18
Candi Jawi terletak di antara jalan kecamatan Pandaan menuju kecamatan Prigen, tepatnya terletak di desa Candiwates. Candi ini dibangun pada abad ke 13 dan merupakan peninggalan bersejarah kerajaan Hindu-Budha Singhasari. Banyak yang menduga bahwa Candi Jawi adalah tempat pemujaan dan atau tempat peribadatan, tapi yang sebenarnya candi Jawi adalah tempat penyimpanan abu dari raja terakhir Singosari, yaitu Kertanegara. Bentuk candi Jawi berkaki Siwa, berpundak Buddha. Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah, dengan ukuran luas 14,24 x 9,55 meter dan tinggi 24,50 meter. Pintu candi menghadap ke timur yang mempertegas bahwa candi ini bukan tempat pemujaan atau pradaksina. Terdapat relief pada dinding sekitar candi Jawi dan yang menambah keunikan lainnya adalah batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari dua jenis. Bagian bawah terdiri dari batu hitam, sedangkan bagian atas batu putih. Hal ini juga mungkin mengindikasikan adanya dua periode pembuatan. Candi Dadi berada pada ketinggian 360 m dpl, berada di tengah areal kehutanan dilingkungan RPH Kalidawir. Candi ini masuk wilayah Dusun Mojo, Desa Wajak Kidul. Letaknya yang berada di puncak bukit membuat kita sedikit mengeluarkan tenaga untuk menikmati keindahannya karena kita wajib mendaki dengan menyusuri jalan setapak yang kanan kirinya adalah hutan dan lahan yang ditanami palawija oleh penduduk sekitar bukit, selama kurang lebih 50 menit dari desa Wajak Kidul ke arah selatan. Sesampainya di puncak bukit kita akan menjumpai kekokohan Candi Dadi dan yang tak kalah menariknya adalah kita bisa menikmati keindahan Kecamatan Boyolangu dan sekitarnya dari ketinggian. Candi ini

Candi Jawi

Embed Size (px)

Citation preview

Candi Jawi terletak di antara jalan kecamatan Pandaan menuju kecamatan Prigen, tepatnya terletak di desa Candiwates.

Candi ini dibangun pada abad ke 13 dan merupakan peninggalan bersejarah kerajaan Hindu-Budha Singhasari. Banyak yang menduga bahwa Candi Jawi adalah tempat pemujaan dan atau tempat peribadatan, tapi yang sebenarnya candi Jawi adalah tempat penyimpanan abu dari raja terakhir Singosari, yaitu Kertanegara. Bentuk candi Jawi berkaki Siwa, berpundak Buddha. Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah, dengan ukuran luas 14,24 x 9,55 meter dan tinggi 24,50 meter. Pintu candi menghadap ke timur yang mempertegas bahwa candi ini bukan tempat pemujaan atau pradaksina.

Terdapat relief pada dinding sekitar candi Jawi dan yang menambah keunikan lainnya adalah batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari dua jenis. Bagian bawah terdiri dari batu hitam, sedangkan bagian atas batu putih. Hal ini juga mungkin mengindikasikan adanya dua periode pembuatan.Candi Dadi berada pada ketinggian 360 m dpl, berada di tengah areal kehutanan dilingkungan RPH Kalidawir. Candi ini masuk wilayah Dusun Mojo, Desa Wajak Kidul. Letaknya yang berada di puncak bukit membuat kita sedikit mengeluarkan tenaga untuk menikmati keindahannya karena kita wajib mendaki dengan menyusuri jalan setapak yang kanan kirinya adalah hutan dan lahan yang ditanami palawija oleh penduduk sekitar bukit, selama kurang lebih 50 menit dari desa Wajak Kidul ke arah selatan. Sesampainya di puncak bukit kita akan menjumpai kekokohan Candi Dadi dan yang tak kalah menariknya adalah kita bisa menikmati keindahan Kecamatan Boyolangu dan sekitarnya dari ketinggian.Candi ini merupakan candi tunggal yang tidak memiliki tangga termasuk hiasan maupun arca. Candi tersebut berdiri tegak pada puncak sebuah bukit di lingkungan Pegunungan Walikukun. Denah Candi berbentuk bujursangkar dengan ukuran panjang 14m lebar 14m dan tinggai 6.5 m. Bangunan berbahan batuan andesit itu terdiri atas batur dan kaki candi. Berbatur tinggi dan berpenampilan setiap sisinya. Bagian atas batur merupakan kaki candi yang berdenah segi delapan, pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan berfungsi sebagai sumuran. Diameter sumuran adalah 3.35m dengan kedalaman 3m.

Latar Belakang Sejarah

Berakhirnya kekuasaan HayamWuruk juga merupakan masa suram bagi kehidupan Agama Hindu. Pertikaian politik yang terjadi di lingkungan kraton memunculkan kekacauan, seiring dengan munculnya agama islam. Dalam kondisi yang dermikian, penganut Hindu Budha yang berupaya menjauhkan diri dari pertikaian yang ada melakukan pengasingan agar tetap dapat menjalankan kepercayaan/ tradisi yang dimilikinya. Sebagaian besar memilih puncak- puncak bukit atau setidaknya kawasan yang tinggi dan sulit dijangkau. Biasanya tempat baru yang mereka pilih merupakan tempat yang jauh dari pusat keramaian maupun pusat Pemerintahan. Candi Dadi adalah salah satu dari karya arsitektural masa itu sekitar akhir abad XIV hingga akhir abad XV.

Candi Mendut merupakan candi Budha yang dididrikan oleh Raja Indra seorang raja pertama dari trah Dinasti Syailendra pda 824 M, ini artinya Candi Mendut dibangun lebih awal dari Candi Borobudur yang didirikan oleh Raja Samaratungga, Wangsa Syailendra pada 850 M.Candi mendut terletak di desa Mendut Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, sekitar 8 km sebelum Candi Borobudur. Tinggi Candi Mendut 26,4 meter, menghadap barat daya, memilki 48 stupa kecil-kecil dan terdapat hiasan relief pada tubuh candi berupa pohon kalpataru. Reflief-relief yang terdapat pad dinding candi ini masih jelas terlihat. Relief ini mengandung cerita berupa ajaran moral dngan menggunakan tokoh-tokoh binatang sebagai pemerannya. ntara lain terdapat cerita Brahmana dan Kepiting, Angsa dan kura-kura, Dua Burung Betet dan Dharmabuddhi dan Dustabuddhi. Candi Mendut merupakan lokasi awal proses ritual Waisak, dengan diikuti pengambilan air suci dari Umbul Jumprit, Parakan, Temanggung, serta api suci dari merapen, Grobogan. Puncak upacara Waisak adalah upacara Pradaksina yakni upacara mengelilingi Candi Borobudur tingkat demi tingkat yang dilaksakan di Candi Borobudur tepat pada Purnama Sidhi atau bulan purnama pertama di bulan Mei. Perayaan atau ritual Waisak dapat disaksikan oleh masyarakat luas.Pada tahun 1834 Candi Mendut mulai mendapat perhatian meskipun mengalami nasib yang sama dengan candi-candi lainnya, yaitu dalam kondisi runtuh dan hancur. Hartman, seorang presiden Kedu saat itu mulai memperhatikan Candi Mendut. Dalam tahun 1897 dilakukan persiapan-persiapan untuk pemugaran. Dari tahun 1901-1907 J.L.A. Brandes melangkah lebih maju dan berusaha merestorasi Candi Mendut dan kemudian tahun 1908 dilanjutkan oleh Van Erp meskipun tidak berhasil merekonstruksi secara lengkap. J.G. de Casparis berpendapat bahwa Candi Mendutdibangun untuk memuliakan leluhur-leluhur Sailendra. Di bilik utama candi ini terdapat 3 buah arca yang menurut para ahli arca-arca tersebut diidentifikasi sebagai Cakyamuni yang diapit oleh Bodhisatwa, Lokeswara dan Bajrapani. Dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan disebutkan bahwa realitas yang tertinggi (advaya) memanifestasikan dirinya dalam 3 dewa (Jina) yaitu : Cakyamuni, Lokesvara, dan Bajrapani. Sebagai candi yang bersifat Budhistist, relief-relief di Candi mendut juga berisi cerita-cerita ajaran moral yang biasanya berupa cerita-cerita binatang yang bersumber dari Pancatantra dari India. Cerita tersebut antara lain adalah seekor kura-kura yang diterbangkan oleh dua ekor angsa dan di bawahnya dilukiskan beberpa anal gembala yang seolah-olah mengejek kura-kura tersebut. Oleh karena kura-kura tersebut emosional dalam menanggapi ejekan, maka terlepaslah gigitannya dari tangkai kayu yang dipegang sehingga terjatuh dan mati. Inti ceritanya adalah ajaran tentang sifat kesombongan yang akan mencelakakan diri sendiri.Candi Pawon adalah sebuah candi Budha, peninggalan kerajaan Mataram, yang terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi Pawon terletak tepat di sumbu garis yang menghubungkan Candi Borobudur dan Candi Mendut. Lokasinya 1150 m ke arah barat dari Candi Mendut dan 1750 m ke arah timur dari Candi Borobudur.Dahulu candi ini sering digunakan sebagai tempat acara ritual. Candi ini memiliki 2 buah jendela kecil di dinding belakangnya, yang menghubungkan dengan dunia luar. Keberadaan jendela ini menguatkan dugaan dan menjadi bukti bahwa pada zaman dahulu kala, candi tersebut dipakai untuk berbagai acara ritual dengan memakai api. Jendela ini dibuat untuk memudahkan pembuangan asap keluar dari dalam candi. Letak Candi Mendut, Candi Pawon dan Candi Borobudur yang berada pada satu garis lurus mendasari dugaan bahwa ketiga candi Buddha tersebut mempunyai kaitan yang erat. Selain letaknya, kemiripan motif pahatan di ketiga candi tersebut juga mendasari adanya keterkaitan di antara ketiganya. Poerbatjaraka, bahkan berpendapat bahwa candi Pawon merupakan upa angga (bagian dari) Candi Borobudour. Candi Pawon dipugar tahun 1903. Asal usul pemberian nama Candi Pawon tidaklah dapat diketahui secara pasti. J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa Awu yang berarti abu, mendapat awalan pa dan akhiran an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti dapur, akan tetapi De Casparis mengartikan perabuan. Penduduk setempat juga menyebut candi Pawon dengan nama Candi Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata Sansekerta vajra = halilintar dan anala = api.Di dalam bilik candi ini sudah tidak ada arca lagi, sehingga sulit untuk mengidentifikasikannya lebih jauh. Satu hal yang menarik dari Candi Pawon ini adalah ragam reliefnya. Dinding-dinding luar candi, dihias dengan relief pohon hayati (kalpataru) yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari (mahluk setengah manusia setengah burung/berkepala manusia berbadan burung). Pada bagian dindingnya juga dapat dilihat gambaran mengenai sang Buddha, saat sedang mengajarkan Dharma dan memberikan berkah perlindungan kepada umatnya.Banyak orang mengira Candi Pawon merupakan sebuah makam, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata candi ini merupakan tempat penyimpanan senjata Raja Indera yang bernama Vajranala. Candi ini terbuat dari batu gunung berapi. Ditinjau dari seni bangunannya merupakan gabungan seni bangunan Hindu Jawa kuno dan India.Kemungkinan candi ini dibangun untuk kubera. Candi ini berada di atas teras dan tangga yang agak lebar. Semua bagian-bagiannya dihiasi dengan stupa (dagoba) dan dinding-dinding luarnya dengan gambar-gambar simbolis, sehingga memberikan kesan agung.Candi Sewu dibangun sekitar tahun 850 M, terletak di desa Pringapus, Temanggung. Candi ini mirip dengan candi yang ada di Dieng dan merupakan tempat pemujaan. Dimungkinkan sekali candi ini tidak sendirian. Tetapi sayang, hanya ini satu-satunya yang masih berdiri. Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Dari kota Yogyakarta jaraknya sekitar 17 km ke arah Solo. Candi Sewu merupakan gugus candi yang letaknya berdekatan dengan Candi Prambanan, yaitu kurang lebih 800 meter di sebelah selatan arca Rara Jongrang. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke-8, atas perintah penguasa Kerajaan Mataram pada masa itu, yaitu Rakai Panangkaran (746-784 M) dan Rakai Pikatan yang beragama Hindu. Walaupun rajanya beragama Hindu, Kerajaan Mataram pada masa mendapat pengaruh kuat dari Wangsa Syailendra yang beragama Buddha. Para ahli menduga bahwa Candi Sewu merupakan pusat kegiatan keagamaan masyarakat beragama Buddha. Dugaan tersebut didasarkan pada isi prasasti batu andesit yang ditemukan di salah satu candi perwara. Prasasti yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dan berangka tahun 792 Saka tersebut dikenal dengan nama Prasasti Manjusrigrta. Dalam prasasti tersebut diceritakan tentang kegiatan penyempurnaan prasada yang bernama Wajrasana Manjusrigrha pada tahun 714 Saka (792 Masehi). Nama Manjusri juga disebut dalam Prasasti Kelurak tahun 782 Masehi yang ditemukan di dekat Candi Lumbung. Candi Sewu terletak berdampingan dengan Candi Prambanan, sehingga saat ini Candi Sewu termasuk dalam kawasan wisata Candi Prambanan. Di lingkungan kawasan wisata tersebut juga terdapat Candi Lumbung dan Candi Bubrah. Tidak jauh dari kawasan tersebut terdapat juga beberapa candi lain, yaitu: Candi Gana, sekitar 300 m di sebelah timur, Candi Kulon sekitar 300 m di sebelah barat, dan Candi Lor sekitar 200 m di sebelah utara. Letak candi Sewu, candi Buddha terbesar setelah candi Borobudur, dengan candi Prambanan, yang merupakan candi Hindu, menunjukan bahwa pada masa itu masyarakat beragama Hindu dan masyarakat beragama Buddha hidup berdampingan secara harmonis. Nama Sewu, yang dalam bahasa Jawa berarti seribu, menunjukkan bahwa candi yang tergabung dalam gugusan Candi Sewu tersebut jumlahnya cukup besar, walaupun sesungguhnya tidak mencapai 1000 buah. Tepatnya, gugusan Candi Sewu terdiri atas 249 buah candi, terdiri atas 1 candi utama, 8 candi pengapit atau candi antara, dan 240 candi perwara. Candi utama terletak di tengah, di ke empat sisinya dikelilingi oleh candi pengapit dan candi perwara dalam susunan yang simetris.

relief.jpg

Badan candi terdapat relief hiasan flora di empat sisi dinding candi dan terdapat relief Kinara-Kinari (burung) sebagai hiasan plisir yang mengitari dinding candi. Relief Kinara-Kinari ini sebenarnya banyak terukir di candi-candi lain peninggalan Mataram Kuno di Jawa Tengah, seperti di Candi Plaosan, Ratu Boko, dan Candi Ijo.

_MG_6204.JPG

Candi Asu Sengi merupakan candi sepotong yang hilang bagian atapnya berdiri menghadap ke arah barat, berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter kali 7,94 meter. Tinggi kaki candi setinggi 2,5 meter, tinggi tubuh candi setinggi 3,35 meter, tinggi sesungguhnya candi tidak diketahui secara pasti karena bagian atap candi telah hilang. Meski atap candi saat ini sudah tidak ada patut diduga bahwa atap candi berbentuk kubah, hal ini dapat dilihat dari potongan batu yang jika dibentuk akan menyerupai kubah. Di bagian dalam candi terdapat patung sapi atau nandhi, juga terdapat sumur berbentuk kotak yang kedalamannya mencapai 3 meter dengan lebar berukuran 1,3 meter kali 1,3 meter. Fungsi sumur belum diketahui secara pasti, meski didinding sumur masih terlihat jelas bekas ketinggian debit air.

Dari beberapa prasasti yang ditemukan di sekitar candi tersebut, dapat diindentifikasi diantaranya Prasasti Sri Manggala I (angka tahun 874 M) dan Sri Manggala II (angka tahun 876 M) serta Prasasti Kurambitan, dari catatan pada prasasti tersebut dapat diperkirakan bahwa candi ini dibangun pada sekitar tahun 869 Masehi (semasa Rakai Kayuwangi dari Wangsa Sanjaya berkuasa). Dalam prasasti-prasasti tersebut juga disebutkan bahwa Candi Asu Sengi merupakan tempat suci untuk melakukan pemujaan, baik pemujaan kepada arwah leluhur maupun para arwah raja-raja serta dewa-dewa.

Sumber refrensi :

http://jadiberita.com/11660/candi-asu-sengi-magelang.html

http://tarabuwana.blogspot.com/2012/01/candi-asu-sengi.html

http://sasadaramk.blogspot.com/2013_01_01_archive.html

http://kalamata.me/20130620/asu-sengi/

Candi Asu Sengi berlokasi di Dusun Candi Pos, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Pada Koordinat : 73200LS 1102100BT atau sekitar 25 Km dari Candi Borobudur ke arah timur laut. Candi ini merupakan candi peninggalan jaman kerajaan Mataram Kuno dari trah Wangsa Sanjaya (Mataram Hindu). Candi ini berada di lereng Gunung Merapi sebelah barat di tepian Sungai Tlingsing Pabelan. Nama candi Asu Sengi merupakan dari nama ASU sebenarnya baru diberikan oleh masyarakat sekitar sewaktu candi ini pertama kali ditemukan. Nama yang asli sebenarnya belum diketahui secara pasti. Nama Candi Asu diberikan karena sewaktu pertama kali ditemukan ada sebuah patung Lembu Nandhi yang wujudnya telah rusak dan lebih mirip menyerupai Asu [Anjing-dalam bahasa Jawa], dan Sengi merupakan nama Desa dimana candi tersebut berada, maka warga menyebutnya dengan Candi Asu Sengi. Badan candi terdapat relief hiasan flora di empat sisi dinding candi dan terdapat relief Kinara-Kinari (burung) sebagai hiasan plisir yang mengitari dinding candi. Relief Kinara-Kinari ini sebenarnya banyak terukir di candi-candi lain peninggalan Mataram Kuno di Jawa Tengah, seperti di Candi Plaosan, Ratu Boko, dan Candi Ijo. Candi Asu Sengi merupakan candi sepotong yang hilang bagian atapnya berdiri menghadap ke arah barat, berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter kali 7,94 meter. Tinggi kaki candi setinggi 2,5 meter, tinggi tubuh candi setinggi 3,35 meter, tinggi sesungguhnya candi tidak diketahui secara pasti karena bagian atap candi telah hilang. Meski atap candi saat ini sudah tidak ada patut diduga bahwa atap candi berbentuk kubah, hal ini dapat dilihat dari potongan batu yang jika dibentuk akan menyerupai kubah. Di bagian dalam candi terdapat patung sapi atau nandhi, juga terdapat sumur berbentuk kotak yang kedalamannya mencapai 3 meter dengan lebar berukuran 1,3 meter kali 1,3 meter. Fungsi sumur belum diketahui secara pasti, meski didinding sumur masih terlihat jelas bekas ketinggian debit air.

Dari beberapa prasasti yang ditemukan di sekitar candi tersebut, dapat diindentifikasi diantaranya Prasasti Sri Manggala I (angka tahun 874 M) dan Sri Manggala II (angka tahun 876 M) serta Prasasti Kurambitan, dari catatan pada prasasti tersebut dapat diperkirakan bahwa candi ini dibangun pada sekitar tahun 869 Masehi (semasa Rakai Kayuwangi dari Wangsa Sanjaya berkuasa). Dalam prasasti-prasasti tersebut juga disebutkan bahwa Candi Asu Sengi merupakan tempat suci untuk melakukan pemujaan, baik pemujaan kepada arwah leluhur maupun para arwah raja-raja serta dewa-dewa.Pulau Jawa bagian tengah memang memiliki banyak peninggalan budaya berupa candi. Beberapa diantaranya yang sering menjadi tujuan wisatawan adalah Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Ratu Boko, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Gunungsari dan lain sebagainya. Nama-nama candi yang tersebut sudah pernah saya kunjungi. Banyak media juga sudah pernah mengulas informasi tentang candi-candi tersebut. Ccandi yang berlokasi di bukit Giyanti lereng Gunung Sumbing ini. Candi Selogriyo terletak di Dukuh Campurejo, Desa Kembang Kuning, Kecamatan Windu Sari, Kabupaten Magelang. Candi Selogriyo berjarak kurang lebih 15 kilometer dari kota Magelang. Untuk mencapainya, saya menggunakan motor melalui kecamatan Windusari.Menurut cerita dari pengelola,reruntuhan Candi Selogriyo ditemukan pertama kali oleh seseorang berkebangsaanBelanda bernama Residen Hartman pada tahun 1835. Namun, pemugaran oleh DinasPurbakala baru dilakukan tahun 1955-1957. Waktu yang cukup lama melihat rentangwaktu penemuan dan pemugarannya.

Candi Selogriyo termasuk candi yang sederhana. Dengan panjang, lebar dan tinggi kurang lebih lima meter, candi ini karena tidak memiliki selasar. Selasar biasanya dimiliki oleh kebanyakan bangunan candi, dipakai untuk berjalan mengelilingi candi. Bentuk atap candi menyerupai buah (amalaka), salah satu ciri candi dari India Utara. Ciri candi serupa juga pernah saya temukan di Candi Bima, di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Dari catatan yang saya baca, berdasarkan rupa yang hampir sama, kedua candi sama-sama tua. Kurang lebih didirikan pada abad 8 Masehi.Pada keempat sisi candi, terdapat relung yang ditempati oleh empat arca dari mitologi Hindu. Ada arca Agastya, arca Durga Mahisasuramardhini, arca Ganesha, arca Nandiswara. Sayang sekali, tiga arca yang saya sebutkan terakhir sudah tidak memiliki kepala. Beberapa wisatawan asing yang tidak bertanggung jawab mencuri kepala arca-arca tersebut. Kemungkinan jadi komoditas perdangan benda-benda purbakala ilegal. Cukup miris memang, melihat peninggalan budaya kita di curi oleh asing! papar pengelola candi dengan nada sedih.Candi Kalasan terletak di Desa Kalibening, Tirtamani, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya sekitar 16 km ke arah timur dari kota Yogyakarta. Dalam Prasasti Kalasan dikatakan bahwa candi ini disebut juga Candi Kalibening, sesuai dengan nama desa tempat candi tersebut berada. Tidak jauh dari Candi Kalasan terdapat sebuah candi yang bernama Candi Sari. Kedua candi tersebut memiliki kemiripan dalam keindahan bangunan serta kehalusan pahatannya. Ciri khas lain yang hanya ditemui pada kedua candi itu ialah digunakannya vajralepa (bajralepa) untuk melapisi ornamen-ornamen dan relief pada dinding luarnya.Umumnya sebuah candi dibangun oleh raja atau penguasa kerajaan pada masanya untuk berbagai kepentingan, misalnya untuk tempat ibadah, tempat tinggal bagi biarawan, pusat kerajaan atau tempat dilangsungkannya kegiatan belajar-mengajar agama. Keterangan mengenai Candi Kalasan dimuat dalam Prasasti Kalasan yang ditulis pada tahun Saka 700 (778 M). Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Sanskerta menggunakan huruf pranagari. Dalam Prasasti Kalasan diterangkan bahwa para penasehat keagamaan Wangsa Syailendra telah menyarankan agar Maharaja Tejapurnama Panangkarana mendirikan bangunan suci untuk memuja Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta Buddha. Menurut prasasti Raja Balitung (907 M), yang dimaksud dengan Tejapurnama Panangkarana adalah Rakai Panangkaran, putra Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram Hindu. Rakai Panangkaran kemudian menjadi raja Kerajaan Mataram Hindu yang kedua. Selama kurun waktu 750-850 M kawasan utara Jawa Tengah dikuasai oleh raja-raja dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu dan memuja Syiwa. Hal itu terlihat dari karakter candi-candi yang dibangun di daerah tersebut. Selama kurun waktu yang sama Wangsa Syailendra yang beragama Buddha aliran Mahayana yang sudah condong ke aliran Tantryana berkuasa di bagian selatan Jawa Tengah. Pembagian kekuasaan tersebut berpengaruh kepada karakter candi-candi yang dibangun di wilayah masing-masing pada masa itu. Kedua Wangsa tersebut akhirnya dipersatukan melalui pernikahan Rakai Pikatan Pikatan (838 - 851 M) dengan Pramodawardhani, Putra Maharaja Samarattungga dari Wangsa Syailendra.

Candi Muara Takus terletak di desa Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau. Jaraknya dari Pekanbaru, Ibukota Propinsi Riau, sekitar 128 Km. Perjalanan menuju Desa Muara Takus hanya dapat dilakukan melalui jalan darat yaitu dari Pekanbaru ke arah Bukittinggi sampai di Muara Mahat. Dari Muara Mahat melalui jalan kecil menuju ke Desa Muara Takus. Kompleks Candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi bernuansa Buddhistis ini merupakan bukti bahwa agama Budha pernah berkembang di kawasan ini. Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan.

Ada dua pendapat mengenai nama Muara Takus. Yang pertama mengatakan bahwa nam tersebut diambil dari nama sebuah anak sungai kecil bernama Takus yang bermuara ke Sungai Kampar Kanan. Pendapat lain mengatakan bahwa Muara Takus terdiri dari dua kata, yaitu Muara dan Takus. Kata Muara mempunyai pengertian yang sudah jelas, yaitu suatu tempat sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar, sedangkan kata Takus berasal dari bahasa Cina, Ta berarti besarr, Ku berarti tua, dan Se berarti candi atau kuil. Jadi arti keseluruhan kata Muara Takus adalah candi tua yang besar, yang terletak di muara sungai. Candi Muara Takus merupakan candi Buddha, terlihat dari adanya stupa, yang merupakan lambang Buddha Gautama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa candi ini merupakan campuran dari bentuk candi Buddha dan Syiwa. Pendapat tersebut didasarkan pada bentuk bentuk Candi Mahligai, salah satu bangunan di kompleks Candi Muara takus, yang menyerupai bentuk lingga (kelamin laki-laki) dan yoni (kelamin perempuan). Arsitektur candi ini juga mempunyai kemiripan dengan arsitektur candi-candi di Myanmar. Candi Muara Takus merupakan sebuah kompleks yang terdiri atas beberapa bangunan.

Candi Gunung Wukir Candi adalah salah satu peninggalan sejarah yang banyak sekali terdapat di Indonesia. Kekayaan Indonesia akan sejarah diwarnai oleh adanya ragam macam budaya yang dihasilkan dari berbagai macam agama maupun budaya yang pernah singgah ke Indonesia.

Candi merupakan salah satu dari bentuk budaya yang membawa peradaban di Indonesia. Peradaban yang di maksud adalah adanya kerajaan sebagai sentra kehidupan bermasyarakat dan juga bangunan-bangunan pendukung yang berpusat pada kehidupan spiritual berkepercayaan dan beragama.

Candi adalah salah satu tempat ibadah. Candi juga merupakan salah satu tempat yang berfungsi untuk menyimpan abu jenasah kaum raja. Namun, candi lebih banyak digunakan sebagai tempat pemujaan. Jika ditelusuri lebih jauh, candi memang dibangun untuk memenuhi kebutuhan spiritual manusia yang pada saat itu memang sangat tinggi sekali gairahnya.

Bayangkan saja, bahkan sebelum ada kepercayaan Hindu dan Buddha memasuki negara ini, masyarakat sudah mengenal alam spriritual mereka sendiri dengan menyembah alam, roh nenek moyang, dan lainnya. Terbukti dengan adanya sajen dan upacara adat yang sudah terkenal bahkan sebelum ada kepercayaan Hindu dan Buddha. Sebagai sebuah bangunan, tentunya candi pun memiliki rangka yang kuat tak bedanya sebuah rumah. Bagian-bagian yang menjadi komponen utamanya adalah bagian kaki, bagian tubuh candi, yang terakhir adalah atap candi.

Sementara elemen pendukungnya jika dilihat secara horizontal adalah halaman candi yang juga memiliki tiga bagian yaitu halaman pertama yang disebut jeroan, halaman kedua di sisi luarnya disebut juga dengan tengahan, dan yang terakhir adalah bagian terluar yang disebut njaba.

Adalah sebuah candi di dusun Canggal, kecamatan Salam, kabupaten Magelang yang bernama candi Gunung Wukir atau seringkali disebut juga dengan nama candi Canggal, sesuai dengan tempatnya berada. Ada juga yang menyebutnya candi Shiwalingga, karena candi ini disebut-sebut sebagai tempat dimana Raja Sanjaya membuat lingga sebagai tanda kemenangannya atas mengalahkan lawan-lawannya.

Hal tersebut tertulis dalam prasasti Canggal yang saat ini disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Sayangnya, di tempat ini lingga tersebut tidak ada. Namun, disini masih ditemukan arca yoni yang melambangkan kewanitaan. Seharusnya ada arca lingga yang menancap di arca yoni, namun disini tidak lagi ditemukan bersatu dengan arca yoni melainkan berserakarn di sekitar candi.Arca lingga merupakan simbol kejantanan pria atau maskulinitas. Adanya arca yoni dan lingga yang bersatu merupakan perpaduan dari maskulinitas dan feminitas yang kemudian diterjemahkan sebagai lambang kesuburan.

Kompleks reruntuhan candi Gunung Wukir atau candi Canggal ini berukuran 50 m x 50 m dengan adanya bangunan candi, altar yoni, arca lembu betina atau disebut juga Andini, dan patung Lingga yang merupakan lambang dari dewa Syiwa. Candi ini dibangun dengan menggunakan batu andhesit seperti kebanyakan candi-candi di kota Magelang ini dibuat.

Terdapat 3 candi perwara dan satu buah candi induk yang lebih besar dari candi perwara ini. Candi induk ini mengarah ke timur, dengan perkiraan arah dari candi induk yang mengarah ke tempat matahari terbit ini berarti kelahiran. Candi ni memiliki corak Hindu.

Hal ini ditandai dengan adanya candi perwara sebanyak tiga buah yang arahnya tidak menghadap ke timur seperti candi induknya melainkan menghadap ke barat.

Di wilayah candi Gunung Wukir atau Candi Canggal ini ditemukan juga kolam buatan yang terbentuk dari batu, memperkuat dugaan adanya kehidupan kerajaan di sini. Air merupakan sumber kehidupan, maka jika letaknya cukup jauh dari perairan akan dibuat kolam untuk menampung air. Yang unik dari candi Gunung Wukir atau candi Canggal ini adalah penemuan prasasti Canggal yang saat ini disimpan di Jakarta. Prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa Sansekerta, terdiri dari 12 baris.

Isinya terbagi menjadi lima bagian, yaitu pada baris pertama diceritakan bahwa Raja Sanjaya mendirikan Lingga di atas bukit Sthirangga atas kemenangannya, pada baris kedua hingga keenam dituliskan mengenai puji-pujian terhadap dewa trimurti, sementara pada bait ketujuh melukiskan rasa syukur atas tanah Jawa yang subur dan potensi yang berlimpah di dalamnya, baris ke 8 dan 9 bercerita tentang pujian terhadap raja Sanna, pada baris ke 10 hingga baris ke 12 menceritakan penggantian tahta raja Sanna jatuh kepada raja Sanjaya yang sangat sakti dan dipuja oleh siapa pun.

Prasasti Canggal ini merupakan sebuah prasasti terbesar yang ada di Indonesia. Terbuat dari batu Andesit dengan ketinggian 1 meter. Prasasti ini ditulis sekitar tahun 732 Masehi oleh raja Sanjaya yang sangat memuja dewa Syiwa.Hal ini terbukti dengan isi dari prasasti Canggal yang memuja dewa trimurti dengan pujian kepada dewa Syiwa sebanyak tiga bait. Prasasti ini selain merupakan prasasti terbesar juga merupakan prasasti tertua yang mengungkapsedikit mengenai peradaban mataram kuno yang cukup besar geliatnya di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Candi dengan nuansa keagamaan Hindu ini terletak di puncak bukit. Adanya arca yoni dan arca lingga yang bertebaran memang berarti kesuburan, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Hal ini ditandai dengan kesuburan tanah di sekitar candi ini yang dimanfaatkan warga untuk bercocok tanam. Candi ini merupakan salah satu candi pengungkap kebudayaan penyebaran agama Hindu dan Buddha yang cukup besar memberikan informasi lanjut mengenai peradaban yang perah ada.Candi Plumbangan terletak di Desa Plumbangan, Kecamatan Doko, Kesamben, Blitar. Letaknya agak jauh dari jalan raya Malang-Blitar, di tengah perumahan. Tidak banyak informasi yang didapat mengenai bangunan kuno ini, kecuali bahwa pembangunannya dilakukan pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit.

Bangunan yang seluruhnya terbuat dari batu andesit ini berbentuk gapura paduraksa (gapura beratap), mirip dengan bentuk Candi Bajang Ratu di Trowulan. Menilik bentuknya, ada dugaan bahwa Gapura Plumbangan merupakan candi ruwatan sebagaimana halnya Candi Bajang Ratu. Bentuk gapura melambangkan suatu 'pelepasan' atau sebagai gunung yang, menurut kepercayaan Syiwais, merupakan tempat tinggal dewa. Namun fungsi bangunan berbentuk gapura paduraksa itu sendiri masih menjadi bahan perdebatan, karena ada sebagian ahli yang berpendapat bahwa gapura merupakan tanda batas suatu wilayah atau kompleks bangunan tertentu.

Gapura Plumbangan menghadap timur-barat, dengan 'sayap' selebar sekitar 2 m menonjol ke utara dan selatan. Berbeda dengan kaki pada Gapura Wringin Lawang dan Gapura Bajang Ratu yang cukup tinggi, kaki Gapura Plumbangan hanya setinggi sekitar 0,5 m, dengan 2 anak tangga di kedua sisi. Ketebalan gapura pun hanya sekitar 0,5 m. Tidak terdapat pahatan hiasan apapun pada gapura ini, baik pada dinding dalam maupun dinding luarnya. Atapnya berbentuk meru bersusun dengan puncak persegi empat.Sekitar 6 m dari gapura ke arah tenggara, terdapat sebuah prasasti yang disebut Prasasti Plumbangan. Prarasti ini telah dibuatkan tatakan dari semen dan diberi atap seng. Tidak diketahui apakah letaknya semula memang di tempat tersebut. Tulisan yang terpahat pada prasasti sangat tipis, nyaris tak terbaca. Tidak didapat informasi mengenai isi prasasti tersebut.ampaknya bangunan kuno ini belum sepenuhnya berhasil dipugar. Di sekeliling pelataran tertata batu-batu berbagai bentuk yang belum diketahui fungsinya maupun letak dan susunan aslinya.

Di antara batu-batu tersebut, banyak yang berlubang di atasnya yang kelihatannya seperti bekas umpak. Di antaranya juga terdapat beberapa bentuk yoni yang telah rusak.