37
REFERAT GINJAL HIPERTENSI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN SINDROM HEPATORENAL Oleh : dr. Shirly Elisa Tedjasaputra NPM. 0706311176 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM 1

CONTOH REFERAT

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tyroid

Citation preview

Page 1: CONTOH REFERAT

REFERAT GINJAL HIPERTENSI

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

SINDROM HEPATORENAL

Oleh :

dr. Shirly Elisa Tedjasaputra

NPM. 0706311176

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO

AGUSTUS 2010

1

Page 2: CONTOH REFERAT

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar isi ………………………………………………………………………….. i

Bab I. Pendahuluan …………………………………………………………….. 1

Bab II. Diagnosis dan penatalaksanaan sindrom hepatorenal ..………………..... 2

2.1. Definisi …………………………………………………………………… 2

2.2. Patogenesis ……………………..……………………………………….... 2

2.3. Faktor risiko ………………………………………………………..…….. 7

2.4. Klasifikasi ………………………………………………………………... 7

2.5. Manifestasi klinis ………………………………………………………… 8

2.6. Diagnosis dan diagnosis banding ………………………………………… 9

2.7. Pencegahan ………………………….………...…………………………. 11

2.8. Penatalaksanaan …………...………………………………….………….. 12

2.9. Prognosis …………………………………………………………………. 17

Bab III. Kesimpulan ……………………………………………………………… 18

Daftar Pustaka ……………………………………………………………………. 19

2

Page 3: CONTOH REFERAT

BAB I

Pendahuluan

Pasien dengan penyakit hati berat, misalnya sirosis hepatis dengan asites sering

berkembang menjadi gagal ginjal, yaitu sindrom hepatorenal. Sindrom hepatorenal adalah

kegagalan faal ginjal yang terjadi pada pasien dengan penyakit hati berat (akut atau kronik)

tanpa disertai kelainan patologi ginjal.1,5 Sindrom hepatorenal disebabkan oleh terjadinya

vasokonstriksi pada sirkulasi ginjal. Gambaran histologi biasanya normal dan fungsi ginjal

akan kembali menjadi normal atau mendekati normal setelah transplantasi hati. Di samping

perubahan pada fungsi ginjal, pasien dengan sindrom hepatorenal juga menunjukkan kelainan

dari sirkulasi pembuluh darah sistemik dan aktivitas sistem vasoaktif endogen yang berperan

penting pada timbulnya hipoperfusi ginjal.

Pasien dengan sirosis hati dekompensata yang sering mengalami gangguan fungsi

ginjal ini umumnya akan memperburuk prognosis pasien. Gangguan fungsi ginjal pada pasien

sirosis hepatis dapat disebabkan adanya gangguan hemodinamik, terutama vasodilasi perifer,

yang akan diikuti aktivasi hormon vasokonstriksi, sistem neurohormonal seperti renin-

aldosteron, vasopresin, endotelin dan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis, sehingga

akan menyebabkan terjadinya retensi air dan natrium di ginjal dan penurunan laju filtrasi

glomerulus ginjal. Kelainan fungsi ginjal pada pasien sirosis hepatis ini bersifat fungsional,

yaitu tanpa disertai perubahan morfologi ginjal.

Walaupun sindroma hepatorenal terutama terjadi pada sirosis hepatis tahap lanjut

tetapi mungkin juga terjadi pada penyakit hati menahun lainnya yang disertai hipertensi

portal dan gagal hati berat, seperti hepatitis alkoholik atau pada gagal hati akut.6 Sindrom

hepatorenal didiagnosis setelah menyingkirkan penyebab gagal ginjal lainnya pada pasien

dengan penyakit hati, misalnya hipovolemia, nefrotoksisitas akibat obat, sepsis,

glomerulonefritis dan lain-lain.

Pada stadium awal gangguan fungsi ginjal bersifat reversibel, yaitu dapat membaik

dengan intervensi medis. Stadium akhir dari gangguan fungsi ginjal pada sirosis hepatis

adalah sindrom hepatorenal yang umumnya bersifat ireversibel. Sekitar 18-20 % pasien

sirosis hepatis dengan asites mempunyai fungsi ginjal yang normal akan mengalami sindrom

hepatorenal setelah 1 tahun dan 39-40 % setelah 5 tahun perjalanan penyakit.1,5,28 Prognosis

3

Page 4: CONTOH REFERAT

sindrom hepatorenal umumnya buruk. Tanpa transplantasi hati atau pengobatan dengan

vasokonstriktor yang tepat, rata-rata angka harapan hidup kurang dari 2 minggu.

Sindrom hepatorenal terjadi pada sekiter 4-10 % pasien rawat inap dengan sirosis

hepatis dekompensata dengan kemungkinan terjadinya sindrom hepatorenal adalah 18-20 %

dalam waktu 1 tahun dan 39-40 % dalam waktu 5 tahun.5,6 Studi retrospektif menunjukkan

sindrom hepatorenal terjadi pada 17 % pasien sirosis hepatis dengan asites yang dirawat di

rumah sakit dan > 50 % pasien sirosis meninggal karena gagal hati.5 Penulis lain melaporkan

sindrom hepatorenal terjadi pada 28 dari 101 pasien dengan gagal hati akut (hepatitis

alkoholik).29

Penyebab tersering gagal ginjal pada pasien sirosis hepatis adalah peritonitis bakterial

spontan (SBP/Spontaneus bacterial peritonitis). Sekitar 30 % pasien SBP berkembang ke

arah gagal ginjal.5,7

Diagnosis sindrom hepatorenal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang sedangkan penatalaksanaan sindrom hepatorenal meliputi

penatalaksanaan umum, pengobatan medikamentosa dan tindakan invasif.

Pada makalah ini akan dibahas mengenai diagnosis dan penatalaksanaan sindrom

hepatorenal.

4

Page 5: CONTOH REFERAT

BAB II

Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindroma Hepatorenal

2.1. Definisi

Sindrom hepatorenal adalah gangguan fungsi ginjal sekunder pada penyakit hati berat,

baik yang akut maupun kronik.1,2,4,23,24 Definisi sindom hepatorenal lainnya adalah terjadinya

gagal ginjal akut pada pasien-pasien dengan penyakit hati stadium lanjut, yaitu sirosis

hepatis, hepatitis alkoholik berat dan metastasis tumor (lebih jarang) serta dapat juga terjadi

pada pasien-pasien dengan gagal hati fulminan dengan berbagai penyebab.23,24 Sindrom

hepatorenal bersifat fungsional dan progresif. Sindrom hepatorenal merupakan gangguan

fungsi ginjal prerenal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal akibat kerusakan hati yang

berat, namun hanya dengan perbaikan volume plasma tidak dapat memperbaiki gangguan

fungsi ginjal.4

2.2. Patogenesis

Patogenesis sindrom hepatorenal sampai saat ini belum diketahui secara jelas.

Hipotesis patogenesis sindrom hepatorenal adalah akibat sirosis hati atau penyakit hati berat

dan bersama-sama dengan hipertensi portal akan mengakibatkan terjadinya vasodilatasi arteri

splanknik. Vasodilatasi tersebut akan mengakibatkan hipovolemia arterial sentral sehingga

merangsang aktivasi sistim saraf simpatis, renin-angiotensin-aldosteron dan hormon

antidiuretik yang akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal. Di ginjal

seharusnya akan terjadi mekanisme kompensasi, namun dengan penyebab yang belum jelas

terjadi ketidakseimbangan mekanisme kompensasi tersebut, yaitu meningkatnya

vasokonstriktor disertai penurunan vasodilator.

Beberapa penelitian melaporkan beberapa perubahan biokimiawi pada pasien sirosis

hepatis dengan sindrom hepatorenal yaitu4 :

1) Hati

- Penurunan sintesis angiotensinogen dan kininogen

- Penurunan pemecahan renin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin dan vasopresin

5

Page 6: CONTOH REFERAT

2) Plasma

- Peningkatan kadar renin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin noradrenalin,

vasopresin, endotelin 2 dan 3, leukotrien C4 dan D4, kalsitonin peptida dan hormon

antidiuretik

- Penurunan kadar kalikrein, bradikinin dan faktor natriuretik arterial

3) Ginjal

Peningkatan renin, angiotensin II, aldosteron, endotelin, tromboksan A2, leukotrien

E4, prostaglandin E2, prostasiklin, bradikinin

6

Page 7: CONTOH REFERAT

Gambar 1. Patogenesis sindroma hepatorenal pada penyakit hati berat1

7

Page 8: CONTOH REFERAT

Kelainan fungsi ginjal utama pada pasien sirosis hepatis stadium lanjut yaitu

menurunnya kemampuan ginjal untuk ekskresi natrium dan air, penurunan perfusi ginjal dan

laju filtrasi glomerulus.10 Beberapa mekanisme yang diduga berperan pada patogenesis

sindrom hepatorenal, yaitu gangguan hemodinamik sistemik, peningkatan aktivitas sistem

vasokonstriktor dan penurunan aktivitas sistem vasodilator. Pada sirosis hepatis stadium

lanjut, vasodilatasi arterial splanknik bertambah berat (peripheral arterial vasodilatation

hypothesis), mengakibatkan penurunan volume darah arteri dan penurunan tekanan arterial.

Sebagai akibatnya, tekanan arteri dipertahankan oleh aktivasi homeostatik vasokonstriktor

dan faktor antinatriuretik sehingga terjadi retensi air dan natrium. Adanya hipertensi portal

dan vasodilatasi arteri splanknik mengubah permeabilitas dan tekanan kapiler intestinal

sehingga mempermudah akumulasi cairan di rongga peritoneum. Bila sirosis hepatis menjadi

stadium lanjut akan terjadi gangguan ekskresi air oleh ginjal dan vasokonstriksi ginjal

sehingga mengakibatkan terjadinya hiponatremia dilusional dan sindrom hepatorenal.1,25

Penyebab vasokonstriksi ginjal tidak diketahui dengan pasti tetapi mungkin mencakup

meningkatnya vasokonstriktor dan menurunnya vasodilator yang mengatur sirkulasi ginjal.

Faktor-faktor yang berperan pada patogenesis sindrom hepatorenal, yaitu perubahan

hemodinamik yang menurunkan tekanan perfusi ginjal, sistem saraf simpatis ginjal yang

terstimulasi dan peningkatan sintesis mediator vasoaktif humoral dan renal.1,3

Teori vasodilatasi arteri perifer pada penderita sirosis hepatis diawali dengan dilatasi

arteri splanknik, diikuti stimulasi sistem saraf simpatis (peningkatan noradrenalin) dan sistem

renin-angiotensin-aldosteron. Pada tahap awal, meskipun terjadi perubahan vasokonstriktor

dan vasodilator, fungsi ginjal masih dapat dipertahankan. Pada tahap lanjut, mekanisme

kompensasi ginjal akhirnya gagal dengan kemungkinan penyebabnya adalah

ketidakseimbangan antara mekanisme vasokonstriksi dan vasodilatasi sistemik dan intrarenal.

Beberapa bukti yang menyokong teori tersebut, misalnya ketidakseimbangan derivat asam

arakidonat, yaitu meningkatnya metabolit tromboksan B2 pada urine pasien sindrom

hepatorenal, suatu metabolit tromboksan A2 yang merupakan vasokonstriktor poten.

Sebaliknya ekskresi prostaglandin E2 (suatu vasodilator) di urine menurun. Kadar endotelin

(vasokonstriktor) plasma pada pasien sindrom hepatorenal juga meningkat.1

Patogenesis sindrom hepatorenal diduga disebabkan oleh vasokonstriksi ginjal dan

gangguan perfusi glomerulus yang diperantarai oleh endotelin-1. Penelitian menunjukkan

bahwa pada hepar pasien sirosis terjadi peningkatan ekspresi reseptor endotelin yaitu

endotelin A dan B (ET-A dan B).11 Gagal ginjal merupakan sekunder akibat kegagalan faal

8

Page 9: CONTOH REFERAT

hati dan secara histologis ginjal normal namun aliran darah ke ginjal menurun. Peranan

endotelin 1 (ET-1) penting dalam patogenesis gagal ginjal. Karena kadar ET-1 dalam plasma

meningkat maka reseptor ET-A pada korteks ginjal juga meningkat. Dengan demikian

pemberian antagonis reseptor ET-1 dapat memperbaiki fungsi ginjal.3

2.3. Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya sindrom hepatorenal yaitu3 :

- Adanya komplikasi SBP (spontaneous bacterial peritonitis)/Peritonitis bakterial

spontan

- Kondisi malnutrisi

- Volume hati yang mengecil

- Perdarahan gastrointestinal

- Adanya varises esofagus

- Terapi diuretik yang kurang tepat

- Gangguan elektrolit

- Obat-obatan nefrotoksik, misalnya OAINS

- Peningkatan tekanan intraabdomen karena asites masif

- Pungsi asites yang kurang tepat (berlebihan)

- Penyebab lain yang berhubungan dengan penurunan volume plasma, misalnya diare

menetap dan restriksi cairan berlebihan

Faktor risiko terjadinya sindrom hepatorenal yang terpenting adalah adanya

komplikasi SBP. Translokasi bakteri dari intestinal dapat memperburuk endotoksinemia dan

mempunyai efek langsung terhadap ginjal pada pasien sirosis melalui perantaraan tumor

necrosis factor dan interleukin.3

2.4. Klasifikasi

Secara klinis, sindrom hepatorenal diklasifikasikan dalam 2 tipe, yaitu2,23,26,27 :

1) Sindrom hepatorenal tipe 1

- merupakan bentuk akut sindrom hepatorenal

- Manifestasi klinis yang sangat progresif, yaitu terjadi peningkatan kreatinin serum

sekurang-kurangnya 2 kali lipat (kadar kreatinin serum awal mencapai > 2,5 mg/dl)

atau penurunan bersihan kreatinin sekurang-kurangnya 50 % dari nilai awal sehingga

mencapai < 20 ml/menit dalam waktu < 2 minggu

9

Page 10: CONTOH REFERAT

- Prognosis umumnya sangat buruk, yaitu sekitar 80 % akan meninggal dalam

2 minggu dan hanya 10 % yang bisa bertahan hidup > 3 bulan

- Sering dijumpai pada pasien gagal hati akut, hepatitis alkoholik atau dekompensasi

akut pada pasien dengan sirosis

- Pasien biasanya dengan gagal hati berat, seperti ikterik, koagulopati dan ensefalopati

hepatik

- biasanya terjadi setelah ada faktor presipitasi, misalnya infeksi bakteri berat,

perdarahan saluran cerna, parasentesis terapeutik tanpa pemberian albumin

- Penyebab kematian adalah gagal sirkulasi, gagal hati, gagal ginjal, ensefalopati

hepatik atau perdarahan varises

2) Sindrom hepatorenal tipe 2

- merupakan bentuk kronik sindrom hepatorenal

- biasanya terjadi pada pasien dengan asites yang resisten terhadap diuretik

- Pasien memenuhi kriteria diagnosis sindrom hepatorenal tetapi gagal ginjal tidak

berkembang progresif

- ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus yang lebih lambat. Gagal ginjal

berlangsung perlahan-lahan dan dapat berlangsung selama berbulan-bulan

- ditandai dengan penurunan fungsi ginjal derajat sedang (kreatinin serum antara 1,5-

2,5 mg/dL) dan tidak ada penyebab potensial lain dari gagal ginjal

- Bila terjadi perburukan akut fungsi sirkulasi, misalnya adanya SBP atau perdarahan

saluran cerna bagian atas akan memperburuk hipoperfusi ginjal sehingga dapat

berkembang ke arah sindrom hepatorenal tipe 1

- Kondisi klinis pasien biasanya lebih baik dibandingkan sindroma hepatorenal tipe 1

dengan angka harapan hidup yang lebih lama dibandingkan sindrom hepatorenal

tipe 1

- Prognosis umumnya buruk, yaitu angka harapan hidup 5 bulan adalah 50 % dan

1 tahun sebesar 20 %

2.5. Manifestasi Klinis

Pada pasien sirosis hepatis, 80 % kasus sindrom hepatorenal disertai asites, 75 %

disertai ensefalopati hepatik dan 40 % disertai ikterus pada pasien sebelumnya tidak pernah

menderita penyakit ginjal.

10

Page 11: CONTOH REFERAT

Gejala klinis yang dijumpai antara lain anoreksia, lesu dan mudah lelah. Kadar ureum

dan kreatinin darah meningkat dan kadar hiponatremia darah bervariasi. Natrium diserap

kembali di tubulus renalis dan osmolaritas urine meningkat. Ekskresi natrium menurun.

Hiperkalemia jarang dijumpai. Sindrom hepatorenal stadium lanjut ditandai dengan azotemia

progresif, bisanya dengan gagal hati dan asites yang sulit dikendalikan. Keluhan mual,

muntah, rasa haus sering terjadi. Pasien tampak mengantuk sehingga gambarannya sulit

dibedakan dengan ensefalopati hepatik. Pada stadium terminal, koma bertambah dalam,

tekanan darah menurun, penurunan volume urine (oligouria) bertambah. Stadium terminal

berlangsung beberapa hari sampai lebih dari 6 minggu.1

2.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis didasarkan terutama adanya kelainan pemeriksaan faal ginjal, penurunan

nyata laju filtrasi glomerulus, tidak dijumpai penyebab lain kegagalan faal ginjal, tidak

dijumpai perbaikan menetap faal ginjal setelah terapi diuretik dihentikan dan terapi cairan

pada pasien dengan penyakit hati akut atau kronik dengan kegagalan hati tingkat lanjut dan

hipertensi portal.3

Menurut The International Ascites Club (tahun 1996), kriteria untuk menegakkan

diagnosis sindrom hepatorenal terdiri dari 5 kriteria mayor dan 5 kriteria tambahan.

Diagnosis sindrom hepatorenal ditegakkan bila ditemukan seluruh kriteria mayor.

Kriteria mayor1,8,9,26,27

1. Penyakit hati akut atau kronik dengan kegagalan hati tingkat lanjut dan hipertensi

portal

2. Laju filtrasi glomerulus yang rendah (kreatinin serum > 1,5 mg/dl (130 µmol/l) atau

bersihan kreatinin < 40 ml/menit)

3. Tidak ada syok, infeksi bakterial yang sedang berlangsung, kehilangan cairan

berlebihan (misalnya perdarahan gastrointestinal) atau penggunaan obat-obatan

nefrotoksik (misalnya OAINS atau aminoglikosida)

4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal (penurunan kreatinin serum < 1.5 mg/dl atau

peningkatan bersihan kreatinin > 40 ml/menit) sesudah pemberian cairan salin

isotonik 1,5 liter atau penghentian diuretik

5. Proteinuria < 500 mg/hari, tanpa obstruksi saluran kemih (uropati obstruktif) atau

penyakit parenkim ginjal pada pemeriksaan USG (ultrasonografi)

11

Page 12: CONTOH REFERAT

Kriteria minor (tidak harus ada untuk menegakkan diagnosis) 1,8,9

1. Volume urine < 500 ml/hari

2. Natrium urin < 10 mEq/liter

3. Osmolaritas urin > osmolaritas plasma

4. Eritrosit urine < 50/lapangan pandang (high power field)

5. Natrium serum < 130 mEq/liter

Sindrom hepatorenal perlu dibedakan dari adanya penyakit hati bersamaan dengan

penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa keadaan, diagnosis sindrom

hepatorenal dapat dibuat setelah menyingkirkan (ruled out) pseudo-hepatorenal syndrome.

Pseudohepatorenal syndrome adalah suatu keadaan terdapatnya kelainan fungsi ginjal

bersamaan dengan gangguan fungsi hati yang tidak mempunyai hubungan satu sama lain.

Beberapa penyebab pseudohepatorenal syndrome adalah penyakit kongenital

(misalnya penyakit polikistik ginjal dan hati), penyakit metabolik (diabetes melitus,

amiloidosis, Penyakit Wilson), penyakit sistemik (SLE, artritis rematoid, sarkoidosis),

penyakit infeksi (leptospirosis, sepsis, malaria, hepatitis virus), gangguan sirkulasi (syok,

insufisiensi jantung), intoksikasi (endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka bakar),

medikamentosa (metoksifluran, halotan, sulfonamid, parasetamol, tetrasiklin, iproniazid) dan

tumor (hipernefroma, metastasis).

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menegakkan diagnosis sindrom hepatorenal

adalah menyingkirkan kemungkinan penyebab gagal ginjal lainnya, terutama gagal ginjal

prerenal yang diakibatkan deplesi volume, nekrosis tubular akut (ATN), nefrotoksistas akibat

induksi obat dan glomerulonefritis. OAINS (obat anti inflamasi non steroid) mengurangi

produksi prostaglandin ginjal, menurunkan laju filtrasi glomerulus dan klirens air.

Penggunaan obat-obatan nefrotoksik harus diidentifikasi, misalnya aminoglikosida, media

kontras dan lain-lain. Adanya sepsis bakterial, terutama peritonitis bakterial spontan dapat

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal reversibel. Hepatitis B dan C berhubungan dengan

glomerulonefritis yang diperantarai mekanisme imun. Kelainan tersebut didiagnosis dengan

adanya proteinuria, hematuria mikroskopik dan silinder (cast). Azotemia prerenal biasanya

akibat kehilangan cairan, misalnya pada terapi diuretik berlebihan, restriksi air dan natrium

berat, parasentesis tanpa diikuti pemberian infus albumin atau plasma ekspander lainnya,

diare berat dan frekuen, muntah dan perdarahan gastrointestinal. Azotemia prerenal akibat

12

Page 13: CONTOH REFERAT

diinduksi obat diuretik terjadi pada 15-25 % pasien sirosis hepatis dengan asites. Nekrosis

tubular akut biasanya terjadi akibat syok pada perdarahan gastrointestinal berat, infeksi

bakterial berat dan pemberian obat-obatan nefrotoksik.

2.7. Pencegahan

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya sindrom hepatorenal

pada pasien dengan penyakit hati yaitu5 :

1) Pencegahan infeksi bakterial

- Infeksi bakterial terjadi pada ± 50 % pasien dengan perdarahan varises dan pemberian

antibiotika profilaksis memperbaiki survival ± 10 %

- Pasien yang pernah mengalami SBP mempunyai kemungkinan ± 68 % kekambuhan

infeksi dalam waktu 1 tahun dan kemungkinan ± 35 % untuk terjadinya gagal ginjal

- Pemberian antibiotik profilaksis direkomendasikan pada dua keadaan, yaitu adanya

perdarahan varises dan riwayat SBP sebelumnya

2) Pemberian albumin

- Untuk mencegah terjadinya gagal ginjal pada pasien SBP, direkomendasikan

pemberian infus albumin 20 % (1-1,5 gram/kgBB selama 1-3 hari) untuk mencegah

disfungsi sirkulasi, gangguan ginjal dan mortalitas

- Pemberian infus albumin sebagai cairan pengganti pada parasentesis volume besar

(8 gram untuk setiap 1 liter cairan asites yang dikeluarkan) dapat mencegah disfungsi

sirkulasi akibat parasentesis

3) Pemakaian diuretik secara hati-hati

- Gangguan fungsi ginjal akibat diuretik terjadi pada ± 20 % pasien sirosis hepatis

dengan asites sehingga perlu dilakukan identifikasi dosis efektif terendah diuretik

untuk setiap individu pasien

- Gangguan fungsi ginjal akibat diuretik terjadi apabila kecepatan diuresis melebihi

kemampuan reabsorpsi cairan asites sehingga terjadi penurunan volume intravaskular

- Gangguan ginjal akibat diuretik biasanya sedang dan akan segera kembali normal

setelah diuretik dihentikan

4) Menghindari pemakaian obat-obatan nefrotoksik

Pasien dengan sirosis hepatis dan asites merupakan predisposisi terjadinya komplikasi

nekrosis tubular akut selama pemakaian aminoglikosida dan obat-obatan nefrotoksik

13

Page 14: CONTOH REFERAT

lainnya dimana gagal ginjal terjadi pada ± 33 % pasien dibandingkan 3-5 % pada

populasi umum. Obat lain yang sering menyebabkan gagal ginjal adalah OAINS.

2.8. Penatalaksanaan

a. Penalaksanaan umum1,8,9

Pada umumnya, sindroma hepatorenal disebabkan oleh ketidakseimbangan cairan dan

elektrolit pada pasien sindrom hepatorenal. Pada pasien sirosis hepatis mudah terjadi

perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga perlu dihindari pemakaian diuretik

yang berlebihan, parasentesis asites dan restriksi cairan yang berlebihan.

Penatalaksanaan umum sindrom hepatorenal antara lain :

1) Pemberian cairan optimal

- Fungsi ginjal jarang kembali normal bila faal hati tidak mengalami perbaikan

- Pada keadaan hipovolemia perlu dilakukan pemberian cairan yang cukup sehingga

keadaan tersebut dapat diatasi

- Bila perlu, dilakukan pemasangan kateter vena sentral sehingga dapat dilakukan

pengukuran tekanan vena sentral untuk mengetahui status volume cairan tubuh

2) Mengatasi faktor pencetus dan menghindari penggunaan obat-obatan nefrotoksik

- Pada pasien sirosis hepatis, insufisiensi ginjal sering diakibatkan oleh hipovolemia

(penggunaan diuretik, perdarahan saluran cerna), penggunaan OAINS atau sepsis.

Faktor-faktor pencetus tersebut harus dikenali dan diobati

- Obat-obatan yang bersifat nefrotoksik harus segera dihentikan

3) Mengenali dan mengatasi sepsis (infeksi bakteri berat)

- Pemeriksaan cairan asites untuk menghitung jumlah sel darah putih, pewarnaan gram

dan kultur kuman perlu dilakukan

- Peritonitis bakterial spontan pada sirosis hepatis harus segera diobati sedini mungkin

dan seadekuat mungkin. Antibiotik spektrum luas yang tidak nefrotoksik perlu segera

diberikan

4) Optimalisasi hemodinamik ginjal dan tekanan darah

- Bila tekanan rerata arterial adalah rendah (< 70 mmHg) maka perlu dinaikkan sampai

sekitar 85-90 mmHg atau sampai produksi urine meningkat dengan cara pemberian

obat-obatan vasopresor

14

Page 15: CONTOH REFERAT

- Obat-obatan vasopresor yang dapat diberikan antara lain vasopressin, ornipresin,

terlipresin atau noradrenalin dengan ornipresin atau terlipresin sebagai obat lini

pertama

5) Parasentesis

Asites masif perlu dipungsi sehingga dapat memperbaiki hemodinamik ginjal dan

fungsi ginjal dengan cara menurunkan tekanan vena kava inferior dan vena renalis

6) Lain-lain

- Terapi suportif : diet tinggi kalori dan rendah protein

- Koreksi keseimbangan asam basa

- Pencegahan terjadinya ensefalopati hepatik

b. Pengobatan medikamentosa1,8,9

1) Vasodilator

Dopamin secara luas digunakan untuk mengatasi vasokonstriksi ginjal, namun belum

ada bukti pemberian dopamin secara bermakna bermanfaat pada sindrom hepatorenal. Secara

praktis dapat dicoba pemberian dopamin dosis kecil (subpressor dose) selama 12 jam

kemudian dipantau produksi urine. Bila produksi urine tidak meningkat maka pemberian

dopamin sebaiknya dihentikan.5

2) Vasokonstriktor

Rasionalisasi penggunaan vasokonstriktor adalah untuk mengatasi vasodilatasi

splanknik. Pemberian vasokonstriktor akan memberikan dampak positif terutama bila

dikombinasi dengan pemberian infus albumin atau koreksi albumin serum.

Pemberian obat vasokonstriktor selektif sirkulasi splanknik bertujuan mengembalikan

sirkulasi hiperdinamik dan meningkatkan volume darah sirkulasi sentral. Derivat agonis

reseptor vasopresin-1, seperti ornipresin dan terlipresin, mengembalikan aktivitas berlebihan

sistem saraf simpatis, sistem RAA dan merangsang pelepasan ANP (atrial natriuretic

peptide). Obat-obatan tersebut meningkatkan perfusi ginjal, laju filtrasi glomerulus dan

natriuresis pada pasien sirosis hepatis dengan gangguan faal ginjal fungsional (sindrom

hepatorenal).12 Rekurensi sindrom hepatorenal setelah penghentian vasokonstriktor jarang

terjadi.7

Terlipresin merupakan vasokonstriktor yang baik pada sindrom hepatorenal. Okreotid

merupakan vasokonstiktor alternatif bila terlipressin belum atau tidak tersedia.

15

Page 16: CONTOH REFERAT

Ornipresin merupakan analog vasopresin yang menyebabkan vasokonstriksi daerah

splanknik sehingga meningkatkan aliran darah dan tekanan perfusi ke ginjal.5 Pemberian

ornipresin intravena jangka pendek menunjukkan perbaikan disfungsi sirkulasi, penekanan

aktivitas sistim renin-angiotensin-aldosteron dan sistim saraf simpatis serta peningkatan laju

filtrasi glomerulus dan ekskresi natrium.1,5 Pada pemakaian ornipresin dan albumin dalam

waktu yang lebih lama, fungsi ginjal membaik pada 4 dari 8 pasien sindrom hepatorenal.

Namun terapi tersebut harus dihentikan karena adanya efek samping, termasuk kejadian

iskemia miokard akibat ornipresin.1 Penelitian lainnya melaporkan adanya manfaat

pemberian jangka panjang (sampai 27 hari) ornipresin intravena dan dopamin pada 7 pasien

sindrom hepatorenal tipe 1 dimana sebanyak 4 pasien mengalami perbaikan dan 1 pasien

mengalami komplikasi iskemia.1

Terlipresin (glipresin) merupakan analog vasopresin sintetik, diubah menjadi

vasopresin secara lambat in vivo dan mempunyai waktu paruh lebih panjang sehingga dapat

diberikan sebagai bolus setiap 4 jam. Efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan ornipresin.

Pemberian terlipresin pada pasien sindroma hepatorenal tipe 1 selama 2 hari (2 mg/hari)

menunjukkan peningkatan tekanan darah, perbaikan laju filtrasi glomerulus, penurunan kadar

kreatinin serum dan peningkatan produksi urine.15,33 Perbaikan sindrom hepatorenal juga telah

dilaporkan pada 7 dari 9 pasien yang mendapat terapi terlipresin dan albumin intravena

jangka panjang (5-15 hari) tanpa efek samping.16 Pemberian terlipresin dan infus albumin

pada pasien hepatitis alkoholik berat disertai sindrom hepatorenal menunjukkan penurunan

kreatinin serum, perbaikan fungsi sirkulasi, termasuk tekanan rerata arterial dan penekanan

aktivitas sistim renin angiotensin.17 Terlipresin sebagai vasokonstriktor bermanfaat diberikan

pada pasien sindrom hepatorenal tipe 1 sebelum dilakukan transplantasi hati dan sedikit

diketahui manfaat obat vasokonstriktor untuk sindrom hepatorenal tipe 2 yang akan

dilakukan transplantasi hati.18 Namun terlipresin dapat menyebabkan komplikasi iskemia,

terutama pada pasien syok hipovolemik berat dan kontraindikasi pada pasien dengan penyakit

kardiovaskular.19 Penelitian Restuccia dkk (2004) melaporkan 9 pasien sindrom hepatorenal

(3 SHR tipe 1 dan 6 SHR tipe 2) yang mendapat terapi vasokonstriktor sebelum transplantasi

hati dibandingkan dengan kontrol 27 pasien transplantasi hati yang tidak menderita sindrom

hepatorenal didapatkan outcome yang sama baik, baik dari segi prognosis maupun terjadinya

komplikasi. Ketahanan hidup 3 tahun setelah transplantasi hati pada pasien sindrom

hepatorenal yang mendapat terapi vasokonstriktor sebelum transplantasi ternyata tidak

banyak berbeda dengan pasien yang tidak menderita sindrom hepatorenal (100 % vs 83 %)

16

Page 17: CONTOH REFERAT

sehingga manfaat terapi vasokonstriktor sebelum transplantasi hati untuk pasien sindrom

hepatorenal tipe 1 dan tipe 2 telah terbukti.20

Okreotid merupakan analog somatostatin jangka panjang yang mempunyai efek

terhadap hemodinamik splanknik, yaitu sebagai inhibitor pelepasan vasodilator endogen.

Midodrin merupakan suatu obat simpatomimetik / vasokonstriktor sistemik (agonis α-1

adrenergik).5 Pemberian okreotid sebagai obat tunggal kurang memberikan manfaat pada

pasien sindrom hepatorenal sehingga pemberian okreotid jangka panjang perlu

dikombinasikan dengan midodrin dan albumin intravena.21 Pemberian midodrin dan okreotid

dapat memperbaiki hemodinamik ginjal dan sistemik.32 Penelitian pada 8 pasien sindrom

hepatorenal tipe 1 didapatkan perbaikan fungsi ginjal dan tidak didapatkan efek samping.

Ketahanan hidup cukup lama pada 4 dari 8 pasien sehingga memungkinkan dilakukan

transplantasi hati.1,22

Pada suatu penelitian tidak terkontrol dilakukan pemberian Norepinefrin dan albumin

pada 12 pasien dengan sindrom hepatorenal tipe 1 dan didapatkan penurunan kadar kreatinin

serum pada 83 % pasien. Pemberian norepinefrin dapat memperbaiki tekanan darah pada

pasien sindrom hepatorenal dengan target peningkatan MAP (mean arterial pressure)

sekurang-kurangnya 10 mmHg.35

Rekomendasi terapi vasokonstriktor pada sindrom hepatorenal, yaitu7 :

1) Pemberian salah 1 obat berikut atau kombinasinya :

- Norepinefrin : 0,5 – 3 mg/jam intravena

- Midodrin : 3 x 7,5 mg po, ditingkatkan menjadi 3 x 12,5 mg (bila diperlukan)

dikombinasikan dengan okreotid 3 x 100 µgr subkutan dan dapat ditingkatkan 3 x 200

µgr subkutan (bila diperlukan)

- Terlipresin : 0,5 – 2 mg intravena setiap 4-12 jam

2) Pemberian albumin secara bersamaan (1 gr/kgBB iv hari pertama, diikuti 20-40 gram

setiap hari)

3) Lama terapi : 5-15 hari

4) Target terapi : penurunan kadar kreatinin serum < 1,5 mg/dl

3) Terapi antioksidan

Pada penelitian pendahuluan tanpa kontrol didapatkan terjadinya perbaikan pada

fungsi ginjal setelah pemberian n-acetyl cystein intravena. Tujuh dari 12 pasien bertahan

17

Page 18: CONTOH REFERAT

hidup selama 3 bulan, termasuk 2 pasien yang menjalani transplantasi hati.1 Pada penelitian

lain, N-acetyl cystein intravena diberikan pada 12 pasien sindrom hepatorenal selama 5 hari

dan didapatkan hasil peningkatan laju filtrasi glomerulus (24 menjadi 43 ml/menit),

peningkatan produksi urine dan peningkatan bermakna dari ekskresi natrium.5,34 Pengobatan

ini dapat ditoleransi dengan baik tanpa efek samping dan mempunyai efek antioksidan.

Peningkatan ketahanan hidup 1 bulan (67 %) dan 3 bulan (58 %) juga dijumpai.5

c. Tindakan invasif1,8,9

1) Transplantasi hati

Angka harapan hidup sindrom hepatorenal tipe 1 umumnya pendek, yaitu dari

beberapa hari atau < 2 minggu sehingga transplantasi hati pada sindrom hepatorenal tipe 1

sulit dilaksanakan.

Pada sindrom hepatorenal tipe 2, transplantasi hati terbukti bermanfaat pada 90 %

kasus dengan angka harapan hidup yang lebih kurang sama dengan transplantasi hati pada

pasien tanpa sindrom hepatorenal.

2) TIPS (Transjugular intrahepatic portosystemic shunt)

TIPS dapat memperbaiki perfusi ginjal dan menurunkan aktivitas sistim RAAS (renin

angiotensin aldosteron system). Pada pasien sindrom hepatorenal yang tidak dilakukan

transplantasi hati, TIPS bermanfaat pada 75 % kasus, dengan angka harapan hidup sindrom

hepatorenal tipe 2 lebih baik dibandingkan tipe 1 (70 % vs 20 %).

Brensing dkk melaporkan studi prospektif sekitar 20 bulan terhadap 31 pasien sirosis

hepatis dengan sindrom hepatorenal yang bukan kandidat transplantasi hati untuk meneliti

efektivitas TIPS. Setelah 2 minggu pemasangan TIPS terjadi perbaikan faal ginjal (penurunan

kadar kreatinin serum dan peningkatan laju filtrasi glomerulus) dan peningkatan ekskresi

natrium urine.30 Ketahanan hidup setelah pemasangan TIPS dalam waktu 3 bulan, 6 bulan, 12

bulan dan 18 bulan adalah masing-masing 81 %, 71 %, 48 % dan 35 %. Dengan analisis

regresi multivariat dididapatkan bahwa kadar bilirubin dan tipe sindrom hepatorenal

merupakan prediktor ketahanan hidup yang independen.13 TIPS dapat memperbaiki fungsi

ginjal dan dapat dilakukan sebelum transplantasi hati.12

18

Page 19: CONTOH REFERAT

3) Extracorporeal albumin dyalisis

Metode ini merupakan modifikasi dialisis dengan menggunakan albumin untuk

mengikat dialisat. Metode ini dikenal sebagai MARS (molecular absorbent recirculating

system). Penelitian masih dilakukan terbatas. Pada sindrom hepatorenal MARS tampaknya

cukup bermanfaat dan umumnya digunakan untuk persiapan transplantasi hati. Penurunan

kadar hormon aldosteron sebesar 40 % dan aktivitas renin plasma sebesar 11 % setelah

dialisis albumin diduga berperan terhadap perbaikan klinis yang dijumpai pada pasien

sindrom hepatorenal.14

Hemodialisis belum pernah secara jelas diteliti pada pasien sindrom hepatorenal,

namun tampaknya kurang efektif dan efek samping tindakan cukup berat, misalnya hipotensi,

koagulopati, sepsis dan perdarahan gastrointestinal sehingga hemodialisis tidak disarankan

sebagai terapi rutin pada pasien sindrom hepatorenal. Namun hemodialisis dapat dilakukan

sebelum transplantasi hati pada pasien-pasien yang tidak respons terhadap terapi medis atau

bila terdapat kemungkinan terjadinya perbaikan fungsi hati. Dialisis juga dapat dilakukan

pada pasien-pasien dengan kerusakan hati akut dan berpotensi reversibel karena fungsi ginjal

akan membaik bersamaan dengan perbaikan fungsi hati.31

2.9. Prognosis

Pasien-pasien yang memberikan respons dengan terapi vasokonstriktor mempunyai

angka harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien-pasien yang tidak

memberikan respons terhadap pengobatan tersebut sehingga terapi dengan obat

vasokonstriktor mungkin memperbesar kemungkinan pasien dengan sindroma hepatorenal

akan bertahan hidup lebih lama sambil menunggu transplantasi hati.7

Faktor-faktor prediksi yang digunakan untuk meramalkan prognosis penderita sirosis

hepatis dengan sindrom hepatorenal adalah adanya asites yang masif, sensitivitas rendah

terhadap terapi diuretik, rekurensi cepat asites setelah parasentesis, kadar natrium urine

menurun, hiponatremia serta peningkatan ureum dan kreatinin serum secara progresif.

19

Page 20: CONTOH REFERAT

BAB III

Kesimpulan

Sindrom hepatorenal adalah gangguan fungsi ginjal sekunder pada penyakit hati berat,

baik yang akut maupun kronik serta bersifat fungsional dan progresif. Patogenesis sindrom

hepatorenal adalah akibat penyakit hati berat dan adanya hipertensi portal akan

mengakibatkan terjadinya vasodilatasi arteri splanknik yang akan mengakibatkan

hipovolemia arterial sentral sehingga merangsang aktivasi sistim saraf simpatis, renin-

angiotensin-aldosteron dan hormon antidiuretik. Di ginjal terjadi ketidakseimbangan

mekanisme kompensasi, yaitu peningkatan vasokonstriktor disertai penurunan vasodilator.

Faktor risiko terjadinya sindrom hepatorenal antara lain SBP, malnutrisi, volume hati

yang mengecil, perdarahan gastrointestinal, varises esofagus, terapi diuretik, gangguan

elektrolit, obat-obatan nefrotoksik, pungsi asites yang kurang tepat dan adanya penurunan

volume plasma, misalnya diare menetap dan restriksi cairan berlebihan.

Sindrom hepatorenal diklasifikasi menjadi tipe 1 dan tipe 2. Sindrom hepatorenal tipe

1 merupakan bentuk akut dengan manifestasi klinis yang sangat progresif, sedangkan

sindrom hepatorenal tipe 2 merupakan bentuk kronik, biasanya terjadi pada pasien dengan

asites yang resisten terhadap diuretik dan ditandai dengan penurunan GRF yang lebih lambat.

Diagnosis didasarkan terutama adanya kelainan pemeriksaan faal ginjal, penurunan

laju filtrasi glomerulus, tidak dijumpai penyebab lain kegagalan faal ginjal, tidak dijumpai

perbaikan menetap faal ginjal setelah terapi diuretik dihentikan dan terapi cairan pada pasien

dengan penyakit hati akut / kronik dengan kegagalan hati tingkat lanjut dan hipertensi portal.

Pencegahan terjadinya sindrom hepatorenal antara lain pencegahan infeksi bakterial,

pemberian albumin, pemakaian diuretik secara hati-hati dan menghindari pemakaian obat-

obatan nefrotoksik. Penatalaksanaan sindrom hepatorenal meliputi penatalaksanaan umum,

pengobatan medikamentosa (vasodilator, vasokonstriktor dan n-acetyl cystein) dan tindakan

invasif (transplantasi hati, TIPS dan Extracorporeal albumin dyalisis).

Pasien-pasien yang memberikan respons dengan terapi vasokonstriktor mempunyai

angka harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien-pasien yang tidak

memberikan respons terhadap pengobatan tersebut sehingga terapi dengan obat

vasokonstriktor mungkin memperbesar kemungkinan pasien dengan sindroma hepatorenal

akan bertahan hidup lebih lama sambil menunggu transplantasi hati.

20

Page 21: CONTOH REFERAT

DAFTAR PUSTAKA

1. Sherlock S, Dooley J. Disease of the liver and biliary system. 11 th edition. Oxford:

Blackwell Science Ltd; 2002. p. 140-6.

2. Bacon BR. Cirrhosis and Its Complications. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper

DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal

Medicine. 17th ed. New York: McGraw Hill; 2008: p. 1971-80.

3. Wibawa IGN. Sindrom Hepatorenal. In : Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA,

Noer HMN, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. 1st ed. Jakarta: Jayabadi; 2007:

p. 389-99.

4. Setiawan PB, Kusumobroto H. Sindroma Hepatorenal. Dalam : Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKUI; 2009: p. 681-4.

5. Dagher L, Moore K. The hepatorenal syndrome. Gut 2001; 49: 729-37.

6. Gines P, Arroyo V. Hepatorenal syndrome. J Am Soc Nephrol 1999; 10: 1833-9.

7. Gines P, Cardenas A, Arroyo V, Rodes J. Management of cirrhosis and ascites. N

Engl J Med 2004; 350: 1646-54.

8. Wong F. Risk stratification and treatment of ascites and hepatorenal syndrome. In:

Arroyo V, Abraldes JG, Gines P, Tapias JMS, Forns X, Bataller R, editors.

Treatment of Liver Disease. 1st edition. Barcelona: Ars Medica; 2009: p. 179-92.

9. Arroyo V, Gines P, Guevara M, Rodes J. Renal Dysfunction in Cirrhosis :

Pathophysiology, Clinical Features and Therapy. In: Boyer TD, Wright TL,

Manns MP. Hepatology-a Textbook of Liver Disease. 5th edition. New York:

Elsevier Inc; 2006: p. 417-52.

10. Arroyo V, Colmenero J. Ascites and hepatorenal syndrome in cirrhosis:

pathophysiological basis of therapy and current management. J Hepatol 2003; 38:

569-89.

11. Moore K. Endothelin and vascular function in liver disease. Gut 2004; 53: 159-61.

12. Suzuki H, Stanley AJ. Current management and novel therapeutic strategies for

refractory ascites and hepatorenal syndrome. QJ Med 2001; 94: 293-300.

21

Page 22: CONTOH REFERAT

13. Brensing KA, Textor J, Prez J. Long term outcome after transjugular intrahepatic

portosystemic stent-shunt in non-transplant cirrhotic with hepatorenal syndrome: a

phase II study. Gut 2000; 47: 288-95.

14. Mitzner SR, Stange J, Klammt. Extracorporeal detoxification using the Molecular

Adsorbent Recirculating System for critically ill patients with liver failure. J Am

Soc Nephrol 2001; 12: 575-82.

15. Hadengue A, Gadano A, Moreau R. Beneficial effect of the 2-day administration

of terlipressin in patients with cirrhosis and hepatorenal syndrome. J Hepatol

1998; 29: 565-70.

16. Uriz J, Cardenas A, Sort P. Terlipressin plus albumin infusion : an effective and

safe therapy of hepatorenal syndrome. J Hepatol 2000; 33: 43-8.

17. Madhotra R, Gilmore IT. Recent developments in the treatment of alcoholic

hepatitis. QJ Med 2003; 96: 391-400.

18. Moreau R. The growing evidence that renal function should be improved in

patients with cirrhosis and hepatorenal syndrome before liver transplantation. J

Hepatol 2004; 40: 159-61.

19. Dib N, Oberti F, Cales P. Current management of the complication of portal

hypertension : variceal bleeding and ascites. CAMJ 2006; 174: 1433-43.

20. Restuccia T, Ortega R, Guevara M. Effect of treatment of hepatorenal syndrome

before transplantation on posttransplantation outcome : a case-control study. J

Hepatol 2004; 40: 140-6.

21. Pomier-Layrargues G, Paquin SC, Hassoun Z. Ocreotide in hepatorenal

syndrome : a randomized, double-blind, placebo controlled, cross-over study.

Hepatology 2003; 38: 238-43.

22. Angeli P, Volpin R, Gerunda G. Reversal of type I hepatorenal syndrome with the

administration of midodrine and ocreotide. Hepatology 1999; 29: 1690-7.

23. Gines, P, Schrier, RW. Renal failure in cirrhosis. N Engl J Med 2009; 361:1279.

24. Gines, P, Guevara, M, Arroyo, V, Rodes, J. Hepatorenal syndrome. Lancet 2003;

362:1819.

25. Wadei, HM, Mai, ML, Ahsan, N, Gonwa, TA. Hepatorenal syndrome:

pathophysiology and management. Clin J Am Soc Nephrol 2006; 1:1066.

22

Page 23: CONTOH REFERAT

26. Arroyo, V, Gines, P, Gerbes, AL, et al. Definition and diagnostic criteria of

refractory ascites and hepatorenal syndrome in cirrhosis. International Ascites

Club. Hepatology 1996; 23:164.

27. Salerno, F, Gerbes, A, Gines, P, et al. Diagnosis, prevention and treatment of

hepatorenal syndrome in cirrhosis. Gut 2007; 56:1310.

28. Gines, A, Escorsell, A, Gines, P, et al. Incidence, predictive factors, and treatment

of the hepatorenal syndrome with ascites. Gastroenterology 1993; 105:229.

29. Akriviadis, E, Botla, R, Briggs, W, et al. Pentoxifylline improves short-term

survival in severe acute alcoholic hepatitis: a double-blind, placebo-controlled

trial. Gastroenterology 2000; 119:1637.

30. Brensing, KA, Textor, J, Strunk, H, et al. Transjugular intrahepatic portosystemic

stent-shunt for hepatorenal syndrome. Lancet 1997; 349:697.

31. Arroyo, V, Guevara, M, Gines, P. Hepatorenal syndrome in cirrhosis:

pathogenesis and treatment. Gastroenterology 2002;122:1658.

32. Kalambokis, G, Economou, M, Fotopoulos, A, et al. The effects of chronic

treatment with octreotide versus octreotide plus midodrine on systemic

hemodynamics and renal hemodynamics and function in nonazotemic cirrhotic

patients with ascites. Am J Gastroenterol 2005; 100:879.

33. Gluud, LL, Kjaer, MS, Christensen, E. Terlipressin for hepatorenal syndrome.

Cochrane Database Syst Rev 2006; :CD005162.

34. Holt, S, Goodier, D, Marley, R, et al. Improvement in renal function in

hepatorenal syndrome with N-acetylcysteine. Lancet 1999; 353:294.

35. Duvoux, C, Zanditenas, D, Hezode, C, Chauvat, A. Effects of noradrenalin and

albumin in patients with type I hepatorenal syndrome: a pilot study. Hepatology

2002; 36:374.

23