24
Dosen : SINTA DEWI, S.Ps.i Disusun Oleh : ANDI ABDUL MALIK NIM. 2722017

Dasar Logika Resensi Filsafat

  • Upload
    faizal

  • View
    303

  • Download
    7

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dasar Logika Resensi Filsafat

Dosen : SINTA DEWI, S.Ps.i

Disusun Oleh :

ANDI ABDUL MALIKNIM. 2722017

UNIVERSITAS SAWERIGADING MAKASSAR(UNSA)2008

Page 2: Dasar Logika Resensi Filsafat

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, atas segala rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pembuatan resensi ini

dari Mata Kuliah Dasar Logika (Filsafat) kami dapat selesaikan dengan sangat

sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Resensi ini berjudul Manusia, Filsafat dan

Sejarah.

Dan juga kami haturkan salam dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad

Saw., dimana berkat kehadiran beliau di muka bumi ini, kita sebagai umat manusia

senantiasa mengingat kebesaran-Nya, dan kita pun telah dituntun ke jalan yang

diridhoi Allah SWT, Amin.

Kami sebagai manusia biasa yang tak luput dari kehilafan serta kesalahan

mengakui bahwa di dalam penyusunan resensi masih terdapat banyak kekurangan.

Oleh karena itu kami berharap agar dapat memaklumi dan mohon petunjuk serta

bimbingan ibu dosen selaku penanggung jawab mata kuliah ini.

Atas segala petunjuk dan bimbingan kami dapat menulis resensi ini, dan tak

lupa kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah kami terima.

Hormat kami,

ANDI ABDUL MALIK

i

Page 3: Dasar Logika Resensi Filsafat

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

PENGANTAR ................................................................................................. 1

1. Sejarah Naratif dan Kritis, Sebuah Tantangan ......................................... 1

2. Kesadaran Sejarah ................................................................................... 1

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SEJARAH .................................................. 2

A. Hakikat Manusia ....................................................................................... 2

B. Asal Usul Manusia Pertama dalam Respektif Imtak dan Iptek ................ 3

C. Hubungan : Alam, Sejarah dan Kebudayaan............................................ 4

D. Peranan Manusia dalam Sejarah.............................................................. 4

KESADARAN DAN WAWASAN SEJARAH ................................................... 6

A. Hakikat Sejarah......................................................................................... 6

B. Kesadaran atas Manusia, Waktu dan Ruang ........................................... 6

C. Kesadaran Sejarah ................................................................................... 7

D. Wawasan Sejarah .................................................................................... 8

FUNGSI DAN PERANAN SEJARAH ............................................................. 9

A. Sejarah sebagai Pengawal Warisan Budaya Bangsa .............................. 9

B. Sejarah Sebagai Motivator Perjuangan.................................................... 9

C. Sejarah Sebagai Penjernih Jiwa dan Pemikiran....................................... 10

D. Sejarah Sebagai Harmonisasi Sosial........................................................ 10

E. Sejarah Sebagai Alat Perencanaan Pembangunan.................................. 10

KESIMPULAN ................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 12

ii

Page 4: Dasar Logika Resensi Filsafat

P E N G A N T A R

1. Sejarah Naratif dan Kritis, Sebuah Tantangan

Pada umumnya karya sejarah dapat dinilai menjadi dua bagian, masing-masing sejarah naratif dan sejarah kritis. Sejarah prosesual tidak lain ialah sejarah yang menggambarkan kejadian sebagai proses yang di cakap dalam uraian naratif atau cerita. Sejarah struktural mengungkapkan aspek struktural dari kejadian-kejadian, biasanya dengan menggunakan analisis. Pada umumnya sejarah struktural mau tak mau menjadi sejarah analitis, meskipun tidak semua sejarah analisis tidak dengan sendirinya adalah sejarah struktural, antara lain apabila yang diungkapkan terutama unsur-unsur dan entitas atau faktor-faktor yang menjadi kausalitas kejadian (Kartodirdjo, 1992:110). Sejarah naratif terutama lebih menekankan keindahan dan runut ceritanya daripada menunjukkan objektivitas dan validitas peristiwa sejarah yang dikemukakan dengan pendekatan prosesual atau diakronis semata, sedangkan sejarah kritis, bukan saja menunjukkan keindahan dan runut kisah sejarah yang diketengahkan, melainkan juga menunjukkan karakteristik peristiwa, nilai objektivitasnya, autensitasnya, kredibilitasnya dan sudah barang tentu menyajikan secara kritis kebenaran dari peristiwa itu sendiri dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial yang bersifat sinkronis.

2. Kesadaran Sejarah

Hal lain yang tak kurang penting, yaitu membangun kesadaran (historical consciousness) bagi sejarahwan. Ini terjadi karena kesadaran sejarah menghubungkan manusia dengan dunia dengan cara yang berbeda dari yang ditimbulkan oleh pandangan hidup ahistoris. Karena itu kesadaran sejarah mengubah hubungan manusia dengan realitas, mengubah serta memperluas wilayah interaksi manusia dengan dunia, dan sejauh itu pula memperbesar kemungkinan keberhasilannya untuk mengendalikan nasibnya untuk mengembalikan nasibnya. Kesadaran sejarah menunjukkan kebebasan manusia dari keniscayaan sejarah yang tidak dapat dihindari dan dari tekanan kondisi-kondisi yang tanpa kenal ampun menimpanya. Kesadaran sejarah juga menunjukkan kebebasan manusia untuk menentukan sikapnya dan hubungannya dengan situasi-situasinya. Ini terjadi karena sekalipun kebebasan bersifat terbatas karena situasinya merupakan kenyataan sejarah, pada umumnya manusia masih dapat mempertahankan kebebasannya melalui pilihan rasional, moral atau dalam situasi yang lebih relatif, melalui pilihan estetis untuk bekerja di dalam atau di luar dari sesuatu yang pada saat tertentu tampak sebagai arus utama proses sejarah.

1

Page 5: Dasar Logika Resensi Filsafat

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SEJARAH

Manusia dan sejarah tidak ekuivalen dengan sejarah dan manusia. Yang pertama lebih bertendensi filosofis sehingga dari padanya dapat dirumuskan statemen sarat makna yakni “Manusia sebagai makhluk sejarah”, adapun yang disebut terlahir lebih bertendensi dan boleh jadi menjadi “sejarah manusia”. Bahwa dalam setiap upaya membahas manusia dalam perspektif sejarah senantiasa dapat ditemukan semangat filosofis, memang tidak perlu diragukan. Sementara penekanan yang mesti menjadi sasaran nuansa filosofis mewarnai semua uraian tentang manusia sebagai makhluk sejarah.

Tampak masih sangat kabur perbedaan “manusia dan sejarah” dengan “sejarah dan manusia”. Memang keduanya idiom itu terkesan sulit untuk dibedakan secara tajam, sebab sepintas kandungan perbedaannya terlalu tipis. Keduanya hanya dibedakan dan sekaligus dipertemukan dengan kata “DAN”, Akan tetapi, justru di situ pulalah peluang terbuka untuk membedakan keduanya secara tegas. Ini dapat dilakukan dengan mengabaikan kata “DAN”, sehingga manusialah dan sejarah menjadi “manusia sejarah”, sedangkan sejarah dan manusia akhirnya menjadi “sejarah manusia”.

A. Hakikat Manusia

Karena dalam tulisan ini para mahasiswa dan pembaca pada umumnya memiliki banyak kesempatan bertemu dengan istilah “hakikat”. Maka berdasarkan alasan pragmatis, ada baiknya sebelum istilah itu berelasi pada berbagai simbol, istilah hakikat perlu dijernihkan dalam pengertian. Hal ini sangat penting secara teknis, meski dalam banyak hal terutama secara filosofis monologisme visi lebih sering dinilai seharusnya tidak diberi tempat hidup karena cara seperti ini justru mengubur kreativitas intelektual dan terutama memasung hakikat itu sendiri.

Secara sederhana hakikat sering disamakan sebagai sesuatu yang mendasar, suatu esensi, yang substansial, yang hakiki, yang penting, yang diutamakan dan berbagai makna sepadan dengan pengertian itu. Namun memahami hakikat tidak tepat hanya dengan mengacu pada pengertian sederhana. Hakikat dapat dan semestinya memang dipahami secara hakikat pula. Memahami istilah hakikat secara hakikat.

Dengan ringkas diformulasikan, hakikat merupakan syarat eksistensi. Beradanya suatu keadaan karena syarat-syarat tertentu. Secara negatif bermakna, tanpa syaratnya seharusnya ada, maka keberadaan pun tidak ada. Dalam bahasa lebih luas dapat dinyatakan yang dimaksud dengan hakikat tidak lain adalah SESUATU yang mesti ada pada sesuatu yang jikalau SESUATU itu tidak ada maka sesuatu itu pun tidak wujud. Sesuatu (digarisbawahi) adalah simbol-simbol bereksistensi tapi eksistensinya ditentukan di dalam dirinya sesuatu (huruf besar). Sesuatu (yang diberi huruf besar) itulah syarat yang menentukan adanya sesuatu (yang digarisbawahi). Dalam rumusan berbeda dapat diterangkan SESUATU ditambah sesuatu sama dengan eksistensi,

2

Page 6: Dasar Logika Resensi Filsafat

sedangkan sesuatu dikurangi SESUATU sama dengan noneksistensi (S + s = E) atau (s – S = NE).

B. Asal Usul Manusia Pertama dalam Respektif Imtak dan Iptek

Ketika Iman dan Takwa (Imtak) dihadapkan dengan dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang tampaknya semakin bergerak pesat, maka salah satu kekhawatiran yang segera mengkristal di kalangan tertentu terutama dari kalangan agamawan adalah semakin terbukanya kemungkinan yang luas bagi suatu proses pendangkalan, bahkan hilangnya nilai-nilai Imtak akibat serbuan dahsyat Iptek yang sering dinilai sangat gersang dari kandungan religius yang justru harus melekat kuat.

Meski kekhawatiran seperti disinyalir di atas bukan tanpa alasan mendasar paling tidak dalam kaitannya dengan munculnya fenomena sekularisasi dan dehumanisasi Iptek, namun mesti tetap disadari dan diyakini bahwa sesungguhnya dalam perspektif yang benar, tepat maka antara Imtak dan Iptek tidak perlu dibenturkan secara konfrontatif, sebab secara substansial keduanya relevan, berbeda tapi tidak bertentangan, dan tidak mungkin bertentangan, sebab baik Imtak (Islam) maupun Iptek keduanya berasal dari satu sumber dengan pola yang berbeda.

Imtak (Islam) merupakan sabda Allah, sedangkan Iptek merupakan karya Allah. Jadi, sangat tidak rasional apabila Imtak dan Iptek bertentangan ataupun dipertentangkan padahal keduanya merupakan kehendak Allah, dengan cara yang berbeda. Imtak dikehendaki Allah secara langsung tanpa melibatkan manusia pada umumnya, sedangkan Iptek dikehendaki Allah melalui keterlibatan manusia secara penuh atas dasar kaidah-kaidah yang metodis.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pada dasarnya setiap Iptek perlu diarahkan untuk semakin meneguhkan nilai Imtak. Ini berarti setiap aspek Iptek (cabang dan hasil ilmu) terkait dengan Imtak, termasuk ilmu sejarah dan ilmu-ilmu lain. Oleh sebab itu, ilmu sejarah yang dalam konteks pendidikan formal (sekolah) dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran atau bidang studi yang diberikan kepada seluruh peserta didik haruslah selalu dikaitkan dengan Imtak. Terlebih lagi ditinjau dari segi ajaran agama Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur'an banyak menggambarkan peristiwa sejarah. Kutipan berikut dapat lebih mempertegas uraian di atas.

“Al-Qur'an sarat dengan peristiwa yang dapat dikaitkan dengan materi sejarah dalam rangka menumbuhkan sikap beragama sebagai perwujudan dari keimanan dan ketakwaan.” (Depdikbud, 1996:17).

Bahkan, Al-Qur'an menghendaki agar manusia senantiasa melakukan pencermatan yang sungguh-sungguh terhadap sejarah demi kepentingan masa depan (QS. Al-Baqarah:154).

Sehingga sudah patutnya selalu diupayakan mendorong peningkatan Imtak dengan mengkomunikasikan, mengaitkan isi materi sejarah dengan nilai Imtak itu sendiri. Ini tentu saja bukan pekerjaan yang gampang walaupun menguasai dengan baik materi sejarah, tetapi lemah dalam pemahaman tentang nilai-nilai Imtak (Islam).

3

Page 7: Dasar Logika Resensi Filsafat

C. Hubungan : Alam, Sejarah dan Kebudayaan

Seperti dipahami hubungan tidak selalu berada dalam makna positif. Dua unsur atau lebih yang berada pada alur makna negatif pun dapat dikategorikan memiliki hubungan, asalkan terpenuhi syarat pertemuan, interaksi konkrit. Membahas hubungan tiga unsur penting yang berbeda satu sama lain, yaitu alam, sejarah, dan kebudayaan, lebih fungsional mendekatinya dari sisi hubungan positif. Lagi pula memang tidak terdapat nilai pragmatis mengurai jalur makna negatif ketiga unsur di atas. ]

Alam, sejarah dan kebudayaan jelas mempunyai karakter dan perbedaan masing-masing. Ketiganya berdiri dan bereksistensi pada bidang berbeda, tetapi sangat integral satu sama lain. Karena itu dapat dicirikan dengan tridimensi integral sehingga tidak logis memisahkan alam, sejarah dan kebudayaan, kemudian hubungan sejarah dengan kebudayaan secara terpisah satu sama lain.

Langkah penjelasan persial dapat dilakukan sehingga pada akhirnya akan ditampakkan hubungan alam dengan sejarah, hubungan alam dengan kebudayaan, dan hubungan sejarah dengan kebudayaan. Namun, bagaimana pun juga tetap beralasan untuk terlebih dahulu menempatkan ketiga aspek itu secara akumulatif sehingga dapat diketahui apa dan bagaimana alam, sejarah dan kebudayaan bertemu, berhubungan satu sama lain. Maka secara sistematis terlebih dahulu dikemukakan relasi akumulatif (alam, sejarah dan kebudayaan) untuk kemudian relasi parsial pun dipaparkan lebih detail.

Hubungan alam, sejarah dan kebudayaan secara konkrit dapat dipetakan dengan membayangkan tiga aspek atau tiga lingkaran yang masing-masing menjadi milik sejarah, kebudayaan, dan alam. Ketiga aspek lingkaran ini kemudian dihimpitkan satu sama lain dengan posisi berbeda.

D. Peranan Manusia dalam Sejarah

Sebagai disiplin ilmiah, sejarah tentu saja mempunyai arti penting bagi manusia dalam kehidupannya. Penekanan semacam ini lebih berfokus pada sejarah. Bagaimana sejarah memberikan makna dan kehidupan manusia ? dan itu berarti diperlukan penjelasan memadai untuk dapat merumuskan secara jelas nilai dan peranan sejarah. Akan tetapi, berikut fokus perhatian adalah pada manusia. Bagaimana peranan manusia dalam sejarah ? Pertanyaan pertama yang lebih menekankan pada sejarah, nuansanya jelas lebih terfokus pada semacam uraian pengantar kesejarahan. Sementara pada masalah kedua, manusia berperan dalam sejarah, nuansanya justru lebih terarah pada filsafat sejarah.

Menggambarkan peranan manusia dalam sejarah tampaknya jauh lebih tegas dengan menggunakan proses sejarah itu sendiri. Bahwa eksistensi sejarah sangat ditentukan oleh manusia. Karena itulah, maka sejarah dalam dimensi waktu dimungkinkan muncul ketika manusia telah ada dan meninggalkan masa lalu, atau mempunyai hari kemarin. Bertolak dari pandangan ini, meski tidak semua dapat bersepakat, dapat dikemukakan sejarah secara praktis dalam artian sebagai suatu proses sama tuanya dengan usia manusia itu sendiri. Ini

4

Page 8: Dasar Logika Resensi Filsafat

tentu saja masih mungkin untuk diperdebatkan, tetapi hemat penulis, demikian itulah proses sejarah dapat terjadi ketika manusia ada.

Tanpa ada manusia, mustahil sejarah, baik sebagai proses maupun sebagai cerita sejarah, dapat dihadirkan. Sejarah ditentukan oleh manusia. Tidak ada manusia tidak ada sejarah. Mengapa ? Diantara semua mahluk yang ada sebagai ciptaan hanya manusia di dalam dirinya sejak awal telah memungkinkan untuk sebuah proses sejarah. Sejarah itu berlaku dalam suatu dinamika. Di dalam dinamika muncul perubahan-perubahan. Artinya, yang tidak dinamis tidak berubah. Manusia berkarakter dinamis, karena itu manusia berubah. Perubahan-perubahan kemanusiaan inilah yang kemudian memberlakukan proses sejarah.

Jadi, sejarah hanya dapat muncul dalam sebuah perubahan bukan kevakuman. Sebab perubahan senantiasa berkonotasi dengan waktu. Sementara dimensi temporal berperan penting sebagai dasar karakter sejarah. Dengan demikian, sebagai mahluk yang penuh dinamika bahkan di dalam diri sendiri, manusia sangatlah diuntungkan sejarah. Ini kalau proses ke sejarah itu bergerak ke arah berperadaban. Akan tetapi, perubahan seperti dimaklumi tidak wajib untuk selalu dalam rel yang kita inginkan, karena itu pula istilah lain yang berbarengan sering pula di dengar, yaitu manusia tidak diuntungkan dalam sejarah.

Pemaparan di atas secara eksplisit hendak menegaskan kembali bahwa ternyata manusia elemen absolut dalam sejarah. Sejarah mesti membutuhkan manusia. Konkretnya peran manusia dalam sejarah mencakup; manusia sebagai subjek dalam sejarah sekaligus sebagai objek dalam sejarah. Pertama, sebagai subjek berarti manusia adalah pembuat sejarah dan memang hanya manusia yang membuat sejarah. Karena hanya manusia yang membuat sejarah maka manusia berkewajiban untuk selalu “menyejarah”. Menyejarah dalam pengertian, manusia mesti senantiasa berada dalam arus dan rotasi sejarah. Ketika manusia terpental dalam arus sejarah mengisyaratkan manusia gagal untuk “menyejarah”.

5

Page 9: Dasar Logika Resensi Filsafat

KESADARAN DAN WAWASAN SEJARAH

A. Hakikat Sejarah

Memasuki pengertian yang hakiki melalui pengertian-pengertian umum maupun spesifik untuk memahami hakikat sejarah. Hakikat sejarah dapat dipahami dengan membuka pengertian-pengertian peristilahan (etimologis) dan terminologis. Dengan cara demikian, barulah dimungkinkan dengan baik memaparkan sekaligus menunjukkan secara relatif tepat mengenai hakikat sesuatu. Oleh karena itu, pengertian sejarah, baik secara etimologis maupun terminologis menjadi syarat penting untuk diketengahkan dalam rangka menemukan substansi sejarah. Pengertian yang sistematis dengan mula-mula bertolak dari pemahaman sederhana secara etimologis mengenai sejarah, untuk kemudian masuk pada pendalaman terminologis, dan akhirnya sampai juga pada substansi yang mendasar tentang sejarah dimaksud, benar-benar merupakan sebuah langkah holistik universal perihal pemahaman sejarah.

Bertolak dari sini, marilah mulai menjelaskan apakah sejarah itu secara etimologis. Ternyata berdasarkan pelacakan akar kata sejarah secara historis, ditemukan bahwa kata sejarah sesungguhnya mula-mula berasal dari bahasa Arab, yaitu “SYAJARATUN” yang dapat dibaca Syajarah yang berarti “pohon kayu” (Helius Syamsuddin dan Ismaun, 1996:2). Seperti dapat diamati bersama, sebuah pohon senantiasa mendiskripsikan proses bertumbuh dan berkembang dari bumi ke udara. Dalam proses tumbuh dan berkembang tersebut, kemudian memunculkan cabang, dahan atau ranting, daun, kembang, bunga, dan buah.

Itulah sejarah secara etimologis yang berarti pohon, yang berarti pula silsilah, asal usul. Menang, sejarah selalu menggambarkan proses tumbuh, hidup dan berkembang terus-menerus. Namun, pengertian semacam ini tidak bisa dipahami secara biologis. Karena itu, secara etimologis pengertian sejarah lebih dari sekedar sebuah istilah, asal usul (pohon).

B. Kesadaran atas Manusia, Waktu dan Ruang

Dengan kesadaran atas manusia dimaksudkan sebagai suatu pernyataan bahwa manusia adalah salah satu esensi hakikat sejarah. Sejarah tidak ada tanpa manusia karena hanya manusia yang disebut sebagai mahluk sejarah atau zoom historicon. Manusia mempunyai kesadaran yang mendalam terhadap sejarahnya. Ini merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat ditemukan pada diri mahluk lain selain manusia. Oleh sebab itu, kesadaran yang sesungguhnya dari manusia adalah termasuk menyadari bahwa ia merupakan mahluk sejarah.

Dapatkah sejarah berlangsung tanpa manusia ? Jawaban atas pertanyaan ini sudah dapat dipastikan, sejarah merupakan milik tunggal manusia. Di sini manusia pun dikategorikan sebagai pewaris sah dan pewaris tunggal sejarah.

Sebagai pemilik sejarah, peristiwa sejarah yang dikemukakan dituangkan dalam cerita sejarah mempertegas posisi manusia dalam sejarah. Setiap cerita sejarah selalu menjelaskan tentang siapa maupun perilaku kolektif manusia.

6

Page 10: Dasar Logika Resensi Filsafat

Memang, perlu sekali digarisbawahi ketika membahas tentang kesadaran atas manusia sebagai mahluk sejarah, bahwa manusia dalam lingkup ini bukan hanya merupakan uraian tentang perilaku personal melainkan dapat berupa perilaku kolektif.

Sejarah sebagai peristiwa tidak perlu diragukan signifikan posisi sentral manusia. Demikian pula peristiwa sejarah yang dituangkan dalam rangkaian kisah, cerita sejarah setelah melalui penelaahan secara metodik, juga mengeksplisitkan peran penting manusia, meskipun itu tema-tema sejarah yang dikisahkan meliputi tema majemuk, manusia senantiasa hadir dalam keseluruhan tema sejarah.

Selanjutnya dapat dibahas kesadaran atas waktu, meskipun hanya manusia yang sadar akan waktu, tetapi harus diakui bahwa menyangkut kesadaran atas waktu dalam sejarah, penjelasannya tidak terlalu gampang. Pada tahap awal saja sudah dihadang dengan pertanyaan besar, apakah yang dimaksud dengan waktu ? Bagaimana memahami dimensi temporal (waktu) dalam sejarah ? Dan sederet pertanyaan lain yang berhubungan dengan waktu. Seperti, kapankah waktu mulai berproses dan kapan pula berhenti ?

Yang paling umum di dengar, waktu dikaitkan dengan profesi, keadaan tertentu. Mereka yang tengah sibuk mencari nafkah menyatakan waktu adalah uang atau tiada waktu tanpa bekerja. Mereka yang sedang menuntut ilmu lebih suka untuk menyatakan waktu adalah ilmu atau tiada waktu tanpa belajar. Begitu pula bagi sepasang muda-mudi yang sedang memadu cinta, waktu disimbolkan sebagai cinta.

C. Kesadaran Sejarah

Kesadaran sejarah sebagai suatu idiom sesungguhnya merupakan istilah yang dapat dikatakan masih asing bagi masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, di kalangan tertentu, istilah ini terasa lebih akrab adanya. Kalangan tertentu dimaksud mencakup antara lain : ilmuwan sejarah, peneliti sejarah, pendidik sejarah, pemerhati sejarah dan kebudayaan atau para praktisi sejarah, para birokrasi atau pejabat yang karena tugas dan tanggung jawabnya, mereka bersentuhan langsung dengan masalah sejarah dan kebudayaan (daerah) hingga mereka ini sudah terbiasa dengan bukan saja istilah kesadaran sejarah melainkan dalam hal yang lebih luas lagi, yaitu mengupayakan pelestarian sejarah dan kebudayaan.

Kita perlu memahami kesadaran sejarah terlebih dahulu sebab adalah sulit jika tidak dikatakan mustahil melakukan pembinaan kesadaran sejarah, padahal secara esensial tidak diketahui apa yang akan dibina, dan mengapa mesti membina kesadaran sejarah.

Bagaimanapun juga memahami kesadaran sejarah niscaya bermula dari pemahaman tentang sejarah itu sendiri. Jadi, secara terbalik bisa dilukiskan bahwa kesadaran sejarah suatu bangsa, masyarakat hanya mungkin timbul oleh karena adanya sejarah atau peristiwa sejarah yang telah dialami oleh masyarakat dan bangsa bersangkutan.

Masa lampau adalah masa pijakan bagi kehadiran masa kini dan masa kini adalah kerangka pematangan menuju masa depan. Serta masa depan

7

Page 11: Dasar Logika Resensi Filsafat

adalah sesuatu yang belum, namum pasti akan terwujud. Atas dasar pemikiran ini, sejarah dapat dipahami sebagai masa lampau yang belum berakhir, belum selesai. Sepintas tampaknya pemikiran ini lebih menekankan pada dimensi kelampauan. Akan tetapi, secara implisit yang lebih menyemangati kontinuitas tridimensional waktu, dengan perhatian yang besar pada masa depan. Oleh sebab itu, pemahaman sejarah, pendidikan sejarah yang hanya menitikberatkan pada statistik peristiwa masa lampau, sebenarnya hanya akan memasang kedewasaan kesadaran tentang sejarah.

D. Wawasan Sejarah

Wawasan, pandangan, atau perspektif bagi suatu disiplin ilmu dapat dinilai sebagai sesuatu yang sangat mendasar dalam memberikan karakter tersendiri ilmu itu. Oleh karena itulah setiap disiplin ilmiah mempunyai pula wawasan tersendiri dalam mengekspresikan berbagai persoalan yang menjadi titik perhatian maupun dalam memahami fenomena yang berkembang. Tanpa wawasan yang jelas dan kuat, suatu disiplin ilmiah akan sangat sulit memposisikan signifikasi pragmatisnya. Pernyataan ini tidaklah berlebihan karena perspektif atau wawasan sekaligus merupakan kerangka referensi (rujukan) yang menjadi pegangan ilmu bersangkutan dalam menangkap dan menjelaskan fenomena maupun objek perhatiannya.

Sejarah sebagai disiplin ilmiah jelas mempunyai perspektif tersendiri yang tidak sama dengan disiplin-disiplin lainnya. Wawasan, pandangan, atau perspektif sejarah dimaksudkan sebagai kerangka referensi dalam menjelaskan objek telaah maupun memberikan gambaran yang tegas terhadap fenomena yang berkembang. Dibanding dengan ilmu sosial lain, sejarah mempunyai perspektif temporal. Adapun ilmu-ilmu sosial lain cenderung mengabaikan dimensi temporal (atemporal). Dengan lain perkataan, sejarah mengandung perspektif yang bersifat diakronis. Memang sejarahlah diantara ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang konsern dengan dimensi yang bersifat temporal.

8

Page 12: Dasar Logika Resensi Filsafat

FUNGSI DAN PERANAN SEJARAH

Sikap apriori semacam itu meskipun tentunya masih perlu diperdebatkan kekuatan argumentasinya, tidak tepat untuk disikapi secara priori pula. Sebab memang pada tataran empiris, apa yang dinilai sebagai fungsi, peranan, maupun kegunaan sejarah tampaknya jauh dari konkretisasi sehingga setiap uraian mengenai fungsi, peranan dan kegunaan sejarah selalu mengesankan nilai-nilai abstrak. Maka konsekuensi logisnya adalah memudahkan munculnya sikap apriori terhadap sejarah yang sering dinilai tidak memberikan nilai, fungsi, peranan, dan kegunaan pragmatis.

A. Sejarah sebagai Pengawal Warisan Budaya Bangsa

Sebagai sebuah bangsa, negara kita memang baru bereksistensi pada saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan 17 Agustus 1945. Akan tetapi, sebagai bangsa yang sekarang penduduknya bernama warga negara Indonesia, sesungguhnya telah melewati perjalanan sejarah yang sangat panjang. Perjalanan sejarah yang panjang tersebut tentu berimplikasi pada beragam pengalaman hidup yang sangat bernilai. Itulah yang kemudian menjadi modal besar mematangkan kebangsaan di mana dalam perjalanan berikut dapat menjadi pegangan untuk menata kehidupan bangsa.

Waktu yang terus mengalir yang di dalamnya terdapat manusia mementaskan segenap kreativitas dan tingkah lakunya, akhirnya pantas untuk mengikutsertakan seluruh nilai, baik yang bersifat material maupun terutama yang bersifat non material. Oleh karena itu sebagai sebuah bangsa yang sudah menempuh perjalanan cukup jauh namun tetap akan terus berjalan seiring dengan alur dan rotasi waktu, jelas menyimpan banyak warisan leluhur bangsa, Warisan leluhur seperti dikemukakan sebelumnya tidak mesti selalu bersifat material bahkan yang lebih mendasar adalah nilai-nilai non material.

B. Sejarah Sebagai Motivator Perjuangan

Secara ideal, sejarah pada dasarnya dapat membangkitkan semangat, motivasi perjuangan, meskipun sejarah yang ditelaah penuh dengan kemalangan dan penderitaan. Manusia belajar atau mempelajari sejarah yang isinya antara lain kesusahan, kehancuran, bukan untuk turut menjadi hancur dan menjadi susah, tetapi belajar dari penderitaan itu agar tidak menderita pada tahap-tahap berikut dalam perjalanan waktu. Begitu pun catatan perjalanan umat manusia terdahulu yang diliputi kehormatan, kejayaan, kebahagiaan; pada tataran kekinian dipejari hendaknya bukan untuk bernostalgia dengan kelampauan melainkan catatan keberhasilan itu menjadi alat untuk semakin mengembangkan kreativitas diri atau paling tidak tetap dapat bertahan dalam kejayaan dan tidak semakin terpuruk.

9

Page 13: Dasar Logika Resensi Filsafat

C. Sejarah Sebagai Penjernih Jiwa dan Pemikiran

Salah satu fungsi dan peranan sejarah yang sangat ideal adalah bahwa sejarah dapat menjernihkan jiwa dan pemikiran manusia. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Langlois-Seignobos, “Sejarah mempunyai pengaruh higienis terhadap jiwa karena membebaskan dari sifat serba percaya belaka”. (Sartono Kartodirdjo, 1990). Secara kritis sejarah mengasah sikap untuk tidak mudah percaya terhadap sesuatu sebelum jelas fakta-fakta yang mendukung kebenarannya. Sikap demikian dapat memberikan pengaruh higienis, menjernihkan jiwa dan pemikiran, sehingga secara terbalik dapat dikemukakan, mereka yang tidak punya sikap kritis dan mudah percaya begitu saja sesuatu hal, sangat gampang terjangkit penyakit kegelisahan jiwa.

D. Sejarah Sebagai Harmonisasi Sosial

Tentu saja, dengan menyatakan sejarah sebagai wadah harmonisasi kehidupan sosial, pertanyaan yang segera muncul dan mesti dielaborasi ialah dalam konteks bagaimanakah sejarah dapat dinilai berimplikasi demikian? Pertanyaan ini sangat signifikan karena menyangkut evidensi sejarah sebagai wadah dengan fungsi dan peran dimaksud.

Solusi terbaik pun diupayakan untuk keluar dari berbagai impitan konflik. Meskipun hingga kini tampaknya belum ada satu solusi yang dinilai dapat dengan segera efektif mengatasi berbagai permasalahan dimaksud, akan tetapi yang menarik justru dalam irama pencarian solusi terbaik itu acap kali di dengar dengan berbagai pihak termasuk para birokrat untuk antara lain menjadikan sejarah sebagai ingatan kolektif, yang dapat meredam berbagai konflik dan disharmonisasi sosial.

E. Sejarah Sebagai Alat Perencanaan Pembangunan

Sejarah mendidik kita supaya bertindak bijaksana. Ini merupakan salah satu pernyataan yang akrab di dengar ketika seseorang diminta untuk memaparkan fungsi dan peranan sejarah. Menjadi bijaksana membutuhkan perbandingan. Membandingkan antara yang dilakukan pad masa silam dengan yang dilakukan pada masa kini. Dalam sejarah apa yang terjadi pada masa terdahulu hendaknya dapat membuat orang-orang kemudian lebih bijaksana atau lebih baik dari apa yang sudah dilakukan sebelumnya. Ini berlaku bukan hanya dalam lingkup mikro, secara individual, melainkan juga secara makro yakni kolektivitas kebangsaan.

Dalam konteks kebangsaan itu yang kemudian lebih umum dinyatakan sebagai aktivitas pembangunan, dapat diketengahkan bahwa sejarah pada prinsipnya dapat memberikan sumbangan berharga dan positif dalam melaksanakan aktivitas pembangunan bangsa terutama dalam rangka perencanaan pembangunan. Hal ini sangat beralasan oleh karena salah satu input untuk melaksanakan perencanaan pembangunan tentu saja berdasarkan rencana sebelumnya maupun terhadap apa yang sudah dilakukan pada masa terdahulu.

10

Page 14: Dasar Logika Resensi Filsafat

K E S I M P U L A N

Pengkajian dan pembahasan ini berpijak kepada hakikat manusia sebagai actor sejarah. Sebagai actor sejarah, manusia sekaligus sebagai peneliti, pengkaji, dan penganalisis sejarah. Selain sebagai subjek sejarah, manusia juga merupakan objek studi sejarah, karena manusialah, satu peristiwa sejarah bisa terjadi dan dapat memberi nilai perubahan bagi kondisi dan dinamika kehidupan manusia, alam dan kebudayaan pada masa-masa selanjutnya.

Menurut Fuad Hassan (1989), sejarah adalah manifestasi yang khas manusia; pengenalan sejarah merupakan kenyataan yang dapat kita telusuri sejak perkembangan kemanusiaan yang paling dini, sejauh masa itu meninggalkan jeka-jejaknya melalui perwujudan tertentu. Dari goresan berupa lukisan sampai tulisan, dokumen sampai monumen, manusia sepertinya ingin menandai kehadirannya dalam suatu masa, dan rekamannya yang ditinggalkan itu diharapkan kemudian hari dapat menjadi petunjuk tentang kehadirannya itu. Rekaman itu bisa juga dibuat oleh orang lain, sebagaimana para Fir’aun di Mesir kuno menugasi seorang “juru tulis” (the scriber) khusus untuk mencatat dan merekam sejarah mereka. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa ikhtisar berupa itu cukup dikenal dalam sejarah. Dalam bentuk yang lebih sederhana, kita temukan pada kecenderungan untuk menyimpan sesuatu hal yang punya nilai khusus dalam kehidupan, atau menulis buku harian yang menyimpan pelbagai catatan tentang pengalaman pribadi.Di lain pihak tidak semua fakta dan peristiwa di rekam untuk kemudian dijadikan sejarah; tidak juga semua peristiwa dijadikan patokan sejarah dan ditandai oleh tugu atau monumen, meski ada kepentingan tertentu di balik hasrat untuk merekam realitas sejarah. Sejarah memang berusaha mengungkap sesuatu realitas dari masa lalu, akan tetapi tidak semua realitas yang sudah sirna dalam masa itu sama nilai dan maknanya untuk dipertahankan demi dikenali di kemudian hari. Namun, perlu dicatat bahwa nilai dan makna itu tidak terberi serentak dengan sesuatu realitas di masa lalu; nilai dan makna itu diberikan orang pada realitas yang bersangkutan. Dengan kata lain, bukan realitas itu yang pada sendirinya memiliki nilai dan makna, melainkan ia diberi nilai dan makna sebutan “realitas sejarah” lebih tepat ketimbang “realitas sejarah”. Sejarah memang sengaja mengungkapkan.

11

Page 15: Dasar Logika Resensi Filsafat

DAFTAR PUSTAKA

Fuad Hasan, 1966. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Pustaka Jaya

Helius Syamsuddin. 1994. Metodologi Sejarah. Jakarta: Penerbit Depdikbud Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.

Juraid Abdul Latief, Dr. M.Hum. 2006. Manusia, Filsafat, dan Sejarah. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

12