67

Cdk 086 Masalah Anak

  • Upload
    revliee

  • View
    3.158

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Cdk 086 Masalah Anak
Page 2: Cdk 086 Masalah Anak

CCeerrmmiinn DDuunniiaa KKeeddookktteerraann

Daftar Isi : 2. Editorial

4. English Summary

Artikel :

5. Cakupan Imunisasi dan Morbiditas Penyakit Campak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat – Imran Lubis, Djoko Yuwono

10. Kekebalan terhadap Pertusis pada Bayi usia 6–36 bulan yang Tidak Diimunisasi di Daerah Kumuh dan Keadaan Sosialnya – Muljati Pro janto, Rabea Pangerti Yekti, Farida S, Sumarno, Siti Mariani S, Hambrah Sri Wuryani

15. Infeksi Ulang Rotavirus pada Anak Sehat di Kotamadya Bandung, Jawa Barat–Djoko Yuwono, Eko Rahardjo, Imran Lubis, Suhar-yono W, Sutoto

20. Pola Kuman Penyebab Diare Akut pada Neonatus dan Anak – Pudjarwoto Triatmodjo

24. Parasit Usus pada Balita Penderita Diare di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Kuningan – Suwarni, Eko Rahardjo, Harijani AM

27. Keadaan Rongga Mulut Anak Usia kurang dari 2 tahun di Poliklinik RSU Penyabungan – Charles Darwin Siregar, Bidasari, Ikhwan HH

30. Diaknostik Talasemia dan Kepentingannya - Sunarto 36. Penggunaan Imunoglobulin Dosis Tinggi pada Purpura Trombo–

sitopenik Idiopatik Khronik Anak – Charles Darwin Siregar 40. Lupus Eritematosus Sistemik – laporan kasus – Julia K Kadang,

Julius Roma Andilolo 43. Rachitis – laporan kasus – Herry D Nawing, Satriono, JS Lisal 46.

Atresia Bilier – Parlin Ringoringo 51. Hernia Inguinalis Lateralis pada Anak-anak – Made Kusala Giri,

Farid Nur Mantu 56. Invaginasi pada Anak dan Bayi – Muh. Husain, Farid NurMantu 58. Malaria Serebral – laporan kasus – M Anto Artsanto 61. Humor Kedokteran 62. Abstrak 64. R.P.P.I.K.

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

86. MasalahAnak Juli

1993

1995

Page 3: Cdk 086 Masalah Anak

Cermin Dunia Kedokteran No. 86, 1993 2

Salah satu indikator kesehatan suatu bangsa ialah derajat kesehatan anak, yang biasanya diukur melalui angka kematian anak, cakupan imunisasi dan parameter parameter lainnya.

Cermin Dunia Kedokteran kali ini menyoroti berbagai masalah kesehatan anak dari berbagai aspek; masalah imunisasi tentu menjadi fokus utama, di samping penyakit-penyakit lain seperti talasemia dan purpura trombositoponik idiopatik. Tidak ketinggalan pula pembahasan mengenai tindakan bedah pada hernia inguinalis dan invaginasi yang terutama diderita oleh anak.

Mungkin saja artikel yang ada masih belum mencakup masalah kesehatan anak secara keseluruhan, tetapi mudoh-mudahan dapat memberikan gambaran atas variasi kelainan yang mungkin ditemukan di kalangan anak.

Semoga memuaskan.

Redaksi

Page 4: Cdk 086 Masalah Anak

Cermin Dunia Kedokteran No. 86, 1993 3

CCeerrmmiinn DDuunniiaa KKeeddookktteerraann

REDAKSI KEHORMATAN – Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro

Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. R.P. Sidabutar

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra

Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– Drg. I. Sadrach Lembaga Penelitian Univesitas Trisakti, Jakarta – DR. Arini Setiawati

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

REDAKSI KEHORMATAN

KETUA PENGARAH Dr Oen L.H.

KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W

PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi

PELAKSANA Sriwidodo WS

TATA USAHA Sigit Hardiantoro

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 Fax. 4893549. 4891502

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

PENCETAK PT Midas Surya Grafindo

– Dr. B. Setiawan Ph.D – DR. Ranti Atmodjo

– Drs. Victor S Ringoringo,SE,MSc. – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau di-bacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem-baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta.

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

1995

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulisdan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempatkerja si penulis.

Page 5: Cdk 086 Masalah Anak

Cermin Dunia Kedokteran No. 86, 1993 4

English Summary INTESTINAL PARASITES INFECTIONS AMONG DIARRHEA PATIENTS IN PANDEGLANG AND KUNINGAN Suwarni, Eko Raharjo, Harijani AM Communicable Diseases Research Centre, Health Research and Develop-ment Board, Department of Health, Indo-nesia, Jakarta

The study on intestinal parasite

was done in Kabupaten Pande-glang and Kuningan (Sept '89 –March '90) as a part of diarrhoeal etiological study. The objective of the study is to obtain the pre-valence of intestinal parasite in diarrhoeal cases in children under five years of age. Stools were collected from patients in two Health Centers and two Hospitals and were prepared with formalin 5% and Poly Vinyl Alcohol (PVA). Smear examinations were done directly from the samples, using Formalin Ether Concentration Technique and Modified Ziehl-Neelsen.

Out of 404 stool samples examined, most of the infections were intestinal parasite infec-tion/Protozoa, including the stools from 3 patients with the age of less than 3 months. Cryp-tosporidium had been also de-tected in this study.

Cermin Dunia Kedokt. 1993; 86: 24–6

Sw, Er, Hr

HYGIENE OF ORAL CAVITIES AMONG CHILDREN LESS THAN 2-YEAR OLD IN PENYABUNGAN OUTPATIENT CLINIC

Charles Darwin Siregar, Bidasari, Ikhwan HH. Penyabungan General Hospital, South Tapanull, North Sumatra, Indonesia

A prospective study on the

condition of oral cavity of chil-dren aged 2 years who visited Out Patient Clinic.in Penyabung-an General Hospital was con-ducted on every Thursday from 5th December 1991 up to 30th January 1992.

During this period there were 1365 patients, 63 of them with diarrhoea, 41 with fever, 14 with anorexia, 8 with carbuncles, 2 with dyspnoe, 2 with otorrhea, 2 with itching, and 3 with gum bleeding.

Oral hygiene score associated with group DI-S0.0-0.6 were found in only 74 (54,81%) patients, and the oral hygiene of children which were still breastfed were better than the weanling. The parents' attention and knowledge on children's oral hygiene were minimal.

Delayed eruption was ob-served in 47 patients while 3 of them had malposition of the teeth.

Dry mouth were found 105 patients, 97 among them were associated with dehydration.

Stool examination in diarrhoea patients revealed 28 "Candida albicans" cases and all of them

also suffered oral thrush.

Cermin Dunia Kedokt. 1993; 86: 27–9 Cds, Bs, Iw

DIAGNOSTICS OF THALASSEMIA

Sunarto Department of Child Health, Faculty of Medicine, GaJah Mada University/Dr. Sardjito General Hospital, Yogyakarta, Indonesia

Thalassemias are genetically

inherited anemias due to dimi-nished or absence of globin syn-thesisthat makes up hemoglobin. There are various types of tha-lassemias due to the various types of globin chain defect, but -tha-lasemia and β-thalassemia are the thalassemias that are of clini-cal importance. Various labora-tory tests are needed in the diag-nosis of thalassemia, from the simple and routine tests to more technically demanding tests like globin synthesis analysis and DNA analysis. The needed tests are in accordance with our goal, either for clinical diagnosis, screening program or prenatal diagnosis. Advances in the diagnostics in thalassemia have brought a great benefit to the thalassemia con-trol program.

Cermin Dunia Kedokt. 1993; 86;30–5

Sn

Page 6: Cdk 086 Masalah Anak

Artikel

Cakupan Imunisasi dan Morbiditas Penyakit Campak

di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat

Imran Lubis, Djoko Yuwono Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Penyakit Campak (Measles), merupakan suatu penyakit menular yang banyak menyerang golongan umur anak terutama balita (bawah lima tahun). Dalam dekade terakhir ini insidens penyakit campak tampak cenderung terus menurun. Incidence rate campak pada balita menurut data dari Sub. Dit. Surveillance, Dit. Jen. P2M&PLP pada tahun 1989 adalah 26,3/10.000 ke-mudian menurun menjadi 17/10.000 pada tahun 1990. CFR (Case Fatality Rate) penyakit campak pada tahun 1985 masih sebesar 3,5% dan lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1990 menurun menjadi 2,12%. Sedangkan cakupan imunisasi campak tahun 1989 adalah 64,2% dan tahun 1990 naik menjadi 68,4%.

Perubahan profil epidemiologi penyakit campak yang se-makin menunjukkan penurunan tersebut di atas, menjadi suatu pertanda agar program juga sudah mulai melakukan perubahan alokasi kebutuhan pelayanan kesehatan dan perubahan kebu-tuhan peningkatan kesehatan. Penurunan insidens campak, di samping karena peningkatan cakupan imunisasi, disebabkan juga karena terjadinya perubahan demografi, perubahan epide-miologi, kecenderungan global di bidang sosial, peningkatan ekonomi, industrialisasi, urbanisasi, perubahan perilaku/gaya hidup yang menyebabkan risiko tertular penyakit menjadi tu-run. Di samping keadaan yang menggembirakan tadi, kita ke-tahui juga bahwa pembangunan kesehatan tidak akan dapat secara merata dinikmati oleh seluruh wilayah di Indonesia, terutama di daerah terpencil yang miskin akan infrastruktur ke-sehatan. Daerah seperti ini, untuk beberapa lama akan masih tetap mempunyai profit epidemiologi yang lama, yaitu masih endemisnya penyakit campak dan penyakit menular lainnya.

Oleh karena itu, besarnya permasalahan epidemiologi penya-kit campak dari waktu ke waktu di suatu daerah tertentu, perlu dipantau oleh pemegang program agar dapat dilakukan evaluasi program, menentukan cost-benefit program dan menentukan

prioritas tindakan pelaksanaan program di kemudian hari. Penelitian ini merupakan salah satu hasil dari suatu peneli-

tian campak, yang akan mengungkapkan masalah cakupan imunisasi dan morbiditas penyakit campak di Kabupaten Suka-bumi dan Kuningan Jawa Barat, dilakukan oleh Kelompok Peneliti Penyakit Menular Lainnya, Puslit Penyakit Menular, Badan Litbangkes. BAHAN DAN CARA

Bahan dan cara kerjapenelitian ini sama dan telah dijelaskan pada laporan penelitian lain yang berjudul "Partisipasi Masya-rakat terhadap Penyakit Campak di 2 Kabupaten di Jawa Barat". Selain hal-hal yang tertulis sama, di sini jugadijelaskan mengenai adanya perbedaan variabel yang diukur.

Jenis penelitian Bentuk penelitian ini adalah cross sectional.

Tempat dan waktu penelitian Waktu penelitian adalah tahun 1991–1992. Tempat penelitian adalah di dua kabupaten di Jawa Barat

yang mempunyai perbedaan antara lain : – Cakupan imunisasi campak berbeda, walaupun di sekitar 80%. – Satu daerah perkotaan dan satunya lagi daerah pedesaan. – Keduanya belum pernah melaporkan KLB Campak dalam 3 tahun terakhir Populasi sampel

Jumlah sampel untuk masing-masing daerah penelitian, adalah 400 orang. Responden adalah orangtua anak yang ber-tempat tinggal di daerah penelitian.

Cara memilih lokasi penelitian : sccara two stage cluster sampling menurut WHO, dengan unit terkecil desa.

Page 7: Cdk 086 Masalah Anak

Koleksi Data Cara koleksi data dengan menggunakan kuesioner khusus,

yang diisi pada waktu melakukan wawancara dengan orangtua anak.

Variabel yang diukur adalah : – Umur – Pekerjaan – Jumlah anak – Cakupan vaksinasi campak – Angka Kesakitan campak menurut jumlah penghuni, kamar. – Gejala dan pengobatan penderita campak. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer IBM PC Compatible, dengan menggunakan program EPI INFO versi 5.01. Analisis Data

Penelitian ini akan melakukan metoda analisis deskriptif untuk menghasilkan data berupa tabel frekuensi dari berbagai macam variabel tentang imunisasi dan morbiditas penyakit campak. Keterbatasan Hasil Penelitian

Hanya menggambarkan keadaan dua kabupaten di Jawa Barat dan kabupaten lain yang mempunyai persamaan, bukan menggambarkan keadaan secara nasional. HASIL DAN DISKUSI

Dipilih dua lokasi penelitian di Propinsi Jawa Barat yaitu : 1) Kabupaten Sukabumi yang mewakili suatu daerah perko-taan, menurut kriteria Biro Pusat Statistik, belum pernah me-laporkan KLB Campak, dan dengan cakupan imunisasi campak (1988–1991) : 88,5%–92,2%; dan 2) Kabupaten Kuningan, yang mewakili daerah pedesaan, yang juga belum pernah melaporkan KLB Campak, cakupan imu-nisasi campak (1988–1991) : 91,0%–103,6%.

Jumlah kuesioner yang telah diisi adalah 1241 buah, yang berarti telah melampaui target sampel sebesar 800. Jumlah sampel untuk setiap variabel dapat berbeda, tergantung jumlah responden yang mengisi masing-masing pertanyaan yang diajukan.

Umur rata-rata seluruh responden adalah 20–50 tahun (96,5%). Jumlah anak pada masing-masing responden pada kabupaten Sukabumi dan Kuningan tidak banyak berbeda. Di Sukabumi maupun Kuningan, proporsi responden yang mem-punyai anak satu orang dan dua orang adalah sama, yaitu 32,8% dan 33,0% di Sukabumi dan 30,2% dan 28,7% di Kuningan. Sedangkan responden yang mempunyai 3 anak di Sukabumi adalah 18,9% dan di Kuningan adalah 22,9%. Masih ada respon-den yang mempunyai anak lebih dari 3 orang walaupun sangat sedikit, yaitu antara 0,5%–9,0%. Dari segi pekerjaan responden, pada umumnya mereka adalah tani (49,1%), buruh (35,3%) sebagian kecil adalah pegawai (8,8%) dan dagang (6,9%). Pada umumnya untuk kedua kabupaten yang diteliti, sebagian besar pendidikan responden adalah Sekolah Dasar (tamat dan tidak

tamat) – 81,9%, sedangkan SLTP maupun SLTA hampir sama yaitu 8,0% dan 9,6%.

Sehubungan dengan permasalahan vane akan dibahas, perlu diketahui jarak antara letak rumah responden dalam penelitian ini, karena jarak rumah responden dengan tempat vaksinasi dapat merupakan suatu faktor yang menghambat kepatuhan masyarakatdalam mengikuti program imunisasi bagi anak mereka. Pada Tabel 1 tampak bahwa responden yang mengikuti peneli-tian ini terbagi rata di seluruh kota, yaitu sebagian rumah respon-den terletak di pinggir kota (35,1%), di tengah kota (33,2%); sebagian kecil mempunyai kebun yang luas (17,9%) dan dekat dengan pasar (13,8%). Tabel 1. Letak Rumah Responden di Kabupaten Sukabumi dan Ku-ningan, Jawa Barat

Jumlah Letak rumah

n %

Pinggir kota Di tengah kota Kebun-luas Dekat pasar

397 376 202 156

35,1 33,2 17,9 13,8

Total 1131 100,0

Jumlah anak, yang mempunyai data tentang status imunisasi campak adalah 1240 orang. Yang menjawab sudah divaksinasi campak adalah 1047 (Tabe12), berarti cakupan imunisasi cam-pak: 84,4%, dan yang belum pernah divaksinasi campak adalah: 193 (15,6%).

Distribusi status anak yang telah mendapat imunisasi cam-pak menurut urutan anak tampak pada Tabel 2. Tabel 2 Proporsi Status Imunisasi Campak menurut Urutan Anak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat

Vaksinasi Campak + Vaksinasi Campak – TotalUrutan Anak

n % n %

Kesatu Kedua Ketiga Keempat Kelima Keenam

390 298 169 102

43 45

82,6 84,1 88,4 87,1 76,7 90,0

82 56 22 15 13 5

17,4 15,9 11,6 12,9 23,7 10,0

47 354 191 117

56 50

Total 1047 84,4 193 15,6 1240

Tampak bahwapada anak pertama cakupan imunisasi campak sudah mencapai angka 82,6%. Angka ini makin meningkat pada anak urutan berikutnya, kecuali pada anak kelima yang meng-alami penurunan sebanyak 10%.

Secara umum dapat dilihat bahwa Posyandu merupakan tempat terbanyak untuk mendapatkan vaksinasi campak (65,2%); tidak ada perbedaan antara anak pertama sampai anak ke lima. Pilihan ke dua tempat vaksinasi adalah Puskesmas (32,2%) kemudian Rumah Sakit (1,4%) dan Klinik dokter/mantri/bidan (1,1%). Pertimbangan yang paling logis di sini adalah masalah biaya yang paling murah adalah di Posyandu dan Puskesmas.

Vaksinator yang berjasa dalam memberikan imunisasi campak tampak pada Tabel 4. Bidan dan Jurim (Juru Imunisasi)

Page 8: Cdk 086 Masalah Anak

paling banyak melakukan imunisasi campak, yaitu 50,0% dan 46,3%, dibandingkan dengan tenaga dokter (3,5%). Proporsi ini tetap sama untuk anak pertama sampai anak ke lima.

Sebaliknya alasan bagi anak yang tidak divaksinasi campak menurut orangtua mereka tampak pada Tabel 5. Secara umum penyebabnya adalah Tidak Tahu (81,1%) kemudian Lupa (10,5%) dan Jauh (5,5%) dan yang terkecil adalah Dilarang (1,6%) dan Umur Kurang (0,02%). Proporsi penyebab ini cukup konstan

dari 1 minggu (42,9%) atau 1 minggu (37,4%). Penyakit campak yang berlangsung lebih dari 1 minggu

mungkin disertai dengan infeksi sekunder (Tabel 7). Gejala penyakit yang menyertai penyakit campak sebagian besar adalah batuk pilek (36,8%) kemudian sesak nafas (22,4%) dan diare (32,8%). Jarang dijumpai muntah berak (5,6%) dan gejala kejang (2,4%).

Perilaku orangtua anak dalam mengobati penderita campak

Tabel 3. Proporsi Tempat Mendapat Imunisasi Campak dengan Urutan Anak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat

Anak Pertama Anak Kedua Anak Ketiga Anak Keempat Anak Kelima Total Tempat Vaksinasi Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Posyandu 499 64,3 340 66,5 176 63,1 101 68,7 47 67,1 1163 65,2 Puskesmas 252 32,5 159 31,1 96 34,4 45 30,6 23 32,9 575 32,2 RS 13 1,7 6 1,2 5 1,8 1 0,7 0 25 1,4 Klinik 12 1,5 6 1,2 2 0,7 0 0 20 1,1

Total 776 100,0 511 100,0 279 100,0 147 100,0 70 100,0 1783 100,0 Tabel 4. Proporsi Vaksinator Campak dan Urutan Anak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat

Tabel 5. Proporsi Sebab Tidak Divaksinasi Campak dengan Urutan Anak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa

Barat

Anak Pertama Anak Kedua Anak Ketiga Anak Keempat Anak Kelima Total Sebab Tidak Divaksinasi Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Tidak tahu 142 83,0 80 79,2 40 88,9 22 84,6 10 62,5 294 81,1 Lupa 14 8,2 13 12,9 4 8,9 3 11,5 4 25,0 38 10,5 Jauh 12 7,0 5 5,0 1 2,2 1 3,8 1 6,3 20 5,5 Dilarang 3 1,8 3 3,0 0 0 0 6 1,6 Umur kurang 0 0 0 0 1 6,3 1 0,02

Total 171 100,0 101 100,0 45 100,0 26 100,0 16 100,0 359 100,0

pada semua urutan anak. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hambatan di bidang

ekonomi yang menghambat orangtua tidak membawa anaknya untuk divaksinasi campak, atau hambatan jarak maupun ham-batan teknis lainnya seperti halnya rasa takut, adanya keper-cayaan yang salah seperti menganggap bahwa penyakit campak itu merupakan suatu penyakit "biasa" pada balita. Alasan ketidak tahuan dan lupa, lebih banyak menunjukkan kurangnya upaya aksesibilitas dan kontinuitas informasi imunisasi campak.

Dari 928 anak yang pernah divaksinasi campak ternyata 123 (13,3%) masih dapat sakit campak. Hal ini menunjukkan efikasi vaksinasi campak sebesar 805/928 = 86,7%.

. Lama sakit campak menurut keterangan dart orangtua (re-call) tampak pada Tabel 6; sebagian besar berlangsung kurang

Tabel 6. Lama Sakit Campak pada 147 Anak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat

Jumlah Lama Sakit

n %

< 1 minggu 63 42,9 1 minggu 55 37,4 2 minggu 13 8,8 3 minggu 3 2,0> 3 minggu 13 8,8

Total 147 100,0

dapat dilihat pada Tabel 8. Tampak bahwa lebih dari separuh (52,4%) membawa anak mereka berobat ke mantri, 15,2%

Anak Pertama Anak Kedua Anak Ketiga Anak Keempat Anak Kelima Total Vaksinator

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Bidan Jurim Dokter

396 349 27

51,3 45,2 3,5

245 244 19

48,2 48,0 3,7

130 134 13

46,9 48,4 4,7

72 70 3

49,7 48,3 2,1

44 24 1

63,8 34,8 1,4

887 821 63

50,0 46,3 3,5

Total 772 100,0 508 100,0 277 100,0 145 100,0 69 100,0 1771 100,0

Page 9: Cdk 086 Masalah Anak

Tabel 7. Gejala Penyakit Campak pada 125 Anak di Kabupaten Suka- bumi dan Kuningan, Jawa Barat

Jumlah Gejala

n %

Batuk pilek 46 36,8 Sesak nafas 28 22,4Diare 41 32,8 Muntah berak 7 5,6 Kejang 3 2,4

Total 125 100,0

memberi jamu-jamuan untuk penurun panas dan menggosok kulit anak dengan ramuan untuk mempercepat timbulnya rash. Tabel 8. Cara Pengobatan 145 Penderita Campak di Kabupaten Suka- bumi dan Kuningan, Jawa Barat

Jumlah Pengobatan

n %

Obat mantri Jamu Obat dokter Obat modem Obat traditional Tidak diberi obat

76 22 20 13 12 2

52,4 15,2 13,8 9,0 8,3 1,4

Total 145 100,0

Sebagian orangtua membawa ke dokter (13,8%), membeli

obat-obatan di warung (9,8%), obat tradisional (8,3%) dan yang tidak memberi pengobatan sama sekali sebesar 1,4%.

Penyakit campak merupakan salah satu penyakit yang penye-barannya dipengaruhi oleh faktor kepadatan penduduk; hal ini dapat terlihat pada Tabel 9. Tampak bahwa proporsi sakit cam-pak dengan tidak sakit campak akan terus meningkat sebanding dengan jumlah orang dewasa dalam satu rumah itu. Bila orang dewasa berjumlah antara 0-2 orang maka proporsi yang sakit campak adalah 5,9%, untuk 2-4 orang dewasa menjadi 12,0% dan 4-6 orang dewasa 12,4% dan lebih dari enam orang dewasa men jadi 15,2%. Tabel 9. Hubungan Antara Jumlah Orang Dewasa dalam Rumah dan Kasus Campak pada Anak, Jawa Barat

Sakit Campak Jumlah Orang Dewasa Tidak Ya

Total

0 – 16 94,1%

1 5,9%

17 1,4%

2 – 579 88,0%

79 12,0%

658 53,5%

4 – 326 87,6%

46 12,4%

372 30,2%

> 6 117 84,8%

21 15,2%

138 11,2%

Total 1038 147 1185

KESIMPULAN Penyakit campak dilaporkan oleh seluruh 27 propinsi di

Indonesia.lncidence rate penyakit campak per 10.000 penduduk di Indonesia pada tahun 1990 menunjukkan angka terendah (4,75 - 8,02) di lima propinsi yaitu : Bali, SulSel, DI Aceh, DI Yogyakarta dan Sultra, sedangkan untuk angka tertinggi (36,30 – 57,89) terdapat di propinsi Maluku, Irja, DKI Jakarta, Sulut dan TimTim.

BerdaSarkan basil penelitian di dua kabupaten Jawa Barat ini, dapat disimpulkan bahwa upaya pemerintah Dit. Jen. P2M&PLP, dalam menanggulangi campak sudah berjalan dengan baik. Angka cakupan imunisasi campak 84,4%, efikasi imunisasi 86,7%; tempat untuk vaksinasi yang dipilih adalah Posyandu 65,2% dan Puskesmas 32,2%. Pelaksana program imunisasi terbanyak Bidan 50,0%, Jurim 46,3% dan pengobatan bagi penderita campak yang diberikan oleh mantri 52,4%.

Masalah yang masih menonjol adalah bahwa di antara masyarakat yang tidak membawa anaknya untuk diimunisasi campak (15,6%) masih banyak yang disebabkan karena faktor tidak tabu (81,1%) ataupun lupa (10,5%) tentang kegunaan imunisasi campak. Keadaan ini dapat disebabkan karena penye-baran dan kontinuitas informasi mengenai imunisasi campak tidak lancar atau tidak mengenai sasarannya. Penduduk dengan sejumlah anak yang masih belum mendapat imunisasi campak ini akan menjadi suatu daerah kantong KLB campak. Intensi-fikasi penyuluhan campak melalui berbagai macam media yang masuk terutama ke daerah pedesaan masih tetap perlu ditingkatkan.

Dengan melihat data incidence rate penyakit campak di Indonesia tersebut di atas, maka untuk masa mendatang masalah penanggulangan campak akan berpindah dari daerah di Jawa, Bali dan Sumatera ke daerah terutama dengan endemisitas tinggi lain misalnya propinsi Maluku, Irja, Sulut dan TimTim. Daerah sasaran berikut ini diketahui sangat sulit karena mempunyai hambatan di bidang geografis, kabupaten dan desa yang sulit dicapai, infrastruktur kesehatan yang masih miskin, keadaan gizi dan lain-lain. Semua faktor tersebut, akan menyebabkan rendahnya cakupan imunisasi campak, makin beratnya gejala penyakitcampak, tingginya angka kematian campak. Sedangkan daerah seperti DKI Jakarta akan terus menghadapi peningkatan urbanisasi yang menyebabkan kepadatan penduduk di daerah kumuh main meningkat, kepadatan penduduk dalam satu rumah juga makin meningkat; sehingga risiko tertular campak meningkat. Untuk mengatasi pergeseran masalah campak ke daerah di luar Jawa, Bali dan Sumatera, perlu lebih ditingkatkan kerjasama lintas sektoral, pemerataan penempatan dan peningkatan kuali-tas tenaga kesehatan, dan peningkatan penyuluhan kesehatan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kakanwil Dep. Kes. Propinsi Jawa Barat, Dinas P2M&PLP Propinsi Jawa Barat, Dokabu Sukabumi dan Dokabu Kuningan dan para staf, Kapuslit Penyakil Menu/or, serta staf Ke-lompok Peneliti Penyakil Menular Lainnya, Puslit Penynkit Menular, Badan Litbangkes, sehingga penelitian ini dapat selesai dengan baik.

Page 10: Cdk 086 Masalah Anak

KEPUSTAKAAN

1. SEAMIC Health Statistics, International Medical Foundation of Japan, 1990. 2. Profil Kesehatan Indonesia 1991, Pusat Data Kesehatan, Departemen Ke-

sehatan. 3. Data Surveilans Direktorat Epidemiologi dan Imunisasi, Dir. Jen. P2M & PLP,

Departemen Kesehatan, 1990. 4. Mosley WH, Bobadilla JL, Jamison DT. Health Sector Priorities Review.

Pop. Health Nutr. Div. World Bank, Washington DC. 5. Imran Lubis, Djoko Y. Partisipasi masyarakat terhadap penyakit Campak di

2 kabupaten di Jaws Barat, (unpublished)

6. Wibisono H. Penyakit Campak setelah pencapaian UCI. Seminar Sehari Masalah Campak di Perkotaan ditinjau dariberbagai Aspek. Kelompok Studi Kesehatan Perkotaan Univ. Atmajaya, Jakarta 25 Maret 1991.

7. Imran Lubis. Virologi Campak. Seminar Sehari Masalah Campak di Per-kotaan ditinjau dari berbagai Aspek. Kelompok Studi Kesehatan Perkotaan Univ. Atmajaya, Jakarta 25 Maret 1991.

8. Imran Lubis, Marjanis S, Mulyono W. Etiologi Infeksi Pemapasan Akut (ISPA) dan Faktor Lingkungan, Bul Penelit Kes 1990; 18(2): 26–33.

9. Sub. Dit. Imunisasi. Strategi Umum Peningkatan Cakupan Campak untuk Pencapaian UCI pada Akhir tahun 1990, Berita POKJA Campak, ed VII, Juli 1990, p 1–3.

Page 11: Cdk 086 Masalah Anak

Kekebalan terhadap Pertusis pada Bayi usia 6-36 bulan yang

Tidak Diimunisasi di Daerah Kumuh dan Keadaan Sosialnya

Muljati Prijanto, Rabea Pangerti Yekti, Farida S, Sumarno, Siti Mariani S,

Hambrah Sri Wuryani Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta PENDAHULUAN

Pertusis (batuk rejan) adalah penyakit saluran pernapasan akut. Penyakit ini biasa ditemukan pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Seperti halnya penyakit infeksi saluran pernapas-an akut lainnya, pertusis sangat mudah dan cepat penularannya. Penyakit tersebut dapat merupakan salah satu penyebab tinggi-nya angka kesakitan terutama di daerah padat penduduk. Sirkulasi bakteri pertusis di daerah padat penduduk di Indonesia belum di-ketahui secara pasti. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi DPT. Vaksinasi pertusis lebih efektif dalam melindungi terhadap penyakit daripada melindungi infeksi. Perlindungan yang tidak lengkap terhadap penyakit pada anak yang telah divaksinasi dapat menurunkan keganasan penyakit.

Infeksi alam memberi kekebalan mutlak terhadap pertusis selama masa kanak-kanak, sedangkan perlindungan akibat imunisasi kurang lengkap karena masih ditemukan pertusis pada anak yang telah mendapat imunisasi lengkap walaupun dengan gejala ringan.

Proporsi populasi yang rentan terhadap pertusis ditentukan oleh: tingkatkelahiran bayi, cakupan imunisasi, efektivitas vaksin yang digunakan, insiden penyakit dan derajat penurunan kekebalan setelah imunisasi atau sakit(1).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kekebalan bayi umur 6 – 36 bulan yang tidak mendapat imunisasi di daerah kumuh dan ingin diketahui pula hubungannya dengan keadaan sosial keluarga bayi tersebut.

BAHAN DAN CARA

Daerah kumuh adalah daerah dengan kepadatan penduduk lebih dari 500 jiwa tiap hektar, sedangkan daerah sedang adalah daerah yang kepadatan penduduknya kurang dari 300 jiwa per hektarnya. Data kepadatan penduduk yang digunakan berasal dari laporan Biro Pusat Statistik tahun 1987.

Telah dipilih secara acak 10 kelurahan dari masing-masing daerah yang memenuhi kriteria. Penentuan terakhir didasarkan pada hasil kunjungan ke daerah tersebut. Pengamatan diutama-kan pada keadaan sosial ekonomi, letak perumahan, dan jumlah anak Balita kurang lebih 4000 orang. Karena sebagian besar kelurahan memiliki kurang lebih 2000–3000 orang anak Balita, maka dipilih 2 kelurahan dari masing-masing daerah penelitian. Kedua kelurahan tersebut diperlakukan sebagai satu kesatuan yang mewakili daerah penelitian.

Daerah kumuh diwakili oleh kelurahan Kampung Rawa dan Tanah Tinggi yang berpenduduk masing-masing 17.964 jiwa dan 37.139 jiwa. Luas area untuk kedua kelurahan tersebut masing-masing adalah 0,03 hektar dan 0,62 hektar. Sedangkan daerah menengah diwakili oleh kelurahan Pondok Kopi yang berpenduduk 23.440 jiwa dengan luas area 2,06 hektar dan kelurahan Cipinang Melayu yang berpenduduk 27.432 jiwa dengan luas area 2,63 hektar.

Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan cara WHO's EPI Cluster Design(2). Satuan cluster adalah Rukun Tetangga (RT). Jumlah cluster terpilih dapat dilihat pada tabel 1. Dipilih secara acak 40 RT dari lebih kurang 200 RT di setiap daerah pe-nelitian. Setelah diadakan musyawarah dengan kepala kelurahan dan para ketua RT, akhirnya dipilih 30 RT sebagai lokasi pene-litian. Sebagai dasar penimbangan adalah jumlah anak umur 5 tahun, kerja sama yang baik dari penduduk dan juga segi ke-amanan bagi pelaksana penelitian.

Petugas mengunjungi setiap rumah di masing-masing RT sesuai petunjuk yang ada sampai mendapatkan 7 rumah yang mempunyai 7 bayi umur6–36 bulan dari setiap RT. Apabila pada RT yang bersangkutan sampel penelitian belum mencukupi, maka petugas mengunjungi RT-RT yang bersebelahan hingga jumlah sampel di setiap cluster terpenuhi. Selanjutnya untuk mengetahui status imun bayi/anak yang sama sekali belum

Page 12: Cdk 086 Masalah Anak

Tabel 1. Jumlah RW, RT dan Cluster yang Terpilih untuk Penelitian

Kecamatan RW (n)

RT (n)

Cluster (n)

Daerah Kumuh : Kampung Rawa Tanah Tinggi Daerah Sedang : Pondok Kopi Cipinang Melayu

8 13

6 7

32 47

19 40

12 18

13 17

Jumlah 34 138 60

mendapat imunisasi, jumlah bayi/anak perlu ditambah hingga diperoleh sedikitnya 50 orang dari setiap daerah penelitian. Pada bayi umur 6–36 bulan yang belum mendapat imunisasi kemudian dilakukan pengambilan darah. Orang tua dari bayi/anak-anak tersebut juga diwawancarai untuk mengetahui keadaan sosial, situasi dalam rumah dan sanitasi. Cara pengambilan darah: Darah diambil dari ujung jari seba-nyak 0,1 ml dengan pipet kapiler, langsung diencerkan dengan larutan bufer fosfat (PBS) sebanyak 5 kali. Selanjutnya dibawa dengan termos pendingin ke Pusat Penelitian Penyakit Menular untuk dipisahkan seranya.

Pemeriksaan kadar zat anti pertusis dilakukan dengan cara mikro aglutinasi, menggunakan antigen yang terbuat dari strain Bordetella pertussis 18–323(3).

Definisi Yang dimaksud dengan ventilasi baik adalah bila rumah

memiliki jendela dan lubang angin. Ventilasi sedang bila rumah hanya memiliki jendela sedangkan ventilasi buruk bila rumah tidak memiliki jendela dan hanya memiliki lubang angin saja.

Pembuangan asap dapur dibagi menjadi baik, sedang dan buruk. Kriteria pembuangan asap dapur baik, sedang dan buruk mengikuti definisi ventilasi, hanya letak jendela dan lubang angin terletak di dapur. HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah bayi yang mendapat imunisasi tidak lengkap dan belum pernah mendapat imunisasi dapat dilihat pada tabel 2. Di daerah kumuh dari 30 cluster jumlahnya 124 orang (59,05%) dan di daerah sedang sebanyak 136 orang (64,76%). Jumlah tersebut cukup besar karena pada tahun sebelumnya cakupan masih rendah, pencatatan belum baik, penduduk di daerah ter-sebut sering berpindah tempat. Alasan mengapa ibu tidak membawa anaknya untuk di-imunisasi ditunjukkan pada tabel 3. Alasan tertinggi anak tidak Tabel 2. Status Imunisasi DPT Bayi Umur 6–36 bulan di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta, tahun 1989

Daerah Kumuh Daerah Sedang Status Imunisasi

n % n %

Lengkap Tidak lengkap Tidak pernah

86 116

8

40,95 55,24 3,81

74 101 35

35,24 48,10 16,67

Jumlah 210 100,00 210 100,00

diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap adalah anak sedang sakit dan alasan ke dua adalah ibu terlalu sipuk. Di daerah kumuh masing-masing adalah 57,5% dan 17,5% dan di daerah sedang adalah 57,2% dan 12,2%.

Tabel 3. Penyebab Belum Imunisasi atau Imunisasi yang Belum Lengkap pada Bayi Umur 6–36 Bulan di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

Daerah Kumuh Daerah Sedang Penyebab n % n %

A. Tidak mengerti imunisasi* 6 5 12 8,6 Tidak mengerti dosis imunisasi 5 4,2 2 1,4 Takut reaksi samping imunisasi 4 3,4 8 5,7

B. Tidak mengerti kapan imunisasi* 3 2,5 2 1,4 Tidak percaya imunisasi 1 0,8 2 1,4

C. Kesulitan transportasi* – – – – Tidak ada petugas imunisasi – – 2 1,4

Tidak ada vaksin – – – – Ibu terlalu sibuk 21 17,5 17 12,2 Masalah keluarga 6 5 3 2,2 Anak sedang sakit 69 57,5 90 57,2

Waktu tunggu terlalu lama 4 3,3 9 6,4 Lain-lain 1 0,8 2 2,1

Jumlah 120 100,0 140 100,0 Keterangan : ∗ A. Kurang informasi ∗ B. Kurang motivasi ∗ C. Hambatan

Tabel 4 menunjukkan jumlah sampel sera yang terkumpul. Jumlah sera yang berasal dari daerah kumuh sebanyak 55 dan yang berasal dari daerah sedang adalah 81. Berhubung kesulitan mencari anak yang belum mendapat imunisasi DPT pada ke-lompok umur tersebut di 30 cluster maka jumlah tersebut telah ditambah dari RT yang berdekatan. Tabel 4. Jumlah Sera Bayi Umur 6–36 Bulan dari Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

Daerah Kumuh Daerah Sedang Bulan

Sera (n) Sera (n)

6 –12 13 – 24 25 – 36

22 20 13

25 32 24

Jumlah 55 81

Tabel 5 menunjukkan jumlah bayi yang memiliki zat anti terhadap pertusis positif pada kelompok umur 6–11 bulan, 12–23 bulan dan 24–36 bulan. Jumlah bayi yang memiliki titer positif sangat rcndah yaitu 18,18% di daerah kumuh dan 13,58% di daerah sedang. Persentase bayi yang memiliki titer positif makin meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan ada-nya infeksi alam. Bayi yang mcmiliki titer positif hampir se-luruhnya bertiter rcndah di bawah titer yang dapat memberikan perlindungan (160 U/ml). Jumlahnya yaitu 14 orang dengan titer 10 U/ml, 1 orang dengan titer 20 U/ml, 3 orang dengan titer 40 U/ ml dan 2 orang dengan titer 80 U/ml. Dengan demikian berarti semua anak masih rentan terhadap infeksi batuk rejan.

Page 13: Cdk 086 Masalah Anak

Tabel 5. Distribusi Titer Zat Anti Positif terhadap Pertusis pada Bayi Umur 6-36 Bulan di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

Positif Negatif Jumlah Kelompok Umur (bulan) n % n % N %

Daerah kumuh : 6 –12 1 4,5 21 95,5 22 100,0 13 – 24 6 30,0 14 70,0 20 100,0 25 – 36 3 23,1 10 76,9 13 100,0 Daerah sedang : 6 – 12

2

6,9

13

93,1

25

100,0

13 – 24 3 9,7 29 90,3 32 100,0 25 – 36 6 24,0 18 76,0 24 100,0

Jumlah bayi yang rentan terhadap pertusis diharapkan dapat

turun dari tahun ke tahun dengan meningkatnya cakupan imunisasi, diperluasnya umur cakupan, potensi vaksin dan rantai dingin yang memenuhi syarat, serta ditingkatnya penyuluhan program kesehatan bagi ibu-ibu di daerah tersebut.

Vaksinasi pertusis ulangan tidak dianjurkan pada anak-anak setelah umur6 tahun. Dengan tidak adanya rangsangan antigenik dari vaksin atau infeksi alam, maka orang dewasa muda tidak terlindung secara lengkap.

Menurut penelitian di Amerika Serikat(4) dahulu penyakit pertusis sangat umum pada anak-anak dari golongan sosio-ekonomi rendah sehingga anak remaja dan orang dewasa dari kelompok ini berkesempatan mendapat rangsangan ulang secara alami dari pemaparan terhadap penyakit. Di Amerika orang tua kulit hitam dari golongan sosio-ekonomi rendah diduga mem-punyai kekebalan terhadap pertusis lebih besar dari orang kulit putih yang berasal dari golongan sosio-ekonomi menengah. Penelitian tersebut menganggap bahwa orang dewasa sekarang merupakan sumber utama penularan penyakit pertusis di Amerika(4). Orang dewasa agaknya merupakan sumber infeksi terutama bila penyakit terjadi pada periode neonatal.

Beberapa hasil penelitian di luar negeri seperti di Inggris, Swedia, Kanada, Finlandia dan Amerika menunjukkan bahwa kenaikan pesat cakupan imunisasi pertusis di atas 80% meng-hasilkan penurunan yang lebih besar, tidak seimbang dalam insiden dan bahwa eradikasi pertusis akan mungkin bila cakupan lebih besar dari 95%(1). Pertimbangan teoritis memperkirakan bahwa cakupan yang tinggi (lebih dari 90%) tidak menyebabkan eradikasi dari pertusis tapi hanya mengubah insiden yang ber-hubungan dengan umur. Walaupun anak-anak dewasa muda akan terlindung dari pertusis pada masa bayinya, penurunan kekebalan sejalan dengan umur akan menyebabkan kenaikan jumlah orang dewasa yang rentan dan insiden pada orang dewasa dan pada bayi yang sangat muda untuk diimunisasi di Amerika (dikutip dari 4).

Di Indonesia telah dicapai cakupan imunisasi di atas 80%, bahkan di beberapa propinsi telah mencapai lebih dari 90%; namun pengamatan seperti di Amerika belum dilakukan.

Telah dianalisis pula pengaruh faktor-faktor seperti letak dapur, ventilasi rumah, pembuangan asap, penyediaan air bersih pada status kekebalan terhadap pertusis pada bayi-bayi tersebut.

Namun hasilnya menunjukkan tidak ada pengaruh dari berbagai keadaan tersebut pada status kekebalan terhadap pertusis. Se-lanjutnya data mengenai keadaan sosial di kedua daerah tersebut akan tetap dibahas dalam makalah ini.

Tabel 6 menunjukkan tingkat pendidikan ibu dari bayi di daerah kumuh dibandingkan dengan daerah sedang. Pendidikan ibu yang terbanyak adalah Sekolah Dasar yaitu 67,31% di daerah kumuh dan 63,86% di daerah sedang. Jumlah ibu yang ber-pendidikan SLTA di daerah kumuh sebesar 1,92% dan di daerah sedang sebesar 15,66%. Jumlah yang buta huruf di kedua daerah tersebut adalah 15,38% di daerah kumuh dan 12,05% di daerah sedang. Tabel 6. Tingkat Pendidikan Ibu Bayi yang Diteliti di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

Daerah Kumuh Daerah Sedang Pendidikan

n % n % Buta Huruf 8 25,49 8 9,88 SD 35 67,22 53 65,43 SLTP 8 15,38 7 8,64 SLTA 1 1,92 13 16,05 Perguruan Tinggi 0 – 0 –

Jumlah 52 100,0 81 100,00

Tabel 7 menunjukkan pekerjaan orang tua dari bayi-bayi peserta penelitian yang tinggal di daerah kumuh. Terbanyak adalah sebagai buruh harian/lepas sebesar 60% dan sebagai wiraswasta sebesar 40%. Sedangkan di daerah sedang sebanyak 40,62% sebagai buruh harian, 31,25% sebagai karyawan/pe-gawai dan 28,13% berwiraswasta. Sebagian besar responden tidak mau memberikan jawaban tentang pekerjaan suaminya.

Tabel 7. Pekerjaan Orang Tua Bayi yang Diteliti di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

Daerah Kumuh Daerah Sedang Jenis Pekerjaan n % n %

Tidak ada – – – – Buruh harian lepas 12 60 13 40,62 Wiraswasta 8 40 9 28,13 Karyawan/pegawai – – 10 31,25

Jumlah 20 100,00 32 100,00

Pelayanan kesehatan yang dipilih oleh keluarga bila anak-nya sakit dapat dilihat pada Tabel 8. Pilihan tertinggi di kedua daerah penelitian tidak berbeda yaitu berobat ke Poliklinik dan pilihan kedua adalah berobatpada Bidan/Mantri. Tindakan yang dilakukan bila anak sakit di kedua daerah tidak berbeda, yang mencapai persentase tertinggi adalah diobati sendiri dan tindakan dengan persentase tinggi ke dua adalah dibawa ke dokter Pus-kesmas (Tabel 9).

Jumlah ruangan yang dimiliki keluarga di dacrah kumuh rata-rata 2 ruangan dan salah satunya adalah kamar tidur. Di daerah sedang jumlah ruang yang ditempati rata-rata adalah 3

Page 14: Cdk 086 Masalah Anak

ruangan termasuk 2 sebagai kamar tidur. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran luas kamar. Jumlah penghuni rumah di daerah kumuh rata-rata adalah 7 orang, sedangkan di daerah sedang adalah 5 orang. Tabel 8. Pilihan Tempat Berobat bila Anggauta Keluarga Sakit di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

Daerah Kumuh Daerah Sedang Tempat Berobat

n n °% Diobati sendiri 1 4,17 7 15,91 Bidan/Mantri 8 33,33 15 34,09 Poliklinik 13 54,17 19 43,18 Dokter swasta 2 8,33 3 6,82

Jumlah 24 100,00 44 100,00

Tabel 9. Tindakan yang Dilakukan bila Anak Sakit Batuk di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

Daerah Kumuh Daerah Sedang Tindakan

n 46 n % Tidak dimandikan 6 24 8 21,05 Tidak kena angin 2 8 1 2,63 Diobati sendiri 9 36 15 39,47 Dibawa ke dokter/PKM 8 32 13 34,22 Penambahan gizi – – – –Pengurangan ASI – – – – Lain-lain – – 1 2,63

Jumlah 25 100,00 38 100,00

Ventilasi rumah yang termasuk baik dan sedang tidak ber-

beda di kedua daerah penelitian, namun ventilasi buruk di daerah kumuh jumlahnya 2 kali lebih besar dari daerah sedang, yaitu 29,41% berbanding 14,81% (Tabel 10). Keadaan pembuangan asap dapur dan ventilasi rumah yang buruk akan berpengaruh buruk pula terhadap kesehatan, terutama anak-anak.

Tabel 10. Ventilasi Dalam Rumah Peserta Penelitian di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

Daerah Kumuh Daerah Sedang Ventilasi Rumah

n % n %

Baik Sedang Buruk

23 13 15

45,10 25,49 29,41

44 25 12

54,32 30,86 14,81

Jumlah 51 100,00 81 100,00

Letak dapur dan pembuangan asap dapur dapat dilihat pada

tabel 11 dan 12. Letak dapur di dalam atau di luar rumah tidak berbeda antara kedua daerah penelitian, namun pembuangan asap yang buruk di daerah kumuh tercatat 51,35% dan di daerah sedang 31,33%. Pembuangan asap yang baik sebanyak 9,64% terdapatdi daerah sedang, namun tidak terdapat di daerah kumuh. Penyediaan air bersih (Tabel 13) di daerah kumuh yaitu dengan membeli air bersih sebanyak 39,22%, menggunakan sumur umum 25,49% dan hanya 23,53% yang menggunakan sumur pribadi. Di daerah sedang yang mcnggunakan sumur

Tabel 11. Letak Dapur di Rumah Peserta Penelitian di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

Daerah Kumuh Daerah Sedang Letak Dapur

n % n %

Di dalam rumah Di luar rumah

25 30

45,45 54,55

63 18

77,78 22,22

Jumlah 55 100,00 81 100,00 Tabel 12. Pembuangan Asap Dapur di Rumah Peserta Penelitian di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

Daerah Kumuh Daerah Sedang Pembuangan Asap Dapur n % n °%

Baik Sedang Buruk

– 26 28

– 48,15 51,85

8 49 24

9,88 60,49 29,63

Jumlah 54 100,00 81 100,00 Tabel 13. Sarana Penyediaan Air Bersih di Rumah Keluarga Peserta Penelitian di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

Daerah Kumuh Daerah Sedang Sarana

n °% n % SumurUmum 13 25,49 22 27,16 Beli Air 20 39,22 – – Sumur Pribadi 12 23,53 59 72,84 PAM 6 11,76 – –

Jumlah 51 100,00 81 100,00

pribadi sebanyak 71,08% sisanya menggunakan sumur umum dan tidak ada lagi yang membeli air minum. Keadaan tersebut menyebabkan ban yaknya penampungan air bersih di depan rumah penduduk di daerah kumuh.

Sarana buang air besar ditunjukkan pada tabel 14. Di daerah kumuh 68,09% menggunakan WC umum, sedangkan di daerah sedang 60,98% telah memiliki WC pribadi. Namun di daerah sedang yang kebetulan letaknya dekat sungai masih terdapat 10,98% yang masih menggunakan sungai sebagai sarana buang air besar.

Melihat keadaan sosial tersebut di atas maka perbaikan keadaan daerah kumuh perlu mendapat perhatian yang lebih besardari pemerintah. Selain itu peran serta masyarakat dalam program kesehatan dan perbaikan lingkungan perlu ditingkat-kan. Tabel 14. Sarana Tempat Buang Air Besar di Rumah Keluarga Peserta Penelitian di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

Daerah Kumuh Daerah Sedang Sarana

n % n % Selokan Umum 1 2,13 4 4,94 Sungai 1 2,13 9 11,11 WC Umum 32 68,09 19 23,46 WC Pribadi 13 27,66 49 60,49

Jumlah 47 100,00 81 100,00

Page 15: Cdk 086 Masalah Anak

KESIMPULAN 1) Status kekebalan terhadap pertusis pada kelompok bayi umur 6-36 bulan sangat rendah yaitu 18,18% di daerah kumuh dan 13,58% di daerah sedang dan keduanya tidak berbeda nyata; namun jumlah anak yang memiliki titer positif terhadap pertusis pada kelompok umur 1-2 tahun yang tinggal di daerah kumuh lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang tinggal di daerah sedang yaitu 30% berbanding 9,7%.

Bayi umur 6-36 bulan baik yang tinggal di daerah kumuh maupun daerah sedang 84% tidak memiliki kekebalan terhadap pertusis, sedangkan sisanyakalaupun memiliki kekebalan belum dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi. Berarti anak-anak tersebut masih rentan terhadap infeksi pertusis. 2) Berbagai faktor sosial yang diteliti tidak menunjukkan ada-nya hubungan dengan kekebalan terhadap pertusus. SARAN 1) Di daerah kumuh dan sedang sasaran imunisasi dapat diper-luas pada anak-anak sampai umur 3 tahun mengingat persentase anak-anak yang rentan cukup tinggi. 2) Kondisi sosial ekonomi bayi umur 6-36 bulan di daerah kumuh perlu mendapat perhatian yang lebih besar, karena ke-

adaan yang ada dapat mempercepat terjadinya penularan penya-kit seperti ISPA, diare dan lain-lain. Penyuluhan pada ibu-ibu di daerah tersebut perlu lebih ditingkatkan agar mereka lebih ber-peran aktif dalam pelaksanaan program kesehatan. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Mashur, Kepala Bidang Bindal PKPP, Bapak Daud Djayasudarma, koordinator Urban Strategi DKI, Dr Surjadi Gunawan DPH, Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular, Dr Titi Indijati, Kepala Direktorat Epidemiologi dan Imunisasi, Dir Jen P2M & PLP atas segala petunjuk dan saran yang diberikan.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak-bapak lurah, pim-pinan Pusat Kesehatan Masyarakat, Ketua Rukun Warga, Rukun Tetengga dan ibu-ibu PKK dari Kelurahan Kampung Rawa, Tanah Tinggi, Pondok Kopi, Cipinang Melayu atas segala bantuannya selama penelitian dilaksanakan.

KEPUSTAKAAN

1. Thomas MG. Epidemiology of Pertusis. Reviews of infectious diseases,

vol II; 2; 1989; 255-262. 2. Henderson RH, T Sundaresen. Cluster sampling to assess immunization

coverage: a review of experience with simplified sampling method. Bull WHO 1982; 60(2): 253-260.

3. Manclark C, BD Meade. Serological response to Bordetella pertussis. In: Manual of Clinical Immunology. 2nd ed. Am Soc Microbiol 1980; 496-99.

4. Nelson JD. The changing epidemiology of Pertussis in young infants. Am J Dis Child 1978; 132: 371-3.

Page 16: Cdk 086 Masalah Anak

Infeksi Ulang Rotavirus pada Anak Sehat di Kotamadya Bandung , Jawa Barat

Djoko Yuwono*, Eko Rahardjo*, Imran Lubis*, Suharyono*, Sutoto**

*) Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

**) Subdit. Diare dan Kecacingan, Ditjen. Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Suatu penelitian seroepidemiologi mengenai infeksi rotavirus telah dilakukan didaerah endemik diare, di daerah kumuh dan non kumuh di Kotamadya Bandung dan didaerah pedesaan di Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. Tujuan dari penelitian iniialah untuk mengetahui besarnya prevalensi penularan rotavirus sebagai penyebab diareakut pada anak umur 0–36 bulan.

Untuk penelitian tersebut telah dilakukan pcmantauan kasus diare akut akibat infeksirotavirus pada penderita yang berobat ke Puskesmas setempat. Sebanyak 175 sampeltinja telah dikumpulkan dari penderita diare akut, yaitu 89 sampel berasal dari PuskesmasKotamadyaBandung dan 84 sampel berasal dari Puskesmas Kabupaten Ciparay. Untukmengetahui besarnya penularan infeksi rotavirus pada masyarakat, dilakukan penelitianserokonversi terhadap infeksi rotavirus di daerah tersebut, yaitu dengan pemeriksaanantibodi rotavirus secara periodik. Pengambilan serum dilakukan sebanyak tiga kalidengan interval selama dua bulan. Sebanyak 492 sampel darah telah dikumpulkan selamapenelitian, yaitu sebanyak 166 dan 141 spesimen berasal dari daerah kumuh dan nonkumuh di Kotamadya Bandung serta 185 spesimen darah berasal dari daerah pedesaan diKabupaten Ciparay. Untuk mendeteksi rotavirus dalam tinja dilakukan dengan UjiReversed Passive Hemagglutination Assay (RPHA), sedangkan pemeriksaan antibodirotavirus dilakukan dengan Uji Hambatan Hemaglutinasi terhadap antigen rotavirus yangdiisolasi dari penderita diare akut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya prevalensi rotavirus pada penderitadiare akut di Puskesmas adalah sebesar 41,3% diKotamadya Bandung dan 19,14% diKabupaten Bandung. Hasil pemeriksaan kekebalan terhadap rotavirus menunjukkanbahwa sebesar 57,8% dan 45,4% anak umur 0–36 bulan di daerah kumuh dan non kumuhdi KotamadyaBandung telah memiliki kekebalan terhadap rotavirus, sedangkan 35,2%anak umur 0-36 bulan di Kabupaten Bandung juga telah memiliki kekebalan terhadaprotavirus. Selanjutnya basil pemeriksaan serokonversi terhadap rotavirus pada serumpengambilan kedua dan ketiga menunjukkan bahwa terdapat adanya serokonversi akibatinfeksi rotavirus yang besarnya 7,4% – 11,8% sebagai infeksi primer dan 3,6% sebagaiinfeksi sekunder di Kotamadya Bandung, sedangkan di Kabupaten Bandung ditemukan3,1% – 6,3% sebagai infeksi primer dan 6,3% sebagai infeksi sekunder.

Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa terjadi infeksi sekunder oleh karenarotavirus pada anak sehat umur 0–36 bulan.

Page 17: Cdk 086 Masalah Anak

PENDAHULUAN

Sampai saat ini rotavirus masih merupakan penyebab utama penyakit diare akut non bakteri pada anak dan bayi. Sekitar 20%–40% penderita diare anak yang berobat ke rumah sakit di negara berkembang, terkena infeksi rotavirus, sedangkan 35%–50% anak di negara maju mengalami hal yang serupa(1). Infeksi rotavirus yang serius dan bahkan fatal terutama terjadi pada anak umur 6-12 bulan di negara berkembang, sedangkan di negara maju hal serupa terjadi pada anak umur 12-18 bulan(2).

Penelitian rotavirus yang telah dilakukan di Indonesia pada umumnya adalah penelitian klinik, sekitar 30%-40% anak pen-derita diare akut yang berobat ke rumah sakit terkena infeksi rotavirus(3.4.5). Hasil penelitian yang dilakukan pada masyarakat daerah kumuh di Jakarta Utara, menunjukkan bahwa 16,2% anak penderita diare terkena infeksi rotavirus(6). Data dasar tentang etiologi diare yang bersumber pada masyarakat diakui memiliki arti penting dibandingkan dengan data yang diperoleh dari rumah sakit yang telah ditunjuk untuk menangani penyakitdiare. Namun sangat disayangkan bahwa penelitian rotavirus yang dilakukan di Indonesia selama ini masih bersifat sporadik, sehingga masih perlu dilakukan penelitian yang hasilnya dapat dipakai sebagai penunjang penanggulangan penyakit diare terutama infeksi rota-virus di masa datang. Hal-hal yang masih perlu diteliti lebih lanjut mengenai infeksi rotavirus antara lain adalah: a) Tipe rotavirus yang dominan, tipe rotavirus yang sering menimbul-kan wabah, b)Seroprevalensi rotavirus, besarnya angka kesakit-an dan kematian rotavirus. Hal tersebut sangat besar manfaatnya mengingat adanya program Badan Kesehatān Sedunia (WHO) tentang perlunya imunisasi rotavirus di negara berkembang.

Penelitian ini adalah suatu studi kohort rotavirus pada anak sehat umur 0-36 bulan yang tinggal di daerah endemik diare, yang selama dua tahun terakhir tidak pemah melaporkan adanya wabah atau KLB (Kasus Luar Biasa) diare. Lokasi penelitian di-pilih daerah perkotaan yang dibedakan atas daerah kumuh dan non kumuh serta daerah pedesaan. Adapun kegiatan penelitian ini terdiri dari dua jenis kegiatan yaitu: 1) Pemantauan kasus diare akut pada anak umur 0-36 bulan, tujuannya untuk menge-tahui besarnya insiden rotavirus di Puskesmas setempat. 2) Pe-nelitian serokonversi rotavirus pada anak sehat umur 0-36 bulan di lokasi penelitian yang sama, yang dilakukan secara periodik selama 6 bulan, dengan interval pengambilan darah setiap 2 bulan. Tujuan survei ini adalah untuk mengetahui besarnya infeksi rotavirus di masyarakat.

Pclaksanaan penelitian dilakukan pada pertengahan musim penghujan dan diakhiri pada pertengahan musim panas, sehingga secara tidak langsung dapat diketahui pengaruh musim terhadap penyebaran rotavirus di alam. Perlu diketahui bahwa daerah desa dan kota ditentukan berdasarkan kriteria Biro Pusat Statistik tahun 1988, sedangkan daerah kum uh dan non kumuh ditentukan berdasarkan angka kepadatan penduduk, yaitu lebih dari 10.000 penduduk tiap km2 dinyatakan sebagai daerah kumuh(7,8).

Tujuan penelitian ini ialah ingin mencari data dasar mengenai infeksi rotavirus secara lengkap di daerah endemik diare, yang diharapkan dapat mewakili daerah-daerah lain di Indonesia. Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh masukan-masukan yang

dapat dipakai sebagai pedoman dalam menentukan kebijakan program penanggulangan diare akut di Indonesia. BAHAN DAN CARA KERJA Lokasi dan populasi

Penelitian ini dilakukan di daerah endemik diare, dengan mengambil lokasi di daerah kumuh dan non kumuh di perkotaan serta daerah pedesaan. Penentuan lokasi ditentukan oleh Di-rektorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehat-an Lingkungan Pemukiman (P2M dan PLP) dan Kanwil Depar-temen Kesehatan Propinsi Jawa Barat. Kriteria daerah endemik diare ditentukan berdasarkan insiden diare dan selama dua tahun terakhir tidak pernah melaporkan KLB diare. Penentuan daerah desa dan kota ditentukan berdasarkan kriteria Biro Pusat Statistik tahun 1988, sedangkan penentuan daerah kumuh dan non kumuh ditentukan menurut kepadatan penduduknya, yaitu lebih dari 10.000 jiwa tiap km2 dinyatakan sebagai daerah kumuh. Populasi yang diteliti adalah anak-anak umur 0-36 bulan, yang tinggal di daerah kumuh dan nonkumuh di daerah kota serta di daerah pedesaan dengan perincian 150 anak setiap lokasi. Jumlah anak tersebut dikelompokkan menjadi kelompok umur 0-9 bulan; 10-18 bulan; 19-27 bulan dan 28-36 bulan. Peng-ambilan sampel dilakukan secara acak dengan memanfaatkan kegiatan Posyandu setempat. Kelompok lain adalah anak-anak penderita diare akut yang datang berobat ke masing-masing Puskesmas, untuk setiap lokasi diikutsertakan satu Puskesmas.

Jenis spesimen Sampel yang diteliti dibedakan menjadi dua jenis spesimen

yaitu: Tinja, diambil dari anak penderita diare akut di setiap Pus-kesmas. Tinja ditampung di dalam kontainer 10 ml, sebanyak 5-10 g tinja diambil dari tiap anak, selanjutnya disimpan di dalam lemari es (refrigerator). Tiap dua minggu sekali petugas pusat datang mengambil spesimen tersebut dibawa dengan thermos berisi es keLaboratoriumVirologi Puslit Penyakit Me-nular di Jakarta. Setibanya di laboratorium spesiinen disimpan dalam suhu -20°C untuk kemudian diproses dengan membuat suspensi tinja 10% dalam larutan Fosfat Bufer Salin (PBS) pH 7,2, kemudian diputar 3000 rpm selama 30 menit, supernatannya diperiksa untuk mengetahui adanya rotavirus.

Sampel berupa darah diambil dari anak sehat umur 0-36 bulan dari tiap lokasi. Darah diambil dari ujung jari dengan meresapkannyapadakertas filter disk, dua kertas filter untuk tiap anak. Kertas filter yang berisi darah sampai jenuh didiamkan pada suhu kamar yang sejuk dan kering sampai darahnya me-ngering. Selanjutnya kertas filter disimpan dalam kemasan rapat dan kering dalam lemari es sampai siap untuk diperiksa atas adanya antibodi rotavirus.

Pemeriksaan rotavirus dalam tinja Pemeriksaan rotavirus dilakukan dengan Uji Reversed

Passive Hemagglutination Assay (RPHA) dengan mengguna-kan eritrosit kalkun (turkey) yang telah dilapisi dengan antibodi monoklonal rotavirus. Terjadinya aglutinasi pasif pada spesimen tinja menunjukkan adanya rotavirus. Spesimen yang mem-punyai titer >64 dinyatakan positif, untuk selanjutnya dilakukan

Page 18: Cdk 086 Masalah Anak

uji sertifikasi untuk konfirmasi hasilnya.

Pemeriksaan antibodi rotavirus dalam darah Kertas saring yang berisi darah terlebih dahulu diproses

dengan melarutkan dalarn larutan 12,5% kaolin dalam PBS, selama 18 jam pada suhu 4°C, untuk menghilangkan inhibitor nonspesifik dan mendapatkan IgG serum. Konsentrasi serum awal dibuat menjadi 1:10 dan selanjutnya dipakai dalam uji Hambatan Hemaglutinasi terhadap antigen rotavirus. Uji Ham-batan Hemaglutinasi dilakukan dengan microassay pada mikro-plat 96 lubang, modifikasi dari metoda Eiguchi et al, 1987(9). Antigen yang dipakai berasal dari rotavirus hasil isolasi yang diperoleh dari penderita diare akut di Kabupaten,Kuningan, Jawa Barat. 4 HA unit rotavirus antigen dipakai untuk reaksi antigen-antibodi, yang dilakukan pada suhu kamar selama 60 menit. Pembacaan hasil dilakukan setelah penambahan indikator 0,3% eritrosit golongan 0 dalam PBS dan inkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit. Adanya hambatan hemaglutinasi oleh antigen rotavirus menunjukkan adanya antibodi rotavirus di dalam serum. HASIL DAN PEMBAHASAN

Insiden rotavirus pada penderita diare akut di Puskesmas Hasil pemeriksaan 175 spesimen tinja yang berhasil dikum-

pulkan dari penderita diare akut yang berobat ke Puskesmas menunjukkan bahwa besarnya insiden rotavirus pada penderita diare akut di perkotaan rata-rata sebesar 40,0% dan di pedesaan sebesar 23,8% (Tabel 1). Tabel 1. Persentase Insiden Rotavirus pada Anak umur 0-36 bulan Pen- derita Diare Akut di Puskesmas Kotamadya dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tahun 1990

Rotavirus positif pada penderlta diare akut

Puskesmas kotamadya Puskesmas kabupaten Bulan

n % n %

Mei 21 43,0 21 19,0 Juni 15 40,0 18 27,5 Juli 15 40,0 17 26,6 Agustus 20 42,6 13 22,3 September 18 40,9 17 24,3

Hasil penelitian yang telah dilakukan selama ini di beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi rota-virus di klinik ternyata berkisar antara 30%–40%(3,4,5) dan ter-nyata hasil yang diperoleh dari penelitian ini juga tidak berbeda jauh. Yang terlihat agak berbeda adalah mengenai insiden rota-virus di daerah pedesaan, di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, yaitu antara 19,0%–23,0%. Faktor yang merupakan penyebab agak rendahnya insiden rotavirus ini mungkin masih perlu diteliti lebih lanjut.

Hubungan antara besarnya insidcn rotavirus pada penderita diare akut di Puskesmas dengan besarnya curah hujan dapat dilihat pada Gambar 1. Tujuan penelitian ini semula adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh iklim terhadap besamya penularan rotavirus, namun sangat disayangkan bahwa selama penelitian dilakukan ternyata tidak terdapat perbedaan

Gambar 1. Insiden Rotavirus dan Curah Hu jan di daerah Bandung tahun 1990

Gambar 2. Infeksi Rotavirus dan Curah Hujan di daerah Bandung tahun 1990

iklim yang jelas antara musim hujan dan musim kemarau, se-hingga besarnya insiden rotavirus tiap bulan hanya dikaitkan dengan besarnya curah hujan pada bulan yang sama. Hasilnya ternyata tidak dapat ditarik suatu kesimpulan yang pasti, sebab pada bulan Juli di saat curah hujan mencapai 100 mm temyata insiden rotavirus tidak menunjukkan adanya kenaikan atau penurunan yang berarti.

Serokonversi rotavirus pada anak sehat umur 0–36 bulan Selama penelitian telah berhasil dikumpulkan sebanyak 492

sampel darah yang masing-masing sebanyak 152 dan 155 berasal dari daerah kumuh dan non kumuh di Kotamadya Bandung serta sebanyak 185 spesimen berasal dari dacrah pcdesaan di Kabu-paten Bandung. Pengambilan sampel dilakukan dengan me-manfaatkan kegiatan Posyandu setempat, hal ini sangat mem-bantu kegiatan pengambilan spcsimcn ulangan kedua atau ke-

Page 19: Cdk 086 Masalah Anak

tiga, sehingga drop out anak yang diteliti dapat ditekan serendah mungkin. Perlu diketahui bahwa dalam penelitian ini telah di-tentukan 3 Puskesmas di KotamadyaBandung yaitu Puskesmas Gumuruh dan Puskesmas A. Yani di daerah nonkumuh, sedang-kan Puskesmas Kiara Condong untuk daerah kumuh. Puskesmas Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dipilih sebagai Puskes-mas di daerah pedesaan.

Hasil pemeriksaan antibodi rotavirus pada survei serologi yang pertama menunjukkan bahwa 57,8% dan 45,4% anak umur 0-36 bulan di daerah kumuh dan nonkumuh di Kotamadya Bandung telah memiliki antibodi rotavirus, sedangkan 35,2% anak umur 0-36 bulan di pedesaan juga telah memiliki kekebal-an terhadap rotavirus (Tabel 2). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan pada anak umur 3–12 bulan di tepian S:ungai Mahakam, Kabupaten Kutai, yang me-nunjukkan bahwa ternyata 68,6% anak umur 3–12 bulan telah memiliki kekebalan terhadap rotavirus(10); sedangkan dalam penelitian ini di daerah kumuh Kotamadya Bandung ternyata 62,5% bayi umur 0-9 bulan juga telah memiliki kekebalan ter-hadap rotavirus. Tabel 2. Persentase Seroprevalensi Rota virus pada Anak umur 0-36 bulan di Kotamadya dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tahun 1990

Kotamadya

Kumuh Nonkumuh Kabupaten Umur (bulan)

n % n % n % 0 – 9 42 62,5 35 47,6 39 29,0

10 – 18 40 50,0 43 39,1 48 24,4 19 – 27 46 82,8 32 91,7 52 40,6 28 – 36 38 83,4 31 93,8 46 42,1

0 – 36 166 57,8 141 45,4 185 35,2 Keterangan : (n) : jumlah spesimen yang diperiksa.

Hasil pemeriksaan antibodi rotavirus pada survei serologi ke dua ternyata menunjukkan bahwa terdapat infeksi primer sebesar 10,1% dan 3,6% infeksi sekunder pada anak di daerah kumuh, sedangkan 11,8% dan 2,0% anak di daerah nonkumuh pernah terkena infeksi primer dan infeksi sekunder rotavirus. Lebih lanjut dapat diketahui bahwa infeksi rotavirus pada anak umur 0-36 bulan di daerah pedesaan besarnya 6,3% dan 2,3% masing-masing sebagai infeksi primer dan infeksi sekunder (Tabel 3). Tabel 3. Persentase Serokonversi Rotavirus dari Pengambilan Serum ke dua dan Serum pertama pada Anak Sehat umur 0-36 bulan di Kotamadya dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tahun 1990

Serokonversi rasio (%)

Kumuh Nonkumuh Kabupaten

IP IP IP Kel. umur

(bulan)

n % IS

n % IS

n % IS

0 – 9 34 8,8 5,9 31 9,7 0,0 31 3,1 0,0 10 – 18 32 12,5 0,0 31 16,1 0,0 41 9,8 0,0 19 – 27 39 5,1 5,1 26 19,2 0,0 32 6,3 0,0 28 – 36 33 15,2 3,0 30 6,7 0,0 38 5,3 0,0

0 – 36 138 10,1 3,6 118 11,8 0,0 142 6,3 0,0

Keterangan : (n) : jumlah spesimen yang diperiksa IP : Perubahan seronegatifinenjadi seropositif IS : Kenai/can titer antibodi >4

Dari hasil pemeriksaan antibodi rotavirus dari survei sero-logi ke tiga ternyata dapat diketahui terjadi penurunan besarnya infeksi rotavirus pada anak-anak di masing-masing lokasi peneliti-an. Di daerah kumuh ditemukan sebesar 7,4% dan 9,9% sebagai infeksi primer dan sekunder, sedangkan di daerah nonkumuh ditemukan sebesar 5,3% dan 9,6% sebagai infeksi primer dan sekunder. Lebih lanjut di daerah pedesaan ternyata ditemukan infeksi rotavirus sebesar 3,1% dan 6,3% sebagai infeksi primer dan infeksi sekunder (Tabe14). Tabel 4. Persentase Serokonversi Rotavirus dad Pengambilan Serum ke tiga dan Serum ke dua pada Anak Sehat umur 0-36 bulan di Kotamadya dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tahun 1990

Serokonversi rasio (%)

Kumuh Nonkumuh Kabupaten

IP IP IP

Kel. umur (bulan)

n % IS

n % IS

n % IS

0 – 9 31 6,4 6,9 30 3,3 6,6 29 3,4 0,0 10 –18 30 3,2 6,6 29 6,8 3,4 26 2,7 2,7 19 – 27 29 3,4 13,8 26 3,8 11,5 27 7,4 3,7 28 – 36 31 9,6 9,6 29 6,9 13,8 35 2,8 14,3

0 – 36 121 7,4 9,9 114 5,3 9,6 127 3,1 6,3 Keterangan : IP : perubahan seronegatif menjadi seropositif IS : Kenaikan titer antibodi >4 (n) : jumlah spesimen yang diperiksa

Adanya infeksi primer pada anak-anak yang tidak disertai adanya gejala klinik yang serius (diare dan dehidrasi berat) diduga disebabkan oleh adanya infeksi rotavirus tipe lain yang perlu diteliti lebih lanjut, terutama di Indonesia, di mana tipe rotavirus yang merupakan penyebab wabah (KLB) rotavirus dan tipe virus dominan pada penderita non wabah belum diketahui dengan jelas(11). Adanya infeksi sekunder tanpa gejala klinik yang jelas pada anak-anak dapat diterangkan oleh adanya ke-kebalan yang mungkin diperoleh dari ibu atau mungkin diper-oleh dari infeksi alamiah(10-12).

Infeksi rotavirus pada anak sehat di alam bebas ternyata be-sarnya antara 6,3% - 11,8%, hasil ini juga tidak terlalu berbeda dengan hasil yang pemah dilakukan di Jakarta Utara pada tahun 1981, yaitu sebesar 16,2%(6).

Hubungan besamya infeksi rotavirus pada anak sehat umur 0-36 bulan dengan besarnya curah hujan dapat dilihat pada Gambar 2. Dari data insiden rotavirus di Puskesmas, maka besarnya infeksi rotavirus pada anak sehat dan kaitannya dengan curah hujan, juga tidak begitu jelas terlihat. Akan tetapi masih dapat dilihat terjadinya penurunan infeksi rotavirus pada survei ke tiga dibanding dengan survei ke dua, yaitu dari 10,1%-11,8% menjadi 7,4%-9,9%, sedangkan curah hujan pada saat survei ke-tiga dilakukan tampak sudah menurun dari 100 mm menjadi 20 mm. Hasil ini mungkin dapat menjelaskan bahwa penurunan curah hujan akan menghambat terjadinya penyebaran rotavirus

Page 20: Cdk 086 Masalah Anak

di alam. KESIMPULAN 1) Besarnva insiden rotavirus pada Puskesmas di daerah per-kotaan dan pedesaan di Kotamadya Bandung dan Kabupaten Bandung sebesar 19,0% – 43,0%. 2) Antara 45,4% – 57,8% anak umur 0–36 bulan di Kotamadya Bandung telah memiliki kekebalan terhadap rotavirus, sedang-kan 35,2% anak serupa di KecamatanCiparay,Kabupaten Ban-dung, juga telah memiliki kekebalan terhadap rotavirus. 3) Besarnya infeksi rotavirus pada anak sehat umur 0–36 bulan di daerah kumuh dan non kumuh di KotamadyaBandung adalah 7,4% – 11,8% sebagai infeksi primer dan 3,6% sebagai infeksi sekunder. Adapun di daerah pedesaan ditemukan 3,1% – 6,3% sebagai infeksi primer dan 6,3% sebagai infeksi sekunder. 4) Tidak diperoleh hubungan yang jelas antara besarnya infeksi rotavirus dan besarnya curah hujan di daerah penelitian. SARAN 1) Berdasarkan besarnya insiden rotavirus maka dapat disaran-kan agar penanggulangan rotavirus di Indonesia difokuskan di daerah perkotaan. 2) Dengan adanya infeksi sekunder yang tidak menimbulkan gejala klinik yang jelas, maka pemberian imunisasi terhadap rotavirus masih perlu dipertimbangkan. 3) Dengan belum diketahuinya tipe rotavirus yang dominan di Indonesia, penggunaan jenis vaksin rotavirus yang tepat untuk Indonesia belum dapat ditentukan. UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1) Direktur Jenderal Ditjen. PPM dan PLP, DepKes. RI. yang telah mem-berikan ijin dan dana sehingga terlaksananya penelitian ini. 2) Kepala Kanwil DepKes Propinsi Jawa Barra, yang telah memberikan ijin sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. 3) Kepala Puslit Penyakit Menular, yang telah memberikan ijin pelaksanaan

penelitian ini. 4) Para Dokter dan paramedik baik di kotamadya, kabupalen maupun di Puskesmas, alas kerjasama yang baik sehingga penelitian ini berjalan dengan baik. 5) Semua fihak yang tidak mungkin kanu s,,butkan satu per satu yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan tenaga sehingga penelitian ini berjalan dengan baik.

KEPUSTAKAAN

1. Davidson GP, Bishop RF, Townley RR, Holmes III, Ruck BJ. Importance

of a New virus in Acute sporadic enteritis in children. Lancet 1975; 1: 242-6.

2. Bishop RF. Epidemiology of diarrhoeal disease caused by rotavirus. In: (11th Eds). Development of Vaccines and Drugs against Diarrhoea. Nobel Conference, Stockholm: JHA. Lindberg & R. Mollby 1985. England: Chanwell-Brau Ltd. 1986; 158-170.

3. Sunano Y, Sebodo T, Ridho R - et al. . Acute, diarrhoea and rotavirus infection in newborn babies and children in Yogyakarta, Indonesia from June 1978 to June 1979. J. Clin. Microbiol. 1981; 14: 123-9.

4. Simanjuntak C. Aspek Mikrobiologik Penyakit Diare. Dalam: Prosiding Pertemuan Bmiah Penyakit Diare. I. Koiman (Ed). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, DepKes RI. Jakarta 1983. p. 176-98.

5. Suharyono, Koiman I. Penelitian Penyebab Penyakit Diare Akut di klinik tahun 1974-1982. Dalam: Prosiding Pertemuan Bmiah Penyakit Diare di Indonesia. I. Koiman (Ed.). Badan Penelitian dan Pengembangan Kese-hatan, DepKes RI. Jakarta 1983; p. 199-211.

6. Sutoto, Muchtar MA, Karyadi, Brotowasisto. Morbidity and mortality study on diarrhoeal diseases in North Jakarta an urban area, 1981. Disaji-kan dalam Kongres Asosiasi Castroenterologi Indonesia, Jakarta, 1981.

7. NN. Jawa Barat dalam angka 1989. Kantor Statistik Jawa Barat, Bandung. Biro Pusat Statistik p. 3-10.

8. NN. Klasifikasi Urban-Rural berdasark.n PODS-SE 1986. Biro Pusat Statistik, Jakarta Maret 1988.

9. Eiguchi Y et al. Hemaglutination and Hemaglutination Inhibittion Test with Porcein Rotavirus. Kitasato Arch. Exp. Med. 1987; 60(4): 167-172.

10. Djoko Yuwono dkk. Kekebalan terhadap rotavirus pada bayi di kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 65: 25-27.

11. Yolken RH, Wyatt RG, Zissis GP et al. Epidemiology of I Iuman rotavirus type 1 and type 2 as studied by Enzyme Linked Immunosorbent Assay. New Engl J Med 1978; 299: 1156-61.

12. Jessudos ES, John TJ, Mathan M, Spencer L. Prevalence of rotavirus antibody in infants and children, India J. Med. Res. 1978; 68: 383-6.

Learning without thought is labour lost,

thought without learning is perilous (Confucius)

Page 21: Cdk 086 Masalah Anak

20

Pola Kuman Penyebab Diare Akut pada Neonatus dan Anak

Pudjarwoto Triatmodjo

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Diare hingga kini masih merupakan penyebab utama ke-sakitan dan kematian pada bayi dan anak-anak. Saat ini morbidi-tas (angka kesakitan) diare di Indonesia masih sebesar 195 per 1000 penduduk dan angka ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara di Asean(1). Dampak negatip penyakit diare pada bayi dan anak-anak antara lain adalah menghambat proses tum-buh kembang anak yang pada akhirnya dapat menurunkan kuali-tas hidup anak di masa depan.

Ditinjau dari sudut ctiologinya, diare dapat disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya infeksi mikroba, intoksikasi, ma-labsorpsi, malnutrisi, alergi, immunodefisiensi. Gejala penyakit yang ditimbulkan bervariasi mulai dari yang paling ringan sam-pai dengan yang paling berat. Di kalangan masyarakat luas gejala penyakit diare dikenal dengan berbagai istilah sesuai dengan daerahnya antara lain mencret, murus, muntaber, buang-buang air. Beraneka ragamnya penyebab dan bervariasinya gejala penyakit yang ditimbulkannya sering menimbulkan kesu-litan dalam penatalaksanaan diare, sehingga pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak tepat sesuai dengan etiologinya. Terapi yang tidak tepat bisa mengakibatkan terjadinya diare ber-kepanjangan (prolonged diare) atau bahkan berlanjut menjadi diare khronik (diare persisten). Oleh karena itu mengetahui secara lebih mendalam faktor-faktor penyebab (etiologi) diare akan sangat membantu upaya penatalaksanaan diare akut secara tepat dan tcrarah.

Dalam makalah ini disajikan informasi etiologi dian, akut pada bayi dan anak-anak, yakni tinjauan dari aspek mikrobiologi yang diperoleh dari berbagai sumber. Diharapkan informasi ini dapat membantu para klinisi dalam upaya penanggulangan diare pada bayi dan anak-anak.

PERKEMBANGAN POLA KUMAN PENYEBAB DIARE AKUT

Pada dekade tahun 1950 s/d 1970-an, di negara-negara ber-kembang (termasuk Indonesia) hanya sekitar 20% etiologi diare akut dapat diketahui. Pada waktu itu penyakit diare akut di ma-syarakat (Indonesia) lebih dikenal dengan istilah "Muntaber". Penyakit ini mempunyai konotasi yang mengerikan serta me-nimbulkan kecemasan dan kepanikan warga masyarakat karena bila tidak segera diobati, dalam waktu singkat (± 48 jam) pen-derita akan meninggal. Kematian ini disebabkankarena hilang-nya cairan elektrolit tubuh akibat adanya dehidrasi. Kemudian diketahui bahwa penyebab muntaber adalah kuman Vibrio cholera biotype El-Tor dan sesuai dengan nama penyebabnya tersebut maka kejadian wabah yang sering terjadi pada waktu itu lebih populer dengan istilah wabah Cholera El-Tor". Kejadian wabah cholera El-Tor di Indonesia yang pertama kali diketahui terjadi di Makasar (Ujung Pandang) pada tahun 60-an dengan menimbulkan sejumlah kematian. Wabah cholera ini kemudian diketahui sering terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia.

Berkat pesatnya perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) di bidang mikrobiologi, penemuan baru bidang etiologi diare taus bermunculan sehingga memperluas wawasan spektrum etiologi diare akut yang disebabkan oleh mikroba. Bakteri Escherichia coli yang pada waktu itu dianggap sebagai mikroba komensal di dalam usus manusia, ternyata beberapa strain di antaranya diketahui merupakan penyebab diare akut baik pada bayi, anak-anak maupun orang dewasa. Sekarang telah dikenal tiga group E. coli sebagai penyebab diare akut yaitu Entero Toxigenic E. coli (ETEC), Entero Pathogenic E. coli (EPEC) dan Entero-Invasive E. coli (EIEC). Selanjutnya pada dekade 1970 s.d 1980-an telah ditemukan beberapa jenis mikroba

Page 22: Cdk 086 Masalah Anak

21

baru penyebab diare akut pada bayi dan anak-anak. Mikroba yang dimaksud adalah Rotavirus, Yersinia dan Campylobacter. Rotavirus ditemukan pertama kali sebagai penyebab diare akut di Australia tahun 1973(2). Skirrow (1977) pertama kali melaporkan Campylobacter (dulu disebut Related Vibrio) yang merupakan bakteri patogen pada diare akut(3).

Dengan bertambahnya beberapa jenis mikroba barn penye-bab diare akut yang ditemukan maka cakrawala mikrobiologi penyebab diare menjadi semakin luas dan komplek. Demikian pula dengan semakin dikembangkannya teknologi pemeriksaan laboratorium mikrobiologi di negara kita, kemampuan peme-riksaan etiologi diare dari sudut mikrobiologi meningkat secara tajam dari 20% pada tahun 1970-an menjadi sekitar 80% pada tahun 1980-an(2).

Kemudian pada dekade tahun 1980 s/d 1990-an dengan makin canggihnya teknologi bidang mikrobiologi antara lain dengan dikembangkannya teknologi pemeriksaan mikrobiologi dengan metoda DNA-Probe, maka etiologi diare akut telah dapat diperluas lagi dengan ditemukannya heberapa strain E. call se-bagai penyebab diare akut pada anak-anak. Dua strain baru E. coli yang saat ini telah dinyatakan sebagai penyebab diare pada anak-anak adalah Entero Haemorrhagic E. coli (EHEC) dan Entero Adherent E. coli (EAEC)(4).

Dan kelompok protozoa telah ditemukn satu spesies baru yang dinyatakan sebagai agent diare akut pada anak-anak. Spesies yang dimaksud adalah Cryptosporidium. Sehingga dengan demikian pada dekade 1990-an ini pola kuman penyebab diare akut pada bayi dan anak-anak yang penting menurut WHO (1990) adalah sebagaimana tercantum dalam tabel 1. Di sini tampak bahwa ada 9 jenis mikroba yang saat ini dianggap penting sebagai penyebab diane pada bayi dan anak-anak, yaitu dari kelompok virus adalah Rotavirus. Dari kelompok bakteri adalah E. coli patogen (ETEC, EPEC, EIEC, EHEC dan EAEC), Sal-monella non-typhoid, Shigella, Vibrio cholera 01 dan non-01 dan Campylobacter. Dan kelompok protozoa terdiri dari Giardia lamblia, Entamuba histolytica dan Cryptosporidium(4). Tabel 1. Berbagai Jenis mikroba penting penyebab diare akut pada neonatus (bayi) dan anak-anak (WHO, 1990)

Kelompok mikroba

Jenis mikroba (genus) Spesies/Serotype

I. Vitus II. Bakteri

1. Rota virus 2. Escherichia sp

– Rotavirus – E. Coli : – ETEC – EPEC

III. Protozoa

3. Vibrio sp 4. Shigella sp 5. Salmonella sp 6. Campylobacter sp 7. Giardia sp 8. Entamuba sp 9. Cryptosporidium

– ETEC – EHEC – EAEC – V. cholera 0l – S. flexneri – S. sonnei – S. dysentriae – S. boydii – Salmonella non-typhoid – Campylobacter jejuni – Giardia lamblia – Entamuba histolytica – Cryptosporidium

1) Rotavirus Rotavirus merupakan penyebab utama diare akut pada bayi

dan anak-anak umur antara 6–24 bulan dengan morbidity rate untuk daerah Jakarta (1979–1981) sebesar 30,4%(3). Kejadian infeksi rotavirus meliputi negara-negara di seluruh dunia. Penu-laran berlangsung secara oro-fekal atau dapat pula terjadi secara air-borne droplet.

Rotavirus menyebabkan kerusakan epithelium usus kecil dengan mengakibatkan viii menjadi kasar/tumpul sehingga kemampuan mengabsorpsi karbohidrat menjadi berkurang, demikian pula absorpsi air. Aktivitas disaccharidase dan laktase menurun, sedangkan aktivitas adenyl cyclase tidak berubah; akibatnya terjadi akumulasi disaccharid di dalam lumen usus yang menyebabkan diare osmotik. Morfologi intestinal dan akti-vitas absorpsi karbohidrat akan kembali normal dalam waktu 2–3 minggu.

Rotavirus menyebabkan diare berair disertai demam dan kadang-kadang muntah. Gejala yang ditimbulkan dapat ringan sampai diare akut dengan dehidrasi berat dan dapat menimbul-kan kematian. 2) E. coli patogen

Di negara-negara berkembang E. coli patogen menyebab-kan lebih kurang seperempat dari seluruh kejadian diare. Trans-misi kuman berlangsung seeara water-borne atau food-borne. Dula dikenal ada 3 grup (kelompok E. coli patogen penyebab diane yaitu ETEC, EPEC dan EIEC. Sekarang ditemukan 2 grup yang diketahui pula sebagai penyebab diane yaitu EHEC dan EAEC. 2.1. ETEC (Entero Toxigenic E. coli)

ETEC adalah E. coli patogen penyebab utama diare akut dengan dehidrasi pada anak-anak dan orang dewasa di negara-negara yang mempunyai 2 musim maupun 3 musim.

ETEC menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan ter-jadinya ekskresi cairan elektrolit tubuh sehingga timbul diare dengan dehidrasi. Secara immunologis enterotoksin yang di-hasilkan oleh ETEC sama dengan enterotoksin yang dihasilkan oleh V. cholera. Enterotoksin ETEC terdiri dari dua macam yaitu: 1) Labile Toxin (LT) yang mempunyai berat molekul yang tinggi dan tidak tahan panas (musnah pada pemanasan 60°C selama 10 menit); toksin inilah yang mirip dengan cholera toxin. 2) Stabile Toxin (ST) yang mempunyai berat molekul rendah, tahan pada pemanasan dan tidak mempunyai sifat antigenik.

Manusia dapat berperan sebagai carrier kuman ini, yaitu sebagai pembawa kuman tetapi dia sendiri tidak sakit. Transmisi kuman dapat berlangsung secara food-borne maupun water-borne. Di daerah endemik diane seperti halnya Indonesia, ETEC merupakan juga penyebab utama diane akut yang mirip cholera serta merupakan penyebab travellers diarrhoea(3). 2.2. EPEC (Entero Pathogenic E. coli)

Di beberapa daerah urban, sekitar 30% kasus-kasus diare akut pada bayi dan anak-anak disebabkan olch EPEC(4). Meka-nisme terjadinya diane yang disebabkan oleh EPEC belum bisa diungkapkan secara jelas, tetapi diduga EPEC ini menghasilkan cytotoxin yang merupakan penyebab terjadinya diare.

Penyakit diane yang ditimbulkan biasanya self-limited, te-

Page 23: Cdk 086 Masalah Anak

22

tapi dapat fatal atau berkembang menjadi diare persisten ter-mama pada anak-anak di bawah umur 6 bulan. Di negara-negara berkembang, anak-anak yang terkena infeksi EPEC biasanya adalah yang berumur 1 tahun ke atas. 2.3. EIEC (Enteroinvasive E. coli)

EIEC mempunyai beberapa persamaan dengan Shigella antara lain dalam hal reaksi biokimia dengan gula-gula pendek, serologi dan sifat patogenitasnya. Sebagaimana halnya dengan Shigella, EIEC mengadakan penetrasi mukosa usus dan meng-adakan multiplikasi pada sel-sel epitel colon (usus besar). Ke-rusakan yang terjadi pada epitel usus menimbulkan diare berda-rah. Secara mikroskopis leukosit polimorfonuklear selalu hadir dalam feses penderita yang terinfeksi EIEC. Gejala klinik yang ditimbulkan mirip disentri yang disebabkan oleh Shigella. 2.4. EHEC (Enterohaemorrhagic E. coli)

Di Amerika Utara dan beberapa daerah lainnya, EHEC me-nyebabkan haemorrhagic colitis (radang usus besar). Transmisi EHEC terjadi melalui makanan daging yang diolah dan dihi-dangkan secara tidak higienis; tapi dapat pula terjadi secara person to person (kontak langsung). Patogenitas EHEC adalah dengan memproduksi sitotoksin yang bertanggung jawab ter-hadap terjadinya peradangan dan perdarahan yang meluas di usus besar yang menimbulkan terjadinya haemolytic uraemic syndrome terutama pada anak-anak.

Gejala karakteristik yang timbul ditandai dengan diare akut, cramp, panas dan dalam waktu relatif singkat diare menjadi berdarah. Di negara-negara berkembang kejadian diare yang disebabkan oleh EHEC masih jarang ditemukan. 2.5. EAEC (Entero Adherent E. coli)

EAEC telah ditemukan di beberapa negara di dunia ini. Transmisinya dapat food-borne maupun water-borne.

Patogenitas EAEC terjadi karena kuman melekat rapat-rapat pada bagian mukosa intestinal sehingga menimbulkan gangguan. Mekanisme terjadinya diare yang disebabkan oleh EAEC belum jelas diketahui, tetapi diperkirakan menghasilkan sitotoksin yang menyebabkan terjadinya diare. Beberapa strain EAEC memiliki serotipe seperti EPEC. EAEC menyebabkan diare berair pada anak-anak dan dapat berlanjut menjadi diare persisten(5). 3) Vibrio cholera 01

V. cholera 01 menyebabkan diare akut pada semua golong-an umur. Cholera merupakan penyakit endemik di negara Asia (termasuk Indonesia) dan Afrika. Di daerah endemik penyakit ini ditemukan sekitar 5-10% yakni berdasarkan pada penderita yang berobat ke rumah sakit. Cholera ini lebih sering menyerang anak umur 2-9 tahun; tetapi di daerah bukan endemik cholera lebih banyak menyerang golongan umur dewasa muda. Penularan kuman dapat berlangsung secara water-borne maupun food-borne. Penularan dengan cara kontak person to person dilaporkan jarang terjadi.

Patogenitas V. cholera bersifat non-invasif, kuman me-nempel dan berkembang di bagian mukosa usus halus dan meng-hasilkan enterotoksin yang menstimulir terjadinya eksresi cairan elektrolit tubuh sehingga timbul diare dengan dehidrasi. V. cholera 01 mempunyai 2 biotipe yaitu El-Tor dan Klasik. Selain

itu V. cholera juga mempunyai 2 serotipe yaitu Ogawa dan Inaba. Diare yang terjadi dapat ringan sampai berat. Pada diare

yang berat dapat terjadi dehidrasi berat dan shock, kematian dapat terjadi dalam waktu sekitar 48 jam bila tidak segera diobati.

4) Shigella sp Shigella sp paling banyak menyebabkan diare invasif pada

anak-anak dan hanya sekitar 10% menyebabkan diare akut pada anak-anak balita. Penularan kuman paling sering terjadi secara kontak langsung (person to person) dengan dosis infeksi yang rendah yaitu 101-102 organisme. Di samping itu penularan dapat pula terjadi secara food-borne maupun water-borne.

Patogenitas Shigella bersifat invasif, yakni menyerang sel-sel epitel usus besar (colon), menyebabkan kematian sel dan tim-bul borok sehingga terjadi kerusakan epitel usus dan perdarahan. Shigella juga menghasilkan sitotoksin dan neurotoksin yang menambah patogenitas kuman. Shigdla mempunyai 4 serotipe yaitu S. flexneri yang paling banyak ditemukan di negara-negara berkembang, S. sonnei banyak ditemukan di negara-negara maju, S. dysentriae menyebabkan epidemi dengan kematian yang tinggi, S. boydii yang jarang ditemukan.

Infeksi Shigella menyebabkan diare invasif disertai dengan gejala demam, nyeri perut dan tenesmus, feses berdarah dengan banyak mengandung leukosit. Shigella terutama menimbulkan serangan hebat pada bayi.

5) Salmonella non-typhoid Di banyak negara berkembang, diare akut yang disebabkan

oleh Salmonella tidak begitu besar. Terutama di daerah urban diare pada anak-anak yang disebabkan oleh infeksi Salmonella sekitar 10%. Transmisi kuman terjadi secara meat-borne, yaitu melalui makanan yang berasal dari hewan seperti daging, unggas, telur, susu; tetapi dapat pula terjadi secara water-borne.

Patogenitas Salmonella bersifat invasif yakni menyerang bagian epithelium dari ileum. Salmonella menghasilkan entero-toksin yang menyebabkan diare berair. Bila selaput lendir men-jadi rusak, diare yang terjadidisertai darah.

Ada 2000 serotipe Salmonella dan 6-10 di antaranya di-ketahui menimbulkan gastroenteritis. Diare yang ditimbulkan biasanya disertai dengan gejala-gejala mual, demam dan nyeri perut. Di samping menyebabkan diare berair, Salmonella juga menyebabkan mencret (exudative diarrhoea) yang ditandai oleh hadirnya leukosit di dalam feses. Di beberapa negara telah di-temukan strain Salmonella yang resisten terhadap ampisilin, khloramfenikol, dan sulfametoxazol-trimetoprim. 6) Campylobacter jejuni

Di berbagai negara, Campylobacter jejuni menyebabkan 5-15% diare pada bayi. Di negara-negara berkembang puncak insiden terutama adalah pada usia di bawah satu tahun (batuta). Transmisi kuman dapat berlangsung secara food-borne, dapat pula terjadi secara person to person (kontak langsung).

Patogenitas Campylobacter dengan invasi pada bagian ileum dan usus besar dengan menghasilkan 2 jenis toksin yaitu sitotoksin dan heat-labile toxin. Diane yang ditimbulkan biasa-nya seperti disentri dengan feses berdarah dan berlendir yang muncul sesudah diare berlangsung selama sehari atau beberapa hari. Muntah biasanya tidak ada dan gejala demam selalu dengan

Page 24: Cdk 086 Masalah Anak

temperatur yang rendah. Diare berair yang ditimbulkan oleh infeksi Campylobacter kasusnya kecil. 7) Giardia lamblia

Distribusi G. lamblia meliputi berbagai negara di dunia. Pre-valensi infeksi G. lamblia pada anak muda di beberapa negara mencapai 100%. Anak-anak umur 1–5 tahun (balita) adalah yang paling umum terinfeksi G. lamblia. Transmisinya dapat ber-langsung secara food-borne ataupun water-borne, serta dapat pula terjadi secara oro fecal. Infeksi G. lamblia terjadi pada usus besar, tetapi mekanisme patologinya belum jelas diketahui; pada beberapa kassus terlihat terjadi kerusakan pada bagian epitel usus halus. G. lamblia dapat menyebabkan diare akut atau diare persisten; kadang-kadang menyebabkan malabrospsi dengan feses berlemak, sakit perut dan kembung(5).

Infeksi G. lamblia kebanyakan asimtomatik sehingga men-imbulkan kesulitan untuk mendeteksi kapan G. lamblia menye-babkan diare. 8) Entamuba histolytica

Distribusi E. histolytica meliputi berbagai negara di dunia. Prevalensi infeksi E. histolytica sangat bervariasi. Penyakit lebih banyak terjadi pada usia dewasa, penderita laki-laki lebih banyak ditemukan.

Patogenitas E. histolytica adalah menyerang bagian mukosa dari usus besar yang menyebabkan kerusakan intestinal sehingga menimbulkan rangsangan neurohumoral yang menyebabkan pengeluaran sekret dan timbul diare. Kira-kira 90% infeksi E. histolytica adalah asimtomatik, jarang terjadi pada anak kecil atau bayi, tetapi biasanya menyerang anak yang sudah besar dan

dewasa muda. Diare yang ditimbulkan umumnya adalah diare persisten

dengan tinja berdarah. Pada beberapa kasus, E. histolytica dapat bersarang di hati dan menyebabkan abses hati. 9) Cryptosporidium

Di negara-negara berkembang kasus Cryptosporidia pada anak-anak dengan diare adalah berkisar antara 5–15%. Trans-misi Cryptosporidia melalui fekal-oral. Patogenitas Cryptospo-ridium adalah menempel pada permukaan mikrovili dinding usus dan menyebabkan malabropsi akibat kerusakan bagian mukosa. Karakteristik infeksi Cryptosporidium adalah diare akut/diare berair terutama pada pasien dengan daya tahan tubuh yang lemah atau menurun.

KEPUSTAKAAN

1. Sunoto. Peran setts Perguruan Tinggi dalam Meningkatkan Kualitas Hidup

Anak melalui Program Pemberantasan Penyakit Diare. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Tim Kesehatan Anak pada FKUI di Jakarta, 9-11-1991.

2. Suharyono, Koiman I. Penelitian penyebab mikrobiologi (Rotavirus dan Enterobacteria) penyakit diare akut di klinik (1974–1982). Proc Pertemuan llmiah Penelitian Penyakit Diare di Indonesia, Jakarta, 21–23 Oktober 1983. Hal. 199-211.

3. Simanjuntak CH, Hasibuan MA, Siregar LO, Koiman I. Etiologi Mikrobiologi Penyakit Diare Akut. Bull Penelit Kes 1983; XI (2): 1-9.

4. WHO. CDD/Ser 80.2. 1990. A Manual for the Treatment of Diarrhoea for Use by Physicians and Other Senior Health Workers. 1990. p. 30-32.

5. WHO. Persistent Diarrhoea in Children in Developing Countries: Memo-randum From a W HO Meeting. Bull World Health Organization. WHO 1988; 66(6): 709-17.

Great men expand with opportunity, small men swell

Page 25: Cdk 086 Masalah Anak

24

Parasit Usus pada Balita Penderita Diare di Kabupaten Pandeglang dan

Kabupaten Kuningan

Suwarni, Eko Rahardjo, Harijani AM Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Dalam 20 tahun terakhir, penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit usus masih merupakan masalah kesehatan di Indo-nesia, karena prevalensinya cukup tinggi termasuk parasit yang ditularkan melalui tanah(1). Di Indonesia jenis cacing utama yang ditularkan melalui tanah adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Cacing tambang dan Strongylus stercoralis. Selain Trichuris trichiura, parasit usus penyebab diare adalah Enta-muba histolytica dan Giardia lamblia(2).

Di negara-negara sedang berkembang, diperkirakan dari 1500 juta kejadian penyakit yang disebabkan diare, 4–5 juta anak di bawah lima tahun meninggal karenanya. Diperkirakan 15 dari 1000 anak berusia 2 tahun meninggal karena diare(3). Di Indo-nesia jumlah penderita diare setiap tahunnya ± 60 juta. Sebagian besar (60–80%) dari penderita ini adalah anak di bawah lima tahun(4). Banyak hal-hal penting penyebab diare yang tidak diketahui dan presentasi penyebab diare yang dapat diidenti-fikasi masih rendah(5).

Dalam rangka penelitian etiologi diare, dilakukan juga penelitian parasit usus, untuk mengetahui prevalensinya. Hasil penelitian etiologi diare yang disebabkan oleh bakteri dan virus dilaporkan secara terpisah. BAHAN DAN CARA KERJA

Penelitian ini dilakukan pada bulan September 1989 s/d Maret 1990, di 2 Puskesmas dan 2 Rumah Sakit di Jawa Barat yaitu Puskesmas Pagelaran dan RS Labuan di Kabupaten Pan-deglang serta Puskesmas Darawangi dan RS 45 di Kabupaten Kuningan.

Tinja yang diperiksa, diperolch dari pcndcrita yang datang ke Puskesmas dan Rumah Sakit tersebut di atas. Untuk memper- Dibacakan pada Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X, September 1991, Bogor.

mudah pengumpulan, 2 kontainer yang masing-masing berisi Formalin 5% dan Poly Vinyl Alcohol (PVA) disiapkan dari Jakarta dan dikirim ke Puskesmas dan Rumah Sakit bersangkut-an. Tinja penderita setelah diambil sebagian untuk pemeriksaan bakteri dan virus, dimasukkan sebagian ke dalam kontainer yang berisi PVA untuk pemeriksaan Cryptospiridium, sedangkan sisa-nya (secukupnya) dimasukkan ke dalam kontainer yang berisi Formalin 5% untuk pemeriksaan protozoa lain dan telur cacing.

Dari tinja dalam PVA dibuat preparat apus yang diwarnai dengan pewarnaan Modified Ziehl-Neelsee) dan diperiksa di bawah mikroskop, sedangkan tinjadalam Formalin 5% diperiksa langsung di bawah mikroskop setelah ditetesi cairan Lugol 2%. Terhadap semua contoh tinja yang negatif protozoa dan telur cacing, dilakukan pemeriksaan kembali dengan Tehnik Kon-sentrasi Formalin Ether(7). HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari 404 tinja yang diperiksa, 97 (24%) positip mengandung telur cacing usus yang ditularkan melalui tanah. Dari 97 balita penderita yang positip, ada 9 balita yang tinjanya mengandung telur Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Cacing tam-bang, 23 balita mengandung telur A. lumbricoides dan T. tri-chiura, 2 balita mengandung T. trichiura dan Cacing tambang, 1 balita mengandung telur Cacing tambang dan larva rhabditi-form Strongylus stercoralis. Di sini juga terlihat bahwa paling banyak ditemukan infeksi tunggal dengan A. lumbricoides di-ikuti dengan infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura (Tabel 1).

Dilihat dari macam infeksi (Tabel 1), prevalensi baik men-urut jenis cacing usus (Tabel 2), maupun menurut golongan umur (Tabel 3), pada umumnya telur A. lumbricoides men-

Page 26: Cdk 086 Masalah Anak

25

Tabel 1. Jenis Infeksi Cacing Usus pada 4 tempat di Kab. Pandeglang dan Kuningan

Puskes Darawangi

n=98

RS 45

n=154

Puskes Pagelaran

n=65

RS Labuan

n=87 Jumlah Jenis

infeksi

+ % + % + % + % + %

A 11 11,2 12 7,8 11 16,9 12 13,8 46 11,4T 5 5,1 2 1,3 5 7,7 3 3,4 15 3,7 H 0 0 0 0 0 0 1 1,1 1 0,2 AT 4 4,1 0 0 8 12,3 11 12,6 23 5,7 TH 0 0 . 0 0 2 3,1 0 0 2 0,5 ATH 0 0 0 0 3 4,6 6 6,9 9 2,2 HSs 0 0 0 0 1 1,5 0 0 1 0,2

Keterangan : A = A. Lumbricoides TH = T. trichiura & Cacing tambang T = T. Trichiura ATH = A. lumbricoides, T. trichiura & Cacing H = cacing tambang tambang AT = A. lurnbricoides & HSs = Cacing tambang & Strongylusstercoralis Cacing tambang Tabel 2. Prevalensi Jenis Cacing Usus pada 4 tempat di Kab. Pandeglang dan Kuningan

Jenis Cacing

usus

Puskes Darawangi

n = 98

RS 45 n = 154

Puskes Pagelaran

n = 65

RS Labuan n = 87

Jumlah

+ % + % + % + % + %

A T H Ss

15 9 0 0

15,3 9,2 0 0

12 2 0 0

7,8 1,3 0 0

22 18 7 1

33,9 27,7 10,8 1,5

29 20 7 0

33,3 23 8,1 0

78 49 14 1

19,3 12,1 3,5 0,2

Tabel 3. Prevalensi Cacing Usus menurut Golongan Umur

A T H Ss Jumlah Umur (bulan)

Jumlah contoh tinja + % + % + % + % + %

0 – 9 148 14 9,5 4 2,7 1 0,7 0 0 19 0,1310 – 19 138 18 13,0 5 3,6 2 1,4 0 0 25 0,1820 – 29 52 16 30,8 12 23,1 1 1,9 1 1,9 30 0,5830 – 39 34 13 38,2 15 44,1 5 14,7 0 0 33 0,9740 – 49 22 9 40,9 7 31,84 3 13,6 0 0 19 0,8650 – 60 10 4 40,0 4 40,0 1 10,0 0 0 9 0,90

Tabel 4. Prevalensi Protozoa Usus di 4 tempat Kab. Pandeglang dan Kuningan

Jenis + %

Entamuba histolytica 1 0,25 Entamuba coli 2 0,51 Giardia lamblia 2 0,51 Cryptosporidium 1 0,25

duduki tempat tertinggi diikuti oleh telur T. trichiura; hal ini sesuai dengan basil dari beberapa peneliti terdahulu(8,9,10).

Pada tabel 3 terlihat bahwa infeksi A. lumbricoides me-ningkat sesuai golongan umur. Keadaan ini dapat dimengerti karena semakin bertarnbah umur anak balita, semakin besar go- longan umur tersebut berinteraksi dengan lingkungan, sehingga

semakin tinggi kemungkinan golongan umur itu mendapat infeksi. Keadaan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Brown dan Neva, bahwa Ascariasis terjadi pada semua golong-an umur dan tertinggi pada golongan umur 5-9 tahun(2). Infeksi Cacing tambang juga meningkat sesuai dengan meningkatnya umur, hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Rukmono, B. et al(11). Anak balita termuda yang terinfeksi Cacing tambang berumur 1,5 bulan, dan dari 19 anak umur 0 - 9 bulan yang positip, 3 anak di antaranya berumur kurang 3 bulan. Di sini terlihat bahwa peranan orang tua sangat penting dalam terjadinya infeksi, dan kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan masih perlu ditingkatkan(12).

Dari hasil penelitian ini yang menarik adalah selain di-temukannya telur T. trichiura, Protozoa E. histolytica dan G. lamblia penyebab diare, juga ditemukan ookista Cryptospori-dium sp. (Tabel 4). Cryptosporidium adalah parasit termasuk Protozoa, serupa dengan Coccidia berukuran ± 5µ, berbentuk bulat seperti coccus, host speciftco. Sesuai dengan basil pene-litian, infeksi Cryptosporidium pada anak sapi menimbulkan diare sedang pada mencit tidak(13). Beberapa peneliti (Tzipori S, 1983, Anderson BC et al, 1982 dan Current, WC et al 1982)(13) melaporkan bahwa Cryptosporidium merupakan Zoonosis.

Cryptosporidiosis menyebabkan diare pada penderita yang mempunyai imunitas normal dan akan sembuh sendiri selama 3 minggu. Tetapi sebaliknya pada penderita yang sistim imuni-tasnya terganggu, akan mengalami diane yang berkepanjangan, gangguan absorpsi dan menurunnya berat badan, misal pada penderita AIDS; maka Cryptosporidium dapat menimbulkan penyakit berat yang mengancam kehidupan(14).

Infeksi Cryptosporidium pada seorang anak penderita diare akut ditemukan untuk pertama kalinya di RSCM Jakarta, kemu-dian ditemukan lagi 6 kasus(15). KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada anak-anak balita : ∗ Infeksi dengan Ascaris lumbricoides adalah yang paling banyak, diikuti oleh Trichuris trichiura dan Cacing tambang. ∗ Selain diketemukannya Protozoa usus seperti Entamuba histolytica, Giardia lamblia, juga diketemukan Cryptospori-dium sp. UCAPAN TERIMA KASIH

Disampaikan kepada Prof. Dr. Sumarmo Poorwo Soedarmo, Kepala Badan Lit bang Kesehatan; Dr. Suriadi Gunawan, DPH, Kepala Puslit Penyakit Menular, yang telah memberi kesempatan melaksanakan penelitian ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Purnomo, SKM, Staf NAMRU, alas saran-saran dalam penulisan ini.

KEPUSTAKAAN

1. Marwoto HA, Andersen EM, Pumomo, Punjabi NH. Intestinal parasitic

diseases. Bull. Health Studies. 1990; 18 (3 & 4): 43-6. 2. Brown HW, Neva FA. Basic Clinical Parasitology. Englewood Cliffs, New

Jersey: Prentice-Hall; 1983. 3. WHO. 1990. Diarrhoeal Diseases Control Program Implementation

Research Priorities : 1-5.

Page 27: Cdk 086 Masalah Anak

4. Winardi B. Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit Diare di Indonesia. MKI. 1984; 34 (11): 712-22.

5. Punjabi NH, et al. Diarrhoea) Diseases. Bull of Health Studies. 1990; 18 (3 & 4): 33-7.

6. Henriksen SA, Pohienz JFL. Staining of Cryptosporidia by a Modified Ziehl-Neelsen Technique. Acta. Vet. Scand. 1981; 22: 594-6.

7. Dorothy MM, Brooke M. Laboratory Procedures for Diagnosis of Intes-tinal Parasites. Public Health Service. Publ No. 1969. Washington: US Government Printing Office. 1969.

8. Depaiy AA, Tarigan P, Sitepu P. Helmintiasis intestinal pada anak-anak desa. Medika 1987; 13 (12): 1194-7.

9. Ismid IS, Margono SS. Kebersihan pribadi, sanitasi lingkungan dan status gizi anak sekolah yang menderita askariasis. Maj Parasitol Indon. 1989; 2 (3 & 4): 97-9.

10. Chandra B. Uji cobs banding antar obat cacing kombinasi Mebendazol dan Pirantel Pamoat dengan Levamizol pada Soil Transmitted Helminth. Medika 1990; 16 (2): 115-7.

11. Rukmono B, Oemijati S, Lie Klan Joe, Pumomo. Prevalence of Intestinal Parasitic Infections in Infants. First Region. Symposium on Scientific

Knowledge of Trop. Parasitol. Singapore. UNESCO. 1962. p. 289. 12. Ismid IS, Margono SS, Rukmono B. Peran Berta masyarakat dalam

Program Integrasi Keluarga Berencana Pemberantasan Penyakit Cacing dan Perbaikan Gizi di Kelurahan Jembatan Besi, Jakarta Barat. Medika 1988; 14 (I): 20-3.

13. Heine J, Pohlenz JFL, Moon HW, Woode GN. Enteric lesions and diarrhea in gnotobiotic calves monoinfected with Cryptosporidium sp. Infect Dis. 1984; 150 (5): 768-75.

14. Andersen WH, Gersoft J, Henriksen SvAa, Pedersen NS. Prevalence of Cryptosporidium among patients with acute enteric infection. Infect. 1984; 9: 277-82.

15. Rasad R, Adjung SA, Rukmono B, Sunoto, Suharyono. Infeksi crypto-sporidium pada anak Indonesia dengan diare. MKI. 1989; 39 (5): 300-1.

16. Lubis A, Dalimunthe AR, Sutanto AH. Gambaran cacing usus pada anak Sekolah Dasar di Kotamadya Tebing Tinggi Deli. Medika 1985; 11 (6): 528-30.

17. Pasaribu S, Lubis H, Nurbafri NY, Athos PD, Lubis CP. Infestasi parasit usus di empat desa Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Indonesia. Medika 1987; 13 (2): 1179-82.

Page 28: Cdk 086 Masalah Anak

27

Keadaan Rongga Mulut Anak Usia kurang dari 2 tahun

di Poliklinik RSU Penyabungan

Charles Darwin Siregar, Bidasari, Ikhwan H.H Rumah Sakit Umum Penyabungan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Rongga mulut merupakan hal yang penting bagi kesehatan dan rasa sejahtera setiap anak. Setiap anakbemsia sampai 2 tahun memerlukan pemeriksaan rongga mulut, dan sebaiknya dilaku-kan pada saat-saat gigi sulung akan tumbuh. Pada usia demikian ini setiap perubahan dalam rongga mulut perlu mendapat per-hatian, dan kepada orangtuanya perlu diberi petunjuk untuk mencegah kerusakan lebih lanjut(1).

Perawatan kebersihan rongga mulut anak berusia sampai 2 tahun sangat tergantung dari perhatian dan pengetahuan orang-tuanya, karena si anak sendiri belum bisa berbuat sesuatu bagi kebersihan rongga mulutnya. Kebersihan rongga mulut yang buruk merupakan penyebab utama terjadinya penyakit-penyakit gusi dan periodontal, yang bisa menyebar ke jaringan sekitarnya, selain itu juga bisa merupakan sumber bakteremia(2). Sebaliknya ada tanda atau kelainan rongga mulut yang merupakan bagian dari gejala penyakit sistemik, seperti bercak Koplik pada penya-kit campak dan lidah arbei pada demam Skarlet(3).

Penyakit-penyakit rongga mulut seperti gingivitis dan glossi- tis akan menyebabkan gangguan makan anak yang bila berlanjut terus bisa menyebabkan gangguan pertumbuhan. Penyakit rongga mulut lainnya seperti infeksi periapikal dari gigi sulung bisa me-nyebabkan gangguan pertumbuhan gigi tetap, dan bila infeksi periapikal ini menjadi kronis bisa menyebabkan keadaan bakte-remia(1). Tidak jarang diagnosis dan pengobatan penyakit gigi anak memerlukan kerjasama antara doktcr gigi dengan dokter khususnya dokter spesialis anak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengctahui kaitan keadaan rongga mulut dan keadaan umum anak-anak berusia 2 tahun di Poliklinik RSU Penyabungan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara.

BAHAN DAN CARA Penelitian ini merupakan studi deskriptif dilakukan setiap

hari Kamis yang merupakan hari "pekan" di Kecamatan Penya-bungan, dari tanggal 5 Desember 1991 sampai dengan 30 Januari 1992. Peserta penelitian ini adalah anak-anak berusia ≤ 2 tahun yang berkunjung ke UPF Kesehatan Anak dan UPF Gigi dan Mulut RSU Penyabungan selama periode penelitian tersebut.

Sebelum dilakukan pemeriksaan, kepada orangtua setiap anak diberikan kuesioner yang mcmuat antara lain : 1. Riwayat keluarga. 2. Riwayat pemberian makanan. 3. Riwayat pertumbuhan gigi sulung. 4. Riwayat pengobatan sebelumnya. 5. Pernah atau tidak mengikuti penyuluhan tentang Usaha Ke-sehatan Gigi atau Perawatan rongga mulut anak.

Setiap peserta setelah memperoleh pemeriksaan umum dan pemeriksaan-pemeriksaan lain yang sesuai dengan keluhan atau pcnyakitnya, peserta dari UPF Kcsehatan Anak dirujuk ke UPF Gigi dan Mulut untuk pcmcriksaan khusus gigi; sebaliknya peserta yang lebih dahulu berkunjung ke UPF Gigi dan Mulut dirujuk ke UPF Kesehatan Anak untuk pemeriksaan keadaan umum. Sctiap anak yang tidak memerlukan rawat-inap dianjur-kan untuk bcrkunjung kcmbsit; pada hari Kamis berikutnya, kccuali keluhan atau kcadaan penyakitnya semakin berat, dapat datang setiap waktu.

Penilaian keadaan gizi tiap anak menggunakan Kartu Me-nuju Sehat (KMS) yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehat-an RI. Menilai usia pertumbuhan gigi sulung dipakai pedoman Time of Eruption and Shedding of Primary Teeth dari American Dental Association. Untuk menilai kebersihan rongga mulut peserta, dipakai Simplified Oral Hygiene (0111-S) dari Green dan

Page 29: Cdk 086 Masalah Anak

28

Vermillion(2). HASIL

Jumlah peserta yang diperoleh selama periode penelitian ini sebanyak 135 anak; 66 anak laki-laki dan 69 anak perempuan dengan usia termuda adalah 12 bulan. Adapun pekerjaan orang-tua para peserta adalah petani 110, pedagang 17, dan pegawai negeri sipil 8. Sebelum penelitian ini semua peserta belum pernah berkunjung ke UPF Gigi dan Mulut, demikian juga semua orangtua peserta belum pernah mengikuti penyuluhan tentang Usaha Kesehatan Gigi atau Perawatan rongga mulut anak.

Peserta yang lebih dahulu berkunjung ke UPF Gigi dan Mulut ada 3 anak, masing-masing dengan keluhan gusi sering berdarah; sedangkan yang lebih dahulu berkunjung ke UPF Ke-sehatan Anak sebanyak 132 anak; 63 dengan keluhan mencret, 41 dengan keluhan demam, 14 dengan keluhan tak mau makan/ disusui, 8 dengan keluhan bisul-bisul, 2 dengan keluhan sesak-nafas, 2 dengan keluhan keluar cairan dari telinga, dan 2 dengan keluhan gatal-gatal.

Dari riwayat pengobatan sebelumnya ada 67 (49,63%) yang sudah pernah memperoleh pengobatan di unit-unit Kesehatan di luar RSU Penyabungan dan semuanya memperoleh antibiotik. (tabel 1).

Pada riwayat pemberian makanan, semua anak ini telah diberikan makanan berupa bubur nasi pada usia 1–2 bulan; se-dangkan masa menyapih berbeda-beda, ada yang pada usia 2 bulan sudah disapih, tetapi ada yang sampai 2 tahun masih disusui (10 anak). Jumlah seluruh anak yang masih disusui sewaktu berkunjung sebanyak 68 anak (50;37%).

Urutan bersaudara yang hidup dalam keluarga tiap peserta, yang terbanyak adalah anak pertama dan anak kedua sebanyak 63 orang (46,67%), kemudian anak ke tiga dan anak ke empat sebanyak 36 (26,67%), 2 di antaranya merupakan anak ke sepuluh yang hidup. Sedangkan yang masih mempunyai adik sewaktu penelitian ini sebanyak 60 anak (44,44%). (tabel 3)

Hasil pemeriksaan umum dan khusus rongga mulut, pada semua peserta tidak dijumpai adanya kelainan-kelainan konge-nital. Pada penilaian kebersihan rongga mulut setiap anak, tidak ditemui adanya kalkulus. Sehingga penilaian menggunakan DI-S yang merupakan komponen OHI-S. Hasilnya didapati 74 anak dengan angka rata-rata 0.0–0.6, 27 anak dengan angka rata-rata 0.7–1.8, dan 34 anak dengan angka rata-rata 1.9–3. Nilai kebersihan rongga mulut anak-anak yang masih disusui kelihatannya lebih baik dari pada anak-anak yang sudah disapih. (tabel 2). Kebersihan rongga mulut menurut urutan bersaudara yang hidup dalam keluarga serta ada/tidaknya adik peserta, terbaik adalah anak pertama dan anak ke dua yang tanpa adik yaitu 32 anak. Dari 32 anak ini 29 di antaranya dengan angka rata-rata 0.0–0.6 (tabel 3).

Pertumbuhan gigi sulung dinilai berpedoman pada Time of Eruption and Shedding of Primary Teeth (American Dental Association): pada usia 12 bulan diharapkan telah tumbuh gigi seri (incisor). Pada usia 12–18 bulan telah tumbuh gigi seri, gigi taring (cuspid), dan geraham pertama (molar pertama). Pada usia 18–24bulan diharapkan sekurang-kurangnya semua gigi sulung

telah tumbuh, kecuali geraham ke dua rahang atas(1). Hasilnya pada 47 anak (34,81%) didapati 1 atau 2 gigi su-

lungnya belum tampak dalam rongga mulut (delayed eruption). Dari 47 anak ini, 30 di antaranya adalah anak perempuan (tabel 4). Pada 3 anak di antara 47 anak tersebut ditemui malposisi gigi; ketiga anak ini telah diberi susu botol sejak usia 1 bulan.

Keadaan gizi 47 anak yang mengalami delayed eruption: 5 dengan gizi baik, 32 dengan gizi kurang, dan 10 dengan gizi buruk (tabel 5). Tabel 1. Distribusi Keluhan Utama dan Pengobatan Sebeiumnya

Pengobatan sebelumnya No. Keluhan Utama

Antibiotik (+) Antibiotik ( ) Total

1. Mencret 32 31 63 2. Demam 18 23 41 3. Tak mau makan/disusui 10 4 14 4. Bisul-bisul 4 4 8 5. Sesak nafas 1 1 2 6. Keluar cairan dari telinga 2 – 27. Gatal-gatal – 2 2 8. Gusi sering berdarah – 3 3

Jumlah 67 68 135 Tabel 2. Distribusi angka rata-rata kebersihan rongga mulut, menurut keadaan saat diperiksa

Kebersihan rongga mulut Sewaktu berkunjung 0.0–0.6 0.7–1.8 1.9–3

Total

1. Disusui (+)/ASI (+) 2. Disusui (-)/ASI (–)

51 23

8 19

9 25

68 67

Jumlah 74 27 34 135 Chi square : 22.613 df : 2 p > 0.005 Tabel 3. Distribusi angka rata-rata kebersihan rongga mulut, menurut urutan dalam keluarga dan ada/tidaknya adik peserta

Kebersihan rongga mulut

0.0–0.6 0.7–1.8 1.9–3 Total

Anak-I dan anak-II: 1. Adik (+) 21 3 7 312. Adik (–) 29 2 1 32 Anak-III dan anak-IV: 1. Adik (+) 2 1 12 15

2. Adik (–) 12 7 2 21 Anak ke ≥ V: 1. Adik (+) 1 6 7 14

2. Adik (–) 9 8 5 22

Jumlah 74 27 34 135 Tabel 4. Distribusi Erupsi Gigi Sulung menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin

0-12 bin 12-18 bin 18-24 bin 0 0 0 0 0 0

Total

1. Sesuai usia 2. Tertunda (delayed eruption)

5 3

3 5

13 5

20 14

31 9

16 11

88 47

Jumlah 8 8 18 34 40 27 135

Page 30: Cdk 086 Masalah Anak

29

Pada pemeriksaan mukosa rongga mulut, ditemui mukosa

rongga mulut kering (Xerostomia) pada 105 anak (77,78%), di antaranya 63 berkunjung dengan keluhan mencret, 26 dengan keluhan demam, 14 dengan keluhan talc mau makan/disusui, dan 2 dengan keluhan sesak nafas. Tanda-tanda klinis adanya de-hidrasi di antara 105 anak ini ditemui hanya pada 97 anak, se-dangkan 8 sisanya ternyata menderita Rhinitis. Sariawan (oral thrush) ditemukan pada 32 anak (23,70%), dan white coated tongue ditemui pada 26 anak (19,26%).

Pemeriksaan tinja peserta yang berkunjung dengan keluhan mencret mendapati Kandida albikans pada 28 anak (44,44%), dan anak-anak ini juga menderita sariawan pada rongga mu-lutnya (tabel 6). Tabel 5. Distribusi Erupsi Gigi Sulung menurut Keadaan Gizi

Baik Kurang Buruk Total

1. Sesuai usia 2. Tertunda (delayed eruption)

73 5

10 32

5 10

88 47

Jumlah 78 42 15 135 p>0.005

Tabel 6. Distribusi Peserta Diare

Penderita diare

Pemeriksaan tinja: Kandida

albikans(+)

Oral Thrush

(+) %

Pengobatan antibiotik (+) 1. Disusui (+)/ASI (+)

18

3

3

16,67

2. Disusui (–)/ASI (–) 14 14 14 100 Pengobatan antibiotik (–) 1. Disusui (+)/ASI (+)

16

1

1

6,25

2. Disusui (–)/ASI (–) 15 10 10 66,67

Jumlah 63 28 28 44,44

DISKUSI

Penilaian terhadap kebersihan rongga mulut memakai pe-doman Simplified Oral Hygiene (OHI-S) yang terdiri dari 2 kom-ponen, yaitu Simplified Debris Index (DI-S) dan Simplified Calculus Index (CI-S).

Kalkulus sangat jarang dijumpai pada bayi, dan bisa dijumpai ± 3% dari anak-anak berusia 2-4 tahun(2). Pada penelitian ini memang tidak dijumpai adanya kalkulus, sehingga untuk penilaian kebersihan rongga mulut digunakan DI-S.

Kurangnya perhatian orangtua terhadap kebersihan rongga mulut anaknya terutama anak usia < 2 tahun, bisa disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang cara-cara merawat rongga mulut anak dan pengetahuan tentang akibat kebersihan rongga mulut yang buruk. Bisa juga disebabkan oleh kesibukan-kesi-bukan yang menyangkut nafkah keluarga ataupun oleh tugas-tugas rumah tangga sebagai akibat dari terlalu dekatnya jarak usia anak-anak atau sebagai akibat keluarga besar.

Pada penelitian ini semua orangtua peserta belum pernah mengikuti penyuluhan mengenai Usaha Kesehatan Gigi atau Perawatan rongga mulut anak, kelihatannya anak pertama dan anak kedua tanpa adik kebersihan rongga mulutnya lebih baik.

Sedangkan kebersihan rongga mulut antara anak-anak yang masih disusui dengan anak-anak yang sudah disapih, kelihat-annya angka rata-rata anak-anak yang masih disusui lebih baik. Hal ini bisa memberi gambaran bahwa menyusui anak atau pem-berian ASI pada anak-anak sampai usia 2 tahun mempunyai manfaat bagi kebersihan rongga mulut.

Pada pemeriksaan vertumbuhan gigi sulung ditemukan 47 anak (34,81%) mengalami delayed eruption, dan hanya 3 anak yang menderita malposisi gigi; sedangkan tanda-tanda klinis penyebab delayed eruption tidak ditemui pada anak-anak yang lain. Lunt dan Law berpendapat bahwa tidak ada perbedaan maturasi gigi di antara anak-anak yang berbeda ras atau keku-rangan gizi(5). Pada penelitian ini temyata 34,81% dari seluruh anak yang disertakan mengalami delayed eruption.

Xerostomia ditemui pada 105 anak, dan tanda-tanda klinis adanya dehidrasi didapatkan hanya pada 97 anak, sisanya ter-nyata menderita rhinitis. Xerostomia pada penderita rhinitis bisa disebabkan karena bernafas melalui rongga mulut, akibatnya mukosa rongga mulut tampak mengering.

ASI mengandung sejumlah laktoferin, yaitu suatu bakteri-ostatik yang sangat kuat, yang mungkin juga efektif terhadap Kandida albikans(3). Pada penelitian ini di antara peserta dengan keluhan mencret didapatkan 28 anak menderita sariawan dan padapemeriksaan tinjanya ditemui Kandida albikans. Kelihatan-nya infeksi Kandida albikans lebih banyak terjadi pada anak-anak yang sudah disapih dan memperoleh pengobatan antibiotik sebeluinnya, dibandingkan dengan anak-anak yang masih di-susui dan belum memperoleh pengobatan antibiotik. KESIMPULAN

Dari 135 anak yang disertakan dalam penelitian ini, hanya 54,81% yang mempunyai angka rata-rata kebersihan rongga mulut 0.0-0.6; perhatian ataupun pengetahuan orangtua tentang perawatan kebersihan rongga mulut anak terutama anak usia ≤ 2 tahun masih kurang.

Pemberian ASI pada anak sampai usia 2 tahun bermanfaat bagi pemeliharaan kebersihan rongga mulut, di samping itu juga memiliki peran protektif terhadap infeksi Kandida albikans pada rongga mulut dan saluran cema.

Pengaruh keadaan gizi sebagai salah satu penyebab delayed eruption masih belum jelas, memerlukan penalaran lebih lanjut.

KEPUSTAKAAN

1. Lawrence AF. The oral cavity. Dalam: Behrman, Vaughan V, C. Nelson Textbook of Pediatrics, Edisi 12. Philadelphia: WB Saunders Co, 1983; Hal 874–887.

2. Carranza FA. The Epidemiology of gingival and periodontal disease. Dalam: Glickman's Clinical Periodontology, Edisi 6. Philadelphia: WB Saunders Co, 1984; Hal 309–38.

3. Berkow R. Dental and oral disorders. Dalam: The Merck Manual of Diagnosis and Therapy, Edisi 12. West Point: Merck and Dohme Research Lab, 1977; Hal 1651–71.

4. Clovano NR. Hasil-hasil perubahan tata-cara di rumah sakit dalam menyusui dan kesehatan. Direktorat Bina Gizi Departemen Kesehatan, Unicef dan Perdhaki. Hal 139–58.

5. Sanders B. Dental maturation. Dalam: Pediatric Oral and Maxillofacial surgery, Edisi 1. St Louis: CV Mosby Co, 1979; Hal 41-4.

Page 31: Cdk 086 Masalah Anak

30

Diagnostik Talasemia dan Kepentingannya

Sunarto

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada RSUP DR. Sardjito, Yogyakarta

PENDAHULUAN

Talasemia adalah anemi hemolitik herediter yang dise-babkan oleh kurang atau tidak adanya sintesis rantai globin yang merupakan penyusun hemoglobin (Hb). Karena ada 4 macam rantai globin, yaitu α, β, γ, dan σ yang merupakan penyusun Hb setelah lahir, maka dikenal talasemia α, β, γ, dan σ. Di samping itu ada bentuk campuran, seperti talasemia αβ. Dua bentuk talasemia yang mempunyai arti klinik – karena menimbulkan gejala – adalah talasemia-α dan talasemia-β. Karena sifat resesif dari gena globin dan pewarisannya menurut hukum Mendel autosomal, maka hanya bentuk homozigot yang menimbulkan masalah klinik.

Di samping talasemia, Hb E merupakan stigma di Asia Tenggara. Sebenarnya HbE homozigot hanya menunjukkan ge-jala Minis anemia ringan, tetapi bila Hb E berinteraksi dengan talasemia-(3 sehingga terjadi heterozigot campuran (compound heterozygote = penyakit tal.β /Hb E), maka penderita akan me-nunjukkan gejala klinis seperti talasemia mayor, meskipun biasanya lebih ringan. Interaksi antar tipe talasemia atau antara talasemia dan hemoglobinopati lain dapat kompleks sehingga memerlukan uji laboratorium yang kompleks pula(1).

Dalam makalah ini akan dibicarakan uji diagnostik pada talasemia, manfaatnya untuk mengenal kasus dan dampaknya terhadap penanggulangan talasemia.

UJI LABORATORIUM PADA TALASEMIA Berbagai uji laboratorium diperlukan untuk diagnostik sin-

drom talasemia, mulai dari uji darah sederhana, indeks hemato-logik, morfologi eritrosit dan jumlah retikulosit yang semuanya termasuk pemeriksaan rutin; selanjutnya fragilitas eritrosit yang sangat mudah untuk dilaksanakan, pemeriksaan Hb F, Hb A2, Hb E dan elektroforesis yang memerlukan peralatan tidak terlalu canggih sampai analisis sintesis globin dan analisis DNA yang lebih canggih(2,3), beberapa di antaranya seperti tertera di bawah.

Preparat apus darah tepi sindrom talasemia menunjukkan kelainan yang jelas, berupa anisositosis yang nyata, hipokromi, poikilositosis, bentuk sel tak keruan (bizarre cell), fragmented cell, normoblas (asidofil) kadang sampai banyak sekali sehingga mempertinggi jumlah leukosit, basophilic stippling; sel target (menyolok pada Hb E homozigot); retikulosit meningkat. Ada-nya inclusion bodies dalam eritrosit pada pengecatan dengan brilliant cresyl blue atau methylene blue merupakan kriteria diagnostik penyakit Hb H(1).

Mean corpuscular volume (MCV) dan mean corpuscular hemoglobin (MCH) bersama fragilitas osmotik merupakan uji saring yang sederhana dan cepat(3). Bain(4) melaporkan pada wanita hamil, MCV kurang dari 83 uu3 dapat dipakai sebagai uji saring awal trait talasemia-β dengan sensitivitas amat tinggi. Demikian pula MCH <26uug. Sayang sekali nilai-nilai itu hanya

Key words : α- and β-thalassemia – routine tests – globin synthesis and DNA analysis –thalassemia diagnosis – thalassemia control program.

Page 32: Cdk 086 Masalah Anak

31

dapat diandalkan bila diperoleh dengan electronic counter. Pemeriksaan yang setara dengan nilai MCV dan MCH adalah pemeriksaan mikroskopik preparat apus darah tepi dengan pe-ngecatan Giemsa, Wright, May-Grunwald atau May-Grunwald-Giemsa. Adanya mikrositosis dan hipokromi harus mengingat-kan kita kepada trait talasemia di samping anemi defisiensi besi(2,3).

Uji fragilitas osmotik satu tabung dengan 0,36% larutan salin terbufer mudah sekali dikerjakan dan mempunyai arti yang sangat penting sebagai uji saring: pada orang normal lebih dari 96% eritrosit akan terhemolisis, sedangkan pada penderita talasemia atau trait banyak eritrosit tidak mengalami hemolisis osmotik(3).

Inclusion bodies dalam eritrosit merupakan kelebihan globin-β dan dapat diperlihatkan dengan pengecatan methylene blue (tampak bulat, terdistribusi tak rata) atau dengan brilliant cresyl blue (tampak berukuran sama dan rata terdistribusi). Uji ini merupakan kriteria diagnostik penyakit Hb H(3). Inclusion bodies juga terdapat pada talasemia-β pasca splenektomi(1).

Hb F diperiksa dengan memanfaatkan sifat resistennya terhadap asam dan alkali kuat. Secara mikroskopik, pada preparat apus darah tepi yang dipaparkan pada larutan asam semua Hb kecuali Hb F akan terelusi keluar, sehingga eritrosit yang me-ngandung banyak Hb F akan tampak oranye atau merah dengan pengecatan eosin atau tampak biru tua dengan pengecatan amido black; sel yang tidak mengandung Hb F tampak pucat sehingga dinamakan ghost cell. Normal kurang dari 8% eritrosit memper-lihatkan pengecatan positif ringan; pada talasemia-β banyak sekali eritrosit tercat dengan intensitas tak sama antar sel, sedang pada high persistent fetal hemoglobin (HPFH) kcnaikan Hb F merata pada semua eritrosit(2). Pemeriksaan Hb F spektrofoto-metrik metode Pembrey (modifikasi dari metode dua-menit Betke) memberi basil yang reproducible pada kadar Hb F 0,5–50%, sedangkan untuk kadar Hb F di atas 50% metode Jonxis dan Visser lebih baik(1). Hb F meninggi pada 50% trait talasemia-, tetapi ini tidak punya anti diagnostik. Hb F amat meningkat pada talasemia-β homozigot dan pada HPFH(3).

Elektroforesis Hb memegang pecan sangat penting pada diagnostik sindrom talasemia(1). Elcktroforesis dapat memisah-misahkan berbagai jenis hemoglobin. Prinsip elektroforesis adalah memanfaatkan sifatamfoter dari globin sebagai molekul protein.

Rantai globin – dari Hb normal maupun abnormal – mempu-nyai muatan listrik dengan kekuatan yang berbeda-beda. Bila hemolisat eritrosit ditaruh dalam medan listrik, maka berbagai macam Hb akan bergerak ke arah salah satu kutub dengan kecepatan yang berbeda-beda tergantung dari muatan listriknya, sehingga dalam waktu tertentu akan terpisah satu sama lain. Dalam praktek biasanya dipakai lempeng selulose asetat sebagai supporting medium, meskipun mungkin starch gel medium Iebih baik(1).

Dengan elektroforesis, Hb A2, Hb E dan lain-lain Hb dapat ditentukan secara kuantitatif dengan cara mengelusi pita-pita basil elektroforesis. Prosedur ini secara teknis rumit sedang penentuan dengan densitometer (scanner) kurang dapat diandal-kan(2,3).

Elektroforesis juga digunakan untuk memisah-misahkan fragmen deozynucleic acid (DNA) dengan ukuran panjang yang berbeda-beda pada analisis DNA.

Kromatografi mikrokolom merupakan cara yang mudah dan memuaskan untuk menentukan Hb A2 dan Hb E. Nilai normal adalah 1,5%–3,5% dengan rerata 2,28%; pada trait talasemia-β berkisar 3,6%–7,8% dengan rerata 5,2%, sedangkan pada Hb E homozigot berkisar antara 25% sampai 30%(2,3).

Uji prespitasi DCIP (dichlorophenolindolphenol) digunakan untuk uji saring Hb E. Molekul Hb E akan mengalami disosiasi dan presipitasi bila diinkubasikan dengan cat tersebut pada 37°C. Timbulnya banyak endapan pada dasar tabung me-nunjukkan Hb E homozigot, sedangkan kekeruhan atau endapan ringan terdapat pada Hb E heterozigot, penyakit Hb H dan penyakit tal-β /Hb E. Kekeruhan juga terdapat pada normal, defisiensi besi, trait talasemia dan hemoglobin Constant Spring (Hb CS)(3).

Analisis sintesis rantai globin adalah pemeriksaan laborato-rium yang secara tegas membuktikan ketidakseimbangan pro-duksi rantai globin pada talasemia. Rantai globin masih disintesis oleh retikulosit, sehingga sintesis rantai itu dapat diukur secara in vitro pada eritrositdarah tepi(1,5,6,7,8). Pada prosedur ini eritrosit diinkubasikan dengan leucin radioaktif selama waktu tertentu, kemudian dicuci, dilisiskan dan rantai-rantai globin dipisahkan dengan kromatografi kolom. Jumlah radioaktivitas yang terikat pada masing-masing jenis rantai globin menunjukkan besarnya sintesis selama masa percobaan itu.

Gambar 1 memperlihatkan analisis sintesis rantai α, β dan γ pada normal dan pada talasemia(1).

Analisis DNA adalah teknik pemeriksaan yang relatif baru. Pada prosedur ini DNA yang dianalisis bisa dari sel apa saja, karena setiap sel dari suatu individu mengandung semua gena/ DNA yang ada pada individu tersebut, tetapi gena tertentu hanya berfungsi pada organ tertentu; misalnya gena yang menyandi insulin hanya berfungsi pada sel-β Langerhans, gena globin da-lam eritrosit saja yang berfungsi membentuk rantai globin. Ka-rena itu analisis DNA untuk mendeteksi mutasi pada gena globin dapat dilakukan pada leukosit polimorfonuklear, fibroblas, sel epitel pipi dan sebagainya(9), bahkan pada darah kering(10).

Terhadap DNA dapat dilakukan pemeriksaan(1,11,12) : 1. Deteksi direk delesi gena : dengan analisis Southern blot delesi gen-α pada talasemia- α° heterozigot dapat digunakan probe gen-C, dan pada talasemia-α+ dan talasemia-a° homozigot dengan menggunakan probe gen-α. 2. Deteksi direk gena mutan dengan enzim endonuklease restrik-tif : endonuklease restriktif– suatu enzim berasal dari bakteri – memotong DNA pada tempat tertentu. Ragmen yang dihasilkan mempunyai ukuran bermacam-macam dan dapat dipisah-pisahkan dengan elcktroforesis. Apabila suatu mutasi menyebabkan hi-langnya suatu sisi restriksi (restriction site) dalam gena, maka suatu fragmen restriksi dengan ukuran berbeda akan muncul dan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya abnormalitas gena. 3. Deteksi mutasi dengan probe oligonukletida sintetik : bila mutasi telah diketahui, maka suatu probe oligonukleotida – yaitu

Page 33: Cdk 086 Masalah Anak

32

Gambar 1. Sintesis rantai globin: pada orang normal sintesis globin-α dan -β seimbang; pada talasemia-β globin-β << globin-α(1).

suatu untai DNA yang komplementer dengan DNA mutan – dapat disintesis. Oligonukleotida tersebut akan mengidentifikasi mutan secara langsung. 4) Deteksi mutasi dengan linkage analysis : cara ini dapat di-gunakan bila mutasi tidak dikenal. Seperti di atas, endonuklease restriksi menghasilkan fragmen dengan berbagai ukuran pan-jang. Beberapa tempat pemotongan adalah polimorfik dan sifat ini diwariskan menurut hukum Mendel; restriction fragment length polymorphism (RFLP). Jika lokus mutan terkait terhadap polimorfisme, maka analisis DNA dari orang tua dan lain-lain anggota keluarga mengenai polimorfisme tcrsebut dapat meng-identifikasi apakah anak atau janin mewarisi mutasi tersebut.

Untuk dapat dianalisis jumlah DNA harus cukup. Dari cuplikan yang hanya sedikit, DNA dapat diperbanyak dengan cloning(13,14) atau dengan polymerase chain reaction (PCR). Kloninggen memerlukan waktu sampai 10 hari, sedangkan pro-sedur PCR hanya memerlukan waktu beberapa jam(15,16,17,18). Prinsip cara ini adalah: oligonukleotida sintetik yang komple-menter dengan suatu segmen DNA/gena dapat bertindak sebagai primgr yang dapat mengamplifikasi gena itu secara enzimatik in vitro, sehingga dari satu untai DNA dapat diperbanyak menjadi

> 106 kali. Suatu prosedur yang baru-baru ini dikembangkan adalah

deteksi mutan secara langsung dengan cara amplification refrac-tory mutation system (ARMS). Prinsip cara ini adalah: hanya primer yang komplementer dengan urutan DNA mutan yang dapat mengamplifikasikan segmen DNA target(19,20). Jika mutan yang diteliti memang komplementer dengan primer yang di-pakai, maka akan terjadi amplifikasi, sebaliknya tidak terjadi-nya amplifikasi berarti mutan yang diteliti tidak komplementer dengan primer yang dipakai, sehingga percobaan harus dilanjut-kan lagi dengan primer yang lain. DNA produk amplifikasi di-elektroforesis dan selanjutnya dibaca dengan probe radioaktif atau divisualisasikan dengan pengecatan etidium bromida. Gambar 2 memperlihatkan basil analisis DNA pada talasemia- β(21).

Uji-uji laboratorium di atas diperlukan sesuai dengan ke-pcntingannya seperti dibicarakan di bawah. TALASEMIA MAYOR

Diagnosis talasemia mayor khususnya talasemia-P° biasa-nya tidak sulit, karena gejala kliniknya yang khas berupa kega-

Page 34: Cdk 086 Masalah Anak

33

a b

Gambar 2. Pola elektroforesis DNA hasil PCR prosedur ARMS : i Marker OX 174 Hae III digested; ii blanko:

a. iii sampel + primer IVS1–Nt5 mutan –> amplifikasi (pita 285bp) iv sampel + primer IVSI–Nt5 normal –> amplifikasi negatif Kesimpulan : homozigot IVS1–Nt5mutan/IVSI–Nt5mutan

b. iii sampel + primer IVSI–Nt5 mutan –> amplifikasi (pita 285bp) iv sampel + primer IVS1–Nt5 normal –> hasil idem

Kesimpulan : heterozigotIVSI–Nt5mu. ,n/IVS1–Nt5normal Pita 861 bp = hasil amplifikasi dengan primer kontrol (untuk mengontrol apakah PCR efektif).

galan pertumbuhan, anemi sedang sampai berat, mungkin ikterus ringan, wajah mongoloid, rodent like mouth mungkin tampak, (hepato) splenomegali yang bisa masif; tulang mengalami per-ubahan, kortek menjadi tipis, medula porosis. Kedua orang tua sebagai trait mempunyai Hb A2 yang meningkat. Elektroforesis memastikan ada/tidaknya HbE atau Hb patologik yang lain.

Untuk pemantauan hemosiderosis perlu pcmeriksaan kadar besi serum, kapasitas ikat besi (IBC) laten, kadar feritin. Pe-nimbunan besi pada jaringan dapat dilihat dari pungsi sumsum tulang.

Penderita penyakit tal-R/HbE umumnya memperlihatkan gejala sama dengan talasemia mayor, meskipun lebih ringan. Pada elektroforesis ditcmukan HbF meningkat dan pita Hb E.

Diagnosis talasemia mayor dan Hb E cukup dengan uji laboratorium rutin, kadar Hb F, anal isis HbA2 pada orang tua dan mungkin elektroforesis. Dalam praktek analisis sintesis globin tidak dikerjakan terhadap penderita talasemia, tetapi analisis DNA penderita banyak dilakukan karena diperlukan untuk

memperoleh informasi, khususnya macam-macam mutasi yang ada pada populasi/ras tertentu(20,22,23,24,25). Pola mutasi ini sangat diperlukan untuk kepentingan diagnosis prenatal. TALASEMIA MINOR (HETEROZIGOT, TRAIT ATAU PEMBAWA BAKAT

Talasemia minor tidak menimbulkan masalah klinis, biasa-nya anemi ringan, kadar Hb rata-rata 1–2 g% di bawah nilai normal, indeks hematologik menunjukkan volume rata-rata eritrosit (MCV) dan hemoglobin per eritrosit rata-rata (MCH) di bawah normal(4) seperti anemia defisiensi besi. Diagnosis tala-semia minor diperlukan untuk mcnerangkan atau meramalkan pola pewarisan pada keluarga dan untuk kepentingan konsultasi pranikah. Gambar 3 memperlihatkan tata alir penelusuran diag-nosis trait talasemia. TALASEMIA INTERMEDIA

Ini suatu istilah klinis untuk bentuk talasemia dengan ber-

Page 35: Cdk 086 Masalah Anak

34

Gambar 3. Pola uji saring talasemia di lapangan(3)

bagai variasi spektrum klinik. Genotipik dapat : talasemia-β+, talasemia-σβ dan HPFH, interaksi talasemia-σβ atau dengan Hb S, C, E dan lain-lain, talasemia-β heterozigot berat, tala-semia-α, interaksi talasemia-α dengan -β talasemia-α atau -β dengan komplikasi kelainan akuisita(1). Untuk diagnosis kasus-kasus demikian diperlukan analisis DNA dan penelusuran pedigree(1,2). DIAGNOSIS PRENATAL

Pada penanggulangan talasemia diagnosis prenatal sangat penting peranannya. Diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan: 1) analisis sintesis globin in vitro, 2) analisis DNA(9).

Dari 0,5 ml darah fetal yang diperoleh pada fetal blood sampling dapat dilakukan analisis sintesis rantai globin. Analisis sintesis globin merupakan uji yang sangat reliabel, sampai 99% ketepatan(9); sayang fetal blood sampling baru dapat dilaksanakan setelah minggu ke-16 kehamilan. Pada janin 9–22 minggu rasio 0/y normal adalah > 0,10, pada trait talasemia-(3 dan trait HbE 0,06–0,10, pada talasemia-β homozigot dan tal-β /HbE 0,03–0,04, pada HbE homozigot 0,045(18).

Penelitian molekular hemoglobin telah demikian maju, sehingga struktur molekular dan urutan DNA Hb normal dan berbagai Hb patologik telah diketahui(12,26). Ini membawa dam-pak yang sangat penting bagi diagnosis prenatal, karena dengan ini dimungkinkan menganalisis cuplikan jaringan janin yang dapat diperoleh pada trimester pertama (minggu ke-8) kehamilan dengan chorionic villus sampling (CVS). Dengan prosedur PCR, sejumlah amat kecil dari cuplikan itu dapat diamplifikasi untuk dianalisis. Prosedur diagnosis ini memerlukan waktu hanya 12–24 jam(18,19). Cara ini dapat digunakan untuk mendeteksi hidrop fetalis Hb Bart dan mutasi talasemia-β.

Bila telah diketahui macam-macam mutasi genetik dalam suatu populasi maka dengan menggunakan primer ARMS yang sesuai adanya mutasi gen dapat diketahui dengan mudah dan cepat(19,20). DAMPAK TERHADAP PENANGGULANGAN

Kemajuan diagnostik talasemia telah memberi manfaat yang nyata pada program penanggulangan talasemia, terutama dalam pencegahan lahirnya bayi talasemia homozigot. Prevensi tala-semia pada mulanya tidak efektif, hanya dengan upaya menu-runkan lahirnya talasemia homozigot dengan mengubah pola perkawinan antar heterozigot. Studi di Eropa dan Mediterania pada tahun 70-an telah membuktikan bahwa penanggulangan talasemia dengan menyertakan diagnosis prenatal amat efektif(9). Diagnosis antenatal telah mengurangi 50% kelahiran talasemia homozigot di Yunani, 60% di Sardinia, 92% di Cyprus, 90% di Italia utara dalam 5 tahun(27,28). Dengan dicapainya kemajuan dalam diagnostik pada trimester pertama kehamilan, 99% dari pasangan di Sardinia mau menerima diagnosis prenatal sebagai cara untuk memantau janin yang menderita talasemia(29).

KESIMPULAN Kemajuan dalam pemahaman patogenesis talasemia, struktur

molekular Hb dan kemajuan teknik laboratorium telah mem-bawa kemajuan besar dalam diagnostik talasemia. Diagnostik talasemia makin tinggi sensitivitas dan spesifisitasnya, makin mudah dilaksanakan dan makin praktis untuk dilaksanakan baik untuk kepentingan klinik maupun lapangan. Diagnosis prenatal bermanfaat besar dan selanjutnya membawa dampak keberhasil-an mencegah kelahiran talasemia homozigot.

Page 36: Cdk 086 Masalah Anak

35

KEPUSTAKAAN 1. Weatherall DJ, Clegg JB. The Thalassemia Syndromes. 3rd ed. London:

Blackwell Scient Publ, 1980. 2. Kaufman RE. Analysis of abnormal hemoglobins. In: Kocpke, JA. eds.

Practical Hematology. 1st ed. New York: Churchill Livingstone Inc, 1991. pp 251-294.

3. Organizing Committee (eds). Manual of Laboratory Diagnosis. Workshop on Laboratory Diagnosis of Thalassemia and Hemoglobinopathies Includ-ing Prenatal Diagnosis. Jakarta, 1992.

4. Bain JB. Screening of antenatal patients in a multiethnic community for β thalassemia trait. J Clin Pathol 1988; 41: 481-5.

5. Conconni F, Bargellesi A, Del Senno L, Menegatti E, Pontremoli S, Russo G. Globin chain synthesis in Sicilian thalassemic subjects. Brit J Ilaematol 1970; 19: 469-75.

6. Friedman SI-I, Schwartz E, Ahem V, Ahem E. Globin synthesis in the Jamaican Negro with 13-thalassemia. Brit J Haematol 1974; 28: 505-13.

7. Kazazian HH, Ginder GD, Snyder PG, Van Beneden RJ, Woodhead AP. Further evidence of quantitative deficiency of chain-specific globin mRNA in thalassemia syndromes. Proc Nall Acad Sci USA 1975; 72: 567-71.

8. Nienhuis AW, Turner P, Benz Jr EJ. Relative stability of a- and (l-globin messengerRNAs in homozygous β+ -thalassemia. Proc Natl Acad Sci USA 1977; 74: 3960-64.

9. Wong HB. Prenatal diagnosis of some haematological genetic diseases. Konas V PHTDI - Semarang, 1986.

10. Huang SZ, Zhou XD, Zhu H, Ren ZR, Zeng YT. Detection of β thalassemia mutations in Chinese using amplified DNA from dried blood specimens Hum Genet 1989; 84: 129-31.

11. Todd D, Chan V. The thalassemia an update. Med Progr 1989; 16: 51-62. 12. Bunn HF, Forget BG. Hemoglobin : Molecular, Genetic and Clinical

Aspects. 1st ed. Philadelphia: WB Saunders Co, 1986. pp 225-305. 13. Chan F, Chan TK, Kn YW, Todd D. A novel β -thalassemia frameshift

mutation (codon 14/15), detectable by direact visualization of abnormal restriction fragment in amplified genomic DNA. Blood 1988; 72: 1420-3.

14. Fucharoen S, Kobayashi Y, Fucharoen G et al. A single nucleotide deletion in codon 123 of β-globin gene cat ses an inclusion body β-thalassaemia trait : a novel elongated globin chain βMakabe. Brit J Haematol 1990; 75: 393–9.

15. Saiki RK, Gelfand DH, Stoffel Set al. Primer directed enzymatic amplifi- cation of DNA with a thermostable DNA polymerase. Science 1988; 239: 487-91.

16. Amheim N, Levenson CH. Polymerase chain reaction. C and En: Special Report 1989; 17: 36-47.

17. Wong C, Dowling CE, Saiki RK, Iliguchi RG, Erlich HA, Kazazian Jr HH. Characterization of 5-thalassemiamutations using direct genomic sequenc- ing of amplified single copy DNA. Nature 1987; 330: 384-6.

18. Fucharoen S, Winichagoon P, Thonglairoam V et al. Prenatal diagnosis of thalassemia and hemoglobinopathies in Thailand : Experiences from 100 pregnancies. Southeast Asian J Trop Med Publ Health 1991; 22: 16-29.

19. Old JM, Varawalla NY, Weatherall DJ. Rapid detection and prenatal diagnosis of 13-thalassemia: studies in Indian and Cypriot populations in the UK. Lancet 1990; II: 834-37.

20. Varawalla NY, Old JM, Sarkar R, Venkatesan R, Weatherall DJ. The spectrum of β-thalassemia mutations on the Indian subcontinent: the basis for prenatal diagnosis. Brit J Haematol 1991; 78: 242-7.

21. Lani F.DeteksiMutasiGenaPenderitaThalasemia-β di RSUP DR Sardjito Yogyakarta. Tesis S2 - UGM 1991.

22. Winichagoon P, Fucharoen S, Thonglairoam V, Tanapotiwirut V, Wasi P. β-thalassemia in Thailand Ann NY Acad Sci 1990; 612: 31-42.

23. Winichagoon P, Thonglairoam V, Fucharoen S, Tanpaichito VS, Wasi P. α-thalassemia in Thailand. Hemoglobin 1988; 12: 485-98.

24. Chan V, Chan TK, Chebab FF, Todd D. Distribution of β-thalassemia mutations in South China and their association with haplotypes. Hum Genet 1987; 41: 678-85.

25. Lie-Injo LE, Cai SP, Wahidiyat I et al. β-thalassemia mutations in Indonesia and their linkage to β-haplotype. Am J Hum Genet 1989; 45: 971-5.

26. Vogel F, Motulsky AG. Human Genetics Problem and Approaches. 2nd ed. Berlin: Springer-Verlag, 1986.

27. WHO. Community control of hereditary anaemias: Memorandum from WHO meeting. Bull WHO 1983; 61:63-80.

28. Angastiniotis MA, Hadjiminas MG. Prevention of thalwemia in Cyprus. Lancet 1981; I: 369-71.

29. Clegg JB. Prenatal diagnosis of haemoglobinopathies. Semiloka Tha- lassemia : Thalassemia Sebagai Masalah Kesehatan. Yogyakarta, 1993.

Lack of money is the root of alt evil

(Mark Twain)

Page 37: Cdk 086 Masalah Anak

36

Penggunaan Imunoglobulin Dosis Tinggi pada Purpura

Trombositopenik Idiopatik Khronik Anak

Charles Darwin Siregar Rumah Sakit Umum Penyabungan, Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Purpura Trombositopenik Idiopatik (PTI) adalah suatu ke-lainan yang mempunyai ciri khas bcrupa : trombositopenia, jumlah megakariosit normal atau meningkat, dan tidak ditemui keadaan-keadaan yang mungkin merupakan pcnycbab seperti reaksi obat, infeksi aktif, DIC, splenomegali dan penyakit-penya-kit jaringan ikat(1,2).

Sejak Paul Gottlieb Werlhof melukiskan gambaran penyakit PTI ini dan menamakannya Morbus Maculous, penelitian mengenai penyebab yang spesifik masih terus berlanjut. Dalam tiga dekade terakhir ini telah dapat diketahui bahwa penyebab-nya berkaitan erat dengan proses imun dalam tubuh(3,4), dan se-karang ini Purpura Trombositopenik Idiopatik telah suing di-sebut sebagai Purpura Trombositopenik Immun(5,6).

Penyakit PTI mempunyai 2 bentuk, yang akut dan kronik. Bentuk akut lebih sering terjadi pada anak, dan biasanya pada usia 2–6 tahun, atau rata-rata di bawah 10 tahun(7,8). Perbanding-an anak laki-laki dan anak perempuan adalah 1:1(1,2). Kira-kira 80% bentuk akut mengalami remisi spontan setclah 4–6 minggu perjalanan penyakit. Beberapa kasus remisi dalam 6 bulan, dan sisanya setelah 6–12 bulan, bahkan ada yang berulang atau tidak pemah mengalami remisi sama sekali, sehingga menjadi kronik(4,9). Bentuk kronik lebih sering terjadi pada orang dewasa, sedangkan pada anak bisa merupakan lanjutan dari bentuk akut; ditemukan

secara kebetulan berupa purpura dan epistaksis, umumnya ditemui pada usia lebih dari 10 tahun(2,8).

Insidens penyakit ini belum dikctahui dan di Indonesia laporan mengenai PTI masih jarang sekali.

Splenektomi masih mcrupakan cara pengobatan terpilih PTI kronik anak meskipun prosedur pclaksanaannya memerlu-kan banyak pertimbangan seperti adanya indikasi-kontra dan penyulit yang mungkin terjadi. Ternyata ± 15–20% penderita pasca splenektomi masih tetap dalam keadaan trombositopenia(1,2). Penelitian mengenai penyebab yang spesifik serta mekanisme terjadinya trombositopenia pada PTI masih belum berakhir, dan sekarang ini telah diperoleh satu cara pengobatan PTI kronik anak dengan mcnggunakan Immunoglobulin dosis tinggi(9,10,11). Penggunaan Immunoglobulin dosis tinggi telah merupakan suatu altematif lain di samping splenektomi.

Dalam tulisan ini akan diuraikan bcberapa hal sehubungan dengan splcncktomi dan pcnggunaan Immunoglobulin dosis tinggi pada penanganan PTI kronik anak. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Trombositopenia pada PTI disebabkan terjadinya kerusak-an yang berlebihan dari trombosit sedangkan pembentukannya normal atau meningkat(5,8). Kerusakan ini mungkin disebabkan oleh faktor yang heterogen, sampai saat ini belum diperoleh ke-

ABSTRAK

Immunoglobulin dosis tinggi yang diberi intravena telah digunakan pada pengobat-an Purpura Trombositopenik Idiopatik Anak, dan keberhasilannya telah dilaporkan.

Dibandingkan dengan splenektomi, walaupun secara umum belum digunakan padapengobatan kasus-kasus Purpura Trombositopenik Idiopatik Anak, Immunoglobulintelah memperlihatkan kesanggupannya sebagai satu cara pengobatan baru pada PurpuraTrombositopenik Idiopatik kronik anak.

Page 38: Cdk 086 Masalah Anak

37

sepakatan mengenai mekanismenya. Harrington (1951) menyim-pulkan bahwa kerusakan trombosit disebabkan adanya Humoral antiplatelet factor di dalam tubuh(8), yang saat ini dikenal sebagai PAIgG atau Platelet Associated IgG(12,13,14). Court dan kawan-kawan telah membuktikan bahwa PAIgG meningkat pada PTI, sedangkan Lightsey dan kawan-kawan menemukan PAIgG lebih tinggi pada PTI akut dibanding bentuk kronik. Hal ini menunjuk-kan bahwa terdapat perbedaan mekanisme kerusakan trombosit pada bentuk akut dan kronik(5,8).

PAIgG diproduksi oleh limpa dan sumsum tulang. Kenaik-an produksi PAIgG adalah akibat adanya antigen spesifik ter-hadap trombosit dan megakariosit dalam tubuh (Gambar 1). Pada bentuk akut antigen spesifik diduga bersumber dari infeksi virus yang terjadi 1-6 minggu sebelumnya. Antigen ini bersama PAIgG membentuk kompleks antigen-antibodi, dan selanjutnya melekat di permukaan trombosit. Perlekatan ini menyebabkan trombosit akan mengalami kerusakan akibat lisis atau peng-hancuran oleh sel-sel makrofag di RES yang terdapat di hati, limpa, sumsum tulang dan getah bening(8). Kerusakan yang demikian cepat dan jumlah yang besar menyebabkan terjadinya trombositopenia yang berat diikuti manifestasi perdarahan.

Gambar 1. Mekanisme terjadinya trombositopenia pada PTI.

Bentuk PTI kronik bisa merupakan kelanjutan dari bentuk

akut. Pada bentuk kronik ini ternyata PAIgG tetap tinggi walaupun kompleks antigen-antibodi dikeluarkan dari tubuh, meskipun tidak setinggi pada bentuk akut. Keadaan demikian diduga ber-hubungan eratdengan konstitusi genetik yang spesifik dari sistim immunologik penderita, dimana peninggian PAIgG disebabkan adanya autoantigen pada membrana trombosit atau oleh antigen spesifik yang melekat pada permukaan trombosit(14,15,16) (Gam-bar 2). Selain oleh konstitusi genetik spesifik, peninggian PAIgG bisa juga disebabkan oleh kelainan pada mekanisme immuno-logik sehingga pembentukan PAIgG terus berlanjut(8).

A B Gambar 2. Autoantigen membrana trombosit (A), dan Antigen spesifik pada permukaan trombosit (B).

DIAGNOSIS Umumnya pasien dibawa berobat dengan keluhan bercak-

bercak perdarahan pada kulit anggota gerak berupa petekia, ekimosis atau memar. Kadang-kadang berupa epistaksis, dan perdarahan gusi atau saluran pencernaan dan saluran kemih.

Pada bentuk akut biasanya didahului oleh infeksi virus 1-6 minggu sebelumnya(2,9); sedangkan pada bentuk kronik bisa merupakan lanjutan bentuk akut, atau ditemukan secara kebe-tulan sewaktu datang berobat dengan keluhan lain (Tabel 1). Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis PTI akut dan kronik(1) Akut Kronik

Usia terbanyak Predileksi kelamin Infeksi terdahulu Permulaan serangan perdarahan Bullae hemorrhagik di mulut Lama sakit Eosinofilia dan Limfositosis Remisi spontan

2–6 tahun sama (+), 1–6 minggu sebelumnya tiba-tiba (+), kasus berat 2–6 minggu sering 80% kasus

dewasa wanita lebih banyak jarang tersembunyi biasanya (–) berbulan/bertahun jarang sering naik/turun

Pada pemeriksaan fisik umumnya si anak tak tampak sakit,

kecuali adanya petekia atau perdarahan gusi. Organomegali umumnya tidak dijumpai.

Pada pemeriksaan laboratorik, test Rumpel Leede (+), hitung trombosit sangat rendah, waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan abnormal. Sedangkan basil pemeriksaan punksi sumsum tulang memberi gambaran megakariosit normal atau bertambah.

Secara klinis dapat dibagi dalam 3 tingkat(8): Ringan : hanya petekia. Sedang : ekimosis, epistaksis dan gross hematuria. Berat : purpura berat, atau perdarahan retina. DIAGNOSIS BANDING DAN PENYULIT

Pemeriksaan punksi sumsum tulang merupakan pemeriksaan yang panting untuk membedakan dengan penyebab trombosi-topenia lain, seperti Anemia Aplastik, Leukemia Limfatik Akut, dan Purpura Trombositopenik Trombotik(1).

Penyulit yang mungkin terjadi pada PTI kronik antara lain adalah perdarahan saluran cema, perdarahan saluran kemih, sindrom disfungsi serebral minimal, dan perdarahan kapiler intrakranial(1). PENATALAKSANAAN PTI KRONIK ANAK

Selama ini splenektomi masih merupakan cara terpilih da-lam pcnanganan.PTI kronik. Saat ini telah dilaporkan oleh be-berapa peneliti tentang manfaat penggunaan Immunoglobulin dosis tinggi pada PTI kronik anak. Apakah penggunaan Immuno-globulin dosis tinggi pada PTI kronik dapat menggantikan tindak-an splenektomi, atau hanya sekedar melengkapi kekurangan yang terdapat pada splenektomi; untuk menilainya berikut ini

diuraikan kedua cara pengobatan tersebut.

Page 39: Cdk 086 Masalah Anak

38

Splenektomi 1) Mekanisme kerja: Seperti telah diketahui, limpa merupakan salah satu organ pembentuk PAIgG, dan sebaliknya juga me-rupakan tempat penghancuran PAIgG tersebut. Dengan diangkat-nya limpa diharapkan pembentukan PAIgG berkurang, dan peng-hancuran PAIgG atau trombosit di limpa tidak ada lagi; akibat-nya trombosit meningkat, dan permeabilitas kapiler mengalami perbaikan(1,2,8). 2) Indikasi: a) PTI kronik yang sedang dan berat(1,17)

b) PTI kronik yang diobati secara konservatif ternyata gagal mencapai remisi setelah 6-12 bulan, atau mengalami relaps 2–3 kali dalam setahun, atau tidak memberi respons terhadap peng-obatan konservatif(1,2,8). 3) Indikasi-kontra(2,8): a) Penderita PTI kronik yang juga menderita penyakit akut atau berat lainnya. b) Penderita PTI kronik disertai penyakit jantung atau hal lain yang merupakan indikasi-kontra bagi setiap tindakan bedah. c) Usia kurang dari 2 tahun, sebab kemungkinan terjadinya infeksi berat atau sepsis sangat besar. 4) Pasca splenektomi: a) Penilaian terhadap basil splenektomi menurut perbaikan klinis dan hitung trombosit dilakukan 6-8 minggu kemudian. Dan basil yang diperoleh ternyata ± 80% mengalami remisi sempurna(8,9,17). b) Penyulit pasca splenektomi: Pada masa kurang dari 2 minggu berupa sepsis dan perdarahan, sedangkan lebih dari 2 minggu berupa penyakit infeksi berat(2,9). 4. Biaya splenektomi: tergantung pada keadaan setempat. Immunoglobulin

Preparat Immunoglobulin yang digunakan mengandung lebih dari 95% gamma-globulin dalam bentuk monomerik.

Meskipun kesimpulan akhir mekanisme kerjanya belum terungkap, tetapi ada beberapa pendapat yang telah dikemuka-kan yaitu : 1) Melindungi permukaan trombosit, membungkusnya dengan Immunoglobulin non spesifik, sehingga PAIgG, antigen spesi-fik, ataupun antigen-antibodi tidak dapat melekat pada per- mukaan trombosit(11,18). 2. Menurunkan produksi PAIgG(10,11). 3. Memblokade Fc reseptor di RES(10,18) 4. Dapat mengatasi penekanan trombopoetik yang disebabkan oleh kortikosteroid apabila pengobatan konservatif sebelumnya telah menggunakan preparat ini(19,20). Indikasi: 1) PTI kronik atau berulang pada anak(10,11) 2) PTI kronik dengan indikasi-kontra splenektomi. 3) Penderita PTI yang telah menjalani splenektomi, ataupun pengobatan konservatif dimana remisi sempuma tidak terca-pai(18,21,22). 4) Sebagai persiapan pra bedah terutama bila sebelumnya di-

dapati perdarahan berat. Dalam hal ini diberikan ± 3 minggu sebelum splenektomi dilaksanakan(11). 5) Dapat diberikan pada penderita berobat jalan(19).

Di samping indikasi di atas ternyata Immunoglobulin ini juga bermanfaat pada kasus PTI akut dan Isoitnmune Neonatal Thrombo cytopenia(21,23). Indikasi-kontra: sampai saat ini belum diperoleh laporan tentang indikasi-kontra penggunaan Immunoglobulin. Pengamatan dan penilaian:

Berdasarkan perbaikan klinis dan hitung trombosit yang dinilai secara berkala setiap 2-4 minggu. Hasil yang diperoleh tergantung pada respons penderita, biasanya remisi lengkap dicapai dalam 6-12 minggu(10,11,22).

Selama pemberian Immunoglobulin efek samping yang bisa terjadi antara lain sakit kepala, vertigo, mual dan muntah(18).

Keterangan tentang adanya penyulit pada pemberian Immunoglobulin belum diperoleh. Cara dan dosis pemberian:

Pemberian I : 1–1,5 gram/KgBB/hari intravena, selama 1-4 jam, diberikan dalam 3-5 han berturut-turut.

Ulangan : 1-1,5 gram/KgBB intravena, diberikan dengan interval 1-2 minggu(10,11,12).

Sediaan Immunoglobulin yang telah digunakan antara lain : Gammabulin Immuno dan Endobulin (Vienna, Austria), Sandoglobulin (Basel, Swiss), Gammagard dan Gamimune (California, USA)(10,11,22). Biaya pengobatan:

Bussel (1985) telah menghitung biaya yang diperlukan menurut harga di New York yaitu ± $ 50 untuk setiap 1 gram Immunoglobulin. Menimbang biaya yang masih tinggi ini para ahli sependapat untuk belum menganjurkan Immunoglobulin sebagai protokol rutin dalam menangani kasus PTI kronik anak(10,19). KESIMPULAN

Setelah membandingkan splenektomi dengan penggunaan Immunoglobulin dosis tinggi dalam menangani kasus PTl kronik anak, ternyata Immunoglobulin telah memperlihatkan ke-sanggupannya sebagai satu pengobatan baru pada PTI kronik anak.

Akan tetapi pengobatan bukanlah suatu hal yang berdiri sen-diri; mengingat biaya yang masih tinggi, penggunaan Immuno-globulin dosis tinggi ini belum dianjurkan sebagai protokol rutin dalam menangani kasus PTI kronik anak.

KEPUSTAKAAN

1. Wintrobe MM. Quantitative variations of platelets in diseases : Throm-

bocytopenia and thrombocytosis. In: Clinical Hematology, 7th ed. Phila-delphia, Tokyo: Lea & Febiger, Igaku Shoin Ltd. 1974. pp. 1075-88.

2. Wyngaarden JB, Smith CH. Quantitative platelet disorders. In: Cecil. vol I, 16th ed. Philadelphia: WB Saunders Co. Igaku Shoin. 1982. pp. 981-8.

3. Hutchinson JH. Idiopathic thrombocytopenic purpura. In: Practical Pe-diatric Problems. 5th ed. Lloyd-Luke PG. Asian Economy Edition, 1984. pp. 474-5.

4. Krupp MA, Chatton MJ. Idiopathic thrombocytopenic purpura. In: Current Medical Diagnosis & Treatment. Maruzen Asian Ed. Singapore: Lange.

Page 40: Cdk 086 Masalah Anak

39

Maruzen. 1984. pp. 140-1. 5. Court WS, Bozeman JM et al. Platelet surface-bound IgG in patients with

immune and nonimmune thrombocytopenia. Blood. 1987; 69: 278. 6. Lightsey AL, Koenig HM, Mc Milian R, Stone JR. Platelet-associated

immunoglobulin G in childhood idiopathic thrombocytopenic purpura. J Pediatr 1979; 94: 201.

7. Petersdorf RG, Adams RD et al. Idiopathic thrombocytopenic purpura. In: Harrison's Principles of Internal Medicine. 10th Ed. New York: McGraw's Hill International Book Co. 1983; pp. 1895-6.

8. Stuart MJ, McKenna R. Diseases of coagulation : The platelet and vascu-lature. In: Nathan DE, Oski FA (Eds). Hematology of infancy and child-hood, 2nd Ed. Philadelphia: WB. Saunders 1981. pp. 1234-59.

9. Pearson HA. Diseases of blood : Purpura. In: Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Textbook of Pediatrics, 12th Ed. Philadelphia: WB. Saunders Co. 1983; 102: 366.

10. Bussel JB, Schulman I, Hilgartner MW, Barundun S. Intravenous use of gammaglobulin in treatment of chronic immune thrombocytopenic purpura as a means to defer splenectomy. J Pediatr 1983; 10: 103.

11. Carrot RR, Noyes WD, Kitchens CS. High-dose intravenous immunoglo-bulin therapy in patients with immune thrombocytopenic purpura. JAMA 1983; 249: 1748.

12. Blumberg N, Masel D, Stoler M. Disparities in estimates of IgG bound to normal platelets. Blood 1986; 67: 200.

13. Cheung N-KV, Hilgartner MW, Schulman I, McFall P, Glader BE. Platelet associated immunoglobulin G in childhood idiopathic thrombocytopenic purpura. J Pediatr 1983; 102: 366.

14. Nai Kong VC, Hilgartner MW et al. Platelet associated Immunoglobulin G

in childhood idiopathic thrombocytopenic purpura. J Pediatr 1983; 102: 366.

15. McIntosh S, Johnson C et al. Immunoregulatory abnormalities in children with thrombocytopenic purpura. J Pediatr 1981; 99: 525.

16. Ware Russel, Kinney TR, Rosso W. Platelet antibody in prolonged re-mission of childhood idiopathic thrombocytopenic purpura. J Pediatr 1985; 107: 908.

17. MacPherson AIS, Richmod J. Planned splenectomy in treatment of idiopa-thic thrombocytopenia purpura. Br Med J 1975; 1:64.

18. Imbach P, Berchtold W et al. Intravenous immunoglobulin versus oral corticosteroids in acute immune thrombocytopenic purpura in childhood. Lancet 1985; 31: 464.

19. Buchanan GR. Childhood acute idiopathic thrombocytopenic purpura: How many test and how much treatment required. J Pediatr 1985; 106: 6.

20. Engelhard D, Waner JL, Kapoor N, Good RA. Effect of intravenous immunoglobulin on natural killer cell activity : Possible association with autoimmuneneutropenia and idiopathic thrombocytopenia. JPediatr 1986; 108: 77.

21. Bussel JB, Gioldman A, Imbach P, Schulman I, Hilgartner MW. Treatment of acute idiopathic thrombocytopenic of childhood with intravenous in-fusions of gammaglobulin. J Pediatr 1985; 106: 886.

22. Fehr J, Hofman V, Kappeler U. Transient reversal of thrombocytopenia in idiopathic thrombocytopenic purpura by high-dose intravenous gammaglo-bulin. N Engl J Med 1982; 306: 1254.

23. Chirico G, Duse M, Ugazio A, Rondin G. High-dose intravenous gamma-globulin therapy for passive immune thrombocytopenia in the neonate. J Pediatr 1983; 103: 654.

English Summary

HIGH DOSES OF IMMUNOGLO-BULIN IN THE TREATMENT OF IDIO-PATHIC THROMBOCYTOPENIC PURPURA IN CHILDREN Charles Darwin Siregar Penyabungan General Hospital, South Tapanuli, North Sumatra, Indonesia

High doses of Immunoglobulin administered intravenously have been found useful in the treat-ment of Chronic Idiopathic Thrombocytopenic Purpura in children, and successful treat-ment have been reported.

High doses of Immunoglobulin was compared with splenec-tomy; although it has not yet become generally accepted, appears to represent a promising new therapeutic approach for Chronic Idiopathic Thrombocy-topenic Purpura in children.

Cermin Dunia Kedokt. 1993; 86: 36-9

Cds

Page 41: Cdk 086 Masalah Anak

40

Lupus Eritematosus Sistemik laporan kasus

Julia K Kadang, Julius Roma Andilolo

Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Rumah Sakit Umum Ujung Pandang, Ujung Pandang

PENDAHULUAN

Lupus eritematosus (LE) pada mulanya disangka hanya merupakan penyakit kulit. Baru dalam tahun 1872 Kaposi secara umum mengemukakan bahwa LE dapat bersifat sistemik(1,2). Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan salah satu bentuk dari dua bentuk umum LE. Bentuk lain adalah lupus eritematosus diskoid atau discoid lupus erythematosus (DLE) yang hanya memperlihatkan manifestasi kulit dan jarang ditemukan pada anak-anak(3,4). Lupus eritema-tosus merupakan suatu penyakit autoimun dengan terdapatnya berbagai macam autoantibodi, walaupun peranannya tidak jelas pada LE yang diinduksi oleh obat-obatan(2,3,5).

Prevalensi SLE sangat bervariasi, scmua suku bangsa dapat terkena tetapi lebih sering pada ras kulit hitam dan ada tendensi familier(2,3,6).

Insidens tidak diketahui, dapat ditemukan pada semua usia. Dua puluh persen kasus SLE mulai pada masa anak-anak, biasa-nya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun. Menyerang ter-utama perempuan dengan perbandingan perempuan dan lelaki 8 : 1(3,7).

Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan suatu kriteria untuk diagnosis SLE, yaitu : 1) ruam di daerah malar (butterfly rash), 2) lesi diskoid, 3) fotosensitivitas, 4) ulserasi mulut atau nasofaring, 5) artritis, 6) serositis (efusi pleura, efusi perikard), 7) kelainan ginjal (pro-teinuri, sindrom nefrotik), 8) kelainan neurologik (kejang, psikosis), 9) kelainan hematologik (anemi, lekopeni, limfopeni, trombositopeni), 10) kelainan imunologik (sel LE positif, titer anti-DNA abnormal), 11) titer ANA positif. Kriteria ini meru-pakan perbaikan dari kriteria lama tahun 1971. Diagnosis SLE dapat ditegakkan jika pada sātu periode pengamatan ditemukan 4 atau lcbih dari 11 butir kriteria ARA tersebut, baik secara berturut-turut maupun serentak(2,8).

Berikut ini dilaporkan satu kasus lupus eritematosus sis-temik yang dirawat di rumah sakit Pelamonia Ujung Pandang.

LAPORAN KASUS

H, anak laki-laki, berumur 10 tahun tinggal di Kendari, masuk Bagian Anak RS Pelamonia Ujung Pandang tanggal 11 Oktober 1990 dengan riwayat pcnyakit: Timbul bercak keme-rahan pada kedua pipi yang disertai demam sejak 3 bulan lalu. Demam tidak terus menerus, t.idak kejang, tidak menggigil. Bercak merah tersebut meluas ke leher, belakang telinga, punggung, lengan bawah dan kcdua tungkai. Di atas bercak merah terjadi sisik-sisik halus. Satu bulan setelah adanya bercak kemerahan, kedua sendi siku dan lutut bengkak dan nyeri. Scring pilek dan sakit menelan. Tidak batuk. Nafsu makan menurun, buang air besar dan buang air kecil biasa. Sakit ini diderita per-tama kalinya, riwayat keluarga yang sakit seperti ini disangkal. Riwayat alergi terhadap obat-obatan tidak jelas. Penderita sering kontak dcngan sinar matahari cukup lama. Sudah berobat di RS Kendari, diberi obat prednison.

Pada pemeriksaan fisik anak tampak sakit sedang, gizi baik (BB 19 kg, TB 115 cm), kontak baik. Suhu rekta138,3°C. Nadi 88 x/menit, teratur, berisi. Pernapasan 32 x/mcnit, torakoabdo-minal. Tekanan darah 100/70 mmHg. Kepala : Rambut kering, kasar, alopesia (+). Bibir pecah-pecah dan kering. Ada stomatitis. Toraks : Jantung dan paru dalam batas-batas normal. Abdomen : Hati teraba 3 cm x 2,5 cm, konsistensi kenyal, permukaan rata, pinggir tajam dan tidak nyeri tekan. Anggota gerak : Sendi-sendi siku dan lutut nyeri pada perabaan dan pergerakan terbatas. Kelenjar limfe : Pembesaran kelenjar inguinal kiri dan kanan (+). Kulit : Pada kedua pipi menyebcrang hidung terdapat efloresensi eritematous berbentuk kupu-kupu yang berbatas tegas (butterfly

Page 42: Cdk 086 Masalah Anak

41

rash) dan ditutupi oleh squama halus. Pada daerah belakang telinga, leher, dada bagian atas, punggung, punggung kedua lengan bawah dan kedua tungkai juga ada efloresensi eritema-tous berbatas tidak tegas yang ditutupi oleh squama halus. Pada kedua punggung lengan bawah dan tungkai sebagian tampak efloresensi hipopigmentasi.

Pemeriksaan laboratorium: Darah : Hb 12,4g%, lekosit 6600/mm', hitung jenis eosinofil 2%, batang 3%, segmen 51%, limfosit 40%, monosit 4%. Eritrosit 3.650.000/mm', hematokrit 35%, trombosit 192.500/ul, LED 65/95. Urin : albumin (–), reduksi (–), bilirubin (–), urobilinogen (–), sedimen lekosit 1–2/1pb, torak epitel (+), bakteri (–). Diagnosis : Lupus eritematosus sistemik

Pengobatan : Makanan biasa, susu dan vitamin B kompleks 2 x 1 tablet., vitamin C 2 x 50 mg.

Pengamatan lanjut hari ke : 2. Keadaan umum baik, suhu 38,2°C, nadi 100 x/menit, pernapasan 36 x/menit. Nyeri sendi (+), udem (–).

Laboratorium : ureum 20,7 mg%, kreatinin 1,07 mg%, protein total 6,21 g%, albumin 4,10 g%, globulin 2,11 g%, bilirubin total 0,7 mg/100 ml, bilirubin direk 0,2 mg/100 ml, bilirubin indirek 0,5 mg/100 ml, SGOT 17 u/l, SGPT 25 u/l, fosfatase alkali 47 mg/100 ml.

Foto toraks : dalam batas-batas normal. 3. Laboratorium : sel LE negatif.

Anjuran pemeriksaan ulang sel LE pada waktu demam, dan pemeriksaan antibodi-antinuklear (ANA).

Pengobatan dengan vitamin dilanjutkan. 4. Hasil pemeriksaan imunologik: antibodi antinuklear (+) homogen. 15. Batuk berlendir (+), tidak sesak, nyeri dada sebelah kiri (+). Sendi siku dan lutut nyeri dan kaku. Jantung dan paru-paru dalam batas normal.

Status dermatologik masih menetap. Pengobatan : Prednison 2 x 4 tablet (20 mg) dan obat lain

diteruskan. 25. Nyeri dada kiri (+), keluhan nyeri sendi jelas berkurang. Eritema mulai berkurang. Bunyi jantung I & II murni teratur, bunyi tambahan (–). Hati 3,5 cm x 2,5 cm, konsistensi kenyal, permukaan rata, pinggir tajam, tidak nyeri tekan.

Hasil ECHO menunjukkan kesan adanya efusi perikard. 26. Hasil konsul pada sub-bagian kardiologi anak : Pada pe-meriksaan EKG ditemukan irama sinus reguler, QRS kompleks 100 x/menit, LVH dan depresi segmen ST.

Terapi dianjurkan untuk dilanjutkan. 41. Keadaan umum baik, suhu 37°C, nadi 96 x/menit, pema-pasan 32 x/menit, tensi 100/70 mmHg. Moon face (+).

Pemeriksaan laboratorium: Darah : Hb 10,6 g%, lekosit 7200 mm3, hitung jenis eosinofil 1%, segmen 62%, limfosit 37%. Ureum 34,1 mg%, kreatinin 0,58 mg%, bilirubin total 0,5 mg/ 100 ml, bilirubin indirek 0,4 mg/100 ml, bilirubin direk 0,1 mg/ 100 ml, SGOT 24 u/l, SGPT 28 u/l, fosfatase alkali 95 mg/100 ml. Urin : albumin (–), reduksi (–), bilirubin (–), urobilinogen (–), sedimen lekosit 1–3/Ipb, eritrosit (–), Ca oksalat (+).

46. Keadaan umum baik, nyeri dada (–), nyeri sendi (–), demam (–). Moon face (+). Eritema sangat berkurang, hiperpigmentasi (+), squama (+). Hati 1,5 cm x 1 cm.

Pengobatan : Prednison mulai di taper 2 x 3 tablet. 60. Keadaan umum baik, keluhan nyeri (–), moon face ber-kurang. Eritema menghilang, hiperpigmentasi dan sebagian hipopigmentasi dan squama juga menghilang.

Pengobatan : Prednison dihentikan. Vitamin B kompleks, vitamin C 2 x 1 tablet diteruskan. 67. Penderita dipulangkan dan selanjutnya kontrol pada RSU Kendari. DISKUSI

Beberapa kepustakaan menyebutkan insidens SLE lebih tinggi pada perempuan dari pada lelaki (8:1) dan biasanya mulai pada anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun(3,7). Kasus yang dilaporkan anak laki-laki usia 10 tahun. Usia ini sesuai dengan insidens umur SLE pada anak namun tidak sesuai dengan in-sidens seks.

Lupus eritematosus sistemik dapat menyerupai penyakit rematik dan banyak penyakit Iainnya. Tetapi dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, maka dipikirkan bahwa kasus ini adalah suatu lupus eritematosus yang bermanifestasi sistemik.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan di-tunjang dengan uji laboratorium. Untuk menegakkan diagnosis SLE harus ditemukan 4 atau lebih dari 11 butir kriteria ARA dalam satu periode pengamatan baik secara berturut-turut mau-pun serentak(2,6,8). Pada kasus yang dilaporkan dijumpai 7 dari 11 butir kriteria ARA yaitu : ruam bentuk kupu-kupu, lesi diskoid, fotosensitivitas, ulserasi mulut, artritis, efusi perikard, titer ANA (+), secara benurut-turut dalam satu periode pengamatan se-hingga penderita ini digolongkan dalam lupus eritematosus sistemik.

Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, nafsu makan berkurang, berat badan menurun dan yang paling menonjol adalah demam yang tidak jelas penyebabnya(6,7). Pada kasus yang dilaporkan juga terdapat gejala-gejala tersebut.

Berbagai organ dapat terkena yang akan menimbulkan ber-bagai macam manifestasi klinik, namun dapat pula mengenai hanya satu organ saja. Pada kasus yang dilaporkan terdapat artritis, kelainan kulit, efusi perikard, limfadenopati dan hepa-tomegali tanpa ikterus. Menurut kcpustakaan manifestasi klinik yang paling sering ialah gejala muskuloskeletal berupa artritis atau atralgia 92%, demam 84%, kelainan kulit, rambut, atau selaput lendir 72%, kelainan neuropsikiatri 60%, renal 50%, saluran pernapasan 45%, dan kardiovaskulcr 40%(9).

Kelainan hematologik berupa ancmi hemolitik dengan retikulositosis, lekopeni, limfopeni dan trombositopeni sering terjadi, bahkan purpura trombositopeni idiopatik sering meru-pakan manifestasi pertama SLE(3). Pada kasus yang dilaporkan tidak ditemukan kelainan hematologik.

Penyebab penyakit pada pendcrita ini tidak diketahui. Onset

Page 43: Cdk 086 Masalah Anak

penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat-obatan dan trauma psikik(2,3,6). Pada kasus yang dilaporkan ter-dapat faktor presipitasi yaitu kontak dengan sinar matahari dan sering menderita radang saluran napas bagian atas.

Pada kasus ini tidak ditemukan sel LE. Meskipun sel LE mempunyai arti panting untuk diagnosis SLE, tetapi tidak di-temukannya sel ini belum menyingkirkan kemungkinan SLE, sebab terbentuknya sel tersebut tergantung dari jenis antibodi(1,8). Uji ANA pada kriteria ARA 1982 yang di jadikan kriteria tersendiri, menunjukkan betapa pentingnya uji imunologik ini karena uji ANA yang positif akan memperkuat diagnosis SLE.

Tindakan pengobatan pada dasarnya sesuai dengan luas dan keparahan penyakit. Ada dua hal yang panting yaitu: 1. terapi konservatif berupa tindakan suportif umum, analgetik, anti ma-laria dan 2. terapi kortikosteroid(3,7). Pada kasus ini terapi suportif dan prednison memberi respons yang baik.

Pada umumnya SLE dianggap penyakit yang fatal sebelum tahun 1950, tetapi pengobatan yang tepat telah berhasil men-cerahkan prognosis. Prognosis pada penderita yang dilaporkan adalah baik, terbukti dengan adanya respons yang baik terhadap pengobatan.

RING KASAN

Telah dilaporkan satu kasus anak laki-laki umur 10 tahun dengan diagnosis lupus eritematosus sistemik. Diagnosis di-

tegakkan berdasarkan atas gambaran klinik dan pemeriksaan imunologik. Dibahas pula tentang pengobatan dan prognosis-nya.

KEPUSTAKAAN

1. Gilliam IN, Cohen SB, Sontheimer RD, Moschella SL Connective tissue diseases. In: Moschella SL and Hurley HJ, eds. Dermatology, 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders Co, 1985: 1087-106.

2. Rothfield NF. Lupus erythematosus. In: Fitzpatrick TB, Eizen AZ, Wolf K, (eds.). Dermatology in General Medicine, 2nd ed. New York: McGraw-Hill Book Co, 1987: 1273-93.

3. Behrman RE, Vaughan VC, (eds.). Nelson textbook of paediatrics. 13th ed. Philadelphia: WB Saunders Co, 1987 : 524-37.

4. Domonkos AN, Arnold HL, Odom RB. Connective tissue diseases. In: Andrews GC, (ed.). Diseases of the skin, 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Co, 1982: 175-88.

5. Lapierre MC, Brasinne MD, Toffanelli DL. Systemic Lupus Erythema-tosus. In: Rook A, Parish LC, Beare MJ (eds.). Practical Management of Dermatologic Patient. Philadelphia.

6. Albar Zuljasri. Lupus eritematosus sistemik. Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1987 : 731-6.

7. Lehman TJA et al. Systemic lupus erythematosus in the first decade of life Pediatr 1989; 83: 235-8.

8. Lookingbill DP, Marks JG. Principles of Dermatology. Philadelphia: WB Saunders Co, 1986: 185-8.

9. Laurent R. Drug treatment of systemic lupus erythematosus. Med Progr 1990; 17: 47-50.

10. Swinson DR, Swinbum WR. Rheumatology. London: Hodderand Stoughton, 1989 : 105-15.

11. Bach JF. Aetiological factors in systemic lupus erythematosus. Australian Family Physician, 1976; 5: 95-102.

12. Djuanda Suria. Penyakit jaringan konektif. Ilmu penyakit kulit & kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1987 : 211-4.

Page 44: Cdk 086 Masalah Anak

43

Rachitis - laporan kasus

Harry D Hawing, Satriono, JS Lisal

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin RSU Dadi Ujung Pandang

PENDAHULUAN

Rachitis adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan kegagalan mineralisasi tulang atau jaringan osteoid yang sedang tumbuh. Keadaan ini diakibatkan oleh ke-kurangan vitamin D yang mengganggu proses mineralisasi tu-lang. Kelainan ini disebabkan karena penderita kurang terkena sinar ultra violet cahaya matahari atau karena kurangnya intake vitamin D dalam makanannya atau keduanya(1).

Pertama kali ditemukan di Inggris oleh Glisson pada tahun 1650(2). Di Indonesia jarang, hanya ditemukan di daerah dengan kebiasaan menahan anak dalam rumah atau pada keluarga dengan standar hidup yang rendah(3). Insidens tertinggi terdapat pada golongan umur 6 bulan – 2 tahun, jarang ditemukan di bawah umur 2 – 3 bulan(2,3), sekalipun Kirk pernah melaporkan satu kasus kongenital dari ibu yang menderita kegagalan ginjal dengan pengobatan hemodialisis(4).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinik, laboratorium dan radiologik(1,2,3,5,6).

Makalah ini melaporkan satu kasus rachitis dengan ganggu-an pertumbuhan. LAPORAN KASUS

A, seorang anak laki-laki, umur 6 tahun, suku Aceh, dirujuk ke Poli Khusus Endokrinologi Anak RSU Dadi Ujung Pandang pada tanggal 14 Juni 1990 karena gangguan pertumbuhan yang disertai kelainan bentuk lengan dan tungkai. Anak keenam dari enam bersaudara, saudara yang lain tidak ada yang menderita demikian.

Gejala tampak sejak umur 2 tahun, pertumbuhan anak ter-lambat, lengan dan tungkai membengkok makin lama makin hebat, badan terasa lemah, kram pada tangan dan kaki, sukar Dibacakan di Bika FK-UNHAS/RSU Dadi Ujung Pandang tanggal 15 Maret 1991

berjalan dan lekas lelah. Anak lahir spontan dengan bb. 4500 gm, pb. 50 cm, kehamilan lebih bulan dan persalinan normal. Mulai berdiri pada umur 9 bulan dan berjalan sendiri pada umur 10 bulan. Menyusui sampai umur 2,5 tahun, dapat makanan tam-bahan sejak umur 3 bulan, tapi anak malas makan.

Pemeriksaan fisik menunjukkan anak sakit sedang, ke-sadaran baik, status gizi berdasarkan antropometri bb. dan tb. tidak bisa dinilai karena adanya kelainan bentuk ekstremitas (bb 11,5 kg dan pb 83 cm). Nadi 120 x/menit berisi dan teratur, pernapasan 32 x/menit torakoabdominal, suhu rektal 37,3°C. Lingkaran kepala 51 cm, sutura tidak melebar dan fontanella major sudah tertutup, ditemukan kaput kuadratum, tasbeh pada tulang iga tidak terlihat dan tidak teraba, gigi keropos, paru dan jantung tidak menunjukkan kelainan. Perut datar, hati dan limpa tidak teraba. Pergelangan tangan kiri-kanan melebar, perge-langan kaki kiri-kanan melebar, ada kaki 0, tidak ada kifosis, lordosis dan skoliosis yang abnormal.

Pemeriksaan laboratorium : • Pemeriksaan rutin : urin dan tinja normal. Hb 14,4 g%, lekosit 4.900/mm3, eos 8, baso-, batang -.segmen 28, limfo 63, mono 1. • Kimia darah : protein total : 7,81 g% (N : 6,0-8,0 g%), albumin : 5,09 g% (N : 3,5-5,5 g%), globulin : 2,72 g% (N : 1,3-3,3 g%), kalsium : 9,3 mg% (N : 8,1-10,4 mg%), fosfor : 5 mg% (N : 4-7 mg%), alkalifosfatase : 1137 mU/ml (N : 90–300 mU/ml), SCOT : 21 mU/ml (N : 6-30 mU/ml), SGPT : 10 mU/ ml (N : 6-45 mU/ml), bilirubin I : 0,27 mg% (N : 0,1-0,75 mg%), bilirubin II : 0,14 mg% (N : 0,1-0,25 mg%), TIT : 3,5 (N :1-3), titrasi Gross : 2,10 ml (N : 1,8-2,2).

Pemeriksaan radiologik : – Kepala AP & lateral : Tulang-tulang kepala baik.

Page 45: Cdk 086 Masalah Anak

− Toraks : Tulang iga : pelebaran daerah kostokondral kanan dan kiri. − Ekstremitas atas : Tampak densitas tulang-tulang kurang (rendah), metafisis distal radius dan ulna lebar. Sudah ada epifisis distal radius dan os kapitatum serta hamatum. Kesan : Rachitis. Bone age ± 2 tahun (Greulich & Pyle). − Ekstremitas bawah : Tampak densitas tulang-tulang rendah (korteks tipis) dan metafisis tulang-tulang panjang lebar pelebar-an garis epifisis distal. Kesan : Rachitis.

Diagnosis kerja : Rachitis. Pengobatan : Vitamin Dinjeksi i.m. 50001U tiap hari selama

2 minggu. Sirup multivitamin 1 sendok teh sehari. Penderita dirawat secara berobat jalan dan secara berkala

dikunjungi di rumah. Pengamatan lanjut hari ke :

2 : Masih sukar berjalan dan cepat lelah. 6 : Mulai dapat berjalan tapi masih belum jauh dan badan belum bisa tegak. Pengobatan ditambah tablet kalsium dan vitamin D oral (Tricalmin®) 3 x 2 tablet setiap hari. 14 : Penderita sudah bisa berjalan dengan tegak dan tidak cepat lelah. Vitamin D injeksi stop. Tricalmin® 3 x 2 tablet setiap hari diteruskan. 19 : Foto ulangan (kontrol) ekstremitas : kesan ada perbaikan. 26 : Anak dapat berlari dan tidak lekas lelah., 100 : Foto kontrol ekstremitas : tampak kalsifikasi pada daerah epifisis bertambah. Pertambahan panjang radius dan ulna 5 mm. DISKUSI

Vitamin D merupakan persenyawaan-persenyawaan sterol yang mempunyai fungsi anti rachitis; dalam makanan diabsopsi dalam usus bersama lemak dengan bantuan asam empedu(1,5,6).

Ada 2 bentuk vitamin D yaitu D2 dan D3, serta 2 provitamin D yaitu ergosterol dan 7-dehidrokolesterol(1,5). 7-dehidrokolesterol yang secara alamiah terdapat dalam jaringan lemak subkutan oleh pengaruh sinar ultra violet/sinar matahari diubah menjadi kolekalsiferol (vitamin D3). Kolekalsiferol yang berasal dari kulit oleh protein pengangkut (alfa-globulin) dalam darah di-angkut ke hati kemudian dalam hati dihidrolisis menjadi 25-hidroksikolekalsiferol (25-HKK) yang kemudian diangkut ke ginjal. Di dalam sel-sel korteks ginja125-HKK diubah menjadi 1,25-dihidrok§ikolekalsiferol (1,25-DKK). Produk akhir ini merupakan vitamin D aktif. Selanjutnya dari ginjal disekresikan ke dalam pembuluh darah menuju organ sasaran yaitu nukleus sel usus, sel tulang, sel ginjal, otot bergaris untuk metabolisme kalsium dan fosfor.

Fungsi anti rachitisnya meliputi : memudahkan penyerapan kalsium dan fosfor dalam usus dan penyerapan kembali fosfor dalam ginjal serta pengaruh langsung atas metabolisme mineral tulang (perlekatan dan penyerapan kembali)(1,2,3,5,7).

Kekurangan vitamin D dapat menyebabkan avitaminosis D yaitu rachitis, tetani infantil, gangguan pertumbuhan pada anak serta osteomalasia pada orang dewasa sedangkan kelebihan vitamin D menyebabkan hipervitaminosis D(1,3,5,6).

Rachitis dapat terjadi karena intake yang kurang baik yaitu secara primer makanan kurang mengandung vitamin D, kurang

lemak, kalsium dan fosfor maupun sekunder adanya gangguan absorpsi lemak serta kurang sinar matahari/ultra violet. Mudah terjadi pada sindrom malabsorpsi, penyakit hati dan ginjal, ras Negro(1,3,5,6). Dwyer dkk menemukan 32 dari 52 anak prasekolah vegetarian yang makanannya kurang mengandung vitamin D menderita rachitis(8).

Pada kasus yang dilaporkan ini ternyata anak malas makan yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama sehingga diduga intake vitamin D kurang; kemungkinan berkurangnya sintesis provitamin D menjadi vitamin D dalam tubuh anak dengan bantuan sinar matahari belum bisa disingkirkan. Walau-pun ada bebetapa faktor yang dapat menyebabkan rachitis seperti penyakit ginjal, hati, infeksi dan lain-lain, pada kasus ini tidak ditemukan adanya gangguan fungsi ginjal maupun fungsi hati.

Diagnosis pada kasus ini dibuat berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologik. Pada pemeriksaan pandang dan raba pergelangan tangan seolah-olah berganda yaitu yang asli dan yang disebabkan rachitis(1,5). Pada pemeriksaan radiologik tampak densitas tulang-tulang kurang (rendah). Jugapada foto toraks pada tulang iga nampak pelebaran daerah kostokondral kanan dan kiri. Pada tulang-tulang panjang terjadi pembengkokan sehingga didapati adanya kaki O. Juga didapati adanya kerusakan gigi (keropos). Pada penekanan daerah parietal tengkorak tidak ditemukan pingpong ball sensation, ka-rena kasus ini ditemukan pada anak yang sudah besar, sedangkan kelainan tersebut biasanya ditemukan pada penderita umur ku-rang dari satu tahun(2).

Kadar fosfatase alkali serum adalah indikator aktifitas rachitis sekalipun pemeriksaan ini tidak patognomonik untuk rachitis. Kadar kalsium dan fosfor dalam batas-batas normal. Pada rachitis tubuh berusaha memelihara kadar kalsium dan fosfor normal dengan cara mobilisasi kalsium dari tulang se-hingga terjadi osteoporosis(1,3,5,7).

Pengobatan yang diberikan ialah vitamin D 5000 IU i.m. setiap hari selama 2 minggu yang dilanjutkan per os selama 3 bulan. Perbaikan tampak setelah pengobatan 19 hari pada pe-meriksaan radiologik; hal ini sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan perbaikan terjadi setelah pengobatan 2-4 minggu(1). RINGKASAN

Telah dilaporkan satu kasus rachitis pada seorang anak laki-laki berumur 6 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasar pemeriksa-an klinis, laboratorium dan radiologis. Respon tampaknya baik dengan pemberian vitamin D 5000 IU i.m. selama 2 minggu sebagaimana tampak pada pemeriksaan radiologik pada minggu ketiga.

KEPUSTAKAAN

1. Bamess LA. Nutrition and nutritional disorders. In: Vaughan VC, McKay

RJ, Behnnan RE, eds. Nelson Textbook of pediatrics. 12th ed. Philadelphia, London, Toronto: WB Saunders Co, 1983: 179-83.

2. Davidson SS, Passmore R, Brock JF (eds). Human nutrition and dietetics. 5th ed. Edinburgh: Churchill–Livingstone, 1973: 266-74.

3. Dwyer IT, Dietz WH, Hass G, Suskind R.'Risk of nutritional rickets among vegetarian children. Am J Dis Child. 1979; 133: 134–40.

Page 46: Cdk 086 Masalah Anak

45

4. Harrison HE. Rickets. In: Holt LE, McIntosh R, Bamett HL, (eds). Pediatrics. 13th ed. New York: Appleton-Century-Croft Inc, 1962: 289-99.

5. Herman MJ. Metabolisme tulang, gangguan dan pengobatannya. Medika 1982; 11: 264-9.

6. Kirk J. Congenital rickets : a case report. Austral PaediatrJ, 1982; 18: 291–3.

7. Rusepno Hassan, Napitupulu PMN, (eds). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, jilid 1 cetakan ke-4. Jakarta: Bagian Emu Kesehatan Anak FKUI, 1985: 353–5.

8. Stroud CE. Nutritional disorders. In: Fosfar JO, Ameil GC, (eds). Textbook of Paediatrics. Edinburgh, London: Churchill–Livingstone, 1973: 1227–9.

English Summary

RACHITIS

Herry D Nawing, Satriono, JS Lisal Department of Child Health, Faculty of Medicine, Hasanuddin University, Dadi General Hospital, Ujungpandang, South Sulawesi

A case of rachitis on a six-year-old boy was reported. The diagnosis was established based on clinical, laboratory as well as radiologic examinations. The response to treatment with intra-muscular vitamin D 5000 IU daily for two weeks was good as shown by follow up radiologic examination in the third week.

Cermin Dunia Kedokt. 1993; 86: 43-5

Hdn, Sn, Jsl

Page 47: Cdk 086 Masalah Anak

46

Atresia Bilier

Dr. Parlin Ringoringo Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Penyebab kolestasis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak adalah atresia bilier(1). Atresia bilier terjadi karena proses infla-masi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan ham-batan aliran empede. Jadi, atresia bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran em-pedu(1). Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk. Hanya tindakan bedah yang dapat mengatasi atresia bilier. Bila tindakan bedah dilakukan pada usia 8 minggu, angka keberhasilannya adalah 86%, tetapi bila pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 36%(3). Oleh karena itu diagnosis atresia bilier hams ditegakkan sedini mungkin, sebe-lum usia 8 minggu. ANGKA KEJADIAN

Insidens atresia biller adalah 1/10.000 sampai 1/14.000 kelahiran hidup(1,4). Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki 1,4 : 1(5). Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier didapat pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan

Indian Amerika (1,5%)(5). ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi 17,18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 10 – 30% kasus atresia bilier(4,6). Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi(1).

Patofisiologi atresia bilier juga belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan gambaran histopatologik, diketahui bahwa atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan duktus bilier ekstrahepatik mengalami ke-msakan secara progresif. Pada keadaan lanjut proses inflamasi menyebar ke duktus bilier intrahepatik, sehingga akan meng-alami kerusakan yang progresif pula(1).

Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut(1) (Gambar 1) : I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten. IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komu- nis, duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya

ABSTRAK

Penyebab kolestasis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak adalah atresia bilier.Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan ke-rusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatanaliran empedu. Hanya tindakan bedah dilakukan pada usia 5 8 minggu maka angka ke-berhasilannya adalah 86%, tetapi bila pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu makaangka keberhasilannya hanya 36%. Oleh karena itu diagnosis atresia bilier harusditegakkan sedini mungkin sebelum usia $ minggu.

Page 48: Cdk 086 Masalah Anak

47

normal). IIb. Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus. Kandung empedu normal. III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obli- terasi, sampai ke hilus. Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable). Sayangnya dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II(1,7). MANIFESTASI KLINIS

Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama kolestasis neonatal adalah iktcrus, tinja akolik, dan urin yang berwarna gelap(8). Namun, tidak ada satu pun gejala atau tanda klinis yang patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum bayi biasanya baik. Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3 – 5. Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik(9,10). Sehubungan dengan itu sebagai upaya penjaring kasar tahap pertama, dianjurkan melakukan pengumpulan tinja 3 porsi. Bila selama beberapa hari ketiga porsi tinja tctap akolik, maka kemungkinan besar diagnosisnya adalah kolestasis ekstrahepatik. Sedangkan pada kolestasis intrahepatik, warna tinja dempul berfluktuasi pada pcmcriksaan tinja 3 porsi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat

sepenuhnya diandalkan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan : 1) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati (darah, urin, tinja); 2) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati; 3) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia bilier. 1) Pemeriksaan laboratorium a) Pemeriksaan rutin

Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin untuk membedakannya dari hiper-bilirubinemia fisiologis. Sclain itu dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkat-an kadar SGOT/SGPT> 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Se-baliknya, peningkatan SGOT< 5 kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik. Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rcndah tidak me-nyingkirkan kemungkinan atresia bilier(9). Kombinasi peningkat-

Page 49: Cdk 086 Masalah Anak

48

an gamma-GT, bilirubin serum total atau bilirubin direk, dan alkali fosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam menen-tukan atresia bilier(10). b) Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan visuali-sasi tinja(9,12). Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar biliru-bin dalam empedu hanya 10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka asam empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier(13).

2) Pencitraan a) Pemeriksaan ultrasonografi

Theoni mengemukakan bahwaakurasi diagnostikUSG 77% dan dapat ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah minum(14). Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkon- traksi, maka atresia bilier kemungkinan besar (90%) dapat di-singkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis atresia bilier(9). Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I/distal(15). b) Sintigrafi hati

Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%(16). Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan feno-barbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari.

Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepa-tosit berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya ke usus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang berat juga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum.

Untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop di hati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier(17). Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%(1,6). Torrisi mengemukakan bahwa dalam mendetcksi atresia bilier, yang terbaik adalah menggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi(l8). c) Pemeriksaan kolangiografi

Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography) mcrupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier dengan kolesta-sis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam. Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier(7).

3) Biopsi hati Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang

paling dapat diandalkan. Di tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%(1), sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan la-paratomi eksplorasi, dan bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai diten-tukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus 100 – 200 u atau 150 – 400 u maka aliran empedu dapat terjadi(1,19). Desmet dan Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen section pada saat laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan(1,20).

Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh ka-rena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu(1). DIAGNOSIS

Diagnosis atresia bilier ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis utama atresia bilier adalah tinja akolik, air kemih seperti air teh, dan ikterus. Ada empat keadaan klinis yang dapat dipakai sebagai patokan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik, yaitu: berat badan lahir, warna tinja, umur pende-rita saat tinja mulai akolik, dan keadaan hepar(6).

Kriteria ini (Tabel 1) mempunyai akurasi diagnostik sampai 82%. Moyer dkk. menambahkan satu kriteria lagi, yaitu gam-baran his topatologik hati(11). Tabel 1. Empat kriteria klinis terpenting untuk membedakan Kolestasis Intrahepatik dan Ekstrahepatik(11)

Data klinis Kolestasis ekstrahepatik

Kolestasis intrahepatik

Wama tinja selama dirawat – Pucat 79% 26%– Kuning 21% 74% Berat lahir (gram) 3200 2700 Usia saat tinja akolik (hari) 16 30 Ukuran dan konsistensi hati yang abnormal

87%

53%

Biopsi hati – Fibrosis portal

94%

47%

– Proliferasi duktular 86% 30% – Trombus empedu intraportal 63% 1%

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding kolestasis pada bayi adalah : 1. KELAINAN EKSTRAHEPATIK A. Atresia bilier B. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier C. Perforasi spontan duktus bilier D. Massa (neoplasma, batu)

Page 50: Cdk 086 Masalah Anak

E. Inspissated bile syndrome II. KELAINAN INTRAHEPATIK A. Idiopatik 1) Hepatitis neonatal idiopatik 2) Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain : a) Displasia arteriohepatik (sindrom Alagille) b) Sindrom Zellweger (sindrom serebrohepatorenal) c) Intrahepatic bile duct paucity B. Anatomik 1) Hepatik fibrosis kongenital atau penyakit polikistik infantil (pada hati dan ginjal) 2) Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik). C. Kelainan metabolisme 1) Kelainan metabolisme asam amino: tyrosinemia 2) Kelainan metabolisme lipid: penyakit Wolman, Niemann-Pick dan Gaucher 3) Kelainan metabolisme karbohidrat: galaktosemia, frukto-semia, glikogenosis IV 4) Kelainan metabolisme asam empedu 5) Penyakit metabolik tidak khan, antara lain: defisiensi alfa- 1-antitripsin, fibrosis kistik, hipopituitarisme idiopatik, hipoti-roidisme D. Hepatitis 1) Infeksi (hepatitis pada neonatus), antara lain: TORCH, virus hepatitis B, Reovirus tipe 3 2) Toksik: kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis E. Genetik atau kromosomal: Trisomi E, Sindrom Down, Sindrom Donahue F. Lain-lain: Histiositosis X, renjatan atau hipoperfusi, obstruksi intestinal, sindrom polisplenia, lupus neonatal. TATALAKSANA

Selama evaluasi, pasien dapat diberi : A) Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk : 1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu (asam litokolat), dengan memberikan : – Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral. Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzim sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+–K+–ATP–ase (menginduksi aliran empedu). – Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus entero-hepatik asam empedu sekunder(8). 2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : – Asam ursodeoksikolat, 3–10 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik(21).

B) Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu : 1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain tri-glycerides (MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak. 2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larutdalam lemak. C) Terapi bedah

Bila semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan

diagnosis atresia bilier hasilnya meragukan, maka Fitzgerald menganjurkan laparatomi eksplorasi pada keadaan sebagai berikut: ∗ Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direk> 4 mg/dl atau terus meningkat, meskipun telah diberikan fenobarbital atau telah dilakukan uji prednison selama 5 hari(22). ∗ Gamma-GT meningkat > 5 kali ∗ Tidak ada defisiensi alfa-1 antitripsin ∗ Pada sintigrafi hepatobilier tidak ditemukan ekskresi ke usus.

Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan, maka segera dilakukan intervensi bedah portoenterostomi terhadap atresia bilier yang correctable yaitu tipe I dan II(1). Pada atresia bilier yang non-correctable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan patensi duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan frozen section. Bila masih ada duktus bilier yang paten, maka dilakukan operasi Kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang paten, tetap dikerjakan operasi Kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan trans-plantasi hati (tujuan jangka panjang)(23). Ada peneliti yang men-yatakan adanya kasus-kasus atresia bilier tipe III dengan keber-hasilan hidup > 10 tahun setelah menjalani operasi Kasai(24,25).

Di negara maju dilakukan transplantasi hati terhadap pen-derita : ∗ atresia bilier tipe III ∗ yang telah mengalami sirosis * kualitas hidup buruk, dengan proses tumbuh kembang yang sangat terhambat ∗ pasca operasi portoenterostomi yang tidak berhasil mem-perbaiki aliran empedu(26).

PROGNOSIS

Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri(4). Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keber-hāsilannya 71–86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 34–43,6%(4). Bila operasi Kasai dilakukan pada usia 1–60 hari, 61–70 hari, 71–90 hari dan > 90 hari, maka masing-masing akan memberi-kan kebcrhasilan hidup > 10 tahun sebesar 73%, 35%, 23%, dan 11%('^). Scdangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10%(5) dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan(1). Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam(1).

Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi pcnyulit hipertensi portal(5).

KEPUSTAKAAN

1. Desmet VJ, Callca F. Cholestatic syndromes of infancy and childhood. In:

Page 51: Cdk 086 Masalah Anak

50

Zakim, Boyer, Hepatology. A textbook of liver diseases. Philadelphia/ Tokyo: Saunders 1990; 2: 1355-95.

2. Desmet VJ. Pathology of paediatric cholestasis. In: Lentze, Reichen: Falk symposium 63. Paediatric Cholestasis, Novel approaches to treatment. Dordrecht/London, Kluwer Academic Publ 1991: 55-74.

3. Lentze MI. Cholestasis in cystic fibrosis. In: Lrntze, Reichen: Falk symposium 63. Paediatric Cholestasis, Novel approaches to treatment. Dordrecht/London, Kluwer Academic Publ 1991: 159-64.

4. Howard ER. Biliary atresia - complications and results of non-transplant surgery. In: Lentze, Reinchen: Falk symposium 63. Paediatric Cholestasis, Novel approaches totreatment. Dordrecht/London, Kluwer Academic Publ 1991: 273-84.

5. Karrer FM, Hall RJ, Stewart BA, Lily JR. Biliary atresia registry, 1976 to 1989. J. Pediatr. Surg. 1990; 25: 1076-80.

6. Alagille D. Management of paucity of interlobular bile duct. J. Hepatol. 1985; 1: 561-5.

7. Tschappeler H. Imaging diagnosis of cholestasis in children. In: Lentze, Reichen: Falk symposium 63. Paediatric Cholestasis, Novel approaches to treatment. Dordrecht/London, Kluwer Academic Publ 1991: 207-14.

8. Haber BA, Lake AM. Cholestatic jaundice in the newborn. Clin Perinatol 1990; 17: 483-506.

9. Fitzgerald IF. Cholestatic disorders of infancy. Pediatr Clin N Am 1988; 35: 357-73.

10. Maggiore G, Bernard D, Hadchouel M, Lemonnier A, Alagille D. Diagnos- tic value of serum gamma-glutamyl transpeptidase activity in liver diseases in children. J Paediatr Gastroenterol Nutr 1991; 12: 21-6.

11. Moyer MS, Balister WF. The liver and biliary tree. Prolonged neonatal obstructive jaundice. In: Walker, Durk, Hamilton, Walker-Smith, Watkins. Pediatric gastro-intestinal disease. Patophysiology, diagnosis, management. Philadelphia/Toronto: Decker 1991: 835-48.

12. Halimun EM. Kolestasis pada bayi dan anak. Dalam: Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Dmu Kesehatan Anak. Penanganan mutakhir beberapa penyakit gastrointestinal anak. Jakarta. Bagian Dmu Kesehatan Anak, FKUI 1988.

13. Pawlawska J, Bogoniowska Z, Szczgielska-Kozak M, Wroblewska Z, Socha J. Value of bile acid determination and hepatic scintigraphy for the

diagnosis of neonatal jaundice. In: Lentze, Reichen. Falk symposium 63. Paediatric Cholestasis, Novel approaches to treatment. Dordrecht/London: Kluwer Academic Publ 1991: 237-44.

14. Toeni RF, Goldberg HI. Radiologic evaluation of disorders of the liver and biliary system. In: Zakim, Boyer, Hepatology. A textbook of liver diseases. Philadelphia: Saunders 1990: 667-97.

15. Tanner S. Cholestasis in infancy. In: Green: Pediatric hepatology. Edin- burgh: Churchill Livingstone, 1989: 50-68.

16. Hung WT, Su Cr. Diagnosis of atretic prolonged obstructive jaundice; technetium 99m hepatolite excretion swdy. J Pediat Surg 1990; 25: 797-800.

17. El Tumi MA, Clarke MB, Barret JJ, Mowat AP. Ten minute radio pharma ceuticals test in biliary atresia. Arch Dis Child 1987; 62: 180-4.

18. Torrisi JM, Haller JO, Velcek FT. Choledochal cyst and biliary atresia in the neonate: imaging findings in five cases. Am J Roentgenol 1990; 155: 1273-6.

19. Deguchi E, Yanagihara J, Iwai N. Bile duct patterns in the hilar region of the liver in two cases of biliary atresia. J Pediatr Surg 1990; 25: 307-10.

20. Ohya T, Miyano T, Kimura K. Indication for portoenterostomy based on 103 patients with Suruga II modification. J Pediau Surg 1990; 25: 801-4.

21. Wiharta SA. Kolestasis pada bayi dan anak. Aspek pediatri. Dipresenta sikan pada simposium hepatologi, Kongres Nasional Dmu Kesehatan Anak VIII, Ujung Pandang, 1990.

22. Mowat AP. Extrahepatic biliary atresia and other disorders of the extra hepatic bile ducts presenting in infancy. In: Mowat. Liver disorders in childhood. London: Butterworths 1987; 72-88.

23. Wood RP, Langnas AN, Stratta RJ, Pillen TJ, Williams L, Lindsay S, Meiergerd D, Shaw BW. Optimal therapy for patients with biliary atresia: Portoenterostomy ("Kasai" procedures) versus primary transplantation. J Pediatr Surg 1990; 25: 153-9.

24. Ohi R, Nio M, Chiba T, Endo M, Coto M, Ibrahim M. Longtenn follow-up after surgery for patients with biliary atresia. J Pediatr Surg 1990; 25: 442-5.

25. Raffensperger JG. A longterm follow-up of three patients with biliary atresia. J Pediatr Surg 1991; 26: 176-7.

26. Lily JR. Biliary atresia. The jaundice infants. In: Welch, et al, Pediatric surgery. Chicago: Year Book Med Publ 1986: 1047-55.

Know your own faults before blaming others for theirs

Page 52: Cdk 086 Masalah Anak

51

Hernia Inguinalis Lateralis pada Anak-anak

Made Kusala Girl, Farid Nur Mantu

Laboratorium Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang

PENDAHULUAN

Hernia adalah adanya penonjolan peritoneum yang berisi alat visera dari rongga abdomen melalui suatu lokus minoris resistensieae baik bawaan maupun didapat.

Hernia inguinalis pada anak tetap merupakan problem ke-sehatan yang tidak bisa lepas dari problem sosial; banyak orang tua membawa anaknya dengan tonjolan di lipat paha ke dukun sebelum dibawa ke rumah sakit atau dokter; adapula sebahagian masyarakat yang merasa malu bila anak mereka diketahui orang lain sakit demikian, sehingga hal-hal inilah yang kadangkala memperlambat penanganan penyakit dan khususnya hernia. Problem kedokteran yang penting adalah bagaimana mengu-rangi frekuensi timbulnya hernia inguinalis(2,3).

Dalam sejarahnya pada 1552 sebelum Masehi di Mesir telah dilaporkan pengobatan untuk hernia inguinalis dengan melaku-kan suatu tekanan dari luar. Galen pada tahun 176 Masehi melaporkan penurunan duktus testikularis melalui lubang kecil pada lower abdomen, kemudian ia meneliti dari awal tentang sebab terjadinya hernia inguinalis indirekta. (dikutip dari 4) Susruta pada abad ke 5 sesudah Masehi pertama kali melapor-

Dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Tahwran ke VIII IKABI Malang, Juli 1992.

kan pengobatan bedah terhadap hernia. Pada autopsi terhadap anak yang menderita hernia sebanyak 500 orang pada abad ke 18 dan 19 didapatkan 56% adanya patensi dari prosesus vaginalis peritonei. (dikutip dari 4)

Camper dengan kawan-kawan pada permulaan abad ke 19 telah mempelajari struktur anatomis dari kanalis inguinalis, sedangkan Later pada abad ke 19 melakukan berbagai metode pembedahan dalam mengatur kembali lapisan anatomis dari kanalis inguinalis dengan memperhatikan hubungan sekitamya seperti struktur dari funikulus spermatikus. (dikutip dari 4)

Bank pada tahun 1884 menyatakan bahwa pengobatan her-nia yang definitif adalah dengan melakukan ikatan yang baik, kegagalan daiam tindakan tersebut didapatkan akibat kelemahan ikatannya. Selanjutnya dilaporkan pula pengangkatan lengkap kantong hernia melalui cincin hernia eksterna. (dikutip dari 4)

Fergusson pada tahun 1899 menekankan ligasi tinggi dari kantong hernia tanpa merusak struktur anatomis funikulus dan lapisan anatomis dari kanalis inguinalis dengan melakukan insisi aponeurosis otot obliquus externus. (dikutip dari 4)

Mc Lennan pada tahun 1914 menyatakan pengobatan bedah

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian retrospektif dengan analisis deskriptif terhadap 95 kasushernia inguinalis lateralis anak pada kurun waktu Januari 1988 sampai dengan Desember1991.

Didapatkan 78,9% kasus laki-laki, 42,1% kelompok umur 0 -1 tahun; 52,6% herniainguinalis lateralis dekstra; 31,6% hernia inguinalis inkarserata, terbanyak pada ke-lompok umur 0 – 1 tahun (50%); "reduksi konservatif' berhasil pada 72,7% dilanjutkandengan bedah elektif setelah 48 jam dan pada 8 kasus hernia inguinalis yang inkarseratadilakukan bedah emergensi.

Page 53: Cdk 086 Masalah Anak

52

merupakan tindakan definitif untuk suatu hernia inguinalis (di-kutip dari 4). Botts, Riker dan Lewis pada tahun 1950 men-dukung untuk dilakukan ligasi tinggi dan pengangkatan kantong hernia sebagai hal yang rutin dikerjakan pada pembedahan hernia inguinalis pada anak-anak. (dikutip dari 4)

Secara embriologi penurunan processus vaginalis bersama-sama testis terjadi pada bulan ke 3 kehidupan foetus. Testis turun dari dinding belakang abdomen melalui canalis inguinalis menuju kantong scrotum; hal ini amat erat hubungannya dengan kejadian hernia inguinalis lateralis dan hydrocele pada anakanak. Pada waktu perkembangan lebih lanjut bagian distal prosessus vaginalis bersatu dan menutupi testis yang disebut sebagai procesus vaginalis peritonei sedangkan bagian proximal berobliterasi. Apabila bagian proximal processus vaginalis peritonei tidak menutup sempurna, dapat terjadi hernia dengan atau tanpa hydrocele(2,3).

Prosentase kejadian hernia inguinalis lateralis kanan kira-kira dua kali Iipat daripada yang kiri, hal ini disebabkan karena adanya keterlambatan descensus testicularis kanan daripada yang kiri, sesuai dengan oblitersi yang lambat dari processus peritonei yang kanan(2).

Diagnosis hernia umumnya tidak sulit, keluhan utama be-rupa benjolan yang timbul pada lokasi hernia pada waktu me-nangis dan berlari-lari kemudian hilang pada saat istirahat ba-ring.

Pemeriksaan hernia inguinalis sebaiknya dilakukan pada waktu anak berdiri, bila tidak tampak diusahakan anak mengedan atau menangis dan bilamana sudah muncul anak ditenangkan kembali serta dibaringkan bila benjolan menghilang maka diagnosis hernia inguinalis sudah dapat ditegakkan. Bila tidak timbul benjolan, cara pemeriksaan lain adanya silk sign akan membantu menegakkan diagnosis(2,3).

Komplikasi yang paling sering terjadi pada hernia inguinalis adalah inkarserasi, di mana usus/alat-alat viscera terjepit dan tidak bisa masuk kembali ke rongga abdomen, mengakibatkan gangguan pasase usus berupa penyumbatan saluran cerna, atau terjadi nekrosis sampai perforasi. Akibat penyumbatan usus terjadi aliran balik berupa muntah-muntah sampai dehidrasi dan shock dengan berbagai macam akibat lain.

Indikasi operasi pada hernia inguinalis lateralis yaitu pada saat hernia terdiagnosis. Pertimbangan lain adalah keadaan umum penderita, gizi, penyakit lain yang menyertai. Operasi dilakukan anestesi umum dan bila Hb kurang dan 10 g% bisa dilakukan anestesi lokal(1,2,3,5,6).

Pada hernia inguinalis inkarserata tanpa gejala strangulasi atau nekrosis dapat dilakukan reduksi isi kantong hernia secara konservatif dengan pertimbangan bahwa : 1) Pembedahan elektif lebih aman karena persiapan lebih baik. 2) Pada hernia inguinalis inkarserata daerah yang akan di-operasi oedem dan rapuh.

Apabila "reduksi konservatif" pada hernia inguinalis inkar-serata dilaksanakan secara adekuat, kira-kira 80% tereduksi (jepitan terlepas) sehingga pembedahan definitif dapat ditunda

sampai 48 jam untuk memperbaiki keadaan anak dan me-mungkinkan teknik operasi yang lebih mudaho.'.8).

Secara garis besar cara "reduksi konservatif" yang dianjur-kan adalah metode dari Pieter dan Syamsuhidayat sebagai ber-ikut(8) : 1) Keadaan umum penderita diperhatikan, dehidrasi hams diatasi selama dilakukan "reduksi konservatif'. Isi lambung dikosongkan bila ada tanda-tanda gejala obstruksi usus dan dilatasi lambung. 2) Penderita dirawat dalam posisi Trendelenburg 20° dengan fleksi pada articulatio coxae dan articulatio genu. Sedatif diberi-kan sampai penderita tidur. Di atas hernia diletakkan kantong berisi es untuk mengurangi atau menghilangkan edema jaringan. 3) Batas waktu konservatif, bila dalam jangka waktu 4 – 5 jam usaha konservatif tidak berhasil hams segera diambil tindakan pembedahan, jangan sekali-kali memaksakan reposisi. BAHAN DAN CARA

Dikumpulkan kasus-kasus hernia inguinalis pada anak di RSU Dadi Ujung Pandang secara retrospektif selama 4 tahun terhitung mulai 1 Januari 1988 sampai dengan 31 Desember 1991, sebanyak 95 kasus melalui data pencatatan penderita di Unit Gawat Darurat dan rawat nginap di ruangan. Populasi adalah semua penderita hernia inguinalis lateralis yang berumur sampai 14 tahun. Analisa hasilnya dilakukan secara deskriptif dengan mendeskripsikan vanabel-variabel yang diteliti dalam naskah dan tabel.

Diagnosis ditegakkan oleh Asisten Ahli Bedah dan/atau Spesialis Bedah Anak di RSU Dadi berdasarkan gejala klinik dan atau penemuan pada saat operatif. Variabel yang diteliti adalah; jumlah penderita pertahun berdasarkan jenis kelamin, distribusi penderita hernia inguinalis lateralis berdnsarkan umur dan jenis kelaminnya, lokalisasinya, reponibilitasnya, lamanya inkarserasi sebelum masuk rumah sakit, jenis terapinya dan lama perawatan serta isi kantong hernia. HASIL

Secara keseluruhan dari 95 kasus hernia inguinalis lateralis yang diteliti di RSU Dadi dari bulan Januari 1988 sampai bulan Desember 1991 pada penderita yang berumur sampai 14 tahun, terdapat 75 laki-laki dan 20 perempuan. Dan jumlah ini di-dapatkan :

1) Jumlah penderita pertahun berdasarkan jenis kelamin Jumlah penderita hernia pada anak pertahun adalah rata-rata

24 orang yang terdiri atas 19 orang laki-laki dan 5 orang perem-puan. Jadi perbandingan penderita hernia yang dirawat di rumah sakit antara laki-laki dan perempuan adalah 4 : 1 (Tabel 1).

2) Distribusi berdasarkan umur dan jenis kelamin Didapatkan bahwa hernia pada anak yang datang ke RS

paling banyak pada umur 0 – 1 tahun (42,1%), bila ditinjau berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 2.

Page 54: Cdk 086 Masalah Anak

53

Tabel 1. Jumlah penderita pertahun berdasarkan jenis kelamin yang dirawat di RSU Dadi (1988 -1991)

Tahun Jenis kelamin

88 89 90 91 Jumlah χ %

Laki-laki Perempuan

24 5

15 4

16 4

20 7

75 20

19 5

78,9 21,1

Jumlah 29 19 20 27 95 24 100

Sumber : Data sekunder yang diolah

Keterangan : χ rata-rata

3) Distribusi berdasarkan lokalisasi Lokalisasi hernia yang paling sering di daerah inguinal

dengan perincian; inguinalis lateralis dekstra (52,6%), sinistra (36,8%) dan bilateral (10,6%) (Tabel 3). Tabel 2. Distribusi jumlah penderita hernia inguinalis lateralis pada anak di RSU Dadi berdasarkan umur dan Janis kelamin (1988 -1991)

Janis Kelamin Umur (Tahun)

Laki-laki Perempuan Jumiah %

0 – 1 Lebih 1 – 3 Lebih 3 – 5 Lebih 5 – 7 Lebih 7 – 9 Lebih 9 – 11 Lebih 11 – 13 14 tahun

35 19 11 3 3 1 3 –

5 4 3 4 – 2 – 2

40 23 14 7 3 3 3 2

42,1 24,2 14,7 7,4 3,2 3,2 3,2 2,0

Jumlah 75 20 95 100

Sumber : Data sekunder yang diolah Tabel 3. Distribusi jumlah kasus hernia inguinalis pada anak di RSU di berdasarkan lokalisasi (1988 – 1991)

Hernia Jumiah %

H. Inguinalis lateralis dekstra H. Inguinalis lateralis sinistra H. Inguinalis lateralis bilateral

50 35 10

52,6 36,8 10,6

Jumlah 95 100

Sumber : Data sekunder yang diolah 4) Distribusi berdasarkan reponibilitas Didapatkan 65 kasus (68,4%) hernia inguinalis reponibilis dan 30 kasus (31,6%) hernia inguinalis inkarserata (Tabel 4). Tabel 4. Distribusi jumlah kasus hernia inguinalis lateralis pada anak di RSU Dadi berdasarkan reponibilitasnya (1988 – 1991)

No. Hernia Jumlah %

1. 2.

Reponibilis Inkarserata**

65 30

68,4 31,6

Jumlah 95 100

Sumber : Data sekunder yang diolah ** Irreponibilis yang inkarserata

5) Distribusi hernia inguinalis lateralis inkarserata ber-dasarkan umur

Hernia inguinalis lateralis inkarserata juga terbanyak ditemukan pada umur 1 tahun pertama yaitu 15 kasus (50%) dan relatif menurun di atas satu tahun (Tabel 5).

Tabel 5. Distribusi hernia inguinalis lateralis inkarserata di RSU Dadi berdasarkan umur, 1988 -1991

Umur (tahun) Jumlah %

0 – 1 Lebih 1 – 3 Lebih 3 – 5 Lebih 5 – 7 Lebih 7 – 9 Lebih 9 – 11 Lebih 11 – 13 14 tahun

15 8 2 1 – 1 1 2

50 26,7 6,7 3,3 –

3,3 3,3 6,7

Jumlah 30 100

Sumber : Data sekunder yang diolah

6) Distribusi berdasarkan lamanya inkarserasi Umumnya penderita hernia inguinalis lateralis inkarserata

mencari pertolongan dokter setelah mengalami inkarserata selama 1 sampai 2 hari (Tabel 6).

Tabel 6. Distribusi penderita hernia inguinalis lateralis yang mencari pertolongan dokter berdasarkan Iamanya inkarserasi di RSU Dadi (1988 – 1991)

Lamanya inkarserasi Jumlah %

1 hari*) 2 hari 3 hari 4 hari Tidak ada keterangan

13 7 3 1 6

43,4 23,3 10 3,3 20

Jumlah 30 100

Sumber : Data sekunder yang diolah Keterangan : *) 1 hari, paling cepat 1 jam dan paling lama 24 jam

7) Distribusi hernia inguinalis lateralis inkarserata ber-dasarkan terapi "reduksi konservatif"

Di antara 30 kasus hernia inguinalis lateralis inkarserata, 22 dilakukan "reduksi konservatif' dengan hasi116 kasus (72,7%) berhasil dan 6 kasus (27,3%) tidak berhasil, sedangkan 8 kasus langsung dilakukan tindakan operatif tanpa "reduksi konservatif.

Tabel7. Distribusi hernia inguinalis lateralis inkarserata di RSU Dadi berdasarkan keberhasilan terapi "reduksi konservatir" (1988 – 1991)

Tahun "Reduksi konservatir'*

88 89 90 91 Jumlah %

Berhasil Tidak berhasil

4 2

3 2

4 1

5 1

16 6

72,7 27,3

Jumlah 6 5 5 6 22 100

Sumber : Data sekunder yang diolah * Redukri konservatif dengan cara Pieter dan Syamsuhidayat

Page 55: Cdk 086 Masalah Anak

54

8) Distribusi hernia inguinalis lateralis inkarserata ber-asarkan lamanya terapi "reduksi konservatif'

Lamanya "reduksi konservatif' umumnya adalah 4 – 6 jam (56,3%). Tabel 8. Distribusi lamanya "reduksi konservatir' pada hernia inguinalis lateralis inkarserata di RSU Dadi (1988 – 1991)

Lamanya "reduksl konservatir' Jumlah %

2 – 4jam 4 – 6 jam 6 – 8 jam

4 9 3

25 56,3 18,7

Jumlah 16 100

Sumber : Data sekunder yang diolah Tabel 9. Hubungan antara lama perawatan dengan Jails tindakan pada hernia ingulnalis lateralis inkarserata di RSU Dadi (1988–1991)

Hernia inkarserata Lamanya perawatan

"Reduksi konservatir' berhasil Operasi

7– 14 hari > 14 hari

6 10

7 1

Jumlah 16 8

Sumber : Data sekunder yang diolah Pada Tabel 9 terlihat bahwa tidak ada hubungan antara lamanya perawatan dengan tindakan operasi yang dilakukan.

10) Distribusi isi kantong hernia Pada waktu operasi, kantong hernia sebagian besar kosong

(52,7%); sedangkan yang berisi, sebagian besar adalah usus halus (29,4%) masih vital (Tabe110). Tabel 10. Distribusi isi kantong hernia pada kasus-kasus hernia inguinalis yang dioperasi di RSU Dadi (1988 -1991)

Isi kantong hernia Jumlah %

Usus halus Omentum dan ileum Ileum dan valvula iliocaecal Caecum dan appendiks Kosong

35 10 2 3 45

36,8 10,5 2,1 3,2 47,4

Jumlah 95 100

Sumber : Data sekunder yang diolah DISKUSI

Hernia inguinalis merupakan kelainan bedah anak yang paling sering dijumpai, terbanyak pada anak laki-laki; ada yang melaporkan perbandingan laki-laki dan wanita 9 : 1(7). Pieter dan Syamsuhidayat menyimpulkan bahwa 93,4% hernia terdapat pada laki-laki dan 6,6% pada wanitao). Beberapa penulis lain-nya menuliskan antara 15–20% pada wanita dan 80–85% pada laki-laki. Gambaran ini tampak dari hasil penelitian kami di-mana 78,9% didapatkan pada laki-laki dan 21,1% pada wanita

(Tabel 1). Hernia terutama terjadi pada tahun pertama kehidupan;

pada masa tersebut bayi bertambah besar dan kuat menangis serta lebih sering mengejan. Sampai menjelang lebih satu tahun angka ini relatif tinggi kemudian akan menurun(8,9,10,11). Pada penelitian ini kelompok umur 0 – 1 tahun jumlah kasus 40 (42,1%), pada kelompok umur 1 – 3 tahun 23 kasus (24,2%).

Perbandingan antara hernia inguinalis lateralis kanan, kiri dan bilateral adalah 60% : 25% : 15%(6,10,12). Dan angka per-bandingan tersebut dapat dilihat bahwa hernia inguinalis kanan lebih banyak/sering terjadi, hal ini disebabkan karena adanya kelambatan descensus testis yang kanan. Dalam penelitian ini juga didapatkan 52,6% kasus hernia inguinalis dextra, 36,8% pada yang kiri dan 10,6% bilateral (Tabel 3).

Kasus hernia inguinalis yang inkarserata terjadi kira-kira 10 -15% dari seluruh kasus hernia pada anak(2,5,7), sedangkan di RSCM, 39,7% dari 446 kasus hernia pada anak(8). Dari Tabel 4 didapatkan bahwa 31,6% hernia inguinalis pada anak terjadi inkarserasi, hal ini menunjukkan angka yang bervariasi.

Insidens inkarserasi tertinggi pada umur tahun pertama kehidupan, hal ini sejalan dengan tingginya kasus hernia pada umur tersebut(2,8,9), dalam tabel 5 juga tampak hal yang sama 50% pada umur 0 – 1 tahun.

Pada penelitian di RSCM tentang hernia inkarserata dida-patkan bahwa pada umumnya penderita mencari pertolongan dokter setelah mengalami inkarserasi selama 1 hari(8). Pada penelitian ini juga didapatkan hal yang sama (tabel 6); dida-patkan 66,7% telah inkarserasi selama 1–2 hari; perbedaan ini mungkin karena faktor sosial ekonomi, tingkat pengetahuan dan pendidikan orang tuanya.

Keberhasilan reduksi konservatif di RSU Dadi bagi pen-derita hernia inguinalis inkarserata adalah 72,7% (tabel 7). Dan kepustakaan yang ada batasan waktu "reduksi konservatif" adalah 4 – 5 jam, pada penelitian ini 80% dapat dicapai antara 2 – 6 jam (tabel 8); bila tidak berhasil segera dilakukan pembedahan mengingat safe period tidak dapat dijamin(8,9,10).

Pada bayi dan anak-anak isi kantong hernia yang terbanyak ditemukan adalah usus halus, sedangkan omentum jarang mengingat omentumnya masih pendek(2,5,8,11). Hal ini tampak pada tabel 10 dimana isi kantong 36,8% adalah usus halus, sedangkan kantong hernia yang kosong terutama pada kasus-kasus elektif.

Pengobatan hernia inguinalis lateralis pada anak-anak adalah operasi. Pada hernia inguinalis lateralis inkarserata dapat dilakukan tindakan konservatif sebellim operatif. Lamanya perawatan penderita pre operatif dan postoperatif berdasarkan indikasi medis. Kenyataannya masa perawatan dapat pula memanjang karena masalah administratif.

Teknik operasi yang dilakukan adalah dengan melakukan insisi kulit sesuai lipatan kulit dan di antara anulus externus dan internus dengan insisi kira-kira 4 – 5 cm. Kemudian membuka aponeurosis m. obliquus externus untuk membuka anulus exter-nus sampai tampak canalis inguinalis dengan mengidentifikasi n. ileo inguinalis, kemudian dengan memisahkan m. cremaster

Page 56: Cdk 086 Masalah Anak

55

dan fascia spermaticus intema kemudian mencari kantong hernia pada ventromedial dari funiculus spermaticus. Dilakukan ligasi tinggi kantong hernia dengan 5–0 atau 4–0 vicryl, perdarahan dikontrol dengan kauterisasi dan kulit dijahit dengan prolen secara interrupted suture. RINGKASAN

Telah dilakukan evaluasi kasus-kasus hernia inguinalis lateralis pada anak yang dirawat di RSU Dadi Ujung Pandang dengan hasil : 1) Terbanyak pada laki-laki. 2) Sering pada kelompok umur 0 – 1 tahun. 3) Lokasi yang terserang adalah yang kanan. 4) Reponibilis terbanyak 74,1%. 5) Inkarserata tersering antara umur 0 -1 tahun. 6) Reduksi konservatif cukup adekuat pada hernia inguinalis yang inkarserata.

KEPUSTAKAAN

1. Nyhus LM, Bomheck CT. Hernia. Sabiston Textbook of Surgery, 13thed, Igaku-Shoin/Saunders; 1986. hal 1231–1251.

2. RaffensplengerJG. Inguinal Hernia. Swenson's Pediatrics Surgery 4th ed, Appleton Century – Crofts Inc. 1980. hal. 108-119.

3. Read RC. The Development of Inguinal Herniorthrophy, Surg Clin North Am 1984; 64: 185–95.

4. Wooley MM. Inguinal Hernia. In: Pediatrics Surgery 3rd ed. Chicago, London: Year Book Medical Publ 1979 vol. 2; 815–825.

5. Rickhan PP. Incarcerated Inguinal Hernia. Neonatal surgery, 2nd ed. London – Boston: Butterworths 1978.301–307.

6. Thorex P. Hernia, Surgical Diagnosis. 2nd ed. Philadelphia: J.B. Lippincott Co 1962, 356-373.

7. Cox JA. Inguinal hernia of children. Surg Clin North Am 1985; 65: 1332–9. 8. PieterJ, Syamsuhidayat. Hernia Inkarserata, beberapa segi tentang reduksi

konservatif pada bayi dan anak, Ropanasuri, 1969; 1: 34-40. 9. Berliner SD. An approach to groin hernia. Surg Clin North Am 1984; 64:

197–213. 10. Madden JL. Hernia, Atlas of technics in surgery. 2nd ed, Appleton Century

Crofts Inc th 1964, Vol 1. hal 58–84 and 104-112. 11. White JJ, Hailer JA, Dorst JP. Congenital inguinal hernia and inguinal

hernioraphy, Surg Clin N Am 1970; 50: 823–37. 12. Gross RE. Inguinal Herniorhaphy, An atlas of children's surgery. Philadel-

phia, London, Toronto: W.B. Saunders Co 1970, hal 66-69.

More haste, less speed – to be in a hurry often delays work

Page 57: Cdk 086 Masalah Anak

56

Invaginasi pada Anak dan Bayi

Muh. Husain, Farid Nur Mantu UPF/Lab. lima Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang

PENDAHULUAN

Invaginasi pada anak dan bayi merupakan hal yang masih suing ditemukan dibandingkan dengan invaginasi pada orang dewasa. Invaginasi pada anak dan bayi sering dijumpai pada usia di bawah 2 tahun dan terbanyak ditemukan pada usia 5 – 9 bulan.

Penyebab invaginasi pada anak dan bayi 70% – 90% tidak diketahui; beberapa kepustakaan menghubungkan dengan hypertrophied peyer's patches akibat infeksi oleh virus, perubah-an cuaca atau perubahan pola makanan. Sedangkan invaginasi pada anak yang besar dan orang dewasa penyebabnya adalah suatu kelainan patologis (divertikel Meckel, polip, tumor) (1,2,3).

Invaginasi pada anak dan bayi sering memberikan gejala-gejala klinik klasik berupa nyeri perut yang bersifat serangan (kolik), keluarnya lendir dan darah peranum (currant jelly stool) tanpa faeces dan pada palpasi perut teraba massa tumor seperti pisang (sausage shape mass) (2,3,4).

Untuk menegakkan diagnosis invaginasi pada anak dan bayi, selain gejala klinik diperlukan pemeriksaan radiologi. Pada pemeriksaan radiologi dengan menggunakan barium enema selain bertujuan diagnostik juga dapat berperan sebagai terapi. Pada invaginasi anak dan bayi, bila belum terlambat (belum ada dehidrasi, peritonitis, distensi abdomen yang berlebihan), dapat. dilakukan reposisi dengan tekanan hidrostatik barium

enema. Bilamana reposisi dengan barium enema tidak berhasil atau dijumpai gejala invaginasi lebih dari 48 jam, peritonitis, distensi abdomen yang berlebihan, invaginasi rekuren, maka tindakan yang diambil adalah reposisi operatif(4,5).

Evaluasi kasus ini bertujuan menyajikan data yang ditemu-kan pada kasus invaginasi anak dan bayi pada bangsal anak Bagian Bedah Rumah Sakit Umum Dadi Ujung Pandang sejak Januari 1989 sampai dengan Desember 1991 dan membanding-kannya dengan beberapa kepustakaan. BAHAN DAN CARA

Penulisan ini bersifat retrospektif dan data diperoleh dari catatan medik penderita yang dirawat Dada bangsal anak Rumah Sakit Umum Dadi Ujung Pandang sejak Januari 1989 sampai dengan Desember 1991.

Dipelajari mengenai usia penderita, sex, gejala klinik, tin-dakan yang dilakukan dan jenis invaginasi setelah dilakukan reposisi operatif. HASIL DAN PEMBAHASAN

Selama tiga tahun ditemukan 12 kasus invaginasi anak dan bayi, terdiri dari 81aki-laki dan 4 wanita dengan usia antara 4 – 15 bulan (tabel 1). Dalam kepustakaan, perbandingan antara

ABSTRAK

Dari Januari 1989 sampai dengan Desember 1991 telah dirawat 12 kasus invaginasipada anak dan bayi di bagian Bedah Fakultas Kedokteran Unhas/Rumah Sakit UmumDadi Ujung Pandang; pada 7 kasus segera dilakukan laparatomi, 4 kasus dilakukanreposisi dengan tekanan hidrostatik barium enema – 3 kasus gagal dan 1 kasus berhasil.Satu kasus paksa pulang dan 2 kasus meninggal.

Page 58: Cdk 086 Masalah Anak

57

laki-laki dan wanita 3 : 1 serta usia yang terbanyak dijumpai antara 5 – 9 bulan(6,7).

Penyebab invaginasi pada anak dan bayi tidak diketahui, sedangkan pada anak yang lebih besar dan orang dewasa ada yang melaporkan disebabkan oleh kelainan patologis berupa divertikel Meckel, polip, tumor. Dalam seri kasus ini tidak dijumpai adanya kelainan patologis tersebut.

Tabel 1. Distribusi Usia dan Jenis Kelamin Penderita Invaginasi Bagian Bedah RSU Dadi, Ujung PandangJanuari 1989–Desember 1991

Usia Wanita Pria

4 bulan 5 bulan 8 bulan 9 bulan

13 bulan 15 bulan

2 1 1 – – –

2 2 – 2 1 1

4 8

Gambaran klinis invaginasi pada anak dan bayi adalah khas

berupa nyeri perut yang bersifat serangan (kolik) keluarnya darah dan lendir per anum tanpa faeces dan pada palpasi teraba massa seperti pisang pada perut.

Dalam seri kasus kami jumpai 8 kasus dengan nyeri abdo-men (66,6%), keluarnya darah dan lendir dijumpai 10 kasus (83,3%), pada palpasi perut dijumpai massa seperti pisang 10 kasus (83,3%) (tabel 2).

Stevenson melaporkan adanya nyeri abdomen pada 85% kasus, keluarnya darah dan lendir 60% kasus dan massa tumor 85% kasus(61; sedangkan Ein melaporkan nyeri abdomen 64%, keluarnya darah dan lendir 55% dan massa tumor 51%(4). Tabel 2. Distribusi gejala utama invaginasi

Gejala klinik Mama Jumlah

Nyeri abdomen Keluamya darah dan lendir Teraba massa tumor

8 10 10

Gejala klinik yang dijumpai oleh beberapa penulis tidak

jauh berbeda dari apa yang dijumpai dalam seri kasus kami, hal ini menunjukkan bahwa gejala klinik invaginasi adalah khas.

Penanganan kasus invaginasi pada anak dan bayi meliputi penanganan konservatif dengan tekanan hidrostatik barium enema serta tindakan reposisi operatif.

Semua kasus invaginasi pada anak dan bayi dirawat secara konservatif dengan tindakan reposisi barium enema, mengingat angka keberhasilannya lebih dari 50% dan penderita terhindar dari stres operasi. Namun apabila dijumpai keadaan seperti distensi abdomen yang berlebihan, peritonitis, reposisi dengan barium enema mengalami kegagalan, gejala invaginasi lebih dari 24 jam, invaginasi yang rekuren beberapa kali, diindikasikan

untuk melakukan reposisi operatif(1,7,8,9). Dalam seri kasus kami, 7 kasus langsung dilakukan operasi mengingat penderita datang ke rumah saki' dengan gejala invaginasi lebih dari 48 jam disertai distensi abdomen yang berlebihan.

Setelah dilakukan tindakan reposisi operatif dijumpai 4 kasus jenis ileocolica, 1 kasus jenis ileocolocolica serta 2 kasus jenis ileoileal, tidak dijumpai adanya kelainan patologis yang menjadi penyebabnya. Dilaporkan bahwa jenis invaginasi yang terbanyak adalah ileocolica(7,10).

Empat kasus direposisi dengan tekanan hidrostatik barium enema karena penderita tidak menunjukkan gejala-gejala dis-tensi abdomen yang berlebihan, serta gejala invaginasi sampai tiba di rumah sakit kurang dari 48 jam, namun setelah dilakukan reposisi ternyata 3 kasus gagal dan 1 kasus berhasil. Ketiga ka-sus yang gagal tereposisi tersebut dioperasi dengan jenis invagi-nasi ileocolica (2 kasus) dan ileocolocolica (1 kasus). Dua kasus memerlukan reseksi anastomosis karena menunjukkan tanda-tanda perforasi dan 1 kasus hanya dilakukan reposisi manual.

Satu kasus menolak tindakan dan minta pulang. Dua kasus postoperasi setelah dirawat beberapa hari meninggal dunia oleh karena sepsis dan dehidrasi.

Lama perawatan seluruh kasus berkisar 10 sampai 15 hari.

RINGKASAN Selama kurun waktu Januari 1989 sampai Desember 1991

didapatkan 12 kasus penderita invaginasi pada anak dan bayi yang berōbat ke UPF Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Dadi Ujung Pandang; sebagian besar datang dengan gejala-gejala invaginasi lebih dari 48 jam disertai distensi abdomen yang berat.

Diuraikan secara singkat etiologi, gejala klinis, diagnosis, penanganan serta jenis invaginasi yang dijumpai setelah di-lakukan reposisi operatif. Selanjutnya data yang diperoleh di-bandingkan dengan data beberapa kepustakaan.

KEPUSTAKAAN

1. Basu SS. Handbook of Surgery. Bombay: Current Book International, 1986. p. 216.

2. Chapman JA. Intussusception in Rhodesia African. A contrast with the accepted clinical picture. J. Pediatr. Surg. 1973; 8.

3. Dunphy JE, Way LW. Intussusception. Current Surgical Diagnosis and Treatment, 3th ed. 1977. p. 1044.

4. Ein SH. Leading point in childhood intussusception J. Pediatr. Surg. 1976; 11: 209–11.

5. Raffenspenger JG. Intussusception. Swenson's Pediatric Surgery, 4th ed. 1980; 190`197.

6. Stevenson RJ. Non neonatal intestinal obstruction in children. Surg Clin North Am 1985; 65: 1227–31.

7. Way LW. Intussusception. Current Surgical Diagnosis and Treatment, 8th ed. Prentice/Hall International Inc. 1988. p. 1118-9.

8. Skipper RP, Boeckman CR, Klein RL. Childhood intussusception. Surg. Gynecol. Obstet. 1990; 171: 151–3.

9. Setiawan I, Theyeb A, Kartona D. Intussusepsi, Penanganan reduksi dengan enema barium. Ropanasuri 1986; 15(4): 177-82.

10. Sabiston DC. Textbook of Surgery; 12th ed. Philadelphia, London, Toronto: WB Saunders Co. 1981. pp. 1380–1.

Page 59: Cdk 086 Masalah Anak

58

Malaria Serebral - laporan kasus

Dr. M. Anto Artsanto Rumah Sakit Umum Alaumere Flores, Nusa Tenggara Timur

PENDAHULUAN

Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah yang cukup serius bagi kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang baik di daerah tropis maupun sub tropis, juga pada pendatang yang menetap atau sebagai pelancong di daerah endemi.

Berdasarkan laporan WHO, setiap tahun terdapat 110 juta penderita malaria, 280 juta orang sebagai carrier dan 2 milyard atau 2/5 penduduk dunia selalu kontak dengan malaria(1).

Malaria merupakan penyakit sistemik yang menyebabkan perubahan-perubahan patofisiologis pada organ target seperti : otak, ginjal, hati, limpa dan saluran curia. Malaria serebral merupakan komplikasi yang paling berat dari Malaria falsi-parum, suatu keadaan gawat darurat medis yang bila terlambat didiagnosis dan diatasi akan membawa kematian sekitar 20 – 50%(2). TINJAUAN PUSTAKA

Upaya pemberantasan malaria telah dilakukan dengan pengendalian vektor dan obat antimalaria, namun sampai kini malaria masih belum dapat diberantas. Salah satu faktor penye-babnya adalah adanya berbagai hambatan di antaranya resistensi parasit terhadap obat malaria terutama klorokuin.

Malaria di suatu daerah berbeda dengan daerah lain ka-rena : 1) Faktor manusia (rasial). 2) Faktor vektor (nyamuk Anopheles).

Di Indonesia terdapat beberapa vektor yang penting (spesies Anopheles) yaitu : A. aeonitus, A. maeulatus, A, subpictus, yang terdapat di Jawa dan Bali; A. sundaicus dan A. aconitus di Sumatera; A. sundaicus, A. subpictus di Sulawesi; A. balabacen-sis di Kalimantan; A. farauti dan A. punctulatus di Irian Jaya.

3) Parasit. Di beberapa daerah, parasit telah kebal terhadap obat anti-

malaria. 4) Faktor lingkungan yang mempengaruhi siklus biologi nyamuk(3).

Sampai kini patogenesis malaria serebral belum diketahui secara pasti. Pada pemeriksaan postmortem ditemukan sum-batan kapiler otak oleh gumpalan eritrosit yang mengandung parasit dan petekia.

Hipotesis yang banyak diterima adalah: akibat terlalu cepat berkembang biak, parasit menyebabkan sumbatan kapiler, mengakibatkan lesi embolik sehingga timbul anoksi (terutama otak dan ginjal) yang akhirnya memberikan kelainan pokok : gangguan mikrosirkulasi (sludging, aglutinasi eritrosit intra-vaskuler, vasodilatasi kapiler), fenomena sitotoksik (hambatan pernapasan dalam sel otak oleh bahan yang dihasilkan parasit) dan hemolisis(2).

Malaria serebral umumnya didapati pada penderita non imun yang mendapat infeksi falciparum. Penderita perlu dirawat bila didapatkan gejala klinis dan atau basil pemeriksaan laboratorium sebagai berikut : 1) Kejang-kejang,diāre,muntah,deliri um,syokdan hipertermi. 2) Pada pemeriksaan laboratorium mungkin dijumpai a) Parasitemia berat: >– 2% eritrosit terinfeksi parasit atau jumlah parasit aseksual (tropozoit) ? 100.000/mm dan/atau b) Adanya sizon dalam darah perifer pada infeksi falciparum(4).

Anemi sering terjadi pada penderita malaria, bahkan pada infeksi malaria tropika yang akut; anemi dapat terjadi sangat cepat antara lain karena terjadinya perusakan eritrosit. Selain itu juga dijumpai mekanisme lain seperti diseritropoetik dan memendeknya umur eritrosit(5).

Resistensi parasit malaria terhadap klorokuin muncul per-Lama kali di Thailand pada tahun 1961 dan di Amerika Selatan

Page 60: Cdk 086 Masalah Anak

59

tahun 1962. Dari dua fokus ini resistensi menyebar ke seluruh dunia. Di Indonesia resistensi Plasmodium falciparum pertama kali dilaporkan dari Samarinda tahun 1974, kernudian terus menyebar dan pada tahun 1987 kasus-kasus malaria yang resisten klorokuin sudah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta(1).

Pengobatan malaria yang resisten klorokuin dilakukan dengan pemberian kombinasi Sulfadoksin-Pirimetamin, kina, antibiotik atau meflokuin.

Untuk mencegah bertambah luasnya resistensi maka obat harus diberikan atas indikasi dan dosis yang tepat(1).

KASUS

Seorang anak (Nama : LJ), umur 4 tahun 4 bulan datang ke RSU Maumere, Kabupaten Sikka, Flores, NTT tanggal 17–11–1992 dengan keluhan utama : tidak sadar.

Riwayat penyakit sekarang : 7 hari demam tinggi, batuk, pilek; satu hari yang lalu kejang seluruh tubuh sekitar 5 menit; sewaktu kejang penderita menangis. Enam jam yang lalu pen-derita tidak sadar, namun bila dicubit masih mengeluarkan suara-suara yang tidak jelas.

Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik waktu masuk di rumah sakit dida-

patkan GCS (Glasgow Coma Scale) = 2/2/2. Keadaan iumum lemah, sklera mata ikterik. Tekanan darah 110/70 mHg, nadi 100x/menit, suhu 36,5°C, berat badan 12 kg. Kaku kuduk tidak didapatkan. Pada paru didapatkan ronkhi basah halus, wheezing tidak didapatkan. Pada abdomen didapatkan limpa yang mem-besar (S II). Ekstremitas pada waktu penderita masuk, dalam keadaan spastik.

Diagnosis masuk pada waktu itu adalah Observasi Malaria Serebral dengan Hepatitis Malaria ditambah dengan Bronkhitis. Terapi yang diberikan yaitu IVFD Dekstrosa 5% 20 tetes/ menit, Klorokuin injeksi 3x100 mg im, Deksametason 3x2,5 mg iv, Ampisilin 4x300 mg iv. Dilakukan pula pemeriksaan labo-ratorium darah cito, urine dan faeces lengkap serta kimia darah.

Perjalanan Penyakit Pada hari ke dua penderita di RS, kesadarannya masih

tetap (GCS 2/2/2), temperatur meningkat menjadi 38°C. Dilakukan pemasangan sonde lambung untuk jalan masuknya makanan/ diit cair dan obat-obatan.

Obat yang diberikan selain injeksi klorokuin, deksametason dan ampisilin adalah Sulfadoksin 1 tablet dosis tunggal per sonde. Sedangkan infus yang diberikan Dekstrosa 5%, NaCl 0.9% dan RL masing-masing 8 jam per 500 ml.

Hasil laboratorium : Malaria falciparum + ; Hb 6,7 g/dl; leukosit 10.500/mm; eosinofil 0; basofil 0; segmen 57; limfosit 42; monosit 0.

Pada hari ke tiga, kcadaan penderita masih tetap, bahkan temperatumya meningkat menjadi 40°C. Didapatkan basil labo-ratorium : Malaria falciparum masih + ; Hb 6,7 g/dl; leukosit 13.200/mm'; trombosit 147.000. Sedangkan basil kimia darah : SCOT 78 till; SGPT 43 u/1, bilirubin darah 1,23 mg%, bilirubin total 2,34 mg%, ureum 7,8 mg%, kreatinin 1,4 mg%. Pemeriksaan

serologi Widal didapatkan negatip, sedangkan test Mantoux juga negatip.

Pada hari ke empat kesadaran penderita mulai membaik (GCS 3/3/3), tetapi temperaturnya masih cukup tinggi yakni 39°C. Diputuskan untuk menambahkan injeksi Garamycin 2x40 mg iv selama 3 hari untuk kemudian diperiksa laboratorik ulang dengan basil ureum 13,5 mg%, kreatinin 1,4 mg%, SCOT 39 u/l, SGPT 29

Hari-hari selanjutnya demam mulai turun namun pada hari ke tujuh, pemeriksaan darah Malaria falciparum masih positip. Diputuskan untuk mengganti terapi Klorokuin injeksi menjadi Kinin antipirin injeksi 2x125 mg im, sedangkan obat-obat injeksi yang lain tetap.

Hari berikutnya (hari ke delapan) didapatkan kēsadaran penderita mulai membaik (GCS 4/5/4). Sedikit demi sedikit mulai dilakukan pemberian diit saring dan pemberian obat-obatan secara oral yakni Amoksisilin 3x250 mg dan Chloram-phenicol syrup4x200 mg. Adapun obat-obat injeksi tidakdiberi-kan lagi kecuali Kinin antipirin. .

Perlu ditambahkan di sini bahwa pada pemeriksaan urine tidak didapatkan kelainan, sedangkan pada pemeriksaan faeces didapatkan Trichuris trichiura + , maka pada hari ke sembilan kami berikan Pirantel Pamoat 250 mg dosis tunggal.

Pada hari ke sebelas obat-obat injeksi sudah tidak diberikan lagi dan pada hari ke duabelas karena keadaan umum cukup baik dan penderita bisa makan-minum, orang tua penderita minta berobat jalan dan penderita dipulangkan.

PEMBAHASAN Program terapi penderita malaria berat menurut DepKes RI

meliputi pengobatan umum dan spesifik. Pc. gobatan umum yakni mengatasi syok dan hipovolemi; pada penderita ini diberikan larutan Dekstrosa 5% 20 tetes/menit pada jam pertama diselang-seling dengan larutan garam isotonis yaitu NaC10.9%dan RL masing-masing 8 jam per 500 ml.

Untuk mengatasi hipertermi diberikan kompres dan peng-amatan suhu penderita secara rektal. Transfusi darah tidak diberikan karena Hb ≥ 6 g/dl dan tujuan utama saat ini ialah penyelamatan jiwa penderita.

Untuk mengatasi edema serebral diberikan Deksametason 2,5 mg iv dapat diulang setiap 4 – 6 jam tergantung keadaan penderita(4). Untuk mengatasi kejang diberikan Diazepam 0,5 mg/kgbb; penggunaan morfin merupakan kontra indikasi(4).

Urine ditampung dengan urine bag lewat pemasangan kon-dom kateter, kira-kira 500 ml/hari. Warna urine kuning jernih, dengan albumin – , reduksi – , sedimen Ca oxalat + , Triple phosphat + , Coral 2 – 3, amorf + , BJ urine 1,015, pH 6,8.

Intake kalori diberikan scbanyak 1.500 kalori berupa ma-kanan lewat pipa dengan bahan-bahan maizena, telur, jeruk, margarine, tepung susu, gula pasir dan cairan sebanyak kira-kira 7'/2 gelas(5).

Berdasarkan basil laboratorium yang menyokong malaria dan infeksi sekunder berupa bronkhitis diberikan klorokuin injeksi 3x100 mg im, deksametason 3x100 mg iv dan ampisilin

Page 61: Cdk 086 Masalah Anak

4x300 mg iv. Pada hari ke tujuh perawatan, pemeriksaan darah malaria

falciparum masih positip, maka diputuskan untuk mengganti klorokuin menjadi kinin antipirin injeksi 2x125 mg im, sedang-kan obat-obat lainnya tetap diberikan.

Pada hari ke delapan kesadaran penderita makin membaik (GCS 4/5/4) dan pemeriksaan darah malaria negatip pada hari ke sepuluh.

Pada hari ke sebelas penderita sudah dapat makan minum dan keadaan umumnya cukup baik; maka penderita dipulangkan.

Di sini terjadi resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin. Penelitian in vitro dan in vivo telah membuktikan bahwa kepekaan terhadap obat malaria berkurang dengan adanya tekanan obat (drug pressure) seperti pemberian kemoprofilaksis yang lama dan luas serta pengobatan massal, penggunaan obat dengan dosis subkuratif dan pemberian garam yang mengandung obat (medicated salt). Kina merupakan obat pilihan pada malaria serebral yang disertai koma dan malaria berat lainnya(6). KESIMPULAN DAN SARAN

Walaupun kasus-kasus malaria falciparum yang resisten

klorokuin telah menyebar luas, namun klorokuin tetap diguna-kan sebagai obat pilihan pertama dalam pengobatan malaria. Bila resistensi sudah terbukti maka klorokuin diganti dengan obat alternatif lain. Untuk mencegah bertambah luasnya resistensi maka obat harus diberikan atas indikasi dan dosis yang tepat.

Berbagai pengalaman telah menunjukkan bahwa penang-gulangan masalah resistensi sangatlah sulit, maka tindakan pencegahan menjadi penting sekali.

KEPUSTAKAAN

1. Staf Pengajar Ilmu Keschatan Anak FKUI, Bagian Dmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1985, 655-659.

2. Ardana K. et al. Malaria Screbral, Naskah Kopapdi VI, Jakarta 1984, 2174-2187.

3. Harianto PN et al. Presentasi Klinik Komplikasi dan Mortalitas Malaria Serebral di RS Bethesda, Minahasa. Dalam: Naskah Kopapdi V1II, Jakarta, 1990, 603-618.

4. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, DepKes RI, Jakarta 1986, 51-61.

5. Bagian Gizi RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Penuntun Diit. Edisi kedua. Jakarta: Gramedia 1987, 16-18.

6. Sungkar S, Pribadi W. Resistensi Plasmodium falciparum terhadap Obat-obat Malaria. Maj Kedokt Indon 1992; 42(3): 155-162.

Kalender Kegiatan Ilmiah

Agustus 23–25, 1993 – SEMINAR PARASITOLOGI NASIONAL VII dan KONGRES PERKUMPULAN PEMBERANTASAN PENYAKIT PARASIT INDONESIA VI Kuta Pertamina Cottages, Bali, INDONESIA Secr.: Lab. Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Jl. P.B. Sudirman Denpasar 80232 INDONESIA

Page 62: Cdk 086 Masalah Anak

61

HUMOR ILMU KEDOKTERAN

MASIH ADA YANG TERINGAT

Seorang tukang Bajaj (pasien) di-bawa ke rumahsakit dengan memar otak akibat diseruduk bis kota. Setelah koma seminggu ia mulai sadar dan dapat diajak bicara, namun ternyata ia men-derita amnesia retrograd yang parah. Dokter : "Siapa nama saudara" Pasien : "Lupa dok" Dokter : "Dimana saudara tinggal ?" Pasien : "Tidak ingat lagi" Dokter : "Masih ingat kejadian kece lakaan yang saudara alami ?" Pasien : "Semua lupa" Dokter : "Apa yang bisa saudara ingat sekarang ini ?" Pasien : "SDSB buka tiap hari Rabu dok"

R. Setyabudy Jakarta

JUSTERU SOPAN Tiga orang dokter berkenalan per-

tama kali pada acara 'coffee break' di suatu kongres ilmiah. Dokter A adalah seorang yang gemar bicara tapi sangat penggagap. Selama berceloteh ia di-tanggapi oleh dokter B. Pembicaraan segera berkembang menjadi ramai, namun dokter C diam saja. Setelah pembicaraan usai dan dokter A pergi, dokter B menegur dokter C : "Saya rasa saudara kurang sopan ter-hadap dokter A tadi. Berkali-kali ia mengajak saudara bicara tapi saudara tidak menjawab sepatah katapun". Jawab dokter C : "So .. so ... so .. al ny..nya,s...sa...yaju..gaga..ga... gap. Kalau saya jawab nan .. ti dikira menghi .. hi .. na di .. dia."

R. Setyabudy Jakarta

MINUM OBAT Seorang dokter ahli penyakit kulit dibingungkan oleh kedatangan seorang pasien

anak dengan ruam-ruam di seluruh tubuh dan ditemani oleh ibunya yang ketus. Secara klinis dokter berkesimpulan bahwa ruam-ruam tersebut adalah Drug Eruption, sehingga dokter berusaha mencari kemungkinan penyebabnya secara langsung kepada pasien. Setelah ditanya berulang kali pasien tetap tidak mau mengakui bahwa sebelum ini ia minum suatu obat. Akhirnya dokter berusaha menakut-nakutkan dengan mengatakan bahwa penyakitnya merupakan penyakit yang berbahaya, sehingga pasien kelihatan ketakutan. Setelah melirik ke wajah ibunya yang ketus itu ia langsung menjawab "ya". Dokter : "Kalau ya, obat apa itu?" Pasien : "Obat syrup!" Dokter : "Berapa banyak kamu minum?" (tegas) Pasien : "Setengah bo . . bo . . tol, dok." (dengan takut-takut) Dokter : "Bagaimana caranya?" (dokter terkejut dan keheranan) Pasien : "O .. o .. obat .. lang .. langsung sa .. ya .. tee .. guk, dok" (bicaranya terputus- putus) Dokter : "Kenapa begitu!" (tegas) Pasien : Habis, sa . . ya . . li . . hat . . i.i.i.ibu . . mi . . mi . num . . o . o . oobat . . se . . seper . . ti i. i itu, sih". Dokter geleng-geleng kepala dan ibu pasien menjadi malu

Irwan Banda Acceh

OBAT MALARIA

Dalam dengar pendapat penggunaan obat tradisional di suatu daerah endemis malaria terjadilah tanya jawab sbb. : Penanya : "Saya sudah putus asa mengobati penyakit malaria yang hilang timbul. Oleh sebab itu pada waktu teman saya menganjurkan memakai tahi kam- bing, saya lakukan, dan temyata sembuh dan sehat sampai sekarang". Dokter dan pendengar lain : Bagaimana caranya ? (disertai ger . . . r . . . . r . . . r . . . r) Penanya : "(dengan bangga) 9 butir tahi kambing diosengkan, kemudian ditumbuk halus, diseduh dengan air panas 1 gelas, 3 X 3 butir / hari." Dokter : (dengan tenang mendengarkan dan membisikkan sesuatu kepada teman nya) Mau diterliti dan dibuat instand ?

Emiliana Tjitra Jakarta

Page 63: Cdk 086 Masalah Anak

62

Page 64: Cdk 086 Masalah Anak

63

ABSTRAK PENGOBATAN FARMAKOLOGIK INSOMNIA

Insomnia tidak jarang di jumpai dalam situasi sehari-hari; diperkirakan sepertiga populasi pernah meng-alaminya pada suatu saat, terutama di kalangan usia lanjut.

Penatalaksanaan insomnia meliputi cara non farmakologik dan cara farma-kologik; karena insomnia sebenarnya hanya merupakan gejala, terlebih dahulu harus dicari/diketahui penyebabnya.

Farmakoterapi diindikasikan pada orang sehat yang mengalami transient insomnia atau pada orangtua dengan intermittent insomnia; tetapi tidak di-anjurkan pada insomnia kronik, kecuali bila digunakan secara intermiten atau sebagai terapi ajuvan. Hipnotik sedatif digunakan bila dipastikan tidak ada primary sleep disorder; dan dimulai dengan dosis serendah mungkin untuk waktu sesingkat mungkin. Pada orangtua harus diperhitungkan kemungkinan perubahan farmakokinetik.

Benzodiazepin sampai saat ini masih merupakan obat yang dianjurkan karena relatif aman; meskipun demikian harus diperhatikan kemungkinan efek sam-ping berupa rasa kantuk pagi hari, re-bound insomnia dan amnesia retrograd. Benzodiazepin kerja-cepat banyak dikaitkan dengan rebound insomnia dan reaksi withdrawal; sedangkan benzo-diazepin kerja-lambat dapat menyebab-kan rasa kantuk pagi hari. Amnesia anterograd dapat ditemukan pada peng-gunaan semua jenis benzodiazepin.

Alkohol dan obatbebas tidak dianjur-kan untuk mengatasi insomnia.

Drugs 1993; 45(1): 44-55 Brw

OBAT ANTIPSIKOTIK

Tersedianya farmakoterapi untuk psikosis telah mengubah secara drastis cara-cara pengobatan orang-orang psikotik; pada umumnya obat tersebut

dianggap bekerja memblokade reseptor dopamin D2. Umumnya perbaikan mula-mula diamati pada gejala tingkah laku, diikuti dengan perbaikan afek dan akhir-nya pada gejala kognitif dan persepsi. Keberhasilan pengobatan antara lain diperkirakan berdasarkan usiapasien saat mulai sakit, fungsi sebelum sakit, riwayat keluarga, fungsi kognitif, ukuran ventrikel dalam otak dan kadar asam homovanilat.

Semua obat antipsikotik – kecuali klozapin – umumnya sama efektif, ter-gantung pada respons sebelumnya dan toleransi pasien terhadap efek samping. Bila dimaksudkan untuk mengendalikan tingkah laku yang berbahaya, dalam jangka pendek dapat diberikan secara intramuskuler dan dikombinasi dengan benzodiazepin; sedangkan untuk peme-liharaan dapat digunakan haloperidol 5 mg/hari, atau obat-obat lain yang setara (dosis ekuipoten). Pemantauan peng-obatan selanjutnya akan mempengaruhi kronisitas; relaps lebih mungkin terjadi bila obat dihentikan terlalu dini atau dosis terlalu rendah; meskipun dosis rendah mengurangi timbulnya efek samping. Penggunaan obat yang ber-sifat long-acting secara intramuskular dapat mengingatkan kepatuhan pasien.

Efek samping berkaitan dengan po-tensi obat, umumnya berupa gejala ekstrapiramidal seperti distonia, akathisia, diskinesia tardif dan Parkin-sonism; obat-obat potensi rendah dapat menyebabkan hipotensi ortostatik, se-dasi dan efek antikolinergik. Neorulep-tic malignant syndrome merupakan efek samping yang berbahaya, dapat timbul pada penggunaan semua obat neuroleptik.

Klozapin terbukti efektif pada 30–40% pasien yang telah resisten terhadap antipsikotik lain; meskipun tidak me-nimbulkan gejala ekstrapiramidal, dapat menyebabkan agranulositosis. Obat ini hanyadigunakanpadapasien yang tidak

dapat diatasi dengan obat antipsikotik lain.

Drugs 1992; 44(6): 981-92

Brw

VITAMIN K PROFILAKSIS Suatu studi klinis yang dilakukan di

Inggris menunjukkan bahwa bayi baru lahir yang tidak diberi vitamin K profi-laksis mempunyai risiko yang lebih be-sar menderita perdarahan, dibanding-kan dengan yang mendapatkan vitamin K, baik secara oral (relative risk -13,4) maupun secara intramuskular (relative risk– 81,7).

Dengan pengembangan preparat oral yang lebih baik, mungkin efektivitas pemberian oral juga akan meningkat.

Scrip 1991; 1671: 26

Brw VAKSIN KOLERA ORAL

Penelitian lapangan di Bangla Desh menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa vaksin kolera oral dapat me-nurunkan kasus.

Pemberian oral whole cell cholera vaccine dengan (BS-WC) atau tanpa (WC) cholera toxin B subunit telah menurunkan angka infeksi sebesar lebih dari 50 persen dibandingkan dengan plasebo; selain itu juga meringankan gejala pada kasus-kasus klinis.

Inpharma 1993; 872:16

Brw ANTIKONVULSAN UNTUK PENG-OBATAN PSIKOSIS

Pasien-pasien psikosis yang tidak dapat diatasi dengan obat antipsikotik secara memuaskan, mungkin dapat menggunakan antikonvulsan sebagai obat tambahan. Bahkan pada kasus-kasus psikosis organ ik dan bipolar, antikonvulsan dapat digunakan sebagai obat tunggal.

Klonazepam merupakan obat tam-

Page 65: Cdk 086 Masalah Anak

64

ABSTRAK bahan yang bermanfaat, tetapi kurang efektif bila digunakan secara tunggal; obat ini cukup aman, mempunyai efek sedasi dan ditoleransi dengan baik. Karbanazepin terutama bermanfaat un-tuk kasus-kasus bipolar, kadang-kadang dapat digunakan sebagai obat tunggal; asam valproat juga dapat bermanfaat, tetapi perlu diwaspadai efek sampingnya.

Sampai saat ini penggunaan antikon-vulsan pada psikosis adalah berdasar-kan pengalaman empirik, karena belum dapat diterangkan secara memuaskan. Post mengamati adanya kecenderungan makin seringnya serangan afektif yang mirip dengan serangan epilepsi (teori kindling); mungkin fakta ini dapat se-bagian menerangkan efek antikonvul-san tersebut.

Drugs 1992; 44(3): 326-35 Hk

MANDI AIR PANAS DAN KE-LAINAN JANIN

Para peneliti di New England, AS menyatakan bahwa panas yang diper-oleh dari mandi berendam air panas, sauna atau demam selama kehamilan trimester pertama dapat meningkatkan risiko neural tube defect pada bayinya. Penelitian ini melibatkan 23.491 wanita yang menjalani pemeriksaan alfa feto protein atau amniosentesis.

Wanita yang mengalami exposure terhadap panas baik melalui sauna, be-rendam air panas, demam ataupun ban-tal listrik mempunyai risiko sebesar 1,9 (95%CI: 0,9-2,9); sedangkan yang ber-sauna, berendam air panas atau demam mempunyai risiko sebesar 2,2 (95%CI: 1,2-4,1).

Analisis statistik selanjutnya me-nunjukkan bahwa risiko relatif mandi air panas adalah sebesar 2,9 (95%CI: 0,7-10,1), untuk sauna sebesar 2,6 (95%CI: 0,7-10,1), untuk demam se-besar 1,9 (95%CI: 0,8-4,1) dan untuk bantal listrik 1,2 (95%CI: 0,5-2,6).

Bila faktor usia ibu, suplemen asam folat, riwayat neural tube defect dalam keluarga dan kemungkinan sumber pa-nas lain diperhitungkan/dikoreksi, maka risiko relatif untuk mandi air panas menjadi 2,8 (95%CI: 1,2-6,5), sauna 1,8 (95%CI: 0,9-7,9), demam 1,8 (95%CI: 0,8-4,1) dan bantal listrik se-besar 1,2 (95%CI: 0,5-2,6).

Bilahanyaberendam air panas, sauna dan demam yang diperhitungkan, maka risiko relatif meningkat dari 1,9 (95%CI: 0,9-3,7) bila mengalami salah satu dari tiga hal di atas, menjadi 6,2 (95%CI: 2,2-17,2) bila mengalami dua dari tiga hal tersebut.

JAMA 1992; 268: 882-5 Hk

MANFAAT YOGURT

Minum yogurt dapat mengurangi kemungkinan kandidiasis vagina, de-mikian kesimpulan dari penelitian yang dilakukan di New York, AS.

Sebanyak 33 wanita dengan infeksi kandida rekuren diberi diet 8 ounces yogurt yang mengandung Lactobacillus acidophilus setiap hari selama 6 bulan. Hasilnya ternyata dapat menurunkan angka infeksi per 6 bulan menjadi 0,38 ± 0,51 kali dibandingkan dengan 2,54 ± 1,66 kali pada kelompok kontrol (p = 0,001). Sedangkan koloni Candida me-nurun dari 3,23 ± 2,17 per 6 bulan pada kelompok kontrol menjadi 0,84 ± 0,90 per 6 bulan pada kelompok kelola (p = 0,001).

Ann. Intern. Medd. 1992; 116: 353-7 Hk

ANTIMALARIA

Malaria masih merupakan masalah kesehatan di Asia, dan obat baru yang efektif masih terus dicari.

Obat baru - artesunat - telah dicoba pada sekelompok pasien malaria di Thailand; 127 pasien secara acak men-dapatkan 600 mg. artesunat selania 5 hari, atau meflokuin 750 mg. disusul

dengan 500 mg. 6 jam kemudian, atau kombinasi keduanya, yaitu artesunat disusul dengan meflokuin.

Ternyata angka kesembuhan pada ke-lompok meflokuin adalah sebesar 81% (30 dari 37 pasien), pada kelompok artesunat sebesar 88%(35 dari 40 pasien) sedangkan pada kelompok kombinasi semuanya sembuh (39 pasien).

Efek sāmping yang dijumpai ialah mual dan muntah.

Lancet 1992; 339: 821-4 Brw

DIET DAN RISIKO KANKER PAYUDARA

Sebanyak 89.494 wanita berusia 34 - 59 tahun telah diamati selama 8 tahun untuk mengetahui adanya pengaruh lemak dan serat dalam makanan ter-hadap risiko kanker payudara. Selama masa pengamatan, terdapat 1439 kasus kanker payudara, 774 di antaranya di kalangan wanita post menopause.

Ternyata analisis statistik tidak menunjukkan adanya pengaruh lemak maupun serat dalam makanan, baik secara positif maupun negatif, terhadap timbulnya kanker payudara. Analisis juga tidak menunjukkan pengaruh jenis lemak tertentu (jenuh maupun tak je-nuh) terhadap kanker payudara.

Penelitian ini tidak mendukung pen-dapat bahwa lemak dapat meningkatkan risiko kanker payudara dan bahwa serat dapat menurunkan risiko tersebut.

JAMA 1992; 268: 2037114 Hk

Page 66: Cdk 086 Masalah Anak

65

Page 67: Cdk 086 Masalah Anak

66

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Cryptosporidium tergolong :

a) Basil b) Kokus c) Protozoa d) Jamur e) Cacing

2. Cryptosporidium menyebabkan gejala : a) Diare b) Demam c) Kejang d) Batuk e) Semua benar

3. Geraham pertama diharapkan tumbuh pada usia : a) 0 – 6 bulan b) 6 – 12 bulan c) 12 –18 bulan d) 18 – 24 bulan e) lebih dari 24 bulan

4. Talasemia merupakan kelainan darah akibat kelainan : a) Metabolisme Fe b) Rantai globin c) Absorbsi asam folat d) Metabolisme protein e) Defisiensi

5. Diagnosis prenatal talasemia dapat dilakukan mclalui : a) Chorionic villi sampling b) Teknik cross-matching c) Ultrasonografi d) Kadar Fe e) Semua bcnar

6. Pada purpura trombositiopenik idiopatik ditemukan pe-ingkatan kadar :

a) Trombosit b) Megakariosit c) Fe d) Globulin e) Semua benar

7. Kelainan kulit yang khas pada SLE (systemic lupus erythe-matosus) : a) Hiperpigmentasi b) Vitiligo c) Butterfly rash d) Ulkus e) Eritema

8. Tindakan bedah pada atresia bilier seyogyanya dilakukan pada usia : a) Kurang dari 8 minggu b) Antara 8 – 10 minggu c) Setelah 12 minggu d) Setelah 6 bulan e) Setelah 1 tahun

9. Tinja akolik ditemukan pada : a) Kelainan kandung empedu b) Kelainan hepar c) Kolestasis ekstrahepatik d) Kolestasis intrahepatik e) Gagal hepar

10. Obat yang bersifat merangsang aktivitas enzim glukuronil transferase : a) Asam ursodeoksikolat b) Asam litokolat c) Kolestiramin d) Fenobarbital e) Semua benar