110

Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

  • Upload
    vokhanh

  • View
    224

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang
Page 2: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Daftar Isi

Indonesian Dictionaries and the On-line Profile of IndonesianJames T. Collins .................................................................. 113

Pembentukan Verba dari Dasar Nomina dalamBahasa IndonesiaWakit Abdullah, D. Edi Subroto, Mulyanto .......................... 129

Kelemahan Fonologis Ejaan Bahasa Indonesiayang DisempurnakanI Wayan Pastika ................................................................... 147

Kebertahanan Bahasa Bali pada Transmigran Balidi Provinsi LampungNi Luh Nyoman Seri Malini ................................................. 167

Piranti Bahasa dan KesantunanSri Minda Murni .................................................................. 183

Resensi:The International Phonetic Association

Handbook of the International Phonetic Association:Guide to the Use of the International Phonetic Alphabet

Diresensi oleh Rindu Parulian Simanjuntak ................................... 201

Jelajah Linguistik:Antara “Jabberwocky” dan Bahasa Alay

A. Effendi Kadarisman .................................................................. 205

Bincang antara Kita dari Dunia Maya:Ka’bah atau Kakbah ........................................................... 209

Indeks ........................................................................................... 221

Page 3: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA

Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI)merupakan organisasi profesi yang bertujuan untuk

mengembangkan studi ilmiah mengenai bahasa.

PENGURUS MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA

Ketua : Faizah Sari, Universitas Katolik Indonesia Atma JayaWakil Ketua : Rindu Parulian Simanjuntak, SIL InternasionalSekretaris : Siti Wachidah, Universitas Negeri JakartaBendahara : Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

DEWAN EDITOR

Utama : Bambang Kaswanti Purwo, Universitas Katolik Indonesia Atma JayaPendamping : Faizah Sari, Universitas Katolik Indonesia Atma JayaAnggota : Bernd Nothofer, Universitas Frankfurt, Jerman; Ellen Rafferty,University of Wisconsin, Amerika Serikat; Bernard Comrie, Max Planck Institute; TimMcKinnon, Jakarta Field Station MPI; A. Chaedar Alwasilah, Universitas PendidikanIndonesia; E. Aminudin Aziz, Universitas Pendidikan Indonesia; Siti Wachidah,Universitas Negeri Jakarta; Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik IndonesiaAtma Jaya; D. Edi Subroto, Universitas Sebelas Maret; I Wayan Arka, UniversitasUdayana; A. Effendi Kadarisman, Universitas Negeri Malang; Bahren Umar Siregar,Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Hasan Basri, Universitas Tadulako; YassirNasanius, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Dwi Noverini Djenar, SydneyUniversity, Australia; Mahyuni, Universitas Mataram; Patrisius Djiwandono,Universitas Ma Chung; Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

JURNAL LINGUISTIK INDONESIA

Linguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan sejak tahun 2000diterbitkan tiap bulan Februari dan Agustus. Linguistik Indonesia telah terakreditasiberdasarkan SK Dirjen Dikti No. 64a/DIKTI/Kep/2010, 1 November 2010. Jurnalilmiah ini dibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota MLI yang keanggotaannyaumumnya melalui Cabang MLI di pelbagai Perguruan Tinggi, tetapi dapat juga secaraperseorangan atau institusional. Iuran per tahun adalah Rp 125.000 (anggota dalamnegeri) dan US$30 (anggota luar negeri). Keanggotaan institusional dalam negeriadalah Rp 150.000 dan luar negeri US$50 per tahun.

Naskah dan resensi yang panduannya dapat dilihat di www.e-li.org dikirim keRedaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakangsampul jurnal.

ALAMAT

Masyarakat Linguistik IndonesiaPusat Kajian Bahasa dan BudayaUniversitas Katolik Indonesia Atma JayaJI. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930, Indonesiae-mail: [email protected], Ph/Fax: +62 (0)21 571 9560

Page 4: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Agustus 2012, 113-128 Tahun ke-30, No. 2Copyright©2012, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

INDONESIAN DICTIONARIES ANDTHE ON-LINE PROFILE OF INDONESIAN

James T. Collins*Northern Illinois University

[email protected]

Abstract

The oldest dictionary of Indonesian is the oldest dictionary of Malay, compiled byAntonio Pigafetta in Brunei and Tidore in 1521. This lexicographic tradition almost500 years old has yielded an impressive record of a wide range of dictionaries. In thislimited article, the focus will be on the first and fourth editions of Kamus Besar BahasaIndonesia, comparing the scope of coverage, adequacy and accuracy of the definitionsand issues of social usage in these two editions. The article also considers what the roleof contemporary electronic media should be in the development of Indonesianlexicography. These issues are discussed in the context of the emergence of Indonesiain the political and economic network of the region and the globe.

Keywords: Indonesian lexicography, Kamus Besar Bahasa Indonesia, electronic media

Abstrak

Kamus tertua dari Indonesia adalah kamus tertua Melayu, yang disusun oleh AntonioPigafetta di Brunei dan Tidore pada tahun 1521. Tradisi leksikografis hampir 500tahun telah menghasilkan catatan yang mengesankan tentang berbagai kamus. Dalamartikel terbatas ini, fokusnya mengarah pada edisi pertama dan keempat Kamus BesarBahasa Indonesia, membandingkan lingkup cakupan, kecukupan dan ketepatan definisidan isu penggunaan sosial dalam dua edisi ini. Artikel tersebut jugamempertimbangkan apa seharusnya peranan media elektronik kontemporer dalampengembangan leksikografi Indonesia. Isu-isu ini dibahas dalam konteks munculnyaIndonesia pada jaringan politik dan ekonomi kawasan dan dunia.

Kata Kunci: leksikografi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, mediaelectronik

INTRODUCTION

In September, 1969, I visited Jakarta for the first time. It was a different place, indeed a differentsocial space. I still remember standing on the sidewalk near Sarinah Department Store at nooncounting all the cars on Jalan Thamrin; there were ten or twelve cars as far as I could see in eitherdirection. In those days, the Indonesian dictionary available was Poerwadarminta’s Kamus UmumBahasa Indonesia, a solid, and stolid, pioneering work. But I had just spent a month traveling bybus in Sumatra; I truly needed more information about this complex, diverse Indonesia. I askedIndonesians I had met about books and they told me about a very large book store near PasarSenen. So I climbed the stairs to a huge, darkened hall filled with hundreds of glass-shelveddisplay cases. Amazing! But, then, as I looked more closely, I noticed that among thoseshimmering glassy shelves, only one display case had any books at all. There were only threedifferent books for sale in that vast bookstore: an enormous, empty, censored, Orde Baru space.

Today, 42 years later, in addition to Poerwadarminta’s dictionary, there are dozens anddozens of Indonesian dictionaries: pocket book sized and cement block sized, monolingual,bilingual, trilingual and still counting, authentic editions and, yes, pirated printings. Of course,now we can consult numerous online dictionaries of Indonesian, even one produced by mycolleagues at Northern Illinois University through SEAsite, the premiere online resource forSoutheast Asian studies.1 But the greatest contrast to Jakarta in 1969 is not the number and

Page 5: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

James T. Collins

114

diversity of Indonesian dictionaries but, even more so, the wealth of information about everyaspect of Indonesia. No more bookless book shelves! The cavernous, empty bookstore I walkedthough in a disbelieving daze 42 years ago is just my memory. All over Indonesia, from sleekprovincial capitals to upriver kecamatan market towns, shops are bursting with books and printmaterials. But even this enormous book boom is overshadowed by the electronic resourcesavailable about Indonesia. The government reports, irreverent blogs, reverent sermons,Facebook messages, linguistic dissertations, archived academic journals, the cookbooks, crimestatistics, political essays, biochemistry studies, film critiques—all in Indonesian—leap fromsites, like Google. Endless and self-renewing, this mass of billions of pieces of data, flotsamand treasure, flows like a swift and mighty river, dazzling as it ripples on this bright sunny dayof a new, democratic Indonesia.

So, dazzled and in danger of being pulled into the current and whelmed away by thissurge of information, I now realize it was my mistake to choose this topic for my conferencepaper! This is not a topic. This is an encyclopedia project with multiple volumes and hundredsof contributors. What was I thinking!? So, as is always the case in human endeavor, I will limitthe scope of my presentation.2 In the first section, Indonesian dictionaries, I will focus on onlyone dictionary, Kamus Besar Bahasa Indonesia, in particular the first and fourth editions. In thesecond section, The online profile of Indonesian, I will talk only about contemporaryelectronic media as a source of lexicographic data. In the conclusion, the future directions ofIndonesian lexicography will be considered in the context of the political and economicemergence of Indonesia in the Southeast Asian region and on the global stage.

INDONESIAN DICTIONARIES

The first known dictionary of Indonesian is the first dictionary of Malay. The 450-wordvocabulary of Malay (Italian-Malay), collected by Antonio Pigafetta in Tidore and Brunei in1521, was printed in part in his narrative of the Magellan’s voyage around the world (Collins1995; Robertson 1906; Collins and Novotny 1991). That book was published at least eight timesin the 16th century (Collins 2001; Pigafetta 1969). The Chinese-Malay vocabulary (of about 500words), compiled in 1560 by Yang Pin using lists he found in the imperial archives (consideredlists from Melaka), was not printed until 1932 (Collins 2001; Edwards and Blagden 1930-1932).The Dutch-Malay wordlist of 1598 was superseded by the Dutch-Malay-Javanese vocabularycollected in 1599 in Ternate (Collins and Schmidt 1992; Collins 2001). This early history ofdictionaries in Indonesia is salient for at least three reasons. First, that at least four Malayvocabularies were collected in the 16th century, and some published in that century, placesMalay, and therefore Indonesian, in the elite club of the world’s languages with the earliestdictionaries. Second, that these lists could be collected in both the Straits of Melaka and theHalmahera Sea in east Indonesia indicate the far-flung dissemination of the Malay language.Third, we must also marvel that these earliest lexicographic works were written in Italian,Chinese and Dutch, demonstrating a global interest in this language of the archipelago. Theseearly lexicographical explorations of Malay underpin contemporary Indonesian dictionaries.3

Of course, many more dictionaries have been published since the 16th century. There isa long tradition of the publication of dictionaries, both popular and scholarly, for use in theregions that comprise Indonesia. In fact, beginning in 1677 many of these were published inJakarta (Batavia). Indeed, the focus of this presentation is on a dictionary published in Jakartamore than 300 years after the first dictionary published there, Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), a landmark contribution to Indonesian lexicography. Producing this massive dictionaryin 1988 was a tremendous achievement for Pusat Bahasa and all the linguists and staff memberswho worked on it. In the mid-1980’s there were no online corpora to assist in this enormoustask.4 Moreover, I believe computers were not used in this project, or, if they were, their rolewas limited. Existing dictionaries in the early 1980’s provided sketchy or even incorrectinformation. Creating KBBI was a time-consuming, detail-rich project involving old fashioned

Page 6: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

115

slips of paper, typewriters and thousands of paper clips and staples. The work was meticulous,as was the printing of the dictionary. KBBI stands out as tremendous achievement and anenormous improvement over all monolingual dictionaries of Indonesian existing prior to itspublication.

This historic document deserves to be carefully studied, but in this brief paper we canonly examine a few aspects of the work, bearing in mind that we readers have been asked toprovide suggestion about improving its quality (“saran perbaikan demi peningkatan mutunya”),as Pak Anton wrote (Moeliono 1989:xi). Moreover, by examining KBBI, we will exploreperennial issues in dictionary making (Frawley et al. 2002) and provide ideas for otherdictionary projects. In this paper, we will compare the first edition (KBBI 1) and the fourthedition (KBBI 4), so we can chart the tremendous improvements in the dictionary in just twentyyears and we can identify aspects of the dictionary and all dictionaries that perhaps can bereconsidered and improved. Space and time do not permit a detailed comparison; only threetopics will be considered: Scope of coverage, Adequacy and accuracy of definitions and Socialusage.

KBBI 1

Scope of CoverageIn late 1986 when data collection for KBBI 1 had ended (Moeliono 1989), the work of choosingand sorting the materials was already underway. Either by chance (an item was not collected) orchoice (a word was deemed unsuitable), many words in daily use in most of Indonesia’s urbancenters at that time were not included in the published dictionary. Some of these words wereborrowed from Dutch long ago5 and some from other languages. Only a few of these words arenoted here.

Remarkably, one of the sets of words not included in KBBI 1 was a system of kinshipand address terms, familiar to all of us:

tante ‘aunt; term of address for older women’om ‘uncle; term of address for some older men’oma ‘grandmother; term of address for some older women’opa ‘grandfather; term of address for some older men’

We can only speculate about why these words were not included. But surely this omission of anaddress system6 in daily use in Jakarta and most of Indonesia’s major cities was an odd one.And remember this was the hey-day of the use of terms such as om senang and tante girang inIndonesia’s popular media.

A few examples of other terms in wide use at that time, but not included in KBBI 1 were:

wastafel ‘wash basin, bathroom sink’frambosen ‘raspberry (syrup, flavor)’trik ‘a short cut for learning something’firman ‘word (of God), command (from God)’

Again, whether these omissions were by oversight or deliberate exclusion has not beendetermined. That arbei ‘strawberry (flavor)’ was included (even the scientific name in Latin!)in KBBI 1 but not frambosen or that we find keran ‘faucet’ but not wastafel ‘sink’ is surprising,at least to me.7 A more detailed study of KBBI, its inclusions and omissions, would be awelcome contribution to Indonesian lexicographic studies, but the intent here is merely to makea few observations.

Adequacy and Accuracy of DefinitionsAs Newell (1995:262) pointed out, developing definitions is problematic because of the need be“as complete as possible” but, at the same time, provide a definition that is “simple and

Page 7: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

James T. Collins

116

elegant”. This inherent tension between thoroughness and simplicity is essential to critical,good lexicography. It seems that KBBI 1 often erred on the side of simplicity. An exampletaken from KBBI 1 is: baku p saling.

There are at least two problems with this definition. First, baku is simply notinterchangeable with saling. Forms like baku mencintai or baku menghargai are not possible.They are grammatically incorrect. There is a notion of reciprocity in baku but its grammaticalrole as a particle must be better delineated. Second, in 1989 all but one of the examples given(and there are seven, an unusually large number) are of baku with verbs of violence: bakuhanam, baku pukul and the like. In 1989 baku was, indeed, largely limited to this semantic field,but this is not expressed in the definition.

Another aspect of adequacy and accuracy is the opposite side of simplicity. Some of thedefinitions of KBBI 1 contain too much information. I take as an example:

oncom n tempe bercendawan yg dibuat dr bungkil kacang (ampas kacangtanah setelah diambil minyaknya), sering dicampurkan dng ampas tahu; ampastapioca, dan dicendawankan dng jamur oncom atau dng ragi bulat, Monaliasitophila.

This definition is a hodge podge. On the one hand, it reads like an instruction manualfor making oncom, on the other, there is a touch of science, a Latin name. The way thedefinition is written it is unclear what Monalia sitophila refers to: jamur oncom, ragi bulat oroncom itself.8 Compare this definition to the simple, elegant and adequate definition for tempealso found in KBBI 1: “makanan, dibuat dari kedelai dsb yg diberi ragi.” We will come back tothis set of definitions below.

Social UsageKBBI 1 is a monolingual dictionary, presumably intended for an audience of Indonesians.Information that might be necessary in a bilingual dictionary or even more so in a learners’dictionary may not be necessary in this Indonesian dictionary for Indonesians. (See Newell1995; Collins 2011.) Yet, the number of Indonesians for whom Indonesian is their firstlanguage is small (but growing rapidly) as a percentage of the total population. So in a vast andculturally diverse country of 600 to 1000 languages, there may yet be a need to provide someinformation to dictionary users about the social features of some of the dictionary entries. InKBBI 1, information about social usage is uneven—uneven in the sense that sometimes it isprovided and sometimes not, and uneven in the sense that the markers are not consistent.

There are only three broad categories used in labels for words: cak ragam percakapan,hor ragam hormat and kas ragam kasar, that is Colloquial, Respectful and Rude. However,more information is provided in the entries themselves. For example, although there is no labelfor Islamic terms, the first definition of haram is terlarang (oleh agama Islam); tidak halal. Sothis provides the social information that this is related to Islamic terminology. The definition ofhalal, however, is less clear: diizinkan (tidak dilarang oleh syarak). If the reader knows thatsyarak is Islamic law, then, perhaps, this is a better definition, but for many Indonesians, syarakmay not be completely transparent. In any case, we can see that haram and halal do not provideparallel information about social usage.

Another entry demonstrates a different kind of problem. The headword nyong isdefined as panggilan untuk pemuda (anak laki-laki). What is missing here? It seems to me thatthis is not a term of address to young men or boys in Javanese or Minang villages. Should thisinformation be included? Should we indicate that there are ethnic or regional restrictions on theuse of this name? KBBI 1 provides a definition of mas sapaan hormat untuk laki-laki, tanpamemandang usia. Again are there social restrictions on this usage and regional details thatdictionary user might need. Is this a respectful term of address to one’s biology professor? Can Iaddress becak drivers in Makassar as mas? How much information about social usage is neededin a monolingual dictionary?

Page 8: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

117

The publication of KBBI 4 in 2008 built on the solid lexicographic foundation laid inKBBI 1. Incrementally through the second and third editions, KBBI was improved andexpanded. KBBI 4 draws on that accumulated knowledge and moved forward by introducingsome innovations. In our brief survey of KBBI 4, first, we will review the three topicsmentioned in our glimpse at KBBI 1: Scope of coverage, Adequacy and accuracy of definitionsand Social usage.

KBBI 4

Scope of CoverageThe set of kinship and address terms that were strikingly absent in KBBI 1 were included inKBBI 4. These Dutch loanwords om, tante, opa, oma, are already well-integrated into the dailyuse of Indonesians, living in almost any city and also in many regions of Indonesia. Theirabsence has been addressed. Three of the other words we considered, firman, trik9 and wastafel,are now included in KBBI 4. The word frambosen is not included. A Google search of resepframbosen yielded only 6820 results.10 Perhaps this word is moving out of Indonesian11 and thatwas a determination made by the editorial board?

There do seem to be editorial decisions about what should be in KBBI 4. For example,the entry for onderdil is very sparse and labeled Bld!

onderdil Bld n suku cadang

The implication seems to be that readers should use suku cadang, not onderdil. Otherwords of Dutch origin are not marked; for example, indekos and ongkos, also very clearloanwords from Dutch, are not labeled. A Google search for onderdil yielded 4,760,000 resultsso this is a word still in wide use in Indonesia, but clearly disfavored at Pusat Bahasa. This maybe a misreading on my part because, in fact, there is an explicit rejection of prescriptivism(“ideologi bahasa yang normatif”) at the beginning of the text (Departemen PendidikanNasional:2008:xxv).

Adequacy and Accuracy of DefinitionsWhen reviewing KBBI 1, we briefly examined two entries: baku and oncom.

baku. In the latest edition of KBBI, the definition of baku remains unchanged.The grammatical label; has changed from p to adv, but the definition is still‘saling’. This is a misleading definition, as we noted above.12 The editors ofKBBI 4 made the decision to include even more examples of baku, rather thanto analyze the meaning or meanings and the grammatical functions of baku.

Indeed, they included a sentence example that demonstrates that there are occurrences of bakuthat are not reciprocal (as saling implies), or, if they mark reciprocity at all, they mark it fordifferent cases in the sentence. The sentence illustration in question is:

1. Ayo kita baku kebat sutra ini dgn kayu cendana.‘Let’s exchange this silk for sandalwood.’

This sentence no. 1 is quite different from typical baku sentences taken from the internet, forexample:

2. Begitu bertemu kami langsung baku peluk.As soon as we met, we immediately hugged each other.

3. Habis pesta miras, puluhan remaja baku hantam.After a drinking party, tens of youth beat each other up.

Page 9: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

James T. Collins

118

In sentences no. 2 and 3, we see that the (plural) agents of the sentence act upon each other. Insentence no. 1, the agents do not act upon each other but upon multiple exchangeable/interchangeable” objects. This appears to be a different meaning of baku, clearly not saling.13

A comparison of baku and saling may illuminate the problem. Newell (1995:262)explained why comparison within similar categories is useful: “A major aim of a lexicaldescription within a dictionary article is to describe the lexeme in relationship to other lexemeswithin grammatical, semantic and extralinguistic contexts.” Entries in a dictionary should bewritten in the context of the semantic or grammatical sets they belong to. We have noted alreadythat baku and saling display differences that were overlooked by the compilers of the dictionary.Their definitions too do not parallel each other; moreover, in KBBI 4 saling is identified as aparticle but baku as an adverb. Were these two entries in the dictionary written withoutcomparing one to the other?

With that in mind, we can return to oncom discussed briefly above. Like baku, thedefinitions of oncom in KBBI 1 and KBBI 4 are exactly the same, even the error in spellingMonilia sitophila is repeated. If entries in a dictionary should be written in the semantic andgrammatical contexts, a comparison of oncom with other basic foods might contribute to thediscussion.

Apparently, as part of the plan to incorporate more regional cultural vocabulary(kosakata budaya daerah), a number of new lemma were added to KBBI 4, among them a fooditem:

papeda Pp n makanan tradisional Papua berupa bubur sagu, biasanya dicampurdng ikan dan sayur.

This entry is very different from the entry for oncom, repeated here for comparison:

oncom n tempe bercendawan yg dibuat dr bungkil kacang (ampas kacang tanahsetelah diambil minyaknya), sering dicampurkan dng ampas tahu; ampastapioca, dan dicendawankan dng jamur oncom atau dng ragi bulat, Monaliasitophila.

To an outside observer, these two definitions were not compared with each other; theydo not parallel each other in any way except that they are both labeled as nouns. One focuses onan item as a food, the other focuses on the process to produce it. One specifies the regionassociated with the item, the other tells us nothing about region of use or origin. One definitionprovides information about the food in the context of consuming it (dng ikan dan sayur); theother tells us nothing about the culinary context. And then there is in one entry that superfluousinformation about the fungus in the process.

Both definitions would benefit from some changes. For example, papeda could bedescribed as a staple food (like rice), whereas oncom is a dish served with rice. The use of theterm ‘tradisional’ is unnecessary and somewhat misleading. Of course, papeda is both widelyconsumed and known by that name not only in Papua but also in Maluku. We should know thatoncom is a Sundanese food, but we do not need to know the name of fungus used in the process.And of course how could there be a tempe that is not fermented?

These two entries could form a two session in a lexicographic workshop. Much morecan be said. The point here is that a careful comparison of items within similar categories leadsto tighter, more elegant and more informative definitions.

Social UsageIn KBBI 1 there were only three labels to indicate social usage: cak ragam percakapan, horragam hormat and kas ragam kasar, that is Colloquial, Respectful and Rude. KBBI 4 addedonly two more: ark arkais (‘Archaic’) and kl klasik (‘Classic’). Another improvement is that themeaning of each of these five labels is explained in some detail. A large number of other labelshave been added to indicate specific fields that a lexical item might belong to (for example, Far

Page 10: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

119

Farmasi) or a region where a lexical item is used (Kh Kapuas Hulu)14 or a language from whicha lexical item was taken (Kal Kaili). One of the labels for specific fields that was introduced inKBBI 4 was “Isl agama Islam”. How does this new label impact the two Islamic words in ourdiscussion of social usage: haram and halal?

First of all, the principle KBBI 1 definitions of both haram and halal were not changedin any way in KBBI 4.

haram terlarang (oleh agama Islam); tidak halal.halal diizinkan (tidak dilarang oleh syarak).

Second, we already noted that the information provided for these two words is notparallel and not completely clear. Third, following Newell’s (1995:262) insight that we should“describe the lexeme in relationship to other lexemes within grammatical, semantic andextralinguistic contexts”, we need to take into consideration other semantically terms related toharam and halal. How does KBBI 4 treat makruh and sunah? These four Indonesian wordsform a closely knit semantic subset in Indonesian, not only because of their semanticconnections but because of their “extralinguistic”, cultural relevance.

The definitions provided for makruh and sunah in KBBI 1 and KBBI 4 are the same.However, in KBBI 4, the label Isl was inserted into the entry. Note:

makruh a Isl dianjurkan untuk ditinggalkan, tetapi tidak berdosa apabiladikerjakansunah perbuatan yg apabila dilakukan mendapat pahala dan apabila tidakdikerjakan tidak berdosa.

The entry for sunah has three definitions, all of which are Islamic15 but only the seconddefinition was labeled Isl. If we compare the four related terms, the inconsistency is apparent.Now that KBBI has a label Isl, why wasn’t that label used in a parallel and consistent way in allfour definitions? This is important piece of information about social usage.

In the brief look at KBBI 1 above, we also noted another entry that demonstrates aproblem that could be addressed through providing some details about social usage. Theheadword nyong needed some information about the scope of usage. KBBI 4 moved to addressthis weakness.

Compared to the KBBI 1 definition, panggilan untuk pemuda (anak laki-laki), thedefinition now offered by KBBI 4, panggilan untuk anak laki-laki (di Ambon) is clearly animprovement. We note however, that nyong is 1. a term of address and reference (not just apanggilan), 2. used widely throughout Maluku and Sulawesi Utara (not just di Ambon) and 3.for males younger than oneself (not just anak laki-laki). We may still want to ask the question:How much information about social usage is needed in a monolingual dictionary?

THE ONLINE PROFILE OF INDONESIAN

September 13 2011: according to reliable websites,16 of the 750 million active users ofFacebook in the world today, more than 40 million are in Indonesia. After the United States(where this social network was developed), Indonesia has the largest number of active users ofFacebook; so, by their estimate, more than 16.5% of the total population of Indonesia usesFacebook. Based on my limited personal experience, this is not surprising at all. In the last fewweeks I have received Facebook messages from major urban centers in Indonesia, includingJakarta, Surabaya and Makassar, but also from remote locations where internet connections arenot even reliable: West Kalimantan 350 km upriver from Pontianak, the north coast of Sulawesi,45 km north of Gorontalo city, and even the interior of central Seram in Maluku. Indonesia hasa global profile in the world-wide network of electronic information and communication, and,conversely, global communications is embedded—even in rural Indonesia.

Page 11: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

James T. Collins

120

Other authors have claimed that globalization has not penetrated beyond Indonesiancities. For example, in Mulyana’s (2008) opinion: “Meskipun globalisasi telahmelanda Indonesia, hanya wilayah perkotaan yang terimbas proses tersebut.” My observationsdo not support the idea that globalization, in particular the global communications sector, islimited to urban areas. In remote parts of Kalimantan, Maluku, Sulawesi, I personally haveobserved the extensive use of cell phones, almost always used to send and receive text messages(SMS--(rarely voice calls)), but also to download music (western, Asian and Indonesian) andimages, for example dancing singers (who can forget Rihanna‘s “Umbrella” video—which Ifirst saw on a cell phone in Sulawesi?) and traditional regional dances filmed by the Dayakteenager who displayed them to me on a borrowed high-end cell phone. I have also observedthat SMP students in rural Kalimantan frequently do not own a cell phone but they own a SIMcard and can thus participate in the intense communication network of the teen years by simplyborrowing their friends’ phones and inserting their cards in them for a few minutes of time.With the new technologies involving cell phones and communication devices that are nowavailable, the boundary between the internet and texting has blurred. The capacity to downloadinformation and to share information has greatly increased both in sheer volume but also ingeographic coverage far beyond Indonesia’s urban centers.

But Indonesia’s profile online is not limited to the 40 million Indonesian fesbukers. Inpreparing this talk, I wanted to check on KBBI 1’s scientific term noted above, Monaliasitophila, so I simply googled the term. Google not only provided me with the correct spellingbut also a partial text from Dwidjoseputro’s scientific article (1961) on this topic. Moreover, thecomplete Indonesian text of Professor Mulyana’s 2008 essay on communications (cited above)is also available online. Thousands upon thousands of scholarly essays in Indonesian are alsoavailable online. This has an enormous impact on contemporary research throughout the world.

Consider, for example, that in addition to the Library of Congress, in the United Statesthere are only four or five libraries, all at American universities, with large collections of booksabout Indonesia. The university where I now work, Northern Illinois University (NIU), forexample, has perhaps the fourth largest U.S. collection of books and other publications aboutIndonesia. In late 2009, in the NIU collection, there were 40,000 books printed in the Indonesianlanguage and 30,000 more books about Indonesia written in English, Dutch, French and German(Collins 2010). This stands out as an enormous Indonesian-language resource that is, in fact,larger than that of many university libraries in Indonesia itself. But this collection, large andwell-catalogued, has limited usefulness for people beyond the area near the library. Althoughinterlibrary loan makes it possible to borrow these books in a larger area, in fact, this collectionis of the greatest use to the mere 25 students who are studying the Indonesian language at NIUand the even smaller number of Indonesians enrolled in MA and PhD programs at NIU. Incontrast, internet access to scholarly books and papers, while sometimes restricted, greatlyenhances the ability of millions of people to learn about Indonesia. Popular, non-academic sitesoffer yet another perspective of Indonesia that (thankfully) undermines the orientalistictraditions of western scholarship and demonstrates the direction, strengths and weaknesses oftoday’s Indonesia.

My research for the last two years has focused almost exclusively on dictionaries. InAugust 2009, the U.S. Department of Education approved an NIU project to write an onlinelearner’s dictionary of Malay.17 In January 2010, after the computer specialists at NIU haddesigned a program to accommodate this site and its needs, a team of NIU students18 began towork under my editorial direction to develop entries for this dictionary. It was only at that pointthat I decided that our corpus and our concordance would be Google. When we seek authenticsentence examples, when we seek a better understanding of the semantic nuances of words andphrases, we find them in the data collected in the sites that Google opens up to us. This is how Ibegan to come to face to face with the emerging presence of Indonesian on the internet. Becauseso many words in Malay and Indonesian are the same, I was continually facing huge amounts of

Page 12: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

121

Indonesian data. And I came to understand the profile that the Indonesian language has achievedthrough the internet. And because I have been engaged with the compiling and editing ofIndonesian dictionaries (Wolff and Collins 1989) and dictionaries of other languages inIndonesia (Collins 2007, Collins In press.), my perspective is that of a dictionary specialist withan interest in new words, social domains of language use, tools for checking dictionary contents,and shifting semantics, among other issues.

Briefly, this section will discuss some online phenomena related to Indonesia’sunmistakable internet profile and its relationship to Indonesian dictionaries. Topics that will betouched upon include: Standard Indonesian in the internet, New emerging Islamic vocabulary19,and The place of acronyms. The intention here is to present some directions for further study,and to encourage a closer look at the resources now available.

Standard Indonesian in the Internet

It is important to emphasize that when we talk about the profile of Indonesian on the internet,we are not referring merely to slang, registers used by youth and Facebook stylistics. In thispaper, the term internet refers to all the electronic resources available online. This includes bothofficial, academic, and religious sources as well as personal blogs and social networkmessaging. So all registers and variants of Indonesian make up this profile. As we might expect,only standard Indonesian is used in most formal sources. But, standard Indonesian also appearsfrequently in informal sources. For example as Asfar (2011) observed: “Kalau melihatpemakaian bahasa Indonesia online, bahasa baku biasanya untuk mengungkapkan puisi dankata-kata puitis.” There are many examples of the use of the standard language in onlinepoetry. My data, however, suggests a wider use of standard Indonesian in social networks. Thestandard language is used not only in poetry but very often in statements about love and lostlove. For example, on the Facebook walls of two men (aged 22-24) in Makassar, we findstatements such as:

Walaupun kau brda jauh driku sy ttp akan mmpercayaimu,,krn tanpa k'prcayaancinta pasti akan hancurTuhan tolong jaga dan lindungi dia yng ku syng d'mna pun dia bradaMoga cpat sembuh syg, jgn prnah putus asa yah,doaku slalu mnyertaimu..amin

Of course, the visual style of these statements does not conform to the spellingconventions of standard Indonesian (Bouti 2011), but the vocabulary, morphology and syntax ofthese statements is standard Indonesian. Following Asfar’s relevant observation about poetry,this use of standard Indonesian for poetry and public declarations of and about love suggests atrend among young people towards the poeticizing of personal relationships. So, even when weexamine messages in social network sites, we will find formal Indonesian, not simply youthslang. Poetry and poeticizing are the realms of formal Indonesian even on Facebook.

New Emerging Islamic Vocabulary

Among the major contributors to Indonesian online resources are the diverse sites orientedtowards religion. In today’s Indonesia religion remains a significant element not only inpeople’s personal lives but in national and regional politics.20 All of Indonesia’s recognizedreligions have a significant presence online, but, because Indonesia has the largest Muslimpopulation in the world, it is not surprising that Islamic sites dominate religious discourse on theinternet. So, it is that Islamic discourse and dialogue continue to impact the development ofIndonesian. New words, usually from Arabic, are appearing online and some of them aremoving into mainstream Indonesian. Sometimes words that have long been part of theIndonesian language are reworked to emphasize new semantic shadings. One example is thenew, old word ummah. This word is not found in KBBI 4, but when one searches by googling a

Page 13: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

James T. Collins

122

phrase such ummah karena or ummah bisa there are 500, 000 and 700, 000 citationsrespectively.21 This word, ummah, is now being widely used in Indonesian.

It is important to note that this is not just a variant form of umat. The entry umat inKBBI 4 delineates two meanings, but seems to imply three separate meanings; note:

umat n 1. para penganut (pemeluk, pengikut) suatu agama; penganut nabi; 2makhluk manusia.

So the three meanings seemingly implied by this entry22 are: 1. faith community, thefellowship of all the believers of any religion, 2. the Muslim community, 3. the community (ofall humans) in the phrase umat manusia. The definition of ummah, however, is much narrowerbecause it only means the community of Muslims. For example, the following examplescollected through Google reflect this specific meaning:

From a tarbiyah textbook: Dari sini penghimpunan kekuatan ummah bisasegera dilancarkan secara menyeluruh.From YouTube: Mari gunakan seni untuk membangun ummah.

We can find sites that discuss umat Kristen and umat Buddha, but there appear to be noummah Kristen or ummah Buddha. This word, ummah, has emerged recently as a newIndonesian word with a specific meaning and usage, as have many other words in today’sevolving Indonesian language.23 Language scholars need to track and document these newwords or, as in this case, “new, old” words in order to maintain an up-to-date and contemporarydictionary of Indonesian.

The Place of Acronyms

For some time now Indonesia has been famous for creating acronyms; indeed, whole books andscores of websites are dedicated to Indonesian acronyms. However, acronyms have beenproblematic for dictionaries. In many bilingual dictionaries, selected and widely used acronymsare listed in alphabetical order with other dictionary entries. For example, in Wolff and Collins(1989:2) we find ABN, ABRI, ABS and AC. In contrast, KBBI 4 relegates three of these to aseparate appendix, Singkatan dan Akronim.24 Other older acronyms, such as berdikari ‘be self-reliant’, appear as full entries with no indication that the word is an acronym. Popular words,like miras ‘alcoholic beverage’, do not appear in the dictionary text but can only be found in theappendix. Perhaps because of the large number and constant shifting of acronyms in Indonesian,dictionary editors are wary of them.

Nonetheless, there are numerous acronyms in wide use among Indonesians who use theinternet. Here we will briefly examine three: curhat, ortu and malming.

curhat. ‘disclose one’s deepest feelings, pour out one’s heart. This is not a newacronym and perhaps this accounts for its frequent internet occurrence. OnSeptember 10 2011, Google reported a total of 17,900,000 results for curhat, aclear indication of its integration into the national language of Indonesia. Butin KBBI 4 there is no curhat entry, in either the main text or in the acronymappendix. We know the acronym derives from curah hati, but under theheadword curah there is no such compound form. KBBI 4 seems to onlyreluctantly hint at curhat’s existence when in the sub-lemma mencurahkan wefind a definition melimpahkan (dipakai juga dl arti kiasan) and an example…ia segera [mencurahkan] isi hatinya.

ortu ‘parents’. On September 10 2011, a Google search using ortu karena25

resulted in 3,570,000 results. This suggests that ortu (from orang tua) has afrequency of occurrence perhaps as high as curhat. In KBBI 4 the form does

Page 14: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

123

not appear, although there is a compound form orang tua within the entry fororang.

malming ‘ Saturday night’. Again a Google search on September 10 2011yielded 666,000 results for this word (from malam minggu) KBBI 4 does notinclude malming in either the main text or the appendix of acronyms. This wordmost often appears in blogs and facebook chat sites, for example, “Hampirsetiap malming aku juga gak pernah pergi.” This suggests that this word maybe considered slang and has not played a larger role in non-youth discourse.

These three examples reflect a range in the status of acronyms. Google’s statisticssuggest that certainly curhat is widely used in day-to-day Indonesian with ortu apparently closebehind; whereas malming seems to be restricted in use to young people and the sites they visit.The line between slang and humorous acronyms is a blurred one. Can there be guidelines forincluding some frequently used acronyms in the main stream dictionaries of Indonesian?

CONCLUSION

Beginning in 1997, I directed the field operations of a Malaysian research project, funded byJapanese foundation, manned by several Indonesians and one Malaysia.26 Our research took usto villages and market places in Kalimantan Barat. As that project unfolded and subsequentprojects were added, I watched with amazement the unmatched growth in the communicationsystem Kalimantan Barat: more and more telecommunication towers, advertisements by rivalcell phone providers, cell phone stores and, most remarkably, more and more cell phone users.

Sometime in 1999 or 2000 I stopped mailing letters to Kalimantan; I shifted all theproject correspondence to text messages. I used email to send long and detailed messages, buteven then I texted the recipients to tell them to get to a warnet because there was an in-comingemail. As I noted earlier in this paper, I realized that in small, upriver towns, all the secondaryschool students owned or used cell phones. But it wasn’t just Kalimantan. On my trips toMakassar and later to Ambon, Ternate and Gorontalo, the same social change was sweeping theregion: the rapid dissemination of accessible global communication devices.

Many of these young people began to use the internet, especially Facebook, and themove to include Facebook accelerated as cell phone technology advanced to facilitate access tothe internet, including Facebook. The use of cell phones for texting is now a technology linkedto the use of the internet. Texting stylistics with its emblematic acronyms is now a part of theprofile of Indonesia online. Here is one of the first emails sent in 2008 by a 22 year old studentin Makassar:

LaGi di mAna…? kok nO nYa gak pernah aktif…? kapan ke makassARlagi…? neh emaiLq… aQu buat spY bsA kiRiM kabar… by; eRwan dImAkaSsar… balaZzZzz

Note, many of the stylistic features of texting are found in this email message:

1. Erratic use of capital and lower case letters.2. The use of x as a short form of –nya, and of q of aku.3. The orthographic shift of final s to z.4. Doubling or even quintupling some final letters for emphasis.5. The use of urban Indonesian slang, such as gak (nggak), kok, neh.6. Limited use of English.

Some of these characteristic features have been noted by Azhar (2010) in his discussionof style and texting, but his suggestion everyone “tends to invent their own style [of] writing” isnot supported by my data. Below are three texts I received between March and May 2008.

Page 15: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

James T. Collins

124

Each was from a different writer in a different city. The texts were sent to me by individualswho did not know each other at all.

May 5 2008, E. in Makassar: hai jim. Sry br blz. Coz aq kmrin cpekMay 23 2008, A. in Gorontalo: mau brnang cz hr ni qt mau taruhan uangMarch 3 2008, S. in Pontianak: ga bisa ntlf saefl, cos no saefl ga ada

What is interesting here is the conjunction coz/cz/cos, pronounced [karna]. Here is anelement that reflects the shift of s to z, abbreviation and the limited use of English as a symbol,rather than as a word. Furthermore, the use of this symbol from the western to the eastern edgesof Indonesia indicates a shared texting culture throughout the country. There is a nationalonline profile of Indonesia!

These fragments of data from texts, indeed this meager paper of bits and pieces ofinformation scattered on these few pages, are only reflections of the need for linguists tounderstand Indonesian as an internet, online phenomenon, and to proceed with the work ofcompiling dictionaries that recognize that image, that fact of Indonesian. The day when newdictionaries were written based on old dictionaries and dictionary editors could invent their ownsentence examples is over. The online profile of Indonesian demands complete authenticity andmeticulous analysis of that authentic material. Selective, prescriptive lexicography will nolonger be good enough. Indonesians, and—because Indonesia is a global force—the wholeworld needs a scholarly online dictionary of Malay with a designated competent editorial staffso that Indonesian lexicography can match the complexity, diversity, exuberance of theIndonesian language.

NOTE

* I would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft.1 In a recent count of visitors to SEAsite (including its Indonesian dictionary), there were over 250,000

unique visitors each month, roughly 3 million unique visitors per year (Collins 2010).2 I express my sincere thanks to KIMLI’s organizing committee and to my Indonesian colleagues, in

particular Pak Yassir, Pak Effendi and Bu Katharina, for inviting me to this conference and toleratingmy late submission. I am grateful too to my former students, Bapak Dedy Ari Asfar dan Bapak SukardiGau, who have advised me in preparing this short paper.

3 On June 20, 2011, at Universitas Negeri Gorontalo I led a dictionary workshop that included somediscussion of early Malay dictionaries. A workshop participant asked me: “Well, that’s about Malaydictionaries. When was the oldest Indonesian dictionary written.” October 28, 1928 is the watersheddate when Indonesia’s nationalists, changed the name of Malay to Indonesian and elevated thatwidespread language into the national language of Indonesia. But we should not trivialize Indonesianby forgetting that the language (by another name) has a history that predates Sumpah Pemuda. (SeeCollins 2004.) The Indonesian language dates back to 683 when the first inscriptions of Malay werecarved in stone in Sumatra (Collins 2005).

4 In early 1984, Prof R. Hendon of Yale University provided the editors of the Echols and Shadilydictionary revision project a concordance collected with the use of a special computer programdesigned to work on novels and short stories of the 1960’s in Yale’s collection of Indonesian materials.This computer generated concordance may have been the first use of computer generated materials inIndonesian lexicography.

5 The revision of the Echols and Shadily Indonesian-English dictionary (Wolff and Collins 1989) tookplace between 1984 and 1988. At the time I was astounded that the dictionaries available then did notinclude numerous loanwords from Dutch that were in wide use (wastafel, frambosen but also rebewes,branwir). Perhaps these words were considered foreign or too colloquial? KBBI 1, in contrast to earliermonolingual dictionaries, brought Indonesian lexicography to a new level by including many (but notall) of these Dutch loanwords

Page 16: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

125

6 Obviously the glosses suggested here for these terms of address are just short-hand. The termsthemselves are very complex in usage, depending on any variables including age, race, religion,perceived social status and educational background. Moreover, these terms have nuances of meaning invarious regional settings.

7 My observations are linked to distinct personal experiences. When I first arrived in Sumatra (1969), evenat age 22, many younger Indonesians addressed me as om, a word I had never heard before. In the hotels Ilearned what a wastafel was and in homes the meaning of another strange word, frambosen.

8 The correct spelling of the scientific name is Monilia sitophila, “a fungus on ontjom, a condimentderived from the press cake of peanuts” (see Dwidjoseputro 1961).

9 The definition offered by KBBI 4 differs from the one I suggested above.10 A search of frambosen included several results in Dutch or Flemish. So a phrase, resep frambosen was

used. See Footnote 21.11 Many of the words originally borrowed from Dutch that I learned in the late 1960’s have already

slipped out of spoken Indonesian, at least in some regions. For example, in Kalimantan Barat, manyyounger speakers with secondary school or university educations either do not know the word rebewesor only recognize it as an unfamiliar word their grandparents use.

12 My interest in baku began in 1972 when I first arrived in Ambon city where baku was in widespreaduse, although at that time still uncommon in standard Indonesian. See Collins (1980:27) for an earlydiscussion of baku and its function.

13 When we discussed baku at the lexicography workshop at Universitas Negeri Gorontalo (20 June2011), several participants non-reciprocal examples of baku in their local Malay dialect. So theoccurrence of one or more in KBBI 4 is not surprising. It is the absence of a definition that describesthem that is unusual.

14 Kapuas Hulu is listed as a “Bahasa daerah” (Departemen Pendidikan Nasional 2008 :xxxiii) but thereis no such language, unless the language is Kapuas Hulu Malay, but then it belongs under the KBBI 4category of “Dialek Melayu”, where there is already an equally vague dialect called “MelayuKalimantan”. Kalimantan mana, sih? See also Asfar (2009).

15 The first definition ‘jalan yg biasa ditempuh; kebiasaan’ only makes sense if it is labeled Isl. This clearlyis the definition of the Arabic word and in Indonesia sunah ‘jalan, kebiasaan’ is probably only used inIslamic contexts. Speakers would not say that “I usually drink tea”, and use the word sunah to expresskebiasaan. Without the information that this is an Islamic usage the definition is absurd.

16 For this conference presentation I used www.socialbakers.com/facebook-statistics/ and www.facebook.com/press/info.php?statistics.

17This project, the Multimedia Online Learner's Dictionary of Malay (Award #: P017A090353), has beenfunded by the U.S. Department of Education’s International Research and Studies Program. The NIUteam has worked steadily but slowly. We hope to have some parts of the dictionary available before theend of 2011.

18 I would like to thank Brett McCabe, Sarah Wiley and Sean Dolan, those NIU graduate students whoassisted me in drafting definitions and searching for authentic sample sentences on the internet. Byworking closely with them and editing their drafts, I learned how electronic media interfaces withlexicography and I share some of that experience with you here today in Bandung. I am grateful toBrett, Sarah and Sean for their patience and perseverance as the project came into shape. Good luck tothem in their new careers now that they have completed their MA degrees.

19 I decided to use this subtitle to bring to mind Bandung’s pivotal role in the New Emerging Forces(Nefo) polemic long ago.

20 See, for example, the article written by my colleague at NIU, Dr. Michael Buehler, in which hediscusses politics and syariah (Buehler 2011).

Page 17: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

James T. Collins

126

21 As I learned from working on the online Malay dictionary, in order to differentiate Malay fromIndonesian it is necessary to add a Malay word like kerana to the item being searched through Google.This reduces the chance of scrolling through Indonesian sites. So here, in order to avoid mixing Malaycitations with Indonesian citations, I added the specifically Indonesian words karena and bisa, thusensuring that the number of citations reflects only Indonesian (not Malaysian) usage.

22 This KBBI 4 entry is not very clear. The phrase penganut nabi probably was meant to refer to theMuslim community, but as it stands it seems to suggest that only those religions with a prophet havefaith communities called umat. And this is clearly not the case because umat is used in Indonesian siteswidely to refer to Hindus and Buddhists.

23 Another word that deserves tracking is samman ‘the name of a sufi order’. (See Sagena et al (2000)among others.) Although KBBI 4 includes samaniah, there is no samman.

24 ABN, Anggaran Belanja Negara, does not appear anywhere in KBBI 4.25 Searching for the phrase ortu karena was necessary because Ortu is a common Italian last name, and

there is also ORTU, Oral Rehydration Therapy Unit. See Footnote 21.26 This research was initially funded as part of a collaborative research project (D00-EC-12) sponsored by

the Southeast Asian Studies Regional Exchange Program (SEASREP) through the National Universityof Malaysia. I extend my deepest thanks to Prof. Shamsul Amri Baharuddin, director of the project, andall my project colleagues, especially Dr. Chong Shin, Dr. Yusriadi, Dedy Ari Asfar, Petrus Derani,Herpanus and Aan Agustinus.

BIBLIOGRAPHY

Asfar, Dedy Ari. 2009. KBBI 2008: Kosakata Kalbar. Manuscript.

Asfar, Dedy Ari. 2011. Pemakaian bahasa Indonesia online. Manuscript.

Azhar, Iqbal Nurul. 2010. Gaya bahasa SMS (Language style on SMS). Metalingua 8(2):111-120.

Bouti, Suleman. 2011. Bahasa Alay. Manuscript.

Buehler, Michael. 2011. Partainya sekuler, aturannya syariah. Tempo 4 September 2011, hlm.74-75.

Collins, James T. 1980. Ambonese Malay and creolization theory. Kuala Lumpur: DewanBahasa dan Pustaka.

Collins, James T. 1995. Kamus Melayu Eropah Pertama. Ensiklopedia Sejarah dan KebudayaanMelayu. Jilid 2, 1080-1081. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Collins, James T. 2001. Kamus Melayu dan ilmu perkamusan. Dewan Bahasa 1(12):22-30.

Collins, James T. 2004. The history of Indonesian and the future of Malay. In Menabur benih,menuai kasih. Persembahan karya bahasa, sosial dan budaya untuk Anton M. Moelionopada ulang tahunnya yang ke-75, edited by Katharina Endiati Sukamto, pp. 3-31.Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan Yayasan Obor Indonesia.

Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu, bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia.

Collins, James T. 2007. Asilulu-English dictionary. NUSA Volumes 51-52. Jakarta: BadanPenyelenggara Seri NUSA, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Page 18: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

127

Collins, James T. (ed.) 2010. National Resource Center and Foreign Language and Area StudiesFellowship Program. Submited by the Center for Southeast Asian Studies, NorthernIllinois University to the US Department of Education. Manuscript.

Collins, James T. 2011. Perkamusan, kamus Melayu dan kamus Melayu online. A public lecturepresented at Universiti Malaysia Pahang, 29 June 2011.

Collins, James T. In press. Bacan-English dictionary. NUSA. Jakarta: Badan PenyelenggaraSeri NUSA, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Collins, James T. and Rachel Novotny. 1991. Etymology, entomology and nutrition: Anotherword from Pigafetta. Cakalele 2(2):123-132.

Collins, James T. and Hans Schmidt. 1992. Bahasa Melayu di Pulau Ternate: Maklumat tahun1599. Dewan Bahasa 36: 292-327.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. EdisiKeempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dwidjoseputro, Dakimah. 1961. Studies on Monilia sitophila from Indonesia. Bulletin of theTorrey Botanical Club 88(6):404-411.

Edwards, E. D. and C. O. Blagden. 1930-1932. A Chinese vocabulary of Malacca words andphrases collected between A.D. 1403 and 1511(?). Bulletin of the School of OrientalStudies 6:715-749.

Esposito, John L. 2003. The Oxford Dictionary of Islam. New York. Oxford University Press.

Flexner, S.B. (ed.) 1987. The Random House dictionary of the English language. Secondedition. Unabridged. New York: Random House.

Frawley, W., K. Hill and P. Munro. 2002. Making a dictionary. Ten issues. In Makingdictionaries. Preserving indigenous languages of the Americas, edited by W. Frawley,K. Hill and P. Munro. Pp.1-22. Berkeley: University of California Press.

Green, Jonathon. 1996. Chasing the sun. Dictionary makers and the dictionaries they made.New York: Henry Holt and Company.

Landau, Sidney I. 2001. The art and craft of lexicography. Second edition. Cambridge:Cambridge University Press.

Moeliono, Anton. 1989. Prakata. In Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan PengembanganBahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan kedua. Hlm. xi. Jakarta: BalaiPustaka.

Mulyana, Deddy . 2008. Peran komunikasi dalam pengembangan dan penerapan IPTEK diIndonesia. Jurnal Sosioteknologi 15 (7):468-480.

Mustikasari, Herlina. 2001. Analisis perkataan “latah” dalam kamus. Manuscript.

Newell, Leonard E. 1995. Handbook on lexicography for Philippine and other languages.Manila: Linguistic Society of the Philippines.

Pigafetta, Antonio. 1969. Magellan’s voyage. A narrative account of the first circumnavigation.Tranlsated by R.A. Skelton. New York: Dover Publications, Inc.

Robertson, James A. 1906. Magellan’s voyage around the world by Antonio Pigafetta: Theoriginal text of the Ambrosian MS., with English translation. Cleveland, OH: Arthur H.Clark Co.

Page 19: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

James T. Collins

128

Sagena, Muhammad, Abd Rahman and Azhar Nur. 2000. Tarekat Khawatiyah Samman diSulawesi Selatan: Studi tentang ajaran zikir, Laporan hasil penelitian. Makassar: PusatPenelitian IAIN Alauddin.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1989. Kamus BesarBahasa Indonesia. Cetakan kedua. Jakarta: Balai Pustaka.

Wolff, J. and James T. Collins. (eds). 1989. An Indonesian-English dictionary by John M.Echols and Hassan Shadily. Third edition. Ithaca: Cornell University Press.

Zaiton Ismail. 2001. Perbandingan entri latah, lata dari sumber yang berbeza (empat buahkamus) dari aspek masukan, format, isian, keperluan dan perbezaan. Manuscript.

Page 20: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Agustus 2012, 129-145 Tahun ke-30, No. 2Copyright©2012, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

PEMBENTUKAN VERBA DARI DASAR NOMINA DALAMBAHASA INDONESIA

Wakit Abdullah, D. Edi Subroto, Mulyanto*

Universitas Sebelas [email protected]

Abstrak

Pembentukan verba (V) dari dasar nomina (Nom) dalam bahasa Indonesia termasuk didalam proses morfologi derivasional. Pembentukan derivasional adalah pembentukanyang menghasilkan jenis kata baru yang berbeda dari dasarnya atau pembentukan yangmenghasilkan identitas leksikal berbeda. Pembentukan tersebut berarti pulamenghasilkan arti leksikal yang berbeda dari dasarnya dengan referen yang jugaberbeda. Di samping itu, terdapat pula pembentukan yang menghasilkan jenis kata yangsama dengan dasarnya, namun berbeda arti leksikalnya. Dalam hal ini pembentukanverba dari dasar nomina menghasilkan jenis kata baru. Hasil pembentukan dari Dasar(D) Nom menjadi V ini dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori, yakni Vkategori zero-D, V kategori D-kan, V kategori D-i, V kategori ber-D, V kategori meng-D,V kategori per-D, V kategori per-D-kan, V kategori ber-D-kan, V kategori ter-D, Vkategori ke-D-an, dan V kategori ber-D-an.

Kata kunci: pembentukan derivasional, nomina, verba

Abstract

The word formation of the basic noun (Nom) into a verb (V) in the Indonesian languagecan be categorized as a derivational morphological process. The derivational formationrefers to the formation which produces different kinds of new words from their basicmorphemes resulting in a different lexical identity. This means the output has differentlexical meaning and referent from the input although the word class remains unchanged.Other types of formation produce the same kind of words, namely the formation of a verbfrom the noun base produces new types of words. The basic formation of nouns into verbscan be classified into several categories, namely the category of zero-D verbs, the D-kanverbs category, the D-i verbs category, the ber-D verbs category, the meng-D verbscategory, the per-D verbs category, the per-D-kan verbs category, the ber-D-kan verbscategory, the ter-D verbs category, the ke-D-an verbs category, and the ber-D-an verbscategory.

Key words: derivational formation, noun, verb

PENDAHULUAN

Penelitian yang berkaitan dengan pembentukan kata secara derivasional dan infleksionalsebenarnya telah dirintis secara lebih bersungguh-sungguh oleh Subroto (1985) dalamdisertasinya yang berjudul “Transposisi dari Adjektiva menjadi Verba dan Sebaliknya dalamBahasa Jawa”. Judul itu secara jelas berkaitan dengan masalah derivasi, yaitu pembentukan katayang menghasilkan jenis kata yang berbeda dari D-nya [rumah (Nom) -> merumahkan (V)] ataupembentukan yang tidak mengubah jenis kata, namun mengubah identitas leksikal dari D[duduk -> duduki (kursi itu)]. Kata duduk termasuk V intransitif (VIntr) dan duduki termasuk Vtransitif (VTr). Konsep teoretik yang berkaitan dengan derivasi dan infleksi dalam morfologitelah digali secara memadai dalam disertasi itu. Subroto (1987) juga menulis artikel dari hasil-hasil penelitian yang dikembangkannya berjudul “Derivasi dan Infleksi dan KemungkinanPenerapannya dalam Morfologi Bahasa Indonesia” (1987), “Konsep Leksem dan “UpayaPenataan Kembali Lema dan Sub-lema Kamus Besar Bahasa Indonesia” (1996), dan

Page 21: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Wakit Abdullah, D. Edi Subroto, Mulyanto

130

“Pembentukan Kata Derivasional dari Nomina menjadi Verba dan Nomina Lain dalam BahasaIndonesia” (2005). Latar belakang perkembangan teori tersebut mengaspirasikan perludilakukan pemaparan lebih lanjut mengenai penerapannya dalam bahasa Indonesia dewasa ini.Hal-hal yang dikaji dalam makalah ini dibatasi pada pembentukan menjadi V dari D-Nommelalupi proses afiksasi, yakni mengidentifikasi keterlibatan afiks-afiks dan produktivitasnyadalam proses derivasional tersebut.

Dalam artikel ini dideskripsikan sekilas tentang metode penelitian yang digunakan,landasan teori yang digunakan, hasil pembentukan berbagai tipe V yang berasal dari dasar Nom,dan beberapa poin simpulan. Deskripsi berbagai tipe V hasil afiksasi yang berasal dari dasarNom meliputi V kategori zero-D, V kategori D-kan, V kategori D-i, V kategori ber-D, Vkategori meng-D, V kategori per-D, V kategori per-D-kan, V kategori ber-D-kan, V kategoriter-D, V kategori ke-D-an, dan V kategori ber-D-an.

METODOLOGI

Data penelitian ini berupa kalimat-kalimat bahasa Indonesia baku yang mengandung bentuk-bentuk afiksasi, khususnya pada V yang diprediksi berasal dari Nom. Data diperoleh dari mediamassa (cetak dan elektronik), pemakaian bahasa lisan sehari-hari oleh masyarakat penuturbahasa Indonesia, serta data yang dibangkitkan oleh peneliti sebagai penutur bahasa Indonesiadengan validasi tertentu yang berlaku bagi penelitian bahasa. Pengumpulan data dilakukandengan cara simak dan catat, serta wawancara mendalam. Simak dan catat dilakukan terhadapsumber data tertulis dan lisan, sedangkan wawancara mendalam dilakukan untuk mengujikembali kebenaran/kesahihan data yang diperoleh terutama terhadap data yang dibangkitkan.Wawancara mendalam juga disertai penyimakan dan pencatatan. Terhadap sumber data lisandapat dilakukan perekaman (audio recording) sebelum dilakukan penyimakan dan pencatatan.Perekaman dilakukan sekadar untuk membekukan data, misalnya terhadap pemakaian bahasalisan yang temponya terlalu cepat, agar dapat disimak ulang dalam proses pencatatan data.Pengumpulan data dengan wawancara mendalam disebut sebagai teknik kerja sama denganinforman (Subroto, 1992).

Dalam penelitian ini pembentukan V dari dasar Nom hanya dibatasi pada pembentukandengan proses afiksasi. Pembentukan menjadi V dengan proses morfologi lainnya (perulangandan pemajemukan) tidak menjadi bagian dalam penelitian ini. Oleh karena, itu data yangdigunakan juga hanya yang berkaitan dengan proses afiksasi pembentukan verba.

Teknik analisis data yang digunakan adalah mengidentifikasi satuan-satuan linguistikterkecil yang bermakna (morfem) yang terdapat berulang kembali dengan bentuk yang samaatau hampir sama dan dicari korelasinya dengan ciri arti. Misalnya, dijumpai adanya satuan-satuan kata: bom, mengebom, dibom; cangkul, cangkul (tanahnya!), mencangkul, mencangkuli,mencangkulkan; sepatu, bersepatu, bersepatukan, dan sebagainya. Berdasarkan identifikasimorfem dasarnya akan ditemukan satuan-satuan terkecil morfem. Untuk menganalisis D-nyatermasuk kelas kata apa dan hasil pembentukannya termasuk kelas kata apa dipergunakanpertimbangan arti, pertimbangan ciri morfologis, dan valensi sintaksis secara bersama.Misalnya, kata memenjara yang dibentuk dari D penjara (Nom.) termasuk V denganpertimbangan ciri arti (melakukan perbuatan), ciri morfologis adanya afiks meng- yangberpasangan dengan di- (memenjara >< dipenjara), ciri valensi sintaksis yaitu dapat bergabungdengan sudah, akan, belum, sedang (sudah memenjara, akan memenjara, belum memenjara,sedang memenjara).

Kemunculan data terutama V bentukan yang diperoleh sangat beragam baik dari jumlahmaupun bentuknya. Dari keberagaman V bentukan itu dapat diklasifikasi menjadi tipe-tipetertentu. Pembentukan derivasional adalah pembentukan yang bersifat tidak teratur, artinyatidak semua kata dari jenis dan kelas yang sama ketika mendapat proses afiksasi yang samaakan menghasilkan ciri yang sama. Misalnya, kehadiran prefiks {meng-} tidak menghasilkanciri semantik yang sama terhadap dasar cangkul (dalam mencangkul) dan batu (dalam

Page 22: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

131

membatu), begitu pula kehadiran sufiks {-i} terhadap dasar garam (dalam garami) dan sendok(dalam sendoki) menghasilkan “arti” yang berbeda. Jumlah data yang diperoleh pada suatu tipedengan tipe yang lain pun bermacam-macam, ada yang sangat terbatas, ada pula yang cukupbanyak. Data yang terbatas dikatakan sebagai tidak produktif, dan yang cukup banyakdinyatakan sebagai cukup produktif. Produktivitas suatu tipe data dalam proses derivasionaltidak dapat melampaui hasil dari proses infleksional. Pada umumnya yang dihasilkan olehproses infleksional bersifat produktif karena dapat diprediksikan bersifat teratur, tetapi tipenyasangat terbatas; sedangkan pembentukan derivasional bersifat unpredictable, tidak teraturkarena banyak tipe arti yang dapat dihasilkan.

LANDASAN TEORI

Marchand (1969) menegaskan bahwa istilah pembentukan kata (word formation) hanya relevanuntuk dikenakan pada pembentukan kata yang menghasilkan kata baru (baca: leksem baru)(1969:2). Rumusan itu menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “pembentukan kata” (wordformation) hanya yang menyangkut pembentukan kata yang bersifat derivasional (morfologiderivasional). Hal itu sesuai dengan penegasan Fromkin, V., R. Rodman dan N. Hyams.(2007:84) yang menyatakan: ”Bound morphemes like –ify [pure (adjektiva (A)) à purify (V)]and -cation [purify (V) à purification (Nom)] are called derivational morphemes. When theyadded to a base, a new word with a new meaning is derived”. Jadi, kedua morfem tersebutdisebut morfem derivasional karena membentuk kata baru dengan arti baru yang berbeda daridasar (base). Hal itu juga bersesuaian dengan pendapat Katamba (1994:47) yang membedakandua golongan afiks (morfem afiks), yaitu afiks derivasional dan afiks infleksional, morfemderivasional membentuk kata baru (atau leksem baru). Fenomena derivasional itu ditunjukkanoleh Katamba dengan tiga fenomena: 1) mengubah arti leksikal kata itu sekalipun jenis katanyatidak berubah [kind (Adj) à unkind (Adj)]; atau dalam bahasa Indonesia [lurah (Nom) àkelurahan (Nom)] (arti leksikal lurah berbeda dari kelurahan karena lurah memiliki cirisemantik bernyawa, manusia; sedangkan kelurahan tidak); 2) pembentukan itu mengubah kelaskata dari D [kind (Adj)à kindly (adverb/Adv), susah (Adj)à kesusahan (Nom)]; 3) mengubahsubkelas sebuah kata [book (Nom)à booklet (Nom)] (1994:50).

Sehubungan dengan uraian di atas, banyak pakar linguistik yang selalu membedakanantara morfologi infleksional dan morfologi derivasional (Lyons, 1968; Matthews, 1974; Bauer,1983; Scalise, 1984; Beard, 2001; Aronoff dan Fudeman, 2005; Booij, 2005; Fromkin dkk:2007). Matthews (1974:38--41), misalnya, membedakan antara proses infleksional dan prosespembentukan kata (word formation). Proses pembentukan kata dibedakan atas derivasi danpemajemukan (komposisi). Berdasarkan rumusan itu, hampir dapat dipastikan bahwapemajemukan selalu menghasilkan leksem baru (bandingkan, RUMAH SAKIT2 yang berbedadari leksem RUMAH dan SAKIT). Sejalan dengan Matthews, Bauer (1983:34) jugamembedakan antara infleksi (pembentukan yang menghasilkan bentuk-bentuk kata berbeda darileksem yang sama) dengan pembentukan kata (word formation).

Verhaar (1996:143) menyatakan bahwa infleksi (atau fleksi) adalah perubahanmorfemis (kata-kata) yang mempertahankan identitas leksikal kata yang bersangkutan; derivasiadalah perubahan morfemis yang menghasilkan kata dengan identitas leksikal yang berbeda(kata baru atau leksem baru). Yang dimaksud dengan perubahan morfemis dalam rumusan ituadalah perubahan bentuk kata (dalam arti sinkronis) karena afiksasi atau reduplikasi, yangsecara tradisional disebut “pembentukan kata”. Jadi, infleksi itu tidak mengubah identitasleksikal, sedangkan derivasi mengubah identitas leksikal. Lebih lanjut Verhaar menyatakanbahwa setiap pembentukan kata yang mengubah kelas kata [SENANG (Adj) àKESENANGAN (Nom)] selalu berarti mengubah identitas leksikal; sedangkan pembentukanyang tidak mengubah kelas kata termasuk derivasi jika identitas leksikalnya berubah [LURAH(Nom) à KELURAHAN (Nom)]. Terjadinya perubahan identitas leksikal itu diketahuiberdasarkan tes dekomposisi leksikal atau berdasarkan penguraian fitur-fitur semantik (Subroto,

Page 23: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Wakit Abdullah, D. Edi Subroto, Mulyanto

132

1987). Leksem LURAH dan KELURAHAN keduanya termasuk Nom, tetapi identitasleksikalnya berbeda karena LURAH mengandung ciri semantik ‘bernyawa’ (animate) dan‘manusia’ (human), sedangkan leksem KELURAHAN tidak memiliki fitur semantik tersebut.Akibatnya, referen kedua leksem itu juga berbeda. Lebih lanjut, Verhaar menyatakan bahwaafiksasi ada yang bersifat infleksional (pukul, memukul, dipukul, kupukul, kaupukul; atau dalamNom bahasa Inggris book à books, chair à chairs, bag à bags), ada yang bersifatderivasional [KOTA (Nom) à PERKOTAAN (Nom), BESAR (Adj) à BESARKAN (V)].Demikian pula, perulangan (reduplikasi) ada yang bersifat infleksional [RUMAH (Nom) àRUMAH-RUMAH (Nom)), ada yang derivasional (PUKUL (V) à PUKUL-MEMUKUL (V)].Leksem PUKUL-MEMUKUL (V) termasuk leksem baru karena memiliki ciri semantik‘resiprokal’ yang tidak ada pada PUKUL (V); sedangkan pemajemukan selalu bersifatderivasional [RUMAH (Nom) + SAKIT (Adj) à RUMAH SAKIT (Nom), MATA (Nom) +KAKI (Nom) à MATA KAKI (Nom), CERDAS (Adj) + CERMAT (Adj) à CERDASCERMAT (Nom)]. Leksem RUMAH SAKIT berciri arti ‘kompleks bangunan, ada komponenmanajemen, dokter, perawat, pasien, apotek, obat’; ciri arti ini tidak dimiliki oleh unsur-unsurpembentuknya. Leksem MATA KAKI mempunyai ciri arti ‘tulang yang menonjol ke kiri ataukanan pada pergelangan kaki’, tidak memiliki ciri kaki secara utuh, dan tidak memiliki cirisemantik mata. Leksem CERDAS CERMAT sudah mengalami perubahan kategori kata dariunsur-unsur pembentuknya.

Perbedaan secara terperinci antara infleksi dan derivasi tersebut antara lain telahdiuraikan oleh Nida (1949:99-100) dan Scalise (1984:103-114) sebagai berikut:

1. kaidah infleksi tidak pernah mengubah kelas kata, sedangkan kaidah derivasiberkemungkinan mengubah kelas kata;

2. pembentukan derivasional memiliki distribusi eksternal yang serupa dengan katatunggal dari sistem kelas kata yang bersangkutan, sedangkan infleksi tidak;

3. secara statistik pembentukan derivasional lebih beragam daripada pembentukaninfleksional (afiks pembentuk nomina dalam bahasa Inggris, misalnya: -er, -ity, -ship, -hood; -ness, -ation, dan masih banyak lagi, sedangkan afiks infleksional dalam nominahanya afiks plural: boy : boys);

4. namun demikian, afiks derivasional tersebut memilki distribusi terbatas (misalnya, afiks–er pembentuk Nom dari V tidak dapat dikenakan pada semua V), sedangkan afiksinfleksional memiliki distribusi luas (afiks plural bahasa Inggris dapat dikenakan padasebagian nomina);

5. kaidah derivasi mengubah arti leksikal dari dasar, sedangkan kaidah infleksional hanyamengubah arti gramatikal;

6. kaidah infleksional dibandingkan derivasional bersifat periferal;7. kaidah derivasional tidak sepenuhnya produktif, sedangkan infleksional termasuk

produktif;8. terdapat keteraruran arti gramatikal dari kaidah infleksional, sedangkan derivasional

banyak mengalami keanehan (idiosinkresi) semantik;9. kaidah infleksional bersifat otomatis atau teramalkan karena tuntutan sintaksis bahasa

yang bersangkutan, sedangkan derivasional tidak bersifat teramalkan (lihat jugaSubroto, 1996, 2005; Aronoff, 1981; Bauer, 1983).

Di muka telah disinggung bahwa pembentukan derivasional menghasilkan leksem baruyang berbeda dasarnya [LURAH (Nom) à KELURAHAN (Nom), BESAR (Adj) àBESARKAN (V)], sedangkan infleksional menghasilkan bentuk-bentuk kata yang berbeda darileksem yang sama [misalnya, dalam bahasa Inggris boy dan boys adalah bentuk kata yangberbeda dari leksem BOY (Nom)]. Perihal leksem, Lyons (1968: 197) menyatakan bahwaleksem adalah satuan abstrak hasil abstraksi dari bentuk-bentuk yang berbeda dalam paradigmainfleksional karena kaidah sintaksis tertentu. Misalnya, bentuk kata boy dan boys adalahperwujudan bentuk kata yang berbeda dari leksem BOY (Nom). Bentuk kata boy dan boys

Page 24: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

133

kemunculannya bersifat otomatis karena kaidah sintaksis (kalau diikuti is pasti boy, dan kalaudiikuti are pasti boys). Baik Matthews (1974) maupun Katamba (1994) menyatakan leksemadalah satuan abstrak yang fundamental leksikon sebuah, terkecil baik simpel maupunkompleks. Leksem adalah hasil abstraksi dari suatu paradigma (infleksional). Satuan leksemumumnya ditulis dengan huruf kapital. Misalnya, dalam bahasa Inggris ada paradigma: write(your name), (I) write, (he) writes, (this morning I) wrote, (he is) writing, (I have) written.Bentuk-bentuk kata yang berbeda tersebut dapat diramalkan karena kaidah sintaksis dansebenarnya tidak mengubah identitas leksikal sehingga dari bentuk-bentuk kata itu dapatdiabstraksikan adanya leksem WRITE yang termasuk V. Atau sebaliknya, kita memiliki leksemWRITE V yang diramalkan dapat berwujud bentuk-bentuk kata tersebut karena kaidah sintaksistertentu. Satuan itu adalah satuan terkecil sekaligus simpel. Juga dijumpai adanya bentuk kataworker, workers. Dari bentuk kata itu dapat diabstraksikan adanya leksem WORKER yangtermasuk Nom. Leksem itu tetap satuan terkecil (tidak dapat diperkecil), namun termasukkompleks (terdiri dua morfem).

Kebangkitan kembali yang mendominasi kepustakaan linguistik mutakhir (khususnyamorfologi) itu belum memberi gema yang signifikan untuk kemajuan studi morfologi diIndonesia (baik untuk morfologi bahasa Indonesia maupun morfologi bahasa-bahasa diIndonesia). Studi morfologi bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia masihdidominasi oleh perspektif strukturalisme tradisional sebagaimana ditunjukkan oleh Ramlan(1978) maupun oleh Hasan Alwi, dkk. (1993). Salah satu kelemahan menonjol dari model ituadalah belum mampunya mengidentifikasi arti leksikal nomina deverba D-an (mencuci àcucian ‘hasil atau yang dicuci’). Nomina deverba D-an hanya tepat jika dikaji dari perspektifderivasional.

Subroto (1987) menggambarkan ikhwal pembentukan kata dari D ANGKAT, yangdibedakan atas ANGKAT I (dalam BERANGKAT dan derivasinya menjadi leksemBERANGKATKAN yang memiliki kemunculan yang teramalkan pada memberangkatkan,diberangkatkan, kuberangkatkan, kauberangkatkan) dan ANGKAT II yang memilikikemunculan yang teramalkan pada angkat (tanganmu), mengangkat, diangkat, kuangkat,kauangkat. Dari leksem BERANGKAT (V) dibentuk leksem baru KEBERANGKATAN (Nom)dan dari leksem ANGKAT II (V) dibentuk menjadi leksem baru PENGANGKAT (Nom),PENGANGKATAN (Nom), ANGKATAN (Nom), dan seterusnya.

PEMBENTUKAN MENJADI VERBA DARI DASAR NOMINA

Pembentukan menjadi V dalam proses afiksasi bahasa Indonesia dapat dilakukan melaluiberbagai kategori dasar. Kategori D itu termasuk D dari V-lainnya, atau yang D-nya termasukNom, atau yang D-nya termasuk Adj, atau yang D-nya termasuk numeralia (Num), atau yang D-nya termasuk Adv/kata-kata tugas. Pembentukan menjadi V dari dasar V-lain ada yang bersifatderivasional ada pula yang bersifat infleksional. Kederivasionalan pembentukan menjadi V daridasar V-lain dapat dilihat dari perbedaan identitas leksikal dari V bentukan dan V dasarnya. Jikaterjadi perbedaan identitas leksikal, hal itu menunjukkan adanya proses derivasional. Jika tidakmenunjukkan perbedaan identitas leksikal, itu disebut proses infleksional. Sementara itu,pembentukan menjadi V dari D kategori selain V (yakni Nom, Adj, Num, Adv/kata tugas) jelasmenunjukkan pembentukan yang bersifat derivasional, yakni adanya perubahan kelas kata dariD (Nom, Adj, Num, Adv) menjadi V atau mengubah identitas leksikal dari dasar.

Pembentukan menjadi V dari dasar Nom bersifat derivasional karena mengubah kelaskata. Hasil pembentukan dari dasar Nom menjadi V ini dapat diklasifikasikan menjadi beberapakategori, yakni V kategori zero-D, V kategori D-kan, V kategori D-i, V kategori ber-D, Vkategori meng-D, V kategori per-D, V kategori per-D-kan, V kategori ber-D-kan, V kategoriter-D, V kategori ke-D-an, dan V kategori ber-D-an.

Page 25: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Wakit Abdullah, D. Edi Subroto, Mulyanto

134

Pembentukan menjadi V Kategori zero-D dari D Nom

Ada kalanya suatu bentuk V tidak berbeda dengan suatu bentuk Nom (misalnya kata guntingsebagai V berbentuk sama dengan kata gunting sebagai Nom). Bentuk-bentuk yang samasemacam itu dapat diketahui perbedaan jenis/kelas katanya hanya dalam konteks kalimat(valensi sintaksis). Perlu dijelaskan bahwa bentuk yang sama tersebut bukan semata-matamerupakan homonim atau polisemi, tetapi salah satunya merupakan hasil dari proses morfologissehingga salah satunya adalah D dan yang lain adalah bentukannya. Dalam penelitian ini yangbervalensi sintaksis Nom dianggap sebagai D dan yang bervalensi sintaksis V dianggap sebagaibentukannya. 3 Proses morfologi yang terjadi dalam pembentukan ini dikatakan sebagai derivasizero atau konversi, yakni proses penurunan kata tanpa mengubah bentuknya, atau disebutsebagai proses afiksasi dengan menggunakan morfem zero. Proses derivasi zero itumenghasilkan V tanpa afiks apa pun. Oleh karena itu, V itu juga dikatakan sebagai V kategori Dyang dibentuk secara morfologis dari Nom kategori D, dan masing-masing merupakan leksemyang berbeda. Dari contoh kata gunting di atas dapat dilihat proses morfologisnya sebagaiberikut. Nomima kategori D (GUNTING) dibentuk menjadi V kategori D [gunting (kain itu!)]dengan derivasi zero atau konversi (convertion atau transposisi): GUNTING (Nom) ->GUNTING (V) secara otomatis dapat dibentuk gunting kain itu; Si Fulan menggunting kain itu;kain itu digunting oleh Si Fulan; kainnya kugunting, kainnya kaugunting, dan seterusnya.Leksem GUNTING dalam paradigma V memang secara otomatis/infleksional dapat dibentukmenjadi gunting (ikatannya!), menggunting, digunting, kugunting, kaugunting, dan seterusnya),dasar gunting termasuk verba. Sementara dalam hal lain [gunting (yang tajam itu mahal); (itubukan) gunting, guntingku (tajam), dan lain-lain], dasar gunting termasuk nomina. Leksem VGUNTING diturunkan dari Leksem Nom GUNTING dengan tanpa perubahan bentuk.

GUNTING (Nom) -> GUNTING (V I)4

(Amir membawa gunting,gunting yang tajam itu mahal,bukan gunting,guntingku)

(menggunting,digunting,kugunting,kaugunting)

Proses pembentukan dari leksem GUNTING -> V GUNTING serupa dengan yang terjadi dalamkata dasar bahasa Inggris water, misalnya I drink a glass of water, dalam kalimat ini water ‘air’sebagai Nom; sedangkan dalam kalimat I water the garden, water ‘mengairi’ sebagai verba.Oleh karena itu, pada pola terjadi perubahan derivasional Nom WATER (Nom) ‘air’ ->WATER (V) ‘menyiram’ dengan derivasi zero. Leksem WATER (V) secara otomatis dapatdibentuk menjadi waters, watered, watering, dan seterusnya, misalnya dalam kalimat he watersthe garden; he has watered the garden; he is watering the garden; perubahan bentuk itu hanyamenunjukkan sistem kala dan tidak mengubah kelas kata, atau makna leksikalnya sehinggadigolongkan sebagai proses infleksi.

Dalam bahasa Indonesia, V kategori D yang diderivasikan dari Nom kategori D denganderivasi zero memperlihatkan perilaku paradigmatis yang sama dengan V kategori D (terutamaV I) pada umumnya. Sebagai misal dapat diperhatikan dua paradigma berikut.

Paradigma V kategori D PETIK

B A C-PETIKI <- -PETIK (V) -> -PETIKKANmemetiki memetik memetikkandipetiki dipetik dipetikkankupetiki kupetik kupetikkankaupetiki kaupetik kaupetikkan

Page 26: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

135

Paradigma V kategori zero-D GUNTING

B A C-GUNTINGI <- -GUNTING (V) -> -GUNTINGKANmengguntingi menggunting mengguntingkandiguntingi digunting diguntingkankuguntingi kugunting kuguntingkankauguntingi kaugunting kauguntingkan

Tidak ada perbedaan paradigma pada pada verba D (PETIK) dan V hasil konversi dari D Nom(GUNTING). Perubahan bentuk dari V GUNTING -> V GUNTINGI, dan V GUNTING -> VGUNTINGKAN masing-masih merupakan pembentukan derivasional, sedangkan pembentukandari setiap leksem (tercetak kapital) itu ke bawah merupakan pembentukan infleksional. Padaumumnya konversi Nom -> V ini menghasilkan V I.

Pembentukan Nom -> V jelas menunjukkan proses derivasional karena terjadiperubahan kelas kata dari nomina menjadi verba (verba denomina). Data yang diperoleh dilapangan tentang V kategori zero-D yang dianggap berasal dari D Nom sebagai berikut:

1. Karena mendapat masalah, ia buru-buru menelepon suaminya.2. KPK memonitor seluruh gerak-gerik Nazarudin.3. Amir sudah bisa menyetrika bajunya sendiri.

Pada contoh-contoh kalimat di atas diperoleh V menelepon, memonitor, menyetrika. Masing-masing menunjuk pada leksem V TELEPON, MONITOR, dan SETRIKA. Dalam paradigmaverba leksem V TELEPON secara otomatis/infleksional dapat dibentuk menjadimenelepon/ditelepon/kutelepon/dan seterusnya. Secara derivasional dapat diturunkan menjadileksem TELEPONI (V), TELEPONKAN (V), PENELEPON (Nom), dan lain-lain. Hal yangsama terjadi pada pembentukan leksem Nom MONITOR -> V MONITOR dan leksem NomSETRIKA -> V SETRIKA. Leksem V MONITOR secara otomatis dapat dibentuk menjadimemonitor/dimonitor/kumonitor/dan seterusnya; Leksem V SETRIKA secara otomatis dapatdibentuk menjadi menyetrika/disetrika/kusetrika/ dan seterusnya. Pembentukan dari leksemNom TELEPON -> V TELEPON tidak melibatkan afiks apa pun, kecuali afiks zero, akan tetapidi dalam konteks tertentu dapat mengubah kelas kata dari Nom -> Verba.

Contoh lain dalam bahasa Indonesia yang merupakan pembentukan dari Nom menjadiV kategori zero-D sebagai berikut.

DONGKRAK (Nom)-> DONGKRAK (V) (dalam: dongkrak mobilnya!)GERGAJI (Nom) -> GERGAJI (V) (dalam: gergaji saja kayunya!)CANGKUL (Nom) -> CANGKUL (V) (dalam: cangkul dalam-dalam tanah itu!)BAJAK (Nom) -> BAJAK (V) (dalam: segera bajak sawahmu!)SETRIKA (Nom) -> SETRIKA (V) (dalam: seterika dulu bajumu yang lusuh itu!)TELEPON (Nom) -> TELEPON (V) (dalam: telepon orang tuamu sekarang!)SISIR (Nom) -> SISIR (V) (dalam: sisir rambut anakmu!)SENDOK (Nom) -> SENDOK (V) (dalam: mulailah sendok buburnya!)TAKAR (Nom) -> TAKAR (V) (dalam: takar berasnya untuk zakat!)PAHAT (Nom) -> PAHAT (V) (dalam: pahat saja kayunya!)GAMBAR Nom) -> GAMBAR (V) (dalam: gambar saja di kertas ini!)

Verba-berba yang dihasilkan dari proses ini adalah V transitif. Proses ini mewajibkan kehadirankonstituen argumen Nom atau frasa Nom di sebelah kanannya. Ini menunjukkan ciri yang samadengan verba kelas I seperti yang telah dikemukakan di atas. Data yang menunjukkanproduktivitas proses derivasional pembentukan Nom menjadi V kategori zero-D ini cukupbanyak. Nomina D yang dapat dibentuk menjadi V kategori zero-D sebagian besar Nom yangbereferensi dengan peralatan yang digunakan manusia pada umumnya. Walaupun demikian,tidak semua Nom yang bereferensi dengan peralatan mampu berubah menjadi leksem V dengan

Page 27: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Wakit Abdullah, D. Edi Subroto, Mulyanto

136

model zero-D, (pensil, sepeda, senapan, dan sebagainya). Atas dasar itu pula model zero-D dariD Nom menjadi V tidak terdapat secara teratur dan tidak teramalkan (unpredictable), sedangkansifat derivatifnya jelas ditunjukkan oleh adanya perubahan kelas kata dari Nom menjadi verba.

Verba-verba kategori zero-D yang dibentuk dari D Nom pada umumnya membentuk Vyang sama dengan V kelas I pada umumnya, yakni V yang mempunyai pasangan bentuk meng-D dan di-D. Verba kelas I berkedudukan sejajar dengan verba dasar yang transitif. Tidak semuaVTr adalah verba kelas I, karena terdapat verba kelas II yang ditransitifkan denganmembubuhkan afiks tertentu. Secara paradigmatis perilaku V kategori zero juga sama dengan Vkelas I, yakni secara otomatis dan teramalkan dapat dibentuk dengan afiks-afiks infleksional(meng-, di-, ku-, kau-). Selain kategori zero-D, verba-verba dari D Nom tidak dapat disejajarkandengan V kelas I karena tidak mempunyai bentuk pasangan kategori meng-D dan di-D.

Pembentukan menjadi V Kategori D-kan dari D Nom

Pembentukan menjadi V kategori D-kan dari D Nom ini sama sekali berbeda denganpembentukan menjadi V dari D Nom dengan derivasi zero. Jika pembentukan Nom cangkul -> Vcangkulkan harus melalui V cangkul (dengan derivasi zero), dalam kategori ini tidak demikian.Nomina-nomina dasar ini secara langsung membentuk V dengan melibatkan afiks {-kan}.

4. Gempa bumi menyebabkan bangunan-bangunan retak dan sebagian roboh.5. Ayah menghadiahkan sepedanya kepadaku.6. Saya perlu seorang konsultan untuk merencanakan pekerjaan ini.

Dalam kalimat di atas terdapat bentukan menjadi V kategori D-kan dari D Nom yaknimenyebabkan, menghadiahkan, dan merencanakan. Masing-masing adalah leksem VSEBABKAN, HADIAHKAN, dan RENCANAKAN. Leksem-leksem ini secara langsungdiderivasikan dari leksem Nom SEBAB, HADIAH, dan RENCANA. Perubahan leksem NomSEBAB -> V SEBABKAN merupakan pembentukan yang mengubah kelas kata. LeksemSEBAB adalah Nom dan SEBABKAN adalah verba. Leksem V SEBABKAN secara otomatisdapat dibentuk menjadi menyebabkan/disebabkan secara infleksional. Hal yang serupa terjadipada perubahan leksem Nom HADIAH -> V HADIAHKAN dan leksem Nom RENCANA -> VRENCANAKAN. Leksem HADIAHKAN secara otomatis dapat dibentuk menjadimenghadiahkan/dihadiahkan/kuhadiahkan. Leksem RENCANAKAN secara otomatis dapatdibentuk menjadi merencanakan/direncanakan/kurencanakan.

SEBAB (Nom) -> SEBABKAN (V)(menyebabkan/disebabkan)

HADIAH (Nom) -> HADIAHKAN (V)(menghadiahkan/dihadiahkan/kuhadiahkan)

RENCANA (Nom) -> RENCANAKAN (V)(merencanakan/direncanakan/kurencanakan)

Pembentukan menjadi V kategori D-kan dari D Nom ini menunjukkan proses morfologiderivasional karena mengubah kelas kata dari Nom menjadi V. Verba yang dimaksud adalahverba transitif.

Proses pembentukannya tidak seperti dari D Nom CANGKUL (dengan derivasi zero)berikut:

CANGKUL (Nom) -> CANGKUL (V, zero-D) -> CANGKULKAN (V)(mencangkul/dicangkul/ (mencangkulkan/dicangkulkan/kucangkul) kucangkulkan)

Verba kategori D-kan (cangkulkan) berasal dari DV kategori zero-D (cangkul), bukanberasal dari Nom secara langsung. Proses pembentukan derivasional V kategori D-kan (padacangkulkan dan sejenisnya) dapat diuraikan tersendiri dalam proses morfologi derivasional dariD V menjadi V.

Page 28: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

137

Contoh lain pembentukan menjadi V kategori D-kan dari D Nom sebagai berikut:

ARTI (Nom) -> ARTIKAN (V)BATAS (Nom) -> BATASKAN (V)GUNA (Nom) -> GUNAKAN (V)MANFAAT (Nom) -> MANFAATKAN (V)NASIHAT (Nom) -> NASIHATKAN (V)OBAT (Nom) -> OBATKAN (V)PAJAK (Nom) -> PAJAKKAN (V)TERNAK (Nom) -> TERNAKKAN (V)USAHA (Nom) -> USAHAKAN (V)RUMAH (Nom) -> RUMAHKAN (V)BUKU (Nom) -> BUKUKAN (V)HUTAN (Nom) -> HUTANKAN (V)

Nomina-nomina dalam kategori ini tidak dapat dibentuk menjadi V kategori zero-D. Namundemikian, jumlah nomina sejenis cukup banyak dan cukup produktif.

Pembentukan menjadi V Kategori D-i dari D Nom

Pembentukan menjadi V kategori D-i dari D Nom ini juga sama sekali berbeda denganpembentukan menjadi Verba dari D Nom dengan derivasi zero. Jika pembentukan Nom gunting-> V guntingi harus melalui V gunting (dengan derivasi zero, seperti yang telah disebutkan diatas), kategori ini tidak demikian. Sama dengan dalam kategori D-kan, nomina-nomina dasar inisecara langsung membentuk V dengan melibatkan afiks {-i}, misalnya terdapat Nom warna,obat, kulit, tetapi tidak terdapat V dengan derivasi zero *warna, *obat, dan *kulit. Artinya,nomina-nomina ini tidak dapat dibentuk menjadi V dengan derivasi zero. Berikut contohpembentukan dalam kategori ini.

7. Amir mewarnai gambarnya dengan cat air.8. Dokter sedang mengobati pasiennya.9. Adikku sedang asyik menguliti jeruk.

Dalam kalimat di atas terdapat bentukan menjadi V kategori D-i, yakni mewarnai, mengobati,dan menguliti. Masing-masing adalah leksem V WARNAI, OBATI, dan KULITI. Leksem-leksem ini secara langsung diturunkan dari leksem Nom WARNA, OBAT, dan KULIT.Perubahan leksem Nom WARNA -> V WARNAI merupakan pembentukan yang mengubahkelas kata. Leksem WARNA adalah Nom dan WARNAI adalah verba. Leksem V WARNAIsecara otomatis dapat dibentuk menjadi mewarnai/diwarnai/kuwarnai secara infleksional.Proses serupa terjadi pada perubahan leksem Nom OBAT -> V OBATI (secara otomatis dapatdibentuk menjadi mengobati/diobati/kuobati), dan leksem Nom KULIT -> V KULITI (secaraotomatis dapat dibentuk menjadi menguliti/dikuliti/kukuliti.

WARNA (Nom) -> WARNAI (VTr)(mewarnai/diwarnai/kuwarnai)

OBAT (Nom) -> OBATI (VTr)(mengobati/diobati/kuobati)

KULIT (Nom) -> KULITI (VTr)(menguliti/dikuliti/kukuliti)

Contoh lain yang sejenis:

BATAS -> BATASIHADIAH -> HADIAHINASIHAT -> NASIHATIOBAT -> OBATIRACUN -> RACUNI

Page 29: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Wakit Abdullah, D. Edi Subroto, Mulyanto

138

WARNA -> WARNAIKULIT -> KULITISEPATU -> SEPATUIBEDAK -> BEDAKISARUNG -> SARUNGI

Nomina-nomina yang dapat dibentuk menjadi V kategori D-i tidak dapat dibentuk secaralangsung menjadi V kategori zero-D. Nomina-nomina pada umumnya juga tidak dapatdibentuk menjadi V kategori D-kan, kecuali beberapa kata kata saja (sangat terbatas), misalnyabatasi, bataskan; nasihati, nasihatkan; hadiahi, hadiahkan.

Pembentukan dari D Nom menjadi V Kategori ber-D

Pembentukan derivasional dari D Nom menjadi V Kategori ber-D menyatakan ‘mengeluarkan/naik/memakai/mempunyai D’. Pembentukan derivasional ini melibatkan afiks {ber-}.

10. Itiknya bertelur setiap hari.11. Pak Jokowi bersepeda keliling kota untuk menyapa warganya.12. Para santri lebih senang berpeci putih daripada warna lainnya.13. Ia sudah bersuami.

Pada kalimat-kalimat di atas pembentukan derivasional dari D Nom menjadi V Kategori ber-Dditunjukkan V bertelur, bersepeda, berpeci, dan bersuami. Seperti V kategori ber-D padaumumnya, verba-verba ini juga merupakan verba intransitif, yakni verba yang tidak mewajibkanhadirnya konstituen objek di belakangnya. Pembentukan derivasional pada pembentukan di atasditunjukkan oleh perubahan Nom menjadi V, yakni leksem Nom TELUR -> V BERTELUR,Nom SEPEDA -> V BERSEPEDA, Nom PECI -> V BERPECI, Nom SUAMI -> BERSUAMI.Verba bertelur menyatakan ‘mengeluarkan telur’; bersepeda ‘naik sepeda’; berpeci‘memakai/mengenakan peci’, dan bersuami ‘mempunyai suami’.

Contoh lain yang sejenis dengan kasus ini:

SUARA -> BERSUARAKERETA -> BERKERETABAJU -> BERBAJUCELANA -> BERCELANASEPATU -> BERSEPATUTOPI -> BERTOPIBEDAK -> BERBEDAKSARUNG -> BERSARUNGDASI -> BERDASIKEBAYA -> BERKEBAYAUBAN -> BERUBANKUMIS -> BERKUMISJENGGOT -> BERJENGGOTSUAMI -> BERSUAMIISTRI -> BERISTRIBUAH -> BERBUAHBUNGA -> BERBUNGA

Berdasarkan data yang temukan, pembentukan derivasional dari D Nom menjadi V kategoriber-D termasuk cukup banyak.

Page 30: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

139

Pembentukan dari D Nom menjadi V Kategori meng-D

Pembentukan dari D Nom menjadi V Kategori meng-D menyatakan ‘berubah menjadi (seperti)D’. Pembentukan ini melibatkan afiks {meng-}. Verba kategori meng-D yang diderivasikan dariNom kategori D ini pada umumnya bersifat intransitif.

Verba hasil derivasi ini tidak menunjukkan perilaku yang sama dengan perilaku verbayang diderivasikan dari V (verba deverba). Verba yang diderivasikan dari verba lainnyamenghasilkan VTr, secara paradigmatis afiks {meng-} yang mendahuluinya dapat digantikansecara otomatis oleh afiks-afiks infleksi {di-, ku-, kau-, dia-} (misalnya V tunggu: menunggu,ditunggu, kutunggu), tetapi verba yang diderivasikan dari Nom ini tidak secara otomatis dapatdibentuk dengan afiks-afiks infleksi yang ada ({di-, ku-, kau-, dia-}). Sebagai misal V membatutidak dapat diganti menjadi *dibatu, *kubatu, *kaubatu. Demikian juga V menyemut danmeroket berikut.

14. Pepayanya sudah membatu di dalam kulkas, sudah keras.15. Warga mulai menyemut untuk mendatangi perayaan pernikahan agung itu.16. Menjalang Lebaran, harga sembako mulai meroket.

Pembentukan Nom BATU -> V MEMBATU merupakan pembentukan derivasional, yaknimengubah kelas kata Nom menjadi verba. Namun demikian, V MEMBATU hanya bersifatintransitif walaupun melibatkan afiks {meng-}. Verba membatu menyatakan ‘berubah menjadibatu’. Demikian pula yang terjadi pada V menyemut dan meroket pada contoh kalimat di atas.Verba menyemut ‘berperilaku seperti semut’ menunjukkan adanya proses derivasional leksemNom SEMUT -> V MENYEMUT, meroket ‘berubah menjadi seperti roket (naik)’ menunjukkanproses derivasional leksem Nom ROKET -> V MEROKET.

Perilaku Nom katagori D pembentuk V ini juga tidak sama dengan Nom kategori Dyang dapat dibentuk menjadi V dengan melalui konversi (derivasi zero). Pembentukan denganderivasi zero justru menghasilkan VTr yang perilakunya sama dengan verba lainnya (lihatsubbab Pembentukan menjadi V Kategori zero-D dari D Nom).

Contoh lain yang termasuk dalam kasus ini:

BATU (Nom) -> MEMBATU (V)KRISTAL (Nom) -> MENGKRISTAL (V)GUNUNG (Nom) -> MENGGUNUNG (V)SEMUT (Nom) -> MENYEMUT (V)BUKIT (Nom) -> MEMBUKIT (V)SERBUK (Nom) -> MENYERBUK (V)HUTAN (Nom) -> MENGHUTAN (V)ROKET (Nom) -> MEROKET (V)LAMBUNG (Nom) -> MELAMBUNG (V)

Pembentukan dari D Nom menjadi V Kategori meng-D juga menyatakan ‘bergerak keD/mencari D’.

17. Para nelayan biasanya melaut pada malam hari.18. Sebagian warga di sini biasa merotan di hutan.19. Peternak harus rajin merumput untuk memenuhi kebutuhan pakan ternaknya.

Pada kalimat di atas terdapat V Kategori meng-D yang dibentuk dari Nom kategori D, yaknimelaut, merotan, dan merumput. Verba-verba ini juga menunjukkan proses derivasional, yaknidari leksem Nom LAUT -> V MELAUT, Nom ROTAN -> V MEROTAN, dan Nom RUMPUT-> V MERUMPUT. Verba melaut menyatakan ‘bergerak (mencari) ke laut’, V merotan‘mencari rotan’, dan V rumput ‘mencari rumput’.

Page 31: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Wakit Abdullah, D. Edi Subroto, Mulyanto

140

Contoh lain yang termasuk dalam kasus ini:

LAUT (Nom) -> MELAUT (V)UDARA (Nom) -> MENGUDARA (V)DARAT (Nom) -> MENDARAT (V)ROTAN (Nom) -> MEROTAN (V)DAMAR (Nom) -> MENDAMAR (V)ANGKASA (Nom) -> MENGANGKASA (V)LANGIT (Nom) -> MELANGIT (V)RUMPUT (Nom) -> MERUMPUT (V)

Kebervariasian nosi yang dihasilkan oleh prefiks {meng-} yang dibubuhkan pada D Nommenunjukkan bahwa pembentukan dengan {meng-} tidak dapat diprediksi (unpredictable) ciriarti yang dihasilkan. Oleh karena itu, pembentukan ini termasuk dalam proses derivasional.Berdasarkan data yang ditemukan, pembentukan dari D Nom menjadi V kategori meng-Dbersifat terbatas dan kurang produktif.

Pembentukan dari D Nom menjadi V Kategori per-D

Pembentukan menjadi V kategori per-D dari Nom ini tidak terjadi secara langsung, tetapimelalui V kategori ber-D. Sebagai misal ditemukan V peristri dalam Peristri dia sebelum oranglain meminangnya. Verba peristri diderivasikan dari V beristri yang ditandai oleh perubahansubkelas kata menjadi VTr dari VIntr, dan V beristri secara langsung diderivasikan dari Nomistri.

20. Ia akan memperistri wanita itu.21. Dalam sinetron itu, si Welas suka memperalat suaminya.22. Dia mempersuami seorang pengusaha kaya.

Perubahan leksem Nom ISTRI -> V PERISTRI dibentuk melalui V BERISTRI. Leksem VPERISTRI sebagai VTr berperilaku sama dengan Verba lainnya. Dalam paradigma verbaPERISTRI secara otomatis dapat dibentuk menjadi memperistri/diperistri/kuperistri secarainfleksional, dan secara derivasional dapat dibentuk menjadi PERISTRIKAN(memperistrikan/diperistrikan).

ISTRI (NOM) -> BERISTRI (VINtr) -> PERISTRI (VTtr) (memperistri/diperistri)

Proses yang sama juga terjadi untuk V peralat dan persuami.

ALAT (NOM) -> BERALAT (VINtr) -> PERALAT (VTtr)(memperalat/diperalat)

SUAMI (NOM) -> BERSUAMI (VINtr) -> PERSUAMI (VTtr) (mempersuami/dipersuami)

Berdasarkan data yang ditemukan, pembentukan dari D Nom menjadi V Kategori per-D bersifatterbatas dan tidak produktif.

Pembentukan dari D Nom menjadi V Kategori per-D-kan

Pembentukan menjadi V kategori per-D-kan dari Nom ini juga tidak terjadi secara langsung,tetapi melalui V kategori ber-D dan per-D. Sebagai misal ditemukan V peristrikan (Iamemperistrikan anaknya dengan gadis tetangganya) (baca: leksem V PERISTRIKAN) yangsecara otomatis dapat dibentuk menjadi memperistrikan/diperistrikan.

ISTRI (Nom) -> BERISTRI (VIntr) -> PERISTRI (VTr) -> PERISTRIKAN (VBitr) (memperistrikan)

Berdasarkan data yang ditemukan, pembentukan dari D Nom menjadi V kategori per-D-kanbersifat terbatas dan tidak produktif.

Page 32: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

141

Pembentukan dari D Nom menjadi V Kategori ber-D-kan

Pembentukan menjadi V kategori ber-D-kan dari Nom ini tidak terjadi secara langsung, tetapimelalui V kategori ber-D. Sebagai misal ditemukan V beristrikan. Verba beristrikandiderivasikan dari V beristri yang ditandai oleh perubahan subkelas kata menjadi VTr <- VIntr,dan V beristri secara langsung diderivasikan dari Nom istri.

23. Ia beristrikan teman sekantornya.24. Orang itu bersuamikan seorang pejabat.

Perubahan bentuk leksem Nom ISTRI -> V BERISTRIKAN melibatkan afiks {ber—kan},tetapi pembentukan ini diduga melalui leksem V BERISTRI lebih dahulu. Demikian juga Vbersuamikan, perubahannya dari Nom suami diperkirakan melalui V bersuami. Kehadiransufiks {-kan} memberi kesan transitif pada V yang mewajibkan kehadiran Nom/frasa Nom dibelakang V walaupun hanya berfungsi sebagai komplemen/pelengkap, misalnya temansekantornya pada beristrikan teman sekantornya, atau seorang pejabat pada bersuamikanseorang pejabat dalam contoh kalimat di atas.

Contoh lain yang termasuk dalam kasus ini:

ISTRI (Nom) -> BERISTRI (VIntr) -> BERISTRIKAN (VTr)SUAMI (Nom) -> BERSUAMI (VIntr) -> BERSUAMIKAN (VTr)SENJATA (Nom) -> BERSENJATA (VIntr) -> BERSENJATAKAN (VTr)ALAT (Nom) -> BERALAT (VIntr) -> BERALATKAN (VTr)ATAP (Nom) -> BERATAP (VIntr) -> BERATAPKAN (VTr)

Berdasarkan data yang ditemukan, pembentukan dari D Nom menjadi V Kategori ber-D-kanbersifat terbatas dan tidak produktif.

Pembentukan dari D Nom menjadi V Kategori ter-D

Pembentukan menjadi V kategori ter-D dari D Nom melibatkan afiks {ter-}. Afiks ini berfungsimembentuk VIntr yang juga disebut sebagai verba keadaan (state verb). Verba-verba hasilpembentukan ini pada umumnya mempunyai nosi ‘tidak diharapkan, tidak dapat dihindari, atautidak menyenangkan’.

25. Beberapa orang terluka akibat ulah suporter sepak bola.26. Posisinya sudah tersudut, ia sudah tidak bisa mengelak lagi dari tuduhan.27. Tampaknya ia benar-benar merasa terpojok atas ulah anaknya yang nakal.

Dalam kalimat di atas terdapat bentukan menjadi V kategori ter-D dari D Nom yakni terluka,tersudut, terpojok. Masing-masing adalah leksem baru yang diturunkan dari D Nom LUKA,SUDUT, dan POJOK. Perubahan leksem LUKA (Nom) -> TERLUKA (V) merupakanpembentukan yang mengubah kelas kata. Leksem LUKA berkelas Nom, dan TERLUKAberkelas V. Perubahan kelas kata juga terjadi pada pembentukan dari leksem SUDUT (Nom) ->TERSUDUT (V) dan POJOK (Nom) -> TERPOJOK (V). Verba-verba yang dimaksud sebagaibentukan itu adalah verba keadaan.

Nomina-nomina dasar yang terjadi dalam kasus ini tidak mempunyai potensi dalampembentukan melalui derivasi zero. Afiks {ter-} yang dapat dibubuhkan dalam pembentukan Vkategori zero-D merupakan bentuk-bentuk yang kemunculannya dapat diramalkan (predictable)atau bersifat infleksional seperti halnya kemunculan afiks-afiks {meng-, di-, ku-, kau-}. Hal ituterjadi karena dalam kategori zero-D, misalnya leksem GUNTING (Nom) akan dapat dibentukmenjadi GUNTING (V) (misal: gunting kainnya!). Bentukan GUNTING (V) berciri transitifdan secara otomatis dapat dipredikasikan kemunculan menggunting, digunting, kugunting,kaugunting, tergunting. Hal itu menunjukkan bahwa prefiks {ter-} pada tergunting dapatdiprediksikan pembentukannya, karena gunting berasal dari V yang diperoleh dari gunting(Nom) melalui proses zero-D. Hal itu tidak akan terjadi pada kasus LUKA (Nom) karena

Page 33: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Wakit Abdullah, D. Edi Subroto, Mulyanto

142

LUKA (Nom) tidak akan dapat dibentuk menjadi *LUKA (V) (tidak ada bentuk-bentuk*meluka, *diluka, *kuluka, *kauluka, *terluka dari “V” ini karena tidak mempunyai ciri transitifseperti halnya pada bentukan pada V kategori zero-D). Demi kejelasannya dapat dilihatperbandingan proses berikut.

Verba terluka dibentuk dari LUKA (Nom) secara langsung tanpa melalui leksem V*LUKA. Verba TERLUKA adalah leksem baru (bersifat derivasional). Demikian pulaTERSUDUT dan TERPOJOK.

LUKA (Nom) -> TERLUKA (VIntr)SUDUT (Nom) -> TERSUDUT (VIntr)POJOK (Nom) -> TERPOJOK (VIntr)

Verba tergunting dibentuk dari GUNTING (Nom) melalui leksem GUNTING (V),pembentukannya bersifat inflektif.

GUNTING (Nom) -> GUNTING (VTr)(inflektif: menggunting, digunting, tergunting)

IKAT (Nom) -> IKAT (VTr)(inflektif: mengikat, diikat, terikat)

PUKUL (Nom) -> PUKUL (VTr)(inflektif: memukul, dipukul, terpukul)

Proses pembentukannya menjadi V kategori ter-D dari D Nom juga terjadi pada kata terbayang,ternama, terwujud, dan terbatas. Mereka merupakan leksem V baru yang intransitif, namunmemiliki nosi yang berbeda. Secara kategorial bentukan itu berbeda dari dasarnya.Pembentukan semacam ini sangat terbatas dan tidak produktif.

Pembentukan dari D Nom menjadi V Kategori ke-D-an

Pembentukan menjadi V kategori ke-D-an dari D Nom melibatkan konfiks {ke-/-an}. Konfiksini berfungsi membentuk VIntr yang mirip dengan {ter-} yakni verba keadaan (state verb),namun menghendaki kehadiran komplemen setelah V yang bersangkutan. Verba-verba hasilpembentukan ini sebagian besar mempunyai nosi ‘tidak disengaja, tidak dapat dihindari’.

28. Beberapa orang keracunan setelah menyantap makanan di pesta itu.29. Artis sinetron yang terkenal itu ternyata kecanduan narkoba.30. Warga yang ketempatan pendatang baru harus melapor ketua RT.

Dalam kalimat di atas terdapat bentukan menjadi V kategori ke-D-an dari D Nom yaknikeracunan, kecanduan, dan ketempatan. Masing-masing adalah leksem baru dari D NomRACUN, CANDU, dan TEMPAT. Leksem RACUN (Nom) -> KERACUNAN (V) merupakanpembentukan yang mengubah kelas kata dari Nom menjadi V. Demikian pula pembentukanyang mengubah kelas kata itu terjadi pada CANDU (Nom) -> KECANDUAN (V) danTEMPAT (Nom) -> KETEMPATAN (V). Nomina-nomina yang dapat menjadi dasarpembentukan ini sangat terbatas.

Afiks {ter-} dan konfiks {ke-/-an} yang diterapkan pada D Nom sama-samamembentuk V keadaan. Namun, kedua afiks itu tidak dapat saling menggantikan dalammembentuk V dari D Nom. Nomina dasar yang dapat dibubuhi prefiks {ter-} tidak serta mertadapat dibubuhi {ke-/-an}, sebaliknya D Nom yang dapat bergabung dengan {ke-/-an} juga tidakdapat bergabung dengan {ter-}.

POJOK (Nom) -> TERPOJOK (V)-> *KEPOJOKAN

SUDUT (Nom) -> TERSUDUT (V)-> *KESUDUTAN

Page 34: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

143

RACUN (Nom) -> ?TERACUN-> KARACUNAN (V) (keracunan makanan)

TEMPAT (Nom) -> *TERTEMPAT-> KETEMPATAN (V) (ketempatan pengungsi)

Prefiks {ter-} pada ?TERACUN seakan-akan berterima, tetapi leksem itu tidak semata-matamerupakan hasil pembentukan secara infleksional dari RACUN (V) (*racun tikusnya!)(*meracun, *diracun, *kauracun, *diaracun, *teracun) yang dibentuk dari D Nom melaluizero-D. Dalam bahasa Indonesia tidak ada leksem RACUN sebagai VTr, yang ada adalahRACUNI (VTr) (racuni tikusnya!) yang menghasilkan bentuk-bentuk infleksional (racuni,meracuni, diracuni, kauracuni, diaracuni, teracuni). Leksem RACUNI (V) dibentuk darileksem RACUN (Nom) sebagai tipe D-i. Perilaku yang sama terjadi pada TEMPAT (Nom) ->TEMPATI (VTr) (tempati, menempati, ditempati, kautempati, diatempati, tertempati). Olehkarena itu, prefiks {ter-} pada teracuni dan tertempati merupakan afiks infleksional dari VTr(racuni dan tempati).

Verba keadaan yang dibentuk oleh konfiks {ke-/-an} pada D Nom cenderung memilikinilai transitif dibandingkan dengan {ter-}. Konfiks {ke-/-an} seakan-akan menuntut kehadiranargumen (Nom/frasa Nom) walaupun tidak semuanya memiliki perilaku yang sama. Dapat jugadikatakan bahwa konfiks {ke-/-an} pada D Nom membentuk V semi transitif. Argumen yangmengikutinya bersifat mana suka/bisa dihilangkan dalam konteks tertentu, misalnya beberapaanak dibawa ke rumah sakit karena keracunan. Namun demikian, penghilangan argumen dibelakang V itu mengakibatkan ketidaklengkapan informasi kalimat yang ada.

Pembentukan dari D Nom menjadi V Kategori ber-D-an

Pembentukan dari D Nom menjadi V kategori ber-D-an melibatkan konfiks {ber-/-an}. Dalamkasus ini konfiks {ber-/-an} berfungsi membentuk Nom menjadi V dengan nosi‘resiprok/saling’. Hubungan kesalingan itu ditunjukkan oleh wajib munculnya argumen jamak(Nom/frasa Nom) untuk mengisi peran pelaku/pengalam lebih dari satu.

31. Rumah orang tuaku berseberangan dengan kantor pajak.32. Kami berjalan bersampingan.

Kata berseberangan dan bersampingan dalam kedua kalimat di atas adalah V yang dibentuksecara langsung dari Nom dengan afiks {ber-/-an}. Leksem SEBERANG (Nom) dibentukmenjadi BERSEBERANGAN (V) dan SAMPING (Nom) dibentuk menjadi BERSAMPINGAN(V). Perubahan kelas kata yang terjadi menunjukkan adanya proses derivasional.

SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, pembentukan menjadi V atas dasar Nom dapat disimpulkan sebagaiberikut:1. Semua leksem V yang dibentuk atas dasar Nom bersifat derivasional, mengingat

pembentukan itu mengakibatkan perubahan kelas kata dari Nom menjadi V.2. Verba-verba yang dibentuk atas dasar Nom dengan proses afiksasi terbagi menjadi beberapa

tipe, yakni V tipe zero-D, V tipe D-kan, V tipe D-i, V tipe ber-D, V tipe meng-D, V tipe per-D, V tipe per-D-kan, V tipe ber-D-kan, V tipe ter-D, V tipe ke-D-an, dan V tipe ber-D-an.

3. Verba-verba tipe zero-D yang dibentuk dari D Nom membentuk V yang setipe dengan Vkelas I, yakni V yang mempunyai pasangan bentuk meng-D dan di-D atau berkedudukansejajar dengan verba dasar yang transitif. Tidak semua VTr adalah verba kelas I, karenaterdapat verba kelas II yang ditransitifkan dengan membubuhkan afiks tertentu. Secaraparadigmatis perilaku V kategori zero juga sama dengan V kelas I, yakni secara otomatis danteramalkan dapat dibentuk dengan afiks-afiks infleksional (meng-, di-, ku-, kau-, ter-.).Selain kategori zero-D, verba-verba dari D Nom tidak dapat disejajarkan dengan V kelas Ikarena tidak mempunyai bentuk pasangan kategori meng-D dan di-D.

Page 35: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Wakit Abdullah, D. Edi Subroto, Mulyanto

144

4. Verba tipe D-kan dan D-i yang berasal dari D Nom langsung membentuk V transitif karenapelibatan afiks {–kan} atau {-i} itu. Verba tipe ber-D dari D Nom membentuk V intransitif.Verba tipe meng-D dari D Nom juga membentuk V intransitif. Verba tipe per-D tidak terjadisecara langsung, tetapi melalui ber-D. Sedangkan pembentukan yang lain dengan pelibatanafiks {–kan} dan {–i} membentuk V itu menambah ketransitivan V yang bersangkutan.

5. Verba tipe ter-D yang berasal dari D Nom berupa V keadaan dengan nosi ‘tidak diharapkan’.Dasar Nom yang dimaksud dalam kasus ini bukan D Nom yang dapat dibentuk menjadi Vdengan derivasi zero. Verba keadaan juga dapat dibentuk dari D Nom menjadi V tipe ke-D-an. Verba ke-D-an dari D Nom cenderung memiliki nilai transitif dibandingkan dengan tipeter-D.

CATATAN1. Penulis berterima kasih kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk

perbaikan makalah ini. Wakit Abdullah dan D. Edi Subroto adalah dosen Fakultas Sastra dan SeniRupa UNS; Mulyanto, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Makalah ini adalah nukilan dari hasil penelitian “Penataan Kembali Morfologi Bahasa Indonesiadengan Perspektif Baru (Derivasional dan Infleksional) Proses Afiksasi, Reduplikasi, dan Komposisi”yang dilakukan penulis pada tahun 2011. Penelitian ini dibiayai oleh DP2M Dikti, Kemendikbud,pada tahun 2011, difokuskan pada pembentukan dengan proses afiksasi. Di dalam penelitian tersebutdiperoleh kaidah dan seluk-beluk proses morfologi derivasional dan infleksional dalam bahasaIndonesia, termasuk di dalamnya proses pembentukan menjadi verba (selanjutnya: V) dari berbagaidasar kelas kata. Proses morfologi derivasional pembentukan V dari dasar nomina (Nom) termasukdalam salah satu kajian yang pelik dari penelitian tersebut

2. Penulisan (kelompok) kata dengan huruf kapital secara keseluruhan menunjukkan leksem.3. Dinyatakan oleh Subroto (1987) bahwa berkaitan dengan konversi, kategori kata yang arti leksikalnya

atau devinisinya tergantung pada kategori lain dianggap sebagai hasil, misalnya kata gambar (V)dalam gambar rumah itu! berarti ‘perintah membuat gambar...., maka ia tergolong hasil, sedangkangambar (Nom) sebagai dasar. Valensi sintaksis yang dimaksud adalah konteks kalimat yang dapatmenunjukkan suatu kategori kata itu termasuk nomina atau verba.

4. Verba bahasa Indonesia dalam penelitian ini dibedakan atas verba kelas I (V I) dan verba kelas II (VII). Verba kelas I (V I) adalah kategori verba yang ditandai oleh adanya kategori meng-D yangberpasangan dengan di-D (contoh: pukul -> memukul berpasangan dengan dipukul). Verba kelas IItidak ditandai oleh hadirnya kategori meng-D yang berpasangan dengan di-D sekalipun barangkaliditandai oleh adanya bentuk meng-D (misalnya: hilang -> menghilang, tetapi tidak ada pasanganhilang -> *dihilang).

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M. Moeliono. 1993. TataBahasa Buku Bahasa Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Balai Pustaka.

Aronoff, Mark and Kirsten Fudeman. 2005. What is Morphology? Malden: BlackwellPublishing.

Bauer, Laurie. 1983. English Word Formation. Cambridge: Cambridge University Press.

Beard, Robert. 2001. “Derivation.” Dalam: Spencer, Andrew dan Anold M. Zwicky (ed.), 24-38.

Dardjowidjojo, Soenjono (ed.). 1996. Bahasa Nasional Kita: Dari Sumpah Pemuda ke PestaEmas Kemerdekaan 1928—1995. Bandung: Penerbit ITB Bandung.

Fromkin, V. R Rodman, dan N Hyams. 2007. An Introduction to Language. Bolton: Thomson,Wads-wooth.

Page 36: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

145

Hamid, Zulkifley, Rahim Aman, Karim Harun, dan Maslida Yusof (ed.). 2005. Prosiding:Seminar Antarbangsa Linguistik Melayu (Salimo 5). Malaysia: Pusat PengkajianBahasa, Kesusastraan, dan Kebudayaan Melayu Fakulti Sains Sosial dan KemanusiaanUniversiti Kebangsaan Malaysia.

Katamba, Francis. 1994. Morphology. London: The Macmillan Press.

Lyons, John. 1968. Introductions to Theoretical Linguistics. Cambridge: Cambridge UniversityPress.

Marchand. 1969. The Categories and Types of Present-Day English Word Formation, ASynchronic-diachronic Approach (2nd Edition). Munchen: Beck.

Matthews, P.H. 1974. Morphology: An Introduction to The Theory of Word-Structure.Cambridge: Cambridge University Press.

Nida, Eugene A. 1949. Morphology: The Descriptive Analysis of Word (Second Edition). AnnArbor: The University of Michigan Press.

Ramlan. 1978. “Kata Verbal dan Proses Verbalisasi dalam Bahasa Indonesia.” LaporanPenelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada.

Scalise, Sergio. 1984. Generative Morphology. Dordrecht-Holland: Foris Publication.

Spencer, Andrew dan Anold M. Zwicky (ed.). 2001. The Handbook of Morphology. MaldenMassachusetts: Blackwell Pubisher.

Subroto, D. Edi. 1985. Transposisi dari Adjektiva Menjadi Verba dan Sebaliknya dalam BahasaJawa. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Subroto, D. Edi. 1987. “Derivasi dan Infleksi: Kemungkinan Penerapannya dalam MorfologiBahasa Indonesia.” Linguistik Indonesia, 51-61.

Subroto, D. Edi. 1992. Pengantar Metode Penelitian Struktural. Surakarta: Sebelas MaretUniversity Press.

Subroto, D. Edi. 1996. “Konsep Leksem dan Upaya Pengorganisasian Kembali Lema danSublema Kamus Besar Bahasa Indonesia.” Dalam: Dardjowidjojo (ed.), 270-272.

Subroto, D. Edi. 2005. “Pembentukan Kata Derivasional dari Nomina Menjadi Verba danNomina Lain dalam Bahasa Indonesia.” Dalam: Hamid, Z, dkk. (ed.), 12-22.

Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress.

Page 37: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Agustus 2012, 147-165 Tahun ke-30, No. 2Copyright©2012, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

KELEMAHAN FONOLOGIS EJAAN BAHASA INDONESIA YANGDISEMPURNAKAN

I Wayan Pastika*Universitas Udayana

[email protected]

Abstrak

Sistem penulisan sebagian kosakata bahasa Indonesia perlu disempurnakan untukmendapatkan bentuk yang lebih berterima, baik dari segi linguistik maupun dari segipenuturnya. Sistem penulisan yang dianggap bermasalah:(i) gugus konsonan yangmelampaui batas sistem fonotaktik bahasa Indonesia, baik di posisi koda maupun diposisi onset; (ii) morfem yang mengandung satu huruf yang melambangkan dua bunyiatau dua fonem, dan (iii) kosakata yang digunakan secara bersaing karena persainganantara kebenaran proses morfofonologis dan kebiasaan penutur. Pendekatan TataBahasa Generatif diterapkan untuk menjelaskan ketiga permasalahan tersebut,sementara data dikumpulkan dari sumber tertulis dan lisan.

Kosakata bahasa Indonesia yang mengandung suku kata dengan gugus duaatau tiga konsonan pada koda atau onset merupakan serapan dari bahasaasing.Gugus konsonan semacam itu harus tunduk pada pola fonotaktik bahasaIndonesia agar tidak terjadi interferensi. Dalam masalah pelambangan bunyi, duafonem vokal /e/ dan /ə/ sudah saatnya dilambangkan berbeda secara ortografis agarciri pembedanya jelas. Di dalam makalah ini diusulkan huruf é melambangkan /e/,sementara huruf e untuk /ə/. Dalam penulisan kata-kata turunan yang mengalamiproses morfofonemik (meng +per(MORFEM DASAR)), harus ada kejelasan soalproses perubahan bunyinya. Pertimbangan yang dipilih mestinya proses obstruen (/p/)dari per- mengasimilasi nasal ng /ŋ/dari meng- tanpa diikuti oleh pelesapan obstruen(/p/) karena obstruen tersebut adalah bagian dari prefiks per-.Dalam kaidah bahasaIndonesia yang telah diterima oleh penutur sejak lama dibedakan antara morfem dasarberprefiks dan morfem dasar tidak berprefiks. Konsonan obstruen yang merupakanbagian dari prefiks tidak dapat dilesapkan, sementara obstruen yang bukan merupakanprefiks dapat dilesapkan setelah asimilasi nasal.

Kata kunci: gugus konsonan, fonem, morfofonologis

Abstract

The spelling system for some groups of Indonesian words need to be improved inorder to be more acceptable for the linguistic perspective and the speaker sense. Thereare three problems of the spelling system faced so far in Indonesian: (i) number ofconsonant clusters that are not part of the Indonesian syllabic system; (ii) somephonemic symbols do not exhibit the phonemic representation; and (iii) some pairs ofwords are used competitively based upon morphophonological rules and the speakerperception.The Generative approach is applied to exprore the three reseach problemsof this paper, while data are gathered from writen and spoken resources.

Indonesian words that consist of syllables with cluster of two or threeconsonants in the coda or onzet are borrowing. They should be adapted with thesyllabic system or the phonotactic rules of the language in order to avoid foreignstructural interference. In the problem of phonemic symbols, there are someinconsistency of using the phonem /e/ and /ə/ that are both orthographically writtenwith the same: e. This paper proposes the symbol é to represent /e/, while the symbol eis used to represent /ə/. The morphophonemic process (of meng + per-(VERBALBASES) where per- is suspected to be prefix should assimilate the ng of meng- withoutbeing followed by the deletion of the obstruent (/p/). Indonessian grammar treatsdifferently the base forms that are attched by prefix and those that occur without prefix.

Keywords: consonant clusters, phoneme, morphophonology

Page 38: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

I Wayan Pastika

148

PENDAHULUAN

Sistem penulisan sebagian kosakata bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat bIn ) perludisempurnakan mengingat adanya kerancuan dalam sistem fonotaktik, pelambangan fonem, danmorfofonemiknya. Secara khusus, kerancuan itu dapat dipilah menjadi tiga unsur: (i)terdapatnya unsur serapan dari bahasa asing yang tidak mengikuti sistem bIn tetapi mengikutisistem bahasa asalnya, (ii) lambang fonetik belum dimanfaatkan secara maksimal untukmeningkatkan ketepatan ejaan, misalnya, banyaknya pilihan huruf yang belum dimanfaatkanuntuk melambangkan berbagai bunyi fonemik yang berbeda, (iii) tidak taat azasnya kaidahgramatikal, khususnya menyangkut aspek fonologis dan morfologis dalam penerapan ejaan.Tiga permasalahan di atas sangat penting dibahas dalam makalah ini agar ditemukan sistemejaan bIn yang sepenuhnya mencerminkan ciri bahasa Indonsia. Ciri bIn merupakan salah satubentuk jatidiri kebudayaan kita yang patut dibanggakan sebagai milik bangsa. Namun,pernyataan itu bukan dimaksudkan untuk menolak pengaruh bahasa lain, baik bahasa daerahmaupun bahasa asing. Penyerapan kosakata atau istilah dari luar bIn tetap diperlukan untukmemperkaya perbendaharaan kata sehingga bIn memiliki kemampuan yang memadai dalammengungkapkan segala aspek kehidupan. Namun, sistem ejaan dari unsur serapan tersebut mestidisesuaikan dengan sistem ejaan bIn .

Salah satu ciri bIn adalah bentuk penyukuan yang tidak mengenal adanya guguskonsonan di pinggir suku baik pada posisi onset maupun koda. Sampai saat ini kata-kataserapan, khususnya dari bIng, yang diserap ke dalam bIn dimodifikasi pada unsur bunyi vokaldan secara acak pada gugus konsonan di posisi koda. Apabila kata serapan tersebut berisi guguskonsonan, khususnya pada onset dan koda, maka gugus konsonan tersebut selama ini tidakdisesuaikan dengan sistem ejaan bahasa kita atau tidak disesuaikan dengan ciri pelafalan bIn.Penyesuaian sistem penyukuan yang merupakan ciri bIn mesti dilakukan sepanjang katatersebut tidak menjadi lebih dari tiga suku. Alisjahbana sendiri telah mengusulkan sistempenyukuan semacam itu sejak awal tahun 1970-an,1 sepanjang kata itu tidak menjadi lebih daritiga suku.

Data kosakata bIn yang disajikan dalam makalah ini bersumber dari Kamus BesarBahasa Indonesia Edisi I (1988, selanjutnya disingkat KBBI I) dan Edisi IV (KBBI IV 2008),penelusuran Google, dan dikumpulkan sendiri dari kegiatan berbahasa sehari-hari baik tulisan(media cetak: koran Bali Post, koran DenPost, dan Kompas) maupun lisan (acara-acara televisinasional).

Perubahan sistem penulisan terhadap kelompok kata yang diusulkan di sini, apabiladiterapkan, tentunya akan membawa konsekuensi pada masyarakat, misalnya, ada kesulitanpada tahap awal untuk beralih pada sistem penulisan yang baru. Namun, suatu perubahan sistemejaan tidak bisa dihindari apabila sistem yang dihasilkan lebih berterima, baik dari aspeklinguistik maupun budaya. Perubahan sistem ejaan bIn (yang telah berlangsung sebanyak tigakali) tentunya pula didasarkan atas pertimbangan bahwa perlunya sistem ejaan yang lebihmemenuhi sistem linguistik yang merupakan identitas bahasa Melayu/Indonesia.

Ejaan bIn telah berubah sebanyak empat kali: Ejaan van Ophuysen (1901) sebagaisistem ejaan yang pertama, Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik (1947), Ejaan Melindo (yangmerupakan hasil kesepakatan penggunaan ejaan bersama antara Malaysia dan Indonesia, 1959)menggantikan Ejaan Republik, dan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (1972)sebagai ejaan yang kita warisi sampai sekarang menggantikan Ejaan Melindo (PusatPembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997).2

Kerangka teori linguistik yang mendasari analisis data dalam tulisan ini adalah TataBahasa Generatif (Chomsky and Halle 1968, Schane 1973, Kenstowicz 1994, Gussmann 2002)terutama konsep tentang ciri-ciri pembeda (distinctive features), proses-proses fonologis(phonological processes), kaidah-kaidah fonologis (phonological rules), dan kaidah-kaidahberurutan (ordering rules).

Page 39: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

149

DERET DAN GUGUS KONSONAN

Deret konsonan adalah rangkaian konsonan yang dibolehkan dalam satu morfem, sementaragugus konsonan merupakan rangkaian konsonan yang dibolehkan dalam satu suku kata. Soalgugus konsonan yang terjadi dalam bIn disebutkan dalam Pedoman Umum PembentukanIstilah (1980). Hanya saja dalam Pedoman tersebut tidak dijelaskan mengapa gugus konsonan diposisi akhir kata saja yang diatur. Dalam Pedoman itu juga tidak dijelaskan mengapa guguskonsonan tertentu dipertahankan sementara gugus konsonan yang lain disesuaikan. Adaketidakajegan prinsip yang diterapkan dalam Pedoman tersebut. Dalam salah satu prinsipnyadisebutkan: ... unsur asing yang pengucapannya dan penulisannya disesuaikan dengan kaidahbahasa Indonesia. Dalam hal ini diuasahakan agar ejaan asing hanya diubah seperlunya sehinggabentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya. (h. 29)

Gugus Konsonan di Awal Suku KataPenentu kebijakan kebahasaan dan juga penutur bIn hendaknya tetap mempertahankan keaslian

pola persukuan yang dimiliki, yakni (i) V di awal suku: a.ku, (ii) VK: pu.as, (iii) KV: ki.ta,

dan (iv) KVK: cam.pur. Alisjahbana (1977:189) telah mengingatkan kita bahwa sifat asli bIn(yang merupakan anggota rumpun Melayu-Polinesia) adalah, salah satunya, terlihat pada polapersukuannya yakni suatu pola persukuan yang tidak mempunyai gugus konsonan (consonantclusters) baik di posisi onset maupun koda. Hal ini berbeda dengan pola persukuan bahasa-bahasa Indo-Eropah, salah satunya bIng, yang memiliki gugus konsonan pada posisi koda atauonset. Namun, pada tingkat kata deret dua atau tiga konsonan merupakan bagian dari rangkaianyang dibolehkan: mantap, ambruk, amblas, dan seterusnya.

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (disingkat EyD, 1972),Pedoman Umum Pembentukan Istilah (1980), dan Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi I(Moeliono, dkk. 1988) dan Edisi III (Alwi, dkk. 2003) tampaknya mengabaikan pola suku aslibIn terutama pola gugus konsonan onset dan koda. Gugus konsonan semacam itu terdapat padakosakata serapan dari bahasa asing tanpa menasionalisasi sistem persukuannya. Kata-kata yangdibentuk dari gugus konsonan (tiga atau empat konsonan) di posisi onset mestinyadisederhanakan dengan penyisipan vokal di antara gugus konsonan tersebut. Gugus tigakonsonan di awal suku mestinya tidak dibolehkan karena bIn menganut pola satu konsonan diawal suku. Untuk menghindari terjadinya gugus konsonan diperlukan bunyi vokal sebagai unsursonoritas. Dalam bIn /Melayu bunyi pelancar itu diwakili oleh bunyi kendur atau bunyi lemahvokal pepet [ə]. Bunyi ini dipilih mengingat fonem vokal /ə/ termasuk bunyi yang lemah secaraakustik dan artikulatoris sehingga selalu menjadi bunyi penyisip di antara dua konsonan dalambIn /Melayu. Di pihak lain, deret dua konsonan di tengah morfem (yang dapat dipisahkanmenjadi onset dan koda) harus tetap dipertahankan mengingat masing-masing konsonan itu akanterpisah dalam penyukuan, sehingga sebuah onset atau koda dalam satu suku tetap saja diisi olehsatu konsonan.

Dalam Bahasa Melayu di Malaysia, Singapura, dan Brunei tampaknya kaidahpenyukuan yang merupakan ciri asli bahasa Melayu lebih taat azas diterapkan. Dalam bahasa

ini, nama tempat Prancis ditulis Perancis, bukan ditulis Prancis, seperti halnya dalam bIn(bandingkan KBBI IV 2008 dan Kamus Inggeris-Melayu Dewan: An English-Malay Dictionary2002).

Jika sistem fonotaktik berdasarkan kaidah fonologis diikuti, maka kata bersuku dua atau

tiga yang berasal dari bahasa asing atau bahasa daerah, misalnya, publik mesti disukukan

sebagai pu.blik, bukan pub.lik sepert yang diatur dalam EyD (1997:18). Jeda atau kesenyapanfonetis terjadi di antara /u/ dan /b/; bukan di antara /b/ dan /l/. Meskipun akibat penerapan sistemfonotaktik yang benar ini menimbulkan gugus konsonan pada onset suku kedua /blik/. Struktursukunya dapat digambarkan berikut:

Page 40: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

I Wayan Pastika

150

bukan:

Diagram (1) di atas lebih dapat diterima karena rangkaian konsonan /bl/ berada dalamsatu simpai (node), sementara /bl/ pada bagan (2) berada pada simpai yang terpisah. Rangkaiankonsonan /bl/ berada pada satu simpai karena jeda pemilahan suku terjadi antara vokal /u/ dankonsonan /b/ yang berdampak pada terjadinya kesatuan sonoritas antara /b/ dan /l/. Oleh karenaitu, /b/ bukanlah koda dari suku pertama melainkan onset suku kedua yang menyatu dengan /l/sehingga onset semacam ini dapat disebut sebagai onset rangkap atau onset kompleks. Disamping persoalan suprasegmental, secara segmental /l/ adalah bunyi nyaring mirip vokalsehingga keduanya bercirikan [+sonoran] dan [+suara] yang potensial sebagai inti suku (nuclei),

seperti yang terjadi pada kata little [lItl] ‘kecil’ dalam bIng; suku kedua (/tl/) tanpa vokalsebagai inti suku, tetapi inti suku itu digantikan oleh /l/ yang berciri [+silabik] sebagai ciriutama pada suku tersebut dan berciri [+sonoran, +suara, +malar] sebagai ciri penunjang. Ciri[+silabik] ini diberikan pada konsonan karena kemampuannya menyamai vokal dalammembangun sonoritas suku (bd. Gussmann 2002:69) yakni berperan sebagai puncak suku katasehingga sebuah kata dapat berterima secara fonologis dan semantik. Dalam hal gugus konsonanonset juga ditemukan pada bahasa-bahasa daerah lain di Nusantra baik rumpun Austronesiamaupun rumpun bukan Austronesia, misalnya, kata bahasa Bali beli [bEli] ‘membeli’ dan bli[bli] ‘kakak lelaki’, sebagai salah satu anggota rumpun Austronesia, adalah dua kata yangberbeda baik secara leksikal maupun fonologis. Secara fonologis, suku pertama dari katapertama terdiri atas KV, sementara suku pertama kata kedua terdiri atas gugus konsonan /bl/.

Dalam bIn, nama negara Inggris, misalnya, ditulis Inggris, sementara dalam bahasa

Melayu di Malaysia, Singapura, dan Brunei ditulis Inggeris (dengan penysipan bunyi [ə] diantara /g/ dan /r/. Dalam kenyataannya penutur bahasa Melayu di ketiga negara jiran tersebut

dan juga penutur bIn memang melafalkan [iNg«ris] (bandingkan KBBI IV 2008 dan KamusDewan 2007). Munculnya bunyi [ə] ini merupakan suatu proses artikulatoris yang nyata karena

Page 41: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

151

[ə] merupakan bunyi kendur yang selalu dimunculkan sebagai unsur penyisip di antara bunyi-bunyi konsonan yang bercirikan [+obstruen] dan [+sonoran]. Penyisipan itu secara artikulatorisberfungsi memberi efek sonoritas pada bunyi-bunyi yang tidak nyaring atau dengan perkataanlain sebuah kata yang sulit dilafalkan, karena antara rangkaian konsonan [+konsonantal, -kontinuan] yang dimiliki oleh bunyi hambat (stop) dan konsonan alir [+konsonantal, +kontinuan, +sonoran], diperlukan bunyi vokal kendur [+silabik, -tegang], yakni vokal [ə]. Keduaciri tersebut merupakan ciri bunyi yang tidak mengalami ketegangan saraf atau ketegangan ototdari alat-alat ucap ketika bunyi bahasa itu dihasilkan. Hal ini berbeda dengan vokalpasangannya, yakni, [e] yang dihasilkan dengan ketegangan alat-alat ucap sehingga walaupunciri ketinggiannya sama: [-tinggi, -rendah], tingkat ketengangannya berbeda; [e] bercirikan [+tegang] dan tentunya juga adalah [+silabik, -bundar].

(3) Deret dua konsonan (di tengah morfem) wajib dipertahankan apabila anggota dari deret itumasing-masing berposisi sebagai onset dan koda.

korektor (ko.rek.tor)

diktator (dik.ta.tor)

teknik (tek.nik)

aksi (ak.si)anarki (a.nar.ki)kongres (kong.res)

Deret konsonan yang termasuk kategori (3) mesti dipisahkan apabila dilakukan penyukuankarena di antara deret tersebut terjadi kesenyapan fonetis secara singkat. Dengan demikian,

untuk kata kongres harus disukukan menjadi kong.res dan bukan ko.ngres.Kesenyapan di antara dua konsonan terjadi karena tidak adanya bunyi yang bercirikan[+silabik], yang dalam bahasa Indonesia hanya diisi oleh vokal.

(4) Gugus tiga konsonan di awal morfem (yang bukan rangkaian K-r atau K-l) mestinya

disisipkan [ǝ]:

Diserap kedalam bIn

Sesuai ciri bahasa Melayu/Indonesia(dianjurkan dalam makalah ini)

Pola penyukuan yang dipaksakanmengikuti bahasa sumbernya

StrukturSkripsiStrategis

se.truk.turse.krip.sise.tra.te.gis

struk.turskrip.sistra.te.gis

Ketiga kata dari contoh (4) berasal dari bahasa asing (bahasa Inggris), tetapi sayang sekali bInharus dipaksakan juga tunduk pada sistem atau struktur bahasa tulis bahasa asing tersebut;struktur fonotaktik bahasa asing justru dibakukan dalam bIn, sementara struktur asli bahasaMelayu/Indonesia dianggap tidak baku. Sikap “nasionalisme” yang kuat mestinya juga dapatditunjukkan dengan menerapkan kaidah-kaidah linguistik yang merupakan ciri jatidirikebahasaan kita. Dalam makalah ini diajukan bahwa gugus tiga kosnonan pada kata bersukudua atau tiga mesti bisa “dinasionalisasi” dengan sisipan /ə/ karena dalam bahasa lisan bunyi inimemang muncul secara artikulatoris. Memang benar anggpan sebagian linguis Indonesia bahwajumlah suku kata yang dibolehkan dalam bahasa Melayu/Indonesia berjumlah tidak lebih daritiga suku kata. Namun, dalam kenyataannya kita membolehkan masuknya kosakata asingbersuku lebih dari tiga suku. Memang benar pula pernyataan Alisjahbana (1977:197) bahwa”kata-kata asing yang bersuku lebih dari tiga suku tidak perlu disisipkan /ə/ untuk menghindarisuku yang terlalu panjang.” Akibat dipertahankannya gugus konsonan itu menjadikan strukturfonotaktik bIn diatur oleh struktur bahasa asing.

Page 42: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

I Wayan Pastika

152

Dalam hal kekuatan mempertahankan struktur asli bahasa nasional, kita perlu belajarbanyak dari Jepang yang tidak mudah ditundukkan oleh sistem bahasa Inggris (selanjutnyadisingkat bIng) meskipun bahasa Jepang menerima pengaruh kosakata bIng, tetapi bentuk yangditerima bukan sepenuhnya bentuk tulis, melainkan bentuk yang harus disesuaikan dengansistem pelafalan bahasa Jepang. Sebagai bahasa vokalik, bahasa Jepang tidak membolehkanadanya (gugus) konsonan di akhir morfem sehingga kosakata bIng yang diintegrasikan ke dalambahasa Jepang harus disisipi bunyi vokal yang selaras (vowel harmony). Contoh berikutmenunjukkan bahwa hanya konsonan tertentu [N] yang dibolehkan pada posisi koda, sementarakonsonan kembar atau geminat sejatinya adalah satu bunyi panjang sehingga tidak dapatdipisahkan di antaranya: tt [t;] dan dd [d;]; semua morfem bahasa Jepang berikut berakhirdengan suku terbuka, meskipun morfem tersebut aslinya berakhir dengan konsonan tunggal ataukonsonan rangkap dari bahasa sumber:

KOSAKATA SERAPAN DARI BAHASA INGGRIS KE DALAM BAHASA JEPANGINGGRIS JEPANG MAKNAhotel hoteɾɯ3 ’hotel’

acrobatics akɯɾobatto ’akrobatik’

cancellation kʸaNseɾɯ ’pembatalan’

bike baikɯ ’sepeda’

team ʧ;mɯ ’tim’

best besɯto ’terbaik’

cat katto ’kucing’pet petto ’bianatang peliharaan’date de;to ’tanggal’bed beddo ’ranjang’pub pabɯ ’kedai minuman’

shepherd sepa;do ’rumput liar’(Crawford 2009: 14—70)

Sistem ejaan yang representatif mestinya mempertimbangkan ciri-ciri bahasa lisansebagai acuan yang utama. Jika sistem pengucapan bIng diterapkan terutama pada kosakata

seperti structure [strÃktS«] (lihat Sinclair et al., 1987) memang tidak ada bunyi vokalpenyisip di antara rangkaian dua konsonan /s-t/ tersebut sehingga tidak perlu dipaksakan adanyabunyi vokal penyisip. Hal ini berbeda dengan pengucapan kata tersebut dalam bentuk pinjaman

bIn: struktur yang diucapkan sebagai [sətəruktur] yang dalam makalah ini diajukan

[sətruktur]. Penyisipan /ə/ penting dilakukan di antara /s-t/ karena kedua fonem itu tidakdidukung oleh bunyi konsonan dengan sonoritas, sementara di antara /t-r/ tidak diperlukanpenyisip /ə /karena /r/ termasuk bunyi [+sonoran] dengan sonoritas tinggi sehingga bunyi [r]dapat berfungsi memperlancar sistem pengucapan suatu morfem. Memang benar anggapan sebagian ahli bahasa yang mengatakan bahwa /ə/ hanya selintas sajamuncul di antara rangkaian konsonan semacam itu sehingga tidak perlu direpresentasikan dalambentuk tulisan. Persoalannya bukan pada kuat-lemahnya kualiats kemunculannya tetapi ada-tidaknya bunyi tersebut dan ada-tidaknya gugus konsonan dalam bahasa Melayu/Indonesia.

Khusus rangkain konsonan hambat dan konsonan /r/ atau /l/, misalnya, struktur atau

komplementer terlalu dipaksakan kalau ditulis *seteruktur atau *kompelementer. Kata

struktur lebih tepat ditulis setruktur karena terdapat kecenderungan penutur bIn

menyisipkan /ǝ/ di atara /s-t/. Rangkaian /t-r/ atau /p-l/ pada komplementer tidak perlu

Page 43: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

153

disisipkan /ǝ/ karena fonem ini secara otomatis sudah muncul sebagai akibat dari kemunculan

sonoran /r/ atau /l/, sehingga penulisan komplementer tetap harus dipertahankan.

Gugus Konsonan di Akhir Suku(1) Kata-kata yang berasal dari bahasa asing, yang berisi gugus konsonan pada unsur koda,

disesuaikan dengan sistem penyukuan bIn .Rangkaian konsonan yang berada pada posisi koda jauh lebih sulit dilafalkan dibandingkandengan rangkaian konsonan di posisi onset. Di samping itu, ciri asli bIn (begitu juga bahasa-bahasa lain dalam rumpunnya) tidak mengenal gugus atau deret konsonan di posisi akhir sukuatau akhir kata. Oleh karena itu, rangkaian konsonan /l-m/ dan /r-n/ pada unsur koda wajib

disisipi vokal e /ǝ/ di antara konsonan itu, walaupun dalam bahasa aslinya memang merupakanrangkaian konsonan karena diucapkan tanpa sisipan bunyi vokal.

KBBI (1988, 2008) MAKALAH INI

Filmperfilmanmemfilmkandifilmkanmodern4

pemodernanmemodernkandimodernkanmodernisasimodernitas

Filemperfilemanmemfilemkandifilemkanmoderenpemoderenanmemoderenkandimoderenkanmoderenisasimoderenitas

Usul ini perlu diajukan demi keajegan sistem pelafalan bIn. Jika kata-kata tersebut tetap

dilafalkan sebagai film dan modern, maka terjadi ketidakajegan sistem pelafalan bIn karenakata-kata lain yang berasal dari bIng telah disesuaikan dengan pelafalan bIn. Misalnya, kata

kalem tidak diucapkan atau dituliskan [‘kalm] seperti bentuk aslinya calm; kata palm tidak

diucapkan atau ditulisakan [‘palm] tetapi palem.

Jika kata filem dan moderen ditambahkan sufiks –isasi, maka mestinya bentuk derivasi yang

dipilih tetap taat azas, yakni masing-masing menjadi filemisasi dan moderenisasi; bukan

filmisasi dan modernisasi. Bentuk filmisasi dan modernisasi selama ini dipilih memangtidak menghasilkan gugus konsonan pada setiap sukunya (kalau mengikuti pola persukuanEyD), tetapi jika bentuk itu tetap digunakan, akan tetap terjadi ketidaktaatazasan dalam bIn .

Bagaimana halnya dengan kata bank? Pertanyaan ini memang harus diajukan dan jawaban

yang bisa dikemukakan adalah kata bank tidak perlu diubah karena kata itu bukan hanyasebagai kata biasa, tetapi sudah diperlakukan sebagai sebuah nama meskipun penutur bIn tidakmelafalkan kata itu sebagaimana tulisannya. Hal ini berbeda halnya dengan penutur asli bIngyang tetap melafalkan rangkaian konsonan di posisi akhir kata karena bahasa itu memangmemiliki sistem fonotaktik bunyi rangkap di pinggir kata baik sebagai koda maupun onset,

sehingga pelafalan bank adalah [bQNk]5.

Page 44: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

I Wayan Pastika

154

(1) Dua lambang di akhir kata menjadi satu lambang

Penyerdehanan gugus konsonan menjadi satu konsonan di akhir suku kata bukanlah hal barudalam penyesuaian ejaan bIn (lihat Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yangDisempurnakan). Hanya saja penyederhanaan itu tidak diterapkan secara taat azas. Kata-kata

serapan impor, ekspor, paspor, misalnya, masing-masing diserap dari bIng import,eksport, dan passport. Gugus konsonan -rt di akhir suku kata pada ketiga kata serapan itutelah disederhanakan dengan proses pelesapan konsonan t –nya dalam bIn , sehingga kata

import menjadi impor, kata eksport menjadi ekspor, dan kata passport menjadi paspordalam KBBI IV (2008). Pelesapan –t ini merupakan langkah yang tepat dilakukan dalampenyesuaian sistem ejaan bIn karena memang bIn tidak mengenal gugus konsonan di pinggirsuku kata.

Turunan kata ekspor dan impor yang dibentuk dari akhiran –isasi masing-masing semestinya

eksporisasi dan imporisasi; bukan ekportisasi dan importisasi. Hal yang sama juga

diterapkan pada kata standar. Meskipun EyD telah menyederhanakan kata standard dengan

menghilangkan bunyi d di akhir sehingga menjadi standar, tetapi dalam bentuk turunannya(lihat KBBI IV, 2008) huruf d itu tetap digunakan. Mestinya bentuk turunannya adalah

setandarisasi tanpa adanya huruf d setelah huruf r. Bentuk standardisasi dalam makalahini ditolak karena melanggar ketaatazasan.

(2) Dua lambang tetap dua lambang di akhir kataBerbeda halnya dengan gugus konsonan di akhir kata di atas, gugus konsonan ks di akhir ataukh di awal suku -- yang secara fonetis merupakan SATU UNIT bunyi -- tidak perludisederhanakan karena unit bunyi rangkap itu sejatinya dalam bahasa asalnya dilambangkandengan satu huruf ortografis. Berbeda halnya apabila kita mempertahankan huruf asli daribahasa sumbernya. Di samping itu, dalam bIn lambang satu huruf dari bahasa sumbernya yangdialihkan menjadi dua huruf dalam bIn tidak memunculkan bunyi [«] apabila kata yangdiserap itu dilisankan. Ketidakmunculan bunyi [«] itu karena satu unit konsonan itu terdiri atasunsur bunyi konsonan hambat yang diikuti oleh bunyi frikatif yang tidak bercirikan sonoran:

teks TETAP teks (bIng: text)

seks TETAP seks (bIng: sex)

kompleks TETAP kompleks (bIng: complex)

boks TETAP boks (bahas Inggris: box)

afiks TETAP afiks (bIng: affix)

sufiks TETAP sufiks (bIng: suffix)

Hal yang sama juga diterapkan pada konsonan yang diucapkan dengan aspirat, misalnya, kh

pada khusus, akhir, khawatir. Lambang kh pada kata-kata itu secara fonetis merupakan satuunit bunyi kompleks dan secara fonemis merupakan satu fonem, hanya saja dalam sistemortografis, satu unit bunyi (baik rangkap maupun tunggal) harus dilambangkan dengan satuhuruf. Jadi, baik lambang maupun pengucapannya harus tetap dipertahankan tanpa

penghilangan salah satu unsurnya. Apabila unsur aspirat dari kata-kata khusus, akhir,

khawatir, dihilangkan maka ketiga kata itu menjadi kata baru yang berbeda dengan kataaslinya.

Page 45: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

155

SATU HURUF, SATU FONEM

Bunyi-bunyi yang berbeda secara fonemik harus dibedakan penulisannya sementara bunyi-bunyi yang menjadi alofon dari satu fonem dituliskan dengan satu lambang fonem. Dalam bIndewasa ini, huruf e digunakan untuk melambangkan dua fonem, yakni /ǝ/ dan /é /. Dalamkegiatan berbahasa sehari-hari, penggunaan huruf ini cukup membingungkan karena tidak adakaidah yang mengatur tentang kapan e harus diucapkan /ə/ dan kapan harus diucapkan [é]kecuali melalui daya ingat penutur saja sehingga di dalam KBBI (1988, 2008) harusditambahkan tanda diakritik untuk fonem tertentu, misalnya, fonem /é/ ditambahkan tandadiakritik [ ′ ] di atas /e/. Misalnya, kata esek ditulis secara fonemik /ésék/, sementara kata esatidak ditambahkan lambang diakritik, yang berarti bahwa e pada esa adalah fonem /ǝ/.Mestinya dalam penulisan EyD tiap-tiap lambang/huruf harus mewakili satu lambang bunyi.Dalam makalah ini diusulkan bahwa huruf e harus digunakan untuk fonem /ǝ/; sedangkan hurufé ditulis untuk fonem /é/. Jadi, satu bunyi lebih baik dilambangkan oleh satu huruf, bukan duabunyi, seperti yang terjadi selama ini pada fonem /é/ dan /ǝ/ yang dilambangkan dengan satuhuruf e. Mestinya lambang huruf digunakan lebih jelas dan tegas dan dalam makalah inidiusulkan:

huruf é untuk /é/

huruf e untuk /ǝ/

Perbedaan karakteristik kedua bunyi itu lebih baik dijelaskan dengan konsep ciri pembeda(distinctive features) seperti yang diusulkan oleh Roman Jakobson (1896—1982) bekerja samadengan Nikolai Trubetzkoy (1890—1938) bahwa ruas-ruas fonologis dapat dianalisis ke dalamperangkapan ciri-pembeda yang mengklasifikasikan bunyi-bunyi bahasa dalam satu kelompok

ciri yang saling bertkaitan (dalam Kenstowicz 1994 : 19). Jadi, antara /é/ dan /ǝ/ memilikiperbedaan dan persamaan ciri; kedua bunyi itu adalah [+ silabik, -rendah, -tinggi, -belakang, -

bulat], tetapi kedua bunyi itu berbeda dalam hal ketegangan: /é/ adalah [+tegang] dan /ǝ/adalah[-tegang].

Penggunaan huruf e untuk melambangkan dua bunyi yang berbeda cukupmembingungkan tidak hanya bagi orang yang baru belajar bIn, tetapi juga membingungkan bagipenutur asli bIn sendiri. Orang asing yang belajar bIn mengalami kebingungan dalam

membaca seret, bengkel, pepes, lele, dan sebagainya. Kata seret dapat saja dibaca /sǝrǝt/‘tak lancar’ atau dapat saja kata itu dibaca /sérét/ ‘menarik sesuatu benda dengan menggesek.’6

Kekeliruan juga sering terjadi di kalangan intelektual Indonesia ketika mereka melafalkan kata

ide. Sebagian mereka melafalkan [idé] dan sebagian lagi melafalkan [idǝ]; begitu juga sejumlah

pewara TV nasional sering salah melafalkan nama orang Bali, Made, yang kadang-kadang

diucapkan [madé] atau [madə]. Untuk menghindari kesalahan semacam ini, Made dan idemasing-masing mestinya ditulis Madé dan idé.Berikut ini sejumlah contoh penulisan kata yang mesti direvisi berkaitan dengan simbol e dan é

eà /é / eà /ǝ/

bengkelà béngkélpepesà pépésleleà léléemberà émbérpendekà péndékjejerà jéjérterasà téras

pencet à pencétsedang à sedangpekanà pekankelamà kelamtemanà temansetoràsetor

Page 46: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

I Wayan Pastika

156

Dalam bahasa sumber, misalnya bIng, tidak semua lambang bunyi dituliskan sesuai

dengan pengucapannya: huruf g bisa diucapkan [dZ] misalnya kata gender [dZEndǝ] yang

tetap ditulis dalam bahasa aslinya gender. Kata ini diserap begitu saja ke dalam bIn tanpamengalami penyesuaian dengan sistem penulisannya. Aspek yang diserap mestinya

pelafalannya dan disesuaikan penulisannya dengan sistem EyD, sehingga kata gendermestinya ditulis dalam bIn sebagai jénder; atau tetap ditulis gender tetapi dilafalkan

[génd«r].Jika unsur serapan berasal dari bahasa asing, maka penulisannya bukan mendua seperti

yang terjadi selama ini. Di satu sisi [g], misalnya, dilafalkan untuk kata-taka

genetic[dZIn«tIk] yang dalam KBBI (1988, 2008) ditulis genetik [gen«tik]; generator

[dZen«reitǝ] yang dalam KBBI (1988, 2008) tetap ditulis seperti aslinya generator[gen«rtor]; generic [dZIn«rIk ] yang dalam KBBI (1988, 2008) ditulis generik[gen«rik], dan sebagainya. Di sisi lain lambang g tetap diucapkan [dZ] seperti halnya

pelafalan dalam bahasa sumbernya: general [dZen«ral ] à jenderal dalam KBBI (1988,

2008); management [mQnIdZmǝnt ]àmanejemen dalam KBBI; genius [dZI:nI«s ]

à jenius dalam KBBI (1988, 2008), dan sebagainya. Pilihan mestinya dijatuhkan pada bunyi[dZ] yang dilambangkan dengan huruf ortografis j untuk semua kata yang dimulai dengan huruf

g dalam bIng, seperti halnya yang dilafalkan pada kata jenderal, manajemen dan jeniuskarena yang utama diserap adalah unsur bunyinya dalam bahasa sumber, bukan unsurtulisannya.

Namun, dalam KBBI (1988, 2008) sebagian besar unsur serapan yang ditulis dengan

huruf g (misalnya, generik, genetik, geografi, generator, gender) telah secara konsistendiucapkan [g].

PROSES MORFOFONOLOGIS

Dalam bIn, konsonan hambat tidak bersuara /p/ dan /t/ yang masing-masing merupakankonsonan awal dari prefiks per- dan ter- (setelah pemarkah diatesis aktif meng-) secaramorfofonologis tidak tepat kalau dilesapkan. Di pihak lain, kedua konsonan tersebut dan jugakonsonan hambat tak bersuara yang lainnya harus dilesapkan setelah ng (dari prefiks meng-)diasimilasi apabila konsonan tersebut bukan bagian dari afiks, melainkan bagian dari morfembebas.

Prefiks meng + per + Kata Dasar dan meng + ter +Kata DasarPrefiks yang dipilih dalam proses derivasi pemarkah aktif adalah meng-, bukan meN- dan bukan

pula me-, dengan alasan bahwa bunyi ng (/ŋ/) berdistribusi paling luas dibandingkan nasal m,

n, dan ny /ɲ/yang merupakan hasil dari proses asimilasi. Bunyi ng dinyatakan berdistribusi luaskarena bunyi itu muncul sebelum velar /k,g/, sebelum vokal /a, i, u, e, o, «/, dan sebelumfrikatif glotal /h/ yang mengawali morfem pangkal; sementara bunyi m hanya muncul sebelumkonsonan labial /p, b, f/, bunyi n hanya muncul sebelum dental /t, d/, dan ny hanya munculsebelum konsonan alveo-palatal /s, c, j/, secara lebih lengkap proses morfofonologis tersebutdiuraikan seperti berikut (bd. Alwi, dkk. 2003: 110—113; bd. Pastika 2012:4)

Page 47: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

157

MORFEM Məŋ-ALOMORF

Məm- /__ /p, b/

Mən- /__ /t, d/

Məɲ- /__ /j, c, s/

Məŋ- /__ /k, g,h/,__ Vokal

Məŋe- /__ SUKUSATU

Mə- /__ [+son]

CONTOH məmbantiŋməmbakar

məmukul

məminta

məndataŋməndunia

mənikam

mənatap

məɲjarah

məɲjurusməɲcaŋkul

məɲcakarməɲabit

məɲiku

məŋgaruk

məŋikis

məŋhirup

məŋambil

məŋintip

məŋolah

məŋurus

məŋelak

məŋəɲahkan

məŋətik

məŋəlas

məŋəcat

məŋəbom

məwabah

məlebar

mərakyat

məmasak

Penetapan meng- sebagai morfem dan yang lain sebagai alomorf bukan ditentukan olehfrekuensi kemunculannya, melainkan ditentukan oleh kemampun fonem atau morfem itubertahan dalam lingkungan bunyi yang berbeda-beda. Pada data di atas ditunjukkan bahwahanya meng- yang bisa bertahan baik di lingkungan sebelum konsonan maupun di lingkungansebelum vokal. Pelesapaan ng dari meng- sebelum /w, l, r/ dan sebelum konsonan nasal terjadikarena bunyi ng yang bercirikan [+sonoran] tidak bisa bergugus dengan /w, l, r/ dan nasal lainyang juga bercirikann [+sonoran]. Dengan demikian, ada empat proses fonologis: dua proses

fonologis secara berurutan, yakni, asimilasi dan pelesapan obstruen, satu proses penambahan /ə/di antara meng- dan morfem bersuku satu, dan satu proses pelesapan ng terjadi dalamlingkungan sebelum bunyi [+sonoran]. Keempat proses fonologis tersebut dapat dikaidahkanberikut ini.

Kaidah asimilasi:

+ nasal [ α tempat ] / ____ [ α tempat ]+ belakang

Kaidah di atas menyatakan bahwa konsonan nasal belakang disesuaikan tempat artikulasidengan tempat artikulasi dari konsonan yang ada sebelumnya.

Kaidah pelesapan obstruen:

Pada kaidah di atas dinyatakan bahwa konsonan obstruen yang tidak bersuara harus dilesapkanapabila berada setelah nasal di perbatasan morfem. (Namun, pelesapan obstruen yang tidakbersuara dilakukan setelah terjadinya asimilasi nasal. Lihat proses derivasinya pada halamanberikut).

Page 48: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

I Wayan Pastika

158

Penambahan /ə/ sebelum morfem bersuku satu:

Pada kaidah di atas dinyatakan bahwa vokal /ə/ yang bercirikan [- tegang, - tengah, - madia]ditambahkan di antara nasal belakang (sebagai bagian dari prefiks) yang berada sebelummorfem bersuku satu ($ = suku kata)

Kaidah pelesapan nasal:

+ nasal

+ belakang ∅ / + [+ sonoran]

Kaidah di atas menyatakan bahwa konsonan ng yang bercirikan [ + nasal, + belakang]dilesapkan ketika berada sebelum bunyi /l, r, y, w/ di perbatasan morfem yang bercirikan [+sonoran].

Dalam proses derivasi, proses fonologis yang terjadi lebih awal adalah asimilasi, yaknibunyi nasal ng menerima pengaruh ciri bunyi dari bunyi hambat sesuai tempat artikulasinya.Setelah asimilasi terjadi barulah diikuti oleh pelesapan bunyi-bunyi obstruen. Secara lebih jelasproses derivasinya dapat dijabarkan melalui contoh berikut ini (Pastika 2012: 4).

PROSES MORFOFONEMIKMORFEMPEMARKAHAKTIF

PROSES 1 PROSES 2

meng- 1. Asimilasi tempat artikulasi: mem-,men-, meny-, meng- sebelum obstruen

2. Pelesapan nasal ng sebelum sonoran,menjadi me-

3. Penyisipan [ə] sebelum morfem dasarsuku satu, menjadi menge-

- Pelesapan obstruen yang tidakbersuara setelah asimilasi,contohnya, kata kerja memukulditurunkan dari meng + pukulà mempukulà memukul.

Proses derivasi dari Bentuk Asal (the underlying form) menjadi Bentuk Turunan (the phoneticrepresentation) ditentukan oleh adanya dua proses fonologis, yakni, proses asimilasi danpelesapan obstruen. Asimilasi terjadi karena adanya pengaruh tempat artikulasi pada obstruenyang mempengaruhi tempat artikulasi nasal. Setelah terjadinya asimilasi nasal barulah obstruentersebut dilesapkan. Urutan kedua proses tersebut tidak boleh dibalik (pelesapan obstruen yangdiikuti asimilasi) karena akan menghasilkan bentuk yang tidak gramatikal dan tidak berterima.Proses derivasi semacam ini disebut dengan kaidah-kaidah berututan. Tahapan-tahapannyadigambarkan sebagai berikut.

Page 49: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

159

LEKSIKON KETERANGANBENTUKASAL7

(disingkat BA)

meng+pinangmeng+per+tahan+kanmeng+ter+tawa+kan

Morfem yang belum berproses secarafonologis

ASIMILASINASAL

mem+pinangmem+per+tahan+kanmen+ter+tawa+kan

Tempat artikulasi nasal diasimilasi olehtempat artikulasi obstruen

PELESAPANOBSTRUEN

mem+Øinangmem+per+tahan+kanmen+ter+tawa+kan

Hanya obstruen yang bukan afiksdilesapkan setelah asimilasi; obstruensebagai bagian dari prefiks harus tetapdipertahankan

BENTUKTURUNAN8

(disingkat BT)

Meminangmepertahankanmentertawakan

Hasil akhir setelah terjadinya prosesfonologis

Namun, bentuk-bentuk kata berikut masih digunakan secara bersaing dalam tuturan atautulisan bIn .

mempunyai ATAU memunyaimempercayai ATAU memercayaimempengaruhi ATAU memengaruhimemperhatikan ATAU memerhatikan

Berdasarkan penelusuran melalui Google (19 Mei 2012) secara kuantitatif, kekerapanpenggunaan kelompok bentuk pertama bejumlah jauh lebih tinggi (mencapai 93%) alih-alihkelompok bentuk kedua (yang hanya mencapai 7%). Hal itu menandakan bahwa penutur bIndari berbagai latar belakang sosial, budaya dan ekonomi beranggapan bahwa pelesapan obstruen(setelah nasal diasimilasi) tidak boleh dilakukan apabila konsonan obstruen itu (secaraetimologis) adalah prefiks. Sebaliknya, obstruen yang bukan berasal dari prefiks wajibdilesapkan setelah nasal diasimilasi. Perbedaan kekerapan penggunaan kedua tipemorfofonemik tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

No. /p/ tidak luluhdari memper-atau meng+AKAR

79.200.000 (93%)

/p/ luluh darimemper-atau meng+AKAR

6.124.000(7%)

JUMLAH85.314.000(100%)

1 mempunyai 29.710.000(99%)

memunyai 161.000(1%)

29.861.000

2 mempercayai 4.390.000(94%)

memercayai 293.000(6%)

4.683.000

3 mempengaruhi 27.100.000(88%)

memengaruhi 3.710.000(12%)

30.810.000

4 memperhatikan 18.000.000(90%)

memerhatikan 1.960.000(10%)

19.960.000

Tabel Kekerapan penggunaan memp- dan mem- berdasarkan penelusuran Google (19 Mei2012)

Page 50: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

I Wayan Pastika

160

Dalam suatu acara seminar bIn dengan para guru di Denpasar (28 Oktober 2010), salahsatu peserta bertanya apakah kata memunyai, memercayai, memengaruhi danmemerhatikan lebih tepat alih-alih kata mempunyai, mempercayai danmempengaruhi dan memperhatikan?9 Dalam makalah ini diajukan pendapat bahwakeputusan organisasi lembaga kebahasaan tidak selalu dapat dipaksakan kepada masyarakatpemakai karena masyarakat penutur menerapkan kaidah linguistik alami. Kaidah inisesungguhnya dapat dicarikan jawabannya secara mikrolinguistik.

Jika keputusan politik dari lembaga kebahasaan diikuti, tentu kata memunyai,memercayai, memengaruhi dan memerhatikan yang lebih tepat. Alasanmorfofonologisnya adalah penghilangan fonem /p/ pada ketiga kata tersebut mengikuti kaidahfonologis, yakni kaidah asimilasi yang diikuti dengan kaidah pelesapan fonem /p/ pada morfemdasar, yang disamakan prosesnya dengan kata meminang yang diturunkan darimeng+pinangàmempinangàmeminang.

Kata mempunyai, bukan memunyai, yang dicantumkan dalam KBBI I (1988) danKBBI IV (2008) dan digunakan oleh sebagian penutur karena (menurut pendapat penulis artikelini) ada tiga alasan. Pertama, /p/ harus tetap dipertahankan untuk menghindari jejeran tiga sukuyang masing-masing diawali oleh bunyi nasal pada me.mu.nya.i. Kedua, jejeran nasal padaketiga suku tersebut semuanya merupakan konsonan dengan kenyaringan tinggi ([+sonoran])sehingga menyebabkan pengucapannya terlalu longgar. Jika demikian halnya, bagaimanadengan memenuhi (meng+penuh+i), menunaikan (meng+tunai+kan), menanam(meng+tanan), mengunyah (meng+kunyah), dan memaknai (me+makna+i) yangsemua sukunya mulai dengan bunyi nasal. Ketiga, secara fonologis kelima kata tersebutmempunyai perbedaan ciri fonologis, sehingga meskipun kelima kata tersebut sama-samamempunyai jejeran suku yang dibentuk oleh nasal, tetapi salah satu sukunya ditutup olehkonsonan, sementara suku kata-suku kata memunyai hanya diakhiri oleh vokal.

Ketiga alasan tersebut tentunya dibantah oleh kata menyamai yang semua sukunyadiakhiri oleh vokal. Namun, kata menyamai bermorfem pangkal /sama/ yang dimulai denganfonem frikatif /s/; berbeda dengan kata-kata derivasi yang disebutkan sebelumnya. Jikademikian halnya, maka ketiga alasan tadi harus ditambah dengan alasan keempat, yakni,pelesapan /p/ tersebut tidak dimungkinkan karena menyebabkan pengulangan fonem /m/ padasuku pertama dan suku kedua.

Ketiga alaasan yang dimunculkan di atas tampak tidak terlalu kuat untuk memastikanmengapa hambat bilabial tak bersuara tersebut tidak dilesapkan setelah terjadinya asimilasinasal. Alasan yang paling kuat tampaknya menyangkut etimologi kata punya tersebut. Jikakata empunya ditelusuri melalui Google, maka definisi yang ditemukan antara lain 1 ntuannya; pemiliknya; 2 v punya; mempunyai: demikianlah kata yg -- cerita; yg -- rumahlah ygberhak menerima sewa rumah itu (sumber http://www.artikata.com, dikutip 13 Oktober 2011).Kata empunya yang bermakna ‘punya’ digunakan dalam teks menurut penelusuran Google(15 Oktober 2011) adalah sebanyak 1.960.000 penggunaan. Ini berarti bahwa secara etimologispatut dinyatakan bahwa kata punya (seperti ditunjukkan dari bentuk dan makna kata yangbersumber dari Google tersebut) diturunkan dari kata empunya. Penurunan punya dariempunya juga dicantumkan dalam KBBI I (1988). Penurunan kata tersebut secara diakronismenimbulkan proses perubahan bunyi atau perubahan pola persukuan dalam bentuk prosespelesapan yang terjadi secara berurutan:

BA /m\N + \mpuɲa + i/Pelesapan /ǝ/ /m\N + mpuɲa + i/Pelesapan /N/ /m\N + mpuɲa + i/BT m\mpuɲaiProses pelesapan /\/ yang ditunjukkan dari derivasi di atas merupakan hipotesis yang

dapat diterima kebenarannya tanpa diperlukan hipotesis pembanding karena itulah satu-satunyaperubahan yang terjadi. Berbeda halnya dengan proses pelespan /N/ yang harus diuji denganproses fonologis yang lain. Hipotesis lain yang dapat digunakan untuk mengujinya adalah

Page 51: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

161

kemungkinan adanya proses penggabungan atau kualisi nasal /N/ dan /m/ menjadi /m/. Hipotesisini tentu memiliki kelemahan kalau dilihat dari implementasi konsep kualisi yakni apabilaterjadi kualisi dua segmen bunyi yang berbeda maka mestinya unsur-unsur dari dua bunyi yangberbeda itu dapat ditemukan pada bunyi hasil kualisi. Dalam hal ini ciri-ciri velar tidakditemukan pada bilabial /m/ yang dianggap sebagai hasil kualisi. Oleh karena itu, hipotesis yangterakhir ini lebih lemah daripada hipotesis pelesapan /N/. Pelespan bunyi nasal sangat mungkinterjadi karena bunyi itu berada sebelum nasal sehingga tidak dimungkinkan pengucapanrangkaian dua bunyi nasal yang berbeda dari segi tempat artikulasi.

Pengulangan fonem /m/ pada suku pertama dan kedua terjadi juga pada katamemercayai dan memengaruhi. KBBI IV(2008) mencantumkan kata turunanmemercayai (dari meng+percaya+i) dan tidak menuliskan kata mempercayai sepertiyang lazim masih digunakan oleh masyarakat baik dalam teks tulisan maupun teks lisan.Sementara itu, KBBI I (1988) masih mencantumkan kata mempercayai yang statusnyabersifat tidak wajib karena ditulis di dalam tanda kurung yang berdampingan dengan katamemercayai. Untuk kata mempengaruhi dan memengaruhi, KBBI I (1988) hanyamencatumkan mempengaruhi, bukan memengaruhi. Sebaliknya KBBI IV(2008)mencatumkan memengaruhi, bukan mempengaruhi. Penggunaan bentuk kata yangbersaing secara morfofonologis tersebut telah diputuskan melalui kebijakan bahasa (hasilakhirnya berupa KBBI IV, 2008) dengan menghilangkan bentuk-bentuk yang telah biasadigunakan penuturnya menjadi bentuk-bentuk yang diyakini memiliki kebenaran kaidahlinguistik. Perjalanan waktulah yang menentukan bentuk mana yang akan diterima olehpenuturnya.

Secara sinkronis, alasan morfonologisnya tentunya menyangkut fonem konsonanhambat yang mengawali morfem pangkal. Kata percaya dan pengaruh adalah morfempangkal, bukan masing-masing diturunkan dari dua morfem *per+caya dan *peng+aruh,sehingga /p/ tersebut bukan bagian dari prefiks per- dan peng-, tetapi bagian dari fonem awalmorfem pangkal. Per- dan peng- pada kata percaya dan pengaruh bukanlah prefiksmelainkan bagian dari suku kata. Alasan inilah yang digunakan untuk melesapkan /p/ setelahberasimilasi dengan meng-. Jadi, kata memercayai dan memengaruhi mengalami prosesfonologis yang sama dengan kata memerlukan (meng+perlu+kan) atau memerangkap(meng+perangkap) sehingga kata memercayai dan memengaruhi dipilih alih-alihmempercayai dan mempengaruhi.

Dalam kaitannya dengan rangkaian konsonan nasal dan konsonan obstruen, Pulleyblank(dalam Archangeli dan Langendoen, 1997: 68) mengajukan tiga dalil, yakni (i) antara nasal danobstruem sama-sama mempertahankan identitas cirinya (salah satu contohnya bahasa Bura,Nigeria), (ii) nasal menerima pengaruh ciri dari obstruen yang ada di dekatnya (salah satucontohnya bIn ), (iii) ciri nasal mempengaruhi obstruen (belum ditemukan bahasa semacam ini).

Namun, penggunaan kata percahaya yang dimaknai sebagai percaya ditelusurimelalui Google (14 Oktober 2011), didapat angka 571 penggunaan. Secara diakronik, katapercaya diturunkan dari percahaya yang dalam perkembangannya secara fonologismengalami pengurangan suku kata dengan hilangnya -ha- di tengah morfem. Akar katapercahaya adalah cahaya yang berasal dari bahasa Sanskerta chhaya yang diserap ke dalambahasa Melayu Klasik menjadi chahaya (periksa Wilkinson, tth) dan menjadi cahaya ataucahya dalam Melayu Modern/Indonesia bermakna ‘sinar’. Akar kata cahaya inilah yangdiperlakukan oleh penutur sebagai satu morfem sehingga per- pada percahaya dihipotesiskansebagai prefiks. Karena per- diperlakukan sebagai pemarkah morfologis (seperti halnya per-pada bentukan kata lainnya), maka fonem /p/ tidak semestinya dilesapkan setelah terjadinyaasimilasi nasal, sehingga meng+per+cahaya+i harus menjadi mempercahayai/mepercayai, dan bukan *memercahayai/*memercayai. Alasan inilah yang paling kuatuntuk menetapkan mempercayai sebagai bentuk yang seharusnya diterima dandikembangkan.

Berbeda halnya dengan kata mempunyai dan mempercayai, katamempengaruhi tidak dapat diuji secara diakronik untuk menentukan keberterimaan antaramempengaruhi dan memengaruhi. Hanya parameter morfofonologis sinkronik yang dapat

Page 52: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

I Wayan Pastika

162

diajukan sebagai alasan untuk dapat menerima mempengaruhi alih-alih memengaruhi.Jadi, jika kemampuan bahasa (language competence) penutur dipahami, maka terdapat duaalasan. Pertama, penutur memperlakukan secara homonimik tiga segmen bunyi awal (peng) darikata pengaruh sebagai pemarkah morfologis sehingga /p/ tidak perlu dilesapkan setelahterjadinya asimilasi nasal. Kedua, secara fonetis, penutur memiliki kesulitan artikulatoris ketikamengucapkan kata memengaruhi karena terjadinya rangkaian bunyi sonoran (bunyi nyaring)yang berulang pada semua segmen bunyi kecuali frikatif /h/. Kata mempengaruhi lebihditerima oleh penutur pada umumnya karena /p/ yang berposisi di suku kedua merupakan bunyiobstruen yang difungsikan sebagai “perantara” antara bunyi sonoran di suku pertama dan bunyisonoran di suku ketiga dan suku keempat. Ketiga, suku awal, peng, dari kata pengaruhtampaknya diperlakukan sebagai homonim dengan morfem pembentuk nominal peng- sehinggaproses fonologis diterapkan sama dengan peng sebagai suku awal dan peng- sebagai prefiksnominal. Alasan sinkronik yang terakhir ini lebih kuat daripada alasan sikronik pertama dankedua.

Bentuk kata bersaing berikut adalah kata kerja memperhatikan yang digunakansecara bersaing dengan bentuk memerhatikan. Dalam KBBI IV(2008) hanya katamemperhatikan yang dicantumkan sebagai bentuk derivasi dari meng + perhatikan,sementara kata memerhatikan tidak tercantum di dalamnya. Namun, kata benda pemerhati‘orang yang memperhatikan’ dan pemerhatian ‘proses, cara, perbuatan memperhatikan’dimasukkan sebagai bentuk derivasi di dalamnya. Dalam persoalan ini, per- jelas merupakanprefiks, tetapi pelesapan /p/ tidak serta-merta dapat dilakukan setelah terjadinya asimilasi nasaldari prefiks meng-.

Selaras dengan pemakaian memper- di atas penutur atau penulis bahasa Indonesia jugamengalami kebimbangan dalam menentukan menter- khususnya berkaitan dengan kata dasartawa dan terjemah. KBBI IV (2008) secara tegas mencatumkan kedua kata dasar tersebutsebagai lema sehingga kata turunan *menertawakan tidak ditemukan dalam kamus itu,melainkan mentertawakan. Kata terakhir ini dipilih karena kaidahnya sudah jelas bahwapertama, kata dasar tawa dibubuhi prefiks ter- menjadi tertawa, kemudian diimbuhi oleh meng-kan menjadi mentertawakan. Fonem /t/ dari ter- tidak luluh karena /t/ itu bukan bagian darimorfem dasar, tetapi bagian dari prefiks. Namun, dalam penggunaan sehari-hari kata turunanmenertawakan lebih banyak digunakan alih-alih mentertawakan. Dalam hal ini katamenertawakan digunakan sebanyak 766.000 kali/68%, sementara kata mentertawakan hanyadigunakan sebanyak 364.000 kali/32% (menurut penelusuran Google, 21 September 2012).Data kuantitatif ini menunjukkan bahwa penutur atau penulis bahasa Indonesia menentukanpilihannya berdasarkan bentuk bahasa yang telah biasa digunakan, bukan didasarkan atasketetapan kaidah.

Keadaan yang sedikit berbeda ditemukan pada pemakaian bentuk kata menterjemahkandan menerjemahkan. Dalam KBBI IV (2008) bentuk dasar yang dicantumkan sebagai lemaadalah terjemah, sehingga bentuk turunan yang dihasilkan dari pengimbuhan meng-kan adalahmenerjemahkan, bukan *menterjemahkan. Kata turunan terakhir ini tidak ditemukan dalamKBBI IV. Penutur atau penulis bahasa Indonesia berpandangan sama dengan ketetapan yangdicantumkan di dalam KBBI IV. Hal ini dapat dibuktikan melalui data kuantitatif penggunaankedua bentuk kata turunan tersebut; kata menerjemahkan digunakan sebanyak 2.980.000kali/66%, sementara kata menterjemahkan hanya digunakan sebanyak 1.530.000 kali/34%(menurut penelusuran Google, 21 September 2012).

Dalam artikel ini, Bentuk Asal meN- (Sneddon 1996: 9--14) atau me- (Kentjono,dkk. 2004: 60--98) dan bentuk-bentuk lainnya yang dianggap sebagai alomorf tidak dapatditerima karena berbagai alasan. Pertama, penetapan N- sebagai bentuk abstrak tidakmelambangkan satu jenis fonem yang ada pada proses afiksasi itu; N- dapat dipilih apabila diantara nasal ng, m, n, ny tidak ada satu pun yang berdistibusi lebih luas. Fakta menunjukkanbahwa dalam proses derivasi itu terbukti bahwa ng berdistribusi lebih luas dibandingkan nasal-nasal yang lain. Kedua, dalam hal penetepan me- sebagai Bentuk Asal, banyak pertanyaanfonologis yang harus dijawab untuk menjelaskan proses perubahan me- menjadi mem-,

Page 53: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

163

men-, meny-, meng-, dan menge-. Proses fonologis pertama yang harus dijelaskan adalahadanya penyisipan konsonan nasal di antara me- dan perbatasan awal morfem dasar,tetapi nasal yang mana harus dipilih sebagai penyisip, tidak jelas alasan fonologisnya.Setelah penyisipan konsonan nasal (yang tidak jelas identitasnya) terjadi, proses ituharus diikuti dengan prosses asimilasi, yakni, konsonan nasal wajib disesuaikan tempatartikulasinya dengan tempat artikulasi dari konsonan yang mengawali morfem dasar.Selanjutnya, obstruen nirsuara (yang mengasimilasi tempat artikulasi) harus dilesapkansetelah asimilasi terjadi. Keempat proses fonologis tersebut tidak dapat ditetapkankarena: (i) adanya satu proses fonologis yang tidak kuat, yakni, penyisipan nasal yangtidak jelas identitasnya, dan (ii) diperlukan lebih banyak kaidah fonologis sehinggaderivasinya menjadi tidak efektif dan hasil akhirnya tidak tepat. Oleh karena itu, meN-atau me- bukan merupakan bentuk yang tepat sebagai morfem. (bd. Pastika 2012: 6).

SIMPULAN

Sistem penulisan sejumlah kelompok kata perlu lebih disempurnakan dan diatur dalam PedomanEjaan yang baru karena dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakanpersoalan itu tidak dibicarakan. Persoalan gugus konsonan, baik dalam satu suku maupunantarsuku bukan merupakan ciri bIn /Melayu, melainkan ciri bIng atau Belanda yang banyakdiserap ke dalam bahasa kita. Parahnya lagi justru gugus konsonan itu tidak hanya terjadi diawal suku, tetapi terjadi pula di akhir suku atau di akhir morfem.

Pelambangan dua fonem dengan satu huruf merupakan usuha penyederhanaan yangmenyesatkan karena pembaca sering salah memilih pengucapan yang benar. Jika sistem bahasatelah menyediakan lambang untuk dimanfaatkan demi kelengkapan perangkat ejaan kita, makalambang itu mesti dimanfaatkan secara maksimal sehingga bahasa dan penuturnya dapatberperan secara maksimal. Dengan demikian dalam makalah ini diusulkan agar huruf e yangmelambangkan dua fonem /é/dan /ə/ masing-masing harus digantikan dengan é untuk /é/, dan e

untuk /ǝ/.Di samping kedua persoalan tersebut, sejumlah kecil kata masih digunakan secara

bersaing oleh penutur bIn . Hal ini terjadi karena kaidah morfofonologis tidak selalu dapatditerima oleh masyarakat. Jika lembaga kebahasaan baik organisasi struktural (misalnya, BadanBahasa) maupun organisasi akademik (misalnya, Jurusan Bahasa Indonesia di PerguruanTinggi) menerapkan kaidah secara ajeg, maka lambat-laun masyarakat akan mengikutinya.

Penutur bIn harus menerima bahwa langkah penyempurnaan ejaan diperlukan demiterciptanya sistem ejaan bIn yang lebih bercirikan jatidiri bIn meskipun akan memunculkanpersoalan sosial untuk sementara waktu.

CATATAN

* Penulis berterima kasih kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untukperbaikan makalah ini.

1 Lihat makalah Alisjahbana pada Simposium Peristilahan yang diselenggarakan oleh Lembaga BahasaNasional, Jakarta, 2 –3 Desember 1972; kemudian dimuat dalam beberapa surat kabar, Maret 1973.Tulisan ini kemudian menjadi salah satu tulisan di dalam buku kumpulan eseinya bertajuk DariPerjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Malaysia sebagai Bahasa Modern, 1977.

2 Sumber lain menyebutkan bahwa di samping keempat sistem ejaan itu, juga pernah disusun konsepejaan yang disebut Ejaan Pembaharuan (1957) dan Ejaan Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (EjaanLBK 1966), tetapi kedua sistem ejaan tersebut belum pernah diterapkan untuk masyarakat umum (bd.Yamillah dan Samsoerizal 1994:15—17).

Page 54: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

I Wayan Pastika

164

3 Bunyi vokal [ɯ] termasuk bunyi tinggi, belakang, dan tidak bulat, sementara konsonan [ɾ] termasukbunyi alveolar tap atau flap.

4 Dalam bahasa Melayu di Malaysia, Singapura dan Brunei digunakan kata moden, yang mengacu padapengucapan bIng aslinya.

5 Lihat Collins Cobuild English Language Dictionary (Sinclair et al. 1987)6 Lihat kata seret, sérét, pepet , pépét , dan sebagainya dalam Kamus Indonesia Inggris: An Indonesian-

English Dictionary (Third Edition, 1989) yang tidak menyamakan penulisan ortografis antara e dan é .Dalam kamus ini huruf é (dengan tanda diakritik di atasnya) untuk fonem /e/ dan e (tanpa tandadiakritik di atasnya) untuk fonem / ə/, tetapi dalam KBBI IV (Edisi Kedua) kedua fonem itu ditulissama, yakni e untuk /e/ dan / ə/ .

7 Bentuk Asal dalam terminologi fonologi generatif disetarakan dengan the underlying form ataugambaran fonemik. Gambaran fonemik ini dalam realisasi fonetis dapat bervariasi bergantung padalingkungan fonologis dan morfologis.

8 Bentuk Turunan dalam terminologi fonologi generatif disetarakan the phonetic representation ataugambara fonetik. Gambaran fonetik ini merupakan realisasi bunyi yang keberadaannya ditentukan olehlingkungan bunyi lain atau lingkungan antarmorfem.

9 Harian Bali Post dan juga sejumlah karyasiswa S2 dan S3 Linguistik UNUD sejak tahun 2009 secaratidak konsisten menuliskan kata memunyai ≈ mempunyai dan memercayai ≈ mempercayai dalamtulisan mereka.

RUJUKAN

Alisjahbana, S.T. 1977. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Malaysiasebagai Bahasa Modern. Jakarta: Dian Rakyat.

Alwi, Hasan., dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi III). Jakarta: BalaiPustaka. (Cetakan kelima)

Crawford, Clifford James. 2009. Adaptation and Transmission Japanese Loanword Phonology.Disertasi. Cornell University. Tersedia di: http://ecommons.library.cornell.edu/bitstream/1813/13947/1/Crawford,%20Clifford.pdf. Diakses 06 November 2012.

Chomsky, N. and M. Halle. 1968. The Sound Pattern of English. Cambridge, Massachusetts andLondon: MIT Press.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. EdisiKeempat. Jakarta: PT Gramedia.

Dewan Bahasa dan Pustaka. 2002. Kamus Inggeris-Melayu Dewan: An English-MalayDictionary. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Dewan Bahasa dan Pustaka. 2007. Kamus Dewan. Edisi Keempat. Kuala Lumpur: DewanBahasa dan Pustaka.

Echols, J. M. dan Shadily, Hassan. 1989. Kamus Indonesia-Inggris : An Indonesian-EnglishDictionary. (Third Edition). Jakarta : PT Gramedia.

Gussmann, E. 2002. Phonology: Analysis and Theory. Cambridge: Cambridge University Press.

Kentjono, Djoko. Dkk. (eds.). 2004. Tata Bahasa Acuan Bahasa Indonesia. Jakarta: WedatamaWidya Sastra.

Page 55: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

165

Kenstowicz, M. 1994. Phonology in Generative Grammar. Cambridge and Oxford : Blackwell.

McCarthy, John J. 2007. Hidden Generalizations. Phonological Opacity in Optimality Theory.London: Equinox.

Moeliono, A.M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa : Ancangan Alternatif di DalamPerencanaan Bahasa. SERI ILDEP di Bawah Redaksi W.A.L. Stokhof. Jakarta :Penerbit Djambatan.

Moeliono, Anton. Dkk. (eds.).1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi I). Jakarta:Balai Pustaka. (Cetakan pertama)

Pastika, I Wayan. 2012. “Aspek-aspek Linguistik yang Tercecer dalam Penyusunan Tata BahasaIndonesia”. Dalam Kumpulan Makalah Seminar Nasional Indonesia. Denpasar:Universitas Udayana, 67—79.

Pulleyblank, D. 1997. “Optimality Theory and Features.” Dalam: Archangeli, D. and D. TerenceLangendoen (eds), 59—102.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997.Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka.

Schane, S.A. 1973. Generative Phonology. Englewood Cliffs: Prentice Hall.

Sinclair, John, Hanks, Patrick and Fox, Gwyneth. 1987 (eds.). Collins Cobuild EnglishDictionary. London: Collins Publishers.

Sneddon, James Neil. 1996. Indoenesian Reference Grammar. NSW Australian: Allen &Unwin.

Wilkinson, R.J. tth. Malay-English Dictionary (Romanised). Tokyo: Daitoa Syuppan KabusikiKaisya.

Yamilah, M. dan Sasoerizal, S.1994. Bahasa Indonesia untuk Pendidikan Tenaga Kesehatan.Jakarta: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes RI.

Page 56: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Agustus 2012, 167-181 Tahun ke-30, No. 2Copyright©2012, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

KEBERTAHANAN BAHASA BALI PADA TRANSMIGRAN BALIDI PROVINSI LAMPUNG

Ni Luh Nyoman Seri Malini*Universitas Udayana

[email protected]; [email protected]

Abstrak

Keanekaragaman kelompok etnis di Provinsi Lampung membawa implikasitersendiri bagi vitalitas bahasa daerah yang mengalami kontak, termasuk bahasaBali, yang hidup dan berkembang di daerah tersebut. Penerapan metode observasipartisipasi digunakan untuk menjaring data lisan yang dikumpulkan dari kata-katadan tindakan nyata para transmigran Bali di kantong-kantong transmigran Bali diProvinsi Lampung. Data dianalisis dengan menggunakan teknik kualitatif dankuantitatif. Transmigran Bali adalah masyarakat dwi/multilingual yangmenggunakan bahasa Bali pada ranah keluarga, kesenian, dan religi. Secarapragmatis percakapan antar/intertransmigran diwarnai oleh interferensi fonologis.Sikap positif terhadap bahasa Bali dan dukungan oleh berbagai faktor luarmenyebabkan kebertahanan bahasa Bali di Lampung cukup baik.

Kata kunci: transmigran Bali, interferensi, sikap bahasa

Abstract

The diversity of ethnic groups in Lampung Province brings its own implications forthe vitality of local languages in contacting with other languages, including Balineselanguage which spreads in the area. The participatory observation method wasapplied to collect verbal data from the expressions and action produced by Balinesetransmigrants in Lampung Province. Data were analyzed using qualitative andquantitative techniques. The findings show that Balinese migrants are bi/multilingual. They use Balinese language in the family, art, and religion domains.Pragmatically, their conversations are colored by phonological interference. Theirpositive attitude towards Balinese language and support by various external factorsled to the maintenance of Balinese language in Lampung relatively well.

Keywords: Balinese, migrants, interference, language attitude

PENDAHULUAN

Salah satu isu yang menonjol dalam kajian pemertahanan/kebertahanan (selanjutnya digunakanistilah kebertahanan karena berimplikasi pada keadaan bertahan yang tidak direncanakanpenuturnya) dan pergeseran bahasa ialah ketidakberdayaan migran minoritas mempertahankanbahasa asalnya dalam persaingan dengan bahasa mayoritas. Pergeseran bahasa terjadi ketikamasyarakat memutuskan untuk memilih bahasa atau unsur kebahasaan dari bahasa yang baruuntuk menggantikan bahasa atau unsur kebahasaan yang lama. Sebaliknya, kebertahanan bahasaterjadi bila masyarakat memutuskan untuk meneruskan pemakaian bahasa atau unsurekebahasaan yang selama itu digunakan.

Pada tulisan ini dibahas kebertahanan suatu bahasa di luar wilayah pakai aslinya:bagaimana kebertahanan bahasa Bali di wilayah transmigrasi, seperti di provinsi Lampung.Penelitian Sutjaja (1991) merupakan penelitian awal yang mengungkapkan perubahan bahasasecara umum di daerah transmigran. Sutjaja tidak menjelaskan secara rinci perubahan bahasalisan dan tulis dalam berbagai ranah. Penutur bahasa Bali masih setia menggunakan bahasa Balidalam kehidupan sehari-hari. Faktor-faktor, seperti umur, jangka waktu tinggal, kelas sosial,jenis pekerjaan, dan topik pembicaraan, menentukan pilihan variasi bahasa yang digunakan

Page 57: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Ni Luh Nyoman Seri Malini

168

baik tertulis maupun lisan (Sutjaja 1996). Demikian juga penggunaan istilah kekerabatan danvariasi tutur sapa bahasa Bali yang digunakan oleh keluarga dosen di Lampung masih cukupbertahan (Wetty 1996). Hal berbeda dikemukakan oleh Kismosuwartono (1991:107). Iamenemukan penggunaan bahasa Jawa oleh anak-anak transmigran Bali dalam kehidupansehari-hari. Kendati pihak orang tua berbicara dalam bahasa Bali, anak-anak mudamenjawabnya dengan bahasa Jawa. Khazanah kosakata bahasa Bali di Lampung Tengah telahdisusupi bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Lampung. Penyusupan leksem bahasaIndonesia sering dilakukan untuk menggantikan leksem bahasa Bali yang tidak diketahui bentukAlus oleh penutur, sementara situasi tutur menuntut pemakaian bahasa ragam Alus (Dhanawaty1993).

Dari kajian terdahulu ditemukan realitas penggunaan bahasa Bali oleh transmigran Balidi Lampung. Jika dihitung dari awal penempatan penduduk asal Bali di Lampung pada saatprogram transmigrasi dimulai (sejak pra-Pelita), bahasa Bali mampu bertahan di tengahkeanekaragaman etnis, bahasa, dan situasi sosial-budaya selama kurang lebih lima dasawarsa,padahal jumlah transmigran asal Bali jauh lebih sedikit dibandingkan dengan transmigran asalpulau padat penduduk lainnya, yakni Pulau Jawa. Jumlah penduduk Jawa di Lampung sebanyak61,89% dari jumlah penduduk Lampung. Situasi kemudian menjadi rumit dengan hadirnyabahasa yang secara nasional dominan, yakni bahasa Indonesia. Selama kurun 57 tahunkeanekaragaman kelompok etnis di Provinsi Lampung diyakini membawa implikasi tersendiribagi vitalitas bahasa daerah yang mengalami kontak di daerah tersebut. Penelitian mengenaikondisi kebertahanan bahasa Bali di Provinsi Lampung dilihat dari beberapa kriteria, yakni (1)pola-pola pemakaian bahasa, (2) faktor demografi, dan (3) sikap terhadap bahasa asal.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini mengikuti alur berpikir fenomenologis, yakni berupaya menggambarkanfenomena kehidupan sosial bahasa etnis Bali berdasarkan pandangan mereka sendiri tanpaadanya standardisasi dan batasan. Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifatdeskriptif etnografis. Adapun daerah yang menjadi fokus penelitian adalah enam desa di tigakabupaten berbeda yang menjadi desa rintisan transmigrasi dan daerah tujuan transmigrasipenduduk provinsi Bali. Desa-desa yang menjadi lokasi penelitian adalah Desa Rama Gunawan,Rama Dewa, dan Rama Nirwana di Kabupaten Lampung Tengah; Desa Toto Mulyo dan Mesujidi Kabupaten Tulang Bawang; Desa Rejobinangun Raman Utara di Kabupaten LampungTimur.

Data dalam penelitian ini berupa ujaran lisan, data tulis, dan intuisi bahasa peneliti. Datalisan dikumpulkan dari kata-kata dan tindakan nyata warga transmigran Bali melalui observasipartisipasi, wawancara tidak terstruktur, dan dokumentasi. Data tulis dikumpulkan melaluikuesioner. Intuisi dapat dipakai apabila peneliti sekaligus sebagai penutur asli dari bahasa yangsedang diteliti. Data yang berupa ujaran lisan ditranskripsikan dan diklasifikasi. Kesimpulanditarik dengan mempertimbangkan intuisi peneliti, yang merupakan penutur jati bahasa Bali.

TEORI PERUBAHAN BAHASA

Perubahan tingkah laku berbahasa pada saat bahasa itu digunakan banyak memunculkanfenomena kebahasaan. Menurut Labov (1994). Gejala seperti ini sering diawali denganpenyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa dari norma-norma yang telah baku. Suatuperubahan atau pergeseran pasti diawali dari sesuatu yang kecil (anything is likely to have asmall beginnings). Kalau penyimpangan sejenis ini digunakan oleh seorang penutur ataukelompok penutur, variasi bahasa akan terjadi. Seperti yang telah diuraikan di atas, variasibahasa merupakan proses awal dari suatu pergeseran atau perubahan bahasa yang sedangberlangsung (language change in progress).

Page 58: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

169

Situasi kebahasaan pada komunitas tutur yang dwibahasawan atau multibahasawanmenimbulkan pilihan bahasa bagi masing-masing komunitas tutur. Sebagai konsekuensi pilihanbahasa tersebut adalah pola penggunaan bahasa. Pola penggunaan bahasa yang mantapmenyebabkan adanya kebertahanan bahasa (language maintenance), sedangkan pola yanggoyah menyebabkan pergeseran bahasa (language shift). Wujud pemertahanan bahasa dapatdilihat dari kenyataan bahwa bahasa tersebut masih dipilih dan dipakai pada ranah-ranahpenggunaan bahasa oleh para penuturnya. Menurut Fishman (1968) indikator utama penandapemertahanan atau pergeseran bahasa adalah ranah penggunaan bahasa.

Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan. Pertama, memilih satu variasidari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang penutur bahasa berbicarakepada orang lain dengan menggunakan bahasa Bali Alus, misalnya, ia telah melakukan pilihanbahasa kategori pertama ini. Kedua, melakukan alih kode (code switching), artinyamenggunakan satu bahasa untuk suatu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain untukkeperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga, melakukan campur kode (code mixing),artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.

Pilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa disebabkanoleh berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp (dalam Grosjean 1982: 125)mengidentifikasikan empat faktor utama penyebab pilihan bahasa penutur dalam interaksisosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi, (2) partisipan dalam interaksi, (3) topikpercakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti makan pagi dilingkungan keluarga, rapat di kelurahan, syukuran kelahiran anak di sebuah keluarga, kuliah,dan tawar-menawar barang di pasar.

Dinamika pemertahanan dan pergeseran bahasa tidak terlepas juga dari psikologi sosialdalam bidang bahasa yang melahirkan pengertian tentang sikap bahasa. Gardner and Lambert(1972), misalnya, menggunakan pendekatan psikologi sosial dengan menerapkan metode reaksievaluatif terhadap variasi bahasa di kalangan penutur-penutur antaretnik yang dwibahasawan.Fishman (1972:151) juga mengakui bahwa di dalam banyak contoh, pengakuan perilakuterhadap bahasa merupakan topik yang sangat penting untuk mengkaji perilaku sosial melaluibahasa. Oleh karena itu, teori psikologi sosial diterapkan dalam mengkaji sikap bahasatransmigran Bali di Lampung terhadap bahasa Bali.

POLA-POLA PEMAKAIAN BAHASA TRANSMIGRAN BALI

Khazanah kebahasaan transmigran Bali di Lampung sangat tinggi. Secara umum, transmigranasal Bali menguasai lebih dari dua bahasa secara aktif, seperti terlihat pada Diagram 1

Diagram 1. Penguasaan Bahasa Transmigran Bali

Bahasa yang dikuasai aktif

BB

20%

BJ10%

BB, BJ

10%BB, BI

20%

BB, BJ, BI

10%

BB, BJ, BL, BI20%

Tdk menjawab

10%BB

BJ

BB, BJ

BB, BI

BB, BJ, BI

BB, BJ, BL, BI

Tdk menjawab

Page 59: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Ni Luh Nyoman Seri Malini

170

Menurut seorang informan, Wayan Bawa, dari Rama Nirwana di Lampung Tengah,

(1) “ …Dini yen ngajak nyama-nyama Bali raga ngomong Bali ye.. Yen ada nyamaJawa ajak di grup to..bisa mase ngomong Jawa anu ane biasa-biasa. Nak Balidini nak bisa ye basa Jawa. Onyo bisa…Tapi nah yen dawa- dawa satua eBahasa Indonesia anu sai manggo…”(… Di sini (maksudnya di Lampung-pen), jika berbicara sesama saudara dariBali, menggunakan Bahasa Bali. Jika ada saudara dari Jawa, bisa juga berbahasaJawa yang sederhana. Semua orang Bali di sini bisa berbahasa Jawa. Tapi jikacerita kita panjang-panjang, Bahasa Indonesia yang sering digunakan…)

Seperti yang terlihat pada diagram, transmigran Bali minimal menguasai bahasa Bali,kemudian diikuti penguasaan bahasa Indonesia serta bahasa etnis lainnya, seperti bahasa Jawadan Lampung. Bahasa yang pertama kali diperoleh oleh para transmigran umumnya adalahbahasa Bali. Bahasa ini diperoleh dan dipelajari secara informal karena hanya lingkungankeluarga (rumah tangga) satu-satunya tempat pemerolehan mengingat bahasa Bali tidakdiajarkan secara resmi di sekolah. Begitu juga halnya dengan bahasa Jawa yang dipelajari olehtransmigran Bali secara informal melalui sosialisasi dan pergaulan dengan etnis Jawa.Kurikulum di Lampung, sebagaimana di daerah-daerah lain di Indonesia, hanyamengakomodasi pengajaran bahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat, dalam hal ini bahasaLampung. Walaupun diajarkan di sekolah, bahasa Lampung amat jarang digunakan olehtransmigran Bali dalam komunikasi sehari-hari. Bahkan, bahasa Lampung pun jarang puladigunakan para transmigran kepada penduduk pribumi Lampung.

Transmigran Bali adalah dwibahasawan. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiapdwibahasawan yang tidak memiliki tingkat penguasaan yang seimbang terhadap bahasa-bahasayang dikuasainya akan melakukan interferensi dalam berbahasa. Hal itu disebabkan perkenalanseorang penutur atau kelompok penutur dengan bahasa lain. Weinreich (1968:1)mengemukakan bahwa interferensi adalah penyimpangan yang terjadi dalam tuturan paradwibahasawan sebagai akibat pengenalannya terhadap bahasa lain. Selanjutnya Weinreich(1968) menambahkan interferensi adalah kekeliruan-kekeliruan yang disebabkan olehterbawanya kebiasaaan ujaran bahasa atau dialek bahasa ibu ke dalam bahasa kedua atau dialekbahasa kedua. Pengertian interferensi tersebut hanya memperhatikan gejala tutur. Oleh karenaitu, pengertian interferensi diperluas lagi oleh pakar lain. Haugen (1974:12) mengatakan bahwainterferensi adalah pengambilan unsur-unsur dari satu bahasa dan digunakan dalamhubungannya dengan bahasa lain. Penggunaan unsur tersebut terjadi baik ketika seseorangberbicara maupun menulis dalam bahasa lain.

Mackey (dalam Fishman 1972:565) juga mendefinisikan interferensi sebagai penggunaanunsur satu bahasa yang terbawa pada waktu seseorang berbicara atau menulis dalam bahasa lain.la juga mengatakan bahwa tipe interferensi bergantung pada apakah seseorang berbicara dalambahasa kedua atau hanya sekadar untuk memahami apa yang didengar atau dibacanya. Jika iaberbicara dalam bahasa kedua, sedangkan pola-pola bahasa ibunya sudah sangat berakar padadirinya, bahasa ibunya akan mengganggu penggunaan bahasa kedua yang sedang dipelajarinya.Sebaliknya, jika ia hanya berusaha memahami bahasa kedua tersebut, pemahaman itu lebih mudahapabila kedua bahasa tersebut mirip satu dengan lainnya. Dengan demikian, cakupan interferensitidak hanya terbatas pada bahasa lisan, tetapi juga bahasa tulis.

Interferensi fonologis merupakan gejala yang wajar ditemukan dalam masyarakatbilingual, termasuk di Provinsi Lampung. Gejala tersebut merupakan salah satu karakteristikkebahasaan bahasa Bali di Lampung.

Berdasarkan informasi yang dijaring melalui kuesioner ditemukan terdapat perbedaanpenulisan huruf-huruf vokal, yaitu dari tulisan dan ucapan [a] /ə/ menjadi [o] /O/, seperti teka/təkə/ menjadi teko/təkO/, ia /iyə/ menjadi /iyO /; [i] /I/ menjadi [e] /e/, seperti jait /jaIt/menjadi /jaet/; [u] /u/ menjadi [o] /O /. seperti belus /bəlus/, gugut /gugut/, ikut /Ikut/, jagur

Page 60: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

171

/jagur/, ulung /uluN/, labuh /labuh/ menjadi kata /bəlOs/, /gugOt/, /ikOt/, /jagOr/, /ulON/,/labOh/.

Tabel 1. Perbedaan Penulisan Huruf VokalOrtografi Bunyi Ortografi

BaliBunyi Ortografi

transmigranBunyi Arti

[a] /ə/ Teka /təkə/ Teko /təkO/ DatangIa /Iyə/ Iyo /IyO / Dia

[i] /I/ Jait /jaIt/ Jaet /jaet/ Jahit[u] /u/ Belus /bəlus/ Belos /belOs/ Basah

Gugut /gugut/ Gugot /gugOt/ GigitIkut /Ikut/ Ikot /ikOt/ Ekor

Jagur /jagur/ Jagor /jagOr/ PukulUlung /uluN/ Ulong /ulON/ JatuhLabuh /labuh/ Laboh /labOh/ Jatuh

Bahasa Bali baku memiliki 24 fonem, yang terdiri atas 6 fonem vokal /a, i, e, u, o, ə /dan 18 konsonan /p, b, m, t, d, n, c, j, ɲ, s, l, r, k, g, ŋ, w, y, h/1 (Warna dkk.1983; Sulaga dkk.1996). Pada penelitian selanjutnya, Pastika (2005) menyatakan bahwa bahasa Bali dibagi

menjadi vokal /a, i, e, u, o, ə /, semivokal /w,y/, dan konsonan /p, b, m, t, d, n, c, j, ɲ, s, l, r, k,g, ŋ, h/. Secara teoretis perubahan bunyi tersebut dapat dipahami karena berdasarkan tinggi-rendahnya, bunyi-bunyi tersebut memiliki posisi yang berdekatan, seperti bunyi /ə/ sedangtengah menjadi /O/ sedang belakang, bunyi /I/ tinggi menjadi /e/ sedang , bunyi /u/ tinggimenjadi /o/ sedang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perubahan bunyi vokal bahasa Bali padatransmigran Bali dari bunyi-bunyi sedang tengah ke bunyi sedang belakang dan dari bunyitinggi ke bunyi sedang. Pada penulisan terdapat perubahan bunyi dari bunyi tinggi ke sedangdan dari bunyi rendah ke bunyi sedang.

Fonem-fonem vokal bahasa Bali umumnya memiliki distribusi yang lengkap: dapatterletak di awal, tengah, dan akhir, kecuali fonem vokal /a/ yang tidak memiliki distribusi akhir.2

Akan tetapi, pada bahasa Bali dialek Bali Aga justru sebaliknya. Di sana tidak ada fonem /ə/yang terletak di posisi akhir. Kalau dalam Bali Aga banyak terdapat kata yang berakhir denganfonem /a/, dalam bahasa Bali (Dataran) akan didapati berakhir dengan /ə/. Fonem konsonanbahasa Bali pun tidak semuanya memiliki distribusi yang lengkap. Fonem-fonem konsonanpalatal, seperti /c, j, ø/, konsonan velar /y/, serta konsonan bilabial /w/ tidak dapat mendudukiposisi akhir, sedangkan fonem konsonan yang lain memiliki distribusi yang lengkap yang dapatberposisi di awal, tengah, dan akhir.

Interferensi fonologis di atas merupakan pilihan transmigran dalam penggunaan bahasa.Pilihan untuk menggunakan suatu bahasa pada ranah tertentu secara menonjol ditentukan olehfaktor utama, yakni sosial-ekonomi. Dalam uraian sebelumnya mengenai pilihan bahasa telahdijelaskan bahwa transmigran Bali menggunakan bahasa Bali dalam berbagai aspek kehidupan.Secara umum, bahasa Bali masih terpelihara, terwariskan, dan terkembangkan selama empatgenerasi (Sutjaja1990/1992 dan 1996). Hal ini sudah terjadi selama hampir 53 tahun, yaknimulai tahun 1957.

Ada kecenderungan transmigran Bali untuk bersikap akomodatif dan toleran terhadapetnis lain, sebagaimana yang diutarakan oleh Wayan Bawa diatas. Dalam berkomunikasi denganetnis lain, etnis Bali cenderung mengakomodasi pilihan bahasanya sesuai dengan bahasa lawantuturnya: .. Yen ada nyama Jawa ajak di grup to..bisa mase ngomong Jawa anu ane biasa-biasa. Nak Bali dini nak bisa ye basa Jawa. (Jika ada saudara dari Jawa, bisa juga berbahasaJawa yang sederhana. Semua orang Bali di sini bisa berbahasa Jawa).

Page 61: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Ni Luh Nyoman Seri Malini

172

Menurut Sumarsono (1993:13-14), pemertahanan bahasa, dalam situasi adanya interaksidan terjadinya kedwibahasaan, dapat terjadi dengan atau tanpa harus menyerap unsur-unsurnonbahasa atau unsur budaya kelompok etnik lain. Dalam kondisi apa pun tipe pemertahananbahasa, setiap kelompok masih mempertahankan bahasa masing-masing. Pemertahanan itumerupakan kenyataan bahwa suatu bahasa masih dipakai dan dipilih dalam situasi tertentu.Salah satu cara untuk menguji pilihan bahasa itu adalah analisis ranah sebagaimana yangdianjurkan Fishman (1972). Terkait dengan penggunaan bahasa, Holmes (2001:63-64)menyampaikan bahwa makin luas ranah penggunaan suatu bahasa, peluang bahasa tersebutuntuk bertahan akan makin besar.

Meskipun bersikap akomodatif, pemilihan dan penggunaan bahasa Bali masih terlihatdominan pada ranah-ranah penting bagi proses pemertahanan sebuah bahasa, yakni pada ranahrumah tangga (keluarga), ranah kegiatan religi, dan kesenian rakyat. Dalam ranah keluarga,responden menunjukkan bahwa pilihan bahasa yang dominan pada anak-anak dan orang tuadalam berkomunikasi adalah bahasa Bali. Artinya, terdapat upaya mempertahankan danmewariskan penggunaan bahasa Bali kepada anak-anak mereka.

Sementara itu, dalam ranah kegiatan religi dan kesenian rakyat, pemilihan danpenggunaan bahasa yang mendominasi adalah bahasa Bali. Faktor yang berperan dalam hal iniadalah kondisi yang kondusif yang tercipta di daerah transmigran, yaitu kondisi yang terciptasesuai dengan daerah asal transmigran, yakni Pulau Bali. Di daerah transmigran, atas fasilitasdari pemerintah dan dengan kerja keras generasi transmigran terdahulu, di sebagian besar desa,ciri kebalian berhasil dimunculkan, antara lain dengan mendirikan Kahyangan Tiga atau pura-pura lainnya di desa-desa.

Kegiatan pemertahanan bahasa Bali juga dilakukan dalam kegiatan-kegiatankeagamaan bersama-sama dengan keluarga, seperti yang dinyatakan Wayan Lording,tranmigran Bali generasi pertama, 1958 berikut ini.

(2) P : Yen bapak jak anak-anake kije yen ke pura ne? Kalau bapak dan anak-anak, di sini pura mana yang dituju?

I : Yen dini di desa, nak be ada pure Puseh, Desa, jak pura Dalem, pura Gede.Pusatne ne di Waelunik di Tanjung Karang. Di gunung… Pura Waelunikane sungsunge ken seluruh Bali Lampung e.Kalau di desa ini, memang sudah berdiri pura Puseh, Desa, dan pura Dalem.Pura yang utama berpusat di Way Lunik, Tanjung Karang. Di gunung… Purainilah yang diusung oleh semua Bali Lampung.

Terdapat juga program pasraman bagi anak-anak tingkat SD dan SMP yang beragamaHindu di Lampung Tengah dan di Lampung Timur, sedangkan di Kabupaten Tulang Bawangbelum ada pasraman. Kegiatan di pasraman berlangsung setiap sore hari setelah jam pelajaransekolah. Di pasraman inilah anak-anak diajari pelajaran agama Hindu, bahasa Bali, sertaberagam bentuk kesenian khas Bali. Keberadaan pasraman ini menunjukkan keinginantransmigran Bali di Provinsi Lampung untuk mempertahankan dan mengembangkankebudayaan mereka. Lembaga yang bersifat kerakyatan dan tradisional, seperti pasraman,berfungsi sebagai sarana untuk mengajarkan bahasa Bali dan mewariskan tradisi dan ekspresi-ekspresi kebudayaan Bali (Hindu).

Untuk pengembangan seni tradisional, di samping di pesraman, terdapat juga sekaa-sekaa kesenian di masing-masing desa yang beranggotakan transmigran Bali, terutama parapemudanya. Banyaknya anak-anak muda yang tergabung dalam seni tradisional berdampak baikbagi proses pemertahanan bahasa Bali karena ranah penggunaan dan pajanan terhadap bahasaBali menjadi terjaga sehingga memperbesar peluang bagi bahasa Bali untuk dipertahankan.Penggunaan bahasa Bali Alus mewarnai percakapan antara peneliti dan informan yangmerupakan pembina kesenian di Desa Rama Dewa, Seputih Raman, Lampung Tengah. Hal inimengindikasikan bahwa seni, khususnya pembina, memiliki peran penting dalam upayapemertahanan bahasa Bali.

Page 62: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

173

Keberadaan lembaga atau kelompok informal tersebut mendukung pengembanganbahasa Bali. Pemberdayaan masyarakat yang muncul dari kalangan penutur itu sendiri,mewujudkan pemberdayaan lembaga kerakyatan tradisional seperti itu juga ditemukan padakomunitas migran asal Jawa di Suriname (Koesobjono 2000). Akan tetapi, menurutKoesonjono, hal yang harus diperhatikan adalah pewarisan kebudayaan, termasuk bahasa didalamnya secara oral akan memunculkan kecenderungan banyak aspek kebudayaan akanmenjadi kabur, menyimpang dari aslinya, mendapatkan interpretasi baru, bahkan menghilangseiring dengan perjalanan waktu. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah yang bersifatlebih berkelanjutan dan sistematis.

FAKTOR DEMOGRAFI

Jika diperhatikan pola permukiman transmigran Bali, dapat dikatakan bahwa faktor ini,meskipun juga terpaut dengan faktor lainnya, dapat mendukung proses pemertahanan bahasaBali di Lampung. Terdapat dua pola permukiman bagi warga transmigran: 1) integratedpluralism (keragaman terpadu, yakni pemukim/transmigran yang berasal dari berbagai daerahdimukimkan pada suatu wilayah, dan kelompok transmigran tersebut tidak dipisahkan secarageografis menurut wilayah atau kesukuan) dan 2) pola segregated pluralism (keragamanterpisah, yakni transmigran yang berasal dari satu daerah dimukimkan pada wilayah tertentu).

Jika memperhatikan kondisi demografis dan geografis daerah transmigrasi di Lampung,akan sulitlah membedakannya dengan situasi di Bali. Di Kabupaten Lampung Tengah danLampung Timur, faktor lingkungan mendukung usaha pemertahanan bahasa Bali karena polapermukiman yang cenderung terpisah dengan kelompok penutur bahasa non-Bali. Oleh sebabitu, seorang penutur bahasa Bali yang datang ke Lampung Tengah akan merasa seperti beradadi kelompok masyarakat Bali di Bali.

Masyarakat transmigran di Lampung ditempatkan dengan menerapkan polapermukiman integrated pluralism (keragaman terpadu), yaitu penempatan transmigran secaraterpadu, atau dalam satu lokasi terdapat transmigran dari berbagai kelompok etnik dan agama.Kondisi tersebut terjadi di daerah Lampung Tengah dan Lampung Timur. Di Kabupaten TulangBawang, di beberapa lokasi, seperti Kampung Tua dan Mesuji, masyarakat menempati lokasiyang segregated pluralism. Pola permukiman tersebut sangat mempengaruhi perilaku berbahasatransmigran Bali.

Menurut Holmes (2001:59), demografi merupakan faktor terkait yang jugamempengaruhi bahasa itu bertahan, bergeser, atau berubah. Terkait dengan itu, bila sebuahkelompok cukup besar dan terdapat banyak penutur dan dengan alasan yang berterima mampumengisolasi diri dari kontak dengan kelompok mayoritas, setidaknya dalam beberapa ranah,peluang untuk suatu bahasa bertahan akan makin besar. Kemudian, bilamana anggota komunitasetnis tinggal dalam satu lingkungan yang sama, hal ini juga membantu bahasanya untuk dapatbertahan lebih lama.

Wilayah permukiman penutur suatu bahasa merupakan faktor yang sangat pentingdalam kehidupan bahasa itu. Pengalaman, misalnya, ditunjukkan oleh guyup tutur Loloan(Sumarsono 1993). Sumarsono menyampaikan bahwa pusat permukiman yang mampumendukung pemertahanan bahasa itu biasanya didukung oleh keterpisahan geografis darikelompok-kelompok lain, terutama kelompok mayoritas, yang kadang-kadang disertai olehketerpisahan sosial dan ekonomi, meskipun tidak sampai menjurus ke arah keterisolasian.Pengaruh signifikan faktor demografi dengan pola permukiman juga disampaikan olehAdisaputera (2010). Adisaputera menyampaikan bahwa masuknya etnis non-Melayu di wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan konsentrasi penduduk Melayu menyebabkan adanyapembauran secara social sehingga berdampak pada penyusutan wilayah konsentrasi etnisMelayu. Menyusutnya “kantong-kantong Melayu” selanjutnya berdampak pada menurunnyaintensitas penggunaan bahasa Melayu Langkat.

Page 63: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Ni Luh Nyoman Seri Malini

174

Di samping kondisi lingkungan dan pola permukiman, frekuensi kontak dengan daerahasal juga mendukung proses pemertahanan suatu bahasa. Antara Provinsi Bali dan ProvinsiLampung terdapat ketansinambungan geografis dengan jarak sekitar 1.500 km. Meskipundiantarai oleh lautan dan daratan, dewasa ini ketika zaman sudah makin berkembang, perbedaanjarak dan waktu tidak menjadi faktor penghambat bagi kelangsungan komunikasi. Telahterdapat berbagai media bagi terwujudnya kontak tersebut. Kondisi transportasi yang sudahmakin maju dan berkembang bisa memperlancar arus perjalanan kunjungan transmigran Baliuntuk pulang atau berkunjung ke daerah asalnya dalam rangka menjaga jalinan kekerabatandengan sanak saudaranya. Hal ini terutama berlaku bagi generasi yang lebih tua. Frekuensikunjungan mereka ke Bali tidak tergantung apakah ada upacara atau acara keluarga di Bali.Untuk generasi muda dan anak-anak, kesempatan pulang ke Bali lebih sedikit daripada paraorang tua. Hal itu disebabkan masalah ekonomi dan efisiensi. Akibatnya, mereka jarangberkesempatan menyaksikan dan menjalani kehidupan Bali secara langsung. Akan tetapi,kontak bagi kalangan ini tetap terjadi melalui media lain, seperti sarana telekomunikasi danmedia audio-visual, seperti publikasi di media massa Bali TV, dan kiriman kaset-kasetkesenian, VCD gamelan, wayang, drama gong, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan identitaskebalian mereka. Sebagai sarana hiburan, hampir sebagian besar transmigran Bali memilikiparabola. Hal tersebut sangat memungkinkan mereka untuk mendapatkan informasi dari Balimelalui siaran Bali TV.

Peran generasi muda dalam kegiatan seni juga turut membantu mempertahankanbahasa Bali. Peran generasi muda terlihat pada acara-acara kesenian dan keagamaan, sepertimengikuti lomba Ogoh-Ogoh pada perayaan Hari Raya Nyepi . Kegiatan tersebut terlihatseperti pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Partisipasi Generasi Muda dalam Kegiatan Seni

Usaha-usaha di atas harus dimaknai positif sebagai usaha pemertahanan seni, bahasaBali, dan identitas kebalian transmigran Bali (Malini 2008) karena mereka dapat menjadikanapa yang mereka tonton sebagai model, yang selanjutnya membantu proses identifikasi merekasebagai orang Bali, walaupun keberadaan sarana seperti ini masih belum mendukungpemelajaran bahasa Bali termasuk ragam aras tuturnya untuk model pemelajaran aktif.

Faktor demografi dan geografi juga menyebabkan transmigran Bali beradaptasi denganbudaya setempat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, transmigran Bali mengikuti budayamayoritas (dalam hal ini budaya Jawa), tetapi tetap mempertahankan budaya sendiri. Haltersebut terlihat antara lain dalam acara maaf-memaafkan dan silaturahmi ke rumah-rumah padaHari Raya Galungan. Tradisi tersebut biasanya dilakukan oleh umat Islam dan etnis Jawa diseluruh Indonesia, termasuk di Lampung, tetapi diikuti juga oleh transmigran Bali. Tradisitersebut, misalnya, terlihat pada gambar di bawah ini.

Page 64: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

175

Gambar 2 Silaturahmi Antarwarga setelah Persembahyangan pada Hari Raya Galungan

Hal berbeda dengan tradisi etnis Bali secara umum juga tampak pada acara potong gigidi Tulang Bawang. Salah satu rangkaian dalam upacara tersebut adalah acara basuh kaki orangtua, yang kemudian dilanjutkan dengan sungkeman kepada orang tua oleh mereka yang akanmenjalani upacara potong gigi, seperti terlihat pada gambar di bawah.

Gambar 3 Rangkaian Upacara Potong Gigi Etnis Bali di Mesuji

Menurut Clifford (1979), ada empat hal yang mungkin dilakukan remaja etnik minoritasdalam upaya hidup bersama kelompok mayoritas, yakni asimilasi, marginalitas, separasi, danbikulturalisme. Asimilasi adalah mengadopsi norma-norma budaya mayoritas dan standarmereka, tetapi tetap menganggap mayoritas bukan sebagai kelompoknya. Marginalitas(marginality) adalah hidup bersama budaya mayoritas, tetapi sebagai orang asing dan tidakditerima. Separasi (separation) adalah memisahkan diri dari budaya mayoritas dan tetapmemakai budaya sendiri. Bikulturalisme adalah mengadopsi nilai-nilai mayoritas dan minoritassecara bersamaan. Secara skematik, keempat hal tersebut dapat digambarkan dalam baganberikut ini.

Bagan 1. Upaya Remaja Hidup Bersama Etnis Mayoritas dan Minoritas

Page 65: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Ni Luh Nyoman Seri Malini

176

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa transmigran Bali mengikuti budaya mayoritas dengantetap mempertahankan budaya sendiri. Pada suatu kesempatan mereka melakukan kedua budaya(bikultural) dan pada kesempatan lain mereka hanya melakukan budaya sendiri (asimilasi).Dalam berinteraksi dengan etnis mayoritas (Jawa dan etnis lain) transmigran Bali di Lampungmengalami proses perusakan dan pengintegrasian secara silih berganti dalam suatu mekanismeyang disebut peningkatan adaptasi (adaptive upgrading) atau adaptasi dengan modifikasi(adaptive modification). Berdasarkan pengamatan, tidak ada transmigran Bali di Lampung yangtidak mengikuti budaya mayoritas dan hanya mempertahankan budaya sendiri (separasi danmarginalitas).

SIKAP TERHADAP BAHASA ASAL

Menurut Suhardi (1996:14), semula istilah sikap merupakan pokok utama bahasan bidangpsikologi sosial. Mengikuti alur pemikiran Allport dalam Suhardi (1996) menjelaskan bahwasikap sebagai kesiagaan saraf dan mental tersusun melalui pengalaman yang memberikan arahatau pengaruh dinamis kepada tanggapan seseorang terhadap semua benda dan situasi yangberhubungan dengan kesiagaan itu. Dari pengertian itu tersirat bahwa sikap tidak dapat diamatisecara langsung, tetapi harus disimpulkan melalui introspeksi diri seorang subjek. Sementaraitu, Rokeach (1972) menjelaskan sikap sebagai tata kepercayaan (organization of beliefs) yangsecara relatif berlangsung lama terkait suatu objek atau situasi yang mendorong seseorang untukmenanggapinya dengan cara tertentu yang disukainya. Rokeach beranggapan bahwa setiapkepercayaan terdiri atas tiga bagian atau komponen, yakni komponen kognitif, komponenafektif, dan komponen perilaku. Komponen kognitif merujuk kepada pengetahuan seseorangpada apa yang benar atau salah, baik atau buruk, diinginkan atau tidak diinginkan. Komponenafektif berhubungan dengan penilaian seseorang mengenai suatu objek, apakah ia suka atautidak suka akan objek itu. Komponen perilaku berhubungan dengan kecenderungan seseoranguntuk bertindak.

Menurut Anderson (1974) sikap bahasa adalah tata kepercayaan yang berhubungandengan bahasa yang secara relatif berlangsung lama mengenai suatu objek bahasa yangmemberikan kecenderungan kepada seseorang (yang memiliki sikap bahasa itu) untuk bertindakdengan cara tertentu yang disukainya. Sikap bisa positif dan bisa juga negatif.

Berkaitan dengan sikap bahasa terhadap bahasa Bali, responden diberi sepuluh butirpertanyaan. Butir-butir pertanyaan tersebut dikaitkan dengan aspek kognitif, afektif, danperilaku (konatif) mereka terhadap bahasa Bali sebagaimana Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Butir pertanyaan berkaitan dengan sikap transmigran Bali terhadap Bahasa BaliAspekKognitif

1. Bahasa Bali adalah bahasa yang indah dan merdu

2. Bahasa Bali adalah pengemban budaya yang tinggiAspekAfektif

3. Sebagai orang Bali, saya bangga dapat berbahasa Bali4. Saya senang bila orang berbahasa Bali dengan saya5. Saya senang berbahasa Bali dengan orang Bali lainnya

AspekPerilaku/Konatif

6. Segala upaya perlu dilakukan untuk melestarikan bahasa Bali7. Bahasa Bali perlu terus dikembangkan (misalnya, kosakatanya ditambah)

8. Bahasa Bali harus diajarkan di sekolah meskipun di daerah yang minoritasberbahasa Bali

9. Pemerintah harus lebih aktif membina dan mengembangkan bahasa Bali

10. Perlu ada kampanye untuk menggunakan bahasa Bali diantara anggotakeluarga Bali

Page 66: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

177

Dari pertanyaan tersebut diperoleh hasil sebagaimana grafik berikut.

Grafik 1. Sikap Transmigran Bali terhadap Bahasa Bali

Pembahasan hasil penelitian sebagaimana berikut.

Aspek Kognitif Sikap BahasaBerkenaan dengan aspek kognitif, transmigran Bali diberikan pertanyaan berkenaan denganpersepsi mereka terhadap bahasa Bali. Dari Grafik 1, tiap-tiap komponen sikap bahasamenunjukkan persentase pilihan setuju dan tidak setuju masing-masing adalah 50% untukpernyataaan nomor (1). Begitu pula bila dikaitkan dengan pernyataan nomor (2), respondenmenyatakan 100% sangat setuju dengan bahasa Bali secara simbolis merupakan pengembankebudayaan yang tinggi dan merupakan bahasa yang indah dan merdu. Kecenderunganpersentase yang tinggi ini dapat ditafsirkan sebagai pengakuan mereka terhadap bahasa Bali,dalam hal ini berkaitan dengan keberadaan bahasa sebagai alat pengembangan kebudayaan,jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Oleh karena itu, bahasa jugamerupakan faktor penting dalam membentuk identitas kultural dan identitas sosial, termasukidentitas etnis anggota masyarakat.

Dalam hal ini, komponen kognitif sikap transmigran Bali di Provinsi Lampung terhadapbahasa Bali menyangkut apa saja yang mereka percayai terhadap bahasa Bali itu sendiri. Sepertipernyataan di atas, mengukur kepercayaan mereka atas keindahan dan kemerduan bahasa Baliserta fungsi bahasa Bali sebagai pengemban budaya yang tinggi.

Triandis (1971) menyatakan bahwa komponen kognitif sebagai gagasan umumnyaberupa kategori tertentu yang dipakai oleh manusia untuk berpikir. Kategori itu diperolehsebagai simpulan dari ketaatasasan dalam menanggapi berbagai rangsangan yang berbeda.Mann (dalam Azwar 2008: 24) menjelaskan bahwa komponen kognitif berisi persepsi,kepercayaan, dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Menurut Azwar(2008:24–25), sering apa yang dipercayai seseorang itu merupakan stereotipe atau sesuatu yangtelah terpolakan dalam pikirannya. Jadi, apabila telah terpolakan dalam pikiran para transmigranbahwa bahasa Bali merupakan sesuatu yang negatif atau tidak baik, segala yang dilakukanterkait usaha pelestarian bahasa Bali akan membawa asosiasi pola pikiran itu, terlepas darimaksud dan tujuan dilakukannya pelestarian terhadap bahasa Bali itu sendiri. Apabila demikiankenyataannya, apa pun juga yang menyangkut bahasa Bali akan membawa makna negatif danmereka menjadi percaya bahwa usaha pelestarian pun membawa arti yang kurang baik itu.

Namun, tidaklah demikian faktanya terhadap persepsi penutur Bali terhadap bahasaBali. Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of language norms), yang mendorong oranguntuk menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun, merupakan faktor yang sangat besarberpengaruh terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use) (Garvin

Page 67: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Ni Luh Nyoman Seri Malini

178

dan Mathiot 1968). Demikian juga halnya dengan transmigran Bali. Kesadaran yang telahdimilikinya merupakan sikap positif yang dimiliki transmigran Bali untuk mempertahankanbahasa Bali.

Aspek Afektif Sikap BahasaDari Grafik 1 terlihat bahwa untuk pernyataan yang berkaitan dengan komponen afektif (nomor3, 4, 5), 100% responden menyatakan setuju terhadap pertanyaan mengenai rasa banggamampu berbahasa Bali dan senang bila ada orang berbahasa Bali dengan responden. Untukpertanyaan mengenai perasaan jika berbahasa Bali dengan orang Bali lainnya, 70% menyatakansenang, 20% ragu-ragu, 10% tidak setuju. Secara umum hasil tersebut mengindikasikan sikappositif para transmigran.

Komponen afektif merupakan emosi yang mengisi gagasan. Apabila seseorang ‘merasasenang’ atau ‘merasa tidak senang’ kepada seseorang, sekelompok orang, sesuatu, atau suatukeadaan, dia memiliki sikap positif atau negatif kepada seseorang atau kepada hal yang lain.Sikap positif atau negatif ini biasanya ditentukan oleh hubungan objek sikap dengan keadaanyang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwakomponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalahemosi (Suhardi, 1996:23). Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling bertahanterhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang. Menurut Azwar(2008:26), secara umum komponen afektif dapat disamakan dengan perasaan yang dimilikiterhadap sesuatu yang sering bersifat subjektif. Kebanggaan bahasa (language pride)mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitasdan kesatuan masyarakat. Penelitian terdahulu (Malini, 2011) menyebutkan bahwa kemampuangenerasi muda dalam penggunaan bahasa Bali cenderung terdevaluasi. Banyak generasi mudatransmigran tidak suka memakai bahasa Bali. Ketidaksukaannya ini disebabkan oleh ketakutanbahwa mereka akan dianggap kampungan jika menggunakan bahasa Bali dalam pergaulan.Apabila mereka tahu bahwa bahasa Bali merupakan penanda identitas etnik dan pengembankebudayaan Bali yang adiluhung, sangatlah mungkin terbentuk sikap afektif yang positif.

Hasil pengukuran terhadap sikap responden menunjukkan kecenderungan sikap positifharuslah selaras dengan pemakaian dan penguasaan transmigran Bali atas bahasa Bali. Namun,hal ini perlu ditanggapi sebagai sesuatu yang prospektif bagi pelestarian bahasa Bali di daerahtransmigrasi.

Aspek Konatif Sikap BahasaBerkaitan dengan aspek perilaku transmigran Bali terhadap Bahasa Bali, terdapat lima butirpernyataan (nomor 6—10) yang diajukan kepada responden. Di sini terlihat kecenderunganbahwa jawaban responden antara setuju dan sangat setuju terhadap upaya pembinaan danpengembangan bahasa Bali. Hanya terdapat 10% responden tidak setuju akan pernyataan no. 6,yaitu Segala upaya perlu dilakukan untuk melestarikan bahasa Bali. Berdasarkan triangulasipernyataan responden, responden menyatakan bahwa transmigran Bali tidak boleh melakukanhal-hal yang bersifat negatif yang menggangu hubungan antartransmigran semata-mata demimelestarikan bahasa Bali. Selain itu, terdapat 10% responden menyatakan sikap ragu-raguterhadap pernyataan no. 7, yaitu Bahasa Bali perlu terus dikembangkan (misalnya, kosakatanyaditambah). Menurut responden. tidak perlu ada upaya khusus untuk itu, tetapi biarkan bahasaBali yang saat ini mereka gunakan seperti apa adanya. Namun, secara umum dari data di atastergambar bahwa transmigran Bali memiliki sikap positif terhadap upaya pembinaan danpengembangan terhadap Bahasa Bali.

Komponen ini, menurut Triandis (dalam Suhardi, 1996:24), menunjukkan adanyakecenderungan untuk bertindak. Seseorang menanggapi rangsangan-rangsangan di sekitarnya,pertama-tama dengan membuat kategori, kemudian menghubungkan kategori yang satu denganyang lainnya. Komponen perilaku dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku ataukecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang

Page 68: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

179

dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyakmempengaruhi perilaku. Azwar (2008:27) menyampaikan bahwa kecenderungan berperilakusecara konsisten, selaras dengan kepercayaan dan perasaan membentuk sikap individual. Olehkarena itu, logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang akan dicerminkannya dalambentuk tendensi perilaku terhadap objek. Sebagai contoh, apabila generasi muda transmigranBali di Lampung tidak percaya bahasa Bali mampu mengakomodasi kehidupan pergaulanmodern dan mereka merasa tidak suka pada bahasa Bali, wajarlah apabila mereka tidak mauberbahasa Bali.

Sikap bahasa yang positif, seperti yang ditunjukkan oleh data di atas, akan berdampakbaik bagi situasi pemertahanan bahasa. Sikap positif ini diharapkan akan menumbuhkan sikapsetia pada bahasa Bali. Loyalitas terhadap bahasa Bali ini makin terlihat ketika adanyadukungan dari tokoh setempat dan dari institusi, seperti PHDI. Dengan dukungan ini diharapkanterbentuk pola anutan dari golongan yang disegani. Kutipan di bawah ini memperlihatkanbahwa penutur Bali memiliki kesetiaan bahasa (language loyalty) terhadap bahasa Bali.

(3) P : Nggih , mangkin tentang bahasa perdagangan Pak.. ngih..Pak, misalnya adaseorang pemuda Bali kenten nggih menuturkan bahasa lain gimana menurutBapak?

I : Kalo mereka melontarkan bahasa lain tiang, justru kalo tiang sudah pahambener anak itu anak Bali, justru tiang jawab dengan bahasa Bali, walupunmereka melontarkan bahasa Indonesia, bahasa Jawa. Tiang jawab untukbahasa Bali …nak kita supaya apa ….supaya kedekatan kita. Nah, kalomisalnya anak–anak itu berbahasa Indonesia…Tiang jawab dengan bahasaBali …ya , karena kita tau persis bahwa anak itu anak Balilah ….nah,supaya mereka merasa memiliki bahasa itu dan kedekatan antarindividu inilebih dekat …ya, ketika kita saling berbahasa Bali gitu…

Sikap setia terhadap bahasa mendorong masyarakat mempertahankan bahasanya, bilaperlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. Secara umum dapat dikatakan para transmigranmemiliki sikap positif terhadap bahasa Bali. Hal ini menjanjikan asa yang cukup prospektif bagipemertahanan bahasa Bali di Lampung. Akan tetapi, kondisi ini perlu didukung oleh model dansistem perencanaan bahasa yang komprehensif dan sesuai dengan konteks situasi kebahasanyang dialami transmigran Bali.

SIMPULAN

Kondisi pemertahanan bahasa Bali di daerah transmigrasi Provinsi Lampung dapat dianggapbaik meskipun transmigran Bali adalah masyarakat yang dwibahasawan. Transmigran Balimemiliki sikap bahasa yang positif seperti yang ditunjukkan pada aspek kognitif, afektif, dankonatif . Ini berdampak baik bagi situasi pemertahanan bahasa. Sikap positif ini diharapkan akanmenumbuhkan sikap setia pada bahasa Bali. Keragaman kelompok etnis di Provinsi Lampungmembawa implikasi tersendiri bagi vitalitas bahasa daerah yang mengalami kontak di daerahtersebut. Kontak bahasa yang beragam menimbulkan situasi kedwibahasaan, bahkankemultibahasaan. Situasi kedwibahasaan pada suatu masyarakat tutur menimbulkankemungkinan pilihan bahasa yang menentukan pola penggunaan bahasa. Pola penggunaanbahasa yang mantap menyebabkan adanya kebertahanan bahasa (language maintenance),sedangkan pola yang goyah menyebabkan pergeseran bahasa (language shift). Untuk itu, perlupenanganan bahasa-bahasa yang hidup di daerah dengan frekuensi kontak tinggi, terutamabahasa daerah di luar daerah pakai aslinya, melalui implementasi kebijakan bahasa yang tepat.

Page 69: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Ni Luh Nyoman Seri Malini

180

CATATAN

* Penulis berterima kasih kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untukperbaikan makalah ini.

1 Studi yang dilakukan oleh Sutjiati-Beratha (1992:93-94) menunjukkan bahwa tidak ada perubahankhazanah fonem dari bahasa Bali Kuna ke bahasa Bali Modern.

2 Tulisan ini sependapat dengan Pastika (1991); Sutjiati-Beratha (1992); Dhanawaty (2002) yangmenganggap bahwa bunyi [ə] pada akhir kata merupakan realisasi dari fonem /a/. Oleh Dhanawaty(2002:125) dibuktikan bahwa bunyi [ə] pada posisi akhir kata dasar yang berubah posisi-menempatiposisi tengah akibat penambahan sufiks, ligatur, penanda posesif, atau penanda definit-kembali berubahmenjadi[a], seperti[təkə] + {-in} [təkaIɳ][bapə] + {-ɳe} [bapaɳe]

DAFTAR PUSTAKA

Adisaputera, Abdurahman. 2010. “Kebertahanan Bahasa Melayu Langkat: Studi terhadapKomunitas Remaja di Stabat Kabupaten Langkat” (Disertasi). Denpasar: UniversitasUdayana

Anderson,Edmund A. 1974. ‘Language Attitude,Belief, and Values : A Study in LinguisticCognitive Frameworks.” Disertasi. Georgetown University

Azwar. 2008. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya (edisi kedua). Yogyakarta: PustakaPelajar.

Clifford, Jensen. 1979. Beberapa Aspek Sosiologis dari Migrasi. Yogyakarta:PPSPK-UGM

Dhanawathy, Ni Made.1993. “Interferensi Leksikal dalam Pemakaian Bahasa Bali di LampungTengah”. Laporan Penelitian. Jakarta: Penelitian yang disponsori oleh The ToyotaFoundation.

Fishman, J. A. (ed). 1968. Readings in the Sociology of Language. The Hague; Mouton

Fishman, J. A. (ed). 1972. Readings in the Sociology of Language. Rowley: NewburyHouse.

Gardner dan Lambert. 1972. Attitudes and Motivation in Second Language Learning.Massachusset: Newburry House.

Grosjean, F. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism. England:Harvard University Press.

Haugen, Eugine. 1978. “Bilingualism, Language Context, and Immigrant Language in theUnited States” dalam Fishman, J. A. (ed). Advances in the Study of SocialMultilingualism. The Hague: Mouton.

Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics (edisi kedua). Sydney: PearsonEducation.

Kismosuwartono. 1991. “Pola Pengasuhan Anak Keluarga Petani Transmigran Jawa dan Bali diDaerah Transmigrasi Desa Ruktiharjo Kecamatan Seputih Raman Kabupaten LampungTengah Propinsi Lampung. (Studi Perbandingan Keluarga Petani Jawa dan Bali)”.Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Page 70: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

181

Koesoebjono. 2000. “Towards a new Javaneseness”. Makalah pada The 12th Workshop of theEuropean Social Science Java Network/ESSSJN Amstredam, 20--21 Januari.

Labov,William 1994. Principles of Linguistic Change. USA: Blackwell Publishers.

Malini, Seri dan Ida Ayu Made Puspani, 2008. “Penggunaan Bahasa Bali sebagai PenandaIdentitas Etnis Bali (Kasus pada Warga Transmigran Bali di Provinsi Lampung’Seminar Antarbangsa Dialek-Dialek Austronesia (SADDAN III), diselenggarakan olehUniversiti Brunei Darussalam, 22—26 Januari 2008.

Malini, Ni Luh Nyoman Seri. 2011.”Dinamika Bahasa Bali di Daerah Transmigran di ProvinsiLampung”. Desertasi. Denpasar. Universitas Udayana

Pastika, I Wayan. 2005. Fonologi Bahasa Bali: Sebuah Pendekatan Generatif Transformasi.Kuta-Bali: Pustaka Larasan.

Rokeach,Milton. 1972.Beliefs, Attitudes, and Values:A Theory of Organization and Change.San Fransisco: Jossey-Bass

Suhardi, Basuki. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana danMahasiswa di Jakarta. Depok: Universitas Indonesia.

Sulaga, I Nyoman. dkk. 1996. Tata Bahasa Bali. Denpasar: Dinas Pendidikan dan KebudayaanProvinsi Bali.

Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan danPengembangan Bahasa.

Sutjaja, I Gusti Made. 1990-1992. “Language Change: The Case of Balinese in theTransmigration Areas of Lampung, Sulawesi, Sumbawa, and Timor”. LaporanPenelitian dengan Dukungan Dana Toyota Foundation, Tokyo.

Sutjaja, I Gusti Made. 1996. “Balinese Transmigrants in Lampung: Language Change andTraditions” dalam Adrian Vickers (ed). Being Modern in Bali: Image and Change. NewHaven: Monograph 43/Yale Southeast Asia Studies.

Triandis, Harry C. 1971.Attitude and Attitude Change. New York:John Wiley & Sons, Inc

Warna, I Wayan dkk. 1983. Tata Bahasa Bali. Denpasar: Dinas Pendidikan dan KebudayaanPropinsi Bali.

Weinreich, Uriel. 1968. Language and Contact: Findings and Problems. Paris: Mouton.

Wetty Suliani, Ni Nyoman. 1996. “Istilah Kekerabatan dan Variasi Tutur Sapa Bahasa DaerahBali yang Digunakan oleh Keluarga Dosen Universitas Lampung yang berasal dariSuku Bali”. Laporan Penelitian. Lampung: FKIP Universitas Lampung.

Page 71: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Agustus 2012, 183-200 Tahun ke-30, No. 2Copyright©2012, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

PIRANTI BAHASA DAN KESANTUNAN

Sri Minda Murni*Universitas Negeri [email protected]

Abstrak

Perilaku normatif dan perilaku santun berbeda antara masyarakat praktisi. Perilakusantun adalah perilaku yang melampaui perilaku normatif. Artikel ini mengkaji realisasiperilaku normatif dan perilaku santun dalam meminta informasi dan mengungkapkanketidaksetujuan. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data dikumpulkanmelalui teknik observasi partisipatori.Temuan penelitian menunjukkan bahwa 1) modus,pronomina, penanda kesantunan, kata berpagar, committers, dan penurun digunakandalam meminta penjelasan dan mengungkapkan ketidaksetujuan; 2) Perilaku normatifdirealisasi dengan penggunaan a) modus interogatif dan imperatif dalam memintainformasi dan modus deklaratif dalam mengungkapkan ketidaksetujuan, b) pronominauntuk membedakan kelompok dalam dan kelompok luar, c) penanda kesantunan, dan d)committers; 3) Perilaku santun direalisasi dengan penggunaan a) modus deklaratifdalam meminta informasi dan modus imperatif dalam mengungkapkan ketidaksetujuan,b) pronomina untuk menyatukan kelompok dalam dan kelompok luar, c) kata berpagar,dan d) penurun.

Kata kunci: perilaku normatif, perilaku santun, masyarakat praktisi

Abstract

Politic behavior and polite behavior are different among community of practices. Politebehavior surpasses the politic behavior (the normative behavior). The study is to describethe realization of linguistic politeness in requesting for information and expressingdisagreement in parliamentary meetings. The method is descriptive qualitative. Datawere collected under passive participatory-observation. The findings are: 1) mood,pronoun, politeness markers, hedges, committers, and down-toner are used in requestingfor information and expressing disagreement; 2) Politic behavior is realized by the useof: a) interrogative and imperative moods in requesting for information and declarativemood in expressing disagreement, b) pronouns to distinguish in-group from out-group, c)politeness markers, and d) committers; 3) Polite behavior is realized by the use of: a)declarative mood in requesting for information and the interrogative and imperativemoods in expressing disagreement; b) pronouns to unite the in-group and the out-group;c) hedges; and d) down-toner.

Key words: politic behavior, polite behavior, community of practice

PENDAHULUAN

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh konsep kajian kesantunan linguistik yang dikembangkan Watts(2003). Gagasan utama yang dikembangkan Watts dan yang menjadi terobosan baru dalampenelitian kesantunan adalah bahwa perilaku santun tidak sama dengan perilaku normatif karenaperilaku santun adalah perilaku yang bersifat surplus, yakni berada di atas tataran perilakunormatif. Perilaku normatif adalah perilaku yang secara sosial mengikat sehingga bersifat ritualdan formulaik sedangkan perilaku santun adalah perilaku yang secara strategis dipilih olehindividu (sehingga bersifat semi formulaik, dan inilah yang menurutnya terbuka terhadapinterpretasi kesantunan.

Pendekatan Watts ini jelas berbeda dengan pendekatan yang sering dirujuk selama iniyakni pendekatan Brown dan Levinson (1978); maupun Leech (1983). Brown dan Levinsonserta Leech dipandang mencampurkan norma sosial dan penggunaan sumber daya linguistik di

Page 72: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Sri Minda Murni

184

dalam strategi kesantunan berbahasa yang mereka kemukakan. Selain itu, strategi kesantunanyang mereka ajukan memiliki rumusan yang tetap. Padahal sebagaimana dikemukakan Mills(2003) strategi kesantunan sebuah kelompok masyarakat, berbeda dari satu masyarakat kemasyarakat lainnya. Demikian juga Deutschman (2003) menyatakan bahwa bentuk kesantunantidak bersifat universal tetapi dibentuk oleh latar sosial sehingga bentuk dan latar tidak bolehdipisahkan. Norma budaya, situasi, dan sifat pesan yang ingin disampaikan menentukan bentukkesantunan yang dipilih. Pendekatan Watts, dengan demikian dipandang lebih memberi ruangterhadap interpretasi kesantunan linguistik yang khas yang direalisasi setiap kelompokmasyarakat praktisi yang berbeda. Tulisan ini mengkaji realisasi kesantunan linguistik padarapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat. Berbeda dengan situasi percakapan pada masyarakatpraktisi pada umumnya, dimana kolaborasi bukan kompetisi yang paling diutamakan, di dalamrapat DPR, perdebatan bukan saja merupakan sesuatu yang diharapkan tetapi juga sangatdihargai keberadaannya. Hal ini terutama terkait erat dengan fungsi pengawasan yangdiembannya. Padahal di sisi lain juga ditegaskan tentang kedudukan DPR sebagi mitraeksekutif. DPRD Provinsi Sumatera Utara dipilih karena alasan yang bersifat praktis.

Yang akan dipaparkan di dalam tulisan ini adalah: 1) Realisasi kesantunan linguistikdalam meminta informasi; 2) Realisasi kesantunan linguistik dalam memberikan pendapat; dan3) Peran fungsi pengawasan dan kedudukan kemitraan dalam realisasi kesantunan linguistik dirapat DPR.

METODOLOGI

Kerberhasilan penelitian mengenai kesantunan ditopang dua hal yakni: penggunaan metodekualitatif dan pemanfaatan teori tindak tutur sebagaimana dinyatakan Held (2005), “the mainfocus of empirical methods is beginning to move in a qualitative direction: together with thecriteria of speech-act theory this seems to guarantee the greatest success in researchingpoliteness”. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptifkualitatif yakni penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistikatau bentuk hitungan lainnya (Strauss dan Corbin 2003) dan bertujuan untuk mendapatkaninformasi secara emik dari informan dengan menggunakan metode wawancara dan pengamatan.

Kerangka model penelitian yang digunakan untuk memenuhi kriteria descriptiveadequacy dan explanatory adequacy dirancang berdasarkan kerangka model yangdikembangkan Watts (2003) yakni dengan melalui prosedur sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi realisasi lahiriah tindak tutur meminta penjelasan dan memberikanpendapat di rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara berdasarkanpenggunaan modus, pronomina, pemarkah kesantunan, kata/frasa berpagar, perujuk diri, danpenurun.

2. Merumuskan kriteria perilaku normatif rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkanwawancara dan pengamatan dalam bentuk diagram.

3. Membuat kategorisasi ujaran-ujaran yang terbuka dan tidak terbuka terhadap interpretasikesantunan berdasarkan diagram perilaku normatif yang telah dibuat sebelumnya.

4. Menganalisis ujaran-ujaran yang digunakan di dalam tindak tutur meminta penjelasan danmemberikan pendapat berdasarkan: a) kelangsungan dan ketidaklangsungan ujaran; dan b)formulaik dan semi–formulaik ujaran, untuk menjelaskan perilaku santun sebagai strategimenyeimbangkan sifat kolaboratif sekaligus kompetitif yang menjadi ciri hubungan DPRDdengan eksekutif.

5. Menyimpulkan model perilaku santun di rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Sumber data adalah rapat-rapat DPRD Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari rapatparipurna dan rapat komisi. Kedua jenis rapat menghadirkan pihak eksekutif dan pihak-pihaklain yang terkait dengan tujuan rapat dan bersifat terbuka. Data dikumpulkan dari rapatparipurna dan rapat komisi yang berlangsung sejak bulan November 2006 sampai Mei 2007

Page 73: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

185

dengan menggunakan teknik observasi partisipatoris yang bersifat passif (Spradley 1980) ataudalam istilah yang lain observasi non-partisipatoris atau observasi non-intervensionismdigunakan (Adler dan Adler 1994).

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi. Instrumenpengumpulan data terdiri dari dua: a) lembar dokumentasi untuk data tertulis; dan b) teknikrekam untuk data lisan. Data tertulis diperoleh dari naskah yang dibacakan masing-masingfraksi di sidang paripurna, sedangkan data lisan diperoleh dari sidang komisi ketika anggotadewan memberikan tanggapan. Reduksi data dilakukan setelah menyeleksi ujaran-ujaran yangterekam dengan baik. Hanya tuturan yang memiliki muatan kesantunan yang dipilih sebagaisumber data. Analisis data dilakukan dengan mengkategorisasi ujaran-ujaran yangmenggambarkan perilaku normative di rapat dewan dan ujaran-ujaran yang terbuka terhadapinterpretasi kesantunan. Secara lengkap, kerangka model penelitian ini adalah sebagai berikut:

Diagram 1: Kerangka Model Penelitian

Pengecekan keabsahan hasil penelitian dilakukan dengan membahas temuan penelitiandengan teman sejawat.

UNGKAPAN DAN INTERPRETASI KESANTUNAN LINGUISTIK

Untuk lebih mudah memahami kesantunan linguistik, Allan dan Burridge (2006)memperkenalkan konsep dysphemism, orthophemism, dan euphemism. Disfemisme adalahujaran yang bersifat menyerang (speaking offensively), ortofemisme adalah ujaran yang bersifatlangsung, dan eufemisme adalah ujaran yang menyenangkan. Karena ketiga x-femisme ini

Page 74: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Sri Minda Murni

186

berkaitan dengan rasa bahasa yang bersifat relatif, dianjurkan agar penelitian mengenaikesantunan linguistik difokuskan pada rasa bahasa kriteria kesantunan linguistik kelasmenengah (middle-class politeness criterion = MCPC). Sebagai contoh, kata ‘menstruate(orthophemism) dan ‘have a period’ (euphemism) lebih disukai dibanding ‘bleed’ (dysphemism).

Selanjutnya, Haverkate (dalam Reiter (2004)) membagi kesantunan linguistik atas duajenis; komunikatif dan non-komunikatif. Kesantunan linguistik dibagi atas dua bagian lagi,yakni kesantunan linguistik metalinguistik dan kesantunan linguistik non-metalinguistik.Kesantunan linguistik metalinguistik adalah kesantunan linguistik yang mencakup phaticcommunion dan etiket. Contoh realisasi kesantunan linguistik phatic communion adalah tidakdiam, tetapi mengajak seseorang yang berada di dekat kita untuk berbicara; atau menghindaripembicaraan topik-topik tertentu yang kemungkinan menyinggung perasaan lawan bicara.Contoh realisasi etiket dalam kesantunan linguistik adalah tidak berteriak, memperhatikanpembicaraan lawan bicara, dan tidak menginterupsi. Kesantunan linguistik non-metalinguistikterdiri atas kesantunan linguistik yang bersifat mikro dan kesantunan linguistik yang bersifatmakro. Kesantunan linguistik tingkat mikro tidak dijelaskan oleh Haverkate, sementarakesantunan linguistik tingkat makro mencakup kajian aspek referensi dan ilokusi.

Sejalan dengan Haverkate (2000), Watts (2003) mengatakan bahwa kesantunan linguistikdapat ditentukan dengan dua cara, yakni mengenali ekspresi linguistik yang digunakan danmenginterpretasi ekspresi linguistik dalam keseluruhan interaksi sosial. Dalam menginterpretasiekspressi linguistik, yang dilakukan seorang peneliti adalah membedakan ekspresi linguistikyang mengikat secara sosial dari ekspresi linguistik yang dipilih secara strategis oleh pesertakomunikasi dalam sebuah peristiwa komunikasi (Watts 2003). Ekspressi linguistik yangmengikat secara sosial ini bersifat ritual dan formulaik, sedangkan ekspressi linguistik yangdipilih secara strategis bersifat semi-formulaik sehingga terbuka untuk diinterpretasi sebagaikesantunan linguistik. Ujaran thank you untuk sebuah pujian yang diterima misalnya bersifatritual dan formulaik. Apabila ujaran yang mengikat secara sosial ini tidak dipenuhi, maka yangterjadi adalah ketidaksantunan linguistik. Dengan demikian, pelanggaran atau diabaikannyaujaran yang bersifat ritual dan formulaik akan mengakibatkan ketidaksantunan.

Tidak demikian halnya dengan ujaran yang bersifat semi-formulaik. Karenakedudukannya berada di atas tataran ujaran ritual dan formulaik, pengabaiannya tidak akanmengakibatkan ketidaksantunan tetapi hanya akan jatuh ke tataran di bawahnya yaknimenghasilkan ujaran normatif. Contoh ujaran yang bersifat semi formulaik sehingga terbukaterhadap interpretasi kesantunan linguistik adalah Thank you so much, you have been so niceand kind. Manakala anak kalimat you have been so nice and kind yang bersifat strategis danterbuka terhadap interpretasi kesantunan ini dihilangkan, maka yang terjadi adalah ujaranmenjadi bersifat ritual dan formulaik dengan hanya menggunakan Thank you atau Thank you somuch dalam merespon pujian.

Banyak cara yang digunakan seorang pembicara untuk mencapai kesantunan linguistikdan tidak semata-mata hanya menambah panjang ujaran sebagaimana contoh yang baru sajadiberikan. House dan Kasper di dalam Watts (2003) memberikan tipologi ungkapan linguistikyang sering digunakan sebagai penanda kesantunan linguistik yang disusun dalam taksonomisebagai berikut:

1. Penanda kesantunan linguistik (politeness markers), yang di dalam Bahasa Inggris antaralain direalisasikan dengan kata please.

2. Perangkat sintaksis (play-downs), yang berfungsi untuk menurunkan effek ujaran yangmungkin terjadi pada petutur. House dan Kasper mendefinisikan play-down sebagaiperangkat sintaktik yang merendahkan dampak perlokusi ujaran yang mungkin terjadi padapetutur. Di dalam Bahasa Inggris, play-down dibagi atas empat sub kategori yaknipenggunaan: a) past-tense (I wondered if ..., I thought you might ....); b) past progressive (Iwas wondering wether ...); c) interogatif yang berisi kata kerja modal (would it be a goodidea ...); dan d) interogatif negatif (wouldn’t it be a good idea if ...).

Page 75: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

187

3. Perangkat konsultatif (consultative device), yang berfungsi untuk melibatkan petutur ataumengundang keterlibatan petutur. Di dalam Bahasa Inggris dilakukan dengan menggunakan”Would you mind....? Could you mind....?

4. Hedges (kata berpagar), yang berfungsi menghindari penggunaan isi proposisi yang tertentu.Di dalam Bahasa Inggeris dilakukan dengan penggunaan frasa: kind of, sort of, somehow,more or less, rather, and what have you.

5. Understaters (pengecil), yang berfungsi menurunkan isi preposisi dengan menggunakanadverb modifier seperti a bit, a little bit, a second, a moment, briefly.

6. Downtoners (penurun), yang berfungsi memodulasi dampak ujaran penutur seperti just,simply, possibly, perhaps, really.

7. Committers (perujuk diri), yang berfungsi menurunkan tingkat kommitmen petutur,dilakukan dengan menggunakan frasa I think, I believe, I guess, in my opinion.

8. Forewarning (pengingat), yang berfungsi untuk memberikan peringatan awal sebelumtuturan seperti You may find this a little bit boring...

9. Hesitators (penunda), yakni jeda yang dilakukan dengan menggunakan fonetik non-leksikalseperti er, uhh, ah.

10. Scope-staters, yang mengungkapkan pendapat subjektif tentang sifat keadaaan seperti: I’mafraid you are in my seat, I’m dissapointed that you couldn’t...

11. Agent avoiders (penghindaran), yang menghindari penggunaan fungsi agent atauimpersonalisasi yang dilakukan dengan menggunakan struktur passif atau denganmenggunakan frasa People don’t do x.

Lebih jauh, Edmonson (1977) di dalam Watts (2003) memperkenalkan dua jenisdowngraders yakni cajolers dan appealers.

12. Cajolers (pembujuk), yang berfungsi untuk meningkatkan dan menjaga harmoni antarapenutur-petutur yang di dalam Bahasa Inggeris dilakukan dengan penggunaan I mean, yousee, you know, actually, basically, really.

13. Appealers (penyeru), yang berfungsi untuk meminta konfirmasi dari petutur yang diselaludiikuti dengan intonasi naik seperti ok’ay, ’right, ’yeah.

Selain itu ada ungkapan linguistik lain yang merupakan langkah pendukung lanjut(further supportive move) yang disebut dengan:

14. Pengarah (steers), yakni ujaran yang mengarahkan minat petutur seperti, Would you mindmaking a pot of tea?

15. Pelatar (grounders), yakni ujaran berupa alasan seperti I’m thirsty. Get me a cocacola, willyou?

16. Pengancang (preparators), yakni pernyataan apa yang penutur ingin petutur lakukan seperti,I’m going to test yor knowledge now. What is...?

Taksonomi struktur kesantunan linguistik inilah yang digunakan untuk menginterpretasikesantunan linguistik yang digunakan di dalam rapat dewan. Selain merujuk kepada taksonomistruktur kesantunan linguistik House dan Kasper di atas, Watts (2003) menyatakan bahwapeneliti juga dapat menggunakan rambu-rambu ungkapan hasil pragmatikalisasi dan ungkapanyang bersifat semi formulaik sebagai penanda kesantunan linguistik. Keduanya dihasilkan dariprinsip dasar kesantunan linguistik yang menurut Watts selalu merupakan ungkapan maknaprosedural bukan proposisional.

Di samping itu, penggunaan sumber daya linguistik tertentu yang potensial digunakandi dalam sebuah masyarakat juga penting untuk dicermati. Sebagai contoh, pronomina adalahsumber daya linguistik yang sangat besar peranannya dalam mengungkapkan kesantunanlinguistik terutama di masyarakat Timur. Muhlhausler dan Harre (1990) mengatakan bahwapenggunaan kata ganti dapat mencerminkan bagaimana seseorang melihat dirinya dalamhubungan sosialnya dengan orang lain. Hubungan sosial tersebut dapat bersifat simetris

Page 76: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Sri Minda Murni

188

(symmetrical) maupun non-simetris (non-symmetrical). Adakalanya kesantunan linguistikdicapai dengan menjaga hubungan tidak simetris tetap terjaga tidak simetris. Sebagai contohadalah hubungan atasan bawahan yang tetap dijaga oleh bawahan sebagai tidak simetris untukmencapai kesantunan linguistik selama proses berkomunikasi. Namun adakalanya kesantunanlinguistik dicapai dengan mengubah hubungan tidak simetris menjadi simetris. Contohnyaadalah seorang atasan yang ingin menciptakan keakraban dengan bawahan. Kedua-duanya dapatdilakukan untuk mencapai kesantunan linguistik. Hal itu dilakukan antara lain denganmenggunakan pronomina dalam bentuk jamak atau pronomina orang ketiga, penggunaaninclusive we dan exclusive we, dll.

PERILAKU YANG MENGIKAT SECARA SOSIAL DI RAPAT DEWAN

Perilaku yang mengikat secara sosial oleh Watts disebut dengan politic behavior sedangkanperilaku yang bersifat santun, yang berada di atas tataran perilaku normatif, disebut denganpolite behavior. Sebagaimana dikatakan di muka, penelitian kesantunan linguistik atau politebehavior dilakukan dengan merumuskan terlebih dahulu politic behavior dari masyarakatpraktisi yang diteliti.

Di dalam buku Tata Tertib DPRD (2004) yang berisi aturan mengenai hubungan eksternalanggota dewan dengan eksekutif ditegaskan tentang sikap kritis yang bersifat adil, profesional,dan proporsional anggota dewan. Dari hasil wawancara dengan sejumlah angota dewan ditemukanpemaknaan mereka atas apa yang disebut dengan sikap kritis yang bersifat adil, profesional, danproporsional ini sehingga dirumuskan sejumlah ciri sebagai berikut. Ciri ujaran yang bersifat kritismenurut anggota dewan adalah adalah ujaran yang direalisasi dengan bahasa lugas danlangsung kepada pokok/substansi persoalan. Ciri ujaran yang bersifat profesional adalah ujaranyang didukung argumentasi dan data-data yang relevan. Ciri ujaran yang adil adalah ujaran yangtidak digunakan secara implisit untuk keuntungan pribadi anggota dewan. Sedangkan ciri ujaranyang bersifat proporsional adalah ujaran yang tidak ditujukan kepada pribadi eksekutif tetapikepada kinerja organisasi yang dipimpinnya. Keempat ciri ini menjadi patokan sekaligus rambu-rambu bagi anggota dewan dalam berbicara di rapat dewan. Keempat ciri ini merupakan politicbehavior di rapat dewan dalam melakukan fungsi pengawasan.

Dua jenis tindak tutur yang dominan dalam melakukan fungsi pengawasan di rapatdewan adalah tindak tutur memberikan pendapat dan tindak tutur meminta penjelasan. Olehkarena itu, perilaku normatif yang dikaitkan dengan kedua jenis tindak tutur memintadigambarkan pada diagram 2 sebagai berikut:

Diagram 2: Struktur Komunikasi yang Berterima di Rapat Dewan

Page 77: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

189

Sebagaimana digambarkan pada diagram 2 di atas, terlihat keempat pilar yangmembentuk struktur komunikasi sekaligus membentuk empat pilar yang memagari hal-hal yangbersifat normatif di rapat dewan. Tindak tutur meminta informasi dan memberikan penjelasandirealisasi dalam ujaran yang 1) bersifat lugas dan langsung kepada pokok/substansi persoalan;2) didukung argumentasi dan data-data yang relevan, 3) secara implisit tidak dimaksudkanuntuk keuntungan pribadi anggota dewan , dan d) tidak ditujukan kepada pribadi eksekutif tetapipada kinerja institusi.

Diagram ini bermakna bahwa apabila ujaran anggota dewan berada di dalam kawasankeempat pilar di atas, ujaran tersebut merupakan realisasi perilaku normatif yang mengikatsecara sosial di dalam konteks rapat dewan. Hal itu ditandai dengan ujaran yang bersifat ritualdan formulaik. Selanjutnya, apabila tuturan anggota dewan tidak memenuhi kriteria normatiftersebut, ujaran bermakna ketidaksantunan. Sebaliknya, apabila tuturan anggota dewandirealisasi melebihi kriteria normatif yang ditandai dengan adanya upaya strategis individuuntuk bersikap surplus dan bersifat semi formulaik, maka ujaran tersebut diinterpretasi sebagaikesantunan.

Untuk memudahkan pengumpulan dan analisis data, kerangka konsep yang digunakandalam menginterpretasi kesantunan linguistik di rapat dewan adalah sebagai berikut:

Diagram 3: Prosedur Identifikasi dan Interpretasi Kesantunan Linguistik

Sebagaimana digambarkan pada diagram 3, kajian kesantunan linguistik di dalamartikel ini difokuskan kepada dua jenis tindak tutur, yakni tindak tutur meminta penjelasan dantindak tutur memberikan pendapat. Kesantunan linguistik di rapat dewan diidentifikasi daritaksonomi struktur kesantunan linguistik House dan Kasper yang terdapat di dalam Watts(2003) yang telah disesuaikan dengan data yang ada. Berdasarkan pengamatan awal pada dataujaran, unsur-unsur linguistik yang dinilai dominan digunakan di rapat dewan untuk tujuankesantunan mencakup sebagai berikut: 1) modus, 2) pronomina, 3) pemarkah kesantunan(sapaan, misalnya mohon, tolong), 4) pagar (hedges, misalnya mungkin), 5) perujuk diri(committers, misalnya menurut saya), dan 6) penurun (downtoner, misalnya kurang, belum).

Page 78: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Sri Minda Murni

190

REALISASI LAHIRIAH TINDAK TUTUR MEMINTA PENJELASAN DANMEMBERIKAN PENDAPAT DI DALAM RAPAT DEWAN

Tindak tutur meminta penjelasan dan memberikan pendapat direalisasi dengan memberdayakansetidaknya enam sumber daya linguistik, yakni 1) modus, 2) pronomina, 3) pemarkahkesantunan, 4) kata kata berpagar (kurang, belum, dan mungkin), 5) perujuk diri (menurut saya),dan 6) penurun (maaf). Berikut ini, masing-masing data ujaran disajikan sekaligus diinterpretasiatas a) kelangsungan dan ketidaklangsungan ujaran dan b) sifat formulaik dan semi formulaikujaran.

ModusKetiga jenis modus, yakni modus deklaratif, interogatif, dan imperatif, digunakan di dalamtindak tutur meminta penjelasan dan memberikan pendapat, seperti:

Modus Deklaratifa) Kami tidak mengetahui apakah yang 8 unit usaha masih beroperasi atau tidak

(meminta penjelasan – tidak langsung);b) Kami merasa kita (Dewan Ketahanan Pangan) belum bekerja secara benar (memberi

pendapat – langsung)

Modus Interogatifa) Kalau memang kita surplus beras, kenapa harga (beras) masih di atas (harga yang

ditetapkan Bulog)? (meminta penjelasan – langsung)b) Jangan-jangan batu pertama yang diletakkan Bapak Wapres untuk pembangunan Kuala

Namu telah menjadi batu nisan? (memberikan pendapat – tidak langsung).

Modus Imperatifa) Tolong buat dulu analisa usaha taninya produksi padi ini// supaya jangan kita beda

pendapat (meminta penjelasan – langsung);b) Diperbolehkanlah identitas lain selain KTP (untuk mangajukan klaim ansuransi).

(memberikan pendapat – tidak langsung).

Perilaku normatif dan perilaku santun di dalam rapat dewan dalam tindak tutur memintapenjelasan dan memberikan pendapat dan yang berkaitan dengan penggunaan modus dapatdigambarkan pada diagram berikut:

Diagram 4: Perilaku Normatif dan Perilaku Santun dalam Penggunaan Modus

Page 79: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

191

Dari diagram 4 terlihat bahwa perilaku normatif di rapat dewan melalui modus dalammeminta penjelasan direalisasi dengan modus interogatif dan modus imperatif. Perilakunormatif melalui modus dalam memberikan pendapat direalisasi dengan modus deklaratif.Sementara itu, perilaku santun melalui modus dalam meminta penjelasan direalisasi melaluimodus deklaratif. Perilaku santun melalui modus dalam memberikan pendapat direalisasidengan modus inyterogatif dan modus imperatif.

Diagram 4 di atas juga menunjukkan bahwa kesantunan linguistik melalui modusdicapai dengan memberdayakan ketidaklangsungan ujaran. Strategi yang menggunakanketidaklangsungan ujaran menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

a) Meminta penjelasan melalui modus deklarasi bersifat tidak langsung. Dalam memintapenjelasan melalui modus deklarasi, anggota dewan mendeklarasikan keadaan ’tidaktahu’ yang secara pragmatik bermakna meminta penjelasan. Contoh ujaran yangdigunakan adalah Kami tidak tahu seberapa luas sawah di Sumut yang telahdialihfungsikan.

b) Memberikan pendapat melalui modus interogatif bersifat tidak langsung. Contoh ujaranyang digunakan adalah Apakah harga AC tersebut tidak terlalu mahal? Dalammemberikan pendapat melalui modus interogatif, anggota dewan seolah-olahmengisyaratkan keraguannya sendiri dan memberi ruang bagi petutur untukmengungkapkan pendapat yang berbeda. Dengan demikian, kesantunan linguistik dalamhal ini juga dicapai dengan menggunakan ketidaklangsungan ujaran.

c) Memberikan pendapat melalui penggunaan modus imperatif juga bersifat tidaklangsung. Pada contoh ujaran, Diperbolehkanlah identitas lain selain KTP (untukmengajukan klaim ansuransi) secara tidak langsung berisi pendapat anggota dewanbahwa identitas lain selain KTP seharusnya dapat digunakan untuk mengklaimansuransi. Penggunaan modus imperatif dalam memberikan pendapat seolah-olahmemberi ruang bagi petutur untuk memiliki pendapat yang berbeda. Dengan cara inilahkesantunan diupayakan.

Penelitian-penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa modus merupakan sumberdaya linguistik yang digunakan untuk mencapai kesantunan linguistik (Goody 1978; Fraser danNolen 1981; Comrie 1984; Harris 1984; Reiter 2000; Holtgraves 2002; dan Tsuzuki et.al 2005).Demikian juga, menggunakan ujaran tidak langsung merupakan salah satu strategi kesantunanyang ditemukan (Geertz 1960; Brown dan Levinson 1978; Blum-Kulka dkk, 1989; dan Saeed2000) yang menyatakan bahwa ujaran yang paling langsung dinilai paling rendah kadarkesantunannya; Hal ini bermakna bahwa ujaran yang paling tidak langsung memiliki kadarkesantunan yang tinggi.

Dalam konteks rapat dewan, data di atas menunjukkan bahwa penggunaan ujaran tidaklangsung juga kerap terjadi. Temuan ini dengan kata lain membantah anggapan sebelumnyabahwa ujaran di rapat dewan semuanya bersifat lugas dan langsung. Kenyataannya, tidak semuaujaran yang dikemukakan di dalam rapat dewan bersifat lugas dan langsung walaupun ujaranyang besifat lugas dan langsung merupakan sesuatu hal yang lazim dan berterima di dalam rapatdewan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesantunan linguistik di rapat dewan salahsatunya dicapai dengan penggunaan sumber daya linguistik modus yang memfasilitasiketidaklangsungan ujaran.

PronominaPronomina digunakan dalam tindak tutur meminta penjelasan dan memberikan pendapat. Datapenggunaan pronomina berikut interpretasinya disajikan contoh-contohnya sebagai berikut:

Pronomina ‘kami’ sebagai pengganti pronomina ‘saya’ ditemukan dalam tindak tuturmemberikan pendapat., contoh:

a) ”...terhadap ekspose yang disampaikan, kami melihat ada beberapa hal yang perlu kitadiskusikan.” (memberikan pendapat – semi formulaik)

Page 80: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Sri Minda Murni

192

Penggunaan pronomina ‘kita’ sebagai pengganti pronomina ‘saya’, contoh:a) “Kita berharap Bapak Kapolda bisa memberikan penekanan pada persoalan

pemalsuan pupuk...” (meminta penjelasan – semi-formulaik) b) ”Kita minta, supaya ke depan sudah diperiksa diklarifikasi apa penyebab persoalan

pembalakan liar di Sumatra Utara...” (memberikan pendapat-semi formulaik)

Penggunaan pronomina ’kita’ sebagai pengganti pronomina ’kami’, contoh:a) ”Ini merupakan suatu tugas dari Komisi A... Jadi oleh karena itu lah, Kapolda, Kajati,

Panglima, dan instansi lainnya, selalu kita dengar di dalam dengar pendapat...”(memberi pendapat –semi formulaik)

b) ”Sudah barang tentu kita berharap pemerintah Sumatera Utara mampu...” (memberipendapat –semi formulaik)

Penggunaan pronomina ’kita’ sebagai pengganti pronomina ’Saudara’ , contoh:a) ”Kalau berpikirnya orang awam, kalau sudah ditetapkan target klien dipersulitlah,

supaya tak jadi kita bayar..”(memberi pendapat – semi formulaik)b) …Kita selalu mempunyai dalih bahwa kita perlu impor beras sebagai

cadangan”(memberi pendapat – semu formulaik)

Impersonalisasia) ”...yang menarik adalah, asuransi dalam hal ini menetapkan target penerimaan,”

(memberi pendapat – semi formulaik) b) ”... bagaimana pihak Jasa Raharja bisa membuat atau darimana acuan yang dibuat

sehingga target klien pun bisa ditetapkan,...” (meminta penjelasan – semi formulaik)

Menghilangkan pronominaa) ”Mohon diberi data yang lengkap (kepada kami) sekolah yang memperoleh dana

tersebut di Kab/kota.” (meminta penjelasan – semi formulaik)b) ”Struktur organisasi ini mungkin saat ini banyak tumpang tindih. Yang artinya, tidak

memiliki persepsi yang sama terutama dalam penanganan masalah-masalah yangberkaitan dengan pangan ini.” (memberi pendapat – semi formulaik)

Secara lebih jelas, penggunaan pronomina dalam rapat dewan disajikan dalam diagram5 sebagai berikut:

Diagram 5: Perilaku Normatif dan Perilaku Santun dalam Penggunaan Pronomina

Page 81: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

193

Pada diagram 5 ditunjukkan bahwa perilaku normatif di rapat dewan dalam tindak tuturmeminta penjelasan dan memberikan pendapat dalam kaitannya dengan penggunaan pronominadirealisasi dengan cara memperlakukan kelompok dalam dan kelompok luar secara terpisahserta dengan memberlakukan impersonalisasi dan penghilangan pronomina. Sebaliknya,perilaku santun di rapat dewan dilakukan dengan cara menggabungkan kelompok dalam dengankelompok luar sebagai upaya menghapus garis pembatas antara kedua lembaga.

Sebagaimana terlihat pada diagram 5, anggota dewan secara sistematis memodifikasitingkat partisipasi dan pelibatan penutur dengan cara memodifikasi a) saya menjadi kita, b)kami menjadi kita, dan c) saudara menjadi kita. Hal ini berarti yang dilakukan penutur adalahpelibatan penutur – petutur sehingga kelompok dalam bergabung dengan kelompok luar: saya,kami, dan saudara dimodifikasi menjadi kita. Hal ini sejalan dengan temuan penelitiansebelumnya (Jahandarie 1999; Goodwin 2004). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwakesantunan linguistik di dalam rapat dewan juga dicapai dengan penggunaan pronomina dengancara memodifikasi tingkat partisipasi atau pelibatan penutur-petutur dalam komunikasi secarasistematis.

Apabila ujaran yang dikemukakan memiliki potensi pengancaman muka, untukmengurangi beban dampak perlokusi tuturan semata kepada petutur, anggota dewan akanmemperlunaknya dengan menggabungkan kelompok dalam kepada kelompok luar atausebaliknya menggabungkan kelompok luar kepada kelompok dalam. Pelibatan penutur kepetutur atau sebaliknya bermakna anggota dewan mengisyaratkan hubungan kemitraan. Tidakada saya, kami atau saudara, yang ada adalah kita. Dengan demikian, kesantunan linguistik didalam rapat dewan dicapai dengan isyarat hubungan kemitraan kita, penanda identitas sosial dirapat dewan diubah dari dua lembaga terpisah menjadi dua lembaga bermitra.

Peneliti sebelumnya (Muhlhausler dan Harre, 1990; Foley,1998:266; dan Bowe danMartin, 2007) menyatakan bahwa penggunaan pronomina merupakan refleksi dari kepercayaanakan nilai-nilai budaya tertentu atau refleksi konsep diri. Pada masyarakat Indonesia,penggabungan kelompok dalam dengan kelompok luar merefleksikan nilai sosiosentris, dalamhal ini konsep diri didefinisikan dalam kaitannya dengan konteks sosial, status sosial, danpengelompokan sosial yang merefleksikan keinginan dan kebutuhan untuk hidup secarakolektif. Dengan kata lain, perilaku santun di rapat dewan diupayakan dengan merealisasi nilaisosiosentris yang tidak memisahkan kelompok dalam dari kelompok luar.

Pemarkah Kesantunan (tolong, mohon)Contoh penggunaan pemarkah kesantunan di dalam rapat dewan berikut interpretasinya adalahsebagai berikut:

a) ”Tolong ceritakanlah apa yang terjadi (kenapa tiba-tiba sekarang ini beras naik, adaoperasi pasar)”(meminta penjelasan – formulaik)

b) ”Saya mohon jangan hanya tergantung pada ktp (saja)” (memberi pendapat – semiformulaik)

Kata berpagar (kurang, belum, mungkin)Data penggunaan kata berpagar dalam tindak tutur meminta penjelasan dan memberikanpendapat berikut interpretasinya disajikan sebagai berikut:

a) ”Menurut hemat saya, ada pembinaan yang barangkali kurang benar terhadap Polda.Oleh karena itu, saya ingin bertanya apa kira-kira ke depan yang akan dilakukan olehPolda untuk pembinaan agar peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi.” (memintapenjelasan – semi formulaik)

b) ”Memang jelas masih ada calo-calo di sana, jadi itu yang belum bisa dihapuskansampai sekarang.” (memberi pendapat – semi formulaik)

c) ”Bisa nanti mungkin diberikan ilustrasi bagaimana pola pembebanan jasa raharjaterhadap kendaraan baru dan lama” (meminta penjelasan – semi formulaik)

Page 82: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Sri Minda Murni

194

Perujuk Diri (menurut saya)Penggunaan ‘perujuk diri’ dalam tindak tutur meminta penjelasan dan memberikan pendapatberikut interpretasinya disajikan sebagai berikut:

a) ”Bila terkait dengan fatwa yang resmi, menurut saya akan lebih elegan kalau pihakkepolisian bertanya kepada ulama daripada memanggil ulama sebagai tersangka keMapolda Sumatra Utara. Atau apakah memang seperti ini prosedurnya bahwa untukfatwa yang resmi pun ulama bisa tersangka di Mapolda bukan ditanyakan apasebenarnya mengenai fatwa ini?” (meminta penjelasan – fomulaik ).

b) ”Hemat saya nggak ada manfaatnya x ini; ’Bagi saya, x ini cuma nol koma nol saja’;’Jadi hemat saya, ini kalau saya pribadi, bagi saya, ini nggak ada manfaatnya x ini’,dan klausa ’Jadi x ini program sia-sia kalau menurut saya seperti itu”(memberipendapat – formulaik)

Penurun (maaf)“Penurun” digunakan dalam tindak tutur meminta penjelasan dan memberikan pendapat.Contoh ujaran dan interpretasi masing-masing disajikan sebagai berikut:

a) ”Mengapa sampai sekarang- barangkali pak, mohon maaf saya belum, cek tadi, karnaseminggu yang lalu kalo gak silap itu- belum di bayar klem asuransinya?”(memintapenjelasan – semi formulaik)

b) ”Sebenarnya angka-angka ini harus kita kedepankan ke depan sehingga kita tidak lagimasing-masing mungkin mohon maaf, ada semacam gengsi-gengsi sektoral yangharus kita mulai ke depan ini.”(memberi pendapat – semi formulaik)

Interpretasi terhadap masing-masing data sebagaimana disajikan di atas sekaligusmengategorisasikan ujaran atas ujaran yang langsung dan tidak langsung serta ujaran yangbersifat formulaik dan semiformulaik. Berdasarkan ketidaklangsungan dan semiformulaikujaran, kesantunan linguistik dalam meminta pendapat dan memberikan penjelasan di rapatdewan direalisasi melalui a) ketidaklangsungan ujaran yang dicapai dengan memberdayakanmodus dan b) sifat semi formulaik ujaran yang diberdayakan melalui pronomina, kata berpagar,dan penurun. Berdasarkan hal tersebut, pola kesantunan linguistik di rapat dewan digambarkanpada diagram berikut:

Diagram 6: Perilaku Normatif dan Perilaku Santun di Rapat Dewan

Page 83: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

195

Diagram 6 menunjukkan bahwa perilaku normatif di rapat dewan direalisasi melaluiujaran-ujaran yang bersifat formulaik yang direalisasi melalui penggunan pronomina, pemarkahkesantunan, dan perujuk diri. Sementara itu, perilaku santun direalisasi melalui penggunaanpronomina, kata berpagar, dan penurun. Penggunaan pronomina, kata berpagar, dan penurunbersifat semi-formulaik karena ujaran tersebut bersifat strategis dan dipilih individu anggotadewan untuk mencapai kesantunan. Tentang penggunaan pronomina telah dibahas pada bagiansebelumnya.

Penggunaan kata berpagar dalam mencapai kesantunan linguistik di rapat dewanditempuh dengan dua cara, yakni a) menghindari menggunakan kata tidak sehingga yangdigunakan adalah kata kurang dan belum dan b) seolah-olah memberi pilihan bagi petutur untukmenetapkan pilihan sendiri. Upaya menghindari penggunaan kata tidak dan seolah-olahmemberi ruang memilih bagi petutur dilakukan, baik dalam tindak tutur meminta penjelasanmaupun dalam tindak tutur memberikan pendapat. Kesantunan linguistik dengan menggunakankata berpagar dengan demikian dicapai dengan mengurangi kelugasan ujaran.

Penggunaan kata berpagar sebagai salah satu strategi dalam mencapai kesantunanlinguistik juga telah ditemukan sebelumnya. Reiter (2000) menemukan bahwa hedgesmerupakan sumber daya linguistik yang digunakan untuk mencapai kesantunan melaluimodifikasi internal, yakni dengan mengurangi dampak perlokusi yang terdapat padaleksikal/frasa yang langsung mengikutinya. Dalam penelitian ini pun hal yang sama ditemukan.

Seperti halnya sumber daya linguistik kata berpagar, penurun maaf juga berfungsimemperlunak dampak perlokusi frasa/leksikal yang digunakan. House dan Kasper di dalamWatts (2003) mendefinisikan penurun sebagai ”which modulate the impact of the speakers’sutterance” (yang memodulasi dampak ujaran penutur). Di dalam rapat dewan salah satu leksikalyang berfungsi sebagai penurun adalah maaf. Frasa/leksikal maaf yang berfungsi menurunkandampak perlokusi isi proposisi digunakan dalam tindak tutur meminta penjelasan danmemberikan pendapat.

Reiter (2000) menyatakan bahwa penurun maaf merupakan sebuah perilaku post event,yakni sebuah tindakan yang diambil setelah tindakan yang mendahului. Dia mengatakan bahwapermintaan maaf dilakukan karena penutur menyadari bahwa dirinya telah melanggar sebuahnorma sosial. Di dalam rapat dewan, penurun maaf dilakukan sebagai peristiwa awal (pre-event)maupun peristiwa akhir (post-event). Namun, dari data terlihat bahwa ungkapan maaf yangbersifat semi-formulaik adalah ungkapan maaf yang bersifat peristiwa awal sebagaimanadigambarkan pada contoh-contoh yang disajikan di atas yakni:

1. “Maaf, saya juga meragukan, mengapa Kapolda yang lama menyatakan tidak menanganiillegal loging?”

2. ”... Mungkin mohon maaf, ada semacam gengsi-gengsi sektoral yang harus kita mulaiatasi ke depan ini”

3. “Saya mohon maaf ini, setelah mendengarkan paparan dan memperhatikan secara cermatperkembangan terakhir, saya malah berkesimpulan kita bubarkan saja lembaga ini. Hematsaya nggak ada manfaatnya ini.”

Sebaliknya, ungkapan maaf yang diberikan sebagai peristiwa akhir bersifat formulaik.Dari data yang dikumpulkan, jelas terlihat bahwa ujaran-ujaran yang menggunakan maafmerupakan strategi menutup pernyataan yang bersifat formulaik.

KESANTUNAN LINGUISTIK DALAM RANAH SIDANG DEWAN PERWAKILANRAKYAT DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

Kesantunan linguistik di rapat dewan diasumsikan terkait dengan dua faktor yang secaradinamis tarik-menarik di antara kedua lembaga DPRD dan Pemerintah Daerah, yakni faktorkemitrasejajaran di satu sisi dan fungsi DPRD mengawasi jalannya pembangunan di sisi lain. Disana juga telah dinyatakan bahwa faktor kemitrasejajaran mensyaratkan kolaborasi dan

Page 84: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Sri Minda Murni

196

kooperasi, sementara faktor pengawasan mensyaratkan distansi dan kompetisi. Dengandemikian, kesantunan linguistik di dalam rapat dewan diasumsikan sebagai upaya anggotadewan untuk menjaga keseimbangan dalam mengimplementasikan kedua faktor kemitraan danfaktor pengawasan atau menjaga keseimbangan faktor kolaborasi dan faktor kompetisi. Tulisanini membuktikan kebenaran asumsi ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya sejumlah ujaran dirapat dewan yang bersifat langsung dan formulaik sebagai representasi dari faktor distansi dankompetisi dan terdapat pula sejumlah ujaran yang secara signifikan mengisyaratkan kolaborasiyang direalisasikan oleh ujaran tidak langsung dan semi formulaik. Faktor distansi dankompetisi direalisasi modus, pemarkah kesantunan, dan perujuk diri. Faktor kolaborasidirealisasi modus, pronomina, kata/frasa berpagar, dan penurun.

Kesantunan linguistik di rapat dewan dengan demikian dapat digambarkan dalamdiagram sebagai berikut:

Diagram 7: Realisasi Kesantunan Linguistik dalam Ranah Sidang Dewan

Pada diagram 7 terlihat bahwa realisasi kesantunan linguistik di rapat dewan ditemukanbaik dalam tingkat wacana maupun frasa/leksikal. Pada tingkat wacana, dalam mengisyaratkankedudukan sebagai mitra, anggota dewan menggunakan pronomina secara strategis, yaknidengan menggabungkan kelompok dalam dengan kelompok luar. Salah satu contohnya adalahpenggunaan pronomina kita untuk menggantikan pronomina Saudara. Secara pragmatik, isyaratyang dikirimkan melalui penggunaan pronomina kita untuk menggantikan pronomina sayadiinterpretasi sebagai upaya strategik individu untuk mengupayakan kesantunan melaluipenegasan kedudukan kemitraan kedua lembaga. Juga pada tingkat wacana, dalammelaksanakan fungsi pengawasan, anggota dewan secara strategik menggunakan ujaran tidaklangsung melalui modus. Anggota dewan misalnya menggunakan modus interogatif dalammengemukakan pendapat yang berbeda. Secara pragmatik, hal ini bermakna bahwa anggotadewan tidak memaksakan pendapat terhadap petutur.

Di tingkat frasa dan leksikal, anggota dewan menggunakan kata berpagar dan penurununtuk memodulasi ujaran. Keduanya digunakan secara internal, yakni dengan melunakkandampak frasa dan leksikal yang langsung mengikutinya. Sebagai contoh, anggota dewanmenggunakan leksikal kurang pada frasa kurang benar walau sesunggguhnya yangdimaksudkan adalah tidak benar. Demikian juga leksikal belum digunakan pada frasa belummenemukan walau sesungguhnya yang dimaksudkan adalah tidak menemukan. Anggota dewanjuga seolah-olah memberi pilihan kepada petutur dengan secara strategik memberi isyarat

Page 85: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

197

bahwa permintaan akan penjelasan dapat dipenuhi atau dapat juga tidak dipenuhi petutur walaudalam struktur persidangan yang berterima jelas bahwa permintaan akan penjelasan wajibdipenuhi petutur. Isyarat dimaksud disampaikan melalui penggunaan kata berpagar mungkinmisalnya pada Mungkin bisa nanti dijelaskan kepada kami….

Masih pada tingkat frasa/leksikal, kelugasan pernyataan juga secara strategikdilemahkan anggota dewan melalui penggunaan penurun ‘maaf’. Penurun yang bersifatinternal ini juga melemahkan frasa/leksikal yang menyertainya. Sebagai contoh, leksikal maafyang diletakkan pada frasa mungkin mohon maaf, ada semacam apa, gengsi-gengsi sektoralbermakna bahwa anggota dewan ingin melemahkan dampak istilah gengsi-gengsi sektoral yangdiungkapkannya. Hal seperti itu tetap dilakukan anggota dewan walau perbedaan pendapat danpemilihan kata-kata yang tidak ambigu merupakan situasi yang berterima di rapat dewan.

Dengan demikian, pada tingkat wacana, kesantunan linguistik di rapat dewan terutamadirealisasikan dalam elemen linguistik modus dan pronomina. Dalam merealisasikan kedudukankemitraan, anggota dewan memberdayakan elemen linguistik pronomina, sedangkan dalammerealisasikan fungsi pengawasan, angota dewan lebih memberdayakan elemen linguistikmodus. Sementara pada tingkat frasa, anggota dewan menggunakan elemen linguistik kataberpagar dan penurun.

Secara lebih lengkap, fungsi, definisi, dan realisasi kesantunan linguistik di rapat dewandisajikan pada diagram 8 berikut:

Diagram 8: Fungsi, Tujuan, dan Realisasi Kesantunan Linguistik di Rapat Dewan

Page 86: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Sri Minda Murni

198

Sebagaimana yang diungkap pada penjelasan terdahulu, fungsi, definisi, dan realisasikesantunan linguistik setiap masyarakat praktisi dapat berbeda satu sama lain. Pada diagram 7terlihat bahwa fungsi kesantunan linguistik di rapat DPRD Provinsi Sumatera Utara adalahmenjaga keseimbangan dalam mengimplementasikan faktor kemitraan (yang mensyaratkankolaborasi dan kooperasi) dan faktor pengawasan (yang mensyaratkan distansi dan kompetisi).Definisi kesantunan linguistik pada rapat DPRD Provinsi Sumatera Utara adalah penggunaansumber daya linguistik secara tidak langsung dan bersifat semi-formulaik untuk memenuhikedudukan kemitraan dan pengawasan. Realisasi kesantunan linguistik di rapat DPRD ProvinsiSumatera Utara adalah dengan strategi penggunaan ujaran tidak langsung dan ujaran yangmenggunakan unsur-unsur tambahan.

Dari seluruh penjelasan di atas, model kesantunan linguistik dalam struktur komunikasirapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara dapat digambarkan sebagaiberikut:

Diagram 9: Model Kesantunan Linguistik dalam Struktur Komunikasi Rapat DPRD-SU

Pada diagram 9 digambarkan model kesantunan linguistik dalam struktur komunikasirapat DPRD-SU. Diagram ini menunjukkan realisasi dua tindak tutur yang dikaji dalam tulisanini yang mencakup tindak tutur meminta penjelasan dan tindak tutur memberikan pendapat.Kedua tindak tutur direalisasi sebagai perilaku normatif dan perilaku santun. Perilaku normatifdirealisasi melalui tuturan yang bersifat langsung, ritual, dan formulaik. Perilaku santundirelisasi secara tidak langsung dan menggunakan unsur-unsur tambahan seperti pronomina,kata berpagar, dan penurun.

SIMPULAN

Realisasi kesantunan berbahasa atau kesantunan linguistik tidak bersifat universal. Terobosanpendekatan yang dikemukakan Watts (2005) terbukti lebih dapat mengakomodasi kekhasanfungsi komunikasi yang terjadi di dalam sebuah masyarakat praktisi. Dengan demikian,penelitian kesantunan berbahasa seyogyanya tidak dilakukan dengan cara mengidentifikasisejumlah strategi yang digunakan dengan merujuk kepada daftar strategi yang tersedia atau yang

Page 87: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

199

dihasilkan penelitian-penelitian sebelumnya seperti oleh Brown dan Levinson maupun Leech.Rumusan atas perilaku normatif yang mendahului rumusan perilaku santun dibuktikan lebihmemberi ruang bagi penelitian kesantunan linguistik yang lebih objektif. Sebagaimana hasilpenelitian ini menunjukkan bahwa realisasi kesantunan linguistik di rapat dewan sangat terkaitdengan fungsi komunikasi, dalam hal ini fungsi pengawasan, yang diemban rapat dewan itusendiri. Hanya dengan bersandar kepada rumusan perilaku normatif dalam merealisasi fungsipengawasan ini lah baru dapat diidentifikasi secara objektif perilaku santun di rapat dewan.

CATATAN

* Penulis berterima kasih kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untukperbaikan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Allan, Keith dan Kate Burridge. 2006. Sweet Talking and Offensive Language. ForbiddenWords. Cambridge: Cambridge University Press.

Blum-Kulka, Soshana, Juliane House, dan Gabriele Kasper (ed.). 1989. “Investigating Cross-cultural Pragmatics: An Introductory Overview.” dalam: Cross Cultural Pragmatics:Requests and Apologies. Volume XXXI in the series advances in Discourse Processes(Roy O. Freedle, editor). New Jersey: Ablex Publishing Corporation.

Bowe, H. J., dan K. Martin. 2007. Communication Across Cultures: Mutual Understanding in aGlobal World. Cambridge: Cambridge University Press.

Comrie, B. 1984. “Russian.” dalam: W. S. Chisholm Jr. (Ed.), Interrogativity Colloquium onThe Grammar, Typology and Pragmatics of Questions in Seven Diverse Languages(TSL Volume 4 ed., pp. 7--46). Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Deutshmann, Mats. 2003. Apologising in British English. Umea Universitet.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara. 2004. Keputusan DewanPerwakilann Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor: 3/K/2004 tentangPeraturan Tata Tertib DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Geertz, C. 1960. The Religion of Java. Glencoe: Free Press.

Goodwin, C., & Goodwin, M. H. 2004. “Participation.” dalam: A. Duranti (Ed.). A CompanionTo Linguistic Antrhopology (Blackwell companion to antrhopology ed., pp. 223--224).Masachutets: Blackwell Publishing.

Goody, Esther N. (ed.). 1978. Questions and Politeness: Strategies in Social Interaction.Cambridge: Cambridge University Press.

Holtgraves, T. 2002. Language as Social Action: Social Psychology and Language Use.Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum.

Jahandarie, K. 1999. Spoken and Written Discourse: A Multi-disciplinary Perspective.Stamford, Conn.: Ablex Pub.

Leech, G. N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.

Mills, Sara. 2003. Gender and Politeness. Cambridge: Cambridge University Press.

Murni, Sri Minda dan Mutsyuhito Solin. 2005. “Kesantunan Berbahasa dan PenelitianKebahasaan di Universitas Negeri Medan.” dalam: Pelangi Pendidikan. Vol. 12 Juni2005.

Page 88: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Sri Minda Murni

200

Murni, Sri Minda. 2005. “Menyiasati Tuturan: Strategi Kesantunan Positif dalam RapatParipurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Utara.” dalam: JurnalLinguistik Terapan Pascasarjana UNIMED.

Reiter, Rosina Márquez. 2000. Linguistic Politeness in Britain and Uruguay: A ContrastiveStudy of Requests and Apologies. Philadelphia: John Benjamins Pub. Co.

Tsuzuki, Masako, et al. 2005. “Selection Of Linguistic Forms For Requests and OffersComparison Between English and Chinese.” dalam: R. T. Lakoff, & S. Ide (Eds.).Broadening the Horizon of Linguistic Politeness. Amsterdam: John BenjaminsPublishing Company.

Watts, Richard J. 2003. Politeness Key Topics in Sociolinguistics. Cambridge: CambridgeUniversity Press.

Watts, Richard J. 2005a. ”Linguistic Politeness Research: Quo Vadis?” dalam: Richard Watts,Sachiko Ide, Konrad Ehlich (ed). Politeness in Language. New York: Mouton deGruyter.

Watts, Richard J. 2005b. ”Linguistic Politeness and Politic Verbal Behaviour: ReconsideringClaims for Universality.” dalam: Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich (ed.).Politeness in Language. New York: Mouton de Gruyter.

Watts, Richard J., Sachiko Ide, dan Konrad Ehlich. 2005. ”Introduction.” dalam: Richard Watts,Sachiko Ide, Konrad Ehlich (ed.). Politeness in Language. New York: Mouton deGruyter.

Page 89: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Agustus 2012, 201 -203 Tahun ke-30, No. 2Copyright©2011, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

Resensi Buku

Judul : Handbook of the International Phonetic Association: A Guide to the Use of the International Phonetic Alphabet

Penulis : The International Phonetic AssociationPenerbit : Press Syndicate of the University of Cambridge. 1999. Reprinted 2011Tebal : 204 halaman

Rindu Parulian SimanjuntakLanguage Research Consultant

[email protected]

Buku yang berjudul Handbook of the International Phonetic Association: A Guide to the Useof the International Phonetic Alphabet, merupakan salah satu sumber yang cukupkomprehensif yang dapat digunakan untuk keperluan penelitian dan pengajaran ilmu fonetik.Bagi para peneliti bahasa yang tertarik dengan ilmu ini, buku ini akan sangat bermanfaat karenamembantu meningkatkan pemahaman dalam penerapan dan mentranskripsikan bunyi yangdidengar, seperti bunyi-bunyi yang kompleks karena jarang didengar atau sama sekali tidakpernah didengar. Selain itu, buku ini juga dapat digunakan sebagai sumber bahan ajar bagimahasiswa pascasarjana karena selain dapat mempertajam pengetahuan tentang dasar-dasarilmu fonetik, buku ini dapat menjadi sumber acuan topik penelitian bahasa.

Buku setebal 204 halaman ini ditulis dalam bahasa Inggris dan memerlukan tingkatpemahaman yang cukup tinggi karena beberapa terminologi yang digunakan cukup sulit. Bukuyang terdiri atas sepuluh bab ini secara umum membahas tentang contoh penggunaanInternational Phonetic Alphabet (IPA) dalam mentranskripsikan bunyi-bunyi bahasa dan caramenganalisisnya dengan pendekatan linguistik. Kelebihan yang ditampilkan dalam buku iniadalah terdapat sekitar 29 bahasa sebagai contoh bunyi baik yang umum didengar maupun yangjarang atau sama sekali tidak pernah didengar, termasuk pentranskripsiannya. Selain itu, bunyivokal dan konsonan serta bunyi yang lainnya dijelaskan terperinci berdasarkan prosedur ilmiahsistematik, seperti rongga alat bunyi mana yang digunakan penutur untuk menghasilkan bunyi,sempit atau lebarnya rongga mulut untuk menghasilkan bunyi vokal tertentu, dan bergetarnyalipatan suara atau vocal cords.

Secara khusus, buku ini dibagi lagi atas tiga bagian besar, antara lain: bagian I,membahas mengenai pengantar pendeskripsian fonetik dan contoh penggunaan simbol-simbolfonetik dengan menggunakan IPA. Bagian I ini dibagi lagi menjadi sepuluh sub-bagian. Padasub-bagian 1 dijelaskan secara rinci mengapa IPA itu perlu dan untuk apa IPA itu digunakandalam penelitian linguistik, sehingga membantu pembaca memahami atau memiliki gambaranterhadap tujuan yang ingin dicapai ketika berencana melakukan penelitian, khususnya di bidangilmu fonetik (hal. 3). Penjelasan mengenai suatu teori yang dikaitkan dengan bagan IPA,termasuk kategorisasi bunyi konsonan dan vokal serta bunyi-bunyi lainnya, terdapat dalam sub-bagian 2. Beberapa gambar dan bagan bunyi vokal dan konsonan juga dijelaskan dengan sangatrinci sehingga memudahkan pembaca untuk memahami secara konkret letak/posisi setiap bunyi(hal. 7-12). Selain itu, konsep fonetik yang dilengkapi dengan simbol-simbol IPA jugadijelaskan, termasuk penggunaan simbol diakritik untuk menjelaskan aspek suprasegmental,

seperti stres [‘] dan intonasi [¬], yang dapat ditambahkan pada bunyi vokal dan konsonan agardapat mendeskripsikan bunyi dengan lebih jelas (hal. 15).

Sub-bagian 3 merupakan panduan untuk notasi IPA, termasuk simbol-simbol yangtersusun dalam bagan. Hal yang sangat menarik mengenai simbol dalam notasi IPA ini adalahadanya penjelasan dan contoh dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis mengenai suatu simbolyang cocok untuk mewakili suatu bunyi pada dua bahasa, misalnya bunyi [p] pada kata bahasaInggris ‘pea’ dan bahasa Perancis ‘pis’ seolah-olah kedengarannya cocok; juga mirip dengan

Page 90: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Rindu Parulian Simanjuntak

202

bunyi [b] pada kata bahasa Inggris ‘bee’ dan bahasa Perancis ‘bis’; tetapi bunyi yang bersamaantidak sama dalam dua bahasa tersebut (hal. 18). Barangkali, gejala-gejala seperti ini juga dapatditemukan pada bahasa-bahasa yang terdapat di Indonesia.

Penjelasan dan pentranskripsian mengenai fonem dan alofon, termasuk bagaimana IPAdapat membantu mentranskripsikan suatu bahasa, dijelaskan pada bab-bab berikutnya.Selanjutnya, pembahasan mengenai hal-hal praktis ketika menggunakan IPA, seperti memilihsimbol yang sulit untuk penentuan nama, opsi memberikan simbol untuk tulisan tangan,komputer dan huruf braile dijelaskan dengan sangat rinci pada sub-bagian 7, sehingga seorangpeneliti bahasa dapat terbantu ketika mendengar suatu bunyi, tetapi sangat mengalami kesulitanmenemukan simbol yang tepat dalam bagan IPA, atau bahkan tidak menemukan sama sekalisimbol tersebut dalam IPA.

Buku ini juga menjelaskan bahwa meskipun ada beberapa simbol yang digunakandalam fonetik dan tercantum pada bagan IPA, seperti [i], [a], [�], [�], [Q], dan lain-lain, adayang sudah tidak sesuai atau tidak direkomendasikan lagi oleh International PhoneticAssociation, tetapi oleh “International Phonetic Association Convention in Kiel”, tetap dapatmembantu pembaca dalam memilih dan/atau menentukan simbol yang tepat terhadap suatubunyi yang terdengar (hal. 31-32).

Pembahasan singkat mengenai penambahan simbol-simbol yang tidak tercantum dalambagan IPA, seperti [�], [�], [Q], dan lain-lain disajikan dalam sub-bagian 8. Meskipun singkat,pembahasan ini cukup baik juga untuk menambah pengetahuan atau mengetahui simbol-simboltersebut. Selain itu, pembahasan mengenai masalah-masalah segmentasi dan keselarasanpentranskripsian dan bunyi ujaran cukup jelas karena bukan teori saja yang ditampilkan,melainkan beberapa gambar spektogram, seperti hubungan yang kompleks antara bentuk akustikdan segmentasi fonemik (hal. 35-36). Hal yang terakhir dibahas dalam sub-bagian ini adalahmengenai hubungan IPA dengan teori fonologi.

Bagian II dalam buku ini memberikan contoh 29 bahasa sebagai bentuk ilustrasi daripenerapan IPA. Dari setiap contoh bahasa, juga disediakan informasi mengenai bunyi vokal,konsonan, stres, transkripsi dan informasi mengenai ortografi. Namun demikian, kebanyakanyang disajikan dalam contoh bahasa ini berasal dari negara-negara di Eropa, misalnya bahasaInggris dan bahasa Perancis (hal. 39-154).

Bagian III, yang merupakan bagian akhir dalam buku ini, membahas mengenaiinformasi yang berkaitan dengan sejarah IPA, termasuk prinsip-prinsip International PhoneticAssociation yang dimulai tahun 1989, penulisan simbol-simbol IPA pada komputer, perluasanatau penambahan simbol-simbol IPA, dan latar belakang mengenai International PhoneticAssociation, seperti sejarah terbentuknya asosiasi ini, jurnal yang diterbitkan, bentuk alpabet,dan informasi terkini mengenai keanggotaan dan kontak (hal. 157-199). Buku ini jugamelampirkan beberapa bagan IPA yang sangat lengkap, sehingga membantu pembacamemahami setiap bunyi bahasa agar dapat memilih serta menentukan simbol-simbol sesuaidengan bunyi bahasa yang didengar (hal. 200).

Walaupun penjelasan prosedur penelitian bunyi yang sangat membantu dalam penelitianbahasa dan dokumentasi bahasa dapat dikemukakan dalam buku ini, contoh bahasa yangdigunakan dapat lebih bervariasi. Misalnya, dalam buku ini sebaiknya bisa disertakan contohbahasa yang diambil dari rumpun bahasa-bahasa non-Eropa. Meskipun contoh bahasa dari Asiaada, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Padahal, bahasa-bahasa di Asia yang diteliti, termasukbahasa-bahasa di Indonesia, memiliki bunyi yang unik sehingga konsep bagan IPA dengancontoh bunyinya dapat dikembangkan.

Page 91: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

203

DAFTAR PUSTAKA

International Phonetic Association. 1999. Reprinted 2011. Handbook of the InternationalPhonetic Association: A Guide to the Use of the International Phonetic Alphabet.Cambridge: Cambridge University Press.

Pennington, Martha C. 1996. Phonology in English Language Teaching. London: Longman.

Sari, Faizah. 2011. A Practical Guide to Understanding Basic English Phonetics andPhonology. Jakarta: Native Indonesia Press.

Page 92: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Agustus 2012, 205-207 Tahun ke-30, No. 2Copyright©2011, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

JELAJAH LINGUISTIK

Rubrik ini membuka peluang untuk saling berbagi di antara kita tentang beberapa kemungkinan topik ini:a. pencanangan metode penelitian linguistik yang belum lazim digunakanb. daur-ulang metodologi penelitian linguistikc. persoalan data yang – meskipun barangkali belum ditemukan pemecahannya – penelusurannya

berpeluang membuka sesuatu yang baru yang belum pernah menjadi perhatian peneliti terdahulud. penerapan teori linguistik tertentu untuk menjelaskan data bahasa seperti bahasa Indonesia yang

membuat peneliti mempersoalkan teori yang bersangkutan

ANTARA “JABBERWOCKY” DAN BAHASA ALAY:Penanda Kosong (Empty Signifiers) di Ranah Puitika vs.Tanda Peyot (Distorted Signs) di Wilayah Sosiolinguistik

A. Effendi KadarismanUniversitas Negeri Malang

[email protected]

Paparan ini merupakan pencermatan atas dua data – puisi “Jabberwocky” dan contoh bahasaAlay – yang dipakai Yassir Nasanius pada LI 30.1 (Februari 2012) untuk mempertanyakanmana yang lebih dulu: kata atau sintaksis? Dalam penjelasan Nasanius, TransformationalGrammar (TG) bertolak dari konfigurasi sintaksis dan berujung pada penyisipan kata (lexicalinsertion), sedangkan Government and Binding (GB) dan Minimalist Program (MP), keduanyabertolak dari kata (istilahnya: lexical projection), dan disempurnakan dengan sintaksis.

Pernyataan terakhir ini perlu disimak dengan kritis. “Jabberwocky” dan bahasa Alayadalah dua jenis data yang berbeda. Pada saat berhadapan dengan “Jabberwocky”, kita berada diwilayah linguistik yang bersentuhan dengan sastra, atau (meminjam istilah Jakobson (1960[1987]), kita berada di ranah puitika.

Marilah kita jelajahi ranah puitika pada puisi karya Lewis Carrol, “Jabberwocky”(Gray 1971:116-18) itu pada (1), yang seluruh kata (content words) merupakan nonsense.

(1) Twas brillig and the slithy toves Did gyre and gimble in the wabe All mimsy were the borogoves And the mome raths outgrabe

Lalu, mari kita pertimbangkan konfigurasi sintaksis dari kutipan bait pertama tersebut, yangoleh Hockett (1958:262) dibuat jelas dan eksplisit dengan menggunakan kata-kata bermakna,menggantikan kata-kata nonsense (periksa (2)).

(2) It was morning and the merry sunbeams Did glitter and dance in the snow All tinselly were the treetops And the happy fairies frolicked

Dengan demikian menjadi lebih jelas kategori leksikal dari kata-kata nonsense pada (1) itu;misalnya, brillig (Adv), slithy (Adj), tove (N). Secara intrinsik, setiap kata nonsense tersebutmemiliki potensi tersembunyi yang jauh lebih besar. Periksa hasil saya bermain dengan contohkata slithy pada kalimat-kalimat nonsense (3).

Page 93: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Jelajah Linguistik

206

(3) a. The slithy often brilligs the tove. b. Many toves slithy the brillig. c. The brillig toves the slity. d. The tove and the brillig look very slithy. e. The brillig was slithily toved.

Pada ranah leksikon, kata nonsense seperti slithy dapat berpindah-pindah kategori secara luwes:nomina (a, c), verba (b), adjektiva (d), dan adverbia (e). Pada ranah sintaksis, dengan merujukTeori X-bar dalam GB (Chomsky 1981): the slithy (a) “specifier”, slithy (b) “lexical head”, danthe slithy (c) “complement”. Bila kita merujuk pada merge operation pada MP (Chomsky 1995;Radford 2004) dengan input kata-kata nonsense plus inflectional morphology, hasilnya selalu“merge” dan tidak pernah “crash”. Singkatnya, Teori GB dan MP “tidak berkutik” menghadapikasus “Jabberwocky”. Di sini saya setuju dengan Nasanius. “Jabberwocky” berawal darisintaksis ala TG dan disempurnakan dengan Rule of Lexical Insertion (Chomsky 1965).

Pertimbangkan bahasa Alay di wilayah sosiolinguistik, dengan contoh dari Nasanius ini.

(4) qMo mANK cLID waD cYanK m qHo …J “Kamu memang sulit buat sayang sama aku.”

“Keanehan”-nya ini terletak pada ortografinya. Sintaksisnya tidak berbeda dengan yanglazim pada bahasa Indonesia. Tidak seperti pada “Jabberwocky”, pada bahasa Alay kategorileksikal setiap kata bersifat jelas dan konstan: qMo = kamu (Pron), mANK = memang (Adv),cLID = sulit (A), waD = buat (P), cYanK = sayang (V), m = sama (P), qHo = aku (Pron).

Dari segi ejaan, setiap kata didistorsikan ortografinya sehingga sulit dikenali aslinya.Namun, “tanda peyot” (distorted signs) itu secara esensial tetap merupakan “tanda” (sign) yangutuh: signifier dan signified. (misalnya, qMo merujuk persona kedua; cLID berarti ‘sukar’; waDbermakna ‘untuk’).

Bahasa Alay jelas berada di ranah sosiolinguistik, karena distorsi ejaan merupakan“variasi lingual” yang terkait dengan faktor sosial, yaitu in-group solidarity, untuk keperluansemacam “kode rahasia” (secret code) (Mesthrie et al. 2000: 337-38).

Bagaimana peranan sintaksis dan leksikon pada bahasa? Bila digunakan TG, pada tahaplexical insertion, kategori leksikal dan fitur semantik ikut menentukan wujud konstruksi lingualyang berterima. Bila digunakan Teori X-bar, kategori leksikal dan fitur semantik ikutmenentukan kata mana yang bisa menjadi “specifier”, “lexical head”, dan “complement”. Biladigunakan MP, kategori leksikal dan fitur semantik ikut menentukan hasil dari merge operation:bisa “merge” atau “crash”.

Ini perbedaan yang mencolok antara “Jabberwocky” dan bahasa Alay. “Jabberwocky”is semantically empty but syntactically well-formed. Sebaliknya, bahasa Alay adalahsemantically well-formed, syntactically well-formed, but orthographically ill-formed.

Page 94: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 2, Agustus 2011

207

RUJUKAN

Chomsky, Noam. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge (Mass.): The MIT Press.

Chomsky, Noam. 1981. Lectures on Government and Binding. Mouton: The Gruyter.

Chomsky, Noam. 1995. The Minimalist Program. Cambridge (Mass.): The MIT Press.

Culler, Jonathan. 1981. The Pursuit of Signs: Semiotics, Literature, Deconstruction. Ithaca(NY): Cornell University Press.

Gray, Donald J. 1971. Alice in Wonderland. New York/London: W. W. Norton & Company.

Hockett, Charless. 1958. A Course in Modern Linguistics. Newyork: Macmillan.

Jakobson, Roman. 1960 [1987]. Linguistics and Poetics. Dalam Pomorska, K. & Rudy, S.Roman Jakobson, Language in Literature, pp. 62-94. Cambridge, Mass., The BelknapPress of Harvard University Press.

Mesthrie, R., Swann, J., Deumert, A. & Leap, W. L. 2003. Sociolinguistics. Edinburgh:Edinburgh University Press.

Nasanius, Yassir. 2012. Kata atau Sintaksis Terlebih Dahulu: Kasus “Jabberwocky” danBahasa Alay. Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 1, Februari 2012:103-04.

Radford, Andrew. 2004. Minimalist Syntax: Exploring the Structure of English. Cambridge:Cambridge University Press.

Page 95: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Agustus 2012, 209-219 Tahun ke-30, No. 2Copyright©2012, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

BINCANG ANTARA KITA DARI DUNIA MAYA

KA'BAH ATAU KAKBAH?

From: satriyo <[email protected]>To: [email protected]: Wednesday, November 2, 2011 8:58 AMSubject: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Salam,

Ada yang menarik dari penggalan berita berikut:

Bagi umat muslim, peninggalan bersejarah yang penting adalah Masjid Al Aqsa di JerusalemTimur. Masjid itu adalah kiblat pertama umat Islam, sebelum Nabi Muhammad memindahkankiblat ke Kakbah di Mekah, Arab Saudi. Sedangkan peninggalan Yahudi penting adalahTembok Ratapan. Lokasi ini berada di dekat Masjid Al Aqsa.sumber:http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/11/02/ArticleHtmls/UNESCO-Bela-Status-Palestina-02112011012004.shtml?Mode=1

Apakah ada yang tahu ejaan Ka'bah dan Kakbah itu mana yang sesuai KBBI?

terima kasih.Satriyo.

From: [email protected] on behalf of ardian kurniawan putraSent: Rabu 02/11/2011 18:27To: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Saya melihat, topik ihwal "ka'bah dan kakbah" yang diajukan Pak Satriyo ini mengalami duapenafsiran. Pertama, mengenai topik itu sendiri, sedangkan yang kedua merupakanpengembangannya yang cukup jauh permasalahan yang terdapat pada topik. Baiklah, saya akanmengomentari pemakaian ka'bah atau kakbah dalam bahasa Indonesia. Setahu saya, dalamKBBI terdapat lema kakbah yang dipadankan dengan baitulharam. Lema kakbah sendirimemiliki definisi 'bangunan suci berbentuk kubus di dalam Masjidilharam di Mekah sbg kiblatsalat umat Islam'. Namun, sumber ini saya baca dari KBBI edisi ketiga versi digital (mungkinnanti dapat diperiksa pada versi cetaknya). Yang patut mendapat perhatian adalah mengenaipenafsiran bunyi glotal (untuk bunyi 'ain) dalam ejaan tulis bahasa Indonesia. Untuk serapandari bahasa Arab, kita temukan kata-kata yang mengandung glotal bunyi 'ain, misalnya padalema jumat, syafaat, syariat. Bila dilihat, ketiganya tidak dilambangkan dengan glotal dalamejaan tulis. Sedangkan kakbah justru dilambangkan dengan menyertakan bunyi huruf <k>.

Padahal, keempat kata itu sama-sama mengandung bunyi glotal yang berasal dari huruf 'aindalam bahasa Arab.

Mengenai penggunaan konjungsi intrakalimat sedangkan, kita harus bersepakat untukmemperluas fungsinya ataukan tetap memakai fungsi konjungsi tersebut seperti biasanya.

Salam,Ardian

Page 96: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Diskusi Ilmiah

210

From: Yassir Nasanius <[email protected]>To: [email protected]: Wednesday, November 2, 2011 7:41 PMSubject: RE: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Di dalam Kamus Bahasa Indonesia 2008 versi digital, saya temukan lema 'kabah', 'kakbah', dankaabah, tetapi 'ka'bah' tidak terdaftar:

Kaabah --> Kabahkabah n bangunan dr batu berbentuk kubus di masjid Al-Haram di Mekah yg menjadi kiblatbersembahyang umat Islam

Kakbah n bangunan suci berbentuk kubus di dalam Masjidilharam di Mekah sbg kiblat salatumat Islam

Sepengetahuan saya (mungkin salah), ejaan yang dipakai selama ini adalah 'kabah'.

Salam,Yassir

From: [email protected] On Behalf Of ardian kurniawan putraSent: Thursday, November 03, 2011 9:53 AMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Saya sepakat dengan kata "kabah" karena sudah ada kata Jumat, syafaat, syariat, dansebagainya.

From: [email protected] On Behalf Of Bambang Kaswanti PurwoSent: Thursday, November 03, 2011 10:09 AMTo: [email protected]: RE: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Dari segi pengucapan mulut kita, mulut Indonesia, saya [pribadi] cenderung memilih <kaabah>.Coba rasakan: di antara dua bunyi [aa] itu pengucapannya – tidak dapat tidak – akanmemunculkan bunyi hamzah (glottal stop). Bandingkan kata-kata [yang sudah diserap ke dalam]Indonesia: <saat>, <taat>. Bunyi hamzah itu tidak muncul pada deret vokal yang tidak sama,misalnya, <lain>, <bau>, <luas>.

Kalau yang penting adalah bagaimana agar bunyi hamzah itu tetap muncul seperti pada kataaslinya, pemilihan <kakbah> membuka kemungkinan penggantian bunyi hamzah ke [k] – dalamproses ke depan – yaitu, apabila diucapkan dengan tanpa memperhitungkan [lagi] asal katabahasa itu.

Penghilangan bunyi hamzah pada kasus ini berbeda dengan penghilangan bunyi hamzah padakata <Jum’at>, yang kini telah menjadi <Jumat>. Penghilangan bunyi hamzah membuathilangnya bunyi hamzah itu pada kata <Jumat>. Namun, bunyi hamzah tetap akan bertahanmeskipun tidak muncul pada penulisan bentuk yang dengan deret vokal [aa] untuk kasus<ka’bah>.

Saya jadi bertanya-tanya apa pertimbangan KBI 2008 ini memilih Kaabah --> Kabah

bk

Page 97: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

211

From: [email protected] On Behalf Of satriyoSent: Thursday, November 03, 2011 10:12 AMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Mas Ardian,

Bukankah "Ka'bah" itu nama dan nama mendapat perlakuan khusus dalam pelafalan dan ejaandalam Bhs Indonesia? Kalo nama ternyata harus taat kaidah, maka mengapa hanya pada namadari Bhs Arab saja, dalam hal ini Ka'bah?

salam

From: [email protected] On Behalf Of satriyoSent: Thursday, November 03, 2011 10:34 AMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Mas Ardian,

Tambahan: Ada satu hal menarik saya dapati ketika saya coba intip entry Ka'bah di situswikipedia. Ejaan yang digunakan dalam versi Bahasa Indonesia ternyata adalah Kakbah.Artinya kontributor entry ini mengacu pada KBBI. Tapi sejumlah kata menunjukkaninkonsistensi (mungkin saya yang salah di sini) yaitu dengan menuliskan antara lain Kiblat(bukan Qiblat), Qur'an (bukan Kuran), dan Quraisy (bukan Kurais). Hemat saya semua ini namadan sepatutnya mendapat perlakuan yang sama.

Mohon bantuan penjelasan.

Terima kasihsalam

From: [email protected] On Behalf Of ardian kurniawan putraSent: Thursday, November 03, 2011 1:33 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Pak Satriyo,

Kalau kita mengacu kepada nama, bukankah Jumat juga adalah nama? Lantas, mengapa mestiada pembedaan penulisannya? Cuma yang ingin saya tegaskan, sistem penyerapan dalam bahasakita saya kira masih belum dapat menjelaskan soal ini. Ada juga kata "nikmat", tetapipenulisannya tidak luluh seperti Jumat. Saya kira, ini disebabkan oleh sistem penyerapan kitayang masih belum konsisten.

From: [email protected] On Behalf Of satriyoSent: Thursday, November 03, 2011 1:37 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Mas Ardian,

Tepat sekali mas! Memang sedari awal saya masih belum sepakat dengan Jumat dan masihmemilih Jum'at. Dan alasannya adalah: nama! Jadi kembali ke pertanyaan saya: saya lihat buatsementara jawaban mas Ardian cukup berterima. :)

Saya masih berharap proses penyerapan ini dapat berujung pada konsistensi sistem bahasa kitatercinta.

Terima kasih tanggapannya! :)

Page 98: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Diskusi Ilmiah

212

From: [email protected] On Behalf Of ardian kurniawan putraSent: Thursday, November 03, 2011 1:48 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Pak Satriyo,

Untuk penyebutan "Kiblat", "Quraisy", dan "Quran", saya kira memiliki penjelasan yangtersendiri. Huruf <q> yang digunakan oleh ejaan bahasa Indonesia mengacu pada huruf qaf(huruf keenam belas) pada bahasa Arab. Sedangkan "kabah" dan "kiblat" menggunakan hurufkaf (huruf ketujuh belas). Jadi jelas yang dimaksud adalah dua fonem yang berbeda. Sehingga,tidak mungkin akan menggunakan "kuran" pada "quran" atau "kuraisy" pada kata "quraisy".Mungkin kita butuh penjelasan dari linguis bahasa Arab untuk menjelaskan masalah ini.Namun, untuk penulisan Qur'an saya kira bukanlah penulisan yang tepat. Karena sistem ejaanbahasa Indonesia yang baku tidak mengenal apostrof sebagai penanda huruf. Kita tidakmenggunakan "ma'af" atau "manfa'at", misalnya.

From: [email protected] On Behalf Of ardian kurniawan putraSent: Thursday, November 03, 2011 1:56 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Saya juga senang dapat bertukar pikiran dengan Bapak. Tetapi, pada komentar sayasebelumnya, saya tidak bermaksud menyetujui penggunaan kata "Jum'at". Saya lebih setujudengan penamaan "Jumat". Sekali lagi, alasan saya karena dalam bahasa Indonesia baku tidakdikenal apostrof sebagai perlambang bunyi atau huruf.

From: [email protected] On Behalf Of satriyoSent: Thursday, November 03, 2011 4:08 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Terima kasih masukannya yang singat padat to the point pak! :)

RSA

From: [email protected] On Behalf Of satriyoSent: Thursday, November 03, 2011 4:48 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Mas Joko,Berikut tanggapan dari milis sebelah, khususnya soal serapan dari bahasa Inggris ...salam,RSA

Begitu juga kata-kata serapan dari bahasa-bahasa lain seperti Inggris, yaitu bunyi [syen] `tion'atau `sion' menjadi [si] dalam bahasa Indonesia.(1) television &#61664; televise (4) accommodation &#61664; akomodasi(2) tension &#61664; tensi (5) action &#61664; aksi(3) information &#61664; informasi

Saya hanya ingin mengingatkan lagi bahwa kata-kata di atas merupakan serapan *dari bahasaBelanda* sebagai peninggalan zaman pendudukan baik melalui pendidikan formal maupuntidak formal, dan BUKAN dari bahasa Inggris:(1) televisie -> televise (4) accommodatie -> akomodasi(2) tensi -> tensi (5) actie -> aksi(3) informatie -> informasi

Page 99: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

213

Contoh lain:- agresi (Bld. agressie; Ing. aggression; perhatikan beda "g" dan "gg")- vibrasi (Bld. vibratie; Ing. vibration) - kreativitas (Bld. creativiteit; Ing. creativity)- aktif (Bld. actief; Ing. active) - sportif (Bld. sportief; Ing. sportive)- aktivitas (Bld. activiteit; Ing. activity) - sportivitas (Bld. sportivitas; Ing. ???)- pasif (Bld. passief; Ing. passive) - substantief (Bld. substantief; Ing. substantive)- kreatif (Bld. creatief; Ing. creative) - subversief (Bld. subversief ; Ing. subversieve)dan masih banyak lagi ...

Memang pernah--seingat saya di tahun 1980-an, tepatnya entah kapan--terjadi pergeseran ejaanpada beberapa kata, seperti:- formel (Bld. formeel) -> formal- materiel (Bld. materiëel) - material- enersi (Bld. ener·gie [eenerzjie]) -> energidan entah kata-kata apa lagi.

Mungkin ada yang bisa menceritakan alasan perubahannya. Lebih baik lagi kalau ada yang bisameyertakan daftar kata-katanya.

Salam,Evie

From: [email protected] On Behalf Of [email protected]: Thursday, November 03, 2011 8:58 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah? -> serapan

Ini merupakan informasi yang menarik dan semakin membuat luas wawasan kita.Penelitian tentang serapan jelas memerlukan kajian yang mendalam. Mungkin saja benar,berdasarkan waktu, kita akan mengatakan bahwa kata-kata tersebut merupakan serapan daribahasa Belanda mengingat Belanda lebih dulu sampai di Indonesia dibandingkan Inggris. Kitamemerlukan data kata-kata mutakhir dari bahasa Inggris yang tidak dikenal pada waktu ituuntuk menguatkan apakah kata-kata tersebut memang berasal dari bahasa Belanda atau daribahasa Inggris. Mengapa demikian, karena kita tahu bahwa bahasa Inggris dan Belanda adalahbahasa serumpun yang persamaannya banyak sekali.Apabila ada data bahasa Inggris dengan bunyi [syen] secara ortografi 'tion' atau 'sion' dan katatersebut dapat dikategorikan kata yang baru populer katakanlah 20 tahun terakhir, kemudian kitadapati padanan dalam bahasa Indonesia dengan bunyi [si], tentunya akan ada simpulan lain.Namun, bila kita tidak temukan, kita pastikan semua itu dari bahasa Belanda.Perlu kita ingat bahwa terdapat juga sebuah kata diserap bukan langsung dari bahasa yangbersangkutan, tetapi justru dari bahasa lain yang telah menyerap duluan. Misalnya, Wikipediamemasukkan kata akomodasi dari bahasa Inggris accomodation dan kata organisasi dari bahasaBelanda. Wah.. perlu tanya wikipedia tuh dalam menentukan klasifikasi tersebut hehehehe..Coba lihat laman berikut untuk lengkapnya.http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Inggris_dalam_bahasa_Indonesiahttp://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Belanda_dalam_bahasa_IndonesiaPun demikian, ini memerlukan penelitian yang mendalam. Saya kira penelitian ini perludilakukan dan menarik sekali.Salam,JokoMisalnya, kata 'computation'-> 'komputasi' mungkin termasuk yang beraHal ini perlu sekali

Page 100: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Diskusi Ilmiah

214

From: [email protected] On Behalf Of [email protected]: Thursday, November 03, 2011 1:59 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Ternyata topik ini berkembang menjadi dua. Yang pertama berkaitan dengan permasalahanpengindonesiaan kata bahasa arab `ka'bah/kakbah/kabah'. Sementara itu, yang kedua berkaitandengan konjungsi 'sedangkan'.

1. Permasalahan kata bahasa arab `ka'bah/kakbah/kabah'.Sebenarnya ada hal yang harus kita bedakan ketika membahas permasalahan ini, yaituperbedaan antara permasalahan serapan dengan permasalahan transliterasi. Ketika kita berbicarapermasalahan serapan, tentunya kata-kata serapan tersebut secara lebih leluasa dapatdikaidahkan. Yang saya maksud dengan `lebih leluasa' tersebut tentu tidak sebebas-bebasnya,tetapi lebih banyak disesuaikan dengan sistem bunyi bahasa yang ada dalam bahasa Indonesia.Apabila kaidah umum dalam membuat kata serapan didasarkan pada asas bunyi, bunyi yangsama atau terdekat dalam bahasa Indonesia yang menjadi acuan. Misalnya,Fonem velar (qof) dalam bahasa Arab menjadi [k] dalam bahasa Indonesia seperti:(1) baqa `kekal' &#61664; baka sepert dalam `alam baka'(2) qodar `ukuran' &#61664; kadar seperti dalam sesuai kadarnya.(3) qiyamah &#61664; kiamat seperti dalam `hari kiamat'(4) aqkl `akal' &#61664; akal seperti dalam ̀ akal sehat'(5) quds ‚suci' &#61664; ?kudus seperti dalam `kalam kudus'(6) tholaq `pisah' &#61664; talak (cerai)(7) maqom `berkedudukan'&#61664; mukim & makam(8) taqdir `ketentuan/ukuran' &#61664; takdir(9) taqwa `menjaga diri dari yg merusak' &#61664; takwa(10) qubur `kubur' &#61664; kubur

tetapi,(1) qori' `pembaca' &#61664; Qori tidak Kori seperti dalam `suara qori itu sangat indah'(2) qur'an `bacaan' mengacu pada kitab Al-Quran &#61664; Qur'an bukan Kur'an.(3) qurban `hewan qurban/mendekat qurobah' &#61664; qurban tidak kurban.(4) qiblah `menghadap' &#61664; Qiblat (arah menghadap dalam -?sholat atau salat-)Tampaknya terdapat tendensi untuk mengubah menjadi [k] jika memiliki nosi umum danmenjadi [q] jika memiliki nosi khas agama Islam. Termasuk, dalam hal ini, itulah sebabnya`kudus' dengan [k] karena memiliki nosi khas agama Kristen, padahal kata `Quddus' merupakansalah satu 99 nama Allah dalam agama Islam.

Begitu juga kata-kata serapan dari bahasa-bahasa lain seperti bahasa Inggris, yaitu bunyi [syen]`tion' atau `sion' menjadi [si] dalam bahasa Indonesia.(1) television &#61664; televisi(2) tension &#61664; tensi(3) information &#61664; informasi(4) accommodation &#61664; akomodasi(5) action &#61664; aksi

Berbeda halnya dengan transliterasi, dalam hal ini berkaitan dengan nama diri, nama tempat,atau nama sesuatu. Apabila bahasa tersebut menggunakan system alphabet yang sama denganbahasa Indonesia, kata-kata tersebut ditulis sama seperti(1) New York &#61664; tetap New York bukan Nyu York(2) Majalah Time &#61664; tetap majalah Time bukan Majalah Taim(3) John Lennon &#61664; tetap John Lennon bukan Jon Lenon

Page 101: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

215

Permasalahannya adalah ketika nama diri, nama tempat, atau nama sesuatu tersebut berasal daribahasa yang sistem alfabetnya tidak sama dengan bahasa Indonesia, dalam hal ini termasukbahasa Arab. (masih banyak bahasa lain selain bahasa Arab tentunya).Karena termasuk bagian transliterasi, bentuk kata dalam bahasa Indonesia-nya seyogyanyaharus tetap mewakili setiap bunyi yang terdapat dalam bahasa asal. Kita tetap menulis `New'untuk New York walaupun bunginya adalah `Nyu York'. Oleh karena itu, transliterasi namasesuatu dalam bahasa Arab, yaitu &#65244;&#65228;&#65228;&#65170;&#65258; , harussedekat mungkin mencerminkan unsur-unsur bunyi pembentuknya, yaitu (kaf), (ain), (bah), dan(tak marbutoh – ha).

Kaidah ini mengesampingkan penulisan (kabah) karena melesapkan unsur bunyi (ain).Bagaimana dengan penulisan (kakbah)? Penulisan tersebut tidak tepat karena (ain) adalah fonemglotal sementara [k] adalah fonem velar dan terdapat dalam bahasa Indonesia dan juga terdapatdalam bahasa Arab (kaf). Fonem (ain) harus diberi lambang transliterasi yang berbeda dari [k].Lambang yang sudah umum digunakan adalah (`). Oleh karena itu, transliterasi (bukan serapandan bukan pengindonesiaan) yang lebih tepat adalah (ka'bah). Ini sama halnya dengan nama diriDr.'Aidh dengan apostrof yang berarti dari (ain) yang berbeda jika ditulis Dr.Aidh yang berartiberasal dari (alif).

2. Permasalahan konjungsi `sedangkan' di awal kalimat.Fenomena ini sama dengan penggunaan konjungsi `sehingga'. Baik `sedangkan' maupun`sehingga' secara preskriptif dikatakan sebagai konjungsi antarklausal dalam sebuah kalimatmajemuk. Oleh karena itu, penggunaannya sebagai konjungsi antarkalimat dikatakan tidakbenar. Akan tetapi, sebagaimana telah disinggung oleh Pak Yanwardi, penggunaan konjungsi`sedangkan' dan `sehingga' sebagai konjungsi antarkalimat banyak ditemukan. Namun, perlupenjelasan lebih jauh pembedaan antara linguistik formal dengan linguistik fungsional yangdisebut Pak Yanwardi karena kelihatannya simplistik sekali.

Apakah memang terjadi perubahan penggunaan konjungsi tersebut, sebagaimana disinggungPak Yassir? Tentu memerlukan penelitian untuk membuktikannya. Saya sendiri melihat apabilakita membacanya dengan jeda dann intonasi menurun, makna konjungsi `sedangkan' serupadengan `sementara itu' dan konjungsi `sehingga' serupa dengan konjungsi `oleh karena itu' atau`dengan demikian'. Ini persis sama dengan konjungsi `namun' di awal kalimal.

Apakah fenomena penggunaan konjungsi tersebut dalam korpus memang baru-baru iniditemukan sehingga kita akan mengatakan adanya perubahan penggunaan konjungsi`sedangkan' yang tidak hanya sebagai konjungsi intrakalimat tetapi juga dapat berfungsi sebagaikonjungsi antarkalimat. Jika penelitian menemukan fenomena penggunaan tersebut telah lamaada, kita tentunya akan menyimpulkan lain hal seperti adanya otoriterisasi dalam bahasapreskriptif. Terdapat kemungkinan juga pengaruh dari bahasa asing seperti bahasa Inggris. Kitasering menemukan penggunaan seperti kata `and' atau `or' di awal kalimat padahal keduanyatermasuk konjungsi intrakalimat jika kita berpikiran preskriptif.

Semoga yang sederhana ini semakin menambah diskusi kita mendalam dan bermanfaat.

Salam,Joko

Page 102: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Diskusi Ilmiah

216

From: [email protected] On Behalf Of satriyoSent: Thursday, November 03, 2011 2:40 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Mas Joko,

Terima kasih mas atas tanggapan sekaligus masukannya yang sangat berharga.

Sayang untuk alinea ini:Karena termasuk bagian transliterasi, bentuk kata dalam bahasa Indonesia-nya seyogyanyaharus tetap mewakili setiap bunyi yang terdapat dalam bahasa asal. Kita tetap menulis `New'untuk New York walaupun bunginya adalah `Nyu York'. Oleh karena itu, transliterasi namasesuatu dalam bahasa Arab, yaitu &#65244;&#65228;&#65228;&#65170;&#65258; , harus sedekat mungkin mencerminkan unsur-unsur bunyi pembentuknya,yaitu (kaf), (ain), (bah), dan (tak marbutoh – ha).

ada yang tidak terbaca, dan saya kira itu aksara arab ya mas?

Namun saya masih memndam sejumlah pertanyaan spt mengapa harus salat, ketika shalat sudahmenjadi sesuatu yang jama' dan lazim ... padahal shalat adalah bagian dari yang mas sebut"memiliki nosi agama Islam". Pernah berhahun-tahun lalu saya surati salah satu media nasionalyang paling gemar mengindonesiakan hal demikian, tapi saya tidak mendapat balasan apapun.Sekarang malah media itu tidak mencantumkan jadwal shalat sama sekali ... :)

salam kenal dan jabar erat,

From: [email protected] On Behalf Of satriyoSent: Thursday, November 03, 2011 2:42 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Sama-sama mas saya pun demikian.

Baru saya merasa tercerahkan oleh tanggapan mas Joko Kusmanto. Hemat mas Ardianbagaimana? :)

salam,

From: [email protected] On Behalf Of rina marnitaSent: Thursday, November 03, 2011 3:32 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Terimakasih pak, bagus sekali penjelasannya...

From: [email protected] On Behalf Of ardian kurniawan putraSent: Friday, November 04, 2011 9:02 AMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Pak Satriyo,

Hemat saya, tetapkan saja penulisan Jumat (tanpa apostrof). Hal ini sudah juga dilakukan untukpenyerapan Quran (bukan Qur'an).

Salam,Ardian

Page 103: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

217

From: satriyo <[email protected]>To: [email protected]: Friday, November 4, 2011 9:18 AMSubject: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Mas Ardian,

Tampaknya memang terpaksa demikian, at least buat konteks medium resmi. Hanya untuk halini saya masih ingin tahu kenapa serapan hari setelah Jumat itu Sabtu bukan Saptu? Apa iniyang mas maksud dalam tanggapan mas ke pak BK soal kaidah penyerapan bahasa kita yaitutulisan bukan bunyi sebagaimana jiran kita, Malaysia?

salam,RSA

From: [email protected] On Behalf Of [email protected]: Friday, November 04, 2011 10:31 AMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Tepat sekali bahwa Jumat berasal dari kata jumu'ah dan saat berasal dari kata sa'ah.Sebagaimana telah saya singgung dalam posting sebelumnya, harus dibedakan antarapermasalahan serapan dengan permasalahan transliterasi. Tidak bisa kita menyamakan kasusJumat, saat, doa, dan yang semisalnya dengan kasus Ka'bah.Yang pertama adalah permasalahan serapan, sedangkan yang kedua adalah kasus transliterasi.Permasalahan serapan pada umumnya disesuaikan dengan sistem bunyi yang ada dalam bahasa yangmenyerap. Kenapa pada umumnya? Karena kata-kata serapan kadang kala dapat juga menambahsistem bunyi suatu bahasa. Misalnya, (ini perlu pengecekan lebih lanjut)Bahasa indonesia yangberpangkal dari bahasa Melayu adalah bahasa yang aslinya tidak mengenal bunyi dengan lambangortografi "f". Oleh karena itu, semua kata-kata yang memiliki bunyi [f] adalah kata-kata serapan.Begitu juga dengan bunyi [v]. Meskipun keduanya terdapat dalam sistem alfabet bahasa Indonesia,kedua bunyi tersebut tidak diucapkan secara berbeda. Adanya lambang ortografi "v" dalam BahasaIndonesia semata-mata hanya untuk mengakomodasi kata-kata serapan.Sementara itu, kata Ka'bah tidak berkaitan dengan permasalahan serapan melainkanpermasalahan transliterasi. Pada umumnya hal tersebut berkaitan dengan nama diri, namatempat, nama landmark, dan yang semisalnya. Bagaimana dengan Jumu'ah? Bukankah itu namahari? Iya benar. Akan tetapi, nama itu tidak bersifat khusus. Hari ada di mana-mana. Ketikabangsa kita mengenal sistem kalender yang berbeda, maka masuklah kata-kata arab tentang haritersebut. Di dalam bahasa Jawa terdapat sistem kalender yang berbeda pada awalnya. Namun,saat ini juga sudah disesuaikan dengan sistem kalender Lunar.Dalam trnsliterasi, seperti yang telah saya singgung, kita tetap menulis "New York" sebagaimanaaslinya walaupun bunyinya tidak demikian. Meskipun juga kita mengucapkannya seenak menurutlidah kita karena tidak bisa berbahasa Inggris secara fasih meisalnya. Kita tetap menulis Paris dandiucapkan seperti tulisannya [paris] karena itu yang enak menurut lidah kita. Padahal tidak adaorang Perancis yang mengucapkan demikian karena akan diucapkan [pa&#343;i]. Demikian juga,nama Marsailles akan ditulis sama walaupun sebagian besar orang awam tidak tahu bahwa itudibaca [ma&#343;saiye]. Menara Seattle juga akan ditulis seperti aslinya, walaupun kebanyakankita tidak akan mengucapkannya seperti orang Amerika yang melafalkan 'tle' berbeda dari orangBritish. Masih banyak contoh yang bisa kita berikan lagi saya pikir.Oleh karena itu, apa yang dijadikan alasan Pak Bambang kurang tepat. Ini bukan permasalahanenak atau mudah diucapkan. Seperti halnya contoh-contoh di atas, kita tulis sebagaimanaaslinya walaupun lidah kita akan memilih sesuai yang enak dengannya dan tidak sesuai denganyang dikehendaki dengan tulisan aslinya. Oleh karena itu, jika apstrof ' memang telah disepakatisebagai transliterasi untuk bunyi glotal (ain), ya maka yang benar adalah Ka'bah penulisannya.Perkara orang akan membacanya menjadi [kaabah], [kakbah] atau lainnya itu permasalahanyang lain.Saya pikir demikian, semoga bermanfaat.

Salam,Joko

Page 104: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Diskusi Ilmiah

218

From: [email protected] On Behalf Of satriyoSent: Friday, November 04, 2011 9:40 AMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Mas Ardian,

Terima kasih. Tapi saya malah mengira Sabtu itu dari <sabt> bukan <sab'atun> ...Nah dalam konteks ini, sesuai pernyataan mas Ardian, kaidah penyerapan kita adalah padabentuk/tulisan bukan bunyi, dengan pengecualian untuk nama/proper name, mengapa <jum-at>yang proper name itu tidak Jum'at tapi Jumat? Apakah kaidah penyerapan ini sudah baku ataumasih dalam proses menuju baku? Mohon pencerahan. Dan maaf bila terkesan saya lambanmengolah data/masukan ...

salam,RSA

From: [email protected] On Behalf Of satriyoSent: Friday, November 04, 2011 9:41 AMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Salam,Masukan dari milis sebelah menanggapi tema yang sama.

salam,RSA

Sebenarnya, kalau lebih teliti, kita akan tahu bahwa apastrof atau k pada kata-kata kabah, jumat,dan maaf bukanlah hamzah, melainkan `ain. Silakan yang mengerti bahasa Arabmengkonfirmasi hal ini.Jadi menurut saya tidak tepat kalau ka`bah ditransliterasikan menjadi kakbah, seolah-olah ituglottal stopnya hamzah padahal `ain.Pedoman transliterasi hamzah dan `ain ini saya lihat diterapkan secara konsisten dalam buku-buku terbitan Mizan. Di halaman awal buku yang mengandung transliterasi Arab selalutercantum pedoman ini.Untuk hamzah dan `ain, Mizan tidak menggunakan k, melainkan ' untuk hamzah dan ` untuk`ain, lantaran k dipakai untuk kaf.

sur’

From: [email protected] On Behalf Of ardian kurniawan putraSent: Friday, November 04, 2011 1:23 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Ya, dalam kepercayaan orang Yahudi ada dinamakan hari Sabat. Mungkin saja bisa munculanggapan kata <sabtu> berasal dari bahasa Ibrani. Sebab, kita ketahui bahasa Arab dan bahasaIbrani adalah berkerabat (rumpun bahasa semit). Tapi, saya kira semua hari dalam bahasaIndonesia diserap dari bahasa Arab. Mengenai munculnya kata <minggu>, itu diserap daribahasa Portugis, <domingo>. Adapun maksud penyerapan kata ini dan mengapa justru kata<minggu> lebih sering terdengar daripada <ahad> dalam pemakaian bahasa kita mungkin akanada penjelasan lain.

Salam,Ardian

Page 105: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012

219

From: [email protected] On Behalf Of ardian kurniawan putraSent: Friday, November 04, 2011 1:24 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Ya. Saya kira, dalam tulisan saya sebelumnya, saya juga telah menyinggung ihwal huruf 'ain,qaf, dan kaf tersebut.

From: [email protected] On Behalf Of satriyoSent: Friday, November 04, 2011 1:38 PMTo: [email protected]: Sabtu, dari sabat atau as-sabtu? Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Owh ... saya kira <sab> itu memang dari bahasa Arab untuk nama hari (dalam bahasa Arab)yaitu as-sabtu, dan bukan bilangan tujuh, baik muannas <sab'atun> maupun mudzakkar<sab'un>. Adapun rumpun semit, dalam hal ini bahasa Ibrani, memang mirip dengan bahasaArab menamakan hari sabtu itu <sabat> ... demikian yang saya tahu mas Ardian.Saya lihat link ini cukup representatif buat topik bahasan kita (dan saya ganti subjek utas nya yamas): http://en.wikipedia.org/wiki/Weekday_names#Weekdays_numbered_from_SundayYang menarik untuk situs yang sama dalam bahasa Indonesia, yang muncul adalah keteranganuntuk Ummat Yahudi dan Kristen, tidak ada Islam ...! :)http://id.wikipedia.org/wiki/Sabtu

salam,RSA

From: [email protected] On Behalf Of Ivan LaninSent: Friday, November 04, 2011 1:40 PMTo: [email protected]: Re: Sabtu, dari sabat atau as-sabtu? Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Kalau Wikipedia kurang lengkap, tambahkan saja, Mas :)

Ivan Lanin <http://ivan.lanin.org>

From: [email protected] On Behalf Of ardian kurniawan putraSent: Friday, November 04, 2011 1:51 PMTo: [email protected]: Re: Sabtu, dari sabat atau as-sabtu? Re: [mlindo] Ka'bah atau Kakbah?

Terimakasih atas informasi dan masukannya, Pak. Topik pembicaraan kita jadi meluas terus.Tapi, yang terpenting, apakah itu berasal dari Ibrani atau Arab, bahasa Indonesia tidakmenyerap dari bahasa yang memuat huruf <p>. Jadi, boleh saya simpulkan, bahwa yang benaradalah <sabtu>, meskipun pelafalannya kadang diucapkan <saptu>.

Page 106: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Linguistik Indonesia, Agustus 2012, 221 - 222Copyright©2012, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

INDEKS

competence 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23context-bound linguistics 1, 3, 7, 9explanatory adequacy 1, 19, 20generative grammar 1, 2, 3, 6, 7, 9, 18, 19mentalism 1, 2, 3, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 18, 19, 20Austronesian language 25, 45, 46Biak morphosyntax 25, 46nominal predicate constructions 25, 26pola 47, 48, 50, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 66nada 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 66bahasa Tionghoa 1referring expression 69, 71, 72, 83referent 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81identifiable 69, 70, 72, 73, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81relative frame of reference 85, 87, 94, 96, 98,99absolute frame of reference 85, 87, 89, 90, 92, 93, 94, 97, 99intrinsic frame of reference 85, 87, 93, 94Indonesian lexicography 113, 114, 124Kamus Besar Bahasa Indonesia 113, 114, 127electronic media 113, 114, 125pembentukan derivasional 129, 130, 131, 132, 135, 136, 138, 139nomina 129, 130, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 141, 142, 144, 145verba 129, 130, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145gugus konsonan 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 163fonem 147, 148, 149, 152, 153, 154, 155, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164morfofonologis 147, 156, 160, 161, 163transmigran Bali 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 176, 177, 178, 179, 181interferensi 167, 170, 171, 180sikap bahasa 167, 169, 176, 177, 178, 179, 181perilaku normatif 183, 184, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 198, 199perilaku santun 183, 184, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 198, 199masyarakat praktisi 183, 184, 188, 198

Page 107: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

222

INDEKS PENULIS

Kadarisman 1

Mofu 25

Karsono 47

Sukamto 69

Aryawibawa 85

Collins 113

Abdullah, Subroto, Mulyanto 129

Pastika 147

Malini 167

Murni 183

Page 108: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

Terima Kasih

Redaksi Linguistik Indonesia mengucapkan terima kasih kepada para

mitra bebestari yang telah berkenan mereview artikel-artikel yang

diterbitkan dalam Linguistik Indonesia edisi Februari dan Agustus 2012,

yaitu:

1. Bambang Kaswanti Purwo Unika Atma Jaya

2. Faizah Sari Unika Atma Jaya

3. Hasan Basri Universitas Tadulako

4. E. Aminudin Aziz Universitas Pendidikan Indonesia

5. Bahren Umar Siregar Unika Atma Jaya

6. A. Effendi Kadarisman Universitas Negeri Malang

7. Dwi Noverini Djenar University of Sydney, Australia

8. Patrisius Istiarto Djiwandono Universitas Ma Chung

9. Katharina Endriati Sukamto Unika Atma Jaya

10. Siti Wachidah Universitas Negeri Jakarta

11. Yassir Nasanius Unika Atma Jaya

12. Mahyuni Universitas Mataram

13. Yanti Unika Atma Jaya

14. Timothy McKinnon Max Planck Institute forEvolutionary Anthropology,Jakarta Field Station

Jakarta, Agustus 2012

Redaksi Linguistik Indonesia

Page 109: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang

FORMAT PENULISAN NASKAH

Naskah diketik dengan menggunakan MS Word dikirimkan ke Redaksi melalui [email protected] atau dalam bentuk disket dan satu printout. Panjang naskah,termasuk daftar pustaka, adalah minimal 15 halaman dan maksimal 30 halaman, denganspasi tunggal dan jenis huruf Times New Roman 11 point. Naskah disertai denganabstrak sekitar 150 kata dan kata kunci (key words) maksimal tiga kata. Abstrak dankata kunci ditulis dalam dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, diletakkansetelah judul naskah dan afiliasi penulis.

Kutipan hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis, kecuali bila panjangnyalebih dari tiga baris. Dalam hal ini, kutipan diketik dengan spasi tunggal, menjorok kedalam (indented) sepuluh karakter, letak tengah (centered), dan tanpa tanda petik. Namapenulis yang dirujuk hendaknya ditulis dengan urutan berikut: nama akhir penulis,tahun penerbitan, dan nomor halaman (bila diperlukan); misalnya, (Radford 1997),(Radford 1997:215). Catatan ditulis pada akhir naskah (endnote), tidak pada bagianbawah halaman (footnote).

Setiap rujukan baik artikel maupun buku tanpa dipilah-pilah jenisnya, diurutkanmenurut abjad berdasarkan nama akhir, tanpa diberi nomor urut.

· Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun pe-nerbitan, (6) titik, (7) judul buku cetak miring, (8) titik, (9) kota penerbitan, (10) titikdua (colon), (11) nama penerbit, dan (12) titik, seperti pada contoh berikut:

Gass, Susan M. dan J. Schachter. 1990. Linguistic Perspectives on Second LanguageAcquisition. Cambridge: Cambridge University Press.

Thornbury, Scott. 2005. Beyond the Sentence: Introducing Discourse Analysis.Oxford: Macmillan.

· Untuk artikel dalam jurnal: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5)tahun penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tandapetik tutup, (11) nama jurnal cetak miring, (12) volume, (13) titik, (14) nomor (kalauada), (15) koma, (16) spasi, (17) halaman, (18) titik, seperti pada contoh berikut:

Chung, Sandra. 1976. “An Object-Creating Rule in Bahasa Indonesia.” LinguisticInquiry 7.1, 41-87.

Steinhauer, Hein. 1985.“Number in Biak. Counterevidence to Two AllegedLanguage Universals.” Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde 141.4,462-485.

· Untuk artikel dalam buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5)tahun penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tandapetik tutup, (11) berilah kata "Dalam", (12) titik dua, (13) nama editor disusul (ed.),(14) koma, (15) halaman, (16) titik. Buku ini harus pula dirujuk secara lengkap dalamlema tersendiri, seperti pada contoh berikut:

Dardjowidjojo, Soenjono. 2007. “Derajat Keuniversalan dalam Pemerolehan Bahasa.”Dalam: Nasanius (ed.), 233-261.

Nasanius, Yassir. (ed.). 2007. PELBBA 18. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

· Jika ada lebih dari satu artikel oleh pengarang yang sama, nama pengarangnya ditulisulang secara lengkap, dimulai dengan tahun terbitan yang lebih dulu, mengikuticontoh ini:

Shibatani, Masayoshi. 1977. “Grammatical Relations and Surface Cases.” Language 53,789- 809.

Shibatani, Masayoshi. 1985. “Passives and Related Constructions: A PrototypeAnalysis.” Language 61, 821-848.

Page 110: Daftar Isi - mlindonesia.org agustus 2012.pdf · MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang