233
DAFTAR ISI BAB 1 BAB 2 BAB 3 BAB 4 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Landasan Hukum 1.3. Maksud dan Tujuan 1.4. Sasaran 1.5. Hasil Yang Diharapkan 1.6. Ruang Lingkup METODE PELAKSANAAN 2.1. Konsepsi Dasar 2.2. Metode Pendekatan 2.3. Metode Pengumpulan Data dan Informasi 2.4. Metode Analisis GAMBARAN UMUM 3.1. Perekonomian Provinsi DKI Jakarta 3.2. Perkembangan Industri Kecil dan Menengah 3.3. Perkembangan Industri Kreatif 3.4. Kebutuhan Lahan Industri HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN 4.1. Maksud dan Tujuan Penyelenggaraan Perindustrian 4.2. Jenis Kegiatan Industri 4.3. Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah 4.4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha 4.5. Kawasan Industri dan Sentra Industri Kecil dan Menengah Hal I-1 I-1 I-7 I-9 I-9 1-10 1-10 2-1 2-1 2-10 2-20 2-21 3-1 3-1 3-7 3-10 3-20 4-1 4-1 4-3 4-12 4-41 4-45

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

DAFTAR ISI

BAB 1 BAB 2 BAB 3 BAB 4

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.2. Landasan Hukum

1.3. Maksud dan Tujuan

1.4. Sasaran

1.5. Hasil Yang Diharapkan

1.6. Ruang Lingkup

METODE PELAKSANAAN 2.1. Konsepsi Dasar

2.2. Metode Pendekatan

2.3. Metode Pengumpulan Data dan Informasi

2.4. Metode Analisis

GAMBARAN UMUM 3.1. Perekonomian Provinsi DKI Jakarta

3.2. Perkembangan Industri Kecil dan Menengah

3.3. Perkembangan Industri Kreatif

3.4. Kebutuhan Lahan Industri

HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 4.1. Maksud dan Tujuan Penyelenggaraan Perindustrian

4.2. Jenis Kegiatan Industri

4.3. Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah

4.4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

4.5. Kawasan Industri dan Sentra Industri Kecil dan

Menengah

Hal

I-1

I-1

I-7

I-9

I-9

1-10

1-10

2-1

2-1

2-10

2-20

2-21

3-1

3-1

3-7

3-10

3-20

4-1

4-1

4-3

4-12

4-41

4-45

Page 2: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

BAB 5 BAB 6

4.6. Pengembangan Sumber Daya Manusia

4.7. Pemberdayaan Industri Kecil, Menengah dan Kreatif

4.8. Insentif dan Disinsentif

4.9. Kemitraan

4.10. Perizinan

4.11. Sistem Informasi Industri Daerah

4.12. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau CSR

4.13. Peran serta Masyarakat

4.14. Pembinaan

4.15. Pengawasan dan Pengendalian

4.16. Sanksi

4.17. Penyidikan

MATERI MUATAN RAPERDA 5.1. Judul Rancangan Peraturan Daerah

5.2. Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis

5.3. Dasar Hukum

5.4. Batang Tubuh Raperda

PENUTUP DAFTAR PUSTAKA RAPERDA PERINDUSTRIAN

4-64

4-69

4-73

4-77

4-85

4-93

4-96

4-100

4-101

4-104

4-109

4-120

5-1

5-1

5-2

5-4

5-17

6-1

Page 3: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 1

Bab 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kedudukan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik

Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun

2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai

Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, memiliki peran dan fungsi sebagai

tempat penyelenggaraan pemerintahan dan tempat kedudukan perwakilan negara

asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional, sehingga peran dan fungsi

Provinsi DKI Jakarta sangat luas dalam lingkup internasional, nasional, regional,

dan lokal. Sebagai daerah otonom pada lingkup provinsi,1 berdasarkan UU No. 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta

mempunyai tugas dan kewajiban menyelenggarakan pembangunan di berbagai

bidang termasuk bidang industri untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Jakarta sekaligus mewujudkan citra bangsa Indonesia.

Konsekuensi kedudukan, peran, dan fungsi Provinsi DKI Jakarta sebagai

Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, pembangunan di Provinsi DKI

Jakarta terus mengalami perkembangan sangat dinamis dalam berbagai bidang,

sehingga berpengaruh kepada sistem dan struktur ekonomi, sosial, dan politik

lokal dan nasional yang berakibat pada perkembangan industri baik lingkup

daerah maupun nasional. Di samping itu, masuknya globalisasi membawa

dinamika perubahan sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian

daerah dan nasional. Pengaruh paling dirasakan, terjadi persaingan usaha yang

semakin ketat, namun di sisi lain membuka peluang kolaborasi sehingga dalam

penyelenggaraan perindustrian diperlukan berbagai dukungan dalam bentuk

1 Lihat Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Page 4: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 2

perangkat kebijakan yang tepat, perencanaan yang terpadu, dan pengelolaan

sumber daya yang efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang

baik. Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama-sama Pemerintah

Pusat dan pelaku usaha bidang industri berupaya untuk mewujudkan tujuan

penyelenggaraan perindustrian sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun

2014 tentang Perindustrian dengan menempatkan bidang industri menjadi salah

satu pilar dan penggerak perekonomian daerah.

Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki sumber daya alam seperti daerah lain di

Indonesia, karena itu pembangunan industri dimasa mendatang sesuai ketentuan

dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 7 ayat (3) huruf a Peraturan Daerah

Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, diarahkan

pada peningkatan pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi pada industri kreatif

dan industri yang menggunakan teknologi tinggi,2 dengan strategi meningkatkan

kapasitas dan intensitas pusat kegiatan primer dan sekunder untuk mewadahi

aktivitas industri kreatif berskala regional, nasional, dan internasional.

Keterbatasan lahan dimiliki Provinsi DKI Jakarta menyebabkan Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta memperketat penyelenggaraan perindustrian di DKI Jakarta.

Kegiatan industri yang ada saat ini sesuai ketentuan Pasal 78 ayat (2) Peraturan

Daerah Nomor 1 Tahun 2012, sebagai berikut: (a) industri di luar kawasan tidak

berada pada kawasan rawan bencana; (b) tidak berada di kawasan cekungan air;

(c) tersedia rencana pengelolaan air limbah dan air limbah tidak diperkenankan

untuk dialirkan langsung ke drainase publik; (d) tidak menambah beban saat debit

puncak saluran drainase publik; (e) tidak mengganggu fungsi lindung; (f) tidak

mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam; (g) sesuai

dengan daya dukung lahan setempat; (h) memiliki kelengkapan prasarana,

sarana, dan utilitas.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

melakukan penataan dan pengembangan industri sesuai Pasal 89 Peraturan

2 Yang dimaksud dengan industri kreatif menurut penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2014 tentang Perindustrian, adalah industri yang mentransformasi dan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk menghasilkan barang dan jasa. Sedangkan yang dimaksud industri teknologi tinggi menurut penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf c Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, adalah industri yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.

Page 5: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 3

Daerah Nomor 1 Tahun 2012, melalui: (a) penataan kawasan industri sebagai

bagian integral dari penataan kawasan pelabuhan melalui koordinasi dan

kerjasama dengan kawasan Bodetabekpunjur; (b) mengembangkan kawasan

industri dibatasi untuk industri hemat penggunaan lahan, hemat air dan energi,

tidak berpolusi, memperhatikan aspek lingkungan dan menggunakan teknologi

tinggi; (c) pengembangan industri perakitan di kawasan sekitar Bandara Soekarno

Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok; (d) mengembangkan Kawasan Ekonomi

Strategis di Marunda sebagai bagian integral dari pengembangan pelabuhan

Tanjung Priok; (e) penataan dan relokasi industri kecil dan menengah yang

berada di kawasan permukiman ke kawasan industri di bagian barat dan timur

Jakarta; (f) pengembangan kawasan industri dengan memperhatikan daya

dukung transportasi dan infrastruktur lainnya.

Kebijakan dan strategi penyelenggaraan industri tersebut di atas, merupakan

bagian dari penyelenggaraan perindustrian yang secara nasional bertujuan

sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014, yaitu: (a)

mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian

nasional; (b) mewujudkan ke dalaman dan kekuatan struktur industri; (c)

mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau;3

(d) mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah

pemusatan atau penguasaan industri satu kelompok atau perseorangan yang

merugikan masyarakat; (e) membuka kesempatan berusaha dan perluasan

kesempatan kerja; (f) mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh

wilayah Indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; (g)

meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.

Untuk memberikan kepastian berusaha, persaingan usaha yang sehat, serta

mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau

perseorangan yang dapat merugikan masyarakat serta membuka kesempatan

berusaha dan perluasan kesempatan kerja, maka diperlukan suatu produk hukum

dalam bentuk Peraturan Daerah yang mengatur penyelenggaraan perindustrian di 3 Yang dimaksud dengan industri hijau menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang

Perindustrian, adalah Industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan Industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat

Page 6: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 4

Provinsi DKI Jakarta. Keberadaan Peraturan Daerah tersebut diharapkan mampu

mewujudkan penyelenggaraan perindustrian dalam rangka memperkuat dan

memperkukuh ketahanan industri daerah dan nasional,4 serta meningkatkan

kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.5 Selain itu,

dapat menjawab berbagai kebutuhan dan perkembangan akibat perubahan

lingkungan strategis dan sekaligus menjadi landasan hukum bagi tumbuh

berkembang dan kemajuan industri di Provinsi DKI Jakarta baik saat ini maupun

akan datang.

Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam penyelenggaraan perindustrian

berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk

urusan pilihan, yaitu urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan daerah

sesuai potensi dimiliki daerah.6 Pemerintah Daerah bersama-sama Pemerintah

Pusat diberi tugas dan wewenang oleh negara menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang perindustrian melalui UU No. 3 Tahun 2014 tentang

Perindustrian,7 sebagai berikut: (a) percepatan penyebaran dan pemerataan

pembangunan industri melalui kawasan industri;8 (b) pembangunan sumber daya

manusia industri untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna

meningkatkan peran sumber daya manusia di bidang industri;9 (c) memfasilitasi

penyediaan pusat pendidikan dan pelatihan industri di pusat pertumbuhan

industri;10 (d) mendorong pengembangan industri pengolahan berwawasan

lingkungan; (e) menjamin ketersediaan, penyaluran, dan pemanfaatan sumber

daya alam untuk industri dalam negeri melalui kerja sama antar daerah;11 (f)

pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan

4 Yang dimaksud dengan “ketahanan Industri” menurut penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014

tentang Perindustrian, adalah industri yang berdaya saing, efisien, berkelanjutan, bersih, dan berwawasan lingkungan. 5 Yang dimaksud dengan “kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan”, sesuai penjelasan Pasal 3

huruf g Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, adalah pembangunan di bidang industri sebagai penggerak ekonomi daerah harus dinikmati oleh seluruh rakyat Jakarta terutama golongan ekonomi lemah atau kelompok yang berpenghasilan di bawah tingkat rata-rata pendapatan per kapita. Tujuan utama pembangunan di bidang industri bermuara pada segala upaya untuk mewujudkan tatanan ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat, bukan kepentingan individu, golongan atau kelompok tertentu, dengan proses produksi yang melibatkan semua orang dan hasilnya bisa dinikmati oleh semua warga masyarakat.

6 Lihat Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 7 Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 8 Lihat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 9 Lihat Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 10 Lihat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 11 Lihat Pasal 33 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.

Page 7: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 5

teknologi industri;12 (g) memfasilitasi kerja sama penelitian dan pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang industri antara perusahaan industri dan

perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan industri dalam

negeri dan luar negeri;13 (h) memfasilitasi promosi alih teknologi dari industri

besar, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan/atau

lembaga lain ke industri kecil dan industri menengah;14 (i) memfasilitasi lembaga

penelitian dan pengembangan dalam negeri dan/atau perusahaan industri dalam

negeri yang mengembangkan teknologi di bidang industri;15 (j) memfasilitasi

pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam

pembangunan industri;16 (k) memfasilitasi ketersediaan pembiayaan yang

kompetitif untuk pembangunan industri;17 (l) menjamin tersedia infrastruktur

industri;18 (m) membangun sistem informasi industri dan menyampaikan data

industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala melalui sistem

informasi industri yang terintegrasi;19 (n) melakukan pembangunan dan

pemberdayaan industri kecil dan industri menengah;20 (o) pemberian izin usaha

industri;21 (p) mendorong penanaman modal di bidang industri untuk memperoleh

nilai tambah yang sebesar-besarnya dalam pemanfaatan sumber daya daerah

dan/atau nasional dalam rangka pendalaman struktur industri dan peningkatan

daya saing industri;22 (q) memberikan fasilitas industri untuk mempercepat

pembangunan industri;23 (r) mengawasi dan mengendalikan pembangunan

industri;24 (s) memberikan sanksi kepada yang melakukan pelanggaran.25

Sehubungan tugas dan wewenang tersebut, bahwa keberadaan Peraturan

12 Lihat Pasal 36 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 13 Lihat Pasal 42 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 14 Lihat Pasal 42 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 15 Lihat Pasal 42 huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 16 Lihat Pasal 43 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 17 Lihat Pasal 44 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 18 Lihat Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 19 Lihat Pasal 64 ayat (3), Pasal 65 ayat (3), dan Pasal 68 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang

Perindustrian. 20 Lihat Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 21 Lihat Pasal 101 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 22 Lihat Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 23 Lihat Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 24 Lihat Pasal 117 ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 25 Lihat Pasal 118 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.

Page 8: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 6

Daerah tentang Perindustrian merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang

Pemerintah Daerah yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014.26

Sejalan dengan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah tersebut di atas,

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Pemerintah Daerah memiliki tanggung

jawab untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian. Dalam lingkup

daerah tujuan penyelenggaraan perindustrian antara lain sebagai berikut: (a)

mewujudkan industri sebagai pilar dan penggerak perekonomian daerah; (b)

mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau;

(c) mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah

pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan

yang merugikan masyarakat; (d) membuka kesempatan berusaha dan perluasan

kesempatan kerja; (e) mewujudkan pemerataan pembangunan industri guna

memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah; (f) meningkatkan

kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, kebutuhan (urgensi) Peraturan Daerah

tentang Perindustrian karena ada tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang

diberikan negara kepada Pemerintah Daerah melalui UU No. 3 Tahun 2014.

Selain itu, keberadaan Peraturan Daerah tersebut memberikan kepastian hukum

bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pelaku industri, dan masyarakat dalam

penyelenggaraan industri di Provinsi DKI Jakarta, yang selama ini belum memiliki

Peraturan Daerah. Atas dasar itu, Dinas Perindustrian dan Energi memprakarsai

menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Untuk itu, harus

dilengkapi dengan Naskah Akademik sebagaimana diatur dalam Pasal 22

Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Daerah,

yang menyatakan SKPD/UKPD pemrakarsa dalam penyusunan Rancangan

Peraturan Daerah menyiapkan terlebih dahulu Naskah Akademik mengenai

materi yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah.27 Naskah akademik

26 Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,

materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

27 Yang dimaksud dengan Naskah Akademik menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau

Page 9: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 7

tersebut paling sedikit memuat dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok-pokok

pikiran dan lingkup materi yang akan diatur.28

1.2. Landasan Hukum

Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum dalam

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang

Perindustrian ini, antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tidak hanya menjadi pedoman dalam

penyusunan Raperda dan Naskah Akademik, melainkan juga sebagai dasar

hukum bagi Pemerintahan Daerah, bahwa Peraturan Daerah bagian dari

peraturan perundang-undangan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat

(1) UU No. 12 Tahun 2011 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi

setiap orang. Oleh sebab itu, UU tersebut menjadi dasar hukum kedudukan

Peraturan Daerah.

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah

beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, mengatur hak dan kewajiban serta

wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah (dalam hal ini Gubernur

dan Perangkat Daerah) sebagai eksekutif dan DPRD sebagai legislatif dalam

rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan.

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

28 Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa Rancangan Peraturan Daerah Provinsi disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.

Page 10: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 8

c. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik

Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744);

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 menjadi dasar hukum dalam

pembentukan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta, karena pelaksanaan

otonomi berada pada lingkup provinsi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 9

ayat (1). Artinya, di Provinsi DKI Jakarta hanya ada satu jenis Peraturan

Daerah, yaitu Peraturan Daerah Provinsi.

d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5492);

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 merupakan dasar hukum utama dalam

pelaksanaan penyusunan Naskah Akademik ini. Selain undang-undang

tersebut, peraturan perundang-undangan terkait dengan perindustrian yang

merupakan pelaksanaan dari UU No. 3 Tahun 2014, antara lain Peraturan

Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya

Industri, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk

Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035.

e. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan

Daerah;

Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 menjadi pedoman dalam penyusunan

Rancangan Peraturan Daerah. Selain itu, peraturan pelaksanaan dari

Peraturan Daerah tersebut adalah Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2009

tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik, menjadi pedoman dalam

penyusunan Naskah Akademik.

f. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat

Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun

2014 Nomor 201, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Nomor 2004).

Page 11: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 9

Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2014 menjadi dasar bagi Dinas Perindustrian

dan Energi dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengembangan industri

mulai perencanaan, pelaksanaan, sampai pembinaan dan pengawasan, yang

secara operasional diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 231 Tahun 2014

tentang Organisasi Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi.

1.3. Maksud dan Tujuan

Maksud penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

(Raperda) tentang Perindustrian adalah memberikan justifikasi ilmiah dan

pemahaman diperlukan Peraturan Daerah mengenai perindustrian berdasarkan

referensi yang ada saat ini dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat

dan/atau dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan

Provinsi DKI Jakarta yang menjadi dasar pertimbangan dan/atau bahan masukan

materi muatan Raperda tentang Perindustrian, sehingga materi muatan Raperda

tersebut serasi dan selaras atau harmonis dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang ada.

Tujuannya adalah sebagai bahan pertimbangan yang dapat dijadikan pokok-

pokok pemikiran atau gagasan dan aspirasi aktual yang berkembang, baik dalam

kehidupan masyarakat termasuk pelaku usaha maupun dalam penyelenggaraan

Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah dalam rangka penyusunan atau perumusan dan pembahasan Raperda

tentang Perindustrian.

1.4. Sasaran

Tersusunnya dasar-dasar pemikiran dan prinsip-prinsip dasar terhadap

materi muatan Raperda tentang Perindustrian berdasarkan naskah akademik

yang dilandasi kajian ilmiah.

Page 12: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 10

1.5. Hasil Yang Diharapkan

Mencermati latar belakang disusunnya Naskah Akademik Raperda tentang

Perindustrian dengan memperhatikan maksud dan tujuan dilaksanakan kegiatan

ini, maka hasil yang diharapkan sebagai berikut:

a. Tersedianya Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang

Perindustrian yang memuat pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan

diatur serta jangkauan dan arah pengaturan sehingga materi muatan

Rancangan Peraturan Daerah memenuhi rasa keadilan dan menjamin

kepastian hukum, serta disusun secara sistematis sesuai kaidah-kaidah

hukum dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

b. Tersusunnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sesuai

kaidah-kaidah hukum dan/atau prinsip-prinsip pembentukan peraturan

perundang-undangan, yang dirumuskan dalam pasal per pasal sesuai dengan

teknis pembentukan peraturan perundang-undangan. 1.6. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Raperda tentang

Perindustrian, sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,

pelaku usaha, dan masyarakat dalam penyelenggaraan perindustrian ditinjau

dari filosofis, yuridis, sosiologis, dan teknis operasional secara umum disertai

dengan beberapa hal yang melatar-belakangi atau urgensi diperlukan kebijakan

daerah dalam bentuk Peraturan Daerah.

b. Memberikan justifikasi ilmiah dan pemahaman pengaturan berdasarkan referensi

yang ada saat ini serta hasil-hasil penelitian mengenai dinamika yang berkembang

dalam kehidupan masyarakat termasuk pelaku usaha dan penyelenggaraan

Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah, guna membantu perumusan dan pembahasan Rancangan Peraturan

Daerah tentang Perindustrian.

Page 13: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 11

c. Melakukan analisis aspek filosofis bahwa norma-norma penyelenggaraan

perindustrian yang termuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

ditinjau dari kondisi saat ini dan masa mendatang.

d. Melakukan analisis aspek yuridis bahwa norma-norma penyelenggaraan

perindustrian yang termuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

dan bentuk pelaksanaannya di daerah sebagai bahan materi muatan

Rancangan Peraturan Daerah, dengan cara menggali berbagai dinamika dan

realita dari berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan

aspek teori hukum antara lain: (1) prinsip-prinsip dalam pembentukan norma

hukum termasuk perumusan sanksi administrasi dan pidana atau bentuk-

bentuk pelanggaran; (2) konstruksi bentuk sanksi baik administrasi maupun

pidana termasuk besarnya. Selain itu, aspek bahasa hukum, bahwa bahasa

Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian disusun sesuai kaidah

bahasa hukum, namun mudah dipahami setiap orang tanpa mengabaikan

kaidah bahasa Indonesia.

e. Melakukan analisis aspek sosiologis, yaitu norma-norma yang hidup dan

berkembang di masyarakat dalam penyelenggaraan perindustrian saat ini dan

akan datang.

f. Melakukan analisis aspek teknis operasional, yaitu penyelenggaraan

perindustrian berdasarkan UU No. 3 Tahun 2014 dan peraturan perundang-

undangan lain yang terkait.

g. Menyusun naskah akademik berdasarkan analisis yang dilakukan, yang

mencerminkan sekurang-kurangnya pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek

yang akan diatur, serta jangkauan dan arah pengaturan sehingga materi

muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian memenuhi rasa

keadilan dan menjamin kepastian hukum, disusun secara sistematis sesuai

kaidah-kaidah hukum dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

Page 14: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 1

Bab 2 METODE PELAKSANAAN

2.1. Konsepsi Dasar

Untuk memberikan pemahaman yang sama dalam penyusunan Naskah

Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah, diberikut ini disampaikan konsepsi

dasar mengenai Peraturan Daerah dan Naskah Akademik.

1. Peraturan Daerah

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa Peraturan Daerah

salah satu jenis peraturan perundang-undangan.27 Peraturan Daerah

dimaksud selain melaksanakan ketentuan lebih lanjut dari peraturan

perundang-undangan lebih tinggi dalam hal ini UU No. 3 Tahun 2014 tentang

Perindustrian khususnya dan undang-undang lain pada umumnya, juga

dapat mengatur aspek khusus yang terdapat atau dibutuhkan daerah

dan/atau masyarakat. Sehubungan hal tersebut, secara umum materi

muatan Peraturan Daerah sebagai berikut:

a. pengaturan lebih lanjut dengan cara menjabarkan asas dan/atau prinsip

dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ke

dalam ketentuan lebih operasional. Konsep penjabaran mengandung

makna adanya upaya untuk merinci atau menguraikan norma-norma

yang terkandung dalam setiap asas, prinsip, dan ketentuan mengenai

struktur untuk dinormakan lebih lanjut atau distrukturkan kembali yang

perlu dan/atau yang layak untuk dikembangkan sesuai kebutuhan daerah

dan masyarakat. 27 Yang dimaksud dengan peraturan peraturan perundang-undangan sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 2

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Page 15: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 2

Materi muatan Peraturan Daerah bukan pengulangan yang ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan lebih tinggi secara menyeluruh

melainkan penjabaran atau operasionalisasinya. Tanpa dilakukan

perumusan ulang menjadi materi muatan Peraturan Daerah, asas,

prinsip-prinsip dan ketentuan atau norma yang termuat dalam peraturan

perundang-undangan lebih tinggi secara otomatis tetap berlaku dan

sifatnya mengikat bagi daerah. Walaupun demikian, kadangkala saat

merumuskan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah lebih

operasional seringkali mengalami kesulitan, antara lain disebabkan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi telah mengatur rinci,

sementara peraturan perundang-undangan tersebut memberikan mandat

untuk diatur dengan Peraturan Daerah.

b. peraturan bersifat teknis operasional namun masih bersifat regulatif

umum. Bersifat teknis operasional dimaksud adalah materi muatan

Rancangan Peraturan Daerah lebih mengkonkretkan, karena itu materi

muatan Rancangan Peraturan Daerah dapat dilaksanakan baik

Pemerintah Daerah atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku

pelaksana pemerintahan di daerah maupun oleh masyarakat termasuk

pelaku usaha. Sedangkan bersifat regulasi umum, mengandung makna

materi muatan yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah

memberikan kepastian mengenai hak dan kewajiban dari subjek hukum.

Selain itu mengandung norma yang terkandung bersifat mengatur

dengan konsekuensi mempunyai daya pemaksa/pengikat atau sanksi.

c. sebagai media hukum bagi Gubernur dalam rangka mewujudkan

komitmen atau aspirasi atau keinginan atau harapan yang disampaikan

masyarakat, dalam rangka mewujudkan visi dan misi pembangunan

daerah, dan melaksanakan kebijakan nasional. Hal tersebut tidak

terlepas dari anggaran. Besar kecil anggaran pembangunan industri di

DKI Jakarta sangat ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rayat Daerah

(DPRD) Provinsi DKI Jakarta, karena anggaran merupakan wewenang

Page 16: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 3

DPRD berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD

dan DPRD. Sehubungan itu, keberhasilan penyelenggaraan perindustrian

di Provinsi DKI Jakarta selain ditentukan komitmen Gubernur sebagai

Kepala Daerah, peran aktif masyarakat, dan juga ditentukan oleh DPRD

berkaitan dengan anggaran.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, materi muatan Rancangan Peraturan

Daerah tentang Perindustrian diharapkan memuat ketentuan lebih kongkret,

sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan. Selain itu, tidak menimbulkan

penafsiran ganda (multi-tafsir) yang dapat merugikan masyarakat. Jika

memungkinkan bersifat teknis untuk menghindari penafsiran yang berbeda

dan dapat dioperasionalkan, serta mudah dipahami, atau sekurang-

kurangnya diberikan dalam penjelasan.

Prinsip utama yang dipegang teguh dalam merumuskan materi muatan

Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian ini adalah tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi.28 Artinya,

materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tersebut lebih teknis dari UU,

PP, dan/atau Peraturan Presiden yang mendelegasikan atau sekurang-

kurangnya sama dengan materi muatan Peraturan Menteri yang terkait bila

ada.

Mencermati ketentuan Pasal 236 ayat (3) huruf b UU No. 23 Tahun 2014,

UU No. 12 Tahun 2011, dan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 tentang

Pembentukan Peraturan Daerah, bahwa Peraturan Daerah merupakan

penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang

dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama dengan

Kepala Daerah (dalam hal ini Gubernur). Dalam pembentukan Rancangan

Peraturan Daerah menurut Pasal 22 Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010,

28 Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, bahwa yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Page 17: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 4

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam hal ini Dinas Perindustrian

dan Energi sebagai pemrakarsa menyiapkan terlebih dahulu Naskah

Akademik mengenai materi yang diatur dalam Rancangan Peraturan

Daerah.

2. Naskah Akademik

Naskah akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang dibentuknya suatu

Peraturan Daerah, tujuan, sasaran yang ingin diwujudkan, dan lingkup

pengaturan, jangkauan, objek, atau arah pengaturan dari suatu Rancangan

Peraturan Daerah.29 Naskah akademik memuat hal-hal sebagai berikut: (a)

latar belakang, tujuan penyusunan; (b) landasan filosofis, sosiologis, politis,

dan yuridis;30 (c) sasaran ingin diwujudkan; (d) pokok-pokok pikiran, lingkup

atau objek yang akan diatur; (e) jangkauan dan arah pengaturan.

Berdasarkan uraian di atas, naskah akademik bagian tidak terpisahkan

dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah, karena memuat

gagasan pengaturan materi yang akan diatur dan telah ditinjau secara

sistematik, holistik, dan futuristik dari berbagai aspek terkait, dilengkapi

referensi yang memuat urgensi, konsepsi, landasan, alasan hukum, dan

prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-norma yang

akan dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal dengan mengajukan

beberapa alternatif bila ada, serta disajikan secara sistematis dan dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

29 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,

Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

30 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 170-172, landasan filosofis mencerminkan keinginan atau harapan yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang yang bersangkutan dalam kenyataan. Landasan sosiologis mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Sedangkan landasan politis mengambarkan adanya sumber hukum yang melandasi pembentukan undang-undang.

Page 18: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 5

Dalam lampiran UU No. 12 Tahun 2011 ditetapkan sistimatika Naskah

Akademik, sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian. a. Latar Belakang

Latar belakang memuat pemikiran dan alasan perlunya penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah. Latar belakang tersebut menjelaskan mengapa pembentukan Rancangan Peraturan Daerah memerlukan suatu kajian mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan Rancangan Peraturan Daerah.

b. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik tersebut. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu Naskah Akademik mencakup 4 (empat) pokok masalah, yaitu: (1) permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi; (2) mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut; (3) apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah; (4) apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan.

c. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut: (1) merumuskan permasalahan dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara mengatasi permasalahan; (2) merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat; (3) merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah; (4) merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah. Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah.

d. Metode Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris.

Page 19: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 6

Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan (normatif) dilanjutkan observasi mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan berpengaruh terhadap peraturan perundang-undangan yang diteliti.

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Peraturan Daerah. Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut: a. Kajian teoritis. b. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma.

Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Daerah yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian.

c. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat.

d. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TERKAIT Bab ini memuat hasil kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Peraturan Daerah baru dengan peraturan perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk peraturan perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta peraturan perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap peraturan perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada serta posisi dari Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Peraturan Daerah yang akan dibentuk.

Page 20: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 7

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS a. Landasan Filosofis

Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

c. Landasan Yuridis Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Daerah yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturan sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP

MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup: a. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian

istilah, dan frasa; b. materi yang akan diatur; c. ketentuan sanksi; dan d. ketentuan peralihan.

BAB VI PENUTUP

Bab penutup terdiri atas sub bab kesimpulan dan saran. a. Kesimpulan

Kesimpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.

Page 21: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 8

b. Saran Saran memuat antara lain: (1) perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan perundang-undangan di bawahnya; (2) rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan rancangan peraturan daerah dalam program legislasi daerah; (3) kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang-undangan, dan jurnal yang menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik.

LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Berdasarkan uraian sistimatika Naskah Akademik tersebut di atas, secara

umum memberikan pedoman dalam penyusunan Naskah Akademik ini, bahwa

sekurang-kurangnya memuat hal-hal yang termuat dalam Lampiran UU No. 12

Tahun 2011. Untuk pembentukan UU, PP, dan Peraturan Presiden dapat

mengikuti sistematika yang termuat dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun untuk

penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tidak tepat, karena

Peraturan Daerah merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan lebih

tinggi, yang materi muatannya disesuaikan kebutuhan daerah dan masyarakat.

Artinya dalam penyusunan Naskah Akademik tidak melakukan evaluasi terhadap

UU, PP, Perpres dan/atau Peraturan Menteri melainkan materi muatan UU, PP,

Perpres dan/atau Peraturan Menteri menjadi bahan materi muatan Raperda. Oleh

sebab itu, yang dilakukan kegiatan ini adalah harmonisasi peraturan perundang-

undangan yaitu menselaraskan dan menserasikan asas, prinsip, dan norma yang

termuat dalam peraturan perundang-undangan baik secara vertikal maupun

horizontal yang dilengkapi dengan berbagai teori dan referensi yang berhubungan

dengan penyelenggaraan perindustrian, sehingga menghasilkan kesatuan sistem

hukum yang harmonis menjadi bahan materi muatan Rancangan Peraturan

Daerah tentang Perindustrian.

Page 22: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 9

Walaupun demikian tetap merujuk pada pedoman yang ditetapkan dalam

UU No. 12 Tahun 2011. Oleh sebab itu, Sistematika Naskah Akademik

Rancangan Peraturan Daerah ini, sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan, memuat latar belakang diperlukan Rancangan Peraturan

Daerah tentang Perindustrian, maksud dan tujuan, sasaran yang ingin

dicapai, hasil yang diharapkan, dan ruang lingkup kegiatan.

Bab 2 Metode Pelaksanaan, memuat metode pendekatan yang digunakan

dalam penyusunan Naskah Akademik dan penyusunan Raperda, metode

pengumpulan data dan informasi, dan metode analisis.

Bab 3 Gambaran Umum, memuat kondisi empiris perkembangan industri dan

permasalahan yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai

pertimbangan atau alasan dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek dan

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Bab 4 Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan, memuat mengenai tugas,

wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah berdasarkan

peraturan perundang-undangan serta hak dan kewajiban masyarakat

terkait dengan penyelenggaraan perindustrian. Memuat materi muatan

lain menjadi sasaran untuk diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah

sesuai wewenang yang diberikan oleh UU berdasarkan No. 3 Tahun

2014 kepada Pemerintah Daerah dan/atau Gubernur sebagai Kepala

Daerah.

Bab 5 Meteri Muatan Rancangan Peraturan Daerah, muat landasan filosofis,

sosialogis, dan yuridis termasuk dasar hukum disertai norma-norma yang

akan diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah.

Page 23: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 10

Bab 6 Penutup, memuat Kesimpulan dan Saran/rekomendasi Daftar Bacaaan

Lampiran Konsep Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian

2.2. Metode Pendekatan

Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, salah satu proses yang dilakukan

dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undang termasuk di dalamnya

Peraturan Daerah adalah harmonisasi, yaitu upaya untuk menyelaraskan suatu

peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain baik

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun sederajat atau sama

(Peraturan Daerah), sehingga Peraturan Daerah tersusun secara sistematis, tidak

saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping). Hal tersebut merupakan

konsekuensi kedudukan Peraturan Daerah dalam hierarki peraturan perundang-

undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.

Pengharmonisasian terhadap materi muatan Konsep Rancangan Peraturan

Daerah tentang Perindustrian agar tidak tumpang tindih dan saling bertentangan,

sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam

penerapannya. Pelaksanaan harmonisasi secara horizonal, berbagai Peraturan

Daerah yang berlaku di Provinsi DKI Jakarta terkait dengan perindustrian baik

langsung maupun tidak langsung dipelajari secara cermat agar konsepsi materi

muatan Konsep Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian satu sama

lain selaras melalui koordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

terkait yang secara substansial menguasai materi muatan peraturan perundang-

undangan dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lain.

Di dalam pelaksanaan harmonisasi, ada 2 (dua) aspek dilakukan. Pertama,

harmonisasi vertikal, yakni harmonisasi peraturan perundang-undangan terhadap

peraturan perundang-undangan yang lain dalam hierarki berbeda atau lebih tinggi

dari Peraturan Daerah. Kedua, hormonisasi horizontal, yaitu harmonisasi dengan

Peraturan Daerah yang ada sehingga Konsep Rancangan Peraturan Daerah

Page 24: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 11

yang disusun saling isi mengisi dan tidak tumpang tindih dengan peraturan

daerah yang telah ada.

Harmonisasi horizontal berangkat dari asas lex posterior delogat legi priori

yang artinya peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan atau

mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lama dan asas lex specialist

delogat legi generalis yang berarti suatu peraturan perundang-undangan yang

bersifat khusus mengenyampingkan peraturan perundang-undangan bersifat

umum. Harmonisasi horizontal dilandasi kedua asas tersebut dalam penyusunan

Peraturan Daerah dikarenakan penyelenggaraan perindustrian pada hakikatnya

lintas urusan pemerintahan dan tidak dapat berdiri sendiri atau dilaksanakan oleh

Dinas Perindustrian dan Energi saja melainkan juga terkait dengan Perangkat

Daerah lain, seperti:

1. Dinas Penataan Kota dalam merumuskan kebijakan pemanfaatan ruang untuk

penyelenggaraan industri khususnya industri kecil dan menengah;

2. Bapeda dalam merumuskan dokumen perencanaan pembangunan baik

RPJPD maupun RPJMD serta mengakomodir usulan kegiatan pembinaan

yang disampaikan oleh Dinas Perindustrian dan Energi dan SKPD terkait;

3. Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) merumuskan kebijakan insentif

berupa keringanan retribusi bagi pelaku usaha di bidang industri kecil dan

menangah;

4. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) merumuskan

berbagai kebijakan yang menjadi persyaratan dalam rangka mewujudkan

industri yang berwawasan lingkungan.

5. Dinas Pelayanan Pajak merumuskan kebijakan insentif berupa keringanan

pajak daerah bagi industri kecil dan menengah.

Sehubungan itu, materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang

Perindustrian terdapat tugas dan tanggung jawab Pemerintah Daerah yang di

dalamnya sudah termasuk SKPD lain selain Dinas Perindustrian dan Energi, yang

juga memiliki dasar hukum yang berbeda-beda namun saling mengkait dan/atau

Page 25: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 12

terhubung satu sama lain sehingga dibutuhkan suatu pengaturan yang

komprehensif.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, metode pendekatan yang digunakan

dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian adalah

harmonisasi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Melalui pendekatan

tersebut diharapkan terwujud harmonis materi muatan Rancangan Peraturan

Daerah tentang Perindustrian baik secara vertikal maupun horizontal dengan

peraturan perundang-undangan yang ada. Demikian halnya pendekatan yang

digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik adalah peraturan perundang-

undangan (statue approach).31 Hal tersebut didasarkan atas kedudukan

Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan

sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, yang

dibuat oleh DPRD bersama-sama Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur, dan

diakui keberadaannya serta mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Atas dasar

ketentuan tersebut, Peraturan Daerah bagian sistem hukum nasional, maka

ketentuan yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan nasional

(UU, PP, Peraturan Presiden) berlaku juga dalam pembentukan Peraturan

Daerah sepanjang belum diatur secara khusus.

Peraturan Daerah sebagai sub sistem dalam kerangka sistem hukum

nasional, maka dalam pembentukan harus memperhatikan asas dan/atau prinsip-

prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam

Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 dan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010, yaitu:

1. kejelasan tujuan, bahwa dalam setiap pembentukan peraturan harus

mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Berdasarkan asas tersebut,

pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Perindustrian dimaksudkan untuk

mewujudkan struktur industri yang mandiri, sehat dan kukuh dengan

menempatkan pembangunan industri menjadi salah satu pilar dan penggerak

utama perekonomian berdasarkan peraturan perundang-undangan.

31 Valerine, J.L.K. Modul Metode Penelitian Hukum Edisi Revisi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

Jakarta, 2009, hal. 409.

Page 26: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 13

2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, bahwa dalam setiap jenis

peraturan perundang-undangan harus dibuat lembaga atau pejabat

pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan

perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum

apabila dibuat lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Atas dasar asas

tersebut, Rancangan Peraturan Daerah Perindustrian disiapkan oleh Dinas

Perindustrian dan Energi selaku Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang

diberi tugas dan fungsi oleh Gubernur berdasarkan Peraturan Daerah Nomor

12 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah untuk merumuskan

kebijakan di bidang perindustrian. Rancangan Peraturan Daerah tersebut

disampaikan kepada Gubernur untuk selanjutnya dibahas dan ditetapkan

bersama-sama dengan DPRD Provinsi DKI Jakarta.

3. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang

tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan. Asas tersebut menjadi

perhatian dalam penyusunan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah

tentang Perindustrian sesuai kedudukan Peraturan Daerah, yaitu penjabaran

lebih lanjut dari UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian sesuai wewenang

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Pemerintahan Daerah sebagaimana

diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.

29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota

Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta peraturan perundang-undangan

lain yang terkait dengan perindustrian, seperti: UU No. 31 tahun 2000 tentang

Desain Industri, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

4. dapat dilaksanakan, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan

harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di

dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Asas

tersebut menjadi perhatian pada saat penyusunan materi muatan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Dengan disusunnya naskah akademik

Page 27: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 14

memberikan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis dibentuknya Rancangan

Peraturan Daerah tentang Perindustrian.

5. kedayagunaan dan kehasilgunaan, setiap peraturan perundang-undangan

dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam

mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berdasarkan

asas tersebut keberadaan Peraturan Daerah tentang Perindustrian menjadi

dasar hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Masyarakat termasuk

pelaku usaha serta organisasi masyarakat di bidang industri dalam memenuhi

tuntutan dan kebutuhan saat ini dan mendatang.

6. kejelasan rumusan, setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi

persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika

dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah

dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya. Asas tersebut menjadi perhatian pada saat penyusunan

konsep Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana disampaikan sebelumnya.

Oleh sebab itu, Konsep Rancangan Peraturan Daerah yang disusun dilakukan

uji publik melalui kegiatan workshop untuk menghindari kata-kata atau

terminologi serta bahasa hukumnya yang tidak jelas dan tidak dimengerti, serta

tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi.

7. keterbukaan, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan

mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat

transparan dan terbuka. Sejalan dengan asas tersebut, dalam proses

pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian dilakukan

secara transparan dan terbuka, antara lain pendekatan yang digunakan

konsultasi publik dan/atau temu pakar dihadiri oleh komponen pelaku industri.

Page 28: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 15

Asas lain yang juga diperhatikan dalam penyusunan materi muatan

Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sebagaimana diatur dalam

Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010

berikut penjelasannya, antara lain:

1. pengayoman, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan

harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan

ketentraman masyarakat. Berdasarkan asas tersebut, kebedaraan Peraturan

Daerah tentang Perindustrian diharapkan dapat memberikan perlindungan

hukum bagi pelaku usaha di bidang industri dan bagi Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta dalam melakukan pembinaan dan pengawasan;

2. kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan

harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia

serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara

proporsional;

3. kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan

harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap

pengambilan keputusan;

4. kenusantaraan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan

senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi

muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan

bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila;

5. bhinneka tunggal ika, materi muatan peraturan perundang-undangan harus

memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi

khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut masalah sensitif dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

6. keadilan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus

mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa

kecuali;

Page 29: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 16

7. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat

membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,

golongan, gender, atau status sosial;

8. ketertiban dan kepastian hukum, materi muatan peraturan perundang-

undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui

jaminan adanya kepastian hukum;

9. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan

keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan

bangsa dan negara;

10. prinsip lainnya sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan, antara lain dalam hukum pidana, misalnya, asas legalitas,

asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas

praduga tak bersalah; serta dalam hukum perdata, misalnya, dalam hukum

perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad

baik.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, secara garis besar ada 2 (dua) asas

yang harus diperhatikan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan

(dalam hal ini Peraturan Daerah), yakni:32

1. asas material, meliputi: (a) dibentuk oleh pejabat atau lembaga pembentuk

peraturan hukum yang berwenang untuk itu; (b) dibentuk melalui mekanisme,

prosedur atau tata tertib yang berlaku untuk itu; (c) materi muatannya memiliki

asas-asas hukum yang jelas, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan

umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau dengan

peraturan perundang-undangan lain yang sederajat/mengatur perihal yang

sama; (d) isi peraturan harus jelas, mengandung kebenaran, keadilan dan

kepastian hukum; (e) dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik, untuk

32 Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara:

Suatu Studi Analisis Mengenai Keputuan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Fakultas Pascasarjana, 1990, hlm 336-343.

Page 30: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 17

menyelesaikan kasus pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan

dimaksud.

2. asas formal, meliputi: (a) memiliki tujuan yang jelas, maksud yang ingin

diwujudkan dengan dibentuk suatu peraturan perundang-undangan; (b)

memiliki dasar-dasar pertimbangan yang pasti pada konsideran menimbang;

(c) memiliki dasar-dasar peraturan hukum yang jelas pada konsideran

mengingat; (d) memiliki sistematika yang logis dan tidak saling bertentangan

antara bab, bagian, pasal, ayat, dan sub ayat; (e) dapat dikenali melalui

pengundangan ke dalam lembaran negara serta disosialisasikan atau

penyebarluasan.

Di dalam sistem hukum nasional memiliki asas filosofis yang terdapat dalam

Pancasila, dan asas konstitusional yang terdapat dalam UUD 1945. Di antara

asas tersebut terdapat hubungan yang harmonis. Bila hubungan diantara asas

tersebut tidak harmonis dapat dikatakan tidak ada suatu tatanan yang secara

teoritis tidak dalam satu sistem hukum, yaitu dalam kesatuan sistem hukum

nasional. Naskah Akademik salah satu upaya mewujudkan harmonisasi peraturan

perundang-undangan baik secara vertikal atau peraturan perundang-undangan

diatasnya (UU, PP, dan Peraturan Presiden) maupun secara horizontal atau

Peraturan Daerah yang ada, seperti Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2014

tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Naskah

Akademik agar hasilnya dapat terpenuhi nilai-nilai dasar hukum sebagai materi

muatan suatu Rancangan Peraturan Daerah, yaitu kepastian hukum, menjamin

keadilan, dan kemanfaatan, serta tercapainya maksud dan tujuan dibentuknya

Rancangan Peraturan Daerah itu sendiri. Secara teoritis, yang diperhatikan

sebagai berikut:

1. ditinjau dari teori hukum, ada 2 (dua) fungsi hukum (dalam hal ini Peraturan

Daerah) yang menuntut pengembangan substansi hukum atau peraturan

perundang-undangan, yaitu sebagai alat kontrol sosial dan alat rekayasa

sosial. Kedua fungsi tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Sebagai

fungsi kontrol sosial, Peraturan Daerah bertujuan memelihara pola hubungan

Page 31: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 18

sosial dan mengembalikan hubungan sosial yang terganggu karena terjadi

penyimpangan. Dalam hal ini hukum berfungsi menyelesaikan penyimpangan

yang terjadi atau pelanggaran, dengan mekanisme penilaian perilaku

menyimpang/melanggar dan pemberian sanksi berdasarkan norma yang ada,

sehingga tercipta hubungan sosial yang tertib dan harmonis. Sedangkan

fungsi kedua, bertujuan menciptakan kondisi sosial ekonomi, dan politik baru

dengan meninggalkan pola yang lama, dengan cara mendorong terjadinya

perubahan perilaku dari yang lama ke yang baru. Mekanisme yang digunakan

penekanan pada pelayanan optimal atau prima, pemberian insentif/fasilitas,

dan pengenaan sanksi dalam rangka menciptakan kondisi yang diinginkan.

2. Peraturan Daerah mengatur suatu bidang tertentu harus menetapkan objek

yang diatur jelas. Hal tersebut dimaksudkan agar substansinya tidak saling

tumpang-tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang saling

berkaitan. Di samping itu, kejelasan objek akan memberikan kontribusi

terhadap penetapan perilaku subjek yang diatur, sehingga lebih terarah pada

efektivitas pencapaian maksud dan tujuan dibentuk Rancangan Peraturan

Daerah.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa Rancangan Peraturan Daerah

tentang Perindustrian memuat ketentuan yang lebih kongkret sehingga dapat

memberikan dasar hukum dalam pembangunan industri di Provinsi DKI Jakarta

dan mudah dipahami dan dilaksanakan baik oleh aparat Pemerintah Daerah

maupun masyarakat termasuk pelaku usaha. Warga masyarakat Jakarta yang

majemuk dengan kondisi sosial ekonomi yang beragam tidak mempunyai

kemampuan yang sama untuk memahami atau menafsirkan norma atau aturan

yang termuat dalam Peraturan Daerah, apalagi peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, materi muatan Rancangan Peraturan Daerah

tentang Prindustrian tidak memberikan penafsiran berbeda yang dapat merugikan

masyarakat, organisasi perindustrian, dan Pemerintah Daerah. Rancangan

Peraturan Daerah tentang Perindustrian sedapat mungkin bersifat teknis

operasional tapi regulatif dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dan

mudah dipahami.

Page 32: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 19

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, salah satu sasaran ingin dicapai

dalam menyusunan Naskah Akademik ini adalah harmonisasi baik secara vertikal

maupun horizontal dan sesuai kebutuhan. Prinsip harmonis tersebut merupakan

salah satu prinsip utama yang diperhatikan dalam penyusunan materi muatan dari

suatu peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Daerah sebagaimana

diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011.

Mencermati uraian di atas, Penyusunan Naskah Akademik Rancangan

Peraturan Daerah tentang Perindustrian ini sebagaimana telah diuraikan

sebelumnya menggunakan metode pendekatan peraturan perundang-undangan

(statue approach). Pendekatan tersebut dilakukan pengkajian berbagai peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan industri dengan cara penafsiran, yaitu

mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam

peraturan perundang-undangan sesuai yang dikehendaki dan yang dimaksud

oleh pembuat undang-undang. Di dalam teori hukum, ada beberapa penafsiran,

yaitu:

1. penafsiran tata bahasa (gramatikal), yaitu cara penafsiran berdasarkan pada

filosofis dan sosiologis peraturan perundang-undangan dengan berpedoman

pada arti perkataan dalam hubungan satu sama lain dalam kalimat yang

dipakai peraturan perundang-undangan;

2. penafsiran sahih (autentik/resmi), yaitu penafsiran terhadap arti kata-kata

sebagaimana yang diberikan pembentuk peraturan perundang-undangan;

3. penafsiran historis, yaitu sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya

berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut, dan sejarah peraturan

perundang-undangan, yang diselidiki atau diteliti maksud dari pembentuk

peraturan perundang-undangan pada waktu membuat peraturan perundang-

undangan itu;

4. penafsiran sistematis (dogmatis), yaitu penafsiran susunan yang berhubungan

dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan maupun dengan peraturan perundang-undangan lain;

5. penafsiran nasional, yaitu penafsiran memiliki sesuai tindakannya dengan

sistem hukum yang berlaku;

Page 33: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 20

6. penafsiran teleologis (sosiologis), yaitu penafsiran dengan mengingat maksud

dan tujuan peraturan perundang-undangan itu;

7. penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata-kata

dalam peraturan perundang-undangan sehingga dapat dimaksudkan;

8. penafsiran restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi atau mem-persempit

arti kata-kata yang terkadung dalam peraturan perundang-undangan;

9. penafsiran analogis, yaitu memberi tafsiran pada sesuatu peraturan

perundang-undangan dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut

sesuai azas hukumnya, sehingga sesuatu yang sebenarnya tidak dimasukkan

lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.

Beberapa metode penafsiran tersebut di atas digunakan dalam penyusunan

naskah akademik ini.

2.3. Metode Pengumpulan Data dan Informasi

Kegiatan penyusunan naskah akademik termasuk penelitian hukum

normatif, maka diperlukan data dan informasi dari bahan hukum primer, sekunder,

dan tertier.33

1. bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan kedudukan, peran, dan fungsi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta

sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan

Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia

beserta peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Daerah No. 12 Tahun

2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dan UU No. 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan perundang-undangan lain yang

terkait dengan perindustrian, antara lain UU No. 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

33 Soekanto, Suryono, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, 2006,

hlm 12

Page 34: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 21

2. bahan hukum sekunder, yakni bahan bacaan atau literatur yang dapat

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti: hasil-hasil

penelitian dan literatur berkaitan dengan asas penyelenggaraan pemerintahan

daerah, perindustrian, penegakan pelanggaran atas Peraturan Daerah,

penyidikan, dan sebagainya.

3. bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus hukum dan

ensiklopedi ilmu hukum bila diperlukan.

Untuk mendapatkan data dan informasi sebagaimana dimaksud di atas,

metode yang digunakan, sebagai berikut:

1. Studi kepustakaan

Melalui studi kepustakaan diharapkan dapat menggali data dan informasi yang

diperlukan berhubungan dengan substansi naskah akademik ini dengan

prinsip-prinsip rasional, kritis, objektif, dan impersonal dari berbagai sumber.

2. Pengumpulan data sekunder

Data sekunder diperoleh selain melalui diskusi berkaitan aspek yang harus

diperhatikan dalam penyusunan substansi atau materi muatan Rancangan

Peraturan Daerah dan naskah akademik.

Berdasarkan metode pengumpulan data dan informasi sebagaimana

diuraian di atas, diharapkan maksud dan tujuan penyusunan naskah akademik ini

tercapai sehingga alasan (urgensi) dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah

tentang Perindustrian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

2.4. Metode Analisis

Memperhatikan kompleksitas permasalahan yang dihadapi dan prinsip yang

perlu diperhatikan agar penyusunan naskah akademik dapat memberikan

landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis untuk materi muatan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Perindustrian sejalan asas dan prinsip dalam

Page 35: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 22

pembentukan peraturan perundang-udangan, maka analisis penyusunan naskah

akademik ini menggunakan pendekatan sebagai berikut:

1. empiris, yaitu norma-norma yang harus diperhatikan dalam penyusunan suatu

peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah

tentang Perindustrian). Di dalam analisis ini disampaikan hak, kewajiban, dan

tanggung jawab pelaku usaha dan masyarakat serta tugas, wewenang, dan

tanggung jawab Pemerintah Daerah termasuk pembinaan secara umum

terkait dengan aspek kelembagaan;

2. yuridis, yaitu aspek yang perlu diperhatikan dalam perumusan muatan materi

Peraturan Daerah berdasarkan analisis yang disampaikan dalam naskah

akademik. Metode digunakan context of justification dengan cara menggali

peraturan perundang-undangan terkait dan penyusunan naskah akademik ini.

3. teori hukum, dimasudkan agar naskah akademik memenuhi teori hukum,

antara lain: (a) aspek yang perlu diperhatikan di dalam pembentukan norma

termasuk perumusan sanksi administrasi dan pidana atau bentuk-bentuk

pelanggaran; (b) konstruksi bentuk sanksi baik sanksi administrasi; (c)

mekanisme pengendalian.

4 bahasa hukum, pendekatan ini dimaksudkan agar bahasa Rancangan

Peraturan Daerah sesuai kaidah bahasa hukum namun mudah dipahami

setiap orang tanpa mengabaikan kaidah Bahasa Indonesia. Salah satu

muatan materi Rancangan Peraturan Daerah termasuk penyusunan naskah

akademik ini, yang diperhatikan, meliputi: (a) kalimat merupakan suatu beban

kewajiban substansial; (b) pemenuhan peran, hak dan kewajiban berdasarkan

tatanan prosedur, mekanisme, dan kelembagaan yang ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan; (c) penerapan aspek yuridis mengisyaratkan

diberlakukan suatu kewajiban dan/atau wewenang beserta kewajiban hukum;

(d) susunan kalimat mengancu berbagai gaya bahasa hukum, yaitu: gaya

bahasa denotatif yang memberikan makna konseptual, gaya bahasa

referensial yang memberikan makna petunjuk denotasional, dan gaya bahasa

yang menunjukan adanya suatu ironi kritik yang bersifat etis terhadap keadaan

dan/atau peristiwa hukum tertentu.

Page 36: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 23

Melalui pendekatan tersebut di atas, diharapkan naskah akademik ini dapat

menjadi acuan dalam penyusunan dan/atau pembahasan Rancangan Peraturan

Daerah tentang Perindustrian, sehingga dapat memenuhi maksud dan tujuan

yang diharapkan dari kegiatan penyusunan naskah akademik ini, dan sesuai

diharapkan masyarakat, pelaku usaha di bidang industri, dan Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta.

Page 37: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 1

Bab 3 GAMBARAN UMUM

3.1. Perekonomian Provinsi DKI Jakarta Kedudukan dan fungsi Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan

ekonomi, pemerintahan, dan sosial, sehingga Provinsi DKI Jakarta selama ini

berperan sebagai indikator perekonomian nasional. Dalam RTRW 2030 dijelaskan

bahwa struktur perekonomian DKI Jakarta dibentuk oleh sektor keuangan,

persewaan, dan jasa perusahaan sebagai unggulan, kemudian diikuti oleh sektor

perdagangan, hotel, dan restoran; dan industri pengolahan. Berdasarkan struktur

perekonomian tersebut mempertegas peran DKI Jakarta sebagai pusat jasa,

keuangan, dan perdagangan pada skala nasional. Kondisi tersebut tercermin dari

laju pertumbuhan terbesar selama tahun 2013 adalah sektor angkutan dan

telekomunikasi, sedangkan perdagangan pertumbuhan terbesar, sektor ekonomi

lain tetap menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI

Jakarta meskipun pertumbuhan sektor bersangkutan relatif kecil, demikian pula

sebaliknya. Tabel-3.1

Struktur PDRB menurut Lapangan Usaha, Tahun 2013

No. Lapangan Usaha Distribusi (dalam %) PDRB PDRB 2000

1. Pertanian 0.08 0,07 2. Pertambangan 0,44 0,20 3. Industri Pengolahan 15,23 13,65 4. Listrik, Gas, Air Minum 0,88 0,60 5. Konstruksi 11,16 10,44 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 21,11 22,08 7. Angkutan dan Telekomunikasi 10,49 13,82 8. Keuangan 27,75 27,21 9. Jasa Lainnya 12,85 11,94

Sumber : BPS, 2013

Page 38: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 2

Ditinjau dari penyerapan tenaga kerja, sektor yang menjadi penyerap tenaga

kerja terbesar perdagangan (34,81 persen), industri pengolahan (14,65 persen),

dan jasa-jasa (23,96 persen). Selama tahun 2010 sampai tahun 2014 sektor

keuangan menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan sektor lainnya.

Perubahan jumlah tenaga kerja yang meningkat di sektor keuangan dikarenakan

DKI Jakarta merupakan pusat kegiatan ekonomi di Indonesia. Selain itu kegiatan

di sektor keuangan akan semakin meningkat seiring meningkatnya sektor

ekonomi yang mendukung perdagangan dan bisnis.

Tabel-3-2 Jumlah Orang yang Bekerja menurut Lapangan Usaha, Tahun 2014

No. Lapangan Usaha 2010 2014 Perubahan

1. Pertanian 17.643 10.707 -6.936 2. Pertambangan 603.903 685.494 81.591 3. Industri Pengolahan 14.407 15.551 1.144 4. Listrik, Gas, Air Minum 165.481 199.594 34.113 5. Konstruksi 1.458.969 1.628.861 169.892 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 399.272 420.223 20.951 7. Angkutan dan Telekomunikasi 296.373 495.850 199.477 8. Keuangan 1.229.166 1.120.981 -108.185 9. Jasa Lainnya 4.208.905 4.679.838 643.574 Sumber : BPS, 2015

Berdasarkan jumlah perusahaan industri pengolahan di DKI Jakarta dalam

beberapa tahun terakhir mengalami pengurangan. Tahun 2011 berkurang dari 8,6

persen (137 perusahaan) dibandingkan tahun 2010. Sementara tahun 2010

berkurang sebanyak 111 perusahaan. Berdasarkan jenis perusahaan, tahun 2011

industri yang bergerak di bidang pakaian jadi mendominasi sebesar 24 persen

dari seluruh industri pengolahan yang ada, kemudian diikuti industri makanan

sebesar 12 persen dan industri barang dari karet dan plastik sebesar 11,03

persen. Selama kurun waktu 2009-2011 berturut-turut jenis industri tersebut

menunjukan posisi yang sama.

Pengurangan industri pengolahan di Provinsi DKI Jakarta konsekuensi dari

kebijakan kawasan industri sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 24 Tahun

2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987,

yang menyatakan dalam Pasal 7 sebagai berikut:

Page 39: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 3

Perusahaan industri yang akan menjalankan industri wajib berlokasi di Kawasan Industri, kecualikan bagi: (a) industri menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus; (b) industri mikro, kecil, dan menengah; (c) industri yang akan menjalankan industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki kawasan industri atau yang telah memiliki kawasan industri namun seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis.

Keterbatasan lahan dimiliki Provinsi DKI Jakarta menyebabkan Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta tidak dapat memfasilitasi penyediaan lahan untuk kawasan

industri dengan luas paling rendah 50 (lima puluh) hektar dalam satu hamparan

dan luas lahan kawasan industri tertentu untuk usaha mikro, kecil, dan menengah

paling rendah 5 (lima) hektar dalam satu hamparan sebagaimana ditetapkan

dalam Pasal 10 PP No. 24 Tahun 2009. Sementara Pemerintah Daerah di sekitar

DKI Jakarta (Bogor, Tanggerang, dan Bekasi) masih memiliki lahan yang luas,

sehingga kawasan industri lebih banyak di daerah tersebut. Kondisi tersebut

menyebabkan jumlah industri pengolahan di daerah sekitar Provinsi DKI Jakarta

(Bogor, Tanggerang, dan Bekasi) terus mengalami peningkatan.

Tabel 3.3 Laju Pertumbuhan Tahunan Rata-rata Sektor

di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2001 – 2011 (%)

No. Sektor 2001- 2007 (%/Tahun)

2007 - 2011 (%/Tahun)

1. Pertanian -1,08 14,45

2. Pertambangan dan Penggalian -3.90 19,30

3. Industri Pengolahan 5,29 14,05

4. Listrik dan Air Bersih 6,00 13,07

5. Konstruksi 6,50 15,14 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 7,47 15,38

7. Pengangkutan dan Komunikasi 16,16 18,22

8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 4,26 13,06

9. Jasa-jasa 5,61 14,54

Sumber : Penghitungan data BPS DKI Jakarta

Page 40: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 4

Dengan mempertimbangkan kontribusi sektor tersier secara keseluruhan

signifikan dan relatif tidak mengalami fluktuasi yang besar, maka pada masa

mendatang pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta tetap bertumpu pada sektor

keuangan, perdagangan, dan jasa sebagai sektor basis. Oleh sebab itu, dalam

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Tahun 2005-2025

sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012, Provinsi

DKI Jakarta diarahkan sebagai kota jasa (service city). Sedangkan sektor lain

yang memberikan kontribusi terhadap perekonomian DKI Jakarta adalah industri

pengolahan, walaupun demikian tendensinya menurun secara signifikan dari

tahun ke tahun. Pada tahun 2005 kontribusinya tercatat sekitar 27,88% dan

menurun sekitar 15% pada periode 2007 - 2011. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

menetapkan kebijakan pengembangan industri yang hemat energi, hemat air,

ramah lingkungan, dan padat inovasi dan teknologi, masa mendatang kegiatan

usaha industri diarahkan pengembangannya di Kawasan Ekonomi Strategis

(KES) Marunda di bagian Utara Jakarta.

Jumlah industri di Provinsi DKI Jakarta akan terus mengalami penurunan

sebagai konseksuensi kebijakan penataan ruang yang ditetapkan Pemerintahan

Provinsi DKI Jakarta dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014

tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Arah pengembangan

industri yang ditetapkan dalam produk hukum daerah tersebut, pada peningkatan

pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi pada industri kreatif dan industri

menggunakan teknologi tinggi,34 dengan strategi meningkatkan kapasitas dan

intensitas pusat kegiatan primer dan sekunder untuk mewadahi aktivitas industri

kreatif berskala regional, nasional, dan internasional.

34 Yang dimaksud dengan industri kreatif menurut penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2014 tentang Perindustrian, adalah industri yang mentransformasi dan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk menghasilkan barang dan jasa. Sedangkan yang dimaksud industri teknologi tinggi menurut penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf c Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, adalah industri yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.

Page 41: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 5

Sasaran yang hendak dicapai berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Daerah (RPJPD) Tahun 2005-2025 sebagaimana ditetapkan dalam

Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012, antara lain pengembangan industri

kreatif serta industri kecil dan menengah yang mandiri dan berwawasan

lingkungan.

Jumlah perusahaan untuk industri besar dan sedang sebanyak 1.699

perusahaan, dengan tenaga kerja untuk produksi sebanyak 253.666 jiwa dan

tenaga kerja untuk lainnya sebesar 63.784 jiwa. Jumlah perusahaan, tenaga kerja

dan nilai produksi Industri Besar dan Sedang menurut Kota Administrasi di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 dilihat pada Tabel 4.7, dimana Kota Administrasi

Jakarta Utara perusahaan terbanyak yaitu 686 perusahaan dengan menyerap

tenaga kerja mencapai 156.789 jiwa dan nilai produksi Rp. 114.285.772.858.000,.

Sedangkan untuk Provinsi DKI Jakarta sendiri pada tahun 2009 memiliki 1.699

perusahaan dengan jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak 317.450 jiwa

dan nilai produksi sebesar Rp. 230.085.293.426.000,-

Tabel 3.4 Jumlah Perusahaan, Tenaga Kerja, dan Nilai Produksi

Industri Besar dan Sedang Menurut Kota Administrasi, Tahun 2009

Kota Adm Perusahaan Tenaga Kerja Nilai Produksi

(000 Rp.)

Jakarta Pusat 64 5.594 1.348.077.371

Jakarta Selatan 92 8.152 2.250.491.297

Jakarta Barat 537 51.581 15.024.895.037

Jakarta Utara 686 156.749 114.285.772.858

Jakarta Timur 320 95.374 97.176.056.863

Total 1.699 317.450 230.085.293.426

2008 1.866 351.084 215.648.073.413

2007 2.566 378.668 177.831.755.291

2006 2.955 407.859 167.187.683.108

2005 1.955 371.573 138.651.230.808

2004 1.842 360.816 127.374.241.943 Sumber : Jakarta Dalam Angka, 2012

Page 42: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 6

Perkembangan industri besar dan sedang di Provinsi DKI Jakarta menurut

klasifikasi industri dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5. Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja Industri Besar dan Sedang

menurut Klasifikasi Industri, Tahun 2009

Kode

Klasifikasi Industri

Perusahaan

Tenaga Kerja Jumlah

Produksi Lainnya

15 Makanan dan Minuman 208 18.548 7.873 26.421

17 Tekstil 137 16.584 2.067 18.651

18 Pakaian Jadi 382 67.072 7.711 74.783

19 Kulit dan Barang Dari Kulit 63 4.537 685 5.222

20 Kayu, Barang Dari Kayu (Tidak Termasuk Furnitur) dan Barang-Barang Anyaman

23 1.495 360 1.855

21 Kertas dan Barang Dari Kertas 40 1.525 335 1.860

22 Penerbitan, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman 163 11.980 3.240 15.220

23

Batubara, Pengilangan Minyak Bumi, Pengolahan Gas Bumi, Barang-Barang Dari Hasil Pengilangan Minyak Bumi dan Bahan Bakar Nuklir

2 182 52 234

24 Kimia dan Barang-Barang Dari Bahan Kimia 105 20.943 17.233 38.176

25 Barang Dari Karet dan Plastik 183 16.395 3.002 19.397

26 Barang Galian Bukan Logam 21 7.320 2.817 10.137

27 Logam Dasar 29 5.060 1.339 6.399

28 Barang-Barang Dari Logam Kecuali Mesin dan Peralatannya 96 10.849 2.966 13.815

29 Mesin dan Perlengkapannya 35 5.677 2.522 8.199

31 Mesin Listrik Lainnya dan Perlengkapannya 35 9.433 1.477 10.910

32 Radio, Televisi dan Peralatan Komunikasi Serta Perlengkapannya

7

413 58 471

33 Peralatan Kedokteran, Alat-Alat Ukur, Peralatan Navigasi, Peralatan Optik, Jam dan Lonceng

9

1.056 232 1.288

34 Kendaraan Bermotor Roda 4 atau Lebih

35

22.820 3.621 26.441

35 Alat Angkutan, Selain Kendaraan Bermotor Roda 4 atau Lebih

21

14.540 3.791 18.331

36 Furnitur dan Industri Pengolahan Lainnya

92

16.612 2.333 18.945

37 Daur Ulang 13

625 70 695

Jumlah/Total 1.699 253.666 63.784 317.450

Sumber : Jakarta Dalam Angka, 2012

Page 43: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 7

Menurut jenis industri, dari 1.699 unit industri besar dan sedang di DKI

Jakarta pada tahun 2009 menunjukkan dominasi industri pakaian jadi dengan 382

unit dan industri makanan minuman dengan 208 unit. Sedangkan jumlah unit

usaha pada jenis usaha industri lain sebagaimana disajikan tabel berikut ini.

Tabel 3.6

Jumlah Industri Menurut Jenis di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009

No. Jenis Industri Jumlah Industri (Unit)

Jumlah Tenaga Kerja (Orang)

1. Makanan dan Minuman 208 26.421 2. Tekstil 137 18.651 3. Pakaian Jadi 382 74.783 4. Kulit dan Alas Kaki 63 5.222 5. Kayu, Rotan, dan Bambu 23 1.855 6. Kertas dan Sejenisnya 40 1.860 7. Penerbitan dan Percetakan 163 15.220 8. Batubara dan Pengolahan Minyak Bumi 2 234 9. Kimia dan Barang dari Bahan Kimia 105 38.176

10. Karet, Barang dari Karet, dan Plastik` 183 19.397 11. Barang Galian Bukan Logam 21 10.137 12. Logam Dasar 29 6.399 13. Barang dari Logam, kecuali Mesin dan Peralatannya 96 13.815 14. Mesin dan Peralatannya 35 8.199 15. Mesin Lainnya dan Perlengkapannya 35 10.910 16. Radio, TV, dan Peralatan Komunikasi 7 471 17. Peralatan Kedokteran 9 1.288 18. Kendaraan Bermotor 35 26.441 19. Alat Angkutan, selain Kendaraan Roda Empat 21 18.331 20. Furniture dan Pengolahan Lainnya 92 18.945 21. Daur Ulang 13 695

Jumlah 1.699 317.450

Sumber : DKI Jakarta Dalam Angka, BPS DKI Jakarta, 2011

3.2. Perkembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM)

Tidak dapat dipungkiri sejak dicanangkan industrialisasi pada Pelita I hingga

saat ini telah memberikan kontribusi dalam berbagai bidang pembangunan.

Industri Kecil dan Menengah (IKM) terbukti bertahan dalam menghadapi berbagai

krisis yang terjadi di Indonesia dan IKM merupakan lapangan pekerjaan yang

penampung/penyerap tenaga kerja terbesar. Pada saat terjadi krisis moneter

Page 44: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 8

tahun 1997-1998, IKM bertahan dan menjadi tulang punggung perekonomian

Provinsi DKI Jakarta pada saat itu, sementara industri besar mengalami

rasionalisasi karyawan bahkan menutup perusahaan. Berdasarkan hal tersebut

sudah sewajarnya kalau pemerintah berpihak dalam membantu para pengusaha

IKM agar dapat bersaing dan menjadi salah satu penggerak roda perekonomian

Provinsi DKI Jakarta.

Tabel 3.7 Jumlah Industri Kecil dan Menengah di Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2012

No Wilayah Jumlah Unit Usaha Tenaga Kerja Investasi

(Milyar)

1 Jakarta Pusat 4.329 9.109 422,350

2 Jakarta Selatan 3.481 8.500 3.689,000

3 Jakarta Barat 7.200 197.898 1.046,400

4 Jakarta Utara 7.178 18.578 1.273,000

5 Jakarta Timur 6.989 103.897 4.265,000

6 Kepulauan Seribu 3 11 0,035

Jumlah 29.180 337.993 10.695,785

Sumber : Diolah Dinas Perindustrian dan Energi, 2012

Jumlah Industri Kecil dan Menengah (IKM) di Provinsi DKI Jakarta sebesar

29.180 unit usaha industri dengan jumlah seluruh tenaga kerja IKM sebanyak

337.993 jiwa dan nilai investasi sebesar Rp. 10. 695,785 Milyar. Berdasarkan

Kota Administrasi, Jakarta Pusat terdapat 4.329 uni usaha IKM, dengan jumlah

tenaga kerja 9.109 jiwa dan nilai investasi sebesar Rp. 422,350 Milyar. Jakarta

Barat terdapat 7.200 unit usaha IKM dengan jumlah tenaga kerja 197.898 jiwa

dan nilai investai Rp. 1.046,400 Milyar. Jakarta Selatan terdapat 3.481 unit usaha

IKM, dengan jumlah tenaga kerja 8.500 jiwa dan nilai investai Rp. 3.689 Milyar.

Jakarta Utara terdapat 7.178 unit usaha IKM, dengan jumlah tenaga kerja 18.578

jiwa dan nilai investai Rp. 1.273 Milyar. Kota Administrasi Jakarta Timur terdapat

6.989 unit usaha IKM, dengan jumlah tenaga kerja 103.897 jiwa dan nilai investai

Rp. 4.265 Milyar. Kota Administratif Kepulauan Seribu terdapat 3 unit usaha IKM

dengan jumlah tenaga kerja sebesar 11 orang dan nilai investasi Rp. 0,035 Milyar.

Page 45: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 9

Mencermati peranan IKM tersebut di atas, Pemerintah membuat kebijakan

yang dapat mendukung pengembangan IKM pada masa akan datang seperti

peningkatan mutu produksi, membantu dalam menembus pasar domestik dan

global serta memfasilitasi dalam pengembangan jaringan diantara sesama

pengusaha IKM. Sehubungan itu, perhatian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

menumbuhkembangkan IKM tidak berlebihan, karena IKM menyerap banyak

tenaga kerja, menggunakan sumberdaya lokal, dan hemat penggunaan lahan

atau ruang, dan ramah lingkungan. Walaupun demikian masih ada kendala yang

dapat menghambat tumbuh berkembangnya IKM. Kendala tersebut dapat

dijadikan sebagai kebijakan dan strategi dalam pembinaan dan pengembangan

IKM dimasa mendatang.

Kendala yang dihadapi IKM antara lain belum mampu bersaing dengan

kompetitor besar dan/atau asing, keterbatasan akses pasar, permodalan, dan

manajemen. Di lain pihak sejak dilaksanakan otonomi daerah berasaskan

desentralisasi, daerah diberikan wewenang menetapkan kebijakan berdasarkan

urusan pemerintahan yang menjadi wewenangnya, sehingga berbagai kebijakan

yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah cenderung bersifat sektoral dan turut

mewarnai perkembangan IKM. Hal tersebut menjadi tantangan bagi Dinas

Perindustrian dan Energi Provinsi DKI Jakarta dalam memberdayakan IKM dalam

rangka mendukung pertumbuhan perekonomian Provinsi DKI Jakarta sekaligus

penciptaan lapangan kerja. Untuk itu, produk IKM selain mampu bersaing dengan

produk dari luar negeri (globalisasi) dan Asean China Free Trade Agreement

(ACFTA). Tantangan lain yang dihadapi Dinas Perindustrian dan Energi Provinsi

DKI Jakarta dalam memberdayakan industri, menurut Pasal 26 ayat (4) huruf d

UU No. 29 Tahun 2007, bahwa urusan pemerintahan di bidang industri menjadi

kewenangan Gubernur untuk melakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat

dan Daerah lain terutama dengan daerah sekitar Provinsi DKI Jakarta.

Dari beberapa hasil pengamatan dan isu yang berkembang dalam berbagai

perspektif yang perlu diperhatikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baik dalam

pembinaan IKM yang sudah dilakukan maupun yang akan dilakukan, antara lain:

(1) perlu dilakukan harmonisasi kebijakan yang menghambat pertumbuhan IKM.

Page 46: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 10

Dalam arti ketidaksesuaian antara komitmen politik untuk mengembangkan IKM

secara nyata ditataran operasional, seperti dukungan sumber daya, prasarana

dan sarana penunjang, bantuan teknik, insentif, dan sebagainya; (2) banyak pola

bantuan teknis yang kurang efektif baik dari Pemerintah Pusat langsung maupun

peran serta pelaku usaha dan pelaku indusri yang penerapannya belum

mempertimbangkan aspek kelayakan, tidak didasarkan kondisi spesifik obyek

binaan, serta kurang konsisten dukungan sumber daya yang diberikan; (3)

pendekatan pembinaan dan pengembangan belum komprehensif atau terpadu

dalam pelaksanaan atau masih rendahnya koordinasi antar sektor; (4) banyaknya

program pemberdayaan IKM dalam bentuk program dan kegiatan penyuluhan dan

pelatihan akan tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan nyata dari obyek

binaan; (5) peranserta Pemerintah Pusat termasuk sistem insentif belum

menyentuh kebutuhan sektor riil dari objek binaan. Pengembangan sistem insentif

mengalami hambatan karena cara pandang berbeda dan untuk kepentingan

jangka pendek, serta lemahnya pengawasan; (6) masih ada keenganan sebagian

pelaku IKM untuk melakukan perubahan yang bersifat modernisasi dikarenakan

faktor sosial dan budaya; (7) pola pikir konseptual belum komprehensif dalam

penyusunan strategi dan program dengan masalah dihadapi, sehingga

pembinaan kurang berdayaguna dan berhasilguna.

3.3. Perkembangan Industri Kreatif

Definisi industri kreatif menurut Kementerian Perdagangan, adalah industri

yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk

menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan

mengeskploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Sementara ekonomi

kreatif didefinisikan sebagai sistem kegiatan manusia berkaitan dengan produksi,

distribusi, pertukaran serta konsumsi barang dan jasa yang bernilai kultural,

artistik dan hiburan. Ekonomi kreatif bersumber pada kegiatan ekonomi dari

industri kreatif. Dari definisi tersebut, nilai ekonomi dari suatu produk atau jasa

dimasa mendatang (era kreatif) tidak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem

Page 47: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 11

produksi seperti pada era industri, tetapi pada pemanfaatan kreativitas dan

inovasi. Industri tidak dapat lagi bersaing di pasar global hanya mengandalkan

harga atau mutu produk saja melainkan bersaing berbasiskan inovasi, kreativitas,

dan imajinasi.

Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia tidak memiliki sumber

daya alam seperti daerah lain, namun memiliki potensi dalam pengembangan

industri kreatif, karena memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai,

dengan mobilitas yang tinggi, suasana kota Jakarta yang torelan dan

multibudaya, serta atmosfer kerja yang kondusif oleh wirausaha muda dengan

inovasi baru, menjadikan industri kreatif dapat tumbuhberkembang dan

memberikan kontribusi berarti bagi pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta.

Daya tarik kota Jakarta bagi pendatang muda dari luar daerah DKI Jakarta,

keberadaan berbagai perguruan tinggi secara tidak langsung memberikan

dukungan pengadaan calon pekerja berpengetahuan dan berketerampilan tinggi,

sekaligus potensi bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadikan kota Jakarta

sebagai salah satu kota kreatif di Indonesia. Kemitraan dengan perguruan tinggi

untuk menyiapkan SDM yang kreatif dengan fokus pada penyiapan wirausaha

muda yang inovatif dan profesional.

Menurut Richard Florida dalam bukunya The Creative Class Theory, bahwa

keberhasilan suatu kota menjadi kota kreatif ditentukan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu

talenta, toleransi, dan teknologi (3T). Faktor talenta meliputi aspek pekerja kreatif,

aspek budaya meneliti, dan aspek modal, sumber daya manusia (SDM).

Kreativitas merupakan jantungnya inovasi, maka pekerja kreatif menentukan

kelangsungan industri kreatif. Pekerja dibagi ke dalam dua kategori, yaitu pekerja

kreatif (creative class) dan pekerja biasa (working class) yaitu pekerja di bidang

pelayanan dan pekerja di bidang pertanian. Semakin tinggi proporsi pekerja "inti

superkreatif", semakin tinggi kinerja ekonomi industri kreatif dari kota kreatif. Akan

tetapi, Richard mengingatkan, sekalipun pekerja kreatif pengendali pertumbuhan

utama, kelas-kelas pekerja lain juga dibutuhkan. Faktor toleransi meliputi aspek

sikap, aspek nilai, dan aspek ekspresi diri. Aspek sikap dinilai dari sikap terhadap

minoritas, keterbukaan orang-orang asalnya berbeda, kesempatan pekerjaan

Page 48: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 12

yang tersedia bagi warga bukan putra daerah. Aspek nilai diukur dari sejauh

mana nilai-nilai tradisional asli daerah bisa hidup berdampingan secara harmonis

dengan nilai-nilai modern dan sekuler. Aspek ekspresi diri diukur dari sejauh

mana suatu kota menghormati hak individu dan kebebasan mengekspresikan

dirinya. Aspek tersebut dimiliki Provinsi DKI Jakarta.

Industri kreatif cocok bagi wirausaha inovatif muda dari perguruan tinggi

mengawali kariernya di dunia usaha, namun berdasarkan data Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional lebih dari 80% lulusan S-1

memilih bekerja dan hanya 4% memilih memulai usaha, bahkan cenderung dalam

beberapa tahun terakhir lebih memilih menjadi pengawai negeri sipil (PNS).

Kenyataan tersebut diperkuat hasil riset Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Kementerian Pendidikan Nasional salah satu kesimpulannya, semakin tinggi

tingkat pendidikan seseorang semakin rendah kemandiriannya. Hal tersebut

dapat dipahami mengapa lulusan perguruan tinggi kurang tertarik berkarier

menjadi wirausaha karena dituntut kemandirian yang tinggi.

Di masa mendatang diperlukan pekerjaan yang memiliki keahlian atau

keterampilan tertentu. Pekerja kontrak yang fleksibel dan mobile, self-employed,

dan freelances, semakin meluas pada usaha mikro, kecil, dan menengah, serta

usaha besar membutuhkan spesialisasi operasi/produksi untuk menghasilkan

suatu jenis barang/jasa tertentu. Prospek industri kreatif menjanjikan kesempatan

kerja, kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan demikian,

pembelajaran life skills seperti pendidikan kewirausahaan inovatif menjadi arah

dan strategi dalam pengembangan sumber daya manusia di bidang industri dalam

rangka menunjang terwujudnya tujuan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa setiap daerah perlu

berkompetisi secara positif dengan daerah lain dalam meraih perhatian

(attention), pengaruh (influence), pasar (market), tujuan bisnis dan investasi.

Di beberapa negara saat ini sedang berkompetisi mengembangan industri

kreatif dengan cara masing-masing sesuai kemampuan yang ada pada negara

bersangkutan, seperti Singapura memasang iklan dalam surat kabar Indonesia

edisi bahasa Inggris beberapa tahun lalu, mengundang generasi muda Indonesia

Page 49: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 13

yang memiliki bakat menjadi warga negara Singapura asal memiliki konsep bisnis

yang kuat dan dituangkan dalam rencana bisnis yang komprehensif. Contoh lain,

iklan salah satu televisi di Australia mengundang orang muda dari negara

manapun berimigrasi ke kota Adelaide Australia Selatan sebagai wirausaha

inovatif dengan menjanjikan berbagai kemudahan dan dukungan menggiurkan.

Ada yang menitikberatkan pada industri usaha kreatif dan budaya (creative

cultural industry), ada yang menitikberatkan pada lapangan usaha kreatif (creative

industry), dan juga hak kekayaan intelektual seperti hak cipta (copyright industry).

Indonesia mengembangkan industri kreatif dengan pendekatan ekonomi

kreatif sebagaimana termuat dalam buku ”Pengembangan Ekonomi Kreatif

Indonesia 2025: Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015”,

antara lain menyatakan bahwa “industri kreatif merupakan bagian tak terpisahkan

dari ekonomi kreatif”. Dengan kata lain ekonomi kreatif adalah ekonomi yang

ditopang antara lain industri kreatif. Pengembangan ekonomi kreatif tidak hanya

menekankan pada pengembangan industri yang termasuk dalam kelompok

industri kreatif, melainkan juga pada pengembangan berbagai faktor yang

signifikan dalam ekonomi kreatif, yaitu sumber daya manusia, bahan baku,

teknologi, tatanan institusi, dan lembaga pembiayaan menjadi komponen

pengembangan.

Begitu besarnya dampak positif dari industri kreatif terhadap perekonomian,

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan perhatian khusus dan memajukan

industri kreatif di DKI Jakarta. Selain alasan tersebut potensi industri kreatif

sangat besar dan membutuhkan sentuhan kreatif dari generasi muda agar dapat

tereksploitasi dan terkelola dengan baik. Penduduk DKI Jakarta ± 9,5 juta jiwa

(BPS, 2010) memiliki potensi industri kreatif yang sangat besar, karena sebagian

besar penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja berpendidikan

menengah ke atas.

Pada Tahun 2007, nilai PDRB Industri Kreatif DKI Jakarta sebesar Rp

89,813 trilyun rupiah dan memberikan kontribusi kepada perekonomian sebesar

15,51% dari PDRB DKI Jakarta. Dengan membandingkan nilai industri kreatif DKI

Jakarta tahun 2007 dengan industri kreatif nasional pada tahun 2002-2006,

Page 50: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 14

nilainya mencapai Rp 104,637 trilyun, dan memberikan kontribusi kepada PDB

sebesar 6,28%, maka nilai industri kreatif di DKI Jakarta adalah besar.

Tabel 3.8

Kontribusi Industri Kreatif terhadap PDRB DKI Jakarta Tahun 2007 Menurut Sektor Primer, Sekunder dan Tersier

PDRB Rata-rata

No. Sektor (Jutaan Rp) Kontribusi Thd PDRB

1. Primer: Tidak ada industri kreatif yang masuk dalam golongan industri kreatif

-

-

2. Sekunde: Industri pengolahan

6.627.358

11,45

3. Tersier: Perdagangan produk industri

20.726.802

35,81

Jasa Kreatif 62.458.888 10,79

JUMLAH 89.813.048 15,51 Sumber: Hasil Pengolahan

Struktur perekonomian DKI Jakarta mengarah pada jasa, maka industri

kreatif di DKI Jakarta lebih dominan pada sektor yang bersifat tersier. Kontribusi

tersebut juga terlihat dari nilai PDB yang dihasilkan oleh masing-masing sektor.

Selain itu dengan membandingkan nilai tambah industri kreatif terhadap PDRB

atau PDB suatu wilayahnya, maka perekonomian di DKI Jakarta terdapat industri

kreatif yang besar pula. Namun, bila dibandingkan seluruh sektor di dalam

perekonomian, nilai kontribusi industri kreatif di DKI Jakarta menempati peringkat

kedua setelah sektor jasa keuangan seperti bank, non bank dan jasa penunjang

keuangan lainnya sebesar 19,52% bagi PDRB DKI Jakarta. Pada peringkat

ketiga, kontribusi terhadap perekonomian diberikan oleh sektor kontruksi yang

memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar 11,88%

Page 51: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 15

Tabel 3.9 Industri Kreatif Yang Penyerapan Tenaga Kerja dan

Produktivitas Di Atas Rata-rata Perekonomian DKI Jakarta

Tenaga Kontribusi Indeks Sektor Kerja Penyerapan Jml TK Jenis Industri Produktivitas Indeks

(TK) TK Perdagangan bersar, fesyen, kerajinan dan kreatif lain

243.426 6.871 3.916 Jasa riset dan pengembangan

534.049 2,877

Jasa multimedia dan komputer

455,252 2,452

Perdagangan eceran fesyen, kerajinan dan kreatif lain

103.738 2.928 1,669 Jasa kegiatan radio dan televisi

447,169 2,509

Jasa kegiatan drama, musik, bioskop dan hiburan lainnya

376,336 2,027

Jasa impresariat 376,336 2,027 Jasa konsultan

arsitek 375,979 2,025

Jasa periklanan 302,941 1,632 Jasa riset pemasaran 271,468 1,462 Industri macam-

macam wadah dari logam

264,224 1,423

Industri alat-alat musik

244,424 1,317

Industri kemasan dari gelas

212,232 1,143

Sumber: BPS, Hasil Pengolahan

Dalam penyerapan tenaga kerja, jumlah seluruh tenaga kerja yang terserap

dalam industri kreatif mencapai 616.605 orang, sedangkan jumlah tenaga kerja

seluruh DKI Jakarta sebanyak 3.543.028 orang, penyerapan tenaga kerja pada

indusri kreati di DKI Jakarta sebesar 17,40%. Penyerapan tenaga industri kreatif

dan produktivitas yang dihasilkan industri kreatif terbesar atau di atas angka

indeks satu.

Jika diperhatikan perkembangan industri kreatif saat ini di Provinsi DKI

Jakarta menjadi pilar utama dalam mengembangkan ekonomi kreatif daerah,

karena memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat Jakarta dan

pendapatan daerah. Oleh sebab itu, potensi industri kreatif memiliki peluang

besar bagi Provinsi DKI Jakarta untuk dikembangkan baik di pasar domestik

maupun internasional merupakan modal bagi eksistensi industri tersebut. Industri

kreatif memberikan harapan baru akan muncul suatu usaha atau kegiatan

ekonomi yang lebih banyak mengandalkan sentuhan kreatif individu yang akan

membawa ke level kehidupan masyarakat Jakarta yang lebih baik. Produktivitas

Page 52: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 16

sektor industri kreatif lebih tinggi dari keseluruhan produktivitas tenaga kerja,

karena ekonomi kreatif membawa segenap talenta, bakat, dan hasrat individu

menciptakan “nilai tambah” melalui hadirnya produk/jasa yang kreatif.

Kemajuan industri kreatif dapat didorong antara lain dengan 5 (lima) cara.

Pertama, promosi industri kreatif akan mendorong membesarnya pasar bagi

pelaku industri kreatif. Konsumen semakin sadar akan kemampuan industri kreatif

Jakarta untuk memenuhi kebutuhannya. Potensi pasar ekspor hasil industri kreatif

masyarakat Jakarta di pasar internasional terbuka lebar. Mendayagunakan staf

diplomatik negara sahabat yang ada di Jakarta atau pimpinan kantor perusahaan

Indonesia yang ada di luar negeri sebagai pemasar, salah satu cara untuk

memperbesar pasar bisnis kreatif Jakarta. Kedua, peningkatan daya saing.

Pengembangan teknologi, ide kreatif, kebijakan dan lingkungan bisnis yang

kondusif termasuk “perlindungan bagi personel kreatif” serta peningkatan

kompetensi pelaku bisnis terus dilakukan untuk meningkatkan daya saing. Ketiga,

penambahan pengalaman. Pengalaman merupakan sumber daya yang tidak bisa

ditukar dengan pengetahuan yang didapat secara instan. Melalui proses

pembelajaran dari hasil kreasi akan memberi modal bagi penambahan

pengalaman berkreasi pelaku bisnis kreatif. Keempat, peningkatan nilai tambah.

Kemajuan bisnis industri kreatif akan mendorong peningkatan nilai tambah

perekonomian dan bisnis pada umumnya. Kelima, pengembangan kreativitas.

Pelaku usaha industri kreatif membutuhkan kreativitas dan inovasi, maka dari itu

harus dapat mengeksplorasi potensi kreatif yang dimilikinya untuk menghasilkan

karya terbaik.

Pemerintah Pusat telah mengembangkan 14 (empat belas) jenis industri

kreatif yang menjadi prioritas untuk menjadi perhatian, yaitu:

1. Periklanan

Industri periklanan didefinisikan sebagai industri jasa yang mengemas bentuk

komunikasi tentang suatu produk, jasa, ide, bentuk promosi, informasi:

layanan masyarakat, individu maupun organisasi yang diminta pemasang iklan

(individu, organisasi swasta/pemerintah) melalui media tertentu (misal: televisi,

radio, cetak, digital signage, internet) bertujuan untuk mempengaruhi,

Page 53: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 17

membujuk target individu/masyarakat untuk membeli, mendukung atau

sepakat atas hal yang ingin dikomunikasikan.

Jenis pekerjaan periklanan merupakan jenis pekerjaan yang mem-butuhkan

serta menuntut pengetahuan serta kreativitas yang tinggi. Secara umum

klasifikasi pekerja subsektor ini dibedakan dalam 2 (dua) kelompok utama,

yaitu: pekerja kreatif serta pekerja pendukung (services). Dalam sebuah biro

iklan, umumnya akan memiliki departemen sebagai berikut: account services,

creative & interactive, media & public relations dan traffic. Pada perusahaan

besar, setiap fungsi dapat dilakukan individu berbeda, tetapi di perusahaan

kecil tidak menutup karena beberapa fungsi dapat dilakukan oleh individu

yang sama.

Kegiatan kreatif yang berkaitan jasa periklanan (komunikasi satu arah dengan

menggunakan medium tertentu), meliputi proses kreasi, produksi dan distribusi

dari iklan yang dihasilkan, misalnya: riset pasar, perencanaan komunikasi

iklan, iklan luar ruang, produksi material iklan, promosi, kampanye relasi

publik, tampilan iklan di media cetak (surat kabar, majalah) dan elektronik

(televisi dan radio), pemasangan berbagai poster dan gambar, penyebaran

selebaran, pamflet, edaran, brosur dan reklame sejenis, distribusi dan delivery

advertising materials atau samples, serta penyewaan kolom untuk iklan.

2. Film/Video dan Fotografi

Industri kreatif film/video dan forografi merupakan kegiatan kreatif yang

berkaitan dengan jasa fotografi, produksi film (termasuk penulisan skenario,

sinematografi, dan lain-lain).

3. Musik

Semua aktivitas yang menyangkut proses produksi album lagu, rekaman

suara, komposisi musik termasuk pertunjukan musik.

4. Arsitektur

Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa desain bangunan, perencanaan

biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, pengawasan konstruksi baik

secara menyeluruh dari level makro (town planning, urban design, landscape

Page 54: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 18

architecture) sampai pada level mikro (detail konstruksi, misalnya: arsitektur

taman, desain interior).

5. Pasar Seni dan Barang Antik

Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang asli, unik

dan langka serta memiliki nilai estetika seni yang tinggi melalui lelang, galeri,

toko, pasar swalayan, dan internet, misalnya: alat musik, percetakan,

kerajinan, automobile, film, seni rupa dan lukisan. Industri kreatif pasar seni

dan barang antik berkaitan dengan pengerjaan maupun perdagangan produk-

produk antik termasuk di dalamnya hiasan.

6. Kerajinan

Industri kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi produk

yang dibuat dihasilkan oleh pengrajin yang berawal dari desain awal sampai

dengan proses penyelesaian produknya, antara lain meliputi barang kerajinan

yang terbuat dari batu berharga, serat alam maupun buatan, kulit, rotan,

bambu, kayu, logam (emas, perak, tembaga, perunggu, besi) kayu, kaca,

porselin, kain, marmer, tanah liat, dan kapur. Produk kerajinan pada umum-

nya diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil (bukan produksi massal).

7. Desain

Industri kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, desain interior, desain

produk, desain industri, konsultasi identitas perusahaan dan jasa riset

pemasaran serta produksi kemasan dan jasa pengepakan.

8. Desain Fashion

Kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki,

dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya,

konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk fesyen.

9. Permainan Interaktif

Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi

permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan

edukasi. Subsektor permainan interaktif bukan didominasi sebagai hiburan

semata-mata tetapi juga sebagai alat bantu pembelajaran atau edukasi.

Page 55: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 19

10. Seni Pertunjukan

Kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi produksi video, film, dan jasa

fotografi, serta distribusi rekaman video dan film. Termasuk di dalamnya

penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron, dan eksibisi film,

pertunjukan tarian tradisional, kontemporer, drama, musik tradisional, teater,

opera, dan lain-lain.

11. Penerbitan dan Percetakan

Kegiatan kreatif yang terkait dengan dengan penulisan konten dan penerbitan

buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan konten digital serta kegiatan kantor

berita dan pencari berita. Subsektor ini juga mencakup penerbitan perangko,

materai, uang kertas, blanko cek, giro, surat andil, obligasi surat saham, surat

berharga lainnya, passport, tiket pesawat terbang, dan terbitan khusus lainnya.

Juga mencakup penerbitan foto-foto, grafir (engraving) dan kartu pos, formulir,

poster, reproduksi, percetakan lukisan, dan barang cetakan lainnya, termasuk

rekaman mikro film.

12. Layanan Komputer dan Piranti Lunak

Kegiatan kreatif yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi

termasuk jasa layanan komputer, pengolahan data, pengembangan database,

pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem,

desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak dan piranti keras,

serta desain portal termasuk perawatannya.

13. Televisi dan Radio

Kegiatan kreatif berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan

acara televisi (seperti games, kuis, reality show, infotainment, dan lainnya),

penyiaran, dan transmisi konten acara televisi dan radio, termasuk kegiatan

pemancar kembali (station relay) siaran radio dan televisi.

14. Riset dan Pengembangan

Kegiatan kreatif terkait dengan usaha inovatif yang menawarkan penemuan

ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan pengetahuan tersebut untuk

perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat

baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat memenuhi kebutuhan

Page 56: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 20

pasar; termasuk dengan humaniora seperti penelitian dan pengembangan

bahasa, sastra, dan seni; serta jasa konsultansi bisnis dan manajemen

Ke-14 kelompok industri kreatif tersebut di atas, ada yang membutuhkan

bahan baku (resources) yang secara langsung berasal dari atau menggunakan

objek sumber daya alam, yakni industri kerajinan (crafts), barang seni (arts), serta

riset dan pengembangan apabila diarahkan pengembangan dengan objek sumber

daya alam. Industri kreatif memiliki potensi yang cukup besar untuk

dikembangkan di DKI Jakarta, namun masih banyak kendala yang dihadapi oleh

industri, antara lain regulasi belum ada aturan yang rinci guna mendorong pelaku

industri kreatif menjual hasil karyanya. Minimnya infrastruktur dan kelembagaan

seperti hak cipta intelektual berikut perangkat hukum dan penanganan

pembajakan.

Perlindungan Hak Cipta35 merupakan kunci peningkatan insentif untuk

berkarya serta memberi hak kepada para pelaku industri kreatif untuk

menciptakan nilai ekonomi dari karyanya. Masalah utama yang dihadapi pelaku

usaha industri kreatif adalah modal, industri kreatif termasuk sektor yang kurang

dilirik perbankan karena tidak ada jaminan. Hingga saat ini belum ada lembaga

penjamin bagi industri tersebut untuk mendapat pembiayaan dari perbankan. Hal

lain yang dihadapi pelaku usaha industri kreatif adalah harga dan kualitas.

Kualitas industri kreatif seringkali tidak konsisten seperti pengemasan tidak sesuai

dengan standar mutu. Ketidaktepatan dalam memenuhi order terutama dalam

jumlah besar dan dalam waktu singkat juga menjadi kendala.

3.4. Kebutuhan Lahan Industri di DKI Jakarta

Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik, lahan di

DKI Jakarta pada tahun 2011 dengan luas 67,165 Ha, Kecamatan Kalideres

mempunyai luas lahan untuk industri paling luas mencapai 392.22 ha dengan 35 Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu

ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Page 57: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 21

jumlah unit 182 unit industri, dan Kecamatan Menteng dengan luas lahan untuk

industri terendah mencapai 0,22 ha dengan jumlah 32 unit usaha. Berikut

merupakan tabel jumlah luas lahan dan jumlah unit per Kota administrasi di DKI

Jakarta.

Tabel 3-10 Jumlah Lahan Industri dan Pergudangan Tahun 2011

No Kecamatan Industri Pergudangan Jumlah

1 Cengkareng 326.08 0 326.08

2 Grogol Petamburan 5.19 1.14 6.33

3 Kalideres 392.22 392.22

4 Kebon Jeruk 0.39 6.1 6.49

5 Kembangan 3.47 0 3.47

6 Palmerah 11.76 0 11.76

7 Taman Sari 969.74 964.48 1934.22

8 Tambora 1.15 0 1.15 Jakarta Barat 1,710.00 971.72 2681.72

1 Cempaka Putih 0.42 0 0.42

2 Gambir 0.46 0 0.46

3 Johar Baru 0 0 0

4 Kemayoran 1.21 1.17 2.38

5 Menteng 0 0.22 0.22

6 Sawah Besar 0.25 15.87 16.12

7 Senen 0 0 0

8 Tanah Abang 0.67 0 0.67 Jakarta Pusat 3.01 17.26 20.27

1 Cilandak 0 0 0

2 Jagakarsa 4.85 0 4.85

3 Kebayoran Baru 0 0 0

4 Kebayoran Lama 3.45 0 3.45

5 Mampang 2.32 0 2.32

6 Pancoran 24.08 24.08

7 Pasar Minggu 0 0.66 0.66

8 Pesanggrahan 1.98 0 1.98

9 Setiabudi 0 0 0

10 Tebet 41.81 0 41.81 Jakarta Selatan 78.49 0.66 79.15

1 Cakung 969.74 964.48 1934.22

2 Cipayung 0.24 0 0.24

3 Ciracas 0 0 0

Page 58: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 22

No Kecamatan Industri Pergudangan Jumlah

4 Duren Sawit 11.59 11.59

5 Jatinegara 4.09 0.49 4.58

6 Kramat Jati 12.55 0.33 12.88

7 Makasar 12.81 7.34 20.15

8 Matraman 1.15 1.15 2.3

9 Pasar Rebo 969.74 964.48 1934.22

10 Pulo Gadung 9.42 19.89 29.31 Jakarta Timur 1,991.33 1,958.16 3949.49

1 Cilincing 797.17 4.5 801.67

2 Kelapa Gading 206.24 57.22 263.46

3 Koja 129.08 174.41 303.49

4 Pademangan 147.56 12.56 160.12

5 Penjaringan 322.98 52.97 375.95

6 Tanjung Priok 239.34 264.28 503.62 Jakarta Utara 1,842.37 565.94 2408.31

Sumber : Kecamatan Dalam Angka DKI Jakarta 2011

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang RTRW 2030,

lahan peruntukan industri diarahkan bagi pengembangan industri beserta fasiilitas

penunjangnya dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimal 50% dengan

prosentase luas kawasan di setiap wilayah mengacu pada ketentuan peraturan

perundang-undangan dan kecenderungan pengembangan yang terjadi. Arah

kebijakan sebagai berikut: (a) penataan kawasan industri dan pergudangan serta

perniagaan sebagai bagian integral dari penataan kawasan pelabuhan; (b)

pengembangan kawasan industri dibatasi untuk jenis industri hemat penggunaan

lahan, air, dan energi, tidak berpolusi, memperhatikan aspek lingkungan dan

industri yang menggunakan teknologi tinggi; (c) pengembangan kawasan industri

memperhatikan daya dukung transportasi dan infrastruktur lain; (d) yang berada

di luar kawasan bukan pada kawasan rawan bencana; (e) tidak menambah beban

saat debit puncak saluran drainase publik; (f) tidak mengganggu fungsi lindung;

(g) sesuai dengan daya dukung lahan setempat.

Page 59: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 1

Bab 4 HARMONISASI PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

4.1. Maksud dan Tujuan Penyelenggaraan Perindustrian

Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian meletakkan

industri sebagai salah satu pilar ekonomi dan memberikan peran yang cukup

besar kepada pemerintah untuk mendorong kemajuan industri nasional secara

terencana. Peran tersebut diperlukan dalam rangka mengarahkan perekonomian

nasional untuk tumbuh lebih cepat dan mengejar ketertinggalan dari negara lain

yang lebih dahulu maju. Maksud diselenggarakan pembangunan nasional35 di

bidang industri termuat dalam Konsideran Menimbang huruf b dan huruf c dalam

UU No. 3 Tahun 2014 berikut ini:

b. bahwa pembangunan nasional di bidang ekonomi dilaksanakan dalam

rangka menciptakan struktur ekonomi yang kukuh melalui pembangunan industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh;

c. bahwa pembangunan industri yang maju diwujudkan melalui penguatan

struktur industri yang mandiri, sehat, dan berdaya saing, dengan mendayagunakan sumber daya secara optimal dan efisien, serta mendorong perkembangan industri ke seluruh wilayah Indonesia dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional yang berlandaskan pada kerakyatan, keadilan, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan mengutamakan kepentingan nasional.

Mencermati maksud pembangunan industri secara nasional tersebut di atas,

memberikan pandangan kepada Pemerintah Daerah, bahwa penyelenggaraan

perindustrian dalam satu kesatuan sistem yang terarah dan terpadu untuk

mewujudkan struktur ekonomi yang kokoh melalui pembangunan industri yang

maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung dengan kekuatan dan 35 Yang dimaksud dengan pembangunan nasional menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004

tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara.

Page 60: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 2

kemampuan sumber daya yang tangguh melalui penguatan struktur industri yang

mandiri, sehat, dan berdaya saing, dengan mendayagunakan sumber daya

secara optimal dan efisien dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan

kesatuan ekonomi nasional yang berlandaskan pada kerakyatan, keadilan, dan

nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan mengutamakan kepentingan nasional.

Tujuan penyelenggaraan perindustrian ditetapkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun

2014 sebagai berikut:

a. mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak

perekonomian nasional; b. mewujudkan ke dalaman dan kekuatan struktur industri; c. mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta

industri hijau; d. mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta

mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat;

e. membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; f. mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah

indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; dan

g. meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.

Berdasarkan tujuan penyelenggaraan perindustrian tersebut di atas, bahwa

penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta bertujuan untuk: (a)

mewujudkan industri sebagai pilar dan penggerak perekonomian daerah; (b)

mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju; (c) mewujudkan

kepastian berusaha, persaingan usaha yang sehat,36 serta mencegah pemusatan

atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan

masyarakat;37 (d) membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan

kerja; (e) mewujudkan industri guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan

industri daerah dan nasional; (f) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan

masyarakat secara berkeadilan.

36 Apabila pelaku usaha di bidang industri melakukan persaingan tidak sehat, maka tindakan tersebut termasuk dilarang

menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

37 Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang dimaksud dengan pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.

Page 61: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 3

4.2. Jenis Kegiatan Industri

Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian tidak menetapkan

jenis industri secara tegas. Meskipun demikian, Pasal 101 ayat (2) menyatakan

bahwa kegiatan usaha industri meliputi: (a) industri kecil; (b) industri menengah;

(c) industri besar. Atas dasar itu, dapat ditafsirkan bahwa pembagian industri

berdasarkan kegiatan yang dilakukan usaha industri. Selanjutnya dalam Pasal

102 menyatakan sebagai berikut: (1) Industri kecil ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai

investasi tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. (2) Industri menengah ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja

dan/atau nilai investasi. (3) Industri besar ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau

nilai investasi. (4) Besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi untuk Industri kecil,

Industri menengah, dan Industri besar ditetapkan oleh Menteri.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, UU No. 3 Tahun 2014 definisi

industri kecil, industri menengah, dan industri besar didelegasikan kepada Menteri

Perindustrian. Menurut Peraturan Menteri Perindustrian No 37/M-IND/PER/6/2006

tentang Pengembangan Jasa Konsultansi Industri Kecil dan Menengah (IKM),

besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi untuk Industri kecil, industri

menengah, dan industri besar, sebagai berikut:

1. Industri kecil adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang

industri dengan nilai investasi paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta

rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

2. Industri menengah adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di

bidang industri dengan nilai investasi lebih besar dari Rp 200.000.000,- (dua

ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh

milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

3. Industri besar adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang

industri dengan nilai investasi lebih besar dari Rp. 10.000.000.000 (sepuluh

milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Page 62: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 4

Berdasarkan definisi tersebut di atas, dapat ditafsirkan bahwa Industri Kecil

dan Menengah (IKM) berbentuk badan hukum (perusahaan).38 Untuk menghindari

tumpang-tindih dalam pembinaan antara IKM dengan UKM, dalam Rancangan

Peraturan Daerah seyogyanya menggunakan nomenklatur badan usaha industri,

karena badan usaha merupakan kesatuan yuridis dan ekonomis dari faktor-faktor

produksi yang dilakukan industri dengan tujuan mencari laba atau memberi

layanan kepada masyarakat. Kesatuan yuridis dimaksud badan usaha industri

pada umumnya berbadan hukum. Sedangkan yang dimaksud kesatuan ekonomis

karena faktor produksi yang terdiri dari sumber daya alam, modal, dan tenaga

kerja untuk mendapat barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh masyarakat.

Dengan demikian pengertian badan usaha industri adalah badan usaha yang

kegiatannya mengolah dari bahan mentah menjadi barang jadi untuk siap

digunakan. Contohnya: perusahaan tekstil, industri logam, kerajinan tangan, dan

sebagainya.

Ditinjau dari kepemilikan modal, badan usaha dapat dibedakan menjadi tiga

jenis, yaitu: (a) badan usaha milik swasta, yaitu badan usaha yang seluruh

modalnya dimiliki swasta, dapat berbentuk perseorangan atau persekutuan.

Contoh: firma, persekutuan komanditer, perseroan terbatas, koperasi, dan

sebagainya; (b) Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D), yaitu badan usaha

yang seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara atau daerah, yang

berasal dari kekayaan negara/daerah yang dipisahkan. BUMN atau BUMD

bergerak di bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak; (c) badan usaha

campuran, yaitu badan usaha yang modalnya sebagian milik pemerintah dan

sebagian milik swasta. Contohnya Persero dimana modal yang dimiliki oleh badan

usaha ini adalah 51% atau lebih dimiliki pemerintah dan paling banyak 49%

dimiliki oleh swasta atau investor.

38 Dalam berbagai literatur menyatakan bahwa dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia menggunakan

barang dan jasa yang merupakan hasil kegiatan produksi. Kegiatan produksi tersebut yang dilakukan secara terorganisir dengan menggunakan faktor-faktor produksi umumnya dilakukan oleh perusahaan. Dengan demikian perusahaan diartikan sebagai bagian teknis dari kesatuan organisasi modal dan tenaga kerja yang bertujuan menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan usaha adalah kegiatan yang dilakukan manusia untuk mendapatkan penghasilan baik berupa uang, barang mapun jasa yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup guna mencapai kemakmuran.

Page 63: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 5

Jenis badan usaha berdasarkan jumlah pekerjanya, abdan usaha dapat

menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: (a) badan usaha kecil, yaitu badan usaha yang

mempekerjakan kurang dari 5 orang pekerja; (b) badan usaha sedang, yaitu

badan usaha yang mempekerjakan lebih dari 5 orang pekerja dan kurang dari 51

orang pekerja; (c) badan usaha besar, yaitu badan usaha yang mempekerjan

lebih dari 50 orang pekerja.

Pengelompokan badan usaha menurut bentuk hukum atau yuridis berkaitan

dengan tanggung jawab pemilik badan usaha tersebut terhadap kewajiban atau

utang-utang badan usaha, dikelompok dalam 5 (lima) jenis, yaitu: (a) badan

usaha perseorangan (Po), yaitu perusahaan yang didirikan, dimiliki, dipimpin, dan

dipertanggungjawabkan oleh perseorangan; (b) firma (Fa), yaitu badan usaha

yang didirikan dua orang atau lebih yang menjalankan kegiatan usaha dengan

satu nama. Masing-masing sekutu (firmant) ikut memimpin perusahaan dan

bertanggungjawab penuh terhadap hutang perusahaan; (c) persekutuan

komanditer (CV), yaitu badan usaha yang terdiri dari satu atau beberapa sekutu

komanditer. Sekutu komanditer adalah sekutu yang hanya menyerahkan atau

menyertakan modal, dan tidak turut campur dalam pengelolaan perusahaan.

Pada CV dikenal dua macam sekutu yaitu: Sekutu aktif, yaitu sekutu yang ikut

menyertakan modal sekaligus aktif mengelola jalannya usaha. Sekutu pasif atau

sekutu komanditer, yaitu sekutu yang hanya menyertakan modal saja dan tidak

terlibat dalam pengelolaan usaha; (d) perseroan terbatas (PT), yaitu badan usaha

yang dari persekutuan antara dua orang atau lebih yang modalnya diperoleh

dengan cara menjual saham. Pemilik saham disebut juga persero, yang memiliki

tanggung jawab terbatas terhadap perusahaan. Tanggung jawab terbatas artinya

bertanggungjawab sebatas modal yang disetor (saham yang dimiliki). Saham

adalah surat berharga dengan nilai nominal tertentu sebagai bukti kepemilikan

perusahaan. Saham dapat diperjualbelikan/dipindahtangankan melalui bursa/

pasar saham sesuai dengan besar kecilnya permintaan dan penawaran. Pemilik

saham memperoleh pembagian keuntungan perusahaan yang disebut deviden;

(e) koperasi.

Page 64: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 6

Dengan menggunakan badan usaha industri termasuk untuk kecil dan

menengah membedakan dengan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dilakukan

oleh orang perorang atau badan usaha dengan pendekatan koperasi.39

Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah,

pengertian UKM sebagai berikut: Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar,40 dengan kriteria sebagai berikut:41 a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan,42 dengan kriteria sebagai berikut:43 a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

Sesuai perkembangan industri kecil dan menengah, Pemerintah melalui

Kementerian Perindustrian melakukan retruknisasi sarana yang dimiliki industri

kecil dan menengah sehingga berpengaruh terhadap nilai investasi pada industri

tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Perindustrian No.

11/M-IND/PER/3/2014 tentang Program Retrukturisasi Mesin dan/atau Peralatan

Industri Kecil dan Menengah, sebagai berikut:

39 Yang dimaksud dengan koperasi menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Koperasi,

adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.

40 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 41 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 42 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 43 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Page 65: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 7

Kriteria industri kecil dan industri menengah sebagai berikut: a. Industri kecil yaitu industri dengan nilai investasi paling banyak

Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan

b. Industri menengah yaitu industri dengan nilai investasi paling besar dari Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2014

tersebut di atas, nilai investasi pada kecil dan menengah mengalami perubahan.

Dengan demikian definisi industri kecil dan menengah sebagai berikut:

a. Industri Kecil adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang

industri dengan nilai investasi paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta

rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

b. Industri Menengah adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di

bidang industri dengan nilai investasi paling besar dari Rp. 500.000.000,- (lima

ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar

rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Sedangkan industri besar tidak mengalami perubahan, yaitu perusahaan

yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi lebih besar

dari Rp. 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan

bangunan tempat usaha.

Tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembinaan industri

sesuai Peraturan Menteri Perindustrian No. 64/M/IND/PER/7/2011 tentang Jenis-

Jenis Industri Dalam Pembinaan Direktorat Jenderal dan Badan Di Lingkungan

Kementerian Perindustrian, tidak sepenuhnya jenis industri kecil dan industri

menengah menjadi tugas dan wewenang Pemerintah Daerah. Jenis industri kecil

dan menengah yang menjadi tugas dan wewenang Pemerintah Pusat melalui

Kementerian Perindustrian sebagai berikut:

Page 66: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 8

Tabel-4.1 Jenis Industri Kecil dan Menengah Pembinaannya Sepenuhnya

Dilakukan oleh Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah dan Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri

KBLI44 Kelompok Industri 10211 Industri Penggaraman/Pengeringan Ikan 10214 Industri Pemindangan Ikan 10291 Industri Penggaraman/Pengeringan Biota Air Lainnya 10294 Industri Pemindangan Biota Air Lainnya 10311 Industri Pengasinan/Pemanisasi Buah-Buahan dan Sayuran 10391 Industri Tempe Kedelai 10392 Industri Tahu Kedelai 10615 Industri Pengupasan dan Pembersihan dan Kecang2-an 10616 Industri Pengupasan dan Pembersihan Umbi-Umbian

termasuk Rizoma 10722 Industri Gula Merah 13122 Industri Kain Tenun Ikat 13133 Industri Pencetakan Kain terutama motif batik dan tradisional 13134 Industri Batik untuk batik tulis 13911 Industri Kain Rajutan Khususnya Renda 13912 Industri Kain Sulaman/Bordir 14111 Industri Pakian Jadi (Konveksi) dari Tekstil terutama mukena,

selendang, kerudung, dan pakaian tradisional lainnya 16103 Industri Pengawetan Rotan, Bambu, dan Sejenisnya 16292 Industri Barang Anyaman Dari Tanaman Bukan Rotan dan

Bambu, yang memiliki kekayaan khas khasana budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamiah dan imitasi

16293 Industri Kerajinan Ukiran Dari Kayu Bukan Mebeller, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi

16294 Industri Alat Dapur Dari Kayu, Rotan dan Bambu, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi

16299 Industri Barang Dari Kayu, Rotan, Gabus Lainnya Yang Tidak Diklasifikasikan Di Tempat Lain, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi.

23932 Industri Perlengkapan Rumah Tangga Dari Tanah Liat/Kramik Untuk Gerabah

44 KBLI Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Pusat

Statistik Nomor 57 Tahun 2009

Page 67: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 9

KBLI44 Kelompok Industri 25931 Industri Perkakas Tangan Untuk Pertanian, yang diperlukan

untuk persiapan lahan, proses produksi, permanen, pasca panen, dan pengolahan kecuali cangkul dan sekop

25932 Industri Perkakas Tangan Pertukangan, Untuk yang diproses secara manual atau semi mekanik untuk pertukangan dan pemotongan

25933 Industri Perkakas Tangan Yang Digunakan Dalam Rmhan Tangga, yang diproses secara manual atau semi mekanik untuk pertukangan dan pemotongan

25934 Industri Peralatan Umum, Untuk industri perkakas tangan yang diproses secara manual atau semi mekanik untuk pertukangan dan pemotongan

32201 Industri Alat Musik Tradisional, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi.

33119 Jasa Reparasi Produk Logam Pabrikasi Lainnya 45407 Reparasi dan Perawatan Sepeda Motor, Khusus industri jasa

pemeliharaan dan perbaikan sepeda moto kecuali yang terintegrasi dengan bidang usaha penjualan sepeda motor (agen/distributor) dan industri reparasi barang-barang keperlian pribadi dan rumah tangga

95220 Jasa Reparasi Peralatan Rumah Tangga dan Peralatan Rumah dan Kebun, khususnya industri jasa pemeliharaan dan perbaikan sepeda motor kecuali yang terintegrasi dengan bidang usaha penjualan sepeda motor (agen/distributor) dan industri reparasi barang-barang keperlian pribadi dan rumah tangga

95230 Jasa Reparasi Alas Kaki dan Barang Dari Kulit, khususnya industri jasa pemeliharaan dan perbaikan sepeda motor kecuali yang terintegrasi dengan bidang usaha penjualan sepeda motor (agen/distributor) dan industri reparasi barang-barang keperlian pribadi dan rumah tangga

95240 Jasa Reparasi Furnitur dan Perlengkapan Rumah Tangga 95290 Jasa Reparasi Barang Rumah Tangga dan Pribadi Lainnya. 71201 Jasa Sertifikasi 71202 Jasa Pengujian Laboratorium 71203 Jasa Inspeksi

Sumber : Peraturan Menteri Perindustrian No. 64/M/IND/PER/7/2011

Jenis industri lain yang termuat dalam UU No. 3 Tahun 2014 adalah Industri

Kreatif. Pengertian industri kreatif sebagaimana termuat dalam penjelasan Pasal

43 ayat (3) huruf b UU No. 3 Tahun 2014, adalah industri yang mentransformasi

dan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk

Page 68: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 10

menghasilkan barang dan jasa. Pengembangan industri kreatif sangat dibutuhkan

dalam persaingan global karena memberikan kontribusi terhadap ekonomi yang

signifikan, menciptakan iklim bisnis yang positif, membangun citra dan identitas

bangsa, berbasis pada sumber daya yang terbarukan, menciptakan inovasi dan

kreativitas merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa, serta memberikan

dampak sosial yang positif.

Dalam rangka mendorong pengembangan industri kreatif Pemerintah Pusat

melalui Kementerian Perindustrian telah mengembangan jenis industri kreatif di

Provinsi Bali dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis Industri Kreatif dibawah

Kementerian Perindustrian sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri

Perindustrian No. 72/M-IND/PER/9/2015 tentang Peta Panduan Pengembangan

Pusat Pengembangan Industri Kreatif (Bali Creative Industry Center) Tahun 2015-

2019. Jenis industri kreatif dimaksud sebagaimana disajikan dalam Tabel berikut

ini.

Tabel-4.2.

Jenis Industri Kreatif menjadi Bali Creative Industry Center (BCIC) Yang Dikembangkan oleh Kementerian Perindustrian

Berdasarkan KBLI 2009

KODE JENIS INDUSTRI KOMODITI/CABANG INDUSTRI

13121 Industri Pertenunan (Bukan Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya)

Kerajinan

13122 Industri Kain Tenunan Ikat Kerajinan/Fesyen 13123 Industri Bulu Tiruan Tenunan Kerajinan/Fesyen 13133 Industri Percetakan Kain Kerajinan/Fesyen 13134 Industri Batik Fesyen 13911 Industri Kain Rajutan Kerajinan/Fesyen 13912 Industri Kain Sulaman/Bordir Kerajinan/Fesyen 13913 Industri Bulu Tiruan Rajutan Fesyen 13922 Industri Barang Jadi Tekstil Sulaman Fesyen 13924 Industri Barang Jadi Rajutan dan Sulaman Fesyen 13930 Industri Karpen dan Permadani Kerajinan 14111 Industri Pakain Jadi (Konveksi) dari Tekstil Fesyen 14112 Industri Pakaian Jadi (Konveksi) dari Kulit Fesyen 14120 Penjahitan dan Pembuatan Pakaian sesuai Pesanan Fesyen 14131 Industri Perlengkapan Pakian dari Tekstil Fesyen 14132 Industri Perlengkapan Pakaian dari Kulit Fesyen 14200 Industri Pakaian Jadi dan Barang dari Kulit Fesyen 14301 Industri Pakaian Jadi Rajutan Kerajinan/Fesyen 14302 Industri Pakaian Jadi Sulaman/Bordir Kerajinan/Fesyen 14303 Industri Rajutan Kaos Kaki dan Sejenisnya Fesyen

Page 69: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 11

KODE JENIS INDUSTRI KOMODITI/CABANG INDUSTRI

15121 Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Keperluan Pribadi

Fesyen

15123 Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Teknik/Industri

Fesyen

15129 Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Keperluan Hewan

Fesyen

Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Keperluan Lainnya

Kerajinan

15201 Industri Alas Kali untuk Keperluan sehari-hari Fesyen 15202 Industri Sepatu Olahraga Fesyen 15203 Industri Sepatu Teknik Lapangan/Keperluan Industri Fesyen 15209 Industri Alas Kaki Lainnya Fesyen 16291 Industri Barang Anyaman dari Rotan dan Bambu Kerajinan 16292 Industri Barang Anyaman dari Tanaman Bukan Rotan

dan Bambu Kerajinan

16293 Industri Barang Anyaman dari Kayu Bukan Mebeller Kerajinan 23932 Industri Perlengkapan Rumah Tangga dari Tanah

Liat/Keramik Kerajinan

32111 Industri Permata Kerajinan 32112 Industri Barang Perhiasan dari Logam Mulia untuk

Keperluan Pribadi Kerajinan

32115 Industri Perhiasan Mutiara Kerajinan 32119 Industri Barang Lainnya dari Logam Mulia untuk

Keperluan Pribadi Kerajinan

32903 Industri Kerajinan YTDL Kerajinan 59111 Produk Film, Video dan Program Televisi oleh

Pemerintah Animasi, Games, Perangkat Lunak

59112 Produksi Film, Video dan Program Televisi oleh Swasta Animasi, Games, Perangkat Lunak

59121 Pasca Produksi Film, Video dan Program Televisi oleh Pemerintah

Animasi, Games, Perangkat Lunak

59122 Pasca Produksi Film, Video dan Program Televisi oleh Swasta

Animasi, Games, Perangkat Lunak

62010 Kegiatan Pemrograman Komputer Animasi, Games, Perangkat Lunak

74100 Jasa Perancangan Khusus Kerajinan Sumber : Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M-IND/PER/9/2015

Industri kreatif di Indonesia terdiri dari 14 subsektor, yaitu periklanan;

arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; fesyen; video, film, dan fotografi;

permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan

komputer dan perangkat lunak; televisi dan radio; riset dan pengembangan; serta

kuliner. Dari 14 subsektor tersebut, terdapat 3 (tiga) subsektor yang memberikan

kontribusi atau Nilai Tambah Bruto yang dominan, yaitu subsektor kuliner; fesyen;

dan kerajinan. Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas

Page 70: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 12

Perindustrian dan Energi Provinsi DKI Jakarta dapat mengembangkan industri

kreatif sebagaimana dilakukan oleh Kementerian Perindustrian di Provinsi Bali.

Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 267 Tahun 2016 tentang Susunan

Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi, pengembangan

industri kreatif menjadi tugas dan fungsi Seksi Industri Kecil, Menengah, dan

Kreatif pada Bidang Industri. Pemerintah telah menetapkan berbagai program

pengembangan industri kreatif dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M-

IND/PER/9/2015. Program tersebut, dapat dijadikan rujukan atau pedoman oleh

Dinas.

4.3. Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah

Berdasarkan penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut Pasal 12 ayat

(3) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan perindustrian

termasuk urusan pemerintahan pilihan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah

sesuai potensi yang dimiliki Daerah.45 Meskipun Daerah memiliki kewenangan

mengatur dan/atau mengurus urusan pemerintahan di bidang perindustrian yang

menjadi wewenangnya, bukan berarti Pemerintah Pusat tidak memiliki wewenang

dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan perindustrian. Pembagian

kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah (provinsi

dan kabupaten/kota) termuat dalam Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 disesuaikan

penyelenggaraan otonomi pada lingkup provinsi sebagaimana ditetapkan dalam

UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia,46 sebagai berikut:

1. Sub Urusan Perencanaan Pembangunan Industri

a. Pemerintah Pusat dalam sub urusan perencanaan pembangunan industri

kewenangannya menetapkan rencana induk pembangunan industri

nasional.

45 Lihat Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 46 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Page 71: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 13

b. Pemerintahan Daerah dalam sub urusan perencanaan pembangunan

industri kewenangannya menetapkan rencana pembangunan industri

daerah.

Penetapan rencana induk pembangunan industri oleh Pemerintah Pusat

menurut Pasal 8 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2014, untuk mewujudkan tujuan

penyelenggaraan perindustrian. Rencana induk pembangunan industri

nasional menurut Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 3 Tahun 2014,

merupakan pedoman bagi Pemerintah dan pelaku Industri dalam perencanaan

dan pembangunan industri, disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun

dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.

Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam perencanaan pembangunan

industri adalah menetapkan rencana pembangunan industri daerah menurut

Pasal 10 dan Pasal 11 UU No. 3 Tahun 2014 menjadi tugas dan wewenang

Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Selengkapnya Pasal 10 dan

Pasal 11 sebagai berikut: Pasal 10 (1) Setiap Gubernur menyusun rencana pembangunan industri provinsi. (2) Rencana pembangunan industri provinsi mengacu kepada Rencana

Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional.

(3) Rencana pembangunan industri provinsi disusun paling sedikit

memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri daerah; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan/atau Rencana Tata

Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan c. keserasian dan keseimbangan dengan kebijakan pembangunan

Industri di kabupaten/kota serta kegiatan sosial ekonomi dan daya dukung lingkungan.

(4) Rencana Pembangunan Industri Provinsi ditetapkan dengan

Peraturan Daerah Provinsi setelah dievaluasi oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 72: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 14

Pasal 11 (1) Setiap bupati/walikota menyusun Rencana Pembangunan Industri

Kabupaten/Kota. (2) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun dengan

mengacu pada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional.

(3) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun dengan

paling sedikit memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri daerah; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang

Wilayah Kabupaten/Kota; dan c. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan sosial ekonomi

serta daya dukung lingkungan. (4) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota ditetapkan dengan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota setelah dievaluasi oleh gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, negara melalui UU No. 3 Tahun 2014

memberikan perintah kepada Kepala Daerah (dalam hal ini Gubernur) untuk

menyusun dan merumuskan Rencana Pembangunan Industri Daerah

(Provinsi DKI Jakarta) dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana

Pembangunan Industri Daerah untuk selanjutnya dibahas dan ditetapkan

bersama-sama dengan DPRD menjadi Peraturan Daerah setelah dilakukan

evaluasi oleh Pemerintah.

Dalam penyusunan rencana pembangunan industri provinsi mengacu kepada

rencana induk pembangunan industri nasional dan kebijakan industri nasional.

Rencana induk pembangunan industri nasional sebagaimana ditetapkan

dalam PP No. 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri

Nasional Tahun 2015-2035. Sedangkan kebijakan industri nasional

sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 UU No. 3 Tahun 2014 sebagai

berikut:

Page 73: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 15

Pasal 12 (1) Kebijakan Industri Nasional merupakan arah dan tindakan untuk

melaksanakan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional. (2) Kebijakan Industri Nasional paling sedikit meliputi:

a. sasaran pembangunan Industri; b. fokus pengembangan Industri; c. tahapan capaian pembangunan Industri; d. pengembangan sumber daya Industri; e. pengembangan sarana dan prasarana; f. pengembangan perwilayahan Industri; dan g. fasilitas fiskal dan nonfiskal.

(3) Kebijakan Industri Nasional disusun untuk jangka waktu 5 (lima)

tahun. (4) Kebijakan Industri Nasional disusun oleh Menteri berkoordinasi

dengan instansi terkait dan mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait.

(5) Kebijakan Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan oleh Presiden. Mencermati ketentuan di atas, bahwa rencana industri pembangunan industri

nasional dan kebijakan industri nasional harus dipedomani oleh Pemerintahan

Daerah dalam menyusun, merumuskan, dan menetapkan Peraturan Daerah

tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Daerah.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam rencana induk pembangunan

industri daerah menjadi satu kesatuan sistem dengan rencana pembangunan

industri nasional. Demikian halnya dalam penyelenggaraan perindustrian baik

nasional maupun daerah untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan

perindustrian sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014.

Page 74: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 16

Gambar 4.1 Kedudukan Rencana Induk Pembangunan Industri Daerah dan

Keterkaitan dengan Rencana Pembangunan Daerah serta Tata Ruang

2. Sub Urusan Perizinan

Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan sub

urusan perizinan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, sebagai berikut:

a. Pemerintah Pusat

Dalam urusan perizinan yang menjadi tugas dan wewenang Pemerintah

Pusat menurut Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 meliputi: (a) penerbitan

Izin Usaha Industri (IUI) Kecil, IUI Menengah dan IUI Besar untuk industri

yang berdampak besar pada lingkungan, industri minuman beralkohol, dan

industri strategis; (b) penerbitan izin perluasan usaha industri (IPUI) bagi

industri berdampak besar pada lingkungan, industri minuman beralkohol,

RENCANAN TATA RUANG WILAYAH

2013-2030

PERDA

RENCANA INDUK PEMBANGUNAN

INDUSTRI DAERAH

RAPERDA

RENCANA PEMBANGUNAN

JANGKA MENENGAH

DAERAH

PERDA

RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN

PERATURAN ZONASI

PERDA

RENCANA PEMBANGUNAN

JANGKA PANJANG DAERAH

PERDA

RENCANA STRATEGIS

DINAS PERINDUSTRIAN

DAN ENERGI

PER

KADIS

RENCANA PEMBANGUNAN

JANGKA PANJANG NASIONAL

UU

RENCANA TATA

RUANG NASIONAL

PP

RENCANA INDUK PEMBANGUNAN

INDUSTRI NASIONAL

PP

RENCANA KERJA TAHUNAN

DINAS PERINDUSTRIAN

DAN ENERGI

PER

KADIS

RENCANA

ANGGARAN PEMBANGUNAN

DAERAH

PERDA

Page 75: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 17

indutri strategis; (c) penerbitan IUKI dan IPKI yang lokasinya lintas provinsi;

(d) penerbitan IUI/IUKI dan IPUI/IPKI yang merupakan penanaman modal

asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal

dari pemerintah negara lain, didasarkan perjanjian yang dibuat Pemerintah

Pusat dan pemerintah negara lain.

b. Pemerintahan Daerah

Tugas dan wewenang Pemerintahan Daerah dalam urusan perizinan,

meliputi: (a) penerbitan IUI Besar, Menengah, dan Kecil; (b) penerbitan

IPUI bagi industri besar, industri kecil dan menengah; (c) penerbitan IUKI

dan IPKI yang lokasinya dalam 1 (satu) Daerah.

Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan

Daerah dalam perizinan tersebut di atas, berdasarkan Pasal 101 dan Pasal

102 UU No 3 Tahun 2014 menyatakan, setiap kegiatan usaha industri wajib

memiliki izin usaha industri. Kegiatan usaha Industri dimaksud meliputi: (a)

industri kecil, ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai investasi

tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; (b) industri menengah,

ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi; (c)

industri besar, ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai

investasi. Izin usaha industri diberikan oleh Menteri, dan dapat melimpahkan

sebagian kewenangan pemberian izin usaha industri kepada Kepala Daerah

(Gubernur dan Bupati/Walikota).

Perlimpahan wewenang pemberian izin usaha industri kepada Gubernur

sebagai Kepala Daerah diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor

41/M-IND/PER/6/2008 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha

Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri sebagaimana telah diubah

dengan Peraturan Menteri Perindustrian No. 81/M-IND/PER/10/2014. Secara

rinci mengenai perizinan dalam Bab tersendiri.

Page 76: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 18

3. Sub Urusan Sistem Informasi Industri Nasional

Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan sub

urusan sistem informasi industri nasional berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014,

Pemerintah Pusat membangun dan mengembangkan sistem informasi industri

nasional. Kewenangan Pemerintahan Daerah penyampaian laporan informasi

industri untuk Izin Usaha Industri (IUI) Besar dan Izin perluasannya; IUI Kecil

dan Izin Perluasannya; IUI Menengah dan Izin Perluasannya; dan IUKI dan

IPKI yang lokasinya Daerah.

Tugas dan wewenang Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan

di bidang perindustrian menjadi tanggung jawab Kepala Daerah (dalam hal ini

Gubernur, dan secara operasional berdasarkan Peraturan Daerah No. 18 Tahun

2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah menjadi tugas dan fungsi Kepala

Dinas Perindustrian dan Energi dalam perencanaan, pelaksanaan (pembangunan

dan pengelolaan), serta pembinaan, pengembangan, pengawasan, dan

pengendalian. Sedangkan dalam pengendalian melalui perizinan menjadi tugas

dan fungsi Kepala Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 267 Tahun 2016 tentang

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi, bahwa Dinas

Perindustrian dan Energi tugasnya melaksanakan perencanaan, pembangunan,

pengelolaan, pembinaan, pengembangan, pengawasan, pengendalian, evaluasi

perindustrian, energi dan sarana jaringan utilitas. Untuk melaksanakan tugas

tersebut, Dinas Perindustrian dan Energi menyelenggarakan fungsi sebagai

berikut:

a. penyusunan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Dinas

Perindustrian dan Energi;

b. pelaksanaan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran Dinas

Perindustrian dan Energi;

c. penyusunan kebijakan, pedoman dan standar teknis bidang perindustrian,

energi dan energi;

Page 77: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 19

d. perencanaan, pembangunan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi

perindustrian dan energi;

e. pembinaan dan pengembangan perindustrian dan energi;

f. pengembangan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian mutu,

standardisasi hasil industri dan energi;

g. fasilitasi prasarana, sarana, produksi, promosi, dan pemasaran hasil usaha

industri dan energi;

h. pembinaan tenaga fungsional di bidang industri dan energi;

i. fasilitasi pengembangan kerja sama antar usaha industri dan energi;

j. penyuluhan, bimbingan, inovasi, dan kreativitas, teknis industri dan energi;

k. pemasangan lampu penerangan pasokan bagi masyarakat dalam keadaan

darurat, bencana alam dan/atau kekurangan pasokan;

l. penyusunan kebijakan, pedoman dan standar teknis bidang pencahayaan

kota;

m. perencanaan, pembangunan/peningkatan kualitas, pemeliharaan dan

pengembangan bidang pencahayaan kota;

n. pengelolaan dan verifikasi penggunaan daya listrik penerangan jalan umum;

o. penyusunan kebijakan, pedoman, dan standar teknis perencanaan,

pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, perawatan, pengawasan,

pengendalian, pemantauan, evaluasi, penelitian pengembangan di bidang

geologi dan air tanah;

p. perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, perawatan,

pengendalian, pemantauan, pengawasan, evaluasi, penelitian,

pengembangan bidang geologi dan air tanah;

q. pelaksanaan konservasi air tanah;

r. penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan

prasarana dan sarana bidang geologi dan air tanah;

s. pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan Perangkat Daerah untuk

bidang geologi dan air tanah;

Page 78: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 20

t. penyusunan kebijakan, pedoman, dan standar teknis perencanaan,

pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, perawatan, pengawasan,

pengendalian, pemantauan, evaluasi, penelitian pengembangan di bidang

energi dan ketenagalistrikan;

u. perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, dan perawatan

prasarana dan sarana bidang energi dan ketenagalistrikan;

v. penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan

prasarana dan sarana bidang energi dan ketenagalistrikan;

w. pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan perangkat daerah untuk

bidang energi dan ketenagalistrikan;

x. pemungutan, penatausahaan, penyetoran, pelaporan, dan

pertanggungjawaban penerimaan retribusi di bidang perindustrian dan energi;

y. penegakan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian dan

energi;

z. pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan perangkat daerah di

bidang perindustrian dan energi;

aa. pengawasan dan pengendalian izin di bidang perindustrian dan energi;

bb. penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan

prasarana dan sarana kerja di bidang perindustrian dan energi;

cc. pengelolaan kepegawaian, keuangan dan barang Dinas Perindustrian dan

Energi;

dd. pengelolaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan Dinas Perindustrian dan

Energi;

ee. pengelolaan kearsipan, data dan informasi Dinas Perindustrian dan Energi;

dan

ff. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas

Perindustrian dan Energi.

Berdasarkan organisasi dan tata kerja Dinas Perindustrian dan Energi

sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2016 dan Peraturan

Gubernur No. 267 Tahun 2016, bahwa urusan pemerintahan di bidang industri

Page 79: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 21

dilaksanakan satu bidang, yaitu Bidang Industri. Bidang Industri terdiri dari 3 (tiga)

Seksi, yaitu Seksi Pengembangan Industri, Seksi Industri Kecil, Menengah dan

Kreatif , dan Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri.

Bidang Industri mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan

pengembangan industri. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Bidang Industri

menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:

a. penyusunan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Bidang

Industri;

b. pelaksanaan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran Bidang

Industri;

c. penyusunan kebijakan, pedoman dan standar teknis pembinaan industri;

d. pelaksanaan bimbingan, konsultasi, fasilitasi, pendidikan dan pelatihan,

pendampingan, pengembangan serta evaluasi kegiatan industri;

e. pengelolaan data dan informasi industri;

f. pelaksanaan koordinasi, pengawasan dan pengendalian kegiatan industri;

g. pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat;

h. penyusunan kebijakan teknis standar industri;

i. pelaksanaan koordinasi pembinaan dan pengembangan industri;

j. penataan dan pengembangan kawasan sentra industri;

k. pengembangan kerja sama dan hubungan kemitraan antar industri dengan

sektor ekonomi dan non-ekonomi yang saling menguntungkan;

l. pemberian fasilitas bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran

industri;

m. penelitian, pengembangan, dan pengoptimalan pemanfaatan teknologi tepat

guna di bidang industri;

n. penyusunan bahan rekomendasi kepada penyelenggara perizinan dan non-

perizinan dalam penetapan dan pemberian perizinan dan non-perizinan

industri sesuai kebutuhan;

o. peningkatan penggunaan produk dalam negeri;

p. pelaksanaan sosialisasi perundang-undangan di bidang industri;

Page 80: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 22

q. pelaksanaan penindakan atas pelanggaran kegiatan industri; dan

r. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi bidang

industri.

Bidang Industri dalam melaksanakan tugas dan fungsi dibantu 3 (tiga)

Seksi, yaitu:

1. Seksi Pengembagan Industri

Seksi Pengembangan Industri merupakan Satuan Kerja Bidang Industri dalam

pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengembangan industri yang

mencakup pengembangan industri di Provinsi DKI Jakarta. Seksi

Pengembangan Industri mempunyai tugas sebagai berikut:

a. menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran

sesuai dengan Iingkup tugasnya;

b. melaksanakan dokumen pelaksanaan anggaran sesuai dengan lingkup

tugasnya;

c. menyusun bahan kebijakan, pedoman dan standar teknis pelaksanaan

pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana industri;

d. melaksanakan penataan dan pengembangan kawasan sentra industri;

e. melaksanakan koordinasi pembinaan dan pengembangan industri;

f. memfasilitasi sarana produksi bagi para pelaku industri;

g. melaksanakan pengelolaan data dan informasi industri;

h. menyusun peraturan-peraturan yang berhubungan dengan industri;

i. melaksanakan penataan kawasan industri dan/atau sentra industri serta

penyediaan ruang untuk masyarakat dalam berkreativitas;

j. menyiapkan sarana promosi hasil proses produksi industri;

k. memberikan rekomendasi perizinan dan non-perizinan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku;

l. melakukan koordinasi terkait pengembangan industri;

m. melakukan koordinasi penyusunan bahan rencana strategis dan rencana

kerja sesuai dengan lingkup tugasnya;

Page 81: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 23

n. melakukan koordinasi penyusunan laporan keuangan, kinerja, kegiatan,

dan akuntabilitas bidang industri;

o. melakukan koordinasi, pengawasan, pengendalian kegiatan industri dan

penindakan atas pelanggaran terhadap kegiatan industri;

p. menyiapkan bahan laporan bidang industri terkait dengan tugas Seksi

Pengembangan Industri yang telah dilaksanakan sebagai bahan evaluasi

pimpinan; dan

q. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Seksi

Pengembangan Industri.

2. Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif

Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif merupakan Satuan Kerja Bidang

Industri dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengembangan industri

kecil menengah dan kreatif. Tugas Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif

sebagai berikut:

a. menyusun bahan rencana kerja strategis dan rencana kerja dan anggaran

sesuai dengan lingkup tugasnya;

b. melaksanakan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran

sesuai dengan lingkup tugasnya;

c. menyusun bahan kebijakan, pedoman, dan standar teknis Industri Kecil

Menengah dan Kreatif;

d. mengumpulkan dan mengolah bahan penyusunan pedoman pembinaan,

bimbingan teknis, dan manajemen bagi industri kecil menengah dan kreatif;

e. melaksanakan pembinaan, pelatihan/bimbingan teknis, pengembangan

industri dan manajemen bagi industri kecil menengah dan kreatif;

f. memberikan konsultasi dan fasilitasi perlindungan hak kekayaan intelektual

khususnya bagi industri kecil, menengah dan industri kreatif;

g. melaksanakan bantuan sertifikasi produk-produk industri kecil, menengah,

dan kreatif;

h. melakukan analisis permasalahan industri kecil menengah dan kreatif guna

peningkatan daya saing industri;

Page 82: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 24

i. melakukan analisis pengembangan sentra industri dan sentra industri

kreatif

j. memberikan fasilitas bantuan informasi pasar, promosi dan pemasaran

proses produk industri kecil, menengah dan industri kreatif di dalam dan

luar negeri

k. meningkatkan pertumbuhan wirausaha baru;

l. memfasilitasi pemberian penghargaan kepada pelaku industri kecil,

menengah, dan kreatif;

m. melaksanakan penyusunan bahan rencana strategis dan rencana kerja

sesuai dengan lingkup tugasnya;

n. melaksanakan penyusunan laporan keuangan, kinerja, kegiatan dan

akuntabilitas bidang industri;

o. melaksanakan evaluasi pengawasan dan pengendalian kegiatan Seksi Industri

Kecil, Menengah, dan Kreatif; dan

p. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Seksi Industri

Kecil, Menengah dan Kreatif

3. Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri

Seksi Manufaktur dan Agro merupakan Satuan Kerja Bidang Industri dalam

pelaksanaan kegiatan pembinaan, kerjasama dan kemitraan industri. Tugas

Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri sebagai berikut:

a. menyusun bahan rencana kerja strategis dan rencana kerja dan anggaran

sesuai dengan lingkup tugasnya;

b. melaksanakan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran

sesuai dengan lingkup tugasnya;

c. menyusun bahan kebijakan, pedoman, dan standar teknis Kerjasama dan

Kemitraan industri;

d. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah

dan kreatif dengan industri besar;

e. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah

dan kreatif dengan lembaga keuangan di bidang permodalan;

Page 83: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 25

f. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah

dan kreatif dengan pasar modern di bidang pemasaran produk;

g. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah

dan kreatif dengan perguruan tinggi dalam hal penelitian dan

pengembangan teknologi tepat guna di bidang industri;

h. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah

dan kreatif dengan asosiasi industri dan lembaga lain dalam rangka

pengembangan daya saing industri;

i. memfasilitasi kemitraan antara industri kecil menengah dan kreatif dengan

BUMN/D dan swasta dalam Pemanfaatan Program Kemitraan Bina

Lingkungan dan CSR;

j. memfasilitasi pembentukan asosiasi industri;

k. memfasilitasi peningkatan penggunaan produk dalam negeri;

l. melaksanakan analisis iklim usaha dan peningkatan kerjasama industri;

m. melakukan kerjasama antara pemerintah daerah dengan pemerintah dan

antar pemerintah daerah serta kerja sama luar negeri di bidang industri;

n. mengkoordinasikan penyusunan bahan rencana strategis dan rencana

kerja sesuai dengan lingkup tugasnya;

o. mengkoordinasikan penyusunan laporan keuangan, kinerja, kegiatan dan

akuntabilitas bidang industri;

p. melaksanakan evaluasi pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan

Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri;

q. menyiapkan bahan laporan Bidang Industri yang terkait dengan tugas

Seksi Kerjasama dan Kemitraan industri yang telah dilaksanakan sebagai

bahan evaluasi pimpinan; dan

r. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Seksi

Kerjasama dan Kemitraan Industri.

Page 84: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 26

Pada lingkup Kota dan Kabupaten Administrasi urusan pemerintahan bidang

perindustrian dilaksanakan oleh Suku Dinas Kota dan Suku Dinas Kabupaten

yang secara operasional menjadi tugas Seksi Industri dan Energi Sumber Daya

Mineral. Tugas Seksi Industri dan Energi Sumber Daya Mineral Suku Dinas Kota

sebagai berikut:

a. menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Suku

Dinas Kota Administrasi sesuai dengan Iingkup tugasnya;

b. melaksanakan dokumen pelaksanaan anggaran Suku Dinas Kota

Administrasi sesuai dengan Iingkup tugasnya;

c. melaksanaan bimbingan, konsultasi, fasilitasi, pendidikan dan pelatihan,

pendampingan, serta pengembangan usaha industri kecil lingkup Kota

Administrasi;

d. melaksanakan pembinaan dan penumbuhan wirausaha industri baru di

wilayah Kota Administrasi;

e. melaksanakan pendataan industri kecil, genset, agen dan pangkalan LPG

bersubsidi, sumur resapan dangkal, sumur dalam, pendistribusian BBM, BBG

dan LPG di wilayah Kota Administrasi;

f. melaksanakan pembangunan, pengawasan, dan pemeliharaan sumur

resapan air tanah dangkal di wilayah Kota Administrasi;

g. melaksanakan pencatatan, pengawasan dan pengendalian pemanfaatan air

tanah;

h. melaksanakan pengawasan, dan pengendalian pengambilan bahan galian

pasir laut dan terumbu karang di wilayah Kota Administrasi;

i. melaksanakan pembangunan, pengawasan dan pengendalian dan

pemeliharaan energi baru terbarukan dan konservasi energi di wilayah Kota

Administrasi;

j. melaksanakan pembangunan, pengawasan, dan pemeliharaan pembangkit,

jaringan transmisi dan distribusi listrik di wilayah Kota Administrasi;

k. melaksanakan pembinaan dan pengembangan industri kecil di wilayah Kota

Administrasi;

Page 85: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 27

l. melaksanakan koordinasi, monitoring, evaluasi industri kecil, energi dan

sumber daya mineral di wilayah Kota administrasi;

m. melaksanakan koordinasi dan kemitraan dengan instansi terkait dan pelaku

usaha industri kecil di tingkat wilayah Kota administrasi;

n. melaksanakanpemberian rekomendasi izin usaha industri kecil, agen LPG

bersubsidi; dan

o. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan fungsi

Seksi Industri dan Energi Sumber Daya Mineral.

Sedangkan tugas Seksi Industri lingkup Suku Dinas Kabupaten sebagai berikut: a. menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Suku

Dinas Kabupaten sesuai dengan Iingkup tugasnya;

b. melaksanakan dokumen pelaksanaan anggaran Suku Dinas Kabupaten

Administrasi sesuai dengan Iingkup tugasnya;

c. melaksanaan bimbingan, konsultasi, fasilitasi, pendidikan dan pelatihan,

pendampingan, serta pengembangan usaha industri kecil lingkup Kabupaten

Administrasi;

d. melaksanakan penumbuhan wirausaha industri baru di wilayah Kabupaten

Administrasi;

e. melaksanakan pendataan industri kecil, genset, agen dan pangkalan

LPGbersubsidi, sumur resapan dangkal, sumur dalam, pendistribusian BBM,

BBG dan LPG di wilayah kabupaten administrasi;

f. melaksanakan pembangunan,pengawasan, dan pemeliharaan sumur resapan

air tanah dangkal di wilayah kabupaten administrasi;

g. melaksanakan pencatatan, pengawasan dan pengendalian pemanfaatan air

tanah;

h. melaksanakan pengawasan, dan pengendalian pengambilan bahan galian

pasir laut dan terumbu karang di wilayah kabupaten administrasi;

i. melaksanakan pembangunan, pengawasan dan pengendalian dan

pemeliharaan energi baru terbarukan dan konservasi energi di wilayah

kabupaten administrasi;

Page 86: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 28

j. melaksanakan pembangunan, pengawasan, dan pemeliharaan pembangkit,

jaringan transmisi dan distribusi listrik di wilayah kabupaten administrasi;

k. melaksanakan pembinaan dan pengembangan industri kecildi wilayah

kabupaten administrasi;

l. melaksanakan koordinasi, monitoring, evaluasi industri kecil, energi dan

sumber daya mineral di wilayah kabupaten administrasi;

m. melaksanakan koordinasi dan kemitraan dengan instansi terkait dan pelaku

usaha industri kecil di tingkat wilayah kabupaten administrasi;

n. melaksanakanpemberian rekomendasi izin industri kecil, agen LPG

bersubsidi; dan

o. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan fungsi

Seksi Industri dan Energi Sumber Daya Mineral;

Mencermati tugas dan fungsi Dinas Perindustrian dan Energi di bidang

perindustrian, secara umum wewenang yang diberikan negara kepada Gubernur

melalui UU No. 3 Tahun 2014 dilaksanakan oleh Kepala Dinas Perindustrian dan

Energi yang secara operasional menjadi tugas Kepala Bidang Industri, yaitu: (a)

penyiapan konsep pengaturan dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah,

Rancangan Peraturan/Keputusan Gubernur; (b) menyusun konsep rencana

pembangnan industri; (c) pelakukan pengembangan industri; (d) membina; (e)

mengawasi; (f) pengendalian sebagian dilaksanakan oleh Kepala Badan/Kantor

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTST) dalam bentuk perizinan dan non perizinan

di bidang perindustrian sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12

Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Selain Dinas sebagai pelaksana urusan pemerintahan di bidang

perindustrian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki beberapa Unit Pelaksana

Teknis Dinas (UPTD), antara lain: Unit Industri Kerajinan dan Tekstil

sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 281 Tahun 2014.

Tugas Unit Industri Kerajinan dan Tekstil adalah melaksanakan pengujian,

pengelolaan laboratorium pengujian dan pengembangan desain produk kerajinan.

Sedangkan fungsinya sebagai berikut: (a) penyusunan rencana strategis dan

Page 87: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 29

rencana kerja dan anggaran Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (b) pelaksanaan

rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran Unit Industri Kerajinan

dan Tekstil; (c) penyusunan pedoman, standar dan prosedur teknis pengujian

hasil industri kerajinan dan tekstil; (d) penyusunan rencana kebutuhan

penyediaan, pemeliharaan dan perawatan prasarana dan sarana teknis pengujian

industri kerajinan dan tekstil; (e) pengujian mutu bahan baku dan produk industri

kerajinan dan tekstil; (f) pelaksanaan bimbingan dan konsultasi teknis untuk

peningkatan dan pengawasan mutu, bahan baku, proses, peralatan dan hasil

produksi industri kerajinan dan tekstil; (g) penyelenggaraan pelatihan

pengembangan industri kerajinan dan tekstil; (h) pelaksanaan peningkatan

kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui keikutsertaan dalam

pendidikan dan pelatihan teknis dan non teknis Unit Industri Kerajinan dan Tekstil;

(i) pelaksanaan fasilitasi pemasaran dan promosi; (j) pelaksanaan fasilitasi proses

standardisasi; (k) pelaksanaan pengujian sertifikasi produk dan sertifikasi sistem

mutu; (l) pelaksanaan jasa inspeksi teknis dan pengambilan contoh; (m)

pelaksanaan kerja sama dengan instansi terkait dalam rangka pengembangan

industri kerajinan dan tekstil dan produk kerajinan dan tekstil kreatif; (n)

penyediaan, pemeliharaan dan perawatan prasarana dan sarana teknis Unit

Industri dan Kerajinan Tekstil; (o) pengelolaan kepegawaian, keuangan dan

barang Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (p) pelaksanaan kegiatan kerumah

tanggaan dan ketatausahaan Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (q) pelaksanaan

publikasi kegiatan dan pengaturan acara Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (r)

pelaksanaan pengelolaan teknologi informasi Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (s)

pengelolaan kearsipan Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (t) penyiapan bahan

laporan Dinas Perindustrian dan Energi yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan

fungsi Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (u) pelaporan dan pertanggungjawaban

pelaksanaan tugas dan fungsi Unit Industri Kerajinan dan Tektil.

Page 88: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 30

Secara teori terdapat 3 (tiga) wewenang menurut cara memperoleh, yaitu

atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah

oleh pembuat undang-undang. Delegasi47 adalah pelimpahan wewenang

pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lain,

sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangan-

nya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Ada dua cara organ pemerintahan memperoleh wewenang atribusi dan

delegasi.48 Wewenang atribusi berkenaan penyerahan wewenang, sedangkan

delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang

telah memperoleh wewenang secara atribusi kepada organ lain), jadi delegasi

secara logis selalui didahului oleh atribusi. Mandat tidak dibicarakan penyerahan

wewenang, tidak ada pula pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi

perubahan wewenang apapun (setidak-tidaknya dalam arti yuridis formal). Yang

ada hanya hubungan internal, sebagai contoh Gubernur dengan Kepala Dinas,

Kepala Dinas mengambil keputusan tertentu atas nama Gubernur, sementara

secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap berada pada Gubernur.

Pegawai memutuskan secara faktual, Gubernur secara yuridis).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, wewenang Pemerintah Daerah dalam

penyelenggaraan perindustrian diberikan oleh negara melalui UU No. 3 Tahun

2014 tentang Perindustrian, termasuk wewenang atribusi dan asas legalitas bagi

Pemerintahan Daerah untuk mengatur penyelenggaraan perindustrian dengan

Peraturan Daerah. Wewenang delegasi adalah wewenang Pemerintah Daerah

yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan

lain. Sifat wewenang delegasi, pelimpahan yang bersumber dari wewenang

atribusi. Sebagai contoh, Menteri Perindustrian mendelegasikan kepada Gubernur

dalam pemberian izin usaha industri. Akibat hukum ketika wewenang delegasi

dijalankan menjadi tanggung jawab penerima delegasi (delegataris), wewenang

tersebut tidak dapat digunakan lagi oleh pemberi wewenang kecuali pemberi

wewenang (delegans) menilai terjadi penyimpangan atau pertentangan dalam

47 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbel, dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta,

2008, hlm. 104-105. 48 van Wijk F. A. M Stroink dan J.G. Steenbeek dalam Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 105.

Page 89: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 31

menjalankan wewenang tersebut, sehingga wewenang dicabut kembali oleh

pemberi delegasi. Sedangkan wewenang mandat adalah pelimpahan wewenang

yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan,

kecuali dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan. Tanggung

jawab dan tanggung gugat, wewenang mandat tanggung jawab dan tanggung

gugat tetap berada pada pemberi mandat (mandans), sementara penerima

mandat (mandataris) tidak dibebani tanggung jawab dan tanggung gugat atas

wewenang yang dijalankan. Setiap saat wewenang mandat dapat digunakan atau

ditarik kembali oleh pemberi mandat (mandans).

Matrik-4.1 Perbedaan Cara Perolehan Wewenang dan Tanggung Jawab49

Atribusi Delegasi Mandat Cara perolehan Peraturan perundang-

undangan Pelimpahan Pelimpahan

Kekuatan mengikatnya

Tetap melekat sebelum ada perubahan peraturan perundang-undangan

Dapat dicabut atau ditarik kembali apabila ada pertentangan atau penyimpangan

Dapat ditarik atau digunakan sewaktu-waktu oleh pemberi wewenang

Tanggung jawab dan tanggung gugat

Penerima wewenang bertanggungjawab mutlak akibat yang ditimbulkan dari wewenang

Pemberi wewenang melimpahkan tanggung jawab dan tanggung gugat kepada penerima wewenang

Berada pada pemberi mandat

Hubungan wewenang Hubungan hukum pembentuk undang-undang dengan organ pemerintahan

Berdasarkan atas wewenang atribusi yang dilimpahkan

Hubungan yang bersifat internal antara bahawan dengan atasan.

Matrik-4.1 menampilkan perbedaan mendasar wewenang (atribusi, delegasi,

dan mandat) baik prosedur atau cara perolehan, kekuatan mengikat, tanggung

jawab, dan tanggung gugat, maupun hubungan antara pemberi wewenang

dengan penerima wewenang. Dalam wewenang baik diperoleh berdasarkan

atribusi maupun pelimpahan, sama-sama harus terlebih dahulu dipastikan yang

melimpahkan memiliki wewenang dan wewenang tersebut benar-benar ada

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pemberian wewenang delegasi dapat terjadi diantara organ pemerintah

sederajat atau antar lembaga yang tidak sederajat atau dari pemerintah atasan

kepada pemerintah bawahan. Delegasi juga dapat dilakukan dari Gubernur 49 Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2008., hlm. 61

Page 90: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 32

kepada Kepala Daerah Kabupaten/Kota daerah otonom atau Bupati/Walikota.

Artinya, pendelegasian wewenang dapat dilakukan secara bertingkat atau

bertahap dalam arti yang diberikan delegator atau pemberi delegasi kepada

penerima delegasi untuk kemudian mendelegasikan lagi untuk diatur pada tahap

berikutnya kepada lembaga lain atau lembaga yang lebih rendah.

Prosedur pemberian wewenang dalam pengaturan harus memenuhi 3 (tiga)

syarat dan salah satunya harus ada.50 Pertama, adanya perintah mengenai

subjek lembaga pelaksana diberi delegasi, dan bentuk peraturan pelaksanaan

untuk menuangkan ke dalam materi pengaturan didelegasikan. Kedua, ada

perintah membentuk pengaturan yang dituangkan ke dalam materi pengaturan

yang didelegasikan. Ketiga, ada perintah pendelegasian dari peraturan

perundang-undangan membentuk peraturan perundang-undangan (dalam hal ini

Peraturan Daerah) kepada lembaga penerima delegasi (Pemerintah Daerah)

tanpa penyebutan bentuk peraturannya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, ada perintah bersifat tegas dan ada

perintah bersifat tidak tegas. Dalam hal ”perintah tidak tegas” dikarenakan ada 3

(tiga) kemungkinan.51 Pertama, perintah pengaturan memang ada tetapi tidak

tegas menentukan bentuk pengaturan yang dipilih sebagai tempat penuangan

materi ketentuan yang didelegasikan pengaturannya. Kedua, perintah pengaturan

memang ada, tetapi tidak ditentukan secara jelas lembaga yang diberi delegasi

kewenangan atau bentuk pengaturan yang harus ditetapkan untuk menuangkan

materi yang didelegasikan. Ketiga, perintah pengaturan sama sekali tidak disebut

atau tidak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dibutuhkan

daerah dan/atau tidak terelakkan dalam rangka pelaksanaan undang-undang itu

sendiri.

Di dalam UU No. 3 Tahun 2014 ada perintah bersifat tegas dan ada perintah

bersifat tidak tegas diberikan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Kepala Daerah

dalam hal ini Gubernur. Perintah tersebut, sebagai berikut:

Pasal 7

50 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. hal. 381 51 Ibid, hal. 385

Page 91: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 33

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota secara bersama-sama atau sesuai kewenangan masing-masing menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 10 (1) Setiap Gubernur menyusun Rencana Pembangunan Industri Provinsi.

(2) Rencana Pembangunan Industri Provinsi mengacu kepada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional.

(3) Rencana Pembangunan Industri Provinsi disusun dengan paling sedikit

memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri daerah; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan/atau Rencana Tata Ruang

Wilayah Kabupaten/Kota; dan c. keserasian dan keseimbangan dengan kebijakan pembangunan

Industri di kabupaten/kota serta kegiatan sosial ekonomi dan daya dukung lingkungan.

(4) Rencana Pembangunan Industri Provinsi ditetapkan dengan Peraturan

Daerah Provinsi setelah dievaluasi oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14 (1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan percepatan

penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui perwilayahan Industri.

(2) Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

dengan paling sedikit memperhatikan: a. rencana tata ruang wilayah; b. pendayagunaan potensi sumber daya wilayah secara nasional; c. peningkatan daya saing Industri berlandaskan keunggulan sumber

daya yang dimiliki daerah; dan d. peningkatan nilai tambah sepanjang rantai nilai.

(3) Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan

melalui: a. pengembangan wilayah pusat pertumbuhan Industri; b. pengembangan kawasan peruntukan Industri; c. pembangunan Kawasan Industri; dan d. pengembangan sentra Industri kecil dan Industri menengah.

Page 92: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 34

Pasal 16 (2) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku Industri, dan masyarakat.52

(3) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) memperhatikan penyebaran dan pemerataan ketersediaan sumber daya manusia Industri yang kompeten untuk setiap wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

(4) Sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi: a. wirausaha Industri; b. tenaga kerja Industri; c. pembina Industri; dan d. konsultan Industri.

Pasal 20 Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memfasilitasi pembangunan pusat pendidikan dan pelatihan Industri di wilayah pusat pertumbuhan Industri

Pasal 33 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan dan

penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri.

(2) Guna menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan Industri dalam negeri.

Pasal 36 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam

pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan Teknologi Industri.

(2) Pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan

pemanfaatan Teknologi Industri dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, nilai tambah, daya saing, dan kemandirian bidang Industri.

Pasal 42 Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi: a. kerja sama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

di bidang Industri antara Perusahaan Industri dan perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan Industri dalam negeri dan luar negeri;

b. promosi alih teknologi dari Industri besar, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan/atau lembaga lainnya ke Industri kecil dan Industri menengah; dan/atau

52 Pasal 16 ayat (1) menyatakan Pembangunan sumber daya manusia Industri dilakukan untuk menghasilkan sumber

daya manusia yang kompeten guna meningkatkan peran sumber daya manusia Indonesia di bidang Industri.

Page 93: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 35

c. lembaga penelitian dan pengembangan dalam negeri dan/atau Perusahaan Industri dalam negeri yang mengembangkan teknologi di bidang Industri.

Pasal 43 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan dan

pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam pembangunan Industri.

(2) Pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberdayakan budaya Industri dan/atau kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat.

(3) Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi

masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan: a. penyediaan ruang dan wilayah untuk masyarakat dalam berkreativitas

dan berinovasi; b. pengembangan sentra Industri kreatif; c. pelatihan teknologi dan desain; d. konsultasi, bimbingan, advokasi, dan fasilitasi perlindungan Hak

Kekayaan Intelektual khususnya bagi Industri kecil; dan e. fasilitasi promosi dan pemasaran produk Industri kreatif di dalam dan

luar negeri

Pasal 44 (2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari

Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan usaha, dan/atau orang perseorangan.53

(3) Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan kepada Perusahaan Industri yang berbentuk badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.

(4) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dalam

bentuk: a. pemberian pinjaman; b. hibah; dan/atau c. penyertaan modal.

Pasal 62 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya infrastruktur

Industri.

(2) Penyediaan infrastruktur Industri dilakukan di dalam dan/atau di luar kawasan peruntukan Industri.

53 Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, Pemerintah memfasilitasi

ketersediaan pembiayaan yang kompetitif untuk pembangunan Industri.

Page 94: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 36

(3) Infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi: a. lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau kawasan peruntukan

Industri; b. fasilitas jaringan energi dan kelistrikan; c. fasilitas jaringan telekomunikasi; d. fasilitas jaringan sumber daya air; e. fasilitas sanitasi; dan f. fasilitas jaringan transportasi.

(4) Penyediaan infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dilakukan melalui: a. pengadaan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang

pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;

b. pola kerja sama antara Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan swasta, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dan swasta; atau

c. pengadaan yang dibiayai sepenuhnya oleh swasta.

Pasal 64 (1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang

akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota.

(3) Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

secara berkala harus menyampaikan hasil pengolahan Data Industri sebagai Informasi Industri kepada Menteri melalui Sistem Informasi Industri Nasional.

(4) Menteri, Gubernur, dan bupati/walikota memberikan kemudahan kepada

Perusahaan Industri dalam menyampaikan Data Industri dan mengakses informasi.

Pasal 65 (1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan

Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan bupati/walikota.

(2) Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan

melalui Sistem Informasi Industri Nasional. (3) Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

secara berkala harus menyampaikan hasil pengolahan Data Kawasan Industri sebagai Informasi Industri kepada Menteri melalui Sistem Informasi Industri Nasional.

(4) Menteri, Gubernur, dan bupati/walikota memberikan kemudahan kepada

Perusahaan Kawasan Industri dalam menyampaikan Data Kawasan Industri dan mengakses informasi.

Page 95: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 37

Pasal 68 (3) Sistem Informasi Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

terkoneksi dengan sistem informasi yang dikembangkan oleh kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota, serta dapat berinteraksi dengan sistem informasi di negara lain atau organisasi internasional.54

(4) Untuk menjamin koneksi Sistem Informasi Industri Nasional dengan

sistem informasi di daerah, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota membangun sistem Informasi Industri di provinsi dan kabupaten/kota.

Pasal 69 Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilarang menyampaikan dan/atau mengumumkan Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) yang dapat merugikan kepentingan perusahaan dalam hal perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 70 (2) Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang

menyampaikan dan/atau mengumumkan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembebasan dari jabatan; c. penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling

lama 1 (satu) tahun; d. penurunan pangkat pada pangkat setingkat lebih rendah untuk paling

lama 1 (satu) tahun; e. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri; dan/atau f. pemberhentian dengan tidak hormat

Pasal 72 (1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembangunan dan

pemberdayaan Industri kecil dan Industri menengah untuk mewujudkan Industri kecil dan Industri menengah yang: a. berdaya saing; b. berperan signifikan dalam penguatan struktur Industri nasional; c. berperan dalam pengentasan kemiskinan melalui perluasan

kesempatan kerja; dan d. menghasilkan barang dan/atau Jasa Industri untuk diekspor.

(2) Untuk mewujudkan Industri kecil dan Industri menengah sebagai-mana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan: a. perumusan kebijakan; b. penguatan kapasitas kelembagaan; dan c. pemberian fasilitas.

54 Pasal 68 ayat (1) Menteri membangun dan mengembangkan Sistem Informasi Industri Nasional.

Page 96: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 38

Pasal 74 (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya

melaksanakan penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).55

Pasal 75 (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya

melaksanakan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).56

Pasal 78 (2) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait, dan Pemerintah Daerah, serta mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait.

Pasal 86 (1) Produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 wajib

digunakan oleh: a. lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian,

dan satuan kerja perangkat daerah dalam pengadaan barang/jasa apabila sumber pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, termasuk pinjaman atau hibah dari dalam negeri atau luar negeri; dan

b. badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta dalam pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau pekerjaannya dilakukan melalui pola kerja sama antara Pemerintah dengan badan usaha swasta dan/atau mengusahakan sumber daya yang dikuasai negara.

Pasal 101 (4) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha

Industri kepada gubernur dan bupati/walikota.

Pasal 105 (3) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha

Kawasan Industri kepada gubernur dan bupati/walikota.

55 Pasal 74 ayat (1), Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf b paling

sedikit dilakukan melalui: a. peningkatan kemampuan sentra, unit pelayanan teknis, tenaga penyuluh lapangan, serta konsultan Industri kecil dan Industri menengah; dan b. kerja sama dengan lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta asosiasi Industri dan asosiasi profesi terkait.

56 Pasal 75 ayat (1) Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf c diberikan dalam bentuk: a. peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan sertifikasi kompetensi; b. bantuan dan bimbingan teknis; c. bantuan bahan baku dan bahan penolong; d. bantuan mesin atau peralatan; e. pengembangan produk; f. bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup untuk mewujudkan Industri Hijau; g. bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran; h. akses pembiayaan, termasuk mengusahakan penyediaan modal awal bagi wirausaha baru; i. penyediaan Kawasan Industri untuk Industri kecil dan Industri menengah yang berpotensi mencemari lingkungan; dan/atau j. pengembangan, penguatan keterkaitan, dan hubungan kemitraan antara Industri kecil dengan Industri menengah, Industri kecil dengan Industri besar, dan Industri menengah dengan Industri besar, serta Industri kecil dan Industri menengah dengan sektor ekonomi lainnya dengan prinsip saling menguntungkan.

Page 97: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 39

Pasal 109 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong penanaman modal di

bidang Industri untuk memperoleh nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri nasional dan peningkatan daya saing Industri.

Pasal 110 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas untuk

mempercepat pembangunan Industri. (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:

a. Perusahaan Industri yang melakukan penanaman modal untuk memperoleh dan meningkatkan nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri dan peningkatan daya saing Industri;

b. Perusahaan Industri yang melakukan penelitian dan pengembangan Teknologi Industri dan produk;

c. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang berada di wilayah perbatasan atau daerah tertinggal;

d. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengoptimalkan penggunaan barang dan/atau jasa dalam negeri;

e. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengembangkan sumber daya manusia di bidang Industri;

f. Perusahaan Industri yang berorientasi ekspor; g. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang menerapkan

SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib;

h. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan;

i. Perusahaan Industri yang melaksanakan upaya untuk mewujudkan Industri Hijau; dan

j. Perusahaan Industri yang mengutamakan penggunaan produk Industri kecil sebagai komponen dalam proses produksi.

Pasal 117 (5) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah

kabupaten/kota secara bersama-sama atau sesuai dengan kewenangan masing-masing melaksanakan pengawasan dan pengendalian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 98: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 40

Tidak ada wewenang tanpa tanggung jawab,57 karena itu sudah menjadi

tanggung jawab Pemerintah Daerah untuk melaksanakan perintah yang diberikan

UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Wewenang tersebut diberikan

kepada Pemerintah Daerah, yaitu Kepala Daerah dan Perangkat Daerah selaku

unsur penyelenggara urusan pemerintahan. Di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan

UU No. 29 Tahun 2007, yang diberi wewenang dan tanggung jawab dalam

penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang industri adalah Gubernur dan

secara operasional menurut Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2016 tentang

Organisasi Perangkat Daerah sebagaimana diuraikan sebelumnya menjadi tugas

Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Kepala Dinas dalam melaksanakan tugas

bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah sebagaimana

diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Gubernur Nomor 267 Tahun 2016 tentang

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi.

Berdasarkan inventarisasi wewenang yang diberikan oleh negara melalui UU

No. 3 Tahun 2014 kepada Pemerintah Daerah dan Gubernur penyelenggaraan

perindustrian. dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah

Daerah berwenang menetapkan kebijakan daerah untuk kelancaran dalam

pelaksanaan tugas sesuai urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab

dan wewenang yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah dan/atau

Peraturan Kepala Daerah.

Di Provinsi DKI Jakarta, Peraturan Kepala Daerah dalam bentuk Peraturan

Gubernur karena pelaksanaan otonomi berada pada lingkup provinsi

sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007.58 Pelaksanaan otonomi

tersebut berimplikasi pada pendelegasian atau pelimpahan wewenang. Gubernur

tidak dapat melimpahkan wewenang kepada Walikota/Bupati melainkan

pendelegasian tugas, karena kedudukan Walikota/Bupati di Provinsi DKI Jakarta

sebagai Kepala Perangkat Daerah bukan Kepala Daerah, kecuali Peraturan

Daerah memberikan wewenang kepada Kepala Perangkat Daerah dalam hal

57 Philipus M. Hardjon, Wewenang, Makalah pada Penataran Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Universitas

Airlangga, Surabaya, 1998, hlm. 9-10. 58 Menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahwa otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada tingkat provinsi.

Page 99: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 41

tertentu, maka urusan tersebut menjadi tanggung jawab Kepala Perangkat

Daerah bersangkutan, bukan lagi menjadi tanggung jawab Gubernur. Jika dalam

Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian ditetapkan tugas dan

wewenang Kepala Perangkat Daerah, maka Rancangan Peraturan Daerah

tersebut tidak harmonis dengan Peraturan Daerah tentang Organisasi Perangkat

Daerah. Di samping itu, secara politis Kepala Perangkat Daerah yang

mendapatkan tugas dan wewenang melalui Peraturan Daerah mempunyai

kewajiban menyampaikan laporan atas tugas yang dilaksanakan tidak hanya

kepada Gubernur melainkan juga kepada DPRD.

Untuk melaksanakan wewenang yang didelegasikan UU No. 3 Tahun 2014,

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membutuhkan dana dan peran pelaku usaha di

bidang industri dan masyarakat secara aktif. Oleh sebab itu, legalitas dari DPRD

yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah sangat diperlukan.

4.4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Hak pelaku usaha di bidang industri dalam UU No. 3 Tahun 2014 tentang

Perindustrian tidak diatur secara tegas. Sementara salah satu tujuan dibentuknya

Peraturan Daerah dalam rangka mewujudkan hak masyarakat melakukan usaha

di bidang industri serta memfasilitasi kewajiban pelaku usaha dalam melakukan

kegiatan usaha di bidang industri. Meskipun demikian, berdasarkan definisi industri

sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 3 Tahun 2014, dapat

ditafsirkan bahwa kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha di bidang

industri menghasilkan “barang” yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih

tinggi, termasuk “jasa” industri. Barang dan/atau jasa dimaksud dapat berupa

benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak

bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat

diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Berdasarkan penafsiran tersebut di atas, pengertian pelaku usaha adalah

setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum

maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

Page 100: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 42

kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha bidang

industri. Makna pelaku usaha berbentuk “badan hukum” maupun “bukan badan

hukum” berupa korporasi, yaitu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang

terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.59

Atas dasar uraian tersebut di atas, hak pelaku usaha industri dalam UU No.

3 Tahun 2013 tidak diatur secara tegas, namun dapat indentifikasi, antara lain: (a)

mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dalam melakukan usaha.

Perlindungan hukum dimaksud antara lain pelaku usaha yang telah mendapat

legalitas atau izin dari Pemerintah Daerah untuk melakukan usaha penyediaan

kawasan industri, karena perkembangan perkotaan menyebabkan kawasan

industri terkena pelebaran jalan. Kondisi tersebut, memberikan gambaran tidak

ada kepastian hukum dalam melakukan usaha; (b) memperoleh data dan

informasi yang benar dan akurat serta tepat waktu dalam melakukan kegiatan

usaha; (c) mendapatkan lingkungan yang bersih, indah, nyaman dan sehat dari

Pemerintah Daerah dan/atau pengelola kawasan; (d) mendapatkan pelayanan

secara baik dan berwawasan lingkungan dari Pemerintah Daerah dan/atau

pengelola kawasan industri; (e) berpartisipasi dalam proses pengambilan

keputusan terkait dengan kegiatan usaha industri; (f) memperoleh pembinaan

dalam penyelenggaraan kegiatan usaha industri dari Pemerintah Daerah dan/atau

pengelola kawasan; (g) hak-hak lain yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan. Sedangkan hak masyarakat antara lain mendapatkan

perlindungan dari dampak negatif kegiatan usaha industri sebagaimana

ditetapkan dalam Pasal 116 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2014.

Kewajiban pelaku usaha berdasarkan UU No. 3 Tahun 2014 tentang

Perindustrian antara lain: Pasal 64 (1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang

akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota

59 Lihat Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.

Page 101: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 43

Pasal 65 (1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data

Kawasan Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota.

(2) Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional.

Pasal 105 (1) Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memiliki izin usaha

Kawasan Industri. (5) Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan wajib

memiliki izin perluasan Kawasan Industri

Pasal 106 (1) Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri wajib berlokasi di

Kawasan Industri.

Berdasarkan kewajiban perusahaan industri tersebut di atas, secara umum

kewajiban pelaku usaha di bidang industri sebagai berikut: (a) memberikan data

dan informasi yang benar dan akurat serta tepat waktu mengenai kegiatan usaha

yang dilakukan; (b) jaminan barang dan/atau jasa yang dihasilkan sesuai standar

mutu barang dan/atau jasa dan memberikan penjelasan penggunaan barang

dihasilkan; (c) memberikan kesempatan kepada pengguna barang dan/atau jasa

untuk menguji barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang dan/atau jasa diproduksi dan/atau dihasilkan; (d) memberikan

kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang produksi dan/atau

dihasilkan; (e) melakukan pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan

melalui pilihan jenis proses, yang akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis

daur hidup dan teknologi; (f) tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Dalam hal kewajiban pelaku usaha pencegahan pencemaran dan perusakan

lingkungan melalui pilihan jenis proses, yang akrab lingkungan, minimisasi limbah,

analisis daur hidup dan teknologi bersih dilakukan melalui produksi bersih.

Menurut Peraturan Menteri Perindustrian No. 75/M-IND/PER/7/2010 tentang

Page 102: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 44

Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan Yang Baik (Good Manufacturing Practices) atau disingkat dengan CPPOB, bahwa penerapan CPPOB bertujuan

untuk: (a) mencegah tercemarnya pangan olahan dari cemaran biologi, kimia/fisik

yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia; (b)

membunuh atau mencegah berkembangbiak jasad renik patogen serta

mengurangi jumlah jasad renik lain yang tidak dikehendaki; (c) mengendalikan

produksi melalui pemilihan bahan baku, penggunaan bahan penolong,

penggunaan bahan pangan lainnya, penggunaan bahan tambahan pangan (BTP),

pengolahan, pengemasan, dan penyimpangan/pengangkutan. Selain itu, produksi

bersih sebagai upaya mengurangi limbah baik limbah padat maupun limbah cair

dari sumbernya, melalui eliminasi yang merupakan metode pengurangan limbah

secara total, bila perlu tidak mengeluarkan limbah sama sekali (zero discharge). Di dalam konsep penerapan produksi bersih termasuk metode pencegahan

pencemaran; (b) minimisasi limbah (mengurangi sumber limbah), strategi

pengurangannya menjaga limbah tidak terbentuk pada tahap awal. Pencegahan

limbah memerlukan beberapa perubahan penting terhadap proses; (c) daur ulang

(recycle), apabila timbul limbah tidak dapat dihindarkan dalam suatu proses, maka

strategi untuk meminimkan limbah sampai batas tertinggi yang mungkin dilakukan

harus antara lain daur ulang dan/atau penggunaan kembali (re-use). Jika limbah

tidak dapat dicegah, pengolahan limbah dapat dilakukan; (d) pengendalian

pencemaran, jika terpaksa dilakukan karena dalam proses perancangan produksi

belum dapat mengantisipasi adanya teknologi baru yang sudah bebas terjadinya

limbah; (e) pengolahan dan pembuangan, merupakan suatu komponen penting

dari keseluruhan program manajemen lingkungan; (f) remediasi, penggunaan

kembali bahan yang terbuang bersama limbah dengan tujuan mengurangi kadar

peracunan dan kuantitas limbah yang ada.

Sesuai tujuan produksi bersih sebagaimana diuraikan di atas terkait juga

dengan minimisasi limbah padat atau sampah sebagaimana diatur dalam UU No.

18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Menurut Pasal 15 undang-undang

tersebut, produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang diproduksinya

Page 103: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 45

yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.60 Atas dasar ketentuan

tersebut pelaku usaha di bidang industri yang menimbulkan sampah yang alami

proses penguraian sampah sulit dilakukan menjadi tanggung jawab pelaku usaha

untuk membiayai seluruh proses pengelolaan sampah. Oleh sebab itu, pelaku

usaha di bidang industri harus berupaya menggunakan bahan produksi (bahan

baku, bahan penolong, bahan tambahan, atau kemasan produk) menimbulkan

sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/atau

mudah diurai oleh proses alam.61 Demikian halnya dengan pengelola kawasan

industri memiliki kewajiban antara lain menyediakan fasilitas pemilihan sampah,

menyediakan tempat penampungan sampah sementara (TPS) terpilah atau

disebut TPS-3R.62

Kewajiban lain pelaku usaha di bidang industri tidak melanggar ketentuan

peraturan perundang-undangan, antara lain: larangan praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999.

Praktek monopoli dimaksud adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau

lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau

pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan

usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sedangkan yang

dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku

usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan

atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau

menghambat persaingan usaha.

60 Yang dimaksud dengan produsen menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang

Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, adalah pelaku usaha yang memroduksi barang yang menggunakan kemasan, mendistribusikan barang yang menggunakan kemasan dan berasal dari impor, atau menjual barang dengan menggunakan wadah yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.

61 Lihat Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. 62 Tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) atau TPS 3R adalah tempat dilaksanakannya

kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, dan pendauran ulang skala kawasan sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 188,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5347).

Page 104: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 46

4.5. Kawasan Industri dan Sentra Industri Kecil dan Menengah (IKM)

Pengertian kawasan industri menurut Pasal 1 angka 11 UU No. 3 Tahun

2014, adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi

dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh

Perusahaan Kawasan Industri. Sedangkan pengertian sentra IKM UU No. 3

Tahun 2014 tidak mendefinisikan. Meskipun demikian, dalam Peraturan Menteri

Perindustrian Nomor 78/M-IND/PER/9/2007 tentang Peningkatan Efektifitas

Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Melalui Pendekatan Satu Desa

Produk (One Village One Product – OVOP) di Sentra, yang dimaksud dengan

sentra adalah suatu wilayah atau kawasan tertentu tempat sekelompok

perusahaan IKM yang menghasilkan produk sejenis, menggunakan bahan baku

sejenis, atau melakukan proses pengerjaannya sama. Dengan demikian yang

dimaksud dengan Sentra IKM adalah kawasan tempat sekelompok perusahaan

IKM yang menghasilkan produk sejenis, menggunakan bahan baku sejenis, atau

melakukan proses pengerjaannya sama.

Dalam rangka peningkatan daya saing dan daya tarik investasi yakni

terciptanya iklim usaha yang kondusif, efisiensi, kepastian hukum, dan pemberian

fasilitas serta kemudahan lain dalam melakukan kegiatan usaha industri, antara

lain tersedianya prasarana industri yang memadai berupa Kawasan Industri yang

dikelola oleh Pengertian kawasan industri yaitu perusahaan yang mengusahakan

pengembangan dan pengelolaan kawasan Industri.63

Berdasarkan PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4987), tujuan penyediaan kawasan industri untuk: (a)

mengendalikan pemanfaatan ruang; (b) meningkatkan upaya pembangunan

industri yang berwawasan lingkungan; (c) meningkatkan daya saing industri; (d)

meningkatkan daya saing investasi; (e) memberikan kepastian lokasi dalam

perencanaan dan pembangunan infrastruktur, yang terkoordinasi antar sektor

terkait.

63 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.

Page 105: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 47

Menurut Pasal 7 PP No. 24 Tahun 2009 bahwa perusahaan industri yang

akan menjalankan industri wajib berlokasi di Kawasan Industri, kecualikan bagi:

(a) perusahaan industri menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya

memerlukan lokasi khusus; (b) industri mikro, kecil, dan menengah; (c)

perusahaan industri yang akan menjalankan industri dan berlokasi di daerah

kabupaten/kota yang belum memiliki kawasan industri atau yang telah memiliki

kawasan industri namun seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya

telah habis.

Kewajiban Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan kawasan industri

dan sentra industri kecil dan menengah sesuai dengan kondisi wilayah Provinsi

DKI Jakarta sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU No. 3 Tahun 2014,

memperhatikan sekurang-kurangnya rencana tata ruang wilayah (RTRW)

sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012 tentang RTRW

2030 serta Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2014 tentang RDTR dan Peraturan

Zonasi. Kawasan industri yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tersebut,

sebagai berikut:

1. Kota Administrasi Jakarta Utara

Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta Utara

dengan ketentuan: (a) pembatasan kegiatan industri di kawasan yang sudah

ada di Penjaringan, Kelapa Gading, dan Cilincing; (b) pengembangan industri

selektif di Marunda dan Cilincing. Pemanfaatan ruang kawasan industri

dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut: (a) penataan industri kecil

termasuk penyediaan pengelolaan limbah di Cilincing dan Kali Baru; (b)

peningkatan teknologi guna mengurangi polusi pada kegiatan industri

menengah dan besar di Ancol Barat, Marunda, dan Cilincing.

Page 106: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 48

2. Kota Administrasi Jakarta Barat

Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta Barat

dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut: (a) pembangunan kawasan

industri di Cengkareng, Kalideres dan sepanjang koridor Sungai Mookervart;

(b) pengembangan industri selektif dan ramah lingkungan di Cengkareng dan

Kalideres; (c) pengembangan kawasan industri di Kapuk dan Kalideres untuk

menampung kegiatan industri yang berkembang; (d) pengembangan pusat

Pengembangan Industri Kecil dan Menengah di Semanan secara terbatas.

Page 107: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 49

3. Kota Administrasi Jakarta Selatan

Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta

Selatan dilaksanakan pada kawasan industri di sebelah selatan jalan lingkar

luar (outer ring road) dengan pembatasan pengembangan industri baru,

peningkatan daya resap air, dan mengembangkan pengelolaan limbah agar

tidak mencemari sungai/kali/waduk/situ.

Page 108: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 50

4. Kota Administrasi Jakarta Timur

Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta Timur

dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut: (a) pengembangan industri

besar di Kawasan Industri Pulo Gadung, Kecamatan Cakung, Kecamatan

Ciracas dan Kecamatan Pasar Rebo; (b) pengembangan industri berteknologi

tinggi yang tidak menggangu lingkungan dengan bangunan bertingkat tinggi di

Kawasan Industri Pulo Gadung; (c) pengembangan kegiatan industri kecil

yang tidak polutif terutama di Kelurahan Penggilingan dan Kramatjati; (d)

Page 109: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 51

penataan kawasan industri sebagai kawasan industri selektif di Kawasan

Industri Pulo Gadung, Kecamatan Cakung, Kecamatan Ciracas, dan

Kecamatan Pasar Rebo; (e) penataan industri berlokasi dekat permukiman

dengan penyediaan fasilitas pengolahan limbah terpadu di Kelurahan

Penggilingan, Pondok Bambu, Duren Sawit, dan Kelurahan Kramatjati.

Page 110: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 52

Berdasarkan kebijakan tata ruang dalam penetapan lahan kawasan industri

sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012 dan Peraturan

Daerah No. 1 Tahun 2014, memberikan makna perusahaan kawasan industri

berbentuk badan hukum (Badan usaha milik negara atau badan usaha milik

Page 111: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 53

daerah, Koperasi, atau Badan usaha swasta),64 dapat melakukan usaha

penyediaan kawasan industri sesuai persyaratan yang ditetapkan dalam PP No.

24 Tahun 2009, antara lain harus mendapatkan izin Usaha Kawasan Industri.

Untuk mendapatkan Izin Usaha Kawasan Industri tersebut, Perusahaan

Kawasan Industri wajib memperoleh Persetujuan Prinsip sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Perusahaan yang telah memperoleh

Persetujuan Prinsip dalam batas waktu 2 (dua) tahun wajib melaksanakan: (a)

penyediaan/penguasaan tanah; (b) penyusunan rencana tapak tanah; (c)

pematangan tanah; (d) penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan

mendapatkan pengesahan; (e) perencanaan dan pembangunan prasarana dan

sarana penunjang termasuk pemasangan instalasi/peralatan yang diperlukan; (f)

penyusunan Tata Tertib Kawasan Industri; (g) pemasaran kaveling industri; (h)

penyediaan, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan pelayanan jasa bagi

Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri. Dalam batas waktu untuk

mempersiapkan pembangunan Kawasan Industri hanya dapat diperpanjang

untuk satu kali dengan batas waktu paling lama 2 (dua) tahun.

Perusahaan kawasan industri yang telah memperoleh Persetujuan Prinsip

wajib memperoleh Izin Lokasi Kawasan Industri dengan mengajukan permohonan

kepada Gubernur. Pemberian Izin Lokasi Kawasan Industri kepada Perusahaan

Kawasan Industri dilakukan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

DKI Jakarta, saat ini RTRW 2030 sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah

Nomor 1 Tahun 2012.

Perusahaan Kawasan Industri wajib memiliki tata tertib kawasan industri

sebagaimana diatur dalam Pasal 21 PP No. 24 Tahun 2009. Tata Tertib Kawasan

Industri dimaksud paling sedikit memuat informasi mengenai:

(a) hak dan kewajiban masing-masing pihak; (b) ketentuan yang berkaitan pengelolaan dan pemantauan lingkungan

hidup sesuai hasil studi Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan;

(c) ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait; (d) ketentuan lain yang ditetapkan oleh pengelola Kawasan Industri.

64 Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri.

Page 112: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 54

Selain itu, perusahaan kawasan industri wajib memfasilitasi perizinan dan

hubungan industrial bagi perusahaan industri yang berada di kawasan industri

dan wajib memenuhi pedoman teknis kawasan industri sebagaimana diatur dalam

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35/V-IND/PER/3/2010 tentang Pedoman

Teknis Kawasan Industri.

Kawasan industri berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup

sehingga kewajiban Perusahaan Kawasan Industri melakukan upaya pencegahan

pencemaran air sesuai baku mutu air limbah sesuai ketentuan yang ditetapkan

dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2010 tentang Baku

Mutu Air Limbah Bagi Kawasan Industri. Yang dimaksud baku mutu air limbah

adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur

pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang

atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan/atau kegiatan. Menurut

Permen Lingkungan Hidup tersebut, bahwa setiap kawasan industri yang telah

mempunyai IPAL terpusat wajib menaati baku mutu air limbah ditetapkan

berdasarkan kadar dan kuantitas air limbah Maksimum. Sedangkan kawasan

industri belum mempunyai IPAL terpusat, berlaku baku mutu air limbah bagi jenis

usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan peraturan menteri yang mengatur

mengenai baku mutu air limbah.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas bahwa setiap kawasan industri wajib

memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah Terpusat (IPAL) terpusat, yaitu instalasi

yang digunakan untuk mengolah air limbah yang berasal dari seluruh industri dan

aktivitas pendukungnya yang ada dalam kawasan industri. Atas dasar itu,

Penanggung jawab kawasan industri memiliki kewajiban sebagai berikut:

(a) menaati baku mutu air limbah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

(b) melakukan pengelolaan air limbah sehingga mutu air limbah yang dibuang ke sumber air tidak melampaui baku mutu air limbah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

(c) menggunakan saluran pembuangan air limbah yang kedap air sehingga tidak terjadi perembesan air limbah ke lingkungan;

Page 113: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 55

(d) tidak melakukan pengenceran air limbah, termasuk mencampur buangan air bekas pendingin ke dalam aliran buangan air limbah yang berasal dari IPAL terpusat;

(e) memisahkan saluran buangan air limbah dengan saluran limpasan air hujan;

(f) menetapkan titik penaatan untuk pengambilan contoh uji; (g) memasang alat ukur debit atau laju alir air limbah dan melakukan

pencatatan debit harian air limbah tersebut; (h) melakukan pemantauan harian kadar parameter baku mutu air

limbah, untuk parameter pH dan COD; (i) memeriksakan kadar parameter baku mutu air limbah secara

berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan ke laboratorium yang telah terakreditasi dan teregistrasi di Kementerian Lingkungan Hidup;

(j) menyampaikan laporan debit harian air limbah, pemantauan harian kadar parameter air limbah, dan hasil analisa laboratorium terhadap baku mutu air limbah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan kepada Gubernur dengan tembusan Meteri Lingkungan Hidup dan Badan Lingkungan Hidup Daerah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan;

(k) melaporkan kepada Gubernur dengan tembusan Menteri Lingkungan Hidup mengenai terjadinya keadaan darurat dan/atau kejadian tidak normal yang mengakibatkan baku mutu air limbah dilampaui serta upaya penanggulangannya paling lama 2 x 24 jam.

Tabel-4.3

Baku Mutu Air Limbah Kawasan Industri

No. Parameter Satuan Kadar Max 1. pH - 6-9 2. TSS mg/L 150 3. BOD mg/L 50 4. COD mg/L 100 5. Sulfida mg/L 1 6. Amonia (NH3-N) mg/L 20 7. Fenol mg/L 1 8. Minyak dan Lemak mg/L 15 9. MBAS mg/L 10

10. Kadmium mg/L 0,1 11. Krom Heksavalen (Cr6+) mg/L 0,5 12. Krom total (Cr) mg/L 1 13. Tembaga (Cu) mg/L 2 14. Timbal (Pb) mg/L 1

Page 114: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 56

No. Parameter Satuan Kadar Max 15. Nikel (Ni) mg/L 0,5 16. Seng (Zn) mg/L 10 17. Kuantitas Air Limbah

Maksimum 0,8 L perdetik per Ha Lahan

Kawasan Terpakai Sumber : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2010

Perusahaan industri yang berada di dalam Kawasan industri wajib memiliki

Upaya Pengelolaan Lingkungan, dan Upaya Pemantauan Lingkungan. Bagi

perusahaan industri di dalam kawasan industri yang mengelola atau

memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) wajib menyusun

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan mendapat pengesahan. Perusahaan

industri di dalam Kawasan Industri dikecualikan dari perizinan yang menyangkut

Gangguan, Lokasi, dan pengesahan rencana tapak tanah. Kewajiban Perusahaan

Industri di kawasan Industri sebagai berikut: (a) memenuhi semua ketentuan

perizinan dan tata tertib kawasan industri; (b) memelihara daya dukung

lingkungan di sekitar kawasan termasuk tidak melakukan pengambilan air tanah;

(c) melakukan pembangunan pabrik dalam batas waktu paling lama 4 (empat)

tahun sejak pembelian lahan; (d) mengembalikan kaveling Industri kepada

Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam batas waktu yang ditentukan sudah

berakhir bagi tidak melakukan pembangunan pabrik. tata cara pengembalian

kaveling industri diatur lebih lanjut dalam tata tertib kawasan industri masing-

masing kawasan industri.

Penyediaan kawasan industri dan sentra IKM dapat dilakukan Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta melalui kerjasama dengan pihak swasta sesuai ketentuan

yang ditetapkan PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja

Sama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761). Menurut PP

tersebut, yang dimaksud kerjasama daerah adalah kesepakatan antara gubernur

dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/walikota atau antara bupati/

walikota dengan bupati/walikota lain, dan/atau gubernur, bupati/walikota dengan

pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban.

Pelaksanaan kerjasama berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No.

22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah.

Page 115: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 57

Bentuk kerjasama yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta dengan swasta (badan hukum) dalam penyediaan kawasan industri dan

sentra IKM berdasarkan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:

1. Kerja sama Pemanfaatan (KSP)

Kerjasama pemanfaatan (KSP) berupa pendayagunaan barang milik daerah

oleh “pihak lain” dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan

penerimaan daerah dan sumber pembiayaan lain.65 Beberapa ahli kontrak

bahwa KSP disebut kerjasama operasi, yaitu perikatan antara pemerintah

daerah dengan pihak ketiga dengan ketentuan Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta menyediakan barang milik daerah (misalnya lahan) dan pihak ketiga

menamankan modal yang dimilikinya dalam salah satu usaha, selanjutnya

kedua belah pihak secara bersama-sama atau bergantian mengelola

manajemen dan proses operasionalnya, keuntungan dibagi sesuai dengan

besarnya sharing masing-masing.66

Barang milik daerah yang dapat dikerjasamakan menurut Pasal 25 PP No. 6

Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, berupa tanah

dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada

Gubernur dan dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat

persetujuan Gubernur, dan/atau sebagian tanah dan/atau bangunan yang

masih digunakan oleh pengguna barang, atau kerjasama pemanfaatan atas

barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan dan dilaksanakan oleh

pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang (Sekretaris

Daerah).

65 Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah,

dan Pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.

66 Sri Gambir Melati Hatta, Klausul-Klausul Dalam Perjanjian Kerjasama – MOU Pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta: Telahaan dari Segi Hukum. Makalah Dalam Bimbingan Teknis Perjanjian Kerjasama / MOU yang diselenggarakan oleh Biro Hukum Setda Provinsi DKI Jakarta, di Hotel Nikko, tanggal 26 s/d 29 November 2007.

Page 116: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 58

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas kerjasama pemanfaatan barang milik

daerah berupa tanah dan/atau bangunan dapat dilakukan dengan ketentuan,

(a) tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh Pengguna Barang

(Kepala SKPD) kepada Pengelola Barang (Sekretaris Daerah). Kerja sama

tersebut dapat dilaksanakan Pengelola Barang (Sekretaris Daerah); (b) tanah

dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh Pengguna Barang (Kepala

SKPD) kepada Gubernur dan dilaksanakan oleh Pengelola Barang (Sekretaris

Daerah) setelah mendapat persetujuan dari Gubernur; (c) tanah dan/atau

bangunan yang masih digunakan Pengguna Barang (Kepala SKPD); (d) selain

tanah dan/atau bangunan, kerjasama dapat dilaksanakan oleh Pengguna

Barang (Kepala SKPD) setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang

(Sekretaris Daerah).

Meskipun Sekretaris Daerah diberi wewenang untuk melaksanakan kerjasama

pemanfaatan/penggunaan barang milik daerah (tanah dan/atau bangunan),

namun tanggung jawab tetap berada pada Gubernur. Oleh sebab itu, setiap

pelaksanaan kerjasama penggunaan barang milik daerah dengan pihak lain

(swasta) harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Gubernur sesuai

persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 PP No. 6 Tahun 2006,

meliputi :

a) tidak tersedianya atau tidak cukup tersedianya dana dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi biaya

operasional/pemeliharaan/perbaikan yang diperlukan terhadap barang milik

daerah dimaksud;

b) mitra kerjasama pemanfaatan ditetapkan melalui tender dengan

mengikutsertakan sekurang-kurangnya 5 (lima) peserta/peminat. Apabila

setelah 2 kali berturut-turut diumumkan peminatnya kurang dari 5 (lima)

dapat dilakukan proses pemilihan langsung atau penunjukan langsung

melalui negosiasi baik teknis maupun harga, kecuali untuk barang milik

daerah yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung seperti

penggunaan tanah dan/atau bangunan antara lain pengelolaan limbah atau

sampah;

Page 117: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 59

c) mitra kerjasama pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap ke

rekening kas umum daerah setiap tahun selama jangka waktu

pengoperasian yang ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil

kerjasama pemanfaatan.67

Penetapan besar kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama

ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Tim Penilai yang

dibentuk dengan Keputusan Gubernur, dengan memperhatikan ketentuan

sebagai berikut: (a) nilai tanah dan/atau bangunan sebagai objek kerjasama

ditetapkan sesuai nilai jual objek pajak (NJOP) dan/atau harga pasaran umum.

Apabila dalam satu lokasi terdapat nilai NJOP dan/atau pasaran umum yang

berbeda dilakukan penjumlahan dan dibagi sesuai jumlah yang ada; (b)

kegiatan kerjasama pemanfaatan untuk kepentingan umum dan/atau kegiatan

perdagangan; (c) besaran investasi dari mitra kerja; (d) penyerapan tenaga

kerja dan peningkatan PAD. 68

Jangka waktu kerjasama pemanfaatan barang milik daerah paling lama 30

(tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang

sesuai Pasal 26 huruf g PP No. 6 Tahun 2006 dan Pasal 38 ayat (5)

Permendagri No. 17 Tahun 2007.69 Setelah berakhirnya jangka waktu kerja

sama pemanfaatan menurut Pasal 39 Permendagri No. 17 Tahun 2007,

Gubernur menetapkan status penggunaan atas tanah dan/atau bangunan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Surat perjanjian kerjasama pemanfatan barang milik daerah menurut

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 2007, sekurang-kurangnya

memuat hal-hal sebagai berikut: (a) pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian;

67 Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik

Daerah. 68 Ibid 69 Menurut Pasal 26 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6

Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah, jangka waktu kerjasama pemanfaatan infrastruktur paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani. Infrastruktur dimaksud meliputi: (a) infrastruktur transportasi meliputi pelabuhan laut, sungai atau danau, bandar udara, jaringan rel dan stasiun kereta api; (b) infrastruktur jalan meliputi jalan tol dan jembatan; (c) infrastruktur sumber daya air meliputi saluran pembawa air baku dan waduk/bendungan; (d) infrastruktur air minum meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, dan instalasi pengolahan air minum; (e) infrastruktur air limbah meliputi instalasi pengolahan air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkutan dan tempat pembuangan; (f) infrastruktur telekomunikasi meliputi jaringan telekomunikasi; (g) infrastruktur ketenagalistrikan meliputi pembangkit, transmisi, atau distribusi tenaga listrik; (h) infrastruktur minyak dan gas bumi meliputi pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, transmisi, dan distribusi minyak dan gas bumi.

Page 118: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 60

(b) objek kerjasama pemanfaatan; (c) jangka waktu kerjasama pemanfaatan;

(d) pokok-pokok mengenai kerjasama pemanfaatan; (e) data barang milik

daerah menjadi objek kerjasama pemanfaatan; (f) hak dan kewajiban para

pihak yang terikat dalam perjanjian; (g) besarnya kontribusi tetap dan

pembagian hasil keuntungan ditetapkan dengan Keputusan Gubernur dan

dicantumkan dalam surat perjanjian kerjasama pemanfaatan; (h) sanksi; dan

(i) persyaratan lain yang dianggap perlu. 70

2. Bangun Guna Serah (BGS) dan Bangun Serah Guna (BSG)

BGS adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh pihak lain

dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, yang

kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu

yang telah disepakati untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta

bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka

waktu.71 Berdasarkan pengertian tersebut, Pemerintah Daerah memiliki tanah

dan/atau bangunan siap pakai dan/atau menyediakan, menambah sarana lain

berikut fasilitas di atas tanah dan/atau bangunan dan mendayagunakan

selama kurun waktu tertentu untuk kemudian setelah jangka waktu berakhir

menyerahkan kembali tanah dan/atau bangunan dan/atau sarana lain berikut

fasilitasnya kepada Pemerintah Daerah.

Pengertian BSG adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh

pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitas-

nya dan setelah selesai pembangunan diserahkan untuk didayagunakan pihak

lain dalam jangka waktu tertentu.72 Berdasarkan pengertian tersebut, BSG

salah satu bentuk pemanfaatan tanah dan/atau bangunan milik Pemerintah

Daerah oleh Pihak Ketiga. Pihak Ketiga membangun bangunan siap pakai

dan/atau menyediakan/menambah sarana lain berikut fasilitas di atas tanah

dan/atau bangunan tersebut dan setelah selesai pembangunannya diserahkan

70 Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik

Daerah. 71 Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, dan

Pasal 1 angka 22 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.

72 Pasal 1 angka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah, dan Pasal 1 angka 24 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Page 119: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 61

kepada Pemerintah Daerah untuk kemudian oleh Pemerintah Daerah tanah

dan/atau bangunan siap pakai dan/atau sarana lain berikut fasilitasnya

diserahkan kembali kepada pihak lain untuk didayagunakan selama kurun

waktu tertentu.

Wewenang pelaksanaan BGS dan BSG menurut Pasal 27 ayat (3) PP No. 6

Tahun 2006, dilaksanakan Pengelola Barang (Sekretaris Daerah) setelah

mendapat persetujuan dari Gubernur. Persyaratan pelaksanaan BGS

sebagaimana termuat dalam lampiran Permendagri No. 17 Tahun 2007,

sebagai berikut: (a) gedung yang dibangun berikut fasilitas harus sesuai

kebutuhan Pemerintah Daerah dan sesuai dengan tugas dan fungsi; (b)

Pemerintah Daerah memiliki tanah yang belum dimanfaatkan; (c) dana untuk

pembangunan berikut penyelesaian fasilitasnya tidak membebani APBD; (d)

bangunan hasil guna serah harus dapat dimanfaatkan secara langsung oleh

Pihak Ketiga; (e) mitra BGS harus mempunyai kemampuan dan keahlian; (f)

objek BGS berupa sertfikat tanah hak pengelolaan milik Pemerintah Daerah

tidak boleh dijaminkan, digadaikan dan dipindah tangankan; (g) pihak ketiga

akan memperoleh hak guna bangunan (HGB) di atas HPL milik Pemerintah

Daerah; (h) HGB di atas HPL milik Pemerintah Daerah dapat dijadikan

jaminan, diagunkan dengan dibebani hak tanggungan dan hak tanggungunan

dimaksud akan hapus dengan habisnya HGB; (i) izin mendirikan bangunan

(IMB) atas nama Pemerintah Daerah; (j) objek pemeliharaan meliputi tanah

beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya; (k) mitra kerja BGS

membayar kontribusi ke kas daerah setiap tahun selama jangka waktu

pengoperasian.

Sedangkan persyaran pelaksanaan BSG sebagaimana diatur dalam Pasal 44

Permendagri No. 17 Tahun 2007, sebagai berikut: (a) mitra BSG harus

menyerahkan hasil BSG kepada Gubernur setelah selesai pembangunan; (b)

mitra BSG dapat mendayagunakan barang milik daerah tersebut sesuai

jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perjanjian; (c) setelah jangka waktu

pendayagunaan berakhir, objek BSG terlebih dahulu diaudit oleh aparat

Page 120: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 62

pengawasan fungsional pemerintah daerah sebelum penggunaannya

ditetapkan oleh Gubernur.

Besaran kontribusi ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan oleh Tim yang

dibentuk dengan Keputusan Gubernur. Kewajiban lain yang menjadi beban

Pemerintah Daerah adalah biaya penelitian, pengkajian, penaksiran, dan

pengumuman lelang, sedangkan kewajiban lain yang menjadi beban pihak

ketiga adalah biaya persiapan dan pelaksanaan penyusunan surat perjanjian,

konsultan pelaksanaan/pengawas.

Prosedur pelaksanaan BSG, permohonan pengguna pusahaan ditujukan

kepada Panitia tender/lelang yang dilengkapi dengan data perusahaan dan

data teknis sebagai berikut: (a) akta pendirian; (b) memiliki SIUP sesuai

bidangnya; (c) telah melakukan kegiatan usaha sesuai bidangnya; (d)

mengajukan proposal; (e) memiliki keahlian di bidangnya; (f) memiliki modal

kerja yang cukup. Data teknis yang diperlukan, meliputi : (a) tanah

lokasi/alamat, luas, status, penggunaan saat ini; (b) bangunan : lokasi/alamat,

luas, status kepemilikan; (c) rencana pembangunan gedung dengan mem-

perhatikan KDB (koefisien dasar bangunan), KLB (koefisien luas bangunan),

dan rencna pembangunan, dan sebagainya.73

Surat Perjanjian pelaksanaan BGS dan BGS atas barang milik daerah

menurut Pasal 41 ayat (7) dan Pasal 43 ayat (7) Permendagri No. 17 Tahun

2007, bahwa surat perjanjian BGS sekurang-kurang-nya memuat: (a) pihak-

pihak terikat dalam perjanjian; (b) objek BGS; (c) jangka waktu BGS; (d)

pokok-pokok mengenai BGS; (d) data barang milik daerah yang menjadi objek

BGS; (e) hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; (f)

jumlah / besarannya kontribusi yang harus dibayar oleh Pihak Ketiga; (h)

sanksi; (i) persyaratan lain yang dianggap perlu.

Sedangkan surat perjanjian BSG sekurang-kurangnya memuat: pihak-pihak

yang terikat dalam perjanjian; objek bangun serah guna; jangka waktu bangun

serah guna; hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; dan

persyaratan lain yang dianggap perlu. Surat perjanjian tersebut ditandatangani 73 Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik

Daerah.

Page 121: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 63

oleh Pengelola Barang (Sekretaris Daerah) atas nama Gubernur dan mitra

kerjasama.

Kerjasama dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam

penyediaan infrastruktur industri di luar kawasan peruntukan industri sebagai-

mana ditetapkan dalam Pasal 62 UU No. 3 Tahun 2014 berikut ini: (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya infrastruktur

Industri.

(2) Penyediaan infrastruktur Industri dilakukan di dalam dan/atau di luar kawasan peruntukan Industri.

(3) Infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit

meliputi: a. lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau kawasan peruntukan

Industri; b. fasilitas jaringan energi dan kelistrikan; c. fasilitas jaringan telekomunikasi; d. fasilitas jaringan sumber daya air; e. fasilitas sanitasi; dan f. fasilitas jaringan transportasi.

(4) Penyediaan infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dilakukan melalui: a. pengadaan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah yang pembiayaan-

nya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;

b. pola kerja sama antara Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan swasta, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dan swasta; atau

c. pengadaan yang dibiayai sepenuhnya oleh swasta.

Demikian halnya dalam penyediaan infrastruktur industri, Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta dalam bekerjasama dengan badan usaha sebagaimana

diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama

Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

Page 122: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 64

4.6. Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri

Sumber Daya Manusia (SDM) faktor penting untuk pendorong pertumbuhan

ekonomi termasuk bidang industri. Oleh sebab itu, ketersediaan SDM yang

bermutu merupakan salah satu syarat bagi peningkatan dan keberlanjutan

pertumbuhan industri baik di daerah Provinsi DKI Jakarta maupun nasional di

masa datang. Menurut hasil kajian yang dilakukan Kementerian Perindustrian,

ada 4 (empat) permasalahan dihadapi pelaku usaha di bidang industri dalam

pemenuhan kebutuhan SDM, yaitu: (1) persoalan hukum atau peraturan

perundang-perundangan terutama berkaitan dengan upah minimum dan

kewajiban pembayaran pesangon yang tidak sesuai dengan kemampuan

perusahaan; (2) kualitas SDM lulusan sekolah menengah (umum maupun

kejuruan) secara umum masih belum memenuhi atau tidak sesuai kebutuhan

industri, terutama untuk mengisi posisi pekerja tingkat menengah; (3) kelangkaan

pasokan SDM ahli (profesional di bidang manufacturing dan pendukung kegiatan

industri lainnya); (4) tidak ada insentif bagi pelaku industri untuk melatih pekerja.

Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi peningkatan kualitas SDM

di bidang industri melalui pendidikan formal diatur dalam peraturan perundang-

perundangan yang ada saat ini, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2006 tentang

Sistem Pelatihan Kerja Nasional sebagai aturan pelaksanaan UU No. 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada lingkup daerah Provinsi DKI Jakarta diatur 2

(dua) produk hukum daerah, yaitu Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004

tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Tahun 2004 Nomor 60) dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006

tentang Sistem Pendidikan (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Tahun 2006 Nomor 8). Pasokan SDM industri sebagian besar berasal dari

lembaga pendidikan dan/atau pelatihan yang dikelola pemerintah (Pemerintah

Pusat dan/atau Pemerintah Daerah) dan swasta yang pembinaan dan

pengawasan pada lingkup daerah berada pada Dinas Pendidikan serta Dinas

Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk pelatihan kerja yang secara operasional

Page 123: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 65

dilakukan oleh Pusat Pelatihan Kerja Daerah yang dulu disebut dengan Balai

Latihan Kerja Daerah.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan, secara

umum pendidikan dibagi ke dalam tujuh jenis, yaitu pendidikan umum, kejuruan,

akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Ketujuh jenis pendidikan

tersebut memiliki peran masing-masing dalam membangun mutu SDM, termasuk

SDM yang diperlukan oleh dunia industri. Dari ketujuh jenis tersebut, dua jenis

diantaranya berkaitan erat dengan SDM industri, yaitu jenis pendidikan kejuruan

dan vokasi. Pada dua jenis pendidikan tersebut terdapat jurusan yang terkait

dengan industri atau yang biasa disebut dengan technical vocational education

(TVE).

Berkaitan peran lembaga pendidikan dalam memasok SDM berkualitas

dalam jumlah yang cukup bagi kebutuhan sektor industri, pendidikan kejuruan

dan vokasi menghadapi berbagai persoalan antara lain: (1) program pendidikan

kejuruan dan vokasi dirasakan bersifat kaku dan tidak lentur terhadap perubahan

kebutuhan lapangan kerja. Jenis program studi, materi pendidikan, cara

mengajar, media belajar, evaluasi dan sertifikasi lebih banyak ditentukan oleh

Pemerintah; (b) jumlah dan kapasitas pendidikan kejuruan dan vokasi bidang

industri relatif kecil dibandingkan jumlah kapasitas total jenis pendidikan tersebut;

(c) kualitas pendidikan kejuruan dan vokasi bidang industri masih perlu

ditingkatkan terutama berkaitan dengan kualitas, kuantitas peralatan praktek, guru

dan infrastruktur pendukung lainnya; (d) pendidikan kejuruan dan vokasi bidang

industri perlu lebih disesuaikan dengan kebutuhan nyata dunia industri dan

berorientasi kepada kebutuhan pasar kerja yang berubah (demand driven).

Berdasarkan Sistem Pelatihan Kerja Nasional Pelatihan kerja sebagaimana

diatur dalam PP No. 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional

(SISLATKERNAS) bahwa pelatihan kerja harus berorientasi pada kebutuhan,

berbasis pada kompetensi, merupakan tanggung jawab bersama dunia usaha,

pemerintah dan masyarakat, dan bagian dari pengembangan profesionalisme

sepanjang hayat.74 SISLATKERNAS mengatur berbagai hal mengenai pelatihan,

74 Lihat Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional

Page 124: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 66

diantaranya tentang standardisasi kegiatan pelatihan, kualifikasi pelatihan,

akreditasi lembaga pelatihan, dan sertifikasi bagi peserta yang berhasil.

SISLATKERNAS juga memungkinkan penyelenggaraan pelatihan dengan sistem

magang.

Berkaitan standardisasi penyelenggaraan pelatihan kerja, SISLATKERNAS

mengamanatkan disusunnya standar kompetensi masing-masing bidang keahlian

kerja. Program pelatihan dan materi uji kompetensi mengacu kepada Standar

Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Adapun standar tersebut memiliki

syarat berikut: (1) disusun berdasarkan kebutuhan lapangan usaha sekurang-

kurangnya memuat kompetensi teknis pengetahuan dan sikap kerja; (2)

dikelompokkan berdasarkan jenjang kualifikasi dengan mengacu pada KKNI

dan/atau jenjang jabatan; (3) pengelompokkan berdasarkan jenjang kualifikasi

dilakukan berdasarkan tingkat kesulitan pelaksanaan pekerjaan sifat pekerjaan

dan tanggung jawab pekerjaan; (4) rancangan dibakukan melalui forum konvensi

antar asosiasi profesi pakar dan praktisi untuk sektor sub sektor dan bidang

tertentu dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Peran Pusat Pelatihan Kerja Daerah atau Balai Latihan Kerja (BLK) yang

dikelola Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta, menjadi

ujung tombak pembangunan mutu SDM industri melalui jalur pelatihan. Akan

tetapi Pusat Pelatihan Kerja Daerah yang ada di lima 5 (lima) wilayah Kota tidak

memadai baik kualitas maupun kuantitasnya. Untuk meningkatkan kapasitas

Pusat Pelatihan Kerja Daerah sesuai kebutuhan pelaku industri membutuhkan

biaya besar terutama bagi penyediaan sarana kegiatan praktikum. Sementara

peran masyarakat dalam penyelenggaraan pelatihan kerja rendah dalam

penyelenggaraan pelatihan di bidang industri. Pelatihan kerja dapat dilaksanakan di tempat pelatihan atau di tempat kerja.

Pelatihan di tempat kerja berbentuk pemagangan (apprenticeship). Pelatihan

dengan sistem magang diatur cukup rinci dalam UU No. 3 Tahun 2013 tentang

Ketenagakerjaan.75 Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau

75 Pengertian pemagangan menurut UU No. 3 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, sebagai sistem pelatihan kerja

yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di

Page 125: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 67

perusahaan lain, di dalam maupun di luar wilayah Indonesia selama jangka waktu

6 sampai 9 bulan.76 Peserta pemagangan minimal berusia 15 tahun, dilaksanakan

berdasarkan perjanjian antara peserta magang dengan perusahaan pemerintah.

Agar menjadi pelaksana program magang, perusahaan atau pusat pelatihan kerja

harus terdaftar. Sesungguhnya magang memiliki beberapa keuntungan, namun

sering menimbulkan kekhawatiran bahwa program tersebut disalahgunakan untuk

mendapatkan tenaga kerja murah.

Pembangunan SDM industri melalui jalur pelatihan menghadapi kendala dan

persoalan diantaranya jumlah dan kapasitas lembaga pelatihan bidang industri

relatif sedikit. Hal ini disebabkan karena keterbatasan anggaran pemerintahan

rendahnya peran swasta dalam penyelenggaraan lembaga pelatihan di bidang

industri. Selain itu, penyelenggaraan lembaga pelatihan kerja bidang industri

memerlukan biaya besar sementara kemampuan pembiayaan pelatihan oleh

individu relatif terbatas. Penyelenggaraan program pelatihan kerja bidang industri

memerlukan subsidi lebih besar dibandingkan program pelatihan bidang lain.

Berkaitan dengan standardisasi dan sertifikasi kompetensi, masih menjadi

kendala antara lain penyusunan SKKNI terhambat karena tidak semua industri

memiliki asosiasi pengusaha dan tidak semua profesi memiliki wadah (asosiasi

profesi), sehingga sampai saat ini baru 16 bidang profesi yang memiliki Lembaga

Sertifikasi Profesi (LSP), dan keterbatasan fasilitas dimana tidak semua Pusat

Pelatihan Kerja Daerah memiliki fasilitas memadai sehingga dapat menjadi

Tempat Uji Kompetensi (TUK) kecuali Pusat Pelatihan Kerja Las.

Selain lembaga pendidikan dan pelatihan di atas sebelumnya, pembangunan

SDM industri juga dilakukan oleh Pusat Pelatihan Kerja Pengembangan Industri

sebagaimana diatur dengan Peraturan Gubernur No. 115 Tahun 2010 sebagai

Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD) Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi.

Pusat Pelatihan Kerja Pengembangan Industri tersebut menyelenggarakan

pendidikan dan pelatihan, antara lain: teknologi mekanik (konvensional), teknologi

mekanik (CNC), teknik pendingin (tata udara), teknik pendingin (lemari pendingin),

bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu

76 Dengan alasan tertentu jangka waktu pemagangan dapat diperpanjang menjadi selama setahun

Page 126: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 68

las listrik, otomotif (mobil diesel), otomotif (mobil bensin), otomotif (sepeda motor),

gambar konstruksi (autocad), tata busana, administrasi kantor, dan sekretaris

kantor.

Pengembangan SDM di bidang industri tersebut di atas dalam rangka

melaksanakan kewajiban yang diberikan oleh negara kepada Pemerintah Daerah

sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU No. 3 Tahun 2014 berikut ini: Pasal 16 (2) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku Industri, dan masyarakat.77

(3) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) memperhatikan penyebaran dan pemerataan ketersediaan sumber daya manusia Industri yang kompeten untuk setiap wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

(4) Sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi: a. wirausaha Industri; b. tenaga kerja Industri; c. pembina Industri; dan d. konsultan Industri. Dalam penjelasan: Yang dimaksud “wirausaha Industri” adalah pelaku usaha Industri. Yang dimaksud “tenaga kerja Industri” adalah tenaga kerja profesional di bidang Industri. Yang dimaksud “pembina Industri” adalah aparatur yang memiliki kompetensi di bidang Industri di pusat dan di daerah. Yang dimaksud “konsultan Industri” adalah orang atau perusahaan yang memberikan layanan konsultasi, advokasi, pemecahan masalah bagi Industri.

Peran Dinas Perindustrian dan Energi dalam pembangunan SDM di bidang

industri sesuai tugas dan fungsi yang diberikan Gubernur sebagai “pengguna”

atau “user”. Sebagai pembina di bidang industri, Dinas Perindustrian dan Energi

lebih banyak berkoordinasi dengan pelaku industri, termasuk mengenai persoalan

SDM. Meskipun wewenang dimiliki Dinas Perindustrian dan Energi terbatas,

77 Pasal 16 ayat (1) menyatakan Pembangunan sumber daya manusia Industri dilakukan untuk

menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna meningkatkan peran sumber daya manusia Indonesia di bidang Industri.

Page 127: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 69

Dinas Perindustrian dan Energi berupaya untuk memenuhi kebutuhan SDM di

bidang industri yang kebutuhannya belum terpenuhi oleh pihak lain. Oleh sebab

itu, Dinas Perindustrian dan Energi melaksanakan berbagai program pelatihan

untuk mengakomodasikan kebutuhan SDM industri yang ada di DKI Jakarta.

4.7. Pemberdayaan Industri Kecil, Menengah, dan Kreatif

Pemberdayaan industri kecil dan menengah tidak hanya menjadi kewajiban

Pemerintah Daerah melainkan juga Pemerintah Pusat sebagaimana diatur dalam

Pasal 72 UU No. 3 Tahun 2014, bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah

melakukan pembangunan dan pemberdayaan industri kecil dan industri

menengah untuk mewujudkan industri kecil dan industri menengah yang berdaya

saing, berperan signifikan dalam penguatan struktur industri, berperan dalam

pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja, dan menghasilkan

barang dan/atau jasa industri untuk diekspor, maka dilakukan perumusan

kebijakan, penguatan kapasitas kelembagaan, dan pemberian fasilitas.

Penguatan kapasitas kelembagaan pada industri kecil dan industri

menengah menurut Pasal 72 UU No. 3 Tahun 2014, dilakukan melalui: (a)

peningkatan kemampuan sentra, unit pelayanan teknis, tenaga penyuluh

lapangan, serta konsultan Industri kecil dan Industri menengah; (b) kerja sama

dengan lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta

asosiasi Industri dan asosiasi profesi terkait.

Pemberian fasilitas kepada industri kecil dan menengah menurut Pasal 75

UU No. 3 Tahun 2014, dalam bentuk: (a) peningkatan kompetensi sumber daya

manusia dan sertifikasi kompetensi; (b) bantuan dan bimbingan teknis; (c)

bantuan Bahan Baku dan bahan penolong; (d) bantuan mesin atau peralatan; (e)

pengembangan produk; (f) bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup

untuk mewujudkan industri hijau; (g) bantuan informasi pasar, promosi, dan

pemasaran; (h) akses pembiayaan, termasuk mengusahakan penyediaan modal

awal bagi wirausaha baru; (i) penyediaan kawasan industri untuk Industri kecil

dan Industri menengah yang berpotensi mencemari lingkungan; dan/atau (j)

Page 128: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 70

pengembangan, penguatan keterkaitan, dan hubungan kemitraan antara Industri

kecil dengan Industri menengah, Industri kecil dengan Industri besar, dan Industri

menengah dengan Industri besar, serta Industri kecil dan Industri menengah

dengan sektor ekonomi lainnya dengan prinsip saling menguntungkan.

Dalam pengembangan industri kreatif menurut Pasal 43 UU No. 3 Tahun

2014, bahwa Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat sesuai kewenangannya

memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi

masyarakat dalam pembangunan industri dilakukan dengan memberdayakan

budaya Industri dan/atau kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat. Sehubungan

itu, dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi

masyarakat tersebut, Pemerintah Daerah melakukan: (a) penyediaan ruang dan

wilayah bagi masyarakat dalam berkreativitas dan berinovasi; (b) pengembangan

sentra Industri kreatif; (c) pelatihan teknologi dan desain; (d) konsultasi,

bimbingan, advokasi, dan fasilitasi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual

khususnya bagi Industri kecil; (e) fasilitasi promosi dan pemasaran produk Industri

kreatif di dalam dan luar negeri.

Pembiayaan pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi

masyarakat tersebut di atas, menurut Pasal 44 UU No. 3 Tahun 2014 dari

Pemerintah Daerah, badan usaha dan/atau masyarakat (orang perseorangan)78.

Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah Daerah hanya dapat diberikan kepada

perusahaan industri yang berbentuk badan usaha milik negara dan badan usaha

milik daerah dalam bentuk pemberian pinjaman, hibah dan/atau penyertaan

modal.

Pemberdayaan IKM sesuai anjuran Pemerintah Pusat melalui Menteri

Perindustrian dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) sebagaimana diatur

dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 142/M-IND/PER/10/2009 tentang

Pedoman Pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Industri Kecil dan Menengah.

Pembentukan UPT IKM tersebut bertujuan sebagai berikut: (a) membangun,

mengerakkan dan mengembangkan kelompok usaha dan/atau perusahaan IKM

78 Pasal 44 ayat (1) Pemerintah memfasilitasi ketersediaan pembiayaan yang kompetitif untuk

pembangunan Industri.

Page 129: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 71

serta calon usaha baru; (b) mengembangkan kemampuan daya saing dan

produktivitas kelompok usaha dan/atau perusahaan IKM melalui layanan

keteknikan dan inovasi teknologi atau peralatan; (c) mengembangan sarana

produksi dalam rangka perkuatan usaha IKM.

Peran UPT IKM menurut Peraturan Menteri 142/M-IND/PER/10/2009

sebagai berikut: (a) sebagai agen pembangunan sarana pembinaan dan

pelatihan, pelayanan masyarakat IKM dalam mendukung produktivitas kerja IKM,

serta menggali sumber dana pembiayaan operasional; (b) sebagai fasilitator,

inovator, dinamisator, dan motivator pengembangan potensi produksi serta

pemecahan masalah kewirausahaan bagi kelompok usaha dan/atau perusahaan

IKM.

Jenis layanan yang diberikan oleh UPT IKM meliputi: (a) pengembangan

kopetensi sumber daya manusia, meliputi: pendidikan dan pelatihan industri dan

kewirausahaan baik secara klasikal, praktek, magang maupun workshop;

percontohan mesin/peralatan dan teknologi produksi; pengorganisasian, dan

pengembangan wawasan; (b) dukungan produksi, meliputi: bantuan dan layanan

produksi; jasa pemeliharaan dan reperasi kerusakan alat produksi; bimbingan

teknis bidang permesinan/alat produksi; bimbingan teknis bidang proses produksi;

(c) dukungan pemasaran dan layanan bisnis lainnya, berupa penyediaan show

room atau fasilitas pameran produk; penerbitan brosur, leaflet dan sejenisnya;

publikasi film dan media masa; fasilitasi temu bisnis; mediasi dengan sumber

daya produktif lainnya; (d) jasa konsultasi pengembangan usaha, berupa: jasa

pendampingan usaha atau manajemen; jasa konsultasi (diagnosa makro dan

mikro); jasa studi kelayakan untuk investasi; bimbingan teknis dan menajemen;

dan fasilitasi layanan hak kekayaan intelektual (HKI); (e) jasa penelitian dan

pengembangan, berupa penelitian dan pengembangan untuk inovasi teknologi

(produk, desain, dan teknis produksi); inkubator usaha untuk pengujian hasil

penelitian dan pengambangan skala UPT IKM; pemberian layanan pengujian atau

laboratorium uji sederhana bagi produk IKM.

Page 130: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 72

Kelembagaan UPT IKM minimal terdiri dari: (a) Kepala UPT dengan tugas

mengoordinasikan seluruh operasionalisasi atau kegiatan pelayanan; (b) Kepala

Bagian Tata Usaha, tugasnya melaksanakan urusan ketatausahaan guna

menunjang kelancaran kegiatan pelayanan UPT IKM; (c) Sub Bidang Konsultasi

dengan tugas memberikan layanan konsultasi, mediasi, atau fasilitasi yang

diperlukan IKM bindaan dalam mengatasi permasalahan usahanya; (d) operator

dengan tugas memberikan layanan teknis melalui pengoperasian mesin dan

peralatan.

Pembentukan UPT IKM sebagaimana dianjurkan Kementerian Perindustrian

tersebut di atas, diharapkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh IKM

selama ini dapat diatasi, sehingga IKM memiliki berdaya saing, berperan

signifikan dalam pembangunan daerah dan pengentasan kemiskinan melalui

perluasan kesempatan kerja, serta mampu menghasilkan barang dan/atau jasa

industri untuk diekspor yang berkualitas. Demikian halnya dengan Industri Kreatif,

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat membentuk UPT Industri Kreatif dalam

rangka memberikan pelayanan yang optimal dan pemberdayaan industri kreatif di

Provinsi DKI Jakarta.

4.8. Insentif dan Disinsentif

Pengertian insentif merujuk pada Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri

No. 64 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberian Insentif dan

Pemberian Kemudahan Penanaman Modal Di Daerah, adalah dukungan dari

Pemerintah Daerah kepada pelaku usaha dalam rangka mendorong peningkatan

industri di daerah (dalam hal ini Provinsi DKI Jakarta). Bentuk insentif yang

diberikan dapat berbentuk: (a) pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak

daerah; (b) pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah; (c)

pemberian dana stimulan; dan/atau (c) pemberian bantuan modal; dan/atau (d)

pemberian kemudahan.

Pemberian insentif berupa pengurangan, keringanan, atau pembebasan

pajak daerah dan/atau pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi

Page 131: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 73

daerah disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Pemberian insentif

tersebut di Provinsi DKI Jakarta telah ditetapkan kebijakan Gubernur melalui

Peraturan Gubernur. Pemberian dana stimulan ditujukan kepada pelaku industri

kecil dan menengah untuk perkuatan modal dalam keberlangsungan dan

pengembangan industri tersebut. Sedangkan pemberian insentif dalam bentuk

pemberian bantuan modal dapat berupa penyertaan modal dan aset pada Badan

Usaha Milik Daerah (BUMD) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemberian insentif berupa pemberian kemudahan kepada pelaku usaha di

bidang industri sebagai berikut:

a. penyediaan data dan informasi peluang usaha

Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan data dan informasi peluang

usaha, antara lain: (1) peta potensi ekonomi daerah; (2) rencana tata ruang

wilayah; (c) rencana strategis dan skala prioritas daerah. Dalam memberikan

kemudahan tersebut Pemerintah Daerah memberikan berbagai kemudahan

akses dalam memperoleh data dan informasi melalui prasarana dan sarana

yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sesuai kemampuan daerah.

b. penyediaan prasarana dan sarana

Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan prasarana dan sarana,

antara lain: jaringan listrik, jalan, transportasi, jaringan telekomunikasi dan

jaringan air bersih.

c. penyediaan lahan atau lokasi

Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan lahan atau lokasi diarahkan

kepada kawasan yang menjadi prioritas pengembangan ekonomi daerah dan

peeyediaan lahan atau lokasi industri sesuai peruntukannya. Pemberian

Kemudahan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. pemberian bantuan teknis

Pemberian kemudahan kepada industri kecil dan menengah dalam bentuk

penyediaan bantuan teknis antara lain dapat berupa bimbingan teknis,

pelatihan, tenaga ahli, kajian dan/atau studi kelayakan.

Pemberian insentif berupa kemudahan diberikan kepada pelaku usaha

industri yang memenuhi kriteria sekurang-kurangnya salah satu kriteria berikut ini:

Page 132: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 74

a. memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat bagi pelaku

usaha industri yang menimbulkan dampak pengganda.

b. menyerap banyak tenaga kerja lokal, dengan perbandingan antara jumlah

tenaga kerja lokal dengan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan.

c. menggunakan sebagian besar sumber daya lokal, dengan perbandingan

antara bahan baku lokal dan bahan baku yang diambil dari luar daerah yang

digunakan dalam kegiatan usaha.

d. memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik sebagai bentuk

pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dalam penyediaan pelayanan

publik.

e. memberikan kontribusi dalam peningkatan Produk Domestik Regional Bruto

kepada pelaku usaha yang kegiatan usahanya mengoptimalkan pemanfaatan

potensi sumber daya alam lokal.

f. berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, berlaku bagi pelaku usaha yang

memiliki dokumen analisis dampak lingkungan dan menerapkan prinsip-prinsip

keseimbangan dan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam serta taat

pada rencana tata ruang wilayah.

g. termasuk skala prioritas tinggi, diberlakukan kepada pelaku usaha industri

yang usahanya berada dan/atau sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah,

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Daerah; dan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh.

h. termasuk pembangunan infrastruktur bagi pelaku usaha industri yang kegiatan

usahanya mendukung Pemerintah Daerah dalam penyediaan infrastruktur

atau sarana dan prasarana yang dibutuhkan

i. melakukan alih teknologi kepada pelaku usaha industri yang kegiatan

usahanya memberikan kesempatan kepada Pemerintah Daerah dan

masyarakat dalam menerapkan teknologi

j. melakukan industri pionir bagi pelaku usaha yang membuka jenis usaha baru

dengan keterkaitan kegiatan usaha yang luas, memberi nilai tambah dan

memperhitungkan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru;

Page 133: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 75

dan memiliki nilai strategis dalam mendukung pengembangan produk

unggulan daerah.

k. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi bagi pelaku

usaha industri yang kegiatan usahanya bergerak di bidang penelitian dan

pengembangan, inovasi teknologi dalam mengelola potensi daerah

l. bermitra dengan industri kecil dan menengah bagi pelaku usaha industri yang

kegiatan usahanya melakukan kemitraan dengan pengusaha industri kecil dan

menengah.

m. industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau peralatan yang

diproduksi di dalam negeri dengan kandungan lokal dan diproduksi di dalam

negeri.

Pemberian insentif diberikan kepada pelaku usaha industri sebagaimana

diatur dalam Pasal 110 UU No. 3 Tahun 2014 berikut ini: Pasal 110 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas untuk

mempercepat pembangunan Industri. (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:

a. Perusahaan Industri yang melakukan penanaman modal untuk memperoleh dan meningkatkan nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri dan peningkatan daya saing Industri;

b. Perusahaan Industri yang melakukan penelitian dan pengembangan Teknologi Industri dan produk;

c. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang berada di wilayah perbatasan atau daerah tertinggal;

d. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengoptimalkan penggunaan barang dan/atau jasa dalam negeri;

e. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengembangkan sumber daya manusia di bidang Industri;

f. Perusahaan Industri yang berorientasi ekspor; g. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang menerapkan

SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib;

h. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan;

i. Perusahaan Industri yang melaksanakan upaya untuk mewujudkan Industri Hijau; dan

Page 134: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 76

j. Perusahaan Industri yang mengutamakan penggunaan produk Industri kecil sebagai komponen dalam proses produksi.

Sedangkan disinsentif diberikan pada pelaku usaha yang tidak memenuhi

persyaratan sebagaimana dimaksud di atas. Pemberian disinsentif dapat juga

dilakukan dalam bentuk pemberian pajak daerah dan restribusi daerah yang

tinggi. Dengan demikian, pelaku usaha industri akan berupaya mendapatkan

insentif sesuai persyaratan yang ditetapkan.

4.9. Kemitraan

Terdapat perbedaan mengenai pengertian kemitraan. Untuk menambah

dan memperkaya pemahaman mengenai kemitraan, beberapa pengertian

kemitraan menurut berbagai literatur, diantaranya menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia arti kata mitra adalah teman, kawan kerja, pasangan kerja, rekan.

Kemitraan artinya perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra.79

Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih

dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip

saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis

maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara

yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis.80

Kesemua definisi tersebut di atas, belum ada satu definisi yang memberikan

definisi secara lengkap tentang kemitraan. Hal tersebut disebabkan karena

mempunyai titik fokus yang berbeda dalam memberikan definisi tentang

kemitraan dengan adanya perbedaan pendapat diantara para sarjana ini maka

akan saling melengkapi diantara pendapat sarjana yang satu dengan yang

lainnya, dan apabila dipadukan maka akan menghasilkan definisi yang lebih

sempurna, bahwa kemitraan merupakan jalinan kerjasama usaha yang

merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan

prinsip saling membutuhkan, saling memperbesar dan saling menguntungkan.

79 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1991, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 80 Muhammad Jafar Hafsah, 1999, Kemitraan Usaha, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 43.

Page 135: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 77

Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu pembinaan dan pengembangan,

hal ini dapat terlihat karena pada dasarnya masing-masing pihak pasti

mempunyai kelemahan dan kelebihan, justru dengan kelemahan dan kelebihan

masing-masing pihak akan saling melengkapi dalam arti pihak yang satu akan

mengisi dengan cara melakukan pembinaan terhadap kelemahan yang lain dan

sebaliknya.

Definisi menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 1 angka

8, kemitraan adalah kerja sama usaha antara usaha kecil dengan usaha

menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan

oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling

memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Menurut PP No. 44

Tahun 1997 tentang kemitraan, Pasal 1 angka 1, Kemitraan adalah kerja sama

usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah dan atau usaha besar dengan

memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling

menguntungkan.

Pada dasarnya kemitraan merupakan suatu kegiatan saling menguntungkan

dengan pelbagai macam bentuk kerjasama dalam menghadapi dan memperkuat

satu sama lainnya. Tujuan utama kemitraan untuk mengembangkan

pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan

ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya.81

Berkaitan dengan kemitraan seperti yang telah disebut di atas, maka

kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok yang merupakan kerjasama

usaha dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling

memerlukan yaitu :

1. Kerjasama Usaha

Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang

dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan

pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap

kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang

81 Julius Bobo, 2003, Transformasi Ekonomi Rakyat, PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta, hal. 182

Page 136: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 78

dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil

mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik

sehingga tidak ada pihak dirugikan, tidak ada yang saling mengekspoitasi satu

sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya diantara para

pihak dalam mengembangkan usahanya.

2. Antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil

Hubungan kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan pengusaha besar atau

menengah dapat menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan

dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi lainnya, sehingga pengusaha

kecil akan lebih berdaya dan tangguh didalam berusaha demi tercapainya

kesejahteraan.

3. Pembinaan dan pengembangan

Pada dasarnya yang membedakan hubungan kemitraan dengan hubungan

dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha besar adanya bentuk

pembinaan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil yang tidak

ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan

antara lain pembinaan didalam mengakses modal, pembinaan manajemen

usaha, pembinaan peningkatan sumber daya manusia (SDM), pembinaan

manajemen produksi, pembinaan mutu produksi serta pembinaan di dalam

pengembangan aspek institusi kelembagaan, fasilitas alokasi serta investasi.

4. Prinsip Kemitraan

a. Prinsip saling memerlukan

Kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai mengenal

calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya.82

Pemahaman keunggulan yang ada menghasilkan sinergi yang berdampak

pada efisiensi, turunnya biaya produksi dan sebagainya. Penerapannya

dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam

mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja dimiliki

perusahaan kecil. Sebaliknya perusahaan kecil, umumnya relatif lemah

dalam hal kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui

82 John L. Mariotti dalam Muhammad Jafar Hafsah, 1999, Kemitraan Usaha, Pustaka Sinar Harapan , Jakarta, hal. 51.

Page 137: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 79

teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar.

Dengan demikian ada saling memerlukan atau ketergantungan diantara

kedua belah pihak yang bermitra.

b. Prinsip Saling Memperkuat

Dalam kemitraan usaha, sebelum kedua belah pihak memulai bekerja

sama, maka pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin diraih oleh masing-

masing pihak yang bermitra. Nilai tambah ini selain diwujudkan dalam

bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan,

perluasan pangsa pasar, juga ada nilai tambah non ekonomi seperti

peningkatan kemapuan manajemen, penguasaan teknologi dan kepuasan

tertentu. Keinginan ini merupakan konsekwensi logis dan alamiah dari

kemitraan. Keinginan tersebut didasari sampai sejauh mana kemampuan

memanfaatkan keinginan dan memperkuat keunggulan dimilikinya,

sehingga dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku yang

bermitra, sehingga nilai tambah yang diterima akan lebih besar. Dengan

demikian terjadi saling isi mengisi atau saling memperkuat dari kekurangan

masing-masing pihak yang bermitra.

Dengan motivasi ekonomi tersebut, prinsip kemitraan dapat didasarkan

pada saling memperkuat. Kemitraan juga mengandung makna sebagai

tanggung jawab moral, bagaimana pengusaha besar atau menengah

mampu untuk membimbing dan membina pengusaha kecil mitranya

mampu (berdaya) mengembangkan usahanya sehingga menjadi mitra

yang handal dan tangguh didalam meraih keuntungan untuk kesejahteraan

bersama. Hal ini harus disadari juga masing-masing pihak yang bermitra

yaitu harus memahami bahwa mereka memiliki perbedaan, menyadari

keterbatasan masing-masing, baik yang berkaitan dengan manajemen,

penguasaan ilmu pengetahuan maupun penguasaan sumber daya, baik

sumber daya alam maupun sumber daya manusia (SDM). Dengan

demikian mereka harus mampu untuk saling isi mengisi serta melengkapi

kekurangan yang ada.

Page 138: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 80

c. Prinsip Saling Menguntungkan

Salah satu tujuan kemitraan usaha adalah “win-win solution partnership”

kesadaran dan saling menguntungkan. Kemitraan tidak berarti para

partisipan harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi

yang essensi dan lebih utama adalah adanya posisi tawar yang setara

berdasarkan peran masing-masing. Pada kemitraan usaha terutama sekali

tehadap hubungan timbal balik, bukan seperti kedudukan antara buruh dan

majikan, atau terhadap atasan kepada bawahan sebagai adanya

pembagian resiko dan keuntungan proporsional, disini letak kekhasan dan

karakter dari kemitraan usaha tersebut.

Berpedoman pada kesejajaran kedudukan atau memiliki derajat yang setara

bagi masing-masing pihak bermitra, maka tidak ada pihak yang tereksploitasi

dan dirugikan tetapi justru terciptanya rasa saling percaya diantara para pihak

sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan atau pendapatan

melalui pengembangan usahanya.

5. Tujuan Kemitraan

Kenyataan menunjukkan bahwa Industri Kecil masih belum dapat mewujudkan

kemampuan dan peranannya secara optimal dalam perekonomian nasional.

Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa industri kecil masih menghadapi

berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat eksternal maupun internal,

dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber

daya manusia, dan teknologi, serta iklim usaha yang belum mendukung bagi

perkembangannya.

Pemberdayaan industri kecil dilakukan antara lain melalui : penumbuhan iklim

usaha yang mendukung bagi pengembangan industri kecil, pembinaan dan

pengembangan industri kecil serta kemitraan usaha. Sehubungan dengan hal

tersebut di atas, untuk menghasilkan tingkat efisiensi83 dan produktivitas84

83 Efisiensi menurut Gregory Grossman dalam bukunya Sistem-Sistem Ekonomi, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1995,

hal. 9-10, mengenal tiga jenis efisiensi diantaranya yaitu pertama, efisiensi teknis adalah cara yang paling efektif dalam menggunakan suatu sumber yang langka (tenaga kerja, bahan baku, mesin dan lain sebagainya) atau sejumlah sumber dalam suatu pekerjaan tertentu. Kedua, efisiensi statis meliputi efisiensi teknis yang mencerminkan alokasi sumber-sumber yang ada dalam rangkaian waktu tertentu, dengan kata lain, efisiensi ekonomi diperoleh bila tak ada kemungkinan realokasi sumber lain yang dapat meningkatkan output produk lainnya. Ketiga, efisiensi dinamis, pada pihak lain menghubungkan pertumbuhn ekonomi dengan kenaikan sumber yang seharusnya menyebabkan pertumbuhan ini. Jadi walaupun dua perekonomian mungkin telah meningkatkan persediaan modal

Page 139: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 81

yang optimal diperlukan sinergi antara pihak yang memiliki modal kuat,

teknologi maju, manajemen modern dengan pihak yang memiliki bahan baku,

tenaga kerja dan lahan. Sinergi ini dikenal dengan kemitraan. Kemitraan yang

dihasilkan merupakan suatu proses yang dibutuhkan bersama oleh pihak yang

bermitra dengan tujuan memperoleh nilai tambah. Hanya dengan kemitraan

yang saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling memperkuat,

dunia usaha baik kecil maupun menengah akan mampu bersaing.

Secara lebih rinci tujuan kemitraan meliputi beberapa aspek, antara lain:

a. aspek ekonomi

Dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan

kemitraan secara lebih kongkrit meliputi: (1) meningkatkan pendapataan

industri kecil dan masyarakat; (2) meningkatkan perolehan nilai tambah

bagi pelaku kemitraan; (3) meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan

masyarakat dan industri kecil; (4) meningkatkan pertumbuhan ekonomi

daerah dan nasional; (5) memperluas kesempatan kerja; (6) meningkatkan

ketahanan ekonomi baik daerah maupun nasional;85

b. aspek sosial dan budaya

Kemitraan usaha dirancang sebagai bagian dari upaya pemberdayaan

industri kecil. Pengusaha besar berperan sebagaai faktor percepatan

pemberdayaan industri kecil sesuai kemampuan dan kompetensinya dalam

mendukung mitra usahanya menuju kemandirian usaha atau dengan

perkataan lain kemitraan yang dilakukan oleh pengusaha besar yang telah

mapan dengan pengusaha kecil sekaligus sebagai tanggung jawab sosial

pengusaha besar untuk ikut memberdayakan usaha kecil agar tumbuh

menjadi pengusaha yang tangguh dan mandiri.

Adapun sebagai wujud tanggung jawab sosial itu dapat berupa pemberian

pembinaan dan pembimbingan kepada pengusaha industri kecil, dengan

dan tenaga kerja mereka dengan persentase yang sama, tapi tingkat pertumbuhan nasional dalam kedua kasus ini mungkin sangat berlainan.

84 Menurut Muhammad Jafar Hafsah, 1999, hal. 54, secara umum produktivitas didefinisikan dalam model ekonomi sebagai output dibagi dengan input. Dengan kata lain produktivitas akan meningkat apabila dengan output yang sama dapat diperoleh hasil yang lebih tinggi atau sebaliknya dengan tingkat hasil yang sama hanya membutuhkan input yang lebih rendah.

85 Mohammad Jafar Hafsah, Op. Cit, hal. 63.

Page 140: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 82

pembinaan dan bimbingan yang terus menerus diharapkan pengusaha

industri kecil dapat tumbuh berkembang sebagai komponen ekonomi yng

tangguh dan mandiri sebagaimana tujuan penyelenggaraan perindustrian.

Di pihak lain dengan tumbuh berkembang kemitraan usaha diharapkan

disertai tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru sekaligus dapat upaya

pemerataan pendapatan sehingga dapat mencegah kesenjangan sosial.

Kesenjangan itu diakibatkan oleh pemilikan sumberdaya produksi dan

produktivitas yang tidak sama di antara pelaku ekonomi. Oleh karena itu,

kelompok masyarakat dengan kepemilikan faktor produksi terbatas dan

produktivitas rendah biasanya akan menghasilkan tingkat kesejahteraan

yang rendah pula.

c. aspek teknologi

Secara faktual, industri kecil biasanya mempunyai skala usaha yang kecil

dari sisi modal, penggunaan tenaga kerja, maupun orientasi pasarnya.

Demikian pula status usahanya yang bersifat pribadi atau keluarga; tenaga

kerja berasal dari lingkungan keluarga atau setempat; kemampuan

mengadopsi teknologi, manajemen, dan diministratif sangat sederhana;

dan struktur permodalan sangat bergantung pada modal tetap.

Keterbatasan teknologi pada industri kecil, industri besar dalam

pembinaan dan pengembangan terhadap pengusaha kecil meliputi juga

memberikan bimbingan teknologi. Teknologi86 dimaksud dalam arti kata

adalah ilmu yang berkenaan dengan teknik. Oleh karena itu bimbingan

teknologi yang dimaksud adalah berkenaan dengan teknik berproduksi

untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi.

d. aspek manajemen

Manajemen merupakan proses yang dilakukan oleh satu atau lebih individu

untuk mengkoordinasikan berbagai aktivitas lain untuk mencapai hasil yang

tidak bisa dicapai apabila satu individu bertindak sendiri. Ada 2 (dua) hal

yang menjadi pusat perhatian. Pertama, peningkatan produktivitas individu

yang melaksnakan kerja. Kedua, peningkatan produktivitas organisasi di

86 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Op. Cit, hal. 524

Page 141: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 83

dalam kerja yang dilaksanakan. Pengusaha industri kecil pada umumnya

tingkat manajemen usaha rendah, dengan kemitraan usaha diharapkan

ada pembenahan manajemen, peningkatan kualitas sumber daya manusia

serta pemantapan organisasi.

4.10. Perizinan

Perizinan merupakan kebijakan pemerintah yang dapat menjadi alat untuk

menggerakkan perkembangan industri untuk mendukung pembangunan Industri

dan sekaligus sebagai alat pengendali penyenggaraan kegiatan usaha di bidang

perindustrian. Oleh karena itu, perizinan dapat dimanfaatkan antara lain untuk

pemerataan persebaran industri, pendayagunaan potensi sumber daya industri

secara efisien dan optimal, dan pendataan industri. Atas izin yang diberikan,

pemerintah berkewajiban memberikan pembinaan dan pengembangan terhadap

pertumbuhan industri serta menciptakan iklim usaha industri yang sehat bagi

perkembangan pelaku usaha. Di sisi lain, pelaku usaha perlu memberikan respon

positif dengan mengembangkan industri yang inovatif, efisien, ramah lingkungan

dan berkelanjutan sehingga memiliki daya saing di tingkat global.

Melalui pembinaan dan pengembangan industri yang dilakukan baik oleh

Pemerintah Pusat maupun Daerah, diharapkan penyelenggaraan usaha di bidang

industri mengarahkan untuk penciptaan iklim usaha industri secara sehat dan

mantap. Dengan iklim usaha industri yang demikian, diharapkan industri dapat

memberikan umpan balik dalam menciptakan lapangan kerja yang luas,

menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan dan kekuatan

sendiri dalam membangun industri.

Pencapaian pertumbuhan Industri membutuhkan kepastian berusaha melalui

perizinan baik izin usaha industri maupun izin usaha kawasan industri. Menyadari

akan peranan tersebut, perizinan harus mampu memberikan motivasi yang dapat

mendorong dan menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya di

sektor Industri.

Page 142: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 84

Perizinan adalah dokumen dan bukti legalitas yang membolehkan perbuatan

hukum oleh seseorang atau sekelompok orang dalam ranah hukum administrasi

negara atas sesuatu perbuatan yang dilarang berdasarkan peraturan perundang-

undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan non perizinan adalah dokumen

dan bukti legaltias atas sahnya sesuatu kepada seseorang atau sekelompok

orang dalam ranah hukum administrasi negara.

Perizinan dan non perizinan berfungsi untuk: (a) mengatur tindakan

penerima perizinan dan non perizinan sesuai tujuan dan syarat-syarat pemberian

perizinan dan non perizinan; (b) merekayasa pembangunan dalam rangka

memberikan insentif dan efek berganda untuk meningkatkan pertumbuhan

ekonomi; (c) membina dan memberdayakan masyarakat; (d) membina, meng-

awasi, memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan

perindustrian. Berdasarkan fungsinya tersebut, penyelenggaraan perizinan dan

non perizinan harus memperhatikan keseimbangan antara fungsi pengaturan,

rekayasa pembangunan dan pembinaan, pengawasan, pengendalian serta

kepastian hukum.

Perizinan penyelenggaraan perindustrian berdasarkan UU No. 3 Tahun 2014

merupakan wewenang Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 101 ayat (3) UU

No. 3 Tahun 2014, bahwa izin usaha industri diberikan oleh Menteri. Akan tetapi

wewenang tersebut dilimpahkan kepada Kepala Daerah (Gubernur dan

Bupati/Walikota) sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 101 ayat (4) UU No. 3

Tahun 2014, Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin

usaha Industri kepada Gubernur dan Bupati/Walikota sebagaimana diatur dalam

Peraturan Menteri No. 41/M-IND/PER/2008 tentang Ketentuan dan Tata Cara

Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri (Berita

Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 13). Menurut Pasal 2 Peraturan

Menteri tersebut menyatakan sebagai berikut: (1) Setiap pendirian Perusahaan Industri wajib memiliki Izin Usaha

Industri (IUI), kecuali bagi Industri Kecil. (2) Industri Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki

Tanda Daftar Industri (TDI), yang diberlakukan sama dengan IUI.

Page 143: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 85

Pemberian IUI dilakukan melalui persetujuan prinsip atau tanpa persetujuan

prinsip. IUI tanpa persetujuan prinsip diberikan kepada Perusahaan Industri

berlokasi di Kawasan Industri/Kawasan Berikat atau jenis industrinya tercantum

dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 148/M/SK/7/1995 dan/atau

perubahannya. Sedangkan IUI melalui persetujuan prinsip diberikan kepada

Perusahaan Industri sebagai berikut: (a) berlokasi di luar Kawasan Industri/

Kawasan Berikat; (b) jenis industri tidak tercantum dalam Surat Keputusan

Menteri Perindustrian No. 148/M/SK/7/1995 dan atau perubahannya; (c) jenis

industri tercantum dalam Lampiran I huruf G Peraturan Menteri Negara

Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 dan/atau perubahannya; (d) lokasi

industrinya berbatasan langsung dengan kawasan lindung sebagaimana

tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor

11 Tahun 2006 dan/atau perubahannya.

IUI melalui Persetujuan Prinsip diberikan kepada Perusahaan Industri yang

telah memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) memiliki IMB; (b) memiliki Izin

Lokasi; (c) Izin Undang-Undang Gangguan (Ho); (d) memiliki Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Lingkungan (UPL); (e) telah selesai

membangun pabrik dan sarana produksi. Persetujuan Prinsip diberikan kepada

Perusahaan Industri untuk melakukan persiapan dan usaha pembangunan,

pengadaan, pemasangan/instalasi peralatan dan kesiapan lain yang diperlukan.

Persetujuan Prinsip bukan merupakan izin untuk melakukan produksi komersial.

Perusahaan Industri yang telah memiliki IUI atau TDI, dalam jangka waktu 3

(tiga) bulan terhitung mulai tanggal diterbitkan IUI/TDI wajib mendaftarkan dalam

Daftar Perusahaan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982

tentang Wajib Daftar Perusahaan. Perusahaan Industri melakukan perluasan

melebihi 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas produksi yang telah diizinkan,

wajib memiliki Izin Perluasan.

a. Pemberian IUI Melalui Persetujuan Prinsip

Permohonan Persetujuan Prinsip diajukan dengan menggunakan Formulir

Model Pm-I (Lampiran Peraturan Menteri No. 41/M-IND/PER/2008) dan

melampirkan dokumen sebagai berikut: (a) Copy Izin Undang-Undang

Page 144: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 86

Gangguan; (b) Copy Akte Pendirian Perusahaan dan atau perubahannya

khusus bagi Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas akte tersebut

telah disahkan Menteri Hukum dan HAM; (c) dokumen yang dipersyaratkan

berdasarkan peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu.

Terhadap permohonan Persetujuan Prinsip yang telah lengkap dan benar,

selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima, Kepala Badan/Kantor

PTSP sesuai lingkup tugasnya wajib mengeluarkan Persetujuan Prinsip

dengan menggunakan Formulir Model Pi-I dengan tembusan disampaikan

kepada Direktur Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian

dan Energi.

Terhadap permohonan Persetujuan Prinsip yang persyaratannya belum

lengkap dan benar atau jenis industri termasuk dalam bidang usaha yang

tertutup bagi penanaman modal, selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak

diterima permohonan Persetujuan Prinsip, Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai

lingkup tugasnya mengeluarkan Surat Penolakan dengan menggunakan

Formulir Model Pi-VI.

Persetujuan Prinsip dapat diubah berdasarkan permintaan dari perusahaan

yang bersangkutan.

Dalam melaksanakan Persetujuan Prinsip, Perusahaan Industri bersangkutan

wajib menyampaikan informasi mengenai kemajuan pembangunan pabrik dan

sarana produksi kepada Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya

dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri/Kepala Dinas

Perindustrian dan Energi sesuai Persetujuan Prinsip yang bersangkutan,

setiap 1 (satu) tahun sekali paling lambat pada tanggal 31 Januari pada tahun

berikutnya dengan menggunakan Formulir Model Pm-II.

Pemegang Persetujuan Prinsip tidak dapat menyelesaikan pembangunan

pabrik dan sarana produksinya dalam waktu 3 (tiga) tahun dapat mengajukan

permintaan perpanjangan Persetujuan Prinsip untuk 1 (satu) kali selama-

selamanya 1 (satu) tahun.

Page 145: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 87

Perusahaan industri telah menyelesaikan pembangunan pabrik dan sarana

produksinya serta telah memenuhi semua ketentuan peraturan perundang-

undangan, wajib mengajukan permintaan IUI kepada Kepala Badan/Kantor

PTSP sesuai lingkup tugasnya menggunakan Formulir Model Pm-III dengan

dilengkapi dokumen sebagai berikut : (a) Copy Akte Pendirian Perusahaan

dan atau perubahannya, khusus bagi Perusahaan yang berbentuk Perseroan

Terbatas akte yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM; (b) Copy

Izin Mendirikan Bangunan (IMB); (c) Copy Surat Persetujuan Prinsip (Model

Pi-I); (d) Copy Formulir Model Pm-II tentang Informasi Kemajuan Pembangun-

an Pabrik dan Sarana Produksi (Proyek); (e) Copy Izin Undang-Undang

Gangguan (Ho); (f) Copy Izin Lokasi; (g) Copy dokumen penyajian informasi

tentang Usaha Pelestarian Lingkungan yang meliputi: Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)

dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) serta dokumen dipersyaratkan

berdasarkan peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu. Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya selambat-lambatnya 5

(lima) hari kerja sejak diterima Formulir Model Pm-III, sudah mengadakan

pemeriksaan ke lokasi pabrik guna memastikan bahwa pembangunan pabrik

dan sarana produksi telah selesai. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita

Acara Pemeriksaan (BAP) dengan menggunakan Formulir Model Pi-II yang

ditandatangani oleh Petugas Pemeriksa yang ditunjuk oleh Kepala Dinas

Kabupaten/Kota yang bersangkutan (dalam hal ini Dinas Perindustrian dan

Energi). Kepala Dinas dalam waktu selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja

sejak penandatanganan BAP, menyampaikan BAP kepada Kepala Badan/

Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya.

Apabila pemeriksaan tidak dilaksanakan, perusahaan yang bersangkutan

dapat membuat Surat Pernyataan siap berproduksi komersial disampaikan

kepada Guberur melalui Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya.

Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima hasil BAP atau Surat

Pernyataan, Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya harus

Page 146: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 88

mengeluarkan IUI dengan menggunakan Formulir Model Pi-III atau menunda

dengan keterangan tertulis berdasarkan pertimbangan pembangunan pabrik

dan sarana produksi belum selesai dan/atau belum memenuhi persyaratan

yang ditetapkan dengan menggunakan Formulir Model Pi-VI;

b. Pemberian IUI Tanpa Persetujuan Prinsip

Permohonan IUI dilakukan dengan menggunakan Formulir Model SP-I dan

Formulir Model SP-II sebagaimana termuat dalam Lampiran Peraturan Menteri

No. 41/M-IND/PER/2008. Permohonan Izin Perluasan dilakukan dengan

menggunakan Formulir Model SP-III.

Permohonan IUI bagi jenis industri pemberian IUI Tanpa Persetujuan Prinsip,

dilakukan dengan membuat Surat Pernyataan sesuai Formulir Model SP-I, dan

bagi perusahaan industri yang akan berlokasi di Kawasan Industri/Kawasan

Berikat melampirkan Surat Keterangan dari Pengelola Kawasan Industri/

Kawasan Berikat tentang rencana lokasi perusahaan.

Pemohon IUI mengisi Daftar Isian Permintaan IUI dengan menggunakan

Formulir Model SP-II yang diserahkan bersama Formulir Model SP-I dengan

dilengkapi dokumen sebagai berikut: (a) Copy Akte Pendirian Perusahaan dan

atau perubahannya khusus perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas,

akte tersebut telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM; (b) Copy Izin

Undang-Undang Gangguan (Ho) bagi jenis industri yang tercantum pada Surat

Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 148/M/SK/7/1995 yang berlokasi di

luar Kawasan Industri/Kawasan Berikat; (c) Copy Izin Lokasi bagi jenis industri

yang tercantum pada Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor

148/M/SK/7/1995 yang berlokasi di dalam Kawasan Industri/Kawasan Berikat;

(d) Copy Izin Mendirikan Bangunan (IMB); (e) Surat Keterangan dari

Pengelola Kawasan Industri/Kawasan Berikat bagi yang berlokasi di Kawasan

Industri/Kawasan Berikat; (f) dokumen yang dipersyaratkan berdasarkan

peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu.

Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterima Formulir Model

SP-I dan SP-II yang lengkap dan benar, Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai

Page 147: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 89

lingkup tugasnya harus mengeluarkan IUI dengan menggunakan Formulir

Model SP-VI dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal

Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi.

Bagi perusahaan industri telah memiliki IUI wajib menyampaikan informasi

kemajuan pembangunan pabrik dan sarana produksi setiap tahun paling

lambat pada tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya dengan menggunakan

Formulir Model Pm-II kepada Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup

tugasnya dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri,

Kepala Dinas Perindustrian dan Energi.

IUI dinyatakan batal demi hukum apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak

diterbitkan, pemegang IUI sebagai berikut: tidak menyelesaikan pembangunan

pabrik dan sarana produksi; belum memenuhi ketentuan peraturan perundang-

undangan; dan/atau tidak melampirkan dokumen dipersyaratkan bagi industri

tertentu sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan.

c. Pemberian Izin Perluasan Industri

Setiap Perusahaan Industri yang melakukan perluasan wajib memberitahukan

secara tertulis kenaikan produksinya sebagai akibat dari kegiatan perluasan

kepada Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai tercantum dalam IUI, selambat-

lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal dimulai kegiatan perluasan. Permohonan Izin Perluasan bagi Perusahaan Industri yang telah memiliki IUI

melalui Persetujuan Prinsip dilakukan dengan menggunakan Formulir Model

Pm-IV dan melampirkan dokumen rencana perluasan industri serta dokumen

penyajian informasi tentang usaha-usaha pelestarian lingkungan yang

meliputi: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); atau Upaya

Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).

Permohonan Izin Perluasan bagi Perusahaan Industri yang telah memiliki IUI

Tanpa Persetujuan Prinsip dilakukan dengan menggunakan Formulir Model

SP-III dan melampirkan dokumen rencana perluasan industri.

Page 148: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 90

d. Pemberian Tanda Daftar Industri (TDI)

Perusahaan Industri Kecil untuk memiliki TDI tidak perlu Persetujuan Prinsip

dengan cara mengajukan Permohonan TDI kepada Kepala Badan/Kantor

PTSP sesuai lingkup tugasnya dengan mengisi Formulir Model Pdf.I-IK dan

melampirkan Copy Izin Undang-Undang Gangguan (Ho) dan Copy Izin Lokasi.

Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya dalam waktu selambat-

lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima permohonan TDI wajib mengeluar-

kan TDI dengan menggunakan Formulir Model Pdf.II-IK dengan tembusan

disampaikan kepada Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah serta

Kepala Dinas Perindustrian dan Energi.

Selain kewajiban memiliki izin, pelaku usaha industri wajib melakukan

perubahan izin apabila pemindahan lokasi industri; perubahan nama, alamat dan

atau penanggungjawab; serta IUI, Izin Perluasan, dan TDI hilang atau rusak.

Kewajiban industri telah memiliki IUI atau Izin Perluasan wajib

menyampaikan Informasi Industri secara berkala kepada Menteri dan Gubernur,

sesuai dengan Izin Usaha Industri yang diterbitkan mengenai kegiatan usahanya

menurut jadwal. Pertama, 6 (enam) bulan pertama tahun yang bersangkutan

selambat-lambatnya setiap tanggal 31 Juli dengan menggunakan Formulir Model

Pm-V untuk Informasi Industri melalui Persetujuan Prinsip atau SP-IV untuk

Informasi Industri Tanpa Persetujuan Prinsip dengan tembusan kepada Direktur

Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Kedua, 1

(satu) tahun selambat-lambatnya setiap tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya

dengan menggunakan Formulir Model Pm-VI untuk Industri Melalui Persetujuan

Prinsip atau SP-V untuk Industri Tanpa Persetujuan Prinsip dengan tembusan

kepada Direktur Jenderal Pembina Industri, Kepala Dinas Perindustrian dan

Energi.

Sedangkan perusahaan Industri telah memiliki TDI wajib menyampaikan

Informasi Industri kepada Gubernur setiap tahun selambat-lambatnya tanggal 31

Januari pada tahun berikutnya dengan menggunakan Formulir Model Pdf.III-IK

Page 149: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 91

dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Industri Kecil dan

Menengah dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi.

4.11. Sistem Informasi Industri Daerah

Kewajiban membentuk sistem informasi industri tidak hanya Pemerintah

Daerah, melainkan juga Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh Menteri

Perindustrian sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 2014.87 Secara

nasional, yang dimaksud Sistem Informasi Industri Nasional adalah tatanan

prosedur dan mekanisme kerja yang terintegrasi meliputi unsur institusi, sumber

daya manusia, basis data, perangkat keras dan lunak, serta jaringan komunikasi

data yang terkait satu sama lain dengan tujuan untuk penyampaian, pengelolaan,

penyajian, pelayanan serta penyebarluasan data dan/atau Informasi Industri.88

Merujuk pada pengertian tersebut, yang dimaksud dengan Sistem Informasik

Industri Daerah, sebagai berikut: tatanan prosedur dan mekanisme kerja yang terintegrasi meliputi unsur institusi, sumber daya manusia, basis data, perangkat keras dan lunak, serta jaringan komunikasi data yang terkait satu sama lain dengan tujuan untuk penyampaian, pengelolaan, penyajian, pelayanan serta penyebarluasan data dan/atau informasi industri di daerah.

Secara nasional, tujuan sistem informasi industri sebagai berikut: (a)

menjamin ketersediaan, kualitas, kerahasiaan dan akses terhadap data dan/atau

informasi; (b) mempercepat pengumpulan, penyampaian/pengadaan, pengolah-

an/pemrosesan, analisis, penyimpanan, dan penyajian, termasuk penyebarluasan

data dan/atau informasi yang akurat, lengkap, dan tepat waktu; (c) mewujudkan

penyelenggaraan Sistem Informasi Industri Nasional yang meningkatkan efisiensi

dan efektivitas, inovasi, dan pelayanan publik, dalam mendukung pembangunan

Industri nasional.89

87 Pasal 68 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, menyatakan bahwa untuk menjamin

koneksi Sistem Informasi Industri Nasional dengan sistem informasi di daerah, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota membangun sistem Informasi Industri di provinsi dan kabupaten/kota.

88 Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 89 Pasal 63 Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembangunan Sarana Dan Prasarana Industri, versi bulan

Agustus 2014.

Page 150: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 92

Sistem informasi industri daerah sekurang-kurangnya memuat data industri

sebagai berikut:90

a. data industri terdiri dari:

1. data industri pada tahap pembangunan proyek, meliputi: identitas dan

legalitas perusahaan, kelompok industri sesuai klasifikasi baku lapangan

usaha indonesia, kapasitas produksi, nvestasi dan sumber pembiayaan,

dan tenaga kerja;

2. data Industri pada tahap produksi komersial, meliputi: identitas dan

legalitas perusahaan, kelompok Industri sesuai klasifikasi baku lapangan

usaha Indonesia, kapasitas produksi, investasi dan sumber pembiayaan,

tenaga kerja, mesin dan peralatan, bahan baku dan bahan penolong,

energi, air baku, produksi, pemasaran, dan pengelolaan lingkungan.

b. data kawasan industri, terdiri dari:

1. Data kawasan industri pada tahap pembangunan, sekurang-kurangnya

memuat: identitas dan legalitas perusahaan, investasi dan sumber

pembiayaan, lahan/kaveling, dan sarana dan prasarana.

2. Data kawasan industri pada tahap komersial, sekurang-kurangnya

memuat: identitas dan legalitas perusahaan, investasi dan sumber

pembiayaan, lahan/kavling, sarana dan prasarana, dan perusahaan

Industri dalam Kawasan Industri.

c. data perkembangan dan peluang pasar, sekurang-kurangnya memuat data

sebagai berikut: ekspor dan impor, konsumsi produk industri, permintaan

(inquiry) dari pembeli (buyer), kebijakan industri dan perdagangan di negara

mitra, dan agenda pameran internasional utama di negara mitra.

d. data perkembangan teknologi industri, sekurang-kurangnya memuat data

sebagai berikut: hasil riset terapan yang terkait bidang industri; Hak Kekayaan

Intelektual; rancang bangun dan perekayasaan industri; usaha bersama (joint venture), pengalihan/pembelian hak melalui lisensi, akuisisi teknologi, atau

putar kunci (turn key) project, dan kerjasama teknologi; hasil audit teknologi

industri; jenis, negara asal, dan tahun pembuatan teknologi

90 Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembangunan Sarana Dan Prasarana Industri, versi bulan Agustus 2014

Page 151: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 93

Data dan/atau informasi industri dalam Sistem Informasi Industri Daerah

bersumber dari perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri secara

langsung, serta dapat bersumber dari perguruan tinggi, asosiasi atau KADINDA,

masyarakat, dan sumber lain. Oleh sebab itu, UU No. 3 Tahun 2014 memberikan

kewajiban kepada pelaku usaha industri untuk menyampaikan data industri

sebagaimana diatur dalam pasal berikut ini:

Pasal 64 (1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota.

Pasal 65 (1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota.

4.12. Tanggung jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau CSR

Istilah tanggung jawab sosial perusahaan/Corporate Social Responsibility

(CSR) masih menjadi pedebatan para pendukung dan para penentangnya. Kedua

kutup berbeda pandangan, masing-masing mempunyai argumentasi yang

bertentangan satu terhadap yang lain sesuai kedudukan dan kepentingannya.

Salah satu perbedaan tajam antara lain bahwa tanggung jawab sosial

perusahaan berada pada ranah etika (etika bisnis) atau harus berada pada ranah

hukum, sehubungan itu apa perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan

termasuk peraturan daerah disertai dengan sanksi. Pendukung dan penentang

janggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya mempunyai alasan masing-

masing, karena latar belakang pencapaian tujuan dan sasaran yang berbeda

dalam kepentingan yang berhadapan.

Page 152: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 94

CSR pada dasarnya berawal dari rasa bertanggungjawab secara personal

pada lingkungan dunia usaha, yang muncul dari pribadi yang peka kepada

sesama. Rasa tersebut timbul dan berkembang sebagai suatu yang harus

dilakukan mengingat adanya kesenjangan keadaan sosial ekonomi yang tajam,

antara unsur tenaga kerja dengan unsur pemilik dan pengurus dalam dunia usaha

tersebut. Berangkat dari keadaan tersebut, lahirnya konsep CSR yang berada

pada sasaran kewajiban moral, yang bergerak antara kesejahteraan pada

lingkungan tertentu, menimbulkan pula suatu konsep bahwa yang harus

diwujudkan adalah kesejahteraan bersama pada lingkungan perusahaan.

Kesejahteraan yang bersifat terbatas makin meluas yang diikuti gerakan yang

sama sehingga menjadi suatu konsep positif yang menjadi tanggung jawab

institusional. Konsep tersebut menjadi sangat manusiawi baik bagi tenaga kerja

maupun masa depan perusahaan, kemudian berkembang atas kesadaran

mengenai alam dan lingkungan.

Konsep sebagaimana diuraikan di atas selanjutnya menjadi sesuatu hal

yang berdasarkan kearifan manusia, tidak hanya menjadi kewajiban moral, tetapi

menjadi kewajiban yang bertujuan menuju pencapaian kesejahteraan warga

negaranya, secara sadar pasti mengatur hal-hal yang berkaitan dengan CSR.

Sumber daya alam yang dieksploitasi perusahaan makin lama menjadi makin

berkurang daya dukungnya, karena sifatnya yang terbatas dan tidak terbarukan.

Hal ini mulai disadari sehingga konsep tanggung jawab terhadap lingkungan juga

berkembang. Manusia secara pribadi dalam institusi dan negara secara serentak

sadar bahwa lingkungan dan sumber daya alam perlu dilindungi untuk

kepentingan manusia dan kemanusiaan dimasa yang akan datang.

Sehubungan itu, CSR bila dilaksanakan dengan baik dan benar, akan

memberikan dampak positif bagi perusahaan, lingkungan termasuk sampah.

Perusahaan harus memiliki kepedulian tinggi terhadap lingkungan seperti

pengelolaan limbah padat dan cair. Jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh

sesuai ketentuan Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,

bahwa produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya

yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam, maka tidak terlalu sulit untuk

Page 153: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 95

mengelola sampah. Demikian halnya dengan ketentuan Pasal 20 ayat (3) UU No.

18 Tahun 2008, bahwa pelaku usaha yang menggunakan bahan produksi yang

menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang,

dan/atau mudah diurai oleh proses alam.

Pada dasarnya kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan yang berhubungan

dengan sumber daya alam, pasti mengandung nilai positif, baik bagi internal

perusahaan maupun bagi eksternal perusahaan dan pemangku kepentingan lain.

Meskipun demikian nilai positif dapat mendorong terjadinya tindakan dan

perbuatan yang mempunyai nilai negatif, karena merugikan lingkungan dan

masyarakat sekitar. Nilai negatif dimaksud seberapa jauh kegiatan perusahaan

bersangkutan mempunyai potensi merugikan kesehatan dan lingkungan, dengan

kata lain seberapa luas kerusakan lingkungan sebagai akibat langsung dari

kegiatan perusahaan.

Perusahaan yang pada satu sisi pada suatu waktu menjadi pusat kegiatan

yang membawa kesejahteraan bahkan kemakmuran bagi masyarakat, pada satu

saat yang sama dapat menjadi sumber petaka pada lingkungan yang sama pula.

Misalnya terjadi pencemaran lingkungan atau kerusakan alam dan lingkungan

yang lebih luas.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, perusahaan akan mempunyai dampak

positif bagi kehidupan pada masa yang akan datang dengan terpeliharanya

lingkungan dan semua kepentingan pada pemangku kepentingan sehingga akan

menghasilkan tata kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi juga mempunyai satu

sisi negatif terhadap kesehatan dan lingkungan.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa secara formal CSR diatur

dalam Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyatakan

Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan

dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan (TJSL) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan

diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan

memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan

kewajiban TJSL dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 154: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 96

Di dalam penjelasan TJSL bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan

Perseroan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma,

dan budaya masyarakat setempat.

Mencermati ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 40 Tahun 2007 istilah

tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) terjemahan dari istilah Corporate Social Responsibility (CSR) untuk konteks perusahaan dalam masyarakat

Indonesia, dan mengartikannya sebagai "komitmen perseroan untuk berperan

serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas

kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan, komunitas

setempat maupun masyarakat pada umumnya".

Dalam berbagai literatur manajemen perusahaan banyak sekali ditemukan

tulisan tentang CSR atau TJSL baik untuk konteks masyarakat Indonesia maupun

asing. Pada tingkat paling dasar namun sekaligus sangat luas, CSR dapat

dipahami sebagai sebuah relasi atau interkoneksi antara perusahaan dengan

para pemangku kepentingan perusahaan tersebut, termasuk pelanggan,

pemasok, kreditur, karyawan, hingga masyarakat khususnya yang berdomisili di

wilayah perusahaan tersebut dalam menjalankan aktivitasnya. Perusahaan

bertanggungjawab menjamin kegiatan operasional mampu menghasilkan barang

dan/atau jasa secara ekonomis, efisien, dan bermutu untuk kepuasan pelanggan

di samping untuk memperoleh keuntungan. Perusahaan juga berkewajiban

mematuhi hukum dan seluruh peraturan perundang-undangan nasional dan

daerah di dalam wilayah negara seperti misalnya mematuhi aturan hukum

perlindungan konsumen, kesehatan, lingkungan, pengelolaan sampah, dan

sebagainya.

Konsep CSR merupakan kewajiban perusahaan peduli terhadap lingkungan,

kesejahteraan masyarakat di mana perusahaan berdomisili atau menjalankan

aktivitas operasionalnya. Kewajiban terakhir dapat dilakukan perusahaan melalui

berbagai bentuk kegiatan yang idealnya cocok dengan strategi dan business core

dari perusahaan itu sendiri. Misalnya, pemberdayaan ekonomi rakyat berupa

membina industri kecil dan menengah; penyediaan pelayanan kesehatan dan

Page 155: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 97

pendidikan masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana pengelolan sampah,

dan sebagainya.

Mencermati uraian tersebut di atas, pada prinsipnya CSR bertujuan agar

perusahaan dapat memberi kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan

kesejahteraan masyarakat setempat. Pada poin inilah tampak nyata bahwa

pelaku usaha melalui berbagai badan usaha yang berbadan hukum maupun yang

bukan berbadan hukum ‘diminta’ bersama-sama pemerintah mewujudkan

lingkungan yang sehat dan/atau berwawasan lingkungan. Tanggung jawab

perusahaan tersebut secara etis moral dinilai memiliki tanggung jawab sosial

terhadap lingkungan. Di sisi lain, CSR juga memberi manfaat bagi perusahaan

yang melaksanakan, seperti CSR mampu menciptakan brand image perusahaan

di tengah pasar yang kompetitif pada gilirannya akan mampu menciptakan

customer loyalty dan membangun/mempertahankan reputasi bisnis. CSR dapat

membantu perusahaan untuk mendapatkan atau melanjutkan license to operate

dari pemerintah maupun dari publik sebab perusahaan akan dinilai telah

memenuhi standar tertentu dan memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Singkat

kata, CSR dapat menjadi iklan bagi produk perusahaan yang bersangkutan.

4.13. Peran serta Masyarakat

Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perindustrian diatur dalam

Pasal 115 dan Pasal 116 UU No. 3 Tahun 2014. Secara lengkap Pasal 115 dan

Pasal 116 sebagai berikut: Pasal 115 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam perencanaan,

pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan Industri. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diwujudkan dalam bentuk: a. pemberian saran, pendapat, dan usul; dan/atau b. penyampaian informasi dan/atau laporan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Page 156: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 98

Pasal 116 (1) Masyarakat berhak mendapatkan perlindungan dari dampak

negatif kegiatan usaha Industri. (2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4.14. Pembinaan Untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian perindustrian di

Provinsi DKI Jakarta sebagaimana termuat dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014,

dilakukan pembinaan yang terarah dan terpadu mulai perencanaan, pelaksanaan

atau penerapan sampai pengawasan. Berdasarkan PP No. 79 Tahun 2005

tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah, yang dimaksud pembinaan adalah upaya yang dilakukan Pemerintah

dan/atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di daerah dalam rangka mewujudkan

tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.

Lingkup pembinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PP No. 79 Tahun

2005, meliputi: (a) koordinasi; (b) pemberian pedoman dan standar pelaksanaan

urusan pemerintahan; (c) pemberian bimbingan dan konsultasi pelaksanaan

urusan pemerintahan; (d) pendidikan dan pelatihan; (e) perencanaan, penelitian,

pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.

Lingkup pembinaan tersebut secara rinci sebagai berikut:

a. Koordinasi

Dalam manajemen, koordinasi merupakan suatu usaha untuk meng-

harmonisasikan atau menserasikan seluruh kegiatan, sehingga dapat

mencapai tujuan yang diharapkan.91 Keharmonisan dan keserasian dilakukan

baik terhadap tugas bersifat teknis, finansial, kepegawaian maupun

administrasi. Dengan terciptanya koordinasi, beban tugas antar satuan kerja

menjadi seimbang, dan tercipta keseimbangan keadaan atau suasana

kelembagaan secara keseluruhan menjadi harmonis dan selaras. Keselarasan

91 Gitosudarmo Indriyo dan Mulyon Agus, Prinsip Dasar Manajemen : Edisi 3, BPFE Jogyakarta, 1996.

Page 157: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 99

akan membawa akibat terjadinya kewajiban di dalam melaksanakan tugas

dalam mencapai tujuannya.

Oleh karena itu, koordinasi merupakan usaha menciptakan keadaan yang

disebut “3S”, singkatan dari “serasi, selaras, dan seimbang”. Dalam

penyelenggaraan perindustrian, yang dimaksud dengan “3S”, adalah : (1)

serasi, adanya suatu perbandingan sesuai antara beban tugas dengan

pelaksanaan tugas guna merealisasikan maksud tujuan penyelenggaraan

pembangunan perindustrian, sehingga terwujud pemuda sebagai generasi

penerus bangsa dan negara; (b) selaras, yaitu sinkronisasi antara kebijakan

dengan operasional dalam melaksanakan program dan kegiatan dan/atau

upaya yang dilakukan dalam memberikan pelayanan kepada pemuda sesuai

tugas dan fungsi masing-masing SKPD terkait guna mewujudkan maksud dan

tujuan pembangunan perindustrian; (c) seimbang, yaitu adanya pembebanan

yang proporsional dalam pelaksanaan tugas baik di Dinas Perindustrian dan

Energi maupun SKPD lain guna merealisasikan tujuan penyelenggaran

pembangunan perindustrian.

Dalam pelaksanaan teknis operasional, makna koordinasi dapat dikelengkapi

dengan 2S sehingga menjadi 5S, yaitu “seragam dan serentak”. Seragam,

adanya kesamaan pandang atau persepsi atau prinsip di dalam

penyelenggaraan pembangunan perindustrian. Keseragaman memberikan

kemudahan dalam pelaksanaan tugas. Oleh sebab itu, koordinasi tingkat

pimpinan dan staf diperlukan selain bertujuan memudahkan pelaksanaan

operasional di lapangan juga untuk meningkatkan efisiensi. Serentak, yang

dimaksud dengan serentak adalah dalam upaya memberikan perlindungan

baik kepada remaja dan pemuda secara bersama-sama dalam arti saling

menjaga dan menghormati. Hal ini membuat penyelenggaraan pembangunan

perindustrian bergerak searah untuk mencapai tujuan yang sama, dan

memudahkan untuk digerakkan searah dan sejalan dengan usaha yang

dilakukan untuk merealisasikan tujuan yang ditetapkan dan/atau diinginkan.

Page 158: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 100

Berdasarkan uraian di atas, secara garis besar memberikan gambaran bahwa

tujuan koordinasi untuk mewujudkan satu visi, misi, dan tujuan melalui

program dan kegiatan yang ditetapkan. Karena visi, misi dan tujuan

merupakan salah satu komponen dari kebijakan, maka dengan koordinasi

terwujud kesatuan tindakan untuk mencapai visi dan misi, serta maksud dan

tujuan pembangunan perindustrian.

Suatu program yang direncanakan secara terpusat dalam hal ini menjadi tugas

dan fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), sehingga

ada unsur pengendalian untuk menjamin harmonisasi dalam pelaksanaan

program dan kegiatan baik yang dilakukan Dinas maupun SKPD lain. Tanpa

adanya pengendalian bisa berakibat Dinas (Dinas Perindustrian dan Energi)

dan SKPD lain bergerak sendiri-sendiri, sehingga terjadi penyimpangan dari

tujuan yang ingin dicapai.

Keterpaduan menunjukkan adanya keadaan yang saling mengisi dalam

melaksanakan tugas. Dengan prinsip saling isi-mengisi, saling memberi dan

saling menerima, maka tugas menjadi semakin efektif dan efisien serta

pencerminan dari keterpaduan.

Sarana koordinasi antara lain komunikasi. Pendekatan komunikasi dilakukan

untuk mengarahkan, menyatukan tindakan, mewujudkan, menciptakan disiplin

untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan yang ditentukan. Keterpaduan antar

SKPD/UKPD, instansi vertikal terkait (seperti Kepolisian), dan asosiasi dalam

penyelenggaraan pembangunan perindustrian menjadi penting. Fungsi

koordinasi tersebut, menjadi tugas Biro Perekonomian Sekretariat Daerah

Provinsi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, untuk mewujudkan visi, misi, serta

maksud dan tujuan pembangunan perindustrian, koordinasi menjadi salah satu

tokok ukur keberhasilan, maka peran dan fungsi Gubernur dalam koordinasi

yang secara teknis menjadi tugas Sekretaris Daerah menjadi penting dalam

pembangunan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta.

Page 159: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 101

b. Pemberian pedoman dan standar

Dalam pemberian pedoman dan standar, mulai perencanaan, pelaksanaan,

tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian, dan pengawasan. Pedoman

dan standar tersebut disusun dan ditetapkan Gubernur dengan Peraturan

Gubernur sesuai pedoman atau aturan yang ditetapkan Pemerintah Pusat,

menjadi acuan bagi Dinas dan SKPD lain di dalam penyelenggaraan

pembangunan perindustrian, bagi masyarakat dan pelaku usaha.

c. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi

Bimbingan, supervisi, dan konsultasi, mencakup perencanaan, pelaksanaan,

tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian, dan pengawasan

merupakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kepala Dinas sebagai

SKPD pembina yang diberi tugas oleh Gubernur melalui Peraturan Gubernur

No. 267 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas

Perindustrian Dan Energi. Selain itu, Dinas Perindustrian dan Energi juga

sebagai pelaksana teknis dapat melakukan pembinaan sesuai kebutuhan

kepada pelaku usaha di bidang industri dan anggota masyarakat. Pembinaan

yang dilakukan dalam rangka pemberdayaan pelaku usaha di bidang industri.

d. Pemantauan dan evaluasi

Pemantauan dan evaluasi dilaksanakan sesuai fungsi dan kewenangan

Daerah. Pelaksanaan kegiatan pemantauan dan evaluasi dilakukan sesuai

pedoman yang ditetapkan oleh Gubernur. Jika tidak ada Kepala Dinas dapat

menyusun pedoman pemantauan dan evaluasi pembangunan perindustrian

sebagai bahan perumusan kebijakan oleh Gubernur atau Kepala Dinas.

4.15. Pengawasan dan Pengendalian

Kata "pengawasan" berasal dari kata "awas", berarti antara lain "penjagaan".

Istilah pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi sebagai

salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan.92 Istilah pengawasan dalam

bahasa Inggris disebut dengan controlling diterjemahkan dengan pengawasan

92 Anton M. Moeliono, dkk., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 68

Page 160: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 102

dan pengendalian, sehingga istilah controlling lebih luas artinya daripada

pengawasan. Beberapa ahli manajemen memberikan pemahaman yang sama

terhadap pengertian controlling dengan pengawasan. Dengan demikian, dalam

pengawasan termasuk pengendalian.93

Menurut George T. Terry dalam Winardi, “control is to determine what is

accomplished, evaluate it, and apply corrective measures is needed to ensure result in keeping with the plan”.94 Lembaga Administrasi Negara (2003),

menjelaskan bahwa pengawasan adalah suatu kegiatan untuk memperoleh

kepastian apakah pelaksanaan pekerjaan/kegiatan telah dilakukan sesuai dengan

rencana. Dalam pengawasan pada dasarnya membandingkan kondisi yang ada

bila terjadi penyimpangan atau hambatan segara diambil tindakan koreksi.

Menurut Sarundajang fungsi pengawasan untuk membantu manajemen

dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (a) meningkatkan kinerja organisasi; (b) memberikan

opini atas kinerja organisasi; (c) mengarahkan manajemen untuk melakukan

koreksi atas permasalahan dalam pencapaian kinerja yang ada.95 Ketiga hal

tersebut dilakukan dengan cara memberikan informasi yang dibutuhkan secara

cepat dan memberikan tingkat kenyakinan akan pencapaian rencana yang telah

ditetapkan. Sementara Sondang P. Siagian mendefinisikan pengawasan adalah

proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk

menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai

dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.96

Definisi tersebut di atas secara materiil sama, menitikberatkan pada tindakan

pengawasan pada suatu proses yang sedang berjalan atau dilaksanakan.

Pengawasan tidak ditempatkan pada akhir suatu kegiatan, justru pengawasan

akan menilai dan memberi warna terhadap hasil yang akan dicapai oleh kegiatan

yang sedang dilaksanakan tersebut.

93 Victor M. Situmarang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah,

Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 18. 94 George R. Terry, Asas-asas Manajemen, diterjemahkan oleh Winardi, Alumni, Bandung, 1986. 95 Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Pustaka, Jakarta, 2005, hlm 240. 96 S. P. Siagian, Filsafat Aministrasi, Gunung Agung, Jakarta, 1990, hlm. 107.

Page 161: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 103

Menurut Sujamto pengawasan adalah "segala usaha atau kegiatan untuk

mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan

tugas dan kegiatan, sudah sesuai dengan yang semestinya atau tidak". Adapun

batasan pengendalian sebagai "segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan

mengarahkan agar pekerjaan yang sedang dilaksanakan dapat berjalan dengan

semestinya".97 Jadi, baik pengawasan maupun pengendalian, kedua-duanya

adalah berupa usaha atau kegiatan. Sementara menurut Prayudi, pengawasan

adalah proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan,

atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau

diperintahkan. Hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai di mana

terdapat kecocokan atau ketidakcocokan, dan apa sebab-sebabnya.98

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, pengawasan dapat bersifat (a)

politik, bilamana menjadi ukuran atau sasaran adalah efektivitas dan/atau

legitimasi; (b) yuridis (hukum), bilamana bertujuan menegakkan yuridiksitas dan

atau legalitas, (c) ekonomis, bilamana yang menjadi sasaran adalah efisiensi dan

teknologi, (d) moril dan susila, bilamana yang menjadi sasaran atau tujuan

mengetahui keadaan moralitas. Mencermati batasan beberapa pengertian pengawasan tersebut di atas,

pengawasan dapat diartikan secara luas sebagai salah satu aktivitas atau

kegiatan fungsi manajemen untuk menentukan, menilai dan mengoreksi

penyimpangan yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi berdasarkan standar

yang tetapkan peraturan perundang-undangan.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengawasan ditujukan untuk

menciptakan pemerintahan yang efisien, efektif, berorientasi pada pencapaian visi

dan misi institusi. Melalui pengawasan diperoleh: (a) menghentikan atau meniada-

kan kesalahan, penyimpangan, pemborosan, dan ketidakadilan; (b) mencegah

terulang kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan,

hambatan, dan ketidak-adilan; (c) mendapatkan cara-cara yang lebih baik untuk

97 Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Gralia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 19. Lihat juga Sujamto,

Aspek-aspek Pengawasan Di Indonesia, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 42. 98 S. Prayudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 84.

Page 162: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 104

mencapai tujuan dalm melaksanakan tugas dan fungsi dan dalam rangka

pencapaian visi dan misi.

Sehubungan itu, pengawasan merupakan salah satu aspek yang sangat vital

dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Aspek pengawasan dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah termasuk aspek hubungan pengawasan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan antara Pemerintah Provinsi dengan

Kota/Kabupaten Administrasi terlebih dahulu diketahui pengertian dari

pengawasan.

Pengawasan terhadap pemerintahan yang lebih rendah sesuatu yang tidak

dapat dielakkan. Dalam banyak hal, pengawasan merupakan syarat untuk dapat

mengambil kebijakan dan sebagai cara pertanggungjawaban pelaksanaan tugas

dan fungsi sesuai wewenang yang diberikan. Oleh sebab itu, pengawasan dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi tanggung jawab Gubernur selaku

Kepala Daerah atas penyelenggaraan urusan pemerintahan termasuk urusan

pemerintahan di bidang perindustrian sesuai peraturan perundang-undangan

termasuk Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, dan Keputusan Gubernur.

Tanggung jawab pengawasan ada bersifat keuangan dan administratif yang

secara operasional diberikan mandat kepada Kepala SKPD/UKPD sebagaimana

diatur dalam Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat

Daerah berikut peraturan pelaksanaannya.

Pengawasan erat kaitannya dengan perencanaan, oleh karena itu dapat

dikatakan rencana menjadi tolok ukur atau alat di dalam melakukan pengawasan.

Demikian pula dalam pemberian perintah atau amanat erat kaitannya dengan

pengawasan. Oleh karenanya pengawasan merupakan “follow up” dari perintah

atau amanat yang sudah dikeluarkan atau diatur dalam peraturan perundang-

undangan. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana

diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014, serta ketentuan peraturan pelaksanaannya

seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan atau Keputusan Presiden,

Peraturan Menteri/Keputusan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan/Keputusan

Gubernur, dan Instruksi Gubernur.

Page 163: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 105

Berdasarkan uraian di atas, pengawasan salah satu fungsi manajemen

pemerintahan yang merupakan proses kegiatan untuk memastikan dan menjamin

tujuan dan sasaran pembangunan perindustrian tercapai. Hakikat pengawasan

dalam penyelenggaraan perindustrian mencegah sedini mungkin penyimpangan,

pemborosan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran

serta pelaksanaan program dan kegiatan dalam pembangunan perindustrian baik

yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Energi maupun SKPD lain. Sasaran

pengawasan untuk mewujudkan dan meningkatkan efisiensi, efektivitas,

rasionalitas, dan kelancaran dalam pencapaian maksud dan tujuan pembangunan

perindustrian.

Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan perindustrian berdasarkan

UU No. 3 Tahun 2014, ditujukan untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan

perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri terhadap peraturan

perundang-undangan di bidang perindustrian. Pelaksanaan pengawasan dan

pengendalian tersebut diberikan kepada Menteri Perindustrian dan kepada

Pemerintah Daerah. Pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang

Perindustrian yang dilaksanakan oleh perusahaan industri dan perusahaan

kawasan industri dimaksud menurut Pasal 117 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2014,

paling sedikit meliputi: (a) sumber daya manusia Industri; (b) pemanfaatan

sumber daya alam; (c) manajemen energi; (d) manajemen air; (e) SNI, spesifikasi

teknis, dan/atau pedoman tata cara; (f) data industri dan data kawasan industri;

(g) standar industri hijau; (h) standar kawasan industri; (i) perizinan Industri dan

perizinan Kawasan Industri; (j) keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil

produksi, penyimpanan, dan pengangkutan. Dalam hal pelaksanaan pengawasan

dan pengendalian ditemukan dugaan telah terjadi tindak pidana, maka pejabat

yang diberi tugas melaksanakan pengawasan melapor kepada Penyidik Pegawai

Negeri Sipil bidang Perindustrian. Sehubungan itu, Dinas Perindustrian dan

Energi selain memiliki tugas dan fungsi pengawasan, juga harus tersedia Penyidik

Pegawai Negeri Sipil bidang Perindustrian.

Hasil pengawasan menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan, untuk:

(a) menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, dan hambatan

Page 164: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 106

yang terjadi dalam pembangunan perindustrian; (b) mencegah terulang kembali

kesalahan dan/atau penyimpangan dari rencana yang ditetapkan; (c) mencari

cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik untuk mencapai maksud

dan tujuan. Pengawasan akan bermakna, manakala diikuti dengan langkah-

langkah atau upaya tindak lanjut yang nyata dan tepat, yaitu merevisi kebijakan

yang tidak tepat dan/atau yang belum ada atau diperlukan segera ditetapkan.

Pengawasan dapat dilakukan masyarakat sebagai kontrol sosial, dan dalam

mewujudkan efisien dan efektif pembangunan perindustrian. Meningkatnya peran

aktif masyarakat dalam pengawasan mencerminkan makin tumbuh dan

meningkatnya tanggung jawab masyarakat dan/atau kepedulian masyarakat

terhadap perindustrian. Oleh karena itu, baik Dinas Perindustrian dan Energi

maupun SKPD lain yang terkait berkewajiban untuk membina masyarakat agar

peran aktif masyarakat berjalan sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan. Bagaimanapun kecilnya peran masyarakat harus diperhatikan dan

dihargai.

Beberapa hal pokok yang diperlukan terhadap peran masyarakat dalam

pengawasan penyelenggaraan perindustrian, antara lain: (a) secepatnya

memberikan tanggapan dengan menjelaskan tindakan yang telah diambil, atau

menjelaskan duduk persoalan atau kebenarannya, apabila isi hasil pengawasain

tidak atau kurang benar; (b) dalam hal tanggapan belum dapat dilakukan, karena

masih memerlukan penelitian dan pengusutan, tanggapan dilakukan bertahap; (c)

mengambil langkah tindak lanjut yang tepat dalam bentuk usaha penertiban,

peningkatan, dan pembinaan untuk merehabilitasi, meningkatkan, dan membina

citra.

4.16. Sanksi

Peraturan perundang-undangan baik nasional maupun daerah merupakan

peraturan tertulis yang mengikat subjek hukum dengan hak dan kewajiban hukum

dalam bentuk kebolehan (permittere), perintah (obligattere), dan larangan

Page 165: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 107

(prohibere),99 yang disusun secara sistematis sesuai asas dan prinsip-prinsip,

serta teknis pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur

dalam UU No. 12 Tahun 2011 dan sesuai kewenangan sebagaimana ditetapkan

dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 3

Tahun 2014 tentang Perindustrian.

Sanksi tidak hanya ditujukan kepada pelaku usaha di bidang industri atau

masyarakat sebagai objek hukum melainkan juga kepada pejabat dan aparatur

yang perbuatan atau tindakan bertentangan dengan norma hukum dalam

menjalankan tugas atau diluar batas wewenangnya atau dil uar prosedur

merupakan perbuatan melawan hukum,100 baik dilakukan secara sengaja maupun

akibat kelalaian, sehingga menimbulkan kewajiban secara hukum administrasi

pemerintahan, hukum perdata, dan/atau hukum pidana. Seseorang dikatakan

melakukan perbuatan melawan hukum, apabila perbuatan yang dilakukan

bertentangan dengan subjek hukum atau bertentangan dengan kewajibannya

sendiri menurut undang-undang.101 Bentuk pelanggaran tersebut dalam peraturan

perundang-undangan disebut sanksi merupakan bagian penutup yang penting

dalam hukum.102

Setiap aturan hukum di Indonesia pada umum selalu ada sanksi pada akhir aturan tersebut. Pembebanan sanksi tidak hanya terdapat dalam undang-undang dan peraturan daerah,103 melainkan juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain, seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri atau bentuk lain di bawah undang-undang dan peraturan daerah, namun jenisnya berbeda dengan undang-undang dan peraturan daerah yaitu sanksi administratif. Pencantuman sanksi dalam peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam setiap aturan hukum. Artinya kepada siapa saja yang melanggar aturan hukum tersebut akan dijatuhi sanksi administrasi, perdata, dan pidana, maka kepada pelanggar dapat dijatuhi sanksi secara kumulatif.104

99 Jimly Asshiddiqie, Op. cit, hlm. 1-2, dan hlm. 6. 100 Hartono Soenaryati, Panduan Investigasi untuk Ombudsmen Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2003,

hlml. 6 101 Emong Komariah Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Material Dalam Hukum Pidana Indonesia, PT. Alumni,

Bandung, Ed. 1, Cet. 1, 2003, hlm. 35. 102 Philipus M. Hardjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesia Administrative

Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 245. 103 Dalam Lampiran No. 90 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undang, bahwa ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan daerah. 104 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris : sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung,

2008, hlm. 90.

Page 166: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 108

Aturan hukum tidak dapat ditegakkan atau tidak akan dipatuhi jika pada

bagian akhir tidak mencantumkan sanksi. Tidak ada gunanya memberlakukan

kaidah-kaidah hukum manakala kaidah-kaidah tersebut tidak dapat dipaksakan

melalui sanksi dan menegakkan kaidah-kaidah dimaksud secara prosedural atau

hukum acara.105 Oleh sebab itu, sanksi selalu ada pada aturan hukum yang

dikualifikasikan sebagai aturan hukum memaksa. Ketidaktaatan atau pelanggaran

terhadap suatu kewajiban yang tercantum dalam aturan hukum mengakibatkan

terjadinya ketidak teraturan, yang sebenarnya tidak diinginkan oleh aturan hukum

bersangkutan. Hal tersebut sesuai fungsi sanksi yang dipakai untuk penegakkan

hukum terhadap ketentuan biasanya berisi suatu “perintah” dan “larangan” atau

“mewajibkan”.106 Dengan demikian, sanksi pada hakikatnya merupakan instrumen

yuridis yang biasanya diberikan apabila kewajiban atau larangan atau perintah

yang ada dalam ketentuan hukum dilanggar,107 dan dibalik ketentuan perintah

dan larangan tersedia sanksi untuk memaksa kepatuhan.108

Penerapan sanksi dalam Peraturan Daerah pada umumnya terdiri atas

sanksi administratif, dan sanksi pidana. Dengan memahami teori sanksi akan

memudahkan pengaturan sanksi dalam Rancangan Peraturan Daerah baik

kepada pelaku maupun kepada pejabat yang diberi tugas dalam kaitannya

dengan pengelolan sampah. Penjatuhan sanksi administratif, perdata, dan pidana

mempunyai sasaran, sifat, dan prosedur berbeda.109

Sanksi administratif dan sanksi perdata dengan sasaran yaitu perbuatan

yang dilakukan bersangkutan, sedangkan sanksi pidana dengan sasaran adalah

pelaku (orang) yang melakukan tindakan hukum tersebut. Sifat sanksi

administratif dan sanksi perdata reparatoir atau korektif, yaitu untuk memperbaiki

suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi yang bersangkutan. Regresif dimaksud

adalah segala sesuatunya dikembalikan kepada suatu keadaan ketika sebelum

terjadinya pelanggaran. Dalam aturan tertentu, di samping dijatuhi sanksi

105 Philipus M. Hardjon, dkk, op cit, hlm. 262. 106 Philipus M. Hardjon, Pemerintahan menurut Hukum, Yuridika, Surabaya, 1992 hlm. 6. 107 Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga,

Surabaya, 2004, hlm. 82. 108 Philipus M. Hardjon, op cit, hlm. 5. 109 Philipus M. Hadjon, Penegakkan Hukum Administrasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Paparan dan kajian

Hukum Administrasi Positif), Makalah Lokakarya Penengakan Hukum Lingkungan, PPLH Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya, Univivesitas Airlangga, Surabaya, 1996, hlm. 12.

Page 167: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 109

administratif juga dapat dijatuhi sanksi pidana secara kumulatif yang bersifat

condermnator (punitif) atau menghukum.

Matrik-4.2 Perbandingan Sanksi Administratif, Perdata, dan Pidana110

Sanksi Administratif Sanksi Perdata Sanksi Pidana

Sasaran Perbuatan Perbuatan Pelaku Sifat x Reparator/Korektif

x Regresif x Condemnatoir/Punit

if (sebagai kumulasi sanksi jika diatur dalam aturan hukum yang bersangkutan).

x Reparatoir/Korektif (pemulihan/perbaikan)

x Regresif (pengembalian kepada keadaan semula)

Condemnatoir/Punitif (penghukuman / pidana)

Prosedur Langsung Gugatan perdata (pengadilan)

Pengadilan

Memahami sasaran, sifat, dan prosedur sanksi sebagaimana dikemukakan

di atas, penerapan sanksi kepada pelaku usaha dalam perindustrian tidak sulit,

karena UU No. 3 Tahun 2014 telah diatur secara tegas. Sanksi tidak saja

ditujukan kepada masyarakat melainkan juga kepada pejabat yang diberi tugas,

wewenang, dan tanggung jawab meskipun undang-undang tidak mengatur secara

tegas. Penggunaan kata “setiap orang” dalam undang-undang dapat ditafsirkan

termasuk pejabat diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab di bidangnya.

4.16.1. Sanksi Administratif

Dalam beberapa kepustakaan hukum administrasi dikenal beberapa jenis

sanksi administratif, meliputi: 111

a) Paksaan pemerintah Paksaan pemerintah sebagai tindakan nyata dari pemerintah guna mengakhiri

suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum atau bila masih

110 Habib Adjie, op. cit. hlm. 123 111 Philipus M. Hadjon, dkk, op. cit., hlm. 245, dan Habib Adjie, op. cit. hlm. 108

Page 168: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 110

melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh warga masyarakat karena

bertentangan dengan undang-undang.

b) Penarikan kembali keputusan

Sanksi ini digunakan dengan mencabut atau menarik kembali suatu keputusan

atau ketetapan dengan mengeluarkan ketetap-an baru. Sanksi ini diterapkan

dalam hal terjadi pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga terjadi

pada pelanggaran berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar.112

Dalam keadaan tertentu sanksi ini tidak terlalu perlu didasarkan pada

peraturan perundang-undangan, apabila keputusan atau ketetapan untuk

waktu yang tidak tertentu dan menurut sifatnya dapat diakhiri atau ditarik

kembali izin, dan penarikan kembali tidak dapat diadakan secara berlaku

surut.113 Pencabutan atau penarikan kebijakan atau keputusan merupakan

suatu sanksi situatif yaitu sanksi yang dikeluarkan bukan dimaksudkan

sebagai reaksi terhadap perbuatan tercela dari segi moral, melainkan untuk

mengakhiri keadaan yang secara objektif tidak dapat dibenarkan lagi.114

c) Pengenaan denda administratif

Sanksi pengenaan denda administratif ditujukan kepada yang melanggar

peraturan perundang-undangan tertentu, dan kepada pelanggar dikenakan

sejumlah uang tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan

kepada pemerintah diberikan wewenang untuk menerapkan sanksi tersebut.

d) Pengenaan uang paksa oleh pemerintah

Sanksi pengenaan uang paksa oleh pemerintah ditujukan untuk menambah

hukuman, di samping denda yang telah disebutkan dengan tegas dalam

peraturan perundang-undangan bersangkutan.

Menurut Pasal 238 ayat (5) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, bahwa Peraturan Daerah dapat memuat sanksi administratif, berupa: (a)

teguran lisan; (b) teguran tertulis; (c) penghentian sementara kegiatan; (d)

penghentian tetap kegiatan; (e) pencabutan sementara izin; (f) pencabutan tetap 112 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I, Beberapa Pengertian

Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 242. 113 Philipus M. Hadjon, dkk, op. cit., hlm. 247. 114 Indroharto, op. cit. hlm. 243.

Page 169: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 111

izin; (g) denda administratif; dan/atau (h) sanksi administratif lain sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Di dalam UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian terdapat beberapa

pasal menerapkan sanksi administratif. Sanksi administratif dimaksud antara lain

sebagai berikut: Pasal 25 (5) Untuk jenis pekerjaan tertentu di bidang Industri, Menteri menetapkan

pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia secara wajib.

(6) Dalam hal Menteri menetapkan pemberlakuan Standar Kompetensi

Kerja Nasional Indonesia secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri wajib menggunakan tenaga kerja Industri yang memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.

(7) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang tidak

menggunakan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri;

dan/atau e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri.

Pasal 30 (1) Sumber daya alam diolah dan dimanfaatkan secara efisien, ramah

lingkungan, dan berkelanjutan. (2) Pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

wajib dilakukan oleh: a. Perusahaan Industri pada tahap perancangan produk, perancangan

proses produksi, tahap produksi, optimalisasi sisa produk, dan pengelolaan limbah; dan

b. Perusahaan Kawasan Industri pada tahap perancangan, pembangunan, dan pengelolaan Kawasan Industri, termasuk pengelolaan limbah.

(5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara;

Page 170: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 112

d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau

e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri.

Pasal 39 (1) Dalam keadaan tertentu, Pemerintah dapat melakukan pengadaan

Teknologi Industri melalui proyek putar kunci. (2) Penyedia teknologi dalam proyek putar kunci wajib melakukan alih

teknologi kepada pihak domestik. (4) Penyedia teknologi dalam proyek putar kunci yang tidak melakukan alih

teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; dan/atau c. penghentian sementara.

Pasal 60 (1) Setiap Orang yang membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian

pada barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a dikenai sanksi administratif.

(2) Pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau Jasa Industri yang tidak

menarik barang dan/atau menghentikan kegiatan Jasa Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dikenai sanksi administratif.

(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan izin usaha Industri; dan/atau e. pencabutan izin usaha Industri.

Pasal 70 (1) Setiap Perusahaan Industri yang tidak menyampaikan Data Industri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak menyampaikan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1), Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memberikan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara;

Page 171: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 113

d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau

e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri. (2) Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang

menyampaikan dan/atau mengumumkan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembebasan dari jabatan; c. penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling

lama 1 (satu) tahun; d. penurunan pangkat pada pangkat setingkat lebih rendah untuk paling

lama 1 (satu) tahun; e. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri;

dan/atau f. pemberhentian dengan tidak hormat.

Pemberian sanksi administratif yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014

ada yang dilakukan oleh Menteri dan Kepala Daerah sesuai kewenangannya.

Tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam PP No. 41 Tahun 2015

tentang Pembangunan Sumber Daya Industri sebagai berikut: Pasal 40 Setiap Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang menggunakan Tenaga Kerja Industri yang tidak memenuhi SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri;

dan/atau e. pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri. Pasal 12 (1) Untuk jenis pekerjaan tertentu di bidang Industri, Menteri menetapkan

pemberlakuan SKKNI secara wajib. (3) Dalam hal Menteri menetapkan pemberlakuan SKKNI secara wajib

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri wajib menggunakan Tenaga Kerja Industri yang memenuhi SKKNI.

Pasal 41 Setiap Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak melaksanakan Pemanfaatan Sumber Daya Alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:

Page 172: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 114

a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri;

dan/atau e. pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri. Pasal 19 ayat (1) dimaksud sebagai berikut: Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri wajib memanfaatkan Sumber Daya Alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Pasal 42 (1) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan-

nya mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 kepada Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri.

(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan atas laporan yang berasal dari: a. pengaduan; dan/atau b. tindak lanjut hasil pengawasan.

Dalam penjelasan Laporan berdasarkan pengaduan dapat dilakukan oleh warga masyarakat, baik perorangan maupun kelompok, atau lembaga kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.

Pasal 43 (1) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan bahwa Perusahaan

Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) atau Pasal 19 ayat (1), Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.

(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling

banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 44 (1) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang telah

dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa denda administratif.

(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan

paling banyak:

Page 173: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 115

a. 1% (satu persen) dari nilai investasi bagi Perusahaan Industri; dan b. 1 o/oo (satu per mil) dari nilai investasi bagi Perusahaan Kawasan

Industri. (3) Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima.

(4) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

penerimaan negara bukan pajak atau penerimaan daerah. Pasal 45 (1) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang tidak

memenuhi kewajibannya dan tidak membayar denda administratif dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara.

(2) Dalam hal Perusahaan Industri dan/atau Perusahan Kawasan Industri

telah membayar denda administratif tetapi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal batas waktu pembayaran denda administratif tidak memenuhi kewajibannya, dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara.

(3) Penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat penutupan sementara diterima.

(4) Perusahaan Industri yang berada dalam Kawasan Industri yang dikelola

oleh Perusahaan Kawasan Industri yang dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara, tetap dapat menjalankan kegiatan produksinya sesuai dengan izin yang dimilikinya.

Pasal 46 (1) Dalam hal Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri

sejak tanggal berakhirnya sanksi administratif berupa penutupan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) tidak memenuhi kewajibannya dan/atau tidak membayar denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri.

(2) Pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan Surat Penetapan Pembekuan.

(3) Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri yang telah

memenuhi kewajiban membayar denda administratif dan memenuhi kewajibannya dapat mengajukan permohonan pemulihan status pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industrinya.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin

Usaha Kawasan Industri diatur dengan Peraturan Menteri.

Page 174: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 116

Pasal 47 (1) Dalam hal Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri

sejak tanggal berakhirnya sanksi administratif berupa pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) tidak memenuhi kewajibannya dan/atau tidak membayar denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin

Usaha Kawasan Industri diatur oleh Menteri. Pasal 48 Dalam hal pelanggaran terhadap Pasal 12 ayat (3) atau Pasal 19 ayat (1) telah menimbulkan bahaya keamanan, keselamatan, kesehatan, dan/atau lingkungan terhadap Tenaga Kerja Industri dan/atau produk yang dihasilkan, Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri dikenai sanksi administratif tanpa melalui tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41. Pasal 49 Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan laporan pembekuan, pemulihan status pembekuan, dan pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri kepada Menteri.

4.16.2. Sanksi Ketentuan Pidana

Ketentuan pidana di dalam Peraturan Daerah sesuai Pasal 238 UU No. 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa Perda dapat

memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan

Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan

paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00

(lima puluh juta rupiah). Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau

pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sanksi pidana yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014 terhadap

pelanggaran ketentuan Pasal 53 ayat (1) bahwa setiap Orang dilarang: (a)

membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian pada barang dan/atau Jasa

Industri yang tidak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau

Page 175: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 117

pedoman tata cara; atau (b) memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan

barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis,

dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib. Bentuk sanksi

pidana atas pelanggaran tersebut dalam UU No. 3 Tahun 2014 sebagai berikut:

Pasal 120 (1) Setiap Orang yang dengan sengaja memproduksi, mengimpor, dan/atau

mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 120 (2) Setiap Orang yang karena kelalaiannya memproduksi, mengimpor,

dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Meskipun Pemerintah Daerah diberikan wewenang oleh undang-undang

memberikan sanksi pidana atas pelanggaran sebagian atau seluruh ketentuan

yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah, namun hal tersebut sulit dilakukan

karena dalam pelaksanaannya Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya memiliki

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang industri bertugas melakukan

penyidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah dan memiliki kurungan. Pada saat

Hakim menetapkan keputusan kepada pelanggar berupa denda dalam jumlah

tertentu, si penanggar tidak memiliki uang, maka Hakim memutuskan berupa

kurungan dalam waktu tertentu, sementara Pemerintah Daerah tidak memiliki

kuruangan. Oleh sebab itu, Ketentuan Pidana dalam Peraturan Daerah sesuai

yang ditetapkan dalam undang-undang.

Page 176: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 118

4.17. Penyidikan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,

untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang

tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka. Penyidikan

tersebut merupakan tugas dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

bidang perindustrian. Tata cara penyidikan diatur dalam Pasal 106 sampai

dengan Pasal 136 UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP).

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981, dan Pasal 4

ayat (1) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2003 tentang Pedoman

Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah,

bahwa penyidik (PPNS) dalam melaksanakan tugas penyidikan atas pelanggaran

Peraturan Daerah mempunyai wewenang sebagai berikut: (a) menerima laporan

atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya tindak pidana atas

pelanggaran Peraturan Daerah; (b) melakukan tindak pertama dan pemeriksaan

di tempat kejadian; (c) menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka; (d) melakukan penyiataan benda atau surat; (e)

mengambil sidik jari dan memotret seseorang; (f) memanggil orang untuk

didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (g) mendatangkan orang

ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (i)

mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik

bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak

pidana dan selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada

penuntut umu, tersangka atau keluarganya; (i) mengadakan tindakan lain menurut

hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Lebih jauh menurut Pasal 4 ayat (2),

bahwa PPNS tidak berwenang melakukan penangkapan atau penahanan.

PPNS mempunyai kewajiban sesuai dengan bidang tugasnya, meliputi: (a)

melakukan penyidikan, menerima laporan, dan pengaduan mengenai terjadinya

pelanggaran atas Peraturan Daerah; (b) menyerahkan hasil penyidikan kepada

Penuntut Umum melalui Penyidik POLRI dalam wilayah hukum yang sama; (c)

membuat Berita Acara setiap tindakan. Berita Acara yang dimaksud adalah

Page 177: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 119

pemeriksaan tersangka, pemasukan rumah, penyitaan barang, pemeriksaan

saksi, dan pemeriksaan tempat kejadian.

Atas laporan dan/atau pengaduan menurut Pasal 108 UU No. 8 Tahun 1981,

menentukan bahwa : (a) setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan

atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk

mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik baik lisan maupun tertulis;

(b) setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak

pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau

terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada

penyidik; (c) setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang

mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib

segera melaporkan hal itu kepada penyidik; (d) laporan/pengaduan yang diajukan

secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu; (e) laporan atau

pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditanda-

tangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik; (f) setelah menerima laporan

atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda

penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.

Sesuai ketentuan tersebut di atas, secara umum mengatur hak dan

kewajiban setiap orang, kewajiban setiap pegawai negeri sipil, dan kewajiban

PPNS.

1. setiap orang berhak mengajukan laporan atau pengaduan, dan berkewajiban

untuk seketika itu melaporkan permufakatan jahat untuk melakukan tindak

pidana (dalam hal ini pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah yang

menjadi bidang tugas PPNS), yang diketahui, menandatangani laporan atau

pengaduan;

2. PPNS wajib melaporkan terjadinya peristiwa pidana yang diketahui dalam

rangka pelaksanaan tugasnya;

3. PPNS wajib menerima laporan atau pengaduan, wajib mencatat atau

membuat berita acara laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan

serta menanda tangani berita acara tersebut, dan wajib memberikan surat

pemerimaan laporan atau pengaduan.

Page 178: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 120

Selain menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diuraikan di atas,

PPNS wajib melakukan tindakan apabila tindakan pidana tertangkap tangan oleh

PPNS sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 111 UU No. 8 Tahun 1981, setiap

orang yang mempunyai wewenang dalam tugas di bidang kebersihan wajib

menangkap tersangka guna diserahkan berserta atau tanpa barang bukti kepada

penyelidik atau penyidik. Dari ketentuan tersebut, kata-kata berhak berarti orang

yang melihat atau mempergokinya, boleh menggunakan haknya menangkap.

Mengingat PPNS tidak berwenang menangkap, maka tersangka langsung

diserahkan kepada Penyidik POLRI beserta barang buktinya atau tanpa barang

bukti. Di samping itu, dari ketentuan tersebut bahwa setiap orang atau aparat

yang bertugas di bidang perindustrian wajib menangkap tersangka dan segera

menyerahkan kepada Penyidik POLRI beserta barang bukti atau tanpa barang

bukti.

Tata cara pemeriksaan dan proses penyidikan terhadap tindak pidana baik

yang tertangkap tangan maupun tidak tertangkap tangan, diawali dengan

pemanggilan saksi dan tersangka untuk tidak tertangkap tangan. Untuk

kepentingan pemeriksaan, PPNS memiliki wewenang melakukan pemanggilan

terhadap tersangka dan/atau saksi. Pengertian tersangka adalah orang yang

berdasarkan bukti permulaan cukup patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Sedangkan pengertian saksi adalah mereka yang dianggap perlu diperiksa untuk

membuktikan tindak pidana yang dipersangkaan kepada tersangka.

Dalam melakukan pemanggilan saksi hendaknya diperhatikan kriteria

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 UU No. 8 Tahun 1981, yaitu mereka

yang mendengar sendiri, mereka yang melihat sendiri, mereka yang mengalami

sendiri peristiwa pidanaan, dan mereka yang dapat menjelaskan sumber

pengetahuannya tentang apa yang di dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri.

Bentuk pemanggilan tidak dapat dilakukan melalui telepon, melain secara

tertulis memuat : (a) nama dan alamat yang jelas dari orang yang dipanggil; (b)

nama PPNS yang harus ditemui; (c) tempat atau alamat kantor dimana panggilan

harus memenuhi; (d) waktu (hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam) panggilan harus

Page 179: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 121

dihadiri; (e) status orang yang dipanggil, apakah sebagai tersangka atau sebagai

saksi; (f) uraian singkat kasus tindak pidana yang terjadi dan pasal tindak

pidananya sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah. Dalam menentukan

waktu, yang harus diperhatikan tenggang waktu pemanggilan yang wajar dan

layak dengan memperhatikan tempat tinggal yang dipanggil dengan alamat kantor

PPNS sebagaimana diatur dalam Pasal 227 UU No. 8 Tahun 1981.

Mekanisme pemanggilan dapat dilakukan PPNS, dengan ketentuan sebagai

berikut:

1. surat panggilan disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum

tanggal hadir yang ditentukan (Pasal 227 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981);

2. surat panggilan disampaikan langsung di tempat tinggal orang yang dipanggil,

PPNS harus mendatangi sendiri, bertemu dan berbicara langsung dengan

orang yang dipanggil (Pasal 227 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981);

3. apabila tempat tinggal tidak diketahui dengan pasti atau PPNS tidak

menjumpai alamat tempat tinggal tersangkat, panggilan disampaikan di tempat

kediaman mereka yang terakhir (Pasal 227 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981);

4. PPNS yang menjalankan panggilan diwajibkan membuat catatan yang

menerangkan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan, dan

kedua belah membubuhkan tanggal dan tanda tangannya. Apabila yang

dipanggil tidak mau menanda tangani maka PPNS harus mencatat alasannya

(Pasal 227 ayat (3) UU No. 8 tahun 1981);

5. Apabila yang dipanggil tidak dijumpai alamat atau salah alamat, maka surat

panggilan dapat disampaikan melalui Lurah atau pejabat lain (misalnya Ketua

RT atau Ketua RW) di tempat yang dipanggil beralamat, untuk selanjutnya

PPNS menempelkan surat panggilan di papan pengumuman (Pasal 227 ayat

(1) UU No. 8 Tahun 1981).

Memenuhi panggilan merupakan kewajiban bagi setiap orang baik sebagai

tersangka maupun saksi atau ahli. Hal tersebut diatur dalam Pasal 112 ayat (2)

UU No. 8 Tahun 1981, bahwa orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik

dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada

Page 180: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 122

petugas membawa kepadanya. Panggilan tidak dapat diwakilkan kepada orang

lain karena asas atau prinsip pemeriksaan langsung kecuali tindak pidana

pelanggaran lalu lintas tersangka dapat menunjuk orang lain dengan surat kuasa

khusus untuk mewakilinya.

Apabila yang dipanggil tidak datang tanpa alasan, PPNS memanggil sekali

lagi (panggilan kedua kalinya). Bila panggilan kedua juga tidak dipatuhi tanpa

alasan yang sah, PPNS memerintahkan kepada Petugas Polisi untuk membawa

ke hadapan PPNS. (Pasal 112 UU No. 8 Tahun 1981). Dalam hal tersangka atau

saksi yang dipanggil tidak dapat hadir dengan alasan yang patut dan wajar bahwa

yang bersangkutan tidak dapat datang kepada PPNS, maka PPNS datang ke

tempat kediamannya (Pasal 113 UU No. 8 Tahun 1981).

Pada saat dilakukan pemeriksaan tersangka, PPNS wajib memberitahu-kan

kepada tersangka tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau

apabila dalam perkaranya wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana

diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 114 UU No. 8 Tahun 1981, bahwa penyidik wajib

menunjuk penasihat hukkum bagi tersangka. Kepada tersangka diberikan

penjelasan singkat mengenai maksud dan tujuan dilakukan pemeriksaan dan

tindak pidana yang dilakukan. Selain itu, kepada tersangka ditanyakan mengenai

kesehatan dan kesiapannya untuk diperiksa. Hal tersebut dimaksudkan untuk

memberikan kesempatan kepada tersangka mempersiapkan diri untuk pembelaan

sejak dilakukan penyidikan sebagai penerapan prinsip praduga tak bersalah.

Keterangan atau jawaban yang diberikan tersangka kepada penyidik (PPNS)

harus disampaikan dalam keadaan bebas, tidak boleh ada tekanan dari siapapun

juga dan dalam bentuk apapun juga (Pasal 117 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981).

Dalam memberikan keterangan harus bebas berdasar kehendak dan kesadaran

nuraninya, tidak boleh memungkiri perbuatan yang dipersangkaan. Tidak boleh

ada paksaan dengan cara apapun baik penekanan fisik dengan kekerasan atau

penganiayaan atau tekanan dan paksaan batin berupa ancaman intimidasi atau

intrik-intrik yang berasal dari penyidik (PPNS) maupun dari luar.

Dalam pemeriksaan, kepada tersangka ditanyakan apakah yang

bersangkutan menghendaki saksi, dicatat dalam berita acara pemeriksaan, untuk

Page 181: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 123

selanjutnya PPNS wajib memanggil dan memeriksa saksi sebagaimana diatur

dalam Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 8 Tahun 1981.

Keterangan tersangka mengenai apa yang dilakukan sehubungan tindakan

pidana yang dipersangkakan, dicatat oleh PPNS dalam berita acara sesuai apa

yang disampaikan tersangka sebagaimana diatur dalam Pasal 117 ayat (2) UU

No. 8 Tahun 1981. Setelah selesai, keterangan yang dicatat dalam berita acara

dinyatakan dan dimintakan persetujuan tersangka mengenai kebenaran isi berita

acara. Persetujuan dapat dilakukan PPNS dengan cara membaca kembali isi

berita acara atau tersangka membaca sendiri. Apabila tersangka menyetujui dan

tidak ada perubahan isi berita acara, selanjutnya tersangka dan PPNS masing-

masing membubuhkan tanda tangan dalam berita acara pemeriksaan

sebagaimana diatur dalam Pasal 118 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981. Untuk

menghindari dan kemungkinan dikemudian hari tersangka memungkiri isi berita

acara, biasanya dalam pemeriksaan pihak tersangka dimina menulis sendiri

jawaban-nya dengan tulisan tangan.

Dalam hal tersangka tidak mau menandatangani berita acara pemeriksaan,

PPNS mencatat dalam berita acara dengan menyebutkan alasan sebagaimana

diatur dalam Pasal 118 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981.

Pemeriksaan saksi dengan “tidak disumpah” kecuali ada cukup alasan untuk

diduga bahwa saksi tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan

(Pasal 116 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981). Pemeriksaan saksi tanpa disumpah

merupakan salah satu prinsip pemeriksaan dalam tahapan penyidikan. Berbeda

halnya dengan pemeriksaan saksi di muka persidangan pengadilan, dimana saksi

di sumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan kepada Hakim.

Berdasarkan ketentuan Pasal 116 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 selain

menegaskan prinsip tersebut di atas, juga mengatur pengecualian prinsip

pemeriksaan saksi tanpa di sumpah. Apabila ada cukup alasan untuk menduga

bahwa saksi tidak akan dapat hadir nantinya di persidangan pengadilan, maka

saksi dapat disumpah untuk menguatkan keterangannya yang diberikan atau

disampaikan dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan saksi yang diberikan

dibawah sumpah menurut Pasal 162 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981, sama nilai

Page 182: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 124

kekuatan buktinya dengan keterangan saksi yang diberikan di sidang pengadilan

dengan di bawah sumpah. Alasan yang dimaksud misalnya seorang saksi warga

negara asing, tidak lama tinggal di Indonesia atau segera pulang negaranya,

dianggap cukup alasan bersangkutan tidak akan dapat hadir di persidangan, oleh

karenanya dapat di sumpah atau mengucapkan janji dalam pemeriksaan

penyidikan bahwa keterangan yang sebanar-benarnya. Penyumpahan harus

dituangkan dalam berita acara sumpah. Keterangan saksi yang disumpah dalam

tahap penyidikan ternyata di persidangan yang bersangkutan tidak dapat hadir,

maka keterangan tersebut dapat dibacakan dan nilai pembuktian sama dengan

keterangan saksi yang diberikan di bawah sumpah pemeriksaan di pengadilan

(Pasal 162 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981).

Dalam hal pemeriksaan terhadap seorang ahli tidaklah mutlak, tidak seperti

pemeriksaan saksi. Apabila PPNS “menganggap perlu”, dapat diminta pendapat

orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus sebagaimana diatur dalam

Pasal 120 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981. Keterangan ahli merupakan salah satu

alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981.

Pengertian keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang

suatu perkara guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 angka 28 UU No. 8 Tahun

1981).

Pemeriksaan ahli berbeda dengan pemeriksaan saksi sebagaimana telah

diuraikan sebelumnya, dimana dalam pemeriksaan ahli, PPNS terlebih dahulu

mengambil sumpah atau janji kepada ahli tersebut bahwa ahli tersebut

memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya (Pasal

120 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981). Ahli tersebut dapat menolak memberikan

keterangan yang diminta apabila disebabkan karena harkat, serta martabat,

pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia jabatannya.

Keterangan ahli yang diberikan oleh ahli dalam dalam bentuk lisan dan bersifat

langsung kepada penyidik (PPNS). Dalam pemeriksaan terhadap alat bukti surat

atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh PPNS, untuk

Page 183: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 125

kepentingan penyidikan, PPNS dapat meminta keterangan ahli mengenal hal

tersebut dapat dalam bentuk tertulis.

PPNS setelah melakukan tindakan penyidikan atau melakukan serangkaian

tindakan mencari dan mengumpulkan bukti, antara lain melakukan pemeriksaan

saksi, pemeriksaan tersangka, melakukan penggeledahan, penyitaan, serta

tindakan lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan

termasuk Peraturan Daerah, selanjutnya PPNS menganalisa dan mengambil

kesimpulan serta pendapat atas hasil penyidikan yang dilakukan. Semua tindakan

yang dilakukan dituangkan dalam Berita Acara untuk kemudian disusun dan

dihimpun menjadi satu berkas hasil penyidikan.

Pendapat PPNS atas hasil penyidikan pelanggaran atas ketentuan

Peraturan Daerah, ada dua kemungkinan. Pertama, hasil penyidikan tidak layak

menurut hukum untuk diteruskan kepada penuntut umum sehingga oleh

karenanya penyidikan dihentikan sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2)

UU No. 8 Tahun 1981. Kedua, hasil penyidikan memenuhi syarat dan cukup bukti

perbuatan tersangka melakukan tindakan pidana, sehingga layak menurut hukum

untuk diserahkan kepada penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 110

ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981.

Dalam hal penghentian penyidikan, apabila hasil penyidikan tidak layak

menurut hukum untuk diteruskan kepada penuntut umum, meliputi: (a) perbuatan

tersangka tidak cukup bukti; (b) peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan

tindakan pidana; (c) penyidikan dihentikan demi hukum. Berdasarkan alasan-

alasan tersebut, PPNS menghentikan penyidikannya sebagaimana diatur dalam

Pasal 109 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981, yang dalam praktek dilakukan dengan

membuat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), untuk selanjutnya

diberitahu kepada penuntut umum melalui Penyidik POLRI, dan tersangka, atau

keluarganya. Berdasarkan Pasal 80 UU No. 8 Tahun 1981, SP3 disampaikan

kepada saksi pelapor sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Dengan

penyampaian SP3 kepada saksi pelapor, maka yang bersangkutan mengetahui

penyelesaian dari perkara yang dilaporkan. Apabila tidak puas yang bersang-

kutan memiliki upaya hukum untuk mengajukan pra peradilan.

Page 184: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 126

Penghentian penyidikan yang didasarkan pada alasan tidak cukup bukti

misalnya tersangka memungkiri atas perbuatan pidana yang dipersangkakan

dengan memberikan alibi, bukti bahwa tersangka berada di tempat lain ketika

terjadinya tindak pidana. Kemungkinan lain juga karena alat bukti yang

diungkapkan tidak memenuhi minimum pembuktian, yaitu kurang dari 2 (dua) alat

bukti.

Penghentian penyidikan yang didasarkan pada alasan bahwa peristiwa

tersebut bukan merupakan tindak pidana, adalah perbuatannya terbukti akan

tetapi perbuatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata atau

perbuatan tersebut bukan kejahatan maupun bukan pelanggaran. Sedangkan

penghentian penyidikan yang didasarkan alasan demi hukum adalah karena

berdasarkan hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan pidana, hasil

penyidikan yang dilakukan tidak mengkin diteruskan kepada penuntut umum

maupun dilimpahkan ke pengadilan negeri.

Sesuai ketentuan Pasal 110 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981, bilamana

penyidik (dalam hal ini PPNS) telah selesai melakukan penyidikan, penyidik

(dalam hal ini PPNS) wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut

umum. Mengingat PPNS dibawah koordinasi dan pengawasan Penyidik POLRI,

maka penyampaikan berkas kepada penuntut umum melalui Penyidik POLRI.

Apabila penuntut umum berpendapat hasil penyidikan yang dilakukan PPNS

masih kurang lengkap, dalam waktu 7 (tujuh) hari memberitahukan kepada

penyidik (Pasal 138 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981), dan dalam waktu 14 (empat

belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara, mengembalikan berkas

perkara tersebut kepada penyidik (dalam hal ini PPNS) disertai petunjuk tentang

hal yang dilakukan untuk dilengkapi (Pasal 110 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981).

PPNS wajib melakukan penyidikan tambahan sesuai petunjuk penuntut

umum dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas.

PPNS harus sudah penyampaikan kembali berkas perkara kepada penuntut

umum melalui Penyidik POLRI sebagaimana diatur dalam Pasal 110 ayat (3) dan

Pasal 138 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981.

Page 185: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 127

PPNS dianggap selesai melakukan tugasnya, apabila penuntut umum telah

memberitahukan kepada PPNS bahwa hasil penyidikan sudah lengkap serta

tersangka dan barang bukti diserahkan oleh PPNS kepada penuntut umum

melalui Penyidik POLRI (Pasal 138 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (3) UU No. 8 Tahun

1981. Selain itu, dalam waktu 14 (empat belas) hari penuntut umum tidak

mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut

berakhir telah ada pemberintahuan tentang lengkapnya hasil penyidikan dari

penuntut umum kepada PPNS, diikuti dengan penyerahan tanggung jawab

tersangka dan barang bukti dari PPNS kepada penuntut umum sebagaimana

diatur dalam Pasal 110 ayat (4) dan Pasal 8 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981.

Dari uraian tersebut di atas, yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh

PPNS dalam melakukan penyidikan di bidang industri, sebagai berikut:

1. Teliti identitas tersangka agar tidak terjadi kekeliruan dengan cara

pengecekan/pemeriksaan kartu identitas yang dibawa (misalnya KTP, SIM,

atau lainnya);

2. Tunjukan hak-hak tersangka untuk mendapatkan Bantuan Hukum (Penasehat

Hukum/Pengacara) atas tuduhan pelanggaran yang dilakukan;

3. Setelah melakukan wawancara/interview, kemudian dilakukan interogasi

dengan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka seperti yang

telah dipersiapkan sebelumnya;

4. Setelah selesai pembuatan BAP tersangka diperintahkan untuk meneliti dan

membaca/dibacakan dengan bahasa yang mudah dimengerti, selanjutnya

ditandatangani, serta membuat Surat Pernyataan yang dapat dipergunakan

sebagai bukti/dasar untuk diajukan ke Pengadilan Negeri setempat;

5. Apabila dalam pelaksanaan operasional ada penyitaan barang, jika pemeriksa

dianggap cukup selesai barang bukti harus segera dikembalikan lagi kepada

tersangka dengan dibuatkan Berita Acara Pengembalian Barang Bukti.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, pelanggaran pidana yang ditetapkan di

dalam Peraturan Daerah tidak dapat dilaksanakan oleh PPNS sendiri harus

disertai aparat Kepolisian dan Hakim apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

Page 186: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 128

melakukan operasi yustisi penyelenggaraan perindustrian. Pada dasarnya operasi

yustisi dilakukan dengan sistem peradilan di tempat dan pada saat itu pula

kepada tersangka yang terbukti telah melakukan pelanggaran diputus/diadili

Hakim yang mengadili perkara tersebut.

Mencermati uraian tersebut di atas, sanksi pidana di dalam Peraturan

Daerah sulit dilaksanakan oleh Dinas Perindustrian dan Energi, karena jumlah

PPNS tidak memadai. Meskipun demikian, dapat dilakukan oleh PPNS yang

berada di Satpol PP sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 bahwa

untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan

penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan

Polisi Pamong Praja. Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai

penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Polisi Pamong Praja diberikan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 6

PP No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja antara lain sebagai

berikut: (a) melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga

masyarakat, aparatur, atau badan hukum melakukan pelanggaran atas Peraturan

Daerah dan/atau Peraturan Gubernur; (b) melakukan tindakan penyelidikan

terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan

pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Gubernur; (c) melakukan

tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum

yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau Peraturan

Gubernur.

Page 187: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 1

Bab 5 MATERI MUATAN RAPERDA

5.1. Judul Rancangan Peraturan Daerah

Merujuk pada ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undang, bahwa judul suatu peraturan perundang-undangan

mencerminkan materi muatan atau substansi yang diatur dengan ketentuan

sebagai berikut:

Nama peraturan perundang-undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi peraturan perundang-undangan.

Sehubungan ketentuan tersebut di atas, maka Judul Rancangan Peraturan

Daerah sebagai berikut:

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH

KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG

PERINDUSTRIAN

Makna “Perindustrian” pada judul sesuai dengan pengertian perindustrian

sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 3 Tahun 2014, adalah

tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan kegiatan industri. Makna kata

“kegiatan” industri pada definisi tersebut, dapat ditafsirkan sebagai suatu proses.

Kegiatan industri terjadi karena ada sumber produksi seperti bahan baku/

penolong, tenaga kerja, prasarana dan sarana (peralatan), serta teknik produksi

untuk menghasilkan barang dan/atau jasa tertentu. Dengan demikian kegiatan

industri ditandai dengan adanya suatu input, suatu proses produksi, dan suatu

output.

Page 188: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 2

5.2. Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis

Menurut UU No. 12 Tahun 2011, landasan filosofis merupakan pertimbangan

atau alasan menggambarkan Peraturan Daerah dibentuk mempertimbangkan

pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan

serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejalan

pengertian tersebut, landasan filosofis Rancangan Peraturan Daerah tentang

Perindustrian, sebagai berikut:

bahwa perindustrian diselenggarakan berdasarkan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi daerah dan nasional, maka diperlukan industri yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Industri yang kokoh sebagai penggerak perekonomian daerah dengan ciri

sebagai berikut: (a) mempunyai kaitan (linkage) yang kuat dan sinergis antar sub

bidang industri dan dengan berbagai bidang ekonomi lainnya; (b) memiliki

kandungan lokal yang tinggi; (c) menguasai pasar domestik; (d) memiliki produk

unggulan industri masa depan; (e) dapat tumbuh secara berkelanjutan; (f)

mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap berbagai gejolak perekonomian.

Selain itu, sinergitas yang kuat antara industri kecil, menengah, dan besar yang

menjalankan perannya sebagai sebuah rantai pasok (supply chain), dibangun

melalui hubungan saling menguntungkan dan saling membutuhkan antar usaha

bidang industri baik lingkup daerah maupun nasional.

Landasan sosiologis menurut UU No. 12 Tahun 2011, merupakan

pertimbangan atau alasan menggambarkan Peraturan Daerah dibentuk untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis

sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan

kebutuhan masyarakat dan Pemerintah Daerah. Atas dasar pengertian tersebut,

landasan sosiologis perlu diatur perindustrian dan/atau dibentuk Rancangan

Peraturan Daerah tentang Perindustrian, sebagai berikut:

Page 189: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 3

Alternatif 1 bahwa dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa mendatang, diperlukan Peraturan Daerah untuk memberikan kepastian hukum agar terselenggaranya iklim usaha yang kondusif, sehingga perindustrian dapat memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah dan nasional serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Alternatif 2

bahwa kedudukan dan peran Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, penyelenggaraan perindustrian diarahkan pada industri yang menggunakan teknologi tinggi dan industri kreatif, dengan strategi meningkatkan kapasitas dan intensitas pusat kegiatan primer dan sekunder untuk mewadahi industri berskala regional, nasional, dan internasional.

Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki sumber daya alam seperti daerah lain,

karena itu modal dasar yang dimiliki untuk menghasilkan barang dan jasa melalui

kegiatan industri dan dalam penciptaan nilai tambah atau manfaat yang tinggi,

berupa: (a) sumber daya manusia yang memiliki kompetensi kerja (pengetahuan,

keterampilan, dan sikap) yang sesuai di bidang industri; (b) pengembangan,

penguasaan, dan pemanfaatan teknologi industri, kreativitas serta inovasi untuk

meningkatkan efisiensi, produktivitas, nilai tambah, daya saing, dan kemandirian.

Landasan yuridis menurut UU No. 12 Tahun 2011 merupakan pertimbangan

atau alasan menggambarkan bahwa Peraturan Daerah yang dibentuk untuk

mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan

mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan

dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi

atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Daerah. Atas dasar

pengertian tersebut, Provinsi DKI Jakarta belum memiliki Peraturan Daerah yang

mengatur perindustrian, ada perintah yang diberikan negara melalui UU No. 3

Tahun 2014 tentang Perindustrian (wewenang atribusi) kepada Gubernur selaku

Kepala Daerah, ada kewajiban pelaku usaha industri yang harus dipenuhi, maka

dengan adanya Peraturan Daerah tentang Perindustrian Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta dapat mewujudkan hak pelaku usaha dan memfasilitasi kewajiban pelaku

Page 190: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 4

usaha di bidang industri. Landasan yuridis dibentuknya Rancangan Peraturan

Daerah tentang Perindustrian sebagai berikut:

bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian serta mewujudkan hak dan kewajiban masyarakat dalam penyelenggaraan industri, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Perindustrian.

Agar maksud penyelenggaraan perindustrian dapat tercapai sebagaimana

tertuang dalam landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut di atas,

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan arah dan kebijakan dalam

penyelenggaraan industri di Provinsi DKI Jakarta, antara lain penyediaan

infrastruktur industri di dalam dan di luar kawasan industri dan/atau di dalam

kawasan peruntukan industri, penyediaan alokasi dan kemudahan pembiayaan

untuk pengembangan industri, serta penetapan kebijakan yang mendukung iklim

usaha yang kondusif bagi industri.

5.3. Dasar Hukum

Beberapa peraturan perundang-undangan baik nasional maupun daerah

yang dapat dijadikan dasar hukum dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah

tentang Perindustrian dan sebagai dasar hukum atas materi muatan yang termuat

dalam Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana telah diuraikan dalam bab

sebelumnya, meliputi:

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan dasar hukum konstitusional

bagi Pemerintahan Daerah membentuk Peraturan Daerah sebagaimana

ditetapkan dalam Pasal 18 ayat (6), menyatakan Pemerintahan Daerah

berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk

melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Rancangan Peraturan

Daerah tentang Perindustrian dibentuk dalam rangka pelaksanaan otonomi

Page 191: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 5

daerah, karena perindustrian termasuk urusan pemerintahan pilihan yang

wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki

Daerah menurut Pasal 12 ayat (3) huruf g UU No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah.

Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas

persetujuan DPRD Provinsi DKI Jakarta berhak dan berwewenang mengatur

urusan pemerintahan bidang perindustrian sesuai tugas, wewenang, dan

kewajiban yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014 tentang

Perindustrian untuk kepentingan masyarakat dan Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta.

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3209).

Pelanggaran atas ketentuan pindana yang termuat dalam Peraturan Daerah

menjadi tugas dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang

perindustrian. PPNS dalam melaksanakan tugas harus sesuai ketentuan

yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana. Jika dalam Peraturan Daerah tidak termuat ketentuan

pidana, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak diperlukan.

Tugas dan wewenang PPNS bidang perindustrian melakukan penyidikan

pelanggaran dalam penyelenggaraan perindustrian diatur dalam Pasal 119

ayat (1), selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat

pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup

tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perindustrian diberi wewenang

khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan

sesuai dengan Undang-Undang ini.

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3817).

Page 192: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 6

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur berbagai larangan praktek

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam rangka mewujudkan

tujuan penyelenggaraan perindustrian sebagaimana termuat dalam Pasal 3

huruf d UU No. 3 Tahun 2014, menyatakan mewujudkan kepastian

berusaha, “persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau

penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan

masyarakat”. Apabila pelaku usaha bidang industri melakukan persaingan

yang tidak sehat dan melakukan praktek monopoli (pemusatan atau

penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan), berarti

melanggar ketentuan yang termuat dalam UU No. 5 Tahun 1999. Yang

dimaksud persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku

usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang

dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum

atau menghambat persaingan usaha.1 Sedangkan yang dimaksud dengan

praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih

pelaku usaha mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran

atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha

tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.2 Berdasarkan uraian

tersebut, UU No. 5 Tahun 1999 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat

Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau menjadi dasar hukum dalam

penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta.

4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4279).

Tenaga kerja faktor penting dalam penyelenggaraan perindustrian, Oleh

sebab itu, ketersediaan tenaga kerja yang bermutu merupakan salah satu

syarat bagi peningkatan dan keberlanjutan pertumbuhan industri di Provinsi

DKI Jakarta di masa datang. Berbagai permasalahan dihadapi pelaku usaha

bidang industri antara lain, berkaitan dengan upah minimum dan kewajiban 1 Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat. 2 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

Page 193: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 7

pembayaran pesangon tidak sesuai kemampuan perusahaan. Ketentuan

kewajiban pelaku usaha bidang industri kepada tenaga kerja tersebut sesuai

ketentuan yang ditetapkan dalam UU No. 13 Tahun 2003. Sehubungan itu,

UU No. 13 Tahun 2003 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat

Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau menjadi dasar hukum dalam

penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta

5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301).

Permasalahan yang dihadapi pelaku usaha di bidang industri antara lain: (a)

kualitas sumber daya manusia (SDM) lulusan sekolah menengah baik umum

maupun kejuruan secara umum masih belum memenuhi atau tidak sesuai

kebutuhan industri, terutama untuk mengisi posisi pekerja tingkat menengah;

(b) kelangkaan pasokan SDM ahli (profesional di bidang manufacturing dan

pendukung kegiatan industri lainnya). Untuk mengatasi permasalahan

tersebut pelaku usaha bidang industri menyelenggarakan pendidikan dan

pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas SDM baik melalui pendidikan

formal maupun non formal harus sesuai ketentuan yang termuat dalam UU

No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Demikian halnya,

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penyelenggaraan pendidikan dan

pelatihan kerja harus sesuai kebutuhan pelaku usaha industri. Sehubungan

itu, UU No. 20 Tahun 2003 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat

Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau menjadi dasar hukum dalam

penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta.

6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4725).

Dalam penyediaan prasarana industri termasuk infrastrukturnya harus sesuai

dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi yang tertuang dalam

Rencana Induk Penyelenggaraan Perindustrian Provinsi sebagaimana diatur

dalam Pasal 10 ayat (3) huruf b UU No. 3 Tahun 2014. Permasalahan yang

Page 194: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 8

terjadi di Provinsi DKI Jakarta, banyak industri khususnya industri kecil dan

menengah berada di kawasan permukiman, yang menurut UU No. 26 Tahun

2007 termasuk pelanggaran karena tidak sesuai peruntukan. Sehubungan

itu, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang harus termuat dalam

Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau

menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI

Jakarta.

7. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik

Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744).

Kedudukan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI dan pelaksanaan

otonomi pada lingkup provinsi ditetapkan dalam UU No. 29 Tahun 2007.

Sehubungan itu, UU No. 29 Tahun 2007 harus termuat dalam Konsiderans

Mengingat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). Selain itu, implikasi

kedudukan Provinsi DKI Jakarta, arah dan kebijakan Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta dalam penyelenggaraan perindustrian dimasa mendatang pada

industri kreatif dan industri yang menggunakan teknologi tinggi, industri yang

hemat lahan dan air serta industri yang berwawasan lingkungan atau industri

hijau, yaitu industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya

efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan

sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian

fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.3

8. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).

Di dalam UU No. 40 Tahun 2007 mengatur Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan, yaitu komitmen Perseroan Terbatas (PT) untuk berperan serta

dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas

kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,

3 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian

Page 195: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 9

komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Sehubungan itu,

UU No. 40 Tahun 2007 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat

Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau menjadi dasar hukum dalam

penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta.

9. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851).

Di dalam UU No. 18 Tahun 2008 ada kewajiban yang harus dilaksanakan

Pengelola Kawasan Industri dan pelaku usaha industri sebagai produsen.

Kewajiban Pengelola Kawasan Industri menurut Pasal 13 wajib menyediakan

fasilitas pemilihan sampah, sedangkan kewajiban pelaku usaha industri

sebagai produsen menurut Pasal 14 dan Pasal 15 berikut ini:

Pasal 14 Setiap produsen harus mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau produknya. Pasal 15 Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini dalam menghadapi permasalahan

sampah terutama sampah kemasan dan/atau barang yang dihasilkan industri

yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Penyelenggaraan

perindustrian di Provinsi DKI Jakarta harus mampu meminimisasi timbulan

sampah dari kegiatan industri sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun

2008. Sehubungan itu, UU Nol 18 Tahun 2008 menjadi dasar hukum dalam

pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian.

10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5059).

Penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta harus memenuhi

aspek lingkungan hidup sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-

Page 196: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 10

Undang Nomor 32 Tahun 2009, seperti: dalam pengelolaan kawasan industri

harus memenuhi ketentuan berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan

lingkungan hidup sesuai hasil studi Analisis Dampak Lingkungan, Rencana

Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan, dan penyediaan

fasilitas pengelolaan limbah yang dihasilkan. Oleh sebab itu, UU No. 32 Tahun

2009 menjadi dasar hukum dalam pembentukan Rancangan Peraturan

Daerah tentang Perindustrian.

11. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan tidak hanya menjadi pedoman dalam penyusunan

Raperda melainkan juga sebagai dasar hukum bagi Pemerintahan Daerah

bahwa Peraturan Daerah merupakan bagian dari peraturan perundang-

undangan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011

dan mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi setiap orang. Oleh sebab

itu, UU tersebut menjadi dasar hukum kedudukan Peraturan Daerah bagian

dari peraturan perundang-undangan sifatnya mengikat dan harus dipatuhi.

12. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5492).

Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 menjadi dasar hukum utama dalam

pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian, karena

dalam Undang-Undang tersebut mengatur tugas, wewenang, dan tanggung

jawab Pemerintah Daerah serta kewajiban pelaku usaha di bidang industri.

13. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 120,Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5317) sebagaimana telah

beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679).

Page 197: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 11

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, mengatur hak dan kewajiban serta

wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah (dalam hal ini Gubernur

dan Perangkat Daerah) sebagai eksekutif dan DPRD sebagai legislatif dalam

rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Oleh sebab itu,

UU tersebut harus termuat dalam Konsiderans Mengingat.

14. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab

Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2012 Nomor 89,Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5305).

Peran serta Perseroan Terbatas dalam mengatasi berbagai persoalan sosial

dan lingkungan di DKI Jakarta menjadi penting melalui program Tanggung

Jawab Sosial dan Lingkungan atau corporate social responsibility (CSR)

sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012.

Tidak hanya masalah sosial melalui program CSR, melainkan lingkungan

seperti sampah yang dihasilkan atas produk yang dihasilkan industri menjadi

tanggung jawab pelaku usaha industri atau disebut Extended Producer

Responsibility (EPR). EPR salah satu strategi yang ditetapkan dalam UU No.

18 Tahun 2008 dalam mengurangi timbulan sampah. Strategi EPR dimaksud

produsen bertanggungjawab terhadap seluruh life cycle produk dan/atau

kemasan dari produk dihasilkan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan

Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2008. Oleh sebab itu, PP tersebut menjadi dasar

hukum terhadap materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang

Perindustrian. Oleh sebab itu termuat dalam Konsiderans Mengingat.

15. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Kerja Sama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4761).

Dalam penyediaan prasarana dan sarana perindustrian Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta dapat melakukan melalui kerjasama dengan pihak swasta dalam

seperti penyediaan kawasan industri dan sentra industri kecil dan menengah

dengan cara: (a) kerja sama pemanfaatan (KSP) barang milik daerah oleh

Page 198: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 12

pihak swasta dalam jangka waktu tertentu; (b) Bangun Guna Serah (BGS)

dan Bangun Serah Guna (BSG). Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

dapat bekerjasama dengan Pemerintah Daerah lain yang memiliki potensi

sumber daya alam untuk kebutuhan bahan baku atau bahan penolong

industri kecil dan menengah. Mekanisme bentuk kerja sama diatur dalam PP

No. 50 Tahun 2007. Oleh sebab itu, PP No. 50 Tahun 2007 menjadi dasar

hukum dalam penyelenggaraan perindustrian di DKI Jakarta, maka PP

tersebut harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan

Daerah.

16. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987).

PP No. 24 Tahun 2009 memberikan tugas dan wewanang kepada Gubernur

selaku Kepala Daerah dalam rangka optimalisasi pemanfaatan Kawasan Industri,

antara lain memberikan: (a) insentif dan kemudahan lainnya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) kemudahan dalam

perolehan/pembebasan lahan pada wilayah yang diperuntukkan bagi Kawasan

Industri; (c) pengarahan kegiatan Industri ke dalam Kawasan Industri. Oleh sebab

itu, PP No. 24 Tahun 2009 menjadi dasar hukum dalam materi muatan Rancangan

Peraturan Daerah, maka harus termuat dalam Konsiderans Mengingat

Rancangan Peraturan Daerah.

17. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285).

Menurut Pasal 2 PP No. 27 Tahun 2012, menyatakan bahwa setiap usaha

dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL wajib memiliki

Izin Lingkungan yang diperoleh melalui tahapan kegiatan yang meliputi: (a)

penyusunan AMDAL dan UKL-UPL; (b) penilaian AMDAL dan pemeriksaan

UKL-UPL; (c) permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan. Persyaratan

tersebut, menjadi persyaratan dalam mendapatkan izin usaha industri di DKI

Jakarta. Oleh sebab itu, PP No. 27 Tahun 2012 menjadi dasar hukum

Page 199: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 13

terhadap materi muatan Rancangan Peraturan Daerah, maka Peraturan

Pemerintah tersebut harus termuat dalam Konsiderans Mengingat

Rancangan Peraturan Daerah.

18. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab

Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2012 Nomor 89,Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5305).

Berbagai kebijakan Daerah telah menetapkan tanggung jawab sosial dan

lingkungan Perseroan Terbatas baik dalam bentuk Peraturan Daerah

maupun Peraturan Gubernur, antara lain Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun

2013 tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2013

tentang Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun

2013 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Dunia Usaha. Agar

Rancangan Peraturan Daerah selaras dengan kebijakan yang ada, maka

tanggung jawab sosial dan lingkungan menjadi bagian yang harus dilakukan

oleh pelaku usaha di bidang industri dan menjadi materi muatan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Sehubungan itu, PP No. 47 Tahun

2012 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan

Daerah.

19. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah

Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2014 Nomor 333, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5617).

Gubernur telah menetapkan Peraturan Gubernur No. 76 Tahun 2009 tentang

Pelaksanaan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, antara

lain berasal dari kegiatan industri dan kegiatan industri yang memafaatkan

Limbah B3, harus mendapatkan izin dari Gubernur. Sehubungan itu,

pengelolaan limbah B3 menjadi bagian dari materi muatan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Oleh sebab itu, PP No. 101 Tahun

2014 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan

Daerah.

Page 200: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 14

20. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk

Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035 (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5671).

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU No. 3 Tahun 2014, menyatakan

Gubernur menyusun Rencana Pembangunan Industri Provinsi (dalam hal ini

Rencana Induk Penyelenggaraan Perindustrian) mengacu kepada Rencana

Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional.

Rencana Induk Penyelenggaraan Perindustrian merupakan bagian dari

materi muatan Raperda Penyelenggaraan Perindustrian, maka PP No. 14

Tahun 2015 termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan

Daerah.

21. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan

Sumber Daya Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015

Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5708).

Sumber daya Industri menjadi materi muatan Raperda, maka PP No. 41

Tahun 2015 termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan

Daerah.

22. Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah

Dengan Badan Usaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015

Nomor 62).

Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 mengatur kerjasama Pemerintah

dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur yang diperlukan dalam

penyelenggaraan perindustrian. Dengan demikian, dapat mempercepat

penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan industri, guna menciptakan iklim

investasi, untuk mendorong keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan

infrastruktur industri dan layanan berdasarkan prinsip-prinsip usaha yang

sehat.

23. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1986 tentang Penyidik Pegawai Negeri

Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran

Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1986 Nomor 86).

Page 201: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 15

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan kebijakan mengenai

PPNS Daerah diantaranya bidang industri, maka PPNS Daerah Provinsi DKI

Jakarta dalam melakukan penyidikan sesuai ketentuan yang ditetapkan

dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 1986. Oleh sebab itu, Perda No. 3

Tahun 1986 termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan

Daerah.

24. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perizinan Tempat Usaha

Berdasarkan Undang-Undang Gangguan (Lembaran Daerah Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan

Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 28);

Persyaratan mendapatkan Persetujuan Prinsip Izin Usaha Industri (IUI)

antara lain Izin Undang-Undang Gangguan (Ho) sebagaimana diatur dalam

Peraturan Daerah No. 15 Tahun 2011, karena itu Perda tersebut harus

termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah.

25. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah 2030 (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Nomor 28).

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2014 menyatakan

bahwa rencana pembangunan industri (dalam hal ini penyelenggaraan

perindustrian) paling sedikit memperhatikan: Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi. Sehubungan itu, Perda No. 1 Tahun 2013 menjadi dasar hukum

materi muatan Raperda dan harus termuat dalam Konsiderans Mengingat

Rancangan Peraturan Daerah.

26. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah

(Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2013

Nomor 401, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Nomor 4001).

Kewajiban Perusahaan Kawasan Industri dan pelaku industri mengurangi

timbulan sampah yang dihasil dari hasil produksi industrinya. Hal tersebut

diatur dalam Perda No. 3 Tahun 2013. Agar materi muatan Raperda tentang

Page 202: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 16

Perindustrian harmonis dengan Peraturan Daerah yang ada, maka Perda

tersebut harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan

Daerah.

27. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Tahun 2013 Nomor 203, Tambahan Lembaran Daerah

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2003).

Izin Usaha Industri (IUI) dan Tanda Daftar Industri (TDI) menjadi tugas dan

fungsi Badan/Kantor PTSP sebagaimana diatur dalam Perda No. 12 Tahun

2013, karena itu Perda tersebut menjadi dasar hukum dalam pemberian Izin

Usaha Industri. Agar materi muatan Raperda tentang Perindustrian harmonis

dengan Peraturan Daerah yang ada, maka Perda No. 12 Tahun 2013 harus

termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah.

28. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang

dan Peraturan Zonasi (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Tahun 2014 Nomor 301, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3001).

Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2014 merupakan operasionalisasi dari

Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012. Sehubungan itu, harus termuat dalam

Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah.

29. Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat

Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun

2016 Nomor 201, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Nomor 2004).

Penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta menjadi tugas dan

fungsi Dinas Perindustrian dan Energi sebagai Perangkat Daerah yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang perindustrian. Oleh sebab

itu, Perda No. 18 Tahun 2016 harus termuat dalam onsiderans Mengingat

Rancangan Peraturan Daerah.

Page 203: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 17

Peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dalam Konsiderans

Mengingat menjadi dasar hukum materi muatan Rancangan Peraturan Daerah

tentang Perindustrian yang secara rinci telah diuraikan dalam Bab sebelumnya.

5.4. Batang Tubuh Raperda Batang tubuh Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perindustrian

memuat materi muatan yang akan dirumuskan dalam pasal per pasal dalam

Raperda. Batang tubuh Raperda dimaksud, sebagai berikut:

a. Pengertian/Batasan

Pengertian/batasan atau definisi dalam peraturan perundang-undangan

termuat dalam Ketentuan Umum. Menurut UU No. 12 Tahun 2011 Ketentuan

Umum berisi batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang

dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi dan/atau hal-hal lain yang

bersifat umum yang berlaku. Kata atau istilah yang dimuat dalam Ketentuan

Umum hanya kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal

atau beberapa pasal selanjutnya. Apabila rumusan definisi dari peraturan

perundang-undangan dirumuskan kembali dalam peraturan perundang-

undangan yang akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan

rumusan definisi dalam peraturan perundang-undangan yang telah berlaku

tersebut.

Berdasarkan pedoman tersebut di atas, definisi atau batasan yang lazim

digunakan dalam Peraturan Daerah di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan

peraturan perundang-undangan serta beberapa definisi yang ditetapkan dalam

UU No. 3 Tahun 2014 dan peraturan perundang-undangan lain, antara lain

sebagai berikut:

1. Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan

kegiatan industri. (Pasal 1 angka 1 UU No. 3 Tahun 2014).

2. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan

baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasil-

kan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi,

Page 204: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 18

termasuk jasa industri. (Pasal 1 angka 2 UU No. 3 Tahun 2014).

3. Industri Kecil adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di

bidang industri dengan nilai investasi paling banyak Rp. 500.000.000,-

(lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat

usaha. (Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2014).

4. Industri Menengah adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha

di bidang industri dengan nilai investasi paling besar dari Rp.

500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp.

10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan

bangunan tempat usaha. (Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-

IND/PER/3/2014).

5. Industri besar adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di

bidang industri dengan nilai investasi lebih besar dari Rp. 10.000.000.000

(sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat

usaha. (Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2014).

6. Industri hijau adalah industri yang dalam proses produksinya

mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya

secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan

industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat

memberikan manfaat bagi masyarakat. (Pasal 1 angka 3 UU No. 3 Tahun

2014).

7. Industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas,

ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta

lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi

dan daya cipta individu tersebut. (Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf b

UU No. 3 Tahun 2014).

8. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri

yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang

dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri. (Pasal 1

angka 9 UU No. 3 Tahun 2014).

Page 205: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 19

9. Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan

pengembangan dan pengelolaan kawasan Industri. (Pasal 1 angka 8 UU

No. 3 Tahun 2014).

10. Teknologi Industri adalah hasil pengembangan, perbaikan, invensi,

dan/atau inovasi dalam bentuk teknologi proses dan teknologi produk

termasuk rancang bangun dan perekayasaan, metode, dan/atau sistem

yang diterapkan dalam kegiatan Industri. (Pasal 1 angka 10 UU No. 3

Tahun 2014)

11. Data Industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam bentuk angka,

huruf, gambar, peta, dan/atau sejenisnya yang menunjukkan keadaan

sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah

terkait dengan kegiatan Perusahaan Industri. (Pasal 1 angka 11 UU No. 3

Tahun 2014).

12. Data Kawasan Industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam

bentuk angka, huruf, gambar, peta, dan/atau sejenisnya yang

menunjukkan keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas

nilai, dan belum diolah terkait dengan kegiatan Perusahaan Kawasan

Industri. (Pasal 1 angka 14 UU No. 3 Tahun 2014).

13. Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk

berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna

meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik

bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada

umumnya. (Pasal 1 angka 3 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas).

14. Badan usaha industri yang selanjutnya disebut pelaku usaha industri,

adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan

melakukan usaha industri meliputi perseroan terbatas, perseroan

komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau nama dan dalam bentuk

apapun, firma, kongsi, koperasi, persekutuan, dan bentuk badan lain yang

melakukan usaha industri secara tetap. (Analisis Bab 4).

Page 206: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 20

15. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. (Pasal 1 angka 5

UU No. 3 Tahun 2014)

16. Masyarakat adalah perorangan atau kelompok orang atau badan usaha

atau lembaga/organisasi kemasyarakatan yang mempunyai perhatian dan

peranan dalam penyelenggaraan perindustrian.

b. Asas Penyelenggaraan Perindustrian

Asas penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan asas

yang termuat dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2014 disesuaikan dengan

kepentingan daerah Provinsi DKI Jakarta. Dengan demikian, Perindustrian

diselenggarakan berdasarkan asas: (1) kepentingan daerah dan nasional,

bahwa perindustrian diselenggarakan untuk kepentingan daerah dan bangsa,

negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan melalui kerja sama seluruh

elemen bangsa; (2) demokrasi ekonomi, bahwa perindustrian diselenggarakan

dengan semangat kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,

berwawasan lingkungan, dan kemandirian serta menjaga keseimbangan

kemajuan dalam kesatuan ekonomi daerah dan nasional; (3) kepastian

berusaha, bahwa perindustrian diselenggarakan agar terwujud iklim usaha

kondusif yang dibentuk melalui sistem hukum yang menjamin konsistensi

antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya; (4)

persaingan usaha yang sehat, bahwa perindustrian diselenggarakan dalam

upaya untuk mewujudkan persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan

produksi, distribusi, pemasaran barang, dan/atau jasa yang dilakukan dengan

cara yang jujur dan taat terhadap hukum; (5) keterkaitan industri, bahwa

hubungan antar-industri dalam mata rantai pertambahan atau penciptaan nilai

untuk mewujudkan industri daerah dan nasional yang sehat dan kokoh.

Keterkaitan Industri dapat berupa keterkaitan yang dimulai dari penyediaan

bahan baku, proses manufaktur, jasa pendukung industri, sampai distribusi ke

pasar dan pelanggan, dan/atau keterkaitan yang melibatkan industri kecil,

industri menengah, dan industri besar.

Page 207: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 21

c. Tujuan Penyelenggaraan Perindustrian

Perindustrian diselenggarakan dengan tujuan: (1) mewujudkan industri

sebagai pilar dan penggerak perekonomian daerah; (2) mewujudkan industri

yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau; (3) mewujudkan

kepastian berusaha, persaingan usaha yang sehat, serta mencegah

pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan

yang merugikan masyarakat; (4) membuka kesempatan berusaha dan

perluasan kesempatan kerja; (5) mewujudkan pemerataan pembangunan

industri guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah dan

nasional. Yang dimaksud dengan “ketahanan industri daerah” adalah industri

yang berdaya saing, efisien, berkelanjutan, bersih, dan berwawasan

lingkungan; (6) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat

secara berkeadilan. Yang dimaksud dengan “kemakmuran dan kesejahteraan

masyarakat secara berkeadilan” adalah industri sebagai penggerak ekonomi

daerah dan nasional harus dinikmati oleh seluruh masyarakat terutama

golongan ekonomi lemah atau kelompok yang berpenghasilan di bawah

tingkat rata-rata pendapatan per kapita. Tujuan utama penyelenggaraan

perindustrian bermuara pada segala upaya untuk mewujudkan tatanan

ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan keadilan sosial,

kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat, bukan kepentingan

individu, golongan atau kelompok tertentu, dengan proses produksi yang

melibatkan semua orang dan hasilnya bisa dinikmati oleh semua warga

masyarakat baik daerah maupun nasional.

d. Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah

1. Tugas Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan perindustrian sebagai

berikut: (a) menetapkan kebijakan penyelenggaraan perindustrian sesuai

peraturan perundang-undangan; (b) penyediaan prasarana dan sarana

industri; (c) pengembangan sumber daya manusia industri untuk

menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna meningkatkan

Page 208: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 22

peran sumber daya manusia daerah di bidang industri; (d) mendorong

pengembangan industri berwawasan lingkungan; (e) memfasilitasi

ketersediaan, penyaluran, dan pemanfaatan sumber daya alam untuk

industri melalui kerja sama antar daerah; (f) mengembangan, peningkatan

penguasaan, dan pemanfaatan teknologi industri; (g) memfasilitasi kerja

sama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di

bidang industri; (h) memfasilitasi promosi produk hasil industri dan aralih

teknologi dari industri besar, lembaga penelitian dan pengembangan,

perguruan tinggi, dan/atau lembaga lain ke industri kecil dan menengah; (i)

memfasilitasi lembaga penelitian dan pengembangan dan/atau perusahaan

industri dalam negeri yang mengembangkan teknologi bidang industri; (j)

memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi

masyarakat dalam pembangunan industri; (k) memfasilitasi ketersediaan

pembiayaan untuk pemberdayaan industri kecil dan menengah; (l)

penyediaan data industri yang akurat dan lengkap melalui sistem informasi

industri daerah yang terintegrasi; (m) pemberdayaan industri kecil dan

industri menengah serta industri kreatif; (n) pemberian izin usaha industri;

(o) mendorong penanaman modal di bidang industri untuk memperoleh

nilai tambah sebesar-besarnya dalam pemanfaatan sumber daya daerah

dan/atau nasional dalam rangka peningkatan daya saing industri daerah;

(p) memberikan insentif dan disinsentif dalam penyelenggaraan

perindustrian; (q) mengawasi dan mengendalikan penyelenggaraan

industri; (r) memberikan sanksi kepada pelaku usaha industri yang

melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan.

2. Wewenang Pemerintah Daerah

Dalam menyelenggarakan perindustrian, Pemerintah Daerah mempunyai

wewenang sebagai berikut: (a) merumuskan dan menetapkan arah,

kebijakan dan strategi penyelenggaraan perindustrian berdasarkan

kebijakan nasional; (b) menyelenggarakan perindustrian sesuai dengan

norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah; (c)

melakukan kerja sama antardaerah dan pelaku industri dalam

Page 209: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 23

penyelenggaraan perindustrian; (d) melakukan membina dan mengawasi

penyelenggaraan industri, kawasan industri dan sentra industri sesuai

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sesuai dengan kewenangannya.

Tugas dan wewenang Pemerintah Daerah tersebut di atas menjadi tanggung

jawab Gubernur yang secara operasional menjadi tugas Kepala Dinas dan

Kepala SKPD sesuai lingkup tugas dan fungsinya dengan berkoordinasi

dengan instansi terkait berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan perindustrian sesuai tugas dan

wewenang Pemerintah Daerah, Gubernur menyusun rencana induk

penyelenggaraan perindustrian daerah berpedoman pada rencana induk

pembangunan industri nasional dan kebijakan industri nasional. Rencana

pembangunan industri tersebut, disusun paling sedikit memperhatikan: (a)

potensi sumber daya industri yang dimiliki daerah; (b) Rencana Tata Ruang

Wilayah serta Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi; (c) Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD); (d) keserasian dan

keseimbangan dengan kegiatan sosial ekonomi dan daya dukung lingkungan.

Rencana induk penyelenggaraan perindustrian daerah ditetapkan dengan

Peraturan Daerah setelah dievaluasi oleh Pemerintah sesuai peraturan

perundang-undangan. Rencana Induk Penyelenggaraan Perindustrian yang

telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah tersebut dituangkan ke dalam : (a)

Rencana Aksi Daerah (RAD) Penyelenggaraan Industri Kecil dan Menengah

sebagai wujud koordinasi yang dilakukan oleh Dinas dan SKPD terkait untuk

jangka waktu 5 (lima) tahun; (b) Rencana Strategis (Renstra) Dinas dan SKPD

terkait.

e. Hak dan Kewajiban

1. Hak dan Kewajiban Pelaku Industri

Setiap pelaku industri berhak: (a) mendapatkan pelayanan yang baik dan

lingkungan industri yang berwawasan lingkungan dari Pemerintah Daerah

dan/atau pengelola kawasan dan sentra industri; (b) berpartisipasi dalam

Page 210: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 24

proses pengambilan keputusan terkait penyelenggaraan perindustrian dan

pengawasan perindustrian; (c) memperoleh informasi yang benar, akurat,

dan tepat waktu mengenai penyelenggaraan perindustrian; (d) memperoleh

pembinaan agar dapat melaksanakan usaha secara baik dan berwawasan

lingkungan.

Kewajiban pelaku industri meliputi: (a) menaati ketentuan peraturan

perundang-undangan; (b) mengolah air limbah industri yang dihasilkan dan

tidak diperkenankan untuk dialirkan langsung ke drainase publik; (c) tidak

melanggar larangan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-

undangan.

2. Hak dan kewajiban Masyarakat

Hak masyarakat dalam penyelenggaraan perindustrian sebagai berikut: (a)

mendapatkan pelindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari

kegiatan industri; (b) berperan serta dalam penyelenggaraan perindustrian.

Sedangkan kewajiban masyarakat, berperan serta dalam pengawasan

penyelenggaraan perindustrian dengan cara melaporkan kegiatan usaha

industri yang melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan.

Bentuk pelaksanaan kewajiban pelaku industri dan masyarakat dilaksanakan

dengan mematuhi dan menerapkan ketentuan, kaidah, baku mutu, dan aturan

penyelenggaraan industri.

f. Prasarana dan Sarana Industri

Pengertian prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang

utama terselenggaranya suatu proses. Sedangkan sarana adalah segala

sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan.

1. Kawasan Industri

Pelaku usaha dapat menyediakan dan mengelola kawasan industri dengan

bertujuan untuk: (a) mengendalikan pemanfaatan ruang; (b) meningkatkan

penyelenggaraan industri yang berwawasan lingkungan; (c) mempercepat

pertumbuhan industri; (d) meningkatkan daya saing industri; (e)

Page 211: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 25

meningkatkan daya saing investasi; (f) memberikan kepastian lokasi dalam

perencanaan dan penyediaan infrastruktur industri yang terkoordinasi antar

sektor terkait.

Penyediaan kawasan industri tersebut di atas, Pemerintah Daerah

menyediakan ruang untuk Kawasan Industri sesuai Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW). Luas lahan Kawasan Industri paling rendah 50 (lima

puluh) hektar dalam satu hamparan. Pengembangan dan pengelolaan

kawasan industri dilakukan oleh perusahaan kawasan industri yang telah

mendapatkan izin dari Gubernur.

Perusahaan Kawasan Industri dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan

pengelolaan Kawasan Industri dan wajib melaporkan kepada Gubernur.

Penunjukkan pengelolaan Kawasan Industri kepada pihak lain tidak tidak

mengurangi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri yang

bersangkutan sesuai izin yang diberikan oleh Gubernur.

Perusahaan industri yang akan menjalankan industri setelah Peraturan

Daerah ini mulai berlakukan, wajib berlokasi di Kawasan Industri kecuali

bagi: (a) industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/atau proses

produksinya memerlukan lokasi khusus; (b) industri kecil, industri

menengah, dan industri kreatif yang tidak berpotensi menimbulkan

pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas.

Pembangunan Kawasan Industri merupakan bagian dari pengembangan

infrastruktur industri. Oleh sebab itu, kawasan industri wajib dilengkapi

dengan infrastruktur industri baik di dalam kawasan industri maupun di luar

kawasan. Perusahaan Kawasan Industri wajib menyediakan lahan bagi

kegiatan Industri Kecil dan industri menengah.

Penanggung jawab kawasan industri wajib mentaati ketentuan sebagai

berikut: (a) baku mutu air limbah sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan; (b) melakukan pengelolaan air limbah sehingga mutu air limbah

yang dibuang ke sumber air tidak melampaui baku mutu air limbah yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; (c) menggunakan

saluran pembuangan air limbah yang kedap air sehingga tidak terjadi

Page 212: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 26

perembesan air limbah ke lingkungan; (d) tidak melakukan pengenceran air

limbah, termasuk mencampur buangan air bekas pendingin ke dalam aliran

buangan air limbah yang berasal dari IPAL terpusat; (e) memisahkan

saluran buangan air limbah dengan saluran limpasan air hujan; (f)

menetapkan titik penaatan untuk pengambilan contoh uji; (g) memasang

alat ukur debit atau laju alir air limbah dan melakukan pencatatan debit

harian air limbah tersebut; (h) melakukan pemantauan harian kadar

parameter baku mutu air limbah, untuk parameter pH dan COD; (i)

memeriksakan kadar parameter baku mutu air limbah secara berkala paling

sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan ke laboratorium yang telah

terakreditasi dan teregistrasi di Kementerian Lingkungan Hidup; (j)

menyampaikan laporan debit harian air limbah, pemantauan harian kadar

parameter air limbah, dan hasil analisa laboratorium terhadap baku mutu

air limbah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan

kepada Gubernur dengan tembusan Meteri Lingkungan Hidup sesuai

peraturan perundangan-undangan; (K) melaporkan kepada Gubernur

dengan tembusan kepada Menteri Lingkungan Hidup mengenai terjadinya

keadaan darurat dan/atau kejadian tidak normal mengakibatkan baku mutu

air limbah dilampaui serta upaya penanggulangan paling lama 2 x 24 jam.

Perusahaan Industri di dalam Kawasan industri wajib memiliki: (a) Upaya

Pengelolaan Lingkungan; (b) Upaya Pemantauan Lingkungan. Perusahaan

Industri di dalam Kawasan Industri yang mengelola atau memanfaatkan

limbah bahan berbahaya dan beracun, wajib menyusun Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan dan mendapat pengesahan, kecuali AMDAL yang

dimiliki oleh Kawasan Industri telah mencakup/memenuhi kebutuhan

terhadap kegiatan B3.

Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dikecualikan dari perizinan

yang menyangkut persetujuan prinsip, gangguan, lingkungan, lokasi,

peruntukan penggunaan tanah, dan pengesahan rencana tapak tanah.

Page 213: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 27

2. Sentra Industri Kecil dan Menengah (IKM)

Pengertian Sentra IKM adalah kawasan tempat sekelompok perusahaan

IKM yang menghasilkan produk sejenis, menggunakan bahan baku sejenis,

atau melakukan proses pengerjaannya sama. Pemerintah Daerah dan/

atau badan usaha dapat menyediakan Sentra Industri Kecil dan Menengah

sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pemerintah Daerah dalam

penyediaan Sentra IKM dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak

swasta yang pelaksanaannya sesuai peraturan perundang-undangan,

antara lain PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja

Sama Daerah.

g. Sumber Daya Manusia Industri/Tenaga Kerja Industri

Pemerintah Daerah, pelaku industri, dan masyarakat mengembangkan sumber

daya manusia industri dengan memperhatikan penyebaran dan pemerataan

ketersediaan sumber daya manusia (SDM) industri yang kompeten. SDM

Industri dimaksud meliputi: (a) wirausaha Industri; (b) tenaga kerja industri; (c)

pembina industri; (d) konsultan Industri. Yang dimaksud “pembina industri”

adalah aparatur yang memiliki kompetensi di bidang industri di daerah. Yang

dimaksud “konsultan industri” adalah orang atau perusahaan yang mem-

berikan layanan konsultasi, advokasi, pemecahan masalah bagi Industri.

Pengertian, tenaga kerja industri adalah tenaga teknis dan tenaga manajerial

yang bekerja pada perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan

industri. Tenaga kerja industri terdiri dari:

1) Tenaga teknis

Tenaga teknis adalah tenaga kerja industri yang menangani pekerjaan di

bidang teknis pada perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan

industri. Tenaga teknis paling sedikit memiliki: (a) kompetensi teknis sesuai

Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di bidang industri.

Yang dimaksud SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup

aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang

relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan

Page 214: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 28

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) pengetahuan

manajerial. Kompetensi dan pengetahuan tenaga teknis melalui pendidikan

vokasi industri berbasis kompetensi; pelatihan industri berbasis kompetensi

dan/atau pemagangan industri. Tenaga teknis tidak melalui pendidikan dan

pelatihan dinyatakan kompeten setelah melalui Sertifikasi Kompetensi yang

dilakukan oleh LSP. Yang dimaksud dengan Sertifikasi Kompetensi adalah

proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis

dan objektif melalui uji kompetensi sesuai SKKNI, standar internasional,

dan/atau standar khusus.

Penyelenggaraan pendidikan vokasi industri dan pelatihan industri harus

dilengkapi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), pabrik pada tempat

penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan pemagangan, serta Tempat

Uji Kompetensi (TUK). Dalam hal belum dilengkapi LSP, penyelenggara

bekerjasama dengan LSP yang bidangnya sejenis. Demikian halnya belum

dilengkapi pabrik dalam sekolah dan/atau TUK, penyelenggara harus

melakukan kerja sama dengan perusahaan industri dan/atau lembaga

penelitian dan pengembangan.

Penyelenggara pendidikan vokasi dan pelatihan industri dapat bekerja

sama dengan perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri

berupa pengembangan kurikulum, praktik kerja, dan/atau penempatan

lulusan. Kamar dagang dan industri, asosiasi Industri, perusahaan industri,

dan/atau perusahaan kawasan industri memfasilitasi penyelenggaraan

pendidikan vokasi dan/atau pelatihan industri.

(a) Pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi

Pemerintah Daerah, pelaku industri, dan/atau masyarakat dapat

menyelenggarakan pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi

yang diperuntukan bagi calon tenaga kerja industri dan tenaga kerja

industri. Yang dimaksud dengan pendidikan vokasi industri adalah

pendidikan tinggi dan pendidikan menengah kejuruan yang diarahkan

pada penguasaan keahlian terapan tertentu di bidang Industri.

Page 215: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 29

Penyelenggaraan pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi

harus mengacu pada SKKNI di bidang Industri dan memperhatikan

kebutuhan perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri

atas tenaga kerja industri.

Pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi meliputi: (a)

pendidikan menengah kejuruan; (b) program diploma satu; (c)

program diploma dua; (d) program diploma tiga; (e) program diploma

empat; (f) program magister terapan; (g) program doktor terapan.

Persyaratan penyelenggaraan pendidikan vokasi industri berbasis

kompetensi tersebut sesuai peraturan perundang-undangan.

(b) Pelatihan industri berbasis kompetensi

Pelatihan Industri berbasis kompetensi adalah pelatihan kerja yang

menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja yang mencakup

pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan standar

kompetensi bidang industri. Penyelenggaraan Pelatihan Industri

dilaksanakan oleh Balai Pendidikan dan Pelatihan Industri, Balai

Latihan Kerja (Pusat Pelatihan Kerja Daerah) serta lembaga pelatihan

lain. Penyelenggara pelatihan tersebut harus mendapatkan akreditasi

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(c) Pemagangan industri

Pemagangan industri adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang

terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara

langsung dibawah bimbingan dan pengawasan pembimbing, dalam

rangka menguasai keterampilan atau keahlian di bidang Industri.

Pemagangan industri dilaksanakan di perusahaan industri dan/atau

perusahaan kawasan industri yang menyediakan fasilitas untuk

pemagangan industri. Pemagangan industri dilaksanakan atas dasar

perjanjian pemagangan antara peserta magang dengan perusahaan

industri dan/atau perusahaan kawasan industri yang dibuat secara

Page 216: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 30

tertulis. Perjanjian pemagangan tersebut paling sedikit memuat

ketentuan hak dan kewajiban peserta, hak dan kewajiban perusahaan

industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri, serta jangka waktu

pemagangan. Kamar dagang dan industri dan asosiasi industri

memfasilitasi pelaksanaan pemagangan di perusahaan industri

dan/atau perusahaan kawasan industri bagi calon tenaga kerja

industri dan tenaga kerja industri. Pemerintah Daerah dapat

memberikan insentif bagi perusahaan industri dan/atau perusahaan

kawasan industri yang menerima pemagangan industri sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Calon tenaga kerja industri dan tenaga kerja industri yang telah

mengikuti pemagangan Industri dinyatakan memiliki kompetensi kerja

setelah lulus Sertifikasi Kompetensi oleh LSP.

2) Tenaga manajerial

Tenaga manajerial adalah tenaga industri yang menangani pekerjaan di

bidang manajemen pada perusahaan industri dan/atau perusahaan

kawasan industri. Tenaga manajerial paling sedikit memiliki: (a) kompetensi

manajerial sesuai dengan SKKNI di bidang industri; (b) pengetahuan

teknis. Kompetensi dan pengetahuan tenaga manajerial tersebut

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan

di bidang pendidikan dan ketenagakerjaan.

Sertifikasi Kompetensi dilaksanakan untuk : (a) memastikan kualitas Tenaga

Kerja Industri sesuai kebutuhan dan persyaratan kerja; (b) mewujudkan

kesesuaian antara sistem pengupahan dengan produktivitas kerja guna

memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi Tenaga Kerja Industri.

Sertifikasi Kompetensi dilaksanakan melalui uji kompetensi oleh LSP yang

telah memperoleh lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Untuk

mewujudkan tujuan sertifikasi kompetensi tenaga industri, Gubernur, kamar

dagang dan industri, dan asosiasi industri memfasilitasi pelaksanaan

Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kerja Industri. LPS dilakukan oleh asosiasi

Page 217: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 31

profesi, asosiasi Industri, pelaku usaha Industri, lembaga pendidikan, dan/atau

lembaga pelatihan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri yang

menggunakan tenaga kerja industri asing dan/atau konsultan industri asing

harus melakukan alih pengetahuan dan keterampilan kepada tenaga kerja

industri dan/atau konsultan industri. Pelaksanaan alih pengetahuan dan

keterampilan tersebut dilakukan dengan cara: (a) menunjuk Tenaga kerja

industri dan/atau konsultan industri nasional sebagai tenaga pendamping dari

Tenaga Kerja Industri Asing dan/atau konsultan Industri asing; (b) pendidikan

dan/atau pelatihan kepada tenaga kerja industri dan/atau konsultan industri

nasional, baik di dalam maupun di luar negeri. Bagi perusahaan industri

dan/atau perusahaan kawasan industri yang menggunakan tenaga kerja

industri asing dan/atau konsultan industri asing tidak melakukan alih

pengetahuan dan keterampilan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan.

h. Pemberdayaan Industri Kecil, Menengah, dan Kreatif.

1) Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah

Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan IKM untuk mewujudkan IKM

yang berdaya saing, berperan signifikan dalam penguatan IKM, berperan

dalam pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja, dan

menghasilkan barang dan/atau jasa industri untuk diekspor.

Pemerintah Daerah merumuskan kebijakan, penguatan kapasitas

kelembagaan, dan pemberian fasilitas dengan mengacu paling sedikit

kepada sumber daya industri daerah, dan perkembangan ekonomi nasional

dan global.

Penguatan kapasitas kelembagaan IKM dilakukan melalui: (a) peningkatan

kemampuan sentra, unit pelayanan teknis, tenaga penyuluh lapangan,

serta konsultan industri kecil dan menengah; (b) kerja sama dengan

lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta

asosiasi Industri dan asosiasi profesi terkait.

Page 218: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 32

Pemberian fasilitas kepada IKM dalam bentuk: (a) peningkatan kompetensi

SDM dan sertifikasi kompetensi; (b) bantuan dan bimbingan teknis; (c)

bantuan bahan baku dan bahan penolong melaku kerjasama antardaerah;

(d) bantuan mesin atau peralatan; (e) pengembangan produk; (f) bantuan

pencegahan pencemaran lingkungan hidup; (g) bantuan informasi pasar,

promosi, dan pemasaran; (h) akses pembiayaan, termasuk mengusahakan

penyediaan modal awal bagi wirausaha baru; (i) penyediaan sentra IKM

yang berpotensi mencemari lingkungan; (j) pengembangan, penguatan

keterkaitan, dan hubungan kemitraan antara Industri kecil dengan industri

menengah, industri kecil dengan industri besar, dan industri menengah

dengan industri besar, serta industri kecil dan industri menengah dengan

sektor ekonomi lainnya dengan prinsip saling menguntungkan.

2) Industri Kreatif

Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Pemerintah Pusat sesuai

kewenangannya memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan kreativitas

dan inovasi masyarakat dalam pembangunan industri dilakukan dengan

memberdayakan budaya industri dan/atau kearifan lokal yang tumbuh di

masyarakat. Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan kreativitas

dan inovasi masyarakat tersebut, Pemerintah Daerah melakukan: (a)

penyediaan ruang dan wilayah bagi masyarakat dalam berkreativitas dan

berinovasi; (b) pengembangan sentra industri kreatif; (c) pelatihan teknologi

dan desain; (d) konsultasi, bimbingan, advokasi, dan fasilitasi perlindungan

Hak Kekayaan Intelektual bagi industri kecil; (e) fasilitasi promosi dan

pemasaran produk Industri kreatif di dalam dan luar negeri.

Pemberdayaan IKM dan Industri Kreatif di Daerah, Gubernur pembentukan

UPTD IKM dan Industri Kreatif dengan bertujuan sebagai berikut: (a)

mengerakkan dan mengembangkan kelompok usaha dan/atau perusahaan

IKM dan Industri Kreatif serta calon usaha baru; (b) mengembangkan

kemampuan daya saing dan produktivitas kelompok usaha dan/atau

perusahaan IKM dan Industri Kreatif melalui layanan keteknikan dan inovasi

Page 219: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 33

teknologi atau peralatan; (c) mengembangan sarana produksi dalam rangka

perkuatan usaha IKM dan Industri Kreatif.

Peran UPT IKM dan Industri Kreatif sebagai berikut: (a) sebagai agen

pembangunan sarana pembinaan dan pelatihan, pelayanan masyarakat IKM

dan Industri Kreatif dalam mendukung produktivitas kerja IKM dan Industri

Kreatif, serta menggali sumber dana pembiayaan operasional; (b) sebagai

fasilitator, inovator, dinamisator, dan motivator pengembangan potensi

produksi serta pemecahan masalah kewirausahaan bagi kelompok usaha

dan/atau perusahaan IKM dan Industri Kreatif.

Jenis layanan yang diberikan oleh UPT IKM dan Industri Kreatif meliputi: (a)

pengembangan kopetensi sumber daya manusia, meliputi: pendidikan dan

pelatihan industri dan kewirausahaan baik secara klasikal, praktek, magang

maupun workshop; percontohan mesin/peralatan dan teknologi produksi;

pengorganisasian, dan pengembangan wawasan; (b) dukungan produksi,

meliputi: bantuan dan layanan produksi; jasa pemeliharaan dan reperasi

kerusakan alat produksi; bimbingan teknis bidang permesinan/alat produksi;

bimbingan teknis bidang proses produksi; (c) dukungan pemasaran dan

layanan bisnis lainnya, berupa penyediaan show room atau fasilitas pameran

produk; penerbitan brosur, leaflet dan sejenisnya; publikasi film dan media

masa; fasilitasi temu bisnis; mediasi dengan sumber daya produktif lainnya; (d)

jasa konsultasi pengembangan usaha, berupa: jasa pendampingan usaha atau

manajemen; jasa konsultasi (diagnosa makro dan mikro); jasa studi kelayakan

untuk investasi; bimbingan teknis dan menajemen; dan fasilitasi layanan hak

kekayaan intelektual (HKI); (e) jasa penelitian dan pengembangan, berupa

penelitian dan pengembangan untuk inovasi teknologi (produk, desain, dan

teknis produksi); inkubator usaha untuk pengujian hasil penelitian dan

pengambangan skala UPT IKM dan Industri Kreatif; pemberian layanan

pengujian atau laboratorium uji sederhana bagi produk IKM dan Industri

Kreatif.

Kelembagaan UPT IKM dan Industri Kreatif minimal terdiri dari: (a) Kepala

UPT dengan tugas mengoordinasikan seluruh operasionalisasi atau kegiatan

Page 220: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 34

pelayanan; (b) Kepala Bagian Tata Usaha, tugasnya melaksanakan urusan

ketatausahaan guna menunjang kelancaran kegiatan pelayanan UPT IKM dan

Industri Kreatif; (c) Sub Bidang Konsultasi dengan tugas memberikan layanan

konsultasi, mediasi, atau fasilitasi yang diperlukan IKM dan Industri Kreatif

binaan dalam mengatasi permasalahan usahanya; (d) operator dengan tugas

memberikan layanan teknis melalui pengoperasian mesin dan peralatan.

Keberadaan UPT IKM dan Industri Kreatif, diharapkan berbagai permasalahan

yang dihadapi IKM dan Industri Kreatif selama ini dapat diatasi, sehingga IKM

dan Industri Kreatif memiliki berdaya saing, berperan signifikan dalam

pembangunan daerah dan pengentasan kemiskinan melalui perluasan

kesempatan kerja, serta mampu menghasilkan barang dan/atau jasa industri

untuk diekspor yang berkualitas.

i. Perizinan

Perizinan adalah dokumen dan bukti legalitas yang membolehkan perbuatan

hukum oleh seseorang atau sekelompok orang dalam ranah hukum

administrasi negara atas sesuatu perbuatan yang dilarang berdasarkan

peraturan perundang-undangan. Setiap pendirian perusahaan industri wajib

memiliki Izin Usaha Industri (IUI), kecuali bagi industri kecil wajib memiliki

Tanda Daftar Industri (TDI), yang diberlakukan sama dengan IUI. IUI dan TDI

diberikan oleh Gubernur yang secara operasional dilakukan oleh SKPD/UKPD

yang tugas dan fungsinya dalam pelayanan perizinan. IUI diberikan melalui

persetujuan prinsip atau tanpa persetujuan prinsip diberikan kepada

perusahaan industri berlokasi di kawasan industri atau jenisnya.

Persetujuan Prinsip diberikan kepada Perusahaan Industri untuk melakukan

persiapan dan usaha pembangunan, pengadaan, pemasangan/instalasi

peralatan dan kesiapan lain yang diperlukan. Persetujuan Prinsip bukan

merupakan izin untuk melakukan produksi komersial.

1) Pemberian IUI Melalui Persetujuan Prinsip

Permohonan Persetujuan Prinsip diajukan dengan menggunakan formulir

yang disediakan oleh Gubernur dan melampirkan dokumen sebagai

Page 221: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 35

berikut: (a) Copy Izin Undang-Undang Gangguan (Ho); (b) Copy Akte

pendirian perusahaan dan atau perubahannya khusus bagi perusahaan

yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) akte tersebut telah disahkan

Menteri Hukum dan HAM; (c) memiliki IMB; (d) memiliki Izin Lokasi; (e)

memiliki Izin Lingkungan; (f) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

(AMDAL) atau Lingkungan (UPL); (g) telah selesai membangun pabrik dan

sarana produksi; (h) dokumen lain yang dipersyaratkan berdasarkan

peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu.

Terhadap permohonan Persetujuan Prinsip yang telah lengkap dan benar,

selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima, Kepala SKPD/UKPD

yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya wajib

mengeluarkan Persetujuan Prinsip dengan tembusan disampaikan kepada

Direktur Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan

Energi.

Permohonan Persetujuan Prinsip yang persyaratannya belum lengkap dan

benar atau jenis industri termasuk dalam bidang usaha yang tertutup bagi

penanaman modal, selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima

permohonan Persetujuan Prinsip, Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan

fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya mengeluarkan Surat

Penolakan.

Persetujuan Prinsip dapat diubah berdasarkan permintaan dari perusahaan

yang bersangkutan.

Dalam melaksanakan Persetujuan Prinsip, Perusahaan Industri sebagai

pemohon wajib menyampaikan data dan informasi mengenai kemajuan

pembangunan pabrik dan sarana produksi kepada Kepala SKPD/UKPD

yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya dengan

tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas

Perindustrian dan Energi sesuai Persetujuan Prinsip yang bersangkutan,

setiap 1 (satu) tahun sekali paling lambat pada tanggal 31 Januari pada

tahun berikutnya.

Page 222: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 36

Pemegang Persetujuan Prinsip tidak dapat menyelesaikan pembangunan

pabrik dan sarana produksinya dalam waktu 3 (tiga) tahun dapat

mengajukan permintaan perpanjangan Persetujuan Prinsip untuk 1 (satu)

kali selama-selamanya 1 (satu) tahun.

Perusahaan industri telah menyelesaikan pembangunan pabrik dan sarana

produksinya serta telah memenuhi semua ketentuan peraturan perundang-

undangan, wajib mengajukan permohonan IUI kepada Gubernur melalui

Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup

tugasnya dengan dilengkapi dokumen sebagai berikut: (a) Copy Akte

Pendirian Perusahaan dan atau perubahannya, khusus bagi Perusahaan

yang berbentuk Perseroan Terbatas akte yang telah disahkan oleh Menteri

Hukum dan HAM; (b) Copy Izin Mendirikan Bangunan (IMB); (c) Copy

Surat Persetujuan Prinsip; (d) Informasi Kemajuan Pembangunan Pabrik

dan Sarana Produksi (Proyek); (e) Copy Izin Undang-Undang Gangguan

(Ho); (f) Copy Izin Lokasi; (g) Copy Izin Lingkungan termasuk dokumen

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan

Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) serta

dokumen dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bagi

industri tertentu. Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup

tugasnya selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima

permohonan IUI, sudah mengadakan pemeriksaan ke lokasi pabrik guna

memastikan pembangunan pabrik dan sarana produksi telah selesai. Hasil

pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang

ditandatangani oleh Petugas Pemeriksa yang ditunjuk oleh Kepala

Dinas/Suku Dinas Perindustrian dan Energi sesuai lingkup tugasnya.

Kepala Dinas/Suku Dinas dalam waktu selambat-lambatnya 5 (lima) hari

kerja sejak penandatanganan BAP, menyampaikan BAP kepada Kepala

SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya.

Page 223: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 37

Apabila pemeriksaan tidak dilaksanakan, perusahaan yang bersangkutan

dapat membuat Surat Pernyataan siap berproduksi komersial disampaikan

kepada Gubernur melalui Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya

perizinan sesuai lingkup tugasnya.

Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima hasil BAP atau Surat

Pernyataan, Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan

sesuai lingkup tugasnya harus mengeluarkan IUI atau menunda dengan

keterangan tertulis berdasarkan pertimbangan pembangunan pabrik dan

sarana produksi belum selesai dan/atau belum memenuhi persyaratan

yang ditetapkan.

2) Pemberian IUI Tanpa Persetujuan Prinsip

Permohonan disampaikan kepada Gubernur melalui Kepala SKPD/UKPD

yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya. Permohonan

disertai dengan Surat Pernyataan, dan bagi perusahaan industri yang akan

berlokasi di Kawasan Industri melampirkan Surat Keterangan dari

Pengelola Kawasan Industri tentang rencana lokasi perusahaan serta

dengan dilengkapi dokumen sebagai berikut: (a) Copy Akte Pendirian

Perusahaan dan atau perubahannya khusus perusahaan yang berbentuk

Perseroan Terbatas, akte tersebut telah disahkan oleh Menteri Hukum dan

HAM; (b) Copy Izin Undang-Undang Gangguan (Ho) bagi industri yang

berlokasi di luar Kawasan Industri; (c) Copy Izin Lokasi bagi jenis industri

yang berlokasi di dalam Kawasan Industri; (d) Copy Izin Mendirikan

Bangunan (IMB); (e) Surat Keterangan dari Pengelola Kawasan Industri

bagi yang berlokasi di Kawasan Industri; (f) dokumen yang dipersyaratkan

berdasarkan peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu.

Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterima

permohonan IUI yang lengkap dan benar, Kepala SKPD/UKPD yang tugas

dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya harus mengeluarkan IUI

dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri

dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi.

Page 224: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 38

3) Izin Perluasan Industri

Setiap Perusahaan Industri yang akan melakukan perluasan wajib

memberitahukan secara tertulis kenaikan produksinya sebagai akibat dari

kegiatan perluasan kepada Gubernur melalui Kepala SKPD/UKPD yang

tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya sesuai tercantum

dalam IUI, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal dimulai

kegiatan perluasan. Permohonan Izin Perluasan bagi Perusahaan Industri yang telah memiliki

IUI melalui Persetujuan Prinsip melampirkan dokumen rencana perluasan

industri serta foto kopi Izin Lingkungan disertai dengan dokumen Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); atau Upaya Pengelolaan

Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).

Permohonan Izin Perluasan bagi Perusahaan Industri yang telah memiliki

IUI Tanpa Persetujuan Prinsip melampirkan dokumen rencana perluasan

industri.

4) Tanda Daftar Industri (TDI)

Perusahaan industri kecil untuk memiliki TDI tidak perlu Persetujuan

Prinsip dengan cara mengajukan Permohonan TDI kepada Gubernur

melalui Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai

lingkup tugasnya dengan melampirkan Copy Izin Undang-Undang

Gangguan (Ho) dan Copy Izin Lokasi. Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan

fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya dalam waktu selambat-

lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima permohonan TDI wajib

mengeluar-kan TDI dengan tembusan disampaikan kepada Direktur

Jenderal Industri Kecil dan Menengah serta Kepala Dinas Perindustrian

dan Energi.

Bagi perusahaan industri telah memiliki IUI wajib menyampaikan informasi

kemajuan pembangunan pabrik dan sarana produksi setiap tahun paling

lambat pada tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya kepada Kepala

Page 225: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 39

Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya dengan tembusan kepada

Direktur Jenderal Pembina Industri, Kepala Dinas Perindustrian dan Energi.

IUI dinyatakan batal demi hukum apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak

diterbitkan, pemegang IUI sebagai berikut: tidak menyelesaikan pembangunan

pabrik dan sarana produksi; belum memenuhi ketentuan peraturan perundang-

undangan; dan/atau tidak melampirkan dokumen dipersyaratkan bagi industri

tertentu sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Perusahaan Industri yang telah memiliki IUI atau TDI, dalam jangka waktu 3

(tiga) bulan terhitung mulai tanggal diterbitkan IUI/TDI wajib mendaftarkan

dalam Daftar Perusahaan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Perusahaan Industri melakukan

perluasan melebihi 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas produksi yang telah

diizinkan, wajib memiliki Izin Perluasan.

Selain kewajiban memiliki izin, pelaku usaha industri wajib melakukan

perubahan izin apabila pemindahan lokasi industri; perubahan nama, alamat

dan atau penanggungjawab; serta IUI, Izin Perluasan, dan TDI hilang atau

rusak.

Kewajiban industri telah memiliki IUI atau Izin Perluasan wajib menyampaikan

Informasi Industri secara berkala kepada Menteri dan Gubernur, sesuai

dengan IUI yang diterbitkan mengenai kegiatan usahanya menurut jadwal.

Pertama, 6 (enam) bulan pertama tahun yang bersangkutan selambat-

lambatnya setiap tanggal 31 Juli dengan tembusan kepada Direktur Jenderal

Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Kedua, 1 (satu)

tahun selambat-lambatnya setiap tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya

dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri, Kepala Dinas

Perindustrian dan Energi.

Sedangkan perusahaan Industri telah memiliki TDI wajib menyampaikan

Informasi Industri kepada Gubernur setiap tahun selambat-lambatnya tanggal

31 Januari pada tahun berikutnya dengan tembusan disampaikan kepada

Page 226: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 40

Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah dan Kepala Dinas Perindustrian

dan Energi.

j. Insentif dan Disinsentif

Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif berupa pemberian kemudahan

kepada pelaku usaha di bidang industri sebagai berikut:

1) Kemudahaan penyediaan data dan informasi peluang usaha

Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan data dan informasi

peluang usaha, antara lain: (a) peta potensi ekonomi daerah; (b) rencana

tata ruang wilayah; (c) rencana strategis dan skala prioritas daerah. Dalam

memberikan kemudahan tersebut Pemerintah Daerah memberikan

berbagai kemudahan akses dalam memperoleh data dan informasi melalui

prasarana dan sarana yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sesuai

kemampuan daerah.

2) Kemudahan penyediaan sarana

Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan sarana, antara lain:

jaringan energi, jalan, transportasi, jaringan air bersih.

3) Kemudahan penyediaan lahan atau lokasi

Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan lahan atau lokasi

diarahkan kepada kawasan yang menjadi prioritas pengembangan

ekonomi daerah dan peeyediaan lahan atau lokasi industri sesuai

peruntukannya. Pemberian Kemudahan berpedoman pada ketentuan

peraturan perundang-undangan.

4) Kemudahaan pemberian bantuan teknis

Pemberian kemudahan kepada IKM dalam bentuk penyediaan bantuan

teknis antara lain dapat berupa bimbingan teknis, pelatihan, tenaga ahli,

kajian dan/atau studi kelayakan.

Pemberian insentif berupa kemudahan diberikan kepada pelaku usaha industri

yang memenuhi kriteria sekurang-kurangnya salah satu kriteria berikut ini: (a)

memberikan kontribusi peningkatan pendapatan masyarakat bagi pelaku

Page 227: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 41

usaha industri yang menimbulkan dampak pengganda; (b) menyerap banyak

tenaga kerja daerah atau lokal, dengan perbandingan antara jumlah tenaga

kerja lokal dengan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan; (c) menggunakan

sebagian besar sumber daya lokal, dengan perbandingan antara bahan baku

lokal dan bahan baku yang diambil dari luar daerah yang digunakan dalam

kegiatan usaha; (d) memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik

sebagai bentuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan

perusahaan; (e) berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, berlaku bagi

pelaku usaha yang memiliki dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)

dan menerapkan prinsip-prinsip keseimbangan dan keadilan dalam

pemanfaatan sumber daya alam serta taat pada rencana tata ruang wilayah;

(f) termasuk industri skala prioritas tinggi, diberlakukan kepada pelaku usaha

industri yang usahanya berada dan/atau sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); dan Kawasan Strategis

Cepat Tumbuh (prioritas) sesuai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR); (g)

termasuk pembangunan infrastruktur bagi pelaku usaha industri yang kegiatan

usahanya mendukung Pemerintah Daerah dalam penyediaan infrastruktur

atau sarana dan prasarana yang dibutuhkan; (h) melakukan alih teknologi

kepada tenaga kerja lokal dan pelaku usaha industri yang kegiatan usahanya

memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam menerapkan teknologi

berwawasan lingkungan; (i) melakukan industri pionir bagi pelaku usaha yang

membuka jenis usaha industri baru dengan keterkaitan kegiatan usaha yang

luas, memberi nilai tambah dan memperhitungkan eksternalitas yang tinggi,

memperkenalkan teknologi baru; dan memiliki nilai strategis dalam mendukung

pengembangan produk unggulan daerah; (j) melaksanakan kegiatan

penelitian, pengembangan, dan inovasi bagi pelaku usaha industri yang

kegiatan usahanya bergerak di bidang penelitian dan pengembangan, inovasi

teknologi dalam mengelola potensi daerah; (k) bermitra dengan IKM bagi

pelaku usaha industri yang kegiatan usahanya melakukan kemitraan dengan

pengusaha IKM; (l) industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau

Page 228: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 42

peralatan yang diproduksi di dalam negeri dengan kandungan lokal dan

diproduksi di dalam negeri.

Disinsentif diberikan pada pelaku usaha industri yang tidak memenuhi

persyaratan sebagaimana dimaksud di atas. Pemberian disinsentif dapat juga

dilakukan dalam bentuk pemberian pajak daerah dan restribusi daerah yang

tinggi.

k. Sistem Informasi Industri Daerah

Sistem Informasi Industri Daerah adalah tatanan prosedur dan mekanisme

kerja yang terintegrasi meliputi unsur institusi, sumber daya manusia, basis

data, perangkat keras dan lunak, serta jaringan komunikasi data yang terkait

satu sama lain dengan tujuan untuk penyampaian, pengelolaan, penyajian,

pelayanan serta penyebarluasan data dan/atau informasi Industri.

Tujuan diselenggarakan Sistem Informasi Industri Daerah untuk: (a) menjamin

ketersediaan, kualitas, kerahasiaan dan akses terhadap data dan/atau

informasi; (b) mempercepat pengumpulan, penyampaian atau pengadaan,

pengolahan/pemrosesan, analisis, penyimpanan, dan penyajian, termasuk

penyebarluasan data dan/atau informasi yang akurat, lengkap, dan tepat

waktu; (c) mewujudkan penyelenggaraan Sistem Informasi Industri Daerah

yang meningkatkan efisiensi dan efektivitas, inovasi, dan pelayanan publik,

dalam mendukung penyelenggaraan industri di DKI Jakarta.

Sistem Informasi Industri Daerah paling sedikit memuat:

a. data Industri, paling sedikit memuat data sebagai berikut: identitas dan

legalitas perusahaan; kelompok industri sesuai klasifikasi baku lapangan

usaha indonesia (KBLI); kapasitas produksi; investasi dan sumber

pembiayaan; tenaga kerja; mesin dan peralatan; bahan baku dan bahan

penolong; energi; air baku; produksi; pemasaran; dan pengelolaan

lingkungan.

b. data Kawasan Industri, paling sedikit memuat data sebagai berikut:

identitas dan legalitas perusahaan; investasi dan sumber pembiayaan;

Page 229: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 43

lahan/kavling; prasarana dan sarana; dan Perusahaan Industri dalam

Kawasan Industri.

c. data perkembangan dan peluang pasar, paling sedikit memuat data

sebagai berikut: ekspor dan impor; konsumsi produk industri; permintaan

(inquiry) dari pembeli (buyer); kebijakan industri dan perdagangan di

negara mitra; dan agenda pameran internasional utama di negara mitra.

d. data perkembangan Teknologi Industri, paling sedikit memuat: Hasil riset

terapan yang terkait bidang industri; Hak Kekayaan Intelektual; Rancang

bangun dan perekayasaan industri; usaha bersama (joint venture),

pengalihan/pembelian hak melalui lisensi, akuisisi teknologi, atau putar

kunci (turn key) project, dan kerjasama teknologi; hasil audit Teknologi

Industri; dan jenis, negara asal, dan tahun pembuatan teknologi.

Sistem Informasi Industri Daerah paling sedikit memuat informasi:

a. perkembangan Industri;

b. perkembangan dan peluang pasar;

c. perkembangan Teknologi Industri;

d. perkembangan investasi dan sumber pembiayaan Industri;

e. kawasan Industri;

f. prasarana dan sarana Industri;

g. sumber daya Industri; dan

h. kebijakan Industri dan fasilitas Industri.

Data dan/atau informasi industri dalam sistem informasi industri daerah

bersumber dari perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri secara

langsung, dan dapat bersumber dari instansi pemerintah terkait, perguruan

tinggi, asosiasi/KADINDA, masyarakat, dan sumber lain dari instansi dan/atau

lembaga terkait di luar negeri.

Perusahaan Industri yang telah memperoleh Izin Prinsip Industri atau Izin

Usaha Industri (IUI) wajib menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap,

dan tepat waktu kepada Gubernur. Demikian halnya dengan perusahaan

kawasan industri yang telah memperoleh Izin Prinsip Kawasan Industri atau

Page 230: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 44

Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI) wajib menyampaikan Data Kawasan

Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu kepada Gubernur.

Penyampaian data industri atau data kawasan industri dilakukan secara on-

line melalui Sistem Informasi Industri Daerah. Asosiasi dan/atau Kadinda

dapat membantu perusahaan industri atau perusahaan kawasan industri

dalam menyampaikan Data Industri atau data Kawasan Industri.

Berdasarkan permintaan Gubernur, perusahaan industri atau perusahaan

kawasan industri wajib memberikan data yang terkait dengan data tambahan,

klarifikasi data, kejadian luar biasa di Perusahaan Industri atau Perusahaan

Kawasan Industri, selain data industri dan data kawasan industri.

Sistem Informasi Industri Daerah diselenggarakan berdasarkan prinsip: (a)

konektivitas; (b) kemudahan penyampaian dan akses pelayanan informasi; (c)

perlindungan atas hak kekayaan intelektual; (d) menjaga kerahasiaan dan

keamanan data dan informasi.

Sistem Informasi Industri Daerah meliputi aspek: (a) pengelola sistem

informasi; (b) perangkat keras dan perangkat lunak; (c) jaringan komunikasi

data; (d) sumber daya manusia; (e) pengumpulan data dan/atau informasi; (f)

pengolahan data dan/atau informasi; (g) penyebarluasan data dan/atau

informasi.

l. Kerjasama dan Kemitraan

Pemerintah Daerah dalam infrastruktur industri dapat dilakukan melalui

kerjasama dengan pihak swasta. Yang dimaksud infrastruktur industri meliputi:

(a) lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau kawasan peruntukan

industri dan/atau sentra IKM dan Industri Kreatif; (b) fasilitas jaringan energi

dan kelistrikan; (c) fasilitas jaringan telekomunikasi; (d) fasilitas jaringan

sumber daya air; (e) fasilitas sanitasi; (f) fasilitas jaringan transportasi. Bentuk

kerjasama yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan

swasta (badan hukum) berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Page 231: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 45

Pelaku usaha industri besar dapat melakukan kemitraan dengan pelaku usaha

industri kecil dan menengah sesuai bidangnya dan dilaksanakan sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan sesuai

bidangnya, antara lain menyediaan bahan baku, manajemen, teknologi, sumbe

daya manusia.

m. Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian

Gubernur melakukan pembinaan penyelenggaraan perindustrian melalui: (a)

koordinasi; (b) sosialisasi; (c) pemberian pedoman dan standar; (d) bimbingan,

supervisi, dan konsultasi; (e) penelitian dan pengembangan; (f) penyebaran

informasi; (g) pengembangan kesadaran dan tanggung jawab Perusahaan

Industri masyarakat.

Gubernur melakukan pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan

perindustrian dengan tujuan untuk: (a) menjamin tercapainya tujuan

penyelenggaraan perindustrian; (b) menjamin terlaksananya peraturan

perundang-undangan di bidang perindustrian; (c) meningkatkan kualitas

penyelenggaraan perindustrian. Pengawasan dan pengendalian tersebut

ditujukan pada kegiatan usaha industri dan kegiatan usaha industri di kawasan

industri dengan maksud untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan

terhadap peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan oleh perusahaan

industri dan perusahaan kawasan industri, antara lain: sumber daya manusia

industri; pemanfaatan sumber daya alam; manajemen energi; manajemen air;

SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara; data industri dan data

kawasan industri; standar industri hijau; standar kawasan industri; perizinan

industri dan perizinan kawasan industri; dan keamanan dan keselamatan alat,

proses, hasil produksi, penyimpanan, dan pengangkutan. Pelaksanaan

pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan perindustrian menjadi tugas

Kepala Dinas Perindustrian dan Energi, dilaksanakan sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Page 232: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 6 - 1

Bab 6PENUTUP

Berdasarkan hasil penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah tentang Perindustrian, secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Kebutuhan (urgensi) diperlukan Peraturan Daerah tentang Perindustrian di

Provinsi DKI Jakarta, sebagai berikut:

1. ada perintah (berupa tugas dan wewenang) yang diberikan oleh negara

melalui UU No. 3 Tahun 2014 tengang Perindustrian kepada Gubernur

selaku Kepala Daerah dalam penyelenggaraan perindustrian untuk

mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian sebagaimana ditetap-

kan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014;

2. urusan pemerintahan bidang perindustrian merupakan urusan pemerintah-

an pilihan, yaitu urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan daerah

sesuai potensi yang dimiliki Daerah, dan Provinsi DKI Jakarta memiliki

potensi dalam penyelenggaraan industri kecil, industri menengah, dan

industri kreatif, karena itu diperlukan Peraturan Daerah sebagai dasar

hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mewujudkan hak

pelaku usaha di bidang industri dan masyarakat serta memfasilitasi

kewajiban pelaku usaha di bidang industri baik industri kecil, industri

menengah, industri kreatif maupun industri besar.

3. Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki sumber daya alam seperti daerah lain di

Indonesia, karena itu pembangunan industri dimasa mendatang diarahkan

pada peningkatan pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi pada industri

kreatif dan industri baik industri kecil dan industri menengah maupun

industri besar yang menggunakan teknologi tinggi, dengan strategi

Page 233: DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - dprd-dkijakartaprov.go.id

Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 6 - 2

meningkatkan kapasitas dan intensitas pusat kegiatan primer dan sekunder

untuk mewadahi kegiatan industri berskala daerah, regional, nasional, dan

internasional.

4. Keberadaan Peraturan Daerah tentang Perindustrian diharapkan mampu

mewujudkan penyelenggaraan perindustrian dalam rangka memperkuat

dan memperkukuh ketahanan industri daerah dan nasional, serta

meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara ber-

keadilan. Selain itu, dapat menjawab berbagai kebutuhan dan per-

kembangan akibat perubahan lingkungan strategis dan sekaligus menjadi

landasan hukum bagi tumbuh berkembang dan kemajuan industri di

Provinsi DKI Jakarta baik saat ini maupun akan datang.

5. keberadaan Peraturan Daerah tentang Perindustrian akan memberikan

kepastian hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pelaku industri,

dan masyarakat dalam penyelenggaraan industri di Provinsi DKI Jakarta,

yang selama ini belum memiliki Peraturan Daerah.

b. Materi muatan Konsep Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian,

meliputi: (a) tugas dan wewenang Pemerintah Daerah; (b) hak dan kewajiban

pelaku usaha dan masyarakat; (c) penyelenggaraan perindustrian mengatur

prasarana dan sarana industri serta sumber daya industri; (d) pemberdayaan

industri pada industri kecil, industri menengah, industri kreatif, industri hijau

daerah, serta penggunaan produk dalam negeri; (e) perizinan; (f) kerjasama

dan kemitraan; (g) tanggung jawab sosial dan lingkungan; (h) penanaman

modal bidang industri dan fasilitas; (i) pembinaan, pengawasan, dan

pengendalian penyelenggaraan perindustrian; (j) sanksi.