15
DETEKSI POLA PATAHAN DI DESA RENOKENONGO PORONG SIDOARJO DENGAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER Oleh : *Galik Panggah Waluyo Dr. Widya Utama, DEA Laboratorium Geofisika Jurusan Fisika FMIPA ITS Surabaya Jl. Arief Rahman Hakim Sukolilo Surabaya 60111 *E-mail: [email protected] Abstrak Semburan lumpur Porong Sidoarjo telah menyebabkan terjadi patahan. Patahan ini terjadi akibat perubahan porositas di bawah permukaan karena keluarnya massa batuan. Akibat dari terjadinya patahan ini adalah rusaknya sarana dan prasana yang di lewatinya. Keberadaan patahan ini dapat didetaksi dengan menggunakan metode geolistrik ( tahanan jenis 2D) konfigurasi Wenner, dengan memanfaatkan perbedaan tahanan jenis target terhadap tahanan jenis batuan sekitarnya. Konfigurasi dilakukan sebanyak tiga lintasan. Lintasan pertama dibentangkan sepanjang 200 meter dan arah E98°S, lintasan kedua sepanjang 120 meter dengan arah N5°E dan lintasan ketiga sepanjang 150 meter dan arah E90°S. Dari penampang resistivitas yang dihasilkan, diperoleh pendugaan posisi patahan/retakan. Untuk lintasan 1 posisi patahan/retakan berada pada titik 43 m; 57 m; 77 m; 98 m; 110 m; 125 m; 136 m. Pada lintasan 2 posisi patahan berada pada titik 50 m dan 100 m. Kata kunci : Geolistrik, Patahan, Konfigurasi Wenner Pendahuluan Erupsi lumpur panas telah terjadi di Porong, Kabupaten Sidoarjo. Erupsi dimulai oleh semburan kecil gas putih- kelabu dan diiringi dengan air lumpur. Hasil erupsi tersebut telah menggenangi daerah seluas kurang lebih 600 ha dan menenggelamkan sarana dan prasarana kehidupan masyarakat sekitar seperti yang terlihat pada Gambar 1. Gambar 1. Luberan Lumpur Hasil Erupsi Lumpur Panas Sidoarjo. Penimbunan massa yang demikian luar biasa telah menimbulkan ketidak- stabilan bentuk muka bumi di daerah Porong. Hal ini merupakan ancaman utama terhadap semua aspek kehidupan masyarakat di sekitar semburan lumpur Sidoarjo. Sardjono (2007) dalam penelitiannya mengatakan bahwa, semburan lumpur panas yang terjadi di sekitar sumur eksplorasi BJP-1 keluar dari suatu bidang lemah yang dalam hal ini adalah patahan/sesar Watukosek, sedangkan patahan dangkal yang bersifat konsentris disekitar sumur BJP-1 disebabkan oleh adanya amblesan akibat perubahan Struktur elstisitas di bawah permukaan karena keluarnya massa batuan bawah permukaan. Patahan tersebut tampak jelas di desa Renokenongo dan telah merusak beberapa sarana dan prasarana masyarakat seperti rel kereta api dan halaman masjid seperti terlihat pada Gambar 2. 112 º45’00”BT 07º30’30”LS 07º33’00”LS 112 º42’00”BT U B T S

DETEKSI PATAHAN REGIONAL DI DESA … · DETEKSI POLA PATAHAN DI DESA RENOKENONGO PORONG SIDOARJO DENGAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER Oleh : *Galik Panggah Waluyo Dr. Widya

Embed Size (px)

Citation preview

DETEKSI POLA PATAHAN DI DESA RENOKENONGO PORONG SIDOARJO

DENGAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER

Oleh :

*Galik Panggah Waluyo

Dr. Widya Utama, DEA

Laboratorium Geofisika Jurusan Fisika FMIPA ITS Surabaya

Jl. Arief Rahman Hakim Sukolilo Surabaya 60111

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Semburan lumpur Porong Sidoarjo telah menyebabkan terjadi patahan. Patahan ini

terjadi akibat perubahan porositas di bawah permukaan karena keluarnya massa batuan. Akibat dari terjadinya patahan ini adalah rusaknya sarana dan prasana yang di lewatinya.

Keberadaan patahan ini dapat didetaksi dengan menggunakan metode geolistrik ( tahanan

jenis 2D) konfigurasi Wenner, dengan memanfaatkan perbedaan tahanan jenis target terhadap tahanan jenis batuan sekitarnya.

Konfigurasi dilakukan sebanyak tiga lintasan. Lintasan pertama dibentangkan

sepanjang 200 meter dan arah E98°S, lintasan kedua sepanjang 120 meter dengan arah N5°E dan lintasan ketiga sepanjang 150 meter dan arah E90°S. Dari penampang resistivitas

yang dihasilkan, diperoleh pendugaan posisi patahan/retakan. Untuk lintasan 1 posisi

patahan/retakan berada pada titik 43 m; 57 m; 77 m; 98 m; 110 m; 125 m; 136 m. Pada

lintasan 2 posisi patahan berada pada titik 50 m dan 100 m.

Kata kunci : Geolistrik, Patahan, Konfigurasi Wenner

Pendahuluan

Erupsi lumpur panas telah terjadi

di Porong, Kabupaten Sidoarjo. Erupsi

dimulai oleh semburan kecil gas putih-kelabu dan diiringi dengan air lumpur.

Hasil erupsi tersebut telah menggenangi

daerah seluas kurang lebih 600 ha dan menenggelamkan sarana dan prasarana

kehidupan masyarakat sekitar seperti yang

terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Luberan Lumpur Hasil Erupsi

Lumpur Panas Sidoarjo. Penimbunan massa yang demikian

luar biasa telah menimbulkan ketidak-

stabilan bentuk muka bumi di daerah Porong. Hal ini merupakan ancaman

utama terhadap semua aspek kehidupan

masyarakat di sekitar semburan lumpur

Sidoarjo. Sardjono (2007) dalam

penelitiannya mengatakan bahwa,

semburan lumpur panas yang terjadi di sekitar sumur eksplorasi BJP-1 keluar dari

suatu bidang lemah yang dalam hal ini

adalah patahan/sesar Watukosek, sedangkan patahan dangkal yang bersifat

konsentris disekitar sumur BJP-1

disebabkan oleh adanya amblesan akibat

perubahan Struktur elstisitas di bawah permukaan karena keluarnya massa batuan

bawah permukaan. Patahan tersebut

tampak jelas di desa Renokenongo dan telah merusak beberapa sarana dan

prasarana masyarakat seperti rel kereta api

dan halaman masjid seperti terlihat pada Gambar 2.

112 º45’00”BT

07º30’30”LS

07º33’00”LS

112 º42’00”BT

U

B T

S

2

Gambar 1.2 Kerusakan yang Ditimbulkan

oleh Patahan di Desa Renokenongo.

Gambar 2. Halaman Masjid dan Rel

Kereta Api yang melengkung akibat

aktivitas Patahan.

Salah satu metode yang dapat

digunakan untuk mendeteksi patahan adalah metode geolistrik. Metode

geolistrik merupakan salah satu metode

geofisika untuk mempelajari sifat aliran listrik di dalam bumi dan cara

mendeteksinya di permukaan bumi. Dalam

hal ini meliputi pengukuran potensial,

pengukuran arus baik secara alamiah maupun akibat injeksi arus ke dalam bumi.

Konduktivitas Listrik Batuan Pada bagian batuan, atom-atom

terikat secara ionik atau kovalen. Karena

adanya ikatan ini maka batuan mempunyai sifat menghantarkan arus listrik. Menurut

Hendrajaya dan Arif (1990), aliran arus

listrik di dalam batuan/mineral dapat

digolongkan menjadi 3 macam yaitu: a. Konduksi elektronik

Konduksi ini adalah tipe normal dari

aliran arus listrik dalam batuan/mineral. Hal ini terjadi jika

batuan/mineral tersebut mempunyai

banyak elektron bebas. Akibatnya arus

listrik mudah mengalir pada batuan ini.

Sebagai contoh, batuan yang banyak mengandung logam.

b. Konduksi elektrolitik

Konduksi jenis ini banyak terjadi pada

batuan/mineral yang bersifat porus dan dalam pori-pori tersebut terisi oleh

larutan elektrolit. Dalam hal ini arus

listrik mengalir akibat dibawa oleh ion-ion larutan elektrolit. Konduksi dengan

cara ini lebih lambat dari pada

konduksi elektronik. c. Konduksi dielektrik

Konduksi ini terjadi pada batuan yang

bersifat dielektrik, artinya batuan

tersebut mempunyai elektron bebas sedikit bahkan tidak ada sama sekali.

Tetapi karena adanya pengaruh medan

listrik dari luar, maka elektron-elektron dalam atom batuan dipaksa berpindah

dan berkumpul terpisah dengan intinya

sehingga terjadi polarisasi. Peristiwa ini sangat bergantung pada konstanta

dielektrik batuan yang bersangkutan.

Potensial dalam Medium Homogen Apabila suatu medium homogen

dialiri arus listrik dengan rapat arus J

dan kuat medan listrik E , maka menurut hukum Ohm:

1J E

(2.1)

dengan E dalam Volt/meter, adalah

resistivitas medium. Diketahui bahwa

medan listrik E merupakan gradien dari potensial skalar.

E V

(2.2)

dengan memasukkan persamaan (2.2) ke

dalam persamaan (2.1) diperoleh:

1J V

(2.3)

dengan mengingat syarat batas, bahwa

arus yang memasuki suatu luasan tertentu

sama dengan arus yang meninggalkannya, kecuali di tempat sumber arus dan lubuk

arus, maka:

. 0J

3

1. . 0J V

(2.4)

2 0V (2.5)

Elektroda Arus Tunggal pada

Permukaan Medium Homogen Isotrop

Bila arus I dialirkan melalui sebuah elektroda arus C pada permukaan

medium homogen isotrop, seperti pada

Gambar 3. Maka potensial di suatu titik yang berjarak r dari sumber dapat dicari

melalui persamaan (2.5) dengan

menggunakan koordinat bola yaitu:

2

2

2 2 2 2 2

1 1 1sin 0

sin sin

V V Vr

r r r r r

(2.6)

Gambar 3. Medan Potensial dan Arah

Arus dari Sumber Titik di Permukaan(Telford,1976)

Karena aliran arus listrik simetri terhadap

θ dan φ maka diperoleh:

2

2

10

Vr

r r r

(2.7)

atau 2

2

20

d V dV

dr r dr (2.8)

Penyelesaian persamaan (2.8) sebagai

persamaan orde 2, dengan mengalikan r2

kemudian mengintegralkan dapat

diperoleh:

2

dV B

dr r (2.9)

Integrasi dari persamaan (2.9):

2

1dV B dr

r (2.10)

dan diperoleh:

BV C

r (2.11)

Syarat batas, bila r →∞, maka V = 0 dan C = 0, dengan B dan C adalah konstanta.

Arus mengalir keluar melalui setengah

luasan bola secara radial, sehingga jumlah arus yang melintasi permukaan bola

diberikan persamaan:

2

A dV A BI

dr r

2

2

12

BI r

r

2B

I

(2.12)

dari persamaan (2.12) diperoleh

persamaan:

2

IB

(2.13)

dengan A adalah luasan setengan bola =

2 r dan adalah resistivitas medium.

Sehingga persamaan (2.11) menjadi:

2

IV

r

2.14)

Dalam permasalahan titik arus di

permukaan bumi dari persamaan (2.14)

diperoleh rumus matematika harga

resistivitasnya adalah:

2 rV

I

(2.15)

Untuk medium homogen isotrop.

Elektroda Arus Ganda dengan Polaritas

Berlawanan pada Permukaan Medium

Homogen Isotrop

Bentuk permukaan ekipotensial dan arah aliran arus listrik yang terjadi

akibat adanya dua buah sumber arus yang

saling berlawanan polaritasnya (besar

sama yaitu I) dapat dilihat pada Gambar 4.

C

4

Gambar 4. Distribusi Potensial dan Aliran

Arus oleh Sumber Arus Ganda di Permukaan.

Pada metode geolistrik, arus listrik dimasukkan melalui elektroda C1 dan C2.

Sedangkan beda potensial diukur pada

elektroda potensial P1 dan P2 yang terletak di antara C1 dan C2 seperti yang terlihat

pada Gambar 5.

C1 P1 P2 C2

,,

Gambar 5. Susunan Elektroda Ganda di Permukaan Homogen

(Telford, 1976).

Dari Gambar 5. diperoleh

persamaan untuk elektroda arus ganda

pada permukaan medium.

1

1 2

1 1

2P

IV

r r

2

3 4

1 1

2P

IV

r r

(2.16)

sehingga beda potensialnya adalah

1 2P PV V V

1 2 3 4

1 1 1 1

2

IV

r r r r

(2.17)

atau

dapat ditulis menjadi:

VK

I

(2.18)

Sementara itu harga K ditunjukkan dalam

persamaan sebagai berikut: 1

1 2 3 4

1 1 1 12K

r r r r

(2.19)

K adalah faktor geometri yang besarnya tergantung dari susunan elektroda yang

digunakan sebagai koreksi dalam

pengolahan data.

Metode Geolistrik

Metode geolistrik merupakan salah satu metode geofisika yang

mempelajari sifat aliran listrik di dalam

bumi dan bagaimana cara mendeteksinya

di permukaan bumi. Dalam hal ini meliputi pengukuran potensial,

pengukuran arus baik secara alamiah

maupun akibat injeksi arus ke dalam bumi.

Metode Geolistrik Tahanan Jenis.

Berdasarkan pada tujuan

penyelidikan, metode geolistrik tahanan jenis dapat dibagi menjadi dua kelompok

besar yaitu:

a. Metode Tahanan Jenis Mapping Metode tahanan jenis mapping

merupakan metode tahanan jenis yang

bertujuan untuk mempelajari variasi resistivitas bawah permukaan secara

lateral.

b. Metode Tahanan Jenis Sounding

Metode tahanan jenis sounding bertujuan untuk mempelajari variasi

resistivitas batuan di bawah permukaan

bumi terhadap kedalaman.

Konfigurasi Elektroda Wenner Konfigurasi Wenner merupakan

salah satu konfigurasi yang sering

digunakan dalam eksplorasi geolistrik

dengan susunan jarak antar elektroda sama panjang seperti yang terlihat pada Gambar

6.

Power I

V

r1 r2

r3

r4

5

………………………… . C1 P1 P2 C2

Gambar 6. Susunan Elektroda Konfigurasi Wenner (Hendrajaya dan Arif,

1990).

Dalam hal ini elektroda-elektroda, baik arus maupun potensial diletakkan

secara simetris terhadap titik sounding.

Jarak antar elektroda arus tiga kali jarak

antar elektroda potensial. Jadi, jika jarak masing-masing potensial terhadap titik

souding adalah a/2 maka jarak masing-

masing elektroda arus terhadap titik sounding adalah 3a/2.

Pada tahanan jenis mapping, jarak

spasi elektroda tersebut tidak berubah-ubah untuk setiap titik sounding yang

diamati (besarnya a tetap). Sedangkan

pada tahanan jenis sounding, jarak spasi

elektroda tersebut diperbesar secara gradual, mulai dari harga “a” kecil, untuk

suatu titik sounding. Model pengukuran 2-

D dengan metode Wenner terlihat pada Gambar 7.

Gambar7. Model Pengukuran 2D dengan

Konfigurasi Wenner. (Loke, 1999).

Batas pembesaran spasi elektroda

ini tergantung pada kemampuan alat yang

dipakai. Semakin sensitif dan besar arus yang dapat dihasilkan alat tersebut, maka

semakin besar pula jarak spasi yang dapat

diukur, sehingga semakin dalam pula

lapisan yang terdeteksi. Adanya sifat bahwa pembesaran

jarak elektroda arus diikuti pula oleh

pembesaran jarak elektroda potensial

menyebabkan jenis konfigurasi Wenner dapat mendeteksi ketidak-homogenan

lokal dari lokasi yang diamati.

Dalam prosedur Wenner pada tahanan jenis mapping, empat elektroda

konfigurasi (C2P2P1C1) dengan spasi yang

sama dipindahkan secara keseluruhan dengan jarak yang tetap sepanjang garis

pengukuran. Pemilihan spasi terutama

tergantung pada kedalaman lapisan yang

akan dipetakan (Sharma, 1997). Konfigurasi Wenner mempunyai

kelebihan dan kekurangan. Menurut

Burger (2006), kelebihan konfigurasi Wenner adalah dengan lebar spasi

elektroda potensial yang besar maka tidak

memerlukan peralatan yang sensitif. Sedangkan kekurangannya adalah semua

elektroda harus dipindahkan untuk setiap

pembacaan data resistivitas. Hal ini untuk

mendapatkan sensitifitas yang lebih tinggi untuk daerah lokal dan variasi lateral dekat

permukaan.

Kedalaman investigasi yang dicapai oleh konfigurasi Wenner dengan

menggunakan penetrasi kedalaman adalah:

Ze = 0,519 × “a”

Sedangkan faktor geometri Wenner sebesar:

1

1 1 1 12

2 2K

a a a a

(2.20)

2K a (2.21)

Dari hambatan jenis yang terbaca dalam

konfigurasi Wenner dapat dinyatakan

dalam rumus: 2aw

Va

I

(2.22)

Pengertian Patahan/Sesar

Menurut Hendrajaya dan Simpen

(1993), bahwa sesar adalah struktur geologi yang terbentuk karena terdapatnya

dislokasi atau patahan yang memotong

bidang-bidang perlapisan antar batuan. Pada umumnya bidang sesar terisi oleh

fluida atau mineral yang relatif lebih

kondusif dari batuan sekitarnya. Hal ini akan mengakibatkan penurunan

I

V

a a a

6

resistivitas. Jadi pada sesar/patahan akan

mempunyai resistivitas yang relatif lebih rendah dari daerah sekitarnya.

Metode Penelitian

Pada penelitian ini, dilakukan sebanyak tiga buah lintasan. Lintasan 1

sepanjang 200 meter dengan titik awal

(titik 0 meter) berada pada koordinat 112°43’03,2” BT dan 07°31’53,6” LS

yang membentang ke arah E 98° S di bahu

jalan, lintasan 2 sepanjang 120 meter dengan titik awal (titik 0 meter) berada

pada koordinat 112°43’10,2” BT dan

07°31’53,5” LS yang membentang ke arah

N 5° E di bahu jalan dan lintasan 3 sepanjang 150 meter dengan titik awal

(titik 0 meter) berada pada koordinat

112°43’39,3” BT dan 07°31’52,2” LS yang membentang ke arah E 90° S di bahu

jalan. Pada konfigurasi ini, spasi terkecil

antar elektroda yang digunakan adalah 5 meter.

Gambar 9. Posisi Lintasan Pengukuran

yang Dilakukan di Desa Renokenongo.

Tinjauan Geologi Daerah Penelitian

Secara umum daerah

Renokenongo termasuk pada morfologi kabupaten Sidoarjo yang berupa dataran

rendah, dengan topografi yang seragam

dan tanahnya merupakan endapan alluvial dan batuan sedimen yang merupakan

batuan induk seperti yang terlihat pada

Gambar 10.

Gambar 10. Peta Geologi Kecamatan

Porong.

Sedangkan geologi struktur yang terdapat pada kabupaten Sidoarjo adalah

pemunculan batuan Kuarter bawah yang

cenderung berumur tersier, seperti yang tampak pada lapisan lempung pasiran di

sekitar Driyorejo. Dengan adanya

pemunculan batuan tersier di permukaan menunjukkan bahwa daerah kabupaten

Sidoarjo pernah terganggu oleh tektonik

yang berupa pengangkatan di bagian utara

Mojokerto, lebih jelas dapat dilihat pelipatan yang bergelombang dari lapisan

batuan sedimen tersier yang

penyebarannya menerus hingga daerah Surabaya, lipatan-lipatan tersebut

membentuk struktur antiklin dan sinklin.

Sedangkan di bagian selatan ke arah

wilayah kabupaten Pasuruan secara tiba-tiba berubah menjadi daerah perbukitan

yang terdiri dari batuan vulkanik muda

dan batuan sedimen bersifat lempungan berumur kuarter.

Dalam tatanan geologi Jawa

Timur, lumpur Porong terdapat di "Cekungan pengendapan Porong" (Porong

Sub-Basin) yang terletak diantara sesar-

sesar (patahan) yang sebagian masih aktif,

merupakan bagian dari Cekungan Sentral (Central Deep) yang mempunyai tatanan

geologi dan struktur yang kompleks.

Menurut van Bemmelen (1949), data geologi menunjukkan bahwa baik

stratigrafi maupun tektonika Zona

Kendeng bagian timur yang berada diutara sub-cekungan Porong, masih berada dalam

keadaan berevolusi (proses tektonik masih

berlangsung) dibandingkan dengan di

bagian tengah dan barat. Menurut Duyfjes (1938), juga

memperlihatkan bahwa antiklin Gujangan

U S

112º43’00”BT

07º31’30”LS

07º32’30”LS

112º44’00”BT

112º43’00”BT

: Lintasan

: Patahan

: Tanggul

Sumur BJP-1

Lintasan 1

Lintasan 2

Lintasan 3

7

dekat Surabaya dan Pulungan di sebelah

selatannya, dipotong oleh sesar transversi, dengan bagian timurnya yang turun. Sesar

tersebut merupakan tanda peralihan antara

bagian ujung dari zona Kendeng (yang

telah terlipat lemah) yang menunjam di Delta Porong dengan Selat Madura yang

masih menurun dan diisi oleh sedimen

yang belum terlipat. Keadaan tersebut menunjang bahwa proses gerak-gerak

tektonik di wilayah cekungan Porong

masih berlangsung.

Akuisisi Data Lapangan

Proses pengambilan data pada

metode geolistrik mempunyai beberapa tahap pelaksanaan. Tahap pelaksanaan

tersebut adalah:

Tahap I: Penentuan titik sounding pada peta lapangan.

Pada umumnya, sebelum melakukan

pengukuran geolistrik di lapangan, peta lapangan yang akan disurvei perlu

dipelajari terlebih dahulu untuk

menentukan posisi yang tepat bagi titik-

titik sounding. Tahap II: Penempatan titik

sounding di lapangan.

Pada tahap ini, titik-titik sounding yang telah ditentukan pada peta lapangan di cari

posisinya secara tepat di lapangan.

Berdasarkan referensi-referensi yang

didapat di lapangan, misalnya letak bangunan, pohon, sungai dan lain-lain

dengan bantuan kompas. Letak titik-titik

tersebut mestinya akan dapat ditentukan dengan tepat dan lurus.

Tahap III: Pengambilan data.

Pada titik sounding, ditentukan bentangan elektroda berupa garis lurus dengan titik

sounding merupakan titik tengah. Arah

bentangan yang dipilih adalah arah

bentangan yang lurus. Kemudian dibentangkan (tali yang sudah diberi jarak

tertentu) sesuai dengan arah tersebut.

Sementara itu, diatur peralatan pengukuran (resistivitymeter, 2 gulung kabel arus, 2

gulung kabel potensial, elektroda dan

lainnya) sedemikian rupa sehingga mempermudah pelaksanaan pengukuran

nantinya. Pertama diukur posisi awal

dengan menggunakan GPS (Global

Positioning System) untuk menentukan posisi terhadap garis lintang dan garis

bujur, kemudian dilakukan pengukuran

geolistrik. Disamping seorang operator dan

pencatat data, pada pelaksanaan

pengukuran diperlukan paling sedikit 4

orang pembantu, yaitu masing-masing bertugas untuk memindahkan salah satu

dari ke-empat elektroda ( 2 elektroda arus

dan 2 elektroda potensial). Akuisisi data dilakukan pada

tanggal 12 Mei 2008 dan 17-18 Mei 2008.

Akuisisi data di lapangan dilakukan dengan menggunakan metode geolistrik

tahanan jenis. Konfigurasi elektroda yang

digunakan adalah konfigurasi Wenner.

Pengolahan Data

Setelah dilakukan akuisisi data di

lapangan maka didapatkan hasil data tentang resistivitas dari tiap-tiap titik,

kemudian data tersebut dikalikan dengan

faktor geometri untuk mendapatkan harga resistivitas semu (ρaw) yang akan

digunakan dalam membuat kontur dengan

menghubungkan tiap-tiap nilai ρaw

tersebut. Dalam tahap pengolahan data ini

dilakukan dengan komputer dengan

menggunakan perangkat lunak Res2DInv. Perangkat lunak ini mengolah data yang

didapatkan dari akuisisi lapangan.

Pemodelan 2-D dilakukan dengan

menggunakan program inversi. Program inversi ini menggambarkan dan membagi

keadaan bawah permukaan dalam bentuk

penampang 2-D. Program inversi ini juga menentukan harga resistivitas semu

terukur dan terhitung. Metode inversi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuadrat terkecil (least square).

Analisa Data

Pada penelitian ini telah dilakukan pengambilan data geolistrik dengan

konfigurasi Wenner. Data-data geolistrik

tersebut kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak Res2dinv

untuk mendapatkan tampilan 2 dimensi

kontur resistivitas dari struktur lapisan tanah bawah permukaan. Tampilan 2

dimensi yang dihasilkan dari perangkat

lunak Res2dinv tersebut terdiri dari tiga

kontur isoresistivitas pada penampang kedalaman semu (pseudodepth section).

Penampang yang pertama menunjukkan

8

kontur resistivitas semu pengukuran

(measured apparent resistivity), yaitu data resistivitas semu yang diperoleh dari

pengukuran di lapangan (akusisi data).

Penampang yang kedua menunjukkan

kontur resistivitas semu dari hasil perhitungan (calculated apparent

resistivity). Dan penampang yang ketiga

adalah kontur resistivitas sebenarnya yang diperoleh setelah melalui proses

pemodelan inversi (inverse model

resistivity section) (Telford, 1976).

Lintasan 1

Akuisisi data resistivitas bumi

pada survei lintasan 1 ini dilakukan dengan mengambil lintasan sepanjang 200

meter dengan titik awal (titik 0 meter)

berada pada koordinat 112°43’03,2” BT dan 07°31’53,6” LS yang membentang

pada arah E 98° S di bahu jalan dengan

variasi jarak antar elektroda berturut-turut 5 meter, 10 meter, dan 15 meter.

Dari hasil pengukuran diperoleh

harga resistivitasnya berkisar antara 0,198

– 76,2 Ωm. Pengolahan data dengan menggunakan Res2DInv untuk lintasan 1

diperoleh penampang harga resistivitas

semu seperti pada Gambar 11.

Gambar 11. Penampang Harga Resistivitas

Semu dari Hasil Inversi

Lintasan 1 .

Dari Gambar 11. terlihat beberapa bidang lemah yang ditunjukkan dengan warna

biru dan hijau dengan harga resistivitas

antara 0,198 – 5,84 Ωm yang memotong

perlapisan antar batuan yang memiliki nilai resistivitas yang lebih tinggi. Bidang-

bidang ini diperkirakan merupakan

patahan.

Lintasan 2

Untuk akuisisi data resistivitas

bumi pada survei lintasan 2 dilakukan dengan mengambil lintasan sepanjang 120

meter dengan titik awal (titik 0 meter)

berada pada koordinat 112°43’10,2” BT dan 07°31’53,5” LS yang membentang ke

arah N 5° E di bahu jalan dengan variasi

jarak antar elektroda berturut-turut 5

meter, 10 meter, 15 meter dan 20 meter. Dari hasil pengukuran diperoleh

harga resistivitasnya berkisar antara 0,164

– 62,9 Ωm. Pengolahan data dengan menggunakan Res2DInv untuk lintasan 2

diperoleh penampang harga resistivitas

semu seperti pada Gambar 12.

Gambar 12. Penampang Harga Resistivitas

Semu dari Hasil Inversi Lintasan 2.

Dari Gambar 12. terlihat beberapa bidang lemah yang ditunjukkan dengan

warna kuning dengan harga resistivitas

antara 9,88 – 14,00 Ωm yang memotong

perlapisan antar batuan yang memiliki nilai resistivitas yang lebih tinggi. Bidang-

bidang ini diperkirakan merupakan

patahan.

Lintasan 3 Untuk akuisisi data resistivitas

bumi pada survei lintasan 3 dilakukan dengan mengambil lintasan sepanjang 150

9

meter dengan titik awal (titik 0 meter)

berada pada koordinat 112°43’39,3” BT dan 07°31’52,2” LS yang membentang ke

arah E 90° S di bahu jalan dengan variasi

jarak antar elektroda berturut-turut 5

meter, 10 meter, 15 meter, dan 20 meter.

Dari hasil pengukuran

diperoleh harga resistivitasnya berkisar

antara 1,28 – 10,1 Ωm. Pengolahan

data dengan menggunakan Res2DInv

untuk lintasan 3 diperoleh penampang

harga resistivitas semu seperti pada

Gambar 13.

Gambar 13. Penampang Harga Resistivitas

Semu dari Hasil Inversi

Lintasan 3.

Dari Gambar 13. di atas tidak

ditemukan terobosan – terobosan bidang lemah dengan harga resistivitas yang

rendah terhadap perlapisan antar batuan

yang memiliki harga resistivitas yang lebih

tinggi. Jadi pada lintasan 3 tidak ditemukan suatu patahan.

Pembahasan

Terjadinya pergerakan tanah, baik

dalam arah horizontal maupun vertikal, di kawasan semburan lumpur Sidoarjo adalah

sesuatu hal yang wajar. Pergerakan tanah

di kawasan Porong Sidoarjo ini dapat

disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama-sama yaitu:

1. Proses relaksasi tanah (ground

relaxation) akibat keluarnya

lumpur ke permukaan tanah dalam

volume yang sangat besar, 2. Beban dari lumpur,

3. Pemampatan tanah karena adanya

pekerjaan dan aktivitas di

permukaan tanah, seperti pembuatan tanggul, kendaraan-

kendaraan berat yang berlalu

lalang, 4. Aktifnya kembali struktur geologi,

seperti sesar Watukosek yang

melalui kawasan lumpur tersebut. Dari hasil survei GPS teramati

adanya pergerakan tanah, baik secara

horizontal maupun vertikal. Kecepatan

horizontal 0,5 - 2 cm per hari dan komponen vertikal 1 - 4 cm per hari.

Pergerakan dalam arah vertikal, meskipun

didominasi oleh subsidensi tanah, kadang juga dapat berupa penaikan muka tanah.

Karena semburan masih terus

berlangsung maka proses amblesan masih akan terus berlangsung dan akan meluas.

Seperti adonan roti yang ditarik ke bawah

di bagian tengahnya maka di sekelilingnya

akan terjadi retak melingkar dan menjari. Tanda-tanda amblesan antara lain terjadi

retakan memanjang baik di tanah, atau

pada bangunan; pintu-pintu dan jendela-jendela rumah tidak bisa dibuka atau tidak

normal; adanya kawasan yang tergenang

padahal sebelumnya belum pernah

tegenang; dan munculnya semburan baru. Pendugaan dengan metode

geolistrik dapat digunakan untuk

menentukan posisi bidang patahan. Harga resistivitas tanah/batuan pada patahan

pada umumnya lebih rendah dari

tanah/batuan sekitarnya. Hal ini dikarenakan pada patahan/retakan terisi

oleh fluida atau mineral yang relatif lebih

kondusif dari batuan sekitarnya. Bidang

patahan bisa memiliki harga resistivitas yang tinggi melebihi harga resistivitas

tanah/batuan yang ada disekitarnya jika

pada patahan tersebut tidak terisi apa-apa (hanya berisi udara). Hal ini dikarenakan

udara merupakan isolator sehingga arus

listrik sangat sulit untuk melewatinya. Kondisi di lapangan

memperlihatkan bahwa patahan-patahan

yang terlihat di permukaan semua terisi

oleh fluida atau materi lainnya. Oleh sebab itu bidang patahan yang terdeteksi adalah

bidang yang memiliki resistivitas rendah

10

yang menerobos atau memotong bidang-

bidang perlapisan antar batuan.

Lintasan 1

Gambaran pendugaan posisi

patahan dari hasil pengolahan data dengan menggunakan software Res2DInv untuk

lintasan 1 di tunjukkan seperti Gambar 14.

di bawah ini

Gambar 14. Pendugaan Posisi Patahan untuk Lintasan 1.

Berdasarkan Gambar 14. dapat

dilihat adanya bidang-bidang lemah dengan harga resistivitas rendah yang

berkisar antara 0,198 – 5,84 Ωm. Bidang

ini memotong perlapisan batuan yang ada disekitarnya dengan harga resistivitas yang

lebih tinggi. Jadi pada lintasan tersebut

telah terjadi dislokasi atau patahan di

beberapa titik yaitu pada titik 57 m dan 136 m. Karena lokasi lintasan-1 berada

tepat di samping tanggul penampungan

lumpur Porong, maka hal ini membuktikan bahwa pada lintasan tersebut banyak

terjadi patahan dangkal disebabkan oleh

adanya amblesan akibat perubahan porositas di bawah permukaan karena

keluarnya massa batuan bawah

permukaan.

Lintasan 2 Sedangkan gambaran pendugaan

bidang patahan dari hasil pengolahan data dengan menggunakan software Res2DInv

untuk lintasan 2 ditunjukkan seperti

Gambar 15. dibawah ini.

Gambar 15. Pendugaan Posisi Patahan

untuk Lintasan 2.

Berdasarkan Gambar 15. dapat

dilihat adanya bidang-bidang lemah

dengan harga resistivitas rendah yang berkisar antara 9,88 – 14,00 Ωm untuk.

Bidang ini memotong perlapisan batuan

yang ada disekitarnya dengan harga resistivitas yang lebih tinggi. Jadi pada

lintasan tersebut telah terjadi dislokasi atau

patahan di beberapa titik yaitu pada titik;

50 m; 100 m. Untuk lintasan-1, patahan berada

pada titik 57 m; 136 m. Sedangkan untuk

lintasan 2, patahan berada pada titik; 50 m; 100 m. Posisi patahan ini relatif sesuai

dengan posisi patahan/retakan yang

terlihat permukaan lokasi penelitian. Untuk lintasan 1 berada pada titik 43 m;

77 m; 98 m; 110 m; 125 m; 136 m.

Sedangkan untuk lintasan 2 berada pada

titik 50 m, 100 m.

Lintasan 3

Pada lintasan 3tidak menunjukan adanya patahan. Harga resistivitasnya

hampir sama yaitu antara 1,28 – 1,31 Ωm.

Kesimpulan

Penelitian metode geolistrik

dengan konfigurasi Wenner 2-Dimensi

untuk mendeteksi patahan/rekahan di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong,

Kabupaten Sidoarjo, dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Bidang patahan/retakan untuk

lintasan 1 berada pada titik 43 m ; 57

Patahan

Patahan

11

m; 77 m; 98 m; 110 m; 125 m; 136

m. 2. Bidang patahan/retakan untuk

lintasan 2 berada pada titik 50 m dan

100 m .

3. Adanya amblesan akibat perubahan porositas di bawah permukaan karena

keluarnya massa batuan bawah

permukaan di sekitar sumur eksplorasi BJP-1 telah menyebabkan

patahan dangkal/retakan di desa

Renokenongo dan semakin mendekati tanggul maka patahan/retakan

semakin banyak.

Saran

Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, maka penulis menyarankan:

1. Perlu dilakukan penelitian dengan

metode geofisika lainnya sehingga dapat dilakukan perbandingan untuk

memperoleh hasil yang lebih akurat.

2. Perlu dilakukan penelitian yang

berkelanjutan yaitu dengan penambahan titik ukur yang

berasosiasi dengan penambahan

target kedalaman sehingga dapat diperoleh gambaran bawah

permukaan lebih luas.

3. Pengukuran patahan di daerah sekitar

lumpur panas Sidoarjo sebaiknya dilakukan secara periodik. Hal ini

dilakukan guna mengetahui pola dan

tingkat penyebaran patahan di daerah tersebut.

Referensi

Burger,H.Robert. (2006), Applied

Geophysics: Exploring the

Shallow Subsurfac, New York, WW Norton.

Hendrajaya, Lilik dan Arif, Idham.

(1990), Geolistrik Tahanan Jenis, Monografi: Metoda

Eksplorasi, Bandung:

Laboratorium Fisika Bumi, ITB.

Hendrajaya, L dan Simpen. I, Nengah.

(1993), “Respon Teoritik Elsktromagnet VLF Model sesar

dan Penerapannya pada Data

Elektromagnet VLF dari Daerah

Panasbumi Muaralaboh Sumatra Utar”, Simposium Fisika

Nasional XIV, Jurusan Fisika-

FMIPA USU, Medan. Internet Geophysical Services. (2000),

D.C. Resistivity, Entry from

Northwest Geophysical Associates, Inc. [email protected].

Loke, MH. (1999), Electrical Imaging

Surveys for Environmental and

Engineering Studies. Moro, Marco., Amicucci, Laura., Cinti,

Francesca R.,Doumaz,Fawzi.,

Montone, Paola., Pierdominici, Simona., Saroli, Michele.,

Stramondo, Salvatore. (2002),

Surface Evidence of Active Tectonics Along the Pergola-

Melandro Fault: a Critical Issue

for the Seismogenic Potential of

the Southern Apennines, Italy, Istituto Nazionale di Geofisica e

Vulcanologia, Rome.

Reynolds, John M. (1997), An Introduction to Applied and

Environmental Geophysics. John

Wiley & Sons.

Sardjono, Seno Pudji. (2007), Jurnal Fisika dan Aplikasinya: Analisis

Data Gaya Berat dan VLF untuk

Penentuan Bidang Patahan Penyebab Semburan Lumpur di

Sumur Eksplorasi BJP-1

Porong. Surabaya: ITS Sharma, Prem.V. (1997), Environmental

an Engineering Geophysics.

Cambridge University Press.

Telford, W.M . (1976), Applied Geophysics. Cambridge

University Prees, London.

Ward, Stanley H. (1992), Geotechnical and Environmental Geophysics.

12

PENURUNAN FAKTOR GEOMETRI UNTUK KONFIGURASI WENNER

13

C1 a P1 a P2 a C2 r1

r2

r3

r4

1

1 2 3 4

1 1 1 12

V

r r r r I

1

1 1 1 12

2 2

V

a a a a I

1

2 1 1 22

2 2 2 2

V

a a a a I

11 1

22 2

V

a a I

12

22

V

a I

2V

aI

VK

I

Dengan 2K a

Gambar 1. Patahan di lintasan 1 titik ke 43 m

patahan

14

Gambar 2. Patahan di lintasan 1 titik ke 77 m

Gambar 3. Patahan di lintasan 1 titik ke 98 m

Gambar 4. Patahan di lintasan 1 titik ke 110 m

patahan

patahan

patahan

patahan

15

Gambar 5. Patahan di lintasan 1 titik ke 125 m

Gambar 6. Patahan di lintasan 1 titik ke 136 m

Gambar 8. Patahan di lintasan 2 titik ke 50 m

Gambar 9. Patahan di lintasan 2 titik ke 100 m

patahan

patahan

patahan