Upload
rumagia
View
605
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan
DESENTRALISASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT: SUATU PELUANG DAN TANTANGAN
Oleh
FAIZAL RUMAGIA, S.Pi, M.Si *)
I. PENDAHULUAN
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki sumberdaya pesisir dan laut
yang berlimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, bahkan eksploitasi sumberdaya tersebut selama ini telah
memperdalam kesenjangan antara golongan pelaku usaha, khususnya antara
perikanan rakyat dan moderen. Dalam kaitan dengan ketersediannya, potensi
sumberdaya wilayah pesisir dan laut ini secara garis besar dapat dibagi kedalam
tiga kelompok, yaitu sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sumberdaya
tak dapat pulih (non-renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan (enviromental
services). Ketiga potensi inilah walaupun telah dimanfaatkan, tetapi masih belum
optimal dan terkesan tidak terencana dan terpogram dengan baik.
Pemerintah Indonesia pada tanggal 7 Mei 1999 menetapkan UU No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan adanya UU ini membawa
implikasi baru bagi pembangunan di wilayah pesisir. Bila sebelumnya seluruh
wilayah perairan laut Indonesia berada pada wewenang pemerintah pusat, maka
dengan UU No. 22 tahun 1999, pemerintah daerah memiliki wewenang atas
sebagian wilayah perairan laut.
Pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 ini minimal memiliki dua implikasi
terhadap kegiatan sumberdaya pesisir dan laut, khususnya dalam hal perwilayahan
daerah penagkapan ikan, yaitu : (1) Daerah propinsi harus dengan lebih pasti
mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar untuk
menentukan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai di daerahnya, (2) Daerah
propinsi harus mampu mengalokasikan 4 mil laut dari 12 mil laut yang berada di
bawah wewenangnya kepada kota/kabupaten yang selanjutnya dikelola
pemanfaatannya.
Pembangunan sumberdaya pesisir dan laut pada saat ini menjadi andalan
bagi bangsa Indonseia untuk melakukan pemulihan ekonomi akibat krisis yang
berlangsung sejak tiga tahun lalu. Sesuai dengan kebijakan politik untuk memacu
desentralisasi, maka pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut akan lebih banyak
didelegasikan kepada pemerintah daerah. Hal ini tentu saja memberikan peluang
1*) Staf Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair Ternate
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan
yang lebih besar bagi daerah untuk mengelola dan memanfaatkan potensi pesisir
dan kelautannya bagi kesejahteraan daerah. Namun disisi lain juga menciptakan
kemungkinan eksploitasi sumberdaya hanya untuk memacu pertumbuhan daerah.
Ditambah lagi degan kondisi umum sumberdaya manusia, ekosistem, dan kebijakan
pembangunan pesisir dan laut selama ini menjadi tantangan tersendiri bagi semua
pihak untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya tersebut yang lestari dan
memihak pada kepentingan masyarakat dan lingkungan.
II. POTENSI SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT INDONESIA
Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan laut secara
umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) sumberdaya dapat pulih, (2)
sumberdaya tak dapat pulih, dan (3) jasa-jasa lingkungan.
2. 1. Sumberdaya Dapat Pulih (Renewable Resources)
Potensi sumberdaya dapat pulih terdiri dari sumberdaya perikanan tangkap,
budidaya pantai (tambak), budidaya laut, dan bioteknologi kelautan. Perairan
Indonesia memiliki potensi lestari ikan laut sebesar 6,2 juta ton. Secara terperinci
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Potensi Lestari ikan Laut Indonesia.
No. Jenis Ikan Potensi Lestari ( ribu ton )
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Ikan Pelagis Besar
Ikan Pelagis Kecil
Ikan Domersal
Ikan Karang Konsumsi
Udang Penaid
Lobster
Cumi-cumi
975,05
3.235,50
1,786,35
63,99
74,00
4,80
28,25
Sumber : (Aziz, dkk. 1998)
Dari potensi tersebut sampai pada tahun 1998 baru dimanfaatkan sekitar
58,8%. Dengan demikian masih terdapat 41% potensi yang belum termanfaatkan
atau sekitar 2,6 juta ton per tahun.
Sementara itu, potensi pengembangan budidaya laut untuk berbagai jenis
ikan (kerapu, kakap, beronang, dan lain-lain), kerang-kerangan, dan rumput laut,
yaitu masing-masing 3,1 juta ha, 971.000 ha, dan 26.700 ha. Sedangkan potensi
produksi budidaya ikan dan kerang serta rumput laut adalah 46.00 ton per tahun,
2
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan
dan 482.400 ton per tahun. Dari keseluruhan potensi produksi budidaya laut
tersebut, sampai saat ini hanya sekitar 35 persen yang sudah direalisasikan.
2. 2. Sumberdaya Tidak Dapat Pulih (Non-Renewable Resources)
Selain sumberdaya kelautan dapat pulih seperti diuraikan di atas, potensi
kelautan lainnya yang dapat dikembangkan secara optimal adalah sumberdaya
tidak dapat pulih. Menurut Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam, BPPT
dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen
atau 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti
secara intensif, 11 cekungan baru diteliti sebagian, sedangkan 29 cekungan belun
terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 milyar
barel setara minyak, namun baru 16,7 milyar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5
milyar barel diantarnya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 milyar
barel beruapa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum
terjamah itu diperkirakan 57,3 milyar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih
dari separuhnya atau sekitar 32,8 milyar barel terdapat di laut dalam.
2. 3. Jasa-Jasa Lingkungan (Enviriomental Services)
Pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan juga dapat
dilakukan terhadap jasa-jasa lingkungan, terutama untuk pengembangan pariwisata,
pelayaran, dan energi kelautan.
Dewasa ini pariwisata berbasis kelautan (wisata bahari) telah menjadi salah
satu produk pariwisata yang menarik. Pembangunan kepariwisataan bahari pada
hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan
daya tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang
terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman fauna dan
flora seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan sekitar
263 jenis.
Potensi jasa lingkungan kelautan yang masih memerlukan sentuhan
pendayagunaan secara profesional adalah jasa transportasi laut (perhubungan laut).
Sebagai negara bahari ternyata pangsa pasar angkutan laut baik antar pulau
maupun antar negara masih dikuasai oleh armada niaga berbendara asing. Menurut
Catatan Dewan Kelautan Nasional, kemampuan daya angkut armada niaga
nasional untuk muatan dalam negeri baru mencapi 54,4 persen, sedang ekspor baru
mencapai 4 persen, sisanya masih dikuasai oleh armada niaga asing.
3
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan
III. PERMASALAHAN PENGELOALAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT
Disamping tantangan pengembangan potensi keluatan tersebut di atas,
dalam rangka menetapkan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.
Pemerintah Daerah dalam upaya pelaksanaan desentralisasi dihadapkan pula pada
berbagai permasalahan yang meliputi berbagai aspek antara lain :
3. 1. Kualitas Sumberdaya Manusia Kelautan
Sampai dengan tahun 2000, laju pertumbuhan penduduk berkisar 1,6 persen
dan menjelang tahun 2018 diperkirakan akan menurun menjadi 1,5 persen per
tahun, sehingga mendekati tahun 2018 Indonesia akan memiliki junlah sumberdaya
manusia lebih kurang 256 juta jiwa. Sebanyak 157 juta dari 256 juta diperkirakan
tinggal di Pulau Jawa dan Bali, dan sebagian besar di wilayah pesisir (BPS, 2001).
Dari jumlah yang demikian besar, profil tenaga kerja yang ada pada saat ini
diperkirakan 74% berpendidikan dasar termasuk 13% buta huruf, sebanyak 10,9%
berpendidikan SLTP dan 13% SLTA, yang berpendidikan tinggi kurang lebih 2,3%.
Walaupun pada saat ini telah terjadi pergeseran latar belakang pendidikan ke arah
yang semakin tinggi, namun masih timbul pertanyaan apakah kualifikasi pendidikan
sumberdaya manusia tersebut dapat mendukung pengembangan dan penguasaan
IPTEK kelautan seperti yang diharapkan.
Kenyataan diatas juga terjadi di dalam proporsi SDM setiap pemerintah
daerah yang memiliki wilayah pesisir dan laut. Hal ini tentu saja sangat ironis,
mengingat beberapa propinsi/kabupaten/kota tersebut merupakan daerah dengan
luasanan wilayah laut yang sangat besar (Aceh, Sulawesi, dll.)
3. 2. Kerusakan Fisik Lingkungan Pesisir
Tingkat intensitas pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di sebagian
besar wilayah pesisir tertentu telah menimbulkan sejumlah dampak negatif terhadap
kondisi fisik lingkungan pesisir dan laut. Secara ringkas kondisi saat ini kerusakan
lingkungan pesisir tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kerusakan Fisik Habitat Ekosistem Pesisir dan Lautan
Kerusakan fisik baitat ekosistem wilayah pesisir dan laut di ndonesia
umumnya terjadi pada hutan mangrove dan terumbu karang. Hutan mangrove
merupakan ekosistem yang paling produktif dan merupakan sumber hara untuk
perikanan pantai. Hutan ini menyokong kehidupan sejumlah besar sepesies
binatang dengan menyediakan tempat berbiak, berpijah, dan makan. Spesies
4
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan
tersebut meliputi berbagai jenis burung, ikan, kerang dan krustasea seperti
udang, kepiting. Hutan bakau juga berfungsi sebagai pelindung pantai dan
penstabilisasi serta berperan sebagai penyangga pencegah erosi yang
disebabkan oleh arus, gelombang, dan angin. Mereka juga memainkan peranan
penting sebagai pengendali banjir dan pemelihara permukaan air di bawah
tanah.
Luas hutan mangrove di Indonseia terus mengalami penurunan dari luas
areal yang mencapai 5.209.543 hektar pada tahun 1982, menurun menjadi
3.235.700 hektar pada tahun 1987 dan menurun lagi hingga sekitar 2.496.185
pada tahun 1993 ( Dahuri, dkk, 2001) seperti terlihat pada gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Perkembangan Luasan Hutang Mangrove di Indonesia
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
1 2 3
Tahun
Lu
asan
Man
gro
ve (
000 h
ekta
r)
?
?
1980 1985 1990
Penurunan luasan mangrove hampir merata terjadi di seluruh kawasan
pesisir Indonesia. Penyebab dari penurunan luasan mangrove tersebut adalah
karena adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi
peruntukan ikan seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan
pemukiman di kawasan pesisir serta eksploitasi (penebangan) hutan mangrove
secara besar-besaran.
Nasib yang sama juga terjadi pada ekosistem terumbu karang. Berdasarkan
Walters (1994) luas terumbu karang Indonesia lebih kurang 60.000 km2. Sedangkan
menurut Tomascik, dkk (1997) menyebutkan 85.707 km2 yang tersebar luas di
5
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan
perairan Indonesia. Kondisi terumbu karang di Indonesia telah banyak yang rusak.
Berdasarkan hasil penelitian Coral Reef Rehabilition and Management Project
(COREMAP) dari luasan seluruhnya hanya tinggal 6,48% kondisinya masih baik,
22,53% baik, dan 28,39% rusak serta 42,59% rusak berat (Gambar 2). Dari kondisi
terumbu karang tersebut, ternyata terumbu karang di kawasan barat indonesia
memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan
tengah dan timur Indonesia.
Gambar 2. Kondisi Terumbu Karang di I ndonesia
28.39%
Rusak
42.59%
Rusak Berat
22.53%
Baik 6.48%
Sangat Baik
Pada umumnya, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh kegiatan-
kegiatan perikanan yang bersifat desktruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan
peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penambangan karang untuk
bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung
jawab, dan sedimentasi akibat meningkatnya erosi dan lahan atas.
b. Pencemaran dan Sedimentasi
Dari sekian banyak penyebab kerusakan lingkungan laut dan pesisir,
pencemaran merupakan faktor yang paling penting. Hal ini disebabkan karena
pencemaran tidak saja dapat merusak atau mematikan komponen biotik (hayati)
perairan, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan
manusia yang memanfaatkan biota atau perairan yang tercemar. Selain itu
pencemaran juga dapat menurunkan nilai estetika perairan laut dan pesisir yang
terkena pencemaran.
6
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan
Tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan lautan di Indonesia
pada saat ini telah berada pada kondisi yang sangat memperhatinkan. Tingkat
beban pencemaran (pollution load) di Indonesia dapat dibagi atas tigga kategori,
yaitu tingkat pencemaran tinggi, tingkat pencemaran sedang, dan tingkat
pencemaran rendah. Kawasan yang termasuk kategori tingkat pencamaran yang
tinggi adalah Propinsi Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Lampung dan Sulawesi Selatan.
Kawasan dengan kategori tingkat pencemaran sedang adalah Propinsi Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan, DI Aceh, Sumatera Barat, Jambi, DI Yogyakarta,
Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Maluku. Sedangkan kawasan
dengan tingkat pencemaran rendah adalah Propinsi Irian Jaya, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Bengkulu, dan Nusa Tenggara Timur.
Sumber utama pencemaran pesisir dan lautan terdiri dari tiga jenis kegiatan,
yaitu kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, dan kegiatan pertanian. Sementara
itu bahan utama yang terkandung dalam buangan limbah dan ketiga sumber
tersebut berupa sedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen, dan sampah.
Jika dianalisis secara mendalam, dapat disimpulkan bahwa kawasan-kawasan yang
termasuk kategori tingkat pencemaran yang tinggi merupakan kawasan-kawasan
pesisir yang padat penduduk, kawasan industri dan juga pertanian.
Perairan Indonesia merupakan jalur transportasi yang strategis yang
menghubungkan negara-negara dari benua Asia maupun Eropa yang akan menuju
ke Asia Tenggara maupun Australia ataupun sebaliknya, serta terletak diantara
negara-negara produsen minyak dibagian barat dan negara-negara konsumen di
bagian Timur.
Dari seluruh perairan Indonesia, wilayah yang rentan terhadap pencemaran
yang dikaibatkan oleh tumpahan minyak adalah Selat Malaka, Selat Makasar,
Pelabuhan, dan jalur-jalur laut atau selat yang dilalui oleh tangker. Posisi strategis
tersebut disamping memberikan manfaat secara ekonomi, dilain pihak juga
mengandung resiko terhadap bahaya kerugian dari segi ekologis. Kerugian secara
ekologis tersebut berdampak cukup luas baik secara ekonomis maupun kerusakan
sumberdaya alam. Tabel 2 di bawah ini menyajikan beberapa kasus tumpahan
minyak besar yang terjadi di perairan Indonesia.
7
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan
Tabel 2. Kejadian Tumpahan Minyak di perairan Indonesia dari Tahun 1975 - 2001
No. Tahun Lokasi Kejadian
1. 1975 Selat Malaka Kandasnya Showa Maru dan Menumpahkan 1 juta barel solar minyak
2. 1975 Selat Malaka Tabrakan Kapal Tanker Isugawa Maru dengan Kapal Siver Palace
3. 1979 Buleleng, Bali Pecahnya Kapal Tanker Choya Maru dan Menumpahkan 300 ton Bensin.
4. 1979 Lhokseumawe, DI Aceh
Bocornya Kapal Tanker Golden Win yang Mengangkut 1500 Kilo Liter Minyak Tanah.
5. 1984 Delta Mahakam, Kaltim
Sumburan Liar Pemboran minyak Milik Total indonesia
6. 1992 Selat Malaka Tabrakan Kapal MT. Ocean Blessing Dengan MT Nagasaki Spirit Menumpahkan 5000 barel Minyak
7. 1993 Selat Malaka Tertabraknya Tanker Maersk8. 1994 Cilacap Tabrakan Antara Tanker MV.
Bandar Ayu Dengan Kapal Ikan9. 1996 Natuna Tenggelamnnya KM. Batamas II
yang memuat MFO10. 1997 Kepulauan Riau Tabrakan Tanker Orapin Global
dengan Evoikos 11. 1997 Kepulauan Riau Kebocoran Pioa Transfer Minyak
Caltex12. 1997 Selat Makasar Tenggelamnya Tanker Mission Vikin13. 1997 Selat Makasar Amblasnya Platform E-20 UNOCAL14. 1997 Selat Madura Tenggelamnya Tanker SETDCO15. 1998 Tanjungpriok Kandasnya Kapal Pertamina Supply
No. 27 Dengan Muatan Solar16. 1999 Cilacap Robeknya Tanker MT. King Fisher
Dengan Menumpahkan 640 ribu liter Minyak dan Mencemari teluk Cilacap Sepanjang 38 Km.
17. 2000 Cilacap Tenggelamnya KM. HHC Yang Memuat 9000 ton Asphalt Curah
18. 2000 Batam Kandasnya MT. Natuna Sea Menumpahkan 4000 ton Minyak Mentah
19. 2001 Tegal - Cirebon Tenggelamnnya Tanker Stedfast Yang Mengangkut 1.200 ton Limbah Minyak.
Sumber : Mass Media dan Berbagai Sumber.
8
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan
Sementara itu, laju sedimentasi yang masuk ke perairan pesisir juga terus
meingkat. Laju sedimentasi yang cukup tinggi terutama terjadi di Sumatera,
Kalimantan, dan Jawa. Beberapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa
mengalami pendangkalan yang sangat besar, akibat tingginya laju sedimentasi.
Sebagai contoh laju sedimentasi di Sungai Citandui sebesar 5 juta m3 per tahun,
Sungai Cikonde sebesar 770 ribu m3 per tahun. Setiap tahun sekitar 1 juta m3
endapan dari kedua sungai tersebut diendapkan di Segera Anakan (ECI, 1995).
Penyebab dari tingginya laju sedimentasi ini adalah karena sistem pengelolaan
kegiatan di lahan atas tidak dilakukan dengan benar, seperti HPH, pertanian, dan
lain-lain yang cenderung mengabaikan pembangunan yang berwawasan
lingkungan, khusunya azas konservasi tanah.
c. Over Eksploitasi Sumberdaya Hayati Laut
Banyak sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut telah mengalami
overeksploitasi. Sebagai contoh adalah sumberdaya perikanan laut, meskipun
secara agregat (nasional) sumberdaya perikanan laut baru dimanfaatkan sekitar
58% dari total potensi lestarinya (MSY) (Aziz, et al, 1997), namun dibeberapa
kawasan (perairan), beberapa stok sumberdaya ikan telah mengalami kondisi
tangkap lebih (overfishing).
Kondisi overfishing ini bukan hanya disebabkan oleh tingkat penangkapan
yang melampaui potensi sumberdaya perikanan, tetapi juga disebabkan karena
kualitas lingkungan laut sebagai habitat hidup ikan mengalami penurunan atau
kerusakan oleh pencemaran dan degradasi hutan mangrove, padang lamun, dan
terumbu karang yang merupakan tempat pemijahan, asuhan, dan mencari makan
bagi sebgian besar biota laut tropis.
IV. DESENTRALISASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT 4. 1. Paradigma Desentralisasi Pembangunan Daerah
Wacana tentang desentralisasi semakin berkembang sejalan dengan dasar-
dasar hukum yang menyertainya. Landasan utama politik desentralisasi adalah
Pasal 18 UUD 1945. Atas dasar itu dirumuskan sejumlah peraturan, sampai
akhirnya lahir UU no 5 tahun 1974. Akan tetapi karena wacana perdebatan tentang
desentralisasi berlangsung di alam politik yang tidak kompetitif, baik pada masa
Preseden Soekarno maupun Presiden Soeharto, maka dispersi kekuasan tidak
terjadi. Kekuasaan yang sebenarnya terkonsentrasikan di pusat, sementara tingkat
ketergantungan daerah terhadap pusat tinggi. Akibatnya lingkup kekuasaan (space
9
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan
of power) atau lingkup kewenangan (space of authority) tetap tidak mengalami
perubahan yang signifikan.
Praktek-praktek desentralisasi inilah antara lain yang mendorong lahirnya
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Inilah peraturan baru, baik
dari segi struktur maupun isi, yang diharapkan membawa warna lain terhadap
praktek desentralisasi. Harapan ini tidak terlalu berlebihan, karena jika undang-
undang ini dapat direalisasikan dalam pengertian yang sebenarnya, maka otonomi
seluas-luasnya dapat berkembang.
Kondisi di atas memberikan pengaruh yang kuat dalam praktek-praktek
pengelolaan sumberdaya alam. Pendekatan sentralistik, alasan demi kepentingan
ekonomi nasional, dan keserakahan segelintir pemilik modal telah merusak hampir
keseluruhan sumberdaya alam yang ada di daerah dan hanya menyisakan
kerusakan lingkungan dan kemiskinan serta marginalisasi masyarakat. Keuntungan
dan eksploitasi sumberdaya alam dinikmati oleh hanya sebagian masyarakat dan
digunakan untuk membangun daerah-daerah yang sudah berkembang di Pulau
Jawa, dan hanya sedikit yang dikembalikan ke daerah asal (Aceh, Irian, Riau dan
lain-lain). Hal tersebut berlangsung begitu lama dan sedikit-demi sedikit membentuk
cara pandang yang keliru yang menganggap apa yang menguntungkan pusat pasti
merugikan daerah dan demikian pula sebaliknya.
4. 2. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, Pemerintah Pusat telah
memberikan otonomi yang lebih jelas dan nyata termasuk kewenangan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut. Kewenangan tersebut meliputi:
a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas 12
mil laut.
b. Pengaturan kepentingan administratif.
c. Pengaturan tataruang.
d. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah
atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah Pusat.
e. Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara khusunya di laut.
Kewenangan-kewenangan daerah atas wilayah laut tersebut akan
membantu penyelesaian permasalahan di laut yang membutuhkan tindakan cepat
dan strategis. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya menyangkut
pengamanan laut dari jarahan nelayan-nelayan asing yang melakukan pencurian
10
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan
dengan cara pengeboman dan peracunan ikan, pengambilan biota dilindungi, serta
masalah kerusakan ekosistem lainnya.
Selain kewenangan tersebut, daerah juga dapat membentuk dan atau
mengembangkan lembaga teknis/dinas untuk menangani kewenangan-kewenangan
di bidang eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumberdaya laut,
administrasi, penataan ruang, penegakan hukum, serta bantuan keamanan dan
kedaultan negara.
4. 3. Implikasi Desentralisasi Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
Pelaksanaan otonomi daerah dalam hal ini desentralisasi pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut, akan memberikan implikasi dan menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi yang berbeda “lebih baik atau lebih buruk” dibandingkan
dengan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya dimasa lalu. Terhadap
sumberdaya pesisir laut, implikasi dan konsekuensi tersebut diantaranya adalah :
a. Kelembagaan
Dalam era desentralisasi , setiap daerah harus membenahi struktur dan
peran serta integrasi fungsi kelembagaan yang ada. Khusus untuk sumberdaya
pesisir dan laut , hal ini menjadi sangat penting mengingat seluruh daerah propinsi
dan sebagian besar daerah kabupaten memiliki wilayah laut yang luas. Tanpa
pendekatan kebijakan dan kelembagaan yang punya kewenangan yang jelas dan
terpadu, maka masalah pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dimasa lalu akan
terulang kembali di daerah.
b. Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia adalah merupakan bagian terpenting dalam
pembangunan, sehingga peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut mutlak diprioritaskan oleh setiap daerah
yang menjadikan pesisir dan laut sebagai tumpuan pertumbuhan daerah.
c. Praktek Pengelolaan
Sepanjang tiga dekade yang lalu, telah menjadikan beban yang berat bagi
sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia. Seperti halnya hutan, sumberdaya ini
telah mengalami kerusakan yang sangat parah akibat beban eksploitasi komersial
yang hanya bertujuan untuk mengejar keuntungan jangka pendek semata. Hal ini
jelas menghancurkan dan merusak sistem tradisional pengelolaan berkelanjutan
11
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan
yang dilakukan oleh masyarakat dan menjadikan masyarakat nelayan sebagai
golongan paling miskin diantara kelompok masyarakat miskin lainnya di Indonesia.
Dalam era desentralisasi ini, praktek-praktek pengelolaan tersebut di atas
harus diatur sedemikian rupa sehingga tujuan ekonomi tidak akan mengorbankan
aspek kelestarian lingkungan. Pemerintah daerah dan masyarakat sebagai pemain
utama di daerahnya harus saling menedukung dan mengontrol pelaksanaan
pembangunan kawasan pesisir dan laut di wilayahnya.
d. Partisipasi Masyarakat
Pendekatan pembangunan selama ini yang bersifat masif dan seragam
tidak membawa dampak postif terhadap masyarakat, karena umumnya disain
pembangunan dibuat berdasarkan aspirasi kelompok dominan (minstream), dalam
kekuasaan, modal, dan akses terhadap birokrasi. Sebagai satu kesatuan sosial,
masyarakat khususnya masyarakat adat tidak diuntungkan.
Masyarakat khususnya masyarakat adat yang berada di kawasan pesisir dan
laut, seringkali tidak terwakili aspirasinya dalam proses pembangunan. Padahal
mereka harus diberi keleluasaan untuk melindungi dirinya dan budayanya serta
menolak perubahan yang berdampak negatif bagi penghidupannya. Konsep-konsep
penentuan nasib sendiri (self determination) ini telah luas diterima dalam prinsip-
prinsip international, namun di Indonesia pelaksanaannya masih relatif sangat jauh.
V. PENUTUP
a) Sebagai sumberdaya yang sangat strategis bagi pembangunan nasional, maka
dalam penetapan program dan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut,
senantiasa harus memperhatikan efisiensi pemanfataan ruang dan sumberdaya
pesisir, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir,
pemberdayaan masyakarat pesisir, dan memperkaya serta meningkatkan mutu
sumberdaya alam.
b) Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut merupakan salah satu
kebijakan pemerintah untuk mengefektifkan dan mendekatkan pengelolaan
sumberdaya alam ke pemerintah daerah dan masyarakat. Sehingga pemberian
kewenangan kepada daerah harus dipandang sebagai hak dan kewajiban untuk
melaksanakannya secara bertanggung jawab dan demi kepentingan
masyarakat, bukan pemberian kedaulatan.
c) Implikasi dan konsekuensi desentralisasi harus disadari dan diantisipasi oleh
semua pihak baik pusat maupun daerah.
12
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan
DAFTAR PUSTAKA
BPS [Biro Pusat Statistik]. 2001. Indonesia Dalam Angka. BPS Pusat. Jakarta. Cicin-Sain, B. and R. W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management:
Concepts and Practices. Island Press. Clark, J. R. 1996. Coastal Zone Management Hand Book. Lewis Publishers. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. DKP [Departemen Kelautan dan Perikanan]. 2001. Laporan Tahunan 1999 – 2000.
Jakarta. RI [Republik Indonesia]. 1999. Undang-Undang No. 32 Tentang Pemerintahan
Daerah. Jakarta. RI [Republik Indonesia]. 1999. Undang-Undang No. 34 Tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta. Supriharyono, M. S. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di
Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tomascik, T., A. J. Mah., A. Nontji and K. M. Moosa. 1997. The Ecology of The
Indonesian Seas – Part One and Two. The Ecology of Indonesia Series, Vol. 8. Peripcus, Singapore.
13