190
DESKRIPSI INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi.) Program Studi Psikologi Oleh : Agustin Dwi Widowati 039114018 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008 i

DESKRIPSI INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK1].pdfABSTRAK Agustin Dwi W. (2008). Deskripsi Interaksi Sosial Anak Yang Menjadi Korban Kekerasan Dalam Keluarga. Yogyakarta: Fakultas Psikologi,

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

DESKRIPSI INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK

YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi.)

Program Studi Psikologi

Oleh :

Agustin Dwi Widowati

039114018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

i

“Anak Belajar dari Kehidupannya”

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri

Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri

Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai

Jika anak dibesarkan dengan perlakuan baik, ia belajar keadilan

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar percaya

Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyukai diri

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,

Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan…

Dorothy Law Nolte

Sedikit rasa kemanusiaan sungguh jauh lebih berharga daripada

seluruh peraturan yang ada di dunia ini.

(Jean Piaget)

Sebuah karya kecil ini kupersembahkan untuk :

Kedua orang tuaku sebagai tanda bakti dan cintaku

Kakak dan adikku, teman-teman yang selalu mendukungku

Serta,para pembaca karya ini

iv

ABSTRAK

Agustin Dwi W. (2008). Deskripsi Interaksi Sosial Anak Yang Menjadi Korban Kekerasan Dalam Keluarga. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika interaksi sosial anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarganya. Perlakuan kekerasan yang diterima anak dapat menimbulkan penderitaan atau kesengsaraan, baik secara fisik, psikis, maupun seksual yang dapat mengganggu proses perkembangan anak, yang dalam penelitian ini difokuskan pada masalah interaksi sosial anak dengan lingkungannya. Interaksi sosial terdiri dari kontak sosial yang berarti predisposisi sikap yang menunjukkan kesediaan atau keinginan yang kuat untuk berhubungan dengan orang lain, dan ada atau tidaknya komunikasi yang merupakan proses transmisi tanda atau pesan untuk dapat mengerti pandangan atau sikap dan pikiran orang lain yang berinteraksi, baik secara verbal maupun non-verbal.

Penelitian ini merupakan penelitian kasus (case study) dengan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian berjumlah tiga anak yang menjadi korban tindak kekerasan oleh keluarganya dan termasuk dalam rentang usia akhir masa kanak-kanak hingga memasuki masa pubertas. Data diperoleh dengan wawancara terhadap subjek dan significant other-nya, serta observasi terhadap perilaku subjek. Data dianalisis menurut isinya melalui pengorganisasian data secara sistematis, melakukan pengkodean dan interpretasi sehingga data yang diperoleh bisa dipahami secara lebih mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi sosial anak cenderung terhambat saat berhadapan dengan orang dewasa yang tidak mereka percaya, walaupun anak sudah mengenal orang tersebut. Ketiga subjek menunjukkan bahwa mereka tidak mampu mengungkapkan pikiran, perasaan, ataupun permasalahan yang mereka hadapi pada guru kelas dan pengasuh karena adanya perasaan takut dalam diri mereka. Hal tersebut menunjukkan adanya hambatan dalam hal komunikasi. Permasalahan subjek dalam hal kontak sosial salah satunya muncul dalam bentuk keengganan subjek untuk melakukan kontak fisik dengan orang dewasa. Di sisi lain, interaksi sosial anak dengan teman sebayanya tidak menemui hambatan yang berarti, baik dalam hal kontak sosial maupun komunikasinya. Jika berada di situasi atau tempat yang baru, subjek cenderung mengalami kesulitan beradaptasi dan menarik diri dari lingkungan barunya karena menyimpan kegugupan dan bahkan rasa takut.

Kata kunci : interaksi sosial, kontak sosial, komunikasi, kekerasan terhadap anak

ABSTRACT

v

Widowati, Agustin D. (2008). Social-Interaction Description Of Child Abuse’ Victim In The Family. Yogyakarta : Faculty of Psychology, Psychology Program, Department of Psychology, Sanata Dharma University.

This study aimed to represent the description of social interaction of children who experienced abuse in their family. It was possible that the abuse caused torment to them. It was not only physical and psychological, but also sexual which was able to obstruct their development process. That was why the writer focused this study on the problem of their social interaction with the surroundings. Social interaction consisted of social contact which meant predisposition of behavior that showed the children’ willingness in having contact with others, and the existence or non-existence of communication both verbal and non-verbal as a sign or massage of transmission process that helped to understand the others’ attitude and thought during the interaction.

This was a case study which used qualitative approach. The subjects were three children at the age between child phase and puberty who experienced abuse in their family. The data was obtained through interview with the subjects and their significant other, and an observation of their behavior. It was then analyzed by arranging data systematically, coding, and interpretation in order to get deeper understanding.

The final result showed that it occurred obstruction in social interaction of the subject when they were facing adults whom they did not trust, even they had known them. The three subjects showed that they did not able to express their thought, feeling, or even to tell the problem they were facing their teacher or nursemaid. It happened because of their anxious feeling. This showed the obstruction in communication. One of the social contact problems is the reluctance of subject in doing physical contact with adult. In contrast, it did not occurred great obstruction in the social interaction of three subjects with the peer, except when they were in a new place or new situation. They became have difficulty in adaptation and avoid themselves from the new situation. It happened also because of their anxious feeling.

Key words : social interaction, social contact, communication, child abuse.

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun untuk

memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) di Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa selama penulisan karya tulis ini, penulis telah

banyak mendapat bantuan berupa bimbingan, dorongan, serta pengarahan dari

berbagai pihak yang sangat berarti bagi penulis. Untuk itu, dengan segala

kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Allah swt. yang selalu melimpahkan berkat dan anugerah-Nya, serta yang

setiap saat selalu memberikan pengharapan dan kekuatan sehingga penulis

dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi yang

telah membimbing dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk

melaksanakan penulisan ini.

3. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi

yang telah membantu dan membimbing penulis secara akademik baik di

dalam maupun di luar kelas.

4. Ibu Agnes Indar Etikawati, S. Psi., M. Si., Psi. selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan,

masukan, kritik, saran dan dukungan moril yang telah membuat penulis siap

secara mental selama mengerjakan skripsi ini.

vii

5. Bapak T. Priyo Widiyanto, M. Si. Selaku dosen pembimbing akademik

sekaligus sebagai Kepala P2TKP, tempat penulis bekerja. Terima kasih atas

segala bantuan dan bimbingan serta dukungan moril yang senantiasa menjadi

kekuatan bagi penulis selama penulis kuliah dan bekerja di P2TKP.

6. Bapak/ Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik penulis selama

studi di Fakultas Psikologi ini, terutama pada bu Ari dan bu Tanti yang telah

menjadi dosen penguji hasil karya peneliti. Terima kasih atas kritik dan saran

serta bimbingan dan arahannya yang dapat membantu peneliti meningkatkan

kualitas hasil penelitian ini.

7. Mbak Nanik, Mas Gandung, Mas Doni dan Pak Gie’ yang dengan sabar

membantu dan memberikan kemudahan bagi penulis selama proses studi

penulis di Fakultas Psikologi.

8. Mas Muji selaku petugas Laboratorium Fakultas Psikologi. Terima kasih

untuk segala bantuan yang sudah diberikan pada penulis selama proses

praktikum yang harus ditempuh penulis. Maaf mas Muj’ kalau saya banyak

merepotkan selama jadi asisten praktikum.

9. Bapak Pranowo, S.H dan mbak Nita selaku staff dari Lembaga Perlindungan

Anak Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (LPA-DIY) dan semua pihak

yang terkait di dalamnya yang telah banyak memberikan bantuan dan arahan

pada penulis selama proses penelitian skripsi ini berlangsung.

10. Bapak dan ibuku tersayang atas segala doa, kesabaran dan dukungan yang

sangat berarti bagi penulis. Terima kasih juga atas rasa percaya yang diberikan

pada penulis untuk segala keputusan yang penulis ambil sehingga penulis

viii

dapat belajar untuk dapat lebih mandiri dan lebih dewasa dalam menyikapi

sesuatu. Skirpsi ini kupersembahkan untuk kalian berdua. I love u.

11. Kakakku, Itha..makasie banyak buat semua dukungan yang kamu kasie, baik

moril maupun materiil..he..terimakasie juga buat Ovien, adekku satu-satunya,

untuk keceriaan yang kamu kasih ke aku selama aku ngerjain skripsi di rumah.

Kamu salah seorang yang bisa membangkitkan semangatku karena bersedia

jadi ‘tempat pelampiasan’.

12. Anggota keluarga besarku, terutama eyang putri…terima kasih untuk doa,

dukungan, perhatian yang selalu diberikan padaku.

13. Teman-teman seperjuanganku angkatan 2003, baik yang sudah lulus maupun

yang belum lulus. Terima kasih atas pertemanan yang indah yang kita bangun

selama ini. Aku juga akan berkata, “Sudah saatnya kita pindah dunia dan

memperjuangkan masa depan kita di dunia yang baru, SYEMANGAT untuk

kita semua!!!”

14. Teman-teman terbaikku di Psikologi: There, Poke, Noniek, Di2, Oied, Ana.

Terima kasih atas jalinan indah yang telah kita rangkai bersama selama kita

ada di Psikologi. Semoga mata rantai itu tidak akan pernah putus walaupun

kita sudah punya jalan masing-masing.

15. Teman-teman terbaikku di kos Pelangi: Us_teen, Aiu, Budheoja, Rista, Luchia

Santi. Terima kasih atas pertemanan yang indah beserta keanehan-keanehan

yang udah kalian tunjukkin ke aku. Berbagai masalah yang kita hadapi

bersama sedikit banyak telah membantuku dalam proses pendewasaan diri.

ix

16. Teman-teman relawan gempa dari Fakultas Psikologi USD: Ana, Raniy, Nice,

Andrian Liem, Astin, Jean, Baka, Om Ben, Melati, Miya dan semua nama

relawan yang belum aku sebutin, termasuk juga bu Agnes dan Pak Adi sebagai

koordinatornya. Terima kasih atas keakraban yang terjalin di antara kita dan

semua proses pembelajaran yang sudah kita lalui bersama. Semua itu menjadi

pengalaman berharga buatku.

17. Teman-teman RASS baik angkatan lama seperti Haksi, maupun baru seperti

Devi, termasuk juga Pak Heri dan Bu Titik selaku pembimbing. Terima kasih

karena kalian telah bersedia bertukar pikiran denganku dan menambah

wawasanku.

18. Karyawan P2TKP: Pak Toni dan Bu Tiwi. Terima kasih untuk semua hal yang

telah kalian ajarkan pada saya. Terima kasih juga pada mbak Tia yang

bersedia mendengarkan curahan hati saya sebagai asisten dan memberikan

masukan. Hal-hal itu dapat menjadi bekal yang berguna pada saat saya

menginjakkan kaki di tempat yang lebih luas lagi.

19. Asisten P2TKP angkt’06: Mas Adi, Mas Dezta, Mas Kobo, Mbak Lisna,

Mbak Katrine, dll. Terima kasih atas berbagai hal tentang pekerjaan yang telah

kalian tunjukkan padaku dan juga waktu yang telah kalian luangkan untuk

bertukar pikiran denganku.

20. Asisten P2TKP angkt’07: AB, Mas Obeth, Mbak Elvine, Mbak Ina, Tita,

Ipoet. Terima kasih atas proses pembelajaran yang udah kita lalui bersama,

walaupun kebersamaan kita relatif singkat (kecuali AB&maz Dezta yang

masih bertahan sampai muncul asisten baru).

x

21. Asisten P2TKP angkt’08: Ronce-Maronce, Budi, Astin, Weni, Lia, Tinul,

Badai, Vania, Fani, Sri, Mita, Oied, Gothe, Atiek, Wulan, Betty. Terima kasih

untuk kebersamaan yang indah dan menyenangkan selama kita bekerja

bersama.

22. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih pada teman-teman kecil di Trauma

Centre (TC) dan juga para pembimbing, mbak Tanti, mbak Rini, mbak Gesti

serta Bu Ana selaku kepala panti. Kalian telah mengajariku banyak hal yang

berharga di luar kemampuan akademis dan kalian membuatku belajar

memahami arti kesabaran dan hikmah dari setiap masalah dan penderitaan.

Hal itu memberiku dorongan yang besar dalam hal pengembangan diri.

23. Semua pihak yang belum disebutkan satu per satu di sini. Terima kasih atas

dukungan dan perhatian kalian selama ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca yang

dapat menjadi masukan bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan penulis

menjadi lebih baik. Penulis berharap agar karya tulis ini dapat menjadi inspirasi

bagi pembaca dan bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu

pengetahuan

Penulis

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………..i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………….…………...ii

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………….……………..iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………….…………...iv

ABSTRAK ………………………………………….............................................……v

ABSTRACT …………………………………………………………...……………...vi

KATA PENGANTAR …………………………………………………..……………vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………....……….…...xii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.........xiii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………..…………..xiv

DAFTAR TABEL ………………………………………………………..……….....xvii

DAFTAR GAMBAR...................................................................................................xviii

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………..…………..xix

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………………...........1

A. Latar Belakang Masalah………………………………………….....………..1

B. Rumusan Masalah ……………………………………………….....………...7

C. Tujuan Penelitian ……………………………………………….....…………7

D. Manfaat Penelitian ………………………………………….....……………..8

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ………………………………………….............……….9

A. Perkembangan Sosial Pada Anak……………………………………...……9

1. Definisi dan Karakteristik Akhir Masa Kanak-kanak..……………….....9

2. Tugas Perkembangan.......................................... …………...………….10

3. Aspek Emosi dan Sosial pada Anak.........................................................12

xiv

B. Interaksi Sosial.............. ………………………………………….......……..14

1. Definisi Interaksi Sosial........ ……………………………………………14

2. Aspek Interaksi Sosial........………………………………………………16

3. Faktor-faktor yang Turut Membentuk Interaksi Sosial…………………..20

C. Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) …………………………………...25

1. Pengertian Child Abuse...............................................................................25

2. Jenis-jenis Child Abuse...............................................................................27

3. Ciri-ciri Child Abuse...................................................................................32

4. Dampak Penyiksaan Terhadap Aspek Kehidupan Anak............................36

D. Interaksi Sosial pada Korban Child Abuse…………………………………..38

E. Pertanyaan Penelitian.......................................................................................44

BAB III. METODE PENELITIAN …………………………………………..……….....45

A. Jenis Penelitian ………………………………………………..……….......45

B. Subjek Penelitian......................................................………………….........46

C. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional...………………..…............47

D. Metode Pengumpulan Data………………………………………..…….....49

E. Analisis Data …………………………………............................................54

F. Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data……………………..…….....56

1. Kredibilitas ……………………………………………………..……......56

2. Dependability ……………………………………………………....…....59

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………….………..…......…60

A. Persiapan Penelitian ………………………………………………...............60

1. Alat Pengumpulan Data ………………………………………..…......…60

2. Subjek…… ……………………………………………………..….....…60

B. Pelaksanaan Penelitian ……………………………………….……......……63

xv

C. Hasil Penelitian ..…………………………………………….….…......…….65

1. Subjek 1 ………………………………………………………........……...65

a. Identitas……………………………………………………........……..65

b. Latar Belakang……………………………………………........……...66

c. Kontak Sosial……………………………………………….....…...….72

d. Komunikasi…………………………………………………........……81

e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial…......……….....……..….85

2. Subjek 2 …………………………………………………….........…..…...88

a. Identitas……………………………………………………...........…..88

b. Latar Belakang……………………………………………….......…...89

c. Kontak Sosial……………………………………………….......…….93

d. Komunikasi………………………………………………….......…...101

e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial………………........…....105

3. Subjek 3 ………………………………………………………......….….107

a. Identitas…………………………………………………......…….…107

b. Latar Belakang……………………………………………......….….108

c. Kontak Sosial……………………………………………….......…...116

d. Komunikasi………………………………………………......….…..128

e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial……………......….…...133

D. Pembahasan ……………………………………………………......……..141

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………..…………….....….165

A. Kesimpulan …………………………………………..………….....…….165

B. Keterbatasan Penelitian..............................................................................166

C. Saran…………………………………………………..……….....……....166

DAFTAR PUSTAKA

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Panduan Wawancara..................................................................................51

Tabel 3.2. Kode Organisasi Data................................................................................55

Tabel 4.1. Proses Pengambilan Data …………………………………………….....63

Tabel 4.2. Ringkasan Analisis Hasil Penelitian Subjek 1, Subjek 2, dan

Subjek 3............................…………………..................................………135

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Skema Terhambatnya Interaksi Sosial Anak Korban Child Abuse................43

Gambar 4.1. Dinamika Interaksi Sosial Subjek 1.............................................................152

Gambar 4.2. Dinamika Interaksi Sosial Subjek 2.............................................................158

Gambar 4.3. Dinamika Interaksi Sosial Subjek 3.............................................................164

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Wawancara dan Observasi Subjek 1 …………………………………168

Lampiran 2. Hasil Wawancara Significant Others Subjek 1……………………………...184

Lampiran 3. Hasil Koding Wawancara dan Observasi Subjek 1………………………….192

Lampiran 4. Hasil Wawancara dan Observasi Subjek 2 ………………………………….209

Lampiran 5. Hasil Wawancara Significant Others Subjek 2……………………………....223

Lampiran 6. Hasil Koding Wawancara dan Observasi Subjek 2…………………………..232

Lampiran 7. Hasil Wawancara dan Observasi Subjek 3 …………………………………..252

Lampiran 8. Hasil Wawancara Significant Others Subjek 3……………………………....272

Lampiran 9. Hasil Koding Wawancara dan Observasi Subjek 3…………………………..287

xix

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini semakin banyak kasus kekerasan terhadap anak yang telah

terungkap walaupun di balik itu masih banyak pula yang tidak terlihat sama

sekali. Hal tersebut merupakan fenomena masalah sosial kritis di Indonesia

yang beritanya telah banyak beredar di berbagai media. Hal tersebut

menggambarkan betapa tragisnya kondisi anak-anak dengan berbagai macam

kasus tindak kekerasan, penganiyayaan dan pengabaian. Dalam hal ini telah

banyak pula pakar hukum, psikologi dan pekerja sosial yang angkat bicara

seperti Drs. Soetarso, MSW (dalam Huraerah, 2006), seorang Pakar Profesi

Pekerjaan Sosial:

Permasalahan anak sangat dramatis dan memilukan, karena dialami oleh manusia yang kemampuan fisik, mental, dan sosialnya masih terbatas untuk merespon berbagai risiko dan bahaya yang dihadapinya. Lebih tragis lagi jika dicermati bahwa dalam berbagai kasus, permasalahan tersebut justru dilakukan oleh pihak-pihak yang seyogianya berperan mengasuh dan melindungi anak, terutama orang tua/ keluarga.

Keluarga merupakan tempat berlindung paling aman bagi anak, tempat

anak dapat bebas bermain, belajar, bercanda dalam keceriaan, dan kasih

sayang. Namun di sisi lain, keluarga dapat berubah menjadi tempat yang

paling berbahaya, tersembunyi, dan aman bagi tindak kekerasan terhadap

anak. Tindak kekerasan terhadap anak merupakan salah satu bentuk kekerasan

dalam keluarga dan dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang tidak

2

mencerminkan kasih sayang terhadap anak. Tindakan kekerasan ini dapat

menimbulkan penderitaan atau kesengsaraan, baik secara fisik, psikis, maupun

seksual yang dapat mengganggu proses perkembangan anak. Kekerasan

terhadap anak biasanya berupa memarahi secara berlebihan, memaki,

membentak dan menghina, bahkan sampai melakukan hubungan seksual dan

membunuh (Ikawati dan Rusmiyati, 2003).

Dari waktu ke waktu tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga

semakin bertambah jumlahnya. Menurut sebuah studi yang dilakukan

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YCAI), sebatas yang terekspos di

media massa, ditemukan kecenderungan terjadinya peningkatan secara

kuantitas tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Pada tahun 1994

tercatat 172 kasus, tahun 1995 meningkat menjadi 421 kasus, dan pada tahun

1996 melonjak menjadi 476 kasus (Suyanto, dkk; dalam Ikawati dan

Rusmiyati, 2003). Hasil identifikasi yang dilakukan Lembaga Perlindungan

Anak (LPA) Jawa Timur pada tahun 2000, menemukan dalam tiga tahun

terakhir paling tidak telah terjadi 300 lebih kasus child abuse. Yang

mengherankan, justru sebagian besar pelakunya adalah orangtua korban. Jadi,

keluarga dapat menjadi tempat paling berbahaya bagi kelangsungan hidup,

perkembangan, dan perlindungan anak (Suyanto, 2005).

Pola pengasuhan otoriter yang mendisiplinkan anak dengan tindakan

kekerasan masih sering ditemukan dalam tatanan masyarakat modern. Mereka

adalah para orang tua yang merasa berhak untuk mendisiplinkan anak dengan

cara yang menurut mereka paling efektif. Dalam batas-batas tertentu dalam

3

tatanan masyarakat cara ini memang masih bisa diterima selama anak yang

dinilai nakal membuat orang tua tidak memiliki pilihan lain untuk

mendisiplinkannya selain dengan tindakan kekerasan, tentu saja tindakan

kekerasan pada tahap ini menjadi alternatif terakhir bila seorang anak sulit

didisiplinkan.

Namun, dalam banyak kasus tindak kekerasan sering dijadikan alasan

sebagai penyelesaian utama untuk mendisiplinkan seorang anak, terlebih bila

para orang tua menganut pola asuh otoriter yang keras. Hal ini mengantarkan

penelitian pada fakta tentang bagaimana seharusnya seorang anak

diperlakukan. Berdasarkan suatu alasan tertentu seorang ibu, ayah atau

pengasuh lain memukul anak secara terus-menerus sebagai pelampiasan beban

mental yang dialaminya. Keberadaan seorang anak yang belum memiliki

cukup banyak daya untuk melawan, dipilih dan dijadikan sasaran tindakan

kekerasan, seperti yang telah diungkapkan oleh Valerie Bivens (dalam

Huraerah, 2006) yang merupakan seorang Pekerja Sosial sekaligus anggota

Sosial Worker for Child Protective Service, California:

Bagaimanapun kita tidak boleh melupakan puluhan ribu anak lain yang tidak mampu bertahan mengalami perlakuan buruk, dan jutaan anak lainnya yang sampai saat ini masih menderita. Satu-satunya obat bagi wabah child abuse ini adalah mencegahnya agar tidak terjadi.

Banyak kasus kekerasan yang terjadi saat ini termasuk juga kekerasan

pada anak seperti yang sudah disebutkan di atas. Kekerasan pada anak bisa

bermacam-macam jenisnya antara lain, dipukul, ditampar, dihina, diancam,

4

diacuhkan, tidak dibiayai, dilempar dengan benda, dibatasi pergaulannya,

tidak boleh berhubungan dengan keluarga lain, dan diperkosa.

Efek psikologis tindak kekerasan terhadap anak dapat mengakibatkan

terjadinya trauma psikologis seperti ketegangan, kecemasan, timbulnya rasa

takut dan malu, tidak bersemangat, tidak dapat konsentrasi sehingga ia tidak

bisa menyelesaikan pekerjaannya. Anak juga dapat merasa tertekan, stres

bahkan pada tingkat depresi, anak bisa mencederai diri bahkan bunuh diri.

Selain itu, anak akan merasa tidak aman sehingga lari dari rumah atau

berperilaku nakal (delinquent) sebagai bentuk penyaluran rasa aman.

Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah anak tidak mau keluar rumah

karena mengalami kesulitan dalam berhubungan atau berinteraksi dengan

orang lain khususnya teman sebaya. Dampak psikologis lainnya adalah

adanya perubahan perilaku pada anak seperti pasif, anak menjadi pendiam,

penurut, apatis atau sebaliknya anak menjadi agresif. Gangguan tidur, mimpi

buruk, takut pada benda tertentu atau tempat tertentu juga sering menyertai

anak-anak yang menjadi korban kekerasan.

Keadaan-keadaan tersebut di atas apabila dibiarkan akan menghambat

tumbuh kembang anak secara wajar. Sementara itu, menurut teori

perkembangan, pembentukan kepribadian seseorang dimulai sejak ia masih

anak-anak dan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah perlakuan

yang diterimanya pada masa anak-anak. Sehubungan dengan hal itu, anak

selayaknya mendapatkan perlakuan yang baik dengan memenuhi berbagai

kebutuhannya, baik yang bersifat fisik, psikis, maupun sosial. Tidak

5

terpenuhinya kebutuhan anak dapat menyebabkan terganggunya

perkembangan kepribadian mereka. Jika perkembangan pembentukan

kepribadian mereka terhambat, maka aspek perkembangan lainnya dalam diri

anak tersebut juga ikut terhambat misalnya aspek perkembangan sosialnya.

Hal tersebut disebabkan kepribadian yang terbentuk mempengaruhi

bagaimana seseorang berperilaku pada saat ia berinteraksi dengan

lingkungannya. Namun, pada kenyataannya masih banyak warga masyarakat

belum menyadari tentang hal tersebut dan melakukan tindakan menyakiti

anak, sehingga mengakibatkan anak tidak terpenuhi kebutuhannya, bahkan

anak juga mendapatkan perlakuan buruk dari orangtua atau orang dewasa

lainnya (Ikawati dan Rusmiyati, 2003).

Kehidupan sehari-hari manusia tidak akan pernah lepas dari hubungan

antar individu karena kodrat manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup

tanpa orang lain. Interaksi sosial antara individu satu dengan individu lain

dapat ditimbulkan oleh adanya pembandingan diri dengan orang lain

(Sugiarto, Prambahan, dan Pratiti, 2004). Terjalinnya hubungan sosial sangat

penting bagi tumbuh kembang anak karena dari sanalah aspek kognitif, afektif

dan psikomotorik dalam diri mereka berkembang. Seperti yang juga

diungkapkan oleh Singgih (1980) bahwa anak usia 6-11 tahun merupakan usia

kritis baik menyangkut masalah psikologis, fisik maupun sosial. Anak yang

tidak mengalami dan memperoleh kasih sayang dan kepuasan dari kebutuhan

akan mengalami kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan terhadap

6

orang lain, dan oleh karena itu akan terganggu hubungan sosialnya di

kemudian hari.

Dalam bukunya, Santrock (2002) menyebutkan bahwa anak-anak harus

belajar berhubungan secara teratur dengan orang-orang dewasa di luar

keluarga – orang-orang dewasa yang berinteraksi dengan anak-anak sangat

berbeda dari orang tua yang berinteraksi dengan anak-anak. Selama masa

pertengahan dan akhir anak-anak, interaksi dengan orang-orang dewasa di luar

keluarga melibatkan orientasi pengendalian dan prestasi yang lebih formal.

Jika seorang anak tidak dapat ‘menerima’ tindak kekerasan yang ia

alami maka tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan merasakan ketakutan

yang menyebabkan ia tidak mau bertemu dan berinteraksi dengan orang lain

terutama orang dewasa yang dapat mengingatkannya pada peristiwa kekerasan

tersebut. Selain itu, mungkin juga bahwa ia tidak memiliki keinginan untuk

berteman dengan anak-anak sebayanya karena ia merasa malu dan berbeda

dengan yang lain apalagi jika ia mendapat cacat yang permanen pada

tubuhnya. Hal yang perlu diwaspadai adalah jika ia mengalami trauma akibat

peristiwa itu, akan semakin sulit baginya untuk dapat percaya pada orang lain

dan lingkungannya, apalagi sampai berinteraksi dan berkomunikasi terutama

dengan banyaknya media massa yang terus menerus menyiarkan berita

tentang peristiwa yang ia alami tersebut.

Dalam penelitian ini, ditemukan tiga orang anak sebagai subjek. Mereka

merupakan anak yang mendapatkan perlakuan kekerasan dari pihak

keluarganya. Salah seorang diantaranya sudah memasuki masa pubertas. Di

7

masa kanak-kanak, kemampuan mereka dalam berinteraksi sosial dengan

orang lain sangatlah penting dan dalam masa pubertas, anak diharapkan sudah

memiliki relasi sosial yang baik dengan orang lain.

Melihat besarnya pengaruh negatif yang dapat timbul pada anak korban

kekerasan, maka peneliti tertarik mengangkat tema tersebut untuk melihat

bagaimana interaksi anak yang menjadi korban kekerasan dengan orang lain

dan lingkungannya sebagai salah satu aspek perkembangan yang dapat

terganggu, dengan harapan agar kasus kekerasan pada anak dapat dihindari.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah interaksi sosial yang ditunjukkan

oleh anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian kasus ini bertujuan untuk memahami dan memberikan

penjelasan mengenai interaksi sosial yang muncul pada anak korban

kekerasan dalam keluarga dengan sekitarnya (teman sebaya, saudara, orang

tua atau orang dewasa lain di sekitarnya).

8

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dikelompokkan dalam :

1. Manfaat Teoretis

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan

yang berarti bagi perkembangan ilmu psikologi, yaitu psikologi sosial

dan psikologi perkembangan khususnya mengenai interaksi sosial pada

anak yang mengalami tindak kekerasan dalam keluarga.

2. Manfaat Praktis

Secara khusus, manfaat praktis di bagi menjadi dua bagian yaitu:

a. Bagi masyarakat umum

Dipandang dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai dampak

yang dialami anak korban kekerasan terutama mengenai interaksi

sosialnya, sehingga bisa menjadi referensi bagi orang-orang yang

mengalami ataupun mengetahui adanya kasus serupa, supaya child

abuse dapat dicegah atau dikurangi frekuensinya.

b. Bagi lembaga terkait (Lembaga Perlindungan Anak Propinsi DIY)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu petugas LPA

dalam menangani suatu kasus kekerasan terhadap anak dan lebih

khusus lagi, pada saat berhadapan dengan korban atau yang disebut

klien, dalam memberi perlakuan terhadap klien berhubungan dengan

interaksi klien dalam lingkup sosialnya.

9

BAB II

DASAR TEORI

A. Perkembangan sosial pada anak

1. Definisi dan karakteristik akhir masa kanak-kanak

Masa akhir anak-anak (late childhood) ialah periode perkembangan

yang merentang dari usia kira-kira 6 hingga 11 tahun, yang kira-kira setara

dengan tahun-tahun sekolah dasar; periode ini kadang-kadang disebut

“tahun-tahun sekolah dasar”. Keterampilan-keterampilan fundamental

seperti membaca, menulis, dan berhitung telah dikuasai. Anak secara

formal berhubungan dengan dunia yang lebih luas dan kebudayaannya

(Santrock, 2002). Hurlock (1980) menyebutkan bahwa akhir masa kanak-

kanak (late childhood) berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba

saatnya individu menjadi matang secara seksual. Pada awal dan akhirnya,

masa kanak-kanak ditandai oleh kondisi yang sangat mempengaruhi

penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial anak.

Pada masa ini, perkembangan kognitif anak sudah semakin

matang, yang ditandai oleh perubahan kemampuan intelektual. Atensi

(perhatian) meningkat secara dramatis. Memori jangka panjang bertambah

seiring dengan pertambahan usia. Informasi yang diterima anak dapat

diorganisasikan secara spontan untuk diingat. Kemampuan berbahasa anak

semakin maju. Penalaran logis dan keterampilan analitis yang dimiliki

membantu anak untuk menganalisis dan memahami konstruksi kata-kata.

10

Anak-anak telah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap

berbagai hal yang ada di lingkungannya. Akhir masa kanak-kanak

merupakan periode pertumbuhan yang lambat dan relatif seragam sampai

mulai terjadi perubahan-perubahan pubertas, kira-kira dua tahun sebelum

anak secara seksual menjadi matang pada saat mana pertumbuhan

berkembang pesat (Santrock, 2002). Berakhirnya masa kanak-kanak dan

mulai masuknya anak pada masa pubertas berbeda pada anak laki-laki dan

anak perempuan. Rata-rata anak perempuan memasuki masa pubertas pada

usia 9-11 tahun sementara anak laki-laki memasuki masa pubertas pada

usia 12-15 tahun. Pada masa ini, perkembangan sosial anak ditunjukkan

salah satunya dengan hubungan antar teman sebaya yang sudah lebih intim

(Papalia, Olds & Feldman, 2004)

Ketegangan emosional merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi pertumbuhan fisik. Anak yang hidup dengan tenang

tumbuh lebih cepat daripada anak yang mengalami gangguan emosional,

meskipun gangguan emosional lebih banyak mempengaruhi berat badan

daripada tinggi badan. Sebagai tambahan, pada tahap selanjutnya, yaitu

tahap pubertas akan ditandai dengan adanya krisis (Hurlock, 1980).

2. Tugas perkembangan

Setiap tahap perkembangan yang dialami oleh seorang anak dari

bayi hingga dewasa memiliki tugas perkembangan masing-masing yang

harus dipenuhi. Masyarakat mengharapkan anak menguasai tugas-tugas

11

tersebut pada saat ini. Kegagalan dalam pelaksanaannya akan

mengakibatkan pola perilaku yang tidak matang, sehingga sulit diterima

oleh kelompok teman-temannya dan tidak mampu menyamai teman-teman

sebaya yang sudah menguasai tugas-tugas perkembangan tersebut.

Menurut Havinghurst (dalam Hurlock, 1980) tugas-tugas perkembangan

pada anak-anak di kelompok umur 6-12 tahun yaitu:

a. Belajar kemampuan-kemampuan fisik yang diperlukan agar bisa

melaksanakan permainan atau olahraga yang biasa

b. Membentuk sikap-sikap tertentu terhadap dirinya sebagai pribadi yang

sedang tumbuh dan berkembang

c. Belajar bergaul dengan teman-teman seumurnya

d. Mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar dalam membaca,

menulis, dan menghitung

e. Mengembangkan nurani, moralitas dan skala nilai

f. Memperoleh kebebasan pribadi

g. Membentuk sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan

institusi

Anak-anak diharapkan mampu melewati dan menyelesaikan tugas-

tugas perkembangannya. Dalam penelitian ini, difokuskan pada tugas

perkembangan yang berkaitan dengan interaksi sosial anak. Setelah

memasuki masa pubertas, interaksi sosial masih dipandang sebagai faktor

penting dalam proses pertumbuhannya dan pada masa ini, anak diharapkan

sudah memiliki jalinan relasi sosial yang baik dengan lingkungannya.

12

3. Aspek emosi dan sosial pada anak

Akhir masa kanak-kanak sering disebut sebagai “usia

berkelompok” karena ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas

teman-teman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima

sebagai anggota suatu kelompok, dan merasa tidak puas bila tidak bersama

teman-temannya. Anak ingin bersama teman-temannya dan akan merasa

kesepian serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya (Hurlock,

1980).

Di akhir masa kanak-kanak ini, relasi keluarga dan teman-teman

sebaya memainkan peran yang sangat penting, anak dituntut untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru, yaitu lingkungan

sekolah serta teman-temannya. Anak mulai mengembangkan ketrampilan

interpersonal, misalnya dengan menjalin hubungan persahabatan yang

intim.

Anak ingin bersama dengan kelompoknya, karena hanya dengan

demikian terdapat cukup teman untuk bermain dan berolah raga dan dapat

memberikan kegembiraan. Sejak anak masuk sekolah sampai masa puber,

keinginan untuk bersama dan untuk diterima kelompok menjadi semakin

kuat. Hal ini berlaku baik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan.

Hurlock (1978) dalam bukunya yang berjudul Child Development

mengungkapkan bagaimana emosi mempengaruhi penyesuaian pribadi dan

sosial anak. Dua diantara yang disebutkan adalah bahwa emosi mewarnai

pandangan anak terhadap kehidupan. Bagaimana anak-anak memandang

13

peran mereka dalam kehidupan dan posisi mereka dalam kelompok sosial

dipengaruhi oleh emosi yang ada pada mereka seperti malu, takut, agresif,

ingin tahu, atau bahagia. Selain itu, disebutkan juga bahwa emosi

mempengaruhi interaksi sosial. Semua emosi, baik yang menyenangkan

maupun yang tidak menyenangkan, mendorong interaksi sosial. Melalui

emosi, anak belajar cara mengubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri

dengan tuntutan dan ukuran sosial.

Pada anak usia sekolah, pengalaman emosi menjadi semakin

spesifik dan rumit. Pengalaman emosi menjadi semakin beragam seperti

kecemasan, kemarahan, agresi, kegembiraan, humor dan cinta. Keluarga

dan teman sebaya merupakan agen penting dalam sosialisasi. Interaksi

anak dengan teman sebaya memberikan kesempatan untuk membagikan

pengalaman, bekerja sama, mencapai tujuan. Pada masa ini pula anak

belajar untuk mengendalikan reaksi emosinya dengan cara atau tindakan

yang dapat diterima oleh lingkungan. Moral dan pemahaman dirinya mulai

berkembang. Oleh karena itu, sudah memungkinkan bagi orang tua untuk

mengajarkan anak tentang pengendalian perilaku, disiplin, maupun tentang

tanggung jawab. Orang tua dapat menuntun anak untuk memantau

perilakunya sendiri, menghadapi standar-standar perilaku yang sesuai, dan

menghindari resiko-resiko yang membahayakan (Hurlock, 1978).

Anak-anak harus belajar berhubungan secara teratur dengan orang-

orang dewasa di luar keluarga – orang-orang dewasa yang berinteraksi

dengan anak-anak sangat berbeda dari orang tua yang berinteraksi dengan

14

anak-anak. Dari perspektif kognitif sosial, anak-anak yang tidak dapat

menyesuaikan diri tidak memiliki keterampilan kognitif sosial yang

memadai untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain (Kelly & de

Armas, 1989; Weisberg, Caplan, & Sivo, 1989 dalam Santrock, 2002).

Satu investigasi mencoba menyelidiki kemungkinan bahwa anak-anak

yang tidak dapat menyesuaikan diri tidak memiliki keterampilan kognitif

sosial yang diperlukan bagi interaksi sosial yang positif (Asarnow &

Callan; dalam Santrock, 2002).

Hurlock (1978) membahas mengenai perkembangan sosial pada

masa puber. Dengan dimulainya masa puber timbullah perubahan pada

sikap sosial, kemunduran minat terhadap aktivitas kelompok, dan

kecenderungan untuk menyendiri. Pada masa puber, kemajuan dan

perubahan meningkat, serta sikap dan perilaku sosial semakin meningkat

ke arah antisosial. Pada masa ini pola perkembangan sosial terganggu.

B. Interaksi Sosial

1. Definisi Interaksi sosial

Dalam pengertian secara umum, interaksi merupakan satu relasi

antara dua sistem dan sistem yang terjadi sedemikian rupa sehingga

kejadian yang berlangsung pada satu sistem akan mempengaruhi kejadian

yang terjadi pada sistem lain, dapat pula didefinisikan sebagai satu

pertalian sosial antar individu sedemikian rupa sehingga individu yang

bersangkutan saling mempengaruhi satu sama lain (Chaplin, 2000),

15

sedangkan interaksi sosial menurut Mar’at (1982) adalah suatu proses

perhatian dan respon seseorang terhadap rangsangan atau stimulus dari

orang lain. Bonner (dalam Gerungan, 1996) menyebutkan bahwa interaksi

sosial adalah hubungan antara dua individu/ lebih sehingga individu yang

satu akan mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku yang lain

atau sebaliknya.

Senada dengan itu, Thibout dan Kelley (dalam Wirawan, 1984)

mendefinisikan interaksi sosial sebagai suatu hubungan antara dua orang

atau lebih yang memungkinkan mereka saling mempengaruhi dan saling

tergantung untuk mencapai hasil yang positif.

Walgito (2003) menyebutkan bahwa interaksi sosial ialah

hubungan individu yang satu dengan yang lainnya, dimana individu yang

satu dapat mempengaruhi yang lain atau sebaliknya; jadi disini terdapat

hubungan yang saling timbal balik. Hubungan ini dapat individu dengan

individu, individu dengan kelompok atau hubungan kelompok dengan

kelompok lain.

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa interaksi sosial

dapat diartikan sebagai suatu proses hubungan timbal balik sebagai suatu

pertalian sosial antar individu yang melibatkan perhatian dan respon

terhadap rangsangan atau stimulus dimana individu melakukan

penyesuaian dan saling mempengaruhi untuk mencapai keseimbangan

dengan lingkungan sosialnya.

16

2. Aspek Interaksi Sosial

Partowisastro (1983) dalam bukunya menyebutkan bahwa tidak

mungkin timbul interaksi sosial kalau tidak ada dua macam kondisi, yaitu

kontak sosial dan komunikasi. Selain itu, Pasaribu (1984) berpendapat

bahwa interaksi sosial dapat terjadi bila memenuhi dua aspek, yaitu kontak

sosial dan komunikasi. Kedua aspek tersebut dapat dijabarkan sebagai

berikut:

a. Kontak sosial

Kata ‘kontak’ berasal dari bahasa Latin, dari kata con atau

cum (bersama) dan tango (menyentuh), maka secara etimologi berarti

“saling bersentuhan”. Dalam lapangan fenomena sosial, kontak berarti

bertemu atau berpapasan dengan, dan ini tidak perlu adanya

persentuhan fisik sebab manusia mampu untuk membentuk kontak

sensoris yang efektif walaupun terdapat jarak cukup antara dua orang/

kelompok itu. Jarak kontak ini dapat diperbesar berkat kemajuan ilmu

teknologi, melalui telepon, radio, televisi, dan sebagainya. Maka

kontak sosial merupakan fase pertama dari interaksi sosial walaupun

sentuhan fisik dalam kontak sosial seperti yang disebutkan sebelumnya

bukan merupakan keharusan. Walaupun demikian sentuhan fisik

merupakan perangsang yang tidak sedikit artinya dalam memupuk

interaksi sosial. Contohnya adalah berjabat tangan, berangkulan,

bercium pipi dan sebagainya.

17

Kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif, tergantung dari

predisposisi sikap seseorang yang menunjukkan kesediaan (asosiatif)

atau penolakan (disasosiatif). Kontak sosial yang positif terjadi bila

disertai dengan respons atau adanya feed back. Kontak sosial negatif

terjadi bila tidak ada interaksi sama sekali.

Kontak sosial dapat juga dibedakan menjadi dua, yaitu

langsung (primer) dan tak langsung (sekunder). Kontak langsung

(primer) terjadi apabila individu yang terlibat bertemu langsung atau

bertatap muka (face to face) sehingga terjadi impresi (kesan) timbal

balik dari kedua belah pihak. Kontak tak langsung (sekunder) berarti

individu yang terlibat bertemu melalui perantara yang berupa orang

lain atau salah satu alat kebudayaan dan media tertentu, misalnya

telepon.

b. Komunikasi

Komunikasi adalah suatu proses transmisi atau pengiriman dan

penerimaan tanda, sinyal atau pesan (Chaplin, 2002). Pada dasarnya

komunikasi merupakan proses penyampaian dan penerimaan lambang-

lambang yang mengandung arti, baik yang berujud informasi-

informasi, pemikiran-pemikiran, pengetahuan ataupun yang lain-lain

dari penyampai atau komunikator kepada penerima atau komunikan.

Dalam komunikasi, yang penting adanya pengertian bersama dari

lambang-lambang tersebut, dan karena itu komunikasi merupakan

proses sosial (Katz; dalam Walgito, 2003). Bila komunikasi itu

18

berlangsung terus menerus akan terjadi interaksi, yaitu proses saling

mempengaruhi antara individu satu dengan yang lain.

Komunikasi sangat penting untuk dapat mengerti arti dari

interaksi sosial. Dengan adanya komunikasi, pandangan atau sikap

pikiran seseorang dapat diketahui dan dimengerti oleh orang lain yang

berinteraksi sosial dan responnya sebagian ditentukan olehnya. Kontak

sosial dapat terjadi tanpa komunikasi, namun interaksi yang ada tidak

dapat dikomunikasikan, sehingga dengan kata lain dapat dikatakan

bahwa kontak tanpa komunikasi tidak menimbulkan interaksi sosial.

Jadi interaksi merupakan kelanjutan dari kontak sosial yang sebagian

besar ditentukan interpretasi dari masing-masing pihak yang berkontak

sosial. Alat yang paling lazim dalam komunikasi adalah bahasa, bisa

bahasa verbal ataupun nonverbal (seperti mimik wajah, gerakan, postur

tubuh, dll).

Sebagai tambahan, interaksi sosial juga dijelaskan dalam DSM IV

TR terkait dengan gangguan autistik. Dalam DSM IV TR tersebut,

interaksi sosial dijabarkan menjadi perilaku-perilaku berikut :

1) Berbagai perilaku nonverbal seperti bertatap muka, ekspersi wajah,

sikap tubuh dan isyarat-isyarat lain untuk berinteraksi secara sosial.

2) Melakukan hal-hal atau aktifitas bersama orang lain secara spontan,

seperti berbagi kesenangan, minat, dan prestasi (contohnya:

menunjukkan ketertarikan terhadap suatu hal).

3) Adanya timbal balik secara sosial dan emosional

19

Sementara komunikasi meliputi :

1) Menunjukkan perkembangan bahasa verbal, dengan diikuti usaha

untuk mengganti penggunaan bahasa verbal sebagai cara lain untuk

berkomunikasi seperti isyarat atau ekspresi wajah.

2) Memulai atau mempertahankan pembicaraan dengan orang lain.

3) Menunjukkan perilaku meniru atau pengulangan bahasa.

4) Variasi dan spontanitas dalam melakukan permainan peran atau

permainan sosial sesuai dengan tahap perkembangan.

Pasaribu (1984) berpendapat bahwa interaksi sosial dapat terjadi

jika memenuhi dua aspek yaitu kontak sosial yang berarti predisposisi

sikap yang menunjukkan kesediaan atau keinginan yang kuat yang dapat

dikontrol oleh individu untuk berhubungan dengan orang lain misalnya

pada saat bertemu dengan individu lain, dan ada atau tidaknya komunikasi

yang merupakan proses transmisi tanda/ pesan untuk dapat mengerti

pandangan atau sikap dan pikiran orang lain yang berinteraksi sosial,

sebab interaksi merupakan kelanjutan dari kontak sosial yang sebagian

besar ditentukan interpretasi masing-masing pihak melalui komunikasi

yang terjadi baik secara verbal maupun nonverbal. Selain itu, berdasarkan

uraian dalam DSM IV TR, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial

meliputi kontak sosial dan komunikasi. Dimana kontak sosial meliputi

perilaku nonverbal, perilaku berbagi minat, adanya timbal balik secara

sosial-emosional dan terjadinya kontak fisik, sedangkan komunikasi terdiri

dari bicara/ penggunaan bahasa verbal yang tepat.

20

Deskripsi interaksi sosial dapat diketahui dari indikator berikut,

ada keinginan sebagai indikator interaksi sosial, komunikasi yang terdiri

dari komunikasi verbal dan nonverbal. Secara keseluruhan dapat

disimpulkan bahwa interaksi sosial terdiri dari 2 aspek yaitu kontak sosial

dan komunikasi. Kontak sosial antara lain meliputi, kesediaan atau

keinginan yang kuat untuk berhubungan dengan orang lain, perilaku-

perilaku nonverbal, termasuk juga perilaku berbagi minat, adanya

hubungan timbal balik serta terjadinya kontak fisik, dan komunikasi yang

meliputi, adanya proses transmisi pesan atau penggunaan bahasa baik

secara verbal maupun nonverbal.

3. Faktor-faktor yang turut membentuk Interaksi Sosial

Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial merupakan

sesuatu yang luas dan bervariasi, namun faktor-faktor tersebut bukan

berarti tidak dapat diidentifikasi. Baron dan Byrne (2004), dalam bukunya

mengungkapkan bahwa ada berbagai faktor dan kondisi yang membentuk

perilaku sosial pada diri individu. Dengan menggunakan metode-metode

ilmiah, disadari bahwa perilaku sosial dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial

(perilaku dan karakter orang lain), kognitif, lingkungan, budaya dan

biologis. Hal tersebut akan dijelaskan secara singkat berikut ini.

a. Perilaku dan karakter orang lain

Hasil penelitian oleh Hassin dan Trope (2000, dalam Baron&Byrne,

2004) menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengabaikan penampilan

21

orang lain, bahkan ketika kita secara sadar mencoba untuk

mengabaikannya. Temuan tersebut menunjukkan bahwa reaksi kita

terhadap orang lain jelas sangat dipengaruhi oleh penampilan luar

mereka.

b. Proses-proses kognitif

Reaksi individu dalam suatu situasi akan sangat tergantung pada

ingatannya tentang perilaku orang lain di masa lalu. Situasi tersebut

menunjukkan bahwa proses-proses kognitif memainkan peran penting

dalam perolehan dan pemikiran sosial.

c. Variabel-variabel lingkungan: pengaruh dari lingkungan fisik

Hasil-hasil penelitian yang ada menunjukkan bahwa lingkungan fisik

memang berpengaruh terhadap perasaan, pikiran dan perilaku individu.

d. Konteks budaya

Berbagai perubahan dramatis yang terjadi di dalam masyarakat

menggambarkan aspek penting lain dari perilaku sosial yaitu perilaku

sosial dipengaruhi oleh faktor budaya. Perilaku sosial seringkali sangat

dipengaruhi oleh norma-norma sosial (aturan sosial mengenai

bagaimana manusia seharusnya berperilaku dalam situasi tertentu),

keanggotaan dalam berbagai kelompok, dan perubahan nilai-nilai

sosial.

e. Faktor-faktor biologis

Pandangan bahwa faktor biologis memainkan peran penting dalam

perilaku sosial datang dari bidang psikologi evolusioner yang

22

menyatakan bahwa manusia, seperti makhluk lainnya di bumi, telah

mengalami proses evolusi biologis selama sejarah keberadaannya, dan

hasil dari proses ini adalah manusia sekarang memiliki sejumlah besar

mekanisme psikologis yang merupakan hasil evolusi (evolved

psychological mechanism) yang membantu untuk tetap hidup atau

mempertahankan keberadaan manusia melalui proses evolusi yang

melibatkan tiga komponen dasar yaitu variasi, bawaan, dan seleksi.

Pendapat lain diungkapkan oleh Bonner (dalam Gerungan, 2004),

yang menyebutkan bahwa walaupun bentuknya sederhana kelangsungan

interaksi sosial ternyata merupakan proses yang kompleks, dan dapat

dibedakan berdasarkan beberapa faktor yang mendasarinya sebagaimana

diuraikan berikut ini:

a. Imitasi

Imitasi ini mempunyai arti peniruan. Seluruh kehidupan sosial

sebenarnya terjadi berdasarkan faktor imitasi. Walaupun pendapat ini

berat sebelah, namun peranan imitasi dalam interaksi sosial tidaklah

kecil. Faktor imitasi berpengaruh dalam komunikasi dan tingkah laku.

Imitasi dapat bersifat positif dan negatif. Imitasi positif adalah

peniruan perilaku terhadap figur yang bersifat baik dan dalam interaksi

sosial merupakan faktor penting karena yang diimitasi sesuatu yang

baik. Sedangkan imitasi negatif adalah peniruan perilaku terhadap

figur yang bersifat negatif atau tidak baik dan imitasi ini dapat

menghambat seseorang dalam berinteraksi sosial.

23

b. Sugesti

Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial

hampir sama, namun terdapat perbedaan yang jelas yaitu imitasi terjadi

apabila seseorang mengikuti sesuatu di luar dirinya, sedangkan sugesti

seseorang memberikan pandangan/ sikap dari dirinya yang lalu

diterima oleh orang lain. Sugesti dalam Psikologi Sosial merupakan

suatu proses dimana seorang individu menerima suatu cara

memandang atau pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik

terlebih dahulu (Gerungan dalam Soetarno, 1989).

c. Identifikasi

Identifikasi adalah kecenderungan/ keinginan dalam diri seseorang

untuk menjadi sama dengan idolanya. Sears mengemukakan bahwa

terlalu kuat atau sebaliknya, terlalu sedikit identifikasinya akan

mempengaruhi kelancaran perkembangan. Corak hubungan antara

anak dengan ibunya akan mempengaruhi proses identifikasi. Anak

mulai menyadari jenis kelamin yang sama dan mulai mengadakan

sosialisasi melalui permainan-permainan. Sosialisasi meliputi

komunikasi verbal maupun nonverbal dalam hubungan interpersonal

dengan orang atau anak lain. Komunikasi nonverbal misalnya dengan

gerak-gerik dari tubuhnya untuk mengungkapkan sesuatu. Semua

masih terjadi dalam lingkungan keluarga atau lingkungan rumah

(Gunarsa, 1997).

24

d. Simpati

Faktor lain yang berperan dalam interaksi sosial adalah faktor simpati.

Simpati diartikan sebagai perasaan tertariknya seseorang terhadap

orang lain. Simpati ini muncul karena penilaian perasaan. Perasaan ini

terlihat nyata dalam persahabatan antara dua orang atau lebih.

Dari kedua uraian di atas mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi proses interaksi sosial, peneliti menyimpulkan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi proses interaksi sosial dapat

digolongkan menjadi dua, yaitu :

a. Faktor Internal

Faktor internal merupakan faktor yang mmpengaruhi interaksi

sosial yang berasal dari dalam diri individu. Faktor ini menunjuk pada

proses kognitif yang terjadi dalam diri individu, faktor biologis, serta

faktor identifikasi dan simpati.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang mempengaruhi

terjadinya proses interaksi sosial yang berasal dari luar individu

tersebut, misalnya faktor sosial yang berupa perilaku dan karakter

orang lain, variabel lingkungan yang dalam hal ini berupa pengaruh

dari lingkungan fisik, konteks budaya, dan faktor imitasi serta sugesti.

25

C. Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse)

1. Pengertian child abuse

Konsep child abuse berbeda-beda antar kebudayaan dan waktu,

sehingga definisi mengenai child abuse merupakan suatu definisi

sosiokultural. Menurut U.S Department of Health Education and Weflare,

child abuse didefinisikan sebagai kekerasan fisik atau mental, kekerasan

seksual, dan penelantaran anak di bawah usia 18 tahun yang dilakukan

oleh orang yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kesejahteraan

anak, sehingga kesehatan atau kesejahteraan anak tersebut terancam

(Thompson dan Rudolph; dalam Sukamto, 2000).

Secara konseptual, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat

didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang

umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggungjawab

terhadap kesejahteraan anak, yang semua itu diindikasikan dengan

kerugian dan ancaman terhadap kesehatan serta kesejahteraan anak

(Suyanto, 2005). Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh

Vander Zanden (dalam Rini, 2001) bahwa child abuse adalah penyiksaan

terhadap anak yang didefinisikan sebagai suatu bentuk penyerangan fisik

atau melukai anak dan perbuatan ini biasanya dilakukan justru oleh orang

tua atau pengasuh non keluarga. Menurut data penelitian diungkapkan

bahwa penyiksaan secara fisik banyak dialami oleh anak-anak sejak masa

bayi, dan berlanjut hingga masa kanak-kanak sampai remaja.

26

Irwanto (2004) juga mengungkapkan bahwa yang dimaksud

dengan kekerasan fisik dan emosional adalah berbagai bentuk pemukulan

atau ungkapan verbal yang dimaksudkan untuk menyakiti, mengecilkan

arti orang lain, atau berakibat cukup serius baik secara fisik maupun

emosional yang mengancam kelangsungan hidup atau tingkat

kesejahteraan seorang anak, atau biasa disebut penderaan atau perlakuan

salah. Sementara itu, dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak dalam penjelasan Pasal 13 huruf d ditemukan penjelasan tentang

perlakuan kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji,

bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan

kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/ atau

mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan

sosial.

Dari beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa child

abuse atau tindak kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perbuatan

yang tidak mencerminkan kasih sayang terhadap anak, sehingga dapat

menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan anak, baik secara fisik,

psikologis maupun secara seksual yang berakibat cukup serius dan dapat

mengganggu perkembangan anak. Dalam penelitian ini, tindak kekerasan

tersebut dilakukan oleh anggota keluarga korban.

27

2. Jenis-jenis Child Abuse

Penganiayaan atau tindak kekerasan terhadap anak memiliki

beberapa bentuk spesifik, dan tiap bentuknya bisa diikuti atau diiringi oleh

satu atau lebih bentuk lainnya. Terry E. Lawson psikiater internasional

yang merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak, menyebutkan

bahwa ada empat macam jenis kekerasan/ abuse, yaitu emotional abuse,

verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse (http://www.pikiran–

rakyat.co.id/cetak/2006/012006/15).

Ada empat tipe utama dari perlakuan kekerasan terhadap anak,

yaitu kekerasan fisik, tindak pengabaian anak, kekerasan emosional, dan

kekerasan seksual (National Clearinghouse on Child Abuse and Neglect,

dalam Santrock, 2007). Keempat tipe tindak kekerasan tersebut dapat

dijabarkan sebagai berikut :

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik merupakan tindak penyerangan pada anak,

seperti menendang, membenturkan badan, menusuk, menghantam atau

menikam tubuh anak dengan benda tajam, dimana perbuatan tersebut

dapat menimbulkan luka-luka pada tubuh anak (Berk, 2006). Santrock

(2007) juga menyebutkan bahwa kekerasan fisik ditandai dengan

adanya luka-luka pada tubuh sebagai hasil dari hantaman, pukulan

tendangan, tikaman, terbakar, goncangan atau segala tindakan yang

dapat merugikan seorang anak. orang tua atau pengasuh mungkin tidak

28

berniat untuk menyakiti anak, namun luka-luka yang terjadi bisa juga

diakibatkan oleh pemberian hukuman yang berlebihan pada anak.

b. Penelantaran atau pengabaian

Para psikiater dalam Himpunan Masyarakat Pencegah

Kekerasan Pada Anak di Inggris (1999) berpendapat bahwa

pengabaian terhadap anak juga merupakan sikap penyiksaan namun

lebih bersifat pasif (dalam Rini, 2001). Penelantaran atau biasa disebut

juga tindak pengabaian adalah suatu kegagalan orang tua dalam

memenuhi kebutuhan dasar tumbuh kembang anak, dalam kaitannya

dengan makanan, pakaian, perawatan medis, pendidikan, dan

pengawasan (Berk, 2006).

Tindak pengabaian dapat berupa pengabaian secara fisik,

emosional, atau pengabaian dalam bidang pendidikan (Santrock,

2007). Tindak pengabaian itu dijelaskan sebagai berikut :

1) Pengabaian secara fisik meliputi menolak atau menunda dalam

mencarikan pelayanan kesehatan, pengusiran dari rumah atau tidak

mengijinkan anak untuk kembali ke rumah dan tidak memberi

pengawasan yang cukup.

2) Pengabaian bidang pendidikan meliputi membiarkan anak

membolos sekolah terus-menerus, tidak mendaftarkan anak yang

masih dalam usia wajib sekolah, dan tidak mengindahkan

pendidikan anak yang berkebutuhan khusus.

29

3) Pengabaian secara emosional meliputi tindakan yang ditandai

dengan tidak adanya perhatian pada kebutuhan afeksi anak,

menolak untuk peduli pada kondisi psikologis anak, orang tua

bertindak saling menyakiti dihadapan anak, dan membiarkan anak

dalam penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang.

c. Kekerasan Emosional (psikologis/ kekerasan verbal/ pengrusakan

mental)

Kekerasan emosional mengacu pada tindak kekerasan yang

dapat menyebabkan gangguan tingkah laku, kognitif, ganguan mental

atau gangguan emosi. Keekrasan emosional sulit diidentifikasi karena

efeknya tidak tampak dipermukaan dengan seketika dan mungkin

sulit menciri tanda gangguan emosional di aspek perkembangan

lainnya (Papalia, Olds & Feldman, 2006). Senada dengan pernyataan

tersebut, Berk (2006) mengungkapkan bahwa kekerasan emosional

merupakan tindakan yang bisa menyebabkan gangguan tingkah laku

atau gangguan mental yang serius, meliputi pengasingan secara

sosial, memberi tuntutan yang tidak beralasan, mengejek, menghina,

mengintimidasi dan menteror. Sementara itu, Gelles & Cavanaugh

(dalam Santrock, 2007) juga menyebutkan bahwa kekerasan

emosional meliputi tindakan atau kelalaian yang dilakukan oleh orang

tua atau pengasuh yang menyebabkan gangguan tingkah laku,

kognitif, atau gangguan emosi secara serius. Sebagai contoh, orang

tua atau pengasuh menggunakan jenis hukuman yang tidak biasa

30

seperti, mengurung anak di dalam toilet gelap, sering meremehkan

dan menolak kehadiran anak.

Kekerasan emosi juga terekspresikan melalui kekerasan

verbal yang diartikan sebagai suatu komunikasi yang bertujuan

melukai orang lain secara psikologis, baik secara aktif maupun pasif.

Beberapa bentuk kekerasan verbal adalah sebagai berikut (Schaefer,

dalam Hetherington & Parke, 2003) :

1) Penolakan atau penarikan kembali cinta kasih, misalnya

ungkapan-ungkapan yang menyakitkan kepada anak.

2) Merendahkan secara verbal dengan menggunakan komentar atau

kata-kata yang meremehkan, mengejek, mempermainkan atau

menghina.

3) Tuntutan akan kesempurnaan, misalnya berbagai kalimat yang

mengandung suatu tuntutan tertentu sehingga membuat anak

menjadi tidak nyaman.

4) Prakiraan negatif, misalnya prasangka-prasangka orang tua

terhadap anaknya

5) Pembandingan negatif, umumnya muncul ketika ada

ketidakpuasan dalam diri orang tua terhadap anak sehingga

mereka membandingkan anak dengan hal-hal yang dianggap

baik.

6) Mengkambinghitamkan anak atas suatu kesalahan/ kesulitan

yang terjadi.

31

7) Mempermalukan anak secara pribadi atau di hadapan umum.

8) Mengutuk atau memberikan sumpah serapah.

9) Menakut-nakuti atau mengancam.

10) Menimbulkan perasaan bersalah. Pernyataan ini bertujuan

menimbulkan tekanan psikologis dimana orang yang

melakukannya sadar bahwa pernyataan tersebut akan menyakiti

anak secara psikologis.

Tindak kekerasan verbal tidak tergantung pada seberapa

banyak kalimat yang diucapkan melainkan bagaimana cara

mengatakannya, melalui intonasi atau aspek-aspek nonverbal

lainnya. Dalam keseharian, kekerasan verbal terjadi ketika orang tua

membentak-bentak, mencerca (nyinyir), mengungkit-ungkit, berkata

secara pedas dan menyakitkan atau justru diam, tetapi dingin dan

menyakitkan, penuh penilaian/ prasangka, tidak menghargai,

meremehkan, merendahkan, selalu mengharuskan, menuntut,

membanding-bandingkan dan mengancam.

d. Perlakuan Seksual

Perlakuan seksual adalah perlakuan yang mengarah pada

bentuk-bentuk kontak fisik dengan anak sebagai objek pemuasan

seksual orang dewasa atau dengan kata lain kekerasan seksual

merupakan tindakan terhadap anak terkait dngan seksualitas, meliputi

pelecehan hingga tindakan pemerkosaan terhadap anak. Contoh tindak

kekerasan seksual seperti penetrasi pada vagina atau anus anak dengan

32

penis atau jari dari pelaku kekerasan atau menggunakan objek lain,

menyentuh bagian-bagian tubuh yang paling pribadi atau mencumbu

serta ekshibisionisme dan pornografi anak yang mungkin saja tidak

melibatkan kegiatan seksual yang nyata antara seorang dewasa dan

seorang anak (Sukamto, 2000). Dalam bukunya, Santrock (2007)

menyebutkan bahwa kekerasan seksual meliputi meraba-raba alat

kelamin anak, berhubungan seks, incest, perkosaan, sodomi,

eksibisionisme, dan eksploitasi anak untuk tujuan komersil lewat

pelacuran atau produksi pornografi.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa kekerasan yang terjadi

pada anak-anak digolongkan menjadi empat macam bentuk kekerasan,

yaitu kekerasan fisik (dipukul, ditampar, dilempar benda, dll), tindak

penelantaran atau pengabaian (pengabaian fisik, pendidikan, emosional),

kekerasan psikis (kekerasan verbal, diacuhkan, dibatasi pergaulannya, dll),

dan kekerasan seksual (mulai dari dilecehkan secara seksual sampai

dengan diperkosa, eksploitasi anak dengan pelacuran, dll).

3. Ciri-ciri Child Abuse

Beberapa ciri-ciri tindak kekerasan yang sering terjadi pada anak-

anak dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu ciri-ciri tindak kekerasan non-

seksual dan ciri perilaku seksual. Hal tersebut dijabarkan sebagai berikut :

33

a. Non-seksual

Tanda-tanda perilaku penyiksaan non-seksual dibagi menjadi tanda-

tanda fisik dan tanda-tanda perilaku yang akan dijelaskan sebagai

berikut:

1) Tanda-tanda fisik

a) Luka-luka dengan tingkat keparahan bervariasi, hal ini cukup

mengkhawatirkan bagi anak-anak yang sangat muda, yang

masih belum mampu berkomunikasi. Menurut Williams,

pukulan yang berulang-ulang pada kepala dapat menyebabkan

retardasi mental, cerebral palsy dan gangguan-gangguan lain

(Alloy, et al.; dalam Sukamto, 2000).

b) Adanya penundaan perawatan.

c) Laporan-laporan yang tidak konsisten tentang bagaimana anak

sampai terluka.

2) Tanda-tanda perilaku

Menurut Azar dan Twentyman serta Ney, Fung dan Wickett (Alloy

et al.; dalam Sukamto, 2000) tanda-tanda perilaku meliputi:

a) Penolakan anak untuk berbicara di depan orang tua atau

pengasuh yang melakukan kekerasan

b) Adanya rasa takut untuk pulang

c) Perubahan-perubahan perilaku yang ekstrim, seperti agresi atau

menarik diri

34

d) Mengalami gangguan psikologis, sehingga nantinya orang tua

mereka kurang mampu menghadapi anak-anak mereka sendiri

b. Seksual

Tanda-tanda perilaku penyiksaan seksual dibagi menjadi 2 bagian

yaitu:

1) Efek akut, efek ini segera mengikuti peristiwa kekerasan, meliputi:

a) Menunjukkan masalah-masalah perilaku dan emosional,

kesulitan belajar, masalah pergaulan, misalnya menarik diri.

Menurut Kilpatrics, Resnick dan Veronen, Stein et al., Cutler

dan Nolen-Hoekema (Ropsenhan & Seligman; dalam Sukamto,

2000), anak yang mengalami kekerasan seksual akan sangat

beresiko menderita gangguan-gangguan emosional, seperti

gangguan kecemasan, depresi, ganguan stres pasca trauma dan

gangguan-gangguan perilaku, seperti conduct disorder dan

penyalahgunaan obat.

b) Mengalami kesulitan dalam mengekpresikan kemarahan,

menjadi mudah terganggu dan menyerang tanpa sebab-sebab

yang jelas.

c) Masalah tingkah laku di sekolah, menurunnya prestasi di

sekolah, enuresis, enkopresis.

2) Efek jangka panjang. Efek ini lebih sukar diprediksi, tapi dapat

digolongkan dalam empat bidang utama yaitu:

a) Masalah kesehatan mental

35

b) Kesulitan seksual, yaitu pada saat anak menjadi dewasa,

mungkin saja muncul masalah-masalah yang berhubungan

dengan perkembangan psikoseksual. Anak ini mungkin

mengalami hambatan seksual atau justru bersedia berhubungan

seksual dengan siapa saja.

c) Keterampilan menjadi orang tua yang buruk. Menurut Glass,

Green, Reiner dan Kaufman (Thompson & Rudolph; dalam

Sukamto, 2000), para orang tua yang mengalami kekerasan

tidak dapat memberikan kasih sayang, perhatian, kehangatan,

dan kelembutan terhadap anak-anak mereka karena mereka

juga tidak pernah dicintai serta merasa terluka dan tertolak.

d) Masalah-masalah sosial, seperti keterampilan beradaptasi

dengan lingkungan dan keterampilan dalam bergaul dengan

orang lain.

Dari penjelasan mengenai ciri-ciri child abuse di atas dapat

diketahui bahwa ciri-cirinya dibagi menjadi dua sesuai dengan tindak

kekerasannya, yaitu ciri tindak kekerasan non-seksual yang dilihat dari

tanda-tanda fisik dan tanda-tanda perilaku, serta ciri tindak kekerasan

seksual yang dilihat berdasarkan efek yang diderita korban (efek akut yang

segera mengikuti tindak kekerasan dan efek jangka panjang yang lebih

sukar untuk diprediksi).

36

4. Dampak Penyiksaan Terhadap Aspek Kehidupan Anak

Tindak penganiayaan dapat memberi dampak tidak hanya secara

fisik, tetapi juga emosional, kognitif, dan sosial (Papalia, Olds, dan

Feldman, 2006). Selain itu, anak-anak korban kekerasan sering

menunjukkan kesulitan atau gangguan bicara (Coster, Gersten,

Beeghly&Cicchetti; dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2006).

Ikawati dan Rusmiyati (dalam “Kekerasan Terhadap Anak dalam

Keluarga dan Upaya Penanganannya”, 2003) menyebutkan bahwa

kekerasan terhadap anak mempunyai dampak buruk bagi anak, antara lain:

a. Dampak terhadap kondisi fisik

Dampak fisik yang dirasakan anak mulai dari luka kecil sampai

dengan kematian. Luka kecil dapat meliputi memar pada mata, pada

otak atau organ-organ lain. Luka yang berat dapat berupa patah tulang

atau kerusakan saraf pada organ-organ tertentu.

b. Dampak terhadap kondisi psikologis anak

Dampak penganiayaan terhadap perkembangan anak

diantaranya adalah kemampuan mengatur emosi yang lemah,

permasalahan kelekatan, permasalahan dalam relasi teman sebaya,

kesulitan beradaptasi di sekolah, dan permasalahan psikologis lainnya

(Azar, Cicchetti & Toth; dalam Santrock, 2007)

Permasalahan penyesuaian diri anak-anak korban kekerasan

seksual seringkali sangat berat. Depresi, harga diri rendah, tidak

percaya pada orang dewasa, kemarahan serta sikap bermusuhan tetap

37

berlangsung bertahun-tahun setelah peristiwa kekerasan yang dialami

(Feiring, Taska&Lewis, Tricket et. al.; dalam Berk, 2006).

Kekerasan emosional dapat mengakibatkan rendahnya harga

diri, tingginya kecemasan pada anak, dan usaha bunuh diri (Wolfe;

dalam Berk, 2006).

c. Dampak terhadap tingkah laku anak

Menurut Budiono dan Wulur (dalam Ikawati dan Rusmiyati,

2003) dampak terhadap tingkah laku anak meliputi :

1) Sikap negativisme dan destruktif

Anak yang hidup dalam lingkungan penuh dengan

ketidakbahagiaan, ketidaksenangan, kekecewaan, dan kekerasan

akan tumbuh menjadi anak yang tidak mudah percaya atau selalu

berprasangka buruk terhadap orang lain dan mudah melakukan

tindakan kurang baik atau suka merusak.

2) Melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain

Anak yang terbiasa menerima tindakan kekerasan

mempunyai kecenderungan untuk mengambangkan tindak-tindak

kekerasan terhadap orang lain.

3) Sikap tidak takut/ cemas berpisah dari orang tua

Seorang anak yang biasa menerima tindakan kekerasan dari

orang tuanya mempunyai kecenderungan untuk tidak merasa takut

atau tidak merasa cemas apabila berpisah dari orang tuanya.

38

4) Memperlihatkan keterlambatan mental (pengertian bahasa dan

motorik)

Anak yang biasa menerima tindak kekerasan dari orang

tuanya, seperti pemukulan, penamparan, penyiksaan, dan bentuk

hukuman lainnya dapat menderita cedera fisik yang mengakibatkan

terganggunya perkembangan mentalnya.

D. Interaksi Sosial Pada Korban Child Abuse

Dari latar belakang dan uraian sebelumnya, tampak bahwa menjalin

interaksi sosial merupakan tugas perkembangan yang penting yang harus

dilakukan oleh individu pada tahap perkembangan masa kanak-kanak. Setiap

tahap perkembangan yang dialami oleh individu memiliki tugas

perkembangan masing-masing yang harus dipenuhi oleh individu tersebut

sesuai dengan harapan masyarakat. Kegagalan dalam pelaksanaannya akan

mengakibatkan pola perilaku yang tidak matang, sehingga sulit diterima oleh

kelompok teman-temannya dan tidak mampu menyamai teman-teman sebaya

yang sudah menguasai tugas-tugas perkembangan tersebut. Contoh tugas

perkembangan yang harus dipenuhi oleh anak-anak pada masa akhir kanak-

kanaknya, yaitu belajar kemampuan-kemampuan fisik yang diperlukan agar

bisa melaksanakan permainan atau olahraga yang biasa dan salah satu faktor

yang mempengaruhi pertumbuhan fisik adalah ketegangan emosional; belajar

bergaul dengan teman-teman seumurnya. Dalam hal ini, keluarga dan teman

sebaya merupakan agen penting dalam sosialisasi (Hurlock, 1980).

39

Pergaulan dengan teman sebaya atau sosialisasi sangat penting sebab

interaksi anak dengan teman sebaya memberikan kesempatan untuk

membagikan pengalaman, bekerja sama, mencapai tujuan, memperoleh

kebebasan pribadi serta membentuk sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok

sosial dan institusi. Anak diharapkan mampu belajar bergaul dengan teman-

teman seumurnya sehingga ia mampu membentuk sikap-sikap terhadap

kelompok sosial dan mengasah intuisinya. Selain itu, anak juga berhak

memperoleh kebebasan pribadi dalam hidupnya.

Dalam kasus child abuse atau tindak kekerasan terhadap anak,

interaksi sosial anak banyak mengalami hambatan. Child abuse atau tindak

kekerasan terhadap anak khususnya dalam keluarga adalah segala bentuk

perbuatan yang tidak mencerminkan kasih sayang terhadap anak, sehingga

dapat menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan anak, baik secara fisik,

seksual maupun secara psikologis yang dapat mengganggu perkembangan

anak. Dalam setiap kasus kekerasan, kebebasan seorang anak dapat terenggut

oleh tindak kekerasan yang seringkali dilakukan oleh orang terdekatnya.

Singgih (1980) mengungkapkan bahwa anak usia 6-11 tahun

merupakan usia kritis baik menyangkut masalah psikologis, fisik maupun

sosial. Tindak kekerasan dapat mengganggu interaksi sosialnya dikemudian

hari. Erikson (dalam Hall&Lindzay, 1993) menganggap pada tahun-tahun

pertama kehidupan anak, penting untuk ditanamkan dasar mempercayai orang

lain. Anak yang tidak mengalami dan memperoleh kasih sayang dan kepuasan

dari kebutuhan akan mengalami kegagalan dalam mengembangkan

40

kepercayaan kepada orang lain dan oleh karena itu akan terganggulah

hubungan sosialnya di kemudian hari. Sears mengemukakan bahwa tingkah

laku yang ditunjukkan anak adalah hasil hubungannya dengan lingkungan

sosial yang langsung di mana anak dibesarkan. Dalam hal ini peranan dan cara

orang tua memperlihatkan sikap dan pola dalam pengasuhan anak penting

sekali.

Menurut Azar dan Twentyman serta Ney, Fung dan Wickett (Alloy et

al.; dalam Sukamto, 2000) salah satu efek dari terganggunya interaksi sosial

seorang anak adalah perasaan tertekan yang disebabkan oleh kebebasan

pribadi yang tidak dimiliki akibat tindak kekerasan yang dialaminya. Hal

tersebut dapat mengakibatkan ketegangan, kecemasan, depresi, dan timbulnya

rasa takut dan malu yang kemudian akan mempengaruhi interaksi sosialnya.

Pasaribu (1984) berpendapat bahwa interaksi sosial dapat terjadi jika

memenuhi dua aspek yaitu kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial yang

berarti predisposisi sikap yang menunjukkan kesediaan atau keinginan yang

kuat yang dapat dikontrol oleh individu untuk berhubungan dengan orang lain

misalnya pada saat bertemu dengan individu lain. Dalam kasus kekerasan

terhadap anak, dampak pada korban dapat berupa penolakan anak untuk

berbicara di depan orang tua atau pengasuh yang melakukan kekerasan,

perasaan malu dan penarikan diri sehingga menimbulkan permasalahan dalam

sosialisasi karena terhambatnya proses terjadinya kontak sosial. Selain itu,

korban kekerasan sulit mengembangkan hubungan yang sehat karena

kekejaman yang ia terima menurunkan kompetensi sosial dan membatasi

41

kemampuan dalam menunjukkan simpati serta berempati yang juga dapat

menghambat terjadinya kontak sosial antara anak dengan orang lain. Hal

tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor internal yaitu proses kognitif dari

dalam diri anak itu sendiri berupa ingatan tentang masa lalunya yang dapat

menimbulkan kecemasan dan ketakutan terhadap kehadiran orang lain. Hal

tersebut tentunya dapat menimbulkan hambatan pada terjalinnya kontak antara

anak dengan orang lain.

Selain kontak sosial yang terhambat, komunikasi yang seharusnya

dapat terjalin untuk dapat mewujudkan interaksi sosial juga dapat mengalami

hambatan. Komunikasi merupakan proses penerimaan tanda/ pesan untuk

dapat mengerti pandangan atau sikap, pikiran orang lain yang berinteraksi

sosial, sebab interaksi merupakan kelanjutan dari kontak sosial yang sebagian

besar ditentukan interpretasi masing-masing pihak melalui komunikasi yang

terjadi baik secara verbal maupun nonverbal. Anak yang mengalami

penyiksaan memperlihatkan keterlambatan perkembangan, sehingga dapat

menimbulkan perilaku yang tidak diterima secara sosial misalnya penyesuaian

yang tidak baik. Tindak kekerasan diterima oleh anak dapat menimbulkan rasa

takut dan malu untuk berbicara pada orang lain. Implikasinya dapat berupa

perubahan perilaku yang ekstrim, misalnya membuat kekacauan di kelas atau

melakukan agresivitas. Masalah yang sering muncul adalah kelekatan dengan

teman yang disertai rasa tidak aman, sulit mempercayai orang lain, sering

mengalami konflik, dan juga dapat menimbulkan ketakutan akan intimitas.

Berbagai masalah tersebut akan mempengaruhi kemampuan anak dalam

42

berkomunikasi dengan orang lain karena anak kesulitan dalam

mengembangkan rasa aman dan kepercayaan yang ikut berpengaruh dalam

proses pertukaran pesan (komunikasi).

43

Gambar 2.1 Skema terhambatnya interaksi sosial anak korban child abuse

Child abuse: anak mendapat perlakuan kekerasan

Dampak tindak kekerasan : 1. Mempengaruhi kesejahteraan psikologis anak 2. Kebebasan pribadi terenggut 3. Gagal mengembangkan kepercayaan yang menimbulkan

perasaan tertekan 4. Keterlambatan perkembangan

Hal-hal tersebut dapat menimbulkan : 1. Ketegangan 2. Kecemasan 3. Depresi 4. Timbul rasa takut dan malu 5. Kehilangan kepercayaan 6. Rendah diri 7. Rasa tidak aman

Interaksi sosial terhambat : 1. Kontak sosial 2. Komunikasi

Faktor yang berpengaruh pada interaksi sosial, meliputi : 1. Faktor internal :

Proses kognitif, faktor biologis, faktor identifikasi dan faktor simpati

2. Faktor eksternal : Faktor sosial (perilaku&karakter orang lain), pengaruh lingkungan fisik,konteks budaya, faktor imitasi, dan faktor sugesti.

44

E. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana gambaran interaksi sosial pada anak yang menjadi korban

kekerasan? Interaksi sosial anak dengan lingkungannya dapat diketahui

berdasarkan aspek-aspek yang terdiri dari :

a. Kontak sosial

b. Komunikasi

45

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kasus (case study) dengan

pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan pendekatan

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati (dalam Moleong, 2005). Studi kasus merupakan studi mengenai unit

sosial tertentu, yang hasil penelitiannya mampu memberikan gambaran luas

dan mendalam mengenai unit sosial tertentu. Subjek yang diteliti relatif

terbatas, tapi variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya.

Subjek penelitiannya dapat berupa individu, kelompok institusi ataupun

masyarakat (Danim, 2002).

Dalam pendekatan/ tipe penelitian studi kasus, metode pengumpulan

data dapat dilakukan dari berbagai sumber dengan beragam cara, bisa berupa

observasi, wawancara, maupun studi dokumen/ karya, produk tertentu yang

terkait dengan kasus (Poerwandari, 2005). Studi kasus dimaksudkan untuk

mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan dan posisi saat ini,

serta interaksi lingkungan suatu unit sosial tertentu: individu, keluarga,

lembaga atau masyarakat (Suryabrata, 2002). Menurut Patton (dalam

Poerwandari, 1998), studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa

46

perlu memahami suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, keluarga dengan

karakteristik tertentu ataupun situasi unik secara mendalam.

Desain studi kasus dengan pendekatan kualitatif yang digunakan dalam

penelitian ini memungkinkan peneliti untuk menggali secara lebih mendalam

keadaan, perasaan-perasaan, serta hubungan/ interaksi sosial anak yang

mengalami kekerasan (child abuse) dalam keluarga dengan orang-orang

disekitarnya.

B. Subjek Penelitian

Pengambilan subjek penelitian disesuaikan dengan jenis penelitian,

yaitu studi kasus yang mengungkapkan suatu kasus secara mendalam. Dalam

penelitian ini, subjek yang diteliti adalah 3 orang anak yang merupakan

korban kekerasan yang telah dilindungi oleh suatu lembaga yang terkait

dengan perlindungan terhadap anak. Subjek yang digunakan dalam penelitian

ini memiliki kriteria sebagai berikut:

1. Berusia 6-12 tahun yaitu usia anak-anak hingga memasuki masa pubertas.

Pemilihan subjek berdasarkan usia tersebut dengan alasan bahwa usia

tersebut adalah usia yang penting berkaitan dengan pembentukan interaksi

sosial anak.

2. Pernah mengalami tindak kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis/

emosional maupun seksual yang dilakukan oleh orang dewasa.

3. Tidak mengalami gangguan bicara sebagai dampak dari tindak kekerasan

yang ia terima, dalam arti subjek mampu berkomunikasi secara verbal. Hal

47

ini berkaitan dengan pengumpulan data menggunakan teknik wawancara

yang akan dilakukan oleh peneliti.

Dalam penelitian ini, identitas subjek dan identitas dari orang-orang

yang terlibat serta lembaga terkait tempat subjek bernaung akan disamarkan

untuk menjaga kerahasiaan subjek penelitian. Hal ini dilakukan untuk

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sekaligus untuk melindungi privasi

subjek dan keluarganya serta pihak-pihak yang terkait dengan subjek.

C. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

Bentuk penelitian ini adalah studi kasus, oleh karena itu tidak ada

kontrol/ perlakuan (treatment) terhadap variabelnya. Variabel dalam

penelitian ini adalah interaksi sosial anak yang mengalami perlakuan

kekerasan/ abuse dengan lingkungan sekitarnya.

Batasan definisi kekerasan terhadap anak yang digunakan dalam

penelitian ini adalah segala perbuatan atau tindak penganiayaan, pelecehan,

secara fisik, psikis, maupun seksual, baik yang dilakukan oleh pihak keluarga.

Yang dimaksud dengan interaksi sosial dalam penelitian ini adalah cara subjek

menciptakan hubungan yang saling mempengaruhi dengan orang lain serta

lingkungannya. Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat bagaimana subjek

(yaitu anak yang menjadi korban kekerasan) berinteraksi dengan orang lain,

yang dapat diketahui melalui penuturan subjek dan significant others-nya serta

dari hasil observasi tentang kontak sosial dan komunikasi yang terjalin antara

subjek dengan orang-orang di sekitarnya baik orang dewasa maupun teman-

48

teman sebayanya. Berdasarkan berbagai sumber, dapat disimpulkan bahwa

indikator interaksi sosial, yaitu :

1. Kontak sosial

a. Adanya kesediaan, respon, feed back, penerimaan dari subjek pada saat

diajak berbicara oleh orang lain, baik yang telah ia kenal maupun tidak

(orang yang masih asing baginya) .

b. Mampu bergaul dengan teman sebaya dan beradaptasi di lingkungan

yang baru, misalnya di sekolah, di lingkungan rumah atau tempat

tinggal yang baru.

c. Mampu melakukan kontak fisik, seperti berjabat tangan, berangkulan,

bercium pipi, atau tidak menghindar/ menolak jika disentuh oleh orang

dewasa.

d. Adanya keinginan untuk menjalin hubungan interpersonal dengan

orang lain.

2. Komunikasi

a. Mampu mengungkapkan perasaannya kepada orang lain.

b. Mampu menunjukkan tanda-tanda non-verbal saat berbicara dengan

orang lain seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, sikap badan.

c. Adanya kesediaan untuk menjawab jika ditanya oleh orang lain.

d. Mampu memulai pembicaraan dengan orang lain dan

mempertahankannya.

Data di atas nantinya berupa hasil wawancara yang diperoleh dari

subjek dengan dilengkapi hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti. Dalam

49

hal ini peneliti ingin meneliti perilaku subjek berdasarkan penuturannya

sebagai korban kekerasan, hasil wawancara dengan orang terdekat korban dan

juga berdasar pada hasil observasi yang dilakukan peneliti.

D. Metode Pengambilan Data

Dalam penelitian ini, proses pengumpulan data akan dilakukan dengan

cara wawancara.

Banister et al. (1994) menyebutkan wawancara kualitatif adalah

percakapan tanya jawab yang dilakukan peneliti untuk memperoleh

pengetahuan tentang makna subjektif yang dipahami individu berkenaan

dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap topik

tersebut (dalam Poerwandari, 2005). Keuntungan jika menggunakan metode

wawancara antara lain: dengan wawancara hal-hal yang kurang jelas dapat

diperjelas, hingga orang dapat mengerti apa yang dimaksudkan; interviewer

dapat menyesuaikan dengan keadaan yang diinterview (bersifat lebih

fleksibel), karena dalam interview atau wawancara ada hubungan langsung

antara penginterview dengan yang diinterview, diharapkan adanya hubungan

yang baik, dan ini akan memberikan bantuan dalam memperoleh bahan-bahan

penelitian. Tetapi sebaliknya bila hubungan antara keduanya sudah tidak baik,

hal tersebut akan menghambat jalannya interview (Walgito, 2003).

Wawancara yang akan dilakukan merupakan wawancara terbuka semi

terstruktur, yaitu wawancara yang terjadi ketika subjek mengetahui atau

menyadari bahwa mereka sedang dalam proses wawancara dan peneliti

50

memiliki panduan wawancara tetapi masih bisa dikembangkan lagi saat

pelaksanaan wawancara sesuai dengan kebutuhan perkembangan proses

wawancara. Wawancara semi terstruktur berarti peneliti tetap membuat

panduan pertanyaan, tetapi tidak harus mengikuti ketentuan secara ketat dan

memungkinkan mencakup ruang lingkup yang lebih besar atau

memungkinkan untuk dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan di luar

pertanyaan formal guna mendukung pengumpulan informasi (Basuki, 2006).

Informasi yang ingin digali terhadap subjek yang merupakan anak

korban kekerasan dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan, yaitu

wawancara mengenai :

1. Latar belakang keluarga, meliputi : jumlah anggota keluarga, status subjek,

gambaran cara pengasuhan orang tua subjek, hubungan subjek dengan

keluarga, penyebab kekerasan, jenis dan macam kekerasan

2. Kontak sosial yang terjalin antara subjek dengan orang tua, teman-teman,

saudara dan lingkungan sekitar, meliputi : keinginan subjek untuk bergaul

dengan lingkungan, terjadinya kontak fisik antara subjek dengan orang

lain dan berbagai jenis perilaku non-verbal, pemberian respon/ kesediaan

oleh subjek pada lawan bicara baik secara langsung maupun tak langsung

yang dapat mempengaruhi terjadinya kontak sosial baik positif maupun

negatif.

3. Kemampuan subjek dalam melakukan komunikasi dengan orang lain,

meliputi : pengungkapan pengalaman dan perasaan yang dirasakan subjek

termasuk juga menceritakan keadaan dirinya pada orang lain, mampu

51

menangkap pesan, informasi dan pertanyaan, serta terjadinya komunikasi

non-verbal antara subjek dengan orang lain.

Tabel 3.1 Panduan wawancara

Latar belakang keluarga

− Berapa jumlah anggota keluarga subjek? − Bagaimana kondisi ekonomi keluarga subjek? − Status subjek dalam keluarga? − Apa jenis pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua

subjek? − Bagaimana hubungan subjek dengan anggota keluarga

yang lain selama ini? − Masalah apa yang menimbulkan kekerasan yang

menimpa diri subjek? − Bagaimana kekerasan yang diterima subjek?

Kontak sosial

− Apakah subjek mampu menjalin kontak mata dengan orang lain atau orang yang masih asing baginya?

− Apakah subjek bersedia berbagi cerita ataupun barang dengan teman bermainnya?

− Apakah subjek bersedia menjawab jika ia diajak berbicara oleh orang lain?

− Bagaimana sikap subjek saat diajak berkenalan oleh orang yang masih asing baginya?

− Apakah subjek mampu menjalin hubungan timbal balik dengan saudara/ anggota keluarganya atau orang lain?

− Bagaimana sikap subjek saat terjadi kontak fisik seperti mendapat pelukan dari orang lain?

− Apakah subjek mampu bergaul dengan teman sebayanya?

Komunikasi

− Apakah subjek mampu mengungkapkan perasaannya kepada orang lain?

− Apakah subjek pernah atau sering menceritakan pengalamannya kepada teman-temannya?

− Bagaimana sikap subjek saat diajak berbicara oleh orang yang masih asing baginya?

− Apakah subjek mampu memulai pembicaraan dengan orang dewasa di sekitarnya?

Data yang diperolah melalui wawancara akan dilengkapi dengan data

dari observasi. Banister et al. (1994) mengungkapkan bahwa istilah observasi

diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena

52

yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena

tersebut (dalam Poerwandari, 2005). Tujuan observasi adalah mendeskripsikan

setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang

terlibat dalam aktivitas dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka

yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut (Poerwandari, 2005).

Observasi yang akan peneliti lakukan adalah observasi partisipan, yaitu

peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau

yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Stainback (1988; dalam

Sugiyono, 2005) menyatakan bahwa dalam observasi partisipatif, peneliti

mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka

ucapkan, dan berpartisipasi dalam aktivitas mereka. Observasi yang digunakan

bersifat tidak terstruktur yang merupakan observasi yang bersifat terbuka dan

fleksibel. Dalam observasi ini, tidak ada pedoman resmi yang digunakan

peneliti selama observasi. Observasi yang dilakukan mencakup aspek-aspek:

1. Perilaku subjek dalam proses wawancara

2. Perilaku subjek dalam kehidupan sehari-hari baik yang berhubungan

dengan orang lain maupun dalam penyesuaian sosial dengan

lingkungannya

Hasil observasi dalam penelitian ini akan dipakai sebagai tambahan

data dan juga penguat data terhadap data hasil wawancara. Hal-hal yang akan

menjadi fokus observasi adalah kondisi fisik dan psikis subjek, serta perilaku-

perilaku atau kegiatan subjek dalam kehidupan sehari-hari baik yang

53

berhubungan dengan teman sebaya, orang dewasa maupun dalam penyesuaian

diri dengan lingkungannya (keluarga dan masyarakat).

Observasi akan dilakukan oleh peneliti terhadap subjek pada waktu-

waktu tertentu dan dengan beberapa kriteria situasi, yaitu:

1. Selama proses wawancara berlangsung, dalam situasi tenang di sebuah

ruangan yang hanya terdapat peneliti dan subjek di dalamnya sehingga

subjek dapat merasa nyaman menjalani proses wawancara.

2. Pada saat subjek berada di lingkungan tempat bermain, dimana banyak

teman seusia subjek yang berada di sana, sehingga peneliti dapat

mengamati bagaimana perilaku subjek sehari-hari bila bermain dan

berinteraksi dengan teman sebaya.

3. Pada saat subjek berada di lingkungan tempat subjek tinggal. Di sini fokus

pengamatan peneliti terhadap subjek adalah bagaimana perilaku subjek

saat berinteraksi dengan pengasuhnya (orang dewasa) di sekelilingnya.

Hasil pengamatan peneliti nantinya berupa deskripsi mengenai

perilaku subjek mengenai interaksi sosialnya sesuai dengan indikator interaksi

sosial yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya sebagai tambahan data

yang penting untuk menunjang hasil wawancara yang juga dilakukan oleh

peneliti.

54

E. Analisis Data

1. Organisasi Data

Data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif ini banyak

berbentuk data deskripsi tertulis yang didapat dari transkip wawancara

sehingga data-data tersebut akan dianalisis menurut isinya atau sering

disebut dengan analisis konten (Suryabrata, 1990). Menurut Bogdan dan

Biklen (1982), analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan

jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah

menjadi satuan yang dapat dikelola, mensitesiskannya, mencari dan

menemukan pola, menemukan sesuatu yang penting dan memutuskan

hasil yang dapat diceritakan kepada orang lain (dalam Moleong, 2005).

Dalam melakukan analisa terhadap data yang telah diperoleh

melalui wawancara, maka peneliti melakukan langkah-langkah sebagai

berikut (Poerwandari, 1998):

1. Memindahkan hasil wawancara dari tape recorder ke kertas kosong.

Semua hasil wawancara dalam kata-kata/ kalimat apapun disalin

kembali ke dalam buku. Dalam metode kualitatif sering disebut dengan

transkrip verbatim.

2. Setelah itu dari hasil wawancara yang diperoleh dilakukan analisis data

dengan cara menemukan tema-tema yang muncul sesuai dengan pokok

permasalahan yang diteliti.

55

3. Kemudian data yang berupa tema-tema tersebut dikategorisasikan

secara konseptual agar lebih terperinci sehingga jelas dan memberi

makna yang dalam untuk permasalahan yang diteliti.

4. Tahap berikutnya adalah melakukan interpretasi terhadap hasil

kategorisasi dengan hasil wawancara. Tujuannya untuk memudahkan

dalam memahami pembahasan kasus penelitian ini baru kemudian

peneliti dapat menarik kesimpulan akhir.

Analisis data juga didasarkan pada hasil pengamatan yang telah

diperoleh peneliti selama proses wawancara dan observasi berlangsung.

2. Koding

Transkrip verbatim yang telah dilakukan pada tahap pertama dibuat

lebih terperinci lagi sehingga masalah yang akan diteliti menjadi tampak

jelas. Koding dilakukan untuk dapat mengorganisasi dan mensistemasi

data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan

gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2005). Berikut ini

daftar kode dalam analisis data :

Tabel 3.2

Kode Organisasi Data

Aspek Hal-hal yang diungkap Kode Status, kehidupan keluarga, hubungan antara subjek dengan keluarganya

L. Ba.

Latar belakang kekerasan yang diterima, jenis kekerasan

L. Bk. Latar belakang Perasaan dan perilaku keseharian subjek

secara umum yang timbul sebagai reaksi atas hal yang terjadi padanya

L. Bh.

Kontak sosial

Kesediaan atau keinginan yang kuat untuk berhubungan dengan orang lain,

KS. Ki. P. → ada keinginan

56

keinginan untuk menjalin relasi dengan orang lain, bergaul dengan teman sebaya, menjalin hubungan dengan orang dewasa

KS. Ki. N. → tidak timbul keinginan

Perilaku-perilaku nonverbal (bertatap muka, kontak mata, ekspersi wajah, perilaku menangis, sikap tubuh seperti menggoyang-goyangkan badan/ kaki, meremas-remas tangan, memainkan benda di tangan), termasuk juga perilaku berbagi minat

KS. Pnv. P. → ada perilaku KS. Pnv. N. → tidak ada perilaku

Adanya hubungan timbal balik/ memberikan feedback

KS. Fb. P → beri feedback KS. Fb. N→ tdk ada feedback

Terjadinya kontak fisik; sentuhan fisik (berjabat tangan, berangkulan, belaian kepala, berciuman pipi)

KS. Fs. P → terjadi kontak KS. Fs. N → menolak terjadi kontak

Menjelaskan adanya proses transmisi pesan yang terjalin dengan lingkungan baik secara verbal maupun nonverbal, memulai komunikasi dengan orang lain, menangkap pesan dalam sebuah pertanyaan

Kom. Tp. P. → menjalin komunikasi Kom. Tp. N. → tidak menjalin komunikasi

Komunikasi verbal: bercakap-cakap, mencurahkan pikiran dan perasaan, baik secara individual maupun dalam kelompok

Kom. Vb. → komunikasi verbal

Komunikasi

Komunikasi non-verbal: mengangguk, menggelengkan kepala, melambaikan tangan

Kom. NVb. → komunikasi non-verbal

F. Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data

1. Kredibilitas

Dalam penelitian kualitatif, istilah kredibilitas digunakan untuk

menggantikan konsep validitas. Kredibilitas studi kualitatif terletak

pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau

mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi

57

yang kompleks. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kompleksitas

aspek-aspek yang terkait dan interaksi dari berbagai aspek menjadi

salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005).

Stangl (1980) dan Sarantakos (1993) menyatakan bahwa dalam

penelitian kualitatif, kredibilitas dicoba dicapai tidak melalui

manipulasi variabel, melainkan melalui orientasinya dan upayanya

mendalami dunia empiris dengan menggunakan metode yang paling

cocok untuk pengambilan dan analisis data (dalam Poerwandari,

2005).

Hal penting lain yang dapat meningkatkan generabilitas dan

kredibilitas penelitian kualitatif adalah melakukan triangulasi.

Triangulasi mengacu pada upaya mengambil sumber-sumber data yang

berbeda, dengan cara berbeda, untuk memperoleh kejelasan mengenai

suatu hal tertentu. Data dari berbagai sumber berbeda dapat digunakan

untuk mengelaborasi dan memperkaya penelitian, dan dengan

memperoleh data dari sumber berbeda, dengan teknik pengumpulan

yang berbeda, kita akan menguatkan derajat manfaat studi pada seting-

seting berbeda pula (Marshall & Rossman, 1995; dalam Poerwandari,

2005).

Sugiyono (2005) menyebutkan bahwa triangulasi dalam

pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari

berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dalam

58

penelitian ini, jenis triangulasi yang digunakan adalah triangulasi

sumber dan triangulasi teknik yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang

telah diperoleh melalui beberapa sumber. Data dari ketiga sumber

tersebut, tidak bisa dirata-ratakan seperti penelitian kuantitatif,

tetapi dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang

sama, yang berbeda, dan mana spesifik dari tiga sumber data

tersebut.

b. Triangulasi Teknik

Triangulasi teknik dilakukan dengan cara mengecek data kepada

sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data

diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi,

dokumentasi, atau kuesioner. Bila dengan tiga teknik pengujian

kredibilitas data tersebut, menghasilkan data yang berbeda-beda,

maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data

yang bersangkutan atau yang lain, untuk memastikan data mana

yang dianggap benar. Atau mungkin semuanya benar, karena sudut

pandangnya berbeda-beda.

c. Triangulasi Waktu

Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Untuk itu

dalam rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan

59

cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi, atau

teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda.

Dalam penelitian ini, jenis triangulasi yang akan digunakan

oleh peneliti adalah triangulasi sumber yang dilakukan dengan cara

melakukan wawancara terhadap korban kekerasan sebagai subjek

utama, dan significant other sebagai subjek tambahan. Significant

other disini misalnya orang tua/wali, pengasuh atau orang terdekat

korban.

2. Dependability

Melalui konstruk dependability, peneliti memperhitungkan

perubahan-perubahan yang mungkin terjadi menyangkut fenomena

yang diteliti, juga perubahan dalam desain sebagai hasil dari

pemahaman yang lebih mendalam tentang setting yang diteliti

(Poerwandari, 2005).

Dalam penelitian ini, dua subjek utama peneliti memiliki

kriteria yang sama yaitu masih dalam program monitoring oleh

lembaga yang menangani kasus mereka, sedangkan satu subjek utama

peneliti yang lain merupakan korban kekerasan yang tinggal dekat

dengan peneliti.

60

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

1. Alat pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan metode wawancara semi tersruktur

dengan sebuah panduan wawancara supaya tujuan pokok wawancara dapat

tercapai tanpa membatasi informasi yang bisa didapatkan oleh peneliti.

Untuk menjaga validitas isi dari alat yang digunakan (dalam hal ini adalah

draft panduan pertanyaan yang dibuat oleh peneliti), maka peneliti

meminta pendapat dan masukan dari dosen pembimbing skripsi sebagai

professional judgement.

2. Subjek

Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan kriteria yang

sudah ditentukan dan disesuaikan dengan tujuan penelitian yang tertera di

bab III. Dalam penelitian ini, ditemukan tiga orang subjek. Tahap

persiapan yang dilakukan peneliti terhadap subjek yang didapat adalah

sebagai berikut:

a. Pencarian subjek pertama dan kedua melewati tahapan yang sama

karena berada dalam satu naungan lembaga, sedangkan subjek ketiga

merupakan putri pemilik kos tempat peneliti tinggal. Proses pencarian

subjek 1 dan 2 dimulai dengan pengajuan dan penyerahan surat

permohonan ijin melaksanakan penelitian beserta Surat Keterangan

61

Penelitian dari fakultas di Lembaga Perlindungan Anak Propinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta (LPA-DIY). Pemilihan LPA sebagai

tempat penelitian dianggap tepat karena di LPA-DIY dapat

menemukan subjek yang tepat dan sesuai dengan karakteristik yang

telah ditentukan. Pada bulan November 2006 peneliti masuk sebagai

staff-volunteer di LPA-DIY dan menjalankan tugas monitoring di

Trauma Center yang merupakan tempat peneliti melaksanakan

penelitian ini. Untuk subjek 3, peneliti tidak menemui banyak

kesulitan Subjek ketiga dalam penelitian ini adalah putri dari seorang

pemilik salah satu rumah kos di daerah Sleman. Peneliti sendiri sudah

sekitar satu tahun mengenal subjek. Peneliti tinggal di salah satu kamar

di rumah kos tersebut, sehingga peneliti dapat mengamati subjek

dengan lebih dekat dan detil. Selain melakukan wawancara terhadap

subjek, peneliti juga melakukan wawancara terhadap orang-orang yang

dianggap sebagai significant other subjek. Dalam hal ini adalah

advokat dan pengasuh/ pembimbing untuk subjek 1 dan 2, sedangkan

untuk subjek 3, peneliti melakukan wawancara terhadap guru kelasnya

serta seorang anak kos yang sudah lama tinggal di kos-kosan itu

(sekitar 5 tahun) dan sudah terjalin hubungan yang dekat antara dirinya

dengan keluarga subjek. Wawancara tersebut bertujuan untuk

menggali lebih dalam tentang diri subjek, latar belakangnya, dan juga

sebagai cross check atas pernyataan yang dikemukakan subjek saat

proses wawancara.

62

b. Melakukan pendekatan/ rapport agar proses pengumpulan data dapat

berjalan dengan lancar, subjek dapat bersikap terbuka pada peneliti,

dan supaya penelitian ini tetap dapat memotret realita yang ada dengan

sesungguhnya. Supaya terjalin rapport yang baik antara peneliti

dengan subjek 1 dan 2, peneliti datang ke trauma center (TC) minimal

2 minggu sekali. Peneliti menjalin hubungan dengan cara menemani

mereka bermain dan belajar sehingga peneliti bisa melakukan

observasi sesuai dengan kriteria situasi yang tertera pada bab III untuk

subjek 1 dan 2, pendekatan yang dilakukan peneliti memakan waktu

cukup lama (± beberapa bulan) sebelum penelitian dimulai. Hal ini

dilakukan untuk menjaga kedekatan antara subjek dan peneliti karena

subjek 1 dan 2 ternyata adalah anak yang tertutup namun tampak

memiliki agresifitas yang cukup tinggi. Subjek 3 adalah anak yang

sudah peneliti kenal selama kurang lebih 1 tahun. Pada dasarnya,

subjek 3 adalah anak yang mudah diajak bicara sehingga tidak sulit

bagi peneliti untuk membangun rapport dengan subjek. Hal yang

selanjutnya dilakukan oleh peneliti adalah membuat janji dengan

subjek dan significant other-nya untuk melakukan wawancara.

Banyaknya wawancara yang terjadi berbeda tiap subjeknya. Pada

waktu wawancara yang telah ditentukan baik dengan subjek maupun

dengan significant othernya, peneliti menyiapkan tape recorder, kaset

kosong, mp3, buku catatan dan alat tulis untuk mencatat hal-hal yang

dirasa perlu selama wawancara.

63

B. Pelaksanaan Penelitian

Pada saat penelitian ini dilaksanakan, banyaknya wawancara dan

observasi berbeda tiap subjek tergantung dari situasi subjek saat itu. Proses

pengambilan data secara ringkas dijelaskan pada tabel 4.1 dibawah ini :

Subjek Waktu Tempat Kegiatan

20 Juni 2007 Ruang tv TC Observasi lapangan penelitian (tempat tinggal TI & AR)

23 Juni 2007 Depan kamar pengasuh Observasi 1 TI

27 Juni 2007 Ruang tv TC Observasi 2 TI 29 Juni 2007 Ruang tv TC Observasi 3 TI 4 Juli 2007 Ruang tamu TC Wawancara 1 mb Tn &

Observasi 4 TI 11 Juli 2007 Ruang tv TC Wawancara 2 mb Tn &

Observasi 5 TI 19 Juli 2007 Kantor LPA-DIY Wawancara pak Prn 23 Juli 2007 Ruang tv TC Wawancara 1 TI &

observasi 6 TI 25 Juli 2007 Ruang tamu TC Wawancara 2 TI &

observasi 7 TI 30 Juli 2007 Ruang tamu TC Wawancara 3 TI &

observasi 8 TI 6 Agustus 2007 Ruang tamu TC Wawancara 4 TI &

observasi 9 TI

1

8 Agustus 2007 Ruang tamu TC Wawancara 5 TI & observasi 10 TI

20 Juni 2007 Ruang tamu TC Observasi lapangan penelitian (tempat tinggal TI & AR) & observasi 1 AR

29 Juni 2007 Teras depan & ruang tv TC

Wawancara 1 AR & observasi 2 AR

4 Juli 2007 Ruang tamu & ruang tv TC

Observasi 3 AR

11 Juli 2007 Ruang tv TC Observasi 4 AR 23 Juli 2007 Ruang tv TC Wawancara mb Tn &

Observasi 5 AR 1 Agustus 2007 Ruang tamu TC Wawancara 2 AR &

observasi 6 AR 21 Februari 2008 Kantor PSAA Wawancara bu An

2

27 Februari 2007 Kantor LPA-DIY Wawancara pak Prn

64

23 Mei 2007 Kamar mb Wn Observasi 1 YP 26 Mei 2007 Kamar peneliti Wawancara 1 YP 28 Mei 2007 Kamar kos mb Wn Wawancara 1 mb Wn 29 Mei 2007 Kamar kos peneliti Wawancara 2 mb Wn 10 Juni 2007 Rumah ibu YP Observasi 2 YP 24 Juni 2007 Rumah ibu YP Observasi 3 YP 12 Juli 2007 Rumah ibu YP Observasi 4 YP

3 Agustus 2007 Sebuah restoran keluarga Wawancara 2 YP 26 Agustus 2007 Teras rumah YP dan

lapangan depan rumah YP

Observasi 5 YP

19 Oktober 2007 Rumah nenek Ng Observasi 6 YP 3 November 2007 Kamar kos mb Wn Wawancara 3 mb Wn

3

29 Februari 2008 Sekolah subjek (SD Kanisius)

Wawancara bu Pl

Keterangan : Subjek : TI : subjek 1 AR : subjek 2 YP : subjek 3 Significant Other : Pak Prn : advokat subjek 1 dan 2 (SO) Mb Tn : pengasuh/ pembimbing subjek 1 dan 2 Bu An : kepala TC Mb Wn : penghuni rumah subjek 3 Bu Pl : guru kelas subjek 3

Untuk subjek TI, peneliti melakukan 5 kali wawancara terhadap

subjek, 3 kali wawancara terhadap significant others serta didukung dengan 10

kali observasi terhadap subjek diberbagai situasi. Untuk subjek AR, peneliti

melakukan 2 kali wawancara terhadap subjek, 3 kali wawancara terhadap

significant others dan didukung dengan 6 kali observasi terhadap AR di

berbagai situasi. Untuk subjek YP, wawancara terjadi dua kali di tempat yang

berbeda dan 6 kali observasi di berbagai situasi. Peneliti juga melakukan

wawancara terhadap significant others YP sebanyak 4 kali. Wawancara

pertama terhadap YP terjadi di kamar peneliti, sedangkan wawancara kedua

dilakukan di sebuah restoran keluarga. Wawancara kedua dilakukan di tempat

65

yang cukup jauh dari rumah subjek dengan tujuan supaya subjek dapat lebih

bebas mengutarakan isi hati dan pikirannya. Peneliti berharap subjek tidak

merasakan tekanan sedikitpun seperti apabila ia berada di rumah sehingga

subjek tidak melakukan faking saat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari

peneliti.

C. Hasil Penelitian

1. Subjek 1

a. Identitas

Nama : TI

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 7 tahun

Agama : Islam

Urutan kelahiran : Anak 1 dari 2 bersaudara

Status : Anak diluar nikah (ayah tidak diketahui)

Status sosial ekonomi : Rendah

Deskripsi subjek :

Subjek 1 (untuk selanjutnya disebut dengan TI) memiliki

perawakan yang kecil dan kurus. TI memiliki potongan rambut cepak

dan berwarna hitam serta berkulit sawo matang cenderung hitam. Raut

wajahnya ‘keras’ dan dapat dikatakan jarang tersenyum (sepanjang

pengamatan peneliti dan berdasarkan hasil wawancara dengan pihak

pengasuhnya). Gaya bicaranya cenderung kasar dan dengan intonasi

66

tinggi namun volume suaranya pelan, bahkan tak jarang seperti

berbisik pada lawan bicaranya.

Pada saat penelitian ini dilakukan TI berusia 7 tahun dan

sudah tinggal di Trauma Center (TC) selama hampir 2 tahun. TI

dibawa ke TC pada usia 5 tahun setelah kekerasan yang terakhir kali

diterima TI dari neneknya.

b. Latar belakang

1) Keluarga

Pada dasarnya TI merasa senang berkumpul dengan

keluarganya, karena adanya kedekatan antara TI dengan ibu dan

adiknya. Walaupun ibu dan neneknya yang melakukan tindak

kekerasan terhadap TI dan adiknya, namun lebih banyak neneknya

yang melakukan sehingga menimbulkan kebencian dalam diri TI

terhadap neneknya. Hal tersebut juga menimbulkan ‘jarak’ antara

TI dengan neneknya. Pada awal TI berada di TC, ia masih

menanyakan tentang ibunya walaupun semakin lama sudah tidak

lagi bahkan cenderung menghindar saat pengasuhnya

membicarakan tentang keluarga TI.

TI menyimpan kebencian terhadap neneknya karena

perilaku neneknya yang lebih dominan dalam hal memberi

perlakuan kekerasan, namun hubungan TI dengan ibunya masih

dapat dikatakan dekat karena TI dan adiknya sering diajak pergi

67

oleh ibunya menonton ketoprak atau ke tempat-tempat hiburan

bersama dengan seorang pria yang menjadi ‘teman dekat’ ibunya

(ibu TI menjadi selingkuhannya karena pria itu sudah beristri). TI

tidak mengetahui siapa ayah kandungnya karena TI terlahir dari

hubungan antara ibunya dengan seorang pria yang berasal dari

lingkungan yang sama dengan ibunya namun pada akhirnya tidak

bertanggung jawab. Setelah itu, beberapa tahun kemudian, ibu TI

berhubungan lagi dengan seorang laki-laki yang berasal dari daerah

Pringwulung dan hasil dari hubungan itu adalah adik dari TI yang

diberi nama SL. Jadi dapat dikatakan bahwa TI dan SL adalah

saudara tiri (satu ibu tetapi berbeda ayah).

Walaupun bukan saudara kandung, tetapi TI sangat

menyayangi adiknya dan selalu melindungi adiknya dari tindak

kekerasan yang dilakukan oleh neneknya dan terkadang juga oleh

ibunya. TI dan adiknya tidak pernah mendapatkan perhatian dan

kasih sayang yang selayaknya dari ibu dan neneknya. Hal yang

diberikan pada TI dan adiknya oleh sang ibu hanyalah pemenuhan

kebutuhan fisik.

2) Kekerasan yang dialami

Selama TI masih tinggal bersama dengan keluarganya, ia

selalu mendapatkan tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh

ibu dan neneknya, namun neneknya lebih dominan dalam hal ini.

TI dan adiknya, SL, sering dijadikan komoditas untuk mendukung

68

ibu dan neneknya meminta-minta uang di jalan (mengemis). Saat

itu SL masih berusia 2 tahun dan ikut dibawa ke jalan supaya

mendapatkan uang dari pengguna jalan yang merasa iba pada

mereka. Kekerasan yang terjadi di keluarga TI sudah berlangsung

turun-temurun sejak ibu TI masih kecil. Sejak ada TI, nenek TI

memanfaatkan dirinya untuk meminta-minta di jalan menggantikan

ibunya. Oleh karena itu semenjak TI dibawa ke TC dan dilepaskan

dari kekerasan yang ia terima dari keluarganya, semakin lama TI

semakin merasakan kenyamanan dari hidupnya saat ini.

Sebelum dibawa ke jalan, terkadang TI dikondisikan

terluka sehingga bisa menimbulkan rasa iba bagi orang yang

melihatnya. TI dibentur-benturkan ke dinding hingga berdarah,

dipukul dan ditendang. Jika ia tidak mau melakukannya, ia akan

menerima perlakuan kekerasan yang lebih parah lagi. Selain

kekerasan fisik, TI juga kerap menerima tindak kekerasan psikis

berupa kata-kata kasar, makian dan umpatan-umpatan yang seolah-

olah sudah menjadi santapannya sehari-hari. TI juga sering melihat

percekcokan antara nenek dan ibunya yang seringkali

mengeluarkan kata-kata ‘kotor’ dan umpatan-umpatan yang

akhirnya ‘direkam’ oleh TI kecil.

Tindak kekerasan yang ada di keluarga TI sebagai upaya

untuk mencari penghasilan sudah terjadi turun temurun sejak ibu

TI masih berusia kanak-kanak. Kemudian sejak ada TI, ibu dan

69

nenek TI memanfaatkan dirinya untuk meminta-minta di jalan raya

setelah diberi perlakuan kekerasan untuk menambah rasa iba dari

para pengguna jalan yang melihatnya. Fakta tersebut memperkuat

pernyataan dari Leach (1998) yang menyebutkan bahwa dalam

fenomena kekerasan terhadap anak, sangat dimungkinkan terjadi

transmisi kekerasan antar generasi. Tindak kekerasan sebagai

bagian dari perlakuan salah yang dialami orangtua dimasa lalunya,

sangat dimungkinkan kemballi terulang pada generasi selanjutnya

dimana orangtua kini menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-

anaknya.

3) Keseharian TI

Selama masih tinggal bersama dengan keluarganya, TI

tidak pernah sekolah dan kesehariannya dihabiskan di jalan untuk

membantu ibu dan neneknya meminta-minta. Sejak kecil ia hidup

di lingkungan yang penuh konflik dan bahkan sering menjadi

korban dari perseteruan yang terjadi antara ibu dan neneknya Dapat

dikatakan bahwa kondisi rumah keluarga TI memprihatinkan.

Menurut salah seorang informan yang peneliti wawancarai,

pakaian yang mereka kenakan dan rumah tinggal keluarga TI sudah

tidak layak dari segi kesehatan. Di rumah itu hanya terdapat satu

kamar dan hanya ada satu tempat tidur dengan kasur yang sudah

kumal dan tidak layak pakai.

70

Keluarga TI dikucilkan dari pergaulan, sehingga TI tidak

memiliki teman saat ia masih tinggal dengan ibu dan neneknya.

Setiap hari TI hanya bermain sendiri atau dengan adik satu-satunya

(SL) sehingga ia terbiasa sendirian. Hubungan antara TI dengan

adiknya terjalin baik karena TI sangat memperhatikan adiknya

hingga saat ia dibawa ke TC dan adiknya meninggal dunia tanpa

sepengetahuannya.

TI masih menyimpan kecemasan hingga kini berkaitan

dengan kekerasan yang ia terima dari ibu dan neneknya. Hingga

setahun setelah TI dibawa ke TC, ia masih mengompol saat tidur.

Selain itu, TI selalu merasa ketakutan terhadap gelap, guyuran air,

dan sambal. Setiap kali ia diguyur air di kamar mandi atau melihat

ada sambal di dekat piring makannya, TI akan langsung menangis

keras. Hal tersebut sebagai dampak dari kekerasan yang pernah ia

terima dari ibu dan neneknya. TI menjadi gelisah dan raut

wajahnya tiba-tiba berubah cemberut dan tampak marah, kemudian

berkata dengan nada kasar pada pengasuhnya saat pengasuhnya

menunjukkan sebuah gambar kebaya yang ada di suatu halaman

majalah dan mengatakan bahwa kebaya itu sama seperti kepunyaan

ibu TI. Kekerasan yang diterima TI berdampak juga pada

hubungan sosialnya yang ditunjukkan oleh kelekatannya dengan

teman yang disertai rasa tidak aman dan ia juga sulit mempercayai

orang lain.

71

Awal TI tinggal di TC, pola perilakunya masih sama seperti

ketika ia masih tinggal bersama dengan ibu dan neneknya. TI

berperilaku urakan dan bertemperamen kasar, karena sejak TI

mulai bisa ‘menangkap’ dan ‘mengerti’ keadaan di sekitarnya, ia

sudah melihat hal-hal yang tidak pas untuk usia anak-anak. Setiap

hari TI dibawa ke ‘jalan’ dan hidup di lingkungan yang penuh

konflik, bahkan menjadi korban dari konflik tersebut. TI memiliki

agresifitas tinggi, terutama pada saat ia merasa marah. Ia suka

membentak-bentak, membanting barang atau melemparnya. Tetapi

sekarang ini, TI lebih menunjukkan sikap diam termasuk pada saat

ia sedang marah, dibandingkan saat awal ia berada di TC, dimana

agresifitasnya masih tinggi.

Menurut pengasuhnya, TI adalah anak yang sulit untuk

diajak bicara. Penanggungjawab hukum TI mengatakan bahwa jika

TI mau beradaptasi dengan teman-temannya sejak awal tinggal di

TC, ada kemungkinan ia sudah mengalami perubahan perilaku

lebih cepat. Selama ini, TI tumbuh menjadi anak yang individualis

dan cenderung liar. Namun begitu, ia juga mengatakan bahwa saat

ini TI sudah merasakan kenyamanan dari hidupnya saat ini. Ia juga

sudah mengalami kemajuan dalam hal perbaikan perilaku semenjak

ia masuk TC.

72

c. Kontak sosial

Aspek kontak sosial yang akan dilihat dalam diri subjek

antara lain meliputi, kesediaan atau keinginan yang kuat untuk

berhubungan dengan orang lain atau dengan kata lain menjalin relasi

dengan orang-orang di sekitarnya, menunjukkan perilaku-perilaku non-

verbal, termasuk juga perilaku berbagi minat, adanya hubungan timbal

balik/ terjadi feedback serta terjadinya kontak fisik. Hal ini juga

berlaku bagi subjek 2 dan 3. Adapun aspek kontak sosial yang tergali

dari diri subjek 1 (TI) selama proses wawancara dan observasi dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

Subjek TI memiliki keinginan untuk menjalin relasi dengan

teman sebayanya. TI senang bergaul dengan teman-temannya dan ia

juga beranggapan bahwa penting baginya untuk berteman karena

manfaat bergaul adalah bisa diajak bermain bersama supaya ia tidak

sendirian.

“penting mbak; yo ben ora dewekan mbak” (wwcr2.S1.TI.brs. 53; 56) “seneng mbak” (wwcr2.S1.TI.brs. 60) “ikut mbak; yo seneng mbak” (wwcr2.S1.TI.brs.86; 88) “Suka main sama temen-temen... ...soale kalo temennya banyak jadi bisa ikutan..bisa punya temen yang banyak” (wwcr5. S1. TI. brs. 62) “Manfaatnya ya bisa diajak mainan bareng mbak” (wwcr5. S1. TI. brs. 60)

Oleh karena itu, TI akan merasa sedih jika berada sendiri

karena tidak ada yang bisa diajak bermain.

73

“yo...sedih mbak ; ora ono sing diajak dolanan” (wwcr5. S1. TI. brs. 66; 68)

TI bersedia bermain bersama bersama dengan teman barunya

di sekolah agar temannya bertambah. Saat melihat teman yang sedang

sendirian pun, TI akan mendekati dan mengajak bicara meskipun

dengan perasaan takut.

“Mau mbak..mau sama temen baru di sekolah..mau mainan biar temennya tambah” (wwcr5. S1. TI. brs. 89) “aku deketin mbak..ngajak ngobrol..; Yo wedi mbak...; Mau mbak ngajak ngobrol. (wwcr5. S1. TI. brs. 111; 113; 115)

Selain itu, TI juga memandang perlu dan penting untuk

memberi salam dan berteman dengan orang dewasa karena bisa

menolongnya kalau sedang susah.

“ya perlu mbak” (wwcr5. S1. TI. brs. 52) “ya penting mbak..karena dia bisa nolongin kalo lagi susah” (wwcr5. S1. TI. brs. 57) “Aku seneng mbak...bisa deket-dekat sama orang gede soalnya bisa nolongin” (wwcr5. S1. TI. brs. 79)

Namun, saat subjek bertemu dengan orang dewasa yang

masih asing baginya/ belum ia kenal, ia merasa takut, tidak mau

menjalin kontak dengannya dan memilih untuk pergi.

“wong lanang mbak..aku rak nyedaki..wedi mbak; nek wonge jahat piye mbak?” (wwcr4. S1. TI. 60807.brs.28; 32) “Kalo belum kenal ya aku nggak mau mbak...ya aku pergi aja..” (wwcr5.S1.TI.brs. 30)

Hal tersebut diperkuat oleh penuturan pak Prn yang

merupakan penanggungjawab hukum TI. Ia mengungkapkan bahwa

74

saat TI berada di tempat yang baru, pada awalnya TI tidak mau bergaul

dengan teman sebayanya dan sulit beradaptasi. Jika ada seorang teman

yang menegur TI, TI akan memberikan respon/ jawaban, namun jika

tidak, TI lebih memilih untuk diam dan TI juga tidak mau mendekati

orang yang belum dikenal, baik orang dewasa maupun sebayanya.

“Kalo si TI itu karena memang tidak sering bersosialisasi dengan teman sebaya itu disana pertama adalah tidak mau bergaul ya kalau saya lihat dan dia mau menangnya sendiri” (wwcr. SO1. Prn. brs. 149-151) “...dan dia mungkin kalo ada temen lain yang negur dia baru mau jawab tapi kalo engga, prinsip dia diem aja” (wwcr. SO1. Prn. brs.151-152) “Kalau dia lagi nyetel tv terus ada yang ngganti, wah dia udah ngamuk-ngamuk itu jadi model-model seperti itu, dia nggak mau bersosialisasi dengan baik dengan sebayanya. Lebih mentingin diri sendiri dan tidak mau beradaptasi dan bersosialisasi. Saya melihatnya awalnya seperti itu” (wwcr. SO1. Prn. brs.153-156) “Mbok ada anak kecil, nggak pernah untuk, biasanya khan kalau ada anak khan coba-coba untuk mendekat biar nanti bisa diajak ngomong, main bareng, tapi enggak TI itu sudah individu sekali dan dia dimana-mana nggak ada rasa takut. Itu yang makanya cenderung liarnya itu” (wwcr. SO1. Prn. brs. 247-250)

TI bersedia bermain dengan orang dewasa jika ia sudah

mengenalnya dengan baik. Ia akan pergi dan tidak mau didekati oleh

orang yang masih asing baginya dan ia merasa takut untuk berteman

dengan orang dewasa yang belum ia kenal. TI termasuk anak yang

sulit bergaul dengan orang baru. Ia sering tidak mau bila diajak bicara

dan bermain bersama oleh orang yang masih asing baginya. Ia tidak

memberi respon atau feedback saat disapa orang yang tidak/ belum ia

kenal.

75

“Aku mau temenan sama orang gede...ning aku wis kenal” (wwcr5. S1. TI. brs. 82) “Yo wedi mbak” (wwcr5. S1. TI. brs. 86) “yo aku meneng wae mbak” (wwcr4. S1. TI. brs.39)

Pernyataan TI di atas diperkuat oleh pernyataan yang

diungkapkan oleh pengasuh TI.

“TI itu emang kayak gitu kalo sama orang baru. Agak susah. Apalagi kalo diajak main, ngobrol gitu suka nggak mau mbak. Tapi kalo udah lama, dah kenal gitu, kayak sama saya ato mbak Rin, ya dia mau cerita” (wwcr1. SO1. MbTn. brs. 4-6)

Hal tersebut juga didukung oleh hasil observasi yang

dilakukan terhadap TI saat peneliti mencoba mengajak TI

berbincang-bincang. TI tidak menanggapi dan bermain sendiri,

bahkan tidak merespon sama sekali (Obsv1.S1.TI.no.2; 5)

Selain itu, TI juga cenderung menghindari hal-hal yang

membuat ia tidak merasa nyaman seperti perbincangan dengan orang

yang tidak ia kenal atau topik pembicaraan yang tidak ia sukai. TI

seringkali tidak mau menanggapi dan tidak memberikan timbal balik

pada lawan bicaranya atau orang yang ia hadapi saat itu. Walaupun

begitu, terkadang TI merespon atau memberikan tanggapan bukan

dalam bentuk komunikasi verbal tetapi perbuatan sesuai yang diminta

oleh lawan bicaranya. Hal tersebut tampak pada hasil observasi yang

dilakukan peneliti terhadap TI (Obsv1.S1.TI.no.3; Obsv3.S1.TI.no.1;

Obsv5.S1.TI.no.2; Obsv7.S1. TI.no.3; Obsv8.S1.TI.no.3;

Obsv9.S1.TI.no.3).

76

Ia tidak mau memainkan mainannya bersama temannya

karena tidak mau mainannya diminta oleh temannya.

“biasane aku nek dolanan dewekan mbak; luwih seneng mbak; tapi engko dijaluk mbak karo kancane” (wwcr2.S1.TI.brs. 64; 66; 74) “TI itu emang suka main-main sendiri. Kalo temen-temennya nonton tv, kadang dia lebih suka main sendiri sama mainan-mainannya” (wwcr1. SO1. MbTn. brs. 26-27) “Kalo TI lebih suka main sendiri mbak. Kalo misalnya temen-temennya lagi main apa gitu. TI malah main-main sendiri sama mainan-mainannya” (wwcr2. SO1. MbTn. brs. 22-23)

TI juga mengembangkan sikap egoisme, dimana ia tidak

mengijinkan barangnya dipinjam oleh temannya dan ia bisa merasa

marah jika ada teman yang mengambil barang/ mainannya, namun ia

meminta sesuatu pada orang lain dengan cara merebut dan

membentak. Termasuk saat peneliti akan mengambilkan mainannya

yang terjatuh dan mengembalikannya, TI merebut mainan itu dan

menepis tangan peneliti Hal tersebut terlihat dari observasi yang

dilakukan peneliti terhadap TI (Obsv2.S1.TI.no.3;

Obsv4.S1.TI.no.1;2; Obsv4.S1.TI.no. 3).

Pengasuhnya juga mengatakan bahwa TI tidak suka

mainannya dipinjam oleh temannya.

“Ya biar bisa mainan sendiri mbak.. Kalo mainnya sendirian khan nggak perlu pinjem-pinjeman mainan mbak. TI khan pelit” (wwcr2.S1.TI.brs. 69-70)

Walaupun begitu, saat TI sedang bersama dengan teman-

temannya pada jam istirahat sekolah, ia suka bermain bahkan

77

mengerjakan tugas bersama dengan teman-teman yang dekat

dengannya.

“tuku jajan mbak; ora mbak..karo kancaku” (wwcr2.S1.TI.brs.90; 92) “Mainan kejar-kejaran; Ya bisa jajan..bisa mainan sama temen-temen” (wwcr5. S1. TI. brs. 74; 76) “Pernah mbak..ngerjake tugas bareng kancaku” (wwcr5. S1. TI. brs. 102)

Pada saat TI mendapatkan tugas yang harus diselesaikan

bersama, ia akan mengerjakan tugas tersebut dengan temannya di

sekolah. Namun jika TI belajar di rumah, ia lebih suka belajar sendiri,

tidak bergabung dengan teman-temannya yang lain. Seperti saat TI

ketika sedang tidak bersama dengan teman-teman dekatnya, TI akan

lebih memilih untuk bermain atau belajar sendirian.

“Main; Sendiri” (wwcr1.S1.TI.brs. 14; 18) “Enggak mbak. Kalo dirumah belajarnya sendiri-sendiri mbak” (wwcr5. S1. TI. brs. 98; 100-101) “Ya emang gitu mbak. TI emang kurang bergaul sama temen-temennya disini. Kalo lagi nonton rame-rame juga gitu. Temen-temennya pada ribut nonton tv, TInya malah main sendiri. Ngobrol juga jarang banget kok mbak” (wwcr2. SO1. MbTn. brs.29-31)

Hal itu juga tampak dari hasil pengamatan peneliti terhadap

perilaku TI. Saat anak-anak dan pengasuh termasuk juga peneliti

menonton tv, TI memisahkan diri dan malah asik bermain sendiri

dengan mainan-mainannya yang ada dikardus (Obsv4.S1.TI.no. 4).

TI menyimpan perasaan takut jika berpandangan mata dengan

lawan bicara yang sudah dewasa, sehingga pada saat diajak bicara

78

oleh pengasuhnya, TI menanggapi pembicaraan tersebut, tetapi

wajahnya memandang ke arah lain seolah menghindar dari

pandangan pengasuhnya. Begitu pula saat peneliti mengajak TI

berbicara, terkadang TI hanya diam dan ketika tak sengaja bertemu

pandang dengan peneliti, TI langsung menghindar dan memalingkan

wajahnya walaupun ia mau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh

peneliti.

“aku takut mbak..tapi kadang-kadang aku liat...” (wwcr5. S1. TI. brs. 37)

Pernyataan subjek tersebut diperkuat oleh pernyataan dari

pengasuhnya.

“Ya memang begitu mbak TI itu. Jangankan sama mbak otic, sama saya sama mbak Rin aja kadang nggak mau menatap mata kalo lagi bicara. Misalnya saya ato mbak Rin ngobrol sama TI., ya ‘nyaut’, nanggepin omongan saya sama mbak Rin tapi matanya kemana-mana. Ngomongnya sama saya tapi mukanya ngeliatnya ke tv, ato ke atas ato ke samping. Paling ngeliat saya ya cuma sebentar” (wwcr2. SO1. MbTn. brs. 14-18)

Hal itu juga terlihat saat pertama kali peneliti berkenalan dengan TI.

Saat peneliti menyapa sambil mengulurkan tangan, TI mau

menyambut walaupun hanya cium tangan saja tanpa melihat muka

peneliti dan bertatapan mata (Obsv1.S1.TI.no.1).

Pada dasarnya, TI merasa senang jika dipeluk oleh orang

dewasa yang ada di dekatnya karena ia berpikir bahwa orang tersebut

sayang terhadapnya.

79

“Ya seneng mbak...; Ya...orang itu ada rasa sayang sama aku mbak” (wwcr5. S1. TI. brs. 44; 48)

Namun, jika berhadapan dengan orang yang belum atau baru

ia kenal, TI akan cenderung menghindari kontak fisik dengan orang

tersebut.

“Kalau awal mula, dia tidak bisa ya, jadi dia modelnya model pendekatan kasar, jadi misalnya “eh piye le..” dan dia di pegang gitu, diginikan (sambil memperagakan gerakan menepis tangan lawan bicara) kalau dia nggak butuh ya..” (wwcr. SO1. Prn. brs. 161-163)

Hal tersebut tampak pula saat peneliti ikut bergabung bermain

bersama dengan teman-teman TI. TI tidak membalas sapaan peneliti

saat peneliti ikut duduk bersama TI dan ia menggeser tubuhnya

menjauh dari peneliti. Begitu pula saat peneliti menepuk punggung TI

dan mengelus kepalanya, TI tidak berkata apapun, hanya memandang

peneliti dengan tatapan tajam dan langsung pergi dari hadapan

peneliti (Obsv2.S1TI.no.1; 4).

Namun dengan sentuhan-sentuhan yang banyak dilakukan

oleh para pengasuh di TC sebagai salah satu terapi perilaku, sehingga

TI menjadi terbiasa dengan adanya sentuhan fisik yang lembut,

termasuk juga TI luluh dan bisa melakukan dan menerima kontak

fisik dengan orang lain.

“Ya mungkin dengan sentuhan-sentuhan yang banyak dilakukan, dulu khan pengasuhnya sangat anu sekali mbak itu ya akhirnya ya luluh juga. Akhirnya kalo pas saya kesana itu ya langsung nemplok. Njaluk pangku, ya gitu. Memang sangat

80

butuh belaian kasih sayang betul anak itu...” (wwcr. SO1. Prn. brs. 172-178)

Hal tersebut lebih diperkuat oleh hasil pengamatan peneliti terhadap

perilaku keseharian TI dalam hal melakukan dan menerima kontak

fisik dengan orang lain termasuk saat menjalin hubungan dengan

peneliti. TI sudah mulai mengajak peneliti bersalaman lebih dulu,

duduk dan bersandar di kaki peneliti saat menonton tv, tidak menolak

belaian tangan peneliti di kepalanya (Obsv6.S1.TI.no.1;2;

Obsv7.S1.TI.no.4; Obsv10.S1.TI.no.4; Obsv11.S1.TI.no.3).

Pada dasarnya TI memiliki keinginan untuk dapat menjalin

relasi dengan orang lain. Namun, TI cenderung menutup diri saat ia

berada di lingkungan baru sehingga menjadi tidak aktif dalam relasi

sosialnya. TI memiliki kewaspadaan yang tinggi yang menimbulkan

hambatan bagi TI dalam berkenalan dengan orang baru atau orang

yang masih asing bagi dirinya, terutama dengan orang dewasa. Ia

cenderung menghindar dan merasa takut menjalin kontak dengan

orang tersebut. Selain itu, TI menghindari kontak fisik bahkan tidak

memberikan timbal balik (feedback) pada orang tersebut. Namun jika

subjek sudah mulai merasa aman dan percaya terhadap orang dewasa,

maka mudah bagi subjek untuk mengenalnya dan menjalin relasi

dengannya. TI lebih mudah mengenal teman baru yang sebaya

dengannya daripada orang dewasa yang belum/ baru dikenalnya.

81

Secara umum, dapat dikatakan bahwa TI tidak memiliki

hambatan dalam menjalin kontak sosial dengan teman sebayanya,

hanya saja ia kesulitan untuk beradaptasi dan memulai perkenalan di

tempat yang baru baginya. Namun di sisi lain, TI menemui hambatan

dalam menjalin kontak dengan orang dewasa, terutama orang dewasa

yang masih asing baginya, karena ia merasa takut.

d. Komunikasi

Aspek komunikasi yang akan dilihat dalam diri subjek antara

lain meliputi: adanya proses transmisi pesan yang terjalin antara subjek

dengan lingkungan secara verbal dan non-verbal, memulai komunikasi

dengan orang lain, komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal yang

subjek lakukan. Hal ini juga berlaku bagi subjek 2 dan 3. Adapun

aspek komunikasi yang tergali dari diri subjek selama proses

wawancara dan observasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Perlakuan kekerasan membuat subjek takut untuk

mengutarakan perasaan yang sedang ia alami kepada gurunya. Jika ada

kesulitan di sekolah/ kelas pun TI tidak mau bertanya pada gurunya

walaupun menurutnya guru tersebut tidak galak. Ia juga menjadi tidak

berani untuk mengutarakan keinginannya pada orang lain karena

khawatir orang tersebut akan marah. Seperti saat ia tidak berusaha

berkata pada temannya agar tidak ditinggal saat pulang sekolah, atau

TI yang tidak mau mengatakan pada temannya supaya jangan

mengambil/ meminta mainannya.

82

“enggak mbak; ya nggak apa-apa mbak; enggak mbak; aku takut mbak; ya takut aja mbak; nanti dimarahi mbak” (wwcr3.S1.TI.brs. 30-44) “ora mba. Aku rak ngomong karo mb Dw” (wwcr2.S1.TI.brs. 35) “lha engko nesu mbak” (wwcr2.S1.TI.brs.79)

Perilaku tersebut juga tampak pada saat TI berhadapan dengan

pengasuhnya dan juga saat diajak berbicara oleh peneliti seperti yang

terungkap dari hasil pengamatan peneliti terhadap TI. TI hanya diam

dan tidak berbicara atau meminta mainannya saat pengasuhnya

mengambil mainan TI. Begitu pula saat peneliti mencoba memancing

TI untuk berbicara dan mengatakan permintaannya tetapi TI hanya

diam dan sewaktu TI secara tidak sengaja bertatapan mata dengan

peneliti, TI langsung menghindar dan memalingkan wajahnya

(Obsv3.S1.TI.no.3; Obsv5.S1.TI.no.3)

Namun, jika TI berhadapan dengan orang yang sudah ia kenal

dekat, TI berani untuk mulai bercerita, mengungkapkan keinginannya

atau juga memberikan ide/ buah pikirannya.

“Pernah mbak..kadang-kadang aku usul” (wwcr5. S1. TI. brs. 106)

Hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan dari pengasuhnya.

“TI itu orangnya tertutup mbak, jarang mau ngobrol sama orang kecuali kalo udah deket dan percaya” (wwcr1. SO1. MbTn. brs. 25-28). “Ya diem. TI itu anaknya pendiem kok mbak. Kalo nggak dekat banget nggak mau cerita-cerita” (wwcr2. SO1. MbTn. brs 41-42)

83

Perilaku tersebut juga tampak saat TI mengungkapkan keinginannya

pada bu An yang sudah ia kenal dengan baik. TI masuk ke dalam

kantor PSAA dan menemui bu An, lalu meminta bu An supaya

mengajak pak RT di tempat tinggal TI dulu untuk datang ke TC

menjenguk TI (Obsv5.S1.TI.no.1).

TI termasuk suka ‘pilih-pilih’ dalam berteman dan terkadang

TI bersedia berbagi dengan teman pilihannya tersebut, termasuk

menceritakan pengalamannya kepada teman sekolahnya. TI hanya mau

berbagi cerita pada orang yang sudah ia kenal. Walaupun begitu, TI

tidak mau menceritakan pengalamannya di sekolah kepada orang-

orang yang di rumah kecuali jika ditanya.

“Pernah ngobrol sama temen mbak di sekolah” (wwcr5. S1. TI. brs. 96) “Nggak pernah cerita sekolah mbak. Nek ditakoni yo iyo.” (wwcr5. S1. TI. brs. 94)

Jika TI melihat temannya bersedih (yang ia anggap dekat), ia

akan mendekati, menemani dan mengajaknya mengobrol. Tidak ada

hambatan yang berarti saat TI sedang berbincang-bincang dengan

teman yang ia kenal dekat dan TI mengaku bahwa sebenarnya ia

merasa senang jika diajak mengobrol dan ditanya-tanyai oleh orang

dewasa karena ia berpikir bahwa orang tersebut memperhatikan

dirinya.

“tak deketin mbak; Ya tak temenin..terus tak ajak ngobrol..” (wwcr5.S1.TI.brs. 22; 24) “Suka...tapi malah aku yang diajak ngobrol..ditanya-tanyain” (wwcr5. S1. TI. brs. 108)

84

TI menyimpan ketakutan saat ia bertemu dengan orang yang

masih asing baginya, namun jika orang tersebut berada di lingkungan

yang ia kenal baik (di lingkungan rumahnya, di sekolahnya), ia akan

memberanikan diri untuk mengajak berbicara orang yang tampak

sendirian walaupun dengan perasaan takut.

“aku deketin mbak..ngajak ngobrol..; Yo wedi mbak...; Mau mbak” (wwcr5. S1. TI. brs. 111; 113; 115)

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti

terhadap perilaku TI dalam kesehariannya selama proses observasi,

tampak bahwa terkadang TI tidak menanggapi/ menjawab ucapan-

ucapan dan pertanyaan dari pengasuhnya dan hanya menggeleng-

gelengkan atau mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa

mengeluarkan sepatah katapun, sambil menarik-narik ujung celananya.

Peneliti juga menangkap matanya yang bergerak cepat dan kakinya

bergoyang-goyang atau memainkan pensil ditangannya sambil

menundukkan kepalanya. Saat ada orang yang bertanya pada TI atau

juga saat menawarkan bantuan padanya, TI juga seringkali terdiam,

atau menjawab dengan anggukan kepala sebagai tanda persetujuan.

(Obsv8.S1.TI.no. 2;5; Obsv9.S1.TI.no.2; Obsv10.S1.TI.no.1; 3;

Obsv11.S1.TI.no.2).

Komunikasi verbal dan non-verbal dalam hal penyampaian

pesan yang dilakukan oleh TI tidak terdapat hambatan yang berarti jika

ia melakukan transmisi pesan pada orang-orang atau teman-teman

yang sudah dikenalnya. Akan tetapi, TI cenderung merasa kesulitan

85

jika ia berhadapan dengan orang yang masih asing baginya. Subjek

cenderung kesulitan dalam memulai dan mempertahankan

perbincangan/ obrolan dengan orang yang tidak ia percaya, walaupun

ia sudah mengenalnya. TI menunjukkan penggunaan bahasa verbal

secara lancar saat ia berhadapan dengan teman-teman sebayanya atau

orang dewasa yang sudah ia kenal dan ia percaya sehingga ia bisa

mengungkapkan pikiran, perasaan dan bahkan permasalahan yang ia

hadapi. Tetapi jika ia berhadapan dengan orang dewasa yang belum ia

kenal dengan baik atau ia tidak mempercayainya (termasuk guru

kelasnya sendiri), ia tidak akan menunjukkan perasaannya, bahkan

pada saat ia menemui kesulitan sekalipun.

e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial

Dari hasil wawancara selama proses penelitian ini, ditemukan

bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi interaksi sosial TI,

seperti faktor simpati, proses kognitif, faktor imitasi, dan faktor

lingkungan.

Jika melihat temannya bersedih, TI akan mendekati,

menemani dan mengajaknya mengobrol. Hal itu menunjukkan bahwa

faktor simpati juga mempengaruhi dan turut mendukung terbentuknya

interaksi sosial positif antara TI dengan lingkungannya.

“tak deketin mbak..; ya tak temenin..terus tak ajak ngobrol..” (wwcr5.S1.TI.brs.22;24)

86

TI tidak mau bertanya atau mengatakan pada gurunya jika ada

kesulitan di sekolah, walaupun gurunya tidak galak. TI tidak mau

bertanya atau mengungkapkan kesulitannya pada gurunya karena ia

merasa takut dimarahi.

“enggak mbak; ya nggak apa-apa mbak; aku takut mbak; ya takut aja; nanti dimarahi mbak” (wwcr3.S1.TI.brs. 30;32;38;42;44)

Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor proses kognitif dalam diri

TI. Reaksi individu dalam suatu situasi akan sangat tergantung pada

ingatannya tentang perilaku orang lain di masa lalu. Begitu pula halnya

yang terjadi pada TI. Ia merasa takut untuk mengungkapkan

permasalahan yang ia hadapi karena pada saat TI masih tinggal

bersama dengan keluarganya, jika ia mengungkapkan rasa sakit atau

keinginannya pada ibu atau neneknya, ia akan dimarahi dan mendapat

perlakuan yang lebih keras lagi, seperti yang diungkapkan oleh

penanggungjawab hukum TI berikut ini.

“jika dia tidak mau melakukan itu, ya perlakuan-perlakuan kekerasan lagi yang dia terima dan kekerasan yang biasa ia alami juga kekerasan secara psikis ya..dengan kata-kata, umpatan-umpatan itu sudah menjadi sarapan, santapan dia setiap hari” (wwcr. SO1. Prn. brs. 13-16)

Faktor imitasi dapat berpengaruh dalam komunikasi dan

tingkah laku subjek. Dalam kasus TI, imitasi yang terbentuk adalah

imitasi negatif yang merupakan peniruan perilaku terhadap figur yang

bersifat negatif atau tidak baik dan imitasi ini dapat menghambat

87

subjek dalam berinteraksi sosial. Dalam hal ini, figur yang bersifat

negatif yang berpengaruh kuat adalah ibu dan nenek TI, seperti yang

diungkapkan oleh penganggung jawab hukum TI berikut ini.

“Oo..saat tinggal sama ibu dan neneknya, kalo sepintas saya amati ya memang punya perilaku yang urakan, dia itu kayak orang yang tidak punya aturan. Jadi memang pola-pola kehidupan di jalan dan pola-pola perilaku mereka berdua, ibunya dan neneknya itu sangat melekat di dia. Temperamen kasar, semaunya dia” (wwcr. SO1. Prn. brs.87-91) “Ya waktu di TC waktu itu masih terpola prilaku dia waktu di rumah termasuk BAB tidak di WC tapi di halaman, kemudian masih sering mudah mengeluarkan kata-kata kotor dengan siapa saja dengan peksosnya, itu kalau dia nggak suka dia ngumpat, keluar kata-kata kotornya” (wwcr. SO1. Prn. brs. 138-141)

Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap interaksi sosial TI

adalah faktor lingkungan. Masyarakat di lingkungan tempat tinggal TI

sebelum TI dibawa ke TC mengucilkan keluarga TI, dan mereka

melarang anak-anak mereka untuk bergaul dengan TI, sehingga dalam

kesehariannya TI tidak memiliki teman sebaya dan terbiasa bermain

hanya berdua dengan adiknya. Hal tersebut berdasarkan pada hasil

wawancara peneliti dengan penganggung jawab hukum TI berikut ini.

“Mungkin di satu sisi dia dari keluarga yang di lingkungan itu sudah dicap orang yang nggak normal makanya ada terjadi protect ya terhadap pergaulan. Mungkin kalau ada anak kecil yang bergaul dengan Irsad mungkin sudah di anu dulu sama orangtuanya. Mungkin karena perilaku Irsad sendiri yang sudah liar seperti itu, orangtua mungkin melihat nanti berpengaruh pada anaknya yang bermain dengan dia lebih baik tidak. Saya melihatnya seperti itu karena tetangganya sudah mengecap keluarga itu ya kondisinya seperti itu” (wwcr. SO1. Prn. brs. 105-111).

88

2. Subjek 2

a. Identitas

Nama : AR

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 12 Tahun

Agama : Islam

Urutan dalam keluarga : Anak ke-empat dari 5 bersaudara

Status : Anak kandung

Status sosial ekonomi : Rendah

Deskripsi subjek :

Subjek AR adalah seorang anak laki-laki bertubuh kurus,

berkulit sawo matang dengan potongan rambut cepak dan berwarna

hitam. Tubuhnya terbilang tinggi untuk anak seusianya. Pada saat di

rumah (TC) sekalipun, AR seringkali terlihat menggunakan celana

panjang dengan kaos atau kemeja. Suaranya berat yang menunjukkan

ciri khan anak laki-laki yang memasuki masa puber.

AR sudah tinggal di Trauma Centre (TC) selama 1 tahun.

Sebelumnya, AR pernah dimasukkan ke dalam Lembaga

Permasyarakatan (LP) Anak Kutoarjo, namun karena proses hukum

yang belum selesai berjalan, maka ia dipindahkan ke TC untuk diberi

pembinaan selama proses persidangan belum berakhir. Selain itu,

mengingat warga masyarakat dimana AR dan korban tinggal belum

89

dapat menerima kalau AR pulang kembali ke rumahnya juga menjadi

alasan mengapa AR dititipkan ke TC.

b. Latar belakang

1) Keluarga

AR adalah anak ke-empat dari lima bersaudara. Ia hidup

dalam keluarga dengan status sosial ekonomi rendah. Kedua orang

tuanya selalu sibuk bekerja untuk memperbaiki ekonomi keluarga,

sehingga kurang ada kedekatan antara AR dengan kedua orang

tuanya bahkan hubungan AR dengan kedua orangtuanya cenderung

kurang baik. AR juga tidak memiliki hubungan yang dekat dengan

saudara-saudaranya. Orang tua AR kurang memberi perhatian pada

anak-anaknya termasuk AR. Jika AR melakukan kesalahan, ia

hanya akan mendapatkan hukuman fisik tanpa diperhatikan lebih

lanjut. Oleh karena itu, dapat dikatakan juga bahwa terjadi tindak

penelantaran pada diri AR yang dilakukan oleh kedua orang

tuanya. Selain itu, hubungan suami-istri antara kedua orang tua AR

juga renggang atau tidak baik, sehingga ikut membawa dampak

yang negatif terhadap AR.

2) Kekerasan yang dialami

AR adalah anak yang hidup dalam berbagai bentuk

perlakuan salah (abused) dan kurang memperoleh hak-hak

(neglected). Dikeluarkan dari sekolah adalah bentuk pengambilan

90

hak anak (dalam hal ini adalah AR) untuk tumbuh dan

berkembang. Di dalam keluarganya, AR lebih cenderung menjadi

korban kekerasan secara psikis, atau dengan kata lain, orang tua

AR melakukan kekerasan emosional padanya. Kedua orang tua

sibuk dengan permasalahan mereka sehingga AR terabaikan.

Tindak pengabaian terhadap diri AR menjadi beban tersendiri

secara psikis bagi seorang anak. Selain itu, AR sering mendapatkan

hukuman berupa dipukul, disuruh mencabuti rumput dan tidak

diberi makan selama satu hari penuh.

Tindak kekerasan emosional/ tekanan secara psikis yang

diterima dari pihak masyarakat juga menjadi salah satu alasan AR

melakukan tindak pembunuhan tersebut. Pada saat AR tinggal

bersama dengan keluarganya, AR sudah diberi cap (labelling)

sebagai pengacau, anak nakal, dan ia juga sering dikatai sebagai

pencuri, dijauhi oleh teman-temannya karena orang tua mereka

melarang anak-anaknya untuk bergaul dengan AR, termasuk juga

dikeluarkan dari sekolah, yang merupakan salah satu tindak

pencabutan hak anak. Puncak penganiayaan fisik yang diterima

oleh AR adalah pada saat ia diinterogasi oleh warga dan dipaksa

untuk mengakui perbuatannya. AR diperlakukan sewenang-

wenang oleh warga. Ia dipukul di bagian muka, ditendang dan

disundut rokok di leher dan tangannya.

91

3) Keseharian AR

AR adalah tersangka dari kasus dengan dugaan primer telah

melakukan tindak pidana sengaja dan dengan direncanakan lebih

dahulu menghilangkan nyawa orang, atau setidaknya telah

melakukan kekhilafan yang menyebabkan orang meninggal dunia.

AR mendorong korban yang baru berusia 6 tahun hingga korban

tersebut jatuh ke dasar sebuah sungai tempat mereka bermain yang

akhirnya menyebabkan korban meninggal dunia.

Sewaktu masih tinggal di keluarganya, AR sudah dicap

sebagai anak nakal oleh masyarakat sekitarnya, sehingga ia

menjadi susah bergaul atau berteman. Kecenderungan AR yang

sulit mengembangkan kepercayaan terhadap orang lain menjadi

asal bergaul dengan kelompok ‘anak-anak nakal’ yang memang

memiliki perilaku tidak benar.

Berdasarkan pemeriksaan psikologis yang dilakukan oleh

Biro Personil Bagian Psikologi POLDA DIY, setelah

penangkapannya, diketahui bahwa, Inteligensi AR cenderung

berada di bawah rata-rata atau kurang; meskipun AR dapat

membuka diri, namun pembicaraannya meloncat-loncat, tidak

sinkron dan tidak konsisten; AR berkembang sebagai pribadi yang

cenderung apatis, cuek dan tidak peduli terhadap diri sendiri

maupun orang lain serta memperlihatkan indikasi depresi.

92

Pada saat penelitian ini dilakukan, AR belum mendapatkan

ijin untuk kembali mendapatkan pendidikan formal karena proses

persidangan yang belum berakhir. Namun, AR tetap diwajibkan

untuk mengikuti proses belajar di TC (diberi semacam les

pelajaran). Berdasarkan keterangan pembimbingnya, walaupun AR

memiliki semangat untuk mengikuti les, tetapi kemampuan belajar

AR tergolong kurang dan jika AR merasa bosan mengikuti

pelajaran di kelas, ia akan mengajak temannya bersenda gurau dan

bermain sendiri tanpa memperdulikan guru les yang sedang

mengajar di kelasnya.

Saat AR tinggal di TC, ia banyak memiliki teman sebaya di

PSAA yang cocok dan bisa ‘nyambung’ dengannya saat

mengobrol. Walaupun begitu, sempat beberapa kali terjadi masalah

antara AR dengan anak-anak PSAA. AR pernah bertengkar pada

malam hari sampai ia kabur ke sekolah di dekat TC dan kejadian

paling terakhir adalah AR hampir dipukuli oleh salah satu anak

anak PSAA karena kesalahannya.

Dalam kesehariannya di TC, AR dinilai oleh

pembimbingnya sebagai anak yang keras kepala, sukar diatur dan

bersikap acuh tak acuh seakan-akan tidak peduli dengan

sekelilingnya hingga pembimbingnya merasa kewalahan. Selain

itu, emosinya datar dan sering bersikap dingin bahkan pada teman-

93

teman satu rumahnya. AR juga kurang memiliki sikap toleransi

pada temannya.

c. Kontak sosial

Berdasarkan hasil wawancara, subjek AR memiliki keinginan

yang cukup besar dalam menjalin relasi dengan orang lain. Namun,

keinginan AR tersebut hanya terbatas pada orang-orang yang sudah ia

kenal, seperti saat ia ingin bertemu dengan pak Prn dan mas Bgs yang

menangani kasusnya tetapi sudah lama tidak menjenguknya.

“Mas Bgs yang dari SAMIN mbak. mas Bgs disuruh ke sini ya mbak; Iya. sudah lama mas Bgs nggak kesini mbak; Iya mbak maunya gitu” (wwcr1.S2.AR.Brs.15;17;19)

AR mau berteman dengan orang dewasa yang sudah ia kenal

baik sebelumnya.

“Mau mbak. Aku mau kok mbak berteman sama bu An, mb Rn” (wwcr2. S2. AR.Brs. 167)

Dalam menjalin relasi dengan orang lain, AR juga

beranggapan penting dalam berhubungan dengan orang dewasa,

termasuk dalam hal memberi salam pada orang lain. Menurut AR,

penting baginya untuk menjalin relasi dengan orang dewasa termasuk

pembimbingnya karena mereka bisa membimbingnya.

“Ngasih salam? Nggih perlu mbak; kan biar sopan to mbak” (wwcr2. S2. AR.Brs. 76;80) “Nggih pembimbing mbak. Mb Tn kaliyan mb Rn; Ya penting mbak; Karena mb Rn pembimbing mbak; Ya...mendidik mbak” (wwcr2. S2. AR.Brs. 82;86;88;90)

94

Namun, lain halnya jika AR berhadapan dengan orang baru

yang belum ia kenal. AR lebih mudah menerima kehadiran orang baru

dan berkenalan dengan orang baru yang sebaya dengannya daripada

orang ‘asing’ yang sudah dewasa. AR terkesan takut, sulit menjalin

hubungan dan tidak mau mengajak berkenalan terlebih dahulu. Hal

tersebut terungkap dari hasil wawancara peneliti dengan wali subjek.

“Kalau sama yang sebaya dia bisa cepet mbak. kayak waktu ada anak baru di PSAA ya dia cepet, tapi kalau sama orang baru yang sudah dewasa begitu dia agak susah interaksinya. Dan dia tidak yang e..ngajak kenalan atau gimana itu ya tidak. Seperti takut-takut atau gimana gitu mbak” (wwcr.SO2.An.Brs.113-116)

AR juga mengatakan bahwa jika ia didekati oleh orang yang

tidak ia kenal, ia memilih untuk menghindar atau kabur karena ia

merasa takut.

“Kabur mbak; Takut” (wwcr2. S2. AR.Brs. 146;148)

Ia juga menjadi merasa gugup saat diajak berbicara oleh orang

dewasa walaupun oleh orang yang sudah ia kenal.

“Gugup mbak; ya nggak apa-apa mbak..rasanya gugup aja” (wwcr2. S2. AR.Brs. 60;64-65)

Hal tersebut juga tampak dari perilaku AR yang hanya diam dan

menunduk saat diajak bicara oleh peneliti diawal perkenalannya. AR

tidak menjawab ataupun merespon ucapan/ tawaran peneliti. Ia juga

tidak mau menatap wajah peneliti (Obsv1.S2.AR.no. 2).

95

AR akan mendekati teman yang terlihat sendirian dan akan

menjawab jika ia ditanyai. Namun, ia tidak mau mengajak bicara lebih

dulu karena ia tidak suka memulai pembicaraan dan menurutnya lebih

baik diam saja.

“ya dideketin; Kalo aku ditanyain, ya njawab” (wwcr2. S2. AR.Brs.230;232) “Nggak mau ngajak ngobrol duluan; Nggak suka aja...mendingan diem” (wwcr2. S2. AR.Brs. 235;239)

AR akan merasa gugup jika didekati oleh orang dewasa yang

masih asing baginya. Ia akan diam saja jika disapa dan ditanyai oleh

orang yang tidak ia kenal.

“Kalo aku belum kenal rasanya gugup” (wwcr2. S2. AR.Brs. 48) “Ya diem aja mbak. Aku nggak nyaut” (wwcr2. S2. AR.Brs. 50)

Namun jika bertemu anak yang sebaya dengannya, AR akan

mengajaknya berkenalan dan ia merasa senang karena temannya

bertambah.

“Ngajak kenalan. Terus tak ajak ngobrol; Glh, anak PSAA. Aku ngajak kenalan Glh waktu itu mbak; ya seneng mbak..temennnya tambah” (wwcr2.S2.AR.Brs. 136;138;140) “Tapi memang dia lebih seneng main sama anak PSAA..ya mungkin..soalnya khan di sana banyak temen yang sepantaran sama dia mbak..adi pasti seneng kalo disana..wong dia itu suka ngajakin kenalan anak PSAA gitu mbak” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 45-48) Begitu pula dalam hal berteman dengan teman sebaya.

Menurut AR, manfaat bergaul dengan teman sebaya adalah bisa

menemaninya dan diajak berbincang-bincang.

96

“Manfaat bergaul sama temen, bisa diajak ngobrol..bisa nemenin” (wwcr2. S2. AR.Brs. 105)

Oleh karena itu, AR lebih suka bermain bersama teman-

temannya daripada berada sendirian, termasuk juga dalam hal berbagi

minat dengan orang lain. AR juga mengatakan bahwa ia merasa senang

bermain dengan teman-teman di TC dan PSAA.

“Nek dolanan yo seneng mbak” (wwcr1.S2.AR.Brs.32) “Suka; lebih suka main sama temen-temen; Kalo sama temen-temen suka main bola. Soalnya sama-sama suka bola” (wwcr2. S2. AR.Brs. 107;109;111) “Ya sama temen-temen mbak. Anak-anak PSAA; Nggih macem-macem mbak; Kadang-kadang bal-balan, main sepeda muter-muter..kalo enggak ya cuma cerita-cerita di depan sana mbak” (wwcr1.S2.AR.Brs.72;74;76-77) “Ya itu karena di TC tidak ada teman sebaya adi sementara di PSAA dia bisa menemukan teman seumuran dan yang pasti bisa nyambung kalau ngobrol” (wwcr.SO2.An.Brs.52-53)

Hal tersebut juga tampak dari hasil observasi yang dilakukan peneliti

terhadap keseharian AR. AR tampak menikmati bergabung dan

berbincang-bincang serta bermain bersama dengan teman-temannya

(Obsv2.S2.AR.no.2;7; Obsv5.S2.AR.no.1)

AR juga memiliki keinginan untuk sekolah lagi supaya ia bisa

belajar. Selain itu, saat belajar di TC ia merasa tidak ada temannya,

sementara jika ia bersekolah, ia bisa mendapat teman lagi seperti

teman-teman yang lain.

“Iya mbak, aku mau sekolah lagi; kulo pengin sinau mbak” (wwcr1.S2.AR.Brs.62;64) “Ning mboten wonten kancane mba; nek sekolah khan aku bisa dapet temen lagi mbak, kayak temen-temen yang lain” (wwcr1.S2.AR.Brs.67;69-70)

97

AR akan merasa sedih jika ia berada sendirian karena tidak

ada teman yang menemaninya, seperti saat pertama kali pindah ke TC,

ia merasa sedih karena tidak bisa dekat dengan teman-teman lamanya.

“Sedih; Soalnya nggak ada temennya” (wwcr2.S2.AR.Brs. 113;115) “Sedih mbak..nggak bisa deket temen-temen lagi” (wwcr2.S2.AR.Brs. 124) AR akan diam saja dan memilih untuk bermain sendiri saat ia

ada di tempat yang baru baginya.

“Diem mbak; Main sendiri” (wwcr2. S2. AR.Brs. 129;131) “Dulu itu waktu awal-awal itu, dia senang menyendiri, tidak mau bermain dengan teman-temannya. Dia juga..seperti..bagaimana ya mbak..emosinya itu datar mbak..sikapnya dingin sama temen-temen satu rumah ya begitu. Dia juga kurang ada toleransi sama temannya. Kayak tidak ada pedulinya itu lho mbak” (wwcr.SO2.An.Brs.103-106) Begitu pula pada saat AR ada di antara orang dewasa. AR

merasa sedih saat ia berada di antara orang dewasa yang tidak ia kenal

seperti misalnya pada saat persidangan kasusnya karena ia merasa

sendirian.

“Sedih; Karena sendirian mbak” (wwcr2. S2. AR.Brs. 154;156)

Pada saat AR mendapat masalah dengan orang dewasa, ia

akan menghindar dan bungkam. Seperti pada saat AR dimarahi oleh

pengasuhnya, ia akan menghindari pengasuhnya untuk beberapa

waktu.

98

“Pernah saya marahin keras gitu terus dia menghindari saya sama mbak Rn; Karena dia marah sama saya, dia nggak mau diajak makan siang bareng di sini mbak. Terus dia kalo lagi marah ya nggak mau ngomong mbak..diem...menghindar untuk ngomong sama saya bahkan menghindari saya biar nggak ketemu” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 64-65;66-69)

Pada dasarnya AR bersedia memberikan respon/ timbal balik

dalam berhubungan dengan orang dewasa, namun terkadang masih

harus dipaksa dalam merespon pembicaraan.

“Ya mau mbak. kalau ditanya sama saya atau sama pembimbing gitu ya mau njawab, tapi ya agak susah kalau tidak dipaksa. Saya juga sering jengkel kalau dia diajak bicara ndingkluk terus” (wwcr.SO2.An.Brs.87-89)

Hal tersebut tampak juga saat proses wawancara berlangsung. AR

tampak enggan memberi respon atas pertanyaan peneliti. AR seringkali

menunduk, diam dan tampak termenung sambil mengarahkan

pandangannya ke luar jendela (Obsv6.S2.AR.no.1).

AR tidak suka menjalin kontak fisik seperti misalnya pelukan

dari orang lain karena ia merasa tidak nyaman.

“ya nggak mau mbak..dipeluk-peluk; Nggak suka; Iya mbak, nggak nyaman” (wwcr2. S2. AR.Brs. 70;72;74)

Pernyataan AR ditegaskan oleh pernyataan dari bu An yang

merupakan kepala TC. Menurutnya, AR memang tidak suka mendapat

pelukan atau hal-hal intim karena merasa tidak nyaman atau juga

karena tidak biasa mendapat perlakuan seperti itu. Bahkan AR tidak

99

mau dipeluk oleh ayahnya. Saat ayahnya menjenguknya di TC, ia

hanya menjabat tangan ayahnya dan mencium tangannya.

“Kalau saya perhatikan, adi itu sepertinya tidak suka diperlakukan seperti itu entah merasa tidak nyaman atau hanya karena tdak biasa seperti itu. Seperti waktu bapaknya datang mengunjungi adi di sini” (wwcr.SO2.An.Brs.119-121) “Iya dulu awal-awal adi masuk sini, sempat beberapa kali bapaknya datang menengok adi. Itu ya kalau anak-anak yang lain di tengok kan ya biasanya di peluk wong ya namanya anak dan sudah lama tidak ketemu ya dipeluk, dibelai kepalanya. Adi ya tidak mbak. sepertinya adi menghindari perilaku semacam itu seperti pelukan, ya paling hanya jabat tangan saja dan cium tangan ya namanya bapak” (wwcr.SO2.An.Brs.123-127)

Namun lain halnya jika AR sedang bermain dengan teman-

teman sebayanya. Ia bersedia menerima dan menjalin kontak fisik

dengan teman-temannya seperti, memeluk leher, merangkul bahu, saat

sedang bergabung dan bermain bersama mereka. Hal itu terlihat saat

peneliti ikut bergabung dengan AR dan teman-temannya.

(Obsv2.S2.AR.no.8; Obsv3.S2.AR.no.5; Obsv5.S2.AR. no.4;

Obsv6.S2.AR.no.7)

Menurut penuturan bu An selaku kepala TC yang menangani

AR, jika diajak bicara/ berbincang-bincang, AR cenderung menolak

kontak mata dengan menghindari menatap wajah bu An. AR hanya

menunduk dan menggeleng-gelengkan kepalanya saat ditanya.

“Jadi ya..seperti tidak berani menatap wajah saya mbak, terus kalau ditanya juga cuma geleng-geleng. Natap mata saya tu ya tidak mbak. wong dia tu kalau diajak ngomong ya nunduk terus kok” (wwcr.SO2.An.Brs.92-94)

100

Hal tersebut terlihat jelas dalam hasil pengamatan peneliti pada saat

AR diajak berbicara oleh pak Prn yang merupakan penanggungjawab

hukum AR. Selain itu juga pada saat AR sedang belajar bersama

dengan peneliti dan ketika proses wawancara berlangsung. AR

cenderung menghindari kontak mata dengan lawan bicaranya, dan jika

bertemu pandang, AR langsung mengalihkan pandangannya ke arah

lain atau menundukkan kepalanya. (Obsv1.S2.AR.no.4;

Obsv3.S2.AR.no.3; Obsv4.S2.AR.no.5; Obsv6.S2.AR.no.3;5)

Subjek AR memiliki keinginan yang cukup kuat dalam hal

menjalin relasi sosial dengan teman sebayanya. Terutama pada saat ia

sudah merasa mendapatkan teman yang cocok dengannya dan bisa ia

ajak bermain bersama. Ia mengerti dan memahami manfaat dari

pergaulan sosial bagi dirinya sendiri. AR mampu melakukan hal-hal

atau aktifitas bersama-sama seperti berbagi kesenangan atau minat. AR

mampu memberikan respon positif/ timbal balik (feedback) saat

berhadapan dengan teman-teman sebayanya, namun saat ia

berhubungan dengan orang dewasa, ia cenderung menjadi pasif.

Menurutnya, lebih baik diam karena ia tidak suka mengajak bicara

lebih dulu. Walaupun begitu, ia akan memberi tanggapan pada saat ia

ditanya. Selain itu, pada saat AR berhadapan dengan orang dewasa,

AR cenderung menghindari kontak mata dengan lawan bicaranya. AR

juga menghindari kontak fisik yang bersifat intim bahkan dari orang

yang sudah ia kenal dekat seperti ayahnya atau kepala wisma. AR

101

lebih mudah menerima teman baru yang sebaya dengannya daripada

orang baru yang lebih dewasa darinya. Jika dengan anak yang sebaya

dengannya, ia memiliki inisiatif untuk mengajak berkenalan lebih dulu

dan mengajaknya berbincang-bincang, namun jika orang baru tersebut

adalah orang yang usianya lebih dewasa darinya, ia terkesan takut,

sulit menjalin hubungan dan tidak mau mengajak berkenalan.

d. Komunikasi

Komunikasi subjek dapat diketahui dari apakah ia mampu

menyampaikan informasi pada orang lain. Subjek AR tidak mau

mengatakan secara langsung tentang masalah yang ia hadapi pada

penanggungjawab hukumnya ataupun pada kepala TC karena ia takut

bila dimarahi.

“Nggak mau mbak; Nggak mau ngomong mbak” (wwcr1.S2.AR.Brs.42;44) “Takut mbak; Takut..nanti dimarahin...” (wwcr1.S2.AR.Brs.46;50)

Saat ia merasa sedih karena sendirian di persidangan, ia juga

tidak melakukan apapun dan memilih untuk diam saja, tidak

mengatakan pada advokatnya.

“Diem mbak; Enggak ngomong sama pak Prn; Iya..aku diem aja mbak” (wwcr2. S2. AR.Brs. 158;162;164)

102

AR tidak pernah menceritakan pengalamannya atau sekedar

mencurahkan perasaannya pada orang lain termasuk juga pada orang-

orang di TC karena ia merasa tidak suka dan merasa tidak nyaman.

“Nggak pernah cerita mbak; Nggak kenapa-kenapa. Nggak suka aja mbak” (wwcr2. S2. AR. Brs. 170;172) “Nggak pernah curhat mbak; Nggak suka cerita; Nggak nyaman” (wwcr2. S2. AR.Brs. 175;179;181)

Oleh karena itu AR lebih suka menyimpan sendiri perasaan

dan masalahnya, serta ia diamkan permasalahannya begitu saja. Ia

tidak menceritakan yang ia rasakan pada orang lain termasuk juga pada

teman-teman di TC ataupun para pembimbingnya.

“Lebih seneng nyimpen sendiri...nggak suka cerita-cerita mbak; enggak pernah ngomong mbak; Iya mbak... aku simpen sendiri. Tak diemin mbak” (wwcr2. S2. AR. Brs. 186;191;195) “Wah nggak pernah mbak. wong anaknya susah ngomong gitu kok mbak kalo sama saya ato bu An...pernah bu An dapet laporan kalo AR bikin masalah sama anak PSAA terus kabur ke sekolah deket sini tu lho mbak sebelum lapangan” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 117-119) “AR ya nggak cerita sama mbak Rn kalo dia ada masalah sama anak PSAA itu..wong katanya Yn itu sampe berantem segala kok mbak..tapi ya AR nggak ngomong apa-apa itu mbak. terus AR dipanggil bu An, kalo nggak dipaksa cerita juga mungkin AR nggak cerita..wong waktu diajak ngomong itu ya cuma bisa nunduk kok mbak..nggak berani mandang wajahnya bu An..takut mungkin mbak..sama saya khan juga gitu” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 121-126)

Jika menemui kesulitan, AR tidak mengatakannya pada

pengasuhnya. Hanya pada saat ia sakit, ia datang pada pengasuhnya

meminta obat. Bahkan terkadang AR tidak mau bicara langsung dan

menyuruh temannya meminta obat untuknya.

103

“dia itu nggak suka ngomong mbak..sok-sok kayak nggak butuh gitu lho mbak..ya paling kalo dia ngerasa lagi sakit gitu ya ngomong sama saya sama mbak Rin, minta obat..itu juga...ya kadang-kadang tu malah dia menyuruh Yn atau TI buat ngomong minta obat” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 92-95)

Namun AR masih bersedia mendengarkan dan menanggapi

pembicaraan dari orang dewasa yang sudah ia kenal.

“Ya didengerin mbak omongannya; Terus..ditanggepin omongannya” (wwcr2. S2. AR.Brs. 55;58)

Seperti yang terlihat pada dari hasil observasi saat subjek berada di

antara peneliti, pak Prn, dan mb Tn. AR cenderung tampak pendiam

dan tidak banyak bicara namun masih mau menjawab jika ditanya

(Obsv1.S2.AR.no. 3).

Menurut pembimbingnya, semakin lama komunikasi yang

terjalin antara AR dengan para pembimbing sudah semakin baik

walaupun terkadang masih harus dipaksa dahulu sebelum mau

memberi respon pada pembicaraan. AR cenderung tidak mau

menjawab jika ditanya mengenai masalah yang harus ia hadapi.

“Kalo semakin kesini sih komunikasi sama pembimbing sudah semakin baik mbak; Ya kalo misalnya dinasehatin tu mau nyaut...nggak hanya diem aja...yaahh...walopun memang...harus dipaksa dulu mbak...baru..dia tu mau merespon omongan saya. Kalo nggak ada kepentingan juga AR nggak ngajak ngomong saya kok mbak” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 73;75-77) “Ya itu mbak harus dipaksa dulu baru mau njawab. Kalau misalnya saya tanya gitu..misalnya apa masalahnya adi di wisma..ya kalau tidak disuruh cerita atau pembimbing tidak cerita sama saya ya saya bisa tidak tahu mbak..waktu dia ditanya saja dia tidak mau njawab” (wwcr.SO2.An.Brs.96-99)

104

Pada saat AR belajar bersama temannya, AR lebih suka

berpikir sendiri, tidak pernah membicarakan ide-ide yang ia miliki

pada temannya.

“Enggak pernah ngomong ide; Lebih suka mikir sendiri” (wwcr2. S2. AR. Brs.211;215)

Berdasarkan penuturan pembimbingnya, diketahui bahwa

ketika diajak berbicara AR lebih sering menunduk dan saat ditanya, ia

hanya menggelengkan kepala dan tidak mau menjawab.

“AR itu nggak pedulian kok mbak. Ya kayak gitu itu mbak. Kalo diajak ngomong cuma nunduk, pas ditanyain cuma geleng-geleng kepala aja, nggak mau njawab” (wwcr1.SO2.Tn.Brs.20-21) “Kalo saya ajak ngomong cuma nunduk,..nek ditakoni, “kowe ngerti ra?” dia ngangguk...geleng-geleng...ya lama-lama saya diemin aja mbak..biar dia kalo ngerasa butuh..ngomong butuhnya apa sama saya” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 69-71)

Hal tersebut diperkuat dengan hasil observasi terhadap

perilaku AR mengenai bentuk komunikasi non-verbal yang

ditunjukkan oleh subjek AR. AR menunjukkan bentuk komunikasi

non-verbal saat belajar bersama peneliti dan selama proses wawancara

berlangsung, namun hanya berupa anggukan dan gelengan kepala

(Obsv2.S2.AR.no. 6; Obsv4.S2.AR.no.4; Obsv6.S2.AR.no. 6)

Pada dasarnya subjek AR tidak memiliki hambatan yang

cukup berarti dalam hal komunikasi. Jika ia sedang berada bersama

dengan teman-teman sebayanya, AR mampu berkomunikasi dengan

lancar walaupun tidak sampai pada hal-hal yang intim, seperti

105

menceritakan pengalaman, mengungkapkan pikiran ataupun

mencurahkan perasaannya. AR biasa memendam pikiran dan

perasaannya dan ia merasa tidak nyaman jika ia harus

mengungkapkannya pada orang lain. Namun lain halnya jika ia

berhadapan dengan orang dewasa. Komunikasi subjek dengan orang

dewasa di sekitarnya mengalami hambatan yang cukup berarti karena

subjek cenderung menghindari perbincangan dengan pengasuhnya jika

ia sedang merasa tidak memiliki keperluan/ kepentingan, terutama jika

ia sedang merajuk karena ditegur/ dimarahi. Begitu pula pada saat AR

sedang menghadapi suatu masalah atau saat ia memiliki keinginan

tertentu. Ia tidak mau menceritakan permasalahan yang dihadapi

kepada kepala wisma. Ia hanya akan bercerita jika dit anya atau

bahkan harus dipaksa terlebih dahulu baru ia akan berbicara dan

mengutarakan maksud/ keinginannya, atau masalahnya. Pada waktu

berhadapan dengan orang yang lebih dewasa, subjek AR lebih banyak

menggunakan bahasa non-verbal sebagai pengganti komunikasi verbal

(berbicara secara langsung).

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial

Dari hasil wawancara selama proses penelitian ini, ditemukan

bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi interaksi sosial AR,

seperti faktor simpati, proses kognitif, dan faktor lingkungan. Faktor

simpati berupa timbulnya rasa sedih saat melihat temannya bersedih

106

dan akhirnya mengajak temannya itu mengobrol, turut mendukung

terbentuknya interaksi sosial positif antara AR dengan lingkungannya.

“ya sedih mbak; Tak ajak ngobrol mbak” (wwcr2. S2. AR.Brs.43;45)

Selain itu, faktor proses kognitif juga turut mempengaruhi

subjek dalam menjalin interaksi sosial dengan orang dewasa di

sekitarnya. Subjek menjadi gugup saat berbincang-bincang dengan

orang dewasa, dan ia tidak berani menatap wajah pengasuh dan

walinya karena ia merasa takut. Selain itu, ia juga memilih untuk

menghindar jika ia bermasalah dengan pengasuhnya karena ia merasa

takut dengan pengasuhnya yang memiliki otoritas terhadap dirinya

sama seperti orangtuanya, seperti yang diungkapkan oleh pengasuhnya

berikut ini.

“Pernah saya marahin keras gitu terus dia menghindari saya sama mbak Rn” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 64-65) “...terus adi dipanggil bu An, kalo nggak dipaksa cerita juga mungkin adi nggak cerita..wong waktu diajak ngomong itu ya cuma bisa nunduk kok mbak..nggak berani mandang wajahnya bu An..takut mungkin mbak..sama saya khan juga gitu” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 123-126)

Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap interaksi sosial

AR adalah faktor lingkungan. Masyarakat di lingkungan tempat

tinggal AR sebelum AR dibawa ke TC mengucilkan AR, AR dicap

sebagai anak nakal, pencuri, dan mereka melarang anak-anak mereka

untuk bergaul dengan AR. Hubungan antara AR dengan orangtuanya

juga tidak baik. Lingkungan tempat tinggal AR yang seperti itu

107

membuat AR tumbuh sebagai anak yang pasif dalam berhubungan

dengan orang dewasa. Hal tersebut berdasarkan pada hasil wawancara

peneliti dengan wali AR berikut ini.

“Hubungan adi sama orang tuanya memang kurang baik ya mbak. karena orang tuanya sendiri kurang perhatian sama adi. Dan adi itu mbak sudah dicap sama orang-orang di daerahnya sana sebagai anak yang tidak baik. Jadi ya penerimaan masyarakat sendiri juga jadi negatif terhadap adi” (wwcr.SO2.An. Brs.27-30) “Ya karena sejak dulu itu adi itu sudah dicap sebagai anak nakal oleh masyarakat sana sehingga ya dia jadi susah berteman dan mungkin karena susah percaya pada orang lain...” (wwcr.SO2.An.Brs.43-47)

3. Subjek 3

a. Identitas

Nama : YP

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 10 Tahun

Agama : Katolik

Urutan dalam keluarga : Anak ke-3 dari 3 bersaudara

Status : Anak angkat

Status sosial ekonomi : Menengah

Deskripsi subjek :

Subek YP adalah seorang anak perempuan yang bertubuh

kecil, kurus dan berkulit sawo matang. Rambutnya berwarna hitam

kemerahan dan dipotong pendek karena ibunya tidak pernah

mengijinkannya memiliki rambut panjang dengan alasan YP belum

108

bisa mengurus rambutnya sendiri. Dalam kesehariannya, YP juga lebih

sering menggunakan celana daripada rok sehingga penampilannya

seperti anak laki-laki. Gaya bicaranya tenang dan pembawaan dirinya

tampak lebih dewasa dari usianya. Hingga saat ini, YP masih tinggal

bersama dengan keluarganya dan ia merasa senang karenanya.

b. Latar belakang

1) Keluarga

YP merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. YP tinggal

bersama dengan ibu dan kedua kakak laki-lakinya, sedangkan

ayahnya bekerja di luar pulau Jawa. YP bertemu dengan ayahnya

hanya satu tahun sekali yaitu pada saat ayahnya pulang ke rumah

ketika libur Natal dan Tahun baru. Menurut YP, keluarganya

adalah keluarga yang baik dan ia merasa aman diantara

keluarganya, walaupun kedua kakaknya agak nakal, namun YP

menganggap ibunya baik dan ayahnya memperhatikan keluarga.

YP adalah anak perempuan satu-satunya didalam keluarga,

namun ia tidak memiliki hubungan darah dengan keluarganya

karena ia adalah anak angkat. Orang tua YP mengangkat YP pada

saat mereka masih tinggal di Ternate. Pada saat itu orang tua

angkat YP dikenalkan oleh seorang teman pada keluarga kandung

YP yang terdiri dari nenek, ibu dan tante YP. Ibu kandung YP

adalah seorang buruh cuci dan ayah kandungnya tidak diketahui

109

keberadaannya. Berlandaskan rasa kasihan, orang tua angkat YP

mengambil YP sebagai anak. Pada awalnya, ibu angkat YP tidak

setuju untuk mengangkat YP karena ia melihat keluarga kandung

YP sebagai keluarga yang ‘tidak benar’, apalagi setelah ibu angkat

YP mengetahui bahwa tante YP adalah perempuan yang ‘suka

main’ dan pergi dari rumah tanpa pamit. Tetapi pada akhirnya, YP

tetap diadopsi juga oleh keluarga tersebut. Beberapa tahun

kemudian, YP dan keluarga angkatnya pindah ke Yogyakarta.

Keluarga subjek memiliki usaha kos-kosan di dekat sebuah

universitas swasta di salah satu daerah di Yogyakarta. Ibu YP yang

bertugas mengelola usaha tersebut sedangkan ayahnya kembali

merantau ke luar pulau Jawa.

Walaupun YP telah mengetahui bahwa dirinya bukan anak

kandung keluarga itu, namun ia tetap berusaha untuk bisa dekat

dengan ibunya. Sebenarnya YP tidak membenci ibunya meskipun

ia memiliki hubungan yang buruk dengan ibunya. Dalam diri YP

ada keinginan untuk bisa bertemu dengan ibu kandungnya namun

ia akan tetap memilih untuk tinggal dengan keluarganya yang

sekarang dan YP juga mengatakan bahwa ia sangat menyayangi

ibunya, walaupun selama ini ia telah mendapatkan perlakuan yang

tidak mengenakkan dari ibu dan kakak-kakaknya. YP pernah

berpikir untuk kabur dari rumah supaya tidak diganggu lagi oleh

110

kakaknya, tetapi tidak jadi karena ia masih merasa sayang pada

keluarganya.

2) Kekerasan yang dialami

Selama ditinggal oleh suaminya bekerja, ibu YP harus

mengurus ketiga anaknya sendirian. Menurut salah seorang

informan, ibu YP membesarkan YP dengan menyimpan

kekhawatiran didalam hatinya. Ibu YP merasa takut apabila YP

tumbuh menjadi ‘anak yang tidak benar’ seperti ibu dan tante

kandungnya. Oleh karena itu, beberapa kali ibu YP mengajak Mb S

(salah seorang anak kosnya yang sekarang sudah lulus) untuk

berbincang-bincang mengenai diri YP. Ibu YP sering bertanya

metode seperti apa yang yang cocok diterapkan untuk mendidik

subjek, sampai akhirnya ibu YP memutuskan untuk mendidik YP

dengan cara ‘keras’ dan penuh kedisiplinan. YP pun mengakui

bahwa ibunya agak kasar dalam mendidiknya.

Saat YP tumbuh semakin besar, YP diperlakukan semakin

keras dan cenderung kasar. Setiap kali YP melakukan kesalahan, ia

akan dihukum oleh ibunya dengan hukuman fisik seperti dipukul

dengan kemoceng, gantungan baju, dan ikat pinggang bahkan tak

jarang YP dipukul menggunakan tangan kosong berkali-kali.

Selain itu, jika YP melanggar aturan yang telah dibuat oleh ibunya

seperti bermain di luar terlalu lama, YP akan dihukum dengan cara

dikurung di dalam kamarnya yang hanya berukuran 2mx1m atau

111

justru disuruh tidur di luar rumah (di teras). YP juga pernah diikat

dipohon pisang yang tumbuh di halaman rumahnya dan tidak

diberi makan selama satu hari penuh.

Pada awalnya tujuan ibu subjek adalah pendisiplinan,

namun lama-kelamaan perbuatannya telah menjadi tindak

kekerasan. Selain dari ibunya, YP juga menjadi korban tindak

kekerasan yang dilakukan oleh kakak laki-laki sulungnya. Selain

itu, kakak YP juga sering ikut memberi hukuman apabila YP

melakukan kesalahan. Setiap kali ibu dan kakak YP melakukan

tindak kekerasan terhadap diri YP, ia hanya diam dan menangis

serta meminta maaf atas kesalahan yang telah ia lakukan. YP

menganggap hukuman yang diberikan padanya adalah hal yang

wajar karena memang YP melakukan kesalahan walaupun

sebenarnya hukuman yang ia terima tidaklah sepadan dengan

kesalahan yang ia perbuat. Pernah juga YP dipukul padahal ia

merasa dirinya tidak melakukan kesalahan apapun, lalu ia berpikir

bahwa pukulan itu hanya candaan. Selain mendapat perlakuan

keras dari ibunya, YP juga mendapat perlakuan yang tidak adil.

Ibunya akan lebih mendahulukan kepentingan saudara-saudaranya

dibandingkan dirinya. Jika YP bertengkar dengan kakaknya, maka

ibunya akan lebih membela kakaknya daripada YP.

Kekerasan fisik yang diterima YP semakin berkurang

seiring dengan bertambahnya usia YP. Sudah satu tahun terakhir

112

ini, perilaku kekerasan yang dilakukan oleh ibu YP lebih mengarah

pada kekerasan secara emosional/ penekanan secara psikis. Tindak

pengabaian (neglected) sering dilakukan oleh ibu YP terhadap

keberadaan YP. Pada saat YP mencari perhatian ibunya dengan

cara mengajak bicara/ mengobrol atau menceritakan sesuatu,

ibunya tidak memperhatikana/ memperdulikannya dan malah asyik

mengobrol dengan kakak YP. Selain itu, YP juga sering mendapat

kekerasan verbal berupa makian, umpatan dan kata-kata kasar yang

dilontarkan ibunya pada saat memarahi YP.

Menurut penuturan salah seorang anak kos di rumah itu, ibu

YP memperlakukan YP terlalu keras, sedangkan ayah YP

memperlakukan semua anaknya sama. Hal itu dimungkinkan

karena ayah YP pulang ke rumah hanya satu tahun sekali. Jika YP

melakukan kesalahan, YP hanya dimarahi oleh ayahnya tanpa

diberi hukuman fisik.

3) Keseharian YP

Kehidupan sehari-hari YP dihabiskan di rumah dan

sekolah. Ibu YP tidak mengijinkan YP untuk bermain-main ke luar

rumah tanpa seijinnya. Setiap hari YP diharuskan untuk bangun

lebih pagi dari kedua kakaknya dan melakukan berbagai tugas

rumah tangga seperti membersihkan rumah dan mencuci pakaian.

Sejak kecil, perlakuan yang diterima YP memang dibedakan dari

kedua saudaranya, namun saat itu YP belum mengetahui bahwa

113

dirinya berstatus anak angkat. Walaupun begitu, sewaktu YP

berada di kelas 1 dan 2 sekolah dasar, ia sering diajak berenang

bersama ayah, ibu dan kedua kakaknya.

Pertama kalinya YP mengetahui bahwa dirinya adalah anak

angkat sekitar dua tahun yang lalu. Pada saat itu ibu YP sedang

memarahi YP dan membanding-bandingkannya dengan kakak laki-

lakinya. Ketika itu, usia YP baru 8 tahun saat ibu YP mengatakan

bahwa YP hanyalah anak angkat di keluarga tersebut. Menurut

penuturan anak kos yang mengetahui kejadian tersebut, pada saat

itu reaksi YP hanya diam dan menangis, serta beberapa kali

menggeleng-gelengkan kepalanya seolah tak percaya dengan

ucapan ibunya. Setelah itu, YP bercerita pada beberapa anak kos

sambil menangis sampai hidungnya mengeluarkan darah

(mimisan).

YP sempat tidak naik kelas karena prestasi belajarnya yang

terus menurun dan harus mengulang di kelas 3 SD, sehingga saat

ini ia masih kelas 4 SD. Pada saat tidur, YP masih mengompol dan

badannya bergerak gerak, tidak bisa diam. Hal tersebut

menunjukkan adanya kecemasan yang tersimpan dalam dirinya

sebagai dampak dari perilaku kekerasan yang ia terima dari ibunya.

Perlakuan kasar dan sikap ibu YP dalam memberikan

disiplin serta aturan, membuat YP merasa tidak bebas dalam

melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. Selama ini,

114

ibu YP memegang kendali terhadap kehidupan YP termasuk dalam

hal pergaulannya. Pergaulan YP dibatasi oleh ibunya sehingga ia

tidak pernah bermain dengan teman-teman sebayanya di

lingkungan sekitar rumah dan lebih sering bergaul dengan

mahasiswi-mahasiswi yang kos dirumahnya. Baru kira-kira

setahun terakhir ada teman YP yang datang berkunjung ke rumah

YP untuk mengerjakan tugas bersama atau hanya sekedar bercanda

dan bermain sepeda.

YP selalu melakukan berbagai macam cara supaya ia

diperhatikan oleh orang-orang di sekelilingnya, baik saat ia berada

di rumah ataupun di sekolah. Menurut wali kelasnya, di sekolah

atau di kelas, YP selalu berusaha menarik perhatian guru-guru

yang mengajar dengan cara mengajak temannya berbicara saat

guru mengajar, sengaja lambat dalam mengerjakan soal, dan

berbohong pada guru dan mengambil barang milik teman-

temannya.

Secara pribadi, YP juga sering pernah merasa disakiti,

terutama pada saat ia dibohongi/ ditipu dan dimusihi oleh teman-

temannya. Hal tersebut adalah hal yang menyakitkan baginya.

Menurut penuturan YP, ia tidak mau dianggap ikut campur urusan

orang lain, maka ia tidak mau mengurusi masalah orang lain YP

akan berusaha mencari tahu hal yang menjadi masalahnya, tetapi

tidak untuk masalah orang lain. Namun menurut pengakuan guru

115

kelasnya, YP dijauhi oleh teman-temannya karena YP suka

mencampuri permasalahan temannya dan ia juga suka memberi

nasehat-nasehat yang terkadang dianggap tidak sesuai dengan

umurnya. selain itu, YP juga dianggap terlalu aktif/ berlebihan

dalam hal berbicara, termasuk juga mengajak teman di sekitarnya

mengobrol saat guru menerangkan sehingga ia tidak disukai oleh

teman-temannya dan tidak ada teman yang mau duduk dengannya

di kelas. Di sekolah, YP memiliki seorang teman dekat yang

bernama Ng, tetapi berbeda kelas dengannya. Hanya kepada Ng,

YP menceritakan tentang dirinya walaupun tidak sampai pada

permasalahan keluarganya. Selain Ng, ada beberapa teman sekalas

Ng yang juga berhubungan cukup dekat dengan YP. YP merasa

nyaman berada bersama teman dekatnya karena YP merasa bahwa

ia bisa bersenang-senang. Hal yang tidak pernah ia rasakan di

rumah. Oleh karena itu, YP berusaha tampil dan bersikap sebaik

mungkin di depan teman-temannya.

Pada saat di rumah, YP selalu berusaha untuk mengajak

mbak-mbak kos untuk mengobrol dan bermain dengannya. Pada

suatu saat, YP pernah menjadi pelaku pencurian uang secara

sengaja dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian sebagai

kompensasi atas ketidakberdayaannya di dalam keluarga yang

kurang memperhatikannya.

116

c. Kontak sosial

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang telah

dilakukan, diketahui bahwa YP memiliki keinginan yang besar dalam

hal menjalin relasi dengan orang lain. YP memiliki keinginan/

kesediaan untuk berkenalan dengan orang lain ataupun hanya sekedar

memberi sapaan. Hal tersebut terlihat dari penuturan subjek berikut ini.

“..karena belum kenal ya......bingung gitu ya..biasanya sih kalo aku sukanya ngajakin kenalan..ngobrol-ngobrol gitu” (wwcr1.S3.YP.brs. 61-64) “Ya biasa aja, nggak nolak sih, maksudnya..yah..kalo diajak kenalan sih nggak papa. ... Mau” (wwcr1. S3. YP. brs. 111-112) “walaupun ya orang itu nggak seneng sama kita tapi kita tetep menyapa. ..kalau kita kenal ya..kita sapa, kalo kita nggak kenal, dan kita mau berkenalan ya..kita kenalan dulu gitu” (wwcr2. S2. YP. brs. 25-27)

YP berpikir bahwa saat di sekolah, semua anak harus

berteman, tidak membedakan anak yang nakal dan tidak. Walaupun

YP dipukul oleh temannya, ia tidak berpikir untuk membalasnya,

ataupun menjauhinya. Begitu pula dengan hubungannya dengan

saudara-saudaranya.

“kalo seandainya..walaupun orang itu mukul aku sih tapi..aku nggak..aku nggak ada kepikiran kayak gitu..ana..walaupun kayak gitu..dia khan tetap..apa..eee.....di sekolah khan semua harus berteman gitu ya..nah jadi dia mau nakal atau enggak aku nggak peduliin itu gitu lho” (wwcr1. S3. YP. brs. 146-149) “Yah sebenernya sih kalo kayak gitu enggak maksudnya..eee..aku langsung..kalo aku emang berbuat salah ya..menurut pendapatku aku langsung minta maaf dan nggak ngejauhin gitu lho..maksudnya ya..dia marah..tak ajak bercanda..biar..maksudnya dia nggak maksudnya dia nggak jauh lagi” (wwcr1. S3. YP. brs. 177-180)

117

“...si anak itu..ya berinteraksi baik dengan..punya hubungan yang baik dengan sepupu-sepupunya” (wwcr3. SO3. Wn. Brs. 122-123)

Jika bertemu dengan teman baru, YP juga memiliki inisiatif

untuk mengajak berkenalan lebih dulu. Termasuk juga saat ia berada di

tempat yang baru baginya, ia akan berusaha mengamati keadaan dan

berkenalan dengan orang-orang yang baru.

“Biasanya kalo kayak gitu aku yang pertama-tama mulainya tuh kenalan” (wwcr1. S3. YP.brs. 217) “Yah..kalo belum kenal sich kenalan dulu terus liat suasananya tuh gimana..disitu enak..seneng..gitu..bisa kenalan..sama orang baru..terus habis itu..temen gitu” (wwcr1. S3. YP.brs.345-346). “Ya kalo Ana sih, kalo istirahat Ana kenalan, nanya: Ya kalo ada temen baru sih biasanya aku duluan” (wwcr2. S3. YP. brs. 151-153)

YP memberanikan diri untuk menemani orang yang baru ia

kenal walaupun awalnya ia merasa takut dan gugup.

“Ya biasanya pertama-tama ana kenalan terus abis itu ana nemenin; Ya..berani-berani aja” (wwcr1. S3. YP.brs.360;362) “ya..aku ngajak kenalan terus ngajak ngobrol; Ya emang sih agak takut-takut, tapi..sesudah itu..dah nggak takut” (wwcr2. S3. YP. Brs.117;120) “Ya..nggak gugup-gugup banget cuma ngerasa belum kenal gitu lho; Kalo seneng ya pasti ngerasa ya, kalo sedih engga” (wwcr2. S3. YP. brs. 157;159)

Namun demikian, dalam kesehariannya YP mampu dengan

mudah beradaptasi dengan orang yang baru ia kenal dan dengan situasi

yang baru pun ia tidak kesulitan atau merasa canggung dalam

118

menempatkan diri. Hal tersebut diungkapkan oleh mbak kosnya dan

guru kelasnya.

“ke orang baru kenal. Yah, terlihat bangetlah, pokoknya baiiik..banget, ramaaah..banget, dia termasuk orang yang cepet..cepet deket sama orang gitu lho, cepet bisa interak..apa..beradaptasi sama orang yang baru dia kenal gitu” (wwcr3. SO3. Wn. Brs. 158-160) “Dia kayaknya langsung bisa klop ya..langsung bisa..dia langsung bisa kayak..menempatkan situasi dimana dia berhadapan dengan orang sekarang. Jadi dia bisa adaptasi langsung dengan situasi” (wwcr.SO3.Pl.Brs.76-78) “Jadi..aku dateng..dia..dia nggak canggung-canggung. Dia nggak..maksudnya..deknen yo langsung ngomong-ngomong..enak orangnya. Kalo dilihat dari..dari apa ya..kalau..dilihat dari caranya menghadapi orang asing..menurutku anaknya nggak bermasalah. Istilahe ki langsung” (wwcr.SO3.Pl.Brs.78-81)

Hal tersebut juga diungkapkan oleh ibu dari teman dekat YP, Ng, yang

mengatakan bahwa YP tidak terlihat canggung saat berkumpul dan

bermain bersama walaupun ia sendiri berbeda kelas dengan teman-

teman dekatnya yang lain. Selain itu, YP juga suka berbicara dan tidak

terlihat canggung saat berhadapan dengan orang tua Ng walaupun

mereka baru berkenalan (obsv6.S3.YP.no. 5; 6).

YP menyimpan rasa takut terhadap orang dewasa namun ia

mampu mengatasinya dengan memberanikan diri untuk menemani

orang dewasa yang baru dikenalnya karena penting baginya untuk

berteman dengan orang yang lebih dewasa supaya ia bisa bertanya

mengenai hal-hal yang tidak ia mengerti. Selain itu, ia pun berharap

agar ia tidak merasa takut lagi dengan orang dewasa.

119

“ya bisa dibilang pentingnya itu bisa bertanya sesuatu yang kita nggak bisa” (wwcr2. S3. YP. brs. 32-34) “manfaatnya tuh..Ana bisa.. mengenal bagaimana orang..bisa membedakan orang..jadi nggak perlu takut-takut lagi. Kalo sama orang dewasa emang dulu Ana takut ya..tapi sekarang udah engga karena Ana sudah mulai mengenal gimana gitu lho..gimana sikapnya, sama..sama..anak yang kaya Ana gini, Ana udah ngerti” (wwcr2. S3. YP. brs. 62-67) “Ana mau..supaya Ana lebih mengenal pergaulan. Pergaulan dengan orang dewasa, dengan anak sebaya Ana. Ya maksudnya biar mengenal pergaulan gitu” (wwcr2. S3. YP. brs. 106-109) “Ya penting-penting aja soalnya nanti kalo suatu saat ada apa gitu ee..kita bisa ikut me..membantu gitu” (wwcr2. S3. YP. brs. 113-114).

Pada saat berbincang-bincang dengan seseorang, YP tidak

memandang mata lawan bicaranya tetapi mengalihkan pandangannya

ke arah lain. Begitu juga pada saat diajak berbicara oleh mbak kosnya

dan guru kelasnya. YP menghindari kontak mata selama berbicara.

“Ya biasanya sih aku kalo ngobrol sama orang... ...ya nggak terus pandang matanya gitu lho.. ..pandang..ya pandang yang lain gitu” (wwcr1. S3. YP. brs.68-70 ) “...ya karena dia waktu aku ajak ngomong itu..mata itu sama sekali nggak mau lihat gitu lho” (wwcr1. SO3. Wn.brs. 40-42) “Nunjukkan cuma..deknen ndingkluk ya..dia nggak berani melihat guru itu” (wwcr.SO3.Pl.Brs.129)

Hal itu didukung oleh hasil pengamatan peneliti terhadap subjek yang

menunjukkan perilaku subjek saat diajak berbicara oleh orang dewasa,

YP cenderung menghindari pandangan mata lawan bicara dan

memalingkan wajahnya ke arah lain sambil berbicara atau

menundukkan kepalanya. Selain itu ia juga suka memainkan tangan

atau benda di tangannya saat diajak berbicara oleh orang dewasa,

120

termasuk juga saat proses wawancara berlangsung (obsv1.S3.YP.no. 2;

obsv2.S3.YP.no. 3; obsv8.S3.YP.no. 2).

YP dan temannya sering saling bertanya dan berbagi cerita

tentang hobi mereka. Selain itu YP juga bersedia bertukar barang

dengan temannya, termasuk juga memberi kenang-kenangan jika ada

temannya yang akan pindah.

“..seringannya sih cerita tentang pengalaman di rumah... aku juga misalnya aku yang nanya duluan, kamu hobinya apa gitu.. terus dia njawab..habis itu dia nanya ganti sama aku. Aku bilang, aku hobbynya mbaca.terus habis itu ya mulai cerita-cerita” (wwcr1. S3. YP. brs. 92-95). “Mau. Ya biasanya tuh..kita..tuh ..paling sering tuh..aku sama temenku tuh..eee...tukeran gitu lho.. tukeran barang, terus ya..kadang khan..temenku mau pindah gitu..yah..kita saling ngasihin kenangan..terus kalo aku misalnya aku dikasih apa tapi..misalnya itu dah tak pake..itu dah lama gitu lho..terus habis itu..eee..bosen lagi..terus itu aku tanya temenku mau apa enggak..yah kalo dia mau khan tak kasih karena...itu sih..menurut aku itu juga bukan barang bekas ya..tapi aku tuh udah nggak suka nanti daripada nanti aku buang khan masih berguna gitu lho mending tak tawarin gitu..ehm, terus sama temen tuker-tukeran gitu ya” (wwcr1.S3.YP.brs. 192,194-201).

Hal tersebut juga tampak saat YP sedang berbincang-bincang

dengan Ag mengenai kehidupan sekolahnya. Ag banyak bertanya pada

YP tentang sekolahnya, teman-temannya dan kesulitan-kesulitan YP

dalam mengikuti pelajaran. YP menanggapi pertanyaan-pertanyaan

dari Ag dan menjawabnya dengan ramah, bahkan sembari YP bercerita

tentang dirinya, ia juga bertanya balik pada Ag tentang perkuliahan Ag

(obsv2.S3.YP.no. 2).

121

YP senang berbagi minat membaca dengan teman-temannya

di sekolah, atau juga merayakan hal-hal khusus bersama-sama.

“Aku sukanya tuh kalo di perpus khan mbaca-mbaca nah terus temen-temen ikut aja mbaca-mbaca” (wwcr2. S3. YP. brs. 96-97) “Jadi kalo ada momen-momen khusus, memang..dia punya kelompok, nggak cuma sama Ng aja, terus mereka..kalo ada valentine-an ya mereka ngadain kumpul bareng..tapi nggak cuma itu ya, mungkin kalo ada hal-hal yang lain juga iya” (wwcr.SO3.Pl.Brs.117-120)

Seperti yang terlihat dari hasil pengamatan peneliti saat YP bermain

dengan teman-temannya di rumah. Begitu pula saat peneliti

mengantarkan YP menemui Ng di rumah neneknya. YP menunjukkan

perilaku berbagi minat dengan teman-teman sebaya yang dekat

dengannya. YP tampak senang bersepeda bersama dengan teman-

temannya, dan ia juga tertarik dengan hobi Ng dan bermain

bersamanya (obsv5.S3.YP.no. 3; obsv6.S3.YP.no. 1; 2).

Pada saat YP belajar bersama dengan teman dekatnya, mereka

saling menceritakan hal yang tidak dimengerti dan menyelesaikannya

bersama-sama.

“Biasanya kalo sama.. Ng kalo mau ulangan ya..belajar bareng kalo ada yang nggak ngerti diceritain. terus nyeleseinnya juga sama-sama” (wwcr2. S3. YP. brs. 53-56)

Di dalam kelas, YP juga ikut bekerja sama dengan teman-

temannya bekerja kelompok menyelesaikan tugas. Namun menurut

keterangan dari hasil pengamatan guru kelasnya, ia tidak diterima

dalam kelompok di kelasnya.

122

“...dia dateng..yah waktu itu..aku sih ngeliatnya sih cuma ya mereka ngerjain tugas bareng gitu lho” (wwcr1. SO3. Wn.brs. 71-72) “Mungkin karena dia sudah dicap ya..dari kelas tiga ya..dia sudah nggak disukai temen, ya kalo dalam kelompok kerja tapi dia lebih banyak dicuekin temennya. Deknen arep ngomong terserah gitu lho..mau mbahas terserah..tapi kalo pas dia nggak kerja sama, temennya juga..anu..’kowe ki rak kerjo malah meneng wae’..tapi kalo dia ngomong..temennya udah nggak respek sama dia. Kalo dikelas dia tidak punya teman dekat. Teman dekatnya hanya Ng tok” (wwcr.SO3.Pl.Brs.19-24)

YP bersedia menerima kontak fisik yang bersifat intim

semacam pelukan ataupun hanya sekedar belaian di kepala jika hal itu

dilakukan oleh orang yang sudah ia kenal. Namun, ia akan menghindar

jika ia dipeluk oleh orang yang tidak ia kenal dan ia berpikir bahwa

orang tersebut tidak baik.

“Ya nggak papa (dipeluk) yang penting udah kenal” (wwcr1. S3. YP. brs. 116) “Yah, sebenernya sich nggak gelisah, nggak panik gitu yah..cuma ya heran gitu lho..cuma heran, kenapa kok tiba-tiba..padahal baru mau aku ajak kenalan..ya..aku ya..nggak papa gitu..aku nggak berusaha ngelepasin diri lah ya..maksudnya emang sich aku heran tapi..ee..kalo sikap orang itu baik..aku pasti nggak akan berusaha untuk menghindar tapi kalo sikap orang itu maksudnya..apa..ada jahat gitu..pikiran yang jahat gitu..ya..aku akan berusaha menghindar gitu lho karena aku tahu itu pasti nggak baik” (wwcr1. S3. YP. brs. 221-227)

Perilaku YP tersebut juga terlihat dari hasil pengamatan terhadap

keseharian YP. YP bersedia menjalin dan menerima kontak fisik

seperti belaian di kepala dan punggungnya dari mbak kosnya,

mengajak berjabat tangan saat memperkenalkan diri, berangkulan dan

123

bergandengan tangan dengan temannya (obsv2.S3.YP.no. 5;

obsv3.S3.YP.no. 2; obsv4.S3.YP.no. 4; obsv5.S3.YP.no. 2;

obsv6.S3.YP.no. 4; obsv7.S3.YP.no. 4).

YP bisa membenci orang yang tidak ia kenal namun bersikap

intim terhadapnya.

“Ya..pernah (wwcr1. S3. YP. brs. 229); Aku ya sebel, kayak mba otic tadi nanya itu..karena dia tu belum kenal tapi langsung..langsung kira tuch udah saling kenal gitu lho (brs. 231-232); Kayak misalnya dia pernah ngeliat aku, tapi aku nggak pernah ngeliat dia, jadi dia tuh menghafal gitu lho..terus habis itu ketemu terus dia langsung meluk gitu..nah..jadi yang aku benci tuh..kayak gitu lho” (brs. 234-236)

Dalam menjalin hubungan dengan teman-teman di kelasnya,

YP dianggap terlalu aktif dan terkadang YP suka mengurusi masalah

temannya, sok tahu, dan sok dewasa, sehingga menimbulkan reaksi

negatif dari teman-teman di kelasnya.

“Dia terlalu aktif..terlalu aktif dan itu malah membuat dia..ee..dia ini..makanya dia banyak dibenci temennya, terus terang. Terus sok tahu, sok ngurusin..sering juga ngurusin masalah temennya, sok dewasa. Belum saatnya, kalo menurutku belum saatnya dia..untuk anak seumur dia, tanpa melihat latar belakang dia lho ya” (wwcr.SO3.Pl.Brs.8-12)

Menurut pengamatan guru kelasnya, semakin YP diabaikan

oleh teman-temannya, perilakunya semakin menjadi untuk

mendapatkan perhatian dari temannya.

“terus juga ya nggak tau juga ya sifat ana yang seperti itu tuh karena dia sendiri sama latar belakang dia..terus dia menjadi..dicuekin sama temen-temennya, semakin dia dicuekin sama temen-temennya..malah deknen semakin

124

ini..mencari perhatian. Sudah sok dewasa..sok menasehati..dia pinter kalo menasehati..ada masalah..temennya bertengkar gitu, melerai itu bisa” (wwcr.SO3.Pl.Brs.182-187)

YP akan menimpali/ menyambut jika ada salah seorang

temannya yang memulai percakapan.

“ya..kalo gitu sich pernah waktu istirahat..itu kalo misalnya kita lagi..apa..males nyeritain pengalaman..Males main..jadi khan diem, trus ada yang ngajak pertama ngomong ayo curhat gitu, terus habis itu ya udah mulai ngomong” (wwcr1. S3. YP. brs. 105-107).

YP akan berbalik marah jika ada teman yang membuatnya

merasa kesal atau marah. Namun setelah bertengkar dengan temannya,

YP akan berusaha untuk berdamai dan menjalin hubungan lagi dengan

teman-temannya.

“tapi kalo yang nyebelin ya nggak apa-apa sebenernya, cuma terkadang kalo dia bikin aku kesel ato marah nanti ya..aku juga ikut marah. marah tapi ada..apa ya..pokoknya marah tapi nanti terakhir-terakhirnya tuh maafan gitu” (wwcr2. S3. YP. brs. 71-74).

YP memilih untuk bersikap diam, hanya menangis dan tidak

membalas/ membela diri jika sedang diperlakukan salah oleh ibunya,

seperti misalnya saat ia dituduh melakukan kesalahan dan dihukum.

“jadi dia kalo mau dituduh atau bagaimana, dia memilih untuk bersikap diam” (wwcr2. SO3. Wn. Brs. 37-38) “kalo dulu, dia nangis terus kaya orang nggak berdaya gitu lho, hanya diem” (wwcr3. SO3. Wn. Brs. 90-91)

Hal tersebut juga tampak pada saat YP dihukum oleh ibunya

karena terlambat pulang ke rumah setelah bermain. Ia terus berusaha

125

memohon ampun dan mengatakan bahwa ia merasa sakit

(obsv4.S3.YP.no. 3).

Di rumah, YP kurang diperhatikan oleh ibunya dan ia merasa

terabaikan, kemudian ia mencari perhatian ke penghuni kos-kosan

milik ibunya.

“dia sepertinya semakin ngerasa kurang diperhatikan. Jadi, belakangan dia sering mencari perhatian ke aku atau ke temen-temen kos yang lain. Jadi, mungkin karena ibu sendiri sekarang udah nggak mau peduli sama dia. Jadi ya itu dia nyari perhatian” (wwcr3. SO3. Wn.Brs. 40-43) “...kalo aku lihat sih dia sengaja untuk menarik perhatian, jadi semakin sering kita panggil dia gitu, kita bilang, dia ngerasa ada yang perhatiin gitu lho” (wwcr3. SO3. Wn. Brs. 145-146)

Begitu pula pada saat YP berada di sekolah, ia mencari

perhatian dari guru-guru di kelasnya.

“Kalo dengan guru-guru dia ingin dapat perhatian lebih. Dia tidak mau kalah dengan teman lainnya. Ya seperti apa ya..pokoknya apa ya..kayak..dia selalu mencari perhatian. Dengan cara..dia lambat mengerjakan soal..dia harus ditungguin” (wwcr.SO3.Pl.Brs.56-58) “Iya adaptasinya bagus. Tapi ya itu..selanjutnya ya itu..terus dia mencari perhatian tho..terlalu gitu” (wwcr.SO3.Pl.Brs.83-84)

YP merasa takut dan memilih untuk menghindari orang yang

bermasalah dengannya, seperti salah seorang guru yang pernah

memarahinya. Hal tersebut diungkapkan oleh guru kelasnya.

“Dia tidak takut..dengan aku ya sudah..Tapi kalo sama pak Hart dia takut. Yang paling dia takuti adalah pak Hart. Sampai semester satu pas pelajaran pak Hart pasti dia ke UKS; Dia takut sama pak Hart. Masalahnya dia dulu pernah dimarahi sama pak Hart pas semester satu” (wwcr.SO3.Pl.Brs.87-89;91-92)

126

YP tidak pernah berbagi cerita mengenai permasalahan

pribadi yang ia hadapi di rumah kepada gurunya, kecuali jika ia

ditanya lebih dulu, seperti yang diungkapkan oleh guru kelasnya.

“Selama ini, kalau masalah pribadinya enggak ya. cuma kalo masalah..kalo..kalo pertanyaan kayak bab pelajaran gitu..dia sering; Kalo nggak jelas harus ditanyain. Tapi kalo masalah pribadi apa yang dialami di rumah itu enggak” (wwcr.SO3.Pl.Brs.29-32) “Kecuali kalo kita tanya kayak kemarin khan dia kakinya luka, lukanya itu khan diperban..itu ya saya tanya..kenapa kok nggak dijahit? Itu ya dia cerita..karena aku nggak boleh sama papa dan ternyata mama..dia mungkin pengen dijahit tapi mama nggak berani sama papa karena papa nggak tahu terlibat” (wwcr.SO3.Pl.Brs34-37)

YP memiliki keinginan yang kuat dalam menjalin hubungan

dengan orang lain. Pada saat YP berjumpa dengan orang baru atau

teman baru, ia berinisiatif untuk mengajak berkenalan lebih dahulu dan

mengajaknya berbincang-bincang. YP juga tidak merasa canggung

walaupun orang yang baru ia kenal adalah orang yang usianya lebih

dewasa darinya. YP dapat mengerti manfaat dari menjalin kontak

sosial dengan orang lain, baik teman sebaya maupun dengan orang

yang lebih dewasa darinya, bahkan menurut penuturannya, ia merasa

senang bergaul dengan orang yang usianya lebih dewasa karena dirasa

lebih menyenangkan. Pada saat di rumah, YP akan bersikap diam dan

tidak memberikan respon balik (feedback) jika ia berhadapan dengan

ibunya walaupun ia sedang diperlakukan salah. Selain itu, YP juga

akan menghindari orang yang bermasalah dengannya seperti guru yang

pernah memarahinya, karena ia merasa takut berhadapan dengan orang

127

tersebut. YP tidak pernah menceritakan masalah yang ia hadapi di

rumah pada gurunya, kecuali jika ia ditanya. Namun ia biasa berbagi

kesenangan dan minat bersama dengan teman dekatnya di sekolah dan

ia juga suka berbagi cerita pada mbak kos yang dekat dengannya. Pada

saat diajak berbicara, subjek YP cenderung menghindari kontak mata

dengan lawan bicaranya dan ia memilih untuk memandang ke arah

lain. YP bersedia menerima kontak fisik yang bersifat intim seperti

pelukan atau hanya sekedar belaian di kepalanya dari orang atau teman

yang sudah ia kenal, dan YP memilih untuk menghindar jika yang

melakukannya adalah orang yang tidak ia kenal.

Kontak sosial YP dengan teman-teman di kelasnya cenderung

terhambat karena perilaku YP dianggap terlalu berlebihan dan

membuat teman-temannya merasa tidak nyaman dan kemudian

menjauhi YP. Menurut pengamatan gurunya, YP mendapat respon

negatif dari teman-teman di kelasnya karena perilaku YP yang

dianggap terlalu berlebihan dalam mencari perhatian orang-orang

disekitarnya (overacting). Begitu pula pada saat YP berada di rumah,

ia juga dianggap terlalu berlebihan dalam mencari perhatian dari

mahasiswi-mahasiswi yang tinggal di rumahnya.

128

d. Komunikasi

Dalam kesehariannya, YP senang mengajak temannya

berbicara, seperti pada saat jam istirahat di sekolahnya atau juga saat

berkumpul bersama di rumah temannya.

“...terus ngobrol-ngobrol sama temen-temen” (wwcr1. S3. YP. brs. 73)

Menurut penuturan mbak kos dan guru kelasnya, pada saat YP

menjalin komunikasi dengan orang lain seperti bercerita,

mengungkapkan sesuatu pada temannya, ia dianggap terlalu aktif

(over) seperti sedang mencari perhatian secara berlebihan sehingga ia

tidak disukai oleh teman-temannya di kelas.

“tapi dia cara ceritanya tuh terlalu ini gitu lho terlalu..kalo menurutku terlalu over menurutku. Kalo anak yang lain khan ya cerita biasa gitu lho..tapi dia ‘ini lho aku ingin didengarkan’, kalo sepenangkepanku sih seperti itu” (wwcr3. SO3. Wn.Brs. 48-51) “Kalo perilaku..perilaku di kelas memang ana tu sering..opo yo..sering cari perhatian. Sering cari perhatian..terus..kalo masalah interaksi..komunikasi ya..komunikasi dengan teman, dia orangnya ini banget..kalo terlalu over sih..mungkin over ya..terlalu apa ya..namanya...sehingga..kalo pendiam sih enggak..tapi dia terlalu..aktif” (wwcr.SO3.Pl.Brs.5-8) “Pertama ana tak suruh sendiri, tapi tetep di depan. Tapi temen belakang..belakangnya nggak pada nyaman. Karena ana tu ngajak ngomoonngg..terus” (wwcr.SO3.Pl.Brs.160-161)

YP biasa mengungkapkan pada ibunya mengenai kesalahan

yang sudah ia perbuat. Selain itu, YP juga biasa mengungkapkan

perasaannya pada ibu dan teman baiknya. Seperti pada saat ia merasa

kesal atau sedih.

129

“Kalo aku nakal sih biasanya ana ngomongnya sih yang paling deket sih.. sama mama” (wwcr1.S3.YP.brs. 53-54) “Biasanya sich yang paling deket tak omongin gitu kalo di rumah tuh mamah, kalo di sekolah tuh temen baikku” (wwcr1.S3.YP.Brs. 206-207). “kalo itu aku biasanya bilangin ke Ng” (wwcr2.S3.YP.brs. 80)

YP mau menceritakan pengalamannya hanya kepada teman

dekatnya saja.

“Ya tapi biasanya aku nggak sering mbicarain sama temenku, khan aku punya temen deket nah temen deket khan masih punya temen nah..aku nggak sering mbicarain ke temennya itu..tapi..aku paling sering tuh..ke temen yang paling deket sama aku gitu..ke orang lain aku nggak percaya” (wwcr1. S3. YP. brs. 210-213)

Pada saat YP menghadapi masalah, ia biasa mencurahkan isi

hatinya pada mahasiswi yang kos dirumahnya, termasuk juga saat ia

mendapatkan perlakuan kekerasan dari ibu dan kakaknya. Hal tersebut

diungkapkan oleh subjek YP sendiri dan mbak kosnya.

“Ya pernah. Sama mbak Wn, sama mbak Ag” (wwcr2.S3.YP. brs.142-144) “hm..justru pengalaman dirumah itu dia ceritanya khan ke mbak-mbak kos, dari dulu misalnya dia dipukul sama mamanya” (wwcr1. SO3. Wn.brs. 75-77) “...karena dia juga sering ngeluh, pernah ngeluh dipukul sama kakaknya” (wwcr3. SO3. Wn.Brs. 194)

Jika YP mendapat masalah namun ia merasa tidak bersalah, ia

akan berusaha menyampaikan pembelaan dirinya dihadapan temannya.

Ia akan membela diri dan mengatakannya secara langsung pada teman

atau gurunya.

130

“Kayak istilahnya tuh..ana difitnah gitu..yah..itu sih ana sebenernya kalo..itu sih..ana sebel aja.tapi nggak..nggak..ya..bela diri sih bela diri..tapi kalo ana bener-bener salah ana nggak akan bela diri sampai segitunya..ana difitnah gitu..nggak” (wwcr1. S3. YP.brs. 280-283) “... terus ada temenku kelas 4 laki-laki dia tuh marah-marah, aku..berani aja kubilang kalo aku sakit emang knapa?nggak boleh? Gitu” (wwcr1. S3. YP.brs. 320-321) “Ya aku bilang sama dia, aku nggak ngelakuin ini, jadi aku nggak salah ngapain kamu hukum aku..dan juga belum ada bukti yang tepat” (wwcr1. S3. YP.brs. 305-306) “Jadi kalo misalnya saya ngomong sama dia ya..dia pinter alasan..pegaweane deknen mungkin karena di rumah dia kos-kosan..jadi banyak itu ya” (wwcr.SO3.Pl.Brs.188-190)

Namun jika berhadapan dengan ibu dan kakaknya, YP tidak

mampu mengungkapkan kekesalannya dan memilih untuk bersikap

diam jika sedang diperlakukan salah oleh mereka. Ia hanya diam dan

memendam perasaanya pada saat ia merasa disakiti.

“terus dia bilang, ‘aku kesel..kadang tuh aku suka kesel sama mama karena dulu itu setiap kali..khan sering ada barang hilang, duit hilang itu tuh YP yang selalu dituduh, terus kalo..YP juga kesel gitu lho sama kak ths yang suka..kalo marah tuh suka mukul..suka kasar’, gitu” (wwcr2. SO3. Wn. Brs. 8-12) “..nah, si YP tuh cuma diem gitu lho..diem yang matanya..matanya itu..sebenernya menunjukkan kalo dia itu mau bilang ‘enggak’ gitu..tapi dia nggak bisa dan dia cuma bisa diem pada saat itu” (wwcr2. SO3. Wn. Brs. 18-21) “...pada saat itu dia, terlihat dari matanya, dari ekspresi mukanya, sebenernya dia pengen mengungkapkan itu tapi dia nggak bisa” (wwcr2. SO3. Wn. Brs. 29-30)

Pada usianya saat ini, YP sudah mulai berani mengungkapkan

rasa sakitnya pada saat ia akan dipukul oleh kakaknya. Walaupun

terkadang ia masih merasa tidak berani melawan tindak kekerasan dari

kakaknya jika ada ibu di dekatnya.

131

“belakangan ini tuh dia sudah mulai mau berontak gitu lho kalo aku lihat. Jadi, pada saat diganggu sama kakaknya, dia bales..dibales gitu lho..terus kalo enggak dia bilang, ‘kak ths..’, dia dah berani bilang, ‘sakit’, pokoknya yang mulai berani, walaupun terkadang ya itu..jadi antara..ya ada situasi dimana dia berani dan ada situasi yang dia nggak berani, gitu” (wwcr2. SO3. Wn. Brs. 38-43) “dia langsung bilang, ‘aku nggak suka’, gitu..dia berani langsung bilang, ya kalo punya masalah dengan kakaknya” (wwcr3. SO3. Wn.Brs. 249-250) “dia nggak berani, jadi pas waktu itu, pas dia ngelawan itu, pas nggak ada ibu gitu khan..jadi, yang waktu dia dipukul sama kakaknya itu tuh nggak ada ibu. Pada saat yang dia dituduh sama kakaknya, ‘pasti yang berambut pendek..’, emang waktu itu ibu cuma diem gitu lho, nggak..nggak seperti dulu lagi..nggak ‘keras’, nggak langsung, ‘mana?”, nggak..nggak..ee..apa..disitu dia ngambil sikap diem..nggak tahu apakah karena ada mamahnya aku nggak ngerti” (wwcr2. SO3. Wn. Brs. 43-48)

Namun ia sudah mulai mampu mengungkapkan yang ia

pikirkan dan rasakan pada ibunya, seperti yang diungkapkan oleh

mbak kosnya.

“Tapi kalo sekarang, kalo dia dipukul atau misalnya ibu baru pegang tangannya dia sudah mulai berani bilang ‘jangan ma, aku nggak mau, sakit ma..’ dia udah berani bilang” (wwcr3. SO3. Wn. Brs. 91-93) “Iya. Mengungkapkan apa yang dia pikirkan, apa yang dia rasakan” (wwcr3. SO3. Wn. Brs. 95)

YP suka menegur dan menasehati temannya yang nakal atau

juga bertanya secara langsung tentang masalah yang sedang dihadapi

oleh temannya.

“kita nggak perlu marahin, nggak perlu bales paling kita cuma menegur, menasehati” (wwcr1. S3. YP. brs. 153-154) “Ya aku tanya langsung sama dia, apa kesusahannya, kalo aku bisa bantu ya yang bisa aku lakukan ya aku tolong” (wwcr2.S3.YP.brs.20-21)

132

Di kelasnya, YP sering menanyakan tentang hal-hal yang

tidak ia mengerti pada orang lain. Ia juga senang mengajak bicara

(mengobrol) dan bertanya-tanya pada orang yang baru ia ajak

berkenalan.

“Ya..ngobrol-ngobrol; ...misalnya nanya..kok sendirian..gitu..terus habis itu tak tawarin..tak temenin ya..terus ngobrol-ngobrol..kamu tinggalnya dimana, namamu siapa, gitu” (wwcr1. S3. YP. brs. 365; 367-368)

YP cenderung menolak jika disuruh oleh gurunya untuk

menceritakan permasalahan yang ia hadapi jika ia merasa melakukan

kesalahan. Hal tersebut diungkapkan oleh guru kelas YP.

“Dia bisa..kecuali kalo dia memang merasa salah. Dek’e..piye yo..nek umpamane dek’e salah dan suruh menceritakan apa yang terjadi, dia nggak mau menceritakan. Kayak..tapi nek umpamane..ee..pas dimarahin..terus..dia merasa..dek’e iso mbales e..masalahe si ana kae” (wwcr.SO3.Pl.Brs.102-105)

Peneliti melakukan observasi terhadap perilaku keseharian YP

dan juga selama proses wawancara mengenai bentuk komunikasi non-

verbal yang dilakukan oleh YP. Subjek YP menunjukkan bentuk

komunikasi non-verbal berupa anggukan dan gelengan kepala, serta

lambaian tangan sebagai salam perpisahan (obsv1.S3.YP.no.3;

obsv2.S3.YP.no.5; obsv3.S3.YP.no.5; obsv7.S3.YP.no.3;

obsv7.S3.YP.no. 5; obsv8.S3.YP.no. 3)

Dalam hal komunikasi, transmisi pesan secara verbal yang

terjalin antara subjek dengan teman sebayanya berlangsung kurang

baik karena adanya penerimaan negatif dari lingkungan teman sebaya

133

subjek terutama dari teman-teman di kelasnya. Namun jika dilihat

secara umum komunikasi YP tidak menemui hambatan yang berarti. Ia

mampu menjalin komunikasi verbal maupun non-verbal dengan lancar.

Ia mampu memulai pembicaraan dengan orang lain baik teman sebaya

maupun orang yang lebih dewasa darinya dan mempertahankan

pembicaraan tersebut, atau dengan kata lain, subjek YP senang

berbincang-bincang dengan orang lain. Selain itu, ia juga mampu

berkomunikasi secara verbal sampai pada menyampaikan isi pikiran

dan mencurahkan perasaannya serta mengungkapkan permasalahan

yang ia hadapi. Namun begitu, ia hanya berbicara mengenai hal-hal

yang bersifat pribadi pada orang/ teman yang dekat dengannya.

e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial

Dari hasil wawancara, ditemukan beberapa faktor yang turut

berpengaruh dalam terbentuknya interaksi sosial antara subjek YP

dengan lingkungan sekitarnya. Faktor simpati berupa timbulnya rasa

sedih dan keinginan untuk membantu yang muncul dalam diri YP saat

melihat temannya kesulitan turut mendukung terbentuknya interaksi

sosial positif antara YP dengan lingkungannya.

“Yah sedih rasanya pingin ngebantuin. Ya ini juga tergantung. Dia susahnya dalam hal apa” (wwcr1. S3. YP. brs. 98;100) “Ya rasanya pingin nolong: Ya rasanya sedih, terus kasihan, soalnya lagi kesusahan” (wwcr2. S3. YP. brs. 16;18)

134

Namun ada faktor lain yang juga mempengaruhi YP dalam

berinteraksi dengan orang lain yaitu pengaruh dari lingkungan tempat

tinggal subjek yang merupakan akses bagi subjek untuk mendapatkan

bantuan saat mendapat perilaku kekerasan dan mendukung subjek

dalam hal menjalin relasi sosial. Orang tua subjek memiliki usaha kos-

kosan, sehingga sejak kecil subjek sudah bergaul/ berinteraksi dengan

mahasiswi-mahasiswi yang menyewa kamar dirumah subjek.

“Satu lingkungan karena khan kos-kosan gitu” (wwcr3. SO3. Wn.Brs. 14)

Faktor sosial (perilaku dan karakter orang lain) juga turut

mempengaruhi subjek dalam berinteraksi dengan orang lain. Subjek

akan menghindari orang yang masih asing baginya dan memilih untuk

lari, jika penampilan orang tersebut menakutkan baginya. Hal tersebut

turut mempengaruhi subjek dalam hal menjalin kontak sosial dengan

orang yang masih asing baginya.

“Tergantung mbak. kalo orang itu penampilannya nakutin, ya aku lari” (wwcr2. S3. YP. brs. 168)

Secara keseluruhan, data mengenai latar belakang, kontak sosial dan

komunikasi masing-masing subjek dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.2. Ringkasan Analisis Hasil Penelitian Subjek 1, Subjek 2, dan Subjek 3

Aspek yang diukur Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 Latar Belakang Latar belakang Keluarga

1. TI adalah anak di luar nikah hasil hubungan antara ibunya dan pria yang tidak diketahui asal usulnya

2. TI membenci neneknya karena perilaku neneknya yang dominan/ lebih sering melakukan tindak kekerasan

3. Pada dasarnya TI merasa senang berkumpul dengan keluarganya karena adanya kedekatan antara TI dengan ibu dan adiknya.

4. TI sangat menyayangi adiknya dan selalu melindungi adiknya dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh nenek dan ibunya

5. TI dan adiknya hanya dipenuhi kebutuhan fisiknya tanpa diberi perhatian dan kasih sayang yang selayaknya oleh sang ibu.

1. AR berstatus anak kandung di keluarganya. Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara.

2. Hubungan antara AR dengan orang tuanya cenderung kurang baik karena mereka tidak pernah memperhatikan AR dan selalu sibuk bekerja untuk memperbaiki ekonomi keluarga.

3. Orang tua AR sendiri mempunyai hubungan yang kurang baik (renggang).

4. Pada dasarnya AR merasa senang berada bersama keluarganya walaupun tidak memiliki hubungan dekat dengan mereka.

5. AR hanya mendapat kebutuhan fisik tanpa mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang layak dari orang tuanya.

1. YP merupakan anak angkat di dalam keluarganya. Ia menjadi anak bungsu dari tiga bersaudara.

2. YP mengetahui dirinya berstatus anak angkat di keluarganya, namun ia tetap berusaha untuk bisa dekat dengan mereka. Pada dasarnya, YP tidak membenci keluarganya walaupun hubungan mereka kurang baik.

3. YP membenci kakak pertamanya. Namun begitu, ia tetap berusaha untuk dekat dengan keluarganya terutama ibunya.

4. Pada awalnya, ibu YP tidak mau mengangkat YP sebagai anak karena keluarga kandung YP dianggap sebagai keluarga tidak benar, namun pada akhirnya YP tetap diangkat sebagai anak.

5. Secara fisik, kebutuhan YP terpenuhi. Namun, ia tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang layak dari ibunya.

Kekerasan yang dialami

1. Kekerasan yang terjadi di keluarga TI sudah berlangsung turun-temurun sejak ibu TI masih kecil.

1. Di dalam keluarganya, AR lebih cenderung menjadi korban kekerasan secara psikis/ emosional. Kedua

1. Ibu YP menyimpan kekhawatiran jika YP tumbuh menjadi anak yang ‘tidak benar’ seperti ibu dan bibi

135

2. TI diberi perlakuan kekerasan supaya dapat menimbulkan rasa iba pada orang yang melihatnya saat ia dibawa mengemis di jalan.

3. Kekerasan fisik yang diterima TI : Dibentur-benturkan ke dinding hingga berdarah, dipukul, ditendang.

4. Kekerasan psikis/ emosional yang diterima TI berupa kekerasan verbal, yaitu umpatan-umpatan, ancaman, dimaki, dimarahi, dan juga penelantaran dalam hal pendidikan, kesehatan dan standar hidup yang layak.

5. Kekerasan psikis yang diterima TI dari masyarakat sekitar : keluarganya dikucilkan dari pergaulan sehingga TI tidak dapat memiliki teman sebaya yang dapat bermain bersama dengannya.

orang tua AR sibuk dengan permasalahan mereka sehingga AR terabaikan.

2. Jika AR melakukan kesalahan, ia hanya mendapat hukuman fisik tanpa mendapat perhatian lebih lanjut.

3. Kekerasan fisik yang diterima AR dari orang tuanya berupa hukuman fisik seperti dipukul, disuruh mencabuti rumput dan tidak diberi makan.

4. Kekerasan psikis/ emosional yang diterima AR berupa tindak penelantaran seperti tidak memberikan kehangatan, rasa aman, rasa peduli dan perlindungan pada anak.

5. AR juga dikeluarkan dari sekolah yang merupakan tindak pencabutan hak anak, dan setelah itupun orang tuanya tidak berusaha menyekolahkan AR kembali.

6. Kekerasan psikis yang diterima AR dari masyarakat : dicap (labelling) sebagai pengacau, anak nakal, dan sering dikatai sebagai pencuri. Selain itu, AR dijauhi oleh teman-temannya karena orang tua mereka melarang anak-anaknya untuk bergaul dengannya

7. Kekerasan fisik yang diterima AR

kandungnya. Oleh karena itu, Ibu YP mendidik YP dengan ‘keras’ dan cenderung kasar.

2. Setiap kali melakukan kesalahan, bahkan kesalahan kecil sekalipun, YP akan mendapatkan hukuman fisik yang tidak sebanding dengan kesalahan yang ia perbuat. Selain ibunya, kakak pertamanya juga sering ikut memberi hukuman pada YP.

3. Pada awalnya tujuan ibu subjek adalah pendisiplinan, namun semakin lama perbuatannya telah menjadi tindak kekerasan.

4. Kekerasan fisik yang diterima YP : dipukuli menggunakan alat maupun tangan kosong, dikurung di dalam kamar atau disuruh tidur di teras rumah, diikat di pohon dan tidak diberi makan.

5. Kekerasan psikis/ emosional yang diterima YP : tindak pengabaian (neglected), kekerasan verbal berupa makian, umpatan dan kata-kata kasar pada saat ia dimarahi. Selalin itu, YP juga diperlakukan berbeda dari kedua saudaranya.

136

dari masyarakat saat ia dituduh melakukan pembunuhan : dipukul di bagian muka, ditendang dan disundut rokok di leher dan tangannya.

Keseharian subjek 1. Selama masih tinggal bersama dengan keluarganya, TI menjadi korban dari konflik yang terjadi antara ibu dan neneknya yang penuh dengan kekerasan.

2. Sebelum dibawa ke TC, TI tidak pernah sekolah sebelumnya sehingga sampai usia 7 tahun ia belum bisa membaca dan menulis dengan lancar.

3. Keluarga TI dikucilkan dari pergaulan lingkungan sekitarnya sehingga TI tidak memiliki teman sebaya. Ia biasa bermain sendiri atau hanya dengan adiknya yang baru berusia 2 tahun saat itu sehingga TI tidak terbiasa bergaul dan bermain bersama dengan teman sebayanya.

4. Dampak dari kekerasan yang dialami TI ditunjukkan dalam bentuk ketakutan terhadap gelap, guyuran air dan sambal. Selain itu ia masih mengompol saat tidur. Dalam hal hubungannya dengan orang lain, kekerasan yang ia terima berdampak pada kelekatan dengan teman yang disertai rasa tidak aman dan ia juga sulit mempercayai orang lain.

1. AR adalah tersangka dari kasus tindak pidana pembunuhan seorang anak berusia 6 tahun.

2. Selama tinggal dengan keluarganya, AR tumbuh menjadi anak yang sulit bergaul dan cenderung sulit mengembangkan kepercayaan terhadap orang lain karena ia dijauhi oleh masyarakat dan diberi label sebagai anak nakal.

3. AR bergaul dengan ‘anak-anak nakal’ yang memang memiliki perilaku ‘tidak benar’.

4. Saat AR tinggal di TC, ia mendapat teman sebaya yang cocok dan ‘nyambung’ dengannya.

5. Dalam kesehariannya, AR adalah anak yang keras kepala, sukar diatur dan bersikap acuh tak acuh terhadap sekelilingnya sehingga membuat pembimbingnya merasa kewalahan.

6. AR juga dilihat sebagai anak yang emosinya datar dan sering bersikap dingin pada orang lain. Selain itu, AR juga kurang ada toleransi pada temannya.

1. Setiap kali YP menerima hukuman dari ibu dan kakaknya, ia hanya diam dan menangis karena ia menganggap hukuman itu wajar ia dapatkan.

2. Selama ini, ibu YP memegang kendali terhadap kehidupan YP termasuk dalam hal pergaulan. YP lebih banyak bergaul dengan mahasiswi-mahasiswi yang kos di rumahnya.

3. Disiplin, aturan dan perlakuan keras dari ibu YP membuatnya merasa tidak bebas dalam melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan keinginannya.

4. YP selalu melakukan berbagai macam cara untuk menarik/ mendapatkan perhatian dari orang-orang disekitarnya. Hal tersebut ia lakukan baik di sekolah maupun saat berada di rumahnya.

5. Di rumah, YP kurang diperhatikan oleh ibunya dan ia merasa terabaikan, kemudian ia mencari perhatian ke penghuni kos-kosan milik ibunya. YP selalu berusaha untuk mengajak mbak-mbak kos untuk mengobrol dan bermain dengannya.

6. YP selalu berusaha menarik perhatian

137

5. Pada awal TI dibawa ke TC, ia adalah anak yang sulit diajak bicara dan tidak mau beradaptasi dengan teman-temannya.

6. Semenjak TI dibawa ke TC, semakin lama ia semakin merasa nyaman dan sekarang TI lebih banyak diam termasuk saat ia merasa marah.

7. Saat ini, kesehariannya dipenuhi kegiatan belajar di sekolah dan di rumah, melaksanakan tugas-tugas di TC, dan bermain dengan teman-temannya.

guru-guru yang mengajar dengan cara mengajak temannya berbicara saat guru mengajar, sengaja lambat dalam mengerjakan soal, dan berbohong pada guru.

7. YP pernah menjadi pelaku pencurian uang secara sengaja dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian sebagai kompensasi atas ketidakberdayaannya di dalam keluarga yang kurang memperhatikannya

Kontak sosial Ketiga subjek tidak menunjukkan adanya hambatan dalam berinteraksi sosial dengan teman sebaya. Ketiga subjek memiliki keinginan yang cukup besar dalam menjalin kontak sosial dengan teman sebaya, baik yang sudah mereka kenal dekat maupun teman baru mereka. Penting bagi ketiga subjek untuk berteman/ bergaul supaya mereka tidak merasa sendiri, bisa bermain bersama dan berbincang-bincang. Mereka juga memiliki inisiatif untuk mendekati teman mereka dan mengajaknya berkenalan, bermain bersama, ataupun hanya sekedar berbincang-bincang. Pada subjek 3, tampak bahwa ia kurang diterima oleh teman-teman di kelasnya, karena perilakunya yang dianggap terlalu aktif dan cenderung berlebihan. Namun, semakin ia merasa diabaikan, tingkah lakunya semakin aktif untuk mendapatkan perhatian teman-temannya. Saat berada di lingkungan baru, subjek 1 menolak menjalin kontak dengan orang yang belum ia kenal dan lebih memilih untuk diam jika tidak ditegur lebih dulu, sehingga ia sulit beradaptasi.

Saat berada di lingkungan yang baru, subjek 2 memilih untuk diam dan bermain sendiri.

Saat berada di lingkungan baru, subjek 3 akan berusaha mengamati keadaan lebih dulu dan berkenalan dengan orang-orang yang baru, sehingga subjek 3 mampu beradaptasi dengan mudah. Ia tidak merasa kesulitan ataupun canggung dalam menempatkan diri dalam situasi yang baru.

Lebih mudah bagi subjek 1 dan 2 untuk menerima orang baru yang sebaya dengannya daripada orang ‘asing’ yang sudah dewasa. Walaupun mereka merasa takut untuk

Subjek 3 beranggapan bahwa dengan menjalin kontak dengan orang dewasa, ia

138

berteman dengan orang dewasa yang belum mereka kenal, namun mereka bersedia menjalin hubungan dengan orang dewasa yang sudah mereka anggap dekat, karena subjek 1 menganggap bahwa orang dewasa dapat membantunya di saat susah, dan subjek 2 menganggap bahwa orang dewasa dapat membimbingnya.

bisa bertanya tentang hal-hal yang tidak ia mengerti dan supaya ia tidak merasa takut lagi terhadap orang dewasa.

Subjek 2 dan 3 merasa takut dan memilih untuk menghindari orang dewasa yang bermasalah dengannya, seperti pengasuh atau guru di kelas yang memarahi subjek. Subjek 3 bahkan tidak mau ikut makan bersama selama beberapa waktu supaya tidak bertemu pengasuhnya, dan subjek 3 menghindari dengan cara selalu membolos pelajaran guru tersebut.

Subjek 1 bersedia menerima kontak fisik yang bersifat intim dari orang yang sudah ia kenal, dan ia menolak kontak fisik dari orang yang baru/ belum ia kenal walaupun hanya sekedar sentuhan tangan.

Subjek 2 bersedia menjalin dan menerima kontak fisik dari teman-temannya saat mereka bermain bersama, namun ia menolak kontak fisik yang bersifat intim semacam pelukan atau sekedar belaian tangan dari orang dewasa karena ia merasa tidak nyaman dan tidak terbiasa dengan hal itu.

Subjek 3 bersedia menerima kontak fisik yang bersifat intim semacam pelukan atau belaian di kepala jika dilakukan oleh orang yang sudah ia kenal. YP akan menghindar jika ia dipeluk oleh orang yang tidak ia kenal dan mencurigai orang tersebut.

Ketiga subjek juga menunjukkan adanya persamaan dalam hal perilaku non-verbal yang mereka tunjukkan selama proses penelitian berlangsung. Ketiga subjek menunjukkan perilaku menolak/ menghindari kontak mata dan mengalihkan pandangannya ke arah lain saat berbincang-bincang dengan orang dewasa karena adanya perasaan takut. Selain itu, ketiga subjek juga menunjukkan perilaku yang lain seperti memainkan tangan,benda, menggoyang-goyangkan anggota badan jika berbicara mengenai pembicaraan yang membuat mereka merasa tidak nyaman. Subjek 1 dan 3 menunjukkan perilaku menangis saat merasa sedih, sementara subjek 2 tidak menunjukkan perilaku tersebut.

Komunikasi Subjek 1 dan 2 tidak mau mengutarakan perasaannya, permasalahan/ kesulitan yang

mereka hadapi pada orang dewasa di sekitarnya. Subjek 1 menyimpan ketakutan terhadap sosok orang dewasa dan subjek 2 merasa takut akan dimarahi jika ia bercerita. Namun di sisi lain, subjek 1 menceritakan/ mengungkapkan keinginan, pikiran dan perasaannya secara verbal pada orang/ teman yang sudah ia kenal dekat, sementara subjek 3 tidak pernah melakukannya termasuk pada teman-teman di TC karena ia merasa tidak nyaman.

Subjek 3 menceritakan pengalamannya, mencurahkan perasaannya pada teman dekatnya, dan jika ia menghadapi masalah di rumah, ia mencurahkan isi hatinya pada mbak kosnya.

139

Ketiga subjek tidak memiliki hambatan yang berarti dalam menjalin komunikasi verbal, seperti berbincang-bincang, dengan teman sebaya. Namun diantara ketiganya terdapat perbedaan yang menunjukkan permasalahan masing-masing. Subjek 1 merasa senang jika diajak berbicara oleh orang dewasa yang sudah ia kenal, karena ia merasa diperhatikan. Tetapi seringkali ia menggunakan bahasa non-verbal saat diajak berbicara oleh orang dewasa yang baru ia kenal, atau justru subjek 1 akan menghindar. Subjek 2 bersedia mendengarkan dan menanggapi pembicaraan dengan orang dewasa, walaupun terkadang ia harus dipaksa terlebih dahulu sebelum memberi tanggapan pada lawan bicaranya, dan pembicaraan dari subjek 2 terkadang ‘melompat-lompat’/ tidak fokus. Selain itu, subjek 1 dan 2 menunjukkan adanya hambatan dalam menjalin komunikasi verbal dengan orang yang baru/ belum mereka kenal. Mereka lebih memilih untuk bungkam dan menghindar, atau berbicara dengan tidak lancar. Sedangkan, subjek 3 tidak ada hambatan dalam menggunakan bahasa verbal, baik dengan teman sebaya maupun orang dewasa, dan juga bertanya-tanya pada orang yang sudah ia kenal maupun yang baru ia kenal.

Bentuk komunikasi non-verbal yang ditunjukkan oleh TI: anggukan kepala, gelengan kepala, raut wajah berubah keras dengan kernyitan di dahi dan tatapan tajam ke arah lawan bicara tanpa mengatakan apapun saat merasa marah.

Bentuk komunikasi non-verbal yang ditunjukkan oleh AR : anggukan kepala, gelengan kepala

Bentuk komunikasi non-verbal yang dilakukan YP berupa anggukan dan gelengan kepala, serta lambaian tangan sebagai salam perpisahan

140

141

D. Pembahasan

Tindak kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perbuatan yang

tidak mencerminkan kasih sayang terhadap anak, sehingga dapat menimbulkan

penderitaan dan kesengsaraan anak, baik secara fisik, maupun psikis, yang

berakibat cukup serius dan dapat mengganggu perkembangan anak.

Fenomena kekerasan terhadap anak, terjadi karena multifaktor penyebab

yang saling terkait. Terdapat berbagai macam penyebab dari tindak kekerasan

yang dilakukan terhadap anak seperti, mengalami kekerasan semasa kecil,

masalah perkawinan, kemiskinan, dikucilkan masyarakat, dan anak yang

bermasalah atau anak yang tidak diharapkan (Shaffer; dalam Anantasari, 2006).

Dalam penelitian ini ditemukan beberapa sebab seperti, penghasilan tidak cukup

atau kemiskinan keluarga yang mengakibatkan eksploitasi anak, dan masalah

perkawinan yang mengakibatkan tindak pengabaian terhadap permasalahan anak,

serta penerapan pendidikan disiplin yang berlebihan, dengan kejadian pemicu

anak yang bertindak salah sehingga menjengkelkan orangtua.

Perlakuan kekerasan yang diterima anak dapat menimbulkan ketegangan

emosional dalam diri anak tersebut. Sementara itu, Hurlock (1978)

mengungkapkan bagaimana emosi mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial

anak. Bagaimana anak-anak memandang peran mereka dalam kehidupan dan

posisi mereka dalam kelompok sosial dipengaruhi oleh emosi yang ada pada

mereka seperti malu, takut, agresif, ingin tahu, atau bahagia. Selain itu,

disebutkan juga bahwa emosi mempengaruhi interaksi sosial. Semua emosi, baik

yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, mendorong interaksi

142

sosial. Dari berbagai sumber disimpulkan bahwa interaksi sosial diartikan

sebagai suatu proses hubungan timbal balik sebagai suatu pertalian sosial antar

individu yang melibatkan perhatian dan respon terhadap rangsangan atau

stimulus dimana individu melakukan penyesuaian dan saling mempengaruhi

untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungan sosialnya.

Anak korban kekerasan pada akhir masa kanak-kanak pada dasarnya

tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak yang menjadi korban

kekerasan juga menjalankan tugas perkembangan mereka yang berkaitan dengan

interaksi sosial dengan orang lain. Oleh karena itu, mereka juga diharapkan

mampu memenuhi harapan sosial seperti anak-anak pada umumnya.

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, ditemukan kesamaan

pada diri ketiga subjek bahwa mereka cenderung memiliki hambatan dalam

berinteraksi sosial dengan orang dewasa, baik dalam hal kontak sosial maupun

dari segi komunikasinya. Mengenai kontak sosialnya, mereka cenderung

menunjukkan persamaan dalam hal perilaku non-verbal yang mereka lakukan

selama proses penelitian berlangsung. Ketiga subjek menunjukkan perilaku

menolak atau menghindari kontak mata dan mengalihkan pandangannya ke arah

lain saat berbincang-bincang dengan orang dewasa karena adanya perasaan takut.

Yuniar (dalam Sugiarto, Prambahan, & Pratitis, 2004) menyebutkan bahwa salah

satu gangguan interaksi sosial adalah kontak mata yang sangat kurang. Selain itu,

ketiga subjek juga menunjukkan perilaku yang lain seperti memainkan tangan,

benda, menggoyang-goyangkan anggota badan jika berbicara mengenai hal yang

membuat mereka merasa tidak nyaman. Mereka juga menjaga jarak apabila

143

bertemu dengan orang dewasa yang baru mereka temui. Ketiga subjek

mengungkapkan bahwa mereka cenderung menolak atau menghindari

perbincangan yang mengarah pada pengungkapan pikiran, perasaan ataupun

permasalahan yang mereka hadapi pada orang dewasa yang tidak mereka

percaya karena adanya perasaan takut. Fakta-fakta tersebut semakin menguatkan

pernyataan Irwanto (2004) bahwa penderaan (maltreatment atau child abuse)

juga menyebabkan anak merasa dikhianati, terutama oleh orang-orang yang dia

harapkan melindungi dan membina kasih sayang. Oleh sebab itu, penderaan yang

sering dialami anak akan meningkatkan rasa tidak percaya dan tingkah laku

antagonistik terhadap orang dewasa.

Ekowarni (2007) juga mengungkapkan bahwa suatu kasus kekerasan fisik

yang dilakukan suami terhadap istri dan anaknya menyebabkan anak menjadi

sangat takut pada ayahnya maupun laki-laki dewasa yang belum dikenalnya

dengan baik. Hal tersebut semakin diperkuat oleh fakta yang ditemukan dalam

penelitian ini bahwa ketiga subjek yang mendapat tindak kekerasan dari

keluarganya ternyata menyimpan rasa takut saat berhadapan dengan orang

dewasa yang belum mereka kenal dengan baik, walaupun setiap subjeknya masih

tetap bersedia menjalin hubungan dengan orang dewasa di sekitarnya seperti

wali, pengasuh, guru, mbak kos, dan bahkan subjek 3 masih bersedia menjalin

hubungan dengan ibunya yang merupakan pelaku tindak kekerasan terhadap

dirinya. Mereka hanya bisa berteman dengan orang-orang yang dekat dengan

mereka. Ketiga subjek menjadi tidak mudah percaya pada orang lain yang belum

144

atau baru mereka kenal, namun pada subjek 3 walaupun ia merasa takut, ia selalu

berusaha untuk berpikir bahwa orang yang ia temui adalah orang yang baik.

Selain itu, dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa ketiga subjek

menunjukkan sikap negitivisme dan destruktif dalam bentuk yang berbeda.

Subjek 1 tumbuh menjadi anak dengan agresivitas tinggi, jika ia sedang marah,

ia mudah mengamuk, merusak barang, memaki-maki dan merebut milik orang

lain. Subjek 2 dan 3 suka mengambil barang milik orang lain. Subjek 2 sering

mengambil barang yang ada di ruang belajarnya ataupun milik temannya sendiri,

sedangkan subjek 3 sering mengambil barang ataupun uang milik mbak kosnya

ataupun milik teman-teman di kelasnya. Perilaku mereka justru menimbulkan

penolakan sosial dari teman-temannya. Setiap kali mereka melakukan perbuatan

tersebut, mereka dijauhi dan bahkan subjek 3 dimusuhi oleh teman-teman

sekelasnya hingga sekarang. Temuan tersebut sesuai dengan pernyataan Budiono

dan Wulur (dalam Ikawati dan Rusmiyati, 2003) mengenai dampak kekerasan

terhadap tingkah laku anak dimana salah satunya adalah tumbuhnya sikap

negativisme dan destruktif. Anak yang hidup dalam lingkungan penuh dengan

ketidakbahagiaan, ketidaksenangan, kekecewaan, dan kekerasan akan tumbuh

menjadi anak yang tidak mudah percaya atau selalu berprasangka buruk terhadap

orang lain dan mudah melakukan tindakan kurang baik atau suka merusak

(destruktif).

Namun tidak demikian halnya apabila subjek berhubungan dengan teman

sebaya. Ketiga subjek menganggap penting untuk berinteraksi dengan teman

145

sebaya karena bermanfaat bagi mereka. Selebihnya, ketiga subjek memiliki

keunikan masing-masing dalam interaksi sosialnya.

Dalam penelitian ini ditemukan mengenai perilaku yang kompleks yang

ditunjukkan oleh anak korban kekerasan meliputi kontak sosial dan

komunikasinya. Berikut ini gambaran secara lebih rinci mengenai kontak sosial

dan komunikasi masing-masing subjek dalam menjalin interaksi sosial dengan

teman sebaya, orang dewasa, orang yang baru atau belum dikenal baik yang

berusia sebaya ataupun yang berusia dewasa, beserta faktor-faktor yang

mempengaruhinya.

1. Subjek 1

Berdasarkan latar belakangnya, diketahui bahwa pada awal subjek

tinggal di TC, perilakunya masih sama dengan perilaku saat masih tinggal

dengan ibu dan neneknya, cenderung urakan dan bertemperamen kasar,

memiliki agresifitas tinggi, terutama pada saat ia merasa marah, ia suka

membentak-bentak, membanting atau melempar barang. Hal tersebut

dipengaruhi oleh faktor imitasi yang bersifat negatif, yang berarti peniruan

perilaku terhadap figur yang bersifat negatif atau tidak baik dan imitasi ini

dapat menghambat seseorang dalam berinteraksi sosial (Bonner, dalam

Gerungan, 2004). Begitu pula dengan diri subjek yang sejak kecil sudah

sering melihat pertengkaran antara nenek dan ibunya, yang akhirnya

‘direkam’ oleh subjek, sehingga pada awal ia dibawa untuk tinggal di TC, ia

menjadi anak yang cenderung liar, individualis, tidak mau bersosialisasi

146

dengan teman-temannya, dan teman-temannya juga pada awalnya tidak mau

dekat-dekat dengannya karena merasa takut dengan sikap subjek, sehingga

subjek sempat mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya.

Interaksi sosial subjek cenderung mengalami hambatan saat subjek berada di

tempat atau lingkungan yang baru, karena subjek menolak menjalin kontak

(diasosiatif) dengan orang yang belum ia kenal dan lebih memilih untuk diam

jika tidak ditegur lebih dahulu sehingga ia sulit beradaptasi dengan situasi

yang baru.

Pada subjek 1 tidak ditemukan hambatan yang berarti dalam menjalin

interaksi sosial baik dengan teman sebaya maupun orang dewasa jika ia

sudah mengenalnya dengan baik, seperti penanggung jawab hukumnya, dan

walinya. Subjek mampu menjalin kontak sosial dengan baik pada hal-hal

tertentu, namun ia juga menunjukkan adanya hambatan di beberapa hal lain.

Permasalahan yang cukup berarti dalam diri subjek ada pada aspek

komunikasinya yang cenderung terhambat saat berhubungan dengan orang

dewasa dalam hal penggunaan bahasa verbal untuk menunjukkan pikiran,

perasaan ataupun permasalahan yang ia hadapi.

Subjek memandang orang lain dan sekitarnya secara negatif. Subjek

melihat bahwa orang lain kerap mengganggu kesenangannya dan teman-

temannya suka mengambil barang miliknya. Hal itu juga menunjukkan

kewaspadaan subjek terhadap orang lain yang kerap muncul dalam perilaku

suka menyembunyikan barang atau mainannya agar tidak diambil atau

diminta oleh temannya. Namun ia tidak mau berbicara pada temannya supaya

147

tidak mengambil mainannya karena ia merasa takut jika temannya itu marah

dan meninggalkannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa di sisi lain subjek

juga mengalami ketidakberdayaan secara sosial yang tampak dalam

ketergantungan subjek terhadap orang lain. Oleh karena itu, subjek lebih

memilih untuk pergi dari situasi yang tidak disukainya dan menjadi tidak

aktif. Hal itu tentu dapat menghambat subjek dalam berinteraksi dengan

temannya di situasi tertentu.

Selain itu, subjek memiliki kewaspadaan yang tinggi terhadap orang

yang mungkin akan menyakitinya atau dari sikap orang lain terutama orang

dewasa. Kewaspadaan subjek yang tumbuh secara berlebihan akibat dari

trauma di masa lalunya menimbulkan kecemasan dalam diri subjek yang

mengakibatkan adanya hambatan dalam hal keinginan untuk berhubungan

atau menjalin kontak dengan sekitarnya. Kecemasan subjek terlihat saat

pertama kali ia bertemu atau berkenalan dengan orang baru yang berusia

dewasa. Subjek merasa takut untuk berteman dengan orang dewasa yang baru

ia kenal.

Walaupun begitu, pada dasarnya subjek bersedia menjalin kontak dan

berkomunikasi secara verbal dengan orang dewasa karena ia merasa

diperhatikan dan ia menganggap bahwa orang dewasa dapat membantunya di

saat susah. Berdasarkan latar belakang subjek, ia tidak pernah mendapatkan

perhatian dan kasih sayang yang layak dari orang dewasa di keluarganya, dan

yang menyelamatkan hidupnya saat itu adalah ketua RT yang ada di

lingkungan rumah tinggalnya, seorang advokat dari lembaga, dan pekerja

148

sosial dari dinas sosial, sehingga subjek memiliki pikiran dan harapan bahwa

orang dewasa dapat membantunya di saat ia menghadapi kesulitan.

Santrock (2002) dalam bukunya mengemukakan bahwa anak-anak

harus belajar berhubungan secara teratur dengan orang–orang dewasa di luar

keluarga – orang-orang dewasa yang berinteraksi dengan anak-anak sangat

berbeda dari orang tua yang berinteraksi dengan anak-anak. Sementara

kecemasan subjek yang mengakibatkan sulit bagi subjek untuk menjalin

kontak saat berhadapan dengan orang dewasa yang belum ia kenal, dapat

menghambat subjek untuk berinteraksi dengan orang dewasa, sehingga

subjek dapat menemui hambatan dalam memenuhi harapan sosial yang ada.

Perlakuan kekerasan membuat subjek takut untuk mengutarakan

perasaan yang sedang ia alami kepada gurunya dan jika ada kesulitan di

sekolah atau kelas, subjek tidak mau bertanya pada gurunya walaupun

menurutnya guru tersebut tidak galak. Hal tersebut dipengaruhi oleh proses

kognitif dalam diri subjek. Reaksi individu dalam suatu situasi akan sangat

tergantung pada ingatannya tentang perilaku orang lain di masa lalu

(Baron&Byrne, 2004). Berdasarkan latar belakang kekerasan yang diterima

subjek, setiap kali subjek mengutarakan rasa sakit dan keinginannya untuk

tidak menuruti perintah ibu dan neneknya, ia akan mendapat perlakuan yang

lebih kasar dari sebelumnya, sehingga subjek merasa takut untuk

mengemukakan perasaan dan keinginan yang sebenarnya, dan hal tersebut

berlanjut hingga kini.

149

Dalam hal penggunaan bahasa verbal sehari-hari, subjek

menunjukkan adanya sedikit hambatan. Subjek seringkali bungkam, tidak

mau mengatakan atau mengungkapkan keinginannya, pikiran dan

perasannya, bahkan di saat ia mendapat kesulitan baik di sekolah maupun di

rumah pada orang dewasa di sekitarnya karena ia merasa takut. Ia hanya bisa

mengutarakan semua itu pada orang yang ia kenal dekat dan ia percaya

seperti pada kepala panti yang menjadi walinya. Selain itu, ia hanya bisa

diam dan menunduk saat diajak berbicara atau ditegur atau dimarahi oleh

pengasuhnya. Berdasarkan latar belakang kekerasannya, subjek tidak pernah

mendapatkan perhatian mengenai keinginannya, pikiran dan perasaan yang

sedang ia alami pada keluarganya. Selain itu, lingkungan atau warga

masyarakat yang mengucilkan keluarga subjek juga menyebabkan subjek

tidak bisa menjalin relasi dengan orang lain secara wajar, sehingga

kemampuannya dalam mengungkapkan sesuatu, berkomunikasi atau

penggunaan bahasa verbal menjadi terhambat.

Namun di sisi lain, subjek juga akan mendekati dan mengajak

berbicara saat ia melihat teman dekatnya tampak bersedih. Hal tersebut

dipengaruhi oleh faktor simpati, yang diartikan sebagai perasaan tertariknya

seseorang terhadap orang lain dan perasaan simpati ini muncul karena

penilaian perasaan. Selain itu, hal tersebut juga dipengaruhi oleh

kedekatannya dengan sosok adik yang selalu menjadi teman bermainnya dan

temannya berbicara. Hal ini turut mendukung terbentuknya interaksi sosial

antara subjek dengan teman sebayanya.

150

Selebihnya, perilaku subjek menunjukkan kewajaran dalam interaksi

sosialnya. Seperti misalnya, perilaku subjek yang bersedia menjalin kontak

fisik yang bersifat intim (bersalaman, berangkulan atau berpelukan, belaian

tangan di bahu atau kepala) dari orang yang sudah ia kenal, baik teman

sebaya maupun orang dewasa, karena ia berpikir bahwa orang tersebut

sayang terhadapnya. Namun ia akan menghindari kontak fisik apapun jika ia

berhadapan dengan orang dewasa yang belum ataupun baru ia kenal. Dilihat

dari latar belakang subjek yang selalu mendapat perlakuan kekerasan dari

orang dewasa di keluarganya, ia menjadi selektif dalam menerima sentuhan

fisik dari orang lain, walaupun cuma sekedar sentuhan ringan. Ia hanya mau

didekati dan menerima sentuhan fisik dari orang yang sudah ia kenal dekat

dan ia percaya, karena subjek masih menyimpan ketakutan akibat perbuatan

keluarganya dulu.

Berdasarkan uraian mengenai kontak sosial dan komunikasi subjek 1

di atas dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial subjek cenderung terhambat

dalam hal-hal tertentu terutama hal yang berkaitan dengan komunikasi

dengan orang dewasa yang tidak ia percaya. Secara teoritis, wajar bila anak

berusia tujuh tahun perlu penyesuaian jika berhadapan dengan orang dewasa

yang masih asing baginya, anak merasa segan, takut, dan malu memaparkan

perasaannya (Kartono, 1986). Namun, subjek 1 sudah menunjukkan

hambatan perilaku karena peneliti menemukan bahwa meskipun subjek

sudah didekati secara intensif, ia masih merasa cemas dan tidak mau

membuka diri atau mengungkapkan persoalan dirinya pada orang tersebut

151

dengan alasan takut. Di sisi lain, jika subjek berhadapan dengan teman

sebaya yang sudah berhubungan dekat dengannya, subjek tidak menemui

hambatan yang berarti dalam interaksi sosialnya, baik kontak sosial dan

komunikasinya. Interaksi sosial subjek dipengaruhi oleh faktor simpati,

proses kognitif, faktor imitasi dan faktor lingkungan.

152

Gambar. 4.1 Dinamika Interaksi Sosial Subjek 1

Kekerasan yang diterima anak 1. Kekerasan fisik (ditendang, dipukuli, dibentur-benturkan) 2. Kekerasan psikis (dijauhi warga, kekerasan verbal;

dimaki) 3. Tindak pengabaian

Dampak kekerasan yang dialami oleh anak Dampak langsung: a. Dampak fisik (bekas luka di badan) b. Dampak psikis (kecemasan akan dimarahi, takut jika orang yang ditemui

bersikap jahat, sulit mempercayai orang lain)

Interaksi sosial 1. Kontak sosial

a. Menolak bersosialisasi di tempat atau situasi yang baru (seperti pada saat awal berada di TC)

b. Bersedia memberi feedback atau timbal balik dalam berhubungan dengan teman sebayanya

c. Menolak berbagi minat dengan teman-temannya walaupun teman satu rumahnya (tidak menunjukkan perilaku berbagi minat)

d. Menolak kontak fisik (walaupun sekedar sentuhan tangan) dari orang dewasa yang baru dikenalnya.

2. Komunikasi a. Tidak berani dan merasa takut

mengungkapkan keinginan, pikiran dan perasaan secara verbal pada guru kelas dan pengasuhnya walaupun sudah didekati

b. Merasa takut berbicara dengan orang yang masih asing baginya atau baru dikenalnya, lebih menggunakan bahasa non-verbal

c. Menghindari kontak mata dengan orang dewasa karena timbulnya perasaan takut

Faktor-faktor yang turut mempengaruhi interaksi sosial1. Faktor yang mendukung :

a. Faktor simpati (perasaan yang timbul terhadap teman yang bersedih)

2. Faktor yang menghambat : a. Proses kognitif

(pengalaman masa lalutentang tindak kekerasan yang diterima subjek dari orangtuanya)

b. Faktor imitasi (dimungkinkan karena subjek mengimitasi perilaku negatifneneknya seperti; mengumpat, memaki)

c. Faktor lingkungan (keluarga yang dikucilkan)

153

2. Subjek 2

Subjek 2 cenderung menjaga jarak dalam menjalin kontak dan

komunikasi dengan pengasuhnya karena ia merasa takut, terutama pada saat

ia merasa dirinya bermasalah dengan pengasuhnya. Dalam situasi tersebut,

subjek lebih memilih untuk menghindari kontak dengan pengasuhnya dan

komunikasi subjek juga mengalami hambatan yang cukup berarti karena

subjek cenderung menghindari perbincangan dengan pengasuh dan walinya

jika ia sedang merasa tidak memiliki keperluan atau kepentingan. Bahkan

pada saat ia mendapatkan kesulitan ataupun merasa sakit, ia tidak mau

mengatakan pada pengasuh dan walinya, atau menyuruh temannya untuk

mengatakannya pada pengasuh. Hal tersebut dipengaruhi oleh proses kognitif

dalam diri subjek. Reaksi individu dalam suatu situasi akan sangat tergantung

pada ingatannya tentang perilaku orang lain di masa lalu (Baron&Byrne,

2004). Jika dilihat dari latar belakang subjek yang tidak pernah mendapatkan

perhatian akan kebutuhannya dan hanya menerima hukuman fisik tanpa kasih

sayang dari kedua orang tuanya, yang menyebabkan subjek berperilaku

menjaga jarak dengan pengasuhnya yang ia anggap memiliki otoritas

terhadapnya seperti kedua orang tuanya.

Selain itu, salah satu dampak serius pada anak yang menjadi korban

kekerasan yang disebutkan oleh YKAI (dalam Suharto, 1997) adalah anak

menjadi pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan

baru dengan orang lain. Demikian halnya yang terjadi pada diri subjek.

Subjek mampu memberikan respon positif atau timbal balik (feedback) saat

154

berhadapan dengan teman-teman sebayanya, namun saat ia berhubungan

dengan orang dewasa, ia cenderung menjadi pasif. Menurutnya lebih baik ia

diam saja karena ia tidak suka mengajak bicara lebih dulu. Selain itu,

hambatan juga terjadi jika ia berada dalam lingkungan yang baru dan masih

asing baginya, terutama saat ia berada di antara orang dewasa, ia cenderung

menarik diri dan memilih untuk diam dan sendiri. Hal tersebut dipengaruhi

oleh faktor lingkungan. Dalam hal ini faktor lingkungan berupa perilaku

masyarakat yang mengucilkan subjek dan melarang anak-anaknya untuk

bergaul dengan subjek. Selain itu hubungan antara subjek dengan

orangtuanya juga tidak baik sehingga subjek tumbuh menjadi anak yang

tidak mudah percaya, pasif, dan sulit berinteraksi dengan orang dewasa.

Namun di sisi lain, jika subjek sudah menemukan teman yang cocok

dengannya, subjek menjadi suka bermain. Ia pun menunjukkan perilaku

berbagi minat saat berkumpul dengan teman-temannya. Subjek akan merasa

sedih jika ia berada sendirian karena tidak ada yang bisa menemani dan

bermain bersamanya.

Subjek bersedia menjalin dan menerima kontak fisik dari teman-

temannya saat mereka bermain bersama, tetapi ia menolak kontak fisik dari

orang dewasa karena ia merasa tidak nyaman. Walaupun secara teoritis

menurut Kartono (1986) adalah wajar bila anak laki-laki berusia dua belas

tahun tidak terbiasa menerima kontak fisik terutama yang bersifat intim dari

orang dewasa, dan mulai melepaskan relasi dengan kekuasaan orang tua,

namun penghindaran yang dilakukan subjek sudah berlebihan dimana subjek

155

menolak terjadinya kontak fisik walau hanya sekedar belaian tangan di

kepala ataupun di bahunya, bahkan jika orang tersebut sudah dikenalnya,

termasuk juga ayah dan walinya. Hal itu menunjukkan hambatan subjek

dalam menjalin kontak sosial dengan orang yang lebih dewasa. Fakta tersebut

turut mendukung pernyataan dari Rini (2001) bahwa penyiksaan dan

pengabaian yang dialami oleh anak dapat menimbulkan permasalahan di

berbagai segi kehidupannya. Salah satu diantaranya adalah masalah relational

yaitu merasa takut untuk menjalin hubungan secara fisik dengan orang lain

(terutama orang dewasa).

Walaupun begitu, subjek tetap menganggap penting baginya untuk

berhubungan dengan orang dewasa termasuk juga pengasuhnya walaupun ia

menyimpan perasaan takut, karena ia memiliki harapan bahwa mereka bisa

membimbingnya. Subjek bersedia mendengarkan dan memberikan tanggapan

terhadap pembicaraan dengan orang dewasa yang sudah ia kenal.

Subjek merasa gugup didekati oleh orang dewasa yang masih asing

baginya dan diam saja bahkan menghindar saat disapa atau ditanyai. Tetapi

jika ia bertemu dengan anak yang sebaya dengannya, subjek memiliki

inisiatif untuk mengajaknya berkenalan lebih dulu. Hal tersebut menunjukkan

bahwa subjek masih memiliki keinginan untuk menjalin kontak dengan

teman sebayanya, namun agak terhambat dalam menjalin hubungan baru

dengan orang yang berusia dewasa.

Dalam hal berkomunikasi dengan teman-teman sebayanya, pada

dasarnya subjek tidak menemui hambatan dalam penggunaan bahasa verbal

156

terhadap teman sebaya. Jika subjek sedang berada bersama dengan teman-

temannya, subjek mampu berkomunikasi dengan lancar walaupun tidak

sampai pada hal-hal yang intim, seperti menceritakan pengalaman,

mengungkapkan pikiran ataupun mencurahkan perasaannya. Subjek biasa

memendam pikiran dan perasaannya karena ia merasa tidak nyaman jika ia

harus mengungkapkannya pada orang lain.

Walaupun subjek mengalami situasi yang menekan dalam hidupnya

dan ia sudah tidak mengenyam pendidikan formal selama kurang lebih tiga

tahun, hambatan perilaku sosial yang tampak pada diri subjek tidak semata-

mata disebabkan oleh hal-hal tersebut tetapi juga karena perlakuan kekerasan

yang ia terima di dalam keluarganya. Orang tua subjek kurang memberi

perhatian pada subjek dan jika subjek melakukan kesalahan, ia hanya akan

mendapatkan hukuman fisik tanpa diperhatikan lebih lanjut, sehingga subjek

juga tidak pernah berbicara dan menceritakan mengenai permasalahan yang

ia hadapi pada orang dewasa di sekitarnya. Hal tersebut berlanjut hingga kini

saat ia sudah berada di TC. Ia akan berbicara mengenai persoalan dirinya

hanya jika ia dipaksa lebih dulu.

Selain itu, subjek cenderung menghindari kontak mata lawan bicara

dan mengalihkan pandangannya ke arah lain saat berbincang-bincang dengan

orang dewasa karena adanya perasaan takut. Subjek juga menunjukkan

perilaku yang lain seperti memainkan tangan, benda, menggoyang-

goyangkan anggota badan jika berbicara mengenai pembicaraan yang

membuat ia merasa tidak nyaman.

157

Subjek berinisiatif untuk mendekati dan mengajak teman yang sedang

bersedih untuk berbincang-bincang dengannya karena ia merasa ikut sedih

saat melihat temannya bersedih. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor simpati

yang diartikan sebagai perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain

dan perasaan simpati ini muncul karena penilaian perasaan.

Berdasarkan uraian mengenai kontak sosial dan komunikasi subjek 2

di atas, dapat disimpulkan bahwa sama seperti subjek 1, subjek 2 pun

cenderung mengalami hambatan interaksi sosial dalam hal-hal tertentu.

Namun pada subjek 2, ditemukan bahwa subjek terhambat dalam kontak

sosial dan komunikasinya dengan orang dewasa. Dalam hal kontak sosial,

yang paling menonjol adalah bahwa subjek cenderung terhambat dalam hal

menjalin kontak fisik dengan orang dewasa baik yang sudah ia kenal maupun

yang belum dikenalnya, begitupula dengan aspek komunikasinya. Di sisi

lain, subjek tidak menemui hambatan yang berarti jika ia berinteraksi dengan

teman sebayanya, dan ia lebih mudah menerima orang baru yang sebaya

dengannya daripada orang dewasa. Interaksi sosial subjek dipengaruhi oleh

faktor simpati, proses kognitif, dan faktor lingkungan

158

Gambar. 4.2 Dinamika Interaksi Sosial Subjek 2

Kekerasan yang diterima anak 1. Kekerasan fisik (dipukul, tidak diberi makan, ditendang, disundut rokok) 2. Kekerasan psikis (dijauhi warga, dicap atau labelling sebagai pengacau, anak

nakal, dikatai pencuri) 3. Tindak pengabaian 4. Tindak pencabutan hak anak (dikeluarkan dari sekolah)

Dampak kekerasan yang dialami oleh anak Dampak langsung : a. Dampak fisik (rasa sakit yang diderita) b. Dampak psikis (kecemasan, rasa takut, penarikan diri di lingkungan orang dewasa,

sulit mempercayai orang lain)

Interaksi sosial 1. Kontak sosial

a. Merasa takut dan memilih untuk menghindari kontak saat bermasalah dengan pengasuh (atau orang dewasalainnya) bahkan disaat ia menghadapi kesulitan atau sakit sekalipun

b. Menolak memberi feedback atau timbal balik dalam berhubungan dengan orang dewasa (bersikap pasif)

c. Menolak kontak fisik (walaupun sekedar belaian tangan atau kepala) dari orang dewasa (walaupun sudah ia kenal).

2. Komunikasi a. Lebih menunjukkan bahasa non-verbal saat

diajak berbicara oleh orang dewasa, seperti anggukan atau gelengan kepala karena adanya perasaan takut.

b. Penggunaan bahasa verbal secara lancar saat berbincang-bincang dengan teman-temannya. Namun, tidak sampai tahapbercerita, mengungkapkan keinginan, pikiran, perasaan diri pada orang lain (teman sebaya maupun dewasa) karena merasa tidak nyaman.

c. Merasa takut berbicara dengan orang yang masih asing baginya atau baru dikenalnya (untuk usia 12 tahun).

d. Menghindari kontak mata dengan orang dewasa

Faktor-faktor yang turut mempengaruhi interaksi sosial1. Faktor yang mendukung :

a. Faktor simpati (perasaan yang timbul terhadap teman yang bersedih)

2. Faktor yang menghambat : a. Proses kognitif

(pengalaman masa lalutentang tindak kekerasan yang diterima subjek dari orangtuanya dan warga di sekitarnya)

b. Faktor lingkungan (subjek dikucilkan warga)

159

3. Subjek 3

Hurlock (1980) menyebutkan bahwa di dalam kelompok teman-teman

sebaya, anak yang lebih besar menemukan bahwa berbicara terus-menerus

dapat mengganggu teman-teman dan merupakan cara yang tepat untuk

kehilangan teman. Selain itu, anak yang lain menemukan bahwa kalau ia

mencoba menguasai pembicaraan maka hal ini akan menyebabkan penolakan

sosial, sehingga mereka mengekang keinginan untuk bicara. Namun, tidak

demikian halnya dengan subjek 3 yang berlebihan dalam menjalin

komunikasi dengan teman-teman sebayanya di kelas, bahkan pada saat

pelajaran berlangsung. Komunikasi subjek dengan teman sebayanya di kelas

tidak berlangsung lancar karena adanya penolakan sosial dari pihak teman-

teman subjek.

Akan tetapi jika berhadapan dengan teman yang dekat dengannya,

tampak penggunaan bahasa verbal subjek secara lancar dalam menceritakan

pengalamannya, permasalahan atau kesulitan yang dihadapinya dan

mencurahkan perasaannya pada teman yang ia anggap dekat. Walaupun

terkadang subjek masih kesulitan dalam berbicara dengan orang yang tidak ia

percaya, termasuk guru kelasnya sendiri. Subjek juga cenderung menghindari

orang dewasa yang bermasalah dengannya, termasuk guru yang mengajar di

kelasnya karena ia merasa takut. Bahkan ia selalu membolos pada pelajaran

guru tersebut untuk menghindarinya dan tidak mau berbicara dengannya.

Hal positif dari subjek salah satunya adalah, subjek mampu

menyesuaikan diri dengan baik saat ia berada di lingkungan dan situasi yang

160

baru dengan orang-orang yang baru pula. Hal tersebut di pengaruhi oleh

lingkungan tempat subjek tinggal. Salah satu hal dari subjek 3 yang cukup

mendukung subjek dalam menjalin interaksi sosial dengan orang yang lebih

dewasa dari subjek adalah adanya dukungan sosial dari lingkungan tempat

tinggalnya yang berupa kos-kosan. Fakta tersebut diperkuat oleh pernyataan

dari lembaga penanganan terhadap anak yang mendapat perlakuan negatif

dari orang tua (dalam Rini, 2001) mengenai faktor yang mempengaruhi besar

kecilnya dampak dari tindak kekerasan, salah satunya adalah apakah ada

orang lain atau anggota keluarga lain yang dapat mencintai, mengasihi,

memperhatikan dan dapat diandalkan oleh sang anak. Berdasarkan latar

belakang subjek, diketahui bahwa orang tua subjek membuka usaha kos-

kosan yang dihuni oleh mahasiswi-mahasiwi yang usianya jauh lebih dewasa

dari subjek. Subjek terbiasa bermain dengan mereka karena ia tidak

diperbolehkan bermain di luar rumah oleh ibunya, dan subjek dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungan kos yang selalu berganti-ganti

penghuninya. Selain itu, subjek juga menjadi terbiasa berada di antara orang-

orang dewasa, sehingga ia tidak canggung dalam berhubungan dengan orang

dewasa. Seperti yang diungkapkan oleh Santrock (2002) bahwa anak-anak

harus belajar berhubungan secara teratur dengan orang–orang dewasa di luar

keluarga – orang-orang dewasa yang berinteraksi dengan anak-anak sangat

berbeda dari orang tua yang berinteraksi dengan anak-anak. Di sisi lain hal

tersebut juga menjadi kekuatan pendorong bagi subjek. Uraian ini diperjelas

dengan pernyataan dari Irwanto (2004) bahwa sebagian besar anak yang

161

mengalami penderaan mampu mengatasi pengalamannya dalam proses

berkembang menjadi dewasa, entah karena ciri kepribadian tertentu atau

karena adanya akses terhadap bantuan. Akses terhadap bantuan dapat

mengurangi keparahan akibat penderaan tersebut.

Pada subjek 3, tampak bahwa ia kurang diterima oleh teman-teman di

kelasnya, karena perilakunya yang dianggap terlalu aktif dan cenderung

berlebihan. Namun, semakin ia merasa diabaikan, tingkah lakunya semakin

aktif untuk mendapatkan perhatian teman-temannya. Dalam bukunya, Child

Development, Hurlock (1978) menyebutkan bahwa hasrat akan perhatian dan

penerimaan sosial timbul dari perasaan tidak aman dan tidak mampu. Hal ini

berhubungan dengan sifat tertentu seperti rasa malu, kecemburuan,

kemurungan dan ketergantungan yang berlebihan. Berdasarkan latar

belakang subjek, diketahui bahwa subjek adalah anak angkat di dalam

keluarganya. Ia selalu mendapatkan perlakuan kekerasan dan dibeda-bedakan

dari kedua kakaknya. Subjek mengakui bahwa ia menyimpan kebencian

terhadap sosok kakaknya dan hasrat yang besar untuk diperhatikan oleh

keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Hal tersebut menjadi dasar bagi

subjek 3 untuk menjalin interaksi dengan orang-orang yang ada di dekatnya,

baik teman sebaya maupun orang dewasa.

Menurut Budiono dan Wulur (dalam Ikawati dan Rusmiyati, 2003),

salah satu dampak kekerasan terhadap tingkah laku anak adalah sikap

negativisme dan destruktif. Subjek 3 mudah melakukan tindakan kurang baik

162

yang tidak diterima secara sosial dengan tujuan untuk mencari perhatian dari

orang-orang di sekelilingnya, yaitu, mencuri dan berbohong.

Namun di lain hal, subjek juga menunjukkan kewajaran perilaku

seperti bersedia menerima kontak fisik yang bersifat intim semacam pelukan

atau belaian di kepala jika dilakukan oleh orang yang sudah ia kenal. Tetapi

ia akan menghindar jika ia menerima kontak fisik dari orang yang tidak ia

kenal dan ia mencurigai orang tersebut.

Hasil penelitian oleh Hassin dan Trope (dalam Baron&Byrne, 2004)

menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengabaikan penampilan orang lain,

bahkan ketika kita sadar mencoba untuk mengabaikannya. Temuan tersebut

menunjukkan bahwa reaksi kita terhadap orang lain jelas sangat dipengaruhi

oleh penampilan luar mereka. Begitu pula halnya dengan subjek, subjek akan

menghindari orang yang masih asing baginya dan memilih untuk lari karena

takut jika penampilan orang tersebut menakutkan baginya. Hal tersebut turut

mempengaruhi keinginannya dalam hal menjalin kontak sosial dengan orang

yang masih asing baginya.

Namun begitu, walaupun subjek 3 menyimpan rasa takut dan gugup

saat berhadapan dengan sosok orang dewasa yang baru ia temui, ia tetap

memberanikan diri untuk menemani dan bertanya-tanya sebab subjek 3

beranggapan bahwa dengan menjalin kontak dan komunikasi dengan orang

dewasa, ia bisa bertanya tentang hal-hal yang tidak ia mengerti dan supaya ia

tidak merasa takut lagi terhadap orang dewasa.

163

Faktor simpati juga turut mempengaruhi interaksi sosial subjek dalam

hal menjalin kontak sosial dengan teman sebayanya. Simpati diartikan

sebagai perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain. Simpati ini

muncul karena penilaian perasaan. Perasaan ini terlihat nyata dalam

persahabatan antara dua orang atau lebih. Faktor simpati yang berupa

timbulnya rasa sedih dan keinginan untuk membantu yang muncul dalam diri

subjek saat melihat temannya kesulitan turut mendukung terbentuknya

interaksi sosial positif antara subjek dengan lingkunganya.

Berdasarkan uraian mengenai kontak sosial dan komunikasi subjek 3

di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya subjek 3 tidak menemui

hambatan yang berarti dalam interaksi sosialnya dengan orang lain, baik

dengan teman sebaya maupun orang dewasa, jika subjek sudah mengenalnya.

Walaupun begitu, sama seperti subjek 1 dan 2, subjek 3 juga menyimpan

ketakutan jika ia berhadapan dengan orang dewasa yang belum ia kenal

dengan baik, namun berbeda dari subjek 1 dan 2 yang lebih memilih untuk

menarik diri, subjek 3 akan berusaha berpikir bahwa orang yang ia temui

adalah orang baik dan ia akan memberanikan diri untuk menemani orang

tersebut dengan tujuan supaya ia tidak takut lagi terhadap orang dewasa.

Interaksi sosial subjek dipengaruhi oleh faktor simpati, faktor lingkungan dan

faktor sosial.

164

Gambar. 4.3 Dinamika Interaksi Sosial Subjek 3

Kekerasan yang diterima anak 1. Kekerasan fisik (dipukul dengan tangan, benda, tidur di luar rumah,

tidak diberi makan) 2. Kekerasan psikis (diperlakukan berbeda dari kedua saudaranya secara

ekstrim) 3. Tindak pengabaian

Dampak kekerasan yang dialami oleh anak Dampak langsung : a. Dampak fisik (rasa sakit yang diderita) b. Dampak psikis (kecemasan, kegugupan, sulit mempercayai orang lain)

Interaksi sosial 1. Kontak sosial

a. Adanya keinginan yang besar untuk mendapatkan perhatian dari orang di sekitarnya sampai pada tahap melakukan tindakan yang tidak diterima secara sosial.

b. Mampu beradaptasi dengan mudah di lingkungan baru, tidak canggung saat berhadapan dengan orang yang baru ia kenal

c. Bersedia memberi feedback atau timbal balik dan mampu menjalin kontak fisik intim dalam berhubungan dengan teman sebayanya, serta bersedia berbagi minat dengan teman-teman yang dekat dengannya

d. Menghindari (sampai pada tahap membolos) dan menolak berbicara dengan orang dewasa yang bermasalah dengannya (termasuk guru kelasnya sendiri)

2. Komunikasi a. Menolak mengungkapkan keinginan, pikiran,

perasaan pada orang dewasa yang tidak dipercaya walaupun terhadap guru kelasnya sendiri

b. Jalinan komunikasi yang tidak lancar dengan teman kelas karena adanya penolakan sosial akibat dianggap berbicara secara berlebihan oleh teman-temannya

c. Menghindari kontak mata dengan orang dewasa

Faktor-faktor yang turut mempengaruhi interaksi sosial1. Faktor yang mendukung :

a. Faktor simpati (perasaan yang timbul terhadap teman yang bersedih)

b. Faktor lingkungan (subjek mendapat dukungan emosional dari mahasiswi-mahasiswi yang tinggal di rumahnya)

2. Faktor yang menghambat : a. Faktor sosial

(perilaku, penampilan orang lain yang terlihat menakutkan baginya)

165

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap interaksi sosial

anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga dapat disimpulkan

bahwa:

1. Interaksi sosial anak cenderung terhambat saat berhadapan dengan orang

dewasa yang tidak mereka percaya, walaupun anak sudah mengenal orang

tersebut. Dari segi kontak sosialnya, subjek menunjukkan perilaku

menolak atau menghindari secara ekstrim dan cenderung menjaga jarak

saat berhadapan dengan orang dewasa, khususnya dalam hal kontak fisik

bahkan disaat mereka menghadapi kesulitan sekalipun karena kecemasan

yang berlebihan. Ketiga subjek juga menunjukkan bahwa mereka tidak

mampu mengungkapkan pikiran, perasaan, ataupun permasalahan yang

mereka hadapi pada beberapa orang dewasa, seperti guru kelas dan

pengasuh karena adanya perasaan takut dalam diri mereka.

2. Interaksi sosial anak dengan teman sebaya tidak menemui hambatan yang

berarti kecuali pada hal tertentu seperti jika anak berada di situasi atau

tempat yang baru karena anak menyimpan kegugupan dan bahkan rasa

takut (sama seperti anak-anak pada umumnya).

3. Secara khusus, ketiga subjek menunjukkan kekhasan dalam kontak sosial

dan komunikasinya. Hal tersebut dipengaruhi oleh latar belakang mereka

166

masing-masing, yaitu, latar belakang hubungan anak dengan orangtua,

kekerasan yang diterima anak dan keseharian yang dijalani oleh anak.

4. Sebagai tambahan, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa masing-

masing subjek dalam berinteraksi dengan orang lain dipengaruhi oleh

faktor internal berupa proses kognitif dan faktor simpati, serta faktor

eksternal berupa faktor imitasi, faktor lingkungan, dan faktor sosial

(perilaku dan karakter atau penampilan orang lain).

B. Keterbatasan Penelitian

Secara keseluruhan, hal yang menjadi hambatan peneliti dalam

penelitian ini adalah keterbatasan dalam hal pengumpulan data, dimana

peneliti tidak diijinkan untuk menggunakan alat perekam (recorder) di dalam

lingkungan asrama (untuk subjek 1 dan 2) sehingga peneliti hanya

mengandalkan catatan tertulis dalam wawancara dan observasi. Hal tersebut

dapat mengakibatkan kurangnya informasi yang tercatat selama wawancara

berlangsung (misalnya hilangnya kata-kata karena terbaginya konsentrasi

peneliti) serta menghambat pembentukan rapport selama proses wawancara.

C. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat

dikemukakan beberapa saran sebagai berikut :

1. Bagi lembaga terkait yang menaungi anak-anak korban kekerasan dan para

pengasuh, pendamping, atau orang dewasa lain yang turut serta dalam

167

menangani kasus kekerasan terhadap anak, hasil penelitian ini dapat

dijadikan wacana dalam menyikapi perilaku sosial anak dalam berinteraksi

dengan orang lain, baik teman sebayanya maupun dengan orang dewasa di

sekitarnya, sehingga anak dapat terbantu dalam memenuhi tugas

perkembangannya/ harapan sosial seperti anak-anak pada umumnya.

Selain itu juga disarankan untuk terus memberikan dukungan berupa

perhatian yang cukup, motivasi, serta fasilitas yang diperlukan anak karena

anak-anak yang menjadi korban kekerasan memiliki kebutuhan yang

tinggi akan afeksi, dan dengan dukungan motivasi serta fasilitas yang

cukup, anak mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya,

terutama hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan interaksi sosial

anak.

2. Saran tambahan dikhususkan pada orang tua serta masyarakat pada

umumnya untuk menghindari dan mencegah perlakuan kekerasan terhadap

anak. Selain itu, dukungan positif baik secara moril maupun materiil

sangat diperlukan anak-anak korban kekerasan agar anak korban

kekerasan tidak merasa diasingkan dan dihindari oleh lingkungan sekitar.

Perasaan diasingkan dapat menyebabkan tumbuhnya rasa tidak percaya

anak terhadap orang dewasa, sehingga mengakibatkan terhambatnya

interaksi sosial anak dengan orang dewasa.

3. Peneliti menyarankan akan lebih baik jika peneliti selanjutnya

menggunakan metode lain dalam proses pengumpulan data, misalnya tes

kepribadian yang hasilnya dapat digunakan sebagai pelengkap data

168

konteks. Selain itu, disarankan juga untuk bisa melibatkan anak-anak

korban kekerasan yang lebih bervariasi, baik karakteristik subjek, latar

belakang kekerasannya maupun jumlah subjeknya.

4. Peneliti berpendapat bahwa penelitian ini dapat dilanjutkan, misalnya

tentang apakah penerimaan diri terhadap tindak kekerasan dari keluarga

dapat mengurangi dampak negatif terhadap interaksi sosial anak dengan

orang dewasa. Selain itu, perbedaan interaksi sosial antara korban

kekerasan yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan juga cukup

menarik untuk diteliti lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Anantasari, M. L. (2006). Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga Ditinjau Dari Perspektif Psikologi. Makalah (tidak diterbitkan) disampaikan dalam talk show “Child Abuse-Kekerasan Pada Anak Yang Terselubung”. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Berk, Laura E. (2006). Child Development (seventh edition). Boston : Pearson

Eduation, Inc. Chaplin, J. P. (2002). Kamus Lengkap Psikologi (terjemahan oleh Dr. Kartini

Kartono). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Danim, S. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: CV. Pustaka Setia. Ekowarni. E. (2007). Perlindungan Terhadap Anak-Anak yang Berkonflik dengan

Hukum. Makalah (tidak diterbitkan) disampaikan dalam acara peresmian ruang penyidik khusus anak, kerjasama POLTABES, Yayasan Sayap Ibu (YSI), dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA-DIY), pada tanggal 19 Mei 2007.

Gerungan, W. A. (1996). Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Eresco. Gerungan, W. A. (2004). Psikologi Sosial (edisi ketiga). Bandung: PT. Refika

Aditama. Gunarsa, Singgih D. (1997). Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Yakarta:

Gunung Mulia. Herlina, A, et. al. (2003). Perlindungan Anak Berdasarkan UU No. 23 Th. 2002

tentang Perlindungan Anak. Jakarta (tidak diterbitkan). Hetherington, E. M. & Parke, R. D. (2003). Child Psychology : A Contemporary

Viewpoint. Updated Fifth Edition. New York : Mc. Graw Hill. Huraerah, Abu. (2006). Kekerasan Terhadap Anak: Fenomena Masalah Sosial

Kritis di Indonesia. Bandung: Penerbit Nuansa. Hurlock. (1980). Psikologi Perkembangan (terjemahan) edisi kelima. Jakarta:

Erlangga. Irwanto. (2004), Oktober. Fenomena Anak yang Mengalami Penderaan Fisik dan

Emosional. Psiko-edukasi: Jurnal Pendidikan, Psikologi, dan Konseling, Universitas Atmajaya Jakarta, vol. 2, No. 2.

Jalu. (2006). Hentikan Kekerasan Terhadap Anak. http://www.pikiran–rakyat.co.id/cetak/2006/012006/15/hikmah/utama01.htm edisi Minggu, 15 Januari 2006

Kartono, Kartini. (1986). Psikologi Anak. Bandung: Alumni Komisi Nasional Perlindungan Anak. (2002). Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta (tidak diterbitkan).

Mar’at. (1982). Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia

Indonesia. Moleong. Lexy J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi).

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2006). A Child’s World : Infancy

Through Adolescence. New York : Mc. Graw Hill. Partowisastro, K. (1983). Dinamika Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Pasaribu, I. L. (1984). Sosiologi Pembangunan. Bandung: Tarsito. Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi.

Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku

Manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Rini, J. F. (2001). Penyiksaan dan Pengabaian Terhadap Anak. http://www.e-

psikologi.com. Jakarta, 8 maret 2001. Tanggal akses Rochaeti, Nur. (2005). Pemahaman Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

dalam Kerangka Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 23 Th. 2004. Makalah (tidak diterbitkan). Ungaran: Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Jawa Tengah.

Rusmiyati, C. dan Ikawati. (2003), April-Juni. Kekerasan Terhadap Anak dalam

Keluarga dan Upaya Penanganannya. Media Informasi Penelitian, No. 174, Th. Ke 27.

Santrock, J. W. (2002). Life-span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi Kelima, Jilid I (terjemahan). Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. (2002). Life-span Development: Perkembangan Masa Hidup,

Edisi Kelima, Jilid II (terjemahan). Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. (2007). Children. New York : Mc. Graw Hill. Sugiarto, Prambahan, dan Pratitis. N. T. (2004). Pengaruh Social Story Terhadap

Kemampuan Berinteraksi Sosial Pada Anak Autis. Anima, Indonesian Psychological Journal, Vol. 19, No. 3, 250-270.

Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Suharto, E. (1997). Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial.

Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial.

Sukamto, M. E. (2000). Perlakuan Salah Terhadap Anak (Child Abuse). Anima,

Indonesian Psychological Journal, Vol. 15, No. 3, 269-279. Suyanto, Bagong. (2005). Faktor Budaya di Balik Kasus “Child Abuse”.

http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg00019.html tanggal akses 25 Juni 2008.

Walgito, Bimo. (2003). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar) edisi revisi.

Yogyakarta: Andi Offset. Wirawan, S. (1984). Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: CV Rajawali.