Upload
dexzal
View
1.297
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
CEDERA KEPALA
I. Pendahuluan
Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak, tetapi
meskipun memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera. Cedera
kepala telah menyebabkan kematian dan cacat pada usia kurang dari 50 tahun, dan luka
tembak pada kepala merupakan penyebab kematian nomor 2 pada usia dibawah 35 tahun.
Hampir separuh penderita yang mengalami cedera kepala meninggal.
Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak.
Berbagai cedera bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan
terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala
membentur objek yang tidak bergerak.
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan.
Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa perancis untuk
hit-counterhit).
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan
saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi
kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan,
pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang
ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak.
Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa
merusak atau menghancurkan jaringan otak. Dan karena posisinya di dalam tengkorak,
maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke
dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut
herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui
lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa
berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan
pernafasan).
Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak
yang hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk
mencegah pembekuan darah), sangat peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling
otak (hematoma subdural).
1
Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang
bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau
lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak
mana yang terkena. Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan,
sensasi, berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa
mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan
koma.
II. Definisi
Sindroma pasca cedera kepala atau post-concussion syndrome merupakan
kumpulan gejala yang terdiri atas nyeri kepala, pusing, iritabilitas, gangguan
berkonsentrasi, dan mudah lelah yang disebabkan oleh cedera kepala dan dapat
berlangsung selama berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun maupun seumur hidup.
III. Tanda dan gejala
Secara umum, gejala-gejala pasca trauma kepala dapat dibagi menjadi gejala fisik,
emosi dan kognitif.
1. Gejala-gejala fisik dapat termasuk : sakit kepala, kepekaan terhadap suara bising dan
cahaya, lelah, sulit tidur, mual dan muntah, penglihatan ganda atau kabur, suara
berdenging di telinga, penurunan sensasi, rasa, maupun pendengaran libido menurun.
2. Gejala-gejala emosional termasuk : cepat marah, ansietas, kurang istirahat, depresi,
emosional labil
2
3. Gejala kognitif dan mental termasuk : amnesia, bingung, gangguan berfikir abstrak
dan gangguan konsentrasi
IV. Etiologi dan manifestasi klinis pasca cedera kepala
1. Patah tulang tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Kejadian
ini bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga
di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak juga bisa merobek meningens
(selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan meningens)
bisa merembes ke hidung atau telinga. Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak
melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak.
Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika
pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.
2. Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah
terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata.
Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan
struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan,
tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak.
Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang
abnormal. Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam
3
atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi
pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan.
Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu,
jarang lebih dari beberapa minggu. penderita bisa mengalami kesulitan dalam bekerja,
belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio.
Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui
mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para ahli
belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis.
Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma ini.
Yang lebih perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-
gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa hari
setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah
parah, sebaiknya segera mencari pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti tidak terdapat
kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan pengobatan.
Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu mengenai pertanda
memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah, biasanya untuk
meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak parah, aspirin bisa
digunakan setelah 3-4 hari pertama.
3. Gegar otak & robekan otak
Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya
disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah robekan
4
pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang nyata dan patah
tulang tengkorak.
Gegar otak dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI menunjukkan
kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa menyebabkan kelemahan pada satu
sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau bahkan koma. Jika otak membengkak,
maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak. Pembengkakan yang sangat
hebat bisa menyebabkan herniasi otak. Pengobatan akan lebih rumit jika cedera otak
disertai oleh cedera lainnya, terutama cedera dada.
4. Perdarahan intrakranial
Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di
dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa
terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam
pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak
sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural).
Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI.
Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa
menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan
membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari.
Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada
akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan
otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa
terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi
tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga
terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah
merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat
memancar.
Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga baru muncul
beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian
5
muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi kebingungan, rasa
ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma.
Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT scan darurat.
Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang
tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan
penyumbatan sumber perdarahan.
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.
Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat
kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini
cedera tampaknya ringan dan selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil
pemeriksaan CT Scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada
dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Gejala-gejala yang menunjukkan hematome subdural yang besar yaitu:
sakit kepala yang menetap
rasa mengantuk yang hilang-timbul
linglung
perubahan ingatan
kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
6
5. Kerusakan pada bagian otak tertentu
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada
korteks serebri biasanya bertanggung jawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan
beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
a. kerusakan lobus frontalis
7
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik
(misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Selain itu juga
berfungsi mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus
frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang
berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada
ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi.
Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak
menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan
apatis, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian
depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam dan penderita
mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.
b. kerusakan lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur
dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematika dan
bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada
ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.
Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi
tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan
untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan
penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa
mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya
bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak
mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
c. kerusakan lobus temporalis
8
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus ini juga memahami suara dan
gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur
emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya
ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri
menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam
dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan
mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama
yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
6. Cedera Saraf Kranial
a. Saraf Kranial I
Insidens disfungsi olfaktori setelah cedera kepala bervariasi antara 2 hingga 38
persen. Kerusakan sistem olfaktori terjadi dalam frekuensi yang besar pada benturan
oksipital, namun insidens sering lebih tinggi setelah cedera frontal. Ia adalah saraf
kranial yang paling sering terganggu setelah cedera kepala minor.
Temuan olfaktori yang terganggu ini mungkin akibat cedera lokal atau diffus
terhadap regio orbitofrontal dan temporal. Anosmia terjadi pada hampir 50 persen
pasien yang disertai rinore akibat fraktura fossa anterior dan pada sekitar 50 persen
darinya memerlukan perbaikan secara operatif. Pemulihan spontan fungsi olfaksi
mungkin terjadi pada lebih dari sepertiga pasien pada periode beberapa hari hingga lima
tahun setelah cedera.
b. Saraf Kranial II
Cedera sistem visual terjadi pada 5 persen dari semua pasien yang mengalami
cedera kepala, tidak peduli beratnya. Kehilangan penglihatan setelah trauma mungkin
terjadi tanpa jelas adanya cedera pada mata. Ini tipikal akibat benturan pada daerah
9
ipsilateral, biasanya frontal, terkadang temporal, dan jarang-jarang oksipital. Ia mungkin
terjadi setelah cedera kepala minor.
Reaksi pupil direk terhadap cahaya adalah indikator awal yang dapat
dipertanggung-jawabkan atas beratnya cedera saraf optik. Pemeriksaan oftalmoskopik
dan sinar-x jelas tidak beguna. Cedera mata unilateral dapat diidentifikasikan dengan
adanya penurunan hingga tiadanya reaktifitas pupil terhadap stimulasi cahaya, dengan
bertahannya reaksi konsensual (pupil Marcus Gunn). Mata yang tidak terkena
mempertahankan refleks cahaya normal namun respons konsensualnya terganggu.
Reaksi ini menunjukkan lesi aferen, biasanya pada saraf optik, pada jalur refleks cahaya
pupil.
Ketika koma berlalu, pasien harus dinilai persepsi cahayanya. Evaluasi serial
harus dilakukan terhadap adanya fiksasi visual seperti juga untuk reaksi lokalisasi dan
penarikan terhadap rangsangan. Respon optokinetik mungkin membuktikan tersisanya
tingkat akuitas 20/200 pada paling sedikit disebagian lapang pandang.
Istilah 'kebutaan kortikal' hanya diberikan pada pasien yang memperlihatkan
amaurosis dengan pupil yang reaktif, tidak untuk pasien yang mengalami hilangnya
sebagian lapang pandang. Kebanyakan pasien dengan kebutaan kortikal akan mengalami
sedikit perbaikan kemampuan visual melalui sistem jalur visual sekunder. Respons
pasien terhadap stimuli bergerak berintensitas tinggi harus dinilai. Pasien dengan buta
kortikal yang menyangkal kehilangan visual (Sindroma Anton) biasanya diderita
penderita infarksi lobus oksipital bilateral sekunder atas kompresi arteria serebral
posterior pada tepi tentorial disebabkan oleh herniasi.
c. Saraf Kranial III,IV, dan VI
Disfungsi otot ekstra-okuler menyebabkan diplopia dan mungkin akibat dari
disfungsi motor sentral atau perifer. Diplopia mungkin menimbulkan kebingungan pada
pasien yang bangun dari koma. Pembebatan mata mungkin menghilangkan citra ganda,
namun bila pasien mampu mensupres citra kedua, bebat mata harus dihentikan. Yang
umum dilakukan adalah penggunaan bebat secara bergantian antara mata yang terkena
dan yang tidak adalah dalam usaha mencegah ambliopia. Namun, walau ambliopia tidak
10
terjadi pada populasi dewasa, beralasan untuk membebat mata yang sehat untuk
merangsang aktivitas motor yang maksimal dari mata yang rusak.
Postur kepala abnormal mungkin berguna untuk mengkompensasi fungsi motor
ekstra-okuler yang paresis. Ini sering terjadi pada paresis saraf kranial IV. Saraf kranial
keempat tidak hanya depresor namun juga intorter mata. Pasien cenderung
mengkompensasi dengan mengangkat kepala. Usaha menormalkan posisi kepala
mungkin mencegah pasien terhadap penglihatan binokuler.
Pengangkatan kepala mungkin juga akibat dari nistagmus, karena stabilisasi
kepala pada bahu mungkin menghilangkan nistagmus. Gangguan lapang pandang juga
sering menyebabkan pemutaran kepala dalam usaha menyesuaikan lapang pandang yang
tersisa sebaik mungkin.
Resolusi spontan parese gerak mata terjadi dengan frekuensi yang cukup banyak.
Parese saraf kranial III, kelemahan rektus superior residual mungkin menetap, dan pasien
mungkin kadang-kadang mengeluh diplopia. Lesi saraf kranial IV membaik spontan
pada 65 persen pada kasus unilateral dan 25 persen pada kasus bilateral.
d. Saraf Kranial V
Cedera saraf trigeminal relatif jarang. Pasien yang memperlihatkan kornea yang
tidak sensitif, yang ditunjukkan dengan tidak adanya refleks korneal, dan adanya
paresis saraf fasial (terutama bila cabang lakrimal terkena) mempunyai risiko yang
besar terhadap ulserasi korneal neurotropik dan kemungkinan kehilangan penglihatan.
Produksi air mata, yang diatur cabang lakrimal saraf fasial, bisa dinilai dengan tes air
mata Schirmer.
e. Saraf Kranial VII
Status saraf fasial harus dicatat pada pemeriksaan pertama. Bila paralisis adalah
dengan onset segera, dan CT scan memperlihatkan terganggunya kanal fasial, eksplorasi
segera untuk dekompresi saraf mungkin harus dilakukan. Saraf fasial melintas kanal
tulang yang lebih panjang dibanding saraf kranial lainnya dan karenanya sangat
terancam terhadap cedera. Sepuluh hingga 30 persen fraktura longitudinal tulang
temporal dan 30 hingga 50 persen fraktura transversa berakibat lumpuhnya saraf fasial.
11
Bila paralisis terlambat terbentuk, prognosisnya lebih baik secara nyata bila
paralisis tidak bilateral, dan pasien harus mendapatkan tes saraf fasial secara serial. Tes
neurofisiologik termasuk konduksi saraf serta elektromiografi akan memperlihatkan
beberapa tanda perbaikan dalam delapan minggu, bila pemulihan akan terjadi.
f. Saraf Kranial VIII
Telinga dalam adalah organ sensori yang paling sering terkena setelah cedera
kepala berat. Vertigo mungkin terjadi sebagai akibat kerusakan aparatus vestibuler
atau konkusi labirintin. Hilangnya pendengaran secara primer adalah konduktif sebagai
akibat disrupsi rantai osikuler atau darah dalam telinga tengah. Rantai osikuler paling
sering mengalami disrupsi pada sendi inkudostapedial. Intervensi bedah dan pemulihan
prostetik komponen yang mengalami dislokasi adalah penting untuk memulihkan
pendengaran.
Fraktur transversa bagian petrosus tulang temporal biasanya menyebabkan
kehilangan pendengaran sensorineural. Kapsula labirintin umumnya disrupsi, berakibat
kerusakan vestibuler dan kokhlear yang berat, termasuk kerusakan fungsional kanal
semisirkuler, utrikel, dan sakula. Karena garis fraktur pada fraktur transversa adalah
perpendikular terhadap tulang fasial, tiap saraf akan rusak pada 50 persen pasien dengan
fraktur ini.
Penilaian respons okulovestibuler mungkin memberikan informasi dini
mengingat status dari sistem, dan elektronistagmografi mutakhir mungkin memastikan
gangguan end organ dari saraf vestibuler. Tidak ada tes yang meyakinkan untuk fungsi
saraf vestibuler sentral yang tersedia.
7. Sindroma Locked-in
Istilah ini serta 'mutisme akinetik' digunakan secara sinonim. Kerusakan jalur
kortikobulber dan kortikospinal diventral pons mengakibatkan keadaan di eferen yang
khas dengan tetraplegia dan mutisme. Pasien tetap waspada dan responsif, dan fungsi
kortikal luhur tetap tidak terganggu.
Jalur okuler supranuklir tetap utuh hingga kontrol gerak mata paling tidak untuk
sebagian tetap terjaga, biasanya pada bidang vertikal dan terkadang horizontal.
12
Komunikasi non oral karenanya tetap memungkinkan, baik dengan gerak mata maupun
kedipan, dan penggunaan sistem interface yang memadai dapat memberikan komunikasi
yang memadai untuk menunjukkan kemampuan kognitif yang tersisa. Sindroma ini
sebagian besar diakibatkan oleh infarksi vaskuler hingga karenanya tidak sering
ditemukan sebagai akibat trauma.
Sindroma locked-in harus betul-betul dibedakan dari keadaan vegetatif dimana
tidak dapat lagi melihat dan merasa, walau pulihnya siklus tidur-bangun dan tampilan
deseptif dari pemulihan neurologis ('koma vigil') sering memberi keluarga pasien
perasaan optimis yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
8. Neuropati Perifer
Polineuropati dilaporkan sebagai komplikasi dini dari sepsis dan kelainan kritis
lainnya hingga pada 50 persen pasien di ICU. Komplikasi ini terkadang ditemukan
secara klinis pada pasien cedera kepala. Polineuropati biasanya berkurang bila kelainan
kritis terkontrol. Neuropati yang berkaitan dengan fraktur dapat terjadi pada daerah
fraktur. Neuropati kompresi dapat diakibatkan immobilitas dan tekanan terlokalisasi
pada saraf diatas tonjolan tulang.
Setiap kompresi paling sering mengenai saraf ulnar dan perineal. Bila anggota
tetap flaksid, ada kemungkinan neuropati. Pada pasien yang tidak sadar, penilaian fisik
dapat sangat terbatas, dan tes konduksi saraf mungkin bernilai. Bila fraktur tulang terjadi,
pembentukan kalus yang hebat mungkin menekan saraf berdekatan, dengan timbulnya
cedera saraf yang terlambat.
9. Hidrosefalus Pasca Trauma
Sindroma hidrosefalus pasca trauma (Posttraumatik hydrocephalus, PTH) harus
ditentukan baik dengan kriteria radiologis maupun neurologis, karena setiap kelainan
harus ada untuk menegakkan diagnosis. Dalam istilah yang sederhana, PTH mungkin
dijelaskan sebagai dilatasi ventrikuler tanpa pembesaran sulkus, berkaitan dengan
sindroma klinis yang mungkin beragam dari koma dalam hingga gambaran yang khas
dari hidrosefalus tekanan normal: demensia, ataksia, dan inkontinensia urin.
13
PTH harus dibedakan dari atrofi serebral pasca trauma. Yang pertama adalah
istilah yang mempunyai arti keadaan yang aktif dan dapat diobati, sedang yang terakhir
menggambarkan resorbsi parenkhim otak sekunder terhadap cedera jaringan yang difus.
Sayangnya perbedaan ini tidak selalu tampak jelas.
Umumnya dipercaya bahwa PTH diakibatkan oleh gangguan aliran dan absorbsi
CSS. Walau bukti radiologis dan patologis menunjukkan hambatan ini terjadi disekitar
konveksitas serebral, sangat mungkin bahwa bendungan granulasi arakhnoid oleh darah
subarakhnoid berperan. Pada semua kasus, perdarahan subarakhnoid tampaknya
menjadi gambaran yang umum atas dua hipotesis ini.
PTH mungkin muncul dengan berbagai cara. Seperti dilaporkan Kishore,
sebagian besar sindroma muncul dalam dua minggu sejak cedera. Ada laporan kasus
tentang pembesaran ventrikular dalam tujuh jam sejak cedera, berakibat pemburukan
yang cepat dari tingkat kesadaran serta herniasi dini. Namun tampilan yang lebih
lambat mungkin saja terjadi. Nyatanya trauma yang sudah lama lebih sering dilaporkan
pada kasus hidrosefalus tekanan normal (NPH).
PTH mungkin tampil sebagai NPH klasik, dengan demensia, ataksia, dan
inkontinensia urin. Namun perubahan tingkat kesadaran dan bahkan koma mungkin
terjadi sebagai bagian dari sindroma. Karena cedera kepala berat sering berakibat
disfungsi neurologis luas yang berat, gambaran tersebut mungkin sulit untuk dipisahkan
dari akibat cedera otak pada fase akut. Pemantauan TIK serta CT scan serial berguna
pada keadaan ini. Pada fase pemulihan yang lebih kronik, perburukan tingkat kesadaran,
penurunan kapasitas fungsional, atau semua gambaran NPH harus dianggap sebagai
pertanda. Manifestasi tidak khas, seperti masalah emosi, respon ekstensor bilateral,
kejang, dan spastisitas tungkai juga pernah dilaporkan.
10. Epilepsi pasca trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa
waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang merupakan
respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak. Kejang terjadi padda sekitar 10%
penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan
pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala.
14
Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat
mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada seseorang
yang mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang.
Pengobatan ini seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak
terhingga.
11. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena
terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau
mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus
temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. kerusakan pada bagian
manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan
mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
Gangguan bahasa bisa berupa :
aleksia, hilangnya kemampuan untuk memahami kata-kata yang tertulis
anomia, hilangnya kemampuan untuk mengingat atau mengucapkan nama-nama
benda. beberapa penderita anomia tidak dapat mengingat kata-kata yang tepat,
sedangkan penderita yang lainnya dapat mengingat kata-kata dalam fikirannya, tetapi
tidak mampu mengucapkannya.
Disartria, merupakan ketidakmampuan untuk mengartikulasikan kata-kata dengan
tepat. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian otak yang mengendalikan otot-otot
yang digunakan untuk menghasilkan suara atau mengatur gerakan dari alat-alat vokal.
Afasia wernicke merupakan suatu keadaan yang terjadi setelah adanya kerusakan
pada lobus temporalis. Penderita tampaknya lancar berbicara, tetapi kalimat yang keluar
kacau (disebut juga gado-gado kata). Pada afasia broca (afasi ekspresif), penderita
memahami arti kata-kata dan mengetahui bagaimana mereka ingin memberikan jawaban,
tetapi mengalami kesulitan dalam mengucapkan kata-kata. Kata-kata keluar dengan
perlahan dan diucapkan sekuat tenaga, seringkali diselingi oleh ungkapan yang tidak
memiliki arti.
15
12. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan
ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan
oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis. Ingatan akan serangkaian
gerakan yang diperlukan untuk melakukan tugas yang rumit hilang; lengan atau tungkai
tidak memiliki kelainan fisik yang bisa menjelaskan mengapa tugas tersebut tidak dapat
dilakukan. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah
menyebabkan kelainan fungsi otak.
13. Agnosia
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan
merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi
normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu
dikenalnya dengan baik atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil),
meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut.
Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan
akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali terjadi segera
setelah terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa
penderita mengalami perbaikan secara spontan.
16
14. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat
peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya
masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan
hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan
(amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan
(amnesia pasca trauma).
Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam
(tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. pada
cedera otak yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap.
Jenis ingatan yang bisa terkena amnesia berupa :
ingatan segera : ingatan akan peristiwa yang terjadi beberapa detik sebelumnya
ingatan menengah : ingatan akan peristiwa yang terjadi beberapa detik sampai
beberapa hari sebelumnya
ingatan jangka panjang : ingatan akan peristiwa di masa lalu.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari
memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus
temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat
dan orang, yang terjadi secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu kali
seumur hidup, atau bisa juga berulang dan dapat berlangsung selama 30 menit sampai 12
jam atau lebih.
Amnesia korsakoff , yaitu hilangnya ingatan yang berat disertai dengan agitasi dan
delirium. Penderita mampu mengadakan interaksi sosial dan mengadakan perbincangan
yang masuk akal meskipun tidak mampu mengingat peristiwa yang terjadi beberapa hari,
bulan atau tahun, bahkan beberapa menit sebelumnya.
17
V. Prognosa
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya
kerusakan otak yang terjadi.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang
tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami
kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk
menggantikan fungsi satu sama lainnya semakin berkurang.
Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh beberapa area di otak,
sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area. jika hemisfer kiri mengalami
kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi
bahasa. Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung menyebabkan
kelainan yang menetap.
Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan lengan dan tungkai)
dikendalikan oleh area khusus pada salah satu sisi otak. Kerusakan pada area ini biasanya
menyebabkan kelainan yang menetap. Dampak dari kerusakan ini bisa diminimalkan
dengan menjalani terapi rehabilitasi.
Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat
mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika
kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan
pulih kembali.
Penderita bisa mengalami sindroma pasca konkusio, dimana sakit kepala terus
menerus dirasakan dan terjadi gangguan ingatan.
Status vegetatif kronis merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu yang
lama, yang disertai dengan siklus bangun dan tidur yang mendekati normal. Keadaan ini
merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang non-fatal. Penyebabnya
adalah kerusakan pada bagian atas dari otak (yang mengendalikan fungsi mental),
sedangkan talamus dan batang otak (yang mengatur siklus tidur, suhu tubuh, pernafasan
dan denyut jantung) tetap utuh. Jika status vegetatif terus berlangsung selama lebih dari
beberapa bulan, maka kemungkinan untuk sadar kembali sangat kecil.
18
VI. Kesimpulan
1. Sindroma pasca cedera kepala atau post-concussion syndrome merupakan kumpulan
gejala yang terdiri atas nyeri kepala, pusing, iritabilitas, gangguan berkonsentrasi, dan
mudah lelah yang disebabkan oleh cedera kepala dan dapat berlangsung selama
berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun maupun seumur hidup.
2. Gejala-gejala pasca trauma kepala dapat dibagi menjadi gejala fisik, emosi dan
kognitif.
3. Kelainan pasca cedera kepala dapat berupa :
Patah tulang tengkorak
Gegar otak dan robekan otak
Perdarahan intrakranial
Kerusakan pada lobus otak
Cedera saraf kranial
Konkusio
Amnesia
Agnosia
Apraksia
Afasia
Epilepsi pasca trauma
Hidrosefalus Pasca Trauma
Neuropati Perifer
Sindroma Locked-in
19
DAFTAR PUSTAKA
Syaiful Saanin, 2003, Sekuele cedera kepala, http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/kelola.html
Anonymous, 2003, Cedera kepala. http://www.medicastore.com/cybermed/detail
Jacques Duff, 2005, Post concussion syndrome,
http://www.Cedera kepala\Post Concussion Syndrome.htm.
Japardi, Iskandar, 2004, Post Concussion Syndrome, www.library.usu.ac.id/download/k/bedah.pdf
Anonymous, 2005, Post Concussion Syndrome, http://www.healthatoz.com .
Anonymous, 2006, Post Concussion Syndrome, http;//www.en.wikipedia.org/wiki/post-concussion_syndrome
20