211
DAKWAH-MUSIK REBANA WALISONGO SRAGEN Skripsi Diajukan oleh : Joko Suyanto NIM. 08112125 FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2013

DAKWAH MUSIK REBANA WALISONGO SRAGENterimakasih kepada guruku sewaktu SMA, Pak Agus Ali Mustofa, yang telah membimbing dan mengarahkan penulis mempersiapkan bekal hidup untuk masa

  • Upload
    others

  • View
    25

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

DAKWAH-MUSIK REBANA WALISONGO

SRAGEN

Skripsi

Diajukan oleh :

Joko Suyanto

NIM. 08112125

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

INSTITUT SENI INDONESIA

SURAKARTA

2013

ii

DAKWAH-MUSIK REBANA WALISONGO

SRAGEN

Skripsi

Untuk memenuhi salah satu syarat Guna mencapai derajat Sarjana S-1

Jurusan Etnomusikologi

Diajukan oleh :

Diajukan oleh :

Joko Suyanto

NIM. 08112125

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

INSTITUT SENI INDONESIA

SURAKARTA

2013

iii

PENGESAHAN

Skripsi berjudul:

DAKWAH-MUSIK REBANA WALISONGO

SRAGEN

yang dipersiapkan dan disusun oleh

Joko Suyanto

NIM. 08112125

Telah dipertahankan di hadapan dewan penguji skripsi Institut Seni Indonesia Surakarta

pada tanggal 4 Pebruari 2013 dan dinyatakan telah memenuhi syarat.

Dewan Penguji

Ketua Penguji : Djoko Purwanto, S.Kar., M.A. ………………. N.I.P. 19580861990121002

Penguji Utama : Isti Kurniatun, S.Kar., M.Hum. ………………. N.I.P. 196102271982032002

Pembimbing : Aton Rustandi Mulyana, S.Sn., M.Sn. ………………. N.I.P. 179106301998021001

Surakarta, 4 Pebruari 2013 Institut Seni Indonesia Surakarta Dekan Fakultas Seni Pertunjukan

Dr. Sutarno Haryono, S.Kar., M.Hum N.I.P. 195081819810301006

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan, dalam skripsi yang berjudul Dakwah-Musik

Rebana Walisongo Sragen tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun. Di dalam skripsi

ini, juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis serta diterbitkan

orang lain, kecuali secara tertulis diacu di dalam naskah skripsi ini, yang sumber-

sumbernya disebutkan di dalam daftar pustaka.

Surakarta, Januari 2013 Joko Suyanto

v

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada Allah SWT yang telah menjagaku,

kepada kedua orang tuaku atas dukungan moral dan spiritual, ”kayuhan sepeda onthèl

mu” menghantarkan anakmu raih salah satu mimpinya, ayah; tetesan keringatmu

”memupuk” kekuatan pikiran anakmu, ibu; kepada kakakku tercinta, Siti Sumarsih

dan Sarwito yang telah memberikan semangat untuk belajar di perguruan tinggi;

kepada kekasihku Risa Kusuma Wardani senyummu membakar semangatku, sayang;

bagi Rebana Walisongo yang telah ”membesarkan” saya; kepada jurusan

Etnomusikologi ISI Surakarta, dengan segala kebijaksanaannya.

MOTTO

"Guru yang baik adalah pengalaman, namun guru yang baik belum tentu

berpengalaman"

vi

CATATAN UNTUK PEMBACA

Skripsi ini memuat beberapa lambang, khususnya lambang untuk

membedakan karakter suara instrumen. Berikut lambang-lambang yang digunakan.

Lambang di atas adalah lambang yang digunakan untuk membedakan karakter suara dari masing-masing instrumen jidhor. Berikut karakter bunyinya: jidhor 1 berbunyi (dung), jidhor 2 berbunyi (dong), jidhor 3 berbunyi (dhêng).

Lambang di atas digunakan untuk membedakan karakter suara dari ketiga instrumen téplak. Berikut karakter bunyinya: téplak 1 (tong), téplak 2 (tung), téplak 3 (bung).

Lambang di atas, digunakan untuk membedakan karakter suara dari instrumen têrbang atau trêbang setiap instrumen têrbang memiliki dua karakter (tèng) dan (tung) suara dibedakan dengan penempatan simbol nada pada garis. Garis atas pada setiap têrbang berbunyi suara (tong), dan pada garis bawah berbunyi (pung).

vii

CATATAN ORTOGRAFI

Skripsi ini ditulis menggunakan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD). Namun, beberapa huruf vokal yang menggunakan ejaan bahasa Jawa yang ada pada skripsi ini tidak dapat terwadahi semua pada ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD). Oleh karena itu agar tidak ada kesalahan bunyi atau pemaknaan, ejaan bahasa Jawa dalam skripsi ini menggunakan tanda diakritik. Berikut paparan huruf vokal dengan ejaan bahasa Jawa beserta penjelasannya.

Huruf Contoh Pemakaian Keterangan Bunyi

Ã

Rãmã, ãjã, busãnã,

rãsã,(Jawa) Huruf “ã” ini hanya digunakan dalam ungkapan atau kata bahasa Jawa. Pengucapannya mirip dengan bunyi vokal o, seperti pada kata pokok atau kelompok dalam bahasa Indonesia

Ê Gêndhing, kêraos,(Jawa) Huruf “e” dengan diakritik “ê” hanya

digunakan dalam bahasa Jawa. Bunyi pengucapannya seperti bunyi kata ke luar, kelas, dan kelurahan dalam bahasa Indonesia.

È sèlèh, gendèr (Jawa) Huruf “e” dengan diakritik “è” hanya

digunakan dalam bahasa Jawa. Bunyi pengucapannya seperti bunyi dalam kata series dalam bahasa Inggris.

viii

INTISARI

Joko Suyanto, 2013, skripsi ”Dakwah-Musik Rebana Walisongo Sragen” iii-255 hlm.

Penelitian ini muncul karena dualisme sudut pandang, dakwah dan musik.

Khususnya, dualisme pandangan yang terjadi di lingkungan pondok pesantren di wilayah Sragen. Pada satu sisi, terdapat pondok pesantren yang membatasi musik untuk kegiatan keagamaan. Namun sebaliknya di sisi lain, terdapat pondok pesantren yang justru menjadikan musik sebagai ”garda depan” dalam mensyiarkan ajaran Agama Islam. Paham kedua ini, dianut oleh Pondok Pesantren Walisongo Sragen bersama kelompok Rebana Walisongo-nya. Singkatnya, di Ponpes Walisongo musik dijadikan sebagai strategi dakwah untuk menarik dan mengembangkan ideologi ajaran Islam kepada masyarakat. Persoalan yang ingin dijelaskan dalam teks ini adalah, (1) Mengapa Pondok Pesantren Walisongo memilih dakwah-musik sebagai strategi dakwah. (2) Bagaimanakah musik Rebana Walisongo dijadikan sebagai dakwah oleh Pondok Pesantren Walisongo. (3) Bagaimana implikasi dari dakwah melalui media musik terhadap pendengar Rebana Walisongo dan Pondok Pesantren Walisongo. Untuk menjawab persoalan tersebut penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan dengan mengadopsi konsep dakwah Islam serta konsep musik yang kemudian digabungkan menjadi konsep baru yaitu dakwah-musik.

Hasil analisis ditemukan bahwa strategi dakwah memalui musik oleh kelompok Rebana Walisongo adanya faktor ”human”. yakni pendekatan lewat musik dilakukan karena dengan pertimbangan, musik dapat berpengaruh pada jiwa seseorang. Ketertarikan seseorang terhadap musik lantas dimanfaatkan sebagai stimulan untuk menghantarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Temuan selanjutnya adalah, musik rebana dijadikan ”kurir” ayat dengan bentuk kegiatan yaitu pentas atau pertunjukan musik, serta menyebarkan kaset rekaman Rebana Walisongo kepada masyarakat. Selanjutnya implikasi dari dakwah yang memanfaatkan musik. dari dakwah-musik tersebut telah mengakibatkan dua dampak yaitu dampak internal dan dampak eksternal. Dampak internal ditandai dengan berkembangnya pembangunan dan fasilitas sarana pendidikan di Ponpes Walisongo, nama Ponpes Walisongo semakin dikenal masyarakat. Kemudian dampak eksternal yaitu, (1) memicu bertambahnya metode dakwah serupa yang dikembangkan oleh rebana lain di wilayah Sragen, (2) menjadi alternatif hiburan yang mendidik masyarakat di wilayah Sragen dan sekitarnya. (3) Memberi pemaknaan positif terhadap musik oleh masyarakat. (4) Masyarakat menerima dengan baik dakwah yang disampaikan oleh Rebana Walisongo. (6) masyarakat mampu merubah paradigma negatif menjadi positif, terhadap musik yang berkembang di pondok pesantren dewasa ini. Kata kunci: dakwah, musik

ix

PRAKATA

Skripsi ini adalah sebuah teks yang tidak lepas dari pemikiran penulis. Teks

ini adalah manifestasi dari perjalanan panjang sewaktu penulis melakukan studi di

ISI Surakarta. Oleh karena itu, sangatlah penting keberadaan keluarga, teman, dosen,

lingkungan akademik, terhadap lahirnya skripsi ini.

Ucapan terimakasih pertama kepada Allah SWT, yang telah memberikan

rahmatnya dan selalu menjaga penulis di setiap langkah. Tak lupa kepada Ayahanda

Mitro Sukamto, yang setiap hari harus mengayuh sepeda onthèlnya dengan beban

yang berat, demi kelangsungan mimpi penulis, salam hormat dan baktiku, ayah.

Kepada Ibunda Saikem, yang dengan tulus menyediakan fasilitas kepada penulis

untuk menunjang studi, meskipun harus ”gali lubang tutup lubang”, aku

mencintaimu, bunda. Kepada kedua saudaraku, Siti Sumarsih dan Sarwito, atas

dukungan yang diberikan, salam hormatku kepadamu, kakak. Selanjutnya kepada

kakak iparku Iskandar dan Muryanti serta keponakanku Gery, Prima, dan Ridwan,

atas segala dukungan dan doanya, serta hiburan di kala penulis sedang gundah. Tak

lupa kepada kekasihku Risa Kusuma Wardani, yang telah menemani penulis di saat

suka maupun duka. Senyummu ”mengoyak” semangatku, sayang. Tak lupa juga

terimakasih kepada guruku sewaktu SMA, Pak Agus Ali Mustofa, yang telah

membimbing dan mengarahkan penulis mempersiapkan bekal hidup untuk masa

depan. Salam hormat dan baktiku, pak.

Ucapan terimakasih kepada Pak Aton Rustandi Mulyana, S.Sn., M.Sn.. Di

sela-sela merampungkan disertasi, masih sudi menyempatkan waktunya untuk

membimbing penulis dengan penuh kesabaran. Kepada pembimbing akademik, Pak

x

Sri Harta, S.Kar., M.Sn. (almarhum), dan Drs. Wahyu Purnomo, M.Sn. yang telah

memberi banyak kontribusi kepada penulis selama menempuh studi. Kemudian

terimakasih kepada Prof. Dr. Santosa, S.Kar., MA. yang telah memberikan

pencerahan di awal penyusunan skripsi ini.

Selanjutnya ucapan terimaksih kepada Rektor dan Dekan Fakultas Seni

Pertunjukan seta ketua Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta, berserta staf

pembantunya atas segala kebijaksanaannya. Serta tak lupa kepada teman-teman

Etnomusikologi angkatan 2008, yang telah memberi ”warna” dan menjadi bagian

dari keluarga selama menempuh kuliah. Selanjutnya terimakasih kepada penguji

skripsi Pak Djoko Purwanto, S.Kar., M.A. dan Bu Isti Kurniatun, S.Kar., M.Hum.

yang telah melayakkan karya skripsi ini untuk mendapat gelar sarjana.

Kemudian secara pribadi penulis ucapkan terimakasih kepada Renaldi

Lestianto, S.Sn., Bondan Aji Manggala, S.Sn., M.Sn., Oky Prasetyo, Bondet

Wrahatnala, S.Sos., M.Sn., Mas Sularso, S.Sn., Midhang Langgeng Sembodo, Wulan

Sari, serta Aji Agustian, yang telah bersedia menjadi patner diskusi selama

pengerjaan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga besar Pondok

Pesantren Walisongo Sragen, utamanya kepada Kyai. H. Ma’ruf Islamudin yang telah

mengijinkan Ponpesnya untuk menjadi lahan penelitian. Serta tak lupa penulis

ucapkan terimakasih kepada, Dwijo Purnomo, Mbak Yeti, Mas Toha, serta Zainun

Mafudz, yang telah bersedia menjadi informan ketika penulis melakukan riset.

Selanjutnya ucapan terimakasih kepada laptop satellite L510, yang terkadang

rèwèl ketika digunakan untuk mengetik. Terimakasih kepada tungganganku AE 4640

xi

JM, meski boros bahan bakar, namun sudah berjasa mengantar ke manapun penulis

pergi. Selanjutnya ucapan terimakasih kepada rumah Kos Pari Kesit yang telah

memberikan tempat singgah penulis selama mengerjakan skripsi. Serta tak lupa

kepada Burhan Sidqi dan teman-teman POK Universitas Sebelas Maret, yang telah

menemani selama berada di rumah kos.

Penulis juga secara khusus mengucapkan terimakasih kepada keluarga besar

Bapak Mulyadi, S.Pd., M.Pd., yang telah membina dan memberi wadah penulis

untuk berkarya, serta lahan untuk mengumpulkan rècèhan, guna menyambung biaya

selama studi. Serta tidak lupa terimakasih kepada warung kecilku yang telah

menopang kebutuhan selama menempuh studi. Mereka semua telah berjasa mewarnai

pikiran penulis, sehingga lahirlah skripsi ini dengan segala kelebihan dan

kekurangannya.

Surakarta, Desember 2012

Joko Suyanto

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAMAN PERNYATAN iv

HALAMAN PERSEMBAHAN v

MOTO v

CATATAN UNTUK PEMBACA vi

CATATAN ORTOGRAFI vii

INTISARI viii

PRAKATA ix

DAFTAR ISI xii

BAB I PENDAULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 7

C. Tujuan Penelitian 8

D. Manfaat Penelitan 8

E. Tinjauan Pustaka 9

F. Landasan Konseptual 14

G. Metode Penelitian 20

H. Sistematika Penulisan 25

xiii

BAB II KONSEP DAKWAH-MUSIK REBANA WALISONGO SRAGEN 27

A. Gejala Musik Islam di Nusantara 27

B. Ruang Lingkup Rebana Walisongo 31

1. Struktur Organisasi Rebana Walisongo 33

2. Dasar Pemikiran Dakwah dengan Memanfaatkan Musik 35

3. Isi Dakwah-Musik Rebana Walisongo 39

4. Nilai Budaya yang Terkandung dalam Dakwah-Musik Rebana Walisongo 49

C. Musik Tersandra Oleh Ayat 51

1. Musik Rebana adalah Salah-satu Media untuk Menanamkan Ajaran Islam 55

BAB III DAKWAH-MUSIK REBANA WALISONGO 61 A. Proses Produksi Dakwah-Musik Rebana Walisongo 61

1. Musikalitas dan Pengalaman Pesonal 62

2. Pertibangan Personil Rebana Walisongo 64

3. Rekomposisi Syair Lagu 67

4. Media “Ungkap” Rebana Walisongo 72

5. Produksi Perangkat Rebana Walisongo 81

6. Produksi Syair Lagu 81

7. Proses Rekaman 83

8. Perkembangan Produksi Rebana Walisongo 85

8.1. Musik Rebana Walisongo di Awal Kemunculan (1997-1998) 85

8.2. Musik Rebana Walisongo di Era Hardi (199-2000) 87

xiv

8.3. Musik Rebana Walisongo di Masa Transisi (2001-2002) 95

8.4. Musik Rebana Walisongo di Era Maryadi (2002-sekarang) 107

B. Kegiatan dan Sasaran Dakwah-Musik Rebana Walisongo 121

C. Sistem Pemasaran 124

BAB IV PEMENTASAN SEBAGAI KEGIATAN UTAMA DAKWAH-MUSIK REBANA WALISONGO 126 A. Pengaruh Dakwah-Musik Rebana Walisongo 126

1. Deskripsi Pementasan Rebana Walisongo 126

1.1. Unsur Gerak 141

1.2. Unsur Visual 148

1.3. Unsur Komunikasi 154

BAB V IMPLIKASI DAKWAH-MUSIK REBANA WALISONGO 160 A. Pengaruh Dakwah-Musik Bagi Pondok Pesantren Walisongo 160

1. Menunjang Eksistensi Pondok Pesantren Walisongo 160

2. Perkembangan Fasilitas Pondok Pesantren Walisongo 161

3. Konsep “Nyambi” dalam Pertunjukan Rebana Walisongo 161

4. Pemantapan Paradigma Dakwah-Musik Rebana Walisongo 164

5. Tontonan yang Bertuntunan 167

6. Upaya Konservasi Seni Islami 169

B. Pengaruh Dakwah-Musik Rebana Walisongo terhadap masyarakat 172

1. Respon Penonton terhadap Pertunjukan Rebana Walisongo 172

2. Kontribusi Penonton terhadap Pertunjukan Rebana Walisongo 172

xv

3. Rebana Walisongo “Kiblat” dari Beberapa Kelompok Rebana di Sragen 177

4. Alumni Sebagai Salah-satu Pelopor Munculnya Rebana 178

5. Imitasi Medium 180

BAB VI PENUTUP 183 1. Kesimpulan 183

2. Rekomendasi 187

DAFTAR ACUAN 188

LAMPIRAN LAGU 193 LAMPIRAN FOTO 240 GLOSARUIM 249 CURRULIM VITEA 252

DAFTAR GAMBAR

No Gambar

Keterangan Gambar Halaman Letak Gambar

1 Instrumen téplak 78

2

Instrumen bass (jidhor) 79

3

Instrumen rémo 80

4

Instrumen têrbang (trebang) 80

5

Proses rekaman 84

6

Koleksi album rekaman Rebana Walisongo

85

7

Ekpresi salah satu musisi 147

8

Unsur gerak dalam pertunjukan Rebana Walisongo

148

xvi

9

Bentuk Panggung Pertunjukan Rebana Walisongo

153

10

Skema letak instrumen di atas panggung 153

11

Pentas Rebana Walisongo 159

12

Peristiwa jual beli kaset 162

13 Peristiwa promosi buku

163

DAFTAR TABEL

No Tabel

Keterangan Tabel Halaman Letak Tabel

1 Susunan pengurus Rebana Walisongo 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mengkaji dakwah sebagai sebuah praktik keagaaman merupakan tema yang

tidak pernah selesai dibicarakan dan ditelaah. Banyak tema-tema dakwah telah

ditelaah tetapi di balik itu banyak juga tema-tema baru yang muncul dan tidak kalah

menarik untuk ditelaah. Seolah, persoalan dakwah adalah persoalan kompleks yang

tidak pernah dapat tuntas dan selalu mengundang peneliti-peneliti untuk mengkajinya

lebih dalam dengan berbagai perspektif.

Dakwah, dalam kapasitas terbatas, menurut Aep Kusnawan dipahami

masyarakat umum sebagai kegiatan ceramah atau tabligh tentang ajaran Islam.

Umumnya dakwah dilakukan oleh para da’i, kyai, dan ulama di atas mimbar secara

lisan, dan hanya biasa dilakukan di majelis taklim, masjid, atau ruang-ruang

keagamaan (2009: 15).

Kata dakwah, secara etimologis, bersumber dari bahasa Arab dan berasal dari

kata da’a, ya da’u, serta da’watan yang artinya ajakan, seruan, undangan dan

panggilan. Di dalam pengertian lain, dakwah berarti menyeru dan mengundang untuk

mengikuti sesuatu dengan cara dan tujuan tertentu (Kusnawan, 2009: 15). Namun

demikian, banyak pendapat yang mendefinisikan pengertian dakwah dengan arti yang

2

berbeda. Muhammad Al-Bahy, misalnya, mengartikan dakwah adalah merubah

situasi ke situasi yang lebih baik sesuai dengan ajaran Islam. Adapun, Ali Shalih Al-

Mursyid yang dituliskan Kusnawan mendefinisikan dakwah adalah sebagai cara

untuk menegakkan kebaikan serta melenyapkan kêbathilan (sesuatu yang buruk)

dengan berbagai pendekatan, metode, serta media (Kusnawan, 2009: 15).

Kenyataannya kegiatan dakwah dalam Islam bukan kegiatan ekslusif, terbatas

hanya pada kelompok tertentu dan hanya dilakukan di dalam ruang-ruang tabligh

atau di atas mimbar saja. Namun seturut perkembangan waktu, unsur-unsur kegiatan

dakwah, seperti subjek atau pelaku (da’i), pesan (mawdhu’), metode (uslub), media

(washilah), dan objek (mad’u) dakwah (Sambas, 2009:108), justru dikembangkan

lebih luas. Usaha mengembangkan dakwah ini sudah lama dan telah banyak

dikembangkan oleh kaum muslimin.

Dakwah dengan menyertakan unsur seni (musik), atau ekonomi, atau

memadukan kedua unsur seni (musik) dan ekonomi merupakan gejala yang ikut

mewarnai perkembangan dakwah Islam di Nusantara (Jawa). Kisah tembang dolanan

“Lir-Ilir” dan gamelan sekaten, misalnya merupakan episode penyebaran agama

Islam oleh Walisongo dengan menyertakan aspek seni (musik) di dalamnya. Hal

sejenis terjejak dalam pertunjukan wayang menak di Kulonprogo atau wayang sasak

di Lombok, yang memadukan antara format wayang dengan kisah tokoh-tokoh

muslim dari Timur Tengah. Pada abad 20 akhir, penggunaan dakwah-musik

dilakukan pula oleh Emha Ainun Nadjib melalui dakwah kulturalnya dengan

3

menggunakan Gamelan Kyai Kanjeng. Mengenai gejala ini menarik disimak

pernyataan Komarudin Hidayat berikut.

Kenyataan sosial ini sesungguhnya merupakan aset budaya dan asset politik serta merupakan prestasi Islam dalam menciptakan jalinan dialektis serta saling mengisi antara agama dan budaya di Indonesia … Ini adalah bukti nyata bahwa Islam dan budaya lokal pada dasarnya saling membutuhkan dan secara kreatif telah memperkaya mosaik peradaban Indonesia (2003:12).

Dakwah melalui perdagangan merupakan bentuk lain dari strategi dakwah

Islam. Hal ini dikenal lama dalam awal perkembangan Islam di Nusantara. Kisah-

kisah Saudagar-saudagar muslim dari Arab dan India yang pernah datang ke Aceh

dan ke beberapa wilayah perairan di Nusantara (Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan

Ternate) merupakan bagian sejarah yang menghubungkan antara ekonomi dan agama

sebagai dua hal yang bertaut. Berdagang sambil berdakwah atau menjual-belikan

barang sekaligus mengajak dalam kebaikan, sehingga konsumen tertarik karena dapat

dua keuntungan sekaligus: mendapat barang yang dibeli dan pengetahuan tentang

Islam.

Begitu pula dakwah yang memadukan kedua seni (musik) dan ekonomi

adalah hal-hal penting lain yang ikut meluaskan gejala dakwah. Perkembangan

industri musik popular dengan mengemas lagu-lagu rohani atau bertema nada dan

dakwah, seperti dilakukan oleh Nasidah Ria, Bimbo, Ungu, Gigi, Soneta merupakan

bentuk nyata pertautan seni dan ekonomi dengan dakwah.

4

Pola dakwah serupa, tepatnya dakwah-musik dengan diimbuhi motif ekonomi,

dikelola pula oleh sebuah pondok pesantren bernama Walisongo, di Dusun Sungkul,

Sragen, Jawa Tengah. Melalui ketokohan Ma’ruf Islamudin, pondok pesantren

Walisongo yang didirikan sejak tahun 1995 ini memadukan antara edukasi dakwah-

musik dengan seni dan ekonomi. Awalnya, pondok hanya memasukkan seni sholawat

sebagai sebuah kegiatan para santri, digunakan untuk kepentingan ibadah sebagai

sarana sholawatan nabi dalam pesantren, dan hanya dilakukan beberapa kali dalam

seminggu. Namun kemudian, kegiatan sholawat tersebut dikembangkan lebih jauh

dengan memasukkan unsur-unsur instrumen lain dan lagu-lagu lain dan

dipertunjukkan bersamaan dengan kepentingan dakwah yang dilakukan oleh Maruf

Islamudin. Dalam format terakhir, kelompok dakwah-musik Rebana Walisongo ini

bahkan berani melakukan adopsi lagu yang dipopulerkan penyanyi lain, melakukan

rekomposisi terhadap karya orang lain, merekam hingga menjual produk-produk

rekaman musiknya. Termasuk, menjual beberapa produk pondok lain, seperti jamu,

madu, dan buku.

Adapun hasil keuntungan dari dakwah dan penjualan produk-produk ini

mereka gunakan untuk mengembangkan pondok. Hasil itu mereka pakai untuk

membangun dan mengembangkan fasilitas pondok, seperti: penambahan gedung-

gedung baru, pembelian lahan baru, pengembangan format pendidikan pesantren,

pembiayaan produksi rekaman, hingga pendirian studio rekaman sendiri bernama Al

Muntaha Record.

5

Tidak dapat dipungkiri, dakwah-dakwah semacam itu tidak lepas dari pro dan

kontra. Pemahaman tentang musik dalam ‘paradigma’ pondok-pondok pesantren itu

sendiri masih merupakan sesuatu yang kerap diperdebatkan sampai sekarang. Ada

sebagian pondok pesantren membolehkan penggunaan musik sebagai sarana dalam

rangkaian kegiatan keagamaan. Namun adapula pondok pesantren yang

membatasinya, atau malah melarang musik digunakan di dalamnya karena dianggap

bid’ah dan haram.

Musik dianggap masih tabu, kalaupun boleh menggunakan musik tetapi

dengan batasan-batasan tertentu. Penggunaan musik untuk kegiataan keagamaan

diijinkan asal menggunakan instrumen-instrumen tertentu. Paham ini didasarkan atas

beberapa acuan mazhab. Mazhab Hanafi melarang alat-alat hiburan seperti tanbur

dan sarunai. Mazhab Maliki mengharamkan penggunaan alat-alat bunyi seperti

gambus dan qanun. Mazhab Safi’i mengharamkan penggunaan alat yang telah

menjadi lambang minuman arak, seperti gambus, tanbur, ribab, dan kamanjah

(Gazalba, 1967: 142).

Pendapat dari beberapa mazhab tersebut membatasi hukum musik dari segi

perangkat instrumennya saja, namun tidak menyebut secara jelas bahwa musik itu

haram hukumnya. Jadi posisi musik dalam Islam sebetulnya tidak ada larangan dan

tidak ada hadits atau ayat Al-Quran yang menerangkan secara jelas bahwa musik itu

haram hukumnya. Namun, ada juga pondok lain yang melarang sama sekali musik.

Dalam aliran ini dipahami bahwa bentuk seni musik atau nyanyian yang

6

memalingkan dari dzikrullah hukumnya haram, nyanyian dan seni musik itu

merupakan seruling syetan atau suara yang ditimbulkan karena syetan (Zainuri, 2003:

124-125).

Lebih lanjut Sulkhan Zainuri menyatakan polemik tersebut seperti berikut.

Meskipun seni telah dikenal sejak awal kemunculan Islam, namun perdebatan mengenai batasan-batasan yang membolehkan maupun yang tidak membolehkan hingga saat ini masih terus tumbuh berkembang seiring dengan beragamnya alat-alat musik yang diproduksi. Bahkan, pembahasan mengenai hukum memperdagangkan alat-alat musik masih terus menjadi diskusi yang cukup menarik, termasuk mengenai batasan-batasan yang diperbolehkan secara syar’i dalam mengekspresikan seni (Zainuri, 2003:125).

Sikap Ponpes Walisongo terhadap polemik pandangan tersebut adalah

mewenangkan dan memanfaatkan musik dalam dakwah. Dualisme yang ada tidak

menyurutkan ideologi Ponpes Walisongo untuk berdakwah. Dapat dikatakan dakwah

mereka adalah dakwah-musik. Antara dakwah dan musik menjadi satu kesatuan yang

padu.

Perjalanan sejak lima belas tahun silam adalah bukti bahwa Ponpes

Walisongo memaknai musik tidak hanya sebatas pada persoalan boleh atau tidaknya

musik ada dalam kegiatan keagamaan, tetapi lebih pada kemanfaaatannya untuk

kepentingan umat beragama. Musik, sebatas masih dalam ranah manfaat untuk umat

Islam, tidak ada alasan untuk dilarang. Namun, sebaliknya jika keberadaan musik

justru malah menimbulkan kemaksiatan atau keburukan, maka hal itulah yang harus

7

dicegah. Adapun yang dicegah adalah bukan musiknya melainkan perbuatan yang

ditimbulkan oleh pelaku atau pengguna musik itu sendiri.

Dalam pandangan Ponpes Walisongo, musik dianggap mampu memberi

rangsangan terhadap penyampaian ayat atau pengaruh ke-Islam-an terhadap

pendengarnya. Diibaratkan musik itu seperti “piring”, dan lagu atau pesan lagu

adalah “nasinya”. Keberadaan musik, dalam arti demikian, adalah wadah atau media

yang digunakan untuk memfasilitasi terjadinya transfer ilmu agama.

Komunitas pondok ini pun beranggapan bahwa pola ekonomi yang

dikembangkan mereka memiliki landasan yang sama yaitu sebagai media bagi proses

alih ilmu agama tersebut. Dalam pandangan mereka, apapun kemasan atau

pendekatan yang digunakan dalam dakwah, entah itu musik, perniagaan, organisasi,

serta, partai politik, isinya tetap sama, yakni ajakan kebaikan sebagaimana yang ada

dalam perintah Agama Islam. Strategi yang diterapkan Pesantren Walisongo ini

cukup menarik untuk dibahas lebih dalam.

B. Rumusan Masalah

Atas dasar pemaparan tersebut, penelitian ini difokuskan untuk melihat lebih

dalam dakwah-musik Rebana Walisongo. Supaya proses tersebut terpetakan secara

jelas, diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Mengapa Pondok Pesantren Walisongo memilih dakwah-musik sebagai

strategi dakwah?

8

2. Bagaimanakah musik Rebana Walisongo dijadikan sebagai dakwah-musik

oleh Pondok Pesantren Walisongo?

3. Bagaimana implikasi dari dakwah-musik tersebut terhadap pendengar Rebana

Walisongo?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan,

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan-alasan yang berhubungan dengan

pemikiran Ponpes Walisongo dalam memilih musik sebagai bagian penting dari

dakwahnya, proses dakwah-musik Pondok Pesantren Walisongo melalui musik

rebana, dan implikasi dakwah melalui musik rebana terhadap eksistensi Pondok

Pesantren Walisongo dan masyarakat pendukungnya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sedikit pemahaman tentang

dakwah-musik serta pengaruh musik terhadap kelangsungan sebuah lembaga

pendidikan Islam Pondok Pesantren Walisongo Sragen dan masyarakat Islam. Hasil

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat manapun, terutama di kalangan

dunia pendidikan. Bagi Jurusan Etnomusikologi, hasil penelitian ini diharapkan dapat

menjadi ragam kekayaan penelitian dan referensi tentang musik Islami.

9

Bagi pendidikan pondok pesantren, hasil penelitian ini diharap menjadi

sumbangan pengetahuan tentang musik sebagai media dakwah. Mampu memberikan

sedikit pemahaman tentang musik rebana yang hidup di lingkungan pondok

pesantren, serta memberi wacana baru tentang musik dalam paradigma Islam. Lantas

dapat menjadi referensi terhadap sistem pendidikan musik dalam pondok pesantren

serta langkah pembaruan menyerukan ideologi ke-Islam-an.

E. Tinjauan Pustaka

Penggunaan tinjauan pustaka dalam penelitian ini dilakukan untuk

menunjukkan posisi penelitian ini terutama berhubungan dengan objek material dan

objek formalnya. Literatur-literatur yang disajikan adalah literatur-literatur terpilih

yang dianggap mampu memperjelas posisi penelitian ini, antara lain sebagai berikut.

Tulisan Dwejo Purnomo tentang “Metode Dakwah K. H. Ma’ruf Islamudin”

(2007). Purnomo dalam skripsinya, menjelaskan biografi dan metode-metode dakwah

yang digunakan oleh Ma’ruf Islamudin. Metode-metode dakwah tersebut di

antaranya adalah berikut. Dakwah melalui lembaga non formal, yakni dakwah lewat

media pembelajaran pondok pesantren yang Ma’ruf dirikan yakni Pondok Pesantren

Walisongo. Dakwah menggunakan sistem madrasah, yakni sistem pembelajaran yang

dibagi atas kelas-kelas. Pembagian kelas tersebut berdasarkan tingkatan atau

kemampuan santri dalam menguasai kitab. Selanjutnya dengan metode Taman

10

Pendidikan Al-Qur’an (TPA), metode ini ditujukan khusus kepada santri yang masih

tingkatan SD. Dilaksanakan pada sore hari, umumnya santrinya para anak-anak di

sekitar pondok. Metode lain adalah metode dakwah lewat pendidikan formal dengan

mendirikan Play Group Walisongo, SD Walisongo, serta SMP Walisongo.

Menurut Purnomo, Ma’ruf memiliki tanggung jawab sebagai warga negara

Indonesia yang harus berperan aktif dalam usaha mencerdaskan kehidupan

masyarakat. Kurikulum yang diusung dalam pendidikan ini selain pengetahuan umum

juga ilmu Agama Islam. Karena dalam pendidikan ini bertujuan memproduksi

generasi ulama yang memiliki intelektual yang tinggi.

Metode dakwah lain yang dilakukan oleh Ma’ruf adalah ceramah atau

pengajian. Metode ini dilakukan Ma’ruf di tengah masyarakat dengan lisan.

Kemudian dakwah lewat kaset atau hasil dari pendokumentasian ceramah-ceranah

Ma’ruf, yang tersebarluaskan di masyarakat. Metode terakhir adalah dakwah lewat

seni dan budaya. Metode ini dijelaskan Purnomo dengan mendokumentasikan musik

rebana dan ceramah Ma’ruf Islamudin. Aspek musik belum tersentuh oleh Purnomo

dalam penelitiannya. Skripsi di atas tidak menyinggung persoalan musik sebagai

kajian formalnya. Padahal dalam penyampaian dakwah, Ma’ruf menggunakan musik

sebagai salah satu penyampai ayat. Oleh karena itu, persoalan musik akan ditelaah

lebih mendalam dalam penelitian ini.

Literatur kedua adalah tulisannya saudara Lardiyanto Budhi berjudul “Kyai

Kanjeng Aktualisasi Pemikiran Emha Ainun Nadjib Melalui Musik” (2009). Skripsi

11

ini menerangkan bagaimana sebuah pendekatan sosial dengan menggunakan musik.

Kyai Kanjeng menjadi representasi pemikiran Emha Ainun Nadjib dalam

memanfaatkan musiknya sebagai sarana pembangun dialogis antar berbagai lapisan

masyarakat, budaya, serta agama. Kyai Kanjeng dalam setiap pentas selalu mengajak

masyarakat berdialog, membahas tentang kesalahpahaman di dalam mayarakat,

tentang berbagai masalah yang terjadi di sekitar lingkungan manusia, serta

kesenjangan antar umat beragama. Selain untuk bermusik, panggung juga

dimanfaatkan untuk sarasehan, membahas persoalan kesenjangan sosial masyarakat.

Ada perspektif yang berbeda antara skripsi tentang Kyai Kanjeng ini dengan

penelitian yang dilakukan. Penelitian ini lebih fokus terhadap dakwah-musik yakni

dengan pemanfaatan musik untuk mendekonstruksi ideologi masyarakat tentang ke-

Islam-an. Penelitian ini tidak menyentuh pada ranah dialogis antar umat beragama

atau sosial mayarakat.

Tulisan ketiga adalah tulisan Sri Sujarwanti tentang ”Kelompok Musik

Hadrah Khartika Buana Desa Tlobong, Dlanggu, Klaten Study Kasus Kelangsungan

Hidup Kelompok Seni” (2003). Skripsi ini menjelaskan tentang proses dakwah

menggunakan musik Islami dan membahas tentang proses kreativitas dalam

bermusik, serta kaitanya dengan proses garap musikal dan rekomposisi repertoar.

Pembahasan tersebut membantu penelitian ini untuk mengetaui proses dakwah dan

kreatifitas Rebana Walisongo dalam Pondok Pesantren Walisongo.

12

Tulisan keempat yang diacu adalah tulisan Wahyudi tentang “Upaya

Pelestarian Kesenian Al-Barzanji di Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta”

(2010). Wahyudi, dalam skripsinya, menjelaskan tentang Kesenian Al-Barzanji

sebagai media dakwah. Dalam tulisan tersebut dijelaskan tentang cara Pondok

Pesantren Al-Muayyad melakukan dakwah dengan media kesenian Al-Barzanji. Hal

itu terbukti dengan adanya komitmen yang masih melekat pada alumni pondok

pesantren, dengan semangat masih tetap melanjutkan perjuangan dakwah lewat

kesenian Al-Barzanji di daerahnya masing-masing. Ungkapan tersebut membantu

dalam penelitian ini untuk melihat bagaimana prsoses dakwah dan bagaimana metode

dakwah-musik Pondok Pesantren Walisongo dengan menggunakan musik sebagai

komparasi dengan penelitian di atas.

Tulisan kelima adalah tulisannya Sidi Gazalba berjudul Islam dan Kesenian:

Relevansi Islam dan Budaya (1988). Buku ini membahas tentang dakwah dengan

kesenian. Ada beberapa definisi tentang dakwah Islam dinyatakan oleh Gazalba.

Salah satunya, dakwah ialah merangsang manusia kepada kebaikan dan huda

(petunjuk Allah), berbuat ma’ruf (kebaikan) dan melarang melakukan munkar

(kejahatan), supaya mereka itu berjaya mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.

Pernyataan ini menarik karena sama persis dengan pernyataan yang dilontarkan oleh

Ma’ruf Islamudin tentang substansi dakwah yang dilakukan oleh Ponpes Walisongo

termasuk dakwah-musik melalui rebana Walisongonya.

13

Tulisan lain adalah tulisannya Z. Arifin Thoha tentang Ekosistem Seni Budaya

Islam Khazanah Peradaban Serambi Pesantren (2002). Thoha mengungkapkan

tentang progresivitas kesenian pesantren. Menurutnya, kesenian pesantren sekarang

telah melakukan transformasi, dahulu hanya berorientasi kepada katarsisme spiritual,

kemudian didorong perlahan memasuki wilayah sublim yang lain, salah satunya

adalah katarsisme sosial.

Thoha juga menyinggung tentang seni pesantren beradaptasi terhadap

lingkungan baru. Seni pesantren tidak hanya menekankan pada pakem atau

ketradisionalan, tetapi mampu bersaing dan melakukan progres di antara kesenian

yang lain, berkompetisi untuk mendapat respon baik dari masyarakat. Progresivitas

tersebut, secara tidak langsung telah mengembangkan dakwah Islam kepada

masyarakat. Alasan melakukan perubahan dan progresivitas untuk mengembangkan

kesenian pesantren yang ditulis Thoha ini diacu untuk melihat pergerakan kesenian

pesantren yakni Rebana Walisongo.

Sesuai sasaran objek dan sudut pandang yang digunakan dalam penelitian ini,

dapat diyakini penelitian dakwah-musik Rebana Walisongo ini bebas duplikasi. Hal

tersebut telah ditunjukkan dari berbagai sumber literatur di atas tak ada satupun

tulisan-tulisan tersebut membahas dakwah-musik Rebana Walisongo.

14

F. Landasan Konseptual

Dengan mengacu pada topik (dakwah-musik Rebana Walisongo) dan rumusan

masalah (yaitu mengenai persoalan tentang alasan pemilihan dakwah-musik,

operasional dakwah-musik, dan implikasinya), penelitian ini memerlukan konsep-

konsep terkait sebagai fondasi penting untuk menelaahnya. Setidaknya untuk

mengkonstruksi konsep dakwah-musik ini harus diurai lebih dulu dua konsep penting

yang menjadi akarnya. Dua konsep tersebut adalah dakwah dan musik.

1. Dakwah

Telah disinggung di awal, dakwah mengandung arti umum sebagai sebuah

seruan, undangan, atau panggilan untuk mengikuti sesuatu yang berhubungan dengan

moralitas, berupa perubahan menuju keadaan yang lebih baik, untuk menegakkan

kebaikan, dan untuk melenyapkan kebatilan.

Dalam ajaran Islam, dakwah ini merupakan wujud dan realitas ke-Islam-an

dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Dakwah Islam, seperti disebut Sambas,

mengandung lima unsur yang saling menyatu. Kelima unsur ini antara lain adalah (1)

subjek atau pelaku dakwah, (2) pesan dakwah, (3) metode dakwah atau cara

penyampaian, (4) Tempat dakwah atau wilayah penyampaian dakwah, (5) Sasaran

dakwah (2009: 108).

Ungkapan Sambas di atas, kiranya relevan dengan apa yang dinyatakan oleh

Gazalba tentang nunsur dakwah. Gazalba menyatakan dakwah Islam melibatkan

15

empat komponen yakni, Materi dakwah, pendakwah, sasaran dakwah, dan cara

berdakwah. Dalam bukunya, Gazalba mengaitkan dakwah dengan kesenian.

Menurutnya kesenian bertujuan menimbulkan kesenangan yang bersifat estetik pada

orang yang mengalaminya. Tertarik pada keindahan merupakan naluri yang dimiliki

manusia. Karena itu, setiap manusia suka berkesenian, dan tidak ada masyarakat yang

kebudayaannya kosong dari kesenian.

Subjek atau pelaku dakwah adalah orang-orang yang biasa menyampaikan

ajaran Islam kepada masyarakat. Pelaku ini umum disebut sebagai da’i, mubaligh,

kyai, atau ustadz. Namun, dalam Islam diterangkan pula bahwa semua umat muslim

wajib untuk melakukan dakwah atau penyebaran agama. Dengan demikian perkara

pelaku dakwah tidak lagi terbatas pada da’i, mubaligh, kyai, atau ustadz, melainkan

wajib dilakukan semua umat muslim.

Pesan dakwah dimaksud adalah materi yang disampaikan dalam dakwah.

Unsur kedua ini penting dalam dakwah. Signifikansinya pesan atau materi ini terletak

pada proses penyampaian ilmu, atau peringatan, serta ajakan dalam kebaikan yang

menjadi substansi dakwah. Umumnya, materi-materi dakwah dirujuk dari Al-Qur’an

dan Hadist, serta kitab-kitab tafsir Qur’an. Materi yang matang apalagi aktual

dipandang mampu menimbulkan respon positif terhadap dakwah yang disampaikan.

Metode dakwah menjadi semacam jembatan atau alat dari pesan yang

disampaikan pendakwah terhadap audiens. Cara atau metode penyampaian dakwah

ini penting karena dapat menentukan sukses atau tidaknya dakwah itu berlangsung.

16

Misalnya, dakwah dengan menggunakan media musik, baik itu musik pop, musik

gamelan, serta musik dangdut, itu semua merupakan stimulus kepada masyarakat.

Dengan dirangsang melalui musik, kesan pertama yang dirasakan oleh masyarakat

adalah ketertarikannya terhadap kegiatan dakwah. Jika masyarakat sudah merasa

tertarik diharapkan pesan yang disampaikan lewat musik tadi mampu meningkatkan

keingintahuan akan pesan yang disampaikan dan dapat diterapkan langsung dalam

kehidupan sehari-hari.

Tempat dakwah menjadi penting untuk penyampaian sebuah syiar atau ajakan

kebaikan. Dalam kaitan tersebut, ada anggapan bahwa keadaan tempat dakwah dapat

mempengaruhi suasana psikologis bagi pendakwah maupun bagi jemaahnya. Suasana

nyaman atau kondusif yang dialami oleh pendakwah dan jemaah biasanya ditentukan

dengan kondisi tempat dakwahnya.

Sasaran dakwah adalah objek dakwah. Ini merupakan muara terakhir dalam

proses dakwah. Sasaran dakwah biasanya individu, kelompok kecil, atau kelompok

besar atau kelompok orang dalam budaya tertentu.

Lima komponen di atas berguna untuk memaparkan tentang bagaimana

dakwah-musik yang ada dalam Pondok Pesantren Walisongo. Meliputi, materi

dakwah Pondok Pesantren Walisongo, pendakwah, tempat dan sasaran dakwah, serta

bagaimana cara mereka berdakwah.

2. Musik

17

Pengertian mengenai musik, diterangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia

sebagai berikut.

Musik secara umum dipahami sebagai nada atau suara yang disusun sedemikian rupa, sehingga menggandung, irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi itu) ( 2008: 987).

Ungkapan tersebut, dapat ditarik pemahaman dalam setiap bentuk musik,

terdapat benda yang dapat menghasilkan bunyi atau sumber suara, seperti gitar,

piano, gandrang, seruling, dan lain sebagainya.

Seni musik bukanlah sesuatu yang langsung diciptakan oleh Tuhan,

melainkan hanya merupakan bagian dari salah satu kreativitas peradaban manusia.

Jika suatu ketika seni musik digunakan sebagai media dalam mencintai dan

mengagungkan nama Allah SWT, tidak berarti musik dipandang sebagai asma Allah.

Kendati demikian seni musik bukanlah juga sesuatu yang memiliki sifat rendah,

namun pada hakekatnya Allah selain mencipta juga menyukai keindahan (Poetra,

2004: 10). Dari penjelasan tersebut, maka didapat pemahaman bahwa musik

merupakan karunia dari Tuhan yang diberikan kepada manusia. Oleh karena itu tinggi

rendahnya derajat dan moral seni musik, sangat tergantung dari sejauhmana musik

difungsikan oleh kreatornya.

Dalam kaitan demikian, menarik apabila disimak pernyataan I Wayan Sadra

dalam Waridi (ed.) tentang konsep penciptaan musik yang disebut sebagai konsep

“mencipta musik dalam rangka” yaitu untuk apa musik itu diciptakan? (2005: 78).

18

Adapun keterhubungan antara musik Rebana Walisongo tersebut dengan pernyataan

Sadra ini dapat dinyatakan bahwa musik yang digunakan oleh Ponpes Walisongo

adalah sejajar dengan musik dalam rangka. Artinya musik yang diproduksi atau

dipertunjukan oleh Ponpes Walisongo bukanlah musik untuk kepentingan musik

melainkan musik yang digunakan dan difungsikan untuk kepentingan ibadah, dalam

rangka penyampaian syiar-syiar nilai ke-Islam-an kepada khalayak.

Pernyataan di atas kiranya relevan dengan pemahaman tentang seni Islam

yang dimaksud oleh Toha berikut.

Suatu karya seni dapat dikategorikan sebagai seni Islam bukan hanya karena diciptakan oleh seorang Muslim, tetapi karena dilandasi oleh wahyu Illahi. Seni Islam melarutkan realitas-realitas batin wahyu Islam dalam dunia bentuk dan karena ia keluar dari dimensi batin Islam, menuntun manusia masuk keruang batin wahyu Illahi. Seni islam adalah buah dari spiritualitas Islam dilihat dari sudut pandang asal kejadiannya dan sebagai sebuah bantuan yang memperlengkapi dan membantu kehidupan spiritual untuk kembali ke sumber (2002: 89). Berdasarkan kerangka dua pemikiran dakwah dan musik tersebut, penulis

mencoba untuk mengkorelasikan dua konsep dakwah dan musik yang telah

dipaparkan di atas menjadi dakwah-musik yang merupakan kajian formal dari

penelitian ini. Meskipun dakwah dan musik adalah dua hal yang berbeda, namun

tidak menutup kemungkinan dua hal tersebut menjadi satu-kesatuan yaitu dakwah-

musik.

Sebenarnya penyatuan antara dakwah dan musik atau dakwah-musik bukanlah

soal baru dalam sejarah Islam di Indonesia. Bahkan yang lebih mempesona lagi, oleh

19

para penyebar agama Islam di Indonesia waktu silam, seni musik sudah dianggap

sama pentingnya dengan dakwah itu sendiri (Poetra, 2004: 5). Terbukti dengan

adanya beberapa kelompok musik yang menjadikan dua hal tersebut menjadi satu

paket pertunjukan. Berikut beberapa kelompok musik Islam di Nusantara yang

memadukan musik dengan dakwah, yaitu menyajikan musik dengan tema dakwah

Islam, di antaranya, Gamelan Sekaten, kuntulan di Bayu Wangi, santi swara,

kesenian trebangan di Probolinggo, serta kesenian trebang rodat di Pasuruan. Semua

kelompok yang disebutkan tersebut merupakan musik yang mengandung muatan

dakwah, selain untuk menghibur masyarakat, fungsi lainnya adalah menyebarkan

ajaran Islam lewat lagu-lagu yang disajikan (Hastanto, 2008: 88-89).

Dari uraian panjang di atas, dapat ditarik pemahaman, bahwa sesungguhnya

dakwah dan musik adalah paket strategis untuk berdakwah. Muatan dakwah adalah

sebagai inti di dalam musik tersebut, sementara musiknya itu sendiri sebagai wadah

atau sebagai alat penyampai ayat kepada umat. Konsep dakwah-musik yang telah

dijelaskan di muka dapat dianalogikan dengan bagan berikut.

Dakwah-musik

Konsep musik Dakwah Islam

20

Pihak Walisongo sendiri kadang menyebut dakwah-musik ini dengan nama

lain yaitu nada dan dakwah, yang intinya sama merupakan perpaduan selaras antara

nada (musik) dan dakwah. Adapun untuk menjelaskan mengenai persoalan tentang

alasan pemilihan dakwah-musik, operasional dakwah-musik, dan implikasinya.

Kiranya bagan alir di bawah ini dapat memperjelas alur analisa untuk memahami

dakwah-musik Rebana Walisongo ini.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini diperlukan metode khusus guna menuntun perolehan jawaban

terhadap pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah. Terutama berkaitan

dengan permasalahan dakwah-musik Rebana Walisongo serta faktor-faktor

pendukungnya. Demi menjawab persoalan yang telah diajukan, penelitian ini

Apa yang melatarbelakangi Pondok Pesantren Walisongo, memilih dakwah-musik?

Materi dakwah adalah musik Rebana Walisongo

Pendakwah adalah Ma’ruf dan Personil Rebana Walisongo

Lantas apa dampak dari dakwah-musik terhadap Pondok Pesantren Walisongo?

Sasaran dakwah adalah semua lapisan masyarakat, utamanya umat Islam

Cara dakwah adalah dengan pendekatan budaya, lewat musik rebana

21

mengadopsi metode yang diungkapkan Moleong tentang metode penelitian kualitatif.

Metode penelitian kualitatif seperti disebut Moleong adalah berikut.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khususnya yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (2008: 6). Lebih lanjut, Moloeng mengungkapkan langkah penelitian kualitatif dapat

dibagi ke dalam empat tahap, yaitu tahap sebelum kelapangan, pekerjaan lapangan,

analisa data, dan penulisan laporan (2008: 109).

Langkah-langkah yang diterapkan untuk penelitian ini dapat dijabarkan

sebagai berikut.

1. Tahapan sebelum kelapangan yakni meliputi, survey, penentuan topik dan

rumusan masalah, serta memilih dan memanfaatkan informan.

a. Survey dilakukan guna menyikapi peneliti sebelum masuk ke lapangan

lebih dalam. Dalam tahap ini, peneliti melakukan mengamatan langsung

terkait dengan objek riset, yakni melihat pertunjukan Rebana Walisongo,

selain itu juga melakukan wawancara kecil dengan para personil Rebana

Walisongo dan audiens.

b. Tahap penentuan topik dan perumusan masalah, pada tahap ini dilakukan

setelah melakukan kegiatan survey awal. Lantas menetapkan sebagai topik

penelitian tentang fenomena dakwah-musik Rebana Walisongo Sragen

sebagai topik utama.

22

c. Tahapan yang ketiga yakni, memilih dan memanfaatkan informan.

Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi

yang akurat terkait dengan objek riset serta situasi dan kondisi lingkungan

objek riset. Jadi, informan di sini dipilih orang-orang yang terlibat secara

langsung dengan objek penelitian. Kegunaan informan bagi peneliti adalah,

agar secepatnya menghubungkan peneliti kepada nara sumber yang

relevan, untuk dimintai keterangan terkait dengan objek penelitian. Berikut

beberapa informan yang direkomendasi peneliti dalam riset ini, Dwijo

Purnomo dan Zainun Majid, dan Ma’ruf Islamudin. Mereka adalah

Pengasuh, pengurus, dan personil Rebana Walisongo, oleh karena itu,

cukup relevan untuk dijadikan informan.

2. Tahap pekerjaan lapangan dimaksud adalah tahap mengumpulkan data. Ada tiga

hal penting yang patut dicatat dalam kerja pengumpulan data ini. Ketiga hal

tersebut antara lain adalah:

a. Pembatasan objek dan peneliti.

Dalam tataran ini diharapkan peneliti dapat mengenal objek secara terbuka

dan tertutup. Menurut Lofland dalam Moleong, objek terbuka diibaratkan

lapangan umum seperti tempat keramaian, tempat orang berpidato, taman,

bioskop, dan ruang tunggu rumah sakit. Pada kondisi objek demikian,

peneliti barangkali akan sulit melakukan wawancara mendalam, dan hanya

dapat melakukan pengamatan saja (Moleong, 1989: 94). Penjelasan di depan

23

membantu peneliti bagaimana menentukan strategi untuk pengambilan data

yang tepat, kaitanya dengan situasi dan kondisi objek riset.

b. Pengenalan hubungan peneliti dengan objek riset di lapangan

Jika peneliti memanfaatkan pengamatan berperan serta, maka hendaknya

hubungan antara objek dan peneliti dapat dibina. Proses demikian, peneliti

dan objek dapat bertukar pikiran secara total tanpa ada rasa ragu dan

sungkan (Moleong, 1989: 95). Pernyataan tersebut dapat membantu peneliti

dalam menyikapi psikologis yang harus dibangun dengan narasumber pada

objek riset ketika mencari data.

Lantas penelitian ini menggunakan bantuan sebuah perlengkapan alat

dokumentasi. Berikut beberapa alat yang digunakan dalam pengambilan data

di lapangan. Kamera EOS Canon 1000D untuk pengambilan foto, Handicam

DCR-DVD650E Sony untuk pengambilan dokumentasi audio visual,

Handpone Nokia C3, untuk merekam wawancara dengan nara sumber,

Satellite L510 untuk menulis laporan dan mencatat hal yang penting. Dan

tak kalah pentingnya transport untuk akomodasi selama penelitian

berlangsung. Peneliti sudah menyiapkan kendaraan roda dua AE 4640 JM,

yang digunakan selama riset ini dilakukan.

c. Analis di lapangan

Penelitian kualitatif mengenal adanya analisa data lapangan, walaupun

analisa data secara intensif baru akan dilakukan pada akhir pengumpulan

24

data (Moloeng, 1989:102). Analisa lapangan ini dilakukan guna melihat

ulang kecocokan hipotesa awal yang telah dirumuskan dengan kondisi nyata

di lapangan.

3. Tahap analisa

Sesudah semua data yang diperlukan terakumulasi, langkah selanjutnya ialah

pengelompokan berdasarkan kategori yang sudah direncanakan. Jalan ini guna

mempermudah untuk memilah dan menyaring data sesuai paradigma yang sudah

ditetapkan.

Pengelompokan didasarkan pada jenis serta isi atau muatan data yang diperoleh.

Data wawancara dipisahkan dengan data literatur serta data dokumentasi. Data

wawancara juga dikelompokkan berdasarkan isi muatan. Data hasil dokumentasi

dikelompokkan berdasarkan jenisnya, data foto dikelompokkan dan disaring

sesuai kebutuhan, data audio (musik) dilakukan transkripsi serta dibedakan

menjadi dua yaitu lagu dan teks guna analisis lebih lanjut. Data wawancara

(audio) dipilih dan disatukan dengan data wawancara yang tidak direkam dan

direduksi menurut kebutuhan. Data literatur diambil sebagai pelengkap dan

disaring sesuai porsi yang dibutuhkan.

Hasil analisis data tidak berhenti pada bentuk pelaporan tapi selalu dicocokan

dengan kenyataan di lapangan. Hal itu dilakukan lewat menguji melalui sumber

literatur, maupun fenomena di lapangan atau secara metodologi disebut

25

trianggulasi data. Kegiatan itu ditujukan supaya penelitian ini memperoleh

validitas yang akurat.

4. Tahap penulisan laporan

Setelah semua langkah penelitian ditempuh, berikutnya adalah tahapan yang

paling urgen dalam penelitian, yakni penyusunan laporan menjadi rujukan

terakhir dari proses penelitian ini nantinya. Djarwanto mengungkapkan, Betapun

pentingnya teori dan hipotesis suatu penelitian, atau betapapun hati-hati dan

telitinya rancangan dan pelaksanaan penelitian itu, atau hebatnya penemuan-

penemuan dalam penelitian itu, semua akan kecil nilainya apabila penelitian itu

tidak dilaporkan dalam wujud tulisan. Seorang peneliti atau sebuah penelitian itu

membutuhkan komunikasi dengan pihak lain, sehingga pengalaman

penelitiannya menjadi bahan referensi atau bahkan memicu penelitian yang sama

(Djarwanto, 1984: 55). Laporan ini duwujudkan dalam bentuk skripsi sebagai

media penyampaian hasil penelitian tentang dakwah-musik Rebana Walisongo

Sragen.

H. Sistematika Penulisan

Sebagai tahap akhir penelitian ini ialah penyajian berupa pemaparan data

yang dikemas berformat laporan dengan sistematika sebagai berikut.

26

BAB I. Berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, metode penelitian serta sistematika

penulisan.

BAB II. Berisi tentang konsep dakwah-musik Rebana Walisongo. Meliputi

gejala musik dakwah Islam Nusantara, ruang lingkup Rebana Walisongo, serta musik

tersandra oleh ayat.

BAB III. Memaparkan produksi dakwah-musik Rebana Walisongo, meliputi:

Musikalitas dan pengalaman personal, pertimbangan personil, rekomposisi syair,

media ungkap, produksi syair, proses rekaman, serta perkembangan produksi rebana

dari masa ke masa. Selanjutnya sasaran dakwah dan sistem pemasaran.

BAB IV. Memaparkan mengenai deskripsi pertunjukan Rebana Walisongo,

meliputi unsur yang terdapat didalamnya yaitu: unsur gerak, unsur visual, dan unsur

komunikasi

BAB V. Memuat implikasi dakwah Rebana Walisongo, meliputi: pengaruh

dakwah-musik bagi Ponpes Walisongo di antaranya: menunjang eksistensi Ponpes

Walisongo, perkembangan fasilitas Ponpes Walisongo, konsep “nyambi” dalam

pertunjukan Rebana Walisongo, pemantapan paradigma dakwah-musik Rebana

Walisongo, tontonan yang beruntunan, serta upaya konservasi seni Islami.

Selanjutnya pengaruh dakwah-musik terhadap masyarakat.

BAB VI. Memuat penutup meliputi: kesimpulan dan rekomendasi

27

BAB II

KONSEP DAKWAH-MUSIK REBANA WALISONGO

SRAGEN

Isi bab ini adalah menjelaskan persoalan terkait dengan konsep dakwah yang

digunakan oleh kelompok Rebana Walisongo. Sebelum konsep dakwah Rebana

Walisongo dibahas khusus, tulisan ini mengantarkan lebih dulu gejala sejenis, yaitu

gejala penghadiran dakwah dengan seni (musik) atau dakwah-musik dengan

menggunakan musik rebana terutama yang terjadi di Nusantara. Tujuan paparan

pengantar ini tidak lain adalah untuk memberi dasar bahwa penggunaan seni (musik

rebana) untuk keperluan dakwah Islam seperti yang dilakukan oleh kelompok Rebana

Walisongo bukanlah sebuah perkara baru melainkan perkara yang telah mengikuti

pola acu konsep dakwah menggunakan media musik atau seni-seni Islami lainnya.

Adapun, pembahasan mengenai konsep dakwah kelompok Rebana Walisongo

diawali dengan pemikiran awal lahirnya kelompok Rebana tersebut, ruang lingkup,

serta posisi dakwahnya secara keilmuan.

A. Gejala Dakwah-Musik Islam di Nusantara

Dakwah-musik Islam, atau berdakwah dengan cara memanfaatkan musik

untuk keperluan syiar-syiar ke-Islam-an kepada khalayak merupakan gejala yang

sudah ada dan cukup lama. Gejala demikian dapat dikenal seperti pada gamelan

Sêkaten, sebuah gamelan kuno yang dibunyikan untuk syiar atau pengenalan Islam

28

terhadap masyarakat. Gamelan ini sudah ada pada zaman pemerintahan Sultan

Bintara pada kerajaan Demak (Rustopo, 1981: 4). Gamelan Sêkaten dianggap satu-

satunya gamelan yang berkaitan langsung dengan upacara Islam. Kata Sêkaten sering

dikaitkan dengan kata syahadatin atau kalimat syahadat, yang biasa diucap ketika

pertama kali masuk Agama Islam. Kini, gamelan ini hanya dimilki oleh tiga keraton

di Jawa, yakni Surakarta, Yogyakarta, dan Cirebon (Supanggah, 2002: 47).

Selain gamêlan Sekaten, terdapat juga musik-musik lain yang berkembang di

Jawa dengan budaya Islami yaitu Santi Swãrã. Musik Santi Swãrã, menggunakan

medium sebagai berikut: sebuah trêbang gong, dua buah trêbang dhãrã, dua buah

trêbang pnêrus, sebuah kêndhang, serta sepasang kêmanak. Repertoar yang disajikan

berisi tentang petuah Islam, dan menggabungkan dengan syair sholawat yang diambil

dari kitab Al-Barzanji (Hastanto, 2005: 86). Namun, kondisi kesenian ini saat

sekarang sudah mulai terpinggirkan oleh hadirnya kesenian atau musik populer yang

berkembang di tengah masyarakat.

Di Banyuwangi, Jawa Timur, ada kesenian yang disebut kuntulan. Ini adalah

jenis seni trêbangan dengan nafas Islam. Kuntulan terdiri dari beberapa medium atau

perangkat: sedikitnya delapan trêbang berukuran kecil dengan garis tengah 15 cm,

sebuah bêdhug kecil yang disebut jidhor. Kesenian tersebut, menggunakan teks

bahasa Arab dan bahasa Indonesia (Hastanto, 2005: 88). Jadi dapat dikatakan

kesenian Kuntulan, juga mengandung unsur Islami, karena terdapat simbol-simbol

ke-Islam-an melalui teks lagunya.

29

Di Probolinggo, Jawa Timur, juga terdapat kesenian trêbangan yang dikenal

dengan nama trêbang zikir. Kesenian ini juga bernafaskan Islam, Sajiannya berupa

sajian vokal dengan bahasa Arab dan teks lagunya diambil dari Al-Qur’an. Kesenian

ini menggunakan beberapa medium trêbang sebagai berikut: terdapat dua rebana

besar yang garis tengahnya lebih dari 1 meter, dan enam rebana berukuran garis

tengah 50 cm dan satu jidhor. Anggota kesenian ini umunya adalah kaum pria. Pada

mulanya kesenian ini difungsikan untuk menarik santri agar datang ke surau atau

langgar. Muatan dakwah ternyata juga tergambarkan dalam kesenian ini, dengan

memanfaatkan musik sebagai strategi untuk menyebarkan agama, Dalam

perkembangannya, kesenian inicenderung mengarah pada hiburan, tetapi unsur ke-

Islam-an tetap terpelihara (Hastanto, 2005: 88-89).

Masih berada di wilayah Jawa Timur, di Kota Pasuruan pun masih ada

kesenian tradisional Islam, yaitu, trêbang Rodat. Kesenian ini hidup dan berkembang

di lereng Gunung Bromo, tepatnya di Desa Grebog, Kecamatan Purwadadi. Kesenian

ini menyajikan bentuk puji-pujian kepada nabi, dengan teks bahasa Jawa dicampur

dengan bahasa Arab. Kesenian Rodat, juga digunakan untuk sebuah tarian yaitu,

tarian Rodat. Kesenian ini menggunakan beberapa perangkat sebagai berikut: Tujuh

buah trêbang dengan garis tengah 40-50 cm, dua buah gêndhang besar (mereka

menyebutnya kêtipung), serta dua buah kontrang (rebana kecil).

Gambaran seni-seni di atas merupakan gambaran kesenian Islam tradisional,

yang sejak dulu digunakan sebagai media syiar Islam. Tentunya masih banyak seni-

30

seni tradisional lain yang bertemakan Islam di luar Jawa. Dalam perkembangannya,

sekarang ini cukup banyak kelompok musik yang mengusung tema tentang Islam,

dengan dalih menyebarkan ajaran Islam dengan berbagai Aliran musik. Seperti

musik dangdut, khususnya kelompok musik Dangdut Soneta, yang dipimpin oleh

Rhoma Irama (populer disebut Bang Haji) dan mengusung tema-tema Islam dalam

musiknya. Cukup banyak lagu bertema perbaikan moral yang diluncurkan oleh Bang

Haji, di antaranya adalah ”Judi”, “Mirasantika”, “Adu Domba”, dan masih banyak

lagi lagu-lagunya yang lain. Itu bukti, bahwa Soneta juga meramaikan pergerakan

dakwah Islam melalui musik, meskipun ada juga lagu-lagu Soneta lainnya dengan

bertemakan cinta namun itu tidak mendominasi.

Sederet pembahasan di atas, menggambarkan tentang musik Islami atau musik

untuk berdakwah yang ternyata sampai saat ini masih terus berkembang dengan

model dan versinya masing-masing. Banyak musisi pop yang saat ini bergelut dengan

musik yang bernuansa Islam, seperti Opick, Hadad Alwi, kelompok musik Debu,

Kyai Kanjeng, atau kelompok band lain seperti Bimbo, Gigi, dan Ungu yang

memproduksi album-album Islami terutama berkenaan dengan menjelang masa hari

raya Idul Fitri. Banyak alasan mengapa mereka menggeluti musik Islam, dan juga

banyak faktor yang melatarbelakanginya, mungkin bentuk keprihatinan melihat

kondisi yang saat ini umat manusia sedang dilanda masalah. Banyaknya insan yang

terdegradasi moralnya, manusia yang terkikis rasionalnya karena rakus terhadap

materi sehingga menghalalkan segala cara, dan lain sebagainya.

31

Kegelisahan dan keprihatinan itupun turut dirasakan oleh Pondok Pesantren

Walisongo Sragen. Dengan kelompok musik rebananya yang kebetulan juga bernama

Walisongo, kelompok ini mencoba menyebarkan ajaran Islam dengan memanfaatkan

musik. Lantas hal-hal yang berkaitan dengan Rebana Walisongo akan dijelaskan pada

pembahasan selanjutnya.

B. Ruang Lingkup Rebana Walisongo

Rebana Walisongo terbentuk bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren

Walisongo, yang didirikan oleh Ma’ruf Islamudin pada tahun 1995 di Dusun

Sungkul, Desa Karangmalang, Kecamatan Plumbungan, Kabupaten Sragen. Awalnya

rebana digunakan untuk iringan sebuah sholawat dalam rangkaian kegiatan

sholawatan dalam Ponpes Walisongo. Dari musik untuk iringan sholawatan,

kesenian ini kemudian dikembangkan menjadi sarana dakwah. Karena lewat musik

Ma’ruf melihat ada potensi dengan musik yang mampu melakukan pendekatan jiwa

kepada masyarakat, yang nanti akan dijelaskan dalam pembahasan berikutnya.

Rebana Walisongo menggunakan beberapa medium sebagai sumber

bunyinya, yakni tiga jidhor, tiga téplak (menyerupai gendhang kecil, tetapi

bermembran satu muka), tiga buah têrbang atau trêbang (rebana), dan sebuah rémo

(menyerupai tom-tom yang ditata secara horizontal dengan jumlah empat buah), serta

satu tamborin. Repertoar yang disajikan mayoritas mengambil tema dari kitab Al-

32

Barzanji dengan menggunakan bahasa Arab dan bahasa Jawa. Lantas dalam

perkembangannya repertoar atau lagu yang disajikan menggunakan tema dari Al-

Qur’an dan hadits serta isu-isu yang sedang berkembang di tengah masyarakat, yang

nanti akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya. Bersamaan dengan itu juga,

secara struktural, musik juga mengalami perubahan, yaitu dengan adanya

penambahan instrumen baru yakni dua keyboard. Jelas penambahan perangkat

tersebut memberi warna baru dalam segi musikal, yang semula tidak menggunakan

instrumen melodis sekarang unsur melodis sudah mulai ada yang nanti juga akan

dijelaskan dalam bab selanjutnya.

Dengan wajah yang baru, mereka berani untuk melakukan adaptasi lagu yang

dipopulerkan penyanyi lain, dan melakukan rekomposisi terhadap karya orang lain.

Lagu dangdut “Pertemuan” yang pernah dipopulerkan oleh Rhoma Irama, kemudian

dengan gaya adaptasi Rebana Walisongo lagu tersebut diaransemen ulang dari segi

syair dan musiknya dan diberi judul baru “kerukunan”. Adaptasi berupa rekomposisi

ini tidak hanya dilakukan pada lagu-lagu genre dangdut, lagu-lagu langgam Jawa juga

diperlakukan serupa oleh kelompok Walisongo ini. Langgam “Caping Nggunung”

diaransemen ulang, syair dan ritme musiknya diubah, demikian juga judul lagu lama

pun diubah menjadi “Ayo Sholat”. Hal serupa juga dilakukan terhadap beberapa lagu-

lagu dari genre musik yang lain.

Fenomena di atas adalah merupakan rekomposisi ulang dari lagu-lagu yang

telah popular terlebih dahulu. Hal itu dilakukan Rebana Walisongo terhadap audiens.

33

Tujuannya tidak lain agar audiens tertarik dengan dakwah mereka. Dalam pandangan

kelompok ini, penggunaan lagu yang sedang atau telah populer dan menjadi

kegemaran di tengah masyarakat merupakan satu cara dakwah untuk mendapat

perhatian dari masyarakat.

1. Struktur Organisasi Rebana Walisongo

Rebana Walisongo memiliki duapuluh personil, baik personil yang aktif

maupun kurang aktif. Di dalam pementasan, keduapuluh personil tersebut tidak selalu

hadir bersama. Umumnya, jumlah personil pada saat pertunjukan paling berjumlah

lima belas personil. Hal itu dapat terjadi karena beberapa alasan berikut. Pertama,

jumlah personil disesuaikan dengan kebutuhan medium saat pentas di atas panggung.

Kedua, atau akibat kebijakan kelompok yang menetapkan jadwal pentas setiap

personil selalu dibuat berbeda-beda dengan personil lainya. Artinya tidak setiap

personil mendapat kesempatan pentas, karena sistem penentuan personil yang ikut

dalam pentas dilakukan secara bergantian.

Adapun struktur organisasi dan peran dari kelompok Rebana Walisongo ini

dapat dilihat pada tabel berikut.

Susunan Organisasi Rebana Walisongo

No Nama Jabatan

1. Ma’ruf Islamudin Penanggungjawab

34

2. Efendi Ketua

3. Zainun Mfudz Wakil ketua

2 Nugraheni Setyaningrum Sekretaris

3 Nur Kholisoh Bendahara

4 Yusuf Perlengkapan

5 Ahmad Izudin Personalia

6 Daroni Anggota

7 Syari’at Anggota

8 Janto Anggota

9 Abdul Mu’in Anggota

10 Wahib Anggota

11 Ahmad Sutrisno Anggota

12 Muhamad Fajar Anggota

13 Miftahuljanah Anggota

14 Titik Mukaromah Anggota

15 Muhamad Nadjib Anggota

16 Abdurahman Anggota

17 Muhamad Fajar Anggota

18 Qourun Ahmad Anggota

19 Muhamad Marzuki Anggota

20 Amin Anggota

35

Susunan atau posisi dan spesialisasi memainkan instrumen dipaparkan sebagai

berikut. Vokal putri ada lima orang yaitu, Miftahul Janah, Titik Mutmainah, Ana

Rosidah, Nugraheny Setyaningrum. Vokal Putra ada Muhammad Marzuki.

Selanjutnya pemain têrbang ada tiga orang, yaitu, Janto, Khoirun Ahmad, Wahib.

Lalu pada instrumen téplak ada tiga orang, yaitu, Abdul Mu’in, Abdurahman,

Muhamad Nadjib. Lantas untuk pemain keyboard ada Zainun Mahfuzd dan Ahmad

Sutrisno. Kemudian pada bas (jidhor) dimainkan oleh Syari’at. Lebih lanjut pada

instrumen rémo dimainkan oleh Darroni.

2. Dasar Pemikiran Dakwah dengan Memanfaatkan Musik

Dalam suatu wawancara langsung, Ma’ruf Islamudin pernah menuturkan

beberapa pemikirannya tentang musik dan dakwah. Pada satu sisi, Ma’ruf

menghubungkan antara posisi seni (musik), ilmu, dan agama sebagai tiga pilar

penting dalam hidup. Maruf membuat metafor berikut: “Dengan seni hidup jadi lebih

indah. Dengan ilmu hidup jadi mudah. Dengan agama hidup terarah.”

Seni berguna memperindah kehidupan dunia, indah karena mengandung

estetik yang memuaskan batin manusia, baik itu seni musik, seni lukis, seni tari, dan

lain sebagainya. Pengetahuan atau ilmu memudahkan manusia dalam menjalankan

kehidupan. Ilmu sebagai dasar manusia untuk menjalankan kehidupan di dunia.

Dengan ilmu manusia bisa meberdayakan dirinya untuk diri sendiri dan orang lain.

Agama digunakan untuk mengarahkan kehidupan manusia menuju jalan Tuhan. Ilmu

36

agama menuntun dalam melakukan segala perbuatan, berguna mengendalikan

perilaku dan moralitas manusia di dunia. Dalam konsep musik Rebana Walisongo

tiga wacana tersebut menjadi fondasi pokok di dalam penyebaran ajaran agama Islam

menggunakan media seni, khususnya seni musik yang dilakukan oleh Ponpes

Walisongo dengan Rebana Walisongo-nya.

Ma’ruf percaya bahwa musik memiliki kekuatan untuk menggugah orang

yang mendengarnya, termasuk dalam hal ini adalah audiens yang menjadi pendengar

atau penonton dari aksi-aksi dakwahnya. Dalam hubungan tersebut dituturka Ma’ruf

berikut.

Manusia yang dalam kehidupannya kurang mengerti dengan persoalan musik tetapi setiap mendengarkan musik dia akan bereaksi entah itu mengangguk-anggukan kepala, hentakan kaki yang mengikuti irama, atau bahkan ikut berdendang ketika sang vokalis dalam sebuah pertunjukan musik itu bernyanyi (wawancara Ma’ruf Islamudin, 25 Juli 2012).

Hal demikian juga disepakati oleh Santosa (2011: 43), dalam bukunya “Komunikasi

Seni” dalam pertunjukan musik, khususnya gamelan, terjadi aksi dan reaksi dari

panggung ke arah para penonton atau audiens. Santosa menjelaskan ketika

pertunjukan gamelan dimulai, tiba-tiba penonton menghentikan pembicaraan dengan

teman di sampingnya karena fokus dan tertarik untuk memperhatikan pertunjukan

gamelan. Selanjutnya, reaksi lain terjadi seperti menirukan alunan melodi ketika

pesindhen bernyanyi, itu adalah merupakan bukti bahwa pemusik dan penonton

ternyata terjadi hubungan yang intensif dan bisa saja meliputi ranah kehidupan,

seperti etnisitas, logika, konsep, cara berfikir, keyakinan, kejiwaan, dan lain

37

sebagainya. Secara implisit, Santosa mendukung bahwa musik itu mempengaruhi

kehidupan manusia, sehingga lahirlah konsep komunikasi musikal. Hal itulah yang

juga dipahami oleh Ponpes Walisongo Sragen saat ini. Pemahaman-pemahaman

seperti demikian telah melatarbelakangi sekaligus menjadi dasar Ponpes Walisongo

Sragen ini memanfaatkan musik untuk media dakwahnya.

Di dalam budaya Barat, terdapat perbedaan yang sangat tajam tentang siapa

yang “memproduksi” musik dan siapa yang secara mayoritas “mengonsumsi” musik.

Hampir semua golongan mayoritas “mengonsumsi” musik, mendengar, menarikan,

dan mengembangkannya. Sehingga ada kesan diam pun adalah masyarakat yang

musikal dalam kapasitas memahami musik. Ada yang mengatakan musik itu

menyenangkan tetapi tidak penting. Pendapat lain mengatakan bahwa musik ikut

memainkan peran pokok dalam evolusi manusia. Pada kenyataannya, pengaruh yang

jelas dari evolusi terhadap pikiran, tidak terjadi pada perilaku orang dewasa saja,

namun juga terjadi pada pikiran bayi (Djohan, 2003: 28).

Hasil penelitian Sadra Trehub, dkk (1997) yang dituliskan Djohan dalam

bukunya, menunjukan bahwa bayi berusia 6 bulan telah mampu “menjadi

pendengar”. Misal, mereka sensitif terhadap bentuk melodi serta pola naik-turun

dengan perubahan pitch akan direspon sebagai musik yang sama (Djohan, 2003: 28).

Artinya ulasan di muka memberi pamahaman bahwa musik cukup berpengaruh dalam

perilaku dan pola pikir manusia. Musik juga mempengaruhi emosi manusia.

38

Masih menurut Djohan, dalam kehidupan sehari-hari, emosi ditimbulkan oleh

kondisi lingkungan yang nyata, yang secara realistis sulit terkontrol, misalnya,

kecelakaan lalulintas. Walaupun musik juga dapat menakutkan dan mengancam,

tetapi selalu ada rasa kontrol, misalnya dengan mematikan musik tersebut atau

dengan tidak mendengarkannya sama sekali. Di sini penggunaan kata ‘emosi’ sulit

diartikan dalam konteks musik. Dalam penelitian tentang emosi sebagai respon

terhadap musik, biasanya hanya ditujukan pada karakter khusus emosi yang sifatnya

menggetarkan. Menurut Sloboda dalam Djohan dijelaskan, musik dapat

meningkatkan intensitas emosi dan lebih akurat bila ‘emosi musik’ itu dijelaskan

sebagai suasana hati (mood), pengalaman, dan perasaan yang ditimbulkan karena

proses mendengarkan musik. Di sini musik juga memiliki fungsi sebagai katalisator

atau stimulus bagi timbulnya pengalaman emosi (2003: 41). Selain Sloboda, Merriam

juga menjelaskan bahwa musik dapat mempengaruhi organisme dengan cara-cara

lain, musik dapat meningkatkan produksi maupun kepuasaan di saat bekerja (1964:

163).

Tujuan utama dari kelompok musik ini adalah menyampaikan muatan dakwah

agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Menurut Ma’ruf, musik dalam

konteks dakwah hanya sebagai wadah saja. Ia mengibaratkan posisi musik adalah

sebuah tempat makan, dimana dari masa ke masa selalu berkembang. Misal sebelum

berkembang piring manusia makan menggunakan alas daun, kemudian berkembang

lagi dari gêrabah yang bahannya dari tanah, lantas sampai dengan adanya piring

39

sebagai alas makannya. Menurutnya, apapun media makannya, isinya tetap sama

yaitu nasi. Lantas korelasi dalam konteks dakwah adalah, cara atau metode yang

digunakan untuk berdakwah kondisinya juga demikian, akan selalu mengalami

perkembangan sesuai dengan zaman dan kultur masyarakat yang dihadapinya. Salah

satunya adalah dakwah yang dilakukan Ponpes Walisongo dengan musik rebana.

Sebelum menggunakan musik, Walisongo hanya mengandalkan ceramah saja, namun

sekarang berkembang dengan pemanfaatan musik sebagai media tambahannya.

3. Isi Dakwah-Musik Rebana Walisongo

Muatan dakwah yang diemban Rebana Walisongo adalah merupakan pesan

sekaligus ajakan kepada jalan Agama Islam. Sholat adalah salah satu ajakan yang

disyiarkan oleh Rebana Walisongo. Ajakan sholat, terkandung dalam dua lagu yang

berjudul Ayo Sholat ( lagu asli Caping Nggunung), Sholat Berjama’ah (lagu asli

Cinta Tak Terpisahkan).

Ayo Sholat berisikan tentang ajakan untuk mengarjakan sholat. Ajakan

tersebut disertai dengan penjelasan mengenai makananya. Lagu tersebut

menerangkan bahwa sholat adalah kunci untuk menggapai surga, dan sekaligus

tiangnya agama Islam. Selain itu, seruan selanjutnya menerangkan bahwa sholat

adalah yang menjamin semua amal ibadah kita di dunia.

Selanjutnya lagu Sholat Bêrjama’ah berisikan ajaran untuk menyegerakan

sholat ketika adzan sudah berkumandang. Ketika panggilan sholat terdengar,

40

diharapkan untuk meninggalkan semua pekerjaan dan menyegerakan sholat. Selain

itu, dijelaskan pula keutamaan sholat berjamah di masjid.

Muatan dakwah Rebana Walisongo, sebetulnya sama dengan isian dakwah

Islam pada umumnya, yaitu dengan menggunakan dasar-dasar yang telah terkandung

dalam Al-Qur’an, namun yang berbeda hanyalah dalam segi penyampaian atau cara

pendekatan dakwah kepada masyarakat. Berikut adalah sayair lagu Ayo Sholat dan

Sholat Bêrjama’ah.

Syair lagu: Ayo Sholat

Yarobibil mustofa

Baligmagho syidana

Wakfirlana mamadho

Yawasia karoomi

Ayo pãdã sholat

Kanggo sangu nèng akhérat

Pitulas rãkaat

Rino wêngi ãjã kêndat

Yèn jêjêg sholaté

Bakal jêjêg agãmãné

Yèn rubuh sholaté

Bakal rusak kabèh amalé

Reff: Wés nyãtã

Sholat cagaké agãmã

Wés nyãtã

Sholat kunciné suwargo

Muslimin sêdãyã

Kakung putri

Enom lan tuwã

41

Mumpung sih ãnã rãgã

Ãjã ninggal sholat limã

Syair lagu: Sholat Berjama’ah

Marhaban yanurolaini

Marhaban jadhal husaini

Marhaban ahlawasahlan

Marhaban yaqoirodhaid 2X

Yèn pãdã krungu suwãrã adzan

Gèk ndang énggal-énggalan

Niggalno kabèh kêrépotan

Nuhoni timbalan

Adzan panggilané pangèran

Ajakan nglakoni sêmbahyang

Pinãngkã dadi kêwajiban

Kabèh umat Islam

Yèn pãdã krungu suwãrã adzan

Ayuh gèk mulih dhandan

Nuju papan pangibadahan

Nglakoni sêmbahyang

Sambi nunggu rawuhé imam

Bêcik pãdã puji-pujian

Mênãwã khomat wés kumandang

Yoh sholat bêbarengan

Reff: Ayo pãdã sholat bêrjama’ah

Ganjarané langkung khatah

Ayo pãdã sholat bêrjamaah

Ndèrèk dawuh rosulilah

Dadeknã pakulinan

Yèn bubar sêmbahyang

Sarèng-sarèng imam

Do wiridhan

42

Selain tema sholat, ada beberapa lagu yang berisikan tentang persoalan harta

benda. Pada lagu Duét misalnya, menjelaskan manusia yang telah bergelimangan

uang, diharapkan tidak berlarut dalam kebahagiaan dunia, artinya meskipun banyak

harta, kewajiban dalam menjalankn perintah agama tetap menjadi prioritas dalam

hidup. Selain itu penjelasan selanjutnya mengenai seseorang yang bergelimangan

kekayaan akan sia-sia jika hidupnya tidak mengindahkan persoalan agama. Tidak

cukup hanya dengan berpakaian rapi dengan cara berpakaian seorang santri saja,

namun juga mengerjakan apa yang menjadi perintah Illahi.

Selanjutnya lagu Lomã, dalam lagu ini terkandung sebuah nilai

kedermawanan. Artinya, manusia diarahkan untuk bersikap dermawan terhadap

sesama di dalam kehidupan dunia. Penjelasan selanjutnya, manusia jangan hanya

berpangku tangan saja ketika sudah memiliki harta banyak, diharapkan turut juga

memikirikan orang-orang yang masih membutuhkan bantuan. Sikap dermawan dalam

lagu ini dijelaskan akan membawa berkah dan pahala yang berlimpah.

Lalu lagu Sarwã Kêcukupan (serba kecukupan), juga merupakan lagu yang

bertemakan persoalan kesejahteraan dalam hidup dengan mengelola sebuah

kekayaan. Lagu ini menceritakan sebuah kehidupan keluarga yang berkecukupan, dan

keluarga itu menjadi contoh untuk para tetangga di lingkungannya selain kanya harta,

juga pemerhati pendidikan dengan membuat madarasah di kompleks rumahnya,

sekaligus dermawan dengan sesama. Lagu ini dengan lagu Lomã inti dan maknanya

sama, yaitu tentang kedermawanan.

43

Syair lagu: Duét

Sholatuloh salamuloh

Ala toha rosulilah

Ala toha

Rosulilah

Sholatuloh salamuloh

Ala yasin habibila

Ala yasin

Habibilah

Duité numpuk sêgudang

Tumpakané mobil sédan

Sayang

Ora sêmbahyang

Ãnã masjid mung disawang

Al-Quran dingo pajangan

Jaréné

Ngakuné Islam

Pakèané macak santri

Ngalor ngidul katon rapi

Sayang

Ora tau ngaji

Mãcã koran diunggulnã

Al-Qur’an jaréné kunã

Mbèsuké

Bakal cilãkã

Reff: Uwong urip pancèn kabèh butuh duit

Yèn wés sugih duit ãjã lali masjid

Duit iku kadang dadhi pênyakit

Sugéh duit lali ngaji lali masjid

Golèk duit ãjã nganti ninggal sholat

Yèn wés sugéh ãjã pãdã lali zakat

Zakat iku bagiané wong mlarat

Kanggo ngrêsiki bãndã harom lan subhat

44

Syair lagu: Lomã

Ngalal kafi sholatuloh

Nglasyafi salamuloh

Bihmuyidino qolisholat

Minal balwaiyaalloh 2X

Mbarêng sugéh kok ra kèlingan

Bãndã dãnyã mung titipan

Mbokyã éléng

Karo sanak kadang

Yèn wes sugéh ãjã mung nyawang

Ngèlingãnã wãng sing kêkurangan

Kurang sandang

Ugã kurang pangan

Reff: Sugéh bãndã

Mung sak wêtãrã

Suk yen mati

Ora bakal di gãwã

Wãng sing lomã

Akèh ngamalé

Ngono iku

Bakal akèh ganjarané

Sugéhé ãjã mungkanggo déwé

Sing mlarat mbok digatèké 2X

Syair lagu: Sarwã Kêcukupan

Yarobisoli ngalaMuhammad

Solingala muhammad

Yarobisoli ngalaiwasalim

Solingalaiwasalim 2X

Omahé wés gedé jembar lataré

Tingkat loro cacahé

45

Tur ãnã masjidté srêgep ngibadhahé

Pancèn kuat imané

Tumpakané mèrsi bojoné mung siji

Sakbên soré srêgep ngaji

Ora tau nonggo karo tãnggã lomã

Ora pernah nekã-nekã

Reff: Sugih bãndã

Ãjã lali karo kang kuãsã

Sembah sujud

Sakbên dinã kaping limã

Yèn wés sugih

Karo kãncã ãjã piléh-piléh

Sugéh bãndã

Ãjã lali karo tãnggã

Kerukunan umat beragama atau kerukunan antar sesama manusia juga

menjadi perhatian khusus dari Rebana Walisongo. Hal itu dibuktikan dengan

terciptakannya syair lagu yang berjudul Kêrukunan. Lagu ini adalah sebuah

rekomposisi dari lagu dangdut yang dipopulerkah oleh Soneta dengan judul

“pertemuan”. Lagu ini bercerita tentang perjalanan kehidupan dengan rasa solidaritas

dan rasa saling menghormati dalam kehidupan bermasyarakat. Serta juga memiliki

pesan nasionalisme, yaitu agar selalu menjaga kerukunan meskipun berbeda etnisitas,

keyakinan, bangsa, serta berbeda paham, diharapkan selalu rukun agar menciptakan

ketentraman serta kenyamanan dalam menjalani hidup. Berikut syair lagu Kêrukunan.

46

Syair lagu: Kêrukunan

Dhoharo dinulmuaya

Fidzuhuri nabi ahmmad 2X Yahanan nabi Muhammad

Zalikal faluminaulloh 2X Dhoharo dunulmuaya

Fidzuhuri nabi ahmmad

Kêrukunan dirêksã tênan

Tumêkã akhiréng zaman

Yèn péngén gawé katêntrêman

Ãjã dã sênêng tukaran

Pãdã-pãdã tunggal sak bãngsã

Mbãk ãjã pãdã sulãyã

Pãdã-pãdã tunggal sedulur

Mbok ayo pãdã sing akur

Kêrukunan dirêksã tênan

Tumêkã akhiring zaman

Yèn péngén gawé katêntrêman

Ãjã dã sênêng tukaran

Reff: Tukar padu iku ra ãnã gunané

Mênang lan kalah pãdã-pãdã dosãné

Amrih panjang umur rêjêki sêmulur

Akèh-akèhnã goné nêpung sêdulur

Rukun agawé santosã

Yèn crah agawé bubrah

Rukun mréng sepãdã-pãdã

nDadèknã urip barãkah

Selain yang dibahas di atas, juga terdapat tema-tema lainnya, seperti

memelihara kehormatan wanita. Lagu tersebut berjudul “Nutup Aurãt”, menceritakan

47

tentang cara berbusana wanita muslim. Lagu ini juga menekankan kepada wanita

karir untuk menjaga cara berpakaian dengan menutup apa yang menjadi aurãt wanita.

Karena dengan menutup pada bagian yang dianjurkan Agama Islam itu, akan

meredam hawa nafsu kaum adam, dan juga meminimalisir terjadinya perbuatan yang

tidak senonoh atau pelecehan seksual terhadap kaum wanita Selanjutnya seruan

kepada anak sekolah untuk selalu menggunakan pakaian yang dianjurkan oleh agama

Islam.

Syair lagu: Nutup Aurãt

Sholatullohi maulana

Ngala mafilhudajana

Mambauil akiaulana

Sahifil qolki ngindaulloh 2X

Sêdulur kaum wanitã

Aurãtmu tutupãnã

Ãjã ganti didêlãknã

Mbukak aurãt iku dosã

Mênãwã siro lêlungan

Amrih aman godãné sétan

Kulinakno kerudungan

Ãjã namung yèn pêngajian

Reff:

Tidak kantoran bêcik jilbabpan

Iku tandané wanitã séng iman

Budal sêkolah nganggo makrãmah

Iku tandaé putri sholiqah

Iki tuntunan agãmã

Mulã pãdã lakãnãnã

Amréh slamêt awak irã

Sãkã gêniné nêrãkã

48

Dapat dipahami dari pemamaran muatan dakwah Rebana Walisongo di atas,

bahwa isi dakwah Rebana Walisongo adalah mengajak masyarakat atau audiens,

untuk peka terhadap kehidupan di lingkungannya maupun gejala sosial yang terjadi di

sekitarnya. Selain itu, Rebana Walisongo juga berusaha memberikan pemahaman

hidup yang sesuai dengan syariat agama di tengah kehidupan masyarakat yang sarat

akan kesenjangan sosial dewasda ini.

4. Nilai Budaya yang Terkandung dalam Dakwah-Musik Rebana Walisongo

Unsur budaya terlihat dalam tiga hal, pertama dengan penggunaan Bahasa

Jawa dalam syairnya. Kedua isi yang terkandung dalam syair lagu-lagunya adalah

fenomena yang terjadi pada persoalan budaya masyarakat Jawa, khususnya wilayah

Sragen. Ketiga adalah mengenai segi pemahaman mengenai ajaran yang

disampaikan, tentang pemahaman Islam yang pluralism, yaitu Islam dalam

pandangan umum, yang menjunjung tinggi asas kebinekaan di Jawa khususnya

Dalam upaya pengembangan ajaran Islam, pandangan atau paradigma yang

ditanamkan oleh Rebana Walisongo kepada masyarakat adalah, pemahaman Islam

yang menjunjung tinggi budaya Jawa. Termasuk juga, berusaha meneruskan

perjuangan tokoh-tokoh Islam di Jawa. Salah satunya adalah Sunan Kalijaga yang

juga disebut Waliyullah Tanah Jawi (Hariwijaya, dalam buku Dakwah Sunan Kali

Jaga, 2006: 281). Ajakan itu ditandai dengan munculnya lagu yang berjudul

49

Tuntunan Wali Sãngã yang dipopulerkan Rebana Walisongo, berikut penggalkan lagu

tersebut.

Allohuma soliwasalimngala

Sayidina wamaulana Muhammadin

Adhadhama fingimillahisholatan

Da’imatambidawami mulkillahi

Dã èlingo iki jamané wés tuwã

Tuntunan agãmã dã dianggep kunã

Lakãnãnã ajarané wali sãngã

Sing ra kêrsã ãjã nyacat ãjã nginã

Wali Sãngã wés nyãtã kondang kalokã

walipiniléh ãnã ing tanah Jãwã

lakãnãnã ajarané walisãngã

yèn ra kêrsã ãjã nyacat ãjã nginã

ãnã carané dakwah klawan budãyã

umpamané kãyã Sunan Kali Jãgã

pituturé mlêbu ati ora krãsã

tuntunan agãmã bis diamalnã

Ajarané Wali Sãngã wêrnã-wêrnã

Zikér tahlil kirém dongã lakãnãnã

Mãcã Qur’an lan sholawat kulinaknã

Ziarãh kubur ãjã nganti dilalèknã

Manakipan lan layisan diamalnã

Istigosah lan wiridan ditêrusnã

Dongã kunut subuh ãjã ditinggalnã

Nggoné ngaji kitab kuning têmênãnã

Lebih lanjut, Ma’ruf menuturkan, konsep dakwah êmpan-papan adalah salah

satu konsep yang ia terapkan dalam dakwah-musiknya. Menempatkan atau

menyesuaikan dengan keadaan dengan budaya masyarakat setempat adalah cara

untuk mencuri perhatian masyarakat, di antaranya adalah dengan menggunakan

50

kesenian sebagai medianya (wawancara, 24 April 2012). Karena wilayah dakwahnya

mayoritas adalah penduduk Jawa, maka ia bersama Rebana Walisongo menyiratkan

konsep-konsep atau istilah ke-Jawa-an dalam judul lagu maupun syairnya, misalkan

lagu yang berjudul Têpã Slirã, Sarãnã Ngayuh Mulyã, Pitutur Luhur, Jaman Wés

Tuwã, Ãjã Srakah serta Mulyã Ndonyã Aqèrat Bejã. Beberapa judul lagu tersebut,

adalah istilah dalam bahasa Jawa yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.

Nilai-nilai budaya juga terlihat pada aspek musikal. Seperti terdapat unsur

gamelan, atau lebih tepatnya terdapat suara yang menyerupai perangkat saron yang

terdapat pada gamelan Jawa yang ditirukan oleh instrument keyboard. Dalam lagu

Budhal Haji, terdapat unsur suara gamelan pada lagu tersebut. Lantas upaya

rekomposisi yang dilakukan terhadap lagu-lagu campursari, merupakan salah satu

bentuk nilai budaya juga. Seperti pada aransemen lagu campu sari Rãndã Kêmpling,

Èla-élo, serta Pêpéléng, yang telah popular terlebih dahulu di dalam musik

campursari

Jadi dapat dikatakan, unsur budaya juga lekat dengan dakwah-musik yang

dilakukan oleh Rebana Walisongo. Dengan paparan yang telah dijelaskan di muka,

Rebana Walisongo berusaha untuk mengenalkan dan juga melestarikan kebudayan

baik secara implisit maupun eksplisit lewat dakwah dan karya-karya musik yang

mereka suguhkan kepada masyarakat.

51

C. Musik “Tersandra” oleh Ayat

Sebuah pengorbanan dilakukan untuk menuai sebuah tujuan dalam kehidupan.

Begitu juga dengan aturan, harus ditaati untuk menciptakan suasana yang aman dan

tentram. Di dalam musik, sering atau biasa kita dengar dengan istilah kebebasan

berekspresi, yang artinya bebas melakukan atau mengungkapkan segala hal lewat

karya musik. Ekspresi merupakan perwujudan dari sebuah karya, yang

menyampaikan maksud serta karakter karya musik yang dipentaskan. Musik adalah

alat ungkap untuk menyampaikan kepada publik yang mengusung pesan dari

komposernya kepada audiens. Setiap komposer memiliki makna dan tujuan tertentu

dalam menciptakan sebuah karya bisa saja karya yang diciptakan itu pesanan dari

seseorang, menggambarkan pengalaman pribadi, dan ditujukan kepada seseorang,

atau merupakan sebuah kritikan, serta ada juga musik yang memiliki tujuan untuk

promosi layanan masyarakat. Semua itu menurut istilah Sadra, mencipta dalam

rangka (Sadra, 2005: 78). Masih menurut Sadra ,ketika sorang komponis mempunyai

gagasan, dan kemudian merealisasikannya lewat partitur, notasi, atau bahkan hanya

disimpan dalam memori atau ingatan saja, maka di sinilah batas pencitaan belum

bersinggungan dari kepentingan luar dari komponis. Begitupula dengan Rebana

Walisongo, mereka juga mempunyai maksud dan tujuan yaitu untuk berdakwah

menyebarkan ajaran Agama Islam.

52

Musik yang dikembangkan Rebana Walisongo adalah musik yang bertemakan

tentang ajaran Islam. Lagu-lagu yang dilantunkan selain temanya diambil dari gejala

sosial di tengah masyarakat juga digabungkan dengan kitab Al-Qur’an dan Hadits,

serta juga mengambil dari fenomena kesenjangan sosial yang ada di tengah

masyarakat. Seperti, lagu yang berjudul “Sangu Têlu” (Tiga Bekal), dalam Kitab Al-

Qur’an menerangkan tiga hal yang akan menjadi bekal manusia kelak jika mati.

Ketiga hal itu adalah yang pertama amal jariyah, adalah sesuatu yang ditinggalkan di

dunia yang berwujudkan harta benda yang bermanfaat bagi manusia, seperti

membangun tempat ibadah, tempat menimba ilmu, serta fasilitas umum yang

bermanfaat bagi masyarakat. Lantas yang kedua adalah ilmu yang bermanfaat, yakni

ketika manusia hidup di dunia menularkan ilmunya kepada sesama sehingga ilmunya

bermanfaat bagi orang lain. Kemudian yang ketiga adalah anak yang berbakti kepada

orang tua yang jika orang tuanya meninggal nanti selalu mengirim doa kepada orang

tuanya supaya dosa-dosa didunia diampuni olehNya. Dari ketiga hal itulah lahir lagu

yang berjudul Sangu Têlu. Berikut syair lagu Sangu Têlu.

Syair lagu: Sangu Têlu

Ilahana ilahana

ajezilana toana 2X

Wakfirlana dzunubana

Wasrohlana sudzurohna 2X Èlingã pãrã manungsã ninggalaké alam ndãnyã

Banjur pedãt amal irã

53

Ora ãnã kang digãwã

Kajãbã têlung pêrkãrã

Sêpisan amal jariah kanthi èkhlasinng manah

Gawé panggonan ngibadah

Langgar masjid lan madrãsah

Kanggo ngaji bocah-bocah

Déné kang kaping lorone ngèlmu ãnã manfaaté

Manfaat go awak dwé

Lan ditular-tularaké

Marang sêpãdã-padané

Kaping têlu iku putrã bisã ndãngake wãng tuwã

Ngo ngèntèng-ngèntèngké sèksã

Lamun wãng tuwã wés sèdã

Sowan mréng Kang Mãhã Kuãsã

Lantas ada juga lagu yang tercipta dipicu karena fenomena yang ada di tengah

masyarakat. Mbah Toyép misalnya, lagu ini bercerita tentang tokoh kakek yang

hidupnya berkecukupan, dermawan, serta menjalankan perintah agama dengan tekun.

Berikut syair lagu Mbah Toyép.

Syair lagu: Mbah Toyép

Solatulloh salamolloh

Alatoha rosullilah

Solatyulloh salamulloh

Alayasin habibilah

Tawasalna bibismillah

Wabilhadi rosulillah

Wakulomuja hidilillah

Biahlilbatriya alloh

Mbah Toyép é é Mbah Toyip

sugéh duit tur ora mêdit

54

Mbah Toyép akèh amalé

sênêng nulung wãng ora nduwé

Mbah Toyép imanè kuat

Ora sênêng ninggalno sholat

Ora sênêng nindak né maksiat

Anak putuné pãdã taat

Reff: Mbah Toyép pancèn sênêgé ngaji

Nadyan tuwã ndêrês Qur’an ora lali

Mbah Toyép sênêgé silaturahmi

Mulo panjang umur lan akèh rêjêki

Tema lagu seakan membelenggu sebuah musik. Ruang gerak untuk

mengeksplorasi musik atau tema lagu yang terkadang terbentur pada sebuah niat dan

ajaran itu sendiri. Dakwah menggunakan musik, memaksa untuk konsisten

menyampaikan apa yang menjadi konsep dakwah, yakni menyeru dalam kebaikan

dan melarang dalam keburukan. Lagu-lagu yang mereka lantunkan pun diharuskan

mengandung unsur kebaikan yang berlandaskan dari Al-Qur’an dan Hadits. Namun,

hal itu lazim untuk dilakukan, karena sebuah gerakan dalam dakwah Islam memang

harus memproduksi karya yang religius, jika memang tidak bisa konsisten, maka

konsep dakwah yang diusung akan “terkelupas”.

Perlu dipahami bahwa istilah tersandra di sini, bersifat membelenggu musik

dalam tataran syair, meliputi tema yang diusung harus sesuai dengan ajaran Islam,

karena dakwa-musik merujuknya dari sumber-sumber kitab Agama Islam.

55

Selama ini rebana Walisongo telah konsisten dengan karya-karyanya. Album

demi album selalu memberi karya yang religius, walau dengan kemasan yang berbeda

tetapi tetap tidak keluar dari ranah perbaikan moral baik secara implisit maupun

eksplisit. Ayat dari Al-Qur’an dan Hadits selalu menjadi rujukan dalam menciptakan

karya Rebana Walisongo.

1. Musik Rebana adalah Salah-satu Media untuk Menanamkan Ajaran Islam

Sebuah dekonstruksi faham atau ajaran Islam, saat ini gencar dilakukan oleh

ormas-ormas Islam terhadap masyarakat. Banyak cara yang dilakukan untuk

menanamkan faham atau ajaran tertentu dalam kehidupan masyarakat. Seperti

rekrutmen yang dilakukan terhadap masyarakat supaya menjadi bagian kelompok

ormas Isalam tertentu dengan iming-iming sebuah derajat semu, pelatihan yang

mengatasnamakan sebuah ormas tertantu dalam pendidikan formal dilakukan di luar

jam pelajaran, dan masih banyak cara dilakukan untuk menanamkan sebuah

paradigma. Itu adalah potret kebringasan dan pemaksaan kehendak, dengan menyeru

masyarakat dengan faham pembelot rasional.

Tindakan radikalisme yang banyak terjadi di negeri ini, membuat frustasi

masyarakat, sehingga masyarakat menolak untuk simpati terhadap ormas Islam yang

beraliran radikal. Begitu luar biasa, implikasi dari pemaksaan sebuah ajaran tanpa

pendekatan terhadap masyarakat, justru merubah paradigma masyarakat terhadap

ormas Islam. Gerakan semacam itu hanya justru malah memperkeruh suasana dalam

56

upaya penyampaian dakwah Islam. Menjadi “bumerang” ketika melakukan

keanarkisan untuk memperjuangkan Islam, namun ternyata Islam justru mengutuk

perbuatan semacam itu.

Seperti Muhammadiyah, yang sekarang mengusung gerakan dakwah kultural,

yakni dengan merangkul kesenian lokal untuk menjadi bagian dari rangkaian kegiatan

Agama Islam. Namun dalam upayanya tersebut, mendapat kritikan dari kalangan

seniman, yang menjadi pakar dari pada kesenian. Muhammadiyah mencoba

melakukan dekonstruksi secara tekstual terhadap kesenian yang sudah ada. Misalnya,

Muhammadiyah, merubah cara berpakaian dalam tari bedaya, yang semula

mengenakan adat Jawa, Muhammadiyah merekomendasi untuk berpakaian

mengenakan busana Muslim. Hal itu yang memancing para seniman untuk andil

bersuara menyikapi fenomena tersebut. Dalam sebuah seminar nasional yang

membahas persoalan dakwah kultural Muhammadiyah di Universitas

Muhammadiyah Surakarta, terjadi diskusi panjang mengenai budaya lokal

dicampuradukan dengan persoalan aturan religiusitas. Waridi, pada saat itu sebagai

nara sumber yang mewakili tokoh kesenian menyatakan, Muhammadiyah jangan

terlalu masuk ke dalam, sehingga kêbablasên untuk mengatur persoalan kesenian,

biarlah kesenian berkembang dengan budaya lokalnya masing-masing, agama agar

berkembang dengan jalur yang diatur oleh agama. Cara yang cerdas dan efektif harus

dibutuhkan untuk meneruskan perjuangan para ulama untuk kelangsungan sebuah

57

ajaran Islam dengan tidak mengesampingkan atau menghilangkan genius lokal

masing-masing kesenian (Bahtiar, 2003: 195-196).

Ketika berbicara masalah dakwah kultural di Muhammadiyah, tentu tidak

akan bisa dilupakan keberadaan majelis tabligh dan dakwah khusus, majelis tarjih dan

pengembangan pemikiran Islam, serta lembaga seni budaya Muhammadiyah. Majelis

tarjih berbicara masalah batas-batas yang mungkin dilakukan sesuai syariah dan

lembaga seni budaya dan berbicara mengenai implementasinya. Dakwah

Muhammadiyah, menurut majelis tabligh dan dakwah khusus PP Muhammadiyah,

sebagai upaya menjadikan Islam agama rahmatan lil-'alamin idealnya menyentuh

segala lapisan dan kelompok masyarakat. Untuk konteks Indonesia khususnya (Jawa)

misalnya, dakwah Islam seyogyanya menyentuh tiga varian masyarakat yaitu

abangan, santri dan priyayi. Atau dengan kategorisasi Muhammadiyah sendiri,

dakwah itu haruslah menyentuh umat ijabah dan umat dakwah sekaligus

(http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/14/dakwah-kultural, 2012, 03).

Pembahasan di atas, merupakan salah satu upaya penanaman ajaran Islam,

dengan berusaha melakukan dekonstruksi terhadap kesenian lokal. Namun menurut

penulis, hal demikian kurang bijaksana dan dapat merampas identitas sebuah

kesenian itu sendiri. Sebuah ajaran akan dengan sendirinya sampai terhadap

masyarakat, atau sebaliknya masyarakat berusaha mencari cara berfikir dengan

berpetualang mencari kebenaran, serta bisa juga kita menawarkan sebuah ajaran itu

denga tidak merusak bagian yang telah menjadi “organ” penting dari sebuah seni.

58

Sebuah penawaran ajaran ke-Islam-an telah dilakukan Rebana Walisongo, dengan

memanfaatkan musik, mereka berdakwah di tengah masyarakat dengan lagu-lagu

Islaminya, baik lewat konser langsung, atau album rohaninya.

Dalam proses dakwah yang dilakukan Rebana Walisongo, baik secara implisit

maupun eksplisit terjadi sebuah proses penawaran konsep hidup beragama. Proses

penawaran itu, diwujudkan dengan sebuah pentas musik. Serta penawaran itu berupa

ajakan dalam kebaikan, dikemas dengan musik, lantas berisikan ayat-ayat yang

diwujudkan dalam syair lagu. Jadi produk yang ditawarkan adalah karya musik Islami

yaitu Rebana Walisongo sebagai alat penanaman ajaran keIslaman kepada

masyarakat.

Dalam penanaman ajaran tentu tidak semata-mata secara langsung menyeru

dan memerintah untuk mengikuti apa yang telah menjadi misi mereka, namun ada

upaya atau pendekatan yang dirasa cukup efektif dan efisien untuk menyampaikan

pesan dakwah. Banyak cara atau media yang dilakukan untuk penyampaian dakwah.

Namun Rebana Walisongo dalam hal ini memilih musik sebagai sarana dakwah.

Dalam proses penanaman ajaran semacam itu, memicu gejala dalam tubuh

Ponpes Walisongo. Para santri atau alumni pesantren, merasa memiliki beban moral

untuk menyebarkan dakwah dengan pola yang sama yaitu dengan memanfaatkan

musik sebagai sarana dakwah. Tidak sedikit alumni Ponpes Walisongo yang

mengembangkan dakwah dengan musik, Ilham Syarofi misalnya, setelah lulus dari

pesantren Ilham menjadi ustadz atau tokoh agama di Desa Jirapan, Kecamatan

59

Masaran, Kabupaten Sragen. Ia menjadi tokoh dan sekaligus pimpinan dari Madrasah

Al Istikomah, yang menjadi salah satu tempat menimba ilmu agama di desa tersebut.

Ilham memberdayakan santri-santrinya yang masih usia belia yang mayoritas duduk

di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Ia membentuk kelompok

rebana yang beranggotakan santri-santrinya tersebut yang diberi nama sesuai dengan

nama madrasahnya yakni Rebana Al Istikomah. Ilham selain mengajar mengaji, juga

mengajarkan musik rebana dari penglamannya ketika ia menimba ilmu agama di

Ponpes Walisongo Sragen, dari situlah Ilham mendapat ilmu bermain rebana dan

akhirnya ia kembangkan di dalam madrasahnya sekarang ini.

Lantas upaya yang sama juga dilakukan oleh alumni lain, yaitu Dwijo

Purnomo. Sepurnanya ia menimba ilmu agama di Ponpes Walisongo, ia juga

mengembangkan rebana di daerahnya di Dusun Gabus Wetan, Desa Gabus,

Kecamatan Ngrampal, Kabupaten SragenIa memberdayakan pemuda masjid atau

RISMA (Remaja Islam Masjid) untuk bergabung membentuk kelompok rebana.

Kelompok yang ia bentuk bernama Irama Fathurrahman.

Hal serupa juga dilakukan alumni alinnya yaitu oleh Zainun Mafudz dan

Muhamad Najib. Mereka mengembangkan rebana di daerahnya masing-masing,

dengan tujuan yang sama yakni dakwah Islam. Secara eksplisit sebetulnya tidak ada

anjuran atau perintah untuk berdakwah dengan musik. Namun, secara empiris para

santri melihat potensi dakwah dengan musik rebana cukup efektif selama ini. Hal itu

mendorong para santri lain untuk mengikuti jejak dari Ponpes Walisongo di mana

60

tempat mereka menimba ilmu agama. Dengan munculnya kelompok musik rebana

baru, justru menjadikan jalinan silaturahmi antar alumni dengan kelompok Rebana

Walisongo semakin erat. Hal itu dikarenakan, jika personil dari kelompok rebana

yang dibentuk alumni tadi kekurangan personil atau butuh bantuan perangkat, mereka

bisa kerja sama dengan pihak Rebana Walisongo.

Dengan berkembangnya rebana yang serupa dengan Walisongo, seakan ada

kekuatan tambahan yang membantu dalam syiar Islam. Rebana Walisongo

mempunyai mitra atau teman berjuang dalam menanamkan ajaran Islam kepada

masyarakat. Selain itu, jalinan kekuatan itu dibuktikan dengan adanya kerjasama

dalam pementasan. Ketika Rebana Walisongo terkendala hadir dalam pentas atau

menerima jadwal pentas ganda, jadwal pentas yang satu, akan diberikan kepada

kelompok rebana alumni.

Keharmonisan itu terjadi sampai sekarang. Fenomena tersebut, merupakan

bukti bahwa Rebana Walisongo rupanya, mampu memberikan pemahaman kepada

santri-santri Ponpes Walisongo, yaitu keberadaan musik ternyata mampu

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap dakwah Islam. Kelompok Musik

rebana yang mereka kembangkan saat ini merupakan terobosan yang evektif untuk

mensyiarkan sebuah ilmu pengetahuan atau peradigma tentang ilmu agama lewat

musik.

61

BAB III

PRODUKSI DAKWAH-MUSIK REBANA WALISONGO

Di dalam pembahasan bab ini, menjelaskan seputar produksi dakwah Rebana

Walisongo. Di antaranya, produksi musikalitas, perjalanan pengkaryaan, bagaimana

proses penciptaan syair, serta menggambarkan proses penggolahan karya dari

Rebana Walisongo Sragen.

A. Proses Produksi Dakwah-Musik Rebana Walisongo

Produksi adalah sebuah proses pengolahan dari bahan baku menjadi bahan

jadi. Proses inilah yang menjadi peting dalam menentukan kualitas hasil produksinya

yang akan diberikan kepada konsumen.

Selanjutnya adalah melihat proses pengolahan dakwah Rebana Walisongo.

Seperti yang sudah dianalogikan di atas, mengetahui proses atau pêracikan musik

Rebana Walisongo menjadi hal urgen untuk diketahui. Lalu hal apa saja yang

menjadi bahan telaah terkait dengan produksi? Berikut di antaranya: musikalitas dan

pengalaman musikal personal, pertimbangan personil Rebana Walisongo, penjelasan

bentuk musik Rebana Walisongo dari masa ke masa, serta pertimbangan medium

yang digunakan oleh Rebana Walisongo.

62

1. Musikalitas dan Pengalaman Musikal Personal

Sunarto menjelaskan tentang pengertian musikalitas dalam tesisnya yang

berbunyi sebagai berikut.

Pengertian musikalitas pada dasarnya dapat diurai menjadi beberapa hal meliputi (1) kepekaan untuk bermusik, baik memainkan, mendengarkan atau menghayati; (2) pengetahuan tentang musik, atau (3) bakat untuk bermusik. (Sunarto, 2006: 70).

Dari apa yang dipaparkan oleh Sunarto di atas, memberi pemahaman bahwa

musikalitas adalah kumpulan dari berbagai unsur. Salah satunya adalah bakat untuk

bermusik, yang nanti akan disinggung dalam pembahasan selanjutnya.

Ada beberapa faktor yang mendasari seseorang terbentuk kesenimanannya,

pertama adalah, orang menjadi seniman karena ditunjang oleh bakat, atau genetik.

Misalnya karena ayahnya seorang dalang secara alamiah bakat dalang yang dimiliki

ayah tersebut, akan menurun pada sang anak, sama-sama mahir dalam menggerakan

wayang. Lantas yang kedua, seseorang menjadi seniman karena bakat dari dalam

dirinya. Bakat adalah sebuah karunia Tuhan, atau juga dapat disebut dengan wahyu

Illahi. Bakat merupakan sesuatu yang tidak bisa diajarkan, atau bahkan didiriakan.

Selanjutnya yang ketiga berlatih dan belajar lewat pendidikan seni. Hal itu dapat

didapatkan dengan menimba ilmu pada sekolah-sekolah kejuruan seni atau institut

seni sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Kemudian yang keempat karena

faktor lingkungan. Lingkungan sosial maupun budaya sangat mempengaruhi warna

kesenimanan seseorang. Suatu gaya atau ciri yang dimiliki kesenian, terbentuk atas

63

kebiasan artistik kultural dari masyarakat dan lingkungan tersebut (Supanggah, 2005:

10-11).

Kaitan pembahasan di atas dengan teks ini adalah untuk membantu melihat

latar belakang para seniman Rebana Walisongo. Karena hal itu menentukan seperti

apa dan bagaimana karya musik yang disajikan oleh Rebana Walisongo. Dalam

sebuah kelompok musik, lantar belakang musisi tentu cukup beragam. Lantas

keberagaman itu selanjutnya jika dipelihara dengan baik kemudian memunculkan

gaya musikal tertentu, artinya semua latar belakang pemusik dapat menyatu dalam

satu karya musik.

Kompleksitas pengalaman bermusik dari personil Rebana Walisongo, nyaris

tidak ada. Hal itu dikarenakan, pengalaman bermusik para personil mayoritas mereka

dapatkan hanya dari Ponpes Walisongo. Secara tidak langsung, bisa dikatakan

pengetahuan atau pengalaman musik para personil mayoritas sama yaitu sama-sama

hanya memiliki pengalaman bermusik di wilayah musik rebana, walaupun ada

beberapa yang memang mendapat pengalaman bermusik dari luar musik rebana,

namun hanya beberapa personil.

Maryadi misalnya, sebelum bergabung dengan Rebana Walisongo, ia sempat

menjadi personil kelompok dangdut Sagita selama dua tahun, serta pernah menjadi

bagian dari manajemen maestro campursari yaitu Didi Kempot kurang lebih 15

tahun, dan juga pernah menjadi bagian dari personil musik jalanan di Sragen yaitu

kelompok musik Pralon. Paling tidak pengalaman itu cukup berpengaruh dalam gaya

64

atau ciri Maryadi ketika mereproduksi lagu atau aransemen musik Rebana

Walisongo.

Ahmad Sutrisno, sebelum bergabung menjadi bagian dari personil Rebana

Walisongo, ia adalah pemain bas salah satu kelompok musik campursari yang ada di

Sragen. Hardi sebelum menjadi bagian dari Rebana Walisongo, ia adalah pemain

keyboard orkes Dangdut Sanggorda dan juga pernah menjadi operator studio rekaman

Maju Rahayu Sragen serta juga pernah menjadi pemain solo keyboard. Sosok yang

dipaparkan di muka adalah orang-orang yang menjadi tokoh berpengaruh di dalam

Rebana Walisongo, terutama berpengaruh pada aransemen musik.

Melihat perjalanan beberapa personil Rebana Walisongo di atas, rupanya

terdapat kesamaan tentang selera musikal, yaitu sama-sama pecinta dan

berlatarbelakang musik dangdut. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa ritme

musik Rebana Walisongo didominasi oleh ritme musik dangdut.

2. Pertimbangan Personil Rebana Walisongo

Pada mulanya, personil Rebana Walisongo adalah para santri “aktif” Ponpes

Walisongo Sragen. Kemudian seiring berjalannya waktu, para santri tidak lagi

diperbolehkan untuk menjadi personil rebana. Hal itu dikarenakan, ketika para santri

terlibat dalam pentas Rebana Walisongo, kondisi kelas begitu lengang, dan hanya ada

beberapa santri saja yang mengikuti pelajaran atau proses mengaji. Akhirnya dengan

65

adanya fenomena tersebut, dilakukan berbagai pertimbangan yang pada akhirnya

personil Rebana Walisongo diutamakan para alumni ponpes dan ustadz.

Lebih lanjut dalam perkembangannya, untuk menjadi personil Rebana

Walisongo, terdapat beberapa ketentuan. Yang pertama adalah bakat, santri yang

berbakat dalam bidang musik dapat menyalurkan bakatnya lewat kegiatan musik

yaitu Rebana Walisongo, namun untuk menjadi personil utama Rebana Walisongo,

santri yang berbakat diminta untuk menyelesaikan tugas belajarnya pada level

tertentu, setelah itu baru diperbolehkan bergabung menjadi personil utama

(wawancara Marzuki, 24 Mei, 2012). Namun hal itu tidak menjadi peraturan yang

baku. Penerapannya fleksibel saja, jika memang kondisi rebana membutuhkan

personil tambahan, hal tersebut tidak menjadi halangan untuk merekrut di kalangan

santri yang berbakat meskipun masih ditingkat bawah dalam mengikuti pelajaran

mengajinya. Demi kelancaran proses dakwah Rebana Walisongo.

Sistem pembagian jadwal pentas personil Rebana Walisongo merupakan sesuatu

yang tidak lazim terjadi dalam kalangan kelompok musik. Jika kelompok musik lain

band misalnya, telah memiliki personil yang utuh, artinya jumlah personilnya

disesuaikan dengan kebutuhan medium yang ada. Agak berbeda di dalam kelompok

Rebana Walisongo, mereka memiliki personil yang jumlahnya lebih dari medium

yang ada. Artinya setiap personil tidak selalu ikut dalam pementasan,

keikutsertaannya diatur melalui sistem penjadwalan oleh manajer Rebana Walisongo.

Hal itupun tidak menjadi peraturan yang baku, melainkan dalam penerapanya bersifat

66

luwês atau menyesuaikan kondisi. Sistem yang diterapkan Rebana Walisongo tentang

pengaturan jadwal pementasan, justru mengasah kemampuan kepekaan musikalitas

para personil. Karena, dalam setiap pementasan akan selalu berjumpa dengan personil

yang berbeda, tentu dalam berinteraksi untuk menyajikan susunan musik, hal itu

menjadi sebuah tantangan, bagaimana harus saling menyesuaikan dalam mengolah

musik di atas panggung. Hal itu, disadari betul oleh para personil, namun semuanya

tidak menjadi kendala, karena pada prinsipnya, persamaan persepsi dalam melakukan

tabuhan atau memainkan pola musik rebana sudah terbentuk sejak awal saat mereka

bergabung dalam kelompok Rebana Walisongo. Oleh karena itu, dalam menyajikan

karya musik selama ini cukup berjalan dengan lancar meskipun harus berganti-ganti

patner bermusik ketika pentas di atas panggung.

Kondisi tersebut, di saat tertentu juga terjadi kekacauan. Suatu ketika, para

personil Rebana Walisongo kekurangan personil, dalam kondisi demikian, pengurus

Rebana Walisongo dituntut harus cepat mencari solusi untuk mengatasi persoalan ini.

Kebetulan relasi Rebana Walisongo dengan kelompok rebana lain cukup luas, banyak

personil dari luar kelompok Rebana Walisongo yang sanggup untuk membantu dan

berperan menggantikan personil Rebana Walisongo yang berhalangan pentas

(wawancara Marzuki 23 Mei 2012).

67

3. Rekomposisi Syair Lagu

Kelompok Rebana Walisongo melakukan rekomposisi beberapa lagu yang

telah lebih dulu popular. Lagu tersebut di antaranya adalah: Pertemuan dan Caping

Nggunung yang dipopulerkan oleh kelompok musik Soneta dan Gesang. Lagu

tersebut yang nantinya akan dibahas dalam bagian sub bab ini.

Pertemuan adalah lagu yang berirama dangdut. Lagu tersebut memiliki alur

yang sudah digarap oleh kelompok musik Soneta. Alur tersebut meliputi beberapa

bagian, istilah bagian digunakan untuk mempermudah penjelasan alur lagu. Lagu

Pertemuan terdapat beberapa bagian yaitu: bagian pertama, bagian tengah, dan bagian

interlude. Bagian pertama terdiri atas dua ba’it lagu dan dua kalimat lagu yang

masing-masing kalimat diulang dua kali. Bagian tengah terdapat empat ba’it lagu,

terdiri atas satu ba’it dan dua kalimat lagu yang diulang masing-masing kalimat lagu

dua kali. Selanjutnya bagian interlude, bagian ini terdapat satu ba’it lagu, serta satu

kalimat lagu yang diulang empat kali, kemudian kembali ke bagian pertama.

Rangkaian alur di depan tersebut, jika diurutkan dengan analogi model huruf, adalah

sebagai berikut, A-B-A-C-D-A.

Kasus yang terjadi pada kelompok Rebana Walisongo, lagu Pertemuan

dirubah yang semula berbahasa Indonesia menjadi syair bahasa Jawa dan bahasa

Arab. Selain merubah syair, kelompok Rebana Walisongo juga merubah alur lagu

tersebut dan tema lagu. Bagian pertama dalam lagu ini jika dilihat dari versi

kelompok Rebana Walisongo berubah menjadi tiga ba’it lagu. Dengan rincian

68

sebagai berikut, ba’it pertama menggunakan bahasa Arab di ulang dua kali, ba’it yang

dua dan ketiga berbahasa Jawa, lalu kembali lagi ke ba’it pertama dengan bahasa

Arab. Kemudian setelah itu masuk bagian tengah, bagian ini terdiri atas satu ba’it

lagu dengan menggunakan bahasa Jawa dan dengan dua kalimat lagu. Selanjutnya

pada bagian interlude, bagian ini terdapat satu ba’it lagu dengan bahasa Jawa, terdiri

dari satu kalimat lagu dan diulang empat kali. Jika diurutkan dengan analogi model

huruf adalah sebagai berikut,A-B-A-A-B-A-D-A.

Untuk lebih jelasnya tentang perubahan alur dan syair yang dilakukan Rebana

Walisongo terhadap lagu Pertemuan dari Soneta, berikut dua syair tersebut dari versi

masing-masing disandingkan.

69

Syair lagu: Pertemuan (Soneta) A (bagian awal) Pertemuan yang ku impikan Kini jadi kenyataan Pertemuan yang ku dambakan Ternyata bukan hayalan B Sakit karena perpisahan Kini telah terobati Kebahagiaan yang hilang Kini kembalilagi A Pertemuan yang ku impikan Kini jadi kenyataan Pertemuan yang ku dambakan Ternyata bukan hayalan

Reff: C (bagian tengah) Rindu yang selama ini sudah membeku Mencair diterpa cinta dalam senandung Cinta yang selama ini sudah menggunung Tercurah sudah penuh dengan kemesraan D (interlude) Tak ingin lagi berpisah Cukup sekali berpisah Tak ingin lagi merana Cukup sekali merana A (bagian awal) Pertemuan yang ku impikan Kini jadi kenyataan Pertemuan yang ku dambakan Ternyata bukan hayalan

Syair lagu: Kêrukunan (Pertemuan versi Rebana Walisongo) A (bagian awal) Dhoharo dunulmuaya Fidzuhuri nabi ahmmad 2X B Yahanan nabi Muhammad Zalikal faluminaulloh 2X

A Dhoharo dunulmuaya Fidzuhuri nabi ahmmad

A Kêrukunan dirêksã tênan Tumêkã akhiréng zaman Yèn péngén gawé katêntrêman Ãjã dã sênêng tukaran

B Pãdã-pãdã tunggal sak bãngsã Mbãk ãjã pãdã sulãyã Pãdã-pãdã tunggal sedulur Mbok ayo pãdã sing akur

A Kêrukunan dirêksã tênan Tumêkã akhiring zaman Yèn péngén gawé katêntrêman Ãjã dã sênêng tukaran

Reff: C (bagian tengah) Tukar padu iku ra ãnã gunané Mênang lan kalah pãdã-pãdã dosãné Amrih panjang umur rêjêki sêmulur Akèh-akèhnã goné nêpung sêdulur

D (interlude) Rukun agawé santosã Yèn crah agawé bubrah Rukun mréng sepãdã-pãdã nDadèknã urip barãkah A (bagian awal) Kêrukunan dirêksã tênan Tumêkã akhiring zaman Yèn péngén gawé katêntrêman Ãjã dã sênêng tukaran

70

Kasus serupa juga terjadi pada lagu karya Gesang, yaitu Caping Nggunung.

Lagu tersebut direkomposisi dari aspek alur lagu dan tema syair lagu oleh kelompok

Rebana Walisongo. Lagu Caping Nggunung memiliki beberapa bagian alur, dimulai

dari bagian pertama, bagian ini terdapat dua ba’it lagu dengan dua kalimat lagu dan

kalimat lagu tersebut diulang satu kali. Lalu bagian tengah, bagian ini terdapat satu

ba’it lagu dengan dua kalimat lagu yang masing-masing kalimat lagu diulang satu

satu kali. Kemudian kembali ke bagian pertama. Jika diurutka secara alur dan

dianalogikan dengan model hiruf sebagai berikut, A-A-B-A.

Perubahan yang dilakukan oleh kelompok Rebana Walisongo terhadap lagu

ini adalah dari aspek alur lagu dan tema lagu. Lagu tersebut dalam versi Rebana

Walisongo terdiri atas beberapa bagian, yaitu bagian pertama tiga ba’it dengan dua

kalimat lagu. Ba’it pertama menggunakan bahasa Arab dan diulang satu kali,

kemudian dua ba’it selanjutnyan menggunakan bahasa Jawa, kemudian bagian

tengah, terdapat satu ba’it dengan dua kalimat lagu. Lalu kembali ke bagian pertama

dengan menggunakan bahasa Arab. Jika lagu ini diurutkan dengan alur menurut versi

Rebana Walisongo, dapat dilihat dengan model urutan huruf sebagai berikut, A-A-A-

A-B-A-A. Lebih jelasnya akan ditunjukan masing-masing versi dari lagu tersebut

berikut sayair lagunya.

71

Syair lagu: Ayo Sholat (Caping Nggunung versi Rebana Walisongo)

Bagian pertama A Yarobibil mustofa Baligmagho syidana Wakfirlana mamadho Yawasia karoomi A Ayo pãdã sholat Kanggo sangu nèng akhérat Pitulas rãkaat Rino wêngi ãjã kêndat A Yèn jêjêg sholaté Bakal jêjêg agãmãné Yèn rubuh sholaté Bakal rusak kabèh amalé Reff: Bagian tengah B Wés nyãtã Sholat cagaké agãmã Wés nyãtã Sholat kunciné suwargo Kembali ke pertama A Muslimin sêdãyã Kakung putri Enom lan tuwã Mumpung sih ãnã rãgã Ãjã ninggal sholat limã

Syair lagu: Caping Nggunung (Lagu asli Gesang) Bagian pertama A Dhèk jaman bêrjuang Njur kèlingan anak lanang Mbiyèn tak opèni Ning saiki ãnã ngêndi A Jaréné wés mênang Kêturutan sing di gadhang Mbiyèn ninggal janji Ning saiki ãpã lali Reff: Bagian tengah B Nèng nggunung Tak cadhãngi sêgã jagung Yèn mêndung Tak silihi caping nggunung Kembali ke pertama A Sukur bisã nyawang Gunung ndesã dadi rejã Bèné ora ilang Nggoné pãdã lãrã lãpã

72

4. Media “Ungkap” Rebana Walisongo

Media ungkap adalah perangkat atau alat yang digunakan sebagai sumber

bunyi. Adapun perangkat atau instrumen yang digunakan oleh Rebana Walisongo

adalah sebagai berikut: Rémo (semacam drum set), berfungsi sebagai penentu tempo

dan ritme dalam alur musikal rebana. Seperti fungsi kendhang di dalam musik

karawitan yaitu sebagai pamurbã irãmã. Tidak hanya itu saja, rémo juga sebagai

pemandu ketika melakukan fil, atau ater. Instrumen rémo mempunyai empat tom-tom

atau empat silinder yang bermembran satu muka, istilah silinder digunakan untuk

mempermudah penjelasan mengenai bentuk perangkat ini. Setiap silinder memiliki

ukuran dan karakter suara yang berbeda. Silinder (badan instrumen) yang pertama

atau paling kiri, memiliki ukuran dengan garis tengah 25 cm. Silinder dengan ukuran

ini memiliki karakter suara rendah atau low. Silinder yang kedua memiliki ukuran

dengan garis tengah 15 cm, dengan karakter suara tinggi atau high. Silinder yang

ketiga memiliki ukuran dengan garis tengah 20 cm, dengan karakter suara medium

atau lebih rendah dari silinder yang kedua. Kemudian yang keempat atau silinder

yang terakhir memiliki ukuran dengan garis tengah 30 cm, memiliki karakter suara

paling rendah di antara ketiga silinder lainnya. Jika diurutkan berdasarkan bunyinya

adalah sebagai berikut: dung, thung, thong, dhong. Namun suara tersebut tidaklah

seutuhnya benar, karena dalam tuning system instrumen rémo sangat tergantung

kepada selera pemain. Data yang disebutkan di muka tersebut merupakan hasil dari

pengamatan di lapangan pada kelompok Rebana Walisongo.

73

Cara membunyikan perangkat tersebut adalah dengan cara dipukul, pemukul

yang digunakan adalah stick yang biasa digunakan untuk memukul drum. Selain

rémo, terdapat instrumen lain yang fungsinya mendampingi instrumen rémo, yaitu

hihat dan snare drum. Hihat adalah simbal ganda yang biasanya menjadi salah satu

bagian dari drum. Snare drum adalah bagian dari salah satu perangkat drum set, yang

terdapat senar di salah satu sisinya yang gunanya memberi getaran ketika dibunyikan.

Kedua alat tersebut berfungsi sebagai pendukung ketika melakukan ater.

Berikut adalah pola ater pada instrumen rémo dan potongan dari pola baku

snare drum dan hihat.

Di atas adalah pola remo saat melakukan ater.

Lalu instrumen selanjutnya adalah téplak (gendang kecil bermembran satu

muka). Alat ini badan silindernya terbuat dari kayu, dan membrannya terbuat dari

kulit kerbau atau sapi. Perangkat tersebut berjumlah tiga buah, yang pertama

memiliki ukuran dengan garis tengah 20 cm, dengan karakter suara rendah atau low.

Dua yang lainya memiliki ukuran dengan garis tengah 15 cm, dengan karakter suara

high namun tuningnya berbeda. Jika secara urut dibunyikan akan berbunyi, bung

74

(low), tong dan tung (high). Tiga perangkat ini memiliki pola yang berbeda tetapi

menjadi satu kesatuan, karena pola yang digunakan adalah imbal-imbalan jadi

instrumen ini tidak dapat berdiri sendiri. Berikut potongan pola baku pada instrumen

téplak.

Kemudian perangkat selanjutnya adalah tiga buah têrbang, dalam kelompok

Rebana Walisongo instrumen ini biasa disebut tam. Perangkat tersebut silindernya

terbuat dari kayu, dan membrannya terbuat dari kulit kerbau atau sapi. Têrbang

memiliki garis tengah 25 cm. cara membunyikannya adalah dipukul dengan telapak

tangan. Perangkat ini memiliki tiga karakter suara yaitu: tong, pung, dan pang. Bunyi

tong dihasilkan dengan cara memukul dengan menggunakan tiga jari tangan yaitu jari

telunjuk, jari tengah dan jari manis dengan memukul tepat bagian tepi membran pada

perangkat tersebut. Bunyi pung akan dihasilkan dengan memukul menggunakan

telapak tangan penuh tepat di bagian antara tepi dan tengah membran têrbang,

dengan menyisakan sedikit ruangan di bagian tengah telapak tangan. Selanjutnya

bunyi pang akan dihasilkan jika memukul bagian tengah dengan menggunakan

telapak tangan penuh tanpa harus menyisakan ruangan pada telapak tangan. Data

yang disampaikan di sepan tersebut, didapat ketika penulis melihat proses latihan

reban Walisongo. Instrumen ini fungsinya tidak jauh berbeda dengan instrumen

75

téplak yang telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, têrbang berfungsi

sebagai pengisi ritme dalam kalimat lagu. Pola yang digunakan adalah imbal-imbalan

sama halnya dengan téplak, jadi têrbang tidak dapat berdiri sendiri.

Têrbang dan téplak saling membagi tugas musikal. Artinya penempatan

dalam setiap lagu atau pola tabuhan, têrbang dan téplak saling bergantian. Téplak

dimainkan ketika vokalis bernyanyi pada syair bahasa Jawa. Sedangkan instrumen

têrbang, dimainkan ketika vokalis bernyanyi koor dengan menggunakan syair

sholawat berbahasa Arab. Meskipun itu tidak menjadi patokan dalam bermusik,

namun selama ini yang dilakukan téplak dan têrbang dalam alur lagu Rebana

Walisongo seperti yang telah dipaparkan di muka.

Terdapat tiga jenis pola têrbangan yang digunakan dalam Rebana Walisongo.

Tiga pola tersebut berlaku untuk semua lagu. Oleh karena itu tidak ada kekhususan

pola tertentu untuk lagu tertentu. Penerapan pola terbang menjadi kesepakatan para

pemain instrument terbang. Berikut tiga jenis pola yang dimaksud.

76

Instrumen selanjutnya adalah keyboard. Perangkat ini, tergolong sebagai

perangkat melodis, berfungsi sebagai melodi dan memainkan akord atau kunci (nada

dasar) dalam lagu-lagu Rebana Walisongo. Rebana Walisongo menggunakan dua

buah keyboard dalam komposisi musiknya. Setipa keyboard memiliki tugas masing-

masing. Keyboard satu memiliki fungsi sebagai melodis. Artinya mengikuti alunan

melodi pada lagu atau nyanyian. Lantas keyboard kedua memiliki tugas mengisi

akord-akord yang sesuai nada lagu-lagu.

Selanjutnya adalah instrumen bas (Jidhor). Instrumen ini berbentuk

menyerupai bedug, dengan membran dua muka pada tiap sisinya.

Perangkat ini terbuat dari bahan kayu olahan (menyerupai tripleks) sebagai

silindernya dan bahan dari mika sebagai membrannya. Ketiga jidhor ini masing-

masing memiliki ukuran yang berbeda yaitu dengan garis tengah: 50 cm, 70 cm, 85

77

cm. adapun karater bunyi yang dihasilkan dari masing-masing ukuran tersebut

adalah: dung, dong, dan dhêng. Cara membunyikanya adalah dengan dipukul bagian

tengah membrannya menggunakan stick yang terbuat dari kayu serta ujungnnya

terdapat busa yang berguna sebagai penahan, serta sebagai peredam suara agar

membran tidak langsung terkena dengan ujung kayu stick. Perangkat ini memiliki

tiga jalinan pola yang dilakukan secara harmonis, artinya ketiga pola bas tersebut

saling berkaitan, tidak dapat berdiri sendiiri. Pola yang diperankan oleh instrumen bas

ini, mirip dengan instrumen struktural pada karawitan Jawa yaitu kempul, kenong,

dan gong. Fungsi kempul, kenong dan gong di dalam musik rebana, diemban oleh

bas, jadi selain bertugas sebagai akhiran pada kalimat lagu, atau jatuh pada nada

berat, bas juga memainkan pola di tengah bagian kalimat lagu sama seperti kempul

dan kenong. Hanya saja bas di sini tidak memiliki nada seperti instrumen struktural

pada karawitan, melainkan ketiga bas itu hanya dibedakan karakter suara tinggi

rendahnya saja. Berikut adalah potongan pola baku pada bas.

Lantas intrumen terakhir yaitu tamborin (kecrekan). Intrumen ini, memiliki

warna tersendiri dalam musik Rebana Walisongo. Dengan karakter suaranya yang

high menjadikan susunan musik cukup “rame”. Alat ini dimainkan satu pola saja

dalam setiap birama, jadi tidak terlalu dominan fungsinya. Namun jika tidak

78

diikutsertakan dalam komposisi, terasa kurang, karena suaranya yang minoritas ini

justru menjadi bumbu atau kesan tersendiri dalam musik rebana.

Perangkat yang digunakan Rebana Walisongo, khususnya téplak, têrbang

serta tiga bas (jidhor), terinspirasi dari model atau gaya salah satu kelompok musik

rebana dari Kota Demak. Kemudian dalam perkembangannya, perangkat-perangkat

tersebut di adopsi, serta mengalami inovasi, dan revitalisasi khususnya pada bas dan

rémo . Instrumen bas pada mulanya menggunakan membran kulit kerbau atau sapi,

dengan resonansinya menggunakan batang kayu gelondongan yang dilubangi pada

bagian tengah. Lantas perangkat tersebut dilakukan perubahan pada membrannya dan

resonansinya, yaitu dengan mengganti membran yang tadinya kulit menjadi mika

serta mengganti resonansi yang semula kayu glondongan yang dilubangi sekarang

mengunakan kayu olahan yang bentuknya menyerupai tripleks dan dibentuk

melingkar.

79

Gambar I. Instrumen téplak (Foto: Joko, 2012)

Gambar II. Instrumen Bas (Foto: Joko, 2012)

Gambar III.Instrumen rémo (Foto: Joko, 2012)

80

Gambar IV. Instrumen têrbang (Foto: Joko, 2012)

Gambar V. Instrumen keyboard (Foto: Joko, 2012)

81

5. Produksi Perangkat Rebana Walisongo

Perangkat yang digunakan Rebana Walisongo, merupakan buatan industri

rumahan. Ada beberapa tempat Rebana Walisongo membeli perangkat-perangkat

musiknya. Tidak semua instrumen diproduksi pada satu tempat saja. Perangkat

têrbang dan téplak mereka beli dari Kota Demak. Lantas untuk perangkat, rémo dan

bas (jidhor), mereka datangkan dari Kota Klaten, karena di Demak tidak

memproduksi rémo dan bas (jidhor) dengan spesifikasi sesuai Rebana Walisongo,

begitu pula sebaliknya. Adapun instrumen keyboard mereka mudah untuk

mendapatkanya, alat musik ini banyak tersedia di toko-toko musik.

Setiap satu tahun sekali perangkat Rebana Walisongo, dilakukan perombakan

atau pembaharuan. Setiap perangkat yang kondisinya sudah rusak, digantikan dengan

yang baru. Demi memenuhi kebutuhan tersebut, mereka membeli perangkat setiap

tahunnya dan di tempatkan di gudang untuk persediaan, kecuali perangkat rémo , bas,

dan keyboard.

6. Produksi Syair lagu

Sebagian besar syair lagu Rebana Walisongo, adalah buah karya dari Ma’ruf

Islamudin, meskipun tidak semuanya, namun karya Ma’ruf cukup mendominasi pada

lagu-lagu Rebana Walisongo. Pria kelahiran 26 November 1966 itu, cukup mahir

dalam memadukan kata dan kalimat dalam syair lagu rebana. Bahasa atau kata yang

digunakan adalah bahasa Jawa, yang sehari-hari yang kita gunakan untuk berinteraksi

82

dengan sesama. Nyaris tidak ada metafora yang terkandung di dalamnya. Tidak

seperti lagu popular lainnya dengan menggunakan perumpaman-perumpaman yang

biasa terkandung pada lagu-lagu percintaan, ia membuat sayair bertujuan menggiring

manusia untuk berimajinasi ke dalam persoalan gejala sosial yang timbul di tengah

masyarakat. Dengan menonjolkan perumpamaan-perumpamaan sehari-hari, yang

sangat mungkin dipahami secara gamblang oleh masyarakat.

Fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat menjadi inspirasi bagi

Ma’ruf untuk dituangkannya menjadi sebuah syair lagu. Hal itu dibuktikan adanya

tema lagu dalam beberapa karya Rebana Walisongo yang menggambarkan sebuah

fenomena sosial, yang mayoritas terjadi di tengah masyarakat. Pengibaratan yang

umum terjadi di tengah masyarakat tersebut, menjadi pilihan dari Rebana Walisongo,

karena secara eksplisit makna dan pesan dapat dengan mudah dicerna oleh semua

kalangan masyarakat.

Dalam hal ini Rebana Walisongo mempunyai fokus tersendiri dalam

menggambarkan cerita dalam lagu. Yakni fokus pada syair lagu yang bertemakan

dakwah Islam.

Dakwah ternyata juga dilakukan ketika proses pembuatan syair lagu yang

dilakukan Ma’ruf dengan para personil rebana. Dalam proses penyusunan syair yang

dilakukan oleh salah satu personil, hasil akhir pada karya tersebut, selalu atas

rekomendasi Ma’ruf. Ide dan gagasan dalam menentukan tema lagu selalu menjadi

bahan diskusi yang dilakukan personil dengan pengasuh Rebana Walisongo. Secara

83

tidak langsung, dalam interen rebana juga terjadi sebuah penanaman nilai Islam.

Diskusi yang terjadi ketika menyusun syair, setiap penyusun mendapat masukan dari

para personil lain, serta Ma’ruf Islamudin.

Unsur dakwah tersebut, sedikit banyak telah memberi pembelajaran terhadap

personil rebana. Pelajaran itu terletak pada tataran keefektivitasan memilih tema dan

kalimat syair. Karena pembelajaran seperti itu mungkin saja tidak didapat ketika

belajar di kelas.

Proses tersebut, memang tidak tampak secara jelas, proses tersebut terjadi

pada tataran wacana keilmuan yang sifatnya empiris (pengalaman). Peristiwa itu

menjadi catatan penting di dalam wilayah ini, karena proses transfer ilmu antar

sesama musisi terjadi pada peristiwa ini. Misalkan ketika salah satu personil,

memiliki susunan sayair lagu, kemudian terjadi koreksi oleh Ma’ruf atau saran dari

personil lain yang terkait dengan substansi dalam syair tersebut, itulah pengalaman

yang paling berharga, dan unsur dakwah interennya terletak pada momen seperti itu.

7. Proses Perekaman

Proses perekaman dilakukan secara multi track. Rekaman biasa dilakukan

pada malam hari. Hal itu dilakukan karena pada siang hari keadaan di sekitar studio

rekaman terlalu bising, oleh kegiatan santri-santri, karena itu, proses rekaman

dilakukan malam hari untuk menghindari suara bising, dan hal itu dapat mengganggu

dalam proses rekaman.

84

Track pertama biasanya dipakai untuk melodi keyboard terlebih dahulu, baru

kemudian ritem akord keyboard, kemudian bas, rémo , lalu baru masuk téplak dan

têrbang, serta paling terakhir adalah vokal. Selanjutnya dilakukan proses mixing dan

finising.

Gambar VI. Proses Rekaman (Foto: Joko, 2012)

85

Gambar VII. Koleksi album Rebana Walisongo

(Foto: Joko, 2012)

8. Perkembangan Produksi Rebana Walisongo

8.1. Musik Rebana Walisongo di Awal Kemunculan (1997-1998)

Rebana Walisongo, di awal kemunculan tahun 1997 masih menggunakan

perangkat perkusi saja, belum menggunakan perangkat melodis. Perangkat atau

medium pada masa tersebut menggunakan empat jenis instrumen, diantaranya: empat

instrumen têrbang, tiga instrumen téplak, sebuah instrumen rémo berserta hihat dan

snare drum, serta tiga buah jidhor yang berfungsi sebagai bas.

86

Bentuk musik yang disajikan berupa gabungan dari semua perangkat perkusi

yang telah disebutkan pada pembahasan di muka. Yakni rémo berfungsi sebagai

pamurbã irãmã sekaligus sebagai atêr, kemudian instrumen téplak sebagai isian

dalam ritme yang diwujudkan dengan jalinan tiga pola karakter yang berbeda.

Selanjutnya instrumen têrbang, têrbang berfungsi sama halnya dengan téplak yaitu

sebagai isian dalam kalimat lagu, dengan karakter pola tabuhan imbal-imbalan.

Lantas instrumen jidhor sebagai bas, fungsinya seperti bas drum set, berfungsi

sebagai akhiran pada sèlèh nada berat.

Bentuk musik atau jalinan pola pada alat-alat yang telah dijelaskan di atas

tersebut, berlaku untuk semua lagu. Berikut bentuk musik Rebana Walisongo pada

awal kemunculan.

87

Bentuk musik di atas merupakan bentuk pola-pola baku. Artinya pola atau jalinan

suara tersebut berlaku untuk semua lagu.

8.2. Musik Rebana Walisongo di Era Hardi (1999-2000)

Kemudian pada tahun 1999, Rebana Walisongo dipertemukan dengan sosok

Hardi, ia adalah pemain keyboard sekaligus arranger (pengaransemen) musik

dangdut di beberapa kelompok musik dangdut di Sragen dan sekitarnya. Ketika itu ia

bertemu dengan Rebana Walisongo di Studio Maju Rahayu, setelah pertemuan

tersebut, ia diminta bergabung dengan kelompok Rebana Walisongo Sragen dan

88

dipercaya untuk menempati posisi sebagai pemain keyboard sekaligus arranger

musiknya.

Hardi, dalam mereproduksi musik, lebih gemar mengolah musik berkarakter

lembut, seperti menyusun ritme, pola tabuhan, serta penggabungan karakter bunyi, ia

sangat mempertimbangkan bunyi yang soft (lembut) sebagai pilihannya. Begitu pula

dengan system mixing pada karya-karyanya, balance (keseimbangan) menjadi dasar

dalam pengaturan bunyi, sesuai dengan fungsi dan karakter bunyinya. Susunan musik

yang ia rangkai cukup memperhatikan aspek pemerataan, artinya setiap instrumen

diharapkan selalu memiliki tugas dan spesialisasinya masing-masing. Artinya

kontribusi akan selalu sesuai dengan kebutuhan musik, jadi tidak ada medium yang

menonjol atau mendominasi pada musik Rebana Walisongo, melainkan setiap

perangkat memiliki tugas dan fungsi masing-masing.

Susunan pola tabuhan yang diterapkan oleh Hardi, memperhatiakan aspek

ketepatan tempo dan ritmisnya. Misal, permainan têrbang dituntut memperhatikan

ketepatan ritmis ketika penggabungan pola dan menjaga tempo agar selalu konstan

pada nilai sukat birama. Hal tersebut juga berlaku untuk perangkat-perangkat yang

lain. Hardi menuntut permainan yang baik dan rapi, sebagai hal yang diutamakan.

Hardi dalam menggarap musik menekankan pada aspek kepekaan musikal, yakni

bermain musik dengan perasaan dan kepekaan musikal yang mumpuni. Itu adalah

modal yang utama dalam memainkan sebuah alat musik untuk menciptakan sebuah

keharmonisan dan kekompakan dalam kelompok. Menurutnya, bermain musik yang

89

paling dikedepankan adalah rãsã dalam bermain musik. Karena perasaan berguna

untuk mengendalikan permainan yang disajikan oleh musisi. Perasaan itu meliputi

beberapa hal, di antaranya pengendalian emosi, pengendalian mood, pengendalian

pikiran, baik saat menyajikan ataupun saat menciptakan (wawancara Hardi, 22

Agustus 2012).

Beberapa rekaman Rebana Walisongo yang digarap oleh Hardi hasilnya

nyaris sempurna, tanpa terjadi cacat pola, atau cacat dalam ketepatan tempo.

Perpindahan pola têrbang menuju pola téplak pun tersusun dengan rapi. Demikian

dengan pemilihan susunan nada dan karakter melodi yang ia sajikan. Lantas dalam

segi penataan karakter bunyi musik pada proses mixing, Hardi melakukannya dengan

baik. Hal itu nampak pada hasil rekaman, dengan penentuan sistem rivebration pada

Rebana Walisongo yang porsinya cukup seimbang.

Ada beberapa hal yang yang membedakan dalam segi musik setelah

masuknya sosok Hardi, dengan susunan musik sebelumnya. Pertama, di era Hardi

adanya penambahan instrumen melodis yaitu keyboard. Kedua terdapat perubahan

komposisi musik, yang semula hanya mengandalkan perangkat perkusi saja,

kemudian digabungkan dengan perangkat melodis, yang secara signifikan merubah

karakter musik Rebana Walisongo. Berikut adalah penggalan musik pada era Hardi.

90

91

92

93

94

95

8.3. Musik Rebana Walisongo di Masa Transisi (2001-2002)

Tahun 2001, Rebana Walisongo mengalami kekosongan pemikir dalam

musikalitas. Namun mereka tetap berkarya dengan segala keterbatasan. Dengan

menerapkan pengalaman yang mereka dapat dari para senior-seniornya. Pada fase ini

melahirkan satu album Nggayuh Kamulyan, dengan karakter musik yang sedikit

berbeda dengan sebelumnya.

Musik pada masa ini, letak perbedaannya pada pembagian tugas atau fungsi

pada beberapa perangkat. Kali ini kontribusi rémo dan keyboard, sedikit mengalami

penurunan, justru yang mengalami peningkatan adalah pada instrumen téplak dan

têrbang. Rémo, yang semula fungsinya sebagai pemandu irama dan ater, kali ini

nyaris tidak difungsikan, karena semua tugas pemandu irama dan ater, diemban oleh

téplak dan bas. Lantas keberadaan keyboard pada fase ini, unsur melodinya telah

berkurang, namun pemanfaatan akord-akordnya masih sama seperti sediakala.

Lantas, perubahan juga nampak pada pola-pola peralihan yang terdapat dalam

kalimat lagu pada album ini. Singkatnya, karakter musik pada komposisi tersebut,

cenderung kepada pengembalian karakter model nDemakan. Yang sebelumnya

tertutupi oleh perangkat budaya Barat.

Lagu-lagu yang menjadi bahan garapan pada album ini, adalah lagu-lagu lama

yang memang kurang populer di kalangan masyarakat sebagaimana pada eranya

Hardi, materi lagu pada fase ini menggunakan lagu yang telah dipopulerkan oleh

santri-santri Ponpes Al-Muayad. Seperti lagu Sarono Gayuh Mulyo, Sola

96

Ngalaikaalloh, Ojo Ninggal Sholat. Namun sudah diaransemen ulang dari segi

musiknya, meliputi penggantian syair, pola tabuhan, serta ritme musiknya, yang

sebelumnya ketika dibawakan oleh kelompok musik dari Al-Muayad berkarakter

musik bergaya Timur Tengahan, karakter tersebut ditunjukan dengan pemilihan nada-

nada minor melodis yang dihasilkan dari intsumen gambus. namun ketika dibawakan

oleh Rebana Walisongo berubah menjadi cenderung ke ritme musik melayu atau

dangdut.

Ada beberapa hal yang membedakan pada komposisi musik pada era ini

dengan era Hardi. Pertama adalah berkurangnya kontribusi perangkat rémo. Kedua

adalah dalam setiap lagu tidak menggunakan melodi awal sebagai pembuka, yang

pada era Hardi pembuka selalu menggunakan melodi lagu dari instrumen keyboard,

namun dalam era transisi ini dimulai langsung dengan vokal, atau istilah dalam lain

adalah bukã cêluk, kemudian baru berikutnya disusul musik dari instrumen-

instrumen. Berikut adalah penggalan lagu Sarono Gayuh Mulyo salah satu lagu di

masa transisi ini.

97

98

99

100

101

102

103

104

105

106

107

8.4. Musik Rebana Walisongo di Era Maryadi (2002 hingga sekarang)

Maryadi bergabung dan menjadi pemain keyboard Rebana Wali Songo tahun

2002. Ia merupakan pria kelahiran Desa Distrikan, Kabupaten Sragen, 36 tahun

silam. Darah kesenimannya didapat dari ayahnya, yang dulu juga seorang pekerja

seni. Maryadi mengenyam pendidikan hanya sampai dengan sekolah dasar. Karena

kegemarannya bermain musik sejak dari kecil, hal itu adalah salah satu pemicu

Maryadi untuk putus sekolah, di samping juga ada masalah keluarga. Ia malang

melintang di dalam dunia musik kurang lebih selama tiga puluh tahun. (wawancara

Maryadi 22 Juni 2012).

Maryadi malang melintang di dunia musik kurang lebih 25 tahun. Perjalanan

bermusiknya ia lalui dengan bergabung dengan beberapa kelompok musik. Pernah

menjadi bagian dari musisi campursari yang dikelola oleh Didi Kempot. Pernah

menjadi bagian dari personil kelompok musik Pralon di Sragen. Pernah bergabung

dengan kelompok musik dangdut Sagita. Pernah mendirikan kelompok solo keyboard

di Sragen. Selain menjadi player, Maryadi juga seorang pencipta lagu.

Perjalanan maryadi di berbagai kelompok musik di atas, telah memperkaya

pengalaman dirinya dalam bermusik. Pengalaman yang didapatkan adalah bermain

musik dangdut, seperti yang telah dijelaskan di muka. Oleh karena itu, ritme dangdut

tidak dapat dipisahkan dari karya-karya yang dia ciptakan, baik mencipta lagu

maupun mereproduksi lagu.

108

Karya yang diciptakan Maryadi beberapa terinspirasi dari karya kelompok

musik Soneta. Karakter melodi yang ada pada lagu-lagu Rebana Walisongo dominan

menyerupai suara gitar, yang dihasilkan dari suara keyboard. Maryadi cukup mahir

memainkan suara distorsi gitar dengan keyboardnya. Dalam segi irama atau ritme,

ciri khas dari susunan musik pada fase ini adalah menyelipkan ritme rock dangdut

pada tengah-tengah kalimat lagu. Hal itu muncul ketika penulis mengamati dalam

proses menyusun musik di Studio Al Muntaha Record dan karya-karya yang sudah

dipublikasikan melalui kaset.

Berikut karya musik Maryadi dalam lagu Zikir Wengi yang cukup

digandrungi pecinta musik Rebana Walisongo.

109

110

111

112

113

114

115

116

117

118

119

120

121

Bentuk musik atau karakter musik yang Maryadi racik, merupakan

representasi dari perjalanan dan referensi musikalnya selama ini. Pengalaman atau

referensi musik seorang seniman menentukan gaya atau ciri dari sebuah karya yang

diciptakanya (Supanggah, 2005:11-12).

Lagu yang pernah diciptakannya dalam Rebana Walisongo di antaranya

sebagai berikut: Zikir Wêngi, Duét, Ãjã Srakah, Mbah Toyép, Syukur, serta masih

banyak lagu lainnya. Di antara lagu-lagu tersebut, yang menjadi fenomenal

dikalangan masyarakat adalah lagu Zikir Wêngi. Hal itu ditandai dengan permintaan

lagu tersebut saat rebana pentas dan penjualan kaset yang meningkat pesat, selain itu

lagu tersebut juga sering dibawakan oleh kelompok rebana lain ketika pentas.

B. Kegiatan dan Sasaran Dakwah-Musik Rebana Walisongo

Kegiatan dakwah Rebana Walisongo adalah, tempat di mana terjadinya proses

menyeru dan ada yang diseru. Bisanya proses ini, terjadi secara massal. Kegiatan

tersebut, dalam Ponpes Walisongo sudah diprogramkan. Terdapat kegiatan-kegiatan

khusus yang diperuntukan kepada umum. Misalkan pada tahun 2009 ada program

Safari Dakwah keliling secara cuma-cuma yang dilakukan Rebana Walisongo.

Kegiatan itu, dilakukan di setiap kecamatan di Kabupaten Sragen. Bentuk

kegiatannya adalah nada dan dakwah. Setiap kecamatan cukup menyediakan tempat

untuk perhelatan tersebut, kemudian semua keperluan atau perlengkapan acara

tersebut, sudah ditanggung oleh pihak Ponpes Walisongo.

122

Selain Program Safari Dakwah, Ponpes Walisongo juga membuat forum

silaturahmi antar pondok pesantren di Sragen yang bernama Ahad Dhuha, kegiatan

ini juga dikemas dengan nada dan dakwah. Selain untuk mempererat ukhuwah

Islamiyah, acara ini juga merupakan salah satu bentuk dakwah yang dilakukan

Ponpes Walisongo dengan musik sebagai ujung tombaknya. Dengan membentuk

forum ini diharapkan dukungan dakwah ataupun dakwah serupa juga dikembangkan

oleh ponpes lainnya.

Selain program-program yang dijelaskan di atas, Rebana Walisongo juga

mengembangkan dakwahnya lewat model penyiaran lewat Radio Walisongo. Radio

tersebut bergerak dalam wilayah dakwah, dengan melibatkan Rebana Walisongo

sebagai bagian dari acaranya. Artinya, acara atau lagu yang di putarkan memang

mayoritas lagu-lagu Rebana Walisongo. Radio menjadi lahan dakwah yang

selanjutnya, selain mereka pentas dari panggung ke panggung, dan memasarkan

kaset-kaset. Tidak hanya Radio Walisongo saja dalam melakukan dakwah lewat

musik rebana. Di Surabaya, Radio El Viktor juga menjadi kolega dalam membantu

dakwah lewat pesawat radio. Justru, yang menjadi inspirasi dalam membuat radio

sendiri adalah, karena referensi dari Radio El Viktor, yang sampai saat ini masih

menjadi mitra dalam menyebarkan ajaran Islam lewat karya Rebana Walisongo.

Lantas, disamping berdakwah dengan musik, Rebana Wali Songo juga

berhasil menjembatani proses pembuatan buku “Mengatasi Persoalan Hidup Seputar

Persoalan TKI di Hongkong”. Buku ini berisikan solusi mengatasi persoalan TKI di

123

Hongkong. Apa yang melatar belakangi terbitnya buku ini? Pada suatu ketika,

Rebana Walisongo beserta Ma’ruf mendapat kesempatan untuk mengisi acara

pengajian dalam komunitas TKI Indonesia yang berada di Hongkong. Sepurna dari

Hongkong, Ma’ruf mendadak menjadi konsultan spiritual. Ia sering mendapat,

keluhan lewat pesan singkat dari TKI yang merasa ada masalah dengan kehidupannya

selama berkerja. Berawal dari situ, terbersit inisiatif untuk menulis buku, yang isinya

solusi untuk mengatasi persoalan TKI di Hongkong. Hal itu tidak lepas dari

kontribusi Rebana Walisongo, yang memang mayoritas adalah para TKI penggemar

Rebana Walisongo Sragen.

Dalam upaya penyebaran nilai-nilai Islam, tentu sasaran menjadi sebuah

tujuan yang utama. Sasaran adalah yang nantinya akan menyerap dan menjadi

“konsumen” terhadap dakwahnya kelompok Rebana Walisongo. Lantas dalam hal

ini, siapa sajakah yang menjadi sasaran Rebana Walisongo melakukan dakwah?

Pertanyaan ini mungkin terlalu singkat dan sederhana untuk dijawab, bisa masyarakat

pedesaan, umat Islam pedesaan, masyarakat kota, pedagang, bahkan masyarakat non

Islam,dan lain sebagainya. Namun dalam konteks ini, tidak hanya sebatas itu saja,

tetapi juga mencakup kebagaimana proses penjaringan sasaran, dan sejauhmana

sasaran dakwah itu mampu pengembangkan jaringan sebagai “konsumen” dakwah.

Ma’ruf menjelaskan terkait dengan sasaran dakwah yang Rebana Walisongo

lakukan, sasaran itu bisa semua lapisan masyarakat. Pada prinsipnya Islam adalah

rahmatan lil alamin (rahmat bagi semua manusia). Jadi untuk upaya penyebaran

124

dakwah Islam tidak hanya kepada umat Islam saja, melainkan semua umat manusia,

hanya saja biasanya dilakukan dalam kelompok-kelompok umat Islam untuk

mempertebal keimanan.

C. Sistem Pemasaran

Pemasaran dilakukan hanya dengan menjual kaset pada tempat mereka pentas,

tepatnya setelah pertunjukan selesai. Peristiwa jual beli kaset baru mulai dilakukan.

Selain itu, upaya komersialisasi juga dilakukan dengan, menjual master rekaman pada

produser rekaman. Pada awal pemunculan Rebana Walisongo tahun 1998, mereka

melakukan kerjasama dengan studio rekaman Maju Rahayu. Kemudian pada tahun

2002, Rebana Walisongo mendirikan studio rekaman sendiri yaitu Al-Muntaha

Record. Lantas pada tahun yang sama melakukan kerja sama dengan Dasa Studio

dalam segi pemasaran. Seusai dengan Dasa Studio Semarang, pada tahun 2007,

Rebana Walisongo menjalin kerja sama dengan Produser Rekaman Virgo Ramayana

Jakarta, masih dalam segi pemasaran. Setelah dengan Virgo Ramayana, kini Rebana

Walisongo, menjalin kerjasama dengan Studio Aini Record Ponorogo.

Jalinan kerjasama tersebut adalah berupa penjualan master rekaman saja dari

pihak satu kepada pihak kedua, pihak satu adalah Rebana Walisongo, selanjutnya

disebut pihak kedua adalah yang menjalin kerjasama yang telah disebutkan di atas.

Penjualan master rekaman kepada pihak kedua dibandrol dengan harga 50 sampai 70

125

juta setiap albumnya. Dari kerjasama tersebut pihak Rebana Walisongo, hanya

memiliki hak cipta lagu saja, sedangkan hak untuk memasarkan sepenuhnya berada di

pihak kedua, begitu dan seterusnya.

Dengan kerja pemasaran demikian, Rebana Walisongo hanya memperoleh

keuntungan dari awal pembelian saja. Selebihnya terkait dengan pemasaran Rebana

Walisongo tidak mendapat royalti. Rebana Walisongo tidak mengejar materi atau

keuntungan dari segi finansial saja, namun kerjasama ini salah satunya dimanfaatkan

untuk mendongkrak popularitas Rebana Walisongo. Lewat kerja seperti yang telah

dipaparkan, diharapakan kelompok Rebana Walisongo semakin dikenal masyarakat

luas.

BAB IV

PEMENTASAN SEBAGAI KEGIATAN UTAMA DAKWAH-MUSIK

REBANA WALISONGO

Dalam bagian ini dijelaskan tentang pertunjukan Rebana Walisongo. Di

antaranya deskripsi pementasan Rebana Walisongo, elemen-elemen yang terkandung

dalam pertunjukan Rebana Walisongo, serta respon dari masyarakat terkait dengan

pertunjukan Rebana Walisongo.

1. Deskripsi Pementasan Rebana Walisongo

“Suatu malam 13 Mei 2012 di Balong Pandan, Sidoharjo, Jawa Timur,

diadakan peringatan hari besar Islam Isra’mi’raj. Acara digelar di jalan raya, yang

saat itu sengaja ditutup untuk kepentingan acara tersebut. Acara diawali dengan tarian

dan peragaan busana muslim oleh santri TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an)

setempat. Dari sudut lain terlihat antrian pengunjung, mereka semua berusaha masuk

dari sebelah kanan panggung. Tua, muda, dan anak-anak pun ikut dalam antrian

tersebut. Tidak lama, tempat yang telah disediakan panitia pun terisi penuh, dan

antrian pun berangsur lengang.

Selang beberapa saat, anggota-anggota Rebana Walisongo berjalan dari

belakang. Mereka beriringan dan membelah barisan tengah penonton menuju

panggung. Serentak hal itu menjadi perhatian para pengunjung. Banyak mata

127

pengunjung mengarah, mengamati, dan mengikuti pergerakan iring-iringan anggota

Rebana Walisongo ini.

Setibanya di panggung, Ahmad Qoirun, salah seorang anggota Rebana

Walisongo, langsung mengucap salam dan menyapa pengunjung. Tanpa menunggu

waktu lama, kelompok ini langsung memulai pertunjukannya. Mereka menampilkan

lima sampai tujuh lagu milik mereka.

Acara berikutnya adalah seremonial. Isinya berupa sambutan-sambutan dari

pejabat daerah setempat. Penuh basa-basi tetapi kerap dimaklumi sebagai sebuah hal

bukan tak wajar dan seharusnya disampaikan, sebab ini dianggap sebagai bagian dari

ekspresi budaya dalam melanjutkan tata cara seperti yang umum dilakukan oleh

orang tua dulu.

Acara dilanjutkan kembali dengan pertunjukan Rebana Walisongo berikutnya.

Umumnya lagu-lagu yang dipertunjukkan ini digunakan untuk menghibur

pengunjung, sebelum acara utama tausyiah digelar.

Tausyiah oleh Ma’ruf Islamudin dikemas dengan nada dan dakwah.Tausyiah

malam itu berlangsung komunikatif. Ma’ruf acap berdialog dengan pengunjung,

melontarkan pertanyaan, hanya sekedar bercanda, atau mengajak bernyanyi.

Hubungan jalinan komunikasi ini intens dilakukan dari arah panggung ke arah

penonton. Fenomena tersebut sering dilakukan Ma’ruf dan Rebana Walisongo-nya di

setiap penampilan.”

128

Pada tausyiah di Balong Pandan, Ma’ruf menyampaikan tentang peristiwa

Isra’mi’raj, sebuah sejarah perintah Allah kepada manusia untuk melakukan perintah

sholat lima waktu lewat Nabi Muhamad SAW. Di tengah penyampaian materi,

Ma’ruf menyelipkan lagu dengan judul “Isra’mi’raj” dengan diiringi Rebana

Walisongo. Sebelum melantunkan lagu, Ma’ruf mulanya menawarkan kepada

audiens dengan gaya humornya. “dilagok ké mbotên? Lagu lawas nãpã lagu anyar?

Sing anyar dèrèng dadi, sing lawas wés lali…”[dilagukan tidak? Lagu lama atau lagu

baru? Yang baru belum jadi, yang lama sudah lupa].

Lantas Ma’ruf menyanyikan lagu tersebut secara sepotong-sepotong, atau

secara ba’it per ba’it. setiap ba’it diselingi dengan penjelasan tentang inti dari syair

lagu tersebut. Berikut adalah syair lagu Isro’mi’raj.

Sholatulloh salamulloh Alatoha rosulillah Sholatulloh salamulloh Alayasin habibillah Tanggal pitulikur wulan rãjab Gusti njêng Nabi Muhammad pinuju dipun timbali sowan ngadêp dhat kang mãhã suci lampahipun wanci dalu dumugi nginggil langit sapitu akhiripun nampi wahyu sholat wajib limang wêktu pãrã muslimin muslimat mumpung durung kêtêkan sêkarat ayo pãdã nindaknã sholat supãyã slamêt ndoyo akhèrat

129

Pada lagu tersebut terdapat dua bagian yaitu syair berbahasa Arab dan syair

berbahasa Jawa. Syair berbahasa Arab berupa sholawat badhar. Syair berbahasa

Jawa berisikan tema peristiwa Isra’mi’raj. Kedua syair tersebut dinyanyikan dengan

cara bersahut-sahutan dengan audiens, atau audiens hanya melanjutkan bagian akhir

pada kalimat syair lagu tersebut.

Musik pengiring hanya dimainkan pada saat syair berbahasa Arab saja atau

bagian syair sholawat saja, yang dinyanyikan secara bersama-sama dengan audiens.

Bagian ini terletak pada awal kalimat lagu, dan di tengah lagu setelah bagian reff,

serta bagian akhir dari lagu tersebut. Artinya ketika kalimat lagu bagian reff tidak

diiringi oleh musik. Adapun urutan sajian dalam lagu ini adalah, ba’it pertama adalah

nyanyian sholawat yang diiringi oleh musik, ba’it kedua adalah nyanyian dengan

syair berbahasa Jawa dan dinyanyikan secara solo tanpa iringan musik, lantas yang

ketiga disambung kembali syair sholawat dengan iringan musik, keempat kembali

syair bahasa Jawa tanpa iringan alat musik, begitu dan diulang-ulang. Musik yang

dimaksud adalah iringan instrumental, artinya ketika Ma’ruf bernyanyi dengan

menggunakan bahasa Jawa, instrumen tidak dimainkan, kemudian ketika ketiga

vokalis melantunkan syair bahasa Arab, instrumen baru dimainkan. Berikut bentuk

musik yang disajikan.

130

131

132

133

134

135

136

Purna tema tersebut disampaikan, selanjutnya Ma’ruf menyampaikan tentang

“tri kerukunan antar umat beragama”. Yaitu (1) pemeluk agama yang satu menjaga

kerukunan dengan pemeluk agama yang lain. Ma’ruf juga melantunkan lagu yang

berhubungan dengan tiga kerukunan yang pertama, berupa lagu berjudul “Têpã

Slirã”. Lagu ini merupakan rekomposisi dari lagu campursari “Mung Sêliramu”. Di

dalam teks lagu yang telah dirubah, disyairkan tentang kehidupan manusia dengan

menggunakan konsep têpã slirã, yakni berlaku toleransi dan tidak saling menzalimi

antar sesama manusia. Berikut penggalan lagu tersebut.

137

138

Dua kerukunan yang lain adalah menjaga kerukunan interen antar sesama

pemeluk agama dan menjaga kerukunan antar pemeluk agama dengan pemerintah.

Setelah dijelaskan hakekatnya, pesan dakwah dilanjutkan dengan melantunkan lagu

dengan judul “Kerukunan”, yang merupakan rekomposisi dan telah diaransamen

ulang oleh Rebana Walisongo dari lagu “Pertemuan”nya Soneta Grup. Berikut

penggalan lagu Kerukunan.

139

140

Tausyiah, setelah semua selesai dipaparkan, diakhiri pada malam itu. Sebelum

acara benar-benar ditutup, Ma’ruf memohon kepada audiens dengan meminta waktu

beberapa menit untuk mempromosikan produk Ponpes Walisongo, di sela-sela akhir

ceramahnya. Barulah setelah itu, acara pengajian malam tersebut purna.

Peristiwa di atas panggung tersebut menjadi penting untuk ditelaah lebih

dalam. Upaya menyampaikan misi nilai-nilai ke-Islam-an lewat ceramah telah

diperkaya dengan karya-karya musik, baik melalui karya-karya musik rekaman

maupun dengan cara dipertunjukkan langsung di atas panggung. Syiar dengan balutan

musik tersebut, seperti dilakukan Rebana Walisongo kepada audiens, dipandang

menjadi cara efektif, terutama dalam kaitannya dengan dakwah yang edu-tainment:

mendidik sekaligus menghibur. Potensi-potensi itulah yang dimanfaatkan oleh

Rebana Walisongo untuk menyebarkan ajaran Agama Islam.

141

1.1. Unsur Gerak

Gerak adalah salah satu sikap yang ditimbulkan ketika menampilkan musik

(Merriam, 1964: 156). Sikap-sikap tubuh ketika menampilkan musik menjadi bahan

diskusi Merriam dalam buku terjemahan berjudul “Antropologi Musik”. Salah

satunya adalah tentang hubungan timbal balik antara, sikap tubuh, ketegangan suara,

ketegangan emosional serta gaya menyanyi. Lomax dalam Merriam meringkas ketiga

hubungan tersebut.

Ketika manusia, khususnya seorang wanita, diserahkan kepada kesedihan yang sangat menderita, wanita memancarkan rangkaian pola titinada tinggi, lama, berlaru-larut, nada-nada ratapan…seperti anak-anak kecil ketika mereka berteriak sedih. Kemudian kepala dijatuhkan ke belakang, arah rahang kedepan, langit-langit mulut yang lembut didorong ke bawah dan ke belakang, batang leher ditarik sehingga gumpalan udara seperti tiang yang kecil di bawah tekanan yang tinggi melepaskan ke atas menggetarkan langit-langit mulut yang keras dan secara berat mengisi lubang yang menghubungkan rongga hidung dan batok kepala (Merriam,1964: 160). Pernyataan Lomax di atas, menekankan bahwa perilaku atau sikap timbul

karena tuntutan emosi, dan itu bisa diakibatkan salah satunya dengan menampilkan

musik. Atau sebaliknya, suasana atau ekspresi tertentu akan memicu bahkan

menghasilkan bentuk musik tertentu.

Dalam pemaknaan yang agak berbeda, A. Tasman dalam tulisannya

mengungkapkan tentang hubungan sikap dengan musik, dalam konteks ini adalah

perilaku gerakan. Tasman menyebutkan bahwa para seniman menggunakan gerak

secara kreatif dan beragam dalam kekaryaannya, karena untuk memberi makna

keindahan, (2008: 2). Artinya Tasman memaknai bahwa gerakan yang digunakan

142

para seniman adalah sebagai wujud makna keindahan. Kedua pendapat di atas,

terlihat sama-sama berbicara tentang perilaku musisi saat menyajikan karya seni. Ada

hubungan timbal balik dan saling terkait antara sikap atau perilaku musisi dengan

karakter musik.

Dalam Pementasan Rebana Walisongo terdapat sikap-sikap atau perilaku

musisi ketika saat mereka menyajikan musik, salah satunya adalah tarian. Tarian

dilakukan oleh backing vocal, yaitu gerakan tangan yang melambai-lambai. Tarian

tersebut dilakukan dengan gerakan sejenis dan berlaku untuk semua lagu. Itu,

dilakukan tidak statis, namun dilakukan pada bagian-bagian tertentu.

Gerakan tarian dilakukan oleh tiga orang yang berada pada posisi tengah

paling depan, tepatnya di depan barisan para pemain musik rebana. Formasi itu dapat

berubah ketika Ma’ruf pada gilirannya menyampaikan tausyiah. Mereka geser ke

belakang tepatnya di belakang pemain musik, dengan posisi tetap berdiri.

Menurut Zainun (salah satu personil Rebana Walisongo), pola gerakan yang

terdapat dalam pertunjukan Rebana Walisongo merupakan pengembangan dari

gerakan reflek atau ekspresi yang timbul pada saat menghayati nyanyian, seperti

sikap menggerakkan badan ke kanan dan ke kiri, serta gerakan tangan. Dari situlah

muncul ide untuk dikembangkan menjadi gerakan tarian yang sederhana (wawacara

Zainun, 15 Maret 2012).

Elemen gerak pada pertunjukan kelompok musik Rebana Walisongo sengaja

dilakukan secara terbatas. Keterbatasan gerak, dilakukan karena menyangkut aspek

143

kesopanan atau adab Islam. Persoalan itu, relevan kiranya dengan apa yang du

ungkapkan oleh Zainuri, menurutnya persoalan tari masih menjadi perdebatan antara

diperbolehkan dengan sayarat adab Islam atau tidak diperbolehkan sama sekali. Hal

itu berdasarkan adanya fenomena tari yang cenderung atau justru memamerkan diri

atau tubuh di tempat umum (2003:130). Namu tarian yang diperbolehkan dengan

ketentuan norma-norma Islam tidak diterangkan secara jelas oelah Zainuri, ia hanya

menerangkah tari diperbolehkan tetapi dengan adab Islam.

Meksipun terdapat pola-pola gerakan (yang disebut tarian) dalam pertunjukan

kelompok Rebana Walisongo, itu hanyalah sebagai pameran visual atau artistik saja

ketika pentas. Tarian itu, dilakukan dengan duduk atau berdiri di belakang musisi

lainya, dengan menggandalkan geralkan tangan. Jadi dapat ditarik pemahaman,

bahwa gerakan yang terdapat pada pertunjukan kelompok Reban Walisongo, masih

memperhatikan asas dan norma ke-Islam-an.

Pernyataan Zainun, sejalan apa yang dinyatakan Morris tentang perilaku

musisi. Suasana atau karakter musik menjadi sebuah stimulan terhadap keluarnya

ekspresi, mimic serta gerak reflek. Lebih lanjut, perilaku tersebut “dipelihara” oleh

para musisi dan dijadikan sebagai suatu konsep tarian sederhana oleh Rebana

Walisongo.

Selain gerak tarian oleh penyanyi perempuan, elemen gerak lain ditunjukan

oleh para pemusik. Namun kapasitas gerakan yang dimaksud adalah gerakan yang

hanya diakibatkan karena penghayatan ketika memainkan instrumen, bukan semata-

144

mata gerakan yang terkonsep, atau lebih tepatnya cenderung mengarah kepada

perilaku gerak refleks. seperti ditunjukkan seorang pemusik yang memainkan

instrumen têrbang sambil menggeleng-gelengkan kepala atau memejamkan matanya.

Hal semacam itu dapat juga terjadi pada pertunjukan musik yang lain, karena hal itu

cukup lazim terjadi, dan sangat mungkin dilakukan oleh para musisi.

Sikap atau gerakan di atas pentas, di mata audiens bisa saja memiliki makna

tersendiri. Gerak di atas panggung dapat juga menjadi sebuah isyarat kepada

penonton dan bisa saja menyampaikan sesuatu kepada penonton. Lebih lanjut

berbagai sikap atau perilaku musisi ketika menyajikan musik itu, menjadi pemikiran

atau makna tersendiri di antara audiens, seperti yang dituturkan Burhan berikut

terkait pertunjukan Rebana Walisongo.

“…Tarian atau ekpresi para pemain saat mereka pentas itu membantu membawakan suasana hati menjadi riang …saya merasa terbawa dan masuk kedalam kêtukan musik tersebut, jika melihat para pemain gèlang-gèlèng, monggat-manggut (wawancara Burhan, 24 November 2012).

Pernyataan Burhan di atas, sejalan dengan apa yang disinggung oleh Morris dalam

tulisannya berikut.

The human hands are also important, having been freed from their ancient locomotion duties, and are capable, with their Manual Gestuculation, of transmitting many small mood changes by shitts in their postures and movement, especially during conversation encounters. I am defining the word’ gesticulation’, as distinct from “gesture’, as a manual action performed unconsciously during social interaction, when the gesticulator is emphasizing a verbal point he is making.

145

[tangan manusia juga penting, yang telah dibebaskan dari tugas kuno daya penggerak, dan mampu, dengan gerak-isyarat tangan manual mereka dari membawa banyak perubahan suasana hati kecil oleh pergeseran dalam postur dan gerakan, terutama selama pertemuan percakapan. saya mendefinisikan kata 'gerak-isyarat tangan', seperti pembedaan dari 'sikap', sebagai tindakan manual yang dilakukan secara tidak sadar selama interaksi sosial, ketika gesticulator ini menekankan titik lisan yang ia buat.] (Morris, 2005: 27).

Yang dinyatakan Morris di atas, menegaskan bahwa gerakan tangan dalam

percakapan sehari-hari saja dapat berpengaruh terhadap seseorang, meskipun itu

hanya gerakan yang ditimbulkan secara tidak sadar. Lantas, bagaimana jika gerakan

itu terkonsep secara khusus? Pernyataan di atas, menekankan adanya hubungan

tentang perilaku musisi dengan suasana atau kepuasan batin para penonton. Selain

perilaku musisi, dalam kehidupan sehari-haripun sikap manusia memiliki arti atau

makna tersendiri bagi seseorang yang melihatnya, baik itu perilaku disengaja maupun

tidak disengaja. Morris menyinggung tentang hal yang menyangkut sikap atau gerak

isyarat manusia (gestures), yang dinyatakan berikut.

A gestures is any action that sends a visual signal to an onlooker. To become a gesture, an act has to be seen by someone else and has to communicate some piece of information to them. It can do this eiter because the gesture deliberately sets out to send a signal-as whwn he sneezes. The hand-wave is a primary gesture, because it has no other existence or function. It is a piece of communication from star to finish. The sneeze, by contrast, is a secondary, or incidental gesture. Its primary fanction is mechanical and is concened with the neezer’s personal breating problem. In its secondary role, however, it cannot help but transmit a massage to his companions, warning them that he may have caught a cold. [Gerak isyarat adalah tindakan yang mengirimkan sinyal visual untuk penonton. Untuk menjadi sebuah isyarat, suatu tindakan harus dilihat oleh orang lain dan untuk berkomunikasi beberapa potongan informasi

146

kepada mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan baik karena gerak isyarat sengaja menetapkan untuk mengirim sinyal-sebagai saat ia gelombang tangannya- atau itu dapat dilakukan hanya insidental-seperti ketika dia bersin. Gelombang tangan adalah sebuah gerakan utama, karena ia tidak memiliki keberadaan atau fungsi lain. Itu merupakan bagian dari komunikasi dari awal sampai akhir. bersin, sebaliknya, adalah sikap sekunder, atau gerakan insidental. Fungsi utamanya adalah mekanik dan berkaitan dengan masalah pernapasan hidung personal. Dalam peran sekunder, bagaimanapun, ini tidak bisa membantu tetapi mengirimkan pesan kepada teman-temannya, peringatan, mereka bahwa ia mungkin telah menanggapinya secara dingin.] (Morris, 2005: 24). Lantas gerakan itu nampak pada pemain perkusi, yakni aksi personil ketika

memukul membran-membran instrumen rémo pada pertunjukan tersebut. Meskipun

pola gerakannya monoton, namun itu cukup berpengaruh terhadap kepuasan hati

penonton.

147

Gambar VIII. Salah satu ekspresi musisi di atas panggung

(Foto: Joko, 2012)

148

Gambar IX. Unsur gerak dalam pertunjukan Rebana Walisongo

(Foto: Joko Suyanto, 2012).

1.2. Unsur Visual

Pemandangan di atas panggung menjadi perhatian tersendiri dalam

pementasan sebuah pertunjukan. Oleh karena itu banyak pertunjukan musik atau

teater mempersiapkan visual yang begitu memukau dan artistik. Beragam konsep

panggung diterapkan pada konser-konser musik di televisi, seperti panggung

pertunjukan dengan konsep perairan, yang harus membuat kesan semirip mungkin

dengan kondisi seolah-olah berada di tengah-tengah laut atau sungai. Ada juga yang

mengusung konsep panggung bernuansa bambu, jadi semua properti yang digunakan

sebagai artistik terbuat dari kerajinan bambu, dan masih banyak lagi konsep

panggung yang indah lainnya.

Visual panggung dalam pementasan Rebana Walisongo memang tidak

sekompleks pada pertunjukan musik yang disebutkan di atas, yang secara artistik

149

digarap khusus. Dalam pemantasan Rebana Walisongo, unsur visual hanya

ditunjukkan pada kostum, dan formasi letak posisi personilnya saja. Kostum yang

mereka gunakan ketika pentas adalah warna-warna cerah atau ngêjrèng dengan

kombinasi warna-warna terang yang menjadi paduannya atau berhiaskan garis-garis

pada bagian tertentu.

Koleksi kostum Rebana Walisongo adalah sebagai berikut: warna biru,

kemudian dipadukan dengan warna putih pada bagian depannya, warna dasar putih

dikombinasikan dengan warna merah jambu, warna dasar hijau muda dipadukan

dengan warna kuning, warna dasar merah jambu dipadukan dengan warna hitam,

warna dasar kuning dipadukan dengan warna hitam, serta warna hijau toska

dipadukan dengan warna putih. Itu adalah beberapa koleksi kostum Rebana

Walisongo, meskipun juga ada beberapa dengan motif batik tapi tidak banyak.

Selanjutnya adalah letak posisi instrumen-instrumen. Pertama adalah posisi

instrumen rémo berada di sebelah paling kanan. Kemudian di tengah terdapat dua

keyboard. Selanjutnya di sebelah kiri terdapat tiga buah jidhor, itu semua berada pada

barisan belakang. Kemudian barisan yang kedua atau barisan depannya, paling kanan

terdapat tiga instrumen téplak, dan disusul sebelah kirinya têrbang atau rebana.

Selanjutnya barisan yang ketiga atau yang paling depan adalah posisi penyanyi.

Pertunjukan Rebana Walisongo tidak terdapat permainan lampu seperti

pertunjukan musik atau teater pada event bergengsi. Pertunjukan Rebana Walisongo

hanya terdapat lampu yang berfungsi sebagai pencahayaan di atas panggung saja

150

secara menyeluruh. Berbeda dengan pertunjukan musik lainnya, yang memang unsur

cahaya digunakan secara sengaja untuk memperindah atau digunakan sebagai bagian

dari konsep pertunjukan musik. Begitu juga dengan model panggungnya, Rebana

Walisongo tidak memiliki kriteria khusus, yang terpenting adalah ukurannya dapat

menampung para pemain.

Sistem panggung pertunjukan sudah ada pada zaman Yunani kuno. Seperti

diungkapkan Soegeng Toekio, jauh sebelum abad masehi, manusia telah bergaul

dengan suatu aktivitas pertunjukan beserta sarananya seperti apa yang kita jumpai

dari peninggalan Yunani kuno atau altar-altar pemujaan di Mesir. Prinsip pokok dari

ruang pentas itu adalah upaya penciptaan suatu ruang yang mampu menampung

orang banyak untuk suatu interaksi. Di masa Yunani kuno banyak peninggalan yang

memberikan informasi tentang manusia telah menciptakan suatu gelanggang

pementasan yang demikian rupa menariknya (Toekio, 1988: 16).

Dalam dunia pementasan ruang atau tempat untuk pentas menjadi bagian yang

tidak dapat terpisahkan. Untuk dapat mewujudkan suatu ruang pementasan, sudah

barang tentu memiliki berbagai unsur. Seperti ditulis Toekio, ada beberapa

persyaratan terbentuknya suatu ruang pementasan.

“…syarat terbentuknya suatu ruang antara lain ditentukan oleh adanya: (1) Komponen materi dalam bentuk bidang (=lantai, dinding, langit-langit atau atap) serta kelengkapan(=prabot, pilar, tangga, gelagar dan perangkat bantu lainnya). (2) Komponen non fisik yakni berkas cahaya (yang ditampilkan sebagi pembatas atau pendukung). (3) Komponen materi bergerak (= gerak figuratif, nonfiguratif maupun bayangan). Ketiga komponen tersebut secara langsung memberikan suatu kesan

151

ruang dan aspek komunikatif yang berkaitan dengan penglihatan, pendengaran, penciuman, serta interaksi (1988: 20-21).

Ketiga elemen ruang panggung di atas, digunakan untuk melihat bentuk ruang

pertunjukan yang digunakan oleh Rebana Walisongo. Elemen pertama adalah

komponen materi pembentuk bidang, yang meliputi lantai, dinding, serta atap. Dalam

pertunjukan Rebana Walisongo, terdapat ketiga unsur yang pertama tersebut. Lantai

panggung bisanya terbuat dari bahan kayu dengan ukuran panjang 6 m dan lebar 4 m,

lalu dinding dalam ruang panggung hanya terdapat pada sisi belakang dari para

pemain Rebana, yang fungsinya sebagai background saja, serta langit-langit atau

atap, biasa terbuat dari seng, atau kain têrpal.

Kedua adalah komponen non fisik, yakni yang berkaitan dengan pencahayaan

(lampu). Ruang panggung Rebana Walisongo menggunakan pencahayaan yang

bersifat satu arah, yakni yang berguna hanya sebagai penerang secara netral,

melainkan tidak ada permainan lampu seperti yang telah disinggung dalam

pembahasan sebelumnya. Pencahayaan dalam pertunjukan rebana bersumber dari

satu arah, lampu yang berada pada atap atau langit-langit panggung.

Ketiga adalah komponen materi bergerak, meliputi gerak figuratif dan non

figuratif. Figuratif adalah lambang atau kiasan yang berwujud simbol-simbol serta

motif yang bersifat visual (Kamus Bahasa Indonesia, 2008: 409). Ruang panggung

Rebana Walisongo, terdapat beberapa gambar atau kaligrafi tulisan Arab, biasanya

gambar atau kaligrafi tesebut adalah merupakan tokoh agama atau lafadz Allah dan

Muhammad, Lebih lanjut, terdapat visual lain, namun kapasitasnya hanya tulisan

152

yang berfungsi sebagai penegasan konsep dalam acara-acara tertentu, seperti tema

peringatan hari besar Islam, atau tema tentang sebuah acara pernikahan dan lain

sebagainya.

Dalam diskusi tentang artistik panggung, Toha, salah satu pengurus Rebana

Walisongo menuturkan berikut.

“…artistik panggung dalam penampilan rebana, kita tidak memiliki konsep atau mengatur sendiri terkait dengan tata panggung. Namun, hal itu sudah disediakan oleh para panitia yang mengundang Rebana Walisongo…semua tentang tata letak dan yang menyangkut keindahan di atas panggung, sepenuhnya itu atas kebijaksanaan panitia…kami hanya fokus pada segi penampilan secara kualitas musik saja…”(wawancara Toha, 20 April 2012).

Menyimak pernyatan di atas, menunjukan bahwa elemen visualisasi

merupakan sesuatu yang tidak dianggap utama dalam menunjang penampilan Rebana

Walisongo. Hal yang penting bagi mereka justru penampilan mereka agar dapat

menyampaikan pesan atau ideologi Islam kepada pengunjung, sebagai tujuan utama

dari misi Rebana Walisongo. Oleh karena itu, segi visualisasi tidak menjadi perhatian

khusus oleh Rebana Walisongo.

Namun dalam kondisi tertentu, artistik panggung justru menjadi pertimbangan

tersendiri. Misalkan ketika pada penampilan Rebana Walisongo digunakan sekalian

untuk diambil gambar yang nantinya akan diperbanyak, dari pihak rebana biasanya

menghendaki beberapa hal terkait artistik panggung. Seperti yang dinyatakan Andi

(manajer Rebana Walisongo) berikut ini.

153

“…kita juga melihat kualitas acaranya, jika memang itu berkapasitas besar, kami akan menjadikan pentas tersebut untuk membuat master, yang nantinya akan dijual. Biasanya kami menghendaki beberapa hal …yang terpenting di tengah pada bagian depan panggung tidak terdapat tiang, karena itu mengganggu secara pemandangan, minimal itu…” (wawancara Andi, 16 Mei 2012).

Pernyataan Andi menyiratkan, bahwa artistik ruang panggung nampaknya tidak

begitu menjadi pertimbangan khusus.

Gambar X. Bentuk panggung pertunjukan Rebana Walisongo

(Foto: Joko, 2012)

Gambar XI. Skema letak instrumen di atas panggung (Ilustrator: Joko)

154

Keterangan:

: Vokal perempuan

: Vokal Pria

: Instrumen rémo

: Intstrumen keyboard

: Instrumen Bass (jidhor)

: Têrbang (rebana)

: Instrumen téplak (semacam kendhang kecil)

1.3. Unsur Komunikasi

Dalam dunia komunikasi, seperti disebut Deddy Mulyana, terdapat tiga

konseptualisasi mengenai bentuk komunikasi: (1) komunikasi sebagai tindakan satu

arah, (2) Komunikasi sebagai interaksi, (3) komunikasi sebagai transaksi (Mulyana,

2005: 65-67). Komunikasi sebagai tindakan satu arah adalah sistem pengiriman pesan

atau informasi yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, dan orang lain tersebut

mendengarkan kemudian berperilaku sebagai hasil mendengarkan tersebut.

Kedua adalah komunikasi sebagai interaksi. Komunikasi ini mengisyaratkan

adanya proses sebab akibat, atau aksi dan reaksi yang arahnya bergantian. Misalnya

seseorang meyampaikan pesan, baik verbal atau non verbal, seseorang penerima

bereaksi dengan memberi jawaban verbal, atau hanya menganggukan kepala, dan

155

sang komunikator bereaksi kembali karena menerima respon dari komunikan, begitu

dan terus-menerus.

Ketiga adalah komunikasi sebagai transaksi yaitu, proses penyampaian pesan

dari komunikator kepada komunikan, ditafsirkan tidak hanya pada tataran verbal saja,

namun nonverbal juga menjadi bagian yang ditafsirkan. Misalnya, dua orang atau

beberapa orang yang berkomunikasi, saling bertanya, berkomentar, menyela,

menggeleng-gelengkan kepala, tertawa, mendehem, mengangkat bahu, menatap, serta

memberi isyarat dengan tangan, sehingga proses penyandian (encoding) dan

penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan simultan di antara orang-orang

yang terlibat komunikasi.

Lantas komunikasi yang berusaha dibangun dalam pementasan Rebana

Walisongo adalah komunikasi melalui teks lagu yang mereka lantunkan. Artinya

dalam proses ini terjadi sebuah penyampaian pesan lewat syair lagu oleh Rebana

Walisongo kepada audiens. Pesan dikirim melalui media musik, yang menjadi wadah

atau bungkus pesan tersebut, yang diibaratkan seperti amplop surat. Pesan yang

disampaikan adalah pesan secara lisan dengan isi teks lagu. Komunikasi tersebut,

terjadi satu arah seperti yang telah dijelaskan Mulyana pada pembahasan sebelumnya,

yaitu dari arah panggung menuju arah penonton, istilahnya Santosa adalah on the

stage to of the stage.

Seperti ketika Ma’ruf menyampaikan tausyiah-nya mengenai peraturan

pemerintah tentang kerukunan antar umat beragama, proses tersebut terjadi dari

156

panggung saja. Dalam penerimaan pesan, penonton atau audiens dalam proses itu

cukup hanya mendengar saja, tidak melakukan aktivitas pembalasan serupa. Jadi pada

peristiwa ini Ma’ruf berperan sebagai komunikator, dan audiens sebagai komunikan

lebih pasif.

Terkadang komunikasi dua arah dapat terjadi dalam dua wilayah komunikan

dan komunikator di dalam pertunjukan Rebana Walisongo. Namun hal itu menjadi

fenomena yang minoritas. Contohnya saat pengunjung atau audiens mengirimkan

surat kecil untuk Rebana Walisongo ketika di atas panggung yang isinya permintaan

sebuah lagu. Hal itu pernah terjadi pada pementasan di Wirun, Mojo Laban,

Sukoharjo, 12 November 2012. “Terlihat seorang ibu, berjalan menuju panggung,

dengan membawa kertas kecil yang ditujukan kepada salah satu personil rebana.

Setelah beberapa saat, vokal putra yakni Muhamad Marzuki, membacakan tulisan

dalam kertas tersebut, yang isinya permintaan lagu. Fenomena tersebut, menandakan

hubungan penonton dan pemusik saat pentas memiliki keinginan-keinginan tertentu.

Artinya, audiens juga merasa kebutuhannya sebagai penonton dapat terpenuhi, yaitu

dengan meminta lagu tertentu dari para pemusik. Begitu sebaliknya pemusik

menyampaikan sesuatu kepada audiens lewat lagu-lagu rohaninya supaya juga

mereka dapat menginplementasikan maknanya dalam kehidupan. Meskipun proses

tersebut tidak terjadi secara terus-menerus, lebih tepatnya terdapat keterbatasan,

namun proses timbal balik dari dua wilayah, nampak dalam peristiwa tersebut.

157

Dalam proses komunikasi, musik Walisongo ini terjadi dua jenis, yaitu

komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah. Komunikasi satu arah artinya pihak

pemberi pesan tidak mendapat respon serupa dari para pengunjung, melainkan respon

yang diterima adalah berwujud perilaku atau tingkah laku yang kemungkinan

bermulti tafsir. Perilaku itu diwujudkan dengan berbagai kegiatan, seperti perenungan

setelah mendengarkan inti lagu, mengangguk-anggukan kepala yang kemungkinan

memahami inti dari syair yang dinyanyikan, serta diperlihatkan dengan cara yang

lain, yakni dengan mengabadikan pesan tersebut dengan menuliskan pada kertas, dan

lain sebagainya. Respon tersebut diharapkan mampu dikembangkan dan ditingkatkan

oleh para penonton pada tingkat pemahaman yang mendalam, baik itu ketika melihat

langsung pertunjukan Rebana Walisongo, atau setelah meninggalkan suasana

pertunjukan tersebut, yang mana kesan-kesan yang didapat dari pertunjukan Rebana

Walisongo dapat terpelihara dengan baik. Lantas selanjutnya pemahaman tersebut

diharapkan mampu untuk diimplementasikan pada kehidupan sosial, sesuai dengan

apa yang menjadi inti dari pesan pertunjukan Rebana Walisongo.

Konsep komunikasi seperti ini, mungkin masih dalam perdebatan di dalam

disiplin ilmu komunikasi. Santosa dalam “Komunikasi Seni” menjelaskan, proses

komunikasi semacam ini cukup sulit dilihat secara kasat mata. Karena proses

komunikasi terjadi pada tataran wacana musikal, yang berarti terjadi pada wilayah

pola pikir pengunjung atau pendengar pertunjukan musik tersebut. Namun, Santosa

meyakini proses demikian dapat dikatakan proses komunikasi, karena pada dasarnya,

158

komunikasi semacam ini sama persis dengan komunikasi verbal, yang mana sama-

sama membutuhkan dua wilayah, yakni komunikator dan komunikan. Cukup jelas

dalam proses komunikasi pada pertunjukan musik tersebut terdapat dua pihak, yaitu

pengirim pesan (musisi), kemudian penerima pesan (penonton). Santosa menyebut

komunikasi ini dengan kategori komunikasi musikal. Santosa juga menegaskan,

apapun yang ditangkap oleh audiens ketika menyaksikan sebuah pertunjukan musik

baik itu teks vokal, suara musik, atau suasana pertunjukan, dan lain sebagainya, baik

yang implisit maupun eksplisit, itu adalah merupakan sebuah informasi atau pesan.

Namun takaran atau kualitas pesan tersebut, ditentukan oleh individu masing-masing,

yang mana pesan tersebut dianalisa dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh

individu tersebut, dan hasilnya pemahamannya pun sangat tergantung dengan tingkat

pengetahuan individual (Santosa, 2011:48-55).

Kedua adalah komunikasi dua arah, jenis komunikasi ini menjadi fenomena

minoritas dalam pertunjukan Rebana Walisongo. Namun keberadaannya patut untuk

diperhatikan. Komunikasi ini ditunjukan dengan peristiwa penonton meminta lagu

lewat secarik kertas, yang dikirimkan kepada pemusik di atas panggung. Komunikasi

semacam ini, menurut Mulyana tergolong komunikasi sebagai transaksi.

Kemudian sejauhmana elemen komunikasi tersebut berkontribusi dalam

pemaknaan dakwah Islami terhadap masyarakat? Pertanyaan ini yang kemudian

muncul dan menggiring untuk mengetahui respon Masyarakat.

159

Gambar XII. Pentas Rebana Walisongo (Foto Joko Suyanto: 2012)

BAB V

IMPLIKASI DAKWAH-MUSIK REBANA WALISONGO

Bagian ini berisi penjelasan mengenai pengaruh dan dampak dari keterlibatan

antara gagasan, praktik, dan produk dakwah Rebana Walisongo terhadap Ponpes

Walisongo sendiri, masyarakat pendengar, maupun fenomena musik rebana di

Sragen.

A. Pengaruh Dakwah-Musik bagi Pondok Pesantren Walisongo

1. Menunjang Eksistensi Pondok Pesantren Walisongo

Popularitas Ponpes Walisongo selain disebabkan karena Ma’ruf, keberadaan

musik rebananyapun juga menjadi penyebab selanjutnya. Berkat popularitas Rebana

Walisongo, Pondok Pesantren Walisong juga turut mendulang eksistensi. Semakin

tinggi jam terbang Rebana Walisongo, semakin Ponpes Walisongo turut menjadi

perhatian masyarakat. Lantas tidak hanya itu, sistem pemasaran dengan kaset-kaset

yang beredar di masyarakat juga menjadi salah satu faktor. Karena di dalam sampul

kaset turut serta dicantumkan nama Ponpes Walisongo.

161

2. Perkembangan Fasilitas Pondok Pesantren Walisongo

Perkembangan fasilitas Ponpes Walisongo Sragen, semakin pesat berkat

adanya Rebana Walisongo (wawancara Toha, 23 April 2012). Hal itu ditandai dengan

bertambahnya gedung-gedung baru, ruangan studio yang semakin membaik,

peralatan rekaman yang juga diperbarui baik itu, dari fisik maupun spesifikasi,

bertambahnya perangkat peralatan shoting, radio. Serta bertambahnya fasilitas untuk

menunjang proses belajar Ponpes, di antaranya, komputer, AC, LCD, akses internet,

dan lain sebagainnya. Di samping itu, terdapat juga kendaraan untuk dakwah Rebana

Walisongo, yaitu, dua buss. Semua itu, tidak terlepas dari peran Rebana Walisongo,

yang dihasilkan selama berdakwah.

3. Konsep “Nyambi” dalam Pertunjukan Rebana Walisongo

Di dalam pertunjukan Rebana Walisongo, terdapat unsur pemanfaatan atau

pemberian nilai tambah terhadap aktivitas dakwah yang dilakukannya, terutama

berkaitan dengan nilai ekonomi yang diusahakan oleh institusi Walisongo dari setiap

aktivitas publiknya, seperti diibaratkan “sambil menyelam minum air”. Fenomena

dan aktivitas perniagaan ini terjadi di setiap bagian akhir dakwah mereka.

Di setiap akhir pementasan, terjadi kerumunan orang di sekitar panggung,

yang hanya sekedar penasaran atau sengaja membeli produk dakwah berupa kaset

rekaman Rebana Walisongo. Suasana jual beli tersebut, seperti suasana pasar yang

sedang ada promo atau potongan harga. Demi mendapat kaset rekaman tersebut

162

penonton rela berebut dan berdesak-desakan. Kaset dibandrol dengan harga Rp

15.000,00 setiap kepingnya.

Popularitas dimanfaatkan untuk mengambil ruang perniagaan dengan menjual

produk-produk kaset rebana, jamu, buku, kapsul, serta madu dari Ponpes Walisongo.

Hal itu dilakukan karena adanya aji mumpung, artinya tidak bersusah payah harus

mengumpulkan orang untuk membeli produknya, tapi dengan menyisipkan di sela-

sela pertunjukan Rebana Walisongo (wawancara Toha, 23 April 2012).

Konsep “nyambi” dalam pertunjukan Rebana Walisongo tidak hanya sebatas

pada perdagangan kaset, jamu, dan buku saja, melainkan juga disisipkan promosi

informasi tentang program-program pendidikan di lingkungan Ponpes Walisongo,

secara formal atau non formal melalui LPI (Lembaga Pendidikan Islam) Sunan

Walisongo. Praktik promosi ini dilakukan secara lisan dan tertulis lewat brosur

pendidikan kepada pengunjung pengajian.

Gambar XIII. Peristiwa jual beli Kaset dan jamu (Foto: Joko, 2012)

163

Gambar XIV. Peristiwa promosi buku (Foto: Joko, 2012)

Hasil dari penjualan produk, digunakan untuk pembangunan Pondok

Pesantren, untuk pengembangan fasilitas pendidikan, baik formal maupun non

formal. Sumber dana yang digunakan untuk pengembangan pondok selama ini

terbesar didapatkan dari hasil Rebana Walisongo. Digunakan untuk pengadaan atau

peremajaan gedung, penambahan fasilitas, serta perluasan tanah untuk pembangunan

pondok pesantren. Hasil dari penjualan kaset setiap bulannya menghasilkan kurang

lebih 70 juta rupiah di kurangi 20% untuk biaya produksi. Kemudian dari hasil

pementasan setiap tahunnya menghasilkan 250 juta rupiah dikurangi 30% untuk

honorarium personil rebana (wawancara Toha 27 April 2012).

164

4. Pemantapan Paradigma Dakwah-Musik Rebana Walisongo

Identitas adalah ciri atau kebiasaan yang melekat pada sesuatu. Pondok

pesantren Walisongo, sebagai sebuah lembaga yang bergerak pada domain

pendidikan ilmu agama, melakukan aktivitas dakwah dengan memanfaatkan media

musik. Muatan dakwah tersebut mereka kemas dalam sebuah format yang

memadukan antara ceramah monolog dan pertunjukan musik rebana lewat syair-syair

Islami.

Pemanfaatan musik untuk kegiatan dakwah telah mampu memberi pengaruh

langsung terhadap eksistensi Ponpes Walisongo itu sendiri. Popularitas dan

peningkatan materi, fasilitas, dan jumlah santri adalah bukti-bukti akibat yang

diperoleh Ponpes Walisongo dari aktivitas dakwah mereka memanfaatkan musik.

Pemanfaatan musik ini juga telah menggeser anggapan masyarakat terhadap

Ponpes Walisongo, yang dulunya hanya dikenal sebagai pondok pesantren salafiyah

menjadi pondok pesantren modern. Pondok tidak lagi hanya mengajarkan nilai

agama secara terbatas melainkan lebih terbuka dengan memasukan nilai-nilai seni

dan budaya Nusantara. Hal itu ditandai dengan adanya program pelatihan tari Jawa di

Ponpes Walisongo, dan adanya kompetisi drama yang diselenggarakan setiap

menjelang hari jadi pondok pesantren,

Lebih lanjut pola pendidikan santri yang dulunya terbatas pada pembelajaran

agama saja, sekarang berkembang dengan bertambahnya program-program

pendidikan formal di Ponpes Walisongo yang diberi nama LPI (Lembaga Pendidikan

165

Islam) Sunan Walisongo. Program pendidikan itu di antaranya: play group, taman

kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, serta sekolah menengah

kejuruan.

Paradigma masyarakat terhadap muatan pendidikan dalam Ponpes Walisongo

yang awalnya dikenal sebagai tempat menimba ilmu agama, kini mulai berkembang

menjadi paradigma baru yaitu lebih terkenal dengan industri musiknya.

Perkembangan paradigma itu, dikarenakan, banyaknya kegiatan bermusik yang

dilakukan oleh Rebana Walisongo maupun manajemennya. Hal itu ditandai dengan

gencarnya upaya penyebaran musik Rebana Walisongo lewat kaset dan radionya, dan

kegiatan rekaman dari kelompok musik Islami lain yang juga melakukan rekaman di

Studio Al Muntaha Record milik Ponpes Walisongo, di antaranya: kelompok musik

Islami milik Ponpes Al-Muayyad Surakarta, Ponpes Gontor Putra Ngawi, kelompok

Rebana Sobo Guno Sragen, Rebana Al-Istikomah Sragen.

Akhirnya dari fenomena tersebut, seiring berjalannya waktu, mampu

menggeser paradigma masyarakat terhadap Ponpes Walisongo. Proses pergeseran

identitas tersebut, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama adalah karena sistem

manajerial dan marketing Rebana Walisongo yang cukup berhasil.

Lantas yang kedua adalah, berbagai kegiatan dalam Ponpes Walisongo selalu

melibatkan musik dalam rankaian acaranya. Seperti pertemuan wali santri dan wali

murid yang diadakan setiap setahun sekali, menyelipkan musik rebana sebagai bagian

dari rangkaian kegiatan tersebut. Aspek musik selalu menghiasi dalam kegiatan

166

pesantren tersebut. Selain itu, musik juga menjadi bagian dari materi pembelajaran

yang diberikan kepada peserta didik di TK, SD, SMP, serta SMK sebagai program

ekstra kurikuler. Karena itu juga, musik menjadi sesuatu yang mayoritas, dan juga

sekaligus merubah paradigma masyarakat. Bahwa Pondok Pesantren Walisongo

identik dengan musik, khususnya musik rebana.

Selain faktor di atas, yang ketiga adalah upaya penyebarluasan dakwah

Rebana Walisongo lewat kaset juga menjadi pengaruh tersendiri terhadap eksistensi

Ponpes Walisongo. Kaset yang tersebarluaskan di daerah-daerah khususnya di Jawa,

adalah salah satau penyebab populernya Rebana Walisongo dan Ponpes Walisongo

Sargen. Hampir seluruh kota di Jawa, menjadi target pemasaran kaset rebana

Walisongo.

Lantas yang keempat, peran dari pengasuh Ponpes juga merupakan penyebab

selanjutnya. Peran yang diemban Ma’ruf Islamudin selaku pengasuh pesantren dan

juga sekligus mubaligh menjadi salah satu faktor pembentukan identitas tersebut.

Selain menjadi mubaligh atau penceramah, Ma’ruf dalam setiap ceramah sering

menggunakan musik Rebana Walisongo untuk membantu dalam ia menyampaikan

tausyiahnya. Ceramah yang dikemas dengan nada dan dakwah adalah menjadi ciri

dari Ma’ruf itu sendiri.

167

5. Tontonan yang Bertuntunan

Peradaban seni pertunjukan dewasan ini cukup beragam. Mulai dari seni

musik, seni tari, teater, dan lain sebagianya sering dipertontonkan. Gairah hiburanpun

seakan meledak-ledak di tengah masyarakat saat ini, yang sedang dirundung krisis

moralitas. Hiburan merupakan pelarian yang cukup efektif ketika orang merasa

dirinya sedang stres ataupun kondisi psikologinya sedang menurun. Hiburan mudah

didapati di daerah-daerah perkotaan hingga ke pelosok desa. Hiburan menjelma

menjadi kebutuhan pokok manusia dalam kehidupan baik itu musik, tari, teater, dan

lain sebagainya, hanya untuk sekedar mengembalikan sebuah stabilitas kejiwaan yang

mungkin stres karena kerjaan atau masalah sosial.

Terdapat beberapa kalangan yang memaknai hiburan, dirinya merasa terhibur

ketika melihat moleknya vokalis perempuan yang bernyanyi di atas panggung, ada

juga yang merasa terhibur karena alunan musik yang mendayu-dayu. Serta dapat juga

terhibur karena merasa hanyut dalam cerita film. Itu semua adalah perwakilan dari

perasaan yang memaknai hiburan sesuai dengan kebutuhan dan kepuasan batin.

Beberapa kalangan komunitas Islam, menganggap mendengarkan atau menyaksikan

musik rebana dirinya merasa terhibur. Itu dibuktikan dengan adanya fenomena dalam

pementasan musik Rebana Walisongo Sragen.

Dalam sebuah perhelatan akbar, pengajian rutin sebulan sekali yang diadakan

di kompleks Ponpes Walisongo. Ketika itu, sebelum MC membacakan susunan acara

pada pengajian malam itu, Rebana Walisongo mengawali dengan menyajikan

168

beberapa repertoar lagu. Perlahan pengunjung pun berdatangan memenuhi tempat

duduk barisan depan, hingga beberapa saat kemudian setengah dari space yang

disediakan panitia itu penuh dengan pengunjung. Lantas tak lama kemudian pemandu

acara mengucap salam, yang bertanda acara tersebut telah dimulai. Saat itu juga

penonton serentak hening, karena dipaksa perhatiannya tertuju pada pemandu acara.

Kemudian dilanjutkan acara pidato-pidato dari tokoh-tokoh ponpes dan pemerintah.

Rupanya beberapa penonton deretan paling belakang mulai terusik dengan rasa

bosan, lalu dengan lantang salah satu pengunjung di deretan itu, berteriak "ayo

rêbanané ndang ditabuhi mênèh" yang artinya, ayo musiknya segera dimulai lagi.

Hal itu dilakukan pengunjung barisan belakang, beberapa kali. Dalam benak penulis,

terpikirkan bahwa musik dalam perhelatan ini menjadi bagian penting, terhadap

kepusan batin para pengunjung salah satunya untuk hiburan. Setibanya pada acara

istirahat atau break, Rebana Walisongo kembali ditampilkan. Ketika itu, ekspresi

pengunjung begitu riang, seakan keluar dari kejenuhan dalam acara tersebut.

Hal demikian juga terjadi pada acara pernikahan di Desa Gabus Wetan yang

terletak beberapa kilo dari pusat Kota Sragen, yang kebetulan Rebana Walisongo

menjadi salah satu pengisi acara pada upacara tersebut. Beberapa tamu undangan

terdengar menggerutu ketika beberapa saat musik rebana terhenti karena akan

berlangsungya acara inti pada malam itu. Berbagai reaksi diperlihatkan oleh para

tamu, ekspresi yang murung, seakan tidak sabar ingin menikmati sajian musik rebana

kembali. Hal itu juga terjadi di daerah-daerah lain sepanjang pengamatan penulis.

169

Hal di atas menjadi pemikiran panjang dalam benak penulis. Adakah kesan

khusus yang disampaikan musik rebana ketika pentas di atas panggung? Beberapa

narasumber mayoritas menyatakan, Rebana Walisongo selain menghibur, juga

bermanfaat untuk pengetahuan kerohanian. Dengan musik yang bertemakan ajaran

Islam, penonton dapat menikmati alunan musik dengan ritme melayu, dan sekaligus

mendapat pengetahuan tentang moral, sosial, dan lain sebagainya. Selain daripada itu,

musik rebana dijadikan alternatif sebagai hiburan dengan resiko yang rendah dari

perilaku-perilaku yang dilarang agama, yang ditimbulkan oleh pentas musik.

Rebana menurut Suramto (audiens), adalah media hiburan sekaligus ngaji.

Ketika melihat sebuah gejala sosial yang timbul dalam masyarakat dewasa ini, salah

satunya degradasi moral, untuk menyikapi atau meminimalisir berkembangnya

fenomena tersebut, dibutuhkan hiburan-hiburan yang mendidik untuk masyarakat.

Salah satunya dengan hiburan musik rebana. Rebana Walisongo merupakan,

kelompok musik Islami yang dewasa ini cukup digemari khalayak untuk menjadi

media hiburan dalam berbagai perhelatan.

6. Upaya Konservasi Seni Islami

Uapaya penyelamatan kesenian, khususnya musik rebana, juga menjadi

perhatian khusus bagi pihak Rebana Walisongo. Berawal dari keprihatinan melihat

kondisi kesenian Islam yang kini telah terdegradasi keberadaannya. Hal itu terjadi

kareana minimnya upaya penyelamatan oleh tokoh agama atau pemerintah pemerhati

170

budaya. Ditambah dengan buruknya apresiasi masyarakat terhadap kesenian Islam

apa lagi kesenian tradisional. Sebagian masyarakat lebih tertarik pada kesenian

budaya Barat, seperti musik pop, rock, serta jazz. Namun juga hal itu tidak dapat

dihindarkan, karena melihat begitu derasnya budaya Barat merambah negeri ini, serta

minimnya upaya revitalisasi budaya lokal khususnya musik.

Berbagai persoalan muncul dengan alasannya masing-masing mengenai

kebertahanan budaya lokal. Dari minimnya pembiayaan untuk pemeliharaan,

berkurangnya minat untuk belajar musik tradisional, serta sangat sulit diterapkannya

budaya pewarisan terhadap keturunan seniman kesenian tradisional, dan lain

sebagainya. Misalnya, kesenian Wayang Klitik Desa Bandengan, Kabupaten Jepara,

yang kesenian tersebut kondisinya sangat “kritis”. Hal itu ditunjukkan dengan dalang

wayang tersebut sudah cukup renta usianya untuk memainkan wayang-wayang

tersebut, begitu pula dengan kondisi para pemusiknya yang umurnya kisaran 70-85

tahun. Kondisi seperti itu, bukan tanpa alasan, mengingat generasi untuk meneruskan

kesenian tersebut tidak ada lagi. Upaya pewarisan pun nampaknya susah dilakukan,

itulah yang menyebabkan hampir punahnya kesenian Wayang Klitik tersebut.

Lantas kondisi yang sama juga dialami oleh Kesenian Kentrung, di Desa

Ngasem, Kabupaten Jepara. Pelaku seni tutur Islam ini, cukup renta juga untuk

melantunkan pantun dan cerita, sambil memainkan instrumen têrbang semalam

suntuk di atas panggung. Karisan yang seharusnya sudah pensiun dari dunia

pementasan justru malah menjadi pengayom kesenian tersebut. Lantas pada suatu

171

ketika sampailah pada ajal dalang kentrung tersebut, dan sekaligus mati juga kesenian

kentrung yang dipeliharanya bertahun-tahun, karena tidak ada regenerasi dalam

kesenian tersebut. Data tersebut, didapat ketika penulis menjadi tim peserta praktek

karja lapangan di Jepara.

Melihat fenomena diatas, upaya pelestarian kesenian adalah tempat

bermuaranya kesenian-kesenian tersebut agar tetap terjaga kebertahanannya. Hal itu

pula yang berusaha dicapai oleh Rebana Walisongo Sragen, dengan mengusung

motto “dengan seni hidup jadi indah, dengan ilmu hidup jadi mudah, dengan agama

hidup jadi terarah”. Elemen seni dalam motto Ponpes Walisongo menjadi urutan yang

pertama. Hal itu dikarenakan, disadari betul bahwa keberadaan seni dalam kehidupan

manusia cukup berarti.

Muatan ajakan untuk menyelamatkan kesenian memang tidak tergambarkan

secara eksplisit, namun hal itu tersirat pada tataran pewacanaan dan praktik

pertunjukan Rebana Walisongo. Artinya dalam setiap pertunjukan rebana ada unsur

ajakan untuk pengembangan budaya Islam, dengan pengetahuan seni di dalam

Agama Islam. Seperti yang dinyatakan Marzuki, selain dakwah, upaya nguri-uri

budaya juga tersirat dalam konsep Rebana Walisongo. Dalam konsepnya terdapat

beberapa sisipan, yaitu, kewajiban dakwah dan upaya pelestarian budaya seni Islam.

Muatan pelestarian ditandai dengan kegiatan yang bersifat pendidikan musik

rebana. Pendidikan musik rebana hadir dalam program ekstra kurikuler di SD, SMP,

serta SMK Walisongo. Tidak hanya itu, santri dalam pondok pun juga tak luput dari

172

program tersebut. Selain upaya penyelamatan, di situ juga ajang mencari bakat untuk

meneruskan perjuangan para personil Rebana Walisongo. Program tersebut tidak

hanya sekedar pelatihan saja, namun lewat musik, para santri atau para siswa juga

dapat berprestasi lewat bakat bermusiknya. Beberapa kesempatan siswa SD dan SMP

Walisongo mendapat kepercayaan untuk mewakili Kabupaten Sragen untuk

mengikuti lomba rebana tingkat kabupaten.

B. Pengaruh Dakwah-Musik Rebana Walisongo terhadap Masyarakat

1. Respon Penonton terhadap Pertunjukan Dakwah Rebana Walisongo

Beberapa audiens memberi penjelasan terkait dengan keefektivan model

dakwah dengan musik. Suparmo, 39 tahun, seorang guru di salah satu sekolah dasar

di daerah Bojo Negoro menuturkan, model dakwah semacam ini, mungkin bukan hal

yang baru dalam upaya penyebaran Islam. Namun, pada kenyataannya dengan model

menggunakan media musik, paling tidak menjadi daya tarik tersendiri bagi

mayarakat. Selain menikmati musiknya, masyarakat dapat menyerap pesan atau

petuah yang terkandung di dalam syair lagu yang disajikan. Dengan mendengarkan

lagu, paling tidak kadar keimanannya merasa diperbarui karena mendengar lagu, dan

meresapi pesan yang disampaikan, dari pada tidak mendengarkan.

Sedikit berbeda dengan Imam 30 tahun karyawan di salah satu perusahaan

swasta di Sidoharjo menjelaskan tentang hal serupa, yaitu mengenai cara dakwah

173

yang dilakukan Rebana Walisongo. Ia berpendapat, masih lebih baik mendengarkan

dakwah dengan musik, daripada mendengarkan ceramah di radio. Minimal dengan

mendengarkan musik-musik dakwah, masyarakat merasa tertarik dengan musiknya,

itu yang menjadi modal awal. Lantas ketertarikan itu akan berkembang menjadi

perasaan penasaran, ketika sudah penasaran masyarakat akan mulai memberdayakan

“selera” untuk ikut dalam memaknai sebuah pertunjukan musik.

Seperti yang dituturakan oleh Nur Hamdi 27 tahun (audiens) tentang

pengaruh musik rebana terhadap perilaku dalam kehidupannya.

“…nèk aku yo mas, dasaré saya sudah sênêng dengan musik, memang

lebih sênêng ketika ada kegiatan wong duwé gawé, aku luwéh sênêng

hiburannya rebana …saya punya banyak kaset Rebana Walisongo di rumah, saya sênêng nyêtèl itu mas. Selain sênêng dengan lagunya, inti lagunya itu juga paling tidak kseharian saya ada yang mengingatkan lewat sayairnya itu …ibaratnya masih lebih nguntungké mendengarkan musik rebana mas, daripada liané nèk kulã…” […kalau saya ya mas, pada dasarnya saya sudah senang dengan musik, memang lebih suka ketika ada orang punya hajat, saya lebih senang kalau hiburannya rebana …saya punya banyak koleksi kaset Rebana Walisongo di rumah, saya suka muter kaset tersebut mas. Selain suka dengan lagunya, inti lagunya itu juga paling tidak keseharian saya ada yang mengingatkan lewat syairnya…ibaratnya masih lebih menguntungkan mendengarkan musik rebana daripada lainnya itu menurut saya…]. (wawancara Nur Hamdi 22 Novenber 2012).

Pernyataan di atas, memberi pemahaman bahwa ternyata audiens ketika

mendengar lagu rebana Walisongo, ia merasa kadar keimanannya selalu diperbarui,

meskipun itu itu harus diuji secara mendalam, namun statemen yang dinyatakan patut

174

dijadikan temuan penting. Artinya dengan mendengarkan musik rebana, ternyata

masyarakat mampu memelihara keimanannya dan terus meningkat.

Selain itu masyarakat memiliki fasilitas untuk memelihara keimannya.

Minimal saat mendengarkan atau menikmati lagu-lagu rebana, mereka terhidar dari

pengaruh hal-hal yang negatif. Lebih dari itu, mereka memperoleh pencerahan batin

yang bermanfaat bagi kebutuhan mentalnya.

2. Kontribusi Penonton terhadap Pertunjukan Rebana Walisongo

Antusiasme penonton menjadi salah satu energi positif bagi kondisi psikologi

para personil Rebana Walisongo saat pentas. Pengaruh itu dirasakan oleh beberapa

personil rebana, menurut Daroni (personil Rebana Walisongo), penonton menjadi

penting saat pentas di atas panggung, karena rasa percaya diri dan bangga muncul

ketika melihat barisan penonton yang bêrjubêl. Bukan berarti tanpa penonton yang

banyak menjadi kurang percaya diri, namun lebih kepada tingkatan psikologis saja.

Artinya ketika melihat penonton yang cukup banyak, aura percaya diri seperti

meledak-ledak karena antusiasme para penonton (wawancara Daroni, 20 April 2012).

Audiens sejauh ini perannya cukup membantu Rebana Walisongo. Penonton

membuat suasana pentas menjadi lebih hidup, dan sebagai energi tambahan. Lantas

penonton juga sebagai media controlling terhadap pertunjukan musik Rebana

Walisongo baik secara musikal maupun substansial. Hal tersebut ditandai dengan, ada

hubungan interaktif menonton dengan pengurus Rebana Walisongo. Komunikasi

175

bertujuan membangun hubungan baik antar dua pihak, audiens dan Rebana

Walisongo. Hubungan tersebut berisikan persoalan kritik dan saran yang disampaikan

dari penggemar terhadap Rebana Walisongo. Kritik dan saran yang selama ini

diterima oleh pengurus rebana ada beberapa poin, salah satunya tentang

perkembangan musikal.

Suatu ketika, Rebana Walisongo mencoba menghadirkan instrumen ketipung

pada musiknya. Lantas setelah itu, terjadi diskusi panjang mengenai keberadaan

instrumen tersebut dalam komposisi musik rebana. Yang memicu diskusi itu adalah,

adanya informasi yang masuk dari penggemar ke manajemen Rebana Walisongo,

yang berupa kritikan terhadap penambahan medium ketipung dalam musik rebana.

Kemudian setelah terjadi proses diskusi panjang, akhirnya mencapai kesepakatan

untuk tidak menghadirkan perangkat ketipung dalam musik Rebana Walisongo.

Perangkat tersebut dianggap mengundang sikap-sikap yang negatif menurut norma

musik Islami. Sikap negatif tersebut seperti: minum-minuman keras, merespon musik

dengan bergoyang secara berlebihan. Lebih lanjut, ritme atau hentakan instrumen

ketipung dianggap pemicu sikap-sikap tersebut. Anggapan itu didasari atas fenomena

yang terjadi di lapangan, terkait dengan dampak yang ditimbulkan perangkat

tersebut.(wawancara Andi 20 April 2012).

Dari pembahasan di atas, menunjukan bahwa penonton merupakan cerminan

terhadap apa yang telah Rebana Walisongo berikan kepada mereka. Penonton mampu

menjadi filter dalam proses perbaikan baik itu secara musikal, kemasan pertunjukan,

176

konsep, dan lain sebagainya. Sejauh ini pengaruh itulah yang dirasakan oleh Rebana

Walisong. Ada beberapa yang menarik untuk diulas lebih dalam, yaitu tentang

idealisme dalam bermusik Rebana Walisongo.

Lalu sejauhmana keterlibatan penonton dalam menentukan atau bahkan

mengugurkan ideologi para personil, terkait dengan konstruksi musik? Menurut

Muhamad Nadjib (personil Rebana Walisongo), rebana dapat “hidup” karena adanya

masyarakat, rebana dapat bertahan karena adanya masyarakat, serta dakwah

diperuntukan untuk masyarakat, jadi sinergi kedua sisi ini yang memang harus dijaga

keharmonisannya, termasuk merekomendasi saran dan kritik masyarakat terhadap

Rebana Walisongo.

Konsep yang dipaparkan oleh para personil di atas, adalah konsep yang

berlandaskan atas muatan dakwah Islam. Hal itu dikarenakan Rebana Walisongo

memanfaatkan musik sebagai media syiar Islam kepada masyarakat, kemudian,

berinteraksi dengan masyarakat menjadi salah satu strategi dalam upaya

pengembangan dakwah. Jika dikaitkan dengan konsep bermusik, mungkin akan

sedikit berbeda. Sadra, dalam “Lorong Kecil Menuju Susunan Musik” menjelaskan,

musik tercipta lantaran konsep para senimannya. Musik mempunyai tujuan dan dapat

menghantarkan informasi kepada pendengar. Seperti yang sudah dibahas dalam

pembahasan sebelumnya tentang “mencipta musik dalam rangka”. Peryataan tersebut,

mnejelaskan konstruksi musik, itu mutlak berada pada kreator musik itu sendiri tidak

ada intervensi dari pihak lain. Jika musik dilandasi kepentingan yang lain selain

177

kepentingan dari sang komponis, dalam perjalanan akan terjadi paradoks sebuah

perlawanan terhadap karyanya sendiri, hal itu dikarenakan adanya pesanan musik dari

seseorang atau siapapun, demi kepentingan selain kepentingan musisi. Namun itu,

kemungkinan tidak terjadi pada komposer atau musisi yang memiliki idealisme tinggi

terhadap dunia musik.

Supanggah, menjelaskan karakteristik sebuah karya musik, ditentukan oleh

beberapa faktor dalam diri senimannya. Salah satunya adalah faktor pendidikan dan

lingkungan. Dapat ditarik sedikit pernyataan, terkait dengan penentuan konstruksi

musikal mutlak terletak pada senimanannya. Hal demikian jika dilihat dari sudut

pandang dan kacamata disiplin ilmu musik. Namun dalam konteks Rebana

Walisongo, terdapat kondisi yang berbeda, mereka dipaksa untuk tidak merujuk pada

konsep-konsep ilmu musik, karena masyarakat merupakan bagian dari musik mereka,

jadi masyarakat turut mengontrol pergerakan Rebana Walisongo.

3. Rebana Walisongo “Kiblat” dari Beberapa Kelompok Rebana di Sragen

Berbagian besar, munculnya kelompok rebana di Sragen adalah bentuk tiruan,

atau terinspirasi dari Rebana Walisongo. Upaya untuk mengikuti jejak Rebana

Walisongo, terlihat ketika adanya Parade Rebana Sekabupaten Sragen. Dari

perhelatan itu, terlihat beberapa kelompok medium dan ritme musiknya mirip dengan

Rebana Walisongo Sragen. Seperti kelompok Rebana Fathurahman, Tombo Ati, Sobo

178

Guno, serta Lintang Songo. Beberapa kelompok tersebut, kontruksi dan medium

musiknya mirip dengan Reabana Walisongo.

Beberapa peryataan muncul terkait dengan kemiripan di atas tersebut,

Mulyono (personil Rebana Lintang Songo), menyakini kemiripan tersebut, tidak

lepas dari adanya Rebana Walisongo. Populernya Rebana Walisongo memberikan

inspirasi untuk ikut dalam jejaknya, dakwah lewat rebana. Lantas pendapat Ngadi

Parjoko (personil Rebana Fathurahman), tidak jauh berbeda, setelah sering

menyaksikan dan mendengarkan musik Rebana Walisongo, tertarik untuk meniru

musiknya, meski awalnya hanya dengan medium sederhana, namun dalam

perkembangannya, berusaha untuk mirip dengan Walisongo.

Terkait dengan pembahasan di atas tentang unsur inspiratif, hal itu juga di

tunjang oleh selera musikal. Selera musik ada pada diri masing-masing individual,

yang itu terbentuk oleh kebiasaan mendengar salah satu jenis musik atau karena

memang dari hati nurani. Selera musik, masih menurut Ngadi Parjoko, selera

dibentuk oleh faktor kebiasaan. Artinya menurut pengalamannya ia sering

mendengarkan musik Rebana Walisongo hampir setiap hari, keseringan itulah yang

membuat Ngadi gemar dengan musik rebana.

4. Alumni Sebagai Salah Satu Pelopor Munculnya Kelompok Rebana

Sebagai alumni Ponpes Walisongo, rasa untuk mengembangkan dakwah

dengan musik, seperti yang dilakukan oleh Rebana Walisongo, cukup tinggi. Cukup

179

banyak kelompok yang terbentuk berkat jasa para alumni. Di antaranya kelompok

Rebana Padang Piker,di Karang Rejo, Pilangsari, Ngrampal, Sragen. Sobo Guno di

Sragen Manggis, Sragen. Al-Istikomah di Jirapan, Masaran, Sragen. Wali Jowo di

Prampelan, Sidoharjo, Sragen. Fathurahman di Ngeluk, Kedungupit, Sragen. dan

masih banyak lagi, itu semua lahir berkat jasa para alumni santri Ponpes Walisongo

Sragen. Deretan kelompok rebana tersebut berkembang di wilayah Kota Sragen.

Berbagai alasan muncul, tentang latar belakang tumbuhnya kelompok-

kelompok baru. Ilham Syarofi (pimpinan Rebana Al-Istikomah), ia berpendapat

terkait dengan terbentuknya kelompok rebana yang ia pimpin, karena karena faktor-

faktor seperti, ikut mengembangkan dakwah, dua karena kegemarannya dalam

berkesenian, upaya nguri-uri kesenian Islam supaya tetap terjaga kelestariannya,

salah satunya rebana. Lantas pendapat Dwijo Purnomo (ketua Rebana Fathurahman),

ia menegaskan, terkait dengan pengembangan musik rebana karena didasari atas

keefektifannya. Artinya ia lebih pada persoalan strategi dakwah dengan

memanfaatkan musik rebana meskipun muatan yang lain juga tersirat didalam upaya

tersebut, seperti hobi, namun konsentrasinya adalah pesoalan dakwah Islam.

Demikian juga yang diutarakan Zainun Majid (ketua Rebana Padang Piker), ia

menyatakan hal serupa dengan Dwijo, yang melatarbelakangi terbentuknya rebana

yang ia pimpin adalah karena ingin mengembangkan ajaran Islam terhadap

masyarakat.

180

Beberapa ulasan di atas, lantas dikerucutkan bahwa uapaya pengembangan

rebana semata-mata karena syiar Islam, dengan memanfaatkan musik. Hal itu

memang tidak terlepas dari proses belajar agama di Ponpes tersebut. Artinya dalam

proses belajar di Ponpes Walisongo, terdapat unsur penularan stretegi dakwah, selain

itu fenomena keseharian di lingkungan ponpes juga menjadi dorongan untuk

mengembangkan dakwah serupa. Misalnya, produksi rekaman dan pembuatan video

klip terjadi dalam lingkungan pondok pesantren, hal itu menjadi wacana tersendiri

bagi para santri, paling tidak menjadi bahan perenungan dalam diri santri yang

menyaksikan.

5. Imitasi Medium

Pengembangan rebana yang dilakukan para alumni itu, terjadi tidak hanya

sebatas persoalan strategi dan niat saja, namun pola dan medium yang digunakan pun

juga hampir sama dengan pola dan medium yang digunakan Rebana Walisongo.

Meskipun tidak sama persis tetapi, medium yang digunakan mayoritas instrumen

yang sama, meskipun ada tambahan namun tidak menjadikan berubah secara musikal.

Secara konstruksi musik, juga terjadi kemiripan, baik ritme atau pola-pola tabuhan.

Beberapa kelompok rebana menggunakan medium seperti yang digunakan

rebana Walisongo sebagai berikut: Rebana Fathurahman, Sobo Guno, Al-Istikomah,

Padang Piker, Lintang Songo, Songgo Langit, Tombo Ati, Serta Wali Jowo. Beberapa

rebana tersebut, menggunakan medium yang sama persis dengan Rebana Walisongo,

181

di antaranya: Remo, bass, tiga trêbang (rebana), tiga teplak, tiga rebana kecil, serta

tamborin.

Imitasi nampak ketika diadakannya parade rabana tingkat Kabupaten Sragen.

Pada saat parade terlihat pemandangan instrumen yang sama, baik dari kelompok

Rebana Walisongo, maupun rebana lainnya. Tidak hanya itu, kecurigaan tentang

imitasi, terlihat ketika Rebana Walisongo mulai dikenal masyarakat melalui kaset-

kaset yang beredar. Penyataan tersebut dikuatkan dengan pendapat Ngadi Parjoko

pengurus Rebana Fathurahman berikut.

“…memang setelah beberapa waktu mendengar karya Rebana Walisongo lewat kaset, saya memiliki tujuan untuk meniru alat yang digunakan oleh Rebana Walisongo…kami terbentur oleh pendanaan, jadi kami membeli alat-alat tersebut secara bertahap, dengan bantuan salah satu santri dari ponpes Walisongo…” (wawancara Ngadi Parjoko, 24 April 2012).

Pendapat yang serupa juga diungkapkan Ilham Syarofi, pimpinan Rebana Al-

Istikomah. Kemunculan Rebana Istikomah, dilatarbelakangi oleh Ilham yang

kebetulan pernah menjadi personil Rebana Walisongo. Selain menyalurkan

kegemarannya dalam bermusik, Ilham juga memiliki tujuan untuk berdakwah dan

pelestarian seni rebana. Semula perangkat yang ia gunakan tidak seperti Rebana

Walisongo, hanya menggunakan tiga trêbang (rebana), tiga tèplak, serta sebuah

tamborin. Lantas dalam perkembangannya, ia mencoba untuk bertahab membeli

perangkat seperti, remo, bass, serta keyboard.

Berbagai pendapat di atas, dapat dikerucutkan sebuah dugaan, bahwa upaya

imitasi yang terjadi dikarenakan, (1) sebuah popularitas, (2) selera musik yang sama,

182

(3) Merasa memiliki kepentingan yang sama, yaitu dakwah. Ketiga elemen itu bisa

saja semua benar. Namun melihat dari pendapat beberapa nara sumberbdi atas,

menunjukan, bahwa upaya imitasi tersebut tidak lain karena kebutuhan selera musikal

semata. Hal itu ditandai dengan masing-masing nara sumber yang menyatakan

pembentukan kelompok rebana berangkat dari kesenangan dalam bermusik, dan

perkembangan medium, disebabkan adanya selera musik yang sama.

Selera musik terbentuk karena, faktor kebiasaan, misalkan, hampir setiap hari

seseorang mendengarkan sebuah musik dangdut, lantas kebiasaannya tersebut

membentuk dirinya terhadap selera jenis musik. Supanggah menjelaskan dalam

tulisannya, kesenimanan seseorang terbentuk salah satunya karena faktor lingkungan

(Supanggah, 2005, 11-12).

BAB VI

PENUTUP

1. Kesimpulan

Sesudah melalui proses pemaparan dan pembahasan pada bab-bab

sebelumnya, sekaligus untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Yaitu pertama

mengapa Pondok Pesantren Walisongo memilih dakwah-musik sebagai strategi

dakwah? Kedua bagaimanakah musik Rebana Walisongo dijadikan sebagai dakwah

oleh Pondok Pesantren Walisongo? Ketiga bagaimana implikasi dari dakwah melalui

media musik terhadap pendengar Rebana Walisongo?

Akhirnya studi yang menggunakan konsep dakwah Islam dan konsep musik

(dakwah-musik) ini, sampai pada tahap kesimpulan dan temuan. Yaitu pertama, yang

berlatarbelakangi kosep dakwah menggunakan musik adalah, fenomena musik yang

dapat mempengaruhi jiwa dan perilaku manusia, yang kemudian dijadikan modal

oleh Rebana Walisongo untuk dakwah. Seperti yang telah dipaparkan oleh Ma’ruf

pada pembahasan sebelumnya, musik digunakan sebagai stimulan kepada masyarakat

supaya dakwahnya dapat menarik masyarakat. Rupanya dakwah Rebana Walisongo,

menggunakan pendekatan psikologi musik untuk merangsang masyarakat.

Dilanjutkan dengan mengadopsi konsep psikologi musik yang dituliskan oleh

Djohan, dibantu dengan konsep komunikasi musikal yang ditulis oleh Santosa,

keduanya membatu dalam proses analisa tentang pemanfaatan musik sebagai media

184

dakwah serta pengaruhnya. Jadi terdapat dua jawaban atas pertanyaan yang di ajukan

pertama yaitu: (1) musik dimanfaatkan untuk dakwah karena musik dapat

mempengaruhi jiwa dan perilaku manusia. (2) Musik digunakan untuk dakwah

karena musik dapat menjangkau dan “dikonsumsi” semua lapisan masyarakat.

Kedua kegiatan dakwah Rebana Walisongo terfokus kepada kegiatan

pertunjukan musik khusunya untuk wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah dan tidak

menutup kemungkinan daerah di luar itu. Pertunjukan musik, menjadi kegiatan

dakwah yang sering dilakukan oleh Rebana Walisongo. Pertunjukan tersebut

dikemas dengan model nada dan dakwah, dan yang menjadi “aktor” utamanya

adalah Ma’ruf Islamudin dan Rebana Walisongo itu sendiri. Selain kegiatan pentas

musik, Rebana Walisongo juga berupaya untuk memperluas dakwah lewat

penyebaran rekaman kaset yang mereka produksi. Rebana Walisongo memiliki

beberapa album mulai dari volume 1 sampai dengan volume 11. Upaya penyebaran

dakwah lewat musik tidak sampai di situ saja, upaya penyiaran lewat radio pun juga

menjadi strategi untuk mengembangkan dakwahnya. Terdapat dua stasiun radio yang

secara resmi membatu dalam menyiarkan Rebana Walisongo, adalah Radio

Walisongo Sragen dan Radio El Vikto Surabaya.

Lantas elemen kultural yang yang terkandung dalam dakwah Rebana

Walisongo adalah, pertama penggunaan bahasa Jawa pada syair atau teks lagu yang

mereka ciptakan atau yang diaransemen ulang. Selain itu, isu-isu yang diangkat atau

yang terkandung di dalam syair lagu adalah fenomena keseharian masyarakat Jawa.

185

Lebih jauh, istilah yang digunakan dalam judul lagu-lagu Rebana Walisongo,

merupakan istilah-istilah dalam konsep budaya Jawa, seperti, menggunakan judul,

Têpo Sêlirã, lomã, serta Ãjã Sêrakah. Secara implisit, Rebana Walisongo

memperlihatkan bahwa mereka mempunyai perhatian kepada kebudayaan disekitar

kita, salah satunya dengan bahasa. Lebih lanjut, dakwah Rebana Walisongo memiliki

konsep dakwah mpan-papan. Yang dimaksud adalah, dakwah yang dapat

menyesuaikan diri pada kebudayaan dimana tempat mereka berdakwah. Selain itu,

dakwah menggunakan bahasa Jawa akan lebih mudah dimengerti dan dicerna oleh

masyarakat, khususnya Jawa.

Ketiga adalah pemanfaatan lagu-lagu yang menjadi konsumen sehari-hari

masyarakat Sragen dan sekitarnya, yaitu lagu-lagu campusari, yang merupakan

musik hibrida atau genetika baru persilangan budaya musik karawitan dan musik

barat. Dengan merekomposisi, lagu-lagu campursari, Rebana Walisongo, mampu

mendapat tempat di hati masyarakat, mengingat masyarakat yang menjadi konsumen

dakwah Rebana Walisongo adalah masyarakat visual. Lagu campursari yang menjadi

sasaran kreatifitas oleh Rebana Walisongo adalah, Mung Sêliramu, Caping

Nggunung, Èla-èlo, serta Rãndã Kêmpling. Lebih lanjut dapat dibaca pada

pembahasan.

Keempat adalah implikasi dari dakwah yang memanfaatkan musik. Rangkaian

kegiatan dakwah yang telah dibicarakan dalam naskah ini, tentu saja berpengaruh

terhadap apa yang menjadi sasaran dakwah dan berdampak juga terhadap Pondok

186

Pesantren Walisongo sendiri. Dapat dilihat dari pembahasan tentang respon para

audiens pertunjukan Rebana Walisongo Sragen yang telah dibahas di muka, musik

rebana ternyata mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat, baik secara implisit

maupun eksplisit. Secara implisit, pengaruh terjadi pada tataran wacana, yakni pesan

atau makna yang terkandung di dalam lagu Rebana Walisongo ternyata menjadi

bahan renungan ketika audiens meninggalkan panggung pertunjukan Rebana

Walisongo. Kemudian secara eksplisit, pengaruh itu terjadi pada tataran kehidupan

sehari-hari. Lebih jelasnya, dakwah Rebana Walisongo tidak hanya terjadi ketika di

atas panggung saja, namun terjadi continuity yang juga terjadi dirumah audiens

masing-masing, yaitu lewat kaset yang mereka perdengarkan di rumah. Jadi, upaya

audiens untuk selalu mendengarkan Rebana Walisongo, itu menandakan bahwa

audiens merasa membutuhkan sebuah dorongan untuk selalu berperilaku di jalan

Tuhan salah satunya dengan Mendengarkan Rebana Walisongo.

Selanjutnya adalah inplikasi dakwah musik terhadap Pondok Pesantren

Walisongo. Sejauh ini, pengaruh yang dirasakan dari keberadaan Rebana Walisongo

sebgai garda depan dakwah adalah, pertama meningkatnya poplaritas Ponpes

Walisongo, hal itu memicu bertambahnya santri yang ingin belajar di Ponpes

Walisongo. Kedua Tentu saja dari segi material, dampak dari adanya Rebana

Walisongo adalah bertambahnya fasilitas untuk menunjang berlajar, baik itu gedung,

komputer, Buss, dan fasilitas lainnya.

187

Kelima adalah, memicu timbulnya donatur atau sponsor yang mulai tertarik

untuk berkerjasama dengan Ponpes Walisongo baik itu persoalan musik, pendidikan,

ataupun lainnya. Denga demikian perkembangan Ponpes Walisongo mkini cukup

pesat, hal itu ditandai dengan adanya pendidikan formal yang mulai di rintis tiga

tahun yang lalu, yaitu pendidikan Play Group Walisongo, TK Walisongo, SD

Walisongo, SMP Walisongo, serta SMK Walisongo.

Keenam adalah bahwa dari rangkaian kegiatan yang telah dijelaskan mulai

dari latar belakang dakwah-musik, konsep dakwah-musik, produksi dakwah-musik,

aksi dakwah-musik, serta implikasi dakwah-musik, semua itu merupakan

representatif dari pemikiran Ponpes Walisongo Sragen.

2. Rekomendasi

Mengenai penelitian “Dakwah-Musik Rebana Walisongo Sragen”, masih

terdapat banyak hal yang masih belum terwadahi dalam teks skripsi ini, dan masih

banyak celah pula untuk melakukan penelitian dengan perspektif atau formal kajian

yang lain. Oleh karena itu, diharapkan skripsi ini, dapat memicu pembaca atau

siapapun untuk melakukan penelitian serupa atau menelaah hal-hal yang belum

terjelaskan dan terwadahi di dalam narasi skripsi ini.

188

Daftar Acuan

A. Pustaka

Abdul Hadi. Islam Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Yayasan Adi Karya Ikapi

dan The Ford Foundation, 2000. Adjie Esa Poetra. Revolusi Nasyid. Bandung: MQS Publishing, 2004. Aep Kusnawan. “Dakwah dan Kajiannya”, dalam Aep Kusnawan dkk. (eds.),

Dimensi Ilmu Dakwah: Tinjauan Ilmu Dakwah dari Aspek Ontologi,

Epistemologi, Aksiologi, hingga Paradigma Pengembangan Profesionalisme. Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.

Al-Qardlawy, Yusuf. Fiqh Musik dan lagu, Bandung: Mujahid Press, 2002. Asep Purnama Bahtiar. “Dialektika Agama dan Budaya: Ketegangan Ktreatif untuk

Merumuskan Strategi Kebudayaan Muhammadiyah”, dalam M. Thoyibi, Yayah Khisbiyah, dan Abdullah Aly (eds). Sinergi Agama dan Budaya Lokal. Surakarta: MUP-UMS, PSB-PS UMS, Majelis Tarjih dan PPI PP Muhammadiyah, 2003. Hlm. 195-202.

A. Tasman, Analisa Gerak dan karakter. Surakarta: ISI Press Surakarta, 2008.

Bambang Sunarto. “Sholawat Campurngaji: Musikalitas, Pertunjukan, dan

Maknanya”. Tesis S-2. Institut Seni Indonesia Surakarta, 2006. Becker, Judith. “Kalau Bahasa Dapat Diterjemahkan Kenapa Musik Tidak?”. Dalam

Jurnal Masyarakat Musikologi Indonesia. Tahun 1. No. 1, 1990. Darmo Budhi Suseno. Lantunan Shalawat+Nasyid. Yogyakarta: Media Insani, 2005. Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT Remaja Rosdakarya, 2005.

189

Djarwanto. Tatacara Menulis Karya Ilmiah Skripsi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1984.

Djohan. Psikologi musik. Yogyakarta: Best Publiser, 2009. Dwejo Purnomo. “Metode Dawkah K.H. Ma’ruf Islamudin”. Surakarta: STAIN

Surakarta Skripsi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Fakultas Seni Pertunjukan. Buku Panduan Tugas Akhir: Fakultas Seni

Pertunjukan. ISI Press, 2010. Imam Al-Hakam Wicaksono. Kamus Al Hakam: Indonesia Arab-Arab Indonesia.

Solo: Sendang Ilmu, 2008. I Wayan Sadra. “Lorong Kecil Menuju Susunan Musik”, dalam Waridi (ed),

Menimbang Pendekatan Pengkajian dan Penciptaan Musik Nusantara. Surakarta: Jurusan Karawitan STSI Press Sekolah Tingi Seni Indonesia (STSI Surakarta) hlm. 75-93.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Edisi revisi. Jakarta: PT Renika cipta,

2009. Komarudin Hidayat. “Dialektika Agama dan Budaya”, dalam M. Thoyibi, Yayah

Khisbiyah, dan Abdullah Aly (eds). Sinergi Agama dan Budaya Lokal. Surakarta: MUP-UMS, PSB-PS UMS, Majelis Tarjih dan PPI PP Muhammadiyah, 2003. Hlm. 7-13.

Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1987. Lardiyanto Bhudi. “Kyai Kanjeng Aktualisasi Pemikiran Emha Ainun Nadjib Melalui

Musik”. Surakarta: ISI Surakarta Skripsi Jurusan Etnomusikologi, 2009. Mack, Dieter. Apresiasi Musik, Musik Populer. Yogyakarta: Yayasan Pustaka

Nusatama, 1995. Merriam, A. P. Antropologi Musik. Terj. Triyono Bramantyo. Yogyakarta:

Perpustakaan ISI Yogyakarta, 2001.

190

Moleong, L. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,

2008. Morris, Desmond. Manwatching A Field Guide to Human Behavior. New York:

Publishers, 2005. M. Thoyibi, Yayah Khisbiyah, dan Abdullah Aly (eds). Sinergi Agama dan Budaya

Lokal. Surakarta: MUP-UMS, PSB-PS UMS, Majelis Tarjih dan PPI PP Muhammadiyah, 2003.

Purwadi. Dakwah Sunan Kali Jaga. Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Rahayu Supanggah. Bothekan Karawitan I. Jakarta: Ford Foundation & Masyarakat

Seni Pertunjukan Indonesia, 2002. Santosa. Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan. Surakarata: ISI

Press Surakarta, 2011. Sidi Gazalba. Islam dan Kesenian Relevansi Islam dan Budaya. Jakarta: Pustaka Al-

Husna, 1988. Soegeng Toekio. Teknologi Panggung. Surakarata: STSI Surakarta, 1988. Soeharto, M, Kamus Musik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Jakarta, 1978. Spradley, James P. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997. Sri Hastanto. Musik Tradisi Nusantara: Musik-musik yang Belum Banyak Dikenal.

Jakarta: Deputi Bidang Seni dan Film Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2005.

Sri Sujarwanti. “Kelompok Musik Hadrah Kartika Buana Desa Tlobong Ndlanggu

Klaten”. Surakarta: Skripsi Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta, 2003.

191

Sulkhan Zainuri. “Seni dalam Perspektif Islam”, dalam M. Thoyibi, Yayah

Khisbiyah, dan Abdullah Aly (eds). Sinergi Agama dan Budaya Lokal. Surakarta: MUP-UMS, PSB-PS UMS, Majelis Tarjih dan PPI PP Muhammadiyah, 2003.

Syukriadi Sambas. “Wilayah Kajian Ilmu Dakwah”, dalam Aep Kusnawawan dkk.

(eds.), Dimensi Ilmu Dakwah: Tinjauan Ilmu Dakwah dari Aspek Ontologi,

Epistemologi, Aksiologi, hingga Paradigma Pengembangan Profesionalisme. Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.

Tri Wahyudi. “Upaya Pelestarian Kesenian Al-Barzanji di Pondok Pesantren Al-

Muayyad Surakarta”. Surakarta: Skripsi Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta, 2001.

Waridi (ed.). Menimbang Pendekatan Pengkajian & Penciptaan Musik Nusantara.

Surakarta: Jurusan Karawitan ISI Surakarta, 2005. Z. Arifin, Thoha. Ekosistem Seni Budaya Islam. Yogyakarta: buku laela, 2002.

B. Webtografi

http:// pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/14/dakwah-kultural/

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/08/12/03/18407

http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2239130-pendekatan-dakwah/#ixzz1h7zBJXZ3

192

C. Diskografi

1. Audio

Rebana Walisongo. Ojo Srakah. Rekaman Al-Muntaha Record, 2011. Rebana Walisongo. Dzikir Wengi. Rekaman Al-Muntaha Record, 2011. Rebana Walisongo. Masyaalloh. Rekaman Al-Muntaha Record, 2011. 2. Audio Visual

Joko Suyanto. “Pentas Peringatan Isra’mi’raj di Sidoharjo”. Dokumentasi Joko, 2012.

D. Daftar Nara Sumber

1. Ma’ruf Islamudin 47 tahun. Pengasuh Ponpes Walisongo Sragen 2. Dwijo Purnomo 32 tahun. Pengurus Pondok Pesantren Walisongo Sragen. 3. Janto 26 tahun. Personil Rebana Walisongo Sragen. 4. Muhamad Marzuki 34 tahu. Mantan ketua Rebana Walisongo Sragen. 5. Muhamad Nadjib 26 tahun. Personil Rebana Walisongo Sragen. 6. Zainun Mafudz 27 tahun. Wakil ketua Reban Walisongo Sragen. 7. Ilham Syarofi 32 tahun. Personil Rebana Walisongo. 8. Toha Hasan 32 tahum. Pengelola Studio Al-Muntaha Record di Ponpes Wali

Songo Sragen. 9. Andi 33 tahun. Menejer Rebana Walisongo. 10. Yeti 30 tahun, Pengurus Ponpes Walisongo Sragen. 11. Nugraheni Setyaningrum 21 tahun. Personil Rebana Walisongo. 12. Amin 24 tahun. Personil Rebana Walisongo. 13. Ahmad 21 tahun. Personil Rebana Walisongo. 14. Imam 30 tahun audiens 15. Burhan Sidqi 21 tahun audiens 16. Suramto 40 tahun audiens 17. Ngadi Parjoko 25 tahun pengurus Rebana Fathurahman 18. Mulyono 32 Mulyono ketua rebana Larasati 19. Suparmo 39 tahun audiens 20. Nur Hamdi 27 tahun audiens

193