65

Cdk 131 Malaria

  • Upload
    revliee

  • View
    1.936

  • Download
    7

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Cdk 131 Malaria
Page 2: Cdk 131 Malaria

2001

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Daftar isi : 1

31. Malaria 2. Editorial 4. English Summary Artikel 5. Malaria Serebral – laporan kasus – Celestinus Eigya Munthe 7. S.rarak, D. metel dan E. prostata sebagai Larvisida Aedes aegypti– Nunik

St Aminah, Singgih H Sigit, Soetiyono Partosoedjono, Chairul 10. Patogenisitas Isolat B. thuringiensis setelah Dikeringkan pada Suhu Dingin

(Lyophilisasi) terhadap Jentik Aedes aegypti di Laboratorium – Blondine ChP, Umi Widyastuti

13. Pengaruh Penebaran Romanomermis iyengari terhadap Populasi Anopheles maculatus di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah – Widiarti, Umi Widyastuti, Blondine CI1P, Widarsilz, Raharjo

16. Uji Coba Culinex T untuk Pengendalian Jentik Aedes aegypti di Kecamatan Ambarawa, Jawa Tengah – Umi Widyastuti, RA Yuniarti, Y Ariati, Blondine ChP

20. Uji Patogenisitas Isolat B. thuringiensis yang Ditumbuhkan dalam Buah Kelapa terhadap berbagai Jentik Nyamuk di Laboratorium – Blondine ChP, RA Yuniarti

23. Teknologi Bioremediasi untuk Menurunkan Kepadatan Nyamuk di Pe–mukiman Perkotaan – I Gede Seregeg

27. Aktivitas Antimalaria Senyawa Tinokrisposid Secara in vivo – Adek Zambrut Adnan, Desy M Gusmali, M Husni Mukhtar

32. Efikasi Permethrin dengan Aplikasi ULV terhadap Culex quinquefasciatus– Hadi Suwasono, Damar Tri Boewono, Hasan Boesri, Mujiyono, Raharjo

35. Efikasi Shelltox® terhadap Culex quinquefasciatus di Laboratorium – Hasan Boesri, Blondine ChP, Umi Widyastuti

38. Efikasi Startox A dan Startox L terhadap Anopheles sp. di Laboratorium – Mardjan Soekirno

41. Pengaruh Pengabutan Alpha cypermethrin 30 EC dan Lambda sihalothrin 25 EC terhadap Larva Aedes aegypti – Hasan Boesri, Hadi Suwasono, Damar Tri Boewono, Raharjo

45. Uji Kepekaan Nyamuk Vektor dan Efikasi Insektisida yang Digunakan Program terhadap Nyamuk Vektor – Barodji, Hadi Suwasono, Toto Sularto, Sutopo

48. Uji Coba Efikasi Insektisida Permanet yang Diaplikasikan pada Kelambu terhadap Nyamuk Vektor Penyakit Malaria Anopheles aconitus Donitz – Barodji, Sumardi, Toto Sularto, Mujiono

51. Gejala Klinis dan Patologi Anatomi Mencit akibat Diazinon – Raflizar 57. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat Kodya Batam Berkaitan

dengan Penularan Malaria – Suhardjo, Helper Manalu

62. Pengalaman Praktek 63. Abstrak 64. RPPIK

Page 3: Cdk 131 Malaria

arah) kembali men

odium masih tetap bertahan dan terus menginfeksi manusia - dan sekarang ditambah dengan masalah de-mam berdarah - terutama di daerah-daerah yang lingkungannya masih ‘ideal’ bagi perkembangbiakan nyamuk sebagai vektornya.

Edisi ini mungkin lebih menarik bagi para sejawat yang bekerja di daerah ‘rural’ dan bagi para peminat kesehatan lingkungan - tetapi para klinisi hendaknya tetap menyadari bahwa malaria - dan demam ber- darah - masih tetap harus diwaspadai.

Selamat membaca,

Redaksi

Didahului dengan laporan kasus mengenai malaria serebral, masa-lah klinis dan penanggulangan malaria (dan demam berd

-jadi topik bahasan edisi ini. Masalah malaria telah berulang kali dibahas, dan pada masa tertentu WHO pernah merasa optimis dapat mengeradikasi penyakit ini. Tetapi ternyata sampai abad berganti, plasm

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 2

Page 4: Cdk 131 Malaria

Telah dibawa

REDAKSI KEHORMATAN – Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro

Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo

Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD.

Bagian Periodontologi,Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

– Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

DEWAN REDAKSI

KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc

KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W

PELAKSANA Sriwidodo WS

TATA USAHA Dodi Sumarna

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

PENCETAK PT Temprint

– Dr. B. Setiawan Ph.D

– Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto

Zahir MSc.

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan me-ngenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/ skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan

urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pe-munculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic phy-siology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Telp. 4208171/4216223

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 3

Rektorat UI L

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulisdan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Page 5: Cdk 131 Malaria

English Summary

RELEASE OF ROMANOMERMIS IYENGARI IN THE BREEDING SITE OF ANOPHELES MACULATUS IN PURWOREJO REGENCY Widiarti, Umi Widyastuti, Blondine Ch.P, Widarsih, Raharjo Vector Control Research Station, Health Ecology Research Centre, National Institute of Health Research and Development, Department of Health, Salatiga, Indonesia

An effort to control the popu-lation density of the malaria vector Anopheles maculatus was con-ducted by releasing the parasite nematode Romanomermis iyeng-ari as a biological control agent.

Nematodes were applied to the breeding sites of An. Macu-latus using the infective stage (pre-parasite) as well as post parasite in ground pools and water sources along the stream in Clapar village, Purworejo regency.

The objective of this study was to determine the capability of R. iyengari to infect An. maculatus in the field.

A mixed dosage of 1500 ne-matodes/m2 preparasite (infective stage) and post parasites at a do-sage of 2500 nematodes/m2 re-sulted a mean monthly infection level for An. maculatus of 64,85%, 60,14%, 47,52% and 5,6% res-pectively for 1, 2, 3 and 4 months post release.

Cermin Dunia Kedokt, 2001; 131: 13-5 wi, uw, bcp, wh, ro

CULINEX T FOR AEDES AEGYPTI LARVA CONTROL IN AMBARAWA, CENTRAL JAVA Umi Widyastuti, RA. Yuniarti, Y. Ariati, Blondine Ch.P Vector Control Research Station, Health Ecology Research Centre, National Institute of Health Research and Development, Department of Health, Salatiga, Indonesia

Culinex T, tablet formulation of B. thuringiensis israelensis, was in-vestigated for its effectiveness in controling Ae. aegypti larvae in a variety of containers e.g. metal drum, cistern, clay jar and other container made of plastic. A study was conducted in Ambarawa Sub District, Semarang Regency, Ku-pang Kidul hamlet as the treated area and Kupang Rengas hamlet as the control. A hundred houses each were selected for this study. Applications of one tablet Culinex T (0,4 gram each) on 50-250 Ae. aegypti larvae in water containers with a volume of 200 litres, were carried out every month started from July 1998 to January 1999. The effect of Culinex T in decreas-ing larvae populations of Ae. aegypti were measured as a re-duction (in percent) of positive lar-vae containers, calculated with the Mulla's formula, 1971. The ef-fectiveness of Culinex T at dosage of 2 mg/I on Ae. aegypti larvae in various containers was maintained for one month. A reduction of 53.94-98.31% was shown in con-tainers positive with Ae. aegypti larvae, during August 1998- February 1999.

Cermin Dunia Kedokt. 2001; 131: 16-9 uw, ray, Ya, bcp

EFFICACY OF PERMETHRIN WITH ULV APPLICATION ON C.QUINQUE-FASCIATUS Hadi Suwasono, Damar Tri Boewono, Hasan Boesri, Mujiyono, Raharjo Vector Control Research Station, Health Ecology Research Centre, National Institute of Health Research and Development, Department of Health, Salatiga, Indonesia

Control of DHF vector Ae. ae-

gypti relies heavily on the use of insecticides. These chemicals are usually applied in the form of ae-rial spray using of ULV/thermal fogging methods. Beside the tar-get species Ae. aegypti the insec-ticides could influence Cx, quin-quefasciatus population. To pre-vent insecticide resistance, judi-cious and rotational use of insecti-cide with different mode of ac-tion should be practised.

An insecticide with 100 gram permethrin per litre as active ingre-dient on dosage of 100 ml/ha had been tested on Cx. Quinqueas-ciatus using ULV portable space spray method. The results indicat-ed that application formula (water mixture) was not effective on Cx. quinquefasciatus outdoor.

Cermin Dunia Kedokt. 2001: 131: 32-4

hs, dtb, hb, mo, ro Bersambung ke halaman 34.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 4

Page 6: Cdk 131 Malaria

Artikel

LAPORAN KASUS

Malaria Serebral laporan kasus

Celestinus Eigya Munthe

Puskesmas Naga Rantai, Kecamatan Kaur Utara, Bengkulu Selatan PENDAHULUAN

Melaporkan satu kasus malaria cerebral yang berakhir dengan kematian penderita karena terlambatnya perawatan akibat kurangnya pengertian dan pengetahuan keluarga penderita terhadap penyakit malaria, dan daerah endemis malaria wilayah kerja Puseksmas Naga Rantai, Kecamatan Kaur Utara, Kabupaten Bengkulu Selatan. TINJAUAN PUSTAKA

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh sporozoa dari genus Plasmodium, yang secara klinis ditandai dengan serangan paroksismal dan periodik, disertai anemia, pembesaran limpa dan kadang-kadang dengan komplikasi pernisiosa seperti ikterik, diare, black water fever, acute tubular necrosis, dan malaria cerebral(1,2)

Secara parasitologi dikenal 4 genus Plasmodium dengan karakteristik klinis yang berbeda bentuk demamnya, yaitu : (1,3)

1) Plasmodium vivax, secara klinis dikenal sebagai Malaria tertiana disebabkan serangan demamnya yang timbul setiap 3 hari sekali. 2) Plasmodium malaria, secara klinis juga dikenal juga sebagai Malaria Quartana karena serangan demamnya yang timbul setiap 4 hari sekali. 3) Plasmodium ovale, secara klinis dikenal juga sebagai Malaria Ovale dengan pola demam tidak khas setiap 2-1 hari sekali. 4) Plasmodium falciparum, secara klinis dikenal sebagai Malaria tropicana atau Malaria tertiana maligna sebab serang-an demamnya yang biasanya timbul setiap 3 hari sekali dengan gejala yang lebih berat dibandingkan infeksi oleh jenis plasmodium lainnya.

Gambaran klinis demam yang berbeda-beda ini terjadi karena perbedaan masa inkubasi diantara setiap jenis Plasmo-dium dalam tubuh manusia(4).

Malaria cerebral adalah suatu komplikasi berat dari infeksi Plasmodium falciparum yang ditandai demam yang sangat tinggi, gangguan kesadaran, kejang yang terutama terjadi pada anak, hemiplegi dan berakhir pada kematian jika tidak secepat-

nya mendapatkan perawatan yang tepat(1,2,3,4). ETIOLOGI

Penyebab malaria cerebral adalah akibat sumbatan pem-buluh darah kapiler di otak karena menurunnya aliran darah efektif dan adanya hemolisa sel darah(1,3). GAMBARAN KLINIS 1) Fase prodromal : gejala yang timbul tidak spesifik, pen-derita mengeluh sakit pinggang, mialgia, demam yang hilang timbul serta kadang-kadang menggigil, dan sakit kepala(1,2,3). 2) Fase akut : gejala yang timbul menjadi bertambah berat dengan timbulnya komplikasi seperti sakit kepala yang sangat hebat, mual, muntah, diare, batuk berdarah, gangguan kesadar-an, pingsan, kejang, hemiplegi dan dapat berakhir dengan ke-matian. Pada fase akut ini dalam pemeriksaan fisik akan di-temukan cornea mata divergen, anemia, ikterik, purpura, akan tetapi tidak ditemukan adanya tanda rangsang meningeal(1,4). DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan parasit malaria dalam pemeriksaan sediaan apus darah tepi memakai pewarna-an Giemsa. PENATALAKSANAAN MALARIA SEREBRAL

Terapi pada penderita malaria serebral adalah dengan menggunakan Klorokuin diberikan secara IM dengan dosis 3,5-5 mg/kgBB setiap 6 jam atau diberikan IV dengan dosis 1,25 mg/kg BB selama 8 jam dalam dekstrose 5% 500 ml. Untuk malaria yang resisten terhadap kloroquin digunakan Quinine dihydrochloride diberikan secara IV dengan dosis 20 mg/kgBB dalam dekstrose 5% 500 ml selama 4 jam, maksimum pemberian adalah selama 72 jam.

Setelah itu penderita dirawat sesuai dengan gejala yang ada secara simptomatis dan suportif. Pada penderita yang kejang dapat diberikan Phenobarbiton dengan dosis tunggal 3,5 mg/ kgBB secara IM.

Penggunaan Deksametason untuk mengurangi edema otak

Cermin Dunia Kedokteran No. 131,2001 5

Page 7: Cdk 131 Malaria

pada penderita malaria cerebral tidak bermanfaat.(1,2,3,4)

LAPORAN KASUS

Seorang anak perempuan usia 7 tahun diantar oleh keluar-ga dalam keadaan kejang-kejang dan kesadaran yang menurun setelah menderita demam yang hilang timbul selama ± 2 minggu. Kejang diterapi dengan diazepam 5 mg IV. Setelah kejang hilang dilakukan alloanamnesa dan pemeriksaan fisik. • Alloanamnesa : anak menderita demam yang hilang tim-bul selama 2 minggu. Demam timbul biasanya pada malam hari dan hilang pada pagi harinya, kemudian anak kembali demam pada sore hari dan sekitar 1 jam dan anak menggigil seperti kedinginan sampai anak berkeringat, bila anak ber-keringat demam kembali hilang dan anak tampak sehat seperti biasa. Pada siang hari sepulang sekolah anak kembali mende-rita demam yang sangat tinggi, anak mulai meracau dan meng-gigit orang-orang yang ada di sekitarnya dan pada malam harinya anak mulai kejang- kejang. • Vital sign : nadi : 120 X/menit; papas 32 X/menit; suhu 39,4°C; tekanan darah 100/70 mmHg. • Mata: konjungtiva anemis; sklera ikterik • Thorak : Rhonki halus basah (+) pada seluruh lapangan paru • Abdomen tidak ditemukan kelainan • Kulit : tampak adanya purpura pada lengan kanan atas, punggung dan bokong. Diagnosa kerja: Malaria cerebral. Pasien dianjurkan untuk dirawat dirumah sakit atau di pus-kesmas, akan tetapi pihak keluarga menolak karena melihat anak sudah tenang dan tertidur. Sebagai terapi lanjutan diberi-kan Kloroquin tablet 150 mg basa dengan cara pemberian 2-2-1-1,Paracetamol tablet 3 X 250 mg dan B komplek 3 X 1 tablet, untuk diberikan pada penderita.

Keesokan harinya jam 07.30 keluarga penderita datang dan meminta dokter untuk datang ke rumah memeriksa ke-adaan pasien karena kondisi pasien yang memburuk. Fari pemeriksaan fisik didapatkan : • Vital sign : nadi : 120 X/menit; Nafas : 40 X/menit; Suhu 40°C; tekanan darah : 90/60 mmHg. • Kesadaran: soporous comatous.

Terapi yang diberikan : Injeksi deksametason dap antal-gin. Keluarga kembali dianjurkan untuk membawa penderita ke rumah sakit, tetapi pihak keluarga tetap menolak dan ingin anak dirawat di rumah raja. Pada akhirnya setelah dibujuk keluarga penderita bersedia anaknya dirawat di puskesmas. Sesampainya di puskesmas jam 08.30 Wib penderita segera diberikan infus RL dengan keeepatan tetesan 30 tetes/menit, injeksi oxytetrasiklin 120 mg dan dikompres dengan alkohol. Sediaan apus darah tepi diambil untuk pemeriksaan malaria. Vital sign dikontrol setiap 2 jam. Setelah dirawat di puskesmas selama 7 jam penderita kemudian meninggal.

Hasil pemeriksaan darah tepi ditemukan Plasmodium Vivax (+).

DISKUSI Berdasarkan kepustakaan, malaria cerebral adalah suatu

komplikasi berat dari infeksi Plasmodium falciparum, akan tetapi dalam sediaan darah tepi sulit untuk menemukan bentuk tropozoit P1 falciparum untuk infeksi yang telah lama atau bila telah terjadi hemolisa darah karena parasit malaria telah menginvasi dinding epitelium pembuluh darah. Pada kasus ini penulis menduga telah terjadi suatu infeksi campuran antara P1 vivax dan P1 falciparum sehingga pada pemeriksaan sediaan darah tepi yang ditemukan hanya trophozoit P 1. vivax saja, sementara gejala klinis penderita adalah gejala yang diakibat-kan oleh infeksi P1. falciparum seperti : demam tinggi paroksismal yang periodik, adanya purpura, gangguan kesadar-an, serta kejang. Di puskesmas penulis tidak dapat memberi-kan terapi sesuai dengan kepustakaan karena sarana yang tersedia pada saat itu tidak ada sehingga penulis hanya dapat memberikan terapi berdasarkan obat yang tersedia di puskesmas saja. Kematian diduga terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak yang mengakibatkan kematian pada jaringan otak.

Sebagai tindak lanjut kasus ini penulis melakukan peme-riksaan darah tepi terhadap anak yang menderita demam di-sekitar penderita radius 50 meter. Dari 14 sediaan yang penulis periksa ditemukan 5 sediaan yang positif Pl. vivax. Dan ke-seluruhan anak yang menderita demam diterapi sebagai penderita malaria. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Telah dilaporkan satu kasus malaria cerebral yang meng-akibatkan kematian penderita oleh karena lambatnya perawat-an diberikan akibat kurangnya pengetahuan dan pengertian keluarga penderita terhadap penyakit malaria. Untuk men-cegah terulangnya kasus semacam ini maka penulis menyaran-kan dilakukannya penyuluhan dan pemberian obat yang ber-sifat prodilaksis didaerah endemis malaria secara berkala. 2. Petugas puskesmas secara aktif'melakukan pelacakan ter-hadap penduduk yang berada disekitar rumah penderita yang hasil pemeriksaan darah tepinya positif malaria atau yang diduga menderita malaria.

KEPUSTAKAAN 1. Zulkarnain Asyad : Malaria, dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Editor:

Soeparman, FKUI, Jakarta, Edisi II, 1993. 2. Robinson, Richard : Medical Emergencies Diagnosis and Management,

6th Edition. India CBS, Publisher, 1994; Page : 316-7. 3. Hayes, C : Churchill Pocket Book of Medicine Churchill Livingstone

Edinburgh, 1992; Page : 245-6. 4. White NJ; Plorde JJ. : Malaria; in Harrison's Principles of Internal

Medicine Vol. I, 12th ed. New York, McGraw Hill Inc, 1991; page: 782-8.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 6

Page 8: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

S. rarak, D. metel dan E. prostata sebagai Larvisida Aedes aegypti

Nunik St. Aminah, Singgih H. Sigit*, Soetiyono Partosoedjono*, Chairul**

Peneliti PPEK, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Rl, Jakarta *) Peneliti Pasca Sarjana IPB, Bogor

**) Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Botani LIPI, Bogor

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas tiga janis tumbuhan yaitu lerak (S. rarak), kecubung (D. metel) dan orang-aring (E. prostata) sebagai repelen yang ber-asal dari senyawa kimia nabati terhadap nyamuk Aedes aegypti di laboratorium.

Buah lerak yang mengandung golongan senyawa Saponin, daun kecubung yang mengandung alkaloid and atrakinon serta daun orang-aring mengandung minyak atsiri, tanin dan steroid terbukti berkhasiat sebagai repelen.

Efikasi sebagai repelen untuk ketiga jenis tumbuhan kurang lebih sama dalam me-nangkal gangguan nyamuk yaitu masing-masing daya tangkal 61,43% (lerak), 63,64% (kecubung) dan 65,04% (orang-aring) pada pengamatan 6 jam pasca oles.

PENDAHULUAN

Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui mengandung se-nyawa seperti fenilpropan, terpenoid, alkaloid, asetogenin, ste-roid dan tanin yang bersifat sebagai larvisida dan insektisida.

Di dunia ini diperkirakan ada sekitar 300.000 jenis tumbuh-tumbuhan, 30.000 jenis di antaranya diperkirakan tum-buh di Indonesia dan baru 1.000 jenis yang telah dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan dan insektisida. Untuk itu diperlu-kan adanya inventarisasi jenis tumbuhan yang mengandung senyawa berkhasiat sebagai larvisida.

Penelitian ini mengevaluasi tiga jenis tumbuhan yang di-perkirakan mempunyai sifat toksik terhadap serangga khusus-nya larva nyamuk Aedes aegypti, yaitu buah lerak Sapindus rarak (Hookf) De Candole, daun kecubung Datura metel Linnaeus dan daun orang-aring Eclipta prostata Linnaeus.

Secara khusus ingin diketahui : a) Senyawa kimia yang terdapat dalam ketiga tumbuhan b) Efikasi ekstrak tumbuhan sebagai larvisida yang berasal dari senyawa kimia nabati, mengetahui KL50 dan KL100

BAHAN DAN CARA KERJA 1) Tempat dan waktu penelitian

Evaluasi tiga jenis tumbuhan sebagai larvisida terhadap larva Aedes aegypti di laboratorium, dilakukan di tiga tempat. Ekstraksi tumbuhan dikerjakan di Laboratorium Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta. Uji efikasi terhadap larva Ae. aegypti dilakukan di Laboratorium Entomo-logi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Skrining senyawa yang terkandung pada tumbuhan dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Botani, LIPI di Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Mei 1994 sampai September 1994. 2) Bahan yang diuji

Bahan yang digunakan adalah buah lerak yang dibeli di pasar Gede Jl. Sudirman Madiun sebanyak 2 kg, daun kecu-bung sebanyak 5 kg, diambil dari kebun dan sepanjang kali di Warung Jambu Bogor, dan daun orang-aring sebanyak 4 kg,

Cermin Dunia Kedokteran No. 131,2001 7

Page 9: Cdk 131 Malaria

diambil dari tumbuhan liar sepanjang parit di Warung Jambu, Bogor. Tumbuhan tersebut dibersihkan dari kotoran dengan air kran kemudian dikeringkan (diangin-anginkan) tanpa terkena sinar matahari langsung supaya didapatkan hasil yang optimal. Semua materi telah diidentifikasi di Herbarium Bogoriensis Bogor. 3) Uji efikasi sebagai larvisida terhadap larva

Untuk pengujian efikasi ekstrak turnbuhan terhadap larva digunakan lima wadah gelas berukuran 300 ml. Berbagai tingkat konsentrasi ekstrak tumbuhan yang diujikan adalah 0.250, 0.400, 0.500, 0.600, 0.750 dan 0.900 mg ke dalam masing-masing gelas yang berisi suspensi ekstrak, kemudian dimasukkan dua puluh ekor larva Ae. aegypti instar III/IV. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam setelah larva dimasukkan, dihitung berapa banyaknya larva yang mati, sampai semua larva mati atau menjadi nyamuk. HASIL 1) Senyawa kimia yang terkandung dalam ketiga tumbuhan

Senyawa yang terkandung dalatn ketiga tumbuhan disaji-kan pada Tabel 1. Senyawa utama yang terkandung dalam buah lerak adalah saponin. Selain saponin juga terkandung tri-terpen, steroid dan alkaloid dalam jumlah kecil, hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya sedikit perubahan warna/busa pada pengujian kualitatif. Senyawa-senyawa tersebut di atas dapat berfungsi sebagai antiseptik dan desinfektan(1).

Senyawa utama yang terkandung dalam daun kecubung ialah alkaloid dan antrakinon. Selain itu juga terkandung ste-roid, fenol, saponin, tanin dan triterpen dalam jumlah kecil.

Senyawa utama dalam daun orang-aring ialah minyak atsiri, tanin dan steroid, selain senyawa tersebut juga terkan-dung alkaloid, fenol, flavonoid dan triterpen.

2A) Erikasi ekstrak buah lerak terhadap larva

Konsentrasi Letal (KL50) terhadap larva Ae. aegypti ter-hitung 0.450 mg sedangkan KL100 0.900 mg. Pada hari ke-3, konsentrasi 0.600 dan 0.750 mg dapat membunuh larva sebesar 100%, sedangkan pada hari ke-1, konsentrasi 0.900 mg sudah dapat membunuh 100%. 2B) Efikasi ekstrak daun kecubung

Pengamatan larva Ae. aegypti yang diperlakukan dengan ekstrak daun kecubung, KL50 terhadap larva pada 0.600 mg, sedangkan KL100 pada 1.250 mg. Sampai pengamatan hari ke-8, konsentrasi 0.250 mg maupun konsentrasi 0.750 mg belum dapat mematikan larva sebesar 100%, konsentrasi 0.900 mg baru dapat membunuh 100% larva pada hari ke-3 (Tabel 3). 2C) Erikasi ekstrak daun orang-aring

Pengamatan mortalitas larva pada perlakuan ekstrak daun orang-aring, KL50 terhadap larva terhitung 0,300 mg. KL100 orang-aring 0.900 mg. Perlakuan 0.600 mg pada hari ke-3 dapat membunuh larva nyamuk sebesar 100%. Sedangkan konse-ntrasi 0.750 dan 0.900 mg sudah membunuh 100% pada hari

ke-2 dan ke- 1 (Tabel 4). Tabel 1. Golongan senyawa kimia yang terdapat pada lerak, kecubung

dan orang-aring

Golongan senyawa kimia Lerak Kecubung Orang-aring

1. Antrakinon - +++ - 2. Saponin xxx x - 3. Tanin a. Gelatin - + +++ b. FeCl - + +++

4. Flavonoid a. Sianidin - - + b. Leucoantosianin - - +

5. Steroid a. Liebermen Bouchard + ++ +++ b. Keller Killani + ++ +++

6. Alkaloid a. Meyer + +++ ++ b. Dragendrof + +++ ++ c. Wagner + +++ ++

7. Minyak atsiri - - +++ 8. Triterpen Sarkowski ++ + + 9. Fenol - ++ ++

Keterangan : - tidak ada perubahan warna + terjadi perubahan warna/muda ++ terjadi perubahan warna sedang +++ terjadi perubahan warna kuat x terjadi pembentukan busa sedikit xx terjadi pembentukan busa banyak Tabel 2. Mortalitas dan kegagalan pupasi larva Ae. aegypti setelah

berkontak dengan ekstrak buah lerak

Kons ekstrak Mortalitas Kegagalan pupasi (mg) H-1 H-2 H-3 H-4 (%)

Kontrol 1d 3d 5d 8d 8 0.250 21d 45d 73d 89d 89 0.400 32d 68d 88d 93d 93 0.500 70c 84ef 9ef 99ef 99 0.600 79ef 89ef 100f 100f 100 0.750 83ef 96ef 100f 100f 100 0.900 100f 100f 100f 100f 100

Keterangan : Superskrip berbeda dengan kolom yang sama menunjukkan

perbedaan nyata pada taraf 5% berdasarkan uji BNT Tabel 3. Mortalitas dan kegagalan pupasi larva Ae. aegypti setelah

berkontak dengan ekstrak daun kccubung Kons ekstrak Mortalitas

(mg) H-1 H-2 H-3 H-4 H-5 H-6 H-7 H-8KegagalanPupasi (%)

Kontrol 0a 1a 1a 2a 2a 2a 3a 4a 4 0.250 12a 25a 38a 48a 54a 58a 60a 63a 63 0.400 29b 50b 60b 66b 71b 76b 77b 77b 77 0.500 32b 65b 65b 59b 74b 78b 81b 81b 81 0.600 50c 67c 74c 80c 83c 83c 85c 85c 85 0.750 62d 75d 82d 90d 95d 95d 95d 95d 95 0.900 82c 91c 100c 100c 100c 100c 100c 100c 100

Keterangan : Superskrip berbeda dengan kolom yang sama menunjukkan

perbedaan nyata pada taraf 5% berdasarkan uji BN T

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 8

Page 10: Cdk 131 Malaria

Tabel 4. Mortalitas dan kegagalan pupasi larva Ae. aegypti setelah berkontak dengan ekstrak orang-aring

Kons ekstrak Mortalitas Kegagalan pupasi (mg) H-1 H-2 H-3 (%)

Kontrol 1a 3a 6a 6 0.250 29a 86b 95a 95 0.400 55ab 98ab 99ab 99 0.500 69ab 95ab 99ab 99 0.600 77b 99b 100b 100 0.750 84b 100b 100b 100 0.900 100b 100b 100b 100

Keterangan : Superskrip berbeda dengan kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 5% berdasarkan uji BNT

PEMBAHASAN

Saponin dalam buah lerak, diduga mengandung hormon steroid yang berpengaruh dalarn pertumbuhan larva nyamuk. Larva yang mati dalam perlakuan ekstrak buah lerak mem-perlihatkan kerusakan pada dinding traktus digestivus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shashi dan Ashoke (1991) bahwa saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput muko-sa traktus digestivus larva sehingga dinding traktus digestivus menjadi korosif. Pupa tidak terpengaruh oleh saponin karena mempunyai struktur dinding tubuh yang terdiri dari kutikula yang keras sehingga senyawa saponon tidak dapat menembus dinding pupa. Ukuran larva yang mati lebih panjang sekitar 1-2 mm dibandingkan dengan kontrol, diperkirakan terjadi relaksasi urat daging pada larva yang mendapat makan tambahan hormon steroid. Dari data tersebut di atas, terlihat bahwa mortalitas larva selama pemaparan bertambah dengan me-ningkatnya konsentrasi ekstrak tumbuhan. Begitu pula makin lama berkontak dengan ekstrak tumbuhan makin tinggi mortalitasnya. Hasil pengamatan pada perlakuan konsentrasi terendah 0.250 mg memperlihatkan adanya pertumbuhan larva

nyarnuk yang lebih cepat dibandingkan dengan kontrol. Hal ini mungkin disebabkan karena saponin merupakan hormon steroid yang cepat berpengaruh dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup serangga.

Hasil yang diperoleh dari penggunaan ekstrak buah lerak menunjukkan bahwa makin tinggi konsentrasi ekstrak buah lerak yang digunakan sebagai larvisida mengakibatkan ham-batan pertumbuhan larva makin besar (Tabel 2).

Selarna pengamatan terlihat adanya penurunan gerakan larva. Sesuai dengan penelitian Nurhayati (1986), ekstrak ke-cubung hutan Bugmansia squaveolent juga mengandung alkaloid yang dapat menurunkan aktivitas selarna 7 hari pada tikus galur Wistar. Pengamatan pada nyamuk yang mati abnormal menunjukkan sebagian tubuh nyamuk ada yang tersangkut selubung pupa sehingga terjadi kegagalan ekslosi. Hal ini diperkirakan karena, alkaloid yang terkandung dalam daun kecubung dapat merangsang kelenjar endokrin untuk menghasilkan hormon ekdison; peningkatan hormon tersebut dapat menyebabkan kegagalan metamorfosis.

KL50 ekstrak daun orang-aring terhadap larva terhitung 0.300 mg bila dibandingkan dengan penelitian oleh Lukwa 1994, ekstrak selasih (Ocimum canum) yang mengandung rninyak atsiri KL50 nya 0.550 mg berarti orang-aring lebih selektif sebagai larvisida dibandingkan selasih.

KEPUSTAKAAN

1 . Burkil IH. A Dictionary of the economic products of the Malay Peninsula. Goverment of the Straits Settlement. Millbank. London SW. 1935 : 340

2. Lukwa, N. Do traditional mosquito repellent plants work as mosquito larvisides. Cent. Afr.J.Med.40 (11), 1994 : 306-9.

3. Shashi BM. Ashoke KN. Tripenoid saponins discovered between 1987 and 1989. Phytochemistry 30 : 5, 1991 : 1357-85.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131,2001 9

Page 11: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

Patogenisitas Isolat B. thuringiensis setelah Dikeringkan

pada Suhu Dingin (Lyophilisasi) terhadap Jentik Aedes aegypti

di Laboratorium

Blondine Ch.P, Umi Widyastuti

Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Salatiga

ABSTRAK

Suatu upaya telah dilakukan untuk mengetahui patogenisitas isolat Bacillus thu-ringiensis setelah dikeringkan pada suhu dingin (lyophilisasi) terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti instar III di laboratorium.

Bacillus thuringiensis israelensis (H-14) yang diproduksi oleh Abbott, dengan nama dagang Vectobac 12 AS sebagai bahan pembanding, diuji dengan cara yang sama dengan kelima isolat tersebut.

Hasil pengujian patogenisitas 5 isolat B. thuringiensis terhadap jentik nyamuk Ae. aegypti instar III, menunjukkan bahwa isolat 44TK mampu membunuh 50 dan 90% jentik nyamuk tersebut dengan konsentrasi paling rendah dibandingkan dengan isolat- isolat lain pada 24 jam pengujian (LC50=13,69 ml/100 ml dan LC90=37,84 ml/100ml) maupun 48 jam pengujian (LC50=11,95 ml/100 ml dan LC90=36,69 ml/100 ml).

Isolat 44 TK membutuhkan konsentrasi 7469 sampai 12230 kali lebih besar di-bandingkan dengan B. thuringiensis israelensis (H-14), untuk membunuh 50 dan 90% jentik nyamuk Ae. aegypti instar III.

PENDAHULUAN Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri pato-

gen serangga yang sekarang sudah dikembangkan menjadi salah satu bioinsektisida yang potensial. Salah satu karakteristik dari B. thuringiensis adalah dapat memproduksi kristal protein di dalam sel bersama-sama dengan spora, pada waktu sel meng-alami sporulasi(1).

Bacillus thuringiensis bersifat kosmopolitan, antara lain di-temukan pada tanah, soil aquatic system, tempat perindukan jentik nyamuk ataupun pada jentik nyamuk yang sakit(2).

Laboratorium jazad hayati Stasiun Penelitian Vektor Pe-nyakit (SPVP), telah berhasil mengisolasi B. thuringiensis dari tanah dan jentik nyamuk(3,4). Akan tetapi pemeliharaan isolat B. thuringiensis yang ditemukan cukup kompleks karena me-

nyangkut media, suhu dan pH penyimpanan. Beberapa kultur bakteri sudah dapat disimpan selama 10 tahun dalam bentuk kering, sedangkan B. thuringiensis yang telah di "lyophilisasi" dapat disimpan selama 15 tahun tanpa kehilangan perubahan warna(5). Banyak metoda yang digunakan untuk pengeringan kultur B. thuringiensis misalnya pengeringan spora pada kertas filter, pengeringan suspensi kultur dalam laktose atau dalam bentuk kering yang bebas lemak dan susu(5).

Dalam penelitian ini kultur isolat B. thuringiensis akan dipelihara dalam bentuk lyophilisasi. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui patogenisitas isolat B. thuringiensis setelah dikeringkan pada suhu dingin (lyophilisasi) terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti instar III di laboratorium.

Disajikan pada Seminar Hasil Penelitian Rutin Stasiun Penelitian Vektor Penyakit 1996/1997, 24-25 Pebruari 1997 di Salatiga

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 10

Page 12: Cdk 131 Malaria

METODOLOGI PENELITIAN A) Bahan

Jazad hayati yang diteliti adalah 5 isolat B. thuringiensis yang telah di lyophilisasi di laboratorium Mikrobiologi Univer-sitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Sebelum di lyophilisasi isolat-isolat tersebut telah diuji patogenisitasnya menurut metoda Chilcott & Wigley (1988)(6). Sebagai pembanding adalah B. thuringiensis israelensis (H14) yang diproduksi oleh Abbott, dengan nama dagang Vectobac 12 AS, USA.

Jentik nyamuk vektor yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ae. aegypti, hasil koloni laboratorium. B) Pelaksanaan

Proses lyophilisasi dilakukan menurut metoda Dulmage et al (1990)(5). Lima isolat (8TC, 12TL, 22TP, 43TG, dan 44TK) B. thuringiensis yang ditemukan, diperbanyak dengan cara membuat kultur pada media NYSMA miring, dan diinkubasi pada suhu 30°C. Masing-masing isolat diperbanyak menjadi 10 isolat. Pada umur 4 hari kultur dipanen dengan memakai larut-an garam faal (NaCl 0,85%) steril dan dimasukkan ke dalarn tabung sentrifus steril. Hasil panenan di sentrifus dengan kece-patan 3000 rpm selama 20 menit. Supernatan dibuang hingga yang tertinggal adalah pelet. Ke dalam tabung sentrifus ditambahkan lagi larutan NaCl 0,85% secukupnya dan sekali lagi disentrifus dengan kecepatan dan waktu yang sama. Supernatan dibuang lagi sehingga yang tertinggal pelet. Ke dalam tabung sentrifus ditambahkan larutan NaCl secukupnya. Kemudian dengan menggunakan pipet Pasteur suspensi kultur yang akan di lyophilisasi dipindahkan ke dalam tabung lyophilisasi dan ditempatkan dalam tempat pengeringan yang bersuhu -50°C. Kemudian dikeringkan selama 12-24 jam. Apa-bila pengeringan telah selesai, tabung-tabung lyophilisasi di-ambil dan dimasukkan ke dalam stoples plastik yang berisi silicagel, dan disimpan dalam refrigerator (- 4°C) sampai digunakan.

Pengujian patogenisitas di laboratorium dilakukan menurut prosedur WHO (1985)(7), untuk mendapatkan konsentrasi isolat B. thuringiensis efektif (LC50 & LC90) dalam membunuh jentik nyamuk Ae. aegypti.

Larutan stok dibuat dengan cara menambahkan 1 gram isolat B. thuringiensis yang telah di lyophilisasi ke dalam Erlenmeyer berukuran 250 ml, dengan 100 ml Tryptose Phos-phate Broth (TPB). Inkubasi pada temperatur 30°C selama 48 jam. Kemudian dikocok (shake) pada temperatur kamar selama 48 jam. Sesudah 48 jam, dari larutan stok ini dibuat seri peng-enceran sampai diperoleh konsentrasi yang dibutuhkan (dalam ml/100 ml). Pengujian dilakukan dengan menggunakan mang-kok plastik yang diisi dengan 100 ml aquadest dan 20 ekor jentik nyamuk Ae. aegypti instar III akhir. Masing-masing konsentrasi pengujian diulang sebanyak 3 kali. Sebagai kontrol, mangkok plastik hanya diisi dengan 100 ml aquadest dan 20 ekor jentik nyamuk Ae. aegypti. Pengamatan kematian jentik nyamuk dihitung selama 24 dan 48 jam pengujian.

Sebagai pembanding untuk pengujian isolat B. thuringien-sis hasil isolasi laboratorium jazad hayati SPVP, digunakan B. thuringiensis israelensis (H-14) dengan nama Vectobac 12 AS, USA(8).

Larutan stok dibuat dengan cara menambahkan 1 gram B. thuringiensis israelensis yang telah di lyophilisasi ke dalam Erlenmeyer berukuran 250 ml yang sudah diisi dengan 100 ml TPB. Inkubasi pada temperatur 30°C selama 48 jam. Kemudian dikocok (shake) pada temperatur kamar selama 48 jam. Se-sudah 48 jam, dari larutan tersebut diambil 0,1 ml dan ditambah dengan 99,9 ml aquadest. Dari larutan stok ini selanjutnya dibuat seri pengenceran sampai diperoleh konsentrasi yang dibutuhkan. Prosedur selanjutnya sama dengan pengujian isolat B. thuringiensis di laboratorium.

Untuk menentukan nilai LC50 dan LC90 digunakan ana-lisis probit(9).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian patogenisitas isolat B. thuringiensis setelah di lyophilisasi terhadap jentik nyamuk vektor Ae. aegypti instar III disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Patogenisitas isolat B. thuringiensis setelah di lyophilisasi ter

hadap jentik nyamuk Ae. aegypti instar III di laboratorium.

Jentik nyamuk Ae. aegypti instar III Isolat

24 jam 48 jam

LC 50

(ml/100 ml) LC 90

(ml/100 ml) LC 50

(ml/100 ml) LC 90

(ml/100 ml)

8 TC 52,98 105,95 38,50 77,00 12 TL 28,59 57,17 22,53 45,05 22 TP 34,20 68,39 16,67 37,33 43 TG 17,13 62,88 14,32 49,83 44 TK 13,69 37,84 11,95 36,69 Bti (H-14) 0,0016 0,0031 0,0016 0,0030.

Hasil analisis probit menunjukkan bahwa isolat 44TK

mampu membunuh 50 dan 90% jentik nyamuk Ae. aegypti dengan konsentrasi paling rendah, dibandingkan dengan isolat- isolat yang lain. Patogenisitas isolat 44TK, selama 24 jam pengujian, menunjukkan bahwa konsentrasi 13,69 dan 37,84 ml/100 ml, mampu membunuh jentik nyamuk Ae. aegypti ber-turut-turut sebesar 50% dan 90%. Sedangkan pada 48 jam pengujian, dibutuhkan sebesar 11,95 dan 36,69 ml/100 ml.

Isolat tersebut dibandingkan dengan B. thuringiensis israelensis (H-14), maka Bti jauh lebih efektif membunuh 50% dan 90% jentik nyamuk Ae. aegypti. Nilai LC50 dan LC90 isolat 44TK ternyata 7469 sampai 12230 kali lebih besar di-bandingkan dengan pembanding Bti yaitu LC50=0,0016 ml/100 ml dan LC90=0,0031 ml/100 ml pada 24 jam peng-ujian. Pada 48 jam pengujian nilai LC50=0,0016 ml/100 ml dan LC90=0,0030 ml/100 ml. Melihat hasil yang diperoleh, maka penelitian ini perlu dilanjutkan dengan cara meningkat-kan konsentrasi isolat B. thuringiensis sehingga diharapkan dapat diperoleh isolat yang mempunyai konsentrasi mendekati standar (pembanding Bti). Selain itu dilanjutkan dengan peng-ujian patogenisitas isolatisolat setelah di lyophilisasi selatna 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu dan seterusnya, dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas dari isolat-isolat tersebut. Hasil pengujian patogenisitas berbagai isolat B. thuringiensis ter-hadap jentik nyamuk Ae. aegypti sangat bervariasi, karena adanya berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 11

Page 13: Cdk 131 Malaria

patogenisitas isolat-isolat tersebut. Salah satu faktor adalah perbedaan serotipe di antara isolat isolat yang diuji, dapat mempengaruhi patogenisitasnya. Misalnya B. thuringiensis serovar israelensis, menunjukkan patogenisitas tinggi terhadap jentik nyamuk, dibandingkan dengan 13 serotipe lain yang menunjukkan patogenisitas tinggi terhadap jentik Lepidop-tera(10). Oleh karena itu test serologi dari isolat-isolat tersebut perlu dilakukan untuk mengetahui serotipenya. Selain itu pato-genisitas dapat dipengaruhi oleh kebiasaan dan perilaku makan jentik, formulasi (khususnya tingkat pengendapan/sedimentasi) serta adanya toksin di daerah makan jentik (larval feeding zone)(11). Berdasarkan faktor daerah makan jentik (larval feed-ing zone), jentik Ae. aegypti biasa mengambil makanan di dasar dan dinding penampungan air(12). KESIMPULAN

Isolat B. thuringiensis (44TK) mampu membunuh jentik nyamuk Ae. aegypti instar III dengan konsentrasi paling ren-dah dibandingkan dengan isolat-isolat yang lain (LC50=13,69 ml/100 ml dan LC90=37,84 ml/100 ml pada 24 jam pengujian, LC50=11,95 ml/100 ml dan LC90=36,69 ml/100 ml pada 48 jam pengujian).

Untuk membunuh 50% dan 90% jentik nyamuk Ae. Ae-gypti dibutuhkan konsentrasi isolat 44TK, 7469 sampai 12230 kali lebih besar dibandingkan dengan B. thuringiensis israel-ensis.

Penelitian perlu dilanjutkan, sehingga dapat diperoleh konsentrasi strain lokal yang mendekati standar intemasional.

UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada DR. Sustriayu Nalim, Pjh.

Kepala Stasiun Penelitian Vektor Penyakit yang telah membimbing dan

memberi saran-saran sehingga selesainya makalah ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada rekan-rekan di laboratorium jazad hayati SPVP atas bantuan yang yang diberikan.

KEPUSTAKAAN

1. Ali AS. Analisis Strain Bacillus thuringiensis secara serologi: Kumpulan Makalah Seminar Bacillus thuringiensis. Jakarta, 20 Januari. 1994. 12h.

2. Lee HL. Isolation and evaluation of two isolates of Bacillus thuringiensis for the control of mosquitoes of public health importance in Malaysia. Mosq. Borne. Disease. Bull. 1998; 5(3-4): 39-47.

3. Blondine Ch.P, Widyastuti U.Isolasi Bacillus thuringiensis dari tanah pada pohon di Kotamadya Salatiga. Pros Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X. Bogor. 1991.

4. Blondine Ch.P, Widyastuti U, Widiarti. Isolasi Bacillus thuringiensis dari larva dan pengujian patogenisitaspya terhadap larva nyamuk vektor. Bull. Penelit. Kes. 1992; 20(3): 20-4.

5. Dulmage T, Yousten AA, Singer S, Lacey LA. Guidelines for Production of Bacillus thuringiensis H-14 and Bacillus sphaericus. 1990. UNDP/ WORLD BANK/WHO. 58p.

6. Chilcott CN, Wigley PJ. Technical note: an improved method for differential staining of Bacillus thuringiensis crystals. Letters in Appl Microbiol 1998; 7: 67-70.

7. WHO. Informal consultation on the development of B. sphaericusas a microbial larvicide. TDR/BCV/Sphaericus/85.1985; 3: 1-24.

8. Anonim. Testing protocol: Laboratory Bioassay for vectobac Bacillus thuringiensis israelensis.

9. Finney DJ. Probit analysis 3rd ed. Cambridge University Press, London. 1971.

10. WHO. Data sheet on the biological control agent Bacillus thuringiensis serotype H-14. WHO/VBC/79. 750. 1979. 13p.

11. Aly C, Mula MA, Xu Bo-Zhao, Schnetter W. Rate of ingestion by mosquito larvae (Diptera, Culicidae) as a factor in the effectiveness of a bacterial stomach toxin. J. Med. Entomol. 1988; 25(3): 191-196.

12. Becker N, Djakaria S, Kaiser A,Zulhasril O, Ludwig HW. Efficacy of a new tablet formulations of an Asporogenous strain of Bacillus thuringiensis israelensis against larvae of Aedes aegypti. Bull. Soc. Vector Ecol. 1991; 16(1): 1-7.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 12

Page 14: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

Pengaruh Penebaran Romanomermis iyengari terhadap

Populasi Anopheles maculatus di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah

Widiarti, Umi Widyastuti, Blondine Ch. P, Widarsih Raharjo

Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Salatiga

ABSTRAK

Sebagai upaya untuk menurunkan populasi vektor malaria Anopheles maculatus telah dilakukan penebaran jasad hayati nematoda parasit Romanomermis iyengari.

Penggunaan jasad hayati R. iyengari ini dilakukan dengan cara ditebarkan pada perindukan An. maculatus yang berupa sumber air dan kobakan yang berada di tepi sungai di desa Clapar Kidul kecamatan Bagelen kabupaten Purworejo.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan R. iyengari meng-infeksi An. maculatus di alam sehingga populasinya dapat diturunkan.

Dosis stadium preparasit (infektif) R. iyengari sebesar 1500 ekor/m2 dan dicampur dengan pasca parasit sebesar 2500 ekor/m2 menghasilkan persentase infeksi pada An. maculatus sebesar 64,85%, 60,14%, 47,52% dan 5,6% masing-masing berturut-turut 1, 2, 3 dan 4 bulan setelah penebaran.

PENDAHULUAN Pengendalian hayati sebagai suatu teknik pengendalian

organisme pengganggu termasuk nyamuk vektor, pada dasar-nya adalah keinginan memanfaatkan potensi alam untuk me-ngendalikan organisme pengganggu yang dapat menghambat sektor pembangunan. Penggunaan teknik musuh alami untuk mengendalikan organisme pengganggu telah lama dilakukan sebelum teknik penggunaan pestisida dilakukan. Banyak jenis organisme pengganggu yang telah berhasil dikendalikan secara hayati, narnun teknik tersebut pada tiga dasa warsa terakhir ini banyak ditinggalkan akibat penggunaan pestisida yang diang-gap lebih unggul(1).

Pengendalian hayati vektor malaria Anopheles maculatus di kabupaten Purworejo telah dilakukan dengan bakteri Bacillus thuringiensis pada stadium jentiknya(2). Namun pada beberapa sumber air yang dipakai untuk minum dan mandi tidak ditebari bakteri (teknar) karena alasan sanitasi. Pada sumber air tersebut yang walaupun tertutup tetapi tidak rapat dan tidak terusik oleh aktivitas manusia justru dipakai untuk tempat perindukan yang efektif nyamuk An. maculatus. Karena terbatasnya patho-

genisitas Bacillus thuringiensis tersebut, seringkali masih di-temui jentik vektor di beberapa sumber air. Oleh karena itu mengingat sifat jasad hayati nematoda Romanomermis iyengari yang tidak berbahaya bagi manusia, perlu dicoba untuk me-ngendalikan/ menurunkan populasi An. maculatus yang tempat perindukannya dikobakan dan sumber air di tepi sungai dengan R. iyengari. Dari pengendalian pendahuluan diketahui bahwa nematoda R. iyengari efektif dalam mengendalikan An. Macu-latus di laboratosium. Akan tetapi R. iyengari lebih berperanan baik sebagai jasad pengendali hayati di habitat vektor yang berpasir. Anopheles maculatus di Purworeja mempunyai habitat dengan dasar berpasir yang berupa sumber-sumber air dan ko-bakan di tepi sungai. Hal ini cocok untuk dipakai dalam per-cobaan pengendalian An maculatus menggunakan nematoda R. iyengari.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah R. iyengari dapat mengendalikan An. maculatus di alam dengan tempat perindukan yang terbatas pada sumber-sumber air dan kobakan di tepi sungai di kabupaten Purworejo.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 13

Page 15: Cdk 131 Malaria

MEDOLOGI Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di tempat perindukan An. maculatus yaitu sumber air, kobakan kecil di tepi sungai di desa Clapar Kidul kecamatan Bagelan, kabupaten Purworejo. Waktu pene-litian dimulai bulan Juni 1996 - Maret 1997.

Cara Penelitian

Penebaran nematoda menggunakan stadium infektif dan stadium pasca parasit. Dosis/jumlah nematoda yang ditebarkan sebanyak 1500 ekor/m2 stadium infektif dan 2.500 ekor/m2 sta-dium pasca parasit.

Penebaran stadium infektif (preparasit) dilakukan dengan cara disemprotkan ke seluruh tempat perindukan nyamuk se-cara merata dengan botol semprot. Sedangkan penebaran stadium pasca parasit dilakukan dengan cara memasukkan nematoda yang dicampur dengan pasir steril ke dasar tempat perindukan.

Evaluasi penebaran nematoda terhadap kepadatan jentik vektor (An. maculatus) melalui survei jentik yang dilakukan dengan cara percidukan 10 kali tiap kobakan/sumber air sebelum dan sesudah penebaran nematoda R. iyengari. Peman-tauan kepadatan An. maculatus dilanjutkan setiap satu bulan sekali sampai bulan Maret 1997. Sebagai daerah kontrol dipilih beberapa kobakan yang potensial/berisi jentik An. maculatus dan tidak ditebari R. iyengari.

Sebagai data tambahan diukur temperatur air dan pH pada seluruh kobakan setiap melakukan survei jentik.

HASIL

Pada penebaran stadium infektif R. iyengari dosis 1.500 ekor/m2 di 20 kobakan diperoleh hasil persentase infeksi yang berkisar antara 4%-66,53% (Tabel 1). Persentase infeksi An. maculatus dari bulan Juni sampai dengan September berturut- turut sebesar 64,85%, 60,14%, 47,52% dan 5,6%. Pada Cx. vishnui berturutturut dari bulan Juni sampai dengan September sebesar 56,66%, 43,10%, 39,96% dan 4%. Sedangkan pada species Ae. albopictus persentase infeksi ditemukan hanya sam-pai bulan Agustus yaitu 66,53%, 49,64% dan 37,50%.

Pada Tabel 2. terlihat bahwa jumlah penangkapan 3 species jentik nyamuk di 20 kobakan setelah penebaran stadium pasca parasit 2.500 ekor/m2, terjadi penurunan. Pada An. maculatus penurunan berturut-turut sebesar 19,29%, 40,93%, 69,00%, 89,76% dan 96,78%. Persentase penurunan Cx. vishnui terjadi pada bulan September dan Oktober yaitu sebesar 66,66% dan 96,33%. Sedangkan pada Ae. albopictus persentase penurunan terjadi hanya pada bulan Agustus yaitu 96,77%. Pada bulan Oktober sampai dengan Desember terjadi hujan lebat sehingga sebagian besar tidak berisi jentik (kosong) karena terbawa banjir.

PEMBAHASAN

Pada penebaran stadium preparasit R. iyengari ternyata diperoleh kisaran persentase infeksi antara 4%-66,53%.

Tabel 1. Persentase infeksi 3 species jentik nyamuk alam pada penebaran R. iyengari di desa Clapar

Kidul kecamatan Bagelan kabupaten Purworejo (Juni – Desember 1996)

Perlakuan* Kontrol**

Jumlah Tertangkap Jumlah TertangkapBulan Species Jentik

Jentik Pupa Jumiah

TerinfeksiPersentase

Infeksi Jentik Pupa

An. maculatus 187 155 131 64,85 16 10 Cx. vishnul 271 29 170 56,66 57 11 Juni Ae. albopictus 183 65 165 66,53 30 12 An. maculatus 272 4 166 60,14 24 5 Cx. vishnul 504 18 225 43,10 72 30 Juli Ae. albopictus 282 40 140 49,64 71 25 An. maculatus 202 0 96 47,52 28 9 Cx. vishnul 563 0 225 39,96 144 0 Agustus Ae. albopictus 8 0 3 37,50 94 16 Art. maculatus 103 3 6 5,6 14 0 Cx. vishnul 89 Il 4 4 0 0 September Ae, albopictus 0 0 0 0 0 0 An. maculatus 35 0 6 0 0 0 Cx. vishnul 11 0 4 0 0 0 Oktober Ae. albopictus 0 0 0 0 0 0 An. maculatus I1 0 0 0 0 0 Cx. vishnul 0 0 0 0 0 0 November Ae. albopictus 0 0 0 0 0 0 An. maculatus 0 0 0 0 0 0 Cx. vishnul 0 0 0 0 0 0 Desember Ae. albopictus 0 0 0 0 0 0

Keterangan

* Jumlah dari 20 kobakan ** Jumlah dari 5 kobakan

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 14

Page 16: Cdk 131 Malaria

Tabel 2. Jumiah 3 species jentik nyamuk hasil penangkapan di 20 kobakan di tepi sungai desa Clapar Kidul setelah penebaran R. iyengari.

Bulan Penangkapan

Species Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

An. maculatus 342 276 202 106 35 11 0 (19,29) (40,93) (69,00) (89,76) (96,78) Cx. vishnul 300 522 563 100 11 0 0 (66,66) (96,33) Ae. albopictus 248 322 8 0 0 0 0 (96,77)

( ) : Angka dalam kurung adalah persentase penurunan.

Persentase yang tidak begitu tinggi ini (66,53%) dikarena-

kan pada saat dilakukan penebaran, ditemukan jumlah jentik alam instar IV dan pupa yang banyak sehingga tidak dapat terinfeksi seluruhnya oleh nematoda R. Iyengari. Faktor lain yang dapat mempengaruhi rendahnya persentase infeksi ini mungkin kurang banyaknya jumlah yang ditebarkan. Akan tetapi apabila dibandingkan dengan penebaran yang dilakukan di daerah Konga Flores Timur pada tempat perindukan sejenis dengan dosis sama menghasilkan persentase infeksi yang tinggi yaitu 89%(3). Salah satu sebab rendahnya persentase pada saat pelaksanaan penebaran yaitu 18°-20°C serta rapatnya dedaunan yang menutupi sebagian besar permukaan kobakan. Rendahnya temperatur dan banyaknya daun pada kobakan dapat me-ngurangi aktivitas stadium infektif R. Iyengari dan meng-ganggu proses infeksi(4,5). Penelitian yang dilakukan di India terhadap Anopheles subpictus di padang rumput dengan jumlah 5.000 ekor/m2, ternyata dihasilkan persentase infeksi sebesar 37%-54%. Hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa walaupun jumlah yang ditebarkan cukup tinggi akan tetapi ke-adaan tempat perindukan juga mempengaruhi persentase infeksi(6).

Persentase infeksi pada bulan September ternyata sangat rendah yaitu pada An. maculatus sebesar 5,6% saja. Hal ini berarti pada jumlah nematoda 2.500 ekor/m2 stadium pasca parasit R. iyengari hanya dapat memberikan hasil selama 4 bulan saja yaitu sampai bulan September.

Setelah dilakukan penebaran R. iyengari stadium pasca parasit, jumlah jentik An. maculatus mengalami penurunan wa-laupun persentase penurunan sampai bulan Agustus sebesar 26,81% (Tabel 2). Setelah bulan Agustus persentase infeksi yang ditemukan sangat rendah atau bahkan tidak ditemukan lagi. Hal ini disebabkan setelah bulan Agustus beberapa kolam kering.

Pada jentik species Cx. vishnui ternyata sampai bulan Agustus mengalami kenaikan walaupun tetap ditemukan per-sentase infeksi sebesar 56,66%, 43,10% dan 39,96%. Hal ini mungkin terjadi karena disamping jumlah jentik instar IV dan pupa banyak, juga kepekaan terhadap serangan R. iyengari

yang dimiliki species rendah. Menurut bebeapa laporan, pada kondisi alam persentase infeksi Cx. vishnui sangat rendah yaitu berkisar antara 0,4-7,4% sajat(7). Jadi persentase infeksi yang rendah ini dapat memberi gambaran bahwa sebagian besar kulit jentik Cx. vishnui sulit untuk ditembus oleh nematoda R. iyengari. KESIMPULAN

Romanomermis iyengari dapat menurunkan An. maculatus di alam atau di tempat perindukan yang berupa sumber air dan kobakan di tepi sungai.

Pada penebaran stadium infektif dosis 1.500 ekor/m2, per-sentase infeksi yang ditemukan pada An. maculatus, Cx. vishnui dan Ae. albopictus masing-masing sebesar 64,85%, 56,66% dan 66,53%.

Pada penebaran stadium pasca parasit R. iyengari dosis 2.500 ekor/m2, persentase infeksi 3 species jentik pada bulan Juli sebesar 60,14%, 43,10% dan 49,64%. Pada bulan Agustus sebesar 47,52%, 39,90% dan 37,5%.

KEPUSTAKAAN 1. Untung K. Pengendalian hayati dalam kerangka konvensi keanekaragam-

an hayati. Makalah Seminar Nasional Pengendalian Hayati UGM. Yogyakarta 1996; Hal. 1.

2. Kanwil Kesehatan Propinsi Dati II Jawa Tengah. Laporan Pengendalia Malaria Terpadu di Jawa Tengah. 1993; 40p.

3. Widiarti, Umi W, Blondine Ch.P. Uji coba penebaran jasad hayati nematoda Romanomermis iyengari di perindukan vektor malaria dan filariasi di Flores Timur. Bull. Pen. Kes. 1994; Vol. 22(4): 10-7.

4. Nickle WR. Plant and insect nematode Marcel Dekker. Inc. New York and Basel. 1984; 807p.

5. Petersen JJ, Willis OR. Experimental release of a mermithid nematode to control Anopheles mosquito in Lousiana. Mosquito News. 1974; Vol 34(3): 316-9.

6. Paily K.P., Arunachalami N, Reddy CMR, Balaraman K. Effect of field application of Romanomermis iyengari (Nematode: Mermithidae) on larvae of Culex tritaeniorhynchus and Anopheles subpictus in breeding grassland. Tropical Biomedicine. 1994; Vol 11. No. 1. p2.

7. WHO. Data sheet on the biological control agent, WHO/VBC/1980; 765p2.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 15

Page 17: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

Uji Coba Culinex T untuk Pengendalian Jentik Aedes aegypti

di Kecamatan Ambarawa, Jawa Tengah

Umi Widyastuti, RA. Yuniarti, Y. Ariati, Blondine ChP

Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Rl, Salatiga

ABSTRAK

Efektivitas Culinex T (Bacillus thuringiensis israelensis dalam formulasi tablet)

telah diteliti terhadap jentik Aedes Aegypti pada tempat penampungan air (TPA) yaitu drum metal, bak mandi, gentong (tempayan) dan TPA lain terbuat dari bahan plastik. Penelitian dilakukan di Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, meliputi dukuh Kupang Kidul sebagai daerah perlakuan dan Kupang Rengas sebagai daerah kontrol, masing-masing mencakup 100 rumah penduduk. Penebaran Culinex T sebanyak 1 tablet (0,4 gram) per 200 liter volume air untuk kepadatan jentik Ae. aegypti antara 50-250 ekor dilakukan setiap bulan, mulai Juli 1998 sampai Januari 1999. Untuk mengetahui efektivitas Culinex T dalam menurunkan populasi jentik Ae. aegypti di-lakukan penghitungan presentase penurunan jumlah TPA positif mengandung jentik Ae. aegypti dengan menggunakan formula Mulla, 1971. Efektivitas Culinex (dosis 2 mg/l) terhadap jentik Ae. aegypti pada TPA berlangsung selama 1 bulan. Penurunan jumlah TPA positif mengandung jentik Ae. aegypti pada bulan Agustus-Desember 1998 dan Januari-Pebruari 1999 berkisar antaral 53,94-98,31 %.

PENDAHULUAN

Upaya pencegahan dan pengendalian Demam Berdarah Dengue (DBD) hingga saat ini ditekankan pada pemutusan rantai penularan dengan mengendalikan vektor karena sampai sekarang ini belum ditemukan obat/vaksinnya.(1,2)

Pengendalian nyamuk Ae. aegypti (dewasa), menaburkan racun jentik ke tempat perindukan dan pembersihan sarang nyamuk (PSN) dewasa ini dipandang sebagai cara yang ber-hasil guna. Akan tetapi dengan adanya resistensi nyamuk atau-pun jentik Ae. aegypti terhadap insektisida/larvasida kimia, perlu dipertimbangkan cara pengendalian alternatif lain yang lebih berwawasan lingkungan. Salah satu cara yang banyak dikembangkan adalah penggunaan Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) yang mempunyai patogenisitas tinggi terhadap jentik nyamuk.(3)

B. thuringiensis israelensis dalam formulasi tablet (Culi-nex T) terbukti efektif membunuh jentik Ae. aegypti di labora-torium, efikasinya bertahan selama 6-8 minggu pada konsen-

trasi 6-24 ppm. Hasil penelitian simulasi lapangan mengguna-kan gentong bersemen telah dilakukan dengan pencidukan serta penambahan air secara periodik. Efikasi Bti tablet tersebut terhadap jentik Ae. aegypti mencapai 5 minggu dengan konsen-trasi awal 10 ppm.(4)

Hasil survai vektor DBD yang dilakukan di 9 wilayah perkotaan di Indonesia pada tahun 1987 menunjukkan bahwa jentik Ae. aegypti terdapat pada 1 di antara 3 rumah penduduk. Perindukan yang paling potensial adalah tempat perindukan jentik nyamuk vektor DBD pada penampungan air yang airnya digunakan untuk keperluan sehari-hari terutama untuk minum dan masak, maka larvisida yang digunakan harus mempunyai sifat-sifat antara lain efektif pada dosis rendah, tidak bersifat racun bagi manusia/mamalia, tidak menyebabkan perubahan rasa, warna dan bau pada air yang diperlakukan dan efektivitas-nya lama.(3)

Berdasarkan informasi tersebut dilakukan penelitian peng-gunaan Culinex T (Bti tablet) untuk mengendalikan jentik Ae.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 16

Page 18: Cdk 131 Malaria

aegypti tempat penampungan air (TPA) di kecamatan Amba-rawa dengan tujuan untuk mengetahui Culinex T (Bti tablet) dalam menurunkan populasi jentik Ae. aegypti pada TPA.

METODOLOGI 1) Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang diuji coba adalah Culinex T, me-rupakan B. thuringiensis israelensis dalam formulasi tablet masing-masing dengan berat 0,4 gram, berwarna kuning kecok-latan, produksi KABS Germany. Pemilik formulasi adalah PT.Setrasari, Jakarta. 2) Cara Kerja

Pemilihan daerah, dengan melakukan survai pendahuluan jentik Ae. aegypti pada berbagai TPA, seminggu sekali, lebih kurang mencakup satu desa. Selanjutnya ditentukan daerah yang akan digunakan untuk aplikasi/penebaran Culinex T, lebih kurang 100 rumah baik untuk daerah perlakuan maupun kontrol.

Pemetaan rumah penduduk yang digunakan dalam peneliti-an di daerah perlakuan (Kupang Kidul) dan daerah kontrol (Kupang Rengas).

Dilakukan pencatatan tipe, ukuran dan volume TPA untuk menentukan jumlah tablet yang akan ditebarkankan ke dalam masing-masing TPA.

Penebaran Bti tablet dengan dosis anjuran 2 mg/l (1 tablet untuk 200 liter air), dilakukan setiap bulan mulai bulan Juli 1998 hingga Januari 1999.

Untuk mengukur keberhasilan penebaran Culinex T pada TPA, dilakukan evaluasi entomologi berupa: a. Survai jentik, seminggu sekali untuk mengetahui efektivi-tas Culinex T yang ditebarkan. b. Pemasangan ovitrap/perangkap telur. Perangkap telur nyamuk Ae. aegypti berupa gelas di cat hitam, diisi air, di-lengkapi dengan kertas saring pada sisi dalamnya sebanyak 60 buah, diletakkan di luar dan di dalam rumah. Seminggu sekali kertas saring diambil dan diganti yang baru. Jumlah telur dihitung dan kemudian ditetaskan dalam baki plastik berisi air, dipelihara sampai instar III/IV, diidentifikasi untuk mengetahui spesiesnya.

Untuk menghitung jumlah jentik Ae. aegypti secara pasti dalam TPA dengan volume air yang besar ternyata sulit, oleh karena itu hanya dilakukan penghitungan terhadap jumlah TPA yang positif mengandung jentik Ae. aegypti baik di daerah per-lakuan maupun kontrol. Untuk mengetahui efektivitas Culinex T dalam menurunkan populasi jentik Ae. aegypti, persentase penurunan jumlah TPA positif mengandung jentik Ae. aegypti dihitung dengan menggunakan formula Mulla et al, 1971(6) sebagai berikut:

Cl x T2 Penurunan = 100 - 100 TI x C2 C1 = Jumlah TPA positif jentik Ae. aegypti pada kontrol sebelum penebaran C2 = Jumlah TPA positif jentik Ae. aegypti pada kontrol sesudah penebaran TI = Jumlah TPA positif jentik Ae. aegypti pada perlakuan sebelum penebaran T2 = Jumlah TPA positif jentik Ae. aegypti pada perlakuan sesudah penebaran

HASIL DAN PEMBAHASAN Efektivitas Culinex T terhadap jentik Ae. aegypti pada

TPA disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 1 TPA yang tersedia di daerah Kupang Kidul dan Kupang Rengas berupa drum (metal), bak mandi, gentong (tempayan) dan TPA lain terbuat dari bahan plastik. Jumlah TPA rata-rata berkisar antara 124,5-161,25 di Kupang Kidul dan 111,25-56,75 di Kupang Rengas. Perkiraan jumlah jentik Ae. aegypti pada masing- masing TPA positif jentik di Kupang Kidul dan Kupang Rengas berkisar antara 50-250 ekor. Dari tabel 1 dan Gambar 1 dapat dilihat bahwa penurunan jumlah TPA positif mengandung jentik Ae. aegypti semakin meningkat dari bulan ke bulan mulai Agustus, September, Oktober, Nopember, Desember 1998, Januari dan Pebruari 1999 masing-masing berturut-turut sebesar 53,94; 64,35; 78,51; 93,31; 97,02; 98,31 dan 98,29%.

Tabel 1. Presentase penurunan jumlah TPA positif jentik Ae. Aegypti di

Kupang Kidul

Jumlah TPA Jumlah TPA positif jentikBulan Jenis TPA Perlakuan Kontrol Perlakuan Kohtrol

Penurunan jumlah TPA positif jentik (%)

Drum 2.5 8.25 0.5 3Bak Mandi 62.25 68.25 13.75 10Gentong 23 34 6 2.25TPA lain 76.5 46.25 2.75 3

Juni

Jumlah 164.25 156.75 23 18.25Drum 2.25 10 1.5 0.75Bak Mandi 64.25 65.5 9.25 8.75Gentong 24.5 41.5 8.25 4.5TPA lain 56.25 41.5 3.75 2.5

Juli 1)

Jumlah 147.25 158.5 22.75 16.5Drum 2.2 7.4 0.8 1.8 77.7Bak Mandi 63.6 53.8 3.8 7.8 53.91Gentong 20 25 3.4 3.2 48.31TPA lain 69.2 43.4 1.4 2 53.33

Agustus 2)

Jumlah 156 129.6 9.4 14.8 53.94Drum 2 7.75 0 1.5 100Bak Mandi 46 51.5 3.75 7.75 54.23Gentong 17 19.5 3 3.75 56.36TPA lain 59.75 49 0.5 1.75 80.95

September 3)

Jumlah 124.75 127.75 7.25 14.75 64.35Drum 1.5 10.25 0 1 100Bak Mandi 65.25 57.75 2.5 7.5 68.41Gentong 20.75 21 1.25 3.75 81.82TPA lain 58 45.5 0.25 1.25 86.67

Oktober 4)

Jumlah 145.5 134.5 4 13.5 78.51Drum 4 8.25 0 1.25 100Bak Mandi 58.75 47.75 1.25 9.25 87.22Gentong 18 20.5 0.25 4.75 97.13TPA lain 46.75 34.75 0 1 100

Nopember 5)

Jumlah 127.5 111.25 1.5 16.25 93.31Drum 3 6.8 0 1.4 100Bak Mandi 57.2 48.6 0.4 7 94.59Gentong 20.2 20.4 0.2 4.2 98.56TPA lain 46.2 46.2 0 2 100

Desember 6)

Jumlah 126.6 122 0.6 14.6 97.02Drum 2.5 12 0 3.5 100Bak Mandi 117 55.5 0.25 9.5 97.51Gentong 21.5 24 0.25 6 97.73TPA lain 43 47 0 2.5 100

Januari 7)

Jumlah 184 138.5 0.5 21.5 98.31Drum 2.33 7 0 0 100Bak Mandi 63 55.66 0.33 8.33 96.25Gentong 17.66 21 0 5 100TPA lain 50 44 0 0.66 100

Pebruari

Jumlah 132.99 127.66 0.33 13.99 98.29 Keterangan: 1. 2, 3, 4, 5, 6, 7) = Penebaran Culinex T I-VII

Rata-rata jumlah telur Ae. Aegypti per bulan yang diper-oleh dari perangkap positif yang diletakkan di dalam dan di luar rumah, serta ovitrap index di daerah perlakuan dan kontrol disajikan pada Tabel 2, Gambar 2 dan 3. Dari data tersebut terlihat bahwa rata-rata jumlah telur/bulan yang diambil dari perangkap positif di dalam rumah berkisar antara 23,3-120,5 di daerah perlakuan dan 110,5-346,5 di daerah kontrol sedangkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 17

Page 19: Cdk 131 Malaria

dari perangkap telur positif yang dimbil dari luar rumah rata- rata jumlah telur/bulan berkisar antara 33,5-122,75 di daerah perlakuan 57-478,5 di daerah kontrol. Ovitrap index (dalam rumah) berkisar antara 4,43-13,33% di daerah perlakuan dan 11,10-25,83% di daerah kontrol. Ovitrap index di luar rumah berkisar antara 3,33-12,5% di daerah perlakuan dan 11,66- 19,16% di daerah kontrol. Ovitrap index tertinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu 13,33% dan 25,83% ; (di dalam rumah) masing-masing di daerah perlakuan dan kontrol serta 12,5% dan 19,16% (di luar rumah) masing-masing di daerah perlakuan dan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah perlakuan Kupang Kidul masih terdapat nyamuk Ae. aegypti yang ber-keliaran yang setiap saat dapat bertelur di TPA milik penduduk, berpotensi menetas menjadi jentik dan nyamuk penular DBD.

Culinex T dengan dosis yang relatif rendah 2 mg/l mampu

Gambar 1. Penurunan jumlah TPA positif mengandung jentik Ae. aegypti di Kupang Kidul

Keterangan : Drum Bak Mandi Gentong TPA lain

Tabel 2. Rata-rata jumlah telur Ae. Aegypti per bulan dan ovitrap index di Kupang Kidul (perlakuan) dan Kupang Rengas (kontrol).

Perlakuan Kontrol Bulan Ovitrap lndex

(% ) Jumlah Dalam Luar Dalam Luar Perangkap 30 30 30 30 Perangkap Positif 3,00 2,66 3,33 3,66

Telur 105,00 120,33 267,00 228,00 Juli

Ovitrap Index 10,00 8,86 11,10 12 20 Perangkap 30 30 30 30 Perangkap Positif 4,00 3,75 7,75 5,75

Telur 95,25 102,50 289,00 213,25 Agustus

Ovitrap Index 13,33 12,50 25,83 19,16 Perangkap 30 30 30 30 Perangkap Positif 2,60 2,00 4,00 3,60

Telur 57,40 56,40 138,40 112,60 September

Ovitrap Index 8,66 6,66 13,33 12,00 Perangkap 30 30 30 30 Perangkap Positif 2,75 3,00 5,25 4,00

Telur 103,25 122,75 346,50 135,00 Oktober

Ovitrap Index 9,16 10,00 17,50 13,33 Perangkap 30 30 30 30 Perangkap Positif 3,75 1,00 5,00 4,00

Telur 120,5 33,5 326,75 57,00 Nopember

Ovitrap Index 12,50 3,33 16,66 13,33 Perangkap 30 30 30 30 Perangkap Positif 2,00 1,60 5,60 3,60

Telur 28,60 57,80 236,60 238,00 Desember

Ovitrap Index 6,66 5,33 18,66 12,00 Perangkap 30 30 30 30 Perangkap Positif 1,50 2,00 5,50 3,50

Telur 25,50 55,00 110,50 478,50 Januari

Ovitrap Index 5,00 6,66 18,33 11,66 Perangkap 30 30 30 30 Perangkap Positif 1,33 1,66 5,66 3,66

Telur 23,33 55,33 191,00 298,66 Pebruari

Ovitrap Index 4,43 5,53 18,86 11,66 menurunkan populasi jentik Ae. aegypti secara efektif selama 7 bulan. Variasi hasil uji coba tersebut dapat terjadi karena adanya berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi efikasi B. thuringiensis israelensis terhadap jentik nyamuk. Efikasi B. thuringiensis terhadap jentik nyamuk dipengaruhi antara lain oleh faktor ekologis, biologis, dan fisik.(7) Faktor-

faktor seperti instar jentik, makanan, periode pemaparan (expose period), kualitas air, strain bakteri, perbedaan kepekaan masing-musing jentik yang diuji, suhu air dan formulasi khususnya tingkat sedimentasi/pengendapan dilaporkan sangat mempengaruhi B. thuringiensis terhadap jentik nyamuk.(6,8,9) Selain itu Aly, 1983 (10) melaporkan bahwa efektivitas larvisida

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 18

Page 20: Cdk 131 Malaria

mikrobia sangat tergantung pada tersedianya toksin di daerah makan jentik (larval feeding zone)(11) dan perilaku/kebiasaan makan dari spesies jentik nyamuk.(12)

Gambar 2. Jumlah telur Ae. aegypti di Kupang Kidul (perlakuan) dan

Kupang Rengas (kontrol)

Perlakuan dalam Perlakuan lua Kontrol dalam Kontrol luar Gambar 3. Ovitrap index di Kupang Kidul (perlakuan) dan Kupang

Rengas (kontrol)

Keterangan : Perlakuan dalam Perlakuan luar Kontrol dalam Kontrol luar

Faktor fisik seperti halnya formulasi, khususnya tingkat sedimentasi/pengendapan, tersedianya toksin di daerah makan jentik dan kebiasaan makan dari jentik Ae. aegypti mungkin berpengaruh pada efikasi Culinex T. Bti dalam formulasi "fizzy tablet" (Culinex T) berwarna kuning kecoklatan dun carriernya menempel pada dasar atau dinding bejana, sangat sesuai dengan perilaku jentik Ae. aegypti yang mempunyai kebiasaan makan di dasar perairan (bottom feeder).(13)

Abbot, 1993 melaporkan bahwa formulasi liquid dun granuler B. thuringiensis israelensis (Vectobac 12 AS dan Vec-tobac G) dapat mengendalikan semua instar jentik nyamuk dan efikasinya dapat dievaluasi 1-4 jam sesudah aplikasi tetapi tidak lebih dari 7 hari.(14) Melihat hal tersebut tampak bahwa Culinex T mempunyai prospek yang lebih menjanjikan baik melalui pengujian skala laboratorium, semi lapangan(4), maupun skala lapangan, karma efikasinya terhadap jentik Ae. aegypti dapat bertahan lebih lama.

KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Culinex T

dosis 2 mg/1 efektif menurunkan populasi jentik Ae. aegypti selama 1 bulan di Kupang Kidul, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Penurunan jumlah TPA positif mengandung jentik Ae. aegypti pada bulan Agustus - Desember 1998 dan Januari - Pebruari 1999 berkisar antara 53,94-98,31 %

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesar-besarnya ditujukan kepada : 1. Dr. Damar Tri Boewono, MS selaku Kepala Stasiun Penelitian Vektor

Penyakit, Salatiga yang telah memberi kesempatan dan dukungan jalannya penelitian.

2. Dr. Sustriayu Nalim, selaku ketua kelompok peneliti yang membimbing penelitian dun penulisan makalah.

3. Dokter Puskesmas Kecamatan Ambarawa dan staf yang telah membantu penelitian di lapangan.

4. Dr. Norbert Becker, direktur KABS, Germany dan Bpk. Abdurrachim, direktur PT Setrasari, Jakarta yang telah memberikan Culinex tablet.

KEPUSTAKAAN 1. Mintarsih EA, Santoso L, Suwarsono H : Pengaruh suhu dan kelembaban

udara alami terhadap jangka hidup Ae. aegypti betina di Kotamadya Salatiga dan Semarang. Cermin Dun. Kedokt. 1996; 107: 20-2.

2. Suwarsono H : Berbagai cara pemberantasan jentik Ae. Aegypti. Cermin Dun. Kedokt 1997; 119 : 32-4.

3. WHO : Biological control of vectors of disease. Sixth report of the WHO expert commitee on vector biology and control. 1982.

4. Widyastuti U, Blondine ChP, Nalim S. : Pengujian efikasi Culinex T (B. thuringiensis israelensis) terhadap larva nyamuk Ae. aegypti. 1982 ; 10 hal.

5. Achmad HH : Variabel yang mempengaruhi partisipasi ibu rumah tangga dalam pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk. Cermin Dun. Kedokt. 1997; 119 : 9-12.

6. Mulla MS, Darwazeh HA, Aly C : Laboratory and field studies on new formulations of two microbial control agents against mosquitoes. Bull Soc Vector Ecol 1986; 11 (2): 255-63.

7. Mulla MS, Darwazeh HA : Larvicidal efficay of various formulations of B. thuringiensis serotype H-14 against mosquitoes. Bull Soc Vector Ecol. 1984; 9 (1): 51-8.

8. Mian LC, Mulla MS : Factor influencing activity of the microbial agent B. sphaericus against mosquito larvae. Bull Soc Vector Ecol. 1983 ; 8(2) : 128-34.

9. Becker N, Margalit J : Control of Dipteria with Bti. 10. Aly C : Feeding behavior of Ae. vexans larvae (Dipteria: Culicidae) and

its influence on the effectiveness of B. thuringiensis israelensis. Bull Soc Vector Ecol. 1983; 8(2) : 94-100.

11. Mulla MS, Darwazeh HA, Tietze NS : Efficay of B. sphaericus 2362 formulations against floodwater mosquitoes. J Am Mosq Contr Assoc, 1988; 4(2).

12. Ramoska WA, Hopkins TL : Effects of mosquito larval feeding behavior on B. sphaericus efficacy, J Invert Pathot 1981; 37 : 269-72.

13. Becker N, Djakaria S, Kaiser A, Zulhasril O, Ludwig HW : Efficacy of new tablet formulation of an asporogeno is strain of Bti against larvae of Ae. aegypti. Bull Soc Vector Ecol. 1991; 16(1): 1-7.

14. Abott Lab. : BT H-14 life cycle. The sezuence of events associated with using Bti for control of mosquito larvae. 1993.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 19

Page 21: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

Uji Patogenisitas Isolat B. thuringiensis yang Ditumbuhkan

dalam Buah Kelapa terhadap berbagai Jentik Nyamuk

di Laboratorium

Blondine Ch P, RA Yuniarti

Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Rl, Salatiga

ABSTRAK

Bacillus thuringiensis merupakan salah satu spesies bakteri yang digunakan untuk pengendalian jentik nyamuk. Bakteri ini perlu dikembangkan mengingat pentingnya pelestarian lingkungan yang bebas insektisida.

Ditemukannya bakteri patogen B. thuringiensis (100 PS) yang diisolasi dari habitat tanah dan ditumbuhkan dalam buah kelapa.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui patogenisitas isolat B. thuringiensis (100 PS) yang ditumbuhkan dalam buah kelapa terhadap berbagai jentik nyamuk.

Isolat B. thuringiensis (100 PS) yang ditumbuhkan dalam media kimiawi Tryptose Phosphate Broth (TPB) sebagai standar.

Hasil pengujian patogenisitas isolat B. thuringiensis (100 PS) yang ditumbuhkan dalam buah kelapa dan media TPB terhadap jentik nyamuk Anopheles aconitus, An. barbirostris, Aedes aegypti, dan Culex quinquefasciatus, menunjukkan patogenisitas > 50% selama 24 dan 48 jam pengujian. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara persentase kematian jentik yang diuji dari isolat yang ditumbuhkan dalam buah kelapa dan media TPB (p > 0,05). Buah kelapa dapat digunakan sebagai medium untuk pertumbuhan B. thuringiensis.

Kata kunci : B. thuringiensis, kelapa, patogenisitas, jentik nyamuk

PENDAHULUAN

Di daerah tropis seperti Indonesia, nyamuk merupakan serangga yang sering mengganggu kehidupan manusia. Di samping itu nyamuk juga dapat menyebarkan penyakit seperti malaria, demam berdarah dengue dan filariasis. Untuk meng-atasi hal tersebut, manusia lebih cenderung menggunakan insektisida misalnya etofenprox untuk penyemprotan rumah- rumah. Selain itu dapat pula menggunakan obat pembasmi nyamuk yang dijual bebas seperti obat nyamuk bakar, tissue, oles, elektrik dan sebagainya. Mengingat banyaknya bahan aktif insektisida yang mudah diperoleh, dan kemungkinan besar dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, mendorong di-kembangkannya jazad hayati seperti Bacillus thuringiensis. Salah satu kelebihan bakteri ini adalah sifatnya yang spesifik

sehingga dapat menekan populasi jentik nyamuk, narnun tidak mencemarkan lingkungan, atau mematikan organisme lain yang bukan sasaran.

Salah satu karakteristik dari B. thuringiensis adalah dapat memproduksi kristal protein di dalam sel bersama-sama dengan spora pada waktu sel mengalami sporulasi(1).

Laboratorium jazad hayati Stasiun Penelitian Vektor Pe-nyakit telah berhasil mengisolasi B. thuringiensis dari tanah dan menumbuhkan bakteri tersebut pada media air kelapa dan en-dosperm kelapa (santan), dengan patogenisitas > 50% terhadap jentik nyamuk Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus(2).

Suatu penelitian yang dilakukan di "Alexander von Hum-boldt Tropical Medicine Institute" di Lima, Peru adalah me-numbuhkan B. thuringiensis israelensis dalam media alami

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 20

Page 22: Cdk 131 Malaria

buah kelapa sebab kelapa kaya akan asam amino dan karbo-hidrat(3). Selain itu kelapa relatif rnurah, dapat diperoleh setiap saat dan terdapat dimana-mana. Sedangkan media kimia seperti agar nutrien, "NYSMA", "NYPC" dan Triptose Phosphate Broth yang merupakan media baku untuk pertumbuhan B. thuringiensis harganya mahal dan tidak mudah diperoleh. Ber-dasarkan informasi di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui patogenisitas isolat B. thuringiensis (100 PS) yang ditumbuhkan dalam buah kelapa terhadap berbagai jentik nyamuk di laboratorium.

BAHAN DAN CARA KERJA A. Bahan Penelitian

Media yang digunakan adalah buah kelapa serta media Tryptose Phosphate Broth (TPB) sebagai media standar.

Isolat B. thuringiensis (100 PS) yang diperoleh dari hasil isolasi dari habitat tanah menurut metode Chilcott dan Wigley (1988)(4). Buah kelapa yang digunakan adalah kelapa kering yang beratnya sekitar 1250 gram dan berisi air kelapa sebanyak 500 ml. Sebelum digunakan, terlebih dahulu tempurung kelapa dibersihkan dengan alkohol 70%. Jentik nyamuk vektor yang digunakan dalam penelitian ini adalah Anopheles aconitus, An. barbirostris, Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus masing-masing instar III, hasil koloni di laboratorium. Cara Kerja

Pertumbuhan dan Uji Patogenesitas Isolat B. thuringiensis (100 PS) sebagai berikut :

Isolat B. thuringiensis (100 PS) yang ditemukan dibuat kultur murni pada media "NYSMA" miring dan diinkubasi pada suhu 30°C selama 4 hari. Sesudah diinkubasi dari media "NYSMA" diambil 10 ose penuh (loopfull) dan dimasukkan ke dalam 50 ml Tryptose Phosphate Broth (TPB). Sesudah itu media TPB di shake (goyang) pada temperatur kamar selama 48 jam. Sesudah 48 jam, biakan murni pada media TPB di-masukkan ke dalam buah kelapa dan diinkubasi selatna 6 hari pada temperatur kamar. Sesudah 6 hari, dilakukan pengujian patogenisitas menurut metode Chilcott dan Wigley(4), sebagai berikut :

Ambil 15 ml broth (diambil dari 50 ml TPB) dan dimasuk-kan ke dalam mangkok plastik berisi 100 ml air suling dan 25 jentik An. aconitus instar III (umur 6-7 hari). Sebagai kontrol, mangkok plastik hanya diisi 150 ml air suling dan 25 jentik An. aconitus. Untuk setiap perlakuan dilakukan 3 kali ulangan. Pengamatan dilakukan selama 24 dan 48 jam pengujian. Uji patogenisitas terhadap An. barbirostris, Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus dilakukan dengan cara yang sama.

Biakan murni isolat B. thuringiensis (100 PS) yang di-simpan pada media "NYSMA", diambil 2 ose penuh (loopfull) dan dimasukkan ke dalarn 50 ml TPB sebagai media kimiawi (media standar). Media TPB di shake (goyang) pada temperatur kamar selama 48 jam. Sesudah 48 jam, pengujian patogenisitas dilakukan menurut metode Chilcott dan Wigley (1988)(4) se-bagai berikut :

Ambil 15 ml broth (diambil dari 50 ml TPB) dan dimasuk-kan ke dalatn mangkok plastik berisi 100 ml air suling dan 25 jentik An. aconitus instar III (umur 6-7 hari). Sebagai kontrol, mangkok plastik hanya diisi 150 ml air suling dan 25 jentik An. aconitus. Untuk setiap perlakuan dilakukan 3 kali ulangan. Pengamatan dilakukan selama 24 dan 48 jam pengujian. Uji patogenisitas terhadap jentik An. barbirostris, Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus dilakukan dengan cara yang sama.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian patogeiusitas isolat B. thuringiensis (100 PS), setelah ditumbuhkam dalam buah kelapa terhadap ber-bagai jentik nyamuk instar III pada 24 dan 48 jam pengajuan, disajikan pada Tabel 1.

Uji patogenisitas isolat B. thuringiensis (100 PS) yang ditumbuhkan dalam buah kelapa terhadap jentik An. aconitus, An. barbirostris, Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus masing- masing instar IlI, menunjukkan potogenisitas > 50% pada 24 dan 48 jam pengujian. Persentase kematian jentik An. aconitus, An. barbirostris, Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus, berturut -turut 76%, 78%, 97% dan 74% selama 24 jam pengujian dan 100%, 92%, 100% dan 100% pada 48 jam pengujian (Tabel 1).

Uji patogenisitas isolat B. thuringiensis (100 PS) yang ditumbuhkan dalarn media kimiawi TPB terhadap jentik An. aconitus, An. barbirostris, Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus masing-masing instar III, menunjukkan patogenisitas > 50%. Persentase kematian jentik An. aconitus, An. barbirostris, Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus berturut-turut 73%, 80%, 78% dan 65% selama 24 jam pengujian dan 100%, 100%, 100% dan 88% pada 48 jam pengujian.

Uji yang dilakukan terhadap persentase kematian jentik An. aconitus, An. barbirostris, Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus dari isolat yang ditumbuhkan dalam buah kelapa dan media TPB, tidak menunjukkan beda nyata pada 24 maupun 48 jam pengujian (p > 0,05). Hal ini berarti bahwa buah kelapa dapat digunakan sebagai media pengganti TPB. Walaupun tidak ada perbedaan yang bermakna, akan tetapi isolat. Bacillus thuringiensis (100 PS) yang ditumbuhkan dalam buah kelapa menunjukkan patogenisitas tinggi terhadap jentik Ae. aegypti yaitu 97% selama 24 jam pengujian dan 100% pada 48 jam

Tabel 1. Hasil uji patogenisitas isolat B. thuringiensis (100 PS) yang ditumbuhkan dalam buah kelapa

terhadap berbagai jentik nyamuk instar III.

Persentase kematian berbagai jentik nyamuk*

An. aconitus An. barbirostris At. aegypti Cx. quinquefasciatus Isolat Media

24 jam 48 jam 24 jam 48 jam 24 jam 48 jam 24 jam 48 jam

100

PS

Kelapa

TPB

76

73

100

100

78

80

92

100

97

78

100

100

74

65

100

88

* = rata-rata 3 kali ulangan

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 21

Page 23: Cdk 131 Malaria

pengujian. Hal ini mungkin dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya kebiasaan dan perilaku makan jentik, formulasi (khususnya tingkat pengendapan/sedimentasi) serta adanya toksin di daerah makan jentik (larval feeding zone)(5,6). Ber-dasarkan faktor daerah makan jentik dan tingkat sedimentasi/ pengendapan, dapat diduga bahwa toksin B. thuringiensis lebih cepat mengendap ke bawah di dasar yang merupakan daerah makan jentik Ae. aegypti daripada di bawah permukaan air (suspension feeders) yang merupakan daerah makan bagi jentik Cx. quinquefasciatus(7). Sedangkan jentik Anopheles yang mempunyai kebiasaan mengambil makanan (termasuk toksin) di daerah permukaan (lebih kurang 1-2 mm) dan bukan di dasar(8). Setelah melihat persentase kematian berbagai jentik nyamuk yang > 50%, maka perlu dilakukan serologi dari isolat B. thuringiensis (100 PS) tersebut untuk mengetahui serotipe-nya. Sampai dengan saat ini telah dikenal 58 antisera - H standar, untuk menentukan serotipe bakteri B. thuringiensis yang diperoleh dari Institut Pasteur Perancis (Happy Widiastuti, Komunikasi Pribadi).

Bacillus thuringiensis serotipe H-14 telah diketahui mem-punyai patogenisitas tinggi terhadap jentik nyamuk dan jentik lalat hitam(1). Asam amino dan karbohidrat yang dikandung buah kelapa merupakan sumber protein bagi pertumbuhan B. thuringiensis. Karena itu buah kelapa dapat digunakan sebagai media alami yang perlu dikembangkan lebih lanjut untuk per-tumbuhan B. thuringiensis. KESIMPULAN DAN SARAN

Patogenisitas isolat B. thuringiensis (100 PS) yang di-tumbuhkan dalam buah kelapa terhadap jentik An. aconitus, An. barbirostris, Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus menunjuk-kan patogenisitas > 50% pada 24 dan 48 jam pengujian.

Tidak ada perbedaan yang bermakna antara persentase ke matian jentik An. aconitus, An. barbirostris, Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus dari isolat yang ditumbuhkan dalam buah kelapa dan media Tryptose Phosphate Broth (p > 0,05).

Buah kelapa dapat digunakan sebagai medium alami untuk pertumbuhan B. thuringiensis.

Penelitian ini akan dikembangkan lebih lanjut dengan menggunakan kelapa sebagai media untuk pertumbuhan B. thuringiensis sehingga dapat digunakan untuk pengendalian jentik nyamuk di lapangan.

KEPUSTAKAAN

1. WHO. Data sheet on the biological control agent Bacillus thuringiensis serotype H-14. 1979. WHO/VBC/79.750.13p.

2. Blondine ChP, Widyastuti U, Sukarno, Subiantoro. Pertumbuhan isoltt Bacillus thuringiensis pada media kelapa dan uji patogenisitasnya terhadap jentik nyamuk vektor. Cermin Dunia Kedokt. 1997; 119: 50-3.

3. Anonim. Malaria Control in a Nutshell International Development Research Centre. 2p. 1995.

4. Chilcott CN, Wigley PJ. Technical note: an improved method for differential staining of Bacillus thuringiensis crystals. Letters in Appl Microbiol 1988;7: 67-70.

5. Aly C, Mulla MA, Bo-Zhaoxu, Schnetter W. Rate of ingestion by mosquito larvae (Diptera, Culicidae) as a factor in the effectiveness of a l stomach toxin. J. Med. Entomol. 1988; 25(3): 191-6.

6. Chilcott CN, Pillai JS. The use of coconut wastes for the production Bacillus thuringiensis var. israelensis. 1985.

7. Becker N, Djakaria S, Kaiser A, Zulhasril O, Ludwig HW. Efficacy of a new tablet formulations of an Asperogenous strain of Bacillus thuringiensis israelensis against larvae of Aedes aegypti. Bull. Soc. Vector Ecol. 1991 16(1):1-7.

8. Aly C, Mulla MS, Schnetter N, Bo-Zhaoxu. Floating bait formulations increase effectiveness of B. thuringiensis var israelensis against Anopheles larvae. J Am Mosq Contr Assoc. 1987.

RALAT Pada CDK edisi No. 130/2001 halaman 54 terdapat kekeliruan judul naskah yang berbunyi : Teknik Imunodiagnostik dalam Masyarakat: I. Prinsip-prinsip dasar teknik imunodiagnostik oleh Iwan H. Utama, I Nym. Suarsana. Seharusnya: Teknik Imunodiagnostik dalam Kesehatan Masyarakat: 1. Prinsip-prinsip dasar teknik imunodiagnostik oleh Iwan H. Utama, I Nym. Suarsana Demikian kekeliruan telah kami perbaiki dan terima kasih. Redaksi

Living is not breathing, it is acting (Rousseau)

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 22

Page 24: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

Teknologi Bioremediasi untuk Menurunkan Kepadatan Nyamuk

di Pemukiman Perkotaan •

I Gede Seregeg •

Kelompok Biologi Kesehatan, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Suatu studi yang bertujuan untuk menurunkan kepadatan nyamuk di permukiman perkotaan telah dimulai sejak bulan Juli 1994 sampai dengan Agustus 1995. Studi itu berorientasi pada perbaikan lingkungan menggunakan metoda-metoda ekologi dalam melakukan perubahan kualitas air habitat nyamuk dilengkapi dengan suatu gagasan pengolahan air limbah rumah tangga (teknologi bioremediasi). Metoda studi juga dilengkapi dengan pengamatan-pengamatan eksperimental, eksploratif dan studi literatur. Hasilnya menunjukkan bahwa ada kecenderungan menurunnya kepadatan Aedes aegypti akibat efek bioremediasi beberapa jenis tumbuhan berintegrasi dengan efek PHT (Pengendalian Hama Terpadu). Secara hipotetik diduga kepadatan Cx. quinquefasciatus juga akan menurun bila seluruh rumah tangga mau menerapkan unit pengolahan limbah antara lain dengan teknologi bioremediasi. Karenanya studi ini perlu dilanjutkan dengan penelitian-penelitian ekperimental baik skala laboratorium maupun lapangan.

PENDAHULUAN

Dua jenis nyamuk yang umum terdapat di permukiman perkotaan adalah Culex quinquefasciatus dan Aedes aegypti. Relung ekologi mereka sangat berbeda. Cx. quinquefasciatus menempati habitat perairan tercemar sedang sampai berat, se-dangkan Ae. aegypti menempati habitat badan air tidak ter-cemar sampai tercemar ringan. Walaupun habitatnya berbeda, bukanlah berarti bahwa pengendaliannya selalu harus berbeda. Dalam beberapa hal satu jenis cara pengendalian dapat efektif baik untuk menurunkan kepadatan Cx. quinquefasciatus mau-pun Ae. aegypti. Contoh yang umum adalah sistem aerosol, baik dengan teknik "ultra low volume", "fogging", maupun "mist blower", bila menggunakan racun serangga yang masih peka, maka akan efektif membunuh nyamuk dewasa Aedes maupun Culex secara langsung.

Namun demikian pengendalian nyamuk dewasa dengan menggunakan racun serangga mengandung banyak kelemahan

dan risiko. Kelemahan-kelemahan itu banyak menyangkut soal aplikasi dan implementasi; sebagai contoh saat penyemprotan seringkali tidak dapat dilakukan pada suasana alam tenang tidak berangin. Selain itu, penyemprotan jarang dievaluasi secara ilmiah baik dengan bio assay maupun bio monitor, se-hingga efektivitas dan dampak suatu jenis racun serangga tidak diketahui denpan jelas.

Pengendalian serangga yang berorientasi pada.pelestarian lingkungan dianjurkan dalam konsep Pengendalian Hama Ter-padu (PHT). Cara ini tidak hanya menitik beratkan pengguna-an bahan kimia, melainkan juga penggunaan cara-cara non kimia, baik secara fisik-mekanik maupun biologi, atau cara-cara tersebut dipadukan sedemikian rupa sehingga nilai eko-nomi didapatkan oleh si pemakai, narnun tidak kehilangan nilai ekologi yang menjadi pemilikan (property) suatu eko-sistem.

Suatu cara yang berpijak pada konsep PHT untuk me-

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 23

Page 25: Cdk 131 Malaria

nurunkan kepadatan nyamuk Ae. aegypti dan Cx. quinguefas-ciatus di permukiman perkotaan dapat dikembangkan dari teknologi bioremediasi. Tekonologi ini pada umumnya diguna-kan untuk meningkatkan kualitas air identik dengan merubah kualitas air itu sehingga bila profit kualitas air untuk Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus diubah, daur hidupnya dapat keluar dari suatu ekosistem yang baru, misalnya diterapkan di suatu permukiman perkotaan. Strategi ini diharapkan dapat dikembangkan di daerah-daerah permukiman dataran rendah yang air limpasannya (got) selalu tergenang sepanjang tahun. Genangan air limbah rumah tangga menjadi tempat perindukan yang baik sekali bagi Cx. quinquefasciatus karena masih banyak mengandung nutrisi dan bahan organik. Walaupun saluran air limpasan yang barada di dekat jalan dapat ditangani dengan larvisida misalnya, tetapi saluran dari bak cuci piring dan dari kamar mandi ke saluran limpasan pinggir jalan biasa-nya di bawah permukaan tanah (tidak kelihatan), menjadi tem-pat bersembunyinya nyamuk rumah dan larvanya, yang akan mempertahankan daur hidup nyamuk itu sepanjang tahun.

24

Sesungguhnya sumber persembunyian nyamuk Cx. quin-quefasciatus dan Ae. aegypti adalah sama permasalahannya yaitu air limbah atau air buangan dalam pengertian luas yaitu air yang tidak terpedulikan hanya profilnya yang berbeda. Untuk Ae. aegypti air yang tidak terpedulikan itu adalah air yang terlupakan yang biasanya berada dalam pot-pot bunga dan tempat-tempat air lainnya, sedangkan untuk Cx. quinque-fasciatus, adalah badan-badan air yang tersembunyi di tanah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek biore-mediasi berjenis-jenis tanaman menjalar yang dapat tumbuh pada bejana/kantong plastik yang mengandung air terhadap keberadaan larva Ae. aegypti baik secara eksperimen maupun eksploratif dan mencanangkan (menggagas) suatu desain saringan bioremediasi untuk limbah rumah tangga yang ber-potensi menurunkan kepadatan Cx. quinquefasciatus di per-mukaan perkotaan, serta merta kepadatan Ae. aegypti dengan bertumpu pada strategi PHT dan daya bioremediasi tumbuhan.

BAHAN DAN CARA I. Untuk Ae. aegypti a. Pengamatan dengan eksperimen

Menanam dalam botol aqua bekas yang berisi air 0,5 liter tumbuhan Syngonium podophyllum Schoot dan melakukan pengamatan selama satu bulan mengenai infeksi Ae. aegypti. Jumlah yang diamati sebanyak tiga bejana. Percobaan dilaku-kan indoor di laboratorium Puslit Ekologi Kesehatan, Jakarta.

Menanam Syngonium sp dalam kantong plastik berisi 0,5 sampai 0,75 liter air dan melakukan pengamatan selama 3 bulan. Jumlah yang diamati sebanyak 30 kantong. Percobaan ditempatkan indoor dalam laboratorium F.MIPA IPB, Bara-nangsiang, Bogor.

Menanam Syngonium sp dalam kantong plastik berisi 0,5 sampai 0,75 liter air dan melakukan pengamatan selama 3 bulan. Jumlah yang diamati sebanyak 20 kantong. Percobaan ditempatkan outdoor, di desa Babakan, Baranangsiang, Bogor (kawasan pemondokan mahasiswa). b. Pengamatan secara eksploratif

Pengamatan ini dilakukan di ruang perkantoran Puslit Ekologi Kesehatan, Perpustakaan Badan Litbang Kesehatan, kantin dan ruang foto-copy. Yang diamati adalah bejana- bejana tumbuhan rias yang berisi air (semacam larva survei). Pengamatan tiga kali seminggu. II. Untuk Cx. quinquefasciatus

Berdasarkan pengalaman dalam aplikasi larvisida di selokan-selokan dan rangkuman pengetahuan-pengetahuan mengenai pengolahan limbah dan teknologi penjernihan, merancang suatu alat saringan pengolahan limbah rumah tangga dengan lapisan-lapiran sebagai berikut (Gambar 1).

Gambar 1. Prototip saringan bioremediasi 1. Lapisan paling bawah adalah batu kerikil besar-kecil dengan diameter (0,5-3) cm, setebal 10 cm. 2. Di atasnya adalah lapisan ijuk setebal 5 cm, tercampur pasir dan kerikil. 3. Di atas ijuk adalah lapisan pasir diameter (0,3-2) cm se-tebal 20 cm tempat tumbuhnya tanaman-tanaman yang akar-nya mempunyai daya bioremediasi. 4. Lapisan ijuk setebal 5 cm, tercampur pasir dan kerikil batu apung. 5. Paling atas adalah lapisan pasir-kerikil batu apung setebal 10 cm.

Susunan lapisan-lapisan tersebut bertujuan untuk men-ciptakan kekekaran hidrolik, sehingga bila dilakukan pencuci-an dengan arus balik tidak akan terjadi perubahan dalam su-sunan lapisan saringan itu.

Selain itu adanya lapisan pasir-kerikil batu apung di atas permukaan air limbah yang disaring akan dapat mencegah bertelurnya nyamuk. Selanjutnya dalam air limbah yang sudah disaring itu, yang menuju saluran limpasan pinggir jalan (got) walapun airnya mengalir lemah atau tergenang, akan memung-kinkan hidupnya ikan-ikan pemakan jentik, karena air sudah jernih dan kandungan deterjen rendah. Secara hipotetik bila seluruh rumah tangga menerapkan sistem ini tentunya akan menurunkan kepadatan Cx. quinquefasciatus karena biological control akan efektif (strategi PHT). HASIL PENELITIAN

Hasil yang didapat secara eksperimental dan eksploratif tertera pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001

Page 26: Cdk 131 Malaria

Tabel 1. Hasil pengamatan secara eksperimental (percobaan sendiri)

infestasi Ae. aegypti dalam air bejana/kantong plastik yang dita-nami tumbuhan menjalar.

Jumlah tempat

air Jenis tumbuhan

Banyaknya infestasi

Ae. aegypti

Tempat percobaan

Lama/ waktu

Syngonium 0 Lab. PPEK 1 bulan3 podophyllum Schoot Syngonium sp 1 Lab. F.MIPA 3 bulan30 IPB Syngonium sp 0 Desa 3 bulan Babakan,

20*

Bogor Keterangan * : Mulut kantong plastik terikat dengan batang tanaman. Tabel 2. Hasil pengamatan eksploratif dari tanaman hias dalam bejana

yang berpeluang diinfestasi Ae. aegypti.

Jumlah bejana* Jenis tumbuhan

Banyaknya infestasi

Ae. aegypti

Tempat pengamatan

Lama/ waktu

3 Aglaunema montana var Cordatum

0 Kantor PPEK 1 minggu

2 A. montana dan andong

0 Ruang tunggu PPEK

1 minggu

3 A. montana 0 Tempat foto copi

1 minggu

1 Syngonium podophyllum dan A. montana

0 Tempat absen

1 minggu

3 S. podophyllum dan A. montana

0 Kantin 1 minggu

2 A. montana 0 Perpustakaan 1 minggu Keterangan * : Air bejana diganti seminggu sekali, kecuali di tempat foto copi dan kantin.

Dari kedua tabel itu dapat dilihat bahwa derajat infestasi Ae. aegypti sangat rendah yang diakibatkan oleh mengikat mu-lut kantong plastik dengan batang tanaman, mengganti air dalam bejana seminggu sekali, ataupun dimungkinkan oleh daya bioremediasi tumbuh-tumbuhan yang ditanam dalam air berkenaan dengan kemampuannya mengubah profit kualitas air. PEMBAHASAN

Keengganan Ae. aegypti untuk bertelur pada bejana-bejana yang ditanami dengan Syngonium maupun Aglaunema tentunya disebabkan oleh bermacam-macam faktor, antara lain dari informasi yang didapat melalui pertanyaan-pertanyaan menye-butkan bahwa air telah diganti seminggu sekali, narnun peng-amatan langsung secara visual memberi dugaan lain yaitu airnya kotor mengandung endapan yang mencirikan bahwa airnya lama tak pernah diganti. Hal ini terdapat dalam beberapa bejana, narnun bejana-bejana itu juga tidak diteluri Ae. aegypti.

Kalaupun airnya diganti beberapa telur tentu akan masih ada yang melekat pada akar tanaman yang nantinya akan dapat menjadi larva. Kenyataannya memang tidak ada larva, sehingga mungkin ada sebab lain yang berasal dari kegiatan fisiologi tumbuhan itu.

Percobaan yang dilakukan sendiri dengan memapar 30 kantong plastik berisi air ditanami dengan Syngonium sp se-lama 3 bulan ternyata yang diteluri hanya satu kantong. Hasil

penelitian Seregeg dkk. (1994) mengenai efek bioremediasi Syngonium sp menunjukkan bahwa tanaman itu dapat menaik-kan pH air dari 3,9 menjadi 7,91. Dari pengamatan-pengamatan di lapangan di tempat-tempat air yang senang dihuni oleh larva Ae. aegypti umumnya berisi air hujan. Hasil pengukuran me-nunjukkan pH air hujan di Jakarta dapat mencapai 4,8 sedang-kan di Bogor dapat mencapai 5,6. Diduga pH yang relatif rendah inilah yang menarik Ae. aegypti untuk memilih tempat perindukannya. Bila pH diubah, mungkin Ae. aegypti tidak mau bertelur lagi di tempat semula, sedangkan tanaman yang tahan akan perubahan itu masih akan hidup dengan normal dan tetap dapat dinikmati keindahannya (strategi bioremediasi).

Dari uraian di atas terlihat bahwa efek bioremediasi tum-buhan berpengaruh pada kesenangan Ae. aegypti untuk memilih tempat bertelurnya, yang pada hakekatnya terletak pada kualitas air. Bila profil kualitas air untuk masing-masing jenis nyamuk dapat diketahui atau dipetakan dalam profil-analisis (sistem delta bintang), teknologi bioremediasi akan dapat diarahkan pada perubahan kualitas air habitat (ecological control). Strategi ini sejajar dengan konsep PHT.

Istilah PHT (Pengendalian Hama Terpadu) mula-mula dikembangkan di bidang pertanian untuk mengendalikan hama wereng coklat dalam rangka program swasembada beras. PHT merupakan suatu konsep pemikiran multi disiplin(1) untuk meminimumkan dampak negatif pestisida yang di Indonesia terasa cukup parah pada dekade tahun delapan puluhan. Dalam konsep tersebut pemikiran-pemikiran telah mulai diorientasikan pada penyelamatan lingkungan, penyelamatan nilai-nilai eko-logi tanpa harus banyak kehilangan nilai-nilai ekonomi.

Pada waktu itu kerusakan lingkungan tidak hanya disebabkan oleh dampak negatif pestisida melainkan juga oleh cemaran bahan-bahan kimia lainnya baik organik maupun anorganik, sehingga dicanangkanlah suatu konsep Pembangun-an Berwawasan Lingkungan (Development with Environmental Outlook). Konsekuensi dari konsep ini di Indonesia akhirnya menelorkan PP no. 29 tahun 1982, yang mengharuskan setiap kegiatan melaksanakan AMDAL. Perkembangan selanjutnya, menjelang tahun sembilan puluhan terjadi ekses negatif AMDAL yang seakan-akan memperlambat laju pembangunan tersebut, maka konsep Pembangunan Berwawasan Lingkungan berubah menjadi Pembangunan Berkelanjutan (Subtainable Development), dan PP no. 29 tahun ‘82 kemudian menjelma ke dalam bentuk yang lebih sederhana yaitu PP no. 51 tahun 1993.

Menjelang tahun sembilan puluhan, di Jerman dan di Inggris berkembang suatu teknologi pengolahan limbah dengan mengandalkan daya-kerja akar tanaman untuk menyerap (ab-sorbsi) dan menjerap (adsorbsi) zat-zat pencemar dalam air(2) sehingga kualitas air dapat meningkat. Tanaman herba ditanam dalam suatu bedengan yang dapat menyaring air limbah (teknologi bioremediasi). Di Indonesia penelirian serupa de-ngan menggunakan eceng-gondok(3) tidak ditanam dalam bedengan, juga telah dicoba dan cukup efektif menurunkan kadar-kadar zat pencemar tertentu (deterjen, fosfor dan bahan organik).

Konsep PHT, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Pembangunan Berkelanjutan dan Teknologi Bioremediasi pada hakekatnya mempunyai tujuan yang sejajar yaitu Penyelamatan

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 25

Page 27: Cdk 131 Malaria

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 26

Lingkungan atau Perlindungan Lingkungan dari Pencemaran, baik pencemaran kimia, maupun pencemaran biologi oleh satwa pengganggu, vektor penyakit, mikroba dan lain-lainnya; hanya perkembangannya di masing-masing negara atau wilayah akan dapat berbeda-beda baik dalam aspek-aspek tersebut maupun dalam pelaksanaan teknis (implementasi) suatu jenis aspek.

Sebagai contoh, di Inggris dilaporkan teknologi biore-mediasi itu dapat menurunkan BOD dari 1006 mg/l menjadi 57 mg/l(2), tetapi karena melibatkan air tergenang, akhirnya men-jadi perindukan nyamuk. Demikian pula upaya meremediasi danau yang tercemar dengan menggunakan tumbuhan makro-fita, akhirnya menjadi tempat perindukan nyamuk dan satwa pengganggu lainnya(4,5).

Di Indonesia akan diupayakan mendesain saringan biore-mediasi dengan menambahkan lapisan pasir-kerikil batu apung di atas permukaan air dalam media saringan setebal 10 cm, sehingga tidak memungkinkan lagi nyamuk bertelur. Dengan demikian dampak negatif saringan yaitu meningkatnya densitas nyamuk dapat dihindarkan. Selain itu air limbah yang sudah jernih akan memungkinkan hidupnya ikah-ikan pemakan jentik dalam genangan-genangan air buangan rumah tangga yang tersembunyi. Selama ini (bila tidak disaring) kandungan deterjen yang tinggi dari kegiatan cuci mencuci sangat meng-gangu insang dari ikan-ikan pemakan jentik. Bila seluruh rumah tangga membuat saringan limbah niscaya Cx. quiquefas-ciatus akan sangat menurun di suatu permukiman perkotaan.

Selain untuk Cx. quinquefasciatus, teknologi bioremediasi dapat pula diaplikasikan untuk menurunkan kepadatan Ae. aegypti melalui perubahan profit kualitas air habitatnya. Im-plementasinya cukup sederhana antara lain bisa dengan meng-ubah pH, menyemprotkan air kapur atau meningkatkan salinitas melalui penyemprotan air mengandung garam. Cara lain, jenis tanaman hias dipilih/dibuat terhadap kualitas tertentu dari air habitat, sedangkan Ae. aegypti tidak sanggup lagi hidup pada kualitas air seperti itu. Untuk maksud ini profit kualitas air habitat dari masing-masing galur nyamuk perlu mendapat penelitian selanjutnya.

KESIMPULAN 1. Teknologi Bioremediasi dapat dikembangkan ke arah pe-

ngendalian terpadu untuk menurunkan kepadatan nyamuk di permukiman perkotaan, melalui perubahan kualitas air habitatnya, melapangkan jalan bagi efektifnya pengendali-an hayati.

2. Teknologi Bioremediasi mempunyai konsep yang sejajar dengan PHT, berorientasi pada penyelamatan dan perlin-dungan lingkungan, bertumpu pada metoda-metoda pe-ngendalian secara ekologi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. lr. Muchammad Sri Saeni MS, guru besar FMIPA IPB yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengunakan laboratorium FMIPA IPB. Juga kepada Bapak Dr. lr Harun Sukarmadijaya, MSc. dan stafnya dari Teknologi Lingkungan ITB, tak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih atas informasi yang telah diberikan mengenai teknologi Bioremediasi.

KEPUSTAKAAN 1. Flint ML, van Den Bosch. Pengendalian Hama Terpadu. Kanisius.

Yogyakarta, 1990; 144p. 2. Biddlestone AJ, Gray KR, Job GD. Treatment of Dairy Farm Wastewaters

in Engineered Reed Bed Systems. Process Biochemistry 26 (1991). England: Elsevier Science Publisher Ltd.

3. Wargasasmita S, Setiadi S, Hastuti Y. Pendaurulangan Limbah, peranan eceng-gondok dalm penurunan BOD, N, P, pada efisiensi kolam sedimentasi. PPSML-UI. Jakarta: 1982: p 8-12.

4. Jorgensen SE, Vollenweider RA.Guidelines of Lake Management. International Lake Environmental Committee, UNEP, Shiga 520, Japan: 1989: 199 pp.

5. Pancho JV, Soerjani M. Aquatic Weeds of South East Asia. BIOTROP. Bogor. 1978: 130 pp.

6. Seregeg IG, Sri Saeni M, Hardjoamodjojo. Efektivitas Biofilter Beberapa Jenis Tanaman dalam Memperbaiki Kualitas Air Limbah. Center of Research for Engineering Application in Tropical Agriculture. JICA-IPB, (ADAET): JTA -9A (132). Seminar Tahunan Perkembangan teknologi Pertanian PERTETA. Bogor. 1995; 11 hal.

Nobody can be bound to do beyond what he is able to do

Page 28: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

Aktivitas Antimalaria Senyawa Tinokrisposid

secara in vivo 1.

Adek Zambrut A*, Desy M. Gusmali**, M. Husni Mukhtar*

* Jurusan Farmasi, FMIPA, Universitas Andalas, Padang **Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan Rl, Jakarta.

ABSTRAK

Telah dilakukan pemeriksaan aktivitas antimalaria senyawa tinokrisposid, suatu furanoditerpenglikosida baru dari batang Tinospora crispa (L) Miers ex Hook F. & Terms (brotowali) terhadap perkembangan Plasmodium berghei (ANKA) pada mencit putih jantan galur Swiss. Penelitian ini dilakukan secara in vivo dengan dua cara: I) Cara dosis tunggal yaitu suspensi senyawa tinokrisposid diinjeksikan dulu ke dalam tubuh mencit, 30 menit kemudian baru diinjeksikan darah donor yang mengandung Plasmodium berghei. II) Cara dosis ganda yaitu mencit diinjeksi dulu dengan darah donor yang mengandung P. berghei, 24 jam kemudian baru diinjeksikan suspensi senyawa tinokrisposid. Pengamatan dilakukan terhadap persentase parasitemia mencit dengan membuat preparat sediaan darah tebal dan preparat sediaan darah lapis tipis dari darah mencit uji.

Selain itu diamati waktu kematian masing-masing mencit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa tinokrisposid dapat menekan perkembangan P. berghei dalam darah mencit uji secara sangat bermakna (P<0,05). Efek optimal dicapai pada dosis 44 mg/kg bb.

PENDAHULUAN

Tumbuhan merupakan salah satu sumber senyawa kimia baru yang penting, baik sebagai obat maupun sebagai senyawa model untuk mendapatkan senyawa aktif barn (1).

Tumbuhan brotowali (Tinospora crispa) telah lama di-gunakan untuk pengobatan. Kemudian diinformasikan bahwa ekstrak kasar tumbuhan ini berkhasiat sebagai antimalaria, antipiretika, antidiabetes, antiinflamasi dan analgetik(1,2,3). Tino-spora crispa mengandung zat pahit tinokrisposid dan beberapa alkaloid seperti aporfin, berberin dan palmatin (1,4). Hasil pemeriksaan efek farmakologi senyawa tinokrisposid ber-khasiat sebagai analgetik, koagulansia, antiinflamasi dan anti-diabetes(5).

Senyawa tinokrisposid adalah suatu senyawa sangat pahit yang mempunyai struktur furanoditerpenglikosida. Struktur ini mirip dengan struktur senyawa nimbolid yang mempunyai efek antimalaria(4,6).

Malaria merupakan salah satu penyakit yang disebabkan

oleh parasit. Penyakit ini telah lama dikenal dan paling luas penyebarannya terutama di daerah tropis. Sejak tahun 1956, WHO telah melaksanakan program pemberatasan penyakit malaria secara intemasional dan hasilnya sangat memuaskan sampai tahun 70-an, tetapi belakangan ini penyakit malaria kembali meluas, disebabkan oleh munculnya galur plasmodium yang resisten terhadap obat-obat malaria yang ada(7,8,9).

Gambar 1. Struktur tinokrisposid

Telah dibawakan pada acara seminar Perhipba tanggal 22 Juli 1999. Rektorat UI Lt. 8, Jakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 27

Page 29: Cdk 131 Malaria

Gambar 2. Struktur nombolid

Untuk mengatasi masalah di atas, dilakukan berbagai usaha

pencarian obat baru, baik dari obat tradisional, obat sintetis, maupun pembuatan vaksin antimalaria(10).

Berdasarkan informasi tentang struktur tinokrisposid dan khasiat brotowali secara tradisional sebagai antimalaria, maka dilakukan penelitian efek senyawa tinokrisposid terhadap malaria.

METODE PENELITIAN Alat

Mikroskop binokuler, kaca objek, timbangan hewan, tim-bangan obat, tempat hewan, tabung reaksi berisi Na. EDTA, spuit & jarum suntik, lumpang & stanfer, pipa kapiler, kapas, kertas pH, label.

Bahan

Hewan. percobaan mencit putih jantan galur swiss, Plas-modium berghei (ANKA), senyawa uji tinokrisposid, air suling, Na. CMC, Metanol 95%, tablet buffer (mengandung Dinatrium hidrogen fosfat 0,7 g dan Kalium dihidrogen fosfat 1,0 g), pewarna Giemsa, minyak imersi, eter anestetik.

Prosedur penelitian :

Senyawa uji tinokrisposid hasil isolasi dari brotowali oleh Adek Zambrut Adnan, dari laboratorium Kimia Bahan Alam Jurusan Farmasi UNAND, Padang. Kemudian dilakukan peme-riksaan kemurnian terhadap senyawa tersebut, yang meliputi pemerian, kelarutan, identifikasi dengan spektrofotometri yang meliputi pemeriksaan spektrum UV dan IR.

Mencit yang digunakan dalam uji antimalaria diinfeksi dengan menggunakan darah mencit donor yang mengandung P. berghei. Mencit donor didapatkan dengan menginjeksikan 0,2 ml darah yang mengandung parasit secara i.p yang sebelumnya diawetkan pada suhu -70°C atau dalam nitrogen cair terhadap 5 ekor mencit, kemudian dipelihara selama 5 hari. Dilakukan pemeriksaan persentase parasitemia darah mencit donor dengan membuat preparat darah tebal dan preparat darah lapis tipis. Sel darah merah yang terinfeksi di bawah mikroskop dilihat dan dihitung.

Darah terinfeksi dari mencit donor diambil dari mata

sebanyak 1-l,5 ml menggunakan pipa kapiler yang mengandung zat antikoagulan, kemudian darah ditampung dalam tabung reaksi yang berisi larutan Na. EDTA 0,05%. Darah donor yang didapat lalu diinjeksikan pada mencit normal sebanyak 0,1 ml secara i.p, lalu mencit dipelihara selama 5 hari untuk selanjut-nya diambil darahnya yang akan digunakan sebagai sumber plamodium uji antimalaria(11).

Mencit yang dinilai sehat digunakan dalam percobaan, berat badan mencit 20-15 g. Selama pemeliharaan perubahan bobot badan hewan tidak melebilti 10% dan secara visual menunjukkan perilaku normal(12).

Mencit yang telah mengalami adaptasi dipilih sebanyak 42 ekor. 21 ekor dipakai untuk cara dosis tunggal dan 21 ekor lagi dipakai untuk cara dosis ganda. Untuk cara dosis tunggal dari 21 mencit dibagi 7 kelompok yang masing-masingnya 3 ekor mencit. 1 Kelompok digunakan sebagai kontrol yang diinjeksi dengan larutan pensuspensi Na. CMC 0,5% b/v sebanyak 0,1% berat badan dan 6 kelompok lagi diinjeksi dengan suspensi senyawa tinokrisposid masing-masingnya dengan dosis 15 mg/kg bb, 22 mg/kg bb, 30 mg/kg bb, 44 mg/kg bb, 62 mg/kg bb, 90 mg/kg bb; 30 menit kemudian diinjeksi dengan darah mencit donor yang mengandung P. berghei. Setelah 24 jam dibuat preparat sediaan darah tebal dan preparat darah lapis tipis. Sel darah merah yang terinjeksi dilihat dan dihitung di bawah mikroskop. Kemudian diamati hari kematian masing- masing mencit.

Untuk cara dosis ganda 21 ekor mencit dibagi atas 7 kelompok masing-masing 3 ekor mencit. Tiap-tiap kelompok diinjeksi dengan darah mencit donor yang mengandung P. berghei. Setelah 24 jam dibuat preparat sedian darah tebal dan preparat sediaan darah lapis tipis; dihitung persentase para-sitemianya. Satu kelompok digunakan sebagai kontrol dengan larutan pensuspensi Na. CMC 0,5% b/v sebanyak 0,1% berat badan dan 6 kelompok lagi diinjeksi dengan suspensi senyawa tinokrisposid masing-masing dengan dosis 15 mg/kg bb, 22 mg/kg bb, 30 mg/kg bb, 44 mg/kg bb, 62 mg/kg bb, 90 mg/kg bb, sekali perhari selama 3 hari berturut-turut. Sebelum pemberian suspensi tinokrisposid berikutnya diperiksa dan dihitung dulu persentase parasitemia darah mencit dengan membuat sediaan preparat darah tebal dan sediaan preparat darah lapis tipis sampai hari ke-4, yang dilihat dibawah mikros-kop. Kemudian diamati hari kematian masing-masing mencit.

Pengolatan Data

Data diolah secara stastistik menggunakan Analisis Varian Satu Arah, alas data cara dosis tunggal dan data hari ke-4 pada cara dosis ganda. Uji Newman Keuls (SNK) dilakukan untuk melihat perbedaan antar kelompok serta melihat keefektifan senyawa tinokrisposid tersebut(13).

HASIL DAN PEMBAHASAN Senyawa tinokrisposid didapatkan berupa kristal jarum

halus warna putih, rasa pahit, sukar larut dalam air, larut dalam etanol, metanol dan kloroform. Hasil identifikasi dengan spek-trofotometer UV dan IR sesuai dengan literatur dapat dilihat pada Tabel 1, Gambar 3-6.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 28

Page 30: Cdk 131 Malaria

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Senyawa Tinokrisposid

Data Pustaka(4) Pengamatan

Pemeriksaan Kristal jarum halus Warna putih Rasa sangat pahit

Kristal jarum halus Warna putih Rasa sangat pahit

Kelarutan Sukar larut dalam air, larut dalam etanol , metanol dan kloroform.

Memenuhi syarat

Identifikasi Spektrum UV λ maks. 21 lnm Spektrum IR

Spektrum UV

λ mas. 219,8 Spektrum IR

Serapan Oh = 3400 cm-1 Serapan Oh = 3400 cm-' CH = 3160 cm-' CH = 3160 cm-'

C=0 ester = 1710 cm-'

C=0 ester = 1710 cm-'

Gambar 3. Spektrum ultraviolet senyawa tinokrisposid dalam pelarut metanol

Pada penelitian pendahuluan untuk menentukan dosis yang akan digunakan diperoleh dosis terkecil yang memberikan efek adalah 15 mg/kg bb dan dosis terbesar adalah 90 mg/kg bb. Untuk menentukan kenaikan dosis digunakan rumus Malon Robinchaud(14).

Senyawa tinokrisposid memberikan pengaruh menghambat pertumbuhan P. berghei. Secara umum hasil yang diperoleh baik pada cara dosis tunggal maupun pada cara dosis ganda adalah sama, yaitu efek optimal pada dosis 44 mg/kg bb. (Tabel 2.3 dan Gambar 7.8).

Ternyata persentase parasitemia semua kelompok perlaku-an baik yang diberi suspensi senyawa tinokrisposid dan kelom-pok kontrol tetap ada dan cenderung terns meningkat.

Kematian mencit percobaan terjadi mulai hari ke-6 dan seluruh mencit percobaan mati pada hari ke-15. (Tabel 4 dan Tabel 5).

Pada penelitian ini tidak digunakan obat umum yang biasa digunakan untuk mengobati malaria pada manusia, karena penelitian ini ditujukan sebagai uji pendahuluan untuk melihat indikasi senyawa tinokrisposid sebagai antimalaria. Selain itu belum diketahui pada face apa senyawa ini bekerja terhadap P. berghei.

Gambar 4. Spektrum ultraviolet senyawa tinokrisposid dalam pelarut

metanol dari literatur(4).

Sampel : Tinokrisposid Sumber : - Spektrum NR : -

Fase : KBr Konsentrasi : - Pelarut : - Tebal lapisan : - Referensi : -

Catatan : Nama : Drs. Mahyuddin Tanggal : 25-4-1995

Gambar 5. Spektrum inframerah senyawa tinokrisposid dalam pellet KBr.

Gambar 6. Spektrum inframerah senyawa tinokrisposid dalam pellet

KBr dari literattur(4)

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 29

Page 31: Cdk 131 Malaria

Tabel 2.. Hasil penentuan rata-rata persentase parasitemia P. berghei

(ANKA) dari mencit dengan pemberian senyawa tinokrisposid dosis tunggal.

Dosis

(mg/kg BB) Parasitemia

(%)

K 1,71 15 1,69 22 1,22 30 0,95 44 0,68 90 1,61

Keterangan : K = Kontrol terinfeksi P. berghei (ANKA) tanpa diobati Jumlah eritrosit terinfeks (%) Parasitemia = x 100% 1000 eritrosit Tabel 3. Hasil penentuan rata-rata persentase parasitemia mencit dengan

pemberian senyawa sinokrisposid sosis sanda

Dosis Parasitemia (%) (mg/kg BB) h0 h1 h2 h3

K 1,89 9,99 28,12 48,32 15 1,79 8,91 15,96 20,95 22 1,77 7,95 14,79 18,56 30 1,90 6,60 11,61 17,35 44 1,74 5,20 10,16 13,54 62 1,86 7,38 14,95 17,22 90 1,84 9,18 18,04 21,73

Keterangan : K = Kontrol terinfeksi P. berghei (ANKA) tanpa diobati H0 = Hari 0 persentase parasitemia mencit sebelum diberi senyawa tinokrisposid. h1 = Hari 1 persentase parasitemia mencit sesudah pemberian senyawa tinokrisposid ke 1. h2 = Hari 2 persentase parasitemia mencit sesudah pemberian senyawa tinokrisposid ke 2. h3 = Hai 3 persentase parasitemia mencit sesudah pemberian senyawa tinokrisposid ke 3. Jumlah eritrosit terinfeksi (%) Parasitemia = x 100% 1000 eritrosit

Gambar 7. Histogram hubungan dosis dengan persentase parasitemia

(Metode dosistunggal)

Keterangan : K = Kontrol terinfeksi P. berghei (ANKA) tanpa diobati

Gambar 8. Histogram Hubungan Dosis dengan Persentase Parasitemia (Metode Dosis Ganda)

Keterangan : K = Kontrol terinfeksi P. berghei (ANKA) tanpa diobati h0 = Hari 0 persentase parasitemia mencit sebelum diberi senyawa tinokrisposid. h1 = Hari 1 persentase parasitemia mencit sesudah pemberian senyawa tinokrisposid ke 1. h2 = Hari 2 persentase parasitemia mencit sesudah pemberian senyawa tinokrisposid ke 2. h3 = Hai 3 persentase parasitemia mencit sesudah pemberian senyawa tinokrisposid ke 3. Jumlah eritrosit terinfeksi (%) Parasitemia = x 100% 1000 eritrosit Tabel 4. Hasil pengamatan lama hidup mencit terinfeksi P. Berghei

(ANKA) dengan pemberian senyawa tinokrisposid dosis tunggal.

Hari Kematian Hewan Dosis (mg/kg BB)

No. Hewan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

* * K

1 2 3 *

* * 15

1 2 3 *

* * 22

1 2 3 *

* * 30

1 2 3 *

* * 44

1 2 3 *

* * 62

1 2 3 *

* * 90

1 2 3 *

Keterangan : * = Hewan mati K = Kontrol terinfeksi P. berghei (ANKA) tanpa diobati

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 30

Page 32: Cdk 131 Malaria

yaitu depresan (15). Kemungkinan kedua disebabkan oleh peng-aruh farmakokinetik senyawa tinokrisposid yang sifat fisiknya tidak larut dalam air akan mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan eksresi. Kemungkinan ketiga adalah pengaruh enzim metabolisme; tinokrisposid pada dosis kecil belum bisa menginduksi enzim metabolisme sehingga senyawa tinokris-posid tetap aktif menghambat P. berghei, sedangkan pada dosis yang lebih besar tinokrisposid akan menstimulasi enzim meta-bolisme, mengakibatkan senyawa tinokrisposid akan terurai, teroksidasi atau terkonyugasi tergantung apa enzim yang ter-induksi, sehingga aktifitasnya akan berkurang atau menjadi tidak aktif.

Tabel 5. Hasil pengamatan lama hidup mencit terinfeksi P. Berghei (ANKA) dengan pemberian senyawa tinokrisposid dosis tunggal.

Hari Kematian Hewan Dosis

(mg/kg BB)No.

Hewan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

* * K

1 2 3 *

* * 15

1 2 3 *

* * 22

1 2 3 *

* * 30

1 2 3 *

* * 44

1 2 3 *

* * 62

1 2 3 *

* * 90

1 2 3 *

KESIMPULAN

Senyawa tinokrisposid dapat menekan perkembangan P. berghei dalam darah mencit dan memperpanjang hidup mencit yang terinfeksi. Efek optimal diberikan pada dosis 44 mg/kg bb.

SARAN

Perlu dilakukan uji efek tinokrisposid terhadap Plas-modium malaria pada manusia secara in vitro dan dilanjutkan dengan uji klinis.

Keterangan :

* = Hewan mati KEPUSTAKAAN K = Kontrol terinfeksi P. berghei (ANKA) tanpa diobati

1. Adnan AZ. Pemeriksaan dan Isolasi Kandungan Kimia Tumbuhan Brotowali. Dalam : Tetumbuhan Sebagai Sumber Bahan Obat, Rusdi (Penyunting), Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang 1988.

Pada metode dosis tunggal, persentase parasitemia yang diamati adalah sehari setelah pemberian senyawa uji dan in-okulasi parasit. Uji statistik terhadap data yang diperoleh me-nunjukkan bahwa senyawa tinokrisposid memberikan efek yang berbeda sangat nyata bila dibandingkan dengan kontrol.

2. Depkes RI. Materia Medika, jilid II. Jakarta 1988. 3. Depkes RI Penelitian Tanaman Obat di Beberapa Perguruan Tinggi di

Indonesia I-II, Jakarta 1988. 4. Adnan AZ, Pachaly P. Tinocrisposid, ein neues Furanoditerpenglycosid

aus Tinospora crispa Miers. Arch Pharm (Weinheim), 1992; 325. Pada metode dosis ganda, persentase parasitemia diamati 24 jam setelah inokulasi parasit sebelum pemberian senyawa tinokrisposid pertama, kemudian 24 jam setelah pemberian senyawa tinokrisposid kedua, dan 24 jam setelah pemberian senyawa tinokrisposid ketiga. Pemeriksaan darah dilakukan setiap hari selama empat hari berturut-turut untuk mengetahui potensi pengaruh tinokrisposid terhadap Plasmodium; ternyata senyawa tinokrisposid dapat menekan pertumbuhan P. berghei dalam darah mencit.

5. Adnan AZ, Mukhtar HM, Almahdy. Pemeriksaan Farmakologi Senyawa Furanoditerpenglikosida Baru dari Tinospora crispa Miers (Brotowali). Makalah pada Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia VIII, Jakarta, 16-17 Oktober 1995.

6. Rochanakij S, Thebtaranonth Y, Yenjai C, Yuthafong Y. Nimbolid A constituent of Azadirachta indica inhibits Plasmodium falcifarum in culture. Ann Trop Med and Parasitol 1985; 16 (1).

7. Malaria Unit Division of Control of tropical Diseases WHO. Ministerial Conference on Malaria, Amsterdam: 26-27 Oktober 1992.

8. Bruce-Chatt LJ. Essential Malariologi, London : 1988. Dari grafik hubungan antara dosis dengan persentase

parasitemia rata-rata pada cara dosis tunggal (Gambar 7) dan cara dosis ganda (Gambar 8). terlihat bahwa efek menghambat perkembangan P. berghei pada mencit tergantung pada besar-nya dosis, sampai dosis 44 mg/kg bb; pada dosis lebih dari 44 mg/kg bb tidak lagi terlihat kenaikan efek bahkan cenderung menurun.

9. Brown HW. Dasar-dasar parasitologi Klinik. Edisi III. Diterjemahkan oleh Bintari Rukmono, Gramedia, Jakarta, 1982.

10. Peter SW, Richard WHG. Anti malaria Drug. 17-ed. Springer Verlag, Berlin Heidelberg, New York, Tokyo: 1984.

11. Hawking F, Gammage K, Worms MJ. The Asexual dan Sexual Circadian Rhythms of Plasmodium vinkel, P. chabaodi, P. berghei and P. gallinaceum. Parasitol, 1972; 65.

12. Depkes RI. farmakope Indonesia, edisi III, Jakarta, 1979. 13. Schefler CW. Statistik Untuk Biologi, Farmasi, Kedokteran dan Ilmu

Bertautan. Terj Suroso, edisi II, Penerbit ITB, Bandung 1987. Fenomena seperti ini sering terjadi pada pengujian bebe-rapa obat karena beberapa kemungkinan; pertama misalnya seperti, senyawa kofein pada dosis tertentu berefek stimulan sedangkan pada dosis yang lebih tinggi menjadi berlawanan

14. Thomson EB. Drug Bioscreening, Fundamental of Drug Evaluation Tehnnique in Pharmacology. New York : Grace Way Publi Co, 1985.

15. Reynolds JEF. Martindale The Extra Pharmacopeia. 30th ed. London : the Pharmaceutical Press, 1872.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 31

Page 33: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

Efikasi Permethrin dengan Aplikasi ULV

terhadap Culex quinquefasciatus

Hadi Suwasono, Damar Tri Boewono, Hasan Boesri, Mujiyono, Raharjo

Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Departemen Kesehatan RI, Salatiga

ABSTRAK

Pemberantasan/pengendalian vektor demam berdarah dengue Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida masih diandalkan baik diaplikasikan secara thermal fogging maupun ULV. Selain berpengaruh terhadap Ae. aegypti sebagai sasaran utama, penggunaan insektisida untuk maksud tersebut di atas juga berpengaruh terhadap populasi Culex quinquefasciatus. Guna mencegah terjadinya resistensi, penggunaan insektisida lain yang berbeda cara kerjanya merupakan salah satu upaya yang perlu dilakukan.

Insektisida yang diuji efikasinya pada penelitian ini berbahan aktif 100 gram per-methrin per liter dosis 100 ml/ha. Hasil uji efikasi membuktikan bahwa dengan men-campur insektisida uji dengan air sebagai formulasi aplikasi menggunakan mesin ULV portable ternyata kurang efektif terhadap nyamuk Cx. quinquefasciatus di luar rumah.

PENDAHULUAN

Pengendalian terhadap nyamuk yang berperan baik sebagai pengganggu maupun pembawa/penular penyakit telah dilaku-kan dengan berbagai cara sejak dahulu yang tujuannya adalah mengurangi kontak antara nyamuk dengan manusia. Dewasa ini di kawasan negara-negara Asia pengendalian nyamuk masih sangat mengandalkan insektisida. Nyamuk Culex quinque-fasciatus merupakan salah satu vektor penyakit filaria atau kaki gajah dari jenis Brancoftian filariasis yaitu penyakit filaria yang disebabkan oleh cacing filaria jenis Wuchereria bancrofti(1).

Nyamuk jenis ini banyak dijumpai di daerah perkotaan karena tempat perkembangbiakannya pada air tergenang yang jernih sampai tercemar (buangan limbah rumah tangga). Pengendalian nyamuk demam berdarah dengue Aedes aegypti dengan insektisida biasanya dilakukan secara thermal fogging atau ULV. Penyemprotan ULV secara umum memiliki kelebih-an dibanding pengabutan (thermal fogging) antara lain lebih ekonomis (volume yang digunakan lebih sedikit) dan tidak mengganggu aktivitas penduduk(2). Di area yang tidak me-mungkinkan penggunaan vehicle-mounted ULV karena jalan lingkungannya tidak dapat dilalui kendaraan roda empat maka dapat digunakan portable ULV. Kedua cara penyemprotan tersebut di atas selain berpengaruh terhadap populasi Ae. aegypti sebagai sasaran utama juga berpengaruh terhadap Cx. quinquefasciatus.

Malathion yang tergolong jenis organofosfat sudah diguna-kan dalam pengendalian vektor demam berdarah dengue sejak tahun 1972(3). Guna mencegah kemungkinan terjadinya resis-tensi akibat penggunaan jenis (golongan) insektisida tertentu secara terus menerus maka perlu dilakukan rotasi dan peng-gunaan insektisida lain yang berbeda cara kerjanya. Permethrin tergolong dalam insektisida piretroid sintetik dan merupakan racun syaraf yang bekerja bila terjadi kontak baik dengan larva maupun nyamuk. BAHAN DAN CARA KERJA 1) Serangga uji

Nyamuk Cx. quinquefasciatus berumur 3-5 hari yang kenyang darah diperoleh dari koloni nyamuk tersebut di insek-tarium Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Salatiga.

2) Alat

Alat yang digunakan terdiri dari sangkar nyamuk berke-rangka kawat berukuran 12 x 12 x 12 cm, aspirator, gelas kertas (paper cup), psychrometer, kantung plastik, gelas ukur, mesin ULV portable (Fontan). 3) Dosis

Insektisida yang digunakan berbahan aktif permethrin 100 g/1 dan dosis yang diuji diperoleh dengan melarutkan 100 ml insektisida tersebut ke dalam satu liter air. Dosis tersebut di-

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 32

Page 34: Cdk 131 Malaria

gunakan untuk luas area satu hektare. Malathion 96% dosis 438 ml/Ha digunakan sebagai pembanding.

4) Cara aplikasi

Dipilih 12 rumah di lokasi uji coba (6 rumah untuk uji malathion dan 6 rumah untuk uji insektisida berbahan aktif permethrin). Pada masing-masing rumah (bagian serambi depan) digantungkan satu sangkar berisi 25 nyamuk Cx. quin-quefasciatus setinggi 1,5 m dari permukaan tanah. Penyemprot-an dilakukan pada pagi hari (pukul 09.30) dengan mesin ULV portable (Fontan) ukuran nozzle 3 L dan kekuatan pancar penuh (volume mesin penuh). Jarak antara alat semprot ke sasaran lebih kurang 3 m. Setelah penyemprotan selesai semua nyamuk yang berada di dalam sangkar diambil dengan menggunakan aspirator, dipindahkan ke dalam gelas kertas. Nyamuk tersebut dibawa ke laboratorium untuk diamati. Selama di laboratorium nyamuk dijaga kelembabannya dengan meletakkan handuk lembab pada kotak penyimpan nyamuk yang berisi gelas kertas dengan nyamuk di dalamnya. Suhu dan kelembaban ruangan waktu pengujian dan pengamatan diukur dan dicatat. Di lokasi yang bebas dari pengaruh penyemprotan digantungkan sangkar nyamuk Cx quinquefasciatus untuk digunakan sebagai kontrol.

5) Pengamatan

Setelah penyemprotan selesai, 15 menit kemudian dilaku-kan pengamatan untuk melihat dan mencatat jumlah nyamuk yang mati/pingsan. Pengamatan yang sama berturut-turut dila-kukan setelah 30 menit; 1; 2; 3; 4; 8 dan 24 jam.

6) Kriteria efikasi

Efikasi insektisida ditentukan berdasarkan persentase ke-matian nyamuk hasil uji coba setelah dipelihara selama 24 jam.

7) Koreksi angka kelumpuhan/pingsan atau kematian

Apabila angka kelumpuhan/pingsan atau kematian pada kelompok kontrol antara 5-20%, maka angka kelumpuhan/ pingsan atau kematian pada perlakuan dikoreksi dengan rumus Abbot sebagai berikut:

X = (A - C) x 100/(100 - C)

Keterangan X : angka kelumpuhan/pingsan atau kematian (%) setelah dikoreksi A : angka kelumpuhan/pingsan atau kematian (%) pada kelompok perlakuan C : angka kelumpuhan/pingsan atau kematian (%) pada kelompok kontrol 8) Analisis

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji t.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji efikasi insektisida berbahan aktif permethrin

dengan malathion sebagai pembanding terhadap nyamuk Cx. quinquefasciatus disajikan pada Grafik 1. Satu jam setelah penyemprotan insektisida berbahan aktif permethrin baru di-temukan nyamuk yang pingsan/mati (2,6%) dan berangsur-angsur bertambah jumlahnya, hingga pada pengarnatan 24 jam seusai penyemprotan (15,3%). Berdasarkan hasil dari 6 ulangan diperoleh rata-rata kematian (24 jam) sebanyak 4 nyamuk atau 15,3% dengan kisaran antara 0-4 nyamuk (0-15,3%). Hasil

penyemprotan dengan malathion menghasilkan pingsan/kemati-an setelah 30 merit dan dari hasil pengamatan setelah 24 jam diperoleh jumlah kematian sebesar 100%. Sementara itu nya-muk yang berada di lokasi kontrol (tanpa penyemprotan) tidak ada yang mati hingga pada pengamatan 24 jam. Jika hasil perlakuan insektisida berbahan aktif permethrin dan malathion terhadap nyamuk Cx. quinquefasciatus dibandingkan dan diuji secara statistik (uji t) tampak adanya beda nyata (p < 0,05). Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh formulasi aplikasi yang digunakan masing-masing insektisida. Insektisida yang berba-han aktif permethrin dalam aplikasinya dicampur dengan air sedang insektisida pembanding (malathion) diaplikasikan tanpa bahan pencampur sehingga kematian nyamuk uji akibat peng-gunaan insektisida malathion cukup besar. Cross-resistance di-laporkan terjadi pads Cx. quinquefasciatus di Saudi Arabia terhadap sejumlah insektisida seperti organofosfat, propoxur, permethrin, dan pirimiphosmethyl(4). Di Indonesia keadaan seperti itu sejauh ini belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu berdasarkan hasil penelitian ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut berupa uji kepekaan Cx. quinquefasciatus terhadap se-jumlah insektisida yang digunakan dalam pengendalian nyamuk di Indonesia.

KESIMPULAN

Insektisida berbahan aktif 100 gram permethrin per liter dosis 100 ml/ha yang dicampur dengan air pada aplikasinya dengan mesin ULV portable kurang efektif untuk mengendali-kan nyamuk Cx. quinquefasciatus di luar rumah dibanding malathion 96% dosis 438 ml/ha (tanpa pencampur).

KEPUSTAKAAN

1. Self LS, Salim Usman, Sajidiman H, Partono F, Nelson MJ, Pant CP,

Suzuki T, Machfudin H. A multidisciplinary study on bancroftian filariasis in Jakarta. Trans. Roy Soc Trop Med Hyg. 1978; 72(6): 581-87.

2. Lim IL, Lee KF. Efficacy and relative potency of lambdacyhalothrin and cypermethrin applied as a group-based ULV aerosol for the control of houseflies and mosquitoes. Trop. Biomedicine 1991; 8: 157-62.

3. Sudijono. Malathion. Dep. Kesehatan. Direktorat Jenderal P3M Jakarta. 1983.

4. Herath PRJ. Insecticide resistance status in disease vectors and its practical implication. Paper on Intercountry Workshop on insecticide resistance of mosquito vectors. Salatiga. Indonesia. 1997.

Grafik 1. Persentase kematian Cx. quinquefasciatus hasil uji efikasi insek

tisida berpermethrin dan malathion.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 33

Page 35: Cdk 131 Malaria

English Summary Sambungan dari halaman 4. THE EFFECTS OF THERMAL FOG-GING USING ALPHACYPERMETHRIN 30 EC AND LAMBDA SIHALOTHRIN 25 EC AGAINST AEDES AEGYPTI LARVAE Hasan Boesri, Hadi Suwasono, Damar Tri Boewono, Raharjo Vector Control Research Station, Health Ecology Research Centre, National Institute of Health Research and Development, Departmen of Health, Salatiga, Indonesia

The aim of this study is to eva-luate the effect of thermal fogging of Alphacypermethrin 30 EC (dose 70 ml/ha) and Lambda sihalothrin 25 EC (dose 75 ml/ha) against Ae. aegypti larvae in containers. Ther-mal fogging was conducted in the morning using swing fog SN 50, nozzle 0,8 mm in human habitat of the Tegalrejo Permai and Ka-rangalit village Salatiga municipa-lity. Air bioassay test of Alphacy-permethrin 30 EC showed that the Aedes aegypty larvae mortality was 34% indoor and 3% outdoor and on Lambda sihalothrin 25 EC the Aedes aegypti larvae mortality was 69% indoor and 14,2% outdoor in the containers.

Cermin Dunia Kedokt. 2001; 131: 41-4 hb, hs, dtb, ro

SUSCEPTIBILITY TEST AND EFFICACY OF INSECTICIDES USED BY MALARIA CONTROL PROGRAMME Barodji, Hadi Suwasono, Toto Sularto, Sutopo Vector Control Research Station, Health Ecology Research Centre, National Institute of Health Research and Development, Departmen of Health, Salatiga, Indonesia

A susceptibility test of labora-tory reared Anopheles maculatus and An. sinensis have been con-ducted to three insecticides (Ben-diocarb, Fenitrothion, and Perme-thrin) used by Vector Control Pro-gramme. Results indicated that the two mosquito vectors tested are still susceptible.

Efficacy of three ionsecticides (Bendiocarb, Fenitrothion, and Per-methrin) as evaluated with bio-assay test showed that Bendiocarb at a target dosage of 0,40 g ac-tive ingredient (a.i)/m2 was effec-tive to kill more than 70% of both An. maculatus and An. sinensis for about 6 months. The effectiveness of Fenitrothion at dose of 1 g/m2 was 5 and 1 month for An. macu-latus and An. sinensis respectively, while Permethrin on nylon bed net at a target dosage of 0,4 g/m2

could control both A. maculatus and A. sinensis for 3 months.

Cermin Dunia Kedokt. 2001; 131: 45-7

bi, hs, ts, so

EFFICACY OF PERMETHRIN IMPREG-NATED BEDNETS ON ANOPHELES ACONITUS DONITZ Barodji, Sumardi, Toto Sularso, Mujiono Vector Control Research Station, Health Ecology Research Centre, National Institute of Health Research and Development, Departmen of Health, Salatiga, Indonesia

Hut scale trials of Permanet

treated on nylon bed nets have been carried out against malaria vector Anopheles aconitus Donitz. Permanet treated a target dosage of 0,125; 0,25; 0,50 and 0,75 g a.i/ m2. The main purpose of this trial is to determine the effective dosage and the side effect of the insecti-cide impregnated bed net. This information is required to regis-ter Permanet insecticide in Pesti-cide Committee.

Results of this trial, as evaluat-ed by the bioassay test showed that nylon bed net impregnated with Permanet 100 EC dosage 0,125 killed 70% of the mosquito vector for about 14 weeks (3 months). Dosage of 0,25; 0,50; and 0,75 g a.i./m2 was effective for 16 weeks (3,5 months). Accord-ing of WHO criteria, the minimum dosage for the next trial (villlage scale trial) for malaria vector con-trol is at target dosage of 0,125 g a.i./m2.

No harmful effects have been reported by the users of the Per-manet impregnated bed nets.

Cermin Dunia Kedokt. 2001; 131: 48-50

bi, si, ts,

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 34

Page 36: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

Efikasi Shelltox® terhadap Culex quinquefasciatus

di Laboratorium

Hasan Boesri, Blondine Ch.P., Umi Widyastuti

Stasiun Penelitian Vektor Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Salatiga, Indonesia

ABSTRAK Telah dilakukan uji jarak penyemprotan dan efikasi dengan menggunakan obat

nyamuk cair minyak (oil liquid) merk Shelltox® terhadap nyamuk Culex quinque-fasciatus yang dilakukan di Laboratorium Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Salatiga.

Berdasarkan uji efikasi, dosis pancaran mendekati 0.70 g efektif membunuh nyamuk Culex quinquefasciatus dalam alat Glass Chamber dan Peet Grady Chamber; masing-masing diperoleh kematian sebanyak 100%.

PENDAHULUAN Nyamuk merupakan serangga yang sering mengganggu ke-

tenteraman dan membahayakan kehidupan manusia karena dapat menyebarkan penyakit seperti Malaria, demam berdarah Dengue, Filariasis, Chikungunya dan sebagainya. Untuk meng-atasi gangguan nyamuk, manusia cenderung menggunakan obat pembasmi yang banyak dijual bebas seperti obat nyamuk ben-tuk cair semprot, semprot aerosol, elektrik, oles, tissue dan ba-kar. Mengingat banyaknya macam bahan aktif yang digunakan untuk pembuatan obat nyamuk cair semprot, maka perlu dilakukan uji efikasi ulang secara acak terhadap obat pembasmi nyamuk yang ada di pasaran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas obat nyamuk cair minyak, berbahan aktif diklorvos 7 g/1 yang ber-ada di pasaran bebas terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus. Nyamuk Cx. quinquefasciatus merupakan vektor penyakit Fila-riasis(1).

BAHAN DAN CARA KERJA

Bahan Insektisida yang digunakan Merk : Shelltox® Bahan aktif : Diklorvos 7 g/l Produksi : PT. Tensia Manufacturing Indonesia Kemasan : Cair Minyak, Netto 1 liter Warna Kaleng : Putih Biru

Register : RI.414/1-91/T. Dep. Kes. PD.07019012.b Penelitian dilakukan pada bulan April 1996 di Labora-

torium Insektisida, Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Salatiga. Obat nyamuk yang digunakan adalah berbentuk cair minyak dengan bahan aktif diklorvos 7 g/1 yang diperoleh dari pasar swalayan di kota Solo. Nyamuk yang digunakan adalah Culex quinquefasciatus betina yang kenyang darah, berumur 2-4 hari. Tiap perlakuan menggunakan 20 nyamuk dan diulang sebanyak 4 kali. Peneraan kadar semprotan obat nyamuk yang akan diuji dilakukan dengan cara disemprotkan selama 4 kali (@ = 3 detik) mendekati dosis standar (0.70 g).

Uji efikasi dilakukan dengan alat Glass Chamber dan Peet Grady Chamber; cara pengujiannya adalah sebagai berikut : Glass Chamber

Glass Chamber (berukuran 70 x 70 x 70 cm) dibersihkan dan dipastikan tidak terkontaminasi, kemudian nyamuk dilepas-kan ke dalamnya dan ditunggu selama 5 menit. Obat nyamuk cair minyak disemprotkan sesuai dengan hasil peneraan kadar semprotan. Setelah 20 menit, hitung dan catat nyamuk yang pingsan/mati dalam tiap periode waktu yang telah ditentukan. Semua nyamuk dipindahkan ke dalam gelas plastik dan simpan/ hold selama 24 jam. Dihitung/catat jumlah nyamuk yang pingsan/mati dan ditentukan persentase nyamuk yang mati dengan menggunakan rumus persentase kematian. Pengujian diulang sebanyak 4 kali demikian juga pada kontrol. Sebelum

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 35

Page 37: Cdk 131 Malaria

dan sesudah pengujian dilakukan pengukuran temperatur dan kelembaban ruangan. Peet Grady Chamber

Peet Grady Chamber (berukuran 180 x 180 x 180 cm) di-pastikan bersih dan tidak terkontaminasi, kemudian semua jen-dela dan pintu ditutup dan exhaust fan dihidupkan selama 5-10 menit. Lepaskan nyamuk ke dalam Peet Grady Chamber, biar-kan selama 5 menit. Obat nyamuk bentuk cair disemprotkan se-suai dengan hasil peneraan melalui 2 jendela depan atas dan segera ditutup. Amati selama 60 menit dan dihitung nyamuk yang pingsan/mati dalam periode waktu yang telah ditentukan. Semua nyamuk dipindahkan ke dalam gelas plastik simpan/ hold selama 24 jam dan dihitung jumlah nyamuk yang pingsan/ mati. Persentase nyamuk yang mati ditentukan dengan rneng-gunakan rumus persentase kematian. Pengujian diulang se-banyak 4 kali demikian pula pada kontrol. Sebelum dan se-sudah pengujian dilakukan pengukuran temperatur dan ke-lernbaban ruangan.

Uji Statistik

Persentase kematian dalam uji efikasi ditentukan dengan rumus: {(P + Q) : R} x 100%; (P) = Jumlah nyamuk pingsan; (Q = Jumlah nyamuk mati; (R) = Jumlah nyamuk yang diuji. Efektivitas insektisida ditentukan dari jumlah nyamuk mati/ pingsan/knock down dalam waktu 15 menit dan kematian se-telah 24 jam pengamatan.

Untuk memperoleh waktu pingsan atau knock down time 50% (KT-50) dan 90% (KT-90) dilakukan Analisa Probit(2). KT-50 = Knockdown Time -50 adalah waktu yang diperlukan untuk melumpuhkan 50 persen populasi serangga pada dosis tertentu. Sedangkan KT-90 adalah waktu yang diperlukan untuk melumpuhkan 90 persen populasi serangga pada dosis tertentu. Untuk melihat perbedaan efikasi antara perlakuan di-gunakan Uji X2(3)

Koreksi angka kelumpuhan atau kematian dalam uji jarak penyemprotan menggunakan rumus Abbot yaitu :

(A - C) X 100 A1 = (100 – C)

Keterangan : Al = angka kematian atau kelumpuhan (%) setelah dikoreksi. A = angka kelumpulum atau kematian (%) pada kelompok perlakuan. C = angka kelumpuhan atau kematian (%) pada kelompok kontrol.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji efikasi obat nyamuk cair minyak berbahan aktif diklorvos 7 g/1 terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus de-ngan menggunakan alat uji Glass Chamber dan Peet Grady Chamber serta uji jarak penyemprotan selengkapnya dikemuka-kan pada Tabel 1 dan 2. Selama pengujian efikasi berlangsung, temperatur di laboratorium berkisar antara 26-31 °C, kelembab-an berkisar antara 60-80% dan kecepatan angin dalam ruangan 0 meter/jam. Keadaan yang demikian masih berada dalam kisaran temperatur dan kelembaban yang baik untuk percobaan.

Tabel 1. Uji Efikasi obat nyamuk cair minyak berbahan aktif diklorvos 7 g/1 terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus

No. Alat Uji Suhu

(°C) RH (%)

Rata-rata (menit) Persentase nyamuk

KT-50 KT-90 Pingsan (15 menit)

Mati (24 jam)

1 Glass

Chamber 25-28 79-84 1,77 3,67 100% 100%

2 Peet Grady

Chamber 24,5-28,5

79-85 7,87 20,86 85% 100%

3 Kontrol - - - - 0% 0%n

Prakiraan menggunakan analisa Probit, dengan selang kepercayaan 95%. Tabel 2. Uji jarak penyemprotan obat nyamuk bentuk cair minyak ber-

bahan aktif diklorvos 7 g/1 terhadap nyamuk Culex quinque-fasciatus

Jarak penyemprotan dan kematian nyamuk berdasarkan waktu pengamatan (%)

0,5 meter 1 meter 2 meter 3 meter Kontrol No.

15 menit

24 jam

15 menit

24 jam

15 menit

24 jam

15 menit

24 jam

15 menit

24 jam

1 100 100 40 75 0 60 0 5 0 0 2 100 100 10 20 0 0 0 0 0 0 3 100 100 10 10 0 5 0 0 0 0 4 100 100 50 65 5 10 0 0 0 0 5 100 100 15 15 5 5 0 0 0 0

Rata-rata

100 100 25 37 2 16 0 1 0 0

Tiap ulangan menggunakan 20 ekor nyamuk Culex quinquefasciatus.

Glass Chamber dan Peet Grady Chamber

Pada pengujian obat nyamuk bentuk cair minyak yang me-ngandung bahan aktif diklorvos 7 g/1 terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus dengan Glass Chanaber diperoleh KT-50 selama 1,77 menit dan KT-90 selama 3,67 menit. Jumlah nya-muk yang pingsan dalam waktu 15 menit dan mati setelah 24 jam pengamatan masing-masing sebanyak 100%. Pada peng-ujian obat nyamuk bentuk cair minyak yang mengandung bahan aktif Diklorvos 7 g/1 terhadap nyamuk Culex quinque-fasciatus dengan Peet Grady Chamber diperoleh KT-50 selama 7,87 menit dan KT-90 selama 20,86 menit. Jumlah nyamuk pingsan dalam waktu 15 menit pengamatan sebanyak 85% dan mati setelah 24 jam pengamatan sebanyak 100%. Sedangkan perlakuan kontrol pada Glass Chambar dan Peet Grade Chamber tidak ada nyamuk Culex quinquefasciatus yang mati (0%), baik pada pengamatan dalam waktu 15 menit maupun setelah 24 jam dari saat penyemprotan (Tabel 1). Pengujian obat nyamuk bentuk cair minyak yang mengandung bahan aktif diklorovos 7 g/l dengan volume pancaran mendekati 0.70 g (dosis standar) menggunakan alat Glass Chamber dan Peet Grade Chamber, efektif membunuh nyamuk Culex quenque-fasciatus sebanyak 100% setelah 24 jam pengamatan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Komisi Pestisida bahwa insektisida dapat dikatakan efektif apabila mampu membunuh binatang uji mencapai 100%(4).

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 36

Page 38: Cdk 131 Malaria

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 37

Jumlah nyamuk Culex quinquefasciatus yang pingsan pada alat Glass Chamber lebih banyak bila dibandingkan dengan alat Peet Grady Chamber. Hal ini disebabkan oleh perbedaan ukur-an alat yang digunakan. Glass Chamber mempunyai ukuran 70 x 70 x 70 cm sedangkan Peet Grady Chamber berukuran 180 x 180 x 180 cm. Ada kecenderungan pada alat yang lebar (Peet Grady Chamber) agak lama insektisida kontak terhadap nya-muk yang diuji, terbukti dari KT-50 (7,87 menit) dan KT-90 (20,86 menit). Uji X2 terhadap persentase kematian nyamuk Culex Grady Chamber, menunjukkan tidak ada beda yang nyata (p > 0.05), karena Cho2 > Chi2 k95. Begitu pula terhadap jumlah nyamuk yang pingsan dalam waktu 15 menit tidak ada beda nyata (p > 0.05), tetapi pada pengamatan selama 15 menit secara persentase ada perbedaan yang cukup berarti yaitu pada Glass Chamber nyamuk pingsan sebanyak 100% dan Peet Grady Chamber sebanyak 85%.

Sesuai dengan hasil pengujian ternyata obat nyamuk cair minyak (oil liquid) merk Shelltox® dengan kadar semprotan sebanyak 0,70 g, efektif membunuh nyamuk Culex quinque-fasciatus.

Agar tidak menimbulkan residu insektisida yang berlebih-an di dalam ruangan dan tidak menimbulkan gangguan ter-hadap kehidupan penghuninya, sebaliknya obat nyamuk cair minyak berbahan aktif diklorvos 7 g/l, disemprotkan sebanyak 0.70 g (4 kali semprotan) dengan alat hand spray terhadap nya-muk di dalam ruangan tidur.

KESIMPULAN DAN SARAN

Obat nyamuk bentuk cair minyak berbahan aktif Diklorvos 7 g/l dengan kadar semprotan 0.70 g efektif membunuh

nyamuk Culex quinquefasciatus di dalam alat Glass Chamber dan Peet Grady Chamber; masing-masing diperoleh kematian nyamuk 100%. Sebaiknya penggunaan insektisida di perumah-an pada ruang tidur tidak melebihi kadar semprotan sebanyak 0.70 g (4 kali semprot). Mengingat insektisida adalah racun maka dalam penggunaannya harus menurut peraturan dan se-suai dengan petunjuk, agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan.

UCAPAN TERIMA KASIH Atas selesainya pengujian obat nyamuk bentuk cair minyak berbahan

aktif diklorvos 7 g/l, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. MF. Sustriayu Nalim atas saran dan keiklasannya memberikan izin penelitian.

KEPUSTAKAAN 1. Stojanovich CJ, Scott HG. Illustrated Key To Mosquitoes of Vietnam.

Departemen of Health, Education and Welfare Public Health Service. Communicable Disease Center Atlanta, Georgia, 1966.

2. Tarumingkeng R. Pengantar Toksikologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 1985.

3. Sutrisno Hadi. Dasar-Dasar Teori dan Soal-Jawab Statistik. Yayasan Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta, 1974.

4. Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida. Komisi Pestisida Departemen Pertanian. Jakarta, 1995.

5. Pengenalan dan penatalaksanaan keracunan pestisida. Direktorat Jendral P3M. Dep. Kes. RI. Jakarta, 1983.

6. Iwan Darmansyah, Arini Setiawati. Pedoman Pengobatan Keracunan Pestisida Bagian Farmakologi. Fak. Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1982.

Page 39: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

Efikasi Startox A dan Startox L terhadap Anopheles sp.

di Laboratorium

Mardjan Soekirno

Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Pengujian efikasi insektisida Startox A dan Startox L terhadap nyamuk Anopheles sp. di dalam ruangan telah dilakukan di Laboratorium Percobaan Insektisida, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta.

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui daya bunuh insektisida Startox A dan Startox L terhadap nyamuk Anopheles sp.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa baik pengaruh daya racun kontak maupun daya fumigasi insektisida Startox A dan Startox L dapat melumpuhkan/membunuh nyamuk Anopheles sp.

PENDAHULUAN Pestisida adalah bahan-bahan biosida yang digunakan

dalam bidang pertanian dan kesehatan; merupakan kelompok bahan kimia racun yang terdiri atas insektisida, akarisida, nematisida, rodentisida, herbisida dan fungisida(1).

Insektisida merupakan golongan pestisida terbesar yang digunakan dalam program pemberantasan hama dan vektor pe-nyakit serta berbagai jenis serangga pengganggu yang sering didapatkan di dalam dan di sekitar rumah.

Dalam usaha berpartisipasi aktif untuk pemberantasan vektor penyakit dan beberapa serangga lain yang terdapat di dalam dan atau di sekitar rumah, PT Famastar Jaya Nusantara mengeluarkan produk baru, yaitu insektisida Startox A dan Startox L sebagai racun kontak untuk membunuh nyamuk; yang mengandung bahan aktif diklorvos dan tetrametrin.

Untuk melindungi kesehatan manusia dan sumber-sumber kekayaan alam khususnya kekayaan alam hayati, dan supaya pestisida dapat digunakan efektif, maka peredaran, penggunaan dan penyimpanan pestisida diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973. Pelaksanaan peraturan tersebut ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 280/Kpts/ Um/6/1973 tentang Prosedur Permohonan Pendaftaran (Kompas, 1984).

Pemeriksaan bahan aktif telah dilakukan di Laboratorium Pemeriksaan Pestisida, Direktorat Perlindungan Tanaman Pa-ngan, Jakarta; untuk Startox L (dalam kaleng) mengandung bahan aktif diklorvos 8,48 gram/liter dan tetrametrin 1,18 gram/liter, sedangkan untuk Startox A (dalam botol) me-ngandung bahan aktif diklorvos 1,12% dan tetrametrin 0,17%.

Berikut ini dikemukakan hasil pengujian efikasi insektisida Startox A dan Startox L terhadap nyamuk Anopheles sp. di dalam ruangan yang dilakukan oleh staf peneliti Pusat Pene-litian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta. BAHAN DAN ALAT

Dalam pengujian efikasi insektisida diperlukan satu ruang-an tertutup untuk menempatkan serangga uji yang tidak disem-prot dengan insektisida dan satu ruangan tertutup lainnya untuk menempatkan serangga uji yang akan disemprot dengan insek-tisida serta satu ruangan lagi untuk menempatkan serangga kontrol.

Tiap pengujian diperlukan 12 kurungan masing-masing berukuran diameter 30 cm dan panjang 30 cm, terbuat dari kasa aluminium dengan bingkai dari kawat aluminium.

Alat aplikasi untuk menyemprotkan insektisida Startox L

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 38

Page 40: Cdk 131 Malaria

adalah alat penyemprot flit; sedangkan untuk insektisida Startox A langsung dengan menekan kepala nozzlenya.

Serangga uji yang digunakan adalah nyamuk Anopheles sp. (25 ekor nyamuk Anopheles sp. betina tiap kurungan). CARA

Sebelum pengujian dimulai diadakan evaluasi ruangan untuk memastikan bahwa kondisi masing-masing ruangan tidak mempunyai pengaruh terhadap mortalitas serangga uji. Ke dalam masing-masing ruangan ditempatkan secara acak pada waktu yang bersamaan kurungan berisi 25 ekor nyamuk Anopheles sp. untuk evaluasi perbedaan kondisi ruangan dengan mengamati mortalitas nyamuk Anopheles sp. 24 jam setelah penempatan.

Pengujian dilakukan untuk masing-masing formulasi dengan menggunakan 4 kurungan untuk serangga yang di-semprot dengan insektisida dan 4 kurungan untuk serangga yang tidak disemprot tetapi diacak dengan yang disemprot serta 4 kurungan lainnya untuk serangga kontrol yang tidak disem-prot dan tidak diacak dengan kurungan yang disemprot.

Nyamuk Anopheles sp. betina (hasil pemeliharaan di laboratorium dengan umpan marmut) dimasukkan ke dalam kurungan sebanyak 25 ekor tiap kurungan. Kurungan untuk nyamuk yang akan disemprot ditempatkan dalam ruangan pe-nyemprotan, kemudian insektisida disemprotkan pada masing- masing kurungan.

Insektisida Startox A disemprotkan dengan menekan kepa-la nozzle pada kemasan insektisida selama 2 detik tiap kali penyemprotan dan jarak nozzle adalah 60 cm dari sisi kurungan yang disemprot. Penyemprotan dilakukan dua kali, yaitu sekali pada satu sisi kiri dan sekali pada sisi kanan kurungan (Gambar 1).

Gambar 1. Cara aplikasi pengujian insektisida Startox A.

Insektisida Startox L disemprotkan dengan alat penyem-

prot flit yang nozzlenya ditempatkan dengan jarak 60 cm dari sisi kurungan yang disemprot. Penyemprotan dilakukan pada dua sisi; pada tiap sisi penyemprotan dilakukan 3 kali (Gambar 2).

Gambar 2. Cara aplikasi pengujian insektisida Startox L.

Empat kurungan yang telah disemprot dengan insektisida

dan 4 kurungan yang tidak disemprot ditempatkan secara acak dalam ruangan lain dengan cara menggantungkannya sedemiki-an rupa (dengan jarak masing-masing 1 m) sehingga panjang kurungan sejajar dengan lantai ruangan. Empat kurungan kon-trol ditempatkan terpisah dalam ruangan lain.

Persentase nyamuk Anopheles sp. yang lumpuh (tidak mampu terbang) dihitung 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit setelah aplikasi. Sedangkan persentase nyamuk Anopheles sp. yang mati dihitung 1, 2, 3, 4, 5, 6, 12 dan 24 jam setelah aplikasi.

Efikasi insektisida Startox A dan Startox L ditentukan ber-dasarkan tingkat kelumpuhan dan tingkat kematian nyamuk Anopheles sp. Apabila uji ditujukan untuk insektisida yang disemprotkan, baik daya bunuh kontak maupun daya fumigasi, angka kematian 50%-100% masih digolongkan baik; tetapi apabila uji ditujukan terhadap pengabutan, maka pengabutan dikatakan baik, jika uji tersebut memberikan kematian 100%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian efikasi insektisida Startox L dan Startox A terhadap nyamuk Anopheles sp. disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1 menunjukkan hasil uji insektisida Startox L ter-hadap nyamuk Anopheles sp. Untuk Tabel 1 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

Tersedia 3 (tiga) kaleng insektisida Startox L yang telah diperiksa kandungan bahan aktifnya di Laboratorium Peme-riksaan Pestisida, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta. Masing-masing kaleng diuji satu kali (I, II, dan III). Tiap pengujian memakai 4 kurungan masing-masing berisi 25 ekor nyamuk Anopheles sp. disemprot dengan insektisida Startox L dan 4 kurungan yang tidak disemprot tetapi diacak dengan kurungan yang disemprot, serta 4 kurungan sebagai kontrol yang digantungkan di dalam ruangan lain terpisah dari ruangan acak.

Pengujian kaleng pertama (I), kaleng kedua (II) dan kaleng ketiga (III) menunjukkan bahwa dalam kurungan yang disem-prot dengan insektisida Startox L, dalam waktu 10 menit telah terjadi kelumpuhan 100%; sedangkan untuk kurungan yang tidak disemprot tetapi diacak dengan kurungan yang disemprot

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 39

Page 41: Cdk 131 Malaria

Tabel 1. Hasil pengujian efikasi insektisida Startox L terhadap nyamuk Anopheles sp.

Persentase kelumpuhan setelah

perlakuan (dalam menit) Persentase kematian setelah

perlakuan (dalam jam) Perlakuan Pengujian 10 20 30 40 50 60 1 2 3 4 5 6 12 24

I 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100II 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100III 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Disemprot dengan Startox L

Rata-rata 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100I 16 38 75 96 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100II 20 36 71 92 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100III 18 40 76 94 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Diacak dengan yang disemprot

Rata-rata 18 38 74 94 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100I 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 II 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 III 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Kontrol

Rata-rata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Tabel 2. Hasil pengujian efikasi insektisida Startox A terhadap nyamuk Anopheles sp.

Persentase kelumpuhan setelah perlakuan (dalam menit)

Persentase kematian setelah perlakuan (dalam jam) Perlakuan Pengujian

10 20 30 40 50 60 1 2 3 4 5 6 12 24 I 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100II 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100III 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Disemprot dengan Startox A

Rata-rata 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100I 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100II 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100III 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Diacak dengan yang disemprot

Rata-rata 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100I 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 II 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 III 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Kontrol

Rata-rata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

rata-rata terjadi kelumpuhan 18% dalam waktu 10 menit setelah diacak, 38% dalam waktu 20 menit, 74% dalam waktu 30 menit, 94% dalam waktu 40 menit dan 100% dalam waktu 50 menit; tetapi untuk kurungan yang tidak disemprot dan tidak diacak (kontrol) tidak terjadi kelumpuhan/kematian, bahkan sampai 12 jam dan 24 jam kemudian.

Tabel 2 menunjukkan hasil uji insektisida Startox A ter-hadap nyamuk Anopheles sp.

Tersedia 3 (tiga) botol insektisida Startox A yang telah diperiksa kandungan bahan aktifnya di Laboratorium Pemerik-saan Pestisida, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta.

Botol pertama (I), botol kedua (II) dan botol ketiga (III) diuji masing-masing satu kali. Tiap pengujian dipakai 4 kurungan yang disemprot dengan insektisida Startox A dan 4 kurungan yang tidak disemprot tetapi diacak dengan kurungan yang disemprot serta 4 kurungan kontrol digantungkan di dalam ruangan lain. Tiap kurungan berisi 25 ekor nyamuk Anopheles sp.

Pengujian botol (I), (II) dan (III) menunjukkan bahwa dalam waktu 10 menit setelah disemprot dengan insektisida Startox A telah terjadi kelumpuhan 100%, baik untuk isi kurungan yang disemprot maupun isi kurungan yang tidak disemprot tetapi diacak dengan yang disemprot; sedangkan untuk isi kurungan kontrol tidak ada yang lumpuh. Hasil peng-amatan 1 jam setelah penyemprotan terjadi kematian 100%, baik pada isi kurungan yang disemprot maupun isi kurungan

yang diacak; sedangkan untuk isi kurungan kontrol tidak ada yang mati; bahkan sampai 6 jam, 12 jam dan 24 jam kemudian belum ada yang mati.

Dari kedua tabel tersebut dapat diketahui bahwa persentase kelumpuhan/kematian nyamuk Anopheles sp. yang disemprot dengan insektisida Startox L dan Startox A sama, yaitu dalam waktu 10 menit setelah disemprot terjadi kelumpuhan 100%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh daya racun kontak dari kedua formulasi insektisida tersebut dapat melumpuhkan/ membunuh nyamuk Anopheles sp.

Persentase kelumpuhan/kematian nyamuk Anopheles sp. dari kurungan yang tidak disemprot tetapi diacak dengan kurungan yang disemprot, baik untuk insektisida Startox L maupun insektisida Startox A hampir sama; dalam waktu 50 menit setelah diacak terjadi kelurnpuhan 100%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh daya fumigasi dari kedua for-mulasi insektisida tersebut dapat melumpuhkan/membunuh nyamuk Anopheles sp. KESIMPULAN

Baik pengaruh racun kontak maupun pengaruh fumigasi insektisida Startox L dan Startox A dapat melumpuhkan/ mem-bunuh nyamuk Anopheles sp.

KEPUSTAKAAN

1. Matsumura F. Toxicology of Insecticides. Plenum Press, New York and London: 1975.

2. Komisi Pestisida. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Jakarta 1984.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 40

Page 42: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

Pengaruh Pengabutan Alpha cypermethrin 30 EC

dan Lambda sihalothrin 25 EC terhadap Larva Aedes aegypti

Hasan Boesri, Hadi Suwasono, Damar Tri Boewono, Raharjo

Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Salatiga

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengabutan insektisida alphacypermethrin 30 EC dan lambda sihalothrin 25 EC terhadap larva Aedes aegypti di dalam dan luar rumah. Pengabutan dilakukan pagi hari di daerah pemukiman desa Tegalrejo Permai dan Karangalit, Kodya Salatiga dengan menggunakan alat Swing Fog SN 50 dengan nozzle 0,8 mm.

Berdasarkan uji hayati diketahui dosis 70 ml/ha Alphacypermethrin 30 EC dapat membunuh larva Aedes aegypti di dalam rumah sebanyak 34% dan di luar rumah sebanyak 3%. Pada dosis 75 ml/ha Lambda sihalothrin 25 EC dapat membunuh larva Aedes aegypti di dalam rumah sebanyak 69% dan di luar rumah sebanyak 14,2%.

PENDAHULUAN

Pengabutan di pemukiman telah lama dilakukan oleh Departemen Kesehatan dalam pemberantasan vektor Demam Berdarah Dengue. Mengingat insektisida yang dikabutkan dapat memenuhi ruangan, maka ada kemungkinan partikel- partikel insektisida mencemari air dan berpengaruh terhadap larva yang mungkin ada di tempat tersebut. Pemberantasan larva Aedes aegypti dengan Temephos (Abate®) yang dita-burkan ke tempat penampungan air seperti tempayan, bak mandi, bak WC, dan drum belum menjangkau tempat-tempat perindukan nyamuk yang sulit diketahui, misalnya air perang-kap semut yang berada di bawah meja dan lain-lain.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeiahui pengaruh pengabutan insektisida bahan aktif Alphacypermethrin 30 EC dosis 70 ml/ha dan Lambda sihalothrin 25 EC dosis 75 ml/ha terhadap larva Aedes aegypti pada kontainer di dalam dan luar rumah. BAHAN DAN CARA

Penelitian dilakukan pada pagi hari pukul 08.00-09.00 di perumahan Tegalrejo Permai dan Karangalit, Kodya Salatiga pada bulan September 1997. Penelitian dilakukan terhadap larva Aedes aegypti yang ada di dalam kontainer dan diletak-

kan di dalam dan luar rumah. Kontainer yang digunakan ber-diameter 12 cm dan setiap pengabutan diperlukan 20 kontainer (satu rumah satu kontainer). Setiap kontainer diisi air sebanyak 200 ml dengan kedalaman 3 cm dan dimasukkan larva Aedes aegypti instar III/VI sebanyak 25 ekor. Pengabutan dilakukan menggunakan alat Swing Fog SN.50, merk Motan dengan ukuran nozzle 0,8 mm. Untuk setiap rumah dilakukan penga-butan selama 1 menit di dalam dan luar rumah. Setelah 30 menit pasca pengabutan, larva diambil dan dibawa ke laboratorium.

Parameter yang diamati adalah angka kelumpuhan dan angka kematian setelah 24 jam pasca pengabutan. Apabila ang-ka kelumpuhan atau kematian larva Aedes aegypti pada setiap kelompok kontrol antara 5-20%, maka dilakukan koreksi menurut Abbot yaitu(1): (A – C) X 100 AI = 100 - C Keterangan : AI = angka kematian atau kelumpuhan (%) setelah dikoreksi A = angka kelumpuhan atau kematian (%) pada kelompok perlakuan C = angka kelumpuhan atau kematian (%) pada kelompok kontrol

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 41

Page 43: Cdk 131 Malaria

Uji Statistik Data diolah dengan Analisis Varians dalam Rancangan

Acak Kelompok dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT)(2). HASIL DAN PEMBAHASAN

Alphacypermethrin dan Lambda sihalothrin adalah insek-tisida golongan piretroid sintetik yang bekerja terhadap sistem saraf pusat serangga yang dapat menyebabkan kelumpuhan atau kematian(3). Pada penelitian ini pengaruh insektisida terhadap larva Aedes aegypti yang diuji ditentukan oleh angka kematian 24 jam pasca pengabutan(3). Dalam uji efikasi insek-tisida Alphacypermethrin 30 EC dosis 70 ml/ha, setelah 24 jam pasca pengabutan pada kontainer di dalam rumah diperoleh

rata-rata kematian larva Aedes aegypti sebanyak 34% dan di luar rumah 3%. Pada perlakuan dengan insektisida Lambda sihalothrin 25 EC dosis 75 ml/ha di dalam rumah diperoleh rata-rata kematian larva Aedes aegypti sebanyak 69% dan di luar rumah sebanyak 14,2% (Tabel 1 dan 2).

Berdasarkan uji statistik ditemukan perbedaan bermakna (p < 0,05) antara kematian larva Aedes aegypti pada kontainer di dalam dengan di luar rumah; demikian juga antar jenis insektisida yang diuji. Berbedanya angka kematian larva Aedes aegypti di dalam dan luar rumah dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu angin. Di dalam rumah tidak ada angin (kecepatan angin 0 km/jam) sehingga kabut mengumpul agak lama di dalam rumah

Tabel 1. Persentase kematian larva Aedes aegypti akibat pengabutan insektisida di dalam rumah.

Jumlah dan ulangan Waktu pengamatan pasca pengabutan No. Insektisida

Kurungan Larva 2 jam

4 jam

8 jam

12 jam

24 jam

1

Alphacypermethrin

I

1

25 ekor

16

20

20

24

44

30 EC, dosis 70 m1/ha 2 25 ekor 32 48 48 48 48 11 1 25 ekor 0 0 0 0 4 2 25 ekor 32 40 44 60 64 III 1 25 ekor 0 0 0 8 8 2 25 ekor 8 8 8 8 44 IV 1 25 ekor 0 0 0 8 8 2 25 ekor 8 8 8 12 24 V 1 25 ekor 72 72 72 80 88 2 25 ekor 8 8 8 12 32 VI 1 25 ekor 16 80 80 80 80 2 25 ekor 4 12 12 12 28 VII 1 25 ekor 16 20 20 20 40 2 25 ekor 8 20 20 20 36 VIII 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 0 4 IX 1 25 ekor 16 16 16 60 72 2 25 ekor 0 0 0 0 0 X 1 25 ekor 0 0 12 12 12 2 25 ekor 8 16 24 28 44

Rata-rata persentase kematian larva Ae. aegypti 12,2 18,4 19,6 24,6 34,0

2 Lambda sihalothrin I 1 25 ekor 96 100 100 100 100 25 EC, dosis 75 ml/ha 2 25 ekor 20 20 44 76 28 11 1 25 ekor 96 100 100 100 100 2 25 ekor 8 16 28 32 60 111 1 25 ekor 24 24 24 88 88 2 25 ekor 0 4 4 4 12 IV 1 25 ekor 32 32 72 72 84 2 25 ekor 8 8 12 32 76 V 1 25 ekor 4 4 12 20 40 2 25 ekor 4 4 4 12 24 VI 1 25 ekor 100 100 100 100 100 2 25 ekor 24 28 28 36 76 VIl 1 25 ekor 92 96 96 96 100 2 25 ekor 20 24 28 32 40 VIII 1 25 ekor 100 100 100 100 100 2 25 ekor 32 32 36 40 52 IX 1 25 ekor 96 100 100 100 100 2 25 ekor 16 16 40 40 52 X 1 25 ekor 88 88 88 96 96 2 25 ekor 24 28 36 44 52

Rata-rata persentase kematian larva Ae. aegypti 44,2 46,2 52,6 61,0 69,0

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 42

Page 44: Cdk 131 Malaria

Tabel 2. Persentase kematian larva Aedes aegypti akibat pengabutan insektisida diluar rumah.

Jumlah dan ulangan Waktu pengamatan pasta Pengabutan

No. Insektisida Kuruagan Larva 2

jam 4

jam 8

jam 12

jam 24

jam

1 Alphacypermethrin

I

1

25 ekor

4

4

4

4

8

30 EC, dosis 70 ml/ha 2 25 ekor 0 0 0 0 0 II 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 0 0 III 1 25 ekor 0 0 0 0 4 2 25 ekor 0 0 0 0 0 IV 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 0 0 V I 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 0 0 VI 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 0 0 VII 1 25 ekor 0 0 0 4 8 2 25 ekor 0 0 0 0 0 VIII 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 12 36 IX 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 0 0 X 1 25 ekor 0 0 0 0 4 2 25 ekor 0 0 0 0 0

Rata-rata persentase kematian larva Ae. aegypti 0,2 0,2 0,2 1,0 3,0

2 Lambda sihalothrin I 1 25 ekor 92 100 100 100 100 25 EC, dosis 75 ml/ha 2 25 ekor 0 0 0 8 8 II 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 4 4 III 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 0 0 IV 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 4 4 4 4 12 V 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 0 0 VI 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 4 12 20 VII 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 24 28 VIII 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 4 8 IX 1 25 ekor 0 0 0 12 16 2 25 ekor 20 20 20 76 80 X 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 4 8

Rata-rata persentase kematian larva Ae. aegypti 5,8 6,2 6,4 12,4 14,2

dan kontaminasi dengan kontainer yang berada di lokasi pene-litian berlangsung lama pula, akibatnya tingkat kematian larva dalam kontainer tinggi. Di luar rumah angin bertiup dengan kecepatan 0-0,48 km/jam (Skala Beaufort), ini menyebabkan insektisida menyebar sehingga tingkat kontaminasi kontainer dan kematian larva rendah. Hasil pengujian dianggap baik apabila nilai kematian antara 98-100%; kurang dari nilai tersebut dinyatakan tidak baik atau tidak efektif(3). Pada penelitian ini insektisida berbahan aktif Alphacypermethrin 30 EC dosis 70 ml/ha dan Lambda sihalothrin 25 EC dosis 75 ml/ha tidak efektif membunuh larva Aedes aegypti yang berada di kontainer berdiameter 12 cm dengan kedalaman air 3 cm (volume air 200 ml).

Menurut WHO kondisi lingkungan berupa suhu udara,

kelembaban dan kecepatan angin dapat mempengaruhi hasil pengabutan dengan insektisida. Kondisi yang dianggap baik untuk pengabutan adalah suhu 18°C-28°C, kelembaban 60%-80% dan kecepatan angin kurang dari 9 km/jam(1). Pada awal pengabutan suhu udara dalam rumah berkisar 20,5°C-26°C dan kelembaban berkisar 58%-64%; di luar rumah berkisar 21°C-26,5°C dan kelembaban berkisar 62%-68%. Pada akhir pengabutan suhu udara dalam rumah berkisar 20°C-27°C dan kelembaban 50%-62%; di luar rumah suhu udara berkisar 22°C-28°C dan kelembaban berkisar 60%-62%. Kondisi lingkungan ini masih sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk uji pengabutan insektisida.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 43

Page 45: Cdk 131 Malaria

Tabel 3. Persentase kematian larva Aedes aegypti di daerah kontrol.

Jumlah dan ulangan Waktu pengamatan pasca pengabutan

No. Kontrol Kurungan Larva 2

jam 4

jam 8

jam 12 jam

24 jam

1 Dalam rumah I 1 25 ekor 0 0 0 0 0

2 25 ekor 0 0 0 0 0 II 0 0 1 25 ekor 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 0 0 Rata-rata 0 0 0 0 0

2 Luar rumah I 1 25 ekor 0 0 0 0 0 2 25 ekor 0 0 0 0 0 1 25 ekor 0 0 0 0 II 0 2 25 ekor 0 0 0 0 0

Rata-rata 0 0 0 0 0

KESIMPULAN

Pengabutan dengan Lambda sihalothrin 25 EC dosis 75 ml/ha dan Alphacypermethrin 30 EC dosis 70 ml/ha tidak efektif membunuh larva Aedes aegypti yang berada pada kontainer berdiameter 12 cm di lingkungan rumah, karena pada uji efikasi ini rata-rata kematian larva Aedes aegypti kurang dari 98%.

2. Robert GD Steel, James H. Torrie. Prinsip dan Potensial Statistika. Cetakan ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 1993.

KEPUSTAKAAN 1. WHO. Chemical methods for the control of arthropod vector and pest of

public health importance, 1983.

3. Tarumengkeng RC. Penggantian Toksikologi Insektisida. Fakultas Pasca Sadana IPB. Bogor, 1989.

4. WHO. Instruction for the bio-assay of insecticidal deposits on wall surface. Seventeenth report of the WHO Expert Committee on insecticides, Geneva, 1970.

5. Departemen Pertanian. Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida. Kornisi Pestisida. Deptan. Jakarta, 1995.

6. Departemen Kesehatan. Pemberantasan Vektor dan cara evaluasinya. Dit. Jen. PPM & PLP. Dep. Kes. Jakarta, 1987.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 44

Page 46: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

Uji Kepekaan Nyamuk Vektor dan Efikasi Insektisida

yang Digunakan Program terhadap Nyamuk Vektor

Barodji, Hadi Suwasono, Toto Sularso, Sutopo

Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Salatiga

Uji kepekaan An. sinensis dan An. maculatus telah dilakukan terhadap beberapa

insektisida yang telah digunakan program untuk pengendalian vektor (Fenitrothion, Bendiocarb dan Permethrin). Penelitian efikasi ketiga insektisida tersebut telah dilaku-kan dengan uji bioassay menggunakan 2 spesies nyamuk di atas.

Hasil uji kepekaan menunjukkan bahwa An. sinensis dan An. maculatus masih peka terhadap insektisida Fenitrothion, Bendiocarb dan Permethrin. Penilaian efikasi ketiga insektisida tersebut menunjukkan bahwa efektivitas residu insektisida Bendio-carb dosis 0,4 g/m2 selama 6 bulan baik terhadap An. sinensis maupun An. maculatus, efektivitas residu Fenitrothion dosis 1 g/m2 selama 5 bulan terhadap An. maculatus dan selama 1 bulan terhadap An. sinensis, sedang efektivitas insektisida Permethrin pada kelambu nylon selama 3 bulan baik terhadap An. sinensis maupun An. maculatus.

PENDAHULUAN Pemberantasan vektor dengan menggunakan insektisida

merupakan salah satu program pengendalian penyakit yang ditularkan vektor (malaria dan demam berdarah). Insektisida yang digunakan biasanya hanya berdasarkan hasil uji coba terhadap satu spesies saja nyamuk vektor dan pada kondisi satu daerah saja, sedang Indonesia yang merupakan negara kepulau-an dengan keragaman ekosistem kepekaan nyamuk vektorpun mungkin berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya.

Penanggulangan vektor malaria sampai saat ini masih belum berhasil. Masalah utamanya adalah kurangnya informasi mengenai vektor, antara lain mengenai bioekologi, selain itu juga munculnya resistensi vektor terhadap insektisida.

Di Indonesia terdapat 30 spesies nyamuk Anopheles yang diduga sebagai vektor malaria 18 diantaranya sudah dikonfir-

masi sebagai vektor malaria(1). Spesies tersebut antara lain An. maculatus(2,3) dan An. sinensis (4) yang sampai saat ini belum di-ketahui kepekaannya terhadap insektisida yang digunakan oleh program (Fenitrothion, Bendiocarb, dan Permethrin). Dengan diketahuinya kepekaan masing-masing vektor penyakit terha-dap beberapa insektisida dan daya bunuh masing-masing insektisida terhadapnya di tiap daerah, maka bila terjadi suatu wabah di daerah endemis operasi pengendalian segera dapat dilaksanakan. Pada penelitian tahun anggaran 1996/1997 di-samping diuji kepekaan spesies An. maculatus dan An. sinensis juga diuji efikasi 3 insektisida yang digunakan program ter-hadap kedua spesies tersebut.

Laporan ini membahas tentang hasil uji kepekaan An. maculatus dan An. sinensis terhadap insektisida yang diguna-kan program serta efikasinya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 45

ABSTRAK

Page 47: Cdk 131 Malaria

BAHAN DAN CARA KERJA

Induk An. maculatus diperoleh dari kecamatan Kokap, kabupaten Kulonprogo, DIY. Sedang An. sinensis dari pulau Nias, Sumatera Utara. Pengembangbiakan kedua spesies ter-sebut dilakukan di insektarium SPVP, Salatiga.

Insektisida Fenitrothion, Bendiocarb dan Permethrin di-peroleh dari P2M.

1. Uji kepekaan nyamuk Kertas berinsektisida yang digunakan dalam uji kepekaan

dibuat sendiri dan uji kepekaan nyamuk dilakukan sesuai de-ngan standar WHO (1975)(5).

3. Uji efikasi insektisida Uji efikasi insektisida terhadap nyamuk vektor malaria di-

lakukan pada berbagai permukaan dinding (Tembok, kayu dan bambu) dan kelambu. Uji kepekaan dan uji efikasi dilakukan sesuai dengan standar pengujian WHO (1975)(5). Penelitian uji efikasi insektisida dilakukan selang waktu 15 hari, kemudian tiap 1 bulan hingga bulan ke enam setelah aplikasi insektisida.

Uji kepekaan nyamuk An. maculatus baik yang diperoleh dari lapangan maupun hasil koloni dan An. sinensis hasil koloni menunjukkan bahwa ke dua spesies masih peka (kematian 100%) terhadap insektisida yang digunakan program (Fenitro-thion, Bendiocarb dan Permethrin) (Tabel 1).

Hasil uji efikasi insektisida Fenitrothion, Bendiocarb, dan Permethrin dikemukakan pada Tabel 2. Pada tabel tersebut tampak bahwa penyemprotan insektisida Bendiocarb dosis 0,4 g/m2 baik pada permukaan tembok, kayu dan bambu efektif terhadap An. maculatus dan An. sinensis. Daya bunuh efektif

Kontrol Perlakuan*

Bahan

Cara kerja

2. Aplikasi insektisida Untuk insektisida Bendiocarb dan Fenitrothion aplikasi di-

lakukan dengan penyemprotan dinding rumah (tembok, kayu dan bambu), sedang insektisida Permethrin digunakan untuk pencelupan kelambu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Uji kepekaan An. maculatus dan An. sinensis terhadap beberapa insektisida yang digunakan oleh program pemberantasan malaria.

Insektisida Jml. Mati % Jml. Mati %

KeteranganSpesies

Bendiocarb An. maculatus 20 0 0 80 80 100 koloni 0,1% An. maculatus 20 0 0 80 80 100 Kokap An. sinensis 20 0 0 80 80 100 koloni Fenitrothion An. maculatus 20 0 80 100 koloni 0 80 1% An. maculates 20 0 0 80 80 100 Kokap An. sinensis 20 0 0 80 80 100 koloni Pemtethrin An. maculatus 0 20 0 80 80 100 koloni 0,25% An. maculates 20 3 15 80 80 100 Kokap An. sinensis 20 0 0 80 80 100 koloni

Keterangan :

(kematian nyamuk > 70%) insektisida Bendiocarb pada semua permukaan dinding ada indikasi selama 6 bulan. Kematian nya-muk pada permukaan tembok pada 6 bulan setelah penyemprot-an 83%, sedang pada permukaan dinding kayu dan bambu kurang dari 70% karena dinding (panel) kena air hujan (genting bocor). Pada uji coba Bendiocarb tingkat pedesaan untuk menanggulangi vektor malaria An. aconitus yang sudah resisten terhadap DDT, residu Bendiocarb dosis 0,4 g/m2 hanya efektif 1 selama 1 bulan baik pada permukaan kayu maupun bambu(6).

Penyemprotan insektisida Fenitrothion dosis 1 g/m2 efektif terhadap An. maculatus dan daya bunuh efektifnya pada semua permukaan dinding selama 5 bulan. Penggunaan dosis yang sama pada uji coba tingkat pedesaan untuk menanggulangi vek-tor malaria An. aconitus juga cukup efektif, kematian nyamuk > 70% selama 4 bulan pada permukaan kayu dan 2,5 bulan pada permukaan bambu(7). Sedang penyemprotan Fenitrothion dosis 1 g/m2 (Tabel 1) tampak tidak efektif terhadap An. sinensis, daya bunuh efektifnya hanya selama 1 bulan pada permukaan kayu dan bambu, sedang pada permukaan tembok hanya selama 2 minggu.

Residu insektisida permethrin dosis 0,5 g/m2 pada kelambu

Tabel 2. Persentase kematian nyamuk pada uji bioassay residu beberapa insektisida yang digunakan program pemberantasan malaria*.

* Jumlah dari 4 ulangan @ 20 nyamuk

Persentase kematian pada penilaian Insektisida (dosis) Permukaan 2 minggu 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 5 bulan 6 bulan

I II II I II I II I II I I II I II

Bendiocarb Tembok 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 83.3 83 75 93 0,4 g/m2 100 37 Kayu 100 100 100 100 100 97 100 100 100 53 20 10

Bambu 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 33 70 25 13 Fenitrothion Tembok 100 100 17 83 7 87 3 87 - 87 - 73 - 60

1 g/m2 63 Kayu 100 100 100 100 57 100 3 100 10 97 - 90 - Bambu 100 100 80 100 33 100 7 87 13 83 - 83 - 67

Permethrin 76 Kelambu 100 100 97 100 100 98 91 54 49 33 - - - 0,5 g/m2

Keterangan : * Nyamuk koloni I : An. sinensis II : An. maculatus

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 46

Page 48: Cdk 131 Malaria

nylon efektif selama 3 bulan baik terhadap An. maculatus mau-pun An. sinensis. Kematian nyamuk An. maculatus dan An. sinensis pada 3 bulan setelah kelambu dicelup permethrin masing-masing 76 dan 96%. Sedang hasil uji coba insektisida ini terhadap An. aconitus hasil koloni pada dosis yang sama menunjukkan efektivitas lebih lama, (kematian nyamuk lebih dari 70% selama 1 tahun)(8).

Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak semua insektisida mempunyai daya bunuh yang sama terhadap tiap spesies nyamuk. Efektivitas Fenitrothion dosis 1 g/m2 cukup lama ter-hadap An. maculatus tetapi tidak terhadap An. sinensis. Dua insektisida yang lain (Bendiocarb dan Permethrin) ternyata mempunyai pengaruh yang sama terhadap An. maculatus dan An. sinensis.

An. maculatus dari Kecamatan Kokap, Kulonprogo dan An. sinensis dari Pulau Nias, Sumatera Utara masih peka terhadap insektisida yang digunakan program P2M dan PLP (Fenitro-thion, Bendiocarb dan Permethrin).

Penyemprotan dinding rumah dengan Bendiocarb dosis 0,4 gr/m2 efektif selama 6 bulan terhadap ke dua spesies tersebut.

Efektivitas Fenitrothion dosis 1 gr/m2 selama 5 bulan ter-hadap An. maculatus dan hanya 1 bulan terhadap An. sinensis.

Mengingat bahwa daya bunuh insektisida belum tentu sama terhadap setiap spesies nyamuk, maka disarankan agar dalam setiap penggunaan insektisida untuk pengendalian suatu vektor di suatu daerah, dilakukan uji coba terlebih dahulu.

KEPUSTAKAAN

6. Fleming GA, Barodji, Shaw RF, Paradhan GD, Bang YH. A village - scale trial of bendiocarb (OMS-1394) for control of malaria vector An. aconitus in Central Java, Indonesia, Unpublished WHO Document, WHO/VBC/ 875;1983.

7. Supratman S. Pradhan RM, Shaw RE et al. A village scale trial of Fenitrothion (OMS-43) at the reduced dosage of 1 g/m2 for control of An. aconitus in Central Java, Indonesia, Unpublished WHO Document, WHO/ VBC/738 1979.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kelambu yang dicelup Permethrin efektif selama 3 bulan terhadap An. maculatus dan An. sinensis.

1. Kimowardoyo S. Penelitian vektor malaria yang dilakukan oleh institusi

kesehatan tahun 1975-1990. Bull Pen. Kes. 1991; 19 : (14) 2. Sundararman S, Soeroto RM, Siran M. Vectors of malaria in Midjava:

Indian J. Malariology II 1957; 321-8. 3. Soeroto. Komunikasi pribadi. 4. Beales PF. A review of taxonomic status of Anopheles sinensis and its

bionomics in relation to malaria transmission. Unpublished WHO document, WHO/VBC 1984; 896.

5. WHO. Manual on practical entomology in malaria. Part II WHO, Geneva 1975; p. 140-8.

8. SPVP Uji coba efikasi kelambu yang dicelup insektisida permanet terhadap Anopheles aconitus. Laporan penelitian 1995/1996.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 47

Page 49: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

Uji Coba Efikasi Insektisida Permanet

yang Diaplikasikan pada Kelambu terhadap Nyamuk Vektor Penyakit Malaria Anopheles aconitus Donitz

Barodji, Sumardi, Toto Sularto, Mujiono

Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Rl, Salatiga

ABSTRAK

Uji coba tingkat perumahan efikasi insektisida Permanet 100EC yang dipoleskan pada kelambu nylon telah dilakukan terhadap vektor malaria Anopheles aconitus Donitz. Permanet dicoba dengan dosis 0,125; 0,25; 0;50 dan 0,75 gr. bahan aktif (b.a)/m2. Percobaan bertujuan untuk mengetahui efektifitas dosis perlakuan terhadap vektor malaria A. aconitus dan efek samping penggunaan kelambu yang mengandung insektisida permanet terhadap pemakainya. Informasi ini diperlukan guna registrasi insektisida Permanet di Komisi pestisida.

Hasil percobaan yang dilakukan dengan uji bioassay menunjukkan bahwa efek-tifitas kelambu nylon yang dicelup insektisida Permanet dosis 0,125 gb./m2 untuk membunuh nyamuk > 70% selama 14 minggu (3 bulan) dan dosis 0,25; 0,50 dan 0,75 g b.a/m2 selama 16 minggu (3,5 bulan). Menurut kriteria WHO dosis minimum yang dianjurkan untuk diuji lebih lanjut pada skala yang lebih besar adalah dosis 0,125 g b.a/m2.

PENDAHULUAN

Salah satu cara pemberantasan kimiawi yang digunakan dalam program pemberantasan penyakit malaria di Indonesia adalah penggunaan kelambu yang dicelup dengan insek-tisida(1). Cara ini sudah banyak digunakan baik di Indonesia maupun di negara-negara lain seperti : Afrika, Asia-Pasifik, dan Negara-negara Amerika Latin(2,3). Insektisida piretroid sintetik. Salah satu insektisida yang digunakan dalam program pemberantasan malaria adalah insektisida permethrin(3).

Tidak ada efek samping yang dilaporkan oleh pemakai kelambu berinsektisida Permanet.

Permanet 100 EC merupakan formulasi insektisida yang berisi bahan aktif permethrin. Informasi mengenai efikasi insektisida ini pada kelambu celup terhadap nyamuk yang menjadi vektor malaria belum ada. Insektisida Permanet belum terdaftar di Komisi Pestisida, sedang untuk keperluan registrasi perlu diketahui terlebih dulu efikasinya terhadap nyamuk vektor. Untuk keperluan tersebut maka dilakukan uji coba

terlebih dulu, dengan tujuan untuk penentuan dosis apliasi yang efektif dan mengetahui efikasinya terhadap nyamuk yang menjadi vektor penyakit serta efek samping terhadap pema-kainya. Oleh karena itu untuk memenuhi persyaratan pendaf-taran insektisida Permanet 100 EC Komisi Pestisida menunjuk Stasiun Penelitian Vektor Penyakit untuk melakukan uji coba efikasi insektisida Permanet 100 EC pada kelambu terhadap nyamuk yang menjadi vektor malaria.

Dalam makalah ini dibahas hasil uji coba tingkat perumah-an insektisida yang diaplikasikan pada kelambu terhadap nyamuk vektor Anopheles aconitus Donitz. BAHAN DAN CARA KERJA Bahan dan alat 1. Insektisida

Insektisida Permanet 100 EC, berisi bahan aktif (b.a)

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 48

Page 50: Cdk 131 Malaria

permethrin. Insektisida yang diuji termasuk dalam kelompok sintetik pyrethroid dalam formulasi Emulsifiable Con-centrate (EC). 2. Kelambu Nylon No. 2

Kelambu nylon yang digunakan dalam penelitian ini berukuran panjang 2 m, lebar 1,60 m dan tinggi 2,25 m. 3. Serangan Uji

Serangan uji berupa nyamuk Anopheles aconitus Donitz hasil koloni di laboratorium, berumur 3 - 4 hari dan dalarn kondisi kenyang darah. Nyamuk tersebut merupakan vektor utama penyakit malaria di daerah sekitar persawahan di Jawa(4,5) dan sudah resisten terhadap insektisida DDT dan insektisida organokhlorin lainnya(6).

4. Alat Alat-alat yang dibutuhkan antara lain tabung kerucut

plastik (cone), aspirator, tabung penyimpanan nyamuk, kotak pengangkut dan penyimpanan nyamuk, psychrometer (peng-ukur temperatur maximum-minimum dan kelembaban udara), sarung tangan, ember besar, masker dan gelas pengukur. CARA PENGUJIAN 1. Dosis perlakuan Dosis per-m2

Insektisida Bahan aktif (g) Formulasi (ml)

Permanet 100 EC 0,125 1,25 0,25 2,50 0,50 5,00 0,75 7,00 2. Cara pembuatan kelambu berinsektisida - Luas kelambu diukur. Untuk kelambu No. 2 dengan ukuran panjang 2 m, lebar 1,60 dan tinggi 2,25 m, luasnya 20 m2. - Buat suspensi insektisida dengan cara melarutkan insek-tisida ke dalam air. Jumlah insektisida dan jumlah air yang dibutuhkan tergantung luas kelambu dan daya serap material yang untuk membuat kelambu. Untuk kelambu nylon daya serapnya 15 ml air/m2. - Untuk kelambu nylon dengan luas 20 m2 dibutuhkan 300 ml suspensi insektisida (campuran air dan insektisida). Sebagai contoh untuk insektisida permethrin dosis 0,125 g/m2 dengan formulasi 100 EC dibutuhkan 20 (luas kelambu) x 1,25 ml (lihat tabel 1) = 25 ml. Jumlah air yang dibutuhkan untuk membuat suspensi adalah 300 ml-25 ml = 275 ml.

Dosis perlakuan (gram b.a./m2

- Air dan insektisida yang dibutuhkan untuk membuat suspensi dituang ke dalam ember besar (diameter 50 cm dan dalam 15 cm), diaduk sampai rata, kemudian kelambu dima-sukkan/dicelupkan ke dalam ember berisi suspensi insektisida, diremasremas sampai semua permukaan kelambu terlumuri oleh suspensi insektisida. Setelah itu kelambu direntangkan pada permukaan datar dengan alas plastik di tempat teduh, dibolak-balik sampai kering. 3. Cara pengamatan efikasi kelambu berinsektisida - Kelambu berinsektisida 1 hari setelah pencelupan diberi-kan kepada penduduk untuk digunakan. - Pengamatan efikasi kelambu berinsektisida dilaksanakan

Tabel 1. Persentase kematian nyamuk Anopheles aconitus hasil uji bioassay pada kelambu berinsektisida permethrin.

Minggu setelah

pencelupan 0,00 0,125 0,25 0,50 0,75

1 hari 1,78 100 100 100 100 2 2,06 100 100 100 100 4 0,00 100 100 100 100 6 2,25 100 100 100 100 8 0,00 89 100 100 100

10 0,00 92 100 100 100 12 0,00 100 100 100 96 14 0,00 78 100 84 96 16 0,00 25 80 78 100

Keterangan : * Uji bioassay pada tiap dosis menggunakan 5 ulangan. Tap ulangan meng-

gunakan 15 ekor nyamuk, waktu pemaparan 30 menit. pada 1 hari, 2 minggu, 4 minggu, 8 minggu, 12 minggu, dan 16 minggu setelah pencelupan, dilakukan dengan uji bioassay me-nurut prosedur WHO (1975)(7). Pada tiap pengamatan uji bioassay menggunakan 5 cone (kerucut plastik) baik di kelam-bu berinsektisida maupun pembanding, tiap cone diisi 15 ekor nyamuk. Pemaparan nyamuk dalam uji bioassay selama 30 menit.

4. Kriteria efikasi Kriteria edikasi suatu insektisida ditentukan berdasarkan

persentase kematian naymuk hasil bioassay setelah dipelihara selama 24 jam. Efikasi yang efektif sesuai dengan kriteria WHO adalah bila persentase kematian nyamuk sama dengan atau lebih besar dari 70% (WHO/VBC, 1982).(8)

5. Koreksi angka kematian Apabila kematian nyamuk pada pembanding antara 5%

sampai dengan 20%, maka kematian pada perlakuan harus di-koreksi dengan rumus Abbot (WHO, 1975)(7), sedangkan jika kematian nyamuk pada pembanding > 20% maka uji bioassay harus diulang.

X = (100-C)

- Setelah pemaparan nyamuk, nyamuk yang pingsan dan masih hidup dipindah ke tabung penyimpanan (gelas plastik) yang ditutup kain kasa dengan aspirator, kemudian tabung berisi nyamuk ditempatkan dalam kotak penyimpangan nya-muk, dibawa ke laboratorium disimpan selama 24 jam, untuk diamati jumlah nyamuk yang mati. - Selama penyimpanan dicatat temperatur maksimum- minimum, dijaga kelembabannya dengan cara menempelkan kapas yang dibasahi air ditutup gelas dan handuk basah dikotak penyimpanan nyamuk.

Rumus Abbot (100-C)

Keterangan X = Angka kematian (%) setelah dikoreksi A = Angka kematian (%) pada kelompok perlakuan C = Angka kematian (%) pada pembanding

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 49

Page 51: Cdk 131 Malaria

50

Data dianalisis dengan uji F dan diteruskan dengan uji. Duncan (Multiple Range Test).

Hasil uji bioassay dan analisis data disajikan pada Tabel 1. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa kematian vektor malaria An. aconitus pada kontrol dan perlakuan berbeda sangat nyata. Kematian nyamuk selama 16 minggu pengamatan pada kontrol berkisar antara 0,00 - 2,86%, sedang pada perlakuan ke-matian nyamuk berkisar antara 25,00 - 100%.

Efikasi residu Permanet 100 EC pada semua dosis per-lakuan selama 12 minggu setelah pencelupan berbeda tidak nyata. Persentase kematian nyamuk pada masing-masing dosis perlakuan adalah 100% untuk dosis 0,125 g bahan aktif (b.a)/m2, dosis 0,25, dosis 0,50 g b.a./m2 dan 96,00% untuk dosis 0,75 g b.a./m2. Pada pengamatan 14 minggu setelah apli-kasi persentase kematian nyamuk pada dosis 0,125 g b.a./m2 (78,00%) walaupun sudah berbeda nyata dengan dosis 0,25 g b.a./m2 dan tidak berbeda nyata dengan dosis 0,50 dan 0,75 g b.a./m2, akan tetapi masih efektif untuk membunuh nyamuk (kematian nyamuk > 70%). Pada pengamatan 16 miggnu sete-lah pencelupan tampak bahwa perlakuan dosis 0,125 g b.a./m2 sudah tidak efektif lagi (kematian nyamuk hanya 25,00%), sedangkan dosis lainnya masih efektif, kematian nyamuk 80% untuk dosis 25 g b.a./m2 78% untuk dosis 0,50 g b.a./m2 dan 100% untuk dosis 0,75 g b.a./m2 (Tabel 1).

Hasil keseluruhan percobaan ini menunjukkan bahwa efektifitas insektisida Permanet 100 EC dosis 0,125 g b.b./m2 terhadap nyamuk vektor malaria An. aconitus selama 14 ming-gu (3 bulan), sedang dosis lainnya efektifitasnya selama 16 minggu (3,5 bulan) atu lebih. Menurut kriteria WHO (WHO/ VBC, 1982) suatu insektisida yang dalam uji coba tingkat perumahan dapat membunuh nyamuk > 70% selama 2 - 3 bulan, maka insektisida tersebut tetpilih untuk diuji lebih lanjut pada skala berikutnya untuk menanggulangi populasi vektor malaria. Berdasarkan kriteria tersebut maka dosis minimum insektisida Permanet 100 EC yang terpilih untuk diuji pada skala berikutnya adalah 0,125 g b.a./m2.

Keseluruhan hasil percobaan ini pada pengamatan 14 minggu setelah perlakuan menunjukkan bahwa semua dosis perlakuan Permanet 100 EC berbeda sangat nyata dengan kontrol.

Pengamatan 14 minggu (3 bulan) setelah pencelupan kelambu menunjukkan bahwa kematian nyamuk pada semua dosis 0,125 g b.a/m2 berbeda nyata dengan dosis perlakuan lainnya.

Efektivitas residu Permanet 100 EC dosis 0,125 g b.a/m2 pada kelambu nylon selama 14 minggu (3 bulan) dan dosis 0,25; 0,50 dan 0,75 g b.a/m2 selama 16 minggu atau lebih.

Berdasarkan hasil percobaan ini maka insektisida Permanet 100 EC dengan perlakuan pencelupan kelambu efektif untuk membunuh nyamuk > 70% selama 14 minggu (3 bulan) untuk dosis 0,125 g b.a/m2 dan selama 16 minggu atau lebih untuk dosis 0,25; 0,50 dan 0,75 g b.a/m2. Menurut kriteria WHO, maka dosis minimum untuk diuji lebih lanjut pada skala ber-ikutnya adalah dosis 0,125 g b.a/m2.

7. WHO, Manual on practical entomology in malaria, Part II, Geneva: 1975. 8. WHO, Test Method and Criteria for Change Phase, WHO Pesticides

Evaluation Scheme (WHOPES). Unpublished WHO Document, 1982; WHO/VBC/62.846 Rev 1.

6. Analisis Data

HASIL DAN PEMBAHASAN

KESIMPULAN DAN SARAN

KEPUSTAKAAN 1. Ditjen P2M dan PLP, Pengendalian nyamuk Anopheles, 1991; Malaria 4. 2. Rozendaal JA., Curtis CF. Recent research on Impregnated Mosquito

Nets J. of the American Mosquito Control, 1989; Assoc. 5:4. 3. Sharma VP, Yadav RS. Impregnating mosquito nets with cyfluthrin,

Public Health. 1993; 1:5. 4. Sundararman S, Siran RM. Vector malaria in Mid Java, Indian J.

MalarioL 1957; 11, 321-8. 5. Santyo Kirnowardoyo. Vector malaria di Indonesia dan status

kerentanannya terhadap insektisida, Kumpulan Naskah Sim. dan Diskusi Panel malaria, UNDIP-Semarang 1985.

6. Barodji RF Shaw, GD. Pradhan, Sularto dan Bambang Haryanto. Efektifitas insektisida organokhlorin (OMS-1558) dalam pengendalian vektor malaria Anopheles aconitus Donitz yang sudah resisten terhadap DDT. 1984; Bull Pen Kes XII,2.

Parents who wonder where the younger generation is going should remember where it came from

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001

Page 52: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

Gejala Klinis dan Patologi Anatomi Mencit akibat Diazinon

Raflizar

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Rl, Jakarta

PENDAHULUAN Diazinon merupakan salah satu insektisida golongan

organofosfat yang banyak dipakai dalam usaha pertanian, untuk mengendalikan hama pada tanaman padi dan sayuran(1,2). Diazinon sangat toksik oleh karena itu penggunaannya harus cermat agar tidak mengakibatkan keracunan pada hewan dan manusia. Insektisida (diazinon) sebagai zat kimia yang beracun cukup berbahaya bagi ternak dan manusia apabila salah salam penggunaannya.

Diazinon merupakan racun kontak dan racun sistemik. Racun kontak adalah racun yang apabila tersentuh langsung melalui oral, inhalasi dan kontak kulit, ditandai dengan muntah, hipersalivasi, diare, miosis, depresi pernafasan, tensi menurun, paralisis atau kejang. Racun sistemik adalah racun yang telah dilarutkan dalam air dan disemprotkan pada tanaman, cairan

tersebut diserap oleh tanaman melalui akar, daun dan batang. Tanaman yang terkontaminasi dengan racun itu dimakan oleh hewan dan manusia sehingga hewan dan manusia mengalami keracunan(3,4).

Diazinon dapat menimbulkan keracunan pada mamalia, Letal Dosis 50% (LD50) pada tikus akibat pemberian diazinon per oral adalah 150-220 mg/kg berat badan(5). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gejala klinis dan patologi anatomi mencit (Mus musculus) akibat pemberian insektisida diazinon per oral pada beberapa tingkat perlakuan.

ABSTRAK

Gejala klinis dan patologi anatomi mencit (Mus musculus) akibat pemberian

insektisida (diazinon). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gejala klinis dan patologi anatomi mencit (Mus musculus) akibat pemberian insektisida (diazinon). Pada penelitian ini digunakan 20 ekor mencit (Mus musculus) jantan yang berumur 3 bulan dengan berat rata-rata 27,8 gr ± 4,9 gr. Diazinon diberikan per oral melalui sempit 1 ml. Mencit yang mati selama perlakuan akan dibedah untuk diamati organ tubuhnya dan pada hari ke delapan setelah pemberian diazinon, semua mencit dibunuh dengan cara eutanasi. Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari 4 perlakuan dan 5 ulangan. Masing-masing perlakuan terdiri dari pemberian 0,0 mg, 0,5 mg, 1,0 mg dan 2,0 mg per ekor mencit. Mencit memperlihatkan gejala klinis lemah, nafsu makan menurun, poliuria, bulu kusam, kordosis dan feses cair. Beberapa di antaranya kejang setelah itu mati kecuali mencit yang diberikan 0,0 mg diazinon. Hati, jantung, ginjal dan paru-paru terlihat membengkak dan berwarna hitam. Makin tinggi dosis diazinon diberikan memperlihatkan berat badan makin menurun. Hambat-an pertambahan berat badan terlihat sangat nyata (P < 0,01) pada pemberian 1,0 mg dan 0,5 mg bila dibandingkan dengan kontrol.

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 ulangan pada masing-masing perlakuan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 51

Page 53: Cdk 131 Malaria

Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih jantan (Mus musculus) yang berumur 3 bulan. Penentuan dosis diazinon

Diazinon 60 E.C. (emulsifiable Concentreace) rumus empirisnya C12H21O3N2PS. Diproduksi oleh PT. Petrokimia Kayaku Surabaya dalam bentuk pekat, kemudian dilarutkan dengan aquadest. Dalam penelitian ini dosis yang diberikan adalah 0,0 mg/ekor, 0,5 mg/ekor, 1,0 mg/ekor dan 2,0 mg/ekor dengan volume pemberian 0,5 ml.

Analisis Data Data pertambahan berat badan yang diperoleh dianalisis

dengan analisis varian(6). Jika terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant Difference7).

Perlakuan terhadap mencit percobaan

Sebanyak 20 ekor mencit putih jantan (umur 3 bulan) berat badan 27,8 g ± 4,9 g dibagi dalam 4 kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor. Setiap individu mencit ditempatkan dalam satu kandang, selama perlakuan mencit diberi makan dan minum secara ad libitum. Makanan mencit yang Keterangan diberikan adalah ransum ayam petelur 524 yang diproduksi oleh PT. Charoen Phokphan Indonesia. Komposisi makanan pada lampiran 1. - Kelompok I. dosis 0,0 mg/ekor (kontrol) - Kelompok II. dosis 0,5 mg/ekor - Kelompok III. dosis 1,0 mg/ekor - Kelompok IV. dosis 2,0 mg/ekor Semua perlakuan diberikan secara oral selama satu minggu.

Mencit yang mati selama perlakuan akan dibedah untuk diamati organ tubuhnya. Sehari setelah perlakuan berakhir semua mencit yang masih hidup dibunuh dengan cara Eutanasi dan dilakukan pembedahan. Organ tubuh yang diperiksa adalah hati, jantung, ginjal dan paru-paru sedangkan gejala klinis yand didapat dilaporkan secara diskriptif.

Lampiran 1. Komposisi makanan (524)* untuk ayam petelur

Bahan-bahan yang dipakai Jagung kuning, dedak havermut, dedak padi, tepung ikan, bungkil kacang

kedelai, bungkil kelapa, kalsium fosfat, kalsium karbonat, natrium klorida, vitamin A, BZ, B6, BIZ, D3, niacin, kalsium D-pentatonat, kolin klorida dan anti oksida. Analisa Protein 17 - IS% Lemak 3 - 6% Serat kasar 6 - 8% Abu 9 - 12% Metabolisme energi 2.650 - 2.950 kcal/kg

Keterangan : * Sumber : PT. Charoen Pokphand Indonesia. HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala klinis

Mencit mulai memperlihatkan gejala klinis pada hari pertama perlakuan. Gejala klinis mencit yang mendapat per-lakuan dengan berbagai pemberian diazinon per ekor terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Gejala klinis mencit (Mus musculus) akibat berbagai pemberian diazinon

Pemberian diazinon (mg per ekor)

Gejala klinis 0,0 0,5 1,0 2,0

Lemah - + + + Mata menyipit - + + + Salivasi - + + + Lakrimasi - - + + Nafsu makan menurun - + + + Poliurea - + + + Bulu kusam - - + + Lordosis - + + + Tremor - + + + Feses cair - + + +

Keterangan : - = tidak ada gejala klinis + = ada gejala klinis

Keracunan diazinon dapat menimbulkan gejala.klinis kele-mahan, depresi, inkoordinasi, hipersalivasi, kekejangan, kele-mahan anggota gerak, dispnea, diare, tremor dan mati(8,9,10). Gejala klinis tersebut ada yang sama seperti dilaporkan pada tabel 1 di atas. Mencit yang diberikan 0,5 mg diazinon per ekor mati satu ekor pada hari keenam sedangkan mencit yang diberikan 2,0 mg diazinon per ekor mati kelima-limanya, satu ekor pada hari kedua, satu ekor pada hari ketiga, dua ekor pada hari keempat dan satu ekor pada hari kelima perlakuan.

Kematian dapat terjadi karena diazinon yang telah masuk di dalam tubuh menghambat kerja enzim kolinesterase yang ada di dalam darah sehingga peredaran darah yang menuju ke saraf akan terganggu(11). Akibat terganggunya kerja sarag gerak otot tidak dapat dikendalikan sehingga timbul kekejangan, lumpuh dan menyebabkan kematian. Akibat keracunan diazinon terjadi rangsangan yang berlebihan terhadap saraf- saraf kolinergik. Diazinon mempunyai daya anti kolinesterase sehingga hidrolisa asetilkolin tidak dapat terjadi. Rangsangan terhadap saraf-saraf kolinergik itu meliputi reseptor muskarinik dan nikotinik, adrenal medula dan sinap-sinap pada otot(1). Analisa chi-kuadrat kematian mencit Tabel 2. Kematian mencit (Mus musculus) akibat berbagai pemberian diazinon.

Diazinon Hidup Mati Jumlah X2

0,0 mg 5 0 5 0,5 mg 4 1 5 16,192* 1,0 mg 5 0 5 2,0 mg 0 5 5 Jumlah 14 6 20

Keterangan : * Sangat nyata

Kematian pada kasus keracunan diazinon yang tidak

diobati dapat terjadi dalam waktu 24 jam, disebabkan karena udema paru-paru(12). Udema paru-paru dapat terjadi karena meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler disertai dengan penimbunan cairan dalam sela-sela jaringan dan rongga serosa(13). Dari data di atas terlihat bahwa angka kema-

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 52

Page 54: Cdk 131 Malaria

tian mencit cenderung meningkat apabila dosis pemberian ditingkatkan, kematian mulai terjadi pada pemberian 2,0 mg diazinon satu hari setelah perlakuan.

Lampiran 2. Pertambahan berat badan mencit akibat berbagai pemberian diazinon setelah penelitian selesai.

Ulangan Pemberian (mg)

Berat badan akhir perla-

kuan (gr)

Berat badan awal perla kuan (gr)

Pertambahanberat badan

(gr)

I 0,0 25,10 21,95 3,15 II 0,0 24,80 20,02 4,78 III 0,0 29,00 27,75 1,25 IV 0,0 21,08 20,06 1,02 V 0,0 24,00 23,20 1,70 I 0,5 28,75 32,75 - 4 II 0,5 31,10 34,00 - 2,90 III 0,5 25,45 28,05 - 2,60 IV 0,5 - 22,35 - V 0,5 30,00 32,55 - 2,55 I 1,0 32,35 36,50 - 4,15 II I,0 19,50 23,85 - 4,35 Iil 1,0 27,40 30,25 - 2,85 IV I,0 26,40 29,95 - 3,55 V 1,0 31,00 33,85 - 2,88

Keterangan : - = mencit yang mati Lampiran 3. Pertambahan berat badan mencit setelah penelitian selesai

akibat berbagai pemberian diazinon.

Pemberian diazinon (mg per ekor)

0,0 (gr) 0,5 (gr) 1,0 (gr) Jumlah 3,15 -4,00 -4,15 4,78 - 2,90 - 4,35 1,25 - 2,60 - 2,85 1,02 - - 3,55

Pertambahan berat badan

1,70 - 2,55 - 2,85

Jumlah 11,90 - 12,05 - 17,75 - 17,90 Ulangan 5 4 5 14 Rata-rata 2,38 - 3,0125 - 3,55 - 1,2786

Keterangan: - = mencit yang mati

Semua mencit yang mendapat perlakuan dengan berbagai tingkat pemberian diazinon memperlihatkan berat badan me-nurun jika dibandingkan dengan kontrol. Pertambahan berat badannya seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji LSD pertambahan berat badan mencit selama penelitian akibat berbagai pemberian diazinon.

Pemberian (mg/ekor) Rata-rata pertambahan berat badan

0,0 2,38a

0,5 - 3,0125b

1,0 - 3,55b

Superskrip yang berbeda memperlihatkan perbedaan pertambahan berat badan yang sangat nyata (P 0,10). Perubahan patologi anatomi

Perubahan patologi anatomi mencit (Mus musculus) yang memperoleh diazinon secara oral memperlihatkan perubahan

pada hati, jantung, ginjal dan paru-paru. Tabel 4. Patologi anatomi hati mencit (Mus musculus) akibat berbagai

pemberian diazinon.

Pemberian diazinon (mg per ekor) Ulangan Perubahan 0,0 0,5 1,0 2,0 I Besar

Warna Normal Merah muda

Bengkak Merah ke- hitaman

Bengkak Merah ke- hitaman bintik-bintik

Bengkak2)

Merah tua hemoragi

II Besar Warna

Normal Merah

Bengkak Merah ke- hitaman

Bengkak Merah ke- hitaman

Bengkak3)

Merah ke- hitaman

II Besar Warna

Normal Merah muda

Bengkak Merah ke- hitaman

Bengkak Merah ke- hitaman

Bengkak4) Merah ke- hitaman

IV Besar Warna

Normal Merah muda

Bengkak6)

abu-abuan

Bengkak4) Merah ke- Merah

belang

Bengkak Merah ke-

hitaman hemoragi

V Besar Warna

Normal Merah muda

Bengkak6) Bengkak5) Merah ke- Lebih

merah hitaman hemoragi

Keterangan : 2) = mencit yang mati pada hari kedua 3) = mencit yang mati pada hari ketiga 4) = mencit yang mati pada hari keempat

Mencit yang mendapat perlakuan dengan berbagai pem-

berian diazinon mengalami pembengkakan pada hati, berwarna kehitam-hitaman dan ada diantaranya disertai belang-belang jika dibandingkan dengan kontrol. Terlihat pada gambar 1. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Yuningsih (1988)(14) di Sukabumi yaitu hati ayam membengkak berwarna kehitam-hitaman akibat keracunan diazinon.

5) = mencit yang mati pada hari kelima 6) = mencit yang mati pada hari keenam

Gambar 1. Gambaran makroskopis hati mencit yang mendapat perlakuan

0,0 mg diazinon per ekor dengan 0,5 mg diazinon per ekor. Keterangan : (a) : Gambaran rnakroskopis hati mencit yang mendapat perlakuam 0,0 mg

diazinon per ekor (kontrol). (b) : Gambaran makroskopis hati mencit yang mendapat perlakuan 0,5 mg

diazinon per ekor memperlihatkan pembengkakan serta adanya perubahan vvarna hati menjadi merah kehitaman.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 53

Page 55: Cdk 131 Malaria

Tabel 5. Patologi anatomi jantung mencit (Mus musculus) akibat berbagai

pemberian diazinon.

Pemberian diazinon (mg per ekor)

Ulangan Perubahan 0,0 0,5 1,0 2,0 I Besar

Warna Normal Merah

Bengkak Merah coklat

Bengkak Merah hemoragi

Bengkak2) Merah hemoragi

II Besar Warna

Normal Merah

Bengkak Merah belang

Bengkak Merah kehitaman

Bengkak3)

Merah kehitaman

III Besar Warna

Normal Merah

Bengkak Merah kecoklatan

Bengkak4)

Merah kehitaman

Bengkak Merah kecoklatan

IV Besar Warna

Normal Merah

Bengkak6)

Merah hemoragi

Bengkak4)

Merah belang

Bengkak Merah kecoklatan

V Merah Merah bintik

hitam

Bengkak 5)Besar Warna

Normal Bengkak Merah belang

Bengkak Merah bintik hitam

Keterangan : 2) = mencit yang mati pada hari kedua

3) = mencit yang mati pada hari ketiga 4) = mencit yang mati pada hari keempatr 5) = mencit yang mati pada hari kelima 6) = mencit yang mati pada hari keenam

Mencit yang mendapat perlakuan dengan berbagai pem-berian diazinon mengalami pembengkakan, berwarna merah belang-belang dan disertai hemoragi pada jantung jika di-bandingkan dengan kontrol. Perubahan ini sudah terlihat pada pemberian 0,5 mg diazinon per ekor. Perubahannya lebih jelas terlihat pada pemberian 1,0 mg diazinon per ekor (pada gambar 2 dan 3).

Mencit yang mendapat perlakuan dengan berbagai pem-berian diazinon mengalami pembengkakan dan disertai hi-peremi pada ginjal jika dibandingkan dengan kontrol. Per-ubahan ini sudah terlihat pada pemberian 0,5 mg diazinon per ekor (gambar 4). Lebih jelas lagi terlihat perubahan ginjalnya pada pemberian 1,0 mg diazinon per ekor (gambar 5). Ada diantara ginjalnya mengalami lisut dan berlubang-lubang.

Mencit yang mendapat perlakuan dengan berbagai pem-berian diazinon mengalami pembengkakan, berwarna merah bercairan pada paru-paru jika dibandingkan dengan kontrol. Salah satu diantaranya yaitu pada pemberian 1,0 mg diazinon per ekor mengalami udema paru-paru seperti terlihat pada gambar 6. KESIMPULAN Mencit yang mendapat perlakuan dengan berbagai tingkat pemberian diazinon per ekor memperlihatkan gejala klinis yang berbeda sesuai dengan tingkat pemberiannya. Mencit terlihat lemah, mata menyipit, salivasi, lakrimiasi, nafsu makan me-nurun, poliurea, bulu kusam, lordosis, tremor, feces cair dan beberapa diantaranya kejang setelah itu mati. Kecuali mencit yang memperoleh pemberian 0,0 mg diazinon per ekor.

Pertambahan berat badan mencit yang mendapat perlakuan dengan 0,0 mg diazinon per ekor mengalami kenaikan, jika

Gambar 2. Gambaran makroskopis jantung mencit yang mendapat

perlakuan 0,0 mg dengan 0,5 mg diazinon per ekor. Keterangan : (a) : Gambaran makroskopis jantung mencit yang mendapat perlakuan 0,0 mg

diazinon per ekor (kontrol). (b) : Gambaran makroskopis jantung mencit yang mendapat perlakuan 0,5 mg

diazinon per ekor memperlihatkan pembengkakan.

Gambar 3. Gambaran makroskopis jantung mencit yang mendapat

perlakuan 1,0 mg diazinon per ekor. Keterangan : (a) : Gambaran makroskopis jantung mencit yang mendapat perlakuan 1,0 mg

diazinon per ekor (kontrol) memperlihatkan pembengkakan dan hemoragi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 54

Page 56: Cdk 131 Malaria

Gambar 4. Gambaran makroskopis ginjal mencit yang mendapat

perlakuan 0,0 mg dengan 0,5 mg diazinon per ekor. Keterangan : (a) : Gambaran makroskopis ginjal mencit yang mendapat perlakuan 0,0 mg

diazinon per ekor (kontrol). (b) : Gambaran makroskopis ginjal mencit yang mendapat perlakuan 0,5 mg

diazinon per ekor memperlihatkan pembengkakan serta adanya perubah-an warna ginjal menjadi hitam kecoklatan.

Gambar 5. Gambaran makroskopis ginjal mencit yang mendapat

perlakuan 1,0 mg diazinon per ekor. (a) : Gambaran makroskopis ginjal mencit yang mendapat perlakuan 1 0 mg

diazinon per ekor memperlihatkan ginjal lisut dan berlubang-lubang. dibandingkan dengan pemberian 0,5 mg dan 1,0 mg diazinon per ekor. Hambatan pertambahan berat badan terlihat sangat nyata (P 0,01).

Tabel 6. Patologi anatomi ginjal mencit (Mus musculus) akibat berbagai pemberian diazinon.

Pemberian diazinon (mg per ekor)

Ulangan Perubahan 0,0 0,5 1,0 2,0 I Besar

Warna Normal

Coklat kehitaman

Bengkak2) Coklat

Bengkak Coklat kemerahan

Bengkak Coklat kehitaman

II Besar Coklat Merah

kehitaman

Bengkak3)

Warna Normal Bengkak

Hitam kecoklatan

Bengkak Coklat kemerahan

III Besar Warna

berlubang

Bengkak4)Normal Coklat

Bengkak Merah keputihan/ berlubang

Bengkak Coklat keputihan/

Coklat kehitaman

IV Besar Coklat

Bengkak6)

Merah kehitaman

Bengkak4)

Warna Normal

Hitam kecoklatan

Bengkak Coklat kehitaman

V Besar Warna

Normal Coklat

Bengkak Merah kecoklatan

Bengkak Coklat kemerahan

Bengkak 5)

Coklat kemerahan

Keterangan : 2) = mencit yang mati pada hari kedua 3) = mencit yang mati pada hari ketiga 4) = mencit yang mati pada hari keempat 5) = mencit yang mati pada hari kelima 6) = mencit yang mati pada hari keenam Tabel 7. Patologi anatomi ginjal mencit (Mus musculus) akibat berbagai

pemberian diazinon.

Pemberian diazinon (mg per ekor)

Ulangan Perubahan 0,0 0,5 1,0 2,0 I Besar

Warna Normal Merah

Bengkak Merah keputihan

Bengkak2) Merah muda

Bengkak Merah keputihan

II Besar Warna

Normal Merah

Bengkak Merah muda

Merah bercairan

Bengkak3)Bengkak Merah bercairan

III Besar Warna

Normal Merah Merah

bercairan

Bengkak4)Bengkak Merah muda

Bengkak Merah keputihan

IV Besar Warna

Normal Merah

Bengkak6) Merah bercairan

Bengkak4)

Merah muda

Bengkak Merah keputihan

V Besar Warna Merah

keputihan

Bengkak 5)Normal Merah

Bengkak Merah muda

Bengkak Merah keputihan

Keterangan : 2) = mencit yang mati pada hari kedua 3) = mencit yang mati pada hari ketiga 4) = mencit yang mati pada hari keempat 5) = mencit yang mati pada hari kelima 6) = mencit yang mati pada hari keenam

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 55

Page 57: Cdk 131 Malaria

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 56

SARAN

Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap dan me-yakinkan tentang toksisitas diazinon perlu dilakukan penelitian lanjutan yaitu pemeriksaan histo patologis dari organ-organ tubuh yang disebutkan di atas.

KEPUSTAKAAN

1. Suharto B. Obat dan Pengembangan Masyarakat Sehat, Kuat dan Cerdas.

Penerbit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 1975.

2. Mutschler E. Dinamika Obat. Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi (Diterjemahkan dari Arzneimittelwirkungen oleh Mathilda B. Widianto dan Anna Setiadi Ranti. Edisi 5. Penerbit ITN, Bandung; 1986.

3. Sastrodihardjo S. Pengantar Entomologi Terapan. Penerbit ITB, Bandung; 1979.

4. Natawiguna H. Pestisida dan Kegunaannya. Penerbit Armico. Bandung, 1982.

Gambar 6. Gambaran makroskopis paru-paru mencit diantara yang

mendapat perlakuan 1,0 mg diazinon per ekor. (a) Gambaran makroskopis mencit yang mengalami udema paru-paru akibat

pemberian 1,0 mg diazinon per ekor.

Semua patologi anatomi mencit memperlihatkan perubah-an pada hati, jantung, ginjal dan paru-paru pada berbagai tingkat pemberian diazinon per ekor. Hati, jantung, ginjal dan paru-paru terlihat membengkak, berwarna merah kehitaman. Pada jantung dan ginjal disertai belang-belang. Sedangkan pada paru-paru diantaranya perlakuan ada yang mengalami edema.

6. Sudjana. Metode Statistika. Edisi 3. Penerbit Tarsito, Bandung; 1984. 7. Steel RG, Torrie JH. Principles and Procedure of Statistic. 2nd ed.

McGraw-Hill Int Book Comp, Japan: Tokyo. 8. Blood DC, Henderson JA. Veterinary medicine 2nd ed. Baltimore: The

Williams and Wilkins Comp. 9. Radeleff RD. Veterinary Toxicology. 2nd ed. Philadelphia. USA: Lea and

Febiger. 10. Yoxal AT. Hird JF. Pharmacological Basic of Small Animal Medicine.

Blackwell Scientific Publications Oxford London Edinburgh Melbourne; 1979.

11. Jones LM. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. 2nd ed. The Iowa State Univercity Press; 1957.

for they are the first to discover your mistakes

5. Matsumura F. Toxicology of Insecticides. Plenum Press, New York and London; 1985.

12. Casarett LJ., Doull J. Toxicology. The Basic Science of Poisons. London: Bailliere Tindall, 1975.

13. Himawan S. Patologi Umum. Edisi pertama. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta; 1973.

14. Yuningsih. Kasus Keracunan Insektisida Organofosfat Diazinon Pada Hewan. Buletin Penyakit Hewan. 1988; XX (35)-9.

Pay attention to your enemies,

Page 58: Cdk 131 Malaria

HASIL PENELITIAN

Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat Kodya Batam Berkaitan

dengan Penularan Malaria

Suharjo, Helper Manalu

Staf Peneliti Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Rl, Jakarta

ABSTRAK

Kodya Batam merupakan kota Administratif yang kedudukannya setingkat dengan Kabupaten Daerah Tingkat II. Pesatnya pembangunan industri dan pariwisata menye-babkan banyak perubahan lingkungan yang cepat. Karena itu kondisi sosial dan ke-sehatan masyarakat perlu diperhatikan, apalagi bila ditinjau dari aspek kesehatan diketahui bahwa kasus malaria di daerah tersebut masih perlu mendapat perhatian.

Pada tahun 1992/1993 Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Ke-sehatan telah melakukan penelitian tentang habitat vektor serta status dan pola penularan malaria berkaitan dengan pembangunan di Kota Batam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui habitat vektor malaria, mengetahui keadaan dan sifat kejadian penularan malaria berkaitan dengan masalah sosial. Dalam makalah ini dibahas hasil penelitian tersebut dengan menyoroti aspek sosial khususnya masalah "Host” bagaimana sikap dan perilakunya yang berkaitan dengan penularan malaria, dan manfaatnya sebagai bahan informasi bagi upaya pemberantasan malaria.

Pengumpulan data dengan cara wawancara menggunakan pedoman kuesioner, terhadap 180 responden (Kepala Keluarga) dan disertai observasi lingkungan di enam desa penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang pemahaman terhadap penyakit malaria pada umumnya masih rendah. Sehingga perlu diupayakan pola penyuluhan kesehatan yang tepat kepada masyarakat, melalui berbagai media dengan melibatkan lembaga informasi dan peran aktif masyarakat.

PENDAHULUAN

Kotamadya (Kodya) Batam merupakan Kodya ke dua di Propinsi Riau, setelah Kodya Pekanbaru yang bersifat otonom, sedangkan Kodya Batam bersifat administratif yang kedu-dukannya setingkat dengan Kabupaten/Kodya Daerah Tingkat II lainnya. Dipandang dari letak geografisnya, Kodya Batam sangat strategis sebagai jalur perdagangan dunia dan pengem-bangan dunia wisata karena letaknya berdekatan dengan

Singapura. Untuk meningkatkan program industrialisasi maka pada tanggal 22 November 1973 Pemerintah telah menge-luarkan Keppres nomor 41 tahun 1973, yang menyatakan seluruh Pulau Batam sebagai Daerah Industri. Di samping itu Batam juga sangat strategis sebagai pengembangan dunia wisata, maka pada tanggal 9 Maret 1983 Pemerintah juga mengeluarkan Keppres nomor 15 tahun 1983 yang menyata-kan Kodya Batam sebagai pintu masuk wisatawan dari luar

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 57

Page 59: Cdk 131 Malaria

58

Jumlah responden mencakup 180 Kepala Keluarga (KK), yaitu ibu rumah tangga/penanggung jawab keluarga atau ang-gota keluarga yang dianggap mampu memberikan informasi/ keterangan dengan benar tentang malaria. Responden tersebut dipilih secara acak sebanyak 30 KK tiap Desa/Kampung, selan-jutnya pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan

menggunakan kuesioner terstruktur dan dilakukan observasi lingkungan oleh Tim Peneliti/Petugas Daerah yang telah ter-latih. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis se-cara deskriptif, kualitatif dan kuantitatif.

negeri. Sesuai dengan kondisi geografi yang sangat menguntung-

kan bagi kepentingan berbagai negara, maka Kodya Batam memerlukan kajian dari berbagai aspek, baik sosial, budaya maupun kesehatan. Khususnya di bidang kesehatan, sasaran utamanya adalah upaya peningkatan derajat kesehatan baik sehat secara fisik jasmani maupun rohani.

Menurut laporan Ditjen PPM & PLP di Kodya Batam pada bulan November dan Desember 1987, telah terjadi out break malaria dengan jumlah penderita 949 orang, dan yang mening-gal 18 orang; sedangkan jumlah penduduk pada saat itu baru mencapai 66.111 jiwa (sensus penduduk tahun 1990 - BPS).

Sementara dari Kantor Departemen Kesehatan setempat melaporkan bahwa, pada tahun 1990 penyakit malaria klinis merupakan urutan penyakit kedua dengan jumlah penderita selama satu tahun sebanyak 4.099 orang. Berdasarkan data ter-sebut maka penyakit malaria perlu mendapat perhatian Peme-rintah, yaitu dengan mencari pola/alternatif pemberantasannya melalui berbagai disiplin ilmu dan diantaranya melalui pen-dekatan ilmu sosial. sehingga diharapkan kesehatan penduduk dan wisatawan benar-benar dapat tercapai.

Seperti halnya penyakit lain pada umumnya, malaria sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Terdapat tiga faktor uta-ma yang saling mempengaruhi, jika digambarkan maka dia-gramnya sebagai berikut :

Dalam upaya pemberantasan malaria yang perlu diperhati-

kan adalah cara memutuskan mata rantai siklus kehidupan nyamuk malaria. Makalah ini membahas aspek sosial dari hasil penelitian habitat vektor serta status dan pola penularan malaria berkaitan dengan pembangunan di Kodya Batam Propinsi Riau, khususnya menyoroti masalah host bagaimana sikap dan peri-laku masyarakat, yang berkaitan dengan pola penularan penyakit malaria. Makalah ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan (informasi) dalam rangka menuntaskan malaria, khususnya di Kodya Batam dan di daerah endemis malaria di Indonesia.

METODOLOGI

Penelitian dilakukan pada tahun 1993 di enam wilayah Desa/ Kampung di Kodya Batam, yaitu : Pandan Wangi (Desa Sei Bedug), Teluk Mata Ikan (Desa Nongsa), Batu Besar (Desa Nongsa), Temiang/Tanjung Riau, Sekupang dan Telaga Punggur (Desa Kabil).

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengetahuan

Sebagian besar responden (80,6%) dari ke enam desa penelitian mengetahui secara benar bahwa penyakit malaria ditandai antara lain badan penderita terasa demam menggigil atau panas dingin; (Tabel 1). Kemudian terdapat 75,6% res-ponden yang mengetahui sebagai penyebab penyakit malaria adalah dari nyamuk malaria, sisanya menyebutkan penyebab-nya sebagai kutukan Tuhan, karena air kotor, keracunan makanan dan lain-lain (Tabel 2). Akan tetapi dari mereka yang menyebutkan nyamuk malaria sebagai penyebabnya, hanya sekitar 41,7% yang mengetahui dengan benar tanda- tanda nyamuk penular malaria yaitu kalau hinggap badannya menungging (Tabel 3).

Pengetahuan responden tentang cara mencegah penyakit malaria, terbanyak adalah upaya masyarakat dengan mem-bersihkan lingkungan, sekitar 46,7%, memakai obat nyamuk semprot 23,3%, minum obat/pil anti malaria 11,1 %, minum jamu/minuman tradisional 9,4%, pakai kelambu 3,9%, dan sekitar 5,6% reponden yang menjawab tidak tahu (Tabel 4).

Menurut jawaban responden yang dikumpulkan, mereka mengetahui bahwa tempat berkembangbiaknya nyamuk mala-ria yaitu pada genangan air kotor, rawa-rawa, sawah dan pada got saluran air sebanyak 59,4%, sedangkan jawaban yang lainnya menyebutkan pada penampungan air bersih seperti tempayan, bak mandi dan pot bunga sebanyak 20,6% (Tabel 5). Dari jawaban mereka yang terakhir ini terkesan mencampur adukkan, menyamakannya dengan kehidupan/perilaku nyamuk Aedes aegypti atau nyamuk demam berdarah dengue (DBD). Demikian juga dengan tanda-tanda nyamuk penular penyakit malaria sebagian responden menyebutkan sama seperti tanda- tanda nyamuk demam berdarah, yaitu warnanya lain (belang- belang hitam putih) 21,6% (Tabel 3), sehingga pengetahuan-nya tersebut dinilai kurang benar.

Sebenarnya hanya terdapat sekitar 37,2% responden yang mengetahui secara benar, bahwa nyamuk malaria itu biasa menggigit orang pada malam hari. Selebihnya menyebutkan salah, yaitu pada waktu pagi hari, siang hari atau sembarang waktu (Tabel 6). Menurut jawaban responden, cara terbanyak mencegah timbulnya penyakit malaria adalah dengan cara kerja bakti membersihkan lingkungan.

SIKAP

Sebagian besar jawaban responden (97,8%) menyatakan setuju terhadap upaya penyemprotan rumah untuk memberantas malaria yang dilakukan oleh Petugas Kesehatan. Demikian pula tentang pengambilan darah penduduk yang diambil melalui ujung jari tangan untuk sampel pemeriksaan laboratorium. Dari pernyataan mereka dapat diketahui bahwa ternyata semua menyadari dan mendukung setiap upaya pemberantasan malaria yang dilakukan oleh Pemerintah.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001

Page 60: Cdk 131 Malaria

Tabel 1. Pengetahuan responden mengenai tanda-tanda penderita sakit malaria di lokasi penelitian tahun 1993.

Desa I II III IV V VI

I - VI No. Tanda-tanda penderita sakit malaria Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % Jml %

1. Muka pucat 2 6,7 1 3,3 2 6;7 2 6,7 1 3,3 3 I 10,0 11 6,1 2. Nafsu makan

kurang 2 6,7 1 3,3 - - 3 10,0 1 3,3 2 6,7 9 5,0

3. Demam meng-gigil/Panas dingin

19 63,3 25 83,3 27 90,0 24 80,0 28 93,3 22 73.3 145 80,6

4. Badan lemas 5 16,7 - - - - - - - - l 3,3 6 3,3 5. Kepala terasa 2 6,6 1 3,4 1 3,3 1 3,3 - - 1 3,3 6 3,3 6. Tulang2 terasa

sakit - - 2 6,7 - - - - - - 1 3,4 3 1,7

Jumlah 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 180 100 Keterangan : Lokasi Penelitian Kodya Batam : 1. Desa Pandan Wangi III. Desa Batu Besar V. Desa Sekupang 11. Desa Teluk Mata Ikan IV. Desa Sei Temian VI. Desa Telaga Punggur

Tabel 2. Pengetahuan responden mengenai penyebab sakit malaria di lokasi penelitian tahun 1993.

Desa

I II III IV V VI I - VI

No. Penyebab sakit malaria

Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % Jml %

1. Nyamuk malaria 26 86,7 16 53,3 24 80,0 26 83,3 26 86,7 19 63,3 136 76,62. Keracunan - - - - - - 1 3,3 - - 2 6,7 3 1,7 makanan

3. Gangguan syaraf - - - - - - - - - - 2 6,7 2 1,1 4. Kutukan Tuhan - - - - - - - - - - 1 3,3 1 0,6 5. Udara/cuaca buruk - - - - - - 1 3,3 - - - - 1 0,6

6. Karena air kotor 2 6,7 3 7 23,3 2 6,7 1 3,4 2 6,7 10,0 17 9,4 7. Lingkungan kotor 2 6,6 7 23,4 4 2 13,3 6,7 2 6,6 3 10,0 20 11,1

Jumlah 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 180 100 Keterangan : Lokasi Penelitian Kodya Batam : 1. Desa Pandan Wangi III. Desa Batu Besar V. Desa Sekupang 11. Desa Teluk Mata Ikan IV. Desa Sei Temian VI. Desa Telaga Punggur

Tabel 3. Pengetahuan responden mengenai tanda-tanda nyamuk penular penyakit malaria di lokasi penelitian tahun 1993.

Desa

I 11 III IV V VI I - VI

No.

Tanda-tanda nyamuk penular penyakit malaria Σ Σ % Σ % Σ % % Σ % % Jml %

12 1.

Hinggap badan -nya menungging

12 40,0 11 36,7 13 43,3 40,0 16 60,0 12 40,0 75 41,7

2. Badannya rata dengan tempat permukaan

6 20,0 12 3 10,0 - - - - 3 10,0 - - 6,7

3. Badannya lebih kecil

2 6,7 1 3,3 3 10,0 2 6,7 - - 3 10,0 11 6,1

4. Badannya lebih besar

2 6,7 1 3,3 6 20,0 2 6,7 2 6,7 3 10,0 16 8,9

5. Warnanya lain (belang2 hitam putih)

6 20,0 6 20,0 6 20,0 7 23,3 8 26,7 6 20,0 39 21,6

6. Tidak tahu 2 6,6 8 26,7 2 6,7 7 23,3 2 6,6 6 20,0 27 16,0

Jumlah 30 100 100 30 100 30 100 30 100 30 100 30 180 100 Keterangan : Lokasi Penelitian Kodya Batam : 1. Desa Pandan Wangi III. Desa Batu Besar V. Desa Sekupang 11. Desa Teluk Mata Ikan IV. Desa Sei Temian VI. Desa Telaga Punggur

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 59

Page 61: Cdk 131 Malaria

PERILAKU

Penularan malaria dipengaruhi pula oleh adat kebiasaan (budaya) dan perilaku masyarakat sekitarnya dan didukung pula oleh kondisi lingkungan setempat. Hal ini dapat tercermin dari mobilitas wisatawan yang datang dari manca negara dan menginap di Kodya Batam yang diperkirakan selama satu tahun saja mencapai 614.294 orang (Biro Pusat Statistik - 1990).(2)

Kemudian dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan penduduk bepergian menginap ke luar Kodya Batam adalah 1 kali sampai 4 kali sebulan sebanyak 8,9%, lebih dari 4 kali sebulan 5,0% dan 1 kali sebulan ke atas 25%. Tetapi juga terdapat sekitar 33,3% responden mengaku tidak pernah bepergian menginap ke luar Kodya Batam atau ke desa lain.

Tempat yang dituju menginap di luar Kodya Batam adalah:

Tabel 4. Pengetahuan responden mengenai cara mencegah penyakit malaria di lokasi penelitian tahun 1993.

Desa I II III IV V VI

I - VI No. Cara mencegah

penyakit malaria Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % Jml %

1. Pakai kelambu 2 6,7 - - 1 3,3 1 3,3 2 6,7 1 3,3 7 3,9 2. Minum obat/ pil

anti malaria 4 13,3 4 13,3 1 3,3 5 16,7 4 13,3 2 6,7 20 11,1

3. Dengan obat nyamuk semprot/ bakar

4 13,3 9 30,0 14 46,7 3 10,0 6 20,0 6 20,0 42 23,3

4. Minum jamu tradisional

2 6,7 3 10,0 1 3,4 3 10,0 4 13,4 4 13,3 17 9,4

5. Bersihkan lingk. buruk

14 46,7 13 43,4 13 43,3 17 66,7 13 43,3 14 46,7 84 46,7

6. Tidak tahu 4 48,7 1 3,3 - 6,7 1 3,3 1 3,3 3 10,0 10 6,6

Jumlah 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 180 100 Keterangan : Lokasi Penelitian Kodya Batam : 1. Desa Pandan Wangi III. Desa Batu Besar V. Desa Sekupang 11. Desa Teluk Mata Ikan IV. Desa Sei Temian VI. Desa Telaga Punggur

Tabel 5. Pengetahuan responden mengenai tempat berkembangbiaknya nyamuk malaria di lokasi penelitian tahun 1993.

Desa I II III IV V VI

I - VI No.

Tempat berkem- bangbiaknya nyamuk malaria Σ % Σ % Σ %a Σ % Σ % Σ % Jml %

1. Genangan air kotor; rawa-rawa, sawah, got saluran air

24 80,0 12 20 56,7 17 107 40,0 66,7 17 66,7 17 56,7 69,4

2. Penampungan air bersih tem-payan, bak mandi, pot bunga

2 6,7 7 6 20,0 9 30,0 5 16,7 8 26,7 37 20,6 23,3

3. Semak-semak/ hutan 1 3,3 3 10,0 3 10,0 2 6,7 3 2 6,7 14 10,0 7,8 4. 3 8 3,3 2 6,6 6 3 Tidak tahu 10,0 3,3 1 16,6 10,0 22 12,2

Jumlah 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 180 100 Keterangan : Lokasi Penelitian Kodya Batam : 1. Desa Pandan Wangi III. Desa Batu Besar V. Desa Sekupang 11. Desa Teluk Mata Ikan IV. Desa Sei Temian VI. Desa Telaga Punggur

Tabel 6. Pengetahuan responden mengenai kebiasaan nyamuk malaria menggigit orang di lokasi penelitian tahun 1993.

Desa I II III IV V VI

I - VI No.

Kebiasan nyamuk malaria menggigit orang Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % Jml %

1. Malam hari 12 40,0 14 46,7 30,0 13 43,3 9 30,0 9 14 46,7 67 37,2 2. 6 20,0 Siang hari 11 36,7 8 26,7 7 23,3 7 23,3 7 23,3 47 26,1 3. Pagi hari 4 13,3 6 16,7 3 10,0 3 10,0 1 3,3 24 13,3 3 10,0 4. Sore hari 3 10,0 1 3,3 6,7 6 20,0 6 20,0 6 16,7 23 12,8 2 5. Sembarang waktu - - 2 6,6 16,7 6 5 16,7 6 16,7 4 13,3 19 10,6

Jumlah 30 100 30 100 30 100 30 100 100 30 100 180 100 30 Keterangan : Lokasi Penelitian Kodya Batam : 1. Desa Pandan Wangi III. Desa Batu Besar V. Desa Sekupang 11. Desa Teluk Mata Ikan IV. Desa Sei Temian VI. Desa Telaga Punggur

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 60

Page 62: Cdk 131 Malaria

Jakarta 3,3%, Sumatera (Padang, Riau, Pekanbaru, Dumai) 25,8%, Jawa Tengah 3,3%, Malaysia/Singapura 7,5%, Pulau Sumbu 6,6%, Tanjung Balai Karimun 3,3%. Desa lain di Kodya Batam antara lain Tanjung Uban 9,2%, Batam Besar 5,5%, Sei Baloi 6,6%, Duri Angkang 3,3%. Rata-rata lama mereka menginap di tempat yang dituju selama 3 hari. Selama bepergian di tempat menginap, waktu tidur malam hari mereka yang mengaku menggunakan kelambu sekitar 14,9%, memakai obat nyamuk 53,7% dan yang tidak memakai sarana apapun sebanyak 31,4%. Kemudian terdapat 72 KK yang biasa kedatangan tamu menginap. Jumlah tamu yang menginap rata- rata sebanyak 2,7% orang/bulan per KK. Sebaliknya terdapat sebanyak 108 (60%) rumah KK mengaku tidak pernah keda-tangan tamu menginap. Tamu yang menginap tersebut berasal dari luar Kodya Batam yaitu : Sumatera (Riau, Tanjung Pinang) 33,3%, Malaysia/Singapura 11,1%, Makasar (Selayar) 9,7%, Jakarta 8,3%, Sumbawa4,2%, Kalimantan 2,8%, Jawa Timur 2,8% dan Bandung 1,4%. Sedangkan yang berasal dari desa lain di Kodya Batam adalah: Batam Center 4,2%, Tanjung Balai 2,8%, Sungai Panas 2,8%, Pelita 1,4%, Sekupang 1,4%, Duri Angkang 1,4%, Kabil 1,4%, Tanjung Uban 1,4% dan Bangkong 1,4%. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan, bahwa mobilitas penduduk dan kebiasaan pergi menginap dari dan keluar Pulau Batam merupakan salah satu faktor penularan penyakit malaria.

Hasil pengamatan (observasi) menunjukkan bahwa sebagi-an besar rumah penduduk (73,3%) dilengkapi dengan lubang angin (ventilasi) narnun sebagian besar tidak dipasang kawat kasa. Hanya sekitar 17,8% saja rumah responden yang ven-tilasinya dipasang kawat kasa. Selanjutnya kondisi lantai dan dinding rumah yang terbuat dari papan yang kurang rapat, sehingga memungkinkan celah-celahnya dapat dimasuki nya-muk (75,6%). Kondisi bangunan rumah tersebut memungkin-kan nyamuk malaria pada malam hari masuk ke dalam rumah dan menggigit manusia yang sedang tidur. Sedangkan keadaan kebersihan di sekitar rumah terlihat masih belum sehat (kotor), dari hasil pengamatan lingkungan sekitar rumah responden juga menunjukkan sekitar 40,0% terdapat genangan air secara terus menerus (rawa-rawa, empang), meskipun tidak musim hujan.

Kemudian saluran air limbahnya juga belum ditata dengan baik, sehingga airnya tidak mengalir dan menimbulkan genang-an (54,4%). Dari hasil pengamatan juga ditemukan 31,1% dari saluran limbah rumah tangga tersebut mengandung larva. Dari kondisi rumah/tempat-tempat tersebut di atas nyamuk malaria mudah berkembang biak dan berpotensi penularan dari pen-derita yang satu ke penderita yang lain.

Aspirasi, saran dari para responden untuk mencegah pe-nyakit malaria di Desa/Kampungnya, 44,4% mengusulkan penyemprotan oleh Petugas Kesehatan pada rumah penduduk dengan obat nyamuk/insektisida yang tidak menimbulkan bekas/noda pada dinding rumah seperti obat DDT yang pernah digunakan, sedikitnya satu bulan sekali. Di samping itu terdapat

KESIMPULAN

Dari pembahasan hasil penelitian di Kodya Batam Propinsi Riau tahun anggaran 1992/1993, maka berdasarkan hasil wa-wancara dengan masyarakat di enam desa lokasi penelitian dapat disimpulkan masalah sosial yang berkaitan dengan pe-nyakit malaria adalah sebagai berikut : 1. Pembangunan di Kodya Batam sebagai daerah industri,

perdagangan dan tempat tujuan wisatawan dari manca negara menunjukkan perkembangan sangat cepat, sehingga terjadi perubahan lingkungan yang dapat menimbulkan dampak penting, diantaranya penularan penyakit malaria.

2. Mengenai perilaku sehat (pengetahuan, sikap dan perilaku) masyarakat di ke enam desa penelitian umumnya masih rendah, khususnya yang menyangkut penyakit malaria.

3. Diperlukan pola/alternatif penyuluhan kesehatan yang tepat baik dari segi waktu maupun metodenya kepada masyarakat, khususnya tentang masalah penyakit malaria yaitu melalui berbagai media dengan melibatkan lembaga informasi dan peranserta aktif masyarakat secara berke-sinambungan. Kemudian masyarakat menghendaki agar dilakukan penyemprotan rumah secara teratur dengan obat (insektisida) yang tidak menimbulkan noda seperti DDT.

41,1 % responden menyarankan agar diadakan penyuluhan ke-sehatan lingkungan yang kontinu, teratur dan terarah.

UCAPAN TERIMA KASIH

KEPUSTAKAAN

1. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkunan Pemukiman, 1990. Penanganan Penyakit Malaria di Daerah Otorita Batam dan Daerah Wisata di Kabupaten Dati II Riau Kepulauan, Jakarta.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kodya Batam beserta staf dan karyawannya yang telah memberikan kemu-dahan dan.fasilitas, sehingga penelitian dapat terlaksana tepat pada waktunya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sdr. Tatang Hidayat, B.Sc, dkk yang telah berkenan membantu dalam hal pengumpulan data. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Bapak Drs. M. Soekirno dan Bapak Kusnindar, SKM yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan makalah ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan taufik dan hidayah kepadanya. Amien.

2. Kodya Batam Dalam Angka, tahun 1990, Biro Pusat Statistik, Jakarta. 3. Kantor Departemen Kesehatan Kodya Batam. Buku Laporan Kunjungan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, di Pulau Batam, tanggal 25-26 April 1991, halaman 11.

4. WHO. World malaria situation in 1992. Weekly, Epidemiol. Record. 1994; 69-309-14.

5. Soekirno M, dkk. Laporan Akhir Penelitian Habitat Vektor Serta Status dan Pola Penularan Malaria Berkaitan Dengan Pembangunan di Kodya Batam, Propinsi Riau. Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehat-an, Jakarta; 1993.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 61

Page 63: Cdk 131 Malaria

Pengalaman Praktek

Satu Kasus Penggunaan Profertil

Sudah dua tahun Anton dan Sari memadu kasih dalam suatu mahligai perkawinan;

keduanya berbahagia dalam menjalin kehidupan berumah tangga. Anton seorang eksekutif muda dari suatu perusahaan yang ternama sedang Sari bekerja di suatu kantor perusahaan properti.

Suasana sedikit suram bila mereka berkunjung ke orang tua mereka. Di antara gelak tawa riang dalam pertemuan keluarga, sering mereka menjadi suram bila ibu mertua menanyakan kapan cucunya hadir. Pertanyaan seperti itu membuat Sari merasa sedih, hampir menangis.

Sebenarnya Anton dan Sari sudah memeriksakan ke dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi langganannya yang baik sekali. Analisis sperma Anton normal, sedangkan Sari mengidap kista coklat yang perlu dioperasi laparaskopi. Setelah lama dipikirkan dan setelah merasa sangat kesepian akhirnya Sari dengan persetujuan suaminya, menjalani operasi laparaskopi untuk memperbaiki indung telumya, dilanjutkan dengan pengobatan di antaranya dengan obat penyubur Profertil®. Akhirnya Sari mengandung dan setelah tahun ke tiga perkawinannya lahirlah seorang bayi yang sehat.

dengan Profertil Mulanya sepasang pengantin yang baru 4 hari menikah datang ke tempat praktek

dokter agar dapat segera mempunyai keturunan. Setelah berkonsultasi dan diadakan pemeriksaan, dokter menemukan tumor yang sudah cukup parah pada kedua ovariumnya. Dengan besar hati ibu ini menerima keadaan dan menjalani operasi pengangkatan indung telur untuk menyelamatkan jiwanya. Operasi dilakukan untuk mengangkat indung telur tersebut dengan menyisakan sedikit jaringan ovarium yang masih dapat berfungsi dengan risiko tumornya akan tumbuh lagi.

Pasca operasi diberikan preparat Profertil® dengan dosis 5 tablet/bulan selama 4 bulan berturut-turut. Dan sekitar bulan Oktober 1998, dengan mengucap puji syukur kepada Allah, ibu ini berhasil hamil.

dr. Bambang Y.M.

Pengalamanku Sebenarnya kehamilan adalah suatu proses yang alamiah, tetapi pada kasus ini

merupakan kejadian yang sulit dan hanya kebesaran Allah-lah yang menentukannya.

Ditulis oleh Budi Suranto sesuai penuturan dr. Tatang Surahmsn, DSOG Bandung

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 62

Page 64: Cdk 131 Malaria

ABSTRAK

Penggunaan estrogen atau estro-gen + medroksiprogesteron asetat ke-duanya menurunkan kadar LDL kho-lesterol (9,4% dan 16,1%) dan menaik-kan kadar HDL kholesterol (18,8% dan 14,2%).

N. Engl. J. Med. 2000; 343: 522-9

Brw

N. Engl. J. Med. 2000; 343: 450-6

Brw

Scrip 1999; 2493: 26 Brw

TRANSPLANTASI TANGAN

MANFAAT GINKGO BILOBA Setelah beberapa laporan yang

menunjukkan manfaat ekstrak Ginkgo biloba terhadap perbaikan daya ingat, penelitian atas 214 orang lanjut usia di Belanda yang mendapat ekstrak Egb 761 atau plasebo selama 24 minggu tidak menunjukkan perbaikan ber-makna dibandingkan dengan kelompok kontrol/plasebo.

Para peneliti menduga bahwa hasil yang berbeda ini mungkin disebabkan oleh penggunaan plasebo yang lebih sempurna, atau karena populasinya ter-diri dari segala jenis gangguan daya ingat.

Lancet 2000; 356: 1219-23 Brw

PENGARUH ESTROGEN TER-HADAP PEMBULUH KORONER

Untuk lebih memahami pengaruh estrogen terhadap penyakit koroner di kalangan wanita, sejumlah 309 wanita penderita penyempitan pembuluh da-rah koroner yang terbukti dari peme-riksaan angiografi secara acak men-dapat 0.625 mg conjugated estrogen/ hari, atau 0,625 mg conjugated estro-gen + 2,5 mg medroksiprogesteron asetat/hari, atau plasebo. Mereka di-pantau selama rata-rata 3,2 ± 0,6 tahun.

Meskipun demikian, hal tersebut tidak mempengaruhi proses ateros-klerosis koroner, karena diameter rata- rata dari masing-masing ketiga kelom-pok tersebut tidak berbeda bermakna; yaitu 1,87 ± 0,02 mm pada kelompok estrogen, 1,84 ± 0,02 mm pada kelompok estrogen + medroksiproges-teron asetat dan 1.87 ± 0,02 mm pada kelompok plasebo.

Kejadian/keluhan kardiovaskuler juga tidak berbeda bermakna di antara ketiga kelompok tersebut.

GEN PETANDA ALZHEIMER Sampai saat ini adanya alel ep-

silon4 pada gen apolipoprotein E (AP-OE) dianggap merupakan faktor risiko genetik bagi penyakit Alzheimer.

Tigapuluh orang berusia 47-82 tahun yang normal, 16 di antaranya pembawa alel epsilon4 dan 14 lainnya pembawa alel epsilon3 diuji daya ingatnya.

Ternyata pada kegiatan mengingat kembali (recall) para pembawa gen APOE epsilon4 menunjukkan pening-

katan aktivitas hipokampus yang lebih besar (1,03% vs. 0,62%) dan lebih banyak area otak yang teraktivasi (15,9 ± 6,2 vs. 9,4 ± 5,5 p=0.005) diban-dingkan dengan para pembawa gen APOE epsilon3.

Studi lanjutan selama 2 tahun me-nunjukkan bahwa besarnya peningkat-an aktivasi sejajar dengan derajat pe-nurunan daya ingat.

Dari data ini dianggap bahwa makin besarnya aktivasi menggambar-kan lebih besarnya usaha mengingat.

VIGABATRIN

Sabril@ (vigabatrin), suatu obat anti epilepsi yang mulai digunakan sejak 1989, ternyata menyebabkan gangguan lapangan pandangan pada sepertiga penggunanya.

Gangguan tersebut agaknya ire-versibel meskipun pengobatan dihenti-kan.

Oleh karena itu, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan oftalmologik berkala tiap 6 bulan, dan selain itu dosis maksimum yang dianjurkan turun dari 4 g/hari menjadi 3 g/hari.

HISTEREKTOMI DAN INKON-TINENSIA URIN

Dari 12 laporan penelitian yang memenuhi syarat hasil penelusuran artikel MEDLINE sejak Januari 1996 sampai dengan Desember 1997, me-ngenai komplikasi histerektomi, disim-pulkan bahwa di kalangan wanita yang menjalani histerektomi, risiko inkon-tinensia urin di usia 60 tahun me-ningkat sampai 60% (95%Cl: 1,4 - 1,8).

Risiko ini tidak meningkat se-belum usia 60 tahun.

Lancet 2000: 356: 535-39 Brw

Para ahli bedah di Louisville, AS melaporkan keberhasilan transplantasi telapak tangan kiri berasal dari pria 58 tahun yang telah meninggal dunia ke pria 37 tahun yang telah kehilangan tangan kirinya sejak 13 tahun yang lalu.

Reaksi jaringan diatasi dengan metilprednisolon iv dan takrolimus dan klobetasol topikal. Setelah 1 tahun sen-sibilitas tangan 'baru' tersebut kembali normal dan dapat berfungsi melempar bola, memegang suratkabar, menulis dan mengikat tali sepatu.

N. Engl. J Med 2000: 343: 468-73

Brw

Lancet 2000; 356: /333 Brw

RISIKO ANTIPSIKOTIK

Penggunaan obat antipsikotik beri-siko tromboemboli vena sebesar 7,1 kali (95%Cl: 2,3 - 21,97) lebih besar daripada bukan pengguna.

Khlorpromazin dan tioridazin lebih berisiko dibandingkan dengan halo-peridol -24,1 (3,3 - 172,7) kali vs. 3,3 (0,8 - 13,2) kali; dan risiko ini ter-utama pada bulan-bulan pertama peng-gunaan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001 63

Page 65: Cdk 131 Malaria

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. B. thuringiensis efektif membunuh larva :

a) An. aconitus b) C. quinquefasciatus c) Ae. aegypti d) Semua benar e) Semua salah

64

2. B. thuringiensis tersebut merupakan : a) Pestisida golongan organokhlorin

c) Disebar/dilarutkan ke dalam air d) Dioleskan sebagai repellent

d) Dioleskan sebagai repellent

a) Pl. falciparum

b) Pestisida golongan karbamat c) Bakteri d) Fungi e) Virus

3. B. thuringiensis ini digunakan dengan cara : a) Diminum sebagai obat antimalaria b) Disemprotkan ke lingkungan rumah

e) Disuntikkan 4. Senyawa tinokrisposid sebagai anti malaria dikembang kan/berasal dari :

a) Formulasi kimiawi b) Virus c) Fungi d) Tumbuhan e) Bakteri

5. Senyawa tersebut digunakan dengan cara: a) Diminum sebagai obat anti malaria b) Disemprotkan ke lingkungan rumah c) Disebar/dilarutkan ke dalam air d) Dioleskan sebagai repellent e) Disuntikkan

6. Sedangkan senyawa permethrin digunakan dengan cara : a) Diminum sebagai obat anti malaria b) Disemprotkan ke lingkungan rumah c) Disebar/dilarutkan ke dalam air

e) Disuntikkan 7. Insektisida berbahan kimia .sintetik digunakan dengan cara :

a) Diminum sebagai obat anti malaria b) Disuntikkan c) Disemprotkan ke lingkungan rumah d) Disebar/dilarutkan dalam air e) Semua bisa

8. Malaria serebral merupakan komplikasi malaria akibat infeksi :

b) Pl. vivax c) Pl. malariae d) Pl. ovale e) Semua bisa

9. Malaria serebral tersebut akibat : a) Infeksi plasmodia di jaringan otak b) Sepsis c) Toksin yang dihasikan plasmodia d) Gangguan aliran darah e) Abses

10. Obat terpilih untuk mengatasi malaria serebral : a) Klorokuin b) Pirimetamin c) Sulfadoksin d) Kina e) Semua bisa

JAWABAN :1. D2. C3. C4. D5. A6. B7. C8. A9. D 10. D

Power is strengthened by union

Cermin Dunia Kedokteran No. 131, 2001