70
1 Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income Berkeadilan (Etnografi Kritis Ketergantungan Petani Tembakau Temanggung Terhadap PT. Bentoel International Investama) Muhammad Khairul Anwar Dosen Pembimbing: Dr. Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkritisi konsep net farm income yang berkontribusi bagi ketergantungan petani. Studi kasus dikhususkan pada ketergantungan petani tembakau terhadap perusahaan rokok PT. Bentoel International Investama. Penelitian dilakukan di desa Campurejo, Kecamatan Tretep, Kabupaten Temanggung, menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi kritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep income yang ada saat ini belum mampu mengakomodasi kepentingan petani sebagai pelaku inti usaha pertanian. Konsep income cenderung memihak kepentingan perusahaan swasta dan agen ekonomi sehingga membentuk ketergantungan petani. Refleksi etnografi kritis menunjukkan bahwa untuk mendukung perwujudan kemandirian pertanian nasional dibutuhkan: 1) rumus baru net farm income berkeadilan; 2) kebijakan pembentukan harga jual berkeadilan oleh pemerintah; 3) kesadaran seluruh stakeholder pertanian untuk menjaga serta melestarikan nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal untuk menyokong keberadaan petani. Kata Kunci: net farm income, akuntansi, ketergantungan, petani tembakau, etnografi kritis, kemandirian pertanian. Abstract This research aims to criticize the concept of net farm income that contribute to the farmers dependence. The case study is devoted to tobacco farmers' dependence on tobacco company PT. Bentoel International Investama. This research was conducted in Campurejo village, subdistrict Tretep, district Temanggung, using a qualitative approach with critical ethnography method. The results show that the concept of income which currently exist is not able to accommodate the farmers interests as the core actors of agriculture. The concept of income tends to favor the interests of private enterprise and economic agents thus forming the farmers dependence. Critical ethnographic reflection shows that to support the realization of the national agricultural independence required: 1) a new formula of the fair net farm income; 2) the policies of establishment of the fair selling price of agriculture commodities by the government; 3) awareness of all agriculture stakeholders to maintain and preserve cultural values and local wisdom to support the existence of farmers. Keywords: net farm income, accounting, dependency, tobacco farmers, critical ethnography, agricultural independence.

Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

1

Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income Berkeadilan

(Etnografi Kritis Ketergantungan Petani Tembakau Temanggung Terhadap

PT. Bentoel International Investama)

Muhammad Khairul Anwar

Dosen Pembimbing:

Dr. Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkritisi konsep net farm income yang

berkontribusi bagi ketergantungan petani. Studi kasus dikhususkan pada

ketergantungan petani tembakau terhadap perusahaan rokok PT. Bentoel

International Investama. Penelitian dilakukan di desa Campurejo, Kecamatan

Tretep, Kabupaten Temanggung, menggunakan pendekatan kualitatif dengan

metode etnografi kritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep income yang

ada saat ini belum mampu mengakomodasi kepentingan petani sebagai pelaku inti

usaha pertanian. Konsep income cenderung memihak kepentingan perusahaan

swasta dan agen ekonomi sehingga membentuk ketergantungan petani. Refleksi

etnografi kritis menunjukkan bahwa untuk mendukung perwujudan kemandirian

pertanian nasional dibutuhkan: 1) rumus baru net farm income berkeadilan; 2)

kebijakan pembentukan harga jual berkeadilan oleh pemerintah; 3) kesadaran

seluruh stakeholder pertanian untuk menjaga serta melestarikan nilai-nilai

kebudayaan dan kearifan lokal untuk menyokong keberadaan petani.

Kata Kunci: net farm income, akuntansi, ketergantungan, petani tembakau,

etnografi kritis, kemandirian pertanian.

Abstract

This research aims to criticize the concept of net farm income that

contribute to the farmers dependence. The case study is devoted to tobacco

farmers' dependence on tobacco company PT. Bentoel International Investama.

This research was conducted in Campurejo village, subdistrict Tretep, district

Temanggung, using a qualitative approach with critical ethnography method. The

results show that the concept of income which currently exist is not able to

accommodate the farmers interests as the core actors of agriculture. The concept

of income tends to favor the interests of private enterprise and economic agents

thus forming the farmers dependence. Critical ethnographic reflection shows that

to support the realization of the national agricultural independence required: 1) a

new formula of the fair net farm income; 2) the policies of establishment of the

fair selling price of agriculture commodities by the government; 3) awareness of

all agriculture stakeholders to maintain and preserve cultural values and local

wisdom to support the existence of farmers.

Keywords: net farm income, accounting, dependency, tobacco farmers, critical

ethnography, agricultural independence.

Page 2: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

2

PENDAHULUAN

Indonesia telah terbebas dari belenggu penjajahan radikal oleh bangsa asing

sejak 69 tahun lalu. Namun, apa yang telah dirasakan dan dialami bangsa

Indonesia beberapa dasawarsa terakhir menunjukkan bahwa pembangunan

Indonesia sebatas mengulangi sejarah penjajahan di masa lalu (Rais, 2008:1).

Perbedaannya hanya terletak pada cara, bentuk, dan format penjajahan yang

dijalankan. Jika dahulu nyata penjajahan dalam bentuk fisik dan pendudukan

militer dialami oleh Indonesia, kini penjajahan bentuk baru terbingkai secara lebih

sistematis, terstuktur, masif, dan efektif dalam keadaan tetap tergantung dan

menggantungkan diri pembangunan Indonesia pada kekuataan bangsa asing.

Kemandirian bangsa Indonesia dalam berbagai struktur sosial, politik, hukum,

budaya, bahkan ekonomi telah terenggut kembali oleh bangsa asing dalam

penjajahan bentuk baru tersebut (baca: ketergantungan).

Sektor pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia tidak

luput dari upaya dominasi bangsa asing di Indonesia. Mekanisme yang dijalankan

adalah melalui liberalisasi pertanian lewat deregulasi undang-undang berbasis

pada Agreement on Agriculture of World Trade Organization (AoA WTO) dan

kesepakatan pemerintah dengan International Monetary Found (IMF) di dalam

Memorandum of Economic and Financial Policy (MEFP). Cara lain menjalankan

liberalisasi pertanian ditegaskan secara konseptual oleh Mulawarman (2012) serta

dibuktikan dengan penelitian di lapangan oleh Amir et al. (2014) dan Kurniawan

(2012) melalui Net Farm Income (NFI/Laba Bersih Pertanian) dan konsep

pengukuran serta pengakuan aset biologis berbasis pasar dalam IAS 41

(Agriculture) yang secara langsung substansi ideologisnya mampu mendoktrin

petani memasuki ranah pertanian berparadigma bisnis. Berdasarkan NFI dan

konsep pengukuran serta pengakuan aset biologis inilah pintu masuk liberalisasi

pertanian terbuka dan nestapa petani bertambah pilu tatkala perannya sebagai

pahlawan pangan termakzulkan. Petani tidak lagi berdaya karena perannya telah

beralih menjadi komoditas politik pemerintah melalui peraturan-peraturan yang

justru menyudutkan posisi petani (Amir et al. 2014:5). Penindasan gaya baru

tersebut akan melemahkan petani secara struktural dan meningkatkan kemampuan

laba pemilik modal melalui keadaan ketergantungan petani sepenuhnya pada

kepentingan korporasi multinasional.

Rasionalisasi konsep NFI dalam pola pikir keekonomian petani didukung

dengan pelembagaan kepentingan asing dalam struktur pembangunan pertanian

nasional akan mencetak petani-petani yang berpikir bahwa laba menjadi satu-

satunya tujuan utama dalam usahataninya. Ketika laba dijadikan sebagai tujuan

utama dalam sebuah usaha bisnis pertanian maka dengan sadar atau tidak

pengupayaannya akan mengesampingkan perihal krusial lain seperti kelestarian

lingkungan, kesehatan konsumen, maupun eksistensi petani itu sendiri. Pasalnya,

petani akan mulai berpikir bagaimana usahataninya dijalankan demi menjamin

keuntungan yang memadai dengan pengusahaan pola produksi yang mampu

memenuhi kapasitas tersebut. Ujung-ujungnya produktivitas pertanian akan

dikejar dengan memasukkan input pertanian berskala besar yang relatif terhadap

luas lahan seperti penggunaan benih unggul, penggunaan pupuk kimia, maupun

penggunaan pestisida berbahaya, yang di sisi lain penguasaan produksi maupun

pasar atas ketiga input pertanian tersebut berada di tangan perusahaan-perusahaan

swasta asing.

Page 3: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

3

Komponen yang menjadi bagian integral lain dalam konsep NFI maupun

basis ekonomi usahatani kontemporer adalah harga jual komoditas. Tidak bisa

dipungkiri bahwa saat ini pembentukan harga jual (baca: harga pasar) komoditas

pertanian berada di tangan perusahaan-perusahaan yang bergerak pada bidang

industri agribisnis terutama perusahaan yang memproduksi produk pertanian

bernilai tambah (maufaktur pangan). Perusahaan selalu merepresentasikan bahwa

harga jual komoditas tersebut adalah harga pasar komoditas yang berlaku.

Padahal, sejatinya harga pasar dari komoditas pertanian adalah bentuk distrosi

mekanisme pasar oleh kooptasi kepentingan perusahaan. Bila terdapat pula rantai

pemasaran komoditas pertanian yang melibatkan pedagang atau tengkulak di

dalamnya, bukan tidak mungkin harga jual komoditas pertanian akan mendapat

tekanan lagi dari pedagang atau tengkulak tersebut. Sehingga kemampuan petani

untuk membentuk keuntungan yang layak dan berpedoman pada karakter sosial-

environmental-nya selalu terbatasi oleh beringasnya korporasi mengejar laba

maksimal.

Demi melegitimasi dominasi harga jual komoditas pertanian oleh korporasi,

akuntansi kemudian mengakomodasi hal tersebut dengan dikeluarkannya standar

akuntansi internasional yaitu International Accounting Standards 41 (IAS 41)

tentang Agriculture untuk entitas bisnis swasta. Aset biologis yang secara fisik

melekat pada tanah seperti pohon, diukur sebesar nilai wajarnya (fair value)

dikurangi biaya untuk dijual secara terpisah dari tanah. Perubahan nilai wajar

dikurangi dengan estimasi biaya penjualan dilaporkan pada laporan laba rugi

(akrualisasi). Kata kuncinya terdapat pada konsep fair value untuk pengukuran

dan penilaian aset biologis. Ketika konsep fair value yang meletakkan mekanisme

pasar sebagai dasar penilaian diterapkan dalam pertanian, maka akan sangat

menguntungkan bagi korporasi dan sangat merugikan bagi petani. Petani akan

lebih terlegitimasi ketergantungannya pada harga jual yang ditetapkan oleh

perusahaan. Perusahaan dengan kemampuan modal dan teknologi yang lebih

besar akan menjadi market centre yang mampu mengatur harga (price setter)

komoditas pertanian, sedangkan petani akan pasrah sebagai price takker.

IAS 41 mendapatkan kritik dari berbagai pakar, kebanyakan dari mereka

mengkritik tentang penggunaan pendekatan nilai wajar atau fair value serta

pengakuan perubahan nilai yang dilaporkan dalam laporan laba rugi. Elad dan

Herbohn (2011) dalam Aryanto (2011) menilai bahwa IAS 41 memiliki

kekurangan karena karakteristik kualitatif terkait komparabilitas tidak dapat

tercapai, tidak memenuhi asumsi cost benefit karena permasalahan perhitungan

pajak, volatilitas laba, dan data yang dihasilkan tidak andal karena fair value yang

ditentukan otoritas pasar tidak mencerminkan nilai wajar sebenarnya dari

komoditas. Sementara itu, Elad (2004) dalam Bosch et al. (2011) mengatakan

bahwa konsep fair value ini mengabaikan hubungan sosial dan lingkungan

produksi yang terletak di bawah pertukaran pasar serta berisiko untuk

melegitimasikan hubungan sosial-ekonomi yang tidak adil. Penggunaan fair value

akan membawa kelemahan yang begitu serius bagi sektor pertanian.

Pelembagaan kepentingan asing di pertanian nasional kita semakin menjadi

masif lagi tatkala paradigma pembangunan pertanian yang diterapkan Indonesia

mengacu pada pertanian modern-industrial atau agribisnis. Menurut Mulawarman

(2012), memang pertanian kita telah memasuki fase lanjutan dari kooptasi

kepentingan “gurita perusahaan multinasional dan negara maju” melalui pertanian

Page 4: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

4

modern agribisnis. Pertanian secara nasional pun terbingkai secara utuh dan

mengerucut pada model agribisnis, pertanian sebagai bentuk bisnis yang tidak lagi

mementingkan petani dan pedesaan sebagai fungsi ketahanan pangan, melainkan

mekanisme pasar yang berdasar pada kepentingan bisnislah yang menentukan

kepentingan pangan nasional. Petani yang semula mempunyai pandangan hidup

sebagai petani rakyat atau peasant dalam istilah Barat, yang berwawasan moral,

social, environmental, dan spiritual, kemudian dikreasi menjadi farmer atau

petani berwawasan teknologi modern dan ekonomi mutakhir sebagai program

modernisasi petani.

Digiringnya pertanian menuju sistem agribisnis berbasis pertanian modern-

industrial dengan banyaknya perusahaan agribisnis multinasional yang ada di

Indonesia mengakibatkan petani tergantung dalam semua ranah baik hulu maupun

hilir pertanian. Neoliberalisme berbentuk korporatokrasi dalam dalih globalisasi

memang tak terelakkan lagi bagi Indonesia. Didukung dengan rasionalisasi

konsep net farm income dalam pola pikir keekonomian petani serta penerapan

konsep akuntansi pertanian berbasis liberal, sungguh ketergantungan petani kian

mendekati keakutan. Semua berujung pada maksimalisasi keuntungan

multinational corporation serta negara maju, dan petani maupun negara

berkembang (baca: Indonesia) semakin tersudut tak berdaya dalam mengakses

serta mengontrol berbagai sumberdaya produktif maupun berdaulat atas kebijakan

produksi, distribusi, dan konsumsi pangan sesuai kondisi ekologis, sosial,

ekonomi serta budaya masing-masing wilayah (Susilowati dan Kustiar, 2009

dalam Mulawarman, 2012). Mutlak sebuah konsep pembaharuan sistem

pembangunan pertanian nasional yang mengedepankan asas keadilan bagi petani

sebagai ujung tombak ketahanan pangan terlebih kedaulatan pangan nasional

harus segera diadakan. Agar Indonesia kembali menjadi tuan rumah di negeri

sendiri, yang mampu merdeka dari ketergantungan kekuatan asing, serta

mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur.

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kritik etnografis terhadap konsep

net farm income dan konsep akuntansi pertanian berbasis pasar (IAS 41). Studi

kasus yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah usahatani petani tembakau

mulai dari persiapan panen sampai pada pemasaran hasil panen ke perusahaan

rokok. Perusahaan rokok yang lebih spesifik akan dijadikan sebagai objek studi

kasus adalah PT. Bentoel International Investama. Hal ini didasarkan pada

kebutuhan penelitian terkait fenomena mekanisme pasar yang ada di pusat

perdagangan tembakau Kabupaten Temanggung. Selain itu, terdapat pula indikasi

bahwa petani tembakau di Kabupaten Temanggung mengalami ketergantungan

dari segi pemasaran terhadap PT. Bentoel Internasional Investama sebagai salah

satu perusahaan penyerap tembakau petani.

TEORI EKONOMI-AKUNTANSI PERTANIAN

Ilmu ekonomi pertanian merupakan bagian dari ilmu ekonomi umum

(Mubyarto, 1997:1). Ruang lingkup ilmu ekonomi pertanian dapat difokuskan ke

dalam beberapa aspek meliputi produksi, konsumsi, pemasaran, serta aspek lain

yang mempengaruhi kegiatan tersebut seperti kebijakan pemerintah dan faktor

eksternalisasi (Soekartawi, 2002:1). Dalam kegiatan produksi pertanian,

produktivitas usahatani bergantung pada pengelolaan faktor produksi dan tingkat

efisiensi usahatani yang dilakukan petani yaitu efisiensi teknis, efisiensi harga,

Page 5: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

5

dan efisiensi ekonomi. Faktor produksi usahatani tersebut meliputi tanah, modal,

tenaga kerja, dan manajemen usahatani. Semakin efisien suatu usahatani dalam

penggunaan faktor produksinya, akan semakin tinggi pula peluang menerima

keuntungan usahatani yang baik. Keuntungan usahatani (net farm income)

diperoleh dari selisih antara total penerimaan usahatani (gross farm income)

dengan total biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani. Penerimaan usahatani

adalah perkalian antara output pertanian yang dihasilkan petani dengan tingkat

harga jual satuan yang diberlakukan untuk output tersebut. Sedangkan total biaya

produksi meliputi semua biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam melakukan

usahatani baik berupa biaya tetap maupun biaya variabel. Net farm income dapat

dituliskan dalam rumus matematika sebagai berikut (Shinta, 2011:88):

π = TR – TC.......................................................... (1)

Keterangan:

π : Keuntungan Usahatani (net farm income)

TR : Total Penerimaan

TC : Total Biaya

Pengertian yang sama tentang net farm income juga diperkenalkan oleh

Agromisa Foundation dalam Agrosource 4. Dalam buku panduan tersebut, konsep

pembentukan net farm income sama dengan ilmu ekonomi pertanian umum yaitu

total penerimaan dikurangi dengan total biaya. Hanya saja ketika menggunakan

pendekatan akuntansi, net farm income dimaknai sebagai biaya sehingga

pencatatannya dilakukan di laporan akun laba dan rugi. Net farm income yang

didapat dari laporan akun laba rugi tidak sama dengan uang tunai atau kas yang

diterima petani dari hasil operasional usahatani. Net farm income dalam

pendekatan akuntansi ala Agromisa Foundation terdiri dari tiga bagian yaitu

pendapatan kas meliputi pembayaran di muka (Private Drawings), pendapatan

non-kas meliputi konsumsi pertanian untuk rumah tangga (Home Consumption),

dan tabungan atau investasi yang dapat mempengaruhi kenaikan nilai modal

bersih usahatani. Net farm income diperoleh dari penjumlahan atas tiga bagian

tersebut.

Sektor industri pertanian juga diatur tentang standar pelaporan keuangannya

secara khusus dalam International Accounting Standards (IAS) 41. IAS 41 adalah

standar akuntansi untuk mengatur sektor industri pertanian yang terdapat dalam

standar global pelaporan keuangan International Financial Reporting Standards

(IFRS). Secara garis besar, ruang lingkup IAS 41 tersebut adalah untuk mengatur

penilaian aset biologis pada saat masa pertumbuhan hingga mencapai titik panen

Aset biologis dimaknai sebagai tumbuhan atau hewan hidup yang tersedia untuk

kepentingan produksi pertanian. Sedangkan tanah diakui sebagai aset tetap dan

aset investasi, bukan sebagai aset biologis. Sehingga perlakuan akuntansi untuk

tanah mengacu pada IAS 40 dan IAS 16. Aset biologis diukur menggunakan nilai

wajar (fair value) dikurangi dengan estimasi biaya penjualan mulai dari

pengakuan awal aset biologis sampai dengan titik panen, kecuali jika nilai wajar

tidak dapat diukur secara andal saat pengakuan awal. Nilai wajar pada saat

pengukuran awal aset biologis tidak dapat dinilai secara andal karena harga

ditentukan oleh pasar. Dalam kasus ini, entitas dianjurkan untuk mengukur aset

biologis pada biaya dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi kerugian

Page 6: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

6

penurunan nilai. Setelah nilai wajar dapat diukur secara andal, maka aset biologis

kembali harus dinilai pada nilai wajar dikurangi estimasi biaya penjualan.

Perubahan nilai wajar dikurangi dengan estimasi biaya penjualan dilaporkan pada

laporan laba rugi periode berlangsung (akrualisasi).

TEORI KETERGANTUNGAN

Teori ketergantungan atau teori dependensi adalah teori yang

menitikberatkan pada persoalan keterbelakangan di negara Dunia ketiga sebagai

akibat dari kekauan aneka faktor kelembagaan, ekonomi, dan politik baik yang

berskala domestik maupun internasional, di mana mereka telah terperangkap

dalam jebakan ketergantungan dan dominasi negara-negara maju (Todaro dan

Smith, 2006:141). Lahir dan menyebarnya teori ketergantungan tidak lepas dari

peran Andre Gunder Frank melalui tulisannya di majalah Monthly Review

berjudul Capitalism and Underdevelopment in Latin America (1967) dan Latin

America: Underdevelopment and Revolution (1969). Seketika tulisan tersebut

menggugah pakar teori ketergantungan lain (Dos Santos, 1971; Cardoso, 1973)

untuk mengembangkan lebih lanjut ide pemikiran Frank. Latar belakang lahirnya

teori ketergantungan adalah dari proses panjang suasana sejarah pada tahun 1960-

an sebagai paradigma baru untuk memberikan jawaban atas kegagalan program

Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Amerika Latin (United

Nation Economic Commission for Latin America/ECLA/KEPBBAL), krisis teori

Marxisme ortodoks (Neo-Marxisme), dan menurunnya kepercayaan terhadap teori

modernisasi di Amerika Serikat (Suwarsono dan So, 1994:91).

Teori ketergantungan lahir dari krisis teori Marxisme Ortodoks yang terjadi

pada tahun 1950-an. Teori Marxisme Ortodoks mengharuskan Amerika Latin

untuk melalui tahapan revolusi borjuis terlebih dahulu sebelum mencapai revolusi

sosialis proletar. Namun revolusi yang terjadi di Cina dan Kuba pada tahun 1950-

an mampu meruntuhkan anggapan tersebut. Kritik terhadap teori Marxisme

Ortodoks mengalir deras dari berbagai pakar dan melahirkan aliran pemikiran

baru bernama Neo-Marxisme. Selain itu, teori ketergantungan lahir dari keresahan

masyarakat Amerika Latin terhadap strategi pembangunan negara yang

dirumuskan oleh ECLA. ECLA merumuskan beberapa strategi pembangunan

negara yang secara garis besar menitikberatkan pada proses industrialisasi

substitusi impor, perencanaan dan campur tangan oleh pemerintah negara, serta

dibentuknya struktur integrasi regional. Strategi pembangunan tersebut dianggap

hanya akan menguntungkan negara-negara barat dan Amerika Utara saja, serta

telah gagal memenuhi ekspektasi masyarakat Amerika Latin untuk kesuksesan

pembangunan negaranya. Dampak dari penerapan strategi pembangunan negara

ECLA mengemuka pada akhir 1960-an. Banyak negara di Amerika Latin

mengalami depresi dan stagnasi politik, serta ketergantungan akut terhadap impor

barang modal dari luar negeri. Karena hal tersebut pula, teori modernisasi yang

digunakan sebagai basis paradigma pembangunan negara ECLA mendapatkan

kritik dari berbagai pakar. Teori modernisasi dianggap bertolak belakang dengan

pembangunan ekonomi negara-negara Amerika Latin karena dampak

implementasinya yang mampu menumbuhkan dominasi kekuatan asing terutama

negara maju di negara-negara Amerika Latin.

Pengembangan pemikiran tentang teori ketergantungan menyebabkan teori

ini dibagi dalam dua bentuk yaitu teori ketergantungan klasik dan teori

Page 7: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

7

ketergantungan baru. Kedua bentuk teori ketergantungan tersebut memiliki

perbedaan dalam beberapa asumsi dasarnya. Teori ketergantungan klasik

dianggap memiliki sisi ambisiusitas sehingga tidak mampu menggambarkan

secara jelas bagaimana pola dan situasi ketergantungan yang terjadi di negara

Dunia Ketiga. Sedangkan teori ketergantungan baru yang lahir atas hasil

penyempurnaan teori ketergantungan klasik membawa dimensi historis-struktural

sebagai situasi konkrit pola ketergantungan yang terjadi di negara Dunia Ketiga.

Teori ketergantungan klasik mengangkat faktor eksternal kolonialisme dan

ketidakseimbangan nilai tukar sebagai pokok permasalahan ketergantungan.

Sedangkan teori ketergantungan baru lebih menekankan faktor internal negara dan

konflik kelas sebagai pokok permasalahan ketergantungan di negara Dunia

Ketiga. Selanjutnya, teori ketergantungan klasik mencirikan ketergantungan

sebagai fenomena ekonomis, sedangkan teori ketergantungan baru mencirikan

ketergantungan sebagai fenomena sosial politik. Teori ketergantungan klasik

mengasumsikan bahwa ketergantungan yang bertolak belakang dengan

pembangunan hanya akan memberikan keterbelakangan pada negara Dunia

Ketiga. Sedangkan teori ketergantungan baru melihat ketergantungan yang

bertolak belakang dengan pembangunan merupakan sebuah koeksistensi berupa

pembangunan yang bergantung. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan dan

asumsi dasar teori ketergantungan baru sebagai lensa peneliti dalam memotret

ketergantungan petani tembakau.

ETNOGRAFI KRITIS SEBAGAI CARA MENELUSURI

KETERGANTUNGAN PETANI

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi

kritis. Penelitian ini menggunakan metode etnografi maju bertahap Spradley yang

ditulis dalam bahasa dan gaya paradigma kritis (etnografi kritis). Masalah yang

dipotret adalah tentang ketergantungan petani tembakau terhadap PT. Bentoel

International Investama yang bertolak dari asumsi dasar teori ketergantungan

baru. Penelitian ini dilakukan di Desa Campurejo, Kecamatan Tretep, Kabupaten

Temanggung. Lokasi penelitian dipilih karena kepentingan sinkronisasi antara

objek penelitian (petani tembakau) dengan subjek penelitian (ketergantungan

petani tembakau). Informan atau narasumber utama dalam penelitian ini adalah

tiga petani tembakau yaitu Bapak Wanto, Bapak Rochimin, dan Bapak Yanto,

dilengkapi dengan tiga narasumber lain yaitu Bapak Solichin (karyawan

perwakilan pabrik), Bapak Nurtanio Wisnu Brata (Ketua APTI DPD Jawa

Tengah), serta Bapak K.H Hasyim Affandi (Mantan Bupati Temanggung).

Metode pengumpulan data (alur penelitian maju bertahap Spradley) pada

penelitian ini meliputi penetapan informan, mewawancarai informan, membuat

catatan etnografis, dan mengajukan pertanyaan deskriptif. Teknik pengumpulan

data menggunakan teknik obeservasi partisipasi, wawancara tidak terstruktur

(petani tembakau) dan wawancara terstruktur (selain petani tembakau, serta teknik

dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data pada penelitian ini meliputi analisis

wawancara, analisis domain dan pengajuan pertanyaan struktural, analisis

taksonomi dan pengajuan pertanyaan kontras, analisis komponen, dan analisis

tema. Keabsahan data diuji menggunakan metode triangulasi meliputi triangulasi

sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan triangulasi waktu. Struktur

penelitian dalam penelitian ini meliputi: pemotretan masalah ketergantungan

Page 8: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

8

petani tembakau; penyampaian data kebudayaan berupa kondisi sosial-ekonomi-

budaya petani tembakau dalam konteks ketergantungan; pengumpulan dan

analisis data etnografi ketergantungan petani tembakau; pemaknaan akuntansi

ketergantungan petani tembakau; dan penulisan etnografi berupa perumusan net

farm income berkeadilan.

BINGKAI SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA PETANI TEMBAKAU

Budidaya

Menurut Setiawan dan Trisnawati (1992:4), tanaman tembakau atau

Nicotiana Tabacum L termasuk divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae,

kelas Dicotyledonae, ordo Solanales, familia Solanaceae, serta genus Nicotiana.

Tanaman tembakau pada umumnya tidak menghendaki iklim yang terlalu panas

dan iklim yang terlalu dingin. Jenis tanaman ini juga sangat sensitif terhadap

cuaca, lokasi tanam, cara menanam, dan cara pengolahan. Maka dari itu, daun

tembakau tidak akan menghasilkan kualitas yang sama apabila ditanam pada

agroekosistem yang berbeda. Tembakau dapat ditanam pada dataran rendah

sampai dengan dataran tinggi sehingga penamaan varietas tembakau mengacu

pada lokasi atau daerah penanaman.

Tembakau yang ada di Indonesia juga diklasifikasikan ke dalam beberapa

jenis. Jenis tembakau tersebut muncul karena kualitas tembakau yang sangat

dipengaruhi oleh iklim di daerah tumbuh, pengolahan, serta waktu penanaman.

Beberapa jenis tembakau dengan kualitas unggul di Indonesia antara lain

tembakau Deli, tembakau srinthil Temanggung, tembakau Madura, tembakau

Besuki, tembakau Lombok, dan sebagainya. Pada umumnya, tembakau-tembakau

tersebut diolah menjadi tembakau rajangan untuk dijadikan bahan baku rokok atau

diolah untuk dijadikan filler, bonder, dan wrapper cerutu. Menurut Setiawan dan

Trisnawati. (1992:27), pembudidayaan tembakau secara lengkap meliputi

kegiatan; pembibitan, pengolahan tanah, penanaman dan pemeliharaan,

pemberantasan hama dan penyakit, panen dan pasca panen, serta pengolahan

hasil.

Tabel 1. Rincian Teknis dan Biaya Budidaya Tembakau

Bulan Teknis Budidaya

Rincian Biaya Tahapan Jenis kegiatan

Oktober

November

Desember

Persiapan - Pembelian pupuk kandang

- Pengadaan dana

- Pembelian pupuk kandang

- Biaya bunga

Januari Februari

Maret

Pengolahan Tanah

- Perbaikan lahan (galengan, saluran air) - Pencangkulan dan pembuatan lubang

tanah

- Pemupukan dasar

- Pembayaran tenaga kerja - Pembelian bibit

April Penanaman - Penanaman - Pembayaran tenaga kerja

Mei

Juni

Juli

Pemeliharaan - Pemupukan lanjutan I & II

- Penyulaman

- Pendangiran - Penyemprotan

- Suckering

- Topping

- Pembelian pupuk (anorganik)

- Pembelian obat-obatan

- Pembayaran tenaga kerja - Pembelian dan perbaikan

sarana pengolahan (jemuran

dan tempat olah)

Agustus

September

Panen dan

Pengolahan

- Pemetikan

- Pemeraman/fermentasi

- Perajangan - Nganjang

- Penjemuran

- Peranjangan

- Pembelian keranjang

- Pembayaran tenaga kerja

- Biaya tranportasi - Biaya lain-lain

Sumber : Haryono (1997:15).

Page 9: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

9

Status Pertembakauan Indonesia

Indonesia menjadi salah satu dari 10 negara penghasil tembakau terbesar di

dunia saat ini dengan kemampuan produksi mencapai 2,2% dari produksi

tembakau dunia (Daeng et al. 2011:29). Hasil tersebut tidak lepas dari

produktivitas tembakau Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Luas

areal tanaman tembakau Indonesia dalam kurun waktu 2006-2011 meningkat

sebesar rata-rata 5,74% per tahun. Produksi tembakau nasional pada kurun waktu

2006 sampai dengan 2009 naik rata-rata 4,2% per tahun dan turun sebesar 4,3%

pada tahun 2010. Namun pada tahun 2011 produksi tembakau nasional kembali

naik sebesar 58%.

Tabel 2. Produktivitas Tembakau Indonesia Tahun 2006-2010 No Satuan 2006 2007 2008 2009 2010 2011

1. Luas Lahan

(Ha) 172.234 198.054 196.627 204.450 216.271 228.770

2. Produksi

(Ton) 146.265 164.851 168.037 176.510 135.678 214.524

3. Produktivitas

(Kg/Ha) 867,05 847,49 863,30 867,09 763,77 938

Sumber: Database Kementerian Pertanian (2014).

Volume dan nilai ekspor tembakau Indonesia juga memberikan

sumbangan terhadap pendapatan negara dengan nilai yang tidak bisa dianggap

kecil. Menurut Rais (2007), rata-rata volume ekspor tembakau Indonesia jenis na-

oogst selama 2002–2006 sebesar 11.977,7 ton dengan nilai US$47,7 juta.

Sedangkan untuk tembakau jenis voor-oogst, rata-rata volume ekspor sebesar

21.729,9 ton dengan nilai sebesar US$31,4 juta. Sementara itu, rata-rata

pertumbuhan ekspor tembakau hasil olahan selama 5 tahun (2002–2006) terjadi

kenaikan, untuk volume sebesar 13,1% dan nilai sebesar 11,0%. Ekspor tembakau

hasil olahan volumenya naik sebesar 7,1% dari 41.892 ton pada tahun 2005

menjadi 44.858 ton pada tahun 2006, dengan kenaikan nilai sebesar 9,6 % dari

US$216,4 juta menjadi US$237,2. Selama tahun 2002-2006 ekspor tembakau

hasil olahan rata-rata per tahun sebesar 8.998 ton dengan nilai US$47.586 juta.

Menurut data Kementerian Pertanian (2014), volume ekspor tembakau Indonesia

pada tahun 2012 mencapai lebih dari 37.110 ton dengan nilai sebesar US$159,5

juta. Sedangkan pada tahun 2013, volume ekspor tembakau Indonesia mengalami

kenaikan menjadi 41.764 ton dengan nilai sebesar US$199,5 juta.

Pengusahaan tembakau sebagai salah satu komoditas dagang di Indonesia

saat ini telah banyak menyerap tenaga kerja dari hulu sampai hilir. Tenaga kerja

yang dapat terserap mulai dari petani tembakau sampai dengan tenaga jasa

transportasi rokok sebesar 6,4 juta tenaga kerja (Rachman, 2007). Selama kurun

waktu 1996-2010, jumlah petani tembakau berfluktuasi antara 400 ribu hingga

900 ribu orang. Jika dibandingkan dengan jumlah petani di sektor pertanian, maka

fluktuasi persentasenya berkisar antara 1,0% hingga 2,6%. Selama sepuluh tahun

terakhir (2000 – 2010) terjadi kenaikan jumlah petani tembakau dari 665 ribu

menjadi 689 ribu atau terjadi kenaikan sebesar 3,61%. Proporsi petani tembakau

terhadap pekerja sektor pertanian tidak berubah yaitu tetap pada angka 1,6%

(Ahsan et al. 2012:45-46).

Page 10: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

10

Aspek Sosial yang Membentuk Ekonomi Petani Tembakau

Karakteristik petani yang dilihat berdasarkan komposisi petani pada tahun

2003 memperlihatkan angka sebesar 56,5 % dari 25,4 juta keluarga petani di

Indonesia merupakan petani gurem. Begitu juga hampir 60% dari petani masuk

kategori miskin dengan pendapatan di bawah US$ 2 per hari (Saefulloh et al.

2011:5). Sementara itu, kondisi petani Indonesia saat ini jauh dari kriteria layak

dalam hal pendidikan. Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa 75% petani

hanya berpendidikan SD atau tidak lulus SD, 24% lulus SLTP dan SLTA, dan

hanya 1% yang lulus Perguruan Tinggi (Saefulloh et al. 2011:6). Gambaran

kondisi petani tersebut juga terjadi pada petani tembakau di Indonesia. Ahsan et

al. (2008:52), melakukan penelitian terhadap sosial ekonomi petani tembakau di 3

daerah sentra produksi tembakau yaitu Kabupaten Kendal, Kabupaten

Bojonegoro, dan Kabupaten Lombok Timur. Hasil penelitian menyebutkan bahwa

luas lahan tembakau yang diusahakan petani rata-rata kurang dari 1 hektar (10.000

meter persegi) yaitu hanya 5.200 meter persegi dengan minimal lahan sebesar 100

meter persegi dan maksimal 25.000 meter persegi. Pengelola perkebunan

tembakau di tiga wilayah penelitian menunjukkan bahwa 63,7 % dari mereka

hanya berpendidikan SD dan tidak sekolah sama sekali. Sebanyak 42% lantai

rumah responden pengelola perkebunan tembakau masih berupa tanah. Sementara

yang rumahnya berlantai keramik hanya 7,6%. Hasil penjualan rata-rata sebesar

Rp 12.448.000 dengan total biaya yang dikeluarkan mulai dari pra tanam, masa

tanam, masa panen, dan pasca panen sebesar Rp 8.386.200,-. Sehingga

keuntungan yang diperoleh rata-rata hanya sebesar Rp 4.061.800,-. Dengan

memperhitungan jangka waktu selama proses penanaman hingga panen selama 3-

4 bulan maka petani mempunyai penghasilan dari usaha tembakau antara Rp

1.000.000,- hingga Rp 1.500.000,-. setiap bulan.

Permasalahan lain yang menjadi hambatan besar bagi petani ialah akses

permodalan pertanian. Petani mengalami kendala untuk melakukan kredit di

perbankan. Sejauh ini, kredit perbankan pertanian berkisar hanya sebesar rata-rata

5,56 % saja (Saefulloh et al. 2011:5). Hal tersebut muncul dikarenakan perbankan

menilai bahwa sektor pertanian masih mempunyai resiko tinggi dan tidak

mempunyai kelayakan usaha yang baik. Selain itu, petani-petani tersebut tidak

mempunyai sertifikat tanah untuk dijadikan agunan peminjaman ke bank. Satu-

satunya jalan yang kemudian ditempuh adalah meminjam modal kepada pelepas

uang dengan bunga yang tinggi. Di dalam tata niaga tembakau khususnya di pulau

Jawa, pemasaran dan pembentukan modal petani melalui pelepas uang

mempunyai suatu keterkaitan. Menurut Padmo dan Djatmiko (1991:77), dalam

perdagangan tembakau di Temanggung petani dihadapkan pada tiga pilihan

pemasaran yaitu melalui pedagang pengumpul besar, pedagang perantara, atau

langsung memasarkan tembakau ke perwakilan pabrik. Peran dari pedagang

pengumpul besar maupun pedagang perantara cukup penting, selain sebagai

pedagang mereka juga berperan sebagai sumber kredit atau pelepas uang.

Pedagang-pedagang tersebut akan memberikan kredit atau modal kepada petani

sebelum masa tanam tembakau tiba. Kemudian ketika masa panen dan

pengolahan hasil tiba, petani yang diberikan kredit oleh pedagang akan

memasarkan tembakaunya kepada pedagang tersebut. Pengembalian kredit atau

modal beserta bunganya seringkali tidak berbentuk uang, melainkan ada

Page 11: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

11

pemotongan sejumlah kredit yang dipinjam atas hasil pendapatan petani dari

pemasaran tembakau ke pedagang tersebut.

Penentuan harga tembakau menjadi permasalahan lain di dalam pemasaran

tembakau rakyat (Padmo dan Djatmiko, 1991:89). Penentuan harga tembakau

bergantung pada kualitas dan mutu tembakau. Kualitas tembakau yang sebenarnya

akan sulit ditentukan mengingat jenis dan mutu tembakau sangat bervariasi,

bahkan sering tercampur antara tembakau dengan kualitas jelek dan tembakau

dengan kualitas baik. Kondisi tersebut mengakibatkan petani tidak memperoleh

harga yang maksimal, sedangkan bagi pabrik rokok akan sulit memperoleh bahan

baku yang diinginkan. Pabrik rokok besar yang bertindak sebagai pembeli dapat

mempengaruhi kondisi pasar secara signifikan karena lemahnya posisi tawar para

petani tembakau. Hal tersebut dapat terjadi mengingat pasar tembakau rakyat

berbentuk pasar oligopoli. Usaha pertanian tembakau masih menjadi industri

pertanian yang bersifat spesifik karena hanya berpaku pada industri rokok saja.

Tercatat hanya beberapa perusahaan rokok besar yang dapat menampung

tembakau dengan kapasitas tinggi seperti PT. Djarum, PT. Gudang Garam, PT

HM Sampoerna, PT. Bentoel, PT. Noyorono, PT. Jambu Bol, dan PT. Sukun.

Selain itu masih ada beberapa pabrik rokok lain yang kapasitas penyerapan

tembakau rakyatnya lebih kecil.

Petani Tembakau Temanggung Sebagai Manusia Jawa

Nenek moyang dari petani tembakau desa Campurejo merupakan orang-

orang suku Jawa. Suku yang dari dulu hingga sekarang mendominasi jumlahnya

di bumi nusantara. Konsepsi budaya dan pandangan hidup manusia Jawa dapat

ditemukan di dalam beberapa risalah atau serat yang umumnya ditulis oleh

priyayi dan bangsawan Jawa. Dua serat yang mempunyai pengaruh besar

terhadap cara berpikir dan berperilaku orang Jawa dahulu adalah Serat Wulang

Reh karya Sri Susuhunan Pakubuwono IV serta Serat Wedhatama karya Sri

Mangkunegara IV. Falsafah ajaran hidup manusia Jawa memiliki tiga aras dasar

utama yaitu aras sadar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta, dan aras keberadaban

manusia. Ajaran-ajaran agama baik Hindu, Budha, Islam, Kristen dan nilai-nilai

kejawen yang dianut orang-orang Jawa, mengkonsepsikan pandangan manusia

Jawa bahwa manusia pertama-tama adalah makhluk rohani (Wanto et al.

1996:88). Tugas utama manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini adalah

manembah mring Gusti, menyembah kepada Tuhan. Oleh karena itu, dalam

rangka mengabdi kepada Tuhan, tugas pokok manusia ialah menyempurnakan

dirinya.

Kewajiban moral manusia adalah memperkuat hubungan vertikal dengan

Tuhan, sehingga tercapailah hubungan harmonis antara sang Khalik dan makhluk,

serta dengan kekuatan dan kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri

selaku kawula terhadap Gustinya, manunggaling kawula Gusti. Kesadaran dirinya

akan materi telah mati, maka ia pun mati sajroning urip, mati di dalam kehidupan.

Lubuk hati terdalamnya mengatakan bahwa ia telah bersatu dengan Tuhan, maka

dalam kehidupan sehari-harinya dia harus meniru sifat-sifat Tuhan, ngribi sifate

Allah. Perilaku keseharian manusia Jawa yang banyak di pengaruhi oleh sifat-sifat

spiritual mengantarkan mereka pada suatu hubungan istimewa dengan alam. Alam

dianggap sebagai sumber rasa aman, sebab alam dihayati sebagai kekuasaan yang

mampu menentukan keselamatan dan kehancuran. Konsepsi tentang alam sangat

berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat Jawa, bahkan dalam hal mata

Page 12: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

12

pencaharian mereka. Kedekatan manusia Jawa dan alam pula menyebabkan

berkembangnya pemikiran mengenai fenomena kosmogoni dalam pemikiran

manusia Jawa, yang kemudian melahirkan beberapa tradisi atau ritual terkait

dengan penghormatan terhadap alam sebagai tempat hidup mereka seperti larung

sajen dan selametan.

Selain pandangan hidupnya tentang Tuhan dan alam semesta, masyarakat

Jawa juga mempunyai konsepsi kebudayaan tersendiri tentang hubungan antar

manusia. Konsepsi kebudayaan Jawa tentang aras keberadaban manusia

diimplementasikan dalam wujud budi pekerti luhur. Dalam falsafah ajaran hidup

Jawa terdapat istilah piwulang kautaman atau ajaran-ajaran kebajikan sebagai

sumber ajaran keutamaan hidup manusia Jawa. Konsepsi ini juga banyak

dipengaruhi oleh pandangan hidup religiusitas masyarakat Jawa. Selain itu,

bentuk-bentuk hubungan sosial masyarakat Jawa kurang lebih merupakan refleksi

dari konsepsi manusia dan lingkungannya. Dominannya pola-pola hubungan yang

menekankan keselarasan atau harmonisasi, serta keinginan untuk menjauhkan

konflik secara terbuka, merupakan refleksi langsung dari konsepsi keteraturan

lingkungan yang terkoordinasikan (Wanto et al. 1996:90).

Masyarakat Jawa memiliki banyak simbol kebudayaan yang masih terjaga

eksistensinya. Simbolisme budaya Jawa lain yang erat kaitannya dengan petani

tembakau ialah ritual slametan among tebal. Upacara among tebal dilakukan

sebelum penanaman bibit hari pertama. Ritual among tebal merupakan suatu

ritual doa untuk menghormati jasa Ki Ageng Makukuhan, seorang ulama yang

dianggap para petani tembakau sebagai tokoh pembawa bibit tembakau pertama

kali di lereng gunung Sumbing-Sindoro-Prau (Brata, 2012:3). Petani tembakau

mengundang anggota keluarga, teman, tetangga, sekaligus para buruh tani yang

membantunya, pergi ke ladang untuk memanjatkan doa-doa disana.

Tumpeng dan lauk pauk yang lengkap menjadi perangkat terpenting dalam

ritual ini. Setidaknya ada empat jenis tumpeng yang disajikan yaitu tumpeng ungu

sebagai penghormatan terhadap KI Ageng Makukuhan yang senang berpakaian

serba ungu, tumpeng putih mewakili permohonan keselamatan penanaman

tembakau beserta segenap keluarga petani, tumpeng kuning sebagai permohonan

diberikannya hati dan pikiran jernih serta melambangkan harapan dan optimisme

petani tembakau, lalu tumpeng tulak (tolak balak) sebagai perlambang doa agar

petani dijauhkan dari bencana, marabahaya, dan berbagai jenis hambatan pada

saat berlangsungnya musim tembakau. Pelengkap lain yang juga ada disana yaitu

buah-buahan seperti salak, ketimun, bengkuang, jambu, dan pisang. Semuanya

disantap bersama-sama sesaat setelah doa selesai dipanjatkan oleh tokoh

masyarakat yang ditunjuk petani. Sama halnya dengan ritual Dewi Sri, intinya

slametan ini ditujukan sebagai bentuk rasa syukur serta panjatan doa agar musim

tembakau kala itu memberikan berkah nyata bagi petani. Doa sebagai simbol

harapan petani akan tingginya harga tembakau, serta kepastian bahwa pabrik

rokok akan membeli semua hasil panen tembakau petani.

Multinational Coorporation: Mengancam Kedaulatan Pertanian Tembakau

Indonesia

Tembakau menjadi sebuah dilema bagi negara-negara pengahasil utamanya

termasuk Indonesia karena selain menjadi komoditas yang mampu memberikan

dampak ekonomi besar bagi negara, tembakau dan rokok saat ini dianggap

sebagai musuh utama dunia kesehatan. Dalam beberapa tahun terakhir, marak

Page 13: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

13

beredar kampanye anti rokok dan anti tembakau yang disuarakan ke seluruh

penjuru negeri. Rokok dan tembakau dianggap sebagai salah satu pembunuh

utama manusia karena kandungan racun yang ada di dalamnya. Sahih atau

tidaknya dalih kesehatan tersebut masyarakat luas terlanjur telah

mempercayainya. Namun muncul beberapa indikasi bahwa kampanye tersebut

merupakan alat perang bisnis-atau lebih tepatnya selingkuh-antara perusahaan

rokok global dengan industri farmasi yang mengerucut pada akumulasi modal

imperium kapitalis global Rockefeller-Morgan dan Amerika Serikat dengan

melibatkan berbagai lembaga internasional maupun nasional. Melalui ketentuan

Internasional tentang pengendalian tembakau yaitu The Framework Convention

on Tobacco Control (FCTC), kedua pihak tersebut menginjeksikan

kepentingannya untuk meraup laba sebanyak-banyaknya dari tembakau.

Melalui FCTC, perusahaan-perusahaan farmasi meletakkan kepentingannya

atas penjualan produk pengganti rokok berupa Nicotine Replacement Theraphy

(NRT) seperti permen karet nikotin, koyok transdermal, semprot hidung, koyok

hibritol dan lain sebagainya. Di dalam FCTC terdapat pasal khusus yang

memberikan legitimasi serta landasan hukum bagi kepentingan bisnis NRT,

sebagaimana tercantum dalam pasal 14 di bawah judul “Demand reduction

measures concerning tobacco dependence and cessation” dan pasal 22 yang

merupakan rujukan dari pasal 14.2 (d) konvensi tersebut. Pada acara 17th

Expert

Comitte on The Selection and Use of Essential Medicines di Geneva, 23-27 Maret

2009, pasal 14 FCT dicantumkan dalam Proposal for Inclusion of Nicotine

Replacement Therapy in The WHO Model List of Essential Medicine. Dua jenis

NRT yaitu Transdermal Patches (koyok transdermal) dan Chewing Gums

(permen karet) akhirnya dimasukkan dalam WHO Model List of Essential

Medicine. Dengan adanya penegsahan tersebut, NRT secara resmi diakui WHO

sebagai obat-obatan esensial untuk digunakan oleh negara-negara yang

meratifikasi FCTC dalam mengeimplementasikan pasal 14 FCTC (DM, Ary, dan

Harlan, 2011:133).

Gambar 1. Gambaran Konsolidasi Industri Tembakau dan Industri Farmasi

Rockefeller-Morgan

Rockefeller-Morgan &

Amerika Serikat

Industri Famasi

Pecahan IG Faben dan “The

Drug Trust”

Industri Tembakau Pecahan American Tobacco

Company (Termasuk Philip

Morris dan BAT)

Organisasi Pemerintahan

Internasional dan Organisasi

Non Pemerintahan

International (Terutama

WHO)

Akumulasi Laba dan

Penguasaan Industri

Tembakau Global

Page 14: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

14

FCTC yang menjadi tombak utama guna menentang keberadaan tembakau

dan rokok bagi berbagai lembaga nasional maupun internasional, tampak menjadi

kontradiktif untuk imperium industri tembakau Rockefeller-Morgan. Namun

secara lebih rinci, FCTC juga memberikan manfaat bagi perusahaan-perusahaan

rokok multinasional dalam usaha pembentukan modal baru melalui ekspansi

global. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan-ketentuan FCTC yang membatasi

gerak industri tembakau dan rokok melalui pajak, hambatan tarif dan non tarif,

standarisasi produk, sponsorship dan iklan, juga perlindungan dari paparan asap

rokok. Secara sederhana hubungan saling menguntungkan antara industri farmasi

dan industri tembakau dibawah kendali Rockefeller-Morgan adalah sebagai

berikut: melalui FCTC perusahaan farmasi multinasional menetapkan suatu

ketentuan standarisasi international produk olahan tembakau dan sekaligus

berjualan produk NRT. Perusahaan tembakau skala kecil-menengah di negara

yang meratifikasi FCTC akan secara otomatis tereliminasi dari peta persaingan

industri tembakau dikarenakan mereka tidak dapat memenuhi ketentuan

standarisasi tersebut. Di sisi lain, standarisasi ini juga akan membuka pangsa

pasar baru bagi perusahaan tembakau multinasional baik melalui merger maupun

akuisisi. Pemerintah Indonesia dalam hal ini juga mengupayakan pengendalian

keberadaan tembakau dan rokok melalui beberapa instrumen hukum, yang terbaru

adalah Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 (PP 109/2012). Dalam PP

109/2012, dalih kesehatan masih menjadi senjata untuk memojokkan tembakau

dan rokok yang secara tidak langsung juga menyudutkan keberadaan petani

tembakau. Maka dari itu, keresahan petani tembakaupun semakin bertambah

dengan adanya PP 109/2012. Kemudian muncul berbagai pemihakan dari banyak

kalangan terhadap nasib petani tembakau, yang menilai terbitnya PP 109/2012

senyatanya akan mampu memberikan dampak besar pada eksistensi kretek

sebagai warisan budaya bangsa, kedaulatan pertanian tembakau nasional, dan

eksistensi petani tembakau itu sendiri.

Refleksi

Uraian pada bagian ini menjelaskan data kebudayaan penelitian etnografi

berupa data sosial, ekonomi, serta budaya dalam konteks ketergantungan yang

dialami petani tembakau. Potensi ketergantungan petani tembakau muncul pada

dua ranah yaitu ranah budidaya serta ranah pasca panen. Dari uraian tersebut pula

peneliti membagi dua bentuk potensi ketergantungan yaitu ketergantungan

bersifat global dan ketergantungan bersifat lokal. Thesis teori ketergantungan

menitikberatkan pada fokus pengalihan surplus ekonomi dari suatu negara ke

beberapa pihak (baca: negara maju dan perusahaan multinasional) atau dengan

kata lain ketergantungan tersebut bersifat global. Namun dalam penelitian ini akan

dipahami pula bahwa ketergantungan global juga mampu memunculkan potensi

ketergantungan yang bersifat lokal. Ketergantungan petani yang mengarah pada

mekanisme pembentukan ketergantungan dari negara maju dan perusahaan

multinasional, secara transformasional akan mampu mempengaruhi keadaan yang

bersifat indigeneous atau kelokalan karena keterlibatan masyarakat lokal dalam

beberapa bentuk interaksi sosial di lingkup usaha pertanian dan perdagangan

tembakau.

Terdapat sebuah desain baik dari ranah ilmu pengetahuan maupun teknis

ekonomi-pertanian yang berpotensi membentuk sebuah pola ketergantungan

petani. Desain ketergantungan tersebut terlihat dari konsep net farm income

Page 15: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

15

maupun pengetahuan teknis budidaya pertanian yang bersifat intensif. Dalam

konsep net farm income, baik petani maupun pelaku usaha pertanian lain sengaja

dikreasi untuk menjadi entitas bisnis seutuhnya, yang cenderung mengejar

keuntungan usahatani semaksimal mungkin sebagai tujuan utama. Petani maupun

entitas bisnis pertanian lainnya dengan basis perhitungan keuntungan

menggunakan konsep net farm income, akan cenderung bersikap hati-hati untuk

menghindari potensi kerugian. Pada akhirnya, upaya membentuk keuntungan

harus mendasarkan diri pada pengelolaan dua faktor yang harus berjalan seefektif

dan seefisien mungkin yaitu faktor penerimaan dan faktor biaya. Artinya, selain

harus memperhatikan sisi produktivitas diimbangi dengan kualitas hasil pertanian

yang baik, di sisi lain pelaku usaha pertanian (baca: petani) juga harus mampu

mengelola biaya pertanian secara tepat agar usahataninya menguntungkan.

Ketergantungan global bisa muncul dari sini, yaitu ketika pola produksi

intensif diterapkan dengan menggunakan input pertanian berbasis agrokimia

seperti pupuk kimia dan pestisida kimia, di mana produksi serta pasar input

pertanian tersebut didominasi oleh perusahaan multinasional. Selagi di sisi lain,

perusahaan rokok multinasional yang bertindak sebagai penyerap hasil produk

pertanian juga mampu mendikte harga jual komoditas pertanian di tingkat petani.

Pola pemasaran produk pertanian pun tidak bisa secara langsung mencapai pasar

utama (baca: perusahaan), melainkan harus melalui berbagai rantai pemasaran.

Ketergantungan lokal akan terbentuk ketika masyarakat lokal turut terlibat di

rantai pemasaran produk pertanian ini seperti menjadi tengkulak atau pedagang.

Khususnya di pertanian tembakau ini, di atas telah disinggung peran pedagang

maupun tengkulak selain sebagai rantai pemasaran petani, mereka juga bertindak

sebagai sumber kredit. Kondisi petani yang mempunyai hambatan dalam

mengakses modal pertanian dari pihak lain, memunculkan indikasi bahwa petani

juga mempunyai ketergantungan modal dengan pedagang atau tengkulak tersebut.

Kekuatan pasar yang terbentuk oleh perusahaan-perusahaan besar dengan

kapasitas modal dan teknologi yang kuat, tidak bisa ditandingi oleh kekuatan

petani. Pun demikian ketika menilik ketergantungan lokal, potensi kerugian petani

juga muncul karena kepentingan pihak yang terlibat untuk memperoleh

keuntungan maksimal. Petani mendapat tekanan dari dua pihak, yaitu dari pihak

perusahaan (global) dan dari pihak agen ekonomi di bawahnya (tengkulak atau

pedagang lokal). Posisi petani akhirnya terlemahkan karena keadaan

ketergantungannya. Bahkan ketika petani benar-benar menjadi sosok yang

profitcentris, ketergantungan ini juga mampu berkontribusi untuk kerusakan alam.

Petani, alam, dan pangan sangat erat kaitannya, jika petani salah memperlakukan

alam (penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi dalam jumlah besar), karenanya

keberlangsungan hidup manusia juga bisa terancam.

Namun keadaan ketergantungan tersebut bukan sepenuhnya tidak mampu

untuk diatasi, petani masih memiliki logika kultural yang mungkin mampu

membentuk logika ekonomisnya. Seperti petani tembakau Temanggung ini

contohnya, sebagai manusia Jawa, petani masih memegang teguh aspek-aspek

kesadaran ber-Tuhan dan alam semesta, kesadaran sosial, maupun melalui

simbolistik budaya Jawa yang terdapat dalam konsepsi hidup manusia Jawa.

Logika kultural ini yang kemungkinan besar mampu menjadikan petani Jawa

termasuk petani tembakau Temanggung tetap eksis sebagai petani. Konsepsi

hidup manusia Jawa diajarkan oleh nenek moyang, dan bagi manusia Jawa

Page 16: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

16

memegang teguh ajaran kultural adalah sebuah kewajiban. Konsepsi ini

mengandung berbagai nilai-nilai positif yang secara keseluruhan juga mampu

melebur ke dalam aktivitas ekonomis manusia Jawa. Petani tetap eksis karena

mereka mampu membatasi diri di antara kebutuhan bisnis dengan implementasi

ajaran kultural yang melingkupinya. Mungkin bisa saja peleburan dua logika yaitu

logika kultural dengan logika ekonomis petani akan memungkinkan petani untuk

mentas dari ketergantungan (bebas ketergantungan). Pertanyannya, apakah

sebenarnya petani memiliki logika berbeda tersebut? Pada bagian-bagian

selanjutnya, akan diuraikan secara lebih mendalam tentang hal ini.

CELOTEH AKUNTANSI PETANI TEMBAKAU DALAM BELENGGU

KETERGANTUNGAN

Studi Etnografi Petani Tembakau Desa Campurejo

Beberapa hari sebelum dilakukan proses studi etnografi, peneliti terlebih

dahulu melakukan berbagai observasi awal guna mengkaji isu-isu yang akan

diteliti. Salah satunya adalah dengan mengunjungi kerabat peneliti bernama Pak

Karman yang juga berprofesi sebagai petani tembakau di Desa Tuksari,

Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung. Peneliti berusaha mendalami

berbagai realita-realita sosial, ekonomi, maupun budaya petani tembakau dengan

cara bercengkrama tentang musim tembakau yang beberapa minggu lagi akan

datang. Peneliti mendapatkan beberapa gambaran awal mengenai situasi

pertembakauan di Kabupaten Temanggung terkait aspek pemasaran, peran

pemerintah daerah, budidaya tembakau, maupun celoteh-celoteh petani tembakau.

Secara umum temuan peneliti menunjukkan bahwa celoteh-celoteh petani

seringkali menyinggung ketergantungannya terhadap pabrik rokok. Celoteh juga

senantiasa berisi harapan-harapan petani tembakau agar pabrik-pabrik rokok yang

menjadi penyerap utama hasil panen tembakau petani memberikan kebijakan yang

memuaskan atas harga dan volume penyerapan tembakau.

Tahap etnografi lanjutan dilakukan peneliti dengan memilih sebuah desa di

lereng Gunung Prau, bernama Desa Campurejo. Desa ini dipilih sebagai lokasi

penelitian dengan mempertimbangkan berbagai masukan yang didapat oleh

peneliti dalam observasi awal penelitian. Peneliti melakukan pemilahan terhadap

karakteristik petani yang mempunyai lahan tegal atau sawah, pemilik lahan atau

sewa lahan, dan luas lahan garapan petani. Peneliti menentukan tiga petani

tembakau sebagai narasumber utama yaitu Pak Wanto (39 tahun), Pak Rochimin

(37 tahun), dan Pak Yanto (45 tahun). Peneliti kemudian mengunjungi kebun

ketiga petani tersebut untuk melakukan studi etnografi selang beberapa hari

kemudian.

Pada umumnya, bertani tembakau dimaknai oleh para petani tembakau

sebagai sebuah manifestasi kebudayaan karena di dalamnya termuat unsur-unsur

sosiologis yang melekat dalam diri petani. Petani menganggap tembakau telah

mendarah daging dalam diri mereka dan telah bertransformasi sebagai jiwa para

petani. Selain itu petani juga menganggap bertani tembakau merupakan warisan

turun temurun yang tetap harus dijaga keberadaannya. Lebih logis lagi, petani

tembakau mengusahakan tembakau di ladang pertaniannya karena nilai ekonomi

dan keuntungan tembakau belum mampu ditandingi oleh komoditas pertanian

lainnya. Hal-hal tersebut yang menyebabkan petani tembakau masih

Page 17: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

17

mengusahakan tanaman tembakau sampai saat ini terlepas dari berbagai praktik

merugikan yang kerap mereka alami dalam pemasaran tembakau.

“Menanam tembakau itu memang sudah menjadi jiwanya orang di desa

ini. Susah kalau mau diubah-ubah seperti apapun itu. Soalnya sudah

turun-temurun dari nenek moyang. Sudah lama sekali itu. Yang utama itu

tegal ditanami tembakau. Jika musim tembakau sudah selesai nanti

ditanami palawija atau sayur. Terkadang juga jagung. Seterusnya sampai

nanti musim tembakau dimulai lagi. Tidak banyak hasil dari bertanam

jagung atau palawija. Masih kalah banyak hasil yang didapat dari

bertanam tembakau jika musim benar-benar bagus dan tidak banyak

tekanan yang diterima saja.” Ujar Pak Wanto

“Orang-orang di sini itu tidak bisa lepas dari tembakau. Orang-orang di

sini itu menjadikan tembakau sebagai jiwanya. Mau laku mau tidak yang

penting menanam tembakau. Bagaimanapun hasilnya pasrah saja.

Soalnya kalau dihitung-hitung, keuntungan dari tembakau itu lumayan

banyak. Susah kalau mau diotak-atik bagaimanapun juga seperti

pemerintah itu. Memang sudah mendarah daging tembakau itu untuk

warga sini.” Ujar Pak Rochimin

“Walah, kalau bertani tembakau itu sudah lama sekali, jadi kalau mau

diubah seperti apapun itu susah. Sudah tidak bisa diubah. Soalnya ya

kalau dihitung-hitung bertani tembakau itu hasilnya tidak sedikit. Kalau

pas musimnya bagus lho ya. Musimnya jelek pun tetap menanam

tembakau. Istilahnya itu sudah jadi jatidiri orang sekitar sini tembakau

itu.” Ujar Pak Yanto

Teknik budidaya tembakau para petani tidak jauh berbeda mulai dari

persiapan sampai pada pengolahan hasil panen. Pada masa persiapan awal, ketiga

petani sama-sama mengadakan modal awal usahatani ke juragan (pedagang

pemberi kredit), hanya Pak Yanto saja yang mengadakan modal awal juga melalui

kredit perbankan. Bunga yang ditetapkan oleh juragan sebesar 50% atau disebut

nglimolasi. Meski dirasa beban tersebut membebani, tetapi para petani tetap

mengusahakan kredit ke juragan dengan alasan bahwa kredit juragan bersifat

sangat lunak. Peminjaman kredit ke juragan juga cukup membantu pemasaran

tembakau petani. Berbeda dengan Pak Wanto dan Pak Rochimin, sebenarnya Pak

Yanto tidak menyukai kredit ke juragan karena bunga yang terlalu memberatkan.

Kredit ke juragan dilakukan dalam jumlah yang kecil sebagai tanda pengikat

kerjasama saja.

“Kalau petani atau bakul itu tidak ada Juragan kan nanti susah. Pemasaran

nanti jadi kacau. Jual kesana kemari kan. Kalau ada Juragan kan ada yang

bisa kasih penghasilan terus tiap hari sekalian memberi solusi. Kalau

masalah hasil dipasrahkan sama Gusti Allah saja”. Ujar Pak Wanto

“Sebenarnya tidak begitu suka berutang ke juragan itu. Memang petani di

sini itu mau tidak berhutang kok ya yang memberi utang khawatir tidak

mendapat tembakau. Uang dari juragan kalau tidak diterima itu sungkan,

juga buat jalan pemasaran. Ini yang menjadikan petani kesusahan, karena

Page 18: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

18

bunganya kan besar. Nglimolasi itu bagaimana tidak besar, dari pada utang

ke bank bunganya cuma 2% coba.” Ujar Pak Yanto

Modal awal yang diperoleh kemudian digunakan untuk mengadakan bibit

secara mandiri dan membeli pupuk kandang. Aktivitas produksi selanjutnya

adalah melakukan pengolahan tanah awal dengan melakukan pembersihan lahan

dari sisa panen jagung, pembuatan drainase, pemupukan dasar, dan pembuatan

guludan. Setelah lahan selesai diolah, penanaman bibit tembakau kemudian

dilakukan. Saat masa tanam, tanaman tembakau dilakukan perlakuan perawatan

berupa penyulaman, pemupukan lanjutan, pemangkasan bunga, pemangkasan

tunas, dan pembasmian hama penyakit. Ketika tembakau sudah dirasa cukup

umur, tembakau dipanen dan dilakukan pengolahan hasil. Daun tembakau

difermentasikan terlebih dahulu untuk selanjutnya dilakukan perajangan. Ketiga

petani melakukan pengolahan hasil tembakau dan memasarkannya dalam bentuk

tembakau rajangan, bukan tembakau daun basah. Hal ini dikarenakan tembakau

rajangan mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi daripada daun basah. Setelah

perajangan selesai, daun tembakau diberi campuran gula dan ditata dalam rigen

(alat jemur tembakau) untuk kemudian dijemur dibawah terik matahari.

Tabel 3. Tahap Aktivitas Budidaya Tembakau Petani Narasumber Masa Tahap Aktivitas

Persiapan

Pengadaan Bibit Penyemaian bibit mandiri

Pengolahan Lahan Awal

Pembersihan lahan dari sisa panen

jagung/palawija

Perbaikan drainase

Pembaharuan tanah

Pembuatan guludan

Pemupukan dasar

Pra Panen

Penanaman Penanaman Bibit Tembakau

Penyulaman Membersihkan area tanam

Memilah tanaman tembakau laik hidup

Pemeliharaan

Pemupukan Lanjutan I dan II

Penyiangan atau pembersihan lahan

dari gulma

Pemangkasan bunga (topping)

Pemangkasan tunas (suckering)

Penyemprotan pestisida

Panen dan Pasca Panen

Panen Pemetikan

Pengolahan Hasil

Fermentasi

Pencampuran gula

Penganjangan

Penjemuran

Pengemasan

Terkait pemasaran hasil panen, petani mempunyai beberapa pilihan untuk

memasarkan hasil panen tembakaunya yaitu melalui tengkulak, pedagang

perantara, pedagang kecil, pedagang besar, atau langsung ke perwakilan pabrik

perusahaan rokok. Petani tidak bisa langsung memasarkan tembakaunya ke

perusahaan rokok karena meknisme rantai pasar yang ada tidak memungkinkan.

Patokan harga jual tembakau berasal dari harga dasar yang diinformasikan oleh

perusahaan rokok, umunya disebut dengan istilah harga per totol. Totol tembakau

masing-masing perusahaan rokok mempunyai perbedaan istilah namun pada

umumnya bisa dibagi menjadi 9 tingkat, muali dari totol A sampai totol I. Dari

sini petani seringkali dirugikan dengan beberapa ulah nakal pedagang yang

menurunkan harga jual sepihak. Kualitas tembakau menjadi salah satu alasan para

pedagang menekan harga jual tembakau.Selain itu, petani juga dirugikan oleh

beberapa praktik curang yang seringkali dilakukan oleh oknum pedagang seperti

Page 19: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

19

medifikasi alat timbang, tidak dihitung comotan atau contoh tembakau sebagai

hak pendapatan petani, penetapan rafaksi mengikuti berat bruto tembakau,

penetapan biaya tumplekan, serta pengangkutan ke gudang pedagang oleh petani. \

“Jadi seperti ini, kalau menurut saya utang ke Juragan itu sebenarnya

petani itu dibodohi. Sekarang kalau misalnya saya petani dan anda

membeli tembakau ke saya, kok kenapa biaya untuk tumplekan, biaya

untuk mengangkut keranjang, dan biaya angkut ke Parakan itu menjadi

beban petani. Itu kan lucu, seharusnya kan itu menjadi tanggungan

Juragan. Terus juga persenan keranjang. Kalau 30 kg diambil 7 kg kalau

40 kg diambil 8 dan kalau 50 kg nanti naik lagi. Kalau saya itu

memotong hasil per keranjang sampai Rp. 70.000. Baik untuk tumplekan,

mobil, dan biaya pengangkutan. Belum lagi nanti comotan contoh itu

tidak dihitung. Habis-habisan petani itu.” Ujar Pak Wanto

“Kalau harga kan patokannya petani cuma di totol itu. Nanti Juragan itu

masih melihat kualitasnya lagi. Seperti tembakau ini aromanya seperti

apa, Swanbin atau Swating. Terus juga kalau dipegang bagaimana, tebal

atau tidak. Banyak sekali pertimbangannya. Juga yang menentukan tetap

pedagang, petani mau ngeyel itu tidak bisa. Cuma nanti pasti ada proses

tawar menawar ya .” Ujar Pak Yanto

Menurut para petani, PT. Bentoel memang selama ini menjadi andalan

pemsaran tembakau bagi mereka. Namun, dalam beberapa tahun terakhir

diketahui PT. Bentoel tidak melakukan pembelian tembakau. Bagi petani, mereka

tidak terlalu mempermasalhkan PT. Bentoel melakukan pembelian atau tidak,

mereka akan tetap bertani tembakau meski PT. Bentoel tidak melakukan

pembelian. Petani masih bisa memasarkna hasil panen ke perusahaan rokok lain,

dengan catatan keuntungan yang didapat tidak sebesar ketika PT. Bentoel

melakukan pembelian. Para petani tembakau tidak menganggap usahati tembakau

mereka tergantung pada pembelian PT. Bentoel, hanya saja ketika PT. Bentoel

tidak melakukan pembelian semangat bertani mereka luntur. Segemntasi pasar

kualitas tembakau yang diminta oleh PT. Bentoel adalah tembakau menengah dan

pada umumnya petani Desa Campurejo banyak menghasilkan kualitas tembakau

menengah. PT. Bentoel mampu menyerap tembakau kualitas menengah lebih

banyak daripada perusahaan rokok lain, maka dari itu petani merasa rugi ketika

PT. Bentoel tidak melakukan pembelian. Harga pasar tembakau mengah menjadi

turun di mata perusahaan lain seiring tembakau mereka juga tidak dapat terjual

semuanya.

“Kalau dikatakan tergantung itu tidak. Pengaruhnya itu cuma di

semangat mau menanam tembakau. Soalnya seperti ini, hasil tembakau

itu kan yang paling banyak kualitas tanggung-tanggung, kalau yang

kualitas bagus itu sedikit. Ibaratnya seperti ini, kalau Gudang Garam mau

membeli dengan harga Rp. 100.000/kg terus Bentoel dengan harga Rp.

90.000/kg, lebih baik dimasukkan ke Bentoel. Soalnya tembakau itu

terserap semua, walaupun harganya di bawah harga Gudang Garam. Tapi

kalau pabrik lain kan beda, misalnya kita punya 10 keranjang, terus yang

kena harga Rp. 100.000/kg hanya 5 keranjang, ya yang dibeli cuma 5

Page 20: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

20

keranjang saja. Andaikata mau membeli 5 keranjang sisanya, harganya

nanti ditekan sekali. Petani itu kesusahan memang kalau Bentoel tidak

beli” Ujar Pak Wanto

“Sebenarnya tidak berpengaruh informasi Bentoel beli atau tidak, yang

penting tanam tembakau gitu. Jadi kalau Bentoel tidak beli itu susahnya

saya harus belajar lagi. Soalnya kan pasarnya beda. Saya orang Bentoel

nanti masukkan ke Gudang Garam, harus belajar sistemnya Gudang

Garam lagi. Tapi secara keseluruhan itu nyaman jika Bentoel beli.

Soalnya kan daerah sini kebanyakan tembakau sedang. Tidak banyak

tekanan terhadap harga. Belum nanti masuknya susah di pabrik selain

Bentoel itu.” Ujar Pak Rochimin

“Sebenarnya tani itu susah kalau Bentoel tidak beli. Terus mau dijual

kemana tembakau kualitas sedang itu. Kalau masuk pabrik lain itu

terkadang harganya rendah, merugikan. Kalau tidak mau dijual masa

beberapa keranjang tembakau itu mau dirokok sendiri, ya sakit mulutnya.

Sekarang, memang sudah lama menjadi bakul dan saya sudah banyak

tahu, setiap menjual tembakau, petani itu sering dicurangi. Ya mengakali

timbangan, ya menurunkan harga alasannya kebanyakan gula,

kebanyakan campuran tembakau lain. Juga terkadang dibohongi kalau

gudang segera tutup. Tapi kan itu tidak semua Juragan atau tengkulak,

cuma terkadang ada beberapa ya.” Ujar Pak Yanto

Sebagai petani tembakau yang hidup dalam satu lingkup lingkungan sosial

masyarakat Jawa, para petani tembakau mempunyai karakteristik kebudayaan

yang sama pula. Mereka merupakan petani yang mempunyai karakter sosialis,

peduli lingkungan sosial dan budaya, serta sosok yang religius. Hal ini tercermin

dari pemaknaan mereka tentang biaya produksi pertanian. Petani tidak

menghitung biaya makan tenaga kerja sebagai komponen pembebanan biaya

usahatani. Bagi mereka makan bersama buruh tani merupakan wujud dari berbagi

rasa kebersamaan atau brayan. Terlebih lagi bagi Pak Yanto, ia juga seringkali

memberi intensif berupa pakaian dan biaya transportasi bagi buruh tani agar

senantiasa merasa betah bekerja ditempatnya. Di sisi lain, para petani juga masih

memegang erat budaya Jawa turun-temurun yaitu ritual selametan menjelang

masa tanam dan masa panen tiba. Selamaten rutin dan wajib dilakukan sebagai

ajang pemanjatan doa meminta perlindungan kepada Tuhan bagi usahatani

tembakaunya, serta sebagai ajang melestarikan budaya Jawa.

“Kalau selametan itu rutin, wajib. Soalnya apa, kalau tidak mengadakan

selametan hati saya tidak tenang. Takut kalau nanti ladang tidak

memberikan rejeki yang memberkahi. Selametan itu juga untuk

menghormati nenek moyang yang telah mewariskan ladang tembakau

ini. Juga untuk berdoa, apa salahnya melestarikan budaya Jawa yang

memberikan kebaikan lah istilahnya” Ujar Pak Wanto

“Selametan kalau orang di sini harus. Ya itu untuk berdoa agar nanti

selalu diberi perlindungan oleh Gusti Allah, dan diberikan musim

tembakau yang bagus” Ujar Pak Rochimin

“Kalau orang sini hajatan atau selametan itu harus dilakukan. Kan itu

sudah menjadi tradisi nenek moyang. Kalau tidak melakukan selametan

Page 21: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

21

nanti pada takut hasilnya tidak bagus. Selain itu kan juga untuk

melestarikan kebudayaan jawa ya, soalnya kan kita orang Jawa. Kalau

masalah agama dan ibadah kan intinya selametan itu sama-sama untuk

berdoa. Selain itu juga untuk mensyukuri nikmat dari Gusti Allah.”

Ujar Pak Yanto

Analisis Data Etnografi

Dalam analisis ini, terdapat 13 istilah pencakup yang membentuk

taksonomi-taksonomi terpenting. Taksonomi tersebut ditentukan berdasarkan tiga

domain yang melingkupi ketergantungan petani yaitu ketergantungan global,

ketergantungan lokal, dan bebas ketergantungan. Sedangkan komponen yang

melingkupi taksonomi ketergantungan petani adalah akuntansi ketergantungan

pasar pertanian, akuntansi ketergantungan produksi pertanian, dan celoteh

kebudayaan petani tembakau (dimensi sosio-kultural-religiusitas; dijelaskan lebih

lanjut di bagian refleksi). Semua lingkup komponen analisis membentuk dua tema

besar penelitian yaitu tema ekonomi dan tema kebudayaan. Analisis data etnografi

ini menjadi acuan penulisan etnografi pada bagian-bagian selanjutnya.

Tabel 4. Analisis Data Etnografi

Analisis

Domain

Analisis Taksonomi Analisis

Komponen

Analisis

Tema Istilah Tercakup Istilah Pencakup

Ketergantungan Global

Tidak terlalu susah

Semua jenis tembakau dibeli Hasil panen banyak kualitas

menengah

Pabrik lain jarang beli tembakau

menengah

Menjual ke PT.

Bentoel

Akuntansi

Ketergantungan

Pasar Pertanian

Ekonomi

Mengangkat penghasilan petani

Petani senang Petani semangat

Petani merasa aman

PT. Bentoel

melakukan pembelian

Pabrik lain minim pesaing

Harga turun/tertekan dipabrik lain Kesusahan mencari pasar baru

Petani merasa kecewa

Semangat petani luntur Mempelajari sistem pembelian pabrik lain

PT. Bentoel tidak melakukan

pembelian

Pra Panen

Penyemaian Bibit Pengolahan Tanah

Pencangkulan

Pemupukan dasar Pembuatan Guludan

Penanaman

Penyulaman Pemeliharaan

Pemupukan Lanjutan

Penyiangan Pemangkasan bunga

Pemangkasan tunas

Pemberantasan hama dan penyakit Panen dan Pasca Panen

Pemetikan

Fermentasi Perajangan

Pencampuran Gula

Penganjangan Penjemuran

Pengemasan

Aktivitas produksi

pertanian

tembakau Akuntansi Ketergantungan

Produksi

Pertanian

Sewa lahan Tenaga Kerja

Pupuk Kandang

Pupuk Kimia Pestisida

Komponen biaya produksi

Page 22: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

22

Keranjang

Rigen (Alat jemur) Mesin perajang

Alat perajang

Alat semprot Pengadaan bibit

Tempat fermentasi

Gula Biaya Selametan

Beban Bunga

Letak Tanah : Lamuk

Lamsi

Swanbin Swating

Tyong Gang

Twalo

Paksi

Tegal Banyon/Sawah

Tekstur warna atau totol tembakau rajangan:

Hijau (A)

Hijau kekuningan (A+) Kuning kehijauan (B)

Kuning sedikit hijau (B+)

Kuning (C) Kuning bersih agak merah (C+)

Kuning kemerahan (D)

Merah bersih agak coklat sedikit hitam (E)

Merah kecoklatan hingga hitam,

Srinthil (F, G, H, I)

Indikator

penilaian kualitas

dan penetapan harga jual

tembakau

Ketergantungan Lokal

Timbang bayar

Bagi hasil

Jual beli Persenan

Sistem

pembayaran

Akuntansi

Ketergantungan

Pasar Pertanian

Tani Ton (Petani Tembakau)

Juragan

Bakul (Pedagang atau Tengkulak Perantara)

Gaok (Pedagang Kecil) Pedagang menengah

Pedagang besar

Opkoper (Perwakilan Pabrik) Grader

Pabrik rokok

Pelaku rantai pasar tembakau

Modifikasi alat timbang

Harga diturunkan karena : Banyak campuran gula

Banyak campuran tembakau lain

Isu gudang segera tutup Comotan (contoh) tidak dihitung

Pengurangan berat keranjang

mengikuti berat bruto Pembebanan biaya tumplekan dan

biaya angkut penjualan

Nglimolasi (sistem bunga 50%)

Praktik yang

merugikan petani

Mendapat kepastian pemasaran

Menjual kesetiaan dan kepercayaan

kepada juragan Kegiatan sampingan

Persenan sebagai Tambahan

penghasilan Mensejahterakan keluarga

Petani sekaligus

Bakul

Bebas

Ketergantungan

Berhemat

Arisan Macul / Arisan Mencangkul

Teliti menentukan pengeluaran Tenaga kerja perempuan

Brayan Royal (Murah hati)

Kuat iman

Tidak jauh dari Tuhan

Memperoleh

pendapatan yang optimal

Sosio-Kultural Budaya

Page 23: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

23

Tembakau sebagai Jiwa/Jati diri petani

Warisan turun temurun

Tembakau sudah mendarah daging Penghasilan dari tembakau belum ada

yang menandingi

Hasil jagung dan palawija sedikit

Penyebab Bertani

Tembakau

Ladang terjaga dari hal-hal buruk

Takut hasil tidak bagus

Nguri-uri (melestarikan) kebudayaan Jawa

Status sebagai orang Jawa Selametan

Panjatan doa Meminta keselamatan

Religiusitas

Percaya pada tokoh (APTI, Pak Ganjar)

Percaya kepada orang yang dituakan

Optimistis karena mimpi Bentuk kepasrahan

Sosio-Kultural

Tawakal

Pasrah

Banyak berdoa

Religiusitas

Tabel 5. Dimensi Kontras Sumber Modal Usahatani

Petani Juragan Bank Jumlah

Pak Wanto √ - Rp. 10.000.000

Pak Rochimin √ - Rp. 5.000.000

Pak Yanto √ √ Rp. 15.000.000

Tabel 6. Dimensi Kontras Komponen Biaya yang Dihitung

Petani

Komponen Biaya

Sewa

Lahan

Tenaga

Kerja Pupuk Obat

Pra

Panen Bibit

Pak Wanto - √ √ √ √ √

Pak

Rochimin √ √ √ √ √ √

Pak Yanto - √ √ √ √ √

Tabel 7. Dimensi Kontras Penggunaan Jenis Pupuk

Petani Pupuk Urea Pupuk Za Pupuk Phonska

Pak Wanto - √ -

Pak Rochimin - √ √

Pak Yanto √ √ -

Tabel 8. Dimensi Kontras Jumlah Hari Kerja dan Penggunaan Tenaga Kerja

Petani Pak Wanto Pak Rochimin Pak Yanto

Pra Panen

Tenaga Kerja Keluarga 15 orang 26 orang 21 orang

Buruh Tani 37 orang - 20 orang

Total Hari Kerja 66 hari 50 hari 53 hari

Pasca Panen

Tenaga Kerja Keluarga 2 orang 3 orang -

Buruh Tani 4 orang 2 orang 5 orang

Total Hari Kerja 45 hari 30 hari 30 hari

Page 24: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

24

Tabel 9. Dimensi Kontras Aset Produksi yang Dimiliki

Petani Tanah Alat Rajang

Tradisional

Mesin

Rajang Alat Semprot

Pak Wanto √ - √ √

Pak Rochimin - √ - -

Pak Yanto √ - √ √

Refleksi

Secara garis besar, keadaan ketergantungan sangat dipengaruhi oleh

aktivitas pertanian tembakau yang ditujukan untuk mencapai net farm income

terbaik. Dari sini dapat diketahui bahwa ketergantungan petani baik yang bersifat

global maupun lokal berada dalam dua ranah akuntansi yaitu ranah produksi dan

ranah pasar. Ranah produksi meliputi aktivitas teknis budidaya atau pola produksi

tembakau, perhitungan harga pokok produksi, serta hubungan antara petani

dengan juragan dalam pengadaan modal awal. Aspek-aspek tersebut mempunyai

keterkaitan antara satu dengan lainnya dan pada akhirnya nanti akan membentuk

faktor-faktor ketergantungan yang lebih spesifik seperti ketergantungan petani

pada pestisida, ketergantungan pada pupuk kimia, maupun ketergantungan petani

pada modal juragan.

Aspek ketergantungan produksi memiliki hubungan saling mempengaruhi

dengan bentuk ketergantungan lain pada ranah pasar yaitu ketergantungan harga

jual tembakau. Pembentukan harga jual menjadi fokus utama ketergantungan pada

ranah pasar karena peran harga jual yang sangat berpengaruh pada penerimaan

petani. Harga jual bergantung pada faktor kualitas tembakau, sedangkan petani-

petani tersebut tidak bisa mendapatkan harga tertinggi karena tembakau yang

dihasilkan tidak mampu mencapai kualitas tertinggi pula. Letak tanah Swanbin

hanya memungkinkan petani untuk menghasilkan kualitas tembakau menengah,

karenanya mereka akan mengatur pola produksi sedemikian rupa, minimal demi

menunjang produktivitas yang menguntungkan. Karena hal tersebut pula, petani

akan sangat mengharapkan PT. Bentoel melakukan pembelian. Meski harga yang

ditawarkan oleh PT. Bentoel untuk tembakau kualitas menengah lebih rendah dari

perusahaan rokok lain, namun PT. Bentoel seringkali mau untuk membeli semua

tembakau petani. PT. Bentoel melakukan pembelian atau tidak, petani akan tetap

bertani tembakau karena masih ada pasar lain yang mau membeli tembakau

petani. Hanya saja, kemungkinan besar petani akan mendapatkan keuntungan

yang lebih sedikit.

Faktor lain yang akan mempengaruhi harga jual adalah pola pemasaran

tembakau dari petani ke perusahaan rokok. Meskipun disebut oleh Padmo dan

Djatmiko (1991:71) bahwa pola pemasaran tembakau di Kabupaten Temanggung

ini sederhana, namun pola tersebut sangat efektif untuk mendistribusikan sebagian

besar laba ke perusahaan rokok dan pedagang, serta di sisi lain mengesampingkan

atau bahkan memarginalkan pendapatan petani. Pola pemasaran tembakau

melibatkan beberapa agen ekonomi seperti tengkulak, pedagang kecil, pedagang

besar, ataupun perwakilan pabrik yang secara struktural berada di atas petani.

Dampaknya adalah harga jual tembakau ditingkat petani akan sangat rentan

terhadap kooptasi kepentingan yang berlebihan oleh para agen ekonomi tersebut.

Mungkin saja keuntungan akan sebagian besar dinikmati oleh pedagang, dan hak-

hak petani yang termarginalkan “membengkak” pada rantai pemasaran di tingkat

Page 25: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

25

pedagang atau tengkulak. Karenanya dibutuhkan suatu konsep pembentukan

harga jual yang benar-benar bisa melindungi kepentingan petani tembakau sebagai

core-business pertanian.

Secara keseluruhan, aktivitas manajerial pertanian Pak Wanto, Pak

Rochimin, dan Pak Yanto tidak jauh berbeda. Mereka menilai berbagai komponen

untuk menghitung besarnya biaya produksi berdasarkan pada uang tunai yang

mereka keluarkan. Beberapa komponen biaya yang diperhitungkan adalah biaya

pengadaan bibit, biaya tenaga kerja, biaya pengadaan pupuk dan pestisida, dan

biaya persiapan panen. Sebagai petani tembakau Jawa, mereka memiliki karakter

perilaku sosial budaya yang sama. Ketiganya merupakan sosok-sosok petani yang

religius, sosialis, dan berwawasan budaya sangat kuat. Tentu karakter tersebut

selaras dengan ajaran tentang kebudayaan Jawa yang melekat pada diri mereka.

Bahwa selayaknya manusia Jawa harus lebih dulu mengedepankan kepentingan

orang lain, ber-tepa slira, nerima ing pandum, dan lain sebagainya.

Pola pikir serta karakter kultural petani tersebut melebur menjadi satu

dengan pola pikir ekonomisnya dalam beberapa aspek seperti tidak dihitungnya

biaya makan tenaga kerja karena dianggap sebagai bentuk rasa kebersamaan

(brayan), pemberian insentif pakaian dan transportasi bagi tenaga kerja,

melakukan selametan yang secara simbolis mempunyai nilai value added bagi

aset petani, serta inisiatif cerdas dari para petani Desa Campurejo untuk

mengadakan arisan mencangkul, meski sekarang arisan tersebut sudah jarang

ditemui. Tampaknya dimensi kultural inilah yang mampu membedakan antara

petani dengan individu profitcentris lainnya. Pasalnya, gerak petani untuk juga

mengejar laba sebagai tujuan utama akan terbatasi dengan pola pikir yang

terbentuk jauh sebelum mereka berkutat dengan pertanian tembakau. Dalam

pengertian lain, dimensi kultural yang bebas dari ketergantungan ini berpotensi

untuk mengentaskan petani dari keadaan ketergantungan. Berbagai bentuk

ketergantungan petani sejatinya tidak memberikan kebaikan bagi petani itu

sendiri, lingkungan sosial, maupun lingkungan alam pertanian. Tapi hal tersebut

akan terbantahkan jika pola pikir petani tembakau Jawa masih berada dalam

fitrahnya.

Akuntansi merangkum serta melingkupi segala aspek dalam ekonomi

pertanian. Akuntansi juga mempunyai peran dalam pembentukan ketergantungan

petani. Peran apa saja yang sebenarnya dimainkan oleh akuntansi konvensional

dan konsep net farm income konvensional dalam keadaan ketergantungan ini?

Timbul pertanyaan pula dari sini, bagaimana sebenarnya hubungan antara

akuntansi dengan ekonomi petani? Serta konsep net farm income seperti apa yang

mampu memihak keberadaan petani? Untuk lebih mengkongkritkan pembahasan

dalam bab-bab selanjutnya, ketergantungan petani akan difokuskan dalam

beberapa hal. Pertama, ketergantungan bersifat global petani pada pola produksi

pertanian intensif. Ketergantungan tersebut dikatakan global mengingat pertanian

intensif ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang di dalamnya termuat

unsur-unsur pro eksploitasi laba perusahaan multinasional. Pertanian intensif yang

diterapkan para petani tersebut juga mengakibatkan munculnya ketergantungan

global petani pada input pertanian berupa bibit serta pestisida kimia dan

ketergantungan lokal petani pada pupuk kimia.

Meskipun bibit diusahakan petani secara mandiri, namun masih terdapat

indikasi petani mengalami ketergantungan global pada bibit unggul karena

Page 26: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

26

pengaruh pasar yang menginginkan kualitas tembakau terbaik. Ketergantungan

petani pada pestisida kimia dikatakan bersifat global karena produsen pestisida

yang digunakan petani adalah anak perusahaan multinasional yaitu Dow

Agroscience dan Bayer AG. Di sub bab 5.2 telah dijelaskan bahwa

ketergantungan yang bersifat lokal muncul karena keterlibatan unsur kelokalan

dalam pertanian tembakau. Petani dikatakan mempunyai ketergantungan lokal

pada pengadaan pupuk kimia karena produsen jenis pupuk kimia yang digunakan

petani adalah perusahaan BUMN Petrokimia Gresik.

Kedua, ketergantungan global petani pada harga jual tembakau.

Ketergantungan ini dikatakan global karena harga jual yang berlaku berada

ditangan perusahaan rokok penyerap tembakau petani. Lebih spesifik dikatakan

global mengingat salah satu perusahaan rokok yang menjadi objek studi kasus

adalah PT. Bentoel International Investama selaku anak perusahaan multinasional

British American Tobacco. Pasar tembakau juga memunculkan dua perusahaan

rokok nasional sebagai alternatif pemasaran tembakau petani narasumber yaitu

PT. Gudang Garam dan PT. Djarum, karenanya ketergantungan pasar petani pada

dua perusahaan rokok tersebut dikatakan sebagai ketergantungan lokal.

Ketiga, ketergantungan lokal petani tembakau pada pola pemasaran

tembakau. Pola pemasaran tembakau di Kabupaten Temanggung banyak

melibatkan masyarakat lokal sebagai rantai pasar pelaku pertembakauan. Praktik-

praktik perdagangan pada rantai pasar tersebut memunculkan satu bentuk

ketergantungan yang lebih spesifik yaitu ketergantungan petani pada pengadaan

modal melalui juragan. Keempat, aspek bebas ketergantungan berdasarkan tema-

tema budaya yang melingkupi diri petani tembakau. Aspek kebudayaan ini

mempunyai esensi bebas ketergantungan karena nilai-nilai kebudayaan yang

diperlihatkan petani tembakau murni berasal dari dalam nurani petani tembakau

sebagai manusia Jawa. Pada akhirnya, nilai-nilai kebudayan tersebut juga mampu

membentuk karakter maupun pola pikir ekonomis khas petani tembakau Jawa.

Aspek peleburan nilai kebudayaan ke dalam ekonomi petani tembakau bisa

memunculkan peluang untuk petani keluar dari zona ketergantungan.

MEMAKNAI AKUNTANSI KETERGANTUNGAN PRODUKSI PETANI

TEMBAKAU

Ketergantungan : Selayang Pandang Pembangunan Pertanian Indonesia

Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi ajang ekploitasi bisnis

dalam bidang pertanian. Melimpahnya sumber daya pertanian yang tersedia,

didukung dengan rapuhnya sistem maupun paradigma pembangunan ekonomi

Indonesia menjadi ketertarikan sendiri bagi negara maju maupun perusahaan

multinasional untuk berinvestasi (baca: eksploitasi). Globalisasi yang sepaket

dengan industrialisasi menjadi perangkap jitu untuk memenjarakan pertanian

Indonesia dalam cakar-cakar ekploitasi. Globalisasi selalu menawarkan perbaikan

dalam segala hal terkait pembangunan ekonomi masa depan dengan paket-paket

kebijakan berparadigma modernisme. Seolah memahaminya dengan sangat baik

akan pengaruh globalisasi, pembangunan pertanian Indonesia pun didasarkan

pada paradigma modernisme. Indonesia telah lama menerapkan paradigma

pembangunan pertanian modern-industrialis. Meski mungkin bukan yang

pertama, namun Revolusi Hijau layak dipandang sebagai awal pembangunan

pertanian modern yang memberi dampak besar kepada pertanian Indonesia ke

Page 27: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

27

depannya. Semangat Revolusi Hijau pada masa orde baru tersebut ialah

meningkatkan pertumbuhan disektor pangan atau swasembada pangan. Gerakan

tersebut ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan petani pada cuaca

dan alam, digantikan dengan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya

meningkatkan produksi pangan. Paket program Revolusi Hijau dijalankan melalui

BIMAS (Bimbingan Massal), yang kemudian beralih menjadi INMAS

(Intensifikasi Massal).

Paket program BIMAS dan INMAS yang telah dijalankan selama puluhan

tahun tersebut kemudian mampu membentuk sebuah kebiasaan, bahkan budaya

baru bagi pertanian Indonesia. Pengejaran hasil produksi dalam skala masif telah

menyeragamkan pola produksi petani. Petani menjadi terbiasa dengan paket

program yang telah dibuat oleh pemerintah. Revolusi Hijau mampu mengubah

mindset petani tentang pola produksi pertanian. Bahwa jika ingin mencapai

produktifitas tinggi maka produksi pertanian haruslah menggunakan bibit unggul

bersertifikat, pupuk kimia agar tanaman subur, serta pestisida sebagai pembasmi

hama dan penyakit. Layaknya sebagai klimaks dari sebuah kebiasaan, pada

akhirnya petani tergantung dengan industri di tiga input produksi pertanian

tersebut. Revolusi Hijau memang mendatangkan tepuk tangan dari FAO ketika

pada tahun 1985 hingga 1989 Indonesia mampu mencapai swasembada beras.

Namun tak disangka, tepuk tangan tersebut berlanjut sampai saat ini bahkan juga

diiringi gelak tawa dalam topeng berbeda. Topeng lancarnya agenda

“pembodohan” petani dan pertanian Indonesia.

Di sisi lain, Revolusi Hijau juga mampu meruntuhkan struktur organisasi

dan pengetahuan tradisional para petani. Keragaman hayati dan varietas pangan

yang dihasilkan petani tereduksi jumlahnya dari sebelumnya 100 varietas bibit

padi lokal, kemudian hanya tersisa 25 varietas saja (Puspitosari, 2009). Revolusi

Hijau yang dilaksanakan dalam struktur pertanian yang tidak merata dan di bawah

ketentuan korporasi-korporasi internasional di bidang kimia serta biologi ini, telah

memperburuk distribusi pendapatan, pengangguran dari tenaga-tenaga kerja

pedesaan, diskriminasi terhadap perempuan, serta perusakan terhadap lingkungan

(Wahono dan Thomas, 2000). Maka dari itu, tidaklah terlalu berlebihan jika

Revolusi Hijau dikatakan sebagai biang dari ketergantungan petani dengan pupuk

kimia, pestisida, dan bibit buatan korporasi sampai saat ini.

Era program Revolusi Hijau berakhir pada periode 1990-an, ketika muncul

sistem agribisnis sebagai paradigma baru pembangunan pertanian Indonesia.

Pendekatan agribisnis mengasumsikan bahwa aktivitas pertanian adalah sebuah

sistem yang di dalamnya bekerja dan berinteraksi sejumlah subsistem. Sistem

tersebut berisi kegiatan produksi pertanian itu sendiri (farm activity), ditambah

dengan sejumlah off-farm activity seperti pengolahan hasil, pemasaran hasil,

penyediaan sarana produksi, dan perbaikan infrastruktur.

Tujuan dari sistem agribisnis yaitu peningkatan produktifitas pertanian

diiringi dengan peningkatan nilai tambah pertanian, distribusi pendapatan yang

merata, serta mewujudkan ketahanan pangan. Maka dari itu, pembangunan

pertanian melalui sistem agribisnis masih menempatkan paradigma pertanian

industrial-modern untuk menunjang pelaksanaan kegiatan pertanian dalam lima

subsistem tersebut. Sayangnya, tujuan dari agribisnis yang begitu mulia tersebut

pada akhirnya pula akan menempatkan perusahaan-perusahaan swasta sebagai

pelaku utama agribisnis. Dengan kekuatan modal dan penelitian yang dimiliki,

Page 28: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

28

perusahaan swasta terutama milik asing akan mampu menyediakan berbagai

kebutuhan teknologi pertanian, seiring perubahan kebutuhan produksi pertanian

dari tradisional ke modern. Perusahaan swasta akan lebih mampu untuk

menghasilkan sarana produksi pertanian seperti benih-benih unggul, pupuk

kimiawi, obat-obat tanaman, maupun produk pertanian itu sendiri baik yang

berlaku sebagai komoditas atau produk pertanian yang mempunyai nilai tambah.

Tidak sampai di ranah hulu saja, perusahaan swasta juga mampu menguasai ranah

hilir pertanian seperti distribusi maupun pemasaran produk pertanian hingga

tingkat eceran.

Sistem agribisnis pada akhirnya pula menempatkan sebuah perusahaan

agribisnis terutama yang bergerak di bidang industri pengolahan pangan untuk

berperan ganda yaitu sebagai pasar sekaligus manajer utama bagi produksi

usahatani petani. Melalui standarisasi produk pertanian yang mereka tentukan,

sebuah perusahaan bisa mendikte pola produksi petani maupun harga jual yang

ditetapkan, terutama untuk komoditas pertanian musiman. Petani akan berusaha

memenuhi ekspektasi pasar yang pada gilirannya akan memberikan serangkaian

ketergantungan lain kepada petani. Sedangkan pasar tersebut hanya terbentuk dari

beberapa perusahaan saja, didukung dengan tidak adanya intervensi pemerintah

untuk mengatur pasar. Hasilnya sudah jelas bahwa petani akan selalu berada “di

bawah ketiak” perusahaan. Perusahaan bahkan bisa saja mengatur produksi petani

secara langsung melalui ikatan kemitraan misalnya. Petani tidak saja mendapat

ruang gerak terbatas dalam produksi pertanian, karena menganut ketentuan

perusahaan yang ingin mengejar produktifitas tinggi, petani bisa juga akan

dituduh sebagai perusak lingkungan.

Baik Revolusi Hijau maupun agribisnis, jika pembangunan pertanian masih

berada pada konsep modern-industrial, berbagai aspek yang cukup penting seperti

pemerataan distribusi pendapatan, kemandirian petani, unsur kekayaan intelektual,

maupun perwujudan kedaulatan pangan akan menemui jalan terjal. Konsep yang

ditawarkan dalam Revolusi Hijau maupun agribisnis sangat bertolak belakang

dengan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan menekankan kemandirian negara

mewujudkan keterjaminan pangan melalui kebijakan, pengaturan, penguasaan,

dan pengelolaan sumber daya, produksi, serta konsumsi pangan nasional yang

terlindungi dari kepentingan pasar global. Sementara itu, kedua sistem

pembangunan pertanian tersebut lebih cenderung untuk berupaya mencapai

ketahanan pangan, dengan menekankan pencapaian keterjaminan pangan berdasar

ketergantungan pada pasar liberal global ala WTO, tanpa peduli bagaimana dan di

mana pangan diproduksi.

Sistem pembangunan pertanian bebasis modern-industrial juga mampu

merubah pola pikir petani mengenai tujuan utama kegiatan pertaniannya. Kegiatan

bercocok tanam untuk menghasilkan produk pangan bernama pertanian ini secara

esensial ditujukan untuk kepentingan subsisten. Namun pertanian juga

mempunyai sebuah peluang akumulasi kekayaan bagi negara. Pertanian harus

dikelola oleh negara karena sejatinya tanah pertanian berada dalam wilayah

sebuah negara. Pengelolaan pertanian seharusnya mempunyai pendekatan yang

tepat agar tercapai tujuan yang dibarengi dengan kemakmuran. Pemerintah harus

pandai mengelola serta memilah pertanian berbasis komoditas dengan pertanian

subsisten. Tetapi, pembangunan pertanian yang telah dilaksanakan malah

mencampuradukkan dua komponen tersebut menjadi satu. Akibatnya, petani yang

Page 29: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

29

menjadi pelaku utama pertanian-dan dalam jumlahnya yang besar-, telah

memahami-yang seolah menganut pemerintah-bahwa tujuan satu-satunya

pertanian adalah untuk bisnis, tidak untuk yang lain. Sebuah kenyataan lain yang

tidak bisa dipungkiri akan melahirkan ketergantungan petani, bukan kemandirian

petani maupun kemandiran pertanian itu sendiri.

Net Farm Income dan Ketergantungan Petani Tembakau pada

Pupuk/Pestisida Kimia.

Jika melihat dari kacamata pertanian sebagai suatu usaha memenuhi net

farm income maksimal, maka bisa dikatakan bahwa pola produksi yang

diterapkan oleh para petani tembakau menganut paradigma pertanian intensif.

Pertanian intensif merupakan cara bertani yang memanfaatkan inovasi teknologi

dengan penggunaan input yang banyak untuk tujuan memperoleh output yang

lebih tinggi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Pertanian intensif dapat

disebut sebagai pertanian modern. Karakteristik dari pertanian intensif adalah

substitusi tenaga kerja manual dengan mekanik, substitusi pupuk dan pestisida

alami dengan pupuk atau pestisida agrokimia, penggunaan bibit unggul, serta

pemanfaatan air irigasi (Giller et al. 1996). Dalam pertanian intensif, manajerial

pertanian bepatokan pada prinsip pengelolaan pertanian yang se-efektif dan se-

efisien mungkin, namun tetap pada tujuan pengejaran produktifitas. Suatu

usahatani bisa saja menerapkan seluruh teknologi pertanian intensif, namun dalam

kasus petani tembakau ini, semua syarat yang ditawarkan oleh pertanian intensif

tidak diaplikasikan. Namun tampak jelas bahwa dalam pertanian intensif yang

diterapkan karena tujuan laba, tanah sebagai aset akan benar-benar dieksploitasi.

Pola produksi tembakau yang dijalankan oleh para petani tersebut sama-

sama ditujukan untuk mencapai produktifitas tinggi diikuti kualitas tembakau

yang bagus. Dalam konsep net farm income, dua faktor tersebut sangat

menentukan besar penerimaan usahatani selain pengelolaan biaya usahatani.

Pertanian tembakau ditujukan untuk kepentingan ekonomis, maka yang ada di

dalam pikiran para petani adalah bagaimana membentuk keuntungan yang

maksimal. Pastilah petani tidak menghendaki kerugian, dan demi mencapainya

petani akan mengantisipasi berbagai potensi yang merugikan. Selama ini,

memang pupuk dan pestisida kimia dianggap oleh banyak kalangan mampu

meningkatkan output pertanian dalam kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi.

Anggapan tersebut juga dibenarkan oleh petani tembakau. Demi menjaga peluang

meraih keuntungan yang maksimal, mereka menggunakan pupuk serta pestisida

kimia untuk memberantas hama dan penyakit tanaman. Tindakan tersebut bisa

dianggap wajar jika penggunaan pupuk dan pestisida kimia masih dalam kadar

yang sesuai aturan. Namun ketika penggunaan kedua input pertanian tersebut

tidak mengindahkan ketentuan, bisa saja lingkungan pertanian semakin rusak.

Pupuk dan pestisida kimia adalah dua input pertanian yang telah banyak

diketahui bahwa penggunaannya dalam jumlah yang besar akan memberi

pengaruh terhadap kerusakan lingkungan dan ekosistem pertanian, maupun

terhadap kesehatan manusia. Dalam jangka pendek, pupuk kimia memang mampu

mempercepat masa tanam karena kandungan haranya bisa diserap langsung oleh

tanah, namun di sisi lain dalam jangka panjang penggunaan pupuk kimia berlebih

justru akan menimbulkan dampak negatif. Pupuk kimia tidak 100% mampu

diserap oleh tanah dan tanaman. Residu dari pupuk kimia bila terkena air akan

mengikat unsur-unsur tanah menjadi lengket atau keras. Pada akhirnya,

Page 30: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

30

pemakaian pupuk kimia dalam jangka panjang dapat merusak sifat fisik, kimia,

dan biologi tanah sehingga kemampuan tanah untuk mendukung ketersediaan air,

hara, dan kehidupan mikroorganisme menurun (Dwicaksono et al. 2013).

Tabel 10. Konsumsi Pupuk Kimia di Pertanian Indonesia

Jenis

Pupuk

Total Konsumsi Domestik Per Tahun (Ribu Ton)

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Urea 5.621 5.649,5 5.783,5 5.717,5 5.724,3 5.546,8 5.216,7

Fosfat/SP-

36 801,5 594,9 714,7 634,8 723,2 858,7 830,6

ZA/AS 746,9 774,2 936,2 739,2 927 1.051,3 1.106,4

NPK 732,6 1.175 1.66,5 1.804,4 2.124,5 2.478,4 2.670,6 Sumber: Statistik Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (2014), diolah.

Kebutuhan pestisida memperlihatkan pertumbuhan yang terus meningkat

setiap tahunnya. Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan kebutuhan

pangan, diperkirakan pada tahun 2000 total konsumsi pestisida mencapai 55.76

ton dengan kecenderungan peningkatan pertumbuhan konsumsi sebesar 6,33%

(Suwahyono, 2010:27). Jelas konsumsi pupuk dan pestisida kimia dalam jumlah

besar tersebut mengancam kelestarian lingkungan. Menurut Sa’id (1994),

diketahui bahwa penggunaan pestisida dalam pertanian yang mengenai sasaran

hanya sekitar 20%, selebihnya atau sekitar 80% pestisida bersifat residu yang

mengendap ke dalam tanah dan dapat mencemari lahan pertanian. Apabila masuk

ke dalam rantai makanan, sifat beracun bahan pestisida dapat menimbulkan

berbagai penyakit seperti kanker, mutasi, bayi lahir cacat, CAIDS (Chemically

Acquired Deficiency Syndrom) dan sebagainya. Pestisida yang paling banyak

menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan manusia adalah

pestisida sintetik, yaitu golongan organoklorin. Tingkat kerusakan yang

disebabkan oleh senyawa organoklorin lebih tinggi dibandingkan senyawa lain,

karena senyawa ini peka terhadap sinar matahari dan tidak mudah terurai.

Pestisida memberi dampak besar terhadap pencemaran baik udara, air,

maupun ekosistem pertanian melalui beberapa siklus alam. Pestisida yang

sebagian besar jatuh pada lapisan tanah akan terurai di udara oleh sinar ultraviolet

matahari ataupun terserap masuk ke dalam lapisan tanah melalui resapan air

hujan. Pestisida yang terserap ke dalam tanah akan mengalir ke aliran sungai dan

kehidupan akuatik akan terancam karena kandungan racun pestisida mampu

mencemari kadar kelayakan air. Selain itu, dalam beberapa kasus juga ditemukan

bahwa penggunaan pestisida justru menyebabkan hama pertanian semakin kebal

terhadap pestisida (Taba et al. 2007; Suseno, 1993; dalam Amir et al. 2014:123-

124). Akibatnya, hama pertanian semakin merajalela karena justru hama tidak

mati dengan disemprot oleh pestisida, di sisi lain kehidupan binatang predator

pembasmi hama alami seperti burung dan kodok kemampuan berburunya

menurun juga dikarenakan pengaruh pencemaran pestisida.

Konsep net farm income yang juga menjadi sebuah ciri bagi konsep

pembentukan keuntungan di dalam akuntansi konvensional melalui laporan laba

rugi ini memberikan berbagai potensi ketergantungan bagi petani terutama dari

sisi pola produksi pertanian. Konsep net farm income juga berpotensi

menghasilkan kerusakan lingkungan karena pengaruh kreasinya terhadap pola

pikir petani. Beruntung petani tembakau masih memiliki kesadaran untuk patuh

Page 31: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

31

terhadap tata cara penggunaan pupuk serta pestisida kimia. Akan menjadi sebuah

bencana tatkala petani dengan sendirinya menentukan takaran penggunaan pupuk

dan pestisida kimia yang berlebih demi menjaga tanaman tetap produktif. Tanah

dan lingkungan alam yang melingkupi pertanian tembakau bisa-bisa terdegradasi,

dan dampaknya adalah eksploitasi besar-besaran lain karena ketidakmampuan

petani keluar dari jurang hegemoni bisnis. Maka dari itu, bisa dikatakan bahwa

rasionalisasi pembentukan net farm income menjadi salah satu penyebab utama

mengapa petani memiliki ketergantungan dalam ranah pola produksi pertanian

tembakaunya, terutama ketergantungan petani pada pupuk serta pestisida kimia.

Akrualisasi: Harga Pokok Produksi Ketergantungan

Total biaya atau total cost menjadi komponen kedua pembentuk net farm

income. Total biaya usahatani adalah penjumlahan antara total biaya tetap dengan

total biaya variabel usahatani. Akuntansi biaya mengenal suatu konsep

perhitungan total biaya produksi dengan istilah harga pokok produksi. Akuntansi

biaya dalam perhitungan harga pokok produksi berperan menetapkan,

menganalisa, dan melaporkan pos-pos biaya yang mendukung laporan keuangan

sehingga dapat menunjukkan data yang wajar. Akuntansi biaya menyediakan

data-data biaya untuk berbagai tujuan, maka biaya-biaya yang terjadi dalam

entitas harus digolongkan dan dicatat dengan sebenarnya, sehingga

memungkinkan perhitungan harga pokok produksi yang teliti. Perhitungan harga

pokok produksi dalam akuntansi biaya menggunakan konsep akrualisasi di mana

semua biaya yang dianggap mempunyai unsur pengorbanan harus dibebankan.

Menarik untuk melihat bagaiaman perbandingan nialai antara harga pokok

produksi berbasis perhitungan petani dengan akuntanis biaya. Dari sisni dapat

dipahami pula bagaiaman dampak atas implementasi perhitungan harga pokok

produksi berbasis akrual dalam akuntansi biaya terhadap ketergantungan petani.

Petani memperhitungkan total biaya produksi sesuai dengan perhitungan

secara awam dan mendasar. Petani memandang bahwa komponen-komponen

biaya yang ditetapkan untuk menghitung harga pokok produksi pertaniannya

adalah berupa uang yang dikeluarkan secara riil. Maka dari itu, komponen biaya

yang diperhitungkan dalam perspektif petani meliputi pengadaan bibit, upah

tenaga kerja buruh tani, pengadaan pupuk kandang dan pupuk kimia, pengadaan

obat tanaman, serta biaya-biaya pengadaan pada saat persiapan panen. Sedangkan

biaya yang tidak dihitung meliputi upah tenaga kerja keluarga, biaya makan

tenaga kerja, beban depresiasi, dan beban bunga. Total harga pokok produksi

pertanian tembakau masing-masing petani berdasarkan konsep akrual ialah Rp.

46.300.000, Rp. 26.165.500, dan Rp. 32.750.000. Jumlah ini berselisih jauh

dengan total harga pokok produksi dalam perspektif petani yaitu masing-masing

sebesar Rp. 26.975.000, Rp. 9.780.000, dan Rp. 26.960.000. Rincian perhitungan

harga pokok produksi pertanian tembakau dapat dilihat lebih lanjut di Lampiran 1

penelitian ini.

Page 32: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

32

Tabel 11. Perbandingan Harga Pokok Produksi Pertanian Tembakau Akuntansi Akrual (Dalam Ribu Rupiah)

Petani

Komponen Biaya

Total Biaya Sewa

Lahan

Tenaga

Kerja Pupuk Obat

Pra

Panen Depresiasi Bibit

Bunga

Utang

Pak Wanto - 30.095 3.870 510 5.125 1.450 250 5.000 46.300

Pak

Rochimin 4.600 12.715 1.400 170 2.235 370,5 175 2.500 26.165,5

Pak Yanto - 17.560 5.850 440 7.250 1.700 250 2.700 32.750

Petani (Dalam Ribu Rupiah)

Petani

Komponen Biaya

Total Biaya Sewa

Lahan

Tenaga

Kerja Pupuk Obat Pra Panen Bibit

Pak Wanto - 17.220 3.870 510 5.125 250 26.975

Pak Rochimin

4.600 1.200 1.400 170 2.235 175 9.780

Pak Yanto - 13.170 5.850 440 7.250 250 26.960

Perhitungan harga pokok produksi berdasarkan konsep akrual memiliki

konsekuensi logis yaitu nilai total biaya yang menjadi lebih besar. Ketika melihat

perhitungan total harga pokok produksi usahatani di atas, terlihat bahwa harga

pokok produksi yang dihitung berdasarkan akuntansi akrual selisihnya sangat jauh

bila dibandingkan dengan perhitungan petani. Bahayanya adalah nilai total biaya

yang semakin besar akan memicu semakin besarnya pula keinginan ekploitasi

untuk mencapai laba. Laba usahatani diakui atas dasar penerimaan dikurangi

dengan total biaya, ketika total biaya sangat menekan pendapatan maka jalan satu-

satunya adalah produktifitas yang akan digenjot. Sistem pertanian pun akan

dijalankan semakin intensif, mengurangi beberapa pos biaya yang terlalu

menekan, namun menambahkan beberapa biaya di sisi yang dianggap

memberikan jaminan produktifitas. Luas lahan atau tanah masih tetap pada angka

semula, maka kemudian semakin tergantung petani dengan pupuk kimia maupun

pestisida. Tanah akan semakin diperas karena konsekuensi dari penilaian yang

“salah kaprah”, diikuti dengan ekspektasi petani akan produktifitas yang tinggi.

Aktivitas bisnis merupakan sebuah aktivitas praktik. Karenanya, laporan

keuangan adalah produk akuntansi yang dimaksudkan untuk memberikan

informasi keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan praktik berkaitan

dengan bisnis tersebut. Implikasi akan hal itu adalah jalannya pola bisnis seperti

apa yang diharapkan oleh entitas dengan mengacu pada tujuan utamanya,

pencapaian laba. Laporan keuangan menjadi salah satu ujung tombak yang

digunakan karena informasinya dapat merepresentasikan kinerja bisnis entitas.

Jika saja kemudian semua konsep yang ditawarkan oleh akuntansi konvensional

terutama konsep akrualisasi tersebut benar-benar diterapkan secara langsung oleh

petani, kemungkinan besar pengejaran laba maksimal akan menjadi semakin

masif. Melibatkan pola produksi pertanian yang semakin intensif, dengan

kecenderungan petani untuk semakin tergantung pada korporasi, baik di sektor

hulu maupun hilir pertanian.

Page 33: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

33

Harga Pokok Produksi Petani Jawa: Kembali ke Fitrah Petani

Setiap tingkah laku, gerak-gerik, dan pola pemikiran para petani seolah

dengan sangat baik memperlihatkan bahwa konsepsi kehidupannya tidak bisa

lepas dari apa yang menjadi pandangan hidup manusia Jawa. Bahkan dalam

beberapa hal, karakteristik tersebut mampu membentuk ciri khas tersendiri bagi

karakter dan pola pikir ekonomis mereka. Melalui karakter cultural-social-

environmental yang melekat dalam pribadi petani, mereka mampu membatasi diri

untuk tidak mementingkan laba maksimal sebagai tujuan utama usahatani

tembakau. Mereka dengan kecerdasannya mampu untuk memilah keterkaitan

antara mana biaya yang bersifat bisnis, dengan mana biaya yang bersifat

pengorbanan atas dasar nilai-nilai sosio-kultural.

Seperti terlihat dalam perhitungan harga pokok produksi usahatani

tembakau, para petani sengaja tidak memasukkan biaya makan tenaga kerja

sebagai bagian dari pembebanan biaya produksi usahatani. Selayaknya dalam

pandangan ilmu ekonomi maupun ilmu akuntansi konvensional, biaya makan

tenaga kerja ini haruslah dibebankan ke dalam perhitungan harga pokok produksi

usahatani. Biaya makan merupakan salah satu bentuk beban, dan dengan sifatnya

tersebut biaya makan tenaga kerja seharusnya menjadi faktor yang diperhitungkan

sebagai pengurang pendapatan usahatani. Namun, berbeda dalam pandangan

petani tembakau, petani yang mendasarkan perhitungan harga pokok produksinya

secara lebih sederhana menganggap bahwa makan bersama buruh tani lebih

sebagai bentuk rasa berbagi kebersamaan antar sesama manusia, atau dalam istilah

Jawa yaitu brayan. Tak hanya memberikan jatah makan, petani seperti Pak Yanto

juga memberikan insentif kepada buruh tani berupa pakaian dan uang transportasi.

Pemberian insentif ini dilakukan agar para buruh tani merasa betah melakukan

berbagai aktivitas pekerjaan untuk si petani pemilik lahan. Pemberian insentif

seperti ini dianggap wajar ketika kita berbicara tentang pelaku industri-industri

berskala besar, namun berbeda ketika kita berbicara tentang petani tembakau.

Walaupun potensi keuntungan dari pertanian tembakau ini tidak sebesar industri-

industri besar, namun mereka juga memikirkan tanggung jawab sebagai seorang

pemberi kerja bagi para pekerjanya.

Adanya pola pikir petani tembakau tersebut tidak lepas dari karakteristik

mereka sebagai manusia Jawa yang sentimentil dalam urusan kemanusiaan.

Menciptakan hubungan yang harmonis merupakan suatu keharusan, maka bagi

orang Jawa yang lebih penting adalah bagaimana menyenangkan orang lain

terlebih dahulu. Masyarakat Jawa percaya bahwa manusia ideal adalah mereka

yang telah memiliki sikap batin yang tepat. Ia mampu untuk selalu mengendalikan

hawa nafsu, tidak egois, nerimo, ikhlas, berlaku jujur, bersahaja, dan ber-tepa

slira. Bagi mereka yang terpenting adalah ketentraman, dan petani sudah merasa

tentram jika pekerjaan tersebut dapat bermanfaat pula bagi orang lain, tanpa harus

memikirkan dihitungnya “biaya makan” ke dalam harga pokok produksi

usahataninya.

Maka dari itu, karakteristik petani yang bertolak dari ajaran kebudayaan

tersebut membentuk suatu pola pikir ekonomis yang khas. Pola pikir ekonomis

yang mengedepankan ketentraman, perdamaian, dan tidak eksploitatif. Ketika

misalnya petani tembakau benar-benar tidak memperdulikan unsur-unsur ajaran

kebudayaan dan sepenuhnya menjadi sosok businessman sejati, upaya pengejaran

laba petani dengan mengeksploitasi lahan pertanian menjadi tidak beraturan lagi.

Page 34: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

34

Petani akan memandang bahwa keadaan bisnis pertaniannya yang dipengaruhi

oleh perhitungan harga pokok produksi secara lebih luas (akrual), berdampak

pada pendapatan usahatani yang lebih kecil. Pada akhirnya, lahan pertanian lebih

dieksploitasi demi memenuhi target laba seusai harapan petani. dampak lebih

lanjut adalah lahan pertanian menjadi semakin rusak dan tidak berkelanjutan.

Karakter fitrah petani sebagai manusia Jawa membatasi multiplier effect konsep

net farm income seperti itu.

Diperlukan kesadaran oleh berbagai stakeholder pertanian nasional terutama

pemerintah untuk bisa menjaga nilai-nilai kultural yang ada, dengan tidak menjual

pertanian Indonesia ke entitas bisnis berdomain keserakahan, terlebih kepada

bangsa asing. Keserakahan baik yang dipraktikkan oleh korporasi maupun

individu profitcentris, senyatanya mampu membentuk belenggu ketergantungan

petani secara menyeluruh. Ketergantungan pertanian hanya akan berpihak pada

laba entitas bisnis kapitalis, tanpa memperhatikan masalah-masalah lain yang

sangat krusial seperti pemerataan distribusi pendapatan bagi petani dan dampak

negatif terhadap lingkungan. Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah budaya

memberikan banyak potensi untuk menopang eksistensi petani dengan

membebaskan mereka dari ketergantungan. Jika saja kemudian budaya ini juga

hilang karena kalah eksis dengan domain bisnis, diikuti ulah nakal “kawan” kita

di parlemen, bisa-bisa kedaulatan negara di pertanian kita ini akan hilang. Dan

sejarah benar-benar akan terulang.

MEMAKNAI AKUNTANSI KETERGANTUNGAN PASAR PETANI

TEMBAKAU

Khasanah Pertembakauan Kabupaten Temanggung

Kabupaten Temanggung merupakan salah satu daerah sentra produsen

tembakau di Indonesia. Komoditas tembakau Temanggung merupakan salah satu

jenis komoditas tembakau terbaik dari beberapa daerah sentral produsen tembakau

yang ada di Indonesia. Tembakau Temanggung digunakan dalam racikan rokok

kretek sebagai pemberi rasa dan aroma. Presentase penggunaan tembakau

Temanggung dalam racikan rokok kretek sekitar 12-24% (Rinto, 2006).

Tembakau diusahakan oleh sebanyak 55.771 rumah tangga petani tembakau di

Temanggung (BPS Temanggung, 2012). Dalam kurun waktu tahun 2007 sampai

dengan tahun 2012, rata-rata produksi tembakau Kabupaten Temanggung

mencapai 7.353 ton per tahun dengan luas lahan rata-rata 12.763 Ha per tahun.

Produksi tembakau Kabupaten Temanggung per tahun rata-rata sebanyak 3,9%

dari produksi tembakau nasional dan 23% pertahun dari produksi tembakau

Provinsi Jawa Tengah.

Menurut Mantan Bupati Temanggung periode 2007-2012 K.H Hasyim

Affandi, Temanggung tidak saja menjadi salah satu daerah sentra produksi

tembakau, melainkan telah menjadi sebuah pasar tembakau. Hal ini dikarenakan

setiap tahun volume tembakau yang diperdagangkan mencapai angka kelipatan

Harga Pokok Produksi Petani Tembakau =

Pembebanan Biaya Non Akrual + Wawasan Kebudayaan

(Kesadaran Sosial + Kesadaran Lingkungan + Kesadaran

Religiusitas)

Page 35: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

35

tiga, artinya jika produksi tembakau petani Temanggung setiap tahun adalah 7.000

ton, lalu mengapa tembakau yang diserap pabrik rokok mencapai 21.000 ton?

“Sisanya ini yang dinamakan tembakau Temanggung-an” ujarnya. Dengan kata

lain, tembakau dari daerah-daerah lain seperti Kendal, Wonosobo, Weleri, Garut,

hingga Magetan turut diperdagangkan di Kabupaten Temanggung.

Masyarakat Temanggung telah menganggap bahwa tembakau sebagai

tanaman wali (Brata, 2012:4) karena sebelum bibit tembakau diberikan kepada Ki

Ageng Makukuhan, Sunan Kudus telah memberi doa khusus terlebih dahulu.

Masyarakat Temanggung juga percaya bahwa Ki Ageng Makukuhan pertama kali

menanam tembakau di dusun Lamuk, desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo,

Kabupaten Temanggung. Alhasil, karena esensi kewalian tembakau tersebut,

daerah Legoksari sekarang terkenal sebagai penghasil satu jenis tembakau

unggulan Kabupaten Temanggung yang telah dikenal kualitasnya sebagai

tembakau terbaik di Indonesia bahkan dunia (DM, Ary, dan Harlan, 2011:46),

tembakau srinthil namanya. Srinthil melegenda di industri rokok kretek karena

aromanya yang begitu khas dan kandungan nikotinnya yang begitu tinggi.

Tembakau srinthil menjadi semakin langka karena kemunculannya sangat

dikaitkan dengan keberuntungan sang petani pemilik lahan. Bahkan baru-baru ini

tembakau srinthil telah dipatenkan sebagai kekayaan alam dari Temanggung

karena nilainya yang begitu tinggi tersebut (http//:berita.suaramerdeka.com).

Pertanian tembakau yang telah lama diusahakan di Kabupaten Temanggung

masih tejaga eksistensinya, bahkan menjadi sebuah kebiasaan yang prestisius bagi

masyarakat Temanggung. Pertanian tembakau telah bertransformasi sebagai bisnis

yang cukup menjanjikan. Perdagangan tembakau juga mampu memberi

sumbangan sebesar 30% per tahun terhadap PDRB Kabupaten Temanggung. Nilai

yang terakumulasi dari perdagangan tembakau di Kabupaten Temanggung

mencapai rata-rata sebesar 300 milliar per tahun. Angka besar tersebut tidak bisa

lepas dari tingginya permintaan tembakau oleh perusahaan. Tembakau

Temanggung banyak dibeli oleh perusahaan rokok karena berperan sebanyak 12-

24% dalam satu batang racikan rokok kretek (Rinto, 2006). Pantas jika kemudian

banyak perusahaan rokok mendirikan perwakilan-perwakilan pabrik di Kabupaten

Temanggung untuk membeli tembakau petani secara langsung.

Di balik cerita kemeriahan dan “keglamoran” bisnis tembakau di

Temanggung, terdapat sebuah dilema bagi petani ketika tiba musim panen

tembakau setiap tahunnya. Petani sering dibingungkan dan dicemaskan dengan

kondisi pasar terkait informasi permintaan pembelian perusahaan rokok serta

harga pasar yang ditetapkan. Petani cemas jika menjelang musim panen tembakau

tiba belum ada informasi yang beredar di masyarakat berapa besar perusahaan

rokok akan membeli tembakau petani dan berapa harga yang ditetapkan. Hal

tersebut wajar, mengingat sepenuhnya ketika musim tembakau tiba lahan

pertanian digunakan petani untuk menanam tembakau. Jika perusahaan

melakukan pembelian dalam jumlah kecil, sedangkan tembakau yang tersedia

begitu melimpah, persaingan di tingkat petani semakin tinggi. Petani terancam

rugi karena tembakaunya tidak akan laku semua.

Petani juga cemas ketika kondisi cuaca pada saat masa tanam tembakau

seringkali turun hujan dalam intensitas tinggi. Petani takut jika hujan terus

mengguyuri ladang maka tanaman tembakau akan mudah terserang penyakit,

sehingga mempengaruhi produktivitas dan kualitas tembakau rajangan. Kondisi

Page 36: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

36

cuaca tersebut juga yang seringkali dijadikan indikator perusahaan rokok untuk

melakukan pembelian dalam jumlah besar atau kecil, serta untuk menetapkan

berapa harga pasar untuk tembakau tersebut. Petani sepenuhnya tergantung

dengan perusahaan rokok karena pertanian tembakau ini secara spesifik hanya

mampu diserap oleh perusahaan-perusahaan rokok. Ancaman kerugian seringkali

menghampiri petani terutama karena faktor harga jual yang tidak menguntungkan.

Selain itu, posisi petani yang lemah juga mengakibatkan petani seringkali

mendapat perlakuan tidak adil dalam bisnis tembakau ini.

Harga Pasar yang Tergantung: Kritik Terhadap Fair Value

Sebelum beranjak langung menuju realitas pembentukan harga jual

tembakau, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pembentukan harga pasar

yang menjadi pedoman pengukuran atas nilai wajar atau fair value aset biologis

pada IAS 41. Peneliti akan mencoba menjelaskan di mana letak bahaya distorsi

dari harga pasar ini jika nanti IAS 41 sepenuhnya di adopsi ke dalam PSAK.

Harga pasar pada intinya adalah harga barang atau jasa dalam pasar kompetitif

yang tinggi rendahnya ditentukan oleh permintaan pasar dan penawaran pasar.

Harga pasar terbentuk ketika tercapai tingkat keseimbangan antara permintaan dan

penawaran, atau dengan kata lain harga pasar terjadi apabila jumlah barang yang

diminta sama dengan jumlah barang yang ditawarkan. Bila ditunjukkan dalam

bentuk kurva, maka harga keseimbangan merupakan perpotongan antara kurva

permintaan dengan kurva penawaran. Dalam harga keseimbangan berlaku hukum

permintaan dan penawaran yang umum berbunyi jika jumlah permintaan lebih

besar dari jumlah penawaran, maka harga akan naik, sedangkan jika jumlah

penawaran lebih besar dari jumlah permintaan, maka harga akan turun.

Sedangkan menurut Besanko dan Braeutigam (2005, dalam

http://wikipedia.or.ke), terdapat empat hukum dasar penawaran dan permintaan

yaitu pertama, jika permintaan suatu barang meningkat dan penawaran tidak

mengalami perubahan, kelangkaan terjadi dan titik harga keseimbangan akan

lebih tinggi. Kedua, jika permintaan suatu barang turun dan penawaran tidak

mengalami perubahaan, surplus terjadi dan titik harga keseimbangan akan lebih

rendah. Ketiga, jika permintaan suatu barang tidak mengalami perubahan

sedangkan penawaran mengalami peningkatan, surplus terjadi dan titik harga

keseimbangan akan lebih rendah. Keempat, jika permintaan suatu barang tidak

mengalami perubahan sedangkan penawaran turun, kelangkaan terjadi dan titik

harga keseimbangan akan lebih tinggi.

Kurva 1. Pembentukan Harga Pasar (Dasar Penilaian Fair Value)

Page 37: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

37

Keterangan :

P adalah harga yang ditawarkan

Q adalah kuantitas yang ditawarkan

D adalah jumlah permintaan di pasar

S adalah jumlah penawaran di pasar

E adalah harga keseimbangan yang terbentuk

Sifat alami pembentukan harga pasar mensyaratkan bahwa keseimbangan

permintaan dan penawaran terjadi dalam pasar yang kompetitif, di mana para

pelaku pasar tidak memiliki kemampuan secara langsung untuk mempengaruhi

harga dan jumlah barang di dalam pasar. Sementara itu, karakteristik pasar yang

paling kompetitif terdapat pada struktur pasar persaingan sempurna. Pasar

persaingan sempurna ialah suatu pasar di mana terdapat banyak penjual sehingga

tindakan masing-masing penjual tidak dapat mempengaruhi harga pasar yang

berlaku, baik dengan merubah jumlah penawarannya ataupun harga produknya.

Oleh karena itu posisi penjual dalam pasar persaingan sempurna adalah sebagai

price taker, karena hanya dapat menjual produknya pada harga yang berlaku di

pasar. Jika melihat pada situasi pasar seperti ini maka pasar persaingan sempurna

akan terlihat di level petani pada saat panen raya (Prastowo, Yanuarti, dan Depari,

2008:6). Homogenitas dan melimpahnya komoditas pertanian yang akan dijual

membuat petani tidak mempunyai bargaining position untuk mempengaruhi harga

dan pasrah sebagai price taker. Sebaliknya untuk level tengkulak, pedagang,

maupun perusahaan yang jumlahnya relatif sedikit cenderung membentuk pasar

oligopoli, sehingga mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi dan menentukan

harga pasar sebagai harga jual komoditas petani. Bahkan seringkali para

tengkulak, pedagang, maupun perusahaan tersebut membentuk sebuah kartel yang

dapat membuat kesepakatan dan membentuk harga pasar tersebut.

Kurva 2. Kondisi Ideal Pembentukan Fair Value Sempurna

Sumber: Amir et al. (2014:189).

Keterangan:

FV merupakan titik di mana fair value akan terbentuk dengan sempurna.

Wilayah A merupakan wilayah dimana fair value akan semakin memudar

dan harga pasar akan cenderung didominasi oleh perusahaan.

Page 38: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

38

Wilayah B merupakan wilayah dimana fair value akan semakin memudar

dan harga pasar akan cenderung didominasi oleh petani.

D merupakan garis permintaan

X merupakan jumlah kuantitas perusahaan, teknologi yang dimiliki petani,

modal yang dimiliki petani, dan pengetahuan yang dimiliki petani (dalam

hal pengembangan produk sampai dengan akses produk dan pasar).

Y merupakan jumlah kuantitas petani, teknologi yang dimiliki perusahaan,

modal yang dimiliki perusahaan, dan pengetahuan yang dimiliki

perusahaan (dalam hal pengembangan produk sampai dengan akses

produk dan pasar).

Sebagai homo economicus agen-agen ekonomi baik dalam kapasitas pribadi

(baca: tengkulak dan pedagang) maupun perusahaan akan selalu bersifat rasional

dan bertujuan memaksimalkan keuntungan (profit maximization). Pasar oligopoli

menawarkan sebuah peluang bagi para pelaku pasar (tengkulak, pedagang, dan

perusahaan) untuk memperoleh tujuan tersebut karena posisi mereka yang

mendominasi pasar. Salah satu caranya adalah dengan memasukkan unsur marjin

keuntungan ke dalam harga jual komoditas pertanian yang telah ditetapkan. Ini

berarti bahwa harga pasar yang berlaku sebagai harga jual komoditas bisa

terdeviasi nilainya lantaran campur tangan atau kooptasi kepentingan para pelaku

pasar, yang pada akhirnya dapat menekan pihak terlemah, dan dalam hal ini ialah

petani.

Pengukuran aset menggunakan fair value dalam IAS 41 akan lebih

melegalkan serta melegitimasikan keberadaan pengaturan harga oleh pemilik

modal (baca: perusahaan). Terutama dalam struktur pasar oligopoli, perusahaan

mempunyai kekuatan untuk mengikat harga karena perannya yang lebih

mendominasi. Seperti pada perdagangan tembakau di Kabupaten Temanggung

misalnya, harga pasar selalu berada di tangan perusahaan. Harga tersebut berlaku

sebagai harga jual tembakau secara keseluruhan. Informasi mengenai harga pasar

disampaikan melalui agen-agen ekonomi yang secara struktural berada di bawah

perusahaan seperti perwakilan pabrik, pedagang, ataupun tengkulak. Petani tidak

mengetahui secara pasti bagaimana informasi harga pasar tersebut terbentuk.

Jika melihat penjelasan yang telah disampaikan pada sub bab ini, maka

perusahaan rokok akan menetapkan harga pasar tembakau sesuai keinginan yang

bersifat costing efficiency. Tembakau diperlukan sebagai bahan baku rokok, maka

dari sisi perusahaan rokok pembelian akan dicatat sebagai persediaan. Arus biaya

akan dihitung kemudian dicatat menggunakan harga pasar yang senyatanya harga

tersebut memang telah ditetapkan, didukung dengan sifat alami mekanisme pasar

oligopoli. Imbasnya adalah harga jual tembakau petani akan mendapat tekanan

ganda yaitu dari perusahaan rokok maupun dari agen ekonomi di bawah

perusahaan seperti tengkulak dan pedagang karena margin keuntungan yang

mereka inginkan. Petani pun akan terancam rugi terus-menerus selama harga jual

pertanian bergantung pada pengaruh pasar dan kekuatan modal. Lalu bagaimana

secara riil harga pasar dan harga jual pertanian dapat merugikan petani karena

kepentingan pemilik modal? Hal ini akan dijelaskan pada bagian berikutnya.

Page 39: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

39

“Kambing Hitam” Penurunan Harga Jual

Petani menjadikan harga pasar atau lazim di sebut harga per totol yang

dikeluarkan oleh perusahaan sebagai patokan harga jual tembakaunya. Secara

struktural, dibawah perusahaan ada beberapa agen ekonomi yang terlibat seperti

perwakilan pabrik, pedagang, maupun tengkulak. Agen-agen ekonomi tersebut

tentu mempunyai keinginan untuk menetapkan margin keuntungan. Karena

kepentingan inilah seringkali harga jual tembakau tidak merefleksikan harga pasar

yang ditetapkan perusahaan. Atau dengan kata lain, harga jual tembakau yang

ditetapkan perusahaan rokok sengaja diturunkan oleh beberapa agen ekonomi

tersebut. Kualitas tembakau adalah salah satu indikator yang menjadi “kambing

hitam” penurunan harga jual secara sepihak oleh tengkulak maupun pedagang

tersebut. Tidak adanya standar baku terkait penilaian kualitas tembakau

menjadikan para tengkulak, pedagang, perwakilan pabrik, maupun perusahaan

rokok itu sendiri leluasa untuk memberikan tekanan terhadap harga jual tembakau

ini.

Menurut Pak Karman, umumnya kualitas tembakau yang menjadi penentu

harga jual dinilai oleh calon pembeli melalui tiga cara yaitu dicekel atau

digenggam, diambu atau dicium baunya, dan didelok atau dilihat tekstur warna

serta jenis totol tembakau rajangannya. Tembakau dengan kualitas bagus akan

memiliki tekstur rajangan yang berbobot, lengket, berbau menyengat, serta tekstur

warna pada kisaran totol E sampai I. Sedangkan untuk menurunkan nilai harga

jual, para oknum pedagang dan tengkulak sering melontarkan beberapa alasan

seperti, pertama, tembakau petani terdapat campuran gula yang terlalu banyak.

Calon pembeli tembakau umumnya berasumsi bahwa tembakau yang bagus

adalah tembakau yang mempunyai tekstur agak lengket karena itu berarti

tembakau memiliki kandungan nikotin yang tinggi. Untuk itu, tembakau rajangan

kemudian dicampur dengan gula agar teksturnya sedikit lebih lengket. Kedua,

tembakau petani terdapat banyak campuran tembakau dari daerah lain. Telah

dijelaskan sebelumnya bahwa Kabupaten Temanggung tidak saja menjadi sentra

produksi tembakau, melainkan telah bertransformasi sebagai pasar tembakau.

Maka dari itu, tembakau dari daerah lain seperti Kendal, Garut, maupun Magetan

seringkali masuk ke wilayah pasar tembakau Temanggung. Selain langsung

dikemas sebagai tembakau rajangan ke dalam keranjang, tembakau dari daerah

lain tersebut juga digunakan sebagai campuran tembakau asli Temanggung.

Ketiga, tekstur tembakau rajangan petani tidak mempunyai bobot yang bagus. Hal

ini sangat berkaitan dengan faktor pemilihan bibit tembakau oleh petani. Dalam

pasar perdagangan tembakau ini, tembakau rajangan yang berasal dari bibit

kemloko akan jauh lebih diminati daripada tembakau dengan jenis bibit lain. Bibit

kemloko diyakini oleh pelaku pasar mengandung banyak kandungan nikotin.

Keempat, harga tembakau per totol petani bisa berada di bawah harga per totol

yang sebelumnya telah ditetapkan karena faktor letak tanah tanaman (Swanbin,

Swating, dan sebagainya). Kualitas tembakau dinilai juga berasal dari daerah

mana tembakau tersebut ditanam. Penilaian atas dasar letak tanah ini bisa

mewakili penilaian kualitas tembakau secara keseluruhan. Umumnya pelaku

usaha pertembakauan mengenal tembakau rajangan dari daerah lereng selatan

gunung Sumbing (tembakau Lamuk dan tembakau Lamsi) sebagai tembakau yang

paling bagus secara keseluruhan. Sedangkan tembakau dari lereng Gunung Prau

(Desa Campurejo) sebagai tembakau dengan kualitas menengah.

Page 40: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

40

Menurut Pak Untung, selain dengan melontarkan alasan tentang kualitas

tembakau, oknum pedagang juga sering menekan harga tembakau dengan cara

“membohongi” petani bahwa pabrik rokok akan segera menyelesaikan aktivitas

pembeliannya. Pabrik rokok terbiasa untuk tidak melakukan pembelian tembakau

selama satu musim panen penuh. Ketika aktivitas pembelian dari pabrik rokok

akan segera tutup, itu berarti bahwa musim pemasaran tembakau juga akan segera

berakhir, dan harga tembakau di masa-masa akhir tersebut cenderung mengalami

penurunan. Hal ini dikarenakan penilaian masyarakat bahwa ketika pabrik rokok

sudah mau menutup pembelian, maka tembakau yang ada di pasar hanya dianggap

sebagai tembakau sisa, sedangkan tembakau dengan kualitas terbaik sudah tidak

beredar lagi. Tembakau yang masih beredar di pasar pada masa akhir pembelian

ini kemudian nilainya turun karena dianggap memiliki kualitas yang rendah.

Lantas demi mengeruk keuntungan yang lebih besar, oknum pedagang sering

memainkan isu-isu tersebut untuk menurunkan harga pembelian tembakau petani.

Pola Pemasaran Tembakau: Ketergantungan Petani Dengan Juragan

Hubungan utang piutang antara petani dan juragan memang memiliki sisi

positif bagi petani, hanya saja hal tersebut juga tidak lepas dari dampak

merugikan. Posisi juragan yang berada di atas posisi petani ini memicu

kesewenang-wenangan juragan dalam mengatur perdagangan tembakau. Usaha

mengeruk keuntungan maksimal yang dilakukan oleh para juragan melibatkan

hal-hal radikal yang sangat berdampak pada penerimaan petani. Seperti apa yang

telah diutarakan oleh Pak Wanto, ketika masa panen tiba dan para petani ini

memasarkan tembakau ke para pedagang atau juragan, petani dirugikan dengan

pembebanan biaya angkut ke gudang milik juragan. Juragan yang bertindak

sebagai pembeli tembakau selayaknya melakukan pengangkutan sendiri tembakau

rajangan milik petani untuk dipindahkan ke gudang. Namun pada praktiknya,

justru petanilah yang diharuskan mengangkut serta mendistribusikan tembakau ke

gudang-gudang para juragan. Hal ini tentu memberatkan dari sisi biaya angkut

karena jarak dari rumah petani ke gudang milik juragan cukup jauh. Pun ketika

tembakau tersebut sampai di gudang juragan, petani masih dirugikan dengan

pengenaan biaya tumplekan.

Tumplekan adalah aktivitas mengangkut dan membalikkan keranjang

tembakau untuk keperluan penilaian kualitas serta pengambilan contoh tembakau

atau sering disebut dengan comotan. Tumplekan ini dilakukan oleh para pekerja

gudang pedagang, dan umumnya petani seringkali diminta sejumlah uang untuk

membayar aktivitas tumplekan ini. Lebih lanjut lagi menurut Pak Wanto, aktivitas

tumplekan memang membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Meskipun

sepenuhnya gaji tenaga kerja dibayarkan oleh juragan pemilik gudang, namun

terkadang ada beberapa petani yang juga sering memberikan sejumlah uang

kepada para pekerja tersebut. Menurut Pak Wanto, praktik yang umum dilakukan

ini sudah menjadi hal yang bisa dimaklumi, paling tidak sebagai bentuk apresiasi

atas bantuan para pekerja serta berbagi rasa kebahagiaan petani karena

tembakaunya laku.

Selain itu, sebagaimana diutarakan oleh Pak Wanto bahwa contoh atau

comotan tembakau yang tidak dihitung sebagai hak petani, juga dibenarkan oleh

Pak Karman. Pak Karman menuturkan bahwa contoh tembakau yang diambil ini

biasanya mempunyai berat 1-2 kg, dan selalu tidak masuk perhitungan pendapatan

petani. Pedagang tembakau hanya menghitung tembakau dari berat bruto

Page 41: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

41

dikurangi dengan berat keranjang saja, comotan tembakau seakan diacuhkan oleh

mereka. Menurut Pak Karman, contoh tembakau digunakan oleh pedagang untuk

menilai kualitas tembakau secara keseluruhan. Contoh tembakau ini nantinya akan

dikirim oleh pedagang ke perwakilan pabrik di teruskan ke perusahaan rokok

sebagai sampel tembakau yang dibeli oleh perwakilan pabrik.

Kembali menurut Pak Karman, praktik perdagangan tembakau yang

merugikan petani tidak cukup sampai di situ. Senada dengan perkataan Pak

Yanto, Pak Karman juga sering merasa dirugikan dengan ulah nakal pedagang

yang mengurangi berat timbangan dengan modifikasi alat timbang. Oknum

pedagang yang mengakali alat timbang ini terhitung sebagai pedagang “nakal

yang ekstrim”. Pasalnya, berat yang dikurangi oleh pedagang tersebut bisa

mencapai 3-5 kg. Petani menyadari praktik itu, karena sebelum mendistribusikan

tembakau, petani selalu menimbang berat tembakaunya sendiri terlebih dahulu.

Namun ketika tembakau tersebut sampai di gudang pedagang, terkadang nilai

berat tersebut turun di bawah nilai berat sebelumnya.

Lagi, petani juga sering dirugikan dengan adanya penetapan rafaksi atau

pengurangan berat kotor yang berasal dari berat keranjang tembakau. Tembakau

rajangan yang dikemas dalam wadah keranjang, pada saat penjualan beratnya

harus dikurangi dengan berat keranjang sebagai perhitungan berat bersih

tembakau. Namun, seringkali dijumpai bahwa besar rafaksi ditentukan dengan

mengikuti berat bruto tembakau. Mengutip perkataan Pak Wanto sebagai contoh,

yang sering terjadi adalah misalkan berat bruto tembakau sebesar 30 kg, lalu

potongan berat keranjang untuk tembakau tersebut ditetapkan sebesar 7 kg. Lantas

mengapa tembakau dengan berat bruto 40 kg dikenai potongan berat keranjang

sebesar 8 kg? dan ketika beratnya 50 kg nanti nilai potongan ini naik lagi?. Berat

keranjang tembakau seharusnya akan sama atau tidak berbeda jauh walau

berapapun berat bruto tembakau tersebut ditimbang. Artinya, jika berat keranjang

30 kg dan potongan berat keranjangnya sebesar 7 kg, maka ketika berat bruto

tembakau itu 50 kg seharusnya potongan berat keranjangnya tetap pada angka 7

kg.

Ketergantungan petani pada modal juragan bisa memberikan dampak besar

bagi sisi penerimaan usahatani petani tembakau. Namun, tidak semata

ketergantungan tersebut tercipta karena faktor pemasaran saja, melainkan akses

modal yang diberikan oleh pihak lain juga tidak begitu menjanjikan. Terutama

pihak bank, kredit perbankan untuk usaha pertanian jumlahnya masih berada pada

nilai yang sedikit. Menurut Saefulloh et al (2011:5), kredit perbankan pertanian

berkisar hanya sebesar rata-rata 5,56 % saja. Sementara itu, menurut data Bank

Indonesia (dalam http://neraca.co.id), hingga Februari 2013 tercatat penyaluran

pembiayaan kredit di sektor pertanian hanya mencapai Rp. 149,7 triliun atau 5,5%

dari total kredit perbankan sebesar Rp. 2.721,9 triliun. Itu pun sekitar Rp. 95

triliun atau 63,5% di antaranya disalurkan kepada perkebunan kelapa sawit , Rp.

6,18 triliun atau 4,1% untuk komoditas padi, Rp. 3,07 triliun (2,1%) untuk

pembibitan dan budidaya sapi potongm serta Rp. 843 miliar (0,56%) untuk

komoditas holtikultura. Kecilnya pemberian kredit oleh pihak perbankan kepada

pertanian dikarenakan perbankan menilai bahwa sektor pertanian masih memiliki

risiko yang tinggi. Selain itu, sebagian besar petani juga tidak memiliki sertifikat

tanah ataupun bangunan yang dapat dijadikan jaminan kredit. Jelas kedua hal ini

Page 42: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

42

akan menimbulkan angka yang kecil baik untuk anggaran pembiayaan kredit

maupun realisasi pembiayaan kredit pada sektor pertanian.

PT. Bentoel dalam Pasar Tembakau Temanggung

Dalam perdagangan tembakau di Kabupaten Temanggung, menurut data

Disperindagkop dan UMKM Kabupaten Temanggung, di tahun 2012 PT. Bentoel

berencana melakukan pembelian tembakau Temanggung di kisaran 3.000 ton.

Sedangkan secara keseluruhan, angka permintaan pembelian di tahun tersebut

mencapai 18.000 ton, dengan produksi tembakau petani hanya sebesar 10.911 ton.

Jika produktivitas petani tembakau Temanggung berada pada angka 706 kg/ha,

maka setidaknya ada lebih dari 3.900 petani yang terlibat dalam aktivitas

pembelian tembakau PT. Bentoel. Angka yang cukup besar, namun bila

dibandingkan dengan rencana pembelian PT. Gudang Garam dan PT. Djarum, PT.

Bentoel hanya menempati posisi ketiga terbesar sebagai perusahaan rokok

penyerap tembakau petani Temanggung. Pada umumnya, petani tembakau

Temanggung tidak selalu menjadikan PT. Bentoel sebagai tujuan utama penjualan

hasil panen tembakau mereka. Hal ini dikarenakan aktivitas pembelian PT.

Bentoel tidak dilakukan setiap tahun. Berbeda dengan PT. Djarum ataupun PT.

Gudang Garam yang selalu melakukan pembelian setiap tahun. Hanya saja jika

PT. Bentoel melakukan pembelian, petani akan lebih senang karena peluang

kepastian menerima keuntungan usahatani lebih besar.

Menurut Pak Solichin, salah satu karyawan sebuah perwakilan pabrik mitra

PT. Bentoel, ia mengungkapkan bahwa juragan pemilik perwakilan pabrik

tersebut baru menjalin kerjasama dengan PT. Bentoel pada tahun 2006 silam.

Selama ini PT. Bentoel meminta perwakilan pabrik tersebut untuk membeli

tembakau petani di tahun 2007, 2008, 2010, 2011, dan 2012. Untuk tahun 2009,

2013, dan 2014 perwakilan pabrik tidak diminta melakukan pembelian. PT.

Bentoel tidak melakukan aktivitas pembelian secara kontinyu dari tahun ke tahun

karena dua hal, pertama, acapkali perusahaan melihat kondisi cuaca Temanggung

sebagai bagian dari pengambilan keputusan pembelian. Cuaca di sekitar

Kabupaten Temanggung menjadi tolak ukur kualitas tembakau yang dihasilkan

petani. Jika cuaca pada saat berlangsungnya masa tanam hingga memasuki masa

panen terdapat curah hujan yang cukup tinggi, bukan tidak mungkin kualitas

tembakau petani itu rendah. Perusahaan terkadang tidak mau berjudi dengan hal

ini dan memilih untuk menunda pembelian hingga tahun depan. Kedua, kuota

pembelian tembakau tahun sebelumnya jauh melebihi rencana pembelian. Hal ini

berdampak pada masih adanya stok pembelian tembakau untuk memenuhi

kebutuhan bahan baku pembuatan rokok. Pak Solichin mencontohkannya di

musim tembakau tahun 2007-2008. Pada tahun tersebut rencana pembelian

tembakau oleh perwakilan pabrik berada pada angka 30.000 keranjang. Namun,

realisasi pembelian tembakau perwakilan pabrik bisa mencapai angka 70.000

keranjang. Terbukti di tahun 2009, PT. Bentoel berhenti sejenak untuk tidak

melakukan pembelian karena mungkin masih mempunyai sisa bahan baku

pembelian di tahun sebelumnya.

Khususnya untuk petani tembakau daerah Swanbin atau lereng Gunung

Prau, termasuk petani Desa Campurejo, aktivitas pembelian tembakau oleh PT.

Bentoel sangat dinanti-nantikan. Setidaknya ada dua faktor yang memicu hal ini,

pertama, PT. Bentoel banyak melakukan pembelian tembakau dengan kualitas

tembakau menengah. Tidak diketahui secara pasti mengapa PT. Bentoel banyak

Page 43: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

43

membeli tembakau kualitas menengah, mungkin terkait dengan racikan atau blend

rokok yang ditentukan oleh perusahaan. Namun yang jelas, jika PT. Bentoel

melakukan pembelian maka tembakau petani di daerah Swanbin tersebut akan

banyak yang terserap, karena mayoritas tembakau petani adalah tembakau kualitas

menengah. Sistem perusahaan terkait penilaian kualitas tembakaunya pun

tergolong tidak terlalu sulit. Terkadang pula, tembakau dengan kualitas rendah

mau dibeli oleh PT. Bentoel.

Kedua, jika PT. Bentoel melakukan aktivitas pembelian maka bisa

dipastikan harga tembakau akan merangsak naik, terutama untuk tembakau

kualitas menengah. Seiring permintaan tembakau yang lebih tinggi, sedangkan

kuantitas barang berada pada kondisi tetap, penawaran pun akan mengalami

kenaikan. Hal ini menyebabkan harga dari tembakau kualitas menengah

berangsur-angsur merangkak naik. Meskipun perusahaan rokok lain

memprioritaskan pembelian tembakau dengan kualitas terbaik, namun perusahaan

tersebut juga sering membeli tembakau kualitas menengah. Bedanya, kapasitas

pembelian perusahaan rokok lain tidak sebesar dengan apa yang dilakukan oleh

PT. Bentoel. Ketika PT. Bentoel melakukan pembelian maka persaingan di

segmen tembakau menengah lebih ketat. Tawar menawar harga pun akan terjadi

baik di tingkat petani maupun pedagang.

Aktivitas pembelian PT. Bentoel yang pasang surut memicu hal-hal yang

dapat merugikan petani, terutama bagi petani yang telah terbiasa memasarkan

hasil penen tembakaunya ke perwakilan pabrik PT. Bentoel. Petani sering gelisah

menanti keputusan apakah perusahaan akan melakukan pembelian atau tidak. Jika

tidak melakukan pembelian, maka kemungkinan besar panen tahun tersebut

mereka akan mendapatkan hasil yang lebih sedikit. Itupun harus didapat dengan

usaha yang lebih keras karena rawan dengan tekanan yang dilakukan oleh oknum

tengkulak atau pedagang. Secara spesifik, petani yang menghasilkan tembakau

menengah yang akan banyak bergantung pada aktivitas pembelian PT. Bentoel.

Petani yang telah terkenal dengan kualitas tembakaunya yang bagus (petani

Lamuk-Legok, dan Lamsi), bisa dikatakan tidak sama sekali bergantung pada

pembelian PT. Bentoel. Tembakau mereka sudah menjadi buruan juragan bahkan

sejak musim tanam belum dimulai. Banyak petani tembakau dengan kualitas

tembakaunya yang bagus beralih menjadi seorang pengrajin tembakau rajangan.

Petani-petani tersebut berusaha mendapatkan keuntungan lebih dengan cara

mencampur tembakau rajangan miliknya bersama tembakau rajangan milik daerah

lain. Hal ini akan bisa menambah kuantitas tembakau petani yang akan dijual,

tanpa merusak kualitas tembakau di mata calon pembeli. Maka dari itu, tembakau

menengah milik petani Desa Campurejo tidak saja dibeli oleh perusahaan,

seringkali juga dibeli oleh petani pengrajin dari daerah lain.

Refleksi

Apa yang diuraikan pada bagian ini menegaskan kembali bahwa mekanisme

pasar memang selalu mendatangkan untung dan rugi, tergantung dengan

bagaimana posisi individu atau entitas pelaku pasar. Untung jika secara struktural

ia berada di atas, dan yang ada hanya potensi rugi jika ia berada di struktur paling

bawah. Kondisi riil pertanian kita masih belum bisa membuktikan adanya

keadilan dan pemerataan dalam hal distribusi pendapatan. Ideologi kapitalis yang

telah menancap erat di setiap sendi struktur masyarakat, bahwa senyatanya

kekuasaan akan diperoleh melalui modal besar, mampu menggusur peran petani

Page 44: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

44

sebagai ujung tombak ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia. Petani seakan

diperas dengan digantungkannya mereka pada sistem-sistem perusahaan.

Petani secara struktural berada di tingkatan terbawah rantai sistem distribusi

pendapatan agribisnis. Namun petani memberi peran nomer satu dalam

pencapaian kesuksesan aktor agribisnis yang berada di atasnya. Posisi petani

lemah karena kelompoknya dalam pasar kalah dengan penguasa modal (baca:

perusahaan, pedagang, tengkulak) dengan jumlahnya yang terhitung lebih sedikit.

Perusahaan rokok sebagai pasar utama tembakau kemudian mampu untuk

membolak-balikkan harga pasar melalui kekuasaannya dalam mekanisme pasar.

Tengkulak dan pedagang yang mengkooptasi harga jual karena kepentingan

margin keuntungan, juga tak bisa memihak-bahkan untuk sekedar memandang

kerja keras-petani. Pasar ini juga yang mampu mendikte produksi petani yang

seakan mempertegas bahwa petani sudah mempunyai “rel” sendiri sebagai pijakan

utama bagaimana ia harus menjalankan usahataninya. Ya, usahatani yang

tergantung produksi serta pasar oleh korporasi-korporasi. Di mana untung bisa

jadi hanya sekedar janji, dan yang ada hanya “pemerasan” di sana-sini.

Harga jual menjadi faktor utama dalam penerimaan usahatani tembakau ini,

mungkin juga untuk usahatani lainnya. Namun harga jual sepenuhnya tidak bisa

ditentukan oleh petani sendiri melainkan oleh pihak lain yang jelas juga

mempunyai kepentingan ekonomis. Ketika produksi usahatani dinilai oleh petani

sendiri tidak menguntungkan, dalam pertanian tembakau petani masih memiliki

alternatif untuk menjadi seorang perantara juragan atau bakul. Bisa dikatakan

petani yang menjadi bakul ini beruntung karena komisi dari profesi sebagai bakul

sedikit banyaknya akan membantu “melepas dahaga” petani ketika usahatani

tembakau merugikan. Tapi itupun tidak semua petani bisa, kepercayaan dan

hubungan kerjasama dengan juragan dari bertahun-tahun lalu adalah kuncinya.

Menjadi bakul membutuhkan pengalaman bertahun-tahun untuk mengetahui

cara menilai kualitas tembakau, kondisi pasar, maupun banyaknya petani yang ia

kenal. Jika petani tidak memiliki modal tersebut, ia susah untuk bisa menjadi

bakul. Hanya segelintir petani yang mampu menjalin kerjasama dan dipercayai

oleh juragan untuk menjadi bakul. Lantas bagaimana nasib petani yang hanya

menjadi petani biasa, tanpa ada alternatif lain yang bisa ia lakukan agar

usahataninya menguntungkan?. Kembali lagi jika petani fokus dalam pengelolaan

produksi pertanian secara lebih intensif dan mengejar produktivitas, toh kualitas

menjadi buruan utama pasar, dan harga jual sepenuhnya berada ditangan pasar.

Logikanya seperti ini, pada akhirnya petani akan untung jika harga jual

tembakau berpatokan pada harga pokok produksi petani. Dengan kata lain, petani

akan mendapat jaminan untung jika mereka bertindak sebagai price setter.

Kemudian petani akan mencapai titik keseimbangan antara biaya dan pendapatan

(break event point) jika harga pokok produksi dihitung berdasarkan konsep

akrual. Namun kenyataanya, perdagangan komoditas tembakau ini bersifat liberal,

pasar menjadi kekuatan utama. Jika kemudian harga jual tembakau berpatokan

pada harga pasar, petani jelas-jelas akan berpotensi merugi serta tergantung. Apa

yang menjadi celah distrosi bahaya penetapan nilai wajar valuasi aset berdasarkan

harga pasar yang ada dalam IAS 41 nyata terbentuk. Petani menjadi pihak yang

paling dirugikan dan terlemahkan. Apalagi, IAS 41 ini sangat berorientasi pada

pertanian liberal karena yang ada hanya ideologi berbasis pasar, harga jual

ditentukan oleh pasar tanpa memandang bagaimana harga pokok produksi

Page 45: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

45

terbentuk. Pada akhirnya, harga pokok produksi dalam IAS 41 pun akan berbasis

pasar pula, yang rentan terhadap kooptasi kapitalis tanpa ada jaminan keuntungan

bagi pihak yang secara struktural lemah (baca: petani). Ya, ketergantungan petani

pada korporasi ini sudah begitu erat membelenggu baik dari sisi pasar maupun

pola produksi pertanian.

MEWUJUDKAN PERTANIAN MANDIRI MELALUI AKUNTANSI

PERTANIAN YANG MEMIHAK PETANI

Net Farm Income Pro Petani

Konsep net farm income pro ketergantungan menekankan pada pola yaitu

ketika harga jual tembakau masih berada pada basis pasar (basis IAS 41) yang

rentan kooptasi kepentingan perusahaan, pedagang, dan tengkulak, lalu ketika

pula petani mendasarkan perhitungan harga pokok produksi berdasarkan konsep

akrual (basis akuntansi biaya), serta ketika tata kelola pertanian yang diterapkan

menganut paradigma pertanian intensif. Petani tergantung dengan harga jual

karena sepenuhnya kekuasaan penetapan harga jual ada ditangan perusahaan.

Jaminan keuntungan petani menjadi semakin pudar tatkala ada kepentingan lain

yang masuk yaitu margin keuntungan pedagang ataupun tengkulak. Sebenarnya,

perusahaan rokok, pedagang, dan petani itu bersimbiosis dalam satu rantai

pemasaran, hanya saja simbiosisnya menghasilkan ketimpangan pendapatan.

Tak bisa dibantah bahwa saat ini industri agribinis Indonesia berada dalam

ranah sistem ekonomi kapitalistik. Penguasaan industri berada ditangan mereka

yang mempunyai kapasitas modal dan teknologi terbesar. Sedangkan petani

dengan kapabilitasnya yang terbatas seolah dijadikan “budak” oleh penguasa

modal. Rasionalisasi konsep net farm income dalam ranah teori dan praktik

pertanian menjadi jalur utama pemerasan yang berdampak pada ketergantungan

petani ini.

Dalam perdagangan tembakau khususnya di daerah Temanggung, petani

yang akan lebih merasakan dampak langsung ketergantungan harga jual adalah

mereka yang menghasilkan kualitas tembakau menengah ke bawah seperti petani

di Desa Campurejo. Perusahaan rokok sebagai pasar tembakau meskipun mereka

menetapkan standar kualitas tersendiri, tetapi sebagian besar dari mereka tetap

menginginkan tembakau dengan kualitas terbaik. Sedangkan dalam khasanah

perdagangan tembakau Kabupaten Temanggung, terdapat pembeda yang

mewakili penilaian kualitas tembakau secara keseluruhan yaitu letak atau lokasi

tanah penanaman tembakau. Petani yang telah terkenal dan benar-benar

menghasilkan kualitas tembakau terbaik seperti petani Dusun Lamuk, Desa

Legoksari, atau petani daerah Lamsi, kebanyakan dari mereka tidak merasakan

dampak berarti dari ketergantungan harga jual, justru bisa dikatakan tidak sama

sekali tergantung. Pasalnya, tembakau mereka telah menjadi buruan, atau dengan

kata lain petani tembakau daerah-daerah tersebut tidak perlu repot-repot untuk

“jemput bola”.

Petani tembakau daerah Lamuk-Legoksari cenderung menjadi price-setter

karena cap kualitas tembakaunya yang telah terkenal bagus. Petani mempunyai

daya tawar di sini, ketika para pedagang atau tengkulak berburu tembakau

mereka, tawar menawar lebih didominasi oleh petani. Mekanisme transaksi yang

terjadi adalah sistem timbang-bayar, bukan lagi sistem ijon. Petani bisa melempar

harga, jika kemudian harga tersebut tidak disepakati oleh pedagang, petani akan

Page 46: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

46

dengan tenang tetap menunggu pedagang lain yang mengantri untuk siap

membayar tembakau petani sesuai harga keinginannya. Pedagang kemudian yang

akan pasrah dan berpikir keras bagaimana harga beli tembakau dari petani

menguntungkan bagi mereka.

Sedangkan kondisi berbeda 180 derajad akan dialami oleh petani dengan

hasil tembakau kualitas menengah ke bawah. Harga jual sepenuhnya berada di

tangan pedagang atau tengkulak yang berpatokan pada harga pasar tembakau dari

perusahaan rokok. Alih-alih mengupayakan harga jual di tangan mereka, untuk

mendapatkan pasar saja terkadang harus dengan susah payah. Petani akan

mendapatkan jaminan pemasaran melalui relasi yang ia bangun dengan para

pedagang atau juragan, itu pun melibatkan ketergantungan modal juragan. Maka

tak heran jika kemudian petani tetap akan mengusahakan peminjaman modal ke

juragan meskipun bunga yang dipatok terlampau tinggi karena perihal jaminan

pemasaran yang akan mereka dapatkan.

Selain ketergantungan pada harga jual berbasis pasar, petani juga rentan

mengalami kecenderungan ketergantungan jika pola perhitungan harga pokok

produksi mereka menggunakan pendekatan akrual berbasis akuntansi biaya.

Pendekatan akrual akan merefleksikan nilai biaya yang tinggi karena

mengharuskan pembebanan pos-pos yang dianggap sebagai unsur pengorbanan

atau biaya. Atau dengan kata lain, petani juga harus membebankan biaya yang

secara riil tidak tampak sebagai biaya dalam perhitungan petani seperti beban

depresiasi, beban bunga, beban makan tenaga kerja, dan beban upah tenaga kerja

keluarga. Nilai tinggi yang terefleksi dalam perhitungan harga pokok produksi

berbasis akrual sangat rentan menimbulkan ketergantungan lebih mendalam

karena berpengaruh terhadap strategi bisnis yang akan diterapkan oleh petani.

Petani tidak bisa mengandalkan harga jual sebagai tolak ukur kepastian

mendapatkan untung, maka dari itu jalan lain yang bisa ditempuh adalah mengatur

produksi usahatani tembakaunya.

Harga jual berpatokan pada kualitas, maka petani akan mengatur pola

produksi pertanian yang dapat menjamin hasil pertanian mempunyai kualitas

terbaik dibarengi dengan produktivitas tinggi. Sedangkan kualitas dan

produktivitas pertanian khususnya pertanian tembakau sangat dipengaruhi oleh

kondisi cuaca. Cuaca dengan intensitas hujan tinggi secara terus-menerus akan

mengancam keberlangsungan hidup tanaman tembakau. Selain karena tembakau

tidak menghendaki kadar air tinggi di dalam tanah yang rentan menimbulkan

penyakit, hama tanaman juga akan mudah menyerang. Antisipasi penyakit dan

hama tanaman dilakukan dengan cara penyemprotan menggunakan pestisida

kimia. Sedangkan demi menjaga tanah mengandung nutrisi terbaik bagi tanaman,

pupuk kimia digunakan untuk menyokong pertumbuhan tanaman tembakau. Di

sinilah letak munculnya ketergantungan petani pada pupuk serta pestisida kimia,

yang juga berasal dari budaya latah pemerintah dalam membangun pertanian

Indonesia.

Jika kemudian harga pokok produksi akrual diadopsi petani dan

memunculkan nilai yang lebih tinggi dari pada perkiraan petani, di mana dalam

situasi lain petani mengalami ketergantungan pada harga jual, nilai kerugian di

mata petani akan semakin tinggi pula. Petani dengan pola pikir going concern-nya

akan berpikir ulang mengenai manajemen usahatani di masa mendatang. Selain

mengurangi pos biaya yang dianggap terlalu boros, bukan tidak mungkin biaya

Page 47: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

47

NFI = Penerimaan (Produktivitas x Harga Jual) – Total Biaya

(Harga Pokok Produksi)

NFI Tembakau Pro Ketergantungan =

Penerimaan (Produktifitas Intensif x Harga Jual Pasar) – Total

Biaya (Harga Pokok Produksi Akrual)

tersebut akan dialihkan pada faktor produksi pertanian yang lebih result-able

seperti pupuk kimia dan pestisida. Pertanian akan lebih banyak menggunakan

pupuk serta pestisida untuk meningkatkan kualitas serta kuantitas produksi.

Padahal, penggunaan pupuk kimia dan pestisida akan mengakibatkan degradasi

manfaat tanah, pencemaran biota akuatik, serta terganggunya ekosistem predator

hama pertanian alami.

Di sisi lain, pupuk kimia dan pestisida juga didominasi produksi serta

pemasarannya oleh perusahaan swasta terutama perusahaan multinasional.

Artinya, penetapan standar harga jual input pertanian juga didominasi oleh

perusahaan. Tidak saja potensi rugi yang menghantui petani ketika harga jual

input pertanian merangkak naik tanpa ada upaya pengendalian, ketergantungan

petani pada pupuk dan pestisida kimia mampu mengalihkan surplus ekonomi yang

besar ke luar negeri. Jika kemudian kerugian masih nampak dalam usahataninya,

bisa juga petani kemudian akan meninggalkan pertanian sebagai penyokong

keberlangsungan hidupnya. Pertanian nasional akan banyak kehilangan aset

berharga karena petani akan lebih memilih sektor lain yang sekiranya dianggap

lebih menguntungkan seperti sektor industri atau jasa. Lantas jika secara terus-

menerus jumlah petani mengalami penurunan, akankah kemandirian pertanian

Indonesia dapat terwujud secepatnya?. Ketergantungan petani ini berpotensi

menghasilkan multiplier-effect sampai pada titik tersebut.

Keterangan:

Produktifitas intensif adalah upaya pengejaran produktifitas dan kualitas

komoditas pertanian oleh petani melalui penerapan paradigma pertanian

intensif.

Harga jual pasar adalah harga jual komoditas pertanian yang diperoleh

petani berdasarkan harga pasar berlaku.

Harga pokok produksi akrual adalah perhitungan dan penetapan total biaya

usahatani yang dilakukan petani berdasarkan konsep akrual dalam

akuntansi biaya.

Melihat pertanian tembakau sebagai contoh, untuk membentuk net farm

income berkeadilan sebagai upaya perwujudan pertanian mandiri hal utama yang

harus mendapatkan perhatian adalah harga jual komoditas pertanian. Harga jual

menjadi faktor paling berpengaruh bagi penerimaan petani, karenanya harga jual

tembakau haruslah harga jual yang mencerminkan keadilan petani, bukan

berlandaskan pasar yang sarat muatan unsur ketergantungan petani. Hal yang

Page 48: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

48

diperlukan di sini adalah adanya intervensi pemerintah untuk mengatur harga jual

dasar tembakau. Kekuatan yang diletakkan pada mekanisme pasar tidak akan

memberikan manfaat keuntungan pasti bagi petani. Karenanya, dibutuhkan

kekuatan pemerintah untuk bisa mengatur harga jual tembakau baik melalui

sebuah peraturan pemerintah pusat maupun peraturan pemerintah daerah.

Pemerintah akan mampu melindungi petani jika harga jual dasar tembakau yang

ditentukan berpatokan pada biaya yang dikeluarkan oleh petani pada satu musim

tanam.

Terutama melalui peraturan daerah, pemerintah juga harus mampu

membenahi pola pemasaran tembakau agar tidak ada lagi mafia distribusi yang

bermain di dalamnya. Aturan-aturan tersebut juga selayaknya memuat standar

baku penilaian kualitas tembakau agar tidak memberi kerancuan bagaimana

seharusnya tembakau tersebut dinilai demi penetapan harga jual. Karena

seringkali kualitas dari tembakau menjadi kambing hitam penurunan harga jual

secara sepihak oleh oknum pedagang. Di sisi lain, peraturan yang membatasi

adanya mekanisme ijon juga diperlukan karena mekanisme transaksi tersebut sarat

dengan kepentingan juragan, bukan petani. Pemerintah juga selayaknya

mengharuskan sistem transaksi dengan mekanisme timbang-bayar. Sistem

timbang bayar dirasa lebih memenuhi asas keadilan karena akan lebih mengurangi

dampak negatif ketergantungan petani terhadap modal juragan seperti harga jual

yang ditekan, penetapan rafaksi atau pengurangan berat keranjang yang terlampau

besar, tidak dihitungnya contoh tembakau sebagai hak petani, maupun pengenaan

biaya transportasi dan biaya tumplekan.

Model kemitraan antara petani dengan perusahaan rokok juga bisa

menjamin perlindungan petani dari kerugian yang lebih banyak. Harga jual bisa

dipukul rata apapun kualitasnya dan kapanpun waktu penjualannya. Tembakau

petani juga mendapat jaminan akan dibeli semuanya. Namun, prinsip yang

digunakan dalam penetapan harga jual harus berasaskan saling menguntungkan.

Perusahaan rokok sebagai pihak yang menilai usahatani harus secara

berkesinambungan menjalin komunikasi dengan petani binaan terkait

pembebanan biaya usahatani agar memperoleh kesepakatan besar margin

keuntungan yang disetujui bersama. Pola kemitraan juga harus dibangun dengan

dasar pertanian berkelanjutan. Jadi tidak saja produktivitas dan kualitas yang

dikejar, namun sisi keberlanjutan lingkungan alam pertanian turut diperhatikan.

Sejatinya kepentingan untuk mengubah paradigma pertanian dari intensif ke

keberlanjutan merupakan kebutuhan mendesak. Tidak saja pada ranah pertanian

kemitraan, melainkan mencakup seluruh bentuk aktivitas pertanian yang ada. Hal

ini dianggap wajar mengingat kebijakan pembangunan pertanian sejak masa orde

baru hingga sekarang lebih banyak terfokus pada usaha yang mendatangkan

keuntungan ekonomi jangka pendek, namun mengabaikan multifungsi yang

berorientasi pada keuntungan jangka panjang maupun keberlanjutan sistem usaha

tani. Pertanian tidak saja harus menghasilkan kebutuhan pangan bagi generasi

sekarang, terlebih untuk generasi masa depan. Jika dibiarkan berlarut-larut kondisi

pertanian seperti sekarang yang menggunakan input pertanian agrokimia dalam

jumlah besar, pertanian untuk masa depan akan sangat terancam.

Dari sisi karakter personal petani sendiri, petani seyogianya tetap berada

dalam pola pikir kultural terkait perhitungan harga pokok produksi usahatani, agar

eksistensi mereka tetap terjaga dan terhindar dari ketergantungan lebih lanjut.

Page 49: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

49

Petani sebagai pelaku aktivitas bisnis juga mengenal serta mengaplikasikan

konsep net income. Namun, “masih” terdapat perbedaan antara net income yang

diaplikasikan oleh entitas bisnis sempurna (baca: perusahaan) dengan net farm

income yang diaplikasikan oleh petani. Petani menghasilkan net farm income

dengan perpaduan antara pola pikir bisnis dengan pola pikir kultural. Harga pokok

produksi pertanian berdasarkan perhitungan petani tidak saja mengandung unsur

ilmu ekonomi kontemporer, tetapi dengan kesadarannya petani juga memasukkan

unsur-unsur humanis-environmentalist karena karakter mereka yang tetap

memegang teguh konsepsi hidup budaya Jawa.

Dimensi kultural yang melekat dalam diri petani mampu memberikan

batasan kepada petani untuk tidak mengeksploitasi laba maksimal melalui lahan

pertaniannya. Petani dibatasi untuk tidak menjadi manusia serakah yang

dampaknya pula bisa merusak alam. Pun ketika harus menekan biaya, petani akan

lebih mengedepankan aspek kearifan lokal seperti diadakannya arisan mencangkul

misalnya. Inisiatif cerdas berbasis pengetahuan tradisional ini patut untuk

dilestarikan demi mencegah potensi ketergantungan petani. Maka dalam pola pikir

petani, petani akan sudah merasa lega jika menurutnya ia sudah menghasilkan

keuntungan atau net farm income, tanpa harus menggubris apa kata akuntansi

biaya yang menyebut keuntungan tersebut masih terdapat unsur “semu”.

Keuntungan petani dalam konteks akuntansi biaya masih belum merefleksikan

keuntungan yang sebenarnya karena terdapat beberapa pos biaya yang tidak akui.

Sebaliknya, pola pikir petani menekankan pada perihal “kecukupan”, petani akan

merasa cukup dengan keadaan untung yang sedikit daripada harus mengeruk

untung besar tetapi kondisi alam pertanian maupun sosialnya yang harus

dipertaruhkan.

Keterangan:

Produktifitas berkelanjutan adalah upaya pengejaran produktifitas dan

kualitas komoditas pertanian oleh petani melalui penerapan paradigma

pertanian berkelanjutan.

Harga jual berkeadilan adalah harga jual komoditas pertanian yang

diperoleh petani berdasarkan harga jual dasar komoditas pertanian yang

ditetapkan oleh pemerintah.

Harga pokok produksi petani adalah perhitungan dan penetapan total biaya

usahatani yang dilakukan petani berdasarkan konsep non-akrual serta

mengandung unsur karakteristik fitrah petani yang berwawasan

kebudayaan (kesadaran sosial, kesadaran lingkungan, dan kesadaran

religiusitas).

Konsep seperti itulah yang menurut penulis akan mampu menyokong

keberadaan petani sebagai pilar utama pertanian nasional. Tanpa petani, pertanian

tidak akan ada dan sudah sepatutnya bagi seluruh stakeholder pertanian untuk

NFI Tembakau Pro Eksistensi Petani =

Penerimaan (Produktifitas Berkelanjutan x Harga Jual

Berkeadilan) – Total Biaya (Harga Pokok Produksi Petani)

Page 50: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

50

mengupayakan keberadaan petani dengan mengedepankan aspek kesejahteraan

mereka. Paling tidak, upayakan terlebih dahulu harga jual komoditas pertanian

yang memihak petani melalui intervensi oleh pemerintah. Dengan menetapkan

standar harga jual dasar yang berpatokan pada keseluruhan pengeluaran total

biaya usahatani petani, setidaknya petani akan merasakan ketentraman lebih

karena mereka mendapat jaminan bisa memperoleh keuntungan. Barulah ketika

petani sudah merasakan bahwa mereka terlindungi bukan tidak mungkin

pergeseran paradigma pertanian dari intensif ke keberlanjutan bisa diupayakan

lebih masif.

Perwujudan net farm income yang memihak petani seperti tersampaikan di

atas memang tidak serta merta mampu dipenuhi dengan mudah dan dalam waktu

secepatnya. Terlebih untuk pertanian tembakau yang saat ini begitu dilematik.

Tembakau di satu sisi mampu memberikan sumbangan kepada negara begitu

besar, namun di sisi lain mata masyarakat luas telah diburamkan oleh perang

bisnis berkedok kemanusiaan, sehingga mereka mengenal tembakau dengan

begitu sinis bahwa yang ada tembakau itu merusak kesehatan manusia. Namun

mereka, para petani tembakau itu juga orang Indonesia. Petani tembakau adalah

salah satu bagian yang berhak memperoleh jatah keadilan sesuai sila kelima

pancasila. Tak patut rasanya untuk kemudian mengesampingkan petani tembakau

hanya karena mereka memproduksi komoditas yang setidaknya telah dicap

“haram” oleh suatu organisasi umat beragama terbesar di Indonesia. Petani

tembakau layak hidup, namun hidup mereka selalu tak pernah diperhatikan. Hal

yang kemudian akan mampu memberikan pengaruh besar terhadap terciptanya net

farm income berkeadilan bagi petani tembakau maupun petani Indonesia secara

keseluruhan adalah tatkala tergugahnya kesadaran kaum tua dan kaum muda

Indonesia bahwa negerinya sedang kembali terjajah.

Teori Akuntansi Ketergantungan: Not Just Global, But Local Too

Aspek keilmuan pertanian baik dari sisi teknis budidaya maupun ekonomi,

mengantarkan surplus ekonomi pertanian sebagian besar mengalir pada kelompok

kepentingan tertentu melalui keadaan ketergantungan petani. Sedangkan petani

sebagai tulang punggung pertanian hanya diberikan keuntungan yang sekedar

bersifat “bebungah” atau hadiah saja. Pertanian tembakau bisa dianggap sebagai

pertanian yang istimewa karena nilai jual komoditasnya cenderung lebih tinggi

dari pada komoditas pertanian lain. Fluktuasi harga juga tidak begitu terlihat

mencolok bila dibandingkan dengan harga komoditas pertanian tinggi lainnya

(lihat tabel 11).

Tabel 11. Perbandingan Harga Pembelian Tembakau Temanggung Tahun 2010-

2013

No

2010 2011 2012 2013

Terendah

(Rp/Kg)

Tertinggi

(Rp/Kg)

Terendah

(Rp/Kg)

Tertinggi

(Rp/Kg)

Terendah

(Rp/Kg)

Tertinggi

(Rp/Kg)

Terendah

(Rp/Kg)

Tertinggi

(Rp/Kg)

A 15.000 20.000 30.000 60.000 - - 15.000 25.000

B 30.000 35.000 40.000 102.500 - - 30.000 40.000

C 45.000 50.000 60.000 135.000 40.000 60.000 45.999 55.000

D 60.000 70.000 135.000 170.000 60.000 70.000 60.000 65.000

E 75.000 85.000 170.000 170.000 - - 70.000 85.000

F - - 175.000 225.000 - - - -

G - - 200.000 225.000 - - - -

Sumber : Disperindagkop dan UMKM Kabupaten Temanggung, 2014

Page 51: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

51

Namun, nilai harga tembakau yang berlaku tersebut masih berada di

tingkatan petani. Nilai tersebut belum mampu mencerminkan berapa harga jual

sebenar-benarnya di tingkat pedagang atau perwakilan pabrik yang mengandung

unsur harga beli asli dari perusahaan. Di sinilah kemudian muncul kecenderungan

bahwa petani hanya mendapatkan bagian keuntungan yang sedikit dari harga jual

tembakau tersebut. Untuk memperjelas sebenarnya berapa keuntungan atau net

farm income yang bisa dihasilkan petani dari perdagangan tembakau ini, peneliti

akan mencoba membuat perhitungan kasar.

Pertama akan dihitung terlebih dahulu berapa harga jual dasar tembakau

yang berlaku pada titik break event point. Harga tersebut akan merefleksikan

berapa seharusnya harga jual tembakau tersebut ditetapkan agar petani

memperoleh keuntungan. Petani tembakau yang menjadi narasumber penelitian

ini tidak bisa memperkirakan secara tepat berapa kilogram jumlah produksi

tembakaunya selama satu musim. Untuk itu, demi memudahkan perhitungan

peneliti menggunakan indikator jumlah produktivitas berdasarkan rata-rata

produktivitas petani tembakau Temanggung per hektarnya dalam kurun waktu

tahun 2007-2012 (lihat tabel 5.5). Diperolehlah angka rata-rata produktivitas

petani tembakau sebesar 552,2 kg/ha.

Kemudian, angka rata-rata produktivitas tersebut dikalikan dengan luas

lahan yang dimiliki masing-masing petani. Harga dasar tembakau pada titik break

event point akan diketahui dari penjumlahan antara harga pokok produksi menurut

petani dengan pokok utang yang dipinjam petani, lalu dibagi dengan output

tembakau rata-rata masing-masing petani. Hasilnya, harga break event point untuk

masing-masing petani adalah sebesar Rp. 66.959/kg untuk Pak Wanto, Rp.

53.531/kg untuk Pak Rochimin, dan Rp. 50.658/kg untuk Pak Yanto

(selengkapnya lihat tabel 9.2.). Artinya, jika harga jual tembakau yang ditetapkan

tidak berada di atas harga break event point tersebut, petani dipastikan akan

mengalami kerugian.

Tabel 12. Harga Break Event Point Tembakau Petani

Padahal, ketika kita melihat kembali harga jual tembakau yang berlaku di

tingkat petani (tabel 11) untuk kualitas tembakau menengah (totol C, D dan E),

petani akan untung jika kualitas tembakau yang dihasilkannya semua berada pada

kualitas totol D dan E. Sedangkan hasil panen tidak selamanya akan memberikan

Petani Lahan

Output

Rata-

Rata

HPP Petani Pokok Utang Harga BEP

Pak

Wanto 1 Ha 552.2 Kg Rp. 26.975.000 Rp. 10.000.000 Rp. 66.959

Pak

Rochimin 0,5 Ha 276.1 Kg Rp. 9.780.000 Rp. 5.000.000 Rp. 53.531

Pak

Yanto 1,5 Ha 828.3 Kg Rp. 26.960.000 Rp. 15.000.000 Rp. 50.658

(HPP Petani + Pokok Utang)

Output Rata-Rata Harga BEP =

Page 52: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

52

kualitas yang homogen, hasil panen petani selalu bisa dipastikan akan

menghasilkan kualitas tembakau yang heterogen dengan kemungkinan variasi

jenis totol CDE, CD, CE, atau DE. Bahkan bisa saja kemudian akan menghasilkan

jenis totol lain seperti totol A maupun B ketika cuaca pada saat musim tanam

tidak mendukung. Pun proporsi kuantitas untuk masing-masing jenis kualitas

tidak dapat ditentukan secara pasti, semua tergantung pada kondisi alam dan

penilaian oleh pedagang maupun grader.

Berdasarkan perbandingan harga break event point (tabel 12) dan harga

tembakau yang berlaku di pasar (tabel 11) dapat dilihat bahwa musim panen

terbaik untuk petani terjadi pada tahun 2011. Harga pasar tembakau pada tahun

tersebut untuk kualitas terendah sudah mencapai angka Rp. 30.000/kg, sedangkan

untuk kualitas menengah seperti totol C saja harga terendah sudah mencapai

angka Rp. 60.000/kg. Menjadi sangat beralasan apa yang telah diutarakan baik

oleh Bapak Hasyim Affandi maupun para petani tembakau tersebut jika tahun

2011 memang tahun panen terbaik untuk petani. Tetapi kondisi cukup

memprihatinkan kembali harus dialami oleh petani pada musim panen tahun

2013. Harga jual tidak sebaik pada kurun waktu dua tahun sebelumnya, diikuti

dengan permintaan perusahaan rokok yang tidak begitu besar hanya sekitar

10.122 ton saja (Disperindagkop dan UMKM Kabupaten Temanggung, 2014).

Potensi rugi muncul karena harga jual terendah untuk totol C berada pada angka

Rp. 50.000/kg, sedangkan harga tertinggi untuk kualitas totol E adalah Rp.

85.000/kg.

Menarik untuk melihat berapa besar net farm income yang bisa diperoleh

masing-masing petani narasumber penelitian ini jika kondisi musim tembakau

tidak begitu memihak seperti terjadi pada tahun 2013 lalu. Pertama-tama akan

dihitung terlebih dahulu terkait harga jual rata-rata untuk tembakau kualitas C

sampai E. Penerimaan petani dihitung berdasarkan harga rata-rata tersebut karena

terkait dengan heterogenitas kualitas tembakau yang dihasilkan oleh petani. Harga

rata-rata tembakau totol C-E tahun 2013 sebagai komponen perhitungan net farm

income petani dihitung berdasarkan perhitungan rata-rata antara rata-rata harga

terendah untuk kualitas totol C sampai E dengan rata-rata harga tertinggi untuk

kualitas tembakau yang sama. Dari perhitungan tersebut diperoleh harga rata-rata

tahun 2013 untuk tembakau kualitas C sampai dengan kualitas E sebesar Rp.

63.500/kg.

Harga Rata-Rata 2013 Totol C-E =

Rata-Rata Harga Terendah + Rata-Rata Harga Tertinggi

2

Harga Rata-Rata 2013 Totol C-E =

Rp. 58.666 + Rp. 68.333

2 = Rp. 63.500

Page 53: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

53

Selanjutnya, harga rata-rata tersebut dijadikan sebagai komponen

perhitungan penerimaan usahatani yang kemudian akan memunculkan nilai net

farm income masing-masing petani. Berdasarkan perhitungan net farm income

berbasis harga pokok produksi petani yang telah dilakukan, diperoleh hasil net

farm income atau laba usahatani masing-masing petani pada tahun 2013 yaitu

sebesar – Rp. 1.910.300 untuk Pak Wanto, Rp. 2.752.350 untuk Pak Rochimin,

dan Rp. 10.637.050 untuk Pak Yanto. Pak Wanto merugi, sedangkan Pak

Rochimin dan Pak Yanto hanya menangguk untung yang sedikit bila

dibandingkan dengan pengorbanan materi, tenaga, maupun pikiran selama 7 bulan

melakukan budidaya serta pemasaran tembakaunya. Perhitungan ini masih

berbasis harga pokok produksi menurut petani, bagaimana jika dilakukan dengan

basis perhitungan harga pokok produksi menurut akuntansi biaya? Tentu hasil

kerugian lebih besar akan dialami ketiga petani tembakau tersebut.

Tabel 9.3. Net Farm Income Petani Tembakau Tahun 2013

Tabel 13. Net Farm Income Petani Tembakau

Petani Output Harga Penerimaan Pokok Utang NFI Basis

HPP Petani

Pak Wanto 552.2 Kg Rp. 63.500 Rp. 35.064.700 Rp. 10.000.000 (Rp. 1.910.300)

Pak

Rochimin 276.1 Kg Rp. 63.500 Rp. 17.532.350 Rp. 5.000.000 Rp. 2.752.350

Pak Yanto 828.3 Kg Rp. 63.500 Rp. 52.597.050 Rp. 15.000.000 Rp. 10.637.050

Hasil tersebut memang tidak memberikan asas keadilan bagi petani. Lagi-

lagi faktor harga jual memperlihatkan kenyataannya yang harus menjadi titik berat

masalah pengentasan pemiskinan petani. Harga jual berkeadilan mutlak harus

diperjuangkan demi menyokong keberadaan petani. Karena selama ini memang

keuntungan dari penetepan harga jual berbasis pasar lebih dinikmati oleh

pedagang atau tengkulak maupun perusahaan rokok itu sendiri. Dari sisi

pedagang, jika margin keuntungan yang mereka tetapkan untuk setiap

kilogramnya adalah Rp. 5.000 saja maka dengan produktivitas rata-rata petani

tembakau sebesar 552,2 kg/ha, mereka akan mengeruk keuntungan sebesar Rp.

2.761.000 per hektar lahan petani. Padahal menurut para petani, terkadang harga

jual yang ditekan oleh oknum pedagang melebihi angka tersebut yaitu antara Rp.

5.000 sampai dengan Rp. 10.000.

Pedagang akan memperoleh untung lagi dengan adanya hak tembakau yang

terambil dari penetapan rafaksi dan comotan. Berat bruto tembakau dalam satu

kemasan keranjang berkisar antara 35-50 kg dengan penetapan rafaksi umumnya

dimulai pada kisaran 7 kg. Secara perhitungan kasar jika saja berat tembakau yang

terambil dari penetapan rafaksi dan comotan tersebut masing-masing 1 kg,

kemudian dalam satu hektar lahan pertanian menghasilkan 20 keranjang (552,2

kg/(35kg-7 kg)), maka dengan harga jual rata-rata Rp. 63.500/kg pedagang akan

kembali memperoleh “subsidi” dari petani sebesar Rp. 2.540.000 (2kg x 20

keranjang x Rp. 63.500) per satu petani yang memiliki lahan 1 hektar. Artinya,

setiap 1 hektar lahan, petani kehilangan hak pendapatannya sebesar Rp.

Penerimaan = (Produktivitas x Harga Rata-Rata)

NFI = Penerimaan – (HPP Petani + Pokok Utang)

Page 54: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

54

5.301.000. Angka tersebut belum termasuk perhitungan biaya transportasi

maupun biaya pungutan tumplekan yang dibebankan kepada petani.

Angka yang cukup besar tersebut nyata membebani petani, petani dirugikan

dan rasionalisasi konsep net farm income maupun usaha pencapaian laba

maksimal kapitalis melalui akuntansi tidak mampu memperlihatkan keadilan. Jika

harus membandingkan pendapatan petani dan perusahaan rokok sebagai core-

business pertembakauan, benar-benar tercermin ketimpangan distribusi

pendapatannya. Bandingkan saja dengan perolehan laba tiga perusahaan rokok

yang listing di Bursa Efek Indonesia, ketimpangan jelas terlihat yang di dalamnya

termuat unsur “pemarginalan petani” melalui penetapan harga jual “seenak jidat”

mereka. Terlebih lagi, dari laba dan pemarginalan petani tersebut lahir pula para

miliarder kelas kakap penghuni kasta tertinggi orang-orang kaya di Indonesia.

Tabel 14. Perbandingan Laba Kotor Perusahaan Rokok

Laba

Bersih Keterangan

Tahun (Dalam Jutaan Rupiah)

2010 2011 2012 2013

PT.

Bentoel

Pendapatan

Bersih 8.904.568 10.070.175 9.850.010 12.273.615

Beban

Penjualan (6.960.270) (7.756.010) (8.180.101) (10.492.258)

Laba Kotor 1.944.298 2.314.165 1.669.909 1.781.357

PT.

Gudang

Garam

Pendapatan

Bersih 37.691.997 41.884.352 49.028.696 55.436.954

Beban

Penjualan (28.826.410) (31.754.984) (39.843.974) (44.563.096)

Laba Kotor 8.865.587 10.129.368 9.184.722 10.873.858

PT. HM

Sampoerna

Pendapatan

Bersih 43.381.658 52.856.708 66.626.123 75.025.207

Beban

Penjualan (30.725.665) (37.661.205) (48.118.835) (54.953.870)

Laba Kotor 12.655.993 15.195.503 18.507.288 20.071.337 Sumber: Laporan Tahunan PT. Bentoel, PT. Gudang Garam, dan PT. HM Sampoerna.

Menurut data yang dilansir Forbes Asia (http://www.forbes.com/indonesia-

billionaires), pemilik dua perusahaan rokok nasional terbesar yaitu Robert Budi

Hartono dan Michael Hartono (PT. Djarum) dan Susilo Wonowidjojo (PT.

Gudang Garam) berada pada peringkat pertama serta kedua orang terkaya se-

Indonesia. Peter Sondakh yang notabene dulu adalah pemilik dari PT. Bentoel

International Investama sebelum diakuisisi oleh British American Tobacco berada

di peringkat 8. Sedangkan, Putera Sampoerna yang dahulu memiliki 100% saham

PT. HM Sampoerna sebelum diakuisisi oleh Phillip Morris Int. berada di posisi ke

13 dengan total kekayaan mencapai $1,9 miliar. Data tersebut mengantarkan

sebuah fakta bahwa surplus ekonomi pertanian tembakau sebagian besar mengalir

deras ke tangan-tangan shareholder perusahaan rokok. Petani yang berjuang keras

memenuhi kebutuhan bahan baku perusahaan-perusahaan rokok tersebut justru

berada di arah sebaliknya. Petani seakan diperas di sini, dengan minimnya potensi

serta jaminan memperoleh keuntungan usahatani.

Memang terlihat seperti mengadu ikan teri dengan ikan hiu, namun yang

ingin ditekankan di sini adalah bagaimana pencapaian laba korporasi tersebut

mengandung unsur pemarginalan yang amat merugikan petani. Seyogianya,

Page 55: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

55

simbiosis agribisnis tembakau harus memberikan kesejahteraan merata “dari

tahun ke tahun” bagi petani selaku pelaku usaha utama. Petani sendiri pun merasa

bahwa pertanian tembakau belum memberi jaminan keuntungan dari tahun ke

tahun. Terlihat dari ucapan para petani bahwa tahun 2011 merupakan tahun

terbaik bagi mereka. Sampai-sampai menurut kesaksian Brata (2012:73) selepas

musim tembakau tahun 2011, 140 warga desa Campurejo mampu mendaftarkan

diri untuk keperluan ibadah haji ke Tanah Suci. Petani yang notabene

menghasilkan tembakau menengah bisa menghasilkan nilai keuntungan yang

cukup besar pada waktu itu. Namun, apa yang dirasakan petani di tahun-tahun

setelahnya memang berbanding terbalik dengan kondisi di tahun 2011. Terutama

untuk musim panen tahun 2013 dan 2014, petani merasakan tidak cukup

mendapat keuntungan, justru mungkin dalam perhitungan yang lebih riil mereka

mengalami kerugian.

Todaro dan Smith (2006:141) mengatakan bahwa teori ketergantungan

memandang negara-negara Dunia Ketiga sebagai korban dari kekakuan aneka

faktor kelembagaan, politik, dan ekonomi, baik yang berskala domestik maupun

internasional, di mana mereka telah terjebak pada ketergantungan dan dominasi

negara-negara maju. Melalui definisi tersebut, teori ketergantungan dalam

beberapa asumsi dasarnya telah terbukti bersangkutan dengan keadaan

ketergantungan yang menimpa petani dan pertanian Indonesia. Dilihat secara

historis struktural, keadaan ketergantungan pertanian banyak dipengaruhi oleh

pemilihan paradigma pembangunan pertanian Indonesia yang modern-industrial

dan cenderung meniru gaya barat. Teori ketergantungan lahir dari kritik terhadap

teori modernisasi yang jelas mengatakan bahwa modernisasi hanya akan

membawa keuntungan bagi negara sentral dan ketergantungan bagi negara

metropolis. Demikian pula dengan yang terjadi di pertanian Indonesia,

pembangunan pertanian Indonesia selayaknya mempunyai ciri khas sendiri karena

teori-teori pembangunan negara barat tidak sepenuhnya akan mampu beradaptasi

secara sempurna dengan kondisi pertanian di Indonesia. Pemilihan konsep

pembangunan pertanian berbasis Revolusi Hijau pada masa orde baru menjadi

titik awal kondisi pertanian Indonesia mengalami ketergantungan. Perubahan

sistem pertanian secara masif dari tradisional ke modern didukung dengan

pengetatan pola produksi melalui berbagai undang-undang dan peraturan hukum

menjadikan para petani mentradisikan nilai-nilai modern di pertaniannya hingga

sekarang.

Perubahan paradigma pembangunan pertanian Indonesia ke sistem

agribisnis justru menambah rumit keadaan ketergantungan. Pertanian benar-benar

digiring ke ranah bisnis sebagai sapi perah pemenuhan kebutuhan industri.

Agribisnis lebih membelenggu petani dengan keadaan ketergantungan petani pada

perusahaan swasta dalam ranah upstream sampa marketing subsistem agribisnis.

Sistem agribisnis menempatkan perusahaan pertanian swasta sebagai pelaku

dominan agribisnis. Alhasil, petani Indonesia mengalami ketergantungan hebat

pada bibit unggul, pupuk kimia, serta pestisida kimia yang diproduksi perusahaan

multinasional. Efek lainnya adalah strategi pemenuhan laba maksimal perusahaan

agribisnis mampu membuat gejolak dan dinamika pasar sedemikian rupa yang

berdampak pada kondisi kesejahteraan petani. Pasalnya, petani tergantung pada

harga jual dan kuantitas penyerapan hasil komoditas pertanian yang ditentukan

perusahaan. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitulah kira-kira gambaran

Page 56: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

56

kondisi petani saat ini. Petani tergantung dengan input pertanian produksi

perusahaan swasta yang harganya ditentukan oleh perusahaan, petani juga

tergantung oleh penetapan harga jual dan kuantitas penyerapan komoditas oleh

perusahaan.

Lebih lanjut lagi dampak sistem agribisnis tak hanya mengubah pola pikir

petani dari kultural menjadi bisnis, namun juga kultur yang melingkupi pertanian

itu sendiri telah terdegradasi. Pola pikir bisnis akan menempatkan laba sebagai

tujuan utama usahatani. Kreasi dari pola pikir bisnis petani akan berdampak pada

cara-cara sistematis petani mengusahakan pertanian yang menguntungkan. Selain

tidak akan melepaskan petani dari budaya penerapan pertanian intensif, petani pun

tidak akan mengindahkan norma-norma keberlangsungan pertanian. Selain itu

didukung dengan pelembagaan kepentingan asing melalui penggiringan pertanian

ke arah liberalisasi juga mampu memporak-porandakan struktur kemandirian

pertanian nasional. Liberalisasi dijalankan tanpa filtrasi dan tanpa batasan, alhasil

gerak kreatifitas dan kemandirian pertanian nasional justru yang terbatasi dengan

maraknya produk pertanian impor yang membanjiri pasar pertanian Indonesia.

Ketergantungan pun bertolak belakang dengan pembangunan karena

kesejahteraan petani sepenuhnya akan tergantung pada mekanisme pasar yang

dijalankan oleh perusahaan.

Bertolak dari pembahasan sebelumnya, kita melihat bahwa akuntansi

memiliki kontribusi cukup penting bagi pembentukan keadaan ketergantungan

petani. Tidak hanya ketergantungan yang bersifat global sesuai asumsi dasar teori

ketergantungan, namun juga ketergantungan yang bersifat lokal. Akuntansi adalah

alat rasionalisasi pembentukan ketergantungan petani tersebut. Ketergantungan

petani tercipta lantaran apa yang disampaikan oleh Irianto (2006) bahwa

konsekuensi logis pengejaran laba maksimal hanya akan membesarkan satu atau

lebih kelompok kepentingan tertentu, sementara memarginalkan dan atau bahkan

dapat menghancurkan yang lainnya. Konstruk laporan laba rugi konvensional

memberikan "fasilitas" terjadinya praktik bisnis demikian, oleh karena laba dalam

konstruk laporan tersebut memang dikreasi dan dicitrakan sebagai the bottom line.

Aktivitas bisnis kemudian senantiasa akan ditujukan untuk memperoleh

keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan tidak jarang menggunakan berbagai

cara yang melanggar etika bahkan ketentuan hukum, atau mengakibatkan

kerusakan lingkungan yang parah.

Ya, selain mendistribusikan laba pertanian ke beberapa kelompok

kepentingan tertentu (baca: korporasi dan agen ekonomi), akuntansi konvensional

juga bertanggung jawab atas ketergantungan petani (global dan lokal) yang bisa

berakibat pada rusaknya lingkungan alam dan lingkungan budaya karena esensi

corporate greed di dalamnya. Konsumsi pestisida dan pupuk kimia petani dalam

konteks ketergantungan ini telah begitu meresahkan. Tetapi, ranah ilmu ekonomi

pertanian senyatanya masih memberikan rekomendasi penggunaan pestisida dan

pupuk kimia untuk menjaga produktivitas tinggi, ditunjang dengan turunan

dampak ideologis konsep net farm income bahwa pertanian tidak lain dan tidak

bukan hanya ditujukan sebagai usaha bisnis. Pemikiran demikian ini sangat

membelenggukan petani dalam ketergantungan, selagi pembangunan pertanian

berbasis pertanian berkelanjutan dan perwujudan harga jual komoditas

berkeadilan hanya “jalan ditempat”.

Page 57: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

57

Sepatutnya seluruh stakeholder pertanian terutama pemerintah harus mampu

memperjuangakan model pembangunan pertanian yang memihak petani. Petani

tembakau khususnya kini seakan berada dalam kondisi “hidup segan mati tak

mau” untuk melakukan usahatani tembakau. Jika memutuskan untuk masih

bertani tembakau, petani akan dihadapkan pada potensi kerugian yang cukup

besar karena berada dalam kondisi ketergantungan. Di sisi lain, ketika petani tidak

mau untuk mengusahakan pertanian tembakau, keberlangsungan hidup dirinya

beserta keluarga tidak juga terjamin. Tembakau dimaknai sebagai suatu jiwa serta

jatidiri petani, maka petani tidak mau mengusahakan komoditas pertanian lain.

Toh komoditas pertanian lain belum ada yang mampu menandingi nilai ekonomis

tembakau. Kalaupun ada, petani pasti juga akan dihadapkan pada kondisi

pemarginalan yang sama. Sama-sama bermasalah dalam rantai pemasaran,

penetapan harga jual berbasis pasar, maupun ketergantungan pada pertanian

intensif. Kemungkinan besar ketika petani selalu dirundung masalah akibat

kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengabaikan keberadaannya, jumlah petani

akan terus menurun. Bukan tidak mungkin lagi kedaulatan pertanian nasional

hanya akan sekedar mimpi, lalu Indonesia harus terus tergantung dengan impor

bahan pangan dari luar negeri. Sama saja itu artinya dengan penjajahan baru,

mengulang sejarah.

EPILOG: AKHIR TAPI BUKAN YANG TERAKHIR

Simpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kita melihat tiga hal

kontribusi konsep net farm income dan akuntansi konvensional bagi keadaan

ketergantungan petani. Pertama, dari aspek dampak ideologis konstruk laporan

laba rugi yang menempatkan laba (net income) sebagai tujuan utama (bottom line)

suatu usaha ekonomis atau bisnis. Konstruk laporan tersebut secara ideologis

mampu memberikan konsekuensi implementasi strategi bisnis entitas bisnis

terutama korporasi besar dalam bentuk yang bisa memarginalkan pihak-pihak

tertentu. Laba akan diperoleh dengan mengurangi pendapatan bersih dengan

beban-beban yang melingkupinya. Laba maksimal kemudian akan diperoleh

dengan jalan menaikkan setinggi-tingginya angka penjualan dibarengi dengan

menurunkan biaya serendah-rendahnya. Perusahaan rokok yang berlaku sebagai

entitas bisnis tersebut, pasti juga akan mempraktikkan hal itu. Pada akhirnya

pihak yang dirugikan adalah petani karena tembakau yang dianggap sebagai biaya

pengorbanan, angkanya harus ditekan serendah mungkin. Imbasnya harga jual

tembakau di tingkat petani akan sangat tergantung keputusan perusahaan rokok.

Kedua, dari aspek legitimasi penerapan pengukuran dan penilaian aset

berdasarkan konsep fair value dalam IAS 41 yang mentradisikan dominasi rantai

pasar pada perusahaan, pedagang, dan tengkulak. Dominasi harga jual yang

ditetapkan oleh perusahaan akan semakin mendapatkan pengakuan tatkala IAS 41

kemudian diadopsi oleh Indonesia ke dalam standar akuntansi keuangannya.

Pasalnya, konsep fair value menempatkan harga pasar sebagai basis penilaian dan

pengukuran aset, sedangkan karakteristik pertanian Indonesia saat ini belum

mampu mengakomodasi posisi petani secara struktural untuk mendapatkan harga

pasar komoditas pertanian yang berkeadilan. Dengan kata lain, konsep harga pasar

komoditas pertanian rentan dengan kooptasi kepentingan perusahaan, pedagang,

Page 58: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

58

dan tengkulak, sehingga ketika keberadaan IAS 41 belum diimbangi dengan

adanya regulasi hukum dari pemerintah yang mampu membatasi pengaturan harga

oleh perusahaan, petani akan selalu terancam rugi.

Ketiga, dari aspek rasionalisasi konsep net farm income yang berpotensi

melahirkan adopsi petani terhadap teori serta praktik penerapan harga pokok

produksi berbasis akrual (akuntansi biaya). Jika kemudian petani benar-benar

menjadi sosok entitas bisnis yang berpikir rasional bahwa tujuan utama

usahataninya adalah untuk mengejar laba maksimal, perhitungan harga pokok

produksi pertaniannya juga akan dilakukan secara menyeluruh dan mengacu pada

kaidah ekonomi kekinian (akrualisasi). Petani mempunyai karakteristik berbeda

dari kebanyakan individu yang berpikir rasional tersebut, karenanya karakteristik

itu pula yang menjadi pembeda refleksi antara perhitungan harga pokok produksi

pertanian menurut petani dengan perhitungan harga pokok produksi pertanian

menurut akuntansi biaya. Harga pokok produksi pertanian yang dihitung

berdasarkan konsep akrual dalam akuntansi biaya selalu akan merefleksikan nilai

yang lebih tinggi. Petani dengan karakter profit centris akan selalu berusaha

mencari celah bagaimana total biaya produksi yang terfleksi dalam perhitungan

secara menyeluruhnya mampu diimbangi oleh sisi penerimaannya. Sebenarnya

sah-sah saja jika petani akan menghitung harga pokok produksi pertaniannya

secara menyeluruh, tetapi kembali lagi jika harga jual komoditas pertanian yang

menjadi faktor penentu penerimaan uasahatani masih berada dalam konsep harga

pasar, atau belum adanya perlindungan harga jual komoditas yang berkeadilan

dari pemerintah, perhitungan harga pokok produksi tersebut rentan menimbulkan

eksploitasi petani terhadap lahan pertaniannya secara besar-besaran. Petani akan

selalu dihadapkan pada nilai total biaya usahatani yang tinggi, sedangkan di sisi

lain petani tergantung dengan harga jual komoditas pertaniannya pada perusahaan,

pedagang, atau tengkulak.

Berbagai konsep yang melekat dalam diri akuntansi konvensional

selayaknya perlu dievaluasi lebih lanjut lagi agar keberadannya tidak dijadikan

sebagai rasionalisasi pengejaran laba maksimal korporasi yang dampaknya

mampu memarginalkan pihak-pihak tertentu serta memberikan dampak buruk

bagi lingkungan. Konsekuensi logis dari konstruk laporan laba rugi pada

akuntansi konvensional yang diterapkan oleh entitas bisnis berupa perusahaan

swasta mampu memberikan dampak ketergantungan petani baik yang bersifat

global maupun sampai pada ketergantungan yang bersifat lokal. Sedangkan

bentuk ketergantungan tersebut sangat bertolak belakang dengan semangat

pembangunan pertanian berkeadilan, berwawasan lingkungan, serta perwujudan

kedaulatan pertanian nasional. Petani dan pertanian nasional seolah hanya

dijadikan “sapi perah” korporasi dengan mekanisme ketergantungan petani dalam

semua ranah aktivitas pertanian yang melingkupinya. Ketergantungan pada pupuk

dan pestisida kimia, ketergantungan harga jual, ketergantungan pemasaran,

sampai pada ketergantungan modal oleh pelepas uang.

Untuk lebih memperhatikan keberadaan petani serta menjamin

keberlanjutan pertanian Indonesia yang berdiri di kaki sendiri perlu adanya suatu

konsep pembaharuan pembangunan pertanian yang berpijak pada net farm income

bernafaskan keadilan serta wawasan lingkungan. Terutama dalam kasus pertanian

tembakau ini, konsep net farm income tersebut harus meletakkan sendi-sendi

keadilan dengan mengupayakan pertama, harga jual komoditas pertanian

Page 59: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

59

tembakau yang berkeadilan melalui intervensi pemerintah. Kedua, pembangunan

pertanian harus meletakkan paradigma pertanian berkelanjutan sebagai pijakan

utama agar tidak ada lagi ketergantungan petani pada input pertanian agrokimia

yang berbahaya bagi lingkungan alam. Ketiga, dibutuhkan kesadaran seluruh

stakeholder pertanian untuk tidak mengabaikan unsur-unsur kebudayaan lokal

masyarakat tani agar lahan pertanian tidak dijadikan sebagai ladang eksploitasi

besar-besaran perusahaan swasta melalui eksploitasi petani terhadap lahan

pertaniannya. Karakteristik kelokalan petani layaknya sebuah lentera kecil,

berbahan bakar “nurani petani”, yang mampu memberikan cukup penerangan

dikala daya “pemihakan pemerintah” kepadanya mati tak sengaja atau entah

disengaja menghasilkan kegelapan “hegemoni bisnis” yang membelenggukan

mereka dalam pemarginalan.

Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini mempunyai kendala besar dalam pendekatan etnografi yang

dilakukan. Objek studi etnografi belum terjamah secara keseluruhan

karena peneliti tidak mempunyai kesempatan untuk terjun langsung mulai

dari masa awal sampai masa akhir produksi usahatani tembakau. Studi

etnografi yang dilakukan dalam penelitian hanya dilakukan dalam waktu

yang singkat. Terhitung penelitian etnografi primer dilakukan selama satu

setengah bulan saja. Selayaknya studi etnografi dilakukan dalam waktu

yang lebih lama untuk memahami secara lebih mendalam subjek dan objek

kajian etnografi.

2. Keterbatasan waktu penulisan dan pengetahuan penulis, sehingga

pembahasan dan penyelesaian masalah yang penulis sarankan masih

bersifat kurang spesifik dan mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Ahsan, Abdillah et al. 2008. Kondisi Petani Tembakau di Indonesia: Studi Kasus

di Tiga Wilayah Penghasil Tembakau. Lembaga Demografi – FEUI dan

Tobacco Control Support Center (TCSC) – Ikatan Ahli Kesehatan

Masyarakat Indonesia (IAKMI). Jakarta.

Ahsan, Abdillah et al. 2012. Fakta Tembakau Permasalahan Di Indonesia Tahun

2012. Lembaga Demografi – FEUI dan Tobacco Control Support Center

(TCSC) – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI). Jakarta.

Amir, Vaisal et al. 2014. Gugurnya Petani Rakyat: Episode Perang Laba

Pertanian Nasional. Universitas Brawijaya Press. Malang.

Aryanto, Yohanes Handoko. 2011. Theoretical Failure of IAS 41: Agriculture.

Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1808413. Diunduh: 24 Oktober

2014.

Astiyanto, Heniy. 2006. Filsafat Jawa, Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal.

Wasta Pustaka Yogyakarta. Yogyakarta.

Baswir, Revrisond. 2008. Bahaya Neoliberalisme. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Bhakir, M. I. Thurrun. 2010. Applying IAS 41 in Malaysia. Accountants Today.

http://www.mia.org.my/at/at/2010/03/06.pdf. Diunduh: 21 September 2014.

Page 60: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

60

Bosch , Josep M. Argiles. 2011. A Comparative Study of Difficulties in

Accounting Preparation and Judgement in Agriculture Using Fair Value and

Historical Cost For Biological Assets Valuation. Journal of RC-SAR Vol. 15

- No.1:109-142.

Brata, Wisnu. 2012. Tembakau Atau Mati. Kesaksian, Kegelisahan, dan Harapan

Seorang Petani Tembakau. Indonesia Berdikari. Jakarta.

Braun, Joachim Von. 2008. Agriculture for Sustainable Economic Development:

A Global R & D Initiative to Avoid a Deep and Complex Crisis. Charles

Valentine Riley Memorial Lecture Capitol Hill Forum. Washington D.C.

http://www.ifpri.org/sites/default/files/publications/20080228jvbriley.pdf.

Diunduh: 29 Agustus 2014.

Carter, William K. 2009. Akuntansi Biaya, Edisi 14. (Krista, Penerjemah).

Penerbit Salemba Empat. Jakarta.

Creswell, J. W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among

Five Approaches 2 Edition. Thousand Oaks CA. Sage.

Daeng, Salamudin et al. 2011. Kriminalisasi Berujung Monopoli: Industri

Tembakau Indonesia Di Tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok

Internasional. Indonesia Berdikari. Jakarta.

DM, Abhisam, Hasriadi Ary, dan Miranda Harlan. 2011. Membunuh Indonesia:

Konspirasi Global Penghancuran Kretek. Penerbit Kata-kata. Jakarta.

Downey, W. D. dan Steven, P.E. 1992. Manajemen Agribisnis. Erlangga. Jakarta.

Dwicaksono, Marsetyo Ramadhany Bagus et al. 2013. Pengaruh Penambahan

Effective Microorganisms pada Limbah Cair Industri Perikanan Terhadap

Kualitas Pupuk Cair Organik. Jurnal Sumberdaya Alam & Lingkungan Vol

7. Universitas Brawijaya. Malang.

Dyah, Mohammad. 2011. Bahan Ajar Metodologi Penelitian: Rancangan

Penelitian Etnografi. https://ferdinandusnipa.wordpress.com. Diunduh: 10

Juli 2014.

Firdaus, Muhammad. 2008. Manajemen Agribisnis. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Gietema, Bart. 2006. Agro-Source 4: Farm Accounting. Digigrafi. Wageningen.

http://www.ruralfinance.org/fileadmin/templates/rflc/documents/116352827

4908_Farm_accounting.pdf. Diunduh: 29 Agustus 2014.

Giller, K.E et al. 1996. Agricultural Intensification, Soil Biodiversity and

Agroecosystem Function. Jurnal Applied Soil Ecology 6 of Elsevier Science

B.V.

Hadi, Syamsul et al. 2012. Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan

Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia. Indonesia Berdikari. Jakarta.

Hairiah, Kurniatun et al. 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi,

Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. SMT Grafika Desa Putera.

Jakarta.

Haq, Zainul Muhammad. 2011. Mutiara Hidup Manusia Jawa, Menggali Butir-

Butir Ajaran Lokal Jawa Untuk Menuju Kearifan Hidup Dunia dan Akhirat.

Aditya Media Publishing. Malang.

Hardjowirogo, Marbangun. 1982. Manusia Jawa. Haji Masagung. Jakarta

Haryono. 1997. Penentuan Biaya Produksi Budidaya Tembakau Rakyat dengan

Akuntansi Berbasis Kas dan Akuntansi Berbasis Akrual. (Studi Kasus Di

Desa Tuksai, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung). Thesis

Program Magister Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 61: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

61

Haryono, Imam. 2007. Road Map 2007-2020 Industri Hasil Tembakau dan

Kabijakan Cukai. Prosiding Lokakarya Nasional Agribisnis Tembakau

Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian. Surabaya.

Hettne, Bjorn. 1982. Development Theory and The Third World. Schmidts

Boktryseckeri AB. Helsinborg.

Horngren et al. 1987. Cost Accounting: A Managerial Emphasis. (Desi

Andhariani, Penerjemah). Jakarta. Erlangga.

International Accounting Standards Board (IASB). 2011. International

Accounting Standards (IAS) 41: Agriculture.

International Accounting Standards Board (IASB). 2013. International Financial

Reporting Standards (IFRS) 13: Fair Value Measurement.

Irianto, Gugus. 2006. Dilema Laba dan Rerangka Teori Political Economy of

Accounting (PEA). Jurnal TEMA Vol. 7 No. 2. Fakultas Ekonomi

Universitas Brawijaya. Malang.

Kurniawan, Rendra. 2012. Valuasi Aset Biologis: Kajian Kritis Atas IAS 41

Mengenai Akuntansi Pertanian. Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas

Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya. Malang.

Laporan Tahunan PT. Bentoel International Investama Tbk. Tahun 2011

Laporan Tahunan PT. Bentoel International Investama Tbk. Tahun 2013

Laporan Tahunan PT. Gudang Garam Tbk. Tahun 2011

Laporan Tahunan PT. Gudang Garam Tbk. Tahun 2013

Laporan Tahunan PT. Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. Tahun 2011

Laporan Tahunan PT. Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. Tahun 2013

Latifah, Hikmah Nur. 2010. Sikap Petani Tembakau Terhadap Program

Kemitraan PT. Gudang Garam di Kecamatan Sugihwaras, Kabupaten

Bojonegoro. Skripsi Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.

Surakarta. http://eprints.uns.ac.id/269/1/161532508201003171.pdf. Diunduh

: 27 Agustus 2014.

Madison, D. Soyini. 2005. Critical Ethnography : Methods, Ethics, and

Performance. Thousand Oaks CA. Sage.

Maulidah, Silvana. 2012. Faktor-Faktor Produksi Usahatani. Fakultas Pertanian

Universitas Brawijaya. Malang.

Moleong, L. J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya

Offset: Bandung.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian Edisi 3. LP3ES. Jakarta

Mulawarman, Aji Dedi. 2012. Akuntansi Syariah Di Pusaran Kegilaan “IFRS-

IPSAS” Neoliberal: Kritik atas IAS 41 dan IPSAS 27 Mengenai Pertanian.

Badan Publikasi dan Penerbitan Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan

Bisnis Universitas Brawijaya. Malang.

Mursy, Auctina Luckyta. 2013. Laba Dakwah Sebagai Tujuan Akhir Amal usaha

Muhammadiyah: Studi Etnografi Pada Rumah Sakit Aisyiyah Malang.

Thesis Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas

Brawijaya. Malang.

Nainggolan, Kaman. 2005. Pertanian Indonesia Kini dan Esok. “Agriculture is

Too Important to be Left to The Government”. Pustaka Sinar Harapan.

Jakarta.

Page 62: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

62

Padmo, Soegijanto dan Edhie Djatmiko. 1991. Tembakau : Kajian Sosial-

Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta.

Paranoan, Selmita. 2011. Passanan Tengko’: Studi Etnografi Praktik

Akuntabilitas Pada Upacara Aluk Rambu Solo’ Dalam Organisasi

Tongkonan. Thesis Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis,

Universitas Brawijaya.

Pinanjaya, Okta dan Waskito Giri Sasongko. 2012. Muslihat Kapitalis Global:

Selingkuh Industri Farmasi dengan Perusahaan Rokok AS. Indonesia

Berdikari. Jakarta.

Prastowo, Nugroho Joko, Tri Yanuarti, dan Yoni Depari. 2008. Pengaruh

Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya

Terhadap Inflasi. Bank Indonesia. Working Paper: WP/07/2008.

Puspitosari, Hesti. 2009. Ancaman Kedaulatan Pangan: Politik Pangan Menuju

Kedaulatan Pangan yang Berbasis Kearifan Lokal. Jurnal Transisi. Vol. 3

No.1. Malang.

Rachman, Agus Hasanuddin. 2007. Status Pertembakauan Nasional. Prosiding

Lokakarya Nasional Agribisnis Tembakau Badan Penelitian dan

Pengembangan Kementerian Pertanian. Surabaya.

Rachmat, Muchjidin dan Sri Nuryanti. 2010. Dinamika Agribisnis Tembakau

Dunia dan Implikasinya bagi Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian. Bogor.

Rachmawati, Alfiana. 2014. Ketergantungan Petani Tembakau Terhadap Sistem

Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung. Skripsi.

http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/67850. Diunduh: 27 Agustus

2014.

Rahardjo, M. Dawan. 1986. Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan

Kesempatan Kerja. UI-Press. Jakarta.

Rahayu, Wiwit dan Erlyna Wida Riptanti. 2010. Anlisis Efisiensi Ekonomi

Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Usahatani Kedelai Di

Kabupaten Sukoharjo. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis

Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Rais, Akhyar. 2007. Prospek Ekspor dan Impor tembakau. Prosiding Lokakarya

Nasional Agribisnis Tembakau Badan Penelitian dan Pengembangan

Kementerian Pertanian. Surabaya.

Rais, M. Amien. 2008. Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia!. PPSK

Press. Yogyakarta.

Randa, Fransiskus. 2011. Akuntabilitas Organisasi Gereja: Pemaknaan dan

Rekonstruksi Inkulturatif Nilai-Nilai Budaya Lokal (Studi Etnografi Pada

Gereja Katolik Di Tana Toraja). Disertasi Jurusan Akuntansi Fakultas

Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya. Malang.

Rianse, Usman. 2009. Membangun Agribisnis Terpadu dan Berkelanjutan.

Unhalu Press Kendari. Kendari.

Rinto, Harno. 2006. Tembakau Dilihat Dari Sudut Pandang Rokok Kretek.

Prosiding Diskusi Panel Revitalisasi Sistem Agribisnis Tembakau Bahan

Baku Rokok. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.

Page 63: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

63

Rokhmat. 2006. Ki Ageng Makukuhan dan Awal Islamisasi di Daerah Kedu

(Temanggung) 1471-1497. Skripsi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam

Fakultas Adab, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Sa’id, E.G. 1994. Dampak Negatif Pestisida, Sebuah Catatan bagi Kita Semua.

Jurnal Agrotek. Vol. 2(1). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Saefulloh, Asep Ahmad et al. 2011. Strategi dan Kebijakan Pengembangan

Sektor Pertanian dan Perlindungan-Pemberdayaan Petani. P3DI. Jakarta.

Setiawan, A.I dan Y. Trisnawati. 1992. Pembudidayaan Pengolahan dan

Pemasaran Tembakau. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usahatani. Universitas Brawijaya Press. Malang.

Sobary, Mohamad. 2014. Esai-esai Kebudayaan: Semar Gugat di Temanggung.

Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.

Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian, Teori dan Aplikasi. Raja

Grafindo Press. Jakarta.

Sonbay, Yolinda Yanti. 2010. Perbandingan Biaya Historis dan Nilai Wajar.

Jurnal Kajian Akuntansi Vol. 2. No. 1. Universitas Katholik Widya

Mandira. Kupang.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Stoner, James A.F. 1982. Management: Study Guide and Workboon. Prentice

Hall. New Jersey.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Alfabeta.

Bandung.

Suwahyono, Untung. 2010. Cara Membuat dan Petunjuk Penggunaan

Biopestisida. Penebar Swadaya. Jakarta

Suwarsono dan Alvin Y. So. 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Pustaka

LP3ES Indonesia. Jakarta.

Thompson, Carol AS et al. 2012. The Tobacco Products Corporation: Philip

Morris's Predecessor. http://www.smokershistory.com/TobProds.html.

Diakses: 3 Juli 2014.

Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2006. Economic Development 9

Edition. Pearson Education Limited. United Kingdom.

Wahono, Francis dan Kennteh D. Thomas. 2000. Globalisasi dan Inisiatif-Inisiatif

Lokal. Bibliografi. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati.

Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Yogyakarta

Wanto et al. 1996. Keluarga Sejahtera Menurut Sistem Budaya Masyarakat

Pedesaan Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Semarang.

Zach, Tzachi. 2003. Inside The Accrual Anomaly. Disertasi William E. Simon

School of Business Administration, University of Rochester. New York.

___, BI Tolak Bank Pertanian Rawan Kepentingan Politik.

http://www.neraca.co.id/bisnis-indonesia/26688/BI-Tolak-Bank-

Pertanian/2. Diakses: 24 September 2014.

___, Database Kementerian Pertanian. 2014. http://www.aplikasi.deptan.go.id.

Diakses: 11 Maret 2014.

___, Draf Naskah Rancangan Undang-Undang Pertembakauan. 2014. Badan

Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta.

Page 64: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

64

___, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Kecil Mikro dan

Menengah Kabupaten Temanggung. 2014. Harga Tembakau Hasil Panen

Raya Tahun 2007-2013. Temanggung.

___, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan

Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta.

___, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. Kerangka Dasar Penyusunan

Penyajian Laporan Keuangan. Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan

Akuntan Indonesia. Jakarta.

___, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (Revisi 2009) Tentang

Penyajian Laporan Keuangan. 2009. Dewan Standar Akuntansi Keuangan

Ikatan Akuntan Indonesia. Jakarta.

___, Philip Morris Companies Inc. - Company Profile, Information, Business

Description, History, Background Information on Philip Morris Companies

Inc.

http://www.referenceforbusiness.com/history2/72/PhilipMorrisCompaniesIn

c.html#ixzz3Ck2l39W1. Diakses: 3 Juli 2014.

___, Rencana Induk Pertembakauan. 2010. Pemerintah Daerah Kabupaten

Temanggung. http://103.247.14.86/bappeda/bank/10.pdf. Diunduh: 2 Mei

2014.

___, Supply and Demand.

http://www.wikipedia.or.ke/index.php?title=Supply_and_demand. Diakses:

20 September 2014.

___, Temanggung Dalam Angka. 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten

Temanggung. http://www.temanggungkab.bps.go.id. Diakses: 13 Juli 2014.

___, Tembakau Srintil Resmi Dipatenkan.

http://berita.suaramerdeka.com/tembakau-srintil-resmi-dipatenkan/ Diakses:

22 November 2014.

___, Who We Are: British American Tobacco dan PT. Bentoel International

Investama. 2013.

http://www.bentoelgroup.com/group/sites/BAT_8WXDPH.nsf/vwPagesWe

bLive/DO8W3CW4?opendocument&SKN=1. Diunduh: 2 Juli 2014.

Page 65: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

65

Lampiran 1. Penghitungan Harga Pokok Produksi Pertanian Tembakau

Biaya Tenaga Kerja (Konsep Akrual Akuntansi Biaya)

Petani Aktivitas

Tenaga Kerja Luar Tenaga Kerja Keluarga

Jumlah Hari

Kerja

Upah

+

Biaya

Makan

(Rp)

Jumlah

Biaya (Rp) Jumlah

Hari

Kerja

Upah

+

Biaya

Makan

(Rp)

Jumlah

Biaya (Rp)

Pak

Wanto

Pengolahan Tanah 5 30 35.000 5.250.000 2 30 35.000 2.100.000

Penanaman 7 1 35.000 245.000 3 1 35.000 105.000

Penyulaman 3 15 35.000 1.575.000 2 15 35.000 1.050.000

Pemupukan

Lanjutan 5 1 35.000 175.000 2 1 35.000 70.000

Pendangiran 5 5 35.000 875.000 - - - -

Pemangkasan Bunga

3 3 35.000 315.000 2 3 35.000 210.000

Pemangkasan

Tunas 3 3 35.000 315.000 2 3 35.000 210.000

Pemberantasan Hama dan

Penyakit

3 3 35.000 315.000 2 3 35.000 210.000

Persiapan Panen 3 5 35.000 875.000 - - - -

Panen dan

Pengolahan Hasil 4 45 60.000 10.800.000 2 45 60.000 5.400.000

Total Biaya

20.740.000 9.355.000

30.095.000

Pak

Rochimin

Pengolahan Tanah - - - - 3 15 35.000 1.575.000

Penanaman - - - - 3 7 35.000 735.000

Penyulaman - - - - 3 11 35.000 1.155.000

Pemupukan

Lanjutan - - - - 3 1 35.000 105.000

Pendangiran - - - - 3 10 35.000 1.050.000

Pemangkasan

Bunga - - - - 3 2 35.000 210.000

Pemangkasan

Tunas - - - - 3 2 35.000 210.000

Pemberantasan

Hama dan

Penyakit

- - - - 3 1 35.000 105.000

Persiapan Panen - - - - 2 1 35.000 70.000

Panen dan Pengolahan Hasil

2 30 50.000 3.000.000 3 30 50.000 4.500.000

Total Biaya

3.000.000 9.715.000

12.715.000

Pak

Yanto

Pengolahan Tanah 4 30 40.000 4.800.000 - - - -

Penanaman 6 1 40.000 240.000 4 1 40.000 160.000

Penyulaman - - - - 3 10 40.000 1.200.000

Pemupukan

Lanjutan - - - - 4 1 40.000 160.000

Page 66: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

66

Biaya Tenaga Kerja (Petani)

Pendangiran, 5 5 40.000 1.000.000 - - - -

Pemangkasan Bunga

- - - - 4 1 40.000 160.000

Pemangkasan

Tunas - - - - 4 1 40.000 160.000

Pemberantasan Hama dan

Penyakit

3 3 40.000 360.000 2 3 40.000 240.000

Persiapan Panen 2 1 40.000 80.000 - - - -

Panen dan Pengolahan Hasil

5 30 60.000 9.000.000 - - - -

Total Biaya

15.480.000 2.080.000

17.560.000

Petani Aktivitas

Tenaga Kerja Luar Tenaga Kerja Keluarga

Jumlah Hari

Kerja

Upah

+

Biaya

Makan

(Rp)

Jumlah

Biaya (Rp) Jumlah

Hari

Kerja

Upah

+

Biaya

Makan

(Rp)

Jumlah

Biaya (Rp)

Pak Wanto

Pengolahan Tanah 5 30 30.000 4.500.000 2 30 - -

Penanaman 7 1 30.000 210.000 3 1 - -

Penyulaman 3 15 30.000 1.350.000 2 15 - -

Pemupukan Lanjutan

5 1 30.000 150.000 2 1 - -

Pendangiran 5 5 30.000 750.000 - - - -

Pemangkasan

Bunga 3 3 30.000 270.000 2 3 - -

Pemangkasan Tunas

3 3 30.000 270.000 2 3 - -

Pemberantasan

Hama dan Penyakit

3 3 30.000 270.000 2 3 - -

Persiapan Panen 3 5 30.000 450.000 - - - -

Panen dan

Pengolahan Hasil 4 45 50.000 9.000.000 2 45 - -

Total Biaya 17.220.000 -

Pak Rochimin

Pengolahan Tanah - - - - 3 15 - -

Penanaman - - - - 3 7 - -

Penyulaman - - - - 3 11 - -

Pemupukan Lanjutan

- - - - 3 1 - -

Pendangiran - - - - 3 10 - -

Pemangkasan Bunga

- - - - 3 2 - -

Pemangkasan

Tunas - - - - 3 2 - -

Pemberantasan Hama dan

Penyakit

- - - - 3 1 - -

Persiapan Panen - - - - 2 1 - -

Panen dan

Pengolahan Hasil 2 30 40.000 1.200.000 3 30 - -

Page 67: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

67

Beban Depresiasi

Petani Peralatan

Perhitungan Biaya Nilai

Depresiasi Unit Harga Beli Estimasi Umur

Ekonomis

Pak Wanto

Mesin Rajang 1 5.000.000 10 Tahun 500.000

Alat Semprot 2 1.000.000 5 Tahun 200.000

Rigen 300 7.500.000 10 Tahun 750.000

Total Beban Depresiasi 1.450.000

Pak Rochimin

Alat Rajang 3 900.000 10 Tahun 90.000

Rigen 110 2.805.000 10 Tahun 280.500

Total Beban Depresiasi 370.500

PakYanto

Mesin Rajang 1 5.000.000 10 Tahun 500.000

Alat Semprot 2 1.000.000 5 Tahun 200.000

Rigen 500 10.000.000 10 Tahun 1.000.000

Total Beban Depresiasi 1.700.000

Biaya Pengadaan Pupuk

Petani

Pupuk Kandang

(Karung)

Pupuk Kimia (Kg) Total

Biaya

Pengadaan

Pupuk

Urea Za Phonska

Jumlah Harga

Satuan Total Jumlah

Harga

Satuan Total Jumlah

Harga

Satuan Total Jumlah

Harga

Satuan Total

Pak

Wanto 200 15.000 3.000.000 - - - 600 1.450 870.000 - - - 3.870.000

Pak Rochimin

60 15.000 900.000 - - - 100 2.000 200.000 100 3.000 300.000 1.400.000

Pak

Yanto 400 12.000 4.800.000 300 2.100 630.000 200 2.100 420.000 - - - 5.850.000

Biaya Pengadaan Pestisida

Petani

Obat Total Biaya

Pengadaan

Obat

Dusban (Kaleng) Antrakol (Kg)

Jumlah Harga Satuan Total Jumlah Harga

Satuan Total

Pak Wanto 3 70.000 210.000 3 100.000 300.000 510.000

Pak Rochimin 1 70.000 70.000 1 100.000 100.000 170.000

Total Biaya 1.200.000 -

Pak Yanto

Pengolahan Tanah 4 30 35.000 4.200.000 - - - -

Penanaman 6 1 35.000 210.000 4 1 - -

Penyulaman - - 3 10 - -

Pemupukan Lanjutan

- - 4 1 - -

Pendangiran, 5 5 35.000 875.000 - - - -

Pemangkasan

Bunga - - 4 1 - -

Pemangkasan Tunas

- - 4 1 - -

Pemberantasan

Hama dan

Penyakit

3 3 35.000 315.000 2 3 - -

Persiapan Panen 2 1 35.000 70.000 - - - -

Panen dan

Pengolahan Hasil 5 30 50.000 7.500.000 - - - -

Total Biaya 13.170.000

Page 68: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

68

Pak Yanto 2 70.000 140.000 3 100.000 300.000 440.000

Biaya Persiapan Panen

Petani Biaya

Hajatan

Biaya

Pembuatan

Tempat

Fermentasi

Pembelian Keranjang Pembelian Gula Total Biaya

Persiapan

Panen Jumlah Harga/Unit

Total

Biaya Jumlah Harga/Kg

Total

Biaya

Pak

Wanto 500.000 250.000 35 75.000 2.625.000 175 10.000 1.750.000 5.125.000

Pak

Rochimin 500.000 100.000 9 75.000 675.000 96 10.000 960.000 2.235.000

Pak

Yanto 500.000 250.000 60 75.000 4.500.000 200 10.000 2.000.000 7.250.000

Biaya Pembibitan dan Beban Bunga

Petani

Biaya

Pembibitan

Mandiri

Perhitungan Beban Bunga Nilai Beban

Bunga Jumlah

Pinjaman

Jangka

Waktu Bunga

Pak Wanto 250.000 10.000.000 - 50% 5.000.000

Pak Rochimin 175.000 5.000.000 - 50% 2.500.000

Pak Yanto 250.000 15.000.000 9 Bulan 2% 2.700.000

Harga Pokok Produksi

Konsep Akrual Akuntansi Biaya

Petani

Komponen Biaya Total

Biaya Sewa

Lahan

Tenaga

Kerja Pupuk Obat

Pra

Panen Depresiasi Bibit Bunga

Pak Wanto

- 30.095.000 3.870.000 510.000 5.125.000 1.450.000 250.000 5.000.000 46.300.000

Pak Rochimin

4.600.000 12.715.000 1.400.000 170.000 2.235.000 370.500 175.000 2.500.000 26.165.500

Pak Yanto - 17.560.000 5.850.000 440.000 7.250.000 1.700.000 250.000 2.700.000 32.750.000

Petani

Petani

Komponen Biaya

Total Biaya Sewa

Lahan

Tenaga

Kerja Pupuk Obat Pra Panen Bibit

Pak Wanto - 17.220.000 3.870.000 510.000 5.125.000 250.000 26.975.000

Pak Rochimin 4.600.000 1.200.000 1.400.000 170.000 2.235.000 175.000 9.780.000

Pak Yanto - 13.170.000 5.850.000 440.000 7.250.000 250.000 26.960.000

Page 69: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

69

Lampiran 2. Foto Dokumentasi

Foto 1. Buruh Tani Pak Wanto Sedang Menunjukkan Tanaman yang Dipunggel

Foto 2. Tempat Fermentasi Tembakau Pak Wanto

Foto 3. Contoh Tembakau yang Siap Dikirim ke Perwakilan Pabrik

Page 70: Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income

70

Foto 4. Plakat Kebijakan Lingkungan, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja PT.

Bentoel yang Terpasang di Gudang Perwakilan Pabrik

Foto 5. Tembakau yang Siap Dikirim ke Gudang Perwakilan Pabrik Rokok

Foto. 6. Foto Peneliti Bersama Bapak Nurtanio Wisnu Brata Ketua APTI DPD

Jawa Tengah