28
BAB 1 LAPORAN KASUS 1.1 IDENTITAS PASIEN Nama : An. E Umur : 13 tahun Jenis kelamin : Perempuan Alamat : Jl. Kenep Pekerjaan : Belum bekerja Pendidikan : - Agama : Islam St.Perkawinan: Belum menikah Suku : Jawa

Chronic kidney disease

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pediatric

Citation preview

Page 1: Chronic kidney disease

BAB 1

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : An. E

Umur : 13 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Kenep

Pekerjaan : Belum bekerja

Pendidikan : -

Agama : Islam

St.Perkawinan: Belum menikah

Suku : Jawa

Tgl. Berobat : 11-12-2014

No. Register : 08118617

Page 2: Chronic kidney disease

1.2. ANAMNESA

Keluhan Utama:

Kepala pusing

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke Poli RSUD Nganjuk dengan keluhan pusing mulai 3 hari lalu

(tanggal 9 Desember). Muntah pagi ini sebanyak 2 kali,isi muntah air dan banyak. BAB

(+) normal, BAK (+) normal. Nafsu makan menurun, minum (+). Berat badan : 29 kg

Riwayat penyakit dahulu :

Pasien sering keluar masuk rumah sakit karena ada riwayat CKD (chronic kidney

disease) dengan pemakaian CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis), anemia

(+) dan sering melakukan transfusi darah.

Riwayat penyakit keluarga : disangkal

Page 3: Chronic kidney disease

1.3. PEMERIKSAAN FISIK

Status Pasien

Tampak lemah, kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6), status gizi kesan cukup.

Tanda Vital

Nadi : 124 x/menit

Pernafasan : 24 x/menit, regular

Suhu : 36,3 o C

Tensi : 110/80 mmHg

Kepala

Bentuk : normocephali

Rambut : warna hitam, distribusi merata.

Mata

Sklera Ikterik : -/-

Conjuctiva Anemis : +/+

Telinga

Bentuk : normotia

Secret : -/-

Page 4: Chronic kidney disease

Hidung

Tidak ada deviasi septum

Sekret : -/-

Mulut dan tenggorokan

Bibir : tidak kering dan tidak cyanosis

Paru

Suara nafas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Jantung

Auskultasi: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : abdomen datar, tidak tampak adanya massa, terpasang CAPD

Palpasi : teraba lemas, tidak ada defence muskular

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Extremitas

Akral Hangat (+) edema (-)

Page 5: Chronic kidney disease

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis dan

menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan yang dilakukan adalah:

1. Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap

Lab tanggal 11-12-2014

Leukosit 5.77 10^3/ul

Monosit 8.1 %

Jumlah eritrosit 2.72 10^6/uL

Hemoglobin 7.7 g/dL

Hematokrit 22.4 %

Trombosit 258 10^3/ul

Page 6: Chronic kidney disease

RDW-SD 36.0 fL

LED/BBS 44 mm/jam

1.5. RESUME

Pasien datang ke Poli RSUD Nganjuk dengan keluhan pusing mulai 3 hari lalu (tanggal 9

Desember). Muntah pagi ini sebanyak 2 kali,isi muntah air dan banyak. BAB (+) normal,

BAK (+) normal. Nafsu makan menurun, minum (+).

Dari pemeriksaan fisik didapatkan anemis (+). Dari pemeriksaan laboratorium adanya

penurunan jumlah Hemoglobin, jumlah Eritrosit, RDW-SD dan Hematokrit. Serta

peningkatan Monosit dan LED.

1.6. DIAGNOSIS

Page 7: Chronic kidney disease

CKD (chronic kidney disease) + CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis)

1.7. PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

1. Infus NaCl 1500 cc/24jam

2. Lasix 1 x 20 mg

3. Transfusi PRC 1 kantong berisi 150 cc

Observasi

1.darah lengkap

2.tanda vital

1.8 FOLLOW UP

12 November 2014

o Subjek

Page 8: Chronic kidney disease

Pusing (+) mual (+) muntah (-) makan (-) minum (+) tadi malam transfusi PRC 1

kantong

o Objek

Kondisi umum : cukup

Kesadaran : Compos Mentis

Nadi : 120 x/menit , regular, kuat

Respiratory rate : 24 x/ menit

Suhu : 36,6 0 C

Tensi : 140/110

Berat Badan : 29 kg

Kepala dan Leher : A/I/C/D = +/- /- / -

Thorax : Cor : S1 S2 tunggal

Gallop ( - ) murmur ( - )

Page 9: Chronic kidney disease

Pulmo : Simetris, Vesikuler

Wheezing (-) ronkhi (-)

Abdomen : Supel, Bising Usus (+) Normal

Meteorismus (-) Nyeri tekan (-)

Terpasang CAPD

Extrimitas : Akral hangat

o Asesment

CKD + CAPD

o Planing

KRS kontrol di RSUD DR.Soetomo Surabaya

Page 10: Chronic kidney disease

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Gagal Ginjal Kronik

Definisi

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau pertanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m²

Batasan penyakit ginjal kronik

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

- Kelainan patologik

- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan

Page 11: Chronic kidney disease

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Sumber: Chonchol, 2005)

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Perazella, 2005). Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal kronik

Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1.73 m2)

1 Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau meningkat

> 90

2 Penurunan ringan LFG 60-89

3 Penurunan moderat LFG 30-59

4 Penurunan berat LFG 15-29

5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

(Sumber: Clarkson, 2005)

Etiologi

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).

a. Glomerulonefritis

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik

Page 12: Chronic kidney disease

lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar,2006).

b. Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar,1998).

d. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono,1998).

Faktor risiko

Page 13: Chronic kidney disease

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

Patofisiologi

 Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron – nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguritimbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsiginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatininclearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. (Barbara C Long, 1996, 368). 

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448)

Gambaran klinik

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).

a. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.

b. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

Page 14: Chronic kidney disease

c. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.

e. Kelainan selaput serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.

f. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).

g. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

Page 15: Chronic kidney disease

Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:

a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)

d. Menentukan strategi terapi rasional

e. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar,2006).

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

b. Pemeriksaan laboratorium

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.

1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)

Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).

2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)

Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.

3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit

Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).

Page 16: Chronic kidney disease

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:

1) Diagnosis etiologi GGK

Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).

2) Diagnosis pemburuk faal ginjal

Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).

Pencegahan

Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan (National Kidney Foundation, 2009).

Penatalaksanaan

a. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).

1) Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

2) Kebutuhan jumlah kalori

Page 17: Chronic kidney disease

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

3) Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

4) Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

b. Terapi simtomatik

1) Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

2) Anemia

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

3) Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

4) Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

5) Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis regular yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

Page 18: Chronic kidney disease

6) Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

7) Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

c. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

1) Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).

2) Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medic CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).

Page 19: Chronic kidney disease

3) Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:

a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal

ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah

b) Kualitas hidup normal kembali

c) Masa hidup (survival rate) lebih lama

d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan

e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

PROSEDUR DIALISIS PERITONEAL

Cairan dialisa yang digunakan yaitu cairan standar yang mengandung glukosa 1,5%, komposisi elektrolit yang hampir sama dengan cairan ekstraseluler tubuh, tetapi tidak mengandung kalium. Cairan yang tersedia Perisolution dari Otsuka dengan konsentrasi glukosa 1,5%, Dianeal dari Baxter dengan konsentrasi glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25%. Pada bayi yang mengalami asidosis metabolic karena akumulasi dari asam laktat endogen, cairan dialisa yang dipakai bukan cairan dialisa standar yang mengandung laktat tapi cairan dialisa yang mengandung bikarbonat sebagai pengganti laktat dan kalsium diberikan secara intravena.

.

Kateter yang digunakan :

Rigid plastic catheter/polythelene catheter dengan stilet. Jenis ini yang tersedia di Indonesia yaitu buatan Otsuka dan Amecath (Ameco Medical Industries, Egypt). Jenis kateter ini digunakan untuk dialisa peritoneal 48-72 jam.

Tenckhoff catheter dan modifikasinya. Terbuat dari silicon yang bersifat inert.Dapat dipasang untuk waktu yang lama. Untuk dialisa peritoneal akut yang diperkirakan lama dipakai jenis kateter ini.

Page 20: Chronic kidney disease

Pelaksanaan dialisis peritoneal :

Cairan dialisat dihangatkan dalam waterbath, suhu sekitar 37-38 °C> Volume cairan dialisa pada awalnya diberikan 15-20 ml/kgBB, kemudian secara bertahap dinaikkan menjadi 40-50 ml/kgBB pada bayi dan anak kecil atau menjadi 30-40 ml/kgBB pada anak yang lebih besar.

Heparin 500-1000 unit/L ditambahkan ke dalam cairan dialisa dalam 3 siklus pertama

dan diteruskan selama cairan dialisa berwarna merah

Cairan dialisa dimasukkan ke dalam rongga peritoneum (inflow) dalam 5-10 menit, lalu dibiarkan selama 30 menit (dwelling), kemudian dikeluarkan dalam 10-20 menit (outflow). KCl ditambahkan 3-4 mEq/L pada cairan dialisa bila kadar K plasma <4 mEq/L.

Konsentrasi glukosa dalam cairan dialisa (1,5%, 2,5%, 4,25%) dipilih bergantung pada balans cairan. Pada keadaan kelebihan cairan tubuh, digunakan cairan dilaisa dengan konsentrasi glukosa lebih tinggi dari standar (1,5%), dengan maksud untuk menarik kelebihan cairan tersebut.

Lamanya dialisa peritoneal 36-48 jam, jika gagal ginjal masih berlanjut dialisa peritoneal diteruskan 48 jam lagi dengan risiko terjadinya peritonitis menjadi lebih besar.

KOMPLIKASI DIALISIS PERITONEAL AKUT

Komplikasi dialisis peritoneal akut yang paling sering adalah peritonitis, kejadian peritonitis berbanding langsung dengan lamanya dialisis. Diagnosa peritonitis seringkali sulit karena gejala-gejala peradanga peritoneum ditutupi oleh iritasi peritoneum. Kriteria diagnostic peritonitis yaitu bila ditemukan 2 dari 3 keadaan berikut ini.

1. Gejala dan tanda peritonitis seperti sakit didaerah abdomen, nyeri pada penekanan dinding abdomen, dan lain-lain

2. Cairan dialisat yang keruh, menunjukkan lekosit >100/mm3 terutama PMN

3. Ditemukan organisme pada cairan dialisat dengan pewarnaan gram atau kultur.

Pemberian antibiotik intra peritoneal untuk pencegahan, ada yang setuju memberikan antibiotic intraperitoneal terus menerus pada cairan dialisat dan yang tidak setuju. Melakukan prosedur yang baik dengan membatasi lamanya dialisa sampai 36 jam merupakan factor yang paling penting dalam usaha untuk mencegah peritonitis. Bila diduga terjadi peritonitis, dilakukan

Page 21: Chronic kidney disease

lavage peritoneum dan pemberian antibiotic. Pembilasan heparin 500 U/L untuk mengurangi pembentukan bekuan fibrin dan perlekatan. Dialisis dilanjutkan dengan mempercepat siklus menjadi 30-40 menit. Perdarahan intraperitoneal pada waktu pemasangan kateter biasanya ringan. Komplikasi lain berupa perforasi alat visceral abdomen, keadaan ini diduga bula tidak ada outflow dialisat atau cairan dialisat yang keluar berbau feses. Keadaan ini dapat dicegah dengan pengosongan kandung kemih dan rectum sebelum pemasangan kateter atau dengan melakukan priming. Nyeri perut terjadi sekitar 75% penderita, dapat terjadi pada saat masuk atau keluar. Nyeri perut pada saat cairan dialisat masuk mungkin disebabkan karena terlalu dinginnya atau terlalu panasnya atau inflow yang terlalu cepat.Sedangkan nyeri perut pada saat cairan keluar, salah satu penyebabnya adalah tertutupnya lumen kateter oleh bekuan darah/fibrin atau letak kateter yang salah.

Komplikasi pada system kardiovaskuler berupa hipovolemia akibat penarikan air dan natrium karena pemakaian cairan dialisat yang hipertonik. Payah jantung, edema paru sering terjadi karena balans positif pada penderita dengan kelebihan cairan. Disequilibrium syndrome jarang terjadi, sindroma ini terjadi karena penurunan ureum darah yang terlalu cepat. Hiperglikemia, hipernatremia terjadi karena pemakaian cairan dialisa yang hipertonik.

Daftar Pustaka

1. Mubin, Halim. 2007. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi Edisi 2

2. EGC.Jakarta.Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 4

3. Balai Penerbitan Dep. IPP. FKUI. JakartaSukandar, Enday. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis Pusat Informasi IlmiahBagian Ilmu Penyakit Dalam FK.UNPAD. Bandung.

4. Drukker W. Peritoneal dialysis: a historical review. Dalam: Maher JF, penyunting. Replacement of renal function by dialysis. Edisi ke-3. Boston. Kluwer Academic Publisher;1989. h. 475.

5. Fine RN. Peritoneal dialysis update. The J of Ped.1982;100:1-7. Paul TT, Ramprasad KS. Acute peritoneal dialysis using stylet catheter. Practical procedure.1994;5:184-9.

6. Segar WE, Gibson RK, Rhamy R. Peritoneal dialysis in infants and small children. Pediatrics.1961;603-12.