Upload
mega-silvya
View
242
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Cyclical Indicators
Citation preview
CYCLICAL INDICATORS
1. Leading Indicators
PT. Wijaya Karya (WIKA) berada dalam satu sektor dengan PT. Adhi Karya (ADHI)
yang berperan sebagai Leading Indicators pada bidang properti dan real estate dengan sub
sektor konstruksi bangunan. Jadi secara tidak langsung kondisi sektoral dari PT. Adhi
Karya (ADHI) berdampak pada PT. Wijaya Karya (WIKA). Dilihat dari harga saham
harian dari kedua perusahaan tersebut, PT. Adhi Karya (ADHI) harga seham
perlembarnya lebih tinggi dibandingkan dengan PT. Wijaya Karya (WIKA).Walaupun
sebagai leading indicator PT. Adhi Karya (ADHI) juga mengalami kenaikan dan
penurunan harga saham, begitu pula dengan PT. Wijaya Karya (WIKA) yang berada
dalam satu sektor.
2. Coincident Indicators
PT. Wijaya Karya (WIKA) merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Produk dari industri ini adalah konstruksi bangunan yang bergerak dalam Konstruksi
Sipil, Konstruksi Bangunan Gedung, dan Mekanikal Elektrikal. Selain itu PT. Wijaya
Karya (WIKA) memiliki beberapa anak perusahaan yang bergerak dibidang industri
beton pracetak, bisnis realty dan property , WIKA Industri & Konstruksi, dibidang
bangunan dan gedung, bidang erection dan installation mekanikal elektrikal untuk
proyek industrial dan power plant, bidang pertambangan aspal Buton. Hal ini dilakukan
karena peraturan pemerintah yang mengharuskan BUMN kembali kebisnis intinya. Maka
usaha usaha di luar konstruksi dipecah menjadi anak perusahaan tersebut.
3. Lagging indicators
a. Average duration of unemployment
Komponen ini merupakan rata-rata jumlah minggu individu menganggur setelah
keluar dari pekerjaannya. Nilai komponen ini terbalik, untuk menunjukkan
pembacaan lebih rendah selama resesi dan pembacaan yang lebih tinggi selama
ekspansi. Average duration of unemployment merupakan indikator lagging karena
orang-orang memiliki waktu yang sulit mencari pekerjaan setelah resesi dimulai.
b. Inventories-to-sales ratio
Rasio ini disesuaikan dengan inflasi. Peningkatan persediaan umumnya merupakan
perkiraan penjualan rata-rata yang menunjukkan ekonomi melambat. Rasio
inventory-to-sales penjualan biasanya mengalami puncaknya di tengah-tengah resesi,
dan terus menurun sampai awal pemulihan.
c. Change in labor cost per unit of output (manufacturing)
Jumlah akhir merupakan tingkat perubahan kompensasi kerja dibandingkan dengan
output industri. Sering, ketika ekonomi berada dalam resesi, produksi industri
melambat lebih cepat dari biaya tenaga kerja.
d. Average prime rate (banks)
Komponen ini disusun oleh pemerintah . Perubahan suku bunga pinjaman antar bank
cenderung lag, aktivitas ekonomi secara keseluruhan karena pemerintah menetapkan
tingkat suku bunga ini sebagai respons terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Untuk merangsang pertumbuhan, tingkat dana pemerintah akan tetap rendah untuk
periode setelah perekonomian secara keseluruhan yang mulai pulih dari kontraksi.
e. Commercial and industrial loans outstanding
Komponen ini mencatat jumlah total pinjaman dan surat berharga, disesuaikan
dengan inflasi. Permintaan kredit cenderung pada puncak setelah perekonomian
secara keseluruhan, tidak karena penurunan terkait dalam keuntungan perusahaan.
f. Ratio of consumer installment credit to personal income
Rasio ini mencerminkan hubungan antara utang konsumen dan pendapatan.\
g. Consumer price index (CPI) services
Komponen ini berasal dari Biro Statistik Tenaga Kerja, dan merupakan inflasi harga
konsumen untuk produk layanan. Kenaikan harga dalam produk layanan konsumen
terkait, cenderung terjadi pada bulan-bulan awal resesi, dan mereda pada awal
pemulihan. Karena CPI merupakan harga yang telah berubah, komponen ini
tertinggal dengan indikator ekonomi lainnya. Sementara perubahan dalam kurva
imbal hasil Treasury dapat menjadi prediktor yang baik dari inflasi ke depan, CPI
hanya mengumumkan bahwa inflasi tiba.
INDUSTRY ANALYSIS
1. Business cycles
Mankiw (1997) menuliskan bahwa business cycles adalah fluktuasi yang terjadi
dalam output,pendapatan, dan kesempatan kerja. Samuelson dan Nordhaus (1992)
juga menyebut business cycles sebagai fluktuasi dalam output nasional, pendapatan,
dan kesempatan kerja total. Fluktuasi tersebut biasanya selama periode dua sampai
sepuluh tahun dan bercirikan ekspansi atau kontraksi pada beberapa sektor
perekonomian. Sedangkan menurut Abel dan Bernanke (2005), merupakan fluktuasi
dari aggregate economic activity, jadi bukan merupakan fluktuasi single economic
variable, dengan durasi yang bervariasi dari lebih satu tahunan, sepuluh tahunan, atau
dua puluh tahunan. Lucas (dalam Kim dan Choi, 1997), mendefinisikan business
cycles sebagai pergerakan gross national product di sekitar trend-nya, dan
ditambahkannya bahwa konsep business cycles yang lebih luas dapat diartikan
sebagai pergerakan deviasi suatu series dari trend-nya.
Satu episode business cycles dimulai dari trough sampai trough berikutnya melewati
satu peak, atau dimulai dari peak sampai peak berikutnya melewati satu trough. Di
dalamnya selalu ada fase ekspansi yang terjadi pada banyak aktivitas ekonomi secara
bersamaan, juga selalu ada fase kontraksi atau penyusutan. Kedua fase ini silih
berganti dari satu siklus ke siklus berikutnya, dan semua siklus berhubungan antara
yang satu dengan yang lain, di bagian akhir yang satu dengan bagian awal yang lain.
Rangkaian perubahan tersebut berulang kembali tetapi tidak secara periodik atau
berkala, satu siklus tidak selalu sama durasi waktunya. Resesi terjadi ketika siklus
berada pada fase kontraksi, yaitu antara business peak dan business trough. Secara
informalnya, fase kontraksi dikatakan telah masuk kategori resesi ketika terjadi
penurunan gross national product selama dua kuartal berturut-turut. National bureau
of economic research, NBER, memiliki ukuran sendiri untuk mengatakan bahwa fase
kontraksi telah masuk kategori resesi, yaitu ketika terjadi penurunan pada output,
income, employment, dan trade, yang biasanya bertahan antara enam bulan sampai
satu tahun serta ditandai dengan kontraksi yang menyebar luas pada banyak sektor
perekonomian. Dan ketika fase kontraksi terjadi secara ekstra dengan durasi yang
lebih lama lagi, maka disebut sebagai depresi.
Dalam konteks Indonesia, menentukan reference series untuk mengukur business
cycles sebagai fluktuasi dari aggregate economic activity merupakan suatu hal yang
krusial. Pada kasus ini GDP dipilih sebagai indikator aktivitas ekonomi, atau disebut
juga sebagai reference series. Dasarnya, walaupun business cycles didefinisikan
secara luas sebagai fluktuasi aggregate economic activity yang berarti bukan fluktuasi
dari satu variabel saja, namun GDP merupakan single variable yang paling mendekati
untuk mengukur aggregate economic activity (Abel dan Bernanke, 2005). Pada
Gambar 2 disajikan actual dan trend GDP series dalam logarithmic form mulai Tahun
1970 sampai 2001.
Sedangkan gambar selanjutnya (Gambar 3), menunjukkan siklus dari GDP dengan
menerapkan metode filtering HP filter. Selama periode akhir 1970 sampai akhir 2001,
terdapat empat siklus di dalam perekonomian Indonesia dengan pola seperti tampak
pada Gambar 3 tersebut. Siklus pertama C1 diawali dengan trough T1 pada Desember
1972 dan berakhir sampai trough T2 pada Desember 1976. Demikian pula siklus
kedua C2 berlangsung antara T2 – T3, periode Desember 1976 - Desember 1985.
Siklus ketiga C3 berlangsung antara T3 –T4, periode periode Desember 1985
Desember 1992. Dan terakhir siklus keempat C4 yang berlangsung antara T3 –T4,
periode periode Desember 1992 – Desember 1998.
Pada keempat siklus tersebut terdapat lima trough dan empat peak pada
perekonomian Indonesia selama periode sampel dengan turning points yang rata-rata
terjadi pada akhir tahun. Total durasi waktu dari keempat siklus tersebut adalah 312
bulan dan didominasi oleh fase ekspansi, yaitu 68% atau 213 bulan. Sedang porsi dari
fase kontraksi adalah 32% atau 99 bulan. Dominasi fase ekspansi juga tercermin dari
rata-rata durasinya, rata-rata durasi fase ekspansi adalah 53 bulan per siklus.
Sedangkan rata-rata durasi fase kontraksi adalah 25 bulan per siklus. Mengingat lebih
dari dua per tiga total durasi waktu dari keempat siklus tersebut didominasi oleh fase
ekspansi, ini menunjukkan bahwa lebih dari duapertiga kegiatan perekonomian
Indonesia berada pada fase ekspansi, dan sepertiga sisanya adalah fase kontraksi.
2. Industry Life cycle
WIKA dibentuk dari proses nasionalisasi perusahaan Belanda bernama Naamloze
Vennotschap Technische Handel Maatschappij en Bouwbedijf Vis en Co. atau NV
Vis en Co. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1960 dan Surat Keputusan
Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) No. 5 tanggal 11 Maret 1960,
dengan nama Perusahaan Negara Bangunan Widjaja Karja. Kegiatan usaha WIKA
pada saat itu adalah pekerjaan instalasi listrik dan pipa air. Pada awal dasawarsa
1960-an,
Perkembangan signifikan pertama adalah di tahun 1972, dimana pada saat itu nama
Perusahaan Negara Bangunan Widjaja Karja berubah menjadi PT Wijaya Karya.
WIKA kemudian berkembang menjadi sebuah kontraktor konstruksi dengan
menangani berbagai proyek penting seperti pemasangan jaringan listrik di Asahan
dan proyek irigasi Jatiluhur.
Satu dekade kemudian, pada tahun 1982, WIKA melakukan perluasan divisi dengan
dibentuknya beberapa divisi baru, yaitu Divisi Sipil Umum, Divisi Bangunan
Gedung, Divisi Sarana Papan, Divisi Produk Beton dan Metal, Divisi Konstruksi
Industri, Divisi Energy, dan Divisi Perdagangan. Proyek yang ditangani saat itu
diantaranya adalah Gedung LIPI, Gedung Bukopin, dan Proyek Bangunan dan Irigasi.
Selain itu, semakin berkembangnya anak-anak perusahaan di sektor industri
konstruksi membuat WIKA menjadi perusahaan infrastruktur yang terintegrasi dan
bersinergi.
Semakin berkembangnya Perseroan, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap kemampuan Perseroan. Hal ini tercermin dari keberhasilan
WIKA melakukan penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) pada
tanggal 27 Oktober 2007 di Bursa Efek Indonesia (saat itu bernama Bursa Efek
Jakarta). Pada IPO tersebut, WIKA melepas 28,46 persen sahamnya ke publik,
sehingga pemerintah Republik Indonesia memegang 68,42 persen saham, sedangkan
sisanya dimiliki oleh masyarakat, termasuk karyawan, melalui
Employee/Management Stock Option Program (E/MSOP), dan Employee Stock
Allocation (ESA).
Memasuki tahun 2010, WIKA berhadapan dengan lingkungan usaha yang berubah
dengan tantangan lebih besar. Untuk itu, WIKA telah menyiapkan Visi baru, yaitu
VISI 2020 untuk menjadi salah satu perusahaan EPC dan Investasi terintegrasi terbaik
di Asia Tenggara. Visi ini diyakini dapat memberi arah ke segenap jajaran WIKA
untuk mencapai pertumbuhan yang lebih optimal, sehat dan berkelanjutan.
Sepanjang tahun 2012, WIKA berhasil menuntaskan proyek power plant yang terdiri
dari: Pembangkit Listrik Tenaga Gas Borang, 60MW, Pembangkit Listrik Tenaga
Mesin Gas Rengat, 21MW, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Ambon, 34MW.
Pada tahun 2013 Perseroan mendirikan usaha patungan PT Prima Terminal Peti
Kemas bersama PT Pelindo I (Persero) dan PT Hutama Karya (Persero), mengakuisisi
saham PT Sarana Karya (Persero) (“SAKA”) yang sebelumnya dimiliki oleh
Pemerintah Republik Indonesia, mendirikan usaha patungan PT WIKA Kobe dan PT
WIKA Krakatau Beton melalui Entitas Anak WIKA Beton, dan melakukan buyback
saham sebanyak 6.018.500 saham dengan harga perolehan rata-rata Rp1.706,77,-
COMPANY ANALYSIS
Analisis Laporan keuangan PT. Wijaya Karya
Liquidity Ratio 2011 2012
Current Assets
5.838.851.683
7.186.554.643
Current Liabilities
5.127.208.872
6.527.627.883
Inventory
872.775.160
1.499.142.819
Cash and cash equivalent
1.244.316.237
1.138.080.424
Current Ratio 1,1388 1,010
Quick Ratio
0,97 0,970
Cash Ratio 0,242688813 0,230
Activity Ratio 2011 2012
Sales
7.741.827.272
9.816.085.895
Total Assets
8.322.979.571 10.945.209.418
Fixed Assets
753.148.442
1.168.756.506
Stockholder's Equity
2.071.560.773
2.574.070.857
Account Receivable
1.323.066.544
1.332.044.873
Cost of Goods Sold
6.978.414.331 8.902.208.955
Inventory
872.775.160
1.138.080.424
Total Asset Turnover 0,93 0,897
Fixed Asset Turnover 10,28 8,399
Accounts Receivable Turnover 5,85 7,369
Accounts Receivable DaysOutsanding 62,38 49,531
Inventory Turnover 8,00 7,822
Inventory Days Outstanding 45,65 46,663
Profitability Ratio 2011 2012
Net Income
390.946.495
505.124.962
Sales
7.741.827.272
9.816.085.895
Pre-Tax Income
629.606.985
1.111.381.979
Earning Before Interest and Taxes
864.934.975 8.902.208.955
Cost of Goods Sold
6.978.414.331
807.915.794
Total Assets
8.322.979.571
9.341.633.477
Net Assets (Total Assets-Non Debt
Current Liabilities)
7.346.584.747
10.945.209.418
Stockholder's Equity
2.071.560.773
1.603.575.941
Equity
2.219.375.875
2.814.005.594
Net Margin 0,050
0,5140
Pre-Tax Margin 0,081
0,0820
Operating Margin 0,112
0,1130
Gross Margin 0,099
0,0900
Return On Assets 0,047
0,0460
Return On Net Assets 0,053 0,054
Return On Equity 0,176
3,4880
Market Ratio 2011 2012
Stock Price 100 100
EPS 60,59 76,01
Market Capitalization (Stock Price x
Shareoutstanding)
2.202.726.750.000
2.
210.562.750.000
Stockholder's Equity
2.071.560.773
505.124.962
Dividend
390.946.495
22.105.627.500
Price Earning
2
1
Market Book 1063,32
1.065
Dividend Yield
3.909.464,95
5.051.249,62
Shareholder Return
3.909.464,95
5.051.249,62
Leverage Ratio 2011 2012
Total Liabilities
6.103.603.696
8.131.203.824
Stockholder's Equity
2.071.560.773
8.131.203.824
Total Assets
8.322.979.571
10.945.209.418
Short Term Debt
130.848.840 2 34.689.995
Long Term Debt
251.074.132
251.074.132
Pre-Tax Income
629.606.985
807.915.794
Interest Expense
24.134.182
37.500.827
Debt to Equity 2,946379259
3,1500
Financial Leverage 4,01773372 4,25
Interest Coverage
27,09 23
Dupont Ratio Analysis 2011 2012
Net Income
390.946.495
505.124.962
Sales
7.741.827.272
9.816.085.895
Total Asset
8.322.979.571
10.945.209.418
Equity
2.219.375.875
2.814.005.594
Net Margin 0,050
0,514
Asset Turnover 0,930
0,897
Return On Assets 0,047
0,046
Financial Leverage 3,750
4,525
Return On Equity 0,176
3,480
1. Earning Per Share (EPS)
EPS sendiri merupakan rasio yang menunjukan berapa besar keuntungan yangdiperoleh investor atau
pemegang saham per saham. Semakin tinggi nilai EPS tentusaja menggembirakan pemegang saham
karena semakin besar laba yang disediakanuntuk pemegang saham. Nilai EPS WIKA mengalami
peningkatan dari tahun 2011 ke tahun 2012
2. Price Earning Ratio (PER)
Price earning ratio /PER adalah rasio price yang dihitung dengan membagi hargasaham saat ini dengan
Earning Per Share (EPS), PER menggambarkan apresiasipasar tehadap kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba. PER dihitungdalam satuan kali. Bagi para investor semakin kecil PER suatu saham
semakin bagus karena saham tersebut termasuk murah.
3. Book Value
Nilai Buku adalah rasio price yang dihitung dengan membagi total ekuitas ( Aset -Hutang ) dengan total
saham yang beredar. Book Value digunakan untuk melihatharga suatu securitas apakah overpriced atau
underprice.
4. Price to Book Value (PBV)
adalah angka rasio yang menjelaskan seberapa kali seorang investor bersediamembayar sebuah saham
untuk setiap nilai buku per sahamnya. PBV diperolehdengan cara membagi harga pasar saham dengan
Nilai Buku Per Saham atau Book Value Per Share (BVPS). Nilai Buku Per Saham (BVPS) diperoleh
dengan caramembagi total ekuitas perusahaan pada periode tertentu dengan jumlah sahamnyayang
tercatat di Bursa Efek Indonesia.
5. Current Ratio
Yaitu perbandingan antara aktiva lancar perusahaan dengan utang lancarnya dalam hal ini mengalami
penurunan dari tahun 2011 ke tahun 2012
6. Debt to Equity Ratio (DER)
Rasio hutang atas modal adalah menggambarkan sampai sejauh mana modal pemilik dapat menutupi
hutang-hutang kepada pihak luar. Debt to equity ratio menggambarkan proporsi antara kewajiban yang
dimiliki dan seluruhkekayaan yang dimiliki. Mengalami peningkatan.
7. Return On Asset (ROA)
Merupakan salah satu rasio profitabilitas yang dapat mengukur kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. Untuk pt wika mengalami penurunan dari tahun
sebelumnya.
8. Return On Equity (ROE)
ROE adalah ukuran untuk melihat kemampuan perusahaan dalam memberikanimbalan investasi kepada
pemegang saham keseluruhan. Dalam hal ini mengalami kenaaikan yang cukup signifikan.