31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pusat Pemerintahan Ibukota kabupaten, yaitu kota tempat kedudukan pusat pemerintahan kabupaten, dalam perkembangannya dapat menjelma menjadi kota yang makin mempunyai ciri dan tingkat kemajuan yang memenuhi syarat untuk diklasifikasikan sebagai Kota. Bila tahap perkembangan yang demikian itu terjadi, dijumpai suatu dilema karena Kota dan Kabupaten mempunyai tingkat yang sama tatarannya dari segi hierarki administrasi pemerintahan (Soenkarno, 1999). Tatanan pemikiran sistem pemerintahan yang berlaku, menimbulkan kecenderungan yang mengarah kepada diambilnya keputusan untuk memindahkan lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten keluar dari kota kedudukannya semula. Seperti yang terjadi pada Kabupaten Simalungun, yaitu memindahkan ibukota dari sebelumnya berada pada wilayah Kota Pematangsiantar ke wilayah Kecamatan Raya, salah satu wilayah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Simalungun. Kawasan pemerintahan merupakan tempat untuk melaksanakan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pemerintahan, baik itu kegiatan politik dan administatif, serta segala kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal mengenai politik dan pemerintahan. Salah satu tujuan dari direncanakannya kawasan tersebut yaitu untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat dimana hal itu tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah sendiri dalam melaksanakannya (Purba, 2005). Universitas Sumatera Utara

DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

  • Upload
    votuyen

  • View
    241

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pusat Pemerintahan

Ibukota kabupaten, yaitu kota tempat kedudukan pusat pemerintahan

kabupaten, dalam perkembangannya dapat menjelma menjadi kota yang makin

mempunyai ciri dan tingkat kemajuan yang memenuhi syarat untuk diklasifikasikan

sebagai Kota. Bila tahap perkembangan yang demikian itu terjadi, dijumpai suatu

dilema karena Kota dan Kabupaten mempunyai tingkat yang sama tatarannya dari

segi hierarki administrasi pemerintahan (Soenkarno, 1999).

Tatanan pemikiran sistem pemerintahan yang berlaku, menimbulkan

kecenderungan yang mengarah kepada diambilnya keputusan untuk memindahkan

lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten keluar dari kota kedudukannya semula. Seperti

yang terjadi pada Kabupaten Simalungun, yaitu memindahkan ibukota dari

sebelumnya berada pada wilayah Kota Pematangsiantar ke wilayah Kecamatan Raya,

salah satu wilayah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Simalungun.

Kawasan pemerintahan merupakan tempat untuk melaksanakan segala sesuatu

hal yang berkaitan dengan pemerintahan, baik itu kegiatan politik dan administatif,

serta segala kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal mengenai politik dan

pemerintahan. Salah satu tujuan dari direncanakannya kawasan tersebut yaitu untuk

meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat dimana hal itu tidak dapat

dilepaskan dari peran pemerintah sendiri dalam melaksanakannya (Purba, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 2: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

Banyak hal yang harus dipenuhi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik

dalam suatu daerah, salah satu diantaranya adalah melalui aspek desain, yaitu melaui

perancangan kawasan pemerintahannya. Kawasan pemerintahan merupakan tempat

untuk melaksanakan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pemerintahan, baik itu

kegiatan politik dan administatif, serta segala kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal

mengenai politik dan pemerintahan (Purba, 2005).

Salah satu tujuan dari direncanakannya kawasan tersebut yaitu untuk

meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat dimana hal itu tidak dapat

dilepaskan dari peran pemerintah sendiri dalam melaksanakannya. Banyak hal yang

harus dipenuhi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dalam suatu daerah, salah

satu diantaranya adalah melalui aspek desain, yaitu melaui perancangan kawasan

pemerintahannya (Purba, 2005).

Menurut Hamid (2008), ada beberapa faktor dan indikator untuk menentukan

lokasi atau wilayah calon ibukota kabupaten yaitu meliputi:

a. Faktor lingkungan makro adalah dorongan lingkungan baik dari dalam

maupun dari luar seperti dorongan ketersediaan ruang atau lahan untuk

menjadikan ibu kota kabupaten sebagai pusat pemerintahan, pusat

pengendalian dan pertumbuhan pembangunan. Pusat jasa perdagangan dan

jasa sosial lainnya tentu memerlukan ruang atau lahan yang luas karena tidak

saja lahan yang disediakan hanya untuk perkantoran tetapi juga untuk

kepentingan kegiatan ekonomi sosial.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

b. Faktor endowment daerah yaitu ketersediaan SDM yang memadai dan SDA

yang potensial serta tingkat pengetahuan masyarakat yang cukup sebagai

calon warga ibukota kabupaten, sedangkan yang dimaksudkan dengan SDA

yang potensial adalah ketersediaan sumber air, tanah dan lain sebagainya.

c. Faktor budaya yang meliputi sifat dan perilaku masyarakat, adat istiadat yang

memberikan dukungan terhadap penetapan ibukota kabupaten.

Disamping faktor-faktor tersebut ikut menentukan kelayakan lokasi ibukota

Kabupaten yaitu daya dukung alam seperti yang disebut diatas antaranya lahan dan

sumber air, akses kemudahan pelayanan serta ketersediaan infrastruktur dasar seperti

jalan raya yang ada sehingga dapat meringankan beban pembiayaan infrastruktur dan

sekaligus telah berfungsi dengan dimulainya pembangunan sarana pemerintahan

didalam wilayah ibukota kabupaten (Hamid, 2008).

2.2. Kota Sebagai Pusat Pelayanan

Pusat pelayanan yang terletak di dalam kawasan perkotaan menjadi tempat

central aktivitas masyarakat, terbentuk sebagai kawasan yang paling dinamis dan

menjadi denyut nadi perkembangan suatu wilayah. Berbagai fasilitas pelayanan yang

lebih bervariasi membuat pusat pelayanan sebagai tempat yang menarik bagi

masyarakat di luar kawasan pusat kota. Adanya pusat pelayanan yang mengalami

kegagalan dalam perkembangannya disebabkan oleh banyak posisi daerah hinterland-

nya yang justru terserap masuk ke dalam wilayah pusat yang lebih besar, berakibat

daerah ini mengalami perkembangan yang stagnan atau bahkan mengalami

Universitas Sumatera Utara

Page 4: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

kemunduran dalam pembangunannya, sehingga menyebabkan kesenjangan antara

wilayah (Sukirno, 1976).

Pusat kota menjadi pusat kegiatan masyarakat yang terbentuk sebagai

kawasan yang paling dinamis, merupakan denyut nadi perkembangan suatu wilayah.

Ia memiliki kecenderungan untuk menjadi besar dan berkembang dengan dukungan

wilayah sekitarnya atau hinterland-nya (Yunus, 2005).

Berbagai fasilitas dan lapangan kerja yang lebih bervariasi membuat suatu

kota sebagai tempat yang menarik bagi masyarakat di luar kawasan perkotaan.

Tentunya hal tersebut menyebabkan pusat kota banyak diminati oleh masyarakat

setempat maupun pendatang untuk beraktivitas di dalam kota, walaupun dia

bertempat tinggal di luar kawasan perkotaan tersebut (Bappenas, 2001).

Christaller (1966) dalam Djojodipuro (1992), mendefisikan tempat pusat atau

lebih dikenal dengan central place merupakan kota-kota yang menyajikan barang dan

jasa bagi masyarakat di wilayah sekelilingnya dengan membentuk suatu hirarki

berdasarkan jarak dan ambang batas penduduk. Pembagian hirarki pelayanan

tersebut, mengakibatkan suatu kota (dengan hirarki pelayanan paling tinggi) secara

alami memiliki potensi daya tarik yang besar dan berpengaruh besar bagi daerah-

daerah yang kekuatannya lebih kecil, dimana kota tersebut mempunyai kemampuan

menarik potensi, sumber daya dari daerah lain dan kota di bawahnya.

Richardson (1977), menyatakan bahwa bagi kota kecil dan menengah terdapat

pemusatan perkembangan di kota besar yang menimbulkan semakin tingginya

Universitas Sumatera Utara

Page 5: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

ketergantungan mereka pada kota di atasnya. Hal tersebut mengakibatkan inovasi dan

kemajuan teknik menumpuk pada wilayah-wilayah makmur tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut Sukirno (1985), menyatakan kondisi yang

terjadi adalah terdapatnya suatu kota yang mengalami kegagalan dalam

perkembangannya karena banyak posisi daerah hinterland-nya yang justru terserap

masuk ke dalam wilayah perkotaan yang lebih besar. Akibatnya daerah ini

mengalami perkembangan yang stagnan atau bahkan mengalami kemunduran dalam

pembangunannya. Kesenjangan yang terjadi bisa diakibatkan oleh struktur ekonomi,

tingkat pendapatan, prasarana dan sarana yang tersedia serta tingkat pengangguran.

Namun perbedaan kemampuan pelayanan dari kota-kota tersebut apabila

dibiarkan berkembang secara alami akan menimbulkan fenomena kesenjangan

wilayah secara spasial dan ekonomi yang dicirikan dengan perbedaan tingkat

pertumbuhan dan perkembangan antar wilayah serta adanya perbedaan dan tingkat

kemakmuran (Cheema, 1996).

Kesenjangan wilayah apabila dibiarkan berlarut-larut maka akan memberikan

pengaruh yang kurang baik terhadap kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan

pemerataan wilayah. Adapun konsekuensi yang ditimbulkannya, yaitu:

1. Makin besarnya migrasi penduduk desa, terutama yang memiliki ketrampilan

(skill), masuk ke wilayah perkotaan karena peluang untuk mendapatkan

pendapatan yang lebih tinggi.

2. Investasi cenderung mengalir ke wilayah yang sudah berkembang karena peluang

untuk meraih keuntungan lebih besar karena faktor pasar yang lebih mendukung.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

3. Pemerintah cenderung melakukan investasi pembangunan di wilayah yang sudah

berkembang karena kebutuhannya yang lebih besar. Seiring berlangsungnya

pembangunan ini, guna mengatasi terjadinya kesenjangan wilayah antara kota

utama dengan kota menengah/kecil.

Fungsi dan hirarkhi kota merupakan tata jenjang menujukkan hubungan

keterkaitan antarkomponen pembentuk struktur pemanfaatan ruang. Penentuan fungsi

kota pada prinsipnya didasarkan pada komponen pembentuk yang dominan

mempengaruhi aktivitas sosial ekonomi perkotaan, sedangkan hirarkhi kota adalah

hubungan antarkegiatan yang berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang, dalam

skala wilayah dikenal dengan sistem kota atau orde kota berdasarkan skala

pelayanannya (Manta, 2006).

2.2.1. Fungsi dan Pelayanan Kota

Secara umum karakteristik kota dapat ditinjau berdasarkan aspek fisik, sosial

serta ekonomi. Berdasarkan bidang ilmu, kota atau perkotaan telah menjadi pokok

bahasan di bidang geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, engineering, planologi,

dan lain-lain (Tarigan, 2006).

Berkaitan dengan konteks ruang menurut Tarigan (2006), kota merupakan

satu sistem yang tidak berdiri sendiri, karena secara internal kota merupakan satu

kesatuan sistem kegiatan fungsional di dalamnya, sementara secara eksternal, kota

dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kota ditinjau dari aspek fisik merupakan

kawasan terbangun yang terletak saling berdekatan/ terkonsentrasi, yang meluas dari

Universitas Sumatera Utara

Page 7: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

pusatnya hingga ke wilayah pinggiran, atau wilayah geografis yang didominasi oleh

struktur binaan. Kota ditinjau dari aspek sosial merupakan konsentrasi penduduk

yang membentuk suatu komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas

melalui konsentrasi dan spesialisasi tenaga kerja. Kota ditinjau dari aspek ekonomi

memiliki fungsi sebagai penghasil produksi barang dan jasa, untuk mendukung

kehidupan penduduknya dan untuk keberlangsungan kota itu sendiri.

Di Indonesia, kawasan perkotaan dibedakan berdasarkan status

administrasinya, yakni: (1) Kawasan perkotaan berstatus administratif Daerah Kota;

(2) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten; (3) Kawasan

perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah kawasan

perdesaan menjadi kawasan perkotaan; dan (4) Kawasan perkotaan yang merupakan

bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan (Tarigan, 2006).

Peranan dan fungsi kota dalam lingkup wilayah menurut Tarigan (2006),

sistem kota-kota terbentuk karena adanya keterkaitan antara satu kota dengan kota

yang lain, baik secara spasial maupun fungsional. Suatu kota mempunyai potensi

untuk membentuk suatu sistem dengan kota-kota lain karena tersedianya

infrastruktur, faktor lokasi, dan penduduk. Dalam sistem kota-kota, terdapat banyak

kota yang saling berkaitan secara fungsional, yang antara lain digambarkan oleh

orientasi pemasaran geografis. Keterkaitan antar kota dalam suatu sistem kota-kota

terjadi karena terdapat kota sebagai pusat koleksi/distribusi komoditas dan kota

sebagai node yang ukurannya berbeda-beda tergantung jumlah penduduk, fungsi dan

hierarkinya. Peran penting yang diemban oleh interaksi atau keterkaitan antar kota

Universitas Sumatera Utara

Page 8: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

adalah : (1) mewujudkan integrasi spasial, karena manusia dan kegiatannya terpisah-

pisah dalam ruang, sehingga interaksi ini penting untuk mengkaitkannya; (2)

memungkinkan adanya diferensiasi dan spesialisasi dalam sistem perkotaan; (3)

sebagai wahana untuk pengorganisasian kegiatan dalam ruang; dan (4) memfasilitasi

serta menyalurkan perubahan-perubahan dari satu simpul ke simpul lainnya dalam

sistem.

Dalam lingkup wilayah yang lebih luas, setiap kota mempunyai fungsi baik

fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum kota adalah pusat permukiman dan

kegiatan penduduk, sedangkan fungsi khusus kota adalah dominasi kegiatan

fungsional di suatu kota yang dicirikan oleh kegiatan ekonomi kota tersebut yang

mempunyai peran dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Di Indonesia, National

Urban Development Strategy (NUDS, 1985) telah mengidentifikasi empat fungsi

dasar kota/perkotaan: Hinterland Services, Interregional communication, Goods

processing (manufacturing), Residential subcenters. Berdasarkan fungsinya dalam

sistem kota-kota/sistem pusat permukiman nasional seperti diarahkan dalam Rencana

Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN, 1997), kota-kota di Indonesia terdiri dari:

Pusat Kegiatan Nasional (PKN); Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); Pusat Kegiatan

Lokal (PKL) (Tarigan, 2006).

Perkotaan amat besar perannya dalam persebaran dan pergerakan penduduk.

Hal ini terjadi karena di bagian wilayah tersebut terdapat berbagai kegiatan ekonomi

sekunder dan tarsier serta fungsi pelayanan yang menimbulkan daya tarik bagi

penduduk (Yunus, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 9: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

Pada sisi lain pengelompokan kegiatan, fasilitas dan penduduk serta

berpusatnya berbagai keputusan yang menyangkut publik merupakan faktor-faktor

yang menarik bagi kegiatan ekonomi/bisnis. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa

perkotaan memiliki nilai strategis. Perkotaan tidak sekedar sebagai pemusatan

penduduk serta berbagai fungsi sosial, ekonomi, politik dan administrasi, tetapi juga

potensial sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pada tingkat

nasional maupun regional. Dalam kaitan ini, sistem perkotaan dapat memberi

petunjuk bagi bagian-bagian yang perlu memperoleh investasi agar tercapai solusi

terhadap dilema antara efisiensi nasional dan pemerataan antar wilayah (Richardson,

1979).

2.2.2. Model Perkembangan Kota

Perkembangan kota di Indonesia mengalami perubahan-perubahan seiring

dengan perkembangan politik maupun perekonomian. Dalam era desentralisasi

sekarang ini, dimana implementasi dari kebijakan tersebut serta perubahan

pendekatan dalam pembangunan akan menimbulkan implikasi pada pola urbanisasi.

Urbanisasi terkait dengan perkembangan perkotaan.

Teori klasik menyatakan bahwa kota-kota berkembang karena peningkatan

efisiensi kegiatan pertanian yang mengakibatkan dislokasi tenaga kerja pertanian

(Devas, et al, 1993). Teori ini mengisyaratkan terdapatnya kaitan industrialisasi dan

perkembangan perkotaan. Perkembangan industri perkotaan akan memicu migrasi

desa-kota yang akhirnya mendorong lebih jauh urbanisasi. Teori ini sejalan dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 10: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

perspektif modernisasi, namun dalam perspektif modernisasi juga menekankan

perbedaan fertilitas dan mortalitas antara desa dan kota sebagai pemicu

perkembangan perkotaan disamping migrasi desa-kota.

Pandangan-pandangan tersebut mengisyaratkan adanya hubungan antara

perkembangan ekonomi dan urbanisasi. Meskipun demikian perkotaan bukan sekedar

aleman statis urbanisasi. Kota-kota dapat memainkan peran sebagai katalisator

pertumbuhan ekonomi di negara-negara sedang berkembang, terutama melalui

berbagai fungsi yang dimilikinya (Friedmann, 1966).

Fungsi-fungsi tersebut mampu mendorong lebih jauh migrasi desa-kota.

Kecenderungan ini akan semakin menguat dengan konsentrasi investasi di kota-kota

besar seperti yang dilakukan di banyak negara berkembang karena pertimbangan

keterbatasan sumberdaya serta infrastruktur pendukung. Semua ini akan mendorong

urbainsasi (Nugroho, dkk, 2004).

Teori tempat sentral mengilhami sebuah model perkembangan sistem

perkotaan. Pada tahap awal, ketika kegiatan pertanian masih dominan, akan

ditemukan kota-kota dengan fungsi dan interaksi terbatas. Kepadatan penduduk

perkotaan belum menjadi isu pada tahap ini. Kemudian spesialisasi dan diferensiasi

kegiatan pada tahap transisi mendorong perkembangan perkotaan.

Interaksi dan kompetisi antar kota menjadi makin intensif yang dipacu oleh

kemajuan transportasi dan komunikasi. Ini akan menghasilkan diferensiasi

perkembangan perkotaan. Kota-kota yang unggul akan berkembang lebih cepat,

membentuk aglomerasi, menjadi sasaran pendatang dan mengalami persoalan tekanan

Universitas Sumatera Utara

Page 11: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

penduduk. Pada tahap klimaks, berbagai fungsi perkotaan sudah terbentuk lengkap.

Selain itu kota-kota semakin terintegrasi yang ditunjang oleh kemajuan perhubungan.

Desentralisasi penduduk dari kota-kota besar mulai berlangsung (Soegijoko, 2005).

Perencanaan kota di Indonesia yang merupakan bagian dari proses penataan

ruang kota, tidak dapat dilepaskan dari pemanfaatan ruang sebagai implementasi dari

rencana tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai kegiatan untuk

menjaga kesesuaian antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang (Nurmandi,

2006).

Dalam praktik perencanaan tata ruang kota di Indonesia, sering kali terjadi

benturan antara perencanaan tata ruang kota dengan berbagai kecenderungan yang

menyertai perkembangan kota. Isu strategis dalam perencanaan tata ruang kota adalah

bagaimana mengefektifkan rencana tata ruang agar dapat mendorong pertumbuhan

ekonomi kota sesuai dengan fungsi dan peranannya secara regional. Jika ditelusuri

lebih jauh, permasalahan dalam praktik perencanaan kota di Indonesia, yang secara

umum menyangkut tiga hal, yaitu: (1) permasalahan teknis penyusunan rencana tata

ruang; (2) ketidak-efektifan rencana tata ruang; dan (3) perbedaan pola pikir/persepsi

tentang rencana tata ruang.

Permasalahan khusus dalam penataan ruang/pembangunan kota terkait dengan

konsep penataan ruang yang tanggap terhadap dinamika pembangunan kota. Dalam

hal ini perlu pemahaman terhadap aspek-aspek permasalahan spesifik yang

mempengaruhi perwujudan pemanfaatan ruang kota sesuai dengan rencana yang

ditetapkan, yang meliputi lima aspek, yaitu: manajemen lahan; lingkungan hidup

Universitas Sumatera Utara

Page 12: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

perkotaan; prasarana perkotaan; pembiayaan dan investasi; serta kerja sama

pemerintah, swasta, dan masyarakat (Soegijoko dan Kusbiantoro, 1997).

Di kota-kota terdapat berbagai kemudahan. Kemudahan diartikan sebagai

kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Semakin tinggi tingkat

kemudahan pada suatu tempat, berarti semakin kuat daya tariknya mengundang

manusia dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat tersebut. Diantara

kemudahan-kemudahan tersebut jasa distribusi merupakan unsur yang sangat panting,

oleh karena itu di kota-kota pada umumnya merupakan pusat kegiatan usaha

distribusi, yang selanjutnya menurut Yunus (2005), menyebutnya "simpul jasa

distribusi" atau disingkat dengan simpul.

Ada dua faktor panting yang harus diperhatikan dalam pemahaman peranan

simpul-simpul, yaitu mengenai fungsi-fungsi simpul dan hirarki simpul dalam sistem

spasial. Fungsi primer suatu simpul adalah sebagai pusat pelayanan jasa distribusi

bagi wilayah pengembangannya atau wilayah nasional (bersifat keluar), sedangkan

fungsi sekundernya adalah kehidupan masyarakat di simpul yang bersangkutan

(bersifat ke dalam). Perbedaan fungsi simpul tersebut mencerminkan pula perbedaan

dalam jenis dan kapasitas fasilitas yang tersedia di masing-masing simpul. Hirarki

dari tiap simpul ditentukan oleh kedudukannya dalam hubungan fungsional enter

simpul yang dicerminkan berdasarkan mekanisme arus distribusi barang.

Biasanya pada simpul-simpul yang lebih tinggi ordenya tersedia fasilitas jasa

distribusi yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan simpul-simpul yang lebih

rendah ordenya. Antara simpul-simpul tersebut, baik antar simpul yang mempunyai

Universitas Sumatera Utara

Page 13: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

tingkatan orde distribusi yang sarna ataupun yang berbeda terdapat keterhubungan

dan ketergantungan. Keterhubungan dan ketergantungan antar simpul dapat diketahui

dari data arus barang dari tempat asal ke tempat tujuan.

Selanjutnya berdasar susunan hirarki serta keterhubungan den ketergantungan

dapat ditentukan arah pengembangan pemasarannya secara geografis. Yunus (2005),

membedakan wilayah administrasi dengan wilayah pengembangan. Secara

administratif, seluruh wilayah terbagi habis, tetapi tidak berarti bahwa seluruh

wilayah administrasi secara otomatis tercakup dalam wilayah pengembangan. Dalam

kenyataannya beberapa bagian wilayah administrasi tidak terjangkau oleh pelayanan

distribusi disebabkan hambatan-hambatan geografis atau karena belum tersedianya

prasarana distribusi ke dan dari bagian-bagian wilayah tersebut.

2.3. Teori Pusat Pelayanan

Teori tempat pusat pertama kali dikembangkan oleh W. Christaller dan A.

Lösch, dalam rangka untuk menjelaskan ukuran dan jumlah kota dan jarak mereka di

suatu wilayah. Hal itu bergantung pada definisi kota yang menganggap hal itu pada

dasarnya sebagai pusat distribusi barang dan jasa kepada penduduk yang tersebar, dan

pada prinsip-prinsip pengoptimalan (Hartshorn, 1980).

Teori ini berdiri di batas antara geografi dan ekonomi spasial, dan mungkin

diklaim oleh kedua disiplin. Teori ini didasarkan pada perbedaan antara pusat, yang

merupakan kursi dari persediaan barang, jasa dan perifer (daerah melengkapi pusat)

dimana permintaan dari penduduk yang menggunakannya. Gagasan sentral

Universitas Sumatera Utara

Page 14: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

membenarkan clustering di tempat yang sama jasa produksi dan tingkat yang sama

dari rentang yang sama ditujukan pada populasi yang tersebar di wilayah yang saling

melengkapi (atau daerah pengaruh), pelanggan yang terpolarisasi oleh pusat

(Hartshorn, 1980).

Pusat bersifat hierarchised, karena adanya beberapa tingkatan layanan

ditentukan oleh rentang spasial dan dengan munculnya ambang batas (ditetapkan oleh

volume pelanggan yang diperlukan untuk penyediaan layanan akan menguntungkan).

Sering digunakan dan layanan murah yang ditawarkan di berbagai pusat-pusat kecil

yang terletak dekat dengan konsumen, sementara mereka yang kurang sering

digunakan adalah terletak di kota-kota yang lebih besar, tetapi juga lebih jauh (Knox,

1994).

Pengamatan di berbagai daerah telah menunjukkan bagaimana teori berguna

adalah memahami organisasi spasial pelayanan kepada penduduk sebagian besar

penduduk. Teori memberikan cukup baik tentang diferensiasi jaringan perkotaan di

tingkat menengah skala, di daerah yang relatif homogen. Hirarki pusat-pusat

perkotaan sebagian besar cocok dengan hirarki tingkat jasa yang mereka

berkonsentrasi, diatur berdasarkan frekuensi penggunaannya, amplitudo rentang

spasial mereka dan ukuran ambang batas kemunculan mereka (Manta, 2006).

Christaller mengembangkan pemikirannya tentang penyusunan suatu model

wilayah perdagangan yang berbentuk segi enam atau heksagonal. Teorinya adalah

teori tempat sentral (central place theory). Heksagonal yang terbesar memiliki pusat

paling besar sedangkan heksagonal yang terkecil memiliki pusat paling kecil. Secara

Universitas Sumatera Utara

Page 15: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

horisontal, model Christaller menunjukkan kegiatan-kegiatan manusia yang tersusun

dalam tata ruang geografi dan tempat-tempat sentral (pusat-pusat) yang lebih tinggi

ordenya mempunyai wilayah perdagangan atau wilayah pelayanan yang lebih luas

dibandingkan pusat-pusat yang kecil. Sedangkan secara vertikal model tersebut

memperlihatkan bahwa pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya mensuplai barang-

barang ke seluruh wilayah dan kebutuhan akan bahan-bahan mentah di pusat-pusat

yang lebih tinggi ordenya di supply oleh pusat-pusat yang lebih rendah ordenya

(Haggett, 2001).

Prinsip pemasaran dengan susunan piramidal pada model tempat sentral dapat

menjamin minimisasi biaya-biaya transportasi. Menurut Christaller wilayah

perdagangan dapat dilayani sedangkan dalam sebagian dari wilayah-wilayah tersebut

tidak sepenuhnya dapat terlayani karena terbatasnya fasilitas transportasi dan

hambatan-hambatan geografis. Teori sentral menjelaskan struktur pelayanan antar

pusat. Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur pusat-pusat kota

(wilayah-wilayah nodal) tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola tersebut mengalami

perubahan-perubahan pada masa depan atau dengan perkataan lain tidak menjelaskan

(fenomena) pembangunan. Teori ini bersifat statis; agar teori tempat sentral dapat

menjelaskan gejala-gejala dinamis maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan

wilayah yang menjelaskan mengenai proses perubahan-perubahan struktural

(Hartshorn, 1980).

Sumbangan positif teori tempat sentral adalah teori tersebut relevan bagi

perencanaan kota dan wilayah karena sistem hierarki pusat merupakan sarana yang

Universitas Sumatera Utara

Page 16: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

efisien untuk perencanaan wilayah. Distribusi tata ruang dan besarnya pusat-pusat

kota merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur wilayah nodal dan

melahirkan konsep-konsep dominasi dan polarisasi (Haggett, 2001).

2.3.1. Jangkauan Pusat Pelayanan

Jangkauan pelayanan suatu pusat dikenal sebagai range of a good.

Jangkauannya (range) digambarkan sebagai area pasar (luas jangkauan area yang

dilayani) dari satu jenis barang dagangan. Atau dapat juga dianalogikan sebagai asal

konsumen, yang diukur dari jarak tempat tinggal konsumen menuju ke pusat

pelayanan.

Jangkauan pelayanan bagian dalam (inner range of the good) adalah

perwujudan secara spasial dari konsep ambang batas, yang bukan merupakan konsep

spasial. Ini merupakan bentuk wilayah belakang (hinterland) atau area pelayanan

yang dibutuhkan untuk memenuhi ambang batas.

Hartshorn (1980), jangkauan pelayanan bagian luar ada juga yang ideal, yang

kemudian dikenal sebagai ideal outer range of the good. Ini merupakan areal

perluasan paling luar, yang tidak mendapatkan pelayanan dari pusat manapun.

Penduduk di area ini tidak dapat dilayani karena biaya untuk menuju ke pusat

pelayanan terlalu tinggi. Area ini mewujudkan adanya keterbatasan geografi dan

ekonomi bagi suatu pusat pelayanan. Guna memenuhi kebutuhan, penduduk

menciptakan penggantinya, atau hidup dengan tidak bergantung pada barang yang

tidak mampu mereka produksi sendiri.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

Bila ideal outer range of the good kemudian, karena perkembangan teknologi,

dapat dilayani oleh suatu pusat, maka area ini menjadi real outer range of the good.

Jangkauan pelayanan bagian luar yang nyata (real outer range of the good) adalah

perluasan area dari jangkauan pelayanan bagian dalam, yang bisa dilayani tidak

hanya oleh satu pusat pelayanan. Bila pusat pelayanan tidak mendapatkan pesaing

guna melayani ideal outer range of the good, maka pusat pelayanan tersebut

mendapatkan ideal outer range sepenuhnya menjadi bagian dari real outer range of

the good. Namun bila terdapat pesaing, maka ideal outer range dilayani secara

bersama sehingga real outer range mengecil.

Hasil penelitian Christaller (dalam Hartshorn, 1980) menunjukkan bahwa

pemenuhan kebutuhan penduduk membentuk hirarkhi pelayanan, dengan sebuah

pusat utama yang didukung oleh beberapa pusat pelayanan dengan skala yang lebih

rendah.

2.3.2. Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan

Beberapa teori lain dengan penerapan teori Economic Base, Multiplier Effect

yang berkaitan dengan teori input-output dan penerapan teori lokasi, (Location

Theory), teori pusat (Central Place Theory) dan penerapan teori Kutub

Pengembangan (Growth Pole Theory).

a. Teori Lokasi.

Paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan

lokasi proyek pembangunan yaitu (1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan

pemasaran dan (3) keuntungan tertinggi.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

b. Teori Pusat Pelayanan

Pola ideal yang diharapkan terbentuk, asumsi homogin dalam hal bentuk medan,

kualitas tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller

menyajikan bentuk pola pelayanan seperti jejaring segi enam (hexagonal). Bentuk

pola pelayanan hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam

hal efisiensi transportasi, pemasaran dan administrasi (Haggett, 2001).

c. Teori Kutub Pertumbuhan

Berbeda dengan Christaller yang berlatar belakang ahli Geografi, teori Kutub

pertumbuhan diprakarsai dan dikembangankan oleh para ahli ekonomi. Teori ini

melahirkan konsep ekonomi seperti konsep industri penggerak (leading industry),

konsep polarisasi dan konsep penularan (trickle atau spread effect).

Tarigan (2006), teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial

order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-

sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap

keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial.

Salah satu hal banyak dibahas dalam teori lokasi adalah pengaruh jarak

terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Analisis ini

dapat dikembangkan untuk melihat suatu lokasi yang memiliki daya tarik terhadap

batas wilayah pengaruhnya, dimana orang masih ingin mendatangi pusat yang

memiliki daya tarik tersebut. Hal ini terkait dengan besarnya daya tarik pada pusat

tersebut dan jarak antara lokasi dengan pusat tersebut. Terkait dengan lokasi maka

salah satu faktor yang menentukan apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi

Universitas Sumatera Utara

Page 19: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas adalah tingkat kemudahan

untuk mencapai suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya. Tingkat

aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan

berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta

kenyamanan untuk melalui jalur tersebut.

Dalam konteks keruangan, beberapa konsep pembangunan wilayah telah

diciptakan, misalnya Perroux (1955) dengan konsep “growth pole”. Konsep tersebut

kemudian digunakan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan, dalam bentuk

strategi pembangunan. Strategi pembangunan yang dianggap berhasil dilaksanakan

dan diterapkan di berbagai wilayah di dunia biasanya diikuti oleh negara maupun

wilayah lainnya. Salah satu konsep keruangan yang banyak diikuti adalah konsep

growth pole (kutub pertumbuhan).

Pandangan Perroux mengenai proses pertumbuhan adalah konsisten dengan

teori tata ruang ekonomi (economic space theory), dimana industri pendorong

dianggap sebagai titik awal dan merupakan elemen esensial untuk pembangunan

selanjutnya. Disini Perroux lebih menekankan pada aspek pemusatan pertumbuhan.

Meskipun ada beberapa perbedaan penekanan arti industri pendorong akan tetapi ada

tiga ciri dasar yang dapat disebutkan yaitu :

1. Industri pendorong harus relatif besar kapasitasnya agar mempunyai pengaruh kuat

baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.

2. Industri pendorong harus merupakan sektor yang berkembang dengan cepat.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

3. Jumlah dan intensitas hubungannya dengan sektor-sektor lainnya harus penting

sehingga besarnya pengaruh yang ditimbulkan dapat diterapkan kepada unit-unit

ekonomi lainnya.

Keberhasilan penerapan strategi growth pole di negara asalnya, membuat

pemerintahan yang berkuasa di negara lain pada masa itu berusaha mencoba

menerapkan juga di negara masing-masing termasuk di Indonesia, seperti dinyatakan

oleh Nagamine Haruo (2000 ), “Perencanaan wilayah sebagai peramalan masa depan

dalam pendekatan analitis dari Isard membawa pada publikasi pada pembangunan

‘kutub’, growth pole, growth centers dan kelompoknya selama paruh terakhir dari

tahun 1960an. Pendekatan ini didasarkan pada realitas negara-negara industri di Barat

dalam penerapannya efektif, begitu juga besar harapan dapat efektif diterapkan pada

Negara-negara Dunia Ketiga”.

Stern (2002) menyatakan bahwa pada era tahun 1960an pemerintah pada

berbagai negara mempunyai kekuasaan penuh terhadap perencanaan pembangunan di

negaranya, hal ini mengingat pada tahun 1960an, baik masyarakat umum maupun

pejabat pemerintah percaya bahwa pemerintah dapat mengerti ekonomi secara baik

dan dengan kuat membawa negaranya ke arah tertentu. Sehingga dapat dipahami

mengapa konsep growth pole yang dianggap berhasil di negara Barat banyak diikuti

oleh berbagai negara pada tahun 1960an.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

2.4. Pengembangan Wilayah

Pada hakekatnya pengembangan (development) merupakan upaya untuk

memberi nilai tambah dari apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup.

Menurut Alkadri (1999), pengembangan lebih merupakan motivasi dan pengetahuan

daripada masalah kekayaan, tetapi bukan berarti bahwa kekayaan itu tidak relevan.

Pengembangan juga merupakan produk belajar, bukan hasil produksi; belajar

memanfaatkan kemampuan yang dimiliki bersandar pada lingkungan sekitar untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya proses pengembangan itu juga

merupakan proses belajar (learning process). Hasil yang diperoleh dari proses

tersebut, yaitu kualitas hidup meningkat, akan dipengaruhi oleh instrument yang

digunakan. Mengacu pada filosofi dasar tersebut maka pengembangan wilayah

merupakan upaya memberdayakan stakeholders (masyarakat, pemerintah, pengusaha)

di suatu wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan di

wilayah tersebut dengan instrument yang dimiliki atau dikuasai, yaitu teknologi.

Pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan secara harmonis

sumberdaya alam, manusia dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung

lingkungan itu sendiri.

Sampai sekarang visi dan misi pengembangan wilayah nampaknya belum

baku. Sebagai gambaran dapat disampaikan visi dan misi Departemen Permukiman

dan Pengembangan Wilayah.

Visi tersebut adalah terwujudnya keselarasan pembangunan dan keserasian

pertumbuhan wilayah regional, perkotaan, dan perdesaan yang diselenggarakan

Universitas Sumatera Utara

Page 22: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

secara holistik, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan memberdayakan

masyarakat. Termasuk didalamnya permukiman untuk semua orang, yang layak huni,

terjangkau, berjati diri dan mendorong produktivitas warganya.

Sedangkan misinya adalah :

1. Penyelenggaraan pengaturan, pembinaan dan pengawasan dalam rangka

perwujudan manfaat pembangunan permukiman dan pengembangan wilayah

bagi kesejahteraan masyarakat

2. Peningkatan kemampuan daerah yang lebih profesional, mandiri dan

akuntabel dalam pembangunan

3. Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan yang diselenggarakan secara

transparan

4. Penciptaan iklim yang konduktif bagi dunia usaha berperan aktif dalam

pembangunan

5. Pengembangan sinergi antar penyelenggara pembangunan untuk mencapai

daya guna dan hasil guna yang optimal

Konsep pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil

kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Untuk itu

pengertian wilayah menjadi penting dalam kajian tentang pemindahan pusat

pemerintahan. Menurut PP Nomor 47 Tahun 1997 wilayah adalah ruang yang

merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan

sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

Jadi pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan stakeholders

di suatu wilayah dalam memanfaatkan sumberdya alam dengan teknologi untuk

memberi nilai tambah atas apa yang dimiliki oleh wilayah administratif atau wilayah

fungsional dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat di wilayah tersebut.

Dengan demikian dalam jangka panjangnya pengembangan wilayah

mempunyai target untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Cara mencapainya bersandar pada kemampuan SDM dalam

memanfaatkan lingkungan sekitar dan daya tampungnya serta kemampuan

memanfaatkan instrument yang ada. Dengan target tersebut dirancang skenario-

skenario tertentu agar kekurangan-kekurangan yang dihadapi dapat diupayakan

melalui pemanfaatan resources. Apabila konsep tersebut diterapkan di Indonesia,

muncul persoalan berupa kekurangan teknologi untuk mengolah resources yang

melimpah.

Konsep Marshal Plan yang berhasil menuntun pembangunan Eropa setelah

PD II telah mendorong banyak negara berkembang untuk berkiblat dan menerapkan

konsep tersebut. Padahal kenyataan menunjukkan bahwa konsep ini membawa

kegagalan dalam menciptakan pembangunan secara merata antar daerah. Secara

geografis misalnya beberapa pusat pertumbuhan maju secara dramatis, sementara

beberapa pusat pertumbuhan lainnya masih jauh tertinggal atau jauh dari kemampuan

berkembang.

Kajian pengembangan wilayah di Indonesia selama ini selalu didekati dari

aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran

Universitas Sumatera Utara

Page 24: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

dari aktifitas masyarakat suatu wilayah dalam mengelola sumberdaya alam yang

dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah

dari kegiatan sektoral atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan

sektoral tersebut.

Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut

mendorong lahirnya konsep pengembanan wilayah yang harus mampu meningkatkan

efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu memberi kesempatan kepada

sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan kesejahteraan

secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah

yang didasarkan pada penataan ruang.

Dalam kaitan itu konsep pengembangan wilayah yang paling relevan adalah

konsep integrasi fungsional (Alkadri, 1999). Konsep ini menempatkan suatu kota atau

wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau

wilayah yang lain.

Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan

sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada konsep-

konsep yang dijelaskan di atas. Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan

yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri.

Berdasarkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada dasarnya

hampir seluruh kewenangan urusan pemerintahan, termasuk penataan ruang,

diserahkan kepada daerah (kabupaten dan kota), kecuali urusan yang ditetapkan

menjadi kewenangan pusat dan provinsi.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

Persoalan dalam penataan ruang umumnya muncul karena adanya

ketidaksesuaian antara kepentingan dan kewenangan. Ada potensi persoalan bila

kepentingan suatu pihak (jenjang pemerintah) ternyata berada di bawah kewenangan

pihak (jenjang pemerintah) lain. Kewenangan utama penataan ruang berbanding

terbalik dengan jenjang pemerintahan, karena makin tinggi jenjang pemerintahan,

makin terbatas kewenangan utamanya. Dasar pertimbangan dan kriteria yang secara

umum dapat menjadi dasar perumusan kepentingan Pusat dan Provinsi antara lain:

pertumbuhan ekonomi, pemerataan pelayanan, efisiensi investasi publik,

swasembada, keberlanjutan, keadilan, dan kesesuaian fungsi.

Dalam konteks wilayah, perencanaan pembangunan nasional, perencanaan

pembangunan daerah atau perencanaan wilayah (provinsi, kabupaten), dan

perencanaan wilayah perkotaan (perencanaan kota), ketiganya saling berkaitan.

Perencanaan wilayah mempengaruhi perencanaan kota, perencanaan kota pun tidak

dapat mengabaikan perkembangan wilayah di mana kota tersebut berada. Di dalam

perencanaan kota, perencanaan wilayah (provinsi, kabupaten) berperan dalam

menentukan fungsi kota tersebut dalam struktur tata ruang wilayah yang

melingkupinya. Fungsi serta kedudukan kota tersebut di dalam wilayah menentukan

seberapa besar perkembangan kota akan terjadi, serta fasilitas-fasilitas apa yang harus

disediakan oleh kota yang sifatnya melayani wilayah yang melingkupinya

Universitas Sumatera Utara

Page 26: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

2.5. Penelitian Sebelumnya

Beberapa Penelitian serupa yang telah dilakukan berkaitan dengan

pemindahan ibukota atau pusat pemerintahan serta kaitannya dengan pengembangan

wilayah antara lain :

Susatyo (2009), yang menganalisis dampak pemindahan ibukota Kabupaten

Pekalongan dari Kota Pekalongan ke Kajen terhadap pertumbuhan ekonomi

Kabupaten Pekalongan menggunakan metode deskriptif meliputi data PDRB

Kabupaten Pekalongan serta pendapatan perkapita dan jumlah penduduk per

kecamatan menyimpulkan bahwa pemindahan ibukota memberikan dampak positif

pada pertumbuhan ekonomi serta pemerataan pendapatan pada masing-masing

kecamatan, meskipun juga menimbulkan dampak negatif yang juga perlu

diperhatikan.

Penelitian Haris (2005), tentang evaluasi kriteria lingkungan dalam pemilihan

Ibukota baru: studi kasus pemindahan Ibukota Kabupaten Bima menggunakan

metode skala Guttman dan Likert, dimana penilaian dari segi kependudukan, segi

kelengkapan fasilitas dan tingkat aksesibilitas antar wilayah perencanaan,

menyimpulkan: (a) berdasarkan kriteria umum pemilihan lokasi ibukota Kabupaten

Bima Kecamatan Woha memiliki nilai tertinggi. Dengan demikian kecamatan Woha

dipilih sebagai lokasi Ibukota baru Kabupaten Bima, (b) berdasarkan kriteria

lingkungan alami dan lingkungan sosial Kecamatan Bolo memiliki nilai tertinggi

sedangkan berdasarkan lingkungan binaan Kecamatan Woha memiliki nilai tertinggi,

(c) kriteria umum yang digunakan dalam pemilihan ibukota baru tidak mencerminkan

Universitas Sumatera Utara

Page 27: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

dan mempertimbangkan kriteria lingkungan secara komprehensif, (d) ibukota terpilih

yang dikaji berdasarkan kriteria umum tidak memenuhi syarat lingkungan khususnya

aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Selanjutnya penelitian Irmalashari (2007), dengan lingkup kajian yang sama

di Kabupaten Bima tentang persepsi masyarakat terhadap rencana pemindahan

ibukota Kabupaten Bima dan implikasinya pada pengelolaan lingkungan

menggunakan menggunakan uji anova serta korelasi statistik, menyimpulkan bahwa

tidak ada perbedaan pada karakteristik sosial ekonomi masyarakat di lokasi pusat,

terdekat dan terjauh. Pengetahuan masyarakat terhadap rencana pemindahan ibukota

Kabupaten Bima dan terhadap dampak lingkungan yang akan ditimbulkan oleh

kegiatan cenderung tinggi. Persepsi masyarakat terhadap rencana pemindahan ibukota

kabupaten Bima cenderung netral dan negatif. Persepsi masyarakat terhadap dampak

lingkungan yang akan ditimbulkan oleh kegiatan cenderung netral dan negatif

sebanyak. Faktor yang berhubungan dengan persepsi masyarakat terhadap rencana

pemindahan ibukota Kabupaten Bima diantaranya adalah ketersediaan air, kesesuaian

lahan, topografi lahan, pendapatan tenaga kerja, peluang kerja, perubahan populasi,

perencanaan kebijakan pembangunan, alur jalan dan aturan pemanfaatan lahan.

Sedangkan faktor yang berhubungan dengan dampak lingkungan adalah jumlah

anggota keluarga, vegetasi pepohonan, budidaya ikan di pertambakan, permukiman

masyarakat, kondisi lahan, kondisi air, suhu lingkungan, keamanan masyarakat,

moral dan keagamaan, harga lahan dan gaya hidup.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

Penelitian Soenkarno (1999), yang mengkaji tentang proses pemindahan

ibukota Kabupaten (Studi Kasus Kabupaten Bekasi-Cikarang). Setelah dilakukan

kajian dapat diamati paling sedikit ada 6 (enam) tahapan yang dapat dijadikan

rujukan pada proses pemindahan lbukota Kabupaten meliputi: a) dasar pertimbangan

dilakukannya pemindahan, b) persyaratan normatif, c) peraturan dan perundang-

undangan yang terkait, d) ketersediaan lahan, e) implikasi keputusan pemindahan

lbukota Kabupaten, dan f) aspek pengaruh kekuatan "eksternal".

Penelitian Bahsan (2005), tentang sikap masyarakat Kecamatan Natar

terhadap rencana pemindahan ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar

Lampung Selatan menggunakan metode penelitian deskriptif, menyimpulkan bahwa

dari aspek kognitif ternyata 53% responden memiliki pengetahuan yang baik terhadap

rencana pemindahan Ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar Lampung

Selatan. Dari aspek afektif 35% responden memilih pro dalam menanggapi rencana

pemindahan Ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar Lampung Selatan.

Sedangkan dari aspek konatif diketahui 29% responden bertingkahlaku positif dalam

menindaki rencana pemindahan Ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar

Lampung Selatan.

Studi Hardjasaputra (2003), tentang pemindahan ibukota Kabupaten

Tasikmalaya dalam perspektif historis, menyimpulkan bahwa pemilihan tempat untuk

ibukota baru Kabupaten Tasikmalaya perlu didasarkan atas hasil kajian dua aspek.

Pertama, hasil kajian aspek fisik, yang telah dilakukan oleh LAPI-ITB. Kedua, hasil

kajian sejarah mencakup aspek sosial budaya, atau kajian sosial budaya dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 29: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

pendekatan sejarah. Kajian kesejarahan dan sosial budaya akan

memperkuat/menunjang hasil kajian aspek fisik. Perpaduan hasil kajian kedua aspek

itu akan merupakan dasar yang kuat bagi Pemda dalam menentukan pilihan tempat,

dan dasar yang kuat pula bagi DPRD dalam membuat keputusan mengenai penetapan

tempat bakal ibukota baru Kabupaten Tasikmalaya. Hal itu berarti, pemilihan dan

penetapan tempat untuk ibukota baru itu dilakukan secara objektif dan proporsional.

2.6. Kerangka Pemikiran

Relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun dari Kota

Pematangsiantar ke wilayah Kecamatan Raya untuk menjadikan tempat baru sebagai

pusat pelayanan pemerintahan sebagai upaya meningkatkan kualitas pelayanan

pemerintahan kepada masyarakat. Sebagai ibukota kabupaten yang baru diharapkan

memenuhi tiga prinsip berdasarkan central place theory (Haggett, 2001) yaitu:

(a) keterjangkauan pelayanan (affordability), kecukupan pelayanan (recoverability)

dan kesesuaian pelayanan (replicability).

Dengan adanya pusat pemerintahan yang baru tersebut diharapkan memberi

dampak terhadap pengembangan wilayah, khususnya dalam aspek kegiatan ekonomi

(Tarigan, 2004), dengan adanya peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan

lapangan kerja. Secara skematis pada kerangka pemikiran berikut ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun

Sebelum Relokasi

Keterjangkauan (Affordability)

Kecukupan (Recoverability)

Kesesuaian (Replicability)

Relokasi

Setelah Relokasi

Keterjangkauan (Affordability)

Kecukupan (Recoverability)

Kesesuaian (Replicability)

PENGEMBANGAN WILAYAH

Tingkat pendapatan

Tingkat lapangan kerja

Tingkat pendapatan

Tingkat lapangan kerja

a. Administrasi kependudukan dan catatan sipil - KTP - Akte Kelahiran - Kartu Keluarga/RT - Surat Keterangan lainnya

b. Pelayanan Perizinan - SITU - IMB

c. Pelayanan Tenaga Kerja (Surat Keterangan Pencari Kerja)

d. Pelayanan Kesehatan (Surat Keterangan Sehat/Sakit)

Universitas Sumatera Utara

Page 31: DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

2.7. Hipotesis Penelitian

1. Terdapat perbedaan keterjangkauan pelayanan (affordability), kecukupan

pelayanan (recoverability) dan kesesuaian pelayanan (replicability) di

Kecamatan Raya sebelum dan setelah relokasi pusat pemerintahan Kabupaten

Simalungun.

2. Terdapat perbedaan pendapatan masyarakat di Kecamatan Raya sebelum dan

setelah relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun.

3. Terdapat perbedaan lapangan kerja di Kecamatan Raya sebelum dan setelah

relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun.

Universitas Sumatera Utara