Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DESKRIPSI INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK
YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi.)
Program Studi Psikologi
Oleh :
Agustin Dwi Widowati
039114018
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
i
“Anak Belajar dari Kehidupannya”
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan perlakuan baik, ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar percaya
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyukai diri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan…
Dorothy Law Nolte
Sedikit rasa kemanusiaan sungguh jauh lebih berharga daripada
seluruh peraturan yang ada di dunia ini.
(Jean Piaget)
Sebuah karya kecil ini kupersembahkan untuk :
Kedua orang tuaku sebagai tanda bakti dan cintaku
Kakak dan adikku, teman-teman yang selalu mendukungku
Serta,para pembaca karya ini
iv
ABSTRAK
Agustin Dwi W. (2008). Deskripsi Interaksi Sosial Anak Yang Menjadi Korban Kekerasan Dalam Keluarga. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika interaksi sosial anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarganya. Perlakuan kekerasan yang diterima anak dapat menimbulkan penderitaan atau kesengsaraan, baik secara fisik, psikis, maupun seksual yang dapat mengganggu proses perkembangan anak, yang dalam penelitian ini difokuskan pada masalah interaksi sosial anak dengan lingkungannya. Interaksi sosial terdiri dari kontak sosial yang berarti predisposisi sikap yang menunjukkan kesediaan atau keinginan yang kuat untuk berhubungan dengan orang lain, dan ada atau tidaknya komunikasi yang merupakan proses transmisi tanda atau pesan untuk dapat mengerti pandangan atau sikap dan pikiran orang lain yang berinteraksi, baik secara verbal maupun non-verbal.
Penelitian ini merupakan penelitian kasus (case study) dengan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian berjumlah tiga anak yang menjadi korban tindak kekerasan oleh keluarganya dan termasuk dalam rentang usia akhir masa kanak-kanak hingga memasuki masa pubertas. Data diperoleh dengan wawancara terhadap subjek dan significant other-nya, serta observasi terhadap perilaku subjek. Data dianalisis menurut isinya melalui pengorganisasian data secara sistematis, melakukan pengkodean dan interpretasi sehingga data yang diperoleh bisa dipahami secara lebih mendalam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi sosial anak cenderung terhambat saat berhadapan dengan orang dewasa yang tidak mereka percaya, walaupun anak sudah mengenal orang tersebut. Ketiga subjek menunjukkan bahwa mereka tidak mampu mengungkapkan pikiran, perasaan, ataupun permasalahan yang mereka hadapi pada guru kelas dan pengasuh karena adanya perasaan takut dalam diri mereka. Hal tersebut menunjukkan adanya hambatan dalam hal komunikasi. Permasalahan subjek dalam hal kontak sosial salah satunya muncul dalam bentuk keengganan subjek untuk melakukan kontak fisik dengan orang dewasa. Di sisi lain, interaksi sosial anak dengan teman sebayanya tidak menemui hambatan yang berarti, baik dalam hal kontak sosial maupun komunikasinya. Jika berada di situasi atau tempat yang baru, subjek cenderung mengalami kesulitan beradaptasi dan menarik diri dari lingkungan barunya karena menyimpan kegugupan dan bahkan rasa takut.
Kata kunci : interaksi sosial, kontak sosial, komunikasi, kekerasan terhadap anak
ABSTRACT
v
Widowati, Agustin D. (2008). Social-Interaction Description Of Child Abuse’ Victim In The Family. Yogyakarta : Faculty of Psychology, Psychology Program, Department of Psychology, Sanata Dharma University.
This study aimed to represent the description of social interaction of children who experienced abuse in their family. It was possible that the abuse caused torment to them. It was not only physical and psychological, but also sexual which was able to obstruct their development process. That was why the writer focused this study on the problem of their social interaction with the surroundings. Social interaction consisted of social contact which meant predisposition of behavior that showed the children’ willingness in having contact with others, and the existence or non-existence of communication both verbal and non-verbal as a sign or massage of transmission process that helped to understand the others’ attitude and thought during the interaction.
This was a case study which used qualitative approach. The subjects were three children at the age between child phase and puberty who experienced abuse in their family. The data was obtained through interview with the subjects and their significant other, and an observation of their behavior. It was then analyzed by arranging data systematically, coding, and interpretation in order to get deeper understanding.
The final result showed that it occurred obstruction in social interaction of the subject when they were facing adults whom they did not trust, even they had known them. The three subjects showed that they did not able to express their thought, feeling, or even to tell the problem they were facing their teacher or nursemaid. It happened because of their anxious feeling. This showed the obstruction in communication. One of the social contact problems is the reluctance of subject in doing physical contact with adult. In contrast, it did not occurred great obstruction in the social interaction of three subjects with the peer, except when they were in a new place or new situation. They became have difficulty in adaptation and avoid themselves from the new situation. It happened also because of their anxious feeling.
Key words : social interaction, social contact, communication, child abuse.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun untuk
memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) di Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan karya tulis ini, penulis telah
banyak mendapat bantuan berupa bimbingan, dorongan, serta pengarahan dari
berbagai pihak yang sangat berarti bagi penulis. Untuk itu, dengan segala
kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Allah swt. yang selalu melimpahkan berkat dan anugerah-Nya, serta yang
setiap saat selalu memberikan pengharapan dan kekuatan sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi yang
telah membimbing dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melaksanakan penulisan ini.
3. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi
yang telah membantu dan membimbing penulis secara akademik baik di
dalam maupun di luar kelas.
4. Ibu Agnes Indar Etikawati, S. Psi., M. Si., Psi. selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan,
masukan, kritik, saran dan dukungan moril yang telah membuat penulis siap
secara mental selama mengerjakan skripsi ini.
vii
5. Bapak T. Priyo Widiyanto, M. Si. Selaku dosen pembimbing akademik
sekaligus sebagai Kepala P2TKP, tempat penulis bekerja. Terima kasih atas
segala bantuan dan bimbingan serta dukungan moril yang senantiasa menjadi
kekuatan bagi penulis selama penulis kuliah dan bekerja di P2TKP.
6. Bapak/ Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik penulis selama
studi di Fakultas Psikologi ini, terutama pada bu Ari dan bu Tanti yang telah
menjadi dosen penguji hasil karya peneliti. Terima kasih atas kritik dan saran
serta bimbingan dan arahannya yang dapat membantu peneliti meningkatkan
kualitas hasil penelitian ini.
7. Mbak Nanik, Mas Gandung, Mas Doni dan Pak Gie’ yang dengan sabar
membantu dan memberikan kemudahan bagi penulis selama proses studi
penulis di Fakultas Psikologi.
8. Mas Muji selaku petugas Laboratorium Fakultas Psikologi. Terima kasih
untuk segala bantuan yang sudah diberikan pada penulis selama proses
praktikum yang harus ditempuh penulis. Maaf mas Muj’ kalau saya banyak
merepotkan selama jadi asisten praktikum.
9. Bapak Pranowo, S.H dan mbak Nita selaku staff dari Lembaga Perlindungan
Anak Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (LPA-DIY) dan semua pihak
yang terkait di dalamnya yang telah banyak memberikan bantuan dan arahan
pada penulis selama proses penelitian skripsi ini berlangsung.
10. Bapak dan ibuku tersayang atas segala doa, kesabaran dan dukungan yang
sangat berarti bagi penulis. Terima kasih juga atas rasa percaya yang diberikan
pada penulis untuk segala keputusan yang penulis ambil sehingga penulis
viii
dapat belajar untuk dapat lebih mandiri dan lebih dewasa dalam menyikapi
sesuatu. Skirpsi ini kupersembahkan untuk kalian berdua. I love u.
11. Kakakku, Itha..makasie banyak buat semua dukungan yang kamu kasie, baik
moril maupun materiil..he..terimakasie juga buat Ovien, adekku satu-satunya,
untuk keceriaan yang kamu kasih ke aku selama aku ngerjain skripsi di rumah.
Kamu salah seorang yang bisa membangkitkan semangatku karena bersedia
jadi ‘tempat pelampiasan’.
12. Anggota keluarga besarku, terutama eyang putri…terima kasih untuk doa,
dukungan, perhatian yang selalu diberikan padaku.
13. Teman-teman seperjuanganku angkatan 2003, baik yang sudah lulus maupun
yang belum lulus. Terima kasih atas pertemanan yang indah yang kita bangun
selama ini. Aku juga akan berkata, “Sudah saatnya kita pindah dunia dan
memperjuangkan masa depan kita di dunia yang baru, SYEMANGAT untuk
kita semua!!!”
14. Teman-teman terbaikku di Psikologi: There, Poke, Noniek, Di2, Oied, Ana.
Terima kasih atas jalinan indah yang telah kita rangkai bersama selama kita
ada di Psikologi. Semoga mata rantai itu tidak akan pernah putus walaupun
kita sudah punya jalan masing-masing.
15. Teman-teman terbaikku di kos Pelangi: Us_teen, Aiu, Budheoja, Rista, Luchia
Santi. Terima kasih atas pertemanan yang indah beserta keanehan-keanehan
yang udah kalian tunjukkin ke aku. Berbagai masalah yang kita hadapi
bersama sedikit banyak telah membantuku dalam proses pendewasaan diri.
ix
16. Teman-teman relawan gempa dari Fakultas Psikologi USD: Ana, Raniy, Nice,
Andrian Liem, Astin, Jean, Baka, Om Ben, Melati, Miya dan semua nama
relawan yang belum aku sebutin, termasuk juga bu Agnes dan Pak Adi sebagai
koordinatornya. Terima kasih atas keakraban yang terjalin di antara kita dan
semua proses pembelajaran yang sudah kita lalui bersama. Semua itu menjadi
pengalaman berharga buatku.
17. Teman-teman RASS baik angkatan lama seperti Haksi, maupun baru seperti
Devi, termasuk juga Pak Heri dan Bu Titik selaku pembimbing. Terima kasih
karena kalian telah bersedia bertukar pikiran denganku dan menambah
wawasanku.
18. Karyawan P2TKP: Pak Toni dan Bu Tiwi. Terima kasih untuk semua hal yang
telah kalian ajarkan pada saya. Terima kasih juga pada mbak Tia yang
bersedia mendengarkan curahan hati saya sebagai asisten dan memberikan
masukan. Hal-hal itu dapat menjadi bekal yang berguna pada saat saya
menginjakkan kaki di tempat yang lebih luas lagi.
19. Asisten P2TKP angkt’06: Mas Adi, Mas Dezta, Mas Kobo, Mbak Lisna,
Mbak Katrine, dll. Terima kasih atas berbagai hal tentang pekerjaan yang telah
kalian tunjukkan padaku dan juga waktu yang telah kalian luangkan untuk
bertukar pikiran denganku.
20. Asisten P2TKP angkt’07: AB, Mas Obeth, Mbak Elvine, Mbak Ina, Tita,
Ipoet. Terima kasih atas proses pembelajaran yang udah kita lalui bersama,
walaupun kebersamaan kita relatif singkat (kecuali AB&maz Dezta yang
masih bertahan sampai muncul asisten baru).
x
21. Asisten P2TKP angkt’08: Ronce-Maronce, Budi, Astin, Weni, Lia, Tinul,
Badai, Vania, Fani, Sri, Mita, Oied, Gothe, Atiek, Wulan, Betty. Terima kasih
untuk kebersamaan yang indah dan menyenangkan selama kita bekerja
bersama.
22. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih pada teman-teman kecil di Trauma
Centre (TC) dan juga para pembimbing, mbak Tanti, mbak Rini, mbak Gesti
serta Bu Ana selaku kepala panti. Kalian telah mengajariku banyak hal yang
berharga di luar kemampuan akademis dan kalian membuatku belajar
memahami arti kesabaran dan hikmah dari setiap masalah dan penderitaan.
Hal itu memberiku dorongan yang besar dalam hal pengembangan diri.
23. Semua pihak yang belum disebutkan satu per satu di sini. Terima kasih atas
dukungan dan perhatian kalian selama ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca yang
dapat menjadi masukan bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan penulis
menjadi lebih baik. Penulis berharap agar karya tulis ini dapat menjadi inspirasi
bagi pembaca dan bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu
pengetahuan
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………..i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………….…………...ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………….……………..iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………….…………...iv
ABSTRAK ………………………………………….............................................……v
ABSTRACT …………………………………………………………...……………...vi
KATA PENGANTAR …………………………………………………..……………vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………....……….…...xii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.........xiii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………..…………..xiv
DAFTAR TABEL ………………………………………………………..……….....xvii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................xviii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………..…………..xix
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………………...........1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………….....………..1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………….....………...7
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………….....…………7
D. Manfaat Penelitian ………………………………………….....……………..8
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ………………………………………….............……….9
A. Perkembangan Sosial Pada Anak……………………………………...……9
1. Definisi dan Karakteristik Akhir Masa Kanak-kanak..……………….....9
2. Tugas Perkembangan.......................................... …………...………….10
3. Aspek Emosi dan Sosial pada Anak.........................................................12
xiv
B. Interaksi Sosial.............. ………………………………………….......……..14
1. Definisi Interaksi Sosial........ ……………………………………………14
2. Aspek Interaksi Sosial........………………………………………………16
3. Faktor-faktor yang Turut Membentuk Interaksi Sosial…………………..20
C. Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) …………………………………...25
1. Pengertian Child Abuse...............................................................................25
2. Jenis-jenis Child Abuse...............................................................................27
3. Ciri-ciri Child Abuse...................................................................................32
4. Dampak Penyiksaan Terhadap Aspek Kehidupan Anak............................36
D. Interaksi Sosial pada Korban Child Abuse…………………………………..38
E. Pertanyaan Penelitian.......................................................................................44
BAB III. METODE PENELITIAN …………………………………………..……….....45
A. Jenis Penelitian ………………………………………………..……….......45
B. Subjek Penelitian......................................................………………….........46
C. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional...………………..…............47
D. Metode Pengumpulan Data………………………………………..…….....49
E. Analisis Data …………………………………............................................54
F. Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data……………………..…….....56
1. Kredibilitas ……………………………………………………..……......56
2. Dependability ……………………………………………………....…....59
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………….………..…......…60
A. Persiapan Penelitian ………………………………………………...............60
1. Alat Pengumpulan Data ………………………………………..…......…60
2. Subjek…… ……………………………………………………..….....…60
B. Pelaksanaan Penelitian ……………………………………….……......……63
xv
C. Hasil Penelitian ..…………………………………………….….…......…….65
1. Subjek 1 ………………………………………………………........……...65
a. Identitas……………………………………………………........……..65
b. Latar Belakang……………………………………………........……...66
c. Kontak Sosial……………………………………………….....…...….72
d. Komunikasi…………………………………………………........……81
e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial…......……….....……..….85
2. Subjek 2 …………………………………………………….........…..…...88
a. Identitas……………………………………………………...........…..88
b. Latar Belakang……………………………………………….......…...89
c. Kontak Sosial……………………………………………….......…….93
d. Komunikasi………………………………………………….......…...101
e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial………………........…....105
3. Subjek 3 ………………………………………………………......….….107
a. Identitas…………………………………………………......…….…107
b. Latar Belakang……………………………………………......….….108
c. Kontak Sosial……………………………………………….......…...116
d. Komunikasi………………………………………………......….…..128
e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial……………......….…...133
D. Pembahasan ……………………………………………………......……..141
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………..…………….....….165
A. Kesimpulan …………………………………………..………….....…….165
B. Keterbatasan Penelitian..............................................................................166
C. Saran…………………………………………………..……….....……....166
DAFTAR PUSTAKA
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Panduan Wawancara..................................................................................51
Tabel 3.2. Kode Organisasi Data................................................................................55
Tabel 4.1. Proses Pengambilan Data …………………………………………….....63
Tabel 4.2. Ringkasan Analisis Hasil Penelitian Subjek 1, Subjek 2, dan
Subjek 3............................…………………..................................………135
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Skema Terhambatnya Interaksi Sosial Anak Korban Child Abuse................43
Gambar 4.1. Dinamika Interaksi Sosial Subjek 1.............................................................152
Gambar 4.2. Dinamika Interaksi Sosial Subjek 2.............................................................158
Gambar 4.3. Dinamika Interaksi Sosial Subjek 3.............................................................164
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Wawancara dan Observasi Subjek 1 …………………………………168
Lampiran 2. Hasil Wawancara Significant Others Subjek 1……………………………...184
Lampiran 3. Hasil Koding Wawancara dan Observasi Subjek 1………………………….192
Lampiran 4. Hasil Wawancara dan Observasi Subjek 2 ………………………………….209
Lampiran 5. Hasil Wawancara Significant Others Subjek 2……………………………....223
Lampiran 6. Hasil Koding Wawancara dan Observasi Subjek 2…………………………..232
Lampiran 7. Hasil Wawancara dan Observasi Subjek 3 …………………………………..252
Lampiran 8. Hasil Wawancara Significant Others Subjek 3……………………………....272
Lampiran 9. Hasil Koding Wawancara dan Observasi Subjek 3…………………………..287
xix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini semakin banyak kasus kekerasan terhadap anak yang telah
terungkap walaupun di balik itu masih banyak pula yang tidak terlihat sama
sekali. Hal tersebut merupakan fenomena masalah sosial kritis di Indonesia
yang beritanya telah banyak beredar di berbagai media. Hal tersebut
menggambarkan betapa tragisnya kondisi anak-anak dengan berbagai macam
kasus tindak kekerasan, penganiyayaan dan pengabaian. Dalam hal ini telah
banyak pula pakar hukum, psikologi dan pekerja sosial yang angkat bicara
seperti Drs. Soetarso, MSW (dalam Huraerah, 2006), seorang Pakar Profesi
Pekerjaan Sosial:
Permasalahan anak sangat dramatis dan memilukan, karena dialami oleh manusia yang kemampuan fisik, mental, dan sosialnya masih terbatas untuk merespon berbagai risiko dan bahaya yang dihadapinya. Lebih tragis lagi jika dicermati bahwa dalam berbagai kasus, permasalahan tersebut justru dilakukan oleh pihak-pihak yang seyogianya berperan mengasuh dan melindungi anak, terutama orang tua/ keluarga.
Keluarga merupakan tempat berlindung paling aman bagi anak, tempat
anak dapat bebas bermain, belajar, bercanda dalam keceriaan, dan kasih
sayang. Namun di sisi lain, keluarga dapat berubah menjadi tempat yang
paling berbahaya, tersembunyi, dan aman bagi tindak kekerasan terhadap
anak. Tindak kekerasan terhadap anak merupakan salah satu bentuk kekerasan
dalam keluarga dan dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang tidak
2
mencerminkan kasih sayang terhadap anak. Tindakan kekerasan ini dapat
menimbulkan penderitaan atau kesengsaraan, baik secara fisik, psikis, maupun
seksual yang dapat mengganggu proses perkembangan anak. Kekerasan
terhadap anak biasanya berupa memarahi secara berlebihan, memaki,
membentak dan menghina, bahkan sampai melakukan hubungan seksual dan
membunuh (Ikawati dan Rusmiyati, 2003).
Dari waktu ke waktu tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga
semakin bertambah jumlahnya. Menurut sebuah studi yang dilakukan
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YCAI), sebatas yang terekspos di
media massa, ditemukan kecenderungan terjadinya peningkatan secara
kuantitas tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Pada tahun 1994
tercatat 172 kasus, tahun 1995 meningkat menjadi 421 kasus, dan pada tahun
1996 melonjak menjadi 476 kasus (Suyanto, dkk; dalam Ikawati dan
Rusmiyati, 2003). Hasil identifikasi yang dilakukan Lembaga Perlindungan
Anak (LPA) Jawa Timur pada tahun 2000, menemukan dalam tiga tahun
terakhir paling tidak telah terjadi 300 lebih kasus child abuse. Yang
mengherankan, justru sebagian besar pelakunya adalah orangtua korban. Jadi,
keluarga dapat menjadi tempat paling berbahaya bagi kelangsungan hidup,
perkembangan, dan perlindungan anak (Suyanto, 2005).
Pola pengasuhan otoriter yang mendisiplinkan anak dengan tindakan
kekerasan masih sering ditemukan dalam tatanan masyarakat modern. Mereka
adalah para orang tua yang merasa berhak untuk mendisiplinkan anak dengan
cara yang menurut mereka paling efektif. Dalam batas-batas tertentu dalam
3
tatanan masyarakat cara ini memang masih bisa diterima selama anak yang
dinilai nakal membuat orang tua tidak memiliki pilihan lain untuk
mendisiplinkannya selain dengan tindakan kekerasan, tentu saja tindakan
kekerasan pada tahap ini menjadi alternatif terakhir bila seorang anak sulit
didisiplinkan.
Namun, dalam banyak kasus tindak kekerasan sering dijadikan alasan
sebagai penyelesaian utama untuk mendisiplinkan seorang anak, terlebih bila
para orang tua menganut pola asuh otoriter yang keras. Hal ini mengantarkan
penelitian pada fakta tentang bagaimana seharusnya seorang anak
diperlakukan. Berdasarkan suatu alasan tertentu seorang ibu, ayah atau
pengasuh lain memukul anak secara terus-menerus sebagai pelampiasan beban
mental yang dialaminya. Keberadaan seorang anak yang belum memiliki
cukup banyak daya untuk melawan, dipilih dan dijadikan sasaran tindakan
kekerasan, seperti yang telah diungkapkan oleh Valerie Bivens (dalam
Huraerah, 2006) yang merupakan seorang Pekerja Sosial sekaligus anggota
Sosial Worker for Child Protective Service, California:
Bagaimanapun kita tidak boleh melupakan puluhan ribu anak lain yang tidak mampu bertahan mengalami perlakuan buruk, dan jutaan anak lainnya yang sampai saat ini masih menderita. Satu-satunya obat bagi wabah child abuse ini adalah mencegahnya agar tidak terjadi.
Banyak kasus kekerasan yang terjadi saat ini termasuk juga kekerasan
pada anak seperti yang sudah disebutkan di atas. Kekerasan pada anak bisa
bermacam-macam jenisnya antara lain, dipukul, ditampar, dihina, diancam,
4
diacuhkan, tidak dibiayai, dilempar dengan benda, dibatasi pergaulannya,
tidak boleh berhubungan dengan keluarga lain, dan diperkosa.
Efek psikologis tindak kekerasan terhadap anak dapat mengakibatkan
terjadinya trauma psikologis seperti ketegangan, kecemasan, timbulnya rasa
takut dan malu, tidak bersemangat, tidak dapat konsentrasi sehingga ia tidak
bisa menyelesaikan pekerjaannya. Anak juga dapat merasa tertekan, stres
bahkan pada tingkat depresi, anak bisa mencederai diri bahkan bunuh diri.
Selain itu, anak akan merasa tidak aman sehingga lari dari rumah atau
berperilaku nakal (delinquent) sebagai bentuk penyaluran rasa aman.
Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah anak tidak mau keluar rumah
karena mengalami kesulitan dalam berhubungan atau berinteraksi dengan
orang lain khususnya teman sebaya. Dampak psikologis lainnya adalah
adanya perubahan perilaku pada anak seperti pasif, anak menjadi pendiam,
penurut, apatis atau sebaliknya anak menjadi agresif. Gangguan tidur, mimpi
buruk, takut pada benda tertentu atau tempat tertentu juga sering menyertai
anak-anak yang menjadi korban kekerasan.
Keadaan-keadaan tersebut di atas apabila dibiarkan akan menghambat
tumbuh kembang anak secara wajar. Sementara itu, menurut teori
perkembangan, pembentukan kepribadian seseorang dimulai sejak ia masih
anak-anak dan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah perlakuan
yang diterimanya pada masa anak-anak. Sehubungan dengan hal itu, anak
selayaknya mendapatkan perlakuan yang baik dengan memenuhi berbagai
kebutuhannya, baik yang bersifat fisik, psikis, maupun sosial. Tidak
5
terpenuhinya kebutuhan anak dapat menyebabkan terganggunya
perkembangan kepribadian mereka. Jika perkembangan pembentukan
kepribadian mereka terhambat, maka aspek perkembangan lainnya dalam diri
anak tersebut juga ikut terhambat misalnya aspek perkembangan sosialnya.
Hal tersebut disebabkan kepribadian yang terbentuk mempengaruhi
bagaimana seseorang berperilaku pada saat ia berinteraksi dengan
lingkungannya. Namun, pada kenyataannya masih banyak warga masyarakat
belum menyadari tentang hal tersebut dan melakukan tindakan menyakiti
anak, sehingga mengakibatkan anak tidak terpenuhi kebutuhannya, bahkan
anak juga mendapatkan perlakuan buruk dari orangtua atau orang dewasa
lainnya (Ikawati dan Rusmiyati, 2003).
Kehidupan sehari-hari manusia tidak akan pernah lepas dari hubungan
antar individu karena kodrat manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup
tanpa orang lain. Interaksi sosial antara individu satu dengan individu lain
dapat ditimbulkan oleh adanya pembandingan diri dengan orang lain
(Sugiarto, Prambahan, dan Pratiti, 2004). Terjalinnya hubungan sosial sangat
penting bagi tumbuh kembang anak karena dari sanalah aspek kognitif, afektif
dan psikomotorik dalam diri mereka berkembang. Seperti yang juga
diungkapkan oleh Singgih (1980) bahwa anak usia 6-11 tahun merupakan usia
kritis baik menyangkut masalah psikologis, fisik maupun sosial. Anak yang
tidak mengalami dan memperoleh kasih sayang dan kepuasan dari kebutuhan
akan mengalami kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan terhadap
6
orang lain, dan oleh karena itu akan terganggu hubungan sosialnya di
kemudian hari.
Dalam bukunya, Santrock (2002) menyebutkan bahwa anak-anak harus
belajar berhubungan secara teratur dengan orang-orang dewasa di luar
keluarga – orang-orang dewasa yang berinteraksi dengan anak-anak sangat
berbeda dari orang tua yang berinteraksi dengan anak-anak. Selama masa
pertengahan dan akhir anak-anak, interaksi dengan orang-orang dewasa di luar
keluarga melibatkan orientasi pengendalian dan prestasi yang lebih formal.
Jika seorang anak tidak dapat ‘menerima’ tindak kekerasan yang ia
alami maka tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan merasakan ketakutan
yang menyebabkan ia tidak mau bertemu dan berinteraksi dengan orang lain
terutama orang dewasa yang dapat mengingatkannya pada peristiwa kekerasan
tersebut. Selain itu, mungkin juga bahwa ia tidak memiliki keinginan untuk
berteman dengan anak-anak sebayanya karena ia merasa malu dan berbeda
dengan yang lain apalagi jika ia mendapat cacat yang permanen pada
tubuhnya. Hal yang perlu diwaspadai adalah jika ia mengalami trauma akibat
peristiwa itu, akan semakin sulit baginya untuk dapat percaya pada orang lain
dan lingkungannya, apalagi sampai berinteraksi dan berkomunikasi terutama
dengan banyaknya media massa yang terus menerus menyiarkan berita
tentang peristiwa yang ia alami tersebut.
Dalam penelitian ini, ditemukan tiga orang anak sebagai subjek. Mereka
merupakan anak yang mendapatkan perlakuan kekerasan dari pihak
keluarganya. Salah seorang diantaranya sudah memasuki masa pubertas. Di
7
masa kanak-kanak, kemampuan mereka dalam berinteraksi sosial dengan
orang lain sangatlah penting dan dalam masa pubertas, anak diharapkan sudah
memiliki relasi sosial yang baik dengan orang lain.
Melihat besarnya pengaruh negatif yang dapat timbul pada anak korban
kekerasan, maka peneliti tertarik mengangkat tema tersebut untuk melihat
bagaimana interaksi anak yang menjadi korban kekerasan dengan orang lain
dan lingkungannya sebagai salah satu aspek perkembangan yang dapat
terganggu, dengan harapan agar kasus kekerasan pada anak dapat dihindari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah interaksi sosial yang ditunjukkan
oleh anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian kasus ini bertujuan untuk memahami dan memberikan
penjelasan mengenai interaksi sosial yang muncul pada anak korban
kekerasan dalam keluarga dengan sekitarnya (teman sebaya, saudara, orang
tua atau orang dewasa lain di sekitarnya).
8
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dikelompokkan dalam :
1. Manfaat Teoretis
Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan
yang berarti bagi perkembangan ilmu psikologi, yaitu psikologi sosial
dan psikologi perkembangan khususnya mengenai interaksi sosial pada
anak yang mengalami tindak kekerasan dalam keluarga.
2. Manfaat Praktis
Secara khusus, manfaat praktis di bagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Bagi masyarakat umum
Dipandang dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai dampak
yang dialami anak korban kekerasan terutama mengenai interaksi
sosialnya, sehingga bisa menjadi referensi bagi orang-orang yang
mengalami ataupun mengetahui adanya kasus serupa, supaya child
abuse dapat dicegah atau dikurangi frekuensinya.
b. Bagi lembaga terkait (Lembaga Perlindungan Anak Propinsi DIY)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu petugas LPA
dalam menangani suatu kasus kekerasan terhadap anak dan lebih
khusus lagi, pada saat berhadapan dengan korban atau yang disebut
klien, dalam memberi perlakuan terhadap klien berhubungan dengan
interaksi klien dalam lingkup sosialnya.
9
BAB II
DASAR TEORI
A. Perkembangan sosial pada anak
1. Definisi dan karakteristik akhir masa kanak-kanak
Masa akhir anak-anak (late childhood) ialah periode perkembangan
yang merentang dari usia kira-kira 6 hingga 11 tahun, yang kira-kira setara
dengan tahun-tahun sekolah dasar; periode ini kadang-kadang disebut
“tahun-tahun sekolah dasar”. Keterampilan-keterampilan fundamental
seperti membaca, menulis, dan berhitung telah dikuasai. Anak secara
formal berhubungan dengan dunia yang lebih luas dan kebudayaannya
(Santrock, 2002). Hurlock (1980) menyebutkan bahwa akhir masa kanak-
kanak (late childhood) berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba
saatnya individu menjadi matang secara seksual. Pada awal dan akhirnya,
masa kanak-kanak ditandai oleh kondisi yang sangat mempengaruhi
penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial anak.
Pada masa ini, perkembangan kognitif anak sudah semakin
matang, yang ditandai oleh perubahan kemampuan intelektual. Atensi
(perhatian) meningkat secara dramatis. Memori jangka panjang bertambah
seiring dengan pertambahan usia. Informasi yang diterima anak dapat
diorganisasikan secara spontan untuk diingat. Kemampuan berbahasa anak
semakin maju. Penalaran logis dan keterampilan analitis yang dimiliki
membantu anak untuk menganalisis dan memahami konstruksi kata-kata.
10
Anak-anak telah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap
berbagai hal yang ada di lingkungannya. Akhir masa kanak-kanak
merupakan periode pertumbuhan yang lambat dan relatif seragam sampai
mulai terjadi perubahan-perubahan pubertas, kira-kira dua tahun sebelum
anak secara seksual menjadi matang pada saat mana pertumbuhan
berkembang pesat (Santrock, 2002). Berakhirnya masa kanak-kanak dan
mulai masuknya anak pada masa pubertas berbeda pada anak laki-laki dan
anak perempuan. Rata-rata anak perempuan memasuki masa pubertas pada
usia 9-11 tahun sementara anak laki-laki memasuki masa pubertas pada
usia 12-15 tahun. Pada masa ini, perkembangan sosial anak ditunjukkan
salah satunya dengan hubungan antar teman sebaya yang sudah lebih intim
(Papalia, Olds & Feldman, 2004)
Ketegangan emosional merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan fisik. Anak yang hidup dengan tenang
tumbuh lebih cepat daripada anak yang mengalami gangguan emosional,
meskipun gangguan emosional lebih banyak mempengaruhi berat badan
daripada tinggi badan. Sebagai tambahan, pada tahap selanjutnya, yaitu
tahap pubertas akan ditandai dengan adanya krisis (Hurlock, 1980).
2. Tugas perkembangan
Setiap tahap perkembangan yang dialami oleh seorang anak dari
bayi hingga dewasa memiliki tugas perkembangan masing-masing yang
harus dipenuhi. Masyarakat mengharapkan anak menguasai tugas-tugas
11
tersebut pada saat ini. Kegagalan dalam pelaksanaannya akan
mengakibatkan pola perilaku yang tidak matang, sehingga sulit diterima
oleh kelompok teman-temannya dan tidak mampu menyamai teman-teman
sebaya yang sudah menguasai tugas-tugas perkembangan tersebut.
Menurut Havinghurst (dalam Hurlock, 1980) tugas-tugas perkembangan
pada anak-anak di kelompok umur 6-12 tahun yaitu:
a. Belajar kemampuan-kemampuan fisik yang diperlukan agar bisa
melaksanakan permainan atau olahraga yang biasa
b. Membentuk sikap-sikap tertentu terhadap dirinya sebagai pribadi yang
sedang tumbuh dan berkembang
c. Belajar bergaul dengan teman-teman seumurnya
d. Mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar dalam membaca,
menulis, dan menghitung
e. Mengembangkan nurani, moralitas dan skala nilai
f. Memperoleh kebebasan pribadi
g. Membentuk sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan
institusi
Anak-anak diharapkan mampu melewati dan menyelesaikan tugas-
tugas perkembangannya. Dalam penelitian ini, difokuskan pada tugas
perkembangan yang berkaitan dengan interaksi sosial anak. Setelah
memasuki masa pubertas, interaksi sosial masih dipandang sebagai faktor
penting dalam proses pertumbuhannya dan pada masa ini, anak diharapkan
sudah memiliki jalinan relasi sosial yang baik dengan lingkungannya.
12
3. Aspek emosi dan sosial pada anak
Akhir masa kanak-kanak sering disebut sebagai “usia
berkelompok” karena ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas
teman-teman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima
sebagai anggota suatu kelompok, dan merasa tidak puas bila tidak bersama
teman-temannya. Anak ingin bersama teman-temannya dan akan merasa
kesepian serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya (Hurlock,
1980).
Di akhir masa kanak-kanak ini, relasi keluarga dan teman-teman
sebaya memainkan peran yang sangat penting, anak dituntut untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru, yaitu lingkungan
sekolah serta teman-temannya. Anak mulai mengembangkan ketrampilan
interpersonal, misalnya dengan menjalin hubungan persahabatan yang
intim.
Anak ingin bersama dengan kelompoknya, karena hanya dengan
demikian terdapat cukup teman untuk bermain dan berolah raga dan dapat
memberikan kegembiraan. Sejak anak masuk sekolah sampai masa puber,
keinginan untuk bersama dan untuk diterima kelompok menjadi semakin
kuat. Hal ini berlaku baik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan.
Hurlock (1978) dalam bukunya yang berjudul Child Development
mengungkapkan bagaimana emosi mempengaruhi penyesuaian pribadi dan
sosial anak. Dua diantara yang disebutkan adalah bahwa emosi mewarnai
pandangan anak terhadap kehidupan. Bagaimana anak-anak memandang
13
peran mereka dalam kehidupan dan posisi mereka dalam kelompok sosial
dipengaruhi oleh emosi yang ada pada mereka seperti malu, takut, agresif,
ingin tahu, atau bahagia. Selain itu, disebutkan juga bahwa emosi
mempengaruhi interaksi sosial. Semua emosi, baik yang menyenangkan
maupun yang tidak menyenangkan, mendorong interaksi sosial. Melalui
emosi, anak belajar cara mengubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri
dengan tuntutan dan ukuran sosial.
Pada anak usia sekolah, pengalaman emosi menjadi semakin
spesifik dan rumit. Pengalaman emosi menjadi semakin beragam seperti
kecemasan, kemarahan, agresi, kegembiraan, humor dan cinta. Keluarga
dan teman sebaya merupakan agen penting dalam sosialisasi. Interaksi
anak dengan teman sebaya memberikan kesempatan untuk membagikan
pengalaman, bekerja sama, mencapai tujuan. Pada masa ini pula anak
belajar untuk mengendalikan reaksi emosinya dengan cara atau tindakan
yang dapat diterima oleh lingkungan. Moral dan pemahaman dirinya mulai
berkembang. Oleh karena itu, sudah memungkinkan bagi orang tua untuk
mengajarkan anak tentang pengendalian perilaku, disiplin, maupun tentang
tanggung jawab. Orang tua dapat menuntun anak untuk memantau
perilakunya sendiri, menghadapi standar-standar perilaku yang sesuai, dan
menghindari resiko-resiko yang membahayakan (Hurlock, 1978).
Anak-anak harus belajar berhubungan secara teratur dengan orang-
orang dewasa di luar keluarga – orang-orang dewasa yang berinteraksi
dengan anak-anak sangat berbeda dari orang tua yang berinteraksi dengan
14
anak-anak. Dari perspektif kognitif sosial, anak-anak yang tidak dapat
menyesuaikan diri tidak memiliki keterampilan kognitif sosial yang
memadai untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain (Kelly & de
Armas, 1989; Weisberg, Caplan, & Sivo, 1989 dalam Santrock, 2002).
Satu investigasi mencoba menyelidiki kemungkinan bahwa anak-anak
yang tidak dapat menyesuaikan diri tidak memiliki keterampilan kognitif
sosial yang diperlukan bagi interaksi sosial yang positif (Asarnow &
Callan; dalam Santrock, 2002).
Hurlock (1978) membahas mengenai perkembangan sosial pada
masa puber. Dengan dimulainya masa puber timbullah perubahan pada
sikap sosial, kemunduran minat terhadap aktivitas kelompok, dan
kecenderungan untuk menyendiri. Pada masa puber, kemajuan dan
perubahan meningkat, serta sikap dan perilaku sosial semakin meningkat
ke arah antisosial. Pada masa ini pola perkembangan sosial terganggu.
B. Interaksi Sosial
1. Definisi Interaksi sosial
Dalam pengertian secara umum, interaksi merupakan satu relasi
antara dua sistem dan sistem yang terjadi sedemikian rupa sehingga
kejadian yang berlangsung pada satu sistem akan mempengaruhi kejadian
yang terjadi pada sistem lain, dapat pula didefinisikan sebagai satu
pertalian sosial antar individu sedemikian rupa sehingga individu yang
bersangkutan saling mempengaruhi satu sama lain (Chaplin, 2000),
15
sedangkan interaksi sosial menurut Mar’at (1982) adalah suatu proses
perhatian dan respon seseorang terhadap rangsangan atau stimulus dari
orang lain. Bonner (dalam Gerungan, 1996) menyebutkan bahwa interaksi
sosial adalah hubungan antara dua individu/ lebih sehingga individu yang
satu akan mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku yang lain
atau sebaliknya.
Senada dengan itu, Thibout dan Kelley (dalam Wirawan, 1984)
mendefinisikan interaksi sosial sebagai suatu hubungan antara dua orang
atau lebih yang memungkinkan mereka saling mempengaruhi dan saling
tergantung untuk mencapai hasil yang positif.
Walgito (2003) menyebutkan bahwa interaksi sosial ialah
hubungan individu yang satu dengan yang lainnya, dimana individu yang
satu dapat mempengaruhi yang lain atau sebaliknya; jadi disini terdapat
hubungan yang saling timbal balik. Hubungan ini dapat individu dengan
individu, individu dengan kelompok atau hubungan kelompok dengan
kelompok lain.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa interaksi sosial
dapat diartikan sebagai suatu proses hubungan timbal balik sebagai suatu
pertalian sosial antar individu yang melibatkan perhatian dan respon
terhadap rangsangan atau stimulus dimana individu melakukan
penyesuaian dan saling mempengaruhi untuk mencapai keseimbangan
dengan lingkungan sosialnya.
16
2. Aspek Interaksi Sosial
Partowisastro (1983) dalam bukunya menyebutkan bahwa tidak
mungkin timbul interaksi sosial kalau tidak ada dua macam kondisi, yaitu
kontak sosial dan komunikasi. Selain itu, Pasaribu (1984) berpendapat
bahwa interaksi sosial dapat terjadi bila memenuhi dua aspek, yaitu kontak
sosial dan komunikasi. Kedua aspek tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:
a. Kontak sosial
Kata ‘kontak’ berasal dari bahasa Latin, dari kata con atau
cum (bersama) dan tango (menyentuh), maka secara etimologi berarti
“saling bersentuhan”. Dalam lapangan fenomena sosial, kontak berarti
bertemu atau berpapasan dengan, dan ini tidak perlu adanya
persentuhan fisik sebab manusia mampu untuk membentuk kontak
sensoris yang efektif walaupun terdapat jarak cukup antara dua orang/
kelompok itu. Jarak kontak ini dapat diperbesar berkat kemajuan ilmu
teknologi, melalui telepon, radio, televisi, dan sebagainya. Maka
kontak sosial merupakan fase pertama dari interaksi sosial walaupun
sentuhan fisik dalam kontak sosial seperti yang disebutkan sebelumnya
bukan merupakan keharusan. Walaupun demikian sentuhan fisik
merupakan perangsang yang tidak sedikit artinya dalam memupuk
interaksi sosial. Contohnya adalah berjabat tangan, berangkulan,
bercium pipi dan sebagainya.
17
Kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif, tergantung dari
predisposisi sikap seseorang yang menunjukkan kesediaan (asosiatif)
atau penolakan (disasosiatif). Kontak sosial yang positif terjadi bila
disertai dengan respons atau adanya feed back. Kontak sosial negatif
terjadi bila tidak ada interaksi sama sekali.
Kontak sosial dapat juga dibedakan menjadi dua, yaitu
langsung (primer) dan tak langsung (sekunder). Kontak langsung
(primer) terjadi apabila individu yang terlibat bertemu langsung atau
bertatap muka (face to face) sehingga terjadi impresi (kesan) timbal
balik dari kedua belah pihak. Kontak tak langsung (sekunder) berarti
individu yang terlibat bertemu melalui perantara yang berupa orang
lain atau salah satu alat kebudayaan dan media tertentu, misalnya
telepon.
b. Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses transmisi atau pengiriman dan
penerimaan tanda, sinyal atau pesan (Chaplin, 2002). Pada dasarnya
komunikasi merupakan proses penyampaian dan penerimaan lambang-
lambang yang mengandung arti, baik yang berujud informasi-
informasi, pemikiran-pemikiran, pengetahuan ataupun yang lain-lain
dari penyampai atau komunikator kepada penerima atau komunikan.
Dalam komunikasi, yang penting adanya pengertian bersama dari
lambang-lambang tersebut, dan karena itu komunikasi merupakan
proses sosial (Katz; dalam Walgito, 2003). Bila komunikasi itu
18
berlangsung terus menerus akan terjadi interaksi, yaitu proses saling
mempengaruhi antara individu satu dengan yang lain.
Komunikasi sangat penting untuk dapat mengerti arti dari
interaksi sosial. Dengan adanya komunikasi, pandangan atau sikap
pikiran seseorang dapat diketahui dan dimengerti oleh orang lain yang
berinteraksi sosial dan responnya sebagian ditentukan olehnya. Kontak
sosial dapat terjadi tanpa komunikasi, namun interaksi yang ada tidak
dapat dikomunikasikan, sehingga dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa kontak tanpa komunikasi tidak menimbulkan interaksi sosial.
Jadi interaksi merupakan kelanjutan dari kontak sosial yang sebagian
besar ditentukan interpretasi dari masing-masing pihak yang berkontak
sosial. Alat yang paling lazim dalam komunikasi adalah bahasa, bisa
bahasa verbal ataupun nonverbal (seperti mimik wajah, gerakan, postur
tubuh, dll).
Sebagai tambahan, interaksi sosial juga dijelaskan dalam DSM IV
TR terkait dengan gangguan autistik. Dalam DSM IV TR tersebut,
interaksi sosial dijabarkan menjadi perilaku-perilaku berikut :
1) Berbagai perilaku nonverbal seperti bertatap muka, ekspersi wajah,
sikap tubuh dan isyarat-isyarat lain untuk berinteraksi secara sosial.
2) Melakukan hal-hal atau aktifitas bersama orang lain secara spontan,
seperti berbagi kesenangan, minat, dan prestasi (contohnya:
menunjukkan ketertarikan terhadap suatu hal).
3) Adanya timbal balik secara sosial dan emosional
19
Sementara komunikasi meliputi :
1) Menunjukkan perkembangan bahasa verbal, dengan diikuti usaha
untuk mengganti penggunaan bahasa verbal sebagai cara lain untuk
berkomunikasi seperti isyarat atau ekspresi wajah.
2) Memulai atau mempertahankan pembicaraan dengan orang lain.
3) Menunjukkan perilaku meniru atau pengulangan bahasa.
4) Variasi dan spontanitas dalam melakukan permainan peran atau
permainan sosial sesuai dengan tahap perkembangan.
Pasaribu (1984) berpendapat bahwa interaksi sosial dapat terjadi
jika memenuhi dua aspek yaitu kontak sosial yang berarti predisposisi
sikap yang menunjukkan kesediaan atau keinginan yang kuat yang dapat
dikontrol oleh individu untuk berhubungan dengan orang lain misalnya
pada saat bertemu dengan individu lain, dan ada atau tidaknya komunikasi
yang merupakan proses transmisi tanda/ pesan untuk dapat mengerti
pandangan atau sikap dan pikiran orang lain yang berinteraksi sosial,
sebab interaksi merupakan kelanjutan dari kontak sosial yang sebagian
besar ditentukan interpretasi masing-masing pihak melalui komunikasi
yang terjadi baik secara verbal maupun nonverbal. Selain itu, berdasarkan
uraian dalam DSM IV TR, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial
meliputi kontak sosial dan komunikasi. Dimana kontak sosial meliputi
perilaku nonverbal, perilaku berbagi minat, adanya timbal balik secara
sosial-emosional dan terjadinya kontak fisik, sedangkan komunikasi terdiri
dari bicara/ penggunaan bahasa verbal yang tepat.
20
Deskripsi interaksi sosial dapat diketahui dari indikator berikut,
ada keinginan sebagai indikator interaksi sosial, komunikasi yang terdiri
dari komunikasi verbal dan nonverbal. Secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa interaksi sosial terdiri dari 2 aspek yaitu kontak sosial
dan komunikasi. Kontak sosial antara lain meliputi, kesediaan atau
keinginan yang kuat untuk berhubungan dengan orang lain, perilaku-
perilaku nonverbal, termasuk juga perilaku berbagi minat, adanya
hubungan timbal balik serta terjadinya kontak fisik, dan komunikasi yang
meliputi, adanya proses transmisi pesan atau penggunaan bahasa baik
secara verbal maupun nonverbal.
3. Faktor-faktor yang turut membentuk Interaksi Sosial
Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial merupakan
sesuatu yang luas dan bervariasi, namun faktor-faktor tersebut bukan
berarti tidak dapat diidentifikasi. Baron dan Byrne (2004), dalam bukunya
mengungkapkan bahwa ada berbagai faktor dan kondisi yang membentuk
perilaku sosial pada diri individu. Dengan menggunakan metode-metode
ilmiah, disadari bahwa perilaku sosial dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial
(perilaku dan karakter orang lain), kognitif, lingkungan, budaya dan
biologis. Hal tersebut akan dijelaskan secara singkat berikut ini.
a. Perilaku dan karakter orang lain
Hasil penelitian oleh Hassin dan Trope (2000, dalam Baron&Byrne,
2004) menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengabaikan penampilan
21
orang lain, bahkan ketika kita secara sadar mencoba untuk
mengabaikannya. Temuan tersebut menunjukkan bahwa reaksi kita
terhadap orang lain jelas sangat dipengaruhi oleh penampilan luar
mereka.
b. Proses-proses kognitif
Reaksi individu dalam suatu situasi akan sangat tergantung pada
ingatannya tentang perilaku orang lain di masa lalu. Situasi tersebut
menunjukkan bahwa proses-proses kognitif memainkan peran penting
dalam perolehan dan pemikiran sosial.
c. Variabel-variabel lingkungan: pengaruh dari lingkungan fisik
Hasil-hasil penelitian yang ada menunjukkan bahwa lingkungan fisik
memang berpengaruh terhadap perasaan, pikiran dan perilaku individu.
d. Konteks budaya
Berbagai perubahan dramatis yang terjadi di dalam masyarakat
menggambarkan aspek penting lain dari perilaku sosial yaitu perilaku
sosial dipengaruhi oleh faktor budaya. Perilaku sosial seringkali sangat
dipengaruhi oleh norma-norma sosial (aturan sosial mengenai
bagaimana manusia seharusnya berperilaku dalam situasi tertentu),
keanggotaan dalam berbagai kelompok, dan perubahan nilai-nilai
sosial.
e. Faktor-faktor biologis
Pandangan bahwa faktor biologis memainkan peran penting dalam
perilaku sosial datang dari bidang psikologi evolusioner yang
22
menyatakan bahwa manusia, seperti makhluk lainnya di bumi, telah
mengalami proses evolusi biologis selama sejarah keberadaannya, dan
hasil dari proses ini adalah manusia sekarang memiliki sejumlah besar
mekanisme psikologis yang merupakan hasil evolusi (evolved
psychological mechanism) yang membantu untuk tetap hidup atau
mempertahankan keberadaan manusia melalui proses evolusi yang
melibatkan tiga komponen dasar yaitu variasi, bawaan, dan seleksi.
Pendapat lain diungkapkan oleh Bonner (dalam Gerungan, 2004),
yang menyebutkan bahwa walaupun bentuknya sederhana kelangsungan
interaksi sosial ternyata merupakan proses yang kompleks, dan dapat
dibedakan berdasarkan beberapa faktor yang mendasarinya sebagaimana
diuraikan berikut ini:
a. Imitasi
Imitasi ini mempunyai arti peniruan. Seluruh kehidupan sosial
sebenarnya terjadi berdasarkan faktor imitasi. Walaupun pendapat ini
berat sebelah, namun peranan imitasi dalam interaksi sosial tidaklah
kecil. Faktor imitasi berpengaruh dalam komunikasi dan tingkah laku.
Imitasi dapat bersifat positif dan negatif. Imitasi positif adalah
peniruan perilaku terhadap figur yang bersifat baik dan dalam interaksi
sosial merupakan faktor penting karena yang diimitasi sesuatu yang
baik. Sedangkan imitasi negatif adalah peniruan perilaku terhadap
figur yang bersifat negatif atau tidak baik dan imitasi ini dapat
menghambat seseorang dalam berinteraksi sosial.
23
b. Sugesti
Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial
hampir sama, namun terdapat perbedaan yang jelas yaitu imitasi terjadi
apabila seseorang mengikuti sesuatu di luar dirinya, sedangkan sugesti
seseorang memberikan pandangan/ sikap dari dirinya yang lalu
diterima oleh orang lain. Sugesti dalam Psikologi Sosial merupakan
suatu proses dimana seorang individu menerima suatu cara
memandang atau pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik
terlebih dahulu (Gerungan dalam Soetarno, 1989).
c. Identifikasi
Identifikasi adalah kecenderungan/ keinginan dalam diri seseorang
untuk menjadi sama dengan idolanya. Sears mengemukakan bahwa
terlalu kuat atau sebaliknya, terlalu sedikit identifikasinya akan
mempengaruhi kelancaran perkembangan. Corak hubungan antara
anak dengan ibunya akan mempengaruhi proses identifikasi. Anak
mulai menyadari jenis kelamin yang sama dan mulai mengadakan
sosialisasi melalui permainan-permainan. Sosialisasi meliputi
komunikasi verbal maupun nonverbal dalam hubungan interpersonal
dengan orang atau anak lain. Komunikasi nonverbal misalnya dengan
gerak-gerik dari tubuhnya untuk mengungkapkan sesuatu. Semua
masih terjadi dalam lingkungan keluarga atau lingkungan rumah
(Gunarsa, 1997).
24
d. Simpati
Faktor lain yang berperan dalam interaksi sosial adalah faktor simpati.
Simpati diartikan sebagai perasaan tertariknya seseorang terhadap
orang lain. Simpati ini muncul karena penilaian perasaan. Perasaan ini
terlihat nyata dalam persahabatan antara dua orang atau lebih.
Dari kedua uraian di atas mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi proses interaksi sosial, peneliti menyimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi proses interaksi sosial dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu :
a. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang mmpengaruhi interaksi
sosial yang berasal dari dalam diri individu. Faktor ini menunjuk pada
proses kognitif yang terjadi dalam diri individu, faktor biologis, serta
faktor identifikasi dan simpati.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang mempengaruhi
terjadinya proses interaksi sosial yang berasal dari luar individu
tersebut, misalnya faktor sosial yang berupa perilaku dan karakter
orang lain, variabel lingkungan yang dalam hal ini berupa pengaruh
dari lingkungan fisik, konteks budaya, dan faktor imitasi serta sugesti.
25
C. Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse)
1. Pengertian child abuse
Konsep child abuse berbeda-beda antar kebudayaan dan waktu,
sehingga definisi mengenai child abuse merupakan suatu definisi
sosiokultural. Menurut U.S Department of Health Education and Weflare,
child abuse didefinisikan sebagai kekerasan fisik atau mental, kekerasan
seksual, dan penelantaran anak di bawah usia 18 tahun yang dilakukan
oleh orang yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kesejahteraan
anak, sehingga kesehatan atau kesejahteraan anak tersebut terancam
(Thompson dan Rudolph; dalam Sukamto, 2000).
Secara konseptual, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat
didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang
umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggungjawab
terhadap kesejahteraan anak, yang semua itu diindikasikan dengan
kerugian dan ancaman terhadap kesehatan serta kesejahteraan anak
(Suyanto, 2005). Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh
Vander Zanden (dalam Rini, 2001) bahwa child abuse adalah penyiksaan
terhadap anak yang didefinisikan sebagai suatu bentuk penyerangan fisik
atau melukai anak dan perbuatan ini biasanya dilakukan justru oleh orang
tua atau pengasuh non keluarga. Menurut data penelitian diungkapkan
bahwa penyiksaan secara fisik banyak dialami oleh anak-anak sejak masa
bayi, dan berlanjut hingga masa kanak-kanak sampai remaja.
26
Irwanto (2004) juga mengungkapkan bahwa yang dimaksud
dengan kekerasan fisik dan emosional adalah berbagai bentuk pemukulan
atau ungkapan verbal yang dimaksudkan untuk menyakiti, mengecilkan
arti orang lain, atau berakibat cukup serius baik secara fisik maupun
emosional yang mengancam kelangsungan hidup atau tingkat
kesejahteraan seorang anak, atau biasa disebut penderaan atau perlakuan
salah. Sementara itu, dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dalam penjelasan Pasal 13 huruf d ditemukan penjelasan tentang
perlakuan kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji,
bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan
kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/ atau
mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan
sosial.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa child
abuse atau tindak kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perbuatan
yang tidak mencerminkan kasih sayang terhadap anak, sehingga dapat
menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan anak, baik secara fisik,
psikologis maupun secara seksual yang berakibat cukup serius dan dapat
mengganggu perkembangan anak. Dalam penelitian ini, tindak kekerasan
tersebut dilakukan oleh anggota keluarga korban.
27
2. Jenis-jenis Child Abuse
Penganiayaan atau tindak kekerasan terhadap anak memiliki
beberapa bentuk spesifik, dan tiap bentuknya bisa diikuti atau diiringi oleh
satu atau lebih bentuk lainnya. Terry E. Lawson psikiater internasional
yang merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak, menyebutkan
bahwa ada empat macam jenis kekerasan/ abuse, yaitu emotional abuse,
verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse (http://www.pikiran–
rakyat.co.id/cetak/2006/012006/15).
Ada empat tipe utama dari perlakuan kekerasan terhadap anak,
yaitu kekerasan fisik, tindak pengabaian anak, kekerasan emosional, dan
kekerasan seksual (National Clearinghouse on Child Abuse and Neglect,
dalam Santrock, 2007). Keempat tipe tindak kekerasan tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut :
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik merupakan tindak penyerangan pada anak,
seperti menendang, membenturkan badan, menusuk, menghantam atau
menikam tubuh anak dengan benda tajam, dimana perbuatan tersebut
dapat menimbulkan luka-luka pada tubuh anak (Berk, 2006). Santrock
(2007) juga menyebutkan bahwa kekerasan fisik ditandai dengan
adanya luka-luka pada tubuh sebagai hasil dari hantaman, pukulan
tendangan, tikaman, terbakar, goncangan atau segala tindakan yang
dapat merugikan seorang anak. orang tua atau pengasuh mungkin tidak
28
berniat untuk menyakiti anak, namun luka-luka yang terjadi bisa juga
diakibatkan oleh pemberian hukuman yang berlebihan pada anak.
b. Penelantaran atau pengabaian
Para psikiater dalam Himpunan Masyarakat Pencegah
Kekerasan Pada Anak di Inggris (1999) berpendapat bahwa
pengabaian terhadap anak juga merupakan sikap penyiksaan namun
lebih bersifat pasif (dalam Rini, 2001). Penelantaran atau biasa disebut
juga tindak pengabaian adalah suatu kegagalan orang tua dalam
memenuhi kebutuhan dasar tumbuh kembang anak, dalam kaitannya
dengan makanan, pakaian, perawatan medis, pendidikan, dan
pengawasan (Berk, 2006).
Tindak pengabaian dapat berupa pengabaian secara fisik,
emosional, atau pengabaian dalam bidang pendidikan (Santrock,
2007). Tindak pengabaian itu dijelaskan sebagai berikut :
1) Pengabaian secara fisik meliputi menolak atau menunda dalam
mencarikan pelayanan kesehatan, pengusiran dari rumah atau tidak
mengijinkan anak untuk kembali ke rumah dan tidak memberi
pengawasan yang cukup.
2) Pengabaian bidang pendidikan meliputi membiarkan anak
membolos sekolah terus-menerus, tidak mendaftarkan anak yang
masih dalam usia wajib sekolah, dan tidak mengindahkan
pendidikan anak yang berkebutuhan khusus.
29
3) Pengabaian secara emosional meliputi tindakan yang ditandai
dengan tidak adanya perhatian pada kebutuhan afeksi anak,
menolak untuk peduli pada kondisi psikologis anak, orang tua
bertindak saling menyakiti dihadapan anak, dan membiarkan anak
dalam penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang.
c. Kekerasan Emosional (psikologis/ kekerasan verbal/ pengrusakan
mental)
Kekerasan emosional mengacu pada tindak kekerasan yang
dapat menyebabkan gangguan tingkah laku, kognitif, ganguan mental
atau gangguan emosi. Keekrasan emosional sulit diidentifikasi karena
efeknya tidak tampak dipermukaan dengan seketika dan mungkin
sulit menciri tanda gangguan emosional di aspek perkembangan
lainnya (Papalia, Olds & Feldman, 2006). Senada dengan pernyataan
tersebut, Berk (2006) mengungkapkan bahwa kekerasan emosional
merupakan tindakan yang bisa menyebabkan gangguan tingkah laku
atau gangguan mental yang serius, meliputi pengasingan secara
sosial, memberi tuntutan yang tidak beralasan, mengejek, menghina,
mengintimidasi dan menteror. Sementara itu, Gelles & Cavanaugh
(dalam Santrock, 2007) juga menyebutkan bahwa kekerasan
emosional meliputi tindakan atau kelalaian yang dilakukan oleh orang
tua atau pengasuh yang menyebabkan gangguan tingkah laku,
kognitif, atau gangguan emosi secara serius. Sebagai contoh, orang
tua atau pengasuh menggunakan jenis hukuman yang tidak biasa
30
seperti, mengurung anak di dalam toilet gelap, sering meremehkan
dan menolak kehadiran anak.
Kekerasan emosi juga terekspresikan melalui kekerasan
verbal yang diartikan sebagai suatu komunikasi yang bertujuan
melukai orang lain secara psikologis, baik secara aktif maupun pasif.
Beberapa bentuk kekerasan verbal adalah sebagai berikut (Schaefer,
dalam Hetherington & Parke, 2003) :
1) Penolakan atau penarikan kembali cinta kasih, misalnya
ungkapan-ungkapan yang menyakitkan kepada anak.
2) Merendahkan secara verbal dengan menggunakan komentar atau
kata-kata yang meremehkan, mengejek, mempermainkan atau
menghina.
3) Tuntutan akan kesempurnaan, misalnya berbagai kalimat yang
mengandung suatu tuntutan tertentu sehingga membuat anak
menjadi tidak nyaman.
4) Prakiraan negatif, misalnya prasangka-prasangka orang tua
terhadap anaknya
5) Pembandingan negatif, umumnya muncul ketika ada
ketidakpuasan dalam diri orang tua terhadap anak sehingga
mereka membandingkan anak dengan hal-hal yang dianggap
baik.
6) Mengkambinghitamkan anak atas suatu kesalahan/ kesulitan
yang terjadi.
31
7) Mempermalukan anak secara pribadi atau di hadapan umum.
8) Mengutuk atau memberikan sumpah serapah.
9) Menakut-nakuti atau mengancam.
10) Menimbulkan perasaan bersalah. Pernyataan ini bertujuan
menimbulkan tekanan psikologis dimana orang yang
melakukannya sadar bahwa pernyataan tersebut akan menyakiti
anak secara psikologis.
Tindak kekerasan verbal tidak tergantung pada seberapa
banyak kalimat yang diucapkan melainkan bagaimana cara
mengatakannya, melalui intonasi atau aspek-aspek nonverbal
lainnya. Dalam keseharian, kekerasan verbal terjadi ketika orang tua
membentak-bentak, mencerca (nyinyir), mengungkit-ungkit, berkata
secara pedas dan menyakitkan atau justru diam, tetapi dingin dan
menyakitkan, penuh penilaian/ prasangka, tidak menghargai,
meremehkan, merendahkan, selalu mengharuskan, menuntut,
membanding-bandingkan dan mengancam.
d. Perlakuan Seksual
Perlakuan seksual adalah perlakuan yang mengarah pada
bentuk-bentuk kontak fisik dengan anak sebagai objek pemuasan
seksual orang dewasa atau dengan kata lain kekerasan seksual
merupakan tindakan terhadap anak terkait dngan seksualitas, meliputi
pelecehan hingga tindakan pemerkosaan terhadap anak. Contoh tindak
kekerasan seksual seperti penetrasi pada vagina atau anus anak dengan
32
penis atau jari dari pelaku kekerasan atau menggunakan objek lain,
menyentuh bagian-bagian tubuh yang paling pribadi atau mencumbu
serta ekshibisionisme dan pornografi anak yang mungkin saja tidak
melibatkan kegiatan seksual yang nyata antara seorang dewasa dan
seorang anak (Sukamto, 2000). Dalam bukunya, Santrock (2007)
menyebutkan bahwa kekerasan seksual meliputi meraba-raba alat
kelamin anak, berhubungan seks, incest, perkosaan, sodomi,
eksibisionisme, dan eksploitasi anak untuk tujuan komersil lewat
pelacuran atau produksi pornografi.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kekerasan yang terjadi
pada anak-anak digolongkan menjadi empat macam bentuk kekerasan,
yaitu kekerasan fisik (dipukul, ditampar, dilempar benda, dll), tindak
penelantaran atau pengabaian (pengabaian fisik, pendidikan, emosional),
kekerasan psikis (kekerasan verbal, diacuhkan, dibatasi pergaulannya, dll),
dan kekerasan seksual (mulai dari dilecehkan secara seksual sampai
dengan diperkosa, eksploitasi anak dengan pelacuran, dll).
3. Ciri-ciri Child Abuse
Beberapa ciri-ciri tindak kekerasan yang sering terjadi pada anak-
anak dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu ciri-ciri tindak kekerasan non-
seksual dan ciri perilaku seksual. Hal tersebut dijabarkan sebagai berikut :
33
a. Non-seksual
Tanda-tanda perilaku penyiksaan non-seksual dibagi menjadi tanda-
tanda fisik dan tanda-tanda perilaku yang akan dijelaskan sebagai
berikut:
1) Tanda-tanda fisik
a) Luka-luka dengan tingkat keparahan bervariasi, hal ini cukup
mengkhawatirkan bagi anak-anak yang sangat muda, yang
masih belum mampu berkomunikasi. Menurut Williams,
pukulan yang berulang-ulang pada kepala dapat menyebabkan
retardasi mental, cerebral palsy dan gangguan-gangguan lain
(Alloy, et al.; dalam Sukamto, 2000).
b) Adanya penundaan perawatan.
c) Laporan-laporan yang tidak konsisten tentang bagaimana anak
sampai terluka.
2) Tanda-tanda perilaku
Menurut Azar dan Twentyman serta Ney, Fung dan Wickett (Alloy
et al.; dalam Sukamto, 2000) tanda-tanda perilaku meliputi:
a) Penolakan anak untuk berbicara di depan orang tua atau
pengasuh yang melakukan kekerasan
b) Adanya rasa takut untuk pulang
c) Perubahan-perubahan perilaku yang ekstrim, seperti agresi atau
menarik diri
34
d) Mengalami gangguan psikologis, sehingga nantinya orang tua
mereka kurang mampu menghadapi anak-anak mereka sendiri
b. Seksual
Tanda-tanda perilaku penyiksaan seksual dibagi menjadi 2 bagian
yaitu:
1) Efek akut, efek ini segera mengikuti peristiwa kekerasan, meliputi:
a) Menunjukkan masalah-masalah perilaku dan emosional,
kesulitan belajar, masalah pergaulan, misalnya menarik diri.
Menurut Kilpatrics, Resnick dan Veronen, Stein et al., Cutler
dan Nolen-Hoekema (Ropsenhan & Seligman; dalam Sukamto,
2000), anak yang mengalami kekerasan seksual akan sangat
beresiko menderita gangguan-gangguan emosional, seperti
gangguan kecemasan, depresi, ganguan stres pasca trauma dan
gangguan-gangguan perilaku, seperti conduct disorder dan
penyalahgunaan obat.
b) Mengalami kesulitan dalam mengekpresikan kemarahan,
menjadi mudah terganggu dan menyerang tanpa sebab-sebab
yang jelas.
c) Masalah tingkah laku di sekolah, menurunnya prestasi di
sekolah, enuresis, enkopresis.
2) Efek jangka panjang. Efek ini lebih sukar diprediksi, tapi dapat
digolongkan dalam empat bidang utama yaitu:
a) Masalah kesehatan mental
35
b) Kesulitan seksual, yaitu pada saat anak menjadi dewasa,
mungkin saja muncul masalah-masalah yang berhubungan
dengan perkembangan psikoseksual. Anak ini mungkin
mengalami hambatan seksual atau justru bersedia berhubungan
seksual dengan siapa saja.
c) Keterampilan menjadi orang tua yang buruk. Menurut Glass,
Green, Reiner dan Kaufman (Thompson & Rudolph; dalam
Sukamto, 2000), para orang tua yang mengalami kekerasan
tidak dapat memberikan kasih sayang, perhatian, kehangatan,
dan kelembutan terhadap anak-anak mereka karena mereka
juga tidak pernah dicintai serta merasa terluka dan tertolak.
d) Masalah-masalah sosial, seperti keterampilan beradaptasi
dengan lingkungan dan keterampilan dalam bergaul dengan
orang lain.
Dari penjelasan mengenai ciri-ciri child abuse di atas dapat
diketahui bahwa ciri-cirinya dibagi menjadi dua sesuai dengan tindak
kekerasannya, yaitu ciri tindak kekerasan non-seksual yang dilihat dari
tanda-tanda fisik dan tanda-tanda perilaku, serta ciri tindak kekerasan
seksual yang dilihat berdasarkan efek yang diderita korban (efek akut yang
segera mengikuti tindak kekerasan dan efek jangka panjang yang lebih
sukar untuk diprediksi).
36
4. Dampak Penyiksaan Terhadap Aspek Kehidupan Anak
Tindak penganiayaan dapat memberi dampak tidak hanya secara
fisik, tetapi juga emosional, kognitif, dan sosial (Papalia, Olds, dan
Feldman, 2006). Selain itu, anak-anak korban kekerasan sering
menunjukkan kesulitan atau gangguan bicara (Coster, Gersten,
Beeghly&Cicchetti; dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2006).
Ikawati dan Rusmiyati (dalam “Kekerasan Terhadap Anak dalam
Keluarga dan Upaya Penanganannya”, 2003) menyebutkan bahwa
kekerasan terhadap anak mempunyai dampak buruk bagi anak, antara lain:
a. Dampak terhadap kondisi fisik
Dampak fisik yang dirasakan anak mulai dari luka kecil sampai
dengan kematian. Luka kecil dapat meliputi memar pada mata, pada
otak atau organ-organ lain. Luka yang berat dapat berupa patah tulang
atau kerusakan saraf pada organ-organ tertentu.
b. Dampak terhadap kondisi psikologis anak
Dampak penganiayaan terhadap perkembangan anak
diantaranya adalah kemampuan mengatur emosi yang lemah,
permasalahan kelekatan, permasalahan dalam relasi teman sebaya,
kesulitan beradaptasi di sekolah, dan permasalahan psikologis lainnya
(Azar, Cicchetti & Toth; dalam Santrock, 2007)
Permasalahan penyesuaian diri anak-anak korban kekerasan
seksual seringkali sangat berat. Depresi, harga diri rendah, tidak
percaya pada orang dewasa, kemarahan serta sikap bermusuhan tetap
37
berlangsung bertahun-tahun setelah peristiwa kekerasan yang dialami
(Feiring, Taska&Lewis, Tricket et. al.; dalam Berk, 2006).
Kekerasan emosional dapat mengakibatkan rendahnya harga
diri, tingginya kecemasan pada anak, dan usaha bunuh diri (Wolfe;
dalam Berk, 2006).
c. Dampak terhadap tingkah laku anak
Menurut Budiono dan Wulur (dalam Ikawati dan Rusmiyati,
2003) dampak terhadap tingkah laku anak meliputi :
1) Sikap negativisme dan destruktif
Anak yang hidup dalam lingkungan penuh dengan
ketidakbahagiaan, ketidaksenangan, kekecewaan, dan kekerasan
akan tumbuh menjadi anak yang tidak mudah percaya atau selalu
berprasangka buruk terhadap orang lain dan mudah melakukan
tindakan kurang baik atau suka merusak.
2) Melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain
Anak yang terbiasa menerima tindakan kekerasan
mempunyai kecenderungan untuk mengambangkan tindak-tindak
kekerasan terhadap orang lain.
3) Sikap tidak takut/ cemas berpisah dari orang tua
Seorang anak yang biasa menerima tindakan kekerasan dari
orang tuanya mempunyai kecenderungan untuk tidak merasa takut
atau tidak merasa cemas apabila berpisah dari orang tuanya.
38
4) Memperlihatkan keterlambatan mental (pengertian bahasa dan
motorik)
Anak yang biasa menerima tindak kekerasan dari orang
tuanya, seperti pemukulan, penamparan, penyiksaan, dan bentuk
hukuman lainnya dapat menderita cedera fisik yang mengakibatkan
terganggunya perkembangan mentalnya.
D. Interaksi Sosial Pada Korban Child Abuse
Dari latar belakang dan uraian sebelumnya, tampak bahwa menjalin
interaksi sosial merupakan tugas perkembangan yang penting yang harus
dilakukan oleh individu pada tahap perkembangan masa kanak-kanak. Setiap
tahap perkembangan yang dialami oleh individu memiliki tugas
perkembangan masing-masing yang harus dipenuhi oleh individu tersebut
sesuai dengan harapan masyarakat. Kegagalan dalam pelaksanaannya akan
mengakibatkan pola perilaku yang tidak matang, sehingga sulit diterima oleh
kelompok teman-temannya dan tidak mampu menyamai teman-teman sebaya
yang sudah menguasai tugas-tugas perkembangan tersebut. Contoh tugas
perkembangan yang harus dipenuhi oleh anak-anak pada masa akhir kanak-
kanaknya, yaitu belajar kemampuan-kemampuan fisik yang diperlukan agar
bisa melaksanakan permainan atau olahraga yang biasa dan salah satu faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan fisik adalah ketegangan emosional; belajar
bergaul dengan teman-teman seumurnya. Dalam hal ini, keluarga dan teman
sebaya merupakan agen penting dalam sosialisasi (Hurlock, 1980).
39
Pergaulan dengan teman sebaya atau sosialisasi sangat penting sebab
interaksi anak dengan teman sebaya memberikan kesempatan untuk
membagikan pengalaman, bekerja sama, mencapai tujuan, memperoleh
kebebasan pribadi serta membentuk sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok
sosial dan institusi. Anak diharapkan mampu belajar bergaul dengan teman-
teman seumurnya sehingga ia mampu membentuk sikap-sikap terhadap
kelompok sosial dan mengasah intuisinya. Selain itu, anak juga berhak
memperoleh kebebasan pribadi dalam hidupnya.
Dalam kasus child abuse atau tindak kekerasan terhadap anak,
interaksi sosial anak banyak mengalami hambatan. Child abuse atau tindak
kekerasan terhadap anak khususnya dalam keluarga adalah segala bentuk
perbuatan yang tidak mencerminkan kasih sayang terhadap anak, sehingga
dapat menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan anak, baik secara fisik,
seksual maupun secara psikologis yang dapat mengganggu perkembangan
anak. Dalam setiap kasus kekerasan, kebebasan seorang anak dapat terenggut
oleh tindak kekerasan yang seringkali dilakukan oleh orang terdekatnya.
Singgih (1980) mengungkapkan bahwa anak usia 6-11 tahun
merupakan usia kritis baik menyangkut masalah psikologis, fisik maupun
sosial. Tindak kekerasan dapat mengganggu interaksi sosialnya dikemudian
hari. Erikson (dalam Hall&Lindzay, 1993) menganggap pada tahun-tahun
pertama kehidupan anak, penting untuk ditanamkan dasar mempercayai orang
lain. Anak yang tidak mengalami dan memperoleh kasih sayang dan kepuasan
dari kebutuhan akan mengalami kegagalan dalam mengembangkan
40
kepercayaan kepada orang lain dan oleh karena itu akan terganggulah
hubungan sosialnya di kemudian hari. Sears mengemukakan bahwa tingkah
laku yang ditunjukkan anak adalah hasil hubungannya dengan lingkungan
sosial yang langsung di mana anak dibesarkan. Dalam hal ini peranan dan cara
orang tua memperlihatkan sikap dan pola dalam pengasuhan anak penting
sekali.
Menurut Azar dan Twentyman serta Ney, Fung dan Wickett (Alloy et
al.; dalam Sukamto, 2000) salah satu efek dari terganggunya interaksi sosial
seorang anak adalah perasaan tertekan yang disebabkan oleh kebebasan
pribadi yang tidak dimiliki akibat tindak kekerasan yang dialaminya. Hal
tersebut dapat mengakibatkan ketegangan, kecemasan, depresi, dan timbulnya
rasa takut dan malu yang kemudian akan mempengaruhi interaksi sosialnya.
Pasaribu (1984) berpendapat bahwa interaksi sosial dapat terjadi jika
memenuhi dua aspek yaitu kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial yang
berarti predisposisi sikap yang menunjukkan kesediaan atau keinginan yang
kuat yang dapat dikontrol oleh individu untuk berhubungan dengan orang lain
misalnya pada saat bertemu dengan individu lain. Dalam kasus kekerasan
terhadap anak, dampak pada korban dapat berupa penolakan anak untuk
berbicara di depan orang tua atau pengasuh yang melakukan kekerasan,
perasaan malu dan penarikan diri sehingga menimbulkan permasalahan dalam
sosialisasi karena terhambatnya proses terjadinya kontak sosial. Selain itu,
korban kekerasan sulit mengembangkan hubungan yang sehat karena
kekejaman yang ia terima menurunkan kompetensi sosial dan membatasi
41
kemampuan dalam menunjukkan simpati serta berempati yang juga dapat
menghambat terjadinya kontak sosial antara anak dengan orang lain. Hal
tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor internal yaitu proses kognitif dari
dalam diri anak itu sendiri berupa ingatan tentang masa lalunya yang dapat
menimbulkan kecemasan dan ketakutan terhadap kehadiran orang lain. Hal
tersebut tentunya dapat menimbulkan hambatan pada terjalinnya kontak antara
anak dengan orang lain.
Selain kontak sosial yang terhambat, komunikasi yang seharusnya
dapat terjalin untuk dapat mewujudkan interaksi sosial juga dapat mengalami
hambatan. Komunikasi merupakan proses penerimaan tanda/ pesan untuk
dapat mengerti pandangan atau sikap, pikiran orang lain yang berinteraksi
sosial, sebab interaksi merupakan kelanjutan dari kontak sosial yang sebagian
besar ditentukan interpretasi masing-masing pihak melalui komunikasi yang
terjadi baik secara verbal maupun nonverbal. Anak yang mengalami
penyiksaan memperlihatkan keterlambatan perkembangan, sehingga dapat
menimbulkan perilaku yang tidak diterima secara sosial misalnya penyesuaian
yang tidak baik. Tindak kekerasan diterima oleh anak dapat menimbulkan rasa
takut dan malu untuk berbicara pada orang lain. Implikasinya dapat berupa
perubahan perilaku yang ekstrim, misalnya membuat kekacauan di kelas atau
melakukan agresivitas. Masalah yang sering muncul adalah kelekatan dengan
teman yang disertai rasa tidak aman, sulit mempercayai orang lain, sering
mengalami konflik, dan juga dapat menimbulkan ketakutan akan intimitas.
Berbagai masalah tersebut akan mempengaruhi kemampuan anak dalam
42
berkomunikasi dengan orang lain karena anak kesulitan dalam
mengembangkan rasa aman dan kepercayaan yang ikut berpengaruh dalam
proses pertukaran pesan (komunikasi).
43
Gambar 2.1 Skema terhambatnya interaksi sosial anak korban child abuse
Child abuse: anak mendapat perlakuan kekerasan
Dampak tindak kekerasan : 1. Mempengaruhi kesejahteraan psikologis anak 2. Kebebasan pribadi terenggut 3. Gagal mengembangkan kepercayaan yang menimbulkan
perasaan tertekan 4. Keterlambatan perkembangan
Hal-hal tersebut dapat menimbulkan : 1. Ketegangan 2. Kecemasan 3. Depresi 4. Timbul rasa takut dan malu 5. Kehilangan kepercayaan 6. Rendah diri 7. Rasa tidak aman
Interaksi sosial terhambat : 1. Kontak sosial 2. Komunikasi
Faktor yang berpengaruh pada interaksi sosial, meliputi : 1. Faktor internal :
Proses kognitif, faktor biologis, faktor identifikasi dan faktor simpati
2. Faktor eksternal : Faktor sosial (perilaku&karakter orang lain), pengaruh lingkungan fisik,konteks budaya, faktor imitasi, dan faktor sugesti.
44
E. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana gambaran interaksi sosial pada anak yang menjadi korban
kekerasan? Interaksi sosial anak dengan lingkungannya dapat diketahui
berdasarkan aspek-aspek yang terdiri dari :
a. Kontak sosial
b. Komunikasi
45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kasus (case study) dengan
pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan pendekatan
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati (dalam Moleong, 2005). Studi kasus merupakan studi mengenai unit
sosial tertentu, yang hasil penelitiannya mampu memberikan gambaran luas
dan mendalam mengenai unit sosial tertentu. Subjek yang diteliti relatif
terbatas, tapi variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya.
Subjek penelitiannya dapat berupa individu, kelompok institusi ataupun
masyarakat (Danim, 2002).
Dalam pendekatan/ tipe penelitian studi kasus, metode pengumpulan
data dapat dilakukan dari berbagai sumber dengan beragam cara, bisa berupa
observasi, wawancara, maupun studi dokumen/ karya, produk tertentu yang
terkait dengan kasus (Poerwandari, 2005). Studi kasus dimaksudkan untuk
mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan dan posisi saat ini,
serta interaksi lingkungan suatu unit sosial tertentu: individu, keluarga,
lembaga atau masyarakat (Suryabrata, 2002). Menurut Patton (dalam
Poerwandari, 1998), studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa
46
perlu memahami suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, keluarga dengan
karakteristik tertentu ataupun situasi unik secara mendalam.
Desain studi kasus dengan pendekatan kualitatif yang digunakan dalam
penelitian ini memungkinkan peneliti untuk menggali secara lebih mendalam
keadaan, perasaan-perasaan, serta hubungan/ interaksi sosial anak yang
mengalami kekerasan (child abuse) dalam keluarga dengan orang-orang
disekitarnya.
B. Subjek Penelitian
Pengambilan subjek penelitian disesuaikan dengan jenis penelitian,
yaitu studi kasus yang mengungkapkan suatu kasus secara mendalam. Dalam
penelitian ini, subjek yang diteliti adalah 3 orang anak yang merupakan
korban kekerasan yang telah dilindungi oleh suatu lembaga yang terkait
dengan perlindungan terhadap anak. Subjek yang digunakan dalam penelitian
ini memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Berusia 6-12 tahun yaitu usia anak-anak hingga memasuki masa pubertas.
Pemilihan subjek berdasarkan usia tersebut dengan alasan bahwa usia
tersebut adalah usia yang penting berkaitan dengan pembentukan interaksi
sosial anak.
2. Pernah mengalami tindak kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis/
emosional maupun seksual yang dilakukan oleh orang dewasa.
3. Tidak mengalami gangguan bicara sebagai dampak dari tindak kekerasan
yang ia terima, dalam arti subjek mampu berkomunikasi secara verbal. Hal
47
ini berkaitan dengan pengumpulan data menggunakan teknik wawancara
yang akan dilakukan oleh peneliti.
Dalam penelitian ini, identitas subjek dan identitas dari orang-orang
yang terlibat serta lembaga terkait tempat subjek bernaung akan disamarkan
untuk menjaga kerahasiaan subjek penelitian. Hal ini dilakukan untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sekaligus untuk melindungi privasi
subjek dan keluarganya serta pihak-pihak yang terkait dengan subjek.
C. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional
Bentuk penelitian ini adalah studi kasus, oleh karena itu tidak ada
kontrol/ perlakuan (treatment) terhadap variabelnya. Variabel dalam
penelitian ini adalah interaksi sosial anak yang mengalami perlakuan
kekerasan/ abuse dengan lingkungan sekitarnya.
Batasan definisi kekerasan terhadap anak yang digunakan dalam
penelitian ini adalah segala perbuatan atau tindak penganiayaan, pelecehan,
secara fisik, psikis, maupun seksual, baik yang dilakukan oleh pihak keluarga.
Yang dimaksud dengan interaksi sosial dalam penelitian ini adalah cara subjek
menciptakan hubungan yang saling mempengaruhi dengan orang lain serta
lingkungannya. Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat bagaimana subjek
(yaitu anak yang menjadi korban kekerasan) berinteraksi dengan orang lain,
yang dapat diketahui melalui penuturan subjek dan significant others-nya serta
dari hasil observasi tentang kontak sosial dan komunikasi yang terjalin antara
subjek dengan orang-orang di sekitarnya baik orang dewasa maupun teman-
48
teman sebayanya. Berdasarkan berbagai sumber, dapat disimpulkan bahwa
indikator interaksi sosial, yaitu :
1. Kontak sosial
a. Adanya kesediaan, respon, feed back, penerimaan dari subjek pada saat
diajak berbicara oleh orang lain, baik yang telah ia kenal maupun tidak
(orang yang masih asing baginya) .
b. Mampu bergaul dengan teman sebaya dan beradaptasi di lingkungan
yang baru, misalnya di sekolah, di lingkungan rumah atau tempat
tinggal yang baru.
c. Mampu melakukan kontak fisik, seperti berjabat tangan, berangkulan,
bercium pipi, atau tidak menghindar/ menolak jika disentuh oleh orang
dewasa.
d. Adanya keinginan untuk menjalin hubungan interpersonal dengan
orang lain.
2. Komunikasi
a. Mampu mengungkapkan perasaannya kepada orang lain.
b. Mampu menunjukkan tanda-tanda non-verbal saat berbicara dengan
orang lain seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, sikap badan.
c. Adanya kesediaan untuk menjawab jika ditanya oleh orang lain.
d. Mampu memulai pembicaraan dengan orang lain dan
mempertahankannya.
Data di atas nantinya berupa hasil wawancara yang diperoleh dari
subjek dengan dilengkapi hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti. Dalam
49
hal ini peneliti ingin meneliti perilaku subjek berdasarkan penuturannya
sebagai korban kekerasan, hasil wawancara dengan orang terdekat korban dan
juga berdasar pada hasil observasi yang dilakukan peneliti.
D. Metode Pengambilan Data
Dalam penelitian ini, proses pengumpulan data akan dilakukan dengan
cara wawancara.
Banister et al. (1994) menyebutkan wawancara kualitatif adalah
percakapan tanya jawab yang dilakukan peneliti untuk memperoleh
pengetahuan tentang makna subjektif yang dipahami individu berkenaan
dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap topik
tersebut (dalam Poerwandari, 2005). Keuntungan jika menggunakan metode
wawancara antara lain: dengan wawancara hal-hal yang kurang jelas dapat
diperjelas, hingga orang dapat mengerti apa yang dimaksudkan; interviewer
dapat menyesuaikan dengan keadaan yang diinterview (bersifat lebih
fleksibel), karena dalam interview atau wawancara ada hubungan langsung
antara penginterview dengan yang diinterview, diharapkan adanya hubungan
yang baik, dan ini akan memberikan bantuan dalam memperoleh bahan-bahan
penelitian. Tetapi sebaliknya bila hubungan antara keduanya sudah tidak baik,
hal tersebut akan menghambat jalannya interview (Walgito, 2003).
Wawancara yang akan dilakukan merupakan wawancara terbuka semi
terstruktur, yaitu wawancara yang terjadi ketika subjek mengetahui atau
menyadari bahwa mereka sedang dalam proses wawancara dan peneliti
50
memiliki panduan wawancara tetapi masih bisa dikembangkan lagi saat
pelaksanaan wawancara sesuai dengan kebutuhan perkembangan proses
wawancara. Wawancara semi terstruktur berarti peneliti tetap membuat
panduan pertanyaan, tetapi tidak harus mengikuti ketentuan secara ketat dan
memungkinkan mencakup ruang lingkup yang lebih besar atau
memungkinkan untuk dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan di luar
pertanyaan formal guna mendukung pengumpulan informasi (Basuki, 2006).
Informasi yang ingin digali terhadap subjek yang merupakan anak
korban kekerasan dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan, yaitu
wawancara mengenai :
1. Latar belakang keluarga, meliputi : jumlah anggota keluarga, status subjek,
gambaran cara pengasuhan orang tua subjek, hubungan subjek dengan
keluarga, penyebab kekerasan, jenis dan macam kekerasan
2. Kontak sosial yang terjalin antara subjek dengan orang tua, teman-teman,
saudara dan lingkungan sekitar, meliputi : keinginan subjek untuk bergaul
dengan lingkungan, terjadinya kontak fisik antara subjek dengan orang
lain dan berbagai jenis perilaku non-verbal, pemberian respon/ kesediaan
oleh subjek pada lawan bicara baik secara langsung maupun tak langsung
yang dapat mempengaruhi terjadinya kontak sosial baik positif maupun
negatif.
3. Kemampuan subjek dalam melakukan komunikasi dengan orang lain,
meliputi : pengungkapan pengalaman dan perasaan yang dirasakan subjek
termasuk juga menceritakan keadaan dirinya pada orang lain, mampu
51
menangkap pesan, informasi dan pertanyaan, serta terjadinya komunikasi
non-verbal antara subjek dengan orang lain.
Tabel 3.1 Panduan wawancara
Latar belakang keluarga
− Berapa jumlah anggota keluarga subjek? − Bagaimana kondisi ekonomi keluarga subjek? − Status subjek dalam keluarga? − Apa jenis pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua
subjek? − Bagaimana hubungan subjek dengan anggota keluarga
yang lain selama ini? − Masalah apa yang menimbulkan kekerasan yang
menimpa diri subjek? − Bagaimana kekerasan yang diterima subjek?
Kontak sosial
− Apakah subjek mampu menjalin kontak mata dengan orang lain atau orang yang masih asing baginya?
− Apakah subjek bersedia berbagi cerita ataupun barang dengan teman bermainnya?
− Apakah subjek bersedia menjawab jika ia diajak berbicara oleh orang lain?
− Bagaimana sikap subjek saat diajak berkenalan oleh orang yang masih asing baginya?
− Apakah subjek mampu menjalin hubungan timbal balik dengan saudara/ anggota keluarganya atau orang lain?
− Bagaimana sikap subjek saat terjadi kontak fisik seperti mendapat pelukan dari orang lain?
− Apakah subjek mampu bergaul dengan teman sebayanya?
Komunikasi
− Apakah subjek mampu mengungkapkan perasaannya kepada orang lain?
− Apakah subjek pernah atau sering menceritakan pengalamannya kepada teman-temannya?
− Bagaimana sikap subjek saat diajak berbicara oleh orang yang masih asing baginya?
− Apakah subjek mampu memulai pembicaraan dengan orang dewasa di sekitarnya?
Data yang diperolah melalui wawancara akan dilengkapi dengan data
dari observasi. Banister et al. (1994) mengungkapkan bahwa istilah observasi
diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena
52
yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena
tersebut (dalam Poerwandari, 2005). Tujuan observasi adalah mendeskripsikan
setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang
terlibat dalam aktivitas dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka
yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut (Poerwandari, 2005).
Observasi yang akan peneliti lakukan adalah observasi partisipan, yaitu
peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau
yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Stainback (1988; dalam
Sugiyono, 2005) menyatakan bahwa dalam observasi partisipatif, peneliti
mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka
ucapkan, dan berpartisipasi dalam aktivitas mereka. Observasi yang digunakan
bersifat tidak terstruktur yang merupakan observasi yang bersifat terbuka dan
fleksibel. Dalam observasi ini, tidak ada pedoman resmi yang digunakan
peneliti selama observasi. Observasi yang dilakukan mencakup aspek-aspek:
1. Perilaku subjek dalam proses wawancara
2. Perilaku subjek dalam kehidupan sehari-hari baik yang berhubungan
dengan orang lain maupun dalam penyesuaian sosial dengan
lingkungannya
Hasil observasi dalam penelitian ini akan dipakai sebagai tambahan
data dan juga penguat data terhadap data hasil wawancara. Hal-hal yang akan
menjadi fokus observasi adalah kondisi fisik dan psikis subjek, serta perilaku-
perilaku atau kegiatan subjek dalam kehidupan sehari-hari baik yang
53
berhubungan dengan teman sebaya, orang dewasa maupun dalam penyesuaian
diri dengan lingkungannya (keluarga dan masyarakat).
Observasi akan dilakukan oleh peneliti terhadap subjek pada waktu-
waktu tertentu dan dengan beberapa kriteria situasi, yaitu:
1. Selama proses wawancara berlangsung, dalam situasi tenang di sebuah
ruangan yang hanya terdapat peneliti dan subjek di dalamnya sehingga
subjek dapat merasa nyaman menjalani proses wawancara.
2. Pada saat subjek berada di lingkungan tempat bermain, dimana banyak
teman seusia subjek yang berada di sana, sehingga peneliti dapat
mengamati bagaimana perilaku subjek sehari-hari bila bermain dan
berinteraksi dengan teman sebaya.
3. Pada saat subjek berada di lingkungan tempat subjek tinggal. Di sini fokus
pengamatan peneliti terhadap subjek adalah bagaimana perilaku subjek
saat berinteraksi dengan pengasuhnya (orang dewasa) di sekelilingnya.
Hasil pengamatan peneliti nantinya berupa deskripsi mengenai
perilaku subjek mengenai interaksi sosialnya sesuai dengan indikator interaksi
sosial yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya sebagai tambahan data
yang penting untuk menunjang hasil wawancara yang juga dilakukan oleh
peneliti.
54
E. Analisis Data
1. Organisasi Data
Data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif ini banyak
berbentuk data deskripsi tertulis yang didapat dari transkip wawancara
sehingga data-data tersebut akan dianalisis menurut isinya atau sering
disebut dengan analisis konten (Suryabrata, 1990). Menurut Bogdan dan
Biklen (1982), analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan
jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensitesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan sesuatu yang penting dan memutuskan
hasil yang dapat diceritakan kepada orang lain (dalam Moleong, 2005).
Dalam melakukan analisa terhadap data yang telah diperoleh
melalui wawancara, maka peneliti melakukan langkah-langkah sebagai
berikut (Poerwandari, 1998):
1. Memindahkan hasil wawancara dari tape recorder ke kertas kosong.
Semua hasil wawancara dalam kata-kata/ kalimat apapun disalin
kembali ke dalam buku. Dalam metode kualitatif sering disebut dengan
transkrip verbatim.
2. Setelah itu dari hasil wawancara yang diperoleh dilakukan analisis data
dengan cara menemukan tema-tema yang muncul sesuai dengan pokok
permasalahan yang diteliti.
55
3. Kemudian data yang berupa tema-tema tersebut dikategorisasikan
secara konseptual agar lebih terperinci sehingga jelas dan memberi
makna yang dalam untuk permasalahan yang diteliti.
4. Tahap berikutnya adalah melakukan interpretasi terhadap hasil
kategorisasi dengan hasil wawancara. Tujuannya untuk memudahkan
dalam memahami pembahasan kasus penelitian ini baru kemudian
peneliti dapat menarik kesimpulan akhir.
Analisis data juga didasarkan pada hasil pengamatan yang telah
diperoleh peneliti selama proses wawancara dan observasi berlangsung.
2. Koding
Transkrip verbatim yang telah dilakukan pada tahap pertama dibuat
lebih terperinci lagi sehingga masalah yang akan diteliti menjadi tampak
jelas. Koding dilakukan untuk dapat mengorganisasi dan mensistemasi
data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan
gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2005). Berikut ini
daftar kode dalam analisis data :
Tabel 3.2
Kode Organisasi Data
Aspek Hal-hal yang diungkap Kode Status, kehidupan keluarga, hubungan antara subjek dengan keluarganya
L. Ba.
Latar belakang kekerasan yang diterima, jenis kekerasan
L. Bk. Latar belakang Perasaan dan perilaku keseharian subjek
secara umum yang timbul sebagai reaksi atas hal yang terjadi padanya
L. Bh.
Kontak sosial
Kesediaan atau keinginan yang kuat untuk berhubungan dengan orang lain,
KS. Ki. P. → ada keinginan
56
keinginan untuk menjalin relasi dengan orang lain, bergaul dengan teman sebaya, menjalin hubungan dengan orang dewasa
KS. Ki. N. → tidak timbul keinginan
Perilaku-perilaku nonverbal (bertatap muka, kontak mata, ekspersi wajah, perilaku menangis, sikap tubuh seperti menggoyang-goyangkan badan/ kaki, meremas-remas tangan, memainkan benda di tangan), termasuk juga perilaku berbagi minat
KS. Pnv. P. → ada perilaku KS. Pnv. N. → tidak ada perilaku
Adanya hubungan timbal balik/ memberikan feedback
KS. Fb. P → beri feedback KS. Fb. N→ tdk ada feedback
Terjadinya kontak fisik; sentuhan fisik (berjabat tangan, berangkulan, belaian kepala, berciuman pipi)
KS. Fs. P → terjadi kontak KS. Fs. N → menolak terjadi kontak
Menjelaskan adanya proses transmisi pesan yang terjalin dengan lingkungan baik secara verbal maupun nonverbal, memulai komunikasi dengan orang lain, menangkap pesan dalam sebuah pertanyaan
Kom. Tp. P. → menjalin komunikasi Kom. Tp. N. → tidak menjalin komunikasi
Komunikasi verbal: bercakap-cakap, mencurahkan pikiran dan perasaan, baik secara individual maupun dalam kelompok
Kom. Vb. → komunikasi verbal
Komunikasi
Komunikasi non-verbal: mengangguk, menggelengkan kepala, melambaikan tangan
Kom. NVb. → komunikasi non-verbal
F. Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data
1. Kredibilitas
Dalam penelitian kualitatif, istilah kredibilitas digunakan untuk
menggantikan konsep validitas. Kredibilitas studi kualitatif terletak
pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau
mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi
57
yang kompleks. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kompleksitas
aspek-aspek yang terkait dan interaksi dari berbagai aspek menjadi
salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005).
Stangl (1980) dan Sarantakos (1993) menyatakan bahwa dalam
penelitian kualitatif, kredibilitas dicoba dicapai tidak melalui
manipulasi variabel, melainkan melalui orientasinya dan upayanya
mendalami dunia empiris dengan menggunakan metode yang paling
cocok untuk pengambilan dan analisis data (dalam Poerwandari,
2005).
Hal penting lain yang dapat meningkatkan generabilitas dan
kredibilitas penelitian kualitatif adalah melakukan triangulasi.
Triangulasi mengacu pada upaya mengambil sumber-sumber data yang
berbeda, dengan cara berbeda, untuk memperoleh kejelasan mengenai
suatu hal tertentu. Data dari berbagai sumber berbeda dapat digunakan
untuk mengelaborasi dan memperkaya penelitian, dan dengan
memperoleh data dari sumber berbeda, dengan teknik pengumpulan
yang berbeda, kita akan menguatkan derajat manfaat studi pada seting-
seting berbeda pula (Marshall & Rossman, 1995; dalam Poerwandari,
2005).
Sugiyono (2005) menyebutkan bahwa triangulasi dalam
pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari
berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dalam
58
penelitian ini, jenis triangulasi yang digunakan adalah triangulasi
sumber dan triangulasi teknik yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang
telah diperoleh melalui beberapa sumber. Data dari ketiga sumber
tersebut, tidak bisa dirata-ratakan seperti penelitian kuantitatif,
tetapi dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang
sama, yang berbeda, dan mana spesifik dari tiga sumber data
tersebut.
b. Triangulasi Teknik
Triangulasi teknik dilakukan dengan cara mengecek data kepada
sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data
diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi,
dokumentasi, atau kuesioner. Bila dengan tiga teknik pengujian
kredibilitas data tersebut, menghasilkan data yang berbeda-beda,
maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data
yang bersangkutan atau yang lain, untuk memastikan data mana
yang dianggap benar. Atau mungkin semuanya benar, karena sudut
pandangnya berbeda-beda.
c. Triangulasi Waktu
Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Untuk itu
dalam rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan
59
cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi, atau
teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda.
Dalam penelitian ini, jenis triangulasi yang akan digunakan
oleh peneliti adalah triangulasi sumber yang dilakukan dengan cara
melakukan wawancara terhadap korban kekerasan sebagai subjek
utama, dan significant other sebagai subjek tambahan. Significant
other disini misalnya orang tua/wali, pengasuh atau orang terdekat
korban.
2. Dependability
Melalui konstruk dependability, peneliti memperhitungkan
perubahan-perubahan yang mungkin terjadi menyangkut fenomena
yang diteliti, juga perubahan dalam desain sebagai hasil dari
pemahaman yang lebih mendalam tentang setting yang diteliti
(Poerwandari, 2005).
Dalam penelitian ini, dua subjek utama peneliti memiliki
kriteria yang sama yaitu masih dalam program monitoring oleh
lembaga yang menangani kasus mereka, sedangkan satu subjek utama
peneliti yang lain merupakan korban kekerasan yang tinggal dekat
dengan peneliti.
60
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
1. Alat pengumpulan data
Penelitian ini menggunakan metode wawancara semi tersruktur
dengan sebuah panduan wawancara supaya tujuan pokok wawancara dapat
tercapai tanpa membatasi informasi yang bisa didapatkan oleh peneliti.
Untuk menjaga validitas isi dari alat yang digunakan (dalam hal ini adalah
draft panduan pertanyaan yang dibuat oleh peneliti), maka peneliti
meminta pendapat dan masukan dari dosen pembimbing skripsi sebagai
professional judgement.
2. Subjek
Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan kriteria yang
sudah ditentukan dan disesuaikan dengan tujuan penelitian yang tertera di
bab III. Dalam penelitian ini, ditemukan tiga orang subjek. Tahap
persiapan yang dilakukan peneliti terhadap subjek yang didapat adalah
sebagai berikut:
a. Pencarian subjek pertama dan kedua melewati tahapan yang sama
karena berada dalam satu naungan lembaga, sedangkan subjek ketiga
merupakan putri pemilik kos tempat peneliti tinggal. Proses pencarian
subjek 1 dan 2 dimulai dengan pengajuan dan penyerahan surat
permohonan ijin melaksanakan penelitian beserta Surat Keterangan
61
Penelitian dari fakultas di Lembaga Perlindungan Anak Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (LPA-DIY). Pemilihan LPA sebagai
tempat penelitian dianggap tepat karena di LPA-DIY dapat
menemukan subjek yang tepat dan sesuai dengan karakteristik yang
telah ditentukan. Pada bulan November 2006 peneliti masuk sebagai
staff-volunteer di LPA-DIY dan menjalankan tugas monitoring di
Trauma Center yang merupakan tempat peneliti melaksanakan
penelitian ini. Untuk subjek 3, peneliti tidak menemui banyak
kesulitan Subjek ketiga dalam penelitian ini adalah putri dari seorang
pemilik salah satu rumah kos di daerah Sleman. Peneliti sendiri sudah
sekitar satu tahun mengenal subjek. Peneliti tinggal di salah satu kamar
di rumah kos tersebut, sehingga peneliti dapat mengamati subjek
dengan lebih dekat dan detil. Selain melakukan wawancara terhadap
subjek, peneliti juga melakukan wawancara terhadap orang-orang yang
dianggap sebagai significant other subjek. Dalam hal ini adalah
advokat dan pengasuh/ pembimbing untuk subjek 1 dan 2, sedangkan
untuk subjek 3, peneliti melakukan wawancara terhadap guru kelasnya
serta seorang anak kos yang sudah lama tinggal di kos-kosan itu
(sekitar 5 tahun) dan sudah terjalin hubungan yang dekat antara dirinya
dengan keluarga subjek. Wawancara tersebut bertujuan untuk
menggali lebih dalam tentang diri subjek, latar belakangnya, dan juga
sebagai cross check atas pernyataan yang dikemukakan subjek saat
proses wawancara.
62
b. Melakukan pendekatan/ rapport agar proses pengumpulan data dapat
berjalan dengan lancar, subjek dapat bersikap terbuka pada peneliti,
dan supaya penelitian ini tetap dapat memotret realita yang ada dengan
sesungguhnya. Supaya terjalin rapport yang baik antara peneliti
dengan subjek 1 dan 2, peneliti datang ke trauma center (TC) minimal
2 minggu sekali. Peneliti menjalin hubungan dengan cara menemani
mereka bermain dan belajar sehingga peneliti bisa melakukan
observasi sesuai dengan kriteria situasi yang tertera pada bab III untuk
subjek 1 dan 2, pendekatan yang dilakukan peneliti memakan waktu
cukup lama (± beberapa bulan) sebelum penelitian dimulai. Hal ini
dilakukan untuk menjaga kedekatan antara subjek dan peneliti karena
subjek 1 dan 2 ternyata adalah anak yang tertutup namun tampak
memiliki agresifitas yang cukup tinggi. Subjek 3 adalah anak yang
sudah peneliti kenal selama kurang lebih 1 tahun. Pada dasarnya,
subjek 3 adalah anak yang mudah diajak bicara sehingga tidak sulit
bagi peneliti untuk membangun rapport dengan subjek. Hal yang
selanjutnya dilakukan oleh peneliti adalah membuat janji dengan
subjek dan significant other-nya untuk melakukan wawancara.
Banyaknya wawancara yang terjadi berbeda tiap subjeknya. Pada
waktu wawancara yang telah ditentukan baik dengan subjek maupun
dengan significant othernya, peneliti menyiapkan tape recorder, kaset
kosong, mp3, buku catatan dan alat tulis untuk mencatat hal-hal yang
dirasa perlu selama wawancara.
63
B. Pelaksanaan Penelitian
Pada saat penelitian ini dilaksanakan, banyaknya wawancara dan
observasi berbeda tiap subjek tergantung dari situasi subjek saat itu. Proses
pengambilan data secara ringkas dijelaskan pada tabel 4.1 dibawah ini :
Subjek Waktu Tempat Kegiatan
20 Juni 2007 Ruang tv TC Observasi lapangan penelitian (tempat tinggal TI & AR)
23 Juni 2007 Depan kamar pengasuh Observasi 1 TI
27 Juni 2007 Ruang tv TC Observasi 2 TI 29 Juni 2007 Ruang tv TC Observasi 3 TI 4 Juli 2007 Ruang tamu TC Wawancara 1 mb Tn &
Observasi 4 TI 11 Juli 2007 Ruang tv TC Wawancara 2 mb Tn &
Observasi 5 TI 19 Juli 2007 Kantor LPA-DIY Wawancara pak Prn 23 Juli 2007 Ruang tv TC Wawancara 1 TI &
observasi 6 TI 25 Juli 2007 Ruang tamu TC Wawancara 2 TI &
observasi 7 TI 30 Juli 2007 Ruang tamu TC Wawancara 3 TI &
observasi 8 TI 6 Agustus 2007 Ruang tamu TC Wawancara 4 TI &
observasi 9 TI
1
8 Agustus 2007 Ruang tamu TC Wawancara 5 TI & observasi 10 TI
20 Juni 2007 Ruang tamu TC Observasi lapangan penelitian (tempat tinggal TI & AR) & observasi 1 AR
29 Juni 2007 Teras depan & ruang tv TC
Wawancara 1 AR & observasi 2 AR
4 Juli 2007 Ruang tamu & ruang tv TC
Observasi 3 AR
11 Juli 2007 Ruang tv TC Observasi 4 AR 23 Juli 2007 Ruang tv TC Wawancara mb Tn &
Observasi 5 AR 1 Agustus 2007 Ruang tamu TC Wawancara 2 AR &
observasi 6 AR 21 Februari 2008 Kantor PSAA Wawancara bu An
2
27 Februari 2007 Kantor LPA-DIY Wawancara pak Prn
64
23 Mei 2007 Kamar mb Wn Observasi 1 YP 26 Mei 2007 Kamar peneliti Wawancara 1 YP 28 Mei 2007 Kamar kos mb Wn Wawancara 1 mb Wn 29 Mei 2007 Kamar kos peneliti Wawancara 2 mb Wn 10 Juni 2007 Rumah ibu YP Observasi 2 YP 24 Juni 2007 Rumah ibu YP Observasi 3 YP 12 Juli 2007 Rumah ibu YP Observasi 4 YP
3 Agustus 2007 Sebuah restoran keluarga Wawancara 2 YP 26 Agustus 2007 Teras rumah YP dan
lapangan depan rumah YP
Observasi 5 YP
19 Oktober 2007 Rumah nenek Ng Observasi 6 YP 3 November 2007 Kamar kos mb Wn Wawancara 3 mb Wn
3
29 Februari 2008 Sekolah subjek (SD Kanisius)
Wawancara bu Pl
Keterangan : Subjek : TI : subjek 1 AR : subjek 2 YP : subjek 3 Significant Other : Pak Prn : advokat subjek 1 dan 2 (SO) Mb Tn : pengasuh/ pembimbing subjek 1 dan 2 Bu An : kepala TC Mb Wn : penghuni rumah subjek 3 Bu Pl : guru kelas subjek 3
Untuk subjek TI, peneliti melakukan 5 kali wawancara terhadap
subjek, 3 kali wawancara terhadap significant others serta didukung dengan 10
kali observasi terhadap subjek diberbagai situasi. Untuk subjek AR, peneliti
melakukan 2 kali wawancara terhadap subjek, 3 kali wawancara terhadap
significant others dan didukung dengan 6 kali observasi terhadap AR di
berbagai situasi. Untuk subjek YP, wawancara terjadi dua kali di tempat yang
berbeda dan 6 kali observasi di berbagai situasi. Peneliti juga melakukan
wawancara terhadap significant others YP sebanyak 4 kali. Wawancara
pertama terhadap YP terjadi di kamar peneliti, sedangkan wawancara kedua
dilakukan di sebuah restoran keluarga. Wawancara kedua dilakukan di tempat
65
yang cukup jauh dari rumah subjek dengan tujuan supaya subjek dapat lebih
bebas mengutarakan isi hati dan pikirannya. Peneliti berharap subjek tidak
merasakan tekanan sedikitpun seperti apabila ia berada di rumah sehingga
subjek tidak melakukan faking saat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari
peneliti.
C. Hasil Penelitian
1. Subjek 1
a. Identitas
Nama : TI
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 7 tahun
Agama : Islam
Urutan kelahiran : Anak 1 dari 2 bersaudara
Status : Anak diluar nikah (ayah tidak diketahui)
Status sosial ekonomi : Rendah
Deskripsi subjek :
Subjek 1 (untuk selanjutnya disebut dengan TI) memiliki
perawakan yang kecil dan kurus. TI memiliki potongan rambut cepak
dan berwarna hitam serta berkulit sawo matang cenderung hitam. Raut
wajahnya ‘keras’ dan dapat dikatakan jarang tersenyum (sepanjang
pengamatan peneliti dan berdasarkan hasil wawancara dengan pihak
pengasuhnya). Gaya bicaranya cenderung kasar dan dengan intonasi
66
tinggi namun volume suaranya pelan, bahkan tak jarang seperti
berbisik pada lawan bicaranya.
Pada saat penelitian ini dilakukan TI berusia 7 tahun dan
sudah tinggal di Trauma Center (TC) selama hampir 2 tahun. TI
dibawa ke TC pada usia 5 tahun setelah kekerasan yang terakhir kali
diterima TI dari neneknya.
b. Latar belakang
1) Keluarga
Pada dasarnya TI merasa senang berkumpul dengan
keluarganya, karena adanya kedekatan antara TI dengan ibu dan
adiknya. Walaupun ibu dan neneknya yang melakukan tindak
kekerasan terhadap TI dan adiknya, namun lebih banyak neneknya
yang melakukan sehingga menimbulkan kebencian dalam diri TI
terhadap neneknya. Hal tersebut juga menimbulkan ‘jarak’ antara
TI dengan neneknya. Pada awal TI berada di TC, ia masih
menanyakan tentang ibunya walaupun semakin lama sudah tidak
lagi bahkan cenderung menghindar saat pengasuhnya
membicarakan tentang keluarga TI.
TI menyimpan kebencian terhadap neneknya karena
perilaku neneknya yang lebih dominan dalam hal memberi
perlakuan kekerasan, namun hubungan TI dengan ibunya masih
dapat dikatakan dekat karena TI dan adiknya sering diajak pergi
67
oleh ibunya menonton ketoprak atau ke tempat-tempat hiburan
bersama dengan seorang pria yang menjadi ‘teman dekat’ ibunya
(ibu TI menjadi selingkuhannya karena pria itu sudah beristri). TI
tidak mengetahui siapa ayah kandungnya karena TI terlahir dari
hubungan antara ibunya dengan seorang pria yang berasal dari
lingkungan yang sama dengan ibunya namun pada akhirnya tidak
bertanggung jawab. Setelah itu, beberapa tahun kemudian, ibu TI
berhubungan lagi dengan seorang laki-laki yang berasal dari daerah
Pringwulung dan hasil dari hubungan itu adalah adik dari TI yang
diberi nama SL. Jadi dapat dikatakan bahwa TI dan SL adalah
saudara tiri (satu ibu tetapi berbeda ayah).
Walaupun bukan saudara kandung, tetapi TI sangat
menyayangi adiknya dan selalu melindungi adiknya dari tindak
kekerasan yang dilakukan oleh neneknya dan terkadang juga oleh
ibunya. TI dan adiknya tidak pernah mendapatkan perhatian dan
kasih sayang yang selayaknya dari ibu dan neneknya. Hal yang
diberikan pada TI dan adiknya oleh sang ibu hanyalah pemenuhan
kebutuhan fisik.
2) Kekerasan yang dialami
Selama TI masih tinggal bersama dengan keluarganya, ia
selalu mendapatkan tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh
ibu dan neneknya, namun neneknya lebih dominan dalam hal ini.
TI dan adiknya, SL, sering dijadikan komoditas untuk mendukung
68
ibu dan neneknya meminta-minta uang di jalan (mengemis). Saat
itu SL masih berusia 2 tahun dan ikut dibawa ke jalan supaya
mendapatkan uang dari pengguna jalan yang merasa iba pada
mereka. Kekerasan yang terjadi di keluarga TI sudah berlangsung
turun-temurun sejak ibu TI masih kecil. Sejak ada TI, nenek TI
memanfaatkan dirinya untuk meminta-minta di jalan menggantikan
ibunya. Oleh karena itu semenjak TI dibawa ke TC dan dilepaskan
dari kekerasan yang ia terima dari keluarganya, semakin lama TI
semakin merasakan kenyamanan dari hidupnya saat ini.
Sebelum dibawa ke jalan, terkadang TI dikondisikan
terluka sehingga bisa menimbulkan rasa iba bagi orang yang
melihatnya. TI dibentur-benturkan ke dinding hingga berdarah,
dipukul dan ditendang. Jika ia tidak mau melakukannya, ia akan
menerima perlakuan kekerasan yang lebih parah lagi. Selain
kekerasan fisik, TI juga kerap menerima tindak kekerasan psikis
berupa kata-kata kasar, makian dan umpatan-umpatan yang seolah-
olah sudah menjadi santapannya sehari-hari. TI juga sering melihat
percekcokan antara nenek dan ibunya yang seringkali
mengeluarkan kata-kata ‘kotor’ dan umpatan-umpatan yang
akhirnya ‘direkam’ oleh TI kecil.
Tindak kekerasan yang ada di keluarga TI sebagai upaya
untuk mencari penghasilan sudah terjadi turun temurun sejak ibu
TI masih berusia kanak-kanak. Kemudian sejak ada TI, ibu dan
69
nenek TI memanfaatkan dirinya untuk meminta-minta di jalan raya
setelah diberi perlakuan kekerasan untuk menambah rasa iba dari
para pengguna jalan yang melihatnya. Fakta tersebut memperkuat
pernyataan dari Leach (1998) yang menyebutkan bahwa dalam
fenomena kekerasan terhadap anak, sangat dimungkinkan terjadi
transmisi kekerasan antar generasi. Tindak kekerasan sebagai
bagian dari perlakuan salah yang dialami orangtua dimasa lalunya,
sangat dimungkinkan kemballi terulang pada generasi selanjutnya
dimana orangtua kini menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-
anaknya.
3) Keseharian TI
Selama masih tinggal bersama dengan keluarganya, TI
tidak pernah sekolah dan kesehariannya dihabiskan di jalan untuk
membantu ibu dan neneknya meminta-minta. Sejak kecil ia hidup
di lingkungan yang penuh konflik dan bahkan sering menjadi
korban dari perseteruan yang terjadi antara ibu dan neneknya Dapat
dikatakan bahwa kondisi rumah keluarga TI memprihatinkan.
Menurut salah seorang informan yang peneliti wawancarai,
pakaian yang mereka kenakan dan rumah tinggal keluarga TI sudah
tidak layak dari segi kesehatan. Di rumah itu hanya terdapat satu
kamar dan hanya ada satu tempat tidur dengan kasur yang sudah
kumal dan tidak layak pakai.
70
Keluarga TI dikucilkan dari pergaulan, sehingga TI tidak
memiliki teman saat ia masih tinggal dengan ibu dan neneknya.
Setiap hari TI hanya bermain sendiri atau dengan adik satu-satunya
(SL) sehingga ia terbiasa sendirian. Hubungan antara TI dengan
adiknya terjalin baik karena TI sangat memperhatikan adiknya
hingga saat ia dibawa ke TC dan adiknya meninggal dunia tanpa
sepengetahuannya.
TI masih menyimpan kecemasan hingga kini berkaitan
dengan kekerasan yang ia terima dari ibu dan neneknya. Hingga
setahun setelah TI dibawa ke TC, ia masih mengompol saat tidur.
Selain itu, TI selalu merasa ketakutan terhadap gelap, guyuran air,
dan sambal. Setiap kali ia diguyur air di kamar mandi atau melihat
ada sambal di dekat piring makannya, TI akan langsung menangis
keras. Hal tersebut sebagai dampak dari kekerasan yang pernah ia
terima dari ibu dan neneknya. TI menjadi gelisah dan raut
wajahnya tiba-tiba berubah cemberut dan tampak marah, kemudian
berkata dengan nada kasar pada pengasuhnya saat pengasuhnya
menunjukkan sebuah gambar kebaya yang ada di suatu halaman
majalah dan mengatakan bahwa kebaya itu sama seperti kepunyaan
ibu TI. Kekerasan yang diterima TI berdampak juga pada
hubungan sosialnya yang ditunjukkan oleh kelekatannya dengan
teman yang disertai rasa tidak aman dan ia juga sulit mempercayai
orang lain.
71
Awal TI tinggal di TC, pola perilakunya masih sama seperti
ketika ia masih tinggal bersama dengan ibu dan neneknya. TI
berperilaku urakan dan bertemperamen kasar, karena sejak TI
mulai bisa ‘menangkap’ dan ‘mengerti’ keadaan di sekitarnya, ia
sudah melihat hal-hal yang tidak pas untuk usia anak-anak. Setiap
hari TI dibawa ke ‘jalan’ dan hidup di lingkungan yang penuh
konflik, bahkan menjadi korban dari konflik tersebut. TI memiliki
agresifitas tinggi, terutama pada saat ia merasa marah. Ia suka
membentak-bentak, membanting barang atau melemparnya. Tetapi
sekarang ini, TI lebih menunjukkan sikap diam termasuk pada saat
ia sedang marah, dibandingkan saat awal ia berada di TC, dimana
agresifitasnya masih tinggi.
Menurut pengasuhnya, TI adalah anak yang sulit untuk
diajak bicara. Penanggungjawab hukum TI mengatakan bahwa jika
TI mau beradaptasi dengan teman-temannya sejak awal tinggal di
TC, ada kemungkinan ia sudah mengalami perubahan perilaku
lebih cepat. Selama ini, TI tumbuh menjadi anak yang individualis
dan cenderung liar. Namun begitu, ia juga mengatakan bahwa saat
ini TI sudah merasakan kenyamanan dari hidupnya saat ini. Ia juga
sudah mengalami kemajuan dalam hal perbaikan perilaku semenjak
ia masuk TC.
72
c. Kontak sosial
Aspek kontak sosial yang akan dilihat dalam diri subjek
antara lain meliputi, kesediaan atau keinginan yang kuat untuk
berhubungan dengan orang lain atau dengan kata lain menjalin relasi
dengan orang-orang di sekitarnya, menunjukkan perilaku-perilaku non-
verbal, termasuk juga perilaku berbagi minat, adanya hubungan timbal
balik/ terjadi feedback serta terjadinya kontak fisik. Hal ini juga
berlaku bagi subjek 2 dan 3. Adapun aspek kontak sosial yang tergali
dari diri subjek 1 (TI) selama proses wawancara dan observasi dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Subjek TI memiliki keinginan untuk menjalin relasi dengan
teman sebayanya. TI senang bergaul dengan teman-temannya dan ia
juga beranggapan bahwa penting baginya untuk berteman karena
manfaat bergaul adalah bisa diajak bermain bersama supaya ia tidak
sendirian.
“penting mbak; yo ben ora dewekan mbak” (wwcr2.S1.TI.brs. 53; 56) “seneng mbak” (wwcr2.S1.TI.brs. 60) “ikut mbak; yo seneng mbak” (wwcr2.S1.TI.brs.86; 88) “Suka main sama temen-temen... ...soale kalo temennya banyak jadi bisa ikutan..bisa punya temen yang banyak” (wwcr5. S1. TI. brs. 62) “Manfaatnya ya bisa diajak mainan bareng mbak” (wwcr5. S1. TI. brs. 60)
Oleh karena itu, TI akan merasa sedih jika berada sendiri
karena tidak ada yang bisa diajak bermain.
73
“yo...sedih mbak ; ora ono sing diajak dolanan” (wwcr5. S1. TI. brs. 66; 68)
TI bersedia bermain bersama bersama dengan teman barunya
di sekolah agar temannya bertambah. Saat melihat teman yang sedang
sendirian pun, TI akan mendekati dan mengajak bicara meskipun
dengan perasaan takut.
“Mau mbak..mau sama temen baru di sekolah..mau mainan biar temennya tambah” (wwcr5. S1. TI. brs. 89) “aku deketin mbak..ngajak ngobrol..; Yo wedi mbak...; Mau mbak ngajak ngobrol. (wwcr5. S1. TI. brs. 111; 113; 115)
Selain itu, TI juga memandang perlu dan penting untuk
memberi salam dan berteman dengan orang dewasa karena bisa
menolongnya kalau sedang susah.
“ya perlu mbak” (wwcr5. S1. TI. brs. 52) “ya penting mbak..karena dia bisa nolongin kalo lagi susah” (wwcr5. S1. TI. brs. 57) “Aku seneng mbak...bisa deket-dekat sama orang gede soalnya bisa nolongin” (wwcr5. S1. TI. brs. 79)
Namun, saat subjek bertemu dengan orang dewasa yang
masih asing baginya/ belum ia kenal, ia merasa takut, tidak mau
menjalin kontak dengannya dan memilih untuk pergi.
“wong lanang mbak..aku rak nyedaki..wedi mbak; nek wonge jahat piye mbak?” (wwcr4. S1. TI. 60807.brs.28; 32) “Kalo belum kenal ya aku nggak mau mbak...ya aku pergi aja..” (wwcr5.S1.TI.brs. 30)
Hal tersebut diperkuat oleh penuturan pak Prn yang
merupakan penanggungjawab hukum TI. Ia mengungkapkan bahwa
74
saat TI berada di tempat yang baru, pada awalnya TI tidak mau bergaul
dengan teman sebayanya dan sulit beradaptasi. Jika ada seorang teman
yang menegur TI, TI akan memberikan respon/ jawaban, namun jika
tidak, TI lebih memilih untuk diam dan TI juga tidak mau mendekati
orang yang belum dikenal, baik orang dewasa maupun sebayanya.
“Kalo si TI itu karena memang tidak sering bersosialisasi dengan teman sebaya itu disana pertama adalah tidak mau bergaul ya kalau saya lihat dan dia mau menangnya sendiri” (wwcr. SO1. Prn. brs. 149-151) “...dan dia mungkin kalo ada temen lain yang negur dia baru mau jawab tapi kalo engga, prinsip dia diem aja” (wwcr. SO1. Prn. brs.151-152) “Kalau dia lagi nyetel tv terus ada yang ngganti, wah dia udah ngamuk-ngamuk itu jadi model-model seperti itu, dia nggak mau bersosialisasi dengan baik dengan sebayanya. Lebih mentingin diri sendiri dan tidak mau beradaptasi dan bersosialisasi. Saya melihatnya awalnya seperti itu” (wwcr. SO1. Prn. brs.153-156) “Mbok ada anak kecil, nggak pernah untuk, biasanya khan kalau ada anak khan coba-coba untuk mendekat biar nanti bisa diajak ngomong, main bareng, tapi enggak TI itu sudah individu sekali dan dia dimana-mana nggak ada rasa takut. Itu yang makanya cenderung liarnya itu” (wwcr. SO1. Prn. brs. 247-250)
TI bersedia bermain dengan orang dewasa jika ia sudah
mengenalnya dengan baik. Ia akan pergi dan tidak mau didekati oleh
orang yang masih asing baginya dan ia merasa takut untuk berteman
dengan orang dewasa yang belum ia kenal. TI termasuk anak yang
sulit bergaul dengan orang baru. Ia sering tidak mau bila diajak bicara
dan bermain bersama oleh orang yang masih asing baginya. Ia tidak
memberi respon atau feedback saat disapa orang yang tidak/ belum ia
kenal.
75
“Aku mau temenan sama orang gede...ning aku wis kenal” (wwcr5. S1. TI. brs. 82) “Yo wedi mbak” (wwcr5. S1. TI. brs. 86) “yo aku meneng wae mbak” (wwcr4. S1. TI. brs.39)
Pernyataan TI di atas diperkuat oleh pernyataan yang
diungkapkan oleh pengasuh TI.
“TI itu emang kayak gitu kalo sama orang baru. Agak susah. Apalagi kalo diajak main, ngobrol gitu suka nggak mau mbak. Tapi kalo udah lama, dah kenal gitu, kayak sama saya ato mbak Rin, ya dia mau cerita” (wwcr1. SO1. MbTn. brs. 4-6)
Hal tersebut juga didukung oleh hasil observasi yang
dilakukan terhadap TI saat peneliti mencoba mengajak TI
berbincang-bincang. TI tidak menanggapi dan bermain sendiri,
bahkan tidak merespon sama sekali (Obsv1.S1.TI.no.2; 5)
Selain itu, TI juga cenderung menghindari hal-hal yang
membuat ia tidak merasa nyaman seperti perbincangan dengan orang
yang tidak ia kenal atau topik pembicaraan yang tidak ia sukai. TI
seringkali tidak mau menanggapi dan tidak memberikan timbal balik
pada lawan bicaranya atau orang yang ia hadapi saat itu. Walaupun
begitu, terkadang TI merespon atau memberikan tanggapan bukan
dalam bentuk komunikasi verbal tetapi perbuatan sesuai yang diminta
oleh lawan bicaranya. Hal tersebut tampak pada hasil observasi yang
dilakukan peneliti terhadap TI (Obsv1.S1.TI.no.3; Obsv3.S1.TI.no.1;
Obsv5.S1.TI.no.2; Obsv7.S1. TI.no.3; Obsv8.S1.TI.no.3;
Obsv9.S1.TI.no.3).
76
Ia tidak mau memainkan mainannya bersama temannya
karena tidak mau mainannya diminta oleh temannya.
“biasane aku nek dolanan dewekan mbak; luwih seneng mbak; tapi engko dijaluk mbak karo kancane” (wwcr2.S1.TI.brs. 64; 66; 74) “TI itu emang suka main-main sendiri. Kalo temen-temennya nonton tv, kadang dia lebih suka main sendiri sama mainan-mainannya” (wwcr1. SO1. MbTn. brs. 26-27) “Kalo TI lebih suka main sendiri mbak. Kalo misalnya temen-temennya lagi main apa gitu. TI malah main-main sendiri sama mainan-mainannya” (wwcr2. SO1. MbTn. brs. 22-23)
TI juga mengembangkan sikap egoisme, dimana ia tidak
mengijinkan barangnya dipinjam oleh temannya dan ia bisa merasa
marah jika ada teman yang mengambil barang/ mainannya, namun ia
meminta sesuatu pada orang lain dengan cara merebut dan
membentak. Termasuk saat peneliti akan mengambilkan mainannya
yang terjatuh dan mengembalikannya, TI merebut mainan itu dan
menepis tangan peneliti Hal tersebut terlihat dari observasi yang
dilakukan peneliti terhadap TI (Obsv2.S1.TI.no.3;
Obsv4.S1.TI.no.1;2; Obsv4.S1.TI.no. 3).
Pengasuhnya juga mengatakan bahwa TI tidak suka
mainannya dipinjam oleh temannya.
“Ya biar bisa mainan sendiri mbak.. Kalo mainnya sendirian khan nggak perlu pinjem-pinjeman mainan mbak. TI khan pelit” (wwcr2.S1.TI.brs. 69-70)
Walaupun begitu, saat TI sedang bersama dengan teman-
temannya pada jam istirahat sekolah, ia suka bermain bahkan
77
mengerjakan tugas bersama dengan teman-teman yang dekat
dengannya.
“tuku jajan mbak; ora mbak..karo kancaku” (wwcr2.S1.TI.brs.90; 92) “Mainan kejar-kejaran; Ya bisa jajan..bisa mainan sama temen-temen” (wwcr5. S1. TI. brs. 74; 76) “Pernah mbak..ngerjake tugas bareng kancaku” (wwcr5. S1. TI. brs. 102)
Pada saat TI mendapatkan tugas yang harus diselesaikan
bersama, ia akan mengerjakan tugas tersebut dengan temannya di
sekolah. Namun jika TI belajar di rumah, ia lebih suka belajar sendiri,
tidak bergabung dengan teman-temannya yang lain. Seperti saat TI
ketika sedang tidak bersama dengan teman-teman dekatnya, TI akan
lebih memilih untuk bermain atau belajar sendirian.
“Main; Sendiri” (wwcr1.S1.TI.brs. 14; 18) “Enggak mbak. Kalo dirumah belajarnya sendiri-sendiri mbak” (wwcr5. S1. TI. brs. 98; 100-101) “Ya emang gitu mbak. TI emang kurang bergaul sama temen-temennya disini. Kalo lagi nonton rame-rame juga gitu. Temen-temennya pada ribut nonton tv, TInya malah main sendiri. Ngobrol juga jarang banget kok mbak” (wwcr2. SO1. MbTn. brs.29-31)
Hal itu juga tampak dari hasil pengamatan peneliti terhadap
perilaku TI. Saat anak-anak dan pengasuh termasuk juga peneliti
menonton tv, TI memisahkan diri dan malah asik bermain sendiri
dengan mainan-mainannya yang ada dikardus (Obsv4.S1.TI.no. 4).
TI menyimpan perasaan takut jika berpandangan mata dengan
lawan bicara yang sudah dewasa, sehingga pada saat diajak bicara
78
oleh pengasuhnya, TI menanggapi pembicaraan tersebut, tetapi
wajahnya memandang ke arah lain seolah menghindar dari
pandangan pengasuhnya. Begitu pula saat peneliti mengajak TI
berbicara, terkadang TI hanya diam dan ketika tak sengaja bertemu
pandang dengan peneliti, TI langsung menghindar dan memalingkan
wajahnya walaupun ia mau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh
peneliti.
“aku takut mbak..tapi kadang-kadang aku liat...” (wwcr5. S1. TI. brs. 37)
Pernyataan subjek tersebut diperkuat oleh pernyataan dari
pengasuhnya.
“Ya memang begitu mbak TI itu. Jangankan sama mbak otic, sama saya sama mbak Rin aja kadang nggak mau menatap mata kalo lagi bicara. Misalnya saya ato mbak Rin ngobrol sama TI., ya ‘nyaut’, nanggepin omongan saya sama mbak Rin tapi matanya kemana-mana. Ngomongnya sama saya tapi mukanya ngeliatnya ke tv, ato ke atas ato ke samping. Paling ngeliat saya ya cuma sebentar” (wwcr2. SO1. MbTn. brs. 14-18)
Hal itu juga terlihat saat pertama kali peneliti berkenalan dengan TI.
Saat peneliti menyapa sambil mengulurkan tangan, TI mau
menyambut walaupun hanya cium tangan saja tanpa melihat muka
peneliti dan bertatapan mata (Obsv1.S1.TI.no.1).
Pada dasarnya, TI merasa senang jika dipeluk oleh orang
dewasa yang ada di dekatnya karena ia berpikir bahwa orang tersebut
sayang terhadapnya.
79
“Ya seneng mbak...; Ya...orang itu ada rasa sayang sama aku mbak” (wwcr5. S1. TI. brs. 44; 48)
Namun, jika berhadapan dengan orang yang belum atau baru
ia kenal, TI akan cenderung menghindari kontak fisik dengan orang
tersebut.
“Kalau awal mula, dia tidak bisa ya, jadi dia modelnya model pendekatan kasar, jadi misalnya “eh piye le..” dan dia di pegang gitu, diginikan (sambil memperagakan gerakan menepis tangan lawan bicara) kalau dia nggak butuh ya..” (wwcr. SO1. Prn. brs. 161-163)
Hal tersebut tampak pula saat peneliti ikut bergabung bermain
bersama dengan teman-teman TI. TI tidak membalas sapaan peneliti
saat peneliti ikut duduk bersama TI dan ia menggeser tubuhnya
menjauh dari peneliti. Begitu pula saat peneliti menepuk punggung TI
dan mengelus kepalanya, TI tidak berkata apapun, hanya memandang
peneliti dengan tatapan tajam dan langsung pergi dari hadapan
peneliti (Obsv2.S1TI.no.1; 4).
Namun dengan sentuhan-sentuhan yang banyak dilakukan
oleh para pengasuh di TC sebagai salah satu terapi perilaku, sehingga
TI menjadi terbiasa dengan adanya sentuhan fisik yang lembut,
termasuk juga TI luluh dan bisa melakukan dan menerima kontak
fisik dengan orang lain.
“Ya mungkin dengan sentuhan-sentuhan yang banyak dilakukan, dulu khan pengasuhnya sangat anu sekali mbak itu ya akhirnya ya luluh juga. Akhirnya kalo pas saya kesana itu ya langsung nemplok. Njaluk pangku, ya gitu. Memang sangat
80
butuh belaian kasih sayang betul anak itu...” (wwcr. SO1. Prn. brs. 172-178)
Hal tersebut lebih diperkuat oleh hasil pengamatan peneliti terhadap
perilaku keseharian TI dalam hal melakukan dan menerima kontak
fisik dengan orang lain termasuk saat menjalin hubungan dengan
peneliti. TI sudah mulai mengajak peneliti bersalaman lebih dulu,
duduk dan bersandar di kaki peneliti saat menonton tv, tidak menolak
belaian tangan peneliti di kepalanya (Obsv6.S1.TI.no.1;2;
Obsv7.S1.TI.no.4; Obsv10.S1.TI.no.4; Obsv11.S1.TI.no.3).
Pada dasarnya TI memiliki keinginan untuk dapat menjalin
relasi dengan orang lain. Namun, TI cenderung menutup diri saat ia
berada di lingkungan baru sehingga menjadi tidak aktif dalam relasi
sosialnya. TI memiliki kewaspadaan yang tinggi yang menimbulkan
hambatan bagi TI dalam berkenalan dengan orang baru atau orang
yang masih asing bagi dirinya, terutama dengan orang dewasa. Ia
cenderung menghindar dan merasa takut menjalin kontak dengan
orang tersebut. Selain itu, TI menghindari kontak fisik bahkan tidak
memberikan timbal balik (feedback) pada orang tersebut. Namun jika
subjek sudah mulai merasa aman dan percaya terhadap orang dewasa,
maka mudah bagi subjek untuk mengenalnya dan menjalin relasi
dengannya. TI lebih mudah mengenal teman baru yang sebaya
dengannya daripada orang dewasa yang belum/ baru dikenalnya.
81
Secara umum, dapat dikatakan bahwa TI tidak memiliki
hambatan dalam menjalin kontak sosial dengan teman sebayanya,
hanya saja ia kesulitan untuk beradaptasi dan memulai perkenalan di
tempat yang baru baginya. Namun di sisi lain, TI menemui hambatan
dalam menjalin kontak dengan orang dewasa, terutama orang dewasa
yang masih asing baginya, karena ia merasa takut.
d. Komunikasi
Aspek komunikasi yang akan dilihat dalam diri subjek antara
lain meliputi: adanya proses transmisi pesan yang terjalin antara subjek
dengan lingkungan secara verbal dan non-verbal, memulai komunikasi
dengan orang lain, komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal yang
subjek lakukan. Hal ini juga berlaku bagi subjek 2 dan 3. Adapun
aspek komunikasi yang tergali dari diri subjek selama proses
wawancara dan observasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Perlakuan kekerasan membuat subjek takut untuk
mengutarakan perasaan yang sedang ia alami kepada gurunya. Jika ada
kesulitan di sekolah/ kelas pun TI tidak mau bertanya pada gurunya
walaupun menurutnya guru tersebut tidak galak. Ia juga menjadi tidak
berani untuk mengutarakan keinginannya pada orang lain karena
khawatir orang tersebut akan marah. Seperti saat ia tidak berusaha
berkata pada temannya agar tidak ditinggal saat pulang sekolah, atau
TI yang tidak mau mengatakan pada temannya supaya jangan
mengambil/ meminta mainannya.
82
“enggak mbak; ya nggak apa-apa mbak; enggak mbak; aku takut mbak; ya takut aja mbak; nanti dimarahi mbak” (wwcr3.S1.TI.brs. 30-44) “ora mba. Aku rak ngomong karo mb Dw” (wwcr2.S1.TI.brs. 35) “lha engko nesu mbak” (wwcr2.S1.TI.brs.79)
Perilaku tersebut juga tampak pada saat TI berhadapan dengan
pengasuhnya dan juga saat diajak berbicara oleh peneliti seperti yang
terungkap dari hasil pengamatan peneliti terhadap TI. TI hanya diam
dan tidak berbicara atau meminta mainannya saat pengasuhnya
mengambil mainan TI. Begitu pula saat peneliti mencoba memancing
TI untuk berbicara dan mengatakan permintaannya tetapi TI hanya
diam dan sewaktu TI secara tidak sengaja bertatapan mata dengan
peneliti, TI langsung menghindar dan memalingkan wajahnya
(Obsv3.S1.TI.no.3; Obsv5.S1.TI.no.3)
Namun, jika TI berhadapan dengan orang yang sudah ia kenal
dekat, TI berani untuk mulai bercerita, mengungkapkan keinginannya
atau juga memberikan ide/ buah pikirannya.
“Pernah mbak..kadang-kadang aku usul” (wwcr5. S1. TI. brs. 106)
Hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan dari pengasuhnya.
“TI itu orangnya tertutup mbak, jarang mau ngobrol sama orang kecuali kalo udah deket dan percaya” (wwcr1. SO1. MbTn. brs. 25-28). “Ya diem. TI itu anaknya pendiem kok mbak. Kalo nggak dekat banget nggak mau cerita-cerita” (wwcr2. SO1. MbTn. brs 41-42)
83
Perilaku tersebut juga tampak saat TI mengungkapkan keinginannya
pada bu An yang sudah ia kenal dengan baik. TI masuk ke dalam
kantor PSAA dan menemui bu An, lalu meminta bu An supaya
mengajak pak RT di tempat tinggal TI dulu untuk datang ke TC
menjenguk TI (Obsv5.S1.TI.no.1).
TI termasuk suka ‘pilih-pilih’ dalam berteman dan terkadang
TI bersedia berbagi dengan teman pilihannya tersebut, termasuk
menceritakan pengalamannya kepada teman sekolahnya. TI hanya mau
berbagi cerita pada orang yang sudah ia kenal. Walaupun begitu, TI
tidak mau menceritakan pengalamannya di sekolah kepada orang-
orang yang di rumah kecuali jika ditanya.
“Pernah ngobrol sama temen mbak di sekolah” (wwcr5. S1. TI. brs. 96) “Nggak pernah cerita sekolah mbak. Nek ditakoni yo iyo.” (wwcr5. S1. TI. brs. 94)
Jika TI melihat temannya bersedih (yang ia anggap dekat), ia
akan mendekati, menemani dan mengajaknya mengobrol. Tidak ada
hambatan yang berarti saat TI sedang berbincang-bincang dengan
teman yang ia kenal dekat dan TI mengaku bahwa sebenarnya ia
merasa senang jika diajak mengobrol dan ditanya-tanyai oleh orang
dewasa karena ia berpikir bahwa orang tersebut memperhatikan
dirinya.
“tak deketin mbak; Ya tak temenin..terus tak ajak ngobrol..” (wwcr5.S1.TI.brs. 22; 24) “Suka...tapi malah aku yang diajak ngobrol..ditanya-tanyain” (wwcr5. S1. TI. brs. 108)
84
TI menyimpan ketakutan saat ia bertemu dengan orang yang
masih asing baginya, namun jika orang tersebut berada di lingkungan
yang ia kenal baik (di lingkungan rumahnya, di sekolahnya), ia akan
memberanikan diri untuk mengajak berbicara orang yang tampak
sendirian walaupun dengan perasaan takut.
“aku deketin mbak..ngajak ngobrol..; Yo wedi mbak...; Mau mbak” (wwcr5. S1. TI. brs. 111; 113; 115)
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti
terhadap perilaku TI dalam kesehariannya selama proses observasi,
tampak bahwa terkadang TI tidak menanggapi/ menjawab ucapan-
ucapan dan pertanyaan dari pengasuhnya dan hanya menggeleng-
gelengkan atau mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa
mengeluarkan sepatah katapun, sambil menarik-narik ujung celananya.
Peneliti juga menangkap matanya yang bergerak cepat dan kakinya
bergoyang-goyang atau memainkan pensil ditangannya sambil
menundukkan kepalanya. Saat ada orang yang bertanya pada TI atau
juga saat menawarkan bantuan padanya, TI juga seringkali terdiam,
atau menjawab dengan anggukan kepala sebagai tanda persetujuan.
(Obsv8.S1.TI.no. 2;5; Obsv9.S1.TI.no.2; Obsv10.S1.TI.no.1; 3;
Obsv11.S1.TI.no.2).
Komunikasi verbal dan non-verbal dalam hal penyampaian
pesan yang dilakukan oleh TI tidak terdapat hambatan yang berarti jika
ia melakukan transmisi pesan pada orang-orang atau teman-teman
yang sudah dikenalnya. Akan tetapi, TI cenderung merasa kesulitan
85
jika ia berhadapan dengan orang yang masih asing baginya. Subjek
cenderung kesulitan dalam memulai dan mempertahankan
perbincangan/ obrolan dengan orang yang tidak ia percaya, walaupun
ia sudah mengenalnya. TI menunjukkan penggunaan bahasa verbal
secara lancar saat ia berhadapan dengan teman-teman sebayanya atau
orang dewasa yang sudah ia kenal dan ia percaya sehingga ia bisa
mengungkapkan pikiran, perasaan dan bahkan permasalahan yang ia
hadapi. Tetapi jika ia berhadapan dengan orang dewasa yang belum ia
kenal dengan baik atau ia tidak mempercayainya (termasuk guru
kelasnya sendiri), ia tidak akan menunjukkan perasaannya, bahkan
pada saat ia menemui kesulitan sekalipun.
e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial
Dari hasil wawancara selama proses penelitian ini, ditemukan
bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi interaksi sosial TI,
seperti faktor simpati, proses kognitif, faktor imitasi, dan faktor
lingkungan.
Jika melihat temannya bersedih, TI akan mendekati,
menemani dan mengajaknya mengobrol. Hal itu menunjukkan bahwa
faktor simpati juga mempengaruhi dan turut mendukung terbentuknya
interaksi sosial positif antara TI dengan lingkungannya.
“tak deketin mbak..; ya tak temenin..terus tak ajak ngobrol..” (wwcr5.S1.TI.brs.22;24)
86
TI tidak mau bertanya atau mengatakan pada gurunya jika ada
kesulitan di sekolah, walaupun gurunya tidak galak. TI tidak mau
bertanya atau mengungkapkan kesulitannya pada gurunya karena ia
merasa takut dimarahi.
“enggak mbak; ya nggak apa-apa mbak; aku takut mbak; ya takut aja; nanti dimarahi mbak” (wwcr3.S1.TI.brs. 30;32;38;42;44)
Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor proses kognitif dalam diri
TI. Reaksi individu dalam suatu situasi akan sangat tergantung pada
ingatannya tentang perilaku orang lain di masa lalu. Begitu pula halnya
yang terjadi pada TI. Ia merasa takut untuk mengungkapkan
permasalahan yang ia hadapi karena pada saat TI masih tinggal
bersama dengan keluarganya, jika ia mengungkapkan rasa sakit atau
keinginannya pada ibu atau neneknya, ia akan dimarahi dan mendapat
perlakuan yang lebih keras lagi, seperti yang diungkapkan oleh
penanggungjawab hukum TI berikut ini.
“jika dia tidak mau melakukan itu, ya perlakuan-perlakuan kekerasan lagi yang dia terima dan kekerasan yang biasa ia alami juga kekerasan secara psikis ya..dengan kata-kata, umpatan-umpatan itu sudah menjadi sarapan, santapan dia setiap hari” (wwcr. SO1. Prn. brs. 13-16)
Faktor imitasi dapat berpengaruh dalam komunikasi dan
tingkah laku subjek. Dalam kasus TI, imitasi yang terbentuk adalah
imitasi negatif yang merupakan peniruan perilaku terhadap figur yang
bersifat negatif atau tidak baik dan imitasi ini dapat menghambat
87
subjek dalam berinteraksi sosial. Dalam hal ini, figur yang bersifat
negatif yang berpengaruh kuat adalah ibu dan nenek TI, seperti yang
diungkapkan oleh penganggung jawab hukum TI berikut ini.
“Oo..saat tinggal sama ibu dan neneknya, kalo sepintas saya amati ya memang punya perilaku yang urakan, dia itu kayak orang yang tidak punya aturan. Jadi memang pola-pola kehidupan di jalan dan pola-pola perilaku mereka berdua, ibunya dan neneknya itu sangat melekat di dia. Temperamen kasar, semaunya dia” (wwcr. SO1. Prn. brs.87-91) “Ya waktu di TC waktu itu masih terpola prilaku dia waktu di rumah termasuk BAB tidak di WC tapi di halaman, kemudian masih sering mudah mengeluarkan kata-kata kotor dengan siapa saja dengan peksosnya, itu kalau dia nggak suka dia ngumpat, keluar kata-kata kotornya” (wwcr. SO1. Prn. brs. 138-141)
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap interaksi sosial TI
adalah faktor lingkungan. Masyarakat di lingkungan tempat tinggal TI
sebelum TI dibawa ke TC mengucilkan keluarga TI, dan mereka
melarang anak-anak mereka untuk bergaul dengan TI, sehingga dalam
kesehariannya TI tidak memiliki teman sebaya dan terbiasa bermain
hanya berdua dengan adiknya. Hal tersebut berdasarkan pada hasil
wawancara peneliti dengan penganggung jawab hukum TI berikut ini.
“Mungkin di satu sisi dia dari keluarga yang di lingkungan itu sudah dicap orang yang nggak normal makanya ada terjadi protect ya terhadap pergaulan. Mungkin kalau ada anak kecil yang bergaul dengan Irsad mungkin sudah di anu dulu sama orangtuanya. Mungkin karena perilaku Irsad sendiri yang sudah liar seperti itu, orangtua mungkin melihat nanti berpengaruh pada anaknya yang bermain dengan dia lebih baik tidak. Saya melihatnya seperti itu karena tetangganya sudah mengecap keluarga itu ya kondisinya seperti itu” (wwcr. SO1. Prn. brs. 105-111).
88
2. Subjek 2
a. Identitas
Nama : AR
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 12 Tahun
Agama : Islam
Urutan dalam keluarga : Anak ke-empat dari 5 bersaudara
Status : Anak kandung
Status sosial ekonomi : Rendah
Deskripsi subjek :
Subjek AR adalah seorang anak laki-laki bertubuh kurus,
berkulit sawo matang dengan potongan rambut cepak dan berwarna
hitam. Tubuhnya terbilang tinggi untuk anak seusianya. Pada saat di
rumah (TC) sekalipun, AR seringkali terlihat menggunakan celana
panjang dengan kaos atau kemeja. Suaranya berat yang menunjukkan
ciri khan anak laki-laki yang memasuki masa puber.
AR sudah tinggal di Trauma Centre (TC) selama 1 tahun.
Sebelumnya, AR pernah dimasukkan ke dalam Lembaga
Permasyarakatan (LP) Anak Kutoarjo, namun karena proses hukum
yang belum selesai berjalan, maka ia dipindahkan ke TC untuk diberi
pembinaan selama proses persidangan belum berakhir. Selain itu,
mengingat warga masyarakat dimana AR dan korban tinggal belum
89
dapat menerima kalau AR pulang kembali ke rumahnya juga menjadi
alasan mengapa AR dititipkan ke TC.
b. Latar belakang
1) Keluarga
AR adalah anak ke-empat dari lima bersaudara. Ia hidup
dalam keluarga dengan status sosial ekonomi rendah. Kedua orang
tuanya selalu sibuk bekerja untuk memperbaiki ekonomi keluarga,
sehingga kurang ada kedekatan antara AR dengan kedua orang
tuanya bahkan hubungan AR dengan kedua orangtuanya cenderung
kurang baik. AR juga tidak memiliki hubungan yang dekat dengan
saudara-saudaranya. Orang tua AR kurang memberi perhatian pada
anak-anaknya termasuk AR. Jika AR melakukan kesalahan, ia
hanya akan mendapatkan hukuman fisik tanpa diperhatikan lebih
lanjut. Oleh karena itu, dapat dikatakan juga bahwa terjadi tindak
penelantaran pada diri AR yang dilakukan oleh kedua orang
tuanya. Selain itu, hubungan suami-istri antara kedua orang tua AR
juga renggang atau tidak baik, sehingga ikut membawa dampak
yang negatif terhadap AR.
2) Kekerasan yang dialami
AR adalah anak yang hidup dalam berbagai bentuk
perlakuan salah (abused) dan kurang memperoleh hak-hak
(neglected). Dikeluarkan dari sekolah adalah bentuk pengambilan
90
hak anak (dalam hal ini adalah AR) untuk tumbuh dan
berkembang. Di dalam keluarganya, AR lebih cenderung menjadi
korban kekerasan secara psikis, atau dengan kata lain, orang tua
AR melakukan kekerasan emosional padanya. Kedua orang tua
sibuk dengan permasalahan mereka sehingga AR terabaikan.
Tindak pengabaian terhadap diri AR menjadi beban tersendiri
secara psikis bagi seorang anak. Selain itu, AR sering mendapatkan
hukuman berupa dipukul, disuruh mencabuti rumput dan tidak
diberi makan selama satu hari penuh.
Tindak kekerasan emosional/ tekanan secara psikis yang
diterima dari pihak masyarakat juga menjadi salah satu alasan AR
melakukan tindak pembunuhan tersebut. Pada saat AR tinggal
bersama dengan keluarganya, AR sudah diberi cap (labelling)
sebagai pengacau, anak nakal, dan ia juga sering dikatai sebagai
pencuri, dijauhi oleh teman-temannya karena orang tua mereka
melarang anak-anaknya untuk bergaul dengan AR, termasuk juga
dikeluarkan dari sekolah, yang merupakan salah satu tindak
pencabutan hak anak. Puncak penganiayaan fisik yang diterima
oleh AR adalah pada saat ia diinterogasi oleh warga dan dipaksa
untuk mengakui perbuatannya. AR diperlakukan sewenang-
wenang oleh warga. Ia dipukul di bagian muka, ditendang dan
disundut rokok di leher dan tangannya.
91
3) Keseharian AR
AR adalah tersangka dari kasus dengan dugaan primer telah
melakukan tindak pidana sengaja dan dengan direncanakan lebih
dahulu menghilangkan nyawa orang, atau setidaknya telah
melakukan kekhilafan yang menyebabkan orang meninggal dunia.
AR mendorong korban yang baru berusia 6 tahun hingga korban
tersebut jatuh ke dasar sebuah sungai tempat mereka bermain yang
akhirnya menyebabkan korban meninggal dunia.
Sewaktu masih tinggal di keluarganya, AR sudah dicap
sebagai anak nakal oleh masyarakat sekitarnya, sehingga ia
menjadi susah bergaul atau berteman. Kecenderungan AR yang
sulit mengembangkan kepercayaan terhadap orang lain menjadi
asal bergaul dengan kelompok ‘anak-anak nakal’ yang memang
memiliki perilaku tidak benar.
Berdasarkan pemeriksaan psikologis yang dilakukan oleh
Biro Personil Bagian Psikologi POLDA DIY, setelah
penangkapannya, diketahui bahwa, Inteligensi AR cenderung
berada di bawah rata-rata atau kurang; meskipun AR dapat
membuka diri, namun pembicaraannya meloncat-loncat, tidak
sinkron dan tidak konsisten; AR berkembang sebagai pribadi yang
cenderung apatis, cuek dan tidak peduli terhadap diri sendiri
maupun orang lain serta memperlihatkan indikasi depresi.
92
Pada saat penelitian ini dilakukan, AR belum mendapatkan
ijin untuk kembali mendapatkan pendidikan formal karena proses
persidangan yang belum berakhir. Namun, AR tetap diwajibkan
untuk mengikuti proses belajar di TC (diberi semacam les
pelajaran). Berdasarkan keterangan pembimbingnya, walaupun AR
memiliki semangat untuk mengikuti les, tetapi kemampuan belajar
AR tergolong kurang dan jika AR merasa bosan mengikuti
pelajaran di kelas, ia akan mengajak temannya bersenda gurau dan
bermain sendiri tanpa memperdulikan guru les yang sedang
mengajar di kelasnya.
Saat AR tinggal di TC, ia banyak memiliki teman sebaya di
PSAA yang cocok dan bisa ‘nyambung’ dengannya saat
mengobrol. Walaupun begitu, sempat beberapa kali terjadi masalah
antara AR dengan anak-anak PSAA. AR pernah bertengkar pada
malam hari sampai ia kabur ke sekolah di dekat TC dan kejadian
paling terakhir adalah AR hampir dipukuli oleh salah satu anak
anak PSAA karena kesalahannya.
Dalam kesehariannya di TC, AR dinilai oleh
pembimbingnya sebagai anak yang keras kepala, sukar diatur dan
bersikap acuh tak acuh seakan-akan tidak peduli dengan
sekelilingnya hingga pembimbingnya merasa kewalahan. Selain
itu, emosinya datar dan sering bersikap dingin bahkan pada teman-
93
teman satu rumahnya. AR juga kurang memiliki sikap toleransi
pada temannya.
c. Kontak sosial
Berdasarkan hasil wawancara, subjek AR memiliki keinginan
yang cukup besar dalam menjalin relasi dengan orang lain. Namun,
keinginan AR tersebut hanya terbatas pada orang-orang yang sudah ia
kenal, seperti saat ia ingin bertemu dengan pak Prn dan mas Bgs yang
menangani kasusnya tetapi sudah lama tidak menjenguknya.
“Mas Bgs yang dari SAMIN mbak. mas Bgs disuruh ke sini ya mbak; Iya. sudah lama mas Bgs nggak kesini mbak; Iya mbak maunya gitu” (wwcr1.S2.AR.Brs.15;17;19)
AR mau berteman dengan orang dewasa yang sudah ia kenal
baik sebelumnya.
“Mau mbak. Aku mau kok mbak berteman sama bu An, mb Rn” (wwcr2. S2. AR.Brs. 167)
Dalam menjalin relasi dengan orang lain, AR juga
beranggapan penting dalam berhubungan dengan orang dewasa,
termasuk dalam hal memberi salam pada orang lain. Menurut AR,
penting baginya untuk menjalin relasi dengan orang dewasa termasuk
pembimbingnya karena mereka bisa membimbingnya.
“Ngasih salam? Nggih perlu mbak; kan biar sopan to mbak” (wwcr2. S2. AR.Brs. 76;80) “Nggih pembimbing mbak. Mb Tn kaliyan mb Rn; Ya penting mbak; Karena mb Rn pembimbing mbak; Ya...mendidik mbak” (wwcr2. S2. AR.Brs. 82;86;88;90)
94
Namun, lain halnya jika AR berhadapan dengan orang baru
yang belum ia kenal. AR lebih mudah menerima kehadiran orang baru
dan berkenalan dengan orang baru yang sebaya dengannya daripada
orang ‘asing’ yang sudah dewasa. AR terkesan takut, sulit menjalin
hubungan dan tidak mau mengajak berkenalan terlebih dahulu. Hal
tersebut terungkap dari hasil wawancara peneliti dengan wali subjek.
“Kalau sama yang sebaya dia bisa cepet mbak. kayak waktu ada anak baru di PSAA ya dia cepet, tapi kalau sama orang baru yang sudah dewasa begitu dia agak susah interaksinya. Dan dia tidak yang e..ngajak kenalan atau gimana itu ya tidak. Seperti takut-takut atau gimana gitu mbak” (wwcr.SO2.An.Brs.113-116)
AR juga mengatakan bahwa jika ia didekati oleh orang yang
tidak ia kenal, ia memilih untuk menghindar atau kabur karena ia
merasa takut.
“Kabur mbak; Takut” (wwcr2. S2. AR.Brs. 146;148)
Ia juga menjadi merasa gugup saat diajak berbicara oleh orang
dewasa walaupun oleh orang yang sudah ia kenal.
“Gugup mbak; ya nggak apa-apa mbak..rasanya gugup aja” (wwcr2. S2. AR.Brs. 60;64-65)
Hal tersebut juga tampak dari perilaku AR yang hanya diam dan
menunduk saat diajak bicara oleh peneliti diawal perkenalannya. AR
tidak menjawab ataupun merespon ucapan/ tawaran peneliti. Ia juga
tidak mau menatap wajah peneliti (Obsv1.S2.AR.no. 2).
95
AR akan mendekati teman yang terlihat sendirian dan akan
menjawab jika ia ditanyai. Namun, ia tidak mau mengajak bicara lebih
dulu karena ia tidak suka memulai pembicaraan dan menurutnya lebih
baik diam saja.
“ya dideketin; Kalo aku ditanyain, ya njawab” (wwcr2. S2. AR.Brs.230;232) “Nggak mau ngajak ngobrol duluan; Nggak suka aja...mendingan diem” (wwcr2. S2. AR.Brs. 235;239)
AR akan merasa gugup jika didekati oleh orang dewasa yang
masih asing baginya. Ia akan diam saja jika disapa dan ditanyai oleh
orang yang tidak ia kenal.
“Kalo aku belum kenal rasanya gugup” (wwcr2. S2. AR.Brs. 48) “Ya diem aja mbak. Aku nggak nyaut” (wwcr2. S2. AR.Brs. 50)
Namun jika bertemu anak yang sebaya dengannya, AR akan
mengajaknya berkenalan dan ia merasa senang karena temannya
bertambah.
“Ngajak kenalan. Terus tak ajak ngobrol; Glh, anak PSAA. Aku ngajak kenalan Glh waktu itu mbak; ya seneng mbak..temennnya tambah” (wwcr2.S2.AR.Brs. 136;138;140) “Tapi memang dia lebih seneng main sama anak PSAA..ya mungkin..soalnya khan di sana banyak temen yang sepantaran sama dia mbak..adi pasti seneng kalo disana..wong dia itu suka ngajakin kenalan anak PSAA gitu mbak” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 45-48) Begitu pula dalam hal berteman dengan teman sebaya.
Menurut AR, manfaat bergaul dengan teman sebaya adalah bisa
menemaninya dan diajak berbincang-bincang.
96
“Manfaat bergaul sama temen, bisa diajak ngobrol..bisa nemenin” (wwcr2. S2. AR.Brs. 105)
Oleh karena itu, AR lebih suka bermain bersama teman-
temannya daripada berada sendirian, termasuk juga dalam hal berbagi
minat dengan orang lain. AR juga mengatakan bahwa ia merasa senang
bermain dengan teman-teman di TC dan PSAA.
“Nek dolanan yo seneng mbak” (wwcr1.S2.AR.Brs.32) “Suka; lebih suka main sama temen-temen; Kalo sama temen-temen suka main bola. Soalnya sama-sama suka bola” (wwcr2. S2. AR.Brs. 107;109;111) “Ya sama temen-temen mbak. Anak-anak PSAA; Nggih macem-macem mbak; Kadang-kadang bal-balan, main sepeda muter-muter..kalo enggak ya cuma cerita-cerita di depan sana mbak” (wwcr1.S2.AR.Brs.72;74;76-77) “Ya itu karena di TC tidak ada teman sebaya adi sementara di PSAA dia bisa menemukan teman seumuran dan yang pasti bisa nyambung kalau ngobrol” (wwcr.SO2.An.Brs.52-53)
Hal tersebut juga tampak dari hasil observasi yang dilakukan peneliti
terhadap keseharian AR. AR tampak menikmati bergabung dan
berbincang-bincang serta bermain bersama dengan teman-temannya
(Obsv2.S2.AR.no.2;7; Obsv5.S2.AR.no.1)
AR juga memiliki keinginan untuk sekolah lagi supaya ia bisa
belajar. Selain itu, saat belajar di TC ia merasa tidak ada temannya,
sementara jika ia bersekolah, ia bisa mendapat teman lagi seperti
teman-teman yang lain.
“Iya mbak, aku mau sekolah lagi; kulo pengin sinau mbak” (wwcr1.S2.AR.Brs.62;64) “Ning mboten wonten kancane mba; nek sekolah khan aku bisa dapet temen lagi mbak, kayak temen-temen yang lain” (wwcr1.S2.AR.Brs.67;69-70)
97
AR akan merasa sedih jika ia berada sendirian karena tidak
ada teman yang menemaninya, seperti saat pertama kali pindah ke TC,
ia merasa sedih karena tidak bisa dekat dengan teman-teman lamanya.
“Sedih; Soalnya nggak ada temennya” (wwcr2.S2.AR.Brs. 113;115) “Sedih mbak..nggak bisa deket temen-temen lagi” (wwcr2.S2.AR.Brs. 124) AR akan diam saja dan memilih untuk bermain sendiri saat ia
ada di tempat yang baru baginya.
“Diem mbak; Main sendiri” (wwcr2. S2. AR.Brs. 129;131) “Dulu itu waktu awal-awal itu, dia senang menyendiri, tidak mau bermain dengan teman-temannya. Dia juga..seperti..bagaimana ya mbak..emosinya itu datar mbak..sikapnya dingin sama temen-temen satu rumah ya begitu. Dia juga kurang ada toleransi sama temannya. Kayak tidak ada pedulinya itu lho mbak” (wwcr.SO2.An.Brs.103-106) Begitu pula pada saat AR ada di antara orang dewasa. AR
merasa sedih saat ia berada di antara orang dewasa yang tidak ia kenal
seperti misalnya pada saat persidangan kasusnya karena ia merasa
sendirian.
“Sedih; Karena sendirian mbak” (wwcr2. S2. AR.Brs. 154;156)
Pada saat AR mendapat masalah dengan orang dewasa, ia
akan menghindar dan bungkam. Seperti pada saat AR dimarahi oleh
pengasuhnya, ia akan menghindari pengasuhnya untuk beberapa
waktu.
98
“Pernah saya marahin keras gitu terus dia menghindari saya sama mbak Rn; Karena dia marah sama saya, dia nggak mau diajak makan siang bareng di sini mbak. Terus dia kalo lagi marah ya nggak mau ngomong mbak..diem...menghindar untuk ngomong sama saya bahkan menghindari saya biar nggak ketemu” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 64-65;66-69)
Pada dasarnya AR bersedia memberikan respon/ timbal balik
dalam berhubungan dengan orang dewasa, namun terkadang masih
harus dipaksa dalam merespon pembicaraan.
“Ya mau mbak. kalau ditanya sama saya atau sama pembimbing gitu ya mau njawab, tapi ya agak susah kalau tidak dipaksa. Saya juga sering jengkel kalau dia diajak bicara ndingkluk terus” (wwcr.SO2.An.Brs.87-89)
Hal tersebut tampak juga saat proses wawancara berlangsung. AR
tampak enggan memberi respon atas pertanyaan peneliti. AR seringkali
menunduk, diam dan tampak termenung sambil mengarahkan
pandangannya ke luar jendela (Obsv6.S2.AR.no.1).
AR tidak suka menjalin kontak fisik seperti misalnya pelukan
dari orang lain karena ia merasa tidak nyaman.
“ya nggak mau mbak..dipeluk-peluk; Nggak suka; Iya mbak, nggak nyaman” (wwcr2. S2. AR.Brs. 70;72;74)
Pernyataan AR ditegaskan oleh pernyataan dari bu An yang
merupakan kepala TC. Menurutnya, AR memang tidak suka mendapat
pelukan atau hal-hal intim karena merasa tidak nyaman atau juga
karena tidak biasa mendapat perlakuan seperti itu. Bahkan AR tidak
99
mau dipeluk oleh ayahnya. Saat ayahnya menjenguknya di TC, ia
hanya menjabat tangan ayahnya dan mencium tangannya.
“Kalau saya perhatikan, adi itu sepertinya tidak suka diperlakukan seperti itu entah merasa tidak nyaman atau hanya karena tdak biasa seperti itu. Seperti waktu bapaknya datang mengunjungi adi di sini” (wwcr.SO2.An.Brs.119-121) “Iya dulu awal-awal adi masuk sini, sempat beberapa kali bapaknya datang menengok adi. Itu ya kalau anak-anak yang lain di tengok kan ya biasanya di peluk wong ya namanya anak dan sudah lama tidak ketemu ya dipeluk, dibelai kepalanya. Adi ya tidak mbak. sepertinya adi menghindari perilaku semacam itu seperti pelukan, ya paling hanya jabat tangan saja dan cium tangan ya namanya bapak” (wwcr.SO2.An.Brs.123-127)
Namun lain halnya jika AR sedang bermain dengan teman-
teman sebayanya. Ia bersedia menerima dan menjalin kontak fisik
dengan teman-temannya seperti, memeluk leher, merangkul bahu, saat
sedang bergabung dan bermain bersama mereka. Hal itu terlihat saat
peneliti ikut bergabung dengan AR dan teman-temannya.
(Obsv2.S2.AR.no.8; Obsv3.S2.AR.no.5; Obsv5.S2.AR. no.4;
Obsv6.S2.AR.no.7)
Menurut penuturan bu An selaku kepala TC yang menangani
AR, jika diajak bicara/ berbincang-bincang, AR cenderung menolak
kontak mata dengan menghindari menatap wajah bu An. AR hanya
menunduk dan menggeleng-gelengkan kepalanya saat ditanya.
“Jadi ya..seperti tidak berani menatap wajah saya mbak, terus kalau ditanya juga cuma geleng-geleng. Natap mata saya tu ya tidak mbak. wong dia tu kalau diajak ngomong ya nunduk terus kok” (wwcr.SO2.An.Brs.92-94)
100
Hal tersebut terlihat jelas dalam hasil pengamatan peneliti pada saat
AR diajak berbicara oleh pak Prn yang merupakan penanggungjawab
hukum AR. Selain itu juga pada saat AR sedang belajar bersama
dengan peneliti dan ketika proses wawancara berlangsung. AR
cenderung menghindari kontak mata dengan lawan bicaranya, dan jika
bertemu pandang, AR langsung mengalihkan pandangannya ke arah
lain atau menundukkan kepalanya. (Obsv1.S2.AR.no.4;
Obsv3.S2.AR.no.3; Obsv4.S2.AR.no.5; Obsv6.S2.AR.no.3;5)
Subjek AR memiliki keinginan yang cukup kuat dalam hal
menjalin relasi sosial dengan teman sebayanya. Terutama pada saat ia
sudah merasa mendapatkan teman yang cocok dengannya dan bisa ia
ajak bermain bersama. Ia mengerti dan memahami manfaat dari
pergaulan sosial bagi dirinya sendiri. AR mampu melakukan hal-hal
atau aktifitas bersama-sama seperti berbagi kesenangan atau minat. AR
mampu memberikan respon positif/ timbal balik (feedback) saat
berhadapan dengan teman-teman sebayanya, namun saat ia
berhubungan dengan orang dewasa, ia cenderung menjadi pasif.
Menurutnya, lebih baik diam karena ia tidak suka mengajak bicara
lebih dulu. Walaupun begitu, ia akan memberi tanggapan pada saat ia
ditanya. Selain itu, pada saat AR berhadapan dengan orang dewasa,
AR cenderung menghindari kontak mata dengan lawan bicaranya. AR
juga menghindari kontak fisik yang bersifat intim bahkan dari orang
yang sudah ia kenal dekat seperti ayahnya atau kepala wisma. AR
101
lebih mudah menerima teman baru yang sebaya dengannya daripada
orang baru yang lebih dewasa darinya. Jika dengan anak yang sebaya
dengannya, ia memiliki inisiatif untuk mengajak berkenalan lebih dulu
dan mengajaknya berbincang-bincang, namun jika orang baru tersebut
adalah orang yang usianya lebih dewasa darinya, ia terkesan takut,
sulit menjalin hubungan dan tidak mau mengajak berkenalan.
d. Komunikasi
Komunikasi subjek dapat diketahui dari apakah ia mampu
menyampaikan informasi pada orang lain. Subjek AR tidak mau
mengatakan secara langsung tentang masalah yang ia hadapi pada
penanggungjawab hukumnya ataupun pada kepala TC karena ia takut
bila dimarahi.
“Nggak mau mbak; Nggak mau ngomong mbak” (wwcr1.S2.AR.Brs.42;44) “Takut mbak; Takut..nanti dimarahin...” (wwcr1.S2.AR.Brs.46;50)
Saat ia merasa sedih karena sendirian di persidangan, ia juga
tidak melakukan apapun dan memilih untuk diam saja, tidak
mengatakan pada advokatnya.
“Diem mbak; Enggak ngomong sama pak Prn; Iya..aku diem aja mbak” (wwcr2. S2. AR.Brs. 158;162;164)
102
AR tidak pernah menceritakan pengalamannya atau sekedar
mencurahkan perasaannya pada orang lain termasuk juga pada orang-
orang di TC karena ia merasa tidak suka dan merasa tidak nyaman.
“Nggak pernah cerita mbak; Nggak kenapa-kenapa. Nggak suka aja mbak” (wwcr2. S2. AR. Brs. 170;172) “Nggak pernah curhat mbak; Nggak suka cerita; Nggak nyaman” (wwcr2. S2. AR.Brs. 175;179;181)
Oleh karena itu AR lebih suka menyimpan sendiri perasaan
dan masalahnya, serta ia diamkan permasalahannya begitu saja. Ia
tidak menceritakan yang ia rasakan pada orang lain termasuk juga pada
teman-teman di TC ataupun para pembimbingnya.
“Lebih seneng nyimpen sendiri...nggak suka cerita-cerita mbak; enggak pernah ngomong mbak; Iya mbak... aku simpen sendiri. Tak diemin mbak” (wwcr2. S2. AR. Brs. 186;191;195) “Wah nggak pernah mbak. wong anaknya susah ngomong gitu kok mbak kalo sama saya ato bu An...pernah bu An dapet laporan kalo AR bikin masalah sama anak PSAA terus kabur ke sekolah deket sini tu lho mbak sebelum lapangan” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 117-119) “AR ya nggak cerita sama mbak Rn kalo dia ada masalah sama anak PSAA itu..wong katanya Yn itu sampe berantem segala kok mbak..tapi ya AR nggak ngomong apa-apa itu mbak. terus AR dipanggil bu An, kalo nggak dipaksa cerita juga mungkin AR nggak cerita..wong waktu diajak ngomong itu ya cuma bisa nunduk kok mbak..nggak berani mandang wajahnya bu An..takut mungkin mbak..sama saya khan juga gitu” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 121-126)
Jika menemui kesulitan, AR tidak mengatakannya pada
pengasuhnya. Hanya pada saat ia sakit, ia datang pada pengasuhnya
meminta obat. Bahkan terkadang AR tidak mau bicara langsung dan
menyuruh temannya meminta obat untuknya.
103
“dia itu nggak suka ngomong mbak..sok-sok kayak nggak butuh gitu lho mbak..ya paling kalo dia ngerasa lagi sakit gitu ya ngomong sama saya sama mbak Rin, minta obat..itu juga...ya kadang-kadang tu malah dia menyuruh Yn atau TI buat ngomong minta obat” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 92-95)
Namun AR masih bersedia mendengarkan dan menanggapi
pembicaraan dari orang dewasa yang sudah ia kenal.
“Ya didengerin mbak omongannya; Terus..ditanggepin omongannya” (wwcr2. S2. AR.Brs. 55;58)
Seperti yang terlihat pada dari hasil observasi saat subjek berada di
antara peneliti, pak Prn, dan mb Tn. AR cenderung tampak pendiam
dan tidak banyak bicara namun masih mau menjawab jika ditanya
(Obsv1.S2.AR.no. 3).
Menurut pembimbingnya, semakin lama komunikasi yang
terjalin antara AR dengan para pembimbing sudah semakin baik
walaupun terkadang masih harus dipaksa dahulu sebelum mau
memberi respon pada pembicaraan. AR cenderung tidak mau
menjawab jika ditanya mengenai masalah yang harus ia hadapi.
“Kalo semakin kesini sih komunikasi sama pembimbing sudah semakin baik mbak; Ya kalo misalnya dinasehatin tu mau nyaut...nggak hanya diem aja...yaahh...walopun memang...harus dipaksa dulu mbak...baru..dia tu mau merespon omongan saya. Kalo nggak ada kepentingan juga AR nggak ngajak ngomong saya kok mbak” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 73;75-77) “Ya itu mbak harus dipaksa dulu baru mau njawab. Kalau misalnya saya tanya gitu..misalnya apa masalahnya adi di wisma..ya kalau tidak disuruh cerita atau pembimbing tidak cerita sama saya ya saya bisa tidak tahu mbak..waktu dia ditanya saja dia tidak mau njawab” (wwcr.SO2.An.Brs.96-99)
104
Pada saat AR belajar bersama temannya, AR lebih suka
berpikir sendiri, tidak pernah membicarakan ide-ide yang ia miliki
pada temannya.
“Enggak pernah ngomong ide; Lebih suka mikir sendiri” (wwcr2. S2. AR. Brs.211;215)
Berdasarkan penuturan pembimbingnya, diketahui bahwa
ketika diajak berbicara AR lebih sering menunduk dan saat ditanya, ia
hanya menggelengkan kepala dan tidak mau menjawab.
“AR itu nggak pedulian kok mbak. Ya kayak gitu itu mbak. Kalo diajak ngomong cuma nunduk, pas ditanyain cuma geleng-geleng kepala aja, nggak mau njawab” (wwcr1.SO2.Tn.Brs.20-21) “Kalo saya ajak ngomong cuma nunduk,..nek ditakoni, “kowe ngerti ra?” dia ngangguk...geleng-geleng...ya lama-lama saya diemin aja mbak..biar dia kalo ngerasa butuh..ngomong butuhnya apa sama saya” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 69-71)
Hal tersebut diperkuat dengan hasil observasi terhadap
perilaku AR mengenai bentuk komunikasi non-verbal yang
ditunjukkan oleh subjek AR. AR menunjukkan bentuk komunikasi
non-verbal saat belajar bersama peneliti dan selama proses wawancara
berlangsung, namun hanya berupa anggukan dan gelengan kepala
(Obsv2.S2.AR.no. 6; Obsv4.S2.AR.no.4; Obsv6.S2.AR.no. 6)
Pada dasarnya subjek AR tidak memiliki hambatan yang
cukup berarti dalam hal komunikasi. Jika ia sedang berada bersama
dengan teman-teman sebayanya, AR mampu berkomunikasi dengan
lancar walaupun tidak sampai pada hal-hal yang intim, seperti
105
menceritakan pengalaman, mengungkapkan pikiran ataupun
mencurahkan perasaannya. AR biasa memendam pikiran dan
perasaannya dan ia merasa tidak nyaman jika ia harus
mengungkapkannya pada orang lain. Namun lain halnya jika ia
berhadapan dengan orang dewasa. Komunikasi subjek dengan orang
dewasa di sekitarnya mengalami hambatan yang cukup berarti karena
subjek cenderung menghindari perbincangan dengan pengasuhnya jika
ia sedang merasa tidak memiliki keperluan/ kepentingan, terutama jika
ia sedang merajuk karena ditegur/ dimarahi. Begitu pula pada saat AR
sedang menghadapi suatu masalah atau saat ia memiliki keinginan
tertentu. Ia tidak mau menceritakan permasalahan yang dihadapi
kepada kepala wisma. Ia hanya akan bercerita jika dit anya atau
bahkan harus dipaksa terlebih dahulu baru ia akan berbicara dan
mengutarakan maksud/ keinginannya, atau masalahnya. Pada waktu
berhadapan dengan orang yang lebih dewasa, subjek AR lebih banyak
menggunakan bahasa non-verbal sebagai pengganti komunikasi verbal
(berbicara secara langsung).
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial
Dari hasil wawancara selama proses penelitian ini, ditemukan
bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi interaksi sosial AR,
seperti faktor simpati, proses kognitif, dan faktor lingkungan. Faktor
simpati berupa timbulnya rasa sedih saat melihat temannya bersedih
106
dan akhirnya mengajak temannya itu mengobrol, turut mendukung
terbentuknya interaksi sosial positif antara AR dengan lingkungannya.
“ya sedih mbak; Tak ajak ngobrol mbak” (wwcr2. S2. AR.Brs.43;45)
Selain itu, faktor proses kognitif juga turut mempengaruhi
subjek dalam menjalin interaksi sosial dengan orang dewasa di
sekitarnya. Subjek menjadi gugup saat berbincang-bincang dengan
orang dewasa, dan ia tidak berani menatap wajah pengasuh dan
walinya karena ia merasa takut. Selain itu, ia juga memilih untuk
menghindar jika ia bermasalah dengan pengasuhnya karena ia merasa
takut dengan pengasuhnya yang memiliki otoritas terhadap dirinya
sama seperti orangtuanya, seperti yang diungkapkan oleh pengasuhnya
berikut ini.
“Pernah saya marahin keras gitu terus dia menghindari saya sama mbak Rn” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 64-65) “...terus adi dipanggil bu An, kalo nggak dipaksa cerita juga mungkin adi nggak cerita..wong waktu diajak ngomong itu ya cuma bisa nunduk kok mbak..nggak berani mandang wajahnya bu An..takut mungkin mbak..sama saya khan juga gitu” (wwcr1.SO2.Tn.Brs. 123-126)
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap interaksi sosial
AR adalah faktor lingkungan. Masyarakat di lingkungan tempat
tinggal AR sebelum AR dibawa ke TC mengucilkan AR, AR dicap
sebagai anak nakal, pencuri, dan mereka melarang anak-anak mereka
untuk bergaul dengan AR. Hubungan antara AR dengan orangtuanya
juga tidak baik. Lingkungan tempat tinggal AR yang seperti itu
107
membuat AR tumbuh sebagai anak yang pasif dalam berhubungan
dengan orang dewasa. Hal tersebut berdasarkan pada hasil wawancara
peneliti dengan wali AR berikut ini.
“Hubungan adi sama orang tuanya memang kurang baik ya mbak. karena orang tuanya sendiri kurang perhatian sama adi. Dan adi itu mbak sudah dicap sama orang-orang di daerahnya sana sebagai anak yang tidak baik. Jadi ya penerimaan masyarakat sendiri juga jadi negatif terhadap adi” (wwcr.SO2.An. Brs.27-30) “Ya karena sejak dulu itu adi itu sudah dicap sebagai anak nakal oleh masyarakat sana sehingga ya dia jadi susah berteman dan mungkin karena susah percaya pada orang lain...” (wwcr.SO2.An.Brs.43-47)
3. Subjek 3
a. Identitas
Nama : YP
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 10 Tahun
Agama : Katolik
Urutan dalam keluarga : Anak ke-3 dari 3 bersaudara
Status : Anak angkat
Status sosial ekonomi : Menengah
Deskripsi subjek :
Subek YP adalah seorang anak perempuan yang bertubuh
kecil, kurus dan berkulit sawo matang. Rambutnya berwarna hitam
kemerahan dan dipotong pendek karena ibunya tidak pernah
mengijinkannya memiliki rambut panjang dengan alasan YP belum
108
bisa mengurus rambutnya sendiri. Dalam kesehariannya, YP juga lebih
sering menggunakan celana daripada rok sehingga penampilannya
seperti anak laki-laki. Gaya bicaranya tenang dan pembawaan dirinya
tampak lebih dewasa dari usianya. Hingga saat ini, YP masih tinggal
bersama dengan keluarganya dan ia merasa senang karenanya.
b. Latar belakang
1) Keluarga
YP merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. YP tinggal
bersama dengan ibu dan kedua kakak laki-lakinya, sedangkan
ayahnya bekerja di luar pulau Jawa. YP bertemu dengan ayahnya
hanya satu tahun sekali yaitu pada saat ayahnya pulang ke rumah
ketika libur Natal dan Tahun baru. Menurut YP, keluarganya
adalah keluarga yang baik dan ia merasa aman diantara
keluarganya, walaupun kedua kakaknya agak nakal, namun YP
menganggap ibunya baik dan ayahnya memperhatikan keluarga.
YP adalah anak perempuan satu-satunya didalam keluarga,
namun ia tidak memiliki hubungan darah dengan keluarganya
karena ia adalah anak angkat. Orang tua YP mengangkat YP pada
saat mereka masih tinggal di Ternate. Pada saat itu orang tua
angkat YP dikenalkan oleh seorang teman pada keluarga kandung
YP yang terdiri dari nenek, ibu dan tante YP. Ibu kandung YP
adalah seorang buruh cuci dan ayah kandungnya tidak diketahui
109
keberadaannya. Berlandaskan rasa kasihan, orang tua angkat YP
mengambil YP sebagai anak. Pada awalnya, ibu angkat YP tidak
setuju untuk mengangkat YP karena ia melihat keluarga kandung
YP sebagai keluarga yang ‘tidak benar’, apalagi setelah ibu angkat
YP mengetahui bahwa tante YP adalah perempuan yang ‘suka
main’ dan pergi dari rumah tanpa pamit. Tetapi pada akhirnya, YP
tetap diadopsi juga oleh keluarga tersebut. Beberapa tahun
kemudian, YP dan keluarga angkatnya pindah ke Yogyakarta.
Keluarga subjek memiliki usaha kos-kosan di dekat sebuah
universitas swasta di salah satu daerah di Yogyakarta. Ibu YP yang
bertugas mengelola usaha tersebut sedangkan ayahnya kembali
merantau ke luar pulau Jawa.
Walaupun YP telah mengetahui bahwa dirinya bukan anak
kandung keluarga itu, namun ia tetap berusaha untuk bisa dekat
dengan ibunya. Sebenarnya YP tidak membenci ibunya meskipun
ia memiliki hubungan yang buruk dengan ibunya. Dalam diri YP
ada keinginan untuk bisa bertemu dengan ibu kandungnya namun
ia akan tetap memilih untuk tinggal dengan keluarganya yang
sekarang dan YP juga mengatakan bahwa ia sangat menyayangi
ibunya, walaupun selama ini ia telah mendapatkan perlakuan yang
tidak mengenakkan dari ibu dan kakak-kakaknya. YP pernah
berpikir untuk kabur dari rumah supaya tidak diganggu lagi oleh
110
kakaknya, tetapi tidak jadi karena ia masih merasa sayang pada
keluarganya.
2) Kekerasan yang dialami
Selama ditinggal oleh suaminya bekerja, ibu YP harus
mengurus ketiga anaknya sendirian. Menurut salah seorang
informan, ibu YP membesarkan YP dengan menyimpan
kekhawatiran didalam hatinya. Ibu YP merasa takut apabila YP
tumbuh menjadi ‘anak yang tidak benar’ seperti ibu dan tante
kandungnya. Oleh karena itu, beberapa kali ibu YP mengajak Mb S
(salah seorang anak kosnya yang sekarang sudah lulus) untuk
berbincang-bincang mengenai diri YP. Ibu YP sering bertanya
metode seperti apa yang yang cocok diterapkan untuk mendidik
subjek, sampai akhirnya ibu YP memutuskan untuk mendidik YP
dengan cara ‘keras’ dan penuh kedisiplinan. YP pun mengakui
bahwa ibunya agak kasar dalam mendidiknya.
Saat YP tumbuh semakin besar, YP diperlakukan semakin
keras dan cenderung kasar. Setiap kali YP melakukan kesalahan, ia
akan dihukum oleh ibunya dengan hukuman fisik seperti dipukul
dengan kemoceng, gantungan baju, dan ikat pinggang bahkan tak
jarang YP dipukul menggunakan tangan kosong berkali-kali.
Selain itu, jika YP melanggar aturan yang telah dibuat oleh ibunya
seperti bermain di luar terlalu lama, YP akan dihukum dengan cara
dikurung di dalam kamarnya yang hanya berukuran 2mx1m atau
111
justru disuruh tidur di luar rumah (di teras). YP juga pernah diikat
dipohon pisang yang tumbuh di halaman rumahnya dan tidak
diberi makan selama satu hari penuh.
Pada awalnya tujuan ibu subjek adalah pendisiplinan,
namun lama-kelamaan perbuatannya telah menjadi tindak
kekerasan. Selain dari ibunya, YP juga menjadi korban tindak
kekerasan yang dilakukan oleh kakak laki-laki sulungnya. Selain
itu, kakak YP juga sering ikut memberi hukuman apabila YP
melakukan kesalahan. Setiap kali ibu dan kakak YP melakukan
tindak kekerasan terhadap diri YP, ia hanya diam dan menangis
serta meminta maaf atas kesalahan yang telah ia lakukan. YP
menganggap hukuman yang diberikan padanya adalah hal yang
wajar karena memang YP melakukan kesalahan walaupun
sebenarnya hukuman yang ia terima tidaklah sepadan dengan
kesalahan yang ia perbuat. Pernah juga YP dipukul padahal ia
merasa dirinya tidak melakukan kesalahan apapun, lalu ia berpikir
bahwa pukulan itu hanya candaan. Selain mendapat perlakuan
keras dari ibunya, YP juga mendapat perlakuan yang tidak adil.
Ibunya akan lebih mendahulukan kepentingan saudara-saudaranya
dibandingkan dirinya. Jika YP bertengkar dengan kakaknya, maka
ibunya akan lebih membela kakaknya daripada YP.
Kekerasan fisik yang diterima YP semakin berkurang
seiring dengan bertambahnya usia YP. Sudah satu tahun terakhir
112
ini, perilaku kekerasan yang dilakukan oleh ibu YP lebih mengarah
pada kekerasan secara emosional/ penekanan secara psikis. Tindak
pengabaian (neglected) sering dilakukan oleh ibu YP terhadap
keberadaan YP. Pada saat YP mencari perhatian ibunya dengan
cara mengajak bicara/ mengobrol atau menceritakan sesuatu,
ibunya tidak memperhatikana/ memperdulikannya dan malah asyik
mengobrol dengan kakak YP. Selain itu, YP juga sering mendapat
kekerasan verbal berupa makian, umpatan dan kata-kata kasar yang
dilontarkan ibunya pada saat memarahi YP.
Menurut penuturan salah seorang anak kos di rumah itu, ibu
YP memperlakukan YP terlalu keras, sedangkan ayah YP
memperlakukan semua anaknya sama. Hal itu dimungkinkan
karena ayah YP pulang ke rumah hanya satu tahun sekali. Jika YP
melakukan kesalahan, YP hanya dimarahi oleh ayahnya tanpa
diberi hukuman fisik.
3) Keseharian YP
Kehidupan sehari-hari YP dihabiskan di rumah dan
sekolah. Ibu YP tidak mengijinkan YP untuk bermain-main ke luar
rumah tanpa seijinnya. Setiap hari YP diharuskan untuk bangun
lebih pagi dari kedua kakaknya dan melakukan berbagai tugas
rumah tangga seperti membersihkan rumah dan mencuci pakaian.
Sejak kecil, perlakuan yang diterima YP memang dibedakan dari
kedua saudaranya, namun saat itu YP belum mengetahui bahwa
113
dirinya berstatus anak angkat. Walaupun begitu, sewaktu YP
berada di kelas 1 dan 2 sekolah dasar, ia sering diajak berenang
bersama ayah, ibu dan kedua kakaknya.
Pertama kalinya YP mengetahui bahwa dirinya adalah anak
angkat sekitar dua tahun yang lalu. Pada saat itu ibu YP sedang
memarahi YP dan membanding-bandingkannya dengan kakak laki-
lakinya. Ketika itu, usia YP baru 8 tahun saat ibu YP mengatakan
bahwa YP hanyalah anak angkat di keluarga tersebut. Menurut
penuturan anak kos yang mengetahui kejadian tersebut, pada saat
itu reaksi YP hanya diam dan menangis, serta beberapa kali
menggeleng-gelengkan kepalanya seolah tak percaya dengan
ucapan ibunya. Setelah itu, YP bercerita pada beberapa anak kos
sambil menangis sampai hidungnya mengeluarkan darah
(mimisan).
YP sempat tidak naik kelas karena prestasi belajarnya yang
terus menurun dan harus mengulang di kelas 3 SD, sehingga saat
ini ia masih kelas 4 SD. Pada saat tidur, YP masih mengompol dan
badannya bergerak gerak, tidak bisa diam. Hal tersebut
menunjukkan adanya kecemasan yang tersimpan dalam dirinya
sebagai dampak dari perilaku kekerasan yang ia terima dari ibunya.
Perlakuan kasar dan sikap ibu YP dalam memberikan
disiplin serta aturan, membuat YP merasa tidak bebas dalam
melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. Selama ini,
114
ibu YP memegang kendali terhadap kehidupan YP termasuk dalam
hal pergaulannya. Pergaulan YP dibatasi oleh ibunya sehingga ia
tidak pernah bermain dengan teman-teman sebayanya di
lingkungan sekitar rumah dan lebih sering bergaul dengan
mahasiswi-mahasiswi yang kos dirumahnya. Baru kira-kira
setahun terakhir ada teman YP yang datang berkunjung ke rumah
YP untuk mengerjakan tugas bersama atau hanya sekedar bercanda
dan bermain sepeda.
YP selalu melakukan berbagai macam cara supaya ia
diperhatikan oleh orang-orang di sekelilingnya, baik saat ia berada
di rumah ataupun di sekolah. Menurut wali kelasnya, di sekolah
atau di kelas, YP selalu berusaha menarik perhatian guru-guru
yang mengajar dengan cara mengajak temannya berbicara saat
guru mengajar, sengaja lambat dalam mengerjakan soal, dan
berbohong pada guru dan mengambil barang milik teman-
temannya.
Secara pribadi, YP juga sering pernah merasa disakiti,
terutama pada saat ia dibohongi/ ditipu dan dimusihi oleh teman-
temannya. Hal tersebut adalah hal yang menyakitkan baginya.
Menurut penuturan YP, ia tidak mau dianggap ikut campur urusan
orang lain, maka ia tidak mau mengurusi masalah orang lain YP
akan berusaha mencari tahu hal yang menjadi masalahnya, tetapi
tidak untuk masalah orang lain. Namun menurut pengakuan guru
115
kelasnya, YP dijauhi oleh teman-temannya karena YP suka
mencampuri permasalahan temannya dan ia juga suka memberi
nasehat-nasehat yang terkadang dianggap tidak sesuai dengan
umurnya. selain itu, YP juga dianggap terlalu aktif/ berlebihan
dalam hal berbicara, termasuk juga mengajak teman di sekitarnya
mengobrol saat guru menerangkan sehingga ia tidak disukai oleh
teman-temannya dan tidak ada teman yang mau duduk dengannya
di kelas. Di sekolah, YP memiliki seorang teman dekat yang
bernama Ng, tetapi berbeda kelas dengannya. Hanya kepada Ng,
YP menceritakan tentang dirinya walaupun tidak sampai pada
permasalahan keluarganya. Selain Ng, ada beberapa teman sekalas
Ng yang juga berhubungan cukup dekat dengan YP. YP merasa
nyaman berada bersama teman dekatnya karena YP merasa bahwa
ia bisa bersenang-senang. Hal yang tidak pernah ia rasakan di
rumah. Oleh karena itu, YP berusaha tampil dan bersikap sebaik
mungkin di depan teman-temannya.
Pada saat di rumah, YP selalu berusaha untuk mengajak
mbak-mbak kos untuk mengobrol dan bermain dengannya. Pada
suatu saat, YP pernah menjadi pelaku pencurian uang secara
sengaja dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian sebagai
kompensasi atas ketidakberdayaannya di dalam keluarga yang
kurang memperhatikannya.
116
c. Kontak sosial
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang telah
dilakukan, diketahui bahwa YP memiliki keinginan yang besar dalam
hal menjalin relasi dengan orang lain. YP memiliki keinginan/
kesediaan untuk berkenalan dengan orang lain ataupun hanya sekedar
memberi sapaan. Hal tersebut terlihat dari penuturan subjek berikut ini.
“..karena belum kenal ya......bingung gitu ya..biasanya sih kalo aku sukanya ngajakin kenalan..ngobrol-ngobrol gitu” (wwcr1.S3.YP.brs. 61-64) “Ya biasa aja, nggak nolak sih, maksudnya..yah..kalo diajak kenalan sih nggak papa. ... Mau” (wwcr1. S3. YP. brs. 111-112) “walaupun ya orang itu nggak seneng sama kita tapi kita tetep menyapa. ..kalau kita kenal ya..kita sapa, kalo kita nggak kenal, dan kita mau berkenalan ya..kita kenalan dulu gitu” (wwcr2. S2. YP. brs. 25-27)
YP berpikir bahwa saat di sekolah, semua anak harus
berteman, tidak membedakan anak yang nakal dan tidak. Walaupun
YP dipukul oleh temannya, ia tidak berpikir untuk membalasnya,
ataupun menjauhinya. Begitu pula dengan hubungannya dengan
saudara-saudaranya.
“kalo seandainya..walaupun orang itu mukul aku sih tapi..aku nggak..aku nggak ada kepikiran kayak gitu..ana..walaupun kayak gitu..dia khan tetap..apa..eee.....di sekolah khan semua harus berteman gitu ya..nah jadi dia mau nakal atau enggak aku nggak peduliin itu gitu lho” (wwcr1. S3. YP. brs. 146-149) “Yah sebenernya sih kalo kayak gitu enggak maksudnya..eee..aku langsung..kalo aku emang berbuat salah ya..menurut pendapatku aku langsung minta maaf dan nggak ngejauhin gitu lho..maksudnya ya..dia marah..tak ajak bercanda..biar..maksudnya dia nggak maksudnya dia nggak jauh lagi” (wwcr1. S3. YP. brs. 177-180)
117
“...si anak itu..ya berinteraksi baik dengan..punya hubungan yang baik dengan sepupu-sepupunya” (wwcr3. SO3. Wn. Brs. 122-123)
Jika bertemu dengan teman baru, YP juga memiliki inisiatif
untuk mengajak berkenalan lebih dulu. Termasuk juga saat ia berada di
tempat yang baru baginya, ia akan berusaha mengamati keadaan dan
berkenalan dengan orang-orang yang baru.
“Biasanya kalo kayak gitu aku yang pertama-tama mulainya tuh kenalan” (wwcr1. S3. YP.brs. 217) “Yah..kalo belum kenal sich kenalan dulu terus liat suasananya tuh gimana..disitu enak..seneng..gitu..bisa kenalan..sama orang baru..terus habis itu..temen gitu” (wwcr1. S3. YP.brs.345-346). “Ya kalo Ana sih, kalo istirahat Ana kenalan, nanya: Ya kalo ada temen baru sih biasanya aku duluan” (wwcr2. S3. YP. brs. 151-153)
YP memberanikan diri untuk menemani orang yang baru ia
kenal walaupun awalnya ia merasa takut dan gugup.
“Ya biasanya pertama-tama ana kenalan terus abis itu ana nemenin; Ya..berani-berani aja” (wwcr1. S3. YP.brs.360;362) “ya..aku ngajak kenalan terus ngajak ngobrol; Ya emang sih agak takut-takut, tapi..sesudah itu..dah nggak takut” (wwcr2. S3. YP. Brs.117;120) “Ya..nggak gugup-gugup banget cuma ngerasa belum kenal gitu lho; Kalo seneng ya pasti ngerasa ya, kalo sedih engga” (wwcr2. S3. YP. brs. 157;159)
Namun demikian, dalam kesehariannya YP mampu dengan
mudah beradaptasi dengan orang yang baru ia kenal dan dengan situasi
yang baru pun ia tidak kesulitan atau merasa canggung dalam
118
menempatkan diri. Hal tersebut diungkapkan oleh mbak kosnya dan
guru kelasnya.
“ke orang baru kenal. Yah, terlihat bangetlah, pokoknya baiiik..banget, ramaaah..banget, dia termasuk orang yang cepet..cepet deket sama orang gitu lho, cepet bisa interak..apa..beradaptasi sama orang yang baru dia kenal gitu” (wwcr3. SO3. Wn. Brs. 158-160) “Dia kayaknya langsung bisa klop ya..langsung bisa..dia langsung bisa kayak..menempatkan situasi dimana dia berhadapan dengan orang sekarang. Jadi dia bisa adaptasi langsung dengan situasi” (wwcr.SO3.Pl.Brs.76-78) “Jadi..aku dateng..dia..dia nggak canggung-canggung. Dia nggak..maksudnya..deknen yo langsung ngomong-ngomong..enak orangnya. Kalo dilihat dari..dari apa ya..kalau..dilihat dari caranya menghadapi orang asing..menurutku anaknya nggak bermasalah. Istilahe ki langsung” (wwcr.SO3.Pl.Brs.78-81)
Hal tersebut juga diungkapkan oleh ibu dari teman dekat YP, Ng, yang
mengatakan bahwa YP tidak terlihat canggung saat berkumpul dan
bermain bersama walaupun ia sendiri berbeda kelas dengan teman-
teman dekatnya yang lain. Selain itu, YP juga suka berbicara dan tidak
terlihat canggung saat berhadapan dengan orang tua Ng walaupun
mereka baru berkenalan (obsv6.S3.YP.no. 5; 6).
YP menyimpan rasa takut terhadap orang dewasa namun ia
mampu mengatasinya dengan memberanikan diri untuk menemani
orang dewasa yang baru dikenalnya karena penting baginya untuk
berteman dengan orang yang lebih dewasa supaya ia bisa bertanya
mengenai hal-hal yang tidak ia mengerti. Selain itu, ia pun berharap
agar ia tidak merasa takut lagi dengan orang dewasa.
119
“ya bisa dibilang pentingnya itu bisa bertanya sesuatu yang kita nggak bisa” (wwcr2. S3. YP. brs. 32-34) “manfaatnya tuh..Ana bisa.. mengenal bagaimana orang..bisa membedakan orang..jadi nggak perlu takut-takut lagi. Kalo sama orang dewasa emang dulu Ana takut ya..tapi sekarang udah engga karena Ana sudah mulai mengenal gimana gitu lho..gimana sikapnya, sama..sama..anak yang kaya Ana gini, Ana udah ngerti” (wwcr2. S3. YP. brs. 62-67) “Ana mau..supaya Ana lebih mengenal pergaulan. Pergaulan dengan orang dewasa, dengan anak sebaya Ana. Ya maksudnya biar mengenal pergaulan gitu” (wwcr2. S3. YP. brs. 106-109) “Ya penting-penting aja soalnya nanti kalo suatu saat ada apa gitu ee..kita bisa ikut me..membantu gitu” (wwcr2. S3. YP. brs. 113-114).
Pada saat berbincang-bincang dengan seseorang, YP tidak
memandang mata lawan bicaranya tetapi mengalihkan pandangannya
ke arah lain. Begitu juga pada saat diajak berbicara oleh mbak kosnya
dan guru kelasnya. YP menghindari kontak mata selama berbicara.
“Ya biasanya sih aku kalo ngobrol sama orang... ...ya nggak terus pandang matanya gitu lho.. ..pandang..ya pandang yang lain gitu” (wwcr1. S3. YP. brs.68-70 ) “...ya karena dia waktu aku ajak ngomong itu..mata itu sama sekali nggak mau lihat gitu lho” (wwcr1. SO3. Wn.brs. 40-42) “Nunjukkan cuma..deknen ndingkluk ya..dia nggak berani melihat guru itu” (wwcr.SO3.Pl.Brs.129)
Hal itu didukung oleh hasil pengamatan peneliti terhadap subjek yang
menunjukkan perilaku subjek saat diajak berbicara oleh orang dewasa,
YP cenderung menghindari pandangan mata lawan bicara dan
memalingkan wajahnya ke arah lain sambil berbicara atau
menundukkan kepalanya. Selain itu ia juga suka memainkan tangan
atau benda di tangannya saat diajak berbicara oleh orang dewasa,
120
termasuk juga saat proses wawancara berlangsung (obsv1.S3.YP.no. 2;
obsv2.S3.YP.no. 3; obsv8.S3.YP.no. 2).
YP dan temannya sering saling bertanya dan berbagi cerita
tentang hobi mereka. Selain itu YP juga bersedia bertukar barang
dengan temannya, termasuk juga memberi kenang-kenangan jika ada
temannya yang akan pindah.
“..seringannya sih cerita tentang pengalaman di rumah... aku juga misalnya aku yang nanya duluan, kamu hobinya apa gitu.. terus dia njawab..habis itu dia nanya ganti sama aku. Aku bilang, aku hobbynya mbaca.terus habis itu ya mulai cerita-cerita” (wwcr1. S3. YP. brs. 92-95). “Mau. Ya biasanya tuh..kita..tuh ..paling sering tuh..aku sama temenku tuh..eee...tukeran gitu lho.. tukeran barang, terus ya..kadang khan..temenku mau pindah gitu..yah..kita saling ngasihin kenangan..terus kalo aku misalnya aku dikasih apa tapi..misalnya itu dah tak pake..itu dah lama gitu lho..terus habis itu..eee..bosen lagi..terus itu aku tanya temenku mau apa enggak..yah kalo dia mau khan tak kasih karena...itu sih..menurut aku itu juga bukan barang bekas ya..tapi aku tuh udah nggak suka nanti daripada nanti aku buang khan masih berguna gitu lho mending tak tawarin gitu..ehm, terus sama temen tuker-tukeran gitu ya” (wwcr1.S3.YP.brs. 192,194-201).
Hal tersebut juga tampak saat YP sedang berbincang-bincang
dengan Ag mengenai kehidupan sekolahnya. Ag banyak bertanya pada
YP tentang sekolahnya, teman-temannya dan kesulitan-kesulitan YP
dalam mengikuti pelajaran. YP menanggapi pertanyaan-pertanyaan
dari Ag dan menjawabnya dengan ramah, bahkan sembari YP bercerita
tentang dirinya, ia juga bertanya balik pada Ag tentang perkuliahan Ag
(obsv2.S3.YP.no. 2).
121
YP senang berbagi minat membaca dengan teman-temannya
di sekolah, atau juga merayakan hal-hal khusus bersama-sama.
“Aku sukanya tuh kalo di perpus khan mbaca-mbaca nah terus temen-temen ikut aja mbaca-mbaca” (wwcr2. S3. YP. brs. 96-97) “Jadi kalo ada momen-momen khusus, memang..dia punya kelompok, nggak cuma sama Ng aja, terus mereka..kalo ada valentine-an ya mereka ngadain kumpul bareng..tapi nggak cuma itu ya, mungkin kalo ada hal-hal yang lain juga iya” (wwcr.SO3.Pl.Brs.117-120)
Seperti yang terlihat dari hasil pengamatan peneliti saat YP bermain
dengan teman-temannya di rumah. Begitu pula saat peneliti
mengantarkan YP menemui Ng di rumah neneknya. YP menunjukkan
perilaku berbagi minat dengan teman-teman sebaya yang dekat
dengannya. YP tampak senang bersepeda bersama dengan teman-
temannya, dan ia juga tertarik dengan hobi Ng dan bermain
bersamanya (obsv5.S3.YP.no. 3; obsv6.S3.YP.no. 1; 2).
Pada saat YP belajar bersama dengan teman dekatnya, mereka
saling menceritakan hal yang tidak dimengerti dan menyelesaikannya
bersama-sama.
“Biasanya kalo sama.. Ng kalo mau ulangan ya..belajar bareng kalo ada yang nggak ngerti diceritain. terus nyeleseinnya juga sama-sama” (wwcr2. S3. YP. brs. 53-56)
Di dalam kelas, YP juga ikut bekerja sama dengan teman-
temannya bekerja kelompok menyelesaikan tugas. Namun menurut
keterangan dari hasil pengamatan guru kelasnya, ia tidak diterima
dalam kelompok di kelasnya.
122
“...dia dateng..yah waktu itu..aku sih ngeliatnya sih cuma ya mereka ngerjain tugas bareng gitu lho” (wwcr1. SO3. Wn.brs. 71-72) “Mungkin karena dia sudah dicap ya..dari kelas tiga ya..dia sudah nggak disukai temen, ya kalo dalam kelompok kerja tapi dia lebih banyak dicuekin temennya. Deknen arep ngomong terserah gitu lho..mau mbahas terserah..tapi kalo pas dia nggak kerja sama, temennya juga..anu..’kowe ki rak kerjo malah meneng wae’..tapi kalo dia ngomong..temennya udah nggak respek sama dia. Kalo dikelas dia tidak punya teman dekat. Teman dekatnya hanya Ng tok” (wwcr.SO3.Pl.Brs.19-24)
YP bersedia menerima kontak fisik yang bersifat intim
semacam pelukan ataupun hanya sekedar belaian di kepala jika hal itu
dilakukan oleh orang yang sudah ia kenal. Namun, ia akan menghindar
jika ia dipeluk oleh orang yang tidak ia kenal dan ia berpikir bahwa
orang tersebut tidak baik.
“Ya nggak papa (dipeluk) yang penting udah kenal” (wwcr1. S3. YP. brs. 116) “Yah, sebenernya sich nggak gelisah, nggak panik gitu yah..cuma ya heran gitu lho..cuma heran, kenapa kok tiba-tiba..padahal baru mau aku ajak kenalan..ya..aku ya..nggak papa gitu..aku nggak berusaha ngelepasin diri lah ya..maksudnya emang sich aku heran tapi..ee..kalo sikap orang itu baik..aku pasti nggak akan berusaha untuk menghindar tapi kalo sikap orang itu maksudnya..apa..ada jahat gitu..pikiran yang jahat gitu..ya..aku akan berusaha menghindar gitu lho karena aku tahu itu pasti nggak baik” (wwcr1. S3. YP. brs. 221-227)
Perilaku YP tersebut juga terlihat dari hasil pengamatan terhadap
keseharian YP. YP bersedia menjalin dan menerima kontak fisik
seperti belaian di kepala dan punggungnya dari mbak kosnya,
mengajak berjabat tangan saat memperkenalkan diri, berangkulan dan
123
bergandengan tangan dengan temannya (obsv2.S3.YP.no. 5;
obsv3.S3.YP.no. 2; obsv4.S3.YP.no. 4; obsv5.S3.YP.no. 2;
obsv6.S3.YP.no. 4; obsv7.S3.YP.no. 4).
YP bisa membenci orang yang tidak ia kenal namun bersikap
intim terhadapnya.
“Ya..pernah (wwcr1. S3. YP. brs. 229); Aku ya sebel, kayak mba otic tadi nanya itu..karena dia tu belum kenal tapi langsung..langsung kira tuch udah saling kenal gitu lho (brs. 231-232); Kayak misalnya dia pernah ngeliat aku, tapi aku nggak pernah ngeliat dia, jadi dia tuh menghafal gitu lho..terus habis itu ketemu terus dia langsung meluk gitu..nah..jadi yang aku benci tuh..kayak gitu lho” (brs. 234-236)
Dalam menjalin hubungan dengan teman-teman di kelasnya,
YP dianggap terlalu aktif dan terkadang YP suka mengurusi masalah
temannya, sok tahu, dan sok dewasa, sehingga menimbulkan reaksi
negatif dari teman-teman di kelasnya.
“Dia terlalu aktif..terlalu aktif dan itu malah membuat dia..ee..dia ini..makanya dia banyak dibenci temennya, terus terang. Terus sok tahu, sok ngurusin..sering juga ngurusin masalah temennya, sok dewasa. Belum saatnya, kalo menurutku belum saatnya dia..untuk anak seumur dia, tanpa melihat latar belakang dia lho ya” (wwcr.SO3.Pl.Brs.8-12)
Menurut pengamatan guru kelasnya, semakin YP diabaikan
oleh teman-temannya, perilakunya semakin menjadi untuk
mendapatkan perhatian dari temannya.
“terus juga ya nggak tau juga ya sifat ana yang seperti itu tuh karena dia sendiri sama latar belakang dia..terus dia menjadi..dicuekin sama temen-temennya, semakin dia dicuekin sama temen-temennya..malah deknen semakin
124
ini..mencari perhatian. Sudah sok dewasa..sok menasehati..dia pinter kalo menasehati..ada masalah..temennya bertengkar gitu, melerai itu bisa” (wwcr.SO3.Pl.Brs.182-187)
YP akan menimpali/ menyambut jika ada salah seorang
temannya yang memulai percakapan.
“ya..kalo gitu sich pernah waktu istirahat..itu kalo misalnya kita lagi..apa..males nyeritain pengalaman..Males main..jadi khan diem, trus ada yang ngajak pertama ngomong ayo curhat gitu, terus habis itu ya udah mulai ngomong” (wwcr1. S3. YP. brs. 105-107).
YP akan berbalik marah jika ada teman yang membuatnya
merasa kesal atau marah. Namun setelah bertengkar dengan temannya,
YP akan berusaha untuk berdamai dan menjalin hubungan lagi dengan
teman-temannya.
“tapi kalo yang nyebelin ya nggak apa-apa sebenernya, cuma terkadang kalo dia bikin aku kesel ato marah nanti ya..aku juga ikut marah. marah tapi ada..apa ya..pokoknya marah tapi nanti terakhir-terakhirnya tuh maafan gitu” (wwcr2. S3. YP. brs. 71-74).
YP memilih untuk bersikap diam, hanya menangis dan tidak
membalas/ membela diri jika sedang diperlakukan salah oleh ibunya,
seperti misalnya saat ia dituduh melakukan kesalahan dan dihukum.
“jadi dia kalo mau dituduh atau bagaimana, dia memilih untuk bersikap diam” (wwcr2. SO3. Wn. Brs. 37-38) “kalo dulu, dia nangis terus kaya orang nggak berdaya gitu lho, hanya diem” (wwcr3. SO3. Wn. Brs. 90-91)
Hal tersebut juga tampak pada saat YP dihukum oleh ibunya
karena terlambat pulang ke rumah setelah bermain. Ia terus berusaha
125
memohon ampun dan mengatakan bahwa ia merasa sakit
(obsv4.S3.YP.no. 3).
Di rumah, YP kurang diperhatikan oleh ibunya dan ia merasa
terabaikan, kemudian ia mencari perhatian ke penghuni kos-kosan
milik ibunya.
“dia sepertinya semakin ngerasa kurang diperhatikan. Jadi, belakangan dia sering mencari perhatian ke aku atau ke temen-temen kos yang lain. Jadi, mungkin karena ibu sendiri sekarang udah nggak mau peduli sama dia. Jadi ya itu dia nyari perhatian” (wwcr3. SO3. Wn.Brs. 40-43) “...kalo aku lihat sih dia sengaja untuk menarik perhatian, jadi semakin sering kita panggil dia gitu, kita bilang, dia ngerasa ada yang perhatiin gitu lho” (wwcr3. SO3. Wn. Brs. 145-146)
Begitu pula pada saat YP berada di sekolah, ia mencari
perhatian dari guru-guru di kelasnya.
“Kalo dengan guru-guru dia ingin dapat perhatian lebih. Dia tidak mau kalah dengan teman lainnya. Ya seperti apa ya..pokoknya apa ya..kayak..dia selalu mencari perhatian. Dengan cara..dia lambat mengerjakan soal..dia harus ditungguin” (wwcr.SO3.Pl.Brs.56-58) “Iya adaptasinya bagus. Tapi ya itu..selanjutnya ya itu..terus dia mencari perhatian tho..terlalu gitu” (wwcr.SO3.Pl.Brs.83-84)
YP merasa takut dan memilih untuk menghindari orang yang
bermasalah dengannya, seperti salah seorang guru yang pernah
memarahinya. Hal tersebut diungkapkan oleh guru kelasnya.
“Dia tidak takut..dengan aku ya sudah..Tapi kalo sama pak Hart dia takut. Yang paling dia takuti adalah pak Hart. Sampai semester satu pas pelajaran pak Hart pasti dia ke UKS; Dia takut sama pak Hart. Masalahnya dia dulu pernah dimarahi sama pak Hart pas semester satu” (wwcr.SO3.Pl.Brs.87-89;91-92)
126
YP tidak pernah berbagi cerita mengenai permasalahan
pribadi yang ia hadapi di rumah kepada gurunya, kecuali jika ia
ditanya lebih dulu, seperti yang diungkapkan oleh guru kelasnya.
“Selama ini, kalau masalah pribadinya enggak ya. cuma kalo masalah..kalo..kalo pertanyaan kayak bab pelajaran gitu..dia sering; Kalo nggak jelas harus ditanyain. Tapi kalo masalah pribadi apa yang dialami di rumah itu enggak” (wwcr.SO3.Pl.Brs.29-32) “Kecuali kalo kita tanya kayak kemarin khan dia kakinya luka, lukanya itu khan diperban..itu ya saya tanya..kenapa kok nggak dijahit? Itu ya dia cerita..karena aku nggak boleh sama papa dan ternyata mama..dia mungkin pengen dijahit tapi mama nggak berani sama papa karena papa nggak tahu terlibat” (wwcr.SO3.Pl.Brs34-37)
YP memiliki keinginan yang kuat dalam menjalin hubungan
dengan orang lain. Pada saat YP berjumpa dengan orang baru atau
teman baru, ia berinisiatif untuk mengajak berkenalan lebih dahulu dan
mengajaknya berbincang-bincang. YP juga tidak merasa canggung
walaupun orang yang baru ia kenal adalah orang yang usianya lebih
dewasa darinya. YP dapat mengerti manfaat dari menjalin kontak
sosial dengan orang lain, baik teman sebaya maupun dengan orang
yang lebih dewasa darinya, bahkan menurut penuturannya, ia merasa
senang bergaul dengan orang yang usianya lebih dewasa karena dirasa
lebih menyenangkan. Pada saat di rumah, YP akan bersikap diam dan
tidak memberikan respon balik (feedback) jika ia berhadapan dengan
ibunya walaupun ia sedang diperlakukan salah. Selain itu, YP juga
akan menghindari orang yang bermasalah dengannya seperti guru yang
pernah memarahinya, karena ia merasa takut berhadapan dengan orang
127
tersebut. YP tidak pernah menceritakan masalah yang ia hadapi di
rumah pada gurunya, kecuali jika ia ditanya. Namun ia biasa berbagi
kesenangan dan minat bersama dengan teman dekatnya di sekolah dan
ia juga suka berbagi cerita pada mbak kos yang dekat dengannya. Pada
saat diajak berbicara, subjek YP cenderung menghindari kontak mata
dengan lawan bicaranya dan ia memilih untuk memandang ke arah
lain. YP bersedia menerima kontak fisik yang bersifat intim seperti
pelukan atau hanya sekedar belaian di kepalanya dari orang atau teman
yang sudah ia kenal, dan YP memilih untuk menghindar jika yang
melakukannya adalah orang yang tidak ia kenal.
Kontak sosial YP dengan teman-teman di kelasnya cenderung
terhambat karena perilaku YP dianggap terlalu berlebihan dan
membuat teman-temannya merasa tidak nyaman dan kemudian
menjauhi YP. Menurut pengamatan gurunya, YP mendapat respon
negatif dari teman-teman di kelasnya karena perilaku YP yang
dianggap terlalu berlebihan dalam mencari perhatian orang-orang
disekitarnya (overacting). Begitu pula pada saat YP berada di rumah,
ia juga dianggap terlalu berlebihan dalam mencari perhatian dari
mahasiswi-mahasiswi yang tinggal di rumahnya.
128
d. Komunikasi
Dalam kesehariannya, YP senang mengajak temannya
berbicara, seperti pada saat jam istirahat di sekolahnya atau juga saat
berkumpul bersama di rumah temannya.
“...terus ngobrol-ngobrol sama temen-temen” (wwcr1. S3. YP. brs. 73)
Menurut penuturan mbak kos dan guru kelasnya, pada saat YP
menjalin komunikasi dengan orang lain seperti bercerita,
mengungkapkan sesuatu pada temannya, ia dianggap terlalu aktif
(over) seperti sedang mencari perhatian secara berlebihan sehingga ia
tidak disukai oleh teman-temannya di kelas.
“tapi dia cara ceritanya tuh terlalu ini gitu lho terlalu..kalo menurutku terlalu over menurutku. Kalo anak yang lain khan ya cerita biasa gitu lho..tapi dia ‘ini lho aku ingin didengarkan’, kalo sepenangkepanku sih seperti itu” (wwcr3. SO3. Wn.Brs. 48-51) “Kalo perilaku..perilaku di kelas memang ana tu sering..opo yo..sering cari perhatian. Sering cari perhatian..terus..kalo masalah interaksi..komunikasi ya..komunikasi dengan teman, dia orangnya ini banget..kalo terlalu over sih..mungkin over ya..terlalu apa ya..namanya...sehingga..kalo pendiam sih enggak..tapi dia terlalu..aktif” (wwcr.SO3.Pl.Brs.5-8) “Pertama ana tak suruh sendiri, tapi tetep di depan. Tapi temen belakang..belakangnya nggak pada nyaman. Karena ana tu ngajak ngomoonngg..terus” (wwcr.SO3.Pl.Brs.160-161)
YP biasa mengungkapkan pada ibunya mengenai kesalahan
yang sudah ia perbuat. Selain itu, YP juga biasa mengungkapkan
perasaannya pada ibu dan teman baiknya. Seperti pada saat ia merasa
kesal atau sedih.
129
“Kalo aku nakal sih biasanya ana ngomongnya sih yang paling deket sih.. sama mama” (wwcr1.S3.YP.brs. 53-54) “Biasanya sich yang paling deket tak omongin gitu kalo di rumah tuh mamah, kalo di sekolah tuh temen baikku” (wwcr1.S3.YP.Brs. 206-207). “kalo itu aku biasanya bilangin ke Ng” (wwcr2.S3.YP.brs. 80)
YP mau menceritakan pengalamannya hanya kepada teman
dekatnya saja.
“Ya tapi biasanya aku nggak sering mbicarain sama temenku, khan aku punya temen deket nah temen deket khan masih punya temen nah..aku nggak sering mbicarain ke temennya itu..tapi..aku paling sering tuh..ke temen yang paling deket sama aku gitu..ke orang lain aku nggak percaya” (wwcr1. S3. YP. brs. 210-213)
Pada saat YP menghadapi masalah, ia biasa mencurahkan isi
hatinya pada mahasiswi yang kos dirumahnya, termasuk juga saat ia
mendapatkan perlakuan kekerasan dari ibu dan kakaknya. Hal tersebut
diungkapkan oleh subjek YP sendiri dan mbak kosnya.
“Ya pernah. Sama mbak Wn, sama mbak Ag” (wwcr2.S3.YP. brs.142-144) “hm..justru pengalaman dirumah itu dia ceritanya khan ke mbak-mbak kos, dari dulu misalnya dia dipukul sama mamanya” (wwcr1. SO3. Wn.brs. 75-77) “...karena dia juga sering ngeluh, pernah ngeluh dipukul sama kakaknya” (wwcr3. SO3. Wn.Brs. 194)
Jika YP mendapat masalah namun ia merasa tidak bersalah, ia
akan berusaha menyampaikan pembelaan dirinya dihadapan temannya.
Ia akan membela diri dan mengatakannya secara langsung pada teman
atau gurunya.
130
“Kayak istilahnya tuh..ana difitnah gitu..yah..itu sih ana sebenernya kalo..itu sih..ana sebel aja.tapi nggak..nggak..ya..bela diri sih bela diri..tapi kalo ana bener-bener salah ana nggak akan bela diri sampai segitunya..ana difitnah gitu..nggak” (wwcr1. S3. YP.brs. 280-283) “... terus ada temenku kelas 4 laki-laki dia tuh marah-marah, aku..berani aja kubilang kalo aku sakit emang knapa?nggak boleh? Gitu” (wwcr1. S3. YP.brs. 320-321) “Ya aku bilang sama dia, aku nggak ngelakuin ini, jadi aku nggak salah ngapain kamu hukum aku..dan juga belum ada bukti yang tepat” (wwcr1. S3. YP.brs. 305-306) “Jadi kalo misalnya saya ngomong sama dia ya..dia pinter alasan..pegaweane deknen mungkin karena di rumah dia kos-kosan..jadi banyak itu ya” (wwcr.SO3.Pl.Brs.188-190)
Namun jika berhadapan dengan ibu dan kakaknya, YP tidak
mampu mengungkapkan kekesalannya dan memilih untuk bersikap
diam jika sedang diperlakukan salah oleh mereka. Ia hanya diam dan
memendam perasaanya pada saat ia merasa disakiti.
“terus dia bilang, ‘aku kesel..kadang tuh aku suka kesel sama mama karena dulu itu setiap kali..khan sering ada barang hilang, duit hilang itu tuh YP yang selalu dituduh, terus kalo..YP juga kesel gitu lho sama kak ths yang suka..kalo marah tuh suka mukul..suka kasar’, gitu” (wwcr2. SO3. Wn. Brs. 8-12) “..nah, si YP tuh cuma diem gitu lho..diem yang matanya..matanya itu..sebenernya menunjukkan kalo dia itu mau bilang ‘enggak’ gitu..tapi dia nggak bisa dan dia cuma bisa diem pada saat itu” (wwcr2. SO3. Wn. Brs. 18-21) “...pada saat itu dia, terlihat dari matanya, dari ekspresi mukanya, sebenernya dia pengen mengungkapkan itu tapi dia nggak bisa” (wwcr2. SO3. Wn. Brs. 29-30)
Pada usianya saat ini, YP sudah mulai berani mengungkapkan
rasa sakitnya pada saat ia akan dipukul oleh kakaknya. Walaupun
terkadang ia masih merasa tidak berani melawan tindak kekerasan dari
kakaknya jika ada ibu di dekatnya.
131
“belakangan ini tuh dia sudah mulai mau berontak gitu lho kalo aku lihat. Jadi, pada saat diganggu sama kakaknya, dia bales..dibales gitu lho..terus kalo enggak dia bilang, ‘kak ths..’, dia dah berani bilang, ‘sakit’, pokoknya yang mulai berani, walaupun terkadang ya itu..jadi antara..ya ada situasi dimana dia berani dan ada situasi yang dia nggak berani, gitu” (wwcr2. SO3. Wn. Brs. 38-43) “dia langsung bilang, ‘aku nggak suka’, gitu..dia berani langsung bilang, ya kalo punya masalah dengan kakaknya” (wwcr3. SO3. Wn.Brs. 249-250) “dia nggak berani, jadi pas waktu itu, pas dia ngelawan itu, pas nggak ada ibu gitu khan..jadi, yang waktu dia dipukul sama kakaknya itu tuh nggak ada ibu. Pada saat yang dia dituduh sama kakaknya, ‘pasti yang berambut pendek..’, emang waktu itu ibu cuma diem gitu lho, nggak..nggak seperti dulu lagi..nggak ‘keras’, nggak langsung, ‘mana?”, nggak..nggak..ee..apa..disitu dia ngambil sikap diem..nggak tahu apakah karena ada mamahnya aku nggak ngerti” (wwcr2. SO3. Wn. Brs. 43-48)
Namun ia sudah mulai mampu mengungkapkan yang ia
pikirkan dan rasakan pada ibunya, seperti yang diungkapkan oleh
mbak kosnya.
“Tapi kalo sekarang, kalo dia dipukul atau misalnya ibu baru pegang tangannya dia sudah mulai berani bilang ‘jangan ma, aku nggak mau, sakit ma..’ dia udah berani bilang” (wwcr3. SO3. Wn. Brs. 91-93) “Iya. Mengungkapkan apa yang dia pikirkan, apa yang dia rasakan” (wwcr3. SO3. Wn. Brs. 95)
YP suka menegur dan menasehati temannya yang nakal atau
juga bertanya secara langsung tentang masalah yang sedang dihadapi
oleh temannya.
“kita nggak perlu marahin, nggak perlu bales paling kita cuma menegur, menasehati” (wwcr1. S3. YP. brs. 153-154) “Ya aku tanya langsung sama dia, apa kesusahannya, kalo aku bisa bantu ya yang bisa aku lakukan ya aku tolong” (wwcr2.S3.YP.brs.20-21)
132
Di kelasnya, YP sering menanyakan tentang hal-hal yang
tidak ia mengerti pada orang lain. Ia juga senang mengajak bicara
(mengobrol) dan bertanya-tanya pada orang yang baru ia ajak
berkenalan.
“Ya..ngobrol-ngobrol; ...misalnya nanya..kok sendirian..gitu..terus habis itu tak tawarin..tak temenin ya..terus ngobrol-ngobrol..kamu tinggalnya dimana, namamu siapa, gitu” (wwcr1. S3. YP. brs. 365; 367-368)
YP cenderung menolak jika disuruh oleh gurunya untuk
menceritakan permasalahan yang ia hadapi jika ia merasa melakukan
kesalahan. Hal tersebut diungkapkan oleh guru kelas YP.
“Dia bisa..kecuali kalo dia memang merasa salah. Dek’e..piye yo..nek umpamane dek’e salah dan suruh menceritakan apa yang terjadi, dia nggak mau menceritakan. Kayak..tapi nek umpamane..ee..pas dimarahin..terus..dia merasa..dek’e iso mbales e..masalahe si ana kae” (wwcr.SO3.Pl.Brs.102-105)
Peneliti melakukan observasi terhadap perilaku keseharian YP
dan juga selama proses wawancara mengenai bentuk komunikasi non-
verbal yang dilakukan oleh YP. Subjek YP menunjukkan bentuk
komunikasi non-verbal berupa anggukan dan gelengan kepala, serta
lambaian tangan sebagai salam perpisahan (obsv1.S3.YP.no.3;
obsv2.S3.YP.no.5; obsv3.S3.YP.no.5; obsv7.S3.YP.no.3;
obsv7.S3.YP.no. 5; obsv8.S3.YP.no. 3)
Dalam hal komunikasi, transmisi pesan secara verbal yang
terjalin antara subjek dengan teman sebayanya berlangsung kurang
baik karena adanya penerimaan negatif dari lingkungan teman sebaya
133
subjek terutama dari teman-teman di kelasnya. Namun jika dilihat
secara umum komunikasi YP tidak menemui hambatan yang berarti. Ia
mampu menjalin komunikasi verbal maupun non-verbal dengan lancar.
Ia mampu memulai pembicaraan dengan orang lain baik teman sebaya
maupun orang yang lebih dewasa darinya dan mempertahankan
pembicaraan tersebut, atau dengan kata lain, subjek YP senang
berbincang-bincang dengan orang lain. Selain itu, ia juga mampu
berkomunikasi secara verbal sampai pada menyampaikan isi pikiran
dan mencurahkan perasaannya serta mengungkapkan permasalahan
yang ia hadapi. Namun begitu, ia hanya berbicara mengenai hal-hal
yang bersifat pribadi pada orang/ teman yang dekat dengannya.
e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial
Dari hasil wawancara, ditemukan beberapa faktor yang turut
berpengaruh dalam terbentuknya interaksi sosial antara subjek YP
dengan lingkungan sekitarnya. Faktor simpati berupa timbulnya rasa
sedih dan keinginan untuk membantu yang muncul dalam diri YP saat
melihat temannya kesulitan turut mendukung terbentuknya interaksi
sosial positif antara YP dengan lingkungannya.
“Yah sedih rasanya pingin ngebantuin. Ya ini juga tergantung. Dia susahnya dalam hal apa” (wwcr1. S3. YP. brs. 98;100) “Ya rasanya pingin nolong: Ya rasanya sedih, terus kasihan, soalnya lagi kesusahan” (wwcr2. S3. YP. brs. 16;18)
134
Namun ada faktor lain yang juga mempengaruhi YP dalam
berinteraksi dengan orang lain yaitu pengaruh dari lingkungan tempat
tinggal subjek yang merupakan akses bagi subjek untuk mendapatkan
bantuan saat mendapat perilaku kekerasan dan mendukung subjek
dalam hal menjalin relasi sosial. Orang tua subjek memiliki usaha kos-
kosan, sehingga sejak kecil subjek sudah bergaul/ berinteraksi dengan
mahasiswi-mahasiswi yang menyewa kamar dirumah subjek.
“Satu lingkungan karena khan kos-kosan gitu” (wwcr3. SO3. Wn.Brs. 14)
Faktor sosial (perilaku dan karakter orang lain) juga turut
mempengaruhi subjek dalam berinteraksi dengan orang lain. Subjek
akan menghindari orang yang masih asing baginya dan memilih untuk
lari, jika penampilan orang tersebut menakutkan baginya. Hal tersebut
turut mempengaruhi subjek dalam hal menjalin kontak sosial dengan
orang yang masih asing baginya.
“Tergantung mbak. kalo orang itu penampilannya nakutin, ya aku lari” (wwcr2. S3. YP. brs. 168)
Secara keseluruhan, data mengenai latar belakang, kontak sosial dan
komunikasi masing-masing subjek dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2. Ringkasan Analisis Hasil Penelitian Subjek 1, Subjek 2, dan Subjek 3
Aspek yang diukur Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 Latar Belakang Latar belakang Keluarga
1. TI adalah anak di luar nikah hasil hubungan antara ibunya dan pria yang tidak diketahui asal usulnya
2. TI membenci neneknya karena perilaku neneknya yang dominan/ lebih sering melakukan tindak kekerasan
3. Pada dasarnya TI merasa senang berkumpul dengan keluarganya karena adanya kedekatan antara TI dengan ibu dan adiknya.
4. TI sangat menyayangi adiknya dan selalu melindungi adiknya dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh nenek dan ibunya
5. TI dan adiknya hanya dipenuhi kebutuhan fisiknya tanpa diberi perhatian dan kasih sayang yang selayaknya oleh sang ibu.
1. AR berstatus anak kandung di keluarganya. Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara.
2. Hubungan antara AR dengan orang tuanya cenderung kurang baik karena mereka tidak pernah memperhatikan AR dan selalu sibuk bekerja untuk memperbaiki ekonomi keluarga.
3. Orang tua AR sendiri mempunyai hubungan yang kurang baik (renggang).
4. Pada dasarnya AR merasa senang berada bersama keluarganya walaupun tidak memiliki hubungan dekat dengan mereka.
5. AR hanya mendapat kebutuhan fisik tanpa mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang layak dari orang tuanya.
1. YP merupakan anak angkat di dalam keluarganya. Ia menjadi anak bungsu dari tiga bersaudara.
2. YP mengetahui dirinya berstatus anak angkat di keluarganya, namun ia tetap berusaha untuk bisa dekat dengan mereka. Pada dasarnya, YP tidak membenci keluarganya walaupun hubungan mereka kurang baik.
3. YP membenci kakak pertamanya. Namun begitu, ia tetap berusaha untuk dekat dengan keluarganya terutama ibunya.
4. Pada awalnya, ibu YP tidak mau mengangkat YP sebagai anak karena keluarga kandung YP dianggap sebagai keluarga tidak benar, namun pada akhirnya YP tetap diangkat sebagai anak.
5. Secara fisik, kebutuhan YP terpenuhi. Namun, ia tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang layak dari ibunya.
Kekerasan yang dialami
1. Kekerasan yang terjadi di keluarga TI sudah berlangsung turun-temurun sejak ibu TI masih kecil.
1. Di dalam keluarganya, AR lebih cenderung menjadi korban kekerasan secara psikis/ emosional. Kedua
1. Ibu YP menyimpan kekhawatiran jika YP tumbuh menjadi anak yang ‘tidak benar’ seperti ibu dan bibi
135
2. TI diberi perlakuan kekerasan supaya dapat menimbulkan rasa iba pada orang yang melihatnya saat ia dibawa mengemis di jalan.
3. Kekerasan fisik yang diterima TI : Dibentur-benturkan ke dinding hingga berdarah, dipukul, ditendang.
4. Kekerasan psikis/ emosional yang diterima TI berupa kekerasan verbal, yaitu umpatan-umpatan, ancaman, dimaki, dimarahi, dan juga penelantaran dalam hal pendidikan, kesehatan dan standar hidup yang layak.
5. Kekerasan psikis yang diterima TI dari masyarakat sekitar : keluarganya dikucilkan dari pergaulan sehingga TI tidak dapat memiliki teman sebaya yang dapat bermain bersama dengannya.
orang tua AR sibuk dengan permasalahan mereka sehingga AR terabaikan.
2. Jika AR melakukan kesalahan, ia hanya mendapat hukuman fisik tanpa mendapat perhatian lebih lanjut.
3. Kekerasan fisik yang diterima AR dari orang tuanya berupa hukuman fisik seperti dipukul, disuruh mencabuti rumput dan tidak diberi makan.
4. Kekerasan psikis/ emosional yang diterima AR berupa tindak penelantaran seperti tidak memberikan kehangatan, rasa aman, rasa peduli dan perlindungan pada anak.
5. AR juga dikeluarkan dari sekolah yang merupakan tindak pencabutan hak anak, dan setelah itupun orang tuanya tidak berusaha menyekolahkan AR kembali.
6. Kekerasan psikis yang diterima AR dari masyarakat : dicap (labelling) sebagai pengacau, anak nakal, dan sering dikatai sebagai pencuri. Selain itu, AR dijauhi oleh teman-temannya karena orang tua mereka melarang anak-anaknya untuk bergaul dengannya
7. Kekerasan fisik yang diterima AR
kandungnya. Oleh karena itu, Ibu YP mendidik YP dengan ‘keras’ dan cenderung kasar.
2. Setiap kali melakukan kesalahan, bahkan kesalahan kecil sekalipun, YP akan mendapatkan hukuman fisik yang tidak sebanding dengan kesalahan yang ia perbuat. Selain ibunya, kakak pertamanya juga sering ikut memberi hukuman pada YP.
3. Pada awalnya tujuan ibu subjek adalah pendisiplinan, namun semakin lama perbuatannya telah menjadi tindak kekerasan.
4. Kekerasan fisik yang diterima YP : dipukuli menggunakan alat maupun tangan kosong, dikurung di dalam kamar atau disuruh tidur di teras rumah, diikat di pohon dan tidak diberi makan.
5. Kekerasan psikis/ emosional yang diterima YP : tindak pengabaian (neglected), kekerasan verbal berupa makian, umpatan dan kata-kata kasar pada saat ia dimarahi. Selalin itu, YP juga diperlakukan berbeda dari kedua saudaranya.
136
dari masyarakat saat ia dituduh melakukan pembunuhan : dipukul di bagian muka, ditendang dan disundut rokok di leher dan tangannya.
Keseharian subjek 1. Selama masih tinggal bersama dengan keluarganya, TI menjadi korban dari konflik yang terjadi antara ibu dan neneknya yang penuh dengan kekerasan.
2. Sebelum dibawa ke TC, TI tidak pernah sekolah sebelumnya sehingga sampai usia 7 tahun ia belum bisa membaca dan menulis dengan lancar.
3. Keluarga TI dikucilkan dari pergaulan lingkungan sekitarnya sehingga TI tidak memiliki teman sebaya. Ia biasa bermain sendiri atau hanya dengan adiknya yang baru berusia 2 tahun saat itu sehingga TI tidak terbiasa bergaul dan bermain bersama dengan teman sebayanya.
4. Dampak dari kekerasan yang dialami TI ditunjukkan dalam bentuk ketakutan terhadap gelap, guyuran air dan sambal. Selain itu ia masih mengompol saat tidur. Dalam hal hubungannya dengan orang lain, kekerasan yang ia terima berdampak pada kelekatan dengan teman yang disertai rasa tidak aman dan ia juga sulit mempercayai orang lain.
1. AR adalah tersangka dari kasus tindak pidana pembunuhan seorang anak berusia 6 tahun.
2. Selama tinggal dengan keluarganya, AR tumbuh menjadi anak yang sulit bergaul dan cenderung sulit mengembangkan kepercayaan terhadap orang lain karena ia dijauhi oleh masyarakat dan diberi label sebagai anak nakal.
3. AR bergaul dengan ‘anak-anak nakal’ yang memang memiliki perilaku ‘tidak benar’.
4. Saat AR tinggal di TC, ia mendapat teman sebaya yang cocok dan ‘nyambung’ dengannya.
5. Dalam kesehariannya, AR adalah anak yang keras kepala, sukar diatur dan bersikap acuh tak acuh terhadap sekelilingnya sehingga membuat pembimbingnya merasa kewalahan.
6. AR juga dilihat sebagai anak yang emosinya datar dan sering bersikap dingin pada orang lain. Selain itu, AR juga kurang ada toleransi pada temannya.
1. Setiap kali YP menerima hukuman dari ibu dan kakaknya, ia hanya diam dan menangis karena ia menganggap hukuman itu wajar ia dapatkan.
2. Selama ini, ibu YP memegang kendali terhadap kehidupan YP termasuk dalam hal pergaulan. YP lebih banyak bergaul dengan mahasiswi-mahasiswi yang kos di rumahnya.
3. Disiplin, aturan dan perlakuan keras dari ibu YP membuatnya merasa tidak bebas dalam melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan keinginannya.
4. YP selalu melakukan berbagai macam cara untuk menarik/ mendapatkan perhatian dari orang-orang disekitarnya. Hal tersebut ia lakukan baik di sekolah maupun saat berada di rumahnya.
5. Di rumah, YP kurang diperhatikan oleh ibunya dan ia merasa terabaikan, kemudian ia mencari perhatian ke penghuni kos-kosan milik ibunya. YP selalu berusaha untuk mengajak mbak-mbak kos untuk mengobrol dan bermain dengannya.
6. YP selalu berusaha menarik perhatian
137
5. Pada awal TI dibawa ke TC, ia adalah anak yang sulit diajak bicara dan tidak mau beradaptasi dengan teman-temannya.
6. Semenjak TI dibawa ke TC, semakin lama ia semakin merasa nyaman dan sekarang TI lebih banyak diam termasuk saat ia merasa marah.
7. Saat ini, kesehariannya dipenuhi kegiatan belajar di sekolah dan di rumah, melaksanakan tugas-tugas di TC, dan bermain dengan teman-temannya.
guru-guru yang mengajar dengan cara mengajak temannya berbicara saat guru mengajar, sengaja lambat dalam mengerjakan soal, dan berbohong pada guru.
7. YP pernah menjadi pelaku pencurian uang secara sengaja dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian sebagai kompensasi atas ketidakberdayaannya di dalam keluarga yang kurang memperhatikannya
Kontak sosial Ketiga subjek tidak menunjukkan adanya hambatan dalam berinteraksi sosial dengan teman sebaya. Ketiga subjek memiliki keinginan yang cukup besar dalam menjalin kontak sosial dengan teman sebaya, baik yang sudah mereka kenal dekat maupun teman baru mereka. Penting bagi ketiga subjek untuk berteman/ bergaul supaya mereka tidak merasa sendiri, bisa bermain bersama dan berbincang-bincang. Mereka juga memiliki inisiatif untuk mendekati teman mereka dan mengajaknya berkenalan, bermain bersama, ataupun hanya sekedar berbincang-bincang. Pada subjek 3, tampak bahwa ia kurang diterima oleh teman-teman di kelasnya, karena perilakunya yang dianggap terlalu aktif dan cenderung berlebihan. Namun, semakin ia merasa diabaikan, tingkah lakunya semakin aktif untuk mendapatkan perhatian teman-temannya. Saat berada di lingkungan baru, subjek 1 menolak menjalin kontak dengan orang yang belum ia kenal dan lebih memilih untuk diam jika tidak ditegur lebih dulu, sehingga ia sulit beradaptasi.
Saat berada di lingkungan yang baru, subjek 2 memilih untuk diam dan bermain sendiri.
Saat berada di lingkungan baru, subjek 3 akan berusaha mengamati keadaan lebih dulu dan berkenalan dengan orang-orang yang baru, sehingga subjek 3 mampu beradaptasi dengan mudah. Ia tidak merasa kesulitan ataupun canggung dalam menempatkan diri dalam situasi yang baru.
Lebih mudah bagi subjek 1 dan 2 untuk menerima orang baru yang sebaya dengannya daripada orang ‘asing’ yang sudah dewasa. Walaupun mereka merasa takut untuk
Subjek 3 beranggapan bahwa dengan menjalin kontak dengan orang dewasa, ia
138
berteman dengan orang dewasa yang belum mereka kenal, namun mereka bersedia menjalin hubungan dengan orang dewasa yang sudah mereka anggap dekat, karena subjek 1 menganggap bahwa orang dewasa dapat membantunya di saat susah, dan subjek 2 menganggap bahwa orang dewasa dapat membimbingnya.
bisa bertanya tentang hal-hal yang tidak ia mengerti dan supaya ia tidak merasa takut lagi terhadap orang dewasa.
Subjek 2 dan 3 merasa takut dan memilih untuk menghindari orang dewasa yang bermasalah dengannya, seperti pengasuh atau guru di kelas yang memarahi subjek. Subjek 3 bahkan tidak mau ikut makan bersama selama beberapa waktu supaya tidak bertemu pengasuhnya, dan subjek 3 menghindari dengan cara selalu membolos pelajaran guru tersebut.
Subjek 1 bersedia menerima kontak fisik yang bersifat intim dari orang yang sudah ia kenal, dan ia menolak kontak fisik dari orang yang baru/ belum ia kenal walaupun hanya sekedar sentuhan tangan.
Subjek 2 bersedia menjalin dan menerima kontak fisik dari teman-temannya saat mereka bermain bersama, namun ia menolak kontak fisik yang bersifat intim semacam pelukan atau sekedar belaian tangan dari orang dewasa karena ia merasa tidak nyaman dan tidak terbiasa dengan hal itu.
Subjek 3 bersedia menerima kontak fisik yang bersifat intim semacam pelukan atau belaian di kepala jika dilakukan oleh orang yang sudah ia kenal. YP akan menghindar jika ia dipeluk oleh orang yang tidak ia kenal dan mencurigai orang tersebut.
Ketiga subjek juga menunjukkan adanya persamaan dalam hal perilaku non-verbal yang mereka tunjukkan selama proses penelitian berlangsung. Ketiga subjek menunjukkan perilaku menolak/ menghindari kontak mata dan mengalihkan pandangannya ke arah lain saat berbincang-bincang dengan orang dewasa karena adanya perasaan takut. Selain itu, ketiga subjek juga menunjukkan perilaku yang lain seperti memainkan tangan,benda, menggoyang-goyangkan anggota badan jika berbicara mengenai pembicaraan yang membuat mereka merasa tidak nyaman. Subjek 1 dan 3 menunjukkan perilaku menangis saat merasa sedih, sementara subjek 2 tidak menunjukkan perilaku tersebut.
Komunikasi Subjek 1 dan 2 tidak mau mengutarakan perasaannya, permasalahan/ kesulitan yang
mereka hadapi pada orang dewasa di sekitarnya. Subjek 1 menyimpan ketakutan terhadap sosok orang dewasa dan subjek 2 merasa takut akan dimarahi jika ia bercerita. Namun di sisi lain, subjek 1 menceritakan/ mengungkapkan keinginan, pikiran dan perasaannya secara verbal pada orang/ teman yang sudah ia kenal dekat, sementara subjek 3 tidak pernah melakukannya termasuk pada teman-teman di TC karena ia merasa tidak nyaman.
Subjek 3 menceritakan pengalamannya, mencurahkan perasaannya pada teman dekatnya, dan jika ia menghadapi masalah di rumah, ia mencurahkan isi hatinya pada mbak kosnya.
139
Ketiga subjek tidak memiliki hambatan yang berarti dalam menjalin komunikasi verbal, seperti berbincang-bincang, dengan teman sebaya. Namun diantara ketiganya terdapat perbedaan yang menunjukkan permasalahan masing-masing. Subjek 1 merasa senang jika diajak berbicara oleh orang dewasa yang sudah ia kenal, karena ia merasa diperhatikan. Tetapi seringkali ia menggunakan bahasa non-verbal saat diajak berbicara oleh orang dewasa yang baru ia kenal, atau justru subjek 1 akan menghindar. Subjek 2 bersedia mendengarkan dan menanggapi pembicaraan dengan orang dewasa, walaupun terkadang ia harus dipaksa terlebih dahulu sebelum memberi tanggapan pada lawan bicaranya, dan pembicaraan dari subjek 2 terkadang ‘melompat-lompat’/ tidak fokus. Selain itu, subjek 1 dan 2 menunjukkan adanya hambatan dalam menjalin komunikasi verbal dengan orang yang baru/ belum mereka kenal. Mereka lebih memilih untuk bungkam dan menghindar, atau berbicara dengan tidak lancar. Sedangkan, subjek 3 tidak ada hambatan dalam menggunakan bahasa verbal, baik dengan teman sebaya maupun orang dewasa, dan juga bertanya-tanya pada orang yang sudah ia kenal maupun yang baru ia kenal.
Bentuk komunikasi non-verbal yang ditunjukkan oleh TI: anggukan kepala, gelengan kepala, raut wajah berubah keras dengan kernyitan di dahi dan tatapan tajam ke arah lawan bicara tanpa mengatakan apapun saat merasa marah.
Bentuk komunikasi non-verbal yang ditunjukkan oleh AR : anggukan kepala, gelengan kepala
Bentuk komunikasi non-verbal yang dilakukan YP berupa anggukan dan gelengan kepala, serta lambaian tangan sebagai salam perpisahan
140
141
D. Pembahasan
Tindak kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perbuatan yang
tidak mencerminkan kasih sayang terhadap anak, sehingga dapat menimbulkan
penderitaan dan kesengsaraan anak, baik secara fisik, maupun psikis, yang
berakibat cukup serius dan dapat mengganggu perkembangan anak.
Fenomena kekerasan terhadap anak, terjadi karena multifaktor penyebab
yang saling terkait. Terdapat berbagai macam penyebab dari tindak kekerasan
yang dilakukan terhadap anak seperti, mengalami kekerasan semasa kecil,
masalah perkawinan, kemiskinan, dikucilkan masyarakat, dan anak yang
bermasalah atau anak yang tidak diharapkan (Shaffer; dalam Anantasari, 2006).
Dalam penelitian ini ditemukan beberapa sebab seperti, penghasilan tidak cukup
atau kemiskinan keluarga yang mengakibatkan eksploitasi anak, dan masalah
perkawinan yang mengakibatkan tindak pengabaian terhadap permasalahan anak,
serta penerapan pendidikan disiplin yang berlebihan, dengan kejadian pemicu
anak yang bertindak salah sehingga menjengkelkan orangtua.
Perlakuan kekerasan yang diterima anak dapat menimbulkan ketegangan
emosional dalam diri anak tersebut. Sementara itu, Hurlock (1978)
mengungkapkan bagaimana emosi mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial
anak. Bagaimana anak-anak memandang peran mereka dalam kehidupan dan
posisi mereka dalam kelompok sosial dipengaruhi oleh emosi yang ada pada
mereka seperti malu, takut, agresif, ingin tahu, atau bahagia. Selain itu,
disebutkan juga bahwa emosi mempengaruhi interaksi sosial. Semua emosi, baik
yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, mendorong interaksi
142
sosial. Dari berbagai sumber disimpulkan bahwa interaksi sosial diartikan
sebagai suatu proses hubungan timbal balik sebagai suatu pertalian sosial antar
individu yang melibatkan perhatian dan respon terhadap rangsangan atau
stimulus dimana individu melakukan penyesuaian dan saling mempengaruhi
untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungan sosialnya.
Anak korban kekerasan pada akhir masa kanak-kanak pada dasarnya
tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak yang menjadi korban
kekerasan juga menjalankan tugas perkembangan mereka yang berkaitan dengan
interaksi sosial dengan orang lain. Oleh karena itu, mereka juga diharapkan
mampu memenuhi harapan sosial seperti anak-anak pada umumnya.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, ditemukan kesamaan
pada diri ketiga subjek bahwa mereka cenderung memiliki hambatan dalam
berinteraksi sosial dengan orang dewasa, baik dalam hal kontak sosial maupun
dari segi komunikasinya. Mengenai kontak sosialnya, mereka cenderung
menunjukkan persamaan dalam hal perilaku non-verbal yang mereka lakukan
selama proses penelitian berlangsung. Ketiga subjek menunjukkan perilaku
menolak atau menghindari kontak mata dan mengalihkan pandangannya ke arah
lain saat berbincang-bincang dengan orang dewasa karena adanya perasaan takut.
Yuniar (dalam Sugiarto, Prambahan, & Pratitis, 2004) menyebutkan bahwa salah
satu gangguan interaksi sosial adalah kontak mata yang sangat kurang. Selain itu,
ketiga subjek juga menunjukkan perilaku yang lain seperti memainkan tangan,
benda, menggoyang-goyangkan anggota badan jika berbicara mengenai hal yang
membuat mereka merasa tidak nyaman. Mereka juga menjaga jarak apabila
143
bertemu dengan orang dewasa yang baru mereka temui. Ketiga subjek
mengungkapkan bahwa mereka cenderung menolak atau menghindari
perbincangan yang mengarah pada pengungkapan pikiran, perasaan ataupun
permasalahan yang mereka hadapi pada orang dewasa yang tidak mereka
percaya karena adanya perasaan takut. Fakta-fakta tersebut semakin menguatkan
pernyataan Irwanto (2004) bahwa penderaan (maltreatment atau child abuse)
juga menyebabkan anak merasa dikhianati, terutama oleh orang-orang yang dia
harapkan melindungi dan membina kasih sayang. Oleh sebab itu, penderaan yang
sering dialami anak akan meningkatkan rasa tidak percaya dan tingkah laku
antagonistik terhadap orang dewasa.
Ekowarni (2007) juga mengungkapkan bahwa suatu kasus kekerasan fisik
yang dilakukan suami terhadap istri dan anaknya menyebabkan anak menjadi
sangat takut pada ayahnya maupun laki-laki dewasa yang belum dikenalnya
dengan baik. Hal tersebut semakin diperkuat oleh fakta yang ditemukan dalam
penelitian ini bahwa ketiga subjek yang mendapat tindak kekerasan dari
keluarganya ternyata menyimpan rasa takut saat berhadapan dengan orang
dewasa yang belum mereka kenal dengan baik, walaupun setiap subjeknya masih
tetap bersedia menjalin hubungan dengan orang dewasa di sekitarnya seperti
wali, pengasuh, guru, mbak kos, dan bahkan subjek 3 masih bersedia menjalin
hubungan dengan ibunya yang merupakan pelaku tindak kekerasan terhadap
dirinya. Mereka hanya bisa berteman dengan orang-orang yang dekat dengan
mereka. Ketiga subjek menjadi tidak mudah percaya pada orang lain yang belum
144
atau baru mereka kenal, namun pada subjek 3 walaupun ia merasa takut, ia selalu
berusaha untuk berpikir bahwa orang yang ia temui adalah orang yang baik.
Selain itu, dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa ketiga subjek
menunjukkan sikap negitivisme dan destruktif dalam bentuk yang berbeda.
Subjek 1 tumbuh menjadi anak dengan agresivitas tinggi, jika ia sedang marah,
ia mudah mengamuk, merusak barang, memaki-maki dan merebut milik orang
lain. Subjek 2 dan 3 suka mengambil barang milik orang lain. Subjek 2 sering
mengambil barang yang ada di ruang belajarnya ataupun milik temannya sendiri,
sedangkan subjek 3 sering mengambil barang ataupun uang milik mbak kosnya
ataupun milik teman-teman di kelasnya. Perilaku mereka justru menimbulkan
penolakan sosial dari teman-temannya. Setiap kali mereka melakukan perbuatan
tersebut, mereka dijauhi dan bahkan subjek 3 dimusuhi oleh teman-teman
sekelasnya hingga sekarang. Temuan tersebut sesuai dengan pernyataan Budiono
dan Wulur (dalam Ikawati dan Rusmiyati, 2003) mengenai dampak kekerasan
terhadap tingkah laku anak dimana salah satunya adalah tumbuhnya sikap
negativisme dan destruktif. Anak yang hidup dalam lingkungan penuh dengan
ketidakbahagiaan, ketidaksenangan, kekecewaan, dan kekerasan akan tumbuh
menjadi anak yang tidak mudah percaya atau selalu berprasangka buruk terhadap
orang lain dan mudah melakukan tindakan kurang baik atau suka merusak
(destruktif).
Namun tidak demikian halnya apabila subjek berhubungan dengan teman
sebaya. Ketiga subjek menganggap penting untuk berinteraksi dengan teman
145
sebaya karena bermanfaat bagi mereka. Selebihnya, ketiga subjek memiliki
keunikan masing-masing dalam interaksi sosialnya.
Dalam penelitian ini ditemukan mengenai perilaku yang kompleks yang
ditunjukkan oleh anak korban kekerasan meliputi kontak sosial dan
komunikasinya. Berikut ini gambaran secara lebih rinci mengenai kontak sosial
dan komunikasi masing-masing subjek dalam menjalin interaksi sosial dengan
teman sebaya, orang dewasa, orang yang baru atau belum dikenal baik yang
berusia sebaya ataupun yang berusia dewasa, beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
1. Subjek 1
Berdasarkan latar belakangnya, diketahui bahwa pada awal subjek
tinggal di TC, perilakunya masih sama dengan perilaku saat masih tinggal
dengan ibu dan neneknya, cenderung urakan dan bertemperamen kasar,
memiliki agresifitas tinggi, terutama pada saat ia merasa marah, ia suka
membentak-bentak, membanting atau melempar barang. Hal tersebut
dipengaruhi oleh faktor imitasi yang bersifat negatif, yang berarti peniruan
perilaku terhadap figur yang bersifat negatif atau tidak baik dan imitasi ini
dapat menghambat seseorang dalam berinteraksi sosial (Bonner, dalam
Gerungan, 2004). Begitu pula dengan diri subjek yang sejak kecil sudah
sering melihat pertengkaran antara nenek dan ibunya, yang akhirnya
‘direkam’ oleh subjek, sehingga pada awal ia dibawa untuk tinggal di TC, ia
menjadi anak yang cenderung liar, individualis, tidak mau bersosialisasi
146
dengan teman-temannya, dan teman-temannya juga pada awalnya tidak mau
dekat-dekat dengannya karena merasa takut dengan sikap subjek, sehingga
subjek sempat mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Interaksi sosial subjek cenderung mengalami hambatan saat subjek berada di
tempat atau lingkungan yang baru, karena subjek menolak menjalin kontak
(diasosiatif) dengan orang yang belum ia kenal dan lebih memilih untuk diam
jika tidak ditegur lebih dahulu sehingga ia sulit beradaptasi dengan situasi
yang baru.
Pada subjek 1 tidak ditemukan hambatan yang berarti dalam menjalin
interaksi sosial baik dengan teman sebaya maupun orang dewasa jika ia
sudah mengenalnya dengan baik, seperti penanggung jawab hukumnya, dan
walinya. Subjek mampu menjalin kontak sosial dengan baik pada hal-hal
tertentu, namun ia juga menunjukkan adanya hambatan di beberapa hal lain.
Permasalahan yang cukup berarti dalam diri subjek ada pada aspek
komunikasinya yang cenderung terhambat saat berhubungan dengan orang
dewasa dalam hal penggunaan bahasa verbal untuk menunjukkan pikiran,
perasaan ataupun permasalahan yang ia hadapi.
Subjek memandang orang lain dan sekitarnya secara negatif. Subjek
melihat bahwa orang lain kerap mengganggu kesenangannya dan teman-
temannya suka mengambil barang miliknya. Hal itu juga menunjukkan
kewaspadaan subjek terhadap orang lain yang kerap muncul dalam perilaku
suka menyembunyikan barang atau mainannya agar tidak diambil atau
diminta oleh temannya. Namun ia tidak mau berbicara pada temannya supaya
147
tidak mengambil mainannya karena ia merasa takut jika temannya itu marah
dan meninggalkannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa di sisi lain subjek
juga mengalami ketidakberdayaan secara sosial yang tampak dalam
ketergantungan subjek terhadap orang lain. Oleh karena itu, subjek lebih
memilih untuk pergi dari situasi yang tidak disukainya dan menjadi tidak
aktif. Hal itu tentu dapat menghambat subjek dalam berinteraksi dengan
temannya di situasi tertentu.
Selain itu, subjek memiliki kewaspadaan yang tinggi terhadap orang
yang mungkin akan menyakitinya atau dari sikap orang lain terutama orang
dewasa. Kewaspadaan subjek yang tumbuh secara berlebihan akibat dari
trauma di masa lalunya menimbulkan kecemasan dalam diri subjek yang
mengakibatkan adanya hambatan dalam hal keinginan untuk berhubungan
atau menjalin kontak dengan sekitarnya. Kecemasan subjek terlihat saat
pertama kali ia bertemu atau berkenalan dengan orang baru yang berusia
dewasa. Subjek merasa takut untuk berteman dengan orang dewasa yang baru
ia kenal.
Walaupun begitu, pada dasarnya subjek bersedia menjalin kontak dan
berkomunikasi secara verbal dengan orang dewasa karena ia merasa
diperhatikan dan ia menganggap bahwa orang dewasa dapat membantunya di
saat susah. Berdasarkan latar belakang subjek, ia tidak pernah mendapatkan
perhatian dan kasih sayang yang layak dari orang dewasa di keluarganya, dan
yang menyelamatkan hidupnya saat itu adalah ketua RT yang ada di
lingkungan rumah tinggalnya, seorang advokat dari lembaga, dan pekerja
148
sosial dari dinas sosial, sehingga subjek memiliki pikiran dan harapan bahwa
orang dewasa dapat membantunya di saat ia menghadapi kesulitan.
Santrock (2002) dalam bukunya mengemukakan bahwa anak-anak
harus belajar berhubungan secara teratur dengan orang–orang dewasa di luar
keluarga – orang-orang dewasa yang berinteraksi dengan anak-anak sangat
berbeda dari orang tua yang berinteraksi dengan anak-anak. Sementara
kecemasan subjek yang mengakibatkan sulit bagi subjek untuk menjalin
kontak saat berhadapan dengan orang dewasa yang belum ia kenal, dapat
menghambat subjek untuk berinteraksi dengan orang dewasa, sehingga
subjek dapat menemui hambatan dalam memenuhi harapan sosial yang ada.
Perlakuan kekerasan membuat subjek takut untuk mengutarakan
perasaan yang sedang ia alami kepada gurunya dan jika ada kesulitan di
sekolah atau kelas, subjek tidak mau bertanya pada gurunya walaupun
menurutnya guru tersebut tidak galak. Hal tersebut dipengaruhi oleh proses
kognitif dalam diri subjek. Reaksi individu dalam suatu situasi akan sangat
tergantung pada ingatannya tentang perilaku orang lain di masa lalu
(Baron&Byrne, 2004). Berdasarkan latar belakang kekerasan yang diterima
subjek, setiap kali subjek mengutarakan rasa sakit dan keinginannya untuk
tidak menuruti perintah ibu dan neneknya, ia akan mendapat perlakuan yang
lebih kasar dari sebelumnya, sehingga subjek merasa takut untuk
mengemukakan perasaan dan keinginan yang sebenarnya, dan hal tersebut
berlanjut hingga kini.
149
Dalam hal penggunaan bahasa verbal sehari-hari, subjek
menunjukkan adanya sedikit hambatan. Subjek seringkali bungkam, tidak
mau mengatakan atau mengungkapkan keinginannya, pikiran dan
perasannya, bahkan di saat ia mendapat kesulitan baik di sekolah maupun di
rumah pada orang dewasa di sekitarnya karena ia merasa takut. Ia hanya bisa
mengutarakan semua itu pada orang yang ia kenal dekat dan ia percaya
seperti pada kepala panti yang menjadi walinya. Selain itu, ia hanya bisa
diam dan menunduk saat diajak berbicara atau ditegur atau dimarahi oleh
pengasuhnya. Berdasarkan latar belakang kekerasannya, subjek tidak pernah
mendapatkan perhatian mengenai keinginannya, pikiran dan perasaan yang
sedang ia alami pada keluarganya. Selain itu, lingkungan atau warga
masyarakat yang mengucilkan keluarga subjek juga menyebabkan subjek
tidak bisa menjalin relasi dengan orang lain secara wajar, sehingga
kemampuannya dalam mengungkapkan sesuatu, berkomunikasi atau
penggunaan bahasa verbal menjadi terhambat.
Namun di sisi lain, subjek juga akan mendekati dan mengajak
berbicara saat ia melihat teman dekatnya tampak bersedih. Hal tersebut
dipengaruhi oleh faktor simpati, yang diartikan sebagai perasaan tertariknya
seseorang terhadap orang lain dan perasaan simpati ini muncul karena
penilaian perasaan. Selain itu, hal tersebut juga dipengaruhi oleh
kedekatannya dengan sosok adik yang selalu menjadi teman bermainnya dan
temannya berbicara. Hal ini turut mendukung terbentuknya interaksi sosial
antara subjek dengan teman sebayanya.
150
Selebihnya, perilaku subjek menunjukkan kewajaran dalam interaksi
sosialnya. Seperti misalnya, perilaku subjek yang bersedia menjalin kontak
fisik yang bersifat intim (bersalaman, berangkulan atau berpelukan, belaian
tangan di bahu atau kepala) dari orang yang sudah ia kenal, baik teman
sebaya maupun orang dewasa, karena ia berpikir bahwa orang tersebut
sayang terhadapnya. Namun ia akan menghindari kontak fisik apapun jika ia
berhadapan dengan orang dewasa yang belum ataupun baru ia kenal. Dilihat
dari latar belakang subjek yang selalu mendapat perlakuan kekerasan dari
orang dewasa di keluarganya, ia menjadi selektif dalam menerima sentuhan
fisik dari orang lain, walaupun cuma sekedar sentuhan ringan. Ia hanya mau
didekati dan menerima sentuhan fisik dari orang yang sudah ia kenal dekat
dan ia percaya, karena subjek masih menyimpan ketakutan akibat perbuatan
keluarganya dulu.
Berdasarkan uraian mengenai kontak sosial dan komunikasi subjek 1
di atas dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial subjek cenderung terhambat
dalam hal-hal tertentu terutama hal yang berkaitan dengan komunikasi
dengan orang dewasa yang tidak ia percaya. Secara teoritis, wajar bila anak
berusia tujuh tahun perlu penyesuaian jika berhadapan dengan orang dewasa
yang masih asing baginya, anak merasa segan, takut, dan malu memaparkan
perasaannya (Kartono, 1986). Namun, subjek 1 sudah menunjukkan
hambatan perilaku karena peneliti menemukan bahwa meskipun subjek
sudah didekati secara intensif, ia masih merasa cemas dan tidak mau
membuka diri atau mengungkapkan persoalan dirinya pada orang tersebut
151
dengan alasan takut. Di sisi lain, jika subjek berhadapan dengan teman
sebaya yang sudah berhubungan dekat dengannya, subjek tidak menemui
hambatan yang berarti dalam interaksi sosialnya, baik kontak sosial dan
komunikasinya. Interaksi sosial subjek dipengaruhi oleh faktor simpati,
proses kognitif, faktor imitasi dan faktor lingkungan.
152
Gambar. 4.1 Dinamika Interaksi Sosial Subjek 1
Kekerasan yang diterima anak 1. Kekerasan fisik (ditendang, dipukuli, dibentur-benturkan) 2. Kekerasan psikis (dijauhi warga, kekerasan verbal;
dimaki) 3. Tindak pengabaian
Dampak kekerasan yang dialami oleh anak Dampak langsung: a. Dampak fisik (bekas luka di badan) b. Dampak psikis (kecemasan akan dimarahi, takut jika orang yang ditemui
bersikap jahat, sulit mempercayai orang lain)
Interaksi sosial 1. Kontak sosial
a. Menolak bersosialisasi di tempat atau situasi yang baru (seperti pada saat awal berada di TC)
b. Bersedia memberi feedback atau timbal balik dalam berhubungan dengan teman sebayanya
c. Menolak berbagi minat dengan teman-temannya walaupun teman satu rumahnya (tidak menunjukkan perilaku berbagi minat)
d. Menolak kontak fisik (walaupun sekedar sentuhan tangan) dari orang dewasa yang baru dikenalnya.
2. Komunikasi a. Tidak berani dan merasa takut
mengungkapkan keinginan, pikiran dan perasaan secara verbal pada guru kelas dan pengasuhnya walaupun sudah didekati
b. Merasa takut berbicara dengan orang yang masih asing baginya atau baru dikenalnya, lebih menggunakan bahasa non-verbal
c. Menghindari kontak mata dengan orang dewasa karena timbulnya perasaan takut
Faktor-faktor yang turut mempengaruhi interaksi sosial1. Faktor yang mendukung :
a. Faktor simpati (perasaan yang timbul terhadap teman yang bersedih)
2. Faktor yang menghambat : a. Proses kognitif
(pengalaman masa lalutentang tindak kekerasan yang diterima subjek dari orangtuanya)
b. Faktor imitasi (dimungkinkan karena subjek mengimitasi perilaku negatifneneknya seperti; mengumpat, memaki)
c. Faktor lingkungan (keluarga yang dikucilkan)
153
2. Subjek 2
Subjek 2 cenderung menjaga jarak dalam menjalin kontak dan
komunikasi dengan pengasuhnya karena ia merasa takut, terutama pada saat
ia merasa dirinya bermasalah dengan pengasuhnya. Dalam situasi tersebut,
subjek lebih memilih untuk menghindari kontak dengan pengasuhnya dan
komunikasi subjek juga mengalami hambatan yang cukup berarti karena
subjek cenderung menghindari perbincangan dengan pengasuh dan walinya
jika ia sedang merasa tidak memiliki keperluan atau kepentingan. Bahkan
pada saat ia mendapatkan kesulitan ataupun merasa sakit, ia tidak mau
mengatakan pada pengasuh dan walinya, atau menyuruh temannya untuk
mengatakannya pada pengasuh. Hal tersebut dipengaruhi oleh proses kognitif
dalam diri subjek. Reaksi individu dalam suatu situasi akan sangat tergantung
pada ingatannya tentang perilaku orang lain di masa lalu (Baron&Byrne,
2004). Jika dilihat dari latar belakang subjek yang tidak pernah mendapatkan
perhatian akan kebutuhannya dan hanya menerima hukuman fisik tanpa kasih
sayang dari kedua orang tuanya, yang menyebabkan subjek berperilaku
menjaga jarak dengan pengasuhnya yang ia anggap memiliki otoritas
terhadapnya seperti kedua orang tuanya.
Selain itu, salah satu dampak serius pada anak yang menjadi korban
kekerasan yang disebutkan oleh YKAI (dalam Suharto, 1997) adalah anak
menjadi pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan
baru dengan orang lain. Demikian halnya yang terjadi pada diri subjek.
Subjek mampu memberikan respon positif atau timbal balik (feedback) saat
154
berhadapan dengan teman-teman sebayanya, namun saat ia berhubungan
dengan orang dewasa, ia cenderung menjadi pasif. Menurutnya lebih baik ia
diam saja karena ia tidak suka mengajak bicara lebih dulu. Selain itu,
hambatan juga terjadi jika ia berada dalam lingkungan yang baru dan masih
asing baginya, terutama saat ia berada di antara orang dewasa, ia cenderung
menarik diri dan memilih untuk diam dan sendiri. Hal tersebut dipengaruhi
oleh faktor lingkungan. Dalam hal ini faktor lingkungan berupa perilaku
masyarakat yang mengucilkan subjek dan melarang anak-anaknya untuk
bergaul dengan subjek. Selain itu hubungan antara subjek dengan
orangtuanya juga tidak baik sehingga subjek tumbuh menjadi anak yang
tidak mudah percaya, pasif, dan sulit berinteraksi dengan orang dewasa.
Namun di sisi lain, jika subjek sudah menemukan teman yang cocok
dengannya, subjek menjadi suka bermain. Ia pun menunjukkan perilaku
berbagi minat saat berkumpul dengan teman-temannya. Subjek akan merasa
sedih jika ia berada sendirian karena tidak ada yang bisa menemani dan
bermain bersamanya.
Subjek bersedia menjalin dan menerima kontak fisik dari teman-
temannya saat mereka bermain bersama, tetapi ia menolak kontak fisik dari
orang dewasa karena ia merasa tidak nyaman. Walaupun secara teoritis
menurut Kartono (1986) adalah wajar bila anak laki-laki berusia dua belas
tahun tidak terbiasa menerima kontak fisik terutama yang bersifat intim dari
orang dewasa, dan mulai melepaskan relasi dengan kekuasaan orang tua,
namun penghindaran yang dilakukan subjek sudah berlebihan dimana subjek
155
menolak terjadinya kontak fisik walau hanya sekedar belaian tangan di
kepala ataupun di bahunya, bahkan jika orang tersebut sudah dikenalnya,
termasuk juga ayah dan walinya. Hal itu menunjukkan hambatan subjek
dalam menjalin kontak sosial dengan orang yang lebih dewasa. Fakta tersebut
turut mendukung pernyataan dari Rini (2001) bahwa penyiksaan dan
pengabaian yang dialami oleh anak dapat menimbulkan permasalahan di
berbagai segi kehidupannya. Salah satu diantaranya adalah masalah relational
yaitu merasa takut untuk menjalin hubungan secara fisik dengan orang lain
(terutama orang dewasa).
Walaupun begitu, subjek tetap menganggap penting baginya untuk
berhubungan dengan orang dewasa termasuk juga pengasuhnya walaupun ia
menyimpan perasaan takut, karena ia memiliki harapan bahwa mereka bisa
membimbingnya. Subjek bersedia mendengarkan dan memberikan tanggapan
terhadap pembicaraan dengan orang dewasa yang sudah ia kenal.
Subjek merasa gugup didekati oleh orang dewasa yang masih asing
baginya dan diam saja bahkan menghindar saat disapa atau ditanyai. Tetapi
jika ia bertemu dengan anak yang sebaya dengannya, subjek memiliki
inisiatif untuk mengajaknya berkenalan lebih dulu. Hal tersebut menunjukkan
bahwa subjek masih memiliki keinginan untuk menjalin kontak dengan
teman sebayanya, namun agak terhambat dalam menjalin hubungan baru
dengan orang yang berusia dewasa.
Dalam hal berkomunikasi dengan teman-teman sebayanya, pada
dasarnya subjek tidak menemui hambatan dalam penggunaan bahasa verbal
156
terhadap teman sebaya. Jika subjek sedang berada bersama dengan teman-
temannya, subjek mampu berkomunikasi dengan lancar walaupun tidak
sampai pada hal-hal yang intim, seperti menceritakan pengalaman,
mengungkapkan pikiran ataupun mencurahkan perasaannya. Subjek biasa
memendam pikiran dan perasaannya karena ia merasa tidak nyaman jika ia
harus mengungkapkannya pada orang lain.
Walaupun subjek mengalami situasi yang menekan dalam hidupnya
dan ia sudah tidak mengenyam pendidikan formal selama kurang lebih tiga
tahun, hambatan perilaku sosial yang tampak pada diri subjek tidak semata-
mata disebabkan oleh hal-hal tersebut tetapi juga karena perlakuan kekerasan
yang ia terima di dalam keluarganya. Orang tua subjek kurang memberi
perhatian pada subjek dan jika subjek melakukan kesalahan, ia hanya akan
mendapatkan hukuman fisik tanpa diperhatikan lebih lanjut, sehingga subjek
juga tidak pernah berbicara dan menceritakan mengenai permasalahan yang
ia hadapi pada orang dewasa di sekitarnya. Hal tersebut berlanjut hingga kini
saat ia sudah berada di TC. Ia akan berbicara mengenai persoalan dirinya
hanya jika ia dipaksa lebih dulu.
Selain itu, subjek cenderung menghindari kontak mata lawan bicara
dan mengalihkan pandangannya ke arah lain saat berbincang-bincang dengan
orang dewasa karena adanya perasaan takut. Subjek juga menunjukkan
perilaku yang lain seperti memainkan tangan, benda, menggoyang-
goyangkan anggota badan jika berbicara mengenai pembicaraan yang
membuat ia merasa tidak nyaman.
157
Subjek berinisiatif untuk mendekati dan mengajak teman yang sedang
bersedih untuk berbincang-bincang dengannya karena ia merasa ikut sedih
saat melihat temannya bersedih. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor simpati
yang diartikan sebagai perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain
dan perasaan simpati ini muncul karena penilaian perasaan.
Berdasarkan uraian mengenai kontak sosial dan komunikasi subjek 2
di atas, dapat disimpulkan bahwa sama seperti subjek 1, subjek 2 pun
cenderung mengalami hambatan interaksi sosial dalam hal-hal tertentu.
Namun pada subjek 2, ditemukan bahwa subjek terhambat dalam kontak
sosial dan komunikasinya dengan orang dewasa. Dalam hal kontak sosial,
yang paling menonjol adalah bahwa subjek cenderung terhambat dalam hal
menjalin kontak fisik dengan orang dewasa baik yang sudah ia kenal maupun
yang belum dikenalnya, begitupula dengan aspek komunikasinya. Di sisi
lain, subjek tidak menemui hambatan yang berarti jika ia berinteraksi dengan
teman sebayanya, dan ia lebih mudah menerima orang baru yang sebaya
dengannya daripada orang dewasa. Interaksi sosial subjek dipengaruhi oleh
faktor simpati, proses kognitif, dan faktor lingkungan
158
Gambar. 4.2 Dinamika Interaksi Sosial Subjek 2
Kekerasan yang diterima anak 1. Kekerasan fisik (dipukul, tidak diberi makan, ditendang, disundut rokok) 2. Kekerasan psikis (dijauhi warga, dicap atau labelling sebagai pengacau, anak
nakal, dikatai pencuri) 3. Tindak pengabaian 4. Tindak pencabutan hak anak (dikeluarkan dari sekolah)
Dampak kekerasan yang dialami oleh anak Dampak langsung : a. Dampak fisik (rasa sakit yang diderita) b. Dampak psikis (kecemasan, rasa takut, penarikan diri di lingkungan orang dewasa,
sulit mempercayai orang lain)
Interaksi sosial 1. Kontak sosial
a. Merasa takut dan memilih untuk menghindari kontak saat bermasalah dengan pengasuh (atau orang dewasalainnya) bahkan disaat ia menghadapi kesulitan atau sakit sekalipun
b. Menolak memberi feedback atau timbal balik dalam berhubungan dengan orang dewasa (bersikap pasif)
c. Menolak kontak fisik (walaupun sekedar belaian tangan atau kepala) dari orang dewasa (walaupun sudah ia kenal).
2. Komunikasi a. Lebih menunjukkan bahasa non-verbal saat
diajak berbicara oleh orang dewasa, seperti anggukan atau gelengan kepala karena adanya perasaan takut.
b. Penggunaan bahasa verbal secara lancar saat berbincang-bincang dengan teman-temannya. Namun, tidak sampai tahapbercerita, mengungkapkan keinginan, pikiran, perasaan diri pada orang lain (teman sebaya maupun dewasa) karena merasa tidak nyaman.
c. Merasa takut berbicara dengan orang yang masih asing baginya atau baru dikenalnya (untuk usia 12 tahun).
d. Menghindari kontak mata dengan orang dewasa
Faktor-faktor yang turut mempengaruhi interaksi sosial1. Faktor yang mendukung :
a. Faktor simpati (perasaan yang timbul terhadap teman yang bersedih)
2. Faktor yang menghambat : a. Proses kognitif
(pengalaman masa lalutentang tindak kekerasan yang diterima subjek dari orangtuanya dan warga di sekitarnya)
b. Faktor lingkungan (subjek dikucilkan warga)
159
3. Subjek 3
Hurlock (1980) menyebutkan bahwa di dalam kelompok teman-teman
sebaya, anak yang lebih besar menemukan bahwa berbicara terus-menerus
dapat mengganggu teman-teman dan merupakan cara yang tepat untuk
kehilangan teman. Selain itu, anak yang lain menemukan bahwa kalau ia
mencoba menguasai pembicaraan maka hal ini akan menyebabkan penolakan
sosial, sehingga mereka mengekang keinginan untuk bicara. Namun, tidak
demikian halnya dengan subjek 3 yang berlebihan dalam menjalin
komunikasi dengan teman-teman sebayanya di kelas, bahkan pada saat
pelajaran berlangsung. Komunikasi subjek dengan teman sebayanya di kelas
tidak berlangsung lancar karena adanya penolakan sosial dari pihak teman-
teman subjek.
Akan tetapi jika berhadapan dengan teman yang dekat dengannya,
tampak penggunaan bahasa verbal subjek secara lancar dalam menceritakan
pengalamannya, permasalahan atau kesulitan yang dihadapinya dan
mencurahkan perasaannya pada teman yang ia anggap dekat. Walaupun
terkadang subjek masih kesulitan dalam berbicara dengan orang yang tidak ia
percaya, termasuk guru kelasnya sendiri. Subjek juga cenderung menghindari
orang dewasa yang bermasalah dengannya, termasuk guru yang mengajar di
kelasnya karena ia merasa takut. Bahkan ia selalu membolos pada pelajaran
guru tersebut untuk menghindarinya dan tidak mau berbicara dengannya.
Hal positif dari subjek salah satunya adalah, subjek mampu
menyesuaikan diri dengan baik saat ia berada di lingkungan dan situasi yang
160
baru dengan orang-orang yang baru pula. Hal tersebut di pengaruhi oleh
lingkungan tempat subjek tinggal. Salah satu hal dari subjek 3 yang cukup
mendukung subjek dalam menjalin interaksi sosial dengan orang yang lebih
dewasa dari subjek adalah adanya dukungan sosial dari lingkungan tempat
tinggalnya yang berupa kos-kosan. Fakta tersebut diperkuat oleh pernyataan
dari lembaga penanganan terhadap anak yang mendapat perlakuan negatif
dari orang tua (dalam Rini, 2001) mengenai faktor yang mempengaruhi besar
kecilnya dampak dari tindak kekerasan, salah satunya adalah apakah ada
orang lain atau anggota keluarga lain yang dapat mencintai, mengasihi,
memperhatikan dan dapat diandalkan oleh sang anak. Berdasarkan latar
belakang subjek, diketahui bahwa orang tua subjek membuka usaha kos-
kosan yang dihuni oleh mahasiswi-mahasiwi yang usianya jauh lebih dewasa
dari subjek. Subjek terbiasa bermain dengan mereka karena ia tidak
diperbolehkan bermain di luar rumah oleh ibunya, dan subjek dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan kos yang selalu berganti-ganti
penghuninya. Selain itu, subjek juga menjadi terbiasa berada di antara orang-
orang dewasa, sehingga ia tidak canggung dalam berhubungan dengan orang
dewasa. Seperti yang diungkapkan oleh Santrock (2002) bahwa anak-anak
harus belajar berhubungan secara teratur dengan orang–orang dewasa di luar
keluarga – orang-orang dewasa yang berinteraksi dengan anak-anak sangat
berbeda dari orang tua yang berinteraksi dengan anak-anak. Di sisi lain hal
tersebut juga menjadi kekuatan pendorong bagi subjek. Uraian ini diperjelas
dengan pernyataan dari Irwanto (2004) bahwa sebagian besar anak yang
161
mengalami penderaan mampu mengatasi pengalamannya dalam proses
berkembang menjadi dewasa, entah karena ciri kepribadian tertentu atau
karena adanya akses terhadap bantuan. Akses terhadap bantuan dapat
mengurangi keparahan akibat penderaan tersebut.
Pada subjek 3, tampak bahwa ia kurang diterima oleh teman-teman di
kelasnya, karena perilakunya yang dianggap terlalu aktif dan cenderung
berlebihan. Namun, semakin ia merasa diabaikan, tingkah lakunya semakin
aktif untuk mendapatkan perhatian teman-temannya. Dalam bukunya, Child
Development, Hurlock (1978) menyebutkan bahwa hasrat akan perhatian dan
penerimaan sosial timbul dari perasaan tidak aman dan tidak mampu. Hal ini
berhubungan dengan sifat tertentu seperti rasa malu, kecemburuan,
kemurungan dan ketergantungan yang berlebihan. Berdasarkan latar
belakang subjek, diketahui bahwa subjek adalah anak angkat di dalam
keluarganya. Ia selalu mendapatkan perlakuan kekerasan dan dibeda-bedakan
dari kedua kakaknya. Subjek mengakui bahwa ia menyimpan kebencian
terhadap sosok kakaknya dan hasrat yang besar untuk diperhatikan oleh
keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Hal tersebut menjadi dasar bagi
subjek 3 untuk menjalin interaksi dengan orang-orang yang ada di dekatnya,
baik teman sebaya maupun orang dewasa.
Menurut Budiono dan Wulur (dalam Ikawati dan Rusmiyati, 2003),
salah satu dampak kekerasan terhadap tingkah laku anak adalah sikap
negativisme dan destruktif. Subjek 3 mudah melakukan tindakan kurang baik
162
yang tidak diterima secara sosial dengan tujuan untuk mencari perhatian dari
orang-orang di sekelilingnya, yaitu, mencuri dan berbohong.
Namun di lain hal, subjek juga menunjukkan kewajaran perilaku
seperti bersedia menerima kontak fisik yang bersifat intim semacam pelukan
atau belaian di kepala jika dilakukan oleh orang yang sudah ia kenal. Tetapi
ia akan menghindar jika ia menerima kontak fisik dari orang yang tidak ia
kenal dan ia mencurigai orang tersebut.
Hasil penelitian oleh Hassin dan Trope (dalam Baron&Byrne, 2004)
menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengabaikan penampilan orang lain,
bahkan ketika kita sadar mencoba untuk mengabaikannya. Temuan tersebut
menunjukkan bahwa reaksi kita terhadap orang lain jelas sangat dipengaruhi
oleh penampilan luar mereka. Begitu pula halnya dengan subjek, subjek akan
menghindari orang yang masih asing baginya dan memilih untuk lari karena
takut jika penampilan orang tersebut menakutkan baginya. Hal tersebut turut
mempengaruhi keinginannya dalam hal menjalin kontak sosial dengan orang
yang masih asing baginya.
Namun begitu, walaupun subjek 3 menyimpan rasa takut dan gugup
saat berhadapan dengan sosok orang dewasa yang baru ia temui, ia tetap
memberanikan diri untuk menemani dan bertanya-tanya sebab subjek 3
beranggapan bahwa dengan menjalin kontak dan komunikasi dengan orang
dewasa, ia bisa bertanya tentang hal-hal yang tidak ia mengerti dan supaya ia
tidak merasa takut lagi terhadap orang dewasa.
163
Faktor simpati juga turut mempengaruhi interaksi sosial subjek dalam
hal menjalin kontak sosial dengan teman sebayanya. Simpati diartikan
sebagai perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain. Simpati ini
muncul karena penilaian perasaan. Perasaan ini terlihat nyata dalam
persahabatan antara dua orang atau lebih. Faktor simpati yang berupa
timbulnya rasa sedih dan keinginan untuk membantu yang muncul dalam diri
subjek saat melihat temannya kesulitan turut mendukung terbentuknya
interaksi sosial positif antara subjek dengan lingkunganya.
Berdasarkan uraian mengenai kontak sosial dan komunikasi subjek 3
di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya subjek 3 tidak menemui
hambatan yang berarti dalam interaksi sosialnya dengan orang lain, baik
dengan teman sebaya maupun orang dewasa, jika subjek sudah mengenalnya.
Walaupun begitu, sama seperti subjek 1 dan 2, subjek 3 juga menyimpan
ketakutan jika ia berhadapan dengan orang dewasa yang belum ia kenal
dengan baik, namun berbeda dari subjek 1 dan 2 yang lebih memilih untuk
menarik diri, subjek 3 akan berusaha berpikir bahwa orang yang ia temui
adalah orang baik dan ia akan memberanikan diri untuk menemani orang
tersebut dengan tujuan supaya ia tidak takut lagi terhadap orang dewasa.
Interaksi sosial subjek dipengaruhi oleh faktor simpati, faktor lingkungan dan
faktor sosial.
164
Gambar. 4.3 Dinamika Interaksi Sosial Subjek 3
Kekerasan yang diterima anak 1. Kekerasan fisik (dipukul dengan tangan, benda, tidur di luar rumah,
tidak diberi makan) 2. Kekerasan psikis (diperlakukan berbeda dari kedua saudaranya secara
ekstrim) 3. Tindak pengabaian
Dampak kekerasan yang dialami oleh anak Dampak langsung : a. Dampak fisik (rasa sakit yang diderita) b. Dampak psikis (kecemasan, kegugupan, sulit mempercayai orang lain)
Interaksi sosial 1. Kontak sosial
a. Adanya keinginan yang besar untuk mendapatkan perhatian dari orang di sekitarnya sampai pada tahap melakukan tindakan yang tidak diterima secara sosial.
b. Mampu beradaptasi dengan mudah di lingkungan baru, tidak canggung saat berhadapan dengan orang yang baru ia kenal
c. Bersedia memberi feedback atau timbal balik dan mampu menjalin kontak fisik intim dalam berhubungan dengan teman sebayanya, serta bersedia berbagi minat dengan teman-teman yang dekat dengannya
d. Menghindari (sampai pada tahap membolos) dan menolak berbicara dengan orang dewasa yang bermasalah dengannya (termasuk guru kelasnya sendiri)
2. Komunikasi a. Menolak mengungkapkan keinginan, pikiran,
perasaan pada orang dewasa yang tidak dipercaya walaupun terhadap guru kelasnya sendiri
b. Jalinan komunikasi yang tidak lancar dengan teman kelas karena adanya penolakan sosial akibat dianggap berbicara secara berlebihan oleh teman-temannya
c. Menghindari kontak mata dengan orang dewasa
Faktor-faktor yang turut mempengaruhi interaksi sosial1. Faktor yang mendukung :
a. Faktor simpati (perasaan yang timbul terhadap teman yang bersedih)
b. Faktor lingkungan (subjek mendapat dukungan emosional dari mahasiswi-mahasiswi yang tinggal di rumahnya)
2. Faktor yang menghambat : a. Faktor sosial
(perilaku, penampilan orang lain yang terlihat menakutkan baginya)
165
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap interaksi sosial
anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga dapat disimpulkan
bahwa:
1. Interaksi sosial anak cenderung terhambat saat berhadapan dengan orang
dewasa yang tidak mereka percaya, walaupun anak sudah mengenal orang
tersebut. Dari segi kontak sosialnya, subjek menunjukkan perilaku
menolak atau menghindari secara ekstrim dan cenderung menjaga jarak
saat berhadapan dengan orang dewasa, khususnya dalam hal kontak fisik
bahkan disaat mereka menghadapi kesulitan sekalipun karena kecemasan
yang berlebihan. Ketiga subjek juga menunjukkan bahwa mereka tidak
mampu mengungkapkan pikiran, perasaan, ataupun permasalahan yang
mereka hadapi pada beberapa orang dewasa, seperti guru kelas dan
pengasuh karena adanya perasaan takut dalam diri mereka.
2. Interaksi sosial anak dengan teman sebaya tidak menemui hambatan yang
berarti kecuali pada hal tertentu seperti jika anak berada di situasi atau
tempat yang baru karena anak menyimpan kegugupan dan bahkan rasa
takut (sama seperti anak-anak pada umumnya).
3. Secara khusus, ketiga subjek menunjukkan kekhasan dalam kontak sosial
dan komunikasinya. Hal tersebut dipengaruhi oleh latar belakang mereka
166
masing-masing, yaitu, latar belakang hubungan anak dengan orangtua,
kekerasan yang diterima anak dan keseharian yang dijalani oleh anak.
4. Sebagai tambahan, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa masing-
masing subjek dalam berinteraksi dengan orang lain dipengaruhi oleh
faktor internal berupa proses kognitif dan faktor simpati, serta faktor
eksternal berupa faktor imitasi, faktor lingkungan, dan faktor sosial
(perilaku dan karakter atau penampilan orang lain).
B. Keterbatasan Penelitian
Secara keseluruhan, hal yang menjadi hambatan peneliti dalam
penelitian ini adalah keterbatasan dalam hal pengumpulan data, dimana
peneliti tidak diijinkan untuk menggunakan alat perekam (recorder) di dalam
lingkungan asrama (untuk subjek 1 dan 2) sehingga peneliti hanya
mengandalkan catatan tertulis dalam wawancara dan observasi. Hal tersebut
dapat mengakibatkan kurangnya informasi yang tercatat selama wawancara
berlangsung (misalnya hilangnya kata-kata karena terbaginya konsentrasi
peneliti) serta menghambat pembentukan rapport selama proses wawancara.
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat
dikemukakan beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi lembaga terkait yang menaungi anak-anak korban kekerasan dan para
pengasuh, pendamping, atau orang dewasa lain yang turut serta dalam
167
menangani kasus kekerasan terhadap anak, hasil penelitian ini dapat
dijadikan wacana dalam menyikapi perilaku sosial anak dalam berinteraksi
dengan orang lain, baik teman sebayanya maupun dengan orang dewasa di
sekitarnya, sehingga anak dapat terbantu dalam memenuhi tugas
perkembangannya/ harapan sosial seperti anak-anak pada umumnya.
Selain itu juga disarankan untuk terus memberikan dukungan berupa
perhatian yang cukup, motivasi, serta fasilitas yang diperlukan anak karena
anak-anak yang menjadi korban kekerasan memiliki kebutuhan yang
tinggi akan afeksi, dan dengan dukungan motivasi serta fasilitas yang
cukup, anak mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya,
terutama hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan interaksi sosial
anak.
2. Saran tambahan dikhususkan pada orang tua serta masyarakat pada
umumnya untuk menghindari dan mencegah perlakuan kekerasan terhadap
anak. Selain itu, dukungan positif baik secara moril maupun materiil
sangat diperlukan anak-anak korban kekerasan agar anak korban
kekerasan tidak merasa diasingkan dan dihindari oleh lingkungan sekitar.
Perasaan diasingkan dapat menyebabkan tumbuhnya rasa tidak percaya
anak terhadap orang dewasa, sehingga mengakibatkan terhambatnya
interaksi sosial anak dengan orang dewasa.
3. Peneliti menyarankan akan lebih baik jika peneliti selanjutnya
menggunakan metode lain dalam proses pengumpulan data, misalnya tes
kepribadian yang hasilnya dapat digunakan sebagai pelengkap data
168
konteks. Selain itu, disarankan juga untuk bisa melibatkan anak-anak
korban kekerasan yang lebih bervariasi, baik karakteristik subjek, latar
belakang kekerasannya maupun jumlah subjeknya.
4. Peneliti berpendapat bahwa penelitian ini dapat dilanjutkan, misalnya
tentang apakah penerimaan diri terhadap tindak kekerasan dari keluarga
dapat mengurangi dampak negatif terhadap interaksi sosial anak dengan
orang dewasa. Selain itu, perbedaan interaksi sosial antara korban
kekerasan yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan juga cukup
menarik untuk diteliti lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Anantasari, M. L. (2006). Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga Ditinjau Dari Perspektif Psikologi. Makalah (tidak diterbitkan) disampaikan dalam talk show “Child Abuse-Kekerasan Pada Anak Yang Terselubung”. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Berk, Laura E. (2006). Child Development (seventh edition). Boston : Pearson
Eduation, Inc. Chaplin, J. P. (2002). Kamus Lengkap Psikologi (terjemahan oleh Dr. Kartini
Kartono). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Danim, S. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: CV. Pustaka Setia. Ekowarni. E. (2007). Perlindungan Terhadap Anak-Anak yang Berkonflik dengan
Hukum. Makalah (tidak diterbitkan) disampaikan dalam acara peresmian ruang penyidik khusus anak, kerjasama POLTABES, Yayasan Sayap Ibu (YSI), dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA-DIY), pada tanggal 19 Mei 2007.
Gerungan, W. A. (1996). Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Eresco. Gerungan, W. A. (2004). Psikologi Sosial (edisi ketiga). Bandung: PT. Refika
Aditama. Gunarsa, Singgih D. (1997). Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Yakarta:
Gunung Mulia. Herlina, A, et. al. (2003). Perlindungan Anak Berdasarkan UU No. 23 Th. 2002
tentang Perlindungan Anak. Jakarta (tidak diterbitkan). Hetherington, E. M. & Parke, R. D. (2003). Child Psychology : A Contemporary
Viewpoint. Updated Fifth Edition. New York : Mc. Graw Hill. Huraerah, Abu. (2006). Kekerasan Terhadap Anak: Fenomena Masalah Sosial
Kritis di Indonesia. Bandung: Penerbit Nuansa. Hurlock. (1980). Psikologi Perkembangan (terjemahan) edisi kelima. Jakarta:
Erlangga. Irwanto. (2004), Oktober. Fenomena Anak yang Mengalami Penderaan Fisik dan
Emosional. Psiko-edukasi: Jurnal Pendidikan, Psikologi, dan Konseling, Universitas Atmajaya Jakarta, vol. 2, No. 2.
Jalu. (2006). Hentikan Kekerasan Terhadap Anak. http://www.pikiran–rakyat.co.id/cetak/2006/012006/15/hikmah/utama01.htm edisi Minggu, 15 Januari 2006
Kartono, Kartini. (1986). Psikologi Anak. Bandung: Alumni Komisi Nasional Perlindungan Anak. (2002). Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta (tidak diterbitkan).
Mar’at. (1982). Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Moleong. Lexy J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi).
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2006). A Child’s World : Infancy
Through Adolescence. New York : Mc. Graw Hill. Partowisastro, K. (1983). Dinamika Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Pasaribu, I. L. (1984). Sosiologi Pembangunan. Bandung: Tarsito. Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi.
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Rini, J. F. (2001). Penyiksaan dan Pengabaian Terhadap Anak. http://www.e-
psikologi.com. Jakarta, 8 maret 2001. Tanggal akses Rochaeti, Nur. (2005). Pemahaman Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
dalam Kerangka Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 23 Th. 2004. Makalah (tidak diterbitkan). Ungaran: Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Jawa Tengah.
Rusmiyati, C. dan Ikawati. (2003), April-Juni. Kekerasan Terhadap Anak dalam
Keluarga dan Upaya Penanganannya. Media Informasi Penelitian, No. 174, Th. Ke 27.
Santrock, J. W. (2002). Life-span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi Kelima, Jilid I (terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. W. (2002). Life-span Development: Perkembangan Masa Hidup,
Edisi Kelima, Jilid II (terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. W. (2007). Children. New York : Mc. Graw Hill. Sugiarto, Prambahan, dan Pratitis. N. T. (2004). Pengaruh Social Story Terhadap
Kemampuan Berinteraksi Sosial Pada Anak Autis. Anima, Indonesian Psychological Journal, Vol. 19, No. 3, 250-270.
Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Suharto, E. (1997). Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial.
Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial.
Sukamto, M. E. (2000). Perlakuan Salah Terhadap Anak (Child Abuse). Anima,
Indonesian Psychological Journal, Vol. 15, No. 3, 269-279. Suyanto, Bagong. (2005). Faktor Budaya di Balik Kasus “Child Abuse”.
http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg00019.html tanggal akses 25 Juni 2008.
Walgito, Bimo. (2003). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar) edisi revisi.
Yogyakarta: Andi Offset. Wirawan, S. (1984). Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: CV Rajawali.