46
BAB I PENDAHULUAN Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit inflamasi autoimun sistemik ditandai dengan banyaknya auto-antibodi dan kompleks imun yang beredar di seluruh tubuh sehingga menyebabkan kerusakan di berbagai organ 1 . LES memiliki kejadian yang tinggi di dunia rematologi. Insidensi LES biasanya lebih sering terjadi pada wanita muda daripada laki-laki, dengan perbandingan 6-10:1 2 . Biasanya LES akan muncul di usia reproduksi yaitu 15-40 tahun 3 . Prevalensi SLE di Amerika Serikat adalah 10 sampai 400 per 100.000 tergantung pada ras dan gender; Prevalensi tertinggi adalah pada wanita kulit hitam dan terendah adalah pada orang kulit putih. LES dapat mempengaruhi berbagai organ pada tubuh, termasuk sendi, kulit, ginjal, jantung, paru- paru, pembuluh darah, dan otak. Beberapa gejala yang paling umum terjadi adalah demam, malaise, arthralgia, mialgia, sakit kepala, dan kehilangan nafsu makan dan berat badan 4 . Karena penyakit ini bersifat multiorgan dan manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan biasanya muncul secara tidak bersamaan, LES jarang 1

Case Rizkia Indri Lupus

Embed Size (px)

DESCRIPTION

case lupus

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit inflamasi autoimun

sistemik ditandai dengan banyaknya auto-antibodi dan kompleks imun yang

beredar di seluruh tubuh sehingga menyebabkan kerusakan di berbagai organ1.

LES memiliki kejadian yang tinggi di dunia rematologi. Insidensi LES

biasanya lebih sering terjadi pada wanita muda daripada laki-laki, dengan

perbandingan 6-10:12. Biasanya LES akan muncul di usia reproduksi yaitu 15-

40 tahun3. Prevalensi SLE di Amerika Serikat adalah 10 sampai 400 per

100.000 tergantung pada ras dan gender; Prevalensi tertinggi adalah pada

wanita kulit hitam dan terendah adalah pada orang kulit putih.

LES dapat mempengaruhi berbagai organ pada tubuh, termasuk sendi,

kulit, ginjal, jantung, paru-paru, pembuluh darah, dan otak. Beberapa gejala

yang paling umum terjadi adalah demam, malaise, arthralgia, mialgia, sakit

kepala, dan kehilangan nafsu makan dan berat badan4.

Karena penyakit ini bersifat multiorgan dan manifestasi klinik penyakit

ini sangat beragam dan biasanya muncul secara tidak bersamaan, LES jarang

terdiagnosa di awal perjalanan penyakit. Penanganan yang diberikan oleh

dokter pun akan berbeda-beda.

Pada tahun 1982, American College of Rheumatology (ACR/ARA)

telah menentukan kriteria untuk mendiagnosis penyakit LES. Kriteria ini

direvisi pada tahun 1997. Adapun kriterianya adalah : 1. Malar rash, 2.

Discoid rash, 3. Photsensitivity , 4. Oral ulcers, 5. Artritis, 6. Serositis, 7.

Kelainan ginjal, 8. Kelainan neurologik, 9. Kelainan hematologi, 10. Kelainan

immunologi, 11. Antibodi antinuklear (ANA tes)5. Seseorang dikatakan

menderita LES apabila memenuhi 4 dari 11 kriteria.

Penyakit LES masih merupakan penyakit dengan angka kematian yang

signifikan. Studi yang diterbitkan sekitar tahun 1980 menemukan bahwa

sekitar 80% dari pasien dapat hidup selama 5 tahun dan sekitar 60% pasien

bertahan 10 tahun. Banyak menelitian mengungkapkan bahwa pasien dengan

1

keterlibatan ginjal memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan mereka

yang tanpa penyakit ginjal.  Penyebab tersering yang menyebabkan kematian

pada LES adalah infeksi.

Prognosis LES tidak hanya mengenai kematian. Faktor morbiditas yang

timbul pada pasein LES cukup terkait dengan kelangsungan hidup setelah

diagnosis LES. Dokter akan banyak menemukan pasien yang penyakit

aktifnya telah disembuhkan tetapi menderita gejala yang berhubungan dengan

akumulasi kerusakan kronis. Baik penyakit aktif dan kerusakan dapat

menimbulkan gangguan kualitas hidup dan mengurangi kemampuan

fungsional, meskipun faktor-faktor lain seperti latar belakang psiko-sosial

pasien akan mempengaruhi persepsi pasien mengenai penyakit mereka. 

Kemampuan terapi yang harus ditingkatkan untuk penyakit lupus

adalah memahami dan mencegah komplikasi jangka panjang dari penyakit ini,

apakah karena efek dari penyakit, terapi yang digunakan, atau penyakit co-

morbid (berdasarkan mekanisme penyakit atau kelainan genetik. Dengan

peningkatan pengetahuan, diharapkan penyakit lupus mampu ditangani

dengan baik serta tidak menimbulkan angka morbiditas dan mortalitas yang

tinggi.

2

BAB II

LAPORAN KASUS

ANAMNESIS (Autoanamnesis dan alloanamesis pada 12 April 2016 pukul 14.30

WIB)

1. Identifikasi Pasien

Nama : Nn. PD

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 22 tahun

Pekerjaan : bekerja sebagai pegawai SPBU

Status : Belum Menikah

Alamat : Talang Kelapa, Alang-alang Lebar

Agama : Islam

No. RM : RI16010059

MRS tanggal : 11 April 2016

2. Keluhan Utama

Kejang dan hilang kesadaran ± 2 jam SMRS

3. Riwayat Perjalanan Penyakit

± 1 bulan SMRS os mengeluh nyeri sendi pada lutut dan tangan.

Nyeri terasa jika os menggerakan kaki dan tangan, nyeri berkurang jika os

beristirahat. Demam (-) badan terasa lemas (+) os mengeluh rambut rontok

(+), badan kuning (-). Os mengeluh sering sariawan pada bibir. BAB dan

BAK tidak ada keluhan. Nafsu makan seperti biasa. Sesak nafas (-), nyeri

dada (-), badan membengkak (-).

± 1 minggu SMRS, terdapat ruam kemerahan pada wajah (+) terasa

panas (-) terasa sakit (-), os juga mengeluh wajah semakin merah jika

terkena sinar matahari (+). Terdapat bercak di kulit (-). Lalu os berobat ke

bidan namun tidak ada perbaikan.

3

± 1 hari SMRS os mengaku badan semakin lemas, nyeri pada sendi

(+), os merasa pengelihatannya berkunang-kunang, rambut semakin rontok

(+), sariawan (+). os juga mengeluh mual (+) muntah (-).

±2 jam SMRS, pasien mengalami kejang, os hilang kesadaran dan

terjatuh ketika menaiki tangga, kepala os terbentur ke lantai. Os lalu

dibawa ke IGD RSMH ke bagian bedah karena trauma kapitis dan

konsulkan ke bagian penyakit dalam

4. Riwayat Penyakit Dahulu dan Kebiasaan

R/ Hipertensi (-)

R/ Kencing Manis (-)

R/ terkena penyakit tertentu (-)

R/ minum obat/jamu-jamuan (-)

R/ berobat dengan penyakit yang sama (lupus) tahun 2010. Dirawat 2

minggu dan pulang. Obat diminum 1 bulan tetapi setelah itu tidak

dilanjutkan.

5. Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Ibu penderita menderita penyakit yang sama (+) dan meninggal dengan

diagnosis SLE

PEMERIKSAAN FISIK (Pemeriksaan fisik pada 12 April 2016 pukul 15.00

WIB)

1. Status Generalis

Kesadaran : Kompos mentis

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 80kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup.

Suhu Badan : 36º C

Pernapasan : 20kali/menit

Berat badan : 45 kg

Tinggi badan : 156 cm

4

Status gizi : Underweight (IMT 16,52)

2. Status Lokalis

Kepala Normosefali, simetris, rambut hitam, rambut mudah

dicabut, alopesia (+)

Mata Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-),

pupil bulat, isokor, diameter 3 mm/3 mm, refleks

cahaya (+/+).

Hidung Deformitas (-), septum deviasi (-), sekret (-).

Telinga CAE lapang, sekret (-), serumen (-).

Mulut Bibir pucat (+), sianosis (-), stomatitis (+), thypoid

tongue (-), atrofi papil lidah (-), karies gigi (-),gusi

hipertrofi (-), arkus faring simetris, deviasi uvula (-),

tonsil T1-T1 tenang, dinding faring posterior tenang.

Leher JVP (5-2)cm H2O, tidak ada pembesaran KGB.

Thorax

Cor

- Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat

- Palpasi Ictus cordis tidak teraba.

- Perkusi Batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung linea

sternalis dextra, batas kiri jantung ICS VI, 2 jari

lateral linea midclavicularis sinistra.

- Auskultasi HR 80 x/menit, reguler, murmur (-) gallop (-).

Pulmo

- Inspeksi Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).

- Palpasi Stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-), sela iga

tidak melebar.

- Perkusi Sonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar

ICS V, peranjakan 1 sela iga

- Auskultasi Vesikuler (+), ronki (-) wheezing (-).

5

Abdomen

- Inspeksi Datar , venektasi (-)

- Palpasi Nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba

- Perkusi Timpani. Shifting dullness (-)

- Auskultasi Bising usus (+) normal.

Ekstremitas

- Superior Simetris, akral hangat, palmar pucat (+), ruam

discoid (-).

- Inferior Simetris, akral hangat, edema pretibia (-) ruam

discoid (-).

Genitalia Tidak diperiksa.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium (11 April 2016)

Hematologi

Hb : 7.4 g/dL

RBC : 2.77.106/mm3

WBC : 2,6. 103/mm3

Hematokrit : 24%

Trombosit : 125.10/nL

Diff count :

- Basofil : 0%

- Eusinofil : 0%

- Neutrofil : 59%

- Limfosit : 31%

- Monosit : 10%

Kimia Klinik

Hati

- SGOT : 50 U/L

6

- SGPT : 15 U/L

Ginjal

- Ureum :18 mg/dL

- Kreatinin : 0,48 mg/dL

Elektrolit

- Kalsium : 7,7 mg/dL

- Natrium : 138 mg/dL

- Kalium : 4,2 mg/dL

Pemeriksaan Urin

Warna kuning jernih

BJ : 1.005

pH : 7

Protein : negatif

Glukosa : negatif

Keton : negatif

Darah : negatif

Bilirubin : negatif

Urobilin : 1

Nitrit : negatif

Leukost Esterase: negatif

Sedimen urin :

- Epitel : posititf +

- Leukosit : 0-2

- Eritrosit : 0-1

- Silinder : negatif

- Kristal : negatif

- Bakteri : negatif

- Mucus : negatif

- Jamur : negatif

7

KRITERIA ARA

Kriteria

Ruam malar +

Ruam discoid

Fotosensivitas +

Ulkus oral +

Artritis +

Serositis

Gangguan ginjal

Gangguan neurologik +

Gangguan hematologik +

Gangguan imunologik

Antibodi Antinukleus

TOTAL 6 kriteria

MEX SLEDAI.

Bobot Deskripsi (+)/(-)

8 Gangguan neurologis +

6 Gangguan ginjal

4 Vaskulitis

3 Hemolisis, Trombositopeni +

3 Miositis

2 Arthritis +

2 Gangguan mukokutaneus +

2 Serositis

1 DemamFatigue

+

1 LeukopeniaLimfopenia

+

Total skor: 17 (lupus derajat berat)

8

FOLLOW UP

Follow Up 13 April 2016

S: Badan lemas (+), nyeri kepala dan sariawan

O: Keadaan umum: tampak sakit sedang

Kesadaran: compos mentis

TD: 90/60mmHg

N: 84x/menit

RR: 18x/menit

T: 36,2oC.

A: Systemic Lupus Eritematosus

P: Non farmakologis:

- Istirahat

- Edukasi

Farmakologis:

- IVFD normal saline 0,9% gtt xx/menit

- Metilprednisolon 2x4mg po

- Omeprazole 1x20mg po

- CaCo3 3x500 mg tab

- As. Folat 3x1mg

- MTX 1x7,5 mg/minggu

- Nystatin drip 3x uc

- Kloroquin 1x250 mg

9

Follow Up 14 April 2016

S: Badan lemas (+)

O: Keadaan umum:

Kesadaran: kompos mentis

TD: 120/70mmHg

N: 70x/menit

RR: 20x/menit

T: 36,5oC.

A: Systemic Lupus Eritematosus

P: Non farmakologis:

- Istirahat

- Edukasi

Farmakologis:

- IVFD normal saline 0,9% gtt xx/menit

- Metilprednisolon 2x4mg po

- Omeprazole 1x20mg po

- CaCo3 3x500 mg tab

- As. Folat 3x1mg

- MTX 1x7,5 mg/minggu

- Nystatin drip 3x uc

- Kloroquin 1x250 mg

RESUME

Seorang wanita berusia 22 tahun mengalami kejang dan hilang

kesadaran 2 jam SMRS. Sekitar 1 bulan SMRS pasien mengeluh nyeri

sendi pada lutut dan tangan. Nyeri terasa jika pasien menggerakan kaki

dan tangan, nyeri berkurang jika pasien beristirahat. Tidak terdapat

demam, tetapi badan terasa lemas. Pasien mengeluh rambut rontok.

Terdapat ruam kemerahan pada wajah, tidak terasa panas, keluhan badan

kuning disangkal. Pasien juga mengeluh wajah semakin merah jika terkena

10

sinar matahari (+). Tidak terdapat bercak pada tubuh. Pasien mengeluh

sering sariawan pada bibir. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Nafsu

makan seperti biasa. Tidak ada sesak nafas, nyeri dada dan badan

membengkak. Lalu os berobat ke bidan namun tidak ada perbaikan.

Sekitar 1 hari SMRS os mengaku badan semakin lemas, nyeri pada

sendi. pasien merasa pengelihatannya berkunang-kunang, rambut semakin

rontok (+), sariawan (+). pasien juga mengeluh mual (+) muntah (-). ±2

jam SMRS, pasien mengalami kejang, pasien hilang kesadaran dan

terjatuh ketika menaiki tangga, kepala pasien terbentur ke lantai. Os lalu

dibawa ke IGD RSMH

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit tertentu. Riwayat hipertensi

dan diabetes disangkal. Namun, ibu pasien juga memiliki penyakityang

sama dan telah meninggal dunia.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan kondisi pasien kompos mentis,

tekanan darah 120/80, nadi 80x/menit. Suhu 36 C, pernapasan 20x/menit.

Tinggi badan 156 cm dan berat badan 45 kg. pasien termasuk kategori

underweight dengan IMT 16,52. Pada kepala, rambut pasien mudah

dicabut, terdapat alopesia. Pada pemeriksaan mata, tidak terdapat pucat,

tidak ada sclera ikterik, pupil bulat, isokor. Reflex cahaya (+/+). Tidak ada

kelainan pada hidung dan telinga. Di mulut terdapat stomatitis. Pada

pemeriksaan leher didapatkan JVP (5-2)cmH20, tidak terdapat pembesaran

KGB. Pemeriksaan jantung, ictus cordis tidak terlihat dan teraba. Batas

atas jantung ICS II, batas kanan jantung linea sternalis dextra, batas kiri

jantung ICS VI, 2 jari lateral linea midclavicularis sinistra. HR 80 x/menit,

reguler, murmur (-) gallop (-). Pemeriksaan paru, Statis dan dinamis

simetris kanan = kiri, retraksi (-).Stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-),

sela iga tidak melebar. Sonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar

ICS V, peranjakan 1 sela iga. Vesikuler (+), ronki (-) wheezing (-). Pada

pemeriksaan abdomen ditemukan perut datar, tidak terdapat venektasi,

tidak ada nyeri tekan dan hepar lien tidak teraba. Shifting dullness (-),

bising usus normal. Pada ektremitas terlihat simetris, hangat, terdapat

11

palmar pucat, tidak terdapat edema pretibial. Tidak ditemukan ruam

discoid di ekstremitas superior dan inferior.

Pada pemeriksaan lab ditemukan hemoglobin, eritrositt, leukosit,

trombosit dan hematocrit mengalami penurunan. Terdapat peningkatan

SGOT hati, kreatinin dan kalsium. Tidak terdapat proteinuria.

DIAGNOSIS KERJA

- Lupus Cerebral

- Systemic Lupus Eritematosus tidak terkontrol

DIAGNOSIS BANDING

- Epilepsy

- Anemia aplastik

PENATALAKSANAAN

Non Farmakologis:

• Istirahat

• Edukasi

• Memakai sunblock

• Hindari sinar matahari

• Kurangi stress

Farmakologis:

IVFD normal saline 0,9% gtt xx/menit

Metilprednisolon 3x4mg po

Omeprazole 1x20mg po

CaCo3 3x500 mg tab

As. Folat 3x1mg

MTX 1x7,5 mg/minggu

Nystatin drip 3x uc

Kloroquin 1x500 mg

12

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

RENCANA PEMERIKSAAN KHUSUS

- Pemeriksaan feses rutin

- ANA, dsDNA, C3, C4

- Ekhokardiografi

- Pemeriksaan koagulasi darah

- Rontgen thorax

- EEG

- Pemeriksaan retikulosit, comb test.

- Biopsi ginjal (bila dicurigai gromeluronefritis)

13

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lupus Eritematosus Sistemik

2.1.1 Definisi

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit multi sistem yang

disebabkan oleh pembentukan antibodi dan kompleks imun yang mengakibatkan

kerusakan jaringan. Setiap pasien LES berpotensi membentuk antibodi yang

berbeda, target organ yang berbeda, sehingga dapat menyebabkan munculnya

spektrum manifestasi yang luas5. Sedangkan menurut Isbagio (2009), Lupus

Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai

adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem

dalam tubuh. Penyakit ini bisa mengakibatkan kerusakan jaringan karena

berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun10.

2.1.2 Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, LES memiliki kejadian yang tinggi di dunia

rematologi. Prevalensi penyakit ini bervariasi di berbagai negara. Dalam populasi

yang berbeda-beda, prevalensinya beragam antara 2,9/100.000 sampai

400/100.000 penduduk. Insiden LES per tahun di Amerika Serikat tercatat sekitar

5, 1 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan prevalensinya mencapai 52 kasus per

100.000 penduduk1.

Penyakit ini dapat ditemukan di semua usia tetapi paling banyak di usia

15-40 tahun (masa reproduksi) dengan ratio wanita dan pria 9-14:1. LES sering

ditemukan pada ras tertentu seperti negro, china dan filipina tetapi letak geografis

dan faktor ekonomi tidak berpengaruh dalam angka kejadian LES10.

2.1.3 Etiopatogenesis

Etiologi dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat

banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik,

faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun10.

14

Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti

faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons

imun.Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan

resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian

terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang

mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons

imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2

dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase

awal reaksi ikat komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti.

Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T,

imunoglobulin dan sitokin.

Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan

dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen

MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi

spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen

komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak

pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga

membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit

gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan

menimbulkan respon imun.

Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti

radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-

immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.

Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus,

dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel

DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu

menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit11. Faktor lingkungan lainnya

yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko

tinggi terkena lupus. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada

penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis

keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus

15

dapat ditemukan pada penderita lupus. Retrovirus dapat mempengaruhi ekspresi

sel permukaan dan apoptosis12.

Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor

hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa

penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar

hormonestrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal

sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES13.

Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA

dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti

eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan

kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi

respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal

2.1.4 Manifestasi

2.1.4.1 Manifestasi Konsitusional

Penyakit LES dapat menyerang berbagai organ penting di tubuh manusia.

Seperti yang sudah disebutkan, LES dapat memiliki manifestasi konstitusional

atau sistemik. Gejala pada LES dapat menyerupai penyakit autoimun lain,

penyakit infeksi, kelainan endokrin, kelelahan kronis dan fibromyalgia karena

gejala umumnya tidak spesifik, sangat penting untuk mengaitkannya dengan

gejala di organ yang spesifik untuk membedakan lupus dengan penyakit lain.

Gejala umum yang biasa terjadi adalah demam, kelelahan, penurunan berat badan,

nyeri otot dan nyeri sendi. Gejala tersebut dapat muncul dengaan atau tanpa rash

yang terjadi setelah paparan sinar matahari14.

Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES

dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak

sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti

anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti

prednison. Jika kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, maka

diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah.

16

Kelelahan akibat penyakit LES memberikan respons terhadap pemberian steroid

atau latihan.

Demam merupakan salah satu gejala konstitusional LES. yang sulit

dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa

adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam yang diakibatkan oleh LES

biasanya tidak disertai menggigil. Penurunan berat badan dapat dijumpai pada

sebagian penderita LES dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis

ditegakkan. Penurunan berat badan juga merupakan salah satu gejala

konstitusional LES. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya

nafsu makan atau akibat dari gejala gastrointestinal.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, beberapa

rangkuman manifestasi klinis dari penyakit LES yakni sebagai berikut:10,15

2.1.4.2 Manifestasi Muskuloskeletal

Pada penderita LES, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan

poliartritis, biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada 50%

kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat

subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa

osteonekrosis yang didapatkan pada lima sampai dengan sepuluh persen kasus dan

biasanya berhubungan dengan terapi steroid. Selain itu, ditemukan juga mialgia

yang terjadi pada 60% kasus, tetapi miositis timbul pada penderita LES <5%

kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid

dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas

penyakit dan penggunaan steroid.

2.1.4.3 Manifestasi Mukokutaneus/Kulit

Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah sebagai berikut:

1. Kutaneus lupus akut: malar rash (butterfly rash) merupakan tanda spesifik

pada LES, yaitu bentukan ruam pada kedua pipi yang tidak melebihi lipatan

nasolabial dan ditandai dengan adanya ruam pada hidung yang menyambung

dengan ruam yang ada di pipi. Bentuk akut kutaneus lain yaitu bentuk

morbili, ruam makular, fotosensitif, papulodermatitis, bulosa, toksik

17

epidermal nekrolitik. Pada umumnya ruam akut kutaneus ini bersifat

fotosensitif.

2. Kutaneus lupus subakut simetrikal eritema sentrifugum, anular eritema,

psoriatik LE, pitiriasis dan makulo papulo fotosensitif. Manifestasi subakut

lupus ini sangat erat hubungannya dengan antibodi Ro lesi subakut umumnya

sembuh tanpa meninggalkan scar.

3. Kutaneus lupus kronis. Bentuk yang klasik adalah lupus diskoid yang berupa

bercak kemerahan dengan kerak keratotik pada permukaannya. Bersifat

kronik dan rekuren pada lesi yang kronik ditandai dengan parut dan atropi

pada daerah sentral dan hiperpigmentasi pada daerah tepinya. Lesi ini sering

dijumpai pada kulit kepala yang sering menimbulkan kebotakan yang

irreversibel. Daun telinga, leher, lengan dan wajah juga sering terkena

panikulitis lupus atau lupus profundus ditandai dengan inflamasi pada lapisan

bawah dari dermis dan jaringan subkutan. Gambaran klinisnya berupa nodul

yang sangat dalam dan sangat keras, dengan ukuran 1-3cm. Hanya di

temukan sekitar 2 % pada penderita LES.

4. Nonspesifik kutaneus lupus; vaskulitis kutaneus. Ditemukan hampir pada

70% pasien. Manifestasi kutaneus non spesifik lupus tergantung pada

pembuluh darah yang terkena. Bentuknya bermacam macam antara lain :

a. Urtikaria

b. Ulkus

c. Purpura

d. Bulosa, bentuk ini akibat dari hilangnya integritas dari dermal dan

epidermal junction

e. Splinter hemorrhage

f. Eritema periungual

g. Nailfold infark bentuk vaskulitis dari arteriol atau venul pada tangan

h. Eritema pada tenar dan hipotenar mungkin bisa dijumpai pada umumnya

biopsi pada tempat ini menunjukkan leukosistoklasik vaskulitis

i. Fenomena Raynaud, gambaran khas dari  fenomena Raynaud ini adanya

vasospasme, yang di tandai dengan sianosis yang berubah menjadi bentuk

18

kemerahan bila terkena panas. Kadang disertai dengan nyeri. Fenomena

Raynaud ini sangat terkait dengan antibodi U1 RNP

j. Alopesia, akibat kerontokan rambut yang bersifat sementara terkait dengan

aktifitas penyakit biasanya bersifat difus tanpa adanya jaringan parut.

Kerontokan rambut biasanya di mulai pada garis rambut depan. Pada

keadaan tertentu bisa menimbulkan alopesia yang menetap disebabkan

oleh diskoid lupus yang meninggalkan jaringan parut

k. Sklerodaktili, ditandai dengan adanya sklerotik dan bengkak berwarna

kepucatan pada tangan akibat dari perubahan tipe skleroderma. Hanya

terjadi pada 7% pasien

l. Nodul rheumatoid, ini dikaitkan dengan antibodi Ro yang positif dan

adanya reumatoid like arthritis

m. Perubahan pigmentasi, bisa berupa hipo atau hiperpigmentasi pada daerah

yang terpapar sinar matahari

n. Kuku, manifestasinya bisa berupa nail bed atrofy atau telangektasi pada

kutikula kuku

o. Luka mulut (oral ulcer) luka pada mulut yang terdapat pada palatum molle

atau durum mukosa pipi, gusi dan biasanya tidak nyeri.

2.1.4.4 Manifestasi Paru

Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik sehingga foto

toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas

atau kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada

60% kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan

dan secara klinik tidak bermakna. Efusi pleura yang di jumpai biasanya jernih

dengan kadar protein <10.000, kadar glukosa normal. Fibrosis interstitial,

vaskulitis paru dan pneumonitis dapat ditemukan pada 20% kasus, tetapi secara

klinis seringkali sulit dibedakan dengan pneumonia dan gagal jantung kongestif.

Hipertensi pulmonal sering didapatkan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid.

Pasien dengan nyeri pleuritik dan hipertensi pulmonal harus dievaluasi terhadap

kemungkinan sindrom antifosfolipid dan emboli paru.

19

2.1.4.5 Manifestasi Jantung

Kelainan jantung akibat penyakit LES dapat berupa penyakit perikardial,

perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis

dapat ditemukan pada 15% kasus. Tandanya oleh takikardia, aritmia, interval PR

yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung. Endokarditis Libman-

Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan

50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang

disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis. Wanita

dengan LES memiliki resiko penyakit jantung koroner lima sampai dengan enam

persen lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Dengan risiko yang meningkat

hingga 50% pada wanita yang berumur 35 sampai dengan 44 tahun.

2.1.4.6 Manifestasi Gastrointestinal

Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,

peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu, ditemukan juga

peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis

autoimun.

2.1.4.7 Manifestasi Hematologi

Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai

dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia penyakit

kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia

hemolitik autoimun. Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada

50%-80% kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi.

Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula

menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik, seringkali kemudian

berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES yang lain.

2.1.4.8 Manifestasi Susunan Saraf Pusat

Keterlibatan neuropsikiatri LES sangat bervariasi, yakni dapat berupa

migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik

dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan

serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan

pada 10% kasus. Ketelibatan saraf otak jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik

20

sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan

psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal

seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk

menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak

memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan

untuk membedakan adanya infark atau perdarahan. Dengan demikian, untuk

memudahkan diagnosis maka American College Rheumatology mengelompokkan

menjadi 19 sindrom. Gambaran klinis lupus serebral di kelompokkan dalam 3

bagian yaitu fokla, difus, dan neuropsikiatrik.

2.1.4.9 Manifestasi Ginjal

Dikenal dengan lupus nefritis. Lupus nefritis ini merupakan petanda

prognosis yang jelek pada penyakit LES. Gambaran klinis kerusakan glomerulus

berhubungan dengan lokasi terbentuknya deposit kompleks imun. Gejala klinis

yang sering muncul pada lupus nefritis adalah:

Tabel 1. Gambaran Klinis Lupus Nefritis24

Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan

menilai ada tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan

silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif dan klirens kreatinin.

Pemeriksaan histopatologi menggambarkan secara pasti kelainan ginjal.

21

Klasifikasi WHO pada tahun 2003 membagi lupus nefritis menjadi 6 kelas.

Skema ini berdasarkan hasil biopsi spesimen yang didapat dari mikroskop cahaya

imunofluoresen dan mikroskop elektron.16

Tabel 2. Klasifikasi Lupus Nefritis (WHO, 2003)

Angka kejadiannya mencapai hampir 50 dan melibatkan kelainan

glomerulus. Sebanyak 0,5% akan berkembang menjadi gagal ginjal kronis. Pasien

LES dengan hematuria mikroskopik dan proteinuria dengan penurunan GFR harus

dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.

2.1.5 Diagnosis

Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) atau

American College of Rheumatology (ACR) menetapkan kriteria baru untuk

klasifikasi LES. Kriteria LES ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa LES

dapat dikenakan pada penderita jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4

atau lebih kriteria dari 11 kriteria yang terjadi secara bersamaan atau tenggang

waktu tertentu. Kriteria klasifikasi LES tersebut adalah sebagai berikut17,18:

22

1. Artritis, artritis non-erosif yang mengenai dua atau lebih sendi perifer

disertai rasa nyeri, bengkak, dan terdapat efusi sinovial dimana tulang di

sekitar persendian tidak mengalami kerusakan

2. Tes ANA diatas titer normal. Jumlah ANA yang abnormal ditemukan

dengan immunofluorosensi atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada

pemberian obat yang dapat memicu ANA sebelumnya, yang dilakukan pada

waktu yang sama atau adanya sindroma lupus karena obat.

3.  Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash). Adanya eritema berbatas tegas,

datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar),

biasanya tidak mengenai plika nasolabialis

4.  Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari. Peka terhadap sinar Ultraviolet /

matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam

kulit, diperoleh dari anamnesis atau pemeriksaan fisik

5.  Lupus diskoid, ruam berbentuk bulatan menimbul diatas pemukaan kulit

dengan lapisan terkelupas disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama

mungkin berbentuk jaringan parut

6. Salah satu kelainan darah/ hematologik :

a. anemia hemolitik dengan retikulositosis,

b. Leukopenia < 4000/mm³ pada 2/ lebih pengukuran,

c. Limfopenia <1500/mm³ pada 2/ lebih pengukuran,

d. Trombositopenia <100.000/mm³ tanpa obat-obatan yang dapat

menimbulkan trombositopenia

7. Salah satu kelainan ginjal:

a. Proteinuria menetap > 0,5 g / 24 jam atau pemeriksaan proteinuria urin

sewaktu > 3+ , atau

b. Sedimen seluler. Adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal

dari sel darah merah/ putih maupun sel tubulus ginjal

8. Salah satu Serositis :

a. Pleuritis, adanya riwayat nyeri pleura atau terdengar bunyi gesekan

pleura pada pemeriksaan atau ada efusi pleura

23

b. Perikarditis dari EKG atau didapatkannya bunyi gesekan perikardium

atau ada efusi perikardium

9.  Salah satu kelainan Neurologis :

a. Konvulsi / kejang spontan bukan karena obat-obatan atau gangguan

metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan

elektrolit

b. Psikosis tanpa adanya sebab lain seperti obat-obatan atau gangguan

metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan

elektrolit

10. Ulser Mulut, termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan

11. Salah satu Kelainan Imunologi

a. Anti-DNA: titer abnormal antibodi terhadap native DNA, atau

b. Anti-SM: adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos, atau

c. Antifosfolipid antibodi positif berdasarkan pada :

a) Titer serum abnormal IgG atau IgM antibodi anti-kardiolipin, atau

b) Antikoagulan lupus positif dengan menggunakan metode standar, atau

c) Uji serologis positif semu selama minimal 6 bulan dan dikonfirmasi

oleh uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji fluorosensi absorpsi

antibodi treponema.

Tabel 3. Kritera LES American College of Rheumatology Revisi 1982

24

Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis dan

monitoring:

1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan

kreatinin urin.

25

No Kriteria

1 Ruam malar Eritema menetap, datar atau meninggi pada

tonjolan pipi

2 Ruam discoid Bercak eritematosa yang meninggi dengan

skuama keratotik lekat dan sumbatan folikel

dapat terjadi jaringan parut atrofik

3 Fotosensivitas  -

4 Ulkus oral termasuk oral dan nasofaring : terlihat oleh

dokter

5 Artritis Artritis nonerosif yang mengenai dua atau

lebih sendi perifer. Ditandai oleh nyeri,

pembengkakan, atau efusi

6 Serositis Pleuritis atau perikarditis yang tercatat

dengan EKG atau terdengar sebagai rub atau

bukti perfusi pericardial

7 Gangguan ginjal Proteinuria > 0,5 gr/dl atau > 3+, atau

silinder sel

8 Gangguan neurologik Kejang atau psikosis tanpa sebab lain

9 Gangguan hematologik Anemia hemolitik atau leukopenia (<4000)

atau limfopenia (<1500) atau tombositopenia

(<100.000) tanpa ada obat penyebab

10 Gangguan imunologik Preparat sel LE atau anti-dsDNA atau anti-

Sm positif atau VDRL positif palsu

11 Antibodi

Antinukleus

Titer ANA yang abnormal pada pemeriksaan

imuno fluresensi atau pemeriksaan yang

ekivalen pada setiap saat tanpa adanya obat

yang diketahui dapat menginduksi ANA

3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)

4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid

5. Serologi ANA (untuk diagnosis awal), anti-dsDNA, komplemen (C3,C4))

6. Foto polos thorax

Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi LES. Waktu

pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien19.

2.1.7 Penatalaksanaan

Berdasarkan National Institute of Arthritis and Musuloskletal and Skin

Disease (2012), obat yang digunakan dalam pengobatan lupus meliputi20:

1. NSAID: NSAID (obat anti-inflamasi non steroid) merupakan obat yang

sering digunakan untuk pasien dengan nyeri sendi atau dada atau demam,

serta obat-obatan yang digubakan untuk mengurangi peradangan.  NSAID

dapat digunakan tunggal atau dalam kombinasi dengan jenis lain dari obat

untuk mengontrol rasa sakit, bengkak, dan demam.

Namun, NSAID dapat menyebabkan iritasi lambung atau, dalam kasus kecil,

dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Semakin lama seseorang menggunakan

NSAID, semakin besar kemungkinan memiliki efek samping, mulai dari yang

ringan sampai yang serius. Banyak obat tidak dapat dikonsumsi bersamaan

dengan NSAID karena NSAID mengubah farmakodinamik dan

farmakokinetik obat-obatan lainnya. NSAID berhubungan dengan masalah

pencernaan serius, termasuk bisul, perdarahan, dan perforasi lambung atau

usus. Para manula dengan usia 65 atau lebih, serta orang-orang dengan

riwayat ulkus atau perdarahan gastrointestinal, harus menggunakan NSAID

dengan hati-hati.

2. Antimalaria: Antimalaria adalah salah satu obat yang biasa digunakan untuk

mengobati lupus. Antimalaria yang umum digunakan untuk mengobati lupus

adalah hydroxychloroquine. Obat ini dapat digunakan tunggal atau dalam

kombinasi dengan obat lain dan umumnya digunakan untuk mengobati

26

kelelahan, nyeri sendi, ruam kulit, dan radang paru-paru. Pengobatan terus

menerus dengan antimalaria dapat mencegah flare berulang pada lupus.

3. Kortikosteroid: Kortikosteroid, seperti prednison, hidrokortison,

deksametason, dan methylprednisolone, terkait dengan kortisol, merupakan

hormon anti-inflamasi alami. Obat ini bekerja dengan cepat untuk menekan

peradangan. Kortikosteroid dapat diberikan oral, dalam krim diaplikasikan

pada kulit, dengan suntikan, atau intravena (IV).

4. Imunosupresif: obat imunosupresif dapat digunakan untuk pasien lupus yang

penyakitnya telah menyerang ginjal atau sistem saraf pusat. Imunosupresif,

seperti siklofosfamid dan mycophenolate mofetil, bekerja menahan sistem

kekebalan tubuh yang terlalu aktif dengan menghalangi produksi sel-sel

kekebalan. Obat ini dapat diberikan melalui mulut atau melalui infus

IV. Risiko efek samping meningkat dengan lamanya pengobatan.

5. Inhibitor BLyS-spesifik: belimumab, jenis zat disebut sebagai stimulator B-

limfosit (BLyS) inhibitor protein, telah disetujui oleh US Food and Drug

Administration (FDA) pada Maret 2011 untuk pasien dengan lupus yang

menerima terapi standar lainny. Belimumab bekerja dengan mengurangi

jumlah sel B yang abnormal dalam lupus dan diberikan dalam IV infus.

6. Terapi lain: Beberapa pasien menggunakan methotrexate yaitu obat rematik

untuk membantu mengendalikan penyakit lupus. Pengobatan lain termasuk

terapi hormonal seperti dehydroepiandrosterone (DHEA) dan imunoglobulin

intravena (protein yang berasal dari darah manusia), sering digunakan untuk

mengendalikan lupus ketika pengobatan lain tidak bekerja.

Karena beberapa perawatan dapat menyebabkan efek samping yang

berbahaya, setiap gejala baru pada pasien harus segera dilaporkan pada dokter.

Selain itu, disamping obat lupus itu sendiri, dalam beberapa kasus mungkin

diperlukan obat tambahan untuk mengobati masalah yang berkaitan dengan lupus

seperti kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, atau infeksi.

2.1.9 Prognosis

27

Penyakit LES masih merupakan penyakit dengan angka kematian yang

signifikan. Studi yang diterbitkan sekitar tahun 1980 menemukan bahwa sekitar

80% dari pasien dapat hidup selama 5 tahun dan sekitar 60% pasien bertahan 10

tahun. Banyak menelitian mengungkapkan bahwa pasien dengan keterlibatan

ginjal memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan mereka yang tanpa

penyakit ginjal.  Penyebab tersering yang menyebabkan kematian pada LES

adalah infeksi.

Prognosis LES tidak hanya mengenai kematian. Faktor morbiditas yang

timbul pada pasein LES cukup terkait dengan kelangsungan hidup setelah

diagnosis LES. Dokter akan banyak menemukan pasien yang penyakit aktifnya

telah disembuhkan tetapi menderita gejala yang berhubungan dengan akumulasi

kerusakan kronis. Baik penyakit aktif dan kerusakan dapat menimbulkan

gangguan kualitas hidup dan mengurangi kemampuan fungsional, meskipun

faktor-faktor lain seperti latar belakang psiko-sosial pasien akan mempengaruhi

persepsi pasien mengenai penyakit mereka. 

Kemampuan terapi yang harus ditingkatkan untuk penyakit lupus adalah

memahami dan mencegah komplikasi jangka panjang dari penyakit ini, apakah

karena efek dari penyakit, terapi yang digunakan, atau penyakit co-morbid

(berdasarkan mekanisme penyakit atau kelainan genetik)21.

28

BAB IV

ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, pasien merupakan seorang wanita berusia 22 tahun.

Berdasarkan epidemiologi, SLE banyak diderita oleh wanita usia reproduksi (15-

40 tahun). Faktor yang menyebabkan terjadinya SLE adalah factor genetic,

hormonal dan lingkungan. Pada pasien ini, factor prodisposisinya adalah factor

genetic karena terdapat riwayat ibu memiliki penyakit yang sama dan factor

hormonal karena pasien ini seorang wanita. Selain itu, menurut pengakuan pasien,

salah satu manifestasi yaitu malar rash muncul setelah pasien bekerja sebagai

pegawai SPBU. Pekerjaan ini mengharuskan pasien berkontak dengan matahri

dan bahan kimia.

Pada pasien ini, diagnosis SLE ditegakkan dari kriteria ARA. Pasien

memiliki 6 dari 11 kriteria berupa malar rash, ulkus oral, arthritis, gangguan

neurologis, gangguan hematologi dan fotosensitivitas.

Manifestasi awal yang muncul pertama pada pasien adalah badan lemas,

nyeri sendi serta sariawan. Lalu diikuti dengan malar rash. Gejala yang membuat

pasien datang ke rumah sakit adalah kejang dan tak sadarkan diri sehingga

membentur lantai. Terdapat penurunan seluruh komponen darah pada pasien atau

yang disebut pansitopenia.

29

Berdasarkan skor aktivitas lupus yaitu MEX SLEDAI, saat ini skor yang

dimiliki pasien adalah sebesar 6, namun pernah meningkat tajam ketika pasien

kejang yaitu saat masuk rumah sakit yaitu sebesar 17. Hal ini menunjukkan pasien

berada pada penyakit lupus berat.

Penyakit lupus yang dimiliki oleh pasien ini mengalami flare setelah

penyakit lupus terakhir yang diderita pada tahun 2012, dan saat ini memunculkan

gejala kejang. Kita perlu melakukan pemeriksaan penunjang lebih dalam untuk

menyingkirkan diagnosis banding serta tatalaksana yang baik agar penyakit ini

tidak memunculkan komplikasi yang serius seperti lupus nefritis, dan di kasus ini

dikhawatirkan adanya lupus cerebral.

DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio H. 2014. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Tanto, Chris dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Ed.IV. Jakarta: Media Aesculapius.

2. Pisetsky DS. 2013. Systemic Lupus Erythematosus: B. Epidemiology, Pathology, and Pathogenesis. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, editors. Primer on the rheumatic disease. 13th ed. USA: Springer Science Bussiness Media, LLC; p. 319-26.

3. Price and Wilson, 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.

4. Conjocaru, Manole. 2011. Manifestations of Systemic Lupus Erythematosus. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3391953/

5. Wallace, Daniel dan Hahn, Bevra Hannahs. 2012. Dubois’ Lupus Erythematosus And Related Syndromes. Los Angeles:Saunders.

6. American Association for Chemical Chemistry, 2014. Anti DsDNA. (https://labtestsonline.org/understanding/analytes/anti-dsdna/tab/test/)

7. Swaak, Tom dan Ruud Smeenk. 1985. Detection of anti-dsDNA as a diagnostic tool: a prospective study in 441 non-systemic lupus erythematosus patients with anti-dsDNA antibody (anti-dsDNA). Annals of the Rheumatic Diseases.

30

8. Zelman, 2015. Laboratory Test For Lupus. (http://www.webmd.com/lupus/guide/laboratory-tests-used-diagnose-evaluate-sle)

9. Biesen, Robert dkk. 2011. Anti-dsDNA-NcX ELISA: dsDNA-loaded nucleosomes improve diagnosis and monitoring of disease activity in systemic lupus erythematosus. Arthritis Research & Therapy.

10. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. 2009. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing.

11. Manson JJ, Isenberg DA. 2003. The Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. J Netherl Med.

12. Mok CC, Lau CS. 2014. Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. J Clin Pathol.

13. Sequeira JF, Keser G, Greenstein B, et al. 1993. Systemic lupus erythematosus: sex hormones in male patients. Lupus.

14. Wright, Bridget dan Bharadwaj Swati . 2010. Systemic Lupus Erythematosus.(http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/rheumatology/systemic-lupus-erythematosus/)

15. Cervera, Ricard, dkk. 2009. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis, Clinical Manifestations And Diagnosis. Eular On-line Course on Rheumatic Diseases.

16. Bawazier, Lucky Aziz, dkk. 2006. Lupus Nefritis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing.

17. Dooley MA and Nachman PH. 2013. Kidney Manifestations of Systemic Lupus Erythematosus and Rheumatoid Arthritis. In: Primer of Kidney Disease.

18. Goodfield MJD, Jones SK, Viale DJ. 2012. The Connective Tissue Diseases In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology 9th edition. UK: Wiley Blackwell.

19. Kasjmir, Yoga I dkk. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.

31

32