DELINIASI KAWASAN HUTAN

Embed Size (px)

Citation preview

DELINIASI KAWASAN HUTAN PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam perencanaan pemanenan hasil hutan dan pembukaan wilayah hutan terdapat areal atau tempat-tempat yang perlu dilindungi agar kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan pemanenan hasil hutan dan pembukaan wilayah hutan dapat diminimalkan (Muhdi, 2002). Berdasarkan buku Pedoman Penyusunan Dokumen AMDAL Bidang Kehutanan yang diterbitkan oleh Pusat Standardisasi dan Lingkungan Dephut, jenis kawasan lindung yang mungkin berada di areal konsesi Unit Manajemen atau berbatasan langsung dengannya antara lain: 1. Hutan Lindung; 2. Kawasan hutan: dengan skoring faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah dan curah hujan > 175 (SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980); dengan lereng lapangan > 40%; dengan ketinggian > 2.000 m; dan dengan lereng lapangan > 15% untuk jenis tanah sangat peka erosi (regosol, litosol, organosol dan renzina); 3. Kawasan bergambut di hulu sungai dan rawa (tebal > 3 m); 4. Kawasan resapan air; 5. Sempadan pantai (100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat); 6. Sempadan sungai: sungai kecil (lebar < 30 m) lebar sempadan 50 M; sungai besar (lebar > 30 m) lebar sempadan 100 m; 7. Kawasan sekitar danau/waduk dengan lebar sempadan 100 m; 8. Kawasan sekitar mata air dengan radius 200 m; 9. Kawasan Suaka Alam (cagar alam dan suaka margasatwa); 10. Kawasan Pelestarian Alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam); 11. Buffer zone hutan lindung, lebar 500 m (telah ditata batas) atau 1.000 m (belum ditata batas); 12. Buffer zone Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam, lebar 500 m (telah ditata batas) atau 1.000 m (belum ditata batas); 13. Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN); 14. Kawasan pengungsian/perlindungan satwa liar;

15. Kawasan pantai berhutan mangrove: lebar 50 m dari tepi hutan menghadap ke arah pantai; lebar 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan yang diukur dari garis surut terendah dan titik pasang tertinggi; lebar 10 m dari tepi hutan menghadap ke arah sungai; 16. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan: Daerah Karst (kering dan berair); daerah dengan budaya masyarakat istimewa; dan kawasan lokasi situs purbakala/peninggalan sejarah bernilai tinggi; 17. Kawasan rawan bencana alam; dan 18. Hutan produksi alam yang masih tetap dipertahankan keberadaannya dalam areal kerja. Pemahaman terhadap jenis-jenis kawasan lindung ini akan membantu Unit Manajemen untuk mengambil tindakan pengelolaan yang diperlukan. Tindakan pengelolaan kawasan lindung diarahkan untuk menjamin kelestarian fungsi ekologi, yaitu terjaminnya fungsi hutan sebagai sistem penyangga kehidupan berbagai spesies asli dan ekosistem di dalam Unit Manajemen

Tujuan Adapun tujuan dari praktikum yang berjudul Deliniasi Kawasan Lindung adalah: 1. Untuk mengetahui dan menentukan daerah yang dilindungi. 2. Untuk mengetahui luas areal kawasan yang dilindungi. 3. Untuk mengetahui luas total areal produksi.

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam suatu rencana pemenenan kayu diperlukan suatu formulasi rencana. Salah satu formulasi dari perencanaan tersebut adalah pendelinasian batas areal yang cocok untuk suatu metode. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memilah-milah areal hutan yang aman untuk dipanen kedalam satuan-satuan yang lebih kecil yang dirincikan dengan metode pemanenan silvikultur yang dianut. Pada suatu areal akan terdapat variasi pembagian suatu areal sebagai berikut: 1. Sistem mekanis dengan traktor, sistem silvikultur tebang pilih 2. Sistem mekanis dengan kabel, sistem silvikultur tebang pilih 3. Sistem mekanis dengan traktor, sistem silvikultur tebang habis 4. Sistem mekanis dengan kabel, sistem silvikultur tebang habis 5. Sistem manual, sistem silvikultur tebang pilih 6. Sistem manual, sistem silvikultur tebang habis, dan lain-lain (Muhdi, 2006).

Untuk meminimalkan pembukaan kawasan hutan dapat dilakukan dengan menetapkan areal/kawasan lindung, yang merupakan kawasan yang tidak boleh dipanen kayunya dan tidak boleh diganggu dalam melaksanakan kegiatan pemanenan kayu dan harus dihindari dalam pembangunan prasarana pengembangan wilayah, seperti kawasan kanan-kiri sungai, kawasan berbatu-batu atau daerah yang dianggap keramat, kawasan di tepi danau atau mata air dan jurang serta kawasan tebing curam (Muhdi,2002). Berdasarkan ketentuan penebangan dalam Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dinyatakan bahwa ada salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pemanenan hutan, yakni semua pohon yang berjarak (radius) 50 m dari sumber mata air, saka alam atau suaka margasatwa, jalur vegetasi sepanjang jalan raya/ provinsi, pohon pada jarak 100 m dari daerah yang mengandung nilai estetika dan semua pohon pada jarak 200 m dari tepi sungai atau pantai (Departemen Kehutanan, 1993). Proses hidrologi yang terjadi di suatu Daerah Aliran Sungai berkaitan dengan terjadinya erosi, transpor sedimen, dan deposisi sedimen di bagian hilir. Perubahan tata guna lahan dan praktek pengelolaan DAS juga akan mempengaruhi terjadinya erosi dan sedimentasi (Surgawan, 2004). Penetapan Kawasan Hutan adalah suatu bukti bahwa kawasan tidak di bebani hak, seperti tercantum dalam UUK. Hal ini yang menjamin bahwa tidak adanya tumpang tindih penguasaan atas kawasan hutan atau dapat dikatakan pula sebagai kawasan hutan tetap. Penetapan Kawasan Hutan dilakukan melalui proses pengukuhan yang meliputi, penunjukkan kawasan hutan (oleh Menteri), penatabatasan kawasan hutan (oleh pemda bersama-sama dengan masyarakat) serta penetapan kawasan hutan jika penataan batas telah mencapai temu gelang (oleh Menteri). Ini semua diatur dalam berbagai peraturan perundangan bidang kehutanan antara lain UUK, PP 44/2004 tentangg Perencanaan Hutan, SK Menhut no 32/2001 dan SK Menhut 70/2001 serta kebijakan lain yang berkaitan dengan keberadaan Panitia Tata Batas (masyarakat, BPN instansi terkait sebagai anggotanya). Demikian pula sejalan dengan salah satu kebijakan prioritas departemen Kehutanan yaitu pemantapan kawasan hutan (mempercepat proses penetapan kawasan hutan). Penetapan kawasan hutan diikuti dengan penataan batas areal kerja Unit Manajemen (UM). Hal ini untuk menjamin dikeluarkannya lahan lahan yang tidak produktif dan masih adanya klaim masyarakat dari wilayah kerja Usaha Manajemen Kehutanan, dan berkaitan dengan perhitungan jatah tebang tahunan suatu unit manajemen (Anonim, 2009).

Tujuan penegasan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana batas spasial suatu status hukum, mulai dari kepemilikan, hak guna, batas peruntukan dalam tata ruang, tanggung jawab pemerintahan, perpajakan, hingga untuk menentukan luas area guna menghitung potensi sumber daya, kepadatan penduduk hingga dana perimbangan daerah. Pekerjaan ini mencakup: 1. penetapan batas dari aspek yuridis; 2. pengukuran koordinat batas di lapangan; 3. pemetaan kawasan perbatasan di atas peta ataupun di atas basis data digital. Fakta saat ini, penegasan batas wilayah masih jauh dari memadai. Salah satu kendala yang dihadapi adalah teknologi. Pada tulisan ini akan dikupas berbagai jenis teknologi dalam penegasan batas wilayah, baik dari segi penetapan, pengukuran maupun pemetaan (Amhar, dkk, 2001).

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Adapun Praktikum Pemanenan Hasil Hutan yang berjudul Deliniasi Kawasan Lindung ini dilaksanakan pada hari Rabu, 16 September 2009, pukul 10.00 WIB sampai dengan selesai di ruangan ruang 202 Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Bahan dan Alat Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum adalah sebagai berikut : 1. Peta kontur dengan skala 1:10.000 sebagai peta yang akan ditentukan delinasi kawasan lindungnya. 2. Buku data sebagai tempat mencatat data. Adapun alat yang digunakan dalam praktikum adalah sebagai berikut : 1. Penggaris, untuk mengukur jarak dan menghubungkan titik satu dengan titik lainnya 2. Alat tulis/pensil, untuk membuat garis dan mencatat data 3. Penghapus, untuk menghapus data yang salah 4. Pena warna, untuk memperjelas sungai dan batas kanan-kiri sungai

5. Kalkulator, untuk alat penghitung. Prosedur 1. Dibuat delinasi areal kawasan lindung berdasarkan ketentuan sebagai berikut:

Daerah radius 200 m dari tepi sungai atau kawasan lindung, mata air 12 ha, minimal 100 m dari tepi danau atau pantai laut yang diukur dari pasang tertinggi ke arah darat minimal 100 m dari kanan kiri sungai besar dan 50 m kanan kiri anak sungai yang berada di luar pemukiman dan dimulai dari sungai ordo 3.

Jurang dan tebing curam

Lokasi yang ditetapkan sebagai areal konservasi dan penelitian

Jarak 500 m dari batas persekutuan dan jarak 1.000 m dari batas luar areal hutan yang belum dikukuhkan. 2. Ditentukan areal kawasan fungsi hutan yang telah diketahui pada saat menentukan klasifikasi kemiringan lapangan. Dengan ketentuan nilai kelas dikalikan dengan curah hujan, kesuburan tanah dan kemiringan lapangan Kriteria peubah untuk menentukan hutan produksi/ lindung: 1. Kemiringan lapangan bobot 20 2. Intensitas curah hujan bobot 10 3. Jenis tanah bobot 15 Jika ketiga peubah dari perhitungan:

1. Maksimum 125 (< 125), termasuk hutan produksi 2. Skor 125 175, termasuk hutan produksi terbatas 3. Skor > 175, termasuk hutan lindung 3. Ditentukan luasan sungai dengan menentukan ordonya terlebih dahulu. 4. Ordo yang telah diketahui datanya dimasukkan dalam tabel seperti berikut. Tabel 1. tabel contoh luasan sungai Ordo I II III IV Total Panjang Ordo (cm) Panjang Ordo (m) Luas (m3) Luas (ha) Luas (%)

hulu Ketentuan: (Ordo + Ordo) 1+1=2 2+2=2 2+3=3

hilir HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Adapun hasil dari praktikum yang berjudul Deliniasi Kawasan Lindung adalah: Tabel 2. Luasan ordo sungai Ordo Panjang Ordo (cm) Panjang Ordo (m) Luas (m3) Luas (ha) Luas (%)

I II III IV Total

110,8 101,9 20,4 25,5 268,6

11080 10190 2040 3550 26800

221600 305700 81600 177500 786400

22,16 30,57 8,16 17,75 78,64

28,18 38,88 10,37 22,57 100

Pembahasan Berdasarkan data yang telah didapat sebelumnya kawasan hutan Sumalindo termasuk dalam kawasan hutan produksi yang sebagian besar merupakan hutan produksi terbatas. Kawasan hutan ini bukan merupakan kawasan hutan lindung, karena sedikitpun areal hutan tersebut tidak masuk dalam kategori hutan lindung. Kawasan ini memiliki sungai yang cukup panjang dan luas yakni mencapai 78,64 ha atau sekitar 3,85 % dari luasan hutan. Dalam prinsip pemanenan hutan dinyatakan bahwa untuk mengambil hasil dari alam perlu memperhatikan berbagai faktor salah satunya adalah faktor ekologi dengan berbagai sistem pemanenan yang dianggap praktis dan layak digunakan. Hal ini sesuai dengan literatur Muhdi (2006) yang menyatakan bahwa dalam suatu rencana pemenenan kayu diperlukan suatu formulasi rencana. Salah satu formulasi dari perencanaan tersebut adalah pendelinasian batas areal yang cocok untuk suatu metode. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memilah-milah areal hutan yang aman untuk dipanen kedalam satuan-satuan yang lebih kecil yang dirincikan dengan metode pemanenan silvikultur yang dianut. Pemanenan di hutan Sumalindo haruslah memperhatikan prinsip pembukaan kawasan hutan yang benar, karena berdasarkan data yang didapat hutan Sumalindo memiliki kawasan sungai yang dalam prinsipnya harus diperhatikan jika melakukan pemanenan. Hal ini sesuai dengan literatur Muhdi (2002) yang menyatakan bahwa untuk meminimalkan pembukaan kawasan hutan dapat dilakukan dengan menetapkan areal/kawasan lindung, yang merupakan kawasan yang tidak boleh dipanen kayunya dan tidak boleh diganggu dalam melaksanakan kegiatan pemanenan kayu dan harus dihindari dalam pembangunan prasarana pengembangan wilayah, seperti kawasan kanan-kiri sungai, kawasan berbatu-batu atau daerah yang dianggap keramat, kawasan di tepi danau atau mata air dan jurang serta kawasan tebing curam. Hal senada juga dinyatakan dalam literatur Departemen Kehutanan (1993) yang menyatakan bahwa pohon pada jarak 100 m

dari daerah yang mengandung nilai estetika dan semua pohon pada jarak 200 m dari tepi sungai atau pantai. Penetapan batas di lapangan baik itu kawasan berdasarkan fungsinya maupun batasan pemanenan adalah beberapa hal yang tidak boleh dipandang sebelah mata karena dua hal ini akan menentukan keberhasilah suatu tindakan pemanenan karena akan menentukan status kawasan tersebut. Hal ini sesuai dengan literatur Amhar (2001) yang menyatakan bahwa Tujuan penegasan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana batas spasial suatu status hukum, mulai dari kepemilikan, hak guna, batas peruntukan dalam tata ruang, tanggung jawab pemerintahan, perpajakan, hingga untuk menentukan luas area guna menghitung potensi sumber daya, kepadatan penduduk hingga dana perimbangan daerah. Pekerjaan ini mencakup penetapan batas dari aspek yuridis, pengukuran koordinat batas di lapangan, pemetaan kawasan perbatasan di atas peta ataupun di atas basis data digital. Fakta saat ini, penegasan batas wilayah masih jauh dari memadai. Salah satu kendala yang dihadapi adalah teknologi. Pada tulisan ini akan dikupas berbagai jenis teknologi dalam penegasan batas wilayah, baik dari segi penetapan, pengukuran maupun pemetaan. Hal ini juga sesuai dengan literatur Anonim (2009) yang menyatakan salah satu kebijakan prioritas departemen Kehutanan yaitu pemantapan kawasan hutan. Penetapan kawasan hutan diikuti dengan penataan batas areal kerja Unit Manajemen (UM). Hal ini untuk menjamin dikeluarkannya lahan lahan yang tidak produktif dan masih adanya klaim masyarakat dari wilayah kerja Usaha Manajemen Kehutanan. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Hutan Sumalindo merupakan kawasan hutan produksi yang sebagian besar juga tergolong dalam hutan produksi terbatas dengan luas total produksi sebesar 2.044, 76 ha (berdasarkan laporan klasifikasi kemiringan lapangan). 2.

Kawasan Hutan Sumalindo memiliki daerah yang dilindungi berupa sungai yang cukup panjang dan luas yakni mencapai 78,64 ha atau sekitar 3,85 % dari luasan hutan. 3. Dalam pemanenan hutan hal yang perlu diperhatikan bukanlah nilai ekonomi tetapi juga menyangkut kepada nilai ekologinya.

Saran Walaupun hutan Sumalindo tergolong dalam hutan produksi dan produksi terbatas, hendaknya beberapa areal dianggap sebagai kawasan lindung walaupun tidak memenuhi kriteria. Hendaknya mahasiswa menganggap pekerjaan ini sebagai proyek bagi dirinya sendiri sehingga serius dalam menghitung data dan menganalisa kawasan yang dilindungi.

DAFTAR PUSTAKA

Amhar F., Tri P., Anas K. 2001. Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah Sebuah Tinjauan Komprehensif. Geo-Informatika. Jakarta (Jurnal)

Anonim. 2009. Usaha Sistematis Penurunan Kriteria Legalitas Kayu- Meminggirkan Aspek Sosial. http://rullysyumanda.org [29 September 2009] [17.56 WIB]. Departemen Kehutanan. 1993. Pedoman dan Petujuk Teknis Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Dirjen Pengusahaan Hutan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia Jakarta. Departemen Kehutanan. . Standarisasi dan Lingkungan Kehutanan. http://www.dephut.go.id [24 September 2009] [17.05]. Muhdi. 2002. Penuntun Praktikum Pemanenan Hutan. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. Muhdi. 2006. Pemanenan Hasil Hutan (Buku Ajar). Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. Surgawan, I. K. F. 2004. Analisa Tingkat Kekritisan Daerah Aliran Sungai. Malang. Read more: http://juliusthh07.blogspot.com/2010/02/deliniasi-kawasanhutan.html#ixzz1q01xHohr

KLASIFIKASI KEMIRINGAN LAPANGANPENDAHULUAN Latar Belakang Klasifikasi lapangan di bidang kehutanan adalah penggambaran dan pengelompokan areal hutan berdasarkan sifat-sifat dapat tidaknya diterapkan sistem kerja atau mesin-mesin tertentu di areal tersebut dan kepekaan lapangan terutama terhadap kerusakan tanah dan erosi yang disebabkan oleh tindakan-tindakan pengelolaan hutan (Elias, 1997). Garis kontur adalah garis pada peta yang menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketinggian yang sama. Garis ini sering pula disebut garis tranches, garis tinggi dan garis lengkung horizontal. Demikian garis kontur + 101 m berarti garis menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketinggian + 101 m. garis-garis kontur dapat dibayangkan sebagai proyeksi yang menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketinggian permukaan dalam bentuk dan ukuran yang kecil. Pada waktu perencanaan tanah perumahan, pendiri bangunan akan memanfaatkan ketinggian alamiah tanahnya. Rumahnya yang dibangun pada ketinggian yang berbeda-beda tampak tampak

lebih menarik dan lebih indah. Karena itu, denah lokasi harus dapat menunjukan naik turunnya permukaan tanah atau relief permukaan tanah, caranya bermacam-macam misalnya dengan tinggi bentuk, penggarisan bukit penandaan dengan garis pendek-pendek dari pembuatan garisgaris kontur. Cara yang terakhir ini adalah cara yang paling tajam untuk dipakai. Dalam pembuatan klasifikasi kemiringan lapangan ada yang disebut dengan garis kontur. Kontur atau garis tinggi merupakan garis yang menghubungkan titik-titik yang sama tingginya dari permukaan laut. Suatu peta yang dilengkapi dengan garis-garis kontur dapat memberi gambaran tentang lapangan yang sebenarnya tanpa melihat langsung di lapangan. Untuk dapat melukiskan garis-garis kontur dengan bersangkutan sebanyak mungkin, apabila lapangan yang diberi garisgaris konturnya cukup luas, maka tempat menempatkan alat ukur diperlukan pula lebih dari satu titik. Dimana setiap tempat kedudukan alat ukur diperlukan pula lebih dari satu titik. Dimana setiap tempat kedudukan alat yang satu dengan yang lain saling terkait. Klasifikasi lapangan di bidang kehutanan adalah penggambaran dan penggelompokan areal hutan berdasarkan sifat-sifat dapat tidaknya diterapkan sistem kerja atau mesin-mesin tertentu di areal tersebut dan kepekaannya di lapangan terutama terhadap kerusakan tanah dan erosi yang disebabkan oleh tindakan-tindakan dalam pengelolaan kegiatan hutan. Peta menurut isinya dapat dibedakan menjadi delapan, yaitu: peta rupa bumi, tanah dan geologi, iklim dan hidrologi, liputan lahan, jaringan jalan dan irigasi, kadasteral, hidrografi dan kelas lerang. Peta kelas lereng adalah peta yang memuat informasi tentang kelas-kelas lereng lapangan mulai dari datar, landai, sedang dan curam, bahkan sangat curam. Klasifikasi tersebut lebih ditekankan pada standar teknis jalan angkutan, dimana untuk daerah datar kemiringan tanjakan maksimal 5%. sedangkan daerah yang sedang 6-7%, dan untuk daerah yang curam tanjakan jalan ditolerir sebesar 8-10%. klasifikasi lapangan dibidang kehutanan dimulai antara tahun 1960 di Skandinavial. Penerapannya secara luas didalam kegiatan kehutanan terdapat di Skandinavia, Inggris, Prancis, Italia, Kanada, Uni Soviet, Jepang dan beberapa tempat Afrika, terutama di Gabun. Dalam suatu areal hutan dengan areal total yang diketahui dengan pasti, prisip ini menentukan proporsi luas total yang ditempati oleh luas hutan tertentu. Taksiran proporsi ini diberikan melalui penempatan sistematik baik dengan

titik-titik, dimana masing-masing titik menentukan nilai 1 bila berada didalam kelas hutan atau 0 bila berada diluarnya (Sistem dot-grid).

Atau garis-garis sejajar (transek)yang masing-masing menyatakan bagian dari panjangnya garis yang berada di kelas hutan; sistem transek ini kurang dipakai dibanding sistem dot-grid karena panjangnya harus diukur.

Tujuan Adapun tujuan dari praktikum klasifikasi kemiringan lapangan adalah: 1. Untuk menentukan kelas kemiringan lapangan 2. Penentuan luas areal hutan berdasarkan fungsi kawasan hutan 3. Untuk mengetahui persentase kemiringan lapangan 4. Untuk menentukan fungsi kawasan lapangan

TINJAUAN PUSTAKA

Kemiringan lapangan di bidang kehutanan menggambarkan dan mengelompokkan areal hutan berdasarkan sifat-sifat dapat tidaknya diterapkan sistem kerja atau mesin-mesin tertentu di areal tersebut dan kepekaan lapangan terutama terhadap kerusakan tanah dan erosi yang disebabkan dalam kegiatan-kegiatan hutan. Klasifikasi lapangan di bidang kehutanan dapat dibedakan menjadi klasifikasi primer dan skunder. Klasifikasi primer menggambarkan areal hutan

berdasarkan sifat lapangan yang tidak berubah, sedangkan skunder berdasarkan kemungkinan terbaik aplikasi sistem kerja/mesin di areal tersebut (Muhdi, 2002). Garis kontur ialah garis khayal yang digambarkan pada daerah yang menghubungkan semua titik yang ketinggiannya sama, di atas atau di bawah dataran tertentu. Konsep garis kontur tersebut dapat dengan mudah dipahami jika kita membayangkan sebuah kolam. Jika air benar-benar dalam keadaan tenang, tepi air akan berada pada ketinggian yang sama dengan sekeliling kolam, membentuk sebuah garis kontur. Jika air diturunkan 5 meter, tepi air akan membentuk garis kontur kedua. Penurunan ketinggian air selanjutnya akan menghasilkan garis kontur yang kontiniu dan tidak dapat bertemu atau berpotongan dengan garis kontur yang lain. Demikian jugagaris kontur ridak dapat membelah atau tidak dapat bergabung dengan garis kontur yang lain, kecuali pada batu karang atau daerah yang mengajur. Tanda pasang surut yang dibuat oleh air laut ialah garis kontur dengan nilai nol meter (Irvine, 1995). Salah satu metode yang digunakan dalam mengukur suatu luasan areal adalah metode kisi-kisi. Metode ini merupakan metode menghitung luas pada lembaran kalkir atau plastik transparan digambarkan garis memanjang dan melintang pada interval tertentu dan ditempatkan di atas gambar tersebut diatas garis-garis pembatas. Apabila garis memotong petakan-petakan maka bagiannya harus dibaca secara proporsional (Gayo, 2005). Klasifikasi hutan secara garis besar biasanya bermanfaat untuk perencanaan makro. Untuk menyusun rencana operasional, diperlukan klasifikasi lebih rinci. Di dalam kawasan hutan tropika basah, peranan potret udara sangat untuk membuat klasifikasi yang lebih teliti. Disini sering kali informasi tambahan dari pengecekan lebih diperlukan, walaupun dalam jumlah kecil (Simon, 2007). Dalam mengukur jarak antara dua titik pada lereng curam mungkinlebih baik meletakkan pita pada lerengnya dan menentukan sudut miring alpa, atau beta dalam deviasi, daripada menentukan pembagian pita setiap beberapa feet. Pita-pita panjang (200 dan 500 ft) lebih menguntungkan untuk pengukuran pada lereng (sungai maupun jurang), dan dari beberapa operasi militer (Brinker dan Paul, 1986). Prinsip hitung titik atau teknik kisi garis pada penentuan luas kelas hutan tanpa menggunakan luas hutan tanpa menggunakan pengetahuan interpretasi potret udara. Jalur survei dibuat berselang di lapangan dan persentase areal yang dijajah di dalam suatu kertas areal hutan tertentu ditentukan baik dari proporsi panjang garis survei di dalam kelas itu, atau dari banyaknya petak

ukur yang diambil secara sistematik di dalam kelas tersebut. Survey yang sama dimanfaatkan untuk mengubah data yng sama untuk taksiran volume atau pertumbuhan. Dengan menggunakan interaksi atau titik, pemeriksaan dapat dilakukan pada selang-selang waktu pada hamparan yang ditebangi pesawat dari setiap titik yabg jatuh pada suatu kategori hutan atau klsifikasi hutan yang dicatat (Husch, 1987). Garis kontur adalah sebuah garis yang menggambarkan peta yang menghubungkan semua titik dan memiliki ketinggian yang sama. Adapun sifat-sifat garis kontur, yaitu: 1. Jarak horizontal dua buah garis kontur akan semakin sejajar satu sama lain. 2. Pada tanah dengan lereng seragam maka garis kontur akan semakin sejajar satu sama lain. 3. Garis kontur tidak akan berpotongan satu sama lain kecuali pada keadaan khusus. 4. Pada permukaan datar kontur akan beranjak secara bersamaan dan tidak akan terletak bersamaan (Ligfensink, 1937).

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Adapun Praktikum Pemanenan Hasil Hutan yang berjudul Klasifikasi Kemiringan Lapangan ini dilaksanakan pada hari Kamis, 3 September 2009, pukul 14.00 WIB sampai dengan selesai di ruangan ruang 202 Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Bahan dan Alat Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum adalah sebagai berikut : 1. Peta kontur dengan skala 1:10.000 sebagai peta yang kemiringan lapangannya akan ditentukan 2. Buku data sebagai tempat mencatat data. Adapun alat yang digunakan dalam praktikum adalah sebagai berikut : 1. Penggaris, untuk mengukur jarak dan menghubungkan titik satu dengan titik lainnya 2. Alat tulis/pensil, untuk membuat garis dan mencatat data 3. Penghapus, untuk menghapus data yang salah 4. Pena warna, untuk memperjelas kontur/jalan trase 5.

Dot grid, untuk menghitung luas 6. Kalkulator, untuk alat penghitung 7. Pensil warna, untuk mewarnai peta sesuai dengan klasifikasi kemiringannya Prosedur Praktikum 1. Ditentukan titik pasti, dapat berupa percabangan, sungai, gunung, dan jembatan 2. Ditentukan koordinat P(0,0) pada titik pasti kemudidan ditarik garis dan membentuk petak dengan ukuran 2x2 cm, kemudian ditarik 2 garis diagonal pada masing-masing petak 3. Diberi penomoran dan koordinat pada masing-masing petak sesuai dengan arah utara mata angin (dari sudut kiri ke kanan mengikuti arah jalur ular). 4. Ditentukan titik diagonal pada setiap petak 5. Ditarik garis tegak lurus terhadap garis kontur dari titik diagonal ke garis kontur paling jauh, seperti gambar berikut:

2 cm

Gambar 1. garis tegak lurus kontur

6. Ditentukan beda tinggi (H) tempat garis kontur dengan syarat garis konturnya terbayak, terapat, dan terjauh menggunakan rumus sebagai berikut: H = + (I x i) 7. Diukur jarak antar garis kontur (x) dalam satuan cm. 8. Hitung kemiringan lapangan, dengan cara: Y = x x 100% Keterangan: a = jarak terdekat (cm) b = jarak terjauh (cm) i = interval kontur I = selang kontur Y = kemiringan lapangan H = beda ketinggian M = skala peta X = jarak titik diagonal ke garis kontur paling jauh

9. Ditentukan kelas kemiringan lapangan dan warna kelerengan 10. Dimasukkan ke tabel seperti berikut: Tabel 1. Pengukuran Kelerengan Lapangan Pada Masing Petak

No. Petak

Koordinat

Jarak antar garis kontur (x)

Kemiringan lapangan (%)

Kelas Lereng

Warna Lereng

X

Y

11. Diwarnai masing-masing petak pada peta 12. Dihitung luas masing-masing kelas kemiringan berdasarkan warna 13. Dimasukkan ke dalam tabel berikut: Tabel 2. Klasifikasi Kemiringan Lapangan No. 1 2 3 4 Kelas Lereng Datar Landai Sedang Curam Warna lereng Hijau Kuning Biru Merah muda Luas (Ha) Luas (%)

5

Sangat Curam Total 14.

Merah tua

Dihitung luas areal yang termasuk Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Lindung (HL) dan hasil perhitungan dibuat dalam tabulasi sebagai berikut. Tabel 3. Tabel Fungsi Kawasan Hutan No. 1 2 3 Fungsi Kawasan Hutan Hutan Produksi (HP) Hutan Produksi Terbatas (HPT) Hutan Lindung (HL) Total Skor Berdasarkan Kriteria TPTI < 125 125-175 > 175 Luas (ha)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Adapun hasil pengukuran dan perhitungan adalah: Tabel 4. Hasil Klasifikasi Kemiringan Lapangan No. 1 2 3 4 Kelas Lereng Datar Landai Sedang Curam Warna lereng Hijau Kuning Biru Merah muda Luas (Ha) 156,29 842,09 866,53 179,85 Luas (%) 7,64 41,18 42,39 8,79

5

Sangat Curam Total

Merah tua

0 2.044,76

0 100

Tabel 5. Tabel Fungsi Kawasan Hutan No. 1 2 3 Fungsi Kawasan Hutan Hutan Produksi (HP) Hutan Produksi Terbatas (HPT) Hutan Lindung (HL) Total Skor Berdasarkan Kriteria TPTI < 125 125-175 > 175 Luas (ha) 998,38 1046,28 2.044,76

Pembahasan Berdasarkan data tabel 4 didapat bahwa areal kawasan hutan Sumalindo, Kalimantan memiliki topografi yang landai hingga curam, sedangkan pada data tabel 5 didapat bahwa kawasan tersebut termasuk dalam kawasan hutan produksi yang sebagian besar merupakan hutan produksi terbatas. Kawasan hutan ini bukan merupakan kawasan hutan lindung, karena sedikitpun areal hutan tersebut tidak masuk dalam kategori hutan lindung. Dari hasil yang didapat, pada peta kontur yang penulis kerjakan disimpulkan bahwa semakin rapat garis kontur maka akan semakin curam, sebaliknya semakin renggang garis kontur maka semakin datar kelas lerengnya. Hal ini sesuai dengan literatur Subagio (2003) yang menyatakan bahwa Kontur adalah garis pada peta yang menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketinggian yang sama. Kontur ini dapat memberikan informasi relief, baik secara relief maupun absolut. Informasi relief secara relief ini diperlihatkan dengan menggambarkan garis-garis kontur secara rapat untuk daerah terjal, sedangkan untuk daerah landai dapat memperlihatkan dengan garis-garis kontur yang renggang. Metode yang digunakan untuk menghitung peta pada praktikum ini adalah metode kisi, yaitu dengan cara meletakkan kertas transparan diatas petak peta yang hendak dihitung. Hal ini sesuai dengan literatur Gayo (2005) yang menyatakan bahwa Salah satu metode yang digunakan dalam mengukur suatu luasan areal adalah metode kisi-kisi. Metode ini merupakan metode menghitung

luas pada lembaran kalkir atau plastik transparan digambarkan garis memanjang dan melintang pada interval tertentu dan ditempatkan di atas gambar tersebut diatas garis-garis pembatas. Garis kontur merupakan garis yang selalu bersambung namun tidak akan pernah bertemu. Hal ini sesuai dengan literatur Invine (1995) yang menyatakan bahwa Garis kontur ialah garis khayal yang digambarkan pada daerah yang menghubungkan semua titik yang ketinggiannya sama, di atas atau di bawah dataran tertentu. Konsep garis kontur tersebut dapat dengan mudah dipahami jika kita membayangkan sebuah kolam. Jika air benar-benar dalam keadaan tenang, tepi air akan berada pada ketinggian yang sama dengan sekeliling kolam, membentuk sebuah garis kontur. Jika air diturunkan 5 meter, tepi air akan membentuk garis kontur kedua. Klasifikasi lapangan dilakukan pada suatu kawasan adalah untuk mempermudah dalam hal membuat trace atau hal lain sesuai dengan manfaat yang diinginkan, dengan mengetahui curam atau tidaknya kawasan, maka kemungkinan kecelakaan lalu lintas dapat diminimalisir. Hal ini sesuai dengan literatur Simon (2007) yang menyatakan bahwa Klasifikasi hutan secara garis besar biasanya bermanfaat untuk perencanaan makro. Untuk menyusun rencana operasional, diperlukan klasifikasi lebih rinci. Di dalam kawasan hutan tropika basah, peranan potret udara sangat untuk membuat klasifikasi yang lebih teliti. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Adapun kesimpulan dari praktikum Klasifikasi Kemiringan Lapangan adalah: 1. Semakin rapat garis kontur maka semakincuram suatu kawasan, dan sebalknya semakin renggang kontur maka semakin landai suatu kawasan tersebut. 2. Perbandingan luasan daerah berdasarkan kemiringan lapangan adalah sebagai berikut sedang mendominasi sebesar 42,39% disusul landai 41,18%, kemudian curam 8,79%, datar 7,64% sedangkan sangat curam 0%. 3.

Dalam suatu fungsi kawasan lapangan, suatu areal hutan dengan kelas lereng datar, dapat mempermudah dalam rangka membangun jalan. 4. Dalam fungsi kawasan hutan yang sangat curam dapat mempersulit (tidak dapat) membangun areal jaln di daerah tersebut. 5. Luas areal hutan yang dihasilkan 2.044,76 ha, dengan 998,38 ha kawasan hutan produksi dan 1.046,28 ha yang merupakan kawasan hutan merupakan areal hutan produksi terbatas tanpa ada kawasan hutan lindung. Saran Hendaknya para praktikan dengan benar menghitung luasan areal yang daiamati dalam peta serta menghitung data dengan cermat dan tepat sehingga data yang didapat akurat.

Read more: http://juliusthh07.blogspot.com/2010/02/klasifikasi-kemiringanlapangan.html#ixzz1q02HxFxf