48
II - 1 BAB 2 STUDI PUSTAKA Penyusunan Tugas Akhir ini meliputi evaluasi kinerja ruas jalan Purwodadi- Wirosari, untuk itu dibutuhkan dasar teori yang bisa didapat melalui kajian pustaka dari bahan-bahan kuliah dan literatur-literatur yang ada hubungannya dengan evaluasi kinerja ruas jalan tersebut. Untuk lebih jelasnya studi pustaka akan dibahas dibahas pada uraian dibawah ini. 2.1. Evaluasi dan Kinerja 2.1.1. Analisa Sistem Jalan Analisa sistem jalan ini untuk mengetahui kriteria fungsi dan klasifikasi jalan menurut “Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997”. Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas 1. jalan arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. 2. jalan kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi. 3. jalan lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalan jarak dekat, dengan kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Klasifikasi menurut kelas jalan Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beban lalu-lintas, yang dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton. Kelas klasifikasi ini dapat juga dilihat dalam tabel 2.1(Pasal 11, PP.No. 43/1993).

Daftar Pustaka Bab 3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Daftar Pustaka Bab 3

II - 1

BAB 2

STUDI PUSTAKA

Penyusunan Tugas Akhir ini meliputi evaluasi kinerja ruas jalan Purwodadi-

Wirosari, untuk itu dibutuhkan dasar teori yang bisa didapat melalui kajian

pustaka dari bahan-bahan kuliah dan literatur-literatur yang ada hubungannya

dengan evaluasi kinerja ruas jalan tersebut.

Untuk lebih jelasnya studi pustaka akan dibahas dibahas pada uraian

dibawah ini.

2.1. Evaluasi dan Kinerja

2.1.1. Analisa Sistem Jalan

Analisa sistem jalan ini untuk mengetahui kriteria fungsi dan klasifikasi

jalan menurut “Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997”.

Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas

1. jalan arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri

perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk

dibatasi secara efisien.

2. jalan kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul atau

pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata

sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

3. jalan lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri

perjalan jarak dekat, dengan kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan

masuk tidak dibatasi.

Klasifikasi menurut kelas jalan

Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk

menerima beban lalu-lintas, yang dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST)

dalam satuan ton. Kelas klasifikasi ini dapat juga dilihat dalam tabel 2.1(Pasal 11,

PP.No. 43/1993).

Page 2: Daftar Pustaka Bab 3

II - 2

Tabel 2.1. Klasifikasi menurut kelas jalan.

Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat

MST (ton)

Arteri I

II

IIIA

>10

10

8

Kolektor IIIA

IIIB

8

Sumber : MKJI 1997

2.1.2. Analisa Tanah

Jenis tanah dasar sangat berpengaruh terhadap daya dukung struktur

perkerasan yang terlatak diatasnya. Tanah dasar yang bersifat ekspansif artinya

tanah ini berjenis lempung dan mempunyai kembang susut yang besar. Tanah

yang labil dan cenderung bergerak, akan tampak adanya lendutan dan longsoran

pada badan jalan. Kondisi tanah lempung yang ekspansif dan labil diperburuk

oleh adanya penyerapan air.

Masalah yang utama mengenai tanah pada perencanaan jalan adalah

masalah daya dukung tanah dasar tersebut. Daya dukung tanah dasar pada

perkerasan jalan dinyatakan dalam CBR (California bearing ratio). Harga daya

dukung tanah dasar (juga harga CBR) sangat dipengaruhi oleh :

a. Kepadatan tanah, makin padat makin tinggi daya dukungnya.

b. Kadar air, makin tinggi kadar air biasanya makin kecil daya dukungnya.

Kadar air lebih berpengaruh pada tanah lempung dan lanau, sedangkan

untuk tanah pasir dan kerikil umumnya kadar air tidak begitu mempengaruhi daya

dukung tanah.

Page 3: Daftar Pustaka Bab 3

II - 3

Klasifikasi tanah

Klasifikasi tanah dapat dilakukan secara visual atau dapat didasarkan atas

percobaan laboratorium. Prinsip yang digunakan adalah sama yaitu sifat tanah

sampai batas tertentu selalu tergantung pada ukuran butir sehingga dapat dipakai

sebagai titik tolak klasifikasi tanah.

Sistem Klasifikasi AASHO

Sistem klasifikasi AASHO dibuat berdasarkan hasil pengamatan

dilapangan terhadap performance tanah yang berada di bawah perkerasan jalan.

Pada sistem ini tanah dikelompokkan atas dasar persamaan karakteristik

pelayanan serta daya dukung beban pada umumnya. Ada tujuh kelompok dasar

yang diberi sebutan kelompok A-1, A-2, A-3, A-4, A-5, A-6, dan A-7. Secara

umum dapat kita katakan bahwa tanah yang paling baik untuk dipakai sub grade

jalan diklasifikasikan sebagai kelompok A-1, kelompok A-2 masih baik, tetapi

lebih buruk dari kelompok A-1, dan seterusnya, sampai kelompok A-7, yang

nilainya paling rendah. Jadi secara umun dapat dikatakan bahwa peryaratan tebal

struktur perkerasan akan lebih tinggi dengan besarnya nomer kelompok

klasifikasinya.

Sistem Klasifikasi Unified.

Pemeriksaan yang digunakan adalah analisa butir dan batas-batas atteberg.

semua tanah diberi tanda dua huruf petunjuk berdasarkan hasil-hasil percobaan

ini. Ada dua golongan besar yaitu tanah berbutir kasar ( >50% tertahan saringan

no. 200) dan berbutir halus ( >50% lewat saringan no. 200). Tanah berbutir halus

kemudian diklasifikasikan atas dasar plastisitas dan kadar organiknya.

Huruf yang digunakan untuk tanah berbutir halus adalah:

M = lanau L = batas cair rendah O = organic

C = lempung H = batas cair tinggi

Page 4: Daftar Pustaka Bab 3

II - 4

Tanah berbutir kasar dibagi menjadi pasir dan kerikil, dan kemudian

dibagi lagi menjadi yang mengandung bahan halus dan yang bebas dari bahan

halus. Yang mengandung bahan halus kemudian diklasifikasikan menurut

diagram plasitisitas. Dan yang bebas dari bahan halus dapat dilihat pada grafik

pembagian butir (apakat bergradasi baik atau buruk) dengan menggunakan

koefisian keseragaman dan kelengkungan.

huruf yang digunakan adalah :

G = kerikil S = pasir W = bergradasi baik

P = bergradasi jelek M = kelanauan C = kelempungan

Page 5: Daftar Pustaka Bab 3

II - 5

Page 6: Daftar Pustaka Bab 3

II - 6

Page 7: Daftar Pustaka Bab 3

II - 7

Stabilisasi Tanah

Tujuan stabilisasi tanah adalah :

– Memperbiki mutu tanah yang tidak baik

– Meningkatkan mutu tanah yang sudah baik menjadi lebih baik

a. Stabilisasi Mekanis

stabilisasi ini bertujuan mendapatkan tanah yang bergradasi baik

sedemikian rupa sehingga memenuhi spesifikasi yang diinginkan. Stabilisasi

mekanis dilakukan dengan mencampur tanah dengan tanah jenis lain sehingga

diperoleh gradasi tanah yang baik.

ciri-ciri yang khas dalam pemilihan stabilisasi tanah secara mekanis adalah :

– Jenis tanah yang dipakai tempatnya berdekatan satu sama lain

– Apabila salah satu jenis tanah yang dimaksud harus diambil dari tempat yang

jauh, maka akan tidak ekonomis dan harus dicari metode lain.

– Apabila telah ditetapkan spesifikasi hasil percampuran dan telah ditetapkan

bagian dari masing-masing bahan yang perlu dicampur menjadi satu, perlu

dilakukan pengawasan yang ketat pada saat pencampuran agar diperoleh

homogenitas campuran.

– Penetapan masing-masing bagian dapat dihitung secara analitis ataupun grafis

berdasarkan hasil analisa butir dari jenis tanah yang bersangkutan.

b. Stabilisasi Kimiawi

Tanah yang kohesif (tanah liat) tidak bisa distabilisasi secara mekanis

untuk dapat memanfaatkan tanah liat tersebut secara ekonomis, dipakailah

stabilizing agent antara lain PC, Hydrated lime, bitumen, dsb.

Page 8: Daftar Pustaka Bab 3

II - 8

Stabilisasi dengan Kapur

Pada stabilisasi kapur terdapat dua macam lime yaitu quick lime dan

Hydrated lime. Dengan Hydrated lime, stabilisasi bisa dilaksanakan lebih mudah

tetapi hasilnya kurang jika dibandingkan dengan Quick lime yang lebih efektif.

Perubahan fisik yang terjadi akibat stabilisasi dengan kapur pada tanah liat adalah

– Plastisiti indeks berkurang

– Plastic limit bertambah

– Liquid limit akan berkurang (PI = LL – PL)

– Sifat kembang susut berkurang

– Strength bertambah

Pada pelaksanaan dilapangan sama dengan stabilisasi semen, hanya disini

tidak ada batas waktu karena reaksi antara tanah dan lime sangat lambat. Banyak

lime yang digunakan adalah 2-10% berat.

Stabilisasi Semen.

– Yaitu stabilisasi dengan menggunakan PC yang ditambahkan ketanah yang

sudah dibuat pulverized.

– Tanah yang akan distabilisasi dengan PC harus dapat dihancurkan dengan

baik.

– Untuk membatasi jumlah semen yang diperlukan perlu mencampur tanah liat

dengan kapur terlebih dahulu agar tanah dapat mudah dihancurkan.

– Termasuk dalam kategori ini adalah tanah liat dengan fraksi no. 200 melebihi

50%, LL > 50%, dan PI > 25 %.

– Soil cement ini terutama banyak dipakai pada base dan sub base.

– Factor utama yang menentukan banyaknya semen adalah tipe dari tanah

Page 9: Daftar Pustaka Bab 3

II - 9

Stabilisasi Bitumen

– Apabila yang distabilisasi clay (tanah kohesif), maka tanah lebih water proof.

– Apabila yang distabilisasi sand (tanah glanular) maka bitumen merupakan

bahan pengikat.

– Ada dua macam bitumen yaitu send bitumen dan soil bitumen.

Stabilisasi Geomembran

– Yaitu stabilisasi dengan menggunakan bahan fleksibel yaitu geo membrane

– Jika digunakan pada tanah exspansif, maka akan menahan air masuk, atau

untuk mengurangi terjadinya kembang susut tanah yang menyebabkan

kerusakan perkerasan.

Pengantian tanah

– Yaitu mengganti tanah asli dengan tanah yang lebih baik daya dukung

tanahnya, sehingga dapat digunakan sebagai tanah dasar beban.

2.1.3. Analisis Data Lalu-Lintas

Volume lalu lintas

Adalah jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu

satuan waktu (hari,jam,atau menit). Satuan volume lalu-lintas yang umum

digunakan sehubungan dengan penentuan jumlah dan lebar lajur adalah:

1. Lalu-lintas harian rata-rata

Lalu-lintas harian rata-rata adalah volume lalu-lintas rata-rata dalam satu

hari. Dari cara memperoleh data tersebut dikenal dua jenis lalu-lintas

harian rata-rata yaitu lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu-

lintas harian rata-rata (LHR).

365nLHRT = Keterangan:

n : jumlah lalu lintas dalam 1 tahun LHRT dinyatakan dalam SMP/hari/2arah.

Page 10: Daftar Pustaka Bab 3

II - 10

LHR adalah jumlah kendaraan yang diperoleh selama pengamatan

dibandingkan atau dibagi dengan lamanya pengamatan.

TNLHR =

LHR : jumlah lalu lintas selama pengamatan / lamanya pengamatan

N : jumlah lalu-lintas selama pengamatan

T : lamanya pengamatan

Dengan situasi jalan raya yang terdiri dari berbagai macam kendaraan

yang memilikan kecepatan dan berat yang berbeda.Macam macam kendaraan

tersebut dapat di golongkan menjadi 8 golongan yang akan kita tinjau, golongan

tersebut adalah:

gol 1. = Sepeda motor, skuter, sepeda kumbang dan roda tiga.

2. = Sedan, jeep dan station wagom.

3. = Oplet, pick up, suburban, combi dan mini bus.

4. = Mikro truk dan monil hantaran.

5a. = Bus kecil.

5b. = Bus besar.

6. = Truk 2 Sumbu.

7. = Truk 3 sumbu atau lebih, gandengan dan trailer.

8. = Kendaraan tak bermontor.

Page 11: Daftar Pustaka Bab 3

II - 11

Untuk mempermudah perhitungan maka berbagai macam kendaraan

tersebut diekivalenkan dengan faktor ekivalen menurut tabel dalam MKJI 1997.

Tabel 2.2. Ekivalensi kendaraan penumpang (emp) untuk jalan 2/2 UD.

Tipe

Alinyemen

Arus

Total

(kend./

jam)

Emp

MHV LB LT MC

Lebar jalur lalu-lintas (m)

<6m 6-8m >8m

Datar 0

800

1350

>1900

1,2

1,8

1,5

1,3

1,2

1,8

1,6

1,5

1,8

2,7

2,5

2,5

0,8

1,2

0,9

0,6

0,6

0,9

0,7

0,5

0,4

0,6

0,5

0,4

Sumber : MKJI 1997

Keterangan:

MHV : kendaraan berat menengah

LT : truk besar

LB : bis besar

MC : sepeda motor

LV : kendaraan ringan (emp selalu 1,0)

Page 12: Daftar Pustaka Bab 3

II - 12

2. Volume jam rencana

Volume jam rencana adalah perkiraan volume lalu lintas pada jam sibuk

tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam smp/jam. Dihitung dengan

rumus:

FKLHRVJR =

VJR : volume jam rencana (smp/jam)

LHR: lalu-lintas harian rata-rata (smp/hari)

K : faktor volume lalu-lintas pada jam sibuk

F : faktor variasi tingkat lalu lintas per ¼

jam dalam 1 jam

Tabel 2.3. Penentuan faktor K dan faktor F berdasarkan volume lalu lintas harian

rata-rata

VLHR Faktor-K(%) Faktor-F

>50.000

30.000-50.000

10.000-30.000

5.000-10.000

1.000-5.000

<1.000

4-6

6-8

6-8

8-10

10-12

12-16

0.9-1

0.8-1

0.8-1

0.6-0.8

0.6-0.8

<0.6

Sumber :Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997

Page 13: Daftar Pustaka Bab 3

II - 13

Analisa kapasitas

Untuk menganalisa besarnya kapasitas jalan luar kota, berdasarkan MKJI

1997 Bab 6 jalan luar kota, dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

C = Co 3 FCw 3 FCsp 3 FCsf

Keterangan C = Kapasitas (smp/jam)

Co = Kapasitas dasar (smp/jam)

FCw = Faktor penyesuaian lebar jalan

FCsp = Faktor penyesuaian pemisah arah (hanya untuk jalan tak terbagi)

FCsf = Faktor penyesuaian akibat hambatan samping dan bahu

jalan

Tabel.2.4. Besar kapasitas dasar (Co) untuk jalan luar kota 2 arah 2 lajur Tipe jalan/

Tipe alinyemen Kapasitas dasar

Dua-jalur tak-terbagi Total kedua arah

Datar 3100

Bukit 3000

Gunung 2900

Sumber : MKJI 1997

Page 14: Daftar Pustaka Bab 3

II - 14

Tabel.2.5. Besar faktor penyesuaian akibat lebar jalan untuk jalan luar kota

Tipe Jalan

Lebar Efektif Jalan

total kedua arah (Wc)

(m)

FCw

2/2 UD

5 0,69

6 0,91

7 1,00

8 1,08

9 1,15

10 1,21

11 1,27

Sumber : MKJI 1997

Tabel.2.6. Faktor penyesuaian akibat prosentase arah untuk jalan luar kota

Pemisahan arah SP %-% 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30

FCsp

Dua lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88

Empat lajur 4/2 1,00 0,975 0,95 0,925 0,90

Sumber : MKJI 1997

Page 15: Daftar Pustaka Bab 3

II - 15

Tabel.2.7. Faktor penyesuaian akibat hambatan samping untuk jalan luar kota

untuk tipe 2/2 UD

Kelas Hambatan Samping

Faktor penyesuaian untuk hambatan samping (FCsf) Lebar Bahu Efektif Ws

≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0 VL 0,97 0,99 1.00 1,02 L 0,93 0,95 0,97 1,00 M 0,88 0,91 0,94 0,98 H 0,84 0,88 0,91 0,95

VH 0,80 0,83 0,88 0,93 Sumber : MKJI 1997

Keterangan:

VL = Sangat Rendah

L = Rendah

M = Sedang

H = Tinggi

VH = Sangat Tinggi

Kecepatan Arus Bebas

Kecepatan arus bebas didefinisikan sebagai kecepatan pada saat tingkatan

arus nol, sesuai dengan kecepatan yang akan di pilih pengemudi seandainya

mengendarai kendaraan bermotor tanpa halangan kendaraan bermontor lain di

jalan (yaitu saat arus = 0).

FV = (Fvo + FVw) x FFVsf x FFVrc

Keterangan:

FV = Kecepatan jalan (km/jam)

Fvo = Kecepatan dasar (km/jam)

FVw = Kecepatan penyesuaian untuk lebar efektif (km/jam)

FFVsf = Faktor penyesuaian hambatan samping

FFVrc = Faktor penyesuaian kelas dan fungsi jalan

Page 16: Daftar Pustaka Bab 3

II - 16

Tabel.2.8. Kecepatan arus bebas dasar untuk jalan luar kota

Tipe jalan/

Tipe alinyemen/

(Kelas jarak

pandang)

Kecepatan Arus Bebas Dasar (km/jam)

Kendaraan

Ringan

LV

Kendaraan

Berat

Menengah

MHV

Bus

Besar

LB

Truk

Besar

LT

Sepeda

Montor

MC

Dua-lajur tak

terbagi

- Datar SDC: A

Datar SDC: B

Datar SDC: C

- Bukit

- Gunung

68

65

61

61

55

60

57

54

52

42

73

69

63

62

50

58

55

52

49

38

55

54

53

53

51

Tabel.2.9. Penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas

Tipe Jalan Lebar

Efektif

Jalur Lalu

Lintas

(Wc)

(m)

FVw (km/jam)

Datar:

SDC = A,B

- Bukit:

SDC = A,B,C

- Datar: SDC = C

Gunung

Dua-lajur

tak terbagi

Total

5

6

7

8

9

10

11

-11

-3

0

1

2

3

3

-9

-2

0

1

2

3

3

-7

-1

0

0

1

2

2

Page 17: Daftar Pustaka Bab 3

II - 17

Tabel.2.10. Faktor penyesuaian akibat hambatan samping dan lebar bahu

Tipe Jalan Kelas Hambatan

Samping (SFC)

Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan

Samping dan Lebar Bahu

Lebar Bahu Efektif Ws (m)

≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥ 2 m

Dua Lajur

tak terbagi

2/2 UD

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

1,00

0,96

0,91

0,85

0,76

1,00

0,97

0,92

0,87

0,79

1,00

0,97

0,93

0,88

0,82

1,00

0,98

0,97

0,95

0,93

Tabel.2.11. Faktor penyesuaian akibat kelas fungsional jalan dan guna lahan

Tipe Jalan Faktor Penyesuaian FFV

Pengembangan samping jalan (%)

0 25 50 75 100

Dua-lajur tak terbagi

Arteri

Kolektor

Lokal

1,00

0,94

0,90

0,98

0,93

0,88

0,97

0,91

0,87

0,96

0,90

0,86

0,94

0,88

0,84

Page 18: Daftar Pustaka Bab 3

II - 18

Waktu Tempuh

Waktu tempuh merupakan perbandingan antara jarak / panjang jalan

dengan kecepatan jalan, yang memberikan gambaran tentang waktu tempuh yang

dibutuhkan untuk menempuh suatu ruas jalan dengan jarak tertentu.dapat dihitung

dengan persamaan berikut.

LVTT = TT = Waktu Tempuh (jam)

L = Panjang segmen (km)

V = Kecepatan jalan (km/jam)

Analisa Pertumbuhan Lalu Lintas

Besarnya tingkat pertumbuhan lalu lintas dapat dihitung dengan

menggunakan metode regresi linear.

Y = a + bX

ΣY = n.a + b.ΣX

ΣXY = a.X + b.ΣX2

Keterangan :

Y = besar LHR yang diramalkan

X = unit tahun yang dihitung dari periode dasar

a = nilai tren pada nilai dasar

n = jumlah data

b = Koefisien regresi, yang menunjukkan angka peningkatan ataupun penurunan

variabel dependen yang didasarkan pada variabel indenpenden.

Harga a dan b diatas dapat dicari dengan persamaan :

( )∑ ∑∑ ∑ ∑ ∑

−= 22

2

xxn

xyxxya

( )22 ∑∑∑ ∑ ∑

−=

xxn

yxxynb

Page 19: Daftar Pustaka Bab 3

II - 19

disini LHR sebagai variabel dependen sedangkan jumlah penduduk, jumlah

kepemilikan kendaraan, Produk Domestik Regional Bruto sebagai variabel

independent.

Analisa LHR

Dalam memperkirakan nilai LHR pada tahun umur rencana dapat dihitung

dengan rumus sebagai berikut :

LHRn = LHR0.(1+i)n

Keterangan :

LHRn = LHR tahun ke-n

LHR0 = LHR awal tahun rencana

i = Faktor pertumbuhan lalu lintas

n = Umur rencana

2.1.4. Evaluasi Kinerja

Untuk mengevaluasi jalan lama dapat diketahui dengan menghitung

Degree of Saturation jalan tersebut dengan menggunakan rumus :

Ds = CQ

Keterangan :

Ds = Degree of Saturation

Q = k 3 LHRn

C = kapasitas

Tabel 2.12. Nilai k untuk jalan antar kota

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997

LHR K

> 50000 4-6

30000-50000 6-8

10000-30000 6-8

5000-10000 8-10

1000-5000 10-12

<1000 12-16

Page 20: Daftar Pustaka Bab 3

II - 20

Apabila dari perhitungan didapatkan Ds < 0,75 maka jalan tersebut masih

dapat melayani kendaraan yang melewati ruas jalan tersebut dengan baik. Sedang

kan apabila diperoleh harga Ds ≥ 0,75 maka jalan tersebut sudah tidak mampu

melayani banyaknya kendaraan yang melewatinya. Dan untuk mengatasinya jalan

tersebut harus diperlebar, atau dengan membuat jalan baru.

2.1.5. Analisa Kondisi Perkerasan

kondisi struktur perkerasan selama masa layan tidak terlepas dari standar

disain yang dipakai.kondisi struktur perkerasan jalan selama masa layan

digambarkan dengan kurva hubungan IP (indeks permukaan) dengan nilai N

(beban sumbu standar ekivalen total).

Jalan perlu dievaluasi kerusakannya dengan menentukan:

• jenis kerusakan (distress type) dan penyebabnya

• tingkat kerusakan (distess severity)

• jumlah kerusakan (distress amount)

Tipe dan jenis kerusakan jalan (pavement diastress)

• Tipe kerusakan:

1. kerusakan fungsional

struktur perkerasantidak dapat lagi melayani lalu lintas sesuai dengan

fungsi yang diharapkan (nyaman dan aman).

– Tingkat ketidakrataan permukaan (roughness)

– Sifat kerusakan tidak progressive

2. kerusakan struktural

kerusakan pada satu atau lebih lapis perkerasan

– bersifat progressive, jika tidak segera ditangani akan berkembang

dengan cepat menjadi kerusakan yang lebih besar.

– Pada akhirnya menyebabkan ketidak rataan permukaan, dapat

diakibatkan karena kegagalan pada tanah dasar, lapis pondasi atau

lapis permukaan

Page 21: Daftar Pustaka Bab 3

II - 21

• Jenis kerusakan

1. retak (cracking)

2. perubahan bentuk (distorsion)

3. cacat permukaan (disintegration)

4. pengausan (polished aggregate)

5. kegemukan (bleeding or flushing)

6. penurunan pada bekas penanaman utilitas (utiliti cut depresion)

penanganan kerusakan

berdasarkan studi atau pengalaman dari penanganan kerusakan jalan

dipakai lapis tambahan pada perkerasan lama (overlay), karena overlay lebih

efektif dan ekonomis. Sebelum perancangan overlay perlu diadakan pemeriksaan

(survey) struktur yang ada, yaitu:

• pemeriksanaan nilai fungsional jalan:

1. survey kondisi perkerasan

– tujuan: mendapatkan data mengenai jenis dan tingkat kerusakan

yang terjadi pada perkerasan lapis beraspal.

– Survey ini dilakukan secara visual dan pengukuran langsung.

2. survey ketidakrataan

– ketidakrataan salah satu parameter pemeliharaan fungsional jalan

yang berkaitan dengan tingkat kenyamanan berkendaraan.

– Ada standarisasi untuk menyatakan nilai ketidakrataan sehingga

dapat dipakai secara internasional. IRI (international roughness

index) dengan satuan m/km, in/mile.

3. survey kelicinan/kekesatan

– licin atau tidak kesat dari permukaan jalan penyebab terjadinya slip

akibat koefisien gesek atau kekesatan rendah. Kekesatan berkaitan

dengan tekstur muka jalan.

Page 22: Daftar Pustaka Bab 3

II - 22

• pemeriksaan nilai struktural perkerasan

1. cara destruktif

– dengan test PIT untuk menilai kondisi lapis perkerasan

2. cara non destrutif

– dengan benkelman beam (cara konvensional)

– dengan FWD (flling weight deflectometer)

3. dinamik cone penetrometer (dcp)

– untuk menguji kekuatan lapis perkerasan jalan tanpa bahan

pengikat (tanah dasar, pondasi bahan berbutir)

2.2. Perencanaan Jalan

2.2.1. Peningkatan Geometrik Jalan

Peningkatan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan

yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi

fungsi dasar dari jalan yaitu memberi pelayanan yang optimum pada arus lalu

lintas. Peningkatan geomerik secara umum mempunyai unsur menyangkut aspek–

aspek perencanaan bagian jalan :

1. Perencanaan trase

2. Penampang melintang jalan

3. Alinyemen horisontal

4. Super elevasi

5. Pelebaran Tikungan

6. Alinyemen vertikal

Perencanaan Trase Jalan

Dasar perencanaan trase jalan ditentukan, demikian juga golongan

medannya, maka perencanaan trase jalan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

• Landai maksimum

• Jari-jari landai lengkung minimum

• Lengkung vertikal

Page 23: Daftar Pustaka Bab 3

II - 23

Lengkung minimum hanya boleh digunakan apabila pertimbangan biaya

pembangunan adalah sangat memaksa dan hanya untuk jarak pendek. Hal yang

perlu diperhatikan bahwa panjang dari landai maksimum (kritis) perlu dibatasi

agar tidak sampai mengakibatkan pengurangan kecepatan yang dapat

mengganggu kelancaran lalu-lintas. Dalam peraturan “Perencanaan Geometrik

Jalan Raya” oleh Dirjen Bina Marga, panjang landai kritis tersebut :

Tabel 2.13. Panjang landai kritis

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota-1997

Jari-jari kelengkungan diusahakan sebesar mungkin agar diperoleh

tikungan tanpa kemiringan lengkung peralihan, agar perubahan kemiringan pada

tikungan tidak mendadak dimana akan mengurangi kenyamanan pemakai jalan.

Lengkung vertikal digunakan atau dibuat agar memenuhi keamanan, mengingat

bahwa jarak pandang di daerah tersebut ditiap pergantian kelandaian lengkung

vertikal yang harus digunakan adalah parabola sederhana. Selain syarat-syarat

tersebut, harus diperhatikan juga:

• Trase jalan rencananya sebaiknya mengikuti medannya.

• Jumlah galian dan timbunan seminimal mungkin dan diharapkan

seimbang.

• Antara 2 tikungan (lengkung horizontal) harus ada bagian yang lurus.

• Perlu diadakan pelebaran perkerasan di bagian tikungan.

• Dihindarkan adanya pertemuan antara lengkung horizontal dan

lengkung vertikal disuatu titik.

• Faktor kenyamanan, keamanan diutamakan dengan

mempertimbangkan biaya semurah mungkin.

Kelandaian (%) 4 5 6 7 8 9 10

Kecepatan Awal (Km/jam) Panjang Landai Kritis (m)

80 630 460 360 270 230 230 200

60 320 230 160 120 120 90 80

Page 24: Daftar Pustaka Bab 3

II - 24

Penampang Melintang Jalan

Penampang melintang jalan terdiri dari beberapa bagian yaitu:

1. Lajur

• Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh

marka jalan lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu

kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana.

• Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, yang

dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan seperti

ditetapkan dalam tabel 2.10.

• Jumlah lajur ditetapkaan dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan

tingkat kinerja yang direncanakan, dimana untuk suatu ruas jalan

dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang

nilainya tidak lebih dari 0,80.

• Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pada alinyemen

lurus memerlukan kemiringan melintang normal sebagai berikut.

♦ 2-3% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton.

♦ 4-5% untuk perkerasan kerikil.

Tabel 2.14. Lebar lajur jalan ideal

Fungsi Kelas Lebar lajur ideal (m)

Arteri I 3,75

II,IIIA 3,50

Kolektor IIIA,IIIB 3,00

Lokal IIIC 3,00

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota-1997

Page 25: Daftar Pustaka Bab 3

II - 25

2. Bahu jalan

• Bahu Jalan adalah bagian jalan yang terletak di tepi jalur lalu lintas dan

harus diperkeras.

• Fungsi bahu jalan adalah sebagai berikut:

♦ Lajur lalu lintas darurat, tempat berhenti sementara, dan atau

tempat parkir darurat.

♦ Ruang bebas samping bagi lalu lintas.

• Kemiringan bahu jalan normal antara 3-5%.

• Lebar bahu jalan dapat dilihat dalam tabel 2.11.

Tabel 2.15. Penentuan Lebat Jalur dan Bahu Jalan

VLHR

(smp

/hari)

ARTERI KOLEKTOR LOKAL

Lebar

Jalur

(m)

Lebar

Jalur

(m)

Lebar

Jalur

(m)

Lebar

Jalur

(m)

Lebar

Jalur

(m)

Lebar

Jalur

(m)

<3.000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0

3000-

10.000

7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0

10.001-

25.000

7.0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 **) **) - - - -

>25.000 2nx3,5*) 2,5 2x7,0*) 2,0 2nx3,5*) 2,0 **) **) - - - -

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota-1997

Keterangan : **) = Mengacu pada persyaratan ideal

*) = 2 jalur terbagi, masing-masing nx3,5m; dimana n = jumlah

lajur per jalur.

- = tidak ditentukan

Page 26: Daftar Pustaka Bab 3

II - 26

Alinyemen Horisontal

Alinyemen horisontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (disebut

juga tikungan). Perencanaan geometri pada bagian lengkung dimaksudkan untuk

mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada

kecepatan VR. Untuk keselamatan pemakai jalan ,jarak pandang dan daerah bebas

samping jalan harus diperhitungan.

1) Panjang Bagian Lurus

Dengan memperhatikan faktor keselamatan pemakai jalan. Ditinjau dari

segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus

harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit (sesuai VR).Panjang

Bagian lurus dapat ditetapkan dari tabel berikut:

Tabel 2.16. Panjang Bagian Lurus Maksimum

Fungsi Panjang Bagian Lurus Maksimum

Datar Perbukitan Pegunungan

Arteri 3.000 2.500 2.000

Kolektor 2.000 1.750 1.500

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota-1997

2) Tikungan

Bentuk-bentuk tikungan dapat berupa:

a. Spiral - Circle – Spiral (SCS)

Tikungan jenis Spiral – Circle – Spiral (Gambar 2.1) digunakan pada

tikungan yang mempunyai jari-jari dan sudut tangen yang sedang. Pada tikungan

ini, perubahan dari tangen ke lengkung lingkaran dijembatani dengan adanya

lengkung spiral (Ls). Fungsi dari lengkung spiral adalah menjaga agar perubahan

gaya sentrifugal yang timbul pada waktu kendaraan memasuki atau meninggalkan

tikungan dapat terjadi secara berangsur-angsur. Di samping itu, hal ini juga

dimaksudkan untuk membuat kemiringan transisi lereng jalan menjadi

superelevasi tidak terjadi secara mendadak dan sesuai dengan gaya sentrifugal

yang timbul sehingga keamanan dan kenyamanan terjamin.

Page 27: Daftar Pustaka Bab 3

II - 27

Lingkaran

TL

TS

Xm

∆ Rc s

α

Bagian

Xc

W

Tk

TYc

SCLc

θsE

PI

Bagian Spiral

Rc

∆Rc +

Rc

Ls

Tangent(Lurus)

TS

CS

α

Gambar 2.1. Sketsa tikungan spiral – circle – spiral

Ls ditentukan dari 3 rumus di bawah ini dan diambil nilai yang

terbesar.

1) Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan.

6,3/TVL Rs ⋅= ; T diambil 3 detik

2) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal.

CeV

CRVL R

c

Rs

⋅⋅−

⋅⋅

=727,2022,0 3

; C diambil 1 – 3 m/detik3

3) Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian.

( )e

Rns

rVeeL

⋅⋅−

=6,3

max ; re diambil 0,035 m/detik

Rumus elemen-elemen tikungan adalah sebagai berikut :

( ) ( )[ ] kpRT cs +∆⋅+= 2/tan cc

s RpRE −∆+

=2/cos

( ) ( )cs

c RL ⋅⋅⋅+∆

= π180

θ2 ( ) scst TLLL ⋅≤+⋅= 22

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −=

2

2

401

c

ssc

RLLX

c

sc

RLY6

2

=

c

ss

RL×

=648,28θ

Page 28: Daftar Pustaka Bab 3

II - 28

22cc YXS +=

( )1−+=∆ sccc CosRYR θ

sccm SinRXX θ×−=

( ) 2∆×∆+= TanRRW cc

WXT m +=

sθα 2−∆=

oo

RcLc 180απ ××=

ccc R

CosRRE −⎟

⎜⎜

∆∆+

=2

sccl CtgYXT θ×−=

s

ck SinYT θ=

sct LLL 2+=

Dimana : TS = Titik awal spiral (titik dari tangen ke spiral)

ST = Titik akhir spiral

SC = Titik dari spiral ke circle

CS = Titik dari circle ke spiral

PI = Titik perpotongan tangen

Ls = Panjang spiral

Rc = Jari-jari lingkaran (jarak O – TC atau ke CT atau ke setiap

titik busur lingkaran)

Lc = Panjang circle (busur lingkaran)

θs = Sudut – spiral

Page 29: Daftar Pustaka Bab 3

II - 29

b. Full Circle (FS)

Tikungan jenis full circle umumnya digunakan pada tikungan yang

mempunyai jari-jari tikungan besar dan sudut tangen kecil.

Sketsa tikungan full circle dapat dilihat pada Gambar 2.2. di bawah ini.

TE

TC

Lc

0.5 ∆

CTTANGEN

Rc Rc

Gambar 2.2. Sketsa tikungan full circle

Dalam mendesain tikungan jenis full circle, digunakan rumus-rumus

sebagai berikut :

( )2/tan ∆⋅= cRT ( ) 360/2 RcLc ⋅⋅⋅∆= π

( )4/tan ∆⋅= TE cR⋅∆⋅= 01745,0

12 αα −=∆

Dimana : 2,1 αα = Sudut jurusan tangen I dan 2

∆c = Sudut luar di PI

TC = Titik awal tikungan

PI = Titik perpotongan tangen

CT = Titik akhir tikungan

O = Titik pusat lingkaran

T = Panjang tangen (jarak TC – PI atau jarak PI – CT)

Rc = Jari-jari lingkaran (jarak O – TC atau ke CT atau ke setiap

Busur lingkaran)

Page 30: Daftar Pustaka Bab 3

II - 30

c. Spiral-Spiral

Tikungan jenis spiral-spiral digunakan pada tikungan tajam dengan sudut

tangen yang besar. Pada prinsipnya lengkung spiral-spiral (Gambar 2.3) sama

dengan lengkung spiral-circle-spiral. Hanya saja pada tikungan spiral-spiral tidak

terdapat busur lingkaran sehingga nilai lengkung tangen (Lt) adalah 2 kali

lengkung spiral Ls. Pada nilai Lc = 0 atau Sc = 0 tidak ada jarak tertentu dalam

masa tikungan yang sama miringnya sehingga tikungan ini kurang begitu bagus

pada superelevasi.

Rumus yang digunakan :

( ) 180/θ2 ss RL ⋅⋅⋅= π

( )[ ] kpRTs +∆⋅+= 2/tan

( )[ ] kpREs +∆⋅+= 2/sec

( ) cst LLL +⋅= 2 dengan 0=cL

sL⋅= 2

Dimana : Ls = Panjang spiral

Ts = Titik awal spiral

Es = Jarak eksternal dari PI ke tengah busur spiral

Lt = Panjang busur spiral

0s 0s

Rc Rc

Ts

Xc

kP

0sYc

Es

SCS

TSST

X

r

PI

Gambar 2.3. Sketsa tikungan spiral – spiral

Page 31: Daftar Pustaka Bab 3

II - 31

en

bagian Lcbagian lurus bagian lurus

TC CT

emax (+)

emax (-)

e=0%

sisi luar tikungan

sisi luar tikungan

13 Ls

23 Ls

13 Ls

23 Ls

bagian Lcbagian Lsbag. lurus bagian Ls bag. lurus

SC e=0% CSTS ST

emax (-)

en

emax (+)sisi luar tikungan

sisi luar tikungan

Superelevasi

Superelevasi menunjukkan besarnya perubahan kemiringan melintang

jalan secara berangsur-angsur dari kemiringan normal menjadi kemiringan

maksimum pada suatu tikungan horisontal yang direncanakan. Dengan demikian

dapat menunjukkan kemiringan melintang jalan pada setiap titik dalam tikungan.

Nilai superelevasi yang tinggi mengurangi gaya geser kesamping dan

menjadikan gerakan kendaraan pada tikungan lebih nyaman. Jari-jari minimum

yang tidak memerlukan superelevasi

Diagram superelevasi untuk tipe tikungan F-C, S-C-S, dan S-S dapat

dilihat pada Gambar 2.4, Gambar 2.5, Gambar 2.6 di bawah ini.

Gambar 2.4 Diagram superelevasi pada tikungan F-C

Gambar 2.5 Diagram superelevasi pada tikungan S-C-S

Page 32: Daftar Pustaka Bab 3

II - 32

TS ST

bagian Lsbag. lurus bag. lurus

emax (+)

emax (-)

e=0%

en

sisi luar tikungan

sisi luar tikungan

Gambar 2.6 Diagram superelevasi pada tikungan S-S

Pelebaran Jalur Lalu Lintas di Tikungan

Pada saat kendaraan melewati tikungan, roda belakang kendaraan tidak

dapat mengikuti jejak roda depan sehingga lintasannya berada lebih ke dalam

dibandingkan dengan lintasan roda depan.

Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan konsistensi

geometrik jalan, agar kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama dengan

bagian lurus. Pelebaran perkerasan pada tikungan mempertimbangkan :

1) Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada lajurnya.

2) Penambahan lebar ruang (lajur) yang dipakai saat kendaraan melakukan

gerakan melingkar. Dalam segala hal pelebaran di tikungan harus

memenuhi gerak perputaran kendaraan rencana sedemikian sehingga

kendaraan rencana tetap pada lajurnya.

Page 33: Daftar Pustaka Bab 3

II - 33

3) Besarnya pelebaran di tikungan dapat di hitung dengan rumus

( ) 22

22 )1(2

1 UabUaRRc ++⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ ++−=

( )22 12

UaRbRB cc +−−+=

bBE −=

Keterangan :

E = Tambahan Lebar (Pelebaran)

B = Lebar yang di tempati kendaraan

R = Jari jari lengkung pada suatu jalan

b = Lebar mobil

a = Jarak Gandar

Rc = Jari jari lengkung untuk lintasan luar yang di tambah mobil

U1= Tonjolan depan

Alinyemen Vertikal

Alinyemen vertikal merupakan penampang melintang jalan dimana

alinyemen ini merupakan proyeksi sumbu jalan ke bidang vertikal tegak lurus

penampang melintang jalan. Tujuan perencanaan lengkung vertikal adalah :

• Mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian.

• Menyediakan jarak pandang henti.

Perencanaan alinyemen vertikal harus sedemikian rupa sehingga trase

jalan yang dihasilkan memberikan tingkat kenyamanan dan tingkat keamanan

yang optimal. Perhitungan dimulai dari data elevasi point of vertical intersection

(PVI), kemudian baru dihitung besaran-besaran sebagai berikut :

• Panjang lengkung vertikal Lv dalam meter

• Pergeseran vertikal Ev dalam meter

• Elevasi permukaan jalan di PLV dan PTV

Page 34: Daftar Pustaka Bab 3

II - 34

• Elevasi permukaan jalan antara PLV, PVI, dan PTV pada setiap

stasiun yang terdapat pada alinyemen.

Rumus-rumus yang digunakan adalah :

21 ggA −=

( ) 800/vv LAE ⋅=

Dimana : A = Perbedaan aljabar landai

g1,g2 = Kelandaian jalan (%)

EV = Jarak antara lengkung vertikal dengan PV

LV = Panjang lengkung vertikal

Lengkung vertikal terdiri dari dua jenis, yaitu lengkung vertikal cekung

(Gambar 2.7), dan lengkung vertikal cembung (Gambar 2.8).

1 h

E

0 .7 5

A

LS

Gambar 2.7. Sketsa lengkung vertikal cekung

SL

h1

q1

d1

E q2

h2

A

d2

Gambar 2.8. Sketsa lengkung vertikal cembung

Page 35: Daftar Pustaka Bab 3

II - 35

Lv dihitung berdasarkan jarak pandang henti, dengan kondisi sebagai

berikut.

1. Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung

(S < L), panjangnya ditetapkan dengan rumus :

405

2SALv⋅

=

2. Jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cekung

(S > L), panjangnya ditetapkan dengan rumus :

ASLv

4052 −⋅=

Panjang minimum lengkung vertikal dapat dilihat pada Tabel 2.13. berikut.

Tabel 2.17. Panjang minimum lengkung vertikal

Kecepatan Rencana

(km/jam)

Perbedaan Kelandaian

Memanjang (%)

Panjang Lengkung

(m)

<40

40 – 60

>60

1

0.6

0.4

20 – 30

40 – 80

80 – 150

Sumber: “Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota Tahun 1997”

2.2.2. Perencanaan Perkerasan Jalan

Struktur perkerasan jalan adalah bagian konstruksi jalan raya yang

diperkeras dengan lapisan konstruksi tertentu yang memiliki ketebalan, kekuatan

dan kekakuan serta kestabilan tertentu agar mampu menyalurkan beban lalu lintas

diatasnya dengan aman.

Metode Perencanaan Struktur Perkerasan

Dalam perencanaan jalan, perkerasan merupakan bagian terpenting dimana

perkerasan berfungsi sebagai berikut :

• Menyebarkan beban lalu lintas sehingga besarnya beban yang dipikul

sub grade lebih kecil dari kekuatan sub grade itu sendiri.

Page 36: Daftar Pustaka Bab 3

II - 36

• Melindungi sub grade dari air hujan.

• Mendapatkan permukaan yang rata dan memiliki koefisien gesek yang

mencukupi sehingga pengguna jalan lebih aman dan nyaman dalam

berkendara.

Salah satu metode perkerasan jalan adalah jenis perkerasan lentur (flexible

pavement). Perkerasan lentur adalah perkerasan yang umumnya menggunakan

bahan campuran aspal dengan agregat yang memiliki ukuran butir tertentu

sehingga memiliki kepadatan, kekuatan dan flow tertentu. Jenis perkerasan jalan

yang lain adalah perkerasan kaku (rigid pavement) yaitu perkerasan beton semen

dimana terdiri dari campuran campuran semen PC, agregat halus dan air yang

digelar dalam satu lapis.

Untuk Perencanaan Ruas Jalan Purwodadi-Wirosari dipakai jenis

perkerasan lentur. Desain tebal perkerasan dihitung agar mampu memikul

tegangan yang ditimbulkan oleh beban kendaraan, perubahan suhu, kadar air dan

perubahan volume pada lapisan bawahnya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam

perkerasan lentur adalah sebagai berikut :

1) Umur rencana

Pertimbangan yang digunakan dalam umur rencana perkerasan

jalan adalah pertimbangan biaya konstruksi, pertimbangan klasifikasi

fungsional jalan dan pola lalu lintas jalan yang bersangkutan dimana tidak

terlepas dari satuan pengembangan wilayah yang telah ada.

2) Lalu lintas

Analisa lalu lintas berdasarkan hasil perhitungan volume lalu lintas

dan komposisi beban sumbu kendaraan berdasarkan data terakhir dari pos-

pos resmi setempat.

3) Konstruksi jalan

Konstruksi jalan terdiri dari tanah dan perkerasan jalan. Penetapan

besarnya rencana tanah dasar dan material-materialnya yang akan menjadi

bagian dari konstruksi perkerasan harus didasarkan atas survey dan

penelitian laboratorium.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tebal perkerasan jalan adalah :

Page 37: Daftar Pustaka Bab 3

II - 37

• Jumlah jalur (N) dan Koefisien distribusi kendaraan (C)

• Angka ekivalen (E) beban sumbu kendaraan

• Lalu lintas harian rata-rata

• Daya dukung tanah (DDT) dan CBR

• Faktor regional (FR)

Struktur perkerasan lentur terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut :

1. Lapis Permukaan (Surface Course)

a. Lapis aus :

♦ Sebagai lapis aus yang berhubungan dengan roda kendaraan.

♦ Mencegah masuknya air pada lapisan bawah (lapis Kedap air).

b. Lapis perkerasan :

♦ Sebagai lapis perkerasan penahan beban roda, lapisan ini

memiliki kestabilan tinggi untuk menahan beban roda selama

masa pelayanan.

♦ Sebagai lapis yang menyebarkan beban ke lapis bawahnya,

sehingga dapat dipikul oleh lapisan lain dibawahnya yang

mempunyai daya dukung lebih jelek.

2. Lapis Pondasi (Base Course)

Merupakan lapis pondasi atas yang berfungsi sebagai :

♦ Sebagai lantai kerja bagi lapisan diatasnya.

♦ Sebagai lapis peresapan untuk lapis podasi bawah.

♦ Menahan beban roda dan menyebarkan ke lapis bawahnya.

♦ Mengurangi compressive stress sub base sampai tingkat yang

dapat diterima.

♦ Menjamin bahwa besarnya regangan pada lapis bawah bitumen

(material surface), tidak akan menyebabkan cracking.

Page 38: Daftar Pustaka Bab 3

II - 38

3. Lapis Pondasi Bawah (Sub Base Course)

Memiliki fungsi sebagai berikut :

♦ Menyebarkan beban roda ke tanah dasar.

♦ Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapisan pondasi.

♦ Untuk efisiensi penggunaan material.

♦ Sebagai lapis perkerasan.

♦ Sebagai lantai kerja bagi lapis pondasi atas.

4. Tanah Dasar (Sub Grade)

Tanah dasar adalah tanah setebal 50 – 100 cm diatas dimana akan

diletakkan lapisan pondasi bawah. Lapisan tanah dasar bisa berupa tanah

asli yang dipadatkan. Jika tanah aslinya baik dan cukup hanya dipadatkan

saja. Bisa juga tanah yang didatangkan dari tempat lain dan dipadatkan

atau tanah yang distabilisasi baik dengan kapur, semen, atau bahan lainya.

Pemadatan yang baik diperoleh jika dilakukan pada kadar air optimum,

diusahakan agar kadar air tersebut konstan selama umur rencana, hal ini

dapat dicapai dengan perlengkapan drainase yang memenuh syarat.

Prosedur Perhitungan Tebal Perkerasan Lentur

Dalam menghitung tebal perkerasan lentur pada Perencanaan Jalan

Purwodadi-Wirosari berdasarkan pada petunjuk perencanaan tebal perkerasan

lentur jalan raya dengan metode analisa komponen SKBI 2.3.26.1987 Departemen

Pekerjaan Umum.

Prosedur perhitungannya adalah sebagai berikut :

1. LHR setiap jenis kendaraan ditentukan sesuai dengan umur rencana.

2. Lintas ekivalen permulaan (LEP), dihitung dengan rumus :

( )∑ ⋅⋅= jj ECLHRLEP

Dengan : Cj = Koefisien distribusi kendaraan

Ej = Angka ekivalen beban sumbu kendaraan

Page 39: Daftar Pustaka Bab 3

II - 39

3. Lintas ekivalen akhir (LEA), dihitung dengan rumus :

( )[ ]∑ ⋅⋅+⋅= jjn ECiLHRLEA 1

Dengan : n = Tahun rencana

i = Faktor pertumbuhan lalu lintas

4. Lintas ekivalen tengah (LET), dihitung dengan rumus :

( )LEALEPLET +⋅= 2/1

5. Lintas ekivalen rencana (LER), dihitung dengan rumus :

FPLEPLER ×=

Dengan : FP = faktor penyesuaian = UR/10

6. Mencari indeks tebal permukaan (ITP) berdasarkan hasil LER, sesuai

dangan nomogram yang tersedia. Faktor-faktor yang berpengaruh yaitu

DDT atau CBR, faktor regional (FR), indeks permukaan dan koefisien

bahan-bahan sub base, base dan lapis permukaan.

7. Menghitung tebal lapisan perkerasannya berdasarkan nilai ITP yang

didapat.

Prosedur Perhitungan Tebal Perkerasan kaku

metode metode ntuk perencanaan tebal perkerasaan kaku ada bermacam

macam metode,diantaranya:

1. PCA (Portland Cement Association)

Prosedur Perhitungan

- Membuat perkiraan traffic growth atau lalu lintas harian rata-rata

selama umur rencana (20 tahun,40 tahun)

- direkomendasikan beban roda sebenarnya dinaikkan sebesar 20 %,

L’=120 % x L actual

untuk menampung kemungkinan impact + safety factors.

Page 40: Daftar Pustaka Bab 3

II - 40

- pengertian stress ratio : perbandingan antara actual stress pada

perkerasan dengan modulus retak.

mrassr =

keterangan : sr = stress ratio

ac = actual stress pada perkerasan

mr= modulus retak

pada strees ratio < 0,51, maka jumlah pengulangan beban tidak

terbatas.

- tegangan yang terjadi akibat beban roda dihitung setelah lalu lintas

disusun dalam kelompok-kelompok beban gandar. tegangan dihitung

dengan menggunakan chart PCA untuk beban roda as tunggal dan roda

as ganda (tandem),dengan terlebih dahulu mengasumsikan suatu tebal

perkeraasn tertentu.

- perencanaan memenuhi syarat bila dipenuhi persamaan :

%100(00,1'

....'2

2'1

1≤++

NnNn

NN

NN

keterangan :

Ni = pengulangan beban yang terjadi untuk

kategori beban i

Ni’ = pengulangan beban yang diijinkan

untuk kategori baban i

2. Menggunakan Metode Bina Marga

prosedur perhitungan :

- hitung LHR hingga akhir umur rencana

- mengghitung jumlah kendaraan niaga

RJKNHJKN ××= 365

a. )1log(1)1(

IiR e

N

+−+ untuk i konstan selama umur rencana (n) i≠0

Page 41: Daftar Pustaka Bab 3

II - 41

b. 1)1)(()1log(1)1( −+−+

+−+ m

e

M

imnI

iR setelah m tahun, pertumbuhan

lalu lintas tidak terjadi lagi, i≠0

c. )'1log(

]1)'1[()1()1log(1)'1(

iii

iiR e

mnm

e

M

+−++

++

−+ −

setelah waktu tertentu

pertumbuhan lalu lintas berbeda dengan sebelumnya.

n tahun pertama i ,i≠0

m tahun pertama i’ ,i≠0

keterangan :

JKN : jumlah kendaraan niaga

JKNH : jumlah kendaraan niaga harian

R : faktor pertumbuhan lalu lintas yang besarnya tergantung

pada factor pertumbuhan lalu lintas tahunan (i) dan umur

rencana (n).

- Hitung prosentase masing masing kombinasi konfigurasi beban sumbu

terhadap jumlah sumbu kendaraan niaga harian ( JKSNH)

- Hitung jumlah repetisi komulatif tiap tiap kombinasi konfigurasi/beban

sumbu pada jalur rencana

JKSN x % JSKNHi x C x FK

Tabel 2. 18. faktor C = Coefisien Distribusi

Jumlah Lajur

Kendaran Niaga

1 arah 2 arah

1 kajur

2 kajur

3 kajur

4 kajur

5 kajur

6 kajur

1

0.70

0.5

0.5

0.5

0.5

1

0.5

0.475

0.45

0.425

0.40

Sumber : Diktat kuliah Perencanaan Perkerasan Jalan.

Page 42: Daftar Pustaka Bab 3

II - 42

FK = Faktor keamanan beban sumbu

sesuai denfan jenis penggunaan jalan

• jalam tol : 1.20

• Jalan Arteri : 1.10

• Kolektor / Lokal : 1.00

- Kekuatan Tanah Dasar / Subgrade

Hitung Modulus Reaksi Subgrade = K Rencana

SKKr 2−= jalan tol

SKKr 64.1−= Jalan Arteri

SKKr 28.1−= Jalan Kolektor / Lokal

%100xKSFK = FK : Faktoe Keseragaman < 25%

nK

K ∑= )1(

)()( 22

−= ∑∑

nnKKn

S

K di dapat dari korelasi CBR

– Kekuatan Beton

MR 28 hari

Hububgan σ’bk dengan MR28

– Perencanaan Tebal Pelat

Pilih suatu tebal pelat tertentu (h1)

untuk setiap kombinasi konfigurasi dan beban sumbu serta harga k

tertentu maka :

• Tegangan lentur yang terjadi pada pelat beton ditentukan dengan

grafik

• Perbandingan tegangan di hitung dengan membagi tegangan

lenturyang terjadi pada pelat dengan kuat lentur tarik (MR) beton.

• Jumlah pengulangan beban yang diijinkan ditentukan berdasarkan

harga perbandingan tegangan.

Page 43: Daftar Pustaka Bab 3

II - 43

Prosentase fatique untuk tiap tiap kombinasi konfigurasi / beban

sumbu ditentukan dengan membagi jumlah pengulangan beban

rencana dengan jumlah pengulangan beban yang diijinkan

cari total fatique dengan menjumlahkan prosentase fatique dari seluruh

kombinasi konfigirasi/beban sumbu.

Ulangi langkah langkah diatas hingga didapat tebal pelat terkecil

dengan total fatique ≤ 100%

bila total Fatique > 100%, maka h2 = h1 + ∆h

Menghitung total fatique untuk seluruh konfigurasi beban sumbu,untuk

harga k tanah dasar tertentu.

∑−=

=ni Ni

NiTF1 '

≤ 100%

Keterangan

i = Semua beban sumbu yang diperhitungkan

Ni = Pengulangan beban yang terjadi untuk kategori beban i

Ni’=Pengulangan beban yang diijinkan untuk kategori beban ybs

MRNi ltiσ

= dimana MR

ltiσ≤ 0.50, maka Ni’= ~

MR

ltiσ= 0.51, maka Ni’= 400.000 ( tabel)

2.2.3. Perencanaan saluran drainase

Saluran drainase adalah bangunan yang bertujuan mengalirkan air dari

badan jalan secepat mungkin agar tidak menimbulkan bahaya dan kerusakan pada

jalan. Dalam banyak kejadian, kerusakan konstruksi jalan disebabkan oleh air,

baik itu air permukaan maupun air tanah. Air dari atas badan jalan yang dialirkan

ke samping kiri dan atau kanan jalan ditampung dalam saluran samping (side

ditch) yang bertujuan agar air mengalir lebih cepat dari air yang mengalir diatas

permukaan jalan dan juga bertujuan untuk bisa mengalirkan kejenuhan air pada

badan jalan.

Page 44: Daftar Pustaka Bab 3

II - 44

Dalam merencanakan saluran samping harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

• Mampu mengakomodasi aliran banjir yang direncanakan dengan

kriteria tertentu sehingga mampu mengeringkan lapis pondasi.

• Saluran sangat baik diberi penutup untuk mencegah erosi maupun

sebagai trotoar jalan.

• Pada kemiringan memanjang, harus mempunyai kecepatan rendah

untuk mencegah erosi tanpa menimbulkan pengendapan.

• Pemeliharan harus bersifat menerus.

• Air dari saluran dibuang ke outlet yang stabil ke sungai atau tempat

pengaliran yang lain

• Perencanaan drainase harus mempertimbangkan faktor ekonomi, faktor

keamanan dan segi kemudahan dalam pemeliharaan.

Ketentuan-ketentuan

1. Sistim drainase permukaan jalan terdiri dari : kemiringan melintang

perkerasan dan bahu jalan, selokan samping, gorong-gorong dan saluran

penangkap (Gambar 2.9).

Gambar 2.9 Sistem drainase permukaan

2. Kemiringan melintang normal (en) perkerasan jalan untuk lapis

permukaan aspal adalah 2 % - 3 %., Sedangkan untuk bahu jalan diambil =

en + 2 %.

Page 45: Daftar Pustaka Bab 3

II - 45

3. Selokan samping jalan

• Kecepatan aliran maksimum yang diizinkan untuk material dari

pasangan batu dan beton adalah 1,5 m/detik.

• Kemiringan arah memanjang (i) maksimum yang diizinkan untuk

material dari pasangan batu adalah 7,5 %.

• Pematah arus diperlukan untuk mengurangi kecepatan aliran bagi

selokan samping yang panjang dengan kemiringan cukup besar.

Pemasangan jarak antar pematah arus dapat dilihat pada Tabel 2.14.

Tabel 2.19. Jarak pematah arus

i (%) 6 % 7 % 8 % 9 % 10 % L (m) 16 10 8 7 6

Sumber:Diktat kuliah Perencanaan Perkerasan Jalan

• Penampang minimum selokan samping adalah 0,50 m2.

4. Gorong-gorong pembuang air

• Kemiringan gorong-gorong adalah 0,5 % - 2 %.

• Jarak maksimum antar gorong-gorong pada daerah datar adalah 100 m

dan daerah pegunungan adalah 200 m.

• Diameter minimum adalah 80 cm.

Perhitungan debit aliran

1. Intensitas curah hujan (I)

• Data yang diperlukan adalah data curah hujan maksimum tahunan,

paling sedikit n = 10 tahun dengan periode ulang 5 tahun.

• Rumus menghitung Intensitas curah hujan menggunakan analisa

distribusi frekuensi sbb :

( )nTT YYX −⋅+=n

x

SSx

( )TX%904/1I ⋅⋅=

Page 46: Daftar Pustaka Bab 3

II - 46

Dimana : XT = besar curah hujan

x = nilai rata-rata aritmatik curah hujan

Sx = standar deviasi

YT = variabel yang merupakan fungsi dari periode

ulang, diambil = 1,4999.

Yn = variabel yang merupakan fungsi dari n, diambil

0,4952 untuk n = 10

Sn = standar deviasi, merupakan fungsi dari n, diambil

0,9496 untuk n = 10

I = intensitas curah hujan (mm/jam)

• Waktu konsentrasi (TC) dihitung dengan rumus :

TC = t1 + t2

167,0

O1 L28,332t ⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛⋅⋅⋅=

snd

v⋅

=60

Lt2

Dimana : TC = waktu konsentrasi (menit)

t1 = waktu inlet (menit)

t2 = waktu aliran (menit)

LO = Jarak dari titik terjauh dari saluran drainase (m)

L = panjang saluran (m)

nd = koefisien hambatan, diambil 0,013 untuk lapis permukaan

aspal

s = kemiringan daerah pengaliran

v = kecepatan air rata-rata di saluran (m/detik)

Page 47: Daftar Pustaka Bab 3

II - 47

2. Luas daerah pengaliran dan batas-batasnya sesuai yang terlihat pada

Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Batas-batas daerah pengaliran

Batas daerah pengaliran yang diperhitungkan L = L1 + L2 + L3 (m)

Dimana : L1 = dari as jalan sampai tepi perkerasan.

L2 = dari tepi perkerasan sampai tepi bahu jalan.

L3 = tergantung kebebasan samping dengan panjang maksimum

100 m.

3. Harga koefisien pengaliran (C) dihitung berdasarkan kondisi permukaan

yang berbeda-beda.

321

332211

AAAAC A C ACC

++⋅+⋅+⋅

=

Dimana : C1 = koefisien untuk jalan aspal = 0,70.

C2 = koefisien untuk bahu jalan (tanah berbutir kasar) = 0,65.

C3 = koefisien untuk kebebasan samping (daerah pinggir kota) =

0,60.

A1, A2, A3 = luas masing-masing bagian.

4. Untuk menghitung debit pengaliran, digunakan rumus sebagai berikut :

AIC6,3

1Q ⋅⋅⋅=

Dimana : Q = debit pengaliran (m3/detik)

C = koefisien pengaliran

I = intensitas hujan (mm/jam)

A = luas daerah pengaliran (km2)

Page 48: Daftar Pustaka Bab 3

II - 48

Perhitungan dimensi saluran dan gorong-gorong

Dimensi saluran dan gorong-gorong ditentukan atas dasar Fe = Fd

1. Luas penampang basah berdasarkan debit aliran (Fd)

v/QFd = (m2)

2. Luas penampang basah yang paling ekonomis (Fe)

• Saluran bentuk segi empat

Rumus : dbFe ⋅= syarat : d2b ⋅=

R = d / 2

• Gorong-gorong

Rumus : 2e D685,0F ⋅= syarat : D0,8d ⋅=

P = 2 r

R = F / P

Dimana : Fe = Luas penampang basah ekonomis (m2)

b = lebar saluran (m)

d = kedalaman air (m)

R = jari-jari hidrolis (m)

D = diameter gorong-gorong (m)

r = jari-jari gorong-gorong (m)

3. Tinggi jagaan (w) untuk saluran segi empat w d5,0 ⋅=

4. Perhitungan kemiringan saluran

Rumus : 2

3/2 ⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ ⋅

=R

nvi

Dimana : i = kemiringan saluran

v = kecepatan aliran air (m/detik)

n = koefisien kekasaran manning, (saluran pasangan batu) = 0,025