Upload
letruc
View
224
Download
0
Embed Size (px)
1
CAKUPAN TOPIK STANDAR NASIONAL KURIKULUM DALAM PEMBELAJARAN DI KELAS PADA JENJANG SMP/MTs.
TOPIC COVERED NATIONAL STANDARD OF CURRICULUM AND ITS
ALIGMENT WITH THE CLASS INSTRUCTIONAL ON MIDDLE SCHOOLS
Rumtini dan Mahdiansyah Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Studi ini bertujuan mengeksplorasi keselarasan antara standar nasional kurikulum dan praktik pembelajaran di kelas. Penelitian menggunakan metode kuantitatif dalam memahami penyelarasan standar kurikulum dan praktik pembelajaran kelas pada area cakupan topik/muatan kurikulum (curriculum coverage) di tingkat sekolah menengah pertama di daerah sampel. Secara umum, mayoritas guru melaporkan bahwa mereka mampu mengajarkan semua topik yang tercantum dalam standar isi pada kurikulum. Namun, masih terdapat sejumlah kecil guru yang mengajar kurang dari 100% dan beberapa di antara mereka bahkan mengajarkan kurang dari 70% dari materi yang seharusnya diajarkan. Dengan kata lain, meskipun secara umum tingkat keselarasan standar nasional dengan pembelajaran di kelas relatif tinggi, masih terdapat muatan kurikulum yang tidak diajarkan guru khususnya pada kelas satu. Temuan ini harus ditanggapi secara serius oleh otoritas pendidikan di semua tingkat. Sistem pendidikan di seluruh wilayah menerapkan standar nasional pendidikan, di antaranya standar isi. Sehubungan dengan itu, melewatkan topik/muatan kurikulum dalam pembelajaran di kelas dapat mempengaruhi prestasi siswa karena butir-butir soal pengujian dikembangkan berdasarkan standar nasional tersebut. Tambahan pula, dengan melewatkan topik tertentu di kelas berpotensi menimbulkan masalah bagi siswa dalam pembelajaran di kelas yang lebih tinggi, karena kurang kuatnya pengetahuan dasar dari muatan kurikulum. Kata Kunci: standar nasional kurikulum, topik/muatan kurikulum, dan pembelajaran.
ABSTRACT
This study is an attempt to explore alignment of the curriculum national standard and classroom practice. The study used a quantitative method to understand the alignment of the curriculum national standard and classroom practices in term of topic coverage for junior secondary school in Indonesia. The Study found that vast majority of teachers report that they are able to cover all topics required by the curriculum national standard. However, there were small number of teachers who taught less than 100% and several of them even taught less than 70% of topics required. Therefore, although alignment of the standards and classroom instruction may be high, the fact that there are topics not covered is a major concern because it may have a great effect on students. As practical implication, this evidence should be taken seriously by educational authorities at
2
any level. As the educational system is applying the standards-based system, skipping topics from the class instruction can affect student achievement a great deal because test items are developed based on the curriculum national standard. The other effect of skipping topics in lower grade is also potential to cause problem for student in learning in higher grade since they lack of more basic knowledge of the curriculum content.
Key Words: curriculum national standard, curriculum content, and learning
PENDAHULUAN
Pentingnya keselarasan antara pembelajaran sebagai anak dan kurikulum sebagai
induknya ditekankan dalam berbagai konsep pendidikan. Salah satu studi kasus berskala
internasional, dengan pendekatan etnografik, yang dilakukan oleh Trend International
Mathematics and Science Study (TIMMS) menggarisbahawi dua pola umum dalam
pembelajaran sekolah. Pertama, elemen-elemen universal yang menbentuk pola praktek
pembelajaran pada banyak sekolah tediri atas lingkungan fisik, dinamika sosial dalam
kelas, dan kurikulum yang dipelajari. Kedua, banyak negara mengarahkan pembelajaran
dengan materi dan strategi pembelajaran yang selaras dengan budaya, philosofi, cita-cita,
dan nilai-nilai suatu negara (Givvin et al., 2005). Philosofi tersebut termasuk
matapelajaran yang ditetapkan, bagaimana siswa mempelajari, ekspektasi tingkat capaian
siswa, dan nilai luhur proses dan hasil pembelajaran.
Indonesia telah mengadopsi reformasi berbasis standar untuk meningkatkan akses
dan kualitas pendidikan. Melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI
No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai jawaban atas perubahan
pemerintahan dari model terpusat ke model terdesentralisasi di bawah dua instrumen
utama desentralisasi (UU RI No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU RI No.
25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah), standar nasional dan
penilaian dianggap sebagai kunci peningkatan sekolah. Berdasarkan undang-undang ini
sistem pendidikan baru, pemerintah mengambil dua komponen standar reformasi-
nasional berbasis standar kurikulum dan penilaian nasional sebagai paket "what student
need to know and able to do” Sebaliknya, komponen ketiga reformasi berbasis standar,
akuntabilitas, hampir tidak dibahas dalam sistem.
3
Di masa lampau dalam sejarah pendidikan di Indonesia, sistem sentralisasi lebih
mendominasi dibandingkan sistem desentralisasi dari waktu ke waktu. Dari abad-abad
awal (1598-1942), ketika negara dalam penjajahan Belanda, pemerintah daerah dikontrol
sedemikian kuat oleh pemerintah pusat Belanda, termasuk pendidikan. Pada periode
tersebut, akses pendidikan hanya diperuntukkan bagi kelompok elit lokal. Setelah
kolonialisme berakhir, periode kepresidenan pertama (1945-1966) bagaikan terbangun
dari malam panjang kolonialisme, negara terperangkap ke dalam gejolak ekonomi dan
politik. Dalam suasana ketidakstabilan tersebut, walaupun ada upaya untuk
mendesentralisasikan beberapa sistem pemerintahan, pelaksanaannya masih jauh dari
berhasil. Dalam situasi tersebut, sektor pendidikan tidak menjadi prioritas utama
pemerintah.
Evolusi pendidikan di Indonesia dapat ditelusuri lagi dalam era kepresidenan
kedua (1966-1998). Selama era presiden kedua (1966-1998), pendidikan tetap terpusat.
Itu adalah kesadaran ketidakstabilan sosial dan kebutuhan untuk nasionalisme yang
memberikan salah satu pembenaran kunci bagi Indonesia untuk tetap terpusat (Bjork,
2003; Schwarz, 1999). Selama era ini, pendidikan merupakan instrumen yang efektif
untuk menjaga persatuan nasional dengan menyebarkan keputusan pemerintah secara
top-down. Langkah kecil menuju desentralisasi diperkenalkan pada tahun 1994 untuk
mengalokasikan 20% dari total jam pembelajaran untuk materi pelajaran yang dirancang
secara lokal. Kebijakan ini dikenal sebagai Kurikulum Lokal. Menurut Bjork (2003)
program ini kurang berhasil karena budaya sebelumnya sekolah hanya diarahkan pada
ketaatan bukan inisiatif seperti yang dituntut dalam, selain juga karena sistem top-down
pemerintah yang terlalu dalam tertanam dalam proses pendidikan.
Inisiatif pemerintah mendesentralisasikan kebijakan secara luas diperkenalkan
pada pertengahan 1998 pada era kepresidenan ketiga (1998-1999). Langkah ini diambil
terutama sebagai tanggapan atas besarnya tuntutan reformasi yang diawali oleh krisis
ekonomi dan diakhiri keruntuhan periode kepresidenan kedua (1966-1998). Pemerintah
berikutnya (1999-2001, 2001-2004, & 2004-2009) mengadopsi standar nasional dan
penilaian dalam upaya meningkatkan kualitas dan akses pendidikan. Dengan menerapkan
standar nasional dan penilaian, reformasi pendidikan saat ini diarahkan pada sistem
berbasis standar, meskipun tanpa diikuti sistem akuntabilitas yang tegas sebagaimana
4
reformasi pendidikan berbasis-standar di Amerika Serikat misalnya. Selain itu, sistem
pendidikan di Indonesia juga kurang memperhatikan salah satu alat penting untuk
mencapai tujuan reformasi berbasis standar, yaitu penyelarasan. Untuk keperluan
tersebut, studi ini merupakan upaya untuk mengeksplorasi tingkat keselarasan standar
nasional kurikulum dengan praktek pembelajarannya di kelas sebagai langkah awal
mengukur tingkat keselarasan yang ada saat ini.
Perumusan Masalah
Koherensi merupakan kunci keberhasilan dalam meningkatkan kualitas dan akses
pendidikan pada reformasi berbasis standar. Dalam pembelajaran di kelas dan kurikulum
standar, keselarasan merupakan tingkat kesolidan diantara keduanya, berfungsi sebagai
mediator dalam mencapai tujuan. Namun, meskipun menyelaraskan praktik kelas dan
standar memainkan peran penting (Martone & Sireci, 2009), sedikit studi yang telah
dilakukan dalam area topik tersebut. Pada sisi lain, meskipun konsep reformasi berbasis
standar telah "diterima secara luas" di Indonesia, pentingnya keselarasan yang terukur
hampir tidak ditekankan sebagai aspek yang memfasilitasi penerapan standar-kurikulum
nasional. Akibatnya, sangat mungkin terjadi kekurangpengetahuan yang cukup akan
pentingnya keselarasan dalam sistem pendidikan terutama antara standar dan praktek
pembelajaran di kelas, antara standar dan penilaian, dan antara praktek pembelajaran di
kelas dan penilaian. Selain itu, implementasi progresif standar nasional dan program
pengujian untuk menentukan kelulusan sekolah di Indonesia kurang diikuti adanya
intervensi praktek pembelajaran kelas, akan membatasi pengetahuan guru tentang
standar, praktek pembelajaran kelas, dan program penilaian. Selain itu, juga membatasi
pemahaman guru akan pentingnya kesolidan antara ketiga aspek pendidikan tersebut.
Menghilangkan atau mengabaikan proses pembelajaran dari agenda utama
reformasi dipastikan akan menciptakan kesenjangan antara pengetahuan guru tentang
standar dan praktik pembelajarannya di kelas. Hasilnya, guru kurang memiliki
kemampuan menyelaraskan instruksi kelas mereka dengan standar kurikulum sebagai
rujukan. Jika hal ini terjadi, prinsip-prinsip pendidikan dipersempit hanya pada materi-
materi yang diujikan yang secara potensial akan melanggar konsep reformasi berbasis
standar.
Lebih penting lagi, pemerintah, yang berfungsi sebagai fasilitator peningkatan
5
akses dan kualitas, besar kemungkinan akan menemukan efek yang tidak diinginkan jika
guru lebih menyelaraskan pembelajarannya mereka pada aspek-aspek yang akan diujikan
dibandingkan dengan standar kurikulum. Jika hal ini terjadi, tidak hanya melanggar
konsep sistem pendidikan berbasis-standar melainkan juga terjadi misalokasi sumberdaya
sekolah yang lebih besar yang pada akhirnya dapat menghambat siswa dari latar belakang
yang berbeda untuk mendapatkan kesempatan bersekolah dengan kualitas yang lebih
baik. Singkatnya, kekurangpengetahuan tentang pentingnya keselarasan antara standar isi
dan pembelajaran di kelas sulit untuk mengetahui apakah nilai prestasi siswa pada ujian
nasional mencerminkan belajar siswa atau cerminan dari standar kurikulum dalam
pembelajarannya di kelas. Selain itu, sulit untuk menentukan apakah inisiatif reformasi
pendidikan telah menghasilkan peningkatan prestasi siswa. Untuk itu penelitian
diperlukan di bidang sejauhmana guru menyelaraskan pembelajaran kelas mereka dengan
materi kurikulum nasional.
Tujuan Umum
Penelitian ini memiliki tujuan utama untuk menemukan tingkat keselarasan
praktek pembelajaran di kelas dengan standar nasional kurikulum, selain mengeksplorasi
sejauhmana antara karakteristik guru seperti gender, status kerja, jurusan sekolah, tingkat
pendidikan, lama mengajar, dan pengembangan profesi berkaitan sengan tingkat
selerasana tersebut.
Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ditujukan untuk menjawab dua pertanyaan penelitian: 1)
Sejauh mana pembelajaran kelas selaras dengan standar nasional kurikulum dalam hal
cakupan topik?; 2) Apakah ada hubungan antara karakteristik guru dengan tingkat
keselarasan tersebut?
KAJIAN PUSTAKA
Keselarasan (alignment).
Kunci penting reformasi berbasis-standar adalah untuk membantu siswa belajar
lebih baik dan sukses dalam ujian, selain diyakini juga menawarkan kesempatan
pendidikan yang lebih baik untuk semua anak. Keselarasan akan menjamin terciptanya
6
situasi dimana anak tidak hanya mendapatkan keadilan dalam mengerjakan tes yang telah
dengan baik dipersiapkan dalam kelas –hanya jika ada keselarasan yang tinggi antara
standar kurikulum dan pembelajaran di kelas, melainkan juga untuk menjamin validitas
hasilnya (Rothman, 2003). Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, keselarasan merupakan
isu penting tidak hanya materi standar kurikulum dan pengujian melainkan juga praktek
pembelajaran dimana guru memainkan peranan penting.
Keselarasan memainkan peranan yang sangat penting, baik dalam kekompakan,
keberlangsungan, dan sinkronisasi diantara komponen-komponen inti sistem
instruksional seperti praktek pembelajaran (Fonthal, 2004). Argumen tersebut diperkuat
oleh sejumlah pandangan yang menyatakan bahwa keselarasan penting untuk menjamin
agar pengetahuan dan ketrampilan yang diuji dalam test sama dengan pengetahuan dan
ketrampilan yang dirumuskan dalam kurikulum standar (NASBE, 1997; Rothman, 2003;
Martone & Sireci, 2009; Grossman et. al, 2008). Sejumlah penelitian telah dilakukan
untuk menguji keselarasan, beberapa diantaranya Norman L. Webb (1997, 1999),
Andrew C. Porter (2002), Porter et al. (2007), and Wixson et al. (2002). Dari berbagai
studi tersebut menghasilkan antara lain kriteria dan prosedur untuk mengukur
keselarasan. Studi-studi tersebut memiliki focus yang berbeda, misalnya studi baik Webb
maupun Wixson et. al. lebih menekankan pada keselarasan standar dengan penilaian,
ementara Porter meneliti keselarasan standar kurikulum dengan pembelajaran di kelas
dan penilaian.
Schmidt and Prawat (2006) menyatakan bahwa dalam rangka menciptakan
koherensi dalam pendidikan, harus diuji hubungan antara kurikulum standar sebagai
sistem dan cakupan materi pembelajarannya di kelas. Untuk mencapai tujuan tersebut,
Schmidt and Prawat (2006) mengeksplorasi keselarasan dalam studi-studi kurikulum
untuk mengukur koherensi antara kurikulum dan praktek pembelajarannya di kelas.
Demikian pula, Newmann et al. (2001) menyimpulkan bahwa studi-studi dalam sistem
pendidikan secara luas cenderung mengartikan koheransi sebagai keselarasan antara
praktek-praktek pembelajaran dengan kebijakan-kebiajakan eksternal dan standar.
Sementara itu, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pengaruh dari proses
pembelajaran dalam membaca tidak hanya meningkatkan prestasi baca tetapi juga
meningkatkan prestasi mata pelajaran lain seperti sains, matematika, dan menulis
7
(Guthrie et al, 2000). Peran penting pembelajaran kelas juga ditunjukkan dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Brown et al. (2010) terhadap kualitas peningkatan kelas,
dimana temuan mendukung bahwa intervensi yang diinduksi pada tingkat-kelas secara
fundamental nenanamkan pembentukan sikap yang positif.
Karakteristik Guru.
Meskipun guru memainkan peran kunci dalam instruksional kelas, belum banyak
penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi kepastian karakteristik para guru
yang paling mendukung proses belajar siswa (Goe & Stickler, 2008). Terdapat studi
pada tataran yang lebih luas tentang hubungan antara karakteristik guru dan variabel-
variabel terikat seperti prestasi siswa dan motivasi, misalnya self-efikasi, namun hasilnya
sama seperti pada penelitian-penelitian sebelumnya yang tidak menemukan karakteristik
tertentu secara konsisten sebagai penentu keberhasilan belajar siswa. Dari banyak
penelitian, karakteristik guru yang umum dieksplorasi meliputi kualitas guru
(Heck,2007); guru bersertifikasi (Boyd et al, 2006; Goldhaber, 2002); dan lama
pengalaman mengajar, dan pengetahuan pedagogis (Golhaber, 2002). Dari penelitian-
penelitian tersebut, tidak ditemukan karakteristik guru yang secara konsisten
mendominasi pengaruhnya terhadap prestasi siswa.
Penelitian tentang hubungan antara karakteristik guru dan prestasi siswa, Wayne
dan Youngs (2003) mencoba menginterpretasikan hasil penelitian sebagai masukan bagi
para pembuat kebijakan dan peneliti yang tertarik pada isu terkait. Dari 21 desain
penelitian yang memenuhi kriteria, mereka mengkaji dan mensintesa hasil-hasil
penelitian untuk keperluan: ”(a) memetakan studi-studi relevan dan temuannya;
(b) menginterpretasikan, dan (c) mempertimbangkan implikasi bagi kebijakan dan
penelitian di masa depan”. Pada sisi yang lain, sintesa juga dilakukan untuk mengkaji
hubungan antara variabel kualitas guru dan prestasi siswa yang diukur dengan
tes standar (Goe, 2007). Sintesa tersebut menghasilkan indikator-indikator kualitas guru
yang diklasifikasikan dalam empat kategori: karakteristik guru, praktek guru, dan
efektivitas guru (www.ncctq.org / link.php: 28 Desember 2011). Hasil dari metaanalisis
yang berupa kategori-kategori tersebut memberikan kontribusi terhadap para pengambil
kebijakan pendidikan dan para peneliti sebagai acuan penelitian ke depan.
8
Hasil penelitian menarik tentang karakteristik guru mengemukakan bahwa secara
keseluruhan, karakteristik guru bervariasi antar sekolah (Loeb, 2001). Namun ditemukan
bahwa sekolah-sekolah yang dodominasi oleh kelompok minoritas, dimana sebagian
besar dari mereka berasal dari keluarga berpenghasilan rendah, sekolah-sekolah tersebut
cenderung didominasi oleh guru-guru berkualifikasi lemah (Beteille & Loeb,2009).
Penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik guru merupakan salah satu faktor
kunci yang diidentifikasi mempengaruhi hasil belajar siswa.
Survey
Tingkat keselarasan antara standar nasional kurikulum dan pembelajaran di kelas
dapat ditentukan oleh sejauh mana cakupan isi kurikulum dalam pembelajaran di kelas.
Adapun alasan mengukuran dengan strategi ini didasarkan pada sedikitnya dua acuan
literature sebagai rujukan. Pertama, Schmidt dan Prawat (2006) menjelaskan tentang
strategi mengukur cakupan dalam mengajar sebagai irisan atau overlapping antara
standar isi kurikulum dan jumlah topik kompetensi dasar yang diajarkan guru dalam
kelas. Kedua, Porter (2002) dan Gamoran et al. (1997) memberikan lingkup yang lebih
luas tentang keselarasan dengan mengukur luas (cakupan tingkat) dan tuntutan kognitif
(cakupan konfigurasi). Survei adalah salah satu metode yang paling umum digunakan
dalam ilmu sosial untuk memahami perilaku dan dinamka masyarakat dan untuk menguji
teori perilaku (Groves dkk, 2004). Dalam studi ini, instrumen survei digunakan untuk
mengumpulkan data dari sampel guru di tiga provinsi di Indonesia. Pengumpulan data
dilakukan dengan memberikan pertanyaan survei pada guru sebagai laporan-diri terhadap
pertanyaan apakah mereka mengajarkan topic kompetensi dasar dalam standar kuriulum.
Selain itu, guru juga diminta mengisi pertanyaan tentang latar belakang diri untuk
mengindentifikasi karakteristik mereka. Laporan-diri dipilih dalam penelitian ini karena
"persepsi guru merupakan salah satu jendela untuk mengetahui hubungan guru-anak
didik yang dapat menginformasikan tingkat hubungan dan interaksi terkait dengan
pembelajaran di kelas" (Saft dkk, 2001, hal 126.). Walaupun muncul keraguan tentang
kejujuran guru dalam praktek pembelajaran mereka, penelitian sebelumnya menunjukkan
keakuratan jawaban guru (Wolters & Daugherty, 2007).
9
Berangkat dari diskusi-diskusi di atas yang dimulai dari pentingnya keselarasan
dalam kurikulum dan pembelajaran instruksional di kelas, karakteristik guru sebagai agen
perubahan di kelas, dan pendekatan studi, tidak dapat dipungkiri bahwa karakteristik guru
memberikan kontribusi yang besar terhadap kualitas belajar siswa, meskipun tidak
ditemukan konsistensi terhadap karakteristik tertentu antar hasil penelitian. Berbagai
studi tentang karakteristik guru perlu terus dilakukan ke depan dalam rangka menemukan
rujukan-rujukan dalam pengambilan keputusan dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan khususnya peningkatan kualitas belajar siswa. Penelitian ini merupakan studi
persepsi guru atau lapor-diri guru yang biasa digunakan untuk menilai hubungan antara
guru dan siswa. Penelitian penting dilakukan untuk memperoleh informasi apakah self-
report guru dalam mengajar khususnya tentang cakupan topik mengajar di kelas
bervariasi sebagai fungsi tingkat pendidikan, kesesuaian (matching), pengalaman, status
kepegawaian, gender, dan pengembangan profesi guru. Dalam studi ini yang dimaksud
dengan topik adalah pokok-pokok bahasan muatan kurikulum yang mengacu pada
standar kompetensi dasar.
METODE PENELITIAN
Pada bagian ini, metode penelitian dirinci menjadi beberapa sub-bagian. Setiap
sub-bagian mendeskripsikan secara rinci aspek-aspek terkait yang akan digunakan dalam
penelitian dalam ragka menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan di atas.
Dengan mendeskripsikan metode penelitian secara lengkap dan rinci, diharapkan jika
studi lain dilakukan di tempat dan ukuran yang sama, hasilnya akan sama seperti temuan
penelitian ini. Sub-sub bagian ini meliputi aspek-aspek berikut.
Desain Penelitian
Dua tugas utama dalam setiap desain penelitian adalah untuk menentukan sejelas
mungkin apa yang ingin diketahui dari studi yang dilakukan dan menentukan cara
terbaik untuk melakukannya (Babbie, 2004). Pertanyaan pertama mengeksplorasi
keselarasan antara standar nasional kurikulum dan praktek pembelajaran di kelas, dan
pertanyaan kedua meneliti hubungan antara tingkat keselarasan dengan karakteristik
guru. Jika ide utama dari pertanyaan pertama adalah untuk mengeksplorasi keselarasan
10
standar kurikulum dengan cakupan topik, gagasan utama tujuan kedua adalah untuk
menguji apakah perubahan pada tingkat pendidikan, lama pengalaman mengajar,
pengembangan profesi, dan variabel kategori seperti gender, status kepegawaian, dan
jurusan kuliah memprediksi cakupan topik. Singkatnya, dalam rangka menjawab
pertanyaan tersebut, studi ini pertama-tama mengeksplorasi keselarasan cakupan topik
pembelajaran di kelas dengan standar kurikulum, yang kemudian diikuti dengan menguji
hubungan antara keselarasan tersebut dan karakteristik guru.
Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini difokuskan pada empat mata pelajaran sekolah menengah
pertama (SMP) yang diujikan secara nasional: bahasa Indonesia, Inggris, ilmu
pengetahuan alam, dan matematika. Selanjutnya, instrumen survei dirancang untuk
mengumpulkan data dari sampel guru dari tiga propinsi di Indonesia bagian barat:
Lampung, Jakarta, dan Jawa Timur. Pertanyaan survei dibagi menjadi dua bagian: 1)
karakteristik guru: jenis kelamin, status kepegawaian, jurusan kuliah, lama mengajar,
tingkat pendidikan, dan pengembangan profesi (tentang standar nasional kurikulum dan
keselarasan standar kurikulum dengan kelas instruksional), dan 2) daftar kompetensi
dasar pada masing-masing empat matapelajaran sebagai topik-topik yang harus dinilai
oleh guru dalam cakupan topik selama tahun ajaran 2008-2009.
Hipotesis
Dalam menentukan hubungan, peneliti menguji hipotesis. Dalam konteks ini, studi
meneliti sejauhmana guru yang "berkualitas tinggi" dibandingkan dengan guru yang
berkualitas kurang dalam menyelaraskan standar kurikulum dan praktek pembelajaran
mereka. Penelitian menguji hipotesis bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara
statistik pada tingkat keselarasan cakupan topik dari kompetensi dasar yang diajarkan di
2008/2009 dengan gender, status kepegawaian, kesesuaian dengan jurusan kuliah,
pengalaman mengajar, tingkat pendidikan, atau pengembangan profesi. Dalam studi ini,
perkembangan profesional dibatasi pada dua topik utama: 1) standar nasional kurikulum
dan 2) keselarasan instruksi kelas dan standar nasional kurikulum.
Analisis
11
Analisis penelitian berdasarkan pertanyaan penelitian. Analisis pertama
mengeksplorasi tingkat keselarasan, dimana cakupan topik dieksplorasi melalui
persentase dari topik kurikulum standar nasional diajarkan pada tahun 2008/2009. Dalam
menganalisis hubungan, analisis statistik maksimum likelihood dan pendekatan mixed-
multilevel untuk menguji hubungan antara karakteristik guru sebagai variabel independen
dan tingkat keselarasan cakupan topik sebagai dependen variabel. Alasan maksimum
likelihood digunakan untuk memperkirakan parameter untuk memaksimalkan fungsi
likelihood karena guru yang bernaung dalam sekolah diambil sebagai kluster. Model
regresi campuran ini digunakan untuk mengetahui kemungkinan adanya pengaruh
sekolah terhadap respon guru. Regresi campuran-bertingkat (mixed multilevel)
dimodelkan untuk memprediksi keselarasan cakupan topik dan untuk menguji hipotesis
bahwa karakteristik guru seperti jenis kelamin, status kepegawaian, kesesuaian jurusan
kuliah, tahun pengalaman mengajar, tingkat pendidikan, dan pengembangan profesi
berhubungan dengan keselarasan. Dalam model ini, variabel terikat adalah keselarasan
(cakupan topik) dan variabel bebas adalah karakteristik guru. Penggunaan model mixed
multilevel merupakan bentuk umum dari analisis regresi karena guru dalam studi ini
terdiri atas beberapa tingkat dalam satu sekolah. Data seperti tersebut menjadi salah satu
cirri khas data di bidang pendidikan yang pada umumnya memiliki struktur ganda (Marsh
et al, 2008). Ekuasi berikut mengggambarkan model hubungan antara karakteristik guru
sebagai prediktor dan keselarasan pembelajaran guru.
Cakupan topikij = γ00 + γ01 (Gender)j + γ02 (Status kepegawaian)j + γ03 (jurusan
kuliah)j + γ04 (Lama mengajar)j + γ05 (Tingkat pendidikan)j + γ06 (Pengembangan
profesi1)j + γ07 (Pengembangan profesi2 )j + uoj + eij.
Keterbatasan
Penelitian ini memiliki keterbatasan sebagai berikut. Ruang lingkup dari studi ini
melibatkan hanya tiga provinsi di Indonesia bagian barat. Selain itu, tidak ada guru
sekolah swasta di Jakarta yang menjadi responden karena alasan waktu. Dengan
keterbatasan kedua wilayah dan jenis sekolah, hasilnya mungkin tidak dapat digunakan
untuk menggeneralisasi di luar lingkup wilayah tersebut. Penelitian ini juga memiliki
12
keterbatasan untuk mengatasi karakteristik khususnya sekolah-sekolah dengan afiliasi
keagamaan yang mungkin berbeda secara signifikan dari sekolah umum. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menguji apakah sekolah dengan afiliasi agama melakukan
menyelaraskan instruksi kelas mereka lebih baik daripada sekolah umum.
TEMUAN STUDI
Bagian ini melaporkan temuan-temuan penelitian yang untuk menjawab dua
pertanyaan utama penelitian. Pertanyaan pertama: "Sejauh mana instruksi kelas selaras
dengan standar nasional kurikulum?" Pertanyaan kedua: "Adakah hubungan antara
karakteristik guru dan tingkat keselarasan antara pembelajaran kelas dan standar nasional
kurikulum?"
Demografik Responden
Dari sejumlah sekolah, didapatkan sebanyak kurang lebih 75 guru per kabupaten
atau 150 guru per provinsi. Kekecualian terletak di Jawa Timur, karena jumlah guru dan
sekolah besar, maka jumlah guru mencapai 200 guru responden. Di setiap sekolah, semua
guru yang mengajar mata pelajaran: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, ilmu
pengetahuan, dan matematika, diambil sebagai responden penelitian. Berdasarkan strategi
pengambilan sampel, jumlah sekolah mencapai 27 sekolah (Lampung: empat sekolah
kota dan empat sekolah kabupaten; Jakarta: empat sekolah kota; dan Jawa Timur: enam
sekolah kota dan sembilan sekolah kabupaten). Dengan demikian penelitian ini
melibatkan sebanyak 501 guru sebagai responden.
Responden Guru
Dari 501 guru yang berpartisipasi, Jawa Timur menyumbang jumlah tertinggi
responden (40,1%), diikuti oleh Jakarta (31%) dan Lampung (28,74%). Berdasarkan
jumlah sekolah per wilayah provinsi studi, jumlah sekolah di Jawa Timur sebanyak 6088
sekolah, diikuti oleh Lampung 1.706 sekolah, dan Jakarta 1236 sekolah. Berdasarkan
variasi jumlah sekolah tersebut, jumlah sekolah dalam studi ini, terbanyak jumlahnya dari
Jawa Timur, diikuti masing-masing oleh Lampung, dan Jakarta. Sedangkan jumlah
responden guru berdasarkan tingkat kelas menunjukkan bahwa guru kelas tujuh
13
marupakan kelompok guru terbesar berpartisipasi dalam survei ini, diikuti oleh kelompok
guru kelas delapan dan kelompok guru kelas sembilan. Dari empat mata pelajaran,
meskipun perbedaan tidak terlalu besar, guru matematika merupakan kelompok terbesar
(n = 136 atau 27,1%), diikuti oleh guru bahasa Inggris (n=126 atau 25,9%), guru Bahasa
Indonesia (n=124 atau 24,7%), dan ilmu pengetahuan alam (n=115 atau 23%).
Cakupan Topik
Keselarasan antara standar nasional kurikulum dan pembelajaran kelas merupakan
variabel cakupan topik. Cakupan topik ini dihitung melalui persentase dari jumlah topik
standar nasional yang dirumuskan sebagai kompetensi dasar yang senyatanya diajarkan
oleh guru di kelas dibandingnya yang seharusnya. Tabel 1 menyajikan rata-rata cakupan
topik untuk setiap propinsi berdasarkan tingkat kelas dan subjek.
Tabel 1
Rata-rata Cakupan Materi Ajar per Propinsi, Subyek, dan Tingkat Kelas
Tingkat 7 Tingkat 8 Tingkat 9 Rerata Rerata sd n Rerata sd n Rerata sd n
Lampung I 99.6 1.6 14 98.0 4.3 9 98.9 2.4 11 98.8 E 99.0 4.4 18 100 0.0 9 96.7 11.0 11 98.6 S 98.1 5.3 12 97.4 5.8 11 99.1 1.9 11 98.2 M 98.7 2.8 14 96.5 11.2 10 99.2 1.9 14 98.1 Total 98.8 3.5 58 98.0 5.3 39 98.5 4.3 47 98.4
Jakarta I 95.2 9.7 14 99.3 2.4 11 100 0.0 16 98.1 E 89.5 0.0 10 100 0.0 10 94.8 12.1 14 96.5 S 99.1 1.9 15 100 0.0 11 91.4 9.7 15 99.7 M 91.7 14.9 23 99.7 1.4 17 96.6 4.4 14 98.5 Total 92.5 12.6 81 98.2 3.6 61 59.7 6.6 59 98.2
East Java I 100 0.0 21 99.5 1.9 17 100 0.0 16 99.8 E 91.7 18.0 21 96.9 7.1 13 94.8 12.1 14 94.5 S 86.6 17.4 16 96.6 3.9 14 91.4 9.7 15 91.6 M 91.7 14.9 23 99.7 1.4 17 96.6 4.4 14 96.0 Total 92.5 12.6 81 98.2 3.6 61 95.7 6.6 6.1 95.5
Grand Total 95.64 7.96 205 98.43 3.77 143 98.04 3.73 153 97.37 Catatan. n= 501. I = bhs. Indonesia, E = bhs. Inggris, S = sain, and M = Matematika
Secara umum, rerata cakupan topik 97,37% (n = 501, sd = 5,15) menunjukkan
persentasi yang cukup tinggi pada semua matapelajaran. Diantara empat matapelajaran,
seperti ditunjukkan pada Tabel 1, cakupan tertinggi adalah Bahasa Indonesia (98,49%),
14
diikuti oleh matematika (97,54%), Inggris (96,51%), dan ilmu pengetahuan (96,49%).
Pada tingkat provinsi, Jawa Timur menunjukkan cakupan kurikulum terendah pada
keempat mata pelajaran dibandingkan dengan propinsi lainnya. Pada provinsi Jawa
Timur sendiri, ilmu pengetahuan alam memiliki persentase cakupan terendah. Pada
tingkat kelas, kelas delapan mencapai rerata cakupan tertinggi, diikuti oleh kelas
sembilan, dan kelas tujuh menempati persentase cakupan topik terendah dari yang
dirumuskan dalam standar nasional kurikulum. Seperti dapat dilihat pada Tabel 2,
terdapat guru mengajarkan subyek kurang dari apa yang dirumuskan dalam standar
nasional kurikulum –guru seharusnya mengajarkan 100% dari kompetensi dasar. Diantara
tingkatan kelas, kelas tujuh merupakan tingkatan dengan sebagian guru mengajar 70%
atau kurang dari topik yang seharusnya diajarkan selama 2008-2009.
Tabel 2
Interval Persentasi Cakupan Topik pada masing-masing Matapelajaran dan Tingkat Sekolah
Jumlah guru per matapelajaran dan persentasi cakupan per
tingkat kelas dan matapelajaran Kls. Interval Bhs.
Indonesia Bhs.
Inggris IPA Mate-
matika Total % per
tingkat kelas
7 Sampai dengan 70% 1 5 2 2
10 4.88
71%–89 % 1 6 7 4 18 8.78
90%–99% 4 6 4 12 26 12.68
100% 43 41 30 37 151 73.66
Jumlah Guru 49 58 43 55 205 % kelas 7 23.90 28.29 20.98 26.83 100 100
8 71%–89% 1 2 2 2 7 4.90
90%–99% 4 1 7 2 14 9.79
100% 32 29 27 34 122 85.31
Jumlah guru 37 32 36 38 143
% kelas 8 25.87 22.38 25.17 26.57 100 100 9 71%–89% 0 3 4 3 10 6.54
90%–99% 2 1 9 6 18 11.76
100% 36 32 23 34 125 81.70
Jumlah guru 38 36 36 43 153
% kelas 9 24.84 23.53 23.53 28.10 100 100
15
Jumlah responden guru laki-laki dan perempuan hampir sama di tingkat sekolah
menengah pertama di Indonesia. Keseimbangan gender pada guru tingkat SMP
menandakan pola yang berbeda dengan SD dan SMA. Komposisi antara jumlah guru
perempuan dan guru laki-laki bervariasi, dimana jumlah guru perempuan menunjukkan
lebih tinggi dibandingkan guru laki-laki pada tingkat SD, seimbang pada tingkat SMP,
dan lebih rendah pada tingkat SMA (Statistik Persekolahan, 2010). Secara keseluruhan,
jumlah guru negeri (78,04%) berpartisipasi dalam survei ini, menunjukkan jumalh lebih
besar dibandingkan jumlah guru swasta (21,96%). Namun, di Jawa Timur jumlah guru
swasta sebagai responden lebih tinggi dibandingkan guru-guru di dua provinsi lain.
Berdasarkan karakteristik guru yang diidentifikasi, persentasi guru yang
jurusannya tidak sesuai dengan matapelajaran yang diajarkan ternyata cukup tinggi.
Bahkan, angka tersebut kemungkinan lebih tinggi jika ditambah dengan mereka yang
tidak memberikan informasi tentang jurusan mereka di perguruan tinggi. Salah satu
alasan tidak menjawab pertanyaan tersebut kemungkinan besar karena tidak memiliki
kesamaan jurusan. Salah satu persyaratan pemerintah bagi guru sekolah menengah adalah
bahwa guru harus memiliki tingkat pendidikan minimal S1 atau diploma empat. Temuan
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa persayrakan tersebut telah terpenuhi karena
sebagian besar guru (85,03%) bergelar sarjana S1 atau diploma empat. Namun demikian,
meskipun hanya sebagian kecil, terdapat guru yang berpendidikan tertinggi SLTA dengan
Jakarta memiliki persentase tertinggi (3,87%) dari total guru. Pegalaman guru diukur dari
lamanya tahun mengajar subyek yang diajarkan. Dalam studi ini, responden memiliki
pengalaman mengajar matapelajaran yang saat ini diajarkan berinterval dari paling sedikit
(1-5 tahun) sampai dengan terlama (11 tahun atau lebih).
Pengembangan profesi merupakan aspek penting dalam karier guru. Temuan
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 55,89% menyatakan bahwa pelatihan
tentang standar pendidikan telah memadai dan sebanyak 36,53% merasa kurang memadai
bahkan belum pernah sama sekali. Karena pemerintah telah menerapkan sistem berbasis
standar, masih tingginya jumlah guru yang kurang memiliki pengetahuan yang memadai
tentang standar dapat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan kebijakan. Jika
pengembangan profesional pertama diarahkan pada standar secara konseptual,
pengembangan profesional kedua ditujukan lebih pada implementasi yaitu bagaimana
16
mengkaiteratkan pembelajaran di kelas dengan standar nasional. Terhadap
pengembangan profesi kedua tersebut, sebagian besar guru (81,2%) guru menanggapi
bahwa pelatihan untuk topik tersebut sangat tidak memadai bagi mereka dan hanya
sebanyak 10,2% merasa memadai. Kurangnya pengetahuan tentang standar dan
bagaimana untuk menyelaraskan standar dalam praktek kelas dapat menyebabkan
kegagalan dalamimplementasi kebijakan berbasis standar.
Memprediksi hubungan antara karakteristik guru dan tingkat keselarasan
Analisis statistik maksimum likelihood dan pendekatan model regresi mixed-
multilevel digunakan untuk menguji hubungan antara karakteristik guru dan tingkat
keselarasan yang dalam hal ini tingkat cakupan topik. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, maksimum likelihood digunakan untuk memaksimalkan estimasi parameter.
Selain itu, karena guru bersarang (nested) di dalam sekolah yang diambil sebagai kluster,
model regresi campuran digunakan untuk menyesuaikan efek kluster yang timbul akibat
pengaruh sekolah.
Dalam analisis hubungan antara karakteristik guru dan topik keselarasan cakupan
(lihat Tabel 3), rata-rata persentase cakupan topik tidak berbeda secara signifikan antara
guru laki-laki dan perempuan, meskipun guru laki-laki cenderung memiliki rata-rata
persentase yang lebih tinggi cakupan dari guru perempuan. Demikian pula, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara guru pemerintah dan nonpemerintah dan antara guru
yang jurusannya match dan mismatch dengan matapelajaran yang diajarkan. Meskipun
rata-rata guru negeri dan memiliki jurusan yang sama lebih tinggi dibandingkan guru
swasta dan jurusannya mismatch dengan matapelajaran yang diajarkan.
17
Tabel 3 Prediksi Asosiasi antara Cakupan Topik dan Karakteristik Guru
Prediktor Persentase Topik yang diajarkan
R2 = .038 β t
Bahasa Indonesia 1.0745 .993 Bahasa Inggris -1.5893 -1.354 IPA -1.3888 -1.248 Geder .5359 .683 Status Kepegawaian .8225 .839 Match/mismatch .2711 .314 Tahun Pengalaman .5175 2.301* Level Pendidikan 1.0129 .926 Pengembangan Profesi 1 .9111 1.029 Pengembangan Profesi 2 .5693 .585
Note. *p < .05; **p < .01; ***p < .001 Matematika adalah referensi matapelajaran sebagai variable kategori tunggal; gender (0 = perempuan, 1 = laki-laki -referensi); status kepegawaian (0 = guru swasta, 1 = guru pemerintah -referensi); macth/mismacth (0 = mismacth, 1 = macth —referense). β = unstandardized coeficien, t = nilai-t.
Di antara prediksi, hanya lamanya tahun pengalaman mengajarkan matapelajaran
merupakan prediktor signifikan (F1, 460 p = 5,29, <05, R2 = 0,039). Matapelajaran
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, ilmu pengetahuan alam, dan matematika adalah
variabel kategorikal tunggal (dengan matematika sebagai variabel referensi). Sebuah
variabel kategorikal tunggal hanya terdiri dari satu kategori. Tabel 2 menunjukkan bahwa
berdasarkan laporan guru, tidak ada perbedaan yang signifikan pada tingkat cakupan
topik antar subjek. Namun, dibandingkan dengan matematika, rata-rata persentase
cakupan topik bahasa Indonesia lebih tinggi, sedangkan bahasa Inggris dan ilmu
pengetahuan alam memiliki rata-rata persentase lebih rendah. Total model menyumbang
3,9% dari varians cakupan topik yang dijelaskan oleh karakteristik guru. Temuan ini
menunjukkan bahwa semakin lama guru mengajarkan topik-topik dalam kompetensi
dasar, semakin besar pula rata-rata persentase cakupan topiknya. Untuk tingkat
pendidikan dan pengembangan profesi menunjukkan hubungan positif namun tidak
signifikan. Dengan demikian, hanya tahun lamanya pengalaman mengajarkan
matapelajaran memprediksi keselarasan dalam hal tingkat cakupan.
18
Penelitian ini mengeksplorasi keselarasan pembelajaran di kelas dengan standar
nasional kurikulum yang diukur melalui luasnya cakupan topik. Secara khusus, cakupan
topik dihitung sebagai persentase rata-rata dari topik kurikulum standar nasional
diajarkan pada tahun 2008-2009. Dalam menggambarkan sejauh mana topik-topik dalam
kurikulum nasional diajarkan, mayoritas guru melaporkan bahwa hampir semua topik
standar nasional kurikulum diajarkan di kelas. Tingginya tingkat cakupan topik
menunjukkan efek positif dari upaya pemerintah dalam memberikan intervensi untuk
program seperti pengembangan profesional di bidang standar, sertifikasi guru, tingkat
pendidikan minimum untuk guru, dan peningkatan gaji pokok bagi guru.
Meskipun dalam persentase yang rendah, terdapat guru yang mengajar kurang dari
100% dari topik yang dirumuskan dalam kompetensi dasar. Persentase ini relatif rendah
dibandingkan dengan mereka yang mampu mengajarkan semua topik, Namun, temuan ini
sangat penting bagi para pembuat kebijakan nasional karena keberadaan guru yang
mengajar kurang dari apa yang dibutuhkan oleh standar nasional kurikulum. Dalam
sistem berbasis standar, mengajarkan semua topik merupakan keharusan karena tes yang
disusun secara nasional akan dikembangkan berdasarkan komptensi standar dalam
standar nasional kurikulum.
Sebagai negara yang menerapkan reformasi berbasis standar, standar isi kurikulum
harus menjadi acuan utama baik pada pembelajaran di kelas maupun ujian nasional.
Sementara item-item pertanyaan dalam ujian nasional dirancang berdasarkan standar
kurikulum, melewatkan satu topik saja dalam pembelajaran di kelas dapat menimbulkan
efek yang besar bagi prestasi siswa pada ujian nasional. Meskipun persentase guru
mengajar kurang dari 70% tergolong rendah, efeknya bisa menjadi besar karena item
pada ujian nasional dikembangkan berdasarkan standar nasional kurikulum. Jika topik
tidak diajarkan oleh guru di kelas dan muncul pada ujian nasional, siswa akan dirugikan.
19
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dalam perihal cakupan topik, mayoritas guru melaporkan bahwa mereka mampu
mencakup semua topik yang dirumuskan dalam standar nasional kurikulum sebagai
kompetensi dasar. Namun demikian, masih ada sejumlah kecil guru yang mengajar
kurang dari 100% dan beberapa dari mereka bahkan mengajarkan matapelajaran kurang
dari 70% dari kompetensi dasar. Guru-guru tersebut berada di wilayah provinsi Jawa
Timur meliputi kelas 7 untuk matapelajaran matematika dan IPA. Jadi meskipun tingkat
keselarasan standar nasional kurikulum dan pembelajaran di kelas cukup tinggi, adanya
sejumlah guru yang tidak mengajarkan semua topik perlu memperoleh perhatian utama
karena mungkin memiliki efek yang besar pada siswa. Karena sistem pendidikan
menerapkan sistem berbasis standar, melewatkan topik dalam pembelajaran kelas dapat
mempengaruhi prestasi siswa karena item-item pertanyaan dalam ujian nasional
dikembangkan berdasarkan standar kurikulum. Efek lain melewatkan topik di kelas
rendah juga berpotensi menimbulkan masalah bagi siswa dalam pembelajaran di kelas
yang lebih tinggi karena kurangnya pengetahuan dasar lebih dari isi kurikulum.
Saran
Berdasarkan temuan dan diskusi penelitian, saran kebijakan berikut dapat ditarik
untuk memberikan alternatif kepada pemerintah dalam merancang kebijakan yang lebih
baik untuk perbaikan sekolah. Pertama, meskipun persentase pengajaran kurang dari
100% dari topik standar nasional kurikulum relatif sangat kecil, kenyataan ini harus
memperoleh perhatian serius. Karena sistem pendidikan menerapkan kurikulum berbasis
standar, melewatkan salah satu topik dalam pembelajaran di kelas dapat mempengaruhi
prestasi siswa karena item pengujian dikembangkan berdasarkan standar kurikulum.
Kedua, pengembangan profesi diprioritaskan pada guru-guru yang tidak mampu
mengajarkan seluruh topik dalam strandar nasional. Karakteristik guru-guru tersebut
perlu diidentifikasi untuk keperluan memonitor implementasi setelah mengikuti
pengembangan profesi.
20
PUSTAKA ACUAN
Babbie, E. (2004). The Practice of Social Research (10th ed.). Belmont, CA: Thomson/Wadsworth.
Beleille, Tara and Loeb, Susanna. (2009). Teacher Quality and Teacher Labor Markets. In Handbook of Education Policy Research. In Sykes, G., Schneider, B., Plank, D.N., & Ford, T. G. (Eds), Handbook of Education Policy Research. American Educational Research Association, 596-612.
Bjork, Christopher. (2003). “Local responses to Decentralization Policy in Indonesia.” Comparative Education Review, 47(2), 184-216.
Boyd, D., Grossman, P., Lankford, H., Loeb, S., Wyckoff, J. (2006). How Cngaes in Entry Requirenments Alter the Teacher Workforce and Affect Student Achievement. Education Finance and Policy, 1 (2), 176-216.
Brown, J.L., Jones, S.M., LaRusso, M.D., and Aber, J.L. (2010). Improving Classroom Quality: Teacher Influences and Experimental Impacts of the 4Rs Program. Journal Of Educational Psychology, 102(1), 153-167.
Fonthal, Gil (2004). Alignment of State Assessments and Higher Education Expectation: Definition and Utilization of an Alignment Index. The University of California, Irvine and Los Angeles.
Gamoran, Adam; Porter, Andrew, Smithson John, and White Paula. (1997) Upgrading High School Mathematics Instruction: Improving Learning Opportunities for Low-Achieving, Low Income Youth. Educational Evaluation and Policy Analysis, 19 (4), 325-338.
Givvin, Karen B.; Hiebert, James; Jacobs, Jennifer K.; Hollingswrth, Hillary, and Gallimore, Ronald (2005). “Are There National Patterns of Teaching? Evidence from the TIMMS 1999 Video Study.” Comparative Education Review, 49(3), 311-342.
Goe, Laura and Stickler, Leslie. (2008). Teacher Quality and Student Achievement: Making the Most of Recent Research. Research & Policy in Brief: Teacher Quality and Student Achievement. National Comprehensive Center for Teacher Quality. Washington DC.
Goe, Laura. (2007). WWW.ncctg.org/link.php
Goldhaber, D. (2002). The Mystery of Good Teaching: The evidence shows that goof teachers make a clear difference in student achievement. The problem is that we don’t really know what makes a good teacher. Education Next, 2 (1), 50-55.
Groves, R.M., Flower, F.J., Couper, M.P., Lepkowski, J.M, Singer, E., & Tourangeau, R. (2004). Survey Methodology. Weley Series I Survey Mathodology. A John Wiley & ons. Inc., Publication.
Grossman, Pam; Hammerness, Karen M.; McDonald, Morva, & Ronfeldt, Matt. (2008). Consructing Coherence: Structural Predictors of Perceptions of Coherence in
21
NYC Teacher Education Programs. Journal of Teacher Education: The Journal of Policy, Practice, and Research in Teacher Education, 59 (4), 273-287.
Guthrie, J.T., Schafer, W.D., Secker, C.V., & Alban T. (2000). Contributions of Instructional Practices to Reading Achievement in a Statewide Improvement Program. The Journal of Educational Research, 93 (4), 211-225.
Heck, Ronald H. (2007). Examining the Relationship Between Teacher Quality as an Organizational Property of Schools and Students’ Achievement and Growth Rates. Educational Administration Quarterly 43(4), 399-432.
Indonesian Center for School Statistics (2010). Statistics of Schooling 2009-2010. The Office of Research and Development, the Ministry of National Education.
Loeb, Susanna. (2001). Teacher Quality: Its Enhancement and Potential for Improving Pupil Achievement. In Monk, D.H., Walberg, H.J. (Eds). Improving Educational Productivity, IAP & LSS, 99-114.
Marsh, H. W., Cheng, J. H.S., & Martin, A. J. (2008). A Multilevel Perspective on Gender in Classroom Motivation and Climate: Potential Benefits of Males Teachers for Boys? Journal of Educational Psychology, 100 (1), 78-95.
Martone Andrea and Sireci, Stephen G. (2009) Evaluating Alignment between Curriculum, Assessment, and Instruction. Review of Educational Research, 79 (4), 1332-1361.
NASBE Study Group on Statewide Assessment System. (1997). The Influence of Standards on K-12 Teaching and Student Learning: A Research Synthesis. National Association of State Boards of Education.
Newmann, Fred M., Smith, BetsAnn, Allensworth, Elaine, and Bryk, Anthony S. (2001). “Instructional Program Coherence: What It is and Why It Should Guide School Improvement Policy.” Educational Evaluation and Policy Analysis, 23 (4), 297-321.
Parke, C.S. and Lane, S. (2008). Examining Alignment between State Performance Assessment and Mathematics Classroom Activities. The Journal of Educational Research, 101 (3), 132-146.
Porter, Andrew (2002). Measuring the Content of Instruction: Uses in Research and Practice. Educational Researcher, 31 (7), 3-14.
Porter, Andrew C.; Smithson, John; Blank, Rolf; Zeidner, Timothy (2007). “Alignment as a Teacher Variable.” Applied Measurement in Education, 20 (1), 27-51.
Rabe-Hesketh, Sophia and Skrondal, Anders (2008). Multilevel and Longitudinal Modeling Using Stata. (Second Edition). Stata Press: Texas.
Rothman Robert. (2003). Imperfect Matches: The Alignment of Standards and Tests. Paper commissioned by the Committee on Test Design for K-12 Science Achievement Center for Education. National Research Council.
22
Saft, Elizabeth and Pianta, Robert (2001). Teachers’ Perceptions of Their Relationships with Students: Effect of Child Age, Gender, and Ethnicity of Teachers and Children. School Psychology Quarterly, 16 (2), 125-141.
Schmidt, William H. and Prawat Richard S. (2006). “Curriculum Coherence and National control of Education: Issue or non-issue?” Journal of Curriculum Studies, vol. 38(6): 641-658.
Schwarz, Adam (1999). A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability. Boulder, CO: Westview Press.
Wayne, A.J. and Youngs, P. (2003). Teacher Characteristics and Students Achievement Gains: A Riview. Review of Educational Research, 73 (1), 89-122.
Webb, N. (1997). Criteria for Alignment of Expectations and Assessments in Mathematics and Science Education. Research Monograph No. 6. Madison, WI: University of Wisconsin-Madison, National Institute of Science Education.
Wixson, Karen K., Fisk Maria C., Dutro Elizabeth, and McDaniel, Julie (2002). The Alignment of State Standards and Assessments in Elementary Reading. CIERA Report No. 3. Ann Arbor.
Wolter Christoper A. And Daugherty, Stacy G. (2007). Goal Structures and Teachers’ Sense of Efficacy and Academic Level. Journal of Educational Psychology, 99 (1), 181-193.