Upload
tuizky
View
91
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Hemoptisis atau batuk darah merupakan salah satu keadaan kegawatan
dalam bidang kedokteran yang harus mendapatkan pertolongan segera. Kejadian
ini merupakan peristiwa yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari di dalam
maupun di luar rumah sakit yang menjadi salah satu penyebab penderita datang
berobat, oleh karena merupakan tanda penyakit yang dideritanya berbahaya dan
dapat menyebabkan kematian. 1
Pada umumnnya, pasien dengan batuk darah telah mempunyai
penyakit yang mendasari dengan gejala lain sebelumnya, seperti batuk
atau sesak. Tetapi gejala ini tidak sampai mendorong pasien untuk
datang berobat. Hingga muncul gejala batuk darah, yangmerupakan
keadaan yang menakutkan bagi pasien dan keluarga, hingga akan
mendorongpasien untuk datang berobat. 1,2
Batuk darah merupakan salah satu gejala yang paling penting
pada penyakit paru.Oleh karena batuk darah mempunyai potensi untuk terjadi
kegawatan akibat perdarahan yangterjadi, bila tidak segera ditangani secara
tepat dan intensif, batuk darah yang masif akanmenyebabkan angka
kematian yang tinggi. 1
Angka kejadian hemoptisis di klinik paru berkisar antara 10 sampai 15
persen dan untuk negara dengan angka kejadian tuberkulosis yang tinggi
merupakan penyebab terjadinya hemoptisis masif sebesar 20 persen. Sedangkan
yang disebabkan oleh bronkiektasis sebesar 45 persen dan pada tumor sebesar 10
persen. 1
Komplikasi yang sering terjadi adalah asfiksia, kehilangan darah yang
banyak dalam waktu singkat dan penyebaran penyakit ke jaringan paru yang
sehat. Batuk darah sendiri terkadang sulit didiagnosis, salah satu faktor
penyebabnya adalahakibat ketakutan pasien mengenai gejala ini hingga terkadang
pasien akan menahan batuknya,hal ini akan memperburuk keadaan karena akan
timbul penyulit. Oleh sebab itu pengertian yang seksama mengenai hemoptisis
diharapkan mampu memberikan penatalaksanaan yang optimal pada penderita. 1-3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Hemoptisis
2.1.2 Anatomi vaskularisasi paru
Gambar 2.1 Skema sirkulasi bronchial dan anastomase sirkulasi bronchial
dengan sirkulasi pulmonal
Bronkus, jaringan ikat paru dan pleura visceralis menerima darah dari arteri
bronchial yang merupakan cabang dari aorta descendens. Vena bronchiales (yang
berhubungan dengan vena pulmonales) mengalirkan darahnya kevena azigos dan
vena hemiazigos3,4.
Alveoli menerima darah terdeoksigenasi dari cabang-cabang terminal arterie
pulmonalis.darah yang teroksigenasi meninggalkan kapiler-kapiler alveoli masuk
kecabang-cabang venae pulmonalis yang mengikuti jaringan ikat septa
intersegmentalis keradix pulmonalis3,4.
Sirkulasi bronkial :
nutrisi pada paru dan saluran napas
tekanan pembuluh darah sistemik
cenderung terjadi perdarahan lebih hebat
Sirkulasi pulmonar
mengatur pertukaran gas
tekanan rendah
2.1.3Definisi
Hemoptisis (batuk darah) adalah pengeluaran darah atau darah bercampur
dengan sputum dari saluran nafas. Dahulu hemoptisis sering disebut sebagai
hemoptisis masif bila darah yang dibatukkan antara 100-1000 ml dalam 24 jam,
sering diambil batasan 600 ml. Saat ini istilah hemoptisis massif sudah tidak lagi
digunakan, saat ini istilah yang sering digunakan alah hemoptisis life threatening,
yang didefinisikan sebagai1,2,5,7,8 :
hemoptisis > 100 ml per 24 jam
menyebabkan gangguan pertukaran gas/obstruksi saluran nafas
menyebabkan instabilitas hemodinamik (emergency)
Berdasarkan perkiraan jumlah darah yang dibatukkan, hemoptisis
diklasifikasikan sebagai berikut1,5,8 :
1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam
Yang sering terjadi darah bercampur dengan sutum. Umumnya pada
bronkitis.
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar. Biasanya
pada kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam
Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
4. Pseudohemoptisis
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas
laring) atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan
buatan (factitious).
2.2 Ciri-Ciri
Tabel 2.1 Perbedaan Hemoptisis dan hematemesis
Ciri-ciri Hemoptisis Hematemesis
Riwayat
Pemeriksaan
sputum
Laboratorium
mual dan muntah (-)
didahului dengan perasaan
ingin batuk
Penyakit paru (+)
Kemungkinan asfiksia
Berbusa
Warna merah terang
PH basa
Gabungan makrofag &
neutrofil
Mual dan muntah (+)
Penyakit Liver, Gaster
Jarang asfiksia
Jarang berbusa
Merah tua, coklat, ampas
kopi
PH asam
Bercampur partikel
makanan
2.3 Etiologi
Hampir 90% kasus hemoptisis, perdarahan berasal dari arteri bronkial, yang
berasal dari aorta dan arteri interkostal, 5 % kasus lainnya berasal dari arteri
pulmonal dan sisanya berasal dari arteri –arteri kolateral5,6.
Penyebab paling umum dari perdarahan saluran nafas pada cabang
trakeobronkial dapat diakibatkan oleh proses inflamasi (bronchitis akut atau
kronis, bronkiektasis) atau oleh neoplasma (karsinoma bronkogenik, metastase
karsinoma endobronkial, tumor karsinoid bronchial). Sumber yang terlokalisasi,
seperti pada infeksi (pneumonia, abses paru, tuberculosis), atau dari proses difus
yang mempengaruhi seluruh parenkim paru (seperti pada koagulopati atau pada
proses autoimun seperti pada sindrom goodpasture’s5,6.
Tabel 2.2 Penyebab tersering hemoptisis berdasarkan lokasi
Sumber perdarahan selain
traktus respiratorius
inferior
Berasal dari parenkim
paru
Berasal dari vascular
primer
perdarahan saluran nafas
atas
perdarahan
gastrointestinal
trakeobronkial
neoplasma (karsinoma
bronkogenik, metastase
endobronkial, karsinoma
bronkial)
bronchitis akut/kronis
bronkiolitiasis
Airway trauma
benda asing
Abses paru
pneumonia
TB
Mycettoma (fungus
ball)
Syndrom goodpasture
Idiopatik Pulmonal
Hemosiderosis
Wegener’s
Granulomatosis
Lupus pneumonitis
Long contusion
Malformasi
arteriovenosa
emboli paru
peningkatan tekanan
vena (stenosis mitral)
rupture arteri pulmonary
endometriosis pulmonal
sistemik koagulopati
atau penggunaan
antikoagulopati atau
agen trombolitik
Tabel 2.3 Penyebab tersering hemoptisis berdasarkan etiologi
Berdasarkan etiologi
Neoplastik (20%)
Karsinoma Bronkogenik
Adenoma Bronkial
Metastasis Pulmonal
Infeksi (60%)
Tuberkulosis
Infeksi Jamur, khususnya Aspergilloma
Pneumonia
Abses paru
Kista Hidatid
Pulmonary
Bronkiektasis
Kistik fibrosis
Vasculer (5-10%)
Mitral stenosis
Aneurisme aorta
dll
Penyakit sistemik (5-10%)
Wegener’s granulomatosa
Goodpasture’s sindrom
SLE
Koagulopati
DIC
Trombositopenia
Heamophilia
Dll
2.4 Patogenesis
Arteri bronchial merupakan sumber darah utama bagi saluran nafas (mulai
dari bronkus utama hingga bronkiolus terminalis), pleura, jaringan kelnjar getah
bening intrapulmonary, serta persarafan daerah hilus. Arteri pulmonaris yang
membawa darah dari vena sistemik, memperdarahi jaringan parenkim paru
termasuk bronkiolus respiratorius. Setiap proses yang terjadi pada paru akan
mengakibatkan hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang
berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan
arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. secara
umum bila perdarahn berasal dari lesi endobronkial, maka perdarahan dari
sirkulasi bronkialis, sedangkan bila lesi diparenkim paru maka perdarahan
disirkulasi pulmonal. Pada keadaan kronik dimana terjadi perdarahan berulang,
sering terjadi peningkatan vaskularisasi dilokasi yang terlibat5.
1. Tuberkulosis
Erosi arteri pulmonalbila ruptureperdarahan dari sirkulasi arteri
(aneurismer Rasmussen)
Nekrosis percabangan arteri/vena (lesi parenkim akut)
Kavitas dengan lesi fibrouleratif parenkim paru tonjolan aneurisme
arteri kerongga kavitasmudah berdarah (lesi kronis)
lesi post TB membentuk bronkolit atau predisposisi terjadinya suatu
mycetoma intrakavitas perdarahan arteri bronchial5
batuk yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-
bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam
jumlah sangat banyak (profus). Batuk darah jarang merupakan tanda
permulaan dari penyakit TB atai initial symptom karena batuk darah
merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari
pembuluh darah pada dinding kavitas. Oleh karena itu, proses Tb
harus cukup lanjut untuk dapat menimbulkan batuk dengan
ekspektorasi. Batuk darah masif terjadi bila ada robekan dari
aneurisma rasmussen pada dinding kavitas atau ada perdarahan yang
berasal dari bronkiektasis atau ulserasi trakeo-bronkial.kematian
sering disebabkan oleh penyumbatan saluran pernafasan oleh bekuan
darah. 1
2. Bronkitis
Sekresi mucus dan peradangan menyebabkan penyempitan atau obstruksi
jalan nafas (bronkus)Iritasi dinding bronkusArteri bronchial
hipertofiHemoptisis7,8
3. Karsinoma bronkogenik
Nekrosis tumor
Hipervaskularisasi tumor
Invasi tumor kepembuluh darah besar5
4. Bronkiektasis
Iritasi atau infeksi dari jaringan granulasi yang menggantikan dinding
bronkus normalarteri bronchial berliku-liku dan hipertrofipeningkatan
tekanan darah sistemikperdarahan massif5
5. Stenosis mitral dan gagal jantung
Pelebaran pembuluh darah yang beranastomase antara arteri bronkialis dan
pulmonalis (varises)hipertensi vena pulmonalispecah varises dari vena
bronkialis disubmukosa bronkus besar5
6. Emboli paru
Infark jaringan paru
Aliran darah berlebihan pada anastomase bronkopulmonalpada
sebelah distal dari tempat sumbatan5.
7. Penyakit autoimun
Kelainan membran alveolokapiler, akibat adanya reaksi antibodi terhadap
membran, sehingga terjadi perdarahan difus intrapulmonal yang berasal dari
pecahnya kapiler seperti padaGoodpasture’s syndrome.
8. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami
transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk
darah.
2.5 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah :
1. Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak diketahui
Angka kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas
penegakan diagnosis. Pria terdapat dua kali lebih banyak daripada wanita,
berumur sekitar 30 tahun, biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri
sehingga prognosis baik. Teori perdarahan ini adalah sebagai berikut :
a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi.
b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.
c. Infark paru yang minimal.
d. Menstruasi vikariensis.
e. Hipertensi pulmonal.
2. Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat di pastikan
a. Pada prinsipnya berasal dari :
b. Saluran napas
i. Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru,
pneumonia dan abses paru.
ii. Menurut Bannet, 82 – 86% batuk darah disebabkan oleh
tuberkulosis paru, karsinoma paru dan bronkiektasis.
iii. Yang jarang dijumpai adalah penyakit jamur (aspergilosis),
silikosis, penyakit oleh karena cacing.
c. Sistem kardiovaskuler
i. Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi.
ii. Yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru,
aneurisma aorta.
d. Lain-lain
i. Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah
seperti hemofilia, hemosiderosis, sindrom Goodpasture,
eritematosus lupus sistemik, diatesis hemoragik dan
pengobatan dengan obat-obat antikoagulan1,5,7
Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat dibagi
atas :
1. Hemoptisis massif
Bila darah yang dikeluarkan adalah 100-160 cc dalam 24 jam.
2. Kriteria yang digunakan di rumah sakit Persahabatan Jakarta :
Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam
Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih dari 250 cc / 24
jam, akan tetapi Hb kurang dari 10 g%.
Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari
10 g%, tetapi dalam pengamatan 48 jam ternyata darah tidak
berhenti.
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada
hemoptoe selain terjadi vasokonstriksi perifer, juga terjadi
mobilisasi dari depot darah, sehingga kadar Hb tidak selalu
memberikan gambaran besarnya perdarahan yang terjadi.
Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptoe
juga mempunyai kelemahan oleh karena :
o Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan
sputum dan kadang-kadang dengan cairan lambung,
sehinga sukar untuk menentukan jumlah darah yang
hilang sesungguhnya.
o Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-
sama dengan tinja, sehingga tidak ikut terhitung
o Sebagian dari darah masuk ke paru-paru akibat aspirasi.
1,6,7
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh :
Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan
hipovolemik (hypovolemik shock).
Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat
dinilai dengan adanya iskemik miokardium, baik berupa gangguan aritmia,
gangguan mekanik pada jantung, maupun aliran darah serebral. Dalam hal
kedua ini dilakukan pemantauan terhadap gas darah, disamping
menentukan fungsi-fungsi vital. Oleh karena itu suatu tingkat kegawatan
hemoptoe dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk akut berupa
asfiksia, sedangkan bentuk yang lain berupa renjatan hipovolemik.
Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:
Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.
Lamanya perdarahan.
Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi.
Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat
kesadaran.
Klasifikasi menurut Pusel :
+ : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis dalam
sputum
++ : batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml
+++ : batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml
++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml
Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis
sedang, positif empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.
2.6Diagnosis
Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar- benar
bukan dari muntahan dan tidak berlangsung saat perdarahan hidung. Hemoptisis
sering mudah dilacak dari riwayat. Dapat ditemukan bahwa pada hematemesis
darah berwarna kecoklatan atau kehitaman dan sifatnya asam. Darah dari
epistaksis dapat tertelan kembali melalui faring dan terbatukkan yang disadari
penderita serta adanya darah yang memancar dari hidung.
Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu
dilakukan urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik
maupun penunjang sehingga penanganannya dapat disesuaikan1,2.
1) Anamnesis
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan
untuk mendapatkan data-data1 :
1. volume dan frekuensi batuk darah menentukan kegawatannya dan dapat
mengarahkan ke suatu penyebab spesifik.
2. Sumber paling umum berupa nasofaring (mimisan), darah menetes ke
faring, mengiritasi laring dan dibatukkan.
3. Riwayat penyakit sebelumnya yang dapat mempengaruhi peradarahan
saluran napas
4. Gejala lainnya yang berhubungan
a. Demam dan batuk produktif infeksi
b. Timbul tiba-tiba karena sesak dan nyeri dada emboli paru
atau infark miokard diserta gagal jantung kongestif
c. Kehilangan berat badan yang signifikan kanker paru atau
infeksi kronik seperti TB atau bronkiektasis.
Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat
digunakan petunjuk sebagai berikut :
Keadaan Hemoptoe Hematemesis
1. Prodromal Rasa tidak enak di
tenggorokan, ingin
batuk
Mual, stomach distress
2. Onset Darah dibatukkan, dapat
disertai batuk
Darah dimuntahkan
dapat disertai batuk
3. Penampilan
darah
Berbuih Tidak berbuih
4. Warna Merah segar Merah tua
5. Isi Lekosit,
mikroorganisme,
makrofag, hemosiderin
Sisa makanan
6. Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)
7. Riwayat Penyakit
Dahulu
Menderita kelainan paru Gangguan lambung,
kelainan hepar
8. Anemi Kadang-kadang Selalu
9. Tinja Warna tinja normal
Guaiac test (-)
Tinja bisa berwarna
hitam, Guaiac test (-)
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan
untuk mendapatkan data-data :
- Jumlah dan warna darah
- Lamanya perdarahan
- Batuknya produktif atau tidak
- Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
- Sakit dada, substernal atau pleuritik
- Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi
badan dan batuk
- Wheezing
- Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.
- Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
- Perokok berat dan telah berlangsung lama
- Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
- Hematuria yang disertai dengan batuk darah.
2). Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital (hipotensi dan takikardi tanda bahaya hemoptisis
masif
b. Pemeriksaan nasofaring mencari sumber perdarahan dan
memastikan saluran napas masih paten
c. Pemeriksaan jantung untuk mengevaluasi kemungkinan adanya
hipertensi paru akut (peninggian komponen paru suara jantung
kedua), kegagalan ventrikel kiri akut (adanya summation gallop)
d. Pemeriksaan dinding dan rongga dada
Trauma dinding dada memar parenkim paru atau laserasi
bronkial
Ronki setempat, berkurangnya suara napas dan perkusi
redup/pekak menunjukkan adanya konsolidasi
Pleural friction rub pada area di atas infark paru.
Ronki difus, kardiomegali dan nyaring menunjukkan adanya
kemungkinan edema paru kardiogenik.
e. Laboratorium
Pemeriksaan darah tepi lengkap
Peningkatan Hb dan Ht kehilangan darah yang
akut
Leukosit meningkat infeksi
Trombositopenia koagulopati
Trombositosis kanker paru
CT dan BT; PT dan APTT jika dicurigai adanya koagulopati
atau pasien menerima warfarain/heparin
Analisa gas darah arterial harus diukur jika pasien sesak yang
jelas dan sianosis.
Pemeriksaan dahak
f. Imaging
Radiografi dada massa paru, kavitas atau infiltrate yang
mungkin menjadi sumber perdarahan.
Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada
setiap penderita hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat
menunjukkan tempat perdarahannya
Arteriografi bronchial selektif
g. Bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan
demikian sumber perdarahan dapat diketahui. 5,7
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2. Batuk darah yang berulang – ulang
3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan
diagnosis, lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu
yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang masih
kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan,
bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih impulsif, sehingga
dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi
pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai
bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi
perdarahan.
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior,
bronkoskop serat optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop
metal sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan
darah serta mengambil benda asing, disamping itu dapat melakukan
penamponan dengan balon khusus di tempat terjadinya perdarahan. 5,7
2.7 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan hemoptisis2,5 :
1. Menjaga jalan nafas dan stabilisasi
a. Menenangkan dan mengistirahatkan penderita
b. Menjaga jalan napas tetap terbuka
c. Resusitasi cairan dan bila perlu transfusi)
d. Obat sedasi ringan
e. suplementasi oksigen
f. Instruksi cara membatukkan darah dengan benar
g. Penderita dengan keadaan umum berat dan refleks batuk kurang
adekuat, maka posisi penderita Tredelenberg mencegah aspirasi
darah ke sisi yang sehat
h. Pipa endotrakeal berdiameter besar
i. Bronkoskopi serat optik lentur untuk evaluasi, melokalisir
perdarahan dan tindakan pengisapan (suctioning).
2. Lokalisasi sumber dan penyebab
a. Pemeriksaan radiologi (foto toraks, payar paru, angiografi)
b. Bronkoskopi (BSOL maupun bronkoskop kaku)
3. pemberian terapi spesifik
Bronkoskopi terapeutik
a. Bilas bronkus dengan larutan garam fisiologis dingin (iced saline
lavage)
b. Pemberian obat topikal
c. Tamponade endobronkial
d. Fotokoagulasi laser (Nd-YAG Laser)
Terapi non-bronkoskopik
a. Pemberian terapi medikamentosa
b. Vasopresin intravena
c. Asam traneksamat (antifibrinolitik)
d. Kortikosteroid sistemik pd autoimun
e. Gonadotropin releasing hormon agonist (GnRH) atau danazol
hemoptisis katamenial
f. antituberkulosis, antijamur ataupun antibiotik
ALGORITME Hemoptisis Non Masif
Gambar 2.2 Algoritme Hemoptisi Non Masif
Kebanyakan kasus hemoptisis biasanya akut, ringan yang paling sering
disebabkan oleh bronchitis. Pasien dengan resiko kematian rendah dengan
pemeriksaan foto thorak normal dapat diterapi dengan pengawasan dan pemberian
antibiotic bila secara klinis ada indikasi.Jika hemoptisis persisten dan tetap tidak
diketahui penyebabnya perlu dipikirkan untuk dikonsultasikan keahli
pulmonologi.3
ALGORITME Hemoptisis Masif
Gambar 2.3 Algoritme hemoptisis masif
Tatalaksana hemoptisis massif membutuhkan pendekatan yang lebih agresif,
pasien-pasien ini membutuhkan perawatan yang lebih intensif. Proses diagnosis
dan terapi berjalan simultan. Mempertahankan jalan nafas adalah hal terpenting
mengingat penyebab kematian utama pada kasus-kasus adalah asfiksia, bukan
karena kehabisan darah5.
Penanganan
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan
biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang
masif.
Tujuan pokok terapi ialah :
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport
kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang
merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif.
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam
saluran napas yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan
hemoptoe paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang multipel.
Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat
menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan renjatan
hipovolemik.
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
- Terapi konservatif
- Terapi definitif atau pembedahan. 7,8
1. Terapi konservatif
Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral
decubitus). Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk
mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat.
Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam
saluran saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi.
Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya menenangkan
penderita.
Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis),
misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan
yang terjadi.
Pemberian oksigen
Tindakan selanjutnya bila mungkin :
Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan
bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan.
2. Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan :
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka
kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi
18% dengan tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptoe yang berulang dapat dicegah.
Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut :
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan
dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%,
sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam
dantetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%,
tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan
konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.
Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan
dipastikan asal perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari
segmentektomi, lobektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti.
Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode
yang mungkin digunakan adalah :
- Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi
serat lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan
larutan NaCl fisiologis pada suhu 4°C sebanyak 50 cc, diberikan selama
30-60 detik. Cairan ini kemudian dihisap dengan suction.
- Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang
8,5 mm.
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptoe, yaitu
ditentukan oleh tiga faktor :
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran
pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik dan anemia.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke
dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi. 1,5-7
2.9 Prognosis
Tergantung banyaknya perdarahan dan etiologi. Hemoptisis dengan jumlah
perdarahan lebih dari 1000 ml per 24 jam, dengan adanya suatu malignansi
menunjukkan angka mortalitas 80%3. Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik
kecuali bila penderita mengalami hemoptoe yang rekuren. Sedangkan pada
hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis :
1) Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai
prognosis yang lebih baik.
2) Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
3) Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan
untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan
penderita. 1,4,7
BAB IIIKESIMPULAN
1. Hemoptoe merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran
pernapasan dan atau kardiovaskuler yang disebabkan oleh berbagai macam
etiologi.
2. Pecahnya aneurisma dari Rasmmusen’s pada dinding kavitas paru disertai
fibrosis perivaskuler merupakan penyebab utama hemoptoe yang masif.
3. Sampai saat ini klasifikasi hemoptisis masih didasarkan pada penyebab dan
banyaknya darah yang keluar bersama batuk.
4. Sebagian besar hemoptisis sekunder disebabkan oleh tuberkulosis paru,
karsinoma dan bronkiektasis. Bila ditemukan pada usia relatif muda harus
dipikirkan pertama – tama tuberkulosis paru, lalu bronkiektasis, kemudian
stenosis mitral. Sedangkan hemoptoe pada usia lebih dari 40 tahun
kemungkinan urutannya adalah karsinoma bronkogenik, lalu tuberkulosis,
kemudian bronkiektasis.
5. Bronkoskopi pada saat ini merupakan cara pembantu diagnosis dan tindakan
terapeutik yang penting pada hemoptisis masif dan harus dikerjakan pada
waktu perdarahan masih berlangsung.
6. Komplikasi yang paling sering terjadi dari hemoptisis adalah terjadinya
asfiksia, renjatan hipovolemik dan bahaya aspirasi.
7. Pada prinsipnya penanganan hemoptoe ditujukan untuk memperbaiki kondisi
kardiopulmoner dan mencegah semua keadaan yang dapat menyebabkan
kematian. Penanganan tersebut dilakukan secara konservatif maupun dengan
operasi, tergantung indikasi serta berat ringannya hemoptisis yang terjadi.
8. Prognosis dari hemoptoe ditentukan oleh tingkatan hemoptoe, macam
penyakit dasar dan cepatnya tindakan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amin Z dan Bahar A. Tuberkulosis paru dalam Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid II. Edisi ke-IV. Jakarta: Pusat penerbitan ilmu penyakit dalam FKUI;
2006. Hal 988-93.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia; 2006.
3. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. Tuberkulosis paru dalam
buku at a glance Sistem respirasi. Jakarta: Erlangga; 2008.hal.80-81.
4. Halim, H. Rongga toraks dan system pernapasan.Palembang: Bagian
penyakit dalam RSMH; 2001.hal :12-13
5. Snell, SS. Thorak dalam buku anatomi klinik. Jakarta: EGC; 2006.Hal :
94-95
6. Setyohadi B, Suryanto A, Arsana PM, Soeroto AY, Abdulloh M. Batuk
darah dalam buku EIMED PAPDI kegawat daruratan penyakit dalam.
Jakarta: Internal Publishing Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam;
2011.hal : 401-416
7. Perhimpunan dokter spesialis Indonesia. Hemoptisis dalam buku Panduan
pelayanan medik. Jakarta: Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia; 2008.hal 79-81.