46
BAB I STATUS PASIEN A. IDENTITAS Nama : Ny. M Umur : 49 tahun Jenis kelamin : Perempuan Alamat : Sukorejo, Ponorogo Pekerjaan : Ibu rumah tangga Status perkawinan : Menikah Agama : Islam Suku : Jawa Tanggal masuk RS : 22 September 2012 Tanggal pemeriksaan : 27 September 2012 B. ANAMNESIS 1. Keluhan Utama Sesak Napas 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke Poli jantung RSUD Dr Harjono diantar keluarganya pada tanggal 22 September 2012, kemudian pasien masuk ICCU dengan keluhan sesak nafas. Sebelum masuk rumah sakit pasien mengaku nafasnya sesak, dada berdebar dan mudah lelah 1

Case Report AF Dengan Hipertiroid

Embed Size (px)

DESCRIPTION

af

Citation preview

Page 1: Case Report AF Dengan Hipertiroid

BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS

Nama : Ny. M

Umur : 49 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Sukorejo, Ponorogo

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Status perkawinan : Menikah

Agama : Islam

Suku : Jawa

Tanggal masuk RS : 22 September 2012

Tanggal pemeriksaan : 27 September 2012

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Sesak Napas

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli jantung RSUD Dr Harjono diantar keluarganya

pada tanggal 22 September 2012, kemudian pasien masuk ICCU dengan

keluhan sesak nafas.

Sebelum masuk rumah sakit pasien mengaku nafasnya sesak, dada

berdebar dan mudah lelah dirasakan sudah sejak 1 minggu yang lalu. Sesak

hilang timbul dan biasanya sesak timbul saat pasien merasa kelelahan, dan

sesak hilang saat pasien sedang istirahat. Pasien juga mengeluh mudah lelah

dan pusing saat melakukan aktivitas.

Selain itu juga terdapat benjolan di lehernya, tidak nyeri tekan dan

apabila menelan benjolan tersebut ikut bergerak. Kata pasien benjolan itu

timbul secara perlahan-lahan. Pasien mengaku sering merasa kegerahan,

1

Page 2: Case Report AF Dengan Hipertiroid

pusing, susah tidur, nafsu makan meunurun, merasa kelelahan, napas

terengah-engah dan dada merasa sering berdebar-debar dan badan terasa

gemetar.

Pasien juga mengakui bahwa memiliki riwayat penyakit jantung sejak

5 tahun yang lalu (tahun 2007), dan saat itu pasien pertama kali rawat inap di

RS dengan keluhan sesak karena sakit jantung. Pasien juga kontrol ke spesialis

jantung hanya bila sesaknya kambuh.

Pasien juga mengeluhkan batuk ketika merasa sesak, namun tanpa

disertai dahak. Mual (+) muntah (-). Nafsu makan (+). BAB (+), hitam (-),

lendir (-), darah (-). BAK (+) dengan kateter, warna normal jernih kekuningan,

darah (-), buih (-). demam (-), lemas (+).

3. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat hipertensi : diakui

Riwayat maag : disangkal

Riwayat sakit jantung : diakui

Riwayat diabetes mellitus : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat sakit ginjal : disangkal

Riwayat sakit hepar : disangkal

Riwayat alergi : diakui

Riwayat opname : diakui

4. Riwayat Pribadi

Merokok : disangkal

Konsumsi kopi : disangkal

Makan pedas : disangkal

Konsumsi minuman beralkohol : disangkal

Konsumsi obat : disangkal

5. Riwayat keluarga

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat sakit serupa : disangkal

Riwayat sakit jantung : disangkal

2

Page 3: Case Report AF Dengan Hipertiroid

Riwayat stroke : disangkal

Riwayat diabetes mellitus : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat atopi : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK (22 September 2012)

Keadaan Umum : Tampak lemah

Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)

Vital signs :

Tekanan darah 180/70 mmHg : (berbaring, lengan kanan)

Nadi 70–100 x/ menit : frekuensi takikardi; irama ireguler; besar pengisian

pulsus parvus (isi kecil) unequal dengan pengisian sebelumnya;

perbandingan dengan denyut jantung pulsus defisit

Respiratory rate 30x/ menit

Suhu 37,5º C

1. Pemeriksaan fisik :

a. Kulit

Ikterik (-), petechiae (-), acne (-), turgor kulit menurun (-), hiperpigmentasi

(-), bekas garukan (-), kulit kering (-), kulit hiperemis (-), sikatrik bekas

operasi (-)

b. Kepala

Bentuk mesocephal, rambut warna putih, mudah rontok (-), luka (-)

c. Mata

Konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), exoftalmus (-/-), perdarahan

subkonjungtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek

cahaya (+/+) normal, oedem palpebra (-/-), strabismus (-/-).

d. Hidung

Nafas cuping hidung (+), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)

e. Telinga

Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)

3

Page 4: Case Report AF Dengan Hipertiroid

f. Mulut

Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), pucat (-), lidah

tifoid (-), papil lidah atropi (-), luka pada sudut bibir (-)

g. Leher

JVP R0, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (+), nyeri tekan (-),

pembesaran kelenjar getah bening (-).

a. Thorax :

1) Pulmo :

a) Inspeksi : Kelainan bentuk (-), simetris, tidak ada ketinggalan

gerak kedua sisi paru, retraksi otot-otot nafas tidak ditemukan,

spider naevi (-).

b) Palpasi :

Ketinggalan gerak:

Anterior : Posterior :

Fremitus:

Anterior : Posterior :

c) Perkusi

Anterior : Posterior :

4

- -

- -

- -

N N

N N

N N

N N

N N

N N

S S

S S

S S

S S

S S

S S

Page 5: Case Report AF Dengan Hipertiroid

d) Auskultasi

Anterior : Posterior :

Suara tambahan : wheezing (-/-), rhonki (-/-)

b. Jantung

1) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

2) Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat

3) Perkusi

Batas kiri jantung :

Atas : SIC III sinistra di linea parasternalis sinistra

Bawah : SIC V sinistra 1 cm lateral linea midclavicula sinistra

Batas kanan jantung

Atas : SIC III dextra di sisi lateral linea parasternalis dextra

Bawah : SIC IV dextra di sisi lateral linea parasternalis dextra

4) Auskultasi : Bunyi jantung I-II ireguler, intensitas S1 tidak sama

dengan S2, murmur (-), tidak ada suara tambahan S3-S4 gallop (-)

c. Abdomen

Inspeksi : Dinding perut simetris, sejajar dinding dada, distended

(-), caput medusae (-)

Auskultasi : Peristaltik (+) normal, metallic sound (-)

Perkusi : Timpani, hepatomegali (-), splenomegali (-)

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), lien, hepar, ren tidak teraba

d. Ekstremitas superior : Akral hangat, edema (-/-), clubbing finger (-),

pitting edema (-), palmar eritem (-), tremor halus (+)

e. Ekstremitas inferior : Akral hangat, clubbing finger (-), pitting edema

(+), palmar eritem (-)

f. Pinggang : Nyeri ketok costoertebra (-/-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

5

V V

V V

V V

Page 6: Case Report AF Dengan Hipertiroid

a. Pemeriksaan EKG (22 September 2012)

b. Pemeriksaan

EKG (23

September

2012)

c. Pemeriksaan EKG (24 September 2012)

d. Pemeriksaan EKG (25

September2012)

e. Pemeriksaan EKG (26 September 2012)

f. Pemeriksaan EKG (27 September 2012)

6

Page 7: Case Report AF Dengan Hipertiroid

Frekuensi : 66 – 150 x/menit (ireguler)

Jenis irama: atrial

Ritme : ireguler

Gelombang P sulit dikenali

Kompleks QRS sempit

Interval R-R dan P-P ireguler

Gelombang QRS 0,08 detik

Zona transisi : V4-V5

Aksis : normal (Lead I (+), aVF (+))

Atrial Fibrilasi (+)

b. Pemeriksaan laboratorium (23 September 2012)

Hematologi

HB 8,0 11,0 – 16,0 G/dl

Leukosit 6300 4000 – 10000 cmm

Hitung jenis -/-/-/72/21/3,3 1-4/0-1/2-5/36-66/22/40/3-9

Eritrosit 4,39 3,5 – 5,4 jt/mm

Trombosit 79.000 100.000 – 300.000/cmm

Kimia klinik

Kadar gula darah 120 <120

Profil lemak

Colesterol total 95 140 - 220mg/dl

TG 104 36 - 165 mg/dl

HDL 26 45-150 mg/dl

LDL 40 0-190 mg/dl

Faal hati

SGOT 64 < 31 u/L

SGPT 15,9 < 41 u/L

Faal ginjal

Serum creatinin 0,7 0,7 – 1,2 mg/dl

Urea 26,38 10 - 50 mg/dl

Uric acid 6,4 2,4 – 5,7 mg/dl

7

Page 8: Case Report AF Dengan Hipertiroid

E. RESUME/ DAFTAR MASALAH

1. Anamnesis

a. Sesak nafas dan lemas saat beraktivitas

b. Dada berdebar

c. Benjolan di leher

d. Susah tidur, mudah kegerahan, nafsu makan menurun, tremor, dan mual

2. Pemeriksaan Fisik

a. Vital sign

1. Tekanan darah 180/70 mmHg : (berbaring, lengan kanan)

2. Nadi 70–100 x/ menit : frekuensi takikardi; irama ireguler; besar

pengisian pulsus parvus (isi kecil) unequal dengan pengisian

sebelumnya; perbandingan dengan denyut jantung pulsus deficit

3. Respiratory rate 30x/ menit.

b. Pemeriksaan fisik

konjungtiva anemis (+), napas cuping hidung (+), pembesaran tiroid (+),

tremor halus (+), pitting oedem (+),

c. Jantung

Auskultasi : Bunyi jantung I-II ireguler, intensitas S1 tidak sama dengan

S2.

3. Pemeriksaan Penunjang

EKG :

Frekuensi : 66 – 150 x/menit (ireguler)

Jenis irama: atrial

Ritme : ireguler

Gelombang P sulit dikenali

Kompleks QRS sempit

Interval R-R dan P-P ireguler

Atrial Fibrilasi (+)

LABORATORIUM

Hematologi

8

Page 9: Case Report AF Dengan Hipertiroid

HB 8,0 11,0 – 16,0 G/dl

Trombosit 79.000 100.000 – 300.000/cmm

Profil lemak

Colesterol total 95 140 - 220mg/dl

Faal hati

SGOT 64 < 31 u/L

SGPT 15,9 < 41 u/L

Faal ginjal

Uric acid 6,4 2,4 – 5,7 mg/dl

F. ASSESMENT/ DIAGNOSIS KERJA

Atrial Fibrilasi dengan hipertiroid

POMR (Problem Oriented Medical Record)

Assessment P. Diagnosis P. Terapi P. Monitoring

Atrial fibrilasi

Hipertiroid

Graves

Anamnesis, klinis,

pemeriksaan fisik

EKG

Ekhokardiografi

Foto Ro Thorax PA

Anamnesis, klinis,

pemeriksaan fisik

T3, T4 dan TSH:

Balance cairan (infus PZ

12 tpm)

O2 3 L/menit

Inj Farsix 1-1-0

ISDN 3x5mg

Digoxin 1x1

Proxime 0-0-1

Balance cairan (infus PZ

20 tpm)

O2 2 L/menit

PTU 3x200mg

Ranitidine 2x1 amp

Ondancetron 3x1 amp

Klinis, vital sign,

pemeriksaan fisik,

EKG

Klinis, vital sign,

pemeriksaan fisik

9

Page 10: Case Report AF Dengan Hipertiroid

G. FOLLOW UP

Tanggal Keluhan Vital sign Terapi

Pasien berada di ICU

27-09-12 Sesak ,

DL= Leukosit = 1800/uL, Hb = 8,1q/dl, Eritrosit = 4,04x106/uL, HCT= 24,6% , MCV = 60,9fL , MCH = 20pg, MCHC = 32,9q/dL, PLT = 50.000/uL, Kimia = Albumin = 2,3UL = Protein (+), Eritrosit (penuh), Leukosit (2-4)

TD 110/70

N 100-170

S 37,5

RR 28

PZ 12 tpm

PTU 3x200 mg

28-09-12 Sesak ,

UL= Protein (+), Eritrosit (8-10),

Leukosit (4-6), Jamur/ Bakteri/

Parasit (+)

Kimia = Albumin = 2,3,

Globulin = 6,1

Diagnosis Sirosis Hepatis +

Anemia (Alih rawat Sp.PD)

TD 110/70

N 70-120

S 37,5

Rr 24

Terapi lanjut

29-09-12 Sesak , muntah-muntah

Kimia = Hb = 8 mg/dl

TD 110/60

N 70-110

S 37,5

RR 22

PTU 3x200mg

Albuphenil 20%

30-09-12 Kondisi membaik TD 120/80

N 72

S 36,6

RR 20

Pasien pulang

10

Page 11: Case Report AF Dengan Hipertiroid

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ATRIAL FIBRILATION

1.DEFINISI

Fibrilasi atrium adalah suatu aritmia yang ditandai oleh disorganisasi dari

depolarisasi atrium sehingga berakibat pada gangguan fungsi mekanik atrium.

Pada elektrokardiogram (EKG), fibrilasi atrium dikenali dengan pergantian

konsisten gelombang P oleh gelombang fibrilasi atau osilasi cepat yang

bervariasi dalam hal bentuk, amplitudo maupun interval, diikuti dengan

respons ventrikel yang tidak beraturan sementara konduksi atriventrikular (AV)

masih intak (Olgin, 2007).

Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang ditandai

dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi

denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit (Pristowsky, 2002).

2. KLASIFIKASI

Menurut AHA ( American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi

dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :

a. AF deteksi

Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi

pertama, tahapan ini menunjukkan belum pernah terdeteksi AF sebelumnya.

b. Paroksismal AF

AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai

episode pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF.

AF jenis ini juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam

waktu kurang dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi

c. Persisten AF

11

Page 12: Case Report AF Dengan Hipertiroid

AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi

kurang dari 7 hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu

penggunaan dari kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali

normal.

d. Kronik/permanen AF

AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada

permanen AF, penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena dinilai

cukup sulit untuk mengembalikan ke irama sinus yang normal

Disamping klasifikasi menurut AHA ( American Heart Association), AF juga

sering diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu :

b. AF akut, yaitu onset AF yang kurang dari 48 jam

c. AF kronik, yaitu AF yang berlangsung lebih dari 48 jam.

3. ETIOLOGI

Etiologi terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor, diantaranya adalah:

1. Peningkatan tekanan (resistensi) atrium: Penyakit katup jantung, kelainan

pengisian dan pengosongan ruang atrium, hipertrofi jantung, kardiomiopati,

hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor pulmonal

chronic) dan tumor intracardiac

2. Proses infiltratif dan inflamasi: Pericarditis/myocarditis, Amiloidosis dan

Sarcoidosis

3. Proses infeksi (demam dan segala macam infeksi)

4. Kelainan Endokrin (Hipertiroid dan Feokromositoma)

5. Neurogenik (Stroke dan perdarahan subarachnoid)

6. Iskemik Atrium (Infark myocardial)

7. Obat-obatan (Alkohol dan Kafein)

8. Genetik (Narrumiya, 2003).

4. TANDA DAN GEJALA

Pada dasarnya AF, tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada

perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan denyut

12

Page 13: Case Report AF Dengan Hipertiroid

jantung, ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik.

Disamping itu, AF juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan

oksigenisasi darah ke jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas

dan nyeri dada. Tetapi, lebih dari 90% episode dari AF tidak menimbulkan gejala-

gejala tersebut (Nasution, 2006).

5. FAKTOR RESIKO

Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya

adalah diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit katup

mitral, penyakit tiroid, penyakit paru-paru kronik , post. operasi jantung, usia 60

tahun dan life style

6. PATOFISIOLOGI

Beberapa aspek dari mekanisme elektrofisiologi yang mendasari terjadinya

fibrilasi atrium masih menjadi kontroversi. Pada dasarnya, onset fibrilasi atrium

memerlukan suatu pemicu, sementara prasyarat agar fibrilasi dapat terus

berlangsung adalah adanya suatu substrat anatomi (Fuster & Nattel, 2006)

Sebagai trigger adalah automatisme fokus yang umumnya bersumber dari daerah

vena pulmonalis, sedangkan sirkuit re-entri merupakan substrat abnormal atrial.

Moe dan kolega (1959)3 memperkenalkan hipotesis multiple-wavelet sebagai

mekanisme re-entran pada fibrilasi atrium, suatu hipotesis yang bersama dengan

sejumlah studi lanjutannya menekankan akan pentingnya peranan substrat atrial

abnormal untuk memungkinkan suatu fibrilasi atrium dapat terus berlangsung

dalam jangka panjang (Scheinmann, 2003).

Gangguan fungsi hemodinamik dapat ditimbulkan oleh fibrilasi atrium

dikarenakan irregularitas dari aktivitas mekanik atrium, respons ventrikel, denyut

jantung dan kontraktilitas miokard. Akibat dari gangguan hemodinamik tersebut,

cardiac output pada pasien dengan fibrilasi atrium dapat berkurang secara

signifikan. Fibrilasi atrium juga terbukti mengganggu aliran darah koroner, dan

terutama pasien yang memiliki penyakit jantung koroner sebelumnya, dengan

kompensasi vasodilatasi koroner yang terbatas (Fuster, 2006).

13

Page 14: Case Report AF Dengan Hipertiroid

Studi dari Allessie et al. (2006) menyatakan bahwa fibrilasi atrium kronik

dapat menyebabkan regangan dan dilatasi atrium dikarenakan gangguan

kontraktilitas dari atrium, sehingga proses fibrosis pada atrium tersebut justru

merupakan konsekuensi dari fibrilasi atrium. Fibrosis interstisial, dilatasi atrium

dan payah jantung akan memfasilitasi fibrilasi atrium menjadi persisten, sehingga

hal tersebut bagaikan suatu lingkaran setan dalam perjalanan klinis aritmia ini.

Respons ventrikuler yang cepat pada fibrilasi atrium akan mengganggu

fungsi katup mitral sehingga meningkatkan risiko regurgitasi mitral. Selain itu,

respons ventrikuler cepat yang persisten pada fibrilasi atrium dapat menimbulkan

disfungsi reversibel dari ventrikel berupa kardiomiopati dilatasi, atau dikenal

sebagai tachycardia-induced cardiomyopathy (Fuster, 2006).

7. DIAGNOSIS

a. Anamnesis

Dapat diketahui tipe AF dengan mengetahui lama timbulnya (episode

pertama, paroksisimal, persisten, permanen)

Menentukan beratnya gejala yang menyertai : berdebar-debar, lemah,

sesak napas terutama saat aktivitas, pusing, gejala yang menunjukkan

adanya iskemia atau gagal jantung kongestif

Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain AF misalnya hipertiroid

b. Pemeriksaan Fisik

Tanda vital : denyut nadi yaitu kecepatan dan regularitas, tekanan darah

Tekanan vena jugularis

Rhonki paru menunjukkan kemungkinan gagal jantung kongestif

Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukkan kemungkinan

gagal jantung kongestif, ada bising kemungkinan penyakit katup jantung

Hepatomegali : kemungkinan gagal jantung kanan

Spleenomegali : kemungkinan gagal jantung kongestif

a. Laboratorium :

Hematokrit (anemia), TSH (penyakit gondok), enzim jantung bila dicurigai

iskemi jantung

b. Elektrokardiografi

14

Page 15: Case Report AF Dengan Hipertiroid

Pada interval yang tidak teratur, satu impuls listrik dihantarkan melalui

atrium dan ventrikel, terjadi depolarisasi ventrikel dan kompleks QRS. Karena

tidak mungkin menentukan impuls mana yang dihantarkan dari atrium, tidak ada

gelombang P atau interval PR yang sebenarnya. Kompleks QRS biasanya dalam

kisaran normal 0,04-0,12 detik, dan interal R-R tidak teratur di seluruh EKG,

yang merupakan kunci utama bahwa disritmia ini adalah AF.

Walaupun frekuensi atrium jantung 350-500 impuls listrik/menit,

frekuensi ventrikel jantung biasanya dalam batas normal 60-100 impuls/menit.

Keadaan ini disebut “fibrilasi atrium terkontrol”. Fibrilasi atrium dengan

frekuensi ventrikel kurang dari 60 impuls/menit disebut “fibrilasi atrium dengan

respon ventrikel lambat”. Bila disritmia ini mempunyai frekuensi ventrikel 101-

150 impuls/menit disebut “fibrilasi atrium dengan respon ventrikel cepat”.

Apabila frekuensi ventrikel lebih besar daripada 150 impuls/menit disebut

“fibrilasi atrium tidak terkontrol”. (Atwood, Stanton & Storey. 1998)

e. Foto rontgen thoraks

f. Ekhokardiografi

Untuk mengetahui adanya penyakit primer, antara lain kelainan katup, ukuran

atrium dan ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi

outflow dan Trans Esophago Echocardiography (TEE) untuk melihat thrombus

di atrium kiri

g. Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuat laju irama jantung

h. Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah studi elektrofisiologi

(Nasution & Ismail, 2006; PAPDI, 2005)

15

Page 16: Case Report AF Dengan Hipertiroid

8. TATALAKSANA

Manajemen fibrilasi atrium meliputi 3 objektif utama yaitu identifikasi dan

penanganan faktor kausatif terkait (misalnya hipertensi, penyakit jantung iskemik,

gagal jantung, kelainan katup, tirotoksikosis, dan lain-lain), pemilihan strategi

terapi rate control atau rhythm control, dan penilaian terhadap risiko

tromboemboli serta terapi prevensinya (Watson, 2006; Medi, 2007)

Jenis fibrilasi atrium akan menentukan pemilihan strategi terapi dan fokus

objektif manajemen. Pada kasus fibrilasi atrium paroksismal, target terapi

umumnya adalah mereduksi aritmia yang terjadi dan mempertahankan irama

sinus. Sedangkan pada fibrilasi atrium permanen, pendekatan rate control lebih

menjadi pilihan. Namun apapun jenis fibrilasi atriumnya, upaya prevensi risiko

tromboemboli, meredakan gejala klinis dan hemodinamik serta penanganan

komorbid merupakan aspek penting manajemen keseluruhan (Fuster, 2006).

Pemilihan Strategi Terapi

Target utama dari pendekatan rate control adalah meredakan gejala klinis

dan pencegahan komplikasi hemodinamik dengan cara mengontrol respons detak

ventrikel. Upaya tersebut dapat dicapai dengan penggunaan obat-obatan

farmakologis maupun tindakan non farmakologis berupa ablasi nodus AV dan

pacing. Tingkat kesuksesan rate control secara farmakologis adalah sekitar 80%.

Target terapi adalah detak ventrikel antara 60-80 kali per menit saat istirahat dan

90-115 kali per menit saat beraktivitas sedang. Obat yang menjadi lini pertama

adalah golongan penyekat beta (metoprolol dan atenolol). Jika monoterapi belum

berhasil, maka agen kedua atau ketiga dapat ditambahkan. Golongan antagonis

kalsium non- dihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil dapat menjadi pilihan

lini kedua pada pasien yang kontraindikasi atau nontoleransi dengan penyekat

beta. Digoxin dapat dijadikan pilihan sebagai rate control pada pasien payah

jantung dengan fibrilasi atrium. Namun digoxin kurang efektif dalam mengontrol

denyut jantung pada saat beraktivitas atau dalam kondisi hiperadrenergik seperti

demam, tirotoksikosis dan pasca operasi. Ablasi nodus AV dan pacing dapat

menjadi pilihan yang efektif dalam rate control bagi pasien yang gagal terapi

dengan agen-agen farmakologis (Watson, 2006; Fuster, 2006)

16

Page 17: Case Report AF Dengan Hipertiroid

Rhythm control atau kardioversi mengacu pada upaya reversi dan

mempertahankan irama sinus dalam waktu panjang. Kesuksesan bergantung pada

beberapa factor seperti durasi fibrilasi atrium (prognosis buruk pada fibrilasi

atrium yang telah berlangsung > 1 tahun), adanya penyakit struktural jantung, dan

adanya dilatasi atrium kiri. Rhythm control dapat dicapai secara farmakologis

dengan menggunakan agen anti-aritmia maupun dengan kardioversi elektrik.

Kardioversi secara farmakologis kurang efektif jika dibandingkan dengan

kardioversi elektrik bifasik. Namun metode kardioversi manapun akan membawa

risiko tromboemboli, terutama jika aritmia telah berlangsung >48 jam, kecuali jika

profilaksis dengan antikoagulan telah diberikan sebelumnya. Agen farmakologik

yang merupakan rekomendasi kelas 1 sebagai rhythm control sesuai dengan

Guidelines of the American College of Cardiology, American Heart Association

and European Society of Cardiology 2006 (ACC/AHA/ESC 2006) adalah

flecainide, dofetilide, propafenone, dan ibutilide. Sedangkan Amiodaron, agen

anti-aritmia yang paling umum digunakan, dimasukkan ke dalam kelas 2A.

Sebaiknya kardioversi farmakologik dimulai kurang dari 7 hari setelah onset

fibrilasi atrium agar efektivitasnya lebih baik (Watson, 2006; Fuster, 2006).

Pilihan terapi non-farmakologik dipertimbangkan pada kasus agen anti-

aritmia yang kurang efektif dalam mengontrol respons ventrikel maupun gejala

pasien. Pilihan terapi nonfarmakologik umumnya berupa ablasi berbasiskan

kateter dan terkadang juga ablasi operatif (prosedur Maze). Beberapa teknik lain

yang dicoba dikembangkan berupa pacu atrial dan defibrillator atrial internal,

walaupun penggunaan keduanya masih terbatas. Teknik ablasi radiofrekuensi

memiliki angka keberhasilan bervariasi, umumnya sekitar 75%, walaupun

prosedur multipel mungkin diperlukan. Fibrilasi atrium masih mungkin terjadi

kembali setelah prosedur dilakukan dan bersifat tidak bergejala, sehingga

antikoagulan jangka panjang diperlukan bagi pasien (Watson, 2006; Fuster, 2006).

Stratifikasi Risiko dan Pencegahan Tromboemboli

Risiko stroke tahunan pada fibrilasi atrium paroksismal maupun permanen

adalah sama besarnya, sehingga tromboprofilaksis diperlukan pada kedua kondisi

tersebut. Panduan ACC/AHA/ESC tahun 2006 merekomendasikan terapi

17

Page 18: Case Report AF Dengan Hipertiroid

antitrombotik sebagai pencegahan tromboembolik pada semua pasien dengan

fibrilasi atrium, kecuali untuk kasus fibrilasi atrium lone atau jika ada

kontraindikasi. Terapi antitrombotik juga direkomendasikan kepada pasien

dengan atrial flutter. Pemilihan agen antitrombotik (antikoagulan atau

antiplatelet), didasarkan pada besarnya risiko stroketrombo embolik dibandingkan

komplikasi perdarahan yang mungkin terjadi (Watson, 2006; Medi, 2007).

Salah satu cara pemilihan agen antitrombotik dapat didasarkan pada indeks

risiko CHADS2. Pasien dengan skor CHADS2 0 tidak memerlukan antikoagulan

dan dapat diterapi dengan aspirin 81-325 mg (I/A). Antikoagulan diperlukan

untuk skor CHADS2 2 atau lebih besar, dengan mempertimbangkan risiko

perdarahan. Untuk pasien dengan skor CHADS2 1, baik aspirin maupun warfarin

dapat digunakan. Pemilihan agen antitrombotik di klinis lebih lanjut dapat

berdasarkan Panduan ACC/AHA/ESC tahun 2006 (Watson, 2006).

Warfarin merupakan agen yang sangat efektif dalam pencegahan stroke

pada pasien dengan fibrilasi atrium dengan mengurangi risiko relatif stroke

sebesar 62%, dibandingkan dengan 22% oleh aspirin. Hal ini juga diperkuat

dengan studi AFFIRM yang memaparkan bahwa kebanyakan stroke yang terjadi

dalam studi tersebut dikarenakan INR (International Normalised Ratio) yang

subterapeutik atau setelah penghentian terapi warfarin. Warfarin juga masih lebih

superior dibandingkan klopidogrel 75 mg plus aspirin 75-100 mg pada pasien

fibrilasi atrium dengan risiko tinggi stroke. Sementara itu, kombinasi antara

antikoagulan dan antiplatelet tersebut tidak menunjukkan efektivitas yang lebih

baik daripada terapi dengan antikoagulan semata, malah kombinasi demikian akan

meningkatkan risiko perdarahan (Conolly, 2006; Blackshear, 2003).

Walaupun memiliki efektivitas yang tinggi, ancaman komplikasi

perdarahan warfarin merupakan permasalahan tersendiri terutama pada pasien

usia lanjut, sehingga membatasi rekomendasi penggunaannya oleh klinisi.22

Namun studi the Birmingham Atrial Fibrillation Treatment of the Aged

(BAFTA)23, yang melibatkan 973 pasien berusia >75 tahun dengan fibrilasi

atrium, memaparkan bahwa warfarin (INR 2.0-3.0) lebih superior dibanding

aspirin (75 mg) dalam pencegahan stroke (1,8% vs 3,8 % per tahun) dan tidak

18

Page 19: Case Report AF Dengan Hipertiroid

lebih berbahaya dibandingkan aspirin dalam menimbulkan komplikasi perdarahan

(1,9% vs 2,0% per tahun). Dengan demikian, pada kelompok usia berapapun,

manfaat dari terapi warfarin secara terkontrol melebihi risiko yang dapat

ditimbulkannya. Warfarin dengan target INR lebih rendah (kisaran 1.6-2.5) dapat

diberikan sebagai pencegahan primer tromboembolik bagi pasien fibrilasi atrium

yang berusia >75 tahun dan tidak bisa mentoleransi antikoagulan pada target INR

2.0-3.0 (Garcia, 2007; Fuster, 2006).

Terapi antikoagulan harus tetap dilanjutkan hingga minimal 1 bulan

setelah irama sinus tercapai pada strategi rhythm control karena butuh waktu

untuk menormalkan kembali fungsi mekanik dari atrium walaupun reversi telah

tercapai. Dalam kasus penghentian temporer antikoagulan oral diperlukan untuk

prosedur operasi atau invasif lainnya, terapi dengan heparin unfractionated atau

low-molecular-weight perlu dipertimbangkan, terutama bagi pasien yang berisiko

tinggi tromboembolik. Permasalahan lainnya adalah terapi pasien dengan fibrilasi

atrium pasca sindrom koroner akut maupun Primary Coronary Intervention (PCI).

Panduan ACC/AHA/ESC tahun 2006 merekomendasikan pemberian aspirin dosis

rendah (<100 mg/hari) atau klopidogrel (75 mg/ hari), atau keduanya, bersamaan

dengan terapi antikoagulan untuk pencegahan kejadian iskemia miokard ulangan.

Sebagai terapi rumatan, panduan yang sama merekomendasikan klopidogrel (75

mg/hari) plus warfarin (INR 2.0- 3.0) (Fuster, 2006).

9. KOMPLIKASI

Pasien dengan fibrilasi atrium baik jenis paroksismal maupun persisten

memiliki peningkatan risiko terkena stroke. Fibrilasi atrium merupakan penyebab

paling sering kejadian stroke emboli pada pasien usia lanjut, dengan peningkatan

risiko stroke lima kali lebih besar dibandingkan dengan faktor-faktor risiko lain

seperti penyakit jantung koroner, hipertensi maupun gagal jantung kongestif.11

Disamping itu, fibrilasi atrium juga menyebabkan kasus stroke yang lebih berat,

yang ditandai dengan tingginya angka kematian maupun perawatan di rumah sakit

yang lebih lama dibandingkan kasus stroke dengan penyebab lainnya.12

Kebanyakan morbiditas dan mortalitas pasien dengan fibrilasi atrium merupakan

19

Page 20: Case Report AF Dengan Hipertiroid

konsekuensi dari kejadian tromboembolisme sehingga tatalaksana prevensi

tromboembolisme merupakan suatu komponen penting dalam manajemen pasien

dengan fibrilasi atrium (Hardin, 2008; Yap, 2008).

10. KESIMPULAN

Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang banyak menimbulkan

permasalahan sebagai konsekuensinya. Deteksi serta manajemen pasien dengan

fibrilasi atrium secara akurat penting untuk dilakukan karena terkait dengan

peningkatan morbiditas dan mortalitas serta penurunan kualitas hidup pasien.

Pasien pada kasus ini memiliki manifestasi klinis yang umum terjadi pada

AF yaitu ditemukan dari anamnesis berupa perasaan berdebar-debar, sesak nafas

dan cepat lelah saat istirahat. Dari pemeriksaan penunjang berupa EKG ditemukan

irama yang irregular, gelombang P sulit dikenali, kompleks QRS sempit dan

interval R-R dan P-P ireguler

Rencana pengobatan yang komprehensif harus menangani tiga pilar terapi

fibrilasi atrium yaitu mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama

ventrikel dan pencegahan komplikasi tromboemboli. Dalam penatalaksanan atrial

fibrilasi perlu diperhatikan apakah pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi

ke irama sinus atau cukup dengan pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien

yang masih dapat dikembalikan ke irama sinus perlu segera dilakukan konversi,

sedangkan pada atrial fibrilasi permanen sedikit sekali kemungkinan atau tidak

mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif pengobatan dengan menurunkan

laju irama ventrikel harus dipertimbangkan. Pada pasien kasus ini hanya dapat

dilakukan pengobatan mengontrol laju irama ventrikel menggunakan digoxin dan

pencegahan komplikasi tromboemboli.

Kebanyakan morbiditas dan mortalitas tersebut merupakan konsekuensi

dari kejadian stroke-tromboembolisme yang merupakan suatu komplikasi dari

fibrilasi atrium sehingga upaya tromboprofilaksis merupakan komponen penting

dalam manajemen fibrilasi atrium. Pemilihan terapi antikoagulan harus

mempertimbangkan segi manfaat dan risiko personal, serta membutuhkan kontrol

yang adekuat.

20

Page 21: Case Report AF Dengan Hipertiroid

B. HIPERTIROID DISEASE

1. DEFINISI

Hipertiroid adalah respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh

metabolik hormone tiroid yang berlebihan (Sudoyo, 2006). Penyakit Graves

(goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering hipertiroidisme yang

memiliki gejala-gejala khas yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus,

oftamopati (eksoftalmus / mata menonjol) dan kadang dengan dermopati.1

2. ETIOLOGI

Lebih dari 90% hipertiroid adalah akibat penyakit Graves dan nodul

tiroid toksik. Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor

imunologis, infeksi, faktor trauma psikis, iod Basedow, penurunan berat badan

secara drastis, chorionic gonadotropin, periode post partum, kromosom X, dan

radiasi eksternal.3

3. PATOGENESIS

Kelebihan hormon tiroid akan menyebabkan kondisi hipermetabolik yang

disertai peningkatan aktifitas simpatis, sehingga menyebabakan:

a. Peningkatan cardiac output, peningkatan konsumsi oksigen,

peningkatan aliran darah tepi dan peningkatan suhu tubuh.

b. Kelebihan tiroid juga mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak

dan protein: Pemecahan protein melebihi sintesis, penurunan tolertansi

glukosa, peningkatan pemecahan triglisrida (Kekurangan lipid)

Defisiensi nutrisi dan kalori.

c. Bila hipertiroid terjadi sebelum dewasakelambatan pertumbuhan

seksual. Jika terjadi setelah pubertas: menstruasi tidak tertaur,

infertility, penurunan libido 4,5

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap

antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang

limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang

disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid

sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan

21

Page 22: Case Report AF Dengan Hipertiroid

TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi

yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas

merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme,

oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.3

4. MANIFESTASI KLINIK

a. Penderita sering secara emosional mudah terangsang (hipereksitabel), iritabel

danterus merasa khawatir dan tidak dapat duduk diam

b. Denyut nadi yang abnormal yang ditemukan pada saat istirahat dan beraktivitas;

yang diakibatkan peningkatan dari serum T3 dan T4 yang merangsang epinefrin dan

mengakibatkan kinerja jantung meningkat hingga mengakibatkan HR meningkat.

Peningkatan denyut nadi berkisar secara konstan antara 90 dan 160 kali per menit.

c. Tidak tahan panas dan berkeringat banyak diakibatkan karena peningkatan

metabolisme tubuh yang meningkat maka akan menghasilkan panas yang tinngi

d. Kulit penderita akan sering kemerahan (flusing) dengan warna ikan salmon yang

khasdan cenderung terasa hangat, lunak dan basah.

e. Adanya Tremor 

f. Eksoftalmus yang diakibatkan dari penyakit graves, dimana penyakit ini otot-otot

yang menggerakkan mata tidak mampu berfungsi sebagaimana mesti, sehingga sulit

atau tidak mungkin menggerakkan mata secara normal atau sulit

mengkordinir gerakan mata akibatnya terjadi pandangan ganda, kelopak mata tidak

dapat menutup secara sempurna sehingga menghasilkan ekspresi wajah seperti

wajah terkejut.

g. Peningkatan selera makan namun mengalami penurunan berat badan yang

progresif dan mudah lelah.

h. Perubahan defekasi dengan konstipasi dan diare

22

Page 23: Case Report AF Dengan Hipertiroid

i. Pada usia lanjut maka akan mempengaruhi kesehatan jantung.6

Gejala dan tanda hipertiroid atau tidak juga dapat dilihat atau ditentukan

dengan indeks wayne, disebut dengan Hipertiroid jika indeks ≥ 20.

Tabel 1: Indeks Wayne

No Tanda Ada Tidak Ada

1 Tyroid teraba +3 -3

2 Bising tyroid +2 -2

3 Exoptalmus +2 -

23

Indeks Wayne

NoGejala Yang Baru Timbul Dan

Atau Bertambah BeratNilai

1 Sesak saat kerja +1

2 Berdebar +2

3 Kelelahan +2

4 Suka udara panas -5

5 Suka udara dingin +5

6 Keringat berlebihan +3

7 Gugup +2

8 Nafsu makan naik +3

9 Nafsu makan turun -3

10 Berat badan naik -3

11 Berat badan turun +3

Page 24: Case Report AF Dengan Hipertiroid

4 Kelopak mata tertinggal gerak bola mata +1 -

5 Hiperkinetik +4 -2

6 Tremor jari +1 -

7 Tangan panas +2 -2

8 Tangan basah +1 -1

9 Fibrilasi atrial +4 -

10

Nadi teratur

< 80x per menit

80 – 90x per menit

> 90x per menit

-

-

+3

-3

-

-

5. DIAGNOSIS

Sebagian dengan demikian diagnosis penyakit graves dapat ditegakkan

dengan cara sebagai berikut:

a. Menegakkan diagnosis klinis dengan indeks diagnosis klinis

b. Memastikan tirotoksikosis dengan T4 tinggi dan TSHs tersupresi.

c. Ada beberapa pemeriksaan rutin yang sering memberikan petunjuk kearah

diagnosis ini yaitu hiperkalsemi, kadar kolesterol rendah atau dibawah

normal dan alkali fosfatase meningkat.

6. PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi

hormone tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid)

atau merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).

24

Page 25: Case Report AF Dengan Hipertiroid

a. Obat antitiroid

Digunakan dengan indikasi

1) Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi

yang menetap,pada pasien muda dengan struma ringan sampai

sedang dan tirotoksikosis.

2) Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum

pengobatan, atau sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat

yodium radioaktif.

3) Persiapan tiroidektomi

4) Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia.

5) Pasien dengan krisis tiroid.

Obat diberi dalam dosis besar pada permulaan sampai eutiroidisme lalu

diberikan dosis rendah untuk mempertahankan eutiroidisme.

Table 2. Obat antitiroid yang sering digunakan

Obat Dosis awal

(mg/hari)

Pemeliharaan

(mg/hari)

Karbimazol 30-60 5-20

Metilmazol 30-60 5-20

Propiltiourasil 300-600 50-200

Ketiga obat ini mempunyai kerja imunosupresif dan dapat menurunkan

konsentrasi thyroid stimulating antibody (TSAb) yang bekerja pada sel tiroid.

Obat-obatan ini umumnya diberikan sekitar 18-24 bulan. Pemakaian obat-

obatan ini dapat menimbulkan efek samping berupa hipersensitivitas dan

agranulositosis. Apabila timbul hipersensitivitas maka obat diganti, tetapibila

timbul agranulositosis maka obat dihentikan.

Efek berbagai obat yang digunakan dalam pengelolahan tirotoksikosis.

Kelompok Obat Efeknya Indikasi

Obat Anti Tiroid

Propiltiourasil

(PTU)

Menghambat

sintesis hormone

tiroid dan berefek

Pengobatan lini

pertama pada

Graves. Obat

25

Page 26: Case Report AF Dengan Hipertiroid

Metilmazol (MMI)

Karbimazol (CMZ

MMI)

Antagonis

adrenergic-β

imunosupresif

(PTU juga

menghambat

konversi T4 T3

jangka pendek

prabedah/pra-RAI

B-adrenergic-

antagonis

Propanolol

Metoprolol

Atenolol

Nadolo

Mengurangi

dampak hormone

tiroid pada

jaringan

Obat tambahan

kadang sebagai

obat tunggal pada

tiroiditis

Bahan mengandung

Iodine

Kalium iodida

Solusi Lugol

Natrium Ipodat

Asam Iopanoat

Menghambat

keluarnya T4 dan

T3.

Menghambat T4

dan T3 serta

produksi T3

ekstratiroidal

Persiapan

tiroidektomi. Pada

krisis tiroid bukan

untuk penggunaan

rutin.

Pada pasien hamil biasanya diberikan propiltiourasil dengan dosis

serendah mungkin yaitu 200mg/hari atau lebih lagi. Pengobatan dengan

yodium radioaktif. Digunakan Y131 dengan dosis 5-12 mCi peroral. Dosis ini

dapat mengendalikan tirotoksikosis dalam3 bulan, namu 1/3 pasien menjadi

hipotiroidisme, eksaserbasi hipertiroidisme, dan tiroiditis (Sudoyo,2006).

Operasi Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme.

7. KOMPLIKASI

Krisis tiroid (Thyroid storm) merupakan eksaserbasi akut dari semua

gejala tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan

penderita. Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis

26

Page 27: Case Report AF Dengan Hipertiroid

antara lain tindakan operatif, terapi yodium radioaktif, persalinan pada

penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara adekuat.

Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda

hipermetabolisme berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi:

a. Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai

41°C disertai dengan flushing dan hiperhidrosis.

b. Takikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.

c. Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai

koma.

d. Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.

8. KESIMPULAN

Hipertiroid adalah respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh

metabolik hormone tiroid yang berlebihan. Pengaruh hormone tiroid pada

jantung digolongkan menjadi 3 kategori: efek terhadap jantung secara

langsung, efek terhadap saraf simpatis dan efek sekunder terhadap perubahan

hemodinamik.

Hipermetabolisme di jaringan-jaringan perifer menambah beban sirkulasi

baik yang metabolik maupun yang non-metabolik (hilangnya panas),

sedangkan efek langsung dari hormon-hormon tiroid terhadap miokardium

menambah kekuatan, kecepatan dan kontraksi ventrikel. Akibatnya adalah

pekerjaan jantung dan output jantung bertambah. Selain dari itu irritability dari

atrium meningkat dan bisa menyebabkan takhidisritmia, dan yang paling

penting diantaranya adalah fibrilasi atrium.

Pemberian terapi PTU tidak selalu diberikan sebagai tahap awal pada

pasien dengan hipertiroid, namun pada pasien ini langsung diberikan terapi

PTU karena pada pasien ini terdapat atrial fibrilasi sehingga peningkatan

hormon tiroid harus segera diturunkan. PTU merupakan terapi hipertiroid

dengan cara kerja menurunkan kadar T4 secara cepat sehingga diharapkan pada

pasien ini bisa segera mencapai eutiroid untuk menghindari terjadinya

kardiomiopati akibat atrial fibrilasinya. Pemberian PTU sebaiknya maksimal 1-

27

Page 28: Case Report AF Dengan Hipertiroid

2 minggu sampai kecepatan basal kembali normal karena penggunaan PTU

dalam waktu lama dapat menimbulkan efek hepatotoksik.

DAFTAR PUSTAKA “ ATRIAL FIBRILASI”

1. "Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc.

2008-12-04. Archived from the original on 2009-03-28.

2. ESC Guidelines. 2010. Guidelines for the Management of Atrial

Fibrilation. Diakses 5 Oktober 2012 melalui escardio.org/guidelines-

surveys/esc-guidelines/GuidelinesDocuments/guidelines-afib-FT.pdf :

European Society of Cardiology.

3. Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K (January 2003).

³Relationship between left atrial appendage function and left atrial

thrombus in patient withnonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial

flutter´.Circulation Journal 67

4. Nasution SA, Ismail D. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III :

Fibrilasi Atrial. Jakarta : FK UI, pp 1522 – 26.

5. PB PAPDI. 2005. Standar Pelayanan Medik. Jakarta : PAPDI, pp 48 – 9

6. Sanfilippo AJ, Abascal VM, Sheehan M, Oertel LB, Harrigan P, Hughes

RA danWeyman AE (1990). "Atrial enlargement as a consequence of

atrial fibrillation A prospective echocardiographic study" . Circulation 82

(3): 7927

7. Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). "Increased atrial

fibrillationmortality: United States, 1980-1998". Am. J. Epidemiol.155

(9): 81926.

8. Olgin JE, Zipes DP. Spesific Arrhythmias Diagnosis and Treatment. In:

Libby, Bonow, Mann, Zipes editors, Braunwald’s Heart Disease. 8th

edition, Volume 1. Philadelphia; Saunders; 2007.p.863-923.

9. Prystowsky EN, Katz AM, Atrial Fibrillation. In: Topol’s Textbook of

Cardiovascular Medicine. 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins; 2002.........64.

28

Page 29: Case Report AF Dengan Hipertiroid

10. Scheinman MM, Atrial Fibrillation, In: Current Diagnosis and Treatment

in Cardiology. 2nd edition. McGraw-Hill /Appleton & Lange;

2002.........20.

11. Wang TJ, Parise H, Levy D. Obesity and the risk of new-onset atrial

fibrillation. JAMA 2004;292:2471.

12. Allessie M, Ausma J, Schotten U. Electrical, contractile and structural

remodeling during atrial fibrillation. Cardiovasc Res 2002;54:230–46.

13. Everett TH, Li H, Mangrum JM. Electrical, morphological, and

ultrastructural remodeling and reverse remodeling in a canine model of

chronic atrial fibrillation. Circulation 2000:102:1454-60.

14. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, Ellenbogen KA, et al. ACC/AHA/ESC

2006 Guidelines for the management of patients with atrial fibrillation: a

report of the American College of Cardiology (Writing Committee to

Revise the 2001 Guidelines for the Management of Patients With Atrial

Fibrillation). Circulation. 2006;114:e257-e354.

15. Watson T, Lip GYH. Management of Atrial Fibrillation. Herz

2006:31:849–56.

16. Medi C, Hankey GJ, Freedman SB. Clinical Update: Atrial fibrillation.

MJA 2007;186(4):197-202.

17. Lip GYH, Tse HF. Management of Atrial Fibrilation. The Lancet. London:

Aug 18-Aug 24, 2007. Vol. 370, Iss. 9587;pg. 604,15pgs.

18. Blackshear JL, Safford RE. AFFIRM and RACE Trials: Implication for

the management of atrial fibrillation. Cardiac Electrophysiology Rev.

2003;7:366-9.

19. Connolly S, Pogue J, Hart RG. Clopidogrel plus aspirin versus oral

anticoagulation for atrial fibrillation in the Atrial fibrillation Clopidogrel

Trial with Irbesartan for prevention of Vascular Events (ACTIVE

W):randomised controlled trial. Lancet 2006; 367:1903-12.

20. Garcia D, Hylek E. Stroke prevention in elderly patients with atrial

fibrillation. Lancet. 2007;370,(9586);460-4.

29

Page 30: Case Report AF Dengan Hipertiroid

DAFTAR PUSTAKA “HIPERTIROID”

1. Harrison. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa

Prof.Dr.Ahmad H. Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta :

hal 2144 – 2151

2. Sudoyo dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat

Jilid II. Pusat Penerbitan IPD FKUI. Jakarta

3. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis

dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-

Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 – 18

4. Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi

klinik Edisi 1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,

2007. Hal 220-281

5. Corwin. E J, 2001. Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta: hal 263 – 265

6. Mansjoer A, et all,2009. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3,

Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, : hal 594 – 598

7. Noer HMS. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3,

Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta: hal 725 – 778

8. Price A.S. & Wilson M.L., 2005. Patofisiologi Proses-Proses

Penyakit, Alih Bahasa Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta: hal 1049 –

1058, 1070 – 1080

30

Page 31: Case Report AF Dengan Hipertiroid

31