34
DERMATITIS KONTAK ALERGI DEFINISI Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang terjadi akibat pajanan ulang bahan haptenik atau antigenik, pada kulit seseorang yang sebelumnya telah tersensitasi oleh antigen atau hapten yang sama. Bahan kimia yang dapat bersifat sebagai allergen biasanya berat molekulnya kecil (berat molekul < 500 Da), larut dalam lemak yang disebut hapten. Reaksi yang terjadi adalah reaksi hiperensitivitas tipe lambat atau tipe IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantaraan sel limfosit T. ETIOLOGI Penyebab DKA bervariasi. Peranan bahan penyebab dermatitis tergantung pada potensi sensitasi, derajat pemaparan dan penetrasi yang luas perkutan. Bahan-bahan yang paling sering menyebabkan sensitasi (allergen) adalah pakaian, sepatu, plester dan bahan-bahan perekat, parfum, resin, kosmetik, formaldehid, macam-macam minyak, bahan pewarna organic, cat pestisida, logam- logam (krom, nikel, kobalt), tanaman dan kayu, bahan-bahan pengawet anti mikroba dan karet. PATOGENESIS Reaksi yang menimbulkan DKA ini dibagi dalam 2 fase yaitu : 1. Fase Sensitasi Hapten berpenetrasi menembus lapisan korneum sampai ke lapisan bawah dari epidermis. Hapten ini akan difagosit oleh sel Langerhans, kemudian diubah oleh enzim lisosim dan sitolitik, yang kemudian berikatan dengan human leukocyte antigen DR (HLA-DR) membentuk antigen. HLA-DR dan antigen akan diperkenalkan kepada sel limfosit T melalui sel T melalui cluster of differentiation-4 (CD 4) yang akan mengenal HLA-DR dan CD3 yang akan mengenal antigen tersebut. Perkensalan ini terjadi di kulit atau di kelenjar limfe regional. Sel langerhans kemudian mengeluarkan interleukin-4 (IL4) yang akan merangsang sel limfosit T yang mengeluarkan IL-2 dan menempatkan reseptor IL-2 pada permukaan sel limfosit tersebut dan sitokin ini akan menyebabkan proliferasi dari sel limfosit T yang sudah kenal dan siap menerima antigen yang serupa. Sel limfosit T ini disebut sel memori dan bias didapatkan di kulit ataupun kelenjar limfe regional. 2. Fase Elisitasi Fase elisitasi ini dimuali ketika antigen yang serupa, setelah difagosit oleh sel langerhans dengan cepat akan dikenal oleh sel memori sehingga sel memori akan mengeluarkan interferon-gamma (IFN-g) yang akan merangsang keratinosit yang akan menampakkan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan HLA-DR pada permukaan keratiunosit. ICAM-1 akan

Dermatitis Dll

Embed Size (px)

DESCRIPTION

drematitis

Citation preview

Page 1: Dermatitis Dll

DERMATITIS KONTAK ALERGI

DEFINISIDermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang terjadi akibat pajanan ulang bahan haptenik atau

antigenik, pada kulit seseorang yang sebelumnya telah tersensitasi oleh antigen atau hapten yang sama. Bahan kimia yang dapat bersifat sebagai allergen biasanya berat molekulnya kecil (berat molekul < 500 Da), larut dalam lemak yang disebut hapten.Reaksi yang terjadi adalah reaksi hiperensitivitas tipe lambat atau tipe IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantaraan sel limfosit T.

ETIOLOGIPenyebab DKA bervariasi. Peranan bahan penyebab dermatitis tergantung pada potensi sensitasi, derajat

pemaparan dan penetrasi yang luas perkutan.Bahan-bahan yang paling sering menyebabkan sensitasi (allergen) adalah pakaian, sepatu, plester dan

bahan-bahan perekat, parfum, resin, kosmetik, formaldehid, macam-macam minyak, bahan pewarna organic, cat pestisida, logam-logam (krom, nikel, kobalt), tanaman dan kayu, bahan-bahan pengawet anti mikroba dan karet.

PATOGENESISReaksi yang menimbulkan DKA ini dibagi dalam 2 fase yaitu :

1. Fase SensitasiHapten berpenetrasi menembus lapisan korneum sampai ke lapisan bawah dari epidermis. Hapten

ini akan difagosit oleh sel Langerhans, kemudian diubah oleh enzim lisosim dan sitolitik, yang kemudian berikatan dengan human leukocyte antigen DR (HLA-DR) membentuk antigen. HLA-DR dan antigen akan diperkenalkan kepada sel limfosit T melalui sel T melalui cluster of differentiation-4 (CD 4) yang akan mengenal HLA-DR dan CD3 yang akan mengenal antigen tersebut. Perkensalan ini terjadi di kulit atau di kelenjar limfe regional.

Sel langerhans kemudian mengeluarkan interleukin-4 (IL4) yang akan merangsang sel limfosit T yang mengeluarkan IL-2 dan menempatkan reseptor IL-2 pada permukaan sel limfosit tersebut dan sitokin ini akan menyebabkan proliferasi dari sel limfosit T yang sudah kenal dan siap menerima antigen yang serupa. Sel limfosit T ini disebut sel memori dan bias didapatkan di kulit ataupun kelenjar limfe regional.

2. Fase ElisitasiFase elisitasi ini dimuali ketika antigen yang serupa, setelah difagosit oleh sel langerhans dengan

cepat akan dikenal oleh sel memori sehingga sel memori akan mengeluarkan interferon-gamma (IFN-g) yang akan merangsang keratinosit yang akan menampakkan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan HLA-DR pada permukaan keratiunosit. ICAM-1 akan memungkinkan keratinosit berikatan dengan sel lekosit yang pada permukaannya terdapat lymphocyte function associated-1 (LFA1)

Seperti telah kita ketahui HLA-DR akan memungkinkan keratinosit berikatan dengan limfosit T dan sel T sitotoksik. Disamping itu keratinosit akan memproduksi IL-1, IL-6 dan GMCSF yang semuanya ini akan mengaktifasi sel limfosit T.

IL-1 juga memproduksi eicosanoid, dimana kombinasi antara eicosinoid dan sitokin-sitokin yang dibentuknya akan mengaktifkan sel mast dan makrofag, sehingga akan terbentuklah histamine yang menimbulakan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Semuaq proses yang telah disebutkan diatas menimbulkan reaksi yang kita kenal sebagai DKA.

GAMBARAN KLINISGambaran klinis DKA dapat bervariasi tergantung dari letak dan perlangsungannya. Lesi yang

akut berupa macula eritematosa, papul, vesikel atau bulla sesuai dengan intensitas dari respon alergi. Pada stadium ini di bagian tertentu pada badan seperti kelopak mata, penis dan skrotum terlihat eritema dan udema. Pada stadium subakut, lesi terutama terdiri dari krusta, skuama, sedikit likenifikasi dan vesikel. Sedangkan pada stadium kronis, kulit akan menebal, dapat timbul fisura, skuama, likenifikasi dan perubahan warna kulit berupa hipopigmentasi atau hiperpigmentasi.

Dermatitis kontak alergi biasa akut atau kronik. Erupsi akut biasanya terjadi 24-48 jam setelah terpajan atau bias lebih lambat sampai 4 hari.

Page 2: Dermatitis Dll

GAMBARAN HISTOPATOLOGISPada dermatitis akut perubahan perubahan pada epidermis berupa edema interseluler (spongiosis),

terbentuknya vesikel dan atau bulla dan pada dermis terdapat dilatasi vaskuler disertai edema dan infiltrasi perivaskuler sel-sel mononuclear.

Dermatitis subakut memberikan gambaran histopatologis yang menyerupai bentuk akut dengan terdapatnya akantolisis dan kadang-kadang parakeratosis.

Pada DKA terlihat akantolisis hyperkeratosis, parakeratosis, spongiosis ringan, tidak tampak adanya vesikel dan pada dermis dijumpai infiltrasi perivaskuler, pertambahan kapiler dan fibrosis. Gambaran tersebut merupakan gambaran dermatitis secara umum dan sangat sukar untuk membedakan gambaran histopatologik antara DKA dan DKI.

DIAGNOSISDiagnosis DKA umumnya dapat ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis2. Pemeriksaan klinis3. Pemeriksaan penunjang

PENATALAKSANAANSecara garis besar penatalaksanaan DKA meliputi :1. Eliminasi atau menghindari bahan kontaktan : Menghindari bahan penyebab dermatitis kontak merupakan cara

penenganan DKA yang paling penting. Untuk tujuan tersebut harus diketahui bahan penyebab DKA berdasarkan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang berupa uji temple bahan yang dicurigai.

2. Pengobatan : Sama dengan pengobatan dari dermatitis pada umumnya yaitu dengan kompres untuk DKA madidans serta penggunaan topical kortikosteroid untuk DKA subakut dan kronis. Pada DKA yang disertai dengan sekunder infeksi dapat diberikan antibiotic sistemik. Pada DKA yang cenderung meluas dapat diberikan kortikosteroid sistemik dengan dosis 40-60 mg/hari dalam dosis terbagi, kemudin ditapering seteleh ada perbaikan.

3. Tindakan pencegahan : Untuk DKA pada pekerja di lingkungan industri digunakan alat pelindung seperti sarung tangan.

DERMATITIS KONTAK IRITAN

PENDAHULUANDermatitis kontak iritan (DKI) adalah suatu reaksi peradangan setempat yang bukan imunologis pada kulit

sesudah mendapat paparan iritan baik satu kali kali maupun berulang. Paparan sekali (tidak disengaja atau kecelakaan) biasanya dari iritan asam, basa dan sebagainya. Sedangkan paparan berulang yang merusak kulit secara kumulatif misalnya iritan yang lebih kecil dosisnya. Umumnya efek iritan timbul dalam beberapa menit atau jam sesudah kulit mendapat paparan.

Dermatitis kontak iritan bentuk paling lazim dari penyakit kulit akibat kerja. Lebih 80% dari seluruh kasus mengenai daerah kulit yang terpapar seperti tangan dan lengan bawah. Spektrum kulit sangat lebar, dari kemerahan ringan sampai bula yang berat dan ulserasi.

Untuk mengetahui DKI lebih mendalam, pada makalah ini akan dikemukakan tentang epidemiologi, etiologi, patogenesis, gambaran klinis, histopatologis, diagnosis, diagnosis banding, komplikasi, pencegahan dan pengobatan serta prognosis.

EPIDEMIOLOGIInsidens DKI yang sebenarnya sulit diketahui karena sebagian besar penderita tidak pernah mencari

pertolongan medis. Di klinik dermatologi berbagai negara, dermatitis berkisar 15 - 30% dari kasus rawat jalan dengan penyebab dari luar. Dermatitis kontak iritan berkisar lebih separuh dari dermatitis kontak pada masyarakat umum. Pada klinik dermatitis akibat kerja, DKI berkisar 20 - 50% dari kasus yang ditemukan. Selain itu pada masyarakat negara industri prevalensi DKI antara 1 - 10% dan dermatitis ini lebih banyak daripada dermatitis kontak alergi (DKA)

Page 3: Dermatitis Dll

ETIOLOGIPenyebab timbulnya DKI cukup rumit dan biasanya melibatkan gabungan berbagai iritan. Beberapa contoh

iritan akibat kerja yang lazim dijumpai adalah sebagai berikut :1. Sebum, deterjen dan pembersih lainnya (boraks, pasir, batu apung dan sebagainya).2. Asam inorganik (asam sulfurat, hidroklorat, kromat, hidrofluorat, nitrat dan fosfat).3. Asam organik (asam asetat, akrilat, format, glikolat, benzoat dan salisilat).4. Basa kuat (natrium hidroksida, kalium hidroksida, amonium, hidrosida, natrium karbonat, kalium karbonat dan

kalsium oksida).5. Garam logam :

a) Senyawa arsenat ( arsenat trioksida)b) Senyawa benyilliumc) Kalium oksidad) Tembaga (sulfat, oksida, siamida)e) Cobaltf) Merkuri inorganikg) Senyawa selenium (selenium dioksida, selenium oksiklorida).

6. Pelarut :a) Ter (benzona)b) Petroleum (gasolin, kerosen).c) Hidrokarbon klorinat (karbon tetraklorida, trikloroetan, tetrakloroetam dan sebagainya).d) Alkohol (metil, etil dan isopropil alkohol).

7. Wool dan bahan kain sintetik.8. Tumbuh-tumbuhan.

PATOGENESISAda berbagai faktor yang mempengaruhi timbulnya respons peradangan kulit terhadap iritan kimia yaitu

faktor yang berhubungan dengan zat kimia, individu, paparan dan lingkungan. Faktor zat kimia meliputi struktur kimia dan sifat fisisnya (gas, cair atau padat). Sedangkan faktor individu meliputi umur, genetik, penyakit kulit yang lain dan lokalisasi paparan. Faktor paparan seperti konsentrasi zat, zat pembawa dan lama paparan. Faktor lingkungan misalnya kelembaban, suhu dan angin.

Iritan adalah suatu zat baik fisis maupun kimiawi, yang mampu merusak sel bila kontak dalam waktu dan konsentrasi yang cukup. Dalam hal ini immunological memory tidak terlibat dan dermatitis terjadi tanpa sensitisasi sebelumnya. Mekanisme patogenesis dermatitis kontak oleh bahan iritan dapat terjadi melalui dua cara dan mekanisme reaksi bergantung pada cara bahan kimia penyebab merusak keratinosit serta fungsi saraf kulit yang diperankan oleh stratum korneum. Kerusakan akibat pajanan dengan deterjen dimulai dengan kerusakan lapisan lemak sehingga terjadi kekeringan kulit (desifikasi) dan kelainan di stratum korneum tersebut akan menyebabkan kulit kehilangan fungsi sawar kulit. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya pajanan langsung ke sel kulit yang masih hidup (viable) terhadap deterjen (gambar 2.1.)

Beberapa bahan dapat berdifusi melewati membran lipid keratinosit dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti. Adanya kerusakan membran akan mengaktifkan fosfolipase untuk memacu pelepasan asam arachidonat. Keadaan ini akan menyebabkan aktivasi sistem perantara lain sehingga terjadi rangsangan sintesis berbagai molekul permukaan sel dan produksi sitokin. Sebagai contoh, pajanan iritan pada sel kulit akan memacu sekresi IL-1. IL-1 akan memacu aktivasi sel T secara langsung maupun tidak langsung melalui rangsangan produksi GMCSF . Infiltrasi sel yang menetap (residen) seperti neutrofil dan limfosit akan berakibat terbentuknya reaksi inflamasi. Netrofil atau limfosit akan memproduksi faktor yang dapat berdifusi dan menyebabkan reaksi inflamasi.

Iritan kuat akan menyebabkan reaksi inflamasi pada pajanan pertama, sedangkan iritan lemah, misalnya deterjen, memerlukan pajanan berulamg untuk dapat menyebabkan reaksi inflamasi.

Berbagai mediator dilepaskan pada proses inflamasi Dermattis Kontak Alergi. Deterjen akan merusak keratinosit, selanjutnya merangsang aktivasi enzim fosfolipase dan mengakibatkan pelepasan AA, DAG dan PAF. AA akan mengalami perubahan menjadi PGs dan LTs. DAG akan merangsang ekspresi gen sehingga terjadi sintesis protein berupa IL-1 dan GMCSF. Interleukin-1 akan mengaktifkan sel Th untuk memproduksi IL-2 dan mengekspresikan reseptor IL-IL-2, terjadi perangsangan autocrine, disamping merangsang proliferasi sel-sel tersebut. Keratinosit juga mengekspresikan molekul permukaan HLA-DR dan ICAM-1. Prostaglandin dan LTs akan merangsang dilatasi pembuluh darah, menyebabkan terjadi transudasi komplemen, dan aktavasi sistem kinin.

Page 4: Dermatitis Dll

Prostaglandin dan LTs berperan pula sebagai chemoatractants bagi neutrofil dan limfosit serta mengaktivasi sel mast untuk melepaskan histamin, LTs dan PGs lain. Seluruh proses tersebut di atas menyebabkan perubahan vaskuler.

GAMBARAN KLINISDermatitis kontak iritan memiliki spektrum gambaran klinis yang lebar, dari kulit kering, kemerahan,

dermatitis eksematosa sampai luka bakar kaustik.

Dermatitis kontak iritan akutDermatitis kontak iritan akut seringkali sebagai akibat paparan satu kali dari iritan atau zat kimia kaustik

atau serentetan zat kimia atau kontak fisik. Keadaan ini mengakibatkan peradangan akut pada kulit dan biasanya berkaitan dengan rasa terbakar. Deferensiasi antara dermatitik kontak (toksik) akut dengan luka bakar kimia tidak selalu mungkin dilakukan. Reaksi awal biasanya terbatas pada daerah terpapar atau kontak, konsentrasi zat berdifusi keluar dari daerah kontak.

Beberapa zat contohnya gentian violet dan dequalinium kloride hanya toksik pada keadaan tertentu, seperti pada permukaan mukosa atau bila sawar stratum korneum rusak. Kecepatan respons akut biasanya dipengaruhi oleh sifat iritan, misalnya asam atau basa kuat akan menimbulkan reaksi toksik dalam beberapa menit. Lama kontak yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi dari iritan kurang kuat sangat bervariasi dan jejas ringan hanya mengimbas non-eksematous sesaat atau reaksi iritan. Sebagian besar kasus DKI akut terjadi sebagai akibat kecelakaan kerja. Pada penderita ini, dermatitis biasanya sembuh cepat, kecuali bila terdapat nekrosis kulit. Pada kasus ringan, kulit kembali normal dalam beberapa hari, tetapi pada kasus lebih berat diperlukan beberapa minggu untuk sembuh.

Spektrum klinis DKI akut bisa lebar, dari reaksi iritan ringan dengan eritema sesaat atau merekah pada kulit sampai dermatits dengan edema, peradangan, nyeri dan vesikulasi. Pada kasus yang lebih berat terdapat eksudasi, pembentukan bula dan nekrosis jaringan. Luka bakar kaustik akibat kapur atau semen bisa menyebabkan kerusakan jaringan yang luas.

Dermatitis kontak iritan kumulatifDermatitis kontak iritan kumulatif (dermatitis iritan kronik, wear and tear dermatitis, dermatitis

traumiteratif) berkembang sebagai akibat serentetan kerusakan kulit yang berulang. Kerusakan ini bisa melibatkan iritan kimia dan berbagai faktor fisis seperti gesekan, mikrotrauma, kelembaban, panas, dingin, pelarut, zat pembersih ( contoh : sabun dan deterjen ) dan sebagainya. Kerentanan terhadap DKI kumulatif tidak hanya tergantung pada derajat paparan saja tetapi juga lokalisasi, umur dan predisposisi individu. Faktor lain seperti suhu kulit lazim pada wanita sebagai akibat paparan iritan yang meningkat. Perbedaan ras dalam respon terhadap iritan cukup rumit. Seseorang dengan riwayat eksema atau dermatitis maka risiko berkembangnya DKI meningkat.

Dermatitis kontak iritan kumulatif paling lazim mengenai kulit yang terpapar dan tipis, misalnya punggung tangan dan jari-jari tangan atau wajah dan kelopak mata pada penderita dengan intoleran atau dermatosis kelembaban rendah. Wajah, mata dan saluran napas bagian atas seringkali terkena oleh iritan jenis vilatil pada penderita yang menangani kertas copy tanpa karbon atau pada penderita yang terpapar styrene, isosianat atau iritan dan zat kimia volatil lainnya.

Dermatitis kontak iritan seringkali dimulai dengan beberapa lesi (patches) pada kulit yang kering, agak meradang atau merekah dan kecenderungan meluasnya lesi lebih sedikit dibanding dengan eksema bentuk kontak alergik. Dermatitis kontak iritan cenderung lebih statik dan kurang pleomorfik daripada ekzema bentuk lainnya, tetapi faktor konstitusional dan alergik seringkali bersama-sama.

Pada DKI tanpa komplikasi, penyembuhan terjadi dalam 2 minggu bila semua rangsangan berbahaya dihilangkan, meskipun pemulihan fungsional membutuhkan 6 minggu atau lebih.

HISTOPATOLOGISPerubahan histologis sangat bergantung pada sifat kimiawi dan konsentrasi iritan, tipe dan lama paparan,

beratnya respons dan waktu pengambilan sampel.Dermatitis kontak adalah respons peradangan pada kulit yang ditandai oleh infiltrasi sel mononuklear

(epidermal dan perivaskuler dermal), spongiosis dan hiperplasia akibat antigen atau iritan.

Perubahan epidermisReaksi akut ringan sampai sedang akibat sebagian besar iritan ditandai oleh spongiosis, vakuolasi

intrasitoplasmik dan piknosis inti sel. Pada umumnya spongiosis kurang nyata dibanding yang ditemukan pada DKA, tetapi sangat tinggi perubahan vesikular akibat iritasi seperti croton oil. Dengan iritasi yang lebih berat, terjadi

Page 5: Dermatitis Dll

nekrolisis atau sitolisis sel epidermis, menyebabkan vesikel dan bula intra atau subepidermis. Perubahan demikian terutama dijumpai pada iritan seperti kontaridin dan trikloetilen. Parakeratosis merupakan gambaran umum pada reaksi akut akibat natrium lauril sulfa (SLS).

Elektron mikroskopi memberikan informasi tambahan pada sifat kerusakan sel sesudah paparan akut berbagai iritan. Perubahan ultrastruktural meliputi : kerusakan membran sel dan organel, akumulasi lipid, perubahan filamen keratin dan modifikasi stratum korneum.

Dermatitis kontak iritan kumulatif atau kronik berbeda dari reaksi akut, didominasi hiperkeratosis dengan daerah parakeratosis, akantosis sedang sampai nyata dan elongasi rete ridges.

Perubahan dermisKerusakan dan / atau degenerasi kolagen lazimnya ditemukan pada reaksi iritan, dan edema sudah

dilaporkan oleh beberapa peneliti. Sejumlah iritan menginduksi timbulnya perubahan lebih spesifik terhadal sel dermis, contohnya DMSO bekerja sebagai degranulator mastosit yang efektif. Selain itu pelarut organik yang terutama berdampak pada pembuluh darah, mengakibatkan dilatasi kapiler dan hiperemia.

DIAGNOSISDiagnosis DKI ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, respon terapi dan uji tempel. Uji kulit dilakukan

dengan seri baku alergen yang paling lazim. Jika paparan alergen pada lingkungan penderita dicurigai, zat tersebut dimasukkan dalam seri uji. Paparan alergen potensial pada lingkungan kerja dan rumah harus diselidiki.

DIAGNOSIS BANDINGDiagnosis banding tergantung pada riwayat penyakit, tipe dan lokalisasi dermatitis. Gangguan kulit yang

lain bisa dipersulit oleh sensitisasi obat topikal atau kontaktan. Beberapa penyakit kulit sebagai diagnosis banding DKI adalah sebagai berikut :1. Dermatitis seboroik pada kepala dan lipatan kulit.2. Psoriasis pada telinga dan telapak tangan.3. Dermatitis vesikular pada tangan (sebagai reaksi ‘id’).4. Infeksi jamur pada telapak tangan.5. Dermatitis atopik.6. Eksema numular. 7. Erupsi dishidrofik. 8. Liken planus.9. Polymorphic light eruption (dermatitis kontak fototoksik).10. Porfiria kutanea tarda.11. Dermatomiositis.12. Erupsi obat.13. Skabies.

KOMPLIKASIInfeksi bakteri atau jamur sekunder bisa terjadi dan adanya keterlambatan penyembuhan pada DKI kecuali

infeksi tersebut diobati secara tepat. Tergantung pada kerentanan seseorang, dermatitis bisa sembuh dengan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi.

PENCEGAHAN DAN PENGOBATANPenatalaksanaan terutama berhubungan dengan upaya pencegahan dan upaya ini akan berhasil bila ada

kerjasama yang erat antara perusahaan dengan dermatologis. Pakaian pelindung harus selalu dipakai bila menangani iritan atau kaustik kuat. Demikian juga kacamata atau sarung tangan pelindung harus digunakan. Pembersihan bisa dipermudah dengan menggunakan krim sawar (barrier cream). Pembersih juga harus serendah mungkin konsentrasinya. Penggunaan krim tangan emolien sering berguna dalam mencegah kekeringan dan merekah pada kulit. Sarung tangan plastik atau karet yang dilapisi katun harus dipakai saat mencuci piring atau bila menangani iritan potensial. Sarung tangan digunakan dalam lingkungan industri, tetapi harus dipilih yang baik dan sesuai penggunaannya.

Pengobatan DKI yang eksudatif akut (ringan sampai sedang) ialah kompres dingin selama 20 - 30 menit 3 kali sehari. Larutan Burowi (aluminium asetat 1 : 20) dan kalium permanganat (1 : 16.000 atau 1 : 4.000) yang merupakan astringen dan germisid cocok untuk kompres, perendaman atau mandi. Lotion (misalnya kelamin) bisa

Page 6: Dermatitis Dll

juga digunakan. Sesudah oozing mereda, penggunaan krim atau lotion kortikosteroid membantu mengurangi gatal. Pada kasus berat, kortikosteroid sistemik merupakan indikasi, misalnya prednisolon 40 - 60 mg per hari tappering dose selama 2 - 3 minggu.

Dermatitis kontak iritan kronik (non-eksudatif) diobati dengan kortikosteroid topikal ; kekuatan preparat yang dipilih tergantung pada lokalisasi dermatitis dan beratnya peradangan. Pada lipat paha, preparat hidrokortison merupakan indikasi, sedangkan DKI tangan sisi volar membutuhkan kortikosteroid fluorinasi (potensi kuat). Bila DKI yang berkomplikasi super infeksi bakteri, antibiotik sistemik merupakan indikasi.

PEMULIHANSalah satu kesulitan dalam penatalaksanaan DKI di klinik adalah penentuan waktu pemulihan yang

dibutuhkan untuk penyembuhan secara sempurna. Hal ini penting diketahui agar supaya dapat diatur waktu kembali bekerja seorang penderita. Penyembuhan sempurna berarti normalnya kulit secara fungsional ; meliputi menghilangnya iritabilitas, kulit normal secara klinis dan parameter kuantitatif yang normal (warna kulit, transepidermal water loss [TEWL]) dan hidrasi stratum korneum.

PROGNOSISPrognosis DKI tergantung pada penyebab dan kemungkinan paparan ulang. Faktor individu juga penting,

misalnya atropi, motivasi dan inflamasi.Untuk menilai prognosis DKI umumnya berdasarkan pada penelitian kerja. Pada suatu penelitian, hanya

sepertiga yang mengalami remisi sempurna. Orang yang atrofi dikenal memiliki prognosis buruk. Beralih pekerjaan bisa bermanfaat bila dilakukan lebih dini, tetapi kurang berguna pada orang dengan dermatitis kronik. Keterlambatan dalam diagnosis memperburuk prognosis.

Meskipun paparan iritan terlalu sering atau terlalu ekstrim menimbulkan dermatitis, beberapa pekerja yang terpapar ke level subkutis nampaknya berkembang menjadi pengerasan kulit.

Penggunaan pembersih yang tidak tepat dan kurang mengetahui bahwa zat tersebut sebagai penyebab dermatitis juga akan berdampak pada prognosis.

SKABIES

PENDAHULUANSkabies adalah penyakit menular akibat infestasi dan sensitasi tungau Sarcoptes scabiei varian hominis dan

produknya pada tubuh. Pada populasi yang banyak skabies oleh karena kontak person ditemukan insidens yang tinggi. Penyakit ini biasa disebut juga the itch, gudik, budukan, gatal agogo.

Masa inkubasi skabies bervariasi, ada yang beberapa minggu bahkan berbulan-bulan tanpa menunjukkan gejala terutama pada skabies pada orang bersih. Mellanby menunjukkan sensitisasi dimulai 2-4 minggu setelah penyakit dimulai. Selama waktu itu kutu berada di atas kulit atau sedang menggali terowongan tanpa menimbulkan gatal, gejala gatal muncul setelah penderita tersensitasi oleh ekskreta kutu, yang merupakan keluhan subyektif yang menonjol dan sangat mengganggu. Gambaran klinis biasanya sangat bervariasi sehingga kadang menjadi sulit dalam membuat diagnosis, sehingga perlu diketahui teknik diagnostik yang benar.

Daerah predileksi yaitu sela jari tangan / kaki, pergelangan tangan, ketiak, sekitar pusar, paha bagian dalam, genitalia pria dan bokong. Pada bayi yaitu kepala, telapak tangan dan kaki.

GAMBARAN KLINISKelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes scabiei sangat bervariasi, dapat

menyerupai dermatitis dengan disertai papula, vesikula, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Meskipun demikian kita dapat menemukan gambaran klinis berupa keluhan subyektif dan obyektif yang spesifik.

Dikenal ada 4 tanda utama (cardinal sign) pada infestasi skabies yaitu:

Page 7: Dermatitis Dll

1. Pruritus nocturna : adanya gatal hebat pada malam hari, keadaan ini disebabkan oleh meningkatnya aktifitas tungau akibat suhu yang lebih lembab dan panas. Sensasi gatal yang hebat seringkali mengganggu tidur dan penderita menjadi gelisah.

2. Sekelompok orang : penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Perlu diperhatikan didalam kelompok mungkin ditemukan individu yang hiposensitisasi, walaupun terinfestasi oleh parasit tidak menimbulkan keluhan klinis akan tetapi menjadi pembawa (carrier) potensial bagi individu lainnya.

3. Adanya terowongan (kunikulus / kanalikuli) : kelangsungan hidup Sarcoptes scabiei sangat tergantung kepada kemampuannya meletakkan telur, larva dan nimfa didalam stratum korneum, oleh karena itu parasit sangat menyukai bagian kulit yang memiliki stratum korneum yang relatif lebih longgar dan tipis. Terowongan biasanya berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, berwarna putih abu-abu, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel. Bila ada infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi dan lain-lain).

4. Menemukan Sarcoptes scabies : apabila kita dapat menemukan kunikulus / terowongan yang masih utuh kemungkinan besar kita dapat menemukan tungau dewasa, larva, nimfa maupun skibala dan ini merupakan hal yang paling diagnostik. Akan tetapi kriteria yang keempat ini agak sulit ditemukan karena hampir sebagian besar penderita pada umumnya datang dengan lesi yang sangat variatif dan tidak spesifik.

DIAGNOSISBila gejala klinis spesifik, diagnosis skabies mudah ditegakkan, tetapi sering penderita datang dengan lesi

bervariasi sehingga membuat diagnosis pasti agak sulit. Pada umumnya diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan ditemukan dua dari empat cardinal sign yang sudah disebutkan diatas yaitu rasa gatal yang khas, terdapatnya erupsi seperti papul, vesikula pada tempat predileksi dan mengenai pada sekelompok orang. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan tungau pada lesi. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menemukan tungau dan produknya yaitu :1. Kerokan kulit : papul atau kanalikuli yang utuh ditetesi dengan minyak mineral atau larutan KOH 10%, lalu

dilakukan kerokan dengan menggunakan skalpel steril yang bertujuan untuk mengangkat atap papula atau kanalikuli. Bahan pemeriksaan diletakkan di gelas objek dan ditutup dengan kaca tutup lalu diperiksa dibawah mikroskop.

2. Mengambil tungau dengan jarum : carilah mula-mula terowongan, kemudian gunakan jarum suntik yang runcing ditusukkan kedalam terowongan yang utuh dengan menggerakkan jarum secara tangensial ke ujung lainnya kemudian mengeluarkannya, akan dapat terlihat tungau berada pada ujung jarum berupa parasit yang sangat kecil dan transparan. Cara ini mudah dilakukan tetapi memerlukan keahlian yang tinggi.

3. Tes tinta pada terowongan (Burrow ink test) : papul skabies dilapisi dengan tinta cina, dibiarkan selama 20-30 menit kemudian dihapus dengan alkohol, tes dinyatakan positif bila terbentuk gambaran kanalikuli yang khas berupa garis menyerupai huruf S.

4. Membuat biopsi irisan (epidermal shave biopsy) : lesi dijepit dengan ibu jari dan telunjuk kemudian dibuat irisan tipis yang sangat superfisial dengan pisau, kemudian diletakkan pada gelas objek, ditetesi dengan minyak mineral dan diperiksa dibawah mikroskop.

5. Uji tetrasiklin : pada lesi dioleskan salap tetrasiklin, apabila tetrasiklin telah masuk ke dalam kanalikuli kemudian dibersihkan dan dengan menggunakan sinar ultraviolet dari lampu Wood, tetrasiklin tersebut akan memberikan fluoresensi kuning keemasan pada kanalikuli.

Dari berbagai macam pemeriksaan diatas, pemeriksaan kerokan kulit merupakan cara yang paling mudah dengan hasil yang cukup memuaskan, agar pemeriksaan berhasil baik, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :1. Kerokan harus dilakukan pada lesi yang utuh (papula, kanalikuli) jangan dilakukan pada tempat dengan lesi

yang tidak spesifik.2. Sebaiknya olesi lebih dahulu dengan minyak mineral lesi yang akan dikerok, penggunaan minyak mineral

sangat menguntungkan, oleh karena tungau dan produknya tidak larut, sehingga dapat ditemukan tungau dalam keadaan hidup dan utuh.

3. Dilakukan kerokan pada beberapa lesi dengan lebih mengutamakan pada tempat predileksi.4. Oleh karena tungau berada di stratum korneum maka kerokan harus superfisial tanpa perdarahan.

Page 8: Dermatitis Dll

Karena sulitnya menemukan tungau maka diagnosis skabies harus dipertimbangkan pada setiap penderita yang datang dengan keluhan gatal yang menetap.

PENATALAKSANAAN

a. Penatalaksanaan secara umumPenderita dianjurkan untuk menjaga kebersihan dengan mandi secara teratur, seluruh pakaian, sprei dan

handuk yang digunakan harus dicuci secara teratur bila perlu direndam dengan air panas. Begitu pula dengan anggota keluarga yang berisiko tinggi untuk tertular agar ikut menjaga kebersihan dan untuk sementara menghindari kontak langsung.

b. Penatalaksnaan secara khususPemberian pengobatan harus didasarkan atas efikasi dan potensi toksisitas dan cara penggunaan obat yang

tepat.

Terdpat beberapa macam pengobatan skabies yaitu :1. Sulfur.2. Benzil benzoat.3. Gamma benzene heksaklorida (Lindane).4. Permethrin.5. Crotamiton krim (Crotonyl-N-Ethyl-O-Toluidine).6. Ivermectin.7. Monosulfiran. 8. Malathion.

Pengobatan terhadap komplikasiPada infeksi bakteri sekunder dapat digunakan antibiotik oral khususnya eritromisin.

Pengobatan simptomatikObat anti pruritus seperti anti histamin mungkin mengurangi gatal yang secara karakteristik menetap

selama beberapa minggu setelah terapi dengan anti skabies yang adekuat. Pada bayi, aplikasi hidrokortison 1% pada lesi kulit yang sangat aktif dan pelumas atau emolient pada lesi yang kurang aktif mungkin sangat membantu. Pada orang dewasa dapat digunakan triamsinolon 0,1% untuk mengurangi keluhan.

DERMATOMIKOSIS

Menurut Virchow (1869), dermatomikosis ialah semua penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur,

termasuk Pitiriasis versikolor (P.versikolor), Kandidosis kutis dan lesi kulit pada jamur sistemik. Rippon pada tahun

1979 membagi infeksi jamur secara klinis sebagai berikut :

Infeksi superfisial : a) Pitiriasis versikolor b) Piedra

Infeksi kulit : a) Dermatofitosis b) Kandidosis

Infeksi subkutan : a) Kromomikosis b) Rhinosporidiosis c) Sporotrikosis

d) Mikotik mysetoma e) fikomikosis subkutis

Infeksi sistemik.

Jumlah penderita dermatomikosis baru yang berobat ke Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo rata-rata

setiap tahun menempati urutan ke-dua dari jumlah penderita baru penyakit kulit lainnya. Dermatomikosis yang

Page 9: Dermatitis Dll

terbanyak diderita adalah : dermatofitosis, P.versikolor dan kandidosis kutis (beberapa data rata-rata tiap tahun

penderita baru yang berobat, diambil dari catatan medis Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo). Maskur et al

(1982), dalam penelitian dermatofitosis di Jeneponto didapatkan terbanyak di desa pantai (72,85%) ditemukan

dermatofitosis, dibandingkan desa pegunungan (25,65%).

Pada bab ini akan diuraikan 3 penyakit jamur kulit yang banyak ditemukan.

DERMATOFITOSIS

1. Definisi

Dermatofitosis ialah penyakit yang disebabkan oleh dermatofit yang mempunyai sifat dapat mencerahkan

keratin dalam kulit, rambut dan kuku, mempunyai 3 genus ialah Microsporum, Epidermophyton dan Trichophyton.

Sinonim dermatofitosis yang sering dipakai diantaranya adalah tinea ring worm, herpes circinata, kurap dan

teigne.

2. Etiologi

Dermatofitosis disebabkan oleh sekelompok jamur yang disebut dermatofita. Secara taksonomi,

dermatofita masih berhubungan satu sama lain dan mempunyai banyak persamaan sifat, seperti keratinolitik,

antigenis dan kebutuhan zat-zat tertentu untuk pertumbuhannya.

Hingga kini telah dikenal sekitar 41 spesies dermatofita antara lain : 2 spesies untuk genus epidermofiton,

17 pada mikrosporum dan 22 pada trikofiton.

Di Indonesia telah ditemukan 7 spesies sebagai penyebab penyakit kulit pada manusia, yaitu Trikofiton

rubrum, Trikofiton mentagrofites, Trikofiton konsentrikum, Mikrosporum kanis, Mikrosporum gipseum,

Mikrosporum ferrugeneum dan Epidermofiton flokkosum.

3. Klasifikasi

Pada bagian tertentu tubuh yang kena jamur, pasti mempunyai keistimewaan khas tersendiri dari tempatnya

yang khusus sehingga tinea dapat dibagi menurut lokasinya menjadi :

Tinea kapitis (ringworm of the scalp and kerion).

Tinea barbae (ringworm of the beart).

Tinea faciei .

Tinea korporis.

Tinea manus.

Tinea pedis.

Tinea kruris.

Tinea unguium / Onikomikosis (fungus infection of the nails).

Page 10: Dermatitis Dll

4. Patogenesis

Permulaan perjalanan infeksi dermatofita pada seluruh tipe tinea adalah sama, kolonisasi dimulai pada

lapisan keratin pada kulit dan akibatnya tergantung pada pejamu, lokasi anatomi dan variasi spesies.

Pada kulit glabrosa infeksi berkembang sentrifugal memperlihatkan pola ringworm klasik. Reaksi pejamu

mungkin dibatasi pada sebagian sisik-sisik atau bentuk erupsi eksema toksik. Kemudian reaksi inflamasi dapat

terjadi dan gejala klinik menghilang. Namun demikian, organisme dapat menetap sampai bertahun-tahun dan

menjadi karier. Setelah spora melekat maka perlu waktu 4 - 6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum

korneum. Dermatofita tidak menyerang dibawah stratum korneum karena dermatofit sensitif terhadap temperatur.

Suhu tubuh normal (37oC) menghambat hampir semua spesies. Lorincz dan Sun menyatakan bahwa dengan

menaikkan suhu menjadi 41oC dapat menyembuhkan binatang percobaan.

Pada infeksi rambut, spora dermatofita dapat tampak sebagai selubung diluar rambut (ektotriks) maupun

dalam rambut (endotriks), tergantung pada spesies jamur. Pada tinea kapitis, beberapa spesies dermatofita dapat

menyebabkan rambut berfluoresensi bila disinari dengan lampu Wood (ultra violet 3650 Ao) misalnya tinea kapitis

yang disebabkan oleh Mikrosporum kanis dan Mikrosporum audouini. Fluoresensi rambut pada infeksi dermatofita

rupanya yang disebabkan oleh metabolit-metabolit triptofan.

Pada dermatofita yang diserang adalah keratin yang normal, hal ini berbeda dengan jamur lainnya,

misalnya kandida menyerang jaringan lunak disekitar kuku, sedangkan penetrasi ke keratin hanya sekunder. Infeksi

pada kuku dapat dimulai dari distal (distal subungual onikomikosis), lateral (lateral onikomikosis). Terjadi

akumulasi dari subungual keratin dan debris di bawah kuku. Pada keadaan normal nail bed tidak membentuk

keratin, tetapi jika teriritasi misalnya oleh jamur dapat membentuk keratin yang lunak. Hal ini akan menyebabkan

lepasnya nail plate dari nail bed (onikolisis). Bentuk infeksi lain yang jarang terjadi adalah superficial white

onychomycosis: dermatofita menyerang langsung nail plate dan proxymal onychomycosis dan infeksi meliputi

eponychium dan proksimal nail plate.

5. GAMBARAN KLINIS

Pada umumnya dermatofitosis pada kulit mempunyai morfologi yang khas, yaitu kelainan yang berbatas

tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi kulit (polimorfi), bagian tepinya lebih aktif daripada bagian tengahnya.

Kelainan kulit ini disertai perasaan gatal. Gambaran klinis dapat berbeda-beda tergantung lokalisasi tubuh yang di

serang. Berdasarkan bentuk yang khas tinea kapitis dapat dibedakan atas:

1. Grey patch ringworm.

2. Black dot ringworm.

3. Kerion.

Bentuk klinis dari tinea pedis terdiri atas:

1. Tipe interdigital : merupakan bentuk tinea pedis yang paling sering ditemukan. Kelainan berupa maserasi, sela

jari tersebut terlihat putih, berfisura dan disertai bau. Lokasi terutama di antara jari IV-V dan antara jari-jari III-

Page 11: Dermatitis Dll

IV. Penyakit ini dapat meluas ke bagian bawah jari-jari dan telapak kaki. Pada daerah itu dapat timbul kelainan

kulit berupa kelompok vesikel yang jarang ditemukan pada daerah interdigital.

2. Tipe vesikular (tipe sub akut) : bentuk ini ditandai dengan vesikel-vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang

bula pada telapak kaki dan jarang pada tumit. Lesi-lesi ini mungkin berasal dari perluasan lesi daerah

interdigital.

3. Tipe papuloskuamosa hiperkeratotik yang menahun : sering terdapat di daerah tumit, telapak kaki dan kaki

bagian lateral. Lesi berupa bercak dengan skuama-skuama putih agak berkilat, melekat dan relatif kurang

meradang. Lesi umumnya setempat, akan tetapi dapat bergabung sehingga mengenai seluruh telapak kaki dan

sering simetris (moccasin foot).

Bentuk klinis dari tinea inguium / onikomikosis terdiri atas :

1. Bentuk subungual distalis : bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke

proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh. Kalau proses berjalan terus, maka permukaan

kuku bagian distal akan hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.

2. Leukonikia mikotika : kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau keputihan dipermukaan kuku

yang dapat dikerok untuk membuktikan adanya elemen jamur.

3. Bentuk subungual proksimalis : bentuk ini mulai pada pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang

kuku dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku di bagian distal masih utuh, sedangkan

bagian proksimal rusak. Biasa penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis di tempat lain yang sudah

sembuh atau yang belum. Kuku kaki lebih sering diserang daripada kuku tangan.

6. DIAGNOSIS BANDING

Grey-pacth ringworm :

Alopesia areata, seboroik sikka

Kerion celsi :

Granuloma piogenik, furunkel

Karbunkel, folikulitis

Black dot :

Alopesia areata, trikotilomania

Tinea favosa :

Lupus vulgaris, dermatitis seboroik

Tinea barbae :

Bentuk seperti tinea korporis didiagnosis banding seperti pada tinea korporis.

Bentuk seperti kerion celsi didiagnosis banding seperti pada kerion celsi.

Tinea korporis :

Kandidiasis kutis, lichen ruber planus

Psoriasis vulgaris, sifilis stadium II

Page 12: Dermatitis Dll

Mikosis funguides

Dermatitis seboroik, eritema anulare.

Tinea manum :

Kandidiasis kutis, dermatitis kontak, erupsi “id”, psoriasis vulgaris, neurodermatitis.

Pomfoliks, sifilis stadium II, morbus hansen, eritema anulare, granuloma anulare.

Tinea pedis :

Kandidiasis kutis, dermatitis kontak, eritrasma.

Psoriasis vulgaris, akrodermatitis persisten, hiperkeratosis.

1. Tinea unguium :

Paronikia kongenita, ingrowing nail, kongenital non mikotik.

Leukonikia Raynous’a disease, paronikia, akrodermatitis persisten.

7. DIAGNOSIS

Diagnosis dermatofitosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, ditemukan elemen jamur pada

pengecatan langsung, pembiakan jamur dan bila perlu berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologis. Pembiakan

jamur berguna untuk menegakkan diagnosis penyakit kulit, penentuan spesies jamur penyebab, sedang hasil

pemeriksaan histopatologis tidak dapat menentukan spesies jamur penyebab.

Hasil fluoresensi yang positif dengan pemeriksaan lampu wood dapat dipakai pula sebagai alat bantu untuk

menegakkan diagnosis.

8. IMUNOLOGI

Manusia dapat terinfeksi oleh jamur yang terdapat sebagai saprofit di alam bebas, dan dapat menimbulkan

penyakit pada manusia. Disamping itu manusia dapat terinfeksi oleh jamur saprofit yang hanya dapat menimbulkan

penyakit bila daya tahan tubuh terganggu. Tetapi meskipun demikian, infeksi oleh jamur tidak mudah terjadi karena

badan kita mempunyai sistem pertahanan. Bila infeksi tersebut terjadi, sebagian besar berlangsung terbatas dan

mengakibatkan kerusakan yang kecil. Untuk dapat menimbulkan penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan

tubuh yang tidak spesifik dan yang spesifik.

Kemampuan dari jamur tersebut dan sistem pertahanan dari hospes akan menentukan terjadinya suatu

penyakit yang terbatas atau suatu penyakit yang progresif dan menyebabkan kematian hospes.

1. Kemampuan untuk menempel pada kulit atau selaput lendir : sebelum jamur dapat masuk menembus

penghalang tersebut, jamur harus mampu menempel dan kemudian melakukan penetrasi.

2. Kemampuan untuk menembus kulit dan selaput lendir : kemampuan jamur untuk berubah bentuk merupakan

salah satu mekanisme jamur untuk menembus kulit dan selaput lendir. Perubahan beberapa jamur patogen dari

bentuk filamen menjadi bentuk khamir misalnya pada Histoplasma capsulatum dan perubahan dari bentuk

khamir menjadi hifa semu, misalnya pada Candida sp. membantu jamur tersebut untuk menembus kulit dan

selaput lendir.

Page 13: Dermatitis Dll

3. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam jaringan tubuh hospes : untuk dapat hidup, jamur harus dapat

menyesuaikan diri dalam lingkungan jaringan hospes yang mempunyai temperatur dan susunan biokimiawi

yang berlainan. Disamping itu jamur harus dapat bersaing dengan mikroorganisme lain yang mungkin terdapat

bersama dalam jaringan.

4. Kemampuan untuk berkembang biak : untuk kelangsungan hidup, jamur harus dapat berkembang biak dalam

lingkungan hidup baru dalam jaringan.

5. Kemampuan untuk mengatasi sistem pertahanan tubuh : sistem pertahanan yang tidak spesifik, misalnya kulit

dan selaput lendir, dan sistem pertahanan yang spesifik, yaitu sistem kekebalan yang didapat, harus dapat diatasi

untuk kelangsungan hidup dan perkembang biakan jamur.

6. Kemampuan untuk menimbulkan kerusakan : kemampuan untuk menimbulkan kerusakan jaringan merupakan

syarat sehingga jamur tersebut disebut patogen.

a. Mekanisme pencetus kekebalan

Sistem kekebalan akan berfungsi baik dan dapat melindungi hospes terhadap infeksi berbagai macam

patogen bila terdapat kemampuan untuk menimbulkan berbagai respon imun yang menyebabkan kerusakan dan

kematian patogen tersebut. Respon imun ini disebut sebagai mekanisme pencetus kekebalan (Effector mechanisms

of Immunity). Respon imun pertama terdiri atas kemampuan berbagai sel untuk menghadapi jamur, antara lain

terdiri atas sel T sitotoksik yang spesifik terhadap antigen tertentu, sel yang menghancurkan antigen yang telah

dilapisi zat anti dan sel yang menghancurkan jamur secara tidak spesifik yang disebut natural killer cell (sel NK).

Sel T yang mempunyai reseptor Fc jumlahnya tidak banyak, sehingga hanya sedikit sel T yang mengenali antigen

yang telah dilapisi zat anti. Sebaliknya sel NK mempunyai reseptor Fc sehingga dapat mengenali antigen yang telah

dilapisi zat anti dan menghancurkannya melalui mekanisme antibody-dependet cell cytotoxicity (ADCC

mechanism).

Respon imun kedua ialah timbulnya aktivasi dan daya tarik dari sel mononuklear dan makrofag, sel

neutrofil, eosinofil dan basofil oleh hasil dari sistem imun. Salah satu contoh ialah aktivasi makrofag oleh limfokin

dan interferon, suatu hasil dari sel T.

Respon imun ketiga ialah aktivasi sistem komplemen sebagai akibat interaksi antigen dengan zat anti.

b. Sel fagosit

Sel polimorfonuklear (PMN) dan mononuklear (MN) merupakan bagian dari sistem kekebalan bawaan

tidak spesifik. Kedua jenis sel tersebut berasal dari Stem cell yang terdapat dalam sumsum tulang. Setelah sel PMN

masuk dalam peredaran darah untuk waktu tertentu maka, sel PMN kemudian ke dalam jaringan. Sel MN masuk ke

dalam darah kemudian berdiferensiasi dan menjadi dewasa. Seperti sel PMN, sel MN setelah beredar dalam

sirkulasi darah masuk ke dalam jaringan menjadi makrofag, misalnya sel Kupffer di hepar, makrofag di limpa, otak,

alveoli paru, rongga peritoneum dan pleura. Makrofag juga ditemukan dalam alat dalam lain.

c. Komplemen

Page 14: Dermatitis Dll

Fagositosis akan diperkuat bila komplemen telah diaktifkan. Komplemen merupakan bagian dari

mekanisme pencetus kekebalan yang didapat. Aktivasi dari komplemen menyebabkan pelepasan faktor kemotaktik

yang mengakibatkan sel neutrofil tertarik ke dalam infeksi. Pembentukan dan peletakan C3b pada permukaan sel

jasad renik akan menyebabkan neutrofil dan makrofag melekat pada sel tersebut sehingga memudahkan fagositosis.

d. Sel limfosit T

Sel limfosit T (yang banyak beredar dalam sirkulasi) bila bertemu dengan suatu antigen atau makrofag

yang telah memproses antigen tersebut, akan berubah dan berkembang biak sehingga menghasilkan populasi sel T

dengan sifat dan tempat mengikat antigen yang sama dengan sel asal. Diduga sel T memegang peran penting dalam

aktivasi sel B sehingga sel B dapat berkembang biak dan membentuk zat anti. Sel T melepaskan limfokin yang

mempunyai banyak fungsi. Molekul limfokin yang sudah diketahui ialah interleukin 2 (IL-2), interleukin 5 (IL-5),

gamma-interferon (-INF) dan faktor yang merangsang pembentukan koloni granulosit dan makrofag.

Di samping menimbulkan stimulasi pada respons imun, sel T lain juga mempunyai kemampuan untuk

menekan respons imun. Golongan sel T ini disebut sel T penekan (suppressor cells).

e. Sel limfosit B

Setelah rangsangan oleh sel T, maka sel B dapat memperbanyak diri dan memproduksi zat anti. Sel B ini

dapat membentuk lima kelas imunoglobulin yaitu IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE. Setelah mendapat rangsangan oleh

sel T, dibentuk IgM kemudian disusul dengan IgG dan IgA.

f. Mekanisme pertahanan hospes terhadap infeksi jamur

Mekanisme pertahanan hospes terhadap infeksi jamur sama seperti mekanisme pertahanan terhadap

mikroorganisme lain dan dibagi menjadi dua bagian. Pertama, pertahanan setempat berupa kulit, dengan zat-zat

yang diekskresi olehnya dan selaput lendir, yang mempunyai silia dan memproduksi lendir. Kedua, pertahanan

sistemik yaitu sistem peradangan yang tidak spesifik merupakan pertahanan pertama dari hospes yang belum imun,

karena sistem ini tidak memerlukan rangsangan sebelumnya oleh jamur. Sistem peradangan yang tidak spesifik ini

dapat segera timbul untuk melindungi hospes. Mekanisme pertahanan imun yang didapat memerlukan rangsangan

sebelumnya oleh jamur yang bersangkutan. Dalam hal ini sel MN, sel PMN, sel T dan sel B bekerjasama dalam

menimbulkan mekanisme pertahanan yang didapat.

9. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan penunjang

b. Mikroskop

c. Kultur

d. Lampu Wood

Page 15: Dermatitis Dll

IMUNOLOGI DERMATOFITOSIS

PENDAHULUANDermatofitosis adalah penyakit infeksi pada kulit yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita. Jamur

ini menyerang jaringan yang mengandung keratin atau zat tanduk pada stratum korneum kulit, kuku dan rambut dengan cara mencerna lapisan keratin.

Dermatofitosis dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan nama kurap, ring worm, karena diduga disebabkan oleh hewan kecil yang disebut worm yang menimbulkan lesi yang berbentuk cincin pada kulit. Nama lain dari dermatofitosis adalah tinea, herpes sirsinata, herpes tonsuran, teigne dan herpes desquamans. Orang Yunani menamakan “Herpes” karena bentuk kelainan pada kulit berbentuk lingkaran yang makin lama makin membesar.

Banyak faktor berpengaruh terhadap terjadinya penyakit ini antara lain lokasi geografi, ras, usia, jenis kelamin, kebiasaan, latar belakang genetik atau ada penyakit lain yang mendasarinya serta virulensi dari penyakit.

Sistem pertahanan tubuh penderita juga mempengaruhi patogenesis dermatofita. Sistem imun seluler yang baik dari aktifitas anti mikrobiol sel leukosit polimorfonuklear membatasi infeksi dermatofita pada stratum korneum. Sistem imun juga mempengaruhi gambaran klinis, jadi gambaran klinis yang dihasilkan oleh dermatofita merupakan produk sistem imun penderita, tubuh memberi reaksi peradangan terhadap antigen jamur dan produk metabolitnya.

IMUNOLOGI DERMATOFITOSIS Kulit merupakan pertahanan utama dari tubuh manusia melawan serangan mikroorganisme dari luar. Pada infeksi jamur dermatofita mekanisme pertahanan ini tidak dapat diabaikan. Organisme ini adalah organisme kulit atau ektofit, nutrisinya cukup dari hasil metabolisme tubuh penderita. Dengan adanya proses infeksi oleh jamur maka akan timbul respon imun dan inflamasi dari jaringan hidup disekitar lokasi infeksi.

Golongan jamur dermatofita cenderung tidak mengadakan invasi kedalam dermis dan hampir tidak pernah menyebabkan mikosis yang dalam, jamur menyebar pada lapisan superfisial dari epidermis, matriks kuku dan akan menyebabkan penyakit yang kronik.

Adanya jamur golongan dermatofita pada kulit penderita akan memacu pembentukan antibodi seluler dan humoral. Kekebalan yang didapat bukan hanya terbatas pada tempat lesi semula atau kekebalan lokal, akan tetapi pada seluruh tubuh. Walaupun demikian kelainan kulit, lamanya penyakit, hipersensifitas dan kekebalan terhadap infeksi ulangan yang ditimbulkan oleh jamur dermatofita tergantung pada kerentanan tubuh penderita dan virulensi dari jamur dermatofita tersebut.

Pada uji serologis didapatkan adanya zat anti dalam serum penderita dermatofitosis. Sedang uji hipersensitifitas pada penderita dermatofitosis dengan melakukan penyuntikan intrakutan 0,1 ml antigen jamur (larutan trichophytin) yang akan memberikan kemungkinan reaksi 3 macam yaitu :Reaksi cepat (tipe I) : berupa urtika, yang timbul 15 - 20 menit setelah penyuntikan trichophytin dan yang berperan

dari reaksi ini adalah kandungan karbohidrat dari trichophytin.Reaksi lambat (tipe IV) : reaksi urtika terlihat antara 24 - 48 jam setelah penyuntikan, pada reaksi ini kandungan

peptida dari trichophytin yang bertanggung jawab terhadap timbulnya reaksi.Reaksi eksematoid : yang dapat terlihat sampai satu minggu setelah penyuntikan.

Penderita dengan infeksi kronik T.rubrum kadang memperlihatkan reaksi negatif, tidak seperti halnya dengan infeksi T.mentagrophytes yang hampir selalu mempunyai reaksi positif terhadap trichophytin.

Hanifin JM et al (1974), melaporkan bahwa penderita dengan infeksi T.rubrum memperlihatkan reaksi cepat (47%), reaksi lambat (12%), reaksi cepat dan lambat (12%) dan tanpa reaksi (29%) dari jumlah penderita sebanyak 49 orang, sedang penderita dengan infeksi T.mentagrophytes sebanyak 14 orang memperlihatkan hasil dengan reaksi cepat tidak ada, reaksi lambat (79%), reaksi cepat dan lambat (7%) dan tanpa reaksi (14%).

Cara lain menilai adanya hipersensitifitas tipe lambat yaitu adanya respon proliferasi limfosit atau pelepasan sitokin yang dipacu oleh antigen jamur.

Antigen-antigen berdifusi ke bawah dari stratum korneum dan memacu terjadinya sensitasi primer yang diikuti oleh proliferasi limfosit yang mampu bereaksi melawan antigen. Jamur diketahui mengandung beberapa

Page 16: Dermatitis Dll

substansi antigenik termasuk polisakarida, keratinase, polipeptida dan asam ribonukleat. Antigen-antigen glikopeptida dari trichophyton, microsporum dan epidermophyton adalah antigenik yang kuat.

Penderita dengan infeksi kronis mempunyai titer antibodi terhadap jamur berupa IgG, IgM, IgA dan juga IgE. Peningkatan level IgE merupakan gambaran penting dari dermatofitosis kronik, ini dibuktikan dengan tingginya insidens hipersensitifitas tipe I dan lebih dari 50% penderita dengan infeksi T.rubrum yang kronis dapat memperlihatkan reaksi hipersensitifitas tersebut. Demikian juga halnya dengan reaksi cell mediated immune (CMI) merupakan faktor penting dari mekanisme imun saat terjadinya infeksi jamur.

Mekanisme imun non spesifikMekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi, keadaan hormonal, umur dan faktor khusus

seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa, sekresi pemukaan dan respon radang.

Respon radang merupakan mekanisme pertahanan non spesifik terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen jamur. Terdapat 2 unsur reaksi radang, yaitu unsur pertama produksi sejumlah komponen kimia yang larut dan bersifat toksik terhadap invasi organisme. Komponen kimia ini antara lain ialah lisozim, sitokin, interferon, komplemen dan protein fase akut. Unsur kedua merupakan elemen seluler, seperti netrofil dan makrofag dengan fungsi utama fagositosis, mencerna dan merusak partikel asing. Makrofag juga terlibat dalam respon imun yang spesifik. Sel-sel lain yang termasuk respon radang non spesifik ialah basofil, sel mast, eosinofil, trombosit dan sel natural killer (NK). Netrofil mempunyai peranan utama dalam pertahanan melawan infeksi jamur.

Respon seluler pada peradangan dimulai oleh leukosit polimorfonuklear (PMN). Terjadinya kemotaksis dirangsang oleh faktor yang dikeluarkan oleh jaringan yang rusak. Fungsi utama netrofil ialah fagositosis dan proses fagositosis ini dibagi dalam 2 tahap, tahap pertama sel fagosit harus melekat pada sel-sel jamur.

Komplemen bekerja sebagai opsonin. Jika komplemen C3 disajikan pada permukaan sel mikroba dengan melekatkan pada reseptor C3 netrofil maka akan memudahkan terjadinya fagositosis. Sekali perlekatan terjadi pseudopodia mengelilingi partikel jamur dan neutrofil mengalami degranulasi melepaskan lisosom. Kemudian terjadi fusi dengan fagosom dan melepaskan hasil produknya.

Setelah proses fagositosis, metabolisme oksidatif dibentuk oleh netrofil, seperti terbentuknya hidrogen peroksida dan dan beberapa metabolit oksigen yang toksik penting dalam mekanisme fungisid. Pada dermatofitosis, mekanisme ini dapat dihambat oleh pelepasan molekul, misalnya manosa. Sel mononuklear juga terlibat dengan memproduksi colony stimulating factor (CSF) yang meningkatkan netrofil untuk membunuh jamur.

Fagosit mononuklear mempunyai peranan dalam respon imun. Makrofag mencerna dan memproses antigen sebelum disajikan pada limfosit. Sel granulosit yang ini juga penting dalam pembentukan dan pengaturan respon radang. Degranulasi sel mast dan basofil mengakibatkan keluarnya bahan-bahan aktif seperti kemotaktor dan enzim yang penting dalam pembentukan dan pengaturan respon radang. Makrofag membentuk lini pertama pertahanan melawan jamur patogen.

Sistem komplemen terdiri atas 20 komponen yang mempunyai peranan pengaturan yang kompleks dalam respon radang. Komponen ini dapat diaktifkan melalui 2 jalan yaitu jalan klasik dan jalan alternatif. Pada jalan alternatif, membran sel jamur dan endotoksin mengaktifasi komplemen sebagai bagian dari respons imun non spesifik. Padajalan klasik, terjadi ikatan antara antibodi yang spesifik yaitu IgG atau IgM dengan permukaan antigen sel mikroba yang memulai sistem komplemen sebagai bagian dari respon imun spesifik.

Faktor-faktor ini menyebabkan terjadinya konversi dari komplemen C3 menjadi C3b dan mulai terjadi lisis. Komplemen fagositosis, memudahkan perlekatan sel asing dengan fagosit. Beberapa faktor komplemen juga bekerja secara langsung pada membran sel asing sehingga terjadi lisis.

Mekanisme pertahanan spesifik Limfosit T dan limfosit B merupakan sel yang berperan penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel ini

mempunyai mekanisme termasuk pengenalan dan mengingat organisme asing, sehingga terjadi amplifikasi dari kerja dan kemampuannya untuk merespon secara cepat terhadap adanya presentasi ulang dari antigen. Limfosit B bertanggung jawab terhadap respon humoral dengan memproduksi antibodi, sedangkan limfosit T berperan dalam respon seluler terhadap infeksi. Imunitas seluler sangat penting pada infeksi jamur. Kedua mekanisme ini dicetuskan oleh adanya kontak antara limfosit terhadap antigen.

Antibodi atau limfosit B tampak tidak mempunyai peranan penting dalam mengatasi invasi jamur. Diduga imunitas humoral bersama dengan sel fagosit terlibat dalam membatasi pertumbuhan hifa. Walaupun demikian masih terlalu dini untukmeniadakan peranan antibodi, karena pada dermatofit menunjukkan perubahan sitologik pada masa pertumbuhan in vitro dengan pemberian antibodi yang spesifik.

Page 17: Dermatitis Dll

Berlainan pada limfosit B, limfosit T beredar secara tetap. Bila terjadi kontak dengan antigen jamur patogen, akan merangsang terjadinya deferensiasi dan proliferasi sel membentuk populasi sel T yang spesifik . Sel ini terdiri atas sel efektor dan sel memori. Sel memori tinggal dalam sirkulasi untuk beberapa tahun dan akan mencetuskan respon yang cepat apabila terjadi paparan dengan antigen.

Limfosit T mempunyai 2 tipe, yaitu T-helper (Th) / inducer dan T-sitotoksik (Ts) / sel supresor. Sel-sel ini berada dalam rasio yang berbeda dan sel Th merupakan sel yang terbanyak. Sel Th mempunyai beberapa fungsi, seperti provisi berbagai faktor yang diperlukan untuk maturasi sel B dan memproduksi antibodi serta menstimulasi sel Ts melawan sel tumor dan sel tubuh yang telah diinvasi oleh virus. Sel Th juga mengaktifkan sel Ts yang kemudian menyebabkan down regulation atau mensupresi sel T dan sel B yang lain. Jadi terdapat suatu sistim pengaturan kembali. Mediator kimia yang lain dikeluarkan dengan mengaktifkan sel T untuk menarik makrofag pada tempat antigen berada. Kemudian diaktifasi oleh migration inhibitor factor (MIF) dari makrofag yang merangsang fagositosis secara bersamaan mencegah terjadinya migrasi makrofag.

Infeksi jamur sering dijumpai pada penderita dengan imunitas seluler. Pada manusia radang dermatofitosis mempunyai hubungan dengan reaktivitas kulit tipe lambat terhadap Trichophyton. Respon hipersensitivitas tipe lambat ini telah dibuktikan dapat menghambat jamur. Terjadinya infeksi dermatofit kronis berkaitan dengan respon limfosit T yang buruk terhadap antigen jamur spesifik. Dan hal ini berkaitan juga dengan terjadinya respon klinik yang buruk. Hal penting lain ialah bahwa subset sel Th mempunyai fungsi pengaturan imunologi yang berkaitan dengan berbagai sitokin yang dihasilkannya. Data awal menunjukkan bahwa terjadinya ketidakseimbangan antara Th1 dengan Th2 dapat menyebabkan abnormalitas imunologik pada penderita dengan infeksi jamur kronis. Terjadinya kegagalan imunitas pada infeksi jamur yang persisten dan hubungannya dengan perjalanan penyakit yang kronis belum diketahui secara pasti. Terdapat hubungan yang proporsional antara atopi dan dermatofitosis kronis dengan hipersensitivitas tipe cepat serta kenaikan kadar IgE. Hal ini diduga karena terjadinya modulasi aktifasi limfosit T baik secara lokal maupun sistemik.

REAKSI ‘ID’Merupakan reaksi kulit sekunder pada penderita dermatofitosis yang sensitif terhadap produk alergenik dari

infeksi primer, dengan predileksi yang jauh dari tempat infeksi primer. Lesi kulit muncul setelah pengobatan pada fokus primer dan elemen-elemen jamur pada lesi tidak ditemukan, reaksi trichophytin positif, erupsi kulit banyak variasinya antara lain menyerupai eritema multiforme, eritema nodosum, urtikaria, erisipelas. Erupsi dari reaksi ‘id’ ini menyembuh sendiri setelah infeksi primernya disembuhkan. Mekanisme terjadinya belum diketahui namun diduga melibatkan respon imun lokal terhadap antigen jamur dan ditemukan pada penderita dengan reaksi tipe lambat (tipe IV).

Syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk mendiagnosis reaksi ‘id’ adalah: Fokus infeksi yang mengandung elemen jamur dermatofita. Pada kelainan ‘id’ tidak ditemukan jamur dermatofita. Penyembuhan spontan bila fokus dermatofitosis disembuhkan. Reaksi positif bila disuntikkan trichophytin.

UJI KULIT

PENDAHULUANUji kulit adalah suatu metode yang digunakan secara umum dan luas untuk mengetahui adanya sensitivitas

spesifik pada penderita penyakit atopik atau setelah riwayat alergi sebelumnya. Suatu uji kulit umumnya tergantung pada kemampuannya untuk menghasilkan suatu reaksi alergi pada skala kecil dengan pemberian secara sengaja sejumlah alergen pada penderita.

Uji kulit yang biasa dipakai adalah uji tusuk (prick test), uji tempel (patch test). Uji kulit positif akan bermakna bila ada korelasi dengan anamnesis. Bila hanya hasil tes positif, dapat saja penderita tersebut sensitif terhadap alergen tertentu, tetapi belum berarti alergen tersebut sebagai penyebab gejala klinis. Untuk menghindari reaksi positif semu, maka obat-obat adrenergik, antihistamin dan kortikosteroid harus dihentikan minimal 3 x 24 jam sebelum dilakukan uji kulit, dan bilamana mempergunakan antihistamin dengan masa paruhnya lama, harus bebas dari pengaruh ini.

UJI TUSUK (PRICK TEST)

Page 18: Dermatitis Dll

Uji tusuk adalah salah satu uji kulit yang sering dipakai, uji ini digunakan sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis penyakit-penyakit atopik, urtikaria dan rinitis alergi. Merupakan suatu metode uji alergi yang banyak digunakan di poliklinik dengan prinsip uji untuk membuktikan adanya suatu IgE yang spesifik terhadap alergen yang diuji, berdasarkan reaksi hipersensitivitas tipe I.

Uji dilakukan dengan menggunakan ekstrak alergen baik dari makanan maupun hirup yang telah distandarisasi biologik.

Alergen yang digunakan terdiri dari : Alergen makanan berupa ekstrak makanan dalam bentuk cairan yang telah distandarisasi dan merupakan bahan

aslinya. Alergen hirup berupa ekstrak / cairan dari berbagai jenis alergen hirup yang umum menyebabkan alergi. Kontrol negatif berupa buffer pelarut gliserin untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi dermografisme akibat

tusukan jarum. Kontrol positif berupa larutan histamin 1% untuk memastikan peran histamin serta tidak adanya pengaruh obat

terhadap hasil uji kulit sehingga hasilnya dapat dipercaya.Keuntungan dari uji tusuk adalah : Tidak terasa nyeri dan aman. Risiko rendah untuk terjadi efek samping. Merupakan sumber informasi bagi penderita. Kesediaan penderita untuk uji tinggi. Uji dapat dilakukan di pusat-pusat kesehatan yang sederhana.

Kerugian dari uji tusuk adalah : Antihistamin topikal dan sistemik dapat menekan reaksi wheal and flare (edema setempat dan kemerahan) yang

diharapkan. Alergen makanan kurang terstandarisasi baik dibandingkan dengan alergen hidup. Rasa gatal yang tidak nyaman pada tempat uji. Interpretasinya sukar pada penderita dengan eksema atau dermografisme.

Meskipun uji ini aman, tidak nyeri dan tekniknya sederhana, namun uji ini memerlukan pelatihan dalam hal teknik pelaksanaannya dan yang lebih penting adalah interpretasi dari hasilnya. Oleh karena dengan teknik dan interpretasi yang benar serta kualifikasi alergen yang baik, maka uji tusuk ini mempunyai spesifitas yang tinggi, disamping mudah, cepat, murah, aman dan kurang traumatis. Perlu diketahui juga bahwa sebelum melakukan tes perlu anamnesis yang jelas tentang riwayat penyakit.

Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh penderita sebelum uji tusuk dilakukan adalah :1. Usia paling sedikit 3 tahun.2. Hindari obat-obat antihistamin sedikitnya 3 hari sebelum pemeriksaan kortikosteroid sebaiknya 1 hari,

antihistamin long acting lebih dari 2-3 minggu.3. Tidak terdapat riwayat syok anafilaktik.4. Tidak ada reaksi dermografisme.5. Tidak ada penyakit kulit pada tempat uji tusuk akan dilakukan.

Adapun bahan yang biasa digunakan yaitu terdiri dari alergen hirup dan alergen makanan. Yang termasuk alergen hidup adalah mite culture, house dust, mixed fungi, human dander, cat dander, grass pollen, maize pollen, rice pollan, dog dander, kecoa, chicken dander, horse dander. Alergen makanan adalah kepiting, udang, bandeng, kakap, kuning telur, putih telur, susu sapi, kacang tanah, coklat, kacang mete, teh, kopi, kerang, wortel, kedele dan tomat.Cara uji tusuk : Bagian volar lengah bawah dibersihkan dengan alkohol kemudian keringkan. Beri tanda pada tempat yang akan diuji. Teteskan 1 tetes cairan alergen ditempat yang telah diberi tanda. Gunakan jarum prick test atau jarum steril ditusukkan langsung pada tetesan cairan tadi tanpa menyebabkan

perdarahan. Jarak antara tiap tusukan kira-kira 2 cm. Jarum yang telah digunakan dipisahkan. Sisa cairan alergen yang berlebihan dikeluarkan dengan tissue yang menyerap air. Hasil uji dibaca setelah 20 menit.

Page 19: Dermatitis Dll

Dikatakan positif bila didapatkan reaksi wheal > 2 mm dibandingkan dengan buffer control. Penilaian hasil uji dapat juga tergantung pada reaksi wheal and flare yang terlihat setelah 20 menit.

0 : tidak ada reaksi apa-apa+ : eritema ringan+ : eritema yang jelas disertai papul++ : eritema yang jelas, urtika kecil+++ : eritema yang luas, urtika yang agak besar++++ : eritema yang luas, urtika yang besar dan adanya pseudopodia

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa uji tusuk ini ditunjukkan untuk menentukan adanya penyakit tropik, bukan semata-mata menentukan pencetus alerginya, akan tetapi ini mungkin tidak cukup sensitif untuk memperlihatkan suatu sensitasi yang bermakna atopik kecil digunakan antigen yang lebih pekat. Oleh karena itu uji tusuk ini biasanya dilakukan untuk menyokong suatu diagnosis urtikaria, dermatitis atopik, rinitis alergi dan faktor atopi lainnya sehingga dapat memberikan informasi yang obyektif dan bermanfaat dari hasil uji yang positif dalam hubungannya dengan riwayat klinik dan gejala yang tampak. Interpretasi hasil uji berupa kemerahan papul, urtika maupun pseudopodia. Interpretasi hasil uji dibandingkan dengan hasil dari kontrol negatif. Selain itu hasil uji ditentukan pula oleh konsentrasi dari larutan ekstrak alergen yang digunakan dan hubungannya dengan riwayat klinik meskipun hal tersebut tidak absolut.

Adanya beberapa hubungan antara riwayat klinik alergi hasil uji tusuk yang dapat terlihat, yaitu : Jika riwayat alergi dan hasil uji tusuk keduanya positif, maka penderita dianjurkan untuk menghindari alergen

penyebab yang ditemukan. Jika riwayat alergi dan hasil uji tusuk keduanya negatif, maka tidak diperlukan untuk menghindari alergen. Jika hasilnya tidak sesuai, riwayat alergi positif dan hasil uji tusuk negatif atau sebaliknya riwayat alergi negatif

dan hasil uji tusuk yang positif, maka diperlukan untuk merujuk penderita ke dokter spesiali untuk konfirmasi selanjutnya.

UJI TEMPEL

DEFINISIUji tempel adalah uji in vivo, digunakan untuk mengidentifikasikan alergen pada DKA. Uji tempel dapat

dilakukan dengan menempelkan bahan yang dicurigai dengan konsentrasi yang tidak menimbulkan iritan pada kulit yang masih utuh atau dapat dilakukan dengan menggunakan bahan standar seperti yang direkomendasi oleh North Amerika Contact Dermatitis Group (NACDG) dan International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG).

Dengan interpretasi yang benar, uji tempel dapat dipakai sebagai bukti ilmiah penyebab dermatitis, karena itu mempunyai kepentingan medikolegal.

INDIKASI UJI TEMPEL 1. Untuk membuktikan kasus-kasus yang secara klinis di diagnosis dermatitis kontak.2. Untuk menentukan alergen sebenarnya diantara sejumlah bahan yang dicurigai secara klinik.3. Untuk menentukan sensitizer kontak yang relevan tetapi klinis tidak dicurigai.4. Sebagai uji untuk memperkirakan bahan apa yang dapat ditoleransi penderita secara aman.5. Sebagai fishing expedition dalam situasi klinik yang membingungkan.6. Jika gambaran klinik dermatitis kontak uji tempel negatif, membantu untuk mendukung diagnosis selain DKA.

KONTRAINDIKASI UJI TEMPEL1. Dermatitis yang akut dan luas, karena dapat menyebabkan eksaserbasi. Kulit tempat uji harus bebas dari

dermatitis sekurang-kurangnya 2 minggu.2. Bahan yang memberi efek toksik sistemik / korosif dengan konsentrasi tinggi misalnya peptisida atau bahan

baku yang belum diketahui atau masih dalam penelitian.3. Penderita sedang mendapat prednison sistemik lebih dari 20 mg sehari atau kortikosteroid lain yang setara.

Kortikosteroid topikal pada tempat uji mempengaruhi hasil reaksi. Antihistamin tidak mempengaruhi reaksi uji tempel.

Page 20: Dermatitis Dll

UNIT UJI TEMPELBeberapa unit uji tempel telah digunakan antara lain :

1. Al test oleh Fregert (1969).2. Finn chamber oleh Pirilla (1975).3. Duhring chamber oleh Frosch dan Kligman (1979).4. Pressure test oleh Fernstorm (1954).5. True test.

1. Al TestSecara luas telah digunakan oleh ICDRG dan NACDG. Berupa kertas aluminium yang dilapisi polythen

supaya bersifat oklusif, dibagian tengah dengan jarak sedikitnya 0,5 cm (untuk melindungi dari kemungkinan reaksi plester) diletakkan kertas saring dengan diameter 1 cm yang dilekatkan dengan pemanasan, tanpa perekat atau bahan kimia. Unit Al test diletakkan pada plester impermiable dengan jarak yang memadai.Kerugian unit Al test : Reaksi terhadap polythen yang menutupi kertas aluminium. Diduga karena proses oksidasi dari polythen.

Reaksi berupa eritem, dan edem disekitar kertas saring, menyebabkan kulit lebih peka sehingga menyebabkan positif palsu.

Reaksi meluas, terutama pada reaksi yang kuat dapat meluas tidak terbatas pada selebar kertas saring. Plester harus oklusif, tidak berpori (impermiable tape) sehingga dirasakan sangat tidak nyaman oleh penderita

dan lebih sering menimbulkan reaksi dibandingkan dengan plester berpori.

2. Finn chamberMerupakan unit uji yang efektif, diperkenalkan oleh Pirila (1975), berupa cawan aluminium yang keras

dengan diameter 8 mm, bagian tepi meninggi dengan kedalaman 0,5 mm. Yang terpenting disini adalah cawan tersebut menutup rapat pada kulit dan terlihat sebagai lingkaran pada kulit waktu unit uji dilepas. Keuntungan dari Finn chamber ini adalah plester tidak harus impermiable, plester berpori dapat digunakan. Kertas saring hanya digunakan bila bahan alergen berupa larutan. Didapatkan hasil yang sama pada uji banding antara Al test dan Finn chamber yang dilaporkan oleh Cronin pada tahun 1978 (ICDRG).

3. Duhring chamberHampir sama dengan unit Al test hanya ukurannya lebih besar dengan diameter 18 mm dan diameter kertas

saring 12 mm. Hasil dikatakan lebih baik tetapi jumlah bahan yang dapat ditempelkan terbatas.

4. True testUji tempel yang siap digunakan, dimana alergen terdapat pada polimer yang hidrofilik, tersedia dalam 1

seri yaitu 24 bahan alergen.

TEMPAT PENEMPELANMagnusson dan Hersle (1966) melaporkan bahwa punggung bagian atas merupakan bagian badan yang

paling tepat untuk tempat penempelan. Bagian ini juga memberi reaksi yang paling kuat baik terhadap iritan maupun terhadap alergen. Sebaiknya tidak digunakan pada daerah yang berambut karena kontak dengan kulit berkurang.

Tempat lain yang dapat dipakai yaitu kulit punggung bagian bawah dan kulit lengan atas bagian luar.

LAMA PENEMPELAN DAN PEMBACAANDermatitis kontak alergi dapat timbul karena kontak dengan alergen pada orang yang sensitif dan alergen

harus diabsorpsi dahulu. Waktu kontak yang dibutuhkan dengan alergen di lingkungan bebas bervariasi dari beberapa detik (poison ivy) sampai beberapa hari (neomycin).

Pada umumnya, uji tempel dibaca setelah 48 jam dan dibuka kembali setelah 72 jam dan 96 jam. Segera setelah uji tempel dilepas, akibat penekanan selama 2 hari oleh plester dan unit uji tempel, kulit ditempat uji dapat terjadi eritema, sehingga reaksi uji yang lemah (eritema papel) belum dapat terlihat jelas. Oleh karena itu pembacaan hasil yang pertama sekurang-kurangnya 15 - 30 menit setelah uji tempel dilepas.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan penderita selama uji tempel ini dilakukan, yaitu : Tidak mandi / membasahi tempat uji.

Page 21: Dermatitis Dll

Tidak melakukan aktivitas fisik yang menyebabkan berkeringat. Bila pada tempat uji terasa pedih dan sangat gatal penderia dapat membuka uji tempel. Hindari gesekan pada tempat uji. Hindari sinar matahari / ultraviolet. Bila lepas segera dilekatkan kembali dengan plester baru.

HASIL UJI TEMPELBeberapa kemungkinan hasil reaksi uji tempel yang dapat terjadi yaitu:

1. Reaksi alergi.2. Reaksi iritasi.3. Reaksi positif semu.4. Reaksi negatif semu.

1. Reaksi alergiHasil uji tempel positif ditunjukkan dengan adanya reaksi alergi berupa :

Eritem dengan indurasi yang dapat dipalpasi, disertai papel, vesikel / bulla (tergantung intensitas reaksi). Intensitas reaksi dapat meningkat dalam 2 - 4 hari. Reaksi menetap lebih dari 4 hari. Rasa gatal.

Terdapat 2 pedoman dalam penilaian hasil uji tempel, antaral lain :1. Menurut ICDRG :

? : reaksi meragukan, hanya eritem+ : reaksi positif lemah (non-vesikular), eritem, infiltrat kemungkinan papul++ : reaksi positif kuat (vesikular), eritem, infiltrat, papul, vesikel+++ : reaksi positif berlebihan, reaksi bulosaIR : reaksi iritan dengan jenis yang berbeda-bedaNT : tidak dilakukan uji.

2. Menurut Fisher :0 : tidak ada reaksi+ : eritem++ : eritem dan papul+++ : eritem, papul dan vesikel++++ : edema yang nyata dan vesikel.

Meskipun jarang, dapat terjadi reaksi alergi lambat yang timbul 6 hari atau lebih setelah dilakukan uji tempel yang menunjukkan sensitisasi uji tempel.

2. Reaksi iritasiBila timbul reaksi iritasi harus dicatat sebagai reaksi iritasi positif. Reaksi iritasi biasanya berbatas jelas,

sesuai dengan tempat penempelan dan tampak paling kuat saat uji tempel dilepas kemudian melemah dalam 1 - 4 hari sesudahnya.

Beberapa bentuk reaksi iritasi antara lain : Eritema tanpa infiltrasi biasanya hilang dalam 1 hari setelah uji tempel dilepas. Bintik-bintik erosi tanpa infiltrasi terbatas pada daerah uji sering karena bahan alkali. Glazed reaction, kulit merah kecoklatan dengan permukaan mengkilap, tidak rata dan tanpa infiltrasi, terbatas

pada tempat penempelan (terutama bila karena sabun / deterjen). Bulla tanpa eritem disekitarnya, terbatas pada tempat penempelan, dapat berisi pus steril. Ulserasi pada reaksi yang berat.

3. Reaksi positif semu

Page 22: Dermatitis Dll

Terjadi bila hasil uji tempel memberi reaksi positif pada penderita yang sebenarnya tidak menderita kontak alergi. Reaksi positif semu sebagian besar merupakan reaksi iritasi yang sukar dibedakan dengan reaksi alergi.

Beberapa faktor penyebab reaksi positif semu yaitu :a) Bahan alergen yang salah :

menggunakan bahan iritan (karena tidak dikenal) ; tercemar (alergen lain atau bahan iritan) ; konsentrasi terlalu tinggi ; akibat tekanan (alergen padat, misalnya kulit, kayu).

b) Kulit penderita hiper reaktif (angry back syndrome, Mitchel 1975) : alegen lain positif ; reaksi plester ; status eksematikus.

c) Rogue positif (Fisher) : reaksi uji tempel positif kuat tetapi bila diulang menjadi negatif, penyebabnya tidak diketahui.

d) Artefak : penderita dengan sengaja menggaruk atau menyebabkan iritasi di tempat uji biasanya berhubungan dengan kompensasi.

4. Reaksi negatif semuHasi uji tempel gagal memberi reaksi positif pada penderita yang menderita DKA. Kegagalan ini dapat

disebabkan karena penderita tidak di uji dengan bahan alergen yang betul akibat anamnesis yang tidak cermat.Faktor yang berpengaruh terjadinya reaksi negatif semu :

a) Bahan alergen : konsentrasi terlalu rendah / jumlah terlalu sedikit ; absorpsi di kulit tidak sempurna ; tercampur dengan kortikosteroid ; kertas saring menahan alergen ; bahan pembawa kurang melepaskan alergen / kurang homogen ; alergen bersifat fotosensitiser.

b) Teknik uji tempel : tidak oklusif ; uji tempel lepas ; pembacaan terlalu cepat.

c) Penderita : fase refrakter (segera setelah menderita DKA yang berat) ; mendapat steroid sistemik.

RELEVANSI HASIL UJI TEMPELUntuk menilai hasil uji tempel diperlukan pengalaman klinik, bila hasilnya meragukan uji tempel dapat

diulang. Reaksi alergi biasanya memberi hasil positif yang sama sedang reaksi iritasi tidak selalu pada uji ulang. Reaksi uji tempel positif menunjukkan penderita sudah mengalami kontak dan sensitisasi dengan bahan alergen yang diuji. Bahan-bahan alergen ini dapat merupakan bahan kimia tunggal, bagian dari campuran bahan kimia atau merupakan reaksi silang.

Menurut Cronin (1980) reaksi positif dikatakan present relevance apabila alergen tersebut sebagai penyebab pasti dermatitisnya. Umumnya alergen ini hanya sebagai faktor yang memperberat penyakitnya. Past relevance diartikan untuk dermatitis kontak yang terjadi pada waktu lampau, yang tidak pernah terpapar lagi. Sedangkan relevance unexplained berarti pemeriksa tidak mengetahui alergen penyebabnya.

Maibach dan Epstein (1985), Maibach dan Larsen (1995) memakai istilah relevan lengkap apabila alergen yang diduga merupakan penyebab dermatitisnya, relevan parsial berarti alergen yang menyebabkan uji positif menyokong atau memberatkan dermatitisnya, sedang tidak relevan apabila alergen tidak ada hubungan dengan dermatitisnya.

MACAM-MACAM TEKNIK PELAKSANAAN UJI TEMPEL

Page 23: Dermatitis Dll

Uji tempel terbuka : untuk bahan yang mudah menguap dan bersifat iritan pada keadaan tertutup. Umumnya dilakukan dibelakang telinga dan pembacaan dilakukan 24 jam kemudian.

Uji tempel tertutup : untuk bahan standar yang telah disediakan misalnya oleh ICDRG. Apabila bahan yang dicurigai bukan merupakan bahan standar, sebaiknya dilakukan pengenceran terlebih dahulu (1 : 1000 / 1 : 100). Uji ini dilaksanakan di punggung atau lengan atas dan dibaca 48 jam kemudian.

Uji tempel dengan sinar : untuk bahan yang bersifat sensitizer-foto. Pelaksanaan teknik ini sama dengan uji tempel tertutup, hanya dilaksanakan secara duplo satu deret dipakai sebagai kontrol.

SEL LIMFOSIT TLimfosi T adalah sel yang berperan dalam sistim imunitas seluler (SIS), sebagai mediator dalam reaksi

imun tipe lambat. DKA adalah salah satu contoh imun tipe lambat, dimana faktor limfosit T berperan di sini. Limfosit T dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi proliferasi dan diferensiasi terjadi dalam kelenjar timus. Sel limfosit total terdiri dari sel limfosit T, sel limfosit B dan sebagian kecil sel nul.

Jumlah limfosit T yang beredar dalam darah tepi seorang dewasa sehat berkisar antara 75 - 85%, 65 - 75%, 65 - 80% dan 60 - 70%. Identifikasi dan penghitungan sel limfosit T ini berdasarkan kesanggupannya untuk mengikat eritrosit domba dan membentuk rosette. Apabila sel limfosit T diinkubasikan dengan sel eritrosit domba, maka sel eritrosit ini akan melekat pada permukaan sel limfosit T, sedangkan limfosit B dan sel nul tidak memiliki reseptor khas untuk eritrosit domba ini, sehingga jumlah dari sel limfosit yang mengikat dan membentuk rosette dengan eritrosit domba merupakan jumlah dari sel limfosit T. Sel limfosit T terdiri dari sel T-helper (Th / T4) yang mempunyai fungsi menaikkan produksi antibodi dan sel T-supresor (Ts / T8) yang berfungsi menekan pembentukan antibodi.