia meninggalkan warisan penting melalui penciptaan CSE, dan tulisan-tulisan pribadi dia memelopori pemikiran saat ini mengenai kemiskinan dan lingkungan serta politik tersembunyi penilaian ilmiah lingkungan. Agarwal membuat jelas bahwa pertanyaan-pertanyaan lokal tentang lingkungan di negara berkembang secara hakiki terkait dengan ekonomi politik internasional, dan berpendapat bahwa menciptakan pengetahuan tentang problem-problem lingkungan seharusnya tidak diserahkan kepada para pakar di negara maju. Dia juga mencapai tujuan ini melalui pembentukan sistem kampanye dan komunikasi yang menguasai sekaligus mendidik banyak pihak di negaranegara yang lebih miskin. Anil Agarwal merupakan salah satu pemikir paling berpengaruh serta penulis mengenai pertanyaan-pertanyaan soal lingkungan dan

pembangunan karena dia berjuang meningkatkan keterwakilan rakyat miskin baik dalam definisi maupun solusi masalah-masalah lingkungan hidup. Karya-karya utama Agarwal, A. (1982) The State of Indias Environment: A Citizens Report, bersama Sunita Narain, New Delhi: Pusat Sains dan Lingkungan. (1989) Towards Green Villages: A Strategy for Environmentally Sound and Participatory Rural Development, bersama Sunita Narain, New Delhi: Pusat Sains dan Lingkungan. (1991) Floods, Flood Plains and Environmental Myths, disunting dengan Sunita Narain, New Delhi: Pusat Sains dan Lingkungan. (1991) Global Warming in an Unequal World, bersama Sunita Narain, New Delhi: Pusat Sains dan Lingkungan. (1992) Towards a Greener World: Should Global Environmental Management be Built on Legal Convention or Human Rights?, New Delhi: Pusat Sains dan Lingkungan. (1997) Homicide by Pesticides: What Pollution does to our Bodies, disunting, New Delhi: Pusat Sains dan Lingkungan, Kondisi Lingkungan Seri 4. Down to Earth, jurnal yang diterbitkan Pusat Sains dan Lingkungan. Bacaan Lanjutan Hingga saat ini, belum ada buku yang secara spesifik melukiskan kehidupan Anil Agarwal, tetapi informasi mengenai kehidupannya dapat diperoleh dari publikasi Down to Earth, dan Pusat Sains dan Lingkungan (CSE), serta obituari di bawah ini. Baviskar, A. (2002) Seorang aktivis-pencinta lingkungan, Anil Agarwal, 19472002, Frontline 19: 2, 1 Februari 2002.

Jupiter, T. (2002) Anil Agarwal: pengampanye lingkungan hidup terkemuka di India, Guardian, 11 Januari. Tim Forsyth ELMAR ALTVATER (1938) Sebagai perwakilan sekolah Critical Political Economy, Altvater telah menganalisis batasan cara produksi dominan (kapitalis) secara serius dan kreatif. Dia tanpa pernah lelah menekankan bahwa struktur produksi Fordist dan pola-pola konsumsinya tidak dapat diterjemahkan ke dalam jalan universal yang dapat diterapkan bagi pembangunan sosial untuk semua pihak. Secara tidak biasa di antara para ilmuwan sosial, dia telah membuka dirinya sendiri terhadap hukum dasar ilmu pengetahuan alam dalam pencarian bagi model-model eksplanatori yang dapat berjalan untuk pembangunan sosial yang berorientasi ke masa depan. Dia menegaskan bahwa prinsip entropi menetapkan batasanbatasan. Dilahirkan pada tanggal 24 Agustus 1938, Altvater memelajari ilmu ekonomi dan sosiologi di Munich dan menulis disertasi mengenai Masalah-masalah Lingkungan Hidup di Uni Soviet. Mengajar ekonomi politik (atau lebih cenderung pada kritik ekonomi politik) sejak tahun 1971 sebagai profesor di Jurusan Sains Politik Freie Universitt di Berlin (Barat), dia telah memengaruhi seluruh generasi mahasiswanya. Ketertarikan Altvater yang beragam tidak menderita kerugian dari kekacauan tahapantahapan terkemudian dari pemberontakan mahasiswa yang kian menurun. Sebagai seorang representatif Marxisme yang tidak dogmatis, dia mengisi seminar-seminarnya sesuai kemampuan. Penurunan tingkat laba, internasionalisasi modal, dan teori-teori pasar global adalah banyak di antara kuliahnya sebagaimana pengantar Das Kapital oleh

Karl Marx dan seminar-seminar mengenai teori-teori kenegaraan. Kisaran lebar tematik karyanya telah selalu berfokus pada aplikasi kreatif teori Marxis. Analisis Altvater tentang modal keuangan internasional, kebijakan moneter dan fiskal sebagaimana juga pertanyaan-pertanyaan soal intervensi negara terkait dengan regulasi pasar dan masyarakat memeroleh keterkenalannya sejak awal 1970-an. Selama era tahun 1980-an, krisis utang yang makin memburuk di negara-negara periferi membuatnya menjadi pengkritik kuat atas pembangunan dengan didanai pinjaman (Altvater et al. 1991). Terinspirasi oleh sabatikal (cuti panjang dari kerja) di wilayah timur Amazon Brasil, dia mengabdikan suatu studi kasus yang langka terhadap isu-isu Brasil tetapi menggeneralisirnya dalam cara yang relevan dengan mempresentasikan studi perintis tentang pasar dunia sebagai sebuah kekuatan keadaan (Sachzwang Weltmarkt). Dalam analisis perintis ini, dia memahami ruang sebagai landasan riil ekonomi dan proses sosial serta strukturnya dan menyelidiki hubungan sistemik-sistematik antara identitas regional, kebijakan pembangunan negara dan kecenderungan krisis ekonomi di pasar global. Dari dominasi yang terakhir ini atas strategi pembangunan nasional dan kondisi lokal dari produksi yang diatur secara ekologi, strategi industrialisasi yang dikejar Fordist pastilah tidak menghasilkan apapun. Dalam sebuah bab (dalam Sachzwang Weltmarkt) tentang Ekonomi dan Ekologi, dia mengeksplorasi hukum fisika termodinamika. Bagi dia suatu argumen sentral yang kian meningkat tentang keterbatasan alami pembangunan sosial sebagai proses konversi material, produksi dan konsumsi merupakan subjek bagi peningkatan entropi. Karena itu, sistem ekonomi beserta tendensinya tidak dapat dibayangkan tanpa pembatasan oleh hukum alam.

Pendekatan Altvater terbantu dari karya-karya fundamental Nicholas Georgescu-Roegen (190694), seorang matematikawan Rumania, yang juga belajar di Sorbonne dan dibimbing dalam bidang ekonomi di Harvard oleh Joseph Schumpeter, salah satu nama terkemuka dalam teori ekonomi dan terutama internasionalisasi kapitalisme. GeorgescuRoegen, yang pada akhirnya menetap di Universitas Vanderbilt di Amerika Serikat, telah memeroleh pengaruh yang kian meningkat dalam teori ekonomi mutakhir karena kemampuannya menggabungkan biologis baru atau pendekatan evolusi dengan teori ekonomi. Dalam magnum opus-nya (Georgescu-Roegen 1971), dia menekankan batasan pertumbuhan ekonomi berdasarkan Hukum Kedua Termodinamika (yang dapat diterjemahkan sebagai energi yang bermanfaat dihamburkan) (lihat juga GeorgescuRoegen 1976). Sebagian besar diabaikan oleh ilmu ekonomi arus utama, pendekatan baru Georgescu-Roegen terhadap teori ekonomi memiliki efek panjang pada kesukaan Altvater, yang menemukan relevansinya dari perspektif pemikiran ilmiah yang sensitif secara lingkungan, membuka diskursus baru di bidang ekonomi evolusioner. Pionir lain yang menginspirasi beberapa ilmuwan sosialdan bahkan lebih sedikit ekonomseperti Altvater dalam aplikasi teori-teori ekonomi untuk studi pembangunan adalah seorang kelahiran Rusia, Ilya Prigogine (19172003), Direktur Pendiri Pusat Mekanika Statistik dan Termodinamika di Universitas Austin/Texas sejak tahun 1967 (sekarang Pusat Studi Mekanika Statistik dan Sistem Kompleks Ilya Prigogine). Dia memenangkan Hadiah Nobel bidang kimia di tahun 1977. Seperti halnya GeorgescuRoegen, dia berkontribusi penting terhadap kombinasi baru ilmu pengetahuan alam dan ilmu sosial pada teori-teori relevansi aspek ekonomi dan lingkungan hidup dalam reproduksi komunitas. Karya-karya utamanya juga menyoroti relevansi penghamburan

struktur dan berkontribusi signifikan untuk memahami proses-proses yang tidak dapat dikembalikan/dibalikkan, terutama dalam sistem-sistem yang jauh dari keseimbangan (lihat Kondepudi dan Prigogine 1998; Prigogine dan Stengers 1986, 1997). Altvater menurunkan masalah-masalah lingkungan hidup dari dinamika spesifik kapitalisme saat ini, yang menurut pandangannya bukanlah akhir cerita dalam pemahaman Fukuyama mengenai masa depan pembangunan yang akan tetap ada, tetapi merupakan suatu tuntutan pencarian terus-menerus untuk alternatif bagi reproduksi sistem sosial. Pada jalur tuntutan ini, Altvater berhubungan dengan integrasi hukum entropi ke dalam teori sains sosial sebagaimana terdokumentasi dalam dua karyanya, Die Zukunft des Marktes (Masa Depan Pasar) dan Der Preis des Wohlstands (Harga Kemakmuran). Keseimbangan termo merupakan konsep kunci dalam pendapatnya. Kritik mencela dia atas dinamisasi-termo terhadap sains sosial. Yang lainnya mencacimaki dia untuk permainan utopia istana pasir di mana dia sekarang mendesakkan sebuah surya sebagai ganti revolusi sosialis tanpa menekankan kontradiksi-kontradiksi yang tetap ada (pasca-) produksi kapitalis Fordist atau pemanfaatan pembaruan transformis dari tatanan dunia kapitalis. Penolakan-penolakan ini dapat dilawan dengan menunjuk pada kebaikan introduksinya terhadap dimensi baru ke dalam diskursus pembangunan yang mempertimbangkan kriteria metabolisme hati-hati dalam pengertian perilaku sosial dan tidak mereduksi lingkungan serta alam menjadi semata-mata objek eksploitasi tanpa akhir (Khn 1995). Terhadap sebagian penolakan yang diangkat oleh kritik (Hein 1993), Altvater merespons langsung dengan menunjuk bahwa 10 generasi manusia telah muncul sejak revolusi industri Promethean atas pasar global. Alam adalah terbatas dan telah mencapai batasan beban serta, sebagaimana dipelihara Altvater, pendekatan teoritis yang

tidak mengupayakan integrasi limit ekologi dalam dunia konseptual mereka adalah tidak up to date (Altvater 1994: 104). Dia menentang teori sosial-ekonomi untuk mengingat jangkauan global formasi sosial kapitalis dan (seakan-akan global) ancaman ekologi. Dia juga menolak celaan karena meminjam dari istilah fisika termodinamika untuk kategorikategori entropi dan syntropi yang berada di luar perdebatan sosial ekonomi. Bahkan jika proses kosmis dipahami sebagai terbuka dan bumi sebagai sistem terbuka nan energik, batasan termodinamika tetap eksis. Energi material yang eksis (fosil atau nuklir) menjadi bahan bakar untuk siklus produksi industri dan dengan cara demikian berkontribusi memanaskan (melalui emisi) lingkungan alami (ibid.: 108). Sebagaimana dia berargumentasi lebih jauh, pertimbangan kategori-kategori fisika termodinamika dalam analisis sosial ekonomi membantu menyingkapkan konsekuensi untuk produksi. Namun dia bersikeras atas ekspansi konsep sosial ekonomi sejak teori-teori konvensional saat ini tidak memadai untuk memahami masalah ekologi dan dia mengacu pada kebutuhan kecocokan antara produksi dan sistem energi dalam sejarah manusia. Tesisnya yang mendasari adalah bahwa masa produksi berbasiskan sumber energi fosil akan berakhir dalam beberapa dekade ke depan, dan transisi ke masyarakat energi surya menanti serta pertukaran sumber energi primer tidak dapat terjadi tanpa perubahan sosial radikal dalam sistem sosial transformasi material dan energi (ibid.: 110). Dia menggambarkan proses restrukturisasi sosial, ekonomi dan politik yang dibutuhkan sebagai revolusi surya tanpa substansi konkrit tetapi vital sebagai suatu visi yang berorientasi ke masa depan. Bersama dengan rekan semasa hidupnya, Birgit Mahnkopf, Altvater menerangi Grenzen der Globalisierung (Batas terhadap Globalisasi) dan membawa ini lebih jauh ke dalam

Globalisierung der Unsicherheit (Globalisasi Ketidakamanan). Dia menganalisis proses sosial ekonomi dunia yang mempertahankan persaingan antara negara-negara dan kawasan dalam suatu pasar dunia yang kian dideregulasi, dan pada saat yang sama memicu klub komunitas para pemilik aset-aset finansial global, melalui globalisasi pasar keuangan dan hilangnya otonomi negara dalam pengertian kemungkinan regulasi miliknya sendiri. Referensi dia terhadap karakter terbatas model pembangunan Fordist juga menjadi sentral argumentasinya. Tidak ada kualitas politik atau sosial ekonomi dari negara-negara industri dapat digeneralisasi di seluruh dunia. Dia memformulasikan inti pendekatan tematik ini dalam sebuah esai yang ringkas (Altvater 1996) dengan memperingatkan bahwa, dalam cara yang fatal, dunia adalah terbatas dan pengejaran pembangunan oleh negara-negara Dunia Ketiga dengan tipe industrialisasi Fordist dari jenis yang dilakukan negara industri Barat adalah tidak dapat dimengerti. Bagi Altvater, koherensi sosial lokal terbukti dalam batasan ekonomi global melalui tumpang-tindih ruang-ruang fungsional (lihat Sachzwang Weltmarkt, terutama bab 25: 56194). Pembangunan dipatok dua. Pengamatan batasan-batasan dapat berhasil hanya ketika institusi-institusi politik menetapkan limit. Proposal pembangunan harus mematuhi aturan-aturan umum dan menjadi sangat spesifik. Dia mengakui bahwa hasil tantangan politik mengandung kurangnya prasyarat kebebasan keputusan lokal. Keadaan saling tergantung tidak dapat muncul sebagai ketergantungan. Sebagaimana editor Festschrift pada ulang tahunnya yang ke-60 mengakui dalam pengantar seri (Heinrich dan Messner 1998), pendekatan holistik Altvater bisa jadi kontroversial tetapi melaksanakan orientasi dan integrasi dalam dunia sains yang sangat berbeda di mana kita makin memahami detail tetapi kian kekurangan koneksi yang

lengkap. Karyanya yang berkesinambungan sejauh ini paling berpengaruh pada perdebatan-perdebatan yang merisaukan reproduksi kapitalisme dan pasar dunia, keterbatasan ekologi, teori kenegaraan dan yang lebih baru adalah tentang barang-barang publik global. Karena itu, kontribusi guna menghormati ulang tahunnya yang ke-65 berpusatkan pada isu dengan topik hangat ini (Brunnengrber 2003). Altvater memohonkan regulasi konsumsi energi, kondisi kerja dan pergerakan modal di tingkatan supra-nasional. Dalam salah satu dari beberapa karyanya yang diterbitkan dalam bahasa Inggris, dia meringkaskan posisinya sebagai berikut: Di era globalisasi, paradigma konvensional tentang kebijakan ekonomi memerlukan pemikiran ulang yang radikal. Namun, pergeseran paradigma seperti ini, akan perlu disertai oleh usaha-usaha praktis memancangkan kembali sistem ekonomi global dalam hubungan sosial baru secara kualitatif dan bentuk-bentuk regulasi politik, baik di tingkatan lokal maupun global. (Altvater 2002: 88) Sumbangsih Altvater membantu kita untuk tetap melihat hal-hal penting, termasuk etika politik-moral teori pembangunan, dan menyediakan motivasi untuk tetap terlibat. Pada suatu waktu atau lainnya, kita harus memulai, kata dia, dalam justifikasi mengenai keyakinannya sendiri: Ini terdengar idealis dan kritik idealisme menjadi sangat tajam sejak Marx. Walaupun demikian, suatu proses diprakarsai di mana moneterisasi yang fatal dan materialisme jangka pendek dicabut. Semoga kita akan mempunyai masa ini. Ini tidak meyakinkan. Sayangnya, bencana tidak dapat dikecualikan. Namun, tidak ada proyek kiri untuk bencana yang berkembang tetapi lebih pada proyek untuk menghindari malapetaka.

(Altvater 2004: halaman tak tersusun) Karya-karya utama Altvater, E. (1987) Sachzwang Weltmarkt. Verschuldungskrise, blockierte

Industrialisierung, kologische Gefhrdung der Fall Brasilien, Hamburg: VSA. (1991) Die Zukunft des Marktes. Ein Essay ber die Regulation von Geld und Natur nach dem Scheitern des real existierenden Sozialismus, Mnster: Westflisches Dampfboot. (1992) Der Preis des Wohlstands oder Umweltplnderung und neue Welt(un)ordnung, Mnster: Westflisches Dampfboot. (2002) Obsesi Pertumbuhan, dalam Panitch, L. dan Leys, C. (eds), Socialist Register 2002: A World of Contradictions, London: Merlin Press, halaman 7392. Altvater, E. dan Mahnkopf, B. (1999) Grenzen der Globalisierung. konomie, kologie und Politik in der Weltgesellschaft, Mnster: Westflisches Dampfboot (edisi ke-4, edisi yang direvisi dan diperluas; orisinal 1996). (2002) Globalisierung der Unsicherheit. Arbeit im Schatten, schmutziges Geld und informelle Politik, Mnster: Westflisches Dampfboot. Bacaan lanjutan Altvater, E. (1994) Tchernobyl und Sonnenbrand oder: Vom Sinn physikalischer Kategorien in den Sozialwissenschaften. Replik auf die Kritik von Wolfgang Hein, Peripherie 14 (54): 101112. (1996) Von mglichen Wirklichkeiten. Hindernisse auf der Entwicklungsbahn, Entwicklung und Zusammenarbeit 37 (2): 4449.

(2004) Waktu Memerlukan Radikalisme dan Radikalisme Memerlukan Waktu, diterjemahkan dari teks asli Jerman tahun 1998. Altvater, E., Hbner, K., Lorentzen, J. dan Rojas, R. (eds) (1991) The Poverty of Nations: A Guide to the Debt Crisis From Argentina to Zaire, London: Zed Books (aslinya diterbitkan pada tahun 1987 sebagai Die Armut der Nationen. Handbuch zur Schuldenkrise von Argentinien bis Zaire, West Berlin: Rotbuch). Brunnengrber, A. (ed.) (2003) Globale ffentliche Gter unter Privatisierungsdruck. Festschrift fr Elmar Altvater, Mnster: Westflisches Dampfboot. Georgescu-Roegen, N. (1971) The Entropy Law and the Economic Process, Cambridge, MA dan London: Harvard University Press. (1976) Energy and Economic Myths: Institutional and Analytical Economic Essays, New York dan Toronto: Pergamon Press. Hein, W. (1993) Elmar Altvater: Entropie, Syntropie und die Grenzen der Metaphorik, Peripherie 13(51/52): 155170. Heinrich, M. dan Messner, D. (eds) (1998) Globalisierung und Perspektiven linker Politik. Festschrift fr Elmar Altvater zum 60. Geburtstag, Mnster: Westflisches Dampfboot. Khn, R. (1995) Gesellschaftliche Grenzen der Entropie. Wider die

Thermodynamisierung der Sozialwissenschaften, Peripherie 15 (59/60): 180193. Kondepudi, D. dan Prigogine, I. (1998) Modern Thermodynamics: From Heat Engines to Dissipative Structures, New York: Wiley. Prigogine, I. dan Stengers, I. (1986) Order Out of Chaos, New York: Bantam.

(1997) The End of Certainty: Time, Chaos, and the New Laws of Nature, New York: Free Press. Henning Melber SAMIR AMIN (1931) Samir Amin merupakan pemikir Mesir/Arab yang paling dikenal di bidang teori pembangunan Marxis, pengkritik kuat kapitalisme, ekonom politik radikal, dan salah satu penyokong fanatik aktivitas anti-globalisasi. Kontribusinya terhadap teori politik hanya dapat disejajarkan dengan para pengkritik kapitalisme kontemporer Marxis, seperti Paul Baran, Andre Gunder Frank dan Immanuel Wallerstein. Umumnya, mereka menerapkan teori-teori pembangunan Marxis dalam usaha menjelaskan konsekuensi ekonomi kapitalis, pembangunan politik, budaya dan militer serta ekspansi ke negaranegara berkembang. Tulisan-tulisan akademik awal Amin mengawali kemunculan apa yang sekarang lazim dikenal sebagai studi pembangunan. Sebagai seorang ekonom, Amin memulai risetnya (19571970) dengan studi ekonomi terhadap negara-negara individual: Mali, Kongo Brazzaville (Ibu Kota Kongo), Mesir, Senegal, Ghana, Cte dIvoire dan Maghreb. Sejak itu, karya Amin telah dinotifikasikan oleh teori pembangunan awal ini, yang bermula dari sejarah Marxisme. Dipengaruhi oleh ekonomi Perang Dingin dan persaingan ideologi serta pembangunan dekade pertama yang mengecewakan, empat karya Amin yang berbasis empiris, The Maghreb in the Modern World (1970), Neo-colonialism in West Africa (1973), Unequal Development (1976) dan The Arab Nation: Nationalism and Class Struggle (1976), menggemakan frustrasi dari generasi intelektual kiri di negara-negara berkembang yang

menyaksikan pemusnahan optimisme euforia dekolonisasi. Melukiskan kemerdekaan sebagai neokolonialisme, hubungan antara Maghreb yang baru saja merdeka dengan negara-negara Afrika Barat dan bekas kekuatan kolonial yang secara ekonomi dominan, Amin mampu meramalkan pola-pola yang menggantikan dari pembangunan ekonomi masa depan negara-negara ini dan negara berkembang secara umum. Realisasi ini memengaruhi pengembangan intelektualnya selama berdekade-dekade, sebagaimana tercermin dalam pengembangan teorinya. Disertasi doktoral dia (Institute of Economics, University of Paris, 1957) berjudul Dampak Struktural Integrasi Internasional Ekonomi Prakapitalis: Studi teoritis mekanisme, yang telah menimbulkan apa yang disebut sebagai perekonomian terbelakang. Kontribusi utama Amin yang pertama terhadap teori pembangunan begitu kuat dan terus melingkupi sebagian besar dari karya intelektualnya saat ini. Karya dua seri, Accumulation on a World-Scale (1974), serta-merta diakui sebagai kontribusi besar, kemungkinan bukan karena orisinalitasnya, tetapi untuk orientasi Marxis-nya yang menemukan resonansi dalam perpecahan ideologi Perang Dingin. Pada studi ini, Amin berpendapat bahwa salah satu anomali teori pembangunan kapitalis adalah ia mencampuradukkan keterbelakangan dengan kemiskinan (ibid.: 2612). Karena ia melukiskan karakteristik ekonomi negara berkembang dengan telanjang, teori pembangunan kapitalis secara artifisial memisahkan ekonomi dari domain sosial dan organisasi politik, dan dengan melakukan ini ia mengabaikan bahwa keterbelakangan berisikan lebih dari penampilan keluar terhadap kemiskinan. Keterbelakangan digambarkan sebagai jumlah kumulatif keseluruhan sejarah ekspansi kapitalis yang secara struktural dikonstruksi sebagai suatu sistem dunia dengan pusat dan periferi

(pinggiran). Amin menyebut ini teori formasi sosial kapitalis-nya, yang menampilkan ciri-ciri tertentu dari keterbelakangan pembangunan (ibid.: 1520). Amin menjelaskan keterbelakangan pembangunan sebagai hasil dari tiga faktor. (1) Ketidakmerataan produktivitas di antara bidang-bidang atau ketidakmerataan

produktivitas sektoral antara pusat dan periferi. (2) Tiadanya artikulasi, lemahnya struktur atau distorsi perekonomian periferi (pinggiran) yang terbelakang beranggotakan sektor-sektor yang tidak terintegrasi, dengan kurangnya aliran pertukaran internal dalam upaya memuaskan permintaan eksternal yang diterapkan atas mereka oleh perekonomian pusat. (3) Pusat yang mendominasi secara ekonomi, sosial dan politik terhadap periferi. Jika ketergantungan dan integrasi ke dalam sistem dunia kapitalis menyebabkan keterbelakangan, alternatif Amin terhadap ketiadaan artikulasi menjadi tidak

terhubungkan. Pada dasarnya, teori pembangunan Amin erat terkait dengan teori ketergantungan dan peninggalan intelektualnya. Salah satu kontribusi utama Amin bagi teori pembangunan adalah kemampuannya menemukan ulang kedalaman MarxismeLeninisme dan Maoisme (ibid.: 63 dan 11216) terhadap pertanyaan nasional guna menjelaskan asal-mula keterbelakangan. Secara metodologi, dia menggali jasad Marxisme dari anteseden Baratnya dan menempatkannya kembali untuk menjelaskan keterbelakangan sebagai hasil akhir dari pengalaman kolonial di masa lalu atau hegemoni kekuatan-kekuatan eks-kolonial, pusat atas eks-koloni merekayang membentuk periferi. Sebagai sebuah proses sejarah, keterbelakangan merupakan hasil kumulatif dari pertukaran yang tidak setara, pembangunan yang tidak setara dan imperialisme (Unequal Exchange, 1973; Unequal Development, 1976; 1977). Premis sentral adalah bahwa sementara pertumbuhan ekonomi mencirikan sektor-sektor

ekonomi yang berada di pusat, ia berkontribusi terhadap berkembangnya keterbelakangan dan disartikulasi formasi sosial periferi (pinggiran). Bagi Amin, Ketidakterhubungan tidak terkait dengan pengecualian atau penarikan autarki. Ia merupakan masalah memaksakan hubungan saling menguntungkan antara berbagai bangsa dan kawasan dari keseluruhan dunia hingga pada berbagai keharusan pembangunan internal miliknya sendiri dan bukan kebalikannya. Ketidakterhubungan karenanya merupakan manifesto perubahan, penolakan gagasan bahwa ekspansi kapitalisme, dan kemudian paradigma neoliberal yang saat ini dominan, adalah tidak terhindarkan dan karenanya tidak meninggalkan kemungkinan untuk otonomi nasional. Dia menawarkan poli-sentralitas (misalnya satu planet dengan beberapa sistem yang bersaing) (Amin 1990: xii) sebagai sebuah alternatif terhadap pengecualian neo-liberal dan polarisasi pembangunan, juga dikenal sebagai

maldevelopment (ibid.: 80, 947, 12936). Untaian teoritis Amin, kecenderungan ideologi dan aktivisme paling baik digambarkan sebagai sebuah pencarian cara melakukan yang dapat diterima atau teori praktik. Banyak dari tulisan-tulisannya selama penutupan dekade abad ke-20 dan sampai saat ini telah diabdikan bagi kritik globalisasi, yang dilukiskannya sebagai bentuk baru yang ganjil untuk mengelola perekonomian internasional. Implikasi globalisasi bagi pembangunan dan teori pembangunan adalah dahsyat. Dalam Capitalism in the Age of Globalisation (1997), Amin mengunjungi kembali gagasan globalisasi polisentris dan berpendapat bahwa diperlukan untuk memperbarui kembali perspektif sosialisme global (ibid.: 6) guna mengantarkan ke dalam era proyek globalisasi alternatif yang manusiawi (ibid.:

10). Agenda seperti ini tidak dapat diwujudkan dan krisis pembangunan ditetapkan hingga kekuatan demokratis populer yang mampu mendominasi masyarakat kembali bersama-sama (ibid.: 135). Dalam skema ini, para cendekiawan ditugasi peran pelopor untuk membentuk ikatan antara pemikiran produktifnya sendiri dan aspirasi-aspirasi dengan aksi kelas-kelas populer, membuat mereka menjadi partner sosial untuk perubahan. Obsolescent Capitalism: Contemporary Politics and Global Disorder (2003) merupakan uraian pamungkas Amin terhadap ekspansi kapitalisme dari Perang 30 Tahun (1914 1945) hingga masa sekarang globalisasi neo-liberal. Di sini, Amin mengambil banyak dari tulisan-tulisan terdahulunya, termasuk Maldevelopment: Anatomy of a Global Failure (1990); Transforming the Revolution: Social Movements and the World System (1990); Empire of Chaos (1992) dan Re-reading the Post-war Period (1994). Masa depan kapitalisme telah diramalkan dengan tujuan utama menjawab satu pertanyaan penting, Apakah perkembangan sekarang ini dari sistem kapitalis dunia adalah permanen atau sementara atau adakah, tanda-tanda keusangan sistem yang harus diatasi kalau peradaban manusia hendak bertahan? (Amin 2003: 1). Secara teoritis, seri ini menawarkan konfirmasi terhadap interpretasi Marxis dari Amin mengenai keadaan Dunia, mengklaim bahwa Hukum Marx tentang pemiskinan yang diakibatkan oleh akumulasi kapitalis telah lebih menonjol terkonfirmasikan pada skala dunia selama dua abad terakhir (ibid.: 3). Perwujudan di mana negara-negara bekas komunis seperti Rusia dan China yang tunduk pada kekuatan ekonomi kapitalisme global (Empire of Chaos, 1992) menciptakan kebutuhan bagi Amin untuk memikirkan kembali teori pembangunan. Pada tulisan-

tulisannya yang terakhir, dia mendefinisikan pembangunan sebagai konsep yang tidak berkonotasi mengejar, tetapi sebagai gantinya ia meliputi proyek masyarakat (alternatif) yang sangat berbeda, yang tujuan dua kali lipatnya adalah: (a) membebaskan kemanusiaan dari keterasingan ekonomi; dan (b) mengakhiri peninggalan polarisasi pada skala dunia. Tujuan ini, menurut Amin, tidak dapat direalisasikan tanpa partisipasi aktif keseluruhan populasi dunia karena masalah yang dihadapi umat manusia telah menjadi dimensi global yang lebih mendalam (ibid.: 34). Kapitalisme menjadi usang karena ia merupakan sebuah sistem tua yang telah memasuki kondisi kekacauan permanen, memicu pada transisi panjang terhadap sosialisme atau malapetaka dan bunuh diri kemanusiaan. Kapitalisme adalah usang karena: (1) revolusi sains dan teknologi yang terjadi sekarang ini menunjukkan bahwa kapitalisme telah kelelahan atas ketergantungannya pada tenaga kerja, karena itu menghambat kemungkinan keberlanjutan akumulasi; (2) Tiga serangkai1 imperialisme kolektif yang beroperasi pada skala dunia tidak lagi memungkinkan cita-cita ketergantungan pembangunan kapitalis di periferi. Dalam pandangan Amin, jika: Tiga serangkai imperialisme kolektif, terutama di pusatnya pusat Amerika, tidak lagi berfungsi sebagai eksportir modal ke wilayah pinggiran (periferi), tetapi bergantung pada surplus yang dihasilkan di seluruh dunia, tiga serangkai ini tidak lagi signifikan sekaligus tergantung pada diskursus media manufaktur untuk bertahan, apakah ini tidak menyimbolkan keusangan sistem yang tidak memiliki apapun untuk ditawarkan kepada 80% populasi dunia? (2003: 934)

Karena hegemoni Amerika Serikat dan proyek neo-liberal kanannya tumbuh subur pada kapitalisme yang sudah usang, alternatifnya adalah abad ke-21 non-Amerika yang persyaratan dasarnya meliputi: (1) pergeseran sistem dunia unipolar saat ini dengan yang multipolar (demokratis dan berbasis regional), berimplikasi bahwa keusangan kapitalisme berkaitan dengan kediktatoran modal transnasional, menyerang segala gagasan swasembada, dan mengancam ketidakterhubungan serta konstruksi nasional sebagai proteksionisme regresif (ibid.:30). (2) Abad ke-21 seharusnya lebih radikal daripada abad ke-20 dan sebagai ganti menoleh kembali pada sejarah Marxisme, sejarah Keynesianisme dan populisme nasional, neo-Marxisme, neo-Keynesianisme dan pascakapitalisme menjadi respons pelawan terhadap kapitalisme liberal yang mengglobal (ibid.: 1368). (3) Abad ke-21 non-Amerika memerlukan pembangunan konvergensi pergerakan sosial dan politik yang memberi ekspresi terhadap para korban kapitalisme neo-liberal global, sebuah tugas yang pada akhirnya menuntut penghormatan atas keberagaman. Tidak seperti abad ke-20, abad ke-21 memerlukan pembangunan suatu Kiri dengan strategi dan taktik alternatif untuk sebuah front bersatu guna mendukung keadilan sosial dan internasional (ibid.: 1407). Sumbangsih Amin terhadap teori pembangunan dapat diringkaskan pada empat poin: Pertama, aplikasi kritis dan inovatif teori Marxis klasik untuk menjelaskan keterbelakangan atau kekeliruan pembangunan (maldevelopment) sebagai fenomena yang dibentuk oleh sistem kapitalis, berimplikasi bahwa nasib negara-negara terbelakang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan di dunia kapitalis. Kedua, keterbelakangan pembangunan merupakan produk neo-kolonialisme sebagaimana ditransformasikan selama dekade-dekade akhir abad ke-20 ke dalam apa yang digambarkannya sebagai

kapitalisme neo-liberal global, yang membawa lambang dan asal-usul keusangan kapitalisme. Ketiga, ketidakterhubungan dalam dunia yang poli-sentris dan meregional didasarkan pada kerjasama antara negara-negara autosentris yang mampu mengarahkan perekonomian mereka agar tidak terkejar oleh kapitalisme usang tetapi untuk menciptakan alternatif bagi hegemoninya yang terbaik dan memercayai kematian yang terburuk. Keempat, transformasi tatanan global saat ini dimungkinkan hanya melalui pembangunan konvergensi di dalam keanekaragaman pada suatu masyarakat dengan keadilan global di mana pergerakan sosial menciptakan ruang bagi partisipasi rakyat (Amin 1987). Tujuan keseluruhan solidaritas dan keterlibatan dengan keadilan sosial adalah untuk menimbulkan transisi panjang ke sosialisme dunia, menyiratkan ketidakterhubungan sistem kriteria rasionalitas ekonomi dari sistem kriteria yang diturunkan dari kepatuhan ke nilai dunia yang mengglobal (Amin 2003: 159). Agaknya, Amin masih merupakan seorang Marxis yang optimistis, berharap bahwa tujuan akhir pembangunan adalah transisi panjang ke dunia sosialisme, yang pada akhirnya akan menggantikan keusangan kapitalisme. Catatan 1 Tiga serangkai mengacu pada dogma Marxis bahwa sejarah manusia ditentukan sebelumnya, berkembang dalam tiga tahapan dasar (triad), dengan dua tahapan akhir adalah sosialisme dan komunisme. Karya-karya utama Amin, S. (1970) The Maghreb in the Modern World, Harmondsworth: Penguin. (ed.) (1972) Migrasi Modern di Afrika Barat, Studi yang dipresentasikan dan didiskusikan pada Seminar Afrika Internasional ke-11, Dakar, April.

(1973) Neo-colonialism in West Africa, Harmondsworth: Penguin Books. (1973) Unequal Exchange, Imperialism and Underdevelopment: An Essay on the Political Economy of World Capitalism, Ranjit Sau: Calcutta dan Oxford University Press. (1974) Akumulasi dan Pembangunan: Sebuah Model Teoritis, Review of African Political Economy 1: 1926. (1974) Accumulation on a World-Scale: A Critique of the Theory of Underdevelopment, New York: Monthly Review Press. (1976) The Arab Nation: Nationalism and Class Struggle, London: Zed Press. (1976) Unequal Development: An Essay on the Social Formations of Peripheral Capitalism, Hassocks: Harvester Press. (1977) Imperialism and Unequal Development, Brighton: Harvester Press. (1978) The Law of Value and Historical Materialism, New York: Monthly Review Press. (1980) The Arab Economy Today, London: Zed Press. (1981) The Future Maoism, New York: New Left Review. (1987) Demokrasi dan Strategi Nasional di Periferi, Third World Quarterly 9: 11291156. (1990) Delinking: Towards a Polycentric World, London: Zed Books. (1990) Maldevelopment: Anatomy of a Global Failure, London: Zed Books. (1990) Transforming the Revolution: Social Movements and the World System, New York: Monthly Review Press.

(1991) Sistem Dunia Kuno versus Sistem Dunia Kapitalis Modern, New Left Review 14(3): 349385. (1992) 30 Tahun Kritik Sistem Soviet, Monthly Review 44(1): 4350. (1992) Empire of Chaos, New York: Monthly Review Press. (1993) Sejarah dan Etika Materialisme, Monthly Review 45(1): 4456. (1994) Re-reading the Postwar Period: An Intellectual Itinerary, New York: Monthly Review Press. (1997) Capitalism in the Age of Globalisation, London: Zed Books. (1998) Specters of Capitalism: A Critique of Current Intellectual Fashions, New York: Monthly Review Press. (2003) Obsolescent Capitalism: Contemporary Politics and Global Disorder, London: Zed Books. M.A. Mohamed Salih A.T. ARIYARATNE (1931) Kontribusi distingtif A.T. Ariyaratne sebagai pemikir kunci terletak pada usaha-usaha seumur hidupnya untuk mengikuti jalur baru pembangunan, independen baik dari kapitalisme maupun sosialisme. Dia adalah pemimpin gerakan Sarvodaya Shramadana, organisasi non-pemerintah (LSM) terbesar yang terlibat dalam pembangunan dan pengurangan beban kemiskinan di Sri Lanka sekarang ini. Visi Sarvodaya untuk suatu masyarakat baru tanpa kemiskinan dan tanpa kekayaan didasarkan pada filosofi Gandhi tentang kebenaran, tanpa kekerasan, dan pengorbanan diri. Istilah Sarvodaya berasal dari dua kata Sansekerta sarva (universal) dan udaya (kebangkitan). Ariyaratne menggunakan kata sarvodaya dalam dua cara, untuk

memaksudkan kebangkitan seluruh rakyat dan kebangkitan individu-individu di semua bidangpsikologi, moral dan spiritual, sebagaimana juga sosial, ekonomi dan politik. Istilah shramadana juga diturunkan dari dua kata Sansekerta, shrama (tenaga kerja) dan dana (anugerah), yakni, anugerah tenaga kerja. Dalam bahasa Sinhala dua kata sarvodaya shramadana memiliki makna membagikan waktu, pemikiran dan energi seseorang untuk kebangkitan semuanya (Dana, Feb. 1987: 15). Sarvodaya meyakini bahwa pembangunan mencakup lebih daripada pertumbuhan material. Ia mencakup dimensi psikologi, moral dan spiritual sebagaimana juga sosial, ekonomi dan politik. Shramadana atau anugerah tenaga kerja mengisyaratkan baik tenaga kerja fisik maupun mental. Shramadana-nya Ariyaratne menggambarkan jaringan sosial, sumbangan tenaga kerja, keahlian dan kerjasama, menunjukkan bagaimana modal sosial dapat menciptakan kekayaan material. Dr Ariyaratne dilahirkan di desa Unawatuna, Distrik Galle, dan setelah lulus bekerja sebagai guru di Kota Galle sebelum mengikuti sekolah pelatihan guru. Pada tahun 1958, sebagai seorang guru sains yang baru di Nalanda College, sebuah sekolah menengah Buddha di Kolombo (di mana dia mengabdi di sana sampai tahun 1972), bersama dengan para muridnya dia mengorganisir pelatihan sukarela (shramadana) pertama dari beberapa yang diadakannya di salah satu desa termiskin di pulau itu. Pelatihan kerja berisikan caracara menggali sumur, membangun lubang kakus, berladang dan berkebun, serta membuka jalanan pinggiran dengan menggunakan tenaga kerja siswa dan warga desa yang kooperatif. Melakukan pekerjaan manual bersama para warga desa miskin merupakan pengalaman transformatif bagi para siswa yang berasal dari kelas menengah

dan kelas atas perkotaan. Ini merupakan sebuah contoh dini dari apa yang sekarang kita sebut sebagai pembelajaran pelayanan. Ariyaratne menerima gelar umum Bachelor of Arts dari Universitas Vidyodaya Sri Lanka, lulus dalam bidang ilmu ekonomi, bahasa Sinhala dan pendidikan. Belakangan dia menerima gelar doktor kehormatan dari universitas yang sama, dan doktor humaniora dari Universitas Amelio Aguinaldo di Filipina. Sebagai pendiri sekaligus pemimpin gerakan Sarvodaya Shramadana, Ariyaratne menerima sejumlah penghargaan

internasional termasuk Raman Magsaysay Award for Community Leadership dari Filipina (1969), Feinstein World Hunger Award dari Universitas Brown di Rhode Island (1986), Hadiah Perdamaian Niwano dari Jepang (1992) dan Hadiah Perdamaian Mahatma Gandhi dari India (1996). Walaupun ada banyak publikasi atas nama dia (Ariyaratne 1988, 1999) dan banyak lagi mengenai dia (Bond 2004; Macy 1985), Ariyaratne tidak secara luas dipandang sebagai ahli teori pembangunan. Menurut situsnya sendiri, dia tidak dituntun oleh teori. Dia ingin mempraktikkan lebih dulu dan melafalkan teorinya belakangan. Dan praktik haruslah bermakna; teori seharusnya hanya mengikutinya. Sekarang di usia 74 tahun, Ariyaratne tetap aktif dalam pengembangan komunitas, tetapi kian mengalihkan perhatiannya pada salah satu masalah sentral Sri Lanka, kekerasan politik dan konflik militer yang sudah lama berlangsung dengan Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE). LTTE telah berperang sejak tahun 1983 bagi sebuah negara terpisah untuk minoritas etnis Tamil dengan alasan mereka menderita diskriminasi di tangan mayoritas Sinhala. Sejak permulaannya di tahun 1958, Sarvodaya tampak telah berkembang melalui empat fase (Bond 2004: 742). Selama periode 19581967, Sarvodaya terutama adalah gerakan

kamp kerja sukarela. Kamp kerja dimulai oleh Ariyaratne plus para siswanya di tahun 1958 yang sangat berhasil dan ia meluncurkan gerakan sosial yang lebih besar dan dengan cepat tersebar ke sekolah-sekolah menengah serta desa-desa lainnya. Pada masa ini sumber daya berasal sepenuhnya dari donasi lokal dan tenaga kerja sukarela. Pada periode kedua (19671983), Sarvodaya menjadi sebuah LSM (lembaga swadaya masyarakat) formal. Pada 1972 gerakan ini diakui oleh UU Parlemen dan dimasukkan sebagai badan hukum. Ia mulai menarik banyak pendanaan asing, menjadi LSM sepenuhnya dengan portofolio besar proyek-proyek untuk pembangunan ekonomi pedesaan, dan mengadopsi metode akuntansi biaya, pemantauan dan evaluasi. Seiring ia mulai bertumbuh, Sarvodaya menjauh dari ideologi revolusi sosial, bekerjasama dengan lebih erat bersama pemerintah, dan bertindak dalam kapasitas sebagai badan perpanjangan. Terpisah dari skema-skema desa lokal, Sarvodaya juga menjalankan beberapa proyek nasional yang didanai secara memadai untuk pembangunan usaha, teknologi alternatif dan perawatan anak. Semasa periode ketiga (19831997), konflik antara pemerintah dengan milisi LTTE makin intensif dan menyebar; korban sipil baik dari etnis mayoritas Sinhala maupun etnis minoritas Tamil berjatuhan. Dengan pendanaan dari asing, Sarvodaya mengoperasikan program besar yang menawarkan rehabilitasi dan bantuan kerja di desa-desa yang paling terpengaruh oleh pemberontakan Macan Tamil. Selama periode ini kerjasama erat dengan pemerintah mencapai akhirnya karena Ariyaratne menentang kebijakan mengupayakan solusi militer terhadap masalah LTTE. Mengambil dari prinsip-prinsip non-kekerasan Gandhi dan Buddha, Sarvodaya meletakkan rencana bagi resolusi damai konflik melalui sarana-sarana spiritual tetapi

konflik yang lebih besar justru berlanjut. Pada periode akhir (1997 ), kita menyaksikan bukti nyata Sarvodaya bahkan mengambil sikap yang lebih kuat menentang solusi militer. Sarvodaya dengan terbuka mendeklarasikan bahwa baik pemerintah maupun LTTE tidak dapat memenangkan perang; seluruh yang mereka dapat kerjakan adalah menarik diri dari konflik. Di sisi lain, Sarvodaya mengklaim pihaknya mengetahui bagaimana membantu untuk melampaui perang. Karena itu ia mengorganisir gerakan damai berskala besar, mengumumkan kerangka kerja kekuasaan alternatif demi resolusi konflik, dan menggelar beberapa meditasi damai yang dihadiri banyak pihak. Ia juga memulai program sister village dengan para warga desa dari wilayah selatan berpergian ke desadesa yang dikoyak perang di utara guna melakukan pekerjaan rehabilitasi seperti memperbaiki rumah, sumur, tangki air, sekolah, toilet dan tempat ibadah. Karena Ariyaratne tetap sentral bagi Sarvodaya, sejarah singkat ini menunjukkan potensi filosofinya untuk mencapai pemberdayaan pribadi dan rekonsiliasi nasional melalui aksi non-kekerasan, spiritualitas, belas kasihan d