18
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan DESENTRALISASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT: SUATU PELUANG DAN TANTANGAN Oleh FAIZAL RUMAGIA, S.Pi, M.Si * ) I. PENDAHULUAN Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki sumberdaya pesisir dan laut yang berlimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bahkan eksploitasi sumberdaya tersebut selama ini telah memperdalam kesenjangan antara golongan pelaku usaha, khususnya antara perikanan rakyat dan moderen. Dalam kaitan dengan ketersediannya, potensi sumberdaya wilayah pesisir dan laut ini secara garis besar dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan (enviromental services). Ketiga potensi inilah walaupun telah dimanfaatkan, tetapi masih belum optimal dan terkesan tidak terencana dan terpogram dengan baik. Pemerintah Indonesia pada tanggal 7 Mei 1999 menetapkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan adanya UU ini membawa implikasi baru bagi pembangunan di wilayah pesisir. Bila sebelumnya seluruh wilayah perairan laut Indonesia berada pada wewenang pemerintah pusat, maka dengan UU No. 22 tahun 1999, pemerintah daerah memiliki wewenang atas sebagian wilayah perairan laut. Pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 ini minimal memiliki dua implikasi terhadap kegiatan sumberdaya pesisir dan laut, khususnya dalam hal perwilayahan daerah penagkapan ikan, yaitu 1

Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

  • Upload
    rumagia

  • View
    605

  • Download
    8

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan

DESENTRALISASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT: SUATU PELUANG DAN TANTANGAN

  

 Oleh

FAIZAL RUMAGIA, S.Pi, M.Si *)

 I. PENDAHULUAN

 Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki sumberdaya pesisir dan laut

yang berlimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat, bahkan eksploitasi sumberdaya tersebut selama ini telah

memperdalam kesenjangan antara golongan pelaku usaha, khususnya antara

perikanan rakyat dan moderen. Dalam kaitan dengan ketersediannya, potensi

sumberdaya wilayah pesisir dan laut ini secara garis besar dapat dibagi kedalam

tiga kelompok, yaitu sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sumberdaya

tak dapat pulih (non-renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan (enviromental

services). Ketiga potensi inilah walaupun telah dimanfaatkan, tetapi masih belum

optimal dan terkesan tidak terencana dan terpogram dengan baik.

Pemerintah Indonesia pada tanggal 7 Mei 1999 menetapkan UU No. 22

tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan adanya UU ini membawa

implikasi baru bagi pembangunan di wilayah pesisir. Bila sebelumnya seluruh

wilayah perairan laut Indonesia berada pada wewenang pemerintah pusat, maka

dengan UU No. 22 tahun 1999, pemerintah daerah memiliki wewenang atas

sebagian wilayah perairan laut.

Pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 ini minimal memiliki dua implikasi

terhadap kegiatan sumberdaya pesisir dan laut, khususnya dalam hal perwilayahan

daerah penagkapan ikan, yaitu : (1) Daerah propinsi harus dengan lebih pasti

mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar untuk

menentukan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai di daerahnya, (2) Daerah

propinsi harus mampu mengalokasikan 4 mil laut dari 12 mil laut yang berada di

bawah wewenangnya kepada kota/kabupaten yang selanjutnya dikelola

pemanfaatannya.

Pembangunan sumberdaya pesisir dan laut pada saat ini menjadi andalan

bagi bangsa Indonseia untuk melakukan pemulihan ekonomi akibat krisis yang

berlangsung sejak tiga tahun lalu. Sesuai dengan kebijakan politik untuk memacu

desentralisasi, maka pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut akan lebih banyak

didelegasikan kepada pemerintah daerah. Hal ini tentu saja memberikan peluang

1*) Staf Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair Ternate

Page 2: Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan

yang lebih besar bagi daerah untuk mengelola dan memanfaatkan potensi pesisir

dan kelautannya bagi kesejahteraan daerah. Namun disisi lain juga menciptakan

kemungkinan eksploitasi sumberdaya hanya untuk memacu pertumbuhan daerah.

Ditambah lagi degan kondisi umum sumberdaya manusia, ekosistem, dan kebijakan

pembangunan pesisir dan laut selama ini menjadi tantangan tersendiri bagi semua

pihak untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya tersebut yang lestari dan

memihak pada kepentingan masyarakat dan lingkungan.

 

II. POTENSI SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT INDONESIA 

Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan laut secara

umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) sumberdaya dapat pulih, (2)

sumberdaya tak dapat pulih, dan (3) jasa-jasa lingkungan.

2. 1.    Sumberdaya Dapat Pulih (Renewable Resources)

Potensi sumberdaya dapat pulih terdiri dari sumberdaya perikanan tangkap,

budidaya pantai (tambak), budidaya laut, dan bioteknologi kelautan. Perairan

Indonesia memiliki potensi lestari ikan laut sebesar 6,2 juta ton. Secara terperinci

dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. 

Tabel 1. Potensi Lestari ikan Laut Indonesia.

No. Jenis Ikan Potensi Lestari ( ribu ton )

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Ikan Pelagis Besar

Ikan Pelagis Kecil

Ikan Domersal

Ikan Karang Konsumsi

Udang Penaid

Lobster

Cumi-cumi

975,05

3.235,50

1,786,35

63,99

74,00

4,80

28,25

Sumber : (Aziz, dkk. 1998)

 

Dari potensi tersebut sampai pada tahun 1998 baru dimanfaatkan sekitar

58,8%. Dengan demikian masih terdapat 41% potensi yang belum termanfaatkan

atau sekitar 2,6 juta ton per tahun.

Sementara itu, potensi pengembangan budidaya laut untuk berbagai jenis

ikan (kerapu, kakap, beronang, dan lain-lain), kerang-kerangan, dan rumput laut,

yaitu masing-masing 3,1 juta ha, 971.000 ha, dan 26.700 ha. Sedangkan potensi

produksi budidaya ikan dan kerang serta rumput laut adalah 46.00 ton per tahun,

2

Page 3: Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan

dan 482.400 ton per tahun. Dari keseluruhan potensi produksi budidaya laut

tersebut, sampai saat ini hanya sekitar 35 persen yang sudah direalisasikan.

 2. 2.    Sumberdaya Tidak Dapat Pulih (Non-Renewable Resources) 

Selain sumberdaya kelautan dapat pulih seperti diuraikan di atas, potensi

kelautan lainnya yang dapat dikembangkan secara optimal adalah sumberdaya

tidak dapat pulih. Menurut Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam, BPPT

dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen

atau 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti

secara intensif, 11 cekungan baru diteliti sebagian, sedangkan 29 cekungan belun

terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 milyar

barel setara minyak, namun baru 16,7 milyar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5

milyar barel diantarnya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 milyar

barel beruapa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum

terjamah itu diperkirakan 57,3 milyar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih

dari separuhnya atau sekitar 32,8 milyar barel terdapat di laut dalam.

 2. 3.    Jasa-Jasa Lingkungan (Enviriomental Services) 

Pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan juga dapat

dilakukan terhadap jasa-jasa lingkungan, terutama untuk pengembangan pariwisata,

pelayaran, dan energi kelautan.

Dewasa ini pariwisata berbasis kelautan (wisata bahari) telah menjadi salah

satu produk pariwisata yang menarik. Pembangunan kepariwisataan bahari pada

hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan

daya tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang

terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman fauna dan

flora seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan sekitar

263 jenis.

Potensi jasa lingkungan kelautan yang masih memerlukan sentuhan

pendayagunaan secara profesional adalah jasa transportasi laut (perhubungan laut).

Sebagai negara bahari ternyata pangsa pasar angkutan laut baik antar pulau

maupun antar negara masih dikuasai oleh armada niaga berbendara asing. Menurut

Catatan Dewan Kelautan Nasional, kemampuan daya angkut armada niaga

nasional untuk muatan dalam negeri baru mencapi 54,4 persen, sedang ekspor baru

mencapai 4 persen, sisanya masih dikuasai oleh armada niaga asing.

 

3

Page 4: Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan

III. PERMASALAHAN PENGELOALAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT 

Disamping tantangan pengembangan potensi keluatan tersebut di atas,

dalam rangka menetapkan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.

Pemerintah Daerah dalam upaya pelaksanaan desentralisasi dihadapkan pula pada

berbagai permasalahan yang meliputi berbagai aspek antara lain :

 3. 1.    Kualitas Sumberdaya Manusia Kelautan 

Sampai dengan tahun 2000, laju pertumbuhan penduduk berkisar 1,6 persen

dan menjelang tahun 2018 diperkirakan akan menurun menjadi 1,5 persen per

tahun, sehingga mendekati tahun 2018 Indonesia akan memiliki junlah sumberdaya

manusia lebih kurang 256 juta jiwa. Sebanyak 157 juta dari 256 juta diperkirakan

tinggal di Pulau Jawa dan Bali, dan sebagian besar di wilayah pesisir (BPS, 2001).

Dari jumlah yang demikian besar, profil tenaga kerja yang ada pada saat ini

diperkirakan 74% berpendidikan dasar termasuk 13% buta huruf, sebanyak 10,9%

berpendidikan SLTP dan 13% SLTA, yang berpendidikan tinggi kurang lebih 2,3%.

Walaupun pada saat ini telah terjadi pergeseran latar belakang pendidikan ke arah

yang semakin tinggi, namun masih timbul pertanyaan apakah kualifikasi pendidikan

sumberdaya manusia tersebut dapat mendukung pengembangan dan penguasaan

IPTEK kelautan seperti yang diharapkan.

Kenyataan diatas juga terjadi di dalam proporsi SDM setiap pemerintah

daerah yang memiliki wilayah pesisir dan laut. Hal ini tentu saja sangat ironis,

mengingat beberapa propinsi/kabupaten/kota tersebut merupakan daerah dengan

luasanan wilayah laut yang sangat besar (Aceh, Sulawesi, dll.)

 

3. 2.    Kerusakan Fisik Lingkungan Pesisir 

Tingkat intensitas pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di sebagian

besar wilayah pesisir tertentu telah menimbulkan sejumlah dampak negatif terhadap

kondisi fisik lingkungan pesisir dan laut. Secara ringkas kondisi saat ini kerusakan

lingkungan pesisir tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

 

a. Kerusakan Fisik Habitat Ekosistem Pesisir dan Lautan 

Kerusakan fisik baitat ekosistem wilayah pesisir dan laut di ndonesia

umumnya terjadi pada hutan mangrove dan terumbu karang. Hutan mangrove

merupakan ekosistem yang paling produktif dan merupakan sumber hara untuk

perikanan pantai. Hutan ini menyokong kehidupan sejumlah besar sepesies

binatang dengan menyediakan tempat berbiak, berpijah, dan makan. Spesies

4

Page 5: Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan

tersebut meliputi berbagai jenis burung, ikan, kerang dan krustasea seperti

udang, kepiting. Hutan bakau juga berfungsi sebagai pelindung pantai dan

penstabilisasi serta berperan sebagai penyangga pencegah erosi yang

disebabkan oleh arus, gelombang, dan angin. Mereka juga memainkan peranan

penting sebagai pengendali banjir dan pemelihara permukaan air di bawah

tanah.

Luas hutan mangrove di Indonseia terus mengalami penurunan dari luas

areal yang mencapai 5.209.543 hektar pada tahun 1982, menurun menjadi

3.235.700 hektar pada tahun 1987 dan menurun lagi hingga sekitar 2.496.185

pada tahun 1993 ( Dahuri, dkk, 2001) seperti terlihat pada gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Perkembangan Luasan Hutang Mangrove di Indonesia

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

1 2 3

Tahun

Lu

asan

Man

gro

ve (

000 h

ekta

r)

?

?

1980 1985 1990

Penurunan luasan mangrove hampir merata terjadi di seluruh kawasan

pesisir Indonesia. Penyebab dari penurunan luasan mangrove tersebut adalah

karena adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi

peruntukan ikan seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan

pemukiman di kawasan pesisir serta eksploitasi (penebangan) hutan mangrove

secara besar-besaran.

Nasib yang sama juga terjadi pada ekosistem terumbu karang. Berdasarkan

Walters (1994) luas terumbu karang Indonesia lebih kurang 60.000 km2. Sedangkan

menurut Tomascik, dkk (1997) menyebutkan 85.707 km2 yang tersebar luas di

5

Page 6: Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan

perairan Indonesia. Kondisi terumbu karang di Indonesia telah banyak yang rusak.

Berdasarkan hasil penelitian Coral Reef Rehabilition and Management Project

(COREMAP) dari luasan seluruhnya hanya tinggal 6,48% kondisinya masih baik,

22,53% baik, dan 28,39% rusak serta 42,59% rusak berat (Gambar 2). Dari kondisi

terumbu karang tersebut, ternyata terumbu karang di kawasan barat indonesia

memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan

tengah dan timur Indonesia.

 

Gambar 2. Kondisi Terumbu Karang di I ndonesia

28.39%

Rusak

42.59%

Rusak Berat

22.53%

Baik 6.48%

Sangat Baik

Pada umumnya, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh kegiatan-

kegiatan perikanan yang bersifat desktruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan

peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penambangan karang untuk

bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung

jawab, dan sedimentasi akibat meningkatnya erosi dan lahan atas.

 b. Pencemaran dan Sedimentasi 

Dari sekian banyak penyebab kerusakan lingkungan laut dan pesisir,

pencemaran merupakan faktor yang paling penting. Hal ini disebabkan karena

pencemaran tidak saja dapat merusak atau mematikan komponen biotik (hayati)

perairan, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan

manusia yang memanfaatkan biota atau perairan yang tercemar. Selain itu

pencemaran juga dapat menurunkan nilai estetika perairan laut dan pesisir yang

terkena pencemaran.

6

Page 7: Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan

Tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan lautan di Indonesia

pada saat ini telah berada pada kondisi yang sangat memperhatinkan. Tingkat

beban pencemaran (pollution load) di Indonesia dapat dibagi atas tigga kategori,

yaitu tingkat pencemaran tinggi, tingkat pencemaran sedang, dan tingkat

pencemaran rendah. Kawasan yang termasuk kategori tingkat pencamaran yang

tinggi adalah Propinsi Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera

Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Lampung dan Sulawesi Selatan.

Kawasan dengan kategori tingkat pencemaran sedang adalah Propinsi Kalimantan

Barat, Kalimantan Selatan, DI Aceh, Sumatera Barat, Jambi, DI Yogyakarta,

Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Maluku. Sedangkan kawasan

dengan tingkat pencemaran rendah adalah Propinsi Irian Jaya, Sulawesi Tengah,

Sulawesi Tenggara, Bengkulu, dan Nusa Tenggara Timur.

Sumber utama pencemaran pesisir dan lautan terdiri dari tiga jenis kegiatan,

yaitu kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, dan kegiatan pertanian. Sementara

itu bahan utama yang terkandung dalam buangan limbah dan ketiga sumber

tersebut berupa sedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen, dan sampah.

Jika dianalisis secara mendalam, dapat disimpulkan bahwa kawasan-kawasan yang

termasuk kategori tingkat pencemaran yang tinggi merupakan kawasan-kawasan

pesisir yang padat penduduk, kawasan industri dan juga pertanian.

Perairan Indonesia merupakan jalur transportasi yang strategis yang

menghubungkan negara-negara dari benua Asia maupun Eropa yang akan menuju

ke Asia Tenggara maupun Australia ataupun sebaliknya, serta terletak diantara

negara-negara produsen minyak dibagian barat dan negara-negara konsumen di

bagian Timur.

Dari seluruh perairan Indonesia, wilayah yang rentan terhadap pencemaran

yang dikaibatkan oleh tumpahan minyak adalah Selat Malaka, Selat Makasar,

Pelabuhan, dan jalur-jalur laut atau selat yang dilalui oleh tangker. Posisi strategis

tersebut disamping memberikan manfaat secara ekonomi, dilain pihak juga

mengandung resiko terhadap bahaya kerugian dari segi ekologis. Kerugian secara

ekologis tersebut berdampak cukup luas baik secara ekonomis maupun kerusakan

sumberdaya alam. Tabel 2 di bawah ini menyajikan beberapa kasus tumpahan

minyak besar yang terjadi di perairan Indonesia. 

7

Page 8: Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan

Tabel 2. Kejadian Tumpahan Minyak di perairan Indonesia dari Tahun 1975 - 2001 

No. Tahun Lokasi Kejadian

1. 1975 Selat Malaka Kandasnya Showa Maru dan Menumpahkan 1 juta barel solar minyak

2. 1975 Selat Malaka Tabrakan Kapal Tanker Isugawa Maru dengan Kapal Siver Palace

3. 1979 Buleleng, Bali Pecahnya Kapal Tanker Choya Maru dan Menumpahkan 300 ton Bensin.

4. 1979 Lhokseumawe, DI Aceh

Bocornya Kapal Tanker Golden Win yang Mengangkut 1500 Kilo Liter Minyak Tanah.

5. 1984 Delta Mahakam, Kaltim

Sumburan Liar Pemboran minyak Milik Total indonesia

6. 1992 Selat Malaka Tabrakan Kapal MT. Ocean Blessing Dengan MT Nagasaki Spirit Menumpahkan 5000 barel Minyak

7. 1993 Selat Malaka Tertabraknya Tanker Maersk8. 1994 Cilacap Tabrakan Antara Tanker MV.

Bandar Ayu Dengan Kapal Ikan9. 1996 Natuna Tenggelamnnya KM. Batamas II

yang memuat MFO10. 1997 Kepulauan Riau Tabrakan Tanker Orapin Global

dengan Evoikos 11. 1997 Kepulauan Riau Kebocoran Pioa Transfer Minyak

Caltex12. 1997 Selat Makasar Tenggelamnya Tanker Mission Vikin13. 1997 Selat Makasar Amblasnya Platform E-20 UNOCAL14. 1997 Selat Madura Tenggelamnya Tanker SETDCO15. 1998 Tanjungpriok Kandasnya Kapal Pertamina Supply

No. 27 Dengan Muatan Solar16. 1999 Cilacap Robeknya Tanker MT. King Fisher

Dengan Menumpahkan 640 ribu liter Minyak dan Mencemari teluk Cilacap Sepanjang 38 Km.

17. 2000 Cilacap Tenggelamnya KM. HHC Yang Memuat 9000 ton Asphalt Curah

18. 2000 Batam Kandasnya MT. Natuna Sea Menumpahkan 4000 ton Minyak Mentah

19. 2001 Tegal - Cirebon Tenggelamnnya Tanker Stedfast Yang Mengangkut 1.200 ton Limbah Minyak.

Sumber : Mass Media dan Berbagai Sumber.

8

Page 9: Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan

Sementara itu, laju sedimentasi yang masuk ke perairan pesisir juga terus

meingkat. Laju sedimentasi yang cukup tinggi terutama terjadi di Sumatera,

Kalimantan, dan Jawa. Beberapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa

mengalami pendangkalan yang sangat besar, akibat tingginya laju sedimentasi.

Sebagai contoh laju sedimentasi di Sungai Citandui sebesar 5 juta m3 per tahun,

Sungai Cikonde sebesar 770 ribu m3 per tahun. Setiap tahun sekitar 1 juta m3

endapan dari kedua sungai tersebut diendapkan di Segera Anakan (ECI, 1995).

Penyebab dari tingginya laju sedimentasi ini adalah karena sistem pengelolaan

kegiatan di lahan atas tidak dilakukan dengan benar, seperti HPH, pertanian, dan

lain-lain yang cenderung mengabaikan pembangunan yang berwawasan

lingkungan, khusunya azas konservasi tanah.

 c. Over Eksploitasi Sumberdaya Hayati Laut 

Banyak sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut telah mengalami

overeksploitasi. Sebagai contoh adalah sumberdaya perikanan laut, meskipun

secara agregat (nasional) sumberdaya perikanan laut baru dimanfaatkan sekitar

58% dari total potensi lestarinya (MSY) (Aziz, et al, 1997), namun dibeberapa

kawasan (perairan), beberapa stok sumberdaya ikan telah mengalami kondisi

tangkap lebih (overfishing).

Kondisi overfishing ini bukan hanya disebabkan oleh tingkat penangkapan

yang melampaui potensi sumberdaya perikanan, tetapi juga disebabkan karena

kualitas lingkungan laut sebagai habitat hidup ikan mengalami penurunan atau

kerusakan oleh pencemaran dan degradasi hutan mangrove, padang lamun, dan

terumbu karang yang merupakan tempat pemijahan, asuhan, dan mencari makan

bagi sebgian besar biota laut tropis.

 

IV. DESENTRALISASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT 4. 1. Paradigma Desentralisasi Pembangunan Daerah 

Wacana tentang desentralisasi semakin berkembang sejalan dengan dasar-

dasar hukum yang menyertainya. Landasan utama politik desentralisasi adalah

Pasal 18 UUD 1945. Atas dasar itu dirumuskan sejumlah peraturan, sampai

akhirnya lahir UU no 5 tahun 1974. Akan tetapi karena wacana perdebatan tentang

desentralisasi berlangsung di alam politik yang tidak kompetitif, baik pada masa

Preseden Soekarno maupun Presiden Soeharto, maka dispersi kekuasan tidak

terjadi. Kekuasaan yang sebenarnya terkonsentrasikan di pusat, sementara tingkat

ketergantungan daerah terhadap pusat tinggi. Akibatnya lingkup kekuasaan (space

9

Page 10: Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan

of power) atau lingkup kewenangan (space of authority) tetap tidak mengalami

perubahan yang signifikan.

Praktek-praktek desentralisasi inilah antara lain yang mendorong lahirnya

UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Inilah peraturan baru, baik

dari segi struktur maupun isi, yang diharapkan membawa warna lain terhadap

praktek desentralisasi. Harapan ini tidak terlalu berlebihan, karena jika undang-

undang ini dapat direalisasikan dalam pengertian yang sebenarnya, maka otonomi

seluas-luasnya dapat berkembang.

Kondisi di atas memberikan pengaruh yang kuat dalam praktek-praktek

pengelolaan sumberdaya alam. Pendekatan sentralistik, alasan demi kepentingan

ekonomi nasional, dan keserakahan segelintir pemilik modal telah merusak hampir

keseluruhan sumberdaya alam yang ada di daerah dan hanya menyisakan

kerusakan lingkungan dan kemiskinan serta marginalisasi masyarakat. Keuntungan

dan eksploitasi sumberdaya alam dinikmati oleh hanya sebagian masyarakat dan

digunakan untuk membangun daerah-daerah yang sudah berkembang di Pulau

Jawa, dan hanya sedikit yang dikembalikan ke daerah asal (Aceh, Irian, Riau dan

lain-lain). Hal tersebut berlangsung begitu lama dan sedikit-demi sedikit membentuk

cara pandang yang keliru yang menganggap apa yang menguntungkan pusat pasti

merugikan daerah dan demikian pula sebaliknya.

4. 2. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

 Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, Pemerintah Pusat telah

memberikan otonomi yang lebih jelas dan nyata termasuk kewenangan pengelolaan

sumberdaya pesisir dan laut. Kewenangan tersebut meliputi:

a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas 12

mil laut.

b. Pengaturan kepentingan administratif.

c. Pengaturan tataruang.

d. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah

atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah Pusat.

e. Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara khusunya di laut.

Kewenangan-kewenangan daerah atas wilayah laut tersebut akan

membantu penyelesaian permasalahan di laut yang membutuhkan tindakan cepat

dan strategis. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya menyangkut

pengamanan laut dari jarahan nelayan-nelayan asing yang melakukan pencurian

10

Page 11: Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan

dengan cara pengeboman dan peracunan ikan, pengambilan biota dilindungi, serta

masalah kerusakan ekosistem lainnya.

Selain kewenangan tersebut, daerah juga dapat membentuk dan atau

mengembangkan lembaga teknis/dinas untuk menangani kewenangan-kewenangan

di bidang eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumberdaya laut,

administrasi, penataan ruang, penegakan hukum, serta bantuan keamanan dan

kedaultan negara.

 

4. 3. Implikasi Desentralisasi Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

 Pelaksanaan otonomi daerah dalam hal ini desentralisasi pengelolaan

sumberdaya pesisir dan laut, akan memberikan implikasi dan menimbulkan

konsekuensi-konsekuensi yang berbeda “lebih baik atau lebih buruk” dibandingkan

dengan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya dimasa lalu. Terhadap

sumberdaya pesisir laut, implikasi dan konsekuensi tersebut diantaranya adalah :

a. Kelembagaan

Dalam era desentralisasi , setiap daerah harus membenahi struktur dan

peran serta integrasi fungsi kelembagaan yang ada. Khusus untuk sumberdaya

pesisir dan laut , hal ini menjadi sangat penting mengingat seluruh daerah propinsi

dan sebagian besar daerah kabupaten memiliki wilayah laut yang luas. Tanpa

pendekatan kebijakan dan kelembagaan yang punya kewenangan yang jelas dan

terpadu, maka masalah pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dimasa lalu akan

terulang kembali di daerah. 

b. Sumberdaya Manusia

 Sumberdaya manusia adalah merupakan bagian terpenting dalam

pembangunan, sehingga peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dalam

pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut mutlak diprioritaskan oleh setiap daerah

yang menjadikan pesisir dan laut sebagai tumpuan pertumbuhan daerah.

c.  Praktek Pengelolaan

 Sepanjang tiga dekade yang lalu, telah menjadikan beban yang berat bagi

sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia. Seperti halnya hutan, sumberdaya ini

telah mengalami kerusakan yang sangat parah akibat beban eksploitasi komersial

yang hanya bertujuan untuk mengejar keuntungan jangka pendek semata. Hal ini

jelas menghancurkan dan merusak sistem tradisional pengelolaan berkelanjutan

11

Page 12: Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan

yang dilakukan oleh masyarakat dan menjadikan masyarakat nelayan sebagai

golongan paling miskin diantara kelompok masyarakat miskin lainnya di Indonesia.

Dalam era desentralisasi ini, praktek-praktek pengelolaan tersebut di atas

harus diatur sedemikian rupa sehingga tujuan ekonomi tidak akan mengorbankan

aspek kelestarian lingkungan. Pemerintah daerah dan masyarakat sebagai pemain

utama di daerahnya harus saling menedukung dan mengontrol pelaksanaan

pembangunan kawasan pesisir dan laut di wilayahnya.

d.   Partisipasi Masyarakat

 Pendekatan pembangunan selama ini yang bersifat masif dan seragam

tidak membawa dampak postif terhadap masyarakat, karena umumnya disain

pembangunan dibuat berdasarkan aspirasi kelompok dominan (minstream), dalam

kekuasaan, modal, dan akses terhadap birokrasi. Sebagai satu kesatuan sosial,

masyarakat khususnya masyarakat adat tidak diuntungkan.

Masyarakat khususnya masyarakat adat yang berada di kawasan pesisir dan

laut, seringkali tidak terwakili aspirasinya dalam proses pembangunan. Padahal

mereka harus diberi keleluasaan untuk melindungi dirinya dan budayanya serta

menolak perubahan yang berdampak negatif bagi penghidupannya. Konsep-konsep

penentuan nasib sendiri (self determination) ini telah luas diterima dalam prinsip-

prinsip international, namun di Indonesia pelaksanaannya masih relatif sangat jauh.

 

V. PENUTUP

 

a) Sebagai sumberdaya yang sangat strategis bagi pembangunan nasional, maka

dalam penetapan program dan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut,

senantiasa harus memperhatikan efisiensi pemanfataan ruang dan sumberdaya

pesisir, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir,

pemberdayaan masyakarat pesisir, dan memperkaya serta meningkatkan mutu

sumberdaya alam.

b) Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut merupakan salah satu

kebijakan pemerintah untuk mengefektifkan dan mendekatkan pengelolaan

sumberdaya alam ke pemerintah daerah dan masyarakat. Sehingga pemberian

kewenangan kepada daerah harus dipandang sebagai hak dan kewajiban untuk

melaksanakannya secara bertanggung jawab dan demi kepentingan

masyarakat, bukan pemberian kedaulatan.

c) Implikasi dan konsekuensi desentralisasi harus disadari dan diantisipasi oleh

semua pihak baik pusat maupun daerah.

12

Page 13: Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut: Suatu Peluang dan Tantangan

DAFTAR PUSTAKA

 BPS [Biro Pusat Statistik]. 2001. Indonesia Dalam Angka. BPS Pusat. Jakarta. Cicin-Sain, B. and R. W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management:

Concepts and Practices. Island Press. Clark, J. R. 1996. Coastal Zone Management Hand Book. Lewis Publishers. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. DKP [Departemen Kelautan dan Perikanan]. 2001. Laporan Tahunan 1999 – 2000.

Jakarta. RI [Republik Indonesia]. 1999. Undang-Undang No. 32 Tentang Pemerintahan

Daerah. Jakarta. RI [Republik Indonesia]. 1999. Undang-Undang No. 34 Tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta. Supriharyono, M. S. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di

Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tomascik, T., A. J. Mah., A. Nontji and K. M. Moosa. 1997. The Ecology of The

Indonesian Seas – Part One and Two. The Ecology of Indonesia Series, Vol. 8. Peripcus, Singapore.

13