cerpen kompas

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    1/25

    Seragam

    with 159 comments

    261 suara

    Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu

    mengenali saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang

    tiba-tiba.

    Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk

    masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan.

    Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu

    turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon

    cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara

    bendera tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan

    yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya

    sebentar.

    Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena

    keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau

    hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya

    ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah

    menyambanginya sejak itu.

    Jadi, apa yang membawamu kemari?

    Kenangan.

    Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah

    keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.

    http://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/12/seragam/#commentshttp://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/12/seragam/#comments
  • 8/10/2019 cerpen kompas

    2/25

    Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata

    obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.

    Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami

    dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di

    ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya

    lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia

    daripada saya.

    Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi

    penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan

    wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok.

    Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan

    besar cengkeh atau kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan

    yang banyak tertawa, berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa

    menjadi tambang. Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang

    mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat

    perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.

    Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya

    langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang.

    Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah

    selepas isya untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat

    dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitikdengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu,

    proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan

    saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.

    Tidak gantibaju? tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat.

    Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan

    terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak

    pakaian hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk

    pergi ke sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.

    Tanggung, jawabnya.

    Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu

    berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah

    melewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat

    beberapa titik cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi

    tenang. Musim kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata

    ditambah angin bersiuran di areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya

    merasa tidak akan berani berada di sana sendirian.

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    3/25

    Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa

    menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat

    tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit

    menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut,

    atau bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padiyang tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-

    tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.

    Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa

    ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat

    wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-

    tinggi sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah

    membakar punggung saya!

    Berguling! Berguling! terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya

    untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya

    rasakan kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-

    nusuk tubuh dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak

    sempat untuk berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak

    karena gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir

    akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yang mencekam!

    Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung

    hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagiankainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh

    saya dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara

    kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat

    dengan mulutnya. Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri

    kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan

    pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari

    sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi

    rasa tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang,

    sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya

    sempat pula kena tampar Ayah yang murka.

    Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang

    melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas

    di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang

    saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa

    membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.

    Salahmu sendiri, tidak minta ganti, kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    4/25

    Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah

    nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam

    itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa

    minggu.

    Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang

    akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian

    meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.

    Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama

    membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi

    sebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari

    tangan terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang

    lainlah yang menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini.

    Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia

    bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.

    Kakakku itu, masih samasifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin

    tua dia semakin tidak tahu diri.

    Ulahnya? Dia mengangguk.

    Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling

    berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modalusaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi,

    dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku.

    Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku. Terbayang sosok kakaknya

    dahulu, seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan

    kenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik

    satu-satunya.

    Kami akan bertahan, katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore.

    Ada kesungguhan dalam suaranya.

    Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang

    baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya.

    Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong

    saya di malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab

    yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.

    Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang.

    Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa

    membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    5/25

    saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan

    seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    6/25

    Tangan Tangan Buntung

    with 44 comments

    56 suara

    Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak mungkin pula sebuah

    negara sama-sekali tidak mempunyai pemimpin.

    Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di dalam negeri

    maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera disyahkan sebagai presiden

    baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah,

    ketika suhu udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan,

    ribuan rakyat mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada

    memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi

    presiden.

    Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan

    sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai menuju ke Gedung M.P.R.Sementara itu, teriakan-teriakan Hidup Presiden Nirdawat, terus-menerus

    berkumandang dengan nada penuh semangat, namun sangat syahdu.

    Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat, dan segera

    menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat untuk tampil di mimbar.

    Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat sangat merindukan

    pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak lain dan tidak bukan adalah

    Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat melantik Nirdawat sebagai Presiden

    Republik Demokratik Nirdawat (bukan salah cetak, memang presidennya bernama

    Nirdawat, dan nama negaranya diambil dari nama presidennya).

    http://cerpenkompas.wordpress.com/2012/07/29/tangan-tangan-buntung/#commentshttp://cerpenkompas.wordpress.com/2012/07/29/tangan-tangan-buntung/#comments
  • 8/10/2019 cerpen kompas

    7/25

    Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam hati Nirdawat

    berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan sebaik-baiknya, dan

    sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun, dia tidak akan pergi ke luar negeri

    dengan alasan apa pun. Banyak persoalan dalam negeri harus dia hadapi, dan

    semuanya itu akan diselesaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawatdikenal sebagai pribadi sederhana dan pekerja keras serta tidak mementingkan diri

    sendiri, maka begitu banyak pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik

    Nirdawat, tentu saja khusus untuk menemui Presiden Nirdawat.

    Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah diterka:

    kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, industri, dan

    kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga mudah diterka: dengan tulus tapi

    bersifat mendesak, semua pemimpin negara mengundang Presiden Nirdawat untuk

    mengadakan kunjungan balasan. Semua kunjungan balasan akan berlangsung paling

    sedikit tiga hari, karena dalam setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin

    negara dengan bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-kemajuan negaranya,

    dan juga kekurangan-kekurangan negaranya. Demi kepentingan semua negara, kerja

    sama harus segera dilaksanakan, juga dengan sungguh-sungguh.

    Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai keengganan Presiden

    Nirdawat untuk melawat ke luar negeri muncul sebagai berita-berita besar, dan menarik

    perhatian hampir semua warga negara Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya,

    dengan berbagai cara, tokoh-tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan

    tokoh-tokoh pemuda menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untukkepentingan negara dan bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan untuk

    memenuhi undangan sekian banyak pimpinan negara-negara asing itu. Desakan demi

    desakan terus berlangsung.

    Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden Nirdawat masuk ke

    kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian digelandang ke dekat tempat tidur.

    Dengan lembut isterinya memberinya beberapa ciuman, kemudian melepas baju

    Nirdawat, lalu melepas kaos dalam Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh

    Nirdawat di tempat tidur. Kemudian, dengan lembut pula isterinya memijit-mijit

    punggung Nirdawat.

    Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu. Kita berjalan-

    jalan di kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan lagi ke bawah pohon

    jejawi, dan berbincang mengenai keinginan-keinginan kita. Bagi kita itulah keinginan

    biasa, tapi bagi teman-teman, keinginan itu merupakan cita-cita mulia.

    Cobalah kita tengok peta dunia ini, kata Nirdawat dalam sebuah pertemuan dengan

    teman-temannya setelah membentangkan sebuah peta dan menggantungkannya di

    dinding.

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    8/25

    Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah nama sekian

    banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara yang namanya beberapa

    kali berubah. Setelah sekian lama nama ini berubah, akhirnya negara ini punya nama

    baru, yaitu Republik Demokratik Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik

    Abdul Jedul, lalu disusul oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong.

    Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai dengan nama

    negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar seseorang berwajah beringas

    bernama Dobol, lalu ada bendera dengan gambar Abdul Jedul dengan wajah garang,

    disusul oleh bendera bergambarkan wajah tolol Jiglong.

    Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal negaranya sama? Tidak

    lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini

    masih kerajaan dan tidak mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk

    menamakan negara itu sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan

    sendirinya adalah wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan

    dengan wajah rajanya.

    Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil menggulingkan

    kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah menjadi Republik Demokratik.

    Republik karena negara tidak lagi dipimpin oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik

    karena siapa pun berhak menjadi presiden asalkan memenuhi syarat.

    Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang, semenjak Dobol

    menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undang-undang dasar. Karena Dobol

    beranggapan bahwa undang-undang dasar tidak boleh seluruhnya bertentangan

    dengan kebiasaan lama, maka dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat

    sementara itu pun dengan tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara

    disesuaikan dengan nama presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus

    menampilkan wajah presiden.

    Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya, maka, supaya

    undang-undang dasar tidak sepenuhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, dalam

    undang-undang dasar negara republik demokratik ini, pasal mengenai masa jabatanpresiden pun tidak perlu dicantumkan.

    Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan karena masa

    jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang dasar, maka Dobol pun

    menjadi presiden sampai lama sekali, sampai akhirnya Sang Takdir menanam sebuah

    biji bernama tumor ganas dalam otak Dobol.

    Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada undang-undang

    dasar masih menyala-nyala dengan semangat penuh. Dalam undang-undang dasar

    dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak menjadi presiden, asalkan memenuhi

    syarat. Dan seseorang yang memenuhi syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    9/25

    sebagai anak Dobol, tetapi sebagai warga negara biasa yang kebetulan adalah anak

    presiden negara republik demokratik ini.

    Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul,

    sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai penguasa hukum alam:

    sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam otak Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat

    Abdul Jebul.

    Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia dengan undang-

    undang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat sementara, maka jatuhlah

    kekuasaan presiden republik demokratik ini ke tangan Jiglong, seseorang yang

    memenuhi syarat untuk menjadi presiden bukan karena dia anak Presiden Republik

    Demokratik Abdul Jedul, tapi karena sebagai warga negara biasa dia benar-benar

    memenuhi syarat untuk menjadi presiden.

    Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja suka main

    perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak mengenal batas, maka

    berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat.

    Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka Sang Takdir

    pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan menanamkan bibit tumor ke

    dalam otak, tapi membuat otak Jiglong sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun

    tidak bisa lagi membedakan siang dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan

    yang lebih payah lagi, Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki

    atau perempuan. Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung,

    berusaha memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia

    pun sudah agak acuh tak acuh.

    Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa pemimpinnya, dan

    tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui siapa yang memberi komando,

    tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa

    diketahui siapa yang memberi komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda

    merebut stasiun televisi dan radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak

    saat itu nama negara diganti dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan benderaberwajahkan Nirdawat.

    Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu mendampingimu,

    kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat lagi dengan lembut pula.

    Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu mulai hari itu

    nama negara diganti dengan nama baru yang tidak boleh diubah-ubah lagi, yaitu

    Republik Demokratik Nusantara. Itu butir pertama. Butir kedua, bendera Republik

    Demokrasi Nusantara harus diciptakan dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa

    mencantumkan wajah siapa pun juga. Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi

    paling banyak dua periode, masing-masing periode lima tahun.

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    10/25

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    11/25

    Dua Wajah Ibu

    with 78 comments

    148 suara

    Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas

    ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan

    merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.

    Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia

    menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya.

    Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu.Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki.

    Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba

    yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman

    Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.

    Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan

    televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal.

    Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas

    sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil,

    seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-

    nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu

    jatuh seperti terjun.

    Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba

    Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam

    jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun

    belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang

    kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering

    terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk

    melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.

    http://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/05/dua-wajah-ibu/#commentshttp://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/05/dua-wajah-ibu/#comments
  • 8/10/2019 cerpen kompas

    12/25

    Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah

    pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan

    orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu

    menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung

    karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadismereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis,

    serba tak bisa ia bayangkan.

    Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip

    almarhum Ebak, itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak

    lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui

    suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.

    Dengan siapa Mak ke situ? lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada

    Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat

    Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan

    ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya

    yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum

    pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya

    datang, ia lekas-lekas menanggapinya.

    Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah.

    Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak

    ke sini, itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosokseperti radio tua itu terputus.

    Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak

    lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di

    semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air

    berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.

    ***

    Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangiterminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan

    pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita

    ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian

    menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja

    mengembang-embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu

    tercium melati.

    Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di

    bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong,

    beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat,

    berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    13/25

    dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak

    menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi.

    Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki

    kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk

    membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu

    ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-

    bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya

    menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.

    Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu

    setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih

    merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke

    rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal

    berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil

    sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta.

    Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat

    memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.

    Mak hendak pulang, Mal.Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet

    pun sayang tak disadap, lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-

    benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya,

    Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan,

    dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimbabernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang tak bisa

    menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.

    Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa.

    Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,

    ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong.

    Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa

    terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.

    Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta iamengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,

    terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap.

    Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang

    menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah

    dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu

    menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu

    dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai.

    Mak Inang tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    14/25

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    15/25

    Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena

    seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang

    disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas sumur pompa,

    air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu.

    Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencucimuka kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput,

    mengkerut, dan carut-marut.

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    16/25

    Kabut Ibu

    with 80 comments

    154 suara

    Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu.

    Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak

    ke teras depan.

    Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian

    waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api

    sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang

    bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, Begitulah

    rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.

    ***

    Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah.

    Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-

    sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap

    tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang

    depan ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka

    perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan

    pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.

    Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar

    belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta

    kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan,

    yang jaraknya tidak terlampau jauh.

    http://cerpenkompas.wordpress.com/2012/07/08/kabut-ibu/#commentshttp://cerpenkompas.wordpress.com/2012/07/08/kabut-ibu/#comments
  • 8/10/2019 cerpen kompas

    17/25

    Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan

    pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami

    dari laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang

    lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku.

    Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri ditikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan

    segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.

    Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di

    luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali.

    Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata.

    Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama

    ibu sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di

    kamarnya.

    Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah

    pulang duluan, begitu kata abah.

    Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak

    tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela

    dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras.

    Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru abah

    memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat

    lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-

    orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.

    Mengapa kita tak jadi pulang, Bah? tanyaku.

    Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu. Abah tersengal-sengal mengayuh

    kereta untanya.

    Kotor kenapa, Bah?

    Abah terdiam beberapa jenak, Ya kotor, mungkin semalam banjir.

    Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?

    Ya banjir.

    Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.

    Hus!

    ***

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    18/25

    Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah.

    Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.

    Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian

    jemput ibumu.

    Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini

    masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari

    celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti

    kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru

    kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega.

    Menyongsong abah.

    Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong

    tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebammenghitam.

    Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu

    sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak

    menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai

    menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki,

    perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematianlantaran mereka pernah

    hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras

    rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.

    ***

    Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar

    rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan

    meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada

    sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti

    sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali

    menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan

    terdiam lagi.

    Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke

    kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir

    rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang

    kami tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut.

    Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-

    tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela,

    mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari

    sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernahmenitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    19/25

    kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap

    lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.

    ***

    Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh

    membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah,

    semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu

    kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela kaca

    luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali kami

    menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak

    tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan

    sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata

    kami.

    Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami

    tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk

    mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-

    benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali

    kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya,

    mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di

    tanah.

    Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar.

    Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut

    itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa

    di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami

    tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari

    keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan

    hilang.

    Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor

    kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu

    melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilanitu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu,

    entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak

    benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu

    buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.

    ***

    Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu.

    Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak

    memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras

    depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    20/25

    rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung

    kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami,

    sebagaimana ia menelan ibu.

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    21/25

    Mengenang Kota Hilang

    with 35 comments

    39 suara

    Maka lumpur pun datang membasuh wajah kota itu.

    (Hasan Aspahani, 2006)

    Itulah bait pertama yang kau tulis dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya,

    ketika perlahan-lahan kotaku terendam lumpur. Begitupun aku menyambut gembira,

    atas suratmu yang kau kirim melalui denyut hati, karena kau tahu arti penderitaan

    kami.

    Aku mengerti perasaanmu. Begitu bernafsukah kau ingin datang ke kotaku? Begitulah

    yang aku rasakan dalam setiap detak nadimu. Tetapi aku tahu, kau hanya ingin

    mengembara lepas dalam batin kami yang menderita.

    Aku pun tak berharap kau datang ke kotaku. Cukuplah kau saksikan dengan mata

    hatimu, aku sudah gembira. Aku gembira membaca bait-bait resahmu, yang kau

    tuliskan dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya.

    Tetapi tak apalah. Kau salah satu yang aku kagumi. Penderitaan memang tak perlu

    dibaitkan dalam kata-kata terang. Karena kata-kata terang sering menjadi pelipur larabelaka. Dan kau tahu, kotaku perlahan-lahan tenggelam tidak hanya dalam lumpur

    tetapi dalam timbunan retorika.

    Ketahuilah, kami yang kini tinggal di kota lumpur, telah banyak mereka-reka dan

    mengais-ngais kata-kata terang tetapi gelap maknanya. Aku tahu, kau menuliskan

    dengan bahasa bersayap, tetapi aku merasakan irisan-irisan makna yang kau hujamkan

    ke ulu hati.

    Karena itu, aku tak ingin kau datang ke kotaku. Mata hatimu mungkin akan lebih tajam

    melihat derita kami, daripada kau ingin bermetamorfosis menjadi guru bahasa, guru

    pengocok moral atau menjadi pengabar yang sok pintar.

    http://cerpenkompas.wordpress.com/2012/05/13/mengenang-kota-hilang/#commentshttp://cerpenkompas.wordpress.com/2012/05/13/mengenang-kota-hilang/#comments
  • 8/10/2019 cerpen kompas

    22/25

    Tidak! Aku cukup lega membaca isi hatimu!

    Bertapalah di gunung batinmu. Jangan datang ke kotaku. Kotaku, kini hilang. Kini yang

    tertinggal hanya kenangan dan harapan-harapan. Tak ada yang tersisa, selain kata

    sesal. Dan sepucuk atap rumah yang gentingnya menyumbul di antara hamparan

    lumpur kering dan pucuk-pucuk pohon yang meranggas. Tak ada yang tersisa.

    Kini semuanya telah ditelan waktu. Kotaku hilang tak terkenang!

    Tapi kalau kau ingin datang ke kotaku, gantilah hatimu dengan batu. Kantongilah

    sekarung nyawa. Ke kotaku kini hanya ada satu jalan, jalan maut!

    Di jalan itu akan kau jumpai monster-monster kecil penghisap darah. Di jalan kau akan

    jumpai pohon-pohon hidup, yang bisa menjerat lehermu hingga putus. Jebakan demi

    jebakan harus kau waspadai. Orang-orang yang berniat baik bisa berbalik menjadi

    perampok yang ganas. Di setiap tikungan, kau harus waspada, karena di situ banyak

    pengemis bersenjata tajam akan menghunuskan arit ke lehermu bila kau tidak memberi

    uang barang satu perak pun.

    Bila kau lolos di jalan maut, kau tak perlu bergembira. Karena setelah itu kau akan

    menemukan jalan yang bercabang-cabang, mirip labirin. Kau harus pandai memilih

    jalan yang tepat. Bila salah pilih, jangan harap kau bisa kembali menjadi manusia. Kau

    pasti akan menjadi lintah, atau semacam belut yang hidup di rawa-rawa, yang kini

    dikuasai oleh monster-monster berwarna-warni.

    Kau tahu, jalan yang bercabang-cabang itu sebenarnya tak akan sampai ke kotaku!

    Karena itu, ketika kau memutuskan untuk datang ke kotaku, siapkan dirimu menjadi

    pahlawan kesiangan atau kalau mau hidup jadilah monster. Kotaku, seperti yang kau

    tulis, Maka lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang, tidaklah salah.

    Untuk mencari rumahku, kau harus menjadi superhero yang gagah berani. Kau harus

    menjadi manusia tak terkalahkan. Kau harus menjadi seperti Gatutkaca atau Antareja

    yang mampu terbang dan menembus perut bumi. Tetapi kau bisa juga menjadi

    Sangkuni yang pandai bersilat lidah dan tipu muslihat.

    Atau kau bisa menjadi badut. Kau akan mudah masuk dengan gaya leluconmu. Kau

    akan dikerumuni anak-anak kecil yang haus hiburan. Mereka anak-anak yang tak lagi

    mengenal masa depannya. Hanya dengan leluconlah kau bakal hidup panjang.

    Meski begitu, kau jangan berharap telah sampai ke kotaku. Mungkin kau masih

    menempuh separuh jalan. Atau barangkali kau masih jalan di tempat. Tak ada yang

    tahu berapa jauh jalan yang harus ditempuh hingga sampai ke kotaku.

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    23/25

    Tak ada yang tahu. Kotaku telah hilang dalam peta. Barangkali, kotaku telah berada

    dalam perut paus atau terkubur dalam perut bumi, atau masih dalam genggaman

    monster warna-warni, juga tak ada yang tahu.

    Bagi kami, jalan kota kami telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada jalan lain, selain

    jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa. Tak ada harapan, selain harapan untuk

    mati.

    Apakah kau siap, kawan?!

    Memasuki kota kami, melalui jalan labirin itu, tajamkan mata dan hati. Bersiaplah kau

    menerima jebakan-jebakan yang lebih maut dari jalan maut. Jangan asal melangkah,

    karena di setiap jengkal, arti langkahmu sangat menentukan nasibmu. Dan kau tahu,

    orang-orang di kotaku telah banyak yang menjadi lintah, belut, dan bahkan ubur-ubur,

    karena salah melangkah. Atau memang mereka ingin menjadi monster jalan labirindaripada hidup dalam kubangan lumpur.

    Aku menyesal sebenarnya, tak bisa menuliskan kabar ini secara benar!

    Tak ada kebenaran di kota kami. Kebenaran telah dirampok. Kebenaran menjadi bahasa

    yang berbelit-belit dan sulit dipahami maknanya. Kebenaran dan kepalsuan menjadi

    tipis jaraknya. Dan kau tahu, banyak di antara kami yang silau oleh kepalsuan yang

    berlapis kebenaran.

    Kami tidak salah. Kami dijebak oleh monster-monster penguasa jalan-jalan labirin.Meski demikian, banyak yang memilih menjadi dan hidup dalam lumpur daripada

    menjadi lintah atau menjadi budak para monster.

    Dan kau tahu, dalam bait suratmu yang kau suarakan melalui hatimu, kau tulis dengan

    gamblang: Semula ada yang mengira mereka memilih jadi ikan, memasang semacam

    insang di leher dan sejak itu menjadi bisu.

    Pada mulanya memang itulah yang kami tempuh. Kami diam dan pasrah ketika air

    bercampur lumpur perlahan-lahan menggenangi kota. Ketika air meninggi dan lumpur

    semakin mengendap, kami harus mengambil pilihan. Bertahan hidup menjadi ikan atau

    menjadi monster di daratan?

    Kamu tahu, kami banyak yang memilih menjadi ikan meski air begitu keruh. Tapi

    setidaknya aku dan orang-orang di kota masih bisa bernapas sambil mengikuti arus, ke

    mana mengalir. Tetapi tidak tahulah, lama-lama arus air dan lumpur begitu deras dan

    pekat. Kami yang dulunya bisa bernapas, tiba-tiba terasa sesak. Dan tiba-tiba kami

    seperti hidup dalam pekat gelap.

    Dalam gelap pekat itu muncul sekelompok ikan dengan gigi dan sisik tajam, yang

    dipimpin ikan berkepala besar berbelalai banyak. Ikan yang kami sebut sebagai gurita

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    24/25

    itu, belalainya begitu terampil menangkapi ikan-ikan kecil untuk dijadikan

    makanannya.

    Kau harus tahu, gurita itu begitu cengeng. Setiap kali ia ingin menghisap darah kami, ia

    merajuk pada ibunya. Dan ibunya selalu muncul dalam bayang-bayang masa lalunya

    yang kelam, berkata, Hisaplah nak, demi hidupmu?

    Kamu tahu, kau tulis dalam degup jantungmu yang paling keras, Lalu sejak itu

    muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang recehan yang berbiak dan

    nyaris memenuhi genangan.

    Apakah kau masih ingin ke kotaku? Lewat suara hatiku ini, kusarankan, lebih baik

    urungkan saja niatmu. Meski kotaku kini telah berdiri papan nama bertuliskan: Wisata

    Kota Lumpur, lebih baik kau jangan percaya dengan bahasa terang itu. Itu bahasa

    jebakan untuk mengais simpati. Bila kau tak tahu, kau akan jadi ikan-ikan dalamkekuasaan ikan berkepala besar berbelalai banyak.

    Kalaupun kini banyak orang melihat dan mencari-cari sisa kota kami, mereka tidak

    tahu, kota kami telah digondol ikan berkepala besar berbelalai banyak, menghilang

    dalam lautan lepas.

    Kau tahu, mereka yang mencari sisa-sisa kota kami berdiri di atas bukit yang

    membentang sampai cakrawala, seperti benteng, yang membentengi lautan lumpur.

    Orang-orang itu mencoba mencari kegembiraan kecil, atau mencoba menyelami

    penderitaan kami. Tak ada yang tahu. Kami benar-benar jauh dalam genggaman ikan

    berkepala besar berbelalai banyak.

    Dan kau sangat tahu, dalam teriakan bahasa hatimu yang aku tangkap samar-samar,

    kau menulis: Ada kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya bertubuh besar

    dan bertangan banyak sekali. Sebagian dari tangan-tangan itu memegang senapan.

    Sebagian lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung dan pencatat

    waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang

    malam.

    Kini apakah pantas kotaku, rumahku, namaku, kau cari-cari dalam timbunan lumpur

    yang semakin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti

    namaku, sedangkan Marsinah saja telah menjadi purba! Tugu kuning tempat Marsinah

    diculik juga telah musnah. Sia-sia!

    Amnesia! Udara pengap kota kami menjadi virus lupa ingatan!

    Tak perlulah kau ingat. Tak perlulah kau kenang. Tunggulah, pada suatu saat nanti

    kotaku akan kau temukan dalam pesta pora para monster menyambut kemenangan

    dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak.

  • 8/10/2019 cerpen kompas

    25/25