30
1. Anatomi Kepala 1.1 Kulit kepala Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek,pembuluh- pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Terdapat vena emiseria dan diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai dalam tengkorak(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi,atau avulasi. 1.2 Tulang kepala Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis cranium (dasar tengkorak).Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur calvarea dapat berbentuk garis (liners) yang bisa nonimpresi (tidak masuk / menekan kedalam) atau impresi. Fraktur tengkorakdapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua tidak rusak). Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang berongga, dinding luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (tabula interna) yang mengandung alur-alur arteri meningia anterior, media dan posterior. Perdarahan pada arteri-arteri ini dapat menyebabkan tertimbunya darah dalam ruang epidural. 1

cedera kepala

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: cedera kepala

1. Anatomi Kepala

1.1 Kulit kepala

Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek,pembuluh-

pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat menyebabkan kehilangan

darah yang banyak. Terdapat vena emiseria dan diploika yang dapat membawa infeksi

dari kulit kepala sampai dalam tengkorak(intracranial) trauma dapat menyebabkan

abrasi, kontusio, laserasi,atau avulasi.

1.2 Tulang kepala

Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis cranium (dasar tengkorak).Fraktur

tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma.

Fraktur calvarea dapat berbentuk garis (liners) yang bisa nonimpresi (tidak masuk /

menekan kedalam) atau impresi. Fraktur tengkorakdapat terbuka (dua rusak) dan

tertutup (dua tidak rusak). Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang

berongga, dinding luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (tabula interna) yang

mengandung alur-alur arteri meningia anterior, media dan posterior. Perdarahan pada

arteri-arteri ini dapat menyebabkan tertimbunya darah dalam ruang epidural.

1.3 Lapisan Pelindung otak / Meninges

Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, arakhnoid, dan pia mater. Durameter

adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak elastis menempel pada bagian

tengkorak. Bila durameter robek, tidak dapat diperbaiki dengan sempurna. Fungsi

durameter adalah melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari

durameter dan lapisan endotekal saja tanpa jaringan vaskuler ), membentuk

periosteum tabula interna.

Araknoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak menempel pada dura.

Diantara durameter dan arachnoid terdapatr ruang subduralyang merupakan ruangan

potensial. Pendarahan subdural dapat menyebar dengan bebas. Dan hanya terbatas

untuk seluas valks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati subdural

1

Page 2: cedera kepala

mempunyai sedikit jaringan penyokong sehingga mudah cedera dan robek pada

trauma kepala.

Piamater adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh darah halus,

masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua girus, kedua lapisan yang lain

hanya menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi medial hemisfer

otak. Piamater membentuk sawan antar ventrikel dan sulkus atau vernia. Sawar ini

merupakan struktur penyokong dari pleksus koroideus pada setiap ventrikel.

1.4 Otak

Otak manusia terdiri atas serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas

hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu lipatan duramater

dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Lobus frontal cerebrum berkaitan dengan

fungsi emosi, fungsi motorik, dan pada sisi dominan terdapat area bicara motorik.

Lobul temporal mengatur fungsi memori tertentu dan lobus oksipital bertanggung

jawab dalam proses penglihatan.

Batang otang terdiri atas mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Mesensefalon

dan pons bagian atas berisi system aktivasi reticular yang berfungsi dalam kesadaran

dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang

terus emanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Serebelum yang terletak dalam

fossa posterior berfungsi sebagai pusat koordinasi dan keseimbangan.

2. Definisi Cedera Kepala

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung

atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi

neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau

permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu

kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi

disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan

fungsi fisik.

2

Page 3: cedera kepala

3. Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala diklasifikasikan dalam 3 aspek, yaitu: mekanisme, beratnya cedera

berdasarkan Glasgow Coma Scale, morfologi.

3.1 Mekanisme cedera kepala

Cedera kepala dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya

berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.

Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

3.2 Cedera kepala berdasarkan Glascow Coma Scale socre

Berdasarkan Glascow Coma Scale score, maka cedera kepala secara klinis dapat

menjadi:

3.2.1 Cedera kepala ringan : GCS 14-15, tanpa defisit neurologis, dan pingsan

tidak lebih dari 10 menit. Namun bila pada pemeriksaan CT scan

ditemukan ada perdarahan, maka diklasifikasikan menjadi cedera kepala

sedang

3.2.2 Cedera kepala sedang : GCS 9-13, ada defisit neurologis, dan pingsan

antara 10 menit sampai 6 jam

3.2.3 Cedera kepala berat: GCS 3-8, ada defisit neurologis, dan pingsan lebih

dari 6 jam

3

Page 4: cedera kepala

GAMBAR 1: tabel penilaian GCS

3.3 Cedera kepala berdasarkan morfologi

3.3.1 Fraktur kranium

Faktur kranium pada kasus cedera kepala tidak selalu menggambarkan beratnya

cedera otak yang terjadi, demikian juga sebaliknya. Cedera otak yang berat dan

membahayakan jiwa dapat juga terjadi tanpa fraktur tulang kranium yang jelas.

Sebaliknya, faktur kranium yang cukup besar tidak selalu disertai cedera otak

yang berat dan berakibat fatal. Pemeriksaan fisik dengan cara eksplorasi pada

lokasi benturan dapat membantu untuk mengetahui ada atau tidaknya fraktur.

Untuk memastikan fraktur dapat dilakukan pemeriksaan radiologis baik dengan

4

Page 5: cedera kepala

rontgen kranium ataupun CT Scan. Berdasarkan bentuk dan lokasi fraktur dapat

dibagi menjadi:

3.2.1.1 Fraktur linier

Fraktur dengan bentuk garis fraktur tunggal pada tengkorak yang mengenai

seluruh ketebalan lapisan tulang. Hal ini menunjukkan bahwa benturan yang

terjadi cukup kuat. Apabila garis fraktur melintasi perdarahan arteri meningeal

media, maka perlu dicurigai terjadinya heatoma epidural arterial. Apabila garis

fraktur melintasi daerah sinus longitudinal superior atau sinus lateralis, maka

perlu dicurigai adanya hematoma epidural vena.

3.2.1.2 Fraktur Diatase

Fraktur yang terjadi pada sutura tulang belakang yang sifatnya fibrous, dan

berakibat terjadinya pemisahan sutura cranial. Fraktur ini sering terjadi pada

bayi usia 3 tahun, sedangkan pada orang dewasa relatif jarang. Fraktur diatase

yang terjadi pada sutura lambdoid memiliki resiko terjadinya hematoma

epidural.

3.2.1.3 Fraktur kominutif

Fraktur kominutif adalah fraktur yang menyebabkan terjadinya lebih dari satu

fragmen pecahan tulang, namun masih dalam satu. Apabila fraktur bersifat

terbuka akan diperlukan pemeriksaan dan penangan yang lebih komprehensif

karena dapat disertai kerusakan lapisan dura, laserasi atau kontaminasi jaringan

otak.

3.2.1.4 Fraktur depresi

Fraktur depresi adalah fraktur dengan pecahan tabula interna tulang tengkorak

tertekan masuk ke dalam melewati level anatomic bawah tulang tengkorak. Pada

fraktur ini dapat terjadi penetrasi terhadap duramater dan jaringan otak

dibawahnya sehingga berakibat kerusakan structural jaringan otak.

Pada hasil pemeriksaan rontgen kranium, fraktur depresi memberikan gambaran

double countour sign yang lebih radioopaque, karena adanya tulang yang saling

tumpang tindih. Pemeriksaan CT Scan dapat dilakukan untuk mengetahui

keadaan struktur jaringan lunak sekitar tulang. Pada fraktur depresi terbuka,

5

Page 6: cedera kepala

tindakan operasi merupakan langkah terbaik dan perlu dilakukan secepatnya.

Sedangkan pada fraktur tertutup, dapat dilakukan tidakan operasi atau

konservatif. Hal ini tergantung keadaan umum dan gejala defisit neurologis.

3.2.1.5 Fraktur basis kranii

Fraktur basis kranii adalah fraktur yang okasinya terletak pada dasar kranium,

yang dapat terjadi pada fossa anterior, fossa media, ataupun fossa posterior.

Pada fraktur basis kranii sering disertai dengan robeknya lapisan dura sehingga

terjadi kebocoran cairan serebrospinal. Kebocoran cairan serebrospinal

meningkatkan resik terjadinya infeksi selaput otak ataupun jaringan otak.

Pasien fraktur basis kranii perlu diberikan antibiotik profilaksis, terutama pada

pasien yang ditemukan gejala kebocoran cairan serebrospinal. Hal ini bertujuan

untuk mengurangi resiko komplikasi meningitis. Kuman yang paling sering

dijumpai adalah Pneumococcis, Streptococcus, dan Haemophilus influenza.

Fraktur basis kranii fossa anterior

Gejala: rhinorea cairan serebrospial, hematoma / ekimosis

periorbital, dan hematoma subkonjungtiva.

Gejala rhinorea perlu diperhatikan cairan yang keluar

berupa serebrospinal atau mucin. Apabila ditemukan

glukosa, maka itu menunjukkan bahwa cairan berupa cairan

serebrospinal. Apabila cairan yang keluar bercampur darah,

maka lakukan test halo untuk membedakan epistaksis atau

cairan serebrospinal yang disertai darah. Test halo

dilakukan dengan cara meneteskan cairan pada tissue. Halo

test positif apabila terdapat darah ditengah dan rembesan

cairan serebrospinal membentuk cincin mengelilingi darah.

Hematoma periorbital pada kedua mata atau racoon eyes

terjadi 12-24 am setelah trauma. Gejala anosmia dapat

terjadi bila N olfaktorius yang menembus lempeng

kribiformis ikut terlibat dapat cedera kepala. Sedangkan

apabila N optikus yang terkena cedera maka pasien dapat

mengeluh gangguan visus. Pada kecurigaan fraktur, maka

hindari pemasangan naso gastric tube (NGT) untuk

6

Page 7: cedera kepala

menghindari resiko terjadinya NGT menembus lempeng

kribiformis yang telah fraktur.

Fraktur basis kranii fossa media

Gejala: Otorea, ekismosis retroaurikuler, kelumpuhan N VII

dan VIII.

Otorea dapat berupa keluar darah atau cairan serebrospinal

pada membran timpani yang pecah. Untuk membuktikan

adanya cairan serebrospinal yang keluar, dapat dilakukan

test halo. Ekimosis retroaurikuler atau battle’s sign adalah

tanda adanya hematoma atau pada tulang mastoid yang

muncul 24-48 jam setelah cedera kepala terjadi. Tanda

kelumpuhan N VII dan VIII dapat ditemukan terutama pada

garis fraktur yang terjadi mengenai aksis pyramida

petrosus.

3.3.2 Lesi Intracranial

3.3.2.1 Lesi fokal

Epidural hematoma

Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan

duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang

arteri meningeal media yang terdapat di duramater,

pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu

sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai

1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus

temporalis dan parietalis.

Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri

kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral,

pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler,

penurunan nadi, peningkatan suhu.

Subdural hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak,

dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya

pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat

7

Page 8: cedera kepala

diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode

akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik

dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.

Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk,

menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.

Intraserebral hematoma

Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh

darah arteri, kapiler, vena.

Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran,

komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi

pupil, perubahan tanda-tanda vital.

Perdarahan subarachnoid:

Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya

pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada

pada cedera kepala yang hebat.

Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran,

hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.

3.3.2.2 Lesi difusa

Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang berkelanjutan,

disebabkan cedera akselerasi-deselerasi otak, adalah jenis cedera kepala yang paling

sering.

Konkusi Ringan

Konkusi (cerebral concussion) ringan : kesadaran tidak

terganggu, terdapat suatu tingkat disfungsi neurologis

temporer. Sering terjadi dan karena ringan, sering tidak

dibawa kepusat medik. Bentuk paling ringan, berakibat

konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih sempurna

tanpa disertai sekuele major. Yang sedikit lebih berat

menyebabkan konfusi dengan amnesia retrograd maupun

post traumatika.

Konkusi Serebral Klasik

8

Page 9: cedera kepala

Konkusi serebral klasik : hilangnya kesadaran. Selalu

disertai amnesia retrograd dan post traumatika, dan lamanya

amnesia post traumatika adalah pengukur atas beratnya

cedera. Hilangnya kesadaran sementara, sadar sempurna

dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Tidak

mempunyai sekuele kecuali amnesia atas kejadian terkait

cedera, namun beberapa mempunyai defisit neurologis yang

berjalan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.

Cedera Aksonal Difusa (CAD)

CAD (Diffuse Axonal Injury, DAI) : koma pasca trauma

yang lama(lebih dari enam jam), tidak dikarenakan lesi

massa atau kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi kategori

ringan, sedang dan berat. CAD ringan jarang, koma

berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut

perintah setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang berakhir

lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak. Bentuk

CAD paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien

dengan CAD. 

CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan

paling mematikan. 36% dari semua pasien dengan CAD.

Koma dalam dan menetap untuk waktu yang lama. Sering

menunjukkan tanda dekortikasi atau deserebrasi dan cacad

berat menetap bila penderita tidak mati, disfungsi otonom

seperti hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan

sebelumnya tampak mempunyai cedera batang otak primer.

CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi

atas gambaran klinik yang terjadi.

4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus cedera kepala mencakup

emeriksaan radiologi dan laboratorium darah.

9

Page 10: cedera kepala

4.1 Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi yang paling sering dilakukan pada kasus cedera kepala adalah

rontgen kepala. Sedangkan rontgen tulang leher, thoraks, abdomen, dan ekstremitas

disesuaikan dengan ada atau tidaknya indikasi. Poto rontgen kepala harus dilakukan

dalam dua posisi, yaitu: anteroposterior dan lateral. Pada poto lateral, posisi film

berada pada sisi yang dicurigai fraktur. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

menginterpretasikan foto polos kepala,yaitu:

Perhatikan garis fraktur dan bedakan dengan vascular marking

Gambaran densitas yang meningkat dan daerah dengan densitas menurun di

daerah sekitarnya merupakan gambaran fraktur depresi

Air fluid level pada sinus paranasal meruakan tanda perdarahan intrasinus

Gambaran udara intracranial(pneumosefalus) menunjukkan adanya fraktur

terbuka

Air fluid level pada sinus sphenoid merupakan salah satu tanda fraktur basis

kranii

Fraktur basis kranii tidak selalu terlihat pada poto polos kepala

Saat ini, pemeriksaan penunjang CT Scan telah digunakan untuk pemeriksaan

skrining cedera kepada karena dapat memberi hasil gambaran tulang dan jaringan

otak secara jelas. Namun, CT Scan belum secara rutin digunakan karena biaya

pemeriksaan relaktif lebih mahal bila dibandingkan dengan foto polos kepala. Maka

pemeriksaan CT Scan dilakukan jika ada indikasi jelas dan keadaan memungkinkan

(faktor biaya dan fasilitas). Indikasi dilakukan CT Scan adalah:

Bila secara klinis ditemukan pasien cengan cedera kepala sedang – berat

Cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak

Adanya kecurigaan dan tanda fraktur basis kranii

Adanya defisit neurologis, seperti: kejang, penurunan kesadaran

Sakit kepala yang hebat

Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial atau herniasi

jaringan otak

Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan serebral

4.2 Pemeriksaan Laboratorium

10

Page 11: cedera kepala

Pemeriksaan hematologi: hemoglobin darah untuk mengetahui petanda

perdarahan yang berat, leukositosis menjadi salah satu indicator berat

ringanya cedera kepala yang terjadi

Gula darah sewaktu: monitor hipoglikemia atau hiperglikemia

Fungsi ginjal: pemeriksaan fungsi ginjal sebelum pemberian manitol

Analisis gas darah: PO2 harus > 90 mmHg, Sa O2 > 95%, PCO2 30-35%

Pemeriksaan elektrolit: gangguan elektrolit juga berdampak pada tingkat

kesadaran

Golongan darah: persiapan transfusi pada perdarahan yang berat

5. Penatalaksanaan Cedera Kepala

5.1 Penatalaksanaan cedera kepala ringan (GCS 14-15)

Cedera kepala ringan : GCS 14-15, tanpa defisit neurologis, dan pingsan tidak lebih

dari 10 menit. Namun bila pada pemeriksaan CT scan ditemukan ada perdarahan,

maka diklasifikasikan menjadi cedera kepala sedang

a. Riwayat :

Identitas pasien

Mekanisme cidera

Waktu cidera

Tidak sadar segera setelah cedera

Tingkat kewaspadaan

Amnesia: retrograde, antegrade

Sakit kepala: ringan, sedang, berat

b. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

c. Pemeriksaan neurologis terbatas

d. Pemeriksaan rontgen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi

11

Page 12: cedera kepala

e. Pemeriksaan kadar alcohol darah dan zat toksik dalam urine

f. Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada setiap penderita kecuali

memang sama sekali asimptomatik dan pemeriksaan neurologis normal

g. Observasi atau rawat inap vs dipulangkan

Kriteria pasien di observasi atau dirawat inap:

CT Scan tidak ada

CT Scan abnormal

Semua cedera tembus

Riwayat hilang kesadaran

Sakit kepala sedang-berat

Intoksikasi alcohol/obat-obatan

Kebocoran likuor: Rhinorea atau otorea

Cedera penyerta yang bermakna

Tidak ada keluarga di rumah

GCS kurang dari 15

Defisit neurologi fokal

Kriteria pasien yang dipulangkan dari RS

orientasi waktu dan tempat tidak terganggu

tidak ada gangguan kesadaran maupun gangguan ingatan

tidak muntah dan tidak merasa sakit kepala yang semakin

hebat

tidak didapatkan fraktur pada tulang kepala

akses menuju rumah sakit tidak sulit

12

Page 13: cedera kepala

ada yang menunggui pasien selama dirawat di rumah

Sebelum pasien diizinkan pulang, pihak keluarga atau pengantar

diberikan informasi mengenai tanda-tanda bahaya yang perlu

diperhatikan selama perawatan di rumah. Tanda-tanda bahaya tersebut

adalah:

mengantuk berat dan sulit dibangunkan. Pada fase awal

cedera kepala, pasien harus dibangunkan setiap 2 jam

selama periode tidur.

Mual dan muntah

Kejang

Perdarahan atau keluar cairan dari hidung dan telinga

Sakit kepala yang hebat

Kelemahan atau rasa baal pada lengan atau tungkai

Bingung atau mengalami perubahan perilaku

Adanya gangguan penglihatan, gangguan garakan bola

mata, dan ukuran pupil mata yang tidak sama antara kanan

dan kiri

Denyut nadi yang sangat lambat atau justru terlalu cepat

Pola nafas yang tidak teratur

5.2 Penatalaksanaan cedera kepala sedang (GCS 9-13)

Cedera kepala sedang : GCS 9-13, ada defisit neurologis, dan pingsan antara 10 menit

sampai 6 jam.

a. Riwayat :

Identitas pasien

Mekanisme cidera

Waktu cidera

13

Page 14: cedera kepala

Tidak sadar segera setelah cedera

Tingkat kewaspadaan

Amnesia: retrograde, antegrade

Sakit kepala: ringan, sedang, berat

b. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

c. Pemeriksaan neurologis terbatas

d. Pemeriksaan rontgen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi

e. Pemeriksaan kadar alcohol darah dan zat toksik dalam urine

f. Pemeriksaan CT Scan kepala pada semua kasus

g. Pemeriksaan darah sederhana

h. Pro rawat inap untuk observasi

pemeriksaan neurologis periodic dalam 12-24 jam pertama.

CT Scan ulang bila kondisi pasien memburuk atau pasien

akan dipulangkan.

Apabila pasien tidak mampu melakukan perintah, segera

lakukan CT Scan ulang dan penataksanaan protocol cedera

kepala berat

5.2 Penatalaksanaan cedera kepala berat (GCS 3-8)

Cedera kepala berat: GCS 3-8, ada defisit neurologis, dan pingsan lebih dari 6 jam.

a. Primary survey: ABCDE

Airway: lidah jatuh ke belakang, ekstensikan kepala apabila tidak ada

lesi di servikal atau pasang pipa orofaring. Selain itu, lakukan

pembersihan apabila terdapat lendir, darah, muntah, gigi palsu. Pasien

yang muntah dapat diposisikan berbaring sambil miring dan pasang

14

Page 15: cedera kepala

pipa nasogastrik untuk mengosongkan isi lambung dan mencegah

terjadi aspirasi.

Breathing: gangguan pernafasan bisa sentral (medulla oblongata) atau

perifer (aspirasi). Pasien dapat diberi oksigen dosis tinggi 10-15L/mnt

dan apabila memungkinkan dapat dipasang ventilator.

Circulation: hipotensi sebagai pentunjuk bahwa terdapat kehilangan

darah yang cukup banyak. Hipotensi jarang hanya disebabkan oleh

cedera kepala kecuali medulla oblongata telah mengalami gangguan.

Penyebab hipotensi tersering adalah hipovolemia akibat perdarahan

luar, ruptur organ dalam abdomen, trauma dada, pneumothorax. Darah

yang hialng dapat diganti dengan darah atau plasma darah dan dapat

juga diberikan cairan isotonic NaCl 0.9% atau ringer laktat. Dalam

kasus cedera kepala berat diusahan tekanan darah sistolik 120-140 /

MAP 90 mmHg agar perfusi serebral adekuat. Apabila shock tidak

disebabkan oleh hilangnya volume intravascular, maka dapat diberikan

vasopresor.

Disability: penilaian Glasgow Coma Scale terutama untuk menentukan

derajat cedera.

Environment: pengukuran suhu

b. Secondary survey dan riwayat AMPLE

Secondary survey:

Kepala dan wajah: lesi atau fraktur pada bagian posterior

kepala, battle’s sign,

Maksilofasial: refleks pupil, tanda-tanda kebocoran cairan

serebrospinal dari telinga atau hidung (hallo test), raccoon

eyes, suara nafas

Leher: lesi, deviasi trakea, edema, one line collar neck

Toraks: pengembangan dada simetris, lesi, deformitas,

paradoxical movement, pengguan otot bantu pernafasan,

15

Page 16: cedera kepala

suara nafas, jenis pernafasan, tingkat pernfasan dalam satu

menit, tekanan darah, nadi.

Abdomen: lesi, distensi abdomen, edema, bising usus, nyeri

tekan, kontraindikasi pemasangan nasogastrik tube pada

fraktur maksilofasial

Pelvis: lesi; deformitas; pemeriksaan vagina jika terjadi

perdarahan; kateter jika tidak ada darah pada uretra, tidak

ada lesi pada perineum, dan hasil pemeriksaan rectum yang

nomal

Punggung: memindahkan pasien dengan teknik Log Roll,

lesi, deformitas, nyeri tekan

Ekstremitas: lesi, edema, benjolan, nyeri tekan, range of

movement

Neurologi: ulangi pemeriksaan GCS, refleks pupil, periksa

lateralisasi, perhatikan tanda lesi medulla spinalis

Riwayat AMPLE:

Allergy: riwayat alergi obat, makanan, debu

Medicine: pemakaian obat-obatan

Previous: riwayat penyakit dahulu atau riwayat operasi

Last: konsumsi makanan terakir dan BAK BAB terakhir

Event: kejadian sebelum sakit

c. Rawat pada fasilitas bedah saraf

d. Reevaluasi neurologis: GCS, refleks batang otak (pupil, doll’s eyes,

kornea, dll)

e. Medikamentosa: manitol, antikonvulsan, hiperventilasi sedang (PCO2

< 35 mmHg)

16

Page 17: cedera kepala

f. Tes diagnostic: CT Scan ventrikulografi udara angiogram

6. Medikamentosa Cedera Kepala

a. Cairan intravena

Pemberian cairan intravena harus diberikan secukupnya agar pasien tetap

dalam keadaan normovolemik. Resusitasi cairan yang dipakai adalah cairan

normotonik seperti ringer laktat atau NaCl 0.9%. kadar natrium seru perlu

diperhatikan pada pasien cedera kepala karena keadaan hiponatremia sangat

berkaitan dengan timbulnya edema otak.

b. Hiperventilasi ringan

Hiperventilasi bertujuan untuk menciptakan kondisi alkalosis respiratorik

sehingga arteri di otak mengalami vasokonstriksi. Dengan terjadinya

vasokonstriksi, maka aliran darah ke otak akan berkurang dan vlume darah

otak menurun, sehingga tekanan intraktranial akan menurun. Apabila

hiperventilasi berlangsung lama dan agresif dapat menyebabkan iskemik otak.

Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara seleksif dan dalam waktu tertentu.

Umumnya PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih.

c. Manitol

Manitol 20% digunakan untuk menurunkan tekanan intra cranial yang

meningkat. Dosis yang biasa dipakai adalah 1 g/kgBB diberikan secara bolus

intravena. Dosis tinggi manitol tidak dianjurkan pada pasien hipotensi karena

manitol adalah diuretic osmotik yang poten. Indikasi pemberian manitol

adalah deteriorasi neurologis akut, dilatasi pupil, hemiparesis, kehilangan

kesadaran. Pada kondisi ini, pemberian manitol 1gr/kgBB harus diberikan

secara cepat (5menit) dan dilakukan pemeriksaan CT Scan.

d. Furosemid

17

Page 18: cedera kepala

Furosemid dapat diberikan bersama manitol untuk menurunkan tekanan intra

cranial. Dosis yang diberikan adalah 0.3-0.5 mg/kgBB secara intravena.

e. Antikonvulsan

Epilepsy pasca trauma terjadi sekitar 5% ada pasien cedera kepala tertutup dan

15 % pada pasien cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang berkaitan

dengan insiden epilepsy,yaitu: kejang awal yang terjadi pada minggu pertama,

perdarahan intracranial, fraktur depresi. Pilihan obat yang umum digunakan

adalah fenitoin 1 gr yang diberikan secara intravena.pemberian dosis

pemeliharan 100 mg/8 jam. Apabila pasien dengan kejang lama, dapat

diberikan diazepam atau lorazepam sebagai tambahan fenitoin.

7. Komplikasi dan Cedera Kepala Sekunder

cedera otak sekunder merupakan kerusakan atau kelainan yang terjadi pada

jaringan otak atau yang merupakan kejadian ikutan / komplikasi dari cedera

primer.cedera otak sekunder dapat terjadi segera sesaat setelah cedera terjadi

atau dapat terjadi beberapa hari kemudian.

a. Cedera otak sekunder akibat hipoksia dan hipotensi

Hipoksia (oksigen arteri < 60 mmHG) dan hipotensi(<90mmHg) merupakan

suat kondisi yang harus dicegah karena dapat berakibat kerusakan lebih lanjut

pada jaringan otak yang iskemik. Gangguan pernafasan ini dapat mengganggu

metabolisme jaringan otak dan terjadi dilatasi serebrovaskular yang

berdampak pada peningkatan tekanan intracranial dan eksaserbasi efek masa.

b. Edema serebral

Edema yang terjadi pada otak dapat terlokalisir atau menyeluruh sehingga

menyebabkan bertambah besarnya massa jaringan otak dalam rulang

tengkorang. Hal ini dapat menimbulkan peningkatan tekanan intracranial yang

akan berakibat penurunan perfusi an herniasi jaringan otak. Pada cedera

kepala sering terjadi edema vasogenik dan edema iskemik. Edema vasogenik

terjadi akibat peningkatan permeabilitas kapiler atau kerusakan sawar darah

otak yang menyebabkan penimbunan plasma tinggi protein pada ruang

ekstraseluler. Edema sitotoksik merupakan edema yang terjadi pada kondisi

18

Page 19: cedera kepala

hipoksia dan iskemia jaringan. Pada edema ini terjadi penimbunan cairan di

dalam sel. Untuk penangan edema otak ini dasar terapinya adalah oembatasan

cairan, pengurangan masukan garam, pengeluaran cairan, kortikosteroid,

diuretika, hipotermia, hiperventilasi, oksigen, dan pentobarbital.

c. Peningkatan tekanan intra Kranial

Pada kasus cedera kepala tekanan intra cranial dapat meningkat akibat

perdarahan pada selaput otak, perdarahan dalam jaringan otak, kelainan

parenkim otak. Untuk mengetahui peningkatan TIK dapat dilakukan fungsi

lumbal, pungsi sub-oksipital, pungsi ventrikel, pengukuran tekanan

ekstradural, dan tekanan jaringan otak.

Indikasi pasien cedera kepala yang diukur TIK adalah GCS kurang dari 8,

CTScan ditemukan kerusakan jaringan otak, abnormalitas pupil, respon

motorik yang asimetrik, usia lebih dari 40 tahun.

d. Herniasi otak

Adanya penambahan volume dalam tengkorak akan menyebabkan semakin

meningkatkan tekan intra cranial. Pada awal peningkatan volume, akan terjadi

kompensasi cairan serebrospinal dan aliran darah vena. Namun, bila tekan

semakin meninggi dan tidak dapat dikompensasi, maka akan terjadi

pergeseran dari struktur otak yang disebut herniasi.

8. Indikasi Operasi pada Cedera Kepala

a. Volume hematoma mencapai lebih dari 40 ml di daerah sura tentorial atau

lebih dari 20 cc di daerah infra tentorial

b. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta

gejala dan tanda focal neurologis semakin berat

c. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat

d. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm

19

Page 20: cedera kepala

e. Kenaikan tekanan intracranial lebih dari 25mmHg

f. Terjadi penambahan ukuran hematoma pada pemeriksaan ulang CT Scan

g. Terjadi gejala herniasi otak

h. Terjadi kompresi/obliterasi sisterna basalis

20