Upload
willghoest
View
114
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Retinopati diabetik adalah penyebab utama kebutaan di negara-negara barat.
Pandangan bahwa hiperglikemia kronik pada diabetes mellitus adalah determinan utama
timbulnya retinopati diabetes didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi
retinopati pada orang muda dengan diabetes tipe 1 (dependen – insulin) paling sedikit 3-5
tahun setelah awitan penyakit sistemik ini. Hasil-hasil serupa telah diperoleh pada
diabetes tipe II (non dependen-insulin), tetapi pada para pasien ini onset dan lamanya
penyakit lebih sulit ditentukan secara tepat. 1
Dianjurkan pada pasien tipe 1 diabetes mellitus tipe 1 dirujuk untuk pemeriksaan
oftalmologi dalam 3 tahun setelah diagnosis dan pemeriksaan oftalmologik dalam 3 tahun
setelah diagnosis dan periksa ulang sedikit paling sedikit sekali setahun. Pasien diabetes
tipe II harus dirujuk ke ahli oftalmologi pada saat diagnosis dan diperiksa ulang
sedikitnya sekali setahun. Karena retinopati diabetes dapat menjadi agresif selama
kehamilan, setiap wanita diabetes yabg hamil harus diperiksa oleh ahli oftalmologi pada
trimester pertama dan paling sedikit setiap tiga bulan sampai persalinan. 1
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering dijumpai,
terutama di Negara barat. Kira-kira 1 dari 900 orang berusia 25 tahun mengidap diabetes
dan sekitar 1 dari 25 orang berusia 60 tahun adalah penyandang diabetes. Prevalensi
retinopati diabetik proliferatif pada diabetes tipe 1 dengan lama penyakit 15 tahun adalah
50%. Retinopati diabetik jarang ditemukan pada anak-anak dibawah umur 10 tahun tanpa
memperhatikan lamanya diabetes. Namun resiko berkembangnya retinopati meningkat
setelah pubertas. 1
Keluhan pasien dengan retinopati diabetik biasanya tidak ada kecuali bila telah
terjadi gangguan pada daerah makulanya. Gangguan penglihatan akan menjadi lebih
berat bila terjadi neovaskularisasi pada retina maupun badan kaca. Bila terjadi retinopati
diabetik dengan terjadi ablasi retina, maka pasien akan kehilangan penglihatan dan sukar
diatasi.2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Retinopati diabetes adalah kelainan (retinopati) yang ditemukan pada
penderita diabetes mellitus.2 Retinopati akibat diabetes disebabkan terjadinya
gangguan metabolisme tubuh secara umum dan retina khususnya, sehingga
mengakibatkan kelainan retina dan pembuluh-pembuluh darahnya.3
Gambar 2.1 Normal retina dibanding retinopati diabetik.
2.2 Anatomi Retina
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semi transparan, dan
multilapis yang melapisi bagian dua pertiga posterior dinding bola mata. Retina
membentang kedepan hamper sama jauhnya dengan corpus siliarnya, dan berakhir
di tepi ora serrata. Dibagian retina yang letaknya sesuai dengan sumbu penglihatan
terdapat macula lutea (bintik kuning) kira-kira berdiameter 1-2 mm yang berperan
penting untuk tajam penglihatan. Di tengah makula lutea terdapat bercak mengkilat
yang merupakan refleks fovea. 1
Kira-kira 3 mm kearah nasal kutub belakang bola mata terdapat daerah
bulat putih kemerah-merahan, disebut papil saraf optik, yang ditengahnya agak
2
melekuk dinamakan ekskavasi faali. Arteri retina sentral bersama venanya masuk
ke dalam bola mata di tengah papil saraf optic. Arteri retina merupakan pembuluh
darah terminal. 3
Gambar 2.2 Lapisan Retina
Retina yang mempunyai ketebalan sekitar 1 mm terdiri atas 10 lapisan : 3,4
1. Membrana limitans interna, merupakan lapisan paling dalam
2. Lapisan serabut-serabut saraf , dalam lapisan ini terdapat cabang-cabang utama
pembuluh retina.
3. Lapisan sel ganglion, merupakan suatu lapisan sel saraf bercabang.
4. Lapisan plexiform dalam.
5. Lapisan nukleus dalam, terbentuk dari badan dan nukleus sel-sel bipolar.
6. Lapisan plexiform luar.
7. Lapisan nukleus luar, terutama terdiri atas nuklei sel-sel visual atau sel kerucut
dan batang.
8. Membran limitan luar.
9. Lapisan batang dan kerucut, merupakan lapisan penangkap sinar, untuk melihat.
10. Lapisan epitel pigmen.
3
Sel batang lebih banyak dibanding sel kerucut, kecuali didaerah makula,
dimana sel kerucut lebih banyak. Daerah papil saraf optik terutama terdiri atas
serabut saraf optik dan tidak mempunyai daya penglihatan (bintik buta).3
2.3 Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2004 melaporkan, 4,8 persen
penduduk di seluruh dunia menjadi buta akibat retinopathy DM. Dalam urutan
penyebab kebutaan secara global, retinopathy DM menempati urutan ke-4 setelah
katarak, glaukoma, dan degenerasi makula (AMD= age-related macular
degeneration). 5
Diestimasi bahwa jumlah penderita diabetes di seluruh dunia akan
meningkat dari 117 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. Di Asia
diramalkan diabetes akan menjadi ”epidemi”, disebabkan pola makan masyarakat
Asia yang tinggi karbohidrat dan lemak disertai kurangnya berolahraga. Akibatnya,
kebutaan akibat retinopathy DM juga diperkirakan meningkat secara dramatis. 5
Data Poliklinik Mata RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang tidak
dipublikasikan menunjukkan bahwa retinopathy DM merupakan kasus terbanyak
yang dilayani di Klinik Vitreo-Retina. Dari seluruh kunjungan pasien Poliklinik
Mata RSCM, jumlah kunjungan pasien dengan retinopati diabetik meningkat dari
2,4 persen tahun 2005 menjadi 3,9 persen tahun 2006. 5
Angka kejadian retinopathy DM diabetik dipengaruhi tipe diabetes melitus
(DM) dan durasi penyakit. Pada DM tipe I (insuln dependent atau juvenile DM ),
yang disebabkan oleh kerusakan sel beta pada pankreas, umumnya pasien berusia
muda (kurang dari 30 tahun), retinopati diabetik ditemukan pada 13 persen kasus
yang sudah menderita DM selama kurang dari 5 tahun, yang meningkat hingga 90
persen setelah DM diderita lebih dari 10 tahun. 5
Pada DM tipe 2 (non-insulin dependent DM), yang disebabkan oleh
resistennya berbagai organ tubuh terhadap insulin (biasanya menimpa usia 30 tahun
atau lebih), retinopati diabetik ditemukan pada 24-40 persen pasien penderita DM
kurang dari 5 tahun, yang meningkat hingga 53-84 persen setelah menderita DM
selama 15-20 tahun. 6
4
2.4 Patofisiologi
Skema 1. Patofisiologi retinopati diabetik
Mekanisme terjadinya retinopati diabetik masih belum jelas, namun
beberapa studi menyatakan bahwa hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama
kerusakan multipel organ. Komplikasi hiperglikemia kronis pada retina akan
menyebabkan perfusi yang kurang adekuat akibat kerusakan jaringan pembuluh
darah organ, termasuk kerusakan pada retina itu sendiri. Terdapat 4 proses
biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga berhubungan
dengan timbulnya retinopati diabetik, antara lain:
1) Akumulasi Sorbitol
Produksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari aktivasi
jalur poliol terjadi karena peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase yang
terdapat pada jaringan saraf, retina, lensa, glomerulus, dan dinding pembuluh darah
akibat hiperglikemi kronis. Sorbitol merupakan suatu senyawa gula dan alkohol
5
yang tidak dapat melewati membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam
jumlah yang banyak dalam sel. Kerusakan sel terjadi akibat akumulasi sorbitol yang
bersifat hidrofilik sehingga sel menjadi bengkak akibat proses osmotik.
Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD+ sehingga
menurunkan uptake mioinositol. Mioinositol berfungsi sebagai prekursor sintesis
fosfatidilinositol untuk modulasi enzim Na-K-ATPase yang mengatur konduksi
syaraf. Secara singkat, akumulasi sorbitol dapat menyebabkan gangguan konduksi
saraf.
Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim aldose reduktase
(sorbinil) yang bekerja menghambat pembentukan sorbitol, dapat mengurangi atau
memperlambat terjadinya retinopatik diabetik. Namun uji klinik pada manusia
belum menunjukkan perlambatan dari progresifisitas retinopati. 7,8
2) Pembentukan protein kinase C (PKC)
Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel vaskular
meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yang merupakan
suatu regulator PKC dari glukosa. PKC diketahui memiliki pengaruh terhadap
agregasi trombosit, permeabilitas vaskular, sintesis growth factor dan
vasokonstriksi. Peningkatan PKC secara relevan meningkatkan komplikasi
diabetika, dengan mengganggu permeabilitas dan aliran darah vaskular retina.
Peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan terjadinya
ekstravasasi plasma, sehingga viskositas darah intravaskular meningkat disertai
dengan peningkatan agregasi trombosit yang saling berinteraksi menyebabkan
terjadinya trombosis. Selain itu, sintesis growth factor akan menyebabkan
peningkatan proliferasi sel otot polos vaskular dan matriks ekstraseluler termasuk
jaringan fibrosa, sebagai akibatnya akan terjadi penebalan dinding vaskular,
ditambah dengan aktivasi endotelin-1 yang merupakan vasokonstriktor sehingga
lumen vaskular makin menyempit. Seluruh proses tersebut terjadi secara
bersamaan, hingga akhirnya menyebabkan terjadinya oklusi vaskular retina. 8
6
3) Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)
Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non
enzimatik. Proses tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu senyawa AGE.
Efek dari AGE ini saling sinergis dengan efek PKC dalam menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskular, sintesis growth factor, aktivasi endotelin 1
sekaligus menghambat aktivasi nitrit oxide oleh sel endotel. Proses tersebut
tentunya akan meningkatkan risiko terjadinya oklusi vaskular retina. 7,9
AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar glukosa.
Akumulasi AGE mendahului terjadinya kerusakan sel. Kadarnya 10-45x lebih
tinggi pada DM daripada non DM dalam 5-20 minggu. Pada pasien DM, sedikit
saja kenaikan glukosa maka meningkatkan akumulasi AGE yang cukup banyak, dan
akumulasi ini lebih cepat pada intrasel daripada ekstrasel. 7,9
4) Pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS)
ROS dibentuk dari oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim yang
menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2), superokside (O2-). Pembentukan ROS
meningkat melalui autooksidasi glukosa pada jalur poliol dan degradasi AGE.
Akumulasi ROS di jaringan akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang
menambah kerusakan sel. 7,9
Skema 2. Patogenesis retinopati diabetik
7
Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses biokimiawi akibat
hiperglikemia kronis terjadi pada jaringan saraf (saraf optik dan retina), vaskular
retina dan lensa. Gangguan konduksi saraf di retina dan saraf optik akan
menyebabkan hambatan fungsi retina dalam menangkap rangsang cahaya dan
menghambat penyampaian impuls listrik ke otak. Proses ini akan dikeluhkan
penderita retinopati diabetik dengan gangguan penglihatan berupa pandangan
kabur. Pandangan kabur juga dapat disebabkan oleh edema makula sebagai akibat
ekstravasasi plasma di retina, yang ditandai dengan hilangnya refleks fovea pada
pemeriksaan funduskopi. 6-7,10
Neovaskularisasi yang tampak pada pemeriksaan funduskopi terjadi karena
angiogenesis sebagai akibat peningkatan sintesis growth factor, lebih tepatnya
disebut Vascular Endothelial Growt Factor (VEGF). Sedangkan kelemahan dinding
vaksular terjadi karena kerusakan perisit intramural yang berfungsi sebagai jaringan
penyokong dinding vaskular. Sebagai akibatnya, terbentuklah penonjolan pada
dinding vaskular karena bagian lemah dinding tersebut terus terdesak sehingga
tampak sebagai mikroaneurisma pada pemeriksaan funduskopi. Beberapa
mikroaneurisma dan defek dinding vaskular lemah yang lainnya dapat pecah hingga
terjadi bercak perdarahan pada retina yang juga dapat dilihat pada funduskopi.
Bercak perdarahan pada retina biasanya dikeluhkan penderita dengan floaters atau
benda yang melayang-layang pada penglihatan. 6,7
2.5 Klasifikasi
Berkaitan dengan prognosis dan pengobatan, retinopati diabetik dibagi
menjadi (menurut Early Treatment Diabetic Retinopathy Study): 1
8
Gambar 2.3 Stadium Retinopati Diabetik
1. Retinopati Diabetik Non Proliferatif, atau dikenal juga dengan Background
Diabetic retinopathy. Ditandai dengan: mikroaneurisma, perdarahan retina,
eksudat, IRMA, dan kelainan vena
a. Minimal: terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma,
perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras
b. Ringan-sedang: terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi vena derajat ringan,
perdarahan, eksudat keras, cotton wool spots, IRMA
c. Berat: terdapat ≥1 tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada 4
d. kuadran retina, dilatasi vena pada 2 quadran atau IRMA pada 1 quadran
e. Sangat berat: ditamukan ≥ 2 tanda pada derajat berat.
2. Retinopati Diabetik Proliferatif. Ditandai dengan neovaskularisasi.
a. Ringan (tanpa resiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya neovaskular
pada discus (NVD) yang mencakup < ¼ dari daerah diskus tanpa disertai
9
perdarahan preretina atau vitreus, atau neovaskularisasi dimana saja
diretina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus.
b. Berat (resiko tinggi): apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor resiko sebagai
berikut
i. Ditemukan NVE
ii. Ditemukan NVD
iii. Pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang
mencakup > ¼ daerah diskus
iv. Perdarahan vitreus
Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada discus opticus atau setiap
adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan, merupakan 2
gambaran yang paling sering ditemukan pada retinopati proliferative
resiko tinggi.
Pembagian stadium menurut Daniel Vaughan dkk: 4
Stadium I
Mikroaneurisma yang merupakan tanda khas, tampak sebagai perdarahan bulat
kecil didaerah papil dan macula
o Vena sedikit melebar
o Histologis didapatkan mikroaneurisma dikapiler bagian vena didaerah
nuclear luar
Stadium II
o Vena melebar
o Eksudat kecil-kecil, tampak seperti lilin, tersebar atau terkumpul seperti
bunga (circinair/ rosette) yang secara histologist terletak didaerah lapisan
plexiform luar
Stadium III
10
Stadium II dan cotton wool patches, sebagai akibat iskemia pada arteriol terminal.
Diduga bahwa cotton wool patches terdapat bila disertai retinopati hipertensif atau
arteriosklerose.
Stadium IV
Vena-vena melebar, cyanosis, tampak sebagai sosis, disertai dengan sheathing
pembuluh darah. Perdarahan nyata besar dan kecil, terdapat pada semua lapisan
retina, dapat juga preretina.
Stadium V
Perdarahan besar diretina dan preretina dan juga didalam badan kaca yang
kemudian diikuti dengan retinitis proliferans, akibat timbulnya jaringan fibrotic
yang disebtai dengan neovaskularisasi. Retinitis proliferans ini melekat pada
retina yang bila mengkerut dapat menimbulkan ablasi retina dan dapat
mengakibatkan terjadinya kebutaan total.
Klasifikasi menurut FKUI : 2,4
Derajat I: terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa fatty exudates pada fundus
okuli
Derajat II: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan atau
tanpa fatty exudates pada fundus okuli
Derajat III: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak,
neovaskularisasi, proliferasi pada fundus okuli.
Jika gambaran fundus dikedua mata tidak sama, maka penderita tergolong pada
derajat berat.
2.6 Gejala Klinis
Gejala subjekif yang dapat ditemui berupa: 4,6
Kesulitan membaca
Penglihatan kabur
Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
11
Melihat lingkaran cahaya
Melihat bintik gelap dan kelap-kelip
Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina: 4,6
Mikroaneurisma, merupakan penonjololan dinding kapiler terutama daerah vena
dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah
terutama polus posterior
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, daris dan becak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurisma di polus posterior.
o Retinal nerve fiber layer haemorrhage (flame shapped). Terletak
superficial, searah dengan nerve fiber.
o Intraretinal haemorrhages. Dot-blot haemorrhage terletak pada end artery,
dilapisan tengah dan compact.
Dilatasi pembuluh darah dengan lumen yang ireguler dan berkelok-kelok
Hard exudates yang merupakam infiltrasi lipid kedalam retina. Gamabarannya
kekuning-kuningan, pada permulaan eksudat pungtata, membesar kemudian
bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
Soft exudates (cotton wool patches). Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat
becak kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi
daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.
Neovaskularisasi. Terletak pada permukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh
yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok, dan ireguler. Mula-mula terletak pada
jaringan retina, kemudian berkembang kearah preretinal, ke badan kaca. Jika
pecah dapat menimbulkan perdarahan retian, perdarahan subhialoid (preretinal)
maupun perdarahan badan kaca.
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah macula
sehingga sangat mengganngu tajam pengelihatan.
12
Gambar 2.4 Retina penderita retinopati diabetik
2.7 Penatalaksanaan 1, 4, 6
Perawatan Medis
Pengendalian glukosa: pengendalian glukosa secara intensif pada pasien dengan
DM tergantung insulin (IDDM) menurunkan insidensi dan progresi retinopathy
DM. Walaupun tidak ada uji klinis yang sama untuk pasien dengan DM tidak
tergantung insulin (NIDDM), sangat logis untuk mengasumsikan bahwa prinsip
yang sama bisa diterapkan. Faktanya, ADA menyarankan bahwa semua diabetes
(NIDDM dan IDDM) harus mempertahankan level hemoglobin terglikosilasi
kurang dari 7% untuk mencegah atau paling tidak meminimalkan kompilkasi
jangka panjang dari DM termasuk retinopathy DM.
The Early Treatment for Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) menemukan
bahwa 650 mg aspirin setiap harinya tidak memberikan keuntungan dalam
pencegahan progresi retinopati diabetik. Sebagai tambahan, aspirin tidak
diobservasi dalam mempengaruhi insidensi perdarahan vitreus pada pada pasien
yang memerlukannya untuk penyakit kardiovaskular atau kondisi yang lain.
Terapi Bedah
Diperkenalkannya fotokoagulasi laser pada tahun 1960an dan awal 1970an
menyediakan modalitas terapi noninvasif yang memiliki tingkat komplikasi yang
relatif rendah dan derajat kesuksesan yang signifikan. Metodenya adalah dengan
13
mengarahkan energi cahaya dengan fokus tinggi untuk menghasilkan respon
koagulasi pada jaringan target. Pada nonproliferative diabetic retinopathy
(NPDR), terapi laser diindikasikan pada terapi CSME. Strategi untuk mengobati
edema macular tergantung dari tipe dan luasnya kebocoran pembuluh darah.
Jika edema adalah akibat dari kebocoran mikroaneurisma spesifik, pembuluh
darah yang bocor diterapi secara langsung dengan fotokoagulasi laser fokal.
Pada kasus dimana fokus kebocoran tidak spesifik, pola grid dari laser diterapkan.
Terapi lainnya yang potensial untuk diabetic macular edema (DME) meliputi
intravitreal triamcinolone acetonide (Kenalog) dan bevacizumab (Avastin).
Kedua medikasi ini bisa menyebabkan penurunan atau resolusi macular edema.
Fokus pengobatan bagi pasien retinopathy DM non proliferative tanpa
edema makula adalah pengobatan terhadap hiperglikemia dan penyakit sistemik
lainnya. Terapi laser argon fokal terhadap titik-titik kebocoran retina pada pasien
yang secara klinis menunjukkan edema bermakna dapat memperkecil resiko
penurunan penglihatan dan meningkatkan fungsi penglihatan. Sedangkan mata
dengan edema makula diabetik yang secara klinis tidak bermakna maka biasanya
hanya dipantau secara ketat tanpa terapi laser.
Untuk proliferative retinopathy DM biasanya diindikasikan pengobatan
dengan fotokoagulasi panretina laser argon, yang secara bermakna menurunkan
kemungkinan perdarahan masif korpus vitreum dan pelepasan retina dengan cara
menimbulkan regresi dan sebagian kasus dapat menghilangkan pembuluh-
pembuluh baru tersebut. Kemungkinan fotokoagulasi panretina laser argon ini
bekerja dengan mengurangi stimulus angiogenik dari retina yang mengalami
iskemik. Tekniknya berupa pembentukan luka-luka bakar laser dalam jumlah
sampai ribuan yang tersebar berjarak teratur di seluruh retina, tidak mengenai
bagian sentral yang dibatasi oeh diskus dan pembuluh vaskular temporal utama.
Di samping itu peran bedah vitreoretina untuk proliferative retinopathy
DM masih tetap berkembang, sebagai cara untuk mempertahankan atau
memulihkan penglihatan yang baik.
Diet
14
Diet makan yang sehat dengan makanan yang seimbang penting untuk
semua orang dan terutama untuk pasien diabetes. Diet seimbang bisa membantu
mencapai pengontrolan berat badan yang lebih baik dan juga pengontrolan
diabetes.
Aktivitas
Mempertahankan gaya hidup sehat dengan olah raga yang teratur penting
untuk semua individu, terutama individu dengan diabetes. Olah raga bisa
membantu dengan menjaga berat badan dan dengan absorpsi glukosa perifer. Hal
ini dapat membantu meningkatkan kontrol terhadap diabetes, dan dapat
menurunkan komplikasi dari diabetes dan retinopathy DM.
Medikamentosa
Beberapa obat-obatan yang belum resmi digunakan untuk terapi retinopati
diabetik. Obat-obatan ini dimasukkan ke dalam mata melalui injeksi intravitreus.
Intravitreal triamcinolone digunakan dalam terapi edema makular diabetik.
Uji klinis dari Diabetic Retinopathy Clinical Research Network
(DRCR.net) menunjukkan bahwa, walaupun terjadi penurunan pada edema
makular setelah triamcinolone intravitreal tetapi efek ini tidak secepat yang
dicapai dengan terapi laser fokal. Sebagai tambahan, triamcinolone intravitreal
bisa memiliki beberapa efek samping, seperti respon steroid dengan peningkatan
tekanan intraocular dan katarak.
Obat-obatan lain yang digunakan pada praktek klinis dan uji klinis
meliputi bevacizumab intravitreal (Avastin) dan ranibizumab (Lucentis). Obat-
obatan ini merupakan fragmen antibodi dan antibodi VEGF. Mereka bisa
membantu mengurangi edema makular diabetic dan juga neovaskularisasi diskus
atau retina. Kombinasi dari beberapa obat-obatan ini dengan terapi laser fokal
sedang diinvestigasi dalam uji klinis.
2.8 Prognosis 6,10
15
Pasien DRNP minimal dengan hanya ditandai mikroaneurisma yang jarang
memiliki prognosis baik sehingga cukup dilakukan pemeriksaan ulang setiap 1
tahun.
Pasien yang tergolong DRNP sedang tanpa disertai oedema macula perlu
dilakukan pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan karena sering bersifat progresif.
Pasien DRNP derajat ringan sampai sedang dengan disertai edema macula yang
secara klinik tidak signifikan perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap 4-6 bulan
karena dapat berkembang menjadi clinically significant macular edema (CSME).
Untuk pasien DRNP dengan CSME harus dilakukan fotokoagulasi. Dengan terapi
fotokoagulasi, resiko kebutaan untuk grup pasien ini dapat berkurang 50%.
Pasien DRNP berat beresiko tinggi untuk menjadi DRP. Separuh dari pasien
DRNP berat akan berkembang menjadi DRP dalam 1 tahun adalah 75% dimana
45% diantaranya tergolong DRP resiko tinggi. Oleh sebab itu pasien DRNP
sangat berat perlu dilakukan pemeriksaan ulangan tiap 3-4 bulan.
Pasien dengan DRP resiko tinggi harus segera diterapi fotokoagulasi. Teknik yang
dilakukan adalah scatter photocoagulation
Pasien DRP resiko tinggi yang disertai CSME terapi mula-mula menggunakan
metode focal atau panretinal (scatter). Oleh karena metode fotokoagulasi metode
panretina dapat menimbulkan eksaserbasi dari edema macula, maka untuk terapi
dengan metode ini harus dibagi menjadi 2 tahap.
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prognosis:
16
Faktor prognostik yang menguntungkan
o Eksudat yang sirkuler.
o Kebocoran yang jelas/berbatas tegas.
o Perfusi sekitar fovea yang baik.
Faktor prognostik yang tidak menguntungkan
o Edema yang difus / kebocoran yang multiple.
o Deposisi lipid pada fovea.
o Iskemia macular.
o Edema macular kistoid.
o Visus preoperatif kurang dari 20/200.
o Hipertensi.
BAB III
17
KESIMPULAN
Retinopati diabetes adalah kelainan (retinopati) yang ditemukan pada penderita
diabetes mellitus. Retinopati akibat diabetes disebabkan terjadinya gangguan
metabolisme tubuh secara umum dan retina khususnya, sehingga mengakibatkan kelainan
retina dan pembuluh-pembuluh darahnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2004 melaporkan, 4,8 persen
penduduk di seluruh dunia menjadi buta akibat retinopathy DM. Dalam urutan penyebab
kebutaan secara global, retinopathy DM menempati urutan ke-4 setelah katarak,
glaukoma, dan degenerasi makula (AMD= age-related macular degeneration).
Keluhan pasien dengan retinopati diabetik biasanya tidak ada kecuali bila telah
terjadi gangguan pada daerah makulanya. Gangguan penglihatan akan menjadi lebih
berat bila terjadi neovaskularisasi pada retina maupun badan kaca. Bila terjadi retinopati
diabetik dengan terjadi ablasi retina, maka pasien akan kehilangan penglihatan dan sukar
diatasi
Dari gejala klinis ada yang bersifat objektif dan subjektif, hal ini untuk
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Terapi retinopathy DM
mencakup perawatan medis untuk kontrol gula darah dan terapi oftalmologi yang
mencakup terapi bedah dan medikamentosa. Prognosis ditentukan oleh faktor-faktor yang
menguntungkan dan merugikan dalam perjalanan penyakit ini serta tindakan yang
dilakukan dalam intervensinya.
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Vaughan, Daniel. Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. Widya Medika
Jakarta, 2009.
2. Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-tiga. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI : 2005.
3. Ilyas, S. Et all. Ilmu Penyakit Mata untuk dokter umum dan mahasiswa kedokteran.
Edisi ke-dua. Jakarta : Sagung seto : 2002.
4. Wijana, N. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-enam. Jakarta : 1993.
5. Lubis, Rodiah Rahmawati. 2008. Diabetik Retinopati. Universitas Sumatra Utara:
Medan. Diunduh tanggal 03 Maret 2012. dalam
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1898/1/rodiah.pdf
6. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-tiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI :
2009.
7. Pandelaki K. 2007. Retinopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV Jilid III. Editor: Aru W. Sudoyo dkk. Departemen ilmu penyakit dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta..
8. Reddy GB, Satyanarayana A, Balakrishna N, Ayyagari R, Padma M, Viswanath K,
Petrash JM. 2008. Erythrocyte Aldose Reductase Activity and Sorbitol Levels in
Diabetic Retinopathy dalam www.molvis.org/molvis (online).Diakses tanggal 26
Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir tanggal 24 Maret 2008.
9. Ciulla TA, Amador AG, Zinman B. 2003. Diabetic Retinopathy and Diabetic
Macular Edema, Pathophysiology, Screening, and Novel Therapies dalam
http://care.diabetesjournals.org/content (online). Diakses tanggal 26 Oktober 2010.
Pemutakhiran data terakhir tanggal 11 Mei 2003.
10. Bhavsar AR & Drouilhet JH. 2009. Retinopathy, Diabetic, Background dalam
http://emedicine.medscape.com/ (online). Diakses tanggal 26 Oktober 2010.
Pemutakhiran data terakhir tanggal 6 Oktober 2009.
19