30
CEDERA KEPALA I. Pendahuluan Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak, tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera. Cedera kepala telah menyebabkan kematian dan cacat pada usia kurang dari 50 tahun, dan luka tembak pada kepala merupakan penyebab kematian nomor 2 pada usia dibawah 35 tahun. Hampir separuh penderita yang mengalami cedera kepala meninggal. Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak. Berbagai cedera bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak bergerak. Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan. Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa perancis untuk hit- counterhit). Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. 1

CEDERA KEPALA SARAF

  • Upload
    dexzal

  • View
    1.297

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: CEDERA KEPALA SARAF

CEDERA KEPALA

I. Pendahuluan

Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak, tetapi

meskipun memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera. Cedera

kepala telah menyebabkan kematian dan cacat pada usia kurang dari 50 tahun, dan luka

tembak pada kepala merupakan penyebab kematian nomor 2 pada usia dibawah 35 tahun.

Hampir separuh penderita yang mengalami cedera kepala meninggal.

Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak.

Berbagai cedera bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan

terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala

membentur objek yang tidak bergerak.

Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan.

Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa perancis untuk

hit-counterhit).

Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan

saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi

kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan,

pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang

ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak.

Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa

merusak atau menghancurkan jaringan otak. Dan karena posisinya di dalam tengkorak,

maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke

dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut

herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui

lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa

berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan

pernafasan).

Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak

yang hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk

mencegah pembekuan darah), sangat peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling

otak (hematoma subdural).

1

Page 2: CEDERA KEPALA SARAF

Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang

bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau

lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak

mana yang terkena. Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan,

sensasi, berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa

mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan

koma.

II. Definisi

Sindroma pasca cedera kepala atau post-concussion syndrome merupakan

kumpulan gejala yang terdiri atas nyeri kepala, pusing, iritabilitas, gangguan

berkonsentrasi, dan mudah lelah yang disebabkan oleh cedera kepala dan dapat

berlangsung selama berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun maupun seumur hidup.

III. Tanda dan gejala

Secara umum, gejala-gejala pasca trauma kepala dapat dibagi menjadi gejala fisik,

emosi dan kognitif.

1. Gejala-gejala fisik dapat termasuk : sakit kepala, kepekaan terhadap suara bising dan

cahaya, lelah, sulit tidur, mual dan muntah, penglihatan ganda atau kabur, suara

berdenging di telinga, penurunan sensasi, rasa, maupun pendengaran libido menurun.

2. Gejala-gejala emosional termasuk : cepat marah, ansietas, kurang istirahat, depresi,

emosional labil

2

Page 3: CEDERA KEPALA SARAF

3. Gejala kognitif dan mental termasuk : amnesia, bingung, gangguan berfikir abstrak

dan gangguan konsentrasi

IV. Etiologi dan manifestasi klinis pasca cedera kepala

1. Patah tulang tengkorak

Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Kejadian

ini bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga

di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak juga bisa merobek meningens

(selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan meningens)

bisa merembes ke hidung atau telinga. Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak

melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak.

Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika

pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.

2. Konkusio

Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah

terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata.

Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan

struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan,

tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak.

Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang

abnormal. Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam

3

Page 4: CEDERA KEPALA SARAF

atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi

pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan.

Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu,

jarang lebih dari beberapa minggu. penderita bisa mengalami kesulitan dalam bekerja,

belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio.

Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui

mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para ahli

belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis.

Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma ini.

Yang lebih perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-

gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa hari

setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah

parah, sebaiknya segera mencari pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti tidak terdapat

kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan pengobatan.

Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu mengenai pertanda

memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah, biasanya untuk

meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak parah, aspirin bisa

digunakan setelah 3-4 hari pertama.

3. Gegar otak & robekan otak

Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya

disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah robekan

4

Page 5: CEDERA KEPALA SARAF

pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang nyata dan patah

tulang tengkorak.

Gegar otak dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI menunjukkan

kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa menyebabkan kelemahan pada satu

sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau bahkan koma. Jika otak membengkak,

maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak. Pembengkakan yang sangat

hebat bisa menyebabkan herniasi otak. Pengobatan akan lebih rumit jika cedera otak

disertai oleh cedera lainnya, terutama cedera dada.

4. Perdarahan intrakranial

Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di

dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa

terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam

pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak

sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural).

Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI.

Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa

menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan

membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari.

Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada

akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan

otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa

terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi

tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga

terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara

meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah

merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat

memancar.

Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga baru muncul

beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian

5

Page 6: CEDERA KEPALA SARAF

muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi kebingungan, rasa

ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma.

Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT scan darurat.

Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang

tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan

penyumbatan sumber perdarahan.

Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.

Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat

kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi

pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini

cedera tampaknya ringan dan selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil

pemeriksaan CT Scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.

Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena

tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada

dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang

menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

Gejala-gejala yang menunjukkan hematome subdural yang besar yaitu:

sakit kepala yang menetap

rasa mengantuk yang hilang-timbul

linglung

perubahan ingatan

kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

6

Page 7: CEDERA KEPALA SARAF

5. Kerusakan pada bagian otak tertentu

Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan

mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada

korteks serebri biasanya bertanggung jawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan

beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

a. kerusakan lobus frontalis

7

Page 8: CEDERA KEPALA SARAF

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik

(misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Selain itu juga

berfungsi mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus

frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang

berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada

ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi.

Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak

menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.

Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan

apatis, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian

depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,

kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam dan penderita

mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.

b. kerusakan lobus parietalis

Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur

dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematika dan

bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada

ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.

Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi

tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya

kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan

untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan

penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa

mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya

bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak

mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.

c. kerusakan lobus temporalis

8

Page 9: CEDERA KEPALA SARAF

Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan

mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus ini juga memahami suara dan

gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur

emosional.

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya

ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri

menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam

dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.

Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan

mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama

yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

6. Cedera Saraf Kranial

a. Saraf Kranial I

Insidens disfungsi olfaktori setelah cedera kepala bervariasi antara 2 hingga 38

persen. Kerusakan sistem olfaktori terjadi dalam frekuensi yang besar pada benturan

oksipital, namun insidens sering lebih tinggi setelah cedera frontal. Ia adalah saraf

kranial yang paling sering terganggu setelah cedera kepala minor.

Temuan olfaktori yang terganggu ini mungkin akibat cedera lokal atau diffus

terhadap regio orbitofrontal dan temporal. Anosmia terjadi pada hampir 50 persen

pasien yang disertai rinore akibat fraktura fossa anterior dan pada sekitar 50 persen

darinya memerlukan perbaikan secara operatif. Pemulihan spontan fungsi olfaksi

mungkin terjadi pada lebih dari sepertiga pasien pada periode beberapa hari hingga lima

tahun setelah cedera.

b. Saraf Kranial II

Cedera sistem visual terjadi pada 5 persen dari semua pasien yang mengalami

cedera kepala, tidak peduli beratnya. Kehilangan penglihatan setelah trauma mungkin

terjadi tanpa jelas adanya cedera pada mata. Ini tipikal akibat benturan pada daerah

9

Page 10: CEDERA KEPALA SARAF

ipsilateral, biasanya frontal, terkadang temporal, dan jarang-jarang oksipital. Ia mungkin

terjadi setelah cedera kepala minor.

Reaksi pupil direk terhadap cahaya adalah indikator awal yang dapat

dipertanggung-jawabkan atas beratnya cedera saraf optik. Pemeriksaan oftalmoskopik

dan sinar-x jelas tidak beguna. Cedera mata unilateral dapat diidentifikasikan dengan

adanya penurunan hingga tiadanya reaktifitas pupil terhadap stimulasi cahaya, dengan

bertahannya reaksi konsensual (pupil Marcus Gunn). Mata yang tidak terkena

mempertahankan refleks cahaya normal namun respons konsensualnya terganggu.

Reaksi ini menunjukkan lesi aferen, biasanya pada saraf optik, pada jalur refleks cahaya

pupil.

Ketika koma berlalu, pasien harus dinilai persepsi cahayanya. Evaluasi serial

harus dilakukan terhadap adanya fiksasi visual seperti juga untuk reaksi lokalisasi dan

penarikan terhadap rangsangan. Respon optokinetik mungkin membuktikan tersisanya

tingkat akuitas 20/200 pada paling sedikit disebagian lapang pandang.

Istilah 'kebutaan kortikal' hanya diberikan pada pasien yang memperlihatkan

amaurosis dengan pupil yang reaktif, tidak untuk pasien yang mengalami hilangnya

sebagian lapang pandang. Kebanyakan pasien dengan kebutaan kortikal akan mengalami

sedikit perbaikan kemampuan visual melalui sistem jalur visual sekunder. Respons

pasien terhadap stimuli bergerak berintensitas tinggi harus dinilai. Pasien dengan buta

kortikal yang menyangkal kehilangan visual (Sindroma Anton) biasanya diderita

penderita infarksi lobus oksipital bilateral sekunder atas kompresi arteria serebral

posterior pada tepi tentorial disebabkan oleh herniasi.

c. Saraf Kranial III,IV, dan VI

Disfungsi otot ekstra-okuler menyebabkan diplopia dan mungkin akibat dari

disfungsi motor sentral atau perifer. Diplopia mungkin menimbulkan kebingungan pada

pasien yang bangun dari koma. Pembebatan mata mungkin menghilangkan citra ganda,

namun bila pasien mampu mensupres citra kedua, bebat mata harus dihentikan. Yang

umum dilakukan adalah penggunaan bebat secara bergantian antara mata yang terkena

dan yang tidak adalah dalam usaha mencegah ambliopia. Namun, walau ambliopia tidak

10

Page 11: CEDERA KEPALA SARAF

terjadi pada populasi dewasa, beralasan untuk membebat mata yang sehat untuk

merangsang aktivitas motor yang maksimal dari mata yang rusak.

Postur kepala abnormal mungkin berguna untuk mengkompensasi fungsi motor

ekstra-okuler yang paresis. Ini sering terjadi pada paresis saraf kranial IV. Saraf kranial

keempat tidak hanya depresor namun juga intorter mata. Pasien cenderung

mengkompensasi dengan mengangkat kepala. Usaha menormalkan posisi kepala

mungkin mencegah pasien terhadap penglihatan binokuler.

Pengangkatan kepala mungkin juga akibat dari nistagmus, karena stabilisasi

kepala pada bahu mungkin menghilangkan nistagmus. Gangguan lapang pandang juga

sering menyebabkan pemutaran kepala dalam usaha menyesuaikan lapang pandang yang

tersisa sebaik mungkin.

Resolusi spontan parese gerak mata terjadi dengan frekuensi yang cukup banyak.

Parese saraf kranial III, kelemahan rektus superior residual mungkin menetap, dan pasien

mungkin kadang-kadang mengeluh diplopia. Lesi saraf kranial IV membaik spontan

pada 65 persen pada kasus unilateral dan 25 persen pada kasus bilateral.

d. Saraf Kranial V

Cedera saraf trigeminal relatif jarang. Pasien yang memperlihatkan kornea yang

tidak sensitif, yang ditunjukkan dengan tidak adanya refleks korneal, dan adanya

paresis saraf fasial (terutama bila cabang lakrimal terkena) mempunyai risiko yang

besar terhadap ulserasi korneal neurotropik dan kemungkinan kehilangan penglihatan.

Produksi air mata, yang diatur cabang lakrimal saraf fasial, bisa dinilai dengan tes air

mata Schirmer.

e. Saraf Kranial VII

Status saraf fasial harus dicatat pada pemeriksaan pertama. Bila paralisis adalah

dengan onset segera, dan CT scan memperlihatkan terganggunya kanal fasial, eksplorasi

segera untuk dekompresi saraf mungkin harus dilakukan. Saraf fasial melintas kanal

tulang yang lebih panjang dibanding saraf kranial lainnya dan karenanya sangat

terancam terhadap cedera. Sepuluh hingga 30 persen fraktura longitudinal tulang

temporal dan 30 hingga 50 persen fraktura transversa berakibat lumpuhnya saraf fasial.

11

Page 12: CEDERA KEPALA SARAF

Bila paralisis terlambat terbentuk, prognosisnya lebih baik secara nyata bila

paralisis tidak bilateral, dan pasien harus mendapatkan tes saraf fasial secara serial. Tes

neurofisiologik termasuk konduksi saraf serta elektromiografi akan memperlihatkan

beberapa tanda perbaikan dalam delapan minggu, bila pemulihan akan terjadi.

f. Saraf Kranial VIII

Telinga dalam adalah organ sensori yang paling sering terkena setelah cedera

kepala berat. Vertigo mungkin terjadi sebagai akibat kerusakan aparatus vestibuler

atau konkusi labirintin. Hilangnya pendengaran secara primer adalah konduktif sebagai

akibat disrupsi rantai osikuler atau darah dalam telinga tengah. Rantai osikuler paling

sering mengalami disrupsi pada sendi inkudostapedial. Intervensi bedah dan pemulihan

prostetik komponen yang mengalami dislokasi adalah penting untuk memulihkan

pendengaran.

Fraktur transversa bagian petrosus tulang temporal biasanya menyebabkan

kehilangan pendengaran sensorineural. Kapsula labirintin umumnya disrupsi, berakibat

kerusakan vestibuler dan kokhlear yang berat, termasuk kerusakan fungsional kanal

semisirkuler, utrikel, dan sakula. Karena garis fraktur pada fraktur transversa adalah

perpendikular terhadap tulang fasial, tiap saraf akan rusak pada 50 persen pasien dengan

fraktur ini.

Penilaian respons okulovestibuler mungkin memberikan informasi dini

mengingat status dari sistem, dan elektronistagmografi mutakhir mungkin memastikan

gangguan end organ dari saraf vestibuler. Tidak ada tes yang meyakinkan untuk fungsi

saraf vestibuler sentral yang tersedia.

7. Sindroma Locked-in

Istilah ini serta 'mutisme akinetik' digunakan secara sinonim. Kerusakan jalur

kortikobulber dan kortikospinal diventral pons mengakibatkan keadaan di eferen yang

khas dengan tetraplegia dan mutisme. Pasien tetap waspada dan responsif, dan fungsi

kortikal luhur tetap tidak terganggu.

Jalur okuler supranuklir tetap utuh hingga kontrol gerak mata paling tidak untuk

sebagian tetap terjaga, biasanya pada bidang vertikal dan terkadang horizontal.

12

Page 13: CEDERA KEPALA SARAF

Komunikasi non oral karenanya tetap memungkinkan, baik dengan gerak mata maupun

kedipan, dan penggunaan sistem interface yang memadai dapat memberikan komunikasi

yang memadai untuk menunjukkan kemampuan kognitif yang tersisa. Sindroma ini

sebagian besar diakibatkan oleh infarksi vaskuler hingga karenanya tidak sering

ditemukan sebagai akibat trauma.

Sindroma locked-in harus betul-betul dibedakan dari keadaan vegetatif dimana

tidak dapat lagi melihat dan merasa, walau pulihnya siklus tidur-bangun dan tampilan

deseptif dari pemulihan neurologis ('koma vigil') sering memberi keluarga pasien

perasaan optimis yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan.

8. Neuropati Perifer

Polineuropati dilaporkan sebagai komplikasi dini dari sepsis dan kelainan kritis

lainnya hingga pada 50 persen pasien di ICU. Komplikasi ini terkadang ditemukan

secara klinis pada pasien cedera kepala. Polineuropati biasanya berkurang bila kelainan

kritis terkontrol. Neuropati yang berkaitan dengan fraktur dapat terjadi pada daerah

fraktur. Neuropati kompresi dapat diakibatkan immobilitas dan tekanan terlokalisasi

pada saraf diatas tonjolan tulang.

Setiap kompresi paling sering mengenai saraf ulnar dan perineal. Bila anggota

tetap flaksid, ada kemungkinan neuropati. Pada pasien yang tidak sadar, penilaian fisik

dapat sangat terbatas, dan tes konduksi saraf mungkin bernilai. Bila fraktur tulang terjadi,

pembentukan kalus yang hebat mungkin menekan saraf berdekatan, dengan timbulnya

cedera saraf yang terlambat.

9. Hidrosefalus Pasca Trauma

Sindroma hidrosefalus pasca trauma (Posttraumatik hydrocephalus, PTH) harus

ditentukan baik dengan kriteria radiologis maupun neurologis, karena setiap kelainan

harus ada untuk menegakkan diagnosis. Dalam istilah yang sederhana, PTH mungkin

dijelaskan sebagai dilatasi ventrikuler tanpa pembesaran sulkus, berkaitan dengan

sindroma klinis yang mungkin beragam dari koma dalam hingga gambaran yang khas

dari hidrosefalus tekanan normal: demensia, ataksia, dan inkontinensia urin.

13

Page 14: CEDERA KEPALA SARAF

PTH harus dibedakan dari atrofi serebral pasca trauma. Yang pertama adalah

istilah yang mempunyai arti keadaan yang aktif dan dapat diobati, sedang yang terakhir

menggambarkan resorbsi parenkhim otak sekunder terhadap cedera jaringan yang difus.

Sayangnya perbedaan ini tidak selalu tampak jelas.

Umumnya dipercaya bahwa PTH diakibatkan oleh gangguan aliran dan absorbsi

CSS. Walau bukti radiologis dan patologis menunjukkan hambatan ini terjadi disekitar

konveksitas serebral, sangat mungkin bahwa bendungan granulasi arakhnoid oleh darah

subarakhnoid berperan. Pada semua kasus, perdarahan subarakhnoid tampaknya

menjadi gambaran yang umum atas dua hipotesis ini.

PTH mungkin muncul dengan berbagai cara. Seperti dilaporkan Kishore,

sebagian besar sindroma muncul dalam dua minggu sejak cedera. Ada laporan kasus

tentang pembesaran ventrikular dalam tujuh jam sejak cedera, berakibat pemburukan

yang cepat dari tingkat kesadaran serta herniasi dini. Namun tampilan yang lebih

lambat mungkin saja terjadi. Nyatanya trauma yang sudah lama lebih sering dilaporkan

pada kasus hidrosefalus tekanan normal (NPH).

PTH mungkin tampil sebagai NPH klasik, dengan demensia, ataksia, dan

inkontinensia urin. Namun perubahan tingkat kesadaran dan bahkan koma mungkin

terjadi sebagai bagian dari sindroma. Karena cedera kepala berat sering berakibat

disfungsi neurologis luas yang berat, gambaran tersebut mungkin sulit untuk dipisahkan

dari akibat cedera otak pada fase akut. Pemantauan TIK serta CT scan serial berguna

pada keadaan ini. Pada fase pemulihan yang lebih kronik, perburukan tingkat kesadaran,

penurunan kapasitas fungsional, atau semua gambaran NPH harus dianggap sebagai

pertanda. Manifestasi tidak khas, seperti masalah emosi, respon ekstensor bilateral,

kejang, dan spastisitas tungkai juga pernah dilaporkan.

10. Epilepsi pasca trauma

Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa

waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang merupakan

respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak. Kejang terjadi padda sekitar 10%

penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan

pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala.

14

Page 15: CEDERA KEPALA SARAF

Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera.

Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat

mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada seseorang

yang mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang.

Pengobatan ini seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak

terhingga.

11. Afasia

Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena

terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau

mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus

temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. kerusakan pada bagian

manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan

mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.

Gangguan bahasa bisa berupa :

aleksia, hilangnya kemampuan untuk memahami kata-kata yang tertulis

anomia, hilangnya kemampuan untuk mengingat atau mengucapkan nama-nama

benda. beberapa penderita anomia tidak dapat mengingat kata-kata yang tepat,

sedangkan penderita yang lainnya dapat mengingat kata-kata dalam fikirannya, tetapi

tidak mampu mengucapkannya.

Disartria, merupakan ketidakmampuan untuk mengartikulasikan kata-kata dengan

tepat. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian otak yang mengendalikan otot-otot

yang digunakan untuk menghasilkan suara atau mengatur gerakan dari alat-alat vokal.

Afasia wernicke merupakan suatu keadaan yang terjadi setelah adanya kerusakan

pada lobus temporalis. Penderita tampaknya lancar berbicara, tetapi kalimat yang keluar

kacau (disebut juga gado-gado kata). Pada afasia broca (afasi ekspresif), penderita

memahami arti kata-kata dan mengetahui bagaimana mereka ingin memberikan jawaban,

tetapi mengalami kesulitan dalam mengucapkan kata-kata. Kata-kata keluar dengan

perlahan dan diucapkan sekuat tenaga, seringkali diselingi oleh ungkapan yang tidak

memiliki arti.

15

Page 16: CEDERA KEPALA SARAF

12. Apraksia

Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan

ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan

oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis. Ingatan akan serangkaian

gerakan yang diperlukan untuk melakukan tugas yang rumit hilang; lengan atau tungkai

tidak memiliki kelainan fisik yang bisa menjelaskan mengapa tugas tersebut tidak dapat

dilakukan. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah

menyebabkan kelainan fungsi otak.

13. Agnosia

Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan

merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi

normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu

dikenalnya dengan baik atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil),

meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut.

Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan

akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali terjadi segera

setelah terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa

penderita mengalami perbaikan secara spontan.

16

Page 17: CEDERA KEPALA SARAF

14. Amnesia

Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat

peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya

masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan

hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan

(amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan

(amnesia pasca trauma).

Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam

(tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. pada

cedera otak yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap.

Jenis ingatan yang bisa terkena amnesia berupa :

ingatan segera : ingatan akan peristiwa yang terjadi beberapa detik sebelumnya

ingatan menengah : ingatan akan peristiwa yang terjadi beberapa detik sampai

beberapa hari sebelumnya

ingatan jangka panjang : ingatan akan peristiwa di masa lalu.

Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari

memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus

temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat

dan orang, yang terjadi secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu kali

seumur hidup, atau bisa juga berulang dan dapat berlangsung selama 30 menit sampai 12

jam atau lebih.

Amnesia korsakoff , yaitu hilangnya ingatan yang berat disertai dengan agitasi dan

delirium. Penderita mampu mengadakan interaksi sosial dan mengadakan perbincangan

yang masuk akal meskipun tidak mampu mengingat peristiwa yang terjadi beberapa hari,

bulan atau tahun, bahkan beberapa menit sebelumnya.

17

Page 18: CEDERA KEPALA SARAF

V. Prognosa

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami

penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya

kerusakan otak yang terjadi.

Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang

tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami

kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk

menggantikan fungsi satu sama lainnya semakin berkurang.

Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh beberapa area di otak,

sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area. jika hemisfer kiri mengalami

kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi

bahasa. Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung menyebabkan

kelainan yang menetap.

Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan lengan dan tungkai)

dikendalikan oleh area khusus pada salah satu sisi otak. Kerusakan pada area ini biasanya

menyebabkan kelainan yang menetap. Dampak dari kerusakan ini bisa diminimalkan

dengan menjalani terapi rehabilitasi.

Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat

mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika

kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan

pulih kembali.

Penderita bisa mengalami sindroma pasca konkusio, dimana sakit kepala terus

menerus dirasakan dan terjadi gangguan ingatan.

Status vegetatif kronis merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu yang

lama, yang disertai dengan siklus bangun dan tidur yang mendekati normal. Keadaan ini

merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang non-fatal. Penyebabnya

adalah kerusakan pada bagian atas dari otak (yang mengendalikan fungsi mental),

sedangkan talamus dan batang otak (yang mengatur siklus tidur, suhu tubuh, pernafasan

dan denyut jantung) tetap utuh. Jika status vegetatif terus berlangsung selama lebih dari

beberapa bulan, maka kemungkinan untuk sadar kembali sangat kecil.

18

Page 19: CEDERA KEPALA SARAF

VI. Kesimpulan

1. Sindroma pasca cedera kepala atau post-concussion syndrome merupakan kumpulan

gejala yang terdiri atas nyeri kepala, pusing, iritabilitas, gangguan berkonsentrasi, dan

mudah lelah yang disebabkan oleh cedera kepala dan dapat berlangsung selama

berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun maupun seumur hidup.

2. Gejala-gejala pasca trauma kepala dapat dibagi menjadi gejala fisik, emosi dan

kognitif.

3. Kelainan pasca cedera kepala dapat berupa :

Patah tulang tengkorak

Gegar otak dan robekan otak

Perdarahan intrakranial

Kerusakan pada lobus otak

Cedera saraf kranial

Konkusio

Amnesia

Agnosia

Apraksia

Afasia

Epilepsi pasca trauma

Hidrosefalus Pasca Trauma

Neuropati Perifer

Sindroma Locked-in

19

Page 20: CEDERA KEPALA SARAF

DAFTAR PUSTAKA

Syaiful Saanin, 2003, Sekuele cedera kepala, http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/kelola.html

Anonymous, 2003, Cedera kepala. http://www.medicastore.com/cybermed/detail

Jacques Duff, 2005, Post concussion syndrome,

http://www.Cedera kepala\Post Concussion Syndrome.htm.

Japardi, Iskandar, 2004, Post Concussion Syndrome, www.library.usu.ac.id/download/k/bedah.pdf

Anonymous, 2005, Post Concussion Syndrome, http://www.healthatoz.com .

Anonymous, 2006, Post Concussion Syndrome, http;//www.en.wikipedia.org/wiki/post-concussion_syndrome

20