33
BAB I PENDAHULUAN Rhinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis kronik atrofikans foetida, sebab ada rhinitis kronik atrofikans non foetida. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi. Untuk kepentingan klinis, perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, karena hal ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat krusta kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia). 1

Case THT Richardo AU

Embed Size (px)

DESCRIPTION

wew

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Rhinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis kronik atrofikans foetida, sebab ada rhinitis kronik atrofikans non foetida. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi. Untuk kepentingan klinis, perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, karena hal ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat krusta kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia).BAB IILAPORAN KASUS

RUMAH SAKIT TNI AU Dr ESNAWAN ANTARIKSA

SMF TELINGA HIDUNG TENGGOROK

Jl. Merpati No 2, Halim Perdanakusuma Jakarta Timur 13610

Nama: Richardo Rusli

Tanda Tangan

NIM: 11 2013 283

.............

Dr. Pembimbing / Penguji: dr. Asnominanda, Sp. THT-KLI. IDENTITAS PASIENNama

: Tn HR

Jenis Kelamin: Laki-lakiUmur

: 19 tahun

Agama

: IslamPekerjaan:

Alamat

: Jl. Purdadi 163 no 1

Pendidikan: SMK

II. ANAMNESISDiambil secara: AutoanamnesisPada tanggal

: 23 Juli 2015

Jam: 11.30 WIBKeluhan utama: Telinga kanan tersumbat.Keluhan tambahan: pilek lama.Riwayat penyakit sekarang (RPS):

Pasien datang dengan keluhan telinga kanan tersumbat sejak 1 minggu sebelum ke rumah sakit. Pusing terasa berdenyut mulai dari dahi hingga belakang kepala, tidak berputar, tidak dipicu oleh perubahan posisi atau aktivitas berlebihan. Pusing kepala sebelah sering timbul terutama saat cuaca panas dan pasien sedang pilek. Pasien juga mengeluh pilek hilang timbul selama satu tahun, sekret encer, berwarna bening terkadang kuning kehijauan. Sekret terasa menggumpal di dalam hidung, sulit dikeluarkan, lebih mudah keluar jika cuaca panas. Pilek dikatakan pasien terjadi sepanjang hari, tidak menentu. Riwayat demam lama dan berulang disangkal. Sejak tahun 2011, pasien mengaku tidak bisa mencium apapun. Hal ini diketahui ketika pasien sedang menggunakan aseton (pembersih kutek) yang menyengat baunya, tetapi pasien tidak bisa mencium bau tersebut.

Pasien mengatakan bahwa keluhannya dimulai pada usia 14 tahun, saat pertama kali menstruasi dan semakin hari semakin memburuk. Riwayat alergi disangkal. Riwayat operasi sinus disangkal. Riwayat trauma pada daerah kepala disangkal. Riwayat menderita flek paru disangkal. Riwayat menderita penyakit seksual menular disangkal.

Pasien mengeluh nyeri dan berat di sekitar alis mata saat menundukkan kepala. Nyeri tenggorokan berulang disangkal.

Tiga minggu yang lalu pasien berobat ke puskesmas, diberi lima macam obat, diantaranya terdapat obat demam dan flu, namun pasien mengaku lupa namanya. Satu hari setelah dari puskesmas, pasien dirujuk ke poli THT RSPAU diberi obat semprot hidung, lalu pasien disarankan untuk rontgen wajah.Riwayat penyakit dahulu (RPD) :

Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi apapun. . Riwayat operasi sinus disangkal. Riwayat trauma pada daerah kepala disangkal. Riwayat menderita flek paru disangkal. Riwayat menderita penyakit seksual menular disangkal. Tidak ada riwayat operasi maupun dirawat karena sakit berat di rumah sakit.Riwayat penyakit keluarga (RPK) :

Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan pasien. Tidak ada riwayat alergi dalam keluarga dan riwayat hipertensi maupun diabetes dalam keluarga.Keadaan Umum

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah

: 110/80 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Suhu

: 37.0C

Pernapasan

: 20 x/menit

Berat badan

: 45 kgIII. PEMERIKSAAN FISIK1. Telinga

KananKiri

Bentuk daun telingaNormotiaNormotia

Kelainan congenitaltidak ditemukantidak ditemukan

Tumor/ tanda peradangan

preaurikuler

retroaurikulertidak ditemukan

tidak ditemukantidak ditemukan

tidak ditemukan

Nyeri tekan tragus(-)(-)

Penarikan daun telinga(-)(-)

Liang TelingaCAE lapang, serumen (-),

Hiperemis (-)CAE lapang, serumen (-), Hiperemis (-)

Membran timpaniDalam batas normal, retraksi (-), edema (-), reflex cahaya (+) jam 5

Dalam batas normal, retraksi (-), edema (-), refleks cahaya (+) jam 7

Tes Penala:

Rinne

Weber

Swabachpositif

tidak ada lateralisasi

sama dengan pemeriksapositif

tidak ada lateralisasi

sama dengan pemeriksa

Kesimpulan:

Tidak ditemunya kelainan pada kedua liang telinga.

Kelainan pendengaran tidak ditemukan.2. Hidung dan Sinus Paranasal

Bentuk: Simetris

Tanda Peradangan: Tidak ditemukan tanda peradangan dari luar

Vestibulum Tampak bulu hidung bilateral +/+

Hiperemis -/-, massa -/-, lapang +/+, polip -/-

Hipertrofi -/- Mukosa kering kiri-kanan; krusta kuning kehijauan +/+

Konka inferior kanan/kiri: Atrofi +/+, sekret -/-

Meatus nasi inferior kanan/kiri: Sekret -/-, hiperemis -/-

Konka medius kanan/kiri: Hipotrofi +/+

Meatus nasi medius kanan/kiri: Sekret -/-, hiperemis -/-

Septum nasi: Deviasi (-), sisa sekret (+/+)

Daerah sinus frontalis dan sinus maksilaris: Tidak dilakukan pemeriksaan

Nasopharynx (Tidak dilakukan pemeriksaan rhinoskopi posterior)

Koana

: -

Septum nasi posterior

: -

Muara tuba eustachius

: -

Torus tubarius

: -

Konka inferior dan media: -

Dinding posterior

: -Pemeriksaan Transiluminasi (Tidak dilakukan)3. Tenggorok PHARYNX

Dinding pharynx

: tidak hiperemis, permukaan rata

Arcus

: simetris kanan-kiri, tidak hiperemis

Tonsil

: T1-T1, hiperemis (-), kripta lebar(-), detritus(-),

perlekatan (-) Uvula

: simetris di tengah, hiperemis (-)

Gigi

: bekas pencabutan gigi (-), oral hygiene baik

Lain-lain

: radang ginggiva (-), mukosa pharynx tenang

LARYNX (Tidak dilakukan pemeriksaan laringoskopi)

Epiglotis

: -

Plica aryepiglotis: -

Arytenoids

: -

Ventricular band: -

Pita suara

: -

Rima glotidis

: -

Cincin trachea

: -

Sinus piriformis: - MAKSILOFACIAL

Nervus Kranialis

Nervus 1 (olfaktorius)

: tidak dapat mencium bau bahan yang diberikan seperti teh, kopi, parfum. Nevus 2 (optikus)

: pengelihatan baik, tidak kabur atau double. Nervus 3 (okulomotorius): gerakan kedua bola mata (atas-luar, atas-dalam, bawah-luar, medial-horizontal) normal. Nervus 4 (trochlearis)

:gerakan kedua bola mata (bawah-medial) normal.

Nervus 5 (trigeminus)

: membuka mulut, mengunyah, menggigit nomal pada sisi kanan, sisi kiri terdapat nyeri pada mengunyah.

Nervus 6 (abdusen)

: gerakan kedua bola mata ke arah lateral normal

Nervus 7 (fascialis)

: mengerutkan dahi, menutup mata, menyeringai nomal/memperlihatkan gigi, pada sisi kiri nyeri.

Nervus 8 (vestibulocochlearis): pendengaran baik, tidak ada gangguan

keseimbangan. Nervus 9 (glossopharingeus): tidak dilakukan

Nervus 10 (vagus)

: bicara dan menelan normal

Nervus 11 (aksesorius):mengangkat bahu dan memalingkan kepala

normal

Nervus 12 (hipoglossus): pergerakan lidah normal, tremor lidah (-),

artikulasi bicara baik.

Bentuk

Tidak ditemukan deformitas os maxilla, os mandibula, dan os zygomaticum . Hematoma (-)

LEHER

Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening leher baik submandibula maupun servikal.III. PEMERIKSAAN PENUNJANGBelum ada pemeriksaan penunjang yang dilakukan.IV. RESUMEDari anamnesa didapatkan :

Seorang wanita usia 22 tahun datang dengan keluhan utama nyeri kepala sebelah kiri, hilang timbul dan berdenyut sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh sering pilek sudah lama dan memberat sejak 1 tahun terakhir, terjadi sepanjang hari dan sekret sulit dikeluarkan. Keluhan ini diperhatikan mulai timbul saat haid pertama pasien pada usia 14 tahun. Pasien mengaku kehilangan penciuman mulai tahun 2011. Pasien sering berobat ke puskesmas namun keluhan tidak membaik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan :

Tanda-tanda vital dalam batas normal.

Pada vestibulum nasi dextra dan sinistra ditemukan sisa sekret (+/+) dan krusta kuning kehijauan (+/+)

V. DIAGNOSIS BANDING

Rhinitis atrofikans Rhinitis alergi RhinosinusitisVI. DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis Kerja : Rhinitis atrofikans ozaena derajat sedang

Dasar diagnosis :

- Diagnosis rhinitis atrofikans ozaena pada pasien ini diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan THT. Keluhan penderita rinitis atrofi biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan penciuman, ingus kental dan sulit keluar serta nyeri kepala. Pasien juga mengeluhkan tidak dapat mencium bau-bauan. Pemeriksaan THT pada pasien ini ditemukan rongga hidung yang penuh dengan krusta hijau kekuningan terutama menempel pada bagian dalam konka media, saat krusta diangkat, terlihat cavum nasi sangat lapang, terdapat atrofi pada konka inferior dan hipotrofi pada konka media serta terdapat sekret berwarna kuning kehijauan, mukosa hidung tampak tipis dan kering. Hal ini sesuai dengan pemeriksaan yang umumnya ditemukan pada pasien dengan rhinitis atrofikans.VII. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan darah rutin Nasal endoscopy Rontgen wajah CT- scan Tes serologi darah (VDRL test)VIII. PENATALAKSANAAN

a) Konservatif Levofloxacin tablet 500 mg 1x1 Irigasi hidung menggunakan NaCl 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat atau larutan garam dapur Suplementasi vitamin A 1x1b) Operatif

Operasi Young

Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun. Atau teknik operasi lain yang disesuaikan dengan derajat rhinitis atrofikan pada pasienIX. ANJURAN

Menggunakan obat sesuai dengan anjuran dokter.

Kontrol kembali ke dokter jika gejala dirasakan tidak membaik atau bertambah parah.X. PROGNOSIS

Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad malamBAB IIITINJAUAN PUSTAKADefinisi

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Karakteristiknya ialah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae yang berbau khas. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama pada umur sekitar pubertas.1,2,6InsidensiBeberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Di RS H. Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.1,2Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersamaan dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.3EtiologiPenyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter.4-6 Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 1,3,51. Infeksi setempat/ kronik spesifik.

Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Kuman ini menghentikan aktivitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena.

2. Defisiensi Fe dan vitamin A.

Dilaporkan terjadi perbaikan pada 50% pasien yang mendapatkan terapi besi dan pada 84% pasien yang diterapi dengan vitamin A mengalami perbaikan simtomatis. Adanya hiperkoleterolemia pada 50% pasien rhinitis atrofi menunjukkan peran dit pada penyakit ini.

3. Sinusitis kronis.

4. Ketidakseimbangan hormon estrogen.

5. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.

6. Ketidakseimbangan otonom.

Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.

7. Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).

8. Herediter.

Dilaporkan adanya rhinitis atrofi yang diturunkan secara dominan autosom pada sebuah keluarga dimana ayah serta 8 dati 15 anaknya menderita penyakit ini.

9. Supurasi di hidung dan sinus paranasal.

10. Golongan darah.

Berbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri dan infeksi kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa. Penyebab dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat sosio ekonomi rendah.1,5

Klasifikasi

Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr.Spencer Watson (1978) sebagai berikut :71. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah ditangani dengan irigasi.

2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.

3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.

Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas :81. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung atau radiasi disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.

2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan di negara berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma serta penyakit granuloma dan infeksi.

Patogenesis

Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rintis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi juga penyakit pada pembuluh darah kecil, endarteritis obliterans (yang dapat menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu sendiri). Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua : 1a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.

b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1 Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 3 Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.

Silia hidung. Silia akan menghilang.

Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis.

Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya berkurang.

Gejala Klinis dan PemeriksaanKeluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia). Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.1,2,4-6Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering.1,3 Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat :1Tingkat I: Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta

sedikit.

Tingkat II: Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin

pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

Tingkat III: Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga

hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat

anosmia yang jelas.

Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan.5Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca.4-7Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan antara lain : 3,4 Transiluminasi.

Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.

Pemeriksaan mikroorganisme.

Uji resistensi kuman.

Pemeriksaan darah tepi.

Pemeriksaan Fe serum.

Pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya mengecil.

Pemeriksaan serologi darah (VDRL test) untuk menyingkirkan sifilis.

Pemeriksaan CT-scan, dianjurkan jika diagnosis meragukan atau untuk melihat komplikasi yang timbul, seperti sinusitis. Pada CT-scan dapat ditemukan :

a. penebalan mukoperiosteum sinus paranasal

b. kehilangan ketajaman dari kompleks sekunder osteomeatal untuk meresorbsi bula ethmoid dan prosesus uncinatus

c. hipoplasia sinus maksilaris

d. pelebaran kavum hidung dengan erosi dan membusurnya dinding lateral hidung

e. resorpsi tulang dan atrofi mukosa pada konka media dan inferior.

Pemeriksaan radiologis rinitis atrofi dapat dilakukan pada penyakit primer maupun sekunder, tapi tidak ada tanda yang dapat membedakan diantara keduanya. Perubahan kavum hidung bisa ditemukan dengan foto sederhana atau CT-scan. Foto sederhana dapat menunjukkan membusurnya dinding lateral hidung yang berkurang atau tidak adanya aliran atau hipoplastik sinus maksilaris.6Diagnosis Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan perubahan yang terjadi pada hidung seperti adanya pelebaran kavum hidung, atrofi mukosa dan terdapatnya perlekatan, penebalan dan krusta hijau-kuning; pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, mantoux test, pemeriksaan histopatologi dan test serologi (VDRL test) untuk menyingkirkan sifilis.1

Diagnosis Banding

Diagnosis banding rinitis atrofi (ozaena) antara lain :1,6-81. Rhinosinusitis

Sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan orang lain disekitarnya mencium bau. Dapat terjadi baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Terkadang ditemukan hiposmia karena adanya obstruksi.

2. Tumor hidung dan sinus

Terdapat bau busuk akibat tumor yang luruh.

3. Rhinolith dan benda asing

Adanya obstruksi hidung unilateral dan sekret berbau busuk.

Komplikasi

Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :31. Perforasi septum

2. Faringitis

3. Sinusitis

4. Miasis hidung

5. Hidung pelana

PenatalaksanaanHingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan endokrin, steroid, antibiotik, vasodilator, pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, sehingga dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung.5 Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi atau penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi. Secara garis besar terdapat tiga macam teknik penatalaksanaan pada rinitis atrofi, keseluruhan teknik ini bertujuan untuk pemulihan hidrasi nasal dan meminimalisir terbentuknya krusta.7

A. Terapi topikal

Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah dengan irigasi nasal. Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu terapi pencegahan atau sebagai sebagai suatu terapi yang bersifat rumatan. Fungsi dari irigasi nasal sendiri adalah mencegah terbentuknya pengumpulan krusta dalam rongga hidung. Terdapat beberapa variasi tipe dari bahan irigasi yang dianjurkan namun tak ada literatur yang menunjukkan akan kelebihan bahan yang satu dengan lainnya. Adapun bahan-bahan itu antara lain :1,3,5,7

a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau

NaCl

NH4Cl

NaHCO3 aaa 9

Aqua ad 300 cc

1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat

b. Larutan garam dapur

c. Campuran :

Na bikarbonat 28,4 g

Na diborat 28,4 g

NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

d. Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, estradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Beberapa literatur juga menyarankan untuk menambahkan rose oil (minyak mawar) atau mentol untuk menutupi bau yang terdapat pada rinitis atropi. Perlu diingat bahwa pengobatan topikal rinits atrofi bukan untuk menyembuhkan penyakit, melainkan sekedar mencegah penaykit sehingga harus dilakukan secara berkelanjutan. Ketidakpatuhan dalam melanjutkan terapi biasanya berdampak dengan kambuhnya penyakit dalam sebagian besar kasus.4,7B. Terapi sistemik

Terapi sistemik biasa digunakan secara simultan dengan terapi topikal. Terapi yang biasa digunakan ialah dengan pemberian antibiotik. Diberikan antibiotik berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk pengobatan akan terjadinya infeksi akut menggunakan antibiotik aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya seringkali cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun waktu 2 tahun pemakaian. Beberapa terapi sistemik lain juga dianjurkan diantaranya ialah adjuvan berupa vitamin A dengan dosis 3 x 10.000 U selama 2 minggu yang terbukti berhasil mengalami peningkatan >80% dalam sebuah penelitian dan adjuvan berupa besi yang juga berhasil mengalami peningkatan >50%. Penggunaan kortikosteroid juga pernah diajukan sebagai suatu ajuvan namun beberapa ahli menyatakan penggunaan kortikosteroid merupakan kontraindikasi bagi pasien dengan rinitis atropi. Vasokonstriksi untuk kongesti nasal juga merupakan kontraindikasi karena berhubungan dengan berkurangnya vaskularisasi di mukosa.2,4,5,8

Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.6

C. Terapi bedahPada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi medikamentosa yang maksimal, pasien akan selalu mengeluhkan krusta yang terbentuk dan bau dari rongga hidung yang muncul meskipun sudah seringkali melakukan terapi lanjutan. Dalam rangak mencegah pasien untuk bergantung pada terapi medikamentosa sepanjang hidupnya perlu dilakukan terapi bedah. Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi.1 Secara umum terapi bedah terdiri dalam 3 bagian kategori antara lain denervasi, reduksi volume rongga hidung dan penutupan nasal.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain :71. Operasi Young

Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.

2. Operasi Young yang dimodifikasi

Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

3. Operasi Lautenschlager

Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari ethmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung.

4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti teflon, campuran triosite dan lem fibrin.

5. Operasi Wittmack

Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksilaris dengan tujuan membasahi mukosa hidung.

Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara lain :71. Simpatektomi servikal

2. Blokade ganglion stellata

3. Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina

Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan faring menggunakan flap faring pada penderita rinitis atrofi anak berhasil dengan memuaskan. Penutupan ini juga dapat dilakukan pada nares anterior yang bertujuan untuk mengistirahatkan mukosa hidung. Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.4Prognosis

Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.1,7BAB IV

PENUTUP

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif mukosa dan tulang konka disertai pembentukan krusta. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau operatif.

Daftar Pustaka1. Cowan, Alan MD. Athropic Rhinitis. Grand round presentation, UTMB: Dept. of Otolaryngology 2005.

2. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004.

3. Soedarjatni. 1977. Foetor Ex Nasi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977.4. Al-Fatih, M. 2007. Rinitis Atrofi (Ozaena). Available from : http://hennykartika.wordpress.com. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

5. Arif, M., et al. 2006. Rinitis Atrofi (Ozaena). Available from : http://www.geocities.com. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Buku Kapita Selekta Kedokteran. Ed. III, cet. 2. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.

6. Adams, L. G. et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

7. Endang, M. & Nusjirwan, R. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.8. Yucel et al. Athropic rhinitis. A case report: Turk J med Sci 2003, vol. 33, pg.405-7.

18