51
Case Report Session ENSEFALOPATI TIFOID Oleh: Gama Agusto Lonanda BP: 1110312049 Perseptor: dr. Rahmi Lestari, Sp.A Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RS DR M Djamil Padang

Case Ensefalopati Tifoid

  • Upload
    gama

  • View
    70

  • Download
    5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

case ensefalopati tifoid

Citation preview

Page 1: Case Ensefalopati Tifoid

Case Report Session

ENSEFALOPATI TIFOID

Oleh:

Gama Agusto Lonanda

BP: 1110312049

Perseptor: dr. Rahmi Lestari, Sp.A

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

RS DR M Djamil Padang

2016

Page 2: Case Ensefalopati Tifoid

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram

negatif Salmonella typhii. Disebut Tifoid karena pada awalnya penyakit ini

memiliki manifestasi yang hampir sama dengan Demam Tifus yang disebabkan

oleh bakteri Rickettsia oleh karena itu penyakit ini diberi akhiran “id” yang berarti

mirip. Demam tifoid merupakan suatu infeksi Fecal-Oral yang pada nantinya akan

menyerang saluran Cerna khususnya usus halus (jejunum dan ileum) dilanjutkan

dengan masuknya ke dalam aliran darah (bakteremia) yang akan menyebabkan

gejala atau tanda yang khas tempat dimana kuman melewati organ selama

bakteremia tersebut.

2. Etiologi

Salmonella sp. adalah salah satu strain dari bakteri gram negative bentuk

bacil atau batang, tidak berspora, tidak berkapsul, bergerak dengan flagella

peritrik, memiliki ukuran 2-4 µm x 0,5 -0,8 µm. Kuman ini tumbuh dalam suasana

aerob dan fakultatif anaerob, mati dalam suhu 56oC dan pada keadaan kering. Di

dalam air dapat bertahan selama 4 minggu dan hidup subur dalam media yang

mengandung garam empedu.

Berdasarkan serotipenya kuman Salmonella dibedakan menjadi 4:

Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Serotipe

group D. Salmonella typhi, Paratyphi A, dan Paratyphi B merupakan penyebab

infeksi utama pada manusia, bakteri ini selalu masuk melalui jalan oral, biasanya

dengan mengkontaminasi makanan dan minuman. Terjadinya penularan

Salmonella typhi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh

kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman (carier), biasanya keluar

bersama- sama dengan tinja (rute fecal-oral). Dapat juga terjadi transmisi

transprasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada

bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa

1

Page 3: Case Ensefalopati Tifoid

kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal

dari laboratorium penelitian.

4. Patofisiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti

ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)

bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus

limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial

3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang

meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas

membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam

tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian

kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)

banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang

biak dalam peyer patch

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum

dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka

kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang

yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan

selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan

difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan

berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di

ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam

makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama

yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial

tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan

sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan

2

Page 4: Case Ensefalopati Tifoid

selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia

kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang

biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam

lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi

ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,

berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis

kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,

malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai

gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental

ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari

berturut- turut.

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi

jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,

hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi

akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis

dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan

otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel

di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti

gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal

tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita

melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini

menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe

mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag

inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem

vaskuler, yang tidak stabiil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah

dan juga menstimulasi sistem imunologis.

3

Page 5: Case Ensefalopati Tifoid

5. Gejala Klinis

Keluhan dan gejala Demam Tifoid umumnya tidak khas, dan bervariasi

dari gejala yang menyerupai flu ringan sampai sakit berat dan fatal yang mengenai

banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa

demam berkepanjangan, gangguan gastrointestinal dan keluhan susunan saraf

pusat.

4

Page 6: Case Ensefalopati Tifoid

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Demam lebih

dari 7 hari, biasanya mulai dengan subfebris yang makin hari makin meninggi,

sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.

Demam yang terjadi biasanya khas tinggi pada sore hingga malam hari dapat

mencapai 39-40oC dan cenderung turun menjelang pagi. Dalam minggu kedua,

penderita terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga suhu badan

berangsur- angsur turun dan normal pada akhir minggu ketiga. Perlu diperhatikan

bahwa tidak selalu ada bentuk demam yang khas seperti di atas pada demam

tifoid. Tipe deman menjadi tidak beraturan, mungkin karena intervensi

pengobatan (penggunaan antipiretik atau antibiotic lebih awal) atau komplikasi

yang terjadi lebih awal. Pada khususnya anak balita, demam tinggi dapat

menyebabkan kejang.

Mekanisme demam sendiri tidak jauh berbeda dengan mekanisme demam

akibat infeksi pada umumnya. Dimana Bakteri Salmonella typhi yang

memproduksi endotoksin merupakan pirogen eksogen selain mediator- mediator

radang yang disekresi oleh sel- sel mukosa usus yang mengalami infeksi (IL-1,

IL-6, TNF-alfa, & IFN-6) yang merupakan pirogen endogen. Kedua pirogen ini

akan mengaktivasi pelepasan Fosfolipase A2 pada membran sel yang mana akan

mengaktivasi asam arakidonat yang melalui jalur siklooksigenase memproduksi

Prostaglandin E2 (PGE2). Prostaglandin E2 bersama dengan AMP siklik yang

diaktivasinya akan mengubah seting termostat yang terdapat di hipothalamus

sehingga terjadilah demam.

Gejala sistem gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah,

perut kembung, lidah kotor, sampai hepato-splenomegali. Gastrointestinal

problem biasanya dipengaruhi oleh peredaran bakteri atau endotoksinnya pada

sirkulasi. Dari cavum oris didapatkan lidah kotor yaitu ditutupi selaput putih

dengan tepi yang kemerehan kadangkala waktu lidah dijulurkan lidah akan

tremor kesemua tanda pada lidah ini disebut dengan Tifoid Tongue. Meskipun

jarang ditemukan pada anak- anak tapi cukup berarti diagnostik. Gejala- gejala

lain yang tidak spesifik seperti mual, anoreksia. Karena bakteri menempel pada

mukosa usus dan berkembang biak dalam Peyer patch di dalamnya maka tidak

5

Page 7: Case Ensefalopati Tifoid

jarang akan muncul gejala- gejala seperti diare atau kadang diselingi konstipasi.

Diare merupakan respon terhadap adanya bakteri dalam lumen usus yang perlu

untuk secepatnya dikeluarkan, namun diare pada demam tifoid tidak sampai

menyebabkan dehidrasi, pun begitu dengan konstipasi yang mungkin baru dialami

setelah mengalami diare beberapa kali. Penderita anak- anak lebih sering

mengalami diare daripada konstipasi dewasa sebaliknya, hal itulah yang kadang-

kadang membuat sering miss diagnosis ketika penderita datang berobat.

Kuman yang mengalami perjalanan dalam sirkulasi (bekteremia) juga

menimbulkan gejala pada organ Retikulo Endotelial System salah satunya Hepar

dan Lien. Hepato- splenomegali terjadi akibat dari replikasi kuman dalam sel- sel

fagosit atau sinusoid. Replikasi dalam hepar dan lien ini tentunya akan

menyebabkan respon inflamasi lokal yang melibatkan mediator radang seperti

InterLeukin (IL-1, IL-6), Prostaglandin (PGE-2) dimana menyebabkan

permeabilitas kapiler akan meningkat sehingga terjadi oedema. Pembesaran pada

hepar-lien ini umumnya tidak selalu nyeri tekan dan hanya berlangsung singkat

(terutama terjadi waktu bakteremia sekunder). Penanda ini cukup spesifik dalam

membantu diagnostik.

Gangguan Sistem Saraf terjadi bila ada toksin yang menembus Blood

Brain Barier, pada anak gangguan sistem saraf akibat tifoid ini lebih sering

bersifat Sindrom Otak Organik yang berarti kelainan extra cranial mengakibatkan

gangguan kesadaran seperti Delirium, gelisah, somnolen, supor hingga koma.

Pada anak- anak tanda- tanda ini sering muncul waktu mereka tidur dengan

manifestasi khas “mengigau atau nglindur” yang terjadi selama periode demam

tifoid tersebut. Gangguan otak organik ini biasanya lebih berat ditemukan pada

demam tifoid pada keadaan lanjut yang sudah mengalami komplikasi. Pada

keadaan ini biasanya gangguan kesadaran tidak lagi ditemukan hanya sewaktu

tidur saja melainkan bisa timbul sewaktu- waktu.

Pada ekstremitas, punggung, atau perut mungkin didapatkan floresensi

kulit berupa ruam makulo papular kemerahan dengan ukuran 1-5 mm yang mirip

dengan ptechiae disebut dengan Roseola/ Rose Spot. Penyebab roseola ini karena

emboli basil dalam kapiler kulit terkumpul di bawah permukaan kulit sehingga

6

Page 8: Case Ensefalopati Tifoid

menyerupai bentuk bunga roseola. Ruam ini muncul paa hari ke 7-10 dan

beratahn selama 2-3 hari.

Bradikardi Relatif, adalah tanda lain yang mungkin ditemukan pada

infeksi tifoid. Pada umumnya tiap kenaikan suhu 1oC akan diikuti oleh

peningkatan denyut nadi sampai 10x tiap menitnya. Namun pada demam tifoid

peningkatan suhu tubuh tidak diikuti oleh peningkatan denyut nadi sehingga

dikatakan Bradikardi yang relatif pada demam. Bradikardi relatif ini juga

cenderung jarang terjadi pada anak.

7

Page 9: Case Ensefalopati Tifoid

6. Diagnosis

6.a Anamnesis

Diagnosis cukup ditegakkan dengan gejala klinis yaitu anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Karena pemeriksaan kuman melalui metode kultur memerlukan

waktu yang lebih lama untuk mendapatkan hasil pasti Salmonella typhi.

Anamnesis yang perlu dievaluasi untuk mengarahkan kecurigaan terhadap

demam tifoid:

Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai dibawa ke

pusat pengobatan), tipe demam (demam terutama pada malam hari dan

turun menjelang pagi hari), menggigil atau tidak, keringat dingin, sejak

kapan mulai demam tinggi terus tanpa suhu turun, disertai kejang atau

tidak

Gejala gastrointestinal, Diare (sejak kapan, frekuensi, ampas +/-,

konsistensi, volume tiap diare, warna, darah, lender), konstipasi (sejak

kapan mulai tidak BAB), mual atau muntah, anoreksia, malaise, perut

kembung

Gejala SSP, apakah anak sempat mengalami tidak sadar? Atau hanya

sebatas ngelindur atau mengigau saja waktu tidur.

Riwayat Penyakit dahulu ditanyakan untuk mencari tahu apakah pernah

sakit seperti ini, karena demam tifoid adalah infeksi yang sangat mungkin

menjadikan penderitanya sebagai carier atau pembawa meskipun tidak

menunjukkan gejala

Riwayat Terapi, bila sudah mendapatkan terapi baik hanya antipiretik dan

atau antibiotika klinis penyakit kemungkinan sangat mungkin sudah

mengalami perubahan

Riwayat kehidupan sosial adalah yang tidak boleh dilupakan mengingat

salah satu faktor resiko terjadinya penyakit adalah lingkungan yang padat

dan sanitasi perorangan yang kurang baik.

Riwayat makanan penderita perlu dicari kebiasaan makan atau minum

sembarangan atau di tempat yang kurang sehat dan mudah dihinggapi lalat

8

Page 10: Case Ensefalopati Tifoid

dan vektor penyakit yang lain. Riwayat pemberian ASI juga perlu

diketahui karena pentingnya ASI dalam pembentukan IgA yang berperan

dalam imunologi lokal dalam saluran cerna. Anak yang minum susu

formula sejak kecil tentunya memiliki saluran cerna yang kurang

diproteksi dengan baik oleh Imunoglobulin.

Riwayat Imunisasi. Selain imunisasi wajib pemerintah juga telah

ditemukan vaksin untuk penyakit ini. Bila setelah diimunisasi pasien tetap

terinfeksi Tifoid sangat mungkin titer antibodi yang dibentuk oleh

vaksinasi sebelumnya tidak cukup kuat untuk mengantisipasi infeksi

berikutnya. Atau terdapat kegagalan dalam vaksinasi yang dipengaruhi

banyak faktor.

6.b Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik penderita sangat tergantung pada keadaan pasien yang

bervariasi menurut sudah sampai dimana perjalanan penyakitnya.

Keadaan Umum anak biasanya tampak lemah atau lebih rewel dari

biasanya. Pada keadaan yang sudah terjadi komplikasi sangat mungkin keadaan

menjadi toksik, salah satunya adalah penurunan kesadaran mulai dari delirium,

stupor hingga koma.

Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda- tanda dehidrasi yang

mungkin terjadi akibat diare sebagai suatu symptom yang dapat terjadi pada

infeksi demam tifoid. Tanda- tanda dehidrasi dapat dinilai dari mata cowong dan

bibir kering dengan rasa haus yang meningkat. Pemeriksaan intra oral evaluasi

lidah apakah didapatkan Tifoid Tongue dengan pinggir yang hiperemi sampai

tremor.

Pemeriksaan Thorax pada umumnya jarang didapatkan kelainan, kecuali

pada demam tifoid yang sangat berat dengan komplikasi extraintestinal pada

cavum pleura yang menyebabkan pleuritis, namun sangat jaarang terjadi pada

anak- anak.

9

Page 11: Case Ensefalopati Tifoid

Pemeriksaan Abdomen adalah yang paling penting dari pemeriksaan fisik

pada demam tifoid. Meteorismus dapat terjadi karena pengaruh kuman Salmonella

typhi pada intestinal atau akibat pengaruh diare yang diselingi konstipasi. Bising

usus biasanya meningkat baik pada saat diare maupun saat konstipasi. Palpasi

organ kemungkinan didapatkan hepato-splenomegali ringan permukaan rata

dengan nyeri tekan minimal.

Pada extremitas, thorax, abdomen, atau punggung biasanya didapatkan

rose spot atau Roseola, yaitu ruam makulopapular kemerahan dengan diameter 1-

5 mm. Namun sangat jarang terjadi pada anak- anak

6.c Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap, pada darah lengkap infeksi bakteri akan menunjukkan

leukositosis dengan hitung jenis yang cenderung ke kiri (Diff. count shift to the

Left). Namun untuk tifoid leukosit cenderung normal atau bahkan sampai

leukopenia. Penyebab dari leukopenia ini belum diketahui secara jelas, tetapi

diyakini akibat replikasi kuman di dalam Peyer Patch yang merupakan makrofag

jaringan usus sehingga tidak mampu dideteksi oleh polimorfonuklear leukosit

granul seperti Netrofil stab ataupun segmen. Makrofag jaringan merupakan

Limfosit sehingga tidak jarang terjadi Limfositosis relatif, karena makrofag

meningkat sedangkan lekosit PMN normal sampai menurun, hitung jenis bisa

jadi Shift to Right. Namun tidak jarang ditemukan leukosit yang meningkat

(leukositosis) bisa primer ataupun sekunder. Primer dari penyakit demam tifoid

itu sendiri, sedangkan sekunder bisa terjadi akibat infeksi tumpangan. Pada

keadaan Demam Tifoid yang sudah terjadi komplikasi berupa perdarahan usus

sangat mungkin didapatkan anemia dengan tipe Hipokromik Mikrositik.

Uji Widal, uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman

Salmonella typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen

kuman Salmonella typhi dengan antibody penderita yang disebut agglutinin.

Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense bakteri Salmonella yang

sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk

menentukan adanya agglutinin/antibodi dalam serum penderita tersangka demam

tifoid yaitu: antigen O (dari tubuh kuman itu sendiri), antigen H (dari flagella

10

Page 12: Case Ensefalopati Tifoid

kuman), antigen Vi (simpai kuman) dan antigen Paratyphi A dan B (antigen dari

Salmonella Paratyphi A dan B)

Uji Widal menggunakan cara klasik dengan menggunakan tabung (Tube

Aglutination Test), dengan rincian sebagai berikut:

Tabung I II III IV V

Larutan

garam

fisiologis

(ml)

0,9 0,5 0,5 0,5 0,5

Serum

pasien (ml)

0,1 0,5 0,5 0,5 0,5

Suspensi

antigen (ml)

0,5 0,5 0,5 0,5 0,5

Titer

antibodi

1/10 1/20 1/40 1/80 1/160

Dengan keterangan sebagai berikut: Tabung I = solut : 0,1 ml serum pasien,

solven: 0,9 larutan garam fisiologis -> 0,1 dibagi 0,9 + 0,1 = 0,1/0,1 = 1/10.

Tabung II = 0,5 ml campuran larutan garam fisiologis dan serum pasien tabung I

(1/10) + 0,5 ml larutan garam fisiologis tabung II = 1/20

Titer 1/10 mengandung arti dalam 1 ml serum terdapat 10 unit antibodi

Cara menentukan titer antibodi sebagai berikut:

Tabung I II III IV V

11

Page 13: Case Ensefalopati Tifoid

Titer 1/10 1/20 1/40 1/80 1/160

Deretan

Tabung

+ + - - -

+ + + - -

+ + + + +

Keterangan: tanda (+) berarti terjadi aglutinat yaitu terjadi reaksi antigen antibodi

dan yang digunakan adalah tabung aglutinat terakhir (titer 1/160)

Uji widal dianggap positif apabila didapatkan titer 1/200 atau terjadi peningkatan

sebanyak 4x

Dari keempat agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk

diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan

terinfeksi kuman ini.

Pembentukan antibodi mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam atau awal

minggu kedua, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada

minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-

mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti oleh agglutinin H. pada penderita

yang sudah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,

sedangkan agglutinin H dapat menetap 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal

bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1) pengobatan dini

dengan antibiotik, 2) gangguan pembentukan antibody/ immunocompromissed, 3)

pemberian kortikosteroid, 4) waktu pengambilan darah, 5) riwayat vaksinasi, 6)

Reaksi amnestik, yaitu peningkatan titer antibodi pada non infeksi tifoid atau

infeksi tifoid pada masa lalu, 7) faktor teknik pemeriksaan antara

laboratorium,akibat aglutinasi silang dan strain salmonella yang digunakan untuk

suspense antigen. Tromnositopeni juga sangat mungkin terjadi bila terjadi

penekanan sumsum tulang akibat bakteremia kuman.

12

Page 14: Case Ensefalopati Tifoid

Pemeriksaan Serologi (IgM dan IgG anti Salmonella), IgM anti salmonella

atau yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah pemeriksaan diagnostic in vitro

semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk mendeteksi infeksi Tifoid akut.

Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM terhadap antigen Lipo Polisakarida

bakteri Salmonella typhi dengan sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95% dan >

91%.

Prinsip pemeriksaan dengan metode Inhibition Magnetic Binding Immunoassay

(IMBI). Antibodi IgM terhadap Lipopolisakarida bakteri dideteksi melalui

kemampuannya untuk menghambat reaksi antara kedua tipe partikel reagen yaitu

indikator mikrosfer latex yang disensitisasi dengan antibodi monoclonal anti 09

(reagen warna biru) dan mikrosfer magnetic yang disensitisasi dengan LPS

Salmonella typhi (reagen warna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan

kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan

menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan

konsentrasi IgM Salmonella typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual

dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna.

Ada 4 interpretasi hasil :

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.

Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

7. Diagnosis Banding

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang- kadang secara

klinis dapat menjadi diagnosis banding dari demam tifoid diantaranya

influenza/common cold, gastroenteritis akut, bronchitis atau bronkopneumonia

bila didapatkan tanda- tanda sesak, batuk dan demam. Pada demam tifoid yang

berat sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis

banding.

13

Page 15: Case Ensefalopati Tifoid

8. Penatalaksanaan

Prinsip utama dalam pengobatan demam tifoid adalah Istirahat dan

perawatan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), serta pemberian

antibiotika. Pada kasus tifoid yang berat hasus dirawat di rumah sakit agar

pemenuhan cairan, eletrolit, serta nutrisi disamping observasi kemungkinan

penyulit.

Istirahat dan perawatan bertujuan untuk menghentikan dan mencegah

penyebaran kuman. Anak yang menderita demam tifoid sebaiknya tirah baring/

Bed rest total dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,

mandi, buang air kecil, dan buang besar akan membantu dan mempercepat masa

penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur,

pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi anak juga perlu diawasi untuk

mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap

perlu diperhatikan dan dijaga.

Diet dan Terapi Penunjang (simtomatik dan suportif), bertujuan untuk

mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Diet

merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam

tifoid terutama sekali pada anak- anak, karena makanan yang kurang akan

menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun serta proses

penyembuhan yang akan menjadi lama.

Pemberian diet penderita demam tifoid awalnya diberi bubur saring, kemudian

ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi,yang mana

perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.

Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi

perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan karena usus

harus diistirahatkan. Pemberian makanan padat dini terutama tinggi serat seperti

sayur dan daging dapat meningkatkan kerja dan peristaltic usus sedangkan

keadaan usus sedang kurang baik karena infeksi mukosa dan epitel oleh kuman

Salmonella typhi. Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP)

rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita

namun tidak memperburuk kondisi usus.

14

Page 16: Case Ensefalopati Tifoid

Terapi penunjang/suportif lain yang dapat diberikan tergantung gejala yang

muncul pada anak yang sakit tersebut. Pemberian infus pada anak- anak penting

tapi tidak mutlak, mengingat resiko untuk terjadinya phlebitis cukup tinggi. Oleh

karena itu pemberian infuse sebaiknya diberikan bagi anak yang sakit dengan

intake perOral yang kurang. Jenis infus yang diberikan tergantung usia: 3 bln-3

tahun D5 ¼ Normal saline, > 3 tahun D5 ½ Normal saline. Jumlah pemberian

infus disesuaikan dengan kebutuhan kalori pada anak. Kebutuhan kalori anak pada

infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila

mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah

Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk

menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran

cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk

diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat

diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.

Antibiotika

a) Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi

tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak

50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena

biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7

hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh

karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan

terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder

pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

b) Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim

dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10

mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.

Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5

mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari

15

Page 17: Case Ensefalopati Tifoid

pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem

hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan

granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini

sudah dilaporkan resisten.

c) Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah

dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk

anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif.

Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4

dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama

dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

d) Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),

merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih

dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap

Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100

mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7

hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4

dosis. Bila mampu untuk sediaan Per Oral dapat diberikan Cefixime 10-15

mg/kg/hari selama 10 hari.

Terapi penyulit

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai

syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit

untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang

diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera

dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.

9. Pencegahan

16

Page 18: Case Ensefalopati Tifoid

Pencegahan demam tifoid sangatlah penting, selain utntuk meningkatkan

kualitas kesehatan masyarakat pencegahan juga berperan dalam mengurangi

penderita carier sehingga resiko penularannya akan berkurang. Yang terpenting

adalah hygiene pribadi dengan menjaga kebersihan dan kualitas makanan yang

dikonsumsi. Macam- macam pencegahan untuk demam tifoid antara lain:

Preventif dan control penularan, merupakan tindakan pencegahan penularan dan

peledakan Kasus Luar Biasa (KLB) demam tifoid. Mencakup kuman Salmonella

typhi, faktor pejamu, serta faktor lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi

pokok untuk memutuskan tranmisi tifoid:

Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien Tifoid Asimtomatik,

carier, dan akut. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran

maupun pasif menunggu. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu

terutama anak- anak yang tinggal di lingkungan padat dengan sanitasi yang

kurang.

Pencegahan transmisi langsung dari penderita terifeksi Salmonella typhi akut

maupun carier.

Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi

Vaksinasi. Vaksin tifoid pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun

1960 efektifitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88%

(WHO). Jenis vaksin ada yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S.

paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan

dengan cara pemberian Sub Kutan, namun daya kekebalannya terbatas, disamping

efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi

kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan disebut : Ty21a (vivotif Berna)

pemberiannya secara Oral belum beredar di Indonesia, parenteral: ViCPS

(Typhim Vi/Pasteur Merineux) yang merupakan vaksin kapsul polisakarida.

Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3x secara bermakna dengan

selang 1 hari (hari 1,3,5) dapat memberi daya perlindungan selama 6 tahun. Usia

sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, untuk anak usia > 10 tahun insiden yang

turun dapat sebesar 53% sedangkan anak usia 5-9 tahun insiden turun sebesar

17%. Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3-5 tahun. Vaksin jenis ini diberikan pada

17

Page 19: Case Ensefalopati Tifoid

anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin oral ini pada umumnya diperlukan untuk

turis yang akan berkunjung ke daerah endemis tifoid.

Vaksin parenteral non aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping

serta tidak seefektif dibandingkan dengan pemberian peroral. Diberikan pada usia

> 2 tahun dan di booster tiap 3 tahun. Kemasannya di dalam prefilled syringe 0,5

cc dan diberikan secara Intra Muskuler.

Perlu diperhatikan tentang efek samping vaksin yang dapat berupa demam, sakit

kepala akibat pemberian vaksin Ty21a, sedangkan pada ViCPS efek samping

yang timbul lebih ringan. Efek samping yang paling sering terjadi bila diberikan

secara Intravena karena dapat terjadi reaksi lokal berat, edema, hipotensi dan nyeri

dada.

10. Komplikasi dan Penatalaksanaannya

Secara garis besar terdapat 2 macam komplikasi yaitu komplikasi

intestinal dan komplikasi ekstra intestinal.

Komplikasi intestinal mencakup perdarahan intestinal dan perforasi usus. Pada

perdarahan intestinal diawali dari Peyer Patch yang mengalami infeksi terutama

pada ileum terminal dapat terbentuk tukak/luka yang berbentuk lonjong dan

memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai

pembuluh darah maka akan terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus

dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan

juga dapat terjadi gangguan koagulasi darah atau gabungan keduanya. Sekitar

25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor dan tidak

memerlukan tranfusi darah. Perdarahan yang hebat dapat terjadi hingga penderita

dapat mengalami syok hipovilemik. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah

ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kg/jam dengan factor

hemostasis yang masih dalam batas normal.

Perforasi Usus terjadi sekitar 3% penderita yang dirawat. Biasanya timbul

pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala

18

Page 20: Case Ensefalopati Tifoid

umum demam tifoid yang biasa terjadi, penderita demam tifoid dengan perforasi

usus akan mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan

bawah lalu menyebar ke seluruh lapang perut dan disertai tanda- tanda ileus.

Bising usus melemah, pekak hapar juga menghilang yang menandakan adanya

udara bebas dalam cavum abdomen. Untuk lebih menguatkan kea rah perforasi

usus dapat dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen AP dan lateral dimana

akan didapatka gambaran air fluid level dan bayangan radiolusen pada hepar.

Bila sudah terjadi perforasi maka harus segera diberikan antibiotik

spectrum luas untuk infeksi kuman Salmonella typhi dengan kombinasi

Chloramphenicol dan Ampisilin IV serta untuk mengatasi kuman yang fakultatif

anaerob pada flora usus digunakan Gentamisin atau Metronidazole. Walaupun

jarang terjadi pada anak- anak namun mortalitasnya cukup tinggi bila sampai

terjadi perforasi usus.

Komplikasi extraintestinal yang paling sering terjadi pada anak- anak adalah

manifestasi neuropsikiatrik yang mana sering terjadi delirium dan atau Sindroma

Otak Organik yang lain. Hal ini sering juga disebut sebagai tifoid toxic atau tifoid

ensefalopati.

Tata Laksana Tifoid Ensefalopati

Antibiotik pertama untuk mengobati demam tifoid adalah kloramfenikol,

digunakan pada tahun 1948 dan selanjutnya menjadi terapi pilihan sampai tiga

dekade disamping ampisilin dan trimetoprimsulfametoksazol. Laporan pertama

mengenai resistensi S. typhi terhadap kloramfenikol pada tahun 1974, dua puluh

tahun kemudian dilaporkan resistensi S. typhi terhadap kloramfenikol, ampisilin,

dan trimetoprimsulfametoksazol, atau dikenal sebagai MDR (multiple drug

resistance) S. typhi. Saat ini peningkatan resistensi S.typhi terhadap terapi lini

kedua yaitu sefalosporin generasi ke-3 dan golongan kuinolon juga telah banyak

dilaporkan. Kondisi inilah yang banyak memicu terjadinya kasus ensefalopati

tifoid.

Dari beberapa kasus ensefalopati tifoid yang pernah dilaporkan, semua

isolat klinis (S. typhi dan S. paratyphi) resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin

19

Page 21: Case Ensefalopati Tifoid

dan trimetoprim-sulphamethoxazole, yang intermediately rentan terhadap

ciprofloxacin, dan sensitif penuh untuk ceftriaxone dan cefixime sebagaimana

ditentukan dengan metode difusi. Semua pasien adalah multi-obat resisten (MDR)

kasus demam enterik dan diobati dengan ceftriaxone parenteral, kecuali untuk

pasien yang menerima ciprofloxacin parenteral dan memiliki hasil yang fatal,

tetapi tidak ada hubungan yang signifikan antara tipe antimikroba dan morbiditas

diamati. Hubungan antara demam enterik yang disebabkan oleh strain MDR dan

ensefalopati telah dilaporkan.

Untuk tata laksana pasien dengan ensefalopati tifoid, kita tidak hanya

menggunakan antibiotik saja, tetapi harus dikombinasikan dengan kortikosteroid

dosis tinggi. Pada neonatus, ceftriaxon direkomendasikan untuk infeksi berat yang

disebabkan oleh salmonella tifii dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dengan dosis

tunggal, walaupun dengan dosis yang lebih besar pernah dilaporkan. Penggunaan

ceftriaxon tidak direkomendasikan pada bayi yang kuning, hipoalbumin, asidosis,

dan premature. Pada bayi dewasa dan anak kecil, dosis ceftriaxon yang dianjurkan

80 mg/KgBB setiap 12 jam untuk 3 dosis pertama, selanjutnya 80 mg/KgBB

( maksimal 4 gr dosis tunggal ) sekali sehari untuk pengobatan meningitis pada

tifii. Ketika cefotaxime digunakan untuk pengganti ceftriaxone, sebuah dosis

tinggi 200-300 mg/KgBB direkomendasikan, walaupun untuk neonatus itu

bukanlah hal yang spesifik untuk pengobatannya. Ciprofloxacin IV

direkomendasikan menimbang manfaatnya lebih besar daripada risikonya untuk

pengobatan infeksi generalisata pada anak dengan dosis 8-16 mg/KgBB dibagi

dalam 2 dosis. Dalam sebuah laporan kasus pada dua neonatus yang berhasil

sembuh terhadap salmonella ensefalopati, ciprofloxacin diberikan 10 mg/KgBB

dan 15 mg/KgBB dalam dua dosis terbagi. dalam laporan kasus lain dosis yang

lebih tinggi yaitu 30 mg/KgBB digunakan untuk bayi umur 2 dan 5 bulan.

Untuk penggunaan kortikosteroidnya, yang pernah dilaporkan adalah

pemakaian dekasamethason IV dosis tinggi. Cara pakainya adalah deksametason 3

mg/KgBB/kali IV pela-pelan selama 30 menit, dilanjutkan 1 mg/KgBB/ 6 jam

sampai 48 jam atau 8 kali pemberian Mekanisme aksi deksametason dalam

ensefalopati enterik tidak diketahui. Endotoksin yang dikeluarkan oleh S. typhi

20

Page 22: Case Ensefalopati Tifoid

dan S. paratyphi merangsang makrofag untuk memproduksi monokines, asam

arakidonat dan metabolitnya, dan oksigen bebas yang mungkin bertanggung

jawab atas efek toksik, terutama pada mereka dengan ensefalopati enterik (Nag et

al, 1975; Johnston et al, 1978; Clark et al, 1981). Mungkin deksametason dapat

mengurangi tingkat ini atau menetralkan efek fisiologis dari produk atau

keduanya, dan bertindak sebagai antioksidan yang mengakibatkan korban jiwa

berkurang (Hoffman et al, 1984). Edema cerebellar dan kongesti vena sel-sel otak

yang sering terlihat dalam ensefalopati enterik (Chand dan Singh, 1988) dan

deksametason dosis tinggi mungkin memainkan peran dalam mengurangi

substansial ini.

11. Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan

kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan

terapi antibiotic yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di Negara berkembang,

angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan

dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau

perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia dapat mengakibatkan

morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Relaps atau kambuh dapat timbuh beberapa kali. Individu yang

mengeluarkan Salmonella typhi lebih dari 3 bulan setelah infeksi umumnya

menjadi carier yang kronis. Resiko menjadi carier pada anak- anak rendah dan

meningkat sesuai usia. Carier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam

tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada carier kronis

dibandingkan populasi umum. Walaupun carier urin kronis juga dapat terjadi,

namun hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan

schistosomiasis.

21

Page 23: Case Ensefalopati Tifoid

BAB II

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien:

Nama: An. SP

Umur: 5 tahun 4 bulan

Tanggal Lahir: 13 Desember 2011

Anamnesis

Keluhan utama:

Penurunan kesadaran sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang:

Demam sejak 10 hari yang lalu, tidak tinggi, hilang timbul, terutama demam

meningkat pada sore hari, tidak menggigil

Perubahan kesadaran sejak 3 hari yang lalu. Tidak dapat berkontak dengan

keluarga dan orang sekitar. Lebih banyak diam dan menangis.

Kejang berulang sejak 2 hari yang lalu, frekuensi 3-4 kali/hari, lama kurang lebih

2-5 menit, kejang kelonjotan seluruh tubuh dengan mata melihat keatas. Pasien

tidak sadar setelah kejang. Ini merupakan episode kejang yang pertama.

Nafsu makan berkurang sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit,

Muntah tidak ada

Batuk dan pilek tidak ada

Riwayat trauma kepala tidak ada

Riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada

Riwayat kontak dengan penderita batuk lama tidak ada

Riwayat perdarahan gusi, hidung, saluran cerna tida ada

22

Page 24: Case Ensefalopati Tifoid

Riwayat jajan sembarangan ada

Buang air kecil jumlah dan warna biasa

Buang air besar tidak lancar sejak 1 minggu yang lalu BAB 1 kali dalam 3 hari,

konsistensi keras, biasanya BAB 1 kali dalam 2 hari konsistensi lunak

Pasien telah dibawa ke RS Yarsi 1 hari yang lalu dilakukan pemeriksaan darah

dengan hasil HB 11,2 gr/dl, Leukosit 4.700/mm3, HT 36%, trombosit 257.00,

widal H 1/80 O 1/160. Pasien telah mendapatkan terapi ceftriakson 2x500mg IV,

inj sibital 75mg IV dan dexametason 3x2mgIV. Pasien dirujuk dengan keterangan

observasi penurunan kesadaran e.c suspek ensefalitis. di IGD RSUP M Djamil

pasien dikonsultasikan ke bagian mata dengan hasil tidak ditemukan tanda

peningkatan TIK

Riwayat Penyakit dahulu:

Tidak pernah menderita kejang sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada anggota keluarga yang menderita kejang sebelumnya

Riwayat persalinan, imunisasi, tumbuh kembang, dan hygiene

Anak ke 2 dari 2 bersaudara, lahir SC atas indikasi panggul sempit BB:3000gram

PBL:49cm, langsung menangis

Riwayat imunisasi dasar lengkap tanpa booster

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal

Hygiene dan sanitasi lingkungan kurang baik

Pemeriksaan Fisik:

23

Page 25: Case Ensefalopati Tifoid

Keadaan umum: sakit berat

Kesadaran: GCS=E2M3V1=6

Tekanan darah 90/60 Nadi 90

Nafas 24 Suhu 36,6

Berat badan:12 Tinggi badan:98

BB/U:75

TB/U:95

BB/TB:80

Kesan: gizi kurang

Sianosis tidak ada Anemis tidak ada

Ikterus tidak ada Edema: tidak ada

Kulit: teraba hangat, turgor baik

Kelenjar Getah Bening: tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Kepala: bulat, simetris, lingkar kepala 50cm (normal standar nelhaus)

Rambut: Hitam, tidak mudah rontok

Mata: konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil isokor diameter 2/2 mm,

refleks cahaya +/+ normal

Hidung: tidak ditemukan kelainan

Mulut: mukosa mulut dan bibir basah

Tenggorok: tonsil dan faring sukar dinilai

Leher: JVP 5-2 cmH2O, kaku kuduk tidak ada

Dada: normochest, simetris kiri dan kanan

24

Page 26: Case Ensefalopati Tifoid

Paru:

Inspeksi: simetris kiri dan kanan statis dan dinamis

Palpasi: fremitus kiri = kanan

Perkusi: sonor

Auskultasi: vesikuler, rhonki tidak ada wheezng tidak ada

Jantung:

Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi: ictus cordis teraba di 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi: batas jantung: kanan: LSD atas: RIC II kiri: 1 jari medial LMCS

RIC V

Auskultasi: irama reguler, bising jantung tidak ada

Abdomen:

Inspeksi: distensi tidak ada

Palpasi: supel, hepar lien tidak teraba

Perkusi: timpani

Auskultasi: bising usus (+) normal

Punggung: tidak ditemukan kelainan

Genital: tidak ditemukan kelainan, status pubertas A1M1P1

Ekstremitas: akral hangat CRT<2detik, refleks fisiologis +/+ normal, refleks

patologis: babinsky +/+, chadock -/- gordon -/-, oppenheim -/-, schafer -/-, Tanda

rangsangan meningeal brudzinski 1 - brudzinski 2 - kernig sign -

Pemeriksaan penunjang:

25

Page 27: Case Ensefalopati Tifoid

18/4/2016

HB:8,6 g/dl

Leukosit: 9600/mm3

Diff count: 0/0/1/65/29/4

Trombosit: 376.000/mm3

19/4/2016

Urinalisa:

pH: 7,5

Leukosit: 0-1/LPB

eritrosit: 0-1/LPB

epitel: gepeng +

protein: negatif

Glukosa: negatif

Bilirubin: negatif

Urobilinogen: positif

kesan: dalam batas normal

20/4/2016

Tubex test: +6

Kesan: sesuai infeksi tifoid

Diagnosis kerja:

26

Page 28: Case Ensefalopati Tifoid

Ensefalopati tifoid

Differential diagnosis:

Ensefalitis e.c virus

Tatalaksana:

IVFD 2A 4tts/menit makro

MC 6x150cc via NGT

Ampicilin 4x600mg IV

Kloramfenikol 4x300mg IV

Luminal 2x25mg IV

Paracetamol 120mg (jika T>38,5 C)

27

Page 29: Case Ensefalopati Tifoid

Follow Up Pasien:

26/4/2016:

S/ Kontak pasien sudah ada, pasien sudah bisa mendengar dan merespon saat ibu

berbicara, pasien masih belum bisa bicara, baru bisa menangis

Pasien tampak tenang

Demam tidak ada, kejang tidak ada

Mual tidak ada, muntah tidak ada

BAB terakhir 2 hari yang lalu, konsistensi keras, warna biasa

BAK jumlah biasa warna biasa

Intake cukup via NGT, 6 kali sehari dihabiskan semua, muntah tidak ada, tersedak

tidak ada

O/ KU: sakit sedang, Kesadaran: sadar, GCS:E4M5V3, HR: 24, RR:96, T:37,0 C

mata: konjungtiva tidak anemis sklera tidak ikterik pupil isokor diameter 2/2 mm

normal

thoraks: cor dan pulmo tidak ditemukan kelainan

abdomen: distensi tidak ada, hepar dan lien tidak teraba, bising usus + normal

ekstremitas: refleks fisiologis +/+ normal refleks patologis babinsky +/+, chadok

-/-, gordon -/- oppenheim -/- schaffer -/-

A/ ensefalopati tifoid

P/ IVFD 2A 4tts/menit makro

MC 6x150cc via NGT

Ampicilin 4x600mg IV

kloramfenikol 4x300mg IV

28

Page 30: Case Ensefalopati Tifoid

Luminal 2x25mg IV

Paracetamol 120mg (jika T>38,5 C)

27/4/2016:

S/Kontak ada, pasien sudah bisa mendengar dan merespon saat ibu berbicara,

pasien masih belum bisa bicara, baru bisa menangis

pasien tampak tenang

demam tidak ada, kejang tidak ada

mual tidak ada, muntah tidak ada

BAB terakhir tadi malam, konsistensi biasa, warna biasa

BAK jumlah biasa warna biasa

intake cukup via NGT, 6 kali sehari dihabiskan semua, muntah tidak ada, tersedak

tidak ada

O/ KU: sakit sedang, Kesadaran: sadar, GCS:E4M5V3, HR: 26, RR:92, T:36,8 C

mata: konjungtiva tidak anemis sklera tidak ikterik pupil isokor diameter 2/2 mm

normal

thoraks: cor dan pulmo tidak ditemukan kelainan

abdomen: distensi tidak ada, hepar dan lien tidak teraba, bising usus + normal

ekstremitas: refleks fisiologis +/+ normal refleks patologis babinsky +/+, chadok

-/-, gordon -/- oppenheim -/- schaffer -/-

A/ ensefalopati tifoid

P/ IVFD 2A 4tts/menit makro

MC 6x150cc via NGT

29

Page 31: Case Ensefalopati Tifoid

Ampicilin 4x600mg IV

kloramfenikol 4x300mg IV

Luminal 2x25mg IV

Paracetamol 120mg (jika T>38,5 C)

DISKUSI

Seorang pasien perempuan berumur 5 tahun 4 bulan datang ke RS DR M

Djamil dengan penurunan kesadaran sejak 5 hari yang lalu, pasien tidak dapat

berkontak dengan orang tua dan lingkungan sekitar. Demam sejak 10 hari yang

lalu tidak tinggi, hilang timbul, terutama pada sore hari, kejang berulang sejak 2

hari lalu frekuansi 3-4 kali/ hari, 2-5 menit kejang seluruh tubuh, pasien tidak

sadar setelah kejang, merupakan episode pertama kejang. riwawyat jajan

sembarangan ada. muntah, batuk, pilek, riwayat trauma, kontak dengan orang

dewasa batuk lama tidak ada. Buang air besar dan buang air kecil biasa.

Sebelumnya pasien telah dirawat di RS Yarsi Padang telah diperiksa lab dengan

HB 11,2g/dl, Leukosit 4700/mm3, HT 36%, Trombosit 257.000/mm3, widal

H:1/80 O:1/60. Telah mendapat terapi ceftriakson 2x500mg IV, inj. sibital 75mg

dan Dexametason 3x2mg IV. Pasien dirujuk dengan keterangan observasi

penurunan kesadaran e.c. suspect encefalitis. Di IGD dikonsultasikan ke bagian

mata dengan hasil tidak ditemukan tanda peningkatan TIK.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat,

kesadaran GCS: E2M3V1=6, kesan soporus, dan suhu tubuhnya adalah 36,60 C

( normal ). Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis kerja pada pasien ini

adalah ensefalopati tifoid dalam perbaikan karena pada pasien ini ditemukan

demam lama lebih dari 7 hari yang terutama meningkat pada malam hari disertai

gangguan gastrointestinal yaitu konstipasi dan kurang nafsu makan dan perubahan

kesadaran Penatalaksanaannya adalah dengan tindakan preventif, promotif, kuratif

dan rehabilitative.

30

Page 32: Case Ensefalopati Tifoid

Tindakan preventifnya adalah istirahat yang cukup, hindari kelelahan dan

stress serta memakan makanan yang tinggi kalori dan tinggi protein namun rendah

serat. Diberikan makanan cair via NGT dikarenakan kesadaran anak yang masih

kurang baik sehingga sulit memberi makan via oral.

Upaya promotifnya adalah memberi edukasi kepada keluarga pasien

tentang penyakit anaknya. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakitnya bisa

sembuh dan bisa saja kambuh jika pasien tidak minum obat terarur dan tidak

mentaati nasehat dokter. mengajarkan keluarga apa yang harus dilakukan pertama

kali saat anaknya terlihat kejang, dan segera membawa anaknya ke dokter.

Dibutuhkan pengawasan keluarga untuk peningkatan dan penurunan keadaan

anaknya, serta peran aktif keluarga membantu stimulasi agar anak dapat kembali

berkontak.

Upaya kuratifnya adalah Ampicilin 4x600mg IV , Kloramfenikol 4x300

mg IV, Ampicilin 4x600mg IV, kloramfenikol 4x300mg IV, Luminal 2x25mg IV,

Paracetamol 120mg (jika T>38,5 C)

Rehabilitatifnya adalah banyak makan dan istirahat yang cukup, mengajak

anak berkomunikasi untuk menstimulasi kesadaran anak

31

Page 33: Case Ensefalopati Tifoid

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegma dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 volume Z. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.

2. Burnside, Mc Glynn. 1995. Adam’s Diagnosis Fisik. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

3. Hegar, Badriul dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid 1. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.

4. Ilmu Kesehatan Anak.1985. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FK UI 5. Masjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta:

Media Aesculapius.6. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSU Dr. Soetomo. 2008. Pedoman Diagnosis

dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III. Surabaya: RSU Dr. Soetomo Surabaya.

7. Soedarmo, Poorwo Sumarmo S. dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Peberbit IDAI.

8. Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

9. Wilson, dan Price. 2002. Patofisiologi Volume 1 Edisi Keenam. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

10. Harrison’s Practice. “Thypoid Fever”. 200911. The New England Journal of Medicine. “Thypoid Fever”. 200212. www. emedicine/tifoidfever/patofisiogy.com13. Journal of Antimicrobial Chemotherapy “ Antibiotics for Salmonella Meningitis

in Children” 2000. London14. International Centre for Diarrhoeal Disease Research “High-Dose Intravenous

Dexamethasone In The Management Of Diarrheal Patients With Enteric Fever And Encephalopathy”. 2009. Bangladesh,

32