65
Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 1 CEDERA KRANIOSEREBRAL A.Pendahuluan Cedera Kranioserebral (CK) atau trauma kranioserebral merupakan cabang dari ilmu neurotraumatologi yang mempelajari pengaruh trauma terhadap sel otak secara struktural maupun fungsional dan akibatnya baik pada masa akut maupun sesudahnya. Cedera Kranioserebral dalam berbagai literature disebutkan dengan berbagai macam istilah antara lain Traumatic Brain injury (TBI), yang pada intinya menyatakan suatu cedera akut pada susunan saraf pusat, selaput otak, saraf cranial termasuk fraktur tulang kepala, kerusakan jaringan lunak pada kepala dan wajah, baik yang terjadi secara langsung (kerusakan primer) maupun tidak langsung (kerusakan sekunder), yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial baik bersifat sementara atau menetap. Di Indonesia CK yang terjadi sebagian besar adalah CK tertutup akibat kekerasan (rudapaksa) karena kecelakaan lalu lintas (96%), dan sebagian besar (84%) menjalani terapi konservatif dan sisanya 16% membutuhkan tindakan operatif. Data-data di Indonesia (1984), terjadi 55.498 kecelakaan lalu lintas dimana setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya adalah karena cedera kepala. Data-data yang didapat di Amerika dan mancanegara lain, dimana kecelakaan terjadi hampir setiap 15 menit. Sekitar 60% diantaranya bersifat fatal akibat adanya cedera kepala. Data menunjukkan cedera kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada usia < 35 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, hanya 3-5% saja yang memerlukan tindakan operasi. B.Klasifikasi Klasifikasi berdasarkan kesadaran: 1. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15):

Cedera Saraf Pusat Dan Asuhan Keperawatannya

Embed Size (px)

Citation preview

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 1

    CEDERA KRANIOSEREBRAL

    A.Pendahuluan

    Cedera Kranioserebral (CK) atau trauma kranioserebral merupakan

    cabang dari ilmu neurotraumatologi yang mempelajari pengaruh trauma

    terhadap sel otak secara struktural maupun fungsional dan akibatnya baik

    pada masa akut maupun sesudahnya. Cedera Kranioserebral dalam

    berbagai literature disebutkan dengan berbagai macam istilah antara lain

    Traumatic Brain injury (TBI), yang pada intinya menyatakan suatu cedera

    akut pada susunan saraf pusat, selaput otak, saraf cranial termasuk

    fraktur tulang kepala, kerusakan jaringan lunak pada kepala dan wajah,

    baik yang terjadi secara langsung (kerusakan primer) maupun tidak

    langsung (kerusakan sekunder), yang menyebabkan gangguan fungsi

    neurologis berupa gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial baik

    bersifat sementara atau menetap.

    Di Indonesia CK yang terjadi sebagian besar adalah CK tertutup

    akibat kekerasan (rudapaksa) karena kecelakaan lalu lintas (96%), dan

    sebagian besar (84%) menjalani terapi konservatif dan sisanya 16%

    membutuhkan tindakan operatif. Data-data di Indonesia (1984), terjadi

    55.498 kecelakaan lalu lintas dimana setiap harinya meninggal sebanyak

    34 orang dan 80% penyebabnya adalah karena cedera kepala.

    Data-data yang didapat di Amerika dan mancanegara lain, dimana

    kecelakaan terjadi hampir setiap 15 menit. Sekitar 60% diantaranya

    bersifat fatal akibat adanya cedera kepala. Data menunjukkan cedera

    kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada

    usia < 35 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, hanya 3-5% saja yang

    memerlukan tindakan operasi.

    B.Klasifikasi

    Klasifikasi berdasarkan kesadaran:

    1. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15):

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 2

    2. Pasien dengan gangguan kesadaran :

    2.1. Cedera Kranioserebral Ringan (GCS 13-15)

    2.2. Cedera Kranioserebral Sedang (GCS 9-12)

    2.3. Cedera Kranioserebral Berat (GCS < 8)

    Klasifikasi lain cedera kranioserebral berdasarkan :

    1. Patologi :

    1.1. Komosio serebri

    1.2. Kontusio serebri

    1.3. Laserasi serebri

    2. Lokasi lesi :

    2.1. Lesi difus jaringan otak

    2.2. Lesi kerusakan vaskuler otak

    2.3. Lesi fokal :

    2.3.1. Kontusio dan laserasi serebri

    2.3.2. Hematoma intracranial :

    2.3.2.1. Hematoma epidural/ ekstradura (EDH)

    2.3.2.2. Hematoma subdural (SDH)

    2.3.2.3. Hematoma subarachnoid (SAH)

    2.3.2.4. Hematoma intraserebral (ICH), intraserebelar

    3. Derajat kesadaran :

    Kategori GCS Gambaran Klinik CT ScaningCK Ringan 13-15 Pingsan ? 10 mnt, defisit

    neurologik (-)Normal

    CK Sedang 9 - 12 Pingsan > 10 mnt s/d ? 6jam, defisit neurologik (+)

    Abnormal

    CK Berat 3 - 8 Pingsan > 6 jam, defisitneurologik (+)

    Abnormal

    Catatan : CK dengan GCS 13-15, pingsan ? 10 menit, tanpa deficit neurology, tetapi pada hasilscaning otak terlihat abnormal (perdarahan), maka doagnosis bukan CK ringan tetapi menjadi CK

    sedang

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 3

    C.Pemeriksaan Fisik

    1. Status Presen (Fungsi Vital)

    Meliputi pemeriksaan kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma

    Scale. Pemeriksaan fungsi vital: tekanan darah, nadi, respirasi, serta suhu

    tubuh dipantau secara berkala.

    2. Status Lokalis

    Dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya jejas, vulnus,

    fraktur ataupun laserasi pada bagian tubuh lainnya.

    3. Status Neurologis

    Dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal, harus hati-hati bila

    ada kecurigaan trauma servikal. Pemeriksaan saraf otak dari N.I sampai

    dengan N.XII dan pemeriksaan dolls eye phenomen, harus hati-hati bila

    ada trauma servikal. Pemeriksaan motorik dicari kemungkinan adanya

    parese pada ekstremitas, demikian juga pemeriksaan sensorik apakah

    ada hipestesi atau anestesi. Pemeriksaan refleks fisiologis dilihat adakah

    peningkatan refleks dan pemeriksaan refleks patologis apakah positif atau

    negatif.

    D.Gejala dan tanda-tanda klinis

    Cedera kranioserebral (CK) akan menyebabkan kerusakan / lesi

    primer dan sekunder:

    Lesi primer ialah cedera kranioserebral yang timbul pada saat

    rudapaksa, bersifat lokal maupun difus. Lokal seperti robekan kulit

    kepala, otot-otot dan tendo pada kepala, fraktur tulang tengkorak,

    dan Difus merupakan cedera axonal difus dan kerusakan

    mikrovaskuler.

    Lesi sekunder terjadi setelah rudapaksa akan timbul iskemia,

    edema serebri, vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan

    epidural, perdarahan subarakhnoid, rusaknya sawar darah otak,

    iskemik jaringan, hipertermi, hipoksia dan infeksi.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 4

    Bagan Efek cedera tertutup kranioserebral

    Cedera kranioserebral primer dapat menimbulkan kerusakan pada :

    1. Kulit kepala : laserasi, luka robek atau hematoma

    2. Tulang tengkorak : fraktur linier, kompresi atau fraktur basis kranii.

    Fraktur basis kranii, gejala klinisnya : perdarahan telinga (Otorrhoe),

    perdarahan hidung (Rhinorrhoe), hemotimpanum atau laserasi liang

    telinga luar, post-auricular ecchymosis (Battles sign), peri-orbital

    ecchymosis (Raccoons eyes), dan ditemukan cedera saraf

    kranialis. Pemeriksaan penunjang foto kepala dengan posisi basis

    kranii atau CT scan kepala.

    Gambar 1. Rontgen craniumdengan gambaran fraktur di regiotemporal

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 5

    Gambar 2.Tanda fraktur basis kranii

    Gambar 3. Raccoons eyes Gambar 4. Battles sign

    3. Wajah : fraktur os nasal, fraktur mandibula atau fraktur multiple

    4. Jaringan otak : bisa timbul cedera fokal atau diffuse

    a. Fokal : Terdiri dari Efek dari Coup dan kontra Coup.

    Kerusakan otak menekan permukaan yang berlawanan.

    Gerakan otak memutar membentur permukaan tulang.

    Rotasi otak menyebabkan streching (penarikan paksa).

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 6

    akan timbul edema, laserasi, perdarahan atau kontusio,

    sering pada lobus temporal dan frontal, biasanya multipel

    mungkin bilateral.

    Gambar 5.Cedera Coup dan Kontra Coup

    b. Diffuse : biasanya Diffuse Axonal Injury (DAI) lesi terutama di

    daerah subcortical.

    5. Selaput otak (duramater) : akibat cedera kranioserebral dapat

    timbul perdarahan pada epidural, subdural, ataupun sub-arachnoid.

    Pada cedera kranioserebral sekunder akan terjadi pelepasan

    komponen-komponen yang bersifat neurotoksik berupa respon inflamasi

    seluler, sitokin-sitokin, masuknya kalsium intrasel (Calcium Influx),

    pelepasan radikal bebas. Disfungsi neuron terjadi akibat pertukaran ion

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 7

    (sift ion), perubahan metabolisme, gangguan konektivitas dan perubahan

    neurotransmisi.

    Perubahan ion/metabolit akut meningkatkan kalium ekstra seluler

    dan pelepasan neurotransmiter eksitatori glutamat, yang akan

    meningkatkan kainate, NMDA, AMPA. Perubahan ion ini disebabkan

    karena gangguan pada membran neuron dan peregangan aksonal.

    Kaskade ini akan menyebabkan depresi neuronal yang menjadi dasar

    penyebab penurunan kesadaran, amnesia, dan disfungsi kognitif yang lain.

    Untuk mengkompensasi masuknya ion intra sel lebih lanjut dengan jalan

    mengaktivasi pompa membran sehingga terjadi peningkatan penggunaan

    glukosa (glicolisis). Glikolisis pada kondisi fungsi mitokondria yang

    menurun akan menghasilkan penumpukan produksi laktat, yang

    menyebabkan asidosis laktat, kerusakan mikrovaskuler, perubahan

    permiabilitas Blood Brain Barier , edem dan iskemik. Akhirnya terjadi

    kerusakan myelin atau axon.

    Kaskade Cedera Sekunder setelah Cedera Otak dan Medula Spinalis(Journal Neurosurgery.1986; 64:95-961)

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 8

    Berat ringannya cedera kranioserebral ditentukan berdasarkan penurunan

    tingkat kesadaran. Tingkat kesadaran dapat dinilai secara kwanlitatif dan

    dengan cara kwantitatif menggunakan skala koma Glasgow (GCS).

    Menurut Advanced Neuro Critical Care Support (2009) berat ringannya

    cedera kranioserebral dapat dibagi menjadi:

    1. Minimal (Simple Head Injury) :

    - nilai GCS = 15 (normal)

    - tidak ada hilang kesadaran

    - tidak ada amnesia

    2. Cedera Kranioserebral Ringan (Komosio Serebri) yaitu:

    - nilai GCS = 14 atau

    - nilai GCS = 15, dengan amnesia pasca cedera < 24 jam atau

    hilang kesadaran < 10 menit, dapat disertai gejala lain,

    misalnya : mual, muntah, nyeri kepala, atau vertigo, tidak

    ditemukan defisit neurologis.

    3. Cedera Kranioserebral Sedang (Komosio Serebri atau Kontusio

    Serebri) :

    - nilai GCS 9 13

    - hilang kesadaran lamanya > 10 menit tapi < 6 jam

    - dapat atau tidak ditemukan defisit neurologis fokal

    - amnesia post CK selama < 7 hari

    4. Cedera Kranioserebral Berat

    - nilai GCS 5-8

    - hilang kesadaran > 6 jam

    - ditemukan defisit neurologis

    - amnesia post CK > 7 hari

    5. Kondisi Kritis

    - nilai GCS 3-4

    - hilang kesadaran > 6 jam

    - ditemukan defisit neurologis

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 9

    E.Penatalaksanaan

    Penatalaksanaan terapi konservatif (non bedah) bertujuan untuk :

    1. Pasien yang tidak ada indikasi operasi

    2. Mengobati simptom akibat trauma otak

    3. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah

    kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial

    4. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misalnya kejang,

    nyeri kepala, vertigo, infeksi

    5. Mencegah dan mengobati brain swelling

    6. Mencegah dan meminimalisasi kerusakan sekunder

    7. Pasien post operasi, untuk mengoptimalkan kemampuan jaringan

    otak yang masih normal

    Tujuan akhirnya adalah memberikan perbaikan optimal pada neuron.

    Indikasi operasi

    Sedangkan terapi operatif diindikasikan untuk kasus-kasus:

    1. Pada cedera kranioserebral tertutup :

    a. Fraktur impresi

    b. Perdarahan epidural

    c. Perdarahan subdural

    d. Perdarahan intraserebral

    e. Operasi dekompresi, misalnya pada kontusio berat dengan

    edema serebri

    2. Pada cedera kranioserebral terbuka :

    a. Perlukaan kranioserebral dengan ditemukan luka kulit,

    fraktur multipel, dura yang robek disertai laserasi otak

    b. Liquorhea

    c. Pneumoencephali

    d. Corpus alienum

    e. Luka tembak

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 10

    Penanganan cedera berdasarkan berat ringannya cedera:

    1. Simple Head Injury

    a. Tanpa penurunan kesadaran

    - perawatan luka

    - pemeriksaan radiologi atas dasar indikasi

    - tak perlu dirawat

    - pesan pada keluarga : observasi kesadaran

    b. Kesadaran terganggu sesaat

    - Pasien sadar saat diperiksa, tidak ditemukan amnesia

    - lakukan pemeriksaan radiologi

    - observasi di rumah sakit/ IGD selama 6-8 jam

    2. Cedera Kranioserebral Ringan (Komosio Serebri)

    a. Tirah baring, lamanya disesuaikan dengan keluhan (vertigo,

    sefalgia), bila tidak ada keluhan boleh mobilisasi

    b. Observasi adanya lucid interval; dimana kesadaran makin

    menurun atau adanya lateralisasi

    c. Dilakukan pemeriksaan radiologi dan atau CT Scan (jika

    tersedia)

    d. Simptomatis : anti vertigo, antiemetik, analgetika

    e. Perawatan luka dan antibiotika : jika terdapat luka

    f. Pasien harus dirawat

    g. Follow up GCS harus dilakukan secara berkala (tiap 30

    menit)

    3. Cedera Kranioserebral Sedang (Kontusio Serebri)

    Pada keadaan ini pasien dapat mengalami gangguan

    kardiopulmoner, urutan penatalaksanaan sebagai berikut :

    a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas (airway), pernafasan

    (breathing) dan sirkulasi darah (circulation)

    b. Nilai tingkat kesadaran, pupil, gejala fokal neurologis, dan

    cedera organ lain

    c. Bila curiga fraktur leher pasang cervical collar

    d. Foto kepala dan leher, CT Scan (jika tersedia)

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 11

    e. Observasi fungsi vital, GCS, pupil, defisit neurologi.

    f. Pasien harus dirawat

    4. Cedera Kranioserebral Berat

    a. Pasien biasanya disertai cedera multipel

    b. Biasanya disertai juga kelainan sistemik

    c. Pasien sering dalam keadaan hipoksi, hipotensi dan

    hiperkapnia akibat gangguan kardio-pulmonal, urutan

    tindakan menurut prioritas sbb:

    A (Airways)

    B (Breathing)

    C (Circulation)

    d. Pemeriksaan fisik

    e. Harus dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala (40% masa/

    hematom intrakranial, midline shift > 5mm atau hematom >

    25 cc indikasi operasi)

    Urutan Penatalaksanaan Umum Cedera Kranioserebral :

    A. Resusitasi JPO (tindakan A-B-C)

    Airways (jalan nafas) bebaskan jalan nafas, pasang pipa

    orofaring

    Breathing (pernafasan) berikan oksigenasi, cari faktor penyebab,

    ventilator jika diperlukan

    Circulation (Sirkulasi) jaga euvolemia, hentikan perdarahan,

    perbaiki fungsi jantung, ganti darah yang hilang, pertahankan

    Tekanan darah > 100 mmHg untuk mencegah iskemik otak

    B. Pemeriksaan Radiologi

    Pemeriksaan foto polos kranium dan foto servikal dilakukan dalam

    segala kondisi pasien

    Pemeriksaan CT Scan kepala, untuk melihat : hematom, edema

    serebri, fraktur kranium, midline shift. Untuk pasien dengan

    kesadaran penuh (GCS 15) CT scan rutin tidak direkomendasikan,

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 12

    kecuali didapatkan nyeri kepala berat yang menetap, muntah, dan

    atau kelainan neurologi fokal.

    Gambar 6.Epidural hematom Gambar 7.Subdural hematom

    Gambar 8.Epidural hematom Gambar 9.Subdural hematom

    Gambar 10.Subarakhnoid hematom Gambar 11.intracerebral hematom

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 13

    C. Penatalaksanaan Tekanan Tinggi Intrakranial:

    1. Hiperventilasi terkontrol dengan tekanan pCO2 27-30,

    dimana terjadi vasokonstriksi, sehingga aliran darah ke

    serebral akan berkurang.

    2. Terapi diuretik (hiperosmoler) : mannitol 20% dosis 0,25-1

    gram/kgbb (200cc-150cc-150cc-150cc selang 6 jam),

    mannitol atau cairan osmotik lain mempunyai efek

    vasokonstriksi pembuluh darah piamater dan arteri basiler,

    sehingga akan mengurangi Cerebral Blood Flow.

    Pemberian mannitol jangan melebihi 3 hari dan hindari drip

    kontinyu. Efek samping berupa rebound peningkatan

    tekanan intra kranial pada disfungsi sawar darah otak,

    overload cairan, hiponatremi dilusi, takipilaksis dan gagal

    ginjal.

    3. Terapi barbiturat : diberikan pada Pasien dengan

    peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter tanpa cedera

    difus, autoregulasi baik dan fungsi kardiovaskuler adekuat,

    diberikan dengan dosis 10 mg/kgbb selama jam.

    Mekanisme kerja barbiturat : menekan metabolisme serebral,

    menurunkan aliran darah ke otak, menurunkan volume darah

    serebral, merubah tonus vaskuler.

    4. Steroid : masih kontroversi, tidak direkomendasikan untuk

    menurunkan tekanan intrakranial.

    5. Posisi tidur 30o , dengan kepala dan dada pada 1 bidang,

    untuk menjaga venous return. Hindari fleksi atau laterofleksi,

    supaya vena leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak

    menjadi lancar.

    6. Suhu tubuh normal < 37,5o C

    7. Mengatasi kejang

    8. Mengatasi rasa nyeri

    9. Menghilangkan rasa cemas

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 14

    10. Hindari keadaan yang dapat meningkatakan TIK, seperti :

    batuk, mengejan, penghisapan lendir berlebihan

    D. Keseimbangan Cairan dan elektrolit

    1. Dapat dipakai NaCl 0,9% atau RL hindari yang mengandung

    glukosa hiperglikemi akan menambah edema

    2. Batasi pemberian cairan 1500-2000 cc sehari (mencegah

    pertambahan edema serebri)

    E. Nutrisi

    Cedera otak peningkatan kadar epinefrin hipermetabolisme

    menyebabkan katabolisme protein

    Hari pertama dan kedua sebaiknya Pasien dipuasakan

    Hari 3-4 pemberian cairan parenteral, pemberian nutrisi lewat

    sonde 2000-3000 kalori/hari

    F. Kejang

    Saat kejang : berikan diazepam 10 mg iv, dilanjutkan fenitoin 200

    mg per oral, selanjutnya diberikan fenitoin 3x100mg/ hari.

    Pada status epileptikus : diberikan diazepam 10 mg iv dapat

    diulang 2-3 x selang 15 menit. Bila cenderung berulang diberikan

    Fenitoin 50 100mg/ 250ml NaCl 0,9% dengan tetesan 20-30

    tts/mnt.

    Pemberian fenitoin profilaksis pada CKB (severe traumatic brain

    injury) dengan risiko kejang tinggi, efektif menurunkan risiko kejang

    pasca truama awal (dalam waktu 7 hari setelah trauma). Fenitoin

    profilaksis diberikan dengan dosis 3-4 x 100 mg/ hari selama 7 hari.

    G. Infeksi

    Diberikan antibiotika profilaksis bila ada risiko tinggi infeksi,

    misalnya fraktur terbuka dan luka.

    H. Demam

    Diberikan antipiretika dan dicari kemungkinan penyebabnya.

    I. Gastrointestinal

    Sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastrointestinal lain, 10-

    40% akan terjadi perdarahan.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 15

    J. Gelisah

    Cari penyebab gelisah (kesulitan bernafas, kandung kencing penuh,

    nyeri karena patah tulang, sakit kepala, dll). Dapat diberikan

    penenang per oral dan tidak menimbulkan depresi pernafasan,

    dapat juga diberikan antikonvulsan, antipsikotik

    F.Serebral Proteksi

    Neuroprotektor yang diberikan diawal setelah cedera otak, dapat

    menekan kematian dan menambah perbaikan fungsi otak. Sejak awal

    manajemen sudah harus dideteksi dan dilakukan pencegahan terhadap

    efek sekunder dengan cara memperhatikan kemungkinan terjadinya

    komplikasi sekunder dan kemungkinan adanya perbaikan dengan terapi

    intervensi non farmasi.

    Hal yang perlu dipantau dari awal untuk proteksi serebral adalah

    kemungkinan terjadinya hipoksia, hipotensi, maupun demam yang dapat

    memperburuk kondisi serebral iskemia.

    Adanya tenggang waktu antara cedera otak (primary insult) dengan

    timbulnya kerusakan jaringan saraf (secondary effect), memberikan waktu

    bagi kita untuk memberikan neuroprotektor. Obat-obatan yang dapat

    digunakan antara lain antagonis kalsium (nimodipin) yang terutama

    diberikan pada perdarahan subarahnoid (SAH), citikolin dan piracetam

    dianggap berperan sebagai neuroproteksi.

    G.Neurorehabilitasi

    Posisi baring dirubah setiap 8 jam dan gerakan ekstremitas secara pasif

    untuk mencegah pneumonia ortostatik dan decubitus.

    Tindakan rehabilitasi meliputi:

    1. Mobilisasi bertahap dilakukan setelah keadaan klinis stabil

    2. Latihan otot untuk mencegah kontraktur

    3. Terapi wicara jika ada gangguan bicara

    4. Terapi okupasi

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 16

    H.Komplikasi cedera Kranioserebral

    1. Postconcussion Syndrome : sekitar 40% Pasien cedera otak

    mengeluhkan nyeri kepala, dizzines, kelelahan, insomnia atau

    hipersomnia, pandangan kabur, tinnitus, gangguan konsentrasi.

    Gejala post traumatik ini paling banyak terjadi pada Pasien dengan

    riwayat gejala psikiatrik sebelum terjadi cedera. Lamanya gejala

    postconcussion ini tidak tergantung dari berat ringannya cedera,

    Pasien dengan CK ringan dapat mengalami keluhan

    postconcussion dalam waktu yang lama, demikian sebaliknya. Di

    samping lesi fokal terdapat mekanisme lain ialah disfungsi HPA

    axis (Hypothalamic Pituitary Adrenal Axis) yang menyebabkan

    depresi. Penanganan Pasien postconcussion meliputi psikoterapi,

    terapi kognitif dan terapi kerja (occupational theraphy).

    2. Post-Traumatic Seizure / Epilepsy : Bisa terjadi segera (immediate)

    dalam 24 jam, atau dini (early) dalam minggu pertama, atau lambat

    (late) setelah minggu pertama. Insiden bangkitan (seizure) setelah

    trauma kranioserebral bervariasi 2,5% - 40%. Pada cedera otak

    berat mempunyai peluang yang lebih besar untuk berkembang

    terjadinya bangkitan. Beberapa faktor risiko adalah keadaan

    sebagai berikut : fraktur tengkorak yang impressi, trauma penetrasi,

    perdarahan intrakranial (epidural, subdural, intraparenkhim),

    penurunan kesadaran yang lama (>24 jam)/ koma dan kejang.

    3. Gangguan Fungsi Kognitif : bebapa pasien dengan cedera otak

    berat menunjukkan perubahan kognitif setelah pulih sadar dari

    koma yang lama. Perubahan yang biasa terjadi adalah agitasi dan

    gangguan orientasi serta gangguan memori, atensi, konsentrasi,

    gangguan bahasa dan gangguan kepribadian.

    4. Post-Traumatic Movement disorder : gangguan gerak merupakan

    sekuele yang jarang dijumpai pada cedera otak. Gangguannya

    biasanya berupa intention tremor dan resting tremor.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 17

    I.Prognosis

    Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20

    mmHg selama perawatan mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20

    mmHg kematiannya 39%. Tujuh belas persen pasien sakit CK berat

    mengalami gangguan kejang-kejang dalam dua tahun pertama post

    trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan

    amnesia. Faktor-faktor yang dapat menjadikan Predictor outcome cedera

    kepala adalah: lamanya koma, durasi amnesia post trauma, area

    kerusakan cedera pada otak, mekanisme cedera dan umur.

    Glasgow Outcome scale (GOS)

    v Good recovery :[G] :

    Pasien pulih ketingkat fungsi sebelum cedera

    v Moderately disabled :[MD] :

    Pasien dengan defisit neurologis namun mampu merawat diri

    sendiri

    v Severely disabled :[SD] :

    Pasien tidak mampu merawat diri sendiri

    v Vegetative :[V] :

    Tidak ada tanda-tanda berfungsinya mental luhur

    v Dead :[D]

    Outcome yang baik (G,MD)

    Outcome yang buruk (SD,V, atau D).

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 18

    CEDERA MEDULA SPINALIS

    A.Pendahuluan

    Cedera medula spinalis terjadi sekitar 10.000 kasus pertahun,

    prevalensinya di Amerika kurang lebih 200.000 pasien, kira-kira 10.000

    orang meninggal karena komplikasi yang berhubungan dengan cedera

    medula spinalis. Kasus baru cedera medula spinalis diduga setiap tahun

    terjadi sekitar 15-50 per sejuta penduduk, sementara angka prevalensi

    sekitar 900 per sejuta. Cedera medula spinalis 80% terjadi pada pria usia

    sekitar 15-30 tahun. Menurut Prihardadi dan Prijambodo (1990), cedera

    tulang belakang yang masuk di RSUD Dr. Soetomo rata-rata 111 kasus

    pertahun. Sejak tahun 19831997 terdapat 1592 kasus yang dirawat di

    RSUD Dr. Soetomo Surabaya (data Panitia Medik Pengembangan Tulang

    Belakang).

    Cedera medula spinalis (CMS) atau cedera spinal adalah cedera

    pada tulang belakang yang menyebabkan penekanan pada medula

    spinalis sehingga menimbulkan myelopati dan merupakan keadaan

    darurat neurologi yang memerlukan tindakan cepat, tepat dan cermat

    untuk mengurangi kecacatan.

    Medula spinalis dapat mengalami cedera melalui beberapa

    mekanisme. Cedera primer meliputi satu atau lebih proses berikut dan

    gaya: kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.

    Mekanisme yang paling sering ditemui adalah kombinasi dari benturan

    akut dan kompresi persisten yang terjadi pada burst fractur atau fraktur

    dislokasi dengan kompresi persisten pada medula spinalis oleh tulang,

    diskus, hematom atau kombinasinya.

    B.Klasifikasi cedera medula spinalis

    American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan

    International Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah

    mengembangkan dan mempublikasikan standart international untuk

    klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis. Klasifikasi ini

    berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/IMSOP

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 19

    dipakai di banyak negara karena sistem tersebut dipandang akurat dan

    komprehensif.

    Skala kerusakan menurut ASIA / IMSOPGrade A Komplit Tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang

    diinervasi oleh segmen sakral 4-5Grade B Inkomplit Fungsi sensorik tetapi bukan motorik di

    bawah tingkat lesi dan menjalar sampaisegmen sakral (S4-5)

    Grade C Inkomplit Gangguan fungsi motorik dibawah tingkatlesi dan mayoritas otot-otot penting dibawahtingkat lesi memiliki nilai kurang dari 3

    Grade D Inkomplit Gangguan fungsi motorik dibawah tingkatlesi dan mayoritas otot-otot penting memilikinilai lebih dari 3

    Grade E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal.

    Gambar 12. Tingkat lesi dan disfungsi neurologis

    C.PatofisiologiMenurut Grover (2001) trauma pada medula spinalis seringkali

    menyebabkan gangguan langsung dan lengkap dari fungsi medula

    spinalis, meskipun demikian secara anatomis medula sendiri jarang ter-

    transeksi. Cedera primer ditimbulkan oleh adanya pengaruh kekuatan dan

    tekanan langsung terhadap medula spinalis yang mengakibatkan

    kerusakan pada pembuluh darah kecil intrameduler, menyebabkan

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 20

    perdarahan pada substantia grisea dan mungkin vasospasme. Semua ini

    mengakibatkan penurunan langsung aliran darah pada substantia grisea

    kemudian diikuti oleh pengurangan yang serupa pada substantia alba.

    Akibat selanjutnya akan terjadi iskemik yang memacu peristiwa kaskade

    biokimiawi yang menandakan dimulainya proses cedera sekunder.

    Mekanisme cedera sekunder dapat dikategorikan sebagai

    mekanisme sistemik, ekstraseluler, intraseluler. Meskipun masih ada

    tumpang tindih, mekanisme sistemik cedera sekunder mencakup

    hemodinamika dan terjadinya hipoksia. Sementara mekanisme

    ekstraseluler terutama edem dan cedera vaskuler yang mengakibatkan

    vasospasme, iskemi dan perdarahan. Mekanisme intraseluler dalam

    neuron dan glia terdiri atas banyak proses seperti eksitotoksisitas dan

    produksi radikal bebas.

    Gambar 13. Cedera medula spinalis pada fraktur dislokasi

    Mekanisme trauma banyak tergantung pada jenis penyebab terjadinya

    taruma, yaitu:

    - Kecelakaan lalu-lintas dengan kecepatan tinggi.

    - Jatuh dari ketinggian lebih dari 3 kali tinggi tubuh pasien.

    - Beban aksial tinggi seperti seperti pada cedera saat menyelam.

    - Kekerasan di daerah spinal : tikaman, tembakan.

    - Kecelakaan olah raga.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 21

    D.Cedera Whiplash

    Gerakan tiba-tiba hiperekstensi kemudian diikuti hiperfleksi cervikal,

    menyebabkan cedera jaringan lunak spinal, tidak ada kerusakan medula

    spinalis. Cedera Whiplash tingkat I hanya berupa keluhan nyeri dan

    kekakuan leher, sementara tingkat II disertai dengan terbatasnya ROM

    (Range of Movement) dan adanya beberapa titik nyeri. Beberapa gejala

    yang ditemukan pada cedera Whiplash adalah:

    1. Nyeri leher yang bertambah pada 24 jam pertama.

    2. Nyeri kepal, nyeri menjalar (radiating) ke arah kedua pundak dan

    parestesi pada tangan.

    3. Gerak fleksi lateral berkurang.

    4. Fleksi ke depan (forward flexion) melawan tahanan menyebabkan

    nyeri.

    5. Sekitar 90% asimptomatik setelah 2 tahun, sementara 10% kasus

    masih merasakan nyeri.

    Gambar 14. Proses cedera Whiplash

    E.Gejala dan Tanda-tanda klinis

    Cedera medula spinalis mempunyai gambaran klinik yang berbeda-

    beda tergantung letak lesi dan luas lesi, dan dapat dibedakan menjadi 4

    kelompok, yaitu :

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 22

    Sindroma Kausa utama Gejala dan tanda klinisHemicord (BrownSequard syndrome)

    Cedera tembus, kompresiekstrinsik

    Gangguan kontralateral,parese ipsilateral, ggnpropioseptif ipsilateral, rasaraba normal

    Sindroma SpinalisAnterior (AnteriorCord syndrome)

    Infark a.spinalis anterior,HNP iskemik akut

    Ggn sensorik bilateral,propioseptif normal, pareseUMN dibawah lesi, pareseLMN setinggi lesi, disfungsispincter

    Sindroma Spinalissentral (CentralCord syndrome)

    Syringomyelia, hypotensivespinal cord ischemic,trauma spinal (fleksi-ekstensi), tumor spinal

    Parese LMN pada lengan,parese tungkai, danspastisitas. Nyeri hebat danhiperpati, ggn sensorik padalengan, disfungsi spincteratau retensio urin

    Sindroma SpinalisPosterior (PosteriorCord syndrome)

    Trauma, infark a.spinalisposterior

    Gangguan propioseptifbilateral, nyeri dan parestesipada leher, punggung danbokong, parese ringan

    Gambar 15.Brown Sequard syndrome Gambar 16.Anterior Cord syndrome

    Gambar 17.Central Cord syndrome Gambar 18.Posterior Cord syndrome

    Berdasarkan letak tinggi lesi, cedera medula spinalis dapat dikelompokkan

    menjadi :

    1. Servikal

    Cedera C1-C3:

    - Fungsi: rotasi/ fleksi/ ekstensi leher, bicara dan menelan.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 23

    - Lumpuh keempat anggota gerak, gerak kepala dan leher sangat

    terbatas, aktifitas harian dependen total, pernafasan tergantung

    pada ventilator.

    - Pada trauma gantung (Hangmans fracture) terjadi fraktur pedikel

    bilateral dan avulsi arkus lamina C2, serta dislokasi C2-C3 ke

    depan.

    Cedera C4:

    - Fungsi: kontrol gerak kepala/ leher/ pundak, inspirasi (diafragma).

    - Seperti lesi C1-C3 namun pernafasan tanpa respirator walaupun

    refleks batuk menurun. Komunikasi lebih baik dari C1-C3

    Cedera C5:

    - Fungsi: gerak leher, pundak, supinasi tangan.

    - Masih dapat makan, minum, gosok gigi namun untuk BAB, BAK

    harus dibantu.

    Cedera C6:

    - Fungsi: ekstensi dan fleksi pergelangan tangan, ekstensi siku

    (elbow).

    - Mungkin dapat mendiri untuk BAB dan BAK.

    Cedera C7:

    - Fungsi: fleksi dan ekstensi siku (elbow).

    - Semua gerak tangan dapat dilakukan.

    Cedera C8-T1:

    - Fungsi: fleksi dan ekstensi jari, gerak ibu jari, mengipaskan jari

    tangan. Semua gerak tangan dapat dilakukan.

    - Pasien dapat independent.

    2. Torakal

    Pada lesi tingkat torakal dapat terjadi peralisis flasid, gangguan fungsi

    kemih dan gangguan sensasi dibawah tingkat lesi. Dapat terjadi ileus

    paralitik temporer. Pada cedera T1-T2, pasien biasanya independen

    dan hanya membutuhkan bantuan untuk pekerjaan rumah yang berat.

    3. Lumbosakral

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 24

    Cedera L1-L5 (fungsi: fleksi paha, ekstensi lutut, dorsofleksi ankle,

    ekstensor ibu jari kaki) dan cedera S1-S5 (fungsi: plantar fleksi ankle,

    fungsi BAB, BAK, seksual), biasanya pasien independent.

    Terdapat beberapa hal khusus yang berkaitan dengan cedera medula

    spinalis akut:

    1. Sacral Spharing

    Suatu keadaan utuhnya fungsi radiks saraf sakral seperti gerakan ibu

    jari kaki atau sensasi peri-anal. Keadaan ini menunjukkan

    kemungkinan dapat pulihnya fungsi saraf.

    Gambar 19.Distribusi dermatom saraf spinalis

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 25

    2. Syok Neurogenik

    Cedera yang menyebabkan hilangnya kontrol otak terhadap tubuh

    sehingga terjadi keadaan vasoparalysis (tonus simpatis) yang

    menyebabkan keadaan syok, yaitu:

    - Lesi diatas Th-6 (lesi servikal atau thorakal tinggi).

    - Terjadi dalam menit-jam (penurunan katekolamin dapat terjadi

    dalam 24 jam).

    - Terputusnya persarafan simpatis mulai Th-1 sampai L-2.

    - Tonus vagal yang tidak sejalan.

    - Vasodilatasi perifer (arteri dan vena) menyebabkan hipovolemi.

    - Cardiac output menurun.

    - Penurunan pelepasan epinefrin sehingga terjadi hipotensi,

    bradikardi dan vasodilatasi dan hipotermi.

    - Pertimbangankan suatu syok hemoragik jika cedera dibawah Th-6,

    terdapat cedera mayor lain.

    3. Syok Spinal

    Merupakan suatu keadaan depresi refleks fisiologis (arefleksia) yang

    sementara (gegar medula spinalis) dengan gejala:

    - Mekanisme syok spinal belum jelas, diduga karena disfungsi

    membran akson dan neuronal yang bersifat sementara,

    menyebabkan gangguan kesetimbangan neurotransmiter dan

    elektrolit.

    - Hilangnya tonus anal, refleks, dan kontrol otonom dalam 24-72 jam

    - Hipotensi, bradikardia, hiperemia pada kulit, akral hangat,

    gangguan kontrol suhu.

    - Paralisis flasid, gangguan kontrol BAK dan BAB, serta priapism

    berkepanjangan.

    - Dapat terjadi beberapa jam setelah cedera dan bertahan beberapa

    hari hingga beberapa bulan hingga pulihnya lengkung refleks

    neural dibawah lesi, kecuali jika terjadi kerusakan yang berat pada

    medula spinalis.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 26

    - Makin tinggi letak lesi dan makin berat cedera yang terjadi

    menyebabkan syok spinal makin berat dan lama.

    F.Kriteria Diagnosis

    Tergantung dari letak dan tipe lesi medula spinalis dan vertebra.

    Lesi medula spinalis:

    a. Lesi komplit (total) medula spinalis

    - hilangnya seluruh modalitas sensorik di bawah tempat lesi

    - tetraplegi/ paraplegi.

    - kontrol miksi dan defeksi menghilang.

    - aktivitas refleks mula-mula menghilang kemudian meningkat

    (hiper-refleksi).

    - gangguan termoregulasi jika diatas segmen Th 9-Th10.

    - hipotensi ortostatik dapat terjadi pada fase akut.

    b. Lesi parsial :

    - Lesi anterior : bilateral paresis dan hilangnya sensasi nyeri dan

    temperatur, dengan sensasi posisi, sentuhan, dan vibrasi relatif

    utuh, disebelah kranial dari lesi.

    - Lesi unilateral (BrSeqSind): ipsilateral paresis, hilangnya

    sensasi propioseptif, ipsilateral, hilangnya sensasi nyeri dan

    temperatur kontralateral.

    - Lesi sentral : paresis berat setinggi lesi, gangguan sensasi

    nyeri dan temperatur bersifat segmental dan dissosiatif.

    c. Lesi vertebral :

    - Adanya deformitas.

    - Pembengkakan.

    - Nyeri setempat.

    - Keterbatasan gerakan spinal.

    G.Pemeriksaan Penunjang

    1. Laboratorium :

    a. Darah perifer lengkap.

    b. Gula darah sewaktu, ureum, kreatinin.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 27

    2. Radiologi:

    a. Foto vertebra posisi AP/ lateral dengan sentrasi sesuai dengan

    letak lesi.

    b. CT scan atau MRI jika diperlukan tindakan operasi. MRI

    menggambarkan keadaan jaringan dan medula spinalis dengan

    lebih akurat.

    c. Myelografi atau CT-mielografi dilakukan jika tidak tersedia MRI.

    3. Neurofisiologi Klinik:

    a. EMG (Electro Miography).

    b. NCV (Nerve Conduction Velocity).

    c. SSEP (Somato Sensoric Evoked Potential).

    MRI MRI

    Gambar 20. kompresi vertebra Gambar 21. dislokasi vertebra

    Gambar 22. Dislokasi vertebra cervical

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 28

    H.Penatalaksanaan

    Pada prinsipnya terapi cedera medula spinalis ditujukan untuk: 1)

    melindungi medula spinalis dari kerusakan lebih lanjut, 2)

    mempertahankan struktur tulang belakang yang memungkinkan

    pemulihan maksimal pada lesi inkomplit, 3) mencapai stabilitas vertebra

    yang memungkinkan rehabilitasi.

    Satu hal penting dalam trauma medula spinalis adalah terjadinya

    kerusakan sekunder menyusul terjadinya trauma mekanik yang

    menyebabkan kerusakan langsung atau primer pada medula spinalis.

    Meskipun cedera sekunder diawali sejak saat trauma, namun mempunyai

    kecenderungan untuk memburuk selama beberapa jam pertama setelah

    trauma. Terapi setelah rentang waktu tersebut potensial untuk mencegah

    atau mengurangi proses kerusakan ini. Makin parah cederanya, maka

    proses cedera sekundernya makin awal dan makin berat.

    Perhatian khusus harus diberikan pada kelompok pasien tertentu,

    yaitu pada:

    - Pasien anak-anak.

    - Orang tua lebih dari usia 55 tahun: risiko artritis servikal degeneratif.

    - Sindrom Down : risiko instabilitas atlanto-aksial.

    - Spina bifida.

    - Penyakit tulang degeneratif.

    - Tumor vertebra: risiko fraktur patologis.

    Penatalaksanaan cedera medula spinalis meliputi :

    1. Umum

    a. Jika ada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis servikalis dan

    torakal atas, imobilisasi servikal dan torakal saat transfer pasien

    segera pasang kerah fiksasi leher (cervical coller).

    b. Jika ada fraktur kolumna vertebralis torakalis bawah, angkut pasien

    dalam keadaan tertelungkup untuk menjamin ekstensi ringan

    vertebra, lakukan fiksasi torakal (pakai korset).

    c. Fraktur daerah lumbal, fiksasi dengan korset lumbal.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 29

    d. Kerusakan medula spinalis dapat menyebabkan tonus pembuluh

    darah menurun karena paralisis fungsi sistem saraf simpatik,

    akibatnya tekanan darah turun, beri infus bila mungkin plasma,

    dextran-40 atau ekspafusin. Sebaiknya jangan diberikan cairan

    cairan isotonik seperti NaCl 0,9% atau glukosa 5%. Bila perlu

    berikan adrenalin 0,2 mg s.c, boleh diulang 1 jam kemudian. Bila

    denyut nadi 180/100 mmHg) dapat diberikan obat

    antihipertensi.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 30

    3. Operatif

    Tindakan operatif dilakukan bila:

    a. Ada fraktur atau dislokasi vertebra yang labil, atau pecahan tulang

    yang menekan medula spinalis.

    b. Gangguan neurologis progresif memburuk.

    c. Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla

    spinalis.

    4. Neuro-Rehabilitasi

    Rehabilitasi dini untuk mencegah spasme fleksor bila perlu dengan

    penggunaan splint khusus. Rehabilitasi medik termasuk terapi fisik,

    okupasional dan vokasional.

    Tujuan :

    1. Penerangan & pendidikan kepada pasien dan keluarga

    2. Memaksimalkan kemampuan mobilisasi & self-care dan atau

    latihan langsung jika diperlukan.

    3. Latih miksi dan defekasi rutine.

    4. mencegah komorbiditi (kontraktur, dekubitus, infeksi paru, dll).

    5. Nilai psikologis semangat hidup & hubungan komunitas.

    6. Tentukan tujuan jangka panjang berdasarkan beratnya cedera dan

    sumber keluarga/komunitas.

    7. Mendorong untuk semaksimal mungkin untuk mandiri.

    8. Waspada : atelektase paru atau pneumonia

    9. Mencegah DVT (Deep Vein Thrombosis)

    10. Mencegah dekubitus

    I.Di Ruang Gawat Darurat

    Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat, sebagai berikut:

    1. Identifikasi pasien

    2. Anamnesis: kualitas dan distribusi nyeri, hal yang meringankan dan

    memperberat nyeri

    3. Pemeriksaan Fisik

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 31

    Penilaian awal (primary survey) dan penilaian lanjutan (secondary

    survey)

    a. A= Airway, B=Breathing, C=Circulation, D=Disability, E=Exposure

    b. Pemeriksaan Neurologis cepat

    c. Dokumentasi level cedera

    d. Pikirkan kemungkinan cedera di tempat lain seperti abdomen,

    thorak, anggota gerak dan kepala.

    e. AMUST

    A= Altered mental state. Adakah penggunaan alkohol atau drug

    abuse?

    M= Mechanism. Adakah keadaan potensial terjadinya cedera?U= Underlying condition.Adakah risiko tinggi terjadinya fraktur?S= Symptom. Adakah nyeri, parestesi, defisit neurologis?

    T= Timing. Kapan gejala timbul setelah trauma?

    f. Penatalaksanaan secara hati-hati dan cermat terutama bila pasien

    tidak sadar. Pasien tidak sadar harus diamati : pernafasan

    diafragmatik, tanda syok neurogenik (hipotensi, bradikardi), tanda

    syok spinal (arefleksia flacid), hilangnya inervasi ekstensor dibawah

    C5, respons nyeri hanya diatas klavikula, priapism

    g. Dapat dilakukan manuver Jaw Thrust

    h. Perbaiki deformitas umum vertebra

    i. Konsultasi bagian anestesi jika ada paralisis diafragma atau

    respirasi > 35 x/menit

    j. Atasi bila ada hipotensi

    k. Pertahankan tekanan arteri rerata 65-90 mmHg selama 7 hari

    pertama perawatan untuk menghindari keadaan iskemia

    l. Kateterisasi kandung kemih

    m. Cairan intravena

    n. Atasi segera nyeri dengan diberikan analgetik, bila perlu opiat dosis

    kecil

    o. Pertahankan suhu tubuh normal

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 32

    J.Pasca Perawatan

    Komplikasi yang sering terjadi saat perawatan adalah:

    1. Lesi diatas C4 dapat terjadi depresi pernafasan.

    2. Pada cedera servikal dan torakal dapat terjadi paralisis otot

    interkostal dan otot abdomen.

    3. Gangguan kardiovaskuler seperti bradikardia, vasodilatasi,

    hipotensi terjadi pada lesi diatas Th-6 yang mempengaruhi sistem

    saraf simpatis.

    4. Retensi urin dapat terjadi karena atoni kandung kencing yang

    menyebabkan overdistensi.

    5. Lesi diatas Th-5 dapat menyebabkan hipomotilitas saluran

    pencernaan, bila perlu berikan H2 blocker dan pasang NGT.

    6. Gangguan BAB jika lesi dibawah Th-12.

    7. Potensi luka pada kulit dan dekubitus.

    8. Gangguan termoregulasi.

    9. Trombosis vena dalam (deep vein thrombosis).

    10. Autonomik disrefleksia, merupakan komplikasi utama dan keadaan

    gawat darurat dengan gejala berat yang mengancam jiwa dengan

    gejala: hipertensi akut, bradikardia, kemerahan (flushing) dan

    berkeringat pada wajah, leher dan lengan, nyeri kepala hebat

    berdenyut, berkeringat (diaforesis), penglihatan kabur.

    Hal ini disebabkan adanya badai otonom yang terjadi pada fase

    akut cedera medula spinalis.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 33

    ASUHAN KEPERAWATAN

    KLIEN DENGAN CEDERA KRANIOSEREBRAL

    Asuhan Keperawatan Cedera Kranioserebral merupakan salah satu

    kegawatdaruratan. Mekanisme cedera mengacu pada terjadinya peristiwa

    yang menimbulkan trauma, agens yang menyebabkan trauma, dan

    informasi tentang tipe serta jumlah energi yang diubah pada saat kejadian

    tersebut.

    Informasi serta pengetahuan tentang cara terjadinya peristiwa akan

    membantu identifikasi dini dan penatalaksanaan cedera yang mungkin

    bisa mencegah Pasien jatuh pada keadaan yang lebih buruk. Penanganan

    yang tepat dan cepat menjadi hal yang penting bagi kesembuhan dan

    komplikasi yang dapat timbul pada Pasien dengan cedera kranioserebral

    baik pre maupun intrahospital.

    A. PENGKAJIAN

    Pengumpulan data klien, baik subyektif atau obyektif pada

    gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera

    kranioserebral tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injury dan adanya

    komplikasi pada organ vital lainnya. Cedera kranioserebral meliputi:

    bagian kulit, bagian kranium (tengkorak), dan serebral (otak)

    Pengkajian keperawatan cedera kranioserebral meliputi identitas,

    anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

    diagnostik, dan pengkajian psikososial.

    Data yang perlu dikaji adalah sebagai berikut :

    1. Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa,

    agama, pendidikan, pekerjaan, alamat. Rata rata usia yang

    mengalami cedera adalah antara 15 tahun sampai 35 tahun yang

    mana merupakan usia pertumbuhan dan usia produktif atau usia

    muda. Cedera Kranioserebral pada anak-anak mempunyai

    prognosis jangka panjang lebih baik daripada orang tua, besarnya

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 34

    potensi anak-anak dalam proses penyembuhan disebabkan oleh

    plastisitas sistem saraf dan kemampuannya untuk terus tumbuh

    dan berkembang. Selain identitas perlu diketahui tanggal dan jam

    MRS (Masuk Rumah Sakit), nomor register dan Diagnosa Medis.

    2. Anamnesis Riwayat Penyakita. Keluhan Utama

    Berisi tentang alasan utama Pasien atau seseorang meminta

    pertolongan kesehatan. Keluhan utama tergantung pada

    seberapa jauh dampak cedera disertai perubahan tingkat

    kesadaran

    b. Riwayat Penyakit Saat ini :

    Pengumpulan data yang tepat dan akurat tentang

    mekanisme cedera akan berpengaruh dalam tindakan

    keperawatan yang diberikan. Perlu kita kaji: Bagaimana Pasien

    bisa mengalami cedera?, Bagaimana kondisi umum Pasien

    saat kejadian (sadar/ tidak sadar, muntah/ tidak muntah,

    disertai kejang atau tidak)? Ada atau tidak ada amnesia (hilang

    ingatan)?, Durasi amnesia, Apakah mengalami kecelakaan lalu

    lintas (tipe benturan tabrakan, lokasi Pasien dalam kendaraan,

    pengaman berkendaraan, kecepatan berkendaraan)?, Apakah

    mengalami luka karena jatuh (ketinggian tempat jatuh, bagian

    kepala yang terbentuk, posisi saat jatuh, tipe permukaan

    benturan)?, atau Apakah Pasien mengalami trauma langsung

    pada bagian kepala (tipe trauma tumpul atau tajam)?.

    Pengkajian yang didapat adalah penurunan tingkat

    kesadaran, biasanya GCS

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 35

    kepala, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor

    dari hidung dan telinga, serta hipertermi.

    c. Riwayat Penyakit Dahulu

    Perlu dikaji mengenai riwayat penyakit yang terdahulu

    meliputi: penyakit Hipertensi, riwayat cedera sebelumnya,

    diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit hematologi,

    penggunaan obat-obatan sebelumnya, serta konsumsi alkohol

    berlebihan. Dari seluruh data yang dikaji ditambahkan kapan

    waktu terjadinya serta tindakan apa yang sudah dilakukan.

    d. Riwayat Penyakit Keluarga

    Keluarga dipandang sebagai bagian dari sistem sosial

    terbuka dimana keluarga secara terus menerus berinteraksi

    dengan Pasien. Pengkajian ditujukan pada keluarga apakah

    ada anggota keluarga yang menderita penyakit degeneratif

    seperti Hipertensi maupun diabetes mellitus yang dapat

    mempengaruhi tingkat keparahan cedera maupun tindakan

    keperawatannya.

    e. Pengkajian Psiko-sosial-spiritual

    Pengkajian meliputi: Bagaimana persepsi terhadap

    penyakitnya?, mekanisme koping yang digunakan, ekspresi

    yang ditunjukkan, Adakah Gangguan konsep diri?, Adakah

    gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil,

    iritabel, apatis, delirium, Apakah Pasien termasuk orang yang

    suka mabuk-mabukan atau tinggal di lingkungan orang yang

    suka minum alkohol?, Apakah Pasien termasuk orang yang

    taat beribadah?, Apakah selama sakit Pasien tetap

    menjalankan ibadahnya?. Bagaimana keyakinan Pasien

    terhadap sakit yang dialaminya?

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 36

    3. Pemeriksaan fisik

    Pemeriksaan fisik yang dilakukan mengacu pada pengkajian

    B1-B6 dengan pendekatan diagnosa keperawatan Lynda Juall

    Carpenito dan 11 Pola fungsi Kesehatan Gordon (11 Gordons

    Functional Health Patterns). Fokus keperawatan terletak pada B3 pada

    pengkajian Brain sehingga pengkajian lebih terarah dan tepat.

    a. Keadaan Umum

    Keadaan yang sering kali terjadi adalah penurunan kesadaran

    (GCS bernilai 14 termasuk dalam cedera kranioserebral ringan,

    GCS bernilai 9-13 termasuk dalam cedera kranioserebral sedang,

    GCS bernilai 5-8 termasuk dalam cedera kranioserebral berat,

    serta kondisi kritis bila GCS Pasien bernilai 3-4)

    b. B1 (Breathing)

    Penyebab utama kematian pada Pasien cedera kranioserebral

    adalah karena obstruksi jalan nafas akibat tersumbat oleh lidah,

    penumpukan sekret, darah, dan atau edema fasial. Perubahan

    pada sistem pernafasan bergantung pada gradasi dari perubahan

    jaringan serebral akibat trauma kepala.

    Pada pengkajian didapatkan: peningkatan produksi sputum,

    sesak nafas, terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman

    maupun frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur

    (chyne stokes, ataxia breathing), bunyi napas ronchi, wheezing

    atau stridor, selain itu tampak adanya ketidaksimetrisan dada yang

    menunjukkan adanya atelektasis, obstruksi pada bronkus,

    pneumothorak, fraktur tulang iga, fokal fremitus menurun,

    c. B2 (Blood)

    Pengkajian didapatkan: tekanan darah normal atau berubah,

    bisa juga meningkat bila terjadi peningkatan TIK, denyut nadi

    bradikardi, takikardi atau aritmia, sianosis serta bisa mengalami

    hipertermi. Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi

    jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu syok yang disebabkan

    adanya perdarahan akibat cedera. Beberapa keadaan lain akibat

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 37

    cedera kranioserebral akan merangsang pelepasan ADH sehingga

    terjadi retensi garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan

    meningkatkan konsentrasi elektrolit sehingga memberikan resiko

    terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada

    sistem kardiovaskuler

    d. B3 (Brain)

    Pengkajian Brain menjadi fokus pengkajian pada cedera

    kranioserebral yang meliputi:

    1) Tingkat Kesadaran

    Tingkat kesadaran merupakan indikator untuk menilai

    disfungsi sistem persarafan, kesadaran pada Pasien cedera

    kranioserebral berkisar pada tingkat: letargi, stupor,

    semikomatosa, sampai koma.

    2) Pemeriksaan fungsi serebral

    3) Pemeriksaan saraf cranial

    (a) Nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan

    daya penciuman dan anosmia bilateral.

    Struktur Tipe Cedera Gejala yang menyertai

    Otak Konkusio/ cederadifus

    Hilang kesadaran, hilang dayaingat, mual, muntah,kebingungan, pusing, defisitkognitif,

    Epidural Interval lusida, kehilangankesadaran, pupil ipsilateral

    Subdural Penurunan kesadaran secaraberangsur-angsur,peningkatan TIK

    Intakranial

    Subarakhnoid Peningkatan TIK, kaku kuduk,dan dilatasi pupil ipsilateral

    Tengkorak Fraktur Nyeri, perdarahan danpembengkakan

    Sel-selsaraf

    Cedera aksonyang difus

    Kehilangan kesadaran yangsegera, hipertermi, dekortikasiatau deserebrasi, TIK yangpada awalnya rendah danhipertensi.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 38

    (b) Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis :

    memperlihatkan gejala berupa penurunan fungsi penglihatan

    maupun lapang pandang (hematom palpebra). Pemeriksaan

    fundus okuli sebagai salah satu indikator adanya peningkatan

    TIK.

    (c) Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) danNervus VI (Abducens) ditandai: Gangguan mengangkat

    kelopak mata, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat

    mengikuti perintah, anisokor.

    (d) Nervus V (Trigeminus) ditandai: adanya paralisis nervus

    trigeminus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan

    mengunyah dan anestesi daerah dahi.

    (e) Nervus VII (Fasialis) ditandai: hilangnya rasa pada 2/3

    bagian lidah anterior lidah.

    (f) Nervus VIII (Akustikus), pada Pasien sadar gejalanya

    berupa menurunnya daya pendengaran dan kesimbangan

    tubuh.

    (g) Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X (Vagus), danNervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena

    Pasien akan meninggal apabila trauma mengenai saraf

    tersebut. Gejala yang timbul ditandai: Adanya Hiccuping

    (cekungan) karena kompresi pada nervus vagus, yang

    menyebabkan kompresi spasmodik dan diafragma (Hal ini

    terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan yang terjadi,

    biasanya yang beresiko peningkatan tekanan intrakranial),

    serta kemampuan menelan kurang baik dan kesukaran

    membuka mulut.

    (h) Nervus XII (Hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah

    jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartria serta

    bisa disertai perubahan pengecapan.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 39

    4) Pemeriksaan refleks

    Pemeriksaan Reflek dalam, pengetukan pada tendon,

    ligamentum atau periosteum derajat refleks pada

    respon normal.

    Pemeriksaan Refleks patologis, pada fase akut refleks

    fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah

    beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali

    didahului dengan refleks patologis.

    Pemeriksaan Refleks PatologisNO REFLEKS CARA PEMERIKSAAN

    1 Babinski Penggoresan telapak kaki bagianlateral dari arah posterior ke anterior.

    2 Chaddok Penggoresan kulit dorsum pedisbagian lateral, sekitar malleolus lateraldari posterior ke anterior.

    3 Oppenheim Pengurutan crista anteroir tibia dariproksimal ke distal

    4 Gordon Penekanan betis secara keras denganposisi tungkai bawah direfleksikanpada sendi lutut

    5 Schaeffer Melakukan pemencetat pada tendonachilles secara keras

    6 Gonda Penekanan (plantar fleksi) maksimaljari kaki ke empat

    7 Stransky Penekunan ke lateral secara maksimaljari kaki ke lima

    8 Rossolimo Pengetukan pada telapak kaki bagianatas

    9 Mendel-Bechterew Pengetukan dorsum pedis padadaerah os.Cuboideum (lurus denganjari ke empat ke arah proksimal didepan talus)

    10 Hoffman Goresan pada kuku jari tengah (jari III)pasien

    11 Trommer Colekan pada ujung jari tengah (jariIII) pasien

    12 Leri Posisikan tangan pasien dengan sikaplengan diluruskan di bagianvolar/ventral menghadap ke ataskemudian dilakukan fleksi maksimaltangan pada pergelangan tangan.

    13 Meyer Fleksikan maksimal jari tengah pasienke arah telapak tangan

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 40

    4) Sistem sensorik-motorik

    Pengkajian didapatkan: hemiplegia (paralisis pada salah

    satu sisi), Hemiparesis (kelemahan salah satu sisi tubuh),

    penurunan atau hilangnya tonos otot, gangguan koordinasi

    dan keseimbangan, Hemihipestesi (ketidakmampuan untuk

    menginterpretasikan sensasi), serta disfungsi persepsi

    visual.

    e. B4 (Bladder)

    Pengkajian didapatkan: Perubahan eliminasi uri bisa terjadi

    penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan akibat

    menurunnya perfusi ginjal. Gejala awal mungkin ditemui retensi

    urine akibat trauma atau terjadi penurunan kontrol sfingter

    urinarius eksternal yang hilang atau berkurang.

    f. B5 (Bowel)

    Pengkajian didapatkan: Pemeriksaan rongga mulut

    (ada/tidaknya lesi pada mulut, lembab/kering), muntah, kesulitan

    menelan, nafsu makan menurun, konstipasi atau terjadi

    perubahan eliminasi alvi serta adanya tanda-tanda penurunan

    fungsi saluran pencernaan seperti bising usus yang tidak

    terdengar atau lemah.

    g. B6 (Bone)

    Pengkajian meliputi kulit dan tulang didapat: wajah pucat,

    sianosis perifer atau sentral, turgor kulit menurun, adanya lesi atau

    luka, kerusakan area motorik seperti hemiparesis/plegia,

    munculnya gangguan gerak involunter, gangguan pada kekuatan

    otot (gangguan mobilitas fisik). Dari foto Rontgen ditemukan

    fraktur pada tulang kranium, seperti fraktur linier, kompresi atau

    fraktur basis kranii. Fraktur basis kranii, gejala klinisnya :

    perdarahan telinga (Otorrhoe), perdarahan hidung (Rhinorrhoe),

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 41

    hemotimpanum atau laserasi liang telinga luar, post-auricular

    ecchymosis (Battles sign), peri-orbital ecchymosis (Raccoons

    eyes).

    Pemeriksaan kekuatan otot:

    +5 Bila dapat melawan tahanan kita

    +4 Bila dapat melawan tahanan ringan

    +3 Bila dapat melakukan gerakan melawan gaya gravitasi,

    tapi tidak dapat melawan tahanan ringan

    +2 Bila dapat melakukan gerakan ke samping, tidak dapat

    melakukan gerakan melawan gaya gravitasi

    +1 Bila hanya kontraksi saja

    0 Bila tidak ada gerakan sama sekali (plegi)

    B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

    Pemeriksaan diagnostik yang direkomendasikan:

    1. CT scan (tanpa/dengan kontras)

    2. MRI

    3. Foto polos kranium dan servikal

    C. PRIORITAS MASALAH KEPERAWATAN

    1. Memaksimalkan perfusi atau fungsi otak

    2. Mencegah komplikasi

    3. Pengaturan fungsi secara optimal atau mengembalikan ke fungsi

    normal

    4. Mendukung proses pemulihan koping Pasien dan keluarga

    5. Pemberian informasi bersama dengan tim medis tentang penyakit,

    prognosis, pengobatan dan rehabilitasi

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 42

    D. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

    1. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan

    kehilangan fungsi otot-otot pernafasan, penurunan ekspansi

    paru, dan depresi pada pusat pernafasan di otak.

    2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan

    ketidakseimbangan perfusi-ventilasi (Hiperkapni, hipoksia,

    Takikardi).

    3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

    penumpukan sputum, ketidakmampuan batuk efektif .

    4. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan

    Edema Otak.

    5. Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial

    berhubungan dengan adanya proses desak ruang sekunder dari

    kompresi korteks serebri.

    6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan

    dengan penurunan produksi ADH akibat terfiksasinya

    hipotalamus

    7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh: berhubungan

    dengan berkurangnya peningkatan kebutuhan metabolisme,

    perubahan kemampuan mencerna makanan, berkurangnya

    kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran

    dan gangguan persepsi sensori pengecapan.

    8. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya

    kuman melalui jaringan atau kontinuitas yang rusak akibat

    trauma

    9. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi dan efek

    toksin di jaringan otak.

    10. Gangguan rasa nyaman: Nyeri Kranioserebral berhubungan

    dengan kerusakan jaringan otak, perdarahan otak/peningkatan

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 43

    tekanan intrakranial, dan refleks spasme otot sekunder.

    11. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan imobilisasi,

    penurunan kekuatan dan ketahanan

    12. Gangguan persepsi sensoris berhubungan dengan penurunan

    daya penangkapan sensoris.

    13. Ansietas (Pasien) berhubungan dengan krisis situasional;

    ancaman terhadap konsep diri, takut mati, dan perubahan status

    kesehatan.

    14. Ansietas (keluarga) berhubungan dengan kondisi kritis yang

    dialami klien.

    15. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik

    dan diskontinuitas jaringan kulit.

    16. Resiko kejang berhubungan dengan Lesi pada korteks serebral.

    17. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan

    pada sistem saraf pusat.

    18. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan berkurangnya

    atau hilangnya sfingter uretra, trauma, gangguan sensori-

    motorik.

    19. Konstipasi berhubungan dengan keterbatasan aktivitas fisik,

    menurunnya bising usus.

    20. Gangguan kognitif berhubungan dengan kerusakan pada

    serebral atau TBI: Traumatic Brain Injury (Korteks prefrontal

    area 9 dan 12)

    E. INTERVENSI KEPERAWATAN

    1. Diagnosa: Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan

    dengan kehilangan fungsi otot-otot pernafasan, penurunan

    ekspansi paru, dan depresi pada pusat pernafasan di otak

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 44

    a. Berikan informasi pada Pasien tentang tindakan dalam

    melakukan asuhan keperawatan

    b. Berikan posisinya yang nyaman yaitu posisi semifowler

    c. Dorong Pasien untuk duduk dan mobilisasi miring kanan

    miring kiri (mika-miki) bila kondisi memungkinkan

    (Keadaan sadar)

    d. Longgarkan pakaian atau celana yang dapat membuat

    nafas Pasien terbatas (bebaskan sesuatu yang

    memperberat ekspansi paru)

    e. Observasi fungsi pernafasan (kecepatan, irama,

    frekuensi, kedalaman, usaha respirasi dan ada tidaknya

    dispnea, sesak nafas, sianosis) dan tanda-tanda vital

    f. Ajarkan Batuk secara efektif

    g. Kolaborasi dengan tim medis dan fisioterapi

    h. Lakukan pemeriksaan Radiologi atau Foto Thorax

    2. Diagnosa: Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan

    ketidakseimbangan perfusi-ventilasi (Hiperkapni, hipoksia,

    Takikardi)

    a. Pantau pernafasan (bunyi nafas, frekuensi, kedalaman,

    dan usaha nafas) serta auskultasi bunyi nafas

    b. Pantau status mental (tingkat kesadaran, gelisah dan

    konfusi)

    c. Pantau saturasi O2 dengan oksimeter nadi

    d. Pantau Hasil gas darah

    e. Observasi terhadap sianosis terutama membran mukosa

    mulut

    f. Ajarkan teknik bernafas dan relaksasi

    g. Kolaborasi dengan tim medis tentang penggunaan alat

    bantu yang dianjurkan, bronkodilator, aerosol, dan

    nebulasi

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 45

    3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

    penumpukan sputum, ketidakmampuan batuk efektif

    a. Pantau keadaan jalan nafas

    b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara nafas pada

    kedua paru (bilateral)

    c. Catat adanya batuk, bertambahnya sesak nafas

    d. Lakukan penghisapan atau suction sesuai indikasi

    e. Atur atau ubah posisi secara teratur

    f. Berikan minum hangat bila memungkinkan

    g. Ajarakan pengontrolan batuk dengan batuk efektif dan nafas

    dalam serta perlahan

    h. Berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk

    i. Kolaborasi dengan tim medis (ekspektoran, antibiotik) dan

    fisioterapi

    4. Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial

    berhubungan dengan adanya proses desak ruang sekunder dari

    kompresi korteks serebri.

    Gambar 23. Prosesdesak ruang akibatperdarahan intrakranial

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 46

    Cara menghitung CPP (cerebral perfusion pressure):

    MAP: Mean arterial pressure(tekanan arteri rata-rata)

    ICP: Intrakranial Pressure (tekanan intracranial)

    CPP normal: 50-130 mm Hg

    a. Pantau tanda dan gejala peningkatan TIK

    (a) Respon membuka mata, respon verbal, motorik

    (b) Perubahan tanda tanda vital

    (c) Perubahan pada respon pupil

    (d) Adanya muntah atau sakit kepala

    (e) Perubahan mental

    b. Tinggikan kepala 300

    c. Hindarkan untuk melakukan tindakan yang dapat

    meningkatkan TIK

    (a) Fleksi atau rotasi leher secara berlebihan

    (b) Mengejan

    (c) Batuk keras dan menahan nafas

    (d) Perubahan posisi yang cepat

    d. Anjuran untuk ekspirasi selama perubahan posisi untuk

    mencegah manuver valsava

    e. Berikan periode istirahat antara tindakan keperawatan

    f. Observasi tanda-tanda vital

    g. Batasi penghisapan atau suction yang berlebihan

    h. Kolaborasi dengan tim medis pemberian laksadin yang

    sesuai, diuretik osmotik, steroid (menurunkan permeabilitas

    CPP = MAP - ICP

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 47

    kapiler dan membatasi edema serebral)

    5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh:

    berhubungan dengan berkurangnya peningkatan kebutuhan

    metabolisme, perubahan kemampuan mencerna makanan,

    berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya

    kesadaran dan gangguan persepsi sensori pengecapan

    a. Tentukan kebutuhan nutrisi Pasien

    b. Berikan makanan dalam keadaan hangat dan sajikan dalam

    bentuk yang menarik

    c. Anjurkan memakan makanan secara MSS (Makan sedikit

    tapi sering)

    d. Pertahankan kebersihan Personal Hygiene terutama

    kebersihan mulut

    e. Bila diserta rasa mual atau muntah hindari makanan yang

    merangsang asam lambung (pedas, santan, masam dsb)

    f. Timbang berat badan jika memungkinkan

    g. Pasang NGT bila Pasien mengalami kesulitan menelan atau

    dalam keadaan tidak sadar

    h. Kolaborasi dengan tim medis dan ahli gizi

    6. Gangguan rasa nyaman: Nyeri Kranioserebral berhubungan

    dengan kerusakan jaringan otak, perdarahan otak/peningkatan

    tekanan intrakranial, dan refleks spasme otot sekunder

    a. Berikan posisi yang nyaman

    b. Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi

    c. Observasi tingkat nyeri dan respon motorik

    d. Kolaborasi dengan tim medis tentang pemberian analgesik

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 48

    7. Gangguan kognitif berhubungan dengan kerusakan pada serebral

    atau TBI: Traumatic Brain Injury (Korteks prefrontal area 9 dan 12)

    a. Meningkatkan keamanan Pasien (memberi pagar pada tempat

    tidur)

    b. Mengatasi kebingungan (bicara dengan sikap tenang, suara

    pelan dan jelas, izinkan Pasien untuk mengambil keputusan

    sesuai kemampuannya)

    c. Mengendalikan lingkungan untuk mengurangi kelebihan

    sensori (berikan lingkungan yang tidak berisik, validasi

    ansietas yang dialami Pasien)

    d. Meningkatkan tidur dan nutrisi yang tepat (pantau pola tidur,

    pantau asupan makanan dan cairan)

    e. Lakukan penguatan koping (ajarkan koping positif)

    F. TINDAKAN YANG MENJADI TANGGUNG JAWAB PERAWATTindakan dalam menghadapi Pasien dengan ventrikulostomi dan

    pemantauan TIK di IRD: (Pasien cedera kranioserebral yang akandilakukan pemebedahan)

    1. Menjelaskan pada Pasien/ keluarga tentang tindakan yang akan

    dilakukan

    2. Melakukan pengkajian neurologis

    3. Mengatur kepala tempat tidur pada sudut 300

    4. Menyiapkan prosedur Operasi

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 49

    ASUHAN KEPERAWATAN

    KLIEN DENGAN CEDERA MEDULA SPINALIS

    Cedera Medula Spinalis (MedSpin) merupakan keadaan darurat

    neurologi yang memerlukan tindakan cepat, tepat dan cermat untuk

    mengurangi kecacatan.

    A. PENGKAJIAN

    Penting bagi perawat untuk mengetahui bahwa setiap adanya riwayat

    trauma pada servikal merupakan hal yang penting diwaspadai.

    Pengkajian pada klien dengan cedera medula spinalis meliputi:

    1. Identitas

    Cedera Medula Spinalis kebanyakan (80%) terjadi pada usia sekitar

    15-30 tahun. Kebanyakan dialami oleh laki-laki dari pada

    perempuan dengan perbandingan 8:1, sebagian besar

    penyebabnya karena kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja.

    Sedangkan penyebab lainnya adalah karena jatuh dari ketinggian,

    cedera olah raga, RA (Reumatoid Artritis) atau osteoporosis

    bahkan akibat penganiayaan (community violence). Dari data yang

    diperoleh dari RSUD Dr.Soetomo Surabaya Jawa timur ditemukan

    111 kasus pertahun untuk kejadian cedera medula spinalis.

    2. Anamnesis Riwayat Penyakit

    a. Keluhan utama

    Cedera medula spinalis mempunyai keluhan atau gejala utama

    yang berbeda-beda tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan

    utama yang timbul seperti nyeri, rasa bebal, kekakuan pada

    leher atau punggung dan kelemahan pada ekstremitas atas

    maupun bawah. Ditanyakan pula aktivitas maupun posisi kepala

    yang meningkatkan maupun mengurangi keluhan, adakah

    riwayat cedera dan mekanismenya, adanya gangguan berjalan,

    gangguan defekasi maupun BAK, dan gangguan sensorik.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 50

    b. Riwayat Penyakit Saat ini

    Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat

    kerusakan dan adanya kehilangan fungsi neurologik. Medula

    Spinalis dapat mengalami cedera melalui beberapa mekanisme,

    cedera primer meliputi satu atau lebih proses berikut dan gaya:

    kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.

    Mekanisme yang paling sering ditemui adalah kombinasi dari

    benturan akut dan kompresi persisten yang terjadi pada burst

    fractur atau fraktur dislokasi dengan kompresi persisten pada

    medula spinalis oleh tulang, diskus, hematom atau

    kombinasinya.

    Riwayat Penyakit saat ini perlu dikaji tentang kapan cedera

    terjadi?, Apa penyebab cedera?, Jatuh pada kepala atau

    pukulan pada dahi?, Luka tusuk atau tembak?, Apakah klien

    mengalami kehilangan kesadaran?, Durasi periode tidak sadar?,

    Berespon terhadap rangsang verbal atau nyeri?, mekanisme

    cedera?, Apakah sebelumnya meminum minuman keras

    (alkohol) atau menggunakan obat-obatan terlarang?

    Selain itu perlu dikaji tentang mekanisme cedera yang

    tergantung pada jenis dan penyebab terjadinya cedera: Yaitu

    kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi, jatuh dari

    ketinggian, cedera saat menyelam, kekerasan (luka tikaman

    maupun tembakan) di daerah spinal, dan kecelakaan olahraga

    c. Riwayat Penyakit Dahulu

    Klien dengan cedera medula spinalis bisa disebabkan oleh

    beberapa penyakit seperti Reumatoid Artritis,

    Pseudohipoparatiroid, Spondilitis, Ankilosis, Osteoporosis,

    maupun Tumor ganas.

    d. Riwayat Penyakit Keluarga

    Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat

    memperberat cedera Medspin.

    e. Riwayat Psiko-Sosio-Spiritual

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 51

    Pengkajian meliputi: Bagaimana Emosi Klien?, Apakah klien

    memiliki kebiasaan meminum minuman keras dan suka mabuk?,

    Bagaimana keyakinan klien terhadap sakit yang dialaminya?,

    Apakah ada penyangkalan tentang penyakitnya?, Bagaimana

    emosi klien: sedih, marah, takut, cemas, gelisah, menarik diri

    maupun tidak percaya?.

    3. Pemeriksaan Fisik

    Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan

    pengkajian fokus ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat

    Cedera Medspin.

    a. Keadaan Umum

    Pada umumnya terjadi defisit neurologis dan status

    kesadaran pada fase awal kejadian trauma, terutama pada

    klien yang diindikasikan cedera spinal tidak stabil.

    b. B1 (Breathing)

    Pada klien dengan cedera Medspin beresiko tinggi

    mengalami kompresi korda yang berdampak pada henti

    jantung-paru. Selain itu bila terjadi lesi diatas Cervikal 4

    dapat terjadi depresi nafas. Pengkajian meliputi: penilaian

    pada kepatenan jalan nafas, Penurunan kekuatan batuk

    karena paralysis abdominal dan otot pernafasan sehingga

    sulit membersihkan sekresi bronkial dan faring, nafas

    pendek, sulit bernafas, pernafasan dangkal, periode apneu,

    penurunan bunyi nafas, terdapat ronkhi, adanya pucat

    maupun sianosis.

    c. B2 (Blood)

    Pengkajian didapatkan: Hipotensi, Hipotensi postural,

    Hipotensi Ortostatik (fase akut), Bradikardi, extremitas dingin

    dan pucat, gangguan kontrol suhu, hilangnya keringat pada

    daerah yang terkena, rasa berdebar-debar serta pusing

    disaat melakukan perubahan posisi atau bergerak.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 52

    d. B3 (Brain)

    Pengkajian didapatkan: perubahan fungsi motorik dan

    sensorik serta gejala kerusakan neurologik progresif.

    e. B4 (Bladder)

    Pengkajian didapatkan: inkontinensia urin, retensi urin,

    distensi kandung kemih, disfungsi spincter.

    f. B5 (Bowel)

    Pengkajian didapatkan: Peristaltik usus hilang atau menurun,

    distensi abdomen, inkontinensia feses, konstipasi, disfungsi

    spincter ani dan kehilangan refleks abdomen. Penting untuk

    menguji ada tidaknya refleks primitif kulit anal dan sensori

    perianal. Sekali refleks primitif muncul kembali, syok spinal

    telah berakhir, bila semua fungsi motorik dan sensorik masih

    tidak ada, lesi neurologis bersifat lengkap. Sensori perianal

    yang utuh menunjukkan lesi yang tidak lengkap dan dapat

    terjadi penyembuhan lebih jauh.

    g. B6 (Bone)

    Pengkajian didapatkan: kekakuan dan nyeri pada sisi otot

    maupun radiks saraf yang terkena, hipertonus, spasme

    pada sisi otot yang nyeri, lihat adanya deformitas pada leher,

    adanya memar pada wajah, dagu atau mata (salah satu

    tanda adanya cedera hiperekstensi pada leher), adanya

    memar pada tulang belakang, palpasi Prosesus spinosus

    dengan hati-hati (kadang-kadang suatu celah dapat teraba

    bila ligamen tersobek, keadaan ini atau hematoma pada

    spinal merupakan tanda yang menakutkan. Selama fase

    syok spinal mungkin terdapat paralisis lengkap dan

    hilangnya perasaan di bawah tingkat cedera, keadaan ini

    dapat berlangsung selama 48 jam atau lebih dan selama

    periode ini sulit diketahui apakah lesi neurologis lengkap

    atau tidak lengkap.

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 53

    Pemeriksaan motorik sangatlah penting untuk menentukan

    tingkat radiks servikal yang terkena sesuai dengan distribusi

    myotomal.

    Pemeriksaan Motorik pasien dengan Cedera Medula SpinalisNo Gejala Letak Kerusakan

    1 Kelemahan pada abduksi bahu Radikulopati C52 Kelemahan pada fleksi siku dan ekstensi

    pergelangan tanganRadikulopati C6

    3 Kelemahan pada ekstensi siku dan fleksipergelangan tangan

    Radikulopati C7

    4 Kelemahan pada ekstensi ibu jari dandeviasi ulnar dari pergelangan tangan

    Radikulopati C8

    5 Perubahan pada refleks bisep Mewakili tingkat radiksC5-C6

    6 Perubahanpada refleks Trisep Mewakili tingkat radiksC7-C8

    Gambar 24.Distribusi areayang dipersarafioleh Saraf Tepi

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 54

    4. Pemeriksaan Diagnostik

    a. Laboratorium

    b. Radiologi

    c. Neurofisiologi klinik

    EMG

    NCV

    SSEP

    d. MRI

    e. CT Scan

    B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

    1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kehilangan fungsi

    otot-otot interkostal akibat cedera Medspin

    2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

    penurunan refleks batuk

    3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kekuatan dan

    ketahanan sekunder akibat paralisis parsial atau total

    4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilitas

    5. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan hilangnya

    persarafan kandung kemih atau penurunan spincter uri

    6. Konstipasi berhubungan dengan ileus paralitik dan dilatasi gaster

    selama spinal syok.

    7. Perubahan persepsi-sensori: perabaan berhubungan dengan

    kerusakan traktus sensori, penurunan rangsang lingkungan

    8. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme

    otot sekunder akibat cedera Medspin.

    C. INTERVENSI KEPERAWATAN1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kehilangan

    fungsi otot-otot interkostal akibat cedera Medspin

    a) Ajarkan Klien untuk melakukan latihan nafas dalam

    b) Observasi warna kulit, adanya sianosis

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 55

    c) Monitoring adanya distensi abdomen dan spasme otot

    d) Auskultasi suara nafas

    e) Kolaborasi dengan tim medis tentang pemberian oksigen

    f) Kolaborasi dengan fisioterapi

    2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

    Penurunan reflek batuk, immobilisasi

    a) Pantau kedalaman pernafasan dan gerakan dada

    b) Auskultasi area paru, catat area penurunan, dan bunyi nafas

    c) Bantu pasien melakukan latihan nafas dan batuk efektif (bila

    pasien sadar)

    d) Melakukan penghisapan lendir sesuai indikasi

    e) Berikan cairan sedikitnya 2500ml/hari (kecuali ada kontra

    indikasi)

    f) Berikan nebulizer sesuai indikasi

    g) Kolaborasi dengan tim medis (bronkodilator, mukolitik,

    ekspektoran) dan fisoterapi (Terapi dada)

    h) Pantau efek samping obat dan respon pasien terhadap terapi

    3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekuatan dan

    ketahanan sekunder akibat paralisis parsial atau total ( Cedera

    Medula Spinalis)

    a) Bantu pasien melakukan latihan ROM pada semua ekstremitas

    dan sendi secara perlahan dan lembut

    b) Ukur dan pantau tekanan darah sebelum dan sesudah

    melakukan aktifitas dalam fase akut sampai keadaan pasien

    stabil

    c) Ubah posisi pasien secara periodik

    d) Persiapkan klien pada saat akan melakukan aktivitas yang

    dapat membebani tubuh

    e) Anjurkan klein untuk menggunakan teknik relaksasi

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 56

    f) Monitoring rasa nyeri, kemerahan, bengkak dan ketegangan

    otot jari

    g) Pantau secara teratur fungsi motorik (jika timbul syok spinal)

    dengan menginstruksikan klien melakukan gerakkan seperti

    mengangkat bahu, meregangkan jari, menggenggam tangan

    pemeriksa

    h) Kolaborasi:

    Tim Medis: pemberian muscle relaxan

    Fisioterapi / Rehabilitasi

    4. Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan

    kehilangan sensori dan immobilisasi, tirah baring lama

    a) Lakukan perubahan posisi sesering mungkin di tempat tidur

    sesuai kemampuan pasien

    b) Inspeksi seluruh area kulit, catat pengisian kapiler, adanya

    kemerahan, pembengkakan

    c) Berikan perhatian yang khusus pada daerah yang tertekan

    seperti memberi bantalan air

    d) Berikan tumpuan pada telapak kaki untuk mencegah terjadinya

    drop foot

    e) Lakukan masase dan lubrikasi pada kulit dengan minyak/Lotion

    f) Bersihkan dan keringkan kulit khususnya pada daerah dengan

    kelembapan tinggi

    g) Jagalah alat tenun tetap kering dan bebas lipatan dan kotoran

    h) Anjurkan pasien untuk melakukan latihan

    i) Tinggikan ekstremitas bawah secara periodik

    j) Ajarkan pengaturan posisi dan teknik pemberian bantalan yang

    digunakan di tempat tidur untuk mengurangi maupun mencegah

    iritasi

    5. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan hilangnya

    persarafan pada kandung kemih dan lengkung refleks, maupun

    kompresi medula spinalis

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 57

    a) Pantau kemampuan berkemih pasien

    b) Pantau frekuensi dan jumlah urine

    c) Lakukan pemasangan kateter bila terjadi retensi atau

    inkontinensia urine

    d) Ajarkan Bladder Training

    e) Lakukan perawatan kateter

    f) Monitoring fungsi ginjal dengan pemeriksaan ureum, kreatinin,

    BUN

    6. Konstipasi berhubungan dengan perubahan bowel movement,

    immobilisasi, penurunan bising usus

    a) Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya

    b) Observasi adanya distensi abdomen jika bising usus tidak ada

    atau berkurang

    c) Catat adanya keluhan mual dan muntah

    d) Catat frekuensi, karakteristik dan jumlah feses

    e) Anjurkan pasien untuk makan makanan yang berserat dan

    minum air putih yang cukup ( 8 gelas)

    f) Kolaborasi dengan tim medis tentang pemberian terapi laksatif,

    supositoria, enema

    7. Perubahan persepsi-sensori:raba berhubungan dengan

    kerusakan pada traktus sensori

    a) Monitoring fungsi sensori dengan sentuhan atau tusukan peniti

    b) Hindarkan tubuh dari bahaya atau cedera dengan memberi

    pagar tempat tidur (bed pasien)

    c) Berikan rangsangan taktil, sentuh pasien pada area dengan

    sensori utuh

    d) Berikan aktivitas hiburan untuk membantu mempertahankan

    orientasi realitas dan memberikan rasa normal setiap hari

    terhadap waktu

    e) Berikan pasien istirahat yang cukup

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 58

    f) Perhatikan adanya respon emosional yang berlebihan,

    perubahan proses pikir

    8. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme

    otot sekunder akibat cedera medula spinalis

    a) Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri non

    farmakologi dan non invasif

    b) Pertahankan asupan untuk berat badan ideal karena

    pengendalian berat badan pada klien yang proposi berat badan

    lebih (gemuk) akan meningkatkan tekanan pada titik lumbal

    sehingga akan meningkatkan respon nyeri

    c) Lakukan manajemen nyeri perawatan dengan mengajarkan

    teknik relaksasi dan distraksi serta memberikan lingkungan yang

    tenang, melakukan masase secara perlahan dan menggunakan

    korset lumbosakral

    d) Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan

    menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung

    e) Kolaborasi dengan tim medis tentang pemberian analgesik

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 59

    DAFTAR PUSTAKA

    CEDERA KRANIOSEREBRAL DAN MEDULA SPINALIS

    Aarabi B, Eisenberg HM, Murphy K, Morrison C, Weinmann M, 2004.

    Traumatic Brain Injury: Management and Complications in

    Textbook Of NEUROINTENSIVE Care, by A.Joseph Layon et al,

    Saunders

    Adam RD, Victor M, 1993. PRINCIPLE OF NEUROLOGY, 5th edition. New

    York. McGraw Hill

    Alfa.A.Y,2009. Penatalaksanaan Medis (non Bedah) Cedera Kepala,

    dalam KEGAWATDARURATAN NEUROLOGI, Edisi 1, Bagian

    Ilmu Penyakit Saraf FK UNPAD/ RS Hasan Sadikin , Bandung

    Basuki A, 2009. Cedera Medula Spinalis Akut (Acute Spinal Cord Injury)

    dalam KEGAWATDARURATAN NEUROLOGI, Edisi 1, Bagian

    Ilmu Penyakit Saraf FK UNPAD/ RS Hasan Sadikin , Bandung

    Bracken MB, Collins WF, Freeman DF, Shepard MJ, Hunt WE, Silten MR,

    Hellenbrand KG, 1985. Efficacy of Methylprednisolon in Acute

    Spinal Cord Injury. JAMA; 25 (1): 45-51

    Brust JCM, 2008. Current Diagnosis & Treatment NEUROLOGY, McGraw

    Hill

    Bunge RP, 2001. Spinal Cord Injury Emerging Concept in HEALTH AND

    MEDICAL PUB: 1-25

    Chang BS., Lowenstein DH, 2003. Practice parameter: Antiepileptic drug

    prophylaxis in severe traumatic brain injury, Neurology ; 60: 10-

    16

    Gilroy J, 2000. BASIC NEUROLOGY, Third Edition, McGraw-Hill

    Grover VK, Tewari MK, Gupta SK, 2001. Anesthetic and Intensive Care

    Aspect of Spinal Cord Injury, NEUROL INDIA, 49; 11-18

    Perdossi, 2009. ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS),

    Bagian Neurologi FK UI/ RSCM, Jakarta

    Retnaningsih, 2008. CEDERA KEPALA TRAUMATIK, dalam Simposium

    Trauma Kepala, Semarang

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 60

    SIGN, 2000. EARLY MANAGEMENT OF PATIENTS WITH A HEAD

    INJURY, A National clinical Guideline

    Soertidewi.L,2002. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral,

    dalam UPDATE IN NEUROEMERGENCIES, FK UI/RSCM,

    Jakarta

    Tator CH, 1996. Pathophysiology and pathology of Spinal Cord Injury in

    Wilkins, RH & Rengachary SS. (eds): NEUROSURGERY ed 2 pp

    2847-2859, McGraw-Hill New York

    Tator CH, Fehlings MG, 1999. Review of Clinical Trial of Neuroprotection

    in Acute Spinal Cord Injury, Neurosurg Focus: 6(1): 1-13

    Wijoto, 2008. Cognitive Impairment in Traumatic Brain Injury dalam

    PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN ILMU

    PENYAKIT SARAF, FK UNAIR, Surabaya

    DAFTAR PUSTAKAASUHAN KEPERAWATAN

    Carpineto, Lynda Juall.2007. Buku saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10.

    Jakarta:EGC

    Doengoes, Marlyn E. 2000. Rencana Asuhan dan Dokumentasi

    Keperawatan edisi 3. Jakarta: EGC

    Heriyanto. 2003. Pemeriksaan fisik sistem Saraf.Makalah. Surabaya:

    Fakultas Kedokteran UNAIR

    Hudak,C.M dan Gallo. 1997. Keperawatan iritis: Pendekatan Holistik edisi

    6: Yakarta: EGC

    Kariasa, I Made, 2003. Asuhan Keperawatan pada klien Cedera

    Sususnana saraf pusat. Jakarta:FKUI

    Keliat, Budi dkk. 2008. Proses Asuhan Keperawatan Jiwa.Jakarta:EGC

    Long Barbara C, 1996. Keperawatan Medika Bedah: Suatu Pendekatan

    Proses Keperawatan. Bandung: YIAPK

    Muttaqin A, 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan

    gangguan Sistem Persarafan.Jakarta:EGC

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 61

    Oman Kathleen, dkk. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi.

    Jakarta:EGC

    Price, Sylvia A.1995. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.

    Jakarta:EGC

    Videbeck L S. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

    Wilkinson M.J. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan

    intervensi NIC dan Kriteria hasil NOC. Jakarta: EGC.

    Wong L.D. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik edisi 4.

    Jakarta:EGC

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 62

    Glasgow Coma Scale (Skala Koma Glasgow)

    Membuka mata (Eye)- Spontan- Terhadap suara- Dengan rangsang nyeri- Tidak ada reaksi

    4321

    Respon Verbal (Verbal)- Baik dan tidak ada disorientasi- Kacau (confused)- Tidak tepat (inappropriate)- Mengerang- Tidak ada jawaban

    54321

    Respon Motorik (Motoric)- Menurut perintah- Mengetahui lokasi nyeri- Reaksi menghindar- Fleksi (Dekortikasi, gbr B)- Ekstensi (Deserebrasi, gbr A)- Tidak ada reaksi

    654321

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 63

    ALGORITMA PENATALAKSANAAN CEDERA KRANIOSEREBRAL

    Trauma Kepala

    Faktor Penyulit (-) Faktor Penyulit (+)

    Konsultasi Sub Bagian TerkaitCKR CKS CKB

    Observasi 24 Jam

    Defisit Neurologis (-) Defisit Neurologis (+)

    BLPL

    Head CT Scan

    Intra Cerebral Hematom > 30 cc (+) dan atauSub Dural Hematom Luas (+) dan atau

    Epidural Hematom (+) dan atauFraktur depressed (+) dan atau

    Fraktur impressi (+)

    Intra Cerebral Hematom > 30 cc (-) danSub Dural Hematom Luas (-) dan

    Epidural Hematom (-) danFraktur depressed (-) dan

    Fraktur impressi (-)

    Bedah SarafSaraf

    Saraf

    Pengawasan dan Penanganan Faktor Penyulit dan Komplikasi

    Saraf

    Trauma Kepala

    Faktor Penyulit (-) Faktor Penyulit (+)

    Konsultasi Sub Bagian TerkaitCKR CKS CKB

    Observasi 24 Jam

    Defisit Neurologis (-) Defisit Neurologis (+)

    BLPL

    Head CT Scan

    Intra Cerebral Hematom > 30 cc (+) dan atauSub Dural Hematom Luas (+) dan atau

    Epidural Hematom (+) dan atauFraktur depressed (+) dan atau

    Fraktur impressi (+)

    Intra Cerebral Hematom > 30 cc (-) danSub Dural Hematom Luas (-) dan

    Epidural Hematom (-) danFraktur depressed (-) dan

    Fraktur impressi (-)

    Bedah SarafSaraf

    Saraf

    Pengawasan dan Penanganan Faktor Penyulit dan Komplikasi

    Saraf

    Faktor Penyulit (-) Faktor Penyulit (+)

    Konsultasi Sub Bagian TerkaitCKR CKS CKB

    Observasi 24 Jam

    Defisit Neurologis (-) Defisit Neurologis (+)

    BLPL

    Head CT Scan

    Intra Cerebral Hematom > 30 cc (+) dan atauSub Dural Hematom Luas (+) dan atau

    Epidural Hematom (+) dan atauFraktur depressed (+) dan atau

    Fraktur impressi (+)

    Intra Cerebral Hematom > 30 cc (-) danSub Dural Hematom Luas (-) dan

    Epidural Hematom (-) danFraktur depressed (-) dan

    Fraktur impressi (-)

    Bedah SarafSaraf

    Saraf

    Pengawasan dan Penanganan Faktor Penyulit dan Komplikasi

    Saraf

  • Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 64

    Curiculum Vitae Penyusun

    dr.Iwan Setiawan, MKes, Sp.S, kelahiran Bogor 6 Januari 1966, pendidikan SD,SMP di Sukoharjo Surakarta, dan SMA negeri 3 Surakarta. Menyelesaikan

    pendidikan dokter umum di FK Universitas Sebelas Maret Surakarta,

    melanjutkan pendidikan S-2 dan Spesialisasi Saraf di FK Universitas Gadjah

    Mada Jogjakarta. Saat ini bertugas di RSUD Pacitan dan sebagai tenaga

    pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

    Intan Maulida, SKep.Ns, Kelahiran Sidoarjo 15 Desember 1984, menempuhpendidikan SD, SMP di Sidoarjo, alumnus SMA negeri 1 Sidoarjo. Melanjutkan

    DIII Keperawatan di POLTEKKES Surabaya, kemudian Menamatkan pendidikan

    sarjana keperawatan di Fakultas Kedokteran program studi S-1 Ilmu

    Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 2006. Pada tahun

    2009 menjadi staf pengajar di STIKES ICME (Insan Cende