Contoh Proposal

Embed Size (px)

Citation preview

Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar Matematika

Disusun oleh

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS RIAU KEPULAUAN BATAM 2011

A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan budaya. Sementara itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini tidak lepas dari peran pendidikan, dan pendidikan merupakan bagian hakiki dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, masalah pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Masalah pendidikan seringkali menjadi topik perbincangan yang menarik dan hangat, di kalangan masyarakat luas, dan lebih-lebih lagi pakar pendidikan. Hal ini merupakan hal yang wajar karena semua orang berkepentingan dan ikut terlibat dalam proses pendidikan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak dapat memperoleh informasi dengan melimpah, cepat dan mudah melalui berbagai sumber dan tempat di dunia ini. Dengan demikian, siswa perlu memiliki kemampuan memperoleh, memilih dan mengolah informasi untuk bertahan pada keadaan yang selalu berubah dan penuh dengan persaingan. Kemampuan untuk memperoleh, memilih dan mengolah informasi membutuhkan pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif dan kemauan bekerja sama yang efektif. Cara berpikir seperti ini dapat dikembangkan dengan belajar matematika, karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan siswa terampil berpikir rasional (Depdiknas, 2005). Selain itu, Indonesia sebagai negara berkembang sangat membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang mampu memberi sumbangan bermakna kepada ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan termasuk kesenian.

Matematika

berfungsi

mengembangkan

kemampuan

menghitung,

mengukur

dan

menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari melalui materi pengukuran dan geometri, serta aljabar dan trigonometri. Matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa yang dapat berupa model matematika, kalimat matematika, diagram, grafik atau tabel (Depdiknas, 2005). Matematika sebagai salah satu ilmu dasar merupakan mata pelajaran yang wajib diajarkan pada semua jenjang pendidikan, baik sekolah dasar, sekolah menengah mupun perguruan tinggi. Cornelius mengatakan bahwa ada banyak alasan tentang perlunya siswa belajar matematika, yaitu: 1) merupakan sarana berpikir yang jelas dan logis; 2) sarana memecahkan masalah

kehidupan sehari-hari; 3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman; 4) sarana mengembangkan kreativitas; dan 5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya (dalam Abdurrahman, 1999).

Begitu pentingnya peranan matematika seperti yang diuraikan di atas, seharusnya membuat matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang menyenangkan dan digemari oleh siswa. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mata pelajaran matematika masih merupakan pelajaran yang dianggap sulit, membosankan dan sering menimbulkan masalah dalam belajar. Kondisi ini mengakibatkan mata pelajaran matematika tidak disenangi, tidak diperdulikan dan bahkan diabaikan. Hal ini tentunya menimbulkan kesenjangan yang cukup besar antara apa yang diharapkan dari belajar matematika dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Di satu sisi matematika mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, meningkatkan daya nalar, berpikir logis, sistematis dan kreatif. Di sisi lain banyak siswa yang tidak menyenangi mata pelajaran matematika.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka membangun pemahaman siswa yang nantinya diharapkan bermuara pada peningkatan mutu pendidikan, khususnya pendidikan matematika. Upaya-upaya yang dimaksud di antaranya penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku ajar atau bahan ajar atau buku referensi lainnya, melaksanakan program academic staff deployment (ASD) yaitu menerjunkan dosen ke sekolah sebagai guru, peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan lainnya baik melalui pelatihan, seminar dan kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), serta peningkatan kualifikasi pendidikan mereka. Namun demikian, semua usaha tersebut nampaknya belum membuahkan hasil yang optimal. Berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan, terlebih lagi pendidikan matematika yang secara otomatis menyentuh prestasi belajar matematika siswa mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah sampai kepada perguruan tinggi masih belum meningkat secara signifikan.

Upaya meningkatkan prestasi belajar matematika rupanya harus dilakukan dengan kerja keras serta harus menghadapi berbagai hambatan, antara lain: 1) pelajaran matematika masih menjadi mata pelajaran yang menakutkan bagi siswa, sehingga siswa atau masyarakat umum beranggapan bahwa mata pelajaran matematika itu adalah mata pelajaran yang hanya berkutat

pada angka-angka saja; 2) sering terdengar nada-nada miring yang tersebar di masyarakat terkait dengan diberikannya pelajaran matematika di sekolah, di mana mereka beranggapan bahwa mata pelajaran matematika tidak ada manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari. Selain itu, seperti termuat pada harian Kompas edisi 28 Maret 2002 dapat diperoleh gambaran sikap siswa terhadap mata pelajaran ini. Disebutkan bahwa mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang tidak menarik bagi para siswa SD sampai SMA serta bagi mahasiswa di perguruan tinggi. Sikap antipati ini disebabkan karena siswa menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit dan hanya merupakan ilmu murni yang kerjanya bergulat dengan angka-angka saja.

Salah satu patokan yang sering digunakan untuk menggambarkan kurang berhasilnya pendidikan matematika di semua jenjang pendidikan adalah nilai hasil ujian akhir nasional (NUAN), karena NUAN merupakan indikator yang mudah dilihat oleh masyarakat luas untuk digunakan sebagai acuan tentang keberhasilan pendidikan, khususnya pendidikan matematika. Kenyataan menunjukkan bahwa secara nasional rata-rata NUAN matematika siswa SMP pada lima tahun terakhir ini berkisar antara 4,00 sampai 5,50 (Sumadi dkk, 2004). Sementara itu, khusus di SMP DHARMA LAKSANA, rata-rata NUAM untuk mata pelajaran matematika masih sulit beranjak dari urutan terbawah dan bahkan diklasifikasikan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini.

Tabel 1.1 Rata-rata NUAM Siswa SMP DHARMA LAKSANA Dua Tahun Terakhir Tahun Pelajaran 2003/2 004 Kalsifi kasi 2004/2 005 Klasifi kasi Mata Pelajaran PPKn B. Indo 6,05 B. Ing Mat. IPA IPS

7,55

6,04

5,70

6,49

6,19

A

C

C

C

C

C

7,17

6,16

5,62

-

-

-

B

B

C

-

-

(Sumber Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMP DHARMA LAKSANA)

Hasil observasi di SMP DHARMA LAKSANA menunjukkan bahwa dalam pembelajaran matematika di kelas proses belajar-mengajar masih didominasi oleh guru, di mana guru sebagai sumber utama pengetahuan. Hal ini dilakukan oleh guru karena guru mengejar target kurikulum untuk menghabiskan materi pembelajaran atau bahan ajar dalam kurun waktu tertentu. Guru juga lebih menekankan pada siswa untuk menghapal konsep-konsep, terutama rumus-rumus praktis, yang nantinya bisa digunakan oleh siswa dalam menjawab soal ulangan harian, ulangan umum atau pun UAN tanpa melihat secara nyata manfaat materi yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, siswa akan semakin beranggapan belajar matematika itu tidak ada artinya bagi kehidupan mereka, abstrak dan sulit dipahami. Akibatnya siswa selalu memandang matematika sebagai pelajaran yang menakutkan bahkan yang lebih ekstrim lagi siswa mengangap matematika itu sebagai musuh. Semua itu pada akhirnya akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar yang diperoleh siswa dalam pelajaran matematika.

Dalam proses pembelajaran matematika selama ini, guru menerapkan strategi klasikal dengan metode ceramah menjadi pilihan utama sebagai metode pembelajaran. Pola pembelajaran atau urutan sajian materi dalam pembelajaran matematika yang biasa dilakukan selama ini adalah (1) pembelajaran diawali penjelasan singkat materi oleh guru, siswa diajarkan teori, defenisi, teorema yang harus dihafal, (2) pemberian contoh soal dan (3) diakhiri dengan latihan soal. Dalam latihan soal, siswa selalu diarahkan untuk menjawab benar untuk setiap jawaban benar, kemampuan berpikir konvergen siswa lebih ditekankan tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir divergen (Ichrom, 1988). Pola pembelajaran konvensional seperti di atas dilakukan secara monoton dari waktu ke waktu. Dalam pembelajaran ini konsep yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari apa kata guru. Konsekwensinya, bila siswa diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan, maka siswa cenderung membuat kesalahan. Pengetahuan yang dimiliki siswa hanya bersifat prosedural yaitu siswa cenderung menghafal contoh-contoh yang diberikan oleh guru tanpa terjadi pembentukan konsepsi yang benar dalam struktur kognitif siswa. Siswa akan menemui hambatan jika diberikan soal yang tidak bisa diselesaikan dengan rumus secara langsung, tetapi melalui penerapan beberapa rumus atau konsep. Boleh dibilang siswa memiliki senjata canggih tetapi

tidak mengetahui cara menggunakannya. Keadaan seperti ini membuat siswa mengalami kesulitan memahami konsep matematika sehingga sangat mudah terjadi miskonsepsi yang nantinya akan menyebabkan siswa mengalami kesulitan memahami konsep lebih lanjut.

Dominasi metode ceramah dalam pembelajaran matematika cenderung berorientasi pada materi yang tercantum dalam kurikulum dan buku teks, serta jarang mengaitkan materi yang dibahas dengan masalah-masalah nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat guru menjelaskan materi, siswa cenderung diam serta mendengarkan apa yang dijelaskan oleh guru, siswa tidak bisa berargumentasi jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan terkait dengan materi yang ada di buku.

Sebagai salah satu komponen penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan, kegiatan belajar mengajar (KBM) perlu diubah atau direvisi agar mampu meningkatkan prestasi belajar matematika siswa, apalagi pemerintah dalam hal ini Depdiknas merencanakan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada tahun ajaran 2004/2005 secara nasional. Prambudi (2004) menyebutkan bahwa salah satu alasan diberlakukannya kurikulum terbaru (kurikulum berbasis kompetensi) adalah karena rendahnya kualitas pembelajaran, termasuk kualitas pembelajaran matematika. Dalam rangka menyongsong KBK, maka guru perlu merancang suatu pembelajaran yang menunjang rencana tersebut. Guru harus mampu mengupayakan membuat penyajian materi pelajaran matematika yang menarik dan menyenangkan.

Landasan berpikir KBK adalah konstruktivis yang esensinya adalah siswa harus menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan di benak mereka sendiri dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Pelajaran akan bermakna bila dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang dapat mengaitkan konten kurikulum yang dipelajari siswa dengan konteks kehidupan nyata. Dengan demikian pembelajaran yang sesuai dengan nafas KBK adalah pembelajaran kontekstual.

Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran yang berupaya mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengalaman siswa. Pembelajaran kontekstual tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi mendorong siswa mengkontruksi pengetahuan di benak siswa

sendiri (Depdiknas, 2002). Dalam pembelajaran ini siswa didorong membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Proses pembelajaran kontekstual berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan trasfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pembelajaran kontekstual menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen (kreatif).

Penerapan pembelajaran kontekstual diduga dapat memberikan sumbangan alternatif pemecahan masalah pembelajaran matematika, khususnya dalam meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Di SMP, penerapan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika dimungkinkan karena topik-topik matematika yang diajarkan di SMP umumnya sebagian besar masih dapat dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut Piaget walaupun siswa SMP sudah berada pada tahap operasional formal, namun perubahan dari tahap operasional konkrit ke tahap operasional formal tidak berlangsung secara mendadak tetapi secara bertahap, sehingga siswa SMP yaitu pada usia 12-16 tahun proses berpikirnya belum sepenuhnya bersifat abstrak, sehingga masih membutuhkan benda-benda nyata dalam pembelajarannya (Depdiknas, 2005).

Gaya berpikir adalah perbedaan-perbedaan individu dalam merespon suatu permasalahan tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Klasifikasi gaya berpikir siswa dibagi menjadi dua, yaitu gaya berpikir konvergen dan gaya berpikir divergen. Gaya berpikir divergen adalah respon individu yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan, sedangkan gaya berpikir divergen adalah respon individu mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan.

Pembelajaran matematika dengan pembelajaran kontekstual memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya, perolehan informasi dan merespon permasalahan yang diberikan. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen (kreatif) (Depdiknas, 2005). Sedangkan pembelajaran matematika yang menggunakan pembelajaran konvensional

cenderung mengarahkan siswa untuk memberi respon yang tunggal terhadap permasalahan yang diberikan. Siswa diharuskan menjawab benar untuk setiap jawaban benar, kemampuan berpikir konvergen siswa lebih ditekankan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mencoba menerapkan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan melaksanakan penelitian berjudul Pengaruh Pendekatan Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar Matematika.

B. IDENTIFIKASI MASALAH Berpijak pada latar belakang yang diuraikan di atas, maka terkait dengan prestasi belajar matematika siswa dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut. 1) bagaimana prestasi belajara matematika siswa SMP DHARMA LAKSANA?; 2) faktor-faktor apakah yang mempengaruhi prestasi belajara matematika siswa?; 3) pendekatan pembelajaran yang bagaimana dapat membantu meningkatkan prestasi belajar matematika?; 4) apakah pendekatan kontekstual mampu meningkatkan prestasi belajar matematika siswa?; 5) manakah yang lebih baik dalam pembelajaran matematika apakah pendekatan kontekstual atau pendekatan konvensional?; 6) bagaimanakah gaya berfikir siswa SMP DHARMA LAKSANA?; 7) bagaimanakah prestasi belajar matematika siswa yang memiliki gaya berfikir konvergen?; 8) bagaimanakah prestasi belajar matematika siswa yang memiliki gaya berfikir divergen? 9) apakah pendekatan pembelajaran dalam matematika sebaiknya mempertimbangkan gaya berfikir siswa?

C. PEMBATASAN MASALAH Idealnya semua masalah yang diidentifikasi harus dikaji agar diperoleh peningkatan prestasi belajar matematika yang optimal. Mengingat kompleknya permasalahan seperti yang telah diungkapkan pada identifikasi masalah di atas serta terbatasnya dana, waktu, alat, dan kemampuan maka pengkajian pada penelitian ini hanya terbatas pada prestasi belajar matematika, sebagai akibat dari pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran matematika dan gaya berfikir yang dimiliki siswa.

D. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut. 1. Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatanpembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional? 2. Untuk siswa yang memiliki gaya berpikir divergen, apakah prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional? 3. Untuk siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen, apakah prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual? 4. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya berpikir siswa dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika.

E. TUJUAN PENELITIAN Sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan pada bagian terdahulu yang akan dicari solusinya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan pembelajaran konvensional. 2. Pada siswa yang memiliki gaya berpikir divergen, untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional. 3. Pada siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen, untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional. 4. Untuk mengetahui ada tidaknya interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya berpikir siswa dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika.

F. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagi guru Penelitian ini akan memberikan pengalaman yang bermanfaat dalam merancang pembelajaran kontekstual dan memfasilitasi pembelajaran. Dari pengalaman tersebut diharapkan guru dapat mengembangkan model pembelajaran, LKS dan sumber belajar sejenis pada pokok bahasan yang lain dan dapat mengimplementasikannya dalam kelas. 2. Bagi siswa Penelitian ini akan sangat bermanfaat karena secara tidak langsung mereka terbantu dalam diajar konsep-konsep matematika yang sangat memberi peluang bagi siswa untuk meningkatkan prestasi belajar mereka secara optimal. Hal ini disebabkan karena pembelajaran kontekstual memberikan kesempatan yang luas untuk berinteraksi dengan teman-temanya dan materi yang dipelajari dirancang terkait dengan kehidupan sehari-hari sehingga siswa menjadi lebih tertarik belajar matematika. 3. Untuk Perkembangan Ilmu Pengetahuan Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan strategi pembelajaran yang mengaitkan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari (konteks). Hasil penelitian ini akan memberikan informasi yang rinci tentang keunggulan dan kelemahan pendekatan pembelajaran kontekstual yang teruji secara eksperimen.

G. KAJIAN TEORI 1. Hakikat Pembelajaran Matematika 1.1 Pembelajaran Matematika Beberapa definisi atau ungkapan pengertian matematika hanya dikemukakan terutama berfokus pada tinjauan pembuat definisi itu. Misalnya ada ahli matematika yang sangat tertarik dengan perilaku bilangan, ia akan melihat matematika itu dari sudut pandang bilangan. Tokoh lain lebih mencurahkan pada struktur-struktur, ia melihat matematika dari sudut pandang struktur-struktur itu. Seperti kata Abraham S Lunchins dan Edith N Luchins (dalam Suherman, 1993) apakah matematika itu, dapat dijawab secara berbedabeda tergantung pada kapan pertanyaan itu dijawab, di mana dijawab, dan siapa yang menjawabnya. Jadi tidak terdapat suatu definisi tentang matematika yang tunggal dan disepakati oleh semua tokoh atau pakar matematika.

Sesungguhnya matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari. Sebagai contoh, bangun ruang dan datar pada dasarnya didapat dari benda-benda kongkrit dengan melakukan proses abstraksi dari benda-benda nyata. Pada awalnya matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunia nyata, kemudian pengalaman itu diolah dan diproses dalam struktur kognitif sehingga sampai pada suatu kesimpulan berupa konsepkonsep matematika. Agar konsep matematika yang terbentuk dapat dipahami orang lain, maka digunakan notasi dan istilah yang cermat dan disepakati secara universal yang dikenal dengan bahasa matematika. Oleh karena matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari maka dari itu proses pembelajaran matematika harus dapat menghubungkan antara ide abstrak matematika dengan situasi dunia nyata yang pernah dialami ataupun yang pernah dipikirkan siswa. Membawa situasi-situasi dunia nyata ke dalam matematika sekolah adalah perlu meskipun belum cukup, untuk menumbuhkembangkan sikap positif terhadap matematika, yang diharapkan dapat menjadi inspirasi untuk memahami dan menginterprestasi realitas dan sebagai aktivitas berpikir yang menarik. Tujuan matematika yang seperti itu dapat dicapai bila guru berhasil membawa siswa menggunakan matematika ke dalam situasi yang pernah dialami siswa atau kehidupan sehari-hari. Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah yang sejalan dengan konsep belajar bermakna adalah untuk mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, sehubungan dengan itu siswa memerlukan matematika untuk memenuhi kehidupan praktis dan memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari, selain itu agar siswa mampu memahami bidang studi lain, berpikir logis, kritis (berpikir konvergen), praktis serta bersikap positif dan kreatif (berpikir divergen). Oleh karena itu, matematika akan lebih menarik bagi siswa jika dalam pembelajaran matematika guru mengaitkan materi yang dipelajari siswa dengan kehidupan mereka sehari-hari, sehingga siswa akan menjadi tahu tujuan mereka belajar dan belajar menjadi lebih bermakna. Menurut Suherman (2003) penerapan strategi yang dipilih dalam pembelajaran matematika haruslah mampu mengoptimalisasikan interaksi seluruh unsur pembelajaran. Demi peningkatan optimalisasi interaksi dalam

pembelajaran matematika, untuk pokok bahasan atau sub pokok bahasan tertentu mungkin dapat dicapai dengan pembelajaran kontekstual.

1.2 Prestasi Belajar Matematika Sebagai seorang guru yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan proses belajar mengajar, salah satu tugas pokoknya adalah mengevaluasi taraf keberhasilan rencana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Untuk melihat sejauh mana taraf keberhasilan mengajar guru dan belajar siswa secara tepat dan dapat dipercaya diperlukan informasi yang didukung oleh data yang objektif dan memadai tentang indikator-indikator perubahan tingkah laku siswa. Salah satu data yang sering dijadikan acuan untuk menentukan taraf keberhasilan rencana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar adalah prestasi belajar siswa. Prestasi belajar merupakan suatu indikator yang dapat menunjukkan tingkat kemampuan dan pemahaman siswa dalam belajar. Prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh individu setelah mengalami suatu proses belajar dalam jangka waktu tertentu. Menurut Nasution (2001) prestasi belajar adalah penguasaan seseorang terhadap pengetahuan atau keterampilan tertentu dalam suatu mata pelajaran, yang lasimnya diperoleh dari nilai tes atau angka yang diberikan guru. Berdasarkan pendapat Nasution perstasi belajar dapat dilihat dari nilai transkrip yaitu nilai raport, karena nilai raport merupakan perumusan terakhir dari upaya yang dilakukan pendidik (guru) dalam pemberian penilaian belajar terhadap peserta didik selama satu semester. Nilai raport mempunyai arti dan manfaat yang sangat penting bagi siswa, guru, sekolah dan orang tua siswa, karena nilai ini merupakan terjemahan dari prestasi belajar siswa yang nantinya bisa berguna dalam mengambil keputusan terhadap siswa bersangkutan atau sekolah. Ada banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor-faktor tersebut dalam banyak hal saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Sudjana (2000), Muhibbin (2004), dan Purwanto (2000) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah faktor luar (eksternal) dan faktor dalam (internal). Faktor luar terdiri atas lingkungan, meliputi: lingkungan alami dan lingkungan sosial, dan instrumental meliputi: kurikulum, program, sarana dan prasarana, serta guru. Faktor dalam terdiri atas faktor fisiologis, meliputi: kondisi fisik secara umum dan

kondisi pancaindera, dan faktor psikologis, meliputi: minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan gaya berpikir. 2. Hakikat Pembelajaran Kontekstual 2.1 Hakikat Pembelajaran Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik (siswa) dengan lingkungnnya, sehingga terjadi perubahan prilaku (Mulyasa, 2005). Fontana (dalam, Winataputra, 1993) menyebutkan bahwa pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan (fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang memberikan suasana tumbuh dan berkembangnya proses belajar. Sedangkan belajar menurut Fontana adalah proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Jadi, bila dilihat dari individu yang belajar proses pembelajaran bersifat eksternal (datang dari luar) yang sengaja dirancang atau didesain sehingga bersifat rekayasa, sedangkan proses belajar bersifat internal. Oleh karena pembelajaran bersifat rekayasa yaitu rekayasa prilaku maka pembelajaran selalu terikat tujuan. Atas dasar itu maka terjadinya proses belajar adalah kreteria dasar dari pembelajaran (Winataputra, 1993). Dengan kata lain pembelajaran dinilai berhasil bila siswa (pebelajar) dapat belajar sesuai dengan tujuan yang dirancang. Sementara itu, Marhaeni (2006) mengatakan bahwa pembelajaran adalah kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (facilitating, empowering, enabling ), untuk membuat siswa belajar secara aktif. Pengertian di atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran terjadi interaksi antara peserta didik yang belajar dan pendidik yang membantu proses belajar tersebut. Menurut konsep sosiologi pembelajaran adalah rekayasa sosio-psikologi untuk memelihara kegiatan belajar sehingga tiap individu yang belajar akan belajar secara optimal dalam mencapai tingkat kedewasaan (Suherman, 1994). Dalam arti sempit pembelajaran adalah proses pendidikan dalam lingkup persekolahan, sehingga pembelajaran adalah proses sosialisasi individu dengan lingkungan sekolah seperti: guru, teman sesama siswa, sumber belajar serta sarana dan prasarana. Sedangkan pembelajaran menurut konsep komunikasi adalah proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru serta siswa dengan siswa, dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir (Suherman, 1994). Dalam pembelajaran guru berperan sebagai komunikator, siswa sebagai

komunikan, dan materi yang dikomunikasikan berisi pesan berupa ilmu pengetahuan. Dalam komunikasi banyak arah dalam pembelajaran peran-peran tersebut bisa berubah. Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian pembelajaran yang telah diungkapkan di atas, maka yang dimaksud dengan pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan (fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang bersifat eksternal (datang dari luar pebelajar) serta sengaja dirancang atau didesain (terprogram) sehingga memberikan suasana tumbuh dan berkembangnya proses belajar.

2.2 Landasan Pembelajaran Kontekstual Akhir-akhir ini pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pembelajaran yang banyak dibicarakan orang. Ada yang berpendapat bahwa pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pembelajaran yang dapat diandalkan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Berikut ini akan dijelaskan tentang landasan filisofi, landasan psikologis dan definisi pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Piaget (dalam Sanjaya, 2005). Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran epistimologis Giambatista Vico. Menurut Vico mengetahui adalah mengetahui bagaimana membuat sesuatu (dalam Suparno, 1997). Artinya, seseorang dikatakan mengetahui manakala ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu tersebut. Filsafat konstruktivisme ini kemudian mempengaruhi tentang konsep belajar, bahwa belajar bukanlah sekadar menghafal pengetahuan tetapi proses pengonstruksian pengetahuan berdasarkan pengalaman. Pengetahuan bukan hasil transfer dari satu orang ke orang lain, tetapi pengetahuan merupakan hasil dari proses pengonstruksian yang dilakukan secara individu. Pengetahuan yang bermakna merupakan pengetahuan yang diperoleh dari hasil pengkonstruksian bukan dari transfer atau pemberian dari orang lain. Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) pertama kali diajukan pada awal abad 20 di USA oleh tokoh pendidikan John Dewey. Kata Contextual berasal dari kata Contex yang berarti hubungan, konteks, suasana atau keadaan. Dengan demikian Contextual diartikan yang berhubungan dengan suasana,

sehingga CTL dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana atau konteks tertentu. Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran di mana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam pembelajarannya dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka seharihari, serta lebih menekankan pada belajar bermakna (Depdiknas, 2002). Guru menghadirkan dunia nyata ke dalam pembelajaran dengan cara, seperi: 1) guru berusaha membawa benda-benda riil yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari, kemudian siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan bendabenda riil tersebut sehingga siswa diharapkan menemukan sendiri konsep-konsep matematika yang sedang dipelajarinya, atau sebaliknya 2) guru bercerita tentang sesuatu yang relevan dengan materi yang dipelajari, dari cerita tersebut siswa diharapkan menemukan sendiri konsep yang sedang dipelajari. Pembelajaran kontekstual mengakui bahwa belajar hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimilikinya. Pembelajaran kontekstual menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen dalam pengumpulan data, pemahaman terhadap isu-isu atau pemecahan masalah. Pemaduan materi pelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa dalam pembelajaran kontekstual akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam sehingga siswa kaya akan pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pembelajaran kontekstual menekankan pada bagaimana belajar di sekolah dikaitkan ke dalam situasi nyata, sehingga hasil belajar dapat lebih diterima dan berguna bagi siswa bilamana mereka meninggalkan sekolah. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual dalam penelitian ini adalah suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep seperti itu, maka proses pembelajaran akan berlangsung secara bermakna. Proses pembelajaran akan berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan bekerja dan

mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Proses pembelajaran lebih utama daripada hasil pembelajaran. Dalam konteks ini, siswa harus sadar tentang makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Siswa sadar bahwa apa yang mereka pelajari akan berguna dalam kehidupannya.

2.3 Komponen Pembelajaran Kontekstual Dalam penerapannya di kelas, pembelajaran kontekstual tetap memperhatikan tujuh komponen pokok pembelajaran yang efektif, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), penilaian autentik (authentic assessment) dan refleksi (reflection) (Depdiknas, 2002). 2.4 Pembelajaran Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika Knapp & Schell (dalam Depdiknas, 2005) mengidentifikasi beberapa masalah dalam pembelajaran, antara lain bahwa peserta didik kesulitan dalam menerapkan

pengetahuannya untuk memecahkan masalah-masalah kompleks dan dalam seting yang berbeda, seperti masalah pada bidang lain atau masalah di luar sekolah. Begitu pula dalam pembelajaran matematika, siswa kurang mampu menghubungkan antar konsep dalam matematika, menghubungkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari dan menghubungkan konsep matematika dengan ilmu lainnya. Selain itu, siswa tidak memahami keterampilan-keterampilan dasar yang dimilikinya, karena mereka melihat bahwa pelajaran matematika di sekolah tidak relevan dengan kehidupan di luar sekolah. Sehingga banyak orang memandang matematika merupakan mata pelajaran yang paling sulit, padahal semua orang harus mempelajari matematika karena merupakan sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Pembelajaran matematika yang diterapkan selama ini di sekolah adalah pembelajaran konvensional yang bersifat teoritik dan mekanistik serta jarang mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa. Tentunya pembelajaran yang demikian membuat siswa akan semakin beranggapan belajar matematika itu tidak ada artinya bagi kehidupan mereka, abstrak dan sulit dipahami. Sesungguhnya matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari. Sebagai contoh, bangun ruang dan datar pada dasarnya didapat dari benda-benda kongkrit dengan melakukan proses abstraksi dari benda-benda

nyata. Oleh karena itu, proses pembelajaran matematika harus dapat menghubungkan antara ide abstrak matematika dengan situasi dunia nyata yang pernah dialami ataupun yang pernah dipikirkan siswa. Pembelajaran yang dapat menghubungkan ide abstrak matematika dengan situasi dunia nyata adalah pemelajaran kontekstual. Pada ramburambu kurikulum mata pelajaran matematika disebutkan bahwa untuk mengajarkan konsep matematika dapat dimulai dengan masalah sesuai dengan situasi nyata atau contextual problem (Depdiknas, 2005). Kurikulum ini tampak memberikan kesempatan atau memberikan roh pada penggunaan dan penerapan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk membangun dan mengembangkan pemahaman konsep matematika secara mendalam, khususnya membangun kompetensi matematika siswa dalam: 1) memecahkan masalah matematika, 2) berargumentasi dan berkomunikasi secara matematis, 3) melakukan penemuan kembali, dan 4) berpikir kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, penemuan dan generalisasi melalui pemikiran divergen (Sudiarta, 2005). Pembelajaran yang mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-sehari siswa akan lebih berkesan bagi siswa dibandingkan dengan pembelajaran di mana materi yang diperoleh bergantung pada informasi dari guru. Dalam pembelajaran kontekstual siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, menemukan sendiri aturan, siswa bebas berdiskusi dengan temannya, siswa bebas bertanya kepada guru serta memungkinkan siswa lebih mudah mengingat urutan materi yang dipelajarinya. Akibatnya pemahaman siswa tentang suatu konsep matematika akan lebih baik dibandingkan pemahaman konsep hasil informasi dari guru. Disamping itu, melalui pembelajaran yang mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari siswa akan mendidik siswa untuk dapat menghubungkan antar konsep dalam matematika, menghubungkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari dan menghubungkan konsep matematikia dengan ilmu lainnya. Bedasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika adalah suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi-materi atau konsep-konsep matematika yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

3. Hakikat Gaya Berfikir Hampir setiap orang mempunyai sisi yang dominan. Belahan otak kanan menguasai belahan kiri badan, sedangkan belahan otak kiri menguasai belahan kanan badan. Respon, tugas dan fungsi belahan otak kiri dan kanan berbeda dalam menghayati berbagai pengalaman belajar, sebagaimana seseorang mengalami realita secara berbeda-beda dan unik. Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk berpikir rasional, berpikir konvergen (tunggal), analitis, berurutan, linier, saintifik (seperti untuk belajar membaca, bahasa, aspek berhitung pada matenatika). Sedangkan belahan otak kanan berfungsi berpikir holistik, berpikir divergen (jamak), spasial, metaphorik dan lebih banyak menyerap konsep matematika, sintesis, mengetahui sesuatu secara intuitif, elaborasi serta dimensi humanistik mistik (Clark dalam Semiawan, 1997). Berikut ini disajikan Tabel dikotomi fungsi belahan otak kiri dan otak kanan. Teori ini, walaupun didukung oleh bukti-bukti empiris, namun masih memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk keabsahannya (Dacey, 1989; Piirto, 1992 dalam Munandar, 2002).

Tabel 2.4 Dikotomi Belahan Otak

Belahan Otak Kiri Konvergen Intelektual Horizontal Diarahkan Objektif Abstrak Verbal Analitis Eksplisit

Belahan Otak Kanan Divergen Emosinal Vertikal Bebas Subjektif Kongkrit Nonverbal Sintesis Implisit

(Sumber Dacey, 1989; Piirto, 1992 dalam Munandar, 2002)

Belajar menurut logika neurologis adalah: pertama, menekankan pengembangan fungsi-fungsi belahan otak kanan terutama sejak janin dalam kandungan sampai usia 5 tahun, diteruskan sampai usia 16 tahun. Kedua, menekankan pengembangan fungsifungsi belahan otak kiri. Ketiga, kombinasi antara fungsi-fungsi belahan otak kiri dan kanan (http://www.pendidikan-damai.org/files/Panduan). Sementara itu, yang dilakukan guru di sekolah adalah membalik logika belajar neurologi ini. Sejak anak masuk SD yang ditekankan justru pelajaran bahasa (fungsi verbal), kemampuan membaca, menulis, dan berhitung atau matematika (fungsi intelektual dan fungsi logika) yang semuanya itu lebih menekankan pengembangan fungsi-fungsi belahan otak kiri.

H. KAJIAN EMPIRIK Ada beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Diantaranya adalah yang dilakukan oleh Sumadi (2004) dan Gita (2004). Hasil penelitian Sumadi (2004) terhadap siswa kelas II SMP di Kota Singaraja diperoleh hasil bahwa hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran kontekstual lebih baik daripada hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Hasil serupa ditemukan oleh Gita (2004) yang juga mengkaji tentang pendekatan kontekstual di SMP. Hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa pendekatan kontekstual dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Hasil penelitian Mahendra (2004) mengungkapkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional. Senada dengan Mahendra, Parta (2004) juga mengungkapkan keunggulan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika. Pada hasil penelitiannya dikatakan bahwa pemahaman konsep matematika siswa yang diajar dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional. Selain berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika dan pemahaman konsep matematika, pendekatan kontekstual juga berpengaruh terhadap penalaran dan komonikasi matematika serta koneksi matematika (Sastrini, 2004 dan Suarsana 2004).

I. KERANGKA BERFIKIR 1. Hubungan antara pendekatan pembelajaran dengan prestasi belajar matematika siswa

Matematika adalah suatu cabang ilmu yang berhubungan atau menelah bentuk-bentuk atau struktur yang abstrak, dan hubungan diantara struktur-struktur tersebut. Belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antar konsepkonsep dan struktur-struktur matematika tersebut. Untuk dapat memahami hubungan antara struktur-struktur yang abtrak tersebut diperlukan pemahaman konsep-konsep yang terdapat di dalam matematika itu sendiri. Belajar matematika tidak hanya sekadar belajar tentang konsep-konsep tetapi belajar secara bermakna. Bermakna dalam hal ini siswa tahu tujuan mereka belajar matematika. Siswa belajar bermakna jika materi dalam pembelajarannya dikaitkan dengan kehidupan nyata yang dekat dengan keseharian siswa. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang mampu mengaitkan materi yang dipelajari siswa dengan kehidupan mereka sehari-hari. Pendekatan pembelajaran yang bisa mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan siswa adalah pendekatan kontekstual. Salah satu tujuan belajar matematika adalah untuk mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola fikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, sehubungan dengan itu siswa memerlukan matematika untuk memenuhi kehidupan praktis dan memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari, selain itu agar siswa mampu memahami bidang studi lain, berfikir logis, kritis (berfikir konvergen), rasional, praktis serta bersifat positif dan kreatif (berfikir divergen). Hal ini jelas merupakan tuntutan yang sangat tinggi yang tidak bisa dicapai hanya dengan menilai hafalan, latihan pengerjaan soal yang bersifat rutin, serta proses pembelajaran biasa (konvensional). Berdasarkan uraian di atas, maka diduga siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual prestasi belajar matematikanya lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional.

2. Perbedaan Prestasi Belajar Matematika Siswa yang Memiliki Gaya berfikir konvergen Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran Berfikir konvergen (kritis) adalah respon individu yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Individu

yang berfikir konvergen memiliki ciri-ciri seperti: ingatan baik, berfikir logis, pengetahuan faktual, dan kecermatan. Siswa yang berfikir konvergen akan mampu mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dengan menggunakan cara-cara yang telah biasa diajarkan oleh guru, tetapi mereka tidak akan mampu memecahkan masalah yang memerlukan cara-cara yang lain (baru). Guilford dalam Munandar (2002) mengatakan bahwa penggunaan model stimulus-response dalam teori belajar merupakan sebab lain dari kurangnya perhatian psikologi dan pendidikan terhadap masalah berfikir divergen. Ini berarti bahwa konsep stimulus-response yang selama ini diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia lebih mementingkan berfikir konvergen. Hal ini dapat dilihat dari alat ukur yang digunakan. Menurut Munandar (2002) bahwa tes hasil belajar yang biasa dipakai di sekolah-sekolah sebagaian besar hanya meliputi tugas-tugas yang mengharuskan siswa mencari satu jawaban yang benar (berfikir konvergen). Pendekatan konvensional merupakan pendekatan pembelajaran yang biasa dilakukan guru dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Pendekatan ini bersumber dari teori stimulus-response. Pada pembelajaran konvensional, proses belajar mengajar lebih sering diarahkan pada aliran informasi atau trannsfer pengetahuan dari guru ke siswa. Guru menganggap belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Konsep yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari apa kata guru. Guru akan merasa bangga ketika anak didiknya mampu menyebutkan kemabali secara lisan (verbal) sebagaian besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang diberikan oleh guru. Penekanan pembelajaran adalah diperolehnya kemampuan mengingat (memorizing). Hasil penelitian Arifin (2002) menunjukkan bahwa pembelajaran konvensional dapat meningkatkan kemampuan berfikir konvergen siswa. Siswa yang berfikir konvergen mersa lebih nyaman dan cendrung terikat pada apa yang telah ada. Sesuatu yang baru tidak disenangi oleh siswa karena tidak biasa dan tidak dikenal. Berdasarkan uraian di atas, bahwa individu yang berfikir konvergen merespon permasalahan secara tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan, serta memiliki ciri-ciri ingatan baik, berfikir logis, pengetahuan faktual, dan kecermatan. Melihat keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh individu yang berfikir konvergen, maka diduga bahwa pada kelompok siswa

yang memiliki gaya berfikir konvergen, prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional akan lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.

3. Perbedaan Prestasi Belajar Matematika Siswa yang Memiliki Gaya berfikir Divergen Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran Berfikir divergen (kreatif) adalah respon individu mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Dikatakan pula bahwa ciri-ciri individu yang berfikir divergen adalah menciptakan gagasan, mengenal kemungkinan alternatif, melihat kombinasi yang tidak terduga, kemampuan orisinil, terbuka, ulet, menonjolkan diri dan sesisitif. Penelitian menunjukkan bahwa perkembangan optimal dari kemampuan berfikir divergen (kreatif) berhubungan erat dengan cara mengajar. Jika siswa belajar atas prakarsa sendiri dapat berkembang karena guru menaruh kepercayaan terhadap kemampuan anak untuk berfikir dan mengemukakan gagasan baru, dan ketika anak diberi kesempatan untuk bekerja sesuai dengan minat dan kebutuhannya, maka kemampuan berfikir divergen dapat tumbuh subur (Munandar, 2002). Pembelajaran kontekstual adalah suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riil (nyata) yang berasosiasi dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, siswa dan selaku pekerja. Pendekatan kontekstual mengakui bahwa belajar hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berfikir yang dimilikinya. Dengan demikian, pembelajaran kontekstual memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya dan perolehan informasi dalam

belajar sesuai dengan kebutuhan siswa. Hasil penelitian Gita (2004) menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.

4. Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan Gaya berfikir dalam Pengaruhnya terhadap Prestasi Belajar Matematika Pembahasan tentang karakteristik masing-masing individu berdasarkan gaya berfikir dan karakteristik pendekatan pembelajaran dalam kaitannya dengan prestasi belajar matematika telah samapai pada dua dugaan, yaitu: (1) untuk siswa yang memiliki gaya berfikir konvergen, prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual; dan (2) untuk siswa yang memiliki gaya berfikir dinvergen, prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa bila gaya berfikir dipertimbangkan maka dugaan tentang pengaruh pendekatan pembelajaran terhadap prestasi belajar matematika akan berlawanan. Pada siswa yang memiliki gaya berfikir konvergen diduga prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Sebaliknya pada siswa yang memiliki gaya berfikir dinvergen diduga prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Dengan demikian dapat diduga terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya befikir dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika.

J. METODE PENELITIAN 1. Populasi dan Sampel Penelitian 1.1 Populasi Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas II SMP DHARMA LAKSANA yang dibagi menjadi tujuh kelas yaitu kelas VIIIA, IIB, VIIIC, VIIID, IIE, VIIIF, VIIIG.

Informasi yang diperoleh dari Wakil Kepala Sekolah Urusan Kesiswaan bahwa ketujuh kelas terdistribusi ke dalam kelas-kelas yang setara secara akademik. Dikatakan setara, karena dalam pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas tesebut disebar secara merata antara siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Hal ini berarti tidak terdapat kelas unggulan maupun non unggulan.

1.2 Sampel Penelitian Pemilihan sampel penelitian ini tidak dilakukannya pengacakan individu, karena tidak bisa mengubah kelas yang telah terbentuk sebelumnya. Kelas dipilih sebagaimana telah terbentuk tanpa campur tangan peneliti dan tidak dilakukannya pengacakan individu, kemungkinan pengaruh-pengaruh dari keadaan subjek mengetahui dirinya dilibatkan dalam eksperimen dapat dikurangi sehingga penelitian ini benar-benar menggambarkan pengaruh perlakuan yang diberikan (Sevilla dkk, 1993). Berdasarkan karakteristik populasi dan tidak bisa dilakukannya pengacakan individu, maka pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan teknik random sampling. Mula-mula diambil empat kelas secara acak sebagai sampel penelitian dari tujuh kelas yang ada. Setelah diperoleh empat kelas sebagai sampel, dilanjutkan dengan memilih secara acak dua kelas sebagai kelompok eksperimen dan dua kelas sebagai kelompok kontrol. Dalam menentukan individu yang termasuk berfikir konvergen dan berfikir divergen digunakan skor tes gaya berfikir yang telah disusun oleh peneliti. Skor yang diperoleh dari tes gaya berfikir kemudian diranking. Sebanyak 27% kelompok atas dinyatakan sebagai kelompok siswa yang memiliki gaya berfikir divergen dan 27% kelompok bawah dinyatakan sebagai kelompok siswa yang memiliki gaya berfikir konvergen. Pengambilan kelompok atas dan kelompok bawah sebesar 27% dengan pertimbangan bahawa prsentase ini paling baik digunakan untuk membedakan dua kelompok yang dikontraskan dibandingkan dengan 30% atau 50%. Pengambilan masingmasing 27% kelompok atas dan kelompok bawah juga didasarkan pada ajuran Guilford (1954: 425) yang memilah kelompok ekstrim sebesar 27%.