15
“Etnografi Masyarakat Desa Adat Penglipuran’ Laporan diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Etnografi Indonesia dan Etnopedagogi Dosen Pengampu : Prof. Dr. Dadan Wildan, M.Hum Hj. Siti Komariah, M.Si., Ph.D oleh : Andika Prabowo NIM 1104792 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Desa Adat Panglipuran-- Sasha

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Desa Adat Panglipuran-- Sasha

“Etnografi Masyarakat Desa Adat Penglipuran’

Laporan

diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Etnografi Indonesia dan Etnopedagogi

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Dadan Wildan, M.Hum

Hj. Siti Komariah, M.Si., Ph.D

oleh :

Andika Prabowo NIM 1104792

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2013

Page 2: Desa Adat Panglipuran-- Sasha

BAB I

PENDAHULUAN

Desa adat merupakan suatu komunitas tradisional dengan fokus fungsi dalam bidang

adat dan agama Hindu, dan merupakan satu kesatuan wilayah dimana para anggotanya secara

bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan keagamaan yang ditata oleh suatu sistem

budaya.

Desa Penglipuran adalah salah satu desa adat yang masih terpelihara keasliannya.

Berbagai tatanan sosial dan budaya masih terlihat di berbagai sudut desa ini sehingga nuansa

Bali masa lalu tampak jelas. Selain sebagai identitas, keberadaan Desa Adat Penglipuran

adalah sebuah kekayaan ilmiah yang merupakan objek untuk terus dipelajari guna

peningkatan pengetahuan. Banyak hal yang dapat dipelajari melalui penelitian terhadap

kondisi desa, baik secara struktural maupun tatanan sosial.

BAB II

LOKASI, LINGKUNGAN ALAM, DAN DEMOGRAFI

Desa adat Penglipuran berada di bawah administrasi Kelurahan Kubu, Kecamatan

bangli, Kabupaten Bangli, yang berjarak 45 km dari kota Denpasar. Desa Adat Penglipuran

terletak pada koordinat S-08o 25’12,3”, E-115o 21’34,6”. Letaknya berada di daerah dataran

tinggi di sekitar kaki Gunung Batur. Berdasarkan data tahun 2001 yang dihimpun pemerintah,

Desa Adat Penglipuran memiliki luas wilayah sekitar 1,12 Ha. Untuk menuju desa ini dapat

dicapai melalui sisi timur Desa Bangli, yakni Jalan Raya Bangli – Kintamani, maupun dari

sisi utara desa, yakni Jalan Kintamani Kayuambua – Bangli.

Desa Adat Penglipuran memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Adat Kayang

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Adat Kubu

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Adat Gunaksa

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Adat Cekeng

Page 3: Desa Adat Panglipuran-- Sasha

Desa Penglipuran resmi dinobatkan oleh Pemerintah Daerah Bali sebagai desa adat

tradisional yang menjadi tujuan pariwisata sejak tahun 1992.

Desa ini merupakan salah satu kawasan pedesaan di Bali yang memiliki tatanan yang

teratur dari struktur desa tradisional, perpaduan tatanan tradisional dengan banyak ruang

terbuka pertamanan yang asri fisik dan struktur desa tersebut tidak lepas dari budaya yang

dipegang teguh oleh masyarakat Adat Panglipuran dan budaya masyarakatnya juga sudah

berlaku turun temurun.

Keadaan topografi pada Desa Panglipuran berkontur , tidak rata dan mempunyai

hirarki yang tertinggi yang dimanfaatkan sebagai pura, yaitu tempat bersembahyang dan

pelaksanaan upacara adat di desa tersebut. Semakin kearah utara topografi tanah semakin

tinggi hingga didapatkan suatu hirarki tertinggi pada pura panataran dan pura puseh yang

digunakanuntuk sembahyang umat Hindu di daerah tersebut yang rutin di lakukan enam

bulan sekali. Semakin keselatan topografi tanah semakin rendah yang digunakan untuk

kuburan umat hindu di daerah tersebut.

Untuk vegetasi yang ada di wilayah Desa Panglipuran termasuk desa yang subur dan

mayoritas menghasilkan bambu, hal ini dapat terlihat dari mayoritas penduduknya yang

banyak menggunakan bambu sebagai bahan bangunan rumah serta sebagai mata pencaharian

mereka.

BAB III

ASAL USUL DAN SEJARAH

Keberadaan Desa Penglipuran sudah ada sejak dahulu, pada zaman Kerajaan Bangli.

Para leluhur penduduk ini datang dari Desa Bayung Gede dan menetap sampai saat ini. Dari

sudut pandang sejarah, kata ’’Penglipuran” berasal dari kata ’’Pengeling Pura’’ yang

memiliki makna Eling/Ingat akan tempat suci/Pura untuk mengenang para leluhur. Desa ini

sangat berarti bagi penduduk sejak leluhur mereka datang dari Desa Bayung Gede,

Kecamatan Kintamani yang jaraknya cukup jauh dari Desa Penglipuran, oleh karena itu

masyarakat Desa Penglipuran mendirikan Pura yang sama sebagaimana yang berada di Desa

bayung Gede. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Desa Penglipuran masih mengenal asal

usulnya.

Page 4: Desa Adat Panglipuran-- Sasha

Pendapat lain mengatakan bahwa ’’Penglipuran’’ diambil dari kata ’’Penglipur’’ yang

berarti ’’Penghibur’’ dimana pada zaman kerajaan, desa ini sering digunakan oleh raja untuk

tempat beristirahat.

BAB IV

BAHASA

Desa Panglipuran memiliki bahasa yang tidak berbeda dengan masyarakat Bali

lainnya. Di Bali sendiri Bahasa Bali memiliki tingkatan penggunaannya, misalnya ada yang

disebut Bali Alus, Bali Madya dan Bali Kasar. Bahasa yang halus digunakan untuk

berkomunikasi secara formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang

wanita, atau antara orang berkasta rendah dengan berkasta lebih tinggi. Bahasa madya

digunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya atasan dengan bawahannya, sedangkan

yang kasar dipergunakan untuk berkomunikasi oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra

atau antara bangsawan dengan abdi dalemnya.

Kosa kata

(dalam bahasa Indonesia) Bali alus Balu madya Bali kasar

Saya Titian Rage Ake

Kamu Ida/ratu Kamu Nani

Tabel: 1. Contoh kosa kata bahasa Bali

BAB V

SISTEM TEKNOLOGI

Bisa dikatakan sistem teknologi masyarakat Desa Adat Penglipuran maju dan tidak

buta terhadap teknologi, dimana saya melihat sudah ada kendaraan bermotor berada di sekitar

Desa Adat Penglipuran, namun kendaraan tersebut hanya bisa dioperasikan setiap pukul

17.00 hingga malam hari. Mereka sangat menaati aturan tersebut itulah yang menjadi

kelebihan masyarakat Desa Adat Penglipuran yang berbeda dengan masyarakat adat lainnya.

Jaringan Air Kotor (Drainase)

Page 5: Desa Adat Panglipuran-- Sasha

Air kotor pada Desa Panglipuran yang dihasilkan masing-masing RT langsung di

tampung ke septic tank (limbah padat), sedangkan untuk limbah cair di buang ke selokan

yang dihubungjan melalui pipa-pipa. Pada umumnya warga menggunakan closet jongkok di

WC-nya.

Jaringan Air Bersih

Air bersih yang digunakan untuk mencukupi konsumsi air bersih pada Desa

Panglipuran berasal dari PDAM.

Penghawaan

Sistem penghawaan pada Desa Panglipuran menggunakan sistem penghawaan alami

berupa jendela dan lubang dinding lainnya yang juga memanfaatkan terang langit sebagai

media penerangan pada siang hari.

BAB VI

SISTEM MATA PENCAHARIAN

Mayoritas penduduk di daerah ini bermatapencaharian sebagai petani bambu yang

termasuk daerah penghasil bambu terbanyak di pulau Bali. Selain sebagai petani, juga

sebagai pengrajin anyaman-anyaman dari bambu yang mempunyai nilai jual tinggi sebagai

barang seni.

BAB VII

SISTEM ORGANISASI

Terdapat dua sistem dalam pemerintahan desa Panglipuran yaitu menurut sistem

pemerintah atau sistem formal yaitu terdiri dari RT dan RW, dan sistem yang otonom atau

Desa adat. Kedudukan desa adat maupun desa formal berdiri sendiri-sendiri dan setara.

Karena otonom, desa adat mempunyai aturan-aturan tersendiri menurut adat istiadat di daerah

penglipuran dengan catatan aturan tersebut tidak bertentangan dengan pancasila dan

Undang-undang pemerintah.Undang-undang atau aturan yang ada di desa panglipuran disebut

dengan awig-awig.

Page 6: Desa Adat Panglipuran-- Sasha

BAB VIII

SISTEM PENGETAHUAN

Masyarakat yang ada di sana tidak seperti masyarakat adat yang kita pikirkan. Seperti

primitif, tidak tahu apa-apa, ataupun kumuh belum teraliri listrik, dan lain sebagainya seperti

pemikiran kita mengenai desa adat. Disana kita sama sekali tidak akan melihat pemandangan

seperti itu. Disana sudah teraliri listrik, air PDAM, bahkan tidak sedikit yang memiliki

kendaraan mewah seperti mobil.

Banyak anak Desa Panglipuran yang berhasil menyelesaikan studi nya hingga

perguruan tinggi, bahkan di luar Bali. Dan tidak sedikit pemuda-pemuda Desa Panglipuran

yang bekerja di Kapal pesiar.

BAB IX

SISTEM KESENIAN

Bali salah satu provinsi yang kaya akan kesenian. Kekayaan budaya inilah yang

menjadi daya tarik wisatawan baik asing maupun domestik. Bagi masyarakat Desa Adat

Penglipuran kesenian merupakan bagian dari jiwa mereka. Karena unsur agama pun terdapat

dalam makna setiap kesenian yang disajikan. Kesenian pun dijadikan sebuah profesi namun

mayoritas hanya profesi sampingan

Di Desa Penglipuran terdapat tari-tarian yaitu tari Baris. Tari Baris sebagai salah satu

bentuk seni tradisional yang berakar kuat pada kehidupan masyarakatnya dan hidup secara

mentradisi atau turun temurun, dimana keberadaan Tari Baris Sakral di Desa Adat

Penglipuran adalah merupakan tarian yang langka, dan berfungsi sebagai tari penyelenggara

upacara dewa yadnya.

Adapun iringan gambelan yang mengiringi pada saat pementasan semua jenis Tari

Baris Sakral tersebut adalah seperangkat gambelan Gong Gede yang didukung oleh Sekaa

Gong Gede Desa Adat Penglipuran. Unsur bentuk ini meliputi juga keanggotaan sekaa Baris

sakral ini di atur di dalam awig-awig Desa Adat Penglipuran. Kemudian nama-nama penari

ketiga jenis Baris sakral ini juga telah ditetapkan, yakni Baris Jojor 12 orang, Baris Presi 12

orang, dan Baris Bedil 20orang.

Page 7: Desa Adat Panglipuran-- Sasha

BAB X

SISTEM RELIGI

Sama seperti masyarakat pulau Bali kebanyakan, masyarakat Desa Panglipuran

mayoritas beragama Hindu. Akan tetapi walaupun mayoritas beragama hindu, masyarakat

Desa Panglipuran tidak menutup diri kepada umat agama lain. Mereka saling memegang

teguh konsep kedua dari Tri Hita Karana yaitu konsep Pawongan yang mengajarkan untuk

memelihara keharmonisan antar manusia termasuk antar umat beragama.

BAB XI

RUMAH ADAT

Desa Tradisional Penglipuran memiliki potensi budaya yang sampai saat ini tetap

terpelihara dengan baik. Potensi paling unik yang dimiliki adalah pola tata ruang dan

arsitektur bangunan tradisional Bali khas Penglipuran. Pola tata ruang simetris dengan open

space linier di tengah disertai pintu gerbang (angkul-angkul) seragam serta tata letak

bangunannya merupakan pemandangan suasana pedesaan yang sangat unik, khas dan

menarik untuk dinikmati. Adat istiadat yang menyertainya juga cukup unik dan beberapa hal

berbeda dengan kebanyakan adat pedesaan di Bali.

Pola penataan ruang dan tata letak bangunan tradisional di Penglipuran menggunakan

Pola Dasar Nawa Sanga, yaitu penggabungan orientasi antara gunung dan laut serta terhadap

peredaran matahari. Ciri yang menonjol adalah As Utara Selatan (kaje kelod dengan axis

linier). Axis linier ini juga berfungsi sebagai open space untuk kegiatan bersama. Open space

ini berorientasi ke arah kaja kelod dan membagi desa menjadi dua bagian. Openpsace Desa

Tradisional penglipuran menanjak menuju ke arah gunung (utara) dimana terdapat bangunan

suci dengan orientasi ke Gunung Batur. Pola tata ruang dan tata letak bangunan rumah di

Desa Adat Penglipuran pada umumnya mengikuti Pola Tri Mandala.

Dari kondisi fisik orientasinya adalah utara selatan (dalam bahasa Bali berarti Kaja

Klod) atau lebih sederhana lagi tinggi rendah (ulu teben). Dari konsep itulah, maka di paling

utara desa yaitu sebuah tempat suci yaitu Pura Bale Agung (Penataran) yang merupakan

konsep utama mandala yang terletak di sebelah utara sebagai kiblat umat Hindu.

Yang kedua adalah konsep Madya mandala. Di tempat ini merupakan wilayah

permukiman penduduk terbagi menjadi dua jejer yaitu barat dan timur. Sedangkan bagian

Page 8: Desa Adat Panglipuran-- Sasha

ketiga adalah nista mandala tempatnya bagian paling rendah yaitu lokasi yang dipakai untuk

kuburan atau orang Bali menyebutnya sebagai setra. Tata ruang seperti ini ternyata juga

diterapkan dalam setiap rumah masyarakat desa setempat. Setiap kaveling rumah penduduk,

konsepnya setiap rumah dibangun angkul-angkul atau pintu gerbang merupakan ciri pintu

masuk sekaligus dianggap sebagai bangunan penjaga pintu rumah depan. Saat hari suci,

dilakukan sesajen di tempat ini. Tak heran jika bangunan seluruh masyarakat di desa ini

sama, yaitu bagian depan merupakan sanggah atau merajan sebagai utama mandala yang

digunakan anggota keluarga untuk bersembahyang. Kemudian seluruh rumah menghadap ke

timur sebagai tempat matahari terbit.

Di setiap bangunan rumah terdapat ruang kosong yang dinamakan halaman (natah)

sebagai tempat berkumpul anggota terletak di bagian tengah (madya). Sementara bagian nista

mandala biasanya diisi dengan toilet, tempat jemuran, atau sarana atau kegiatan ekonomi

seperti warung, kandang ternak, dan sebagainya.

1.Pola Tata Ruang Desa Adat Penglipuran sebagai Pengharmonis Kehidupan

Masyarakat Penglipuran

Pola tata ruang desa adat penglipuran dibagi menjadi 3 bagian besar yang

memisahkan kepentingn-kepentingan yang berdasarkan kegiatan-kegiatan masyarakat Desa

Penglipuran khususnya dalam bidang upacara keagamaan (yadnya). Hal tersebut disesuaikan

dengan konsep Tri Hita Karana, yang dalam agama hindu Tri Hita Karana artinya tiga

penyebab kebahagian dan keharmonisan manusia. Hal tersebut merupakan salah satu fungsi

dari pola tata ruang di desa Adat Penglipuran Bangli. Dengan konsep Tri Hita Karana pada

pola tata ruang Desa Adat Penglipuran, akan terjalin hubungan yang harmonis antara manusia

dengan Tuhan, Manusia dengan Manusia, Manusia dengan Lingkungan.

Di Desa Penglipuran saling menjaga keselarasan hubungan baik dengan Tuhan,

Manusia, maupun lingkungan, hal tersebut dilakukan dalam upaya untuk mewujudkan

keharmonisan yang sejati.

Adapun kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penglipuran dalam upaya

untuk menjagakeharmonisan tersebut adalah sebagai berikut :

Page 9: Desa Adat Panglipuran-- Sasha

a) Parhyangan/ Unsur Ketuhanan

Pada komponen yang pertama yaitu parhyangan, masyarakat Desa Adat Penglipuran

senantiasa melaksanakan Upacara Dewa Yadnya. Dimana upacara tersebut dilaksanakan pada

tingkatan Utama Mandala, yaitu tingkatan yang paling tinggi yang letaknya ada di Wilayah

Desa Bagian Utara. Di Uatama Mandala tersebut terdapat tempat suci berupa Pura Penataran

yang menjadi tempat melaksanakan upacara dewa yadnya.

b) Pawongan / Unsur Manusia

Dalam agama hindu memperhatikan pembinaan keluarga mulai dari terbentuknya

janin sampai meninggal penuh dengan upacara adat dan agama. Dalam hal ini adalah upacara

Manusa dan Fitra Yadnya, dimana kegiatan tesebut dilaksanakan di Madya Mandala untuk

manusa yadnya dan di Nista Mandala untuk fitra yadnya. Selain hal tersebut dalam menjaga

keharmonisan antara manusia, masyarakat Desa Penglipuran juga melaksanakan kegiatan

gotong royong di dalam berbagai kegiatan desa. Hal tersebut dilaksanakan adalah untuk

menumbuhkan rasa kekeluargaan dan rasa saling memiliki.

c) Palemahan / Unsur Alam

Dalam masalah lingkungan, masyarakat desa penglipuran selalu menjaga kebersihan

dan keasrian lingkungan yang ada di wilayah desa. Selain itu, berkaitan arsitektur bangunan

masyarakat juga tetap menjaga keaslian dari arsitektur bangunan rumah dan pekarangan

mereka sesuai dengan pola Tri Hita Karana. Hal tersebut dilakukan agar dapat menjaga

kelestarian dari peninggalan leluhur berupa arsitektur bangunan sesuai dengan bangunan bali

kuno.

BAB XII

UPACARA ADAT

Upacara Kematian (Ngaben)

Seperti daerah lain yang ada di Bali, di Penglipuran masyarakatnya mengadakan

upacara yang biasa disebut ngaben. Dimana ngaben ini adalah suatu upacara kematian dalam

rangka mengembalikan arwah orang yang meninggal yang awalnya menurut kepercayaan

orang Bali arwah tersebut masih tersesat kemudian dikembalikan ke pura kediaman si arwah.

Yang membedakan daerah ini hanyalah pada ritualnya saja. Dimana apabila orang bali lain

Page 10: Desa Adat Panglipuran-- Sasha

ngaben dilakukan dengan cara membakar mayat, di Penglipuran mayat di kubur. Menurut

analisa kelompok kami hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Penglipuran sebagai tanda

hormat dan juga sebagai cara untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan buruk

mengingat daerah Penglipuran yang berada didaerah pegunungan yang jauh dari laut, seperti

yang kita tahu bahwa abu jenasah yang telah dibakar harus dilarung atau dibuang ke laut

sedangkan bagi orang Bali menyimpan abu jenasah adalah suatu pantangan, jadi solusi

terbaik adalah dimakamkan. Namun dalam masyarakat Desa Adat Penglipuran tidak

mengenal upacara Ngaben mereka hanya memakamkan mayat karena mereka memilik

komplek pemakaman sendiri. Alasan lainnya masyarakat Penglipuran tidak melakukan

Ngaben ini adalah sebagai cara untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan buruk

mengingat daerah Penglipuran yang berada didaerah pegunungan yang jauh dari laut, seperti

yang kita tahu bahwa abu jenasah yang telah dibakar harus dilarung atau dibuang ke laut

sedangkan bagi orang Bali menyimpan abu jenasah adalah suatu pantangan, jadi solusi

terbaik adalah dimakamkan. Peletakan mayatnya pun diatur dimana mayat laki-laki

tengkurep sebagai simbol Dewa penguasa dan mayat perempuan terlentang sebagai simbol

ibu pertiwi.

BAB XIII

KESIMPULAN

Dari kegiatan studytour ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat Bali dari zaman

dahulu hingga sekarang masih menjunjung tinggi adat istiadatnya . Di Bali juga ada lembaga

yang otonom yang disebut desa adat. Keberadaan Desa adat ini diatur dalam PERDA no 6

tahun 1989/03 tahun 2001 dan diperbaharui 03 tahun 2003. Desa adat ini mempunyai

peraturan-peraturan sendiri yang berbeda dengan aturan yang ditetapkan pemerintah tetapi

peraturan Desa Adat tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah (Pancasila dan Undang-

undang Dasar).

Bali merupakan pulau dengan berjuta keindahan akan keindahan pantai/pulaunya dan

keberagaman budaya yang tak pernah membedakan satu dengan yang lain. Di Bali semua

unsur kehidupan saling menjalin keakraban semua itu dapat kita lihat didesa adat

Penglipuran. Dimana masyarakat desa menyambut dengan ramah para wisatawan baik

domestic maupun luar. Meskipun banyak wisatawan asing maupun lokal yang berkunjung ke

Page 11: Desa Adat Panglipuran-- Sasha

desa tersebut dengan latarbelakang kultur yang berbeda-beda, akan tetapi kebudayaan serta

adat istiadat di bali tidak goyah. Karena masyarakatnya menjaga “itu” dengan baik.

Adat istiadat Bali juga sangat menghargai dan mencintai alam sekitarnya, ini tidak

lepas dari filosofi mereka yaitu Tri Hita Karana. Dimana manusia adalah makhluk yang

paling bertanggung jawab pelestarian dan keseimbangan alam. Semua hal yang dilakukan

manusia terhadap alam, maka akan mempengaruhi kehidupannya kelak.