14
100 K A N D A I Volume 12 No. 1, Mei 2016 Halaman 102115 WARNA LOKAL DAN REPRESENTASI BUDAYA BUGIS-MAKASSAR DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA (Local Colour and Representation Buginese-Makasarnese of Culture in “Pembunuh Parakang” Short Story: Study of Literature Sosiology) Uniawati Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara Jalan Haluoleo, Kompleks Bumi Praja, Anduonohu, Kendari, Indonesia Pos-el: [email protected] (Diterima 28 Januari 2016; Direvisi 4 Maret 2016; Disetujui 12 April 2016) Abstract This study is the apreciation toward the short story of Pembunuh Parakang (PP) as the efforts to analyze and solve the problems about the functions and roles of local colour in this novel. Beside that, the researcher also analyze the relevance between the local colour with the reinforcement of Buginese-Makasarnese identity. The data used in this study are the text of PP short story by Khrisna Pabichara from Kolecer dan Hari Raya Hantu antology. Technique of data collection used are deep reading and taking notes some events that showed local colour. Technique of data analysis used descriptive qualitative based on the theory of literature sociology. The result showed that PP short story was presented with the strong local colour. This short story was the combination of the tradition and mythe in Bugis-Makassar society’s culture. Parakang as a product of the past was viewed as just mythe. However, nowdays the myth is still exist in the modern era and it is based on society’s belief. Keywords: local colour, Bugis-Makassar, role, short story, sociology of literature Abstrak Tulisan ini merupakan bentuk apresiasi terhadap cerpen Pembunuh Parakang (PP) sekaligus upaya untuk mengkaji dan menjawab permasalahan tentang bagaimana fungsi dan peran warna lokal di dalamnya serta relevansinya dengan penguatan identitas masyarakat Bugis-Makassar. Data yang digunakan adalah teks cerpen PP karya Khrisna Pabichara yang bersumber dari antologi cerpen Kolecer dan Hari Raya Hantu. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pembacaan secara cermat dan pencatatan bagian-bagian yang menunjukkan warna lokal. Data dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan berlandaskan pada teori sosiologi sastra. Hasil analisis menunjukkan bahwa cerpen PP hadir dalam balutan warna lokal yang sangat kental. Cerpen ini merupakan internalisasi tradisi dan mitos dalam budaya masyarakat Bugis- Makassar. Parakang sebagai produk budaya masa lampa, di satu sisi dipandang sebagai mitos belaka, tetapi di sisi lain masih tetap mengemuka pada era modernitas saat ini dan dipercaya oleh masyarakat pendukungnya. Kata-kata kunci: warna lokal, Bugis-Makassar, peran, cerpen, sosiologi sastra PENDAHULUAN Sastra sebagai dunia kehidupan imajinatif memiliki banyak kemiripan dengan kehidupan sebenarnya (Prijanto, 2012). Tidak sedikit pengarang yang menulis suatu karya sastra terinspirasi oleh peristiwa-

DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

100

K A N D A I

Volume 12 No. 1, Mei 2016 Halaman 102—115

WARNA LOKAL DAN REPRESENTASI BUDAYA BUGIS-MAKASSARDALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG”:

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

(Local Colour and Representation Buginese-Makasarnese of Culture in“Pembunuh Parakang” Short Story: Study of Literature Sosiology)

UniawatiKantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara

Jalan Haluoleo, Kompleks Bumi Praja, Anduonohu, Kendari, IndonesiaPos-el: [email protected]

(Diterima 28 Januari 2016; Direvisi 4 Maret 2016; Disetujui 12 April 2016)

AbstractThis study is the apreciation toward the short story of Pembunuh Parakang (PP) as

the efforts to analyze and solve the problems about the functions and roles of local colourin this novel. Beside that, the researcher also analyze the relevance between the localcolour with the reinforcement of Buginese-Makasarnese identity. The data used in thisstudy are the text of PP short story by Khrisna Pabichara from Kolecer dan Hari RayaHantu antology. Technique of data collection used are deep reading and taking notessome events that showed local colour. Technique of data analysis used descriptivequalitative based on the theory of literature sociology. The result showed that PP shortstory was presented with the strong local colour. This short story was the combination ofthe tradition and mythe in Bugis-Makassar society’s culture. Parakang as a product of thepast was viewed as just mythe. However, nowdays the myth is still exist in the modern eraand it is based on society’s belief.Keywords: local colour, Bugis-Makassar, role, short story, sociology of literature

AbstrakTulisan ini merupakan bentuk apresiasi terhadap cerpen Pembunuh Parakang (PP)

sekaligus upaya untuk mengkaji dan menjawab permasalahan tentang bagaimana fungsidan peran warna lokal di dalamnya serta relevansinya dengan penguatan identitasmasyarakat Bugis-Makassar. Data yang digunakan adalah teks cerpen PP karya KhrisnaPabichara yang bersumber dari antologi cerpen Kolecer dan Hari Raya Hantu.Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pembacaan secara cermat dan pencatatanbagian-bagian yang menunjukkan warna lokal. Data dianalisis menggunakan metodedeskriptif kualitatif dengan berlandaskan pada teori sosiologi sastra. Hasil analisismenunjukkan bahwa cerpen PP hadir dalam balutan warna lokal yang sangat kental.Cerpen ini merupakan internalisasi tradisi dan mitos dalam budaya masyarakat Bugis-Makassar. Parakang sebagai produk budaya masa lampa, di satu sisi dipandang sebagaimitos belaka, tetapi di sisi lain masih tetap mengemuka pada era modernitas saat ini dandipercaya oleh masyarakat pendukungnya.Kata-kata kunci: warna lokal, Bugis-Makassar, peran, cerpen, sosiologi sastra

PENDAHULUAN

Sastra sebagai dunia kehidupanimajinatif memiliki banyak kemiripan

dengan kehidupan sebenarnya(Prijanto, 2012). Tidak sedikitpengarang yang menulis suatu karyasastra terinspirasi oleh peristiwa-

Belum

Page 2: DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Uniawati: Warna Lokal dan Representasi Budaya Bugis…

101

peristiwa yang terjadi di kehidupannyata. Pengarang yang jeli akanmenuangkan peristiwa apa pun yangmenarik hati dan pikirannya menjadisebuah karya sastra yang manis. Kisah-kisah biasa bisa menjadi sangatmenarik ketika dikemas dalam duniakata dengan cara yang apik. Beberapapengarang justru tertarik dengan tema-tema lokal yang akrab dengankesehariannya. Sering dijumpai karyasastra puisi atau cerpen yang teksnyaberbicara tentang kekhasan suatu etniktertentu. Misalnya, kumpulan puisiRitus Konawe (2014) karya IwanKonawe, yang disarati denganungkapan-ungkapan khas Tolaki;kumpulan cerpen Mengawini Ibu(2011) karya Khrisna Pabichara yangmenampung begitu banyak diksi khasBugis; atau Kumpulan cerpenPerempuan Bawang dan Lelaki Kayu(2009) karya Ragdi F. Daye yangbanyak memuat ungkapan khasMinangkabau (Muhammad, 2012).

Sebuah karya sastra tidak sekadarsebagai penggambaran ekspresi estetispengarangnya, tetapi sekaligusmerupakan abstraksi dari pandangandunia subjek kolektif yang berakar darikondisi sosial, budaya, dan ekonomi.Menurut Saputra (2011), sastramerupakan proses yang panjang dariproduksi interaksi antara subjekkolektif dengan situasi sekitarnya (hlm.217). Pemahaman terhadap realitassosial dapat dilakukan melaluipembacaan terhadap nilai-nilai yangtersirat dalam karya sastra. Sementaraitu, pemahaman bahwa sastraIndonesia tumbuh dan berkembangdari embrio karya yang subur akanwarna lokal tampaknya menjadisebuah aksioma. Warna lokal dalamsastra merupakan wujud darikreativitas dan proses kreatifpengarang yang mengasimilasilingkungan sekitar ke dalam skema

pikiran dan tindakannya, sekaligusmengakomodasi dirinya ke dalamlingkungan sosial.

Warna lokal dalam karya sastradipandang memiliki potensi untukmenggali produk budaya lokal(Turaeni, 2011). Cerpen “PembunuhParakang”, selanjutnya disingkatPP,yang ditulis oleh Khrisna Pabicharamisalnya, mengeksplor dengangamblang budaya di Sulawesi Selatan.Ceritanya menyuguhkan warna lokalyang khas dengan keunikan yangdimilikinya, tidak sekadar mewartakanpotret sosial dalam narasi yangmemukau, tetapi juga sebagairepresentasi kultur etnik Bugis-Makassar. Cerpen ini menyentilkepercayaan masyarakat setempat danbisa jadi oleh pengarangnya dipandangsebagai mitos belaka, mitos yang bagimasyarakat Barat kerap ditudingsebagai takhayul, irasional, danditempatkan dalam wilayahsupernatural (Bandingkan Danandjaja,1986). Berbeda dengan pandanganBarthes (2009) yang memandangbahwa persoalan mitos adalahpersoalan setiap kelompok masyarakat,mitos akan selalu hidup di dalam suatukelompok masyarakat tertentu danakan memberikan pengaruh terhadappola tingkah laku dan pandangan hidupmasyarakat tersebut (hlm. 58).

Cerpen PP hendak mengingatkanpembacanya akan masih adanyakepercayaan terhadap mitos dalamsuatu kelompok masyarakat. Cerita inimerupakan cerita tentang pertarunganantara harga diri dan gengsi yangdilatarbelakangi oleh kepercayaanterhadap mitos. Ketika mitos tidak lagimemberi pengaruh maka pragmatismemerampas semua. Membaca cerpen iniseakan-akan menyadarkan kita akanhal-hal biasa yang luput daripengamatan tetapi rupanya sangatsakral ketika hal itu sudah dihadapkan

Page 3: DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 102—115

102

pada persoalan gengsi dan harga diri.Sebuah cerita yang dikemas dengansangat menarik dalam balutan warnalokal. Cerita yang layak dan menarikuntuk dikaji, baik dari segi isi maupununsur ekstrinsik yang membangunnya.

Tulisan ini merupakan bentukapresiasi terhadap cerpen PPkaryaKhrisna Pabicharasekaligus upayauntuk mengkaji dan menjawabpermasalahan tentang bagaimanafungsi dan peran warna lokal cerpentersebut dalam relevansinya denganpenguatan identitas masyarakat Bugis-Makassar. Kajian ini bertujuan untukmengetahui fungsi dan peran warnalokal dalam cerpen tersebut dalamrelevansinya dengan penguatanidentitas masyarakat Bugis-Makassar.Selain itu, kajian seperti ini dapatmemberikan pandangan tentangkehidupan sosial, budaya, dan ekonomimasyarakat Bugis-Makassar yangdiwarnai oleh beragam tradisi danmitos-mitos yang masih mengemuka diera modern saat ini.

LANDASAN TEORI

Istilah warna lokal berasal daribahasa Inggris local colour atau bahasaPrancis couleur locale. Warna lokalberkaitan dengan latar cerita yangmenggambarkan tempat atau daerahtertentu, tradisi masyarakat, dialek,adat dan kebiasaan, dan lain-lain.Warna lokal memberi pengaruh yangbesar terhadap penciptaan sebuahkarya sastra. Dengan adanya nuansalokal, sebuah karya sastra baik ituprosa atau puisi, akan menjadi lebihmenarik dan hidup. Di sisi lain,hadirnya sebuah karya sastra yangkental dengan kelokalan dapatmenjadikannya media dalammelestarikan budaya setempat.Kekuatan warna lokal akan lebihterlihat dalam sikap para tokoh dan

lingkungan tempat tinggalnya dalamcerita.

Abrams (1971) mengatakanbahwa “sastra warna lokal adalahsastra berlatar belakang daerah, berupaadat istiadat, kebiasaan-kebiasaan,dialek, cara berpikir, dan perasaanmasyarakat” (hlm. 89). Hal pentingyang berkaitan dengan warna lokaladalah kehidupan sosial dan alampikiran yang hanya mungkin adasecara setempat (lokalitas), tidaksekadar tempat secara fisik (Navis,1999). Dalam konteks Indonesia, sastrawarna lokal bukanlah sastra daerah,tetapi sastra Indonesia berlatarbelakang daerah baik prosa, puisi, dandrama. Sudah barang tentu, setiapsastra warna lokal akan mencitrakansikap-sikap, cita-cita, identitas-identitas masyarakat setempat. Semuaitu akan berpengaruh dalammemandang, baik tentang diri sendirimaupun orang lain yang berbedakelokalannya.

Warna lokal tidak hanyadiartikan sebagai sesuatu yangmenyangkut kedaerahan danmenggambarkan ciri-ciri khusus kultursetempat. Warna lokal sering lebihdipahami sebagai sesuatu yang statisdan berdimensi keruangan. Hakikatwarna lokal ialah realitas sosial budayasuatu daerah yang ditunjuk secara taklangsung oleh realitas yangdicerminkan dalam karya sastra.Secara intrinsik dalam konteks strukturkarya, warna lokal selalu dihubungkandengan unsur-unsur pendukungnya,seperti latar, penokohan, gaya bahasa,dan suasana. Dalam konteks sastrasebagai sistem tanda, warna lokalselalu dikaitkan dengan kenyataanhidup dunia luar yang ditunjuk dengantanda sosial budaya, antara lain aspek-aspek adat istiadat,agama,kepercayaan, sikap, dan falsafah hidup.Warna lokal akan mencerminkan

Page 4: DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Uniawati: Warna Lokal dan Representasi Budaya Bugis…

103

sikap, cita, dan identitas masyarakatsetempat. Semua itu akan berpengaruhdalam memandang, baik tentang dirisendiri maupun orang lain yangberbeda kelokalannya (Turaeni, 2011).

Dalam operasionalisasinya,warna lokal diperlakukan sebagaibagian dari struktur karya sastra,khususnya sebagai salah satu aspekdari latar, atmosfer, dan penggunaanbahasa. Sebagai bagian dari latar fisikdan ruang, warna lokal dikaitkandengan geografi. Misalnya, SumatraBarat, Sulawesi, Riau, dan Jawa.Sesungguhnya, lokalitas tidak selaluberkutat pada latar atau setting, tetapijustru semacam sistem kultur, ataubahkan potret sosial dari sebuahwilayah yang mendekam di luar teks.Oleh karena itu, keberhasilan seorangpenulis dalam membuat warna lokalatau mengangkat lokalitas, salahsatunya bisa diukur ketika terdapat‘cantelan’ imajinasi dari pembaca saatmenyerap diksi yang terpapar dalamsebuah karya sastra (Afra, 2012).Lokalitas itu sebenarnya adalah‘membumikan’ sebuah karya sastra.Membuat seorang pembaca benar-benar merasakan, tidak sekadar fisikdari latar, tetapi juga semacam sistemkultur dan potret sosial baik dari teksyang tersurat maupun yang tersirat(Budianta dalam Afra, 2012).

Cerpen PP karya KhrisnaPabichara memuat warna lokal dengankadarnya sendiri. Kelokalan yangditampilkan oleh pengarang melaluicerpen tersebut memberikan sebuahpemahaman budaya tentangmasyarakat Bugis-Makassar. Untukitu, menjawab permasalahan utamayang dibahas dalam tulisan inidigunakan teori sosiologi sastrasebagai landasan dalam menganalisis.Sosiologi sastra merupakan sebuahkajian interdisipliner denganmemadukan dua bidang ilmu, yaitu

sosiologi dan sastra. Kedua bidangilmu tersebut mengkaji objek yangsama, yaitu manusia dalammasyarakat. meskipun keduanyamengkaji objek yang sama, hakikatsosiologi dan sastra sangat berbedabahkan bertentangan secara diametral.Menurut Damono (1984), “Jikasosiologi melakukan analisis ilmiahyang objektif, sastra menyusupmenembus permukaan kehidupansosial dan menunjukkan cara-caramanusia menghayati masyarakatdengan perasaannya” (hlm. 7).

Senada dengan paparan tersebutdi atas, Ratna (2009) menjelaskanbahwa “Perbedaan antara sastra dansosiologi merupakan perbedaanhakikat, sebagai perbedaan ciri-ciri,sebagaimana ditunjukkan melaluiperbedaan antara rekaan dankenyataan, fiksi dan fakta” (hlm. 2).Dapat diduga bahwa munculnyapenelitian interdisiplin dipicu olehlahirnya teori strukturalisme denganciri utama mekanisme antar-hubungannya. Artinya, dengan adanyakonsep-konsep antarhubungan yangbermakna, maka sekat pemisahantardisiplin menjadi berkurang,bahkan tidak ada. Analisismenunjukkan bahwa perbedaanhakikat antara dua disiplin justrumenampilkan pemahaman yang lebihberagam sekaligus lebih kaya, sepertiditunjukkan melalui sosiologi sastra.

Pendekatan sosiologi sastraadalah pendekatan terhadap sastrayang mempertimbangkan segi-segikemasya-rakatan dengan menggunakananalisis teks untuk mengetahuistrukturnya dan kemudiandipergunakan memahami lebih dalamlagi gejala sosial yang di luar sastra(Damono, 1984). Upaya ini membukapeluang untuk memahami secara jelastentang fungsi dan peran warna lokalcerpen tersebut dalam relevansinya

Page 5: DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 102—115

104

dengan penguatan identitas masyarakatBugis-Makassar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakanpenelitian pustaka. Data yangdigunakan berupa data tunggal, yaituCerpen PP karya Khrisna Pabicharayang bersumber dari antologi cerpenKolecer dan Hari Raya Hantu (2010),terbitan Selasar Pena Talenta. Cerpentersebut dianalisis menggunakanmetode deskriptif kualitatif denganpendekatan sosiologi sastra. Teknikyang digunakan dalam menganalisisadalah mencatat keterangan-keterangan melalui hasil pembacaancerpen yang menunjukkan warna lokal.Teori yang digunakan sebagai landasandalam menganalisis adalah teorisosiologi sastra.

Penggunaan sosiologi sastradalam kajian ini didasarkan padapertimbangan bahwa sosiologi sastrapada dasarnya adalah sebuahpendekatan yang mempertimbangkansegi-segi kemasyarakatan denganmenggunakan analisis teks untukmengetahui strukturnya dan kemudiandipergunakan memahami lebih dalamlagi gejala sosial yang di luar sastra(Damono, 1984). Upaya ini membukapeluang untuk memahami secara jelastentang fungsi dan peran warna lokalcerpen tersebut dalam relevansinyadengan penguatan identitas masyarakatBugis-Makassar.

PEMBAHASAN

Sekilas tentang Pengarang

Khisna Pabichara dilahirkan diJeneponto, Makassar, SulawesiSelatan, tanggal 13 November 1975.Selain bergiat mendaraskan tulisan-

tulisannya ke dalam beragam bentukeksplorasi imajinatif, dia juga aktifsebagai penyunting di sebuahpenerbitan dan kerap mengisi acaraseminar, pelatihan, atau workshoptentang motivasi pengembangankecakapan diri. Saat ini, dia berkutatdalam sebuah proyek penulisan novelyang sudah diimpikannya sejak lama.Tulisan-tulisannya banyak dimuat dimedia lokal dan nasional, sepertiRepublika, Jawa Pos, Suara Karya,Jurnal Bogor, Padang Ekspres, BeritaPagi, Analisa, Global, Fajar,Sumatera Ekspres, TabloidAssalamua’alaikum, Batam Pos, RiauPos, dan media lainnya. Dia jugamengasuh rubrik oke Learning diwww.inioke.com, sebuah situs remajaberbasis edukasi.

Khrisna Pabichara banyakmenulis cerpen dan novel yang kentaldengan warna lokal Bugis-Makassar.Barangkali hal ini disebabkan olehlatar belakang etnik yang dimilikinyasehingga menjadi ketertarikantersendiri baginya untukmengeksplorasi lebih dalam tentangbudaya masyarakat tempatnya tumbuh.Selain PP, cerpen lain yang pernahditulisnya di antaranya GadisPakarena, Laduka, dan Selasar.Cerpen-cerpen tersebut sarat denganwarna lokal yang menggambarkandinamika dan problematika kehidupanmasyarakat Bugis-Makassar. Membacacerpen-cerpen yang ditulis olehnyamembuat kita seolah-olahdiperhadapkan pada sebuah lanskapbudaya yang begitu jelas terpapar didepan mata. Cerpen yang menggugahpembacanya untuk merenungiperistiwa-peristiwa masa lalu dan masakini yang dianggap biasa, namunmerupakan sebuah peristiwa yang luarbiasa.

Gaya kepenulisan KhrisnaPabichara yang memukau dan warna

Page 6: DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Uniawati: Warna Lokal dan Representasi Budaya Bugis…

105

yang dipilihnya dalam menghiasicerpen yang ditulisnya menjadiketertarikan tersendiri bagi penulisuntuk mengkaji karyanya. KhrisnaPabichara adalah penulis bertalentayang tidak saja populer di ranah lokal,tetapi namanya sering pula menjadipembicaraan di tingkat nasional.Dalam dunia kepenulisan, ia memilikirekam jejak yang terhitung panjang.Selain menulis cerpen, ia juga seorangpenulis novel inspiratif Sepatu Dahlan,yang diangkat dari kisah hidup DahlanIskan. Dalam waktu singkat noveltersebut bisa menembus jumlah hingga70 ribu eksemplar. Karya-karyanyasangat layak untuk diapresiasi.

Cerpen Pembunuh Parakang (PP)

Cerpen PP karya KhrisnaPabichara menghadirkan sebuah duniapergumulan antara cinta dan duniagaib. Cerpen ini mengetengahkan kisahpercintaan segitiga antara Rangka,Tutu, dan Natisha Daeng Lebang.Rangka terlahir dalam keluargaparakang yang dipandang hina olehmasyarakatnya. Pria beristri itu sedarikecil memendam kesumat terhadapTutu yang ditudingnya sebagaipembunuh ibunya. Rupanya, iamengidamkan cinta Natisha DaengLebang, kekasih Tutu. MenurutRangka, Tutu adalah penghalangkebahagiaannya sehingga ia bertekaduntuk membunuhnya. Celakanya, Tutubukanlah orang yang mudah untukditaklukkan. Ia sudah ditakdirkanmemiliki banyak kekuatan gaib sejakkelahirannya dalam posisi sungsangdengan berselempangkan ari-ari.Sekuat apa pun Rangka berkelanamenempa diri, menguatkan ilmu yangdimilikinya dari aroma magis tempat-tempat keramat yang berhasilditandangi, belumlah cukup untukmenaklukkan kekuatan Tutu. Alhasil,

Rangka yang sudah diselimuti dendammenempuh cara lain untuk membunuhTutu. Ia melarikan Natisha DaengLebang, kekasih Tutu, ke sebuah pulauterluar di Indonesia setelah terlebihdahulu menaklukkan hatinya lewatmantra pengasih.

Warna Lokal Cerpen PembunuhParakang (PP)

Membahas perihal warna lokaldalam cerpen PP, ada banyak tandayang ditemui dan menunjukkan suatukelokalan yang khas budaya Bugis-Makassar. Tanda-tanda tersebut secaralangsung dan tidak langsungmerepresentasikan kehidupan masyara-kat Bugis-Makassar yang hidup dalamtatanan adat-istiadat dengan segalaaturan dan sanksi terhadapnya. Adatiga tanda utama sekaligus sebagaipenanda identitas budaya bagimasyarakat Bugis-Makassar yang akandijadikan titik pijak dalammenguraikan isi yang tersirat dalamcerpen ini. Ketiga hal tersebut adalahyang berhubungan dengan persoalansiri’, parakang, dan silariang yangeksistensinya masih selalu mengemukadi dalam masyarakat pemiliknya.

Siri’ dalam Budaya Bugis-Makassar

Cerpen PP menyoroti budaya dankepercayaan masyarakat Bugis-Makassar. Tokoh dan penokohan yangditampilkan serta latar cerita yangditemui dalam cerpen tersebut kentaldengan warna lokal. Nama tiga tokohutama dalam cerpen, yaitu Rangka,Tutu, dan Natisha Daeng Lebangadalah penamaan khas Bugis-Makassar. Ketiga tokoh itumemberikan gambaran tentang watakdan karakter umum orang Bugis-Makassar. Rangka, tokoh aku dalamcerita, memiliki watak pendendam dan

Page 7: DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 102—115

106

gengsi yang tinggi. Meskipun Rangkaberwatak pendendam, tidaklah dapatdikatakan bahwa orang Bugis-Makassar pada umumnya berwatakpendendam. Sesungguhnya dendam itubukan hanya milik orang Bugis-Makassar semata, tetapi secarauniversal berpotensi dimiliki olehsetiap manusia yang hidup di dunia.Karakter orang Bugis-Makassar yangpaling melekat dalam diri Rangkaadalah gengsi yang tinggi.

Gengsi dan harga diri atau siri’dalam budaya Bugis-Makassar adalahhal utama yang selalu dikedepankan,disejajarkan kedudukannya denganakal pikiran yang baik, peradilan yangbersih, dan perbuatan kebajikan. Siri’sangat menentukan identitas orangBugis-Makassar dan masyarakatSulawesi Selatan pada umumnya.Tidak sedikit kejadian pertumpahandarah yang dipicu oleh persoalan siri’.Rangka dalam cerpen tersebut merasaharga dirinya telah direndahkan tatkalagadis yang diimpikannya dimiliki olehlelaki lain, Tutu. Sebagai lelaki,Rangka tidak dapat berdiam dirimenerima fakta bahwa Tutu, lelakiyang dimusuhinya sejak kecil, telahmengalahkannya. Ia yang telah lamamemendam rasa pada Natisha DaengLebang dipaksa “gigit jari” ketikagadis itu menjatuhkan pilihannya padaTutu. Di sinilah Rangka mengalamipertarungan antara mempertahankankehormatan yang berbau gengsi ataumengorbankan harga dirinya sebagailelaki. Pergumulan rasa yang dialamioleh Rangka tercermin melalui kutipandalam cerpen berikut.

“Jika ada yang bertanyapadaku apa yang paling inginaku lakukan selama hidup didunia, jawabannya pasti selalusama: membunuh Tutu. Tapi biladicecar lagi, kenapa sehingga

aku ingin membunuhnya,jawabannya ialah karena ia telahmerampas segala yang bisamembuatku bahagia dalamhidupku. Mula-mula iamembunuh ibuku, lalu ia rebutgadis idamanku. Maka, tidakakan tenang hidupku bila Tutumasih hidup.” (Pabichara, 2010,hlm. 99).

Orang Bugis-Makassar padaumumnya dikenal sebagai penganutadat-istiadat yang kuat. Keseluruhannorma dan aturan-aturan adat tersebutbagi orang Bugis dikenal denganistilah pangngadereng. MenurutMattulada, pangngadereng mencakuplima unsur pokok, yaitu ade, bicara,rapang, wari, dan sara yangkesemuanya terjalin dan terkandungdalam konsep siri’ (1985, hlm. 61).Siri’ bagi orang Bugis-Makassarbertujuan untuk menegakkan aturandemi membangun ketertiban,keharmonisan, dan keamanankehidupan sosial sehingga harga diridan martabat manusia menjadi bernilai.Samsuni dalam sebuah media daringmengemukakan bahwa siri’ adalahsebuah konsep yang menentukan jatidiri orang Bugis-Makassar(www.melayuonline.com).

Konsep siri’ sebagai hal palinghakiki dan yang sangat menentukansebagai jati diri dan identitas orangBugis-Makassar begitu kental tersajidalam cerpen PP. Rangka, sebagailelaki Bugis-Makassar, kehilangandaya dalam memenangkan pertarunganyang ia ciptakan sendiri bersama Tutu.Apa yang terjadi kemudian adalahmunculnya rasa malu yang dibarengidengan dendam yang tidaktertawarkan. Dalam hal ini, rasa“malu” yang dipunyai oleh lelakiBugis-Makassar hakikatnya tidaklahsama dengan “malu” yang dirasakan

Page 8: DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Uniawati: Warna Lokal dan Representasi Budaya Bugis…

107

oleh lelaki yang hidup dalam budayalain. Artinya, malu merupakan unsuryang paling prinsip dalam diri merekasehingga itulah penting untuk dibelasekalipun nyawa yang menjaditaruhannya. Atas dasar inilah makaRangka dengan tegas membawa lariNatisha demi mempertahankankehormatan dan martabatnya sebagaiseorang lelaki. Perbuatan Rangka yangmelarikan Natisha meskipun secarahukum dan adat tidak dapatdibenarkan, namun dalam sudutpandang yang berbeda, sebagai lelaki,itulah yang seharusnya ia lakukan.

Munculnya siri’ dalam diriRangka menunjukkan bahwa siri’tidak lain dari suatu akibat. Sepertiyang diungkapkan oleh Rahim,“Bukankah baru timbul perasaan malu(siri’) jika salah satu dari nilai-nilaiutama yang dianut oleh kemanusiaandalam keadaan terlanggar? (2011, hlm.142). Seseorang tidak saja timbulperasaan malunya disebabkan diadiperlakukan tidak jujur, dia dipandangenteng, tidak diperhitungkan, dansebagainya, tetapi juga ketika iaberbuat tidak benar maka seyogyanyasiri’ itupun dimilikinya. Rangka dalamcerpen ini melakukan sebuahpelanggaran dengan mengatasnamakansiri’, tetapi di sisi lain ia telahmengabaikan norma yang berlaku dimasyarakat.

Parakang dalam Budaya Bugis-Makassar

Kelokalan yang mewarnai isicerpen ini cukup pekat. Dari judul sajasudah tergambar jelas warna yangditampilkan oleh pengarangnya. Selainitu, disebutkan pula beberapa istilahkhas seperti paddekko, ajje’ne-je’nesappara, dan ammatoki batara dalamteks cerpen. Cerpen PP cukup jelasmerepresentasikan budaya tempatnya

tumbuh dan dipercaya. Istilahparakang bukanlah hal yang asing bagimasyarakat Bugis-Makassar. Parakangsudah demikian populer sejak zamannenek moyang orang Bugis-Makassar.Tidak dapat dimungkiri bahwaparakang adalah bentukan budayamasa lalu yang masih terbawa hinggazaman sekarang meskipun tingkatkepercayaan masyarakatnya sudahmengalami pergeseran.

Seiring perkembangan budaya,istilah parakangtidak saja dikenaldalam lingkup lokal Sulawesi Selatansaja, tetapi juga merambah hinggawilayah di sekitarnya, seperti diSulawesi Tenggara. Masyarakat diSulawesi Tenggara, seperti di Kendari,Kolaka, Unaaha, tidak asing denganistilah parakang. Hal ini dimungkinkanoleh pengaruh perpindahan pendudukyang mengakibatkan terjadinyaakulturasi budaya sehingga masyarakatyang menjadi tempat tujuanperpindahan mengenal pula istilahparakang.

Menurut legenda, parakangsebenarnya adalah manusia yangbelajar ilmu hitam seperti pesugihan,tetapi ilmu yang didapatkannya tidakbisa ia jalankan dengan baik ataudengan kata lain ia gagal mendalamiilmunya. Selain karena faktor ilmuhitam, konon parakang jugadikarenakan ilmu yang diturunkan olehorang tua kepada anaknya. Dariberbagai kisah, parakang dapatberganti-ganti wujud sesuai keinginanpemiliknya, seperti wujud kucing,anjing, babi, monyet, dan berbagaiwujud binatang lainnya. Ada pula yangmengatakan bahwa parakang memilikibentuk yang serupa dengan manusia,tetapi wujudnya lebih menyeramkankarena memiliki mata merah, kulityang keras dan kebal, serta kukumemanjang dan tajam. Memiliki wujudyang menyeramkan tentunya akan

Page 9: DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 102—115

108

menakutkan bagi anak-anak, tetapitidak hanya itu yang dikhawatirkan danmenjadi momok bagi masyarakatdengan keberadaan mahkluk bernamaparakang. Parakang dipercaya sebagaimahkluk jejadian yang sangatberbahaya karena memiliki kesenanganmenghisap organ dalam manusiaseperti usus dan lainnya. Parakangkonon gemar mendekati ibu hamil,anak-anak, dan juga orang yang beradadi ambang kematian untuk dihisaporgan dalamnya.

Potret mengenai parakang yangkeberadaannya selalu mendekati orangyang berada di ambang kematiandengan lugas diungkapkan olehpengarang dalam cerpen PP, sepertiterdapat kutipan berikut.

“Aku tersentak, terhenyak.Sungguh, aku kenal mata itu.

Lalu dari arah rumah DaengManrawa, terdengar lolong perihyang menyayat hati. Seorangsepuh sudah mati. Dan, dihadapanku, seekor anjing--yangkukenali matanya itu--sedangsekarat. Lihatlah, lihat, orang-orang mulai beringas. Tangis danratap dari rumah DaengManrawa itulah penyebabnya,dan anjing—yang diyakiniparakang itu—dituding pemicukematiannya. Aku harusselamatkan anjing itu. danpelepah lontar di tanganku segerakusabetkan ke paha anjing itu.Oh, legenda yang selama inikuyakini hanya dongengpengantar tidur, sekarangmenyata seperentangan lengansaja di hadapanku. Orang-orangberteriak agar aku memukulanjing itu sekali lagi, agar tidakmenghilang atau mati seketika,tapi semua sudah terlambat.

Anjing itu menghilang! Mataitu, o, mata yang takasing itu ikutraib!” (Pabichara, 2010, hlm.104).

Pada dasarnya, makhluk jejadianseperti parakang yang keberadaannyamenjadi ancaman bagi manusiasesungguhnya juga dikenal di daerahlain yang dibungkus dengan budayayang berbeda. Misalnya, kuyangdiKalimantan, leak di Bali, kandole diSulawesi Tenggara, nenek pakkande diSulawesi Barat, baong di Banyuwangi,dan lain-lain. Makhluk-makhlukjejadian tersebut karena sifatnya yangmengancam kehidupan manusia,keberadaannya menjadi tidak berterimadi tengah masyarakat. Orang-orangyang dicurigai memiliki ilmu tersebutbeserta keturunannya akan dikucilkandan menjadi pembicaraan yang tidakmengenakkan bagi mereka.

Silariang dalam Budaya Bugis-Makassar

Hal lain yang memperlihatkanwarna lokal dalam cerpen ini adalahtindakan Rangka yang membawa lariLebang, kekasih Tutu. Tindakan inimengingatkan pada budaya siri’masyarakat Bugis-Makassar. Salahsatu tindakan yang memicu timbulnyasiri’ dalam keluarga dan masyarakatadalah silariang, seperti perlakuanRangka yang membawa lari NatishaDaeng Lebang. Dalam cerpen,pengarang secara samar menampilkanRangka, tokoh aku, telah melanggaradat dan tatanan sosial masyarakattempatnya tumbuh dengan membawalari seorang perempuan tanpapersetujuan kedua orang tuanya.Sebuah pelanggaran besar yang tidakpantas dilakukan dan dapatmenimbulkan sanksi sosial masyarakatyang tidak ringan. Pengungkapan ini

Page 10: DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Uniawati: Warna Lokal dan Representasi Budaya Bugis…

109

tercermin melalui kutipan cerpenberikut.

“Hanya ada satu cara untukmembunuh Tutu: merebutLebang. Itulah yang kulakukan.Membawa lari perempuan cantikitu setelah menundukkan hatinyalewat mantra pengasih. …….

Apa kabar, Tutu, aku larikannyawamu,Lebangmu!”(Pabichara, 2010,hlm. 105).

Di Sulawesi Selatan, khususnyadalam budaya Bugis-Makassar,silariang sejak dulu hingga kini masihsering terjadi meskipun sanksi yangakan diterima oleh pelaku tidaklahringan. Silariang pada dasarnya terjadikarena cinta antara kedua belah pihak,yaitu laki-laki dan perempuan, yangsedemikian kuat, tetapi cinta itumendapatkan hambatan atau rintangandari salah satu pihak keluarga.Perbuatan silariang dapat dikatakansebagai solusi terakhir yang dipiliholeh pelaku demi memperjuangkancinta yang dipunyainya. Dalam hal ini,pelaku silariang tidak selamanyadikarenakan kedua belah pihak salingmencintai, adakalanya hanya salah satupihak saja yang memiliki perasaancinta. Terjadinya perkawinan silariangpada kasus seperti ini lebih disebabkanoleh adanya perbuatan tidak jujur padasalah satu pihak terhadap pasangannyahingga kemudian dengan terpaksaterjadilah silariang.

Bagi suku Bugis-Makassar, sejakdulu hingga kini, telah berlaku hukumadat yang menyangkut masalah siri’dalam setiap tatanan kehidupanbermasyarakat, termasuk bagi pelakusilariang. Umumnya, pelaku silariangyang disebut tumannyala keluar darikampung/daerah tempat tinggalnya danpergi ke daerah lain yang letaknya

agak jauh atau bahkan menyeberanglautan agar jauh dari tumasiri’-nyaperempuan. Dalam kasus silariang,pelaku tidak jarang dihadang olehtumasiri’ yang kadang berakhir denganpenganiayaan atau pembunuhan diujung badik. Hal ini terjadi karenakeluarga pihak perempuan merasatelah direndahkan martabatnya olehpelaku dengan membawa larianak/saudara perempuan merekadengan cara yang ditentang oleh adat.Dengan alasan siri’, maka pihakkeluarga perempuan oleh hukum adatBugis-Makassar diwajibkan baginyauntuk menegakkan siri’. Penegakansiri’ ini tidak sedikit yang berakhirpada kematian pelaku silariang.

Kasus silariang yang diangkatdalam cerpen PP sepertiyangtermaktub dalam kutipansebelumnya terjadi bukan atas dasarsuka sama suka antara laki-laki danperempuan, yaitu Rangka dan Natisha,melainkan dibawa lari atau nilariang.Dalam kasus tersebut, ada faktor Xyang turut andil memengaruhi pikirandan akal Natisha sehingga rela dibawalari oleh Rangka yang sebenarnya telahmemiliki seorang kekasih, yaitu Tutu.Faktor X inilah yang oleh pengaranghendak disampaikan kepada pembacabahwa di tengah kemodernan hidupmasyarakat zaman sekarang,kepercayaan terhadap hal-hal yangbersifat mitos atau takhayul nyatanyamasih melingkupi alam pikiranmasyarakatnya. Masyarakat padaumumnya, meskipun engganmengakui, masih memelihara dengansubur mitos-mitos atau takhayul-takhayul yang berkembang di tengahmasyarakat.

Silariang seperti yang digagasoleh pengarang cerpen PP melaluitokoh Rangka dan Natisha mengajakpembaca menggunakan logika berpikirtentang adat masyarakat Bugis-

Page 11: DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 102—115

110

Makassar yang masih dipegang teguhdan yang sudah longgar. Bagaimanapun dalam budaya Bugis-Makassar,silariang merupakan perbuatan yangmelanggar adat dan olehnya itu harusmendapatkan sanksi sesuai ketentuanadat. Adat adalah peganganmasyarakat tempatnya berada, olehkarena itu harus dipedomani agarkehidupan bermasyarakat tetap beradadalam keteraturan. Atas dasar inipulalah maka pengarangmengetengahkan wacana ini dalamformula sebuah cerpen agarmasyarakat yang keberadaanyaditopang oleh adat kembali berkacapada lingkungan tempatnya berada.Bukan hanya bagi masyarakat Bugis-Makassar semata, tetapi masyarakat-masyarakat lain yang tentunya (juga)memiliki adat.

Fungsi dan Peran Warna LokalCerpen PP: Penguatan IdentitasMasyarakat Bugis-Makassar

Membaca PP menyergap kitadalam sebuah suasana yang diisidendam masa lalu dan cinta yangbertepuk sebelah tangan. Dendam dancinta yang dibungkus aura magisadalah dua hal yang mewarnai cerpenini bagaikan magnet yang menciptakankekuatan dan daya tarik tersendiri.

“Baiklah. Akan kuceritakanpadamu kenapa aku begitubernafsu menghabisi Tutu danbegitu menghasrati Lebang.Semula bermula ketika kamimasih sama-sama remaja.”(Pabichara, 2010, hlm. 100).

Kutipan cerpen tersebutmelukiskan tentang perasaan dendamtokoh aku, Rangka, yang diakibatkanoleh sebuah peristiwa masa lampau.Dendam yang mengantarkan Rangka

melakukan pelanggaran besar denganmembawa lari Lebang. Seorang lelakiyang membawa lari seorangperempuan untuk dimilikinya tanpasepengetahuan orang tua pihakperempuan dalam budaya Bugis-Makassar disebut silariang. Tindakantersebut dapat menimbulkan siri’ bagikedua belah pihak. Bagi yang telahmelanggar siri’ tentu saja akanmendapatkan sanksi sosial dalammasyarakat sehingga umumnya orangyang melakukannya tidak akankembali dalam waktu singkat dan jikamemang berniat untuk kembalidiperlukan mediator yang bisamemediasinya dengan pihak keluargadan tokoh adat. Selain itu, ada aturan-aturan adat yang mesti dipenuhi bagiseseorang yang melanggar untuk dapatditerima kembali baik oleh orang tuaatau keluarga pihak perempuan ataulelaki maupun oleh masyarakat.

Konon, orang yang melanggarsiri’ hukumannya hanyalah kematian.Pada zaman dulu, aturan seperti inimenjadi patron bagi masyarakat untuktidak mudah merusak tatanan hidupbermasyarakat demi terciptanyakehidupan yang beradab, tertib, dandamai. Cerpen ini mengingatkan,sekaligus meneguhkan tentang budayasiri’ masyarakat Bugis-Makassar yangkemungkinan besar telah diabaikanoleh masyarakatnya dengan alasanmodernitas yang justru menjauhkanmasyarakat dari kehidupan beradab. Isidan warna yang disuguhkan pengarangmelalui cerpen ini mengetuk sisikesadaran kita tentang perlunyamemahami dan mengapresiasi baiktradisi dan budaya leluhur yangbersifat positif demi kebersahajaanhidup bermasyarakat.

Cerpen PP menyiratkan sebuahkepercayaan masyarakat Bugis-Makassar yang masih berkembang dancenderung dipercayai oleh segelintir

Page 12: DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Uniawati: Warna Lokal dan Representasi Budaya Bugis…

111

orang hingga saat ini. Di zamanmodern seperti ini, menyebut perihalparakang mungkin terasa agak janggalmengingat hal itu adalah bentukanbudaya masa lampau sehinggadianggap tidak lagi relevan dengankondisi zaman. Namun, bagi sebagianorang atau kelompok masyarakat,parakang dianggap tidak pernah hilangkarena sifatnya yang turun-temurun.Dalam kehidupan sosialkemasyarakatan, orang yang dianggapparakang memiliki strata yang lebihrendah dibanding masyarakat lain padaumumnya. Pandangan tersebut bisajadi disebabkan tidak saja karenaparakang dianggap dapat mengancamkeselamatan hidup orang-orang yangberada di lingkungannya, tetapi jugadari segi kehidupan ekonominya yangtergolong rendah.

Dalam cerpen disebutkan bahwaRangka, sebagai keluarga parakang,memiliki kehidupan yangberkecukupan bahkan cenderung kaya.Di sini terdapat sebuah paradoks antarafakta dalam cerita dengan fakta dimasyarakat bahwa pada umumnyakeluarga parakang dilihat dari sudutpandang ekonomi bukanlah dalamgolongan orang kaya. Menurut mitos,orang yang berubah menjadi parakangdilatarbelakangi oleh keinginan danhasrat untuk memperoleh kekayaansecara instan. Karena keinginan untukmenjadi kaya, mereka mencari ilmu-ilmu hitam dan menjadi budak setantetapi gagal sehingga kemudianberubah menjadi parakang. Jadi,dengan mencermati latar belakangmitos tersebut, seorang parakangadalah orang yang kurang mampu darisegi ekonomi sehingga dalamkehidupan sosial kemasyarakatan,mereka ditempatkan dalam kelasbawah. Berikut kutipannya.

“Padahal aku memilikisegalanya. Istri-istri yang hebat,anak-anak yang berbakat,kemuliaan derajat, juga hartaberlimpah hingga tujuh turunanpun aku tak mungkin hidupmelarat. Apa yang kurang dalamhidupku? Ada. Aku sangatmenghasrati seseorang: NatishaDaeng Lebang!” (Pabichara,2010, hlm. 99).

…….“Maka, di sinilah aku hari ini,

di Makelahi – sebuah pulau diantara puluhan pulau terluarIndonesia. Jauh dari Tutu, jauhdari kepahitan masa kecil karenakehilangan ibu, jauh dari tatapanjijik orang-orang kampongtersebabkan satu tudingan:keluargaku parakang.”(Pabichara, 2010, hlm. 105).

Cerpen PP tentu tidak sekadarmemunculkan persoalan tentangkepercayaan masyarakat terhadapparakang. Cerpen ini memaksapembacanya untuk dapat lebihmengenali diri dan sesama, lebih pekapada tradisi dan budaya yang berlakudi masyakat, dan lebih kritis terhadapfenomena-fenomena kemasyarakatanyang acapkali dibiarkan tanpa upayauntuk mempelajari dan memahamifenomena-fenomena tersebut. Cerpenini adalah cerpen yang berkisahtentang tradisi dan budaya masyarakatBugis-Makassar, menjadi sebuahpenguat identitas etnik di tengahkemajemukan masyarakat yang kianmenggerus identitas kedaerahan.Membaca cerpen yang kental denganwarna lokal memberi eforia dankesadaran baru bagi pembaca untuklebih menghargai tradisi dan budayaleluhur yang diwariskan kepada kita.Cerpen PP adalah media yangmenggugah sisi kesadaran pembaca

Page 13: DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 102—115

112

sebagai bagian dari suatu kebudayaankolektif.

PENUTUP

Cerpen PP karya KhrisnaPabichara mengetengahkanproblematika yang terjadi di tengahmasyarakat Bugis-Makassar.Pergulatan rasa yang dialami olehtokoh utama, Rangka, dalam cerpendiwarnai oleh dendam masa lalu dancinta yang tidak berbalas. Rangka,merupakan gambaran sosok lelakiBugis-Makassar yang mempertaruhkankehormatan demi gengsi. Terlahirsebagai keluarga parakang membuathidup Rangka selalu berada dalamtatapan jijik masyarakat dilingkungannya dan karena latarbelakang itulah maka ia hendakmenunjukkan eksisitensi dirinyadengan cara yang berbeda meskipunharus menerjang garis pembatas yangditetapkan adat, silariang. Silariangatau membawa lari seorang gadisadalah siri’ yang hanya dapat ditebusdengan kematian. Demikianlah adatyang berlaku dalam masyarakat Bugis-Makassar. Siri’ sebagai sebuah konsepyang menunjukkan jati diri danidentitas masyarakat Bugis-Makassarharus tetap ditegakkan demi menjagamartabat dan kemuliaan hidupmanusia.

Warna lokal dan dimensi sosialkultural yang terdapat dalam cerpen inimerupakan persoalan krusial karenamampu menopang identitas sosial dankultural masyarakat Bugis-Makassar.Di sinilah dapat dilihat peran danfungsi sosial sastra yang cukuppotensial dalam mewujudkankehidupan bermasyarakat yangharmonis dan beradab. Cerpen PPyang dihadirkan pengarangnya dalambalutan warna lokal yang sangat kentalmerupakan internalisasi tradisi danmitos dalam budaya masyarakat Bugis-

Makassar. Parakang sebagai produkbudaya masa lampau di satu sisidipandang sebagai mitos belaka,namun di sisi lain masih tetapmengemuka di era modernitas saat inidan dipercaya oleh masyarakatpendukungnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M. H. (1971). A glossary ofliterary terms. New York: Holt,Rinehart, Inc.

Afra, A. (2012, 26 Februari).Menggores warna lokal dalamkarya. Diperoleh darihttp://www.afifahafra.net/2012/12/menggores-warna-lokal-dalam-kary.html.

Damono, S. D. (1984). Sosiologisastra: Sebuah pengantarringkas. Jakarta: PusatPembinaan dan PengembanganBahasa, DepartemenPendidikan dan Kebudayaan.

Danandjaja, J. (1986).FolkloreIndonesia. Jakarta:Grafitipers.

Konawe, I. (2014). Ritus Konawe.Yogyakarta: Framepublishing.

Mattulada. (1985). Latao: Satu lukisananalitis terhadap antropolgipolitik orang Bugis.Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.

Muhammad, D. (2012, 19 Februari),Sastra dalam kepungan warnalokal”. Kompas.hlm.

Page 14: DALAM CERPEN “PEMBUNUH PARAKANG KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Uniawati: Warna Lokal dan Representasi Budaya Bugis…

113

Navis, A.A. (1999). Warna lokalMinangkabau dalam sastraIndonesia. Jakarta: Grasindo.

Pelras, C. (2006). Manusia Bugis.Jakarta: Nalar.

Pabichara, K. (2010). Pembunuhparakang. Dalam Tambunan, S.P. (ed.), Kolecer dan Hari RayaHantu (hlm. ). Jakarta: SelasarPena Talenta.

Prijanto, S. (2012). Sastra zamandahulu dan sastra zamansekarang: Roro Mendut karyaAjip Rosidi dan Roro Mendutkarya Y.B. Mangunwijaya.Jurnal Pangsura,32(2): 108 –126.

Rahman, A. R. (2011). Nilai-nilaiutama kebudayaan Bugis.Yogyakarta: Ombak.

Ratna, N. K. (2009). Paradigmasosiologi sastra (Edisi kedua).Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saputra, S.P. (2011). Mengarifi nilai-nilai lokalitas dari pluralismemenuju multikulturalisme.Kumpulan Makalah. SeminarNasional Bahasa dan Sastra2011,216 – 224.

Turaeni, T. N. N. (2011). Identitas,lokalitas, budaya, danmultikultural dalam novelSeroja karya SunaryonoBasuki. Kumpulan Makalah.Seminar Nasional Bahasa danSastra2011, 187 – 193.