59
BAB I PENDAHULUAN Pada tahun 1860, seorang dokter bedah kebangsaan Inggris bernama William Little pertama kali mendeskripsikan satu penyakit yang pada saat itu membingungkan yang menyerang anak-anak pada usia tahun pertama, yang menyebabkan kekakuan otot tungkai dan lengan. Anak-anak tersebut mengalami kesulitan memegang obyek, merangkak dan berjalan. Penderita tersebut tidak bertambah membaik dengan bertambahnya usia tetapi juga tidak bertambah memburuk. Kondisi tersebut disebut little 's disease selama beberapa tahun, yang saat ini dikenal sebagai spastic diplegia. Penyakit ini merupakan salah satu dari penyakit yang mengenai pengendalian fungsi pergerakan dan digolongkan dalam terminologi cerebralpalsy atau umunya disingkat CP. Sebagian besar penderita tersebut lahir premature atau mengalami komplikasi saat persalinan dan Little menyatakan kondisi tersebut merupakan hasil dari kekurangan oksigen selama kelahiran. Kekurangan oksigen tersebut merusak jaringan otak yang sensitif yang mengendalikan fungsi pergerakan. Tetapi pada tahun 1897, psikiatri terkenal Sigmund Freud tidak sependapat. Dalam penelitiannya, banyak dijumpai pada anak-anak CP mempunyai masalah lain misalnya retardasi mental, gangguan visual dan kejang, Freud menyatakan bahwa penyakit tersebut mungkin sudah terjadi pada awal kehidupan, selama perkembangan otak janin. Kesulitan persalinan hanya merupakan satu keadaan yang menimbulkan efek yang lebih buruk dimana sangat mempengaruhi perkembangan fetus. 1 1

Case An Fikri (CP+Epilepsi Sekunder+ Pneumonia Orthostatik).doc

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cp epilepsi

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Pada tahun 1860, seorang dokter bedah kebangsaan Inggris bernama William Little

pertama kali mendeskripsikan satu penyakit yang pada saat itu membingungkan yang menyerang

anak-anak pada usia tahun pertama, yang menyebabkan kekakuan otot tungkai dan lengan. Anak-

anak tersebut mengalami kesulitan memegang obyek, merangkak dan berjalan. Penderita tersebut

tidak bertambah membaik dengan bertambahnya usia tetapi juga tidak bertambah memburuk.

Kondisi tersebut disebut little 's disease selama beberapa tahun, yang saat ini dikenal sebagai

spastic diplegia. Penyakit ini merupakan salah satu dari penyakit yang mengenai pengendalian

fungsi pergerakan dan digolongkan dalam terminologi cerebralpalsy atau umunya disingkat CP.

Sebagian besar penderita tersebut lahir premature atau mengalami komplikasi saat

persalinan dan Little menyatakan kondisi tersebut merupakan hasil dari kekurangan oksigen

selama kelahiran. Kekurangan oksigen tersebut merusak jaringan otak yang sensitif yang

mengendalikan fungsi pergerakan. Tetapi pada tahun 1897, psikiatri terkenal Sigmund Freud

tidak sependapat. Dalam penelitiannya, banyak dijumpai pada anak-anak CP mempunyai

masalah lain misalnya retardasi mental, gangguan visual dan kejang, Freud menyatakan bahwa

penyakit tersebut mungkin sudah terjadi pada awal kehidupan, selama perkembangan otak janin.

Kesulitan persalinan hanya merupakan satu keadaan yang menimbulkan efek yang lebih buruk

dimana sangat mempengaruhi perkembangan fetus.1

Disamping pengamatan oleh Freud, keyakinan yang menyatakan bahwa komplikasi

persalinan menyebabkan banyak kasus CP tersebar luas diantara dokter, keluarga dan tenaga riset

medis. Ditahun 1980, dianalisis data penelitian pemerintah pada >35.000 persalinan dan hasilnya

sangat mengejutkan dengan ditemukan kasus komplikasi hanya <10%. Sebagian besar kasus CP

sering dijumpai kasus tanpa faktor resiko. Penemuan dari NINDS tersebut dapat mengubah teori

medis mengenai CP dan sangat memotivasi peneliti masa kini untuk mencari lebih lanjut

penyebab lain dari CP.

Pada saat yang sama, penelitian biomedis juga telah memulai penelitian untuk lebih

memahami perubahan pemahaman secara bermakna dalam diagnosis dan penanganan penderita

CP. Faktor resiko yang sebelumnya tidak diketahui mulai dapat diidentifikasi, khususnya

paparan intrauterine terhadap infeksi dan penyakit koagulasi, dll. Identifikasi dini CP pada bayi

akan memberikan kesempatan pada penderita untuk mendapat penanganan optimal dalam upaya

memperbaiki kecacatan sensoris dan mencegah timbulnya kontraktur. Riset biomedis berhasil

dalam memperbaiki teknik diagnostik misalnya imaging cerebral canggih dan analisis gait

1

modern. Kondisi tertentu yang sudah diketahui menyebabkan CP, misalnya rubella dan ikterus,

pada saat ini sudah dapat diterapi dan dicegah. Terapi fisik, psikologis dan perilaku yang optimal

dengan metode khusus misalnya gerakan, bicara membantu kematangan sosial dan emosional

sangat penting untuk mencapai kesuksesan. Terapi medikasi, pembedahan dan pemasangan

braces banyak membatu dalam hal perbaikan koordinasi saraf dan otot, sebagai terapi penyakit

yang berhubungan dengan CP, disamping mencegah atau mengoreksi deformitas.2

2

BAB II

CEREBRAL PALSY

1. DEFINISI

Cerebral palsy (CP) adalah ensefalopati statis yang mungkin didefinisikan sebagai

kelainan postur dan gerakan, bersifat non-progresif, sering disertai dengan epilepsi dan

ketidaknormalan bicara, penglihatan, dan kecerdasan akibat dari cacat atau lesi otak yang

sedang berkembang.1

Cerebral palsy merupakan kumpulan gangguan yang bersifat permanen pada

perkembangan gerak dan posture, menyebabkan keterbatasan aktifitas, yang bersifat non-

progressif yang terjadi pada masa perkembangan otak bayi ataupun janin. Gangguan motorik

pada cerbral palsy sering disertai dengan gangguan sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi dan

kebiasaan; epilepsi dan oleh gangguan sekunder motorik.3

2. EPIDEMIOLOGI

Collaborative perinatal project, dimana sekitar 45.000 anak secara teratur dipantau

sejak dalam kandungan hingga umur 7 tahun, melaporan angka prevalensi CP sekitar 4/1000

bayi lahir hidup. Sedangkan perkiraan prevalensi di dunia sebesar 2/1000 populasi. Kejadian

pada laki-laki lebih banyak daripada wanita. Di Amerika Serikat sekitar 10.000 bayi

didiagnosis CP setiap tahunnya dan pada 1.200-1.500 kasus didiagnosis pada saat usia

sekolah.1,4

3. ETIOLOGI

Asfiksia pada saat kelahiran dikatakan sebagai penyebab cerebral palsy yang tidak

lazim, hal ini dikaitkan dengan pendapat yang menyatakan bahwa kehamilan dengan resiko

tinggi sekalipun tetap membuahkan anak yang normal secara neurologis. Meskipun penyebab

CP tidak dapat dikenali pada sebagian besar kasus, ditemukan sebagian besar anak dengan

CP mengalami anomali kongenital di luar sistem saraf sentral, yang dapat menempatkan

mereka pada peningkatan reiko terjadinya asfiksia selama periode perinatal. Studi Australia

yang membandingkan anak dengan CP Spastik dengan kelompok kontrol yang sesuai

menunjukan temuan yang serupa. Kurang dari 10% anak dengan CP menunjukan bukti

adanya asfiksia intrapartum. Meskipun ketahanan hidup bayi premature karena perbaikan

perinatal telah mengakibatkan lebih banyak anak dengan CP, namun frekuensi daripada

3

kejadiannya tidak meningkat. Diharapkan pengembangan dimasa mendatang yang diarahkan

pada perbaikan perawatan perinatal akan mempunyai dampak minimal pada insidensi CP dan

bahwa riset mungkin diarahkan secara lebih menguntungkan pada bidang biologi

perkembangan agar memahami patogensis cerebral palsy.1,4,5,6

Berikut merupakan hal-hal yang mungkin menyebabkan terjadinya CP :

a. Masa prenatal:

1. Perdarahan antenatal

2. Infeksi dalam kandungan

3. Pemakaian obat-obatan, alkohol, merokok

4. Trauma pada ibu pada masa kehamilan

5. Malnutrisi

6. Anoksia dalam kandungan

b. Masa natal / perinatal

1. Anoksia / hipoksia dalam persalinan

2. Prematuritas / postmaturitas

3. Perdarahan otak

4. BBLR

5. Kelainan letak

6. Lahir spontan / partus lama

c. Postnatal

1. Trauma kepala

2. Meningitis

3. Encephalitis

4. Jaringan parut pada otak post operasi

5. Keang tonik/klonik lama

6. Keracunan bahan kimia

4. FAKTOR RESIKO

Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar

antara lain adalah:

a. Letak sungsang.

b. Proses persalinan sulit.

4

Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan tanda awal yang

menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang secara

normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak permanen.7

c. Apgar score rendah.

Apgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran.8

d. BBLR dan prematuritas.

Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir <2500gram dan bayi lahir

dengan usia kehamilan <37 minggu. Resiko akan meningkat sesuai dengan rendahnya

berat lahir dan usia kehamilan.7

e. Kehamilan ganda.7

f. Malformasi SSP.

Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan malformasi SSP

yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal (mikrosefali). Hal tersebut

menunjukkan bahwa masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak dalam

kandungan.9

g. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir kehamilan.

Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan peningkatan jumlah

protein dalam urine berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi9

h. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.

i. Kejang pada bayi baru lahir7

5. KLASIFIKASI

Cerebral palsy dapat diklasifikasikan dengan gambaran cacat motorik dalam

kaitannya dengan kategori fisiologis, topografis, etiologis dan kapasitas fungsional.

Klasifikasi fisiologis mengenali kelainan motorik utama, sedang taksonomi topografis

menunjukan keterlibatan tungkai.

Klasifikasi cerebral palsy menurut Minear WL:1

a. Fisiologis :

- Spastik

- Atetoid

- Kaku

- Ataksik

- Tremor

- Atonik

5

- Campuran

- Tidak terklasifikasi

b. Topografis

- Monoplegia

- Paraplegia

- Hemiplegia

- Triplegia

- Kuadriplegia

- Diplegia

- Hemiplegia Ganda

c. Etiologis

- Prenatal

- Perinatal

- Postnatal

6

CP juga dapat diklasifikan berdasarkan estimasi derajat beratnya penyakit dan

kemampuan penderita untuk melakukan aktivitas normal.4

Klasifikasi Perkembangan motorik Gejala Penyakit penyerta

Minimal Normal, hanya terganggu

secara kualitatif

Kelainan tonus sementar

Refleks primitif menetap terlalu

lama

Kelainan postur ringan

Gangguan gerak motorik kasar

dan halus, misalnya clumpsy

Gangguan

komunikasi

Gangguan belajar

spesifik

Ringan Berjalan umur 24 bulan Perkembangan refleks primitif

abnormal

Respon postular terganggu

Gangguan motorik seperti

tremor

Gangguan koordinasi

Sedang Berjalan umur 3 tahun

kadang memerlukan

bracing. Tidak perlu alat

khusus

Berbagai kelainan neurologis

Refleks primitif menetap

Respon postural terlambat

Retardasi mental

Gangguan belajar

dan komunikasi

Kejang

Berat Tidak bisa berjalan atau

berjalan dengan alat

bantu, kadang butuh

operasi

gejala neurologis dominan

refleks primitif menetap

respon postural tidak muncul

Sistem klasifikasi cerebral palsy yang terbaru saat ini dikembangkan berdasarkan

kemampuan motorik dari seorang anak, dimana dengan fungsi yang masih ada, diharapkan

seorang anak dapat tetap melakukan mobilitas secara mandiri. Derajat keparahan cerebral

palsy berdasarkan “Gross motor function classification system” (GMFCS), pada anak berusia

6 – 12 tahun :9

Derajat 1 : Anak dapat berjalan baik didalam maupun diluar rumah, menaiki tangga tanpa

keterbatasan. Anak dapat berlari maupun melompat, tetapi kecepatan,

keseimbangan dan koordinasi berkurang

Derajat 2 : Anak dapat berjalan baik didalam maupun diluar rumah, menaiki tangga dengan

memegang pegangan tangga. Mengalami kesulitan ketika berjalan di tempat yang

7

tidak rata ataupun yang ramai. Memiliki kesulitan untuk berlari ataupun

melompat.

Derajat 3 : Anak dapat berjalan baik didalam maupun diluar rumah pada permukaan yang rata

dengan alat bantu. Bergantung kepada kemampuan lengan atas untuk dapat

berpergian jauh, dapat menggunakan kursi roda secara manual..

Derajat 4 : Anak dapat berjalan pada jarak yang sangat pendek dengan penyangga, untuk

berpergian jarak jauh harus menggunakan kursi roda yang dapat digerakan

menggunakan listrik.

Derajat 5 : Keterbatasan aktifitas fisik secara volunter, kehilangan reflek postural untuk

mempertahankan kepala untuk tetap tegak, semua kemampuan motorik sangat

terbatas, anak tidak dapat bergerak secara mandiri dan harus dibantu untuk dapat

berpindah tempat.

6. PATOFISIOLOGI

CP bukan merupakan satu penyakit dengan satu penyebab. CP merupakan grup

penyakit dengan masalah mengatur gerakan, tetapi dapat mempunyai penyabab yang berbeda.

Untuk menentukan penyebab CP, harus digali mengenai hal : bentuk CP, riwayat kesehatan

ibu dan anak, dan onset penyakit.

Adanya malformasi hambatan pada vaskuler, atrofi, hilangnya neuron dan degenerasi

laminar akan menimbulkan narrowergyiri, suluran sulci dan berat otak rendah. CP

digambarkan sebagai kekacauan pergerakan dan postur tubuh yang disebabkan oleh cacat

nonprogressive atau luka otak pada saat anak-anak. Suatu presentasi CP dapat diakibatkan

oleh suatu dasar kelainan (struktural otak : awal sebelum dilahirkan, perinatal, atau luka-

luka / kerugian setelah kelahiran dalam kaitan dengan ketidakcukupan vaskuler, toksin atau

infeksi).

Di USA, sekitar 10 – 20% CP disebabkan oleh karena penyakit setelah lahir. Dapat

juga merupakan hasil dari kerusakan otak pada bulan – bulan pertama atau tahun pertama

kehidupan yang merupakan sisa infeksi otak, misalnya meningitis bakteri atau ensefalitis

virus, atau merupakan hasil dari trauma kepala yang sering akibat kecelakaan lalu lintas,

jatuh atau penganiayaan anak.

Penyebab CP kongenital sering tidak diketahui. Diperkirakan terjadi kejadian spesifik

pada masa kehamilan atau sekitar kelahiran dimana terjadi kerusakan pusat motorik pada otak

yang sedang berkembang. Beberapa penyebab CP kongenital adalah :

1. Infeksi pada kehamilan

8

Rubella dapat menginfeksi ibu hamil dan fetus dalam uterus, akan menyebabkan

kerusakan sistem saraf yang sedang berkembang. Infeksi lain yang dapat

menyebabkan cedera otak fetus meliputi cytomegalovirus dan toxoplasmosis.

2. Ikterus neonatorum

Pada keadaan Rh/ABO inkompatibilitas, terjadi kerusakan eritrosit dalam waktu

singkat, sehingga bilirubin indirek akan menngkat dan menyebabkan ikterus. Ikterus

berat dan tidak diterapi dapat merusak sel otak secara permanen. 6

3. Kekurangan oksigen berat pada otak atau trauma kepala selama proses persalinan.

Asfiksia sering dijumpai pada bayi bayi dengan kesulitan persalinan. Asfiksia

menyebabkan rendahnya suplai oksigen pada otak bayi dalam periode lama, anak

tersebut akan mengalami kerusakan otak yang dikenal dengan hipoksik iskemik

ensefalopati. Angka mortalitas meningkat pada kondisi asfiksia berat, dimana daat

bersama dengan gangguan mental dan kejang. 6

7. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis daripada cerebral palsy dapat diklasifikasikan menjadi beberapa

tipe, bergantung kepada lokasi, dan besarnya lesi pada otak, bagian tubuh yang terkena

dampaknya, jenis dari tonus dan kesulitan gerak, antara lain : 1,4,5,6

1. CP Spastik

Cedera pada kortex serebri dapat menghasilkan CP Spastik dimana akan

menyebabkan abnormalitas kekakuan otot. Merupakan bentuk CP yang terbanyak

(70-80%), otot mengalami kekakuan secara permanen dan akan menjadi kontraktur.

Jika kedua tungkai mengalami spastisitas, pada saat seseorang berjalan, kedua

tungkai tampak bergerak kaku dan lurus. Gambaran klinis ini membentuk

karakterisitik berupa ritme berjalan yang dikenal dengan gait gunting (scissor gait).

CP Spastic dibedakan menjadi beberapa jenis bergantung dari extrmitas mana yang

terkena.

a. Monoplegi : bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan

b. Diplegia : keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat

daripada kedua lengan, sering terjadi pada kasus bayi

premature.

c. Triplegia : bila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah

mengenai kedua lengan dan kaki

9

d. Quadriplegia : keempat ekstremitas terkena dengan derajat yang sama,

sering terjadi pada bayi yang mengalami asfiksia.

e. Hemiplegia : Mengenai salah satu sisi dari tubuh dan lengan terkena lebih

berat, sering pada bayi yang terkena stroke / mengalami cedera

kepala.

2. CP Athetoid / Dystonia

Cedera pada ganglia basal dapat menyebabkan athetoid cerebral palsy dengan

bentuk gangguan gerakan otot secara involunter. Bentuk CP ini mempunyai

karakteristik gerakan menulis yang tidak terkontrol dan perlahan. Gerakan abnormal

ini mengenai tangan, kaki, lengan atau tungkai dan pada sebagian besar kasus, otot

muka dan lidah, menyebabkan anak tampak selalu menyeringai dan selalu

mengeluarkan air liur. Gerakan sering meningkat selama periode peningkatan stress

dan hilang pada saat tidur. Penderita juga mengalami masalah koordinasi gerakan

otot bicara (disartria). CP atetoid terjadi pada 10-20% penderita CP.

3. CP Ataksid

Jarang dijumpai, mengenai keseimbangan dan persepsi dalam. Penderita yang

terkena sering menunjukkan koordinasi yang buruk, berjalan tidak stabil dengan

gaya berjalan kaki terbuka lebar, meletakkan kedua kaki dengan posisi yang saling

berjauhan, kesulitan dalam melakukan gerkan cepat dan tepat, misalnya menulis

atau mengancingkan baju. Mereka juga sering mengalami tremor, dimulai dengan

gerakan volunter misalnya mengambil buku, menyebabkan gerakan seperti

menggigil pada bagian tubuh yang baru akan digunakan dan tampak memburuk

sama dengan saat pendertia akan menuju obyek yang dikehendaki. Bentuk ataksid

ini mengenai 5-10% penderita CP.

4. CP Campuran

Sering ditemukan pada seorang penderita mempunyai lebih dari satu bentuk CP

yang akan dijabarkan di atas. Bentuk campuran yang sering dijumpai adalah

spastic dan gerakan atetoid tetapi kombinasi lain juga mungkin dijumpai.

10

7.1 Penyakit Penyerta Pada CP

Banyak penderita CP juga menderita penyakit lain. Kelainan yang mempengaruhi

otak dan menyebabkan gangguan fungsi motorik dapat menyebabkan kejang dan

mempengaruhi perkembangan intelektual seseorang, atensi terhadap dunia luar, aktivitas dan

perilaku, dan penglihatan dan pendengaran. Penyakit – penyakit yang berhubungan dengan

CP adalah : 1,10,11

1. Gangguan mental

Sepertiga anak CP memiliki gangguan intelektual ringan, sepertiga dengan

gangguan sedang hingga berat dan sepertiga lainnya normal. Gangguan mental

sering dijumpai pada anak dengan klinis spastik quadriplegia.

2. Kejang atau epilepsi

Setengah dari seluruh anak CP menderita kejang. Selam kejang, aktivitas elektri

dengan pola normal dan teratur di otak mengalami gangguan karena letupan listrik

yang tidak terkontrol. Pada pendertia CP dan epilepsi, gangguan tersebut akan

tersebar keseluruh otak dan menyebabkan gejala pada seluruh tubuh, seperti

kejang tonik-klonik atau mungkin hanya pada satu bagian otal dan menyebabkan

gejala kejang parsial. Kejang tonik-klonik secara umum menyebabkan penderita

menjerit dan diikuti dengan hilangnya kesadaran, twitching kedua tungkai dan

lengan, gerakan tubuh konvulsi dan hilangnya kontrol kandung kemih.

3. Gangguan pertumbuhan

Sindroma gagal tumbuh sering terjadi pada CP derajat sedang hingga berat,

terutama tipe quadriparesis. Gagal tumbuh secara umum adalah istilah untuk

mendeskripsikan anak – anak yang terhambat pertumbuhan dan perkembangannya

walaupun dengan asupan makanan yang cukup. Tampak pendek dan tidak tampak

tanda maturasi seksual. Sebagai tambahan, otot tungkai yang mengalami

spastisitas mempunyai kecenderungan lebih kecil dibanding normal. Kondisi

tersebut juga mengenai tangan dan kaki karena gangguan penggunaan otot tungkai

(disuse atrophy).

4. Gangguan penglihatan dan pendengaran

Mata tampak tidak segaris karena perbedaan pada otot mata kanan dan kiri

sehingga menimbulkan penglihatan ganda. Jika tidak segera dikoreksi dapat

menimbulkan gangguan berat pada mata.

11

5. Sensasi dan persepsi normal

Sebagian pendertia CP mengalami gangguan kemampuan untuk merasakan

sensasi misalnya sentuhan dan nyeri. Mereka juga mengalami stereognosia, atau

kesulitan merasakan dan mengidentifikasi obyek melalui sensasi.

8. DIAGNOSIS

8.1 Gejala Awal

Tanda awal CP biasanya tampak pada usia <3 tahun, dan orang tua sering mencurigai

ketika kemampuan perkembangan motorik tidak normal. Bayi dengan CP sering mengalami

kelambatan perkembangan, misalnya tengkurap, duduk, merangkak, tersenyum atau berjalan. 1,4,5,6

1) Spastisitas

Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan reflek

Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak hilang

meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya

pada suatu gabungan otot, karena itu tampak sifat yang khas dengan kecenderungan

terjadi kontraktur, misalnya lengan dalam aduksi, fleksi pada sendi siku dan

pergelangan tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari

melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap aduksi, fleksi pada sendi paha dan

lutut, kaki dalam flesi plantar dan telapak kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex

dan refleks neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya terletak di

traktus kortikospinalis. Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung kepada letak dan

besarnya kerusakan yaitu monoplegia/ monoparesis. Kelumpuhan keempat anggota

gerak, tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya; hemiplegia/

hemiparesis adalah kelumpuhan lengan dan tungkai dipihak yang sama; diplegia/

diparesis adalah kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat

daripada lengan; tetraplegia/ tetraparesis adalah kelimpuhan keempat anggota gerak,

lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai

2) Tonus otot yang berubah

Bayi pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak flaksid (lemas) dan

berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor

neuron. Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah

hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak fleksid dan sikapnya seperti kodok

terlentang, tetapi bila dirangsang atau mulai diperiksa otot tonusnya berubah menjadi

12

spastis, Refleks otot yang normal dan refleks babinski negatif, tetapi yang khas ialah

refelek neonatal dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang

otak dan disebabkan oleh afiksia perinatal atau ikterus.

3) Koreo-atetosis

Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi

dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak flaksid,

tetapa sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan

tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan ataksia,

kerusakan terletak diganglia basal disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern

pada masa neonatus.

4) Ataksia

Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid dan

menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan tamapak

bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan

canggung dan kaku. Kerusakan terletak diserebelum.

5) Gangguan pendengaran

Terdapat 5-10% anak dengan serebral palsi. Gangguan berupa kelainan neurogen

terutama persepsi nadi tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada

golongan koreo-atetosis.

6) Gangguan bicara

Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental. Gerakan yang terjadi

dengan sendirinya dibibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut

sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.

7) Gangguan mata

Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi.pada

keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak.

8.2 Pemeriksaan fisik

Dalam menegakkan diagnosis CP perlu melakukan pemeriksaan kemampuan motorik

bayi dan melihat kembali riwayat medis mulai dari riwayat kehamilan, persalinan dan

kesehatan bayi. Perlu juga dilakukan pemeriksaan refleks dan mengukur perkembangan

lingkar kepala anak.6

Perlu juga memeriksa penggunaan tangan, kecenderungan untuk menggunakan

tangan kanan atau kiri. Jika dokter memegang obyek didepan dan pada sisi dari bayi, bayi

13

akan mengambil benda tersebut dengan tangan yang cenderung dipakai, walaupun obyek

didekatkan pada tangan yang sebelahnya. Sampai usia 12 bulan, bayi masih belum

menunjukkan kecenderungan menggunakan tangan yang dipilih. Tetapi bayi dengan spastik

hemiplegia, akan menunjukkan perkembangan pemilihan tangan lebih dini, sejak tangan

pada sisi yang tidak terkena menjadi lebih kuat dan banyak digunakan.

Langkah selanjutnya dalam diagnosis CP adalah menyingkirkan penyakit lain yang

menyebabkan masalah pergerakan. Yang terpenting, harus ditentukan bahwa kondisi anak

tidak bertambah memburuk. Walaupun gejala dapat berubah bersama waktu, CP sesuai

dengan definisinya tidak dapat menjadi progresif. Jika anak secara progresif kehilangan

kemampuan motorik, ada kemungkinan terdapat masalah yang berasal dari penyakit lain,

misalnya penyakit genetik, penyakit muskuler, kelainan metabolik, tumor SSP. Penelitian

metabolik dan genetik tidak rutin dilakukan dalam evaluasi anak dengan CP. Riwayat medis

anak, pemeriksaan diagnostik khusus, dan, pada sebagian kasus, pengulangan pemeriksaan

akan sangat berguna untuk konfirmasi diagnostik dimana penyakit lain dapat disingkirkan.1,4,5

8.3 Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan khusus neuroradiologik untuk mencari kemungkinan penyebab CP perlu

dikerjakan, salah satu pemeriksaan adalah CT scan kepala, yang merupakan pemeriksaan

imaging untuk mengetahui struktur jaringan otak. CT scan dapat menjabarkan area otak yang

kurang berkembang, kista abnormal, atau kelainan lainnya. Dengan informasi dari CT Scan,

dokter dapat menentukan prognosis penderita CP.

MRI kepala, merupakan tehnik imaging yang canggih, menghasilkan gambar yang

lebih baik dalam hal struktur atau area abnormal dengan lokasi dekat dengan tulang

dibanding dengan CT scan kepala.

Dikatakan bahwa neuroimaging direkomendasikan dalam evaluasi anak CP jika

etiologi tidak dapat ditemukan.

Pemeriksaan ketiga yang dapat menggambarkan masalah dalam jaringan otak adalah

USG kepala. USG dapat digunakan pada bayi sebelum tulang kepala mengeras dan UUB

tertutup. Walaupun hasilnya kurang akurat dibanding CT dan MRI, tehnik tersebut dapat

mendeteksi kista dan struktur otak, lebih murah dan tidak membutuhkan periode lama

pemeriksaannya. 11

Pada akhirnya, klinisi mungkin akan mempertimbangkan kondisi lain yang

berhubungan dengan CP, termasuk kejang, gangguan mental, dan visus atau masalah

pendengaran untuk menentukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.

14

Jika dokter menduga adanya penyakit kejang, EEG harus dilakukan (Level A, Class I-

II evidence. EEG akan membantu dokter untuk melihat aktivitas elektrik otak dimana akan

menunjukkan penyakit kejang. Pemeriksaan intelegensi harus dikerjakan untuk menentukan

derajat gangguan mental. Kadangkala intelegensi anak sulit ditentukan dengan sebenarnya

karena keterbatasan pergerakan, sensasi atau bicara, sehingga anak CP mengalami kesulitan

melakukan tes dengan baik.

9. TATALAKSANA CEREBRAL PALSY

Masalah utama yang dijumpai dan dihadapi pada anak yang menderita CP antara lain

1. Kelemahan dalam mengendalikan otot tenggorokan, mulut dan lidah akan

menyebabkan anak tampak selalu berliur. Air liur dapat menyebabkan iritasi berat

kulit dan menyebabkan seseorang sulit diterima dalam kehidupan sosial dan pada

akhirnya menyebabkan anak akan terisolir dalam kehidupan kelompoknya. Walaupun

sejumlah terapi untuk mengatasi drooling telah dicoba selama bertahun-tahun,

dikatakan tidak ada satupun yang selalu berhasil. Obat yang dikenal dengan

antikholinergik dapat menurunkan aliran saliva tetapi dapat menimbulkan efek

samping yang bermakna, misalnya mulut kering dan digesti yang buruk. Pembedahan,

walaupun kadang-kadang efektif, akan membawa komplikasi, termasuk

memburuknya masalah menelan. Beberapa penderita berhasil dengan teknik

biofeedback yang dapat memberitahu penderita saat drooling atau mengalami

kesulitan untuk mengendalikan otot yang akan membuat mulut tertutup. Terapi

tersebut tampaknya akan berhasil jika penderita mempunyai usia mental 2-3 tahun,

dimana dapat dimotivasi untuk mengendalikan drooling, dan dapat mengerti bahwa

drooling akan menyebabkan seseorang secara sosial sulit diterima.11

2. Kesulitan makan dan menelan, yang dipicu oleh masalah motorik pada mulut,

dapat menyebab gangguan nutrisi yang berat.

Nutrisi yang buruk, pada akhirnya dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi

dan menyebabkan gagal tumbuh. Untuk membuat menelan lebih mudah, disarankan

untuk membuat makanan semisolid, misalnya sayur dan buah yang dihancurkan.

Posisi ideal, misalnya duduk saat makan atau minum dan menegakkan leher akan

menurunkan resiko tersedak. Pada kasus gangguan menelan berat dan malnutrisi,

klinisi dapat merekomendasikan penggunaan selang makanan, yang digunakan untuk

memasukkan makanan dan nutrien ke saluran makanan, atau gastrostomy, dimana

dokter bedah akan meletakkan selang langsung pada lambung.11

15

3. Inkontinentia Urin.

Inkontinentia urin adalah komplikasi yang sering terjadi. Inkontinentia urin ini

disebabkan karena penderita CP kesulitan mengendalikan otot yang selalu menjaga

supaya kandung kemih selalu tertutup. Inkontinentia urin dapat berupa enuresis,

dimana seseorang tidak dapat mengendalikan urinasi selama aktivitas fisik (stress

inkonentia), atau merembesnya urine dari kandung kemih. Terapi medikasi yang

dapat diberikan untuk inkonensia meliputi olah raga khusus, biofeedback, obat-

obatan, pembedahan atau alat yang dilekatkan dengan pembedahan untuk mengganti

atau membantu otot.11

CP tidak dapat disembuhkan, terapi yang dilakukan ditujukan untuk memperbaiki

kapabilitas anak. Dalam perkembangannya, hingga saat ini tujuan terapi pada CP adalah

mengusahakan penderita dapat hidup mendekati kehidupan normal dengan mengelola

problem neurologis yang ada seoptimal mungkin. Disini tidak ada terapi standar yang berlaku

untuk semua penderita CP. Klinisi diharapkan dapat bekerja sama dalam tim, untuk

mengidentifikasi kebutuhan khusus masing-masing anak dan kelainan-kelainan yang ada dan

kemudian menentukan terapi individual yang cocok untuk setiap penderita.

9.1 Terapi Spesifik Cerebral Palsy

Terapi untuk pergerakan, bicara atau kemampuan mengerjakan tugas sederhana,

merupakan tujuan dari terapi CP. Terapi CP ditujukan pada perubahan kebutuhan penderita

sesuai dengan perkembangan usia.2

Terapi fisik selalu dimulai pada usia tahun pertama kehidupan, segera setelah

diagnostik ditegakkan. Program terapi fisik menggunakan gerakan spesifik mempunyai 2

tujuan utama yaitu mencegah kelemahan atau kemunduran fungsi otot yang apabila berlanjut

akan menyebabkan pengerutan otot (disuse atrophy) dan yang kedua adalah menghindari

kontraktur, dimana otot akan menjadi kaku yang pada akhirnya akan menimbulkan posisi

tubuh abnormal.2

Kontraktur adalah satu komplikasi yang sering terjadi. Pada keadaan normal, dengan

panjang tulang yang masih tumbuh akan menarik otot tubuh dan tendon pada saat berjalan

dan berlari dan aktivitas sehari-hari. Hal ini memastikan bahwa otot akan berkembang dalam

kecepatan yang sama. Tetapi pada anak dengan CP, spastisitas akan mencegah peregangan

otot dan hal tersebut akam menyebabkan otot tidak dapat berkembang cukup pesat untuk

mengimbangi kecepatan tumbuh tulang. Kontraktur dapat mengganggu keseimbangan dan

16

memicu hilangnya kemampuan yang sebelumnya. Dengan melakukan terapi fisik saja atau

dengan kombinasi penopang khusus (alat orthotik), kita dapat mencegah komplikasi dengan

cara melakukan peregangan pada otot yang spastik. Sebagai contoh, jika anak mengalami

spastik pada otot hamstring, terapis dan keluarga seharusnya mendorong anak untuk duduk

dengan kaki diluruskan untuk meregangkan ototnya.2

Tujuan ketiga dari program terapi fisik adalah meningkatkan perkembangan motorik

anak. Cara kerja untuk mendukung tujuan tersebut dengan tehnik Bobath. Dasar dari

program tersebut adalah refleks primitif akan tertahan pada anak CP yang menyebabkan

hambatan anak untuk belajar mengontrol gerakan volunter. Terapis akan berusaha untuk

menetralkan refleks tersebut dengan memposisikan anak pada posisi yang berlawanan. Jadi,

sebagai contoh, jika anak dengan CP normalnya selalu melakukan fleksi pada lengannya,

terapis seharusnya melakukan gerakan ekstensi berulang kali pada lengan tersebut.

Pendekatan kedua untuk terapi fisik adalah membuat pola, berdasarkan prinsip bahwa

kemampuan motorik seharusnya diajarkan dalam ururtan yang sama supaya berkembang

secara normal. Pada pendekatan kontrovesial tersebut, terapis akan membimbing anak sesuai

dengan gerakan sepanjang alur perkembangan motorik normal. Sebagai contoh, anak belajar

gerakan dasar seperti menarik badannya pada posisi duduk dan merangkak sebelum anak

mampu berjalan, yang berhubungan dengan tanpa melihat usianya.

Terapi perilaku merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan kemampuan anak.

Terapi ini, menggunakan teori dan tehnik psikologi, yang dapat melengkapi terapi fisik,

bicara dan okupasi. Sebagai contoh, terapi perilaku meliputi menyembunyikan boneka dalam

kotak dengan harapan anak dapat belajar bagaimana meraih kotak dengan menggunakan

tangan yang lebih lemah. Seperti anak belajar untuk berkata dengan huruf depan b dapat

menggunakan balon untuk menciptakan kata tersebut. Pada kasus yang lain, terapis dapat

mencoba menghindari perilaku yang tidak menguntungkan atau perilaku merusak, misalnya

menarik rambut atau menggigit, dengan menunjukkan hadiah pada anak yang menunjukkan

aktivitas yang baik.2

Pada saat anak CP tumbuh lanjut, kebutuhan mereka untuk dan tipe terapi dan

pelayanan bantuan lain akan berlanjut dan berubah. Terapi fisik berkelanjutan berdasarkan

masalah pergerakan dan disuplementasi dengan latihan vokal, rekreasi dan program yang

menyenangkan, dan edukasi khusus jika diperlukan. Konseling untuk perubahan emosi dan

psikologis dapat dibutuhkan pada setiap usia, tetapi paling sering pada masa remaja.

Tergantung pada kemampuan fisik dan intelektual, orang dewasa mungkin membutuhkan

pengasuh yang peduli, akomodasi hidup, transportasi atau pekerjaan.1

17

Dengan tanpa memandang usia dan bentuk terapi yang digunakan, terapi tidak

berhenti saat penderit keluar dari ruangan terapi. Pada kenyataannya, sebagian besar

pekerjaan sering dilakukan di rumah. Terapis berfungsi sebagai pelatih, menyiapkan orang

tua dan penderita dengan strategi dan melatihnya dimana dapat membantu meningkatkan

penampilan di rumah, sekolah dan dimasyarakat.10

9.2 Terapi Medikamentosa

Untuk penderita CP yang disertai kejang, dokter dapat memberi obat anti kejang yang

terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kejang ulangan. obat yang diberikan secara

individual dipilih berdasarkan tipe kejang, karena tidak ada satu obat yang dapat mengontrol

semua tipe kejang. Bagaimanapun juga, orang yang berbeda walaupun dengan tipe kejang

yang sama dapat membaik dengan obat yang berbeda, dan banyak orang mungkin

membutuhkan terapi kombinasi dari dua atau lebih macam obat untuk mencapai efektivitas

pengontrolan kejang 1,4,5

Dua macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi spastisitas pada penderita

CP adalah:

1. Baclofen

Obat ini bekerja dengan menutup penerimaan signal dari medula spinalis yang

akan menyebabkan kontraksi otot.

Dosis obat yang dianjurkan pada penderita CP adalah sebagai berikut:

■ 2 - 7 tahun:

Dosis 10 - 40 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 - 4 dosis. Dosis dimulai 2,5

- 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5 - 15 mg/hari,

maksimal 40 mg/hari

■ 8 - 11 tahun:

Dosis 10 - 60 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4 dosis. Dosis dimulai 2,5

- 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5 - 15 mg/hari,

maksimal 60 mg/hari

■ > 12 tahun:

Dosis 20 - 80 mg/hari per oral, dibagi dalam 3-4 dosis. Dosis dimulai 5 mg

per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 15 mg/hari, maksimal

80 mg/hari

2. Dantrolene

18

Obat ini bekerja dengan mengintervensi proses kontraksi otot sehingga kontraksi

otot tidak bekerja.

Dosis yang dianjurkan dimulai dari 25 mg/hari, maksimal 40 mg/hari

Obat-obatan tersebut diatas akan menurunkan spastisitas untuk periode singkat, tetapi

untuk penggunaan jangka waktu panjang belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Obat - obatan

tersebut dapat menimbulkan efek samping, misalnya mengantuk, dan efek jangka panjang

pada sistem saraf yang sedang berkembang belum jelas. Satu solusi untuk menghindari efek

samping adalah dengan mengeksplorasi cara baru untuk memberi obat - obat tersebut

Penderita dengan CP atetoid kadang-kadang dapat diberikan obat-obatan yang dapat

membantu menurunkan gerakan-gerakan abnormal. Obat yang sering digunakan termasuk

golongan antikolinergik, bekerja dengan menurunkan aktivitas acetilkoline yang merupakan

bahan kimia messenger yang akan menunjang hubungan antar sel otak dan mencetuskan

terjadinya kontraksi otot. Obat-obatan antikolinergik meliputi trihexyphenidyl, benztropine

dan procyclidine hydrochloride.

Adakalanya, klinisi menggunakan membasuh dengan alkohol atau injeksi alkohol

kedalam otot untuk menurunkan spastisitas untuk periode singkat. Tehnik tersebut sering

digunakan klinisi saat hendak melakukan koreksi perkembangan kontraktur. Alkohol yang

diinjeksikan kedalam otot akan melemahkan otot selama beberapa minggu dan akan

memberikan waktu untuk melakukan bracing, terapi. Pada banyak kasus, teknik tersebut

dapat menunda kebutuhan untuk melakukan pembedahan.

Botulinum Toxin (BOTOX)

Merupakan medikasi yang bekerja dengan menghambat pelepasan acetilcholine dari

presinaptik pada pertemuan otot dan saraf. Injeksi pada otot yang kaku akan menyebabkan

kelemahan otot. Kombinasi terapi antara melemahkan otot dan menguatkan otot yang

berlawanan kerjanya akan meminimalisasi atau mencegah kontraktur yang akan berkembang

sesuai dengan pertumbuhan tulang. Intervensi ini digunakan jika otot yang menyebabkan

deformitas tidak banyak jumlahnya, misalnya spastisitas pada tumit yang menyebabkan gait

jalan berjinjit (Toe-heel gait) atau spastisitas pada otot flexor lutut yang menyebabkan crouch

gait. Perbaikan tonus otot sering akibat mulai berkembangnya saraf terminal, yang merupakan

proses dengan puncak terjadi pada 60 hari.

Intervensi botulinum dapat digunakan pada deformitas ekstremitas atas yang secara

sekunder akibat tonus otot abnormal dan tumbuhnya tulang. Kelainan yang sering dijumpai

19

adalah aduksi bahu dan rotasi internal, fleksi lengan, pronasi telapak tangan dan fleksi

pergelangan tangan dan jari-jari. Botulinum toksin sangat efektif untuk memperbaiki kekakuan

siku dan ekstensi ibu jari. Seperti sudah diduga sebelumnya, fungsi motorik halus tidak banyak

mengalami perbaikan. Keuntungan dari segi kosmetik untuk memperbaiki fleksi siku sangat

dramatik.

Komplikasi injeksi botulinum toksin dikatakan minimal. Nyeri akibat injeksi minimal,

biasanya akan hilang tidak lebih dari 5 menit setelah injeksi. Efikasi tercapai dalam 48-72 jam

dan akan menghilang dalam 2-4 bulan setelah injeksi. Lama waktu penggunaan botulinum toksi

dilanjutkan tergantung dari derajat abnormalitas tonus otot, respon penderita dan kemampuan

untuk memelihara fungsi yang diinginkan.

20

9.3 Terapi Bedah

Pembedahan sering direkomendasikan jika terjadi kontraktur berat dan menyebabkan

masalah pergerakan berat. Dokter bedah akan mengukur panjang otot dan tendon, menentukan

dengan tepat otot mana yang bermasalah. Menentukan otot yang bermasalah merupakan hal yang

sulit, berjalan dengan cara berjalan yang benar, membutuhkan lebih dari 30 otot utama yang

bekerja secara tepat pada waktu yang tepat dan dengan kekuatan yang tepat. Masalah pada satu

otot dapat menyebabkan cara berjalan abnormal. Lebih jauh lagi, penyesuaian tubuh terhadap

otot yang bermasalah dapat tidak tepat. Alat baru yang dapat memungkinkan dokter untuk

melakukan analisis gait. Analisis gait menggunakan kamera yang merekam saat penderita

berjalan, komputer akan menganalisis tiap bagian gait penderita. Dengan menggunakan data

tersebut, dokter akan lebih baik dalam melakukan upaya intervensi dan mengkoreksi masalah

yang sesungguhnya. Mereka juga menggunakan analisis gait untuk memeriksa hasil operasi.1

Oleh karena pemanjangan otot akan menyebabkan otot tersebut lebih lemah, pembedahan

untuk koreksi kontraktur selalu diamati selama beberapa bulan setelah operasi. Karena hal

tersebut, dokter berusaha untuk menentukan semua otot yang terkena pada satu waktu jika

memungkinkan atau jika lebih dari satu produser pembedahan tidak dapat dihindarkan, mereka

dapat mencopa untuk menjadwalkan operasi yang terkait secara bersama-sama.

Teknik kedua pembedahan, yang dikenal dengan selektif dorsal root rhizotomy, ditujukan

untuk menurunkan spastisitas pada otot tungkai dengan menurunkan jumlah stimulasi yang

mencapai otot tungkai melalui saraf. Dalam prosedur tersebut, dokter berupaya melokalisir dan

memilih untuk memotong saraf yang terlalu dominan yang mengontrol otot tungkai. walaupun

disini terdapat kontroversi dalam pelaksanaannya.1

Teknik pembedahan eksperimental meliputi stimulasi kronik cerebellar dan stereotaxic

thalamotomy. Pada stimulasi kronik cerebelar, elektroda ditanam pada permukaan cerebelum

yang merupakan bagian otak yang bertanggung jawab dalam koordinasi gerakan, dan digunakan

untuk menstimulasi saraf-saraf cerebellar, dengan harapan bahwa teknik tersebut dapat

menurunkan spastisitas dan memperbaiki fungsi motorik, hasil dari prosedur invasif tersebut

masih belum jelas. Beberapa penelitan melaporkan perbaikan spastisitas dan fungsi, sedang

lainnya melaporkan hasil sebaliknya

III. ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama Lengkap: An. F.R.R

Tanggal lahir : 23 November 2003

Umur : 9 tahun 7/12

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pendidikan : Tidak sekolah

Alamat : Pangkalan Jati 07/04, no 58, Cipinang Melayu, Makasar

ORANG TUA

Ayah

Nama Lengkap: Tn. M. A.

Tanggal lahir : 6 April 1977

Suku Bangsa : Jawa

Agama : Muslim

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Penghasilan : ± Rp 5.000.000,- / bulan

Alamat : Pangkalan Jati 07/01, no 58 Cipinang Melayu, Makasar

Ibu

Nama Lengkap: Ny. S. J.

Tanggal lahir : 8 Mei 1978

Suku bangsa : Jawa

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Penghasilan : -

Alamat : Pangkalan Jati 07/01, no 58 Cipinang Melayu, Makasar

Hubungan dengan orang tua : Anak Kandung

Tgl Masuk Pasien : 16 Juli 2013

Tgl Pulang pasien : 22 Juli 2013

II. RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN

KEHAMILAN

Perawatan Ante Natal : Trimester I 1x dalam sebulan di bidan praktek swasta

Trimester II 2x dalam sebulan di bidan praktek swasta

Trimester III 2x dalam sebulan di bidan praktek swasta

Riwayat kehamilan : Tidak ada penyulit

KELAHIRAN

Tempat lahir : Rumah sakit

Penolong persalinan : Dokter

Cara persalinan : Spontan

Penyulit : Partus lama

Masa gestasi : Cukup bulan

Keadaan Bayi

Berat badan lahir : 2800 g

Panjang badan : 49 cm

Lingkar kepala : 38 cm

Langsung Menangis

Nilai APGAR : 6/8

Kelainan bawaan : Tidak ada

III RIWAYAT TUMBUH KEMBANG

Gigi pertama : 3 bulan

Psikomotor

Tengkurap : 4 bulan

Duduk : 6 bulan

Berdiri : 10 bulan

Berjalan : 18 bulan

Berbicara : 18 bulan

Membaca : 24 bulan

Perkembangan Pubertas

Rambut pubis : belum ada

Perubahan suara : belum ada

IV RIWAYAT IMUNISASI

Vaksin Dasar (Umur dalam bulan) Ulangan (Umur dalam bulan)

BCG 2

DPT/DT 2 4 6

POLIO 0 2 4

CAMPAK 9

Hepatitis B 0 2 6

MMR

Kesan : Imunisasi dasar lengkap

V RIWAYAT MAKANAN

Umur/Bulan/Frekuensi ASI/PASI Buah/Biskuit Bubur Susu Nasi Tim

0-2 ASI 12x sehari - - -

2-4 ASI 10x sehari - - -

4-6 ASI 8x sehari - - -

6-8 ASI 5x sehari 2x sehari 1x sehari -

8-10 ASI 5x sehari 2x sehari 2x sehari 1x sehari

10-12 - 2x sehari 1x sehari 3x sehari

Kesan: Kualitas dan kuantitas cukup

Umur Lebih dari 1 tahun

Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah

Nasi / Pengganti 3x sehari

Sayur 1x sehari

Daging 1x sehari

Telur 1x sehari

Ikan 1x sehari

Tahu 1x sehari

Tempe 2x sehari

Susu (bendera/ gelas 100 cc) 1x sehari

VI RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DI DERITA

Penyakit Umur Penyakit

Diare - Morbili -

Otitis - Parotitis -

Radang Paru Sering batuk pilek

usia 5 tahun

Demam berdarah -

Tuberkulosis - Demam tifoid -

Kejang Saat berusia 4 tahun

hingga kini

Cacingan -

Ginjal - Alergi -

Jantung - Kecelakan -

Darah - Operasi -

Difteri - Lain-lain -

VII RIWAYAT KELUARGA

No Tanggal

Lahir

Jenis

Kelamin

Hidup Lahir

Mati

Abortus Mati Keteranga

n

1 23-11-2003 Laki-laki √ - - - Ini

2

Data Keluarga

Keterangan Ayah Ibu

Perkawinan ke 1 1

Umur Saat Menikah 30 31 tahun

Konsanquinitas - -

Keadaan Kesehatan Sehat Sehat

Data Perumahan

Kepemilikan rumah : Pribadi

Keadaan rumah : Ukuran 6 x 8 = 48 m2, satu lantai

Dinding terbuat dari : tembok

Atap terbuat dari : gunting

Ventilasi : kurang, hanya pada bagian depan rumah

Jarak septic tank ke sumber air bersih : 8m

Keadaan lingkungan : Berupa kompleks perumahan : ya

Tempat pembuangan sampah : ada

VII RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Keluhan utama : Kejang

Keluhan tambahan : Demam, batuk berdahak

Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien datang dengan keluhan kejang ± 3 hari hilang timbul, awalnya berupa kejang

seluruh tubuh yang muncul secara tiba-tiba, pasien menjadi kaku, berlangsung ± 40 detik,

dalam sehari berlangsung lebih dari 5x. Ibu pasien menceritakan pada saat kejang biasanya

diawali oleh tatapan mata pasien yang kosong. Untuk mengurangi keluhan pasien diberikan

depakene dan luminal, keluhan hanya berkurang sementara. Pada hari kedua keluhan yang

sama terjadi, akhirnya pasien diberikan oksigen dan sempat dibawa ke RS “H”. Oleh dokter

di rumah sakit tersebut pasien diberikan stesolid sebanyak 3 kali, keluhan berkurang sehingga

akhirnya diperbolehkan pulang. ± 1 hari yang lalu pasien mengalami keluhan yang sama,

hilang timbul, berupa kejang pada seluruh tubuh, kaku, berlangsung lebih dari 5x dalam

sehari, sempat diberikan oksigen namun keluhan tidak berkurang. Pasien sempat terlihat

sangat sesak, akhirnya keluarga membawa pasien ke RS UKI untuk dirawat. Riwayat

pengobatan 6 bulan disangkal, riwayat bayi kuning disangkal, riwayat alergi disangkal.

Pasien sering tidak bisa menahan pipis dan buang air besar sulit sejak usia 4 tahun. Riwayat

cedera kepala disangkal.

Selain itu pasien juga merasa demam, keluhan timbul mendahului kejang, keluhan

berlangsung selama 3 hari, diberikan obat penurun panas namun hanya berkurang sementara.

Pasien juga mengalami batuk berdahak yang sulit dikeluarkan, keluhan mual dan muntah

disangkal.

VIII RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Keluarga menceritakan bahwa pasien sempat mengalami kejang pada usia 4 tahun.

Kejang tanpa diawali demam yang muncul secara tiba-tiba. Pada saat kejang mata pasien

seperti mendelik ke atas, mulut mengeluarkan busa dan kejang tidak berhenti sebelum

mendapat pengobatan Kejang seluruh tubuh, berlangsung cukup lama berkisar ± 20 menit,

berulang, hingga akhirnya dilarikan ke RS “T” dan dirawat di ICU selama 1 minggu,

keluarga pasien sempat mengira bahwa mereka akan kehilangan pasien pada hari itu, karena

pasien terlihat sangat pucat dan jari-jari tangan terlihat biru, dan nafasnya kadang-kadang

terhenti. Pada masa perawatan itu pasien didiagnosa mengalami meningoensefalitis tb yang

dibuktikan melalui pemeriksaan lumbal pungsi.

Semenjak keluhan itu keluarga pasien merasa pertumbuhan dan perkembangan pasien

menjadi terganggu. Banyak perubahan yang nampak seperti cara berjalan dan gerakan pasien

hingga saat ini. Pasien menjadi sering kejang selama ± 5 tahun terakhir hingga saat ini,

sampai akhirnya pasien tidak mampu untuk berjalan lagi.

Pasien sempat dibawa berobat dan dilakukan ct-scan pada tahun 2010, dari sana

keluarga pasien mengetahui bahwa terdapat pengecilan otak sebagian yang diduga menjadi

penyebab kelumpuhan ini.

Riwayat Penyakit Pada Anggota Keluarga Lain

Di dalam keluarga tidak ada yang pernah mengalami keluhan yang serupa dengan

pasien.

IX. PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal : 22 Juli 2013 Jam : 12.00

KU : Tampak sakit sedang (Lemas, Sesak, Sianosis -)

Kes : Apatis, (kontak -)

TD : 90/60 mmhg

Frekuensi nadi : 108 x/menit Berat badan : 25 kg

Frekuensi nafas : 32 x/menit Tinggi badan : 125 cm

Suhu : 36,60C

Pemeriksaan sistem

Kepala : Bentuk normocephali, simetris

Rambut dan kulit kepala : Pertumbuhan rambut merata, bewarna hitam, tidak mudah dicabut

Mata : Mendelik ke atas, kelopak mata cekung -/-, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,

RCL +/+, RCTL +/+, pupil Anisokor 3mm/4mm,

Telinga : normotia +/+, liang telinga lapang +/+, sekret -/-

Hidung : Bentuk normal, deviasi septum -, konka hiperemis -/-, sekret -/-, nafas cuping

hidung -/-

Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis sentral -, T1-T1, tidak hiperemis, faring tidak

hiperemis

Leher : KGB teraba membesar di regio submandibula sinistra, sebesar biji jagung, kenyal,

suhu dan warna sama dengan sekitar.

Thorax: I: Pergerakan dinding dada simetris kanan = kiri, tampak retraksi pernafasan +

P: vokal fremitus sulit dinilai

P: redup kanan dan kiri

A: BND Bronchovesiculer, rhonki +/+, wheezing -/-

BJ I & II Normal, reguler, murmur -, gallop –

Abdomen: I: Perut tampak datar

A: Bising usus + 5x/menit

P: Timpani, nyeri ketuk –

P: Supel, nyeri tekan -, hepar dan lien tidak teraba membesar

Vertebrae: Scoliosis

Ekstremitas : Atas : Spastisitas +/+, CRT < 2”

Bawah: Spastisitas +/+, Equinovarus bilateral , CRT < 2”

Pemeriksaan Neurologis

I. Rangsang meningens

Kaku kuduk –

Brudzinski I -/-

Brudzinski II -/-

Kerniq : -/-

Laseque : > 700/> 700

II. Nervus Cranialis

N.I (Olfaktorius)

Lubang hidung Lapang/ lapang

Penciuman Sulit dinilai

N. II (Optikus)

Visus kasar Sulit dinilai Sulit dinilai

Lapangan pandang Sulit dinilai Sulit dinilai

Funduscopy Tidak dilakukan

N. III, IV, VI (Okolomotorius, Trochlearis, Abdusen)

Sikap bola mata : tidak simetris

Pergerakan bola mata : segala arah

Ptosis : tidak ada

Strabismus : tidak ada

Eksoftalmus : tidak ada

Endoftalmus : tidak ada

Diplopia : sulit dinilai

Deviasi Konjugee : +/-

Pupil : Anisokor 3mm/4mm

N. V (Trigeminus)

Motorik

- Membuka Mulut : Sulit dinilai

- Gerakan Rahang : Sulit dinilai

- Menggigit : Sulit dinilai

Menggigit (palpasi)

- Maseter : Sulit dinilai

- Temporalis : Sulit dinilai

Sensorik

- Rasa nyeri : Sulit dinilai

- Rasa Raba : Sulit dinilai

- Rasa Suhu : Sulit dinilai

Reflek: - Reflek Kornea : + +

N.VII (Fasialis)

Sikap wajah (saat istirahat): Simetris

Mimik : Tidak wajar

Angkat Alis : Sulit dinilai

Kerut Dahi : Sulit dinilai

Lagoftalmus : + / +

Kembung Pipi : Sulit dinilai

Menyeringai : Sulit dinilai

Fenomena “Chvostek” : -

N.VIII (Vestibulokokhlearis)

Vestibularis

- Nistagmus : + / +

- Vertigo : Sulit dinilai

Kokhlearis

- Suara bisik : Sulit dinilai

- Gesekan jari : Sulit dinilai

- Tes “Rinne” : Tidak dilakukan

- Tes “Weber” : Tidak dilakukan

- Tes “Schwabach” : Tidak dilakukan

N. IX, X (Glosofaringeus, Vagus)

Arkus Faring : simetris, uvula ditengah

Palatum Mole : intak, simetris

Disfoni : Tidak ada

Rinolali : Tidak ada

Disfagi : +

Batuk : Tidak ada

Disartria : +

Refleks Faring : -

Refleks Okulokardiak : +

Refleks Sinus Karotikus : +

N.XI (Asesorius)

Menoleh (kanan,kiri,bawah) : Tidak dilakukan

Angkat Bahu : Tidak dilakukan

N.XII (Hipoglosus)

Sikap lidah dalam mulut : simetris

Julur lidah : tidak dilakukan

Gerakan lidah : sulit dinilai

Tremor : -

Fasikulasi : tidak ada

Tenaga otot lidah : Sulit dinilai

1. Motorik

Derajat kekuatan otot Tetraplegia dengan Lateralisasi pada kedua tungkai

Tonus otot (hiper,normo,hipo,atoni)

Lengan kanan kiri

- Fleksor : Normotonus Normotonus

- Ekstensor : Normotonus Normotonus

Tungkai

- Fleksor : Hipertonus Hipertonus

- Ekstensor : Hipertonus Hipertonus

Trofi Otot

Lengan : Atrofi Atrofi

Tungkai : Eutrofi Eutrofi

Gerakan Spontan Abnormal

Kejang : +

Tetani : tidak ada

Tremor : -

Khorea : tidak ada

Atetosis : +

Balismus : tidak ada

Diskinesia : tidak ada

Mioklonik : +

2. Koordinasi

Statis

- Duduk : tidak dilakukan

- Berdiri : tidak dilakukan

- Tes Romberg : tidak dilakukan

Dinamis

- Telunjuk Hidung : tidak dilakukan

- Jari-jari : tidak dilakukan

- Tremor Intensi : tidak dilakukan

- Disdiadokokinesis : tidak dilakukan

- Dismetri : tidak dilakukan

- Bicara (disartri) : tidak dilakukan

- Menulis : tidak dilakukan

3. Refleks

Refleks Tendo

- Biseps : ++ / ++

- Triseps : ++ / ++

- “Knee Pes Reflex” : +++ / +++

- “Achilles Pes Reflex” : +++ / +++

Refleks Abnormal

- Babinski : -/-

- Chaddock : -/-

- Oppenheim : -/-

- Gordon : -/-

- Schaeffer : -/-

- Hoffman Trommer : -/-

- Klonus lutut : -/-

- Klonus Kaki : +/+

4. Sensibilitas

Eksteroseptif

- Rasa raba : baik, kanan = kiri

- Rasa nyeri : baik, kanan = kiri

- Rasa suhu : tidak dilakukan

Propioseptif

- Rasa sikap : Sulit dinilai

- Rasa getar : Sulit dinilai

5. Vegetatif

Miksi : Gangguan

Defekasi : Gangguan

Salivasi : normal

Sekresi keringat : normal

6. Fungsi Luhur

Memori : Sulit dinilai

Bahasa : Afasia

Visuospatial : Sulit dinilai

Kognitif : Sulit dinilai

X. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

LED : 18 mm/jam Hit Jenis

Hb : 13,6 mg/dl Basofil 0 %

Leukosit : 18,9 ribu/ul Eosinofil 0 %

Eritrosit : 4,61 juta/ml Neutrofill batang 0 %

Ht : 38,5 % segment 81 %

Trombosit : 307 ribu/ul Limfosit 9 %

MCV : 83,4 Monosit 0 %

MCH : 29,6 Na+ : 151 mmol/L

MCHC : 35,4 k+ : 3,6 mmol/L

GDS 74 mg/dl Cl- : 106 mmol/L

Ureum 18 mg/dl

Kreatinin 0.78 mg/dl

Analisa Gas Darah

Ph 7,357

PCO2 34,2 mmhg (36 - 45)

Sat O2 98,4

Base Excess -6,3

HCO3 19,4 (21-25)

Thorax X-ray : Infiltrat paracardial

CT- Brain : hygrome fronto-temporo-parietalis dextra et sinistra, system ventricel agak

melebar

EEG : Gambaran EEG didominasi gelombang delta. 2-3 spd voltase bervariasi sedang dan

tinggi. Dengan stimulasi photic dari frontal timbul gelombang tajam terutama dari

frontal.

X. DIAGNOSA

Diagnosa Kerja :

- Cerebral Palsy

- Pneumonia

- epilepsi sekunder e.c. sikatriks ec riwayat meningoensefaliis TB

Diagnosa Banding :

- hygroma

- sepsis

- epilepsi sekunder e.c. hydrocephalus komunikans ec riwayat meningoensefaliis TB

XI. PENATALAKSANAAN

Diet : Saring TKTP

IVFD : Kaen 1B 18 tpm (makro)

MM : Cefotaxime 2 x 1000 mg

Amikosin 2 x 150 mg

Revilan 3 x 1 g

Ranitidine 3 x 25 mg

Sibital 3 x 25 mg

Sanmol 4 x 30 mg

Depakene 2 x 250 mg

Mukopect 6 tab

Ryvell 1 x 10 mg 3 x 1 pulv

Salbutamol 2mg x 21/2 tab

Inhalasi ( Ventolin + Pulmicort) 2 x sehari

Fisiotherapi

IV. ANALISA KASUS

Dari Anamnesis didapatkan temuan yang bermakna berupa :

Riwayat tumbuh kembang pasien menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan

anak baik pada masa awal kehidupannya. Namun didapatkan sedikit keterlambatan untuk

dapat berjalan dan berbicara yang seharusnya terjadi saat anak berusia 12 bulan. Hal ini

memberi kemungkinan adanya gangguan perkembangan motorik, meskipun data ini

sebenarnya kurang kuat untuk membuat suatu kesimpulan bahwa keluhan pasien saat ini telah

dimulai sejak masa awal kehidupan pasien.

Keluhan kejang pada riwayat penyakit saat ini memiliki gambaran berupa kejang

umum (generalisata) berulang yang didahului oleh aura, hal ini memberikan gambaran klinis

yang khas pada epilepsi sekunder dimana aura menggambarkan adanya kemunginan fokus

epileptikus pada otak. Bangkitan kejang kemungkinan dapat berawal dari fokus epileptikus

yang ada maupun dari keadaan umum pasien yang buruk karena sedang menderita

pneumonia.

Pada riwayat penyakit dahulu didapatkan riwayat kejang pertama pada usia 4 tahun

yang kemudian berlanjut hingga saat ini. Pada kejang yang pertama itu pasien mengalami

kejang yang cukup lama, bersifat umum, hingga dilarikan ke rumah sakit dan dirawat di ICU

karena kejang tidak berhenti sebelum mendapat pengobatan, pada saat perawatan pasien

didiagnosa meningoensefalitis tb setelah dibuktikan dengan pemeriksaan pungsi lumbal. Pada

saat kejang terjadi kontraksi daripada otot-otot yang ada di seluruh tubuh oleh karena lepasan

muatan listrik yang berlebihan. Hal ini juga terjadi pada otot-otot saluran nafas dan

ditakutkan apabila kejang yang cukup lama terjadi dapat mengakibatkan gangguan pertukaran

O2 dan CO2 pada paru-paru yang nantinya akan menyebabkan hipoksia jaringan dan salah

satunya adalah otak, hipoksia ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada otak dan

apabila hal ini terjadi pada masa awal kehidupan dimana perkembangan otak yang sangat

pesat terjadi pada saat itu, maka defisit neurologis akan sangat mungkin terjadi. Selain itu

pada pasien juga ditemukan adanya riwayat ensefalitis tb yang dapat menyebabkan kerusakan

langsung pada parenkim otak, hal ini memungkinkan fokus epileptikus terbentuk pada proses

penyembuhan. Pada kasus ini defisit neurologis itu menimbulkan kumpulan gejala atau

gangguan pada fungsi motorik, postural, kognitif, yang kita kenali saat ini sebagai cerebral

palsy.

Meningoensefalitis tuberkulosa dapat berkembang sebagai penjalaran infeksi

tuberkulosis secara hematogen. Pada kebanyakan kasus meningitis tb didapatkan bukti-bukti

bahwa korteks serebri atau batang otak selalu ikut terlibat. Meninges yang paling berat

sebagai komplikasi umum sering dijumpai hidrosefalus dan saraf otak juga dapat terjerat oleh

reorganisasi eksudat di bagian basal. Hemiplegia, afasia dan lain-lain manifesasi

ensefalomalasia regional dapat timbul sebagai komplikasi dari radang tuberkulosis, maka

produksi liquor cerebri dapat meningkat ataupun gangguan dari pada penyerapan lcs dapat

terjadi sehingga dapat menyebabkan hidrosefalus komunikans. Karena itu atrofi jaringan otak

akan dapat berkembang oleh karena penekanan yang terjadi.

Setelah kejang yang pertama itu, pertumbuhan dan perkembangan pasien menjadi

terhambat hal ini nampak dari cara berjalan dan bergerak pasien yang diakui keluarga

menjadi berbeda, hal ini menunjukan bahwa terjadi kerusakan yang bermakna, pada saat

kejang pertama itu muncul. Sehingga ketika tubuh pasien bertumbuh namun tidak

berkembang dengan baik, disinilah gambaran klinis daripada Cerebral palsy itu muncul. Pada

tahun 2010 pasien sempat menjalani pemeriksaan ct-brain dan dikatakan terjadi pengecilan

otak sebagian, hal ini semakin memperkuat adanya bukti kerusakan organik yang mendasari

klinis daripada pasien.

Gambaran klinis pasien menunjukan gangguan daripada fungsi motorik dengan tipe

spastik dimana terdapat peninggian tonus otot (Hipertonus pada kedua tungkai) dan refleks

(KPR, APR) yang disertai dengan klonus kaki. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan

tidak hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama

derajatnya pada suatu gabungan otot, karena itu tampak sifat yang khas dengan

kecenderungan terjadi kontraktur, pada pasien ini terdapat, lengan dalam aduksi, fleksi pada

sendi siku dan pergelangan tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi

ibu jari melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap aduksi, kaki dalam fleksi plantar

dan telapak kaki berputar ke dalam (equinovarus bilateral). Kerusakan biasanya terletak di

traktus kortikospinalis. Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung kepada letak dan besarnya

kerusakan pada pasien ini didapatkan tipe diplegia dimana terjadi kelumpuhan keempat

anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat daripada lengan. Gambaran hipertonus pada refleks

fisiologis KPR dan APR disertai dengan refleks patologis berupa klonus kaki menunjukan

lesi bersifat UMN (upper motor neuron) yang semakin mendukung bahwa adanya gangguan

yang bersifat sentral (Intracranial).

Pada pasien ini juga didapatkan gangguan daripada fungsi N III, IV, VI, VII, VIII, IX,

X, yang bermanifestasi sebagai ganngguan daripada komunikasi dan makan, dimana pasien

memiliki kesulitan untuk berbicara (afasia), gerakan bola mata yang tidak simetris, mata

anisokor 3mm/4mm, deviasi konjuge, ekspresi wajah yang tidak wajar, lagoftalmus,

nistagmus, gangguan postural atau keseimbangan sehingga pasien tidak dapat duduk,

gangguan daripada fungsi faring sehingga pasien memiliki kesulitan untuk menelan, refleks

faring negatif dan batuk berkurang sehingga pasien mudah mengalami infeksi saluran

pernafasan (pasien juga mengalami pneumonia), selain itu imobilisasi yang lama dapat

memperberat keadaan. Pada pasien juga didapatkan tanda-tanda retardasi mental, gangguan

fungsi otonom berupa hipersalivasi, gangguan miksi dan defekasi.

Dari pemeriksaan penunjang didapatkan temuan yang bermakna berupa :

Laboratorium darah : menunjukan adanya tanda2 infeksi dilihat dari peningkatan nilai

leukosit dan dari hitung jenis leukosit dapat diketahui penyebab

infeksi merupakan bakteri.

Thorax X-ray : Infiltrat paracardial, kesan bronchopneumonia

CT- Brain : hygrome fronto-temporo-parietalis dextra et sinistra, system ventricel agak

melebar, kesan hygrome fronto-temporo-parietalis bilateral dan hydrocephalus

ringan.

EEG : Gambaran EEG didominasi gelombang delta. 2-3 spd voltase bervariasi sedang dan

tinggi. Dengan stimulasi photic dari frontal timbul gelombang tajam terutama dari

frontal. Gambaran EEG abnormal dengan perlambatan berat dan irritatif

bitemporal.

Adapun penyebab kejang antara lain :

arteriovenosa malformasi (AVM).

Cedera kepala dapat menyebabkan non-epilepsi pasca-trauma kejang atau pasca-

trauma epilepsi, di mana kejang kronis kambuh.

Obat-obatan tertentu yang menurunkan ambang kejang, seperti antidepresan trisiklik,

keracunan dengan obat-obatan, untuk aminofilin contoh atau bius lokal

Infeksi, seperti ensefalitis atau meningitis

Demam menyebabkan kejang demam

gangguan metabolik, seperti hipoglikemia, hiponatremia atau hipoksia.

penarikan dari obat (antikonvulsan, antidepresan, dan obat penenang seperti alkohol,

barbiturat, dan benzodiazepin,)

lesi desak ruang (abses, tumor)

kejang selama (atau segera setelah) kehamilan dapat menjadi tanda eklampsia.

Hidrosefalus dapat mengindikasikan kegagalan shunt parah.

Stroke hemoragic, stroke non hemoragic umumnya jarang.

Apabila dibandingkan antara teori dan bukti klinis yang ditemukan pada pasien

berdasar dari anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang, maka telah

didapatkan kesesuaian. Oleh karenanya berdasarkan kesesuaian itu diagnosis cerebral palsy

dengan pneumonia dan epilepsi sekunder e.c. sikatriks ec riwayat meningoensefaliis TB

dapat ditegakkan pada kasus ini.

Penatalaksanaan :

Pada pasien ini telah dilakukan terapi medikamentosa berupa :

Cefotaxime, merupakan antibiotika golongan sefalosporin yang memiliki sprektum

luas baik unuk gram + maupun gram -, pemberiannya telah sesuai dengan indikasi

yaitu untuk mengatasi infeksi saluran pernafasan yang dialami oleh pasien.

Amikosin, merupakan aminoglikosida yang berfungsi sebagai bakterisid,

pemberiannya telah sesuai dengan indikasi yaitu untuk mengatasi infeksi saluran

pernafasan.

Revolan, memiliki komposisi piracetam, merupakan neuroprotektan yang diharapkan

dapat melindungi sel-sel syaraf terhadap kerusakan yang lebih berat, pemberiannya

sampai saat ini masih bersifat empiris.

Ranitidine, merupakan antihistamine penghambat reseptor h2, yang akan menurunkan

sekresi daripada asam lambung, penggunaanya pada kasus ini kurang sesuai dengan

indikasi karena pasien tidak memiliki keluhan mual dan gejala yang berkaitan dengan

lambung.

Sibital, memiliki kandungan phenobarbital yang dapat berperan baik sebagai

antikonvulsi, maupun sedatif, pada kasus ini penggunaannya telah sesuai untuk

mengatasi kejang baik sebagai pengobatan maupun sebagai pencegahan berulangnya

gejala.

Sanmol, memiliki kandungan paracetamol yang berfungsi sebagai antipiretik

analgetik, pemberiannya pada pasien ini telah sesuai dengan indikasi untuk mengatasi

demam.

Depakene, memiliki kandungan asam valproat, berperan sebagai terapi tambahan

pada kejang yang lebih berperan sebagai pencegahan terjadinya kejang berulang,

pemberiannya telah sesuai dengan indikasi.

Mucopect, memiliki kandungan ambroxol hcl yang berperan sebagai mucolitic,

dengan indikasi dan bermanfaat untuk mengeluarkan mukus yang sulit dikeluarkan

pada infeksi saluran nafas, pada kasus ini sangat bermanfaat dan pemberiannya telah

sesuai indikasi.

Salbutamol merupakan agonis ß2 kerja cepat yang berperan sebagai bronkodilator,

pada kasus ini pemberiannya secara peroral telah sesuai indikasi, karena pasien

memiliki keluhan sesak, namun pemberiannya sedikit berlebihan karena pasien juga

mendapatkan nebulasi dengan ventolin.

Ryvell merupakan antihistamin penghambat reseptor h1, yang berperan sebagai

antialergi terhadap aktifitas histamin, pemberiannya kurang bermanfaat pada kasus

ini.

Ventolin merupakan agonis ß2 kerja cepat yang berperan sebagai bronkodilator, pada

kasus ini pemberiannya secara inhalasi telah sesuai indikasi, karena pasien memiliki

keluhan sesak.

Pulmicort memiliki kandungan budesonide, merupakan kortikosteroid lokal secara

inhalasi, yang berperan sebagai antiinflamasi, penggunaannya dengan ventolin

memiliki khasiat yang baik, pemberiannya pada kasus ini telah sesuai indikasi.

Pada pasien ini Fisiotherapi memiliki peranan yang cukup penting untuk mengatasi

gejala yang ada pada pasien, terutama untuk mengatasi kontraktur, memperbaiki refleks

postural, meningkatkan kemampuan bicara, cara makan, program terapi fisik untuk

meningkatkan perkembangan motorik anak dan terapi perilaku untuk meningkatkan

kemampuan adaptif anak dengan menunjukkan aktivitas yang baik.

Dapat disimpulkan bahwa penatalaksanaan yang dilakukan pada saat ini memiliki

tujuan untuk memperbaiki keadaan umum pasien yang memburuk, sedangkan untuk terapi

jangka panjang pada pasien masih belum dilakukan dengan optimal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman, Alvin et all. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol 3. Jakarta

: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.

2. Samuel R. Pierce, et all. Roles of Reflex Activity and Co-contractrion During

Assestment of Spasticity of the Knee Flexor and Knee Extensor Muscles in Children

With Cerebral Palsy and Different Functional Levels. Journal of the American

Physical Therapy. 2008; 88; 1124-1134

3. Peter Rosenbaum. The Definition and Classification of Cerebral Palsy. International

Workshop in Bethesda MD, July 11-13; 2004.

4. William W. Hay. Current Diagnosis & Treatment Pediatrics 20th Edition. Colorado:

McGraw-Hill Professional. 2010.

5. Abdelaziz Y. Elzouki, et all. Textbook of Clinical Pediatrics. Virginia: Springer

Lippincott Williams & Wilkins. 2001

6. Mahar Mardjono. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2009

7. Jerffrey M. Perlman. Intrapartum Hypoxic-Ischemic Cerebral Injury and Subsequent

Cerebral Palsy. Journal of the American Academic Pediatrics. 1997, 99; 851-859

8. Kari Kviem Lie, et all. Association of Cerebral Palsy with Apgar Score in Low and

Normal Birth Weigth Infant: population base Cohort Study. British Medical Journal.

2010; 341; c4990

9. Robert Palisano et all. Gross Motor Function Classification System for Cerebral

Palsy. Dev Med Child Neurol. 1997; 39; 214-223

10. Neil Marlow D.M. Neurologic and Develepmental Disability at Six Years of Age After

Extremely Preterm Birth. New England Journal of Medicine. 2005, 352; 9-19

11. Jean Pierre-Lin. The Cerebral Palsies: A Physiological Approach. J Neural Neurosurg

Psychiatry. 2003; 74; 123-129

12. Lumbantobing ,S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta :

Penerbit FK-UI. 2010