Upload
phamanh
View
222
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
1
CRITICAL REVIEW TERHADAP MAKALAH BERJUDUL, “SUMBERDAYA ALAM, PEMBANGUNAN PERTANIAN, DAN
PENGEMBANGAN WILAYAH (Mengelola Eksternalitas untuk Memperbaiki Kesejahteraan)”
Oleh :
ABDUL MUKTI
NIM 107040100111018
PROGRAM STUDI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
PROGRAM DOKTOR ILMU PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2010
2
CRITICAL REVIEW TERHADAP MAKALAH BERJUDUL, “SUMBERDAYA ALAM, PEMBANGUNAN PERTANIAN, DAN PENGEMBANGAN WILAYAH
(Mengelola Eksternalitas untuk Memperbaiki Kesejahteraan)”
Makalah ini ditulis oleh sahabat sekaligus guru saya Luthfi Fatah, guru Besar
Ekonomi Sumber Daya pada Fakultas Pertanian, yang diorasikan beliau pada Sidang Terbuka
Senat Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, tanggal 05 Desember 2009. Tiga
simpulan dari makalah ini ialah (1) ketersediaan sumber daya alam yang melimpah tidaklah
serta merta berkorelasi positif dengan perbaikan tingkat kesejahteraan, (2) kemampuan
mengelola, ketersediaan sumberdaya, dan jumlah aset yang dimiliki adalah tiga faktor
utama yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pembangunan dan pada gilirannya
mampu mengembangkan wilayah, dan (3) untuk mengelola eksternalitas agar dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terdapat enam instrumen kebijakan terhadap
eksternalitas yang dapat diterapkan yaitu : (1) pengaturan langsung, (2) izin yang dapat
diperjual-belikan, (3) pajak, (4) subsidi, deposit, pembayaran polusi, (5) hak kepemilikan,
instrumen legal, dan kebijakan pengelolaan informasi, serta (6) perencanaan menyeluruh.
Kerangka fikir yang logis, dan sandaran pustaka (20 pustaka acuan) yang sangat memadai,
merupakan kekuatan dalil yang lebih dominan untuk mendukung simpulan-simpulan di
atas, (tradisi pengukuhan guru besar?), ketimbang data kuantitatif. Apalagi tiga dari 20
pustaka acuan di atas adalah tulisan beliau sendiri.
Cukup lama saya mengenal sahabat saya ini, sejak dari siswa baru SMA Negeri
Kandangan, bersama-sama pula memasuki bangku kuliah, pada jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian Fakultas Pertanian Unlam tahun 1981 yang lalu. Saya mengenal sahabat saya ini
sebagai seorang yang jujur, ikhlas, dan cerdas. Seorang yang telah memiliki syarat minimal
untuk menuju cendekiawan sejati. Beliau seorang yang jujur, setiap ulangan atau ujian
berpantang beliau untuk curang. Sejak dulu beliau ikhlas memberikan ilmunya, walaupun
kepada rivalnya sendiri dalam merebut bintang kelas, yaitu saya sendiri. Beliau ini wajar
menjadi seorang profesor walaupun mungkin rintangan dan tantangan lebih berat dari saya,
karena beliau memang lebih cerdas dari saya. Setelah ditempa, barulah tahu emas itu tulen
atau sepuh.
Dua alinea beliau menjelaskan tentang ketersediaan sumber daya alam yang
melimpah tidaklah serta merta berkorelasi positif dengan perbaikan tingkat kesejahteraan.
3
Indikatornya adalah manfaat sumber daya alam ini belum dirasakan oleh sebagian besar
warga setempat, dan fenomena kelaparan di lumbung padi masih banyak dijumpai.
Dorongan rasa kepedulian yang tinggi terhadap problema pembangunan dari seorang
cendekiawan tampak jelas dari cara beliau menguraikannnya. Saya yakin, sebenarnya beliau
memiliki juga dukungan data kuantitatif untuk mendukung pernyataan di atas. Beliau
tentunya sangat menguasai model Social Accounting Matrix untuk mengetahui share sektor
pembangunan terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga/pengurangan kemiskinan,
karena tesis dan disertasi beliau menggunakan model atau modifikasi model dimaksud.
Memang, menurut Mc.Grath (1987) bahwa fokus model analisis SAM ini adalah menganalisa
tingkat kesejahteraan dari kelompok-kelompok sosial ekonomi yang berbeda.
Berdasarkan simpulan kedua, beliau menjelaskan bahwa dengan ketersediaan
sumberdaya, dan jumlah aset yang sudah kita miliki maka tinggal cara mengelolanyalah
yang sebenarnya faktor kunci untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan. Dalam mengelola
sumberdaya dan aset untuk meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan tidak bisa
didekati dengan kebijakan ekonomi fiskal dan moneter semata. Otoritas pengambil
kebijakan jangan serta merta meninggalkan sektor pertanian sebagai sektor andalan, ketika
mengetahui bahwa sektor industri menjadi dominan dalam kontribusinya pada
pertumbuhan ekonomi. Secara panjang lebar beliau mengemukakan alasan-alasan untuk
mendukung pernyataan-pernyataan di atas.
Pada bahu para otoritas pengambil kebijakan tersandang banyak beban amanah
dari rakyat yang dipimpinnya. Amanah dimaksud, tiga di antaranya adalah (1) bumi, air, dan
segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat, (2) setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan (3) fakir miskin dan anak-anak terlantar
ditanggung oleh negara. Jadi, membangun haruslah untuk kepentingan orang banyak, bukan
akumulasi keuntungan untuk orang per orang. Oleh karena itu, menurut Profesor Luthfi
dalam makalahnya ini, sektor pertanian jangan ditinggalkan karena (1)sebagian besar
masyarakat miskin kita adalah petani, (2) sektor pertanian memiliki keunggulan komparatif
dalam hal ketersediaan sumber daya terutama alam dan manusia, (3) pertanian menyerap
sebagian besar tenaga kerja, (4)potensi pasar produk sektor pertanian sangat luas, dan (5)
input komponen impor dalam pengembangan pertanian sangat sedikit dibandingkan
4
dengan sektor lain. Pernyataan untuk tidak meninggalkan sektor pertanian inipun didukung
oleh pustaka acuan yang cukup.
Selanjutnya dijelaskan bahwa eksternalitas adalah dampak kegiatan produksi oleh
satu pihak yang harus dipikul atau diterima oleh pihak lain yang tidak terlibat dalam proses
tersebut. Kebanyakan eksternalitas ini tidak dapat dinilai harganya secara langsung melalui
mekanisme pasar. Tidak ada harga atas eksternalitas, karenanya harga sumber daya
umumnya terlalu murah, dan mengakibatkan proses produksi dan eksploitasi sumber daya
alam cenderung bersifat overexploited. Kondisi overexploited pada gilirannya dapat
mengganggu keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu dalam pengelolaan
sumberdaya dan asset untuk meningkatkan kesejahteraan, bahagian penting di dalamnya
adalah pengelolaan eksternalitas ini.
Sebagai simpulan ketiga, untuk mengelola eksternalitas agar dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, Luthfi (2009) mengutip dari Sterner (2003) terdapat enam
instrumen kebijakan terhadap eksternalitas yang dapat diterapkan yaitu : (1) pengaturan
langsung, (2) izin yang dapat diperjual-belikan, (3) pajak, (4) subsidi, deposit, pembayaran
polusi, (5) hak kepemilikan, instrumen legal, dan kebijakan pengelolaan informasi, serta (6)
perencanaan menyeluruh. Menurut Luthfi (2009) selanjutnya bahwa pemilihan instrumen
kebijakan di atas tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, terutama berkaitan dengan
penilaian kondisi saat ini dan kondisi masa datang sebagai tujuan yang ingin dicapai,
sehingga informasi sangatlah penting.
Menyangkut penilaian, saya berpendapat bahwa negara kita dalam hal ini
pemegang otoritas kebijakan sudah mulai mengintroduksi valuasi ekonomi terhadap
sumber daya alam dan lingkungan dalam mendasari berbagai kebijakan. Menurut Adipuro
(2009) Sejarah valuasi lingkungan, khususnya di AS, sebenarnya sangat terkait dengan
proyek air. Tahun 1902 ketika AS mengeluarkan River and Harbour Act, undang-undang ini
mengamanatkan pembentukan Board of Engineers untuk melakukan penilaian terhadap
proyek-proyek navigasi. Dalam pelaksanaan penilaian, dewan insinyur ini diminta untuk
mempertimbangkan manfaat komersial untuk diperbandingkan dengan biaya yang
dikeluarkan. Tahun 1934 National Resources Board membentuk Komite Sumberdaya Air dan
meminta komite ini untuk mengembangkan sistem distribusi biaya air yang adil dengan
memasukkan juga perhitungan akuntansi sosial air. Tahun 1936 dengan Flood Control Act,
5
1946 dengan Sub Committee on Benefits and Costs of Federal Inter-Agency River Basin
Committee, dan tahun 1950 dengan publikasi Green Book yang berusaha mengkodifikasikan
prinsip-prinsip analisis biaya dan manfaat, adalah beberapa kegiatan tentang air lain yang
terkait dengan valuasi lingkungan. Namun dalam perkembangannya valuasi air atau
pemberian nilai moneter untuk air justru tertinggal dibandingkan dengan valuasi untuk
barang lingkungan yang lain, seperti hutan atau udara bersih. Di beberapa provinsi di
Indonesia sudah menerapkan valuasi air ini untuk mendasari kebijakannya. Wurjanto (2005)
menyatakan bahwa pendekatan perhitungan ekonomi untuk jasa ekosistem dan sumber
daya alam (economic valuation) dewasa ini semakin popular di dunia konservasi alam dan
perlindungan hutan. Buku berjudul, “Buku Pedoman Valuasi Ekonomi Kawasan Konservasi
Laut” telah diterbitkan tahun 2003 oleh Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut,
Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Perikanan dan Kelautan, serta banyak lagi
contoh-contoh bahwa valuasi sudah mulai diintroduksi. Dengan valuasi ekonomi ini dapat
dijadikan dasar terhadap kebijakan (a) izin yang dapat diperjual-belikan, (b) pajak, (c)
subsidi, deposit, pembayaran polusi.
Terkait dengan kebijakan (a) pengaturan langsung, (b) hak kepemilikan, instrumen
legal, dan kebijakan pengelolaan informasi, serta (c) perencanaan menyeluruh saya
berpendapat UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup sudah cukup lengkap mengaturnya. Abadi (2010) dan Roosita (2009) menjelaskan
dengan cukup lengkap mengenai RPPLH, KLHS, dan AMDAL berdasarkan UU dimaksud dan
kaitannya dengan kebijakan dimaksud.
Saya masih ingat dan juga beliau juga tentu masih ingat, apa yang dikatakan oleh
Profesor Ismet Ahmad, guru kita, kunci keberhasilan untuk mengelola yang baik terletak dari
baiknya niat dalam hati sanubari pengelolanya. Dalam kitab-kitab klasik, penyandang
amanah seharusnya adalah seorang yang jujur. Orang yang jujur memiliki ciri-ciri (1)lisan
dan tulisannya tidak mengandung kebohongan, (2)amal perbuatan dan tingkah lakunya
sesuai maksud hatinya, (3)ikhlas, tanpa vested interest, (4)konsisten dan menepati janji.
Saya merasa yakin tidak ada kesulitan bagi para otoritas pengambil keputusan yang amanah
bekerjasama dengan ilmuwan yang cendikia untuk mengelola eksternalitas agar dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
6
Pesan moral dan pesan ilmiah di atas mari kita dengungkan bersama. Profesor Luthfi
sudah memulainya, kita melanjutkannya. Kita dakwahkan dengan hikmah, kita mau’izahkan
dengan hasanah, kita argumentasikan dengan bijak agar penyandang amanah tahu dan
sadar untuk menunaikan amanah yang disandangnya itu. Menyampaikan “pesan/risalah”
dan mencarikan solusi atas permasalahan pembangunan lainnya adalah kewajiban kita
sebagai ilmuwan yang cendekia.
PUSTAKA ACUAN
Abadi, A.L., 2010. RPPLH, KLHS, dan AMDAL. Microsoft Power Point Bahan Kuliah AMDAL
Program S3 PSAL UB-Unlam. Banjarbaru. Adipuro, W.H., 2009. Valuasi Air. Amrta Institute TIFA Foundation. Semarang. http://issuu.com/tifafoundation/docs/penelitian-valuasi-air. 2 Desember 2010 Anonimous, 2003. Buku Pedoman Valuasi Ekonomi Kawasan Konservasi Laut. Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta.
McGrath, M.D., 1987. What Can Economists Do with South Africa’s SAMs. Development
Southern Africa, 4(2):301-311. Roosita, H., Ir. MM., 2009. 10 Fakta AMDAL. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta Soendjoto, M.A., dan A. Kurnain, 2010. Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Perspektif
Kesejahteraan dan Keberlanjutan. Universitas Lambung Mangkurat Press, Banjarmasin.
Wurjanto, D., (2005). Menghitung Sumber Daya Alam Melalui Valuasi Ekonomi. Medan.
http://www.conservation.or.id/tropika/tropika.php?catid=34&tcatid=415. 30 Nopember 2010