51
TEKNIK BUDIDAYA Chlorella sp DAN BEBERAPA PEMANFAATANNYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI Disusun Oleh: Willyarta Yudisti NRP. 4408418277 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI AKUAKULTUR SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA 2010 PAPER

Chlorella vulgaris

  • Upload
    wyudisti

  • View
    2.632

  • Download
    15

Embed Size (px)

DESCRIPTION

all about chlorella sp

Citation preview

Page 1: Chlorella vulgaris

TEKNIK BUDIDAYA Chlorella sp DAN

BEBERAPA PEMANFAATANNYA

DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Disusun Oleh:

Willyarta Yudisti

NRP. 4408418277

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI AKUAKULTUR

SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA

2010

PAPER

Page 2: Chlorella vulgaris

i

Kata Pengantar

Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt. karena tas

berkat rahmat-Nya lah penulisan paper ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Paper ini betujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk mengikuti ujian

akhir semester genap. Sekaligus untuk menambah wawasan mengenai spesies mikroalga

Chlorella sp baik mengenai teknik kultur, pemanenan, dan pemanfaatannya dalam kehidupan

sehari-hari.

Banyak sekali hambatan dan rintangan dalam penyelesaian paper ini. Namun karena

dukungan dari berbagai pihak, akhirnya paper ini dapat terselesaikan tepat pada waktu yang

telah ditentukan. Oleh Karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Aef Permadi, S.Pi, M.Si selaku Ketua Sekolah Tinggi Perikanan;

2. Bapak Sinung Rahardjo, S.Pi, M.Si selaku Ketua jurusan Teknologi Pengelolaan

Sumberdaya Perairan;

3. Dra. Ratna Suharti selaku Ketua program studi Teknologi Akuakultur;

4. Bapak Sinar Pagi Sektiana, S.St.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing dalam

penyusunan paper ini;

dan kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan paper ini yang tidak

mungkin disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari masih banyak materi-materi yang belum penulis sertakan dalam

penulisan paper ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

guna perbaikan dalam penulisan karya ilmiah selanjutnya di masa yang akan datang. Akhir

kata penulis berharap agar paper ini dapat berguna bagi para pembaca khususnya dan juga

berguna bagi nusa dan bangsa umumnya.

Jakarta, Juni 2010

Penulis

Page 3: Chlorella vulgaris

ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................................... i

Daftar Isi ................................................................................................................................ ii

Bab 1 Pendahuluan ................................................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang................................................................................................................ 2

1.2. Tujuan ............................................................................................................................. 4

1.3. Batasan Masalah ............................................................................................................. 5

Bab 2 Pembahasan ................................................................................................................. 6

2.1. Budidaya Fitoplankton Secara Umum............................................................................ 6

2.1.1. Sarana Budidaya Fitoplankton ............................................................................. 7

2.1.1.1. Sarana Untuk Kultur Murni .................................................................... 7

2.1.1.2. Sarana Untuk Kultur Semi Masal ........................................................... 9

2.1.1.3. Sarana Untuk Kultur Masal .................................................................... 9

2.1.1.4. Sistem Air Laut ....................................................................................... 10

2.1.1.5. Sistem Aerasi .......................................................................................... 12

2.1.1.6. Tata Letak ............................................................................................... 13

2.1.2. Teknik Kultur Fitoplankton Secara Terkontrol .................................................... 14

2.1.3. Teknik Kultur Masal Fitoplankton ....................................................................... 19

2.2. Budidaya Chlorella sp .................................................................................................... 21

2.2.1. Kultur Murni......................................................................................................... 22

2.2.1.1. Kultur Sistem Batch................................................................................ 24

2.2.1.2. Kultur Sistem Semi Continous................................................................ 26

2.2.1.3. Kultur Sistem Continous......................................................................... 27

2.2.1.4. Konsentrasi Unsur Hara Pada Media dan Pertumbuhan Chlorella sp .... 29

2.2.2. Kultur Masal......................................................................................................... 33

2.2.3. Pemanenan............................................................................................................ 34

2.2.4. Pengeringan .......................................................................................................... 35

2.3. Pemanfaatan Chlorella sp ............................................................................................... 35

2.3.1. Sebagai Minuman Kesehatan ............................................................................... 35

2.3.2. Untuk Kegiatan Kultur Masal Rotifera ................................................................ 38

2.3.3. Sebagai Biofuel .................................................................................................... 40

2.3.4. Sebagai Bahan Kosmetik...................................................................................... 42

2.4. Kandungan Nutrisi Chlorella sp ..................................................................................... 43

Bab 3 Penutup ........................................................................................................................ 46

Page 4: Chlorella vulgaris

iii

3.1. Kesimpulan ..................................................................................................................... 46

3.2. Saran ............................................................................................................................... 46

Daftar Pustaka........................................................................................................................ 47

Page 5: Chlorella vulgaris

1

BAB I

PENDAHULUAN

Chlorella sp. merupakan mikroorganisme dengan tingkat organisasi sel nya termasuk

kedalam tumbuhan tingkat rendah tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati (semu).

Chlorella sp. merupakan salah satu jenis alga hijau yang termasuk dalam kelas

Chlorophyceae dengan suku Chlorellaceae dan jenis Chlorella sp. merupakan ganggang

halus hijau yang umumnya disebut pula mikroalga hijau bersel tunggal, bentuknya bulat atau

bulat telur, serta memiliki kloroplas seperti cawan, dengan dinding selnya yang keras, padat

dan garis tengahnya 5 mikron. Chlorella sp. merupakan kelompok alga yang paling beragam,

dengan lebih dari 7000 spesies tumbuh dalam habitat yang beragam, seperti tumbuhan.

Namun, Chlorella sp. ini memiliki zat warna hijau daun (pigmen klorofil) yang mampu

melakukan fotosintesis dengan bantuan air (H2O), CO2, dan sinar matahari yang dapat

mengubah energy kinetik menjadi energi kimiawi dalam bentuk biomassa penghasil gula atau

yang lebih dikenal dengan karbohidrat (Kabinawa,2001).

Chlorella sp. merupakan tumbuhan akuatik yang dapat menghasilkan makanannya

sendiri, irganisme ini disebut “algae”. Nama umum lainnya dari Chlorella sp. adalah Sun

Chlorella atau alga hijau, sedangkan nama ilmiah atau kedokterannya adalah Chlorella

pyrenoidosa atau Chlorella vulgaris.

Perkembangbikkan Chlorella sp. terjadi secara aseksual dan banyak terdapat di

perairan tawar maupun laut dan dapat tumbuh dalam berbagai media yang mengandung

cukup unsure hara, seperti N, P, K, dan unsure mikro lainnya. Chlorella sp. akan tumbuh baik

baik pada temperatur optimal 25OC. Unsur nutrien yang diperlukan alga dalam jumlah besar

adalan karbon, Nitrogen, fosfor, sulfur, natrium, magnesium, dan kalsiuum.

Sedangkan unsure hara yang dibutuhkan dalam jumlah relative sedikit adalh besi,

tembaga, mangan, seng, boron, molybdenum, vanadium, dan kobalt (Manahan, 1984,

Chumaidi,dkk, 2004).

Pertumbuan Chlorella sp. biasanya diukur dari kepadatan selnya pada setiap volume

kulturnya (sel/ml). Dengan menggunakan pengukuran kepadatan sel pada selang waktu yang

tetap, maka kurva pertumbuhan mikroalga dapat dibuat. Tingkatan pertumbuhan yang

terdapat pada kurva pertumbuhan ini adalah fase adaptasi, fase eksponensial, fase stasioner,

dan fase kematian.

Di Indonesia Chlorella sp. pada umumnya digunakan sebagai pakan alami biota laut

di panti-panti perbenihan ikan, udang, dan kekerangan. Di Negara maju seperti Amerika,

Page 6: Chlorella vulgaris

2

Jerman, dan lain-lain, Chlorella sp. telah dikembangkan sebagai suplemen ataupun makanan

kesehatan seperti Sun Chlorella, juga sebagai kosmetik kencatikan.

1.1. Latar Belakang

Perkembangan Bioteknologi Pada saat ini di Negara maju seperti, Jepang, Amerika,

Eropa, Australia, dan lainnya telah meluncurkan berbagai produk baik pangan maupun non

pangan. Contohnya seperti produk pangan yang paling banyak dikenal adalah makan

kesehatan merupakan suatu suplemen yang bahan dasarnya diperoleh dari mikroalga yang

banyak beredar di Indonesia diantaranaya dengan nama Hi-liena dari jenis Spirulina sp.,

Dunailiella dari Dunailella sp., Clostanin bahan dasarnya Chlorella sp., dan lain-lain.

Sedangkan non pangan yang banyak beredar di Indonesia merupakan kosmetik diantaranya

body lotion, sampo dengan merek Miho Body Lotion dan Miho Body Shampo yang bahan

dasarnya dari Chlorella sp.

Mikroalga merupakan tumbuhan bersel tunggal yang biasanya disebut ganggan halus

sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia ataupun biota perairan. Bagi kehidupan biota

perairan mikroalga merupakan produsen primer sebagai rantai makanan yang banyak

mengandung mineral dan vitamin. Begitu pula bagi kehidupan manusia baik secara langsung

maupun tidak langsung. Mikroalga umumnya mempunyai peranan penting sebagai sumber

gizi pangan khususnya asam lemak omega 3, protein, dan vitamin-vitamin.

Pengaruh mikroalga bagi kehidupan manusia secara tidak langsung diantaranya bila

kita banyak mengkonsumsi ikan maupun biota yang ada di perairan akan mencegah berbagai

macam penyakit. Hal ini dikarenakan mikroalga merupakan pakan dasar dan kehidupan biota

yang terdapat di perairan tersebut.

Pengaruh mkroalga secara langsung bagi kehidupan manusia diantaranya dengan

munculnya berbagai produk makanan kesehatan yang banyak diproduksi oleh Negara maju

yang bahan dasarnya terbuat dari mikroalga. Berbagai merek makanan sehat yang bahan

dasarnya dari mikroalga jenis Chlorella sp. diantaranya Sun Chlorella dan Clostanin. Dimana

kandungan beta karotinnya 900 kali bila dibandingkan dengan wortel dan mengandung

banyak asam lemak omega-3 dan 6 protein serta serat dan vitamin (anonym, 1996, dan

Panggabean,dkk,1999).

Dari berbagai jenis mikroalga dapat pula dijumpai berbagai macam warna yang

terkandung di dalamya diantaranya warna hijau pada Chlorella sp. sehingga dapat

dimanfaatkan sebagai tambahan pewarna bagi pangan maupun non pangan.

Page 7: Chlorella vulgaris

3

Menurut Hadiwigeno, dkk (1993), menyatakan bahwa menurut undang-undang R.I

nomor 9 tahun 1985 tentang perikanan mikroalga merupakan komoditi prikanan, sehingga

setiap bentuk industri yang berbasiskan pada pemanfaatan mikroalga dapat dikatakan sebagai

industry perikanan.

Mikroalga adalah mikroorganisme atau jasad renik dengan tingkat organisasi selnya

termasuk ke dalam tumbuan tingkaat rendah dan dikelompokkan kedalam filum Thallophita

karena tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati (semu).

Mikroalga mempunyai zat warna hijau daun (pigmen) klorofil yang mampu

melakukan fotosintesis (asimilasi) dengan bantuan air, CO2, dan sinar matahari. Hasilnya

yang berupa karbohidrat digunakan sebagai sumber energi dalam biosintesis sel,

pertumbuhan, dan pertambahan sel, bergerak atau berpindah, dan bereproduksi.

Mikroalga merupakan organism fotosintetik dengan pigmen yang berbeda-beda. Pada

kelompok Cyanobacterium memiliki pigmen klorofil-α, karotenoid, dan pigmen fikobilin

(fikosianin dan fikoeritin). Kedia pigmen tersebut dapat digunakan dalam bidang farmasi,

kedokteran, dan kosmetika.

Warna fokobilin pada mikroalga dapat pula meningkatkan kekebalan tubuh,

disamping itu, adanya zat aktif dari protein dapat menghambat proses penuaan dan memiliki

daya biasorbsi yang kuat terhadap logam berat sehingga dapat pula dijadikan pengendalian

limbah cair agroindustri maupun electroplating (Kabinawa, 2001). Pada kelompok

Chlorophyceae pigmen terbesar adalah klorofil-α sehingga warna selnya hijau. Disamping itu

juga mempunyai β-karoten, xantofil dalam bentuk lutein.

Warna pigmen xantofil yang hijau, coklat, dan kekuningan banyak digunakan bagi

para peternak ikan hias untuk memperoleh warna yang menarik. Kandungan xantofil dan

lutein dapat pula digunakan untuk meningkatkan kualitas arna kuning telur, warna karkas

menjadi sunflower, daging dan organ dalam ayam potong menjadi Oxblood red.

Dinding sel kelompok chlorophyceae mengandung selulosa, hemiselulosa, dan pectin

sehingga dalam proses produksi dan pemanfaatannya sebagai pangan menyehatkan

diperlukan pemecah dinding sel sehingga cost of production-nya mnjadi tinggi dan nilai

jualnya menjadi tinggi pula.

Mikroalga mempunyai zat aktif yaitu protein dengan kandungan asam aminonya

setara dengan telor (Kabninawa, 2001). Dalam perkembangannya diketahui bahwa

kandungan proteinnya berkisar antara 50%-74%. Protein yang dihasilkan oleh

mikroorganisme bersel tunggal dikenal dengan nama protein sel tunggal. Protein Sel Tunggal

(PST) banyak digunakan sebagai tambahan pakan ternak, unggas, dan ikan. PST cukup

Page 8: Chlorella vulgaris

4

potensial digunakan sebagai protein pengganti dari protein nabati/hewani, sehingga dapat

dimanfaatkan pula sebagai sumber protein untuk mencukupi kebutuhan protein bagi

kehidupan manusia.

Dasar-dasar pemikiran untuk pengembangan Chlorella sp. sampai ke skala komersil

adalah sebagai berikut:

a. Produksi biomassa cepat;

b. Perawatan kultur relatif mudah;

c. Bersifat fototrofi dan mixotrofi sehingga kultur dapat bersifat terang ataupun gelap

dalam 24 jam;

d. Mempunyai kandungan protein 55%-65% dengan asam amino nya setara dengan

telor;

e. Kandungan klorofilnya 2-3 kali lebih besar dibandingkan dengan tanaman tingkat

tinggi;

f. Mengandung zat aktif anti bisul (anti staphylococcus);

g. Mengandung zat aktif pemacu pertumbuhan tanaman dan hewan;

h. Mempunyai rasa khas yang menyegarkan;

i. Dapat digunakan sebagai emulsifier;

j. Mengaktifasi mikroalga untuk menghasilkan interferon sehingga meningkatkan

kekebalan tubuh;

k. Kandungan xantofil dan lutein dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas warna

kuning pada telor, warna karkas menjadi sunflower;

l. Memiliki daya biasorbsi yang kuat terhadap logam-logam berat;

m. Memiliki zat aktif Chlorella Growth Factor yang bermanfaa untuk menghambat

proses penuaan.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penyusunan paper ini adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui cara pembudidayaan fitoplankton secara umum;

b. Memahami teknik budidaya Chlorella sp.;

c. Mengetahui pemanfaatan Chlorella sp. dalam kehidupan sehari-hari;

d. Mengetahui pengujian logam berat pada Chlorella sp.;

e. Mengetahui kandungan gizi yang terdapat pada Chlorella sp..

Page 9: Chlorella vulgaris

5

1.3. Batasan Masalah

Dalam penyusunan paper ini penyusun membatasi permasalahan pada:

a. Budidaya fitoplankton secara umum;

b. Budidaya Chlorella sp.;

c. Pemanfaatan Chlorella sp.;

d. Uji logam berat pada Chlorella sp.

e. Kandungan nutrisi Chlorella sp.

Page 10: Chlorella vulgaris

6

BAB 2

PEMBAHASAN

Pesatnya usaha prikanandi Indonesia utamanya perbenihan baik ikan , udang, maupun

kekerangan menyebabkan peranan pakan alami semakin besar khususnya fitoplankton

sebagai pakan awal (initial feed) larva. Menurut Haryanti (2002), ketersediaan fitoplankton

yang sesuai, baik jumlah maupun mutu serta kesinambungan merupakan salah satu factor di

antara penentu keberhasilan pemeliharaan larva ikan, udang, kepiting, atau rajungan. Hal ini

berarti setiap usaha perbenihan, teknik kultur fitoplankton secara terkontrol harus dikuasai,

sehingga kegagalan pemeliharaan larva yang disebabkan oleh kekurangan pakan alami tidak

terjadi.

Teknik kultur fitoplankton secara umum dapat dilakukan dalam tiga tahap, yaitu skala

laboratorium, skala semi massal, dan skala massal (Anonim, 2002). Namun demikian

keberhasilan dari tahapan kultur semi massal dan skala massal tentunya tidak terlepas dari

bibit yang dipergunakan (inokulan). Sementara teknik kultur fitoplankton skala laboratorium

banyak mengoleksi plankton dari berbagai jenis/strain yang tidak terkontaminasi (murni),

sehingga dapat digunakan sebagai bibit yang baik. Pada usaha perbenihan skala industry

sudah mulai dilakukan kultur fitoplankton skala laboratorium untuk penyediaan bibit dalam

memenuhi kebutuhan pakan alami sebagai pakan awal. Selama ini Laboratorium Plankton

Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL), Gondol-Bali masih memelihara dan

melakukan kultur fitoplankton secara terkontrol untuk mendukung kultur semi massal dan

massal.

2.1. Budidaya Fitoplankton Secara Umum

Dalam suatu tahapan produksi perbenihan khususnya kultur fitoplankton hal yang

perlu diketahui dan dikuasai adalah pengetahuan tentang sarana kultur fitoplankton. Sarana

produksi akan turut menentukan besarnya biaya investasi maupun kemudahan dalam

operasional. Secara umum kegiatan kultur fitoplankton terbagi kedalam kultur skala

laboratorium, kultur semi massal, dan kultur massal. Kultur fitoplankton skala laboratorium

dimaksudkan sebagai persediaan bibit untuk kegiatan kultur massal. Sedangkan hasil kultur

skala massal dapat langsung digunakan dalam proses produksi benih ikan laut maupun tawar.

Kultur fitoplankton murni dimulai dari kegiatan isolasi kemudian dikembangkan

sedikit demi sedikit secara bertingkat. Media atau wadah kultur yang digunakan mula-mula

Page 11: Chlorella vulgaris

7

hanya beberapa ml saja, kemudian berangsur-angsur meningkat ke volume yang lebih besar

sehingga mencapai skala massal. Kultur fitoplankton sampai volume 3 Liter masih dilakukan

di dalam laboratorium. Sehingga sering disebut dengan kultur semi massal yang dapat

mencapai volume 1 m3. Kultur massal merupakan tahapan kultur selanjutnya, kultur massal

biasanya dimulai dari volume 10 m3 hingga lebih dari 50 m3, tergantung besar kecilnya skala

produksi benih.

2.1.1. Sarana Budidaya Fitoplankton

Tidak semua unit produksi benih mampu melakukan tahapan kultur fitoplankton

secara lengkap, dari kultur skala laboratorium hingga kultur skala massal seperti di atas

tergantung ketersediaan fasilitas. Pada unit produksi benih skala kecil/rumah tangga hingga

skala sedang kultur fitoplankton biasanya hanya dilakukan dari tahapan kultur semi massal

kemudian dilanjutkan ke kultur massal.

2.1.1.1. Sarana Untuk Kultur Murni

Sarana untuk kultur murni diantaranya adalah laboratorium kultur murni/stok.

Laboratorium ini merupakan bnangunan yang terdiri dari beberapa ruangan yang peralatan,

desain, dan kontruksi sesuai dengan fungsinya.

Ruangan kultur murni berfungsi untuk memelihara kemurnian stok fitoplankton.

Ruangan ini didesain tanpa jendela, berpintu satu dan menghadap tempat kultur semi massal

serta dapat mempertahankan suhu 23-26OC. Konstruksi ruangan ini dibuat dari bahan tahan

karat dan tidak mudah lapuk serta bahan yang dapat mempertahankan suhu.

Ruangan kultur skala laboratorium dilngkapi dengan peraalatan-peralatan untuk kultur

seperti kegiatan isolasi, sterilisasi, dan kegiatan kultur. Peralatan kerja ditempatkan

sedemikian rupa sehingga tertata dengan rapi dan dapat memberikan kemudahan dalam

operasional. Jenis peralatan untuk kultur murni (kultur skala laboratorium) tertera dalam tabel

berikut:

Page 12: Chlorella vulgaris

8

Tabel 1. Peralatan Untuk Kultur Murni/Stok Fitoplankton

NO JENIS PERALATAN

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

Botol 0,5 L sampai dengan 20 L

Erlenmeyer, Carbouy

Pipet

Beacker Glass

Pipa glass

Cawan petri

Tabung reaksi 20 ml, rak

Lampu TL 10-40 watt

Refraktometer

Thermometer

Mikroskop

Autoclave

Oven

Refrigerator

Timbangan Sartorius

Haemacytometer

Pemanas Bunsen

Plankton net

Jarum ose

Selang aerasi, batu timah, dan batu aerasi

Ember/gayung plastic

pH meter/DO meter

Hi blower

Page 13: Chlorella vulgaris

9

1.1.1.2. Sarana untuk Kultur Semi Massal

Ruang kultur semi massal merupakan salah satu sarana dalam pelaksanaan kultur

semi massal. Ruangan ini adalah bangunan permanen semi outdoor yang berfungsi untuk

mengembangkan stok fitoplankton dari laboratorium menjadi skala massal semi “out door”

atau lazim dikenal dengan kultur semi massal. Dalam ruangan ini dilengkapi dengan

peralatan berupa wadah seperti akuarium, fiberglass, dengan volume 80 liter sampai dengan 1

m3.

Ruang kultur semi massal didesain agar bisa mendapat sinar matahari yang cukup

sepanjang hari, sirkulasi udara cukup, dan dapat melindungi dari gangguan luar. Konstruksi

harus kuat dan menahan beban atap dengan kerangka dari bahan tahan karat dan tidak mudah

lapuk, beratap dari bahan yang tembus cahaya seperti kaca, fiberglass, atau polycarbonate.

1.1.1.3. Sarana Untuk Kultur Massal

Bak kultur massal (outdoor) berfungsi sebagai tempat kultur atau produksi massal

fitoplankton. Bak ini berukuran minimal 10 m3 tergantung dari jumlah fitoplankton yang

diperlukan per hari nya, semakin banyak kebutuhan fitoplankton, ukuran bak dapat

ditingkatkan sehingga dapat menghemat tenaga kerja dan lebih memudahkan dalam

pengelolaan.

Desain bak berbentuk segi empat maupun bundar dengan dasar bak dilengkapi lubang

pembuangan, berlantai miring kearah lubang pembuangan dan tidak ada sudut mati.

Konstruksi bak harus dapat menahan volume air, dengan permukaan halus yang bisa terbuat

dari pasangan kaca/fiberglass. Bahan yang digunakan harus tidak menghasilkan bahan

cemaran.

Dalam kutur massal fitoplankton skala massal, diperlukan intensitas penyinaran

(cahaya) yang cukup. Disarankan kedalaman bak kultur sebaiknya tidak lebih dari 1 meter

karena apabila kedalaman bak kultur lebih dari 1 meter dikhawatirkan daya tembus cahaya

tidak sempat sampai ke dasar bak. Apabila sinar matahari tidak sampai ke dasar, maka

fitoplankton yang dikultur akan mempunyai laju pertambahan sel yang lambat atau bahkan

bisa mati.

Page 14: Chlorella vulgaris

10

1.1.1.4. Sistem Air Laut

Tersedianya air laut bersih dan jernih mutlak diperlukan dalam kultur fitoplankton.

Untuk mendapatkan air bersih dan jernih sesuai dengan persyaratan, sarana yang dibutuhkan

akan sangat tergantung dari kondisi perairan yang ada, apabila perairan laut sangat jernih

filter air yang digunakan cukup sederhana, tetapi sebaliknya bila perairan tersebut agak

kering atau memiliki kelayakkan yang rendah, instalasi filter air laut yang digunakan akan

semakin kompleks. Dengan semakin tingginya tingkat kekeruhan atau rendahnya kualitas

sumber air, biaya investasi maupun operasional akan semakin tinggi pula.

Untuk meningkatkan kualitas air laut banyak cara dilakukan yaitu dengan cara

mekanik, biologi, dan kimia. Peningkatan kualitas air laut yang umum dan mudah dilakukan

adalah dengan cara mekanik yaitu dengan mengendapkan atau dengan saringan pasir.

Pada kultur fitoplankton skala laboratorium air laut yang digunakan disterilkan

dengan cara perebusan atau dengan UV dan ozonisasi. Selanjutnya air laut disaring melalui

saringan 50 µm, 10 µm, 5µm, 2 µm. Sedangkan pada kultur fitoplankton skala massal dan

semi massal, air laut disterilkan dengan cara kimia, yaitu dengan menggunakan bahan

Chlorin (kaporit). Air laut yang akan digunakan sebelumnya disaring, lalu disterilkan dengan

kaporit 15-20 ppm selama 1-2 hari atau sampai netral. Untuk mengetahui atau mengecek

chlorine digunakan chlorine test.

Secara keseluruhan, untuk mebdapatkan air baku yang dimaksud maka harus melalui

serangkaian instalasi air laut yang terdiri atas filter, pompa, bak penampungan air/tandon dan

pipa pengadaan serta distribusi air laut.

Adapun komponen yang digunakan pada sistem air laut ini adalah filter hisap, filter

buang, pipa distribusi, dan bak penampungan.

a. Filter hisap

Sesuai dengan nama dan fungsinya, filter ini ditempatkan pada bagian hisap pompa.

Posisi penempatan filter bisa secara horizontal atau vertical disesuaikan dengan kontur dasar

perairan, pengaruh selisih pasang tinggi dan pasang surut terendah, kedalaman perairan, jenis

dasar perairan, dan sistem pompa yang dipergunakan. Fungsi filter adalah untuk mencegah

terhisapnya bagian kasar dari dasar perairan seperti batuan, jasad akuatik, dan bahan lain

yang dapat mengganggu atau menghambat kerja pompa. Penempatan filter sebaiknya

menggunakan kerangka tancap (rak) di dasar perairan.

Page 15: Chlorella vulgaris

11

Penempatan filter ini adalah pada bagian outlet (pengeluaran) pompa sebelum air

yang keluar dipergunakan. Filter ini terdiri dari dua macam filter yaitu filter terbuka dan filter

tertutup. Filter buang terbuka biasanya menggunakan bak semen atau fiberglass dan pasir

sebagai bahan penyaring. Mekanisme penyaringan pada filter terbuka dengan mengalirkan air

dari bawah ke atas “up welling filter”, pengaliran ini bertujuan agar penyaringan lebih

efisien. Filter buang tertutup biasanya terbuat dari fiberglass yang telah dilengkapi dengan

pasir sebagai penyaring. Filter ini biasanya sering dijumpai di pasaran dengan ukuran

bervariasi dari 1-2 ton.

a. Pipa Distribusi Air Laut

Pipa diperlukan untuk mengalirkan air laut ke tandon (bak penampungan) atau dari

bak penampungan ke bak-bak yang membutuhkan. Dalam proses pengaliran atau diperlukan

“stop kran” untuk mengatur kebutuhan air sesuai kapasitas bak atau untuk menutup dan

membuka aliran air. Jaringan pipa distribusi terdiri dari pipa utama (primer), pipa pembagi

(sekunder), dan pipa pengguna (tersier). Perbandingan pipa primer, sekunder, dan tersier

adalah 4:2:1, atau 4:3:1 dengan tujuan agar air yang diterima bak dapat merata, khususnya

untuk distribusi yang menggunakan pompa langsung.

b. Bak Penampungan

Bak penampungan adalah bak yang digunakan untuk menampung air bersih yang

merupakan hasil penyaringan atau hasil sterilisasi dengan kaporit. Ketersediaan bak

penampungan ini mutlak dipelukan karena untuk mengurangi adanya kontaminan yang akan

masuk ke bak kultur fitoplankton. Kelebihan lain dari penggunaan bak tandon adalah:

- Air dapat didistribusikan secara gravitasi, untuk itu letak bak penampungan

harus lebih tinggi dibandingkan dengan bak kultur

- Sterilisasi air bisa dilakukan dengan penambahan bahan kimia misalnya

kaporit.

- Menghindari terbakarnya elekro motor pompa akibat pemakaian yang tidak

sesuai antara inlet dan outlet.

Page 16: Chlorella vulgaris

12

1.1.1.5. Sistem Aerasi

Sistem aerasi adalah rangkaian proses penambilan dan pemasukan udara ke dalam

media pemeliharaan. Dalam kultur fitoplankton secara massal sistem aerasi sangat penting

artinya selain sebagai sumber O2/CO2 juga berfungsi sebagai pengaduk (sirkulasi) air media

pemeliharaan, pemerataan cahaya, dan pepemerataan pupuk. Pengudaraan ke dalam bak

kultur sebaiknya dengan kekuatan aerasi sedang dan merata dengan maksud untuk lebih

meratakan dengan maksud untuk lebih memeratakan penyebaran pupuk ke seluruh bagian

bak kultur.

Pada kultur fitoplankton penambahan udara ke dalam media pemeliharaan dilakukan

dengan cara memompa udara dari luar dengan blower (pompa udara). Pompa udara yang

digunakan biasanya tergantung kedalaman air media kultur, akan tetapi yang banyak

digunakan adalah Hi Blow, Vortex Blower, dan Aerator akuarium. Untuk kultur fitoplankton

skala laboratorium biasanya menggunakan Vortex Hi Blow (mini Blower), sedangkan pada

skala massal (outdoor) digunakan “Vortex Blower” atau “Root Blower” tergantung skala

usaha yang digunakan. Vortex Blower bekerja berdasarkan gerakan berputar dan

menghasilkan hembusan udara hasil kerja kipas. Alat ini tidak dilengkapi katup udara pada

bagian hisapnya sehingga apabila mendapat hambatan tidak terjadi penempatan dan

gangguan motor. Tekanan udara yang dihasilkan relative rendah sehingga alat ini bisa

digunakan untuk bak dengan permukaan luas dan dengan kedalaman rendah (< 2 m). Root

Blower cocok digunakan untuk bak yang memiliki kedalaman tinggi seperti bak untuk

pemeliharaan induk dan pematangan gonad. Sedangkan Hi Blow lebih sesuai untuk usaha

pembenihan skala rumah tangga dimana kegiatan hanya pemeliharaan larva dan pemeliharaan

paan hidup.

Dalam sistem aerasi perlengkapan lain yang harus dipenuhi adalah pipa, stop kran,

selang, pemberat, dan batu aerasi. Pipa dan stop kran sebaiknya terbuat dari PVC atau bahan

lain yang tidak mudah berkarat. Untuk selang aerasi dipilih dari bahan plastic yang lentur,

sehingga jika terkena panas tidak cepat mengeras. Batu aerasi berfungsi menghasilkan

gelembung udara yang halus sehingga mempertinggi difusi oksigen atau karbon dioksida dari

udara ke dalam air media pemeliharaan,sehingga pompa udara yang digunakan akan

memberikan hasil yang optimum. Penempatan pipa dan batu aerasi di dalam bak kultur

fitoplankton diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi arus balik aliran air dari bak kultur

ke dalam blower.

Listrik merupakan sumber tenaga untuk menjalankan peralatan dan sistem penunjang

lainnya. Sumber tenaga listrik dapat berasal dari PLN atau generator. Untuk memudahkan

Page 17: Chlorella vulgaris

13

dalam operasional dan perawatan, sebaiknya lokasi dipilih yang sudah ada jaringan PLN.

Pemasangan generator mutlak dilakukan terutama di daerah yang sering terjadi pemadaman

aliran listrik.

1.1.1.6. Tata Letak

Tata letak merupakan salah satu factor penting yang harus direncanakan dan

diperhatikan sebaik mungkin. Kesalahan dalam penentuan tata letak akan mengakibatkan

kesulitan dalam operasional. Beberapa hal yang perlu dipertimbangan antara lain: kemudahan

dalam operasional, memenuhi persyaratan teknis, dapat menekan biaya dan tersedianya

lahan.

Pada kultur skala laboratorium tata letak ruangan harus berdampingan dengan ruang

laboratorium dan dekat dengan ruang atau tempat kultur semi massal serta terpisah dai ruang

kultur skala laboratorium zooplankton. Selain itu wadah kultur untuk fitoplankton yang

berwarna hijau harus dipisah dari wadah kultur untuk kultur plankton coklat (diatom),

demikian juga dengan peralatan lain yang dipakai. Untuk kultur semi massal letak ruang

kultur harus dekat dengan kultur skala laboratorium tetapi tidak berdekatan dengan ruang

kultur semi massal zooplankton.

Dalam kultur massal fitoplankton, penempatan bak harus terpisah dari bak kultur

zooplankton (rotifer misalnya). Hal ini untuk menghindari kontaminasi fitoplankton oleh

zooplankton. Dengan penempatan yang benar, kegagalan kultur fitoplankton karena

kontaminasi dapat dicegah. Penempatan bak kultur fitoplankton tidak boleh terlalu jauh dari

bak pemeliharaan larva, karena plankton merupakan kebutuhan pokok yang diperlukan pada

pemeliharaan larva. Contoh tata letak ruangan kultur fitoplankton bisa dilihat pada gambar 4.

Gambar 1. Tata Letak Bak dan Ruangan Kultur Fitoplankton

Page 18: Chlorella vulgaris

14

Keterangan:

1. R laboratorium 4. R. Kultur Zooplankton

2. R Kultur Fitoplankton Hijau 5. R. Cuci dan Penyimapanan

3. R. Kultur Fitoplankton Coklat (Diatom) 6. R Rak Kultur

2.1.2. Teknik Kultur Fitoplankton Secara Terkontrol

Laboratorium Plankton BBRPBL Gondol mempunyai koleksi 23 spesies fitoplankton

meliputi beberapa spesies Diatom maupun non Diatom, yang dikultur secara terkontrol dan

terus menerus sehingga menghasilkan fitoplankton yang berkualitas bagus yang dapat

memenuhi permintaan bibit fitoplankton oleh usaha-usaha perbenihan yang ada di Indonesia.

Beberapa plankton yang digunakan pada panti pembenihan terlihat pada gambar 5.

Gambar 2. Beberapa Jenis Fitoplankton yang Umum Digunakan Dalam

Perbenihan Udang, Ikan, dan Mutiara

Nannochloropsis oculata dan Tetraselmis tetrarhele yang berwarna kehijauan sering

digunakan dalam perbenihan ikan sedangkan Skeletonema costatum dan Chaetoceros simplex

yang mempunyai warna kecoklatan banyak dipergunakan sebagai pakan alami pada

pembenihan udang, sementara Pavlova lutheri dan Isochrysis galbana sebagai pakan alami

pada perbenihan mutiara.

Page 19: Chlorella vulgaris

15

Gambar 3. Proses kultur alga

Gambar di atas menunjukkan macam-macam input yang dibutuhkan. Apakah

perlakuan air kedua itu penting atau tidak, tergantung pada kondidi air hasil saringan yang

pertama.

Secara umum langkah-langkah yang dikerjakan dalam kultur fitoplankton secara

terkontrol adalah debagai berikut:

a. Persiapan Alat

Alat-alat gelas (Pyrex) yang dipergunakan untuk kultur murni fitoplankton (tabel 2)

dicuci dengan menggunakan detergen, HCl konsentrasi rendah (10 ppm), dan dibilas dengan

air bersih atau akuades. Setelah kering tutup mulut botol Erlenmeyer dengan aluminium foil,

demikian juga dengan alat-alat lain dibungkus dengan aluminium foil dan disterilisasi kering

pada suhu 140OC-160OC selama 30-40 menit.

b. Persiapan Air

Air laut yang dipergunakan sebagai media kultur fitoplankton disaring dengan

menggunakan saringan cartridge (0,45-1,0µm) dan disterilisasikan dengan menggunakan

lampu Ulrta violet. Kemudian dimasukkan ke dalam labu glass berukuran 3.000-5.000 ml dan

diukur salinitasnya.pada umumnya salinitas air laut BBRPBL Gondol berkisar antara 34 ppt-

36 ppt. salinitas tersebut kemudian diturunkan hingga 29 ppt-30 ppt dengan menambahkan

akuades. Air tersebut kemudian disterilkan lagi dengan autoclave pada suhu 115OC selama 30

menit. Setelah dingin disaring dengan kertas saring ukuran 0,45-0,2 mikron dan dimasukkan

ke dalam labu glass steril dengan volume yang disesuaikan dengan keperluan kultur

fitoplankton di laboratorium (500 ml, 1.000ml, 2.000 ml).

Page 20: Chlorella vulgaris

16

Tabel 2. Peralatan yang Digunakan Untuk Kultur Murni Fitoplankton

No. Jenis Peralatan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

12

13

Erlenmeyer 100 ml

Labu glass 500 ml, 1.000 ml, 2.000 ml, 3.000 ml, 5.000 ml

Pipet, Mikropipet

Beacker glass

Pipa glass

Refraktometer

Thermometer

Autoclave

Drying sterilizer (oven)

Selang aerasi

Blower

Timbangan Sartorius

c. Pemupukan

Air laut yang steril selanjutnya dipupuk untuk media tumbuhnya fitoplankton.

Menurut Hiroki (1991), komposisi pupuk yang paling sesuai untuk media kultur fitoplankton

jenis diatom adalah Na medium (Tabel 3) sedangkan untuk jenis fitoplankton non diatom

digunakan komposisi pupuk MQ medium (Tabel 4)

Prosedur Pembuatan Pupuk:

1. Medium NaNO3100 g NaNO3 dilarutkan dengan 1.000 ml akuades dan dimasukkan ke dalam

botol tahan panas, selanjutnya disterilkan dengan autoclave pada suhu 115 OC

selama 30 menit.

2. Medium NaHPO414 g NaHPO4.12H2O ditambah 12,6 g NaHCO3 dan 18,1 g EDTA.2Na dilarutkan

dalam 1.000 ml akuades dalam beacker glass, dan dimasukan ke dalam autoclave

pada suhu 115 OC selama 30 menit.

3. Medium Clewat-32

100 g Clewat-32 dilarutkan dalam 1.000 ml akuades kemudian sterilisasi.

Page 21: Chlorella vulgaris

17

4. Medium Na2SiO35 g Na2SiO3 dilarutkan dalam 1.000 ml akuades kemudian sterilisasi dengan

autoclave.

5. Vitamin mix

20 mg Thiamin dilarutkan dalam 100 ml akuades, selanjutnya tambahkan larutan

vitamin B-12 (pekat) dan 1 ml larutan Biotin, dicampur secara sempurna.

Kemudian ditambahkan akuades sehingga menjadi 200 ml, simpan di lemari

pendingin. Penggunaan tekanan dan suhu tinggi akan merusak vitamin sehingga

sterilisasi dengan autoclave tidak disarankan. Untuk mencegah kontaminasi,

pembuatan larutan vitamin harus menggunakan alat-alat yang sudah steril.

6. Vitamin B-12

Karena penggunaan Vitamin B-12 dosisnya sangat rendah, maka 0,2 g Vitamin B-

12 dilarutkan dahulu dengan 1.000 ml akuades, campur secara sempurna (larutan

Vit. B-12 pekat). Selanjutnya sebanyak 2 ml larutan tersebut dilarutkan dalam 200

ml akuades.

7. Larutan Biotin (Vitamin H)

1 mg biotin dilarutkan dalam 1.000 ml Akuades

8. Larutan A

202 g KNO3 dilarutkan dalam 500 ml akuades, dikocok hingga larut. Akuades

ditambahkan hingga menjadi 1.000 ml kemudian dimasukkan ke dalam autoclave

pada suhu 115 OC selama 30 menit.

9. Larutan B

50 g Na2HPO4.12H2O dilarutkan dalam 400 ml akuades, kemudian tambahkan 14

ml HCl p.a (larutan I).

Sebanyak 33,56 g CaCl2.H2O dimasukkan ke dalam 400 ml akuades dan

dilarutkan (larutan II). Larutan I dan larutan II dicampurkan ditambahkan lagi

akuades sampai menjadi 1.000 ml kemudian dimasukkan ke dalam autoclave pada

suhu 115 OC selama 30 menit.

d. Pemberian Inokulan

Setelah media kultur disiapkan langkah selanjutnya adalah pemberian bibit

fitoplankton.karena kultur skala laboratorium merupakan kultur fitoplankton yang murni atau

mono spesies, maka bibit fitoplankton yang dipakai harus diamati terlebih dahulu di bawah

mikroskop untuk memastikan bibit yang dipakai tidak terkontaminasi oleh ciliata, protozoa,

ataupun jenis fitoplankton lainnya. Pemberian bibit fitoplankton sebanyak 10-20% dari air

Page 22: Chlorella vulgaris

18

media. Setelah inokulan dimasukkan ke dalam botol kultur yang berisi media, diberi aerasi

(udara) agar fitoplankton dapat berkembang lebih cepat. Suhu ruangan kultur fitoplankton

diusahakan stabil sekitar 23-24OC. Sebagai sumber cahaya untuk berlangsungnya fotosintesis

digunakan lampu TL-40 watt dengan intensitas cahaya 3.000-4.500 lux. Penggantian air

media dilakukan setiap 4-5 hari sekali, yaitu di mana fitoplankton dalam masa pertumbuhan.

Penggunaan bibit yang sudah tua (lebih dari 7 hari) akan menurunkan kualitas fitoplankton,

karena sudah banyak sel yang mati

e. Produksi Fitoplankton

Fitoplankton yang dikultur skala laboratorium dapat digunakan sebagai inokulan pada

skala semi massal setelah 5-7 hari pemeliharaan. Fitoplankton dapat digunakan sebagai pakan

larva yang secara visual ditandai dengan warna air yang sesuai dengan pigmentasi sel

plankton yang dikultur, kepadatan sel yang tinggi , dan bentuk sel yang baik.

Tabel 3. Komposisi Pupuk Na Medium Untuk Diatom dalam Berbagai Volume

Air Laut

Bahan Kimia Volume Air laut (ml)

500 1.000 2.000

NaNO3Na2PO4Clewat-32

Vitamin Mix

Vitamin B-12

Na2SiO3

1,5

0,5

0,5

0,5

0,5

0,5

3

1

1

1

1

1

6

2

2

2

2

2

Tabel 4. Komposisi Pupuk Medium Untuk non diatom Berbagai Volume Air Laut

Bahan KimiaVolume Air Laut (ml)

500 1.000 2.000

Larutan A

Larutan B

Vitamin Mix

Clewat-32

1

0,5

0,5

1

2

1

1

3

4

2

2

6

Page 23: Chlorella vulgaris

19

Gambar 4. Tahapan Produksi Fitoplankton

Persediaan Kulur (250 ml atau kurang) kembali diisolasi dibawah sinar lampu dan

lingkungan terkontrol (suhu rendah) dan hanya digunakan sebagai inokulan saat dibutuhkan.

Kultur pertama (250 ml – 4 l) ditumbuhkan dengan cepat selama 7-14 hari pada suhu dan

intensitas cahaya yang lebih tinggi dengan diperkaya suplai CO2. Ketika telah siap, sejumlah

kecil volume diambil dan digunakan sebagai bbibit untuk kultur skala semi massal (biasanya

4-20 L) dapat digunakan sebagai makanan larva atau memulai kultur massal (biasanya > 50

L)

2.1.3. Teknik Kultur Massal Fitoplankton

Berikut ini akan dijelaskan mengenai produksi pakan alami (fitoplankton) yang

digunakan pada produksi yuana kerapu bebek.

Untuk memproduksi sekitar 20.000 yuana kerapu bebek dan 2 bak larva ukuran 3 x 3

x 1 m (9 ton) diperlukan persesiaan pakan alami berupa plankton sebanyak 2 bak ukuran 1

ton, 2 bak ukuran 5 ton, dan 2 bak ukuran 25 ton. Alat dan bahan yang digunakan antara lain:

air, filter bag, chlorine, sodium thiosulfat, selang aerasi, batu aerasi, gayung, ember, dan

pupuk teknis yang terdiri dari urea, ZA, TSP, EDTA, dan FeCl3. Cara kulturnya adalah

sebagai berikut:

1. Bak kultur volume 1 ton dicuci dan diisi dengan air laut bersih sebanyak 900 L

dan disterilkan dengan chlorine sebanyak 100 ppm, aduk sebentar dengan aerasi

Page 24: Chlorella vulgaris

20

yang kuat agar chlorine tercampur merata kemudian aerasi dimatikan. Diamkan

selama 24 jam agar chlorine bekerja efektif membunuh semua mikroorganisme

yang ada di dalam air.

2. Timbang 50 g (50 ppm) sodium thiosulfat, larutkan dengan sedikit air dan

masukkan ke dalam air yang telah diberi chlorin dan aerasi dihidupkan kembali.

Sodium thiosulfat berfungsi untuk menetralkan kembali pengaruh chlorin dalam

air.

3. Timbang pupuk sesuai dosis yang diperlukan. Untuk kultur 1.000 L biasanya

diperlukan pupuk teknis berupa urea 75 g, TSP 30 g, ZA 15 g, EDTA 5 g, dan

FeCl3 2,5 g. larutkan pupuk dengan air secukupnya kemudian masukkan ke dalam

bak kultur, aduk dengan aerasi yang kuat. Untuk melarutkan pupuk TSP

sebaiknya pupuk direndam terlebih dahulu.

4. Langkah selanjutnya adalah memasukkan inokulan yang bisa didapat dari sub

kultur atau plankton murni dari laboratorium sebanyak 100 L sehingga volume

kultur menjadi 1.000 L.

5. Untk mengetahui kepadatan selnya, fitoplankton dapat dihitung di bawah

mikroskop dengan menggunakan haemacytometer.

6. Haemacytometer merupakan suatu alat yang terbuat dari gelas yang dibagi

menjadi kotak-kotak pada dua tempat bidang pandang. Kotak tersebut berbentuk

bujur sangkar dengan sisi 1 mm dan tinggi 0,1 mm; sehingga apabila ditutup

dengan cover glass volume ruangan yang terdapat di atas bidang bergaris adalah

0,1 mm3 atau 10-4ml. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

haemacytometer dibersihkan dan dikeringkan terlebih dahulu dengan tisu,

kemudian teteskan fitoplankton dengan pipet tetes dan tutup dengan cover glass.

Selanjutnya amati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali atau 400 kali

dan dicari bidang yang berkotak-kotak. Fitoplankton yang terlihat pada kotak-

kotak bujur sangkar yang mempunyai sisi 1 mm, dihitung jumlahnya. Apabila

jumlah fitoplankton yang diperoleh adalah N, maka kepadatan selnya adalah N x

104 sel / ml.

7. Kultur missal fitoplankton (dalam hal ini dicontohkan dengan Nanochloropsis

oculata) pada bak volume 5 ton dan 25 ton, persiapkan air dan cara pemupukan

serta cara inokulasinya sama dengan kultur volume 1 ton (dengan dosis pupuk

disesuaikan). Bibit fitoplankton yang diperlukan untuk inokulan sebanyak 10%-

Page 25: Chlorella vulgaris

21

20% dari volume bak kultur. Plankton pada bak 5 ton yang sudah berumur 4-5

hari bisa dipakai bibit untuk kultur volume 25 ton.

8. Fitoplankton yang dipakai untuk pakan rotifer dan untuk dimasukkan ke dalam

bak pemeliharaan larva (sebagai green water) diambil dari kultur volume 25 ton

pada saat fitoplankton berumur 5-6 hari.

Kepadatan awal kultur fitoplankton Nannochloropsis oculata biasanya 2-3 juta sel/ml,

jika kondisi normal (sinar matahari cukup) akan berkembang dan siap digunakan setelah 4-5

hari yaitu pada saat sebelum puncak pertumbuhan (stationary) dengan kepadatan 12-15 juta

sel/ml. pola petumbuhan Nannochlloropsis oculata dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 5. Grafik pola pertumbuhan Nannochlropsis oculata (Sugama et all.,

1993)

Pada masa tersebut plankton sudah dapat dipakai sebagai bibit untuk kultur volume 5

ton atau inokulan untuk sub kultur (bibit untuk kultur 1 ton). Tetapi sebelum dipakai untuk

bibit, sebaiknya plankton diperikasa di laboratoruium dengan menggunakan mikroskop untuk

memastikan plankton tidak terkontaminasi dengan mikroorganisme lain.

Kebutuhan fitopankton perhari untuk 2 bak larva lebih kurang 500 L (kepafatan 12-15

juta sel/l)

2.2. Budidaya Chlorella sp

Chlorella sp dapat dibudidayakan di dalam laboratorium maupun dibudidayakan

secara missal di luar ruangan. Sehingga kultur Chlorella sp umumnya terbagi menjadi kultur

indoor dan kultur outdoor.

Page 26: Chlorella vulgaris

22

2.2.1. Kultur Murni

Budidaya ataupun kultur Chlorella sp skala laboratorium, dilakukan di ruangan

terkontrol dengan menggunakan wadah-wadah ukuran 5 ml, 10 ml, 50 ml, 100 ml, 1.000 ml,

s.d 100 liter pada suhu 26 OC, intensitas cahaya 2000 lux.

Pertumbuhan Chlorell sp yang dibudidayakan di dalam laboratorium (indoor) ataupun

di ruang terbuka (outdoor) media air perlu ditambahkan unsur hara untuk mencukupi

kebutuhan nutrisinya. Unsur hara yang diperlukan alga dalam jumlah besar adalah karbon,

nitrogen, fosfor, sulfur, natrium, magnesium, dan kalsium. Sedangkan unsur hara yang

dibutuhkan dalam jumlah relative sedikit adalah besi, tembaga, mangan, seng, boron,

molybdenum, vanadium, dan kobalt. Hal tersebut dapat dipenuhi dengan penambahan pupuk

anorganik pro analis untuk skala laboratorium dan pupuk teknis untuk skala massal

(outdoor).pupuk dalam arti luas adalah semua bahan yang dimasukkan atau ditambahkan ke

dalam media air yang berguna untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan

sel. Istilah pupuk umumnya berhubungan dengan pupuk buatan. Pupuk jenis ini tidak hanya

berisi unsur hara dalam bentuk unsur nitrogen, tetapi juga dapat berbentuk campuran yang

memberikan bentuk-bentuk ion dari unsur hara yang dapat diabsorpsi oleh sel. Untuk

menunjang pertumbuhan sel secara normal diperlukan minimal 16 unsur di dalamnya dan

harus ada 3 unsur mutlak, yaitu nitrogen, fosfor, dan kalium (Amini dan Syamdidi, 2005).

1. Pupuk Anorganik Teknis

Pupuk anorganik teknis merupakan pupuk buatan, yaitu pupuk yang dibuat oleh

pabrik dari bahan kimia anorganik yang berkadar tinggi seperti urea, NPK, dan TSP.

a. Urea

Pupuk urea merupakan pupuk tunggal, yaitu pupuk karena hanya mengandung

satu unsur saja, yaitu nitrogen yang merupakan hasil penguraian alami protein,

baik manusia maupun hewan yang dikeluarkan bersama urin. Sintesa urea

dalam jumlah besar dilakukan langsung dari amoniak dan karbon dioksida

2 NH3 + CO2 H2N-CO-NH2 + H2O

b. NPK

Pupuk NPK merupakan pupuk majemuk, yaitu pupuk yang mengandung lebih

dari satu unsur. Pupuk NPK memiliki arti penting ganda, karena berisi zat-zat

makanan pokok seperti nitrogen, fosfor, dan kalium dalam jumlah tertentu.

c. TSP

Page 27: Chlorella vulgaris

23

Pupuk TSP (Triple Super Posphate) merupakan pupuk anorganik yang kaya

akan kandungan fosfat.

2. Pupuk Anorganik Pro Analis tingkat kemurniannya lebih tinggi.

Conwy media (Amini, 2004) dibagi menjadi dua, yaitu:

- Larutan makro nutrient:

NaNO3, NaH2PO2.2H2O, Na-EDTA, H3BO3, FeCl3, MnCl2.4H2O

- Larutan trace elemen:

ZnCl2, CoCl2.6H2O, CuSO4.5H2O

Budidaya Chlorella dapat dilakukan dalam skala laboratorium dan skala lapangan.

Dalam budidaya Chlorella di skala laboratorium digunakan wadah berupa erlenmeyer. Hasil

budidaya pada skala laboratorium pada umumnya digunakan sebagai stock untuk budidaya

massal. Dalam kegiatan budidaya skala laboratorium wadah harus dibersihkan dan disanitasi.

Umumnya pencucian dapat menggunakan deterjen dan dibilas sampai bersih kemudian

dikeringkan. Setelah kering kemudian wadah disanitasikan dengan cara direbus pada suhu

110 OC. Air yang digunakan juga harus bersih. Air yang digunakan dapat berupa air sumur

atau air mata air atau akuades. Untuk air mata air atau air sumur sebaik air difilter terlebih

dahulu untuk menyaring partikel yang tersuspensi dalam air. Selajutnya air juga harus

disanitasi dengan cara merebus air sampai mendidih, sehingga air yang digunakan bebas dari

kontaminasi plankton lain. Selanjutnya erlenmeyer yang sudah diisi air sebanyak satu liter

ditempatkan pada rak yang dilengkapi dengan selang aerasi dan lampu neon. Hal ini

dilakukan supaya cahaya cukup untuk proses fotosintesis Chlorella, yang memerlukan

intensitas cahaya antara 2500 – 5000 lux dan agar Chlorella tidak mengendap. Dalam

budidaya di dalam laboratorium sebaiknya dilakukan pada suhu antara 21-25OC, dengan

tujuan agar pertumbuhannya tidak terlalu cepat.

Gambar 6. Budidaya Chlorella Skala Laboratorium

Page 28: Chlorella vulgaris

24

Setelah persiapan wadah selesai kemudian dilakukan pemupukan. Pemupukan ini

dilakukan agar kebutuhan unsur hara dari Chlorella terpenuhi sehingga Chlorella dapat

berkembang. Adapun pupuk yang dapat digunakan untuk skala laboratorium ini adalah pupuk

Walne.

- Larutan A

Larutkan 100 g NaNO3, 20 g NaH2PO2.2H2O, 45 g Na-EDTA, 33,6 g H3BO3,

0,78 g FeCl3, 0,36 g MnCl2.4H2O dalam 1.000 ml akuades.

- Larutan B

2,1 g ZnCl2, 2 g CoCl2.6H2O, 0,9 g CuSO4.5H2O, 10 ml HCl pekat, dalam 100

ml akuades.

- Tambahkan pada media akuades per liter dengan larutan A 1ml dan larutan B

0,001 ml

2.2.1.1. Kultur Chlorella sp sistem batch

Kultur Chlorella sp dapat menggunakan 3 metode atau sistem yaitu sistem batch

(curah), sistem semi continous, dan sistem continous.pada semua sistem tersebut terjadi

proses pencampuran substrat dan sel yang digunakan untuk bioproses secara sempurna dan

seragam sehingga keadaan reaksi biokatalisme dalam keadaan homogen. Pada kultur dengan

menggunakan sistem ini tidak dulakukan penambahan kompoinen substrat/nutrient setelah

inokulasi mikroba ke dalam medium, penambahan O2 antibuih dan asam/basa untuk mengatur

pH tetap dilakukan seperlunya, pertumbuhan logaritmik hanya berlangsung beberapa

generasi. Pertumbuhan pada fase eksponensial dinyatakan dengan rumus:

=

Dimana: x= konsentrasi biomas mikroba

t= waktu inkubasi

µ= laju pertumbuhan spesifik per jam

Secara sistematik dapat dituliskan: =

=

Keterangan: N= jumlah sel per ml

x= massa sel per ml

N= massa sel per ml

Page 29: Chlorella vulgaris

25

Dari rumus-rumus di atas, dapat diturunkan menjadi sebuah persamaan yang dapat

menggambarkan perumbuhan sel dari biota yang sedang dikultur dengan menggunakan

rumus turunan sebagai berikut:

=2,303(log − log)

− Keterangan: No= jumlah sel awal per ml

N = jumlah sel setelah waktu t per ml

to = waktu awal

t = waktu akhir

Apabila persamaan di atas digunakan, maka kita akan dapat menenetukan titik

pertumbuhan maksimum. Waktu yang diperlukan untuk tumbuh disebut dengan laju

pertumbuhan. Laju pertumbuhan ini dapat mencapai laju pertumbuhan maksimum yang

tergantung kepada:

- Spesies mikroba dan kondisi kultur

- Panjang molekul substrat (substrat dengan rantai molekul panjang perlu energy

yang lebih besar daripada untuk memecahkan rantai molekul yang lebih pendek

Sari rumus di atas menunjukkan bahwa petumbuhan mikroba (Chlorella sp) tidak

terbatas, tetapi oleh karena terbatasnya nutrient yang diperlukan dan juga mikroba tersebut

menghasilkan hasil-hasil metabolism maka dalam waktu tertentu pertumbuhan akan menurun

dan akhirnya terhenti karena nutrient essensial telah habis atau terakumulasinya toksin dalam

media.

Dalam kultur sistem batch digunakan wadah yang dikenal dengan sebutan

Discontinous Stirred Tank Reaktor (DSTR). Substrat (S) dan biokatalis (sel makhluk hidup

yang digunakan intuk bioproses) dimasukkan ke dalam bioreactor yang terakreditasi baik di

awal pengerjaan bioproses. Perubahan konsentrasi S terhadap waktu diberikan oloeh neraca

massa dalam bioreactor, digambarkan dengana rumus:

− = (/)Keterangan:

V= volume bioreactor (konstan)

r= laju perubahan S (mol atau gram per satuan waktu. Perubahan S terhadap waktu

tergantung pada hokum tentang laju (rs)

Sedangkan laju –rs (penguragan substrat) mengikuti model Michelis-Menten dengan

persamaan-persamaan sebagai berikut:

- Neraca massa:

Page 30: Chlorella vulgaris

26

( . / + ) = (/)V maks: aktivitas biokatalisme maksimal per satuan volume bioreactor

- Variasi substrat terhadap waktu:

. = 0/ + (0 − )S0: konsentrasi awal substrat,

Adapun kelebihan kultur sistem batch adalah paling murah dan mudah untuk

dilakukan secara teknis karena tinggal memasukkan inokulum, media dan sebagainya

kedalam suatu wadah dan kemudian dikultur di tempat itu juga. Sedangkan kekurangan dari

kultur sistem batch ini adalah bersifat ekstensif, membutuhkan ruang luas, kualitas air tidak

terjaga, dan perlu inokulasi.

Gambar 7. Prinsip Kerja Discontinous Stirred Tank Reaktor

Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa air dan nutrisi dimasukkan ke dalam

tanki kemnudian dihomogenkan, setelah waktunya, Chlorella sp dipanen, kemufdian wadah

dipersiapkan lagi untuk melakukan kultur kembali.

2.2.1.2. Kultur Chlorella sp sistem semi continous (sistem feed batch)

Kultur Chlorella sp merupakan sistem kultur batch dengan penambahan substrat pada

selang waktu dan volume tertentu. Dengan cara memanen Chlorella sp sebagian dan sisanya

dibiarkan sebagai bibit untuk kultur berikutnyan dengan penambahan nutrisi essensial

kembali sesuai dengan dosis yang diperlukan. Peningkatan volume kultur sesuai dengan

pertambahan waktu yang dapat digambarkan dengan persamaan berikut:

+ ( − )Keterangan: X1 = konsentrasi biomassa akhir

X0 = konsentrasi biomassa awal

Y = koefisien factor hasil

SR = konsentrasi awal substrat

S = konsentrasi sisa substrat

Page 31: Chlorella vulgaris

27

Keuntungan dari sistem ini adalah produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan

sistem batch namun kekurangannya adalah mudah terkontaminasi karena seringnya campur

tangan alat atau penanganan pada media kultur.

2.2.1.3. Kultur Chlorella sp sistem continous

Pengertian dari Kultur sistem continous adalah penambahan nutrient steril ke dalam

fermentor (wadah kultur) secara berkesinambungan, di mana dalam waktu yang sama larutan

yang berisi sel dan produk hasil metabolism dikeluarkan dari wadah kultur dengan volume

yang sama dengan substrat yang diberikan. Kondisi tersebut bisa menghasilkan keadaan yang

“STEADY STATE”= pembentuikkan sel-sel baru sama dengan sel-sel yang dikeluarkan dari

wadah kultur. Pada kondisi ini, konsentrasi nutrient, konsentrasi sel, laju pertumbuhan, dan

konsentrasi produk tidak berubah walaupun waktu kultur semakin lama. Laju pertumbuhan

spesifik dipengaruhi oleh perbandingan antara laju aliran medium dan volume kultur yang

dikenal dengan “LAJU DILUSI” (D)

=

Dengan: F = laju aliran

V= volume

D= laju dilusi

Untuk mempertahankan keadaan steady state, terdapat 2 tipe control yaitu khemostat

(laju pertumbuhan kultur (sel) diatur dengan bahan kimia dengan cara mengatur konsentrasi

salah satu substrat terbatas dalam medium) dan turbidostat (pertumbuhan atau konsentrasi sel

dipertahankan konstan dengan memonitor kekeruhan (turbidity).

a. Sistem khemostat

Khemostat (berasal dari lingkugan kimia yang statis) adalah sebiah bioreactor yang

mana medium baru ditambahkan terus menerus sementara larutan kultur dikeluarkan juga

terus menerus untuk menjaga volume kultur tetap konstan. Dengan merubah tingkat

penambahan medium ke dalam bioreactor, tingkat pertumbuhan dari Chlorella sp dapat

dengan mudah dikendalikan.

Page 32: Chlorella vulgaris

28

Gambar 8. Skema pengontrolan Kepadatan Sistem Khemostat

b. Sistem Turbidostat

Turbidostat adalah alat kultur berkesinambungan, mirip dengan khemostat yang

saling berhubungan dengan kekeruhan media kultur, dan laju dilusi. Secara teori hubungan

antara pertumbuhan dalam media kultur dengan laju dilusi adalah sesuatu yang sangat

kompleks, karena bagiannya mirip. Secara teknis khemostat memiliki volume dan laju aliran

tetap sehingga menghasilkan laju dilusi yang tetap. Ketika ukuran sel seragam dan sama,

operasi khemostat dan turbidustat seharusnya identik. Hanya saja ketika asumsi khemostat

tidak benar (contohnya, tidak sama, atau sel-sel nya bermutasi) turbidostat fungsinya berbeda.

Dalam suatu kasus mungkin sel-sel tumbuh pada laju pertumbuhan maksimum, yang mana

dalam kasis seperti ini sulit untuk mengatur laju dilusi yang sesuai. Sementara ini kebanyakan

peralatan turbidostat menggunakan spectrophometer/turbidimeter untuk mengukur kepadatan

optic dengan tujuan untuk control, ada juga pilihan lain, seperti kondutifitas listrik.

Gambar 9. Skema Sistem Kultur Continous (turbidostat)

Keterangan: 1. Reservoir (200 L)

2. Pompa peristaltic

3. Resistor (50-5000 ohm)

Page 33: Chlorella vulgaris

29

4. Resistor bebas cahaya (ORP 12)

5. Saringan cartridge

6. Media kultur (80 L)

7. Enam buah, lampu flour 80 watt

8. Tanki penampungan untuk menampung hasil panen (125 L)

2.2.1.4. Konsentrasi unsur hara pada media dan pertumbuhan Chlorella vulgaris

dengan pupuk anorganik teknik dan analis.

Pupuk anorganik merupakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman baik

tingkat itnggi maupun tingkat rendah. Istilah pupuk umumnya berhubungan dengan pupuk

buatan yang tidak hanya berisi unsur hara tanaman dalam bentuk unsur nitrogen, tetapi juga

dapat berbentuk campuran yang memberikan bentuk-bentuk ion dari unsur hara yang dapat

diabsorbsi oleh tanaman. Untuk menunjang pertumbuhan tanaman secara normal diperlukan

minimal 16 unsur di dalamnya dan harus ada 3 unsur mutlak yaitu N, P, K (Adhikhari, 2004,

Higgins, 2004).

Berdasarkan asalnya pupuk dapat dibedakan menjadai pupuk organic (pupuk alami)

yang dikenal dengan pupuk kandang, pupuk hijau, dan pupuk gambut. Sedangkan pupuk

anorganik (pupuk buatan) merupakan semua jenis pupuk yang berasal dari bahan kimia

anorganik yang dibuat oleh pabrik. Pupuk anorganik dibagi menjadi dua berdasarkan

kemurniannya, yaitu pupuk anorganik teknis merupakan pupuk buatan, yaitu pupuk yang

dibuat oleh pabrik dari bahan kimia anorganik seperti urea, TSP, NPK dan pupuk anorganik

pro analis.

Urea merupakan pupuk tunggal, yaitu pupuk yang hanya mengandung satu unsur saja,

yaitu nitrogen. NPK merupakan pupuk majemuk, yaitu yang mengandung lebih dari satu

unsur. NPK memiliki arti penting ganda karena berisi zat-zat pokok seperti nitrogen, fosfor,

dan kalium dalam jumlah tertentu seperti TSP yang merupakan pupuk anorganik yang kaya

akan kandungan posfat nya.

Pupuk anorganik pro-analis merupakan pupuk kimia buatan yang mempunyai tingkat

kemurnian hampir 100%. Chlorella sp ndapat tumbuh dalam berbagai media yang

mengandung cukup unsur hara, seperti N, P, K, dan unsur mikro lainnya. Chlorella sp akan

tumbuh optimal pada suhu 25 OC. Unsur yang diperlukan mikroalga dalam jumlah besar yaitu

C, N, P, S, Mg, dan Ca. sedangkan unsur hara yang dibutuhkan dalan jumlah yang relative

sedikit adalah Fe, Cu, Mn, Zn, Si, B, Mo, V, dan Co (Boyd, 1979; Manahan, 1984; dan

Chumaidi, 2004).

Page 34: Chlorella vulgaris

30

C. vulgaris merupakan salah satu jenis mikroalga hijau yang berbentuk bulat atau

bulat telur, serta memiliki kloroplas seperti cawan, dengan dinding yang keras dan garis

tengahnya 5 mikron. Chlorella sp merupakan kelompok alga yang paling beragam. Chlorella

sp menggunakan energy cahaya sebagai bahan bakar penghasil gula. Chlorella sp merupakan

tumbuhan akuatik yang berkembang biak secara seksual maupunn aseksual (Kabinawa,

2001).

Pada sub bab pembahasan ini akan dijelaskan mengenai penelitian pada konsentrasi

unsur hara pada media dan pertumbuhan Chlorella vulgaris dengan pupuk anorganik teknis

dan analis. Penelitian kualitas media budidaya C. vulgaris meliputi kandungan NO3, NO2,

PO4, NH3, H2S, Fe, Pb, Cu, dan Cd perlu dilakukan karena dengan penambahan pupuk

anorganik yang mengandung NO3, PO4, Cu, dan Fe dapat membahayakan kehidupan hewan

dan manusia apabila melebihi ambang batas. Pada umumnya C. vulgaris digunakan sebagai

pakan larva-larva biota laut seperti ikan, kekerangan, dan udang yang langsung diberikan

bersama media cair. Begitu pula untuk bahan baku pakan dan pangan biomassa Chlorella

spharus bebas dari unsur kimia anorganik yang membahayakan. Penelitian ini hanya

mengevaluasi kualitas media budidaya Chlorella untuk pakan larva ikan dan kekerangan.

a. Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan di laboratorium dengan 2 perlakuan yaitu pupuk anorganik

teknis dan pro-analis.

- Pupuk anorganic teknis urea, NPK, dan TSP produksi PT Kujang

- Pupuk anorganik pro-analis (Amini, 1999)meliputi:

Larutan A: 100 g NaNO3, 20 g NaH2PO2.2H2O, 45 g Na-EDTA, 33,6 g H3BO3,

0,78 g FeCl3, 0,36 g MnCl3.4H2O dilarutkan dalam 1.000 ml akuades.

Larutan B: 2,1 g ZnCl2, 2 g CoCl2.6H2O, 0,9 g CuSO4.5H2O dilarutkan dalam

100 ml akuades ditambahkan 10 ml HCl pekat.

Penggunaan larutan A sebanyak 1 ml dan larutan B sebanyak 0,001 ml

kemudian dilarutkan ke dalam 1000 ml medi kultur.

Kultur dilakukan dalam wadah 3 liter diisi air laut dengan salinitas 30 ppt.

kepadatan awal Chlorella sp adalah 104 sel/ml dikultur pada ruang terkontrol

dengan suhu 26 OC, intensitas cahaya 2000 lux.

Analisa kandungan senyawa anorganik media kultivasi dilakukan setiap dua hari.

Sampel Chlorella sp sebanyaak 200 ml diambil dari masing-masing wadahk 200

ml diambil dari masing-masing wadah kemudian disaring dengan menggunakan

membrane selulosa filter paper (Parsons et al., 1989) hingga diperoleh filtratnya

Page 35: Chlorella vulgaris

31

lalu dianalisis kandungan anorganik (NH3, H2S, NO3-, NO2-, PO43-) dengan

metode kloro) dengan metode kolorimetri. Sedangkan untuk analisa logam

digunakan dengan metode Hutagalung et al,. (1997). 10 ml sampel media yang

telah disaring, kemudian ditambahkan asam campuran HCl dan dibiarkan

semalam, lalu sampel dipanaskan pada penangas air, setelah dingin diencerkan

hingga volume 100 ml. selanjutnya sampel dianalisa dengan spektrofotometer

serapan atom. Perhitungan populasi sel C. vulgaris menggunakan

Haemacytometer. Sedangkan kepadatan sel dihitung menggunakan persamaan

berikut (Parsons et al., 1989): ×

10.0001 =

Keterangan:

n= total sel hasil perhitungan

x= faktor divisi berdasarkan persentase dari masing-masing kisi perhitungan.

Persentase dalam alat haemocytometer yang terdiri dari 400 kotak yang digunakan

pada penelitian ini yaitu 25% dengan faktor divisi 1.

b. Hasil dan pembahasan

Pupulasi C. vulgaris pada media dengan pupuk pro-analis (PA) menunjukkan

bahwa pada umur kultivasi 9 hari mencapai kepadatan sel tertinggi yaitu 2,62 x

107 sel/ml. sedangkan pada media pupuk teknis kepadatan sel nya 1,08 x 107

sel/ml.

Gambar _. Menunjukkan pertumbuhan populasi C vulgaris dengan menggunakan

pupuk anorganik PA memilki umur lama pada fase logaritmenya lebih dari 15 hari

(tidak ditampilkan dalam grafik) dibandingkan dengan pupuk anorgaik teknis.

Page 36: Chlorella vulgaris

32

Gambar 10. Pertumbuhan sel C. vulgaris dengan perlakuan pupuk anorganik

Perbedaan kepadatan populasi sel C. vulgaris disebabkan oleh perbedaan

kemampuan dari mikroalga tersebut dalam mengkonsumsi media tumbuh (pupuk

anorganik) yang dimasukkan ke dalam wadah kultur. Pada saat mikroalga dapat

mengkonsumsi nutrisi dalam media tumbuh scara optimal maka mikroalga

tersebut memasuki dase eksponensial dengan menghasilkan warna kultur yang

lebih hijau seiring dengan meningkatnya kepadatan sel kultur (Pranayogi, 2003).

Walaupun analisis regresi populasi sel C. vulgaris pada perlakuan pupuk PA dan

teknis tidak menunjukkan berbeda nyata dengan koefisien korelasi (R2) untuk

pupuk PA 0,8745 dan pupuk teknis 0,8643.

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah populasi sel yang dihasilkan antara lain

adalah suhu, aerasi, cahaya, dan pH. Temperature yang digunakan pada penelitian

ini adalah 26 OC, karena pada suhu inilah C. vilgaris dapat tumbuh dengan baik.

Aerasi dalam penelitian ini digunakan dengan tujuan agar sel C. vulgaris dapat

memperoleh nutrisi dalam media kulltivasi secara merata karena adanya sirkulasi

air dalam wadah kultur. Dalam pertumbuhannya mikroalga membutuhkan cahaya.

Nilai pH pada medium pupuk anorganik teknis di bawah optimum yaitu 6,5-7,5,

sehingga umur kultivasi lebih pendek dari pada pupuk anorganik PA dengan pH

antara 8,5-9,2. Pertumbuhan optimum Chlorella pada pH antara 8-11.

Kandungan unsur hara anorganik pada media tumbuh Chlorella yang diamati

dalam penelitian ini adalah nitrat, posfat, nitrit, amoniak, sulfide, besi, timbal,

tembaga, dan cadmium (gambar _). Nitrat merupakan sumber nutrisi bagi

mikroalga dalam bentuk nitrogen. Konsentrasi Nitrat yang teramati selama

penelitian pada media kultivasi beerkisar antara 0,97-8,34 ppm untuk C. vulgaris

yang diberikan pupuk anorganik PA, sedangkan yang menggunakan pupuk

Page 37: Chlorella vulgaris

33

anorganik teknis menghasilkan konsentrasi antara 0,04-2,08 ppm kisaran ini

masih berada dalam batas yang dapat mendukung kehidupan biota akuatik. Untuk

mendukung pertumbuhan Chlorella dapat tumbuh dengan baik padamba

kandungan nitrat antara 0,9-3,5 ppm. Pada kadar di bawah 0,1 ppm atau di atas 45

ppm, nitrat dapat merupakan daktor pembatas kesuburan (Lapu, 1994).

Gambar 11. kandungan senyawa anorganik pada media kultur C. vularis

dengan pupuk anorganik teknis (a) dan PA (b)

2.2.2. Kultur Massal

Kultur di laboratorium dilakukan untuk persiapan stok atau biakan murni yang

nantinya bias dikembangkan atau dibudidayakan di dalam bak-bak ukuran lebih besar dari 1

ton dan ditempatkan di luar ruangan yang umumnya disebut dengan kultur outdoor.

Untuk kelanjutannya Chlorella sp dibudidayakan di luar ruangan umumnya disebut

kultur outdoor dengan menggunakan cahaya matahari sebagai proses pertumbuhan selnya

dengan pemberian aerasi secara kuat untuk menghomogenkan larutan media dan selnya.

Budidaya secara besar-besaran Chlorella sp (kultur missal) dapat dilakukan di bak-

bak beton atau pun di tambak-tambak dengan media air tawar maupun air laut yang diperkaya

dengan unsure hara seperti penambahan dalam jumlah besar adalah C, N, P, S, Na, Mg, dan

Page 38: Chlorella vulgaris

34

Ca. Adapun pemberian pupuk untuk kultur massal adalah: pupuk teknis (Amini, 2005;

Kadek, 1999; Sapto, dkk, 2003) dengan dosis : urea 150 ppm, TSP 80 ppm, ZA 30 ppm,

FeCl3 4 ppm).

2.2.3. Pemanenan

Chlorella umumnya langsung digunakan dengan media budidayanya setelah populasi

Chlorella mencapai puncaknya. Hasil panen tersebut dapat langsung digunakan sebagai

makanan rotifera atau ditambahkan ke dalam media budidaya larva ikan. Chlorella beserta

media budidayanya dapat dipindahkan ke bak pemeliharaan larva atau rotifera dengan cara

mengalirkan media melalui selang dengan cara perbedaan tinggi. Cara ini adalah yang paling

sederhana. Untuk mengurangi kotoran yang dapat terbawa bersama fitoplankton maka pada

ujung selang dapat digunakan plankton net dengan lubang mata jaring 50–70 mm.

Pemanenan dapat dilakukan sekaligus untuk seluruh volume atau hanya 50% volume. Lima

puluh persen volume yang tertinggal berguna sebagai inokulan Chlorella Bak diisi air

kembali dan dipupuk dengan dosis dan macam pupuk yang sama pada awal budidaya.

Chlorella dapat dipanen kembali setelah 5-7 hari. Pada budidaya Chlorella yang

berkesinambungan ini biasanya hanya dapat berlangsung 3 kali panen. Setelah 3 kali panen,

biasanya budidaya Chlorella sudah terkontaminasi dengan phytoplankton atau

mikroorganisme lain, sehingga harus dimulai lagi dari awal. Cara lain pemanenan adalah

dengan menggunakan pompa air. Media beserta Chlorella dapat dipindahkan ke bak lain

dengan menggunakan pompa air.

Gambar 12. Pemanenan Chlorella Saat Mencapai Puncak Populasi

Pemanenan umumnya dilakukan pada umur mikroalga 5-7 hari pemeliharaan pada

fase eksponensial (fasse pertumbuhan). Bila kultur lebih dari 15 hari mikroalga mengalami

Page 39: Chlorella vulgaris

35

fase stationary atau fase menuju kematian dengan diketahui bahwa kepadatan sel di dalam

kultur sudah mempunyai nilai yang sama / tetap kemudian menurun menuju fasse kematian.

Biomassa yang akan dipanen dipindahkan dahulu ke dalam bak 1 ton kemudian diberi

NaOHsampai pH mencapai 9-10 kemudian diaerasi selama 1 jam dan dibiarkan selama 24

jam. Sesudah itu akan terjadi pengendapan biomassa mikroalga yang kemudian dipindahkan

dengan cairan yang jernih, endapan biomassa dikeluarkan lalu dicuci dengan air tawar

beberapa kali kemudian biomassa lalu dikeringkan, atau disimpan di dalam kulkas. Bila akan

menggunakan produk ini harus dinetralisir lebih dahulu dengan asam sitrat sampai pH

menjadi 7 sebab selama pemanenan ini biomassa mempunyai pH 10. Dari hasil penelitian ini

mikroalga yang dipanen dengan menggunakan NaOH dapat disimpan selama 1 bulan di

dalam kulkas kemudian untuk menumbuhkan kembali biomassa dinetralkan dahulu pH nya

menjadi 7 baru dikultur kembali.

2.2.4. Pengeringan

Chlorella sp sesudah dipanen dapat dikeringkan langsung dengan matahari atau dapat

dikeringkan pada ruangan be AC. Pengeringan dengan sinar matahari langsung dan terlalu

lam dapat merubah warna dari biomassa mikroalga. Dapat pula Chlorella sp dikeringkan

dengan menggunakan alat drysprayer hasilnya cukup bagus dan tidak merubah warna.

2.3. Pemanfaatan Chlorella sp Dalam Kehidupan Sehari-Hari

Mikroalga laut juga mensintesa sam lemak omega-3 dan mensintesa asam lemak

omega-6 (Winarni, 1993). Dibandingkan dengan minyak ikan, minyak tumbuhan darat (biji

rami, kedelai, dan lobak) dan diantara tumbuhan laut ternyata mikroalga laut mengandung

asam lemak omega-3 yang cukup besar yaitu 50-60% dari total lemak (Niazi, 1987).

2.3.1. Chlorella sp Sebagai Minuman Kesehatan

Asam lemak omega-3 pada akhir-akhir ini telah mendapat perhatian luar biasa

sehubungan peranannya dalam pencegahan penyakit generative khususnya gangguan

jantung.penyakit jantung ini menempati peringkat ke 2 di dunia sebagai penyebab kematian

manusia. Beberapa studi juga telah menunjukkan peran suplementasi omega-3 pada berbagai

Page 40: Chlorella vulgaris

36

penyakit degenerative seperti arthrisis, psoriasis, colititis, ulcerative, penghambatan

pertumbuhan kanker, dan diabetes (Anonymus, 1992). Selain hal tersebut asam lemak

omega-3 telah terungkap peranannya dalam tubuh dan perkembangan otak manusia. Asam

lemak ini sangat dibutuhkan untuk struktur dan fungsi sistem saraf termasuk otak. Peran

omega-3 sejalan dengan senyawa turunannya yaitu poslaglandin yang sangat penting dalam

pengaturan berbagai fungsi fisiologis tubuh. Dengan demikian kebutuhan asam lemak

omega-3 dapat dipenuhi dari makanan yang berasal dari mikroalga.

Dari berbagai ragam nilai kandungan mikroalga meliputi pigmen, vitamin-vitamin,

asam lemak omeg-3 dan 6, serta protein sel tunggal yang begiti pentingnya dalam menunjang

kesehatan manusia dapat dioptimalisasikan penggunaannya baik sebagai pangan ataupun

nonn pangan. Optimalisasi pemanfaatan mikroalga dapat dapat dijadikan substitusi kedalam

minuman kesehatan atau suplemen bagi manusia.

Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai penelitian mengenai penambahan

Chlorella sp pada minmuan kesehatan.

a. Bahan dan Metode

Sebagai bahan baku yang dipakai dalam riset ini adalah mikroalga jenis Chlorella sp.

Mikroalga ini hasil kultivasi selama 5 hari dalam bak semen dengan ukuran 8 ton atau di

dalam fiber tank ukuran 5-10 ton dengan menggunakan air laut salinitas 30 ppt dan

ditambahkan pupuk urea, TSP, NPK, dan ZA dengan perbandingan 2:2:1, diaerasi kuat terus

menerus dan sinar matahari digunakan sebagai proses fotosintesis miroalga (Kadek, 1999 dan

Sapto, dkk, 2001).

Hasil ekstraksi mikroalga yang telah dipanen dikeringkan dengan sinar matahari,

kemudian dilakukan penepungan dan penghancuran menjadi partikel yang halus dengan cara

menghancurkan dinding selnya.

Pemecahan dinding sel dilakukan dengan alat Dynatech Sonic Dismembrator Model

150, voltz 230 Hz, serial No E 2030 (USA) dengan menggunakan kecepatan 90 Hz menjadi

partikel yang ukurannya 0,5-1 mikron. Secara manual dengan menumbuknya dengan alat

tumbuk dari besi.

Pemanfaatannya ke dalam minuman kesehatan adalah dalam bentuk tepung (0,64%)

dan dicampur dengan fruktosa (12%), essen (100 ml) dan sisanya air, direbus hingga

mendidih, kemudian dipak dalam gelas plastik tahan panas dan ditutup rapat dengan plastik.

Setelah dingin disimpan dalam suhu rendah atau dalam kulkas.

Page 41: Chlorella vulgaris

37

Hasil uji pendahuluan konsentrasi pada penambahan mikroalga 0,64% masih

memberikan bau yang cukup amis dan uji organoleptik memberikan hasil penerimaan masih

kurang disukai.

Penelitian formulasi minuman ini mengacu pada pembuatan minuman alginate

(Yunizal, 2003). Analisa bakteri dilakukan dengan menggunakan metoda Katsutoshi Miwa

dan Low Suji (1992). Analisa nutrisi dengan menggunakan metoda Apriyantono, dkk (1990).

Analisa logam berat meggunakan cara Hutagalung et al (1997).

b. Hasil dan Pembahasan

Analisa logam berat pada bahan baku Chlorella sp hasil panen kering untuk persiapan

bahan minuman kesehatan meliputi Cu, Cd, Hg, dan Pb telah dilakukan. Nilai-nilai logam

berat pada persiapan bahan baku Chlorella sp menunjukkan nilai di bawah ambang batas.

Menurut anynomus (2004) standar logam berat yang masih diperbolehkan bagi makanan dari

mikroalga tidak melebihi 1 ppm.

Tabel 5. Kandungan logam berat pada bahan baku mikroalga Chlorella sp

Kadar masing-masing logam berat (ppm)

Cu Cd Hg Pb

0,174 0,102 0,213 0,309

Hasil analisa asam nukleat pada bahan baku Chlorella sp sebesar 1.873 ppm. Batas

maksimum konsumsi mikroalga per hari tidak boleh melebihi 35 g per hari (becker, 1992).

Hasil uji bakteriologi dengan Total Plate Count (TPC) pada penambahan konsentrasi

mikroalga menunjukkan nilai rata-rata pada semua perlakuan dibawah ambang batas (10%).

Hal tersebut dimungkinkan pada penambahan konsentrasi lebih tinggi tidak ada perubahan

bakteri dimungkinkan mikroalga memiliki antibiotic atau anti mikroba.

Tabel 6. Analisa total bakteri pada minuman kesehatan Chlorella sp

Konsentrasi (%) TPC (Koloni) E. coli Salmonella

0,5

0,4

0,3

0,2

0,1

Negatif

3

3

12

782

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Page 42: Chlorella vulgaris

38

Nilai nutrisi pada perlakuan konsentrasi penambahan Chlorella sp. menunjukkan nilai

seperti pada tabel 7 di bawah ini. Kandungan omega-3 pada Chlorella sp. menunjukkan nilai

tertinggi 2,77-13,87%, EPA 0,55-2,73%, DHA 0,48-2,42%. Di sini dapat dilihat bahwa

Chlorella sp mempunyai nilai tertinggi pada asam lemak tidak jenuhnya.

Tabel 7. Rata-rata Uji Chlorella sp Dalam Persen (%)

Perlakuan

konsentrasiProtein Karbohidrat EPA DHA Omega-3

0,5 4,47 1,29 2,73 2,42 13,87

0,4 3,57 1,04 2,18 1,93 11,09

0,3 2,67 0,78 1,64 1,45 8,32

0,2 1,78 0,52 1,09 0,97 5,55

0,1 0,89 0,26 0,55 0,48 2,77

c. Kesimpulan

Hasil penelitian minuman kesehatan menunjukkan bahan baku mikroalaga Chlorella

sp mempunyai kandungan logam berat dari Cu, Cd, Hg, dan Pb serta asam nukleat masih di

bawah ambang batas kesehatan.

Uji organoleptik yang disukai panelis menunjukkan pada penambahan konsentrasi

0,03.

Uji bakteriologi pada semua konsentrasi minuman masih di bawah ambang batas.

Uji nutrisi pada Chlorella sp tertinggi terdapat pada kandungan omega-3 dan DHA.

2.3.2. Sebagai Penunjang Untuk Kultur Massal Rotifer

Rotifer, Branchionus plicatilis dan B. rotundiformis, merupakan pakan alami yang

harus ada dalam pruduksi benih untuk berbagai organism akuatik. Dua macam pakan alami

yang telah lama digunakan sebagai pakan rotifer adalah alga hidup seperti Nannochloropsis

oculata dan Chlorella vulgaris, dan makanan tambahan seperti ragi untuk pembuatan roti.

Pertama kali, pakan alami yang digunakan sebagai penunjang produksi rotifer adalah

hanya Nannochloropsis oculata. Namun, produksi Nannochloropsis oculata terkadang tidak

Page 43: Chlorella vulgaris

39

mencukupi untuk kultur rotifer terutama selama musim dingin, musim panas, dan musim

hujan, karena kultur masal alga dipengaruhi cuaca. Produksi Nannochloropsis oculata

ternyata merupakan factor pembatas dalam produksi juvenile ikan.

Penggunaan C. vulgaris kering sebagai pakan rotifer pertama kalai dimulai pada tahun

1982. C. vulgaris dan N. oculata berturut-turut termasuk pada kelas chlorophyceae dan

eustigmatophyceae. Posisi taksonomi kedua alga ini cukup berbeda. Perbedaan intraselular

sel antara keduanya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 13. Struktur intraselular N. oculata dan C. vulgaris

Keterangan mengenai gambar tersebut dapat dijelaskan melalui tabel 8. Di bawah ini.

Tabel 8. Karakteristik Taksonomi N. oculata dan C. vulgaris

N. oculata1

(Chlorella laut)

C. vulgaris

Ukuran sel

Bentuk sel

Kloroplas

Perkembangbiakkan

Pyrenoid

ER kloroplas

Susunan Tylakoid

2-4 µm

Globose-ovoid

Berbentuk gelas/ovoid

Membelah diri

Tidak teramati

Ada

3-tylakoid

2-10 µm2

Globose-bulat telur2

Berbentuk gelas/girdle2

2-16 autospora2

Ada2

Tidak ada

Banyak tilakoid yang bersatu

Page 44: Chlorella vulgaris

40

Pigmen yang dominan Klorofil-α

Karoten

Violaxanthin

Ester vaucheriaxanthin

Klorifil-α

Klorofil-β

Karoten

lutein1Maruyama et al., 19892Fott & Navakova, 1969

Chlorella vulgaris cocok untuk diproduksi secara massal karena memiliki tingkat

pertumbuhan yang tinggi dan dapat tumbuh tanpa memperhatikan metode kultur (seperti

autotrofi, heterotrofi, dan mixotrofi).

N. oculata masih diproduksi di banyak hatchery dan biasanya digunakan bersama C.

vulgaris kering untuk produksi rotifer. Bagaimanapun, pentingnya C. vulgaris telah dianggap

lebih penting untuk digunakan pada produksi massal rotifer karena tingkat pemanfaatan alga

ini lebih tinggi.

Akhir-akhir ini metode kultur rotifer baru sedang dikembangkan seperti, kultur rotifer

dengan kepadatan tinggi, dan kultur terus menerus pada skala komersial (Yoshimura et al.,

1994; Nakao & Hagiwara, 1995; Fu et al., 1996). Metode kultur ini terganrung pada

penggunaan suspensi C. vulgaris kering, karena itu memiliki 2 keunggulan dibanding dengan

kultur secara tradisional dengan menggunakan N. oculata. Pertama adalah kandungan vit. B

12 yang tinggi, dan yang kedua adalah kepadatan sel yang tinggi (140 g per berat kering).

2.3.3. Sebagai Biofuel

Produk sumber energy yang dihasilkan dari mikroalga adalah gas metana, alcohol,

bahan bakar dalam bentuk karbon siklis panjang. Untuk menghasilkan itu, perlu dilakukan

pengkayaan mikroalga agar dapat mencukupi kebutuhan bahan bakar yaitu dengan

meningkatkan kandungan lemak di dalam biomass mikroalga (Chlorella sp). Salah satu

caranya akan dijelaskan berikut ini.

Pupuk kandang diuaraikan dengan cara diaerasi kuat dan lemah serta sisa penguraian

yang berwujud padat di tambahkan ke dalam budidaya mixotropi mikro alga Chlorella

vulgaris. Penguraian dengan aerasi tinggi disarankan untuk peruses mineralisasi yang lebih

cepat. Suatu kajian telah dilakukan untuk mencari tahu pengaruh dari sisa penguraian pupuk

kandang yang berwujud padat terhadap biomass dan penambahan kandungan lemak dalam C.

vulagris. Pengolahan dilakukan “dengan” (teknik pemberian makan tunggal dan dua tingkat)

Page 45: Chlorella vulgaris

41

serta “tanpa” pemberian pakan pupuk kandang. Penambahan glokosa cenderung

mengakibatkan kehabisan persedian Nitrogen sebagai hasil dari peningkatan lemak yan

gsangat tinggi. Hal itu sangat tampak bahwa penambahan glukosa pada saat fase stasioner

bias menjadi metoda baru untuk meningkatkan kandungan lemak dalam Chlorella vulgaris.

Pupuk kandang kaya akan nutrisi terutama untuk nutrisi yang banyak diperlukan

aeperti Nitrogen, posfor, dan bahkan sebagai pemicu pertumbuhan sel seperti glysin yang

dihasilkan dari proses penguraian pupuk kandang (Schefferle, 1965). Berdasarkan kajian

yang dilakukan oleh Magid et al. (1995), beberapa nutrisi yang biasa terkandung dalam

komposisi pupuk kandang meliputi (g/Kg): potassium 37,5, posfat 25,5, nitrogen 55,7.

Nitrogen biasa berbentuk asam uric (Nahm, 2003) dan sekitar 66% nya dihasilkan dari proses

(Ruiz Diaz et al., 2008). Selain itu, kajian tersebut juga menunjukkan bahwa trace elemen

lain, seperti Mg, Ca, Fe, Cu, Zn, Ni, Cr terdapat dalam sisa penguraian pupuk kandang (Bao

et al., 2008; Ortiz Escobar and Hue 2008; Faridullah et al., 2009; Vu et al., 2009).

Singkatnya, pupuk kandang telah menjadi pupuk organic tradisional dan sumber daya yang

menarik saat ini dari nutrisi yang banyak dibutuhkan dan dapat didaur ulang. Penggunaan

nutrisi pupuk kandang dapat digunakan juga untuk budidaya alga dengan kondisi yang

terkontrol (intensitas cahaya, pH, Suhu, Peralatan) untuk meningkatkan produksi biomass.

Pendekatan penggunaan pupuk kandang ini dapat menjadi sesuatu yang baru apabila

perubahan kepadatan sel yang tinggi dapat meningkatkan biofiksasi CO2 (Jacob-Lopes et al.,

2008; Jacob-Lopes et al., 2009) di bawah kondisi kultur autotropi atau mixotropi. Cara

pengolahan berikutnya (mixotrophic) yang dapat dibandingkan telah menunjukan suatu

kemungkinan dalam produksi jumlah biomass yang tinggi menurut (Liang et al., 2009).

Biomass alga yang digunakan sebagai persediaan bagi produksi buofuel bukan merupakan

sesuatu yang beru dijelaskan dalam kajian ini, penelitian-penelitian dan perkembangan yang

kian memuncak terutama disebabkan oleh krisis energy, perubahan iklim dan lingkungan.

Karena perhatian mengenai alga sebagai bahan bakar masa depan ini meningkat, kebutuhan

untuk menjadikan alga sebagai biofuel yang berkelanjutan jatuh kepada kategori beban

ekonomi untuk merekayasanya. Salah satunya adalah merubah sampah (industry dan rumah

tangga) menjadi biomass mikroalga yang menjanjikan keuntungan merupakan sutau cara

yang menarik untuk memproduksi biofuel alga skala besar. Pupuk kandang merupakan salah

satu contoh limbah dan merupakan pusat perhatian dalam kajian ini yang menggunakan

pupuk kandang untuk melihat perkembangan mikroalga Chlorella vulgaris yang sedang

digunakan sebagai bahan bakar, dapat meningkatkan biomass alga, itu adalah konsentrasi sel

dan kandungan lemak di dalam sel. Pupuk kandang merupakan bahan organic yang

Page 46: Chlorella vulgaris

42

membutuhkan penguraian untuk melepaskan nutrisi yang dapat diserap alga dalam

pengelolaan budidaya. Penguraian dengan menggunakan aerasi sederhana (dekomposisi)

dapat ditautkan untuk memproduksi padatan sisa penguraian setelah penyaringan. Simple

aerated biodigestion (decomposition) can be engaged to produce PMD after filtration

(aqueous). Oleh karena itu, tujuan dari kajian ini adalah untuk menginvestigasi pengaruh dari

penambahan padatan sisa penguraian (PMD) ini terhadap mikroalga Chlorella vulgaris yang

sekarang digunakan sebagai bahan bakar mikroalga. Kajian ini mencari solusi untuk

mengembangkan penggunaan pupuk kandang dalam budidaya alga sebgaia bahan bakar.

2.3.4. Sebagai Bahan Kosmetik

Lutein merupakan karotenoid alami berbentuk kristal padat berwarna kuning yang

dapat diproduksi oleh mikroalga tertentu. Jenis mikroalga yang potensial menghasilkan

senyawa karotenoid yaitu Chlorella pyrenoidosa. Kebutuhan akan lutein semakin meningkat

karena lutein merupakan satu-satunya senyawa antioksidan yang berkaitan dengan kejadian

katarak pada mata. Fungsi lain dari pigmen ini sebagai anti penuaan dini (antiaging) pada

kulit yang terkena radiasi sinar UVB matahari. Mikroalga C. pyrenoidosa sudah umum

dikonsumsi manusia sehingga bersifat aman. Penelitian ini melakukan ekstraksi dan

purifikasi senyawa lutein yang dihasilkan oleh C. pyrenoidosa galur local INK. Senyawa

lutein diperlukan sebagai bahan baku untuk industri makanan, farmasi dan kosmetika. C.

pyrenoidosa dikultur dalam media ekonomis hingga fase pertumbuhan stasioner. Kultur C.

pyrenoidosa diekstraksi menggunakan senyawa organik diklorometan, etanol dan heksan,

dilakukan saponifikasi untuk memecah sel dengan KOH 10M, disentrifus dan supernatan di

evaporasi sehingga diperoleh cairan kental berwarna hijau kuning. Identifikasi dan purifikasi

lutein dilakukan secara spektrofotometri, kromatografi kolom dan menggunakan

kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Hasil pengkulturan mikroalga C. pyrenoidosa

diperoleh biomasa basah rata-rata sebesar 2,5 gram per liter. Ekstrak senyawa lutein

diperoleh rata-rata 100 µg per gram berat basah sel C. pyrenoidosa. Hasil identifikasi

menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) menunjukkan bahwa kombinasi pelarut heksan,

aseton, kloroform dengan perbandingan 6:2:2 memberikan pemisahan yang terbaik.

Kandungan lutein setelah melalui tahapan ekstraksi dan fraksinasi dianalisis dengan

kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), menghasilkan 0,878 µg lutein per gram berat basah

sel C. pyrenoidosa.

Chlorella pyrenoidosa diketahui sebagai penghasil bermacam jenis karotenoid, seperti

β- karoten, α-karoten, anthaxanthin, neoxanthin, zeaxanthin dan lutein.1 Fungsi karotenoid

Page 47: Chlorella vulgaris

43

sangat luas diberbagai sektor kehidupan, seperti untuk bahan pewarna makanan, bahan aditif

pada makanan, sumber vitamin A dan sebagai antioksidan. Salah satu jenis karotenoid yang

umumnya terdapat pada C. pyrenoidosa adalah lutein. Beberapa kegunaan lutein di bidang

kesehatan diantaranya membantu melindungi kulit dari radiasi sinar UV, digunakan sebagai

bahan kosmetik, sebagai suplemen gizi untuk pencegahan dan perawatan akibat degenerasi

macular (katarak), dapat mencegah kerusakan retina akibat cahaya biru dengan cara

menyerap cahaya tersebut dan mencegah fotooksidasi.2 Hua-Bin Li (2002)3 telah berhasil

melakukan isolasi lutein dari Chlorella vulgaris menggunakan pelarut diklorometan.3

Peneliti lainnya menghasilkan senyawa lutein dari mikroalga Chlorella protothecoides yang

diekstraksi menggunakan metode berbeda dengan menggunakan pelarut heksan.4 Senyawa

lutein dengan nama lain Luteine; trans-lutein; Beta, epsilon-carotene- 3, 3’- diol memiliki

rumus C40 H56 O2. Struktur kimia lutein dapat dilihat pada Gambar 1. Bobot molekul lutein

yaitu 568,871 g/mol, berbentuk padat Kristal berwarna merah-orange. Bersifat larut dalam

lemak, dan pelarut organik, dan tidak larut dalam air, lebih larut dalam metanol panas

(1:700).

2.4. Kandungan Nutrisi Chlorella sp.Kandungan Nitrisi dan biokimia Chlorella sp

dijabarkan pada tabel 9. Berikut ini:

Tabel 9. Komposisi Biokimia Chlorella sp

Komposisi keseluruhan (% berat kering)

Protein

Lipid

Abu

Karbohidrat

Serat

55

10,2

5,8

23,2

5,8

Asam Amino (% Asam amino total)

Isoleusin

Leusin

Metionin

Phenilalanin

Tirosin

Threonin

4,44

9,38

1,24

5,51

3,14

5,15

Page 48: Chlorella vulgaris

44

Valin

Lysine

Arginin

Histidin

Alanin

Asam aspartan

Asam glutamic

Glysin

Prolin

Serine

Cystin

Tryptopan

6,61

6,68

6,22

1,97

8,33

9,80

12,66

6,07

4,90

4,32

1,28

2,30

Asam Lemak (%Asam lemak total)

Asam palmitik

Asam palmitolik

Asam stearat

Asam oleat

Asam linoleat

Asam linolenik

Asam arachidonic

Asam eicosapantaenoic

Asam docosahexaenoic

13.9

5,7

3,1

2,2

25,3

24,2

0

0

0

Mineral (µg/g berat kering)

Ca

Mg

K

Fe

1,6

3,6

11,3

2,0

Vitamin (µg/g berat kering)

Vitamin B1Vitamin B2Vitamin B6Vitamin B12Vitamin C

24

60

10

0,001 (2-6)2

1000

Page 49: Chlorella vulgaris

45

Vitamin E 200

Page 50: Chlorella vulgaris

46

BAB III

PENUTUP

2.2. Kesimpulan

Dari berbagai penjelasan yang telah dijabarkan pada bab pembahasan, dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Chlorella sp dapat dikultur dalam berbagai skala baik skala laboratorium, semi

missal, maupun secara missal;

b. Chlorella sp dapat digunakan sebagai pengganti Nannochloropsis sp sebagai

pakan dalam kultur rotifer;

c. Pemanfaatan Chlorella sp mencakup bidang kesehatan, pangan, dan budidaya;

d. Kandungan nutrisi Chlorella sp cocok digunakan untuk bahan bakar (biofuel).

2.3. Saran

a. Dalam budidaya Chlorella sp perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai

sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menunjang kultur adar proses

kultur dapat berlangsung dengan baik;

b. Sebelum memproduksi Chlorella sp perlu diketahui mengenai kandungan

nutrisinya dengan tujuan agar dapat merekayasa jenis zat gizi tertentu yang

akan ditingkatkan.

Page 51: Chlorella vulgaris

47

DAFTAR PUSTAKA

Jacob-Lopes E, Ferreira Lacerda LMC, Teixeira Franco T (2008) Biomass production and

carbon dioxide fixation by Aphanothece microscopica Nageli in a bubble column

photobioreactor. Biochem Eng J 40: 27-34

Liang Y, Sarkany N, Cui Y (2009) Biomass and lipid productivities of Chlorella vulgaris

under autotrophic, heterotrophic and mixotrophic growth conditions. Biotechnol Lett

31: 1043-1049.

Nakao, T, & A. Hagiwara, 1995. High Density Culture of Rotifer by Bubbling With Air And

Enrichment Culture In Short Time (in Japanese) Suisa. No Kenkyu 14: 64-70

A.Hagiwara, T. W. Snell, E. Lubzens & C.S Tamaru (cds). 1997. Live Food in Aquaculture.

Kluwer Academic Publisher. Printed in Belgium

Amini, Sri dan Hastarini, Ema. Uji Logam Berat Pada Mikroalga Jenis Spirulina sp dan

Chlorella sp. Seminar Internasional Perikanan. 2007. 11-12 Desember

Kadek. 1999. Kajian Pendahuluan Pembuatan Nata de Chlorella. Balai Budidaya Laut

Lampung. Ditjen Perikanan-Deptan. 5 hal.

http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/KULTUR%20FITOPLA

NKTON.PDF

http://jms.fmipa.itb.ac.id/index.php/jms/article/viewFile/224/221

http://m4r14m4h.wordpress.com/pakan-alami-daphnia/

http://sumarsih07.files.wordpress.com/2009/02/pertemuan-4-sistem-batch.pdf

http://en.wikipedia.org/wiki/Chemostat

http://en.wikipedia.org/wiki/Turbidostat

http://www.fao.org/docrep/007/y5720e/y5720e08.htm

http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/14287/2/C04aht.pdf

http://www.omicsonline.org/ArchiveJMBT/2010/March/01/JMBT-02-051.pdf

http://pat-o-logy.blogspot.com/2009/05/chlorella-sargassum.html

http://aergot.wordpress.com/2008/09/03/menuju-swasembada-bahan-bakar-murah/

http://www.kimiawan.org/journal/index.php/jki/article/viewFile/35/pdf_32

diakses tanggal 21 Mei 2010 pukul 0105 WIB