Upload
votuyen
View
241
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pusat Pemerintahan
Ibukota kabupaten, yaitu kota tempat kedudukan pusat pemerintahan
kabupaten, dalam perkembangannya dapat menjelma menjadi kota yang makin
mempunyai ciri dan tingkat kemajuan yang memenuhi syarat untuk diklasifikasikan
sebagai Kota. Bila tahap perkembangan yang demikian itu terjadi, dijumpai suatu
dilema karena Kota dan Kabupaten mempunyai tingkat yang sama tatarannya dari
segi hierarki administrasi pemerintahan (Soenkarno, 1999).
Tatanan pemikiran sistem pemerintahan yang berlaku, menimbulkan
kecenderungan yang mengarah kepada diambilnya keputusan untuk memindahkan
lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten keluar dari kota kedudukannya semula. Seperti
yang terjadi pada Kabupaten Simalungun, yaitu memindahkan ibukota dari
sebelumnya berada pada wilayah Kota Pematangsiantar ke wilayah Kecamatan Raya,
salah satu wilayah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Simalungun.
Kawasan pemerintahan merupakan tempat untuk melaksanakan segala sesuatu
hal yang berkaitan dengan pemerintahan, baik itu kegiatan politik dan administatif,
serta segala kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal mengenai politik dan
pemerintahan. Salah satu tujuan dari direncanakannya kawasan tersebut yaitu untuk
meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat dimana hal itu tidak dapat
dilepaskan dari peran pemerintah sendiri dalam melaksanakannya (Purba, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Banyak hal yang harus dipenuhi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik
dalam suatu daerah, salah satu diantaranya adalah melalui aspek desain, yaitu melaui
perancangan kawasan pemerintahannya. Kawasan pemerintahan merupakan tempat
untuk melaksanakan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pemerintahan, baik itu
kegiatan politik dan administatif, serta segala kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal
mengenai politik dan pemerintahan (Purba, 2005).
Salah satu tujuan dari direncanakannya kawasan tersebut yaitu untuk
meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat dimana hal itu tidak dapat
dilepaskan dari peran pemerintah sendiri dalam melaksanakannya. Banyak hal yang
harus dipenuhi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dalam suatu daerah, salah
satu diantaranya adalah melalui aspek desain, yaitu melaui perancangan kawasan
pemerintahannya (Purba, 2005).
Menurut Hamid (2008), ada beberapa faktor dan indikator untuk menentukan
lokasi atau wilayah calon ibukota kabupaten yaitu meliputi:
a. Faktor lingkungan makro adalah dorongan lingkungan baik dari dalam
maupun dari luar seperti dorongan ketersediaan ruang atau lahan untuk
menjadikan ibu kota kabupaten sebagai pusat pemerintahan, pusat
pengendalian dan pertumbuhan pembangunan. Pusat jasa perdagangan dan
jasa sosial lainnya tentu memerlukan ruang atau lahan yang luas karena tidak
saja lahan yang disediakan hanya untuk perkantoran tetapi juga untuk
kepentingan kegiatan ekonomi sosial.
Universitas Sumatera Utara
b. Faktor endowment daerah yaitu ketersediaan SDM yang memadai dan SDA
yang potensial serta tingkat pengetahuan masyarakat yang cukup sebagai
calon warga ibukota kabupaten, sedangkan yang dimaksudkan dengan SDA
yang potensial adalah ketersediaan sumber air, tanah dan lain sebagainya.
c. Faktor budaya yang meliputi sifat dan perilaku masyarakat, adat istiadat yang
memberikan dukungan terhadap penetapan ibukota kabupaten.
Disamping faktor-faktor tersebut ikut menentukan kelayakan lokasi ibukota
Kabupaten yaitu daya dukung alam seperti yang disebut diatas antaranya lahan dan
sumber air, akses kemudahan pelayanan serta ketersediaan infrastruktur dasar seperti
jalan raya yang ada sehingga dapat meringankan beban pembiayaan infrastruktur dan
sekaligus telah berfungsi dengan dimulainya pembangunan sarana pemerintahan
didalam wilayah ibukota kabupaten (Hamid, 2008).
2.2. Kota Sebagai Pusat Pelayanan
Pusat pelayanan yang terletak di dalam kawasan perkotaan menjadi tempat
central aktivitas masyarakat, terbentuk sebagai kawasan yang paling dinamis dan
menjadi denyut nadi perkembangan suatu wilayah. Berbagai fasilitas pelayanan yang
lebih bervariasi membuat pusat pelayanan sebagai tempat yang menarik bagi
masyarakat di luar kawasan pusat kota. Adanya pusat pelayanan yang mengalami
kegagalan dalam perkembangannya disebabkan oleh banyak posisi daerah hinterland-
nya yang justru terserap masuk ke dalam wilayah pusat yang lebih besar, berakibat
daerah ini mengalami perkembangan yang stagnan atau bahkan mengalami
Universitas Sumatera Utara
kemunduran dalam pembangunannya, sehingga menyebabkan kesenjangan antara
wilayah (Sukirno, 1976).
Pusat kota menjadi pusat kegiatan masyarakat yang terbentuk sebagai
kawasan yang paling dinamis, merupakan denyut nadi perkembangan suatu wilayah.
Ia memiliki kecenderungan untuk menjadi besar dan berkembang dengan dukungan
wilayah sekitarnya atau hinterland-nya (Yunus, 2005).
Berbagai fasilitas dan lapangan kerja yang lebih bervariasi membuat suatu
kota sebagai tempat yang menarik bagi masyarakat di luar kawasan perkotaan.
Tentunya hal tersebut menyebabkan pusat kota banyak diminati oleh masyarakat
setempat maupun pendatang untuk beraktivitas di dalam kota, walaupun dia
bertempat tinggal di luar kawasan perkotaan tersebut (Bappenas, 2001).
Christaller (1966) dalam Djojodipuro (1992), mendefisikan tempat pusat atau
lebih dikenal dengan central place merupakan kota-kota yang menyajikan barang dan
jasa bagi masyarakat di wilayah sekelilingnya dengan membentuk suatu hirarki
berdasarkan jarak dan ambang batas penduduk. Pembagian hirarki pelayanan
tersebut, mengakibatkan suatu kota (dengan hirarki pelayanan paling tinggi) secara
alami memiliki potensi daya tarik yang besar dan berpengaruh besar bagi daerah-
daerah yang kekuatannya lebih kecil, dimana kota tersebut mempunyai kemampuan
menarik potensi, sumber daya dari daerah lain dan kota di bawahnya.
Richardson (1977), menyatakan bahwa bagi kota kecil dan menengah terdapat
pemusatan perkembangan di kota besar yang menimbulkan semakin tingginya
Universitas Sumatera Utara
ketergantungan mereka pada kota di atasnya. Hal tersebut mengakibatkan inovasi dan
kemajuan teknik menumpuk pada wilayah-wilayah makmur tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut Sukirno (1985), menyatakan kondisi yang
terjadi adalah terdapatnya suatu kota yang mengalami kegagalan dalam
perkembangannya karena banyak posisi daerah hinterland-nya yang justru terserap
masuk ke dalam wilayah perkotaan yang lebih besar. Akibatnya daerah ini
mengalami perkembangan yang stagnan atau bahkan mengalami kemunduran dalam
pembangunannya. Kesenjangan yang terjadi bisa diakibatkan oleh struktur ekonomi,
tingkat pendapatan, prasarana dan sarana yang tersedia serta tingkat pengangguran.
Namun perbedaan kemampuan pelayanan dari kota-kota tersebut apabila
dibiarkan berkembang secara alami akan menimbulkan fenomena kesenjangan
wilayah secara spasial dan ekonomi yang dicirikan dengan perbedaan tingkat
pertumbuhan dan perkembangan antar wilayah serta adanya perbedaan dan tingkat
kemakmuran (Cheema, 1996).
Kesenjangan wilayah apabila dibiarkan berlarut-larut maka akan memberikan
pengaruh yang kurang baik terhadap kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan wilayah. Adapun konsekuensi yang ditimbulkannya, yaitu:
1. Makin besarnya migrasi penduduk desa, terutama yang memiliki ketrampilan
(skill), masuk ke wilayah perkotaan karena peluang untuk mendapatkan
pendapatan yang lebih tinggi.
2. Investasi cenderung mengalir ke wilayah yang sudah berkembang karena peluang
untuk meraih keuntungan lebih besar karena faktor pasar yang lebih mendukung.
Universitas Sumatera Utara
3. Pemerintah cenderung melakukan investasi pembangunan di wilayah yang sudah
berkembang karena kebutuhannya yang lebih besar. Seiring berlangsungnya
pembangunan ini, guna mengatasi terjadinya kesenjangan wilayah antara kota
utama dengan kota menengah/kecil.
Fungsi dan hirarkhi kota merupakan tata jenjang menujukkan hubungan
keterkaitan antarkomponen pembentuk struktur pemanfaatan ruang. Penentuan fungsi
kota pada prinsipnya didasarkan pada komponen pembentuk yang dominan
mempengaruhi aktivitas sosial ekonomi perkotaan, sedangkan hirarkhi kota adalah
hubungan antarkegiatan yang berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang, dalam
skala wilayah dikenal dengan sistem kota atau orde kota berdasarkan skala
pelayanannya (Manta, 2006).
2.2.1. Fungsi dan Pelayanan Kota
Secara umum karakteristik kota dapat ditinjau berdasarkan aspek fisik, sosial
serta ekonomi. Berdasarkan bidang ilmu, kota atau perkotaan telah menjadi pokok
bahasan di bidang geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, engineering, planologi,
dan lain-lain (Tarigan, 2006).
Berkaitan dengan konteks ruang menurut Tarigan (2006), kota merupakan
satu sistem yang tidak berdiri sendiri, karena secara internal kota merupakan satu
kesatuan sistem kegiatan fungsional di dalamnya, sementara secara eksternal, kota
dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kota ditinjau dari aspek fisik merupakan
kawasan terbangun yang terletak saling berdekatan/ terkonsentrasi, yang meluas dari
Universitas Sumatera Utara
pusatnya hingga ke wilayah pinggiran, atau wilayah geografis yang didominasi oleh
struktur binaan. Kota ditinjau dari aspek sosial merupakan konsentrasi penduduk
yang membentuk suatu komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas
melalui konsentrasi dan spesialisasi tenaga kerja. Kota ditinjau dari aspek ekonomi
memiliki fungsi sebagai penghasil produksi barang dan jasa, untuk mendukung
kehidupan penduduknya dan untuk keberlangsungan kota itu sendiri.
Di Indonesia, kawasan perkotaan dibedakan berdasarkan status
administrasinya, yakni: (1) Kawasan perkotaan berstatus administratif Daerah Kota;
(2) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten; (3) Kawasan
perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah kawasan
perdesaan menjadi kawasan perkotaan; dan (4) Kawasan perkotaan yang merupakan
bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan (Tarigan, 2006).
Peranan dan fungsi kota dalam lingkup wilayah menurut Tarigan (2006),
sistem kota-kota terbentuk karena adanya keterkaitan antara satu kota dengan kota
yang lain, baik secara spasial maupun fungsional. Suatu kota mempunyai potensi
untuk membentuk suatu sistem dengan kota-kota lain karena tersedianya
infrastruktur, faktor lokasi, dan penduduk. Dalam sistem kota-kota, terdapat banyak
kota yang saling berkaitan secara fungsional, yang antara lain digambarkan oleh
orientasi pemasaran geografis. Keterkaitan antar kota dalam suatu sistem kota-kota
terjadi karena terdapat kota sebagai pusat koleksi/distribusi komoditas dan kota
sebagai node yang ukurannya berbeda-beda tergantung jumlah penduduk, fungsi dan
hierarkinya. Peran penting yang diemban oleh interaksi atau keterkaitan antar kota
Universitas Sumatera Utara
adalah : (1) mewujudkan integrasi spasial, karena manusia dan kegiatannya terpisah-
pisah dalam ruang, sehingga interaksi ini penting untuk mengkaitkannya; (2)
memungkinkan adanya diferensiasi dan spesialisasi dalam sistem perkotaan; (3)
sebagai wahana untuk pengorganisasian kegiatan dalam ruang; dan (4) memfasilitasi
serta menyalurkan perubahan-perubahan dari satu simpul ke simpul lainnya dalam
sistem.
Dalam lingkup wilayah yang lebih luas, setiap kota mempunyai fungsi baik
fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum kota adalah pusat permukiman dan
kegiatan penduduk, sedangkan fungsi khusus kota adalah dominasi kegiatan
fungsional di suatu kota yang dicirikan oleh kegiatan ekonomi kota tersebut yang
mempunyai peran dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Di Indonesia, National
Urban Development Strategy (NUDS, 1985) telah mengidentifikasi empat fungsi
dasar kota/perkotaan: Hinterland Services, Interregional communication, Goods
processing (manufacturing), Residential subcenters. Berdasarkan fungsinya dalam
sistem kota-kota/sistem pusat permukiman nasional seperti diarahkan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN, 1997), kota-kota di Indonesia terdiri dari:
Pusat Kegiatan Nasional (PKN); Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); Pusat Kegiatan
Lokal (PKL) (Tarigan, 2006).
Perkotaan amat besar perannya dalam persebaran dan pergerakan penduduk.
Hal ini terjadi karena di bagian wilayah tersebut terdapat berbagai kegiatan ekonomi
sekunder dan tarsier serta fungsi pelayanan yang menimbulkan daya tarik bagi
penduduk (Yunus, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Pada sisi lain pengelompokan kegiatan, fasilitas dan penduduk serta
berpusatnya berbagai keputusan yang menyangkut publik merupakan faktor-faktor
yang menarik bagi kegiatan ekonomi/bisnis. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
perkotaan memiliki nilai strategis. Perkotaan tidak sekedar sebagai pemusatan
penduduk serta berbagai fungsi sosial, ekonomi, politik dan administrasi, tetapi juga
potensial sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pada tingkat
nasional maupun regional. Dalam kaitan ini, sistem perkotaan dapat memberi
petunjuk bagi bagian-bagian yang perlu memperoleh investasi agar tercapai solusi
terhadap dilema antara efisiensi nasional dan pemerataan antar wilayah (Richardson,
1979).
2.2.2. Model Perkembangan Kota
Perkembangan kota di Indonesia mengalami perubahan-perubahan seiring
dengan perkembangan politik maupun perekonomian. Dalam era desentralisasi
sekarang ini, dimana implementasi dari kebijakan tersebut serta perubahan
pendekatan dalam pembangunan akan menimbulkan implikasi pada pola urbanisasi.
Urbanisasi terkait dengan perkembangan perkotaan.
Teori klasik menyatakan bahwa kota-kota berkembang karena peningkatan
efisiensi kegiatan pertanian yang mengakibatkan dislokasi tenaga kerja pertanian
(Devas, et al, 1993). Teori ini mengisyaratkan terdapatnya kaitan industrialisasi dan
perkembangan perkotaan. Perkembangan industri perkotaan akan memicu migrasi
desa-kota yang akhirnya mendorong lebih jauh urbanisasi. Teori ini sejalan dengan
Universitas Sumatera Utara
perspektif modernisasi, namun dalam perspektif modernisasi juga menekankan
perbedaan fertilitas dan mortalitas antara desa dan kota sebagai pemicu
perkembangan perkotaan disamping migrasi desa-kota.
Pandangan-pandangan tersebut mengisyaratkan adanya hubungan antara
perkembangan ekonomi dan urbanisasi. Meskipun demikian perkotaan bukan sekedar
aleman statis urbanisasi. Kota-kota dapat memainkan peran sebagai katalisator
pertumbuhan ekonomi di negara-negara sedang berkembang, terutama melalui
berbagai fungsi yang dimilikinya (Friedmann, 1966).
Fungsi-fungsi tersebut mampu mendorong lebih jauh migrasi desa-kota.
Kecenderungan ini akan semakin menguat dengan konsentrasi investasi di kota-kota
besar seperti yang dilakukan di banyak negara berkembang karena pertimbangan
keterbatasan sumberdaya serta infrastruktur pendukung. Semua ini akan mendorong
urbainsasi (Nugroho, dkk, 2004).
Teori tempat sentral mengilhami sebuah model perkembangan sistem
perkotaan. Pada tahap awal, ketika kegiatan pertanian masih dominan, akan
ditemukan kota-kota dengan fungsi dan interaksi terbatas. Kepadatan penduduk
perkotaan belum menjadi isu pada tahap ini. Kemudian spesialisasi dan diferensiasi
kegiatan pada tahap transisi mendorong perkembangan perkotaan.
Interaksi dan kompetisi antar kota menjadi makin intensif yang dipacu oleh
kemajuan transportasi dan komunikasi. Ini akan menghasilkan diferensiasi
perkembangan perkotaan. Kota-kota yang unggul akan berkembang lebih cepat,
membentuk aglomerasi, menjadi sasaran pendatang dan mengalami persoalan tekanan
Universitas Sumatera Utara
penduduk. Pada tahap klimaks, berbagai fungsi perkotaan sudah terbentuk lengkap.
Selain itu kota-kota semakin terintegrasi yang ditunjang oleh kemajuan perhubungan.
Desentralisasi penduduk dari kota-kota besar mulai berlangsung (Soegijoko, 2005).
Perencanaan kota di Indonesia yang merupakan bagian dari proses penataan
ruang kota, tidak dapat dilepaskan dari pemanfaatan ruang sebagai implementasi dari
rencana tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai kegiatan untuk
menjaga kesesuaian antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang (Nurmandi,
2006).
Dalam praktik perencanaan tata ruang kota di Indonesia, sering kali terjadi
benturan antara perencanaan tata ruang kota dengan berbagai kecenderungan yang
menyertai perkembangan kota. Isu strategis dalam perencanaan tata ruang kota adalah
bagaimana mengefektifkan rencana tata ruang agar dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi kota sesuai dengan fungsi dan peranannya secara regional. Jika ditelusuri
lebih jauh, permasalahan dalam praktik perencanaan kota di Indonesia, yang secara
umum menyangkut tiga hal, yaitu: (1) permasalahan teknis penyusunan rencana tata
ruang; (2) ketidak-efektifan rencana tata ruang; dan (3) perbedaan pola pikir/persepsi
tentang rencana tata ruang.
Permasalahan khusus dalam penataan ruang/pembangunan kota terkait dengan
konsep penataan ruang yang tanggap terhadap dinamika pembangunan kota. Dalam
hal ini perlu pemahaman terhadap aspek-aspek permasalahan spesifik yang
mempengaruhi perwujudan pemanfaatan ruang kota sesuai dengan rencana yang
ditetapkan, yang meliputi lima aspek, yaitu: manajemen lahan; lingkungan hidup
Universitas Sumatera Utara
perkotaan; prasarana perkotaan; pembiayaan dan investasi; serta kerja sama
pemerintah, swasta, dan masyarakat (Soegijoko dan Kusbiantoro, 1997).
Di kota-kota terdapat berbagai kemudahan. Kemudahan diartikan sebagai
kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Semakin tinggi tingkat
kemudahan pada suatu tempat, berarti semakin kuat daya tariknya mengundang
manusia dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat tersebut. Diantara
kemudahan-kemudahan tersebut jasa distribusi merupakan unsur yang sangat panting,
oleh karena itu di kota-kota pada umumnya merupakan pusat kegiatan usaha
distribusi, yang selanjutnya menurut Yunus (2005), menyebutnya "simpul jasa
distribusi" atau disingkat dengan simpul.
Ada dua faktor panting yang harus diperhatikan dalam pemahaman peranan
simpul-simpul, yaitu mengenai fungsi-fungsi simpul dan hirarki simpul dalam sistem
spasial. Fungsi primer suatu simpul adalah sebagai pusat pelayanan jasa distribusi
bagi wilayah pengembangannya atau wilayah nasional (bersifat keluar), sedangkan
fungsi sekundernya adalah kehidupan masyarakat di simpul yang bersangkutan
(bersifat ke dalam). Perbedaan fungsi simpul tersebut mencerminkan pula perbedaan
dalam jenis dan kapasitas fasilitas yang tersedia di masing-masing simpul. Hirarki
dari tiap simpul ditentukan oleh kedudukannya dalam hubungan fungsional enter
simpul yang dicerminkan berdasarkan mekanisme arus distribusi barang.
Biasanya pada simpul-simpul yang lebih tinggi ordenya tersedia fasilitas jasa
distribusi yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan simpul-simpul yang lebih
rendah ordenya. Antara simpul-simpul tersebut, baik antar simpul yang mempunyai
Universitas Sumatera Utara
tingkatan orde distribusi yang sarna ataupun yang berbeda terdapat keterhubungan
dan ketergantungan. Keterhubungan dan ketergantungan antar simpul dapat diketahui
dari data arus barang dari tempat asal ke tempat tujuan.
Selanjutnya berdasar susunan hirarki serta keterhubungan den ketergantungan
dapat ditentukan arah pengembangan pemasarannya secara geografis. Yunus (2005),
membedakan wilayah administrasi dengan wilayah pengembangan. Secara
administratif, seluruh wilayah terbagi habis, tetapi tidak berarti bahwa seluruh
wilayah administrasi secara otomatis tercakup dalam wilayah pengembangan. Dalam
kenyataannya beberapa bagian wilayah administrasi tidak terjangkau oleh pelayanan
distribusi disebabkan hambatan-hambatan geografis atau karena belum tersedianya
prasarana distribusi ke dan dari bagian-bagian wilayah tersebut.
2.3. Teori Pusat Pelayanan
Teori tempat pusat pertama kali dikembangkan oleh W. Christaller dan A.
Lösch, dalam rangka untuk menjelaskan ukuran dan jumlah kota dan jarak mereka di
suatu wilayah. Hal itu bergantung pada definisi kota yang menganggap hal itu pada
dasarnya sebagai pusat distribusi barang dan jasa kepada penduduk yang tersebar, dan
pada prinsip-prinsip pengoptimalan (Hartshorn, 1980).
Teori ini berdiri di batas antara geografi dan ekonomi spasial, dan mungkin
diklaim oleh kedua disiplin. Teori ini didasarkan pada perbedaan antara pusat, yang
merupakan kursi dari persediaan barang, jasa dan perifer (daerah melengkapi pusat)
dimana permintaan dari penduduk yang menggunakannya. Gagasan sentral
Universitas Sumatera Utara
membenarkan clustering di tempat yang sama jasa produksi dan tingkat yang sama
dari rentang yang sama ditujukan pada populasi yang tersebar di wilayah yang saling
melengkapi (atau daerah pengaruh), pelanggan yang terpolarisasi oleh pusat
(Hartshorn, 1980).
Pusat bersifat hierarchised, karena adanya beberapa tingkatan layanan
ditentukan oleh rentang spasial dan dengan munculnya ambang batas (ditetapkan oleh
volume pelanggan yang diperlukan untuk penyediaan layanan akan menguntungkan).
Sering digunakan dan layanan murah yang ditawarkan di berbagai pusat-pusat kecil
yang terletak dekat dengan konsumen, sementara mereka yang kurang sering
digunakan adalah terletak di kota-kota yang lebih besar, tetapi juga lebih jauh (Knox,
1994).
Pengamatan di berbagai daerah telah menunjukkan bagaimana teori berguna
adalah memahami organisasi spasial pelayanan kepada penduduk sebagian besar
penduduk. Teori memberikan cukup baik tentang diferensiasi jaringan perkotaan di
tingkat menengah skala, di daerah yang relatif homogen. Hirarki pusat-pusat
perkotaan sebagian besar cocok dengan hirarki tingkat jasa yang mereka
berkonsentrasi, diatur berdasarkan frekuensi penggunaannya, amplitudo rentang
spasial mereka dan ukuran ambang batas kemunculan mereka (Manta, 2006).
Christaller mengembangkan pemikirannya tentang penyusunan suatu model
wilayah perdagangan yang berbentuk segi enam atau heksagonal. Teorinya adalah
teori tempat sentral (central place theory). Heksagonal yang terbesar memiliki pusat
paling besar sedangkan heksagonal yang terkecil memiliki pusat paling kecil. Secara
Universitas Sumatera Utara
horisontal, model Christaller menunjukkan kegiatan-kegiatan manusia yang tersusun
dalam tata ruang geografi dan tempat-tempat sentral (pusat-pusat) yang lebih tinggi
ordenya mempunyai wilayah perdagangan atau wilayah pelayanan yang lebih luas
dibandingkan pusat-pusat yang kecil. Sedangkan secara vertikal model tersebut
memperlihatkan bahwa pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya mensuplai barang-
barang ke seluruh wilayah dan kebutuhan akan bahan-bahan mentah di pusat-pusat
yang lebih tinggi ordenya di supply oleh pusat-pusat yang lebih rendah ordenya
(Haggett, 2001).
Prinsip pemasaran dengan susunan piramidal pada model tempat sentral dapat
menjamin minimisasi biaya-biaya transportasi. Menurut Christaller wilayah
perdagangan dapat dilayani sedangkan dalam sebagian dari wilayah-wilayah tersebut
tidak sepenuhnya dapat terlayani karena terbatasnya fasilitas transportasi dan
hambatan-hambatan geografis. Teori sentral menjelaskan struktur pelayanan antar
pusat. Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur pusat-pusat kota
(wilayah-wilayah nodal) tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola tersebut mengalami
perubahan-perubahan pada masa depan atau dengan perkataan lain tidak menjelaskan
(fenomena) pembangunan. Teori ini bersifat statis; agar teori tempat sentral dapat
menjelaskan gejala-gejala dinamis maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan
wilayah yang menjelaskan mengenai proses perubahan-perubahan struktural
(Hartshorn, 1980).
Sumbangan positif teori tempat sentral adalah teori tersebut relevan bagi
perencanaan kota dan wilayah karena sistem hierarki pusat merupakan sarana yang
Universitas Sumatera Utara
efisien untuk perencanaan wilayah. Distribusi tata ruang dan besarnya pusat-pusat
kota merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur wilayah nodal dan
melahirkan konsep-konsep dominasi dan polarisasi (Haggett, 2001).
2.3.1. Jangkauan Pusat Pelayanan
Jangkauan pelayanan suatu pusat dikenal sebagai range of a good.
Jangkauannya (range) digambarkan sebagai area pasar (luas jangkauan area yang
dilayani) dari satu jenis barang dagangan. Atau dapat juga dianalogikan sebagai asal
konsumen, yang diukur dari jarak tempat tinggal konsumen menuju ke pusat
pelayanan.
Jangkauan pelayanan bagian dalam (inner range of the good) adalah
perwujudan secara spasial dari konsep ambang batas, yang bukan merupakan konsep
spasial. Ini merupakan bentuk wilayah belakang (hinterland) atau area pelayanan
yang dibutuhkan untuk memenuhi ambang batas.
Hartshorn (1980), jangkauan pelayanan bagian luar ada juga yang ideal, yang
kemudian dikenal sebagai ideal outer range of the good. Ini merupakan areal
perluasan paling luar, yang tidak mendapatkan pelayanan dari pusat manapun.
Penduduk di area ini tidak dapat dilayani karena biaya untuk menuju ke pusat
pelayanan terlalu tinggi. Area ini mewujudkan adanya keterbatasan geografi dan
ekonomi bagi suatu pusat pelayanan. Guna memenuhi kebutuhan, penduduk
menciptakan penggantinya, atau hidup dengan tidak bergantung pada barang yang
tidak mampu mereka produksi sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Bila ideal outer range of the good kemudian, karena perkembangan teknologi,
dapat dilayani oleh suatu pusat, maka area ini menjadi real outer range of the good.
Jangkauan pelayanan bagian luar yang nyata (real outer range of the good) adalah
perluasan area dari jangkauan pelayanan bagian dalam, yang bisa dilayani tidak
hanya oleh satu pusat pelayanan. Bila pusat pelayanan tidak mendapatkan pesaing
guna melayani ideal outer range of the good, maka pusat pelayanan tersebut
mendapatkan ideal outer range sepenuhnya menjadi bagian dari real outer range of
the good. Namun bila terdapat pesaing, maka ideal outer range dilayani secara
bersama sehingga real outer range mengecil.
Hasil penelitian Christaller (dalam Hartshorn, 1980) menunjukkan bahwa
pemenuhan kebutuhan penduduk membentuk hirarkhi pelayanan, dengan sebuah
pusat utama yang didukung oleh beberapa pusat pelayanan dengan skala yang lebih
rendah.
2.3.2. Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan
Beberapa teori lain dengan penerapan teori Economic Base, Multiplier Effect
yang berkaitan dengan teori input-output dan penerapan teori lokasi, (Location
Theory), teori pusat (Central Place Theory) dan penerapan teori Kutub
Pengembangan (Growth Pole Theory).
a. Teori Lokasi.
Paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
lokasi proyek pembangunan yaitu (1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan
pemasaran dan (3) keuntungan tertinggi.
Universitas Sumatera Utara
b. Teori Pusat Pelayanan
Pola ideal yang diharapkan terbentuk, asumsi homogin dalam hal bentuk medan,
kualitas tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller
menyajikan bentuk pola pelayanan seperti jejaring segi enam (hexagonal). Bentuk
pola pelayanan hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam
hal efisiensi transportasi, pemasaran dan administrasi (Haggett, 2001).
c. Teori Kutub Pertumbuhan
Berbeda dengan Christaller yang berlatar belakang ahli Geografi, teori Kutub
pertumbuhan diprakarsai dan dikembangankan oleh para ahli ekonomi. Teori ini
melahirkan konsep ekonomi seperti konsep industri penggerak (leading industry),
konsep polarisasi dan konsep penularan (trickle atau spread effect).
Tarigan (2006), teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial
order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-
sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap
keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial.
Salah satu hal banyak dibahas dalam teori lokasi adalah pengaruh jarak
terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Analisis ini
dapat dikembangkan untuk melihat suatu lokasi yang memiliki daya tarik terhadap
batas wilayah pengaruhnya, dimana orang masih ingin mendatangi pusat yang
memiliki daya tarik tersebut. Hal ini terkait dengan besarnya daya tarik pada pusat
tersebut dan jarak antara lokasi dengan pusat tersebut. Terkait dengan lokasi maka
salah satu faktor yang menentukan apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi
Universitas Sumatera Utara
atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas adalah tingkat kemudahan
untuk mencapai suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya. Tingkat
aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan
berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta
kenyamanan untuk melalui jalur tersebut.
Dalam konteks keruangan, beberapa konsep pembangunan wilayah telah
diciptakan, misalnya Perroux (1955) dengan konsep “growth pole”. Konsep tersebut
kemudian digunakan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan, dalam bentuk
strategi pembangunan. Strategi pembangunan yang dianggap berhasil dilaksanakan
dan diterapkan di berbagai wilayah di dunia biasanya diikuti oleh negara maupun
wilayah lainnya. Salah satu konsep keruangan yang banyak diikuti adalah konsep
growth pole (kutub pertumbuhan).
Pandangan Perroux mengenai proses pertumbuhan adalah konsisten dengan
teori tata ruang ekonomi (economic space theory), dimana industri pendorong
dianggap sebagai titik awal dan merupakan elemen esensial untuk pembangunan
selanjutnya. Disini Perroux lebih menekankan pada aspek pemusatan pertumbuhan.
Meskipun ada beberapa perbedaan penekanan arti industri pendorong akan tetapi ada
tiga ciri dasar yang dapat disebutkan yaitu :
1. Industri pendorong harus relatif besar kapasitasnya agar mempunyai pengaruh kuat
baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.
2. Industri pendorong harus merupakan sektor yang berkembang dengan cepat.
Universitas Sumatera Utara
3. Jumlah dan intensitas hubungannya dengan sektor-sektor lainnya harus penting
sehingga besarnya pengaruh yang ditimbulkan dapat diterapkan kepada unit-unit
ekonomi lainnya.
Keberhasilan penerapan strategi growth pole di negara asalnya, membuat
pemerintahan yang berkuasa di negara lain pada masa itu berusaha mencoba
menerapkan juga di negara masing-masing termasuk di Indonesia, seperti dinyatakan
oleh Nagamine Haruo (2000 ), “Perencanaan wilayah sebagai peramalan masa depan
dalam pendekatan analitis dari Isard membawa pada publikasi pada pembangunan
‘kutub’, growth pole, growth centers dan kelompoknya selama paruh terakhir dari
tahun 1960an. Pendekatan ini didasarkan pada realitas negara-negara industri di Barat
dalam penerapannya efektif, begitu juga besar harapan dapat efektif diterapkan pada
Negara-negara Dunia Ketiga”.
Stern (2002) menyatakan bahwa pada era tahun 1960an pemerintah pada
berbagai negara mempunyai kekuasaan penuh terhadap perencanaan pembangunan di
negaranya, hal ini mengingat pada tahun 1960an, baik masyarakat umum maupun
pejabat pemerintah percaya bahwa pemerintah dapat mengerti ekonomi secara baik
dan dengan kuat membawa negaranya ke arah tertentu. Sehingga dapat dipahami
mengapa konsep growth pole yang dianggap berhasil di negara Barat banyak diikuti
oleh berbagai negara pada tahun 1960an.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Pengembangan Wilayah
Pada hakekatnya pengembangan (development) merupakan upaya untuk
memberi nilai tambah dari apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup.
Menurut Alkadri (1999), pengembangan lebih merupakan motivasi dan pengetahuan
daripada masalah kekayaan, tetapi bukan berarti bahwa kekayaan itu tidak relevan.
Pengembangan juga merupakan produk belajar, bukan hasil produksi; belajar
memanfaatkan kemampuan yang dimiliki bersandar pada lingkungan sekitar untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya proses pengembangan itu juga
merupakan proses belajar (learning process). Hasil yang diperoleh dari proses
tersebut, yaitu kualitas hidup meningkat, akan dipengaruhi oleh instrument yang
digunakan. Mengacu pada filosofi dasar tersebut maka pengembangan wilayah
merupakan upaya memberdayakan stakeholders (masyarakat, pemerintah, pengusaha)
di suatu wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan di
wilayah tersebut dengan instrument yang dimiliki atau dikuasai, yaitu teknologi.
Pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan secara harmonis
sumberdaya alam, manusia dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung
lingkungan itu sendiri.
Sampai sekarang visi dan misi pengembangan wilayah nampaknya belum
baku. Sebagai gambaran dapat disampaikan visi dan misi Departemen Permukiman
dan Pengembangan Wilayah.
Visi tersebut adalah terwujudnya keselarasan pembangunan dan keserasian
pertumbuhan wilayah regional, perkotaan, dan perdesaan yang diselenggarakan
Universitas Sumatera Utara
secara holistik, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan memberdayakan
masyarakat. Termasuk didalamnya permukiman untuk semua orang, yang layak huni,
terjangkau, berjati diri dan mendorong produktivitas warganya.
Sedangkan misinya adalah :
1. Penyelenggaraan pengaturan, pembinaan dan pengawasan dalam rangka
perwujudan manfaat pembangunan permukiman dan pengembangan wilayah
bagi kesejahteraan masyarakat
2. Peningkatan kemampuan daerah yang lebih profesional, mandiri dan
akuntabel dalam pembangunan
3. Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan yang diselenggarakan secara
transparan
4. Penciptaan iklim yang konduktif bagi dunia usaha berperan aktif dalam
pembangunan
5. Pengembangan sinergi antar penyelenggara pembangunan untuk mencapai
daya guna dan hasil guna yang optimal
Konsep pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil
kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Untuk itu
pengertian wilayah menjadi penting dalam kajian tentang pemindahan pusat
pemerintahan. Menurut PP Nomor 47 Tahun 1997 wilayah adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Universitas Sumatera Utara
Jadi pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan stakeholders
di suatu wilayah dalam memanfaatkan sumberdya alam dengan teknologi untuk
memberi nilai tambah atas apa yang dimiliki oleh wilayah administratif atau wilayah
fungsional dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat di wilayah tersebut.
Dengan demikian dalam jangka panjangnya pengembangan wilayah
mempunyai target untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Cara mencapainya bersandar pada kemampuan SDM dalam
memanfaatkan lingkungan sekitar dan daya tampungnya serta kemampuan
memanfaatkan instrument yang ada. Dengan target tersebut dirancang skenario-
skenario tertentu agar kekurangan-kekurangan yang dihadapi dapat diupayakan
melalui pemanfaatan resources. Apabila konsep tersebut diterapkan di Indonesia,
muncul persoalan berupa kekurangan teknologi untuk mengolah resources yang
melimpah.
Konsep Marshal Plan yang berhasil menuntun pembangunan Eropa setelah
PD II telah mendorong banyak negara berkembang untuk berkiblat dan menerapkan
konsep tersebut. Padahal kenyataan menunjukkan bahwa konsep ini membawa
kegagalan dalam menciptakan pembangunan secara merata antar daerah. Secara
geografis misalnya beberapa pusat pertumbuhan maju secara dramatis, sementara
beberapa pusat pertumbuhan lainnya masih jauh tertinggal atau jauh dari kemampuan
berkembang.
Kajian pengembangan wilayah di Indonesia selama ini selalu didekati dari
aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran
Universitas Sumatera Utara
dari aktifitas masyarakat suatu wilayah dalam mengelola sumberdaya alam yang
dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah
dari kegiatan sektoral atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan
sektoral tersebut.
Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut
mendorong lahirnya konsep pengembanan wilayah yang harus mampu meningkatkan
efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu memberi kesempatan kepada
sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan kesejahteraan
secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah
yang didasarkan pada penataan ruang.
Dalam kaitan itu konsep pengembangan wilayah yang paling relevan adalah
konsep integrasi fungsional (Alkadri, 1999). Konsep ini menempatkan suatu kota atau
wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau
wilayah yang lain.
Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan
sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada konsep-
konsep yang dijelaskan di atas. Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan
yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri.
Berdasarkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada dasarnya
hampir seluruh kewenangan urusan pemerintahan, termasuk penataan ruang,
diserahkan kepada daerah (kabupaten dan kota), kecuali urusan yang ditetapkan
menjadi kewenangan pusat dan provinsi.
Universitas Sumatera Utara
Persoalan dalam penataan ruang umumnya muncul karena adanya
ketidaksesuaian antara kepentingan dan kewenangan. Ada potensi persoalan bila
kepentingan suatu pihak (jenjang pemerintah) ternyata berada di bawah kewenangan
pihak (jenjang pemerintah) lain. Kewenangan utama penataan ruang berbanding
terbalik dengan jenjang pemerintahan, karena makin tinggi jenjang pemerintahan,
makin terbatas kewenangan utamanya. Dasar pertimbangan dan kriteria yang secara
umum dapat menjadi dasar perumusan kepentingan Pusat dan Provinsi antara lain:
pertumbuhan ekonomi, pemerataan pelayanan, efisiensi investasi publik,
swasembada, keberlanjutan, keadilan, dan kesesuaian fungsi.
Dalam konteks wilayah, perencanaan pembangunan nasional, perencanaan
pembangunan daerah atau perencanaan wilayah (provinsi, kabupaten), dan
perencanaan wilayah perkotaan (perencanaan kota), ketiganya saling berkaitan.
Perencanaan wilayah mempengaruhi perencanaan kota, perencanaan kota pun tidak
dapat mengabaikan perkembangan wilayah di mana kota tersebut berada. Di dalam
perencanaan kota, perencanaan wilayah (provinsi, kabupaten) berperan dalam
menentukan fungsi kota tersebut dalam struktur tata ruang wilayah yang
melingkupinya. Fungsi serta kedudukan kota tersebut di dalam wilayah menentukan
seberapa besar perkembangan kota akan terjadi, serta fasilitas-fasilitas apa yang harus
disediakan oleh kota yang sifatnya melayani wilayah yang melingkupinya
Universitas Sumatera Utara
2.5. Penelitian Sebelumnya
Beberapa Penelitian serupa yang telah dilakukan berkaitan dengan
pemindahan ibukota atau pusat pemerintahan serta kaitannya dengan pengembangan
wilayah antara lain :
Susatyo (2009), yang menganalisis dampak pemindahan ibukota Kabupaten
Pekalongan dari Kota Pekalongan ke Kajen terhadap pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Pekalongan menggunakan metode deskriptif meliputi data PDRB
Kabupaten Pekalongan serta pendapatan perkapita dan jumlah penduduk per
kecamatan menyimpulkan bahwa pemindahan ibukota memberikan dampak positif
pada pertumbuhan ekonomi serta pemerataan pendapatan pada masing-masing
kecamatan, meskipun juga menimbulkan dampak negatif yang juga perlu
diperhatikan.
Penelitian Haris (2005), tentang evaluasi kriteria lingkungan dalam pemilihan
Ibukota baru: studi kasus pemindahan Ibukota Kabupaten Bima menggunakan
metode skala Guttman dan Likert, dimana penilaian dari segi kependudukan, segi
kelengkapan fasilitas dan tingkat aksesibilitas antar wilayah perencanaan,
menyimpulkan: (a) berdasarkan kriteria umum pemilihan lokasi ibukota Kabupaten
Bima Kecamatan Woha memiliki nilai tertinggi. Dengan demikian kecamatan Woha
dipilih sebagai lokasi Ibukota baru Kabupaten Bima, (b) berdasarkan kriteria
lingkungan alami dan lingkungan sosial Kecamatan Bolo memiliki nilai tertinggi
sedangkan berdasarkan lingkungan binaan Kecamatan Woha memiliki nilai tertinggi,
(c) kriteria umum yang digunakan dalam pemilihan ibukota baru tidak mencerminkan
Universitas Sumatera Utara
dan mempertimbangkan kriteria lingkungan secara komprehensif, (d) ibukota terpilih
yang dikaji berdasarkan kriteria umum tidak memenuhi syarat lingkungan khususnya
aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Selanjutnya penelitian Irmalashari (2007), dengan lingkup kajian yang sama
di Kabupaten Bima tentang persepsi masyarakat terhadap rencana pemindahan
ibukota Kabupaten Bima dan implikasinya pada pengelolaan lingkungan
menggunakan menggunakan uji anova serta korelasi statistik, menyimpulkan bahwa
tidak ada perbedaan pada karakteristik sosial ekonomi masyarakat di lokasi pusat,
terdekat dan terjauh. Pengetahuan masyarakat terhadap rencana pemindahan ibukota
Kabupaten Bima dan terhadap dampak lingkungan yang akan ditimbulkan oleh
kegiatan cenderung tinggi. Persepsi masyarakat terhadap rencana pemindahan ibukota
kabupaten Bima cenderung netral dan negatif. Persepsi masyarakat terhadap dampak
lingkungan yang akan ditimbulkan oleh kegiatan cenderung netral dan negatif
sebanyak. Faktor yang berhubungan dengan persepsi masyarakat terhadap rencana
pemindahan ibukota Kabupaten Bima diantaranya adalah ketersediaan air, kesesuaian
lahan, topografi lahan, pendapatan tenaga kerja, peluang kerja, perubahan populasi,
perencanaan kebijakan pembangunan, alur jalan dan aturan pemanfaatan lahan.
Sedangkan faktor yang berhubungan dengan dampak lingkungan adalah jumlah
anggota keluarga, vegetasi pepohonan, budidaya ikan di pertambakan, permukiman
masyarakat, kondisi lahan, kondisi air, suhu lingkungan, keamanan masyarakat,
moral dan keagamaan, harga lahan dan gaya hidup.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Soenkarno (1999), yang mengkaji tentang proses pemindahan
ibukota Kabupaten (Studi Kasus Kabupaten Bekasi-Cikarang). Setelah dilakukan
kajian dapat diamati paling sedikit ada 6 (enam) tahapan yang dapat dijadikan
rujukan pada proses pemindahan lbukota Kabupaten meliputi: a) dasar pertimbangan
dilakukannya pemindahan, b) persyaratan normatif, c) peraturan dan perundang-
undangan yang terkait, d) ketersediaan lahan, e) implikasi keputusan pemindahan
lbukota Kabupaten, dan f) aspek pengaruh kekuatan "eksternal".
Penelitian Bahsan (2005), tentang sikap masyarakat Kecamatan Natar
terhadap rencana pemindahan ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar
Lampung Selatan menggunakan metode penelitian deskriptif, menyimpulkan bahwa
dari aspek kognitif ternyata 53% responden memiliki pengetahuan yang baik terhadap
rencana pemindahan Ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar Lampung
Selatan. Dari aspek afektif 35% responden memilih pro dalam menanggapi rencana
pemindahan Ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar Lampung Selatan.
Sedangkan dari aspek konatif diketahui 29% responden bertingkahlaku positif dalam
menindaki rencana pemindahan Ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar
Lampung Selatan.
Studi Hardjasaputra (2003), tentang pemindahan ibukota Kabupaten
Tasikmalaya dalam perspektif historis, menyimpulkan bahwa pemilihan tempat untuk
ibukota baru Kabupaten Tasikmalaya perlu didasarkan atas hasil kajian dua aspek.
Pertama, hasil kajian aspek fisik, yang telah dilakukan oleh LAPI-ITB. Kedua, hasil
kajian sejarah mencakup aspek sosial budaya, atau kajian sosial budaya dengan
Universitas Sumatera Utara
pendekatan sejarah. Kajian kesejarahan dan sosial budaya akan
memperkuat/menunjang hasil kajian aspek fisik. Perpaduan hasil kajian kedua aspek
itu akan merupakan dasar yang kuat bagi Pemda dalam menentukan pilihan tempat,
dan dasar yang kuat pula bagi DPRD dalam membuat keputusan mengenai penetapan
tempat bakal ibukota baru Kabupaten Tasikmalaya. Hal itu berarti, pemilihan dan
penetapan tempat untuk ibukota baru itu dilakukan secara objektif dan proporsional.
2.6. Kerangka Pemikiran
Relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun dari Kota
Pematangsiantar ke wilayah Kecamatan Raya untuk menjadikan tempat baru sebagai
pusat pelayanan pemerintahan sebagai upaya meningkatkan kualitas pelayanan
pemerintahan kepada masyarakat. Sebagai ibukota kabupaten yang baru diharapkan
memenuhi tiga prinsip berdasarkan central place theory (Haggett, 2001) yaitu:
(a) keterjangkauan pelayanan (affordability), kecukupan pelayanan (recoverability)
dan kesesuaian pelayanan (replicability).
Dengan adanya pusat pemerintahan yang baru tersebut diharapkan memberi
dampak terhadap pengembangan wilayah, khususnya dalam aspek kegiatan ekonomi
(Tarigan, 2004), dengan adanya peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan
lapangan kerja. Secara skematis pada kerangka pemikiran berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian
Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun
Sebelum Relokasi
Keterjangkauan (Affordability)
Kecukupan (Recoverability)
Kesesuaian (Replicability)
Relokasi
Setelah Relokasi
Keterjangkauan (Affordability)
Kecukupan (Recoverability)
Kesesuaian (Replicability)
PENGEMBANGAN WILAYAH
Tingkat pendapatan
Tingkat lapangan kerja
Tingkat pendapatan
Tingkat lapangan kerja
a. Administrasi kependudukan dan catatan sipil - KTP - Akte Kelahiran - Kartu Keluarga/RT - Surat Keterangan lainnya
b. Pelayanan Perizinan - SITU - IMB
c. Pelayanan Tenaga Kerja (Surat Keterangan Pencari Kerja)
d. Pelayanan Kesehatan (Surat Keterangan Sehat/Sakit)
Universitas Sumatera Utara
2.7. Hipotesis Penelitian
1. Terdapat perbedaan keterjangkauan pelayanan (affordability), kecukupan
pelayanan (recoverability) dan kesesuaian pelayanan (replicability) di
Kecamatan Raya sebelum dan setelah relokasi pusat pemerintahan Kabupaten
Simalungun.
2. Terdapat perbedaan pendapatan masyarakat di Kecamatan Raya sebelum dan
setelah relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun.
3. Terdapat perbedaan lapangan kerja di Kecamatan Raya sebelum dan setelah
relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun.
Universitas Sumatera Utara