Upload
xiaou123
View
812
Download
93
Embed Size (px)
Citation preview
1. Anatomi Kepala
1.1 Kulit kepala
Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek,pembuluh-
pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat menyebabkan kehilangan
darah yang banyak. Terdapat vena emiseria dan diploika yang dapat membawa infeksi
dari kulit kepala sampai dalam tengkorak(intracranial) trauma dapat menyebabkan
abrasi, kontusio, laserasi,atau avulasi.
1.2 Tulang kepala
Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis cranium (dasar tengkorak).Fraktur
tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma.
Fraktur calvarea dapat berbentuk garis (liners) yang bisa nonimpresi (tidak masuk /
menekan kedalam) atau impresi. Fraktur tengkorakdapat terbuka (dua rusak) dan
tertutup (dua tidak rusak). Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang
berongga, dinding luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (tabula interna) yang
mengandung alur-alur arteri meningia anterior, media dan posterior. Perdarahan pada
arteri-arteri ini dapat menyebabkan tertimbunya darah dalam ruang epidural.
1.3 Lapisan Pelindung otak / Meninges
Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, arakhnoid, dan pia mater. Durameter
adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak elastis menempel pada bagian
tengkorak. Bila durameter robek, tidak dapat diperbaiki dengan sempurna. Fungsi
durameter adalah melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari
durameter dan lapisan endotekal saja tanpa jaringan vaskuler ), membentuk
periosteum tabula interna.
Araknoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak menempel pada dura.
Diantara durameter dan arachnoid terdapatr ruang subduralyang merupakan ruangan
potensial. Pendarahan subdural dapat menyebar dengan bebas. Dan hanya terbatas
untuk seluas valks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati subdural
1
mempunyai sedikit jaringan penyokong sehingga mudah cedera dan robek pada
trauma kepala.
Piamater adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh darah halus,
masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua girus, kedua lapisan yang lain
hanya menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi medial hemisfer
otak. Piamater membentuk sawan antar ventrikel dan sulkus atau vernia. Sawar ini
merupakan struktur penyokong dari pleksus koroideus pada setiap ventrikel.
1.4 Otak
Otak manusia terdiri atas serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu lipatan duramater
dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Lobus frontal cerebrum berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik, dan pada sisi dominan terdapat area bicara motorik.
Lobul temporal mengatur fungsi memori tertentu dan lobus oksipital bertanggung
jawab dalam proses penglihatan.
Batang otang terdiri atas mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Mesensefalon
dan pons bagian atas berisi system aktivasi reticular yang berfungsi dalam kesadaran
dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang
terus emanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Serebelum yang terletak dalam
fossa posterior berfungsi sebagai pusat koordinasi dan keseimbangan.
2. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
2
3. Klasifikasi Cedera Kepala
Cedera kepala diklasifikasikan dalam 3 aspek, yaitu: mekanisme, beratnya cedera
berdasarkan Glasgow Coma Scale, morfologi.
3.1 Mekanisme cedera kepala
Cedera kepala dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
3.2 Cedera kepala berdasarkan Glascow Coma Scale socre
Berdasarkan Glascow Coma Scale score, maka cedera kepala secara klinis dapat
menjadi:
3.2.1 Cedera kepala ringan : GCS 14-15, tanpa defisit neurologis, dan pingsan
tidak lebih dari 10 menit. Namun bila pada pemeriksaan CT scan
ditemukan ada perdarahan, maka diklasifikasikan menjadi cedera kepala
sedang
3.2.2 Cedera kepala sedang : GCS 9-13, ada defisit neurologis, dan pingsan
antara 10 menit sampai 6 jam
3.2.3 Cedera kepala berat: GCS 3-8, ada defisit neurologis, dan pingsan lebih
dari 6 jam
3
GAMBAR 1: tabel penilaian GCS
3.3 Cedera kepala berdasarkan morfologi
3.3.1 Fraktur kranium
Faktur kranium pada kasus cedera kepala tidak selalu menggambarkan beratnya
cedera otak yang terjadi, demikian juga sebaliknya. Cedera otak yang berat dan
membahayakan jiwa dapat juga terjadi tanpa fraktur tulang kranium yang jelas.
Sebaliknya, faktur kranium yang cukup besar tidak selalu disertai cedera otak
yang berat dan berakibat fatal. Pemeriksaan fisik dengan cara eksplorasi pada
lokasi benturan dapat membantu untuk mengetahui ada atau tidaknya fraktur.
Untuk memastikan fraktur dapat dilakukan pemeriksaan radiologis baik dengan
4
rontgen kranium ataupun CT Scan. Berdasarkan bentuk dan lokasi fraktur dapat
dibagi menjadi:
3.2.1.1 Fraktur linier
Fraktur dengan bentuk garis fraktur tunggal pada tengkorak yang mengenai
seluruh ketebalan lapisan tulang. Hal ini menunjukkan bahwa benturan yang
terjadi cukup kuat. Apabila garis fraktur melintasi perdarahan arteri meningeal
media, maka perlu dicurigai terjadinya heatoma epidural arterial. Apabila garis
fraktur melintasi daerah sinus longitudinal superior atau sinus lateralis, maka
perlu dicurigai adanya hematoma epidural vena.
3.2.1.2 Fraktur Diatase
Fraktur yang terjadi pada sutura tulang belakang yang sifatnya fibrous, dan
berakibat terjadinya pemisahan sutura cranial. Fraktur ini sering terjadi pada
bayi usia 3 tahun, sedangkan pada orang dewasa relatif jarang. Fraktur diatase
yang terjadi pada sutura lambdoid memiliki resiko terjadinya hematoma
epidural.
3.2.1.3 Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah fraktur yang menyebabkan terjadinya lebih dari satu
fragmen pecahan tulang, namun masih dalam satu. Apabila fraktur bersifat
terbuka akan diperlukan pemeriksaan dan penangan yang lebih komprehensif
karena dapat disertai kerusakan lapisan dura, laserasi atau kontaminasi jaringan
otak.
3.2.1.4 Fraktur depresi
Fraktur depresi adalah fraktur dengan pecahan tabula interna tulang tengkorak
tertekan masuk ke dalam melewati level anatomic bawah tulang tengkorak. Pada
fraktur ini dapat terjadi penetrasi terhadap duramater dan jaringan otak
dibawahnya sehingga berakibat kerusakan structural jaringan otak.
Pada hasil pemeriksaan rontgen kranium, fraktur depresi memberikan gambaran
double countour sign yang lebih radioopaque, karena adanya tulang yang saling
tumpang tindih. Pemeriksaan CT Scan dapat dilakukan untuk mengetahui
keadaan struktur jaringan lunak sekitar tulang. Pada fraktur depresi terbuka,
5
tindakan operasi merupakan langkah terbaik dan perlu dilakukan secepatnya.
Sedangkan pada fraktur tertutup, dapat dilakukan tidakan operasi atau
konservatif. Hal ini tergantung keadaan umum dan gejala defisit neurologis.
3.2.1.5 Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah fraktur yang okasinya terletak pada dasar kranium,
yang dapat terjadi pada fossa anterior, fossa media, ataupun fossa posterior.
Pada fraktur basis kranii sering disertai dengan robeknya lapisan dura sehingga
terjadi kebocoran cairan serebrospinal. Kebocoran cairan serebrospinal
meningkatkan resik terjadinya infeksi selaput otak ataupun jaringan otak.
Pasien fraktur basis kranii perlu diberikan antibiotik profilaksis, terutama pada
pasien yang ditemukan gejala kebocoran cairan serebrospinal. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi resiko komplikasi meningitis. Kuman yang paling sering
dijumpai adalah Pneumococcis, Streptococcus, dan Haemophilus influenza.
Fraktur basis kranii fossa anterior
Gejala: rhinorea cairan serebrospial, hematoma / ekimosis
periorbital, dan hematoma subkonjungtiva.
Gejala rhinorea perlu diperhatikan cairan yang keluar
berupa serebrospinal atau mucin. Apabila ditemukan
glukosa, maka itu menunjukkan bahwa cairan berupa cairan
serebrospinal. Apabila cairan yang keluar bercampur darah,
maka lakukan test halo untuk membedakan epistaksis atau
cairan serebrospinal yang disertai darah. Test halo
dilakukan dengan cara meneteskan cairan pada tissue. Halo
test positif apabila terdapat darah ditengah dan rembesan
cairan serebrospinal membentuk cincin mengelilingi darah.
Hematoma periorbital pada kedua mata atau racoon eyes
terjadi 12-24 am setelah trauma. Gejala anosmia dapat
terjadi bila N olfaktorius yang menembus lempeng
kribiformis ikut terlibat dapat cedera kepala. Sedangkan
apabila N optikus yang terkena cedera maka pasien dapat
mengeluh gangguan visus. Pada kecurigaan fraktur, maka
hindari pemasangan naso gastric tube (NGT) untuk
6
menghindari resiko terjadinya NGT menembus lempeng
kribiformis yang telah fraktur.
Fraktur basis kranii fossa media
Gejala: Otorea, ekismosis retroaurikuler, kelumpuhan N VII
dan VIII.
Otorea dapat berupa keluar darah atau cairan serebrospinal
pada membran timpani yang pecah. Untuk membuktikan
adanya cairan serebrospinal yang keluar, dapat dilakukan
test halo. Ekimosis retroaurikuler atau battle’s sign adalah
tanda adanya hematoma atau pada tulang mastoid yang
muncul 24-48 jam setelah cedera kepala terjadi. Tanda
kelumpuhan N VII dan VIII dapat ditemukan terutama pada
garis fraktur yang terjadi mengenai aksis pyramida
petrosus.
3.3.2 Lesi Intracranial
3.3.2.1 Lesi fokal
Epidural hematoma
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan
duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang
arteri meningeal media yang terdapat di duramater,
pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu
sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai
1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus
temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri
kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral,
pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler,
penurunan nadi, peningkatan suhu.
Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak,
dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat
7
diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode
akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik
dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk,
menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
Intraserebral hematoma
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh
darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran,
komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi
pupil, perubahan tanda-tanda vital.
Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya
pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada
pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran,
hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
3.3.2.2 Lesi difusa
Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang berkelanjutan,
disebabkan cedera akselerasi-deselerasi otak, adalah jenis cedera kepala yang paling
sering.
Konkusi Ringan
Konkusi (cerebral concussion) ringan : kesadaran tidak
terganggu, terdapat suatu tingkat disfungsi neurologis
temporer. Sering terjadi dan karena ringan, sering tidak
dibawa kepusat medik. Bentuk paling ringan, berakibat
konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih sempurna
tanpa disertai sekuele major. Yang sedikit lebih berat
menyebabkan konfusi dengan amnesia retrograd maupun
post traumatika.
Konkusi Serebral Klasik
8
Konkusi serebral klasik : hilangnya kesadaran. Selalu
disertai amnesia retrograd dan post traumatika, dan lamanya
amnesia post traumatika adalah pengukur atas beratnya
cedera. Hilangnya kesadaran sementara, sadar sempurna
dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Tidak
mempunyai sekuele kecuali amnesia atas kejadian terkait
cedera, namun beberapa mempunyai defisit neurologis yang
berjalan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.
Cedera Aksonal Difusa (CAD)
CAD (Diffuse Axonal Injury, DAI) : koma pasca trauma
yang lama(lebih dari enam jam), tidak dikarenakan lesi
massa atau kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi kategori
ringan, sedang dan berat. CAD ringan jarang, koma
berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut
perintah setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang berakhir
lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak. Bentuk
CAD paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien
dengan CAD.
CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan
paling mematikan. 36% dari semua pasien dengan CAD.
Koma dalam dan menetap untuk waktu yang lama. Sering
menunjukkan tanda dekortikasi atau deserebrasi dan cacad
berat menetap bila penderita tidak mati, disfungsi otonom
seperti hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan
sebelumnya tampak mempunyai cedera batang otak primer.
CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi
atas gambaran klinik yang terjadi.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus cedera kepala mencakup
emeriksaan radiologi dan laboratorium darah.
9
4.1 Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang paling sering dilakukan pada kasus cedera kepala adalah
rontgen kepala. Sedangkan rontgen tulang leher, thoraks, abdomen, dan ekstremitas
disesuaikan dengan ada atau tidaknya indikasi. Poto rontgen kepala harus dilakukan
dalam dua posisi, yaitu: anteroposterior dan lateral. Pada poto lateral, posisi film
berada pada sisi yang dicurigai fraktur. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
menginterpretasikan foto polos kepala,yaitu:
Perhatikan garis fraktur dan bedakan dengan vascular marking
Gambaran densitas yang meningkat dan daerah dengan densitas menurun di
daerah sekitarnya merupakan gambaran fraktur depresi
Air fluid level pada sinus paranasal meruakan tanda perdarahan intrasinus
Gambaran udara intracranial(pneumosefalus) menunjukkan adanya fraktur
terbuka
Air fluid level pada sinus sphenoid merupakan salah satu tanda fraktur basis
kranii
Fraktur basis kranii tidak selalu terlihat pada poto polos kepala
Saat ini, pemeriksaan penunjang CT Scan telah digunakan untuk pemeriksaan
skrining cedera kepada karena dapat memberi hasil gambaran tulang dan jaringan
otak secara jelas. Namun, CT Scan belum secara rutin digunakan karena biaya
pemeriksaan relaktif lebih mahal bila dibandingkan dengan foto polos kepala. Maka
pemeriksaan CT Scan dilakukan jika ada indikasi jelas dan keadaan memungkinkan
(faktor biaya dan fasilitas). Indikasi dilakukan CT Scan adalah:
Bila secara klinis ditemukan pasien cengan cedera kepala sedang – berat
Cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
Adanya kecurigaan dan tanda fraktur basis kranii
Adanya defisit neurologis, seperti: kejang, penurunan kesadaran
Sakit kepala yang hebat
Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial atau herniasi
jaringan otak
Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan serebral
4.2 Pemeriksaan Laboratorium
10
Pemeriksaan hematologi: hemoglobin darah untuk mengetahui petanda
perdarahan yang berat, leukositosis menjadi salah satu indicator berat
ringanya cedera kepala yang terjadi
Gula darah sewaktu: monitor hipoglikemia atau hiperglikemia
Fungsi ginjal: pemeriksaan fungsi ginjal sebelum pemberian manitol
Analisis gas darah: PO2 harus > 90 mmHg, Sa O2 > 95%, PCO2 30-35%
Pemeriksaan elektrolit: gangguan elektrolit juga berdampak pada tingkat
kesadaran
Golongan darah: persiapan transfusi pada perdarahan yang berat
5. Penatalaksanaan Cedera Kepala
5.1 Penatalaksanaan cedera kepala ringan (GCS 14-15)
Cedera kepala ringan : GCS 14-15, tanpa defisit neurologis, dan pingsan tidak lebih
dari 10 menit. Namun bila pada pemeriksaan CT scan ditemukan ada perdarahan,
maka diklasifikasikan menjadi cedera kepala sedang
a. Riwayat :
Identitas pasien
Mekanisme cidera
Waktu cidera
Tidak sadar segera setelah cedera
Tingkat kewaspadaan
Amnesia: retrograde, antegrade
Sakit kepala: ringan, sedang, berat
b. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
c. Pemeriksaan neurologis terbatas
d. Pemeriksaan rontgen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
11
e. Pemeriksaan kadar alcohol darah dan zat toksik dalam urine
f. Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada setiap penderita kecuali
memang sama sekali asimptomatik dan pemeriksaan neurologis normal
g. Observasi atau rawat inap vs dipulangkan
Kriteria pasien di observasi atau dirawat inap:
CT Scan tidak ada
CT Scan abnormal
Semua cedera tembus
Riwayat hilang kesadaran
Sakit kepala sedang-berat
Intoksikasi alcohol/obat-obatan
Kebocoran likuor: Rhinorea atau otorea
Cedera penyerta yang bermakna
Tidak ada keluarga di rumah
GCS kurang dari 15
Defisit neurologi fokal
Kriteria pasien yang dipulangkan dari RS
orientasi waktu dan tempat tidak terganggu
tidak ada gangguan kesadaran maupun gangguan ingatan
tidak muntah dan tidak merasa sakit kepala yang semakin
hebat
tidak didapatkan fraktur pada tulang kepala
akses menuju rumah sakit tidak sulit
12
ada yang menunggui pasien selama dirawat di rumah
Sebelum pasien diizinkan pulang, pihak keluarga atau pengantar
diberikan informasi mengenai tanda-tanda bahaya yang perlu
diperhatikan selama perawatan di rumah. Tanda-tanda bahaya tersebut
adalah:
mengantuk berat dan sulit dibangunkan. Pada fase awal
cedera kepala, pasien harus dibangunkan setiap 2 jam
selama periode tidur.
Mual dan muntah
Kejang
Perdarahan atau keluar cairan dari hidung dan telinga
Sakit kepala yang hebat
Kelemahan atau rasa baal pada lengan atau tungkai
Bingung atau mengalami perubahan perilaku
Adanya gangguan penglihatan, gangguan garakan bola
mata, dan ukuran pupil mata yang tidak sama antara kanan
dan kiri
Denyut nadi yang sangat lambat atau justru terlalu cepat
Pola nafas yang tidak teratur
5.2 Penatalaksanaan cedera kepala sedang (GCS 9-13)
Cedera kepala sedang : GCS 9-13, ada defisit neurologis, dan pingsan antara 10 menit
sampai 6 jam.
a. Riwayat :
Identitas pasien
Mekanisme cidera
Waktu cidera
13
Tidak sadar segera setelah cedera
Tingkat kewaspadaan
Amnesia: retrograde, antegrade
Sakit kepala: ringan, sedang, berat
b. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
c. Pemeriksaan neurologis terbatas
d. Pemeriksaan rontgen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
e. Pemeriksaan kadar alcohol darah dan zat toksik dalam urine
f. Pemeriksaan CT Scan kepala pada semua kasus
g. Pemeriksaan darah sederhana
h. Pro rawat inap untuk observasi
pemeriksaan neurologis periodic dalam 12-24 jam pertama.
CT Scan ulang bila kondisi pasien memburuk atau pasien
akan dipulangkan.
Apabila pasien tidak mampu melakukan perintah, segera
lakukan CT Scan ulang dan penataksanaan protocol cedera
kepala berat
5.2 Penatalaksanaan cedera kepala berat (GCS 3-8)
Cedera kepala berat: GCS 3-8, ada defisit neurologis, dan pingsan lebih dari 6 jam.
a. Primary survey: ABCDE
Airway: lidah jatuh ke belakang, ekstensikan kepala apabila tidak ada
lesi di servikal atau pasang pipa orofaring. Selain itu, lakukan
pembersihan apabila terdapat lendir, darah, muntah, gigi palsu. Pasien
yang muntah dapat diposisikan berbaring sambil miring dan pasang
14
pipa nasogastrik untuk mengosongkan isi lambung dan mencegah
terjadi aspirasi.
Breathing: gangguan pernafasan bisa sentral (medulla oblongata) atau
perifer (aspirasi). Pasien dapat diberi oksigen dosis tinggi 10-15L/mnt
dan apabila memungkinkan dapat dipasang ventilator.
Circulation: hipotensi sebagai pentunjuk bahwa terdapat kehilangan
darah yang cukup banyak. Hipotensi jarang hanya disebabkan oleh
cedera kepala kecuali medulla oblongata telah mengalami gangguan.
Penyebab hipotensi tersering adalah hipovolemia akibat perdarahan
luar, ruptur organ dalam abdomen, trauma dada, pneumothorax. Darah
yang hialng dapat diganti dengan darah atau plasma darah dan dapat
juga diberikan cairan isotonic NaCl 0.9% atau ringer laktat. Dalam
kasus cedera kepala berat diusahan tekanan darah sistolik 120-140 /
MAP 90 mmHg agar perfusi serebral adekuat. Apabila shock tidak
disebabkan oleh hilangnya volume intravascular, maka dapat diberikan
vasopresor.
Disability: penilaian Glasgow Coma Scale terutama untuk menentukan
derajat cedera.
Environment: pengukuran suhu
b. Secondary survey dan riwayat AMPLE
Secondary survey:
Kepala dan wajah: lesi atau fraktur pada bagian posterior
kepala, battle’s sign,
Maksilofasial: refleks pupil, tanda-tanda kebocoran cairan
serebrospinal dari telinga atau hidung (hallo test), raccoon
eyes, suara nafas
Leher: lesi, deviasi trakea, edema, one line collar neck
Toraks: pengembangan dada simetris, lesi, deformitas,
paradoxical movement, pengguan otot bantu pernafasan,
15
suara nafas, jenis pernafasan, tingkat pernfasan dalam satu
menit, tekanan darah, nadi.
Abdomen: lesi, distensi abdomen, edema, bising usus, nyeri
tekan, kontraindikasi pemasangan nasogastrik tube pada
fraktur maksilofasial
Pelvis: lesi; deformitas; pemeriksaan vagina jika terjadi
perdarahan; kateter jika tidak ada darah pada uretra, tidak
ada lesi pada perineum, dan hasil pemeriksaan rectum yang
nomal
Punggung: memindahkan pasien dengan teknik Log Roll,
lesi, deformitas, nyeri tekan
Ekstremitas: lesi, edema, benjolan, nyeri tekan, range of
movement
Neurologi: ulangi pemeriksaan GCS, refleks pupil, periksa
lateralisasi, perhatikan tanda lesi medulla spinalis
Riwayat AMPLE:
Allergy: riwayat alergi obat, makanan, debu
Medicine: pemakaian obat-obatan
Previous: riwayat penyakit dahulu atau riwayat operasi
Last: konsumsi makanan terakir dan BAK BAB terakhir
Event: kejadian sebelum sakit
c. Rawat pada fasilitas bedah saraf
d. Reevaluasi neurologis: GCS, refleks batang otak (pupil, doll’s eyes,
kornea, dll)
e. Medikamentosa: manitol, antikonvulsan, hiperventilasi sedang (PCO2
< 35 mmHg)
16
f. Tes diagnostic: CT Scan ventrikulografi udara angiogram
6. Medikamentosa Cedera Kepala
a. Cairan intravena
Pemberian cairan intravena harus diberikan secukupnya agar pasien tetap
dalam keadaan normovolemik. Resusitasi cairan yang dipakai adalah cairan
normotonik seperti ringer laktat atau NaCl 0.9%. kadar natrium seru perlu
diperhatikan pada pasien cedera kepala karena keadaan hiponatremia sangat
berkaitan dengan timbulnya edema otak.
b. Hiperventilasi ringan
Hiperventilasi bertujuan untuk menciptakan kondisi alkalosis respiratorik
sehingga arteri di otak mengalami vasokonstriksi. Dengan terjadinya
vasokonstriksi, maka aliran darah ke otak akan berkurang dan vlume darah
otak menurun, sehingga tekanan intraktranial akan menurun. Apabila
hiperventilasi berlangsung lama dan agresif dapat menyebabkan iskemik otak.
Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara seleksif dan dalam waktu tertentu.
Umumnya PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih.
c. Manitol
Manitol 20% digunakan untuk menurunkan tekanan intra cranial yang
meningkat. Dosis yang biasa dipakai adalah 1 g/kgBB diberikan secara bolus
intravena. Dosis tinggi manitol tidak dianjurkan pada pasien hipotensi karena
manitol adalah diuretic osmotik yang poten. Indikasi pemberian manitol
adalah deteriorasi neurologis akut, dilatasi pupil, hemiparesis, kehilangan
kesadaran. Pada kondisi ini, pemberian manitol 1gr/kgBB harus diberikan
secara cepat (5menit) dan dilakukan pemeriksaan CT Scan.
d. Furosemid
17
Furosemid dapat diberikan bersama manitol untuk menurunkan tekanan intra
cranial. Dosis yang diberikan adalah 0.3-0.5 mg/kgBB secara intravena.
e. Antikonvulsan
Epilepsy pasca trauma terjadi sekitar 5% ada pasien cedera kepala tertutup dan
15 % pada pasien cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang berkaitan
dengan insiden epilepsy,yaitu: kejang awal yang terjadi pada minggu pertama,
perdarahan intracranial, fraktur depresi. Pilihan obat yang umum digunakan
adalah fenitoin 1 gr yang diberikan secara intravena.pemberian dosis
pemeliharan 100 mg/8 jam. Apabila pasien dengan kejang lama, dapat
diberikan diazepam atau lorazepam sebagai tambahan fenitoin.
7. Komplikasi dan Cedera Kepala Sekunder
cedera otak sekunder merupakan kerusakan atau kelainan yang terjadi pada
jaringan otak atau yang merupakan kejadian ikutan / komplikasi dari cedera
primer.cedera otak sekunder dapat terjadi segera sesaat setelah cedera terjadi
atau dapat terjadi beberapa hari kemudian.
a. Cedera otak sekunder akibat hipoksia dan hipotensi
Hipoksia (oksigen arteri < 60 mmHG) dan hipotensi(<90mmHg) merupakan
suat kondisi yang harus dicegah karena dapat berakibat kerusakan lebih lanjut
pada jaringan otak yang iskemik. Gangguan pernafasan ini dapat mengganggu
metabolisme jaringan otak dan terjadi dilatasi serebrovaskular yang
berdampak pada peningkatan tekanan intracranial dan eksaserbasi efek masa.
b. Edema serebral
Edema yang terjadi pada otak dapat terlokalisir atau menyeluruh sehingga
menyebabkan bertambah besarnya massa jaringan otak dalam rulang
tengkorang. Hal ini dapat menimbulkan peningkatan tekanan intracranial yang
akan berakibat penurunan perfusi an herniasi jaringan otak. Pada cedera
kepala sering terjadi edema vasogenik dan edema iskemik. Edema vasogenik
terjadi akibat peningkatan permeabilitas kapiler atau kerusakan sawar darah
otak yang menyebabkan penimbunan plasma tinggi protein pada ruang
ekstraseluler. Edema sitotoksik merupakan edema yang terjadi pada kondisi
18
hipoksia dan iskemia jaringan. Pada edema ini terjadi penimbunan cairan di
dalam sel. Untuk penangan edema otak ini dasar terapinya adalah oembatasan
cairan, pengurangan masukan garam, pengeluaran cairan, kortikosteroid,
diuretika, hipotermia, hiperventilasi, oksigen, dan pentobarbital.
c. Peningkatan tekanan intra Kranial
Pada kasus cedera kepala tekanan intra cranial dapat meningkat akibat
perdarahan pada selaput otak, perdarahan dalam jaringan otak, kelainan
parenkim otak. Untuk mengetahui peningkatan TIK dapat dilakukan fungsi
lumbal, pungsi sub-oksipital, pungsi ventrikel, pengukuran tekanan
ekstradural, dan tekanan jaringan otak.
Indikasi pasien cedera kepala yang diukur TIK adalah GCS kurang dari 8,
CTScan ditemukan kerusakan jaringan otak, abnormalitas pupil, respon
motorik yang asimetrik, usia lebih dari 40 tahun.
d. Herniasi otak
Adanya penambahan volume dalam tengkorak akan menyebabkan semakin
meningkatkan tekan intra cranial. Pada awal peningkatan volume, akan terjadi
kompensasi cairan serebrospinal dan aliran darah vena. Namun, bila tekan
semakin meninggi dan tidak dapat dikompensasi, maka akan terjadi
pergeseran dari struktur otak yang disebut herniasi.
8. Indikasi Operasi pada Cedera Kepala
a. Volume hematoma mencapai lebih dari 40 ml di daerah sura tentorial atau
lebih dari 20 cc di daerah infra tentorial
b. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta
gejala dan tanda focal neurologis semakin berat
c. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
d. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
19
e. Kenaikan tekanan intracranial lebih dari 25mmHg
f. Terjadi penambahan ukuran hematoma pada pemeriksaan ulang CT Scan
g. Terjadi gejala herniasi otak
h. Terjadi kompresi/obliterasi sisterna basalis
20